ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BU …...RINGKASAN TUNJUNG PAWESTRI K. W. Analisis Pola...

119
ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS) Oleh : TUNJUNG PAWESTRI KUSUMO WARDANI A14303045 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Transcript of ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BU …...RINGKASAN TUNJUNG PAWESTRI K. W. Analisis Pola...

ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA

PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)

Oleh :

TUNJUNG PAWESTRI KUSUMO WARDANI

A14303045

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

RINGKASAN

TUNJUNG PAWESTRI K. W. Analisis Pola Konsumsi dan Permintaan Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa Penerapan Model Almost Ideal Demand System (AIDS). Di bawah Bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS.

Perbaikan indikator makroekonomi di Indonesia yang antara lain dicerminkan oleh peningkatan pendapatan riil per kapita dan pertumbuhan ekonomi, serta penurunan laju inflasi, di sisi lainnya belum diimbangi dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi riil di masyarakat. Berdasarkan data BPS diketahui bahwa jumlah pengangguran terbuka dan pekerja pada sektor informal di Indonesia secara kontinyu terus mengalami peningkatan. Kondisi di atas menunjukkan adanya ambiguitas, dimana ketika indikator makroekonomi mengalami perbaikan, namun tidak demikian halnya pada sektor riil di masyarakat. Indikator mikroekonomi yang juga menunjukkan adanya ambiguitas ini ialah tingkat konsumsi buah rumah tangga. Berdasarkan data SUSENAS dapat disimpulkan bahwa selama kurun waktu 15 tahun terakhir tingkat konsumsi buah di Indonesia cenderung stagnan. Hal ini dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia secara umum belum mengalami peningkatan yang signifikan. Di satu sisi pendapatan riil per kapita meningkat, sedangkan kesejahteraan masyarakat menurun akibat daya belinya yang stagnan. Ini merupakan indikasi belum adanya perbaikan distribusi pendapatan masyarakat.

Hal tersebut mendorong dilakukannya kajian lebih lanjut mengenai faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia, mengingat tingkat konsumsi buah di Indonesia (32 kg/kapita/tahun di tahun 2005) masih jauh dari standar yang dianjurkan oleh FAO sebesar 60 kg/kapita/tahun. Berdasarkan permasalahan tersebut penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pola konsumsi serta menganalisis model permintaan lengkap buah pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa. Selain itu, dianalisis pula mengenai pengaruh dari perubahan harga dan pendapatan terhadap permintaan buah pada masing-masing kelompok rumah tangga. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data cross section SUSENAS 2005, yang terdiri dari data konsumsi, pengeluaran, dan data demografi rumah tangga di Pulau Jawa, sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian digunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR)

Hasil analisis menunjukkan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan di pedesaan lebih besar daripada di perkotaan, sedangkan berdasarkan penggolongan menurut tingkat pendapatan, terdapat kecenderungan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan yang semakin meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Jenis buah yang tingkat konsumsinya relatif paling tinggi dari tahun ke tahun ialah pisang, jeruk, rambutan, dan pepaya. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat konsumsi buah-buahan tersebut adalah faktor musim, dimana jenis-jenis buah tersebut (kecuali rambutan) produksinya tidak tergantung musim, sehingga selalu tersedia sepanjang tahun. Pola konsums i buah-

buahan pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa berdasarkan tingginya frekuensi konsumsi berturut-turut pisang – jeruk – pepaya – salak – semangka.

Analisis dengan menggunakan unit sampling Rumah Tangga maupun Primary Sampling Unit (PSU) secara umum menghasilkan arah dari nilai dugaan parameter yang sama. Kedua prosedur tersebut menunjukkan bahwa seluruh variable bebas (kecuali jumlah anggota rumah tangga), yaitu harga sendiri, harga buah lain, pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran), dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap proporsi pengeluaran buah pada taraf nyata 5 persen.

Permintaan untuk jeruk, pisang, dan pepaya di perkotaan Pulau Jawa lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding daerah pedesaan. Untuk jeruk, semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin elastis permintaannya terhadap perubahan harga. Untuk pisang dan pepaya berlaku sebaliknya. Terdapat hubungan komplementer antara jenis buah yang dianalisis (jeruk, pisang, dan pepaya). Dari kecilnya nilai elastisitas harga komoditi lain (harga silang), maka sifat komplementer tersebut tidak terlalu kuat.Di wilayah Pulau Jawa secara total, desa, maupun kota, semua jenis buah yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai elastisitas pengeluaran. Ini berarti dengan semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga maka akan meningkatkan permintaan komoditi tersebut. Pada seluruh komoditi, elastisitas pengeluaran cukup elastis, terutama pada pisang.

Berdasarkan data SUSENAS diketahui bahwa tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia (31,9 kg/kapita/tahun) masih jauh dari standar yang dianjurkan oleh FAO yaitu sebesar 60 kg/kapita/tahun. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia dengan cara memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat, mengingat faktor pendapatan (yang diestimasi dari pengeluaran) terbukti berpengaruh signifikan terhadap permintaan buah. Alternatif lain yang dapat ditempuh ialah melalui sosialisasi mengenai pangan dan gizi secara umum melalui penyuluhan, pendidikan dan iklan layanan masyarakat melaui berbagai media. Alternatif kebijakan ini relatif lebih mudah dan aplikatif dibandingkan dengan alternatif yang pertama, karena jika mengandalkan perbaikan distribusi pendapatan masyarakat untuk dapat meningkatkan konsumsi buah maka akan memerlukan waktu yang lama.

ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA

PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Tunjung Pawestri K. W.

A14303045

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Judul Skripsi : ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA : PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)

Nama : Tunjung Pawestri Kusumo Wardani NRP : A14303045

Menyetujui

Dosen Pembimbing

Muhammad Firdaus, Ph.D

NIP. 132 158 758

Menyetujui

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus :

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI

ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM

PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI/KARYA ILMIAH PADA

PERGURUAN TINGGI/LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2007

Tunjung Pawestri K. W.

A14303045

RIWAYAT HIDUP

Tunjung Pawestri Kusumo Wardani dilahirkan di Kebumen tanggal 14

Desember 1985 dari pasangan ayah Drs. Bambang Winarso, MM dan ibu Sri Titi

Sedjati, S.Pd. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Pendidikan

formal yang telah ditempuh penulis antara lain :

§ TK Tunas Sejahtera Bogor lulus tahun 1991

§ SD Negeri Polisi V Bogor lulus tahun 1997

§ SMP Negeri I Bogor lulus tahun 2000

§ SMU Negeri I Bogor lulus tahun 2003

Pada tahun yang sama (2003) penulis memasuki Institut Pertanian Bogor

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI), pada

Fakultas Pertanian, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi

Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya . Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis

aktif pada organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama IPB

(BEM-TPB IPB) dan Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Sosial

Ekonomi Pertanian (MISETA). Selain itu, penulis juga aktif sebagai asisten dosen

untuk Mata Kuliah Ekonomi Umum dan Pengantar Ilmu-ilmu Kependudukan.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul ”Analisis Pola Konsumsi dan

Permintaan Buah pada Tingkat Rumah Tangga Di Pulau Jawa Penerapan Model

Almost Ideal Demand System (AIDS)” dapat diselesaikan. Topik ini dipilih

berdasarkan kondisi tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia yang masih jauh

di bawah standar anjuran FAO, dan trend yang ada menunjukkan bahwa ternyata

selama 15 tahun terakhir ini tingkat konsumsi buah di Indonesia cenderung

stagnan.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad

Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan

arahan dalam proses penulisan skripsi, serta semua pihak yang telah membantu

penyelesaian skripsi ini baik langsung maupun tidak.

Sebagai bagian dari suatu proses, mungkin masih banyak ditemui

kesalahan dan kekurangan dalam buku ini. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka

untuk saran dan kritik yang membangun dan dapat disampaikan melalui email

[email protected]. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi

penulis dan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Mei 2007

Tunjung Pawestri K. W.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak

terlepas dari kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu, Bapak, dan de Inggrid yang selalu mendoakan, menyemangati, serta

membantu secara moral dan materil dari penulis mulai kuliah hingga

penyelesaian akhir skripsi ini.

2. Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi dan juga

pembimbing akademik atas bimbingan, saran, dan kritik yang membangun

baik selama proses perkuliahan maupun penyelesaian skripsi.

3. Bapak Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku dosen penguji utama dan Ibu Eva

Anggraini, SP, M.Si selaku dosen penguji wakil departemen yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk menguji penulis, dan juga atas saran dan

perbaikannya dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Segenap Dosen pada PS Ekonomi Pertanian & Sumberdaya (Passing Out)

yang telah memberikan ilmunya, semoga dapat diamalkan dan bermanfaat

bagi penulis.

5. Seluruh staf BPS Jakarta dan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian (PSE-KP) yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi.

6. Seluruh staf Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya yang telah

banyak membantu penulis.

7. Bapak Rasidin Karo-Karo SP, M.Si dan Bapak Bonar M. Sinaga, Ph.D atas

buku panduan menggunakan SASnya. Tanpa buku itu, apa jadinya saya pak.

8. My Great Friends EPS’ers 40 dara, imul, daniku, bubach, reni, evy, maria,

angke, hanum, nunun, hamto, ikur, bang komti, abo, esti, rini, ncep, roy,

agung, arum, vega, mbak desi, feby, oks, suritin, dina, marisa, silvy, mbak

puri, coni makasiiihh sejuta kali pokoknya..

9. Adik-adikku EPSe 41, terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir

dalam seminar penulis. Remember that the promotion is always better than the

original.. Keep in fighting, keep in spirited !!

10. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Jazakumulloh..

i

DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................... i Daftar Tabel ......................................................................................................... iii Daftar Gambar ..................................................................................................... v Daftar Lampiran ................................................................................................. vi BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah.................................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 9 1.4 Kegunaan Penelitian.................................................................................. 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) ........................................... 11 2.2 Penelitian yang Menggunakan Model AIDS ............................................ 12 2.3 Penelitian Mengenai Pola Konsumsi dan Permintaan Buah ..................... 13 2.4 Komentar terhadap Penelitian Terdahulu.................................................. 15

BAB III. KERANGKA TEORI 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................... 19

3.1.1 Teori Perilaku Konsumen................................................................. 19 3.1.2 Pengertian Permintaan dan Faktor- faktor yang Mempengaruhinya 20

3.1.2.1 Dualitas Dalam Teori Permintaan ........................................... 20 3.1.2.2 Sifat-sifat Fungsi Permintaan .................................................. 23

3.1.3 Konsep Elastisitas ............................................................................ 25 3.1.4 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) .................................. 27

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional.............................................................. 29 BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1 Wilayah Studi dan Waktu Penelitian ........................................................ 33 4.2 Data Penelitian .......................................................................................... 33

4.2.1 Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 33 4.2.2 Kerangka Sampel Data SUSENAS 2005 ......................................... 34 4.2.3 Teknik Penarikan Contoh Penelitian................................................ 35 4.2.4 Pengelompokkan Data...................................................................... 36

4.3 Spesifikasi Model ...................................................................................... 37 4.3.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) .................................. 38 4.3.2 Perhitungan Nilai Elastisitas ............................................................ 39 4.3.3 Pembentukan Harga Agregat dan Indeks Stone ............................... 40

4.3 Prosedur Pendugaan dan Pengujian Restriksi. .......................................... 40 BAB V. GAMBARAN UMUM

5.1 Perkembangan Luas Panen........................................................................ 42 5.2 Perkembangan Produksi Buah-buahan...................................................... 44 5.3 Ekspor Buah Indonesia .............................................................................. 46

ii

BAB VI. PEMBAHASAN

6.1 Pola Konsumsi Buah ................................................................................. 48 6.1.1 Proporsi Pengeluaran Buah .............................................................. 48 6.1.2 Tingkat Konsumsi Buah di Indonesia .............................................. 50 6.1.3 Tingkat Konsumsi Buah di Pulau Jawa............................................ 53

6.2 Analisis Parameter Permintaan Buah di Pulau Jawa................................. 57 6.2.1 Pengujian Restriksi........................................................................... 57 6.2.1 Model Permintaan dengan Unit Sampling Rumah Tangga .............. 58 6.2.1 Model Permintaan dengan Unit Sampling PSU ............................... 63

6.3 Sistem Permintaan Buah ........................................................................... 66 6.3.1 Permintaan Jeruk .............................................................................. 66 6.3.2 Permintaan Pisang ............................................................................ 70 6.3.3 Permintaan Pepaya ........................................................................... 74

6.4 Implikasi Kebijakan .................................................................................. 78

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan................................................................................................ 84 7.2 Saran .......................................................................................................... 85

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 88 Lampiran ............................................................................................................... 91

iii

Judul Halaman

Tabel 1

Tabel 2

Tabel 3

Tabel 4

Tabel 5

Tabel 6

Tabel 7

Tabel 8

Tabel 9

Tabel 10

Tabel 11

Tabel 12

Tabel 13

Tabel 14

Tabel 15

Tabel 16

Konsumsi Energi per kapita per tahun di Indonesia menurut komoditi Tahun 1999, `002-2006 (kkal/hari) Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka, Penduduk Miskin, dan Pekerja di sektor Formal-Informal di Indonesia Tahun 2000-2005 (dalam juta jiwa) Perkembangan Tingkat Konsumsi Buah-Buahan pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia Tahun 1990-2005 (dalam kg/kapita/tahun) Elastisitas Harga Sendiri (Ed) & Elastisitas Pendapatan (Ei) untuk Komoditi Buah-buahan dari Berbagai Penelitian (yang Menggunakan Model AIDS). Jenis dan Sumber Data Penelitian Perkembangan dan Peningkatan Luas Panen dan Produksi Buah-buahan di Indonesia Tahun 1999-2005 Rata-rata Persentase Peningkatan per tahun Luas Panen dan Produksi Tanaman Buah-buahan di Indonesia Tahun 2000-2005 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buah Indonesia Tahun 2001-2005 Proporsi (share) Pengeluaran Buah-buahan Terhadap Total Pengeluaran (per kapita/bulan) tahun 2002-2006 Perkembangan Konsumsi Buah-Buahan di Indonesia Menurut Jenis Buah Tahun 1990-2005 Tingkat Konsumsi Buah dan Share terhadap Pengeluaran Buah Total di Pulau Jawa (berdasar wilayah & kelas pendapatan) tahun 2005 Tingkat Konsumsi Buah dan Share terhadap Pengeluaran Buah Total di Pulau Jawa (by province) tahun 2005 Hasil uji-F Model Sistem Persamaan Dengan dan Tanpa Restriksi Nilai Estimasi Parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Unit Sampling Rumah Tangga Nilai Estimasi Parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Unit Sampling PSU Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling Rumah Tangga

4 7 8

17

34

42

43

46

48

51

53

55

57

58

63

66

DAFTAR TABEL

iv

Tabel 17

Tabel 18

Tabel 19

Table 20

Tabel 21

Tabel 22

Table 23

Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling PSU Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang, unit sampling Rumah Tangga Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang, unit sampling PSU Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling Rumah Tangga Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling PSU Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling Rumah Tangga) Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling PSU)

67

70

72

75

76

82

83

v

Judul Halaman

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3

Gambar 4

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia (persen per tahun) Pencapaian Status Kesehatan di Indonesia Maximisasi Utilitas dan Minimisasi Biaya Skema Kerangka Pemikiran Operasional

1

2

23

32

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Judul Halaman

Lampiran 1

Lampiran 2

Lampiran 3

Lampiran 4

Lampiran 5

Lampiran 6

Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling RT Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling PSU Perintah membuat model AIDS dalam program SAS Karakteristik Data SUSENAS 2005 Luas Panen dan Produksi Buah di Indonesia menurut Propinsi Tahun 1999 dan 2005 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buah-buahan Indonesia Tahun 2000- 2005

91

94

97

99

103

104

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam beberapa kurun waktu terakhir setelah krisis ekonomi, kondisi

sosial dan perekonomian di Indonesia mulai mengalami perbaikan. Dari aspek

ekonomi, terdapat beberapa indikator yang dapat dijadikan tolak ukur seperti

meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia, menurunnya laju inflasi, serta

adanya peningkatan pendapatan riil per kapita penduduk Indonesia. Berdasarkan

laporan tahunan Bank Indonesia tahun 2006, terlihat bahwa pertumbuhan

ekonomi Indonesia selama beberapa kurun waktu terakhir terus mengalami

perbaikan. Trend pertumbuhan ekonomi per tahun di Indonesia, sebelum dan

setelah krisis moneter disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia (persen per tahun)1

Secara keseluruhan, kinerja perekonomian Indonesia di triwulan akhir

tahun 2006 tumbuh sebesar 6,1 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut relatif

lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2005 (5,6 %) dan tahun 2004 (5,1 %).

Indikator lainnya yang lebih tepat digunakan untuk menggambarkan peningkatan

1 www.bi.go.id

2

307 262

253 244 235

226

32 30.8 29.2 27.6 26 35

20 21.4 22.5 23.6 24.7 25.8

70.6 70.2 69.8 69.4 67.8 66.2

0 50

100 150

200 250

300

350

2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun

Angka Kematian Bayi (per 1.000 lahir) Angka Kematian Ibu (per 100.000 lahir)

Gizi Kurang Balita (%)

Usia Harapan Hidup (tahun)

kesejahteraan masyarakat ialah PDB riil per kapita. Pada tahun 2003, PDB riil per

kapita per tahun masyarakat Indonesia sebesar Rp. 7,39 juta. Jumlah ini

meningkat menjadi Rp. 7,67 juta pada tahun 2004 dan meningkat menjadi

Rp. 7,99 juta pada tahun 2005.

Dari aspek sosial, beberapa indikator yang dijadikan tolak ukur antara lain

menurunnya Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi, dan jumlah balita

kurang gizi di Indonesia. Di samping itu, Usia Harapan Hidup penduduk

Indonesia pun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Departemen

Kesehatan2, Usia Harapan Hidup penduduk Indonesia pada tahun 2004 ialah 66,2

tahun, lalu meningkat menjadi 69,4 tahun pada tahun 2006 dan diprediksikan akan

terus mengalami peningkatan di tahun-tahun ke depan. Selain itu, jumlah balita

kurang gizi di Indonesia pada tahun 2004 ialah sebesar 35 persen, menurun

menjadi 32 persen pada tahun 2005, dan mencapai 30,8 persen di tahun 2006.

Perkembangan beberapa indikator dari aspek sosial ini dapat dilihat di Gambar 2.

Gambar 2. Pencapaian Status Kesehatan di Indonesia

2 Departemen Kesehatan dalam Kompas, 5 Mei 2007.

3

Salah satu implikasi dari adanya peningkatan pendapatan per kapita

masyarakat adalah adanya perubahan pola konsumsi masyarakat secara umum,

termasuk pola konsumsi pangan. Menurut Suhardjo dalam Sawit (1997),

perbaikan kondisi ekonomi masyarakat akan mengubah pola konsumsi

masyarakat, baik dari segi jumlah maupun jenis. Hal ini ditandai dengan

berkurangnya pangan yang mengandung banyak energi dan meningkatnya pangan

yang kaya protein, vitamin, dan mineral. Perubahan pola konsumsi itu juga telah

terbukti di beberapa negara seperti Jepang, Cina, dan Taiwan.

Perubahan pola konsumsi (dietary pattern) tersebut tentunya berpengaruh

terhadap pola konsumsi hortikultura, khususnya buah-buahan. Buah merupakan

salah satu sumber vitamin dan mineral yang mudah diperoleh masyarakat di

berbagai wilayah, baik pedesaan maupun perkotaan. Selain itu buah memiliki

tingkat harga, jenis, dan kualitas yang relatif bervariasi, sehingga masyarakat dari

berbagai kelas pendapatan mampu mengkonsumsi buah sesuai dengan daya

belinya. Buah juga relatif tersedia sepanjang tahun meskipun beberapa buah

bersifat musiman, namun tidak sedikit buah yang tidak tergantung musim.

Terlebih dengan semakin banyaknya buah impor yang masuk di Indonesia, maka

ketersediaan buah relatif stabil sepanjang tahun.

Berdasarkan data SUSENAS panel tahun 1999-2006 yang disajikan dalam

Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada periode 1999-2006 jumlah kalori total yang

dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia masih kurang dari standar angka

kebutuhan gizi yang dianjurkan, yaitu sebesar 2100-2200 kkal per hari (Muhilal

1998 dalam Baliwati 2004). Dalam Tabel 1 dapat diketahui pula bahwa sumber

kalori masyarakat yang berasal dari padi-padian (pangan kaya energi) terus

4

menurun, sedangkan sumber kalori yang berasal dari ikan, telur, dan susu (pangan

kaya protein) jumlah absolutnya cenderung meningkat, meskipun jika dilihat dari

persentasenya terhadap konsumsi kalori total,cenderung konstan. Di sisi lain,

untuk komoditi hortikultura (pangan kaya vitamin dan mineral) perkembangan

konsumsinya cenderung konstan. Kondisi ini menunjukkan bahwa perbaikan

indikator makroekonomi, terutama PDB riil per kapita belum dapat menggeser

pola konsumsi masyarakat menjadi lebih baik (konsumsi pangan kaya protein,

vitamin, dan mineral khususnya yang bersumber dari buah-buahan menjadi lebih

tinggi)/

Tabel 1 . Konsumsi Energi per kapita per tahun di Indonesia Menurut Komoditi Tahun 1999, 2002-2006 (kkal/ hari)

Sumber : Modul konsumsi, SUSENAS panel 1999,2002-2006 Ket : * proporsinya terhadap konsumsi energi total (dalam persen)

Sumber Kalori 1999 2002 2003 2004 2005 2006 Padi -padian

Hortikultura

Ikan

Daging

Telur & Susu

Minuman

Makanan Jadi

Total

1066,5 (57,67)

62

(3,51)

36,04 (1,95)

20,07 (1,08)

24,39 (1,32)

103,35 (5,59)

170,78 (9,23)

1849,36

1039,9 (52,33)

78,2

(3,93)

42,53 (2,14)

35,01 (1,76)

39,63 (1,99)

120,00 (6,04)

198,09 (9,97)

1987,13

1035,1 (52,01)

83,7

(4,20)

46,91 (2,36)

41,71 (2,10)

37,83 (1,9)

115,54 (5,81)

212,31 (10,67)

1989,89

1024,1 (51,56)

80,41 (4,05)

45,05 (2,27)

39,73 (2,00)

40,47 (2,04)

114,75 (5,78)

219,09 (11,03)

1986,06

1009,1 (50,26)

78,6

(3,91)

47,59 (2,37)

41,45 (2,06)

47,17 (2,35)

110,73 (5,52)

233,08 (11,61)

2007,65

992,93 (51,53)

77,2

(4,00)

44,56 (2,31)

31,27 (1,62)

43,35 (2,25)

110,69 (5,74)

216,83 (11,25)

1926,74

5

Selain faktor pendapatan, konsumsi buah-buahan juga sangat dipengaruhi

oleh gaya hidup konsumennya. Menurut Huang dan Bouis (1996) dalam Sawit

(2007) masyarakat perkotaan (urban) memiliki pola konsumsi yang berbeda

dengan masyarakat pedesaan (rural). Gaya hidup orang kota (urban life style)

bersedia membayar lebih mahal pangan yang tidak memerlukan banyak waktu

untuk dimasak, karena tingginya opportunity cost waktu. Lalu masyarakat kota

cenderung lebih banyak pekerjaan yang mengutamakan kerja otak daripada

masyarakat di pedesaan. Seseorang yang terlibat dengan pekerjaan seperti itu

membutuhkan energi (kalori) yang relatif lebih sedikit dalam mempertahankan

berat badan. Selain itu masyarakat kota juga tidak menanam sendiri pangannya,

sehingga pilihan konsumsi tidak dibatasi oleh biaya produksi. Yang lebih utama,

masyarakat perkotaan lebih banyak dipengaruhi oleh pola pangan asing dan

pilihan komoditi pangan, termasuk buah-buahan yang ada di perkotaan relatif

lebih banyak daripada di pedesaan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa peran komoditi

hortikultura, khususnya buah-buahan menjadi semakin penting dalam memenuhi

kebutuhan gizi masyarakat. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization)

untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, konsumsi buah-buahan yang

dianjurkan adalah 60 kg/kapita/tahun. Menurut data SUSENAS pada tahun 2005

konsumsi buah-buahan di Indonesia masih kurang dari 32 kg/kapita/tahun.

Berdasarkan fakta tersebut, di tahun-tahun mendatang permintaan buah di

Indonesia diharapkan masih akan terus meningkat.

Pulau Jawa merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang tingkat

konsumsi buah-buahannya relatif tinggi dibanding dengan daerah lainnya. Hal ini

6

tentunya juga disebabkan karena jumlah penduduk di Pulau Jawa yang besar.

Tidak kurang dari 70 persen penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Selain itu,

penduduk di Pulau Jawa relatif heterogen, baik dari segi tingkat pendapatan,

tingkat pendidikan, gaya hidup, maupun variasi wilayah (pedesaan dan

perkotaan). Penelitian ini menganalisis pola konsumsi dan permintaan di Pulau

Jawa, sehingga diharapkan akan cukup menjadi cerminan bagaimana pola

konsumsi dan permintaan di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Perbaikan indikator makroekonomi di Indonesia yang antara lain

dicerminkan oleh peningkatan pendapatan riil per kapita dan pertumbuhan

ekonomi, serta penurunan laju inflasi, di sisi lainnya belum diimbangi dengan

perbaikan kondisi sosial ekonomi riil di masyarakat. Berdasarkan data BPS yang

disajikan dalam Tabel 2 terlihat bahwa jumlah pengangguran terbuka di Indonesia

secara kontinyu terus mengalami peningkatan. Tahun 2000 jumlah pengangguran

terbuka di Indonesia sebesar 5,8 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat 87,9 persen

pada tahun 2005 menjadi 10,9 juta jiwa. Selain itu dari total pekerja di Indonesia,

jumlah yang bekerja pada sektor informal pun masih mendominasi. Selama

periode 2000 hingga 2005 jumlah pekerja pada sektor informal ini, meskipun

jumlahnya fluktuatif namun kecenderungannya terus mengalami peningkatan.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia, pada periode 2000-2005 jika dilihat dari

angka absolutnya mulai mengalami penurunan, namun jika dilihat dari

persentasenya terhadap jumlah penduduk total masih relatif tetap, yaitu berkisar

antara 16-18 persen, bahkan di tahun 2006 kembali meningkat.

7

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka, Penduduk Miskin, dan Pekerja di Sektor Formal-Informal di Indonesia Tahun 2000-2005 (dalam juta jiwa)

Tahun Jumlah

Pengangguran Terbuka

Jumlah Penduduk

Miskin

Jumlah Pekerja

Sektor Formal Sektor Informal

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

5.8

8.0

9.1

9.5

10.3

10.9

10.93

38.7

37.9

38.4

37.3

36.1

35.1

39.25

31.5

35.0

33.6

32.7

34.5

34.3

-

58.3

55.8

57.9

60.0

59.2

60.6

-

Sumber : BPS 2006

Kondisi di atas menunjukkan adanya ambiguitas, dimana ketika indikator

makroekonomi mengalami perbaikan, namun tidak demikian halnya pada sektor

riil di masyarakat. Hal ini salah satunya tercermin pada tingkat konsumsi rumah

tangga di Indonesia, yang di triwulan pertama tahun 2007 justru turun sebesar 0,5

persen di saat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,97 persen. 3 Indikator

mikroekonomi yang juga menunjukkan adanya ambiguitas ini ialah tingkat

konsumsi buah rumah tangga. Berdasarkan data SUSENAS pada Tabel 3 terlihat

bahwa selama kurun waktu 15 tahun terakhir tingkat konsumsi buah di Indonesia

cenderung stagnan. Hal ini dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia

secara umum belum mengalami peningkatan yang signifikan. Di satu sisi

pendapatan riil per kapita meningkat, sedangkan kesejahteraan masyarakat

menurun akibat daya belinya yang stagnan. Ini merupakan indikasi belum adanya

perbaikan distribusi pendapatan masyarakat. Hal tersebut mendorong

dilakukannya kajian lebih lanjut mengenai faktor- faktor apa saja yang perlu

3 Badan Pusat Statistik dalam Kompas edisi Rabu, 16 Mei 2007. Pertumbuhan Belum Mendasar. Hambatan Pengembangan Sektor Riil Belum Tertangani

8

diperhatikan untuk meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia,

mengingat tingkat konsumsi buah di Indonesia (32 kg/kapita/tahun di tahun 2005)

masih jauh dari standar yang dianjurkan oleh FAO sebesar 60 kg/kapita/tahun.

Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Buah Pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia (dalam kg/kapita/tahun) Tahun 1990-2005

Sumber : Ditjen Tanaman Hortikultura, Departemen Pertanian tahun 2005

Konsumsi buah selain dipengaruhi oleh pendapatan dan harga, juga

dipengaruhi oleh selera, nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat, dan gaya

hidup konsumennya. Konsumen dengan tingkat pendapatan dan tingkat

pendidikan berbeda tentunya memiliki gaya hidup yang berbeda. Begitu juga

konsumen di wilayah yang berbeda akan memiliki gaya hidupnya masing-masing.

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap konsumsi buah ialah produksi dan

ketersediaannya di pasar, mengingat banyak jenis buah yang bersifat musiman.

Dalam mempelajari pola konsumsi buah, salah satu aspek yang dapat

dikaji adalah jumlah atau tingkat permintaan dari buah itu sendiri. Seperti telah

dikemukakan sebelumnya bahwa konsumsi buah sangat dipengaruhi oleh gaya

hidup konsumennya, maka tentunya perubahan beberapa variabel seperti

pendapatan dan harga, akan direspon dengan cara yang berbeda oleh masing-

masing konsumen dengan karakteristik yang berbeda. Berdasarkan kondisi

tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang sistematis dengan model yang baik

untuk menelaah perilaku konsumen buah.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Deaton, 1981,

Daud, 1986, Rachmat dan Erwidodo,1993, Ariani, 1993, Saliem dan Erwidodo,

KET Konsumsi per kapita (kg/tahun)

Tahun 1990 1993 1996 1999 2002 2005 Tingkat

Konsumsi 29.94 26 24.67 18.7 29.38 31.57

9

1994, Rahmi, 2001,dan Saliem 2002) umumnya menganalisa pola konsumsi dan

permintaan buah-buahan secara agregat saja, padahal tentunya terdapat perbedaan

tingkat konsumsi serta musim panen antar satu komoditi dengan komoditi lainnya.

Terdapat pula penelitian yang menganalisis pola konsumsi dan permintaan buah-

buah yang dirinci per komoditi (Hartoyo (1997) dan Sawit, dkk (1997)) namun

belum belum membahas bagaimana pengaruh variabel demografi terhadap

permintaan buah. Variabel demografi seperti jumlah anggota rumah tangga, usia,

jenis kelamin, maupun tingkat pendidikan diduga memiliki pengaruh terhadap

pola konsumsi buah pada rumah tangga di Indonesia.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah yang akan

dibahas dalam penelitian ini ialah :

1) Bagaimana pola konsumsi buah di daerah pedesaan dan perkotaan Pulau Jawa

menurut golongan pendapatan ?

2) Bagaimana model permintaan lengkap buah dalam bentuk penerapan suatu

model Almost Ideal Demand System (AIDS) di Pulau Jawa ?

3) Bagaimana pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap perubahan

permintaan buah menurut kelompok rumah tangga di Pulau Jawa?

1.3 Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini ialah :

1) Mengidentifikasi pola konsumsi buah di daerah pedesaan dan perkotaan Pulau

Jawa menurut golongan pendapatan.

2) Menganalisa model permintaan lengkap buah dalam bentuk penerapan suatu

model Almost Ideal Demand System (AIDS) di Pulau Jawa.

10

3) Menganalisa pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap perubahan

permintaan buah menurut kelompok rumah tangga di Pulau Jawa

1.4 Kegunaan Penelitian

1) Penelitian ini menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang parameter-

parameter permintaan komoditi buah, pola konsumsi buah di Indonesia dan

Pulau Jawa secara khusus, serta informasi bagaimana pengaruh perubahan

harga dan pendapatan terhadap permintaan rumah tangga terhadap buah.

Selain itu juga sebagai perbandingan dan masukan bagi penelitian-penelitian

berikutnya.

2) Penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam menganalisa

suatu permasalahan, serta menerapkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari semasa

kuliah ke dalam situasi riil.

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS)

Model Permintaan Almost Ideal Demand System (AIDS) ini pertama kali

diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer pada tahun 1980. Berbeda dengan

model permintaan lainnya, model ini dapat menjawab tuntutan preferensi

konsumen, dan bentuk fungsinya lebih fleksibel. Hal tersebut disebabkan restriksi-

restriksi dari model ini seperti additivitas, homogenitas, dan simetri dapat diuji

secara statistik (Deaton dan Muellbauer, 1980).

Selain itu, model permintaan ini juga mempertimbangkan keputusan

konsumen dalam menentukan seperangkat komoditi secara bersama-sama. Hal

tersebut tidak ditemukan dalam model permintaan lainnya, sehingga hubungan

silang dua arah antara dua komoditi dapat ditentukan. Hal itu sesuai dengan fakta

yang ada bahwa pemilihan suatu komoditi dilakukan oleh konsumen secara

bersama-sama.

Menurut Deaton dan Muellbauer (1980) beberapa karakteristik penting

dari model permintaan AIDS ini ialah (1) model ini merupakan pendekatan orde

pertama terhadap sembarang fungsi sistem permintaan, (2) dapat memenuhi

aksioma perilaku pemilihan komoditi dengan tepat, (3) dapat digunakan untuk

menguji restriksi homogenitas dan simetrik (4) bentuk fungsinya konsisten dengan

pengeluaran rumah tangga, (5) dapat mengagregasi perilaku rumah tangga tanpa

menerapkan kurva Engel yang linier, dan yang terpenting parameternya mudah

diduga tanpa harus menggunakan metode non linier.

12

2.2 Penelitian yang Menggunakan Model Almost Ideal Demand System (AIDS)

Penelitian mengenai permintaan pangan di Kawasan Timur Indonesia

(KTI) dengan menggunakan Model AIDS yang dilakukan oleh Saliem (2002)

mencoba untuk menganalisis permintaan pangan dan konsumsi zat gizi

rumahtangga di daerah pedesaan dan perkotaan wilayah KTI menurut golongan

pendapatan dan dikaitkan dengan upaya pemenuhan konsumsi zat gizi

rumahtangga. Dalam penelitian tersebut digunakan data SUSENAS tahun 1996,

dimana rumahtangga yang dipilih menjadi sampelnya ialah rumahtangga yang

konsumsi energinya berada pada selang 1000 – 4500 kkal/kapita/hari. Dalam studi

tersebut juga dilakukan pengelompokkan (agregasi) komoditi pangan menjadi 15

kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras dominan dalam struktur

anggaran serta kontribusi energi dan protein rumahtangga di KTI. Konsumsi

pangan sumber karbohidrat di daerah pedesaan KTI lebih tinggi daripada di kota,

namun untuk pangan sumber protein terjadi sebaliknya. Dari hasil analisis juga

diketahui bahwa makin tinggi tingkat pendapatan maka makin tinggi pula tingkat

konsumsi pangannya. Selain itu, permintaan pangan rumahtangga di pedesaan

KTI lebih responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan dibanding

rumahtangga di kota. Peubah jumlah anggota rumahtangga dan pendidikan kepala

rumahtangga terbukti berpengaruh nyata terhadap permintaan pangan

rumahtangga di KTI.

Rachmat dan Erwidodo (1993) juga menggunakan model AIDS dalam

penelitiannya untuk menganalisis elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang,

13

dan elastisitas pengeluaran dari komoditi pangan utama. Komoditi yang dianalisis

meliputi beras, jagung, kacang tanah, gula, dan komoditi kacang-kacangan

lainnya. Di samping pendugaan secara agregat (nasional), dilakukan pula

pendugaan menurut daerah (desa-kota) serta pendugaan menurut kelompok

pendapatan. Dalam penelitian tersebut diperbandingkan pemakaian unit analisa

rumah tangga dan blok sensus. Data yang digunakan ialah data SUSENAS tahun

1990 berupa data konsumsi dan pengeluaran rumahtangga.

Dari hasil dugaan dapat disimpulkan bahwa permintaan terhadap beras

paling elastis, menyusul jagung, gula, kedelai, dan komoditi lainnya. Di wilayah

pedesaan, permintaan komoditi beras, jagung, kedelai, dan pangan lain lebih

elastis dibanding di perkotaan, sedangkan pada komoditi gula berlaku sebaliknya.

Pada seluruh komoditi yang dianalisa, elastisitas pengeluaran cukup elastis yang

berarti dengan semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga akan

meningkatkan permintaan komoditi tersebut. Selain itu diketahui pula adanya

kecenderungan sifat komplemen antar komoditi pangan yang dianalisa, dimana

sifat komplemen relatif kuat terjadi antara beras dengan kedelai, gula dan

komoditi lainnya. Beberapa hasil penelitian lainnya yang menggunakan model

AIDS dalam analisanya disajikan dalam Tabel 4.

2.3 Penelitian Mengenai Pola Konsumsi dan Permintaan Buah

Penelitian mengenai perubahan pola konsumsi komoditas hortikultura

yang dilakukan oleh Sawit dkk (1997) bertujuan menganalisis perubahan tingkat

partisipasi dan tingkat konsumsi komoditas hortikultura, menganalisis faktor-

faktor sosial ekonomi terhadap pola konsumsi komoditas hortikultura, dan

14

menduga besaran parameter-parameter permintaan komoditas hortikultura. Data

yang digunakan terutama adalah data SUSENAS tahun 1987, 1990, dan 1993.

Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif (dengan

menggunakan model AIDS). Pada penelitian ini dianalisis 9 jenis sayuran dan 10

jenis buah-buahan yang dipilih berdasarkan nilai ekonominya. Unit sampling yang

digunakan adalah Primary Sampling Unit (PSU).

Hasil analisis menunjukkan pengeluaran untuk sayuran dan buah-buahan

berdasarkan data SUSENAS tahun 1987, 1990, dan 1993 relatif kecil, yaitu

kurang dari 5 persen, dibandingkan dengan beras dan serelia. Secara agregat

terjadi peningkatan pangsa pengeluaran untuk sayuran dan buah-buahan di kota

dan di desa tahun 1987 yaitu 1,6 persen menjadi 4 persen pada tahun 1990 dan

1993. Diketahui pula bahwa tingkat partisipasi konsumsi buah di kota relatif lebih

besar dibandingkan di pedesaan dan terdapat kecenderungan bahwa semakin

tinggi pendapatan (yang diproyeksi dengan pengeluaran) semakin tinggi pula

tingkat partisipasi konsumsi buah-buahan. Nilai elastisitas harga sendiri untuk

semua komoditi hortikultura bertanda negatif, namun bervariasi untuk setiap

komoditi sayuran atau buah-buahan baik antar tahun, jenis, maupun wilayah. Nilai

elastisitas pengeluaran untuk sayuran dan buah-buahan (kecuali pepaya di

pedesaan) bertanda positif.

Hartoyo (1997) juga melakukan penelitian mengenai permintaan buah-

buahan di Jawa Barat dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1996. Dalam

melakukan analisisnya Hartoyo (1997) menggunakan model AIDS dan untuk

pendugaan parameternya digunakan metode SUR (Seemingly Unrelated

Regression) dengan memasukkan pembatas-pembatas aditif, homogen, dan

15

simetri. Jenis buah-buahan yang dianalisis adalh jeruk, mangga, apel, rambutan,

salak, pisang, dan pepaya. Dalam pendugaan parameter, rumahtangga responden

dikelompokkan berdasarkan tingkat pengeluaran rumahtangga dan berdasarkan

jumlah anggota rumahtangga, yang kemudian dihitung rata-rata konsumsi dan

pengeluaran untuk masing-masing kelompok.

Hasil penelitian Hartoyo (1997) menunjukkan bahwa elastisitas harga

sendiri dari tujuh buah yang dianalisis semuanya memiliki nilai yang inelastis,

yaitu berkisar antara -0,051 hingga -0,809, yang berarti bahwa permintaan buah-

buahan tersebut tidak responsif terhadap perubahan harga. Elastisitas harga silang

ada yang bertanda positif dan ada pula yang bertanda negatif, yang berarti terdapat

buah-buahan yang bersifat subtitusi atau komplementer satu sama lain.Seluruh

nilai elastisitas silang tersebut krang dari satu (inelastis) yang berarti perubahan

harga buah yang satu tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan jumlah

permintaan buah lainnya. Buah-buahan yang elastisitas pendapatannya

mempunyai nilai yang elastis adalah jeruk dan apel, sedangkan buah-buahan yang

lain mempunyai nilai yang inelastis tetapi mendekati satu. Ini berarti bahwa

perubahan tingkat pendapatan sangat berpengaruh terhadap perubahan jumlah

buah-buahan yang diminta.

2.4 Komentar terhadap Penelitian Terdahulu

Penelitian konsumsi atau permintaan komoditi pangan yang selama ini

telah dilakukan mayoritas mengkaji komoditi bahan pangan pokok, seperti beras,

jagung, kedelai, dan sebagainya. Penelitian-penelitian yang mengkaji permintaan

produk hortikultura masih sedikit dilakukan. Jika ada pun penelitian tersebut

16

dilakukan secara agregat yaitu tanpa merinci jenis komoditi hortikultura, padahal

tentunya terdapat perbedaan tingkat konsumsi serta musim panen antara satu

komoditi dengan komoditi lainnya.

Dari berbagai studi pustaka yang dilakukan (Deaton (1981), Daud (1986),

Ariani (1993), Saliem dan Erwidodo, (1994), Hartoyo (1997), Sawit, dkk (1997),

Rahmi (2001), dan Saliem (2002)), terlihat bahwa cakupan kajian konsumsi dan

permintaan diarahkan kepada kelompok komoditi pangan (termasuk di dalamnya

komoditi hortikultura, sayur dan buah) secara agregat. Namun ada pula beberapa

penelitian yang telah merinci komoditi hortikultura, seperti penelitian Hartoyo

(1997) dan Sawit, dkk (1997).

Berbagai penelitian tersebut telah dilakukan dengan membagi analisis

berdasarkan wilayah pedesaan dan perkotaan maupun di berbagai kelas

pendapatan. Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut menggunakan data

SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) sebelum tahun 2000 . Karena itu,

dalam penelitian ini dicoba untuk menganalisis permintaan buah-buahan yang

juga dirinci per komoditi, kelas pendapatan, dan wilayah desa-kotanya untuk

Pulau Jawa dengan menggunakan data SUSENAS tahun 2005 dan memasukkan

faktor- faktor sosiodemografi dalam merumuskan model permintaannya. Dalam

penelitian ini juga akan diperbandingkan penggunaan unit sampling Rumah

Tangga (RT) dan Primary Sampling Unit (PSU) yang akan dijelaskan secara

lebih mendalam dalam bab metode penelitian.

17

Tabel 4 : Elastisitas Harga sendiri (Ed) & Elastisitas Pendapatan (Ei) untuk Komoditi buah-buahan dari Berbagai Penelitian (yang Menggunakan Model AIDS)

Peneliti Tujuan Penelitian Jenis/Sumber Data Wilayah studi Unit

Analisis Hasil

Lekir Amir Daud (1986) Mewa Ariani (1993) Handewi P. Saliem dan Erwidodo (1994) Sri Hartoyo (1997)

Analisis Permintaan makanan penting di Indonesia Analisis permintaan pangan di 3 provinsi di Indonesia : Sumbar, Jatim, dan Sulsel. Analisis Permintaan Pangan di Indonesia. Analisis permintaan Buah-buahan di Jawa Barat.

Susenas 1981 Susenas 1990 Susenas 1990 Susenas 1996

Jawa, desa-kota Sumbar, Jatim, dan Sulsel Indonesia, desa-kota, kelas pendapatan Jawa Barat

Rumah tangga Rumah tangga PSU Rata-rata kelompok pengeluaran & jumlah anggota rumah tangga

Untuk kelompok komoditi sayuran/kacang/buah : - Ed : -0,83 (Jawa) dan -0,67 (non

Jawa). - Ei : 1,07 (Jawa) dan 1,08 (non Jawa) Untuk kelompok sayur dan buah : - Ed : Sumbar (-0,67), Jatim (-1,01) dan

Sulsel (-0,77) - Ei : Sumbar (1,15), Jatim (1,02), dan

Sulsel (1,17). Untuk kelompok buah-buahan : - Ed : Desa (-0,63), Kota (-0,63) dan

total (-0,64). - Ei : Desa (0,60), Kota (0,39) dan total

(1,49). - Ed : bernilai negatif untuk semua

komoditi yang dianalisis, yaitu jeruk, mangga, apel, rambutan, salak, pisang, pepaya, dan lainnya.

- Ei :Bernilai positif dengan : * nilai > 1 untuk jeruk, apel, dan lainnya. * nilai < 1 untuk mangga, rambutan,

salak, pisang, dan pepaya.

18

Peneliti Tujuan pennelitian Jenis/Sumber Data Wilayah Studi Unit Analisis Hasil

Angus Deaton (1981) M. Husein Sawit, dkk (1997) Dewi Rahmi (2001) Handewi P. Saliem (2002)

Analisis Elastisitas Harga Komoditi Pangan di daerah Pedesaan jawa Analisis pola konsumsi hortikultura di Indonesia. Analisis Permintaan Makanan & Dampak perbahan Harga terhadap kesejahteraan RT di Jawa Barat Analisis Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)

Susenas 1981 Susenas 1987 dan 1993 Susenas 1996 Susenas 1996

Pedesaan Jawa Indonesia, desa-kota Jawa Barat, desa-kota, kelas pendapatan Kawasan Timur Indonesia, desa-kota, kelas pendapatan

PSU PSU Rumah Tangga Rumah Tangga

Untuk kelompok buah-buahan : Ed = -0.953

Untuk data susenas 1987 : - elastisitas harga sendiri : jeruk : -0,449 (kota), -0,594 (desa) pisang : -0,648 (kota), -0,569 (desa) pepaya : -1,09 (kota), -0,291 (desa) -elastisitas pengeluaran : jeruk : 0,419 (kota), 0,520 (desa) pisang : 0,264 (kota), 0,420 (desa) pepaya : 0,207 (kota), -0,594 (desa) Untuk grup komoditi buah-buahan : Ed : -0,588 (Jabar), -0,661 (desa), dan -0,524 (kota) Ei : 1,261 (Kota) dan 1,157 (desa) Income rendah (1,143), sedang (1,157), dan tinggi (1,229) Untuk kelompok buah-buahan: - Ed : Desa (-0,809), Kota (-0,628) dan

total (-0,724) - Ei : Desa (1,366), Kota (1,08), dan

total (1,208).

19

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Perilaku Konsumen

Teori permintaan pasar dijelaskan sebelumnya melalui teori permintaan

individu, mengingat adanya konsep bahwa permintaan pasar merupakan

penjumlahan dari permintaan individu. Teori permintaan individu sendiri

umumnya diturunkan dari teori perilaku konsumen, oleh karena itu pembahasan

mengenai teori perilaku konsumen ini menjadi penting. Perilaku konsumen

umumnya diterangkan dengan pendekatan fungsi kepuasan (utility function).

Dalam teori ekonomi, seringkali rumah tangga dianggap sebagai unit

pengambil keputusan yang terkecil. Dalam mengambil keputusan tersebut,

terdapat asumsi pokok bahwa rumah tangga akan memaksimumkan apa yang

seringkali disebut kepuasan (utilitas) mereka, kesejahteraan mereka, atau

kemakmuran mereka (Lipsey, 1993). Jika rumah tangga tersebut dihadapkan

dengan pilihan antara dua kelompok alternatif konsumsi, maka asumsinya rumah

tangga tersebut akan memilih kelompok yang disenanginya, atau dengan kata lain

rumah tangga tersebut menentukan pilihannya (preferensinya) dalam rangka

memaksimumkan kepuasannya (utilitasnya).

Menurut Nicholson (2002), utilitas/kepuasan didefinisikan sebagai

kepuasan yang diterima seseorang akibat aktivitas ekonomi yang dilakukannya.

Konsep utilitas ini sendiri sebenarnya memiliki makna yang luas karena tingkat

kepuasan seseorang merupakan suatu hal yang bersifat subjektif dan nilainya tidak

20

dapat diukur secara pasti. Namun terdapat beberapa sifat mendasar mengenai

preferensi individu ini, yaitu :

1. Complete Preferences (Preferensi yang lengkap).

Dalam sifat dasar ini diasumsikan bahwa para individu mampu menyatakan

apa yang diinginkannya dari antara dua pilihan. Jika terdapat dua kelompok

konsumsi A dan B, maka diharapkan bahwa individu tersebut dapat secara

tegas menyatakan kelompok satu akan lebih baik dari kelompok lainnya.

2. Transitivity of Preferences ( Preferensi bersifat transitif).

Dalam sifat dasar ini dijelaskan bahwa jika A lebih diinginkan dari B, dan B

lebih diinginkan dari C, maka A harus lebih diinginkan dari C. Jadi dalam hal

ini diasumsikan bahwa individu akan bersikap konsisten dalam menentukan

pilihannya.

3. ‘More is better than less’.

Dalam sifat dasar ketiga ini diasumsikan bahwa individu akan lebih menyukai

banyak barang daripada sedikit barang.

3.1.2 Pengertian Permintaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

3.1.2.1 Dualitas Dalam Teori Permintaan

Dalam teori produksi dikatakan bahwa produsen memiliki tujuan

memaksimumkan outputnya (pada berbagai tingkat harga input) dengan memilih

cara yang menghabiskan biaya seminimum mungkin. Minimisasi biaya dan

maksimisasi output pada tingkat anggaran tertentu merupakan suatu alt ernatif

dalam mencapai efisiensi dalam produksi. Konsep ini merupakan konsep efisiensi

ditinjau dari sisi produsen, sedangkan dari sisi konsumen konsep tersebut dapat

21

juga dijelaskan dengan cara yang sama. Konsumen sesungguhnya menghadapi

masalah maksimisasi kepuasan pada tingkat anggaran tertentu. Masalah ini dapat

dirumuskan kembali sebagai masalah minimisasi biaya/pengeluaran (expenditure)

untuk mencapai tingkat kepuasan (utility) tertentu. Kedua masalah ini sering

disebut sebagai “dual problem”. Sistema tikanya ialah sebagai berikut:

• Masalah Orisinil (Original Problem) :

Maksimisasi utilitas (u)= v(q) dengan kendala p.q = x

• Dual Problem :

Minimisasi pengeluaran (x) = p.q dengan kendala v(q) = u

Lebih jauh kedua permasalahan ini harus menghasilkan pilihan yang sama

(pilihan kuantitas q optimal yang sama). Dengan kata lain, pengeluaran (x) di

original problem, harus menjadi pengeluaran minimum di dual problem.

Pada original problem, solusi untuk memperoleh nilai q optimal

sudah diperoleh, seperti yang dijelaskan dalam sub bab sifat-sifat fungsi

permintaan (3.2.2). Solusinya merupakan sistem permintaan Marshallian

g(x,p). Sedangkan pada dual problem, variabel yang sudah ditetapkan adalah

u dan p, sehingga dapat diperoleh solusi yang sama, namun sebagai fungsi dari

u dan p. Fungsi permintaan yang meminimisasi pengeluaran ini ditulis h(u,p)

dan dikenal sebagai fungsi permintaan Hicksician atau “compensated”.

Persamaan ini menjelaskan bagaimana q dipengaruhi oleh harga (p) dan

utilitas (U) yang nilainya konstan, karena itulah disebut “compensated”.

Karena kedua persamaan tersebut sama, maka :

Q = g(x,p) = h(u,p) ………………..(3.1)

Masing-masing solusi ini dapat disubtitusikan kembali ke masalah awalnya.

22

Pertama : masalah maksimisasi utilitas (u) :

U = v (q1, q2, …, qn)

= v [g1(x,p), g2(x,p), …, gn(x,p)]

= ? (x,p) …………………(3.2)

persamaan (3.2) di atas merupakan utilitas maksimum yang dapat dicapai

dengan harga (p) dan anggaran (x) tertentu. Fungsi ? (x,p) ini disebut fungsi

kepuasan tidak langsung (indirect utility function), dan dapat pula ditulis

? (x,p) = q

max [v(q); p.q = x]

Kedua : masalah minimisasi anggaran (x)

X = ? Pk.qk

= ? Pk. Hk(u,p) = p1h1(u,p) + p2h2(u,p) + … + pnhn(u,p)

= c (u,p) ……….………(3.3)

persamaan (3.3) di atas adalah biaya minimum dalam mencapai utilitas (u)

tertentu pada tingkat harga P, dan dikenal sebagai fungsi biaya (cost

function). Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut :

c (u,p) = q

min [x = p.q; u = v(q)]

Antara fungsi biaya dan fungsi kepuasan tidak langsung terdapat

hubungan yang erat. Karena c(u,p) = x, maka kita dapat menuliskan u sebagai

fungsi dari x dan p yaitu u = ? (x,p). Sistematika hal ini dapat dilihat dalam

gambar 3.

23

dualitas

solusi solusi

subtitusi subtitusi

inversi

Gambar 3. Maksimisasi Utilitas dan Minimisasi Biaya.

3.1.2.2 Sifat-sifat Fungsi Permintaan

Permintaan terhadap komoditi tertentu dipengaruhi oleh banyaknya faktor

secara simultan. Secara sederhana, Deaton dan Muellbauer (1980) menjelaskan

bahwa dalam membeli sejumlah komoditi i, seorang konsumen pasti akan

dipengaruhi oleh harga komoditi tersebut (p) dan total pengeluaranya (x) (sebagai

pendekatan dari pendapatan), dan jika dituliskan fungsinya menjadi :

qi = gi (x,p) ……………………..….(3.4)

Dimana persamaan (3.4) di atas umumnya disebut sebagai “fungsi permintaan

Marshallian”. Beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap permintaan antara

lain harga-harga komoditi lain, selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk,

kesejahteraan konsumen, kebijaksanaan pemerintah, dan sebagainya. Dalam teori

permintaan yang tradisional, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan

dititikberatkan pada empat hal, yaitu harga komoditi yang bersangkutan, harga

komoditi lainnya, pendapatan konsumen, dan selera. (Kuntjoro, 1984)

Maksimisasi v(q) Tergantung pada p.q = x

Minimisasi p.q Tergantung pada v(q) = u

Permintaan Marshallian Q = g (x,p)

Fungsi biaya C (u,p)

Permintaan Hicksician Q = h (u,p)

Fungsi utilitas tak langsung ? (x,p)

24

Deaton dan Muellbauer (1980) telah meringkas beberapa sifat dari fungsi

permintaan Hicksician dan Marshallian sebagai berikut :

a). Adding Up

Nilai total atau penjumlahan dari permintaan (baik fungsi permintaan

Hicksician maupun fungsi permintaan Marshallian) merupakan total pengeluaran

dari suatu rumah tangga dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Dari persamaan

(x) di atas dapat diperoleh fungsi berikut :

∑=

n

i 1

Pi gi(x,p) = x ………………..(3.5)

dimana persamaan (3.5) di atas merupakan penjelasan bagi restriksi adding up.

b). Homogenitas

Fungsi permintaan Hicksician akan homogen berderajat nol terhadap

harga, sedangkan untuk fungsi permintaan Marshallian akan homogen berderajat

nol terhadap harga dan pengeluaran rumah tangga. Hal tersebut menunjukkan

bahwa untuk fungsi permintaan Marshallian apabila terjadi perubahan harga dan

pengeluaran secara proporsional, maka permintaan rumah tangga terhadap suatu

barang atau jasa tidak akan berubah.

c). Simetri

Penurunan koefisien harga silang dari permintaan Hicksician adalah

simetris. Simetris di sini menunjukkan bahwa koefisien harga silang yang

dihasilkan adalah sama. Sifat ini merupakan jaminan dari cara untuk menguji

aksioma yang menyatakan bahwa konsumen bersifat konsisten dalam menentukan

preferensinya.

25

d). Negativitas

Antara harga suatu komoditi dengan jumlah yang diminta akan terdapat

hubungan yang negatif. Hal ini sesuai yang dinyatakan dalam hukum permintaan

(the law of demand), sehingga apabila harga suatu barang meningkat dengan

utilitas diasumsikan tetap, maka permintaan barang tersebut akan turun.

Dari keempat sifat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sifat adding up dan

homogenitas merupakan konsekuensi dari spesifikasi kendala anggaran linier.

Lalu sifat simetri dan negativitas adalah konsekuensi dari sifat preferensi

konsumen yang konsisten. Tanpa kedua sifat ini, berarti konsumen tidak konsisten

terhadap pilihannya.

3.1.3 Konsep Elastisitas

Permintaan seorang konsumen terhadap suatu barang dipengaruhi oleh

pendapatannya (I), harga barang tersebut (Px), dan juga oleh harga barang-barang

lain. Bagaimana kepekaan permintaan dipengaruhi oleh faktor- faktor tersebut,

dijelaskan oleh suatu konsep elastisitas (elastisity). Menurut Nicholson (2002)

elastisitas merupakan ukuran persentase perubahan suatu variabel yang

disebabkan oleh satu persen perubahan variabel lainnya. Konsep elastisitas

permintaan ini memiliki beberapa macam variasi, yaitu :

1. Elastisitas Harga dari Permintaan

Salah satu aplikasi elastisitas yang paling penting ialah elastisitas harga

dari permintaan (price elastisity of demand). Perubahan P (harga barang) akan

menyebabkan perubahan Q (kuantitas yang dibeli/dikonsumsi), dan elastisitas

harga dari permintaan mengukur hubungan ini. Secara khusus, elastisitas harga

26

dari permintaan (eQ,P) didefinisikan sebagai persentase perubahan kuantitas

sebagai respon atas satu persen perubahan harga. Bentuk matematisnya ialah

sebagai berikut :

EQ,P = PerubahanPPersentasePerubahanQPersentase

……….(3.1.3.a)

Elastisitas ini menunjukkan bagaimana perubahan Q, dalam nilai persentase,

merespon persentase perubahan P. Karena P dan Q bergerak ke arah yang

berlawanan, maka eQ,P akan bernilai negatif4. Elastisitas harga (eQ,P) ini dikatakan

elastis jika nilai absolutnya lebih dari satu, dan dikatakan inelastis jika kurang dari

satu.

2. Elastisitas Pendapatan dari Permintaan

Tipe elastisitas lainnya adalah elastisitas pendapatan dari permintaan

(income elastisity of demand) (eQ,I). Konsepnya, elastisitas jenis ini merupakan

persentase perubahan kuantitas suatu barang yang diminta sebagai respon atas

perubahan pendapatan sebesar satu persen. Secara matematis, elastisitas

pendapatan dirumuskan sebagai berikut :

EQ,I = PerubahanIPersentasePerubahanQPersentase

……….(3.1.3.b)

Konsep elastisitas pendapatan ini dapat digunakan untuk mengkategorikan suatu

barang, apakah ia tergolong sebagai komoditi normal, inferior, atau barang

mewah (luxury). Untuk suatu barang normal, eQ,I adalah positif karena kenaikan

pendapatan mengakibatkan kenaikan pembelian barang. Di sisi lain, suatu barang

termasuk kepada barang inferior jika nilai eQ,I adalah negatif. Hal ini berarti

4 Kadang-kadang, elastisitas harga dari permintaan didefinisikan sebagai nilai absolute dari hasil definisi persamaan 3.1.3.a. Dengan menggunakan definisi ini, elastisitas tidak akan pernah bernilai negatif.

27

peningkatan pendapatan justru menurunkan kuantitas barang yang dibeli. Barang-

barang dengan elastisitas pendapatan eQ,I > 1 dapat dikategorikan sebagai barang-

barang mewah (luxury).

3. Elastisitas Harga Silang dari Permintaan

Salah satu faktor yang akan mempengaruhi kuantitas permintaan suatu

jenis barang ialah perubahan harga barang-barang lainnya. Untuk mengukur efek

perubahan tersebut, terdapat suatu konsep elastisitas harga silang dari permintaan

(cross price elastisity of demand). Elastisitas ini didefinisikan sebagai persentase

perubahan kuantitas suatu barang yang diminta (Q) sebagai respon atas satu

persen perubahan harga barang lain (P’). Maka :

EQ,P’ = 'PerubahanPPersentase

PerubahanQPersentase ……….(3.1.3.c)

Konsep elastisitas harga silang ini dapat digunakan untuk menggolongkan

hubungan antara dua komoditi, apakah saling bersubtitusi atau saling melengkapi

(komplementer). Dua barang akan saling bersubtitusi jika elastisitas harga

silangnya bernilai positif, dimana harga satu barang dengan kuantitas permintaan

barang lain bergerak dengan arah yang sama. Sebaliknya, dua barang akan saling

melengkapi (komplementer) jika elastisitas harga silangnya bernilai negatif. Hal

ini menunjukkan bahwa harga satu barang dan kuantitas barang lain akan

bergerak pada arah yang berlawanan.

3.1.4 Model AIDS

Deaton dan Muellbauer (1980) menurunkan model AIDS dari fungsi biaya

sebagai berikut :

Log c(u,p) = ao + ? kak log Pk + 21 ? k? j Ykj log Pk log Pj + ußo Pkßk ..…(3.6)

28

Dengan menggunakan Lemma Shepard [C (u,p)/P t] = Qt diperoleh :

Wi = M

PiQi =

),( pucPi

. PiC

= Pic

loglog

∂∂

……………..(3.7)

Wi = ai + ? Yij log Pj + ßi u ßo pk Pk ßk ……………..(3.8)

Dimana : ½ (Y*ij + Y*ji) = Yij

Dari hubungan dualitas pada permintaan dapat diperoleh fungsi utilitas

tidak langsung, dan dengan memasukkan fungsi utilitas tidak langsung ke

persamaan di atas diperoleh bentuk fungsi “share” (Wi) sebagai berikut :

Wi = ai + ? Yij log Pj + ßi log (PM

) ……………..(3.9)

Dimana : PM

adalah pendapatan yang dibagi oleh indeks harga P.

Indeks P didefinisikan sebagai berikut :

log P = ao + ? k ak log Pk + 0,5 ∑k

∑j

Y*kj log Pk log Pj ………(3.10)

Persamaan (4) menyajikan sistem fungsi permintaan yang konsisten jika

memenuhi restriksi-restriksi berikut :

Aggregasi Engel/ Adding up : ∑α i = 1; ∑i

Yij = 0; ∑i

β i = 0 ..(3.11)

Kehomogenan : ∑j

Yij = 0 ……..…(3.12)

Simetri : Yij = Yji ..............(3.13)

Selanjutnya bila indeks Stone log P* = ? k Wk log Pk diterapkan pada

persamaan (4), akan didapat :

29

Wi (p,x) = ao + ∑j

Yij log Pj + ßi log (*P

M) ……......(3.1.4)

Fungsi ini dikenal sebagai aproksimasi linear dari AIDS

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Selama beberapa tahun terakhir pasca krisis ekonomi yang melanda

Indonesia pada pertengahan tahun 1997, indikator makroekonomi di Indonesia

yang antara lain dicerminkan oleh peningkatan pendapatan riil per kapita dan

pertumbuhan ekonomi, serta penurunan laju inflasi mulai mengalami perbaikan.

Dari aspek sosial beberapa indikator yang ada seperti Usia Harapan Hidup, Angka

Kematian Ibu dan Bayi, serta jumlah balita kurang gizi di Indonesia juga mulai

mengalami perbaikan. Di sisi lain, kondisi sektor riil di Indonesia justru

menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Jumlah pengangguran terbuka dan pekerja

sektor informal terus meningkat. Jumlah penduduk miskin di Indonesia

proporsinya pun tidak menunjukkan pengurangan yang signifikan.

Salah satu indikator mikroekonomi yaitu tingkat konsumsi buah

masyarakat Indonesia juga menunjukkan tidak adanya peningkatan. Ini

menunjukkan bahwa perbaikan indikator makroekonomi, khususnya peningkatan

PDB riil per kapita belum dapat menggeser pola konsumsi masyarakat Indonesia

ke arah yang lebih baik, yang salah satu indikasinya ialah peningkatan konsumsi

hortikultura (pangan yang kaya vitamin dan mineral), khususnya buah-buahan

menjadi lebih tinggi.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam

penelitian ini ialah membuat model permintaan lengkap buah di Pulau Jawa untuk

mengetahui faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk dapat

30

meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia, mengingat tingkat konsumsi

buah di Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan oleh FAO sebesar 60

kg/kapita/tahun. Dari model permintaan yang telah diperoleh tersebut, selanjutnya

akan dianalisis mengenai pengaruh dari perubahan harga dan pendapatan terhadap

permintaan buah. Selain itu dalam penelitian ini juga akan diidentifikasi mengenai

pola konsumsi buah pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa yang

diklasifikasikan berdasarkan wilayah (desa-kota) dan juga menurut kelas

pendapatan.

Dalam merumuskan model permintaan lengkap buah ini akan dimasukkan

variabel demografi, yaitu jumlah anggota rumah tangga dan tingkat pendidikan

kepala rumah tangga. Hal ini karena kedua variabel demografi tersebut diduga

akan berpengaruh signifikan terhadap permintaan buah. Jenis buah yang akan

dianalisis ialah jeruk, pisang, dan pepaya. Hal ini didasarkan karena pada tahun

2005 ketiga jenis buah itulah yang tingkat frekuensi konsumsinya paling tinggi

pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa.

Penelitian-penelitian tentang permintaan buah yang sebelumnya telah

dilakukan (Deaton, 1981, Daud, 1986, Rachmat dan Erwidodo, 1993, Ariani,

1993, Saliem dan Erwidodo, 1994, Rahmi, 2001, dan Saliem 2002) umumnya

menganalisa pola konsumsi dan permintaan buah-buahan secara agregat saja. Jika

ada yang menganalisis per komoditi (Hartoyo (1997) dan Sawit, dkk (1997)),

maka belum dibahas bagaimana pengaruh variabel demografi terhadap permintaan

buah.

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka untuk

tujuan mengidentifikasi pola konsumsi akan digunakan metode analisis deskriptif

31

kualitatif, yaitu untuk melihat bagaimana perkembangan proporsi pengeluaran

masyarakat untuk komoditi buah, perkembangan tingkat konsumsi buah di

pedesaan dan perkotaan Pulau Jawa, di masing-masing kelas pendapatan, dan juga

di tiap provinsinya. Untuk merumuskan model permintaan lengkap buah di Pulau

Jawa dan pengaruhnya jika terjadi perubahan harga dan permintaan, maka akan

digunakan Model Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan metode SUR

(Seemingly Unrelated Regression). Secara skematis kerangka operasional pada

penelitian ini, dapat dilihat pada Gambar 4.

32

Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran Operasional

Sektor riil di masyarakat belum berkembang. Jumlah pengangguran terbuka bertambah pekerja di sektor informal meningkat

Pola konsumsi dan tingkat permintaan buah-buahan di

tingkat Rumah Tangga Pulau Jawa

Faktor eksternal : § produksi/keterse-

diaan buah-buahan di pasar § nilai sosial budaya

yang berlaku dalam masyarakat. § Harga

Faktor Internal : § Pendapatan § Selera § Gaya hidup -desa-kota -antar kelas pendapatan -antar tk.pendidikan § Variabel demografi -jumlah anggota rumah tangga -usia

Metode analisis deskriptif kualitatif

Model Almost Ideal Demand System (AIDS)

Metode SUR (Seemingly Unrelated Regression) Perkembangan tingkat

konsumsi, pengeluaran rumah tangga, dan proporsi dari pengeluaran rumah tangga untuk buah-buahan.

Parameter-parameter yang mempengaruhi

permintaan buah di P. Jawa

Pengaruh perubahan harga dan

pendapatan terhadap permintaan buah di

P. Jawa

Indikator makroekonomi Indonesia pasca krisis moneter 1998 menunjukkan adanya perbaikan.

Pertumbuahan ekonomi & PDB riil per kapita meningkat

Laju inflasi menurun hingga di bawah 10 persen pada tahun 2006

Implikasi teoritis dari adanya perbaikan ekonomi masyarakat ialah pergeseran pola konsumsi pangan.Konsumsi pangan padat

energi menurun dan konsumsi pangan padat protein, vitamin, dan mineral

meningkat.

Kondisi riil pada masyarakat : Belum terjadi pergeseran pola

konsumsi secara sempurna. Tingkat konsumsi buah dalam

kurun waktu 15 tahun cenderung stagan.

Faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan dalam rangka meningkatkan tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia

33

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Wilayah Studi dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini wilayah studi yang diambil dalam menganalisis pola

konsumsi dan permintaan buah pada tingkat rumah tangga ialah Pulau Jawa. Ini

ata dasar pertimbangan bahwa penduduk di Pulau Jawa relatif heterogen, baik dari

segi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, gaya hidup, maupun variasi wilayah

(pedesaan dan perkotaan), sehingga diharapkan dapat menjadi cerminan

bagaimana pola konsumsi dan permintaan buah di Indonesia. Penelitian dilakukan

dari bulan Desember 2006 – April 2007.

4.2 Data Penelitian

4.2.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa data mentah

SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) 2005. Data tersebut merupakan

data penampang lintang (cross section) yang dikumpulkan oleh BPS. Data yang

digunakan adalah data konsumsi dan pengeluaran rumah tangga sampel untuk

buah-buahan di wilayah Pulau Jawa. Buah yang dianalisis dalam penelitian ini

ialah jeruk, pisang, dan pepaya. Pemilihan ketiga jenis komoditi tersebut

didasarkan bahwa ketiga jenis buah tersebut memiliki tingkat konsumsi yang

frekuensinya paling tinggi di Pulau Jawa. Karakteristik umum dari data tersebut

dapat dilihat di Lampiran 32. Secara lebih detail, data yang digunakan dalam

penelitian ini disajikan dalam tabel x.

34

Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Penelitian

No. Jenis Data Sumber Data

1. Data SUSENAS 2005 (Meliputi data konsumsi buah, pengeluaran rumah tangga, dan data-data demografi rumah tangga untuk wilayah Pulau Jawa)

Pusat Analisis Sosial Ekonomi & Kebijakan

Pertanian (PSE-KP), Dept. Pertanian.

2. Data perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas buah-buahan di Indonesia.

Direktorat Jendral Tanaman Hortikultura

3. Data Perkembangan Konsumsi, Pengeluaran dan Ekspor buah-buahan di Indonesia. Badan Pusat Statistik

4.2.2 Kerangka Sampel Data Susenas 2005

Kerangka sampel yang digunakan dalam SUSENAS 2005 terdiri dari tiga

jenis, yaitu (1) kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus, (2) kerangka

sampel untuk pemilihan sub blok sensus, dan (3) kerangka sampel untuk

pemilihan rumah tangga dalam blok sensus/sub blok sensus terpilih.

Kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus adalah daftar blok sensus

biasa yang dilengkapi jumlah rumah tangga hasil pencacahan P4B 2003

(Pendaftaran pemilih dan Pendataan penduduk berkelanjutan). Kerangka sampel

ini mencakup blok sensus biasa di 440 kabupaten/kota dan dibedakan menurut

daerah perkotaan dan pedesaan.

Kerangka sampel untuk pemilihan sub blok sensus adalah daftar sub blok

sensus yang terdapat dalam blok sensus terpilih, yang mempunyai jumlah rumah

tangga lebih besar dari 150 rumah tangga. Sedangkan kerangka sampel untuk

pemilihan rumah tangga adalah daftar rumah tangga hasil pendaftaran rumah

tangga, dimana untuk setiap blok sensus yang terpilih diambil 16 rumah tangga

secara sistematik

35

4.2.3 Teknik Penarikan Contoh Penelitian

Dalam penelitian ini akan diperbandingkan penggunaan unit sampling

Rumah Tangga (RT) dan blok sensus atau disebut juga Primary Sampling Unit

(PSU). Satu PSU terdiri dari rumah tangga yang memiliki nomor kode sampel

yang sama. Untuk wilayah Jawa, satu PSU terdiri dari 16 rumah tangga.

Pemakaian PSU sebagai unit sampling didasarkan kepada pertimbangan

bahwa melalui pemakaian PSU diharapkan dapat mengatasi kelemahan

kemungkinan tidak seluruh pengamatan terisi. Dalam pendugaan simultan

mengharuskan semua contoh mengkonsumsi semua komoditi yang dianalisa

sebagai akibat dari adanya asumsi bahwa antar komoditi memiliki keterkaitan.

Selain itu, Rachmad dan Erwidodo (1993) juga menyimpulkan bahwa pendugaan

model AIDS dengan menggunakan PSU/blok sensus untuk komoditi pangan

utama (yang umumnya relatif banyak dikonsumsi oleh masyarakat) menghasilkan

dugaan yang lebih sesuai dengan teori permintaan dibandingkan dengan

pemakaian unit analisa rumah tangga. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ingin

memperbandingkan kembali pemakaian unit sampling RT dan PSU, namun untuk

komoditi buah-buahan (yang relatif sedikit dikonsumsi oleh masyarakat)

Prosedur penarikan contoh dalam penelitian ini secara lebih rinci ialah

sebagai berikut. Untuk analisa dengan unit sampling RT dari total 30.580 unit

rumah tangga contoh untuk wilayah Pulau Jawa, dipilih rumah tangga yang

mengkonsumsi ketiga jenis buah yang dianalisis (jeruk, pisang, dan pepaya). Dari

hasil penyortiran tersebut diperoleh 1218 unit rumah tangga (3,98 %) yang

selanjutnya akan digunakan dalam analisis. Untuk analisa dengan unit sampling

PSU, Pertama sebanyak 30.580 unit rumah tangga contoh untuk wilayah Pulau

36

Jawa dari data SUSENAS 2005 dikelompokkan berdasarkan kode sampelnya.

Dari hasil pengelompokkan ini diperoleh 1916 PSU (Primary Unit Sampling).

Setiap satu PSU kurang lebih terdiri dari 16 rumah tangga. Selain itu dilakukan

pula penarikan nilai rata-rata pada ‘konsumsi’ dan ‘pengeluaran’ untuk setiap

rumah tangga yang berkode sampel sama tersebut (atau rumah tangga yang

tergabung dalam satu PSU). Kedua, dilakukan penyortiran untuk PSU yang

mengkonsumsi ketiga jenis komoditi yang dianalisis. Dari total 1916 PSU,

diperoleh 1228 PSU (64,09 %) yang akan digunakan sebagai sampel dalam

analisis selanjutnya.

4.2.4 Pengelompokan Data

Wilayah Pulau Jawa yang mencakup 6 provinsi dalam analisis ini

dibedakan menjadi : (1) Jawa Total, (2) Jawa Pedesaan, (3) Jawa Perkotaan,

(4) Jawa menurut kelas pendapatan, dan (5) Jawa menurut tingkat pendidikan.

Untuk pengklasifikasian sampel (baik RT maupun PSU) berdasarkan kelas

pendapatan, maka digunakan kriteria Bank Dunia, yang mengelompokkan dalam

tiga kelas pendapatan berdasarkan sebarannya. Setelah diranking, kelompok

rumah tangga pendapatan rendah adalah 40 persen sampel pengeluaran terbawah,

kelompok pendapatan tinggi adalah 20 persen pendapatan tertinggi dan sisa

diantaranya (40 %) adalah kelompok pendapatan sedang. Dalam analisis, tingkat

pendapatan diproksi dengan tingkat pengeluaran rumah tangga. Sedangkan untuk

pengklasifikasian berdasarkan tingkat pendidikan dibagi ke dalam 3 kelompok,

yaitu :

37

1. Tingkat pendidikan rendah : masa sekolah = 6 tahun (Tamat SD)

2. Tingkat pendidikan sedang : 6,1 = masa sekolah = 9 tahun (tamat SMP)

3. Tingkat pendidikan tinggi : 9,1 = masa sekolah.

4.3 Spesifikasi Model Analisis

Dalam spesifikasi model dilakukan tiga tahap aktivitas, yaitu : pertama,

penentuan peubah tak bebas dan peubah bebas (peubah penjelas), kedua

penentuan suatu harapan yang bersifat a priori mengenai tanda dan ukuran dari

parameter yang diduga, dan ketiga menentukan bentuk hubungan matematik dari

model (Koutsoyianis, 1978).

Lebih jauh dalam memilih model persamaan permintaan lengkap, Teklu

dan Johnson (1986) dalam Daud (1986) menyatakan bahwa harus pula

dipertimbangkan hal-hal berikut :

1. Model permintaan yang dipilih harus konsisten dengan teori permintaan

konsumen.

2. Persamaan tersebut harus cukup fleksibel dalam parameternya, sederhana, dan

mudah dalam pendugaan serta harus sesuai dengan kondisi data di Indonesia.

3. Struktur teori model permintaan dugaan harus mampu membangun hubungan

yang konsisten antara sistem permintaan pasar dan sistem permintaan

individu.

Dalam penelitian ini digunakan dua asumsi. Pertama konsumen

diasumsikan akan mengalokasikan pendapatannya untuk barang-barang konsumsi

secara bertahap. Pada tahap pertama konsumen mengalokasikan pendapatannya

untuk pengeluaran makanan (food) dan bukan makanan (non food), lalu tahap

38

kedua konsumen mengalokasikan porsi pengeluaran untuk makanan ke dalam

kelompok bahan-bahan makanan seperti padi, ikan, daging, sayur-sayuran, buah-

buahan, dan sebagainya. Tahap ketiga, konsumen mengalokasikan porsi

pengeluaran buah-buahan ke dalam pengeluaran sejumlah komoditi yang lebih

spesifik, misalnya buah pisang, jeruk, pepaya, atau semangka. Kedua,

diasumsikan terdapat keterpisahan lemah (weak separability) baik antara jenis

buah, maupun antara kelompok komoditi buah-buahan dengan sayuran, ikan,

daging, dan kelompok makanan lainnya. Sehingga implikasi dari adanya asumsi

ini ialah konsumen dapat mengurutkan (to rank) preferensinya antara satu jenis

buah dengan buah lainnya.

4.3.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS)

Model matematika yang akan digunakan adalah aproksimasi linier dari

model AIDS (LA/AIDS, Linier Approximation/Almost Ideal Demand System),

yaitu sebagai berikut :

Wi = ai + ∑j

Yi j log pj + ßi log (*p

x) + ? log S + d log Ed + e log Exp

Untuk i, j = 1,2,3 yang masing-masing menunjukkan kelompok jeruk, pisang, dan

pepaya.

Keterangan :

Wi = share/proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadaptotal

pengeluaran untuk buah-buahan, dimana i = 1,2,…, n.

a, ß, dan Y = parameter regresi, berturut-turut untuk intersep, pengeluaran

dan harga agregat dari masing-masing komoditi.

39

?, d, dan e = parameter regresi berturut-turut untuk jumlah anggota rumah

tangga, tingkat pendidikan kepala rumahtangga, dan

pengeluaran total rumah tangga.

pj = Harga agregat dari komoditi ke-j, dengan j = 1,2, …, n.

*px

= pengeluaran untuk buah-buahan dibagi dengan indeks stone.

S = jumlah anggota rumah tangga (orang)

Ed = tingkat pendidikan kepala rumah tangga (tahun)

Exp = pengeluaran total rumah tangga (Rp/bulan)

Untuk menjamin asumsi maksimisasi kepuasan agar terpenuhi, maka

terdapat tiga restriksi yang harus dimasukkan ke dalam model, yaitu restriksi

penjumlahan (adding up), restriksi homogenitas dan simetri. Berturut-turut ketiga

restriksi tersebut ialah :

Adding up : ∑i

ai = 1, ∑i

Yij = 0, ∑i

ßi = 0

Homogenitas : ∑j

Yij = 0

Simetri : Yij = Yji

4.3.2 Perhitungan Nilai Elastisitas

Besaran elastisitas permintaan untuk harga dan pengeluaran dihitung dari

rumus yang diturunkan dari fungsi permintaan Rumus perhitungan elastisitas

adalah sebagai berikut :

a). Elastisitas harga langsung = eii = WiYii

- 1

b). Elastisitas harga silang = ei j = WiYij

(i ? j)

c). Elastisitas pengeluaran = ni = 1 + Wi

40

4.3.3 Pembentukan Harga Agregat dan Indeks Stone

Harga agregat dari masing-masing komoditi diperoleh sebagai rata-rata

tertimbang dari masing-masing komoditi tersebut, yang diperoleh dari hasil

pembagian antara total pengeluaran rumah tangga untuk komoditi i (dalam rupiah)

dengan jumlah total jumlah komoditi i yang dikonsumsi.tersebut (dalam kg).

Dimana dalam hal ini, rumah tangga yang diperhitungkan adalah rumah tangga

yang mengkonsumsi komoditi i tersebut.

Untuk memperoleh nilai Indeks Stone digunakan rumus sebagai berikut :

Log p* = ? W k log pk

Dimana : p* = indeks stone

Wk = proporsi pengeluaran komoditi k terhadap total

pengeluaran untuk buah-buahan

pk = Harga agregat dari komoditi k.

4.4 Prosedur Pendugaan dan Pengujian Restriksi

Pendugaan parameter sistem persamaan permintaan dari model AIDS

dilakukan dengan metode SUR (Seemengly Unrelated Regression) dan perangkat

lunak yang digunakan adalah SAS (Statistical Analysis System). Pengujian yang

dilakukan untuk melihat berpengaruh atau tidaknya parameter-paremeter harga

dan pendapatan maupun variabel-variabel demografi digunakan uji-t.

Berdasarkan teori permintaan, seperti dijelaskan dalam sub bab kerangka

pemikiran teori, fungsi permintaan mempunyai ciri atau syarat homogenitas dan

simetri. Untuk kepentingan tersebut dilakukan pengujian terhadap model

persamaan permintaan tanpa dan dengan restriksi homogen dan simetri. Kaidah

41

uji yang digunakan untuk menguji restriksi tersebut adalah uji-F (Koutsiyiannis,

A. 1977) dengan penjabaran sebagai berikut :

F = ? e22 - ? e2

1 (N-k) ? e2

1 dimana :

? e21 = sum square error dari persamaan yang tidak direstriksi

? e22 = sum square error dari persamaan yang direstriksi (homogen, simetri, dan

adding up)

N = jumlah sampel

K = jumlah variabel bebas dan intersep

42

BAB V

GAMBARAN UMUM

5.1 Perkembangan Luas Panen

Perkembangan luas panen buah-buahan di Indonesia selama beberapa

tahun terakhir ini menunjukkan adanya peningkatan dengan tingkat yang

berfluktuasi. Data yang terdapat dalam Statistik Hortikultura Indonesia

menunjukkan bahwa dari tahun 1999 hingga 2005, luas areal panen buah-buahan

di Indonesia terus mengalami peningkatan, seperti yang terlihat pada Tabel 6,

dimana peningkatan luas panen tertinggi terjadi pada periode 2001-2002 yaitu

sebesar 34,71 persen atau secara absolut terjadi pertambahan luas areal panen

sebesar 167.648 hektar. Dalam kurun waktu tersebut sempat terjadi penurunan

dari tahun 2003 seluas 721.964 ha menjadi 707.119 ha di tahun 2004, atau dengan

kata lain terjadi penurunan luas areal panen sebesar 2,06 persen.

Tabel 6. Perkembangan dan Peningkatan Luas panen dan Produksi Buah-buahan di Indonesia Tahun 1999-2005

Tahun Jumlah Buah Kenaikan/Penurunan Terhadap Tahun Sebelumnya

Luas Panen Produksi Luas Panen Produksi (ha) (ton) Absolut % Absolut %

1999 361584 7540902 - - - - 2000 406273 8412956 44689 12.36 872054 11.56 2001 482942 9959032 76669 18.87 1546076 18.38 2002 650590 11663517 167648 34.71 1704485 17.11 2003 721964 13551435 71374 10.97 1887918 16.19 2004 707119 14348456 -14845 -2.06 797021 5.88 2005 717428 14786599 10309 1.46 438143 3.05

Sumber : Statistik Hortikultura 2004 dan 2005.

Luas panen tersebut sebagian besar berasal dari Pulau Jawa. Pada tahun

1999, dari 0,36 juta ha luas panen buah, 50 persennya yaitu sekitar 0,18 ha berasal

dari Pulau Jawa. Begitu juga pada tahun 2005, dari 0,72 ha luas panen, sekitar

43

0,37 hektarnya, atau lebih dari 50 persennya berada di Pulau Jawa. Dari tahun ke

tahun, Jawa Timur merupakan provinsi yang memberikan kontribusi terbesar bagi

luas panen di Pulau Jawa, diikuti dengan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat

yang luas areal panennya relatif sama. Data mengenai luas panen buah di berbagai

provinsi di Indonesia pada tahun 1999 dan 2005 dilampirkan dalam Lampiran 33.

Tabel 7. Rata-rata Persentase Peningkatan per tahun Luas Panen dan Produksi Tanaman Buah-buahan di Indonesia Tahun 2000-2005

Sumber : Statistik Hortikultura Tahun 2005

Berdasarkan data dari Ditjen Tanaman Hortikultura, buah-buahan yang

luas panennya mengalami peningkatan terbesar pada periode 2000-2005 ialah

mangga (63,09 %), sawo (56,91 %), dan durian (22,79 %). Namun ada pula

beberapa komoditi yang luas panennya mengalami penurunan, yaitu jeruk besar

Komoditas

Rata-rata Persentase Peningkatan (%)

Tahun 2000-2005

Luas Panen Produksi

Alpukat Belimbing Duku/Langsat/Kokosan Durian Jambu Biji Jambu Air Jeruk Siam/Keprok Jeruk Besar Mangga Manggis Nangka/Cempedak Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo Markisa Sirsak Sukun Melon Semangka Blewah Total Buah-buahan

8.67 2.46 8.81

22.79 -1.43 60.37

2.42 -13.28 63.09 15.57

7.17 10.74 -1.88 6.82

12.41 8.22

56.91 -8.72 8.53

19.72 10.42 14.87

7.61 12.79

12.40

7.21 14.45 22.80

9.02 12.64

9.23 -5.96 11.72 29.67 14.71 19.03

6.57 6.98

21.52 19.57

9.88 4.43

14.28 16.04 21.17 26.42 18.87 12.12

44

(-13.28 %), markisa (-8.72 %), dan pepaya (-1.88 %). Data rinci mengenai rata-

rata persentase peningkatan luas panen dan produksi berbagai jenis buah pada

tahun 2000-2005 disajikan pada Tabel 7.

Meningkatnya luas areal panen buah-buahan secara umum di Indonesia ini

disebabkan antara lain oleh meningkatnya perhatian pemerintah terhadap

pengembangan komoditi buah-buahan. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari

kegiatan penelitian untuk menghasilkan bibit buah-buahan yang unggul dan

bermutu, pembinaan petani penangkar bibit, melakukan bimbingan dan

penyuluhan kepada para petani dalam kegiatan budidaya, pengembangan sentra

buah-buahan, sampai kepada mendorong pihak swasta untuk mengembangkan

agribisnis buah-buahan melalui pola perusahaan pembimbing atau Perusahaan Inti

Rakyat (PIR). Selain itu, perkembangan luas areal panen buah-buahan juga

dikontribusi oleh semakin berkembangnya agrowisata yang mengandalkan kebun

buah sebagai pusat objek wisatanya.

5. 2 Perkembangan Produksi Buah-buahan

Secara kultural petani Indonesia hampir tidak mengenal istilah perkebunan

buah-buahan. Komoditi buah-buahan yang menjadi sumber vitamin dan mineral

diusahakan petani secara tradisional sebagai tanaman pengisi pekarangan atau

tanaman sela di lahan kering. Meskipun belum diusahakan secara komersial,

tetapi di beberapa tempat petani sudah mengembangkan komoditi buah-buahan

tertentu yang sesuai dengan agroklimat setempat. Dalam beberapa tahun terakhir

muncul sentra-sentra produksi buah-buahan yang sekaligus menjadi buah-buahan

primadona dan simbol daerah yang bersangkutan.

45

Meningkatnya luas panen buah-buahan selama periode 1999-2005

berkorelasi positif terhadap perkembangan produksi buah-buahan di Indonesia.

Dari Tabel 6 terlihat bahwa total produksi buah terus meningkat, namun dengan

tambahan produksi (marginal produksi) yang berfluktuasi, yaitu meningkat pada

periode 1999-2003 dan menurun pada periode 2003-2005. Peningkatan tertinggi

tercatat pada tahun 2001, yakni sekitar 18,38 persen dan terendah pada tahun

2005, yaitu hanya sekitar 3,05 persen

Seperti halnya luas areal panen, dalam hal produksi Pulau Jawa juga

memberikan kontribusi yang terbesar terhadap total produksi nasional. Pada tahun

2005, dari total produksi buah di Indonesia sebesar 14,7 ton, lebih dari 50

persennya berasal dari Pulau Jawa. Pangsa produksi buah-buahan tahun 2005 di

Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah berturut-turut sebesar18,26; 18,85; dan

10,98 persen terhadap produksi nasional. Khusus untuk di Pulau Jawa ini,

produksi di Jawa Timur dominan untuk buah mangga, jeruk, dan apel. Sementara

itu, Provinsi Jawa Barat lebih dominan untuk buah pisang, rambutan, nanas,

alpukat, manggis, dan durian. Data terperinci mengenai produksi buah di berbagai

provinsi di Indonesia tahun 1999 dan 2005 dapat dilihat pada Lampiran 33.

Menurut jenis komoditinya, hampir semua jenis buah di Indonesia seperti

yang terdapat dalam Tabel 5 mengalami peningkatan produksi pada periode 2000-

2005. Jenis buah yang peningkatan produksinya paling tinggi ialah manggis, yaitu

sebesar 29,67 persen, lalu diikuti dengan semangka (26,42 %) dan durian

(22,8 %). Hanya ada satu jenis buah yang produksinya menurun selama periode

tersebut, yaitu jeruk besar (-5,96 %).

46

5.3 Ekspor Buah Indonesia

Perkembangan ekspor buah-buahan Indonesia selama beberapa tahun

terakhir ini, seperti yang terlihat dalam Tabel 8 menunjukkan angka yang terus

meningkat jika ditinjau dari sisi volume ekspornya. Namun dari sisi nilai

ekspornya, ekspor buah Indonesia cenderung berfluktuatif. Hal ini antara lain

dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah yang juga cenderung berfluktuatif.

Tabel 8. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buah Indonesia tahun 2001-2005

Sumber : Badan Pusat Statistik 2005

Hingga saat ini, komoditi buah-buahan yang diekspor Indonesia dilakukan

dalam bentuk buah-buahan segar maupun olahan. Buah-buahan yang banyak

diekspor dalam bentuk buah segar antara lain manggis, pisang, pepaya, nanas,

durian, jambu, jeruk, mangga, dan buah-buahan lainnya. Sedangkan untuk jenis

buah olahan terdiri dari buah kalengan, buah kering, air buah/sari buah, sela i, dan

jelly.

Berdasarkan data BPS, ekspor buah-buahan Indonesia sebesar

176.608.220 kg dengan nilai US $ 99.791.474 pada tahun 2001 meningkat

menjadi 272.296.672 kg dengan nilai US $ 150.062.557 pada tahun 2005. Selama

periode tersebut ekspor buah Indonesia mengalami kenaikan sebesar 54,18 persen

(volume) dan 50,38 persen (nilai). Data rinci mengenai perkembangan nilai

maupun volume ekspor berbagai jenis buah tahun 2000-2005 disajikan dalam

Lampiran 34..

Tahun Volume (kg) Nilai (US $)

2001

2002

2003

2005

176.608.220

197.539.346

208.968.947

272.296.672

99.791.474

137.051.903

123.157.271

150.062.557

47

Dari beberapa jenis buah yang diekspor, nanas merupakan komoditi yang

paling besar volume maupun nilai ekspornya. Ekspor ini terutama untuk jenis

nanas yang telah diolah (nanas kaleng). Volume ekspor nanas mencapai volume

yang paling tinggi pada tahun 2003, yaitu sebesar 208,9 ton dengan nilai

mencapai US $123,1 juta. Selain nanas, komoditi lainnya yang juga memiliki nilai

maupun volume ekspor yang tinggi ialah manggis dan pisang. Volume ekspor

kedua komoditi tersebut pada tahun 2005 berturut-turut ialah sebesar 8,5 ribu dan

3,6 ribu ton.

Selama periode 2000-2005 tersebut, buah-buahan Indonesia diekspor ke

berbagai negara, hingga mencapai lebih dari 50 negara. Menurut Winarno dalam

Sawit (1997) meningkatnya ekspor buah-buahan ini disebabkan oleh

bermunculannya pengusaha buah dalam skala kebun dengan luasan yang relatif

besar.

48

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Pola Konsumsi Buah

Pola konsumsi masyarakat terhadap suatu komoditi dapat dilihat dari

tingkat konsumsi, pengeluaran rumah tangga, dan proporsi dari pengeluaran

rumah tangga untuk komoditi tersebut.

6.1.1 Proporsi Pengeluaran Buah

Dari hasil analisa seperti tercantum dalam tabel 9, terlihat bahwa proporsi

pengeluaran masyarakat Indonesia untuk buah-buahan selama kurun waktu 5

tahun terakhir relatif konstan, yaitu berada pada kisaran 2-3 persen, meskipun

dengan kecenderungan yang menurun. Proporsi pengeluaran tertinggi tercatat

terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 2,97 persen.

Tabel 9. Proporsi (share) pengeluaran buah-buahan terhadap total pengeluaran (per kapita/bulan) tahun 2002-2006

Sumber : Statistik Indonesia 2002-2006 Dilihat dari pola konsumsi menurut wilayah, sepanjang tahun 2003-2006

terlihat bahwa proporsi pengeluaran untuk buah-buahan di pedesaan lebih besar

daripada di wilayah perkotaan. Berdasarkan penggolongan menurut tingkat

pendapatan, terdapat kecenderungan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan

yang semakin meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Pada

Wilayah Tahun

2002 2003 2004 2005 2006

Indonesia Pedesaan Perkotaan Pendapatan Rendah Sedang Tinggi

2.84 2.80 2.87 2.12 2.76 3.07

2.97 3.04 2.92 2.34 2.84 3.15

2.61 2.64 2.59 1.55 2.53 2.67

2.76 3.00 2.60 1.81 2.64 2.79

2.10 2.19 2.04 1.48 1.89 2.23

49

rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah, karena keterbatasan

pendapatannya (yang diproksi dari tingkat pengeluarannya) itulah maka sebagian

besar pendapatannya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokoknya,

seperti beras, ikan, sayuran, minyak, dan sebagainya, sedangkan buah-buahan

menjadi sub.komoditi yang tidak diprioritaskan untuk dikonsumsi. Berbeda

dengan rumah tangga dengan tingkat pendapatan tinggi yang menganggap buah-

buahan merupakan salah satu komoditi penting yang harus dikonsumsi, mengingat

buah adalah salah satu sumber vitamin dan mineral selain sayuran.

Hal menarik yang dapat diungkapkan dari pola seperti itu ialah bahwa pola

konsumsi buah ini (yang tentunya juga termasuk sub.komoditi pangan)

berlawanan dengan Hukum Engel yang mengatakan bahwa semakin besar tingkat

pendapatan seseorang, maka proporsi pengeluarannya untuk pangan akan semakin

menurun. Hal ini kemungkinannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Konsumsi

buah-buahan sangat dipengerahi oleh gaya hidup (lifestyle) dari konsumennya.

Berbeda dengan sub.komoditi pangan utama seperti beras, kentang, jagung, ubi

jalar ataupun ubi kayu yang memang merupakan pangan pokok, sehingga gaya

hidup konsumennya tidak banyak mempengaruhi pola konsumsi terhadap

komoditi-komoditi tersebut. Pada masyarakat pendapatan tinggi, tingkat

pendidikannya relatif lebih baik sehingga pengetahuannya mengenai pola hidup

sehat dan aspek-aspek gizi pada makanan pun lebih baik. Di pihak lain, pada

masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah, pola konsumsinya masih terbatas

untuk memenuhi kebutuhan perut saja, atau dengan kata lain “asal kenyang”,

sehingga pola hidup sehat dan pemenuhan gizi berimbang tidak menjadi perhatian

utama. Oleh karena itu, untuk komoditi buah-buahan proporsi pengeluarannya

50

terhadap pengeluaran pangan total akan semakin besar dengan semakin tingginya

tingkat pendapatan. Dari analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa Hukum Engel

berlaku untuk komoditi pangan secara agregat, namun tidak untuk diterapkan

pada komoditi-komoditi pangan tertentu secara khusus.

Hasil analisis tersebut sejalan dengan penelitian Hartoyo (1997) yang

menjelaskan bahwa dengan meningkatnya pendapatan dapat diduga akan

menyebabkan terjadinya perubahan selera konsumen, yaitu dari selera buah-

buahan yang harganya relatif murah, seperti pisang dan pepaya ke buah-buahan

yang lebih mahal, seperti apel, mangga, dan jeruk. Ini berarti ketika terjadi

peningkatan pendapatan maka proporsi pengeluaran buah turut meningkat. Selain

faktor gaya hidup konsumen, faktor- faktor lain yang juga mempengaruhi pola

konsumsi buah ialah faktor selera, ketersediaan buah itu sendiri (mengingat

beberapa buah bersifat musiman), dan juga kemudahan konsumen dalam

memperolehnya.

6.1.2 Tingkat Konsumsi Buah di Indonesia

Buah-buahan merupakan sumber vitamin dan mineral di samping sayuran,

yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk mempertahankan kesehatannya.

Berbeda dengan sayuran, produksi buah-buahan ada yang tergantung musim

seperti durian, rambutan, mangga, duku dan ada pula yang tidak mengenal musim,

seperti pisang, jeruk, pepaya, nanas, dan sebagainya. Perkembangan tingkat

konsumsi komoditi buah-buahan di Indonesia disajikan dalam Tabel 10. Dari

Tabel 10 tersebut terlihat bahwa hingga tahun 2005 tingkat konsumsi buah di

51

Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan oleh FAO yaitu sebesar 60

kg/kapita/tahun.

Tabel 10. Perkembangan Konsumsi Buah-Buahan di Indonesia tahun 1990-2005

Sumber : Ditjen Tanaman Hortikultura, Departemen Pertanian tahun 2005

Secara agregat, di antara jenis buah yang tingkat konsumsinya paling besar

adalah pisang, rambutan, jeruk, dan pepaya. Kecenderungan ini relatif konsisten

untuk setiap tahunnya, yaitu dari tahun 1990 sampai 2005. Sebagai gambaran,

tingkat konsumsi pisang, jeruk, rambutan, dan pepaya pada tahun 2005 berturut-

turut sebesar 7,85 kg, 2,6 kg, 8,37 kg, dan 2,3 kg/kap/tahun. Dalam hal ini, yang

dimaksud dengan pisang adalah gabungan dari semua jenis pisang (pisang ambon,

pisang raja, dan lainnya). Sementara itu, pada tahun yang sama untuk jenis buah

yang lain, tingkat konsumsinya hanya berkisar 0,156 kg (untuk melon dan

kedondong) sampai 1,6 kg/kap/tahun (durian).

Tingginya tingkat konsumsi beberapa jenis buah tertentu, tidak terlepas

dari pengaruh musim. Buah pisang, jeruk, dan pepaya merupakan jenis buah yang

selalu tersedia sepanjang tahun. Hal ini tentu saja memudahkan konsumen bila

ingin mengkonsumsinya. Untuk buah rambutan, meskipun tergolong buah

musiman, namun pada waktu pencacahan (bulan Februari) umumnya sedang

Jenis Buah

Konsumsi per kapita (kg/tahun)

1990 1993 1996 1999 2002 2005 Alpokat Jeruk Duku Durian Jambu Mangga Nanas Pepaya Pisang Rambutan Salak Apel Semangka Melon Nangka Total

0.26 0.88 1.14 1.25 0.62 0.42 1.09 3.12 13.83 4.78 0.42 0.10 0.31

- 0.99 29.94

0.16 0.94 0.16 0.52 0.62 0.52 1.04 3.02 12.58 3.48 0.62 0.21 0.47

- 0.88 26

0.21 1.30 0.16 0.52 0.31 2.13 0.94 2.86 9.05 2.44 1.20 0.68 0.78 0.16 0.99 24.67

0.26 1.20 0.05 0.16 0.26 0.26 0.68 3.12 8.27 1.98 0.73 0.16 0.47 0.05 0.42 18.7

0.26 1.98 1.82 0.94 0.26 0.31 0.47 2.24 7.80 7.44 0.94 0.62 0.83 0.31 0.47 29.38

0.47 2.60 2.29 1.61 0.21 0.62 0.57 2.29 7.85 8.37 1.20 0.62 0.99 0.16 0.42 31.57

52

musim rambutan, sehingga produksinya pun melonjak dan harganya menjadi

relatif murah. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi tingkat konsumsi

rambutan.

Perkembangan tingkat konsumsi buah-buahan relatif bervariasi untuk

setiap jenis buah-buahan. Beberapa jenis buah yang konsumsinya cenderung

meningkat dari tahun ke tahun antara lain jeruk, semangka, duku, dan durian.

Pada tahun 1996, konsumsi jeruk, semangka, duku, dan durian rata-rata sebesar

1,3 kg, 0,78 kg, 0,16 kg, dan 0,52 kg/kap/tahun. Jumlah tersebut meningkat pada

tahun 2005 masing-masing menjadi 2,6 kg, 0,99 kg, 2,29 kg, dan 1,61

kg/kap/tahun.

Di sisi lain ada pula beberapa jenis buah yang tingkat konsumsinya

cenderung menurun seperti pisang, pepaya, dan nanas. Jika pada tahun 1996 rata-

rata konsumsi per kapita untuk pisang, pepaya, dan nanas berturut-turut adalah

sebesar 9,05 kg, 2,86 kg, dan 0,94 kg maka pada tahun 2005 konsumsi tersebut

mengalami penurunan, masing-masing menjadi 7,85 kg, 2,29 kg, dan 0,57 kg.

Dari uraian di atas terlihat bahwa buah-buahan yang tinggi volume

impornya seperti jeruk dan durian, konsumsinya cenderung meningkat. Sementara

itu jenis buah yang relatif sedikit jenis impornya (atau bahkan tidak ada impornya)

seperti pisang, pepaya, dan nanas tingkat konsumsinya cenderung menurun. Hal

ini dapat diinterpretasikan bahwa telah terjadi pergeseran preferensi konsumen

dari buah lokal ke buah impor. Beberapa alasan konsumen untuk mengkonsumsi

buah impor yang utama adalah rasanya yang dianggap lebih enak daripada buah

lokal. Selain itu juga karena faktor harga yang bersaing, kualitas buah dan

penampilannya yang dianggap lebih baik (Sawit, dkk, 1997).

53

6.1.3 Tingkat Konsumsi Buah di Pulau Jawa

Pada tabel 11 ditampilkan data konsumsi dan proporsi pengeluaran

beberapa jenis buah terhadap pengeluaran buah total di Pulau Jawa. Berdasarkan

data dalam tabel tersebut, jeruk, pisang, dan pepaya merupakan buah yang paling

banyak dikonsumsi di Pulau Jawa, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.

Secara agregat, konsumsi jeruk, pisang, dan pepaya masing-masing sebesar 2,05

kg, 2,43 kg, dan 1,18 kg/kapita/bulan. Jika dilihat dari segi proporsinya terhadap

pengeluaran buah total, ketiga jenis buah tersebut juga merupakan buah yang

proporsi pengeluarannya paling besar, yaitu 38,7 persen untuk jeruk, 26,4 persen

untuk pisang dan 9,8 persen untuk pepaya, sedangkan sisanya untuk konsumsi

jenis buah lainnya.

Tabel 11. Tingkat Konsumsi Buah dan Share terhadap Pengeluaran Buah Total di Pulau Jawa (berdasar wilayah & kelas pemdapatan) tahun 2005

Wilayah Konsumsi (kg/kapita/bulan) Share terhadap pengeluaran buah total

jeruk pisang pepaya salak semangka jeruk pisang pepaya salak semangka

Jawa Pedesaan Perkotaan Pendapatan Rendah Sedang Tinggi

2.047 1.403 2.457 0.668 1.841 3.784

2.426 3.133 1.937 2.031 2.702 2.873

1.176 0.721 1.479 0.657 1.128 2.037

0.254 0.386 0.311 0.127 0.386 0.569

0.538 0.504 0.643 0.218 0.653 1.306

0.387 0.334 0.417 0.291 0.389 0.398

0.264 0.404 0.195 0.451 0.292 0.166

0.098 0.069 0.112 0.116 0.099 0.092

0.038 0.067 0.046 0.043 0.067 0.046

0.040 0.044 0.044 0.039 0.055 0.050

Sumber : Data SUSENAS 2005 Dengan membandingkan antar wilayah desa dan kota, beberapa jenis buah

seperti jeruk, pepaya, dan semangka tingkat konsumsinya lebih tinggi di wilayah

perkotaan dibandingkan dengan wilayah pedesaan, sedangkan buah lainnya yaitu

pisang dan salak, tingkat konsumsinya lebih tinggi di pedesaan. Hal ini diduga

karena untuk jeruk dan salak lebih banyak ketersediaannya di wilayah pedesaan,

sehingga tingkat konsumsinya pun menjadi lebih tinggi di pedesaan. Perbedaan

54

tingkat konsumsi antar kedua wilayah tersebut juga bervariasi untuk setiap jenis

buah. Sebagai gambaran, konsumsi jeruk dan pepaya di perkotaan berturut-turut

sebesar 2,46 kg dan 1,48 kg/kap/bulan, sedangkan di pedesaan sebesar 1,4 kg dan

0,72 kg/kap/bulan. Sebaliknya tingkat konsumsi pisang dan salak di kota, masing-

masing sebesar 1,94 kg dan 0,31 kg/kap/bulan.

Jika melihat pengklasifikasian rumah tangga berdasarkan kelas

pendapatan, dapat terlihat bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi

pendapatan rumah tangga, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi buahnya.

Kecenderungan ini berlaku untuk semua jenis buah yang dianalisis (dalam Tabel

11). Salah satu jenis buah yang paling mencolok perbedaan tingkat konsumsinya

antar kelas pendapatan ialah jeruk. Tingkat konsumsi jeruk pada rumah tangga

dengan tingkat pendapatan rendah, sedang, dan tinggi masing-masing sebesar

0,67 kg/kap/bulan, 1,84 kg/kapita/bulan, dan 3,8 kg/kap/bulan. Terlihat di sini

bahwa tingkat konsumsi jeruk meningkat lebih dari 100 persen setiap kenaikan

kelas pendapatan (baik dari rendah ke sedang, maupun dari sedang ke tinggi). Hal

ini kemungkinannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Jeruk merupakan salah satu

buah yang memiliki banyak variasi, baik dari segi harga, kualitas, maupun asalnya

(lokal dan impor). Ketika terjadi peningkatan pendapatan, maka diduga terjadi

pergeseran preferensi konsumen dari jeruk yang kualitas dan harganya relatif

rendah ke jenis jeruk lainnya yang kualitas maupun harganya lebih tinggi,

sehingga proporsi pengeluaran jeruk meningkat ketika terjadi peningkatan

pendapatan.

Di sisi lain, jika dilihat dari segi proporsinya (share) terhadap pengeluaran

buah total, rata-rata masyarakat kota di Pulau Jawa mengeluarkan sekitar 41,7

55

persen untuk mengkonsumsi jeruk, dimana proporsi ini merupakan yang terbesar

dibanding dengan proporsi untuk jenis buah lainnya. Sedangkan untuk masyarakat

desa, sebagian besar dari total pengeluarannya untuk buah dialokasikan untuk

mengkonsumsi pisang, yaitu sebesar 40,4 persen.

Berdasarkan besarnya proporsi pengeluaran buah tertentu terhadap

pengeluaran buah total antar kelas pendapatan menunjukkan bahwa pada rumah

tangga dengan tingkat pendapatan rendah, proporsi terbesar dari pengeluaran

totalnya untuk buah dialokasikan untuk mengkonsumsi pisang (45,1%),

sedangkan pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan sedang dan tinggi,

proporsi terbesarnya dialokasikan untuk mengkonsumsi buah jeruk, masing-

masing sebesar 38,9 dan 39,8 persen.

Tabel 12. Tingkat Konsumsi Buah dan Share terhadap Pengeluaran Buah Total di Pulau Jawa (by province) tahun 2005

Wilayah Konsumsi (kg/kapita/bulan) Share terhadap pengeluaran buah total

jeruk pisang pepaya salak semangka jeruk pisang pepaya salak semangka

P. Jawa DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten

2.047 2.605 1.883 1.674 2.683 1.752 2.013

2.426 1.555 2.641 2.858 2.077 2.463 2.873

1.176 2.037 0.856 0.954 1.258 1.252 1.280

0.254 0.265 0.267 0.510 0.559 0.259 0.381

0.538 0.840 0.349 0.770 0.366 0.903 0.548

0.387 0.362 0.419 0.328 0.457 0.346 0.378

0.264 0.135 0.299 0.362 0.255 0.323 0.262

0.098 0.158 0.073 0.078 0.096 0.115 0.106

0.038 0.034 0.044 0.083 0.062 0.046 0.054

0.040 0.052 0.032 0.060 0.025 0.066 0.033

Sumber : Diolah dari data SUSENAS 2005

Pola konsumsi buah-buahan yang lebih mendetail pada tiap provinsi dapat

dilihat pada Tabel 12. Masing-masing jenis buah memiliki tingkat konsumsi

maupun proporsi terhadap pengeluaran buah total yang berbeda-beda di setiap

provinsi. Namun secara umum provinsi yang tingkat konsumsi buahnya paling

tinggi ialah DKI Jakarta. Hal ini kemungkinannya disebabkan karena seluruh

wilayah DKI Jakarta terkategori sebagai wilayah perkotaan. Seperti yang telah

56

dijelaskan sebelumnya, bahwa wilayah perkotaan tingkat konsumsi buahnya lebih

tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Dari Tabel 12 juga dapat dilihat bahwa

jeruk merupakan jenis buah yang proporsi pengeluarannya terhadap pengeluaran

buah total paling besar, hampir di semua provinsi di Pulau Jawa kecuali Jawa

tengah. Di Jawa Barat bahkan proporsi pengeluaran untuk jeruk mencapai hampir

42 %. Berbeda dengan semua provinsi di Pulau Jawa, di Jawa Tengah proporsi

terbesar dialokasikan untuk pisang, yaitu sebesar 36,2 persen.

Untuk buah jeruk, tingkat konsumsi paling tinggi yaitu di Provinsi DI

Yogyakarta (2,68 kg/kap/bulan), semangka di Jawa Timur (0,9 kg/kap/bulan),

sedangkan untuk pisang, tingkat konsumsi paling tinggi berada di Provinsi Banten

(2,87 kg/kap/bulan). Hal ini kemungkinannya dapat dijelaskan karena Provinsi

Banten letaknya secara geografis dekat dengan Provinsi Lampung yang

merupakan sentra produksi pisang, sehingga ketersediaan pisang di Banten

menjadi relatif banyak dan harganya menjadi murah. Hal ini tentu saja akan

mempengaruhi tingkat konsumsi pisang di Provinsi Banten. Selain itu untuk

komoditi salak, tingkat konsumsi tertingginya berada di Provinsi DI Yogyakarta

(0,56 kg/kap/bulan). Hal ini juga dapat dijelaskan karena DI Yogyakarta

merupakan salah satu sentra produksi salak di Indonesia, sehingga

ketersediaannya pun relatif banyak. Tingkat konsumsi pepaya berkisar antara 0,86

kg sampai 2,04 kg/kap/bulan, dimana konsumsi terbesar di DKI Jakarta dan

terendah di Jawa Barat.

Berdasarkan hasil analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi

buah-buahan rumah tangga di Pulau Jawa berdasarkan tingginya frekuensi

konsumsi berturut-turut pisang – jeruk – pepaya – semangka - salak.

57

6.2 Analisis Parameter Permintaan Buah di Pulau Jawa

6.2.1 Pengujian restriksi

Pengujian restriksi dilakukan untuk model sistem persamaan Pulau Jawa

secara agregat, dengan unit sampling rumah tangga maupun PSU. Tabel 13

menunjukkan hasil uji-F untuk masing-masing model sistem permintaan. Dari

tabel tersebut terlihat bahwa semua model tanpa restriksi berbeda signifikan

dengan model yang diretriksi pada taraf nyata 1 persen. Oleh karena itu dalam

pembahasan selanjutnya, model persamaan yang digunakan adalah model

permintaan yang telah dilakukan (“diimpose”) restriksi homogen, simetri, maupun

adding up. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa homogenitas, simetri,

dan adding up merupakan sifat (properties) dari fungsi permintaan. Analisis

dimulai dengan menduga besarnya nilai parameter regresi dari model yang

digunakan, untuk selanjutnya diuji seberapa besar pengaruh variabel tersebut, baik

secara individu maupun bersamaan.

Tabel 13. Hasil uji-F Model Sistem Persamaan Dengan dan Tanpa Restriksi Unit

Sampling Hipotesa nol Hipotesa alternatif Fhit F0,01 Kesimpulan

RT

Model dengan restriksi homogen dan simetri = model tanpa restriksi homogen dan simetri

Model dengan res triksi homogen dan simetri ? model tanpa restriksi homogen dan simetri

9950 2.64 Tolak Ho

PSU

Model dengan restriksi homogen dan simetri = model tanpa restriksi homogen dan simetri

Model dengan res triksi homogen dan simetri ? model tanpa restriksi homogen dan simetri

3959 2,64 Tolak Ho

Hasil estimasi dari model permintaan buah di Pulau Jawa dengan

menggunakan model AIDS ini disajikan dalam dua bagian. Bagian pertama untuk

model permintaan dengan unit sampling Rumah Tangga (RT) dan bagian kedua

untuk model permintaan dengan unit sampling Primary Unit Sampling (PSU). Hal

58

ini dimaksudkan untuk melihat perbandingan antara penggunaan unit sampling

RT dan PSU.

6.2.2 Model Permintaan dengan Unit Sampling RT

Hasil pendugaan fungsi permintaan buah secara lebih detail disajikan

dalam Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 15, yang terdiri dari model

permintaan untuk Pulau Jawa secara agregat, Pulau Jawa yang diklasifikasikan

berdasar wilayah, kelas pendapatan, tingkat pendidikan, dan juga per provinsi.

Dari hasil analisis diperoleh nilai koefisien determinasi sistem (R2) yang berkisar

antara 0.050 - 0.3263, yang berarti hanya 5.05 - 32.63 persen dari keragaman

dalam proporsi (share) pengeluaran setiap jenis buah yang dapat dijelaskan oleh

variabel-variabel bebasnya dalam model, yaitu variabel harga (baik harga sendiri

maupun harga silang), pengeluaran total (EXP), dan juga variabel-variabel

demografi yang meliputi jumlah anggota rumah tangga (JART) dan tingkat

pendidikan kepala rumah tangga (PDDKN).

Tabel 14. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan unit sampling RT

Rendahnya nilai R2 pada model diduga karena penggunaan data

penampang melintang (cross section) yang hanya dapat menerangkan kondisi

pada suatu waktu. Selain itu, karena model AIDS dalam penelitian ini hanya

diterapkan pada beberapa komoditi buah saja, sehingga subtitusi yang dapat

dijelaskan terbatas pada komoditi yang dianalisis saja, sedangkan dalam kondisi

riilnya, keputusan seorang konsumen untuk mengkonsumsi satu jenis buah, tentu

saja tidak hanya dipengaruhi oleh harga jenis buah itu sendiri ataupun harga jenis

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.35959

0.27731

0.18037

0.599728x

0.599728

0.343624

0.066316

-0.03147

-0.03484

-0.03147

0.053829

-0.02236

-0.03484

-0.02236

0.057199

0.008664x

0.000353x

-0.00585 x

-0.00388 x

-0.03562

-0.00628 2

0.023832

-0.02932

-0.00394 x

-0.02328

0.032556

-0.00928

59

buah lainnya saja, tetapi juga dipengaruhi oleh harga dari sub.komoditi pangan

lainnya, bahkan oleh barang non pangan seperti harga bahan bakar, listrik, air, dan

sebagainya. Walaupun demikian, nilai R2 yang relatif rendah tersebut, bukanlah

halangan untuk penggunaannnya dalam analisis. Keputusan terakhir mengenai

diterima atau ditolaknya suatu model, tergantung pada pertimbangan logis

mengenai model itu sendiri, dengan kata lain tergantung pada konsistensi

parameter yang dihasilkan dengan teori yang berlaku (Fitriadi dalam Nugraha,

2001). Selain itu, untuk model simultan seperti model AIDS kriteria statistik yang

lebih tepat digunakan untuk mengevaluasi hasil estimasi model persamaan ialah

root-MSE. Dari hasil analisis diketahui bahwa nilai root MSE untuk model

permintaan dengan unit sampling RT ialah sebesar 8,49. Nilai ini lebih besar dari

root-MSE untuk model permintaan dengan unit sampling PSU (4,24). Hal ini

dapat diartikan bahwa secara statistik, model permintaan dengan unit sampling

RT relatif lebih tepat dalam melakukan estimasi dibandingkan dengan model

dengan unit sampling RT.

Untuk dugaan parameter, baik untuk Pulau Jawa secara agregat maupun

pengklasifikasiannya berdasarkan wilayah, kelas pendapatan, tingkat pendidikan,

dan juga provinsi, tingkat signifikansinya bervariasi pada kisaran tingkat

kepercayaan 90 – 99 persen, dan juga terdapat beberapa variabel yang tidak nyata

pengaruhnya dalam model. Dugaan parameter harga sendiri sebagian besar

nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen, namun untuk model permintaan Pulau

Jawa dengan tingkat pendidikan tinggi, variabel harga sendiri ini tidak nyata

dalam semua persamaan.

60

Dari hasil analisa juga diperoleh bahwa sebagian besar tanda dugaan

parameter harga sendiri bertanda positif. Hasil ini serupa dengan dengan

penelitian-penelitian sebelumnya untuk komoditi buah yang juga menghasilkan

tanda positif untuk parameter harga sendiri. Hasil penelitian Saliem (2001)

dengan menggunakan data SUSENAS 1996 menunjukkan bahwa koefisien harga

sendiri untuk buah-buahan secara agregat di Kawasan Timur Indonesia ialah

0.0198. Tanda parameter yang positif ini dapat diartikan bahwa dengan

meningkatnya harga, akan diikuti dengan peningkatan pangsa pengeluaran untuk

jeruk, pisang, dan pepaya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Berdasarkan

penelitian-penelitian sebelumnya (Sawit, dkk (1997) dan Hartoyo (1997)) dan

juga dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa ketiga jenis buah tersebut

memiliki nilai elastisitas harga sendiri yang inelastis, dengan kata lain ketika

terjadi kenaikan ataupun penurunan harga maka permintaannya cenderung tidak

berubah. Jika terjadi perubahan pun, maka dalam jumlah yang kecil saja.

Kenaikan harga buah yang dikombinasikan dengan permintaan yang relatif tetap

maka akan menghasilkan kenaikan pengeluaran buah. Jika pengeluaran total

diasumsikan tetap, maka tentunya proporsi pengeluaran untuk buah tertentu pun

akan meningkat. Oleh karena itu tanda parameter harga sendiri menjadi positif.

Parameter harga silang sebagian besar nyata mempengaruhi pangsa

pengeluaran buah pada tingkat kepercayaan 99 persen, namun pada beberapa

persamaan, seperti variabel harga pisang dalam persamaan pepaya untuk model

permintaan Jawa dengan tingkat pendidikan sedang nilainya nyata pada tingkat

kepercayaan 97,5 persen. Semua parameter harga silang bertanda negatif, yang

61

berarti terdapat korelasi dengan arah yang berlawanan antara proporsi

pengeluaran suatu jenis buah dengan harga buah jenis lainnya.

Untuk model permintaan buah di Pulau Jawa secara agregat maupun untuk

wilayah pedesaan dan perkotaan Jawa, hasil analisis menunjukkan bahwa

variabel pengeluaran sebagian besar nyata pada kisaran tingkat kepercayaan 95

– 99 persen. Meskipun demikian, untuk persamaan pepaya pada wilayah Jawa

secara agregat dan wilayah pedesaan Jawa, variabel pengeluaran ini tidak nyata

berpengaruh terhadap pangsa pengeluaran pepaya. Dugaan parameter pengeluaran

untuk proporsi pengeluaran buah ini memperlihatkan variasi tanda positif dan

negatif. Untuk persamaan jeruk parameter pengeluaran bertanda positif (baik

untuk model permintaan Jawa secara agregat maupun untuk wilayah Jawa desa

dan Jawa kota). Hal ini berarti, semakin besar tingkat pengeluaran riil atau dapat

dianggap semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga, maka semakin besar

proporsi dari pendapatan tersebut yang digunakan untuk mengkonsumsi jeruk. Hal

ini sesuai dengan data konsumsi jeruk di Pulau Jawa pada tahun 2005 yang tertera

pada Tabel 6. Dari tabel dapat diketahui bahwa proporsi pengeluaran untuk jeruk

untuk rumah tangga dari kelas pendapatan rendah, sedang, dan tinggi berturut-

turut sebesar 0,291; 0,389; dan 0,398.

Di sisi lain, untuk persamaan pisang dan pepaya, parameter pengeluaran

bertanda negatif, yang berarti makin tinggi tingkat pendapatan keluarga maka

semakin kecil proporsi dari pendapatan tersebut yang digunakan untuk

mengkonsumsi pisang dan pepaya. Hal ini juga sesuai dengan data pada Tabel 11,

dimana proporsi pengeluaran untuk komoditi pisang pada rumah tangga dengan

kelas pendapatan rendah, sedang, dan tinggi masing-masing sebesar 0,451; 0,292;

62

dan 0,166. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa jeruk dapat

dikategorikan sebagai “barang luks”, karena proporsi pengeluarannya meningkat

ketika pendapatannya bertambah.

Dugaan untuk parameter jumlah anggota keluarga per rumah tangga

(JART) tingkat signifikansinya relatif bervariasi. Pada beberapa persamaan,

variabel JART nyata mempengaruhi proporsi pengeluaran buah pada tingkat

kepercayaan 99 persen. Sebagai gambaran, pada model permintaan untuk Pulau

Jawa dengan tingkat pendidikan tinggi, variabel JART nyata pada tingkat

kepercayaan 99 persen untuk persamaan pisang dan pepaya, sedangkan untuk

jeruk nyata pada tingkat kepercayaan 97,5 persen. Namun dari seluruh model

permintaan, lebih dari 50 persennya menunjukkan bahwa variabel JART tidak

nyata. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel JART relatif

tidak terlalu berpengaruh terhadap proporsi pengeluaran buah di rumah tangga

Pulau Jawa.

Pada model permintaan untuk Pulau Jawa secara agregat, hasil analisis

menunjukkan variabel pendidikan nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen

untuk persamaan pisang dan 95 persen untuk persamaan pepaya, sedangkan untuk

persamaan jeruk, variabel pendidikan ini tidak nyata pengaruhnya terhadap

proporsi pengeluaran jeruk. Di pedesaan Jawa, variabel pendidikan ini tidak nyata

berpengaruh untuk semua persamaan. Hal ini mungkin disebabkan karena di

daerah pedesaan, umumnya jenis buah yang dianalisis, terutama pisang dan

pepaya tumbuh di pekarangan-pekarangan rumah penduduk, dengan kata lain

untuk dapat mengkonsumsi pepaya, penduduk di pedesaan tidak perlu

membelinya, sehingga variabel pendidikan menjadi tidak berpengaruh dalam

63

proporsi pengeluaran buah pada rumah tangga di pedesaan. Sedangkan untuk

wilayah perkotaan, variabel pendidikan nya ta pada tingkat kepercayaan 99 persen

untuk persamaan pisang dan pepaya, sedangkan untuk jeruk variabel pendidikan

ini tidak nyata berpengaruh.

6.2.3 Model Permintaan dengan Unit Sampling PSU

Hasil pendugaan parameter fungsi permintaan buah dengan unit sampling

PSU secara detail disajikan dalam Lampiran 16 sampai dengan Lampiran 30, yang

terdiri dari model permintaan untuk Pulau Jawa secara agregat, Pulau Jawa yang

diklasifikasikan berdasarkan wilayah, kelas pendapatan, tingkat pendidikan, dan

juga per provinsi. Berdasarkan hasil analisis dengan unit sampling PSU ini

diperoleh nilai koefisien determinasi sistem (R2) yang relatif lebih besar dari

analisis dengan unit sampling RT, yaitu berkisar antara 0.0364 – 0.5993. Ini

berarti 3.64 – 59.93 persen dari keragaman pangsa pengeluaran buah dapat

dijelaskan dalam model. Hal tersebut kemungkinannya dapat dijelaskan karena

pada unit sampling PSU, tingkat variasi pada masing-masing variabelnya lebih

tinggi dibandingkan dengan unit sampling RT.

Tabel 15. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan unit sampling PSU

Untuk dugaan parameter harga sendiri maupun harga silang, antara

analisis dengan unit sampling RT maupun PSU menunjukkan hasil yang serupa,

yaitu arah (positif-negatif) dari masing-masing variabel harga pada tiap

persamaan yang sama. Untuk variabel harga sendiri bertanda positif dan variabel

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36675

0.25865

0.09988

-0.15838 x

1.170626

-0.01225 x

0.027492

-0.01427 2

-0.01322

-0.01427 2

0.0179331

-0.00367 x

-0.01322

-0.00367 x

0.016890

-0.00231 x

-0.00381 x

0.000683x

0.072345

-0.17920

0.000684x

0.050140

-0.07450

0.0135151

-0.06415

0.078378

-0.01423

64

harga silang bertanda negatif. Namun jika pada unit sampling RT sebagian besar

variabel harganya nyata pada tingkat kepercayaan 99 %, maka pada unit sampling

PSU ini variabel harga tersebut nyata pada tingkat kepercayaan yang lebih

bervariasi, berkisar antara 90 – 99 %.

Pada model permintaan, baik untuk Pulau Jawa secara agregat maupun

untuk wilayah pedesaan dan perkotaannya, hasil analisa memperlihatkan bahwa

variabel pengeluaran nyata untuk seluruh persamaan pada tingkat kepercayaan

99 %, kecuali untuk persamaan pepaya pada model permintaan Jawa agregat,

variabel pengeluaran ini nyata pada tingkat kepercayaan 97,5 %. Hal ini

menunjukkan bahwa faktor pengeluaran (yang juga digunakan sebagai proksi

untuk pendapatan rumah tangga) sangat berpengaruh terhadap pangsa pengeluaran

rumah tangga untuk buah-buahan. Dugaan parameter permintaan dengan unit

sampling PSU ini juga menghasilkan variasi tanda positif dan negatif. Sebagai

contoh, di wilayah desa maupun kota, variabel pengeluaran bertanda positif untuk

persamaan jeruk dan bertanda negatif untuk persamaan pisang, sedangkan untuk

persamaan pepaya, variabel pengeluarannya bertanda negatif untuk wilayah

pedesaan Jawa dan bertanda positif untuk perkotaan Jawa.

Dugaan parameter JART menunjukkan hasil yang relatif sama dengan

hasil analisa dari unit sampling RT, yaitu tidak nyatanya variabel JART ini di

sebagian besar persamaan. Sedangkan untuk variabel pendidikan, hasil analisis

PSU sedikit berbeda dengan hasil analisis RT. Pada analisis dengan PSU, untuk

model permintaan buah di Pulau Jawa secara agregat hasilnya menunjukkan

variabel pendidikan nyata pada tingkat kepercayaan 99 % untuk persamaan jeruk

dan pisang, sedangkan untuk persamaan pepaya, variabel pendidikan ini tidak

65

nyata berpengaruh terhadap pangsa pengeluaran. Di wilayah pedesaan hasilnya

serupa dengan hasil analisis permintaan untuk Jawa secara agregat. Untuk wilayah

perkotaan, variabel pendidikan hanya nyata (pada tingkat kepercayaan 99 %)

untuk persamaan pisang, sedangkan untuk persamaan jeruk dan pepaya variabel

ini tidak nyata.

66

6.3 Sistem Permintaan Buah

6.3.1 Permintaan Jeruk

Hasil perhitungan elastisitas permintaan dan elastisitas pengeluaran jeruk

tercantum dalam Tabel 16 dan 17, masing-masing untuk unit sampling Rumah

Tangga (RT) dan Primary Sampling Unit (PSU). Dari kedua tabel tersebut dapat

dikemukakan beberapa hal sebagai berikut :

Tabel 16. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling Rumah Tangga

Elastisitas Harga Sendiri

Elastisitas harga sendiri untuk jeruk, baik dari analisa yang menggunakan

unit sampling RT maupun PSU menghasilkan tanda (positif – negatifnya) serta

arah koefisien dari elastisitas yang secara umum seragam, namun terdapat pula

beberapa perbedaan dalam nilai besaran elastisitas. Secara lebih rinci

pembahasannya sebagai berikut :

1) Elastisitas harga sendiri jeruk, baik pada unit sampling RT ataupun PSU

menunjukkan tanda negatif, yang berarti bahwa kenaikan harga jeruk akan

Wilayah Elastisitas

Harga sendiri (eii)

Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Pisang Pepaya

Jawa Pedesaan Perkotaan

Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi

Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi

-0.8156 -0.7830 -0.8279

-0.8176 -0.8057 -0.8312

-0.7992 -0.7840 -0.9249

-0.0875 -0.0954 -0.0880

-0.0749 -0.0933 -0.1069

-0.0873 -0.1130 -0.0998

-0.0969 -0.1216 -0.0839

-0.1074 -0.1010 -0.0619

-0.1135 -0.1029 0.0246

0.9352 0.8694 0.9608

0.9329 0.9568 1.0280

0.9200 0.8865 1.0314

67

menyebabkan jumlah jeruk yang diminta turun (asumsi ceteris paribus). Hal

ini sesuai dengan sifat fungsi permintaan yang mempunyai arah negatif.

Tabel 17. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling PSU

2) Berdasarkan pengelompokkan menurut daerah, elastisitas permintaan jeruk

lebih elastis pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.

Interpretasinya ialah bahwa perubahan harga jeruk akan memperoleh respon

permintaan yang lebih besar/kuat dari konsumen di perkotaan. Hal ini dapat

disebabkan oleh relatif lebih banyaknya pilihan dan variasi buah yang ada di

perkotaan, sehingga daya subtitusi komoditi jeruk akan menjadi lebih besar di

wilayah perkotaan.

3) Berdasarkan kelompok pendapatan, terdapat kecenderungan elastisitas harga

sendiri yang semakin elastis pada kelompok masyarakat dengan tingkat

pendapatan tinggi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada masyarakat

kelompok pendapatan rendah, sebagian besar pendapatannya masih

dialokasikan untuk komoditi pangan utama, seperti beras, minyak goreng,

sumber protein hewani maupun nabati, dan sebagainya, sehingga buah-buahan

(dalam hal ini ialah jeruk) masih dianggap sebagai makanan tambahan. Oleh

Wilayah Elastisitas

Harga sendiri (eii)

Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Pisang Pepaya

Jawa Pedesaan Perkotaan

Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi

Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi

-0.925 -0.903 -0.928

-0.390 -0.934 -0.881

-0.9334 -0.8913 -1.2333

-0.039 -0.060 -0.035

-0.026 -0.039 -0.053

-0.0327 -0.0399 -0.0148

-0.013 -0.036 -0.037

-0.035 -0.027 -0.066

-0.0339 -0.0688 0.2480

0.8251 0.7528 0.9005

0.7522 0.9323 0.9778

0.8258 0.8444 1.3141

68

karena itu perubahan harga jeruk tidak akan direspon secara kuat oleh

masyarakat dalam kelompok ini. Sebaliknya pada masyarakat kelompok

pendapatan tinggi, buah-buahan (jeruk) sudah dianggap sebagai kebutuhan

pokok, sehingga naik-turunnya harga jeruk akan direspon dengan kuat oleh

masyarakat pada kelompok ini.

4) Berdasarkan tingkat pendidikan dapat diketahui bahwa nilai elastisitas harga

sendiri jeruk lebih elastis pada masyarakat kelompok pendidikan tinggi. Pada

analisa dengan unit sampling RT, nilai elastisitas harga sendiri jeruk pada

kelompok masyarakat pendidikan tinggi ialah -0,92, berarti jika terdapat

kenaikan harga jeruk sebesar 100 persen, maka jumlah jeruk yang diminta

akan naik sebesar 92 persen. Nilai ini relatif lebih besar dibandingkan dengan

nilai elastisitas harga sendiri pada masyarakat pendidikan rendah, yaitu

sebesar -0,80. Ini diduga kemungkinannya karena ada keterkaitan antara

tingkat pendidikan yang tinggi dengan tingkat pendapatan yang tinggi. Seperti

dijelaskan sebelumnya bahwa pada kelompok rumah tangga dengan tingkat

pendapatan tinggi, permintaannya lebih elastis.

Elastisitas Harga Silang

5) Dari Tabel 16 dan 17 diketahui bahwa parameter elastisitas harga silang, baik

pada unit sampling RT maupun PSU sebagian besar bertanda negatif. Hal ini

menunjukkan adanya hubungan yang bersifat komplemen antara jeruk dengan

buah lainnya. Hanya terdapat satu elastisitas harga silang yang bertanda

positif, yaitu elastisitas harga silang jeruk terhadap pepaya pada kelompok

pendidikan tinggi. Ini dapat diinterpretasikan dengan adanya hubungan

subtitusi antara jeruk dan pepaya pada kelompok konsumen dengan tingkat

69

pendidikan tinggi. Namun dari relatif kecilnya nilai elastisitas harga silang

tersebut menggambarkan sifat komplementer maupun subtitusi yang tidak

terlalu kuat.

Elastisitas Pengeluaran

6) Elastisitas pengeluaran pada unit sampling RT maupun PSU mempunyai tanda

positif. Hal ini menunjukkan bahwa jeruk merupakan barang normal, yaitu

jika pendapatan konsumen meningkat, maka jumlah jeruk yang diminta juga

akan meningkat. Dari hasil analisa juga diketahui bahwa elastisitas

pengeluaran terhadap jeruk di perkotaan lebih elastis dibanding pedesaan.

Pada unit sampling PSU, nilai elastisitas pengeluaran jeruk di perkotaan ialah

sebesar 0,90 sedangkan untuk pedesaan sebesar 0,75. Hal ini menunjukkan

bahwa apabila terjadi peningkatan pendapatan konsumen sebesar 100 persen

maka jumlah jeruk yang diminta akan meningkat sebesar 90 persen di wilayah

perkotaan dan 75 persen di wilayah pedesaan. Hal tersebut disebabkan karena

di wilayah perkotaan lebih banyak variasi jenis jeruknya, termasuk jenis jeruk

impor yang harganya relatif lebih mahal. Seperti yang dijelaskan dalam

penelitian Hartoyo (1997) bahwa ketika pendapatan konsumen meningkat,

maka ada kecenderungan pergeseran selera dari buah yang harganya murah ke

buah yang harganya mahal. Karena itu, di perkotaan ketika pendapatan

konsumen meningkat, maka konsumsi jeruknya dapat berubah dari yang

harganya murah (jeruk lokal ) ke jenis jeruk yang harganya lebih mahal (jeruk

impor dengan kualitas yang lebih baik).

7) Berdasarkan tingkat pendapatan, secara konsisten ditunjukkan bahwa

elastisitas pengeluaran makin elastis dengan semakin tingginya tingkat

70

pendapatan masyarakat. Di sisi lain, berdasarkan tingkat pendidikan terdapat

hasil yang sedikit berbeda pada analisa dengan unit sampling RT dengan PSU.

Pada unit analisa PSU, secara konsisten ditunjukkan bahwa semakin tingginya

tingkat pendidikan, maka nilai elastisitas pengeluarannya akan semakin

elastis, sedangkan pada unit analisa RT hasilnya menunjukkan arah yang tidak

konsisten. Dari kelompok konsumen pendidikan rendah ke pendidikan sedang

menunjukkan nilai elastisitas pengeluaran yang menurun, namun dari

kelompok konsumen pendidikan sedang ke pendidikan tinggi menunjukkan

nilai elastisitas pengeluaran yang meningkat.

6.3.2 Permintaan Pisang

Tabel 18 dan 19 menunjukkan besaran elastisitas permintaan dan

elastisitas pengeluaran untuk komoditi pisang, masing-masing untuk unit

sampling RT dan PSU. Dari kedua tabel tersebut, dapat dijelaskan beberapa hal

sebagai berikut :

Tabel 18. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang, unit sampling Rumah Tangga

Wilayah Elastisitas

Harga sendiri (eii)

Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Jeruk Pepaya

Jawa Pedesaan Perkotaan

Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi

Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi

-0.8059 -0.8008 -0.8091

-0.8467 -0.7842 -0.7506

-0.8080 -0.7718 -0.7680

-0.1135 -0.1094 -0.1211

-0.0887 -0.1268 -0.1567

-0.1111 -0.1471 -0.1448

-0.0806 -0.0898 -0.0697

-0.0646 -0.0889 -0.0927

-0.0808 -0.0811 -0.0872

1.1174 1.1355 1.1001

1.0757 1.1064 1.1302

1.1417 1.1029 1.0189

71

Elastisitas Harga Sendiri

Tidak berbeda dengan jeruk, pada komoditi pisang hasil analisa dengan

menggunakan unit sampling RT maupun PSU menunjukkan tanda dan arah

koefisien dari elastisitas harga sendiri yang sama, dan hanya berbeda pada besar

nilainya saja. Pembahasan secara lebih terincinya ialah sebagai berikut :

1) Berdasarkan data pada Tabel 18 dan 19 dapat dilihat bahwa nilai elastisitas

harga sendiri pada pisang memiliki tanda negatif. Hal ini sesuai dengan teori

permintaan, yaitu naik-turunnya harga pisang akan direspon oleh konsumen

dengan arah yang berlawanan terhadap jumlah yang diminta.

2) Berdasarkan pengelompokkan menurut daerah, terlihat bahwa elastisitas harga

sendiri pisang lebih elastis pada wilayah perkotaan dibanding dengan

pedesaan. Alasan yang sama pada komoditi jeruk dapat pula diterapkan untuk

menjelaskan hal ini. Di wilayah perkotaan ketersediaan jenis buah lainnya

lebih banyak dan lebih bervariasi dibandingkan dengan pedesaan, sehingga

daya subtitusi pisang menjadi lebih besar di perkotaan. Hal ini tentunya akan

berdampak langsung pada semakin besarnya nilai elastisitas harga sendiri

pisang di wilayah perkotaan.

3) Besaran nilai elastisitas harga sendiri pisang antara kelompok pendapatan

secara konsisten menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan, maka

konsumen akan semakin kurang responsif terhadap perubahan harga pisang.

Dengan kata lain, dengan semakin meningkatnya pendapatan konsumen, nilai

elastisitas harga sendiri pisangnya akan semakin kecil. Pola tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut. Dari hasil olah data SUSENAS 2005 diketahui

bahwa proporsi pengeluaran untuk pisang terhadap pengeluaran buah total

72

makin mengecil dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Dimana sesuai

dengan teori ekonomi bahwa semakin kecil proporsi suatu komoditi terhadap

pengeluaran total, maka nilai elastisitas harga sendiri komoditi tersebut akan

semakin rendah (semakin inelastis).

Tabel 19. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang di Pulau Jawa, unit sampling PSU

Wilayah Elastisitas

Harga sendiri (eii)

Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Jeruk Pepaya

Jawa Pedesaan Perkotaan

Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi

Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi

-0.931 -0.913 -0.939

-0.959 -0.925 -0.819

-0.9394 -0.9402 -0.7916

-0.055 -0.062 -0.068

-0.027 -0.068 -0.115

-0.0447 -0.0916 -0.0376

-0.014 -0.025 -0.006

-0.014 -0.007 -0.066

-0.0159 -0.0318 -0.1728

1.3030 1.2736 1.2764

1.2943 1.1899 1.0624

1.2893 1.4194 0.8628

4) Analisa nilai elastisitas harga sendiri pisang berdasarkan tingkat pendidikan

menunjukkan kecenderungan bahwa nilai elastisitas lebih rendah pada

konsumen dengan tingkat pendidikan tinggi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai

berikut. Pada konsumen dengan tingkat pendidikan tinggi, pengetahuan

mereka mengenai pentingnya pisang dari aspek gizi sudah lebih baik. Oleh

karena itu permintaan terhadap pisang menjadi relatif lebih inelastis. Hal ini

sesuai dengan teori ekonomi bahwa semakin penting peranan suatu komoditi,

maka permintaannya akan menjadi semakin inelastis.

Elastisitas Harga Silang

5) Dari hasil analisa dengan unit sampling RT dan juga PSU menunjukkan

bahwa seluruh nilai elastisitas harga silang pisang terhadap buah lainnya

bertanda negatif. Ini berarti antara pisang denga n jeruk maupun pepaya

73

terdapat hubungan yang bersifat komplemen. Hubungan komplementer relatif

kuat terjadi antara komoditi pisang dengan jeruk, terutama pada kelompok

konsumen dengan tingkat pendapatan tinggi. Pada analisa dengan unit

sampling RT nilai elastisitas harga silang pisang terhadap jeruk pada

kelompok pendapatan tinggi ialah sebesar -0,16, yang berarti bahwa jika

terdapat penurunan harga jeruk sebesar 100 persen, maka jumlah permintaan

pisang akan naik sebesar 16 persen.

Elastisitas Pengeluaran

6) Secara keseluruhan, baik analisa yang menggunakan unit sampling RT

maupun PSU menunjukkan permintaan pisang akan meningkat dengan

semakin besarnya tingkat pendapatan masyarakat. Bila dibandingkan dengan

elastisitas pengeluaran jeruk maupun pepaya, elastisitas pengeluaran pisang

ini nilainya lebih besar, atau dengan kata lain jika terdapat perubahan

pendapatan, maka respon permintaan pisang akan lebih kuat dibandingkan

respon permintaan jeruk maupun pepaya. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas

pisang yang sebagian besar bernilai lebih dari satu, sedangkan untuk jeruk dan

pepaya nilainya kurang dari satu.

7) Analisa elastisitas pengeluaran berdasarkan daerah dan tingkat pendapatan

menunjukkan kecenderungan hasil yang berbeda antara analisa dengan unit

sampling RT dengan PSU. Pada unit sampling RT, nilai elastisitas

pengeluaran lebih besar pada konsumen di pedesaan dan pada konsumen

dengan tingkat pendapatan tinggi. Sebaliknya, pada unit sampling PSU, nilai

elastisitas pengeluaran lebih besar pada konsumen di perkotaan (meskipun

74

nilainya tidak jauh berbeda antara pedesaan (1,274) dengan perkotaan (1,276))

dan pada konsumen dengan tingkat pendapatn rendah.

8) Berdasarkan pengelompokkan menurut tingkat pendidikan, hasil analisis

dengan unit sampling PSU dan RT memperlihatkan kecenderungan yang

sama, yaitu nilai elastisitas pengeluaran pisang yang lebih elastis pada

kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Pada unit sampling

PSU, nilai elastisitas pengeluaran untuk kelompok pendidikan rendah ialah

1,29, sedangkan untuk kelompok pendidikan tinggi sebesar 0,86. Hal ini dapat

diinterpretasikan bahwa jika terdapat peningkatan/penurunan pendapatan

konsumen sebesar 100 persen, maka jumlah permintaan jeruk akan bertambah

sebesar 129 persen untuk kelompok pendidikan rendah dan 86 persen untuk

kelompok pendidikan tinggi.

6.3.3 Permintaan Pepaya

Besaran dan arah parameter elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas

harga silang dan elastisitas pengeluaran pepaya, tercantum dalam tabel 20 dan 21,

masing-masing untuk hasil analisa dengan unit sampling RT dan PSU. Dari kedua

tabel tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut :

Elastisitas Harga Sendiri

1) Dari tabel 20 dan 21 dapat dilihat bahwa nilai elastisitas harga sendiri untuk

pepaya bertanda negatif. Hal ini sesuai dengan sifat fungsi permintaan yang

menjelaskan adanya korelasi negatif antara harga suatu komoditi dengan

jumlah permintaannya. Dari kedua unit sampling, baik dengan RT maupun

75

PSU menunjukkan bahwa nilai elastisitas harga sendiri untuk pepaya relatif

lebih rendah dibandingkan dengan jeruk dan pisang.

Tabel 20. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling Rumah Tangga

Wilayah Elastisitas

Harga sendiri (eii)

Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Jeruk Pisang

Jawa Pedesaan Perkotaan

Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi

Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi

-0.6829 -0.5955 -0.7332

-0.6901 -0.6668 -0.7267

-0.6550 -0.6480 -0.9229

-0.1932 -0.2464 -0.1663

-0.2055 -0.2022 -0.1352

0.2213 -0.2197 0.0537

-0.1240 -0.1583 -0.1004

-0.1044 -0.1309 -0.1381

-0.1237 -0.1328 -0.1308

0.9486 1.0253 0.9335

1.0059 0.9299 0.7449

0.9389 1.0733 0.9033

2) Apabila dibedakan menurut daerah, terlihat bahwa permintaan pepaya

penduduk di perkotaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding

penduduk desa. Pada analisa dengan unit sampling RT, nilai elastisitisitas

harga sendiri pepayanya ialah -0,59 dan -0,73, masing-masing untuk wilayah

pedesaan dan perkotaan, sedangkan pada unit sampling PSU, nilai elastisitas

pengeluaran untuk penduduk di pedesaannya ialah sebesar-0,79 dan untuk

penduduk di perkotaan sebesar -0,87.

3) Keragaan besaran nilai elastisitas harga sendiri antar kelompok pendapatan

menunjukkan arah koefisien yang berbeda antara unit sampling RT dengan

PSU. Pada unit analisa RT, makin tinggi tingkat pendapatan konsumen,

kecenderungannya ialah makin tinggi pula nilai elastisitas harga sendirinya.

Sebaliknya pada unit analisa PSU, nilai elastisitas harga sendiri pepaya makin

rendah dengan semakin tingginya tingkat pendapatan konsumen.

76

Tabel 21. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling PSU

Wilayah Elastisitas

Harga sendiri (eii)

Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Jeruk Pisang

Jawa Pedesaan Perkotaan

Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi

Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi

-0.831 -0.789 -0.871

-0.837 -0.876 -0.657

-0.8337 -0.7755 -1.8280

-0.132 -0.127 -0.141

-0.118 -0.107 -0.236

-0.1237 -0.2812 1.1356

-0.038 -0.084 -0.013

-0.045 -0.016 -0.107

-0.0426 0.0567 -0.3078

0.8575 0.9290 0.8313

0.8742 0.8366 0.9775

0.8625 0.8886 -0.0817

4) Analisa nilai elastisitas harga sendiri berdasarkan tingkat pendidikan

menunjukkan hasil yang seragam, baik analisa yang menggunakan unit

sampling RT maupun PSU. Keduanya menunjukkan bahwa permintaan

pepaya lebih responsif terhadap perubahan harga pada penduduk kelompok

pendidikan tinggi. Pada analisa dengan unit sampling RT, elastisitas harga

sendiri untuk kelompok pendidikan rendah ialah sebesar -0,65, dan untuk

kelompok pendidikan tinggi mencapai -0,92.

Elastisitas Harga Silang

5) Dari sisi tanda, hubungan antara pepaya dengan buah lainnya bersifat

komplementer yang ditunjukkan oleh tanda negatif dari elastisitas harga

silang. Interpretasi dari hubungan komplementer antara pepaya dengan

komoditi komplemen tersebut ialah apabila terdapat penurunan harga

komoditi komplemen tersebut, maka jumlah permintaan terhadap pepaya akan

meningkat. Sementara itu hubungan yang bersifat subtitusi terlihat pada

77

pepaya dengan jeruk, khususnya pada kelompok masyarakat dengan tingkat

pendidikan tinggi.

Elastisitas Pengeluaran

6) Hasil analisis sebagian besar menunjukkan bahwa pepaya bersifat normal,

yang berarti jika terdapat peningkatan pendapatan maka jumlah permintaan

pepaya pun akan meningkat. Namun ditemukan nilai elastisitas pengeluaran

pepaya yang bertanda negatif yaitu pada kelompok masyarakat dengan

pendidikan tinggi. Dengan kata lain, pada kelompok pendidikan tinggi

tersebut, pepaya merupakan komoditi yang bersifat inferior, dimana jika

terdapat peningkatan pendapatan maka permintaannya justru menurun.

7) Elastisitas pengeluaran pepaya lebih elastis di wilayah pedesaan dibanding

dengan di wilayah perkotaan. Pada unit sampling RT, elastisitas pengeluaran

di wilayah pedesaan bahkan nilainya lebih dari satu.

8) Pengelompokkan berdasarkan tingkat pendapatan menunjukkan hasil yang

berbeda antar unit sampling RT dengan PSU. Pada unit sampling RT, secara

konsisten ditunjukkan bahwa nilai elastisitas pengeluaran akan semakin elastis

dengan makin rendahnya tingkat pendapatan konsumen. Di sisi lain, pada unit

sampling PSU hasilnya tidak menunjukkan arah yang konsisten, dari

pendapatan rendah ke pendapatan sedang mengalami penurunan besaran

elastisitas pengeluarnnya, namun dari pendapatan sedang ke pendapatan tinggi

mengalami kenaikan besaran elastisitas.

9) Berdasarkan tingkat pendidikan, baik analisa dengan unit sampling RT

maupun PSU menunjukkan bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan

rendah lebih elastis nilai elastisitas pengeluaran pepayanya. Ini berarti

78

perubahan pendapatan, akan mendapat respon perubahan permintaan pepaya

yang lebih besar dari kelompok pendidikan rendah daripada kelompok

pendidikan tinggi.

6.4 Implikasi Kebijakan

Dari uraian di atas diketahui bahwa tingkat konsumsi buah masyarakat

Indonesia secara umum masih di bawah standar yang ditetapkan oleh FAO

sebesar 60 kg/kapita/tahun. Hal ini tentunya perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah,

agar di tahun-tahun mendatang konsumsi buah di Indonesia dapat meningkat.

Pemerintah dapat membuat kebijakan baik dari sisi permintaan maupun

penawaran.

Dari sisi permintaan, pemerintah dapat mendorong peningkatan konsumsi

buah dalam berbagai alternatif. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa

faktor pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran) memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap permintaan buah. Di sisi lain, kondisi riil di masyarakat

menunjukkan bahwa peningkatan PDB riil per kapita ternyata belum mampu

meningkatkan permintaan buah. Hal ini dapat disebabkan karena distribusi

pendapatan pada masyarakat masih belum merata. Di satu wilayah (seperti

perkotaan) tingkat pendapatan masyarakatnya secara umum relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan masyarakat pedesaan, maka tingkat konsumsi buahnya pun

menjadi lebih besar karena daya belinya yang lebih baik. Oleh karena itu, salah

satu alternatif yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah untuk meningkatkan

konsumsi buah masyarakat yaitu dengan memperbaiki distribusi pendapatan

masyarakat.

79

Selain faktor pendapatan, dari hasil penelitian diketahui faktor lainnya

yang juga berpengaruh signifikan terhadap permintaan buah ialah pendidikan.

Sosialisasi mengenai pangan dan gizi secara umum melalui penyuluhan,

pendidikan dan kampanye mengenai peningkatan konsumsi buah, terutama untuk

buah dalam negeri masih sangat diperlukan untuk meningkatkan konsumsi

masyarakat terhadap buah-buahan maupun pangan bergizi lainnya. Strategi

promosi lain yang dapat digunakan ialah dengan memanfaatkan teknologi seperti

iklan layanan masyarakat di berbagai media elektronik maupun internet.

Alternatif kebijakan ini relatif lebih mudah dan aplikatif dibandingkan dengan

alternatif yang pertama, karena jika mengandalkan perbaikan distribusi

pendapatan pada masyarakat untuk dapat meningkatkan konsumsi buah akan

memerlukan proses yang panjang dan waktu yang lama.

Dari hasil penelitian juga diketahui adanya indikasi pergeseran preferensi

konsumen di Indonesia ke buah impor. Salah satu contoh kasusnya ialah buah

jeruk. Jeruk merupakan salah satu buah yang volume impornya relatif tinggi

dibandingkan jenis buah lainnya. Di wilayah perkotaan Jawa buah yang paling

tinggi frekuensi konsumsinya ialah jeruk. Hal ini mengindikasikan bahwa impor

buah (jeruk) sangat kuat penetrasinya di wilayah perkotaan Jawa. Kondisi ini

tentunya perlu diantisipasi oleh pemerintah, karena dapat menggeser preferensi

konsumen dari buah dalam negeri. Terlebih dalam rangka menuju era

perdagangan bebas tentunya pemerintah harus mulai meminimalisir kebijakan-

kebijakan yang berkaitan dengan pembatasan ataupun pengendalian impor buah.

Dengan kata lain, pemerintah harus fokus pada peningkatan produksi buah dalam

negeri. Potensi sumberdaya di Indonesia masih sangat mendukung untuk

80

dilakukan peningkatan produksi buah, baik dari segi ketersediaan lahan maupun

tenaga kerja. Indonesia pun memiliki kekayaan plasma nutfah yang melimpah

baik dalam jenis maupun macamnya. Dari ribuan yang ada, beberapa jenis buah

tropik Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan antara lain mangga,

manggis, durian, salak, pepaya, dan sebagainya.

Beberapa permasalahan dari sisi produksi buah di Indonesia antara lain

ialah skala usahanya yang relatif kecil. Secara tradisi, buah-buahan di Indonesia

diusahakan sebagai tanaman pekarangan yang berisi berbagai tanaman tahunan.

Usaha dengan skala pekarangan ini tentunya akan menghasilkan produk buah

dengan kualitas maupun kuantitas yang terbatas. Berdasarkan situasi tersebut,

maka kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah (baik pusat maupun daerah)

untuk dapat meningkatkan produksi buah dalam negeri antara lain memulai untuk

memperbaiki teknis produksi dan penanganan pasca panen agar kualitas dan

kuantitas buah yang dihasilkan dapat terjaga secara konsisten. Selain itu

pemerintah juga dapat membuat kebijakan yang berkaitan dengan aspek

permodalan, karena skala usaha yang besar tentunya membutuhkan dukungan

modal yang besar pula. Selain itu, pemerintah juga perlu mempercepat introduksi

teknologi-teknologi yang berhubungan dengan pengembangan produksi maupun

pascapanen kepada para petani buah. Dalam hal ini pemerintah juga dapat

melibatkan pihak akademisi untuk mengintroduksikannya kepada para petani. Ini

juga merupakan tantangan bagi para ahli pemuliaan tanaman untuk selalu

menghasilkan jenis buah yang memiliki kualitas dan produktivitas yang baik.

Selain mengantisipasi aspek produksi, pemerintah juga perlu

memperhatikan aspek manajemen pemasaran, termasuk di dalamnya masalah

81

transportasi dan distribusi yang masih lemah. Hal tersebut mengingat bahwa buah

lokal di Indonesia masih memiliki mata rantai yang panjang. Dengan demikian,

tidak cukup efisien menghasilkan buah berkualitas bagus dan harga yang bersaing

di tingkat konsumen. Jika distribusi buah sudah baik maka tentunya produk yang

telah dihasilkan dapat dikonsumsi oleh sebagian besar lapisan masyarakat dan

tingkat konsumsi buah di Indonesia pun dapat meningkat.

82

Tabel 22. Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling Rumah Tangga)

Komoditi

Kategori Pengklasifikasian

Wilayah (Pedesaan-Perkotaan) Kelas Pendapatan Tingkat Pendidikan Kepala Rumahtangga

Elastisitas harga (Ed)

Elastisitas Pengeluaran (Ei)

Elastisitas harga (Ed)

Elastisitas Pengeluaran (Ei)

Elastisitas harga (Ed)

Elastisitas Pengeluaran (Ei)

Jeruk

elastisitas permintaan jeruk lebih elastis pada rumahtangga di wilayah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.

elastisitas pengeluaran terhadap jeruk di perkotaan lebih elastis dibanding pedesaan.

elastisitas harga sendiri semakin elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.

secara konsisten ditunjukkan bahwa elastisitas pengeluaran makin elastis dengan semakin tingginya tingkat pendapatan rumahtangga.

elastisitas harga sendiri jeruk lebih elastis pada rumahtangga kelompok pendidikan tinggi

Nilai elastisitas pengeluaran cenderung meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan kepala rumahtangga.

Pisang

elastisitas harga sendiri pisang lebih elastis pada wilayah perkotaan dibanding dengan pedesaan.

nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih besar (lebih elastis) pada rumahtangga di pedesaan dibandingkan dengan rumahtangga perkotaan

semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga, nilai elastisitas harga sendiri pisangnya akan semakin kecil.

nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih besar pada rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.

nilai elastisitas harga sendiri pisang lebih rendah pada rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.

nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan rendah

Pepaya

permintaan pepaya rumahtangga di perkotaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding penduduk desa.

Elastisitas pengeluaran pepaya lebih elastis di wilayah pedesaan dibanding dengan di wilayah perkotaan.

makin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga, kecenderungannya ialah makin tinggi pula nilai elastisitas harga sendirinya.

secara konsisten ditunjukkan bahwa nilai elastisitas pengeluaran akan semakin tinggi dengan makin rendahnya tingkat pendapatan konsumen

permintaan pepaya lebih responsif terhadap perubahan harga pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.

penduduk dengan tingkat pendidikan rendah lebih elastis nilai elastisitas pengeluaran pepayanya

83

Tabel 23. Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling PSU)

Komoditi

Kategori Pengklasifikasian

Wilayah (Pedesaan-Perkotaan) Kelas Pendapatan Tingkat Pendidikan Kepala Rumahtangga

Elastisitas harga (Ed)

Elastisitas Pengeluaran (Ei)

Elastisitas harga (Ed)

Elastisitas Pengeluaran (Ei)

Elastisitas harga (Ed)

Elastisitas Pengeluaran (Ei)

Jeruk

elastisitas permintaan jeruk lebih elastis pada rumahtangga di wilayah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.

elastisitas pengeluaran terhadap jeruk di perkotaan lebih elastis dibanding pedesaan.

elastisitas harga sendiri semakin elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.

secara konsisten ditunjukkan bahwa elastisitas pengeluaran makin elastis dengan semakin tingginya tingkat pendapatan rumahtangga.

elastisitas harga sendiri jeruk lebih elastis pada rumahtangga kelompok pendidikan tinggi

Nilai elastisitas pengeluaran cenderung meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan kepala rumahtangga.

Pisang

elastisitas harga sendiri pisang lebih elastis pada wilayah perkotaan dibanding dengan pedesaan.

nilai elastisitas pengeluaran lebih besar pada rumahtangga di perkotaan (meskipun nilainya tidak jauh berbeda antara pedesaan (1,274) dengan perkotaan (1,276))

semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga, nilai elastisitas harga sendiri pisangnya akan semakin kecil.

nilai elastisitas pengeluaran lebih besar pada rumahtangga dengan tingkat pendapatan rendah

nilai elastisitas harga sendiri pisang lebih rendah pada rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.

nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan rendah

Pepaya

permintaan pepaya rumahtangga di perkotaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding penduduk desa.

Elastisitas pengeluaran pepaya lebih elastis di wilayah pedesaan dibanding dengan di wilayah perkotaan.

nilai elastisitas harga sendiri pepaya makin rendah dengan semakin tingginya tingkat pendapatan rumahtangga.

nilai elastisitas pengeluaran pepaya lebih besar pada rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.

permintaan pepaya lebih responsif terhadap perubahan harga pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.

penduduk dengan tingkat pendidikan rendah lebih elastis nilai elastisitas pengeluaran pepayanya

84

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1) Tingkat konsumsi buah di Indonesia selama beberapa kurun waktu terakhir

menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan. Dilihat dari pola

konsumsinya menurut wilayah, selama periode 2003-2006 proporsi

pengeluaran untuk buah-buahan di pedesaan lebih besar daripada di perkotaan,

sedangkan berdasarkan penggolongan menurut tingkat pendapatan, terdapat

kecenderungan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan yang semakin

meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendapatan.

2) Jenis buah yang tingkat konsumsinya relatif paling tinggi dari tahun ke tahun

ialah pisang, jeruk, rambutan, dan pepaya. Salah satu faktor yang

mempengaruhi tingginya tingkat konsumsi buah-buahan tersebut adalah faktor

musim, dimana jenis-jenis buah tersebut (kecuali rambutan) produksinya tidak

tergantung musim, sehingga selalu tersedia sepanjang tahun.

3) Di Pulau Jawa, pada tahun 2005 Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi

yang tingkat konsumsi buahnya paling tinggi. Pola konsumsi buah-buahan

pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa berdasarkan tingginya frekuensi

konsumsi berturut-turut pisang – jeruk – pepaya – salak – semangka.

4) Analisis dengan menggunakan unit sampling Rumah Tangga (RT) maupun

Primary Sampling Unit (PSU) secara umum menghasilkan arah dari nilai

dugaan parameter yang sama. Kedua prosedur tersebut menunjukkan bahwa

seluruh variabel bebas (kecuali jumlah anggota rumah tangga), yaitu harga

sendiri, harga buah lain, pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran), dan

85

tingkat pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap

proporsi pengeluaran buah pada taraf nyata 5 persen.

5) Permintaan untuk jeruk, pisang, dan pepaya di perkotaan Pulau Jawa lebih

responsif terhadap perubahan harga dibanding daerah pedesaan. Untuk jeruk,

semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin elastis

permintaannya terhadap perubahan harga. Untuk pisang dan pepaya berlaku

sebaliknya. Terdapat hubungan komplementer antara jenis buah yang

dianalisis (jeruk, pisang, dan pepaya). Dari kecilnya nilai elastisitas harga

komoditi lain (harga silang), maka sifat komplementer tersebut tidak terlalu

kuat.

6) Di wilayah Pulau Jawa secara total, desa, maupun kota, semua jenis buah yang

dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai

elastisitas pengeluaran. Ini berarti dengan semakin meningkatnya pendapatan

rumahtangga maka akan meningkatkan permintaan komoditi tersebut. Pada

seluruh komoditi, elastisitas pengeluaran cukup elastis, terutama pada pisang.

6.2 Saran

1) Pemerintah perlu meningkatkan konsumsi buah di Indonesia dengan cara

memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. Selain itu alternatif lain yang

dapat ditempuh ialah melalui sosialisasi mengenai pangan dan gizi secara

umum melalui penyuluhan, pendidikan, dan kampanye mengenai peningkatan

konsumsi buah, terutama untuk buah dalam negeri. Strategi promosi lain yang

dapat digunakan ialah dengan memanfaatkan teknologi seperti iklan layanan

masyarakat di berbagai media elektronik maupun internet.

86

2) Dari sisi penawaran, pemerintah sebaiknya memfokuskan usaha peningkatan

konsumsi dengan cara meningkatkan produksi buah dalam negeri. Kebijakan

yang berkaitan dengan aspek permodalan dan pengembangan teknologi

produksi maupun pascapanen juga perlu dirumuskan.

3) Pemerintah juga perlu memperhatikan aspek manajemen pemasaran, termasuk

di dalamnya masalah transportasi dan distribusi yang masih lemah. Jika

distribusi buah sudah baik maka tentunya produk yang telah dihasilkan dapat

dikonsumsi oleh sebagian besar lapisan masyarakat dan tingkat konsumsi

buah di Indonesia pun dapat meningkat

4) Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menambah jumlah variabel

demografi yang belum dianalisis dalam penelitian ini, misalnya tingkat

pendidikan istri/ibu. Hal ini karena decision maker mengenai konsumsi

pangan di tingkat rumah tangga umumnya ialah istri/ibu, sehingga diduga

tingkat pendidikan istri/ibu ini akan berpengaruh terhadap permintaan buah.

Selain itu variabel usia juga dapat turut dianalisis, mengingat usia merupakan

salah satu faktor yang menentukan permintaan seseorang terhadap komoditi

pangan tertentu. Dalam menganalisis variabel-variabel demografi tersebut

sebaiknya juga dianalisis secara mendalam mengenai elastisitasnya (elastisitas

pendidikan, elastisitas jumlah anggota rumah tangga, dan seterusnya),

sehingga dapat diketahui faktor manakah yang sebenarnya paling berpengaruh

terhadap permintaan buah.

5) Dalam penelitian ini data yang digunakan ialah konsumsi buah total, artinya

tidak dipisahkan apakah komoditi yang dikonsumsi tersebut dari hasil

membeli (cash and carry commodity), produksi sendiri (self production

87

commodity), atau pemberian dari pihak lain. Akan lebih baik jika dalam

penelitian selanjutnya hanya menggunakan data konsumsi yang bersumber

dari hasil membeli (cash and carry commodity). Hal tersebut bertujuan untuk

menghindarkan bias survey dalam interpretasi nilai elastisitasnya. Pemisahan

data ini sudah dilakukan oleh pihak BPS, sehingga tidak akan menyulitkan

bagi penelitian selanjutnya.

6) Untuk penelitian selanjutnya disarankan pula untuk memisahkan komoditi

berdasarkan asalnya, apakah produksi dalam negeri atau impor. Dengan adaya

pemisahan tersebut, maka akan dapat memperkaya dan mempertajam analisis

mengenai keragaman konsumsi dengan perbandingan antara model

permintaan pangan lokal dengan pangan impor. Untuk data SUSENAS 2005

pemisahan data konsumsi berdasarkan asalnya ini belum dilakukan, namun

jika di waktu mendatang BPS sudah melakukan pemisahan, maka saran ini

memungkinkan untuk dilaksanakan.

7) Estimasi non linier dari AIDS juga disarankan untuk diterapkan, mengingat

dalam kondisi riil tentunya perubahan harga, pendapatan, ataupun variabel

lainnya tidak selalu direspon secara linier oleh permintaan suatu komoditi.

Hasil dari estimasi non linier ini dapat diperbandingkan dengan estimasi

liniernya, sehingga dapat diketahui pendekatan mana yang lebih baik.

88

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Mewa. 1993. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan Serta Proyeksi Kebutuhan Pangan pada Repelita VI di Tiga Provinsi di Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Baliwati, Yayuk Farida, Ali Khomsan, dan Meti Dwiriani. 2004. Pengantar

Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya : Depok Biro Pusat Statistik. 2005. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Pedoman Kerja

Kepala Kantor Statistik Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jakarta. . 2002. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2002. Jakarta . 2003. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2003. Jakarta . 2004. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2004. Jakarta . 2005. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2005. Jakarta . 2006. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2006. Jakarta Budiar, Silvia. 2000. Analisis Permintaan dan Konsumsi Sumber Protein Hewani

Rumah Tangga di Pulau Jawa. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Daud, Lekir Amir.1986. Kajian Sistem Makanan Penting di Indonesia Suatu

Penerapan Model Almost Ideal Demand Sistem (AIDS) dengan data SUSENAS 1981. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Deaton, Angus and John Muellbauer. 1980a. Economic and Consumer Behavior.

Cambridge University Press, Cambridge, Mass. Deaton, Angus and John Muellbauer. 1980b. An Almost Ideal Demand Sistem.

American Economic Review 70 : 312-326. Deaton, Angus.1990. Price Elasticities from Survey Data, Extention and

Indonesian Result on Living Standard Measuring Survey (LSMS) Working Paper No.69. Washington D. C : World Bank.

Deroes, Kartini 1994. Pendekatan Teknologi Produksi Mengatasi Kendala

Pemasaran Buah-buahan Indonesia dalam Prosiding Simposium Hortikultura Nasional, Malang 9-8 November. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya & Perhimpunan Hortikultura Indonesia.

89

Direktorat Jendral Tanaman Hortikultura. 2003. Statistik Tanaman Buah-buahan Tahun 2003. Jakarta

. 2004. Statistik Tanaman Buah-buahan tahun 2004. Jakarta. . 2005. Statistik Tanaman Buah-buahan tahun 2005. Jakarta. Hadi, Prajogo Utama, dkk. 2000. Alternatif Model Pemasaran Komoditas

Hortikultura Mendukung Gema Hortina. Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Intern Hasil-hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian TA. 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.

Hartoyo, Sri. 1997. Analisis Permintaan Buah-buahan di Jawa Barat. Mimbar

Sosek Vol. 10, No. 1 Edisi April. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kuntjoro, Sri Utami. 1984. Permintaan Bahan Makanan Penting di Indonesia.

Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kurniawan, Rudi. 1993 Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Pulau Jawa

Suatu Kajian Almost Ideal Demand Sistem (AIDS) dengan data SUSENAS 1990. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lipsey, Richard . 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara : Jakarta. Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediet dan Aplikasinya. Erlangga :

Jakarta. Nicholson, Walter. 1987. Microeconomic Theory Basic Principle and Extensions.

Amherst College. The Dryden Press. Rachmat, Muchjidin dan Erwidodo. 1993. Pendugaan Permintaan Pangan Utama

di Indonesia : Penerapan Model Almost Ideal Demand Sistem (AIDS) dengan data SUSENAS 1990. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 12, No. 2 hal. 24-38. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.

Rahmi, Dewi.2001. Analisa Permintaan Makanan dan Dampak Perubahan Harga

terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga di Jawa Barat, Aplikasi Model AIDS. Tesis. Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Depok.

Saliem, Handewi Purwati., Rachman dan Erwidodo. 1994. Kajian Sistem

Permintaan Pangan di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol.13, No. 2 hal. 72-89. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.

90

Saliem, Handewi Purwati. 2002. Analisis Permintaaan Pangan di Kawasan Timur

Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 20, No.2 hal. 64-91. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.

Sawit, Muhammad Husein, Mewa Ariani, Iwan Setiadjie, Tri B. Purwanti, dan

Ade Supriatna. 1997. Perubahan Pola Konsumsi Komoditas Hortikultura di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian, Indonesia.

Sitepu, Rasidin Karo-Karo dan Bonar M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model

Ekonometrika, Estimasi, Simulasi, dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sumarno. 2001. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Agribisnis Hortikultura

2002-2004. Makalah yang disampaikan dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Agribisnis Hortikultura September 2001. Dirjen Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian.

Syafa’at, Nizwar, dkk. 2005. Pengembangan Model Permintaan dan Penawaran

Komoditas Pertanian Utama. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Proposal Operasional TA. 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.

Timmer, Peter and Harold Alderman. 1979. Estimating Consumption Parameter

for Food Policy Analysis. American Journal of Agricultural Economics. December Edition Vol.61 Page 982-987.

-----------. 1993. Prospek Perkembangan Ekspor Buah-buahan Indonesia. Makalah

yang disampaikan dalam Latihan Jangka Pendek Metodologi Ustan Tanaman Buah-buahan, Februari 1993. Badan Pengembangan Ekspor Nasional, Departemen Perdagangan.

91

Lampiran 1. Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling RT

Tabel 1. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa

Tabel 2. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa wilayah Pedesaan

Tabel 3 Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa wilayah Perkotaan

Tabel 4. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan Rendah

Tabel 5. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan Sedang

Tabel 6. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat PendapatanTinggi

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.35959

0.27731

0.18037

0.056647x

0.599728

0.343624

0.066316

-0.03147

-0.03484

-0.03147

0.053829

-0.02236

-0.03484

-0.02236

0.057199

0.008664x

0.000353x

-0.00585x

-0.00388x

-0.03562

-0.006282

0.023832

-0.02932

-0.00394x

-0.02328

0.032556

-0.00928

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36241

0.3158

0.17906

-0.293443

0.804364

0.489081

0.078642

-0.03456

-0.04408

-0.03456

0.062909

-0.02835

-0.04408

-0.02835

0.072431

-0.01106x

0.010990

0.001493x

-0.00891x

-0.04427x

-0.00691x

0.057423

-0.04566

-0.01815

-0.04732

0.042781

0.004534

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.35835

0.26049

0.18095

0.1859341

0.477610

0.336465

0.061647

-0.03155

-0.0301

-0.03155

0.049718

-0.01817

-0.0301

-0.01817

0.048273

0.0133633

0.00684x

-0.0065x

0.002587x

-0.02006

-0.00928

0.0111872

-0.02

-0.0026x

-0.01405

0.026086

-0.01204

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.37334

0.31542

0.19512

0.420953

0.291391

0.287656

0.068075

-0.02797

-0.0401

-0.02797

0.048341

-0.02037

-0.04010

-0.02037

0.060469

-0.022653

-0.0232

-0.022731

0.00812x

-0.02487

-0.00582x

-

-

-

-0.02504

0.023884

0.001151

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36327

0.26707

0.18147

0.354467

0.314167

0.331371

0.070585

-0.03388

-0.0367

-0.03388

0.057644

-0.02376

-0.0367

-0.02376

0.060463

0.0185233

-0.0784

-0.02202

-0.00269x

-0.03382

-0.007552

-

-

-

-0.018568

0.028403

-0.01273

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.32466

0.22145

0.14862

0.41345

0.236231

0.350319

0.054794

-0.0347

-0.020101

-0.0347

0.055224

-0.02053

-0.02011

-0.02053

0.040621

-0.0455

-0.020013

0.010359x

-0.05917

-0.07485

0.018688

-

-

-

0.009101

0.028822

-0.03792

92

Tabel 7. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Rendah

Tabel 8. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Sedang

Tabel 9. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Tinggi

Tabel 10. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi DKI Jakarta

Tabel 11. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Barat

Tabel 12. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Tengah

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36187

0.28433

0.18570

-0.07317x

0.730513

0.342653

0.072688

-0.03160

-0.04109

-0.0316

0.054565

-0.02297

-0.04109

-0.02297

0.064058

-0.00584x

-0.00108x

-0.00873x

-

-

-

0.035348

-0.04311

-0.00283x

-0.02895

0.040290

-0.01134

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.37512

0.28832

0.17611

0.4173682

0.556193

0.026439x

0.081017

-0.04240

-0.03861

-0.04240

0.065783

-0.023381

-0.03861

-0.023381

0.061992

0.0389352

-0.01877x

-0.00112x

-

-

-

0.000977x

-0.024743

0.010620x

-0.04257

0.029663

0.012910

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.32892

0.22657

0.15103

0.2325893

0.394555

0.372856

0.024701x

-0.03281

0.008105x

-0.03281

0.052555x

-0.01975

0.008105x

-0.01975

0.011644x

0.0684882

0.035254x

-0.00962x

-

-

-

-0.00475x

-0.015702

-0.00819x

0.010343

0.004271

-0.01461

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36083

0.22322

0.18458

0.373037

0.1909863

0.435978

0.064367

-0.03361

-0.03075

-0.03361

0.032529

0.001086x

-0.03075

0.001086x

0.029666

0.016746x

0.038254

0.00662x

-0.02888

-0.04493

-0.00053x

-0.00238x

-0.00535x

-0.00607x

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.35656

0.27288

0.20839

-0.246693

0.764054

0.482631

0.078778

-0.03971

-0.03907

-0.03971

0.051749

-0.01204x

-0.03907

-0.01204x

0.051106

0.004214x

-0.02514x

-0.00342x

0.0196262

-0.03035

-0.00837x

0.046149

-0.037

-0.016792

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36002

0.31307

0.15774

0.224612x

0.2631333

0.512255

0.094515

-0.04127

-0.05324

-0.04127

0.042745

-0.00147x

-0.05324

-0.00147x

0.054719x

-0.00846x

0.015035x

0.01434x

-0.001x

-0.03317

0.003911x

0.00915x

-0.00292x

-0.017872

93

Tabel 13. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi DI Yogyakarta

Tabel 14. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Timur

Tabel 15. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Banten

Keterangan :

Pjeruk = Harga Jeruk

Ppisang = Harga Pisang

Ppepaya = Harga Pepaya

JART = Jumlah Anggota per Rumah Tangga

PDDKN = Tingkat Pendidikan

EXP = Total Pengeluaran Rumah Tangga (per bulan)

IHS = Indeks Harga Stone 1) = nyata pada taraf 97,5 % 2) = nyata pada taraf 95 % 3) = nyata pada taraf 90 % x) = tidak nyata

Jika tidak ada keterangan berarti nyata pada taraf 99 %

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.34825

0.2919

0.19605

0.023316x

0.5396011

0.4370831

0.0445132

-0.029062

-0.01545x

-0.029062

0.066751

-0.03769

-0.01545x

-0.03769

0.053144

0.060537

-0.036852

-0.07214

-0.02045x

-0.00031x

-0.00603x

0.0343452

-0.01868x

-0.020603

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36485

0.28681

0.1717

0.0786x

0.592086

0.329314

0.026442

-0.018632

-0.00781x

-0.018632

0.064556

-0.04593

-0.00781x

-0.04593

0.053737

0.022288x

-0.01645x

-0.011x

-0.019762

-0.04686

0.005317x

0.0217712

-0.03099

0.00253x

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36221

0.23313

0.15912

-1.58551

2.523291

0.062213x

0.027469x

-0.00161x

-0.02585x

-0.001612

-0.04434

0.045956

-0.02585x

0.045956

-0.0201

-0.1634x

0.059031x

-0.01714x

0.0086872

-0.18539

0.020124x

0.1755842

-0.18228

0.009895x

94

Lampiran 2. Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling PSU

Tabel 1. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa

Tabel 2. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa Wilayah Pedesaan

Tabel 3. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa Wilayah Perkotaan

Tabel 4. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan Rendah

Tabel 5. Nilai estimasi parameter Model AIDS untukPulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan sedang

Tabel 6. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan Tinggi

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36675

0.25865

0.09988

-0.15838x

1.170626

-0.01225x

0.027492

-0.014272

-0.01322

-0.014272

0.0179331

-0.00367x

-0.01322

-0.00367x

0.016890

-0.00231x

-0.00381x

0.000683x

0.072345

-0.17920

0.000684x

0.050140

-0.07450

0.0135151

-0.06415

0.078378

-0.01423

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.35231

0.34441

0.1009

-1.51255

1.87474

0.637808

0.0340231

-0.02123

-0.012833

-0.02123

0.0296561

-0.00846x

-0.012833

-0.00846x

0.021284

-0.09831

0.1095052

0.020683x

0.070883

-0.08876

-0.01130x

0.164449

-0.14316

-0.03798

-0.08708

0.094247

-0.00716

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.37727

0.1962

0.09914

0.183153

0.925188

-0.10834x

0.02727

-0.013283

-0.013991

-0.013283

0.0120273

0.001255x

-0.013991

0.001255x

0.0127362

-0.00603x

-0.02577x

0.003932x

-0.00854x

-0.09579

0.006463x

0.026286

-0.05735

0.020302

-0.03752

0.054236

-0.01672

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.3587

0.34669

0.10472

0.50457

0.302107

0.193323

0.0218823

-0.00949x

-0.012393

-0.00949x

0.01421x

-0.00472x

-0.012393

-0.00472x

0.017112

0.035682x

-0.15293

-0.01524x

0.100764

-0.11183

-0.013223

-

-

-

-0.08888

0.102048

-0.01317

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.38889

0.22256

0.097472

0.484612

0.389833

0.125555

0.0255362

-0.015093

-0.010443

-0.015093

0.0166913

-0.0016x

-0.010443

-0.0016x

0.0120423

-0.0164x

-0.14928

0.016579x

0.0182863

-0.11896

0.026041

-

-

-

-0.02634

0.042268

-0.01593

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.33873

0.15481

0.095023

0.505967

0.277171

0.216862

0.040208

-0.017823

-0.02239

-0.017823

0.0279661

-0.01015x

-0.02239

-0.01015x

0.032536

-0.060922

-0.04933

0.007421x

-0.040551

-0.06044

-0.05290

-

-

-

-0.00751

0.009654

-0.00214

95

Tabel 7. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Rendah

Tabel 8. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Sedang

Tabel 9. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Tinggi

Tabel 10. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi DKI Jakarta

Tabel 11. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Barat

Tabel 12. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Tengah

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36968

0.27068

0.10126

-0.78771

1.844232

-0.05652x

0.024618

-0.012093

-0.012531

-0.012093

0.0164052

-0.00431x

-0.01253

-0.00431x

0.016842

-0.038853

0.0649161

-0.00189x

-

-

-

0.105103

-0.1433

0.016934

-0.06438

0.078299

-0.01392

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.34852

0.15195

0.085248

0.3909343

0.52856

0.083210x

0.0378912

-0.01392x

-0.023972

-0.01392x

0.009089x

0.004834x

-0.023972

0.004834x

0.0191353

0.03116x

-0.078561

0.009736x

-

-

-

0.013913x

-0.04367

0.004775x

-0.05423

0.063735

-0.0095

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.31404

0.12359

0.068589

1.355397

0.376013x

-0.73141

-0.073252

-0.00465x

0.077893

-0.00465x

0.025751x

-0.02111x

0.077893

-0.02111x

-0.056792

0.5244072

-0.08108

-0.22467x

-

-

-

-0.15614

-0.00107x

0.105556

0.098654

-0.01696

-0.08169

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.35078

0.13974

0.12599

0.265819x

0.159341x

0.57484

0.019562x

-0.01332x

-0.00624x

-0.01332x

0.0231423

-0.00982x

-0.00624x

-0.00982x

0.016068x

-0.04943x

0.037763x

0.074852

-0.01859x

-0.09069

0.014383x

0.014487x

0.002118x

-0.03839

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.39616

0.2516

0.094864

-0.41854x

1061255

-0.19401x

0.0468071

-0.02973

-0.017103

-0.02973

0.0428611

-0.01316x

-0.01713

-0.01316x

0.030258

-0.01503x

-0.07314x

0.0548422

0.078172

-0.16346

-0.01386x

0.070984

-0.09823

0.0201483

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.35109

0.31721

0.084692

-0.486153

1.206385

0.2797663

0.049621

-0.037521

-0.01211x

-0.037521

0.036061

0.001455x

-0.01211x

0.001455x

0.010651x

0.043829x

-0.114191

0.00905x

0.075903

-0.15304

0.0158873

0.07406

-0.07361

-0.0085x

96

Tabel 13. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi DI Yogyakarta

Tabel 14. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Timur

Tabel 15. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Banten

Keterangan :

Pjeruk = Harga Jeruk

Ppisang = Harga Pisang

Ppepaya = Harga Pepaya

JART = Jumlah Anggota per Rumah Tangga

PDDKN = Tingkat Pendidikan

EXP = Total Pengeluaran Rumah Tangga (per bulan)

IHS = Indeks Harga Stone 1) = nyata pada taraf 97,5 % 2) = nyata pada taraf 95 % 3) = nyata pada taraf 90 % x) = tidak nyata

Jika tidak ada keterangan berarti nyata pada taraf 99 %

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.42663

0.24232

0.08283

0.463829x

0.555584x

-0.01941x

0.0581063

-0.02436x

-0.033753

-0.02436x

0.007657x

0.0167x

-0.033753

0.0167x

0.017049x

0.070621x

0.063256x

-0.051953

0.032029x

-0.1735

-0.00283x

-0.00359x

-0.02897x

0.02052x

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.34469

0.28158

0.1107

-0.377363

0.863613

0.513743

0.012228x

-0.00633x

-0.00589x

-0.00633x

0.021295x

-0.014963

-0.00589x

-0.01496x

0.0208542

-0.0521x

0.03588x

0.004096x

0.079128

-0.14839

-0.024221

0.074186

-0.05527

-0.03051

Komoditi share intercep Pjeruk Ppisang Ppepaya JART PDDKN EXP IHS

Jeruk

Pisang

Pepaya

0.36973

0.2052

0.099781

-1.58551

2.52329

0.062213x

0.02747x

-0.00161x

-0.02585x

-0.00161x

-0.044343

0.045956

-0.02585x

0.045956

-0.02010x

-0.16342x

0.059031x

-0.01714x

0.008687x

-0.18539

0.020124x

0.175584

-0.18228

0.009895x

97

Lampiran 3

Perintah membuat model AIDS dalam program SAS

Contoh : Model AIDS untuk Pulau Jawa secara agregat dengan unit sampling RT.

option nodate nonumber nocenter; data impor; set JAWA; *create share pengeluaran komoditi; S128=V128/Vbuah; Spisang=Vpisang/Vbuah; S140=V140/Vbuah; *create harga komoditi; P128=V128/Q128; Ppisang=Vpisang/Qpisang; P140=V140/Q140; *create log harga; LP128=log(P128); LPpisang=log(Ppisang); LP140=log(P140); Ljart=log(jart); Ltamat1=log(tamat1); Lexp=log(exp); *create indeks harga stone; ih128=S128*LP128; ihpisang=Spisang*LPpisang; ih140=S140*LP140; ttih=sum(ih128,ihpisang,ih140); ih=exp(ttih); p=(vbuah/ih); lnp=log(p); label S128 ='share jeruk' Spisang = 'share pisang' S140 = 'share pepaya' LP128 = 'harga jeruk' LPpisang = 'harga pisang' LP140 = 'harga pepaya' lnp = 'indeks harga stone' Ljart = 'jumlah anggota keluarga' Ltamat1 = 'pendidikan' Lexp = 'pendapatan'; run; title1 'model almost ideal demand system RT JAWA'; proc syslin data=impor sur outest=hasil; model S128 = LP128 LPpisang LP140 Ljart Ltamat1 Lexp lnp; model Spisang = LP128 LPpisang LP140 Ljart Ltamat1 Lexp lnp; model S140 = LP128 LPpisang LP140 Ljart Ltamat1 Lexp lnp;

98

/*syarat adding up, homogeniti dan simetri*/ var S128 Spisang S140; srestrict S128.intercep + Spisang.intercep + S140.intercep = 1; srestrict S128.lnp + Spisang.lnp + S140.lnp =0; srestrict S128.LP128 + S128.LPpisang + S128.LP140 =0, Spisang.LP128 + Spisang.LPpisang + Spisang.LP140 =0, S140.LP128 + S140.LPpisang + S140.LP140 =0; srestrict S128.LP128 + Spisang.LP128 + S140.LP128 =0, S128.LPpisang + Spisang.LPpisang + S140.LPpisang =0, S128.LP140 + Spisang.LP140 + S140.LP140 =0; srestrict S128.LPpisang=Spisang.LP128, Spisang.LP140=S140.LPpisang, S128.LP140=S140.LP128; run;

99

Lampiran 4

Karakteristik Data SUSENAS 2005

1. Definisi SUSENAS

Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) merupakan survey yang

dirancang untuk mengumpulkan data social kependudukan yang relative sangat

luas. Data yang dikumpulkan antara lain menyangkut bidang-bidang pendidikan,

kesehatan/gizi, perumahan, social ekonomi lainnya, kegiatan social budaya,

konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga, perjalanan, dan pendapat

masyarakat mengenai kesejahteraan rumah tangga. Data-data tersebut

dikelompokkan ke dalam 3 modul/paket utama, yaitu (1) modul

konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga, (2) modul social budaya

dan pendidikan, serta (3) modul kesehatan dan perumahan. Masing-masing modul

tersebut dilakukan survey secara bergiliran setiap tahunnya, dan untuk tahun 2005

merupakan giliran untuk modul konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah

tangga. Namun dalam rangka program pemerintah Indonesia untuk mengentaskan

kemiskinan, maka sejak tahun 2003 khusus untuk modul konsumsi ini dilakukan

survey setiap tahun sekali. Dimana pada tahun yang sebenarnya bukan giliran

untuk survey modul konsumsi, pengumpulan data dilakukan secara panel yaitu

mencacah kembali rumah tangga terpilih modul konsumsi sebelumnya, dengan

tujuan agar data yang dihasilkan sangat terbanding antar tahun. Pendataan secara

panel hanya dirancang untuk estimasi tingkat nasional, dengan cakupan sample

sekitar 10.000 rumah tangga.

2. Ruang Lingkup

Pelaksanaan Susenas 2005 mancakup 278.352 rumah tangga sample yang

tersebar di seluruh wilayah geografis Indonesia, dengan rincian 68.288 rumah

tangga sample kor-modul dan 210.064 rumah tangga sample kor (tanpa modul),

dan 10.640 rumah tangga sample Susenas Panel yang merupakan bagian dari

rumah tangga sample kor-modul. (Keterangan : kor merupakan kumpulan

keterangan yang dikumpulkan tiap tahun, sedangkan modul adalah keterangan

yang dikumpulkan tiga tahun sekali)

100

3. Kerangka Sampel

Kerangka sample yang digunakan dalam SUSENAS 2005 terdiri dari tiga

jenis, yaitu kerangka sample untuk pemilihan blok sensus, kerangka sample untuk

pemilihan sub blok sensus, dan kerangka sample untuk pemilihan rumah tangga

dalam blok sensus/sub blok sensus terpilih.

Kerangka sample untuk pemilihan blok sensus adalah daftar blok sensus

biasa yang dilengkapi jumlah rumah tangga hasil pencacahan P4B 2003

(Pendaftaran pemilih dan Pendataan penduduk berkelanjutan). Kerangka sample

ini mencakup blok sensus biasa di 440 kabupaten/kota dan dibedakan menurut

daerah perkotaan dan pedesaan.

Kerangka sample untuk pemilihan sub blok sensus adalah daftar sub blok

sensus yang terdapat dalam blok sensus terpilih, yang mempunyai jumlah rumah

tangga lebih besar dari 150 rumah tangga. Sedangkan kerangka sample untuk

pemilihan rumah tangga adalah daftar rumah tangga hasil pendaftaran rumah

tangga, dimana untuk setiap blok sensus yang terpilih diambil 16 rumah tangga

secara sistematik

4. Rancangan Penarikan Sampel.

Besarnya sample modul konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah

tangga dirancang untuk penyajian di tingkat propinsi. Sampel modul ini

merupakan subsampel dari sample terpilih untuk estimasi data tingkat

kabupaten/kota (Blok sensus Susenas), baik daerah perkotaan maupun pedesaan.

Subsampel tersebut dipilih secara Linear Systematic Sampling dari daftar blok

sensus terpilih susenas di setiap kabupaten/kota baik untuk daerah perkotaan

maupun pedesaan. Selanjutnya blok sensus terpilih (subsampel) tersebut disebut

blok sensus Susenas kor-modul, karena di samping dicacah dengan kuesioner

modul, juga dicacah dengan kuesioner kor. Dengan kata lain, blok sensus yang

akan digunakan untuk estimasi di tingkat propinsi (blok sensus susenas kor-

modul) dipilih secara Linear Systematic Sampling dari daftar blok sensus terpilih

di setiap kabupaten/kota (blok sensus susenas kor). Blok sensus yang tidak terpilih

sample Susenas 2005 kor-modul disebut blok sensus susenas kor.

101

5. Metode Pengumpulan Data.

Pengumpulan data di setiap rumah tangga terpilih dilakukan melalui

wawancara langsung antara pencacah dengan responden. Untuk pertanyaan-

pertanyaan dalam kuesioner Susenas 2005 yang ditujukan kepada individu, perlu

diusahakan agar individu yang bersangkutanlah yang menjadi responden.

Keterangan tentang rumah tangga dapat dikumpulkan melalui wawancara dengan

kepala rumah tangga, suami/istri rumah tangga, atau anggota rumah tangga lain

yang mengetahui karakteristik yang ditanyakan. Khusus untuk blok sensus elit,

metode pengumpulan data yang diterapkan adalah kombinasi wawancara secara

langsung dan penggunaan catatan harian (diary) serta dilakukan secara bertahap

dengan minimal tiga kali kunjungan.

6. Blok Sensus, Sub Blok Sensus

Blok Sensus adalah bagian dari suatu wilayah desa/kelurahan yang

merupakan daerah kerja dari seorang pencacah. Kriteria blok sensus adalah

sebagai berikut :

a. Setiap wilayah desa/kelurahan dibagi habis menjadi beberapa blok sensus.

b. Blok sensus harus mempunyai batas-batas yang jelas/mudah dikenali, baik

batas alam maupun buatan. Batas satuan lingkungan setempat (SLS seperti

: RT, RW, dusun, lingkungan, dsb) diutamakan sebagai batas blok sensus

bila batas SLS tersebut jelas (batas alam atau buatan).

c. Satu blok sensus harus terletak dalam satu hamparan.

Ada tiga jenis blok sensus, yaitu :

- Blok sensus biasa (B) adalah blok sensus yang sebagian besar muatannya

antara 80 – 120 rumah tangga atau bangunan sensus tempat tinggal atau

bangunan sensus bukan tempat tinggal atau gabungan keduanya dan sudah

jenuh.

- Blok sensus khusus (K) adalah blok sensus yang mempunyai muatan

sekurang-kurangnya 100 orang kecuali lembaga pemasyarakatan tidak ada

batas muatan. Tempat-tempat yang bisa dijadikan blok sensus antara lain

asrama militer (tangsi) dan daerah perumahan militer dengan pintu keluar

masuk yang dijaga.

102

- Blok sensus persiapan (P) adalah blok sensus yang kosong seperti sawah,

kebun, tegalan, rawa, hutan, daerah yang dikosongkan (digusur) atau bekas

permukiman yang terbakar.

Yang menjadi cakupan dalam Susenas 2005 adalah blok sensus biasa.

Blok sensus biasa terbagi menjadi blok sensus elit dan blok sensus non elit. Blok

sensus elit adalah blok sensus yang di dalamnya terdapat sekelompok bangunan

fisik yang menurut masyarakat sekitar dikategorikan sebagai rumah mewah.

Sub blok sensus adalah bagian dari blok sensus. Blok sensus yang mempunyai

muatan lebih dari 150 rumah tangga harus dipecah menjadi beberapa sub blok

sensus.

7. Konsep Rumah Tangga

Rumah tangga (rt) dibedakan menjadi rumah tangga biasa dan rumah

tangga khusus. Rumah tangga biasa adalah seorang atau sekelompok orang yang

mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus, dan biasanya tinggal

bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga biasa biasanya terdiri dari

bapak, ibu, dan anak Rumah tangga khusus mencakup : (1) orang-orang yang

tinggal di asrama, seperti asrama perawat, asrama mahasiswa, dan asrama TNI

(tangsi), (2) orang-orang yang tinggal di Lembaga Pemsyarakatan, panti asuhan,

dan sejenisnya, (3) Sekelompok orang yang mondok dengan makan (indekost)

yang berjumlah lebih besar atau sama dengan 10 orang.

Anggota rumah tangga (art) adalah semua orang yang biasanya bertembat tingga

di suatu rt, baik yang berada dir t maupun sementara tidak ada pada waktu

pencacahan.

8. Pengeluaran Rumah Tangga Sebulan adalah rata-rata biaya yang

dikeluarkan rt sebulan untuk konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga

dibedakan menjadi dua, yaitu (i).konsumsi makanan termasuk makanan jadi,

an (ii).bukan makanan, seperti biaya perumahan, pendidikan, kesehatan, aneka

barang dan jasa, pakaian, dan barang tahan lama.

103

Lampiran 5. Luas Panen dan Produksi Buah di Indonesia menurut Propinsi Tahun 1999 dan 2005.

Propinsi Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)

1999 2005 1999 2005

Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Sumatera DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Jawa Bali NTT NTB Bali & Nusa Tenggara Kalimantan barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Maluku & Papua Luar Jawa Indonesia

5.742 27.857 14.285 10.467 6.208

13.535 2.000 8.821

- 88.915 1.427

53.540 57.153 8.299

66.032 -

186.451 15.478 9.473 7.972

32.923 4.545 3.844 7.289 3.055

18.733 2.736 2.470

23.685 3.735

- 32.626 1.203

- 733

- 1.936

175.133 361.584

13.764 45.387 19.721 10.583 9.130

22.941 3.899

30.391 5.886

161.702 938

96.533 95.359 19.841

148.110 12.350

373.131 24.651 18.255 16.749 59.655 15.655 6.980

20.427 8.620

51.682 7.693 6.832

37.550 9.297

694 62.066 2.540 3.735 1.902 1.015 9.192

344.297 717.428

80.196 439.658 286.641 117.295

60.217 193.175

23.917 136.475

- 1.337.574

18.961 1.967.140 1.048.256

149.055 1.746.204

- 4.929.616

244.203 150.052 135.960 530.215

58.380 32.514 80.193 41.328

212.415 32.922 39.576

385.635 58.324

- 516.457

10.346 -

4.279 -

14.625 2.611.286 7.540.902

224.870 1.459.137

305.689 233.170 106.764 624.802

61.171 850.402

75.763 3.941.767

13.663 2.788.021 1.623.246

331.679 2.700.787

313.774 7.771.170

428.989 320.196 240.139 989.324 388.426

97.834 304.466 195.566 986.292 122.172 118.036 597.311 128.008

10.390 975.918

21.881 54.133 17.983 28.131

122.128 7.015.429

14.786.599

104

Lampiran 6. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buah-buahan Indonesia Tahun 2000- 2005

Sumber : BPS 2000-2005

Komoditi Volume (kg) Nilai (US $)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Manggis

Pepaya

Pisang

Nanas

Duku

Durian

Jambu

Jeruk

Mangga

Rambutan

Buah Tropik

lainnya

7.182.098

18.110

2.105.654

2.976.675

77.322

8.409

31.356

58.207

430.187

233.055

268.324

4.868.528

4.934

293.715

2.020.442

14.155

2.602

14.370

291.925

424.917

202.934

494.347

6.512.423

3.287

512.596

3.734.414

16.921

89.479

32.052

156.437

1.572.634

366.435

1.591.329

9.304.511

187.972

10.615

2.284.432

21.044

14.241

47.871

85.920

559.224

604.006

984.820

3.045.379

524.686

992.505

2.431.263

1.643

1.494

106.274

632.996

1.879.664

134.772

1.341.923

8.472.770

60.485

3.647.027

643.716

-

2.911

15.277

526.038

964.294

-

2.083.807

5.885.034

14.651

412.805

1.123.574

37.232

12.454

26.048

12.194

401.423

327.907

159.973

3.953.234

5.508

87.688

886.695

19.977

7.926

8.354

82.315

289.049

174.803

145.616

6.956.915

6.643

979.729

2.784.582

6.313

96.634

28.859

75.320

2.671.995

588.140

1.451.391

9.306.042

231.350

7.899

2.315.283

12.662

12.943

49.843

22.026

460.674

958.850

523.031

3.291.855

1.301.371

722.772

529.122

1.643

6.710

102.074

517.554

2.013.390

117.336

794.924

6.386.091

112.597

1.288.873

219.703

-

11.857

20.380

282.219

999.981

-

1.071.287