ANALISIS PENATAAN FASILITAS KESEHATAN KECAMATAN … · Berdasarkan bobot jumlah penduduk, luas...
Transcript of ANALISIS PENATAAN FASILITAS KESEHATAN KECAMATAN … · Berdasarkan bobot jumlah penduduk, luas...
ANALISIS PENATAAN FASILITAS KESEHATAN KECAMATAN KOTA BOGOR DALAM PEMBANGUNAN
WILAYAH
Oleh : Vega Haryanto
A14303044
Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor 2007
RINGKASAN VEGA HARYANTO. Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah. Dibawah bimbingan NINDYANTORO.
Kedudukan Kota Bogor yang dekat dengan Ibu Kota Republik Indonesia memberikan dampak yang sangat luas dalam pembangunan wilayah. Perkembangan wilayah Kota Bogor yang pesat menyebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bogor, setiap tahunnya penduduk Kota Bogor mengalami peningkatan, dengan luas wilayah yang tetap maka kepadatan penduduk tidak dapat dihindari. Akibatnya permintaan terhadap sarana dan prasarana kota semakin tinggi diantaranya seperti fasilitas kesehatan.
Analisis dalam penelitian ini memakai tiga analisis. Analisis skalogram untuk mengetahui penyebaran dan hirarki fasilitas kesehatan antar kecamatan di Kota Bogor, analisis deskriptif terhadap standar kebutuhan fasilitas kesehatan, Sumber Daya Manusia (SDM), mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan fasilitas Rumah sakit dan puskesmas. Analisis ini digunakan untuk melihat sejauh mana daya layan dari fasilitas kesehatan. Dalam analisis terhadap Rumah Sakit dan Puskesmas digunakan dengan pertimbangan kedua fasilitas tersebut memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan di Kota Bogor.
Berdasarkan hasil analisis skalogram terhadap fasilitas kesehatan kecamatan Kota Bogor dapat disimpulkan bahwa setiap kecamatan di Kota Bogor tidak ada yang memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap. Kecamatan dengan jumlah total jenis unit fasilitas kesehatan terlengkap adalah Kecamatan Bogor Barat dengan 175 unit, sedangkan Kecamatan Tanah Sareal menempati peringkat terakhir dalam hirarki fasilitas kesehatan ini dengan 55 unit.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap standar kebutuhan fasilitas kesehatan dalam Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012, kebutuhan fasilitas kesehatan sampai tahun 2012 di Kota Bogor secara umum terus mengalami kenaikan. Kecamatan-kecamatan yang bisa dikatakan cukup memadai dalam kuantitas fasilitas kesehatannya adalah Bogor Barat, Bogor Utara dan Bogor Tengah. Sementara kecamatan yang belum memadai dalam fasilitas kesehatan adalah Kecamatan Tanah Sareal, Bogor selatan dan Bogor Timur. Dalam analisis deskriptif standar kebutuhan tenaga kesehatan, diketahui bahwa mutu pelayanan fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor masih belum optimal. Kebutuhan akan tenaga ahli di 8 Rumah Sakit Kota Bogor belum terpenuhi semua, masih banyak dokter ahli bekerja sebagai dokter tamu atau dokter tidak tetap. Dalam analisis Mutu pelayanan Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor yang melakukan akreditasi hanya 4 Rumah Sakit.
Dari standar kebutuhan tenaga kesehatan pada 24 Puskesmas induk yang ada masih diperlukan tenaga tambahan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas perkotaan yakni dibutuhkan 2 orang dokter ahli untuk Puskesmas rujukan. Dalam analisis mutu pelayanan Puskesmas, Puskesmas Kota Bogor sudah meningkat dalam hal jumlahnya dan cakupan pelayanannya. Dalam pemanfaatannya pun meningkat setiap tahun, terutama dari masyarakat kurang mampu atau miskin. Dalam analisis efisiensi pengelolaan Rumah Sakit Kota Bogor, menerangkan bahwa Rumah Sakit swasta
yang ada di Kota Bogor secara umum belum berada pada wilayah efisien (BOR, TOI, LOS, BTO).
Berdasarkan hasil analisis P-Median terhadap penentuan lokasi optimal RSUD dengan menggunakan tiga bobot yang berbeda dapat disimpulkan bahwa masing-masing bobot menghasilkan output yang berbeda. Berdasarkan bobot jumlah penduduk dan bobot sama pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Tanah Sareal. Berdasarkan bobot luas wilayah pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Bogor Barat.
Berdasarkan usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal 2007 dan kebutuhan akan Puskesmas pembantu (Pustu) maka dianalisis lokasi optimal Pustu di Kecamatan Tanah Sareal. Berdasarkan bobot jumlah penduduk, luas wilayah dan bobot sama pengaruh didapat lokasi optimal yang sama yakni Kelurahan Suka Damai dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kelurahan Kayu Manis.
Keterkaitan antara usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal tahun 2007 dari usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan dengan hasil Sarembang tingkat Kota oleh Pemda dan hasil analisis P-median menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil Sarembang tingkat Kota memprioritaskan pembangunan Puskesmas baru untuk Kecamatan Tanah Sareal, sedangkan usulan Sarembang dari usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan mengusulkan pembangunan Pustu di Kelurahan Kencana dan Sukaresmi. Hasil analisis P-Median terhadap lokasi optimal Pustu menunjukkan lokasi optimal di Kelurahan Suka Damai dan Kayu Manis.
ANALISIS PENATAAN FASILITAS KESEHATAN KECAMATAN KOTA BOGOR DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Vega Haryanto A14303044
Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor 2007
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS PENATAAN FASILITAS KESEHATAN KECAMATAN KOTA BOGOR DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.
Bogor, Mei 2007
Vega Haryanto A14303044
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Januari 1986 dari pasangan
Muslimin Irwanto dan Sriwulan sebagai anak keempat dari empat bersaudara.
Penulis mengawali pendidikan dari TK Kemala Bayangkari pada tahun
1990. Pada tahun 1991 penulis melanjutkan pendidikan ke SD Negeri Srogol 1
Bogor hingga lulus tahun1997 dan melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1
Cijeruk Bogor sampai dengan tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikan di SMUN 4 Bogor sampai dengan tahun 2003. Selanjutnya pada tahun
2003 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas
Pertanian, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi
Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Selama masa kuliah penulis aktif diberbagai organisasi kampus seperti
Himpunan Profesi MISETA tahun 2003/2004, BEM Fakultas Pertanian tahun
2005/2006 dan juga aktif diberbagai organisasi Pers kampus seperti D’Green
Faperta dan Aer On News EPS.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kehadirat Allah
SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, hanya dengan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis ingin
mengucapkan terimakasih atas segala dukungan yang telah diberikan selama ini
kepada :
1. Keluarga Tercinta : Bapak,Ibu, Kakak serta keponakanku.Terima kasih
atas keceriaan dan dorongan moril yang telah diberikan selama ini. Semua
itu tak kan terbalas oleh apapun...
2. Ir.Nindyantoro, MSP. Selaku pembimbing skripsi yang telah membimbing
dan memberikan masukan serta nasihat bagi penulis dalam penyelesaian
skripsi.
3. Sahara, SP, MSi. atas kesediaannya menjadi dosen penguji utama pada
sidang skripsi dan telah memberikan saran dan kritik yang membangun
bagi penulis dalam penyelesaian skripsi.
4. A.Farobby.Falatehan, SP. ME. atas kesediaannya menjadi dosen penguji
akademik pada sidang skripsi dan telah memberikan saran dan kritik yang
membangun bagi penulis dalam penyelesaian skripsi.
5. M.Firdaus, SP, MS. Selaku pembimbing akademik selama penulis kuliah.
Yang telah memberikan bimbingan dan dorongan semangat yang melecut
penulis untuk lebih baik lagi dalam kuliah.
6. Instansi Pemerintah di tingkat Kota Bogor (BPS, Bapeda, DLLAJ, Dinas
Kesehatan) atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan kepada
penulis sehingga dapat melakukan penelitian tanpa hambatan berarti.
7. Bpk.Naufal Isnaeni, S.Si. atas kerjasama, bimbingan dan pelajaran yang
sangat berarti bagi penulis selama penyelesaian skripsi.
8. Dr.Rubaeah, Kepala Bagian Pelayanan Kesehatan dan seluruh staf Dinas
Kesehatan Kota Bogor atas pengetahuan kesehatan yang sangat berarti
bagi penulis.
9. Sahabatku yang tak pernah lekang dalam ingatan: teman EPS40 dan EPS
semua angkatan tanpa terkecuali, teman kos Al-Azhar (Pura, Jaka, Benni,
Warno, Fadli,dll), BEMFaperta05/06, Miseta03/04, D’Green& Aer on
News, Crew POJOKBNI-IPB, VIKING PERSIB BOGOR. Hiasan kalian
telah tertancap dihatiku kawan...
10. Rekan seperjuangan : Vitha Oktaviani terima kasih atas
kerjasamanya..,Karisma dan Ajeng atas dukungannya.
11. Segala hal yang telah memberi inspirasi dan lecutan semangat dalam hidup
kepada penulis sehingga semangat, kreativitas dan kerja keras itu terasa
indah dengan kalian...
KEPINGAN-KEPINGAN KISAH ITU KUHARAP AKAN BERAKHIR
INDAH...HINGGA SAATNYA NANTI AKU AKAN TERSENYUM
MENGINGATNYA KEMBALI. MENGINGAT INSTITUSI YANG TELAH
MEMBERIKAN BERMILYAR-MILYAR PENGETAHUAN BAGI KU....
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Penataan
Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah”
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis menyadaridalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan
dan masih jauh dari sempurna. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini dan
semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2007
Vega Haryanto
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ...................... ............................................................ . ......iv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah................................................................................ 3 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................... 6 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumah Sakit ........................................................................................... 8
2.1.1. Tingkat Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit Umum ....................... 9 2.2. Puskesmas ............................................................................................ 10
2.2.1. Fungsi dan Peran Puskesmas......................................................... 11 2.3. Teori Barang Publik......................... .................................................... 14 2.4. Penelitian Terdahulu ............................................................................ 15
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 . Kerangka Teoritis ................................................................................ 18
3.1.1. Konsep Perkotaan ....................................................................... 18 3.1.2. Definisi Most Accessible ............................................................ 20 3.1.3. Teori Tempat Sentral .................................................................. 21 3.1.4. Teori Hakimi ............................................................................... 23 3.1.5. Teori Lokasi ............................................................................... 23 3.1.6. Perencanaan Pusat Pelayanan ..................................................... 24
3.2. Kerangka Penelitian ............................................................................ 25
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................ 30 4.2. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 30 4.3. Metode Analisis Data ........................................................................... 30 4.4. Ruang lingkup dan Keterbatasan Penelitian......................................... 35
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Wilayah Kota Bogor ...................................................... 37
5.1.1. Kondisi Topografi ...................................................................... 37 5.1.2. Geologi .................................................................. 38 5.1.3. Hidrologi .................................................................. 38 5.1.4. Penggunaan Lahan .................................................................. 39 5.1.5. Klimatologi .................................................................. 41 5.1.6. Lingkungan Hidup .................................................................. 41
5.2.Keadaan Sosial Ekonomi .................................................................. 42
5.2.1. Kependudukan .................................................................. 42 5.2.2. Pertumbuhan, Mobilitas, Tingkat Fertilitas dan Persebaran Penduduk ............................................................ 42 5.2.3. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian........................ 44 5.2.4. Distribusi Penduduk Miskin........................................................ 44
5.3. Kondisi Perekonomian....... ................................................................. 45 5.4. Pembangunan Kota Bogor .................................................................. 47 5.5. Arah Pengembangan Pembangunan Fisik Kota .................................. 48
VI. RENCANA PENGEMBANGAN DAN PENATAAN RUANG KOTA BOGOR TAHUN 1999-2009
6.1. Rencana Struktur Tata Ruang ............................................................. 49 6.2. Rencana Pengembangan Sistem Perwilayahan ................................... 51 6.3. Rencana Penggunaan Lahan................................................................ 52 6.4. Rencana Penyediaan Fasilitas Kesehatan............................................ 52
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN
7.1. Hirarki Aktual Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Berdasarkan Metode Skalogram ............................................................................... 54 7.2. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota Bogor.............................................................. 60
7.2.1. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Puskesmas Kota Bogor .................................................................................... 60 7.2.2. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor .................................................................................... 61
7.3. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2000-2012 ................................................................................. 61
7.4. Analisis Deskriptif Mutu Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor .............. 65 7.5. Analisis Deskriptif Mutu Fasilitas Puskesmas Kota Bogor ................. 66 7.6. Analisis Deskriptif Efisiensi Pengelolaan Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor ........................................................................................... 68 7.7. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor ........................................................................................... 69
7.7.1. Analisis Penentuan Lokasi Optimal RSUD Kota Bogor dengan Analisis P-Median ....................................................................... 71 7.7.2. Faktor Jarak ................................................................................. 73 7.7.3. Faktor bobot ................................................................................ 73 7.7.4. Hasil Analisis P-Median.............................................................. 73
7.7.4.1. Dengan Bobot Jumlah Penduduk ......................................... 73 7.7.4.2. Dengan Bobot Luas Wilayah ............................................... 74 7.7.4.3. Dengan Bobot Sama, Pengaruh Jarak .................................. 74 7.7.4.4. Hubungan antara Hasil Analisis P-Median dan Skalogram. 75
7.8. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Puskesmas Pembantu Kecamatan Tanah Sareal dengan Analisis P-Median .............................................. 75 7.8.1. Hasil Analisis P-Median.............................................................. 77
7.8.1.1. Berdasarkan Bobot Jumlah Penduduk .................................. 77 7.8.1.2. Berdasarkan Bobot Luas Wilayah........................................ 78 7.8.1.3. Berdasarkan Bobot Sama, Pengaruh Jarak........................... 78
7.8.1.4. Keterkaitan Usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal Tahun
2007 dari Usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan dengan Hasil Sarembang Tingkat Kota Oleh Pemda dan Hasil Analisis P-Median................................................... 79
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan........................................................................................... 80 8.2. Saran ................................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman Tabel.1 Luas Wilayah, Banyaknya Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Bogor per Kecamatan Tahun 2005...................... 3 Tabel.2 Indeks Kesehatan per Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2000-2004 .......................................................................... 4 Tabel.3 Perbedaan antara barang swasta dan barang publik .................... 14
Tabel.4 Kemiringan Lereng Berdasarkan Luas Lahan Tahun 2005 ....... 38 Tabel.5 Persentase Luasan Penggunaan Lahan ........................................ 40 Tabel.6 Pertumbuhan Penduduk dan Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2005 ....... 43 Tabel.7 Angka Kesuburan Total (TFR) di Kota Bogor Tahun 2000-2005 ........................................................................ 43 Tabel.8 Distribusi Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Berdasarkan Lapangan Usaha di kota Bogor Tahun 2005 ............................. 44 Tabel.9 Distribusi Penduduk Miskin di kota Bogor Tahun 2005 ............ 45 Tabel.10 PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan (2000) Tahun 2001-2005 ................. 46 Tabel.11 Hirarki Fasilitas Kesehatan di Kota Bogor 2005 ........................ 54 Tabel.12 Jumlah Puskesmas, Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling
Kota Bogor Tahun 2005 .............................................................. 56
Tabel.13 Jumlah Rumah Sakit dan tempat tidur Kota Bogor Tahun 2005. 56 Tabel.14 Jumlah Fasilitas Kesehatan Dasar di Kota Bogor Tahun 2005... 57 Tabel.15 Distribusi fasilitas penunjang kesehatan Kota Bogor
Tahun 2005.................................................................................. 58
Tabel.16 Pola Perilaku Pencarian Pengobatan di Kota Bogor
Tahun 2005.................................................................................. 59
Tabel.17 Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Bogor Barat
2000-2012 ................................................................................... 61
Tabel.18 Rencana Kebutuhan Fasilitas Sosial Ekonomi Berdasarkan Jumlah Penduduk Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2007 – 2012 .......... 62 Tabel.19 Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor
Timur Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012 ....................... 63
Tabel.20 Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor Utara Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012 ........................ 63
Tabel.21 Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Tanah Sareal Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012 ............ 64
Tabel.22 Rencana Kebutuhan Fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Tengah Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012 ..................................................................................... 64
Tabel.23 Akreditasi Rumah Sakit di Kota Bogor tahun 2005.................. 66
Tabel.24 Jumlah Puskesmas menurut Kecamatan ......................... ...........66
Tabel.25 Kunjungan Puskesmas di Kota Bogor Tahun 2003-2005 ....... . 67
Tabel.26 Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit di Kota Bogor
Tahun 2005................................................................................ 68
Tabel.27 Puskesmas, Pustu dan Kelurahan di Kecamatan
Tanah Sareal .......................................................................... ....77
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan
Kecamatan di Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah .......... 29 Gambar 2. Lokasi Optimal Satu Dimensi (Garis Lurus)................................ 33
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Dalam suatu negara yang sangat luas dan kondisi fisik serta geografi wilayah
yang sangat beragam seperti Indonesia, pembangunan wilayah sangat penting dalam
pembangunan nasional. Permasalahan pembangunan wilayah yang terjadi selama ini
adalah timbulnya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah, dimana wilayah
yang dekat dengan pusat pertumbuhan lebih berkembang dibandingkan wilayah yang
jauh dari pusat. Untuk mengurangi ketimpangan tersebut maka pembangunan wilayah
menghendaki adanya penataan lokasi agar tercapai efisiensi dan optimalisasi bagi
suatu kegiatan ekonomi maupun pelayanan sosial, baik dilihat dari kegiatan itu
sendiri maupun dari kaitannya dengan kegiatan-kegiatan ditempat-tempat lain
(Purliana, 2003).
Pembangunan wilayah didalamnya memerlukan pendekatan multidisiplin,
seperti geografi, ekonomi, perencanaan kota, teori lokasi dan disiplin ilmu lainnya.
Studi pembangunan wilayah terkait dengan lokasi dan tata ruang. Secara umum studi
mengenai lokasi adalah melihat kedekatan atau jauhnya satu kegiatan dengan
kegiatan lain dan apa dampaknya atas kegiatan masing-masing karena lokasi yang
berdekatan atau berjauhan tersebut. Lokasi berbagai kegiatan, seperti rumah tangga,
pertokoan, pabrik, pertanian, pertambangan, sekolah, fasilitas kesehatan dan lainnya
tidaklah asal saja atau acak berada di lokasi tersebut, melainkan menunjukkan pola
dan susunan (mekanisme) yang dapat diselidiki dan dapat dimengerti. Lokasi
berbagai kegiatan akan lebih efektif dan efisien apabila berada pada lokasi yang
optimal. Selain untuk memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat juga
untuk membantu dalam hal penataan kota yang baik bagi pemerintah setempat.
Pembangunan Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat sekaligus untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang
memadai termasuk didalamnya pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat
seluruhnya. Dalam usaha untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan faktor produksi
baik itu Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
2
berkualitas. Menurut Tjondronegoro, dkk (1994) dalam Statistik Kesehatan Indonesia
tahun 2004, rendahnya kualitas SDM ditandai dengan tingkat pendidikan dan tingkat
kesehatan yang rendah. Sehingga untuk meningkatkan kualitas SDM diperlukan
berbagi strategi pembangunan dibidang pendidikan, kesehatan dan bidang lain seperti
tenaga kerja, fertilitas, perumahan dan lain-lain.
Status kesehatan masyarakat merupakan faktor penting dari seluruh indikator
yang ada selain pendidikan dan merupakan faktor penting dari produktifitas ekonomi.
Untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai program
antara lain melalui pendidikan kesehatan, imunisasi, pemberantasan penyakit
menular, penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan. Pemerintah
memprioritaskan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat umum,
dengan perhatian khusus kepada masyarakat berpenghasilan rendah, daerah kumuh
perkotaan, daerah pedesaan, daerah terpencil dan kelompok masyarakat terasing. Ha l
tersebut dikarenakan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor selain
dana, misalnya pendapatan masyarakat, akses ke pelayanan kesehatan, dan faktor
lainnya. Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kualitas SDM serta
kualitas kehidupan dan usia harapan hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan
keluarga dan masyarakat melalui peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan
kesehatan yang merata.
Kedudukan Kota Bogor yang dekat dengan Ibu Kota Republik Indonesia
memberikan dampak yang sangat luas dalam pembangunan wilayah bagi Kota Bogor.
Kota Bogor pada saat ini berkembang dengan cepat, dengan tumbuhnya daerah-
daerah kegiatan ekonomi seperti pusat perbelanjaan dan lainnya. Sebagian besar
kegiatan perekonomian dan ketersediaan prasarana dan sarana pelayanan sosial di
Kota Bogor terpusat pada suatu wilayah yang dekat ibukota Bogor yakni Kecamatan
Bogor Tengah. Dengan adanya otonomi daerah, pembangunan Kota Bogor semakin
maju. Pertumbuhan Kota Bogor bisa dilihat dari luasnya yang semakin bertambah,
setelah otonomi daerah luas Kota Bogor bertambah menjadi 11.850 Ha dari
sebelumnya yang hanya sebesar 2000 Ha. Pertambahan luas yang begitu besar ini
menuntut penyebarluasan pembangunan diberbagai wilayah dan tidak lagi
3
terkonsentrasi di pusat kota yaitu di Bogor Tengah, tetapi memberikan sarana
pembangunan di wilayah lain sehingga arus bangkitan baik bangkitan sarana maupun
transportasi dapat memecah ke segala wilayah (Bapeda Kota Bogor, 2005).
Perkembangan wilayah Kota Bogor yang pesat menyebabkan pertumb uhan penduduk
yang tinggi. Akibatnya permintaan terhadap sarana dan prasarana kota semakin
tinggi, di antaranya ialah fasilitas kesehatan. Sejalan dengan tujuan pembangunan
kesehatan yakni percepatan pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal
dengan salah satu caranya adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat melalui
upaya-upaya program yang efektif, efisien dan tepat sasaran. Maka penataan fasilitas
kesehatan kecamatan di Kota Bogor mutlak diperlukan agar tercapai pelayanan
kesehatan yang merata pada setiap masyarakat.
1.2 Perumusan Masalah
Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bogor, setiap tahunnya penduduk Kota
Bogor mengalami peningkatan. Namun demikian penyebaran penduduk di Kota
Bogor masih belum merata. Jumlah Penduduk Kota Bogor pada tahun 2005 mencapai
855.085 jiwa yang terdiri dari 431.862 jiwa penduduk laki-laki dan 423.223 jiwa
penduduk perempuan, sebagian besar adalah penduduk yang bermukim di Kecamatan
Bogor Barat yang memiliki luas wilayah paling besar diantara kecamatan di Kota
Bogor. Peningkatan penduduk Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1:
4
Tabel 1. Luas Wilayah, Banyaknya Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Bogor per Kecamatan Tahun 2005
No Kecamatan Luas Wilayah Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (per Km2)
1 Bogor Selatan 30,82 166.745 5.412
2 Bogor Timur 10,15 86.978 8.569
3 Bogor Utara 17,72 149.578 8.441
4 Bogor Tengah 8,13 103.176 12.691
5 Bogor Barat 32,85 190.421 5.797
6 Tanah Sareal 18,84 158.187 8.396 Kota Bogor 11,850 855.085 7.216
Sumber : BPS Ko ta Bogor, 2005
Dari Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa penduduk Kota Bogor pada tahun 2005
telah mencapai 855.085 jiwa. Apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya
terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 Kota Bogor berpenduduk sebesar
760.329 jiwa sedangkan tahun 2004 meningkat menjadi 831.571 jiwa dengan luas
wilayah yang tetap, maka kepadatan penduduk tidak dapat dihindari. Peningkatan
penduduk akan mempengaruhi pembangunan fasilitas sosial seperti fasilitas
kesehatan.
Indeks kesehatan adalah salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang diperhitungkan dari Indikator Harapan Hidup saat lahir. Angka
Kematian Bayi adalah Indikator Utama yang mempengaruhi Angka Harapan Hidup.
Indeks Kesehatan menunjukkan jarak yang telah ditempuh untuk mencapai
maksimum Angka Harapan Hidup sebesar 85 tahun. Sejak tahun 2000 hingga 2004
indeks kesehatan terus meningkat dan sudah menunjukkan angka diatas 70.
5
Tabel 2. Indeks Kesehatan per Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2000-2004
Kecamatan 2000 2001 2002 2003 2004 Bogor Selatan 66,57 66,77 66,85 71,96 72,69 Bogor Timur 71,94 72,16 72,24 77,60 78,37 Bogor Utara 70,32 70,54 70,62 75,90 76,66 Bogor Tengah 67,05 67,26 67,34 72,47 73,21 Bogor Barat 72,54 72,76 72,84 78,23 79,00 Tanah Sareal 68,33 68,54 68,62 73,81 74,56 Kota Bogor 71,37 71,58 71,67 77,00 77,77
Sumber : BPS Kota Bogor, 2004
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk Kecamatan Bogor Barat
dari tahun 2000-2004 selalu menduduki peringkat pertama dan untuk Kecamatan
Bogor Selatan selalu menduduki peringkat terakhir. Hal ini dapat dikatakan bahwa
masyarakat Kecamatan Bogor Barat lebih memperhatikan kesehatan dibandingkan
dengan masyarakat di Kecamatan Bogor Selatan. Kecamatan Bogor Selatan yang
merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah di Kota Bogor, memiliki
Indeks Kesehatan paling rendah. Hal ini diantaranya disebabkan jauhnya jangkauan
dan ketersediaan fasilitas kesehatan di wilayah tersebut. Namun secara umum dari
tahun 2000-2004 di setiap kecamatan di Kota Bogor Indeks Kesehatannya
menunjukan peningkatan.
Indeks Kesehatan Kota Bogor diatas menunjukan bahwa status kesehatan
masyarakat di tiap kecamatan Kota Bogor tidak merata. Hal ini bisa disebabkan oleh
beberapa faktor seperti ketersedian sarana dan prasarana kesehatan yang memadai,
biaya kesehatan dan akses terhadap fasilitas kesehatan di tiap wilayah.
Saat ini pemerintah Kota Bogor memiliki beberapa permasalahan terutama
yang berkaitan dengan penataan ruang fasilitas sosial seperti pusat perbelanjaan dan
fasilitas kesehatan, yang tidak sama antar wilayah kecamatan dan laju pertumbuhan
penduduk. Permasalahan mengenai fasilitas kesehatan yang kurang merata di Kota
Bogor berlangsung sampai saat ini. Euforia otonomi daerah, menyebabkan
pertumbuhan Kota Bogor makin menuju ke arah positif. Perkembangan yang terjadi
di Kota Bogor di sektor Ekonomi ternyata belum berpengaruh secara signifikan pada
pemerataan fasilitas kesehatan kecamatan. Oleh karena itu diharapkan adanya suatu
6
perencanaan yang komprehensif untuk penataan fasilitas kesehatan agar tercapai
tujuan pembangunan kesehatan bagi Kota Bogor yang merata. Berdasarkan uraian
permasalahan diatas maka penelitian ini akan menjawab beberapa permasalahan
yaitu:
1. Bagaimana penyebaran fasilitas kesehatan di setiap kecamatan Kota Bogor?
2. Bagaimana standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan
fasilitas kesehatan kecamatan khususnya Rumah Sakit dan Puskesmas Kota
Bogor?
3. Apakah lokasi rencana pembangunan RSUD Kota Bogor sudah optimal?
Apabila belum, bagaimana lokasi optimal untuk RSUD Kota Bogor?
4. Bagaimana lokasi optimal dalam prioritas pengadaan Puskesmas Pembantu di
kecamatan yang mempunyai skoring terendah dalam hirarki fasilitas
kesehatan?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji penyebaran fasilitas kesehatan
kecamatan Kota Bogor. Sehingga akan terlihat wilayah mana yang masih kurang
lengkap ataupun yang sudah lengkap fasilitas kesehatannya. (2) Mengkaji standar
kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan sarana dan prasarana kesehatan
kecamatan Kota Bogor. Sehingga akan terlihat fasilitas kesehatan mana yang masih
kurang ataupun yang sudah optimal dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat. (3) Menganalisis lokasi optimal RSUD Kota Bogor agar mencapai
pilihan lokasi dan pelayanan yang optimal, sehingga dengan terpilihnya lokasi
penataan yang optimal maka dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan oleh
pembuat kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kota Bogor dalam pengalokasian ruang
bagi fasilitas kesehatan. (4) Menganalisis lokasi optimal dalam prioritas pengadaan
Puskesmas Pembantu di kecamatan yang mempunyai skoring terendah dalam hirarki
fasilitas kesehatan.
7
I.4 Manfaat Penelitian
Selain sebagai sarana pembelajaran mengenai pembangunan wilayah, penulis
juga mengharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat-manfaat sebagai berikut :
1. Bagi pihak Pemerintah Daerah Kota Bogor
Sebagai masukan dalam menyusun rencana pembangunan di wilayahnya dan
selain itu dapat berguna untuk menganalisis dan pandangan yang lain tentang
wilayahnya.
2. Bagi dunia ilmu ekonomi pertanian dan sumberdaya
Memberikan masukan tentang analisis pembangunan wilayah di tempat
penelitian, sehingga dapat dijadikan tambahan ilmu dalam pembangunan
regional (kedaerahan) dan sebagai referensi bagi para peneliti selanjutnya.
3. Bagi penulis
Memberikan gambaran secara langsung bagaimana teori yang diterima selama
di kuliah dapat diterapkan dalam dunia praktek dan untuk memperluas
wawasan penulis tentang konsep pembangunan wilayah.
.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Konsep perkotaan
Menurut Tarigan (2002), dalam perencanaan wilayah, sangat perlu untuk
menetapkan suatu tempat permukiman atau tempat berbagai kegiatan itu sebagai kota
atau bukan. Hal ini karena kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan
fasilitasnya pun berbeda dibanding dengan daerah pedesaan. Dalam menetapkan
apakah suatu konsentrasi permukiman sudah dapat dikategorikan sebagai kota atau
belum, perlu ada kriteria yang jelas untuk membedakannya. Biro Pusat Statistik
(BPS), dalam pelaksanaan survei status desa/kelurahan tahun 2000, menggunakan
kriteria untuk menetapkan apakah suatu desa dikategorikan sebagai desa atau kota.
Kriteria yang digunakan adalah :
1. kepadatan penduduk per km2,
2. persentase rumah tangga yang mata pencaharian utamanya pertanian atau non
pertanian,
3. persentase rumah tangga yang memiliki telepon,
4. persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik,
5. fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan, seperti: fasilitas pendidikan,
pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan, dan fasilitas lain seperti hotel,
bilyar, diskotik, karaoke, panti pijat, dan salon. Masing-masing fasilitas
diberi skor (nilai). Atas dasar skor yang dimiliki desa/kelurahan tersebut
maka ditetapkan desa/kelurahan tersebut masuk dalam salah satu kategori
berikut: perkotaan besar, perkotaan sedang, perkotaan kecil, dan pedesaan.
Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau tidak,
adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh
kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Fasilitas perkotaan/fungsi perkotaan antara
lain adalah sebagai berikut.
1. Pusat perdagangan, yang tingkatannya dapat dibedakan atas melayani
masyarakat kota itu sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggiran
9
(daerah perbatasan), melayani beberapa kota kecil (pusat kabupaten),
melayani pusat provinsi atau pusat kegiatan perdagangan antar pulau/ekspor
di provinsi tersebut dan pusat beberapa provinsi sekaligus.
2. Pusat pelayanan jasa baik jasa perorangan maupun jasa perusahan. Jasa
perorangan, misalnya tukang pangkas, salon, tukang jahit, dokter, notaris atau
warung kopi/nasi. Jasa perusahaan, misalnya perbankan, perhotelan, asuransi.
3. Tersedianya prasarana perkotaan, seperti sistem jalan kota yang baik, jaringan
listrik, jaringan telepon, jaringan air minum, pelayanan sampah, sistem
drainase, taman kota, atau pasar.
4. Pusat penyediaan fasilitas sosial atau seperti prasarana pendidikan
(universitas, akademi, SMU, SLTP, SD), termasuk berbagai kursus
keterampilan, prasarana kesehatan dengan berbagai tingkatannya, termasuk
apotik, prasarana sosial seperti gedung pertemuan, dan lain- lain.
5. Pusat pemerintahan, banyak kota yang sekaligus merupakan lokasi pusat
pemerintahan.
6. Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi, artinya kota tersebut
masyarakat bisa berhubungan ke banyak tujuan dengan berbagai pilihan alat
penghubungan.
7. Lokasi permukiman yang tertata, suatu lokasi dikatakan kota karena jumlah
penduduknya banyak Hal ini berarti kota sekaligus merupakan lokasi
permukiman, dan semestinya di kota, permukiman itu tertata karena harus
meminta IMB apabila ingin membangun.
Makin banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, makin meyakinkan bahwa lokasi
konsentrasi adalah sebuah kota. Penentuan orde perkotaan dapat didasarkan atas
gabungan beberapa variabel. Variabel yang umum dianggap berpengaruh dalam
menetapkan orde perkotaan adalah sebagai berikut.
1. Jumlah penduduk perkotaan
2. Banyaknya fasilitas yang dimiliki seperti luas pasar, luas kompleks pertokoan,
jumlah fasilitas pendidikan, jumlah fasilitas kesehatan, beragam jasa yang
dimiliki (seperti jasa bank, jasa asuransi, jasa perbengkelan) dan lainnya.
10
3. Tingkat aksesibilitas dari kota tersebut terhadap kota terdekat yang memiliki
orde lebih tinggi di wilayah itu (misalnya ibukota kabupaten/provinsi).
2.1.2 Definisi Most Accesible
Lokasi untuk pelayanan umum biasanya ditentukan oleh biaya yang dapat
dijangkau masyarakat, sehingga memiliki banyak pilihan untuk menentukan berada
dalam posisi most accesible. Sedangkan masyarakat pada faktanya tersebar tidak
merata sama untuk mencukupi kebutuhan hidupnya mereka cenderung akan memilih
lokasi pelayanan yang berada pada posisi most accesible.
Menurut Rushton, (1979) berusaha memberi batasan pada most accesible
untuk seseorang jika fasilitas- fasilitas yang didapat :
1. Jarak total dari tempat seseorang ke pusat pelayanan minimum ini disebut
jarak agregat minimum, ini juga sama dengan jarak rata-rata minimum, jadi
yang menjadi kriteria adalah jarak rata-rata.
2. Jarak terjauh dari tempat seseorang ke pusat pelayanan adalah minimum, ini
disebut jarak minimax.
3. Jumlah masyarakat pada daerah terdekat yang mengelilingi pusat pelayanan
selalu sama dengan jumlah yang telah ditetapkan, hal ini disebut batas
keseimbangan.
4. Jumlah masyarakat pada daerah terdekat yang mengelilingi pusat pelayanan
selalu lebih besar dari jumlah yang telah ditetapkan, ini disebut batas ambang.
5. Jumlah masyarakat yang terdapat mengelilingi pusat pelayanan tidak pernah
lebih besar dari jumlah yang telah ditentukan. Ini disebut batas kapasitas
(daya tampung).
Most accesible adalah mudah atau tidaknya seseorang mencapai lokasi pusat
pelayanan terdekat. Ada berbagai unsur yang mempengaruhi tingkat akses tersebut.
Misal: kondisi jalan, jenis alat angkutan yang tersedia, frekuensi keberangkatan,
jarak, dan lain- lain (Alifah , 2005).
11
2.1.3 Teori Tempat Sentral
Menurut Glasson (1974) dalam Sitohang (1977), dari semua model mengenai
struktur spasial, teori tempat sentral (central place theory) adalah yang paling banyak
diteliti dan paling terkenal. Teori ini bermaksud untuk menghubungkan tempat
sentral dengan daerah belakangnya dan mendefinisikan tempat sentral sebagai suatu
pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah-belakangnya. Namun
teori ini hanyalah berkenaan dengan intensitas dan lokasi dari industri jasa dan
dengan demikian hanya dapat memberi penjelasan parsial tentang struktur regional.
Teori tempat sentral (central place theory) diperkenalkan oleh Walter
Christaller dan karya perintisnya tentang The Central Places of Southern Germany
pada tahun 1933. Menurut Christaller (1933) suatu hirarkhi dari kegiatan-kegiatan
jasa, berlingkup mulai dari pelayanan pada “tingkat rendah” yang terdapat pada setiap
pusat -- kota atau kampung – sampai pelayanan pada “tingkat tinggi” yang hanya
terdapat di pusat-pusat yang besar. Masing-masing kegiatan jasa mempunyai
penduduk ambang dan lingkup pasar.
Penduduk ambang (threshold population ) adalah jumlah minimum
penduduk yang harus ada untuk dapat menopang kegiatan jasa. Jumlah minimum ini
dapat bermacam-macam, umpamanya jumlah 250 orang untuk menopang suatu
warung kecil, atau 150.000 orang untuk menopang suatu pertunjukan. Jika jumlah
penduduk lebih kecil daripada tingkat ambang, maka kegiatan tersebut akan
mengalami kerugian dan terancam gulung tikar. Jika jumlah penduduk bertambah di
atas minimum perusahaan jasa dapat memperoleh laba yang lebih besar.
Lingkup pasar (market range) dari suatu kegiatan jasa adalah jarak yang
ditempuh oleh penduduk untuk mencapai tempat penjualan jasa tersebut, dengan
catatan bahwa penempuhan jarak itu adalah berdasarkan kesediaan orang yang
bersangkutan. Lingkup ini adalah batas terluar dari daerah pasar bagi suatu kegiatan
jasa, diluar batas mana orang akan mencari pusat lain. Lingkup pasar dapat
merupakan suatu fungsi sederhana dari jarak linear tetapi lebih besar
kemungkinannya dipengaruhi oleh faktor waktu dan biaya.
12
Menurut Christaller (1933) konsep dasar atau unsur-unsur pokok tempat
sentral adalah sebagai berikut :
1. Wilayah yang dilayani oleh tempat sentral merupakan wilayah komplementer
bagi tempat sentral.
2. Tempat sentral yang mempunyai kegiatan sentral, yaitu yang melayani
wilayah yang terluas disebut tempat sentral orde tertinggi sedangkan tempat
sentral yang melayani wilayah yang lebih kecil tempat sentral orde rendah.
3. Batas pelayanan dari tiap kegiatan sentral digambarkan sebagai batas
jangkauan dari tiap komoditi.
4. Permintaan dan konsumsi terhadap sentral tersebut tergantung secara timbal
balik pada distribusi dan variasi kondisi sosial-ekonomi penduduk serta
konsentrasi penduduk di tiap tempat sentral.
5. Permintaan terhadap kegiatan sentral tergantung pada jarak dan usaha
konsumen untuk memperoleh komoditi tersebut. Diasumsikan bahwa
permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang hingga titik
nol, yaitu berdasarkan pertambahan jarak dari tempat.
Berdasarkan prinsip -prinsip Christaller (1933) hirarki tempat sentral adalah
sebagai berikut :
a. Prinsip pemasaran atau penawaran, yaitu berdasarkan prinsip bahwa setiap tempat
sentral hanya dapat melayani secara maksimum sepertiga dari enam sub tempat
sentral (titik-titik heksagonal) ditambah dengan tempat sentral itu sendiri. Jumlah
tempat sentral yang dominan adalah tiga, dan Christaller menyatakan bahwa nilai
k=3, yaitu jumlah pemukiman dengan orde tertentu dilayani oleh suatu tempat
sentral yang ordenya lebih tinggi. Penerapan ini mewujudkan pola tata ruang yang
memaksimumkan distribusi barang dan jasa dengan jumlah tempat sentral yang
sedikit.
b. Prinsip transportasi, yaitu berdasarkan prinsip jarak minimum diantara tempat
sentral utama dan sub tempat sentral yang dilayani dan terletak pada jalur-jalur
lalu lintas diantara tempat sentral utama. Sub tempat sentral pada jalur ini
berfungsi ganda, melayani tempat sentral utama dan sub tempat sentral utama
13
dengan nilai k=4. Dalam penerapan prinsip ini, mobilitas barang adalah
maksimum dengan ongkos minimum. Untuk mencapai keadaan ini, sejauh
mungkin tempat sentral berlokasi pada jalur-jalur lurus.
c. Prinsip administrasi, yaitu berdasarkan prinsip kontrol atau pengelolaan dan
pemerintah dalam pengertian bahwa fungsi tiap tempat sentral mengontrol
keenam sub tempat sentral yang mengelilinginya dengan nilai k=7.
2.1.4 Teori Hakimi
Menurut Hakimi (1964) dalam Rushton (1979) mengeluarkan suatu teori yang
menunjukkan bagaimana menemukan satu titik optimum dalam suatu jaringan-
jaringan. Dengan adanya jarak yang tetap diantara simpul-simpul yang ada dalam
jaringan, maka akan dapat ditemukan satu simpul diantara semua simpul yang ada,
yang mempunyai jarak terpendek dan mempunyai kriteria bobot yang ditetapkan.
Simpul atau titik yang dimaksudkan disebut sebagai titik tengah dari jaringan. Ini
merupakan teori yang penting, karena itu dianjurkan untuk menggunakan teori ini
dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan penaksiran simpul-simpul
alternatif pada jalur network. Secara ringkas teori hakimi berbunyi: ”ada satu simpul
dalam jaringan yang meminimumkan jumlah jarak terpendek yang berbobot dari
semua simpul terhadap satu simpul tertentu dimana simpul tersebut juga merupakan
bagian dari jarak tersebut”.
2.1.5 Teori Lokasi
Budiharsono (2001) menyatakan pemahaman tentang bagaimana keputusan
mengenai lokasi mutlak diperlukan jika ingin membahas kegiatan pada ruang dan
menganalisis bagaimana suatu wilayah tumbuh dan berkembang. Keputusan
mengenai lokasi yang diambil oleh unit-unit pengambil keputusan akan menentukan
struktur tata ruang wilayah yang terbentuk. Unit-unit pengambil keputusan dalam
penentuan lokasi dapat dibagi menjadi tiga dan setiap unit-unit pengambil keputusan
mempunyai kepentingan tersendiri bersumber dari aktivitas ekonomi yang dilakukan,
yaitu :
14
1. Rumah tangga
Aktivitas ekonomi rumah tangga yang paling pokok adalah :
a. Penjualan jasa tenaga kerja
b. Konsumsi
Setiap rumah tangga dihadapkan pada masalah pengambilan keputusan mengenai
lokasi permukiman, lokasi penjualan jasa (kerja) dan lokasi konsumsi, karena
diasumsikan bahwa setiap rumah tangga akan memaksimalkan kegunaan (utility)
barang dan jasa.
2. Perusahaan
Kegiatan ekonomi dari suatu perusahaan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Pengumpulan input
b. Proses produksi
c. Proses pemasaran
Pengambilan keputusan tentang lokasi oleh suatu perusahaan adalah suatu usaha
untuk memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya.
3. Pemerintah
Peran pemerintah adalah melindungi kepentingan masyarakat. Selain itu,
pemerintah secara langsung bertindak sebagai locator dari berbagai sarana dan
fasilitas pelayanan umum. Penentuan lokasi oleh pemerintah biasanya berdasarkan
kepada usaha bagaimana untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat.
Pengambilan keputusan mengenai lokasi bersifat jangka panjang. Sehingga
membutuhkan biaya yang besar jika terjadi pemindahan lokasi. Menurut Hanafiah
(1989) dalam Budiharsono (2001) faktor-faktor lokasi yang menentukan pemilihan
suatu lokasi untuk suatu kegiatan dapat dikelompokkan menjadi :
1. Input Lokal
Input lokal adalah semua barang dan jasa yang ada pada suatu lokasi dan sangat
sukar atau tidak mungkin dipindahkan ke tempat lain. Contoh input lokal adalah :
lahan, iklim, kualitas udara, kualitas air, keadaan lingkungan, pelayanan umum yang
ada pada suatu lokasi dan sebagainya. Salah satu sifatnya adalah ketersediaannya
15
suatu lokasi tergantung dari keadaan lokasi itu sendiri dan ketersediaannya tidak
dipengaruhi oleh transfer input dari lokasi lain.
2. Permintaan lokal
Permintaan lokal atau output yang tidak dapat ditransfer (nontransferable output)
adalah permintaan akan output secara lokal yang tidak dapat di transfer pada suatu
lokasi. Contohnya adalah permintaan tenaga kerja oleh pabrik lokal, permintaan akan
pelayanan lokal seperti masjid, bioskop, tukang cukur dan sebagainya.
3. Input yang dapat ditransfer
Input yang dapat ditransfer adalah persediaan input yang dapat ditransfer dari
sumber-sumber di luar suatu lokasi, yang sampai batas tertentu merupakan
pencerminan biaya transfer atau biaya transportasi dari sumber-sumber input ke
lokasi tersebut.
4. Permintaan dari luar
Permintaan dari luar atau output yang dapat ditransfer adalah permintaan bersih
yang diperoleh dari penjualan output yang dapat ditransfer ke pasar di luar lokasi,
yang merupakan pencerminan dari biaya transfer atau biaya transportasi dari lokasi
tersebut ke pasar-pasar.
2.1.6 Perencanaan Pusat Pelayanan
Tujuan identifikasi pusat pelayanan adalah untuk : (1) mengidentifikasi pusat-
pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang berbeda. (2) penentuan dari
fasilitas infrastruktur pokok untuk memuaskan kebutuhan beragam sektor dari
penduduk. (3) pengintegrasian atau pengelompokan pelayanan pada tingkat yang
berbeda dan penentuan dari keterkaitan atau jaringan jalan untuk mengembangkan
aksesibilitas dan efisiensi.
Konsep pusat pelayanan mempunyai beberapa asumsi, yaitu : (1) penduduk
didistribusikan pada beragam ukuran pemukiman. (2) mereka mempunyai kebutuhan
biofisik sama baiknya dengan kebutuhan sosial ekonomi. (3) mereka menggunakan
sumber daya alam dan manusia seperti barang-barang dan jasa untuk kebutuhan
mereka. (4) mereka membentuk pemukiman dalam bentuk rumah, dusun kecil, desa
16
dan kota serta meneruskan untuk tinggal bersama selama sumberdaya mncukup i atau
keinginan yang terbatas. (5) mereka menggunakan sumberdaya untuk kebutuhan
dasar yang dibatasi atau keinginan yang terbatas. (6) mereka berpindah ke tempat lain
(migrasi) untuk mencari barang-barang dan jasa yang tidak mereka dapat di
permukiman mereka.
Pusat dan daerah belakang (hinterland) dalam suatu wilayah nodal
mempunyai fungsi yang spesifik sehingga keduanya tergantung secara internal.
Fungsi dari pusat antara lain adalah: (1) pusat permukiman, (2) pusat pelayanan, (3)
pusat industri, (4) pusat perdagangan bahan mentah. Sedangkan fungsi daerah
belakang: (1) penyedia bahan mentah dan sumberdaya pasar, (2) daerah pemasaran
barang-barang industri, (3) pusat kegiatan pertanian. Faktor- faktor yang
menyebabkan timbulnya pusat-pusat wilayah adalah: (1) faktor lokasi ekonomi dan
letak strategis, (2) faktor ketersediaan sumber daya, (3) kekuatan aglomerasi, (4)
faktor investasi pemerintah. Pada dasarnya pusat wilayah mempunyai hierarki yang
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) jumlah penduduk yang bermukim pada
pusat tersebut, (2) jumlah fasilitas pelayanan umum yang tersedia, dan (3) jumlah
jenis fasilitas pelayanan umum yang tersedia.
2.2 Penelitian Terdahulu
Secara umum, penelitian tentang analisis lokasi optimal terhadap suatu
wilayah telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Kurniawan (2006) dalam
penelitiannya yang berjudul Analisis Lokasi Optimal Pusat Pemerintahan dalam
Rangka Pengembangan Wilayah dan Efisiensi Pelayanan di Kabupaten Lampung
barat, Provinsi Lampung mencoba menganalisis penentuan lokasi optimal dari pusat
pemerintahan dalam rangka pengembangan wilayah dan efisiensi pelayanan.
Menggunakan perhitungan dengan P-median, hasil perhitungan program
menunjukkan bahwa berdasarkan bobot jumlah penduduk dan bobot sama pengaruh
jarak, waktu dan biaya serta bobot luas permukiman, pengaruh waktu dan biaya,
program ternyata merekomendasikan hasil yang sama sebagai lokasi optimal pusat
17
pemerintahan yaitu kecamatan Balik bukit (kota Liwa). Hasil ini sesuai dengan
kepentingan Pemda yang menentapkan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan.
Faisal Ashar (2002, Teknik Planologi-ITB)1 dalam penelitiannya yang
berjudul Studi penentuan lokasi optimal terminal penumpang di kota Padang
menganalisis lokasi yang optimal bagi terminal angkutan umum penumpang di Kota
Padang. Dengan menggunakan metoda P-Median yang merupakan jenis Model
Optimasi Lokasi yang dikembangkan dari dalil Hakimi yang memakai algoritma
Teitz dan Bart, maka dibuat program lokasi yang mampu untuk menentukan lokasi
terminal angkutan umum yang optimal tersebut. Dan optimasi yang telah dilakukan
terbukti bahwa lokasi terminal angkutan umum penumpang dipengaruhi oleh
pertumbuhan dan penyebaran penduduk serta penambahan ruas jaringan jalan di
suatu kota. Hasil tersebut membuktikan bahwa pengope rasian Terminal Regional
Bingkuang di Air Pacah belum optimal dan sisi lokasi. Lokasi terminal angkutan
umum penumpang yang optimal di Kota Padang adalah di simpul 156 yang terletak
di Kelurahan Kalumbuk Kecamatan Kuranji, dan berada di ruas jalan By-Pass.
Bilang Nauli Harahap (1999, Teknik Planologi-ITB)2 dalam penelitiannya
yang berjudul Arahan lokasi fasilitas pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di
wilayah Bandung Timur mencoba membantu memecahkan masalah tersebut dengan
mengidentifikasi kebutuhan nyata terhadap fasilitas SLTP. Analisis yang digunakan
dalam studi ini ialah perhitungan kebutuhan dan sediaan fasilitas SLTP di setiap
kelurahan. Kebutuhan fasilitas SLTP kelurahan yang melebihi sediaannya dianggap
menggunakan fasilitas di kelurahan la in terdekat. Metode yang digunakan dalam
perhitungan penggunaan fasilitas SLTP adalah metode P-median dan analisis peta
dengan menggunakan ARC/INFO. Analisis dilakukan dalam dua periode waktu yaitu
tahun 1998 dan 2004, karena lama pendidikan di SD 6 tahun.
Hasil yang diperoleh dari studi ini ialah sebagai berikut. Terdapat tiga pola
pengelompokan penggunaan fasilitas SLTP, yaitu kelompok kelurahan/desa
1 Departemen Teknik Planologi-ITB Studi penentuan lokasi optimal terminal penumpang di kota Padang dikutip dari Http://www.itb.ac.id (17 Desember 2006) 2 Loc.cit
18
Margasenang, Pasir Wangi dan Pasir Endah. Kebutuhan fasilitas SLTP baru pada
periode pertama tahun 1998 ialah sembilan SLTP, yang dialokasikan untuk kelompok
kelurahan Margasenang, dua SLTP di Kujangsari. Untuk kelompok kelurahan Pasir
Wangi, dua SLTP di Pasanggrahan, satu SLTP di Cipadung, satu SLTP di Palasari
dan satu SLTP di Ujungberung. Untuk kelompok kelurahan Pasir Endah, satu SLTP
di. Antapani dan satu SLTP di Mandalajati. Kebutuhan terhadap fasilitas SLTP tahun
2004 ialah sebanyak 11 SLTP. Kelompok Margasenang memperoleh alokasi satu
SLTP, ditempatkan di Cipamokolan. Kelompok Pasir Wangi memperoleh enam
SLTP, satu SLTP di Mekarmulya, empat SLTP di Cipadung dan satu SLTP di
Pasanggrahan.Kelompok Pasir Endah memperoleh alokasi empat SLTP, satu SLTP di
Cisaranten Kulon, dua SLTP di Antapani dan satu SLTP di Mandalajati. Selain
1okasinya, diperoleh juga pola penggunaan fasilitas SLTP yaitu pemakaian sendiri,
dan pemakaian bersama fasilitas SLTP oleh beberapa kelurahan. Jumlah SLTP yang
dibutuhkan di wilayah Bandung Timur sampai tahun 2004 sebanyak 20 SLTP. Untuk
memenuhi kebutuhan ini dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu
membangun 20 sekolah baru, penambahan ruangan kelas pada sekolah yang sudah
ada, pemakaian SLTP dua kali sehari (dua shift) dan partisipasi swasta dalam
menyediakan fasilitas pendidikan SLTP. Berdasarkan perbandingan hasil studi
dengan perkiraan kebutuhan dalam RDTRK dan beberapa standar, dapat disimpulkan
bahwa standar yang paling mendekati ialah perkiraan kebutuhan dalam RDTRK,
sehingga perkiraan kebutuhan dalam RDTRK dapat diterapkan setelah disesuaikan
dengan hasil studi ini. Penyesuaian dilakukan terutama dalam melihat kebutuhan
fasilitas SLTP setiap kelurahan, sehingga pelayanan fasilitas SLTP menjadi lebih
baik dan lebih mudah dijangkau penduduk.
Alifah (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Penentuan Lokasi
Optimal Pasar Sebagai Terminal Agribisnis di DKI Jakarta yang bertujuan untuk
mencari alternatif lokasi yang paling baik bagi penentuan lokasi optimal dari sebuah
terminal agribisnis di DKI Jakarta untuk mencari alternatif yang terbaik. Maka
digunakan program komputer Java Applets P-median problem sebagai alat
analisisnya, untuk meminimumkan jarak yang akan ditempuh dengan berdasarkan
19
pada bobot masing-masing simpul. Berdasarkan bobot jumlah penduduk, hasil
perhitungan program menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kelurahan Rawa
buaya. Sedangkan berdasarkan bobot jarak, lokasi optimal terletak pada Kelurahan
Cengkareng barat.
2.3 Kerangka Penelitian
Pembangunan wilayah merupakan suatu perubahan ke arah positif untuk
kemajuan dalam suatu wilayah. Pembangunan wilayah pada hakikatnya adalah
pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah/region yang disesuaikan dengan
kemampuan fisik dan sosial region tersebut seperti Sumberdaya Alam (SDA),
Sumberdaya Manusia (SDM) dan kondisi sosial ekonomi.
Dalam suatu wilayah terdapat penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata
dan adanya kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi, maka sering terjadi ketimpangan-
ketimpangan dalam pembangunan, seperti ketimpangan pertumbuhan, pendapatan,
pengangguran, kemudahan pelayanan, investasi dan sebagainya. Untuk mengurangi
ketimpangan tersebut maka pengembangan wilayah menghendaki adanya penataan
lokasi agar tercapai efisiensi dan optimalisasi bagi suatu kegiatan ekonomi maupun
pelayanan sosial. Sasaran utama dari perencanaan pembangunan wilayah pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan terbaik. Yang dapat dikelompokkan
atas tiga sasaran umum, seperti (i) efisiensi dan produktifitas, (ii) pemerataan
keadilan dan aksesibilitas masyarakat, dan (iii) keberlanjutan.
Kesehatan memegang peranan penting bagi setiap individu dalam menentukan
kualitas hidup disamping faktor lain seperti pendidikan. Selain itu dengan kesehatan
pula akan menentukan peluang kerja dan akhirnya akan berpengaruh pada
pendapatan. Variabel-variabel tersebut merupakan efek lanjutan dari status kesehatan
yang baik. Untuk mencapai status kesehatan yang baik di suatu wilayah, maka salah
satu upaya yang diperlukan adalah dengan penataan terhadap fasilitas kesehatan.
Kota Bogor dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 sebesar 855.085 jiwa
termasuk kedalam kriteria kota besar dengan kriteria jumlah penduduk 500.000-
1.000.000 jiwa (Dinas PU Propinsi Jawa Barat, 1990). Kota Bogor yang terbagi
20
menjadi 6 kecamatan, memiliki demand yang cukup besar dalam penyediaan fasilitas
pelayanan, seperti fasilitas kesehatan.
Saat ini pemerintah Kota Bogor memiliki berbagai permasalahan dalam
penataan fasilitas kesehatannya. Hal yang paling mendasar adalah tidak meratanya
fasilitas kesehatan di setiap kecamatan Kota Bogor. Walaupun bila dilihat dari segi
kuantitas fasilitas kesehatan dasar maupun rujukan di Kota Bogor sudah memadai
untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat. Dilihat dari kepadatan penduduk di
Kota Bogor cenderung mengelompok di pusat kota atau Kecamatan Bogor Tengah,
hal ini dikarenakan Kecamatan Bogor Tengah merupakan pusat kegiatan/pelayanan
sosial-ekonomi/jasa dan perkantoran/pemerintahan Kota Bogor. Walaupun
Kecamatan Bogor Tengah ini mempunyai luas wilayah yang paling kecil dari
kecamatan lain (8,13 km2). Sedangkan Kecamatan yang cukup luas wilayahnya
seperti Bogor Selatan dan Tanah Sareal masih minim dalam hal fasilitas
kesehatannya. Selain itu, Kota Bogor sampai saat ini belum memiliki Rumah Sakit
rujukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibawah otoritas pemerintah
daerah. Rumah Sakit rujukan diserahkan kepada Rumah Sakit swasta.
Dari permasalahan diatas untuk mencapai penataan fasilitas kesehatan yang
efisien dan optimal bisa dilakukan dengan mengetahui penyebaran fasilitas kesehatan
setiap kecamatan Kota Bogor terlebih dahulu. Dengan tujuan untuk mengetahui
kecamatan mana yang memiliki hirarki fasilitas kesehatan yang lengkap dan kurang
lengkap. Metode skalogram bisa digunakan untuk menganalisis ini karena bisa
memberikan hasil terhadap hirarki fasilitas kesehatan Kota Bogor. Selanjutnya
analisis dilakukan secara deskriptif terhadap fasilitas kesehatan pada standar
kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan khususnya pada Rumah Sakit
dan Puskesmas. Hal ini untuk melihat sejauh mana daya layan dari fasilitas kesehatan
tersebut. Analisis deskriptif ini merupakan analisis dari segi non-lokasi untuk lebih
mempertajam dalam penelitian. Mengingat Kota Bogor yang berencana untuk
membangun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) nya, agar tercapai lokasi yang optimal dalam pelayanan perlu
dicari lokasi yang optimal.
21
Dalam RTRW Kota Bogor 1999-2009, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
direncanakan di Kelurahan Tanah Sareal Kecamatan Tanah Sareal dengan luas
1,47334 Ha. Dengan metode P-Median, bisa dilihat apakah lokasi tersebut telah
mencapai lokasi optimal atau belum. Selain itu pula metode ini dapat menunjukkan
lokasi optimal RSUD bila lokasi tersebut belum optimal. Kemudian dari hasil analisis
skalogram dilakukan analisis kebutuhan fasilitas kesehatan pada kecamatan yang
memiliki skor terendah dalam hirarki fasilitas kesehatan, yaitu Kecamatan Tanah
Sareal. Dengan berbagai pertimbangan seperti wilayah yang cukup luas dan melihat
kebutuhan akan Puskesmas pembantu (Pustu) cukup besar maka ditentukan pula
lokasi optimal Puskesmas pembantu (Pustu) di Kecamatan Tanah Sareal. Selain itu,
berdasarkan usulan Sarasehan Pembangunan (Sarembang) Kecamatan Tanah Sareal
tahun 2007 memang direncanakan untuk pembangunan Pustu.
Dari uraian diatas dapat diambil suatu pemahaman bahwa dalam mencapai
suatu penataan fasilitas kesehatan yang efisien dan optimal selain memperhatikan
ketersediaan dan lokasi optimal fasilitas kesehatan, juga perlu memperhatikan faktor
non- lokasi seperti daya layan suatu fasilitas kesehatan baik dari segi fisik maupun
Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga kesehatan.
22
Kerangka Penelitian
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan
Kecamatan di Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah
Pembangunan Wilayah
Penataan Fasilitas Pelayanan
Fasilitas Kesehatan Kota Bogor
Analisis
Penyebaran Analisis Deskriptif Fasilitas Kesehatan
Analisis Penataan Fasilitas
Kesehatan Kota Bogor
Penentuan Lokasi Optimal RSUD
Kota bogor Metode Skalogram
Metode P-Median Analisis Standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan
RS dan Puskesmas Luas Wilayah
Kecamatan Jumlah Penduduk Jarak antar simpul
yang terpilih
Kurang merata Fasilitas Kesehatan
Skor Tertinggi
Skor Terendah
Kebutuhan Fasilitas
kesehatan
Usulan Sarembang
Penentuan Lokasi Optimal Pustu
Belum adanya RSUD sebagai RS
rujukan
SDA
SDM
Kondisi sosial ekonomi
Pembangunan Kesehatan
Kualitas individu, Peluang kerja,
Pendapatan
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan
lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa
Kota Bogor merupakan kota yang pembangunan wilayahnya sedang berkembang di
Jawa Barat dan merupakan pintu gerbang Jawa Barat menuju ibu kota DKI Jakarta
sehingga merupakan jalur strategis dan akan berpengaruh terhadap pembangunan
wilayahnya. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari-Maret 2007.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan di tingkat kecamatan. Penelitian di tingkat kecamatan
ini adalah untuk memperoleh kejelasan tentang fasilitas kesehatan untuk mencari
pelayanan dari fasilitas kesehatan secara optimal. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui
wawancara dengan beberapa staf Dinas kesehatan, Bapeda, arsip daerah dan instansi-
instansi terkait lainnya. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait seperti,
Bapeda Kota Bogor, Badan Pusat Statistik Kota Bogor, Badan Pusat Statistik pusat di
Jakarta, Dinas kesehatan, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota
Bogor.
3.3 Metode Analisis Data
3.3.1 Metode Skalogram
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan peringkat pemukiman atau
wilayah dan kelembagaan atau fasilitas pelayanan. Metode ini memberikan hirarki
yang lebih tinggi kepada pusat pertumbuhan dan pelayanan yang memiliki jumlah
unit sarana dan prasarana pembangunan yang lebih banyak. Metode skalogram lebih
menekankan kriteria kualitatif dibandingkan kriteria yang menyangkut derajat fungsi
sarana dan prasarana pembangunan. Distribusi penduduk dan luas jangkauan
pelayanan sarana dan prasarana pembangunan secara spesial tidak dipertimbangkan
24
secara spesifik. Tetapi metode ini dapat memberikan informasi tentang hirarki pusat-
pusat pelayanan yang disebabkan oleh penyebaran sarana dan prasarana
pembangunan yang terdapat dalam wilayah tersebut (Afrianto, 2000). Tahapan-
tahapan metode skalogram, misalnya akan disusun hirarki peringkat kecamatan-
kecamatan dalam suatu kabupaten, adalah sebagai berikut :
1. Kecamatan-kecamatan disusun urutannya berdasarkan peringkat jumlah
penduduk.
2. Kemudian kecamatan-kecamatan tersebut disusun urutannya berdasarkan
jumlah jenis fasilitas yang ada pada wilayah tersebut.
3. Fasilitas- fasilitas disusun urutannya berdasarkan jumlah wilayah yang
memiliki jenis fasilitas tersebut.
4. Peringkat jenis fasilitas disusun urutannya berdasarkan jumlah total unit
fasilitas.
5. Yang terakhir, peringkat kecamatan disusun urutannya berdasarkan jumlah
total fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing wilayah tersebut.
Penelitian ini memakai analisis skalogram karena metode ini dapat
mengetahui hirarki wilayah dengan cepat berdasarkan fasilitas pelayanan yang
tersedia. Metode skalogram ini mempunyai kekuatan dan kelemahan. Kekuatan
metode skalogram ini antara lain dapat digunakan untuk :
1. Memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk dan tersedianya fasilitas
pelayanan.
2. Secara cepat dapat mengorganisasikan data dan mengenal wilayah.
3. Membandingkan pemukiman-pemukiman dan wilayah-wilayah berdasarkan
ketersediaan fasilitas pelayanan.
4. Memperlihatkan hirarki pemukiman atau wilayah.
5. Secara potensial dapat digunakan untuk merancang fasilitas baru dan
memantaunya.
Kelemahan dari metode skalogram ini, yaitu :
1. Hasil akhir dipengaruhi oleh pemilihan indikator sarana dan prasarana
pembangunan yang diamati,
25
2. Tidak memberikan informasi tentang ukuran, kondisi dan kualitas pelayanan
prasarana dan sarana pembangunan,
3. Tidak mencakup faktor lokasi tata ruang,
4. Hasil perhitungannya kasar.
3.3.2 Metode P-Median Algoritma
Dasar metode P-median Algoritma adalah teorema yang dikembangkan oleh
Hakimi (1964) dalam Rushton (1979) menyatakan bahwa titik optimum dari suatu
jaringan yang dapat meminimumkan jumlah perkalian jarak-jarak terpendek dengan
bobot dari semua simpul adalah titik yang berasal dari simpulan jaringan tersebut.
Untuk persoalan meminimumkan jarak rata-rata, teorema Hakimi masih mampu
memecahkan persoalan yang ada dengan lokasi dari simpul-simpul pada jaringan.
Dengan memperhitungkan simpul-simpul yang dilayani sebagai lokasi potensial
untuk pusat pelayanan.
Penentuan lokasi dan alokasi untuk meminumkan jarak dapat ditunjukkan
oleh rumus berikut :
Meminimumkan Z = ∑ ∑ aij wi dij
Dimana :
Z = Sekian Y km, yang maknanya adalah semua Y dari semua simpul dengan sekian
km untuk mencapai pusat pelayanan.
aij = 1, jika simpul dilayani i lebih dekat ke simpul pelayanan j dari pada ke simpul
pelayanan lainnya, selain dari itu = 0
wi = 1 bobot dari simpul yang dilayani i
dij = jarak terpendek antara simpul yang dilayani idan j
Perhitungan P-Median ini diselesaikan dengan menggunakan program
komputer Java Applet P-Median Problem, karena program ini dapat digunakan untuk
analisa dengan sejumlah besar simpul. Program komputer ini akan menandai solusi
terbaik node dengan warna hijau. Sedangkan untuk hasil-hasil yang dipertimbangkan
(under consideration) dari iterasi- iterasi tertentu akan ditandai dengan lingkaran
merah pada node (Kurniawan, 2006).
26
Dalam kasus satu dimensi (garis lurus) penentuan lokasi optimal, fungsi
objektif dapat dirumuskan sebagai berikut :
Minimum Z = ∑ |Pi – X|
Misalkan 0-10 ada jarak antar kantor kecamatan (asumsi lokasi pusat pelayanan
kesehatan), titik iterasi adalah 5 untuk X maka didapat nilai sebagai berikut :
Z=|1-5| + |3-5| + |4-5| + |6-5| + |10-5| = 13
Jika titik iterasi adalah 4 untuk X maka didapat nilai sebagai berikut :
Z=|1-4| + |3-4| + |4-4| + |6-4| + |10-4| = 12
Jika titik iterasi adalah 6 untuk X maka didapat nilai sebagai berikut :
Z=|1-6| + |3-6| + |4-6| + |6-6| + |10-6| = 14
Titik Pelayanan
A B C D E
| | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Koordinat Nilai Lokasi
Gambar 2. Lokasi Optimal Satu Dimensi (Garis Lurus)
Jika ia berpindah ke lokasi 6, kemudian sebuah titik koordinat kurang dari 5
(lokasi sebelumnya adalah x) masing-masing akan menyumbangkan satu unit
peningkatan terhadap nilai fungsi objektif. Terdapat tiga macam titik dalam kasus ini
jadi penambahannya terjadi 3 unit. Sebaliknya, semua titik dengan koordinat lebih
besar 6 akan memberikan masing-masing satu unit penurunan terhadap fungsi.
Terdapat dua macam titik, jadi penurunnya terhadap nilai fungsi sebesar dua unit.
Efek keuntungan perpindahan lokasi x dari 5 ke 6 adalah sebuah peningkatan nilai
fungsi objektif dari 13 ke 14 unit. Alternatifnya, sebuah perpindahan x dari posisi 5
ke 4 akan menyebabkan penurunan masing-masing satu unit untuk tiga titik pertama
dan peningkatan masing-masing satu unit dua titik.
27
Dalam metode P-Median ada 2 buah faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor
lokasi jarak antara simpul-simpul dan faktor bobot simpul yang akan dianalisis.
Penggunaan P-Median dimaksudkan karena metode ini dapat mengkombinasikan 2
buah faktor dalam analisis sehingga menghasilkan solusi terbaik yang diinginkan. Ini
memungkinkan kita dapat melihat optimasi suatu lokasi tidak dari sisi satu aspek saja,
melainkan beberapa aspek. Disamping itu, penentuan faktor jarak dan bobot
tergantung pada 3 hal yaitu :
1. Masalah apa yang sedang diselidiki
2. Kelengkapan data yang diperlukan
3. Pertimbangan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang diselidiki
Adapun yang dimaksud dengan faktor jarak dan bobot dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Faktor Jarak
Pengertian jarak dalam studi kasus ini erat kaitannya dengan lokasi suatu
tempat dalam ruang. Ada 2 pengertian mengenai lokasi, yaitu :
1. Lokasi absolut, yaitu posisi yang erat kaitannya dengan suatu sistem jaringan
konvensional atau dinyatakan dengan garis lintang dan garis bujur astronomis.
Pada dasarnya lokasi yang demikian tidak berubah letaknya dan satuan jarak
yang umumnya diapaki ialah mil, km, dan m, misalnya alamat perusahaan X.
2. Lokasi relatif, ialah posisi yang dinyatakan dalam bentuk jarak atau
diidentikkan dengan salah satu faktor lain. Misalnya kota X terletak 100 km dari
kota Y atau kota X terletak 3 jam perjalanan mobil dari kota Y.
Disamping itu, lokasi relatif dapat pula dinyatakan dalam bentuk karcis bus atau
kereta api.
b. Faktor Bobot
Pengukuran massa dari suatu simpul tertentu sangat tergantung pada masalah
yang sedang diteliti. Bobot tersebut dapat berbentuk sebagai jumlah penduduk suatu
kota, jumlah komoditi suatu daerah, jumlah tenaga kerja, pendapatan daerah,
besarnya modal yang ditanam, jumlah keluarga, jumlah kendaraan, jumlah tempat
tidur di rumah sakit dan lain- lain.
28
Data yang diperlukan untuk analisa dengan metode P-Median dengan program
komputer Java Applets P-Median Problem ini adalah data sekunder yang terdiri dari :
a. Data Jarak
Sesuai dengan program yang digunakan, maka data jarak yang dibutuhkan adalah
jarak dari setiap calon pusat ke simpul lain yang jaraknya lebih kecil dari batasan
jarak maksimal implisit yang ditentukan.
b. Data Bobot
Bobot simpul ditentukan oleh besarnya kebutuhan pelayanan. Pengukuran bobot
dari suatu simpul tertentu sangat tergantung pada masalahnya yang sedang diselidiki.
Dalam penelitian ini bobot yang akan dipakai adalah jumlah penduduk dan luas
wilayah.
c. Jumlah Pusat-pusat yang Dipilih
Jumlah pusat ditentukan oleh jumlah seluruh kebutuhan pusat pelayanan. Dalam
studi kasus Kota Bogor ini jumlah pusat pelayanan ditentukan oleh simpul yang
dijadikan alternatif pemilihan fasilitas kesehatan Kota Bogor.
3.3.3 Analisis Deskriptif Fasilitas Kesehatan
Analisis deskriptif fasilitas kesehatan dilakukan dengan kajian literatur
dengan mengumpulkan data dan informasi tentang data-data fasilitas kesehatan,
standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan fasilitas kesehatan di
Kota Bogor. Dari kajian literatur tersebut akan didapatkan fasilitas kesehatan mana
yang sudah optimal dan yang belum optimal dari segi non-lokasi dalam pelayanan
kesehatan.
3.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Dalam melakukan penelitian, penulis hanya menganalisis aspek spasial dari
fasilitas kesehatan Kota Bogor dengan menekankan pada variabel bobot jumlah
penduduk, bobot luas pemukiman dan bobot sama dalam pengaruh jarak serta analisis
pada aspek non-spasial pada standar kebutuhan dan pelayanan fasilitas kesehatannya.
Dalam penelitian, lebih difokuskan pada Rumah Sakit dan Puskesmas dikarenakan
29
permasalahan yang terjadi lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat
akan kedua fasilitas tersebut. Dan kedua fasilitas tersebut cukup penting dan lebih
jamak digunakan oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan.
Keterbatasan penelitian : (1) Penelitian tidak menganalisis faktor- faktor lain
diluar variabel bobot jumlah pendud uk bobot luas pemukiman dan bobot sama dalam
pengaruh jarak. Seperti aspek kepuasan terhadap fasilitas kesehatan. (2) Program P-
Median memiliki kelemahan statis, yaitu tidak berpengaruh terhadap perkembangan
waktu, faktor lain diluar faktor yang ditekankan dalam penelitian tidak dapat
digunakan dalam program ini sehingga hasil analisis berdasarkan masing-masing
faktor terdapat kemungkinan berbeda. (3) Dalam penentuan simpul-simpul dalam
analisis P-Median memakai kantor kecamatan sebagai simpul dalam penentuan lokasi
optimal RSUD Kota Bogor dan memakai kantor kelurahan dalam penentuan lokasi
optimal Puskesmas pembantu (Pustu) Kecamatan Tanah Sareal dengan asumsi kantor
kecamatan dan kantor kelurahan berfungsi pula sebagai pusat pelayanan. (4) Untuk
mendukung analisis penyebaran fasilitas kesehatan dan analisis P-Median tentang
lokasi optimal RSUD Kota Bogor dan Puskesmas Pembantu (Pustu), penelitian tidak
menggunakan analisis selain analisis terhadap standar kebutuhan fasilitas kesehatan,
mutu pelayanan, efisiensi pengelolaan dari Rumah sakit dan Puskesmas. (5) Dalam
analisis penyebaran fasilitas kesehatan dengan metode skalogram, tidak memakai
Posyandu dengan alasan kuantitas yang sangat memadai di Kota Bogor dan bisa
mempengaruhi hasil perhitungan dengan signifikan. (6) Dalam penentuan lokasi
optimal Puskesmas pembantu (Pustu) Kecamatan Tanah Sareal memakai data tahun
2004 dikarenakan keterbatasan data yang didapat.
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Fisik Wilayah Kota Bogor
Wilayah Kota Bogor meliputi areal seluas 118,50 km2 dibagi atas enam
kecamatan yang terdiri dari kecamatan Bogor Selatan, Bogor Timur, Bogor Utara,
Bogor Tengah, Bogor Barat dan Tanah Sareal. Secara geografis wilayah administrasi
Kota Bogor terletak pada koordinat 106° 43`30” BT, 106°51’00” BT dan 6° 36`30’30”
LS- 6° 41’00” LS. Serta mempunyai ketinggian rat-rata minimal 190 m dan maksimal
350 m dengan jarak ± 60 km dari Kota Jakarta. Terdiri dari 6 kecamatan 68
kelurahan, yang berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara : Wilayah Kecamatan Kemang, Kecamatan Bojong Gede
dan Kecamatan Sukaraja.
b. Sebelah Barat : Wilayah Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor dan
Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor
c. Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi
Kabupaten Bogor.
d. Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin
Kabupaten Bogor.
4.1.1 Kondisi Topografi
Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0-15 persen dan sebagian kecil
daerahnya mempunyai kemiringan antara 15-30 persen. Jenis tanah hampir dalam
seluruh wilayah adalah lotosil cokelat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah
lebih dari 90 cm dengan tektur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap
erosi. Kota Bogor merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan perbedaan
ketinggian yang cukup besar, bervariasi antara 0 s/d > 350 m diatas permukaan laut
dengan kemiringan lereng berkisar antara kelompok 0 - 2 % adalah datar yaitu
dengan luas 1.763,94 Ha, 2 – 5 % adalah landai yaitu dengan luas 8.091,27 Ha, 15 –
31
25 % adalah agak curam yaitu dengan luas 1.109,89 Ha, 25 – 40 % adalah curam
yaitu dengan luas 764, 96 Ha, dan > 40 % adalah sangat curam yaitu dengan luas
119,94 Ha.
Tabel 3. Kemiringan Lereng Berdasarkan Luas Lahan Tahun 2005
Kecamatan
Kemiringan Lereng (Ha) JLH (Ha)
0-2% 2-15% 15-25% 25-40% > 40%
Datar landai Agak
Curam Curam Sangat Curam
Bogor Utara 137,85 1.565,65 - 68,00 0,50 1.772 Bogor Timur 182,30 722,70 56,00 44,00 10,00 1.015 Bogor Selatan 169,10 1.418,40 1.053,89 350,37 89,24 3.081 Bogor Tengah 125,44 560,47 - 117,54 9,55 813 Bogor Barat 618,40 2.502,14 - 153,81 10,65 3.825 Tanah Sareal 530,85 1.321,91 - 31,24 - 1.884
Kota Bogor 1.763,94 8.091,27 1.109,89 764,96 119,94 11.850 Sumber : Data Pokok Pembangunan Kota Bogor, Tahun 2002 4.1.2. Geologi
Secara umum Kota Bogor ditutupi oleh Batuan Vulkanik yang berasal dari
endapaan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa
satuan breksi tupaan / kpbb) dan Gunung Salak (berupa aluvium/Kal dan kipas
aluvial/ kpal). Lapisan batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh
dari daerah aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa aluvial yang
tersusun oleh tanah, pasir dan kerikil hasil dari pelapukan endapan baik untuk
vegetasi. Dari struktur geologi tersebut, maka Kota Bogor memiliki jenis Aliran
Andesit seluas 2.719,61 ha, Kipas Aluvial seluas 3.249,98 Ha, Endapan 1.372,68 Ha.
Tufan 3.395,75 Ha dan Lanau Breksi Tufan dan Capili seluas 1.112,56 Ha.
4.1.3. Hidrologi
Wilayah Kota Bogor dialiri oleh 2 (dua) sungai besar, yaitu Sungai Ciliwung
dan Sungai Cisadane, dengan 7 (tujuh) anak sungai. Secara keseluruhan anak - anak
sungai yang ada membentuk pola aliran paralel-subparalel sehingga mempercepat
waktu mencapai debit puncak (time to peak) pada sungai Ciliwung dan Cisadane
sungai utamanya. Pada umumnya aliran sungai tersebut dimanfaatkan oleh sebagian
32
Kota Bogor sebagai sarana MCK dan usaha perikanan Karamba serta sumber air baku
bagi PDAM. Selain beberapa aliran sungai yang mengalir di Wilayah Kota Bogor ,
terdapat juga beberapa mata air yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk kebutuhan air bersih sehari-hari. Kemunculan mata air tersebut umumnya
terjadi karena pemotongan bentuk lahan atau topografi, sehingga secara otomatis
aliran air tersebut terpotong . kondisi tersebut bisa dilihat diantaranya di tebing jalan
Tol Jagorawi, pinggiran sungai Ciliwung di Kampung Lebak Kantin, Babakan Sirna
dan Bantar Jati dengan besaran debit bervariasi.
Pemanfaatan potensi sumber air baku (raw water) yang dikelola oleh PDAM
Kota Bogor selain memanfaatkan sungai Cisadane juga memanfaatkan mata air yang
berlokasi di Kabupaten Bogor untuk memenuhi kebutuhsn air bersih bagi masyarakat
Kota Bogor. Kapasitas air bersih PDAM 1.045,10 liter/ detik, dengan sumber-sumber
sebagai berikut:
a. Mata Air Kota Batu = 45,57 liter / detik
b. Mata Air Bantar Kambing = 164,75 liter / detik
c. Mata Air Tangkil =105,53 liter / detik
d. WTP Dekeng = 523,90 liter / detik
e. WTP Cipaku = 205,35 liter / detik
Dari jumlah kapasitas tersebut, cakupan pelayanan air bersih PDAM tahun
2003 sebanyak 65.287 pelanggan atau 65 % dengan konsunmsi rata-rata 29,05
m3/bulan. Karena secara teknis tidak semua wilayah di Kota Bogor bisa dilayani oleh
PDAM, maka ada beberapa wilayah yang memakai mata air sebagai pemenuhan air
bersih. Layanan air bersih tersebut dibangun oleh pemerintah dan dikelola langsung
oleh masyarakat yang dimanfaatkan oleh sekitar 1.044KK dengan debit mencapai 8,5
liter / detik dari 7 buah mata air.
4.1.4. Penggunaan Lahan
Pola penggunaan lahan identik dengan struktur penggunaan lahan dimana
wilayah Kota Bogor memiliki luas 11.850 Ha. Dari luas wilayah tersebut yang
terdistribusi ke dalam kegiatan penggunaan lahan permukiman pertanian, sosial dan
33
kegiatannya. Luas lahan permukiman wilayah seluas 8.296,63 Ha/70,01 persen dan
pada umumnya permukiman ini berkembang secara linier mengikuti jaringan jalan
yang ada di Kota Bogor. Penggunaan lahan untuk pertanian baik sawah maupun
ladang seluas 1.288,66 Ha/10,87 persen dan penggunaan kebun campuran mencapai
154,55 Ha/1,30 persen. Sedangkan penggunaan lahan untuk hutan kota seluas 141,50
Ha/1,19 persen dan sisanya untuk kegiatan lainnya seperti fasilitas sosial,
perdagangan dan jasa, perkantoran kuburan, taman dan lapangan olahraga lokasi
menyebar di wilayah Kota Bogor. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan di Kota
Bogor pada tabel.
Tabel 4. Persentase Luasan Penggunaan Lahan
Jenis Penggunaan Eksisting Tahun 1999
Luas (Ha) Persentase
Permukiman 8.296,63 70,01
Terminal Agrobisnis 9,21 0,08
Kolam Oksidasi IPAL 1,50 0,01
Pertanian 1.288,66 10,87
Kebun Campuran 154,55 1,30
Industri 115,03 0,97
Perdagangan dan jasa 362,60 3,06
Perkantoran/Pemerintahan 85,28 0,72
Hutan Kota 141,50 1,19
Taman/Lapangan Olaharaga 250,48 2,11
Kuburan 299,28 2,53
Sungai/situ/danau 342,07 2,89
Jalan 529,62 4,47
Terminal dan Sub terminal 1,51 0,01
Stasiun Kereta Api 5,60 0,05
Total 11.850,00 100,00
Sumber : RTRW Kota Bogor 1999-2009
34
4.1.5. Klimatologi
Jumlah curah hujan rata-rata di wilayah Kota Bogor berkisar antara 3.000
sampai 4.000 mm/tahun. Curah hujan bulanan berkisar antara 250 – 355 mm dengan
waktu curah hujan minimum terjadi di bulan September sebanyak 128 mm,
sedangkan curah hujan maksimum terjadi di bulan Oktober sekitar 346 mm.
Temperatur rata-rata wilayah Kota Bogor berada pada suhu 26°C, temperatur
tertinggi sekitar 30,4° dengan kelembaban udara rata-rata kurang lebih 70 %.
4.1.6. Lingkungan Hidup
Berdasarkan Buku Neraca Kualitas Lingkungan Hidup (NKLD) kualitas udara
kota secara umum masih relatif baik, dilihat dari hasil pengujian selama 5 tahun
dibeberapa lokasi, seperti Warung Jambu, Tugu Kujang, Pancasan, Jembatan Merah,
Pasar Mawar, Ciawi, Dramaga, terminal Bubulak, Jl. Baru Kemang, Ciluar, Pertigaan
Regina Pacis, Pasar Bogor dan Depan Balaikota, menunjukkan bahwa semua
parameter di lokasi tersebut terutama CO2, SO2, H2S, Hidro Karbon, Timbal dan NH3
pada umumnya masih di bawah ambang batas Baku mutu Lingkungan (BML),
kecuali beberapa parameter sudah berada di atas ambang batas BML, seperti NO2 di
sekitar Jambu Dua dan Jembatan Merah. Sedangkan untuk tingkat kebisingan telah
melewati Baku Mutu yaitu di sekitar Pancasan, Jembatan Merah, Pasar Mawar,
Jambu Dua dan Tugu Kujang. Sedangkan kualitas air sungai hasil pengujian air di
beberapa titik menunjukkan beberapa parameter kualitas air telah melampaui nillai
Baku Mutu Lingkungan (BML) yaitu dilihat dari parameter BOD, COD dan DO pada
Sungai Cisadane, Ciliwung dan Saluran Cipakancilan hampir sama, kualitas air
tersebut masih memungkinkan untuk media budidaya perikanan namun tidak sesuai
untuk minum.
35
4.2. Keadaan Sosial Ekonomi
4.2.1. Kependudukan
Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2004 sebanyak 835,571 jiwa terdiri
dari laki- laki 424.819 jiwa dan 406.752 jiwa perempuan meningkat pada tahun 2005
menjadi 855.085 jiwa, terdiri dari laki- laki sebanyak 431,864 jiwa dan perempuan
423,221 jiwa dengan kepadatan penduduk 7,215 jiwa per km2. Dilihat dari kepadatan
penduduk, yang terpadat berada di Kecamatan Bogor Tengah mencapai 12,386
jiwa/km2, sedangkan di 5 kecamatan lainnya kepadatan penduduk merata yaitu
berturut-turut di Kecamatan Bogor Utara 8.441 jiwa/km2. Kecamatan Bogor Timur
8.569 jiwa/km2, Kecamatan Tanah Sareal 7.507 jiwa/km2, Kecamatan Bogor Selatan
5.2828 jiwa/ km2 dan Kecamatan Bogor Barat 5.199 jiwa/km2.
Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Bogor tahun 2005 sebesar 2,35
persen meningkat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2004
sebesar 2,35 persen. Pada komposisi umur penduduk Kota Bogor bergeser ke level
yang lebih tinggi tingkatannya yaitu mengalami transisi dari struktur umur penduduk
“muda” ke “tua”. Pada tahun 2004 komposisi penduduk usia anak-anak dan remaja
(usia 20 tahun ke bawah) sebesar 37,93 persen bergeser naik menjadi 38 persen pada
tahun 2005. Sedangkan pada kelompok usia tua dan lansia (usia 55 tahun ke atas)
kondisi baik yaitu pada tahun 2004 adalah 8,07 % menjadi 8% pada tahun 2005.
4.2.2. Pertumbuhan, Mobilitas, Tingkat Fertilitas dan Persebaran Penduduk
Angka pertumbuhan penduduk Kota Bogor mencapai 2,54 % dengan angka
pertumbuhan tertinggi di Kecamatan tanah Sareal mencapai 12,93%. Sedangkan
kepadatan penduduk Kota Bogor mencapai 666 jiwa/km2 dengan kepadatan tertinggi
di Bogor tengah mencapai 11.515 jiwa/km2. sedangkan untuk pertumbuhan penduduk
di Kota Bogor dapat dilihat pada tabel.
36
Tabel 5. Pertumbuhan Penduduk dan Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2005
No Kecamatan Luas Wil
(km2)
Jml Kel
Jml RT (KK)
Rata2 Jiwa/ RT
JML Pddk Sensus 2000
Kep Pddk
(/km2) L P JML 1 Tanah Sareal 21,07 11 35,517 4 79,958 78,233 158,187 7.507 2 Bogor Tengah 8,33 11 24,256 4 52,034 51,142 103,176 12.386 3 Bogor Utara 17,72 8 35,187 4 74,999 74,579 149,578 8.441 4 Bogor Selatan 28,61 16 39,050 4 85,058 81,627 166.745 5.828 5 Bogor Timur 10,15 6 18,594 5 43,486 43,492 86.978 8.569 6 Bogor Barat 32,62 16 41,753 4 96,333 94,088 190,421 5.199 KOTA BOGOR 18,5 68 194,357 26 431,864 423,221 855,085 7.215
Sumber : BPS, 2005
Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan terpadat sehingga
mempunyai potensi untuk penularan penyakit. Seperti kasus Demam Berdarah,
Pneumoni, dan TBC. Sehingga program penyakit menular lebih dikonsentrasikan
kepada Kecamatan Bogor Tengah.
Untuk Mobilitas Penduduk tidak dapat disajikan karena sampai saat ini belum
ada data penduduk yang beremigrasi dan berimigrasi. Tetapi secara asumsi karena
adanya kemudahan transportasi dan kecepatan arus transportasi penduduk kota Bogor
banyak yang bekerja di luar wilayah Kota Bogor terutama di Kota Jakarta dan
BOTABEK ha l ini mempengaruhi penularan penyakit menular terutama Demam
Berdarah. Untuk Tingkat Kesuburan Penduduk (Fertilitas) di Kota Bogor dalam
kurun waktu 5 tahun (2000-2005) terlihat pada tabel berikut:
Tabel 6. Angka Kesuburan Total (TFR) di Kota Bogor Tahun 2000-2005 Tahun Total Fertilitas Rate (TFR) 2000 1,71 2001 1,70 2002 1,68 2003 1,69 2004 1,69 2005 1,69
Sumber : (BKKBN Kota Bogor, tahun 2000-2005)
37
Dari tabel ini menunjukkan bahwa rata-rata ibu di Kota bogor melahirkan 1-2
anak saja. Hal ini menguntungkan bagi sektor kesehatan karena seorang ibu akan
lebih banyak punya waktu untuk membina anaknya dalam kehidupan yang sehat.
4.2.3. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Tabel 7. Distribusi Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Berdasarkan Lapangan
Usaha di Kota Bogor Tahun 2005
Penduduk Lapangan Usaha
Laki-laki Perempuan Jumlah
Pertanian 4136 0 4136 Pertambangan 1551 0 1551 Industri 55319 14993 70312 Listrik,gas,air 517 517 1034 Konstruksi 21197 1034 22231 Perdagangan 54802 20680 75482 Angkutan 25850 0 25850 Keuangan 11891 5687 17578 Jasa 32571 21714 54285
Sumber : Suseda Tahun 2005
Pada Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk produktif
mempunyai mata pencaharian pada sektor perdagangan (27.7 persen), industri (25.81
persen), jasa (19.92 persen). Gambaran ini sesuai dengan kondisi Kota Bogor yang
merupakan tempat pusat pelayanan jasa, perdagangan dan pariwisata.
4.2.4. Distribusi Penduduk Miskin
Keluarga miskin (Gakin) di Kota Bogor tersebar ditiap kecamatan, dengan
proporsi adalah 11,2 persen dibandingkan dengan KK seluruhnya. Begitupun dengan
penduduk miskin (Penkin) tersebar pada tiap kecamatan dengan proporsi 11 persen
dibandingkan penduduk seluruhnya. Untuk lebih jelasnya distribusi penduduk miskin
di Kota Bogor tahun 2005 dapat dilihat pada tabel 8.
38
Tabel 8. Distribusi Penduduk Miskin di kota Bogor Tahun 2005
No
Kecamatan
KK
Miskin
Jml Pddk
Miskin
Total
KK
Total
Penduduk
Proporsi %
Gakin Penkin
1 Tanah Sareal 4082 12.882 35.517 150.636 11,5 8,5
2 Bogor Utara 2978 13.499 35.187 148.187 8,5 9,1
3 Bogor Barat 5121 21.181 41.753 184.464 12,3 11,5
4 Bogor Selatan 4729 21.308 39.050 163.295 12,1 13,0
5 Bogor Timur 2214 9.304 18.594 83.907 11,9 11,0
6 Bogor Tengah 2771 10.048 24.256 101.162 11,4 9,9
JUMLAH 21.914 92.087 194.357 831.671 11,2 11,0
Sumber: P2KT Puskesmas, tahun 2005
Pada tabel tersebut tampak bahwa jumlah Gakin terendah terdapat di
Kecamatan Bogor Utara dengan proporsi 8,5 persen, sedangkan Penkin terendah
terdapat di Kecamatan Tana h Sareal dengan proporsi 8,5 persen dan Kecamatan
Bogor Utara dengan proporsi 9,1 persen. Dengan adanya penduduk miskin ini maka
program-program penanggulangan kemiskinan harus diadakan misalnya mulai dari
pelayanan dasar di puskesmas sampai dengan rujukan ke rumah sakit.
4.3. Kondisi Perekonomian
Indikator makro perekonomian diukur dari Produk Domestik Bruto (PDRB),
yaitu PDRB Kota Bogor tahun 2003 berdasarkan Harga berlaku sebesar Rp
3.645.650,79 juta. Meningkat 11,1 persen menjadi sebesar Rp 4.051.722,6 juta tahun
2004. Pada tahun 2005 sebesar Rp 450.000.000 juta. Sedangkan berdasarkan Harga
Konstan sebesar Rp 3.361.586,14 juta meningkat pada tahun 2004. Laju pertumbuhan
ekonomi Kota Bogor tahun 2005 sebesar 6,12 persen meningkat sebesar 0,02 persen
dari tahun 2004 yaitu sebesar 6,10 persen. Laju inflasi tahun 2005 sebesar 8,47 persen
menurun 0,03 persen dibanding tahun 2004 sebesar 7,61 persen. Meningkatnya
PDRB tersebut berimplikasi terhadap meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat
Bogor, yaitu berdasarkan harga berlaku sebesar 111.070.000 juta menjadi
39
111.140.000 juta, sedangkan berdasarkan harga konstan sebesar Rp 106.070.000 juta
menjadi Rp 106.100.000 juta.
PDRB Kota Bogor
Ditinjau atas dasar harga berlaku, PDRB Kota Bogor tahun 2005 secara
umum seluruh sektor lapangan usaha mengalami kenaikan pertumbuhan sebesar
30,33 persen dibanding tahun 2004, yaitu dari Rp 5.245.746,83 juta pada tahun 2004
menjadi Rp 6.836.918,89 juta di tahun 2005. PDRB atas dasar harga konstan 2000
mengalami peningkatan sebesar 6,12 persen dari Rp 3.361.438,93 juta di tahun 2004
menjadi Rp 3.567.230,91 juta pada tahun 2005. Keadaan PDRB Kota Bogor atas
dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan 2000 kurun waktu 2001-
2005 disajikan pada tabel.
Tabel 9. PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga
Konstan (2000) Tahun 2001-2005 (jutaan Rp)
No Tahun PDRB Atas Dasar Harga
Berlaku
PDRB Atas Dasar Harga
Konstan
1 2001 2.994.826,20 2.823.430,21
2 2002 3.456.398,20 2.986.837,37
3 2003 4.165.569,12 3.168.185,54
4 2004*) 5.245.746,83 3.361.438,93
5 2005**) 6.836.918,89 3.567.230,91
*) Angka Perbaikan **) Angka Sementara Sumber : BPS Kota Bogor, 2005
Dengan melihat bahwa PDRB atas dasar harga berlaku sebesar Rp
2.994.826,20 juta ditahun 2001 meningkat menjadi Rp 6.836.918,89 juta ditahun
2005 dan PDRB konstan pun mengalami peningkatan dari Rp 2.823.430,21 juta pada
tahun 2001 menjadi Rp 3.567.230,91 juta tahun 2005. Maka hal ini menggambarkan
bahwa dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini telah terjadi peningkatan rill
yang walaupun tidak terlalu besar tetapi cukup menunjukkan bahwa peningkatan
40
yang terjadi bukan hanya peningkatan yang disebabkan oleh harga yang jauh
meningkat atau inflasi yang terjadi.
4.4. Pembangunan Kota Bogor
Pada saat ini, Kota Bogor memiliki banyak sekali perubahan dibandingkan
dengan beberapa tahun kebelakang. Masyarakat telah merasakan hasil pembangunan
dan perkembangan yang luar biasa yang terjadi di Kota Bogor ini. Sebagai contoh,
ditahun 1995-an di sekitar jalan Pajajaran Bogor, hanya diramaikan oleh suasana
perkuliahan di kampus IPB dan beberapa Mall seperti Internusa, tetapi lima tahun
kemudian puluhan Outlet di sepanjang jalan Pajajaran mulai dari Warung Jambu
sampai ke jalan Ciawi bermunculan. Dibalik pertumbuhan sarana dan perekonomian
yang ada saat ini, Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA) inilah yang mempunyai
peran yang cukup penting dalam menata dan mengatur Kota Bogor ini3.
BAPEDA bekerjasama dengan berbagai instansi pemerintah yang lain seperti
DLLAJ, Deperindagkop, Dinkes, Dispenda, dan instansi lainnya membuat suatu
rancangan untuk menata Kota Bogor lebih tertib, nyaman dan dapat dirasakan
manfaatnya oleh semua masyarakat. Menurut Ir. Fahmi Hakim, Kasubid Tata Ruang
Bapeda4 menjelaskan bahwa Bapeda telah melakukan sosialisasi dan menampung
aspirasi masyarakat dengan mengadakan pameran perencanaan Rencana Detail Tata
Ruang Kota (RDTR) diwilayah Kecamatan Bogor Utara, Bogor Selatan, Bogor
Tengah, Bogor Timur, Bogor Barat dan Kecamatan Tanah Sareal. RDTR adalah
rencana pemanfaatan ruang bagian wilayah kota/kawasan perkotaan secara rinci
disusun untuk menyiapkan perwujudan ruang dalam rangka pelaksanaan program-
program pembangunan perkotaan. RDTR ini merupakan rencana yang menetapkan
blok peruntukan pada kawasan fungsional perkotaan, sebagai penjabaran ”kegiatan”
kedalam wujud ruang, dengan memperhatikan antara kegiatan penunjang dalam
kawasan fungsional tersebut. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kota Bogor seperti
yang tersaji dalam Lampiran 8. antara lain sepert i pengembangan Bogor “Outer Ring
3 Bapeda Kota Bogor. Quo Vadis Pembangunan Kota Bogor dikutip dari Majalah TPSN, Edisi 8, 17-29 Oktober 2005, hal.17) 4 Loc.cit
41
Road” yang bertujuan untuk mengembangkan beban lalu lintas sehingga tidak
terpusat kedalam kota dan membagi beban penumpang lebih merata adalah salah satu
program yang akan dikembangkan dalam waktu dekat. Selain itu, pemindahan
terminal Baranangsiang ke wilayah Tanah Baru, pembangunan jalan tol dari Sentul
sampai Yasmin dan pembangunan stasiun kereta di Kedung Halang (stasiun antara
Bogor dan Cilebut) akan segera menyusul.
4.5. Arah Pengembangan Pembangunan Fisik Kota
Perkembangan kegiatan Kota cenderung menuju ke segala arah terutama
pada wilayah perluasan dengan mengalih- fungsikan lahan pertanian yang kurang
produktif. Adapun arah perkembangan fisik Kota Bogor sebagai berikut (BAPEDA
Kota Bogor, 2001) :
a. Bagian Barat, yaitu Kecamatan Bogor Barat berpotensi sebagai daerah
permukiman yang ditunjang oleh obyek wisata
b. Bagian Selatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan berpotensi sebagai daerah
permukiman dengan KDB rendah dan ruang terbuka hijau
c. Bagian Timur, yaitu Kecamatan Bogor Timur berpotensi sebagai daerah
permukiman
d. Bagian Tengah, yaitu Kecamatan Bogor Tengah berpotensi sebagai pusat
perdagangan dan jasa yang ditunjang oleh perkantoran dan wisata ilmiah
e. Bagian Utara, Kecamatan Bogor Utara berpotensi sebagai daerah industri non
polutan dan sebagai penunjangnya adalah pemukiman beserta perdagangan
dan jasa, Kecamatan Tanah Sareal berpotensi sebagai permukiman serta
Fasilitas pelayanan kesehatan.
V. RENCANA PENGEMBANGAN DAN PENATAAN RUANG KOTA
BOGOR TAHUN 1999-2009
5.1 Rencana Pengembangan Tata Ruang Kota
Rencana pengembangan tata ruang kota mencakup rencana struktur tata
ruang dan rencana pengembangan sistem perwilayahan yang dijabarkan dalam bentuk
pengembangan kegiatan kota yang meliputi pengaturan pemanfaatan ruang kota
sesuai dengan fungsi kota.
5.1.1 Rencana Struktur Tata Ruang
Rencana struktur tata ruang merupakan rencana pengaturan, pemanfaatan dan
pengembangan ruang Kota Bogor secara terpadu dan optimal yang dibentuk oleh
pusat-pusat kegiatan secara struktur menurut hirarki pelayanan. Rencana struktur tata
ruang kota didasarkan melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut :
1. Mengintegrasikan semua kegiatan di setiap wilayah;
2. Pemerataan pertumbuhan kegiatan kota di setiap wilayah, sehingga terbentuk
keseimbangan perkembangan kota;
3. Jelasnya kedudukan fungsi kota dan peranannya;
4. Penempatan lokasi kegiatan utama pada lokasi yang diperkirakan akan
menajadi bangkitan atau penarik pergerakan.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka secara struktural, tata ruang di Kota Bogor
direncanakan terdiri dari :
A. Struktur Kegiatan Primer
Struktur kegiatan primer merupakan kegiatan pelayanan kota dengan skala
pelayanan regional, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Perdagangan Regional
Kegiatan perdagangan dengan skala pelayanan regiona l yang telah terdapat di
pusat kota tetap dipertahankan dan untuk pengembangannya diarahkan
43
penyebarannya ke kota-kota satelit, terutama pada jalan-jalan utama yang memiliki
tingkat aksesibilitas tinggi, seperti Jalan Raya Pajajaran, Jalan Raya Baru Kemang,
Jalan Raya Sindangbarang, Jalan Raya Tajur dan Jalan Ring Road.
b. Terminal Regional
Terminal Regional yang merupakan Terminal Type A diarahkan pada Kota Satelit
IV yaitu Kecamatan Bogor Utara Desa Ciluar.
c. Kebun Raya Bogor dan CIFOR
Kebun Raya Bogor dan CIFOR mempunyai fungsi ekologis menjaga
keseimbangan ekosistem kota dan berfungsi wisata ilmiah yang mempunyai
pelayanan skala regional.
d. Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
Pengembangan RPH ditujukan untuk memenuhi kebutuhan daging di Kota Bogor
dan Kabupaten Bogor yang berlokasi di Desa Bubulak Kecamatan Bogor Barat.
e. Rumah Sakit
Pengembangan rumah sakit ditujukan untuk memenuhi pelayanan kesehatan di
Kota Bogor dan daerah sekitarnya yang direncanakan di Kelurahan Tanah Sareal
Kecamatan Tanah Sareal yang pengelolaannya oleh Pemerintah Daerah dan rumah
sakit yang telah ada tetap dipertahankan seperti Rumah Sakit PMI, Rumah Sakit
Azra, Rumah Sakit Bhakti, Rumah Sakit Islam, dan Rumah Sakit Salak.
f. Pendidikan
Pengembangan pendidikan Perguruan Tinggi/Akademi yang direncanakan di
Desa Marga Jaya Kecamatan Bogor Barat dan di Desa Rancamaya Kecamatan Bogor
Selatan, sedangkan untuk Perguruan Tinggi/Akademi yang ada tetap dipertahankan
seperti Universitas Pakuan, Universitas Ibnu Khaldun, Universitas Nusa Bangsa,
Institut Pertanian Bogor, serta beberapa akademi dan sekolah tinggi lainnya.
B. Struktur Kegiatan Sekunder
Struktur kegiatan sekunder merupakan kegiatan dengan skala pelayanan kota,
yang meliputi : (1) Perdagangan lokal yang dikembangkan pada pusat-pusat kegiatan
Kota Satelitnya. (2) Perkantoran/Pemerintahan yang ditujukan untuk tercapainya
44
kegiatan secara merata serta mengurangi terkonsentrasinya kegiatan di pusat kota. (3)
Kegiatan Industri yang telah ada di Kota Bogor keberadaannya tetap dipertahankan
sedangkan untuk pengembangannya diarahkan pada kota satelit IV Kecamatan Bogor
Utara. (4) Pendidikan dikembangkan menjadi pendidikan tingkat wilayah kota,
pendidikan tingkat kecamatan, dan pendidikan tingkat lingkungan. (5) Permukiman
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perumahan di Kota Bogor dan tertatanya
lingkungan perumahan, sehingga terciptanya lingkungan permukiman yang layak
huni. (6) Sub-Terminal pengembangan kegiatan ini penempatannya di kota-kota
satelit yaitu di perbatasan antara Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.
5.1.2 Rencana Pengembangan Sistem Perwilayahan
Dalam upaya menjangkau pelayanan penduduk Kota Bogor dan sekitarnya secara
merata, maka diperlukan rencana pengembangan sistem perwilayahan agar menjadi
satu kesatuan yang utuh dalam sistem perkotaan, yang didasarkan atas :
1. Fungsi dan kedudukan Kota Bogor di wilayah Jawa Barat
2. Fungsi dan kedudukan Kota Bogor dalam konsistensi Jabodetabek
3. Potensi perkembangan dan kemampuan berkembang Kota Bogor.
Dengan demikian sistem perwilayahan yang sesuai dengan Kota Bogor adalah Model
Sistem Kota Satelit yaitu Pusat yang dikelilingi Satelit. Pusat Kota adalah Kecamatan
Bogor Tengah sedangkan yang menjadi kota satelitnya adalah Kecamatan Bogor
Selatan, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Timur
dan Kecamatan Tanah Sareal.
Adapun fungsi dari masing-masing kecamatan atau satelitnya sebagai berikut :
1. Kecamatan Bogor Tengah sebagai Pusat Kota Satelit,
Fungsi utamanya sebagai pusat kegiatan perdagangan dan jasa ditunjang oleh
kegiatan perkantoran/pemerintahan, permukiman dan obyek wisata.
2. Kecamatan Bogor Selatan sebagai Kota Satelit I,
Fungsi utamanya sebagai pusat kegiatan permukiman yang ditunjang oleh
kegiatan perdagangan dan jasa serta merupakan daerah konservasi.
3. Kecamatan Bogor Barat sebagai Kota Satelit II,
45
Fungsi utamanya sebagai kegiatan permukiman yang ditunjang oleh kegiatan
perdagangan dan jasa serta merupakan daerah obyek wisata dan daerah
konservasi.
4. Kecamatan Tanah Sareal sebagai Kota Satelit III,
Fungsi utamanya sebagai kegiatan perkantoran/pemerintahan yang ditunjang oleh
kegiatan permukiman serta perdagangan dan jasa.
5. Kecamatan Bogor Utara sebagai Kota Satelit IV,
Fungsi utamanya sebagai kegiatan industri non-polutan, yang ditunjang oleh
kegiatan permukiman serta perdagangan dan jasa.
6. Kecamatan Bogor Timur sebagai Kota Satelit V,
Fungsi utamanya sebagi kegiatan permukiman yang ditunjangoleh kegiatan
industri non-polutan serta perdagangan dan jasa.
5.1.3 Rencana Penggunaan Lahan
Secara umum rencana penggunaan lahan sampai dengan tahun 2009 terdiri
dari kawasan lahan terbangun, kawasan lahan belum terbangun dan kawasan lahan
yang tidak boleh dibangun atau lahan konservasi.
1. Kawasan lahan terbangun terdiri dari pemanfaatan lahan permukiman, pendidikan,
peribadatan, kesehatan, perdagangan dan jasa, industri, perkantoran/pemerintahan,
rumah potong hewan/pasar hewan, IPAL, terminal dan stasiun Kereta Api serta
jalan.
2. Kawasan lahan belum terbangun terdiri dari jenis pemanfaatan lahan pertanian dan
kebun campuran.
3. Kawasan lahan tidak boleh dibangun atau daerah konservasi terdiri dari Kebun
Raya, hutan kota, taman dan jalur hijau, kawasan hijau, lapangan olahraga, daerah
aliran sungai serta situ-situ alami maupun buatan.
5.1.4 Rencana Penyediaan Fasilitas Kesehatan
Rencana penyediaan fasilitas keseha tan di Kota Bogor sampai tahun 2009
ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat mulai dari tingkat
46
lingkungan sampai tingkat kota, meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan dari
fasilitas yang ada dan mengembangkan sesuai dengan kebutuhan. Adapun rencana
pengembangan fasilitas kesehatan diarahkan sebagai berikut :
1. Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibawah otoritas
pemerintah daerah maka perlu diadakan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD),
yang direncanakan di Kelurahan Tanah Sareal KecamatanTanah Sareal dengan
luas 1,47334 Ha.
2. Poliklinik dengan skala pelayanan 1.600 jiwa sebagai penunjang fasilitas
kesehatan pada tingkat lingkungan, perlu penambahan sebanyak sebanyak 58 unit.
3. Praktek Dokter dengan skala pelayanan 5.000 jiwa sebagai penunjang fasilitas
kesehatan pada tingkat lingkungan, perlu penambahan sebanyak 46 unit.
4. Apotik dengan skala pelayanan 10.000 jiwa, penambahan sebanyak 48 unit.
5. Pengembangan fasilitas kesehatan lainnya seperti posyandu, puskesmas harus
sesuai dengan standar kebutuhan yang berlaku dan ditempatkan pada lokasi yang
sesuai dengan peruntukkannya.
6. Memindahkan fasilitas kesehatan yang berada pada lokasi bukan peruntukkannya
ke lokasi yang sesuai.
7. Rehabilitasi gedung fasilitas kesehatan yang sudah rusak berat yang masih sesuai
dengan peruntukkan.
V1. GAMBARAN UMUM FASILITAS KESEHATAN RUMAH SAKIT DAN
PUSKESMAS
6.1 Rumah Sakit
Pengertian Rumah Sakit menurut Wolper dan Pena dalam Kurnia (2005)
adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta
tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai
tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi Rumah Sakit adalah
tempat untuk menyelenggarakan pelayanan medik keperawatan serta
menyelenggarakan pelayanan pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran,
perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Pengklasifikasian jenis Rumah Sakit menurut
DEPKES RI (2003) adalah sebagai berikut:
a. Rumah Sakit Umum (RSU), yaitu Rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan untuk semua jenis penyakit dari bersifat dasar hingga sub -spesial
b. Rumah Sakit Jiwa (RSJ), yaitu Rumah sakit yang khusus menyelenggarakan
pelayanan kesehatan jiwa
c. Rumah Sakit Khusus, yaitu Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan berdasarkan penyakit atau disiplin ilmu tertentu, meliputi : RS
kusta (RSK), RS Tuberkulosa Paru (RSTP), RS Mata, RS Orthopedi, RS
Bersalin dan RS Khusus lain seperti : RS Jantung, RS Kanker, dsb.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Tahun 1998 No.159b/Menkes/II/1988
yang tercantum dalam Bab II Pasal 3, rumah sakit dapat dimiliki dan diselenggarakan
oleh pemerintah atau swasta. RS Pemerintah dimiliki dan diselenggarakan oleh
DEPKES, Pemda, TNI atau BUMN. Sedangkan RS Swasta dimiliki dan
diselenggarakan oleh yayasan, PT dan badan hukum lain yang bersifat sosial.
Pengklasifikasian Rumah Sakit umum baik pemerintah maupun swasta
menurut tingkat kemampuannya terbagai menjadi 5 kelas, yaitu:
48
1. Kelas A, merupakan Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik spesialitik dan sub-spesialtik luas.
2. Kelas B II (B+), merupakan Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik spesialitik luas dan sub-spesialtik terbatas. RS
A+ dan B+ dapat berfungsi sebagai RS Pendidikan.
3. Kelas B I, merupakan Rumah Sakit yang memiliki sekurang-kurangnya 11
jenis spesialitik.
4. Kelas C, Rumah Sakit medik yang memiliki sekurang-kurangnya 5 spesialitik
4 dasar pelayanan lengkap, yaitu bedah, penyakit dalam, kesehatan anak serta
kebidanan dan kandungan.
5. Kelas D, Rumah Sakit yang sekurang-kurangnya mempunyai pelayanan
medik dasar.
6.1.1 Tingkat Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit Umum
Menurut Soejadi (1996) dalam Efisiensi pengelolaan Rumah Sakit Umum
(RSU) dapat digambarkan dengan melihat empat indikator yaitu rata-rata lama
dirawat (Length of Stay-LOS), selang waktu pemakaian tempat tidur (Turn Over
Interval - TOI), rata-rata pemakaian tempat tidur (Bed Occupancy Rate - BOR), dan
frekuensi pemakaian tempat tidur (Bed turn over-BTO). Efisiensi pendayagunaan
sarana rumah sakit biasanya dinilai dari indikator BOR, TOI dan BTO dan mutu
pelayanan dari indikator TOI dan LOS.
Angka ideal indikator efisiensi pengelolaan Rumah Sakit :
1. BOR : Bed Occupacion Rate (Angka rata-rata tempat tid ur terisi dalam satu tahun)
Tempat tidur yang dimaksud adalah tempat tidur di ruang rawat inap. Angka BOR
ideal berkisar antara 75%-85%.
2. AvLOS : Average Length of Stay (Angka rata-rata lamanya seorang pasien
dirawat) Angka ideal : 3-12 hari
3. TOI : Turn Over Interval (Angka rata-rata sebuah tempat tidur tidak terisi)
Angka ideal : 1-3 hari
49
4. BTO : Bed Turn Over (Tingkat penggunaan sebuah tempat tidur dalam satu tahun)
Angka ideal : lebih dari 30 kali
6.1.2 Puskesmas
Pengertian Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional
yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina
peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
Dengan kata lain Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas
pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya.
Wilayah kerja Puskemas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari
kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan
infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah
kerja Puskesmas. Puskesmas merupakan perangkat Pemerintah Daerah Tingkat II,
sehingga pembagian wilayah kerja puskesmas ditetapkan oleh Bupati atau Walikota,
dengan saran teknis dari kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sasaran penduduk
yang dilayani oleh sebuah Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk setiap Puskesmas.
Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka Puskesmas perlu ditunjang
dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang disebut Puskesmas
Pembantu dan Puskesmas Keliling. Khusus untuk kota besar dengan jumlah
penduduk satu juta atau lebih, wilayah kerja Puskesmas bisa meliputi 1 Kelurahan.
Puskesmas di ibukota Kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih,
merupakan “Puskesmas Pembina“ yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi
Puskesmas kelurahan dan juga mempunyai fungsi koordinasi.
Dalam perkembangannya, batasan-batasan di atas makin kabur seiring dengan
diberlakukannya UU Otonomi Daerah yang lebih mengedepankan desentralisasi.
Dengan Otonomi, setiap daerah tingkat II punya kesempatan mengembangkan
Puskesmas sesuai Rencana Strategis ( renstra ) Kesehatan Daerah dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah ( RPJMD ) Bidang Kesehatan sesuai situasi
dan kondisi daerah Tingkat II. Konsekuensinya adalah perubahan struktur organisasi
50
kesehatan serta tugas pokok dan fungsi yang menggambarkan lebih dominannya
aroma kepentingan daerah tingkat II, yang memungkinkan terjadinya perbedaan
penentuan skala prioritas upaya peningkatan pelayanan kesehatan di tiap daerah
tingkat II, dengan catatan setiap kebijakan tetap mengacu kepada Renstra Kesehatan
Nasional. Di sisi lain daerah tingkat II dituntut melakukan akselerasi di semua sektor
penunjang upaya pelayanan kesehatan.
Pelayanan Kesehatan Menyeluruh Pelayanan Kesehatan yang diberikan
Puskesmas adalah pelayanan kesehatan menyeluruh yang meliputi pelayanan:
a. Kuratif (pengobatan)
b. Preventif (upaya pencegahan)
c. Promotif (peningkatan kesehatan)
d. Rehabilitatif (pemulihan kesehatan)
Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua pendud uk, tidak membedaan jenis
kelamin dan golongan umur, sejak pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia.
Pelayanan Kesehatan Integratif sebelum ada Puskesmas, pelayanan kesehatan
di Kecamatan meliputi Balai Pengobatan, Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak, Usaha
Hyegiene Sanitasi Lingkungan, Pemberantasan Penyakit Menular, dan lain- lain.
Usaha-usaha tersebut masih bekerja sendiri-sendiri dan langsung melapor kepada
Kepala Dinas Kesehatan Dati II. Petugas Balai Pengobatan tidak tahu menahu apa
yang terjadi di BKIA, begitu juga petugas BKIA tidak mengetahui apa yang
dilakukan oleh petugas Hygiene Sanitasi dan sebaliknya. Dengan adanya sistem
pelayanan kesehatan melalui Pusat Kesehatan Masyarakat yakni Puskesmas, maka
berbagai kegiatan pokok Puskesmas dilaksanakan bersama dibawah satu koordinasi
dan satu pimpinan.
6.1.3 Fungsi dan peran Puskesmas
1. Fungsi Puskesmas:
1. Sebagai Pusat Pembangunan Kesehatan Masyarakat di wilayah kerjanya.
2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka
meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat
51
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerjanya. Proses dalam melaksanakan fungsinya,
dilaksanakan dengan cara:
a. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan
kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri.
b. Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana
menggali dan menggunakan sumberdaya yang ada secara efektif dan
efisien.
c. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan
rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat dengan
ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan ketergantungan.
d. Memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat.
Bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam
melaksanakan program Puskesmas.
2. Peran Puskesmas:
Dalam konteks Otonomi Daerah saat ini, Puskesmas mempunyai peran yang
sangat vital sebagai institusi pelaksana teknis, dituntut memiliki kemampuan
manajerial dan wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk ikut serta menentukan kebijakan
daerah melalui sistem perencanaan yang matang dan realisize, tatalaksana kegiatan
yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Rangkaian
manajerial di atas bermanfaat dalam penentuan skala prioritas daerah dan sebagai
bahan kesesuaian dalam menentukan RAPBD yang berorientasi kepada kepentingan
masyarakat. Adapun ke depan, Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan
teknologi informasi terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara
komprehensif dan terpadu.
3. Kedudukan Puskesmas:
1. Kedudukan secara administratif: Puskesmas merupakan perangkat teknis
52
Pemerintah Daerah Tingkat II dan bertanggung jawab langsung baik teknis
maupun administratif kepada Kepala Dinas Kesehatan Dati II.
2. Kedudukan dalam hirarki pelayanan kesehatan: Dalam urutan hirarki
pelayanan kesehatan, sesuai SKN maka Puskesmas berkedudukan pada
Tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pertama. Yang dimaksud Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama adalah fasilitas, sedangkan dalam hal
pengembangan pelayanan kesehatan, Puskesmas dapat meningkatkan dan
mengembangkan diri ke arah modernisasi sistem pelayanan kesehatan di
semua lini, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif sesuai
kebijakan Rencana Strategis daerah tingkat II di bidang kesehatan. Sebagai
contoh: Di bidang promotif, Puskesmas dimungkinkan menggunakan LCD
Proyektor sebagai sarana penyuluhan kesehatan dengan memanfaatkan
teknologi terkini yang bersifat interaktif menggunakan perangkat audiovisual
multimedia.
Penyuluhan Kesehatan Interaktif : Di bidang penunjang kuratif, Puskesmas
dapat mengembangkan Laboratorium modern menggunakan Elektro Fotometri, USG,
EEG dan lain- lain secara bertahap, agar mutu pelayanan meningkat dan masyarakat
dapat menikmati berbagai pelayanan kesehatan di Puskesmas. Di bidang
pengembangan SDM petugas, pimpinan Puskesmas dapat mengupayakan medical
review dan prosedur tetap pelayanan medis, agar upaya kuratif lebih bermutu dan
dapat dipertanggung jawabkan.
Di bidang preventif, Puskesmas dapat mengembangkannya dalam bentuk
pembuatan brosur semisal Brosur jadwal imunisasi, brosur DBD, Diare dan lain- lain
sesuai skala priotitas dan kondisi tiap Puskesmas.
Di bidang rehabilitatif, juga dapat dikembangkan transfer pengetahuan
kesehatan kepada khalayak berupa brosur, Semisal brosur jadwal makan Diabetes
saat Puasa dan lain- lain.
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN
7.1 Hirarki Aktual Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Berdasarkan
Metode Skalogram
Untuk mengetahui hirarki fasilitas kesehatan kecamatan Kota Bogor yang
tersebar digunakan metode skalogram. Seperti yang telah disebutkan dalam
metodologi penelitian, metode ini memberikan hirarki yang lebih tinggi kepada pusat
pertumbuhan dan pelayanan yang memiliki jumlah unit sarana dan prasarana
pembangunan yang lebih banyak. Metode skalogram lebih menekankan kriteria
kualitatif dibandingkan kriteria yang menyangkut derajat fungsi sarana dan prasarana
pembangunan, distribusi penduduk dan jangkauan pengaruh pelayanan secara spasial
tidak dipertimbangkan secara spesifik. Metode skalogram ini digunakan dalam
penelitian untuk mengidentifikasi kecamatan mana di Kota Bogor yang belum
lengkap atau yang sudah lengkap dalam ketersediaan fasilitas kesehatan. Berdasarkan
jumlah dan jenis unit fasilitas kesehatan pada setiap kecamatan di Kota Bogor dapat
disusun skalogram untuk fasilitas kesehatan kecamatan Kota Bogor seperti disajikan
pada tabel lampiran 1 skalogram. Pada skalogram tersebut dapat diperoleh informasi
hirarki fasilitas kesehatan di setiap kecamatan Kota Bogor dari peringkat teratas
sampai dengan yang terbawah seperti disajikan dalam tabel.
Tabel 10. Hirarki Fasilitas Kesehatan di Kota Bogor 2005
No Kecamatan Jumlah
Penduduk
Jml unit fas
kesehatan
Jml jenis fas
kesehatan Peringkat
1 Tanah Sareal 158.187 55 10 6 2 Bogor Tengah 103.176 138 12 2 3 Bogor Utara 149.578 119 11 3 4 Bogor Selatan 166.745 66 10 4 5 Bogor Barat 190.421 175 11 1 6 Bogor Timur 86.978 62 11 5
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor 2005 (diolah)
54
Berdasarkan tabel Skalogram diatas terlihat bahwa setiap kecamatan di Kota
Bogor belum ada yang memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap. Kecamatan dengan
jumlah total jenis unit fasilitas kesehatan terlengkap adalah Kecamatan Bogor Barat
dengan 175 unit, sedangkan Kecamatan Tanah Sareal menempati peringkat terakhir
dalam hirarki fasilitas kesehatan ini dengan 55 unit. Dalam jumlah total jenis fasilitas
kesehatan terlengkap adalah Kecamatan Bogor Tengah dengan 12 jenis (85,71%) dari
14 jenis. Sedangkan yang memiliki jumlah total jenis fasilitas kesehatan terbatas
adalah Kecamatan Tanah Sareal dan Bogor Selatan dengan 10 jenis (71,4%). Hal
diatas bisa juga menandakan bahwa fasilitas kesehatan di Kota Bogor belum merata
di tiap Kecamatan. Jika dilihat dari jumlah penduduk, pada umumnya semakin besar
jumlah penduduk suatu wilayah maka akan semakin besar pula kebutuhan akan
ketersediaan fasilitas sosial seperti fasilitas kesehatan.
Wilayah yang memiliki peringkat jumlah fasilitas pelayanan lebih tinggi atau
sama bila dibandingkan dengan peringkat jumlah penduduk tentu akan lebih mudah
untuk melayani penduduk yang membutuhkan pelayanan. Kecamatan yang termasuk
kategori ini adalah Kecamatan Bogor Barat dengan jumlah penduduk yang paling
banyak di Kota Bogor sebesar 190.421 jiwa, telah memiliki fasilitas kesehatan yang
mencukupi untuk melayani masyarakatnya. Wilayah yang memiliki peringkat jumlah
fasilitas pelayanan lebih rendah dari pada peringkat jumlah penduduk adalah
Kecamatan Bogor Selatan dan Tanah Sareal. Kecamatan yang juga memiliki jumlah
penduduk yang cukup banyak seperti Bogor Selatan (166.745 jiwa) dan Tanah Sareal
(158.187 jiwa) belum memiliki fasilitas kesehatan yang cukup untuk melayani
masyarakatnya. Walaupun kita berasumsi bahwa semakin banyak jumlah penduduk,
maka akan semakin banyak pula fasilitas pelayanan yang dibutuhkan, kenyataannya
ini belum mampu menunjukan bahwa kebutuhan masyarakat akan fasilitas pelayanan
telah seimbang dengan kelengkapan fasilitas yang ada.
Hirarki fasilitas kesehatan Kota Bogor seperti terlihat dalam analisis
skalogram terlihat sangat beragam dan belum merata. Untuk melihat hierarki fasilitas
kesehatan tiap kecamatan di Kota Bogor secara detail dapat disajikan seperti di
bawah ini.
55
Tabel 11. Jumlah Puskesmas, Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling
Kota Bogor Tahun 2005
Kecamatan Puskesmas
RRI
Jumlah TT
Puskesmas
Puskesmas
pembantu
Puskesmas
keliling
Bogor Selatan 4 11 5 2
Bogor Timur 2 8 3 1
Bogor Utara 2 4 2
Bogor Tengah 5 6 4
Bogor Barat 5 7 3
Tanah Sareal 5 13 2
Sumber : BPS Kota Bogor, 2005
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah fasilitas Puskesmas
untuk beberapa kecamatan terlihat cukup merata. Kecamatan Bogor Selatan memiliki
jumlah puskesmas paling banyak. Hal ini mungkin diantisipasi sebagai alternatif
penyediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat di Bogor Selatan karena kecamatan
ini belum memilki fasilitas kesehatan yang lengkap seperti rumah sak it.
Tabel 12. Jumlah Rumah Sakit dan tempat tidur Kota Bogor Tahun 2005
Kecamatan Rumah sakit Tempat Tidur
Bogor Selatan - -
Bogor Timur 1 45
Bogor Utara 1 91
Bogor Tengah 2 416
Bogor Barat 3 881
Tanah Sareal 1 39
Kota Bogor 8 1472
2004 8 1429
2003 7 1521
2002 6 1401
2001 6 693
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor, 2005
56
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa Kecamatan Bogor Barat kembali
mempunyai fasilitas rumah sakit paling banyak dan Kecamatan Bogor Selatan
menjadi kecamatan di Kota Bogor yang belum memiliki fasilitas Rumah Sakit. Dari
tahun ke tahun antara 2001-2005 Kota Bogor mengalami peningkatan dalam jumlah
fasilitas Rumah Sakit. Rumah Sakit umum di Kota Bogor pada sampai tahun 2005
berjumlah 8 buah dengan rincian 7 buah Rumah Sakit swasta dan 1 buah Rumah
Sakit pemerintah. Jumlah tempat tidur yang ada 1.472 dan perbandingan jumlah
tempat tidur dirumah sakit dengan penduduk Kota Bogor adalah 1:606 dengan
demikian fasilitas di Rumah Sakit umum di Kota Bogor masih sangat kurang,
sehingga perlu dibantu dengan pelayanan kesehatan yang menyediakan tempat tidur.
Tabel 13. Jumlah Fasilitas Kesehatan Dasar di Kota Bogor Tahun 2005
Kecamatan Praktek dokter Praktek
Dokter Gigi BP/Klinik Lab.Kes Jumlah
Umum Spesialis
Bogor Selatan 26 5 7 4 3 45
Bogor Timur 23 17 6 8 2 56
Bogor Utara 56 27 14 7 2 106
Bogor Tengah 42 50 14 3 7 116
Bogor Barat 70 51 25 - 3 149
Tanah Sareal 19 12 8 4 1 44
Kota Bogor 236 162 74 26 18 516
2004 274 136 130 83 17 640
2003 - 425 124 38 16 617
2002 - 452 104 77 19 652
Sumber : Bogor Dalam Angka tahun 2006
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa dari segi fasilitas kesehatan
dasar, kecamatan Bogor Barat menempati peringkat pertama. Sementara untuk
kecamatan Tanah Sareal menempati peringkat terakhir. Dengan demikian fasilitas
kesehatan yang ada di Kecamatan Tanah Sareal masih kurang, sehingga perlu dibantu
dengan penambahan fasilitas kesehatan dasar.
57
Untuk menunjang fasilitas kesehatan terdapat optik, apotik dan toko obat
seperti terlihat dalam Tabel 14.
Tabel 14. Distribusi fasilitas penunjang kesehatan Kota Bogor tahun 2005
Kecamatan Optik Apotik Toko Obat Laboratorium
Bogor Selatan 4 12 6 2
Bogor Barat 0 17 2 3
Bogor Timur 1 9 4 3
Bogor Tengah 3 33 3 2
Tanah Sareal 22 8 10 7
Bogor Utara 2 18 3 10
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor, 2005
Jumlah Optik yang ada di Kota Bogor saat ini ada 32 optik, yang sudah berijin
sebanyak 18 buah. Dari jumlah tersebut yang terbanyak ada di wilayah Kecamatan
Tanah Sareal yaitu sebanyak 22 optik. Untuk yang akan datang perlu adanya
pengaturan perijinan optikal dan pengawasan juga pengendalian dalam hal perijinan.
Sedangkan untuk Apotik di wilayah Kota Bogor saat ini berjumlah 97 apotik, semua
sudah berijin. Untuk penyebaran apotik pun sama seperti optik yaitu Kecamatan
Bogor Tengah yang terbanyak sebanyak 33 apotik. Sehingga untuk hal tersebut perlu
adanya pemerataan pengaturan lokasi. Dalam hal pelaporan narkotik, psikotropik
belum semua apotik melaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Bogor. Untuk itu akan
dilaksanakan pembinaan teknis yang lebih intensif. Sementara untuk toko obat, saat
ini jumlah toko obat di wilayah Kota Bogor sebanyak 28 toko obat, yang sudah
berijin sebanyak 14 buah terbanyak di wilayah Kecamatan Tanah Sareal, sebanyak 10
buah. Masalah toko obat yang paling utama yaitu tentang adanya penjualan terhadap
obat-obat yang harus dibeli dengan resep dokter. Untuk tindak lanjut masalah ini
mungkin perlu adanya pemerataan, pengaturan lokasi dan pengawasan yang lebih
ketat, yang dilakukan bersama-sama Balai Besar POM.
Hasil dari analisis deskriptif terhadap berbagai fasilitas kesehatan yang
dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa dari segi kuantitas fasilitas kesehatan
dasar maupun fasilitas penunjang kesehatan di Kota Bogor sudah memadai untuk
58
memberikan pelayanan bagi masyarakat. Namun demikian masih ditemukan beberapa
permasalahan terkait dengan fasilitas tersebut, seperti penyebaran fasilitas kesehatan
kebanyakan terpusat di satu kecamatan, misalnya Kecamatan Bogor Barat.
Sedangkan di kecamatan lain seperti Kecamatan Bogor Selatan masih kurang dalam
ketersediaan fasilitas kesehatannya. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan oleh
Pemerintah Kota Bogor dalam rencana pembangunan kesehatan Kota Bogor di waktu
yang akan datang, misalnya penambahan jumlah fasilitas kesehatan di kecamatan-
kecamatan yang masih kurang, seperti Kecamatan Bogor Selatan.
Dalam analisis selanjutnya, penelitian ini mengambil konsentrasi pada
fasilitas Rumah Sakit dan Puskesmas dikarenakan permasalahan yang terjadi lebih
mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kedua fasilitas tersebut.
Selain itu karena dalam perilaku pencarian obat masyarakat Kota Bogor lebih
memilih kedua fasilitas tersebut. Seperti terlihat dalam tabel 15 dibawah ini.
Tabel 15. Pola Perilaku Pencarian Pengobatan di Kota Bogor Tahun 2005
No Fasilitas Tempat Berobat
Rawat Jalan
(jml kunjungan) Rawat Inap
2004 2005 2004 2005
1 RS. Pemerintah - - - -
2 RS. Swasta - 623.494 - 77.409
3 Praktek dokter - - - -
4 Puskesmas - 704.710 - 465
5 Puskesmas pembantu - - - -
6 Posyandu - - - -
Sumber : Laporan Puskesmas, 2004-2005
Pada Tabel diatas pola pencarian pengobatan belum dapat tergambarkan,
karena proses pelaporan dan pencatatan dari data tersebut belum terdokumentasikan
dengan lengkap. Namun demikian apab ila dilihat dari kunjungan rawat jalan terlihat
bahwa pasien memilih pengobatan ke Rumah Sakit swasta dan Puskesmas. Dari
59
kedua sarana pelayanan tersebut selama 2 tahun berturut-turut, pencarian pengobatan
menunjukan bahwa puskesmas lebih banyak dikunjungi dibandingkan Rumah sakit.
Sementara pendapatan daerah Kota Bogor dari sektor kesehatan menempatkan
puskesmas sebagai penyumbang terhadap PAD yang paling banyak diantara fasilitas
kesehatan lain5, yakni sebesar Rp.2.450.667.000,- dari PAD Kota Bogor yang sebesar
Rp.63.830.553.398,- hal ini menandakan peran Puskesmas sangat membantu bagi
pembangunan Kota Bogor.
7.2. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Rumah Sakit dan
Puskesmas di Kota Bogor
Seperti yang telah disebutkan dalam akhir bagian analisis deskriptif hirarki
fasilitas kesehatan bahwa penelitian ini akan menganalisis pada konsentrasi fasilitas
Rumah Sakit dan Puskesmas Kota Bogor. Analisis standar kebutuhan akan
membahas dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) dan dari segi fasilitasnya. Hal ini
dilakukan untuk lebih mempertajam dalam analisis deskriptif dan tidak melihat dari
satu sisi saja sehingga bisa membantu dalam menghasilkan kesimpulan yang baik.
7.2.1. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan SDM Fasilitas Puskesmas Kota
Bogor
Dari standar kebutuhan tenaga kesehatan pada 24 Puskesmas induk yang ada
masih diperlukan tenaga tambahan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dasar di
Puskesmas perkotaan antara lain dibutuhkan 2 orang dokter ahli untuk Puskesmas
rujukan dan menghadapi pengembangan puskesmas entitas mandiri dalam
meningkatkan pelayanan kesehatan dasar maupun peningkatan retribusi atau
pendapatan puskesmas. Adapun standar kebutuhan tenaga kesehatan puskesmas dapat
dilihat pada lampiran 2.
5 Subag Keuangan Dinas Kesehatan Kota Bogor.Profil Kesehatan Kota Bogor,p 113
60
7.2.2 Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan SDM Fasilitas Rumah sakit Kota
Bogor
Kebutuhan akan tenaga ahli di 8 Rumah Sakit yang ada di Kota Bogor belum
terpenuhi semua, masih banyak dokter ahli bekerja sebagai dokter tamu atau dokter
tidak tetap, sehingga tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan sesuai dengan PP
Nomor 32 tahun 1996. Kebutuhan tenaga dokter di Rumah Sakit di Kota Bogor dapat
digambarkan sebagaimana tabel. dalam lampiran 3. Kekurangan dokter ahli dapat
digambarkan sebagaimana tabel lampiran. berjumlah 40 orang yang terdiri dari dokter
ahli kebidanan dan kandungan 6 orang, dokter ahli anestesi 7 orang, dokter ahli
penyakit dalam 6 orang, dan dokter ahli radiologi 7 orang dan ahli radiologi klinis 2
orang dalam rangka menekan angka Tb. Paru.
7.3. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kota Bogor
Tahun 2000-2012
Kota Bogor terbagi yang menjadi 6 (enam) kecamatan mempunyai luas
118,50 Km2, dengan jumlah penduduk sebesar 855.085 jiwa. Menurut BPS Kota
Bogor, setiap tahunnya terjadi peningkatan penduduk di Kota Bogor dengan luas
wilayah yang tetap sehingga kepadatan penduduk tidak dapat dihindari. Peningkatan
penduduk akan mempengaruhi pembangunan fasilitas sosial seperti fasilitas
kesehatan. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kota Bogor
Tahun 2000-2012 tersaji dalam beberapa tabel dibawah ini.
Tabel 16. Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Bogor Barat
2000-2012
Sumber :Revis i RTRW Kota Bogor 2002 -2012
No Jenis Fasilitas Standar
Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007
(196,946 jiwa) Tahun 2012
(224,880 jiwa)
Jumlah Kebutuh
an Kebu-tuhan
Penam-bahan
Kebutuhan
Penam-bahan
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10.000 7 16 20 13 23 3 2 Puskesmas 30.000 8 5 7 0 8 0 3 Posyandu 2.500 167 66 79 0 90 0 4 Apotik 10.000 10 16 20 10 23 3 5 Rumah Sakit 240.000 3 1 1 0 1 0
61
Berdasarkan tabel standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor
Barat dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan ini
pada tahun 2000 jumlah eksisiting fasilitas kesehatannya secara umum sudah
memadai dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat, seperti Rumah Sakit. Akan
tetapi pada tahun-tahun yang akan datang dalam rencana tata ruang sampai tahun
2012 masih memerlukan penambahan dalam mengatasi peningkatan penduduk yang
diproyeksikan sebesar 196,946 jiwa (tahun 2007) dan 224,880 jiwa (tahun 2012).
seperti fasilitas Balai Pengobatan dan Apotik.
Tabel 17. Rencana Kebutuhan Fasilitas Sosial Ekonomi Berdasarkan Jumlah
Penduduk Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2007 - 2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002 -2012
Berdasarkan tabel standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor
Selatan dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan ini
sampai tahun 2007 masih belum memiliki fasilitas Rumah Sakit. Oleh karena itu
kebutuhan fasilitas kesehatan diperuntukan untuk memenuhi fasilitas Rumah Sakit.
Metode yang dipakai dalam proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2007 dan
tahun 2012 adalah metode polinomial.
No Jenis Fasilitas Standar Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007
(158.017 jiwa) Tahun 2012
(172.642 jiwa)
Jumlah Kebutuh
an Kebu-tuhan
Penam-bahan
Kebutuhan
Penam-bahan
Kesehatan
1 Balai Pengobatan 10.000 16 16 17 1
2 Puskesmas 30.000 8 5 5 0 6 1 3 Posyandu 2.500 195 63 63 0 69 6 4 Praktek Dokter 5.000 32 32 35 3 5 Apotik 10.000 18 16 0 17 1 6 Rumah Sakit 240.000 - 1 1 1 1 1
62
Tabel 18. Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor
Timur Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002 -2012
Berdasarkan tabel standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor
Timur dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan ini
secara umum sudah memadai dalam segi kuantitasnya. Kecamatan ini pun sudah
memiliki Rumah Sakit. Fasilitas lain yang masih memerlukan penambahan dalam
RTRW sampai tahun 2012 seperti balai pengobatan sebesar 11 unit.
Tabel 19. Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor
Utara Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002 -2012
Berdasarkan tabel standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor
Utara dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan ini
memiliki jumlah eksisting fasilitas kesehatan yang sudah memadai. Contohnya
fasilitas Posyandu yang mencapai 103 unit.
No Jenis Fasilitas Standar
Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007 Tahun 2012
Jumlah Kebutuhan
Kebu-tuhan
Penam-bahan
Kebutuhan
Penam-bahan
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10.000 6 8 10 4 11 1 2 Puskesmas 30.000 7 3 3 - 4 1 3 Posyandu 2.500 73 31 39 - 45 6 4 Rumah Sakit 240.000 1 - - - - -
No Jenis Fasilitas Standar
Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007 (148.970 jiwa)
Tahun 2012 (161.868)
Jumlah Kebutuhan
Kebu-tuhan
Penam-bahan
Kebutuhan
Penam-bahan
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10.000 7 13 15 8 16 1 2 Puskesmas 30.000 9 4 5 0 5 0 3 Posyandu 2.500 103 51 60 0 65 5 4 Rumah Sakit 240.000 2 1 1 0 1 0
63
Tabel 20. Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Tanah Sareal
Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002 -2012
Berdasarkan tabel lampiran standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan
Tanah Sareal dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012,
kecamatan ini memiliki jumlah eksisting fasilitas kesehatan cukup memadai. Akan
tetapi menurut kebutuhan sampai tahun 2012, masih perlu penambahan fasilitas
kesehatan seperti balai pengobatan dengan rencana kebutuhan pada tahun 2012
sebesar 16 unit. Kebutuhan terbesar pada tahun 2012 adalah Posyandu sebesar 62
unit.
Tabel 21. Rencana Kebutuhan Fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Tengah Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002 -2012
No Jenis Fasilitas Standar Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007
(143.097jiwa) Tahun 2012
(155.117 jiwa)
Jumlah Kebutuh
an Kebu-tuhan
Penam-bahan
Kebutuhan
Penam-bahan
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10.000 12 13 14 2 16 2 2 Puskesmas 30.000 8 4 5 0 5 0 3 Posyandu 2.500 126 51 57 0 62 5 4 Rumah Sakit 240.000 1 1 1 0 1 0
No Jenis Fasilitas Standar Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007 Tahun 2012
Jumlah Kebutuh-
an Kebu-tuhan
Penam-bahan
Kebu-tuhan
Penam-
bahan Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10.000 12 10 10 -2 10 0 2 Puskesmas 30.000 9 3 3 -6 3 0 3 Posyandu 2.500 41 42 42 42 0 4 Praktek Dokter 5.000 21 21 21 21 0 5 Apotik 10.000 26 10 10 -16 10 0 6 Rumah Sakit 240.000 1 0 0 -1 0 0
64
Berdasarkan tabel standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor
Tengah dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan
ini sudah memiliki jumlah eksisting fasilitas kesehatan yang memadai. Hal ini
dikarenakan Bogor Tengah yang merupakan pusat kota sehingga fasilitas
kesehatannya cukup memadai di kecamatan ini.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, kebutuhan fasilitas kesehatan
dalam Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sampai tahun 2012 di Kota
Bogor secara umum terus mengalami kenaikan. Kecamatan-kecamatan yang bisa
dikatakan cukup memadai dalam kuantitas fasilitas kesehatannya adalah Bogor Barat,
Bogor Utara dan Bogor Tengah. Kebutuhan fasilitas kesehatan yang perlu
diperhatikan adalah di Kecamatan Bogor Selatan yakni fasilitas Rumah Sakit,
kecamatan ini belum memiliki fasilitas Rumah Sakit. Untuk Kecamatan Bogor Timur
diperlukan penambahan pada fasilitas kesehatan pendukung seperti Balai pengobatan
dan Puskesmas. Begitu pula dengan Kecamatan Tanah Sareal yang memerlukan
penambahan pada fasilitas yang sama. Hal ini berarti adanya keterkaitan antara hasil
analisis skalogram hirarki fasilitas kesehatan setiap kecamatan Kota Bogor dengan
analisis standar kebutuhan fasilitas kesehatannya, yang menggambarkan bahwa
kecamatan yang perlu mendapatkan perhatian dalam pemerataan fasilitas kesehatan
adalah Kecamatan Tanah Sareal, Bogor selatan dan Bogor Timur.
7.4. Analisis Deskriptif Mutu Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor
Analisis mutu fasilitas Rumah Sakit digunakan untuk melihat sejauh mana
daya layan fasilitas Rumah Sakit di Kota Bogor terhadap masyarakat terutama dari
variabel mutu atau akreditasi Rumah Sakit.
Pada tabel dibawah ini terlihat bahwa hanya 4 buah Rumah Sakit di Kota
Bogor yang telah melaksanakan akreditasi. Hal tersebut menunjukan bahwa mutu
pelayanan di 2 rumah sakit yang belum terakreditasi, belum dapat
dipertanggungjawabkan sehingga Dinas Kesehatan harus mendorong agar Rumah
Sakit tersebut segera melaksanakan akreditasi agar dapat menjamin pelayanan
kesehatan yang aman dan bermutu bagi masyarakat Kota Bogor.
65
Tabel 22. Akreditasi Rumah Sakit di Kota Bogor tahun 2005
No Nama Rumah Sakit Type Akreditasi
Sudah Belum
1 RS Karya Bhakti C+ Tahun 2002 (12 pelayanan)
2 RS Salak B Tahun 2002 (5 pelayanan)
3 RS Azra C+
4 RS PMI B Tahun 2000 (5 pelayanan)
5 RS Islam C
6 RS Marzoeki Mahdi A Tahun 2002 (5 pelayanan)
7 RS Hermina
8 RS BMC
Sumber : Laporan Tahunan Rumah Sakit, tahun 2004 dalam Profil Kesehatan Kota Bogor 2005
7.5 Analisis Deskriptif Mutu Fasilitas Puskesmas Kota Bogor
Jenis Puskesmas di Kota Bogor sebanyak 44 Puskesmas yang tersebar di
enam kecamatan seperti terlihat pada tabel berikut :
Tabel 23. Jumlah Puskesmas menurut Kecamatan
Kecamatan Jumlah Puskesmas per 30.000 penduduk
Bogor Selatan 9
Bogor Timur 6
Bogor Utara 5
Bogor Tengah 9
Bogor Barat 8
Tanah Sareal 7
Kota Bogor 44
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor, 2004
Sejak Pelita IV sampai dengan tahun 2004 jumlah Puskesmas di Kota Bogor
telah terjadi peningkatan. Peningkatan ini ada yang berupa pembangunan puskesmas
baru maupun peningkatan fisik dari Puskesmas pembantu menjadi Puskesmas.
66
Peningkatan sarana puskesmas dari Puskesmas pembantu menjadi Puskesmas induk
telah dilakukan sejak adanya pengembangan wilayah Kota Bogor.
Untuk meningkatkan cakupan pelayanan dan agar petugas dapat lebih efektif
melakukan pelayanan diluar gedung, dikembangkan juga puskesmas keliling
(pusling), pada tahun 2004 tercatat jumlah Puskesmas keliling sebanyak 3 buah.
Secara umum pemanfaatan fasilitas kesehatan dasar di Puskesmas se Kota
Bogor sudah cukup baik, hal ini ditunjukan dengan kecenderungan peningkatan
kunjungan Puskesmas setiap tahun sebagaimana terlihat pada tabel berikut :
Tabel 24. Kunjungan Puskesmas di Kota Bogor Tahun 2003-2005
No Jenis Kunjungan Jumlah Kunjungan
2003 2004 2005
1
Jumlah kunjungan 24
Puskesmas
Jumlah Penduduk
Contact Rate
675.778
820.707
0,82
695.788
831.571
0,84
705.175
855.085
0,82
2
Jumlah kunjungan Gakin
Jumlah Penduduk Gakin
Contact Rate
683.988
89.735
7,6
92.298
92.087
10
79.859
21.895
27,4
3
Jumlah kunjungan ASKES
Jumlah Peserta ASKES
Contact Rate
97.030
72.289
1,34
107.608
258.377
0,42
90.864
211.685
0,42
Sumber : lb1 Puskesmas, tahun 2003-2005
Berdasarkan jenis kunjungan, contact rate yang paling tinggi yaitu kunjungan
oleh orang miskin Kota Bogor memanfaatkan fasilitas Puskesmas sebagai sarana
pelayanan kesehatan. Menurut Dinas Kesehatan dalam Profil Kesehatan Kota Bogor
salah satu indikator untuk utilisasi atau dapat diartikan sebagai daya layan Puskesmas
adalah jumlah kunjungan pasien dalam satu tahun.
67
7.6 Analisis Deskriptif Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit Kota Bogor
Pada saat ini di Kota Bogor belum terdapat Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) sehingga pelayanan kesehatan rujukan dilaksanakan oleh rumah sakit
swasta. Untuk melihat efisiensi pengelolaan Rumah Sakit terlihat pada tabel berikut.
Hal ini juga bisa dipergunakan untuk mengetahui kebutuhan Rumah Sakit di
Kota Bogor. Apakah mencukupi atau belum mencukupi dalam pelayanannya bagi
masyarakat
Tabel 25. Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit di Kota Bogor Tahun 2005
Sumber: Laporan Rumah Sakit, Tahun 2005
Bila dilihat pada tabel diatas, rumah sakit swasta yang ada di Kota Bogor
secara umum belum berada pada wilayah efisien (BOR, TOI, LOS, BTO). Secara
umum Rumah Sakit yang ada di kota Bogor seluruhnya belum mencapai kinerja yang
baik berdasarkan indikator-indikator yang tertera pada tabel. Bila dilihat dari BOR
tampaknya Kota Bogor belum memerlukan tambahan Rumah Sakit baru, karena rata-
rata hunian semua Rumah Sakit masih 56,2 persen. Sedangkan untuk Rumah Sakit
Marzoeki Mahdi tidak dapat dinilai berhubung adanya perubahan status dari Rumah
Sakit Jiwa ke Rumah Sakit Umum, sehingga indikator-indikator tidak dapat dipakai.
No Rumah Sakit
Jml TT
Jml Hari Perawatan
Jml hari lama dirawat
BOR % (N=60-80%)
LOS (N=6-9)
TOI (N=1-3)
BTO (N=40-50)
GDR(%) (N=<45 1000)
NDR(%) (N=<25/1000
1 Salak 183 44.964 33.964 75.85 3.12 1.31 0.04 0.02 0.04 2 Islam 37 5.898 6.158 2.55 2.55 3.98 59.87 0.02 0.01 3 Azra 109 21.039 20.852 63.5 4.0 2.3 4.8 1.7 1.2 4 PMI 262 72.033 77.852 73.5 4.2 1.3 70.1 5.2 2.8 5 Karya
Bakti 196 37.974 38.112 53.08 4.19 3.69 46 13 10
6 Hermina 43 6.940 7.175 44.2 3.11 3.81 53 0.83 0.43 7 BMC 54 9.765 12.980 49.54 4.04 2.41 66.92 2.4 1.12 892 28.373 56.2 3.60 2.68 3.31 2.2
1 Marzoeki Mahdi
641 189.294 80.90 49 9 7.95 3.75 1.08
68
7.7 Analisis Penentuan Lokasi Optimal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Kota Bogor
Kota Bogor layaknya kota-kota satelit lainnya seperti Depok, Tanggerang dan
Bekasi yang berfungsi sebagai Counter Magnet Metropolitan Jakarta. Kota Bogor
memerlukan dukungan infrastruktur dan fasilitas sosial yang memadai guna
menjadikan Kota Bogor ideal sebagai Hinterland Ibukota. Kebijakan RTRW Jawa
Barat (Perda No.2 Tahun 2003) yang memfungsikan Kota Bogor sebagai Kawasan
Andalan dengan kegiatan utama industri, pariwisata, jasa, dan sumberdaya manusia.
Sejak diberlakukannya Perda No.1 Tahun 2000 tentang RTRW tahun 1999-2009
terdapat beberapa perubahan-perubahan kebijakan, diantaranya perubahan visi Kota
Bogor dari sebelumnya “Kota dalam Taman Menuju Kota Internasional” menjadi “
Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan yang
Amanah”.
Rencana Pengembangan dan Penataan Ruang Kota Bogor Tahun 1999-2009
memuat tentang rencana penyediaan fasilitas kesehatan di Kota Bogor sampai tahun
2009 yang ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat mulai dari
tingkat lingkungan sampai tingkat kota, meningkatkan kualitas dan kuantitas
pelayanan dari fasilitas yang ada dan mengembangkan sesuai dengan kebutuhan.
Adapun rencana pengembangan fasilitas kesehatan diarahkan sebagai berikut :
a. Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibawah otoritas
pemerintah daerah maka perlu diadakan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD),
yang direncanakan di Kelurahan Tanah Sareal Kecamatan Tanah Sareal dengan
luas 1,47334 Ha.
b. Poliklinik dengan skala pelayanan 1.600 jiwa sebagai penunjang fasilitas
kesehatan pada tingkat lingkungan, perlu penambahan sebanyak sebanyak 58 unit.
c. Praktek Dokter dengan skala pelayanan 5.000 jiwa sebagai penunjang fasilitas
kesehatan pada tingkat lingkungan, perlu penambahan sebanyak 46 unit.
d. Apotik dengan skala pelayanan 10.000 jiwa, penambahan sebanyak 48 unit.
69
e. Pengembangan fasilitas kesehatan lainnya seperti posyandu, puskesmas harus
sesuai dengan standar kebutuhan yang berlaku dan ditempatkan pada lokasi yang
sesuai dengan peruntukkannya.
f. Memindahkan fasilitas kesehatan yang berada pada lokasi bukan peruntukkannya
ke lokasi yang sesuai.
g. Rehabilitasi gedung fasilitas kesehatan yang sudah rusak berat yang masih sesuai
dengan peruntukkan.
Sampai sejauh ini, Kota Bogor belum memiliki pelayanan Rumah sakit
dibawah otoritas pemerintah daerah dalam hal ini Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD). Seperti tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor
(RTRW) tahun 1999-2009 akan direncanakan tentang pengadaan RSUD bagi Kota
Bogor. Hal ini bukan tanpa sebab, pengadaan RSUD Kota Bogor bisa dikarenakan
beberapa faktor, antara lain karena Kota Bogor masih mengandalkan pelayanan
kesehatan rujukan pada Rumah sakit swasta. Hal ini bisa sangat memberatkan bagi
masyarakat kurang mampu atau masyarakat miskin. Selain itu terdapat beberapa
permasalahan dengan fasilitas kesehatan swasta, seperti belum seluruh fasilitas
kesehatan swasta menerapkan standar mutu pelayanan, belum adanya peraturan
daerah tentang pola pengaturan fasilitas kesehatan swasta di Kota Bogor.
Oleh karena itu pengadaan RSUD Kota Bogor menjadi perlu,melihat beberapa
faktor diatas dan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan oleh pemerintah daerah
pada masyarakat. Walaupun melihat standar kebutuhan dan analisis efisiensi
pengelolaan rumah sakit Kota Bogor menunjukan bahwa Kota Bogor belum
memerlukan rumah sakit baru. Akan tetapi sebagai bahan antisipasi dan alternatif
dalam meningkatkan dan pemerataan pelayanan kesehatan di Kota Bogor RSUD bisa
dijadikan sebagai solusi.
Permasalahannya dimana lokasi yang tepat untuk pengadaan RSUD Kota
Bogor. Lokasi yang tepat dari suatu fasilitas pelayanan merupakan suatu jaminan bagi
terwujudnya efisiensi, baik teknis maupun ekonomis dan pelayanan yang baik
(Alifah, 2005). Keputusan lokasi yang optimal sangatlah sulit, karena banyaknya
pertimbangan dan sering terjadi konflik kepentingan antara kelompok masyarakat.
70
7.7.1 Analisis Penentuan Lokasi Optimal RSUD Kota Bogor dengan Analisis
P-Median
Untuk mencari alternatif yang paling baik bagi penentuan lokasi optimal dari
sebuah RSUD maka digunakan program komputer Java Applets P-Median Problem
sebagai alat analisis. Pada prinsipnya penggunaan ini bertujuan untuk meminimalkan
jarak yang akan ditempuh berdasarkan pada bobot masing-masing simpul. Pada
penelitian ini pemilihan lokasi didasarkan pada lokasi pusat kota-kota satelit dari tiap
kecamatan Kota Bogor yang tercantum dalam Rencana Pengembangan Sistem
Perwilayahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor. Berdasarkan
asumsi bahwa pusat kota-kota satelit tersebut merupakan pusat pelayanan seperti
pelayanan sosial dan pusat pemerintahan. Adapun alternatif lokasi yang ditunjuk
sebagai lokasi optimal RSUD Kota Bogor adalah masing-masing ibukota atau kantor
kecamatan dengan fungsinya sebagai berikut :
a. Kecamatan Bogor Tengah sebagai Pusat Kota Satelit,
Fungsi utamanya sebagai pusat kegiatan perdagangan dan jasa ditunjang oleh
kegiatan perkantoran/pemerintahan, permukiman dan obyek wisata.
b. Kecamatan Bogor Selatan sebagai Kota Satelit I,
Fungsi utamanya sebagai pusat kegiatan permukiman yang ditunjang oleh
kegiatan perdagangan dan jasa serta merupakan daerah konservasi.
c. Kecamatan Bogor Barat sebagai Kota Satelit II,
Fungsi utamanya sebagai kegiatan permukiman yang ditunjang oleh kegiatan
perdagangan dan jasa serta merupakan daerah obyek wisata dan daerah
konservasi.
d. Kecamatan Tanah Sareal sebagai Kota Satelit III,
Fungsi utamanya sebagai kegiatan perkantoran/pemerintahan yang ditunjang
oleh kegiatan permukiman serta perdagangan dan jasa.
e. Kecamatan Bogor Utara sebagai Kota Satelit IV,
Fungsi utamanya sebagai kegiatan industri non-polutan, yang ditunjang oleh
kegiatan permukiman serta perdagangan dan jasa.
71
f. Kecamatan Bogor Timur sebagai Kota Satelit V,
Fungsi utamanya sebagi kegiatan permukiman yang ditunjangoleh kegiatan
industri non-polutan serta perdagangan dan jasa.
7.7.2 Faktor Jarak
Pengertian jarak dalam studi ini mengikuti pengertian lokasi relatif, yaitu
posisi yang berkenaan dengan posisi lain. Dalam studi kasus ini jarak yang dilihat
adalah jarak antar lokasi yang terdapat disetiap kecamatan. Satuan jarak yang dipakai
adalah km, sedangkan simpulnya adalah ibukota kecamatan. Asumsi dalam faktor
jarak ini hanya mencakup jarak dari ibukota kecamatan dengan aksesibilitas
penduduk disekitar atau diwilayah yang terkait.
7.7.3 Faktor Bobot
Pengukuran dari nilai suatu simpul tertentu akan sangat mempengaruhi hasil
dari pengolahan dan sangat tergantung pada masalah analisa. Pada penelitian ini
faktor bobot yang dilihat sebagai berikut:
1. Jumlah Penduduk
Asumsi jumlah penduduk dari tiap kecamatan dapat mewakili suatu lokasi.
Sehingga dengan semakin besar jumlah penduduk maka bobot suatu wilayah akan
semakin besar pula dan terkait dengan keberadaan suatu RSUD untuk memberikan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
2. Luas Wilayah
Luas wilayah yang memadai dianggap merupakan syarat bagi pembangunan
RSUD dan akan disesuaikan dengan hasil yang akan diperoleh dengan Metode
Analisis P-Median.
7.7.4 Hasil Analisis P-Median
7.7.4.1 Dengan Bobot Jumlah Penduduk
Berdasarkan bobot jumlah penduduk, hasil perhitungan program
menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kecamatan Bogor Tengah. Hal ini terlihat
72
dari hasil olahan program komputer yang menunjukan bahwa Kecamatan Bogor
Tengah melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 402,0 dan nilai lower
bound 402,0 (lampiran 5). Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi
kemungkinan terburuk dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai
estimasi kemungkinan terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut
program ini solusi optimal dari permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan
lokasi yang telah memiliki fasilitas lengkap dan kepadatan penduduk maka dicarikan
alternatif lokasi lain dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah
Kecamatan Bogor Barat.
7.7.4.2 Dengan Bobot Luas Wilayah
Berdasarkan bobot Luas Wilayah, hasil perhitungan program menunjukkan
bahwa lokasi optimal pada Kecamatan Bogor Tengah. Hal ini terlihat dari hasil
olahan program komputer yang menunjukan bahwa Kecamatan Bogor Tengah
melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 424,0 dan nilai lower bound 424,0
(lampiran 6). Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terburuk
dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan
terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini solusi optimal
dari permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan lokasi yang telah memiliki
fasilitas lengkap dan luas wilayah yang sempit maka dicarikan alternatif lokasi lain
dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah Kecamatan Tanah
Sareal.
7.7.4.3 Dengan Bobot Sama, Pengaruh Jarak
Berdasarkan bobot sama pengaruh jarak, hasil perhitungan program
menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kecamatan Bogor Tengah. Hal ini terlihat
dari hasil olahan program komputer yang menunjukan bahwa Kecamatan Bogor
Tengah melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 22,0 dan nilai lower bound
22,0 (lampiran 7). Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan
terburuk dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi
73
kemungkinan terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini
solusi optimal dari permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan lokasi yang
telah memiliki fasilitas lengkap dan kepadatan penduduk maka dicarikan alternatif
lokasi lain dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah
Kecamatan Tanah Sareal.
7.7.4.4 Hubungan antara Hasil Analisis P-Median dan Skalogram
Penentuan lokasi optimal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor
dengan metode P-Median adalah memilih lokasi yang mudah dijangkau oleh
masyarakat dari berbagai daerah sekitar dengan meminimalkan jarak tempuh.
Semakin minimal jarak tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi tersebut,
maka oleh program akan dipilih suatu lokasi yang paling optimal dan efisien. Metode
Skalogram mencoba mengetahui hirarki wilayah berdasarkan fasilitas kesehatan yang
tersedia. Dengan menggabungkan kedua hasil analisis tersebut, maka akan didapat
kesimpulan dari hasil analisis Skalogram didapatkan bahwa kecamatan yang memiliki
hirarki fasilitas kesehatan yang terendah adalah Kecamatan Tanah Sareal. Dengan
berbagai pertimbangan pengadaan RSUD maka dianalisis lokasi optimal dengan
metode P-Median. Hasil analisis menunjukan bahwa lokasi optimal RSUD Kota
Bogor adalah Kecamatan Bogor Tengah dan alternatif lokasi lain dengan asumsi 2
lokasi adalah Kecamatan Tanah Sareal. Analisis ini merupakan analisis dengan bobot
jumlah penduduk dan bobot sama pengaruh jarak. Sedangkan dengan bobot luas
wilayah alternatif lokasi adalah Kecamatan Bogor Barat. Hasil yang optimal adalah
dengan menempatkan RSUD di Kecamatan Tanah Sareal mengingat kecamatan
tersebut memiliki skoring terendah dalam hiraki fasilitas kesehatan di Kota Bogor.
7.7.5 Analisis Penentuan Lokasi Optimal Puskesmas Pembantu Kecamatan
Tanah Sareal dengan Analisis P-Median
Berdasarkan hasil analisis penyebaran dan hirarki fasilitas kesehatan
kecamatan di Kota Bogor, menunjukan bahwa Kecamatan Tanah Sareal merupakan
Kecamatan yang menempati peringkat terakhir dalam ketersediaan fasilitas kesehatan
74
di Kota Bogor. Dengan alasan tersebut, maka perencanaan penataan fasilitas
kesehatan sangat diperlukan. Salah satunya dengan pengadaan puskesmas pembantu.
Puskesmas di Kecamatan Tanah Sareal sudah memadai namun untuk puskesmas
pembantu yang berfungsi untuk menjangkau penduduk yang jauh dari suatu
puskesmas induk dan juga dikarenakan wilayah yang luas dari Tanah Sareal maka
pengadaan puskesmas pembantu menjadi suatu kebutuhan.
Perencanaan Puskesmas pembantu (Pustu) menurut Dinas Kesehatan Kota
Bogor telah masuk dalam usulan hasil Sarembang (Sarasehan Pembangunan)
Kecamatan Tanah Sareal tahun 2007. Perencanaan Puskesmas berawal dari usulan
Sarembang tingkat Kelurahan yang biasanya dilakukan setiap bulan Februari. Setelah
itu dibawa ke Sarembang Kecamatan dan Kota untuk membahas kebutuhan Pustu.
Setelah disetujui oleh DPRD kemudian diserahkan ke Dinas yang terkait yakni Dinas
Kesehatan. Untuk selanjutnya disinkronisasi dengan adanya Rencana Kerja Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Setelah itu ditindak lanjuti dengan Kebijakan
Umum Anggaran (KUA) lalu setelah disetujui oleh DPRD maka dibuat Rencana
Kerja Anggaran (RKA) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) oleh Dinas
Kesehatan. Perencanaan Puskesmas pembantu (Pustu) di Kecamatan Ta nah Sareal
berdasarkan usulan hasil Sarembang Kecamatan Tanah Sareal Tahun 2007
menetapkan Pustu pada Kelurahan Sukaresmi dan Kencana. Alasan perencanaan
lokasi Pustu di kelurahan tersebut menurut Dinas Kesehatan adalah adanya usulan
masyarakat dalam Sarembang, upaya mendekatkan lokasi dan ketersediaan lokasi.
Hal yang sering menjadi permasalahan dalam penentuan lokasi Pustu adalah status
tanah, letak dari lokasi yang direncanakan, apakah strategis atau tidak dan
ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) dalam hal ini tenaga ahli kesehatan.
Puskesmas pembantu (Pustu) mencakup beberapa kelurahan yang mempunyai jarak
yang cukup jauh dari puskesmas induk. Cakupan sebuah Pustu yang meliputi
beberapa kelurahan di Kecamatan Tanah Sareal dapat dilihat dalam tabel.
75
Tabel 26. Puskesmas, Pustu dan Kelurahan di Kecamatan Tanah Sareal No Puskesmas Puskesmas Pembantu Kelurahan
1 Tanah Sareal Tanah Sareal
2 Pondok Rumput Kebon Pedes
3 Kedung Badak Kedung Waringin
Kedung Badak
Kedung Jaya
Kedung Waringin
4 Kayu Manis
Kayu Manis
Cibadak
Kencana
5 Mekar Wangi Mekar Wangi
Suka Resmi
Suka Damai
Mekar Wangi
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor, 2004
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa Kecamatan Tanah Sareal yang
memiliki wilayah yang cukup luas, hanya memiliki 2 Pukesmas pembantu (Pustu)
dengan 11 kelurahan. Hal ini menandakan bahwa keberadaan puskesmas pembantu di
Kecamatan Tanah Sareal memang merupakan kebutuhan, mengingat jumlah
kelurahan yang cukup banyak dan wilayah yang cukup luas. sampai tahun 2005
Kecamatan Tanah Sareal hanya mempunyai 2 Puskesmas pembantu yang
menjangkau 6 kelurahan. Sementara kelurahan yang tidak tercakup oleh 2 Pustu itu
mengandalkan pada pelayanan Puskesmas induk.
Faktor jarak yang digunakan adalah jarak antar kelurahan yakni antar kantor
kelurahan. Dengan asumsi bahwa kantor kelurahan merupakan pusat pelayanan sosial
dan pusat pemerintahan. Bobot yang digunakan adalah bobot jumlah penduduk, luas
wilayah dan bobot sama pengaruh jarak.
76
Hasil Analisis P-Median
7.7.5.1 Dengan Bobot Jumlah Penduduk
Berdasarkan bobot jumlah penduduk, hasil perhitungan program
menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kelurahan Suka Damai . Hal ini terlihat dari
hasil olahan program komputer yang menunjukan bahwa Kelurahan Suka Damai
melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 157,0 dan nilai lower bound 157,0
(lampiran 9.). Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terburuk
dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan
terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini solusi optimal
dari permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan lokasi yang telah dicakup
oleh puskesmas pembantu dan kepadatan penduduk maka dicarikan alternatif lokasi
lain dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah Kelurahan
Kayu Manis.
7.7.5.2 Dengan Bobot Luas Wilayah
Berdasarkan bobot Luas Wilayah, hasil perhitungan program menunjukkan
bahwa lokasi optimal pada Kelurahan Suka Damai. Hal ini terlihat dari hasil olahan
program komputer yang menunjukan bahwa Kelurahan Suka Damai melalui satu kali
iterasi dengan nilai upper bound 188,0 dan nilai lower bound 188,0 (lampiran.10).
Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terburuk dari skenario
sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terbaik dari
skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini solusi optimal dari
permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan lokasi yang telah dicakup oleh
puskesmas pembantu dan luas wilayah yang sempit maka dicarikan alternatif lokasi
lain dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah Kelurahan
Kayu Manis.
7.7.5.3 Dengan Bobot Sama, Pengaruh Jarak
Berdasarkan bobot sama pengaruh jarak, hasil perhitungan program
menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kelurahan Suka Damai. Hal ini terlihat dari
77
hasil olahan program komputer yang menunjukan bahwa Kelurahan Suka Damai
melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 18,0 dan nilai lower bound 18,0
(lampiran 11). Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terburuk
dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan
terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini solusi optimal
dari permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan lokasi yang telah me miliki
fasilitas lengkap dan kepadatan penduduk maka dicarikan alternatif lokasi lain
dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah Kelurahan Kayu
Manis.
7.8 Keterkaitan antara Usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal Tahun
2007 dari Usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan dengan Hasil
Sarembang Tingkat Kota Oleh Pemda dan Hasil Analisis P-median
Hasil usulan Sarembang tentang kebutuhan fasilitas kesehatan di Kecamatan
Tanah Sareal di tingkat Kota, memutuskan untuk meloloskan pembangunan
Puskesmas di Kelurahan Cibadak. Sementara dari usulan Sarembang dari masyarakat
dan Dinas Kesehatan mengajukan Puskesmas pembantu (Pustu) di Kelurahan
Sukaresmi dan Kencana. Dalam penetapan prioritas untuk meloloskan suatu
kebutuhan fasilitas di Sarembang tingkat Kota hanya memilih 1 prioritas, sedangkan
di tingkat kelurahan hanya boleh mengusulkan 3 prioritas. Penetapan prioritas
pembangunan Puskesmas di Kelurahan Cibadak mungkin merupakan prioritas yang
diutamakan oleh pemda. Dilihat dari kebutuhan akan Puskesmas pembantu menurut
Dinas Kesehatan cukup besar mengingat target yang seharusnya dicapai atau standar
kebutuhannya adalah 1 kelurahan mempunyai 1 Pustu. Hal ini menimbulkan
ketidaksinkronan dalam permintaan atau kebutuhan masyarakat akan suatu fasilitas
kesehatan puskesmas.
Sementara Hasil analisis P-median untuk menetapkan lokasi Puskesmas
pembantu (Pustu) Kecamatan Tanah Sareal adalah Kelurahan Sukadamai dan sebagai
asumsi alternatif 2 lokasi adalah Kelurahan Kayu Manis. Hal ini tidak sesuai dengan
hasil usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal Tahun 2007 yang menetapkan
78
Kelurahan Sukaresmi dan Kencana dalam rencana penetapan Pustu. Hal ini bisa
disebabkan karena analisis P-median melihat lokasi optimal ditengah wilayah
tersebut. Padahal dalam kondisi riil, kebutuhan Pustu lebih diarahkan pada Kelurahan
Sukaresmi dan Kencana yang notabene merupakan keluarahan yang letaknya jauh
dan tidak strategis. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dari analisis P-median itu
sendiri.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil analisis skalogram terhadap fasilitas kesehatan kecamatan
Kota Bogor dapat disimpulkan bahwa setiap kecamatan di Kota Bogor tidak
ada yang memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap. Kecamatan dengan
jumlah total jenis unit fasilitas kesehatan terlengkap adalah Kecamatan Bogor
Barat dengan 175 unit, sedangkan Kecamatan Tanah Sareal menempati
peringkat terakhir dalam hirarki fasilitas kesehatan ini dengan 55 unit.
2. Menurut hasil skalogram, wilayah yang memiliki peringkat jumlah fasilitas
pelayanan lebih tinggi atau sama bila dibandingkan dengan peringkat jumlah
penduduk tentu akan lebih mudah untuk melayani penduduk yang
membutuhkan pelayanan. Kecamatan yang termasuk kategori ini adalah
Kecamatan Bogor Barat dengan jumlah penduduk yang paling banyak di Kota
Bogor sebesar 190.421 jiwa, telah memiliki fasilitas kesehatan yang
mencukupi untuk melayani masyarakatnya. Wilayah yang memiliki peringkat
jumlah fasilitas pelayanan lebih rendah dari pada peringkat jumlah penduduk
adalah Kecamatan Bogor Selatan dan Tanah Sareal. Kecamatan yang juga
memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak seperti Bogor Selatan
(166.745 jiwa) dan Tanah Sareal (158.187 jiwa) belum memiliki fasilitas
kesehatan yang cukup untuk melayani masyarakatnya.
3. Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap standar kebutuhan fasilitas
kesehatan dalam Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012, kebutuhan fasilitas
kesehatan sampai tahun 2012 di Kota Bogor secara umum terus mengalami
kenaikan. Kecamatan-kecamatan yang bisa dikatakan cukup memadai dalam
kuantitas fasilitas kesehatannya adalah Bogor Barat, Bogor Utara dan Bogor
Tengah. Sementara kecamatan yang perlu mendapatkan perhatian dalam
pemerataan fasilitas kesehatan adalah Kecamatan Tanah Sareal, Bogor selatan
dan Bogor Timur.
80
4. Dalam analisis selanjutnya, penelitian mengambil konsentrasi pada fasilitas
Rumah Sakit dan Puskesmas dikarenakan permasalahan yang terjadi lebih
mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kedua fasilitas
tersebut. Selain itu karena dalam perilaku pencarian obat masyarakat Kota
Bogor lebih memilih kedua fasilitas tersebut. Dalam analisis deskriptif standar
kebutuhan tenaga kesehatan, mutu pelayanan terhadap fasilitas Rumah Sakit
Kota Bogor, secara umum masih belum optimal. Kebutuhan akan tenaga ahli
di 8 Rumah Sakit yang ada di Kota Bogor belum terpenuhi semua, masih
banyak dokter ahli bekerja sebagai dokter tamu atau dokter tidak tetap. Dalam
analisis mutu pelayanan fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor yang melakukan
akreditasi hanya 5 Rumah Sakit.
5. Dari standar kebutuhan tenaga kesehatan pada 24 Puskesmas induk yang ada
masih diperlukan tenaga tambahan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
dasar di Puskesmas perkotaan antara lain dibutuhkan 2 orang dokter ahli
untuk Puskesmas rujukan. Dalam analisis mutu pelayanan Puskesmas,
Puskesmas Kota Bogor sudah meningkat dalam hal jumlahnya dan cakupan
pelayanannya. Dalam pemanfaatannya pun meningkat setiap tahunnya,
terutama dari masyarakat kurang mampu atau miskin.
6. Dalam analisis efisiensi pengelolaan Rumah Sakit Kota Bogor, menerangkan
bahwa Rumah Sakit swasta yang ada di Kota Bogor secara umum belum
berada pada wilayah efisien (BOR, TOI, LOS, BTO). Secara umum Rumah
Sakit yang ada di kota Bogor seluruhnya belum mencapai kinerja yang baik.
Bila dilihat dari BOR tampaknya Kota Bogor belum memerlukan tambahan
Rumah Sakit baru, karena rata-rata hunian semua Rumah Sakit masih 56,2
persen.
7. Pada saat ini di Kota Bogor belum terdapat Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) sehingga pelayanan kesehatan rujukan dilaksanakan oleh Rumah
Sakit swasta. Berdasarkan hasil analisis P-Median terhadap penentuan lokasi
optimal RSUD dengan menggunakan tiga bobot yang berbeda dapat
disimpulkan bahwa masing-masing bobot menghasilkan output yang berbeda.
81
Namun adapula yang sama, Berdasarkan bobot jumlah penduduk pengaruh
jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi
optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Tanah Sareal.
Berdasarkan bobot luas wilayah pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah
Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2
lokasi adalah Kecamatan Bogor Barat. Berdasarkan bobot sama pengaruh
jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi
optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Tanah Sareal.
8. Berdasarkan usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal 2007 dan kebutuhan
akan Puskesmas pembantu maka dianalisis lokasi optimal Pustu di Kecamatan
Tanah Sareal, Berdasarkan bobot jumlah penduduk pengaruh jarak didapat
lokasi optimal adalah Kelurahan Suka Damai dan lokasi optimal alternatif
dengan asumsi 2 lokasi adalah Kelurahan Kayu Manis. Berdasarkan bobot
luas wilayah pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kelurahan Suka
Damai dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kelurahan
Kayu Manis. Berdasarkan bobot sama pengaruh jarak didapat lokasi optimal
adalah Kelurahan Suka Damai dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2
lokasi adalah Kelurahan Kayu Manis.
9. Keterkaitan antara usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal tahun 2007
dari usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan dengan hasil Sarembang tingkat
Kota oleh Pemda dan hasil analisis P-median menunjukkan hasil yang
berbeda. Hasil Sarembang tingkat Kota memprioritaskan pembangunan
Puskesmas baru untuk Kecamatan Tanah Sareal, sedangkan usulan
Sarembang dari usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan mengusulkan
pembangunan Pustu di Kelurahan Kencana dan Sukaresmi. Hasil analisis P-
Median terhadap lokasi optimal Pustu menunjukkan lokasi optimal di
Kelurahan Suka Damai dan Kayu Manis.
82
8.2 Saran
1. Pemerintah Kota Bogor diharapkan lebih meningkatkan penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan di kecamatan-kecamatan yang masih kurang lengkap,
seperti Kecamatan Tanah Sareal dan Bogor Selatan.
2. Dalam penataan fasilitas kesehatan sebaiknya Pemerintah Kota Bogor
meningkatkan pula daya layan fasilitas kesehatan seperti mutu pelayanan,
standar kebutuhan fasilitas, tenaga kesehatan (SDM) dan efisiensi
pengelolaanya.
3. Sebaiknya Fasilitas kesehatan dikembangkan dengan mendekatkan diri
dengan masyarakat. Agar terjangkau secara lokasi dan biaya oleh masyarakat.
4. Perlu penelitian lebih lanjut terhadap pengembangan pembangunan kesehatan
Kota Bogor di kecamatan-kecamatan yang masih kurang lengkap dalam
fasilitas kesehatannya.
DAFTAR PUSTAKA Alifah, Hilmiyatil. 2005. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Pasar sebagai Terminal
Agribisnis di DKI Jakarta. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Afrianto, Rozi. 2000. Analisis Pembangunan Wilayah Pertanian dalam Menghadapi
Otonomi Daerah (Studi kasus: Kabupaten Limapuluh Kota, Propinsi Sumatera Barat). Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Pusat Statistik 2005. Statistik Kesehatan Indonesia Tahun 2004. Badan Pusat
Statistik Pusat. Jakarta Badan Pusat Statistik 2006. Kota Bogor dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik Kota
Bogor. Bogor Bapeda Kota Bogor 2005. Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor Tahun 2004.
Bapeda Kota Bogor. Bogor ----------------------------------. Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012. Bapeda Kota Bogor.
Bogor. ----------------------------------. Rencana Pengembangan dan Penataan Ruang Kota Bogor
Tahun 1999-2009.. Bapeda Kota Bogor. Bogor. Bud iharsono, Sugeng. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.
Pradyna Paramita. Jakarta. Dinas Kesehatan Kota Bogor 2006. Profil Kesehatan Kota Bogor Tahun 2005. Dinas
Kesehatan Kota Bogor. Bogor. Dinas Kesehatan Kota Bogor 2007. Usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal Tahun
2007. Dinas Kesehatan Kota Bogor. Bogor. Kurnia, Nia. 2005. Analisis Segmentasi Rumah Sakit (Studi Pada Rumah Sakit Karya
Bhakti Bogor). Skripsi. Departemen Manajemen. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kurniawan, Ade. 2006. Analisis Lokasi Optimal Pusat Pemerintahan dalam Rangka
Pengembangan Wilayah dan Efisiensi Pelayanan di Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Ins titut Pertanian Bogor. Bogor.
Mangkoesoebroto, Guritno. 2001. Ekonomi Publik. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta Purliana, Indah. 2003. Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranan Fasilitas
Pelayanan terhadap Pembangunan Wilayah Kota Tegal dalam Otda. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rushton. 1979. Optimal Location of Facilities. COMPress. Inc. Wentworth. Sitohang, Paul. 1977. Pengantar Perencanaan Regional. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Tarigan, Robinson. 2002. Perencanaan Pembangunan Wilayah Pendekatan Ekonomi dan
Ruang. Departemen Pendidikan Nasional. Medan.
Lampiran 1. Rencana Kebutuhan dan Standar Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kota Bogor
Tabel 1. Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Bogor Barat 2000-2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012
Tabel 2. Rencana Kebutuhan Fasilitas Sosial Ekonomi Berdasarkan Jumlah Penduduk
Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2007 - 2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012
Tabel 3. Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan
Bogor Timur Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012
Jenis Fasilitas Standar Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007 (196,946 jiwa)
Tahun 2012 (224,880 jiwa)
Jumlah Kebutuhan
Kebutuhan
Penambahan
Kebutuhan
Penambahan
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10000 7 16 20 13 23 3 2 Puskesmas 30000 8 5 7 0 8 0 3 Posyandu 2500 167 66 79 0 90 0 4 Apotik 10000 10 16 20 10 23 3 5 Rumah Sakit 240000 3 1 1 0 1 0
No Jenis Fasilitas
Standar Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007 (158.017 jiwa)
Tahun 2012 (172.642 jiwa)
Jumlah Kebutuhan
Kebutuhan
Penambahan
Kebutuhan
Penambahan
Kesehatan 1 Balai
Pengobatan 10000 16 16 17 1
2 Puskesmas 30000 8 5 5 0 6 1 3 Posyandu 2500 195 63 63 0 69 6 4 Praktek Dokter 5000 32 32 35 3 5 Apotik 10000 18 16 0 17 1 6 Rumah Sakit 240000 - 1 1 1 1 1
No Jenis Fasilitas
Standar Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007 Tahun 2012
Jumlah Kebutuhan
Kebutuhan
Penambahan
Kebutuhan
Penambahan
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10000 6 8 10 4 11 1 2 Puskesmas 30000 7 3 3 - 4 1 3 Posyandu 2500 73 31 39 - 45 6 4 Rumah Sakit 240000 1 - - - - -
Tabel 4. Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor Utara
Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012
Tabel 5. Rencana Kebutuhan Fasilitas kesehatan Kecamatan Tanah Sareal Berdasarkan
Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012
Tabel 6. Rencana Kebutuhan Fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Tengah Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2000-2012
No Jenis Fasilitas
Standar Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007 (148.970 jiwa)
Tahun 2012 (161.868)
Jumlah Kebutuhan
Kebutuhan
Penambahan
Kebutuhan
Penambahan
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10000 7 13 15 8 16 1 2 Puskesmas 30000 9 4 5 0 5 0 3 Posyandu 2500 103 51 60 0 65 5 4 Rumah Sakit 240000 2 1 1 0 1 0
No Jenis Fasilitas Standar
Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007 (143097jiwa)
Tahun 2012 (155117 jiwa)
Jumlah Kebutuhan
Kebutuhan
Penambahan
Kebutuhan
Penambahan
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10000 12 13 14 2 16 2 2 Puskesmas 30000 8 4 5 0 5 0 3 Posyandu 2500 126 51 57 0 62 5 4 Rumah Sakit 240000 1 1 1 0 1 0
No Jenis Fasilitas
Standar Penduduk
Tahun 2000 Tahun 2007 Tahun
2012
Jumlah Kebutuhan
Kebutuhan
Penambahan
Kebutuhan
Penambahan
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10000 12 10 10 -2 10 0 2 Puskesmas 30000 9 3 3 -6 3 0 3 Posyandu 2500 41 42 42 42 0 4 Praktek Dokter 5000 21 21 21 21 0 5 Apotik 10000 26 10 10 -16 10 0 6 Rumah Sakit 240000 1 0 0 -1 0 0
Lampiran 2. Keadaan Tenaga dan Kebutuhan Tenaga Di Puskesmas Kota Bogor
tahun 2005
No Tempat Kerja Jenis Tenaga Yang
ada
Standar Kurang Ket
Puskesmas
1 Tenaga Medis Dr. Ahli 2 4 2 Ahli anak Obgyn,
P. dalam
Dr. Umum/S2 0 0 0
Dr. Umum 58 40 0
Drg 35 30 0
2 Tenaga Kesehatan
Masyarakat
S2 Kesmas 0 0 0
SKM 1 24 23
APK/AKL 18 24 6
SPPH 3 24 21
3 Tenaga Kefarmasian Apoteker 0 0 0
Analis Farmasi 0 24 24
Ass Apoteker 22 24 2
4 Tenaga Keperawatan S1 Keperawatan 1 0 0
AKPER 55 24 0
AKBID 9 80 71
SPK 56 20 0
Bidan (D1) 90 100 10
SPR Gigi 17 20 3
5 Tenaga Gizi AKZI 10 24 14
SPAG 14 0 0
6 Tenaga Keterampilan
Fisik
Fisioterapi 1 6 5
7 Tenaga Ketehnisan
Medis
APRO 1 6 5
AKNES 2 2 0
ATEM 1 2 0
Tehnisi E Med 7 7
8 Tenaga Non Tehnis S1 Non
Kesehatan
4 2 0
SMA 76 24 0
SMEA 0 10 10
KPAA/SMKK 0 3 3
SMP/KPA/ST 8 10 2
JUMLAH 577 526 114
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor, tahun 2005
Lampiran 3. Keadaan Tenaga Dokter Ahli, Dr Umum, Dr Gigi dan Kebutuhannya
di Rumah sakit di Kota Bogor Tahun 2005
No Tempat Kerja JenisTenaga Yang
ada
Standar Kurang Ket
Rumah Sakit
1 Dr Umum, Dr Ahli,
Dr Gigi
Dr. Umum 91 89 3
Dr. Ahli Bedah 7 12 5
Dr. Ahli Peny. Dalam 6 12 6
Dr. Ahli Anak 8 12 4
Dr. Ahli Radiologi 5 12 7
Dr. Ahli Radiologi klinis 5 6 1
Dr. Ahli Anestesi 5 6 1
Dr. Ahli Jiwa 4 6 2
Dr. Ahli Mata 6 6 0
Dr. Ahli THT 6 6 0
Dr. Ahli Kulit & Kelamin 6 6 0
Dr. Ahli Kardiologi 6 6 0
Dr. Ahli Paru 6 6 0
Dr. Ahli Syaraf 8 8 0
Dr. Bedah Syaraf 6 4 0
Dr. Patologi Forensik 3 3 0
Dr. Orthopedi 6 3 0
Dr. Urologi 6 3 0
Dr. Ahli Rehab Medik 6 6 0
Dr. Gigi 21 12 0
Dr. Ahli Obgyn 6 12 6
Dr. Patologi Anatomi 4 3 0
Jumlah 228 224 40
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bogor, Tahun 2005
Lampiran 4 Jumlah Penduduk Enam Kecamatan di Kota Bogor, Tahun 2005
No Kecamatan Jumlah Penduduk Bobot 1 Bogor Selatan 166.745 20 2 Bogor Timur 86.978 10 3 Bogor Utara 149.578 17 4 Bogor Tengah 103.176 12 5 Bogor Barat 190.421 22 6 Tanah Sareal 158.187 19 Total 855.085 100
Luas Wilayah Enam Kecamatan di Kota Bogor, Tahun 2005
No Kecamatan Luas Wilayah (Ha) Bobot 1 Bogor Selatan 30,82 26 2 Bogor Timur 10,15 9 3 Bogor Utara 17,72 15 4 Bogor Tengah 8,13 7 5 Bogor Barat 32,85 28 6 Tanah Sareal 18,84 15 Total 118,50 100
Matriks Jarak dalam satuan Km Kecamatan Kota Bogor No Kecamatan 1 2 3 4 5 6 1 Bogor Selatan - 4 8 4 8 10 2 Bogor Timur 4 - 5 3 8 5 3 Bogor Utara 8 5 - 4 6 5 4 Bogor Tengah 4 3 4 - 5 6 5 Bogor Barat 8 8 6 5 - 3 6 Tanah Sareal 10 5 5 6 3 -
Lampiran 5
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL RSUD KOTA BOGOR
BOBOT JUMLAH PENDUDUK
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kecamatan Bogor Tengah
(Bobot 12) dan Kecamatan Bogor Barat (Bobot 22) sebagai lokasi alternatif dengan
asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 402,0 dan nilai lower bound 402,0
Lampiran 6
HASIL P-MEDIAN SOLVER
LOKASI OPTIMAL RSUD KOTA BOGOR BOBOT LUAS WILAYAH
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kecamatan Bogor Tengah
(Bobot 7) dan Kecamatan Tanah Sareal (Bobot 15) sebagai lokasi alternatif dengan
asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 424,0 dan nilai lower bound 424,0
Lampiran 7
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL RSUD KOTA BOGOR
BOBOT SAMA PENGARUH JARAK
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kecamatan Bogor Tengah
(Bobot 1) dan Kecamatan Tanah Sareal (Bobot 1) sebagai lokasi alternatif dengan
asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 22,0 dan nilai lower bound 22,0
Lampiran 9
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL PUSTU KECAMATAN TANAH SAREAL
BOBOT JUMLAH PENDUDUK
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kelurahan Suka Damai
(Bobot 7) dan Kelurahan Kayu Manis (Bobot 6) sebagai lokasi alternatif dengan
asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 157,0 dan nilai lower bound 157,0
Lampiran 10
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL PUSTU KECAMATAN TANAH SAREAL
BOBOT LUAS WILAYAH
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kelurahan Suka
Damai (Bobot 5) dan Kelurahan Kayu Manis (Bobot 12) sebagai lokasi alternatif
dengan asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 188,0 dan nilai lower bound 188,0
Lampiran 11
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL PUSTU KECAMATAN TANAH SAREAL
BOBOT SAMA PENGARUH JARAK
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kelurahan Suka
Damai (Bobot 1) dan Kelurahan Kayu Manis (Bobot 1) sebagai lokasi alternatif
dengan asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 18,0 dan nilai lower bound 18,0