ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN KESEHATAN...
-
Upload
duongquynh -
Category
Documents
-
view
235 -
download
6
Transcript of ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN KESEHATAN...
i
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN KESEHATAN
MASYARAKAT PERKOTAAN
PADA KASUS MULTIPLE FRAKTUR
DI GEDUNG PROF. DR. SOELARTO RSUP FATMAWATI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Ners
KARYA ILMIAH AKHIR
SYLVANA
0806334496
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI REGULER
DEPOK, JULI 2013
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Ilmiah Akhir ini diajukan oleh :
Nama : Sylvana
NPM : 0806334496
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Judul Karya Ilmiah Akhir : Analisis Praktik Profesi Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan pada Pasien dengan
Multiple Fraktur di Gedung Prof. Dr. Soelarto
RSUP Fatmawati
Telah diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk
memperoleh gelar Ners, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Pembimbing : Dr. Roro Tutik, S.Haryati, S.Kp., MARS ( )
Penguji : Ns. Sri Sasongkowati, S.Kep ( )
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 5 Juli 2013
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini.
Karya Ilmiah Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Ners, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa,
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia (FIK UI);
2. Ibu Dra. Junaiti Sahar, PhD selaku Wakil Dekan FIK UI;
3. Ibu Dr. Roro Tutik, S.Kp., MARS selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dan motivasi selama penyusunan proposal ini.
4. Ibu Ns. Sri Sasongkowati, S.Kep selaku kepala ruangan GPS Lt. I RSUP
Fatmawati dan juga sebagai pembimbing klinik yang telah banyak
memberikan bantuan dan juga bimbingan selama praktik.
5. Ibu Riri Maria, MANP selaku koordinator mata ajar Riset Keperawatan
6. Bapak Deni Yasmara selaku mahasiswa residensi yang telah banyak
memberikan bimbingan dan juga arahan dalam melakukan praktik.
7. Seluruh perawat di GPS Lt. I RSUP Fatmawati yang telah sabar dalam
membimbing dan terus memberikan dukungan selama praktik.
8. Seluruh staff pendidikan bagian Akademik di Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
9. Keluarga tercinta dan teman-teman seperjuangan angkatan 2008 yang
telah memberikan bantuan materi, dorongan semangat dan doa yang tiada
henti-hentinya sehingga terwujudnya penelitian ini. Semoga doa dan
bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang sesuai
dari Tuhan YME.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
v
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun
sebagai perbaikan. Akhirnya penulis berharap agar Karya Ilmiah Akhir ini
dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan tenaga keperawatan pada
khususnya.
Jakarta, Juli 2013
Penulis
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
vii
ABSTRAK
Nama : Sylvana
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Judul :Analisis Praktik Profesi Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan pada Pasien dengan Multiple Fraktur
Di Gedung Prof. Dr. Soelarto RSUP Fatmawati.
Kecelakaan lalu lintas banyak menimbulkan dampak salah satunya adalah fraktur.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan/ atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sedangkan multiple fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang lebih dari satu bagian tubuh. Praktik profesi
dilakukan di Gedung Prof. Dr. Soelarto Lt. I RSUP Fatmawati pada pasien dengan
multiple fraktur dengan menerapkan intervensi positioning lateral 30 derajat guna
mencegah ulkus decubitus. Pasien yang mengalami fraktur mengalami hambatan
mobilisasi sehingga berisiko mengalami ulkus decubitus. Asuhan keperawatan
diberikan dari tanggal 27 Mei sampai 5 Juni 2013, hasilnya menunjukan bahwa
ulkus decubitus tidak terbentuk pada pasien. Perubahan posisi harus dilakukan
oleh perawat untuk mencegah terbentuknya ulkus decubitus pada pasien dengan
hambatan mobilisasi.
Kata Kunci:
Mutiple fraktur, ulkus decubitus, positioning lateral 30 derajat
ABSTRACT
Name : Sylvana
Study Program : Nursing
Title :The Profession Practice Analytical of Urban Society
Health Nursing to the Multiple Fracture Patient in the
Prof. Dr. Soelarto’s Building 1st Floor RSUP Fatmawati.
Road traffic injuries have many impacts one of them is fracture. Fracture is a
broken off the continuity of bone and/ or cartilage generally caused by over
pressure, whereas multiple fracture is a broken off the continuity of bone more
than one part of the body. The clinical practice was done at Prof. Dr. Soelarto’s
Building 1st floor RSUP Fatmawati with multiple fracture patient and did
intervention lateral 30 degree positioning due to prevent decubitus ulcer. Patient
who have fracture have a barrier to mobile as a result take a risk to have a
decubitus ulcer. Nursing intervention is given during May 27 until June 5 2013,
the result shows that decubitus ulcer is not formed in patient. Changing position
should be give by nurse to prevent decubitus ulcer in patient with have a barrier
to mobile.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
viii
Keywords:
Multiple fracture, decubitus ulcer, lateral 30 degree position
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………. vi
ABSTRAK………………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ix
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 4
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 7
2.1 Fraktur ............................................................................................ 7
2.2 Ulkus Dekubitus………………………………………………… .. 17
2.3 Medulla Spinalis…………………………... ................................... 24
2.4 Pengaturan Posisi……………………... .......................................... 30
BAB 3. KASUS ............................................................................................ 32
3.1 Kasus .............................................................................................. 32
3.2 Pengkajian…………………………………………… ................... 32
3.3 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 33
BAB 4. ANALISIS KASUS ....................................................................... 36
4.1 Analisis Data Pasien ........................................................................ 36
4.2 Pengaruh Pemberian Posisi 30o
Dalam Mencegah Ulkus Dekubitus 40
BAB 5. PENUTUP……………………………………… .......................... 43
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………. 43
5.2 Saran………………………………………………………………… 43
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ . 45
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Catatan perkembangan pasien
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Transportasi di zaman modern ini ditempatkan sebagai kebutuhan pokok bagi
beberapa kelompok masyarakat akibat aktivitas ekonomi, sosial dan sebagainya.
Bahkan dalam kerangka ekonomi makro, transportasi menjadi tulang punggung
perekonomian, baik di tingkat nasional, regional dan lokal.Tingginya angka
transportasi tidak jarang menimbulkan dampak buruk, salah satunya adalah
kecelakaan lalu lintas. Dalam dua tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di
Indonesia oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dinilai menjadi pembunuh terbesar
ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC. Data WHO tahun
2011 menyebutkan, sebanyak 67% korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia
produktif , yakni 22 – 50 tahun. Data dari Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2013,
terdapat sekitar 400.000 korban di bawah usia 25 tahun yang meninggal di jalan raya
dengan rata-rata angka kematian 1.000 anak-anak dan remaja setiap harinya.
Toroyan, et all (2013) dalam penelitiannya juga mengatakan kecelakaan lalu lintas
menduduki peringkat ke delapan sebagai penyebab kematian secara global, dan
penyebab utama kematian pada orang berusia muda, 15-29 tahun. Lebih dari sejuta
orang meninggal setiap tahun di jalan di dunia, dan biaya untuk konsekuensi
kecelakaan lalu lintas mencapai milyaran dolar.
Penelitian yang dilakukan oleh Tran (2007) mencatat selain menyebabkan kerugian
kesehatan, korban kecelakaan lalu lintas juga mengeluarkan biaya yang sangat besar
untuk perawatan di rumah sakit dan menurunnya produktivitas. Kerugian ini
diestimasi lebih tinggi dari 1% dari total Pendapatan Domestik Bruto pada negara-
negara dengan pendapatan rendah, 1,5% pada negara-negara dengan pendapatan
sedang, dan 2% pada negara dengan pendapatan tinggi. Kecelakaan lalu lintas yang
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
2
Universitas Indonesia
terjadi juga menimbulkan dampak kerugian pada bidang sosial ekonomi. Data
Kepolisian RI (2013) menyebutkan, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan
dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian
sosial ekonomi sekitar Rp 203 triliun - Rp 217 triliun per tahun (2,9%-3,1%) dari
Pendapatan Domestik Bruto/PDB Indonesia).
Chan (2013) dalam penelitiannya mencatat sebesar 27% dari seluruh kematian
kecelakaan lalu lintas terjadi pada pejalan kaki dan pengendara motor. Di negara
dengan pendapatan menengah ke bawah, angka ini menduduki peringkat ketiga
kematian di jalanan, tetapi pada beberapa negara lebih dari 75%. BIN mencatat
sebagian besar kasus kecelakaan itu terjadi pada masyarakat miskin sebagai pengguna
sepeda motor dan transportasi umum. Penelitian yang dilakukan oleh Troyan, et all
(2013) yang bekerja sama dengan WHO, mengidentifikasi penyebab kecelakaan di
dunia adalah karena faktor kelalaian manusia, seperti kecepatan berkendara yang
tidak wajar, dibawah pengaruh alkohol saat berkendara, tidak menggunakan helm
saat mengendarai motor, dan tidak meggunakan seat belt saat mengemudi mobil. Di
Indonesia, jumlah kendaraan bermotor meningkat setiap tahunnya, data dari
Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) menyebutkan, kecelakaan
pengendara sepeda motor mencapai 120.226 kali atau 72% dari seluruh kecelakaan
lalu lintas dalam setahun. Hampir setiap hari terjadi kecelakaan sepeda motor yang
mengakibatkan meninggal dunia, luka berat dan luka ringan. Salah satu akibat dari
kecelakaan lalu lintas adalah fraktur atau patah tulang.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (Black, 2005). Menurut Price &
Wilson (2006) fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di
sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap. Penyebab utama terjadinya fraktur adalah cidera atau benturan, kondisi
patologis (tumor, kanker, osteoporosis, osteomelitis), mengangkat beban terlalu besar
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
3
Universitas Indonesia
(Price & Wilson, 2006). Proses penyembuhan fraktur memakan waktu yang tidak
sebentar sekitar 6 bulan sampai 1 tahun (Brunner & Suddarth, 2006). Selama di
rumah sakit pasien fraktur mengalami tirah baring dalam jangka waktu yang cukup
lama. Lamanya tirah baring tergantung penyakit atau tingkat keparahan fraktur dan
status kesehatan klien. Tirah baring bertujuan untuk mengurangi nyeri pasca operasi
dan mengurangi aktivitas fisik serta memberikan kesempatan kepada klien untuk
beristirahat.
Melihat adanya pemasangan traksi, pemasangan fiksasi interna (ORIF) atau eksterna
(OREF) pada pasien pasca operasi membuat mobilisasi menjadi hal yang sangat sulit
bagi pasien dengan masalah keperawatan nyeri dan cemas atau takut bila bagian
tubuh yang cedera digerakkan akan menimbulkan komplikasi yang lain. Hal ini
menyebabkan tirah baring merupakan hal yang mutlak bagi pasien dengan gangguan
muskuloskeletal terutama pasca operasi. Tirah baring dalam jangka waktu yang lama
dapat menyebabkan komplikasi, yaitu salah satunya adalah terbentuknya ulkus
dekubitus pada bagian-bagian tubuh yang terdapat penonjolan tulang.
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan aliran darah
dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit tersebut
mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda keras
lainnaya dalam jangka panjang (Potter & Perry, 2005). Dekubitus merupakan
problem yang serius karena dapat mengakibatkan meningkatnya biaya, lama
perawatan dirumah sakit karena memperlambat program rehabilitasi bagi penderita
(Potter, Perry, 2002). Menurut The National Pressure Ulcer Advisory Panel,
prevalensi luka tekan di rumah sakit 14%-17% dan insiden 7%-9% (Whiitington &
Briones, 2004). The Institute for Healthcare Improvement (IHI) mengestimasi bahwa
2,5 juta orang dirawat dengan luka tekan di rumah sakit setiap tahun. Biaya
pengobatan luka tekan antara $2,000 sampai $70,000 tergantung tingkat keparahan
ulkus (Young & Davis, 2003). Luka tekan sebagian besar terjadi pada individu
dengan kesulitan mobilisasi/ aktivitas, sebagai dampak pada kemampuan individu
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
4
Universitas Indonesia
mengubah posisi, adalah mengurangi tekanan pada penonjolan tulang (Fisher et al,
2004; Lindgren et al, 2004; Robertson et al, 1990 dalam Moore & Etten, 2011).
Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat
penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung, dan
kepala bagian belakang (NSW Health, 2003).
Salah satu pencegahan terjadinya ulkus dekubitus adalah dengan positioning. Krapl &
Gray (2008), dalam penelitiannya mengatakan memposisikan pasien adalah
komponen yang penting dalam mencegah luka tekan, dan termasuk memindahkan
pasien ke posisi yang berbeda atau menghilangkan atau memindahkan tekanan dari
satu bagian tubuh ke bagian yang lain. Positioning dilakukan tidak hanya ketika
pasien di tempat tidur tetapi juga saat di kursi atau di kursi roda. Positioning
bertujuan meminimalkan penekanan pada penonjolan tulang. Penggunaan bantal
dapat digunakan untuk membantu mempertahankan posisi yang tepat (Briggs, 1997
dalam Moore & Etten, 2011). Positioning juga dipengaruhi oleh kemampuan individu
untuk merasakan nyeri dan kemampuan fisik aktual untuk bergerak atau reposisi diri
mereka (Defloor et all, 2005).
Salah satu penelitian tentang pengaruh pengaruh positioning terhadap kejadian ulkus
decubitus telah dilakukan oleh Dame Elysabeth Tutiarnauli Tarihoran (2010) di Unit
Stroke RS Siloam Jakarta. Penelitian menggunakan teknik purposive sampling
dengan kelompok kontrol dengan total responden 33 orang, masing-masing 16
kelompok kontrol dan 17 kelompok intervensi. Penelitian dengan judul Pengaruh
Posisi Miring 30 Derajat Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable
Erythema) pada Pasien Stroke di Siloam Hospital dilakukan dengan memberikan
posisi miring selama 3x24 jam kemudian dievaluasi. Hasil penelitian menunjukkan
adanya perbedaan yang sangat signifikan secara statistik, dimana kelompok kontrol
berpeluang terjadi luka tekan hampir 10 kali dibandingkan kelompok intervensi.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
5
Universitas Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
Ruang GPS Lt. I RSUP Fatmawati merupakan ruangan khusus ortopedi dengan rata-
rata pasien mengalami keterbatasan mobilisasi karena gangguan muskuloskeletal.
Pasien dengan gangguan muskuloskeletal berisiko mengalami ulkus dekubitus karena
keterbatasan gerak dan nyeri jika bagian tubuh yang cedera dimobilisasi.
Meningkatnya angka kejadian ulkus dekubitus di ruang rawat pada pasien dengan
gangguan muskuloskeletal perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu cara
mengatasi terbentuknya ulkus dekubitus adalah dengan perubahan posisi. Perubahan
posisi lateral 300 setiap 2 jam akan mengurangi tekanan pada bagian punggung. Oleh
karena itu, melihat kedaan ini penulis tertarik untuk membuat tulisan tentang analisis
Praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Kasus multiple Fraktur
di RSUP Fatmawati untuk menganalisis keefektifan perubahan positioning pada
pasien dengan hambatan mobilisasi.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi pengaruh pemberian posisi lateral 300
pada pasien spine dengan
fraktur lumbal dalam upaya pencegahan terbentuknya ulkus dekubitus di GPS Lt. I
RSUP Fatmawati
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Teridentifikasinya kejadian terbentuknya ulkus dekubitus atau tidak pada pasien
spine dengan keterbatasan mobilisasi akibat gangguan muskuloskeletal dengan
perubahan posisi miring kiri-kanan setiap 2 jam dibandingkan dengan pasien yang
tidak dilakukan perubahan posisi.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan yang dilakukan diharapkan dapat bermanfaat dalam tiga aspek, yaitu
manfaat aplikatif, manfaat kelilmuan, dan manfaat metodologi:
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
6
Universitas Indonesia
1.4.1 Manfaat Aplikatif
a. Manfaat bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan
masukan bagi profesional kesehatan dalam memeberikan asuhan keperawatan
khususnya di rumah sakit mengenai angka kejadian ulcus decubitus pada pasien
imobilisasi dan cara pencegahannya.
b. Manfaat bagi Masyarakat
Hasil penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk
menambah pemahaman masyarakat mengenai ulcus decubitus dan cara
pencegahannya pada pasien home care.
1.4.2 Manfaat Keilmuan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dan dasar untuk
memberikan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang aplikatif terhadap
keperawatan khususnya dalam upaya pencegahan terbentuknya ulkus decubitus pada
pasien imobilisasi akibat gangguan muskuloskeletal.
1.4.3 Manfaat Metodologi
Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai data dasar bagi penelitian
selanjutnya dalam area keperawatan ortopedi dan keperawatan lainnya yang berkaitan
dengan ulkus decubitus.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
7 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur
2.1.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (Black, 2005). Menurut Price &
Wilson (2006) fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di
sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan krepitasi (Doenges,
2002).
2.1.2 Klasifikasi Fraktur
Berdasarkan kondisi patahannya (Smeltzer & Bare, 2002):
a. Fraktur komplet, yaitu: patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi yang normal)
b. Fraktur tidak komplet, yaitu: patah hanya terjadi pada sebagian dari garis
tengah tulang
Berdasarkan hubungan dengan dunia luar (Smeltzer & Bare, 2002):
a. Fraktur tertutup
Fraktur sederhana dengan kondisi kulit sekitar fraktur tetap utuh, tulang tidak
menusuk kulit
b. Fraktur terbuka
Terjadi perlukaan di daerah fraktur sehingga terjadi kontak dengan dunia luar.
Terdapat 3 grade:
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
8
Universitas Indonesia
i. Grade I : Luka kecil < 1 cm, dengan kontaminasi minimal/ luka
bersih
ii. Grade II : Luka > 1 cm, kerusakan jaringan lunak dan kontaminasi
sedang
iii. Grade III : Luka lebih besar antara 6-8 cm dengan kerusakan pada
syaraf dan tendon dan kontaminasinya berat
Berdasarkan pola fraktur (Smeltzer & Bare, 2002):
a. Fraktur linear
Fraktur yang garis patahnya utuh. Bisa transverse atau oblique. Terjadi karena
kekuatan yang minimal atau sedang.
b. Fraktur Oblique
Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut 45 derajat terhadap tulang.
Fraktur oblique biasanya dihasilkan oleh kekuatan yang memutar.
c. Fraktur Longitudinal
Fraktur inkomplit dengan penampilan fraktur sepanjang garis axis
longitudinal
d. Fraktur Transversal (melintang)
Fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang.
Fraktur ini bisa terjadi pada klien dengan gangguan tulang, seperti: Paget’s
disease, osteomalacia, osteogenesis imperfecta. Segmen tulang yang patah
direposisi/direduksi kembali ketempat semula, segmen akan stabil dan
biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips.
e. Fraktur Spiral (trauma rotasi)
Timbul akibat torsi pada ekstermitas. Fraktur ini biasanya karena kekuatan
yang memutar dengan dorongan keatas. Fraktur dengan garis fraktur
memanjang dengan arah spiral sepanjang batang tulang. Menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi
luar.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
9
Universitas Indonesia
Berdasarkan pergeseran anatomis fragmen tulang (Smeltzer & Bare, 2002):
a. Greenstick : Fraktur yang tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak.
Merupakan fraktur inkomplit dengan satu sisi mengarah ke sisi berlawanan
dan sisi lain menopang. Biasanya akan segera sembuh dan mengalami
remodeling ke bentuk dan fungsi yang normal.
b. Kominutif : serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan dimana
terdapat lebih dari dua fragmen tulang
c. Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi
pada tulang tengkorak dan tulang wajah)
d. Kompressi/ impaksi : fraktur comminuted dengan lebih dari 2 fragmen tulang
mendorong satu sama lain.
e. Interticular : perpanjangan fraktur pada area sendi
f. Patologik : Fraktur yang terjadi pada tulang yang berpenyakit (kista tulang,
penyakit piaget, metastasis tulang, tumor)
g. Avulsi : merupakan trauma akibat tarikan (fraktur patela). Fraktur
memisahkan satu fragmen tulang tempat perlekatan ligament atau tendon
(Price & Wilson, 1995).
Menurut Jumlah Dan Garis Patah/Bentuk/Konfigurasi (Brunner&Suddarth, 2002):
a. Fraktur kominutif: Lebih dari satu garis fraktur, fragmen tulang pecah,
terpisah-pisah dalam berbagai serpihan.
b. Fraktur segmental: Bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan
satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh
dan keadaan ini perlu terapi bedah
c. Fraktur multipel: Garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempatnya. Seperti fraktur femur, cruris dan vertebra.
Menurut Posisi Fragmen
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser): garis patah komplit tetapi kedua fragmen
tidak bergeser, periosteumnya masih utuh.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
10
Universitas Indonesia
b. Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang
disebut juga dislokasi fragmen.
Menurut lokasi fraktur
a. Colles’ fraktur : jarak bagian distal fraktur ±1 cm dari permukaan sendi.
b. Articular fraktur : meliputi permukaan sendi.
c. Extracapsular : fraktur dekat sendi tetapi tidak termasuk ke dalam kapsul sendi.
d. Intracapsular : fraktur didalam kapsul sendi.
e. Apiphyseal : fraktur terjadi kerusakan pada pusat ossifikasi.
2.1.3 Etiologi
a. Langsung/ direct
Karena trauma langsung yang mengenai tulang seperti tekanan, putaran/
tarikan
b. Tidak langsung/ indirect
Karena beban kerja atau kontraksi yang berlebihan pada otot
c. Stres atau kelemahan ligamen dan gangguan Patologis pada tulang. Karena
penyakit seperti: Infeksi dan tumor
d. Proses penyakit: kanker dan riketsia
e. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat
mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang
f. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga
dapat menyebabkan fraktur (misal: elektrik shock dan tetani)
(Brunner&Suddarth, 2002).
2.1.4 Tahap Penyembuhan Tulang
a. Hematoma (24-72 jam setelah cedera).
Hematoma terbentuk di area fraktur akibat robekan pembuluh darah dalam
tulang dan perdarahan jaringan lunak di sekelilingnya. Hematoma merupakan
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
11
Universitas Indonesia
ekstravasasi darah yang berubah dari cairan menjadi clot semisolid. Jaringan
tulang nekrotik dekta fraktur menyebabkan respon inflamasi yang intens.
b. Pembentukan fibrokartilage: 3 hari – 2 minggu.
Jaringan granulasi mulai mendatangi area hematoma. Hal ini mendorong
terjadinya pembentukan fibrokartilage, memberikan landasan untuk
penyembuhan tulang. Fagositosis aktif menyerap produk nekrosis lokal.
Hematoma diubah menjadi jaringan granulasi (terdiri atas pembuluh darah
baru, fibroblas, dan osteoblas) menjadi dasar untuk substansi tulang baru yang
disebut osteoid. Osteoblas membangun jaringan serat kolagen dari kedua sisi
fraktur yang nantinya akan menyatukan fragmen tulang. Kondroblas
membentuk kartilage yang menjadi landasan untuk pertumbuhan tulang.
c. Pembentukan callus: 2- 6 minggu
Akibat proliferasi seluler dan vaskuler, tempat terjadinya fraktur dikelilingi
oleh jaringan vaskuler baru yang disebut sebagai callus. Pembentukan callus
merupakan permulaan nonbony union. Mineral (calsium, fosfor, dan
magnesium) dan matriks tulang baru terdeposit di osteoid, dan jaringan tulang
tidak terorganisasi terjalin di sekitar fraktur. Callus terutama terdiri dari
kartilage, osteoblas, kalsium, dan fosfor. Dapat dilihat di X-Ray. Osteoblas
terus berpoliferasi dan mensitesis serat kolagen dan matriks tulang, yang secara
bertahap dimineralisasi dengan kalsium dan garam mineral untuk membentuk
massa sponge. Trabekulae dari tulang yang terjalin menjembatani fraktur.
Osteoklas bermigrasi ke tempat perbaikan dan memulai memindahlan tulang
yang berlebihan di dalam callus.
d. Osifikasi: 3 minggu- 6 bulan.
Callus secara bertahap diserap dan ditransformasi menjadi tulang. Cukup untuk
mencegah pergerakan pada tempat fraktur ketika tulang diberi sedikit stress.
Namun frakturnya masih dapat dilihat pada x-ray.
e. Konsolidasi & Remodelling: mulai pada minggu ke-4 – 6 setelah fraktur, dan
dapat berlanjut hingga 1 tahun tergantung tingkat keparahan fraktur.
Konsolidasi fraktur terus berkembang, jarak antara fragmen tulang makin
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
12
Universitas Indonesia
memendek, dan kemudian menutup. Osifikasi terus berlanjut. Remodelling:
jaringan tulang yang berlebihan direabsorpsi dan akhirnya menyatu.
Kembalinya tulang ke bentuk dan kekuatan struktural sebelum terjadi fraktur.
Tulang mengalami remodelling sebagi respon stress beban fisik atau hukum
wolf. Osteoblast terus membentuk tulang terjalin baru yang kemudian dirangkai
menjadi struktur lamelar tulang kompak. Osteoklas menyerap callus berlebihan.
Seiring penyembuhan tulang dan penggunaan tulang sehari-hari, osteobals dan
osteoklas berespon dengan me-remodelling tempat perbaikan di sepanjang garis
gaya. Hal ini memastikan bahwa bagian tulang yang diperbaiki akan mirip
struktur yang tidak cedera (Brunner&Suddarth, 2002).
2.1.5 Manifestasi Klinis
a. Deformitas
Spasme otot yang terlalu kuat menyebabkan pergeseran dari fragmen tulang,
terjadi perubahan posisi dan bentuk, seperti tulang dapat terputar (rotasi) atau
ukuran menjadi memendek
b. Edema
Akibat trauma pada jaringan lunak atau perdarahan yang terjadi didalam
jaringan tersebut yang mengikuti fraktur yang timbul beberapa jam setelah
kejadian.
c. Memar atau ekimosis; merupakan ekstravasasi darah dalam jaringan subkutan
d. Spasme otot; merupakan respon proteksi terhadap injuri dan fraktur
e. Tenderness
f. Nyeri
g. Nyeri sedang sampai hebat, lebih saat digerakkan. Nyeri terjadi karena
spasme otot
h. Kehilangan sensasi
Mungkin terjadi karena kerusakan atau gangguan dari saraf akibat edema,
perdarahan atau fragmen dari tulang-tulang yang terbuka
i. Kehilangan fungsi normal
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
13
Universitas Indonesia
j. Mobilitas abnormal
k. Krepitus
l. Krepitus, bunyi derik tulang yang dapat diperiksa dengan tangan. Hal ini
terjadi karena gesekan antara fragmen satu dengan yang lain. Uji krepitus ini
dapat berdampak kurang baik, terjadinya kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat.
m. Syok hipovolemik (Brunner & Suddarth, 2001).
2.1.6 Prinsip Penatalaksanaan
2.1.6.1 Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian kecelakaan dan
kemudian di rumah sakit.
a. Riwayat kecelakaan
b. Parah tidaknya luka
c. Diskripsi kejadian oleh pasien
d. Menentukan kemungkinan tulang yang patah
e. Krepitus
2.1.6.2 Reduksi, mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu:
a. Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi, dengan
tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
b. Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi, dimana
beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X digunakan untuk
memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang
c. Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan pergerakan,
yaitu fiksasi internal (kawat, sekrup, plat, nail dan batang dan implant logam)
dan fiksasi ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi kontinue, pin dan tehnik
gips
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
14
Universitas Indonesia
2.1.6.3 Reposisi, setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
cara fiksasi internal dan eksternal.
2.1.6.4 Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi, dengan cara:
a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
b. Meninggikan ekstremitas untuk meminimalkan pembengkakan
c. Memantau status neorovaskular
d. Mengontrol kecemasan dan nyeri
e. Latihan isometrik dan setting otot
f. Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
g. Kembali keaktivitas secara bertahap
2.1.7 Tindakan Pembedahan
2.1.7.1 ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami ceidera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur
a. Fraktur diperiksa dan diteliti
b. Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka
c. Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali
d. Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat
ortopedik berupa; pin, sekrup, plate, dan paku
Keuntungan:
a. Reduksi akurat
b. Stabilitas reduksi tinggi
c. Pemeriksaan struktur neurovaskuler
d. Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal
e. Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi
lebih cepat
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
15
Universitas Indonesia
f. Rawat inap lebih singkat
g. Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal
Kerugian:
a. Kemungkinan terjadi infeksi
b. Osteomielitis
2.1.7.2 OREF (Open Reduction and External Fixation)
a. Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal,
biasanya pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama
b. Post eksternal fiksasi, dianjurkan penggunaan gips.
c. Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan untuk implantasi pen ke
tulang
d. Lubang kecil dibuat dari pen metal melewati tulang dan dikuatkan
pennya.
e. Perawatan 1-2 kali sehari secara khusus, antara lain: observasi letak
pen dan area, observasi kemerahan, basah, dan rembes, observasi
status neurovaskuler distal femur.
2.1.8 Komplikasi
2.1.8.1 Komplikasi awal
a. Shock Hipovolemik/traumatik
Fraktur (ekstrimitas, vertebra, pelvis, femur) → perdarahan & kehilangan
cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak → shock hipovolemi.
b. Kerusakan arteri
Kerusakan oleh kontusi, thrombus, laserasi atau spasme. Penyebabnya
pemasangan gips, pembebatan terlalu kuat
c. Emboli lemak
Tidak sering terjadi tetapi berbahaya. Hati-hati pada pasien dengan fraktur
tulang panjang dan pelvic terjadi 24-48 jam pasca trauma
d. Tromboemboli vena
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
16
Universitas Indonesia
Berhubungan dengan penurunan aktivitas/kontraksi otot/bedrest.
e. Cedera saraf
Penyebab:laserasi dan edema. Nyeri meningkat, perubahan kemampuan
pergerakan
f. Infeksi
Fraktur terbuka: kontaminasi infeksi sehingga perlu monitor tanda infeksi
dan terapi antibiotik.
g. Sindrom kompartemen
Adanya desakan (perdarahan atau bengkak) pada otot, tulang, pembuluh
darah, dan saraf dalam rongga yang tidak fleksibel (Smeltzer & Bare,
2002)
2.1.8.2 Komplikasi lambat
a. Delayed union
Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan biasanya
lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses infeksi.
Distraksi/tarikan bagian fragmen tulang.
b. Non union
Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi pengobatan. Hal ini
disebabkan oleh fibrous union atau pseudoarthrosis.
c. Mal union
Posisi penyambungan fragmen tidak sempurna
d. Nekrosis avaskuler di tulang
Kematian jaringan tulang akibat tidak adanya vaskularisasi sehingga
menurunkan fungsi tulang. Biasanya terjadi pada kepala femur dan carpal
e. Kontraktur
Akibat imobilisasi yang panjang (Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.9 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan rontgen : Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
17
Universitas Indonesia
b. Skan tulang, tomografi, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur; juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram: Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap; Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah
trauma.
e. Kreatinin; Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi; Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
multiple, atau cidera hati.
2.2 Ulkus Dekubitus
2.2.1 Definisi Ulkus Dekubitus
Dekubitus adalah nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak
tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu
lama (National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP), 1989 dalam Potter & perry,
2005). Luka tekan dapat digambarkan sebagai lesi yang disebabkan oleh tekanan
yang terus menerus, gesekan atau robekan. Luka tekan terjadi paling sering di sakrum
dan tumit tetapi dapat berkembang dimanapun pada tubuh termasuk koksigis, oksiput,
klavikula, telinga, dan hidung (New South Wales Health, 2003). Dekubitus adalah
area setempat dari jaringan lunak yang mengalami infark yang terjadi ketika tekanan
diberikan pada kulit melebihi tekanan penutupan kapiler normal, sekitar 32mmHg
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.2.2 Faktor Risiko Dekubitus
Berbagai faktor dapat menjadi predisposisi terjadi dekubitus pada klien:
a. Gangguan Input Sensorik
Klien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan
tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada klien
yang sensasinya normal. Klien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
18
Universitas Indonesia
terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya
merasakan tekanan atau nyeri terlalu besar. Sehingga ketika klien sadar dan
berorientasi, mereka dapat mengubah posisi atau meminta bantuan untuk
mengubah posisi (Potter & Perry, 2005)
b. Gangguan Fungsi Motorik
Klien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri berisiko tinggi
terjadi dekubitus. Klien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak mampu
mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal
ini meningkatkan peluang terjadi dekubitus.
c. Perubahan Tingkat Kesadaran
Klien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi
tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan. Klien koma
tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang
lebih baik. Selain itu pada klien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran
lebih mudah menjadi bingung, seperti efek dari pemberian sedasi sehingga
terjadi peningkatan risiko dekubitus (Potter & Perry, 2005)
d. Gips, Traksi, Alat Ortotik, dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya. Pasien
yang menggunakan gips berisiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya
friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya
mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips
terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik
seperti penyangga leher terdapat tekanan yang menutup kapiler (Potter &
Perry, 2005).
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Dekubitus
a. Gaya Gesek
Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah
pararel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry
2005). Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
19
Universitas Indonesia
pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai
dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan
memberi gaya pada kulit (Maklebust & Sieggren, 1991 dalam Potter &
Perry, 2005). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan
terbeban oleh tekanan tersebut, akibatnya tak lama setelah itu akan terjadi
gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksia,
perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat
penurunan aliran darah kapiler akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak
subkutan lebih rentan terhadap gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang
yang berada di bawahnya. Akhirnya pada kulit akan terbuka sebuah saluran
sebagai ruang drainase dari area nekrotik (AHPCR, 1994 dalam Potter &
Perry, 2005).
b. Friksi
Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser
pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam
Potter & Perry, 2005). Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera
akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang
terkelupas ketika pasien mengubah posisinya.
c. Kelembaban
Kontak berkepanjangan dengan kelembaban akibat prespirasi, urine, feses,
atau drainase menyebabkan maserasi (pelunakan) kulit. Kulit bereaksi
terhadap bahan kaustik dalam ekskreta atau drainase dan mengalami iritasi
(Smeltzer & Bare, 2002).
d. Penurunan Status Nutrisi
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan
yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai
bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
20
Universitas Indonesia
efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Potter&Perry, 2005).
Pasien yang mempunyai kadar protein rendah atau yang keseimbangan
nitrogen negatif mengalami penipisan jaringan dan menghambat perbaikan
jaringan (Brunner&Suddarth, 2002). Albumin serum merupakan indikator
yang sensitif terhadap defisisensi protein. Kadar albumin kurang dari 3,0
g/ml berkaitan dengan edema jaringan hipoalbuminemia dan meningkatkan
risiko terjadinya luka dekubitus. Selain itu, level albumin rendah
dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989);
Hanan&Scheele, 1991).
e. Edema
Klien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminemia
menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan
sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi
dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun
dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada
sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton&Litwalk, 1991 dalam Potter&Perry,
2005). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di
bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan
level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera
jaringan (Potter&Perry, 2005).
f. Anemia
Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi
dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan.
Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan
luka (Potter & Perry, 2005).
g. Kakeksia
Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
21
Universitas Indonesia
kelemahan dan kurus. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus
pada pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan jaringan
adiposa yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan
(Potter&Perry, 2005).
h. Obesitas
Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adiposa pada jumlah kecil
berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari
tekanan. Pasien dengan obesitas mengalami vaskularisasi yang bururk pada
jaringan adiposa sehingga rentan terhadap terjadinya luka akibat iskemi
(Brunner&Suddarth, 2002).
i. Infeksi
Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Klien infeksi biasa
mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik
tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin
rentan mengalami cedera akibat iskemi (Skheleton&Litwalk, 1991 dalam
Potter&Perry, 2005). Selain itu demam menyebabkan diaforesis dan
meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi
predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter&Perry, 2005).
j. Gangguan Sirkulasi Perifer
Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan
mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang
menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan
pengobatan sejenis vasopresor (Potter&Perry, 2005).
k. Pertimbangan Gerontologi
Kulit pada lansia mengalami penurunan ketebalan epidermal, kolagen
dermal, dan elastisitas jaringan. Kulit lebih kering sebagai akibat hilangnya
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
22
Universitas Indonesia
sebasea dan aktivitas kelenjar keringat. Perubahan kardiovaskular
mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Atrofi otot dan struktur tulang
menjadi fokus perhatian. Menurunnya persepsi sensoris dan berkurangnya
kemampuan mengatur posisi sendiri menunjang tekanan pada kulit yang
berkepanjangan (AHCPR, 1994 dalam Bruner&Suddarth, 2002).
2.2.4 Patogenesis Luka Dekubitus
Tiga elemen dasar yang menjadi dasar terjadi dekubitus, yaitu: 1) intensitas
tekanan dan tekanan yang menutupi kapiler, 2) durasi dan besarnya tekanan,
dan 3) toleransi jaringan ((Landis, 1930), (Koziak, 1959), (Husain, 1953;
Trumble, 1930) dalam Potter&Perry, 2005)). Beberapa tempat yang paling
sering terjadi dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trochanter
besar, dan tuberositis iskial (Meehan, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dan tekanan (Scotts,
1988 dalam Potter & Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka
semakin besar pula insiden terbentuknya luka. Kulit dan jaringan subkutan
dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar
daripada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran
darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga
terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak
dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah
kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987 dalam Potter&Perry, 2005). Jika
tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan tersebut
akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif. Karena
kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari
otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan
dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 1995 dalam
Potter&Perry, 2005).
Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
23
Universitas Indonesia
terjadi saat menaikkan posisi klien diatas tempat tidur. Area tumit dan sakral
merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987 dalam Potter&Perry,
2005). Efek tekanan juga dapat di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang
tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari
permukaan tempatnya berada karena adanya gravitasi (Berecek, 1975 dalam
Potter&Perry, 2005). Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh
maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan
metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan. Repons
kompensasi jaringan terhadap iskemi, yaitu hiperemia reaktif memungkinkan
jaringan iskemi dibanjiri dengan darah ketika tekanan dihilangkan. Peningkatan
aliran darah meningkatkan pengiriman oksigen dan nutrien ke dalam jaringan.
Gangguan metabolik yang disebabkan oleh tekanan dapat kembali normal.
Equilibrium yang sehat kembali pulih, dan nekrosis jaringan yang tertekan
dapat dihindari (Macklebust, 1991; Pires&Muller, 1991 dalam Potter&Perry,
2005). Hiperemia reaktif akan efektif hanya apabila tekanan dihilangkan
sebelum terjadi kerusakan.
2.2.5 Klasifikasi Ulkus Dekubitus
Klasifikasi luka tekan menurut International NPUAP-EPUAP 2009:
a. Tahap I (Non-Blanchable Erythema)
Kulit utuh dengan kemerahan yang tidak hilang di area yang terlokalisir
biasanya diaderah penonjolan tulang. Pigmen kulit tampak lebih gelap,
warnanya berbeda dengan area disekitanya. Area tersebut akan terasa nyeri,
kencang, lembut, lebih hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan
jaringan yang membatasinya. Ulkus dekubitus tahap I sulit untuk dideteksi
pada orang dengan warna kulit gelap.
b. Tahap II (Partial Thickness)
Hilangnya sebagian ketebalan dari dermis tampak sebagai luka terbuka
yang superficial dengan warna merah muda tanpa nanah. Bisa juga tampak
kulit lecet yang berisi serum atau sero-sanguinous. Tampak sebagai luka
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
24
Universitas Indonesia
yang mengkilap atau luka kering yang dangkal tanpa pengelupasan atau
memar.
c. Tahap III (Full Thickness Skin Loss)
Kehilangan jaringan total. Terlihat lemak subkutan, tetapi tulang, tendon
atau otot tidak terpapar. Terdapat nanah dan terbentuk lubang yang kecil.
Tulang hidung, telinga, oksiput, dan malleolus tidak mempunyai jaringan
adiposa dan berisiko untuk luka. Sedangkan, daerah yang mempunyai
lemak yang signifikan juga dapat terbentuk luka tekan. Tulang/ tendon
tidak terlihat atau teraba langsung.
d. Tahap IV (Full Thickness Tissue Loss)
Kehilangan jaringan total dengan tulang, tendon dan otot terpapar.
Terdapat nanah dan jaringan parut. Terbentuk kawah. Kedalaman kategori
tahap IV beragam tergantung lokasi anatomi. Kategori tahap IV dapat
memperluas ke otot dan/atau mendukung (seperti, fascia, tendon atau
kapsul sendi) terjadinya osteomielitis atau osteitis. Tulang/otot terlihat dan
teraba langsung.
2.3 Medulla Spinalis
2.3.1 Anatomi & Fisiologi Medulla Spinalis
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang adalah bagian dari columna
vertebralis yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan saraf pusat.
Saraf tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti jantung, paru,
kandung kemih, usus, dan lainnya (Pearce, 2000). Columna vetebralis sendiri
terdiri dari 32-33 ruas, terdiri dari 7 vertebra cervikal, 12 vertebra torakalis, 5
vertebra lumbal, 5 vetebra sakral, dan 4 vertebra koksigis.
Medula spinalis atau sumsum tulang belakang bermula pada medula oblongata,
menjulur kearah kaudal melalui foramen magnum dan berakhir diantara
vertebra lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai
konus medularis, dan kemudian sebuah sambungan tipis dari pia meter yang
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
25
Universitas Indonesia
disebut filum terminale, yang menembus kantung durameter, bergerak menuju
koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45cm ini,
pada bagian depannya dibelah oleh sebuah fisura anterior yang dalam,
sementara bagian belakang dibelah oleh fisura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, yaitu penebalan servikal
dan penebalan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna
melayani anggota badan atas dan bawah; dan plexus dari daerah thoraks
membentuk saraf-saraf interkostalis. Sebuah irisan melintang pada sumsum
tulang belakang memperlihatkan susunan substansi kelabu yang membentuk
huruf H. Kanalis spinalis berikut isinya yaitu cairan serebro-spinal, melintas
persis ditengah-tengah huruf H tersebut.
Kauda Equina. Disebut demikian karena kemiripannya dengan ekor kuda;
kauda=ekor, dan Equina= kuda. Kauda equina ini merupakan berkas yang
terdiri dari akar-akar saraf spinalis yang bergerak turun dari tempat kaitannya
pada sumsum tulang belakang, melalui kanalis spinalis, untuk kemudian
muncul melalui foramina intervertebrales.
2.3.4 Fungsi Sumsum Tulang Belakang
Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak
dan semua bagian tubuh dan gerak refleks. Untuk terjadinya gerak refleks,
maka dibutuhkan struktur-struktur sebagai berikut:
a. organ sensorik yang menerima impuls, misalnya kulit
b. serabut saraf sensorik yang mengantar impuls-impuls tersebut menuju
sel-sel dalam ganglion radix posterior, dan selanjutnya serabut sel-sel
itu akan meneruskan impuls-impuls itu menuju sustansi kelabu pada
kornu posterior medula spinalis
c. sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis
d. sel saraf motorik dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima
dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
26
Universitas Indonesia
e. organ motorik, yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh
impuls saraf motorik
2.3.5 Saraf- saraf Spinalis
2.3.5.1 Jalur saraf Motorik
Impuls berjalan dari korteks serebri menuju sumsum tulang belakang, melalui
jalur-jalur menurun yang disebut traktus serebrospinalis atau traktus
piramidalis. Neuron pertama, yaitu neuron motorik atas, memiliki badan-
badan sel-sel dalam daerah pre-Rolandi pada kortex serebri dan serabut-
serabutnya berpadu erat pada saat mereka melintas antara nukleus-kaudatus
dan lentiformis dalam kapsula interna.
Neuron motorik bawah, yang bermula sebagai badan sel dalam kornu anterior
sumsum tulang belakang keluar, lantas masuk akar anterior saraf spinalis, lalu
didistribusikan ke periferi, dan berakhir dalam organ motorik, misalnya otot.
Kerusakan pada neuron motorik:
Dari segi klinis, perlu dibedakan antara kerusakan pada neuron motorik atas,
seperti jalur motorik pada daerah otak, dan gangguan pada neuron motorik
bagian bawah.
Hemiplegia adalah contoh tentang kerusakan pada neuron motorik atas,
dimana otot-otot sebetulnya bukan lumpuh, tetapi lemah dan kehilangan
kontrol. Otot pada anggota gerak dapat menjadi spastik, dan gerakan tidak
sadar dapat terjadi serta tak terkendalikan, sehingga sering menimbulkan
kejang-kejang dan kaku. Refleks-refleks meninggi. Tonus otot tetap ada dan
otot yang terkena serangan tidak mengecil. Contoh: poliomielilitis, dan bell’s
palsy
2.3.5.2 Jalur saraf sensorik
Saraf sensorik tepi akan menghantarkan beberapa impuls “aferen” untuk
ditafsirkan oleh daerah sensorik dalam kortex serebri sebagai sentuhan, rasa
sakit, gatal, suhu, rasa panas dan dingin, yang berasal dari struktur tepi,
sementara impuls “aferen” yang lain timbul dari struktur yang lebih dalam
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
27
Universitas Indonesia
sebagai rasa sakit, tekanan, dan sebagainya, serta rasa gerakan dan kedudukan
sendi dan otot. Dengan demikian penafsiran perasaan ini tergantung pada
rangsangan dari periferi yang dialirkan oleh berbagai neuron, dan akhirnya
mencapai stasiun-penafsiran-pusat dalam otak. Impuls saraf sensorik bergerak
melintasi traktus menaik yang terdiri dari 3 neuron:
a. Neuron yang paling tepi, memiliki badan sel dalam ganglion sensorik, pada
akar posterior sebuah saraf spinalis; lantas dendron, yang merupakan sebuah
cabangnya, bergerak menuju periferi dan berakhir dalam satu organ sensorik,
misalnya kulit. Sementara itu axon, yang merupakan cabangnya yang lain,
masuk ke dalam sumsum tulang belakang, lantas naik menuju kolumna
posterior dan berakhir pada sekeliling sebuah nukleus dalam medula
oblongata
b. Sel neuron yang kedua timbul dalam nukleus tersebut, kemudian melintasi
garis tengah dalam dengan cara yang sama seperti jalur motorik desendens
untuk membentuk dekusasio sensorik, naik melalui pons dan dinsefalon guna
mencapai talamus.
c. Neuron yang ketiga dan terakhir, bermula dalam talamus, bergerak melalui
kapsula interna untuk mecapai daerah sensorik kortex serebri. Traktus menaik
ini menghantarkan impuls sentuhan, kedudukan sendi-sendi getaran;
sementara yang lainnya menghantarkan impuls sentuhan, rasa sakit dan suhu.
2.3.6 Manifestasi Klinis
a. Nyeri akut
Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang
leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien sering mengatakan
takut kalau leher atau punggungnya patah. Cedera saraf spinal dapat
menyebabkan gambaran paraplegia atau quadriplegia. Akibat dari cedera
kepala bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera.
b. Kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar, penurunan keringat dan
tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
28
Universitas Indonesia
Tingkat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan
motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah
mengalami paralysis sensorik dan motorik otak, kehilangan kontrol kandung
kemih dan usus besar (biasanya terjadi retensi urin dan distensi kandung
kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor, dan penurunan tekanan
darah diawali dengan retensi vaskuler perifer.
2.3.7 Klasifikasi Cedera Medulla Spinalis
Menurut Elstrom (2005), cedera medulla spinalis dibagi dua, yaitu:
a. Complete spinal cord injury
Bila tidak terdapat fungsi, baik motoris maupun sensoris, kehilangan
fungsi refleks dibawah level cedera, ini dikenal sebagai complete spinal
cord injury. Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di
atas T1. Cedera pada segmen servikal diatas T1 medula spinalis
menyebabkan quadriplegia dan bila lesi di bawah level T1
menghasilkan paraplegia.
b. Incomplete spinal cord injury
Bila masih terdapat fungsi motoris atau sensoris, ini disebut sebagai
incomplete spinal cord injury.
Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis:
a. Frankel A: complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di
bawah level lesi
b. Frankel B: incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris
masih tersisa di bawah level lesi
c. Frankel C: incomplete, fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara
tetapi tidak fungsional
d. Frankel D: incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara
dan fungsional
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
29
Universitas Indonesia
e. Frankel E: normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal yanpa defisit
neurologis
2.3.8 Etiologi Cedera Medulla Spinalis
a. Trauma; seperti jatuh, kecelakaan lalu lintas, tekanan yang terlalu berat pada
punggung, luka tembak atau kekerasan
b. Non Trauma; patologi atraumatis seperti carcinoma, mielitis, iskemia, dan
multipel sklerosis (Garrison, 1995 dalam Mustofa, 2012)
2.3.9 Komplikasi trauma medulla spinalis
a. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung. Keadaan ini
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ektremitas bawah,
terjadi penumpukan darah dan sebagai konsekuensinya terjadi hipotensi.
Sebagai akibat kehilangan cardiac sympatik tone. Penderita akan mengalami
bradikardia atau setidak –tidaknya gagal untuk menjadi takhikardia sebagai
respon dari hipovolemia. Pada keadaan ini tekanan darah tidak akan membaik
hanya dengan infus saja dan usaha untuk menormalisasi tekanan darah akan
menyebabkan kelebihan cairan dan udema paru. Tekanan darah biasanya
dapat diperbaiki dengan penggunaan vasopresor, tetapi perfusi yang adekuat
akan dapat dipertahankan walaupun tekanan darah belum normal.
b. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit, walaupun tidak seluruh bagian rusak.
c. Hipoventilasi
Hipoventilasi yang disebabkan karena paralysis otot interkostal dapat
merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis didaerah servikal
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
30
Universitas Indonesia
bawah atau torakal atas. Bila bagian atas atu tengah medulla spinalis didaerah
servikal mengalami cedera, diagframa akan mengalami paralysis yang
disebabkan segmen C3 –C5 terkena, yang mempersarafi diagfragma melalui
frenikus.
d. Trombosis vena profunda
Trombosis vena profunda adalah komplikasi umum pada cedera medulla
spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme pulmonal.
e. Hiperfleksia autonomic
Komplikasi lain adalah hiperfleksia autonomic (dikarakteristikkan oleh sakit
kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti nasal, piloereksi, bradikardi dan
hipertensi), komplikasi lain yaitu berupa dekubitus dan infeksi (infeksi
urinarius,dan tempat pin )
2.4 Pengaturan Posisi
Intervensi pengaturan posisi diberiakn untuk mengurangi tekanan dan gaya
gesek pada kulit. Dengan menjaga bagian kepala tempat tidur setinggi 30
derajat atau kurang akan menurunkan peluang terjadi dekubitus akibat gaya
gesek (AHCPR, 1992 dalam Potter&Perry, 2005). Klien harus diubah posisinya
minimal setiap 2 jam. Posisi klien imobilisasi harus diubah sesuai dengan
tingkat aktivitas, kemampuan persepsi, dan rutinitas sehari-hari (Pajk dkk,
1986; Bergstrom dkk, 1987 dalam Potter&Perry, 2005).
Adapun cara mengatur posisi 30 derajat dijelaskan oleh Bryant (2000) dalam
Tarihoran (2010), pertama, pasien persis ditempatkan di tengah tempat tidur
dengan menggunakan bantal untuk menyangga kepala dan leher. Selanjutnya
tempatkan satu bantal pada sudut anatar bokong dan matras, dengan cara
miringkan panggul setinggi 30 derajat. Bantal yang berikutnya ditempatkan
memanjang diantara kedua kaki. Berdasarkan hasil intervensi yang dilakukan
selama 9 hari, penerapan perubahan posisi dengan miring 30 derajat berhasil
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
31
Universitas Indonesia
dilakukan terbukti dengan tidak terbentuknya ulkus dekubitus selama pasien
dirawat di rumah sakit.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
32 Universitas Indonesia
BAB 3
KASUS
3.1 Kasus
Tn. M (24 tahun) merupakan klien post ICU. Klien dirawat di ICU selama 3 minggu.
Klien mengatakan sebelumnya klien merupakan korban tabrak lari sebuat taxi. Klien
sedang mengendarai motor dengan istrinya dan tiba-tiba taxi menabrak motornya dari
belakang. Istri klien terpental sejauh kira-kira 20 meter dan Tn. M langsung tidak
sadarkan diri di tempat. Kemudian klien dilarikan ke IGD RSUP Fatmawati. Dari
hasil rontgen, klien mengalami fraktur costae ke-VI, fraktur 1/3 sternum, dan fraktur
lumbal ke-III. Hasil CT Scan Kepala terlihata danya perdarahan dan klien mengalami
cedera kepala sedang. Hasil rontegen Thorax: terlihat fraktur sternum 1/3 posterior
pergeseran fragmen distal fraktur ke anterior, fraktur costae ke-VI anterior kiri, dan
contusio paru. Klien saat ini sudah menjalani 2x operasi, yaitu post stabilisasi post ec
fraktur kompresi lumbal ke-III tanggal 6 Mei 2013 dan post ORIF fraktur sternum
tanggal 9 Mei 2013. Saat ini klien mengeluh nyeri dada pada luka post operasi di
daerah lumbal dan klien meringis saat penggantian balutan di 1/3 sternum. Klien juga
mengatakan sering meriang. Terlihat hematom pad mata kiri dan kanan dan klien
sering berkeringat.
3.2 Pengkajian
Kepala: rambut bersih, warna hitam, tidak ada lesi
Mata: hematom pada mata kiri dan kanan. Konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik
Hidung: tidak ada sekresi, tidak ada penyumbatan
Mulut: mukosa bibir lembaba, warna pink, gigi dan gusi bersih, gusi warna
pink
Telinga: tidak ada sekresi
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
33
Universitas Indonesia
Leher: tidak ada distensi vena jugularis, JVP 5-2 cmH2O
Jantung: bunyi jantung S1, S2, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Paru: bunyi vesikuler, bronkovesikuler, tidak ada ronchi, tidak ada wheezing
Dada: terdapat luka di 1/3 sternum, terdapat nyeri tekan, ada pus, ada darah,
luka rembes, edema tidak ada, kemerahan sekitar luka tidak ada
Abdomen: datar, lunak, tidak ada asites, bising usus 22x/menit pada kuadran
kanan bawah
Ekstremitas: akral tangan dan kaki teraba hangat, tidak ada edema, Capillary
Refill Time < 3 detik, tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kesemutan
Inspeksi (Look): pasien meringis saat dilakukan penggan tian balutan pada
sternum dan lumbal. Klien tidak kesakitan saat kedua ekstremitas atas dan
bawah digerakkan. Luka post-op pada lumbal: rembes, ada pus, ada darah,
tidak ada edema, tidak ada eritema, tidak ada bula, panjang luka ± 10cm.
Luka pada 1/3 sternum: masih basah, ada pus, ada darah, rembes, nyeri tekan
positif, tidak ada edema, tidak ada kemerahan, panjang luka ± 3cm, diameter
±2cm.
Terdapat vulnus pada bokong dan sisi lateral tubuh sebelah kiri: luka kering
Palpasi (Feel): suhu= 38,5o C
Kekuatan Otot (Power): 5555 5555
5555 5555
Pergerakan (Move): klien dapat melakukan ROM aktif pada kedua ekstremitas
atas dan bawah
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Thorax (6 Mei 2013)
Ujung ETT setinggi vertebrae thorakal II inferior
Ujung CVC setinggi vertebrae thorakal VI kanan
Mediastinum superior tidak melebar
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
34
Universitas Indonesia
Jantung: kesan tidak membesar
Aorta baik
Pulmo: kedua hillus tidak menebal
Tampak perselubungan hampir homogen di kedua lapang paru
Sinus kostofrenikus dan diafragma kiri berselubung
Sinus kostofrenikus dan diafragma kanan baik
Tampak fraktur iga VI kiri anterior
Kesan:
Ujung ETT setinggi vetebrae thorakal II inferior
Ujung CVC setinggi vertebrae thorakal VI kanan
Jantung: normal
Pulmo: kontusio paru dengan curiga hemathoraks kiri
Fraktur iga VI kiri anterior
Thorax (9 Mei 2013)
Inspirasi kurang
Mediastinum superior tidak melebar
Jantung kesan tidak membesar
Aorta baik
Pulmo: hilus kedua paru tidak menebal
Tampak infiltrat di perihilir kanan kiri
Diafragma dan sinus kostifrenikus normal
Tulang-tulang dan jaringan lunak baik
Tampak terpasang CVC dengan ujung distal setinggi T5-6 pada proyeksi vena
cava superior
Tampak wire pada proyeksi sternum.
Kesan:
Infiltrat di perihilir kanan kiri
Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung
CVC denagn ujung distal pada vena cava superior
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
35
Universitas Indonesia
Wire pada proyeksi sternum
Hasil Laboratorium
Hematologi (22 Mei 2013)
Hb = 8,5g/dl
Ht = 26%
Leukosit = 11,4 ribu/uL
Trombosit = 406 ribu/ul
Eritrosit = 2,85 juta/uL
Fungsi Hati (22 Mei 2013)
Albumin = 2,60g/dl
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
36 Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS KASUS
4.1 Analisis Data Pasien
Tingginya angka urbanisasi menyebabkan jumlah penduduk di ibukota meningkat.
Salah satu faktor urbanisasi adalah alasan ekonomi, yaitu dengan harapan mendapat
pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik di ibukota. Hal ini juga mempengaruhi
jumlah kendaraan bermotor. Semakin meningkatnya jumlah penduduk makan
transportasi yang digunakan juga akan meningkat. Hal ini menyebabkan angka
kecelakaan lalu lintas juga meningkat sehingga menimbulkan dampak korban
meninggal, luka berat, dan luka ringan dengan salah satu masalah perkotaan adalah
fraktur. WHO (2011) mencatat dalam dua tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di
Indonesia menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan
tuberculosis/TBC dan sebanyak 67% korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia
produktif, yakni 22 – 50 tahun.
Klien kelolaan bernama Tn. M (24 tahun) merupakan salah satu korban dari akibat
masalah perkotaan yang mengalami masalah kesehatan masyarakat perkotaan berupa
kondisi kegawatan (emergency). Dilihat dari umur klien, klien termasuk dalam usia
yang paling sering mengalami kecelakaan lalu lintas sesuai dengan data World Health
Organization (WHO) tahun 2011 yang menyebutkan bahwa sebanyak 67% korban
kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif, yaitu 22-50 tahun. Data dari Badan
Intelijen Negara (BIN) tahun 2013 juga menyebutkan terdapat sekitar 400.000 korban
di bawah usia 25 tahun meninggal di jalan raya setiap harinya. Penelitian yang
dilakukan oleh Toroyan, et all (2013) juga mendapatkan data korban kecelakaan lalu
lintas paling banyak berusia 15-29 tahun.
Klien mengalami kecelakaan bermotor, saat itu klien sedang naik motor dengan
istrinya tiba-tiba sebuah taksi menabrak motor klien dari belakang sehingga klien
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
37
Universitas Indonesia
terjatuh dari motor dan langsung tidak sadarkan diri sedangkan istri klien terpental
sejauh ±20m. Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) menyebutkan,
kecelakaan pengendara sepeda motor mencapai 120.226 kali atau 72% dari seluruh
kecelakaan lalu lintas dalam setahun. Hampir setiap hari terjadi kecelakaan sepeda
motor yang mengakibatkan meninggal dunia, luka berat dan luka ringan. Klien juga
mengatakan saat mengendarai motor klien dan istrinya tidak memakai helm. Hal ini
merupakan salah satu penyebab kecelakaan lalu lintas sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Toroyan, 2013 yang bekerja sama dengan WHO mengatakan salah
satu penyebab kecelakaan lalu lintas secara global adalah faktor kelalaian manusia
slah satunya adalah tidak menggunakan helm saat mengendarai motor. Klien jatuh
dari motor dan mengalami benturan pada kepala dan dada.
Kemudian klien dan istrinya langsung dilarikan ke IGD RSUP Fatmawati. Hasil CT
Scan kepala terlihat adanya perdarahan dan klien mengalami cedera kepala sedang
akibat benturan dengan trotoar. Hasil rontgen thorax juga terlihat adanya fraktur
sternum 1/3 posterior pergeseran fragmen distal fraktur ke anterior, fraktur costae ke-
VI anterior kiri dan adanya kontusio paru sebagai akibat benturan dengan trotoar.
Saat ini klien sudah menjalani dua kali operasi, yaitu pada tanggal 6 Mei 2013
dilakukan operasi stabilisasi ec fraktur kompresi lumbal ke-III dan tanggal 9 Mei
2013 dilakukan operasi pemasangan ORIF pada sternum klien. Kemudian klien
dirawat di ruang ICU selama hampir 3 minggu. Jika dilihat dampak dari kecelakaan
tidak hanya menyebabkan kerugian kesehatan, tetapi juga mengeluarkan biaya yang
sangat besar untuk biaya rumah sakit sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tran (2007). Tran juga mengatakan kecelakaan lalu lintas menyebabkan menurunnya
produktivitas seseorang. Hal ini terlihat pada pasien yang hampir 1,5 bulan bedrest di
rumah sakit dan klien mengatakan ia tidak bisa bekerja sedangkan ia adalah tulang
punggung keluarga. Klien membayar rumah sakit dengan menggunakan Kartu Jakarta
Sehat (KJS), yang merupakan salah satu kebijakan oleh gubernur DKI Jakarta bagi
warga Jakarta yang kurang mampu. Klien mengatakan sangat tertolong oleh adanya
program ini sehingga biaya rumah sakit klien gratis.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
38
Universitas Indonesia
Klien masuk di ruang rawat Gedung Prof. Soelarto (GPS) Lt. I tanggal 26 Oktober
2013. GPS Lt. I merupakan ruang rawat khusus ortopedi dengan rata-rata pasien
mengalami gangguan muskuloskeletal. GPS Lt. I merupakan rawat inap kelas III
dengan total kamar sebanyak 5 buah dengan kapasitas 25 tempat tidur. Ruang rawat
ini memang khusus dirancang untuk klien dengan gangguan muskuloskeletal yang
mengalami hambatan dalam mobilisasi. Tempat tidur semuanya dilengkapi dengan
monkeybar atau trapezebar sebagai alat bantu klien untuk mengangkat badannya saat
mobilisasi. Disini juga terdapat traksi dengan beban berupa sandbag yang
disesuaikan dengan kebutuhan klinis klien, dan juga terdapat alat mobilisasi, seperti
kruk dan walker yang dapat dipinjam oleh klien untuk belajar berjalan.
Asuhan keperawatan diberikan sejak tanggal 27 Mei-5 Juni 2013. Klien datang
dengan status post operasi lumbal dan sternum, kesadaran compos mentis, terpasang
CVC, drain pada lumbal, three ways catheter, dan infus NaCL 0,9% dengan data
subjektif nyeri pada daerah lumbal dan sternum. Klien masuk ruang rawat GPS Lt. I
dengan diagnosa cedera tulang belakang dengan fraktur lumbal. Ruas-ruas tulang
belakang itu sendiri berjumlah 32-33 ruas; 7 vertebra servikal, 12 vertebra torakalis, 5
vertebra lumbalis, 5 vertebra sakralis, dan 4 vertebra koksigis (Pearce, 2000). Di
bagian dalam tulang terdapat rongga yang memanjang ke bawah yang berisi sumsum
tulang belakang atau medulla spinalis yang merupakan jaringan saraf, bagian dari
susunan saraf pusat. Medulla spinalis ini terdiri dari 31 saraf, saraf tersebut mengatur
gerakan otot dan organ lain, seperti jantung, paru, usus, kandung kemih, dan lainnya.
Gangguan pada salah satu saraf ini akan menyebabkan gangguan pada fungsi tubuh.
Level tulang vertebra yang mengalami kerusakan akan menyebabkan cedera pada
medulla spinalis. Medulla spinalis terdiri dari 31 pasang saraf, saraf tersebut terdiri
dari saraf sensorik dan saraf motorik. Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan
menjadi cedera medula spinalis komplet (complete spinal cord injury) dan cedera
medulla spinalis tidak komplet (incomplete spinal cord injury). Bila tidak terdapat
fungsi, baik motoris maupun sensoris, kehilangan fungsi refleks dibawah level
cedera, ini dikenal sebagai complete spinal cord injury (cedera medulla spinalis
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
39
Universitas Indonesia
komplit). Cedera ini menghasilkan quadriplegia pada servikal ke atas dan paraplegia
jika di torakal. Bila masih terdapat fungsi motoris atau sensoris, ini disebut sebagai
incomplete spinal cord injury.
Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level cedera merupakan cedera yang
tidak komplit. Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas torakal
ke-I (T1). Cedera pada segmen servikal diatas T1 medula spinalis menyebabkan
quadriplegia dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Klien kelolaan
Tn. M mengalami fraktur kompresi lumbal ke-III tetapi kedua ektremitas atas dan
bawah dapat digerakkan dan tidak mengalami gangguan sensibilitas. Hal ini
menunjukkan klien mengalami incomplete spinal cord injury, yaitu cedera pada
medulla spinalis dengan masih terdapat fungsi motorik dan fungsi sensorik.
Klien mengatakan saat minggu pertama di ICU klien sempat mengalami gangguan
BAB dan BAK. Ini terjadi karena pada daerah lumbal terdapat kandung kemih dan
rektum. Pada hari-hari pertama setelah injury selama periode spinal shock terjadi
paralisis bladder. Seluruh reflek bladder dan aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien
akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif incontinensia (Siddharta, 1999
dalam Mustofa, 2012). Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik
membangkitakan kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter
internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik.
Impuls afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang berada di dalam dinding sigmoid
dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja.
Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum.
Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja
didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara
volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap
kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan
sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang
meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka
defekasi tak terkontrol oleh keinginan (Sidharta, 1999).
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
40
Universitas Indonesia
4.2 Pengaruh Pemberian Posisi 30o
Dalam Mencegah Ulkus Dekubitus
Pasien dengan gangguan muskuloskeletal berisiko tinggi mengalami ulkus dekubitus
karena hambatan dalam mobilisasi, seperti klien dengan terpasang fiksasi interna atau
eksterna, terpasang traksi, atau pada klien spine. Pasien biasanya cenderung untuk
tidak menggerakkan anggota tubuh apalagi untuk berubah posisi karena akan terasa
nyeri dan ada perasaan cemas karena takut akan terjadi komplikasi yang lain apabila
banyak bergerak. Luka tekan sebagian besar terjadi pada individu dengan kesulitan
mobilisasi/ aktivitas, sebagai dampak pada kemampuan individu mengubah posisi,
adalah mengurangi tekanan pada penonjolan tulang (Fisher et al, 2004; Lindgren et
al, 2004; Robertson et al, 1990 dalam Moore & Etten, 2011). Bagian tubuh yang
sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat penonjolan tulang,
yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung, dan kepal bagian
belakang (NSW Health, 2003).
Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya ulkus dekubitus pada Tn.M, yang
pertama adalah kadar albumin. Kadar albumin kurang dari 3,0 g/ml berisiko
terjadinya luka dekubitus. Pada keadaan hipoalbuminemia akan terjadi perpindahan
volume cairan ekstrasel kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat
meningkatkan resiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan
edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan
pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry,
2005). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya
terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen
meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter & Perry,
2005). Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya
penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989); Hanan & Scheele, 1991). Hal ini sesuai
dengan data pada Tn.M, albumin (22 Mei)= 2,60g/dl. Albumin yang rendah pada
pasien akan meningkatkan risiko terbentuknya ulkus dekubitus.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
41
Universitas Indonesia
Faktor yang kedua adalah anemia. Hasil hematologi Tn.M (22 Mei), Hb= 8,5g/dl.
Terlihat kadar Hb pasien sangat rendah dimana Hb normal pada laki-laki adalah 13-
17g/dl. Kadar hemoglobin yang rendah akan mengurangi kapasitas darah membawa
nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga jaringan akan kekurangan nutrisi dan
oksigen yang dapat menyebabkan gangguan penyembuhan luka dan berisiko
terjadinya ulkus dekubitus (Potter & Perry, 2005).
Faktor yang ketiga adalah obesitas. Sebenarnya jaringan adiposa baik dalam
mencegah terjadinya ulkus dekubitus karena dapat sebagai bantalan tonjolan tulang
sehingga melindungi kulit dari tekanan. Tetapi pada pasien dengan obesitas, jaringan
adiposa mengalami vaskularisasi yang buruk sehingga rentan terhadap terjadinya luka
akibat iskemi (Brunner&Suddarth, 2002). Tn. M dengan BB= 72kg dan TB=170cm,
jika dihitung IMT klien= 24,91 ini tergolong ke dalam berat badan lebih dengan
risiko.
Faktor yang keempat adalah demam. Selama dirawat klien hampir setiap hari demam
disertai meriang hebat dan klien juga mengalami diaforesis. Klien juga sering
mengalami demam dan meriang dan mengalami diaforesis. Demam yang terjadi akan
meningkatkan metabolisme tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia semakin
rentan mengalami cedera akibat iskemi (Skheleton&Litwalk, 1991 dalam
Potter&Perry, 2005). Selain itu demam menyebabkan diaforesis dan meningkatkan
kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien
(Potter&Perry, 2005).
Selain dari faktor predisposisi tersebut, Scotts (1998) dalam Potter&Perry (2005)
mengatakan dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dan tekanan.
Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insiden terbentuknya
luka. Pada dasarnya kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan.
Tapi, pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan dasar kapiler, yaitu lebih besar
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
42
Universitas Indonesia
dari 32mmHg akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan
sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan
ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami
hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987 dalam
Potter&Perry, 2005).
Kulit sendiri mempunyai mekanisme fisiologis dalam mencegah kerusakan kulit yaitu
melalui mekanisme hiperemia reaktif. Hiperemia reaktif akan efektif hanya apabila
tekanan dihilangkan sebelum terjadi kerusakan. Luka tekan itu sendiri dapat terjadi
dalam waktu 3 hari sejak terpaparnya kulit akan tekanan (Reddy, 1990 dalam
Vanderwee et al, 2006). Hiperemia reaktif akan membanjiri jaringan yang iskemi
dengan darah sehingga vaskularisasi membaik. Peningkatan aliran darah
meningkatkan pengiriman oksigen dan nutrien ke dalam jaringan dan nekrosis
jaringan yang tertekan dapat dihindari (Macklebust, 1991; Pires&Muller, 1991 dalam
Potter&Perry, 2005).
Intervensi yang dilakukan kepada Tn. M adalah dengan memanfaatkan mekanisme
hiperemia reaktif ini yaitu dengan melakukan positioning dengan memberikan posisi
miring 30 derajat setiap 2 jam. Krapl & Gray (2008), dalam penelitiannya
mengatakan memposisikan pasien adalah komponen yang penting dalam mencegah
luka tekan, dan termasuk memindahkan pasien ke posisi yang berbeda atau
menghilangkan atau memindahkan tekanan dari satu bagian tubuh ke bagian yang
lain.
Tn. M merupakan pasien dengan fraktur kompresi post-op stabilisasi lumbal. Klien
dikelola selama 9 hari mulai tanggal 27 Mei-5 Juni 2013 dan rutin dilakukan setiap
hari. Setiap shift dinas/ 8 jam, pasien diubah posisi miring kiri-kanan dengan posisi
30 derajat per 2 jam sebanyak dua kali. Adapun cara mengatur posisi 30 derajat
dijelaskan oleh Bryant (2000) dalam Tarihoran (2010), pertama, pasien persis
ditempatkan di tengah tempat tidur dengan menggunakan bantal untuk menyangga
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
43
Universitas Indonesia
kepala dan leher. Selanjutnya tempatkan satu bantal pada sudut anatar bokong dan
matras, dengan cara miringkan panggul setinggi 30 derajat. Bantal yang berikutnya
ditempatkan memanjang diantara kedua kaki. Berdasarkan hasil intervensi yang
dilakukan selama 9 hari, penerapan perubahan posisi dengan miring 30 derajat
berhasil dilakukan terbukti dengan tidak terbentuknya ulkus dekubitus selama pasien
dirawat di rumah sakit.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
43 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
a. Tirah baring dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko
terjadinya ulkus dekubitus pada pasien
b. Pasien dengan gangguan muskuloskeletal mengalami hambatan dalam
mobilisasi sehingga berisiko mengalami ulkus dekubitus
c. Pemberian postioning dengan posisi 30 derajat dengan miring kiri-kanan
setiap 2 jam mencegah terbentuknya ulkus dekubitus pada pasien
5.2 Saran
a. Ruangan
Pengkajian risiko terjadinya ulkus dekubitus pada setiap pasien baru sudah
dilakukan dengan baik oleh perawat di ruangan tetapi observasi terhadap
pasien setiap hari dan tindakan pencegahan ulkus dekubitus perlu
ditingkatkan, seperti memposisikan miring kiri-kanan setiap 2 jam. Ruangan
juga sudah memfasilitasi benda-benda dalam mencegah pembentukan ulkus
dekubitus, seperti penggunaan bantal tambahan untuk menyangga punggung
dan pada pasien dengan immmobilisasi.
b. Keperawatan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi tenaga profesional
kesehatan khususnya perawat dalam melakukan asuhan keperawatan terkait
usaha pencegahan terbentuknya ulkus dekubitus selama rawat inap.
Mengidentifikasi setiap pasien dengan tirah baring lama terhadap risiko
dekubitus, mengkaji, mendokumentasikan, dan melakukan usaha dalam
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
44
Universitas Indonesia
pencegahan dekubitus. Intervensi yang tepat dapat mengurangi komplikasi
pada pasien dan menghindari cost tambahan pada pasien.
c. Institusi Pendidikan
Diharapkan penulisan ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai salah
satu sumber referensi dan dapat diaplikasikan dalam proses belajar mengajar.
Institusi pendidikan merupakan wadah yang tepat untuk tempat sosialisasi
informasi dan membekali mahasiswa yang akan menjadi calon-calon perawat
profesional
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
45 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Black, J.M. & Hawk, J.H. (2005). Medical surgical nursing: clinical
management for positive outcomes. 7th
Edition. St. Louis Missouri: Elsevier
Saunders
Defloor, T. (2007). The effect of various combinations of turning and
pressure reducing devices on the incidence of pressure ulcer. International
journal of nursing studies. Volume: 42 page 37-46. Retrieved from
http://www.ebscohost.com on June 28, 2013
Doenges, M., dkk. (1999). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien (M. Kariasa & N.
M. Sumarwati, Terj.). Edisi 3. Jakarta: EGC.
Maeno, Y., et all. (2009). Significant Association of fracture of the lumbar
spine with mortality in female hemodialysis patients: a prospective
observational study. Calcif Tissue Int. March 9, 2009, 85: 310-316
Moore, Z. & Etten, M. (2011). Repositioning and pressure ulcer prevention
in the seated individual. Wounds UK Vol 7/No.3
NPUAP-EPUAP (National Pressure Ulcer Advisory Panel-European
Pressure Ulcer Advisory Panel). (2009). Quick reference Guide Washington
DC
NSW Department of Health. (2003). Prevention of pressure ulcers:
community care settings
Pearce, E.C. (2000). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta:
Salemba Empat
Potter & Perry. (2005). Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan
praktik. Ed-4. Vol 1. Jakarta: EGC
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
46
Universitas Indonesia
Robertson, J., et all. (2012)Pressure ulcer prevention and treatment: clinical
practice guideline
Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Ed-2. Jakarta:
EGC
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Brunner & Suddarth: textbook of
medical surgical nursing. 8th
Edition. Vol 3. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins
Sudoyo, A.W., et all. (2006). Ilmu penyakit dalam. Ed-IV. Jilid ke-III.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI
Tarihoran, D. (2010). Retrived from www.lontar.ui.ac.id on July 1, 2013
Toroyan, T., et all. (2013). The global status report on road safety on 2013:
supporting a decade on action
Tran, N.T. (2007). Evaluating an intervention to prevent motorcycle injuries
in Malaysia: process, perfomance, and policy.
Vanderwee, K., Grypdonck, Bacquer, De., Defloor, T. (2006). Effectiveness
of turning with unequal time intervals on the incidence of pressure ulcer
lesions. Journal of advanced nursing Volume: 57 Page 59-68. Retreved from
htttp://www.ebscohost.com on June 20, 2013
Young. (2004). The 30o tilt position vs the 90
0 lateral and supine positions in
reducing the incidence on non blanching erythema in a hospital inpatient
population. Journal of tissue visiability. Volume: 14 Number: 3. Retrieved
from http://www.ebscohost.com on June 18, 2013
http://www.harianterbit.com/2013/04/27/kematian-akibat-kecelakaan-
motor-masih-mendominasi/ diunduh tanggal 27 Juni 2013
http://www.bin.go.id/awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalu-lintas-
menjadi-pembunuh-terbesar-ketiga diunduh tangal 27 Juni 2013
http://metro.sindonews.com/read/2013/05/07/31/746261/setiap-tahun-
jumlah-kecelakaan-di-depok-meningkat diuduh tanggal 27 Juni 2013
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Lampiran
CATATAN PERKEMBANGAN TN. M (27 Mei-5 juni 2013)
Tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi
27 Mei 2013 Nyeri - Mengkaji jenis, lokasi, kapan nyeri
timbul, durasi, serta cara klien
mengontrol nyeri
- Mengukur tanda-tanda vital
- Mengajarkan teknik relaksasi napas
dalam
- Teknik distraksi: mengajak klien
berinteraksi dengan mengobrol
- Kolaborasi:
Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di
drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
S:
- Skala nyeri 5
- Nyeri pada sternum, pinggul kanan, dan lumbal
- Nyeri tajam seperti ditusuk
- Nyeri timbul bila luka ditekan tetapi kalau
tidak ditekan tidak sakit
- Dada terasa nyeri saat melakukan teknik napas
dalam
O:
- TD= 130/80 mmHg
- HR= 103x/menit
- RR= 22x/menit
- Suhu: 37,8oC
- Klien terlihat meringis saat melakukan teknik
napas dalam
A: masalah nyeri belum teratasi
P:
- Monitoring tanda-tanda vital
- Kolaborasi pemberian analgesik
- Mengajarkan teknik relaksasi yang lain: Guide
Imagery
28 Mei 2013 Nyeri - Mengukur tanda-tanda vital
- Mengkaji ketidaknyamanan klien
- Mengevaluasi teknik napas dalam yang
telah diajarkan
- Membimbing klien untuk melakukan
guide imagery
S:
- Dada sakit saat melakukan tarik napas dalam
O:
- TD= 120/80 mmH
- HR= 100x/menit
- RR= 20x/menit
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
- Kolaborasi:
Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di
drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
- Suhu= 37,7oC
- Klien meringis saat melakukan teknik napas
dalam
- Klien terlihat lebih rileks setelah dipandu untuk
melakukan guide imagery
- Klien tertidur
A: masalah nyeri belum teratasi
P:
- Monitoring tanda-tanda vital
- Mengkaji kemungkinan infeksi dari nyeri
tersebut
29 Mei 2013 Nyeri - Mengukur tanda-tanda vital
- Mengevaluasi cara melakukan guide
imagery yang telah diajarkan
- Memantau adanya pembengkakan pada
area yang cedera
- Mengkaji perubahan skala nyeri dan
lokasi
- Kolaborasi:
Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di
drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
S:
- Skala nyeri berkurang menjadi 4
- Nyeri pada daerah pinggul kanan, sternum, dan
lumbal
O:
- TD= 120/80mmHg
- HR= 88x/menit
- RR= 20x/menit
- Suhu- 36,5oC
- Terlihat lebih rileks
- Tidak ada edema pada sternum dan lumbal
A: masalah nyeri belum teratasi
P:
- Monitoring tanda-tanda vital
- Mengkaji kemungkinan infeksi dari tanda nyeri
tersebut
- Kolaborasi pemberian analgesik
30 Mei 2013 Nyeri - Mengukur tanda-tanda vital
- Motivasi klien untuk membayangkan
hal-hal yang indah sambil melakukan
tarik napas dalam bila dada tidak terasa
S:
- Skala nyeri 4
- Masih terasa nyeri pada daerah pinggul kanan
O:
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
sakit lagi
- Memantau adanya pembengkakan di
area yang cedera
- Kolaborasi:
Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di
drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
- TD: 120/80 mmHg
- HR= 84x/menit
- RR= 20x/menit
- Suhu= 37,8oC
- Tidak ada edema pada sternum dan lumbal
A: masalah nyeri belum teratasi
P:
- Monitoring tanda-tanda vital
- Mengkaji kemungkinan infeksi dari nyeri
tersebut
- Kolaborasi pemberian analgesik
31 Mei 2013 Nyeri - Mengukur tanda-tanda vital
- Memantau adanya pembengkakan di
area yang cedera
- Motivasi klien untuk membayangkan
hal-hal yang indah sambil melakukan
tark napas dalam bila dada tidak terasa
sakit lagi
- Kolaborasi:
Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di
drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
S:
- Skala nyeri 3
- Nyeri pada saat luka ditekan/ digerakkan
- Nyeri pada sternum, lumbal, dan pinggul kanan
O:
- TD= 120/80 mmHg
- HR= 90x/menit
- RR= 21x/menit
- Suhu= 37,8oC
- Tidak ada edema pada sternum dan lumbal
A: masalah nyeri belum teratasi
P:
- Monitoring tanda-tanda vital
- Mengkaji kemungkinan infeksi dari nyeri
tersebut
- Kolaboasi pemberian analgesik
1 Juni 2013 Nyeri - Mengukur tanda-tanda vital
- Memantau adanya pembengkakan di
area yang cedera
- Motivasi klien untuk melakukan teknik
napas dalam
S:
- Skala nyeri 3
- Nyeri pada saat luka ditekan/digerakkan
- Nyeri pada daerah sternum, lumbal, dan
pinggul kanan
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
- Mengukur perubahan skala nyeri,
lokasi, jenis, serta durasi nyeri
- Kolaborasi:
Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di
drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
O:
- TD= 120/80 mmHg
- HR= 88x/menit
- RR= 20x/menit
- Suhu= 38,7oC
- Tidak ada edema pada sternum dan lumbal
A: masalah nyeri belum teratasi
P:
- Monitoring tanda-tanda vital
- Kolaborasi pemberian analgesik
- Bila nyeri meningkat, konsul pain service
3 Juni 2013 Nyeri - Mengukur tanda-tanda vital
- Memantau adanya pembengkakan di
area yang cedera
- Motivasi klien untuk melakukan teknik
napas dalam
- Mengukur perubahan skala nyeri,
lokasi, jenis, serta durasi nyeri
- Kolaborasi:
Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di
drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
S:
- Skala nyeri berkurang menjadi 2
- Sudah mempraktekkan teknik napas dalam bila
terasa nyeri
- Luka pada sternum masih nyeri, luka pada
lumbal tidak nyeri lagi
O:
- TD= 120/80 mmHg
- HR= 82x/menit
- RR= 20x/menit
- Suhu= 37,7oC
- Nyeri tekan pada lumbal negatif, pada sternum
positif
A: masalah nyeri teratasi sebagian
P:
- Monitoring tanda-tanda vital
- Monitoring dan waspadai adanya nyeri yang
meningkat
- Kolaborasi pemberian analgesik
4 Juni 2013 Nyeri - Mengukur tanda-tanda vital
- Memantau adanya pembengkakan di
S:
- Nyeri sudah berkuarng, skala 1-2
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
area yang cedera
- Mengukur perubahan skala nyeri,
lokasi, jenis, serta durasi nyeri
- Motivasi klien untuk melakukan teknik
napas dalam
- Kolaborasi:
Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di
drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
- Sudah mempraktekkan teknik napas dalam bila
terasa nyeri
- Luka pada sternum masih nyeri, luka pada
lumbal tidak nyeri lagi
O:
- TD= 110/80 mmHg
- HR= 82x/menit
- RR= 20x/menit
- Suhu= 37,2oC
- Nyeri tekan pada lumbal negatif, pada sternum
positif
- Tarik napas dalam sudah dengan tepat
dilakukan
A: masalah nyeri teratasi sebagian
P:
- Monitoring tanda-tanda vital
- Monitoring dan waspadai adanya nyeri yang
meningkat
- Kolaborasi pemberian analgesik
- Rencana pulang besok
5 Juni 2013 Nyeri - Mengukur tanda-tanda vital
- Memantau adanya pembengkakan di
area yang cedera
- Mengukur perubahan skala nyeri,
lokasi, jenis, serta durasi nyeri
- Motivasi klien untuk melakukan teknik
napas dalam
S:
- Nyeri sudah berkurang, skala 1-2
- Sudah teratur mempraktekkan tarik napas
dalam bila terasa nyeri
- Tidak nyeri lagi pada luka sternum dan lumbal
O:
- TD= 120/80 mmHg
- HR= 88x/menit
- RR= 20x/menit
- Suhu= 36,6
- Nyeri tekan pada lumbal dan sternum negatif
A: masalah nyeri sudah teratasi
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
P:
- Rencana rehab medik
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
Tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi
27 Mei 2013 Risiko Infeksi - Menginspeksi luka terhadap tanda-
tanda infeksi
- Mengkaji adanya peningkatan keluhan
nyeri, edema, drainase/ bau tidak sedap,
eritema
- Mengukur suhu tubuh
- Melakukan perawatan luka dengan
teknik steril
- Observasi luka terhadap pembentukan
bula, krepitasi, perubahan warna kulit
kecoklatan, bau drainase yang tidak
sedap
- Kolaborasi:
Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
S:
- Setiap sore dan malam hari meriang
- Selalau berkeringat
- Seluruh badan terasa sakit
- Nyeri tekan pada luka post-op
O:
- Suhu= 37,8oC
- Leukosit (22/5)= 2,60 g/dl
- Luka pada sternum: terdapat pus, darah, luka
rembes. Tidak ada kemerahan sekitar luka,
tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap,
bula. Nyeri tekan positif.
- Luka pada lumbal: terdapat pus, darah. Luka
rembes. Nyeri tekan positif. Tidak ada
kemerahan sekita luka, tidak ada edema,
ekimosis, bau tidak sedap, bula.
- Terdapat plebitis pada tangan kiri
A: masalah risiko infeksi belum teratasi
P:
- Monitoring suhu
- Monitoring hasil lab: leukosit
- Kolaborasi pemberian antibiotik
28 Mei 2012 Risiko Infeksi - Mengukur suhu tubuh
- Menginspeksi luka terhadap tanda-
tanda infeksi
- Melakukan perawatan luka pada
sternum
- Observasi adanya peningkatan keluhan
nyeri
- Observasi luka terhadap pembentukan
bula, krepitasi, perubahan warna kulit
S:
- Setiap sore dan malam meriang
- Selalu berkeringat
- Seluruh badan terasa sakit
- Nyeri tekan pada sternum
O:
- Suhu= 37,7oC
- Terdapat plebitis pada tangan kiri
- Luka pada sternum: luka rembes. Terdapat pus,
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
kecoklatan, bau drainase yang tidak
sedap
- Kolaborasi:
Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
darah, tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak
ada edema, ekimosis, bula, krepitasi, bau tidak
sedap. Nyeri tekan posisitf.
A: masalah risiko infeksi belum teratasi
P:
- Monitoring suhu tubuh
- Monitoring hasil lab: leukosit
- Kolaborasi pemberian antibiotik
29 Mei 2013 Risiko Infeksi - Mengukur suhu tubuh
- Menginspeksi luka terhadap tanda-
tanda infeksi
- Melakukan perawatan luka pada
sternum dan lumbal
- Observasi adanya peningkatan keluhan
nyeri
- Observasi luka terhadap pembentukan
bula, krepitasi, perubahan warna kulit
kecoklatan, bau drainase yang tidak
sedap
- Melakukan kompres hangat pada klien
- Menganjurkan klien untuk banyak
minum air putih
- Kolaborasi:
Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
Paracetamol 1 tablet
S:
- Setiap sore dan malam hari meriang
- Selalau berkeringat
- Seluruh badan terasa sakit
- Nyeri tekan pada sternum
O:
- Suhu= 37,9oC
- Luka pada sternum: terdapat pus, darah, luka
rembes. Tidak ada kemerahan sekitar luka,
tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap,
bula. Nyeri tekan positif.
- Luka pada lumbal: terdapat pus, darah. Luka
rembes. Nyeri tekan positif. Tidak ada
kemerahan sekita luka, tidak ada edema,
ekimosis, bau tidak sedap, bula.
- Aff drain di lumbal oleh dokter
- CVC masih terpasang
A: masalah risiko infeksi belum teratasi
P:
- Monitoring suhu
- Monitoring hasil lab: leukosit
- Kolaborasi pemberian antibiotik
- Konsul dokter anestesi untuk aff CVC
30 Mei 2013 Risiko Infeksi - Mengukur suhu tubuh S:
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
- Menginspeksi luka terhadap tanda-
tanda infeksi
- Melakukan perawatan luka pada
sternum
- Observasi adanya peningkatan keluhan
nyeri
- Observasi luka terhadap pembentukan
bula, krepitasi, perubahan warna kulit
kecoklatan, bau drainase yang tidak
sedap
- Melakukan kompres hangat pada klien
- Menganjurkan klien untuk banyak
minum air putih
- Kolaborasi:
Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
Farmadol
- Setiap sore dan malam meriang
- Selalu berkeringat
- Seluruh badan terasa sakit
- Nyeri tekan pada sternum
O:
- Suhu= 38,5oC
- Luka pada sternum: luka rembes. Terdapat pus,
darah, tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak
ada edema, ekimosis, bula, krepitasi, bau tidak
sedap. Nyeri tekan posisitf.
A: masalah risiko infeksi belum teratasi
P:
- Monitoring suhu tubuh
- Monitoring hasil lab: leukosit
- Kolaborasi pemberian antibiotik
- Konsul dokter anestesi belum dijawab
31 Mei 2013 Risiko Infeksi - Mengukur suhu tubuh
- Menginspeksi luka terhadap tanda-
tanda infeksi
- Melakukan perawatan luka pada
sternum dan lumbal
- Observasi adanya peningkatan keluhan
nyeri
- Observasi luka terhadap pembentukan
bula, krepitasi, perubahan warna kulit
kecoklatan, bau drainase yang tidak
sedap
- Melakukan kompres hangat pada klien
- Menganjurkan klien untuk banyak
minum air putih
- Kolaborasi:
Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
S:
- Setiap sore dan malam hari meriang
- Selalau berkeringat
- Seluruh badan terasa sakit
- Nyeri tekan pada luka sternum
O:
- Suhu= 37,8oC
- Leukosit (22/5)= 2,60 g/dl
- Luka pada sternum: terdapat pus, darah, luka
rembes. Tidak ada kemerahan sekitar luka,
tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap,
bula. Nyeri tekan positif.
- Luka pada lumbal: terdapat pus, darah. Luka
rembes. Nyeri tekan positif. Tidak ada
kemerahan sekita luka, tidak ada edema,
ekimosis, bau tidak sedap, bula.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
Farmadol A: masalah risiko infeksi belum teratasi
P:
- Monitoring suhu
- Monitoring hasil lab: leukosit
- Kolaborasi pemberian antibiotik
- Follow up kembali dokter anestesi untuk aff
CVC
1 Juni 2013 Risiko Infeksi - Mengukur suhu tubuh
- Menginspeksi luka terhadap tanda-
tanda infeksi
- Melakukan perawatan luka pada
sternum
- Observasi adanya peningkatan keluhan
nyeri
- Observasi luka terhadap pembentukan
bula, krepitasi, perubahan warna kulit
kecoklatan, bau drainase yang tidak
sedap
- Melakukan kompres hangat pada klien
- Menganjurkan klien untuk banyak
minum air putih
- Kolaborasi:
Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
Farmadol
S:
- Setiap sore dan malam meriang
- Selalu berkeringat
- Seluruh badan terasa sakit
- Nyeri tekan pada sternum
O:
- Suhu= 38,7oC
- Luka pada sternum: luka rembes. Terdapat pus,
darah, tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak
ada edema, ekimosis, bula, krepitasi, bau tidak
sedap. Nyeri tekan positif.
- Aff CVC oleh dokter anestesi
A: masalah risiko infeksi belum teratasi
P:
- Monitoring suhu tubuh
- Monitoring hasil lab: leukosit
- Kolaborasi pemberian antibiotik
3 Juni 2013 Risiko Infeksi - Mengukur suhu tubuh
- Menginspeksi luka terhadap tanda-
tanda infeksi
- Melakukan perawatan luka pada
sternum dan lumbal
- Observasi adanya peningkatan keluhan
nyeri
- Observasi luka terhadap pembentukan
S:
- Setiap sore dan malam hari meriang
- Selalau berkeringat
- Seluruh badan terasa sakit
- Nyeri tekan pada luka sternum
O:
- Suhu= 37,7oC
- Luka pada sternum: terdapat pus, darah, luka
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
bula, krepitasi, perubahan warna kulit
kecoklatan, bau drainase yang tidak
sedap
- Aff hecting pada luka post-op di lumbal
- Melakukan kompres hangat pada klien
- Menganjurkan klien untuk banyak
minum air putih
- Kolaborasi:
Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
Farmadol
rembes. Tidak ada kemerahan sekitar luka,
tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap,
bula. Nyeri tekan positif.
- Luka pada lumbal: terdapat pus, darah. Luka
rembes. Nyeri tekan positif. Tidak ada
kemerahan sekita luka, tidak ada edema,
ekimosis, bau tidak sedap, bula. Aff hecting.
A: masalah risiko infeksi belum teratasi
P:
- Monitoring suhu
- Monitoring hasil lab: leukosit
- Kolaborasi pemberian antibiotik
4 Juni 2013 Risiko Infeksi - Mengukur suhu tubuh
- Menginspeksi luka terhadap tanda-
tanda infeksi
- Melakukan perawatan luka pada
sternum
- Observasi adanya peningkatan keluhan
nyeri
- Observasi luka terhadap pembentukan
bula, krepitasi, perubahan warna kulit
kecoklatan, bau drainase yang tidak
sedap
- Kolaborasi:
Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
S:
- Tidak demam dan meriang lagi
- Tidur malam nyenyak
- Nyeri tekan pada sternum
O:
- Suhu= 37,2oC
- Luka pada sternum: luka tidak rembes. Darah
ada, tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak
ada pus, edema, ekimosis, bula, krepitasi, bau
tidak sedap. Nyeri tekan positif.
- Luka pada lumbal sudah kering
A: masalah risiko infeksi teratasi sebagian
P:
- Monitoring suhu tubuh
- Monitoring hasil lab: leukosit
- Kolaborasi pemberian antibiotik
- Edukasi cara perawatan di rumah tentang cara
menurunkan panas kepada anggota keluarga
5 Juni 2013 Risiko Infeksi - Mengukur suhu tubuh
- Menginspeksi luka terhadap tanda-
S:
- Tidak demam dan meriang lagi
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
tanda infeksi
- Melakukan perawatan luka pada
sternum dan lumbal
- Observasi adanya peningkatan keluhan
nyeri
- Observasi luka terhadap pembentukan
bula, krepitasi, perubahan warna kulit
kecoklatan, bau drainase yang tidak
sedap
- Memberikan edukasi pada anggota
keluarga tentang kompres hangat dan
peningkatan jumlah cairan saat demam
- Tidur malam nyenyak
- Nyeri tekan pada sternum
O:
- Suhu= 36,7oC
- Luka pada sternum: luka tidak rembes. Darah
ada, tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak
ada pus, edema, ekimosis, bula, krepitasi, bau
tidak sedap. Nyeri tekan positif.
- Luka pada lumbal sudah kering
A: masalah risiko infeksi teratasi sebagian
P: Pulang hari ini
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
Tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi
27 Mei 2013 Hambatan Mobilitas Fisik - Mengkaji kemampuan fungsional klien
- Mengukur kekuatan otot klien
- Meningkatkan motivasi dan kepatuhan
klien untuk setiap latihan fisik
- Melatih ROM aktif dan pasif pada
kedua ekstremitas atas dan bawah
- Mengukut tanda-tanda vital sebelum
dan setelah ROM
S:
- Kedua tangan dan kaki bisa digerakkan tetapi
kadang terasa sakit karena luka di punggung
tertarik
- ADL dibantu keluarga dan perawat
O:
- Kekuatan otot: 5555 5555
5555 5555
- Dapat melakukan ROM aktif pada kedua
ekstremitas atas dan bawah
- Memotivasi klien untuk terus melatih
ekstremitas
- TTV sebelum ROM:
TD= 130/80 mmHg RR= 20x/menit
HR= 97x/menit Suhu= 37,8oC
- TTV setelah ROM:
TD= 130/80 mmHg RR= 22x/menit
HR= 99x/menit Suhu= 37,8oC
- Klien terlihat lemah
A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
P:
- Lakukan ROM secara berkala
- Mengukur TTV sebelum dan setelah ROM
28 Mei 2013 Hambatan Mobilitas Fisik - Melatih ROM aktif dan pasif pada
kedua ekstremitas atas dan bawah
- Meningkatkan motivasi klien untuk
melakukan ROM
- Mengukur tanda-tanda vital sebelum
dan setelah ROM
S:
- Takut untuk melatih tangan dan kaki karena
luka di punggung akan terasa sakit
- ADL dibantu oleh keluarga dan perawat
O:
- Dapat melakukan ROM aktif pada kedua
ekstremitas atas dan bawah
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
- TTV sebelum ROM:
TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit
HR= 97x/menit Suhu= 37,7oC
- TTV setelah ROM:
TD= 120/80 mmHg RR= 21x/menit
HR= 100x/menit Suhu= 37,7oC
A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
P:
- Lakukan ROM secara berkala
- Mengukur TTV sebelum dan setelah ROM
29 Mei 2013 Hambatan Mobilitas Fisik ROM tidak dilakukan karena klien menolak S:
- Klien mengatakan tidak enak badan dan
kepala pusing
O:
TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit
HR= 88x/menit Suhu= 37,9oC
- Terlihat lemah dan pucat
A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
P:
- Monitoring tanda-tanda vital klien
30 Mei 2013 Hambatan Mobilitas Fisik ROM tidak dilakukan karena klien demam dan
terlihat sangat lemah
S:
- Klien mengatakan tidak enak badan dan
kepala pusing
O:
TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit
HR= 84x/menit Suhu= 38,5oC
- Terlihat lemah dan pucat
- Diaforesis
A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
P:
- Monitoring tanda-tanda vital klien
31 Mei 2013 Hambatan Mobilitas Fisik ROM tidak dilakukan karena klien demam dan S:
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
terlihat sangat lemah - Klien mengatakan tidak enak badan dan
kepala pusing
O:
TD= 120/80 mmHg RR= 21x/menit
HR= 90x/menit Suhu= 38,5oC
- Terlihat lemah dan pucat
- Diaforesis
A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
P:
- Monitoring tanda-tanda vital klien
1 Juni 2013 Hambatan Mobilitas Fisik - Mengukur tanda-tanda vital sebelum
dan setelah ROM
- Melatih ROM pasif pada kedua
ekstremitas atas dan bawah
- Memotivasi klien untuk melakukan
ROM
S:
- Kepala terasa pusing sehingga tidak kuat
untuk latihan
- ADL dibantu oleh keluarga dan perawat
O:
- Dilakukan ROM pasif pada kedua ekstremitas
atas dan bawah
- TTV sebelum ROM:
TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit
HR= 88x/menit Suhu= 38,7oC
- TTV setelah ROM:
TD= 120/80 mmHg RR= 21x/menit
HR= 90x/menit Suhu= 37,7oC
A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
P:
- Lakukan ROM secara berkala
- Mengukur TTV sebelum dan setelah ROM
3 Juni 2013 Hambatan Mobilitas Fisik - Mengukur tanda-tanda vital sebelum
dan setelah ROM
- Melatih ROM aktif pada kedua
ekstremitas atas dan bawah
- Memotivasi klien untuk melakukan
S:
- ADL dibantu oleh keluarga dan perawat
O:
- Dapat melakukan ROM aktif pada kedua
ekstremitas atas dan bawah
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
ROM
- Membantu pemasangan brace pada
klien
- TTV sebelum ROM:
TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit
HR= 82x/menit Suhu= 37,7oC
- TTV setelah ROM:
TD= 120/80 mmHg RR= 22x/menit
HR= 84x/menit Suhu= 37,7oC
- Latihan pemasangan brace
A: masalah hambatan mobilitas fisik teratasi
sebagian
P:
- Lakukan ROM secara berkala
- Mengukur TTV sebelum dan setelah ROM
- Latihan duduk di pinggir tempat tidur besok
4 Juni 2013 Hambatan Mobilitas Fisik - Mengukur tanda-tanda vital sebelum
dan setelah ROM
- Melatih ROM aktif pada kedua
ekstremitas atas dan bawah
- Memotivasi klien untuk melakukan
ROM
- Membantu klien belajar duduk di
pinggir tempat tidur
S:
- ADL partial care
- Sudah bisa makan sendiri dengan duduk
O:
- Dapat melakukan ROM aktif pada kedua
ekstremitas atas dan bawah
- TTV sebelum ROM:
TD= 110/80 mmHg RR= 20x/menit
HR= 82x/menit Suhu= 37,2oC
- TTV setelah ROM:
TD= 120/80 mmHg RR= 22x/menit
HR= 84x/menit Suhu= 37,2oC
- Klien dapat duduk di pinggir tempat tidur
A: masalah hambatan mobilitas fisik teratasi
sebagian
P:
- Lakukan ROM secara berkala
- Mengukur TTV sebelum dan setelah ROM
- Latihan berdiri besok
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
- Rencana konsul dengan rehab medik
5 Juni 2013 Hambatan Mobilitas Fisik - Mengukur tanda-tanda vital sebelum
dan setelah ROM
- Melatih ROM aktif pada kedua
ekstremitas atas dan bawah
- Memotivasi klien untuk melakukan
ROM
- Memantu klien untuk belajar berdiri
S:
- ADL partial care
- Sudah bisa makan sendiri dengan duduk
O:
- Dapat melakukan ROM aktif pada kedua
ekstremitas atas dan bawah
- TTV sebelum ROM:
TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit
HR= 88x/menit Suhu= 36,5oC
- TTV setelah ROM:
TD= 120/80 mmHg RR= 22x/menit
HR= 90x/menit Suhu= 36,5oC
- Klien dapat berdiri tegak dengan mengunakan
brace
A: masalah hambatan mobilitas fisik teratasi
sebagian
P:
- Kunjungan ke rehab medik secara berkala
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
Tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi
27 Mei 2013 Gangguan Integritas Kulit - Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap
adanya kemerahan, perdarahan, dan
perubahan warna
- Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2
jam
- Menyangga punggung dengan bantal
- Mengganti laken
- Memasase kulit dan daerah penonjolan
tulang dengan baby oil
S:
- Mengeluh nyeri pada daerah punggung dan
dada
O:
- Klien post-op stabilisasi lumbal
- Post ORIF fraktur sternum
- Terdapat luka pada lumbal, sternum, dan
vulnus pada sisi lateral tubuh sebelah kanan
- Luka pada sternum:
luka rembes, ada pus dan darah, diameter ±
2cm, panjang ± 3cm
- Luka pada lumbal:
luka rembes, ada pus, dan darah, panjang ±
10cm
- Vulnus pada sisi lateral kanan tubuh:
Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes,
ada pus dan darah
A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi
P:
- Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2
jam
- Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
28 Mei 2013 Gangguan Integritas Kulit - Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap
adanya tanda-tanda infeksi
- Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2
jam
- Menyangga punggung dengan bantal
- Mengganti laken
- Memasase kulit dan daerah penonjolan
tulang dengan baby oil
S:
- nyeri pada daerah punggung dan dada
O:
- Luka pada sternum: luka rembes, ada pus dan
darah, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm
- Vulnus pada sisi lateral kanan tubuh:
Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes,
ada pus dan darah
A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
P:
- Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2
jam
- Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
29 Mei 2013 Gangguan Integritas Kulit - Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap
adanya tanda-tanda infeksi
- Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2
jam
- Menyangga punggung dengan bantal
- Mengganti laken
- Memasase kulit dan daerah penonjolan
tulang dengan baby oil
- Membantu memandikan klien
S:
- Mengeluh nyeri pada daerah punggung dan
dada
O:
- Luka pada sternum:
luka rembes, ada pus dan darah, diameter ±
2cm, panjang ± 3cm
- Luka pada lumbal:
luka rembes, ada pus, dan darah, panjang ±
10cm
- Vulnus pada sisi lateral kanan tubuh:
Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes,
ada pus dan darah
A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi
P:
- Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2
jam
- Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
30 Mei 2013 Gangguan Integritas Kulit - Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap
adanya tanda-tanda infeksi
- Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2
jam
- Menyangga punggung dengan bantal
- Mengganti laken
- Memasase kulit dan daerah penonjolan
tulang dengan baby oil
- Membantu memandikan klien
S:
- nyeri pada daerah punggung dan dada
O:
- Luka pada sternum: luka rembes, ada pus dan
darah, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm
- Vulnus pada sisi lateral kaann tubuh:
Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes,
ada pus dan darah
A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi
P:
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
- Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2
jam
- Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
31 Mei 2013 Gangguan Integritas Kulit - Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap
adanya tanda-tanda infeksi
- Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2
jam
- Menyangga punggung dengan bantal
- Mengganti laken
- Memasase kulit dan daerah penonjolan
tulang dengan baby oil
S:
- Mengeluh nyeri pada daerah punggung dan
dada
O:
- Luka pada sternum:
luka rembes, ada pus dan darah, diameter ±
2cm, panjang ± 3cm
- Luka pada lumbal:
luka rembes, ada pus, dan darah, panjang ±
10cm
- Vulnus pada sisi lateral kanan tubuh:
Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes,
ada pus dan darah
A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi
P:
- Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2
jam
- Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
1 Juni 2013 Gangguan Integritas Kulit - Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap
adanya tanda-tanda infeksi
- Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2
jam
- Menyangga punggung dengan bantal
- Mengganti laken
- Memasase kulit dan daerah penonjolan
tulang dengan baby oil
S:
- nyeri pada daerah punggung dan dada
O:
- Luka pada sternum: luka rembes, ada pus dan
darah, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm
- Vulnus pada sisi lateral kaann tubuh:
Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes,
ada pus dan darah
A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi
P:
- Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
jam
- Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
3 Juni 2013 Gangguan Integritas Kulit - Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap
adanya tanda-tanda infeksi
- Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2
jam
- Menyangga punggung dengan bantal
- Mengganti laken
- Memasase kulit dan daerah penonjolan
tulang dengan baby oil
- Membantu memandikan klien
S:
- nyeri pada daerah dada, luka pada punggung
tidak nyeri lagi
O:
- Luka pada sternum:
luka tidak rembes, ada pus, darah tidak ada,
diameter ± 2cm, panjang ± 3cm
- Luka pada lumbal:
luka kering, tidak ada pus dan darah, panjang
± 10cm
- Vulnus pada sisi lateral kanan tubuh:
Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka tidak
rembes, tidak ada pus, darah ada
A: masalah gangguan integritas kulit teratasi
sebagian
P:
- Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2
jam
- Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
4 Juni 2013 Gangguan Integritas Kulit - Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap
adanya tanda-tanda infeksi
- Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2
jam
- Menyangga punggung dengan bantal
- Mengganti laken
- Memasase kulit dan daerah penonjolan
tulang dengan baby oil
- Membantu memandikan klien
S:
- nyeri pada daerah dada, luka pada punggung
tidak nyeri lagi
O:
- Luka pada sternum: luka tidak rembes, ada
pus dan darah, diameter ± 2cm, panjang ±
3cm
- Vulnus pada sisi lateral kaann tubuh:
Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes,
tidak ada pus, darah ada
A: masalah gangguan integritas kulit teratasi
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
sebagian
P:
- Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2
jam
- Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
- Edukasi pasien dan anggota keluarga tentang
perawatan kulit di rumah
5 Juni 2013 Gangguan Integritas Kulit - Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap
adanya tanda-tanda infeksi
- Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2
jam
- Menyangga punggung dengan bantal
- Mengganti laken
- Memasase kulit dan daerah penonjolan
tulang dengan baby oil
- Edukasi tentang perawatan kulit di
rumah
S:
- nyeri pada daerah dada, luka pada punggung
tidak nyeri lagi
O:
- Luka pada sternum:
luka tidak rembes, ada pus, darah tidak ada,
diameter ± 2cm, panjang ± 3cm
- Luka pada lumbal:
luka kering, tidak ada pus dan darah, panjang
± 10cm
- Vulnus pada sisi lateral kaann tubuh:
Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka tidak
rembes, tidak ada pus, darah ada
A: masalah gangguan integritas kulit teratasi
sebagian
P:
- Ganti balutan secara berkala ke rumah sakit
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
POSITIONING LATERAL 30 DERAJAT
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR MULTIPLE
DI RSUP FATMAWATI
Sylvana,S.Kep*, Dr. Roro Tutik, S.Kp., MARS**
Sylvana, Mahasiswa Profesi 2012, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Kampus FIK UI
Depok 16424
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kecelakaan lalu lintas banyak menimbulkan dampak salah satunya adalah fraktur. Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan/ atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang
berlebihan, sedangkan multiple fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang lebih dari satu bagian
tubuh. Praktik profesi dilakukan di Gedung Prof. Dr. Soelarto Lt. I RSUP Fatmawati pada pasien
dengan multiple fraktur dengan menerapkan intervensi positioning lateral 30 derajat guna mencegah
ulkus decubitus. Pasien yang mengalami fraktur mengalami hambatan mobilisasi sehingga berisiko
mengalami ulkus decubitus. Asuhan keperawatan diberikan dari tanggal 27 Mei sampai 5 Juni 2013,
hasilnya menunjukan bahwa ulkus decubitus tidak terbentuk pada pasien. Perubahan posisi harus
dilakukan oleh perawat untuk mencegah terbentuknya ulkus decubitus pada pasien dengan hambatan
mobilisasi.
Kata Kunci:
Mutiple fraktur, ulkus decubitus, positioning lateral 30 derajat
ABSTRACT
Road traffic injuries have many impacts one of them is fracture. Fracture is a broken off the continuity
of bone and/ or cartilage generally caused by over pressure, whereas multiple fracture is a broken off
the continuity of bone more than one part of the body. The clinical practice was done at Prof. Dr.
Soelarto’s Building 1st floor RSUP Fatmawati with multiple fracture patient and did intervention
lateral 30 degree positioning due to prevent decubitus ulcer. Patient who have fracture have a barrier
to mobile as a result take a risk to have a decubitus ulcer. Nursing intervention is given during May 27
until June 5 2013, the result shows that decubitus ulcer is not formed in patient. Changing position
should be give by nurse to prevent decubitus ulcer in patient with have a barrier to mobile.
Keywords:
Multiple fracture, decubitus ulcer, lateral 30 degree position
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Pendahuluan
Tingginya angka transportasi tidak jarang menimbulkan dampak buruk, salah satunya adalah
kecelakaan lalu lintas. Dalam dua tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh Badan
Kesehatan Dunia (WHO) dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner
dan tuberculosis/TBC. Di Indonesia, jumlah kendaraan bermotor meningkat setiap tahunnya, data dari
Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) menyebutkan, kecelakaan pengendara sepeda motor
mencapai 120.226 kali atau 72% dari seluruh kecelakaan lalu lintas dalam setahun. Hampir setiap hari
terjadi kecelakaan sepeda motor yang mengakibatkan meninggal dunia, luka berat dan luka ringan.
Salah satu akibat dari kecelakaan lalu lintas adalah fraktur atau patah tulang.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (Black, 2005). Penyebab utama terjadinya fraktur adalah
cidera atau benturan, kondisi patologis (tumor, kanker, osteoporosis, osteomelitis), mengangkat beban
terlalu besar (Price & Wilson, 2006). Proses penyembuhan fraktur memakan waktu yang tidak sebentar
sekitar 6 bulan sampai 1 tahun (Smeltzer & Bare, 2006). Selama di rumah sakit pasien fraktur
mengalami tirah baring dalam jangka waktu yang cukup lama. Lamanya tirah baring tergantung
penyakit atau tingkat keparahan fraktur dan status kesehatan klien. Tirah baring bertujuan untuk
mengurangi nyeri pasca operasi dan mengurangi aktivitas fisik serta memberikan kesempatan kepada
klien untuk beristirahat tetapi tirah baring yang lama juga akan menimbukan komplikasi yaitu
terbentuknya ulkus decubitus pada pasien.
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan aliran darah dan iritasi
pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari
tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda keras lainnaya dalam jangka panjang (Potter &
Perry, 2005). Luka tekan sebagian besar terjadi pada individu dengan kesulitan mobilisasi/ aktivitas,
sebagai dampak pada kemampuan individu mengubah posisi, adalah mengurangi tekanan pada
penonjolan tulang (Fisher et al, 2004; Lindgren et al, 2004; Robertson et al, 1990 dalam Moore &
Etten, 2011). Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat
penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung, dan kepala bagian
belakang (NSW Health, 2003).
Salah satu pencegahan terjadinya ulkus dekubitus adalah dengan positioning. Krapl & Gray
(2008), dalam penelitiannya mengatakan memposisikan pasien adalah komponen yang penting dalam
mencegah luka tekan, dan termasuk memindahkan pasien ke posisi yang berbeda atau menghilangkan
atau memindahkan tekanan dari satu bagian tubuh ke bagian yang lain.
Ruang GPS Lt. I RSUP Fatmawati merupakan ruangan khusus ortopedi dengan rata-rata pasien
mengalami keterbatasan mobilisasi karena gangguan muskuloskeletal. Pasien dengan gangguan
muskuloskeletal berisiko mengalami ulkus dekubitus karena keterbatasan gerak dan nyeri jika bagian
tubuh yang cedera dimobilisasi. Meningkatnya angka kejadian ulkus dekubitus di ruang rawat pada
pasien dengan gangguan muskuloskeletal perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu cara mengatasi
terbentuknya ulkus dekubitus adalah dengan perubahan posisi. Perubahan posisi lateral 300 setiap 2 jam
akan mengurangi tekanan pada bagian punggung.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Laporan Kasus Kelolaan Utama
Tn. M (24 tahun) merupakan klien post ICU. Klien dirawat di ICU selama 3 minggu. Klien
mengatakan sebelumnya klien merupakan korban tabrak lari sebuat taxi. Klien sedang mengendarai
motor dengan istrinya dan tiba-tiba taxi menabrak motornya dari belakang. Istri klien terpental sejauh
kira-kira 20 meter dan Tn. M langsung tidak sadarkan diri di tempat. Kemudian klien dilarikan ke IGD
RSUP Fatmawati. Dari hasil rontgen, klien mengalami fraktur costae ke-VI, fraktur 1/3 sternum, dan
fraktur lumbal ke-III. Hasil CT Scan Kepala terlihata danya perdarahan dan klien mengalami cedera
kepala sedang. Hasil rontegen Thorax: terlihat fraktur sternum 1/3 posterior pergeseran fragmen distal
fraktur ke anterior, fraktur costae ke-VI anterior kiri, dan contusio paru. Klien saat ini sudah menjalani
2x operasi, yaitu post stabilisasi post ec fraktur kompresi lumbal ke-III tanggal 6 Mei 2013 dan post
ORIF fraktur sternum tanggal 9 Mei 2013. Saat ini klien mengeluh nyeri dada pada luka post operasi di
daerah lumbal dan klien meringis saat penggantian balutan di 1/3 sternum. Klien juga mengatakan
sering meriang. Terlihat hematom pada mata kiri dan kanan dan klien sering berkeringat.
Tabel 1 Analisis Data pada Tn. M di Jakarta Tahun 2013
Data Subjektif Masalah Keperawatan
DS:
- Skala nyeri 5, pada daerah dada dan
punggung
- Nyeri tajam seperti ditusuk-tusuk
- Durasi nyeri < 3 menit
DO:
- Diaforesis
- TD=130/80 mmHg
- Luka post-op daerah lumbal & sternum
- Vulnus pada bokong & sisi lateral tubuh
sebelah kiri
- Meringis saat GV
Nyeri
DS:
- Nyeri pada luka post-op
- Setiap sore dan malam meriang
- Selalu berkeringat
- Nyeri pada seluruh tubuh
D0:
- Suhu: 38,5o C
- Leukosit (22/5): 11,4 ribu/Ul
- Luka pd sternum & lumbal: luka rembes,
pus (+), darah (+), nyeri tekan (+)
- Plebitis (+) pada tangan kiri
- CVC (+)
- Drain pada lumbal
Risiko Infeksi
DS:
- Sulit bergerak karena luka post-op terasa
nyeri
- Lebih banyak menghabiskan waktu di
tempat tidur
- ADL dibantu keluarga & perawat
Hambatan Mobilitas Fisik
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
DO:
- Klien bedrest
- Post-op stabilisasi lumbal dan ORIF
sternum
DS:
- Sering berkeringat
DO:
- Luka pd sternum: rembes (+), pus(+),
darah (+), panjang ± 2cm, daimeter ± 2cm
- Luka pd lumbal: rembes (+), pus (+), darah
(+), panjang ± 10cm
- Vulnus pd sisi lateral kanan tubuh: rembes
(+), pus (+), darah (+), diameter ± 3cm,
panjang ± 2cm
Gangguan Integritas Kulit
Diagnosis keperawatan yang menjadi fokus utama untuk memberikan intervensi keperawatan:
gangguan integritas kulit b.d prosedur pembedahan dan nyeri akut b.d post stabilisasi lumbal ke-III dan
post ORIF sternum. Intervensi yang dilakukan terkait gangguan integritas kulit adalah dengan
mengganti laken setiap hari, memberikan posisi miring kiri-kanan setiap 2 jam, dan memasase kulit dan
daerah penonjolan tulang dengan baby oil. Intervensi yang dilakukan terkait dengan diagnose nyeri
adalah dengan mengajarkan teknik relaksasi napas dalam dan guide imagery.
Tabel 2 Implementasi dan Evaluasi pada Tn.M
1. Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam
2. Mengajarkan guide imagery pada pasien
3. Mengganti laken setiap hari
4. Memberikan posisi miring kiri-kanan setiap 2
jam
5. Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang
dengan baby oil
S: Nyeri sudah berkurang, skala 1-2 Sudah teratur mempraktekkan tarik napas dalam
bila terasa nyeri
Tidak nyeri lagi pada luka sternum dan lumbal
O: Nyeri berkurang dengan dipandu melakukan
guide imagery sambil melakukan tarik napas
dalam. Jika tidak hilang, klien akan meminta
analgesik.
Ulkus dekubitus (-)
Luka kering, pus (-), darah (-)
A: masalah teratasi
P: Edukasi pasien dan anggota keluarga tentang
perawatan kulit di rumah
Evaluasi teknik relaksasi napas dalam klien dan
guide imagery
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
ANALISIS SITUASI
Klien kelolaan bernama Tn. M (24 tahun) merupakan salah satu korban dari akibat masalah
perkotaan yang mengalami masalah kesehatan masyarakat perkotaan berupa kondisi kegawatan
(emergency). Klien merupakan salah satu korban tabrak lari sebuah taksi. Klien sedang mengendarai
motor dengan membonceng istrinya kemudian klien ditabrak oleh taksi dari belakang. Klien langsung
tidak sadarkan diri di tempat dan kemudian klien dan istrinya langsung dilarikan ke IGD RSUP
Fatmawati. Hasil CT Scan kepala terlihat adanya perdarahan dan klien mengalami cedera kepala
sedang akibat benturan dengan trotoar. Hasil rontgen thorax juga terlihat adanya fraktur sternum 1/3
posterior pergeseran fragmen distal fraktur ke anterior, fraktur costae ke-VI anterior kiri dan adanya
kontusio paru sebagai akibat benturan dengan trotoar. Saat ini klien sudah menjalani dua kali operasi,
yaitu pada tanggal 6 Mei 2013 dilakukan operasi stabilisasi ec fraktur kompresi lumbal ke-III dan
tanggal 9 Mei 2013 dilakukan operasi pemasangan ORIF pada sternum klien. Kemudian klien dirawat
di ruang ICU selama hampir 3 minggu.
Asuhan keperawatan diberikan sejak tanggal 27 Mei-5 Juni 2013. Klien datang dengan status
post operasi lumbal dan sternum, kesadaran compos mentis, terpasang CVC, drain pada lumbal, three
ways catheter, dan infus NaCL 0,9% dengan data subjektif nyeri pada daerah lumbal dan sternum.
Klien masuk ruang rawat GPS Lt. I dengan diagnosa cedera tulang belakang dengan fraktur lumbal.
Ruas-ruas tulang belakang itu sendiri berjumlah 32-33 ruas; 7 vertebra servikal, 12 vertebra torakalis, 5
vertebra lumbalis, 5 vertebra sakralis, dan 4 vertebra koksigis (Pearce, 2000). Di bagian dalam tulang
terdapat rongga yang memanjang ke bawah yang berisi sumsum tulang belakang atau medulla spinalis
yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan saraf pusat. Medulla spinalis ini terdiri dari 31
saraf, saraf tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti jantung, paru, usus, kandung kemih,
dan lainnya. Gangguan pada salah satu saraf ini akan menyebabkan gangguan pada fungsi tubuh.
Level tulang vertebra yang mengalami kerusakan akan menyebabkan cedera pada medulla
spinalis. Medulla spinalis terdiri dari 31 pasang saraf, saraf tersebut terdiri dari saraf sensorik dan saraf
motorik. Klien kelolaan Tn. M mengalami fraktur kompresi lumbal ke-III tetapi kedua ektremitas atas
dan bawah dapat digerakkan dan tidak mengalami gangguan sensibilitas. Hal ini menunjukkan klien
mengalami incomplete spinal cord injury, yaitu cedera pada medulla spinalis dengan masih terdapat
fungsi motorik dan fungsi sensorik.
Klien mengatakan saat minggu pertama di ICU klien sempat mengalami gangguan BAB dan
BAK. Ini terjadi karena pada daerah lumbal terdapat kandung kemih dan rektum. Pada hari-hari
pertama setelah injury selama periode spinal shock terjadi paralisis bladder. Seluruh reflek bladder dan
aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif
incontinensia (Siddharta, 1999 dalam Mustofa, 2012). Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik
membangkitakan kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter internus.
Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan
oleh gangglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya
sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan
rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong
kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena penuhnya
rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan secara
volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra
abdominal yang meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka
defekasi tak terkontrol oleh keinginan (Sidharta, 1999).
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Pasien dengan gangguan muskuloskeletal berisiko tinggi mengalami ulkus dekubitus karena
hambatan dalam mobilisasi, seperti klien dengan terpasang fiksasi interna atau eksterna, terpasang
traksi, atau pada klien spine. Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya ulkus dekubitus pada
Tn.M, yang pertama adalah kadar albumin. Kadar albumin kurang dari 3,0 g/ml berisiko terjadinya
luka dekubitus. Pada keadaan hipoalbuminemia akan terjadi perpindahan volume cairan ekstrasel
kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus di
jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena
terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton & Litwalk, 1991 dalam
Potter & Perry, 2005). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya
terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan
iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter & Perry, 2005). Selain itu, level albumin rendah
dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989); Hanan & Scheele, 1991).
Hal ini sesuai dengan data pada Tn.M, albumin (22 Mei)= 2,60g/dl. Albumin yang rendah pada pasien
akan meningkatkan risiko terbentuknya ulkus dekubitus.
Faktor yang kedua adalah anemia. Hasil hematologi Tn.M (22 Mei), Hb= 8,5g/dl. Terlihat
kadar Hb pasien sangat rendah dimana Hb normal pada laki-laki adalah 13-17g/dl. Kadar hemoglobin
yang rendah akan mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga
jaringan akan kekurangan nutrisi dan oksigen yang dapat menyebabkan gangguan penyembuhan luka
dan berisiko terjadinya ulkus dekubitus (Potter & Perry, 2005).
Faktor yang ketiga adalah obesitas. Sebenarnya jaringan adiposa baik dalam mencegah
terjadinya ulkus dekubitus karena dapat sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari
tekanan. Tetapi pada pasien dengan obesitas, jaringan adiposa mengalami vaskularisasi yang buruk
sehingga rentan terhadap terjadinya luka akibat iskemi (Smeltzer & Bare, 2002). Tn. M dengan BB=
72kg dan TB=170cm, jika dihitung IMT klien= 24,91 ini tergolong ke dalam berat badan lebih dengan
risiko.
Faktor yang keempat adalah demam. Selama dirawat klien hampir setiap hari demam disertai
meriang hebat dan klien juga mengalami diaforesis. Klien juga sering mengalami demam dan meriang
dan mengalami diaforesis. Demam yang terjadi akan meningkatkan metabolisme tubuh, membuat
jaringan yang telah hipoksia semakin rentan mengalami cedera akibat iskemi (Skheleton&Litwalk,
1991 dalam Potter&Perry, 2005). Selain itu demam menyebabkan diaforesis dan meningkatkan
kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter&Perry,
2005).
Selain dari faktor predisposisi tersebut, Scotts (1998) dalam Potter&Perry (2005) mengatakan
dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dan tekanan. Semakin besar tekanan dan
durasinya, maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka. Pada dasarnya kulit dan jaringan
subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan
dasar kapiler, yaitu lebih besar dari 32mmHg akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke
dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan
ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka
pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987 dalam Potter&Perry, 2005).
Kulit sendiri mempunyai mekanisme fisiologis dalam mencegah kerusakan kulit yaitu melalui
mekanisme hiperemia reaktif. Hiperemia reaktif akan efektif hanya apabila tekanan dihilangkan
sebelum terjadi kerusakan. Luka tekan itu sendiri dapat terjadi dalam waktu 3 hari sejak terpaparnya
kulit akan tekanan (Reddy, 1990 dalam Vanderwee et al, 2006). Hiperemia reaktif akan membanjiri
jaringan yang iskemi dengan darah sehingga vaskularisasi membaik. Peningkatan aliran darah
meningkatkan pengiriman oksigen dan nutrien ke dalam jaringan dan nekrosis jaringan yang tertekan
dapat dihindari (Macklebust, 1991; Pires&Muller, 1991 dalam Potter&Perry, 2005).
Intervensi yang dilakukan kepada Tn. M adalah dengan memanfaatkan mekanisme hiperemia
reaktif ini yaitu dengan melakukan positioning dengan memberikan posisi miring 30 derajat setiap 2
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
jam. Krapl & Gray (2008), dalam penelitiannya mengatakan memposisikan pasien adalah komponen
yang penting dalam mencegah luka tekan, dan termasuk memindahkan pasien ke posisi yang berbeda
atau menghilangkan atau memindahkan tekanan dari satu bagian tubuh ke bagian yang lain.
Tn. M merupakan pasien dengan fraktur kompresi post-op stabilisasi lumbal. Klien dikelola selama 9
hari mulai tanggal 27 Mei-5 Juni 2013 dan rutin dilakukan setiap hari. Setiap shift dinas/ 8 jam, pasien
diubah posisi miring kiri-kanan dengan posisi 30 derajat per 2 jam sebanyak dua kali. Adapun cara
mengatur posisi 30 derajat dijelaskan oleh Bryant (2000) dalam Tarihoran (2010), pertama, pasien
persis ditempatkan di tengah tempat tidur dengan menggunakan bantal untuk menyangga kepala dan
leher. Selanjutnya tempatkan satu bantal pada sudut antara bokong dan matras, dengan cara miringkan
panggul setinggi 30 derajat. Bantal yang berikutnya ditempatkan memanjang diantara kedua kaki.
Berdasarkan hasil intervensi yang dilakukan selama 9 hari, penerapan perubahan posisi dengan miring
30 derajat berhasil dilakukan terbukti dengan tidak terbentuknya ulkus dekubitus selama pasien dirawat
di rumah sakit.
Kesimpulan
Perawat menarik kesimpulan bahwa tirah baring yang lama akan meningkatkan risiko terjadia
ulkus decubitus pada pasien terutam pada pasien dengan gangguan musculoskeletal yang mengaami
hambatan mobilisasi. Pemberian postioning dengan posisi 30 derajat dengan miring kiri-kanan setiap 2
jam mencegah terbentuknya ulkus dekubitus pada pasien
Saran
Mahasiswa seharusnya mengevaluasi tirah baring pasien secara berkala dengan melakukan
perubahan posisi setiap 2 jam sekali dengan miring kiri-kanan. Ruangan juga sudah baik dalam
melakukan pengkajian risiko decubitus pada pasien hanya perlu ditingkatkan saja alam hal observasi.
Dalam halkeperawatan, diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat dalam melakukan asuhan
keperawatan terkait usaha pencegahan terbentuknya ulkus decubitus selama rawat inap. Hasil penulisan
ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber referensi dalam
insitusi pendidikan.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi
peneliti untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Dr. Roro Tutik, S.Kp, MARS selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan karya tulis ini. Pihak Fakultas Ilmu
Keperawatan yang telah memberikan sarana bagi saya dalam melakukan penulisan karya ilmiah ini.
Peneliti berterimakasih kepada orangtua dan orang-orang yang terkasih atas dukungannya baik secara
moril maupun materil. Peneliti juga berterimakasih kepada teman-teman saya atas dukungan dan
bantuannya dalam penelitian ini.
Referensi
Black, J.M. & Hawk, J.H. (2005). Medical surgical nursing: clinical management for positive
outcomes. 7th
Edition. St. Louis Missouri: Elsevier Saunders
Doenges, M., dkk. (1999). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien (M. Kariasa & N. M. Sumarwati, Terj.). Edisi 3. Jakarta: EGC.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Pearce, E.C. (2000). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Salemba Empat
Potter & Perry. (2005). Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed-4. Vol 1. Jakarta:
EGC
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Brunner & Suddarth: textbook of medical surgical nursing. 8th
Edition. Vol 3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Tarihoran, D. (2010). Retrived from www.lontar.ui.ac.id on July 1, 2013
Toroyan, T., et all. (2013). The global status report on road safety on 2013: supporting a decade on
action
Tran, N.T. (2007). Evaluating an intervention to prevent motorcycle injuries in Malaysia: process,
perfomance, and policy.
http://www.harianterbit.com/2013/04/27/kematian-akibat-kecelakaan-motor-masih-mendominasi/
diunduh tanggal 27 Juni 2013
http://www.bin.go.id/awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalu-lintas-menjadi-pembunuh-terbesar-
ketiga diunduh tangal 27 Juni 2013
http://metro.sindonews.com/read/2013/05/07/31/746261/setiap-tahun-jumlah-kecelakaan-di-depok-
meningkat diuduh tanggal 27 Juni 2013
* Mahasiswa Profesi 2012 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
** Staf Pengajar Keilmuan DKKD Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013