ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO HABITUS HABIB KARYA...

107
ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO HABITUS HABIB KARYA DWIANTO WIBOWO PADA MAJALAH TEMPO EDISI 13-19 SEPTEMBER 2010 Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh : Ahmad Algifari NIM : 1110051100074 KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2017 M

Transcript of ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO HABITUS HABIB KARYA...

  • ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO HABITUS HABIB

    KARYA DWIANTO WIBOWO PADA MAJALAH TEMPO

    EDISI 13-19 SEPTEMBER 2010

    Skripsi

    Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

    Oleh :

    Ahmad Algifari

    NIM : 1110051100074

    KONSENTRASI JURNALISTIK

    JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

    FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1438 H / 2017 M

  • i

  • ii

  • iii

  • iv

    ABSTRAK

    Ahmad Algifari

    1110051100074

    Analisis Semiotika Terhadap Foto Habitus Habib Karya Dwianto Wibowo

    Pada Majalah Tempo Edisi 13-19 September 2010

    Sosok habib yang dikenal sangat religius serta bertalian langsung dengan

    Rasulullah SAW menjadikannya begitu diagungkan oleh para jamaah. Identitas

    tersebut menjadi pembeda antara masyarakat dengan habib itu sendiri, sehingga

    berhasil menarik simpati ribuan jamaahnya. Hal tersebut membuktikan bahwa

    konstruksi identitas secara budaya berhasil diterapkan habib kepada para

    jamaahya. Konstruksi identitas yang dilakukan oleh habib itulah yang kemudian

    coba dibekukan ke dalam media fotografi oleh fotografer harian lepas Tempo

    yaitu Dwianto Wibowo. Dengan tajuk Habitus Habib, Dwianto mencoba

    mengabadikan setiap momen pengagungan yang dilakukan jamaah kepada sosok

    habib itu sendiri.

    Berdasarkan latar belakang di atas untuk mengetahui bagaimana kontruksi

    identitas yang dilakukan habib kepada jamaahnya, maka munculah pertanyaan bagaimana makna denotasi, konotasi, serta mitos dalam foto Habitus Habib karya

    Dwianto Wibowo?

    Penelitian yang digunakan menggunakan paradigma konstruktivis dengan

    pendekatan kualitatif. Foto yang dianalisis menggunakan metode penelitian

    semiotika Roland Barthes. Dengan metode Roland Barthes dalam menganalisis

    foto ditekankan pada makna yang terurai antara makna denotasi, konotasi dan

    mitos. Selanjutnya, penulis menambahkan dengan temuan-temuan makna yang

    mengarah kepada konstruksi identitas sosok habib.

    Setelah melakukan pengkajian makna dengan menggunakan analisis

    semiotika Roland Barthes, penulis menemukan bahwa adanya pengagungan yang

    dilakukan jamaah kepada sosok habib. Pengagungan itu sendiri terlihat dari

    jamaah yang begitu antusias dalam mengikuti berbagai rangkaian kegiatan yang

    dipimpin oleh sosok habib.

    Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sosok habib berhasil

    melakukan konstruksi identitasnya secara budaya, yang mengakibatkan para

    jamaah mengagungkan sosok habib itu sendiri. Pengagungan tersebut didasarkan

    atas pertalian habib dengan Rosul, sehingga jamaah meyakini bahwa sosok habib

    sebagai sosok yang religius serta memiliki kesamaan prilaku dengan Rosulullah

    SAW. Hal tersebut membuktikan bahwa betapa fotografi memberikan informasi

    yang tidak hanya tersurat namun juga tersirat.

    Kata Kunci : Habib, Konstruksi Identitas, semiotika, fotografi jurnalistik

  • v

    KATA PENGANTAR

    Bismillahirahmanirrahim

    Assalamu’alaikum Wr. Wb

    Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan

    kehadirat Allah Subhanahu wata’alaa, yang telah memberikan hidayah, nikmat,

    serta pertolongan yang terus menerus dipertunjukan kepada penulis. Sehingga

    terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta salam terhaturkan kepada Pemimpin

    Agung Al-Mustafa Sayyidina Muhammad SAW, beserta keluarga dan para

    sahabatnya yang telah membawa ajaran kebaikan dan cinta kepada umatnya.

    Setelah beberapa semester lamanya menimba ilmu di kampus tercinta,

    akhirnya skripsi yang berjudul “Analisis Semiotika Terhadap foto Habbitus

    Habib Karya Dwianto Wibowo Pada Majalah Tempo Edisi 13-19 September

    2010” dapat terselesaikan. Penulis menyadari, karya ini belum mencapai

    kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik dan saran

    para pembaca. Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.

    Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada:

    1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu

    Komunikasi, Suparto, M,Ed, Ph,D selaku Wakil Dekan I Bidang

    Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang

    Administrasi Umum, dan Dr. Suhaimi, M.Si selaki Wakil Dekan III

    Bidang Kemahasiswaan.

    2. Ketua Prodi Jurusan Jurnalistik, Kholis Ridho, M. Si. Sekertaris

    Konsesntrasi Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang telah

  • vi

    meluangkan waktu untuk berkonsultasi dan meminta bantuan dalam hal

    perkuliahan.

    3. Ade Rina Farida M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan

    waktu, pengetahuan, dan nasihat selayaknya ibu sendiri dalam masa

    bimbingan, sehinggga dapat memotivasi penulis dalam proses

    penyelesaian skripsi ini.

    4. Terima kasih kepada seluruh dosen, Karyawan, dan Staf Fakultas Ilmu

    Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

    memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis selama menimba ilmu dari

    semester awal hingga saat ini.

    5. Terima kasih kepada segenap staf Perpustakaan Utama UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

    Komunikasi.

    6. Terima kasih kepada fotografer Tempo Dwianto Wibowo selaku

    narasumber yang telah meluangkan waktu untuk wawancara serta berbagi

    wawasan dan pengalaman kepada penulis.

    7. Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada Alm. H. Ahmad

    Nahrowi dan Ibu Hj. Lili Suryani selaku orang tua terbaik dan motivasi

    tertinggi dalam hidup, yang senantiasa melapangkan jalan kehidupan

    penulis dengan do’a, perhatian dan kasih sayang. Terima kasih telah

    bersabar.

    8. Terima kasih kepada kakak serta adik penulis, Syahrul Mubarok, Ahmad

    Hadadi, S.S., Nurul Fikri Almufid, Fatimah Azzahra, Rohmaniyati,

  • vii

    S.Pd.I., dan Mimi Muthmainnah, S.Pd.I., yang tiada hentinya memberi

    dukungan baik yang bersifat moril mapun materil.

    9. Terima kasih kepada Tsuaibatul Aslamiyah yang telah banyak memberi

    semangat dan kasih sayang kepada penulis.

    10. Terima kasih kepada sahabat-sahabat Jurnalistik UIN 2010, Rizki

    Solehudin, Irvan Ramadhan, Isye Naisila, Anastasia Nur Pramesti, Ika

    Suci Agustin, Annisa Haismaida, Farhan Kamal, Rijuan Hartadian,

    Ardiansyah Pratama, Miftah Farid, Fakhri Hermansyah, Hanggi Tyo,

    Khoirul Imam Ghozali, Nur Hakim, Yoga Anarki, Aulia Rahmi, Kristanti,

    Latifa Sofyan, Athifa Rahma, Weldania, Diyah Halim, Hetty Choiriyah,

    Damar Yudhistira, Fajar Yugaswara, Dwiyan Pratiyo, Rahmaidah

    Hasibuan, Kenwal, Ambar, Ahmad Syahyunas, Erna, Nurviki Hidayati,

    serta seluruh sahabat Jurnalistik B dan khususnya yang selalu memberikan

    semangat serta pencerahan dalam melakukan penelitian. Tidak lupa

    mahasiswa Jurnalistik dari seluruh angkatan, semoga tali silaturahmi kita

    akan terus abadi. Amin

    11. Terima kasih kepada keluarga besar LPM Journo Liberta yang telah

    mengajarkan penulis tentang betapa pentingnya menjadi manusia yang

    bermanfaat bagi manusia lainnya, terlebih dalam memberikan ilmu serta

    pengalaman di bidang kejurnalistikan.

    12. Terima kasih kepada keluarga besar DPR, Dimaz Qumz, Abdurrachman,

    Afrizal Putra Arafat, Ali Reza Assegap, Alvian Delingga, Asep Azhari,

    Basyaria Al Yunatan, Bill, Manggala, Deaz Hendry, Fanhari Nugroho,

    Fathur Rohman, Fikri Febrina, Fitriadi Fauzan, Gilang Adhitya, Hakim

  • viii

    Husein, Hendri Bagong, Ilham Renzia, Jentel Chairnosia, Kahfi Ibrahim,

    Kiting, Kun, Mahesa Agung, Mario Chaisar, Matley, Maulana Fitrah,

    Norhalim, Mukhlas, Rahmat Darmawan, Reza Fadhila, Reza, Ridho, Rifky

    Vahrizal, Rirqi Irsyad, Tri Saputra, Wildan, Yogi Bilowo, dan Aisyah

    Zhafira yang selalu memberi ruang, waktu, inspirasi dan imaji kepada

    penulis.

    13. Terima kasih kepada keluarga besar Sophiart Photo, Al-Atqia, FKMA,

    Galeri Watoe Ireng, JB Techne, Teater Korek dan Komunitas Matahari

    Hujan.

    14. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu

    yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

    Bekasi, 10 Juli 2017

  • ix

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………... i

    LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ………………………. ii

    LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………… iii

    ABSTRAK …………………………………………………………....... iv

    KATA PENGANTAR …………………………………………………. v

    DAFTAR ISI …………………………………………………………... ix

    DAFTAR TABEL …………………………………………………....... xii

    BAB 1 PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ………………………….. 1

    B. Batasan Dan Rumusan Masalah …………………..

    1. Batasan Masalah ……………………………...

    2. Rumusan Masalah ……………………………

    7

    7

    8

    C. Tujuan Penelitian ………………………………… 8

    D. Manfaat Penelitian ………………………………..

    1. Manfaat Akademis …………………………...

    2. Manfaat Praktis ………………………………

    8

    8

    9

    E. Metodologi Penelitian ……………………………

    1. Paradigma Penelitian …………………………

    2. Pendekatan Penelitian ………………………..

    3. Metode Penelitian …………………………….

    4. Sumber Data ………………………………….

    5. Teknik Analisis Data …………………………

    9

    9

    10

    10

    10

    11

  • x

    6. Subjek dan Objek Penelitian ………………… 12

    F. Tinjauan Pustaka ………………………………… 12

    G. Sistematika Penulisan ……………………………. 13

    BAB II LANDASAN TEORI

    A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi ……………...

    1. Pengertian Fotografi …………………………

    2. Sejarah Fotografi ……………………………..

    3. Aliran-aliran Fotografi ……………………….

    15

    15

    16

    18

    B. Tinjauan Umum Tentang Fotografi Jurnalistik

    1. Pengertian Fotografi Jurnalistik ……………..

    2. Sejarah Fotografi Jurnalistik ………………...

    3. Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik …………...…

    4. Etika Fotografi Jurnalistik ……………………

    22

    22

    23

    27

    28

    C. Tinjauan Umum Tentang Semiotika ……………..

    1. Semiotika Ferdinand De Saussure …………...

    2. Semiotika Roland Barthes …………………...

    3. Semiotika Charles Sanders Peirce …………...

    30

    31

    33

    39

    D. Tinjauan Umum Tentang Konstruksi Identitas …...

    1. Konsep Diri …………………………………...

    2. Lingkuan Sosial ………………………………..

    40

    42

    44

    E. Tinjauan Umum Tentang Habib ………………… 45

    BAB III GAMBARAN UMUM

    A. Profil Majalah Tempo ……………………………

    B. Profil Dwianto Wibowo ………………………….

    49

    52

  • xi

    BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA

    A. Analisis Data Foto 1 ……………………………...

    1. Tahap Denotasi ……………………………….

    2. Tahap Konotasi ………………………………

    3. Tahap Mitos …………………………………..

    58

    58

    59

    64

    B. Analisis Data Foto 2 ……………………………...

    1. Tahap Denotasi ……………………………….

    2. Tahap Konotasi ………………………………

    3. Tahap Mitos …………………………………..

    66

    66

    66

    70

    C. Analisis Data Foto 3 ……………………………...

    1. Tahap Denotasi ……………………………….

    2. Tahap Konotasi ………………………………

    3. Tahap Mitos …………………………………..

    72

    72

    73

    76

    D. Analisis Data Foto 4 ……………………………...

    1. Tahap Denotasi ……………………………….

    2. Tahap Konotasi ………………………………

    3. Tahap Mitos …………………………………..

    77

    77

    78

    80

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ………………………………………

    1. Tahap Denotasi ……………………………...

    2. Tahap Konotasi ……………………………...

    3. Tahap Mitos …………………………………

    81

    82

    82

    83

    B. Saran …………………………………………….. 84

    DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 86

    LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………. 89

  • xii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1 : Peta Tanda Roland Barthes …………………………………… 34

    Tabel 2 : Pemaknaan photogenia dalam menganalisis foto …………….. 36

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Masyarakat modern di seluruh dunia, mempunyai kecenderungan

    materialistis dan sekular termasuk di kota-kota besar seperti Jakarta, materi

    menjadi tolak ukur segalanya, kesuksesan dan kebahagiaan ditentukan oleh

    materi. Orang-orang berlomba mendapatkan materi sebanyak-banyaknya dan

    menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, akibatnya manusia sering

    lepas kontrol. Nilai-nilai kemanusiaan semakin surut, toleransi sosial,

    solidaritas serta ukhuwah Islamiyah sesama umat Islam semakin memudar,

    manusia semakin individual. Di tengah suasana seperti itu, manusia

    merasakan kerinduan akan nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai ilahi, nilai-nilai

    yang dapat menuntun manusia kepada fitrahnya. Oleh karena itu, manusia

    mulai tertarik untuk mempelajari tashawuf-tarikat dan berusaha untuk

    mengamalkannya. Hal ini terlihat dengan tumbuhnya majlis-majlis tasawuf-

    tarikat dengan segala amalan-amalan dan dzikir-dzikirnya.1

    Sementara di Indonesia, terutama di saat penyiaran agama Islam yang

    dilaksanakan oleh para wali dahulu, juga mempergunakan majelis taklim

    sebagai penyampaian dakwah. Itulah sebabnya, untuk Indonesia, majelis

    taklim dapat disebut sebagai lembaga dakwah dan pendidikan tertua. Barulah

    kemudian seiring dengan perkembangan ilmu dan pengembangan

    manajemen pendidikan, di samping majelis taklim yang bersifat non formal,

    1 Sri Mulyati, (et.al) Mengenal dan Memahami Tarikat-Tarikat Muktabarah di Indonesia,

    (Jakarta: Prenada Media, 2000), hal. 5.

  • 2

    tumbuh pula lembaga pendidikan yang bersifat formal seperti pesantren,

    madrasah dan sekolah.2

    Menurut undang-undang Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan

    majelis taklim termasuk dalam kategori pendidikan non formal. Pendidikan

    non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan

    layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau

    pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang

    hayat.3 Sebagai pendidikan non formal majelis taklim lebih berorientasi pada

    penanaman nilai-nilai islam tanpa mengesampingkan etika sosial dan

    moralitas sosial. 4

    Dengan berkembangnya majelis taklim yang dipimpin para habib di

    Jakarta memang berhasil menarik simpati warga pinggiran kota. Kopiah

    putih, gamis yang dibalut jaket hitam dengan sulaman benang emas di

    punggung bertuliskan Majelis Rasulullah, serta sorban dan bendera, seolah

    menjadi identitas tetap bagi jamaah pengajian majelis itu. Pengajian Majelis

    Rasulullah (MR) yang diasuh Habib Mundzir bin Fuad Almusawa serta

    majelis Shalawat dan Zikir Nurul Musthofa (NM) yang dipimpin Habib

    Hasan bin Jafar Assegaf. Dua pengajian itu diklaim memiliki jamaah terbesar

    nomor wahid di Ibu Kota. MR mengklaim memiliki 50 ribu jamaah, NM

    mengaku menggaet 20 ribu orang. Menariknya peserta pengajian kebanyakan

    anak-anak muda. Seolah menguatkan pandangan orang-orang di perkotaan

    2 Muhammad Yusuf Purungan "Peranan Majelis Taklim dalam Keluarga Sakinah

    Masyarakat Muslim di Kota Padangsidimpuan", Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN

    Padangsidimpuan Volume 9 No.1, 2014, hal. 123. 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Jakarta: Depdiknas, 2003), hal. 18.

    4 A. Qodri A. Azizy, “Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial”, (Semarang:

    Aneka Ilmu, 2003), hal. 23.

  • 3

    khususnya anak muda mengalami kekeringan nilai-nilai spiritual. Julia Day

    Howell dan tokoh lainnya yang berbicara urban priority. Mereka

    berbicara bahwa masyarakat perkotaan dengan tingkat individualistik tinggi,

    alienasi masyarakat terhadap hal-hal lebih luhur menyebabkan

    kekeringan dan dahaga luar biasa. Ismail F. Alatas, Dosen Universitas

    Indonesia menambahkan bahwa praktek-praktek keagamaan di kota yang

    manampakkan aspek rasional dari agama. Sehingga aspek emosional dan

    eksperiensial hilang. Sedangkan majelis-majelis MR dan NM ini justru

    mengedepankan aspek eksperiensial dan emosional. Mereka memainkan

    hadrah, membaca maulid Nabi, bershalawat bersama, memakai gendang,

    membuat orang mendapatkan pengalaman spiritual yang tidak didapatkan

    dalam instruksi keberagamaan yang kering.5 Hal tersebut tidak terlepas dari

    sosok seorang Habib sebagai motor penggerak majelis taklim. Peran Habib di

    majelis taklim sangatlah sentral, semua kegiatan yang dilakukan oleh majelis

    taklim berada dibawah keputusan dan pengawasan Habib, tentunya dengan

    didasarkan kepada Al-qur’an dan Hadis.

    Melihat pemaparan di atas, fenomena habib belakangan ini sangat

    digandrungi oleh masyarakat khususnya kaum muda. Bahkan Presiden Susilo

    Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan bela sungkawa ketika melayat

    di kediaman pimpinan majelis Rosululloh, Habib Munzir Al-Musawa. Dalam

    pidatonya SBY mengucapkan berduka dan berkabung atas wafatnya

    almarhum habib Munzir yang dinilai sebagai ulama yang sangat ia dan

    5 Merdeka.com, “Ismail F. Alatas (2): Majelis wadah eksistensi warga pinggiran”,

    diakses dari https://www.merdeka.com/khas/ismail-f-alatas-2-majelis-wadah-eksistensi-warga-

    pinggiran.html, pada tanggal 1 Februari 2017

    https://www.merdeka.com/khas/ismail-f-alatas-2-majelis-wadah-eksistensi-warga-pinggiran.htmlhttps://www.merdeka.com/khas/ismail-f-alatas-2-majelis-wadah-eksistensi-warga-pinggiran.html

  • 4

    masyarakat cintai. Serta mendoakan almarhum agar diberikan tempat yang

    mulia di sisi Allah SWT.6

    Menurut Quraish Shihab dalam Mistik, Seks dan Ibadah (2004),

    'habib' dalam bahasa Arab artinya dicintai. Siapa pun boleh pakai nama itu

    selama ia dicintai oleh masyarakat. Sementara, menurut masyarakat muslim

    Indonesia terlebih masyarakat Betawi, gelar habib disematkan bagi orang

    saleh dan berbudi luhur serta memiliki garis keturunan hingga Rasulullah.

    Istilah habib sama dengan istilah sayid atau Husainy dan Hasany. Di

    Indonesia, baik istilah habib atau sayid identik keturunan Nabi. Menurut

    Habib Zein bin Umar bin Smith, ketua umum dewan pimpinan pusat

    Rabithah Alawiyah, ada perbedaan antara habib dan sayid. Seorang sayid

    belum tentu habib. Sebaliknya, orang yang bergelar habib sudah pasti

    keturunan Nabi. Ia mengisahkan bagaimana keturunan sayid ini hijrah ke

    Hadramaut, sebuah lembah di Yaman. Hijrahnya para sayid ini dikarenakan

    ingin menjaga anak dan keturunannya agar dapat memegang ajaran agama

    yang murni dan tidak terkontaminasi segala macam masalah politik, sebab

    Hadramaut pada kala itu adalah negeri yang miskin, kering kerontang, dan

    tidak ada apa-apa. Mereka ini kemudian menyebar ke Asia Tenggara

    termasuk ke Indonesia.7

    Seorang habib yang dikenal sebagai sosok yang religius menjadikan

    dirinya sebagai model bagi para pengikutnya. Dan kemudian para

    6 Liputan6.com, “Habib Munzir Meninggal, SBY Sampaikan Duka Mendalam”, diakses

    dari http://news.liputan6.com/read/693808/habib-munzir-meninggal-sby-sampaikan-duka-

    mendalam, pada tanggal 1 Februari 2017 7 Tirto.id, ”Seluk Beluk Para Habib Mereka datang ke Nusantara Demi Cincin Sulaiman

    “, diakses dari https://tirto.id/mereka-datang-ke-nusantara-demi-cincin-sulaiman-chdg#, pada

    tanggal 1 Februari 2017

    http://news.liputan6.com/read/693808/habib-munzir-meninggal-sby-sampaikan-duka-mendalamhttp://news.liputan6.com/read/693808/habib-munzir-meninggal-sby-sampaikan-duka-mendalamhttps://tirto.id/mereka-datang-ke-nusantara-demi-cincin-sulaiman-chdg

  • 5

    pengikutnya mengamati pesan, tingkah laku, dan cara berpakaian yang

    ditampilkan oleh sosok habib sebagai cerminan dari sikap Rasululah SAW.

    Ditambah lagi dengan tujuan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT,

    membuat para pengikutnya tanpa keraguan mengikuti atau meniru tingkah

    laku yang menjadi identitas yang melekat pada sosok habib itu sendiri.

    Identitas yang dikenalkan oleh habib kepada para jamaahnya menjadi

    pembeda bagi masyarakat dan habib itu sendiri. Menurut Chris Barker

    identitas adalah soal persamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan

    sosial, tentang kesamaan individu dengan sejumlah orang dan apa yang

    membedakan individu dengan orang lain. Dilihat dari bentuknya ada tiga

    faktor yang mempengaruhi identitas tersebut yaitu identitas budaya, sosial,

    dan pribadi. Sementara pengertian kontruksi identitas menurut Chris Barker

    adalah bangunan identitas diri, memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya dan

    kesamaan kita dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan kita dari

    orang lain.8

    Konstruksi Identitas yang dilakukan habib sangat berpengaruh atas

    perubahan pola tingkah laku, ajaran keagamaan, dan yang paling telihat

    adalah dari segi berpakaian para jamaah majelis. Habib sudah menjadi sosok

    yang diidolakan oleh jamaah, semua tingkahlaku, perbuatan sudah mencapai

    tahap pengimitasian. Artinya konstruksi identitas habib itu sendiri sudah

    diterima dengan tangan terbuka oleh para jamaahnya.

    Menyiarkan Islam atau berdakwah yang melibatkan habib belakangan

    seperti menjadi tren, fenomena terbaru belakangan ini munculnya tokoh-

    8 Chris Barker, Cultural, Studies, Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004),

    hal. 172.

  • 6

    tokoh habib muda berusia 30-40 tahunan yang merupakan lulusan sekolah

    agama di Yaman atau negara timur lainnya. Para habib dalam pemberitaan di

    Tempo mendeskripsikan habib sebagai sosok yang sangat digandrungi oleh

    kaum muda, 9

    Dalam pemberitaan Tempo yang berjudul Malam Minggu Bersama

    Habib mempunyai maksud dan tujuan tersendiri. Penulis menafsirkan Tempo

    yang dalam hal ini diwakilkan oleh fotografer Dwianto Wibowo mempunyai

    maksud ingin melihat mengapa para habib bisa memikat ribuan orang, dan

    seberapa jauh pengaruh mereka terhadap pengikutnya. Untuk mengetahui

    maksud dan tujuan tersebut dibutuhkan suatu analisis. Dalam hal ini penulis

    menggunakan analisis semiotika untuk mengetahui makna yang tersirat dan

    tersurat dalam foto Habitus Habib Karya Dwianto wibowo dalam Majalah

    Tempo.

    Dwianto menerangkan dalam narasinya,10

    bagaimana kehadiran habib

    di Indonesia mampu membentuk kebiasaan, sifat yang baik, atau penampilan,

    yang telah menjadi prilaku mendarah daging. Seperti halnya dalam

    berpakaian, bagaimana budaya ini telah menyatu dalamgaya hidup mereka

    dan menjadi sebuah habitus yang dapat dikatakan positif di zaman modern

    ini.

    Sebagai pemimpin dan penyebar agama Islam, seorang keturunan

    Arab dapat lebih diandalkan. Saat ini di Jakarta sendiri dikenal (Alm) Habib

    Munzir al-Musawa (Majelis Rosulullah) dan Habib Hasan bin Ja’far Assegaf

    9 Tempo.co, Karnaval Habib Kota, artikel diakses dari

    https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201211020018/karnaval-habib-kota#.WWiQboUxXYU,

    pada tanggal 1 Mei 2017 10

    Dwianto Wibowo, Habitus Habib, artikel diakses dari

    http://pictorialismdewe.blogspot.co.id/search?=Habitus+habib&m=1, pada tanggal 1 Mei 2017

    https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201211020018/karnaval-habib-kota#.WWiQboUxXYU

  • 7

    (Majelis Nurul Mustofa), yang rutin melakukan pengajian di halaman

    Monumen Nasional. Dimana sebagian besar pengikut mereka adalah pemuda

    asli Jakarta dari tingkat ekonomi menengah perkotaan yang lebih rendah.

    Dwianto menambahkan kehadiran Habib di Indonesia berhasil

    menggeser kebiasaan pemuda kota dari hal yang negatif kepada positif

    dengan kegiatan keagamaan rutin di malam hari. Dwianto menilai dengan

    massa yang banyak majelis taklim justru dapat dimanfaatkan untuk

    kepentingan politis.

    Dengan dasar pemikiran di atas, maka penulis memutuskan untuk

    melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS SEMIOTIKA

    TERHADAP FOTO HABITUS HABIB KARYA DWIANTO WIBOWO

    PADA MAJALAH TEMPO EDISI 13-19 SEPTEMBER 2010”.

    B. Batasan dan Rumusan Masalah

    1. Batasan Masalah

    Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada karya

    Dwianto Wibowo berjudul Habitus Habib pada Majalah Tempo.

    Karya Dwianto Wibowo tersebut bercerita tentang fenomena habib

    yang kian digandrungi oleh masyarakat, penulis melihat adanya

    bentuk lain dari kecintaan kepada habib yang diekspresikan pada diri

    para jamaah melalui kontruksi identitas pada habib itu sendiri, dengan

    menggunakan pakaian serta kosmetik yang dipercaya mendekatkan

    mereka kepada Allah SWT dan Rosulullah SAW. Penulis mengambil

    empat dari 15 foto yang terdapat dalam Majalah Tempo edisi 13-19

    September 2010.

  • 8

    2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah dalam

    penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

    a. Apa makna denotasi dalam foto Habitus Habib karya Dwianto

    Wibowo pada Majalah Tempo?

    b. Apa makna konotasi dalam foto Habitus Habib karya Dwianto

    Wibowo pada Majalah Tempo?

    c. Apa makna mitos dalam foto Habitus Habib karya Dwianto

    Wibowo pada Majalah Tempo?

    C. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka

    tujuan dari penelitian ini adalah:

    1. Untuk mengetahui dan memahami makna denotasi dalam foto Habitus

    Habib karya Dwianto Wibowo pada Majalah Tempo.

    2. Untuk mengetahui dan memahami makna konotasi dalam foto Habitus

    Habib karya Dwianto Wibowo pada Majalah Tempo.

    3. Untuk mengetahui dan memahami makna mitos dalam foto Habitus

    Habib karya Dwianto Wibowo pada Majalah Tempo.

    D. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:

    1. Manfaat Akademisi

    Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat berupa

    wawasan dan pengetahuan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai

  • 9

    referensi bagi studi-studi fotografi dan jurnalistik, khususnya bagi

    mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan

    Komunikasi Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalitik UIN Jakarta.

    2. Manfaat Praktis

    Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para

    penggiat fotografi, khususnya yang menekuni fotografi dan jurnalistik,

    juga agar dapat menambah ilmu untuk menafsirkan makna foto

    jurnalistik, khusunya foto cerita bagi mahasiswa Fakultas Dakwah dan

    Ilmu Komunikasi Jurusan Konsentrasi Jurnalistik.

    E. Metodologi Penelitian

    1. Paradigma Penelitian

    Dalam penelitian ini paradigma yang digunakan adalah

    paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis berlawanan arah

    dengan paradigma positifis yang memisahkan subjek dan objek

    komunikasi. Konstruktivis justru menganggap subjek sebagai faktor

    sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan- hubungan

    sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap

    maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Paradigma ini

    memandang realitas sosial bukan berdasarkan sesuatu yang natural,

    tetapi terbentuk dari sebuah hasil konstruksi. Penulis menggunakan

    paradigma konstruktivis karena penulis ingin mendapatkan

    pemahaman dari makna suatu kejadian.

  • 10

    2. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah

    pendekatan kualitatif. Menurut Ronny Kontur dalam buku Metode

    Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis mengungkapkan bahwa

    pendekatan ini merupakan hasil temuan berupa berbentuk narasi atau

    gambar-gambar yang dideskripsikan lalu ditinjau untuk dianalisis dari

    pengamatan peneliti di lapangan. Melalui pendekatan kualitatif ini

    peneliti bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Dwianto Wibowo

    mengkonstruksi identitas sososk habib dengan pengumpulan data dan

    analisis yang mendalam.

    3. Metode Penelitian

    Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

    analisis semiotika dari Roland Barthes. Dalam mendeskripsikan

    sebuah tanda di dalam objek, Barthes membaginya kedalam tiga

    makna, yaitu makna denotasi, konotasi, dan mitos.

    Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan

    menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan

    pengalaman kultur penggunanya, interaksi antar konvensasi dalam

    teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.

    Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”.

    4. Sumber Data

    Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua yaitu sumber data

    primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan sasaran utama

  • 11

    dalam penelitian ini sedangkan sumber data sekunder merupakan

    pengaplikasian dari sumber data primer dimana sumber data ini

    sebagai pendukung dan penguat dalam penelitian.

    Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil foto

    yang dipilih peneliti sesuai dengan objek penelitian. Peneliti lebih

    memfokuskan pada empat foto Habitus Habib karya Dwianto Wibowo

    pada Majalah Tempo. Karena menurut peneliti foto-foto tersebut

    mewakili apa yang ingin disampaikan oleh fotografer secara

    menyeluruh.

    Sedangkan data sekunder diperoleh dari wawancara dengan

    fotografer yang karyanya akan diteliti, yaitu Dwianto Wibowo serta

    menambahkan beberapa referensi yang berkaitan dengan penelitian.

    5. Teknik Analisis Data

    Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes

    yaitu mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos di dalam foto

    Habitus Habib karya Dwianto Wibowo pada majalah Tempo yang

    bercerita tentang fenomena habib yang kian digandrungi oleh

    masyarakat, peneliti melihat Dwianto Wibowo mempunyai maksud

    dari fotonya tersebut, bahwa adanya bentuk lain dari kecintaan kepada

    habib yang diekspresikan pada diri para jamaah melalui kontruksi

    identitas pada habib itu sendiri.

  • 12

    6. Subjek, Objek, Tempat Penelitian dan Narasumber

    Subjek dari penelitian ini adalah foto Habitus Habib karya

    Dwianto Wibowo yang terdapat pada majalah Tempo. Sedangkan

    objek penelitiannya adalah empat foto Habitus Habib karya Dwianto

    Wibowo, karena foto-foto tersebut mewakili bagaimana Dwianto

    Wibowo mengkonstruk identitas habib.

    Tempat penelitian akan dilakukan di kediaman atau tempat

    pertemuan dengan Dwianto Wibowo. Narasumber utama penelitian ini

    adalah Dwianto Wibowo, fotografer Tempo.

    F. Tinjauan Pustaka

    Pada penelitian ini peneliti juga menggunakan skripsi yang memiliki

    beberapa persamaan dengan penelitian ini. Adapun beberapa judul penelitian

    yang peneliti dapatkan adalah sebagai berikut:

    Pertama, Analisis Semiotika Foto Konflik-Konflik Timor- Timur

    Karya Eddy Hasby Pada Buku The Long And Winding Road, East Timor

    oleh Irvan Ramadhan jurusan Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta 2015.

    Skripsi tersebut memiliki kesamaan pada metode penelitian yaitu analisis

    semiotika Roland Barthes. Perbedaanya adalah pada subjek dan objek

    penelitian.

    Kedua, Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Romi Perbawa

    Berjudul The Riders of Destiny Pada Ajang Pameran The Jakarta

    International Photo Summit Tahun 2014, oleh M. Hendartyo Hanggi W

    jurusan Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta tahun 2015. Skripsi tersebut

  • 13

    memiliki kesamaan pada metode penelitian yaitu analisis semiotika Roland

    Barthes. Perbedaannya terletak pada subjek dan objek penelitian.

    Ketiga, skripsi yang berjudul Analisis Semiotika Foto Pada Buku

    Jakarta Estetika Banal Karya Erik Prasetya, oleh Marifka Wahyu Hidayat

    jurusan Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta tahun 2014. Skripsi tersebut

    memiliki kesamaan pada metode penelitian yaitu analisis semiotika Roland

    Barthes. Perbedaannya terletak pada subjek dan objek penelitian.

    G. Sistematika Penulisan

    BAB I : Pembahasan mengenai berbagai dasar tentang penelitian yang

    berisi pendahuluan yang mana di dalamnya terdapat latar

    belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan

    penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan

    pustaka, dan sistematika penulisan yang seluruhnya mendasari

    penelitian “ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO

    HABITUS HABIB KARYA DWIANTO WIBOWO PADA

    MAJALAH TEMPO EDISI 13-19 SEPTEMBER 2010”.

    BAB II : Penjabaran mengenai landasan teori yang digunakan untuk

    penelitian ini, yaitu berisi tentang tinjauan umum mengenai

    fotografi (pengertian fotografi, sejarah dan aliran fotografi),

    tinjauan umum tentang fotografi jurnalsitik (pengertian, sejarah,

    jenis-jenis, dan etika fotografi jurnalsitik), tinjauan umum

    tentang semiotika, tinjauan umum tentang konstruksi identitas,

    serta tinjauan umum tentang konstruksi sosial.

  • 14

    BAB III : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang habib, dan

    biodata atau profil Dwianto Wibowo.

    BAB IV : Pemaparan data dan analisis tentang foto Habitus Habib karya

    Dwianto Wibowo dengan menggunakan analisis semiotika

    Roland Barthes.

    BAB V : Penutup penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.

  • 15

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi

    1. Pengertian Fotografi

    Pengertian fotografi adalah proses pengambilan gambar dengan

    cahaya yang setelah itu lalu dituangkan ke dalam sebuah media yang

    mampu menyimpan cahaya.1 Dengan kata lain fotografi adalah aktifitas

    pembuatan sebuah gambar dengan cahaya menggunakan sebuah alat

    perekam cahaya yang kemudian dituangkan ke dalam benda yang biasa

    disebut kertas film.

    Secara etimologis, fotografi berasal dari bahasa Inggris

    photography, yang diadaptasi dari bahasa Yunani, yakni photos yang

    berarti cahaya dan graphein yang berarti gambar atau menggambar.2

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) fotografi adalah seni dan

    penghasilan gambar dan cahaya pada film atau permukaan yang

    dipekakan.3 Dengan demikian, secara harfiah, fotografi bermakna

    menggambar dengan cahaya. Maka dari itu, kegiatan fotografi dengan

    berbagai teknik hanya dapat dilakukan ketika ada cahaya. Tanpa cahaya,

    tidak mungkin dapat dihasilkan sebuah foto.4

    Pada dasarnya fotografi adalah kegiatan merekam dan

    memanipulasi cahaya untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan.

    1 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR (Yogyakarta: Pustaka

    Baru Press), hal. 2. 2 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar (Bandung:

    Simbiosa Rekatama Media, 2013), hal. 7. 3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia

    (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 421. 4 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 7.

  • 16

    Fotografi dapat dikategorikan sebagai teknik dan seni, fotografi sebagai

    teknik adalah mengetahui cara-cara memotret dengan benar, mengetahui

    cara-cara mengatur pencahayaan, mengetahui cara-cara pengolahan

    gambar yang benar dan semua yang berkaitan dengan fotografi sendiri.

    Sedangkan fotografi sebagai karya seni mengandung nilai estetika yang

    mencerminkan pikiran dan perasaan dari fotografer yang ingin

    menyampaikan pesannya melalui gambar atau foto.5

    2. Sejarah Fotografi

    Pada 1558 ilmuan Italia, Giambasista Della Forta menyebut

    camera obscura pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap

    bayangan gambar. Suatu fakta bahwa fotografi lahir sebagai upaya

    menyempurnakan karya seni visual dan bentuk prototif sebuah kamera

    yang disebut camera obscura. Meski percobaan alat rekam gambar

    sudah mencapai taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari

    waktu ke waktu semakin berhasil, tetap saja belum bisa disebut proses

    fotografi karena media perekam gambarnya masih belum bisa membuat

    gambar permanen.6

    Sedangkan peralatan modern dalam bentuk Kodak dan gulungan

    film seperti yang digunakan sekarang, baru mulai ditemukan oleh

    George Eastman pada 1877, di New York. Ketika itu dia sedang bekerja

    sebagai seorang karyawan bank di Rochester, New York. Eastman

    kemudian mengembangkan temuannya itu, hingga pada 1889 ia

    membuka usaha dalam bidang fotografi yang lebih modern. Ketika itu ia

    5 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 7.

    6 Ray Bachtiar, Ritual Fotografi, Chip foto video edisi spesial, hal.8.

  • 17

    memperkenalkan film transparan dalam bentuk flexibel film. Bentuk

    kamera kecil mulai populer di Amerika pada 1920-an.7

    Fotografi yang berkembang saat ini jauh berbeda dengan

    fotografi di awal era kemunculannya, hal ini terlihat dari pandangan

    secara teknis kamera dan bentuk kamera. Bayangkan saja seseorang

    dapat duduk, berbaring, bahkan berdiri selama 10 detik lebih untuk

    menghasilkan sebuah foto diri atau selfie yang saat ini sedang menjadi

    trend di Indonesia bahkan di dunia. Hal tersebut diperjelas Erik Prasetya

    dalam bukunya yang berjudul On Street Photography, bahwa hingga

    abad ke-19 fotografi tidak bekerja dengan cepat, melainkan baru abad

    ke-20 lah fotografi cepat yang lebih kecil, mudah dibawa dan mudah

    ditemukan.8 Dalam buku tersebut juga disisipkan hasil foto cetak

    pertama di dunia yang dibuat oleh fotografer berkebangsaan Prancis,

    Joseph Nicephore Niepce pada 1826.

    Di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo dalam bukunya berjudul

    IPPHOS mencatat, Mendur bersaudara, Alex Impurung (1907-1984) dan

    Frans Soemarto (1913-1971) adalah dua orang yang berpengaruh dalam

    perkembangan fotografi di Indonesia, di mana mereka merekam

    peristiwa sebelum dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia.

    7 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan teori dan praktek, (Jakarta: logos Wacana

    Ilmu, 1999), hal. 100.

    8 Erik Prasetya, On Street Photography, (Jakarta: KPG[Kepustakaan Populer Gramedia],

    2014.), hal.17

  • 18

    3. Aliran-aliran Fotografi

    Bagas Dharmawan dalam bukunya yang berjudul Belajar

    Fotografi dengan Kamera DSLR membagi aliran-aliran fotografi ke

    dalam tiga belas bagian, diantaranya:9

    1. Journalism Photography atau biasa disebut foto jurnalistik adalah

    foto yang terdapat niai berita dan unsur 5W+1H di dalamnya, sebuah

    karya foto dapat disebut foto jurnalistik apabila dalam foto itu

    terdapat nilai sebuah berita. Tidak hanya itu saja, dalam foto itu juga

    harus mengandung keterangan apa, siapa, kapan, di mana, kenapa,

    dan bagaimana.

    2. Potrait Photography adalah dimana sang fotografer menunjukan

    penuh bagian muka objek atau subjek yang diambil bahkan hampir

    tanpa latar belakang, tujuan dari aliran foto ini adalah untuk atau dari

    subjek yang difoto. Aliran ini juga menggambarkan kondisi perasaan

    manusia dengan mengambil bagian besar raut wajah subjek, dengan

    menghadap ke depan kamera.

    3. Comercial Advertising photography ditujukan untuk promosi sebuah

    produk atau iklan, peran komputer untuk mengolah foto cukup

    penting dalam aliran ini, karena dalam prosesnya aliran ini

    dibutuhkan banyak elemen guna keperluan iklan. Jadi bisa dikatakan

    fotografer yang berkecimpung di dunia commercial advertising ini

    tidak hanya mahir dalam bidang fotografi, namun juga mahir dalam

    olah digital di dalam komputer.

    9 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR (Yogyakarta: Pustaka

    Baru Press), hal. 80.

  • 19

    4. Wedding Photography adalah aliran yang dilakukan oleh fotografer

    yang sudah ahli atau professional karena dalam aliran ini dibutuhkan

    kecepatan dan ketepatan disetiap momen-momennya yang penting

    serta bersejarah. Seperti namanya aliran ini ada disegala macam

    aktifitas pernikahan, tantangan dalam aliran ini yaitu mampu

    mendapatkan momen-momen sakral saat proses pernikahan terjadi

    karena momen tersebut tidak dapat diulang kembali.

    5. Fashion photography hampir mirip dengan aliran commercial

    advertising photography yaitu untuk mempromosikan produk atau

    perlengkapan-perlengkapan berbusana. Yang membedakan dalam

    aliran ini adalah barang yang ditampilkan adalah barang-barang

    fasion seperti pakaian dan barang-barang perlengkapan yang

    dikenakan oleh model. Fasion photography menggunakan model

    sebagai pemanis dan penunjang produk tersebut.

    6. Food photography adalah aliran fotografi yang dibutuhkan untuk

    iklan sebuah makanan atau minuman serta pengemasannya. Dalam

    pengambilan foto food photography dibutuhkan alat dan

    keterampilan yang lebih karena tujuan dari aliran ini membuat siapa

    saja yang melihat tertarik dan ingin mencoba hidangan tersebut,

    selain berfungsi sebagai promosi sebuah hidangan, foto aliran ini

    juga sering dijumpai di dalam menu-menu untuk memudahkan

    konsumen dalam memilih hidangan.

    7. Landscape photography adalah aliran fotografi yang menunjukan

    keindahan-keindahan alam, aliran ini dikategorikan menjadi empat

  • 20

    bagian, yaitu foto landscape yang menampilkan pemandangan alam

    di daratan, foto seascape yang menampilkan pemandangan lautan,

    skyscape yang menampilkan pemandangan langit, dan terakhir

    cityscape yang menampilkan foto pemandangan di kota atau di desa.

    Kategori ini banyak diminati oleh beberapa fotografer dan penikmat

    foto itu sendiri, karena dalam foto ini pembaca bisa menikmati

    keindahan alam tanpa harus berpergian jauh ke suatu tempat.

    8. Cinemagraph photograpy adalah aliran yang menampilkan foto yang

    mampu bergerak. Dalam aliran ini perlu keahlian khusus dalam

    pengambilan serta mengolah fotonya, dalam pengolahannya foto

    diolah menjadi file GIF yang membuat gambar mampu bergerak

    seperti layaknya video.

    9. Wildlife photography merupakan aliran yang menampilkan foto-foto

    aktivitas hewan dalam keseharian baik pagi maupun malam, aliran

    ini tergolong berbahaya karena objek fotonya adalah binatang-

    binatang yang menarik di alam bebas. Lensa tele (zoom) menjadi

    lensa yang sering dipakai dalam aliran ini, karena memudahkan

    fotografer mengambil gambar dari jarak yang cukup jauh untuk

    alasan keamanan.

    10. Street photography biasanya aliran ini mengambil gambar secara

    diam-diam atau biasa dikenal dengan snapshoot. Lokasi

    pengambilan gambar bisa dimana saja, tentunya di luar ruangan.

    Foto aliran ini biasanya berisi mengenai kehidupan di jalanan dan

    sekitarnya, untuk mendapatkan hasil yang baik seorang fotografer

  • 21

    dalam aliran ini harus mampu mengambil gambar tanpa diketahui

    oleh objek, agar gambar dihasilkan natural.

    11. Underwater photography menampilkan foto-foto di bawah laut.

    Aliran ini memiliki dua golongan yaitu macro photography yang

    menggambarkan keadaan laut secara dekat dan detail seperti ikan,

    siput, rumput laut, dan biota laut lainnya. Sedangkan wide angle

    photography yang menampilkan keindahan pemandangan bawah

    laut secara luas. Fotografi aliran ini terbilang cukup menguras biaya

    jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal, karena untuk

    kameranya harus menggunakan pelapis anti air, serta perangkat

    lainnya seperti lampu sebagai penerangan di bawah laut yang juga

    harus memakai lampu pelindung anti air, dimana kedua aksesoris

    tersebut tergolong cukup mahal.

    12. Infra red photography agak sulit dilakukan karena tidak semua

    kamera bisa melakukannya dan harus ada perubahan-perubahan

    pengaturan di dalam kamera yang memiliki sensitif pada cahaya

    inframerah. Foto yang dihasilkan akan berbeda dengan warna aslinya

    karena yang tampil dari hasil foto tersebut akan palsu warna atau

    hitam putih.

    13. Macro photography yaitu aliran yang menampilkan foto-foto dengan

    jarak sangat dekat serta sangat detail pada bagian tertentu dari

    sebuah objek. Dalam aliran ini diperlukan lensa khusus yang biasa

    disebut dengan lensa makro.

  • 22

    B. Fotografi Jurnalistik

    1. Pengertian Fotografi Jurnalistik

    Dalam sebuah media, baik cetak maupun online sering kali kita

    menemukan foto di dalamnya. Selain pelengkap berita, foto dalam

    sebuah media juga sebagai penarik pembaca agar tidak jenuh melihat

    kumpulan-kumpulan teks saja. Menurut Wijaya dalam bukunya

    menjelaskan, foto jurnalistik adalah foto yang berisikan nilai berita dan

    menarik untuk dibaca dan informasi tersebut disampaikan secara singkat

    pada khalayak.10

    Kobre dalam bukunya yang berjudul Photojournalism The

    Professionals Approach menjelaskan bahwa sebuah foto jurnalistik

    merupakan laporan yang mempergunakan kamera untuk menghasilkan

    bentuk visual. Seorang jurnalis foto hendaklah mampu menggabungkan

    antara keahlian membuat laporan investigasi dan membedakan dengan

    penulisan feature.11

    Dengan demikian kobre menegaskan bahwa foto

    jurnalistik adalah pelaporan visual yang menginterpretasikan berita lebih

    baik dibanding tulisan. Sederhanya yang dimaksud foto jurnalistik adalah

    foto yang bernilai berita atau foto yang menarik bagi pembaca tertentu,

    dan informasi tersebut disampaikan kepada masyarakat sesingkat

    mungkin.12

    Hal tersebut menjelaskan bahwa ada pesan tertentu yang terdapat

    dalam foto, sehingga layak untuk disiarkan kepada masyarakat. Secara

    10

    Rita Gani & Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 5. 11

    Kenneth Kobre, Photojournalism The Professionals Approach (Burlington, USA:

    Focal Press Elsevier, 1991), hal. Viii. 12

    Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 17.

  • 23

    umum, foto jurnalistik merupakan gambar yang dihasilkan lewat proses

    fotografi untuk menyampaikan suatu pesan, informasi, cerita suatu

    peristiwa yang menarik bagi publik dan disebarluaskan lewat media

    massa.13

    2. Sejarah Foto Jurnalistik

    Pertama kali foto muncul di dalam sebuah media yaitu pada

    tanggal 16 April 1877 di surat kabar harian The Daily Graphic, New York.

    Saat itu gambar yang muncul dalam media tersebut adalah sketsa

    peristiwa kebakaran sebuah salon dan hotel. Seorang fotografer adalah

    seorang seniman karena dalam pembuatan foto dibutuhkan keterampilan

    khusus.14

    Perkembangan foto jurnalistik kian melesat sejak saat itu hingga

    masuk ke era foto jurnalistik modern yang dikenal dengan golden age

    (1930-1950). Saat itu terbitan seperti Sports Illustrated, Vu, dan Life

    menunjukan eksistensinya dengan tampilan foto-foto yang menawan. Pada

    era itu muncul nama-nama jurnalis foto seperti Robert Capa, Alfred

    Eisenstaedt, Margaret Bourke-White, David Seymour, dan W. Eugene

    Smith. Lalu Henri Cartier-Bresson dengan gaya candid dan

    dokumenternya.15

    Carter-Bresson, bersama Robert Capa, David Seymour, dan George

    Rodger kemudian mendirikan Magnum Photos pada tahun 1947. Magnum

    13

    Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 47. 14

    Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 1. 15

    Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 4-5.

  • 24

    adalah agensi foto berita pertama yang menyediakan foto jurnalistik dari

    berbagai isu dan belahan dunia.16

    Sementara di Indonesia sendiri kemunculan foto jurnalistik diawali

    oleh Kassian Cephas, seorang pribumi anak angkat pasangan dari Belanda

    dengan foto pertama yang diidentifikasi bertahun 1875. Kemudian pada

    tahun 1942 munculah nama Alex Mendur17

    yang bekerja sebagai kepala

    divisi foto, di kantor berita Domei. Alex Mendur, Frans Soemarto Mendur,

    JK Umbas, FF Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda kemudian

    mendirikan IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) pada 2 oktober

    1946 di Jakarta.18

    Perkembangan foto jurnalistik di Indonesia semakin konsisten dan

    berkelanjutan setelah kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto

    Jurnalistik Antara (GFJA) tahun 1992, galeri pertama yang fokus pada foto

    jurnalistik. Dengan kelas fotografinya Antara menjadi katalis lahirnya

    jurnalis foto muda.19

    Kelahiran foto jurnalistik tidak dapat dipisahkan oleh rasa

    keingintahuan manusia. Apalagi salah satu keunggulan foto, yaitu

    dianggap tidak dapat berbohong dan dapat menangkap setiap detail

    16

    Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 5. 17

    Karya fenomenal yang dibuat oleh Mendur bersaudara yaitu Alex dan Frans Mendur

    adalah imaji proklamasi 17 agustus 1945, saat presiden Soekarno sedang membacakan teks

    proklamasi. Tentara Jepang yang mengetahui adanya pendokumentasian peristiwa proklamasi

    kemudian merampas dan menghancurkan negatif milik Alex Mendur. Namun Frans lebih

    beruntung, ia berhasil menguburkan negatif miliknya sebelum digeledah oleh tentara Jepang.

    Berkat karya Frans inilah, sehingga kini masyarakat Indonesia mempunyai bukti nyata bahwa

    Indonesia pernah merdeka. (Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 10.) 18

    Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 8-9. 19

    Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 13.

  • 25

    peristiwa yang disajikan sehingga bisa menggambarkan perkembangannya

    dengan cepat.20

    Menurut Frank P. Hoy, dari sekolah Jurnalistik dan

    Telekomunikasi Walter Cronkite, Universitas Arizona, pada bukunya yang

    berjudul Photojournalism The Visual Approach, terdapat delapan karakter

    foto jurnalistik, yaitu:21

    1. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto

    (communication photography). Komunikasi yang dilakukan akan

    mengekspresikan pandangan wartawan terhadap suatu subjek, tetapi pesan

    yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi, 2. Medium foto

    jurnalistik adalah media cetak koran atau majalah, dan media kabel atau

    satelit juga internet seperti kantor berita (wire services), 3. Kegiatan foto

    jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita, 4. Foto jurnalistik adalah

    paduan dari foto dan teks foto, 5. Foto jurnalistik mengacu pada manusia.

    Manusia adalah subjek, sekaligus pembaca foto jurnalistik, 6. Foto

    jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass audiences). Ini

    berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus segera diterima

    orang yang beraneka ragam, 7. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja

    editor foto, 8. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak

    penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amendemen kebebasan

    berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press).

    Foto Jurnalistik setidaknya harus mempunyai sifat-sifat yang sama

    seperti halnya berita tulis yaitu memuat unsur-unsur apa (what), siapa

    (who), di mana (where), kapan (when), dan mengapa (why). Bedanya

    20

    Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 92. 21

    Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media

    Massa (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 4.

  • 26

    dalam bentuk visual, foto berita mempunyai kelebihan dalam

    menyampaikan unsur (how), yaitu bagaimana kejadian itu berlangsung.

    Meskipun dalam suatu peristiwa itu unsur (how) bisa terjawab dalam

    tulisan (berita tulis) tetapi dalam sebuah foto, unsur how lebih dapat

    menguraikan secara lebih baik lagi.22

    Audy Mirza Alwi menjelaskan bahwa foto jurnalistik terbagi

    menjadi dua kategori yaitu foto berita dan foto feature.23

    Foto berita adalah

    foto yang harus sesegera mungkin disampaikan kepada pembaca. Tema

    foto berita umumnya meliputi informasi yang selalu ingin diketahui

    perkembangannya dari waktu ke waktu oleh pembaca, seperti berita

    politik, kriminal, olahraga, dan ekonomi. Sementara itu foto feature adalah

    foto yang dalam penyiarannya dapat ditunda kapan saja. Tema berita yang

    terdapat dalam foto feature pada umumnya lebih kepada masalah ringan

    yang menghibur dan tidak membutuhkan pemikiran yang mendalam bagi

    pembacanya serta mudah dicerna.24

    22

    Atok Sugiarto, Jurnalisme Pejalan Kaki, hal. 23. 23

    Wilson Hicks Editor majalah Life mengatakan bahwa unit dasar dari foto jurnalistik

    adalah foto tunggal dengan teks yang menyertainya yang disebut single picture. Foto tunggal bisa

    berdiri sendiri serta dapat menyertai suatu berita atau feature. Selain foto tunggal terdapat pula

    foto seri atau foto essay. Foto seri atau esai adalah foto-foto yang terdiri atas lebih dari satu foto

    tetapi masih dalam satu tema pemberitaan. Baik foto seri atau esai pembuatanya memakan waktu

    yang cukup lama. Namun, keduanya memudahkan fotografer dalam menjelaskan suatu peristiwa

    ke dalam beberapa foto. Baik foto berita maupun foto feature bisa disiarkan dalam bentuk satu

    foto tunggal disertai teks yang disebut foto tunggal (single picture), dan foto seri/foto esai (photo

    story/photo essay). (Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke

    Media Massa, hal. 6.) 24

    Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media

    Massa, hal. 5.

  • 27

    3. Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik

    Mengacu pada Badan Foto Jurnalistik Dunia (World Press Photo

    Foundation), Audy Mirza Alwi membagi jenis foto Jurnalistik kedalam

    sembilan kategori, diantaranya:25

    a. Spot Photo

    Spot Photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal

    atau tidak terduga yang diambil oleh fotografer langsung di lokasi

    kejadian. Misalnya, foto peristiwa kecelakaan, kebakaran, perkelahian,

    dan perang. Karena dibuat dari peristiwa yang jarang terjadi dan

    menampilkan konflik serta ketegangan, foto spot harus segera

    disiarkan.

    b. General News Photo

    General news photo adalah foto-foto yang diabadikan dari peristiwa

    yang terjadwal, rutin, dan biasa. Pada umumnya bertemakan politik,

    ekonomi, dan humor

    c. People in the News Photo

    Prople in the news photo adalah foto tentang orang atau masyarakat

    dalam suatu berita, yang ditampilkan merupakan pribadi atau sosok

    orang yang menjadi berita itu.

    d. Daily Life Photo

    Daily life photo adalah tentang kehidupan sehari-hari manusia

    dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).

    25

    Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media

    Massa, hal. 7.

  • 28

    e. Portrait

    Portrait adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close

    up. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki

    atau kekhasan lainnya.

    f. Sport Photo

    Sport photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga.

    g. Science and Technology Photo

    Science and technology photo adalah foto yang diambil dari peristiwa-

    peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

    h. Art and Culture Photo

    Art and culture photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan

    budaya.

    i. Social and Environment

    Social and environment adalah foto tentang kehidupan sosial

    masyarakat serta lingkungan hidupnya.

    4. Etika Fotografi Jurnalistik

    Dalam membuat foto jurnalistik terdapat etika-etika yang harus

    dipatuhi. Walaupun jadi seorang wartawan memiliki izin yang luas tapi

    seorang wartawan diharuskan mempunyai sopan santun dalam setiap

    aktifitas meliput dan bentuk liputan. Etika ini dimaksudkan untuk

    mendapatkan respon yang baik dan menghasilkan hal positif dari

    hasil liputan yang disajikan.

    Dalam urusan etika, kadang foto jurnalistik dikaitkan dengan hal-

    hal etis seperti kesopanan dan pantas atau tidak pantasnya sebuah foto itu

  • 29

    ditayangkan.26

    Tidak hanya bersikap, dalam penampilan foto pun harus

    diperhatikan masalah kesopanan foto itu sendiri, sebenarnya tidak ada

    larangan dalam menampilkan sebuah foto tapi terdapat hal-hal pantas

    dan tidak pantas yang dibutuhkan kebijakan fotografer untuk

    memilihnya sebelum naik cetak.

    Dengan adanya etika diharapkan fotografer bisa membatasi dirinya

    saat bekerja dilapangan dan saat mengolah gambar tersebut.27

    Sebagai

    seseorang yang bekerja untuk media yang menaunginya seorang

    wartawan foto harus bekerja profesional, tapi tidak jarang aksi

    profesionalnya melewati batas kesopanan demi mendapatkan foto yang

    diinginkan oleh fotografer atau media itu sendiri. Setelah fotografer

    mendapatkan gambar barulah ia memilih dan mengolah ulang foto

    tersebut, dalam mengolah doto ini pun harus diperhatikan mengenai

    kejujuran fotografer agar tidak memalsukan hasil fotonya.

    Salah satu yang tidak diizinkan seorang wartawan foto yaitu

    mengambil gambar yang berhubungan dengan perlindungan, misalnya foto

    pekerja seks, pelaku kejahatan anak, korban tindak asusila dan aksi bunuh

    diri untuk menghindari kesan yang berkelanjutan dikemudian hari.28

    Mengenai pantas atau tidak pantasnya foto seorang wartawan foto tidak

    seharusnya mengangkat foto-foto vulgar dan sadis seperti korban dari

    kecelakaan atau pembunuhan, hal ini akan membuat jijik pembaca dan

    menjadi sebuah permasalahn untuk media yang mengangkatnya.

    Kita

    ambil contoh saja pada diri kita apabila kita sedang makan dan membaca

    26

    Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 83. 27

    Rita Gani & Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu, hal. 158. 28

    Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 84.

  • 30

    berita di salah satu media yang memperlihatkan gambar-gambar sadis

    seperti darah dan hal sadis lainnya, tentu saja kita akan merasa mual dan

    kehilangan selera makan. Media-media yang tetap mengangkat gambar-

    gambar seperti ini biasanya menyiasatinya dengan mengaburkan gambar

    atau menjadikannya hitam putih.29

    C. Tinjauan Umum Tentang Semiotika

    Kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semion yang berarti

    tanda, atau seme yang berarti penafsir tanda.30

    Dalam prakteknya semiotika

    berfungsi sebagai ilmu atau metode analisis yang digunakan untuk mengkaji

    tanda.31

    Seperti pada penelitian ini, peneliti menggunakan semiotika sebagai

    alat untuk mengkaji tanda-tanda dalam foto karya Dwianto Wibowo yang

    berjudul Habitus Habib, guna melihat makna yang tersirat dan tersurat dalam

    foto tersebut.

    Dalam sejarah linguistik, selain istilah semiotika dan semiologi

    terdapat pula istilah semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada

    bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.

    Sesungguhnya kedua isltilah semiotika dan semiologi mengandung

    pengertian yang sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah

    tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya. Mereka yang

    bergabung dengan Pierce menggunakan kata semiotika, sedangkan mereka

    yang tergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. Namun ada

    kecendrungan, istilah semiotika lebih popular daripada istilah semiologi

    29

    Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 85. 30

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 16. 31

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 15.

  • 31

    sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya. Baik

    semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling

    menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu

    tentang tanda. Satu-satunya perbedaan antara keduannya, adalah bahwa

    istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotika

    cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Dengan kata lain,

    penggunaan kata semiologi menunjukan pengaruh kubu Saussure, sedangkan

    semiotika lebih tertuju pada kubu Pierce.32

    Mengacu kepada penjelasan di atas, pada penelitan ini penulis akan

    menggunakan kata semiotika dalam penulisan selanjutnya, karena selain

    memiliki arti yang sama, istilah semiotika juga lebih populer ketimbang

    semiologi, sehingga penelitian ini akan mudah dicerna oleh para pembaca.

    Terdapat tiga tokoh besar dalam ilmu Semiotika, yaitu: (1) Ferdinand de

    Saussure; (2) Roland Barthes; (3) Charles Sanders Pierce.

    1. Semiotika Ferdinand de Saussure

    Saussure dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857, semasa

    hidupnya ia berada dalam satu zaman dengan Sigmund Freud dan Emile

    Durkheim. Saussure hidup dalam keluarga yang sangat terkenal di kota

    Jenewa karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu. Selain sebagai ahli

    linguistik, ia juga adalah seorang spesialis bahasa-bahasa Indo-Eropa dan

    sansakerta yang menjadi sumber pembaruan intelektual dalam bidang ilmu

    sosial dan kemanusiaan.33

    32

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 11-12. 33

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 45.

  • 32

    John Lyons mengatakan:

    “Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik

    modern dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de

    Saussure”. 34

    Dalam definisi Saussure, semiotika merupakan sebuah ilmu yang

    mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat serta menjadi

    bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan

    bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang

    mengaturnya.35

    Menurutnya bahasa itu adalah suatu tanda, dan setiap tanda itu

    tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda).

    Bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suara-suara, baik suara

    manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa dikatakan sebagai

    bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi tersebut

    mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan ide-ide, dan

    pengertian-pengertian tertentu.36

    Tanda adalah kesatuan dari bentuk penanda dengan sebuah ide atau

    petanda. Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang

    bermakna. Dengan kata lain, penanda adalah aspek material dari bahasa,

    apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.

    Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Dengan

    kata lain, petanda adalah aspek mental dari bahasa.37

    Jadi bisa diartikan ke

    dalam bentuk yang sederhana bahwa, penanda adalah bentuk dari tanda itu

    34

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 43. 35

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 12. 36

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 46. 37

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 46.

  • 33

    sendiri. Sedangkan petanda adalah orang yang memaknai bentuk dengan

    pengetahuan yang ia miliki sesuai norma yang berlaku di masyarakat.

    2. Semiotika Roland Barthes

    Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis

    yang sering mempraktekkan model linguistik dan semiotik Saussurean. Ia

    juga intelektual dan kritikus sastra prancis yang ternama, eksponen

    penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra.38

    Dalam teori

    semiotikanya Barthes telah mengembangkan pendekatan struktural untuk

    membaca sebuah fenomena gambar yang mengandung tahapan-tahapan

    dan pendekatan lain yang dapat digunakan untuk membedah penandaan

    dalam karya fotografi.

    Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah

    Protestan di Cherbourg. Ayahnya, adalah seorang perwira angkatan laut

    yang gugur dalam pertempuran di Laut Utara sebelum usia Barthes

    menginjak satu tahun. Sepeninggalan ayahnya, ia kemudian diasuh oleh

    ibu, kakek, dan neneknya. Di usia sembilan tahun ia pindah ke Paris

    bersama ibunya yang bergaji kecil sebagai penjilid buku. Menginjak

    dewasa, Barthes menderita penyakit tuberkulosa (TBC). Di tengah-tengah

    masa pemulihannya, Barthes menghabiskan waktu untuk membaca banyak

    hal, dan menerbitkan beberapa artikel. Dari masa itulah karir Barthes terus

    berkembang hingga namanya menjadi populer bersama karya-karyanya.39

    Bagi Barthes perspektif semiotika adalah semua sistem tanda,

    entah apapun substansinya serta batasannya (limit), yakni berupa: gambar,

    38

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63. 39

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 64.

  • 34

    gerak tubuh, bunyi, melodi, benda-benda, dan berbagai kompleks yang

    tersusun oleh substansi yang merupakan sistem signifikasi (pertandaan),

    kalau bukan merupakan ‘bahasa’ (language).40

    Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya

    berhenti pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi). Barthes

    mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang

    memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat,

    yaitu tingkat denotasi dan konotasi.41

    Tabel 2.1 : Peta Tanda Roland Barthes42

    1. Signifier

    (penanda)

    2. Signified

    (petanda)

    3. Denotative sign (tanda denotatif)

    4. Connotative signifier

    (penandaan konotatif)

    5. Connotative

    signified

    (petandaan

    konotatif)

    6. Connotative sign (tanda konotatif)

    Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri

    atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda

    denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut

    merupakan unsur material.43

    Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak

    40

    Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi

    Komunikasi dan Semiologi Signifikasi (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 3. 41

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69. 42

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69. 43

    Paul Cobley dan Litza Jansz, Introducing Semiotics (New York: Icon Books-Totem

    Books, 1999), hal. 51.

  • 35

    sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian

    tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.44

    Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan

    antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas

    yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Sedangkan

    konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara

    penanda dengan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang

    implisit, tidak langsung dan tidak pasti, artinya terbuka terhadap berbagai

    kemungkinan. Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk

    ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti

    perasaan, emosi atau keyakinan.45

    Barthes menjelaskan untuk memaknai konotasi yang terkandung

    dalam sebuah foto, harus melewati prosedur-prosedur sebagai berikut,

    diantaranya:46

    a. Trick effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang

    berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.

    b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam

    mengambil foto berita, seorang wartawan foto akan memilih objek

    yang sedang diambil.

    c. Object, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke

    dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI)

    pada sebuah gambar/foto.

    44

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69. 45

    Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna

    (Bandung: Jalasutra, 2003), hal. 261. 46

    Roland Barthes, Imaji Musik Teks (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 7.

  • 36

    d. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar.

    Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring

    (keburaman), Panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze

    (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek), dan

    sebagainya.

    Tabel 2.2: Pemaknaan photogenia dalam menganalisis foto47

    TANDA MAKNA KONOTASI

    Photogenia Teknis Fotografi

    Pemilihan

    Lensa

    Normal Normalitas keseharian

    Lebar Dramatis

    Tele Tidak personal, voyeuritis

    Shot size Close up Intimate, dekat

    Medium up Hubungan personal dengan

    subjek

    Full shot Hubungan tidak personal

    Long shot Menghubungkan subjek dengan

    konteks, tidak personal

    Sudut pandang High angle Membuat subjek tampak tidak

    berdaya didominasi, dikuasai,

    kurang otoritas

    Eye level Khalayak tampil sejajar dengan

    subjek, memberi kesan sejajar,

    47

    M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal.

    43.

  • 37

    kesamaan, sederajat

    Low angle Menambah kesan subjek

    berkuasa, mendominasi, dan

    memperlihatkan otoritas

    Pencahayaan High key Kebahagiaan, cerah

    Low key Suram, muram

    Datar Keseharian, realistis

    Penempatan

    subjek/objek

    pada bidang

    foto

    Atas Memberi kesan subjek berkuasa

    Tengah Subjek penting

    Bawah Subjek tidak penting

    Pinggir Subjek tidak penting

    e. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar

    secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.

    f. Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya

    berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat

    membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Adapun fungsi

    caption itu sendiri selain untuk membatasi pokok pikiran pesan yang

    ingin disampaikan, juga berfungsi supaya maksud dari pesan itu cepat

    tersampaikan.

    Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi,

    yang disebutkannya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan

    dan memberikan pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam

  • 38

    suatu periode tertentu.48

    Dalam pandangan Barthes mitos adalah

    pengkodean makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang dianggap

    alamiah.49

    Mitos juga dapat diartikan sebagai sesuatu hasil dari tahap

    konotasi yang telah sangat dipercayai dan menyebar dalam masyarakat.50

    Mitos juga merupakan hasil dari kelas sosial yang sudah memiliki

    dominasi dan hal ini berkaitan dengan realitas atau gejala alam.51

    Sehingga

    dapat dikatakan mitos adalah tahapan pencarian makna berdasarkan

    ideologi atau pemikiran yang sedang berkembang di masyarakat.

    Pada zaman dahulu contoh mitos yang berkembang dalam

    masyarakat tentang kehidupan atau kematian, tentang dewa-dewa, atau

    kepercayaan, hal ini jelas berbeda dengan mitos yang berkembang dalam

    masyarakat zaman ini yaitu tentang ilmu pengetehuan, kesuksesan, gender,

    dan hal semacan itu.52

    Mitos bukanlah seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos

    bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan

    irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur.

    Tetapi menurut Barthes mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya

    bicara) seseorang. Mitos digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang

    tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala

    kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan

    48

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 71. 49

    Tommy Christomy, Semiotika Budaya (Depok: Universitas Indonesia), hal. 94. 50

    Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Universitas

    Indonesia, 2008), hal. 5. 51

    Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media,

    2011), hal. 17. 52

    Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, hal. 22.

  • 39

    menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang

    tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).53

    3. Semiotika Charles Sanders Peirce

    Charles Sanders Pierce adalah seorang filsuf Amerika yang paling

    orisinal dan multidimensional, selain itu Pierce juga dikenal sebagai

    seorang pemikir yang argumentatif. Pierce lahir di keluarga intelektual

    pada tahun 1839. Ayahnya Benjamin adalah seorang professor matematika

    di Harvard.54

    Sumbangan pemikiran Pierce pada ilmu logika filsafat dan

    matematika khususnya semiotika, berpendapat bahwa teori semiotikanya

    hingga karyanya tentang tanda adalah hal yang tidak terpisahkan dari

    logika.55

    Pierce menjelaskan bahwa tanda adalah hal yang mewakili sesuatu

    bagi seseorang.56

    Dengan kata lain tanda yang diciptakan oleh sesorang

    adalah bentuk lain dari media penyampai pesan, yang mewakili informasi

    yang ingin di sampaikan kepada orang lain.

    Pierce Membedakan tipe-tipe tanda menjadi tiga bentuk, antara

    lain:57

    a. Ikon

    Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda

    itu mudah dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon biasanya

    sesorang cukup dengan ‘melihat’ saja, agar dapat mengartikan makna

    53

    Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), hal. 127. 54

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 39. 55

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 40. 56

    Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 39. 57

    Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, hal. 14.

  • 40

    dalam sebuah tanda. Contohnya adalah bentuk dari rambu lalu lintas

    yang memiliki kesamaan dengan objek yang sebenarnya.

    b. Indeks

    Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan antara penanda dengan

    petanda, atau bisa dikatakan memiliki hubungan sebab akibat. Di

    dalam indeks seseorang harus memprkirakan suatu hubungan sebab

    akibat, agar dapat memaknai sebuah tanda. Contohnya adalah adanya

    asap karena api.

    c. Simbol

    Simbol merupakan jenis tanda yang dihasilkan dari kesepakatan oleh

    sejumlah orang atau masyarakat. Di dalam simbol seseorang harus

    mempelajari terlebih dahulu tanda tersebut, agar dapat memaknai

    sebuah tanda. Contohnya adalah rambu-rambu lalu lintas yang sudah

    bersifat simbolik, atau sudah dikenal oleh masyarakat luas. Rambu-

    rambu lalu lintas tersebut sudah dapat dikatakan simbol.

    Pada penelitian ini, penulis akan memakai teori semiotika Roland

    Barthes dengan memaknai sebuah tanda melalui tiga tahapan, yaitu

    denotasi, konotasi, dan mitos. Selain itu, semiotika Barthes juga dapat

    memaknai tanda-tanda di dalam sebuah foto secara lebih mendalam

    dengan memakai batasan-batasan seperti, efek tiruan, pose, objek,

    fotogenia, estetisme dan sintaksis.

    D. Konstruksi Identitas

    Pengertian identitas sendiri menurut Chris Barker adalah soal

    kesamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan sosial, tentang

  • 41

    kesamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan sosial, tentang

    kesamaan individu dengan sejumlah orang dana apa yang membedakan

    individu dengan orang lain.58

    Dilihat dari bentuknya, setidaknya ada tiga bentuk identitas. Pertama,

    identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang itu

    merupakan anggota dari sebuah etnik tertentu. Itu meliputi pembelajaran

    tentang penerimaan tradisi, sifat bawaan, agama, dan keturunan dari suatu

    kebudayaan. Kedua, identitas sosial terbentuk akibat dari keanggotaan

    seseorang itu dalam suatu kelompok kebudayaan. Tipe kelompok itu antara

    lain, umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, dan tempat, identitas sosial

    merupakan identitas yag diperoleh melalui proses pencarian dan pendidikan

    dalam jangka waktu lama. Ketiga, identitas pribadi didasar kan pada

    keunikan karakteristik pribadi seseorang. Seperti karakter, kemampuan,

    bakat, dan pilihan..

    Sementara pengertian konstruksi identitas menurut Chris Barker

    adalah bangunan identitas diri, memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya

    dan kesamaan kita dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan kita

    dari orang lain.59

    Sedangkan menurut Stuard & Sundeen konstruksi identitas adalah

    kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian,

    yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu

    kesatuan utuh. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat

    maka akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak

    58

    Chris Barker, Cultural Studies, Teori Dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004)

    , hal. 172. 59

    Chris Barker, Cultural Studies, Teori Dan Praktik, hal. 172.

  • 42

    ada duanya. Individu yang memiliki identitas diri yang kuat akan

    memandang dirinya sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terpisah dari orang

    lain dan individu tersebut akan mempertahankan identitasnya walau dalam

    kondisi sesulit apapun.60

    Adapun dalam mengkonstruk identitasnya seseorang harus melewati

    beberapa tahapan, yaitu:

    1. Konsep Diri

    Konsep diri atau self concept dapat diartikan sebagai (a) persepsi

    keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya, (b) kualitas

    pensifatan individu tentang dirinya, (c) suatu sistem pemaknaan individu

    dan pandangan orang lain tentang dirinya.

    Selft concept ini mempunyai tiga komponen, yaitu: (a) perceptual

    atau physical self concept, citra seseorang tentang penampilan dirinya

    (kemenarikan tubuhnya), seperti: kecantikan, keindahan atau kemolekan

    tubuhnya; (b) conceptual atau psychological self concept, konsep

    seseorang tentang kemampuan (keunggulan) dan tidakmampuan

    (kelemahan) dirinya, dan masa depannya, serta meliputi juga kualitas

    penyesuaian hidupnya: honesty, self confidence, indepedence, dan

    couragie; dan (c) attitudinal, yang menyangkut perasaan seseorang

    tentang dirinya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan

    keterhinaannya. Apabila seseorang sudah masuk masa keyakinan, nilai-

    nilai, idealitas, aspirasi, dan komitmen terhadap filsafat hidupnya.

    60

    Ismail Marzuki, Konstruksi Indentitas Dahlan Iskan Dalam Manufacturing Hope

    Harian Jawa Pos. (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel

    Surabaya, 2014), hal. 23.

  • 43

    Dilihat dari jenisnya, self concept ini terdiri atas beberapa jenis,

    yaitu sebagai berikut:

    a. The basic self-concept, James menyebutnya “real-self” yaitu konsep

    seseorang tentang dirinya, jenis ini meliputi persepsi seseorang

    tentang dirinya, jenis ini meliputi persepsi seseorang tentang

    penampilan dirinya, kemapuan dan ketidak mampuannya, peranan

    danb status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta

    aspirasinya.

    b. The transitory self-concept. Ini artinya bahwa seseorang

    memilki “self concept” yang pada suatu saat di memegangnya,

    tetapi pada saat lain dia akan melepaskannya. “self concept” ini

    mungkin menyenagkan, tetapi juga tidak menyenangkan.

    Kondisinya sangat sitiasional, sangat dipengaruhi oleh suasana

    perasaan (emosi), atau pengalaman yang telah lalu.61

    c. The social self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara

    individu mempercayai orang lain yang mempersepsikan

    dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini

    sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Contoh: jika

    kepada seseorang secara terus menerus dikatakan bahwa

    dirinya nakal, maka dia akan mengembangkan konsep dirinya

    sebagai anak yang nakal. Perkembangan konsep diri seseorang

    dipengaruhi oleh jenis kelompok sosial tempat dia hidup, baik

    keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat. Jersild

    61

    Syamsu ln & Nurihsan Juntika, Teori Kepribadian (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

    2008), hal. 7.

  • 44

    mengatakan, apabila seseorang diterima, dicintai, dan dihargai oleh

    orang-orang yang berarti baginya, maka seseorang tersebut

    akan mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargsi

    dirinya sendiri. Namaun apabila orang-orang yang berarti

    (significant people) itu menghina, menyalahkan, dan

    menolaknya, maka ia akan mengem-bangkan sikap-sikap yang tidak

    menyenagankan bagi dirinya sendiri.

    d. The ideal selft-concept, konsep diri ideal merupakan persepsi

    seseorang temtang apa yang diinginkan menegenai dirinya, atau

    keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep

    ini diri ideal ini semakin berkembang seiring bertambahnya umur

    seseorang.62

    2. Lingkungan Sosial

    Lingkungan sosial sangat mempengaruhi terhadap identitas

    seseorang, seperti yang dikatakan J.M Baldwin, ia menyebutkan bahwa,

    “Self” sendiri sebagai “an actively origanized concept” yang artinya

    “self” itu sebagai konsep yang tersusun rapi. Selanjutnya ia

    mengemukakan bahwa:

    .Pada dasarnya, anak-anak bukanlah konsep atas diri sendiri,

    namun konsep yang berkembang satu persatu seiring dengan

    perkembangan konsepsi orang lain.

    Robert E. L. Faris, berkata.

    Manusia tidak dilahirkan dengan sendirinya atau dengan

    kesadaran atas dirinya sendiri, setiap orang menjadi objek

    untuk dirinya sendiri berdasarkan proses aktif penemuan-

    penemuan material untuk membangun konsepsi diri yang

    62

    Syamsu ln & Nurihsan Juntika, Teori Kepribadian, hal. 8-9.

  • 45

    diperoleh dalam proses interaksi dengan orang lain, diri itu

    ditentukan dalam reaksi terhadap orang lain.

    Dua pendapat diatas, menunjukkan bahwa “self” tidak ada atau

    belum ada pada saat manusia dilahirkan, atau pada waktu masih

    anak-anak. “Self” selanjutnya akan lahir dan terbentuk sebagai hasil dari

    interaksi dengan lingkungan sosialnya, Misalnya: ibunya, ayahnya,

    kakaknya dan sebagainya dengan siapa dia selalu berhubungan tiap hari.

    Dengan kata lain “self” adalah produk daripada sosial.63

    Maka, individu tidak akan menemukan identitas dirinya tanpa

    adanya benturan atau interaksi dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan

    sosial berpengaruh besar terhadap identitas individu tersebut. Karena,

    Melalaui interaksi-interaksi dengan lingkungan tersebut ia senantiasa

    selalu mengkonstruk identitasnya seperti apa yang ia hasilkan dari

    interaksi dengan lingkungan sosial sekitar.

    E. Tinjauan Umum Tentang Habib

    Ha