ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN...

124
ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN BANGUNAN DI JAKARTA SELATAN TAHUN 2013-2015 Skripsi Oleh: Ahmad Faiz 1112101000092 PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2017 M

Transcript of ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN...

Page 1: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN BANGUNAN

DI JAKARTA SELATAN TAHUN 2013-2015

Skripsi

Oleh:

Ahmad Faiz

1112101000092

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1438 H / 2017 M

Page 2: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta
Page 3: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

i

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi

ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN BANGUNAN

DI JAKARTA SELATAN TAHUN 2013-2015

Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Februari 2017

Oleh:

Ahmad Faiz

1112101000092

Mengetahui

Pembimbing I Pembimbing II

DR. Iting Shofwati, M.K.K.K.

NIP. 19760808 200604 2 001

Meilani M. Anwar, M.T.

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1438 H / 2017 M

Page 4: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

ii

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, Maret 2017

Penguji I

Siti Rahmah Lubis M.K.K.K.

Penguji II

Catur Rosidati, M.K.M.

NIP. 19750210 200801 2 018

Penguji III

Ir. Rulyenzi Rasyid, M.K.K.K.

Page 5: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

iii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Skripsi, Maret 2017

Ahmad Faiz, NIM : 1112101000092

Analisis Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan

Tahun 2013-2015

xv + 122 halaman, 14 tabel, 29 gambar

ABSTRAK

Kebakaran merupakan suatu kejadian yang dapat menimbulkan kerugian harta benda

dan korban jiwa di masyarakat. Kejadian kebakaran di Jakarta Selatan selama tahun 2013-2015

mengalami peningkatan setiap tahunnya serta merupakan wilayah dengan jumlah korban

meninggal terbanyak pada tahun 2015. Setiap wilayah memiliki kemungkinan karakteristik

kejadian kebakaran bangunan yang berbeda. Analisis spasiotemporal dapat digunakan untuk

mengetahui karakteristik kejadian kebakaran bangunan di setiap wilayah sehingga program

penanggulangan kejadiannya dapat disesuaikan dengan karakteristiknya.

Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi yang bertujuan untuk mengetahui

distribusi spasial temporal kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan tahun 2013-2015

beserta faktor-faktornya (kelompok berpendapatan rendah, kepadatan penduduk, penduduk

anak-anak, dan penduduk lansia). Penlitian ini dilakukan pada November 2015-Maret 2017.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua laporan kejadian kebakaran bangunan di Jakarta

Selatan pada tahun 2013-2015.

Hasil penelitian menunjukkan secara spasial kejadian kebakaran bangunan yang tinggi

hampir terjadi di semua kecamatan sedangkan secara temporal berkurang. Secara spasial

terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan

kelompok berpendapatan rendah yang rendah. Secara spasial frekuensi kejadian kebakaran

bangunan yang tinggi terjadi pada kategori tingkat kepadatan penduduk rendah hingga tinggi

sedangkan secara temporal kecamatan yang termasuk ke dalam kategori kepadatan penduduk

tinggi tidak bertambah. Secara Spasial frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi

terjadi pada wilayah dengan kategori penduduk anak-anak yang rendah dan tinggi sedangkan

secara temporal tidak terdapat peningkatan atau penurunan jumlah kecamatan yang masuk ke

dalam kategori penduduk anak-anak yang tinggi. Secara spasial frekuensi kejadian kebakaran

bangunan yang tinggi terjadi pada kategori penduduk lansia yang rendah sedangkan secara

temporal seluruh kecamatan termasuk ke dalam kategori Rendah selama 3 tahun berturut-turut.

Disarankan pemerintah untuk melakukan penambahan personil dan fasilitas pemadam

kebakaran untuk meningkatkan pelayanan pemadaman mengoptimalkan serta meningkatkan

sosialisasi dan pengawasan mengenai kebakaran, memudahkan masyarakat untuk mendapat

barang yang sesuai standar dan melakukan penataan penduduk.

Kata Kunci: Kebakaran, pendapatan rendah, kepadatan, lansia, anak-anak, kerugian.

Daftar Bacaan: 66 (1997-2016)

Page 6: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

iv

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY

Undergraduate Thesis, March 2017

Ahmad Faiz, NIM : 1112101000092

Analysis Spasiotemporal Building Fire Incident in South Jakarta Year 2013-2015

xiv + 122 pages, 14 tables, 29 pictures

ABSTRACT Fire is an event that can cause loss of property and loss of life. During 2013-2015 fires

in South Jakarta has increased every year and is the region with the highest number of deaths

in 2015. Every region has the possibility of fire occurrence characteristics of different building.

Spasiotemporal analysis can be used to determine the characteristics of a building fire activity

in each region so that prevention programs can be tailored to the characteristics of events.

The design of this research is ecological study to determine temporal spatial

distribution of building fires in South Jakarta in 2013-2015 as well as the factors (low income

groups, the population density, the population of children, and the elderly population). This

study to be done on November 2015 to March 2017. The population in this study are all

building fire incident reports in South Jakarta in 2013-2015.

Results showed spatially building fire occurrence at a high level occurred almost in all

districts, while temporally reduced. Spatially there are 9 of the 10 districts with the frequency

of occurrence building fire at a high level and low-income groups at low levels. In the spatial

frequency of occurrence building fire at a high level occurs in population density, with low to

high levels, while temporally districts that belong to the category with high levels of population

density is not increased. Spatially, frequency of occurrence building fire at high levels occur in

regions with a population category of children with low and high levels, while temporally, there

is no increase or decrease in the number of districts that into the category of children population

is high. Spatially, the frequency of occurrence building fire at a high level occurs in the elderly

population with a low level, while the temporal, the entire district are included in category of

Low for 3 years

Suggested the government to make additional personnel and fire fighting facilities to

improve the fire fighting services, optimize and improve the socialisation and monitoring of

the fire, facilitate the public to get goods to the standards and structuring of the population.

Keywords: Fire, lower income, the density, the elderly, children, loss.

Reading List: 66 (1997-2016)

Page 7: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Alhamdulillah, seluruh puji serta syukur selalu dilantunkan ke hadirat Allah

SWT, Sang Pemilik Pengetahuan, yang dengan rahmat dan inayahNYA jualah maka

penulis mampu merampungkan skripsi yang berjudul “Analisis Spasiotemporal

Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015”.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad

Rasulullah SAW, yang atas perkenan Allah, telah mengantarkan umat manusia ke pintu

gerbang pengetahuan Allah yang Maha luas.

Dalam proses penyusunan Skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa

terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Keluarga tercinta atas dukungan yang diberikan tanpa mengenal batas waktu

hingga akhirnya penulis mampu mencapai pendidikan di jenjang universitas.

2. Bu Riastuti selaku pembimbing akademik yang telah memberi motovasi dan

mengawasi perkembangan akademik penulis.

3. Bu Iting dan Bu Lani selaku pembimbing Skripsi yang telah memberi arahan

dan masukan serta motivasi dan doa kepada penulis agar senantiasa berupaya

maksimal dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Pa Fajar yang telah menyusun bahan ajar GIS serta memberikan waktunya

untuk berdiskusi.

5. Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta dan BPS

DKI Jakarta.

6. Seluruh Dosen Program Studi Kesehatan Masayarakat atas semua ilmu yang

telah diberikan.

7. Devina dan Mas nya yang telah membantu untuk mengambil data di dinas

terkait

8. Ukhty yang telah mengajarkan GIS serta mengantarkan ke dinas terkait untuk

pengambilan data.

9. Teman-teman di peminatan K3 yang telah meluangkan waktunya untuk

berdisuksi

10. Serta semua orang yang tidak dapat disebutkan namanya yang telah membantu

dan mendukung penulis untuk menyelesaikan laporan magang ini.

Page 8: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

vi

Dan akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis panjatkan doa dan harap, semoga

kebaikan mereka dicatat sebagai amal shaleh di hadapan Allah SWT dan menjadi

pemberat bagi timbangan kebaikan mereka kelak.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran

yang membangun senantiasa penulis harapkan agar dapat dijadikan masukan di waktu

mendatang.

Semoga skripsi ini dapat mendatangkan manfaat kepada penulis khususnya, dan

kepada seluruh pembaca secara keseluruhan.

Ciputat, Maret 2017

Penulis

Page 9: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

vii

DAFTAR RIWAYAT

Nama : Ahmad Faiz

Alamat : Kadu Gading, Menes, Kab. Padeglang, Banten

Tempat, Tanggal Lahir : Pandeglang, 10 September 1994

Pendidikan : 1. SDN Purwaraja 3

(2000-2006)

2. MTs. Mathla’ul Anwar Pusat Menes

(2006-2009)

3. MA Mathla’ul Anwar Pusat Menes

(2009-2012)

4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Peminatan Keselamatan & Kesehatan Kerja

(2012-2017)

Page 10: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

viii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................................................ i

ABSTRAK ................................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................................. v

DAFTAR RIWAYAT ................................................................................................. vii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. viii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xvi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

Latar Belakang ............................................................................................... 1

Rumusan Masalah .......................................................................................... 6

Pertanyaan Penelitian ..................................................................................... 8

Tujuan Penelitian ............................................................................................ 8

1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 8

1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 8

Manfaat Penelitian .......................................................................................... 9

1.5.1 Bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah ....................................... 9

Page 11: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

ix

1.5.2 Bagi Dinas Pemadam Kebakaran ............................................................ 9

1.5.3 Bagi Badan Pusat Statistik ...................................................................... 9

1.5.4 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ............................................ 9

Ruang Lingkup ............................................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 11

Kebakaran ..................................................................................................... 11

Cara penjalaran api ....................................................................................... 13

Penyebab kejadian kebakaran....................................................................... 14

Fire Ignition and Fire Loss Model ............................................................... 16

Faktor-faktor pada kejadian kebakaran bangunan ........................................ 17

Dampak Kerugian pada Kejadian Kebakaran. ............................................. 28

Pelayanan penanggulangan kebakaran ......................................................... 30

Analisis Spasiotemporal ............................................................................... 34

Kerangka Teori ............................................................................................. 36

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ....................... 37

Kerangka konsep .......................................................................................... 37

Definisi Operasional ..................................................................................... 38

BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................................. 40

Desain Penelitian .......................................................................................... 40

Page 12: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

x

Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 40

Populasi ........................................................................................................ 40

Pengumpulan Data ....................................................................................... 40

Pengolahan Data ........................................................................................... 41

4.5.1 Data tabular ........................................................................................... 42

4.5.2 Data Spasial ........................................................................................... 48

Analisis Data ................................................................................................ 53

4.6.1 Analisis Univariat.................................................................................. 53

4.6.2 Analisis Spasial ..................................................................................... 54

BAB V HASIL ............................................................................................................ 55

Kota Administrasi Jakarta Selatan ............................................................... 55

5.1.1 Letak Geografis ..................................................................................... 55

5.1.2 Luas Wilayah ........................................................................................ 55

5.1.3 Keadaan Iklim ....................................................................................... 57

5.1.4 Program-program pencegahan dan penanggulangan kebakaran ........... 57

5.1.5 Pos pemadam kebakaran dan sarana prasaranan kebakaran ................. 59

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan ................................................... 60

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................

Kelompok Berpendapatan Rendah. .............................................................. 67

Page 13: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

xi

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................

Kepadatan Penduduk .................................................................................... 69

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................

Penduduk Anak-anak ................................................................................... 73

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................

Penduduk Lansia .......................................................................................... 77

BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................................... 81

Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 81

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan ................................................... 81

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................

Kelompok Berpendapatan Rendah. .............................................................. 88

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................

Kepadatan Penduduk .................................................................................... 91

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................

Penduduk Anak-anak ................................................................................... 94

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................

Penduduk Lansia .......................................................................................... 96

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 99

Kesimpulan ................................................................................................... 99

Saran ........................................................................................................... 100

Page 14: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

xii

7.2.1 Bagi BPBD DKI Jakarta ..................................................................... 100

7.2.2 Bagi Dinas Pemadam Kebakaran ........................................................ 101

7.2.3 Bagi Badan Pusat Statistik .................................................................. 101

7.2.4 Bagi Penelitian Selanjutnya ................................................................ 101

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 102

Page 15: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Peraturan Dan Klasifikasi Kepadatan Penduduk ........................................ 24

Tabel 2.2 Tingkatan Kelas Korban Bencana Kebakaran ............................................ 30

Tabel 3.1 Definisi Operasional ................................................................................... 38

Tabel 4.1 Variabel, sumber data dan instansi pengumpul data sekunder. .................. 41

Tabel 5.1 Program-program Pencegahan Dan Penanggulangan Kebakaran

Tahun 2013-2017 ........................................................................................................ 57

Tabel 5.2 Pos Pemadam Dan Kantor Pemadam Kebakaran Berdasarkan

Kecamatan Tahun 2015............................................................................................... 59

Tabel 5.3 Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan

Tahun 2013-2015 ........................................................................................................ 61

Tabel 5.4 Distribusi Kerugian Ekonomi (Dalam Juta Rupiah)

Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015 .......................................................................... 62

Tabel 5.5 Distribusi Korban Luka Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015 ................... 63

Tabel 5.6 Distribusi Penyebab Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan

Tahun 2013-2014 ........................................................................................................ 64

Tabel 5.7 Distribusi Kelompok Berpendapatan Rendah Di Jakarta Selatan

Tahun 2014 ................................................................................................................. 68

Tabel 5.8 Distribusi Kepadatan Penduduk (jiwa/ha) Di Jakarta Selatan

Tahun 2013-2015 ........................................................................................................ 70

Tabel 5.9 Distribusi Penduduk Anak-Anak Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015.... 74

Tabel 5.10 Distribusi Penduduk Lansia Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015........... 78

Tabel 6.1 Jumlah Personel Pemadam kebakaran berdasarkan standar Tokyo ............ 88

Page 16: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Segitiga Api ............................................................................................. 11

Gambar 2.2 Tetrahedon Api ........................................................................................ 12

Gambar 2.3 Fire Ignition and Fire Loss Model ........................................................... 17

Gambar 2.4 Gunung Es Kerugian Finansial Kebakaran ............................................. 28

Gambar 2.7 Kerangka Teori ........................................................................................ 36

Gambar 3.1 Kerangka Konsep .................................................................................... 37

Gambar 4.1 Tampilan tabel yang sudah di sederhanakan ........................................... 42

Gambar 4.2 Cara memindahkan coding primary key ................................................. 43

Gambar 4.3 Tampilan tabel setelah di normalisasi ..................................................... 43

Gambar 4.4 Cara membuka shapefile pada Quantum GIS ......................................... 48

Gambar 4.5 Tampilan layar kerja QGIS ..................................................................... 49

Gambar 4.6 Cara mengaktifkan atribut baru ............................................................... 49

Gambar 4.7 Menu properties....................................................................................... 50

Gambar 4.8 Window add vector layer ........................................................................ 50

Gambar 4.9 Menu field ............................................................................................... 51

Gambar 4.10 Menyimpan layer................................................................................... 51

Gambar 4.11 Menu style. ............................................................................................ 52

Gambar 4.12 Hasil visualisasi data ............................................................................. 53

Gambar 5.1 Wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan ............................................ 56

Page 17: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

xv

Gambar 5.2 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta

Selatan Tahun 2013-2015 ........................................................................................... 65

Gambar 5.3 Distribusi Spasial Kejadian Kebakaran Bangunan berdasarkan Kelompok

Berpendapatan Rendah Di Jakarta Selatan Tahun 2014 ............................................. 69

Gambar 5.4 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan

Kepadatan Penduduk Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015 ....................................... 71

Gambar 5.5 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan

Penduduk Anak-anak Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015....................................... 75

Gambar 5.6 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan

Penduduk Lansia Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015 ............................................. 79

Page 18: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Pos/Sektor Dinas Penanggulangan Kebakaran Dan Penyelamatan

2015

Lampiran 2 Rekapitulasi Pegawai Aktif Dinas Penanggulangan Kebakaran Dan

Penyelamatan 2015

Page 19: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran merupakan suatu kejadian yang dapat menimbulkan kerugian

harta benda dan korban jiwa di masyarakat. Kebakaran adalah suatu fenomena

yang terjadi ketika suatu bahan mencapai temperatur kritis dan bereaksi secara

kimia dengan oksigen yang menghasilkan panas, nyala api, cahaya asap, uap air,

karbon monoksida, karbon dioksida, atau produk dan efek lainnya (Furness dan

Muckett, 2007). Pada abad ke-21, kebakaran merupakan salah satu tantangan

pada aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) karena dampak dari

kejadiannya yang sangat merugikan (Beyler, 2001).

Data International Association of Fire And Rescue menyebutkan bahwa

tercatat pada tahun 2014 telah terjadi 2,7 juta kejadian kebakaran di dunia dengan

jumlah total korban meninggal mencapai 20.700 jiwa. Data itu juga menyebutkan

bahwa kejadian kebakaran tertinggi terjadi di USA.

Di USA (United States of America) selama tahun 2006 hingga 2010,

setiap tahunnya diperkirakan terdapat 42.800 laporan kebakaran, dengan

kerugian setiap tahunnya yaitu 22 orang tewas, 300 orang cidera, dan kerugian

finansial sebesar 951.000.000 dolar (Evarts, 2012). Menurut Jennings (2013)

kejadian kebakaran yang terjadi di Amerika mayoritas terjadi di perumahan

dengan persentase sebesar 75%.

Page 20: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

2

Data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI

Jakarta menyebutkan kejadian kebakaran pada bangunan dari Januari sampai

Desember 2015 berjumlah 729 kejadian dengan taksiran kerugian mencapai Rp.

324.291.000.000, korban luka-luka 106 orang, dan korban meninggal 17 orang

(Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta,

2015). Kejadian kebakaran bangunan tersebut merupakan jumlah total kejadian

kebakaran bangunan yang terjadi di seluruh wilayah DKI Jakarta. Kebakaran

bangunan di perkotaan merupakan masalah bagi aspek keselamatan dan

kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan (Corcoran dan Higgs, 2013).

Menurut Muhadi (2008) kebakaran bangunan di wilayah perkotaan merupakan

masalah yang sulit untuk dihindari karena kepadatan penduduk di wilayah

perkotaan lebih tinggi daripada di wilayah lain.

Adapun jumlah korban meninggal pada kejadian kebakaran bangunan

berdasarkan wilayah administratifnya di DKI Jakarta, yaitu Jakarta Selatan

sebanyak 5 orang, Jakarta Barat jumlah korban sebanyak 4 orang, Jakarta Timur

sebanyak 4 orang, Jakarta Pusat sebanyak 2 orang, Jakarta Utara sebanyak 2

orang, dan Kepulauan Seribu tidak ada korban meninggal (Dinas

Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta, 2015).

Artinya wilayah dengan jumlah korban terbanyak pada tahun 2015 adalah

Jakarta Selatan.

Jakarta Selatan merupakan sebuah kota administrasi di bagian selatan

DKI Jakarta. Perbatasan dari kota administratif ini yaitu di sebelah utara

Page 21: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

3

berbatasan dengan Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Di sebelah timur berbatasan

dengan Jakarta Timur. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kota Depok, dan

sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Luas wilayah

Kota Administratif Jakarta Selatan yaitu 141,27 km2 dengan kepadatan

15.318,68 jiwa/km2. Jakarta Selatan memiliki kerawanan terhadap kejadian

kebakaran dengan jumlah penduduk yang semakin padat, pembangunan gedung-

gedung, perumahan, dan bangunan-bangunan lain yang semakin berkembang.

Berdasarkan data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan

Provinsi DKI Jakarta (2015) kejadian kebakaran pada bangunan di wilayah

Jakarta Selatan dari tahun 2013-2015 mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Pada tahun 2013 jumlah kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan

sebanyak 135 kejadian dengan kerugian material Rp. 35.585.000.000, korban

luka sebanyak 12 orang, dan korban meninggal sebanyak 5 orang. Pada tahun

2014 jumlah kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan sebanyak 141

kejadian dengan kerugian material Rp. 53.284.600.000, korban luka sebanyak 4

orang, dan korban meninggal sebanyak dua orang. Pada tahun 2015 jumlah

kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan sebanyak 155 kejadian dengan

kerugian material Rp. 83.828.600.000, korban luka sebanyak 16 orang, dan

korban meninggal sebanyak 5 orang.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan

kejadian kebakaran bangunan yang terjadi dan meminimalisir dampak dari

kejadian kebakaran bangunan. Salah satunya yaitu melalui program-program

Page 22: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

4

yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI

Jakarta. Berdasarkan BPBD DKI Jakarta (2013) terdapat 5 fokus Kebijakan

pencegahan dan penanggulangan kebakaran, yaitu pencegahan bencana

kebakaran, mitigasi bencana kebakaran, kesiapsiagaan bencana kebakaran,

penanganan darurat, dan pemulihan paska bencana kebakaran.

Salah satu program yang terkait pada kejadian kebakaran bangunan yaitu

penataan ulang pemukiman padat penduduk. Penataan ulang pemukiman padat

penduduk perlu dilaksanakan karena wilayah dengan kepadatan penduduk yang

tinggi memungkinkan kejadian kebakarannya tinggi. Menurut Muhadi (2008),

semakin tinggi kepadatan suatu kota semakin sering kebakaran terjadi. Frekuensi

kejadian kebakaran yang tinggi dapat menimpa wilayah dengan kepadatan

penduduk tinggi seperti di wilayah Kebayoran Lama. Selama tahun 2013-2014,

kejadian kebakaran di wilayah Kebayoran Lama mengalami kenaikan dari 15

kejadian pada tahun 2013 kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2014

menjadi 20 kejadian. Wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi

berpotensi untuk mengalami frekuensi kebakaran yang tinggi dan kerugian yang

lebih besar (Trisna, 2003).

Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk membuka

akses kredit ringan untuk pembangunan rumah permanen bagi pemilik rumah

non-permanen. Kebijakan ini perlu dilaksanakan agar kelompok ekonomi yang

berpendapatan rendah dan memiliki daya beli yang rendah dapat memiliki rumah

yang memungkinkan tahan terhadap kebakaran. Kelompok berpendapatan

Page 23: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

5

rendah berisiko untuk meningkatkan kejadian kebakaran di suatu wilayah. Hal

tersebut terjadi karena kurangnya daya beli dari kelompok berpendapatan rendah

untuk membeli barang yang sesuai standar. Tingginya tingkat keberadaan

penduduk yang berpendapatan rendah dapat meningkatkan tingkat kejadian

kebakaran di suatu wilayah (Federal Emergency Management Association,

1997).

Pemerintah juga memberikan perhatian terhadap penduduk anak-anak.

Salah satunya melalui pengembangan sistem pendidikan pencegahan kebakaran

pada usia dini. Hal ini diperlukan karena anak-anak dapat memungkinkan

berpotensi menjadi penyebab kejadian kebakaran atau korban dari kejadian

kebakaran. Menurut Hui dkk. (2005) mengemukakan bahwa penyebab

kebakaran yang disebabkan oleh anak-anak yang bermain lebih sering

ditemukan. Kejadian kebakaran yang disebabkan oleh anak-anak dapat terjadi

karena kurangnya pengawasan terhadap anak-anak (Huang, 2009). Selain itu

dapat juga disebabkan oleh anak-anak yang bermain (Miller, 2012).

Akan tetapi, pemerintah belum secara spesifik mengeluarkan kebijakan

pencegahan kebakaran yang berfokus pada lansia. Kebijakan yang dikhususkan

untuk penduduk lansia hanya penanganan darurat yaitu melalui kebijakan

pengadaan kebutuhan untuk kelompok khusus. Padahal jumlah penduduk lanjut

usia (lansia) juga dapat memungkinkan berpengaruh meningkatkan tingkat risiko

kebakaran. Pada kejadian kebakaran di London selama tahun 1996 hingga tahun

2000 mengungkapkan bahwa mayoritas korban meninggal pada kejadian

Page 24: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

6

kebakaran berumur lebih dari 60 tahun ke atas (Holborn dkk., 2003). Salah satu

faktor dari hal tersebut yaitu keterbatasan fisik yang mulai dimiliki karena proses

penuaan seperti tuli atau buta yang dapat penduduk lansia untuk mengalami

kecelakaan pada saat kebakaran (Federal Emergency Management Association,

1999b).

Oleh karena itu, tersedianya informasi karakteristik dan persebaran

kejadian kebakaran bangunan sangat diperlukan karena terdapat kemungkinan

setiap wilayah memiliki karakteristik kejadiannya masing-masing. Selain itu,

kerugian kebakaran yang terjadi dapat diminimalisir dengan mengetahui

persebaran lokasi kejadian, wilayah yang berpotensi, dan sarana prasarana

penanggulangan kebakaran yang tersedia (Murray, 2013). Program-program

yang dikeluarkan oleh pemerintah sebaiknya dapat disesuaikan dengan

persebaran dan karakteristiknya. Berdasarkan latar belakang tersebut, kemudian

peneliti tertarik untuk mengetahui kejadian kebakaran bangunan di Jakarta

Selatan dengan menggunakan sudut pandang keruangan untuk mengetahui besar

potensi kejadian kebakaran dari faktor-faktornya dari kejadian kebakaran di

wilayah Jakarta Selatan.

Rumusan Masalah

Kejadian kebakaran bangunan telah menjadi masalah yang dapat

menimbulkan berbagai kerugian pada setiap kejadian. Jakarta Selatan merupakan

bagian dari wilayah provinsi DKI Jakarta yang memiliki korban meninggal

paling tinggi dari wilayah lainnya pada tahun 2015 yaitu sebanyak 5 orang.

Page 25: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

7

Selain itu, kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan selama tahun 2013-

2015 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data kejadian

kebakaran selama tahun 2013-2015 telah terjadi peningkatan kejadian kebakaran

bangunan setiap tahunnya yaitu tahun 2013 sebanyak 135 kejadian, tahun 2014

sebanyak 141 kejadian, dan tahun 2015 sebanyak 157 kejadian. Hal tersebut

dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kepadatan penduduk. Kepadatan

penduduk wilayah Kota Jakarta Selatan mengalami peningkatan juga setiap

tahunnya yaitu dari 14795,25 jiwa/km2 pada tahun 2013 menjadi 15389.08

jiwa/km2 pada tahun 2015. Selain itu masih terdapat faktor lain seperti jumlah

kelompok ekonomi berpendapatan rendah, jumlah penduduk anak-anak, dan

jumlah lansia yang dapat meningkatkan kejadian kebakaran di wilayah Jakarta

Selatan. Oleh karena itu, diperlukan analisis deskriptif untuk menggambarkan

besar masalah dan analisis spasial temporal untuk menggambarkan sebaran dan

faktor risiko pada kejadian kebakaran bangunan. Studi deskriptif akan

menggambarkan distribusi kejadian kebakaran bangunan. Sedangkan analisis

spasial akan mempertajam analisis dari distribusi tersebut dari sudut pandang

keruangan untuk mengetahui persebaran wilayah kejadian kebakaran bangunan.

Dengan demikian, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian distribusi

spasial temporal kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan tahun 2013-

2015.

Page 26: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

8

Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan di

Jakarta Selatan tahun 2013-2015?

2. Bagaimana distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan

berdasarkan kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan tahun 2014?

3. Bagaimana distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan

berdasarkan kepadatan penduduk di Jakarta Selatan tahun 2013-2015?

4. Bagaimana distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan

berdasarkan penduduk anak-anak di Jakarta Selatan tahun 2013-2015?

5. Bagaimana distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan

berdasarkan penduduk lansia di Jakarta Selatan tahun 2013-2015?

Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan di

Kota Jakarta Selatan tahun 2013-2015.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan

berdasarkan jumlah kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan

tahun 2014.

2. Diketahuinya distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan

berdasarkan kepadatan penduduk di Jakarta Selatan tahun 2013-2015.

Page 27: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

9

3. Diketahuinya distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan

berdasarkan penduduk anak-anak di Jakarta Selatan tahun 2013-2015.

4. Diketahuinya distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan

berdasarkan penduduk lansia di Jakarta Selatan tahun 2013-2015.

Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk

menyesuaikan program penanggulangan kejadian kebakaran bangunan

berdasarkan karakteristik wilayah dan persebaran kejadiannya.

1.5.2 Bagi Dinas Pemadam Kebakaran

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk

pembuatan kebijakan untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran sebagai

upaya peningkatan pelayanan terhadap masyarakat dengan mengetahui wilayah

yang berpotensi terjadi kebakaran.

1.5.3 Bagi Badan Pusat Statistik

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk

mengevaluasi standar atau indikator yang yang digunakan untuk pengambilan

data di masyarakat terutama di wilayah perkotaan.

1.5.4 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk

penelitian berikutnya dengan mengembangkan metode yang lebih luas

lingkupnya.

Page 28: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

10

Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi spasial temporal

kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan tahun 2013-2015. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan September 2016-Maret 2017. Studi ini menggunakan

desain studi ekologi. Populasi penelitian ini yaitu seluruh laporan kejadian

kebakaran bangunan yang terjadi di wilayah Jakarta Selatan. Cara pengumpulan

data yang dilakukan dengan analisis data laporan tahunan kejadian kebakaran di

Jakarta Selatan. Analisis Spasiotemporal digunakan untuk menganalisis

distribusi kejadian kebakaran berdasarkan wilayah dan faktor kejadian kebakaran

bangunan.

Page 29: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran

Api adalah suatu fenomena proses oksidasi antara 3 komponen yaitu

bahan bakar, panas yang cukup untuk membuat benda terbakar, dan udara

(oksigen). Semua komponen ini harus hadir untuk menghasilkan api dan api

tersebut akan terus menyala hingga salah satu komponen tersebut dihilangkan

(National Fire Protection Association, 2015). Ketiga komponen tersebut dikenal

sebagai segitiga api. Segitiga api dikenal atau diketahui sebagai kondisi yang

dibutuhkan agar terciptanya api. Ketiga unsur tersebut yaitu panas (heat), bahan

bakar (fuel), dan oksigen yang disebut juga segitiga api (triangle of fire).

Sumber: Subagyo, 2012

Gambar 2.1 Segitiga Api

Page 30: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

12

Apabila salah satu dari komponen tersebut tidak tersedia maka api-pun

tidak dapat muncul. Bahan bakar berperan sebagai sumber energi, oksigen

memberikan kunci untuk melepaskan energi, dan panas memberikan dorongan

untuk menghasilkan reaksi kimia untuk menghasilkan api (Cote, 2004). Namun,

untuk berlangsungnya suatu pembakaran masih diperlukan komponen keempat

yaitu rantai reaksi kimia (chemical chain reaction).

Sumber: Subagyo, 2012

Gambar 2.2 Tetrahedron Api

Reaksi dari rantai kimia ini menghasilkan proses pembakaran. Proses

pembakaran merupakan proses yang kompleks dimana hasil dari oksidasi bahan

pembakar yang cepat, panas dan juga cahaya (Chandler, 2009). Teori ini dikenal

sebagai Piramida Api (fire tetrahedron) (Casal, 2008). Api dapat dipadamkan

apabila bahan bakar, panas, dan oksigen dapat dihilangkan atau dengan cara

menghambat reaksi kimia yang terjadi (Giustina, 2014).

Keberadaan api yang tidak dikendalikan dapat menimbulkan kerugian

harta benda atau cidera bahkan kematian (Suma’mur, 2007). Dengan Demikian

Page 31: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

13

kebakaran adalah suatu kondisi bersentuhan nya bahan bakar (fuel), oksigen dan

panas atau kalor, namun bukan yang dikehendaki (Suprapto, 2006).

Frekuensi kejadian kebakaran yang terjadi di suatu wilayah menunjukaan

kemungkinan bahaya kebakaran dapat terulang di wilayah tersebut. Semakin

tinggi frekuensi kebakaran pada suatu wilayah semakin tinggi kemungkinan

wilayah tersebut mengalami kebakaran kembali. Frekuensi kejadian kebakaran

merupakan salah satu komponen yang dapat menentukan tingkat ancaman suatu

kejadian kebakaran di suatu wilayah. Frekuensi kejadian kebakaran di suatu

wilayah dibagi ke dalam 3 tingkatan, yaitu rendah (kurang dari 2%), sedang (2-

5%), dan tinggi (lebih dari 5%) (Badan Nasional Penanggulangan Bencana,

2012).

Cara penjalaran api

Fenomena kebakaran biasanya berawal dari penyalaan api yang kecil

kemudian membesar dan menyebar ke wilayah sekitarnya. Menurut Eckhoff

(2005), perambatan api dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu sebagai berikut:

a. Konduksi

Konduksi adalah proses perambatan api melalui benda padat, misalnya

api merambat melalui kayu, tembok beton, ataupun besi. Apabila terjadi

kebakaran di suatu ruangan, maka panas dapat merambat melalui tembok

tersebut sehingga ruangan di sebelahnya akan mengalami pemanasan juga dan

api dapat merambat dengan mudah.

Page 32: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

14

b. Konveksi

Konveksi adalah perambatan api melalui media cairan ataupun uap air.

Apabila terjadi kebakaran di suatu ruangan, maka panas juga dapat merambat

melalui pergerakan atau aliran udara panas ke wilayah sekitar ruangan tersebut.

Aliran udara panas akan mengalir dari suatu ruangan yang lebih panas menuju

ruangan yang lebih dingin.

c. Radiasi

Radiasi adalah proses perambatan api melalui media gelombang

elektromagnetik dan pancaran cahaya yang keluar dari api yang menyala. Salah

satu contoh perambatan panas melalui proses radiasi adalah panas matahari yang

dapat dirasakan oleh manusia di bumi. Terjadi proses perpindahan panas dalam

proses radiasi, misalnya ketika suatu bangunan terbakar, maka api akan

menyebarkan energi panas dalam bentuk pancaran cahaya sehingga

memungkinkan bangunan lain di sekitarnya akan terbakar juga meskipun berada

di jarak yang agak jauh.

Penyebab kejadian kebakaran

Penyebab kejadian kebakaran pada bangunan dapat disebabkan berbagai

peristiwa. Untuk membuatnya lebih dipahami U.S. Fire Administration

mengelompokan berbagai penyebab kebakaran pada kategori-kategori yang

memiliki gambaran yang lebih besar. Menurut Federal Emergency Management

Page 33: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

15

Association (1999a) berikut penyebab-penyebab kejadian kebakaran pada

bangunan:

a. Exposure: kejadian kebakaran yang disebabkan oleh panas, api, atau

kebakaran yang menyebar dari tempat lain.

b. Pembakaran sengaja: Kejadian kebakaran yang disebabkan oleh pembakaran

yang dilakukan dengan sengaja.

c. Anak-anak yang bermain: Semua kejadian kebakaran yang disebabkan oleh

anak-anak yang bermain dengan berbagai material yang dapat terbakar.

d. Merokok: semua kejadian kebakaran yang diakibatkan oleh rokok, cerutu,

dan pipe.

e. Heating: kejadian kebakaran yang sumber penyebabnya adalah penghangat

ruangan, perapian, cerobong asap, dan pemanas air

f. Memasak: kejadian kebakaran yang sumber panasnya dari kompor, oven,

pemanas, tempat penggorengan minyak, dan pemanggang.

g. Electrical distribution: Kejadian kebakaran yang sumber panasnya dari

kabel, trafo, meter boxes, saklar, colokan listrik, dan peralatan pencahayaan

listrik.

h. Appliances (peralatan-perlatan rumahtangga): kejadian kebakaran yang

sumber panasnya berasal dari pendingin ruangan/AC, televisi, radio, mesin

cuci, vacuum cleaner, pekakas, selimut listrik, setrika, alat cukur listrik, alat

pembuka kaleng, dehumidifier, dan perangkat pendingin air.

Page 34: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

16

i. Peralatan-peralatan lainnya: kejadian kebakaran yang sumber panasnya berasal

dari peralatan khusus (radar, x-ray, komputer, telepon, pemancar, mesin penjual

otomatis (vending machine), mesin kantor, pompa, dan mesin printing),

peralatan servis, peralatan untuk pemeliharaan seperti insenerator, kendaraan

dalam bangunan dan peralatan lain yang tidak ditentukan.

j. Open flame: kejadian kebakaran yang sumber panasnya dari obor, lilin, korek

api, bara, abu, dan api di ruang terbuka.

k. Panas lainnya: kejadian kebakaran yang bersumber dari kembang api, bahan

peledak, panas atau percikan dari gesekan, bahan cair, material panas, dan

semua kebakaran lain yang disebabkan oleh panas dari benda-benda bertenaga

bahan bakar, panas dari overloading, dan panas dari benda panas yang tidak

tercakup oleh kelompok lain.

l. Unknown: kejadian kebakaran yang penyebabnya tidak diketahui, tidak

dilaporkan, atau belum ditentukan.

Fire Ignition and Fire Loss Model

Fire Ignition and Fire Loss Model merupakan model yang dikembangkan

oleh Charles Robert Jenning pada tahun 1996. Model pada gambar 2.3

menjelaskan bagaimana karakteristik populasi dan bangunan berdampak

terhadap kejadian kebakaran. Terdapat faktor-faktor dalam model ini yang

mempengaruhi kejadian kebakaran yaitu lingkungan fisik, aset bangunan, faktor

sosial, faktor ekonomi, demografi, dan faktor perilaku. Sedangkan Federal

Emergency Management Association yang mengadopsi kerangka dari Jennings

Page 35: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

17

tersebut meyebutkan faktor-faktor tersebut sebagai faktor-faktor sosioekonomi.

Menurut Federal Emergency Management Association (1997) alasan kenapa

faktor-faktor tersebut penting dianalisis karena faktor-faktor tersebut merupakan

sesuatu yang paling baik dalam menganalisis dan memprediksikan tingkat

kejadian kebakaran pada level populasi. Faktor lingkungan alam, aset bangunan,

sosial, ekonomi, dan demografi dapat menyebabkan kejadian kebakaran secara

tidak langsung tanpa dipengaruhi oleh perilaku manusia, sedangkan pada

kejadian secara langsung dapat disebabkan oleh perilaku manusia (Federal

Emergency Management Association, 1997).

Sumber: Federal Emergency Management Association, 1997

Gambar 2.3 Fire Ignition and Fire Loss Model

Faktor-faktor pada kejadian kebakaran bangunan

Jennings menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap

peningkatan kejadian kebakaran bangunan adalah lingkungan alam/fisik, aset

Page 36: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

18

bangunan, sosial, ekonomi, demografi, dan perilaku kejadian kebakaran. Berikut

ini merupakan penjelasan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian

kebakaran bangunan.

a. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik pada kejadian kebakaran biasanya diukur dengan suhu

(Huang, 2009). Untuk dapat menyalakan api suatu benda atau material

memerlukan suhu terendah untuk menyala (Thomson, 2001). Oleh karena itu

suhu dapat berpengaruh pada kebakaran. Dalam penelitian Gunther ditemukan

bahwa terdapat hubungan signifikan antara kematian pada kejadian kebakaran

dengan tingkat suhu. Hal tersebut dapat terjadi karena suhu dapat mempengaruhi

kejadian kebakaran. Peningkatan suhu lingkungan dapat mengakibatkan bahan-

bahan menjadi mudah terbakar karena bahan tersebut mencapai titik suhu yang

dapat menyalakan api (Randall, 2003). Menurut Corcoran dkk. (2011) suhu juga

dapat berpengaruh terhadap peningkatan risiko kebakaran. Adapun peningkatan

kejadian kebakaran ketika suhu lingkungan rendah terjadi karena pemakaian

peralatan seperti penghangat ruangan, peralatan masak dan kegiatan lain yang

dapat meningkatkan risiko kejadian kebakaran karena penggunaan peralatan

tersebut.

b. Aset Bangunan

Aset bangunan merupakan salah satu komponen untuk mengetahui

seberapa besar ketahanan terhadap kebakaran dan kerugian yang dapat terjadi

ketika terjadi kebakaran bangunan. Kondisi dari karakteristik dan aset-aset

bangunan dapat berperan penting dalam kejadian kebakaran.

Page 37: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

19

1) Usia Bangunan

Usia bangunan merupakan salah aset bangunan yang berperan penting

untuk mengetahui atau mengukur kondisi bangunan dalam menghadapi kejadian

kebakaran. Menurut Federal Emergency Management Association (1998) bahwa

terdapat kecenderungan tingkat kebakaran lebih tinggi di kota-kota dengan yang

mayoritas terdapat bangunan tua dibandingkan dengan kota yang mayoritas telah

dibangun dengan bangunan atau gedung yang lebih baru. Hal tersebut dapat

terjadi karena bangunan-bangunan baru telah dibangun dengan standar lebih

baik.

2) Kualitas kelayakan bangunan.

Kemudian kualitas kelayakan bangunan dalam suatu wilayah perlu

menjadi perhatian. Suatu bangunan dinyatakan kualitas layak untuk difungsikan

apabila telah memenuhi berbagai persyaratan kelayakan fungsi bangunan

gedung. Kelayakan tersebut mencakup kondisi keselamatan, kesehatan,

kenyamanan, dan kemudahan yang memenuhi persyaratan teknis bangunan

gedung yang telah diatur pada peraturan pemerintah nomor 25/PRT/M/2007

tentang Pedoman Sertifikat Layak Fungsi Bangunan Gedung (Departemen

Pekerjaan Umum, 2007). Adapun peraturan spesifik yang mengatur mengenai

komponen-komponen pada bangunan untuk kejadian kebakaran diatur dalam

Permen PU No. 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi

Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Menurut Gielen dkk.

(2012) kualitas rumah yang tidak layak memungkinkan untuk dapat

meningkatkan risiko kejadian kebakaran.

Page 38: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

20

c. Sosial

Aspek sosial dapat menjadi penyebab kejadian kebakaran yang terjadi.

Menurut Jennings (1999) kejadian kebakaran dapat dianggap sebagai produk dari

faktor sosial dan struktur sosial. Berikut faktor-faktornya:

1) Keberadaan orang tua

Federal Emergency Management Association (1997) mendefinisikan

keberadaan orang tua pada model ini dalam kontek ekologi yaitu persentase anak

di bawah umur 18 tahun yang tingal dengan kedua orang tuanya. Keberadaan

kedua orang tua yaitu bapak dan ibu sangat penting untuk mengawasi anak-anak

(Federal Emergency Management Association, 1997). Sedangkan, keluarga

single parent atau hanya 1 orang tua dapat meningkatkan risiko terjadinya

kebakaran karena pada umumnya memiliki tingkat fleksibilitas yang kurang

dalam kegiatan rumah tangganya dan kurangnya juga perawatan dan pengawasan

terhadap anak-anak karena harus meninggalkan anak untuk bekerja sehingga

menurunkan pengawasan terhadap anak-anak (Huang, 2009). Pengawasan yang

kurang terhadap anak-anak pada saat bermain dapat meningkatkan tingkat risiko

kejadian kebakaran (Federal Emergency Management Association, 1997).

2) Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan memiliki kemungkinan meningkatkan potensi

terjadinya kejadian kebakaran di suatu wilayah. Menurut Huang (2009) orang-

orang dengan tingkat pendidikan rendah lebih memiliki kemungkinan

berpenghasilan rendah, sehingga tidak mampu untuk membeli peralatan-

peralatan yang sesuai standar, seperti peralatan listrik. Tingkat pendidikan yang

Page 39: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

21

rendah dapat berdampak pada rendahnya tingkat pengetahuan terhadap berbagai

instruksi manual dan label peringatan sehingga memungkinkan alat digunakan

tidak sesuai ketentuan dan meningkatkan risiko terjadinya kebakaran. Tingkat

pendidikan dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak dengan baik

(Yang dkk., 2004).

d. Ekonomi

1) Kelompok berpendapatan rendah

Menurut Badan Pusat Statistik (2015a) pendapatan meliputi upah dan gaji

atas jam kerja atau pekerjaan yang telah diselesaikan, upah lembur, semua bonus

dan tunjangan, perhitungan waktu-waktu tidak bekerja, bonus yang dibayarkan

tidak teratur, penghargaan, dan nilai pembayaran sejenisnya. (Badan Pusat

Statistik) mengklasifikasikan pendapatan berdasarkan 4 kelompok. Berikut

klasifikasinya:

a) Golongan pendapatan sangat tinggi, adalah jika pendapatan rata-

rata lebih dari Rp. 3.500.000,00 per bulan

b) Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata

antara Rp. 2.500.000,00 s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan

c) Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata

antara Rp. 1.500.000,00 s/d Rp. 2.500.000,00 per bulan

d) Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata

1.500.000,00 per bulan

Page 40: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

22

Berdasarkan standar dari PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial)

tahun 2011 dalam (Kertati, 2013) kelompok berpendapatan rendah di suatu

wilayah dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu Rendah (≤26% dari total

kelompok seluruh kategori pendapatan), Sedang (26-35% dari total kelompok

seluruh kategori pendapatan), dan Tinggi (>35% dari total kelompok seluruh

kategori pendapatan) (Kertati, 2013).

Tingkat pendapatan dapat berpengaruh terhadap risiko kejadian

kebakaran. Kelompok berpendapatan rendah umumnya tinggal di tempat tinggal

yang tidak memenuhi berbagai syarat sehingga berbahaya bagi keselamatan

penghuninya (Gielen dkk., 2012). Pendapatan yang rendah menurunkan daya

beli terhadap peralatan-peralatan yang sesuai standar dan aman sehingga

meningkatkan risiko kebakaran (Istre dkk., 2002). Tingginya tingkat keberadaan

penduduk yang berpendapatan rendah dapat meningkatkan tingkat kejadian

kebakaran di suatu wilayah (Federal Emergency Management Association,

1997).

2) Kemiskinan

Kemiskinan menurut (Haryana, 2008) adalah kondisi di mana seseorang

atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak

dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang

bermartabat. Penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluarannya di bawah

garis kemiskinan (Federal Emergency Management Association, 1997). Jumlah

penduduk miskin di suatu wilayah dapat mencerminkan tingkat kemiskinan di

Page 41: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

23

suatu wilayah. Menurut Jennings (1999) kejadian kebakaran yang besar dapat

berhubungan dengan kemiskinan di suatu wilayah. Hal tersebut dapat terjadi

karena masyarakat atau penduduk miskin tidak dapat menyediakan peralatan-

peralatan yang sesuai dan ketersedian peralatan kebakaran.

e. Demografi

1) Kepadatan Penduduk

Analisa pada komponen ini sangat penting salah satunya pada kepadatan

penduduk. Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk di dalam suatu wilayah

dibagi luas wilayah berdasarkan batasan administrasi yang ada (Badan

Standarisasi Nasional, 2004). Kepadatan penduduk sangat mempengaruhi

jumlah pemenuhan fasilitas, baik fasilitas umum maupun sosial, jumlah fasilitas

pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi akan lebih besar bila

dibandingkan dengan kepadatan rendah. Kepadatan tinggi mempengaruhi

kemungkinan bencana kebakaran. Hasil analisa dari kepadatan penduduk dapat

memunculkan faktor-faktor kemungkinan terjadinya kebakaran. Menurut Trisna

(2003) berikut faktor-faktor kemungkinan kejadian kebakaran yang dapat

dihasilkan dari analisa kepadatan penduduk terhadap kejadian kebakaran yang

terjadi di suatu wilayah yaitu kemungkinan sebagai sumber kebakaran,

kemungkinan bahaya penjalaran, dan kemungkinan sebagai sumber korban

kebakaran dan masalah sosial. Adapun peraturan dan klasifikasi mengenai

standar kepadatan dapat dilihat pada tabel 2.1.

Page 42: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

24

Tabel 2.1 Peraturan Dan Klasifikasi Kepadatan Penduduk

Standar atau Peraturan Klasifikasi kepadatan penduduk

Undang-Undang No. 56 tahun 1960 1. Tidak padat : ≤50 jiwa/km2)

2. Kurang padat : 51-250 jiwa/km2

3. Cukup padat : 251-400 jiwa/km2

4. Sangat padat : ≥401 jiwa/km2

Tata cara perencanaan lingkungan

perumahan di perkotaan

(Badan Standarisasi Nasional,

2004)

1. Rendah : <150 jiwa/ha

2. Sedang ; 151 – 200 jiwa/ha

3. Tinggi : 200 – 400 jiwa/ha

4. Sangat padat : >400 jiwa/ha

Sumber : UU 56, 1960, Badan Standarisasi Nasional, 2004.

Adapun Standar yang dapat digunakan untuk wilayah perkotaan yaitu

yaitu klasifikasi kepadatan penduduk pada peraturan tata cara perencanaan

lingkungan perumahan di perkotaan. Hal ini karena peraturan tersebut

merupakan peraturan yang digunakan sebagai penilaian perencanaan untuk

wilayah perkotaan.

2) Penduduk Anak-anak

Menurut World Health Organization (2013) anak-anak adalah seseorang

yang berusia di bawah 19 tahun atau lebih muda. Sedangkan, menurut Undang-

undang (Republik Indonesia) anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Adapun

menurut Ahmad dkk. (2001) yang dipublikasikan oleh WHO standar persentase

populasi usia di bawah 19 tahun adalah 34,62 % dari keseluruhan populasi total.

Page 43: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

25

Ketika suatu kebakaran disebabkan oleh tindakan seorang anak yang

bermain dengan sumber api maka dapat dikatakan sebagai kebakaran yang

disebabkan oleh anak-anak yang bermain (Miller, 2012). Pada penelitian Hui

dkk. (2005) mengemukakan bahwa penyebab kebakaran yang disebabkan oleh

anak-anak yang bermain lebih sering ditemukan. Anak-anak merupakan korban

utama pada kejadian kebakaran pada saat siang hari ketika orang tuanya pergi

bekerja (Ono dan Da Silva, 2000). Bagi anak-anak menyelamatkan diri ketika

terjadi kebakaran akan sulit karena pengetahuan anak-anak mengenai

penyelamatan dari kebakaran masih kurang (Federal Emergency Management

Association, 2015, Federal Emergency Management Association, 2013). Anak-

anak di bawah 5 tahun paling rentan untuk menjadi korban mati (Istre dkk., 2002,

Hannon dan Shai, 2003).

3) Penduduk lansia

Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) yang semakin besar membutuhkan

perhatian dan perlakuan khusus. (Federal Emergency Management Association)

mendefinisikan penduduk usia tua yaitu setiap orang yang berusia di atas 65

tahun. Sedangkan, Undang-undang (Republik Indonesia) mendefinisikan

penduduk lanjut usia sebagai penduduk berumur 60 tahun ke atas. Usia tua

merupakan tahap akhir dari proses penuaan yang memiliki dampak terhadap 3

aspek, yaitu biologis, ekonomi, dan sosial (Badan Pusat Statistik, 2015b). Secara

biologis, lansia akan mengalami proses penuaan secara terus menerus yang

ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan terhadap serangan

penyakit. Secara ekonomi, umumnya lansia lebih dipandang sebagai beban

Page 44: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

26

daripada sumber daya. Secara sosial, kehidupan lansia sering dipersepsikan

secara negatif, atau tidak banyak memberikan manfaat bagi keluarga dan

masyarakat. Adapun menurut Ahmad dkk. (2001) yang dipublikasikan oleh

WHO standar persentase populasi lansia adalah 8,235 % dari keseluruhan

populasi total.

Keberadaan penduduk lanjut usia juga dapat berpengaruh meningkatkan

tingkat risiko kebakaran. Pada penelitian Holborn dkk. (2003) mengenai kejadian

kebakaran di London selama tahun 1996 hingga tahun 2000 mengatakan bahwa

mayoritas korban meninggal pada kejadian kebakaran berumur lebih dari 60

tahun ke atas. Menurut Ahrens dkk. (2007) penduduk lansia yang berusia 65

tahun ke atas memiliki kontribusi yang lebih besar dalam jumlah kematian karena

kejadian kebakaran dari pada penduduk usia muda. Hal tersebut dapat terjadi

karena penduduk lansia memiliki berbagai keterbatasan. Berikut berbagai alasan

penduduk lansia lebih berisiko pada kejadian kebakaran (Federal Emergency

Management Association, 1999b):

a) Proses penuaan yang kemudian rentan untuk terkena berbagai macam

penyakit dan rentan terhadap berbagai cidera seperti luka bakar.

b) Keterbatasan fisik yang mulai dimiliki karena proses penuaan seperti

tuli atau buta yang dapat penduduk lansia untuk mengalami kecelakaan

pada saat kebakaran.

c) Terdapat penduduk lansia yang hidup sendiri sehingga meningkatkan

risiko mengalami cidera pada saat terjadi kebakaran (Zhang dkk.,

2006).

Page 45: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

27

d) Terdapat penduduk lansia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan

kemiskinan memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian

kebakaran.

e) Mayoritas penduduk lansia harus mengonsumsi berbagai obat yang

interaksinya dapat mengakibatkan berbagai efek samping yang dapat

meningkatkan potensi kecelakaan.

f) Gangguan yang disebabkan oleh kombinasi alkohol dengan berbagai

obat pada penduduk lansia yang dapat meningkatkan kemungkinan

untuk menyalakan api secara sengaja, tidak mendeteksi kebaradaan,

dan tidak bisa melarikan diri ketika terjadi kebakaran.

f. Perilaku penduduk terhadap kebakaran

Beberapa ciri perilaku manusia yang membedakan dari makhluk lain

adalah kepekaan sosial, kelangsungan perilaku, orientasi pada tugas, usaha dan

perjuangan, serta tiap individu adalah unik (Sarwono, 2013). Salah satu faktor

yang harus diperhatikan pada suatu kejadian kebakaran yaitu perilaku manusia.

Menurut Huang (2009) perilaku manusia merupakan penyebab utama pada suatu

kejadian kebakaran karena berbagai kejadian kebakaran yang terjadi disebabkan

oleh manusia. Penelitian yang dilakukan di Bandung memperlihatkan bahwa

perilaku masyarakat terkait kebakaran masih tergolong berbahaya karena

kegiatan penggunaan api yang dilakukan secara tidak aman sehingga dapat

menimbulkan kejadian kebakaran (Sagala dkk., 2014).

Page 46: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

28

Dampak Kerugian pada Kejadian Kebakaran.

a. kerugian ekonomi

Kejadian kebakaran yang terjadi dapat mengakibatkan kerugian pada

harta benda selain dari mengakibatkan kerugian terhadap jiwa. Dalam menutupi

kerugian yang diakibatkan oleh kejadian kebakaran dibutuhkan biaya yang

cukup besar meskipun terdapat beberapa biaya yang dapat ditutupi oleh asuransi

seperti biaya pengobatan dan barang-barang yang rusak. Selain dari kerugian

yang dapat ditutupi oleh asuransi masih terdapat biaya yang lain yang harus

dikeluarkan untuk membiayai kejadian kebakaran yang terjadi seperti biaya

pembersihan area kebakaran dan waktu yang digunakan untuk mengembalikan

keadaan menjadi baik kembali. Berikut analogi gunung es kerugian finansial

kejadian kebakaran (Furness dan Muckett, 2007).

Sumber: Furness dan Muckett, 2007

Gambar 2.4 Gunung Es Kerugian Finansial Kebakaran

Berdasarkan gambar tersebut dapat terlihat bahwa kerugian yang

langsung yang nampak di permukaan terlihat kecil, tetapi di bawah permukaan

masih terdapat kerugian yang tidak terlihat. Kemudian di Indonesia, dalam

Page 47: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

29

perhitungan kerugian yang terjadi pada suatu kejadian kebakaran dilakukan oleh

ahli dari Dinas Penanggulangan Bahaya Kebakaran. Perhitungan kerugian materi

dilakukan oleh Dinas Penanggulangan Bahaya Kebakaran selain dengan

bertanya langsung kepada ahli musibah kebakaran juga dengan memperkirakan

harga harta benda yang terbakar (Trisna, 2003). Tentu saja hal ini sangat

tergantung dari kemampuan individu yang mendata setelah terjadinya kebakaran.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012) juga memberikan klasifikasi

kerugian atau dampak ekonomi dari suatu kejadian kebakaran bangunan. Berikut

klasifikasinya:

a) Rendah : kurang dari 1 milyar rupiah (<Rp 1.000.000.000)

b) Sedang : 1 milyar rupiah sampai 3 milyar rupiah

(Rp 1.000.000.000 – Rp 3.000.000.000)

c) Tinggi : lebih dari 3 milyar rupiah (>Rp 3.000.000.000)

b. Korban

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2015) korban adalah orang, binatang, dan sebagainya yang menjadi menderita

(mati dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya.

Menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana

menyatakan bahwa korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang

menderita atau meninggal dunia akibat bencana. Dalam hal ini kejadian

kebakaran termasuk ke dalam kategori bencana nonalam.

Page 48: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

30

Korban meninggal dalam kejadian kebakaran dapat disebabkan oleh

berbagai penyebab selain terbakar. Pada kejadian kebakaran di London selama

tahun 1996 sampai tahun 2000 yaitu 42% korban meninggal karena asap

kebakaran dan hanya 19% korban meninggal karena luka bakar. Di Indonesia

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012) memberi kategori jumlah

korban meninggal dan korban luka-luka pada masing-masing masing kelasnya

berdasarkan jumlah korban meninggal. Berikut kategorinya:

Tabel 2.2 Tingkatan Kelas Korban Bencana Kebakaran

Komponen Kelas

Rendah Sedang Tinggi

Meninggal - 1 orang >1 orang

Luka <5 orang 5-10 orang >10 orang

Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012)

Pelayanan penanggulangan kebakaran

Dalam upaya penanggulangan kebakaran diperlukan pelayanan terhadap

penanggulangan kebakaran yang disediakan oleh pemerintah. Berdasarkan

Permen PU No. 20/PRT/M/2009 mengenai Pedoman Teknis Manajemen

Proteksi Kebakaran di Perkotaan dalam pelayan penanggulangan kebakaran

dapat terdiri dari instansi pemadam kebakaran yang dapat berupa pos pemadam

kebakaran, mobil pemadam kebakaran, sumber daya manusia atau personil

pemadam kebakaran, dan sumber air. DKI Jakarta juga memiliki Peraturan

Daerah (Perda) mengenai kebakaran yaitu Peraturan Daerah Provinsi Daerah

Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 8 Tahun 2008.

Page 49: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

31

a. Instansi pemadam kebakaran

Instansi pemadam kebakaran menyediakan pelayanan penanggulangan

dan pemadaman kebakaran dalam bentuk penyediaan pos pemadam kebakaran

dalam suatu wilayah manajemen kebakaran. Wilayah Manajemen Kebakaran

yang tersusun atas pos-pos penanggulangan kebakaran tersebut dimaksudkan

untuk memenuhi tujuan proteksi kebakaran, yakni utamanya untuk keselamatan

jiwa (life safety) dan perlindungan harta benda (properti safety) (Trisna, 2003).

Terkait dengan hal ini dapat diajukan pertanyaan berapa rasio optimal

antara jumlah pos penanggulangan bahaya kebakaran dengan jumlah penduduk

dan rasio optimal pos penanggulangan bahaya kebakaran dengan jumlah

bangunan. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2004) SNI 03-1733-2004

tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan

menetapkan 1 pos pemadam kebakaran untuk 30.000 penduduk.

Selain itu, Wilayah yang sudah terbangun dan dihuni harus mendapat

perlindungan oleh mobil kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5

km dan berjarak 3,5 km dari sector. Sedangkan, standar waktu tanggap yang

harus dipenuhi yaitu tidak lebih dari 15 menit (Kementerian Pekerjaan Umum,

2009).

Waktu tanggap Instansi Pemadam Kebakaran terhadap pemberitahuan

kebakaran untuk kondisi di Indonesia tidak lebih dari 15 (5 belas) menit yang

terdiri atas:

Page 50: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

32

1) Waktu dimulai sejak diterimanya pemberitahuan adanya kebakaran di suatu

tempat, penentuan lokasi kebakaran, informasi objek yang terbakar dan

penyiapan pasukan serta sarana pemadaman.

2) Waktu perjalanan dari pos pemadam menuju lokasi

3) Waktu gelar peralatan di lokasi sampai dengan siap operasi penyemprotan.

b. Mobil pemadam kebakaran

Dalam meningkatkan upaya penanggulangan bahaya kebakaran

dibutuhkan jumlah armada yang mencukupi serta jenis yang sesuai dengan

kondisi fisik wilayah yang akan dilayani dan dengan mempertimbangkan jumlah

Pos Pemadam serta potensi kebakaran yang akan ditanggulangi. Berdasarkan

Keputusan (Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah) No.

534/KPTS/M/2001 pada 1 pos pemadam kebakaran harus terdapat dua mobil

pemadam kebakaran. IFCAA (International Fire Chiefs Association of Asia)

menetapkan 1 unit mobil pemadam kebakaran untuk setiap 10.000 penduduk

(Sarwono, 2011, Trisna, 2003).

c. Sumber daya manusia institusi pemadam kebakaran

Sumber daya manusia adalah faktor sentral dalam suatu organisasi.

Adapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan visi untuk

kepentingan manusia dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh

manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan

institusi/organisasi. Berdasarkan pertimbangan dan jumlah pos serta cakupan

masyarakat, maka perlu dipertimbangkan kualifikasi dan kuantifikasi personil

Page 51: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

33

yang harus disediakan untuk melakukan pelayanan penanggulangan dan

pemadaman kebakaran.

Menurut Standar Tokyo menetapkan 25 personil 10.000 penduduk

(Sarwono, 2011, Trisna, 2003). Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2009)

dalam setiap Pos kebakaran dipimpin oleh seorang Kepala Pos yang merangkap

sebagai kepala regu, Setiap regu jaga maksimal terdiri dari 6 orang, yaitu 1 orang

kepala regu, 1 orang operator mobil kebakaran, dan 4 orang anggota yang terdiri

dari dua orang anggota tenaga pemadam dan dua orang anggota tenaga

penyelamat. Sedangkan jumlah personil pada suatu Pos Pemadam sangat

tergantung dari jumlah mobil unit pemadam kebakaran yang akan ditempatkan,

umumnya 1 unit mobil pemadam diawaki oleh 4 personil terdiri dari 3 orang

pemadam dan seorang operator, jadi bila dalam 1 hari terdapat 3 regu jaga dan 1

regu libur (day off) maka untuk 1 Pos Pemadam dengan 1 unit mobil pemadam

dibutuhkan 16 personil (Trisna, 2003).

d. Sumber Air

Pasokan air untuk keperluan pemadam kebakaran diperoleh dari sumber

alam seperti kolam air, danau, sungai, jeram, sumur dalam dan saluran irigasi;

maupun buatan seperti tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur,

reservoir, mobil tangki air dan hidran. Idealnya sumber air penanggulangan

bahaya kebakaran menggunakan hydrant-hydrant kota (Trisna, 2003). Karena

apabila menggunakan sumber air alami harus memenuhi kondisi tertentu. Seperti

pada penggunaan air ketika musim kemarau harus dijamin mampu untuk

dimanfaatkan untuk kegiatan pemadaman serta harus dilengkapi dengan

Page 52: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

34

peralatan penghisap air (drafting point) (Kementerian Pekerjaan Umum, 2009).

Kemudian mengenai pemenuhan penyediaan hidran berdasarkan Keputusan

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 yaitu

penyediaan hidran kota pada setiap jarak 200 meter di tepi jalan.

Analisis Spasiotemporal

Spasiotemporal (Spatiotemporal) adalah data yang setiap objek datanya

berkaitan dengan objek lain dalam interaksi yang kompleks yang diambil dalam

bentuk waktu (masa lalu, sekarang, dan masa depan) yang dibuat dalam model

lingkungan (Hsu, 2007). Adapun, spasial itu sendiri merupakan sesuatu yang

dibatasi oleh ruang dan waktu serta dibatasi oleh komunikasi dan transportasi

(Achmadi, 2014). Hasil analisis data spasial sangat bergantung pada lokasi objek

yang bersangkutan (objek yang sedang dianalisis). Analisis spasial juga dapat

diartikan sebagai teknik‐teknik yang digunakan untuk meneliti dan

mengeksplorasi data dari perspektif keruangan (Kementrian Riset Dan

Teknologi, 2013). Analisis spasial adalah sekumpulan teknik yang dapat

digunakan dalam pengolahan data SIG (Sistem Informasi Geografis).

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan perangkat untuk

mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, dan menghubungkan data spasial

dari fenomena geografis untuk dianalisis dan hasilnya dikomunikasikan kepada

pengguna data sebagai dasar pengambilan keputusan (Achmadi, 2014). Sistem

tersebut dapat menyediakan visualisasi spasial (keruangan) berbagai variabel

Page 53: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

35

seperti kualitas hidup masyarakat di suatu wilayah dengan peta berwarna

(Câmara dkk., 2002). Adapun kegunaan analisis spasial yaitu (Achmadi, 2014):

a. Untuk pemetaan kasus yang memberikan informasi geografis secara visual

dan memperlihatkan kecenderungan kasus.

b. Untuk melihat studi hubungan geografis yang bertujuan untuk melihat

korelasi suatu kejadian dengan variabel lingkungan, faktor demografi, dan

sosial ekonomi.

c. Sebagai pengelompokan kasus yang memungkinkan adanya faktor risiko di

suatu wilayah.

Page 54: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

36

Kerangka Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan Fire Ignition and Fire Loss

Model yang merupakan model yang dikembangkan oleh Charles Robert Jenning.

Berikut kerangka teori yang digambarkan:

Gambar 2.5 Kerangka Teori

Page 55: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

37

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

Kerangka konsep

Variabel pada penelitian ini adalah kejadian kebakaran bangunan,

kelompok berpendapatan rendah, kepadatan penduduk, penduduk anak-anak,

dan penduduk lansia. Variabel keberadaan orang tua, umur bangunan, dan

kualitas bangunan tidak diteliti karena data tersebut belum tersedia. Sedangkan

suhu tidak diteliti karena data pengukuran suhu hanya dilakukan di 1 tempat yaitu

di stasiunnya untuk seluruh wilayah Jakarta Selatan. Sedangkan faktor perilaku

tidak diteliti karena penelitian ini menggunakan data sekunder. Adapun variabel

kerugian ekonomi, korban meninggal, dan korban luka tidak diteliti karena

penelitian ini tidak meneliti dampak dari kejadian kebakaran bangunan yang

terjadi. Berikut kerangka konsep pada penelitian ini:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Page 56: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

38

Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Kejadian

Kebakaran

Bangunan

Tingkat kejadian kebakaran bangunan

yang di Jakarta Selatan tahun 2013-

2015

Observasi

data

sekunder

Laporan kejadian

kebakaran di Jakarta

Selatan tahun 2013-

2015

1. Rendah (<2% di wilayah

setempat)

2. Sedang (2-5% di wilayah

setempat),

3. Tinggi (>5% di wilayah

setempat)

(Badan Nasional Penanggulangan

Bencana, 2012)

Ordinal

Kelompok

Berpendapatan

rendah

Tingkat persentase kelompok

berpendapatan rendah di Jakarta Selatan

tahun 2014

Observasi

data

sekunder

Data survey

kelompok

pendapatan rumah

tangga di Jakarta

tahun 2014

1. Rendah (≤26%)

2. Sedang (26-35%)

3. Tinggi (>35%)

(PPLS, 2011)

Ordinal

Page 57: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

39

Tabel 3.1 Definisi Operasional (Lanjutan)

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Kepadatan

penduduk

Tingkat kepadatan penduduk di dalam

suatu wilayah dibagi luas wilayah

berdasarkan batasan administrasi

kecamatan yang ada di Jakarta Selatan

tahun 2013-2015

Observasi

data

sekunder

Jakarta Selatan

dalam Angka 2014-

2016

1. Rendah (<150 jiwa/ha)

2. Sedang (150-200 jiwa/ha)

3. Tinggi (200-400 jiwa/ha)

4. Sangat tinggi (>400 jiwa/ha)

(Badan Standarisasi Nasional, 2004)

Ordinal

Penduduk anak-

anak

Tingkat persentase penduduk yang

belum berusia 19 (sembilan belas) tahun

berdasarkan batasan administrasi

kecamatan yang ada di Jakarta Selatan

tahun 2013-2015

Observasi

data

sekunder

Jakarta Selatan

dalam Angka 2014-

2016

1. Rendah (< 34,62%)

2. Tinggi (≥ 34,62%)

(WHO, 2011)

Ordinal

Penduduk lansia Tingkat persentase penduduk yang

berusia 60 tahun ke atas berdasarkan

batasan administrasi kecamatan yang

ada di Jakarta Selatan tahun 2013-2015

Observasi

data

sekunder

Jakarta Selatan

dalam Angka 2014-

2016

1. Rendah (< 8,235%)

2. Tinggi (≥ 8,235%)

(WHO, 2011)

Ordinal

Page 58: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

40

BAB IV

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

kuantitatif. Desain penelitian ini adalah studi ekologi yaitu menggunakan data

dari seluruh populasi sebagai unit analisis. Unit analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kecamatan. Keseluruhan jumlah kecamatan yaitu 10

kecamatan di wilayah Administratif Kota Jakarta Selatan dalam kurun waktu 3

tahun yaitu dimulai dari tahun 2013-2015.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Administratif Kota Jakarta Selatan

yang mencakup 10 kecamatan dan penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober

sampai bulan Maret 2017.

Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua laporan kejadian kebakaran

bangunan di Jakarta Selatan yang terdiri dari 10 kecamatan pada tahun 2013-

2015.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

didapat dari institusi-institusi terkait. Untuk melihat sumber data dan institusi

pengumpul datanya dapat dilihat pada tabel 4.1.

Page 59: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

41

Tabel 4.1 Variabel, sumber data dan instansi pengumpul data sekunder.

Variabel Sumber data Instansi

Kejadian Kebakaran

Bangunan

Laporan kejadian

kebakaran di Jakarta

Selatan tahun 2013-

2015

Dinas Penanggulangan

Kebakaran dan Penyelamatan

Provinsi DKI Jakarta

Kepadatan penduduk Jakarta Selatan dalam

Angka 2014-2016

Badan Pusat Statistik DKI Jakarta

Penduduk anak-anak Jakarta Selatan dalam

Angka 2014-2016

Badan Pusat Statistik DKI Jakarta

Penduduk lansia Jakarta Selatan dalam

Angka 2014-2016

Badan Pusat Statistik DKI Jakarta

Kelompok

pendapatan ekonomi

Survei kelompok

pendapatan rumah

tangga di Jakarta tahun

2014

Badan Pusat Statistik DKI Jakarta

Pengolahan Data

Pengolahan data melalui pengolahan data tabular dan data spasial dengan

SIG (Sistem Informasi Geografis). Data tabular adalah data deskriptif yang

menyatakan nilai dari data grafis yang diterangkan. Data ini biasanya berbentuk

tabel terdiri dari kolom dan baris. Pengolahan data tabular menggunakana

software pengolah data. Software yang digunakan dalam pengolahan data spasial

dalam penelitian ini yaitu QGIS v.2.8.1 yang merupakan software open source

untuk pengolahan data spasial. Untuk tahapan pengolahan data dapat dijelaskan

sebagai berikut:

Page 60: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

42

4.5.1 Data tabular

1) Memasukan data atau entry data yaitu tahapan memasukan data ke dalam

software yang mendukung untuk pengolahan data tabular atau data deskriptif,

agar data lebih mudah dianalisis.

2) Memeriksa kembali data yang telah dimasukkan untuk menghindari kesalahan

selama memasukkan data dan memastikan tidak ada kesalahan pada data yang

telah dimasukkan.

3) Melakukan eliminasi data yang tidak perlu, seperti jumlah kasus, sumber,

nomor kolom, dan judul tabel.

4) Melakukan penyederhanaan judul kolom, misalkan ‘jumlah penduduk’ menjadi

‘jml_pddk’. Perlu diperhatikan bahwa terdapat beberapa aturan untuk

penamaan judul kolom seperti tidak melebihi 10 karakter, dimana strip ( - )

ataupun underscore ( _ ) terhitung sebagai 1 karaker, serta tidak menggunakan

simbol matematika.

5) Mengidentifikasi primary key yang sesuai pada data tabular tersebut. Tampilan

tabel yang telah disederhanakan dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Tampilan tabel yang sudah di sederhanakan

Page 61: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

43

6) Membuka file atribut quantum berekstensi *dbf dengan menggunakan software

pengolah data.

7) Memindahkan coding primary key pada file atribut quantum berekstensi *dbf

ke file kasus di Micorosft Excel. Perlu diketahui bahwa primary key (PK) yang

terdapat dalam file berekstensi *dbf memiliki ciri khusus yakni menggunakan

huruf kapital serta pengejaan yang sesuai. Cara pemindahan primary key dapat

dilihat pada gambar 4.2.

Gambar 4.2 Cara memindahkan coding primary key

8) Setelah dipindahkan, maka tampilan data tabular akan tampak pada gambar 4.3.

Gambar 4.3 Tampilan tabel setelah di normalisasi

Page 62: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

44

9) Menambahkan kolom perhitungan berdasarkan klasifikasi dari definisi

operasional untuk memudahkan pengakategorian. Berikut contoh perhitungan

berdasarkan klasifikasi dari definisi operasional pada wilayah Kecamatan

Tebet:

a. Kejadian kebakaran bangunan

Pada variabel ini dilakukan perhitungan yang dilakukan untuk

mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data

yang digunakan yaitu jumlah kejadian kebakaran bangunan di kecamatan

dan jumlah kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan. Contohnya di

Kecamatan Tebet, jumlah kejadian kebakaran bangunan di Kecamatan

Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 16 kejadian dan jumlah kejadian

kebakaran bangunan di Jakarta Selatan pada tahun 2014 yaitu sebanyak

141 kejadian.

Persentase kejadian

kebakaran bangunan=

Kejadian kebakaran bangunan

di kecamatanKejadian kebakaran bangunan

di seluruh wilayah Jakarta Selatan

× 100%

=16

141× 100%

= 11 %

Jadi, persentase kejadian kebakaran bangunan di Kecamatan Tebet pada

tahun 2014 adalah 11 %. Persentase tersebut melebihi 5 %. Artinya,

kejadian kebakaran bangunan di Kecamatan Tebet pada tahun 2014

termasuk ke dalam kategori tinggi kejadiannya.

Page 63: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

45

b. Kelompok berpendapatan rendah

Pada variabel ini dilakukan perhitungan yang dilakukan untuk

mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data

yang digunakan yaitu jumlah kelompok berpendapatan rendah di

kecamatan dan jumlah dari semua kelompok pendapatan di kecamatan

tersebut. Contohnya di Kecamatan Tebet, jumlah kelompok berpendapatan

rendah di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 702 keluarga

dan jumlah dari semua kelompok pendapatan di Kecamatan Tebet pada

tahun 2014 yaitu sebanyak 549.499 keluarga.

Persentase kelompok

berpendapatan rendah =

Jumlah kelompok

berpendapatan rendah di kecamatanJumlah semua kategori kelompok

pendapatan di Jakarta Selatan

× 100%

=702

549.499× 100%

= 1,4 %

Jadi, persentase kelompok berpendapatan rendah di Kecamatan Tebet

pada tahun 2014 adalah 1,4 %. Persentase tersebut kurang dari 26%.

Artinya, kelompok beperndapatan rendah di Kecamatan Tebet pada tahun

2014 termasuk ke dalam kategori rendah.

c. Kepadatan penduduk

Pada variabel ini dilakukan perhitungan yang dilakukan untuk

mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data

yang digunakan yaitu jumlah penduduk di kecamatan dan luas wilayah

kecamatannya. Contohnya di Kecamatan Tebet, jumlah penduduk di

Page 64: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

46

Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 229.767 penduduk dan

luas wilayah Jakarta Selatan pada tahun 2014 yaitu sebanyak 953 hektar.

Kepadatan penduduk =Jumlah penduduk di kecamatan (jiwa)

Luas wilayah kecamatan (ha)

=229.767

903

= 254,45 𝑗𝑖𝑤𝑎

ℎ𝑎⁄

Jadi, kepadatan penduduk di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 adalah

254,45 jiwa/ha. Hasil tersebut berada pada rentang 200-400 jiwa/ha.

Artinya, kepadatan penduduk di Kecamatan Tebet pada tahun 2014

termasuk ke dalam kategori tinggi.

d. Penduduk anak-anak

Pada variabel ini dilakukan perhitungan yang dilakukan untuk

mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data

yang digunakan yaitu jumlah penduduk anak-anak di kecamatan dan

jumlah penduduk di kecamatannya. Contohnya di Kecamatan Tebet,

jumlah penduduk anak-anak di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu

sebanyak 74.001 jiwa dan jumlah penduduk di Jakarta Selatan pada tahun

2014 yaitu sebanyak 229.767 jiwa.

Persentase penduduk

anak − anak=

Jumlah penduduk anak − anak di kecamatan

Jumlah seluruh pendudukdi kecamatan

× 100%

=74.001

229.767× 100%

= 32,2 %

Page 65: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

47

Jadi, persentase penduduk anak-anak di Kecamatan Tebet pada tahun

2014 adalah 32,2 %. Persentase tersebut kurang dari 34,62 %. Artinya,

penduduk anak-anak di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 termasuk ke

dalam kategori rendah.

e. Penduduk lansia

Pada variabel ini dilakukan perhitungan yang dilakukan untuk

mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data

yang digunakan yaitu jumlah penduduk lansia di kecamatan dan jumlah

penduduk di kecamatan. Contohnya di Kecamatan Tebet, jumlah penduduk

lansia di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 18.790 jiwa

dan jumlah penduduk di Jakarta Selatan pada tahun 2014 yaitu sebanyak

229.767 jiwa.

Persentase

penduduk lansia =

Jumlah penduduk lansia di kecamatanJumlah penduduk

lansia di kecamatan

× 100%

=18.790

229.767× 100%

= 8,178 %

Jadi, persentase penduduk lansia di Kecamatan Tebet pada tahun 2014

adalah 8,18 %. Persentase tersebut kurang dari 8,235 %. Artinya, penduduk

lansia di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 termasuk ke dalam kategori

rendah.

Page 66: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

48

10) Melakukan penyimpanan terpisah dengan alur file kemudian Save As. Setelah

itu, pilih direktori tempat penyimpanannya dengan memberi nama file.

Kemudian, memilih file type dengan ekstensi *csv (comma delimeted). Ketika

menyimpan file, maka harus dipastikan bahwa tidak ada tulisan yang terpotong.

Data ini kemudian digabungkan dengan software yang mendukung untuk

pengolahan data spasial.

4.5.2 Data Spasial

1) Membuka shapefile yang akan dilakukan analisis dengan menggunakan

software Quantum GIS melalui tahapan: klik add vector layer, lalu klik browse

dan pilih shapefile yang akan dibuka. Pastikan memiliki ekstensi *shp Open.

Keterangan lokasi menunya dapat dilihat pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 Cara membuka shapefile pada Quantum GIS

1. Add vector layer 2. Browse file

Page 67: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

49

2) Tampilan layar kerja akan tampak seperti pada gambar 4.5.

Gambar 4.5 Tampilan layar kerja QGIS

3) Melakukan pemanggilan attribute dengan tahapan: pilih add delimeted text

layer. Setelah itu, browse dengan memilih file dengan ekstensi *csv yang tadi

sudah dibuat lalu menandai pilihan lainnya seperti tampak pada gambar.

Dengan demikian maka nama file tersebut akan muncul di kolom layer . lokasi

menunya dapat dilihat pada gambar 4.6.

Gambar 4.6 Cara mengaktifkan atribut baru

1. Delimeted vector text layer

2. Browse file

Page 68: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

50

4) Melakukan join attribute dengan memilih shapefile lalu klik kanan dan memilih

properties, maka akan terbuka sub window dari properties seperti tampak pada

gambar 4.7.

Gambar 4.7 Menu properties.

5) Pada sub window ‘properties’, memilih ‘join’ yang terdapat di sisi kiri lalu

mengklik tanda tambah ( + ) yang berwarna hijau, maka akan muncul sub

window ‘add vector join’. Kemudian, memilih ‘kecamatan’ yang merupakan

PK dari data *csv untuk pilihan join field. Setelah itu, memlih variabel

‘kecamatan’ yang merupakan PK dari shapefile untuk pilihan target field lalu

mengklik OK.

Gambar 4.8 Window add vector layer

Page 69: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

51

6) Setelah itu, maka tampilan pada sub window ‘join’ akan berubah, yakni ada

penambahan atribut pada join layer. Klik OK.

7) Lalu, klik kanan lagi pada shapefile dan memiilih properties. Setelah itu,

memilih ‘field’ dan mengklik OK. Tampilan menu field dapat dilihat pada

gambar 4.9.

Gambar 4.9 Menu field

8) Lalu, pilih shapefile dan klik kanan. Kemudian, memilih save as dan

direktorinya. Setelah itu, memberi nama shapefile yang telah join dengan

variabel dan menyimpannya dengan mengklik save. Maka tampilan peta pun

akan berubah warna

Gambar 4.10 Menyimpan layer.

Page 70: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

52

9) Pada shapefile lama, klik kanan dan pilih remove.

10) Save Project dengan langkah: klik project, save, memilih direktori dan

memberi nama project lalu memilih save.

11) Lakukan tahapan visualisasi data dengan tahapan memilih menu properties

pada layer.

12) Kemudian pilih menu style dan data tabular yang akan di visualisasikan. Lokasi

menu dapat dilihat pada gambar 4.11.

Gambar 4.11 Menu style.

Style yang dipilih

Data tabular

Jumlah kelas

Pilihan warna

Nilai dan keterangan

Page 71: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

53

13) Klik OK dan visualisasi data selesai. Tampilannya dapat dilihat pada gambar

4.12.

Gambar 4.12 Hasil visualisasi data

Analisis Data

4.6.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi kejadian

kebakaran bangunan, faktor-faktornya, dan dampaknya. Sehingga diketahui

besar kejadian kebakaran bangunan yang terjadi dan faktor-faktornya serta besar

dampak kejadian.

Page 72: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

54

4.6.2 Analisis Spasial

Distribusi secara spasiotemporal dalam penelitian ini hanya dipaparkan

dan diambil kesimpulan secara visualisasi (gambar peta). Sistem informasi

geografis yaitu dengan software QGIS dalam analisis ini digunakan sebagai alat

untuk membuat peta sebaran kejadian kebakaran bangunan berdasarkan

kepadatan penduduk, berpendapatan rendah, penduduk anak-anak, penduduk

lansia, korban meninggal, korban luka, dan kerugian material per kecamatannya

di Jakarta Selatan tahun 2013-2015.

Page 73: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

55

BAB V

HASIL

Kota Administrasi Jakarta Selatan

Jakarta Selatan merupakan wilayah kota administrasi di bagian selatan

DKI Jakarta. Jakarta Selatan terdiri dari 10 Kecamatan dan pusat

pemerintahannya berada di Kebayoran Baru.

5.1.1 Letak Geografis

Jakarta Selatan terletak pada 060 15’ 40,8” Lintang Selatan dan 1060 45’

00.0” Bujur Timur. Batas Wilayah yang meliputi

a. Utara : Banjir Kanal, Jalan sudirman Kecamatan Tanah Abang (Jakarta

Pusat), Jalan Kebayoran Lama dan Kebon Jeruk (Jakarta Barat)

b. Timur : Kali Ciliwung (Jakarta Timur)

c. Barat : Kecamatan Ciputat (Tangerang Selatan) dan Ciledug (Kota

Tangerang), Provinsi Banten.

d. Selatan : Kotamadya Depok, Provinsi Jawa Barat.

5.1.2 Luas Wilayah

Jakarta Selatan merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata

26,2 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan SK Gubernur 171 tahun 2007

luas wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan adalah 145,73 km2. Wilayah

Jakarta Selatan terbagi menjadi 10 kecamatan yang meliputi Kecamatan

Jagakarsa, Pasar Minggu, Cliandak, Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Kebayoran

Baru, Mampang Prapatan, Pancoran, Tebet, dan Setiabudi yang luas daerahnya

masing-masing dapat dilihat pada gambar 5.1.

Page 74: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

56

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2016

Gambar 5.1 Wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan

Berdasarkan gambar 5.1 terlihat bahwa Kecamatan Jagakarsa mempunya

wilayah paling luas yaitu 24,87 km2 dan luas wilayah paling kecil adalah

Kecamatan Mampang Prapatan yaitu 7,73 km2.

Page 75: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

57

5.1.3 Keadaan Iklim

Jakarta Selatan seperti daerah di Indonesia pada umumnya memiliki dua

musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Secara umum DKI Jakarta

Memiliki iklim panas/tropis dengan suhu rata-rata berkisar antara 27,70-30,30 C.

Kelembaban udara rata-rata berkisar 51%-98%.

5.1.4 Program-program pencegahan dan penanggulangan kebakaran

Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan bencana di wilayah

Jakarta Selatan, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan melalui program-

programnya. Kebijakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di wilayah

ini terdiri dari 5 fokus, yaitu pencegahan bencana kebakaran, mitigasi bencana

kebakaran, kesiapsiagaan bencana kebakaran, penanganan darurat, dan

pemulihan paska bencana kebakaran. Dalam fokus-fokus kebijakan tersebut,

terdapat beberapa program-program yang dapat dikaitkan dengan variabel pada

penelitian ini yang dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1 Program-program Pencegahan Dan Penanggulangan Kebakaran

Tahun 2013-2017

Variabel Program

Kelompok

berpendapatan

rendah

Pemberian subsidi untuk instalasi listrik yang lebih

aman bagi penduduk miskin di kawasan padat

penduduk

Terbukanya akses terhadap kredit ringan untuk

pembangunan rumah permanen bagi pemilik rumah non-

permanen

Page 76: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

58

Tabel 5.1 Program-program Pencegahan Dan Penanggulangan Kebakaran

Tahun 2013-2017 (Lanjutan)

Variabel Program

Kepadatan

Penduduk

Sosialisasi penggunaan alat elektronik yang standar dan

aman dan memperbaiki kebiasaan penggunaan alat

elektronik yang berpotensi menimbulkan kebakaran

Penataan bangunan

Terpantaunya berkala instalasi listrik di pemukiman

padat penduduk

Pemantauan berkala instalasi listrik di perumahan dan

fasilitas umum.

Sosialisasi informasi mengenai pencegahan dan

penanggulangan kebakaran

Pembentukan dan penguatan kapasitas tim relawan

kebakaran (tim siaga bencana) kelurahan

Pengadaan sarana pendukung untuk tim relawan kebakaran

kelurahan

Rekrutmen personil

Penambahan jumlah dan pemeliharaan perangkat

pendukung pemadaman

Penduduk anak-

anak

Pengembangan Sistem Pendidikan pencegahan kebakaran

pada usia dini (Sidik Api)

Pengadaan kebutuhan untuk kelompok khusus (anak-anak,

manula, Ibu hamil, diffabel)

Penduduk lansia Pengadaan kebutuhan untuk kelompok khusus (anak-anak,

manula, Ibu hamil, diffabel)

Sumber: BPBD DKI Jakarta, 2013

Page 77: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

59

5.1.5 Pos pemadam kebakaran dan sarana prasaranan kebakaran

Keberadaan hidran di Jakarta Selatan sebanyak 247 buah, yang terdiri

dari 76 buah dalam kondisi baik, 95 buah kondisi rusak sedang, 65 buah kondisi

rusak berat, dan 11 buah kondisinya sudah hilang. Kemudian, di Jakarta Selatan

juga telah terdapat 22 pos pemadam kebakaran dan kantor pemadam pada tahun

2015. Personel untuk operasi pemadam kebakaran di wilayah Jakarta Selatan

terdapat 473 orang. Untuk melihat alamat dari pos pemadam dan kantor

pemadam dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Pos Pemadam Dan Kantor Pemadam Kebakaran Berdasarkan

Kecamatan Tahun 2015

Kecamatan Alamat

Tebet Jl. Prof. Dr. Supomo, S.H., Tebet.

Setiabudi Jl. Pendawa, Casablanca, Menteng Atas, Setiabudi.

Jl. Garnisun Dalam Kav. 2-3 (RS. Siloam), Karet

Semanggi, Setiabudi.

Pancoran Jl. Taman Makam Pahlawan, Rajawati, Pancoran.

Mampang Prapatan Jl. Kapten Tendean, Kuningan Barat, Mampang

Prapatan.

Kebayoran Lama Jl. Raya Pasar Jum’at, Pondok Pinang, Kebayoran Lama.

Jl. Ciputat Raya, Kebayoran Lama Utara, Kebayoran

Lama.

Jl. Kebayoran Lama, Grogol Utara, Kebayoran Lama.

Jl. Ciledug Raya, Cipulir, Kebayoran Lama.

Kebayoran Baru Jl. Radio II Keramata Pela, Kramat Pela, Kebayoran

Baru.

Jl. Prapanca Raya, Petagon, Kebayoran Baru.

Jl. Trunojoyo No. 3, Selong, Kebayoran Baru

Pesanggrahan Jl. Saidi, Pesanggrahan.

Page 78: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

60

Tabel 5.2 Pos Pemadam Dan Kantor Pemadam Kebakaran Berdasarkan

Kecamatan Tahun 2015 (Lanjutan)

Kecamatan Alamat

Cilandak Jl. Melati Raya, Cipete Selatan, Cilandak.

Jl. RS. Fatmawati, Cilandak Barat, Cilandak

Jl. R.A. Kartini No. 8, Cilandak.

Pasar Minggu Jl. Salihara, Jatipadang, Pasar Minggu.

Jl. Lenteng Agung, Pasar Minggu.

Jl. Pejaten Raya, Pejaten Barat, Pasar Minggu

Jagakarsa Jl. M. Kahfi 1, Jagakarsa.

Jl. Raya Srengseng Sawah, Srengseng Sawah, Jagakarsa.

Jl. Brigif Raya, Ciganjur Jagakarsa

Sumber: Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta, 2015

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan

Jakarta Selatan terdiri dari 10 wilayah kecamatan. Setiap kejadian

kebakaran yang terjadi di wilayah Jakarta Selatan dapat dilaporkan dengan

menghubungi pos pemadam kebakaran, kantor sektor pemadam terdekat, atau

menghubungi command center melalui nomor yang tersedia. Semua laporan

yang masuk dilaporkan ke command center dan validasi oleh pos atau petugas

yang bertanggung jawab di wilayah tempat kejadian kebakaran bangunan atau

pos terdekat dengan lokasi kejadian kebakaran bangunan. Kemudian, menurut

Badan Nasional Penanggulangan Bencana frekuensi kejadian kebakaran

bangunan yang terjadi di suatu wilayah terdiri dari 3 kategori, yaitu rendah

(kurang dari 2%), sedang (2-5%), dan tinggi (lebih dari 5%). Untuk mengetahui

distribusi kejadian kebakaran bangunan yang terjadi di Jakarta Selatan selama

tahun 2013-2015 dapat dilihat pada tabel 5.3.

Page 79: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

61

Tabel 5.3 Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan

Tahun 2013-2015

No Kecamatan

Kejadian Kebakaran Bangunan

2013 2014 2015

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 Tebet 21 16 % 16 11 % 23 14 %

2 Setiabudi 8 6 % 10 7 % 18 12 %

3 Pancoran 11 8 % 5 4 % 6 4 %

4 Mampang Prapatan 7 5 % 10 7 % 8 5 %

5 Kebayoran Lama 15 11 % 20 14 % 18 12 %

6 Kebayoran Baru 17 13 % 17 12 % 21 13 %

7 Pesanggrahan 14 10 % 17 12 % 10 6 %

8 Cilandak 14 10 % 14 10 % 28 18 %

9 Pasar Minggu 12 9 % 15 11 % 13 8 %

10 Jagakarsa 16 12 % 17 12 % 12 8 % Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015

Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa jumlah kejadian kebakaran

bangunan selama tahun 2013-2015 cenderung mengalami fluktuasi pada 7 dari

10 kecamatan (Tebet, Pancoran, Mampang Prapatan, Kebayoran Lama,

Pesanggrahan, Pasar Minggu, dan Jagakarsa). Sedangkan, 3 dari 10 kecamatan

(Setiabudi, Kebayoran Baru, dan Cilandak) di Jakarta Selatan kejadian

kebakaran bangunan cenderung meningkat selama tahun 2013-2015. Pada tahun

2013, jumlah kejadian kebakaran bangunan yang paling tinggi terjadi di

Kecamatan Tebet dan paling rendah terjadi di Kecamatan Mampang Prapatan.

Sedangkan, pada tahun 2014 jumlah kejadian kebakaran bangunan yang paling

tinggi terjadi di Kecamatan Kebayoran Lama dan paling rendah terjadi di

Kecamatan Pancoran. Pada tahun 2015 jumlah kejadian kebakaran bangunan

yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Cilandak dan paling rendah terjadi di

Kecamatan Pancoran. Distribusi perkembangan jumlah kerugian ekonomi di

Jakarta Selatan selama tahun 2013-2015 pada tabel 5.4.

Page 80: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

62

Tabel 5.4 Distribusi Kerugian Ekonomi (Dalam Juta Rupiah) Di Jakarta Selatan

Tahun 2013-2015

No Kecamatan 2013 2014 2015

1 Tebet 2.276,3 4.831,0 6961,1

2 Setiabudi 3.231,0 4.772,5 10.639,0

3 Pancoran 4.430,0 525,0 2.124,5

4 Mampang Prapatan 900,5 4.435,0 2.460,0

5 Kebayoran Lama 7.469,0 7.266,6 14.063,5

6 Kebayoran Baru 4.592,0 7.040,5 18.210,0

7 Pesanggrahan 2.646,2 5.920,0 2.715,5

8 Cilandak 3.083,0 7.236,0 14.561,0

9 Pasar Minggu 4.958,0 6.478,0 9.556,0

10 Jagakarsa 1.999,0 4.780,0 2.538,0 Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015

Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa kerugian ekonomi selama

tahun 2013-2015 cenderung meningkat di 6 dari 10 kecamatan (Tebet, Pancoran,

Kebayoran Baru, Cilandak, dan Pasar Minggu). Sedangkan, wilayah dengan

kerugian ekonomi yang mengalami kecenderungan fluktuatif selama tahun 2013-

2015 terdapat 4 dari 10 kecamatan (Pancoran, Mampang Prapatan, Kebayoran

Lama, dan Jagakarsa). Selama tahun 2013-2014 kecamatan dengan kerugian

ekonomi yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Kebayoran Lama dan pada

tahun 2015 di Kecamatan Kebayoran Baru. Sedangkan, untuk kecamatan dengan

kerugian ekonomi paling rendah pada tahun 2013 di kecamatan Mampang

Prapatan dan pada tahun 2014-2015 di Kecamatan Pancoran. Distribusi

perkembangan korban luka dan meninggal di Jakarta Selatan selama tahun 2013-

2014 pada tabel 5.5.

Page 81: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

63

Tabel 5.5 Distribusi Korban Luka Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015

No Kecamatan 2013 2014 2015

Luka Meninggal Luka Meninggal Luka Meninggal

1 Tebet 2 0 2 0 1 3

2 Setiabudi 6 0 0 0 7 1

3 Pancoran 1 5 0 0 2 0

4 Mampang

Prapatan

0 0 0 0 2 0

5 Kebayoran

Lama

0 0 2 1 0 0

6 Kebayoran

Baru

1 0 0 0 1 0

7 Pesanggrahan 2 0 0 0 0 0

8 Cilandak 0 0 0 1 2 0

9 Pasar Minggu 0 0 0 0 0 1

10 Jagakarsa 0 0 0 0 1 0 Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015

Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa korban luka selama 2013-

2015 cenderung fluktuatif di 4 dari 10 kecamatan (Setiabudi, Pancoran,

Kebayoran Lama, dan Kebayoran Baru). 3 dari 10 kecamatan (Mampang

Prapatan, Cilandak, dan Jagakarsa) cenderung meningkat jumlah korban lukanya

selama tahun 2013-2015. Sedangkan, 1 dari 10 kecamatan (Tebet) cenderung

menurun jumlah korban lukanya selama tahun 2013-2015. Pada tahun 2013

jumlah korban tertinggi terdapat di Kecamatan Setiabudi sebanyak 6 orang. Pada

tahun 2014 jumlah korban tertinggi terdapat di Kecamatan Tebet dan Kecamatan

Kebayoran Lama sebanyak 2 orang. Kemudian, pada tahun 2015 jumlah korban

tertinggi terdapat di Kecamatan Setiabudi sebanyak 7 orang.

Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui juga bahwa terdapat 3 dari 10

kecamatan (Tebet, Setiabudi, dan Pasar Minggu) cenderung meningkat jumlah

korban meninggalnya selama tahun 2013-2015. Sedangkan, 1 dari 10 kecamatan

Page 82: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

64

(Pancoran) cenderung menurun jumlah korban meninggalnya selama tahun

2013-2015. 2 dari 10 kecamatan (Cilandak dan Pasar Minggu) mengalami

kecenderungan fluktuatif jumlah korban meninggalnya selama tahun 2013-2015.

Pada tahun 2013 korban meninggal terbanyak sebanyak 5 orang (Kecamatan

Pancoran). Pada tahun 2014 korban meninggal terbanyak sebanyak 1 orang

(Kecamatan Kebayoran Lama dan Kecamatan Cilandak). Pada tahun 2015

korban meninggal terbanyak sebanyak 3 orang (Kecamatan Tebet).Distribusi

penyebab kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan selama tahun 2013-

2015 dapat dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6 Distribusi Penyebab Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta

Selatan Tahun 2013-2014

No Penyebab Kejadian 2013 2014 2015

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 Kebocoran gas di

rangkaian kompor 12 8,9% 8 5,7% 20 12,7%

2 Lupa mematikan

kompor 2 1,5% 0 0,0% 1 0,6%

3 Kompor meledak 1 0,7% 10 7,1% 3 1,9%

4 Korsleting listrik 100 74,1% 107 75,9% 112 71,3%

5 Puntung Rokok 6 4,4% 1 0,7% 4 2,5%

6 Api tabunan 4 3,0% 4 2,8% 8 5,1%

7 Dibakar dengan

sengaja 2 1,5% 1 0,7% 2 1,3%

8 Korek Api 3 2,2% 1 0,7% 1 0,6%

9 Lilin 2 1,5% 3 2,1% 3 1,9%

10 Percikan api 2 1,5% 4 2,8% 0 0,0%

11 Sambaran petir 1 0,7% 0 0,0% 1 0,6%

12 Penyalaan Kembali 0 0,0% 1 0,7% 1 0,6%

13 Petasan 0 0,0% 1 0,7% 1 0,6% Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015

Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa penyebab kejadian

kebakaran tertinggi selama 3 tahun berturut-turut adalah korsleting listrik.

Page 83: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

65

Kemudian, untuk melihat distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran

bangunan di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 dapat dilihat melalui gambar 5.2.

Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015

Gambar 5.2 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Di

Jakarta Selatan Tahun 2013-2015

Page 84: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

66

Berdasarkan pada gambar 5.2 maka secara spasial terlihat bahwa

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi hampir terjadi di semua

kecamatan. Sedangkan secara temporal, kecamatan dengan frekuensi kejadian

kebakaran bangunan yang tinggi berkurang dari tahun 2013-2015.

Pada tahun 2013, diketahui bahwa terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang termasuk ke dalam kategori tinggi

dan hanya terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran

bangunan yang sedang. Kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran

bangunan yang tinggi adalah Kecamatan Tebet, Setiabudi, Pancoran, Kebayoran

Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan, Cilandak, Pasar Minggu, dan Jagakarsa.

Sedangkan, Kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran yang sedang

adalah Kecamatan Mampang Prapatan.

Tahun 2014 terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian

kebakaran bangunan yang termasuk ke dalam kategori tinggi dan hanya terdapat

1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang

sedang. Namun, Pada tahun ini terdapat perbedaan daripada tahun sebelumnya

yaitu kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang

adalah Kecamatan Pancoran. Sedangkan, Kecamatan dengan frekuensi kejadian

kebakaran bangunan yang tinggi adalah Kecamatan Tebet, Setiabudi, Mampang

Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan, Cilandak, Pasar

Minggu, dan Jagakarsa.

Page 85: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

67

Pada tahun 2015 terdapat 8 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian

kebakaran bangunan yang termasuk ke dalam kategori tinggi dan hanya terdapat

dua dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang

sedang. Artinya, terdapat penurunan jumlah kecamatan dengan frekuensi

kejadian kebakaran bangunan yang tinggi daripada dua tahun sebelumnya. Pada

tahun ini kecamatan yang dikategorikan frekuensi kebakaran bangunannya

sedang yaitu Kecamatan Pancoran dan Kecamatan Mampang Prapatan.

Sedangkan, Kecamatan Tebet, Setiabudi, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru,

Pesanggrahan, Cilandak, Pasar Minggu, dan Jagakarsa stabil menjadi wilayah

dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi.

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Kelompok

Berpendapatan Rendah.

Kelompok berpendapatan rendah merupakan kelompok yang dapat

meningkatkan frekuensi kejadian kebakaran bangunan di suatu wilayah. Adapun

kelompok berpendapatan rendah merupakan kelompok yang pendapatan rata-

rata 1.500.000,00 per bulan. Berdasarkan standar dari PPLS (Pendataan Program

Perlindungan Sosial) kelompok berpendapatan rendah di wilayah Jakarta Selatan

dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu Rendah (≤26% dari total kelompok

seluruh kategori pendapatan), Sedang (26-35% dari total kelompok seluruh

kategori pendapatan), dan Tinggi (>35% dari total kelompok seluruh kategori

pendapatan). Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan,

diperoleh informasi jumlah kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan.

Page 86: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

68

Untuk mengetahui distribusi kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan

tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 5.8.

Tabel 5.7 Distribusi Kelompok Berpendapatan Rendah Di Jakarta Selatan

Tahun 2014

No Kecamatan Jumlah (keluarga) %

1 Tebet 702 1,4%

2 Setiabudi 2.047 4,6%

3 Pancoran 508 1,3%

4 Mampang Prapatan 7.481 19,6%

5 Kebayoran Lama 2.748 3,6%

6 Kebayoran Baru 2.296 6,0%

7 Pesanggrahan 1.375 2,5%

8 Cilandak 653 1,3%

9 Pasar Minggu 3.343 4,5%

10 Jagakarsa 3.240 3,8% Sumber: Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, 2014

Pada tabel 5.8 dapat terlihat bahwa kecamatan dengan persentase

kelompok berpendapatan rendah paling rendah yaitu di Kecamatan Pancoran dan

Cilandak. Sedangkan, Kecamatan dengan persentase kelompok berpendapatan

rendah paling banyak yaitu di wilayah Mampang Prapatan. Setelah itu, untuk

melihat distribusi spasial kejadian kebakaran bangunan dengan kelompok

berpendapatan rendah di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 dapat dilihat melalui

gambar 5.3.

Page 87: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

69

Sumber: Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, 2014

Gambar 5.3 Distribusi Spasial Kejadian Kebakaran Bangunan berdasarkan

Kelompok Berpendapatan Rendah Di Jakarta Selatan Tahun 2014

Pada gambar 5.3 menunjukkan terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kelompok

berpendapatan rendah yang rendah yaitu Kecamatan Tebet, Setiabudi, Mampang

Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan, Cilandak, Pasar

Minggu, dan Jagakarsa.

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Kepadatan

Penduduk

Kepadatan penduduk merupakan jumlah dari penduduk berbanding

dengan luas wilayah yang ada atau dapat dibatasi juga sesuai dengan luas wilayah

administrasi yang telah ditentukan. Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional,

kategori tingkat kepadatan penduduk yaitu rendah (<150 jiwa/ha), sedang (151 –

200 jiwa/ha), tinggi (200 – 400 jiwa/ha), dan sangat padat (>400 jiwa/ha).

Kemudian berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, maka diperoleh

Page 88: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

70

informasi perkembangan kepadatan penduduk di Jakarta Selatan. Pada tabel 5.8

dapat dilihat distribusi Kecamatan di Jakarta Selatan selama tahun 2013-2015.

Tabel 5.8 Distribusi Kepadatan Penduduk (jiwa/ha) Di Jakarta Selatan

Tahun 2013-2015

No Kecamatan 2013 2014 2015

1 Tebet 255,76 254,45 235,28

2 Setiabudi 127,16 125,89 155,84

3 Pancoran 180,33 179,83 177,91

4 Mampang Prapatan 191,06 190,91 189,26

5 Kebayoran Lama 176,66 177,97 183,35

6 Kebayoran Baru 114,19 114,73 111,78

7 Pesanggrahan 174,77 177,67 173,53

8 Cilandak 109,78 111,57 109,86

9 Pasar Minggu 135,96 135,91 140,00

10 Jagakarsa 118,32 119,70 144,69 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016

Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa kepadatan penduduk selama

tahun 2013-2015 cenderung mengalami fluktuasi kepadatan penduduk pada 5

dari 10 kecamatan (Setiabudi, Kebayoran Baru, Pesanggrahan, Cilandak, dan

Pasar Minggu). Kepadatan penduduk selama tahun 2013-2015 cenderung

mengalami penurunan pada 3 dari 10 kecamatan (Tebet, Kebayoran Lama, dan

Jagakarsa). Sedangkan, dua dari 10 kecamatan (Kebayoran Lama dan Jagakarsa)

cenderung mengalami peningkatan kepadatan penduduk selama tahun 2013-

2015. Selama tahun 2013-2015 kepadatan penduduk yang paling tinggi terjadi di

Kecamatan Tebet selama 3 tahun berturut-turut dan paling rendah di Kecamatan

Cilandak selama 3 tahun berturut-turut. Kemudian untuk melihat distribusi

spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan dengan kepadatan penduduk di

Jakarta Selatan tahun 2013-2015 dapat dilihat melalui gambar 5.4.

Page 89: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

71

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016

Gambar 5.4 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan

Kepadatan Penduduk Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015

Page 90: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

72

Berdasarkan pada gambar 5.4 secara spasial terlihat bahwa frekuensi

kejadian kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada kategori kepadatan

penduduk rendah hingga tinggi di kecamatan-kecamatan Jakarta Selatan.

Kemudian, secara temporal selama tahun 2013-2015 kecamatan yang termasuk

ke dalam kategori kepadatan penduduk tinggi tidak bertambah.

Pada tahun 2013 terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian

kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi.

Kemudian, 3 dari 10 dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi

dan kepadatan penduduk yang sedang. Selain itu, terdapat 5 dari 10 kecamatan

dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan

penduduk yang rendah. Kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran

bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu Kecamatan

Tebet.

Pada tahun 2014, masih terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi

kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi.

Kemudian, 3 dari 10 dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi

dan kepadatan penduduk yang sedang. Selain itu, terdapat 5 dari 10 dengan

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk

yang rendah. Akan tetapi, pada tahun ini terdapat perbedaan dari tahun 2013

yaitu kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang

dan kepadatan penduduk yang sedang adalah Kecamatan Pancoran. Sedangkan,

Page 91: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

73

kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan

kepadatan penduduk yang tinggi adalah Kecamatan Tebet.

Pada tahun 2015, masih terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi

kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi.

Kemudian, 3 dari 10 dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi

dan kepadatan penduduk yang sedang. Selain itu, pada tahun ini terdapat 4 dari

10 dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan

penduduk yang rendah. Pada tahun ini terjadi perubahan yang disebabkan karena

meningkatnya kepadatan penduduk sehingga menjadikan Kecamatan Setiabudi

menjadi kecamatan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan

kepadatan penduduk yang sedang. Kemudian, karena menurunnya kejadian

kebakaran bangunan di Kecamatan Mampang Prapatan, maka kecamatan dengan

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan kepadatan penduduk

yang sedang menjadi 2 dari 10 kecamatan yaitu Kecamatan Mampang Prapatan

dan Pancoran. Sedangkan, kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran

bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu Kecamatan

Tebet.

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Penduduk Anak-

anak

Penduduk anak-anak adalah penduduk yang berusia di bawah 19 tahun

atau lebih muda. Cut off point untuk mengategorikan variabel penduduk anak-

anak agar dapat didistribusikan secara spasiotemporal dalam penelitian ini adalah

standar dari WHO. Berdasarkan standar tersebut penduduk anak-anak di wilayah

Page 92: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

74

Jakarta Selatan dapat dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu Rendah (≤34,62%

dari total populasi) dan Tinggi (>34,62% dari total populasi). Sebelum

ditampilkan dalam distribusi spasiotemporal dapat dilihat pada tabel 5.9

distribusi penduduk anak-anak di Jakarta Selatan selama tahun 2013-2015.

Tabel 5.9 Distribusi Penduduk Anak-Anak Di Jakarta Selatan

Tahun 2013-2015

No Kecamatan

Penduduk Anak-anak

2013 2014 2015

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 Tebet 73.440 31,80% 74.001 32,21% 66.371 31,24%

2 Setiabudi 35.673 31,70% 35.535 31,90% 36.955 26,80%

3 Pancoran 50.553 32,48% 50.997 32,86% 48.505 31,59%

4 Mampang Prapatan 48.865 33,09% 49.153 33,31% 45.424 31,05%

5 Kebayoran Lama 95.379 32,29% 97.642 32,81% 95.161 31,04%

6 Kebayoran Baru 45.792 31,01% 46.656 28,28% 41.234 28,53%

7 Pesanggrahan 89.988 33,03% 77.131 34,02% 73.698 33,28%

8 Cilandak 64.061 32,13% 66.272 32,71% 62.160 31,16%

9 Pasar Minggu 98.260 33,32% 87.923 33,48% 97.592 32,14%

10 Jagakarsa 102.684 34,89% 104.483 35,10% 126.768 35,23% Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016

Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa distribusi jumlah penduduk

anak-anak selama tahun 2013-2015 cenderung fluktuatif di 8 dari 10 kecamatan

(Tebet, Setiabudi, Pancoran, Mampang Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran

Baru, Cilandak, dan Pasar Minggu). Wilayah dengan jumlah penduduk anak-

anak yang mengalami peningkatan selama tahun 2013-2015 terdapat di 1 dari 10

kecamatan (Jagakarsa). Sedangkan, wilayah dengan jumlah penduduk anak-anak

yang mengalami penurunan selama tahun 2013-2015 hanya terdapat di 1 dari 10

kecamatan (Pesanggrahan) juga. Selama tahun 2013-2015 kepadatan penduduk

yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Jagakarsa dan paling rendah di

Kecamatan Setiabudi. Kemudian, untuk melihat distribusi spasial kejadian

Page 93: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

75

kebakaran bangunan dengan penduduk anak-anak di Jakarta Selatan tahun 2013-

2015 dapat dilihat melalui gambar 5.5.

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016

Gambar 5.5 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan

Penduduk Anak-anak Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015

Page 94: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

76

Berdasarkan gambar 5.5 secara spasial terlihat bahwa frekuensi kejadian

kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada semua kategori penduduk anak-

anak di kecamatan-kecamatan di Jakarta Selatan. Kemudian, secara temporal

selama tahun 2013-2015 tidak terdapat peningkatan atau penurunan jumlah

kecamatan yang masuk ke dalam kategori penduduk anak-anak yang tinggi

selama 3 tahun.

Pada tahun 2013, diketahui bahwa hanya terdapat 1 dari 10 kecamatan

dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah anak-

anak yang tinggi yaitu Kecamatan Jagakarsa. Kemudian, terdapat 8 dari 10

kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan

jumlah anak-anak yang rendah. Selain itu, terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang rendah dan jumlah anak-anak yang

rendah.

Pada tahun 2014, tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan dengan

kategori penduduk anak-anak yang tinggi atau kategori penduduk anak-anak

yang rendah. Akan tetapi, terdapat perubahan wilayah kecamatan dengan

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan penduduk anak-anak

yang rendah sebanyak 1 dari 10 kecamatan sehingga kecamatan yang menjadi

kategori tersebut pada tahun 2014 adalah Kecamatan Pancoran. Sedangkan,

kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan

jumlah anak-anak yang tinggi terdapat sebanyak 1 dari 10 kecamatan yaitu masih

di Kecamatan Jagakarsa. Selain itu juga masih terdapat 8 dari 10 kecamatan

Page 95: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

77

dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan penduduk anak-

anak yang rendah pada tahun 2014.

Pada tahun 2015 juga tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan

dengan kategori penduduk anak-anak yang tinggi atau kategori penduduk anak-

anak yang rendah. Akan tetapi, terdapat perubahan wilayah kecamatan dengan

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan jumlah anak-anak yang

rendah sebanyak 2 dari 10 kecamatan sehingga kecamatan yang termasuk ke

dalam kategori ini pada tahun 2015 adalah Kecamatan Pancoran dan Mampang

Prapatan. Kemudian, terdapat penurunan jumlah kecamatan dengan kategori

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah anak-anak yang

rendah sehingga jumlahnya menjadi 7 kecamatan. Sedangkan, kecamatan dengan

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah anak-anak yang

tinggi masih terdapat sebanyak 1 dari 10 kecamatan yaitu masih di Kecamatan

Jagakarsa.

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Penduduk Lansia

Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) yang semakin besar membutuhkan

perhatian dan perlakuan khusus. Penduduk usia tua yaitu penduduk yang berusia

di atas 65 tahun. Cut off point untuk variabel penduduk lansia adalah standar dari

WHO Berdasarkan standar tersebut penduduk lansia di wilayah Jakarta Selatan

dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu Rendah (≤8,23% dari total populasi) dan

Tinggi (>8,23% dari total populasi). Sebelum ditampilkan dalam distribusi

spasiotemporal dapat dilihat perkembangan jumlah penduduk lansia di Jakarta

Page 96: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

78

Selatan selama tahun 2013-2015 pada tabel 5.10 distribusi penduduk lansia di

Jakarta Selatan tahun 2013-2015.

Tabel 5.10 Distribusi Penduduk Lansia Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015

No Kecamatan

Penduduk Lansia

2013 2014 2015

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 Tebet 18.327 7,935% 18.790 8,178% 16.834 7,923%

2 Setiabudi 8.174 7,263% 8.382 7,524% 10.275 7,450%

3 Pancoran 10.479 6,733% 10.778 6,945% 9.919 6,461%

4 Mampang Prapatan 8.561 5,797% 8.938 6,057% 8.673 5,928%

5 Kebayoran Lama 20.239 6,852% 21.367 7,181% 20.868 6,807%

6 Kebayoran Baru 11.737 7,949% 12.276 31,451% 10.957 7,581%

7 Pesanggrahan 13.954 6,257% 14.889 6,568% 13.438 6,069%

8 Cilandak 14.154 7,100% 14.957 7,382% 13.667 6,851%

9 Pasar Minggu 18.259 6,191% 19.211 6,517% 18.121 5,968%

10 Jagakarsa 16.046 5,453% 16.934 5,688% 18.534 5,151% Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016

Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk lansia

selama tahun 2013-2015 cenderung fluktuatif di 8 dari 10 kecamatan (Tebet,

Pancoran, Mampang Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru,

Pesanggrahan, Cilandak, dan Pasar Minggu). Sedangkan, wilayah dengan jumlah

penduduk lansia yang mengalami peningkatan selama tahun 2013-2015 terdapat

di 2 dari 10 kecamatan (Setiabudi dan jagakarsa). Selama tahun 2013-2015

kecamatan dengan penduduk lansia yang paling tinggi terdapat di Kecamatan

Kebayoran Lama selama 3 tahun berturut. Sedangkan untuk kecamatan dengan

penduduk lansia paling rendah pada tahun 2013-2014 di Kecamatan Setiabudi

dan pada tahun 2015 di Kecamatan Mampang Prapatan. Untuk melihat distibusi

spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan dengan distribusi penduduk lansia

di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 dapat dilihat melalui gambar 5.6.

Page 97: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

79

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016

Gambar 5.6 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan

Penduduk Lansia Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015

Berdasarkan gambar 5.6 maka secara spasial terlihat bahwa frekuensi

kejadian kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada kategori penduduk lansia

yang rendah di kecamatan-kecamatan di Jakarta Selatan dan hanya terdapat

Page 98: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

80

beberapa kecamatan yang frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang

dan dengan kategori penduduk lansia yang rendah. Kemudian, secara temporal

selama tahun 2013-2015 seluruh kecamatan di Jakarta Selatan termasuk ke dalam

kategori Rendah selama 3 tahun berturut-turut.

Pada tahun 2013, diketahui bahwa terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan penduduk lansia yang

rendah. Sedangkan, kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan

yang sedang dan jumlah penduduk lansia yang rendah hanya terdapat 1 dari 10

kecamatan yaitu Kecamatan Mampang Prapatan.

Pada tahun 2014, tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan dengan

kategori penduduk lansia yang tinggi atau kategori penduduk lansia rendah.

Namun, terdapat perubahan wilayah kecamatan dengan frekuensi kejadian

kebakaran bangunan yang sedang dan penduduk lansia yang rendah sebanyak 1

dari 10 kecamatan sehingga kecamatan yang menjadi kategori tersebut pada

tahun 2014 adalah Kecamatan Pancoran.

Pada tahun 2015 juga tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan

dengan kategori penduduk lansia yang tinggi atau kategori penduduk lansia yang

rendah. Akan tetapi, terdapat perubahan wilayah kecamatan dengan frekuensi

kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan jumlah anak-anak yang rendah

sebanyak 2 dari 10 kecamatan sehingga kecamatan yang termasuk ke dalam

kategori ini pada tahun 2015 adalah Kecamatan Pancoran dan Mampang

Prapatan. Sedangkan, kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan

yang tinggi dan jumlah lansia yang rendah terdapat 2 dari 10 kecamatan.

Page 99: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

81

BAB VI

PEMBAHASAN

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, adapun keterbatasan pada

penelitian ini, yaitu:

1. Data kejadian kebakaran bangunan merupakan data sekunder yang diperoleh

dari Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI

Jakarta. Data tersebut diperoleh melalui pelaporan langsung dari masyarakat,

sehingga terdapat kemungkinan adanya kejadian kebakaran bangunan yang

tidak terlaporkan dan tidak tercatat.

2. Data untuk variabel kelompok ekonomi berpendapatan rendah hanya

tersedia pada tahun 2014 sehingga pada variabel tersebut peneliti tidak dapat

melihat sebarannya berdasarkan temporal (tahun 2013-2015).

3. Pada penelitian ini tidak melihat keberlangsungan program yang berkaitan

dengan variabel yang diteliti.

4. Pada penelitian ini data hidran dan personel pemadam yang bertugas tidak

tersedia berdasarkan kecamatan sehingga tidak dapat melihat distribusinya

berdasarkan kecamatan.

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan

Api merupakan suatu fenomena dari proses oksidasi antara 3 komponen

yaitu bahan bakar, panas yang cukup untuk membuat benda terbakar, dan udara

(oksigen) (National Fire Protection Association, 2015). Menurut Suprapto

Page 100: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

82

(2006) kebakaran adalah kondisi natural akibat bersentuhannya bahan bakar

(fuel), oksigen dan panas atau kalor, namun bukan yang dikehendaki (Suprapto,

2006). Keberadaan api yang tidak dikehendaki dan tidak dapat dikendalikan

dapat menimbulkan kerugian harta benda atau cidera bahkan kematian

(Suma’mur, 2007).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh kecamatan di

Jakarta Selatan termasuk ke dalam kategori tinggi kejadian kebakarannya selama

tahun 2013-2014. Pada tahun 2013 kejadian kebakaran bangunan yang paling

tinggi terjadi di Kecamatan Tebet dengan jumlah 21 kejadian. Sedangkan, pada

tahun 2014 kejadian kebakaran bangunan yang paling tinggi terjadi di

Kecamatan Kebayoran Lama dengan jumlah 20 kejadian. Pada tahun 2015

kejadian kebakaran bangunan yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Cilandak

dengan 28 kejadian. Meskipun wilayah Jakarta Selatan selama 2 tahun

mengalami penurunan jumlah kecamatan dengan kategori kejadian kebakaran

bangunan yang tinggi. Namun, secara jumlah kasus kejadian kebakaran

bangunan dari tahun 2013-2015 mengalami peningkatan jumlah kejadian.

Sebagian besar wilayah kecamatan di Jakarta Selatan mengalami dampak

kerugian secara ekonomi yang terus meningkat pada tahun 2013 sampai 2015.

Peningkatkan tersebut terjadi di 6 dari 10 kecamatan (Tebet, Pancoran,

Kebayoran Baru, Cilandak, dan Pasar Minggu). Diantara kecamatan tersebut,

yaitu Tebet, Kebayoran Baru, Cilandak merupakan wilayah yang kejadian

kebakarannya paling tinggi pada tahun 2013, 2014, dan 2015. Hal dapat mungkin

Page 101: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

83

saja dapat terjadi karena frekuensi kebakaran yang lebih sering terjadi di wilayah

tersebut sehingga meningkatkan kerugian ekonominya.

Kerugian kebakaran tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga terdapat

korban jiwa yang luka dan meninggal. Akan tetapi, berdasarkan hasil terlihat

bahwa jumlah korban jiwa cidera dan meninggal di kecamatan-kecamatan di

Jakarta Selatan mayoritas tidak ada. Namun, masih terdapat beberapa wilayah

yang menunjukkan terdapatnya korban luka dan meninggal. Hal tersebut

menunjukkan bahwa pemerintah masih harus meningkatkan pelayanan

penanggulangan kebakaran terhadap masyarakat.

Jakarta Selatan merupakan wilayah yang rawan terhadap kejadian

kebakaran. Kejadian kebakaran bangunan yang berfrekuensi tinggi pada

umumnya hampir terjadi di semua wilayah di Jakarta Selatan. Hal ini dapat

memungkin kejadian kebakaran bangunan dapat terjadi lagi di wilayah Jakarta

Selatan. Menurut Trisna (2003) frekuensi kejadian kebakaran pada suatu wilayah

dapat menunjukkan kemungkinan bahaya kebakaran dapat terulang kembali di

wilayah tersebut karena semakin tinggi frekuensi kebakaran pada suatu wilayah

semakin tinggi kemungkinan wilayah tersebut mengalami kebakaran kembali.

Terdapat berbagai faktor yang memiliki kemungkinan berpotensi

meningkatkan frekuensi kejadian kebakaran di wilayah Jakarta Selatan. Faktor-

faktor tersebut seperti kepadatan penduduk, banyaknya masyarakat

berpenghasilan rendah, penduduk anak-anak, dan keberadaan penduduk lansia.

Kemudian, terdapat beberapa ciri-ciri suatu wilayah dapat dikatakan rawan

Page 102: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

84

terhadap kejadian kebakaran bangunan, diantaranya jalan lingkungan yang

sempit, banyaknya belokan yang menyulitkan kendaraan pemadam untuk belok,

bahu jalan yang digunakan parkir kendaraan, jarak antar bangunan sangat rapat

dan tidak teratur, sumber air yang langka dan perilaku masyarakat yang kurang

kooperatif (BPBD DKI Jakarta, 2013).

Adapun faktor lain yang kemungkinan dapat meningkatkan potensi

bahaya kejadian kebakaran di Jakarta Selatan dari aspek lingkungan seperti suhu.

Suhu rata-rata wilayah Jakarta Selatan selama tahun 2013-2014 adalah 27,60 C

dan merupakan wilayah yang beriklim panas. Suhu dapat berpengaruh terhadap

peningkatan risiko kebakaran (Corcoran dkk., 2011). Untuk dapat menyalakan

api suatu benda atau material memerlukan suhu terendah untuk menyala

(Thomson, 2001). Peningkatan suhu lingkungan dapat mengakibatkan bahan-

bahan menjadi mudah terbakar karena bahan tersebut mencapai titik suhu yang

dapat menyalakan api (Randall, 2003). Selain itu perlu juga diperhatikan dampak

dari perubahan iklim yang menyebabkan kecenderungan kemarau lebih panjang

dan akan memicu tingkat kejadian kebakaran bangunan semakin tinggi dan

menyebabkan kelangkaan air sebagai sumber utama pemadaman kebakaran

(BPBD DKI Jakarta, 2013).

Penyebab langsung kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan

paling banyak selama tahun 2013-2015 disebabkan oleh korsleting listrik.

Korsleting listrik adalah suatu pertemuan antara muatan arus listrik positif

dengan muatan arus listrik negatif yang mengakibatkan hubungan arus pendek

Page 103: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

85

sehingga menimbulkan percikan-percikan api yang bisa berdampak pada

rusaknya peralatan-peralatan elektronik ataupun kebakaran (Kuniawan, 2013).

Menurut Setyo (2014) penyebab kebakaran tertinggi diakibatkan oleh korsleting

listrik pada peralatan instalasi listrik terutama pada pemasangan instalasi listrik

yang tidak sesuai standar PUIL (Persyaratan Umum Instalasi Listrik) dan

instalasi listrik yang sudah berumur tua. Selain itu penggunaan, pemasangan dan

perlakuan pada peralatan listrik yang kurang baik juga menyebabkan korsleting

listrik (Setyo, 2014). Hal ini dapat menunjukkan bahwa pemerintah harus

meningkatkan sosialisasi dan pengawasan mengenai persyaratan instalasi listrik

di masyarakat.

Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan melalui

program-programnya untuk mengatasi kejadian kebakaran yang terjadi di Jakarta

Selatan. Dalam kebijakan yang dikeluarkan terdapat juga program-program yang

menitikberatkan untuk mengatasi kejadian kebakaran oleh listrik diantaranya

yaitu terlaksanakannya sosialisasi penggunaan alat elektronik yang standar dan

aman dan memperbaiki kebiasaan penggunaan alat elektronik yang berpotensi

menimbulkan kebakaran, terpantaunya berkala instalasi listrik di pemukiman

padat penduduk, dan terlaksanakannya pemberian subsidi untuk instalasi listrik

yang lebih aman bagi penduduk miskin di kawasan padat penduduk (BPBD DKI

Jakarta, 2013).

Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui institusi terkait dapat

dilakukan melalui berbagai upaya. Salah satu contohnya, sosialisasi yang

Page 104: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

86

dilakukan oleh Sudin Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta

Barat mengenai penggunaan potensi-potensi bahaya kebakaran yang disebabkan

oleh listrik dan penggunaannya yang benar dan sesuai aturan yang dilakukan

secara door to door (Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana

DKI Jakarta, 2016). Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan

warga mengenai penggunaan listrik yang baik.

Pengawasan atau pemeriksaan oleh pemerintah mengenai persyaratan

listrik pada masyarakat juga penting untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan

instalasi listrik yang digunakan harus diawasi penggunaannya dan diuji secara

berkala agar masyarakat dapat menerapkan persyaratan listrik yang sesuai aturan

(Subagyo, 2012). Selain dari sosialisasi kebakaran yang memfokuskan pada

listrik, pemerintah juga sebaiknya melakukan sosialisasi pada penyebab lain,

seperti halnya penggunaan kompor. Meskipun kompor bukan merupakan

penyebab dominan dari kejadian kebakaran yang terjadi di wilayah Jakarta

Selatan.

Sosialisasi mengenai standar-standar yang berlaku, pengawasannya dan

kemudahan bagi masyarakat untuk dapat menerapkan standar yang berlaku

diharapkan dapat menurunkan potensi terjadinya kejadian kebakaran bangunan.

Masyarakat diharuskan mematuhi peraturan-peraturan atau standar-standar yang

berlaku. Menurut NFPA (2016), masyarakat harus mengikuti prinsip proteksi

kebakaran berdasarkan peraturan atau standar yang berlaku untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya kebakaran dan kerugian akibat kebakaran.

Page 105: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

87

Selain kebakaran yang penyebab awalnya disebabkan oleh listrik,

pemerintah juga sebaiknya memperhatikan juga pada penyebab awal lain, seperti

kompor. Kebakaran yang disebabkan oleh rangkaian kompor merupakan

penyebab yang paling sering menjadi penyebab awal kejadian kebakaran

bangunan di Jakarta Selatan selama tahun 2013 dan 2015 setelah listrik.

Kemudian, pada tahun 2014 penyebab awal paling sering setelah listrik yaitu

disebabkan oleh kompor meledak. Adapun tingkat risiko bahaya penggunaan

kompor tergolong ke dalam risiko tinggi (Sakti, 2011). Oleh karena itu,

sebaiknya pemerintah melakukan sosialisasi juga mengenai kompor dan

penggunaannya yang baik untuk menurunkan tingkat kejadian kebakaran yang

disebabkan oleh kompor. Menurut Sakti (2011) agar tingkat risiko dapat ditekan

semaksimal mungkin perlu dilakukan upaya yang meliputi sosialisai tentang cara

menggunakan kompor gas Elpiji dengan benar, sosialisasi cara merawat

komponen kompor, menggunakan APD khusus tenaga kerja di dapur, serta

melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin.

Pemerintah juga sebaiknya meningkatkan pelayanan penanggulangan

kebakaran terhadap masyarakat. Menurut Standar Tokyo dalam Sarwono (2011),

Trisna (2003) menetapkan 25 personil 10.000 penduduk. Apabila mengikuti

standar Tokyo, maka jumlah personilnya dapat dilihat pada tabel 6.1.

Page 106: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

88

Tabel 6.1 Jumlah Personel Pemadam Kebakaran Berdasarkan Standar Tokyo

No Kelurahan Jumlah Penduduk Personil Pemadam

1 Jagakarsa 359.833 900

2 Pasar Minggu 303.653 760

3 Cilandak 199.499 499

4 Pesanggrahan 221.420 554

5 Kebayoran Lama 306.563 767

6 Kebayoran Baru 144.529 362

7 Mampang Prapatan 146.299 366

8 Pancoran 153.537 384

9 Tebet 212.460 532

10 Setia Budi 137.918 345

Berdasarkan tabel 6.1 terlihat bahwa jumlah personil pemadam sesuai

dengan standar Tokyo yang paling banyak yaitu di Kecamatan Jagakarsa

sebanyak 900 orang untuk 359.833 jiwa.

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Kelompok

Berpendapatan Rendah.

Tingkat pendapatan dapat berpengaruh terhadap risiko kejadian

kebakaran. Kelompok berpendapatan rendah atau berpenghasilan rendah

umumnya tinggal di tempat tinggal yang tidak memenuhi berbagai syarat

sehingga berbahaya bagi keselamatan penghuninya (Gielen dkk., 2012).

Pendapatan yang rendah menurunkan daya beli terhadap peralatan-peralatan

yang sesuai standar dan aman sehingga meningkatkan risiko kebakaran (Istre

dkk., 2002).

Berdasarkan hasil menunjukkan bahwa terdapat 9 dari 10 kecamatan

dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah

kelompok berpendapatan rendah yang rendah yaitu Kecamatan Tebet, Setiabudi,

Page 107: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

89

Mampang Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan,

Cilandak, Pasar Minggu, dan Jagakarsa. Kondisi ini berbeda dengan pendapat

dari Federal Emergency Management Association (1997) yang mengungkapkan

bahwa tingginya tingkat keberadaan penduduk berpendapatan rendah dapat

meningkatkan tingkat kejadian kebakaran di suatu wilayah. Hasil menunjukkan

bahwa frekuensi kebakaran bangunan yang tinggi dapat terjadi di wilayah yang

memiliki proporsi rendah pada penduduk berpenghasilan rendah. Hal ini terjadi

karena seluruh kecamatan di Jakarta Selatan memiliki proporsi rendah pada

kelompok pendapatan rendah apabila dibandingkan dengan kelompok

pendapatan yang lain.

Adapun Federal Emergency Management Association (1997)

menyatakan bahwa kejadian kebakaran yang terjadi pada masyarakat yang tidak

berkategori pendapatan rendah dapat terjadi karena pada masyarakat tersebut

terdapat kemungkinan untuk penggunaan daya listrik yang tinggi, sehingga ada

kemungkinan penggunaan daya listrik melebihi batas yang berakibat terjadinya

korselting listrik. Penggunaan daya listrik yang melebihi batas penggunaan dari

alat dapat menjadikan awal dari kejadian kebakaran. Kemudian menurut

Subagyo (2012) terdapat beberapa hal yang menjadikan listrik menjadi penyebab

kebakaran, yaitu penggunaan listrik yang tidak sesuai peruntukannya, beban

listrik yang melebihi batas kemampuan daya yang diberikan, penggunaan

material yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku, perawatan,

pemeliharaan, dan modifikasi instalasi yang tidak sesuai, dan instalasi yang tidak

terlindungi atau tidak sesuai dengan kondisi lingkungannya.

Page 108: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

90

Adapun program-program pemerintah mengenai kebakaran yang dapat

dikaitkan sasarannya untuk masyarakat berpendapatan rendah, yaitu pemberian

subsidi untuk instalasi listrik yang lebih aman bagi penduduk miskin di kawasan

padat penduduk dan terbukanya akses terhadap kredit ringan untuk

pembangunan rumah permanen bagi pemilik rumah non-permanen (BPBD DKI

Jakarta, 2013). Kedua program tersebut memiliki kemungkinan untuk dapat

menurunkan kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan. Pemberian subsidi

untuk instalasi listrik yang lebih aman bagi penduduk miskin di kawasan padat

penduduk dan pemberian kredit ringan untuk pembangunan rumah permanen

bagi pemilik rumah non permanen akan memudahkan masyarakat berpendapatan

rendah untuk menerapkan instalasi listrik yang sesuai standar di tempat

tinggalnya. Tingkat pendapatan merupakan penentu dalam menentukan kualitas

rumah yang akan ditinggali pada sebagian besar rumah tangga (Federal

Emergency Management Association, 1997).

Selain itu, dalam penelitian ini juga memiliki keterbatasan karena standar

kelompok pendapatan rendah yaitu adalah keluarga yang penghasilannya

sebanyak Rp. 1,500,000. Sedangkan, untuk Upah Minimum di Jakarta sebanyak

Rp. 3,400,000 sehingga standar tersebut perlu dipertimbangkan untuk dilakukan

penyesuaian terhadap kondisi saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa standar yang

digunakan untuk pengelompokkan pendapatan penduduk kurang sesuai dengan

wilayah tersebut. Sehingga pada analisis penelitian ini kelompok ekonomi yang

berpendapatan rendah berkategori rendah semua karena kemungkinan penduduk

dengan penghasilan kurang dari Rp. 1,500,000 sudah mulai berkurang

Page 109: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

91

disebabkan oleh standar pengupahan yang sudah lebih tinggi. Bagi Badan Pusat

Statistik disarankan untuk melakukan evaluasi terhadap indikator

pengolompokkan pendapatan atau penghasilan agar disesuaikan dengan kondisi

ekonomi yang terbaru.

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Kepadatan

Penduduk

Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk di dalam suatu wilayah

dibagi luas wilayah berdasarkan batasan administrasi yang ada (Badan

Standarisasi Nasional, 2004). Berdasarkan hasil terlihat bahwa terdapat 1 dari 10

kecamatan yaitu Kecamatan Tebet dengan frekuensi kejadian kebakaran

bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi selama 3 tahun

berturut-turut. Selain itu, pada tahun 2013-2014 terdapat 1 dari 10 kecamatan

dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan kepadatan

penduduk yang sedang yang kemudian pada tahun 2015 menjadi sebanyak 2 dari

10 kecamatan. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian kebakaran bangunan yang

tinggi dapat terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

Menurut Trisna (2003) kepadatan penduduk yang tinggi dapat berpotensi

meningkatkan kemungkinan bencana kebakaran karena menunjukkan

banyaknya aktivitas di wilayah tersebut.

Namun, pada penelitian ini juga menghasilkan kondisi yang berbeda.

Kepadatan penduduk yang semakin rendah tidak diiringi dengan frekuensi

kejadian kebakaran bangunan yang semakin rendah. Pada tahun 2013, terdapat 3

dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi

Page 110: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

92

dan kepadatan penduduk yang sedang dan terdapat 5 dari 10 kecamatan dengan

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk

yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian kebakaran bangunan yang

tinggi dapat terjadi di wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah. Adapun

pada penelitian Saraswati (2013) mengenai kepadatan penduduk dan kebakaran

pada pemukiman di Jakarta Barat tahun 2008 menyatakan bahwa tidak ada

hubungan antara kejadian kebakaran dengan kepadatan penduduk.

Adapun pemerintah juga mengeluarkan program-program penanganan

kebakaran yang berkaitan dengan kepadatan penduduk. Program penataan

bangunan, sosialisasi penggunaan alat elektronik yang standar dan aman dan

memperbaiki kebiasaan penggunaan alat elektronik yang berpotensi

menimbulkan kebakaran, terpantaunya berkala instalasi listrik di pemukiman

padat penduduk, dan pemantauan berkala instalasi listrik di perumahan dan

fasilitas umum diharapkan dapat menurunkan kemungkinan potensi kejadian

kebakaran (BPBD DKI Jakarta, 2013). Pada program-program tersebut

masyarakat diarahkan untuk menerapkan standar-standar yang ada bangunannya.

Masyarakat harus mengikuti prinsip proteksi kebakaran berdasarkan peraturan

atau standar yang berlaku untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran

dan kerugian akibat kebakaran (NFPA, 2016).

Program-program seperti sosialisasi informasi mengenai pencegahan dan

penanggulangan kebakaran, pembentukan dan penguatan kapasitas tim relawan

kebakaran (tim siaga bencana) kelurahan, pengadaan sarana pendukung untuk

tim relawan kebakaran kelurahan, rekrutmen personil, penambahan jumlah dan

Page 111: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

93

pemeliharaan perangkat pendukung pemadaman yang berfungsi untuk

menanggulangi kejadian kebakaran yang terjadi (BPBD DKI Jakarta, 2013).

Pembentukan dan pemberian fasilitas bagi relawan pemadam kebakaran di

tingkat kelurahan dapat memberikan penanganan yang cepat terhadap kejadian

kebakaran yang terjadi di lingkungannya. Sehingga, masyarakat tidak

bergantung pada petugas pemadam kebakaran. Kemudian rekrutmen personil

pemadam kebakaran juga diperlukan untuk meningkatkan pelayanan terhadap

masyarakat. Menurut Standar Tokyo dalam Sarwono (2011), Trisna (2003)

menetapkan 25 personil 10.000 penduduk. Jumlah penduduk Jakarta Selatan

pada tahun 2015 yaitu sebanyak 2.185.711 jiwa. Apabila mengikuti standar

Tokyo, maka jumlah personilnya yaitu sebanyak 5.465 personil untuk penduduk

dengan jumlah 2.185.711 jiwa. Berdasarkan Dinas Penanggulangan Kebakaran

dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta (2015) di Jakarta Selatan terdapat 473

personil untuk pemadaman kebakaran. Hal ini bahwa masih diperlukan

penambahan personil untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat.

Adapun untuk distribusi kebutuhan perwilayah kecamatannya berdasarkan

Standar Tokyo dapat dilihat pada tabel 6.1.

Selain penyediaan sumber daya manusia untuk pemadaman kebakaran,

penyediaan sarana untuk pemadaman kebakaran juga perlu diperhatikan seperti

penyediaan hidran. Penyediaan hidran berdasarkan Keputusan Menteri

Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 yaitu penyediaan

hidran kota pada setiap jarak 200 meter di tepi jalan. Tahun 2013 total panjang

jalan di Jakarta Selatan yaitu 2.437.779,95 m. Apabila mengikuti standar tersebut

Page 112: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

94

maka kebutuhan hidran di Jakarta Selatan yaitu sebanyak 12.189 hidran. Namun,

berdasarkan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI

Jakarta (2015) keberadaan hidran di Jakarta Selatan sebanyak 247 buah, yang

terdiri dari 76 buah dalam kondisi baik, 95 buah kondisi rusak sedang, 65 buah

kondisi rusak berat, dan 11 buah kondisinya sudah hilang. Selain itu, waktu

tanggap atau respons di untuk petugas kebakaran di Jakarta masih tergolong

paling lama dibandingkan dengan di Negara lain. Waktu tanggap untuk ke tempat

kejadian kebakaran dari awal pelaporan di Indonesia yaitu selama 15 menit. Hal

ini sangat berbeda dengan di Jepang, Australia, dan Hongkong yang hanya

membutuhkan waktu selama 6 menit. Padahal pada setiap menitnya kebakaran

akan terus berkembang sebanyak 2,3% dan mengakibatkan kerugian yang lebih

besar lagi (Sufianto dan Green, 2012). Oleh karena itu pemerintah masih perlu

untuk melakukan peningkatan pelayanan penanggulangan untuk masyarakat

melalui penambahan fasilitas pemadam dan mempercepat waktu respon di

Jakarta Selatan.

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Penduduk Anak-

anak

Ketika suatu kebakaran disebabkan oleh tindakan seorang anak yang

bermain dengan sumber api maka dapat dikatakan sebagai kebakaran yang

disebabkan oleh anak-anak yang bermain (Miller, 2012). Risiko kebakaran akan

lebih besar pada penduduk anak-anak karena mereka memiliki kemungkinan

keingin tahuan tentang api dan cenderung ingin bermain api (Federal Emergency

Management Association, 1997).

Page 113: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

95

Berdasarkan hasil terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi

kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan persentase penduduk anak-anak

yang tinggi (Kecamatan Jagakarsa selama tahun 2013-2015). Begitu pula

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang lebih rendah yaitu pada tingkatan

sedang dapat terjadi di wilayah dengan persentase penduduk anak-anak yang

rendah (tahun 2013 di Kecamatan Mampang Prapatan, tahun 2014 di Kecamatan

Pancoran, dan tahun 2015 di Kecamatan Mampang Prapatan dan Kecamatan

Pancoran). Hal ini menunjukkan bahwa kejadian kebakaran bangunan yang

tinggi dapat terjadi di wilayah dengan persentase penduduk anak-anak yang

tinggi. Menurut Federal Emergency Management Association (2013) penduduk

anak-anak yang semakin tinggi menjadikan risiko kejadian kebakaran semakin

tinggi.

Pada penelitian Hui dkk. (2005) mengemukakan bahwa penyebab

kebakaran yang disebabkan oleh anak-anak yang bermain lebih sering

ditemukan. Anak-anak merupakan korban utama pada kejadian kebakaran pada

saat siang hari ketika orang tuanya pergi bekerja (Ono dan Da Silva, 2000). Bagi

anak-anak menyelamatkan diri ketika terjadi kebakaran akan sulit karena

pengetahuan anak-anak mengenai penyelamatan dari kebakaran masih kurang

(Federal Emergency Management Association, 2015, Federal Emergency

Management Association, 2013).

Namun, hasil dari penelitian ini juga memperlihatkan hal yang berbeda,

di mana frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi justru terjadi juga

pada wilayah dengan persentase penduduk anak-anak yang rendah. Hal ini

Page 114: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

96

menunjukkan bahwa kejadian kebakaran kemungkinannya dapat disebabkan

oleh faktor lain. Dalam teori Fire Ignition and Fire Loss Model dari Charles

Robert Jenning terdapat salah satu faktor yang mungkin saja berperan dalam

kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan yaitu seperti faktor perilaku dari

masyarakat. Menurut BPBD DKI Jakarta (2013) faktor kerentanan kejadian

kebakaran di suatu wilayah dapat terjadi karena perilaku masyarakat yang kurang

kooperatif dan kelalaian dari masyarakat. Untuk mengatasi kondisi tersebut,

diperlukan peran dari masyarakat agar masyarakat sadar akan pencegahan

kejadian kebakaran.

Pemerintah sendiri telah mengeluarkan program untuk meningkatkan

peran serta masyarakat melalui pembentukan tim relawan kebakaran (tim siaga

bencana) kelurahan (khususnya di kelurahan rawan kebakaran). Kemudian juga

terdapat pengembangan Sistem Pendidikan pencegahan kebakaran pada usia dini

(Sidik Api) yang dikembangkan untuk memberikan pemahaman kepada

penduduk pada usia dini. Selain itu, terdapat program pengadaan kebutuhan

untuk kelompok khusus (anak-anak, manula, Ibu hamil, diffabel) yang berguna

pada ketika kejadian kebakaran bangunan telah terjadi (BPBD DKI Jakarta,

2013).

Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Penduduk Lansia

Usia tua merupakan tahap akhir dari proses penuaan yang memiliki

dampak terhadap 3 aspek, yaitu biologis, ekonomi, dan sosial (Badan Pusat

Statistik, 2015b). Secara biologis, lansia akan mengalami proses penuaan secara

Page 115: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

97

terus menerus yang ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan

terhadap serangan penyakit. Secara ekonomi, umumnya lansia lebih dipandang

sebagai beban daripada sumber daya. Secara sosial, kehidupan lansia sering

dipersepsikan secara negatif, atau tidak banyak memberikan manfaat bagi

keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan pada hasil penelitian dapat terlihat bahwa kejadian

kebakaran bangunan yang tinggi justru tetap terjadi di wilayah dengan penduduk

lansia yang tergolong rendah. Selama tahun 2013-2015 di Jakarta selatan tidak

terdapat wilayah dengan penduduk lansia yang tergolong tinggi. Akan tetapi,

sebagian besar kecamatan-kecamatan di Jakarta Selatan tetap tergolong tinggi

frekuensi kejadian kebakaran bangunannya. Kondisi tersebut memperlihatkan

pola frekuensi kejadian kebakaran bangunan tinggi terjadi pada wilayah dengan

penduduk lansia yang rendah. Padahal menurut Federal Emergency

Management Association (1997) kalangan lansia dapat berpengaruh terhadap

terjadi kejadian kebakaran karena keterbatasan fisik yang mulai dimiliki akibat

proses penuaan seperti tuli atau buta yang dapat penduduk lansia untuk

mengalami kecelakaan pada saat kebakaran. Kemudian, terdapat penduduk

lansia yang hidup sendiri sehingga meningkatkan risiko mengalami cidera pada

saat terjadi kebakaran (Zhang dkk., 2006).

Pada penelitian Huang (2009) menunjukkan bahwa persentase penduduk

lansia menunjukkan hubungan yang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

kejadian kebakaran bangunan dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya, salah satu

pada kondisi bangunannya. Kondisi bangunan yang tidak layak dapat

Page 116: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

98

meningkatkan risiko kejadian kebakaran seperti pada bangunan semi permanen

atau bangunan instalasi kelistrikan yang tidak sesuai.

Pada penelitian Saraswati dan Susilowati (2008) memperlihatkan bahwa

terdapat hubungan antara besarnya persentase bangunan semi permanen dengan

kejadian kebakaran, yaitu semakin besar persentase bangunan semi permanen,

semakin banyak kejadian kebakaran. Kemudian, menurut Huang (2009) kondisi

kelistrikan bangunan yang tidak layak dapat meningkatkan risiko terjadinya

kejadian kebakaran bangunan.

Adapun pemerintah sendiri belum secara spesifik mengupayakan

pelayanan pencegahan dan penanggulangan kebakaran untuk para penduduk

lansia. Program yang ada hanya diperuntukan ketika kejadian kebakaran

bangunan telah terjadi yaitu pengadaan kebutuhan untuk kelompok khusus

(anak-anak, manula, Ibu hamil, diffabel) (BPBD DKI Jakarta, 2013). Adapun

Menurut Ahrens dkk. (2007) penduduk lansia yang berusia 65 tahun ke atas

memiliki kontribusi yang lebih besar dalam jumlah kematian karena kejadian

kebakaran dari pada penduduk usia muda.

Pemerintah perlu menyediakan sumber daya yang mampu mengevakuasi

kalangan lansia karena memiliki kemungkinan keterbatasan fisik sehingga sulit

untuk mengevakuasi dirinya. Oleh karena itu, pemerintah juga disarankan untuk

mengeluarkan kebijakan yang secara spesifik diperuntukan bagi para lansia serta

menyiapkan sumber daya yang mampu mengevakuasi para lansia dengan baik.

Page 117: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

99

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Distribusi kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan 2013-2015 secara

spasial menunjukkan bahwa frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang

tinggi hampir terjadi di semua kecamatan. Sedangkan secara temporal,

kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi

berkurang dari tahun 2013-2015.

2. Distribusi spasial kejadian kebakaran bangunan berdasarkan jumlah

kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan tahun 2014 menunjukkan

terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan

yang tinggi dan kelompok berpendapatan rendah yang rendah.

3. Distribusi kejadian kebakaran bangunan berdasarkan kepadatan penduduk di

Jakarta Selatan tahun 2013-2015 secara spasial terlihat bahwa frekuensi

kejadian kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada kategori kepadatan

penduduk rendah hingga tinggi di kecamatan-kecamatan Jakarta Selatan.

Kemudian, secara temporal selama tahun 2013-2015 kecamatan yang

termasuk ke dalam kategori kepadatan penduduk tinggi tidak bertambah.

4. Distribusi kejadian kebakaran bangunan berdasarkan penduduk anak-anak

di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 secara spasial menunjukkan bahwa

frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada wilayah

dengan kategori penduduk anak-anak yang rendah dan tinggi di kecamatan-

Page 118: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

100

kecamatan Jakarta Selatan. Kemudian, secara temporal selama tahun 2013-

2015 tidak terdapat peningkatan atau penurunan jumlah kecamatan yang

masuk ke dalam kategori penduduk anak-anak yang tinggi selama 3 tahun.

5. Distribusi kejadian kebakaran bangunan berdasarkan jumlah penduduk

lansia di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 secara spasial menunjukkan

bahwa frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi hampir terjadi

pada semua kategori penduduk lansia yang rendah di kecamatan-kecamatan

di Jakarta Selatan. Kemudian, secara temporal selama tahun 2013-2015

seluruh kecamatan di Jakarta Selatan termasuk ke dalam kategori Rendah

selama 3 tahun berturut-turut.

Saran

7.2.1 Bagi BPBD DKI Jakarta

1. Disarankan kepada pemerintah untuk dapat mengoptimalkan program yang

telah dibuat, terutama pada aspek penataan penduduk di wilayah padat

dengan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan

hunian yang layak.

2. Disarankan kepada pemerintah untuk dapat meningkatkan sosialisasi

penggunaan peralatan listrik yang sesuai dengan peraturan agar menurunkan

potensi kejadian kebakaran dan memberikan kemudahan bagi masyarakat

untuk mendapatkan peralatan listrik yang sesuai standar serta melakukan

pengawasan penerapannya di masyarakat.

Page 119: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

101

7.2.2 Bagi Dinas Pemadam Kebakaran

1. Disarankan untuk meningkatkan kapasitas mitigasi kebakaran dengan

mempercepat waktu tanggap serta meningkatkan dan memelihara fasilitas

yang digunakan untuk memadamkan api kebakaran.

2. Meningkatkan jumlah sumber daya manusia dan fasilitas yang digunakan

untuk penanggulangan kejadian kebakaran dengan melakukan penambahan

personil dan fasilitas-fasilitasnya sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan

yang berlaku.

7.2.3 Bagi Badan Pusat Statistik

1. Melakukan evaluasi mengenai indikator untuk pengelompokkan pendapatan

atau penghasilan di penduduk agar sesuai dengan kondisi ekonomi yang ada

terutama di wilayah perkotaan.

7.2.4 Bagi Penelitian Selanjutnya

1. Melakukan penelitian lanjutan dengan mencari hubungan antara faktor-

faktor yang berkaitan dengan kejadian kebakaran.

2. Melakukan penelitian dengan metode point atau titik pada lokasi kejadian

kebakaran dan titik pada lokasi fasilitas-fasilitas kebakaran agar dapat

diketahui kebutuhan fasilitas yang optimal untuk penanggulangan kebakaran

serta persebaran kejadiannya.

Page 120: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

102

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. 2014. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta, Raja Grafindo

Persada.

Ahmad, O. B., Boschi-Pinto, C., Lopez, A. D., Murray, C. J., Lozano, R. dan Inoue,

M. 2001. Age standardization of rates: a new WHO standard. Geneva: World

Health Organization, 9.

Ahrens, M., Hall, J., Comoletti, J., Gamache, S. dan LeBeau, A. 2007. Behavioral

Mitigation of Cooking Fires United States Fire Administration, National Fire

Data Center.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2012. Pedoman Umum Pengkajian Risiko

Bencana. In: Bencana, B. N. P. (ed.) Nomor 02 Tahun 2012. Jakarta: BNPB.

Badan Pusat Statistik. 2015a. Istilah. Tersedia:

http://www.bps.go.id/index.php/istilah/409.

Badan Pusat Statistik 2015b. Statistik Penduduk Lanjut Usia, Jakarta, Badan Pusat

Statistik.

Badan Standarisasi Nasional 2004. Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di

perkotaan. Jakarta: BSN.

Beyler, C. L. 2001. Fire Safety Challenges in the 21st century. Journal of Fire

Protection Engineering, 11, 4-15.

BPBD DKI Jakarta 2013. Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta

2017. Jakarta: BPBD DKI Jakarta.

Câmara, G., Monteiro, A. M., Fucks, S. D. dan Carvalho, M. S. 2002. Análise espacial

e geoprocessamento (Spatial analysis and GIS). Análise espacial de dados

geográficos. Embrapa Cerrados.

Casal, J. 2008. Evaluation of the Effects and Consequences of Major Accidents in

Industrial Plants, Elsevier.

Corcoran, J. dan Higgs, G. 2013. Special issue on spatial analytical approaches in urban

fire management. Fire Safety Journal, 62, Part A, 1-2.

Corcoran, J., Higgs, G., Rohde, D. dan Chhetri, P. 2011. Investigating the association

between weather conditions, calendar events and socio-economic patterns with

Page 121: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

103

trends in fire incidence: an Australian case study. Journal of Geographical

Systems, 13, 193-226.

Cote, A. E. 2004. Fundamentals of Fire Protection, Quincy, Jones & Barlett Learning.

Departemen Pekerjaan Umum 2007. Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan

Gedung. In: Umum, D. P. (ed.) 25/PRT/M/2007. Jakarta: Departemen

Pekerjaan Umum.

Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta. 2016. Anggota

Sudin PKP Jakarta Barat Sosialisasi dan Berikan Himbauan Kebakaran Door

To Door di Pemukiman Warga. Tersedia:

http://jakartafire.net/news/detail/4088/anggota-sudin-pkp-jakarta-barat-

sosialisasi-dan-berikan-himbauan-kebakaran-door-to-door-di-pemukiman-

warga [Telah diakses pada 3 Maret 2017].

Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta 2015. Data

Kebakaran tahun 2015. In: Jakarta, D. P. K. d. P. P. D. (ed.). Dinas

Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta.

Evarts, B. 2012. Fires in U.S. Industriial and Manufacturinng Facilities. USA: NFPA.

Federal Emergency Management Association 1997. Socioeconomic Factors and the

Incidence of Fire. United States Fire Administration, National Fire Data Center.

Federal Emergency Management Association 1998. An NFIRS Analysis: Investigating

City Characteristics and Residential Fire Rated. United States Fire

Administration, National Fire Data Center.

Federal Emergency Management Association 1999a. Fire in the United States, United

States Fire Administration, National Fire Data Center.

Federal Emergency Management Association 1999b. FIRE RISKS FOR OLDER

ADULTS. United States Fire Administration, National Fire Data Center.

Federal Emergency Management Association 2013. Fire Risk to Children in 2010. In:

Report, T. F. (ed.) Topical Fire Report. Emmitsburg: Federal Emergency

Management Association,.

Page 122: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

104

Federal Emergency Management Association 2015. Fire Risk in 2013. In: Report, T.

F. (ed.) Topical Fire Report. Emmitsburg: Federal Emergency Management

Association,.

Furness, A. dan Muckett, M. 2007. Introduction to Fire Safety Management,

Burlington, Elsevier.

Gielen, A. C., Shields, W., McDonald, E., Frattaroli, S., Bishai, D. dan Ma, X. 2012.

Home Safety and Low-Income Urban Housing Quality. Pediatrics, 130, 1053-

1059.

Hannon, L. dan Shai, D. 2003. The truly disadvantaged and the structural covariates of

fire death rates. The social science journal, 40, 129-136.

Haryana, A. 2008. Konsep dan Implementasi Strategi Nasional Penanggulangan

Kemiskinan: Upaya Mendorong Terpenuhinya Hak Rakyat Atas Pangan

Holborn, P. G., Nolan, P. F. dan Golt, J. 2003. An analysis of fatal unintentional

dwelling fires investigated by London Fire Brigade between 1996 and 2000.

Fire Safety Journal, 38, 1-42.

Hsu, W. 2007. Temporal and spatio-temporal data mining, IGI Global.

Huang, K. 2009. Population and building factors that impact residential fire rates in

large US cities.

Hui, M., Tsui, F. dan Luo, M. 2005. Fire Incident Characteristics of a Densely

Populated Oriental Urban City. Fire Safety Science, 8, 363-374.

Istre, G. R., McCoy, M., Carlin, D. dan McClain, J. 2002. Residential fire related deaths

and injuries among children: fireplay, smoke alarms, and prevention. Injury

Prevention, 8, 128-132.

Jennings, C. R. 1999. Socioeconomic characteristics and their relationship to fire

incidence: a review of the literature. Fire technology, 35, 7-34.

Jennings, C. R. 2013. Social and economic characteristics as determinants of residential

fire risk in urban neighborhoods: A review of the literature. Fire Safety Journal,

62, Part A, 13-19.

Kamus Besar Bahasa Indonesia 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Page 123: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

105

Kementerian Pekerjaan Umum 2009. Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran

Di Perkotaan. Jakarta: Kemenpu.

Kementrian Riset Dan Teknologi 2013. Modul 3 Analisis Spasial. Jakarta.

Kertati, I. 2013. Analisis Kemiskinan Kota Semarang berdasarkan Data Perndataan

Program Perlindungan Sosial (PPLS). Riptek, 7, 27-38.

Kuniawan, A. 2013. Implementasi Hak-Hak Konsumen Instalasi Listrik Yang

Mengalami Kerugian Akibat Terjadinya Korsleting Listrik (Studi di Wilayah

Hukum Kota Malang). University of Muhammadiyah Malang.

Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah 2001. Pedoman Standar Pelayanan

Minimal Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan

Ruang, Perumahan Dan Permukiman Dan Pekerjaan Umum. In: Umum, K. P.

(ed.) 534/KPTS/M/2001. Jakarta.

Miller, D. 2012. 2008–2010 Residential Fire Loss Estimates, Consumer Product Safety

Commision.

Muhadi, M. 2008. Pencegahan Resiko Kebakaran Gedung: Peran Dan Tindakan Pusat

Layanan Kebakaran Dan Pertolongan Département Rhone. Program

Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Murray, A. T. 2013. Optimising the spatial location of urban fire stations. Fire Safety

Journal, 62, Part A, 64-71.

Ono, R. dan Da Silva, S. 2000. An Analysis of Fire Safety in Residential Buildings

through Fire Statistics. Fire Safety Science, 6, 219-230.

Randall, C. K. 2003. Fire in the wildland-urban interface: understanding fire behavior,

University of Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and

Agricultural Sciences, EDIS.

Republik Indonesia 1998. Kesejahteraan Lanjut Usia. 13/1998. Jakarta.

Republik Indonesia 2002. Perlindungan Anak. 23/2002. Jakarta.

Republik Indonesia 2007. Penanggulangan Bencana. Nomor 22 Tahun 2007. Jakarta:

Republik Indonesia.

Sagala, S., Wimbardana, R. dan Pratama, F. P. 2014. Perilaku Dan Kesiapsiagaan

Terkait Kebakaran Pada Penghuni Permukiman Padat Kota Bandung.

Page 124: ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37129/2/AHMAD... · analisis spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan . di jakarta

106

Saraswati, R. dan Susilowati, M. H. D. 2008. Asesmen Wilayah Rawan Kebakaran

Pada Permukiman Padat Penduduk Di Jakarta Barat.

Sarwono, A. 2011. Peningkatan Layanan Institusi Pemadam Kebakaran Melalui

Penerapan Rencana Induk Kebakaran (RIK) Studi Kasus : Kota Pontianak

Kalimantan Barat. Jurnal Permukiman, 6, 100-107.

Sarwono, S. W. 2013. Pengantar Psikologi Umum, Jakarta, Rajawali Press.

Setyo, B. 2014. KORSLETING LISTRIK PENYEBAB KEBAKARAN PADA

RUMAH TINGGAL ATAU GEDUNG. Edu Elektrika Journal, 3.

Subagyo, A. 2012. Antisipasi yang Diperlukan Terhadap Kebakaran Listrik pada

Bangunan Gedung. JTET (Jurnal Teknik Elektro Terapan), 1.

Sufianto, H. dan Green, A. R. 2012. Urban fire situation in Indonesia. Fire technology,

48, 367-387.

Suprapto. 2006. Pengembangan Manajemen Keselamatan Berbasis Potensi Bahaya

Kebakaran Pada Bangunan Gedung Dan Industri [Online]. Jakarta:

Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta.

Tersedia:

http://jakartafire.net/news/detail/610/pengembanganmanajemenkeselamatanbe

rbasispotensibahayakebakaranpadabangunangedungdanindustri [Telah diakses

pada 22/07/2016 2016].

Thomson, N. 2001. Fire hazards in industry, Elsevier.

Trisna, R. 2003. Kajian Pelayanan Penanggulangan Bahaya Kebakaran di Kota

Palembang. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

World Health Organization. 2013. Definition [Online]. Tersedia:

http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/intro/keyterms/en/ [Telah

diakses pada 22/07/2016.

Yang, L., Yang, Y., Gong, J., Fang, T. dan Cui, W. 2004. The Relations Hips Between

Socioeconomic Factors And Fire In China. Fire Safety Science, 6, 2c-4--1.

Zhang, G., Lee, A. H., Lee, H. C. dan Clinton, M. 2006. Fire safety among the elderly

in Western Australia. Fire Safety Journal, 41, 57-61.