Analisis Spasial Tikus Positif Leptospira Patogenik dan ...

10
http://doi.org/10.22435/blb.V15i1.443. 23 Analisis Spasial Tikus Positif Leptospira Patogenik dan Jenis Habitatnya di Provinsi Papua Barat Spatial Analysis of Positive Pathogenic Leptospira Rats and their Habitat Types in West Papua Province Arief Nugroho*, Ika Martiningsih, Nur Hidayati, Muhidin, Ristiyanto Balai Besar Penelitian Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Jalan Hasanudin No.123. Salatiga 50721, Jawa Tengah, Indonesia *E_mail: [email protected] Received date: 14-09-2018, Revised date: 05-04-2019, Accepted date: 28-05-2019 ABSTRAK Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira patogenik dan menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Provinsi Papua Barat hingga kini belum pernah dilaporkan adanya kejadian kasus leptospirosis. Penelitian ini bertujuan menguji apakah ada pola pengelompokkan dari tikus positif Leptospira serta melihat jenis habitat dari tikus yang positif Leptospira. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan menggunakan pendekatan potong lintang. Lokasi penelitian di Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Raja Ampat di Provinsi Papua Barat. Penangkapan tikus dilakukan di lokasi meliputi: ekosistem hutan jauh pemukiman, hutan dekat pemukiman, nonhutan jauh pemukiman, nonhutan dekat pemukiman, pantai jauh pemukiman, dan pantai dekat pemukiman. Leptospira pada tikus dideteksi dengan pemeriksaan Polimerase Chain Reaction (PCR) dan Microscopic Aglutination Test (MAT). Hasil penelitian menunjukkan jumlah tikus tertangkap sebanyak 278 ekor. Jumlah tikus yang positif Leptospira di tiga kabupaten secara PCR sebanyak 34 ekor (12,2%) dan MAT sebanyak 13 ekor (4,7%). Jenis habitat positif Leptospira adalah pemukiman, pekarangan, dan hutan sekunder. Hasil SaTScan diperoleh 6 klaster tikus positif Leptospira. Secara statistik tidak menunjukkan hasil signifikan yang berarti penyebaran Leptospira tidak dalam klaster tersebut. Adanya tikus positif Leptospira perlu diwaspadai adanya penularan leptospirosis di lokasi penelitian. Kata kunci: leptospirosis, Leptospira, habitat, analisis spasial ABSTRACT Leptospirosis is a disease caused by pathogenic Leptospira and is still a health problem in the community. Until now, West Papua Province has not reported any cases of leptospirosis. This study aims to examine whether there is a grouping pattern of Leptospira harboring rats and identify the habitat types of positive rat Leptospira. This research was descriptive observational research using a cross-sectional approach. Research locations are in Manokwari, Fakfak, and Raja Ampat districts in West Papua Province. The catching of rats was carried out in locations of forest ecosystem settlements, near forest settlements, non-forested far from settlements, non-forests near settlements, coastal remote settlements, and beaches near settlements. Leptospira in rats was detected by examination of Polymerase Chain Reaction (PCR) and Microscopic Agglutination Test (MAT). The results showed 278 rats were caught. The number of Leptospira positive rats in three districts by PCR was 34 (12.2%) and MAT were 13 (4.7%). Leptospira positive habitat types were settlements, yards, and secondary forests. The SaTScan results were obtained by six positive Leptospira rat clusters. There were no significant results which showed that no spread of Leptospira in the clusters. The presence of Leptospira in rats should be a warning for leptospirosis transmission risk at the study site. Keywords: leptospirosis, Leptospira, habitat, spatial analysis PENDAHULUAN Leptospirosis adalah penyakit yang muncul di seluruh dunia yang dapat menjangkiti kurang lebih satu juta orang setiap tahun terutama di daerah dengan infrastruktur sanitasi yang buruk. 1,2 Leptospirosis disebabkan oleh genus Leptospira yang bersifat patogenik. 3 Bakteri ini dapat bertahan selama berhari-hari sampai berminggu-minggu pada air atau tanah yang lembab, kondisi hangat dan sedikit alkali. 4 Manusia dapat terinfeksi Leptospira karena kontak dengan air,

Transcript of Analisis Spasial Tikus Positif Leptospira Patogenik dan ...

http://doi.org/10.22435/blb.V15i1.443.

23

Analisis Spasial Tikus Positif Leptospira Patogenik dan Jenis Habitatnya

di Provinsi Papua Barat

Spatial Analysis of Positive Pathogenic Leptospira Rats and their Habitat Types

in West Papua Province

Arief Nugroho*, Ika Martiningsih, Nur Hidayati, Muhidin, Ristiyanto

Balai Besar Penelitian Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit

Jalan Hasanudin No.123. Salatiga 50721, Jawa Tengah, Indonesia *E_mail: [email protected]

Received date: 14-09-2018, Revised date: 05-04-2019, Accepted date: 28-05-2019

ABSTRAK

Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira patogenik dan menjadi masalah

kesehatan di masyarakat. Provinsi Papua Barat hingga kini belum pernah dilaporkan adanya kejadian kasus

leptospirosis. Penelitian ini bertujuan menguji apakah ada pola pengelompokkan dari tikus positif Leptospira serta melihat jenis habitat dari tikus yang positif Leptospira. Penelitian ini merupakan penelitian observasional

deskriptif dengan menggunakan pendekatan potong lintang. Lokasi penelitian di Kabupaten Manokwari,

Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Raja Ampat di Provinsi Papua Barat. Penangkapan tikus dilakukan di lokasi

meliputi: ekosistem hutan jauh pemukiman, hutan dekat pemukiman, nonhutan jauh pemukiman, nonhutan dekat

pemukiman, pantai jauh pemukiman, dan pantai dekat pemukiman. Leptospira pada tikus dideteksi dengan

pemeriksaan Polimerase Chain Reaction (PCR) dan Microscopic Aglutination Test (MAT). Hasil penelitian

menunjukkan jumlah tikus tertangkap sebanyak 278 ekor. Jumlah tikus yang positif Leptospira di tiga kabupaten

secara PCR sebanyak 34 ekor (12,2%) dan MAT sebanyak 13 ekor (4,7%). Jenis habitat positif Leptospira

adalah pemukiman, pekarangan, dan hutan sekunder. Hasil SaTScan diperoleh 6 klaster tikus positif Leptospira.

Secara statistik tidak menunjukkan hasil signifikan yang berarti penyebaran Leptospira tidak dalam klaster

tersebut. Adanya tikus positif Leptospira perlu diwaspadai adanya penularan leptospirosis di lokasi penelitian.

Kata kunci: leptospirosis, Leptospira, habitat, analisis spasial

ABSTRACT

Leptospirosis is a disease caused by pathogenic Leptospira and is still a health problem in the community. Until now, West Papua Province has not reported any cases of leptospirosis. This study aims to examine whether there

is a grouping pattern of Leptospira harboring rats and identify the habitat types of positive rat Leptospira. This

research was descriptive observational research using a cross-sectional approach. Research locations are in

Manokwari, Fakfak, and Raja Ampat districts in West Papua Province. The catching of rats was carried out in

locations of forest ecosystem settlements, near forest settlements, non-forested far from settlements, non-forests

near settlements, coastal remote settlements, and beaches near settlements. Leptospira in rats was detected by

examination of Polymerase Chain Reaction (PCR) and Microscopic Agglutination Test (MAT). The results

showed 278 rats were caught. The number of Leptospira positive rats in three districts by PCR was 34 (12.2%)

and MAT were 13 (4.7%). Leptospira positive habitat types were settlements, yards, and secondary forests. The

SaTScan results were obtained by six positive Leptospira rat clusters. There were no significant results which

showed that no spread of Leptospira in the clusters. The presence of Leptospira in rats should be a warning for leptospirosis transmission risk at the study site.

Keywords: leptospirosis, Leptospira, habitat, spatial analysis

PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah penyakit yang

muncul di seluruh dunia yang dapat

menjangkiti kurang lebih satu juta orang setiap

tahun terutama di daerah dengan infrastruktur

sanitasi yang buruk.1,2 Leptospirosis

disebabkan oleh genus Leptospira yang

bersifat patogenik.3 Bakteri ini dapat bertahan

selama berhari-hari sampai berminggu-minggu

pada air atau tanah yang lembab, kondisi

hangat dan sedikit alkali.4 Manusia dapat

terinfeksi Leptospira karena kontak dengan air,

BALABA Vol. 15 No. 1, Juni 2019: 23-32

24

atau tanah, tumbuhan atau lingkungan yang

terkontaminasi oleh urin atau cairan tubuh lain

dari hewan, tumbuhan atau lingkungan yang

telah terinfeksi Leptospira.5,6 Bakteri ini

menginfeksi manusia lewat kulit yang luka

atau melalui membran mukosa.7,8

Leptospira yang ada di lingkungan

penyebarannya berhubungan dengan aspek

epidemiologi dan wilayah geografis. Analisis

spasial dapat digunakan untuk menentukan

penyebaran dan pengelompokan serta untuk

memprediksi kejadian leptospirosis di suatu

wilayah sehingga dapat mengidentifikasi

daerah yang berisiko sebagai sumber

penyakit.9 Analisis spasial menggunakan

Sistem Informasi Geografis (SIG) menjadi

salah satu metode penting dalam surveilan

penyakit. Kemampuan SIG dalam

mengompilasi data menjadi beberapa lapisan

yang biasa disebut “overlay” dapat

memberikan manfaat dalam surveilan

penyakit.10Analisis spasial dengan pendekatan

SIG telah banyak diterapkan dalam berbagai

penelitian untuk mengendalikan leptospirosis

seperti Sunaryo yang telah melakukan

penelitian tentang analisis spasial leptospirosis

pada lingkungan.11 Penelitian Sulistyawati dan

Sumanta di Yogyakarta menggunakan

SaTScan dalam aplikasi SIG untuk

menentukan klaster yang positif Leptospira

baik pada manusia, tikus, air maupun tanah.

Hasil penelitian menyebutkan daerah yang

terbentuk klaster positif secara signifikan dapat

sebagai sumber infeksi.9,10

Leptospirosis dapat menyerang manusia

maupun hewan yang tersebar luas di dunia

terutama pada negara tropis maupun

subtropis.12 Penelitian Cosson et al.

menyebutkan bahwa di kawasan Asia

Tenggara yaitu di Thailand, Laos, dan

Kamboja telah terjadi penyebaran Leptospira

melalui hewan pengerat sehingga potensial

terjadinya penularan leptospirosis.13 Indonesia

merupakan salah satu negara yang sering

ditemukan kasus leptospirosis. Kasus

leptospirosis berdasarkan catatan dari

Kementerian Kesehatan RI tahun 2017 pernah

dilaporkan antara lain di Provinsi Jawa

Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten.

Adapun sampai tahun 2017 di Provinsi Papua

Barat belum pernah dilaporkan ada kasus

leptospirosis.14 Penelitian ini merupakan

bagian dari Riset Khusus Vektor dan Reservoir

Penyakit yang dilakukan pada tahun 2017.

Salah satu provinsi yang menjadi tempat

pengumpulan data Rikhus Vektora 2017

adalah Papua Barat. Lokasi pengambilan data

di Kabupaten Manokwari, Fakfak, dan Raja

Ampat. Masing-masing kabupaten diambil

enam titik yaitu ekosistem hutan dekat

pemukiman, hutan jauh pemukiman, nonhutan

dekat pemukiman, nonhutan jauh pemukiman,

pantai dekat pemukiman, dan pantai jauh

pemukiman.15

Penelitian ini bertujuan menguji apakah

ada pola pengelompokan dari tikus yang

positif Leptospira di lokasi penelitian serta

melihat jenis habitat dari tikus yang positif

Leptospira tersebut. Hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai data dasar untuk

kewaspadaan dini adanya leptospirosis di

Provinsi Papua Barat.

METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian

observasional deskriptif dengan menggunakan

pendekatan potong lintang. Penelitian

dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2017.

Lokasi penelitian berada di tiga kabupaten di

Provinsi Papua Barat, yaitu Manokwari,

Fakfak, dan Raja Ampat (Gambar 1).

Penangkapan tikus dilakukan di 6 tipe

ekosistem yang berbeda yaitu ekosistem Hutan

Jauh Pemukiman (HJP), Hutan Dekat

Pemukiman (HDP), Nonhutan Jauh

Pemukiman (NHJP), Nonhutan Dekat

Pemukiman (NHDP), Pantai Jauh Pemukiman

(PJP), dan Pantai Dekat Pemukiman (PDP).

Penangkapan tikus di tiap ekosistem

menggunakan perangkap “live trap” sebanyak

100 buah. Umpan yang digunakan adalah

kelapa bakar. Pemasangan perangkap dimulai

pukul 14.00 sampai pukul 17.00. Pengambilan

tikus pada perangkap yang positif dilakukan

mulai pukul 06.00 keesokan harinya hingga

pukul 09.00. Tikus yang telah tertangkap

Analisis Spasial........(Nugroho, dkk)

25

dimasukkan dalam kantong blacu dan dibawa

ke laboratorium lapangan untuk diidentifikasi

dan diambil ginjal serta darahnya. Pemasangan

perangkap di tiap ekosistem dilakukan selama

2 malam.

Pengambilan darah tikus dilakukan

dengan cara tikus dianestesi terlebih dahulu

menggunakan ketamin dan xylasin sebelum

diambil darahnya. Pengambilan darah tikus

dilakukan secara intracardial dengan spuit 3

ml dan jarum suntik 22G. Darah yang sudah

terambil dimasukkan dalam vacutainer dan di-

sentrifuge pada kecepatan 3000 rpm selama 5

menit. Serum yang terbentuk diambil dengan

menggunakan pipet pasteur dan dimasukkan

dalam cryotube steril. Serum disimpan pada

suhu 4-8°C di lemari es.

Pengambilan sampel ginjal dilakukan

dengan cara tikus dianestesi terlebih dahulu

menggunakan ketamin dan xylasin.

Selanjutnya tubuh tikus diletakkan dengan

posisi telentang kemudian dilakukan

pembedahan mulai bagian perut menggunakan

gunting bengkok. Kemudian spesimen ginjal

kiri dan kanan diambil secara aseptis, setelah

itu dimasukkan dalam vial kaca berisi etanol

70% dan disimpan dalam suhu ruang.

Pemeriksaan agen penyakit leptospirosis

dari tikus yang tertangkap dianalisis

menggunakan metode Polimerase Chain

Reaction (PCR) yang memeriksa keberadaan

Leptospira patogen pada ginjal tikus dan

Microscopic Aglutination Test (MAT) yang

memeriksa keberadaan Leptospira pada serum

darah tikus. Pemeriksaan dilakukan di

laboratorium B2P2VRP Salatiga. Ginjal tikus

dilakukan isolasi DNA terlebih dahulu,

kemudian ginjal dibilas dengan aquades steril,

dipotong kurang lebih 25 mg di bagian tubulus

renalis, dan dimasukkan ke dalam vial 1,5 ml

steril. Isolasi DNA dari ginjal menggunakan

kit Invitrogen dan cara kerja disesuaikan

dengan manual prosedur dan kit. Produk DNA

dielusi sebanyak 50 µl.

Deteksi Leptospira patogenik

dilakukan dengan amplifikasi segmen gen 16s

rRNA menggunakan pasangan primer rrs1 &

rrs2 dengan urutan sbb: F(rrs1):

5’CATGCAAGTCAAGCGGAGTA3’ dan

R(rrs2) 5’AGTTGAGCCCGCAGTTTT3’.16

Primer ini mengamplifikasi produk sebesar

523 bp. Amplifikasi DNA dari jaringan ginjal

dilakukan dengan menggunakan QiaAmp

DNA Mini Kit dari Qiagen. Total reaksi adalah

25 μl, mengandung 5 μl DNA, 12.5 μl Hot

Start Master Mix, 2 μl (20 pmol) primer, dan

3.5 μl rnase free water. Amplifikasi dijalankan

dengan termocycler SimpliAmp Thermal

Cycler, Applied Biosystem dengan suhu

denaturasi awal 95°C selama 15 menit, 35

kali denaturasi pada suhu 94°C selama 1

menit, annealing 48°C selama 1 menit,

ekstensi 72°C selama 1 menit, ekstensi

akhir selama 72°C selama 5 menit dan

inkubasi akhir pada 4°C. Produk amplifikasi

dielektroforesis dalam gel agarose 2%.

Uji Microscopic Agglutination Test

(MAT) dilakukan pada sampel serum tikus.

Panel antigen yang digunakan dalam MAT

adalah kultur Leptospira patogen berjumlah 15

serovar: L. interrogans serovar bangkinang,

ichterohaemorrhagiae, canicola, salinem,

hardjo, mini, hebdomadis, pomona, djasiman,

robinsoni, bataviae, sarmin, manhao,

tarrasovii, dan L. kirschnerii serovar

grippotyphosa, dengan kepadatan minimal

2x108 CFU. Uji MAT menggunakan

microplate U bottom 96 sumuran berisi 50 μl

PBS. Sumuran kolom nomor 2 ditambahkan 45

μl PBS dan 5 μl sampel serum sehingga

diperoleh pengenceran 1:20. Pada kolom ke-3,

ke-4 sampai dengan kolom ke-12 dilakukan

pengenceran serial dengan mengambil 50 μl

dari campuran sebelumnya sehingga diperoleh

pengenceran 1:20-1:40960.17 Semua sumuran

kemudian ditambahkan 50 μl kultur Leptospira

yang digunakan sebagai panel antigen.

Mikroplate kemudian diagitasi menggunakan

micro shaker dan diinkubasi 2-4 jam pada

30ºC. Pembacaan hasil dilakukan dengan

meneteskan campuran serum dan antigen ke

kaca slide selanjutnya diamati dengan

mikroskop medan gelap (Axio Lab A.1)

dengan perbesaran 20x. Hasil dikatakan positif

apabila terjadi aglutinasi. Titter sampel

ditentukan dari pengenceran yang

BALABA Vol. 15 No. 1, Juni 2019: 23-32

26

menunjukkan terjadinya aglutinasi 50% jika

dibandingkan kontrol. Penentuan koordinat

menggunakan alat Global Positioning System

(GPS) yang dilakukan di lokasi yang dipasang

perangkap tikus. Penentuan jenis habitat

dilakukan dengan melihat habitat yang

dominan di lokasi penelitian saat pemasangan

perangkap tikus berdasarkan definisi

operasional pada buku pedoman pengumpulan

data reservoir tikus di lapangan Rikhus

Vektora 2015.18 Penentuan pola klaster dari

tikus yang positif Leptospira dianalisis secara

spasial menggunakan software SaTScan versi

v9.6 dengan metode disesuaikan dengan modul

yang tertera pada software tersebut. Klaster

disebut signifikan jika hasil secara statistik

menunjukkan nilai p value < 0,05. Analisis

deskriptif untuk memperoleh gambaran

distribusi dari tikus positif Leptospira dan jenis

habitat di Provinsi Papua Barat.

HASIL

Jumlah tikus tertangkap di lokasi

penelitian sebanyak 106 ekor di Kabupaten

Fakfak, 80 ekor di Kabupaten Manokwari, dan

92 ekor di Kabupaten Raja Ampat. Hasil

pemeriksaan laboratorium uji Leptospira

didapat bahwa tikus positif Leptospira secara

PCR paling banyak di Kabupaten Fakfak

kemudian diikuti Kabupaten Manokwari dan

Kabupaten Raja Ampat. Sedangkan hasil

pemeriksaan laboratorium tikus positif

Leptospira secara MAT paling banyak di

Kabupaten Fakfak kemudian diikuti

Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Raja

Ampat (Tabel 1).

Hasil pemeriksaan laboratorium didapat

tikus yang positif Leptospira dengan serovar

sebagai berikut: Kabupaten Fakfak ditemukan

Leptospira serovar canicola, manhao, sarmin,

ichterohaemorrhagiae, robinsoni, hebdomadis,

dan djasiman; Kabupaten Manokwari

ditemukan Leptospira serovar canicola,

bataviae, grippotyphosa, canicola,

ichterohaemorrhagiae, dan hebdomadis; dan

Kabupaten Raja Ampat ditemukan Leptospira

serovar ichterohaemorrhagiae dan djasiman.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Analisis Spasial........(Nugroho, dkk)

27

Tabel 1. Jumlah Tikus Tertangkap dan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Per Kabupaten

Kabupaten

Jumlah Positif Uji PCR (n/N)* Jumlah

HDP HJP NHDP NHJP PDP PJP

Fakfak 1/26 0 19/61 0/1 0/16 0/2 20/106 (18,9%)

Manokwari 1/25 0 2/31 0 5/24 0 8/80 (10,0%)

Raja Ampat 4/24 0/1 2/16 0/7 0/38 0/6 6/92 (6,5%)

Jumlah 6/75 (8,0%) 0/1 (0%) 23/108 (21,3%) 0/8 (0%) 5/78 (6,4%)

0/8

(0%) 34/278 (12,2%)

Jumlah Positif Uji MAT (n/N)

Fakfak 0/26 0 8/61 0/1 0/16 0/2 8/106 (7,5%)

Manokwari 2/25 0 1/31 0 1/24 0 4/80 (5,0%)

Raja

Ampat 1/24 0/1 0/16 0/7 0/38 0/6 1/92 (1,1%)

Jumlah 3/75 (4,0%) 0/1 (0%) 9/108 (8,3%) 0/8 (0%) 1/78 (1,3%) 0/8 (0%) 13/278 (4,7%)

Keterangan:

*Jumlah positif/jumlah diperiksa; HDP = Hutan Dekat Pemukiman; HJP = Hutan Jauh Pemukiman;

NHDP = Non-hutan Dekat Pemukiman; NHJP= Non-hutan Jauh Pemukiman; PDP = Pantai Dekat

Pemukiman; PJP = Pantai Jauh Pemukiman

Hasil SaTScan di Kabupaten Manokwari

menunjukkan terdapat 2 klaster tikus positif

Leptospira. Klaster I dengan 2 titik terletak di

posisi -0,919194 LU; 133,898194 BT dan

-0,92075 LU; 132,895 BT dengan radius 0,082

km, sedangkan klaster II dengan 2 titik terletak

di posisi -0,890028 LU; 134,094722 BT dan

-0,890167 LU; 134,094 BT dengan radius 0,39

km (Gambar 2). Kedua klaster di Kabupaten

Manokwari tidak signifikan dengan nilai p =

0,802 (p > 0,05). Hasil SaTScan di Kabupaten

Raja Ampat terdapat 1 klaster tikus positif

Leptospira. Klaster tersebut terdapat 2 titik

terletak di posisi -0,410472 LU; 130,819667

BT dan -0,41 LU; 130,82 BT dengan radius

0,064 km (Gambar 3). Klaster di Kabupaten

Raja Ampat tidak signifikan dengan nilai p =

0,58 (p > 0,05). Hasil SaTScan di Kabupaten

Fakfak terdapat 3 klaster tikus positif

Leptospira. Klaster I dengan 3 titik terletak di

posisi -2,924667 LU; 132,295194 BT

kemudian -2,926833 LU; 132,293444 BT dan

-2,924667 LU; 132,295167 BT dengan radius

0,31 km; klaster II dengan 2 titik terletak di

posisi -2,922861 LU; 132,2945 BT

dan -2,922722 LU; 132,294694 BT dengan

radius 0,030 km, sedangkan klaster III dengan

3 titik terletak di posisi -2,923639 LU;

132,295056 BT; kemudian -2,923444 LU;

132,294972 BT dan -2,923417 LU; 132,29525

BT dengan radius 0,026 km (Gambar 4).

Ketiga klaster di Kabupaten Fakfak tidak

signifikan dengan nilai p = 0,180 (p > 0,05).

Berdasarkan hasil pemeriksaan

laboratorium, ekosistem yang paling tinggi

positif Leptospira adalah ekosistem NHDP

diikuti HDP dan PDP (Tabel 1). Jenis habitat

positif untuk tikus yang terkonfirmasi

Leptospira di Kabupaten Fakfak adalah

pemukiman, pekarangan, dan hutan sekunder,

sedangkan habitat positif untuk tikus yang

terkonfirmasi Leptospira di Kabupaten

Manokwari dan Kabupaten Raja Ampat adalah

pemukiman. Spesies tikus positif Leptospira

yang ditemukan di Kabupaten Fakfak adalah

Rattus tanezumi (83,3%), R. norvegicus

(12,5%), dan Rattus cf norvegicus (4,2%).

Spesies tikus positif Leptospira yang

ditemukan di Kabupaten Manokwari adalah R.

tanezumi (36,4%), R. norvegicus (54,5%), dan

Melomys cf leucogaster (9,1%). Sedangkan

spesies tikus positif Leptospira yang

ditemukan di Kabupaten Raja Ampat adalah R.

tanezumi (42,8%), R. norvegicus (28,6%), dan

Rattus sp. (28,6%).

BALABA Vol. 15 No. 1, Juni 2019: 23-32

28

Gambar 2. Peta Sebaran Perangkap dan Peta Klaster Kabupaten Manokwari

Gambar 3. Peta Sebaran Perangkap dan Peta Klaster Kabupaten Raja Ampat

Gambar 4. Peta Sebaran Perangkap dan Peta Klaster Kabupaten Fakfak

Analisis Spasial........(Nugroho, dkk)

29

PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan laboratorium di ketiga

kabupaten lokasi penelitian ditemukan tikus

positif Leptospira didominasi di ekosistem

yang dekat dengan pemukiman. Keberadaan

bakteri Leptospira di lingkungan disebabkan

oleh kontaminasi urin tikus yang telah

terinfeksi dengan Leptospira. Tikus yang

terinfeksi oleh bakteri Leptospira yang berada

di dekat pemukiman berpotensi menjadi

sumber transmisi dan infeksi leptospirosis pada

manusia.19 Hal ini terjadi jika kondisi

lingkungan mendukung seperti adanya tempat

pembuangan sampah sembarangan, lingkungan

kumuh, dan pembuangan limbah terbuka.20,21

Selain itu, kurangnya kesadaran PHBS pada

manusia dapat memungkinkan penularan

Leptospira dari tikus ke manusia. Penelitian

Aulia menyebutkan bahwa adanya saluran

pembuangan limbah, tempat pembuangan

sampah, tikus di sekitar rumah, kondisi PHBS

rumah tangga, dan kondisi selokan mempunyai

pengaruh terhadap kejadian leptospirosis pada

manusia.22

Hasil analisis SaTScan untuk melihat

klaster tikus positif Leptospira di tiga

kabupaten di Provinsi Papua Barat. Hasil

SaTScan diperoleh 6 klaster tikus positif

Leptospira di tiga kabupaten. Keenam klaster

tersebut hasilnya tidak signifikan secara

statistik yang mengindikasikan klaster yang

terbentuk tidak kuat yang berarti lokasi klaster

yang terbentuk tidak potensial sebagai sumber

infeksi leptospirosis sehingga penyebaran

Leptospira tidak berada dalam klaster tersebut.

Hasil ini berbeda dari penelitian Sumanta et al.

di mana terdapat 4 klaster dari hasil SaTScan

yang signifikan secara statistik di Kabupaten

Bantul. Adanya kondisi lingkungan yang

buruk disertai keberadaan tikus dalam suatu

klaster berpotensi dalam penyebaran

leptospirosis.9 Hasil SaTScan menunjukkan

bahwa jarak klaster tikus positif Leptospira di

Kabupaten Manokwari berkisar antara 0,082

km-0,39 km; Kabupaten Raja Ampat berada

pada radius 0,064 km; dan Kabupaten Fakfak

berkisar antara 0,030 km-0,31 km. Walaupun

secara statistik hasil tidak signifikan, tetap

perlu diwaspadai karena tikus mempunyai

daya jelajah hingga 1 km bahkan lebih apabila

terjadi kelangkaan pakan dan perpindahan.23

Bakteri Leptospira menyebar bergantung pada

daerah jelajah tikus dan aktivitas di habitatnya.

Adanya keberadaan tikus yang dekat dengan

manusia menjadikan risiko penularan

leptospirosis semakin besar. Hasil penelitian

Ramadhani secara spasial menunjukkan kasus

leptospirosis ditemukan pada jarak radius <100

meter dengan tikus yang terinfeksi

Leptospira.24 Daya jelajah tikus ditentukan

oleh ketersediaan pakan dan adanya tempat

untuk bersembunyi/ bersarang, adanya

persaingan dari tikus antar spesies maupun lain

spesies serta adanya penghalang terhadap

mobilitas tikus.25

Habitat tikus yang terkonfirmasi positif

Leptospira di tiga kabupaten paling banyak

ditemukan di wilayah pemukiman, sedangkan

spesies tikus yang positif Leptospira yang

ditemukan sama di tiga kabupaten adalah tikus

rumah (Rattus tanezumi) dan tikus got (Rattus

Norvegicus). Wilayah pemukiman biasanya

sering dijumpai kedua jenis tikus tersebut yang

berada di lingkungan rumah. Tikus rumah

cenderung bersifat domestik (aktivitas dalam

rumah) sedangkan tikus got cenderung bersifat

peridomestik (beraktivitas di luar rumah) dan

terestrial.26 Keberadaan tikus di sekitar rumah

ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu,

ketersediaan pakan dan tempat berlindung/

bersarang. Menurut penelitian Pertiwi et al.

bahwa rumah yang di dalam maupun

sekitarnya terdapat tikus berisiko terkena

leptospirosis sebesar 8,1 kali dibandingkan

rumah yang didalam maupun sekitarnya tidak

dijumpai tikus.27

Habitat lain tikus yang terkonfirmasi

positif Leptospira adalah pekarangan dan

hutan sekunder yang berada di Kabupaten

Fakfak. Distribusi tikus positif Leptospira di

tiap lokasi berbeda-beda. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa prevalensi tikus yang

mengandung Leptospira bervariasi pada lokasi

yang berbeda. Penelitian Himsworth et al.

menunjukkan bahwa prevalensi dan persebaran

dari R. norvegicus yang positif Leptospira

BALABA Vol. 15 No. 1, Juni 2019: 23-32

30

interrogans sangat bervariasi dan bahkan

berada pada lokasi geografis yang jaraknya

berdekatan. Pola klaster pada penelitian

Himsworth et al. terbentuk di pusat kota yang

sesuai dengan sifat ekologi dari R. norvegicus

yang dekat dengan manusia.25 Penelitian

Sholichah menyebutkan tikus yang positif

Leptospira membentuk pola klaster secara

acak dengan kasus berada dalam jelajah tikus

positif Leptospira dan berada dalam area

persawahan.23

KESIMPULAN

Hasil analisis spasial keenam klaster di

tiga Kabupaten secara statistik tidak kuat

sebagai sumber infeksi leptospirosis. Meskipun

demikian, ditemukan positif bakteri Leptospira

pada tikus yang berada di daerah dekat

pemukiman di Kabupaten Manokwari,

Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Raja Ampat

perlu mendapatkan kewaspadaan akan

penularan leptospirosis ke manusia.

SARAN

Pemerintah Kabupaten Manokwari,

Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Raja Ampat

perlu mewaspadai leptospirosis guna

mencegah munculnya penyakit tersebut di

masyarakat walaupun belum ada laporan

kasus. Masyarakat perlu mendapat informasi

tentang leptospirosis dari tenaga medis supaya

terhindar dari penyakit tersebut. Masyarakat

juga perlu melakukan kegiatan pengendalian

tikus sebagai reservoir leptospirosis.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini didanai dari DIPA

B2P2VRP. Penulis mengucapkan terima kasih

kepada tim pakar, tim validator, tim teknis

reservoir, tim teknis GIS, tim pengumpul data

reservoir Riset Khusus Vektora tahun 2017

Provinsi Papua Barat. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada tim

laboratorium mikrobiologi B2P2VRP Salatiga.

DAFTAR PUSTAKA

1. Costa F, Hagan JE, Calcagno J, Kane M,

Torgerson P, Martinez-silveira MS, et al.

Global morbidity and mortality of

leptospirosis : a systematic review. PLoS

Neglected Tropical Diseases. 2015;9(9):

e0003898. doi:10.1371/journal.pntd.0003898.

2. Hagan JE, Moraga P, Costa F, Capian N,

Ribeiro GS, Wunder EA, et al. Spatiotemporal

determinants of urban leptospirosis

transmission : four-year prospective cohort

study of slum residents in Brazil. PLoS

Neglected Tropical Diseases. 2016;10(1):e0004275.

doi:10.1371/journal.pntd.0004275.

3. Lehmann JS, Matthias MA, Vinetz JM, Fouts

DE. Leptospiral pathogenomics. Pathogens.

2014;3(2):280–308.

doi:10.3390/pathogens3020280.

4. Amin LZ. Leptospirosis. Cermin Dunia

Kedokteran. 2016;43(8):576–80.

5. Wójcik-fatla A, Zając V, Wasiński B, Sroka J,

Cisak E, Sawczyn A, et al. Occurrence of

Leptospira DNA in water and soil samples

collected in Eastern Poland. Annals of

Agricultural and Environmental Medicine.

2014;21(4):730–2.

doi:10.5604/12321966.1129924.

6. Ridzuan JM, Aziah BD, Zahiruddin WM.

Work environment-related risk factors for

leptospirosis among plantation workers in

tropical countries: evidence from Malaysia. The International Journal Occupational and

Environmental Medicine. 2016;7(3):156–63.

doi:10.15171/ijoem.2016.699.

7. Allan KJ, Biggs HM, Halliday JEB, Kazwala

RR, Maro VP, Cleaveland S, et al.

Epidemiology of leptospirosis in Africa : a

systematic review of a neglected zoonosis and

a paradigm for “one health ” in Africa. PLoS

Neglected Tropical Diseases.

2015;9(9):e0003899. doi:10.1371/journal.pntd.0009.

8. Escandón-vargas K, Bustamante-rengifo JA,

Astudillo-Hernandez M. Detection of

pathogenic Leptospira in ornamental water

fountains from urban sites in Cali, Colombia.

International Journal of Environmental Health

Research. 2019;29(1):107–15. Available

from:

https://doi.org/10.1080/09603123.2018.15195

26.

9. Sumanta H, Wibawa T, Hadisusanto S,

Nuryati A, Kusnanto H. Spatial analysis of

Leptospira in rats, water and soil in Bantul

Analisis Spasial........(Nugroho, dkk)

31

District Yogyakarta Indonesia. Open Journal

Epidemiology. 2015;5(1):22–31. doi:

10.4236/ojepi.2015.51004.

10. Sulistyawati, Nirmalawati T, Mardenta RN.

Spatial analysis of leptospirosis disease in

Bantul Regency Yogyakarta. Jurnal Kesehatan

Masyarakat. 2016;12(1):111–9. doi:

10.15294/kemas.v12i1.4615.

11. Sunaryo, Ningsih DP. Distribusi spasial leptospirosis di Kabupaten Gresik, Jawa

Timur. Buletin Penelitian Kesehatan.

2014;42(3):161–70.

12. Mwachui MA, Crump L, Hartskeerl R,

Zinsstag J, Hattendorf J. Environmental and

behavioural determinants of leptospirosis

transmission : a systematic review. PLoS

Neglected Tropical Diseases. 2015;9(9):

e0003843. doi: 10.1371/journal.pntd.0003843.

13. Cosson J-F, Picardeau M, Mielcarek M,

Tatard C, Chaval Y, Suputtamongkol Y, et al.

Epidemiology of Leptospira transmitted by

rodents in Southeast Asia. PLoS Neglected

Tropical Diseases. 2014;8(6):e2902. doi:

10.1371/journal.pntd.0002902.

14. Pusat Data dan Informasi Kementerian

Kesehatan RI. Data dan informasi profil

kesehatan Indonesia 2017. Jakarta;2018. 154

p.

15. Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir

Penyakit. Laporan akhir riset khusus vektor

dan reservoir penyakit Provinsi Papua Barat

tahun 2017. Salatiga: Balai Besar Litbang

Vektor dan Reservoir Penyakit;2017.

16. Ahmed N, Devi SM, Valverde ML,

Vijayachari P, Machang RS, Ellis WA, et al.

Multilocus sequence typing method for

identification and genotypic classification of

pathogenic Leptospira species. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials.

2006;5(28):1–10. doi:10.1186/1476-0711-5-

28.

17. WHO India. Leptospirosis laboratory manual.

India: WHO; 2007. 27-45 p. Available from:

http://apps.searo.who.int/PDS_DOCS/B2147.

pdf.

18. Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir

Penyakit. Pedoman pengumpulan data

reservoir (tikus) di lapangan. Salatiga: Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit;

2015.

19. Muñoz-zanzi C, Mason MR, Encina C,

Astroza A, Romero A. Leptospira

contamination in household and

environmental water in rural communities in

Southern Chile. International Journal of

Environmental Research and Public Health.

2014;11(7):6666–80. doi:

10.3390/ijerph110706666.

20. Felzemburgh RDM, Ribeiro GS, Costa F, Reis

RB, Melendez AXTO, Fraga D, et al. Prospective study of leptospirosis

transmission in an urban slum community :

role of poor environment in repeated

exposures to the Leptospira Agent. PLoS

Neglected Tropical Disease. 2014;8(5):e2927.

doi: 10.1371/journal.pntd.0002927.

21. Nugroho A. Analisis faktor lingkungan dalam

kejadian leptospirosis di Kabupaten

Tulungagung. BALABA. 2015;11(2):73–80.

22. Auliya R. Hubungan antara strata PHBS

tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah

dengan kejadian leptospirosis. Unnes Journal

Public Health. 2014;3(3):1–10. doi:

10.15294/ujph.v3i3.3543.

23. Sholichah Z, Rahmawati. Sebaran infeksi

Leptospira patogenik pada tikus dan cecurut

di daerah pasca banjir Kabupaten Pati dan

endemis Boyolali. BALABA.

2017;13(2):173–82. doi:

10.22435/blb.v13i2.279.

24. Ramadhani T, Widyastuti D, Priyanto D.

Determinasi serovar bakteri Leptospira pada

reservoir di Kabupaten Banyumas. Jurnal

Ekologi Kesehatan. 2015;14(1):8–16.

25. Himsworth CG, Bidulka J, Parsons KL, Feng

AYT, Tang P, Jardine CM, et al. Ecology of

Leptospira interrogans in Norway rats (Rattus

norvegicus) in an inner-city neighborhood of

Vancouver, Canada. PLoS Neglected Tropical Diseases. 2013;7(6): e2270. doi:

10.1371/journal.pntd.0002270.

26. Ristiyanto, Wibawa T, Budiharta S,

Supargiono. Prevalensi tikus terinfeksi

Leptospira interogans di Kota Semarang, Jawa

Tengah. Vektora. 2015;7(2):85–92.

27. Pertiwi SMB, Setiani O, Nurjazuli. Faktor

lingkungan yang berkaitan dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Pati Jawa Tengah.

Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2014;13(2):51–7. doi: 10.14710/jkli.13.2.51 -

57.

BALABA Vol. 15 No. 1, Juni 2019: 23-32

32