ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE … · Cibungbulang Kab. Bogor) KUSAERI AULANI ....
Transcript of ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE … · Cibungbulang Kab. Bogor) KUSAERI AULANI ....
i
ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE
PADA INDUSTRI POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI
(Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor)
KUSAERI AULANI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Pendapatan dan
Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus
Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor) adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh
gelar akademik tertentu. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2014
Kusaeri Aulani
H44080020
iv
ABSTRAK
KUSAERI AULANI. Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada
Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA
PUTRI.
Tempe merupakan makanan olahan yang terbuat dari bahan utama kedelai
yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat di Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I
Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Hasil uji stasistik menunjukan
bahwa produksi tempe pola kemitraan dipengaruhi oleh kedelai, ragi, dan air,
sedangkan produksi tempe pengusaha pola mandiri dipengaruhi oleh kedelai saja.
Pendapatan pengusaha pola mandiri lebih besar daripada pendapatan pengusaha
pola kemitraan karena teknik produksi yang digunakan oleh pangusaha pola
mandiri menggunakan teknik yang anjurankan oleh KOPTI Kabupaten Bogor
sedangkan pengusaha pola kemitraan menggunakan cara tradisional dan tidak
menggunakan cara yang dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor.
Kata kunci: Tempe, Kemitraan, KOPTI, Pendapatan, Model Cobb-Douglas
ABSTRACT
KUSAERI AULANI. The Income Analysis And Production Function Of Tempe
Partnership And Autonomy Pattern (Case in Cimanggu I Village, Cibungbulang
District of Bogor Regency). Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI.
Tempe is a processed food from soybeans. It is needed by the Indonesian
people, especially in the Cibungbulang District, Bogor Regency. The purpose of
this study was to analyze the income from tempe industry which applying
partnership and independent system in Cimanggu I Village, Cibungbulang
District of Bogor Regency. The results showed that the tempe production which
using partnership system was affected by soy, yeast, and water, whereas the
production which using independent system was influenced by soy alone. The
entrepreneurs which applying independent system gained more income than the
partnerships system because they used production techniques recommended by
Bogor Regency’s Indonesia Tofu and Soybean Cake Entrepreneurs Union
(KOPTI). The partnership system entrepreneurs, on the contrary, was applying
the traditional method rather than the recommended one by KOPTI Bogor
Regency.
Keywords: tempe, partnership, KOPTI, revenue , Cobb - Douglas models
v
ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE
PADA INDUSTRI POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI
(Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor)
KUSAERI AULANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
vii
Judul Skripsi : Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec.
Cibungbulang Kabupaten Bogor)
Nama : Kusaeri Aulani
NIM : H44080020
Disetujui oleh
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S
Dosen Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Tanggal :
- -,..",==--
Judul Skripsi Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor)
Nama Kusaeri Aulani
NIM H44080020
Disetujui oleh
a Intan Kumala Putri M.S
Tanggal 3 MAR 2014
ix
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya yang memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini yaitu
“Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan
dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten
Bogor)”.
Skripsi ini membahas analisis produksi dan pendapatan usahatani dengan
membandingkan produksi dan pendapatan pangusaha tempe pola kemitraan dan
pola msndiri. Skripsi ini juga menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh
tergadap produksi pada usahatani tempe pola kemitraan dan pola mandiri.
Bersama ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama
kepada Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S selaku Dosen Pembimbing skripsi
yang telah mengarahkan dan memberikan banyak ilmu kepada penulis. Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto,
SP, M.Si dan Ibu Hastuti, S.P, M.P, M.Si selaku penguji siding. Terima kasih saya
ucapkan kepada Yogi Chandra yang telah banyak membantu penlulis dalam
mengolah data, juga kepada keluarga tercinta Ibunda Solihat dan Ayahanda Acep
Al-mutahar, Ibunda Pipih Sopiah, Ayahanda Tatan Gunawan, Ibunda Heny,
Bapak Brata, serta keempat adik saya yaitu Amir, Hany, Aziz, dan Dzikry yang
selalu memberikan do’a dan semangat. Terima kasih kepada teman-teman ESL 45
yang selalu membantu dan memberikan semangat, teman-teman tercinta Yogi,
Ade, Sandy, Rizky, Hady, Fajar Jajuli, Inggit Rahayu, As’ad, Mahmudin, dan
semia ESL 45 dan juga Afni Kusuma Wardhani yang selalu membantu dan
memberikan semangat kepada penulis. Terima kasih pula kepada pengusaha
tempe pola kemitraan dan pola mandiri yang ada di Desa Cimanggu I yang
bersedia memberikan data kepada penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya
pembuat kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan pengusaha tempe.
Bogor, Maret 2014
Kusaeri Aulani
x
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 5
Tujauan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8
Ruang Lingkup Penelitian 9
Batasan Penelitian 9
TINJAUAN PUSTAKA 11
Pengertian dan Ketentuan Umum Koperasi 11
Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia 12
Karakteristik Tempe 13
Jumlah Industri 14
Jumlah Industri Kecil di Indonesia 14
Jumlah dan Sebaran Industri Tempe di Kabupaten Bogor 15
Pendapatan 16
Analisis Pendapatan (Penerimaan-Biaya) 16
Pendapatan Usaha 17
Struktur Biaya 17
Tinjauan Penelitian Terdahulu 18
KERANGKA PEMIKIRAN 21
Kerangka Pemikira Operasional 21
METODE PENELITIAN 23
Lokasi dan Waktu Penelitian 23
Metode Penelitian 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Pengambilan dan Jumlah Responden / Sampel 24
Metode Pengolahan dan Analisis Data 24
xi
Analisis Struktur Biaya 24
Fungsi Produksi 25
Konsep Produktivitas 26
Fungsi Cobb-Douglas 26
Pengujian Parameter 27
Uji Koefisien Determinasi 28
Uji Statistik F 28
Uji Statistik t 29
Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity) 29
Uji Heteroskedastisitas 30
Analisis Pendapatan 30
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 32
Profil Desa Cimanggu I 32
HASIL DAN PEMBAHASAN 35
Identifikasi Karakteristik Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan
Pola Mandiri 35
Karakteristik Sosial Ekonomi Pengusaha Tempe
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 35
Usia 35
Tingkat Pendidikan 36
Pengalaman Usaha Tempe 37
Karakteristik Ekonomi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan
Pola Mandiri 38
Karakteristik Produksi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan
Pola Mandiri 40
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tempe
Pola Mandiri dan Pola Kemitraan 43
Karakteristik Input Produksi 43
Kedelai 44
Ragi 45
Air 45
Tenaga Kerja (HOK) 47
xii
Hasil Uji Statistik Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 48
Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Tempe Pola Mandiri dan
Pola Kemitraan 57
Output 57
Penerimaan 59
Biaya 60
Pendapatan 61
SIMPULAN DAN SARAN 64
DAFTAR PUSTAKA 66
LAMPIRAN 68
xiii
DAFTAR TABEL
1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di indonesia
tahun 1970-2009 1
2 Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di indonesia
tahun 2008-2009 4
3 Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 – 2004 14
4 Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor 15
5 Tinjauan penelitian penelitian terdahulu 19
6 Matriks metode analisis data 24
7 Sebaran jumlah penduduk desa cimanggu I berdasarkan
mata pencaharian 33
8 Sebaran jumlah penduduk desa cimanggu I berdasarkan
tingkat pendidikan 34
9 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan
sebaran usia 36
10 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan
tingkat pendidikan 37
11 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan mandiri berdasarkan
pengalaman usaha 38
12 Karakteristik Ekonomi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri 39
13 Karakteristik Produksi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri 41
14 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha tempe
pola kemitraan dan pola mandiri 44
15 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha tempe
pola kemitraan dan pola mandiri 45
16 Perbandingan penggunaan air pengusaha tempe
pola kemitraan dan pola mandiri 46
17 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe
pola kemitraan dan pola mandiri 47
18 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe
pola kemitraan 49
19 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe
xiv
pola mandiri 53
20 Jumlah produksi dan produktivitas tempe
pola kemitraan dan pola mandiri 58
21 Penerimaan Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 59
22 Biaya Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 60
23 Perbandingan Pendapatan Usaha Tempe
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 62
DAFTAR GAMBAR
1 Alur Kerangka Pemikiran Operasional 22
2 Tahapan Proses Produksi Tempe di Desa Cimanggu I 43
2 Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Tempe Pola Kemitraan 53
3 Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Tempe Pola Mandiri 57
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jumlah Produksi dan Produktivitas Tempe Pengusaha
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 69
2 Perbandingan Penggunaan Kedelai Pengusaha
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 71
3 Perbandingan Penggunaan Ragi Pengusaha
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 72
4 Perbandingan Penggunaan Air Pengusaha Pola Kemitraan
dan Pola Mandiri 73
5 Perbandingan Penggunaan Tenaga Kerja Pengusaha
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 74
6 Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Tempe
Pola Kemitraan 75
7 Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Tempe Pola Mandiri 76
8 Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Tempe
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 77
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tempe merupakan makanan olahan yang terbuat dari bahan utama kedelai
yang setiap harinya dibutuhkan oleh masyarakat, baik masyarakat kalangan
bawah, menengah, maupun masyarakat kalangan atas, dengan demikian
permintaan terhadap tempe semakin naik dalam setiap tahunnya seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk. Naiknya permintaan terhadap tempe
berimplikasi pada peningkatan permintaan kedelai yang merupakan bahan baku
pembuatan tempe yang hingga saat ini belum mendapatkan substitusinya sebagai
bahan utama dalam memproduksi tempe.
Kebutuhan kedelai nasional pada tahun 2009 sebesar 1.97 juta ton
sedangkan pada tahun tersebut produksi kedelai dalam negeri hanya sebesar 0.92
juta ton meskipun produksi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya
sebesar 0.14 juta ton dan kekuranganya sebesar 1.05 juta ton dipenuhi dari impor.
Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional dapat dilihat pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di indonesia tahun 1970-
2009
Produksi (tahun) Produksi Nasional Konsumsi Nasional
Juta (ton)
1970 0.5 0.49
1980 0.65 0.75
1990 1.49 1.54
1992 1.87 2.56
1994 1.56 2.36
1996 1.52 2.26
1998 1.31 1.65
2000 1.02 2.29
2002 0.67 2.04
2004 0.72 1.84
2006 0.81 1.84
2007 0.59 2
2008 0.78 1.95
2009 0.92 1.97
Sumber : Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2009
Berdasarkan data pada Tabel 1 tersebut tingkat konsumsi kedelai nasional
rata-rata 1.8 juta ton per tahun. Pertumbuhan produksi kedelai jauh lebih rendah
daripada konsumsi. Implikasinya adalah tanpa terobosan yang berarti, Indonesia
2
akan mengalami defisit yang makin besar (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2005). Penurunan produksi kedelai di dalam negeri mengakibatkan
industri yang menggunakan bahan baku kedelai harus membeli dari luar negeri.
Salah satu agroindustri yang cukup potensial adalah industri tempe.
Umumnya tempe digunakan sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan tambahan
atau jajanan. Potensi tempe dalam meningkatkan kesehatan dan harganya relatif
murah memberikan alternatif pilihan dalam pengadaan makanan bergizi yang
dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat (Sutrisno 2006). Industri tempe
merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik
yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan
perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya.
Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe
setelah tahun 1998 diperkirakan mencapai 4 persen per tahun (Solahudin, 1998).
Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha
pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan.
Menurut Ambarwati (1994), industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk
industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan
permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan
kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan.
Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan dan
biaya yang dikeluarkan. Penjualan yang dilakukan pengrajin tempe belum mampu
mendatangkan keuntungan yang optimal karena harganya yang murah, dan disisi
lain biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku semakin besar dengan adanya krisis
ekonomi yang sering terjadi di Indonesoa. Keberadaan ini sangat mempengaruhi
efisiensi usaha pengrajin tempe, sehingga banyak pengrajin tempe yang tidak
mampu berproduksi lagi (Sari, 2002).
Makanan tempe semakin populer dan meluas di masyarakat, karena
masyarakat semakin mengetahui bahwa tempe adalah pangan bergizi yang
diproduksi secara higienis. Kesan-kesan bahwa tempe merupakan barang inferior
seperti yang terjadi dimasa lalu akhir-akhir ini telah hilang. Mengingat hal
tersebut perkembangan permintaan akan tempe akan semakin meningkat
(Suryana, 2001).
3
Pemenuhan kebutuhan akan makanan dan gizi tidak terlepas dari peranan
usaha pengolahan pangan. Usaha kecil tempe merupakan salah satu bentuk usaha
yang bergerak dibidang pengolahan pangan yang ada di Indonesia. Peranan usaha
kecil tempe dalam mengolah hasil pertanian dapat berupa produk jadi yang dijual
langsung kepada konsumen akhir maupun produk setengah jadi. Selain itu usaha
kecil tempe juga memiliki peranan yang paling dominan, yaitu sebagai alternatif
lapangan pekerjaan serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga (Amalia,
2008).
Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam
perekonomian di Indonesia, karena sektor ini mampu menjadi salah satu
penyumbang devisa negara yang cukup besar nilainya. Sejak tahun 1991 sektor
perindustrian telah mampu melewati sektor pertanian dalam menyumbang
pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia (Sarah, 2001). Tempe
termasuk kedalam kategori industri pengolahan yang ada di Indonesia, dimana
industri pengolahan di Indonesia mempunyai prioritas dalam hal memajukan
pembangunan di Indonesia. Hal ini terlihat dari industri pengolahan berkontribusi
terhadap PDB nasional sebesar 23% sepanjang 2012 dimana industri tempe
mempunyai kontribusi sebesar 12% pada industri pengolahan. 1
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dimana memiliki
karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah
penduduk ini berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan
pangan, dan salah satu kebutuhan yang terus meningkat permintaannya adalah
tempe. Tempe tidak lagi dipandang sebagai bahan pokok sampingan atau
alternative, akan tetapi tempe masuk pula kedalam pilihan utama makanan pokok
sebagian banyak masyarakat di Indonesia dari golongan bawah, menegah dan
atas. Disamping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang
berdampak pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah
protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein.
Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat memberikan efek
terhadap tingginya persaingan dalam hal lapangan pekerjaan. Usaha kecil seperti
1 Data Produk Domestik Bruto Indonesia, www.deptan.go.id [Diakses tanggal 6 Desember 2012]
4
tempe memiliki peranan yang penting, yaitu sebagai alternatif lapangan pekerjaan
serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga. Kendala pengembangan
industri kecil dapat disebabkan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah
(mental dan budaya kerja), tingkat pendidikan, sumberdaya manusia, terbatasnya
keterampilan, keahlian, keterbatasan modal, informasi pasar, volume produksi
yang terbatas, mutu yang beragam, penampilan yang sederhana, infrastruktur,
peralatan yang usang, beberapa kebijakan dan tingkah laku dari pelaku bisnis
yang bersangkutan (Hubies,1997).
Koperasi mempunyai pernan penting dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat serta penyerapan tenaga kerja. Perkembangan pelaksanaan pembinaan
kelembagaan dan usaha koperasi menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Jumlah koperasi yang tumbuh di kalangan masyarakat serta jumlah anggota
koperasi dan partisipasi mereka dalam koperasi semakin meningkat, hal tersebut
juga diikuti dengan semakin beragamnya bidang usaha koperasi dan semakin
dirasakannya manfaatnya bagi anggota (Lembaga Ketahanan Nasional, 1995).
Perkembangan koperasi yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di Indonesia tahu 2008-
2009
No. Provinsi
Tahun 2008 (unit) Tahun 2009 (unit)
Aktif Tidak aktif
Jumlah Aktif Tidak aktif
Jumlah
1 DKI Jakarta 4 647 2 556 7 017 4 790 2 536 7 326
2 Jawa Barat 14 659 6 613 21 272 14 771 7 893 22 664
3 Jawa Tengah 12 426 5 191 17 617 19 850 5 227 25 077
4 DI Yogyakarta 1 518 677 2 195 1 806 495 2 301
5 Jawa Timur 14 669 3 987 18 656 15 674 3 722 19 396
Sumber : Departemen Koperasi 2010
Dalam pelaksanaanya industri pengolahan tempe di Indonesia terbagi
menjadi dua pola pelaksanaan, yaitu pola industri mandiri dan pola kemitraan
yang tergabung dalam KOPTI (Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia).
KOPTI adalah sebuah perkumpulan koperasi yang merupakan wadah satu-satunya
untuk menghimpun dan menggerakan daya kreasi dan potensi serta membina
produsen pengolah bahan makanan dari kedelai yang terdiri dari pengrajin tempe,
5
tahu dan makanan sejenisnya yang berada di wilayah Jakarta Pusat yang terdiri
dari 699 anggota. KOPTI hanya mempunyai susunan organisasi tingkat primer
yang dikembangkan dari ide dan kebulatan tekad produsen / pengrajin tempe tahu
pada tanggal 11 Maret 1979 yang juga ditetapkan sebagai hari lahir KOPTI2.
Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu tempat industri tempe
yang ada di Bogor, dimana para pelaku industri tempe terbagi menjadi dua, yaitu
industri pola kemitraan dan pola mandiri. Perbedaan kenggotaan tersebut
menimbulkan adanya perbedaan pula dalam pendapatan yang diperoleh maupun
struktur biaya pada masing-masing industri pengolahan tempe tersebut, sehingga
diperlukan adanya penelitian mengenai adanya perbedaan pendapatan dan struktur
biaya dari dua pola industri tempe tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mengurangi kendala yang ada di lingkungan pelaku usaha tempe
maka KOPTI merupakan harapan besar masyarakat untuk dapat mengatasi
kendala-kendala yang selama ini dihadapi oleh masyarakat seluruh Indonesia yang
bermata pencaharian dalam usaha tempe. KOPTI tersebut keberadaanya merata di
berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor. KOPTI ini berdiri karena adanya kesamaan cita-cita dan
kepentingan produsen tahu dan tempe untuk meningkatkan kesejahteraan
hidupnya karena selama ini para produsen tempe belumlah memperleh
kesejahteraan layaknya yang diharapkan. Keberadaan KOPTI mempermudah
usaha kecil tempe untuk bekerjasama dalam penyediaan faktor produksi, modal,
keahlian dalam menejerial bahan baku dan sumberdaya manusia, serta teknologi
pengolahan yang lebih baik sehingga usaha kecil tempe yang tergabung dalam
anggota KOPTI dapat meningkatkan hasil produksi dan pendapatannya.
Berdasarkan keterangan dari KOPTI, di Cibungbulang terdapat industri
tempe yang tergabung dalam anggota KOPTI dan tidak tergabung dalam anggota
KOPTI. Industri yang tergabung dalam anggota KOPTI mendapatkan bantuan
berupa penyediaan input, modal, peralatan, sedangkan industri tempe yang tidak
tergabung dalam anggota KOPTI atau pola mandiri umumnya penyediaan input,
2 http://lailyardiyani.blogspot.com/2011/11/KOPTI-primer-koperasi-produsen.html
6
modal serta peralatan yang digunakan merupakan kepemilikan pribadi. Hal ini
menyebabkan tingkat penggunaan faktor produksi yang digunakan pengusaha
tempe di Cibungbulang berbeda-beda dan menghasilkan produksi serta
pendapatan yang berbeda pula, maka sangat perlu menganalisis karakteristik
pengusaha, faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe,
pendapatan, dan struktur biaya dari masing-masing usaha tersebut, yaitu usaha
yang termasuk dalam anggota kemitraan dan pola mandiri, sehingga diharapkan
usaha tempe di lokasi tersebut dapat dikembangkan dan memberikan
kesejahteraan bagi para pelaku usaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri.
Sebelum monopoli BULOG (Badan Urusan logisti) atas kedelai impor
dicabut para pengrajin tempe mendapatkan kedelai dari KOPTI. Setiap anggota
KOPTI berhak memperoleh jatah yang telah ditetapkan. Untuk mempermudah
pengambilan jatah, setiap wilayah memiliki seorang kepala wilayah pelayanan
yang akan mendistribusikan kedelai dari KOPTI. Akan tetapi setelah monopoli
KOPTI dicabut, para pengrajin tempe membeli kedelai dari luar KOPTI yaitu di
toko-toko Cina. Dari semua anggota KOPTI, 70% pengrajin tempe membeli
kedelai dari pedagang Cina dan 30% pengrajin tempe memperoleh kedelai dari
KOPTI. Pada akhir tahun 2005 KOPTI melakukan pendataan pemakaian bahan
baku ke wilayah-wilayah pelayanan yang ada di Indionesia. Dari hasil pendataan
diperoleh skala kebutuhan kedelai di Kabupaten Bogor antara 50-800 kg/hari
dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam sebulan kedelai yang dipakai untuk
produksi tempe sekitar 875 ton. Sedangkan di Kotamadaya Bogor skala
kebutuhan bahan baku antara 10-150 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75
kg/hari. Dalam sebulan kebutuhan bahan baku kedelai di Kotamadya Bogor
sebesar 300 ton. Hampir sama dengan di Kabupaten Bogor sumber perolehan
bahan baku kedelai berasal dari pedagang Cina, dan hanya 10% pengrajin tempe
yang mengambil bahan baku kedelai dari KOPTI ( Sutrisno, 2006 ).
Permasalahan yang timbul dalam pengembangan industri kecil dan rumah
tangga (khususnya agroindustri) adalah pengadaan bahan baku, modal,
manajemen dan pemasaran. Menurut Apretty (2000), permasalahan dalam
pengadaan bahan baku disebabkan karena berbagai hal, antara lain sifat produk
pertanian yang musiman, tingkat keragaman yang tinggi, jumlah produksi yang
7
melimpah pada suatu waktu, mudah rusak dan tidak tahan lama. Permasalahan
lain yang sering dihadapi oleh usaha kecil dan rumah tangga adalah rendahnya
kemampuan dalam mengakses kepada sumbersumber permodalan, baik yang
berbentuk lembaga keuangan bank maupun bukan bank. Ketidakseimbangan
akses bagi usaha kecil dan rumah tangga dalam mendapatkan sumber-sumber
permodalan untuk mengembangkan usahanya menyebabkan produk usaha kecil
dan rumah tangga kurang mampu bersaing di pasar. Sistem perbankan dengan
persyaratanpersyaratan teknis yang diberlakukan bagi calon peminjam tidak
berkesesuaian dengan kondisi sebagian besar usaha kecil dan rumah tangga yang
ada saat ini.
Pemasaran pada industri kecil umumnya kurang atau tidak mengetahui
jenis produk yang sedang gencar di pasaran saat ini. Terkadang pengusaha tidak
menghasilkan produk dengan mutu dan standar yang sesuai dengan tuntutan pasar
dan selera konsumen dan juga kurang mampu untuk memproduksi dalam jumlah
yang besar dalam waktu yang cepat sehingga permintaan pasar tidak dapat
dipenuhi. Selain itu strategi pemasaran yang dijalankan relatif sangat sederhana
serta wilayah pemasaran yang terbatas pada daerah yang dekat dengan lokasi
usaha (Apretty, 2000).
Masalah manajemen usaha bagi industri kecil merupakan unsur penting
bagi pengembangan usaha. Menurut Sarah (2001), pengelolaan industri kecil
umumnya masih bersifat tradisional dan belum berorentasi pada manajemen usaha
yang profesional. Pola manajemen tradisional biasanya ditandai dengan masih
sulitnya memisahkan antara aktivitas keluarga dengan aktivitas perusahaan. Selain
itu manajemen usaha pada industri kecil umumnya juga belum bisa
mengembangkan manajemen keuangan dan personalia dengan baik.
Dari penjabaran diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di
Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor?
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola
kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor?
8
3. Bagaimana perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola
kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan
industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Tujuan spesifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola
mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola
kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor.
3. Menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola
kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan manfaat bagi :
1. Bagi peneliti, penelitian ini diharrapkan bermanfaat secara akademis maupun
praktis, serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai industripengolahan
tempe yang ada di Indonesia.
2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapakn menjadi salah satu sumber rujukan
pustaka dalam membuat penulisan-penulisan ilmiah.
3. Pemerintah daerah Cibungbulang khususnya, dan pemerintah daerah Kab.
Bogor umumnya agar dapat membuat rekomendasi mengenai pola usaha
tempe yang paling efisien dan memberikan pendapatan yang optimal.
9
4. Pelaku usaha, dimana pelaku usaha tempe dapat mengetahui langkah mana
yang haris diambil agar usaha yang di jalankan dapat memberikan pendapatan
yang optimal dan berlanjut keberadaanya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini memiliki batasan-batasan sebagai berikut,
yaitu:
1. Wilayah penelitian adalah, Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor.
2. Objek penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
3. Responden penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yang merupakan pengusaha dalam industri
tempe pada pola kemitraan Prikompti dan pola mandiri.
1. 6 Batasan Penelitian
1. Pengusaha yang menjadi sample yaitu pengusaha tempe pola kemitraan dan
pola mandiri Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor
2. Penerapan teknik budidaya petani dalam satu kelompok usahatani relatif sama.
3. Satuan input produksi yang digunakan yaitu kedelai (kg), ragi (kg), plastik
(pack), tenaga kerja (HOK), dan air (liter).
4. Ukuran tenaga kerja dinyatakan dalam Hari Orang Kerja (HOK), upah harian
antara laki-laki dan wanita besaranya sama.
5. Pengusaha pola kemitraan menggunakan kedelai yang disediakan di koperasi,
sedangkan pengusaha pola mandiri menggunakan bahan baku kedelai yang
ada di pasaran atau non koperasi
6. Harga satuan air untuk pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri yaitu
menggunakan harga air PDAM Tirta Kahuripan sebesar Rp 2.200/0-10m3.
7. Analisis fungsi produksi yang digunakan yaitu analisis fungsi produksi Cobb-
Douglas dengan faktor produksi kedelai, ragi, air, tenaga kerja.
8. Jumlah penggunaan input dan pengeluaran tunai usahatani dihitung per tahun.
10
9. Analisis pendapatan pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri (biaya,
penerimaan, dan pendapatan usahatani) dihitung per tahun.
11
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Ketentuan Umum Koperasi
Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian
bab I tentang ketentuan umum, Pasal 1 : Ayat (1) Koperasi adalah badan usaha
yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi yang kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar
atas azas kekeluargaan; ayat (2) Perkoperasian adalah segala sesuatu yang
menyangkut kehidupan koperasi; ayat (3) Koperasi Primer adalah koperasi yang
didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang; (5) Gerakan koperasi adalah
keseluruhan organisasi dan kegiatan perkoperasian yang bersifat terpadu menuju
tercapainya cita-cita bersama koperasi. Menurut International Cooperative
Alliance (ICA, 1995) dalam Nasution, 2002 : Koperasi adalah perkumpulan
orang-orang yang mandiri (autonomous) bersatu secara sukarela untuk memenuhi
kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan aspirasi melalui
badan usaha (enterpise) yang dimiliki bersama dan dikontrol secara demokratis.
Menurut Hatta (1995) dalam Nasution (2002) : Koperasi yang benar-benar
koperasi (the ideal type cooperative) adalah bentuk kerjasama dengan sukarela
antara mereka yang sama cita-citanya untuk membela keperluan dan kepentingan
bersama. Koperasi sebenarnya tidak dikemudikan oleh cita-cita keuntungan,
melainkan oleh cita-cita memenuhi keperluan bersama. Fungsi dan peran koperasi
menurut Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992 adalah :
1. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota
pada khususnya dan masyarakat umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan
ekonomi dan sosialnya;
2. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan
manusia dan masyarakat;
3. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan
perekonomian nasional dengan berkoperasi sebagai sokoguru;
4. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional
yang merupakan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan dan
demokrasi ekonomi.
12
Prinsip koperasi menurut Undang-Undang Perkoperasian nomor 25 tahun 1992
adalah :
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis;
3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara sebanding dengan besarnya jasa
usaha masing-masing anggota;
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
5. Kemandirian.
Selanjutnya, dalam ayat dua dikatakan bahwa dalam mengembangkan koperasi,
maka koperasi melaksanakan pula prinsip koperasi sebagai berikut :
1. Pendidikan perkoperasian;
2. Kerjasama antar koperasi.
2.2 Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia
Koperasi berasal dari bahasa Latin cooperere yang dalam bahasa Inggris
menjadi cooperation, berarti bekerja sama. Menurut UU No 25 Tahun 1992,
koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan
hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi berdasar atas azas kekeluargaan.
Koperasi berbeda dengan badan usaha lainnya, perbedaannya terletak pada
tujuan koperasi yang tidak hanya mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya,
tetapi juga mempertinggi kesejahteraan anggotanya. Keberhasilan koperasi dilihat
dari kemampuan koperasi untuk hidup terus dengan kekuatannya sendiri dan
memberikan pelayanan kepada anggotanya secara kontinyu. Faktor yang paling
menentukan keberhasilan koperasi adalah faktor manajemen. Hal ini sangat
penting dalam pengelolaan koperasi yang dapat menentukan kemajuan usaha
koperasi yang bersangkutan (Ruswan, 2013).
Anggota koperasi di Indonesia memiliki bermacam-macam jenis usaha,
diantaranya mempunyai usaha kecil seperti tahu dan tempe. Koperasi yang
menaungi pelaku usaha kecil tahu dan tempe adalah KOPTI. KOPTI berdiri sejak
Tahun 1979 di Jakarta yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan pengrajin tahu
dan tempe dalam memperoleh kedelai dan menghasilkan tahu tempe yang baik.
13
KOPTI diharapkan mampu menjadi pusat pelayanan bagi anggota khususnya
maupun masyarakat umum di wilayah kerja. KOPTI juga dimaksudkan untuk
meningkatkan mutu tahu dan tempe yang dibuat oleh pengrajin anggota KOPTI
tersebut, antara lain dibidang manajemen dan administrasi, bidang modal dalam
bentuk bantuan kredit kepada pada pengusaha. Keberadaan KOPTI di Desa
Cimanggu I memberikan kemudahan kepada pengusaha tempe pola kemitraan
yang karena ketersediaan kedelai yang lebih pasti ketimbang ketersediaan kedelai
bagi pengusaha pola mandiri yang disediakan oleh pasar.
2.3 Karakteristik Tempe
Tempe adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang
difermentasikan menggunakan kapang Rhizopus oligosporus, kegiatan fermentasi
melibatkan tiga faktor pendukung yaitu, bahan baku yang diolah (kedelai),
mikroorganisme (jamur tempe) dan lingkungan tumbuh. Proses pembuatan tempe
yang terdiri atas perendaman, pencucian, pembilasan dan fermentasi secara
akumultatif telah mampu menghancurkan zat gizi yang terdapat pada kedelai
mentah. Teknologi tradisional dan relatif sederhana ini telah mampu
menghancurkan zat anti gizi pada kedelai sekaligus menghasilkan zat gizi utama
yang mampu memperbaiki mutu gizi kedelai (Winarno, 1993).
Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat
Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa,
khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai
dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung
dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme,
dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping
biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus
oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan yang terakhir yaitu
keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan
nisbi 70-80 % (Sarwono, 1994).
Permintaan akan tempe ini dipastikan akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya populasi penduduk di Indonesia, sehingga akan berpengaruh pula
pada peingkatan produsen tempe yang ada di setiap daerah atau kota yang ada di
14
Indonesia guna memenuhi kebutuhan tempe yang ada di pasaran. Tingginya
permintaan terhadap tempe tersebut merupakan sebuah peluang bisnis bagi para
pelaku usaha tempe yang ada di Indonesia, sehingga akan memacu pada perilaku
usaha yang efisien dalam produksi dan optimal dalam pendapatannya.
2.4 Jumlah Industri
2.4.1 Jumlah Industri Kecil di Indonesia
Data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada tahun 2003
memperlihatkan bahwa jumlah industri kecil di Indonesia sebanyak 42.326.519
unit yang terdiri dari 24.735.693 unit pada sektor pertanian, perikanan dan
peternakan, 379.141 unit pada sektor pertambangan dan penggalian, 2.560.846
unit pada sektor industri pengolahan, 9.185 unit pada sektor listrik, gas dan air
bersih, 170.359 unit pada sektor bangunan, 8.456 unit pada sektor perdagangan,
hotel dan restoran, 2.963.768 unit pada sektor pengangkutan dan komunikasi,
29.508 unit pada sektor keuangan, persewaan jasa perusahaan, dan 3.021.955 unit
pada sektor jasajasa. Industri tempe termasuk dalam kategori industri pengolahan
non migas. Data jumlah industri kecil berdasarkan sektor
ekonomi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 - 2004
Sektor Tahun 1999 Tahun 2000 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003
Pertanian, peternakan
dan perikanan 23.174.579 23.516.865 24.012.534 24.619.874 24.735.693
Pertambangan, dan
Panggalian 132.617 150.495 199.382 285.752 379.141
Industri, pengolahan 2.526.163 2.536.886 2.551.347 2.556.693 2.560.846
Listrik,gas dan air
bersih 4.492 3.868 4.372 8.099 9.185
Bangunan 102.332 120.750 111.033 187.360 170.359
Perdagangan,hotel
dan restoran 8.688.215 8.675.045 8.477.380 8.466.650 8.456.064
Pengangkutan dan
komunikasi 1.707.762 1.868.081 1.779.150 2.295.984 2.963.768
Keuangan,
perusahaan
perseroan, dan jasa
24.143 25.034 25.667 27.392 29.508
Jasa-jasa 1.499.206 1.699.416 1.692.876 2.258.472 3.021.955
Jumlah 37.859.509 38.669.355 38..853.741 40.705.676 42.326.519
Sumber : Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Tahun 2004 (diolah)
15
2.4.2 Jumlah dan Sebaran Industri Tempe di Kabupaten Bogor
Industri tempe umumnya merupakan sektor informal yang jumlahnya sulit
diketahui secara pasti. Hanya sedikit industri tempe yang mendaftarkan usahanya
ke Departemen Perindustrian. Akan tetapi kebanyakan industri tempe tercatat
dalam keanggotaan KOPTI. Berdasarkan data yang diperoleh dari KOPTI
Kabupaten Bogor tahun 2012 terdapat 1.373 penggrajin tempe yang tersebar di
seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor.
Sedangkan di wilayah kotamadya terdapat 165 pengrajin tempe. Berbeda
dengan Kabupaten Bogor, kotamadya Bogor mengalami penurunan jumlah
pengrajin tempe sebesar 50%. Penurunan ini terjadi karena beberapa wilayah
pelayanan yang dulu tergabung dalam KOPTI kotamadya Bogor sekarang
berpindah ke KOPTI daerah masing-masing seperti Kabupaten Bogor, Sukabumi
dan Cianjur. Pengrajin tempe di Kabupaten Bogor tersebar kedalam 22 wilayah
pelayanan. Setiap wilayah pelayanan dikepalai oleh seorang Kepala Wilayah
Pelayanan (KWP) yang ditetapkan dari KOPTI. Wilayah pelayanan kedelai di
Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor
No. Penyebaran Wilayah Jumlah Anggota
1. Ciseeng 101
2. Parung 106
3. Cibinong 105
4. Citereup I 115
5. Citereup II 82
6. Bojonggede 49
7. Sukaraja 45
8. Ciawi Megamendung 23
9. Caringin Cijeruk 65
10. Tamansari 50
11. Leuwiliang 39
12. Ciampea 62
13. Cibungbulang 34
14. Jasinga 20
15. Dramaga 19
16. Cimanggu 37
17. Cilrndek 84
18. Depok I 68
19. Depok II 111
20. Sawangan I 77
21. Sawangan II 17
22. Cimanggis 64
Jumlah 1.373
Sumber : Kantor KOPTI Kabupaten Bogor 2012 ( Diolah )
16
2.5 Pendapatan
2.5.1 Analisis Pendapatan (Penerimaan-Biaya)
Salah satu cara untuk mengukur manfaat pola kemitraan dibandingkan
dengan pola mandiri pada usaha tempe adalah dengan melihat perbedaan
pendapatan yang di hasilakan dari penjualan tempe per kilo gram bahan baku
kedelai. Pendapatan merupakan selisih dari nilai penerimaan terhadap nilai
pengeluaran (biaya). Terdapat dua tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu
menggambarkan keadaan sekarang dan menggambarkan keadaan yang akan
datang dari perencanaan atau tindakan suatu unit usaha. Analisa pendapatan
memberikan bantuan untuk mengukur kegiatan usaha pada saat ini berhasil atau
tidak.
Penerimaan perusahaan bersumber dari pemasaran atau penjualan hasil
usaha, seperti panen tanaman dan barang olahannya serta panen dari peternakan
dan barang olahannya. Penerimaan bisa juga bersumber dari pembayaran-
pembayaran tagihan, bunga, dividen, pembayara dari pemerintah dan semua
sumber lainnya yang menambah aset perusahaan. Semua hasil agribisnis yang
dipakai untuk dikonsumsi keluarga pun harus dihitung dan dimasukkan sebagai
penerimaan perusahaan walaupun akhirnya dipakai pemeilik perusahaan secara
pribadi (Kadarsan, 1995).
Hanafie (2010) menerangkan bahwa pendapatan terbagi menjadi dua yaitu
pendapatan tunai dan pendapatan non tunai. Pendapatan tunai adalah pendapatan
yang terhitung dari hasil perusahaan secara tunai. Contohnya adalah hasil
penjualan tempe dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksinya. Pendapatan non tunai adalah pendapatan yang tidak terhitung
dari hasil perusahaan tidak tunai tetapi termasuk pendapatan. Contohnya adalah
tempe hasil produksi yang dikonsumsi sendiri.
Kadarsan (1995) menjelaskan bahwa Pendapatan adalah selisih antara
penerimaan total perusahaan dengan pengeluaran. Untuk menganalisis pendapatan
diperlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan pengeluaran dan penerimaan
dalam jangka waktu tertentu.
17
2.5.2 Pendapatan Usaha
Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total perusahaan dengan
pengeluaran. Penerimaan tersebut bersumber dari hasil pemasaran atau penjualan
hasil usaha, sedangkan pengeluaran merupakan total biaya yang digunakan selama
proses produksi (Kadarsan, 1995).
Usaha tani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk
menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal
dalam proses produksinya. Penerimaan total usahatani merupakan hasil produksi
dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut, sedangkan pengeluaran total
usahatani merupakan semua nilai yang dikeluarkan dalam melakukan proses
produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut
dengan pendapatan (Nicholson, 1995). Formulasi pendapatan usahatani yang lebih
jelas, dapat dilihat sebagai berikut :
π = TR – TC
π = (Py · Y) – (Px · X) ...................................................................... (2.1)
Keterangan:
π : Tingkat pendapatan usaha tempe (Rp)
TR : Total penerimaan usaha tempe (Rp)
TC : Total pengeluaran usaha tempe (Rp)
Py : Harga output tempe (Rp)
Y : Jumlah output tempe (ton)
Px : Harga input tempe (Rp)
X : Jumlah input (kg,liter, liter, HOK)
2.6 Struktur Biaya
Biaya produksi dibagi menjadi dua yaitu biaya-biaya yang berupa tunai,
yaitu biaya yang digunakan untuk upah pekerja, pembelian bahan baku kedelai,
ragi, gas, air, plastik, dan tenaga kerja. Selain itu ada juga biaya-biaya yang
dibayarkan dalam bentuk in-natura, yaitu biaya-biaya penjualan, bagi hasil,
sumbangan-sumbangan dan pajak.
18
Besar kecilnya biaya yang berupa uang tunai ini sangat mempengaruhi
pengembangan usaha tempe. Terbatasnya uang tunai yang dimiliki pengusaha
tempe sangat menentukan berhasil tidaknya perkembangan usaha tempe.
Dalam jangka pendek, biaya produksi dikelompokkan menjadi biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap adalah semua jenis biaya yang nilainya tidak
tergantung pada besar-kecilnya biaya produksi, sehingga jumlah biaya tetap
adalah konstan. Contoh biaya tetap adalah lahan pabrik, drum, kompor gas, dan
tempat pematangan tempe. Biaya variabel adalah semua jenis biaya yang nilainya
tergantung pada besar-kecilnya biaya produksi. Contoh biaya tidak tetap adalah
biaya-biaya untuk pembelian kedelai, ragi, plastik, gas, air, dan upah pekerja.
Jumlah biaya variabel sama dengan jumlah faktor produksi variabel dikalikan
dengan biaya faktor produksi.
2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjadi masukan untuk kesempurnaan penelitian ini.
Beberapa penelitian yang dapat dijadikan acuan pada penelitian ini antara lain
penelitian Sari (2002), Latifah (2006), Purnama (2006), Lestari (2010) dan
penelitian Ruswan (2012). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya adalah dalam hal spesifikasi komoditas, sumber data, lokasi
penelitian dan metode pengolahan data. Peneliti dalam penelitian ini menjelaskan
karakteristik dari masing-masing pengusaha baik pola kemitraan maupun pola
mandiri, menjelaskan variabel apa saja yang berpengaruh terhadap produksi
tempe, dan efisiensi produksi dari kedua pola usaha tersebut. Selain itu peneliti
juga membandingkan struktur biaya dan pendapatan yang diperoleh masing-
masing pola pengusaha yang bisa menjadi pembeda antara kedua pola usaha
tersebut, mana pola usaha yang paling baik untuk perkebangan usahanya dimasa
mendatang serta mengungtungkan dari sudut pandang ekonomi. Tinjauan
penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 5.
19
Tabel 5 Tinjauan penelitian penelitian terdahulu
No Nama
Penulis Judul Skripsi HASIL
1. Sari
(2002)
Analisis Efisiensi
dan Pendapatan
Pengrajin Tempe
Anggota KOPTI
Kotamadya
Bogor
1) Pendapatan pengrajin tempe pada usaha
skala besar dan kecil mempunyai nilai R/C
rasio yang positif.
2) Output tempe pada skala besar lebih
responsif terhadap perubahan pemakaian
faktor-faktor produksi kedelai, ragi, tenaga
kerja, dan plastik dibandingkan pada skala
kecil.
3) Penggunaan faktor-faktor produksi pada
industri tempe belum efisien karena nilai
perbandingan rasio nilai produk marginal
(NPM) dengan biaya korbanan marginal
(BKM) tidak sama dengan satu.
2. Latifah
(2006)
Dampak
Kenaikan Harga
Bahan Bakar
Minyak terhadap
Pendapatan
Usaha Pengrajin
Tempe di
Kotamadya
Bogor
1) Adanya kenaikan BBM, hasil produksi
mengalami penurunan sebesar 12.9 persen
2) Penggunaan faktor-faktor dalam
memproduksi tempe belum efisien baik
sebelum kenaikan BBM maupun setelah
kenaikan BBM kecuali bahan baku kedelai.
3. Purnama
(2006)
Analisis Efisiensi
Penggunaan
Faktor Produksi
Industri Tahu
1) Model produksi yang diduga menunjukan
bahwa jumlah nilai-nilai elastisitas dari
parameter penjelas adalah sebesar 0.801
yang berarti produksi tahu berada pada
skala kenaikan hasil yang menurun
(decreasing return to scale).
2) Rasio NPM dan BKM faktor produksi
kedelai dan tenaga kerja bernilai lebih dari
satu yang berarti faktor-faktor produksi
belum efisien dan perlu penambahan
pemakaian faktor produksi untuk mencapai
kondisi optimal
4. Lestari
(2010)
Analisis Produksi
dan Pendapatan
Usahatani
Kangkung
Anggota dan
Non Anggota
Kelompok Tani
di Desa
Bantarsari
Kecamatan
Rancabungur
Kabupaten Bogor
1) Keragaan usahatani dilihat dari luas lahan
dan status kepemilikan lahan sebagian
besar 0.11-0.3 ha per usahatani dan
memiliki lahan dan menyewa sebesar 40
persen petani, sedangkan non anggota
kelompok tani memiliki lahan sebagian
besar 0.01-0.1 ha dan status kepemilikan
lahannya 50 persen petani milik lahan
sendiri dan 40 persen menyewa.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi kangkung untuk anggota
kelompok tani adalah TKLK, luas lahan
dan faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi kangkung non anggota kelompok
tani adalah benih dan luas lahan.
20
3) Pendapatan usahatani bagi anggota
kelompok tani sebesar Rp 698 615.42 per
hektar usahatani bagi non anggota
pendapatan usahatani sebesar Rp 3 870
441.41 per hektar.
5. Ruswan
(2012)
Analisis
Pendapatan dan
Produksi Usaha
Kecil Tempe
Anggota dan
Non Anggota
Primer Koperasi
Produsen Tahu
Dan Tempe
Indonesia Tebet
Barat Jakarta
Selatan
1) Usaha kecil tempe anggota dan non anggota
KOPTI yang memiliki pendapatan yang
berbeda tergantung dari kualitas bahan baku
kedelai yang digunakan yaitu kedelai tipe A
dan tipe B.
2) Penggunaan faktor-faktor produksi usaha
kecil tempe anggota KOPTI yang
berpengaruh nyata terhadap peningkatan
produksi tempe yaitu kedelai, dan tenaga
kerja, untuk usaha kecil tempe non anggota
penggunaan faktor-faktor produksi yang
berpengaruh nyata terhadap produksi tempe
yaitu kedelai, dan ragi.
3) Penggunaan faktor-faktor produksi usaha
kecil tempe anggota dan non anggota
KOPTI belum efisien, ditunjukkan dengan
rasio nilai NPM-BKM tidak sama dengan
satu. Produksi rata-rata yang dihasilkan
usaha kecil tempe anggota KOPTI pada
kondisi aktual sebesar 85.00 kg per sekali
produksi, apabila faktor produksi yang
digunakan berada pada tingkat optimal
maka akan menghasilkan produksi optimal
sebesar 183.83 kg per sekali produksi.
21
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Operasional
Usaha tempe merupakan salah satu usaha yang banyak dilakukan oleh
masyarakat baik skala kecil (rumah tangga) maupun skala besar industri yang
fokus dalam memproduksi tempe. Salah satu upaya pemerintah untuk
mengembangkan usaha tempe yang ada di Indonesia adalah dengan mengeluarkan
program Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI). Lembaga ini
bertujuan membantu pengusaha tempe yang ada di seluruh Indonesia agar mampu
menghasilkan produk tempe yang baik secara kualitas dan optimal secara
kuantitas. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana pengusaha tempe pola
kemitraan dan pola mandiri yang berada di Desa Cimanggu I Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor, dilihat dari sudut pandang karakteristik
pengusaha, faktor yang mempengaruhi hasil produksi, serta perbandingan biaya
dan pendapatan antara pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri.
Baik pengusaha tempe pola kemitraan maupun pola mandiri sama-sama
mengalami keterbatasan dalam memaksimumkan keuntungan sehingga perlu
diketahui struktur biaya dan masing-masing kontribusi biaya tersebut.
Pemahaman struktur biaya sangat penting karena berimplikasi pada pendapatan
yang diterima oleh masing-masing pengusaha tempe baik pola kemitraan maupun
pola mandiri. Pertama, pada struktur biaya akan dianalisis biaya tetap, biaya
variabel dan unit cost masing-masing pengusaha tempe. Kedua, pada pendapatan
akan dianalisis biaya tunai, biaya non-tunai dan pendapatan total. Pengukuran
kelayakan usaha tempe diukur dengan cara menghitung perbandingan antara
penerimaan total dengan biaya produksi total dari masing-masing pengusaha
dengan menggunakan analisis R/C rasio. Selanjutnya adalah membandingakan
pendapaatan yang diterima oleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri
dalam satu tahun dengan menggunakan analisis perbandingan. Adapun alur
kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 1.
22
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
Kenaikan Populasi
Penduduk di Indonesia
Pengusaha Tempe dan Permasalahan Keterediaan
Kedelai serta Keterbatasan Pengetahuan Produksi
KOPTI Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor
Anggota KOPTI
(Pola Kemitraan) Non Anggota KOPTI
(Pola Mandiri)
Faktor-faktor
Berpengaruh
Terhadap Produksi
Tempe
Analisis Faktor Produksi
Pertanian
Perbandingan Struktur Biaya dan Pendapatan Industri
Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
Tingginya angka konsumsi tempe di
Indonesia khususnya di Kabupaten
Bogor
Identifikasi
Karakteristik
Pengusaha Pola
Kemitraan dan Pola
Mandiri
(Analisis Deskriptif)
Analisis Struktur
Biaya dan Pendapatan
Industri Tempe Pola
Kemitraan dan Pola
Mandiri
Pembinaan Pengusaha untuk Memperoleh Hasil Produksi
Tempe yang Optimal
23
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan
mempertimbangkan bahwa daerah ini terdapat sentra industri tempe yang terdapat
wadah kerjasama dengan KOPTI. Pengumpulan data primer di lapangan
dilaksanakan bulan November 2013.
4.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dimana
peneliti mengambil data penelitian pada beberapa responden/sample yang
mewakili populasi. Data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian
adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh
dengan menggunakan metode observasi langsung ke lokasi penelitian dengan
melakukan wawancara kepada para pengusaha tempe anggota KOPTI (Pengusaha
Pola Kemitraan) dan Pengusaha non anggota KOPTI (Pengusaha Pola Mandiri).
Wawancara tersebut dibantu dengan daftar-daftar pertanyaan berupa kuesioner
tentang penelitian terkait.
4.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari dan wawancara secara langsung dengan
pengusaha yang melakukan kegiatan usaha tempe dengan pola mandiri dan pola
kemitraan dengan menggunakan kuesioner, serta wawancara secara mendalam
(depth-interview) kepada informan, yaitu kepada pengurus KOPTI Desa
Cimanggu I dan KOPTI Kabupaten Bogor. Data sekunder diperoleh dari studi-
studi literatur serta hasil-hasil penelitian, buku, internet, serta instansi-instansi
yang terkait dengan penelitian ini seperti Kantor Pusat KOPTI Kabupaten Bogor,
Kelurahan Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor dan instansi
lainnya.
24
4.4 Metode Pengambilan dan Jumlah Responden / Sampel
Penentuan jumlah responden pada penelitian ini adalah dengan cara
menggunakan sensus karena total jumlah pengusaha hanya 22 pengusaha. Total
22 pengusaha tempe tersebut adalah dari dua pola pengusaha tempe, yaitu dari
pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri. Penggunaan metode sensus ini
berlaku jika anggota populasi relatif kecil (Usman, 2009).
4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif
dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data akan dilakukan secara manual dan
menggunakan komputer dengan program Minitab 15, dan program Microsoft
Office Excel 2010. Matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab
tujuan-tujuan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Matriks metode analisis data
No. Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data
1 Mengidentifikasi karakteristik
pengusaha tempe pola kemitraan dan
pola mandiri di Desa Cimanggu I
Kecamatan Cibungbulang Kabupaten
Bogor.
Data primer melalui
kuesioner dan
wawancara dengan
pengusaha tempe yang
menjadi responden.
Analisis Deskriptif
2 Menganalisis faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap produksi tempe
pola kemitraan dan pola mandiri di
Desa Cimanggu I Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Data primer melalui
kuesioner dan
wawancara dengan
pengusaha tempe yang
menjadi responden.
Analisis Struktur Biaya
3 Menganalisis perbandingan struktur
biaya dan pendapatan industri tempe
pola kemitraan dan pola mandiri di
Desa Cimanggu I Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Data primer melalui
kuesioner dan
wawancara dengan
pengusaha tempe yang
menjadi responden.
Analisis Pendapatan
Sumber : Data penulis, 2012 (diolah)
4.5.1 Analisis Struktur Biaya
Analisis struktur biaya dalam penelitian ini dibedakan menurut tipe
usahanya. Tipe usaha dibedakan menurut pola usaha masing-masing pengusaha,
yaitu pola kemitraan dan pola mandiri yang dilihat secara keseluruhan. Biaya
yang dikeluarkan dalam usaha tempe terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai.
Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai dalam usaha tempe.
Biaya tunai terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang
25
dikeluarkan adalah biaya tempat, serta alat-alat untuk pengolahan dan fermentasi
tempe, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian
bahan baku kedelai, ragi, gas, air, plastik, dan tenaga kerja keluarga serta tenaga
kerja luar keluarga. Biaya tidak tunai merupakan biaya yang tidak dikeluarkan
secara tunai, namun diperhitungkan dalam usaha tempe. Biaya tidak tunai yang
diperhitungkan terdiri dari biaya-biaya penyusutan, seperti biaya penyusutan
tempat, peralatan, dan tenaga kerja dalam keluarga.
4.5.2 Fungsi Produksi
Menurut Kaunang (2006) Suatu kegiatan yang mengolah atau mengubah
suatu bentuk barang menjadi bentuk yang lainnya, dikatakan sebagai kegiatan
produksi. Barang-barang yang digunakan untuk memproduksi bentuk barang yang
lain disebut sebagai input produksi, sedangkan barang-barang yang dihasilkan dari
aktivitas produksi disebut sebagai output produksi (Hidayat, 2013). Fungsi
produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan teknis antara hasil
produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input) yang digunakan
untuk melakukan produksi. Dikenal juga dengan istilah Factor Relationship (FR).
Dalam bentuk matematika sederhana, hubungan ini dituliskan sebagai berikut:
Y = f(x1, x2, x3, x4,) .......................................................................... (4.1)
Keterangan:
Y : Hasil produksi tempe (kg)
x1 : Kedelai (kg)
x2 : Ragi (kg)
x3 : Air (liter)
x4 : Tenaga Kerja (HOK)
Berdasarkan persamaan tersebut, pengusaha dapat melakukan tindakan yang dapat
meningkatkan produksi (Y) dengan dua cara, yaitu:
1. Menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan.
2. Menambah jumlah beberapa input (lebih dari satu) dari input yang digunakan.
26
4.5.3 Konsep Produktivitas
Pengertian produktivitas dikemukakan dengan menunjukkan rasio output
terhadap input. Input dapat mencakup biaya produksi dan peralatan. Sedangkan
output bisa terdiri dari penjualan, pendapatan, market share, dan kerusakan.
Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi merupakan komponen
dari usaha produktivitas.3
Y* = .................................................................. (4.2)
Keterangan:
Y* : Produktivitas tempe siap jual (kg/kedelai)
Y : Total produksi tempe (kg)
L : Penggunaan kedelai (kg)
4.5.4 Fungsi Cobb-Douglas
Manurut Soekartawi (2002) fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau
persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel (variabel bebas atau
independent variable dan variabel tak bebas atau dependent variable). Secara
matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut.
Y = a X1b1X2
b2X3b3
X4b4e
ε ................................................................... (4.3)
Keterangan:
Y : Produksi Tempe (kg)
a : Intercept/konstanta
b1-b4 : Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
X1 : Kedelai (kg)
X2 : Ragi (kg)
X3 : Air (Liter)
X4 : Tenaga Kerja (HOK)
e : Logaritma natural, e = 2,718
ε : Kesalahan (error)
Untuk menaksir parameter-parameter pada persamaan (4.3) diatas,
persamaan tersebut harus ditransformasikan dalam bentuk double logaritme
3 http://file2shared.wordpress.com/analisis_produktivitas/ (diakses pada tanggal 1 maret 2012)
Y
L
27
natural (ln) sehingga merupakan bentuk linear berganda (multiple linear) yang
kemudian dianalisi dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square).
Manurut Juanda (2009) model regresi berganda merupakan salah satu
model yang terdapat dalam ilmu ekonometrika. Model ini mambahas asumsi
bahwa peubah tak bebas atau (dependen) Y merupakan fungsi linear dari beberapa
peubah bebas (independen) X1, X2, …, Xn, dan komponen sisaan ε (error). Model
akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Sesudah melakukan pendugaan
parameter koefisien regresi, kesesuaian model dengan kriteria statistik dapat
dilakukan dengan melihat hasil uji F, uji t, dan koefisien determinan (R2).
Berdasarkan persamaan (4.3) diatas, dapat diperoleh fungsi linear berganda
sebagai berikut:
Ln Y = Ln a + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + ε ......... (4.4)
Keterangan:
Y : Produksi Tempe (kg)
a : Intercept/konstanta
b1-b4 : Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
X1 : Kedelai (kg)
X2 : Ragi (gram, kg)
X3 : Air (liter)
X4 : Tenaga Kerja (HOK)
ε : Kesalahan (error)
Menurut persamaan (4.4) diatas menunjukkan bahwa nilai b1, b2, b3, dan
b4 memiliki nilai tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal
ini dapat dimengerti karena b1, b2, b3, dan b4 pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus
menunjukkan elastisitas variabel bebas terhadap variabel tak bebasnya dalam
model tersebut.
4.5.5 Pengujian Parameter
Suatu model akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Pengujian
hipotesis berdasarkan statistik bertujuan untuk melihat nyata atau tidaknya
variabel-variabel bebas yang dipilih terhadap variabel tak bebas. Pengujian ini
menggunakan nilai-P (P-value). Bedasarkan nilai-P, dapat diketahui berapa persen
28
variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebas. Setelah melakukan
pendugaan parameter koefisien regresi, selanjutnya harus diuji terlebih dahulu
asumsi-asumsi dari model regresi tersebut sebelum melakukan pengujian model
secara keseluruhan (uji-F) dan pengujian mengenai masing-masing koefisien
regresi (uji-t) (Sapta, 2009).
4.5.6 Uji Koefisien Determinasi
Dalam hal hubungan dua atau lebih variabel, koefisien determinasi (r2)
mengukur tingkat ketepatan/kecocokan (goodness of fit) dari regresi linear
sederhana, yaitu merupakan presentase sumbangan X terhadap variasi (naik-
turunnya) Y. Pengertian tersebut dapat diperluas untuk regresi linear berganda.
Pada regresi linera berganda, besarnya persentase sumbangan X terhadap variasi
Y disebut koefisien determinasi berganda (multiple coefficient of correlation)
dengan simbol R2 (Firdaus, 2004).
Seperti halnya r2 maka R
2 nilainya antara nol dan satu: 0 ≤ R
2 ≤ 1.
4.5.7 Uji Statistik F
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel
bebas (independen) secara bersama-sama terhadap variabel tak bebasnya
(dependen). Formula pengujiannya adalah sebagai berikut:
H0 : β1 = β2 = β3 = …. = βk = 0
H1 : β1 = β2 = β3 = …. = βk ≠ 0
Fhit = ..................................................................................... (4.6)
Keterangan:
KTR : Kuadrat tengah regresi
KTG : Kuadrat tengah galat
Jika F < Fhit Tabel, maka H0 diterima, artinya variabel bebas secara serentak
tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya.
Jumlah Kuadrat Regresi (JKR)
Jumlah Kuadrat Total (JKT) R
2 = ...................................... (4.5)
KTR
KTG
29
Jika F > Fhit Tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel bebas secara serentak
berpengaruh nyata terhapad variabel tidak bebasnya.
4.5.8 Uji Statistik t
Tujuan dari melakukan Uji statistik t adalah untuk mengetahui seberapa
besar masing-masing variable bebas (independen) mempengaruhi variable tak
bebasnya (dependen). Prosedur cara pengujiannya adalah sebagai berikut:
Nilai t-hitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan t Tabel. Jika t < -
tα/2 atau t > tα/2, tolak H0. Jika - tα/2 ≤ t ≤ tα/2, terima H0, dengan asumsi:
H0 : βi = 0, artinya variabel bebas (independen) tidak berpengaruh nyata terhadap
variable tak bebasnya (dependen).
H1 : βi ≠ 0, artinya variabel bebas (independen) berpengaruh nyata terhadap
variable tak bebasnya.
4.5.9 Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity)
Salah satu asumsi dari model regresi ganda adalah bahwa tidak ada
hubungan linear sempurna antar peubah bebas (independen) dalam model
tersebut. Jika hubungan tersebut ada, maka dapat dikatakan bahwa dalam model
tersebut terdapat multikolinearitas. Deteksi adanya multikolinearitas dalam sebuah
model dapat dilakukan dengan membadingkan besarnya nilai koefisien
determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas (r
2).
Kolinear ganda dapat dianggap tidak masalah apabila koefisien determinasi
parsial antar dua peubah bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau
koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan. Namun
multikolinearitas dianggap sebagai masalah serius jika koefisien determinasi
parsial antar dua peubah bebas melebihi atau sama dengan nilai koefisien
determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan
(Juanda, 2009).
b - B
Se(b) thitung = ....................................................................... (4.7)
............................................................................. (4.8) 1
1 – Rj2
VIF =
30
Keterangan :
VIF : Variance Inflation Factor
Rj2 : Koefisien determinasi
Masalah multicollinearity juga dapat dilihat langsung melalui output
komputer, dimana jika nilai VIF < 10 maka tidak ada masalah multicollinearity.
4.5.10 Uji Heteroskedastisitas
Menurut Supranto (2004) salah satu asumsi yang penting dalam model
regresi linear klasik adalah bahwa kesalahan pengganggu εi mempunyai varian
yang sama, artinya Var (εi) = E(εi2) = σ
2 untuk semua i, i = 1, 2, …n. Asumsi ini
disebut sebagai homoskedastisitas (homoscedastic). Menurut Firdaus (2004)
model yang tidak memenuhi asumsi tersebut dapat dikatakan memiliki
penyimpangan. Penyimpangan terhadap faktor pengganggu sedemikian itu disebut
dengan heteroskedastisitas (heteroscedasticity), dapat dilihat statistik ujinya
adalah sebagai berikut :
Fhit = ..................................................................................... (4.9)
Keterangan:
Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh pertama dikonotasikan
(JKR1).
Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh kedua dikonotasikan (JKR2)
Jika tidak ada masalah heteroskedastisitas maka nilai F-hitung akan
menuju 1. Masalah heteroskedastisitas masih dapat ditolerir jika F-hitung < F
table dengan derajat bebas v1 = v2 = (n-c-2k)/2 dimana n adalah jumlah contoh, c
adalah jumlah contoh pemisah, dan k adalah jumlah parameter yang diduga.
4.5.11 Analisis Pendapatan
Nicholson (1995) menyatakan bahwa usaha adalah suatu kegiatan
ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input
fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Penerimaan total usaha
merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut.
Sedangkan pengeluaran total usaha merupakan semua nilai yang dikeluarkan
JKR1
JKR2
31
dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran
inilah yang disebut dengan pendapatan. Secara matematis formulasi pendapatan
usahatani dapat dilihat sebagai berikut.
π = TR - TC = (Py · Y) – (Px · X) ..................................................... (4.10)
Keterangan:
π : Tingkat pendapatan usaha (Rp)
TR : Total penerimaan usaha (Rp)
TC : Total pengeluaran usaha (Rp)
Py : Harga persatuan produksi tempe (Rp)
Y : Jumlah produksi tempe (kg)
Px : Harga input (Rp)
X : Jumlah input (kg, kg, liter, HOK)
Analisis ini meliputi komponen penerimaan dan biaya yang digunakan
untuk menganalisis pendapatan yang diperoleh pengusaha tempe. Analisis
pendapatan dihitung berdasarkan selisih antara penerimaan total (TR) dengan
biaya total (TC). Menurut Soekartawi (1995) rumus yang digunakan untuk
menganaisis pendapatan adalah sebagai berikut :
total ∑ tidak tunai + ∑ tunai
tidak tunai
tunai
Dimana,
total = Pendapatan total usaha tempe (Rp)
tidak tunai = Pendapatan tidak tunai usaha tempe (Rp)
tunai = Pendapatan tunai usaha tempe (Rp)
32
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Profil Desa Cimanggu I
Desa Cimanggu I adalah desa yang terletak di wilayah Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor. Desa yang terdiri dari tiga Dusun dan sembilan
Rukun Warga ini, terbagi atas empat Kampung yaitu Cimanggu, Ciaruteun,
Bojong Galeuh, dan Jatake, dipimpin oleh Kepala Desa Bapak Hamdani dengan
dibantu seorang Sekretaris Desa Bapak Noerhasan. Luas wilayah Desa Cimanggu
I mencapai 170 Ha yang terbagi menjadi 3 wilayah Kekadusan, yaitu: Kadus I, II
dan III, Adapun batas wilayah Desa Cimanggu I adalah :
Sebelah Utara : Desa Cijujung
Sebelah Selatan : Desa Cimanggu II
Sebelah Barat : Desa Leuweung Kolot
Sebelah Timur : Desa Cimanggu II
Pada umumnya wilayah Desa Cimanggu I berdasarkan ketinggian dari
permukaan laut (dpl), Desa Cimanggu I berada di ketinggian antara 460 m dpl.
Seperti halnya dengan daerah lain yang terdapat di Jawa Barat, wilayah Desa
Cimanggu I juga beriklim tropis yang ditandai dengan dua musim, yaitu musim
panas dan musim penghujan. Musim penghujan berlangsung antara bulan
Oktober-Pebruari, dengan tingkat curah hujan rata-rata berkisar 1000 hingga
2000 mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 100 – 200 hari/tahun. Sedangkan
musim panas atau kemarau berlangsung antara bulan Maret-Agustus. Suhu udara
di Desa Cimanggu I pada pagi hari berkisar antara 18 – 23 C, sedangkan pada
siang hari suhu udara berkisar antara 27 – 35 C, dengan kelembaban udara rata-
rata 80%. Desa Cimanggu I dilalui 1 (Satu) buah sungai besar, yaitu Sungai
Ciaruteun dengan arah aliran menuju ke utara dan bermuara di Sungai Cisadane.
Pola penggunaan lahan yang terdapat di Desa Cimanggu I pada umumnya
masih berupa tegalan dan persawahan yang terdapat disemua wilayah Kekadusan
yang ada di Desa Cimanggu I, sedangkan untuk daerah permukiman penduduk
sebagian besar berada di wilayah 3 Kekadusan yaitu di wilayah Kekadusan I, II
dan III, Selain itu juga penggunaan lahan di Desa Cimanggu I, berupa lahan
33
terbagun (fasilitas pertokoan, peribadatan dan pendidikan) yang berada di sekitar
Jalan Ciaruteun Gardu Seri-Jatake Desa CimangguI.
Sebaran penduduk merupakan salah satu indikator yang dapat
menunjukkan kemajuan suatu wilayah. Desa Cimanggu I, sebaran penduduk
paling besar berada di Kekadusan I (Satu) Hal ini disebabkan karena di kawasan
tersebut, telah terdapat beberapa sarana dan prasana yang memadai. Jumlah
penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan Profil Desa pada tahun 2011 setelah
terjadinya pemekaran Desa sebesar 9.523 Jiwa (perempuan sebesar 4.720 jiwa dan
laki-laki sebesar 4.803 jiwa) Dengan Jumlah KK sebesar 2.550. Kepadatan
penduduk di wilayah ini adalah kepadatan kasar (brutto) yang merupakan suatu
perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah.
Kepadatan penduduk rata-rata di Desa Cimanggu I pada tahun 2011 sebesar 29
jiwa/km.
Kegiatan penduduk di Desa Cimanggu I didominasi oleh Petani sebesar
1.474 jiwa (15%), Buruh Tani sebesar 2521 jiwa (26%) dan Petani Penggarap
sebesar 639 jiwa (6%). Hal ini menggambarkan bahwa pada umumnya sektor
pertanian lebih besar dapat menampung tenaga kerja dan memiliki peluang lebih
besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya.Sebaran penduduk Desa CImanggu
I berdasarkan matap encaharian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan mata
pencaharian
No. Pendidikan Jumlah (jiwa) Presentase (%)
1 Petani 1474 28
2 Buruh Tani 2521 48
3 PNS 17 1
4 TNI / POLRI 8 6
5 Karyawan Swasta 211 4
6 Pensiunan 7 0
7 Jasa 331 0
8 Tukang 43 1
9 Petani Penggarap 630 12
Jumlah 5242 100
Sumber: Kelurahan Desa Cimanggu I (2011)
Berdasarkan Tabel 7 tingkat pendidikan penduduk di Desa Cimanggu I,
sebagian besar merupakan lulusan SD/sederajat sebanyak 624 jiwa, lulusan
34
SLTP/sederajat sebanyak 129 jiwa, lulusan SLTA/Sederajat sebanyak 109 jiwa,
lulusan D-3/S1 sebanyak 25 jiwa Jika dilihat dari tingkat pendidikan tersebut,
masyarakat Desa Cimanggu I pada umumnya lebih dapat memiliki peluang untuk
dapat bekerja pada sektor-sektor strategis. Namun dengan keterbatasan peluang
kerja dan minimnya lapangan pekerjaan, maka sebagian penduduknya lebih dapat
hanya sebagai buruh tani, petani maupun pedagang. Namun perlu di perhatikan
juga, dimana angka Buta Huruf pada saat ini masih cukup besar sebanyak 564
jiwa dan tidak tamat sekolah sebesar 878 jiwa. Sebaran penduduk Desa Cimanggu
I berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan mata tingkat
pendidikan
No. Pendidikan Jumlah (jiwa) Presentase (%)
1 Buta Huruf 564 32
2 Tidak Tamat SD 878 18
3 Tamat SD / Sederajat 624 35
4 Tamat SLTP / Sederajat 129 7
5 Tamat SLTA / Sederajat 109 6
6 D1 0 0
7 D2 0 0
8 D3 11 1
9 S1 17 1
10 S2 0 0
11 Doktor 0 0
Jumlah 2332 100 Sumber: Kelurahan Desa Cimanggu I (2011)
Berdasarkan Tabel 8 usia produktif (usia 15 s/d 46 tahun) penduduk di
Desa Cimanggu I sebanyak 6.375 jiwa (65%). Berdasarkan hal tersebut maka
Desa Cimanggu I memiliki potensi yang cukup besar dalam upaya mendongkrak
peningkatan ekonomi keluarga. Namun dengan keterbatasan peluang kerja,
minimnya lapangan pekerjaan serta keterampilan dari masyarakat yang masih
relitif rendah, maka sebagian penduduknya lebih banyak hanya sebagai buruh
tani, petani maupun pedagang.
35
HASIL DAN PEMBAHSAN
6.1 Identifikasi Karakteristik Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan
Pola Mandiri
Identifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola
mandiri berdasarkan karakteristik sosial ekonomi, karakteristik usaha tempe, dan
karakteristik pemasaran. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai perbedaan sesial ekoomi, usaha tempe, dan wilayah pemasaran yang
dijadikan tempat penjualan hasil produksi tempe.
6.1.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan
Pola Mandiri
Pengusaha responden dalam penelitian ini yaitu pengusaha tempe yang
tergabung dalam anggota kemitraan KOPTI dan dan pola mandiri di Desa
Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Karakteristik sosial
ekonomi pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri dapat dianalisis dalam
beberapa kriteria yaitu meliputi usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan
pengusaha tempe, dan pengalaman usaha tempe.
6.1.1.1 Usia
Aspek usia mempengaruhi responden pada kondisi fisiknya. Usia
pengusaha tempe yang sudah tua akan sedikit lambat dalam bekerja karena
kondisi fisik yang tidak lagi kuat akan berpengaruh terhadap kecepatan dalam
memproduksi tempe, disamping itu konsentrasi dan semangat juga sudah mulai
menurun, sehingga efisiensi waktu dalam bekerja menjadi turun. Sedangkan
pengusaha tempe yang lebih muda memiliki tenaga yang lebih baik dibandingkan
dengan pengusaha yang lebih tua, sehingga yang lebih muda dapat bekerja dengan
waktu yang lebih efisien. Sebaran jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan
pola mandiri berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 9.
36
Tabel 9 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan
sebaran usia
Sebaran Usia Pola Kemitraan Pola Mandiri
Jumlah Presentase (%) Jumlah Presentase (%)
20-25 1 8 0 0
25-30 0 0 0 0
30-35 1 8 2 20
35-40 3 25 1 10
40-50 7 59 7 70
Jumlah 12 100 10 100
Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat bahwa sebaran usia pengusaha tempe
pola kemitraan Desa Cimanggu I cukup bervariasi dengan selang usia antara 20-
50 tahun. Begitupun dengan sebaran usia pengusaha tempe pola mandiri , petani
yang memiliki usia paling muda adalah berumur 20-25 tahun dan usia paling tua
adalah berumur 40-50 tahun. Sebaran usia pengusaha tempe pola kemitraan Desa
Cimanggu I dengan persentase terbesar berada pada range usia 40-50 tahun
dengan nilai 59%, sedangkan persentase terendah berada pada range usia 20-30
tahun dengan nilai persentase 8%. Hal ini dikarenakan beberapa dari warga Desa
Cimanggu I menjadikan sektor usaha tempe bukan sebagai mata pencaharian
pokok di usia produktif mereka, sehingga di usia produktif mereka lebih memilih
sektor usaha lain ketimbang menggeluti usaha tempe yang turun temurun.
Sedangkan pengusaha tempe pola Mandiri memiliki sebaran usia
pengusaha tempe tertinggi pada range usia 40-50 tahun dengan nilai persentase
sebesar 70%. Sedangkan sebaran usia terendah berada pada range usia 20-30
tahun dengan nilai sebesar 0%. Hal ini dikarenakan warga Desa Cimanggu I pada
usia produktif tidak memilih menjadikan usaha tempe sebagai pencaharian utama
sehingga jumlah pengusaha tempe yang relatif muda jarang ada yang menekuni
usaha tempe ini. Hal lain adalah ingin berusaha memperbaiki kehidupan dengan
sektor usaha berbeda yang lebih baik dari usaha keluarga saat ini.
6.1.1.2 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan responden akan berpengaruh terhadap tingkat
penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam pengelolaan
usaha tempe. Responden penelitian ini sebagian besar telah mendapatkan
37
pendidikan formal, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Akhir (SMA), hingga tingkat Perguruan
Tinggi (PT). Sebaran pengusaha tempe responden berdasarkan tingkat pendidikan
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan
tingkat pendidikan
Status Pendidikan Pola Kemitraan Pola Mandiri
Jumlah Presentase (%) Jumlah Presentase (%)
Tidak tamat SD 1 8 0 0
SD 6 50 7 70
SMP 5 42 3 30
SMA 0 0 0 0
Jumlah 12 100 10 100
Berdasarkan data pada Tabel 10 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan
yang ditempuh oleh pengusah tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa
Cimanggu I. Persentase tertinggi sebanyak 50% dari total pengusaha tempe pola
kemitraan Desa Cimanggu I merupakan pengusaha dengan tingkat pendidikan
terakhir Sekolah Dasar (SD). Sedangkan persentase terendah sebesar 0% dari total
petani responden merupakan petani dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah
Menengah Atas (SMA). Hal yang hampir sama terjadi pada pengusaha tempe pola
mandiri, petani dengan tingkat pendidikan terakhir SD menjadi persentase
tertinggi yaitu sebesar 70%. Sedangkan persentase terendah yaitu petani dengan
tingkat pendidikan terakhir SMA dan Tidak Tamat SD dengan nilai masing-
masing sebesar 0%.
Pola pendidikan yang dijalani oleh pengusaha tempe pola kemitraan dan
pola mandiri di Desa Cimanggu I sangat rendah, sehingga banyak dari masyarakat
Desa Cimanggu I hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SD. Hal ini
mengakibatkan tingkat penyerapan teknologi dalam mengembangkan usaha tempe
pola kemitraan dan pola mandiri sangat rendah.
6.1.1.3 Pengalaman Usaha Tempe
Keberhasilan suatu usaha tempe responden tidak terlepas dari
pengalamannya dalam mengelola usahanya. Semakin lama seorang pengusaha
berwirausaha dalam bidang usaha tempe, maka semakin banyak pula pengalaman
38
usaha yang dimiliki oleh pengusaha dalam mengelola usahanya agar menjadi
lebih baik.
Tabel 11 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan mandiri berdasarkan
pengalaman usaha
Pengalaman
Usaha
Pola Kemitraan Pola Mandiri
Jumlah Presentase (%) Jumlah Presentase (%)
0-5 2 17 0 0
5-10 0 0 1 10
10-15 2 17 1 10
15-20 0 0 1 10
20-25 8 66 7 70
Jumlah 12 100 10 100
Berdasarkan data pada Tabel 11 pengalaman usaha tempe pola kemitraan
di Desa Cimanggu I beragam, dengan pengalaman paling rendah yaitu 0-5 tahun
dan pengalaman paling lama yaitu 20-25 tahun. Begitupun pengalaman usaha
tempe Pola Mandiri Desa Cimanggu I, pengalaman usaha tempe paling rendah
yaitu 5-10 tahun dan pengalaman paling lama yaitu 20-25 tahun. Tabel 11
menunjukkan bahwa pengalaman usaha tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu
I sebagian besar (66%) berkisar pada 20-25 tahun, sedangkan pengusaha dengan
pengalaman usaha 0-5 tahun merupakan range pengalaman usaha terendah (17%).
Begitupun dengan pengusaha tempe pola mandiri, pengusaha tempe pola mandiri
sebagian besar pegusahanya telah berpengalaman dalam usahatani selama 20-25
tahun, sedangkan petani dengan pengalaman 0-5 tahun menjadi range pengalaman
usahatani terendah. Pengalaman usaha merupakan salah satu indikator
keberhasilah suatu usaha, dimana dengan semakin lama pengalaman seorang
pengusaha dalam mengelola ushanya, maka diharapkan produksi tempe akan lebih
baik dan meningkat. Hal ini dikarenakan semakin lama pengalamana seorang
pengusaha tempe dalam mengelola usahanya semakin banyak pula ilmu yang
dimiliki yang akan berguna untuk dapat meningkatkan hasil produksi tempe
dalam uahanya.
6.2 Karakteristik Ekonomi Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
Dalam melakukan usahanya baik pengusaha tempe pola kemitraan
maupun pengusaha pola mandiri memiliki karakteristik khas masing-masing dan
memiliki cara sendiri dalam menjalankan usahanya. Mulai dari penggunaan bahan
39
baku, sumber bahan baku dan kualitas, proses produksi, wilayah pemasaran, serta
sumber modal awal yang digunakan ketika memulai usahanya, adapun hasil
output produksi dari kedua pola usaha ini adalah hanya menghasilkan tempe saja
dan tidak menghasilkan output yang lain. Secara spesifik karakteristik umum
pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Karakteristik Ekomomi pengusaha tempe pola kemitran dan pola
mandiri
Karakteristik Umum Pola Kemitraan Pola Mandiri
Input Kedelai Kedelai
Sumber Input / kualitas Koperasi / Impor, pengusaha
pola kemitraan mendapatkan
jaminan kemudahan
memperoleh kedelai karena
disediakan oleh koperasi
Non Koperasi / Impor, pengusaha
pola mandiri tidak mendapataka n
jaminan dalam kemudaha
memperoleh kedelai karena tidak
disediakan oleh koperasi
Proses Produksi Menggunakan cara
Tradisional yang sudah turun
temurun sejak lama dan tidak
mengikuti anjuran penyuluhan
dari KOPTI
Menggunakan anjuran dari
KOPTI dan meninggalkan tradisi
yang turun temurun sejak lama
Output Tempe Tempe
Pemasaran Pasar Ciampea Desa-desa dalam Kecamatan
Cibungbulang
Sumber Modal Awal Modal Pribadi Modal Pribadi dan Patungan
Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 12 menunjukan bahwa input
yang digunakan oleh pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri adalah
sama menggunakan kedelai sebaga bahan baku utamanya. Pengusaha pola
kemitaan memperoleh bahan baku tersebut dari koperasi yang ada di daerah Desa
Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang. Sedangkan pengusaha pola mandiri
memperoleh bahan baku dari non koperasi / pedagang biasa yang ada di pasaran.
Jenis kedelai yang digunakan oleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri
adalah jenis kedelai impor. Keduanya sama-sama menggunakan kedelai jenis
impor daripada kedelai lokal, dikarenakan kedelai impor memiliki kualitas lebih
baik serta ketersediaannya yang relatif stabil dibadingkan dengan kedelai lokal.
Dalam melakukan proses produksi tempenya pengusaha pola kemitraan
menggunakan cara tradisional yang sejak lama telah mereka gunakan. Sedangkan
pengusaha pola mandiri menggunakan cara terbaru yaitu cara-cara yang diajarkan
oleh penyuluh-penyuluh KOPTI Kabupaten Bogor. Jika melihat dari status
keanggotaan seharusnya pengusaha pola kemitraan menggunakan cara yang
40
dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor, akan tetapi pengusaha pola kemitraan
kurang menyakini cara-cara yang dianjurkan oleh KOPTI sehingga daripada
menggunakan cara yang dianjurkan pengusaha pola kemitraan lebih memilih
menggunakan cara yang biasa digunakan sejak lama. Sedangkan pengusaha pola
mandiri justru menggunakan cara-cara produksi yang disosialisasikan oleh KOPTI
Kabupaten Bogor.
Pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dalam melakukan usaha ini
hanya menghasilkan output tempe, baik pengusaha pola kemitraan maupun pola
mandiri sama-sama tidak menghasilkan produk turuan lain dari kedelai, seperti
tahu atau oncom. Tempe yang dihasilkan dari proses prduksi tersebut selanjutnya
dipasarkan ke wilayah di dalam Kecamatan Cibungbuulang dan daerah terdekat
dari Kecamatan Cibungbulang. Berdasarkan Tabel di atas menjelaskan bahwa
pengusaha pola kemitraan menjual produk tempenya di Pasar Ciampe Kabupaten
Bogor, sedangkan pengusaha pola mandiri menjual produknya ke wilayah desa
yang ada di kawasan Kecamatan Cibungbulang. Hal ini dikarenakan antara
pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri telah memiliki pelanggan tempe
masing-masing di setiap tempat pemasaran.
6.3 Karakteristik Produksi Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
Suatu kegiatan produksi akan menghasilkan output yang optimal jika
proses produksi yang dilakukan mengguanakan langkah-langkah yang benar
secara teori keilmuan. Begitu pula dengan produksi tempe di kedua pola
pengusaha yang ada di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang, dalam
melakukan proses produksinya kedua pelaku usaha memiliki cara yang berbeda.
Perbandingan proses produksi pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri di Desa
Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang dapat dillihat pada Tabel 13.
41
Tabel 13 Karakteristik produksi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri
Pengusaha Pola Kemitraan Pengusaha Pola Mandiri
1. Mencuci kedelai sampai bersih
menggunakan air yang bersih.
2. Merendam Kedelai yang telah dicuci
bersih selama 30-40 menit.
3. Merebus kedelai yang telah direndam
selama 1-1.5 jam.
4. Meniriskan lalu merendam kedelai yang
telah direbus untuk menghilangkan
kandungan asam yang ada pada tempe
selama 12-18 jam.
5. Memasukan kedelai yang telah ditiriskan
kedalam mesin pemecah kulit kedelai
agar kulit ari kedelai tersebut
mengelupas.
6. Melakukan pencucian kedelai yang telah
mengalami pemecahan kulit ari.
7. Pencucian kedelai dilakukan sebanyak
satu kali pencucian.
8. Melakukan peragian secara merata
terhadap tempe yang telah dicuci bersih
dan membiarkannya merata selama 15-
20 menit.
9. Memasukan kedelai yang telah
mengalami peragian kedalam plastik
pembungkus yang telah diberikan
lubang angin dengan jarak yang tidak
beraturan.
10. Menata kedelai yang telah dibungkus
kedalam rak fermentasi.
11. Proses fermentasi selama 1 malam.
12. Tempe siap jual.
1. Mencuci kedelai sampai bersih
menggunakan air yang bersih.
2. Merendam Kedelai yang telah dicuci
bersih selama 1 jam.
3. Merebus kedelai yang telah direndam
selama 2 jam.
4. Meniriskan lalu merendam kembali
kedelai yang telah direbus untuk
menghilangkan kandungan asam yang
ada pada tempe selama 24 jam.
5. Memasukan kedelai yang telah ditiriskan
kedalam mesin pemecah kulit kedelai
agar kulit ari kedelai tersebut
mengelupas.
6. Melakukan pencucian kedelai yang telah
mengalami pemecahan kulit ari.
7. Pencucian kedelai dilakukan sebanyak
dua kali pencucian.
8. Melakukan peragian secara merata
terhadap tempe yang telah dicuci bersih
dan membiarkannya merata selama 10
menit.
9. Memasukan kedelai yang telah
mengalami peragian kedalam plastik
pembungkus yang telah diberikan lubang
angin dengan jarak 2 cm per lubang.
10. Menata kedelai yang telah dibungkus
kedalam rak fermentasi.
11. Proses fermentasi selama 1 malam.
12. Tempe siap jual.
Berdasarkan data pada Tabel 13 menunjukan bahwa ada beberapa
perbedaan pada proses produksi kedua pengusaha. Pengusaha pola kemitraan
yang menggunakan cara tradisional merendam kedelai sebelum direbus selama
30-40 menit. Sedangkan pengusaha pola mandiri merendam kedelai sebelum
direbus selama 1 jam mengikuti anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor. Pencucin
kedelai dilakukan untuk membersihkan kotoran yang masih menempel pada
kedelai dan juga untuk menghasilkn kedelai yang lebih remah dan mekar.
Pengusaha tempe pola kemitraan melakukan perebusan kedelai selama 1-1,5 jam
sedangkan pengusaha pola mandiri merebus kedelainya selama 2 jam sesuai
anjuran KOPTI. Perebusan ini dilakukan untuk menghasilkan kedelai yang remah
dan mengembang yang siap olah serta membuat kulit ari kedelai mudah
mengelupas. Langkah selanjutnya adalah meniriskan kedelai yang telah direbus
42
lalu direndam kembali. Perendaman yang dilakukan oleh pengusaha pola
kemitraan adalah selama 12-18 jam sedangkan perendaman yang dilakukan oleh
pengusaha pola mandiri adalah selama 24 jam. Perendaman ini dilakukan untuk
menghilangkan zat asam yang ada pada tempe hasil rebusan. Setelah kedelai
selesai direndam selanjutnya kedelai tersebut dicuci kembali supaya kulit ari
kedelai benar-benat lepas dari kedelai. Pengusaha kemitraan melakukan pencucian
kedelai yang telah direndam selama satu kali saja, sedangkan pengusaha pola
mandiri melakukan pencucian selama dua kali karena dengan mencuci dua kali
akan menghasilkan pencucian yang lebih bersih, dan cara ini adalah cara yang
dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor.
Setelah pencucian selanjutnya adalah melakukan peragian terhadap tempe
yang akan dimasukan kedalam plastik. Pergaian ini dilakukan secara merata
terhadap tempe yang telah disimpan rata di wadah peragian. Pengusaha pola
kemitraan melakukan peragian selama 15-20 menit lamanya, sedangkan
pengusaha pola mandiri melakukan peragian selama 10 menit. Peragian ini harus
benar-benar tepat karena proses peragian ini adalah penanaman mikroba hidup
yang akan tumbuh selama proses fermentasi. Setalah proses peragian selanjutnya
adalah memasukan kedelai tersebut kedalam plastik sesuai dengan takaran yang
disiapkan. Plastik yang digunakan untuk membungkus tempe ini adalah plastik
yang sebelumnya telah diberikan lubang lubang. Tujuan dari pelubangan ini
adalah untuk memberikan lubang udara yang akan membantu kesempurnaa proses
fermentasi. Pelubangan terhadap plastik yang dilakukan oleh pengusaha pola
kemitraan adalah dengan jarak lubang yang tidak beraturan, sedangkan pengusaha
pola mandiri memberikan lubang di plastiknya dengan jarak yang rapi yaitu 2 cm
tiap lubang sesuai dengan arahan dari KOPTI Kabupaten Bogor. Tempe yang
dihasilkan oleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I
telah melalui tahapan proses produksi yang dijelskan pada Gambar 2.
43
Gambar 2. Tahapan Proses Produksi Tempe di Desa Cimanggu I.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tempe Pola Mandiri dan Pola
Kemitraan
6.4.1 Karakteristik Input Produksi
Input produksi yang akan dianalis dalam penelitian ini adalah kedelai, ragi,
gas, dan air. Input ini kemudian akan dicari tahu seberapa besar pengaruhnya
Kedelai
Pencucian Kedelai
Peredaman Kedelai
Perebusan Kedelai
Penirisan Kedelai
Pemecahan Kedelai Dalam
Mesin Pemecah
Pencucian Kedelai Setelah
Pemecahan
Peragian Kedelai
Pembungkusan Kedelai Setelah
Peragian
Fermentasi Kedelai
Tempe
44
terhadap output tempe yang dihasilkan. Sehinga dalam penelitian ini faktor
produksi yang dianalisis yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja.
6.4.1.1 Kedelai
Kedelai merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam
suatu usaha tempe. Hasil produksi usaha tempe akan baik jika menggunakan
bahan baku kedelai yang memiliki kualitas baik disertai dengan pola dan cara
produksi yang tepat. Jenis kedelai yang digunakan oleh pengusaha tempe pola
kemitraan dan pola mandiri sama yaitu kedelai hasil impor. Namun berbeda
sumber bahan bakunya pengusaha tempe pola kemitraan memperolehnya dari
koperasi, sedangkan pengusaha tempe pola mandiri memperoleh bahan bakunya
dari pedagang / pasar. Tabel 15 menunjukan penggunaan bahan baku kedelai
sebagai faktor produksi usaha tempe di Desa Cimanggu I. Secara rinci,
penggunaan kedelai untuk kedua pengusaha tempe dapat dilihat pada Tabel 14
dan Lampiran 2.
Tabel 14 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha tempe pola kemitraan
dan pola mandiri
Kategori Pengusaha
Rata-rata Penggunaan Kedelai
(kg/hari)
Harga Rata-rata (Rp/Kg)
Nilai (Rp/hari)
Nilai ( Rp/tahun)
Pola Kemitraan 71,25 9.291,67 659.333,33 239.338.000,00
Pola Mandiri 72,50 9.070,00 656.250,00 238.218.750,00
Berdasarkan Tabel 14 penggunaan kedelai total rata-rata yang digunakan
oleh pengusaha tempe pola kemitraan di Desa CImanggu I setiap harinya yaitu
71,25 kg dengan harga beli kedelai seharga Rp 9.291,67/kg. Sedangkan
pengusaha tempe pola mandiri menggunakan kedelai sebanyak 72,50 kg/hari
dengan harga beli kedelai seharga Rp 9.070,00/kg. Penggunaan kedelai tersebut
hampir sama baik pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri dikarenakan
kapasitas produksi dari mereka yang tidak terlalu besar setiap harinya, yaitu
berkisar antara 50-100 kg/hari. Kedua pola pengusaha ini merupakan industri
tempe yang skalanya masih skala industri rumahan yang mana penggunaan input
bahan baku kedelai yang sedikit serta menggunakan mayoritas Tenaga Kerja
Dalam Keluarga (TKDK) dan hanya sedikit yang menggunakan Tenaga Kerja
Luar Keluarga (TKLK).
45
6.4.1.2 Ragi
Salah satu bahan yang biasa digunakan dalam memproduksi tempe adalah
ragi. Ragi memiliki fungsi sebagai zat yang akan membantu dalam proses
fermentasi tempe. Perbandingan penggunaan ragi baik pada pengusaha pola
kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 15 dan Lampiran 3.
Tabel 15 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha tempe pola kemitraan dan
pola mandiri
Kategori
Pengusaha
Rata-rata Penggunaan
Ragi (kg)
Harga Rata-
rata (Rp/Kg)
Nilai
(Rp/hari)
Nilai
( Rp/tahun)
Pola Kemitraan 0,30 22.500,00 6.649,17 2.413.647,50
Pola Mandiri 0,29 22.600,00 6.390,00 2.319.570,00
Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat bahwa penggunaan rata-rata ragi yang
digunakan oleh pengusaha tempe pola kemitraan adalah 0,3 kg/hari dengan harga
beli rata-rata ragi sebesar Rp 22.500,00/kg. Jumlah tersebut hampir sama dengan
penggunaan rata-rata ragi per hari pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri
yaitu sebesar 0,29 kg/hari dengan harga beli ragi sebesar Rp 22.600,00 /kg.
Penggunaan rata-rata ragi pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri lebih
sedikit dibandingkan dengan penggunaan rata-rata ragi pada pengusaha tempe
pola kemitraan karena pengusaha pola mandiri menggunakan anjuran penggunaan
ragi yang disampaikan oleh KOPTI yang mana dalam menggunakan ragi
seharusnya setiap 1 kg kedelai adalah sebanyak 0,002 kg ragi. sedangkan
pengusaha pola kemitraan menggunakan ragi sesuai dengan kebiasaan meraka
tanpa mengikuti anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor. Berdasarkan data Tabel
penggunaan ragi kedua pola pengusaha melebihi standar yang dianjurkan KOPTI
akan tetapi pengusaha pola mandiri mengguanakan ragi yang lebih mendekati
anjuran dari KOPTI atau lebih baik daripada penggunaan ragi pengusaha pola
kemitraan.
6.4.1.3 Air
Air yang meupakan input produksi yang digunakan oleh kedua pengusaha
baik pengusaha tempe pola kemitraan maupun pola mandiri adalah air yang
bersumber dari sumber mata air sumur atau sungai yang dialirkan kerumah
masing-masing. Penggunaan air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) bagi
46
mereka itu sangat mahal dan akan memepengaruhi biaya yang harus dikeluarkan.
Komposisi perbandingan penggunaan input air antara pengusaha tempe pola
kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 16 dan Lampiran 4.
Tabel 16 Perbandingan penggunaan air pengusaha tempe pola kemitraan dan
pola mandiri
Kategori
Pengusaha
Rata-rata
Penggunaan Air
(ltr)
Harga Rata-rata
(Rp/0-10.000 ltr)
Nilai
(Rp/hari)
Nilai
( Rp/tahun)
Pola Kemitraan 1.027,58 2.200,00 2.200,00 798.600,00
Pola Mandiri 1.233,10 2.200,00 2.200,00 798.600,00
Berdasakan Tabel 16 dapat dilihat bahwa, jumlah rata-rata penggunaan air
per hari pada kelompok pengusaha tempe pola kemitraan adalah sebesar 1.027,58
liter dengan harga beli air sebesar Rp 2.200,00/hari. Sedangkan jumlah rata-rata
penggunaan air pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri adalah sebesar
1.233,10 liter/hari dengan harga beli air sebesar Rp 2.200,00/hari. Penggunaan
rata-rata air oleh kedua pengusaha menunjukan adanya perbedaan dimana jumlah
rata-rata air yang digunakan oleh pengusaha pola mandiri lebih banyak jika
dibandingkan dengan rata-rata penggunaan air pengusaha pola kemitraan. Hal ini
disebabkan pengusaha pola kemitraan hanya melakukan pencucian setelah
penggilingan kedelai sebanyak satu kali saja, sedangkan pengusaha pola mandiri
mencucinya sebanyak dua kali setelah penggilingan karena untuk memperoleh
hasil pencucian yang lebih bersih guna menghasilkan proses fermentasi yang lebih
baik, serta merupakana anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor.
Dalam penentuan harga air ini peneliti mengacu pada harga air yang di
tetapkan oleh PADM (Perusahaan Daerah Air Minum) Tirta Kahuripan
Kabupaten Bogor karena pada faktanya pengusaha baik pola kemitraan maupun
pola mandiri tidak mengeluarkan biaya dalam penggunaan air. Sehingga dengan
adanya acuan tersebut peneliti mengasumsikan bahwa para pengusaha
menggunakan air dari PDAM dan mendapat harga sebagaimana yang ditetapkan
oleh PDAM Tirta Kahuripan yang menetapkan harga air untuk kelas rumah
tangga adalah sebesar Rp 2.200,00 / 0-10.000 liter air . Hal ini dimaksudkan agar
mendpatkan nilai dari biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha dalam penggunaan
air untuk proses produksi tempe.
47
6.4.1.4 Tenaga Kerja (HOK)
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat
berpengaruh terhadap suatu kegiatan. Tenaga kerja yang digunakan dapat berupa
tenaga mekanik (mesin giling) dan tenaga kerja manusia. Tenaga kerja mekanik
(mesin giling) digunakan untuk melakukan pengolahan pemecahan kedelai karena
dengan menggunakan tenaga masin giling, memecah kedelai menjadi lebih cepat
dan lebih efektif, sedangkan tenaga kerja manusia digunakan untuk melakukan
pengolahan kedelai setelah dipecah dan direbus seperti mencuci kedelai sebelum
dan sesudah merebus, meniriskan kedelai setelah dicuci, memberikan ragi,
mencetak kedelai kedalam kantong plastik, menata di rak fermentasi (kre dan
bambu plandangan), distribusi tempe, dan penjualan langsug kepada konsumen.
Kebutuhan tenaga kerja manusia yang digunakan pengusaha tempe pola
kemitran atupun pola mandiri tidak hanya menggunakan tenaga kerja luar
keluarga, namun juga menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang biasanya
sering terabaikan dalam perhitungan struktur biaya usaha ini. Kebutuhan tenaga
kerja untuk setiap aktivitas usaha berbeda antara satu pengusaha tempe dengan
pengusaha lainnya disesuaikan dengan kapasitas produksi yang dikerjakan, namun
secara keseluruhan jumlah penggunaan tenaga kerja untuk pengusaha tempe pola
kemitraan dan pola mandiri setiap harinya tidak hampir. Secara terperinci jumlah
rata-rata tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tempe pola kemitraan dan pola
mandiri dapat dilihat pada Tabel 17 dan Lampiran 5.
Tabel 17 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola kemitraan
dan pola mandiri
No Kategori
Pengusaha Kategori
HOK
Rata-rata
Tenaga Kerja (HOK)
Harga
Rata-rata (Rp/trip)
Nilai (Rp/hari)
Nilai ( Rp/tahun)
1 Pola
Kemitraan Keluarga 2,00 50.000,00 83.333,33 30.250.000,00
Non Keluarga 1,00 50.000,00 29.166,67 10.587.500,00
2 Pola
Mandiri
Keluarga 2,00 50.000,00 75.000,00 27.225.000,00
Non Keluarga 1,00 50.000,00 30.000,00 10.890.000,00
Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa perbandingan kebutuhan rata-
rata tenaga kerja usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri tidak jauh berbeda
dan sama-sama didominasi oleh kenaga kerja dalam keluarga. Dari Tabel diatas
dapat kita lihat bahwa rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam keluarga baik pada
48
kelompok usaha pola kemitraan maupun usaha pola mandiri adalah sebanyak 2
orang, dan jumlah rata-rata tenaga kerja luar keluaga adalah 1 orang.
Kebutuhan tenaga kerja dalam usaha tempe ini tidak banyak, hal ini dikarenakan
skala usaha yang mereka jalankan juga tidak terlalu besar. Tenaga kerja dalam
keluarga mendominasi usaha tempe ini karena dengan menggunakan tenaga kerja
dalam keluarga pengusaha akan menghemat biaya langsung tunai yang di
keluarkan.
Pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri dalam memberikan upah
kepada tenaga kerja luar keluarga rata-rata sama besar yaitu Rp 50.000/hari. Upah
ini berlaku bagi tenaga kerja wanita dan juga tenaga kerja laki-laki. Dalam
menentukan nilai upah tenaga kerja biasanya pengusaha tempe baik pengusaha
pola kemitraan maupun pola mandiri mengadakan kesepakatan antar pengusaha
supaya besaran upah yang di berikan kepada tenaga kerja sama besar. Hal ini
dilakukan agar tidak ada perselisihan antar tenaga kerja yang bekerja dalam usaha
yang sama. Rata-rata upah yang harus di bayarkan oleh pengusaha tempe pola
kemitraan untuk tenaga kerja dalam keluarga adalah sebesar Rp 83.333,33/hari,
dan rata-rata upah yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja luar keluarga adalah
sebesar Rp 29,166.67/hari. Sedangkan upah rata-rata yang harus dibayarkan oleh
pengusaha pola mandiri kepada tenaga kerja dalam keluarga adalah sebesar Rp
75.000,00/hari, dan rata-rata upah yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja luar
keluarga adalah sebesar Rp 30.000,00/hari.
6.4.2 Hasil Uji Statistik Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
Faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi usaha tempe pada
pengusaha pola kemitraan yaitu kedelai, ragi, air, tenaga kerja. Pendugaan fungsi
produksi ini dilakukan dengan menguji faktor-faktor produksi menggunakan
metode statistik dan pengujian asumsi ekonometrika dengan menggunakan
perangkat lunak Minitab 15. Model fungsi produksi yang digunakan dalam
menduga faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah produksi tempe adalah model
fungsi Cobb-Douglas dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil
analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe kelompok pengusaha pola
kemitraan dapat dilihat pada Tabel 18 dan lampiran 6.
49
Tabel 18 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola kemitraan
Prediktor Koefisien SE Koef T-Hitung P-Value VIF
Konstanta 0,47 0,15 3,21 0,02
Kedelai 0,85 0,02 51,31 0,00*
4,30
Ragi -0,04 0,02 -1,88 0,10**
5,86
Air 0,04 0,04 2,10 0,07**
6,25
Tenaga Kerja (HOK) -0,02 0,03 -0,06 0,96 1,27
R-sq 99,90% R-sq(ad) 99,90% Analisi Varians
Sumber DF SS MS F P
Regresi 4 3,14 0,78 2861,57 0,00
Kesalahan Sisaan 7 0,00 0,00 Total 11 3,14
Keterangan: * Nyata pada taraf α 1% ** Nyata pada taraf α 10%
Berdasarkan Tabel 18, model statistik untuk menduga faktor-faktor
produksi yang berpengaruh terhadap produksi tempe pengusaha pola kemitraan
dapat dikatakan layak serta memenuhi kriteria. Alasan ini dapat dilihat dari nilai
R-sq(adj) pada model produksi yang dihasilkan yaitu sebesar 99,90% berarti
menyatakan bahwa variabel-variabel kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja dapat
menjelaskan keragaman dari produksi tempe sebesar 99,90% dan sisanya 0,10%
dari keragaman model produksi tempe dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang
ada di luar model. Nilai F-hitung sebesar 2861,57 dengan nilai p-value 0,000
menjelaskan bahwa secara umum variabel-variabel faktor produksi dalam model
berpengaruh nyata secara bersama-sama terhadap produksi tempe pola kemitraan
di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang.
Nilai koefisien regresi dari variabel-variabel bebas dalam model fungsi
produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel
tersebut, atau bisa disebut sebagai nilai besarnya pengaruh variabel tersebut
terhadap produsi tempe pola kemitraan. Jumlah total nilai elastisitas dari variabel-
variabel bebas pada fungsi produksi tempe pola kemitraan diperoleh sebesar 0,83.
Jumlah elastisitas produksi tersebut ini bernilai kurang dari satu, artinya
menunjukkan bahwa skala usaha tempe pola kemitraan berada pada kondisi
decreasing return to scale, yang berarti bahwa proporsi penambahan input
50
produksi akan menghasilkan tambahan output produksi yang proporsinya lebih
kecil daripada input produksi yang ditambahkannya. Variabel-variabel yang
diduga berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraa di Desa Cimanggu
Iadalah sebagai berikut.
a. Kedelai
Kualitas tempe yang baik akan sangat tergantung pada kualitas kedelai
yang digunakan dalam memproduksi tempe, sangat penting pengusaha tempe
memperhatikan kualitas dari kedelai yang digunakan sebagau input produsinya.
Semkain baik kualitas kedelai maka akan menghasilakan kualits tempe yang lebih
baik pula. Hasil regresi menunjukkan bahwa kedelai memiliki hubungan yang
positif terhadap produksi tempe pola kemitraan yang berarti bahwa semakin
banyak kedelai yang digunakan maka output produksi tempe yang dihasilkan
diduga akan semakin meningkat pula. Berdasarkan hasil regresi, nilai elastisitas
kedelai adalah sebesar 0,85 yang berarti bahwa setiap kenaikan penggunaan
kedelai sebesar 1% maka diduga akan meningkatkan produksi tempe sebesar
0,85% (ceteris paribus). Kedelai yang digunakan pengusaha tempe pola kemitraan
merupakan kedelai impor dengan kualitas yang baik, sehingga dengan kualitas
kedelai yang baik menghasilkan hasil produksi tempe yang baik pula. Hal ini
terbukti dengan nilai p-value kedelai yang kurang dari taraf nyata hingga 15%,
artinya menunjukkan bahwa penggunaan kedelai yang baik memiliki pengaruh
yang nyata terhadap output produksi tempe yang dihasilkan.
b. Ragi
Penggunaan ragi memiliki hubungan yang negatif terhadap produksi
tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
koefisien faktor produksi dari ragi adalah sebesar -0,04. Hal ini berarti bahwa
setiap kenaikan penggunaan ragi sebesar 1% diduga akan menurunkan produksi
tempe sebesar 0,04% (ceteris paribus). Penggunaan ragi dalam pegusaha pola
kemitraan ini berpengaruh nyata terhadap produksi tempe pola kemitraan. Hal ini
dapat dilihat dari p-value ragi sebagai variabel faktor produksi sebesar 0,10 yang
lebih kecil dari taraf nyata hingga α 15%.
51
c. Air
Air merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam proses produksi
tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I. Penggunaan air sangat dibutuhkan
dalam usaha tempe karena air digunakan dalam banyak proses dalam
memproduksi tempe. Air digunaka untuk mencuci, merebus, dan mencuci kedelai
yang telah direbus, dan merendam dalam penghilangan asam pada kedelai.
Sehingga peran air dalam memproduksi tempe sangat dibutuhkan keberadaannya
oleh pengusaha pola kemitraan. Hasil uji statistik pada model fungsi produksi
tempe pengusaha pola kemitraan menunjukkan bahwa koefisien regresi air
memiliki tanda yang positif sebesar 0,04 dengan p-value 0,07. Hal ini berarti
setiap kenaikan penggunaan air sebesar 1% diduga akan meningkatkan produksi
usaha tempe sebesar 0,04% (ceteris paribus). Penggunaan air dalam penelitian ini
berpengaruh secara nyata terhadap produksi tempe. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai p-value air sebagai faktor produksi sebesar 0,074, dimana nilai tersebut
kurang dari taraf nyata hingga α 15%.
d. Tenaga Kerja (HOK)
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja sebagai
salah satu variabel faktor produksi bernilai negatif, yaitu -0,03 dengan p-value
sebesar 0,956. Hal ini berarti setiap penambahan 1% penggunaan tenaga kerja
diduga akan menurunkan produksi tempe sebesar 0,03% (ceteris paribus).
Penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini berpengaruh secara tidak nyata pada
taraf α 15%. Sehingga penambahan tenaga kerja pada usaha tempe pola
kemitraaan akan megurangi jumlah produksi tetapi dalam jumlah yang sedikit
pengurangannya yaitu sebesar 0,03%. Hal ini terjadi karena usaha tenpe pola
kemitran merupakan usaha yang skalanya sangat kecil dimana dapat dikerjakan
oleh satu atau dua orang tanaga kerja, sehingga jika ada penambahan tenaga kerja
malah akan menimbulkan inefisien dalam produksi yang berakibat pada
penuruanan output produksi.
52
Uji Kriteria Ekonometrika
a. Uji Multikolinearitas
Tujuan dari adanya uji multikolinearitas terhadap suatu model regresi
berganda adalah untuk memastikan tidak adanya hubungan linear kuat yang
terjadi antara variabel-variabel bebas (independen) yaitu kedelai, ragi, air, dan
tenaga kerja. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat nilai dari Variance
Inflation Factor (VIF) pada model hasil regresi tersebut. Suatu model dikatakan
memiliki multikolinearitas jika nilai VIF dari setiap variabel bebas pada model
bernilai lebih dari 10. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 19, nilai VIF dari
keempat faktor yang menjadi variabel bebas pada model memiliki nilai kurang
dari 10. Artinya ini menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model
regresi untuk produksi usaha tempe pola kemitraan tidak memiliki hubungan
linear satu sama lain antara variebel-variabel bebas.
b. Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas
Uji stasistik Kolmogorov-Smirnov (KS) dalam penelitian ini digunakan
untuk menguji kenormalam (Uji normalitas) untuk model produksi tempe pola
kemitraan, dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil yang diperoleh pada uji KS
tersebut yaitu nilai rata-rata -1,33227E-15, nilai standar deviasi 0,01321, jumlah
pengamatan 12 reponden, nilai Kolmogorov-Smirnov (KS) 0,235, dan p-value
0,066. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa nilai KS-hitung (0,235) lebih
kecil daripada KS-Tabel (0,375). Hal ini menunjukkan bahwa residual responden
telah mengikuti distribusi secara normal, sehingga asumsi kenormalan residual
dikatakan telah terpenuhi.
Tujuan dari uji heteroskedastisitas terhadap suatu model regresi berganda
dilakukan untuk memastikan varian unsur gangguan (error) adalah konstan.
Model regresi yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas.
Pendeteksian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu
dengan melihat pola penyebaran titik-titik pada scatterplot. Model regresi
dikatakan memenuhi asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada grafik
tidak membentuk pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik
menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y (Hidayat, 2013). Gambar
53
2 (a) dan (b) masing-masing menunjukkan sebaran kenormalan residual dan
homoskedastisitas dari model regresi berganda pengusaha pola kemitraan.
Gambar 2. Gambar grafik model regresi produksi usahatani tempe pola
kemitraan
(a) Grafik Uji Kenormalan
(b) Grafik Homoskedastisitas
Model fungsi produksi untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah produksi tempe pola mandiri hampir sama dengan model fungsi produksi
tempe pola kemitraan. Faktor produksi yang menjadi variabel bebas (independen)
untuk fungsi produksi tempe pola mandiri yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga
kerja. Secara rinci hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola
mandiri dapat dilihat pada Tabel 19 dan Lampiran 7.
Tabel 19 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola mandiri
Prediktor Koefisien SE Koef T-Hitung P-Value VIF
Konstanta 0,67 0,24 2,77 0,04 Kedelai 0,85 0,04 21,54 0,00
* 9,03
Ragi 0,00 0,05 0,08 0,94 7,23
Air 0,01 0,04 0,25 0,81 8,12
Tenaga Kerja (HOK) 0,13 0,13 1,00 0,36 4,45
R-sq 99,90% R-sq(ad) 99,80% Analisi Varians
Sumber DF SS MS F P
Regresi 4 235,749 0,58937 1111,03 0,000
Kesalahan Sisaan 5 0,00265 0,00053 Total 9 236,014
Keterangan: * Nyata pada taraf α 1%
(a) (b)
54
Berdasarkan data pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa model statistik regresi
berganda untuk menduga faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap
produksi tempe pengusaha pola mandiri dapat dikatakan layak dan memenuhi
kriteria. Karena dapat dilihat bahwa nilai R-sq(adj) dari model produksi yaitu
sebesar 99,80% yang menyatakan bahwa variabel-variabel independen seperti
kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja dapat menjelaskan keragaman dari produksi
tempe sebesar 99,80% dan sisanya sebesar 0,20% dari keragaman model produksi
tempe dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang ada di luar model. Nilai F-
hitung sebesar 1111,03 dengan nilai p-value 0,000 menjelaskan bahwa secara
umum variabel-variabel faktor produksi dalam model berpengaruh nyata secara
bersama-sama terhadap produksi tempe pola mandiri.
Berdasarkan Tabel dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi dari
variabel-variabel bebas dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan
nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut, atau bisa disebut sebagai
nilai besarnya pengaruh variabel tersebut terhadap produsi tempe pola mandiri.
Jumlah total nilai elastisitas dari variabel-variabel bebas (independen) pada fungsi
produksi tempe pola kemitraan diperoleh sebesar 0,99. Jumlah elastisitas produksi
tersebut bernilai kurang dari satu yang menunjukkan bahwa skala usaha tempe
pola kemitraan berada pada kondisi decreasing return to scale. Artinya bahwa
proporsi penambahan input produksi akan menghasilkan tambahan output
produksi yang proporsinya lebih kecil dari penambahan input produksi yang
ditambahkannya. Berikut adalah Variabel-variabel yang diduga berpengaruh
terhadap produksi tempe pola mandiri.
a. Kedelai
Hasil regresi berganda pada Tabel diatas menunjukkan bahwa kedelai
memiliki hubungan yang positif terhadap output produksi tempe pola mandiri
yang berarti bahwa semakin banyak kedelai yang digunakan maka diduga output
produksi tempe yang dihasilkan akan meningkat pula. Berdasarkan hasil pada
Tabel diatas, nilai elastisitas kedelai sebesar 0,85 yang berarti bahwa setiap
penambahan penggunaan kedelai sebesar 1% diduga akan meningkatkan produksi
tempe sebesar 0,85% (ceteris paribus). Kedelai yang digunakan pengusaha tempe
pola mandiri merupakan kedelai kualitas impor yang baik sama halnya dengna
55
kedelai yang digunakan pengusaha pola kemitraan, sehingga dengan kualitas
kedelai yang baik menghasilkan hasil output produksi yang baik pula. Hal ini
terbukti dengan nilai p-value kedelai yang kurang dari taraf nyata hingga 15%
menunjukkan bahwa penggunaan kedelai yang baik dalam penelitian ini memiliki
pengaruh yang nyata terhadap produksi tempe.
b. Ragi
Berbeda dengan penggunaan ragi pada pengusaha pola kemitraan yang
memiliki hubungan negatif terhadap output produksi tempe, pada pengusaha pola
mandiri ragi justru memikiki hubungan positif terhadap output produksi. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa nilai koefisien dari ragi adalah sebesar 0,004. Hal ini
berarti bahwa setiap kenaikan ragi yang digunakan sebesar 1% diduga akan
meningkatkan output produksi sebesar 0,004% (ceteris paribus). Penggunaan ragi
dalam penelitian ini berpengaruh tidak nyata terhadap produksi tempe pola
kemitraan. Hal ini dapat dilihat dari p-value ragi sebagai variabel faktor produksi
sebesar 0,94 yang lebih besar dari taraf nyata hingga α 15%. Penggunaam ragi
oleh pengusaha pola mandiri berada di atas normal dari yang seharusnya
digunakan, sehingga pengaruh kenaikan penggunaan ragi dirasakan tidak nyata
oleh pengusaha pola mandiri.
c. Air
Hasil uji statistik pada model fungsi produksi tempe pengusaha pola
mandiri menunjukkan bahwa koefisien regresi air memiliki tanda yang positif
sebesar 0,01 dengan p-value 0,81. Hal ini berarti setiap kenaikan penggunaan air
sebesar 1% diduga akan meningkatkan output produksi sebesar 0,01% (ceteris
paribus). Penggunaan air dalam penelitian ini berpengaruh secara tidak nyata
terhadap produksi tempe. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value air sebagai
faktor produksi sebesar 0,81 dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata α
15%. Fungsi air pada produksi tempe dirasakan secara tidak nyata oleh pengusaha
pola mandiri dalam pemenuhan kebutuhan air untuk pengelolaan usahanya.
d. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi usaha tempe dapat
memberikan pengaruh yang positif jika penggunaan tenaga kerja dilakukan
dengan efisien. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja
56
bernilai positif, yaitu 0,13 dengan p-value sebesar 0,36. Hal ini berarti setiap
penambahan 1% penggunaan tenaga kerja diduga akan menaikan produksi tempe
sebesar 0,13% (ceteris paribus). Penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini
berpengaruh secara tidak nyata pada taraf α 15% karena nilai P-value adalah
sebesar 0,36 dan lebih besar dari taraf nyata α 15%.
Uji Kriteria Ekonometrika
a. Uji Multikolinearitas
Tujuan dari uji multikolinearitas terhadap suatu model regresi berganda
adalah untuk memastikan tidak adanya hubungan linear yang terjadi antara
variabel-variabel bebas (independen) yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja.
Cara melakukan pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai dari Variance
Inflation Factor (VIF) dari model. Suatu model dikatakan memiliki
multikolinearitas jika nilai VIF dari setiap variabel pada model hasil tegresi
bernilai lebih dari 10. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 20 diatas, nilai
VIF dari keempat faktor yang menjadi variabel bebas (indpoenden) pada model
memiliki nilai kurang dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel
independen dalam model regresi untuk produksi tempe pola mandiri tidak
memiliki hubungan linear satu sama lain sesame variabel bebasnya.
b. Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas
Uji statistik Kolmogorov-Smirnov (KS) dilakukan untuk melihat
kenormalan (Uji normalitas) pada model produksi tempe pola kemitraan di Desa
Cimanggu I, secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh pada
uji Kolmogorov-Smirnov (KS) tersebut yaitu nilai rata-rata 4,440892E-17, nilai
standar deviasi 0,01717, jumlah pengamatan 10 reponden, nilai Kolmogorov-
Smirnov (KS) 0,287, dan p-value 0,029. Terlihat bahwa nilai KS-hitung (0,287)
lebih kecil dari KS-Tabel (0,409). Sehingga bisa dikatakan bahwa residual telah
mengikuti distribusi secara normal, sehingga asumsi kenormalan residual telah
terpenuhi.
Uji heteroskedastisitas terhadap suatu model regresi berganda dilakukan
untuk memastikan varian unsur gangguan (eror) adalah konstan. Model regresi
yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas. Pendeteksian
57
heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu dengan melihat
pola penyebaran titik-titik pada scatterplot. Model regresi dikatakan memenuhi
asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada grafik tidak membentuk
pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik menyebar di atas
dan di bawah angka nol pada sumbu Y (Hidayat, 2013). Gambar 3 (a) dan (b)
masing-masing menunjukkan sebaran kenormalan residual dan homoskedastisitas.
Gambar 3. Gambar grafik Model Regresi Produksi Usaha Tempe Pola
Mandiri
(a) Grafik Uji Kenormalan
(b) Grafik Homoskedastisitas
6.5 Analisis Perbandingan Pendapatan Usaha Tempe Pola Kemitraan
dan Pola Mandiri
6.5.1 Output
Output usaha tempe yaitu berupa tempe itu sendiri yang siap jual dan telah
mengalami pengolahan dan proses fermentasi sebelumnya. Tempe merupakan
satu-satunya output yang dihasilakan oleh kedua pengusaha baik pola kemitraan
maupun pola mandiri. Tempe inilah yang menjadi hasil utama pengusaha dalam
melakukan usahanya sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi pengusaha tempe
untuk memenuhu kebutuhan usaha dan keluarganya. Tempe yang dihasilakan
tersebut dijual kepada konsumen langsung, baik konsumen di pasar maupun
konsumen yang langsung di antar ke rumah masing-masing oleh penjual keliling.
Tempe hasil olahan yang telah jadi atau siap jual harus segera dijual karena tempe
yang di olah oleh pengusaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri tidak
(a) (b)
58
menggunakan bahan pengawet. Sehingga jika tempe yang sudah jadi tersebut
tidak segera dipasarkan maka akan tumbuh jamur dan tempe tersebut takan laku
dijual. Pengusaha tidak menggunakan pengawet kedalam olahan tempe tersebut
karena pengusaha memahami hal tersebut kurang baik bagi kesehatan masyarakat
dalam jangka panjang.
Harga rata-rata tempe yang dihasilkan dan sudah siap jual berdasarkan
informasi dari hasil penelitian kelompok pengusaha pola kemitraan adalah sebesar
Rp 13.791,67/kg, sedangkan harga rata-rata tempe pada kelompok pengusaha pola
mandiri tida jauh berbeda yaitu sebesar Rp 13.800/kg. Data hasil produksi dan
produktivitas tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada
Tabel 20 dan Lampiran 1.
Tabel 20 Jumlah produksi dan produktivitas tempe pola kemitraan dan pola
mandiri
Waktu Produksi
Kategori Pengusaha
Input Total (Kg)
Output Total (kg)
Output
Rata-rata (kg/org)
Produktivitas (kg/1 Kg Kedelai)
Per Hari
Kemitraan
855,00 1.017,00 84,77 1,19
Per Bulan 25.650,00 30.510,00 2.542,50 1,19
Per Tahun 310.365,00 369.171,00 30.771,51 1,19
Waktu Produksi
Kategori Pengusaha
Input Total (Kg)
Output Total (kg)
Output Rata-rata (kg/org)
Produktivitas (kg/1 Kg Kedelai)
Per Hari
Mandiri
725,00 868,50 86,85 1,20
Per Bulan 21.750,00 26.055,00 2.605,50 1,20
Per Tahun 263.175,00 315.265,50 31.526,55 1,20
Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa output produksi rata-rata
tempe pola mandiri lebih besar daripada output produksi rata-rata tempe
pengusaha pola kemitraan. Berdasarkan Tabel 21 diatas total rata-rata output
pengusaha tempe pola kemitraan adalah sebesar 30.771,51 kg dalam satu tahun
dengan produktivitas rata-rata menghasilkan 1,19 kg tempe/1 kg kedelai.
Sedangkan total rata-rata output pada pengusaha tempe pola mandiri sebesar
31.526,55 kg dalam satu tahun dengan produktivitas rata-rata menghasilkan 1,20
kg tempe/1 kg kedelai. Hal ini dikarenakan teknik produksi pengusaha pola
mandiri lebih baik karena menggunakan cara yang di anjurkan KOPTI daripada
teknik produksi pengusaha pola kemitraan yang masih menggunakan cara
tradisional. Hampir seluruh kelompok pengusaha pola mandiri yang merupakan
59
responden dalam penelitian ini adalah merupakan anggota dari kelompok pola
kemitraan sebelumnya. tetapi mereka keluar dari keanggotaan dengan alasan tidak
ada keuntungan yang berarti dengan adanya kerjasama dengan koperasi (KOPTI).
Akan tetapi untuk pengetahuan pengolahan tempe yang baik meski saat ini
mereka adalah non anggota kemitraan tetapi secara teori mereka pernah mendapat
penyuluhan bagaimana memproduksi tempe yang baik. Lain hal dengan kelompok
pola kemitraan yang saat ini masih menjadi anggota KOPTI malah masih
menggunakan cara-cara lama yang biasa lakukan dan mengabaikan instruksi dari
KOPTI ketika penyuluhan.
6.5.2 Penerimaan
Penerimaan usaha tempe merupakan jumlah output dikalikan dengan harga
yang berlaku terhadap output tersebut. Penerimaan ini merupakan pendapatan
kotor sebelum dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan selama melakukan proses
produksi. Output berupa tempe yang siap dijual dengan harga yang berlaku di
pasar untuk masing-masing usaha sehingga akan diperoleh penerimaan kotor.
Perbandingan penerimaan pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
dapat dilihat pada Tabel 21 dan Lampiran 8.
Tabel 21 Penerimaan usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
Kategori Pengusaha Penerimaan rata-rata (Rp)
Hari Bulan Tahun
Kemitraan 1.165.750,00 34.972.500,00 423.167.250,00
Mandiri 1.210.925,00 36.327.750,00 439.565.775,00
Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa penerimaan rata-rata pengusaha
pola kemitraan sebesar Rp 423.167.250,00 dalam satu tahun, sedangkan
penerimaan rata-rata pengusaha pola mandir sebesat Rp 439.565.775,00 dalam
satu tahun. Dimana rata-rata penerimaan pada kelompok pengusaha mandiri lebih
besar daripada rata-rata penerimaan pada kelompok pengusaha pola kemitraan.
Hal ini disebabkan oleh output produsi yang yang dihasilkan oleh pengusaha pola
mandiri lebih banyak daripada output produksi yang dihasilkan oleh pengusaha
pola kemitraan.
60
6.5.3 Biaya
Biaya merupakan suatu pengeluaran yang harus dibayarkan atas segala
sesuatu yang dibutuhkan ketika melakukan suatu kegiatan, baik kegiatan ekonomi
mupun kegiatan lainnya. Biaya usaha yang ada dalam usaha tempe merupakan
komponen dari pemakain barang atau jasa untuk keperluan usaha tempe yang
harus dikeluarkan oleh pengusaha tempe selama masa produksi dan penjualan
berlangsung. Biaya usaha tempe terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.
Menurut Hernanto (1996), biaya tetap merupakan biaya yang penggunaannya
tidak habis dalam satu masa produksi. Kelompok biaya ini antara lain pajak tanah,
pajak air, penyusutan alat dan bangunan, pemeliharaan drum, pemeliharaan rak
kayu dan kre, bambu plandangan dan lain sebagainya. Biaya variabel merupakan
biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada biaya skala produksi.
Tergolong dalam kelompok biaya ini antara lain biaya untuk kedelai, gas, ragi,
plastik, air, buruh atau tenaga kerja, dan transportasi. Secara rinci biaya usaha
tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Biaya usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
(Rupiah/tahun)
No.
Uraian Biaya
Pengusaha
Pola Kemitraan
Pengusaha Pola
Mandiri
1 Biaya Tunai
Biaya Tetap Sewa Bangunan 2.880.000,00 2.970.000,00
Penyusutan Alat Produksi 643.152,78 641,141.67
Biaya Variabel Kedelai 239.338.000,00 238.218.750,00
Ragi 2.413.647,50 2.319.570,00
Gas 8.659.818,75 9.020.550,00
Air 798.600,00 798.600,00
Tenaga Kerja Luar Keluarga 10.587.500,00 10.890.000,00
Plastik 11.116.875,00 13.068.000,00
Transportasi 10.496.750,00 10.890.000,00
Sub Total
286.934.444,03 288.816.611,67
2 Biaya Non Tunai
Biaya Variabel Tenaga Kerja Dalam Keluarga 30.250.000,00 27.225.000,00
Sub Total
30.250.000,00 27.225.000,00
Total Biaya
317.184.444,03 316.041.611,67
61
Tabel 22 menunjukan bahwa biaya total usaha tempe pola mandiri lebih
kecil dari biaya usaha tempe pola kemitraan. Biaya total yang dikeluarkan oleh
pengusaha pola mandiri sebesar Rp 316.041.611,67 dalam satu tahun. Sedangkan
biaya total yang dikeluarkan oleh pengusaha pola kemitraan dalam satu tahun
sebesar Rp 317.184.444,03. Biaya tersebut merupakan jumlah total rata-rata dari
biaya tunai dan non tunai yang dikeluarkan dalam satu tahun. Biaya tunai yang
dikeluarkan memiliki proporsi yang lebih besar dari pada biaya non tunai dalam
struktur biaya usaha tempe. Hal ini dikarenakan dalam melakukan suatu aktivitas
produksi usaha tempe input yang digunakan untuk proses produksi harus
tercukupi kebutuhannya, baik berupa biaya tunai yang langsung dikeluarkan oleh
pengusaha maupun biaya hitung yang secara nyata tidak dikeluarkan sebagai
biaya namun pada kenyataannya biaya tersebut harus dikeluarkan dalam aktivitas
produksi tempe, sehingga pengusaha harus memiliki modal untuk dapat
memenuhi kebutuhan produksi tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh, alokasi biaya yang paling besar
dikeluarkan oleh pengusaha pola kemitraan yaitu untuk keperluan bahan baku
kedelai. Penggunaan kedelai untuk usaha tempe usaha pola kemitraan dalam satu
tahun adalah sebesar Rp 239.338.000,00. Hal yang sama alokasi biaya terbesar
yang harus dikeluarkan oleh pengusaha pola mandiri yaitu untuk biaya
penyediaan bahan baku kedelai dimana biaya yang harus dikekurkan adalah
sebesar Rp 238.218.750,00. Sedangkan biaya terkecil yang harus dikeluaran oleh
penguasaha pola kemitraan maupun pola mandiri adalah biaya penggunaan air
yaitu sebesar Rp 798.600 dalam satu tahun. Biaya yang harus dikeluarkan sama
besar karena dengan asumsi menggunakan air dari PDAM tirta kahuripan
Kabupaten Bogor.
6.5.4 Pendapatan
Setiap pelaku usaha dalam ekonomi memiliki suatu tujuan dalam
usahanya, tak lain adalah memperoleh pendapatan dari apa yang dihasilkan pada
usaha tersebut. Selain itu tujuan utama dari aktivitas ekonomi adalah untuk
memperoleh keuntungan yang maksimum dengan menggunakan pengeluaran
biaya yang minimum. Suatu usaha dikatakan menguntungkan jika selisih antara
62
penerimaan dengan pengeluaran bersifat positif. Pendapatan usaha pada penelitian
ini dianalisis berdasarkan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya
total. Pendapatan atas biaya tunai pada penelitian ini diperoleh dari selisih antara
total penerimaan dengan biaya tunai, sedangkan pendapatan atas biaya total
diperoleh dari selisih antara total penerimaan dengan biaya total. Pendapatan atas
biaya total akan lebih rendah dari pada pendapatan atas biaya tunai, karena dalam
analisis pendapatan atas biaya total memperhitungkan biaya tenaga kerja dalam
rumah tangga, sedangkan pada analisis pendapatan atas biaya tunai tidak
memperhitungkan biaya tenaga kerja dalam keluarga tersebut. Secara rinci
perbandingan pendapatan pengusaha pola kemitraan dan pola mandirii dapat
dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23 Perbandingan pendapatan usaha tempe pola kemitraan dan pola
mandiri (Rp/tahun)
No. Uraian
Pendapatan
Pengusaha
Pola Kemitraan
Pengusaha
Pola Mandiri
1 Penerimaan Pengusaha Tempe 423.167.250,00 439.565.775,00
2 Biaya Usaha
a. Total Biaya Tunai 286.934.444,03 288.816.611,67
b. Total Biaya Non Tunai 30.250.000,00 27.225.000,00
c. Total Biaya (a+b) 317.184.444,03 316.041.611,67
3
Pendapatan Atas Biaya Tunai
(1-2a) 136.232.805,97 150.749.163,33
4
Pendapatan Atas Biaya Total
(1-2c) 105.982.805,97 123.524.163,33
Berdasarkan data yang diperoleh dari Tabel 23, penerimaan total pegusaha
pola kemitraan yaitu sebesar Rp 423.167.250,00 per tahun sedangkan penerimaan
total pengusaha pola mandiri adalah sebesar Rp 439.565.775,00 per tahun.
Perbedaan penerimaan kedua usaha tersebut disebabkan perbedaan hasil produksi
yang didapat oleh masing-masing usaha. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, pengusaha tempe pola mandiri mengikuti anjuran dari pemerintah
mengenai pedoman serta tata cara dalam memproduksi tempe sehingga hasil yang
diperoleh pengusaha pola mandiri lebih besar dari pada pengusaha pola kemitraan.
Berdasarkan Tabel 23 pula dapat dilihat bahwa biaya total usaha tempe
pola kemitraan adalah sebesar Rp 317.184.444,03 dalam satu tahun. Biaya ini
memiliki proporsi yang lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan oleh
63
pengusaha pola mandiri yaitu sebesar Rp 316.041.611,67 dalam satu tahun. Biaya
tersebut merupakan jumlah total dari rata-rata biaya tunai dan biaya non tunai dari
pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri. Biaya tunai terdiri atas
pengeluaran biaya untuk pembelian input produksi berupa kedelai, ragi, gas, air,
plastik, dan tenaga kerja, dan penyusutan alat-alat pertanian. Biaya non tunai yang
harus diperhitungkan dalam struktur biaya yaitu berupa pemberian upah terhadap
tenaga kerja dalam keluarga.
Pendapatan usaha tempe yang diperoleh pengusaha pola kemitraan dan
pola mandiri bernilai positif yang artinya kedua pengusaha tersebut memperoleh
keuntungan atas usaha yang mereka jalankan. Pendapatan atas biaya total
pengusaha pola mandiri pada penelitian ini memiliki jumlah yang lebih tinggi
yaitu sebesar Rp 150.749.163,33 daripada pengusaha tempe pola kemitraan yaitu
sebesar Rp 136.232.805,97 dalam satu tahun. Adanya perbedaan pendapatan atas
biaya total ini dikarenakan pengusaha pola mandiri memiliki rata-rata jumlah
produksi yang lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata jumlah produksi yang
dihasilkan oleh pengusaha pola kemitraan. Sedangkan untuk frekuensi produkdi
baik pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri memiliki frekuensi produksi
yang sama yaitu setiap hari melakukan produksi dalam kurun waktu satu tahun
selama ketersediaan bahan baku ada.
Peran penyuluhan dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil
produksi tempe jika pengusaha dengan benar menerapkan tata cara memproduksi
yang dianjurkan oleh penyuluh dari KOPTI. Hal itu tentu saja dapat memberikan
tambahan pendapatan kepada pengusaha karena adanya kenaikan hasil output
produksi. Peran penyuluhan tidak akan dirasakan jika saja pengusaha masih
menggunakan pola tradisional seperti yang dilakukan pengusaha pola kemitraan,
yaitu dapat dilihat dari rata-rata total output yang dihasilkan lebih kecil daripada
yang dihasilakan oleh pengusaha pola mandiri, sekaligus perbedaan hasil output
ini mempengaruhi total pendapatan dari masing-masing pola usaha, yang mana
total pengusaha pola mandiri memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada
total pendapatan pengusaha pola kemitraan dalam satu tahun.
64
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan terhadap penelitian yang telah
dilakukan, simpulan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Karakteristik sosial pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri adalah
mayoritas usia pengusaha pola kemitraan berada pada range 40-50 tahun,
begitupula dengan mayoritas usia pengusaha pola mandiri yang sama berada
pada range usia 40-50 tahun. Tingkat pendidikan mayoritas pada kedua pola
pengusaha tersebut adalah lulusan SD dan pengalaman usaha pada kedua pola
pengusaha mayoritas antara 20-25 tahun.
2. Pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri sama-sama menggunakan input
kedelai sebagai bahan baku, dimana pengusaha pola kemitraan memperoleh
kedelainya dari koperasi sedangkan pengusaha pola mandiri memperolehnya
dari luar koperasi. Cara pengolahannya pengusaha pola kemitraan
menggunakan cara tradisional sedangkan pengusaha pola mandiri
menggunakan cara yang disosialisasikan oleh KOPTI Kabupaten Bogor.
Output dari kedua pola pengusaha ini adalah hanya tempe saja.
3. Output produksi tempe pengusaha pola kemitraan dipengaruhi oleh kedelai,
ragi, dan air. Sedangkan output produksi tempe pengusaha pola mandiri
dipengaruhi kedelai saja. Skala usaha tempe pengusaha pola kemitraan dan
pola mandiri berada pada kondisi decreasing return to scale.
4. Pendapatan total pengusaha tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I adalah
sebesar Rp 105.982.805,97 per tahun, sedangkan pendapatan total pengusaha
pola mandiri adalah sebesar Rp 123.524.163,33 per tahun. Selisih pendapatan
total antara pengusaha tempe pola kemitraan dan pengusaha pola mandiri
adalah sebesar Rp 17.541.357,36 per tahun.
65
7.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan yang diperoleh, saran yang
dapat disampaikan yaitu:
1. Mengoptimalkan kelembagaan organisasi KOPTI yang ada agar pengusaha
tempe memperoleh kedelai dengan mudah. Peran penyuluh KOPTI harus
ditingkatkan agar masyarakat mampu memperoleh ilmu pengaetahuan baru
mengenai produksi tempe yang baik dan benar sehingga memperoleh hasil
produksi tempe yang lebih baik secara kualitas dan kuantitas.
2. Pemerintah sebagai pemegang kendali dan stabilitas harga harus mampu
mengendalikan bahan baku kedelai dan harga kedelai, karena kelangkaan
kedelai seringkali mejadikan harga kedelai mahal dan menambah biaya bagi
pengusaha. Hal ini sering dialami oleh pengusaha pengusaha pola kemitraan
maupun pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor.
66
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, S. 2008. Dampak Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Efisiensi Teknis dan
Pendapatan Usaha Tempe dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Kasus
Desa Citeureup, Bogor). Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian.Institur Pertanian Bogor. Bogor.
Ambarwati, S. R. R. 1994. Beberapa Aspek Ekonomi pada Industri Tahu dan
Tempe, Studi Kasus Industri Tahu dan Tempe di Kecamatan Parung
Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Apretty, J. B. 2000. Analisis Dampak Krisis Ekonomi Pada Industri Tempe Skala
Kecil (Studi Kasus : Di desa Citereup, Kecamatan Citereup, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi
pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2009. Bahan Rapim Bulan Agustus.
http://database.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 15 Desember 2012.
Firdaus M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. PT Bumi Aksara.
Jakarta.
Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hidayat, C.Y. 2013. Analisis Produksi dan Pendapatan Petani Padi Anggota P3A
dan Non P3A di Kota Dan Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Ekonomi
dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hubies, M.1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui
Pemberdayaan Manajemen Industri. Percetakan IPB. Bogor.
Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor.
Kadarsan, H. W. 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kaunang S. 2006. Analisis Land Rent Pemanfaatan Lahan Tambak Di Wilayah
Pesisir Kabupaten Serang Provinsi Banten. Tesis. Sekolah Pascasarjana
IPB. Bogor.
Nasution, Muslimin. 2002. Evaluasi Kinerja Koperasi Metode Sistem Diagnosa.
Bank Bukopin dan TPP-KUKM.
Nicholson W. 1995. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan Pengembangannya.
PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Sapta R. 2009. Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Sosial
Ekonomi Pengguna Jalan Dengan Contingent Valuation Method (CVM)
(Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen IPB. Bogor.
67
Sarah, N. 2001. Studi Profil Industri (Studi Kasus Industri Tahu Di Jakarta
Timur). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Sari, Y. P. 2002. Analisis Efisiensi dan Pendapatan Pengrajin Tempe Anggota
KOPTI Kotamadya Bogor Propinsi Jawa Barat. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian : Teori dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Solahudin, S. 1998. Visi Pembangunan Pertanian. IPB Press. Bogor.
Sudarman, A. 1998. Teori Ekonomi Mikro. BPFE, Yogyakarta.
Supranto J. 2004. Ekonometri. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Suryana, A. 2001 Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah
Disampaikan pada Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untu
Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Sutrisno, E. 2006. Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan
(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor).
Skripsi. Departemen Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian.
IPB. Bogor.
Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi,
Alfabeta, Bandung.
Winarno, F. G. 1993. Pangan : Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia,
Jakarta.
72
Lampiran 1 Jumlah produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri
a. Jumlah produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola kemitraan
No. Resp. Output
(kg) Kedelai (kg) Ragi (kg)
Gas
(tabung) Air ( liter)
Tenaga Kerja
(HOK) Plastik (pak)
Harga Output
(kg)
1 63.00 50.00 0.15 1.50 418.00 2 2.00 14,000.00
2 63.50 50.00 0.20 1.25 836.00 3 3.00 13,500.00
3 30.00 20.00 0.10 0.50 418.00 2 2.00 14,000.00
4 117.00 100.00 0.35 2.00 2,090.00 3 5.00 14,000.00
5 28.00 20.00 0.20 0.50 418.00 2 2.00 14,000.00
6 115.00 100.00 0.50 1.50 2,090.00 2 4.00 13,500.00
7 116.50 100.00 0.45 2.00 1,254.00 2 6.00 13,500.00
8 115.00 100.00 0.40 1.75 1,254.00 2 6.00 13,500.00
9 115.00 100.00 0.50 2.00 1,254.00 3 6.00 14,000.00
10 114.00 100.00 0.35 1.65 1,254.00 2 6.00 14,000.00
11 88.00 75.00 0.25 1.25 627.00 2 4.00 13,500.00
12 52.00 40.00 0.13 1.25 418.00 2 3.00 14,000.00
Jumlah 1,017.00 855.00 3.58 17.15 12,331.00 27.00 49.00 165,500.00
Rata-rata 84.75 71.25 0.30 1.43 1,027.58 2 4.08 13,791.67
Produktivitas (kg/kg kedelai)
1.19
69
73
Lampiran 1. ( Lanjutan )
b. Jumlah produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola mandiri
No.Resp. Output
(kg)
Kedelai
(kg) Ragi (kg) Gas (tabung) Air (liter)
Tenaga Kerja
(HOK) Plastik (pak) Harga Output (kg)
1 115.00 100.00 0.30 2.00 1,254.00 2 6.00 14,000.00
2 34.00 25.00 0.20 0.50 627.00 2 2.00 13,000.00
3 52.00 40.00 0.15 0.50 836.00 2 4.00 13,000.00
4 86.00 70.00 0.25 2.00 1,463.00 2 6.00 14,000.00
5 74.00 60.00 0.20 1.50 1,254.00 2 6.00 14,000.00
6 42.50 30.00 0.20 0.50 627.00 2 3.00 13,500.00
7 173.00 150.00 0.65 3.50 3,135.00 3 6.00 14,000.00
8 63.00 50.00 0.20 0.50 627.00 2 3.00 14,000.00
9 114.00 100.00 0.35 2.00 1,254.00 2 6.00 14,000.00
10 115.00 100.00 0.35 2.00 1,254.00 2 6.00 14,500.00
Jumlah 868.50 725.00 2.85 15.00 12,331.00 21 48.00 138,000.00
Rata-rata 86.85 72.50 0.29 1.50 1,233.10 2 4.80 13,800.00
Produktivitas (kg/kg kedelai) 1.20
70
71
Lampiran 2 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha
pola kemitraan dan pola mandiri
Penggunaan kedelai pengusaha tempe pola kemitraan
No. Resp. Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Total/hari Total/tahun
1 50.00 9,400.00 470,000.00 170,610,000.00
2 50.00 9,300.00 465,000.00 168,795,000.00
3 20.00 9,400.00 188,000.00 68,244,000.00
4 100.00 9,500.00 950,000.00 344,850,000.00
5 20.00 9,400.00 188,000.00 68,244,000.00
6 100.00 9,000.00 900,000.00 326,700,000.00
7 100.00 9,000.00 900,000.00 326,700,000.00
8 100.00 9,000.00 900,000.00 326,700,000.00
9 100.00 9,400.00 940,000.00 341,220,000.00
10 100.00 9,300.00 930,000.00 337,590,000.00
11 75.00 9,400.00 705,000.00 255,915,000.00
12 40.00 9,400.00 376,000.00 136,488,000.00
Jumlah 855.00 111,500.00 7,912,000.00 2,872,056,000.00
Rata-rata 71.25 9,291.67 659,333.33 239,338,000.00
Penggunaan kedelai pengusaha tempe pola mandiri No. Resp. Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Total/hari Total / tahun
1 100.00 9,000.00 900,000.00 326,700,000.00
2 25.00 9,100.00 227,500.00 82,582,500.00
3 40.00 9,100.00 364,000.00 132,132,000.00
4 70.00 9,100.00 637,000.00 231,231,000.00
5 60.00 9,100.00 546,000.00 198,198,000.00
6 30.00 9,100.00 273,000.00 99,099,000.00
7 150.00 9,000.00 1,350,000.00 490,050,000.00
8 50.00 9,100.00 455,000.00 165,165,000.00
9 100.00 9,000.00 900,000.00 326,700,000.00
10 100.00 9,100.00 910,000.00 330,330,000.00
Jumlah 725.00 90,700.00 6,562,500.00 2,382,187,500.00
Rata-rata 72.50 9,070.00 656,250.00 238,218,750.00
72
Lampiran 3 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha pola kemitraan dan
pola mandiri
Penggunaan ragi pengusaha tempe pola kemitraan
No. Resp. Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Total/hari Total/tahun
1 0.15 23,000.00 3,450.00 1,252,350.00
2 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00
3 0.10 23,000.00 2,300.00 834,900.00
4 0.35 22,000.00 7,700.00 2,795,100.00
5 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00
6 0.50 22,000.00 11,000.00 3,993,000.00
7 0.45 22,000.00 9,900.00 3,593,700.00
8 0.40 22,000.00 8,800.00 3,194,400.00
9 0.50 22,000.00 11,000.00 3,993,000.00
10 0.35 22,000.00 7,700.00 2,795,100.00
11 0.25 23,000.00 5,750.00 2,087,250.00
12 0.13 23,000.00 2,990.00 1,085,370.00
Jumlah 3.58 270,000.00 79,790.00 28,963,770.00
Rata-rata 0.30 22,500.00 6,649.17 2,413,647.50
Penggunaan ragi pengusaha tempe pola mandiri No. Resp. Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Total/hari Total / tahun
1 0.30 22,000.00 6,600.00 2,395,800.00
2 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00
3 0.15 23,000.00 3,450.00 1,252,350.00
4 0.25 23,000.00 5,750.00 2,087,250.00
5 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00
6 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00
7 0.65 22,000.00 14,300.00 5,190,900.00
8 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00
9 0.35 22,000.00 7,700.00 2,795,100.00
10 0.35 22,000.00 7,700.00 2,795,100.00
Jumlah 2.85 226,000.00 63,900.00 23,195,700.00
Rata-rata 0.29 22,600.00 6,390.00 2,319,570.00
73
Lampiran 4 Perbandingan penggunaan air pengusaha pola kemitraan dan
pola mandiri
Penggunaan air pengusaha tempe pola kemitraan
No. Resp. Air (Liter) Harga air (m3) Total/hari Total/tahun
1 418.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
2 836.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
3 418.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
4 2,090.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
5 418.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
6 2,090.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
7 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
8 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
9 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
10 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
11 627.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
12 418.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
Jumlah 12,331.00 26,400.00 26,400.00 9,583,200.00
Rata-rata 1,027.58 2,200.00 2,200.00 798,600.00
Penggunaan air pengusaha tempe pola mandiri
No. Resp. Air (Liter) Harga air
(0-10.000 liter) Total/hari Total / tahun
1 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
2 627.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
3 836.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
4 1,463.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
5 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
6 627.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
7 3,135.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
8 627.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
9 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
10 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00
Jumlah 12,331.00 22,000.00 22,000.00 7,986,000.00
Rata-rata 1,233.10 2,200.00 2,200.00 798,600.00
74
Lampiran 5 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha pola kemitraan dan
pola mandiri
Penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola kemitraan
No. Resp.
Tenaga
Kerja
Keluarga
Tenaga
Kerja Non
Keluarga
Jumlah
Kerja
(hari)
HOK
Keluarga
HOK
Non
Keluarga
HOK
Total
Harga
Satuan
(Rp)
1 2 0 1 2 - 2 50.000,00
2 2 1 1 2 1 3 50.000,00
3 2 0 1 2 - 2 50.000,00
4 0 3 1 - 3 3 50.000,00
5 2 0 1 2 - 2 50.000,00
6 2 0 1 2 - 2 50.000,00
7 2 0 1 2 - 2 50.000,00
8 2 0 1 2 - 2 50.000,00
9 1 2 1 1 2 3 50.000,00
10 2 0 1 2 - 2 50.000,00
11 1 1 1 1 1 2 50.000,00
12 2 0 1 2 - 2 50.000,00
Jumlah 20 7 12 20 7 27 600.000,00
Rata-rata 2 1 1 2 1 2 50.000,00
Penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola mandiri
No. Resp.
Tenaga
Kerja
Keluarga
Tenaga
Kerja Non
Keluarga
Jumlah
Kerja
(hari)
HOK
Keluarga
HOK
Non
Keluarga
HOK
Total
Harga
Satuan
(Rp)
1 2 - 1 2 - 2 50.000,00
2 2 - 1 2 - 2 50.000,00
3 2 - 1 2 - 2 50.000,00
4 2 - 1 2 - 2 50.000,00
5 2 - 1 2 - 2 50.000,00
6 2 - 1 2 - 2 50.000,00
7 1 2 1 1 2 3 50.000,00
8 2
1 2 - 2 50.000,00
9 - 2 1 - 2 2 50.000,00
10 - 2 1 - 2 2 50.000,00
Jumlah 15 6 10 15 6 21 500.000,00
Rata-rata 2 1 1 2 1 2 50.000,00
75
Lampiran 6 Hasil output minitab 15 model fungsi produksi tempe
pola kemitraan
Regression Analysis: Output ( kg ) versus Kedelai (kg), Ragi (kg), Air (liter),
Tenaga Kerja (HOK) The regression equation is
Output ( kg ) = 0.469 + 0.855 Kedelai (kg) - 0.0412 Ragi (kg)
+ 0.0417 Air ( liter) - 0.0018 Tenaga Kerja (HOK)
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant 0.4694 0.1462 3.21 0.015
Kedelai (kg) 0.85505 0.01666 51.31 0.000 4.304
Ragi (kg) -0.04124 0.02190 -1.88 0.102 5.860
Air ( liter) 0.04172 0.01991 2.10 0.074 6.253
Tenaga Kerja (HOK) -0.00177 0.03064 -0.06 0.956 1.266
S = 0.0165623 R-Sq = 99.9% R-Sq(adj) = 99.9%
PRESS = 0.0116893 R-Sq(pred) = 99.63%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 3.13981 0.78495 2861.57 0.000
Residual Error 7 0.00192 0.00027
Total 11 3.14173
Source DF Seq SS
Kedelai (kg) 1 3.13827
Ragi (kg) 1 0.00014
Air ( liter) 1 0.00140
Tenaga Kerja (HOK) 1 0.00000
Unusual Observations
Kedelai Output
Obs (kg) ( kg ) Fit SE Fit Residual St Resid
3 3.00 3.40120 3.37642 0.01219 0.02478 2.21R
5 3.00 3.33220 3.34783 0.01472 -0.01563 -2.06R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 2.15416
Mean -1.33227E-15
StDev 0.01321
N 12
KS 0.235
P-Value 0.066
76
Lampiran 7 Hasil output minitab 15 model fungsi produksi tempe pola mandiri
Regression Analysis: Output ( kg ) versus Kedelai (kg), Ragi (kg), Air (liter),
Tenaga Kerja (HOK) The regression equation is
Output (kg) = 0.665 + 0.851 Kedelai (kg) + 0.0037 Ragi (kg)
+ 0.0111 Air ( liter) + 0.126 Tenaga Kerja (HOK)
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant 0.6652 0.2401 2.77 0.039
Kedelai (kg) 0.85065 0.03950 21.54 0.000 9.032
Ragi (kg) 0.00374 0.04873 0.08 0.942 7.234
Air ( liter) 0.01109 0.04357 0.25 0.809 8.120
Tenaga Kerja (HOK) 0.1257 0.1263 1.00 0.365 4.451
S = 0.0230320 R-Sq = 99.9% R-Sq(adj) = 99.8%
PRESS = * R-Sq(pred) = *%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 2.35749 0.58937 1111.03 0.000
Residual Error 5 0.00265 0.00053
Total 9 2.36014
Source DF Seq SS
Kedelai (kg) 1 2.35510
Ragi (kg) 1 0.00117
Air ( liter) 1 0.00069
Tenaga Kerja (HOK) 1 0.00053
Unusual Observations
Kedelai
Obs (kg) Output (kg) Fit SE Fit Residual St Resid
2 3.22 3.52636 3.55589 0.01829 -0.02953 -2.11R
6 3.40 3.74950 3.71099 0.01403 0.03852 2.11R
7 5.01 5.15329 5.15329 0.02303 0.00000 * X
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
Durbin-Watson statistic = 2.07456
Mean 4.440892E-17
StDev 0.01717
N 10
KS 0.287
P-Value 0.029
77
Lampiran 8 Penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani tempe pola kemitraan dan pola mandiri
(Rupiah/tahun)
No.
Uraian Biaya
Pengusaha Pola Kemitraan Pengusaha Pola Mandiri
1 Biaya Tunai
Biaya Tetap Sewa Bangunan 2,880,000.00 2,970,000.00
Penyusutan Alat Produksi 643,152.78 641,141.67
Biaya Variabel Kedelai 239,338,000.00 238,218,750.00
Ragi 2,413,747.50 2,319,570.00
Gas 8,659,818.75 9,020,550.00
Air 798,600.00 798,600.00
Tenaga Kerja Luar Keluarga 10,587,500.00 10,890,000.00
Plastik 11,116,875.00 13,068,000.00
Transportasi 10,496,750.00 10,890,000.00
Sub Total 286.934.444,03 288.816.611,67
2 Biaya Non Tunai
Biaya Variabel Tenaga Kerja Dalam Keluarga 30,250,000.00 27,225,000.00
Sub Total 30,250,000.00 27,225,000.00
Total Biaya 317.184.444,03 316.041.611,67
77
78
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 23 Maret 1989. Penulis
merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Ky. Acep
Almutahar dan Ibu Solihat. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar
(SD) pada tahun 2002 di SDN Citalaga. Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama
(SLTP) diselesaikan di SLTP Negeri 1 Pabuaran pada tahun 2005, kemudian
masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Cisaat Sukabumi pada tahun
yang sama dan menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 2008. Penulis
diterima masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 penulis masuk pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, IPB.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif pada beberapa
organisasi kemahasiswaan seperti menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM TPB IPB) tahun 2008, staff Departemen Kewirausahaan BEM TPB IPB
periode 2008 – 2009. Selama menempuh studi, penulis mendapatkan beasiswa
dari PEMDA JABAR pada tahun 2008 – 2009 dan beasiswa BUMN (Badan
Usaha Milik Negara) pada tahun 2012.