Analisis Pendapatan Tenaga Kerja

106
  ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat) Oleh ASRI YARSI A14302021 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

description

pendapatan

Transcript of Analisis Pendapatan Tenaga Kerja

  • ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman

    Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat)

    Oleh ASRI YARSI

    A14302021

    PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

  • RINGKASAN

    ASRI YARSI. Analisis Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja pada Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat). Di bawah bimbingan TANTI NOVIANTI. Pembangunan sektor pertanian pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian Indonesia. Sampai tahun 2004, sektor pertanian menyumbang 15,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku dan menyerap 40 persen tenaga kerja dari 100 juta angkatan kerja nasional.

    Sub sektor perkebunan memegang peranan yang penting dalam pembangunan pertanian terutama dalam penghasil devisa, penyerapan tanaga kerja dan kontribusi terhadap produk domestik bruto. Kelapa sawit sebagai salah satu komoditi andalan perkebunan Indonesia memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai penghasil devisa. Jumlah nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2004 terhadap nilai ekspor non migas mencapai 8 persen atau sebesar 54 milyar dolar Amerika.

    Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) Mengkaji mekanisme pola kemitraan perkebunan yang diterapkan oleh PTPN VI dan PT BPP, (2) Menganalisis pendapatan usaha perkebunan yang diterima oleh petani plasma dan perusahaan inti (kebun inti dan pabrik kelapa sawit) PTPN VI dan PT BPP, (3) Menganalisis penyerapan tenaga kerja pada sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit ini, dan (4) Mengidentifikasi peran tenaga kerja kebun plasma dalam meningkatkan produksi kebun plasma.

    Sistem kemitraan perkebunan adalah kerja sama yang strategis antara perkebunan rakyat dan perkebunan besar dengan memperhatikan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Pola kemitraan yang diterapkan oleh PTPN VI adalah pola PIR-Bun yang dikenal dengan proyek NESP Ophir sedangkan pola kemitraan PT BPP adalah pola Bapak Angkat Anak Angkat yang dikenal dengan Plasma KKPA project. Pendapatan pada sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit berbeda-beda tergantung dari penerimaan yang diperoleh dan jumlah biaya yang dikeluarkan. Pendapatan kebun plasma dan kebun inti PTPN VI lebih tinggi dari PT BPP. Untuk pendapatan pabrik kelapa sawit, Pabrik kelapa sawit PT BPP memperoleh pendapatan yang lebih besar dari PTPN VI. Pendapatan pada kebun plasma PT BPP tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani peserta. Dari keseluruhan perhitungan rasio penerimaan terhadap biaya, diperoleh nilai R/C lebih besar dari satu yang berarti pelaksanaan usaha perkebunan kelapa sawit sudah efisien atas biaya yang dikeluarkan. Perhitungan R/C untuk PKS, PKS PT BPP lebih efisien dan lebih menguntungkan dari PKS PTPN VI.

  • Tenaga kerja yang terserap pada perusahaan PTPN VI adalah sebanyak 772 karyawan dan satu hektar kebun kelapa sawit PTPN VI pada periode tahun 2005 membutuhkan satu tenaga kerja. Tenaga kerja yang terserap pada PT BPP adalah sebanyak 1621 orang dan satu hektar kebun kelapa sawit PT BPP pada periode tahun 2005 membutuhkan 1,08 tenaga kerja. PT BPP lebih banyak menyerap tenaga kerja dalam masyarakat untuk usaha perkebunan yang dilakukan dari pada PTPN VI.

    Tenaga kerja kebun plasma sangat berperan dalam meningkatkan produksi kebun plasma. Hasil estimasi untuk regresi produksi perkebunan kelapa sawit kebun plasma diperoleh bahwa tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi kelapa sawit. Untuk setiap peningkatan penggunaan faktor produksi tenaga kerja satu HOK maka akan menyebabkan peningkatan produksi sebesar 0,788 ton. Dapat disimpulkan bahwa semakin banyak usaha perkebunan kelapa sawit maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

    Pola kemitraan yang dikembangkan harus ditujukan untuk menciptakan kemandirian petani plasma seperti yang dilakukan pada proyek NESP Ophir. Pembentukan dan pengelolan organisasi petani plasma/KPS/KUD harus atas partisipasi dari anggota yang pembinaannya dilakukan oleh perusahaan inti dan pemerintah. Kedua sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit baik proyek NESP maupun plasma KKPA project telah membuka kesempatan kerja yang cukup besar dalam masyarakat. Pola kemitraan dapat lebih banyak dikembangkan di daerah tetapi pelaksanaannya perlu dipantau oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perusahaan inti tidak boleh hanya memperkaya diri sendiri dan menggunakan kebun plasma sebagai jaminan bahan baku pabrik kelapa sawit. Harus diciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara petani plasma dan perusahaan inti.

  • ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman

    Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat )

    Oleh ASRI YARSI

    A14302021

    Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

    Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

    PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

  • Judul : Analisis Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja pada Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera barat)

    Nama : ASRI YARSI

    NRP : A14302021

    Menyetujui, Dosen Pembimbing

    Tanti Novianti, SP. MSi NIP. 132 206 249

    Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

    Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698

    Tanggal Lulus :

  • PERNYATAAN

    DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

    ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA

    SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus

    Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman

    Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat) ADALAH

    BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK

    MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU

    DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN

    RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. SKRIPSI INI BELUM

    PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

    PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

    Bogor, Agustus 2006

    ASRI YARSI A14302021

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Kapar pada tanggal 7 Agustus tahun 1984. Penulis

    adalah anak kedelapan dari delapan bersaudara pasangan Bahtiar dan Sariaman.

    Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 81 Sarik pada tahun 1990.

    Tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 2 Pasaman. Pada

    tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Pasaman dan

    menyelesaikan pendidikan pada tahun 2002.

    Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor tahun 2002

    melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Fakultas Pertanian,

    Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Program Studi Ekonomi Pertanian dan

    Sumberdaya.

    Bogor, Agustus 2006

    Penulis

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas rahmat dan

    hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

    ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA

    SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus

    Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman

    Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat). Skripsi ini

    merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

    Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut

    Pertanian Bogor.

    Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat

    banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

    membangun untuk perbaikan skripsi ini menjadi lebih baik.

    Bogor, Agustus 2006

    Penulis

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Puji dan syukur kepada ALLAH SWT atas rahmat, berkah, dan hidayah-

    Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini

    penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

    selama masa perkuliahan dan juga dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu :

    1. Keluarga besar tercinta, Ayahanda Bahtiar dan Ibunda Sariaman, Yarnalis,

    Yardinis, Yarnimas, Ali Uzmel, Arnita, Nurpima beserta keluarga dan

    kakakku tersayang Nursiwis atas semua doa, kerja keras, kesabaran,

    dorongan, perhatian dan bantuan dalam meraih cita-cita penulis.

    2. Tanti Novianti, SP. Msi sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan

    kesabarannya telah membimbing, mengarahkan, memberikan masukan, saran

    dan kritikan dalam penyelesaian skripsi ini.

    3. Ir. Nindyantoro, MSP dan A. Faroby Falatehan. SP, ME atas kesediannya

    menjadi dosen penguji utama dan dosen penguji wakil departemen.

    4. Joni Fitrah atas segala bantuan dan dorongan kepada penulis, teman-teman

    EPS39 dan all EPSers, teman-teman di Pondok Surya dan Astri 378, teman-

    teman IMHP, anggota KKP Desa Ciparay Jampang Kulon, Rini dan Rinel

    serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas segala bantuan

    dan kebersamaannya selama ini.

    5. Bapak Sar yang mau menjadi bapak angkat dan selalu membantu, keluarga

    besar PTPN VI dan PT BPP serta semua pihak yang telah membantu penulis

    dalam penyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

  • i

    DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR ISI .................................................................................................. i

    DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv

    DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v

    DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi

    BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1

    1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 5

    1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 8

    1.4. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 9

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 10

    2.1. Perkebunan .............................................................................. 10

    2.2. Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan ..................................... 12

    2.3. Tenaga Kerja ........................................................................... 17

    2.3.1. Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja ..................... 18

    2.3.2. Potret Tenaga kerja di Sektor Pertanian ......................... 19

    2.4. Pendapatan Usaha ................................................................... 21

    2.5. Penelitian Empiris Terdahulu .................................................. 23

    BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................... 25

    3.1. Pembangunan Perkebunan Rakyat dengan Kemitraan

    Usaha ....................................................................................... 25

    3.2. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Pendapatan ..... 26

    3.3. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Kesempatan

    Kerja ........................................................................................ 27

    3.4. Kerangka Pemikiran Konseptual ............................................. 28

  • ii

    BAB IV. METODE PENELITIAN ............................................................. 30

    4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 30

    4.2. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 30

    4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................... 31

    4.3.1. Pendapatan Usaha Perkebunan ...................................... 31

    4.3.2. Rasio Penerimaan dan Biaya .......................................... 33

    4.3.3. Penyerapan Tenaga Kerja .............................................. 35

    4.3.4. Peran Tenaga Kerja Kebun Plasma terhadap

    Produksi Kebun Plasma ................................................. 36

    BAB V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ...................................... 40

    5.1. PT Perkebunan Nusantara VI Persero (PTPN VI)

    Kebun Ophir ............................................................................ 40

    5.1.1. Sejarah Ringkas ............................................................. 40

    5.1.2. Pola PIR-Bun/NESP Ophir .......................................... 42

    5.2. PT. Bakrie Pasaman Plantations (PT BPP) ............................. 47

    5.2.1. Sejarah Ringkas ............................................................ 47

    5.2.2. Pola Bapak Angkat Anak Angkat / Plasma KKPA

    Project .......................................................................... 49

    BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 55

    6.1. Pendapatan Usaha Perkebunan PTPN VI dan PT BPP ........... 55

    6.1.1. Pendapatan Kebun Plasma ........................................... 55

    6.1.2. Pendapatan Kebun Inti ................................................. 62

    6.1.3. Pendapatan Kebun Plasma dan Kebun Inti .................. 66

    6.1.4. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) ....................... 67

    6.2. Analisis Imbangan Penerimaan terhadap Biaya (R/C) ........... 69

    6.3. Penyerapan Tenaga Kerja ....................................................... 71

    6.3.1. PTPN VI ......................................................................... 71

    6.3.2. PT BPP ........................................................................... 73

    6.4. Peran Tenaga Kerja Kebun Plasma terhadap

    Produksi Kebun Plasma. .......................................................... 74

  • iii

    BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 77

    7.1. Kesimpulan ............................................................................ 77

    7.2. Saran ....................................................................................... 78

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 80

    LAMPIRAN ................................................................................................... 82

  • iv

    DAFTAR TABEL

    No Halaman 1. Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap Produk Domestik

    Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004 ................................. 2 2. Kontribusi Sub Sektor Tanaman Perkebunan terhadap Sektor Pertanian .

    dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004 ........................... 3 3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun

    1998-2003 ................................................................................................. 4

    4. Potret Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2002-2009 ..................... 20 5. Perhitungan Pendapatan Usaha ................................................................. 34

    6. Luas Lahan dan Tahun Tanam Kebun Inti dan Kebun Plasma PTPN VI .................................................................................................... 42

    7. Total Biaya Tunai Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005 .......................... 56

    8. Total Biaya Tidak Tunai Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005 ................ 58

    9. Total Biaya Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005 ..................................... 59

    10. Analisis Pendapatan Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Plasma Per 2 Ha Tahun 2005 .............................................................................................. 61

    11. Total Biaya Tunai Kebun Inti 2 Ha Tahun 2005 ...................................... 63

    12. Total Biaya Tidak Tunai Kebun Inti per 2 Ha Tahun 2005 ..................... 64

    13. Total Biaya Kebun Inti per 2 Ha Tahun 2005 .......................................... 64

    14. Analisis Pendapatan Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Inti Per 2 Ha Tahun 2005 ............................................................................................... 66

    15. Analisis Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit Tahun 2005 ........................... 69

    16. Nilai R/C Kebun Plasma, Kebun Inti dan Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PTPN VI dan PT BPP ........................................................ 70

    17. Tenaga Kerja PTPN VI Periode Desember 2005 ..................................... 72

    18. Hasil Estimasi Regresi Produksi Usaha Kebun Plasma ........................... 73

  • v

    DAFTAR GAMBAR

    No Halaman 1. Bagan Kerangka Pemikiran Konseptual .................................................... 29

  • vi

    DAFTAR LAMPIRAN

    No Halaman 1. Pendapatan Rata-rata Petani Plasma Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005

    per 2 Hektar ................................................................................................ 82

    2. Pendapatan Rata-rata Kebun Inti Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005 per 2 Hektar ........................................................................... 83

    3. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005 ........................... 84

    4. Pendapatan Rata-rata Petani Plasma Perkebunan Kelapa Sawit PT BPP Tahun 2005 per 2 Hektar ............................................................................ 85

    5. Pendapatan Rata-rata Kebun Inti Perkebunan Kelapa Sawit PT BPP Tahun 2005 per 2 Hektar ........................................................................... 86 6. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PT BPP Tahun 2005 ............................. 87 7. Data Produksi, Tenaga Kerja dan Modal Pada Kebun Plasma PTPN VI Bulan Desember 2005 ................................................................................ 88 8. Hasil Regresi Sederhana Faktor Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Plasma ............................................................................................ 89 9. Standar Tandan Buah Segar (TBS) Menurut Umur dan Kelas Lahan

    Menurut Pusat Penelitian Marihat Medan tahun 1997 .............................. 90

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Pembangunan sektor pertanian pada dasarnya merupakan bagian integral

    dari pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Sektor pertanian secara

    potensial mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian

    Indonesia. Sampai tahun 2004, sektor pertanian menyumbang 15,39 persen

    terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku dan menyerap

    40 persen tenaga kerja dari 100 juta angkatan kerja nasional (BPS, 2005).

    Sektor pertanian menjadi harapan dalam mengurangi jumlah

    pengangguran. Meskipun laju penciptaan kerja di sektor pertanian tidak setinggi

    sektor industri, tetapi fakta memperlihatkan bahwa sektor pertanian pada tahun

    2002 mampu menciptakan kesempatan kerja bagi 40,63 juta orang. Sektor

    pertanian diharapkan dapat menyerap tambahan tenaga kerja sebanyak 1,4 juta

    selama periode 2005 2009, sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor

    ini 42,4 juta pada tahun 2009 (Rencana Tenaga Kerja Nasional, 2004 2009).

    Sektor pertanian mencakup sub sektor tanaman pangan, tanaman

    perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan dan hasil-hasilnya. Walaupun

    kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sudah mulai menurun, namun sektor ini

    tetap menjadi tumpuan dan harapan dalam penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari

    Tabel 1, pada tahun 2003 sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDB

    atas harga berlaku sebesar 15,93 persen dan pada tahun 2004 menurun menjadi

    15,39 persen.

  • 2

    Tabel 1. Kontribusi Sektor Pertanian Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004

    Tahun Pertanian (Milyar Rp) PDB (Milyar Rp) Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB (%)

    2001 263.327,9 1.684.280,5 15,63

    2002 298.876,8 1.863.274,7 16,04

    2003 325.653,7 2.045.853,5 15,93

    2004 354.453,3 2.303.031,5 15,39 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005

    Sub sektor perkebunan memegang peranan yang penting dalam

    pembangunan pertanian terutama dalam penghasil devisa, penyerapan tanaga

    kerja dan kontribusi terhadap produk domestik bruto. Devisa yang dihasilkan dari

    sektor pertanian tahun 2004 sebesar 4.859 juta dolar Amerika, dan kontribusi dari

    sub sektor perkebunan sebesar 7.784 juta dolar Amerika (160,20 %). Pada tahun

    2004, sub sektor perkebunan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 18,6 juta

    pekerja (45 %) dari 41,3 juta angkatan kerja di sektor pertanian (Direktorat

    Jenderal Perkebunan, 2005).

    Kontribusi sub sektor tanaman perkebunan terhadap Produk Domestik

    Bruto (PDB) mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Tabel 2, tahun 2004

    pendapatan nasional dari sub sektor perkebunan atas dasar harga berlaku sebesar

    57.418,9 milyar rupiah yaitu menyumbang sebesar 2,49 persen terhadap PDB

    atau sebesar 16,20 persen terhadap sektor pertanian. Kontribusi ini mengalami

    peningkatan dibandingkan tahun 2001 yang memberikan kontribusi sebesar 2,18

    persen terhadap PDB dan 13,96 persen terhadap sektor pertanian. Peningkatan

    penerimaan dari sub sektor perkebunan ini disebabkan meningkatnya luas areal

    tanam dan peningkatan produktivitas perkebunan.

  • 3

    Tabel 2. Kontribusi Sub Sektor Tanaman Perkebunan Indonesia terhadap Sektor Pertanian dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004

    Tahun Tanaman

    Perkebunan (Milyar Rp)

    Pertanian (Milyar Rp)

    PDB (Milyar Rp)

    Kontribusi tanaman perkebunan terhadap sektor pertanian (%)

    Kontribusi tanaman

    perkebunan terhadap PDB (%)

    2001 36.758,6 263.327,9 1.648.280,5 13,96 2,18

    2002 43.956,4 298.876,8 1.863.274,7 14,71 2,36

    2003 48.829,8 325.653,7 2.045.853,5 14,99 2,39

    2004 57.418,9 354.453,3 2.303.031,5 16,20 2,49 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005

    Kelapa sawit sebagai salah satu komoditi andalan perkebunan Indonesia

    memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai penghasil devisa. Hasil

    olahan dari kelapa sawit yang diekspor adalah minyak sawit kasar (Crude Palm

    Oil/ CPO), minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO), inti sawit (Palm

    Kernel/PK). Jumlah nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2004

    terhadap nilai ekspor non migas mencapai 8 persen atau sebesar 54 milyar

    dolar Amerika (Suharto, 2006).

    Perkebunan kelapa sawit merupakan perkebunan yang cukup potensial

    untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena, Pertama, kelapa

    sawit merupakan bahan baku dalam proses produksi minyak goreng sehingga

    dengan suplai yang berkesinambungan akan menghasilkan harga yang relatif

    stabil. Kedua, dalam proses pengolahan kelapa sawit dari hulu ke hilir membuka

    kesempatan kerja yang cukup besar. Ketiga, adanya potensi peningkatan konsumsi

    minyak dan lemak perkapita. Selama tahun 2005, minyak sawit telah menjadi

    minyak makan yang terbesar di dunia. Konsumsi minyak sawit dunia mencapai

    26 persen dari total konsumsi minyak makan dunia (Suharto, 2006).

  • 4

    Komoditi kelapa sawit diusahakan oleh perusahaan dan perkebunan

    rakyat, namun lebih dari 60 persen produksi kelapa sawit berasal dari perusahaan

    perkebunan. Berdasarkan data BPS sampai tahun 2004, perkebunan kelapa sawit

    telah diusahakan oleh 889 perusahaan perkebunan. Pada tahun 2003, luas areal

    perkebunan kelapa sawit mencapai 5.239.171 hektar, 1.827.844 hektar merupakan

    perkebunan rakyat, 645.823 hektar merupakan perkebunan negara dan 2.765.504

    hektar adalah perkebunan milik swasta. Luas areal perkebunan kelapa sawit

    mengalami pertumbuhan yang signifikan. Perkembangan luas lahan dan volume

    produksi kelapa sawit disajikan pada Tabel 3.

    Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 1998-2003

    Tahun Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara

    Perkebunan Besar Swasta Total luas areal

    (Ha) Luas areal (Ha)

    Produksi (ton)

    Luas areal (Ha)

    Produksi (ton)

    Luas areal (Ha)

    Produksi (ton)

    1998 890.506 1.344.569 556.640 1.501.747 2.113.050 3.084.099 3.560.196

    1999 1.041.046 1.547.811 576.999 1.468.949 2.283.757 3.438 830 3.901.802

    2000 1.166.758 1.905.653 588.125 1.460.945 2.403.194 3.633.901 4.158.077

    2001 1.561.031 2.798.032 609.947 1.519.289 2.542.457 4.079.151 4.713.453

    2002 1.808.424 3.426.740 631.566 1.607.734 2.627.068 4.587.871 5.067.058

    2003 1.827.844 3.645.942 645.823 1.543.528 2.765.504 4.627.744 5.239.171

    Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005

    Kebijakan pengembangan kelapa sawit perlu diarahkan pada

    pengembangan usaha kelapa sawit rakyat, agar terjadi keseimbangan arus modal

    yang selama ini banyak dikuasai oleh pihak swasta dan pemerintah. Sebelum

    tahun 1979, hanya pemerintah dan perusahaan besar swasta yang memiliki

    perkebunan kelapa sawit. Sejak saat itu kebijakan pemerintah menfokuskan pada

    pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat melalui kemitraan dengan

  • 5

    perkebunan besar. Pola pengembangan perkebunan rakyat khususnya kelapa sawit

    dilakukan dengan berbagai metode antara lain dengan : (1) Program Inti Plasma

    yang dikenal dengan Perkebunan Inti Rakyat/PIR, (2) Program Rehabilitasi

    Tanaman Ekspor/PRPTE, (3) Unit Pelayanan dan Pengembangan (UPP)

    Berbantuan, Swadaya Berbantuan dan dengan Swadaya Murni, dan (4) Program

    Anak Bapak Angkat. Pola inti plasma memiliki berbagai tipe antara lain PIR-Bun

    dan PIR Trans (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1999).

    Berdasarkan kondisi tahun 2000, setiap hektar perkebunan kelapa sawit

    rata-rata menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 0,67 tenaga kerja dan setiap

    6000 hektar kebun kelapa sawit membutuhkan pabrik kelapa sawit/PKS dengan

    kapasitas 30 ton TBS/jam yang menampung tenaga kerja sekitar 150 orang

    (Direktorat Jendral Perkebunan, 2000). Dari data tersebut berarti setiap hektar

    kebun kelapa sawit menampung tenaga kerja langsung sebanyak 0,695 orang

    (termasuk tenaga kerja pabrik). Luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia sampai

    tahun 2003 mencapai 5.239.171 hektar yang berarti dapat menampung tenaga

    kerja sejumlah 3.641.224 orang.

    1.2. Perumusan Masalah

    Pemerintah sudah sejak lama melakukan berbagai upaya dalam

    mengembangkan perkebunan kelapa sawit karena dengan pembangunan

    perkebunan akan mendorong pertumbuhan wilayah. Salah satu usaha penelitian

    perencanaan pengembangan wilayah yang dilakukan adalah pada tahun 1970 oleh

    agricultural development project dengan dukungan biaya dari pemerintah Jerman

    Barat. Hasil penelitiannya menentukan wilayah Pasaman Barat menjadi salah satu

  • 6

    wilayah harapan di masa datang dan potensial untuk pengembangan perkebunan

    kelapa sawit (Muchtar, 1987).

    Perkebunan rakyat berkembang dalam kondisi dengan berbagai kelemahan

    namun mempunyai peranan yang strategis sebagai sumber pendapatan petani dan

    penghasilan devisa. Perkebunan rakyat mengalami keadaan yang sudah

    merupakan lingkaran setan yaitu antara harga yang rendah, rendahnya mutu,

    rendahnya produksi, menurunnya pendapatan, dan seterusnya. Untuk itu,

    kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan perkebunan menempatkan

    perkebunan rakyat sebagai sasaran utama dan perkebunan besar sebagai

    pendukung yang dikenal dengan sistem kemitraan usaha. Upaya pengembangan

    perkebunan kelapa sawit melalui pola kemitraan seperti : (1) Perkebunan Inti

    Rakyat, (2) Bangun Operasi Transfer, (3) Kerja Sama Operasional, (4) contrack

    Farming, dan (5) Dagang umum.

    Pola kemitraan di bidang pekebunan telah dilakukan sebelum memasuki

    PJP I. Pola kemitraan yang ada saat ini merupakan kelanjutan, peningkatan,

    perluasan, penataan, dan pemantapan dari kerjasama kemitraan sebelumnya.

    Sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit diarahkan untuk dapat

    mengembangkan perkebunan kelapa sawit berorientasi pasar, meningkatkan

    pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani, serta mendorong perluasan dan

    pemerataan kesempatan kerja.

    Pola kemitraan perkebunan kelapa sawit yang dicetuskan oleh pemerintah

    tidak selamanya memberikan keuntungan. Berdasarkan penelitian WALHI tahun

    2005, pola kemitraan tidak selamanya menguntungkan petani dan masyarakat

  • 7

    sekitar. Penelitian di Ngabang, Pontianak oleh Daliman (WALHI)1 menyimpulkan

    bahwa penghasilan petani plasma tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik

    minimum seorang pekerja (tidak termasuk keluarganya), yakni rata-rata perbulan

    hanya Rp 148.500,00 perkapling. Selain itu, petani plasma diberbagai tempat di

    Indonesia memiliki produktivitas kebun yang rendah karena perkebunan kelapa

    sawit menggunakan input teknologi yang tidak dikuasai petani dan kurangnya

    pembinaan dari pemerintah dan perusahaan inti. Pemasaran TBS petani plasma

    yang hanya kepada perusahaan inti menyebabkan posisi tawar petani rendah.

    PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN VI) adalah perusahaan besar negara

    pertama dan satu-satunya di Kabupaten Pasaman Barat. PTPN VI kebun Ophir

    merupakan proyek pengembangan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun)

    yang dilaksanakan pada tahun 1981. Proyek PIR ini ternyata membuahkan hasil

    yang luar biasa karena dapat meningkatkan pendapatan petani dan menciptakan

    sentra-sentra pembangunan sosial ekonomi baru dalam pengembangan wilayah.

    Keberhasilan PTPN VI dalam usaha perkebunan kelapa sawit diikuti dengan

    berdirinya perusahaan-perusahaan perkebunan swasta di Kabupaten Pasaman

    Barat. PT Bakrie Pasaman Plantation (PT BPP) merupakan salah satu perkebunan

    besar swasta di Kabupaten Pasaman Barat yang memiliki areal perkebunan

    kelapa sawit terluas. PT BPP melaksanakan pola kemitraan dengan masyarakat

    sekitar dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit yang dilakukannya.

    Sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasaman

    Barat dilakukan oleh dua perusahaan inti yaitu perusahaan besar negara dan

    perusahaan besar swasta. Adanya dua perusahaan inti yang melakukan pola

    1 www. walhi. co.id.

  • 8

    kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit maka dapat dibandingkan pola

    kemitraan antara kedua perusahaan inti yang dapat dilihat dari mekanisme

    penerapan pola kemitraan, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja yang terjadi

    dalam pola kemitraan.

    Dari kondisi di atas maka masalah yang ingin dikaji dalam rangka

    mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasaman Barat

    adalah :

    1. Bagaimana mekanisme pola kemitraan perkebunan yang diterapkan oleh

    PTPN VI dan PT BPP ?

    2. Bagaimana pendapatan yang diterima oleh petani plasma dan perusahaan

    inti (kebun inti dan pabrik kelapa sawit) PTPN VI dan PT BPP ?

    3. Seberapa besar penyerapan tenaga kerja pada sistem kemitraan usaha

    perkebunan kelapa sawit ini ?

    4. Sejauh mana peran tenaga kerja kebun plasma dalam meningkatkan

    produksi kebun plasma ?

    1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah untuk :

    1. Mengkaji mekanisme pola kemitraan perkebunan yang diterapkan oleh

    PT Perkebunan Nusantara VI dan PT Bakrie Pasaman Plantation.

    2. Menganalisis pendapatan usaha perkebunan yang diterima oleh petani

    plasma dan perusahaan inti (kebun inti dan pabrik kelapa sawit) PTPN VI

    dan PT BPP.

  • 9

    3. Menganalisis penyerapan tenaga kerja pada sistem kemitraan usaha

    perkebunan kelapa sawit ini.

    4. Mengidentifikasi pengaruh tenaga kerja kebun plasma dalam

    meningkatkan produksi kebun plasma.

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

    1. Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam bidang studinya.

    2. Memberikan informasi kepada perusahaan maupun pemerintah dalam

    membuat kebijakan dan pengembangan pola kemitraan dimasa yang akan

    datang.

    3. Sebagai informasi bagi petani untuk memutuskan keikutsertaan dalam pola

    kemitraan yang dilaksanakan.

    4. Memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan pihak-

    pihak lain yang membutuhkan.

    1.4. Ruang Lingkup Penelitian

    Fokus dari penelitian adalah pendapatan dan penyerapan tenaga keja

    kebun plasma, kebun inti, dan pabrik kelapa sawit PTPN VI dan PT BPP.

    Pendapatan kebun inti dan kebun plasma dihitung per kapling (luas lahan

    2 hektar) sedangkan pendapatan pabrik kelapa sawit dihitung secara keseluruhan.

    Data yang digunakan adalah data pada tahun 2005. Kedua perusahaan ini

    memiliki perbedaan waktu, PTPN VI dibangun tahun 1980 sedangkan PT BPP

    pada tahun 1989. Penelitian ini hanya menganalisis pendapatan dan penyerapan

    tenaga kerja pada tahun 2005 tanpa melihat perbedaan waktu berdirinya

    perusahaaan dan waktu pelaksanaan proyek kemitraan.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Perkebunan

    Usaha perkebunan terdiri dari usaha budidaya perkebunan dan usaha

    industri perkebunan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan

    Perkebunan No. 107 Kpts II Tahun 1999, Usaha budidaya perkebunan adalah

    serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman perkebunan yang meliputi kegiatan

    pra tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pemanenan termasuk

    perubahan jenis tanaman. Usaha industri perkebunan merupakan serangkaian

    kegiatan pengolahan produksi tanaman perkebunan yang bertujuan untuk

    memperpanjang daya simpan atau meningkatkan nilai tambah, sebagai contoh dari

    usaha lndustri perkebunan adalah ekstraksi kelapa sawit, industri gula pasir dari

    tebu, teh hitam dan teh hijau, lateks dan lain sebagainya.

    Pengusahaan tanaman perkebunan di Indonesia dilakukan oleh perkebunan

    rakyat dan perkebunan besar yang terdiri dari perkebunan besar swasta dan

    perkebunan besar negara (PNP/PTP/BUMN). Menurut BPS (2005) perkebunan

    besar adalah usaha perkebunan yang dilakukan oleh badan usaha dan badan

    hukum diatas tanah negara yang mendapat izin dari instansi yang berwenang,

    diluar batasan tersebut merupakan perkebunan rakyat. Perkebunan besar memiliki

    ciri-ciri usaha antara lain : (1) Merupakan bentuk usaha pertanian berskala luas

    dan kompleks, (2) Menggunakan areal pertanahan yang luas, (3) Bersifat padat

    modal, (4) Menggunakan tenaga karja yang cukup besar, dengan pembagian kerja

    yang dirinci dan struktur hubungan kerja yang rapi, (5) Menggunakan teknologi

  • 11

    11

    modern, dan (6) Berorientasi pada pasar. Hal ini berbeda sekali dengan

    perkebunan rakyat dengan ciri-ciri usaha sebagai berikut : (1) Bentuk usahanya

    kecil, (2) Penggunaan lahan terbatas, (3) Tidak padat Modal, (4) Sumber tenaga

    kerja terpusat pada anggota keluarga, dan (5) Lebih berorientasi pada kebutuhan

    subsisten (Mubyarto, 1992).

    Pembangunan perkebunan merupakan salah satu alternatif aktivitas dalam

    pemberdayaan masyarakat. Peranan pembangunan perkebunan di negara

    Indonesia menurut Siahaan (1995) adalah :

    1. Menaikkan penerimaan devisa dan pendapatan negara.

    2. Penyediaan lapangan pekerjaan/sumber mata pencaharian dan lapangan

    usaha.

    3. Turut membantu dan melaksanakan kelestarian alam yang lebih terjamin.

    4. Membantu usaha pemerintah dalam bidang kegiatan lainnya seperti

    tranmigrasi, pengaturan pemilikan tanah, penggalakan koperasi, penataaan

    desa dan sebagainya

    5. Menciptakan iklim yang baik bagi pertumbuhan Indonesia.

    6. Turut menciptakan pembangunan/pertumbuhan ekonomi growth centre

    baru.

    Kebijakan pembangunan perkebunan oleh pemerintah difokuskan untuk

    mengembangkan perkebunan rakyat yaitu dengan pola kemitraan dengan

    perkebunan besar. Dalam pelaksanaan pola kemitraan ini, petani tergabung dalam

    suatu kelembagaan petani misalnya koperasi yang akan memperjuangkan hak-hak

    mereka. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan

    No. 107 Kpts II Tahun 1999 ketentuan mengenai pola usaha perkebunan adalah :

  • 12

    12

    a. Pola koperasi usaha perkebunan yaitu pola pengembangan yang sahamnya

    100 persen dimiliki oleh koperasi usaha perkebunan.

    b. Pola patungan koperasi dan investor yaitu pola pengembangan yang

    sahamnya 65 persen dimiliki koperasi dan 35 persen dimiliki

    investor/perusahaan.

    c. Pola patungan investor dan koperasi yaitu pola pengembangan yang

    sahamnya 80 persen dimiliki investor/perusahaan dan minimal 20 persen

    dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap.

    d. Pola BOT (Build, Operate and Transfer) yaitu pola pengembangan dimana

    pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor/perusahaan yang

    kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi.

    e. Pola BTN yaitu pola pengembangan dimana investor/perusahaan

    membangun kebun dan atau pabrik yang kemudian akan dialihkan kepada

    peminat/pemilik yang tergabung dalam koperasi.

    2.2. Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan

    Landasan pengembangan kemitraan di bidang pertanian dalam Undang-

    undang No. 12 Tahun 1992 telah menetapkan :

    1. Pasal 47 ayat 3 Badan usaha diarahkan untuk kerjasama secara terpadu

    dengan masyarakat petani dalam melakukan usaha budidaya tanaman.

    2. Pasal 47 ayat 4 Pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk

    pengembangkan kerjasama dengan petani.

    3. Pasal 49 Pemerintah membina usaha lemah serta mendorong dan

    membina terciptanya kerjasama yang serasi dan saling menguntungkan

    antara pengusaha lemah.

  • 13

    13

    Istilah kemitraan berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 1995 yaitu

    kerja sama antara usaha kecil dan usaha menengah atau dengan usaha besar

    disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar

    dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling

    menguntungkan. Pola kemitraan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil atau

    koperasi dapat dilakukan melalui berbagai bentuk. Berdasarkan Undang-Undang

    No. 9 Tahun 1995, kemitraan dilaksanakan dengan pola :

    1. Inti-Plasma

    Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha menengah atau usaha besar

    bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma. Perusahaan inti

    melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan

    teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi.

    2. Subkontrak

    Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha kecil memproduksi

    komponen yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar sebagai

    bagian dari produksinya.

    3. Dagang Umum

    Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha menengah atau besar

    memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan

    yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.

    4. Waralaba

    Hubungan kemitraan yang didalamnya pemberi waralaba memberikan hak

    penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya

    disertai bantuan bimbingan manajemen.

  • 14

    14

    5. Keagenan

    Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha kecil diberi hak khusus

    untuk memasarkan barang dan jasa mitranya.

    6. Bentuk-bentuk lain atau pola kemitraan yang belum di bakukan.

    Sistem kemitraan perkebunan adalah kerja sama yang strategis antara

    perkebunan rakyat dan perkebunan besar dengan memperhatikan prinsip saling

    membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemitraan usaha

    perkebunan mengacu pada terciptanya keseimbangan, keselarasan, keterampilan,

    dan interpendesi yang dilandasi saling percaya dengan keterbukaan (Daim, 2003).

    Menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1995 selama kerja sama ini berlangsung

    maka seharusnya yang terjadi dalam suatu pola kemitraan usaha adalah :

    a. Proses transfer teknologi.

    b. Proses transfer manajemen.

    c. Adanya jaminan terhadap resiko produksi.

    d. Adanya jaminan modal.

    e. Adanya jaminan pasar

    f. Adanya jaminan peningkatan kesejahteraan atau asset dari mitra usaha

    g. Adanya pengurangan tingkat ketergantungan mitra usaha.

    Bentuk-bentuk pola kemitraan perkebunan menurut Daim (2003) :

    1. Perkebunan Inti Rakyat (PIR)

    PIR adalah perusahaan yang melakukan tugas perencanaan, bimbingan dan

    pelayanan sarana produksi, kredit pengolahan hasil dan pemasaran hasil bagi

    usaha tani yang dibimbingnya (plasma) sambil mengusahakan usahatani yang

  • 15

    15

    dimiliki dan dikelola sendiri. Pola PIR diarahkan pada wilayah-wilayah yang

    mempunyai aksesibilitas rendah (remote).

    Menurut sumber dananya pola PIR/NES (Perkebunan Inti Rakyat/Nucle

    Estate and small hiolder project) terbagi atas :

    a. PIR Swadaya

    PIR ini dibiayai sepenuhnya dari dana dalam negeri yang terdiri dari

    Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan kredit perbankan. Contohnya PIR-

    lokal dan PIR-khusus.

    b. PIR NES Perbantuan

    PIR ini dibiayai dari sumber dana dalam negeri yang dilengkapi dengan

    sumber dana dari kerjasama/bantuan negara atau badan luar negeri. Konsep ini

    melahirkan PIR-Bun.

    2. Bangun Operasi Transfer (BOT)

    Pola pengembangan dimana pembangunan dan pengoperasian dilakukan

    oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya

    dialihkan kepada koperasi/petani.

    3. Kerjasama Operasional (KSO)

    Kerjasama yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan operasional bapak

    angkat, tetapi tidak terlalu mengikat kepastian pemakaian barang/bahan yang

    dipasok mitra usahanya. Pola keterkaitan ini banyak dilakukan perusahaan

    besar dan menengah yang membutuhkan berbagai macam bahan dan barang-

    barang dalam manajemen usahanya.

  • 16

    16

    4. Contrack Farming (CF)

    Contrack farming merupakan suatu pola dimana petani melalui wadah

    kelompok tani atau gabungan kelompok /KUD membuat perjanjian kontrak

    penjualan dengan perusahaan prosesor/eksportir. Dalam perjanjian kontrak

    tersebut tertulis jumlah, mutu dan penyerahan barang serta harga yang telah

    disepakati bersama antara petani/kelompok tani/KUD dengan perusahaan

    pembeli.

    5. Dagang Umum (DU)

    Kemitraan pola dagang umum adalah kemitraan yang terjadi pada tingkat

    pemasaran. Pada dasarnya dalam pola ini perusahaan besar berperan sebagai

    pemasar produk yang dihasilkan oleh perusahaan kecil. Latar belakang

    timbulnya kemitraan pola ini adalah adanya kepentingan bisnis antar kedua

    belah pihak yang bermitra.

    Berdasarkan bentuk pola kemitraan seperti pola PIR, BOT, KSO, CF dan

    DU, dalam memilih pola kemitraan harus tetap sejalan dengan kebijaksanaan

    pembangunan perkebunan yang berkaitan dengan kesempatan kerja, pemasok

    bahan baku industri, peningkatan produktivitas, peningkatan pendapatan. Perlu

    pula diperhatikan kelemahan petani yang umumnya meliputi teknologi, modal,

    akses pasar, pengolahan hasil, SDM, kelembagaan dan produktivitas. Berdasarkan

    berbagai faktor tersebut maka dapat disarankan bahwa kemitraan pola PIR lebih

    tepat untuk terus dikembangkan pada pembangunan dibidang perkebunan.

    Dengan adanya kemitraan usaha seperti itu diharapkan mengangkat

    perkebunan rakyat menjadi pilar pembangunan ekonomi karena kelemahan

    mendasar petani pekebun adalah modal, teknis dan manajemen. Melalui sistem

  • 17

    17

    kemitraan akan tercipta transfer pengetahuan dari perkebunan besar dan membuka

    akses bagi perkebunan rakyat ke sumber permodalan dan pasar. Keuntungan bagi

    perkebunan besar adalah memperoleh kontinuitas produksi atau meningkatnya

    kapasitas yang lebih besar. Sistem kemitraan usaha perkebunan diharapkan

    menciptakan keterkaitan usaha yang dilaksanakan melalui kegiatan pembinaan

    dan pengembangan dalam bidang produksi, pengolahan, pemasaran, permodalan,

    teknologi dan sumberdaya manusia.

    2.3. Tenaga Kerja

    Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang unik. Tenaga kerja berbeda

    dengan faktor produksi lainnya seperti modal. Perbedaan yang utama adalah

    sumberdaya tenaga kerja tidak dapat dipisahkan secara fisik dari tenaga kerja itu

    sendiri. Tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang

    sedang mencari pekerjaan, dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah

    dan mengurus rumah tangga (Simanjuntak, 1998).

    Besarnya suplai tenaga kerja dalam masyarakat adalah jumlah yang

    menawarkan jasanya untuk proses produksi. Diantara tenaga kerja ini sebagian

    sudah aktif dalam kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa yang dinamakan

    dengan golongan yang bekerja (employed persons). Sebagian lainnya tergolong

    yang siap bekerja atau sedang berusaha mencari pekerjaan yang dinamakan

    pencari kerja atau pengangguran. Jumlah orang yang bekerja tergantung dari

    besarnya permintaan atau demand dalam masyarakat. Permintaan tenaga kerja

    dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan tingkat upah.

  • 18

    18

    2.3.1. Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja

    Penawaran tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah

    satuan pekerja yang disetujui oleh pensuplai untuk ditawarkan (Ananta, 1990).

    Sedangkan menurut Simanjuntak (1998) penyediaan tenagakerja merupakan

    sejumlah usaha atau jasa yang tersedia dalam masyarakat untuk mengahasilkan

    barang dan jasa. Jumlah satuan pekerja yang ditawarkan tergantung pada

    (1) Besarnya jumlah penduduk, (2) Persentase penduduk yang memilih berada

    dalam angkatan kerja, dan (3) Jam kerja yang ditawarkan oleh peserta angkatan

    kerja. Ketiga komponen ini dipengaruhi oleh upah pasar.

    Perusahaan merupakan unit ekonomi yang berkecimpung dalam produksi

    dimana produksi merupakan transformasi dari input (faktor produksi) ke dalam

    output. Permintaan perusahaan akan input merupakan suatu permintaan turunan

    (devired demand) yang diperoleh dari permintaan konsumen terhadap produk

    perusahaan. Fungsi perusahaan cukup bervariasi, meliputi memaksimumkan

    keuntungan dan memaksimumkan penjualan atau perilaku untuk memberikan

    kepuasan pada konsumen, namun maksimisasi keuntungan sering dijadikan dasar

    dalam menentukan penggunaan tenaga kerja. Pengusaha harus membuat pilihan

    mengenai input (tenaga kerja dan input lainnya) serta output (jenis dan jumlah)

    dengan kombinasi yang tepat agar diperoleh keuntungan maksimal.

    Besarnya permintaan perusahaan akan tenaga kerja pada dasarnya

    tergantung pada besarnya permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang

    dihasilkan perusahaan tersebut. Fungsi permintaan tenaga kerja biasanya

    didasarkan pada teori neoklasik mengenai marginal physical product of labor

    (VMPL). Dengan asumsi perusahaan beroperasi pada sistem persaingan, maka

  • 19

    19

    perusahaan cenderung untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan tingkat upah

    sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja. VMPL menunjukkan tingkat

    upah maksimum yang mau dibayarkan oleh perusahaan agar keuntungan

    perusahaan maksimum.

    Berlawanan dengan fungsi penawaran tenaga kerja, maka permintaan

    terhadap tenaga kerja berkurang bila tingkat upah naik. Besarnya elastisitas

    permintan tenaga kerja tergantung pada : (1) Kemungkinan subsitusi tenaga kerja

    dengan faktor produksi yang lain, (2) Elastisitas permintaan terhadap barang yang

    dihasilkan, (3) Proporsi biaya karyawan terhadap seluruh biaya produksi, dan (4)

    Elastisitas persediaan faktor produksi pelengkap lainnya.

    2.3.2. Potret Tenaga Kerja di Sektor Pertanian

    Tenaga kerja di sektor pertanian adalah tenaga kerja yang terlibat dalam

    kegiatan pertanian dalam arti luas yang meliputi usahatani, peternakan, nelayan,

    petani tambak baik sektor buruh maupun pengelolaan usahatani. Jumlah tenaga

    kerja di sektor pertanian pada tahun 2000 adalah 40.970.856 orang (BPS, 2000).

    Berdasarkan bidang usaha, sektor pertanian dibagi atas subsektor tanaman

    pangan/palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan, mixed farming, jasa

    pertanian, perikanan, dan kehutanan. Dilihat dari jumlah tenaga kerja yang

    terlibat, sektor pertanian paling dominan dalam menciptakan kesempatan kerja.

    Pada tahun 2002, kesempatan kerja yang diciptakan di sektor pertanian sebanyak

    40,63 juta orang (44,34%). Sebagian besar tenaga kerja pertanian berada pada sub

    sektor tanaman pangan/palawija, hortikultura, dan perkebunan, yang jumlahnya

  • 20

    20

    pada tahun 2002 mencapai 34,9 juta orang atau 84,15 persen dari total tenaga

    kerja pertanian di luar perikanan dan kehutanan (39.173.283 jiwa)

    Tabel 4. Potret Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2002-2009 3

    No Uraian Keterangan 1 Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian

    a. Tahun 2002 b. Tahun 2009 (perkiraan)

    40,634 juta (44,3 %)42,4 Juta

    2 Sebaran TK menurut sub sektor tahun 2002 a. Tan.pangan/palawija/hortikultura/perkebunan b. Peternakan c. Mixed farming d. Jasa pertanian Total (tidak termasuk perikanan, kehutanan)

    34.921.185 (84,15%)2.706.135 (6,91%)

    601.665 (1,53%)944.298 (2,41%)

    39.173.283 3 Angka produktivitas sektor Pertanian

    a. Tahun 2002 b. Tahun 2003

    Rp. 1,69 juta/orangRp. 1,68 juta/orang

    4 Sebaran TK menurut umur tahun 2002 a. 10 - 24 b. 25 - 44 tahun c. > 45 th

    6.184.551 (16%)18.128.777 (46%)14.859.955 (38%)

    5 TK Pertanian menurut tingkat pendidikan tahun 2002 a. < SD b. SLTP c. SLTA d. PT

    38.210.995 (81,68%)5.028.849 (12,84%)

    2.042.619 (5,21%)107.226 (0,27%)

    6 Curahan jam kerja tahun 2002 a. Kurang 35 jam/mg b. Lebih 35 jam/mg

    23.268.178 (59%)15.905.105 (41%)

    7

    Peningkatan Jumlah RT pertanian tahun 2002 a. Jawa b. Luar Jawa c. Indonesia

    1,97%2,74%2,31%

    8 Penduduk miskin bekerja di sektor pertanian a. Tahun 2002 b. Tahun 2003

    20.604.600 (57,8%)22.250.600 (59,6%)

    9 Setengah Penganggur di Sektor pertanian Tahun 2002 70,2%Sumber : Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009

    Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian adalah yang paling rendah

    dibandingkan dengan sektor lain. Pada tahun 2002 produktivitas sektor pertanian

    bernilai 1,68 juta rupiah per orang dan pada tahun 2003 nilainya turun menjadi

    1.68 juta rupiah per orang. Angka produktivitas sektor pertanian ini sangat rendah

    3 www.nakertrans.go. id

  • 21

    21

    jika dibandingkan dengan sektor pertambangan, listrik, gas dan air yang angka

    produktivitasnya mencapai Rp 54,94 juta per orang (Soegiharto, 2004). Angka

    produktivitas tersebut mengandung arti bahwa kondisi pekerja di sektor pertanian

    sangat memprihatinkan dan dapat pula dikatakan bahwa sektor pertanian saat ini

    dalam kondisi yang sudah jenuh terhadap kesempatan kerja.

    Rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian dipengaruhi oleh kondisi

    umur, tingkat pendidikan, curahan jam kerja, dan luas garapan petani. Sebaran

    tenaga kerja pertanian (di luar perikanan dan kehutanan) berdasarkan kelompok

    umur memperlihatkan bahwa, sebagian besar berada pada umur 25-44 tahun

    (46%), kemudian kelompok umur diatas 45 tahun (38%), dan kelompok umur

    kurang dari 25 tahun (16%). Mengamati komposisi umur tenaga kerja tersebut

    dikhawatirkan di masa depan akan kekurangan tenaga kerja pertanian. Sektor

    pertanian menunjukan trend aging agriculture , yaitu suatu kondisi dimana tenaga

    kerja yang berada di pertanian adalah tenaga kerja yang berusia lanjut. Tenaga

    kerja pertanian sampai saat ini masih didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat

    pendidikan SD ke bawah, yang jumlahnya mencapai 81 persen dari tenaga kerja

    pertanian.

    2.4. Pendapatan Usaha

    Usahatani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produksi dilapangan

    pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan

    yang diperoleh. Pendapatan merupakan balas jasa dari kerjasama faktor-faktor

    produksi. Pendapatan usaha adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya

    yang telah dikeluarkan (Soekartawi, 1995). Besarnya pendapatan yang diterima

  • 22

    22

    merupakan balas jasa atas tenaga kerja, modal yang dipakai, dan pengelolaan yang

    dilakukan. Balas jasa yang diterima pemilik faktor produksi dihitung untuk jangka

    waktu tertentu misalnya satu musim tanam atau satu tahun.

    Pendapatan usaha yang diterima berbeda untuk setiap orang, perbedaan

    pendapatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini ada yang masih

    dapat diubah dalam batas-batas kemampuan petani atau tidak dapat diubah sama

    sekali. Faktor yang tidak dapat diubah adalah iklim dan jenis tanah. Beberapa

    faktor yang mempengaruhi pendapatan dan dapat dilakukan perbaikan untuk

    meningkatkan pendapatan adalah luas lahan usaha, efisiensi kerja, dan efisiensi

    produksi.

    Luas rata-rata usahatani di Indonesia amat kecil hal ini merupakan salah

    satu penghambat untuk mengadakan perubahan dalam memilih jenis tanaman dan

    menggunakan alat mekanis. Efisiensi kerja yang merupakan jumlah pekerjaan

    produktif yang berhasil diselesaikan oleh seorang pekerja. Umumnya makin tinggi

    efisiensi kerja makin tinggi pendapatan petani. Meningkatkan pendapatan melalui

    peningkatan efisiensi produksi dapat dilaksanakan dengan perbaikan cara-cara

    berusahatani, makin tinggi efisiensi produksi maka makin tinggi pendapatan

    usahatani (Soehardjo dan Patong, 1973).

    Analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi

    pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu

    menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usahatani dan menggambarkan

    keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Analisis pendapatan

    memberikan bantuan untuk mengukur keberhasilan dari usaha yang dilakukan.

    2.5. Penelitian Empiris Terdahulu

  • 23

    23

    Secara umum penelitian terhadap analisis pendapatan dan penyerapan

    tenaga kerja pada kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk

    mengetahui apakah pola kemitraan ini menguntungkan petani atau tidak. Oleh

    karena itu akan dilihat penelitian-penelitian sejenis pada komoditas kelapa sawit.

    Menurut Muchtar (1987), dari penelitiannya yang berjudul Dampak

    Ekonomi Perusahaan Inti Rakyat Kelapa Sawit Ophir Terhadap Pengembangan

    Wilayah Pasaman Barat dengan analisis basis ekonomi dan analisis pendapatan.

    Hasil analisis basis ekonomi diperoleh nilai multiplier sebesar 100 Artinya setiap

    investasi Rp 1,00 akan memberikan multiplier sebesar Rp 100,00. Pendapatan

    petani sebelum menjadi peserta PIR adalah Rp 283.020,00 sedangkan pendapatan

    setelah PIR adalah Rp 1.123.120, Pendapatan petani sebelum menjadi peserta PIR

    dibandingkan dengan pendapatan setelah ikut PIR meningkat 396 persen. Data

    yang ada juga memperlihatkan bahwa pendapatan kepala keluarga peserta PIR

    230 persen lebih besar dari pendapatan kepala keluarga tidak peserta PIR.

    Mangkuprawira et al (1989) melakukan penelitian mengenai pendapatan

    petani di lokasi perkebunan inti rakyat di Jawa Barat. Dalam analisis pendapatan

    ini dibandingkan pendapatan petani PIR kelapa sawit, kelapa dan karet begitu juga

    untuk alokasi jam kerja petani. Pelaksanaan pola perkebunan inti rakyat ini belum

    mencapai target dari pemerintah yaitu masih di bawah 1.500 dolar Amerika dan

    alokasi jam kerja petani lebih tinggi pada petani perkebunan kelapa sawit daripada

    perkebunan kelapa dan karet.

    Yudistira (2003), meneliti analisis finansial dan ekonomi kelapa sawit PT.

    Mesa Inti Kebun. Analisis ini menunjukkan perkebunan di PT. Mesa Inti Kebun

    layak dilaksanakan. Dari hasil penelitian menggunakan faktor diskonto sebesar 11

  • 24

    24

    persen untuk analisis finansial kebun inti diperoleh NPV yang bernilai positif

    yaitu sebesar Rp 29.391.962.210, net B/C sebesar 1,37, IRR sebesar 14,40 persen

    dan MPI selama 10 tahun 11 bulan. Analisis finansial kebun plasma pada faktor

    diskonto sebesar 11 persen diperoleh NPV sebesar Rp 22.876.791.670, net B/C

    sebesar 1,20, IRR sebesar 12,60 persen dan MPI selama 12 tahun 8 bulan.

    Analisis ekonomi kebun inti pada tingkat diskonto 11 persen diperoleh NPV yang

    bernilai positif yaitu sebesar Rp 208.638.607.670, net B/C sebesar 4,02, IRR

    sebesar 29,87 persen dan MPI selama 8 tahun 10 bulan sedangkan untuk kebun

    plasma diperoleh NPV sebesar Rp 52.686.057.040, net B/C sebesar 1.49, IRR

    sebesar 14,80 persen dan MPI selama 11 tahun 4 bulan. Perkebunan PT. Mesa Inti

    Kebun, kebun plasma maupun kebun inti layak dilaksanakan karena memenuhi

    kriteria kelayakan investasi secara finansial dan ekonomi.

    Daliman (2005) meneliti dampak perkebunan kelapa sawit dalam

    meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Hasil analisis

    pendapatan menyimpulkan penghasilan petani plasma tidak cukup untuk

    memenuhi kebutuhan fisik minimum seorang pekerja (tidak termasuk

    keluarganya), yakni rata-rata perbulan Rp 148.500,00 per kapling ( 2 Ha).

    Pendapatan tunai petani meningkat pada 3 - 4 bulan pertama dalam setahun tetapi

    untuk pendapatan tidak tunai mengalami penurunan antara 40 - 60 persen.

    Penelitian sebelumnya belum pernah membandingkan pola kemitraan

    perkebunan kelapa sawit pada perusahaan milik swasta dan negara. Penelitian ini

    akan melihat pendapatan petani plasma dan perusahaan inti serta penyerapan

    tenaga kerja pada dua perusahaan tersebut.

  • BAB III

    KERANGKA PEMIKIRAN

    3.1. Pembangunan Perkebunan Rakyat dengan Kemitraan Usaha

    Suatu kegiatan pertanian yang menyeluruh dan saling berkaitan

    merupakan suatu upaya untuk meningkatkan produksi pertanian, pendapatan

    petani dan menciptakan nilai tambah. Upaya ini secara luas akan mempunyai

    dampak terhadap peningkatan devisa melalui ekspor dan subsitusi impor.

    Kelemahan petani pada umumnya meliputi teknologi, modal, akses pasar,

    pengolahan hasil, sumberdaya manusia, kelembagaan dan produktivitas.

    Kebijaksanaan pembangunan perkebunan yang dikembangkan harus berkaitan

    dengan kesempatan kerja, pemasok bahan baku industri, peningkatan

    produktivitas dan peningkatan pendapatan.

    Keberhasilan kemitraan usaha sangat tergantung kepada pihak yang

    bermitra. Pengusaha harus menyadari para petani memerlukan berbagai upaya

    pemberdayaan. Kemitraan usaha perkebunan mengacu pada terciptanya

    keseimbangan, keselarasan, keterampilan, dan interdependensi yang dilandasi

    saling percaya dengan keterbukaan. Kemitraan akan terwujud dengan terciptanya :

    (1) Saling membutuhkan atau intervedensi artinya pengusaha memerlukan

    pasokan bahan baku, sedang petani memerlukan bimbingan teknologi, pemasaran,

    dan processing, (2) Saling menguntungkan artinya kedua bilah pihak harus dapat

    memperoleh nilai tambah dari kerjasama, dan (3) Saling memperkuat artinya

    kedua belah pihak sama-sama memahami hak dan kewajiban.

  • 26

    26

    Upaya pemantapan yang memerlukan perhatian dan penanganan dalam

    pola kemitraan antara lain kerjasama yang transparansi sejak awal sehingga

    masing-masing pihak tahu dan sadar hak-hak serta kewajibannya, penumbuhan

    dan pengembangan fungsi dari kelembagaan kelompok tani yang merupakan basis

    terkecil dari manajemen produksi yang dilakukan mitra usaha atau perusahaan

    inti. Pembentukan koperasi (kelembagaan petani) harus lebih terkonsentrasi pada

    sektor jasa (angkutan pupuk, angkutan produksi dan lain-lain).

    Kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah dalam perkebunan

    rakyat memerlukan berbagai upaya penyuluhan dan pembinaan. Peningkatan

    kualitas sumberdaya manusia di tingkat petani dapat dilakukan dengan

    peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan pengorganisasian. Skala ekonomi

    petani harus terus ditata sampai mencapai usaha berskala ekonomi. Tugas utama

    perusahaan mitra adalah menjaga agar pengelolaan produksi ditingkat petani tetap

    sesuai dengan standar teknis dan bertanggung jawab sejak awal pembangunan

    perkebunan sampai pasca konversi sehingga produktivitas optimal.

    3.2. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Pendapatan

    Pembangunan perkebunan dengan pola kemitraan memiliki tujuan untuk

    mendorong peningkatan pendapatan petani, pembangunan wilayah, pembangunan

    sentra produksi dan pertumbuhan ekonomi. Kehadiran perusahaan inti dalam pola

    kemitraan dapat berperan dalam pemberdayaan petani di bidang teknologi, modal,

    kelembagaan dan lain-lain.

    Pola kemitraan akan meningkatkan produktivitas karena berisikan paket

    intensifikasi yang ditransfer oleh perusahaan inti kepada petani plasma berupa

  • 27

    27

    teknologi baru. Teknologi yang digunakan akan berpengaruh pada produksi yang

    dihasilkan, biaya dikeluarkan serta tenaga kerja yang digunakan. Dalam pola

    kemitraan juga terjadi inovasi dalam manajemen, kelembagaan, pengolahan dan

    pemasaran. Semua paket intensifikasi dalam pola kemitraan bertujuan

    meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya berpengaruh pada peningkatan

    pendapatan.

    Peningkatan pendapatan apabila dilihat dari pendekatan produksi maka

    akan berkaitan dengan masalah produktivitas. Produktivitas merupakan

    pembagian antara hasil/keluaran yang dicapai dengan keseluruhan

    sumberdaya/masukan yang telah digunakan persatuan tertentu. Peningkatan

    produktivitas mengandung arti bahwa jumlah produksi yang dicapai dapat lebih

    besar dengan menggunakan sumberdaya yang sama. Sumberdaya terdiri dari

    faktor produksi seperti lahan, sumberdaya manusia, peralatan dan lain-lain. Pada

    pola kemitraan biasanya produktivitas kebun plasma diharapkan dapat setara

    dengan produktivitas kebun intinya.

    3.3. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Kesempatan Kerja

    Tenaga kerja dipandang sebagai suatu faktor produksi yang mampu

    meningkatkan daya guna faktor produksi lainnya (mengolah tanah, memanfaatkan

    modal dan sebagainya). Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keadaan tenaga

    kerja, yaitu faktor permintaan dan penawaran. Faktor permintaan dipengaruhi oleh

    dinamika pembangunan ekonomi, sedangkan faktor penawaran ditentukan oleh

    perubahan struktur umur penduduk

  • 28

    28

    Salah satu tujuan yang penting dalam pembangunan ekonomi adalah

    penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk mengejar pertambahan angkatan

    kerja. Pembangunan perkebunan dengan sistem kemitraan usaha dimaksudkan

    untuk membina perkebunan rakyat (usahatani kecil) agar dapat membuka

    kesempatan kerja di pedesaan. Perkebunan rakyat merupakan usaha yang strategis

    dalam menyerap tenaga kerja keluarga dan luar keluarga. Dalam perkebunan

    kelapa sawit baik untuk kebun inti maupun kebun plasma dibutuhkan tenaga

    kerja dalam aktivitas pemeliharaan, panen, pangangkutan dan lain-lain.

    Perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit akan membutuhkan pabrik kelapa

    sawit untuk mengolah tandan buah segar yang dihasilkan petani, pabrik kelapa

    sawit akan menambah lapangan kerja yang tersedia dan dapat menyerap tenaga

    kerja yang ada dalam masyarakat.

    3.4. Kerangka Pemikiran Konseptual

    Pola kemitraan menawarkan suatu pendekatan pembangunan yang

    mengkaitkan perusahaan besar dengan petani kecil, sehinggga kelebihan-

    kelebihan yang dimiliki oleh perusahaan besar dapat ditransfer kepada petani

    kecil. Kelebihan yang dialihkan dapat berupa kemampuan teknologi, manajemen

    dan finansial sehingga petani kecil mampu menjadi manajer yang mandiri dan

    tangguh bagi usahataninya.

    Pola kemitraan merupakan kerjasama strategis antara petani dan

    perusahaan besar. Perusahaan mitra bertindak sebagai penyedia sarana produksi,

    pelaksana pemasaran sekaligus pengolahan produksi. Petani dalam pola kemitraan

    bertindak sebagai pelaksana usahatani. Pemberian bantuan dari perusahaan kepada

  • 29

    29

    petani akan diakumulasikan dan dibayar kembali oleh petani setelah perkebunan

    kelapa sawit yang dimiliki berproduksi. Pengembangan perkebunan kelapa sawit

    memiliki peluang dalam menciptakan lapangan kerja dari kegiatan pra panen

    hingga pasca panen. Alur pemikiran dalam penelitian ini dapat disimpulkan dalam

    Gambar 1.

    Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Konseptual Ket : : Alur pemikiran : Hal-hal yang dianalisis

    : Dijual : Alur analisis

    Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit

    Sistem Kemitraan Usaha

    Pola Kemitraan dengan Perkebunan

    Besar Negara

    Pola Kemitraan dengan Perkebunan

    Besar Swasta

    Pengolahan, Pemasaran, dan Produksi TBS

    PTPN VI PT BPP

    Peserta Kemitraan Kebun Plasma

    Perusahaan Inti Pabrik dan Kebun Inti

    Peningkatan Produktivitas Penciptaan Kesempatan Kerja

    Produksi TBS

    - Pendapatan - Penyerapan tenaga

    kerja

    - Pendapatan - Penyerapan tenaga

    kerja

  • BAB IV

    METODE PENELITIAN

    4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian dilakukan di perkebunan milik PT Perkebunan Nusantara VI

    dan PT Bakrie Pasaman Plantation. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja

    (purposive) dengan pertimbangan PT Perkebunan Nusantara VI merupakan

    Perkebunan Besar Negara pertama di Kabupaten Pasaman Barat yang melakukan

    pola kemitraan dan PT Bakrie Pasaman Plantation merupakan Perkebunan Besar

    Swasta dengan areal perkebunan kelapa sawit terluas di Kabupaten Pasaman Barat

    yang melakukan pola kemitraan. Pengumpulan data dilakukan mulai Bulan April

    sampai dengan Bulan Juni 2006.

    4.2. Jenis dan Sumber Data

    Jenis data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Data

    primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah oleh peneliti dan langsung

    diperoleh dari objek yang diteliti. Data primer diperoleh melalui wawancara

    langsung dengan petani peserta, pemilik perkebunan, pengawas perkebunan, dan

    pekerja perkebunan kelapa sawit. Data sekunder adalah data yang diterbitkan atau

    digunakan oleh organisasi atau lembaga yang bukan merupakan hasil pengolahan

    peneliti. Data sekunder diperoleh dari PTPN VI, PT BPP, Direktorat Jenderal

    Perkebunan Indonesia, Biro Pusat Statistik, Departemen Perindustrian dan

    Perdagangan, dan dapat juga diperoleh melalui studi literatur, internet dan

    lembaga terkait lainnya.

  • 31

    31

    4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

    Pengolahan data disesuaikan dengan data yang ada dan tujuan yang ingin

    dicapai. Untuk mencapai tujuan pertama digunakan metode deskriptif. Untuk

    mencapai tujuan kedua dan ketiga, data dianalisis dengan metode deskriptif

    tabulasi. Sedangkan untuk mencapai tujuan keempat digunakan analisis model

    ekonometrika.

    4.3.1. Pendapatan Usaha Perkebunan

    Pada analisis usahatani diperlukan data tentang penerimaan, biaya, dan

    pendapatan usahatani. Cara analisis terhadap variabel penerimaan, biaya, dan

    pendapatan disebut dengan analisis anggaran arus uang tunai atau cash flow

    analysis (Soekarwati, 1995).

    Penerimaan usahatani adalah suatu nilai produk total dalam jangka waktu

    tertentu, baik untuk dijual maupun untuk dikonsumsi sendiri. Penerimaan adalah

    perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Rumus penerimaan

    usahatani adalah :

    TR = Y x PY

    Dimana :

    TR : Total Penerimaan.

    Y : Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani.

    PY : Harga Y

    Biaya usahatani merupakan nilai penggunaan sarana produksi dan lain-

    lain yang dibebankan pada produk yang bersangkutan. Biaya usaha tani

    diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan.

  • 32

    32

    Biaya tunai merupakan pengeluaran tunai usahatani yang dilakukan oleh petani

    sendiri. Biaya tunai digunakan untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki

    oleh petani. Biaya tidak tunai (diperhitungan) adalah biaya penyusutan alat-alat

    pertanian, sewa lahan milik sendiri dan tenaga kerja dalam keluarga.

    Biaya dalam usahatani terdiri dari biaya tetap/fixed cost dan biaya

    variabel/variabel cost. Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap

    jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau

    sedikit. Besarnya biaya tetap tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang

    diperoleh dan sifat penggunaannya tidak habis dipakai dalam satu kali proses

    produksi. Contoh biaya tetap adalah pajak, tanah, dan bunga pinjaman dan lain-

    lain. Biaya tidak tetap adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi

    yang diperoleh dan sifat penggunaannya habis terpakai dalam satu kali proses

    produksi. Contoh biaya tidak tetap adalah biaya untuk sarana produksi dan tenaga

    kerja luar keluarga.

    Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya.

    Pendapatan yang diukur adalah pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas

    biaya total.

    1. Pendapatan Atas Biaya Tunai

    Pendapatan atas biaya tunai diperoleh dari penerimaan total yang dikurangi

    dengan biaya tunai yang benar-benar dikeluarkan baik biaya variabel maupun

    biaya tetap dan merupakan ukuran kemampuan usaha untuk menghasilkan

    uang tunai. Rumus pendapatan atas biaya tunai adalah :

    tunai = TR TC tunai

    tunai = (Y x PY ) (TFC1 + TVC1)

  • 33

    33

    2. Pendapatan Atas Biaya Total

    Pendapatan atas biaya total adalah pendapatan yang diperoleh dari total

    penerimaan dikurangi dengan biaya tunai termasuk biaya-biaya yang

    diperhitungkan. Rumus pendapatan atas biaya total adalah :

    total = TR TC

    total = (Y x PY) ((TFC1 + TVC1) + (TFC2 + TVC2))

    Dimana :

    tunai : Pendapatan Usahatani tunai.

    total : Pendapatan Usahatani total.

    TR : Total Penerimaan.

    TC : Total Pengeluaran.

    TFC1 : Total Biaya Tetap yang Dibayar Tunai.

    TVC1 : Total Biaya Variabel yang Dibayar Tunai.

    TFC2 : Total Biaya Tetap yang Diperhitungkan.

    TVC2 : Total Biaya Variabel yang Diperhitungkan.

    4.3.2. Rasio Penerimaan dan Biaya (Return Cost Ratio)

    Analisis return cost ratio atau R/C adalah perbandingan (nisbah) antara

    penerimaan dan biaya. Return cost ratio digunakan untuk mengukur efisiensi

    usahatani terhadap setiap penggunaan satu unit input. Analisis imbangan

    penerimaan dan biaya digunakan untuk mengetahui relatif usahatani berdasarkan

    perhitungan finansial.

    TCtunaitunaiC

    R TR=

    TCTRTotalC

    R =

  • 34

    34

    Dimana :

    TR : Total Penerimaan.

    TC : Total Pengeluaran.

    TC tunai : Total Pengeluaran tunai.

    Kriteria :

    R/C > 1, usaha menguntungkan.

    R/C = 1, usaha tidak untung dan tidak rugi.

    R/C < 1, usaha tidak menguntungkan atau rugi.

    Apabila R/C > 1 berarti penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada

    tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk menerima penerimaan tersebut. Apabila

    R/C < 1 maka tiap unit biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada

    penerimaan yang diperoleh.

    Menurut Soeharjo dan Patong (1973), perhitungan pendapatan usaha

    adalah seperti dalam Tabel 5.

    Tabel 5. Perhitungan Pendapatan Usaha Arus Penerimaan Produksi Kotor = A kg Harga Satuan Produksi = Rp B Total Penerimaan (Ax B) = Rp C Arus Pengeluaran Biaya Tunai : - Biaya bahan baku = Rp D - Biaya upah = Rp E - Pajak usaha = Rp F - Biaya lain-lain = Rp G Total biaya tunai (D+ E + F + G) = Rp H Biaya diperhitungkan : - Biaya penyusutan = Rp I - Tenaga kerja keluarga = Rp J - Bunga modal = Rp K Total biaya diperhitungkan (I + J + K) = Rp L Total seluruh pengeluaran (H + L) = Rp M Analisis pendapatan/keuntungan (C M) = Rp N Analisis imbangan penerimaan atas biaya tunai (C/H) = Rp Q Analisis imbangan penerimaan atas biaya total (C/M) = Rp T

  • 35

    35

    4.3.3. Penyerapan Tenaga Kerja

    Penyerapan tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja dalam dan luar

    keluarga yang digunakan secara produktif dalam usaha perkebunan. Penggunaan

    tenaga kerja dihitung dalam satuan hari kerja pria (HKP), dimana HKP adalah

    sekitar tujuh jam kerja dengan tingkat konversi :

    1. Satu hari kerja wanita (HKW) = 0,8 HKP

    2. Satu hari kerja anak (HKA) = 0,5 HKP

    Untuk mengetahui persentase tenaga kerja yang terserap pada usaha

    perkebunan terhadap jumlah tenaga kerja yang tersedia dalam keluarga, perlu

    diketahui potensi kerja. Potensi kerja dihitung dengan menghitung jumlah tenaga

    kerja yang tersedia dalam rumah tangga dikonversikan dalam hari kerja pria

    (HKP) dan dikalikan 300 atau jumlah hari kerja dalam setahun. Dengan demikian

    akan diperoleh angka ketersediaan tenaga kerja pertahun dalam rumah tangga.

    Curahan jam kerja untuk kegiatan perkebunan dihitung berdasarkan alokasi jam

    kerja anggota keluarga dalam sehari untuk kegiatan perkebunan.

    4.3.4. Peran Tenaga Kerja Kebun Plasma terhadap Produksi Kebun Plasma

    Analisis regresi berkenaan dengan studi ketergantungan satu variabel tak

    bebas pada satu atau lebih variabel tak bebasnya, dengan maksud menaksir atau

    meramalkan nilai rata-rata hitung (mean) atau rata-rata (populasi) variabel tak

    bebas. Diantara model-model regresi, model regresi linear merupakan model yang

    paling sederhana dan paling sering digunakan. Model regresi linear diduga dengan

    menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (method of ordinary least sguare).

    Metode ini dilakukan dengan meminimumkan jumlah kuadrat simpangan nilai yi

  • 36

    36

    terhadap E(yi) atau disebut dengan galat atau error. Metode kuadrat terkecil biasa

    dikemukakan oleh Carl F Gauss (Gujarati, 1978). Asumsi-asumsi yang harus

    dipenuhi dalam metode kuadrat terkecil adalah :

    1. Kehomogenan ragam sisaan

    2. Kenormalan galat

    3. Hasil plot sisaan yang saling bebas

    Untuk mencapai tujuan keempat digunakan alat analisis kuantitatif linear

    dengan menggunakan rumus analisis regresi :

    Y = a + b1X1+ b2X2

    Dimana :

    Y : Produksi kebun plasma (ton)

    X1 : Modal usaha (Rp)

    X2 : Tenaga kerja di kebun plasma (HOK)

    a : Konstanta

    b1, b2 : Koefisien regresi

    Pengujian hipotesis :

    Uji R2

    Penjelasan persentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan

    oleh peubah bebas digunakan dengan pengujian R2. Uji ini digunakan untuk

    mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh

    variabel bebas terhadap variabel tak bebas.

  • 37

    37

    Uji F-Statistik

    Uji F digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh peubah bebas

    terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan.

    Hipotesis : H0 : 1 = 2 = 3 = 0

    H1 : Minimal terdapat satu i 0 ; dimana i = 1,2,3,n

    F Hitung =

    F tabel = F(k-1, n-k)

    Kriteria uji :

    F-Hitung > F(k-1, n-k), maka tolak H0

    F-Hitung < F(k-1, n-k), maka terima H0

    Dimana :

    R : Koefisien determinasi

    n : Banyaknya data

    k : Jumlah koefisien regresi dugaan

    Jika H0 ditolak berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh

    nyata terhadap total besarnya output, dan sebaliknya jika H0 diterima maka tidak

    ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap output.

    Uji t-Statistik

    Uji t digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh suatu peubah

    bebas secara individu atau masing-masing berpengaruh nyata atau tidak terhadap

    peubah tidak bebas.

    kn/)R(k/R

    2

    2

    11

  • 38

    38

    Hipotesis :

    H0 : bi = 0

    H1 : bi 0 ; dimana i = 1,2,3,k

    t-hitung =

    t-tabel = t / 2(n-k)

    Dimana :

    S(b) = simpangan baku koefisien dugaan

    Kriteria uji :

    t-hitung > t / 2(n-k), maka tolak H0

    t-hitung < t / 2(n-k), maka terima H0

    Jika H0 ditolak berarti variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel

    tidak bebas dalam model dan sebaliknya jika H0 diterima maka variabel bebas

    tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas.

    Uji Multikolinearitas

    Uji multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat

    apakah terdapat hubungan linear diantara beberapa atau semua variabel bebas dari

    model regresi. Gejala multikolinearitas dalam suatu model akan menimbulkan

    beberapa konsekuensi diantaranya adalah :

    1. Meskipun penaksiran OLS mungkin bisa diperoleh namun kesalahan

    standarnya mungkin akan cenderung semakin besar dengan meningkatnya

    tingkat korelasi antara peningkatan variabel.

    2. Standar error dari parameter diduga sangat besar sehingga selang

    keyakinan untuk parameter yang relevan cenderung lebih besar.

    ( )bSb

    i

  • 39

    39

    3. Jika multikolinearitasnya tinggi kemungkinan probabilitas untuk

    menerima hipotesis yang salah menjadi besar.

    4. Kesalahan standar akan semakin besar dan sensitif bila ada perubahan

    data.

    5. Tidak mungkinnya mengisolasi pengaruh individual dari variabel yang

    menjelaskan (Gujarati, 1978).

    Multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat korelasi antara peubah

    bebasnya (X). Multikolinearitas dapat dilihat dengan nilai VIF (Variance Inflation

    Factor). Nilai VIF yang lebih besar dari 10 merupakan indikasi adanya

    multikolinearitas.

  • BAB V

    GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

    5.1. PT Perkebunan Nusantara VI Persero (PTPN VI) Kebun Ophir

    5.1.1. Sejarah Ringkas

    Kebun Ophir di Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat sudah

    ada sejak masa penjajahan Belanda yang pada waktu itu disebut Onderneming

    Ophir. Pada tahun 1932 Onderneming Ophir dengan lahan seluas 4.600 Ha

    ditanami kelapa sawit dan kopi secara besar-besaran oleh perusahaan NV Kultuur

    Maatschapply Ophir yang berpusat di Amsterdam Belanda. Tahun 1942, Belanda

    menyerah kepada Jepang sehingga kebun Ophir dikuasai oleh Jepang sampai

    Indonesia merdeka tahun 1945. Masuknya Jepang ke Indonesia menyebabkan

    Onderneming Ophir terganggu keberlanjutannya, tanaman rusak berat, sebagian

    besar peralatan dan perlengkapan tidak dapat dipergunakan lagi.

    Tahun 1955 kebun Ophir dibeli oleh Departemen Hankam RI dari pihak

    konsesi Belanda. Rencana membuka kembali kebun Ophir gagal karena terjadi

    pemberontakan PRRI. Pemberontakan PRRI menyebabkan bekas puing-puing

    peninggalan Belanda yang masih ada menjadi hancur sehingga segala peralatan

    kebun Ophir tidak dapat dipergunakan lagi. Setelah pemberontakan usai banyak

    pihak perusahaan swasta yang berusaha mengelola kebun Ophir, tetapi belum

    berhasil karena memerlukan modal dan tenaga ahli yang cukup besar. Keadaan ini

    berlangsung hingga tahun 1970-an, ketika pemerintah Indonesia mulai

    memikirkan strategi pengembangan perkebunan kelapa sawit dari daerah yang

    potensial.

  • 41

    41

    Tahun 1980 pemerintah Indonesia berhasil membentuk pola PIR

    (Perusahaan Inti Rakyat) dengan nama Nucleus Estate Small Holder Participation

    (NESP) Ophir. NESP Ophir merupakan salah satu proyek perkebunan yang

    dikembangkan pemerintah melalui pola kerja sama antara rakyat (plasma) dan

    perusahaan perkebunan besar (inti). Proyek NESP Ophir dibentuk dan

    dikembangkan atas prakarsa Panglima Kodam III 17 Agustus Sumatera Barat

    setelah melihat keberhasilan proyek Kodam II Bukit Barisan di Sei Baleh

    Sumatera Utara yang dikelola oleh PT Perkebunan VI (Persero). Proyek ini

    didukung oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat dan mendapat

    persetujuan dari Menteri Pertanian RI melalui surat SPBN No.

    156/A/GUB/C/1979 dengan menugaskan PTP VI Persero sebagai pelaksana

    proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit.

    Penugasan kepada PTP VI berkaitan dengan kemampuan teknis kelapa

    sawit, manajemen yang dimiliki serta berdasarkan kepada Tri Dharma

    Perkebunan, yaitu : (1) Meningkatkan devisa negara, (2) Menciptakan lapangan

    kerja, dan (3) Melestarikan sumberdaya alam. Proyek NESP Ophir merupakan

    hasil kerja sama pemerintah Indonesia dengan Republik Federal Jerman. Republik

    Federal Jerman memberikan bantuan dalam bidang keuangan dan teknis

    sedangkan PTP VI sebagai pengembang perkebunan dengan pola PIR Perkebunan

    (PIR-Bun).

    Perusahaan PTP VI diubah menjadi PTPN VI Persero oleh pemerintah

    tanggal 14 Februari 1996 berdasarkan PP No. 11 Tahun 1996. PTPN VI

    merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk perusahaan

    Perseroan dengan wilayah kerja propinsi Sumatera Barat dan propinsi Jambi.

  • 42

    42

    Kebun Ophir merupakan salah satu dari enam belas unit usaha yang ada dibawah

    pengelolaan manajemen PTP Nusantara (Persero).

    PTPN VI telah berhasil membangun kebun kelapa sawit seluas 8.056

    hektar yang terdiri atas kebun inti seluas 3.256 hektar dan kebun plasma seluas

    4.800 hektar. Kebun inti terdiri dari 4 afdeling dan kebun plasma terdiri dari 5

    plasma Penanaman dilakukan secara bertahap sejak tahun 1982 sampai dengan

    tahun 1994. PTPN VI terletak di Kecamatan Luhak Nan Duo dan Kinali,

    Kabupaten Pasaman Barat yang berjarak 186 Km dari Ibukota Propinsi.

    Tabel 6. Luas Lahan dan Tahun Tanam Kebun Inti dan Kebun Plasma PTPN VI

    Kebun inti Kebun plasma

    Afdeling Tahun tanam Luas lahan (Ha) Plasma Tahun tanam Luas lahan

    (Ha)

    Inti I

    1982 1985 1989 1993 1994

    791 11 50 5 5

    Plasma I 1981/1982 1100

    Inti II 1982 1985 1986

    426 352

    50 Plasma II 1982/1983 750

    Inti III 1985 1986 1993

    758 14 45

    Plasma III 1983/1984 1000

    Inti IV 1985 1986 1993

    291 420 38

    Plasma IV 1985/1986 1330

    Total 3256

    Plasma V 1984/1985 620 Total 4800

    Sumber : Profil PTPN VI, 2005

    5.1.2. Pola PIR-Bun /NESP Ophir

    Pola kemitraan yang dilaksanakan oleh PTPN VI adalah pola PIR-Bun

    yang dikenal dengan proyek NESP. Proyek Nucleus Estate Small Holder

    Participation (NESP) Ophir mulai dibangun pada 3 Maret 1981 dengan bantuan

  • 43

    43

    kredit dari pemerintah Jerman Barat sebesar DM 65 juta. Bantuan kredit ini sesuai

    dengan perjanjian pinjaman (loan agreement) No. 80.60.383 tanggal 31 Agustus

    1982 antara pemerintah RI dengan kementrian kerja sama bantuan luar negeri

    Jerman (BMZ/Bundesministrium fur Mirtschaftliche Zusammenarbeit).

    Proyek NESP bertujuan menciptakan petani mandiri dengan pembentukan

    organisasi yang dapat menyalurkan aspirasi secara sehat sesuai dengan