ANALISIS MUSIKAL DAN TEKSTUAL DAMPENG PADA … · vii KATA PENGANTAR Segala puji, hormat, dan...
Transcript of ANALISIS MUSIKAL DAN TEKSTUAL DAMPENG PADA … · vii KATA PENGANTAR Segala puji, hormat, dan...
i
ANALISIS MUSIKAL DAN TEKSTUAL DAMPENG PADA UPACARA
ADAT PERKAWINAN SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: ANNA PURBA
NIM: 100707011
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2014
ii
ANALISIS MUSIKAL DAN TEKSTUAL DAMPENG PADA UPACARA
ADAT PERKAWINAN SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA
OLEH:
NAMA: ANNA PURBA
NIM: 100707011
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
NIP 196512211991031001 NIP 196605271994032001
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,
untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni
dalam bidang disiplin Etnomuskologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2014
iii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk
melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin
Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP
Panitia Ujian: Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
3.
4.
5.
iv
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
v
ABSTRAKSI
Dalam skripsi ini, penulis menganalisis dampeng yang disajikan pada upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga dengan dua fokus, yakni struktur melodi dan teks. Dampeng merupakan nyanyian Suku Pesisir yang berarti nasehat-nasehat yang ditujukan kepada sepasang pengantin dalam suatu upacara adat perkawinan. Dalam suatu upacara adat, nyanyian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap mangarak marapule dan mampelok tampek basanding. Nyanyian ini disajikan tanpa iringan musik (a capella) dan digolongkan ke dalam gaya responsorial (call and reponse). Para penyajinya merupakan sekelompok laki-laki yang terdiri dari 7-12 orang dengan dua bagian kelompok penyanyi yaitu penyanyi solo dan perespon nyanyian.
Penelitian ini menggunakan dua teori utama yaitu teori semiotik untuk menganalisis teks dan teori weighted scale untuk menganalisis melodi dampeng. Penelitian ini mengggunakan metode kualitatif. Untuk melaksanakan penelitian, penulis telah melakukan beberapa proses kerja, yaitu: studi kepustakaan, observasi, wawancara, perekaman atau dokumentasi kegiatan, transkripsi, dan analisis laboratorium. Penelitian ini berpusat pada pendapat para informan dalam konteks studi emik. Namun, penulis tetap melakukan penafsiran-penafsiran sesuai dengan kaidah ilmiah dalam konteks studi etik.
Melalui metode dan teknik tersebut di atas diperoleh dua hasil penelitian. (1) Teks dampeng merupakan teks yang dinyanyikan oleh penyaji dampeng dalam bahasa Pesisir secara spontan. Teks disajikan dalam bentuk pantun yang terdiri dari isi dan sampiran. Secara umum, isi teks adalah nasehat-nasehat yang diambil dari pengalaman dan proses kehidupan Suku Pesisir. Teks tersebut disampaikan kepada kedua pengantin. (2) Struktur melodi dampeng berbentuk stropik yakni melodi yang sama atau hampir sama menggunakan teks yang baru dan berbeda. Dengan demikian, dampeng dikategorikan sebagai musik stropik logogenik. Tangga nada dampeng digolongkan ke dalam heptatonik. Ritme dampeng menggunakan meter 4.
Kata kunci: dampeng, teks, melodi, perkawinan, logogenik
vi
ABSTRACT
In this thesis, dampeng has been analyzed in a traditional Pesisir marriage ceremony at Sibolga with two main points focused on melody and text structure. It is a folk song and defines as advices given to a married couple in traditional Pesisir marriage ceremony. There are two parts of ceremony which dampeng is performed namely mangarak marapule and mampelok tampek basanding. While performing, it is delivered by singing without any musical instrument (a capella) and classifying as responsorial style or call-and-response. The performer is a group of men consists of 7-12 with two part of singer groups. They are solo leader and group chorus.
The research of dampeng used two theories: semiotic in order to analyze the text of dampeng, and weighted scale to analyze the melody of dampeng. This research used qualitative method. For accomplishing it, some work processes have been executed. There are literature study, observation, interview, recording or documentation activities, transcription, and laboratory analysis. This research is concentrated to the informants opinions in emic study context. Nevertheless, I also support it by interpreting based on scientific principle in etic study context.
According to the methods and techniques mentioned before, 2 research results are able to harvest. (1) Text of dampeng is singing by dampeng singers in Pesisir language spontaneously. It is reserved with pantun form consist of isi (content couplet) and sampiran (first two lines couplet). Generally, text contains advices given to a couple married. (2) Melody structure of dampeng is classified into strophic form that has the same melody or almost with new text or different text. Therefore, it is called as logogenic strophic. Its scale is classified into heptatonic (seven-tone) scale with 2 kinds of intervals. Its rhythm is classified into isometric with 4 equal units.
Keywords: dampeng, text, melody, marriage, logogenic
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji, hormat, dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus
Kristus, karena kasihNya yang begitu besar telah melimpahi kehidupan penulis.
Setip detik dalam perjalanan hidup penulis disertai dan diberi sukacita penuh.
Secara khusus dalam penyusunan skripsi ini, kekuatan dan penghiburan
diberikanNya jauh melebihi permohonan penulis.
Skripsi ini berjudul “Analisis Musikal dan Tekstual Dampeng pada
Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga.” Skripsi ini diajukan
dalam melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada
Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari banyak kekurangan dan tantangan yang terdapat dalam
penyusunan skripsi ini. Hal-hal tersebut berasal dari dalam dan luar diri penulis.
Kejenuhan dan kelelahan senantiasa mendekat ke dalam diri penulis. Namun,
energi baru selalu hadir melalui orang-orang di sekitar penulis.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan
mempersembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua yang sangat penulis
sayangi, ayahanda Sanggam Purba dan ibunda Erika Betty Nainggolan. Terima
kasih untuk segala cinta kasih dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis.
Kesabaran, kebijaksanaan, dan kerendahan hati telah diajarkan kepada penulis
sejak kecil. Sehingga, saat ini merupakan buah karya dan karsa yang telah
dilakukan untuk penulis. Terlebih-lebih dalam penyusunan skripsi ini, suka dan
duka terlampaui atas doa-doa yang telah dipanjatkan setiap hari. Motivasi dan
viii
dorongan selalu hadir saat penulis melakukan kelalaian dalam penyelesaian
skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada abang terkasih Mangisi
Sitorus, kakak terkasih Agustina Purba dan Friska Purba, adik terkasih Maria
Purba serta keponakan terkasih Theo Bagus Halomoan Sitorus. Terimakasih untuk
doa, bantuan, motivasi, waktu, dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.
Meskipun jarak memisahkan keberadaan kita, penulis dapat merasakan kehadiran
kalian. Sehingga penulis mampu melalui rintangan dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis sungguh bersyukur kepada Tuhan karena telah menganugerahkan
keluarga yang luar biasa untuk penulis.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat Bapak
Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran di Dekanat
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang
terhormat Bapak Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. sebagai Ketua Departemen
Etnomusikologi dan Dosen Pembimbing I penulis yang telah membimbing dan
memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk ilmu
pengetahuan, pengalaman, kebaikan dan nasehat-nasehat yang telah Bapak
berikan kepada penulis selama berada di perkuliahan. Kiranya Tuhan selalu
menyertai dan melimpahkan sukacita kepada Bapak. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada yang terhomat Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. sebagai
Sekretaris Departemen Etnomusikologi, Dosen Pembimbing Akademik, dan
Dosen Pembimbing II penulis yang telah mengarahkan dan memberikan
bimbingan kepada penulis sejak memulai perkuliahan dan menyelesaikan skripsi
ix
ini. Terimakasih untuk perhatian, ilmu, dan kebaikan yang ibu berikan. Kiranya
Tuhan senantiasi melindungi dan melimpahkan berkat untuk Ibu.
Begitu pula untuk Ibu Adry Wiyanni Ridwan, S.S., sebagai pegawai
adminitrasi di Departemen Etnomusikologi FIB USU yang telah berkenan untuk
membantu kelancaran administrasi kuliah dan mengingatkan semua urusan
administratif penulis selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih untuk
kebaikan dan pertolongan yang telah diberikan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat seluruh
staf pengajar Departemen Etnomusikologi USU yang telah banyak memberikan
pemikiran dan wawasan baru kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
Kepada seluruh dosen di Etnomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D,
Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak
Drs. Fadlin, M.A., Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Ibu Arifni Netrosa,
SST,M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si., Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.Si.,
Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si., dan Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu yang
telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian. Seluruh ilmu
dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian menjadi pelajaran berharga untuk
penulis.
Kepada semua informan yang telah memberikan dukungan dan bantuan
untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; Bapak Syahriman Irawady
Hutajulu, Bapak Khairil Siregar, Bapak Radjoki Nainggolan, Bapak Risman
Sihombing, Bapak Syahbuni Gorat, Bapak Ahmad Aritonang, Bapak Maskur
Hutagalung, Bapak Khairul Aman Hutagalung, Ibu Siti Zubaidah, dan informan-
informan lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kesempatan dan
x
pengalaman yang sungguh berharga telah penulis dapatkan atas kebaikan
Bapak/Ibu sekalian. Penulis dapat mengenal Suku Pesisir lebih dekat atas
pertolongan Bapak-bapak sekalian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga besar Op.
Agustina Purba dan Op. Gold Parotua Nainggolan. Doa dan harapan yang telah
disampaikan kepada penulis menjadi penyemangat dan daya yang besar untuk
penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada abang terkasih Jusuf M.
Siburian, seluruh abang, kakak, dan teman-teman terkasih di PP (pemuda-pemudi)
GKPI Padang Bulan Medan: Pebrina Siburian, Meskayani Tamba, Yolanda
Simanjuntak, Triskin Simanungkalit, Eunike Agatha Pakpahan, Gabriela Pasaribu,
Gohana Siagian, Wenny Sirait, Susan Sinaga, Olyver Hutagalung, Arswendo
Sipahutar, Anry Hutagaol, Samuel Simanungkalit, Januardi Siregar, Benny
Sihotang, dan Hebron Sitorus. Sukacita, dorongan dan perhatian telah diberikan
kepada hari-hari penulis sejak memulai perkuliahan di Universitas Sumatera
Utara. Betapa penulis bersyukur dapat berjumpa dan bersekutu bersama kalian.
Atas anugerah Tuhan, kita telah menjalin kebersamaan dan kesatuan yang akan
menjadi memori yang terindah dalam kehidupan penulis.
Kepada ayahanda penulis yang kedua Drs. K. Lumbantoruan, abang Hiras
Lumbantoruan, kakak Clara Julieta Lumbantoruan, Adik Samuel Reynald
Lumbantoruan, dan Rican Kardinal Lumbantoruan, penulis mengucapkan terima
kasih atas perhatian dan kebaikan yang penulis terima selama ini. Semoga Tuhan
semakin melimpahkan berkatNya dalam keluarga besar Lumbantoruan.
Kepada senior penulis Pardon Simbolon, penulis mengucapkan terima
kasih atas bantuan dan arahan yang telah diberikan. Sehingga penulis
xi
mendapatkan kelancaran dalam proses penelitian dalam skripsi ini. Kepada
saudara-saudari penulis Etno 2010: Lido Hutagalung, Luhut Simarmata, Friska
Simamora, Frita Pakpahan, Miduk Nadeak, Pretty Manurung, Yusuf Siregar,
Rican Sianturi, Fernandes Simangunsong, Josua Siagian, Roman Hutagalung,
Kezia Purba, Agus Tampubolon, Ruth Marbun, Shelly Pelawi, Ayu Matondang,
Riska Prisila, Erni Banjarnahor, Meilinda Tarigan, Maharani Tarigan, Jenny
Simangunsong, dan Benny Purba, terimakasih untuk masa-masa yang telah kita
ciptakan di Etnomusikologi. Penulis sangat bersyukur dapat memiliki teman-
teman yang luar biasa seperti kalian. Penulis berdoa semoga kita dapat berhasil
dan berjumpa di lingkungan yang baru.
Kepada senior dan junior di Etnomusikologi stambuk 2006-2013, penulis
mengucapkan terimakasih untuk hari-hari yang penuh tawa dan canda selama
berada di Etnomusikologi. Penulis sangat kagum atas keharmonisan pluralisme
yang tercipta.
Medan, Juli 2014
Anna Purba
xii
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ........................................................................................... i
ABSTRACT ............................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ............................................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xii
DAFTAR BAGAN ................................................................................... xiii
DAFTAR DIAGRAM ............................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
1.2 Pokok Masalah ..................................................................... 11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 11
1.3.1 Tujuan Penelitian ......................................................... 11
1.3.2 Manfaat Penelitian ....................................................... 11
1.4 Konsep dan Teori .................................................................. 12
1.4.1 Konsep ......................................................................... 12
1.4.2 Teori ............................................................................ 18
1.5 Metode Penelitian ................................................................. 22
1.5.1 Studi Pustaka ................................................................ 22
1.5.2 Penelitian Lapangan ..................................................... 23
1.5.2.1 Observasi .......................................................... 24
1.5.2.2 Wawancara ....................................................... 25
xiii
1.5.2.3 Perekaman atau Dokumentasi ........................... 26
1.5.3 Kerja Laboratorium ...................................................... 27
1.6 Lokasi Penelitian .................................................................. 27
BAB II SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA .............................. 29
2.1 Gambaran Umum Suku Pesisir ............................................. 29
2.1.1 Topografi ..................................................................... 29
2.1.2 Luas Wilayah ............................................................... 31
2.1.3 Demografi .................................................................... 32
2.2 Unsur Kebudayaan Suku Pesisir ............................................ 33
2.2.1 Adat-Istiadat ................................................................. 34
2.2.2 Sistem Kekerabatan ...................................................... 35
2.2.3 Sistem Religi ................................................................ 37
2.2.4 Bahasa ......................................................................... 38
2.2.5 Kesenian ...................................................................... 39
2.2.5.1 Alat Musik ........................................................ 40
2.2.5.2 Lagu ................................................................. 41
2.2.5.3 Tari ................................................................... 42
BAB III DESKRIPSI DAMPENG PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU PESISIR .................................... 45
3.1 Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir .............................. 45
3.2 Tahap-Tahap Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ........ 46
3.2.1 Risik-Risik ................................................................. 47
3.2.2 Sirih Tanyo ................................................................ 48
xiv
3.2.3 Marisik ...................................................................... 49
3.2.4 Maminang ................................................................. 50
3.2.5 Manganta Kepeng ..................................................... 51
3.2.6 Mato Karajo .............................................................. 53
3.2.7 Balik ari atau Tapanggi ............................................. 67
3.3 Jenis-Jenis Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ............ 68
3.3.1 Upacara Adat Perkawinan Gala XII .......................... 68
3.3.2 Upacara Adat Perkawinan Gala IX ............................ 69
3.4 Komponen Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ............ 70
3.4.1 Tempat Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ......... 70
3.4.2 Waktu Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir .......... 71
3.4.3 Benda dan Peralatan Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ............................................................... 71
3.4.4 Pemimpin dan Peserta Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ............................................................... 72
3.5 Dampeng ........................................................................... 73
3.6 Penyajian Dampeng ........................................................... 75
3.6.1 Dampeng Mangarak .................................................. 75
3.6.2 Dampeng Barande ..................................................... 76
3.6.3 Dampeng Basanding ................................................. 78
3.7 Fungsi dan Penggunaan Dampeng ...................................... 79
3.7.1 Fungsi Dampeng ....................................................... 79
3.7.2 Penggunaan Dampeng ............................................... 80
3.8 Penyaji Dampeng (Anak Alek) ............................................ 81
BAB IV ANALISIS TEKSTUAL ................................................... 82
4.1 Bentuk Teks Dampeng ....................................................... 82
xv
4.2 Analisis Semiotik Tekstual Dampeng ................................. 83
BAB V TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIKAL
DAMPENG ....................................................................... 95
5.1 Transkripsi ......................................................................... 95
5.1.1 Simbol dalam Notasi ................................................. 95
5.2 Analisis Melodi .................................................................. 99
5.2.1 Tangga Nada (Scale) ................................................. 99
5.2.2 Nada Dasar (Pitch Center) ......................................... 100
5.2.3 Wilayah Nada (Range) .............................................. 100
5.2.4 Jumlah Nada (Frequency of Notes) ............................ 101
5.2.5 Jumlah Interval (Prevalent Intervals) ......................... 102
5.2.6 Pola Kadensa (Cadence Patterns) ............................... 103
5.2.7 Formula Melodik (Melody Formula) ......................... 103
5.2.8 Kontur (Contour) ....................................................... 106
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ......................................... 109
5.1 Kesimpulan ........................................................................ 109
5.2 Saran .................................................................................. 111
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. xv
DAFTAR INFORMAN ........................................................................... xvii
LAMPIRAN I (DAMPENG MANGARAK) ............................................ xxi
LAMPIRAN II (DAMPENG BARANDE) .............................................. xxii
LAMPIRAN III TEKS PENYAJIAN DAMPENG MANGARAK .......... xxiii
LAMPIRAN IV TEKS PENYAJIAN DAMPENG MANGARAK .......... xxv
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Sibolga Berdasarkan Kecamatan ............... 32
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin ....... 32
Tabel 4.1 Contoh Kata yang Mempunyai Arti ......................................... 85
Tabel 4.2 Contoh Silabel Tambahan ........................................................ 85
Tabel 5.1 Jumlah Nada dalam Dampeng .................................................. 101
Tabel 5.2 Jumlah Interval Dampeng ........................................................ 102
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Ayah marapule mendapat giliran pertama melakukan penaburan beras dan pemercikan air kepada marapule ........
54
Gambar 3.2 Kerabat dekat anak daro mendapat giliran pertama melakukan penaburan beras dan pemercikan air dengan daun pandan kepada anak daro ........................................... 55
Gambar 3.3 Marapule sedang dipakaikan inai oleh induk inang dalam upacara barinai ........................................................
56
Gambar 3.4 Anak daro sedang dipakaikan inai oleh induk inang di pelaminannya ...................................................................... 56
Gambar 3.5 Kerabat dekat memercikkan air dengan daun pandan kepada anak daro dalam upacara tepung tawar ................... 57
Gambar 3.6 Ayah anak daro memercikkan air dengan daun pandan kepada anak daro ....................................................
58
Gambar 3.7 Ibu marapule memercikkan air dengan daun pandan kepada marapule .................................................................
58
Gambar 3.8 Kerabat dekat memercikkan air dengan daun pandan kepada marapule ................................................................. 59
Gambar 3.9 Proses upacara bakonde dibantu oleh dua induk inang ......... 60
Gambar 3.10 Rambut bagian depan anak daro dipotong sedikit oleh ibu kandung anak daro ..............................................................
60
Gambar 3.11 Upacara mandi limo dilakukan oleh bapak kandung anak daro ............................................................................
61
Gambar 3.12 Persiapan upacara mangarak marapule menuju rumah anak daro ............................................................................
62
Gambar 3.13 Suasana pengarakan marapule bersama rombongan ............ 62
Gambar 3.14 Pertunjukan galombang XII dilakukan antara pihak marapule dan anak daro ......................................................
63
Gambar 3.15 Tari rande disajikan di hadapan marapule ........................... 64
Gambar 3.16 Suasana upacara akad nikah di rumah anak daro ................. 64
Gambar 3.17 Anak daro dan ibu-ibu keluarga anak daro mengaraknya .... 65
Gambar 3.18 Malam basikambang dilaksanakan di rumah anak daro ....... 66
Gambar 3.19 Dampeng mangarak dimulai saat marapule dan rombongan 75
xviii
keluarga marapule memulai keberangkatannya ...................
Gambar 3.20 Penyajian dampeng barande diiringi dengan tari rande ....... 77
Gambar 3.21 Marapule melangkah menuju pelaminan anak daro dengan diiringi dampeng basanding ....................................
78
xix
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Sistem Kekerabatan Patrilineal Suku Pesisir
Kota Sibolga ................................................................ 35
Bagan 2.2 Sistem Baso Suku Pesisir Kota Sibolga ................................ 36
xx
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Suku ......................................... 33
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Suku1 Pesisir merupakan salah satu suku yang secara administratif berada
di wilayah Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Di Kota Sibolga, suku
ini mendiami sebagian besar daerah pinggiran pantai dan sebagian kecil daerah
pegunungan yang terdapat dalam empat bagian wilayah kecamatan. Daerah
pinggiran pantai terdiri dari Kecamatan Sibolga Selatan dan Sibolga Kota.
Sedangkan daerah pegunungan terdiri dari Kecamatan Sibolga Utara dan Sibolga
Sambas. Mereka berasal dari keturunan beberapa suku, seperti Minangkabau,
Batak Toba, Mandailing, Angkola dan Melayu yang berinteraksi dan membentuk
adat-istiadatnya sebagai identitas baru (Takari 2008:124).
Setiap suku di seluruh Nusantara mempunyai adat-istiadat yang berbeda
satu dengan lain. Hal ini juga berlaku pada Suku Pesisir. Adat-istiadat tercipta
melalui gabungan gagasan dan mengandung norma berupa aturan-aturan yang
berfungsi sebagai pengatur tingkah laku dan perbuatan. Penciptaan tersebut
berhubungan erat dengan norma-norma dalam agama Islam. Suku Pesisir Sibolga
menyebutnya dengan istilah sumando.
1Suku dalam tulisan ini adalah memiliki makna yang sama atau hampir sama dengan
etnik, kelompok etnik, atau suku bangsa. Yang dimaksud suku adalah sekelompok manusia yang dipandang memiliki hubungan genelaogis secara umum sama pada awalnya, kemudian mereka memiliki bahasa dan kebudayaan yang sama, yang dipandang sebagai sebuah kelompok etnik sendiri yang mandiri, baik oleh etnik di luar mereka atau oleh mereka sendiri. Untuk dapat memahami siapakah orang Pesisir, yang menjadi pendukung seni dampeng dalam skripsi ini, maka sebelumnya dijelaskan pengertian kelompok etnik (ethnic group). Naroll memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Naroll 1965:32).
2
Sumando memiliki beberapa pengertian dalam Suku Pesisir. Menurut
Pasaribu, sumando adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan Suku Pesisir,
meliputi adat-istiadat Pesisir, kesenian Pesisir, bahasa Pesisir, makanan Pesisir,
dan lain-lain (dalam Sitompul 2013:3). Sumando juga dapat diartikan sebagai
suatu pertambahan dan percampuran antara satu keluarga dengan keluarga lain
diikat dengan pernikahan menurut agama Islam dan dikukuhkan dengan adat
Pesisir (Radjoki 2012:29). Selain itu, sumando merupakan sebuah lembaga adat
yang memberikan status pengakuan pada suatu perkawinan yang
melaksanakannya sesuai dengan tata aturan yang berlaku.2 Dengan demikian,
sumando merupakan gabungan gagasan dan tindakan yang terwujud dalam
aktivitas.
Aktivitas-aktivitas tersebut dikategorikan sebagai upacara-upacara adat
sumando. Pelaksanaan upacara adat sumando merupakan “campuran” dari hukum
Islam, adat Minangkabau, dan Batak (Sitompul 2013:9). Hal ini menunjukkan
bahwa setiap upacara adat sumando bersifat sakral dan penting. Upacara adat
sumando meliputi siklus kehidupan suatu individu, antara lain upacara adat
perkawinan, kehamilan (manuju bulan), turun tanah (turun karai), sunat Rasul
(khitanan), membangun atau menempati rumah baru, upa-upa sumangek,
penyambutan tamu, dan kematian atau pengebumian.
Upacara adat perkawinan Suku Pesisir melibatkan aspek adat dan agama.
Upacara ini dapat dilihat di Kota Sibolga setiap minggunya. Umumnya, upacara
adat perkawinan dan akad nikah dilaksanakan pada hari sabtu. Sedangkan resepsi
perkawinan dilaksanakan pada hari Minggu. Penulis yang lahir di Kota Sibolga,
sejak kecil telah melihat resepsi perkawinan Suku Pesisir secara jelas, tetapi
2Hasil wawancara penulis dengan Bapak Khairil Hasni. Beliau adalah seorang musisi Sikambang. Wawancara ini dilaksanakan pada tanggal 14 Maret 2014 di Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah.
3
penulis belum mengetahui bagaimana proses upacara adat perkawinan Suku
Pesisir dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya intensitas pemakaian
suatu perkawinan Suku Pesisir dengan melaksanakan adat sumando.
Menurut adat sumando, upacara adat Perkawinan Suku Pesisir dibagi
dalam dua jenis gala, yaitu gala IX dan gala XII. Gala merupakan gelar yang
ditentukan dalam upacara adat perkawinan pengantin dan berkenaan dengan
seluruh syarat perlengkapan upacara adat perkawinan. Gala lazimnya dibicarakan
dan disepakati bersama oleh pihak pengantin laki-laki, pengantin perempuan,
kepala desa, dan pemuka adat dalam upacara adat mengantar uang (mangata
kepeng). Gala IX dipakai apabila kedua pihak pengantin menghias rumah
pengantin perempuan dengan 9 warna selendang dan menyembelih kambing.
Sedangkan gala XII dipakai apabila kedua pihak pengantin menghias rumah
pengantin perempuan dengan 12 warna selendang dan menyembelih lembu.
Selendang dan penyembelihan hewan memiliki makna dalam upacara adat
perkawinan Suku Pesisir. Selendang bermakna untuk mempersatukan
keberagaman masyarakat Pesisir yang berlatar belakang dari beberapa suku
seperti, Batak Toba, Melayu, Mandailing, Angkola, dan Minangkabau yang
dilambangkan oleh persatuan warna-warna yang terdapat dalam latar belakang
suku-suku tersebut di atas. Sedangkan penyembelihan hewan bermakna
menunjukkan status golongan dari masyarakat Suku Pesisir yang melangsungkan
upacara adat perkawinan tersebut.
Pada tanggal 15 Maret 2014 lalu, penulis mendapat informasi tentang
adanya pelaksanaan perkawinan Suku Pesisir dengan adat sumando melalui
informan kunci. Penulis tertarik untuk mengenal dan mengetahui pelaksanaan
sumando dengan gala IX atau gala XII yang dilaksanakan dalam perkawinan
4
Suku Pesisir. Hal itu disebabkan oleh pelaksanaan upacara adat Perkawinan
sumando dengan gala IX atau XII turut melibatkan kesenian Pesisir.
Kesenian Pesisir dikenal dengan istilah kesenian sikambang. Kesenian
sikambang terdapat dalam tahap puncak pelaksanaan upacara adat perkawinan.
Kesenian tersebut meliputi musik instrumental, musik vokal, dan tari. Musik
instrumental disebut dengan alat musik yaitu permainan repertoar-repertoar
ansambel sikambang. Musik vokal disebut dengan lagu meliputi lagu kapulo
pinang, lagu dampeng, lagu kapri, lagu duo, dan lagu sikambang. Sedangkan tari
meliputi tari saputangan, tari payung, tari selendang, tari barande, dan tari anak.
Kesenian ini dibawakan oleh para seniman-seniman yang berasal dari masyarakat
Suku Pesisir. Secara umum, seniman kesenian sikambang berumur 40-50 tahun.
Salah satu peranan kesenian sikambang tertuang dalam upacara adat perkawinan
Suku Pesisir.
Pada suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kelurahan Pasar
Belakang Kota Sibolga pada tanggal 15 Maret 2014 yang lalu juga, penulis
melihat sekelompok laki-laki yang merupakan seniman kesenian sikambang.
Fakta yang penulis dapat yaitu mereka berasal dari 3 domisili daerah dan grup
yang berbeda, yaitu grup Nyiur Melambai dari kecamatan Badiri, Kabupaten
Tapanuli Tengah, grup Kesenian Sikambang Sepakat Bersama (KSSB) dari
Kecamatan Sorkam, Kabupaten Tapanuli Tengah dan grup Rajo Janggi dari
Kecamatan Sibolga Selatan, Kota Sibolga. Dari wawancara itu, penulis ingin
mengenal dan mengetahui tentang seniman sikambang Pesisir dari 3 domisili
daerah.
Menurut Ahmad Aritonang, seorang anggota grup Rajo Janggi, biasanya
dalam suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga, grup seniman
5
kesenian sikambang Pesisir Kota Sibolga dipanggil secara khusus dalam suatu
upacara adat perkawinan. Namun saat upacara adat tersebut, kedua grup lainnya
dipanggil dan digabungkan karena jumlah seniman grup Rajo Janggi semakin
berkurang dan kurangnya kemampuan dalam menyajikan kesenian sikambang
dengan jumlah penyaji yang terbatas.
Selain itu, menurut Bapak Syahriman Hutajulu, penyajian kesenian
sikambang juga telah sering ditiadakan atau tidak dilaksanakan secara
keseluruhan dalam suatu upacara adat perkawinan. Hal itu terjadi atas dasar
permintaan dan kesepakatan bersama antara pihak keluarga pengantin laki-laki
dan perempuan dengan pemuka adat dan kepala desa.
Kesenian sikambang baik nyanyian, musik iringan, tarian, maupun aspek
sosial yang terdapat di dalam sumando menarik perhatian penulis. Dari
wawancara itu, penulis ingin mengenal dan memahami lebih jauh lagi tentang
dampeng. Dampeng merupakan bagian kesenian sikambang dan bagian adat
perkawinan Suku Pesisir. Dampeng berperan penting dalam upacara adat
perkawinan Suku Pesisir. Namun, pelaksanaan dampeng berintensitas rendah
dalam setiap perhelatan upacara adat perkawinan.
Dampeng adalah nyanyian tanpa iringan instrumen (a capella). Menurut
adat sumando, dampeng dinyanyikan oleh sekelompok laki-laki. Penyaji dampeng
terdiri dari 7 sampai 12 orang. Penyaji tersebut merupakan seniman sikambang
yang dipanggil secara khusus untuk menyajikan dampeng. Namun kini, penyaji
dampeng dalam suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga
tidak dibatasi jumlahnya. Hal ini didasarkan pada kemampuan ekonomi dan
kesepakatan keluarga kedua pengantin dalam melaksanakan upacara adatnya.
6
Mereka biasanya terbagi dalam dua bagian kelompok yakni pemimpin
dampeng (solo leader) yang dilakukan secara bergantian dan yang lainnya
menjadi perespon nyanyian (group chorus). Dalam penyajiannya, dampeng
dibawakan dengan gaya responsorial (call and response). Selain itu, dampeng
merupakan nyanyian dengan bentuk melodi yang sama tetapi dengan teks
nyanyian yang baru (strophic).
Teks dampeng berisikan nasihat-nasihat atau pengalaman-pengalaman
yang diambil dari proses kehidupan Suku Pesisir. Teks tersebut dinyanyikan
dalam bentuk pantun yang bersahut-sahutan. Isi teks dampeng disampaikan dan
ditujukan kepada kedua pengantin, orang tua kedua pengantin, dan undangan yang
hadir dalam upacara.
Dalam suatu upacara adat perkawinan, dampeng akan disajikan pada dua
tahap, yaitu (1) tahap memberangkatkan pengantin laki-laki (marapule) dan pihak
keluarga pengantin laki-laki untuk memulai acara mengarak pengantin laki-laki
dari rumahnya menuju rumah pengantin perempuan (anak daro) dalam menjalani
akad nikah (mangarak marapule) dan (2) mengantarkan pengantin laki-laki dari
pelaminannya menuju pelaminan pengantin perempuan untuk menyandingkan
kedua pengantin (mampelok tampek basanding).
Dalam tahap mangarak marapule, dampeng disajikan pada siang hari dan
dibawakan pada dua bagian acara, yaitu (1) dampeng mangarak dinyanyikan pada
saat pengantin laki-laki diberangkatkan menuju rumah pengantin perempuan, (2)
dampeng barande dinyanyikan pada saat tari rande ditampilkan di depan
pengantin laki-laki dan orangtua pengantin laki-laki sebelum menjalani acara akad
nikah. Sedangkan dalam tahap mampelok tampek basanding, (3) dampeng
basanding disajikan di dalam rumah pengantin perempuan pada malam hari
7
dalam acara malam kesenian sikambang.3 Dampeng merupakan bagian dari
upacara adat perkawinan Suku Pesisir yang khusus disajikan apabila kedua
pengantin menentukan dan memilih adat gala IX atau gala XII.
Berdasarkan penentuan gala, dampeng akan dibawakan sesuai dengan
jumlah gala yang dimilikinya, yaitu gala IX atau gala XII. Apabila upacara adat
perkawinan tersebut menggunakan gala IX, maka dampeng akan dibawakan
sebanyak 9 kali dalam setiap tahap upacara. Demikian pula dengan gala XII,
dampeng akan dinyanyikan sebanyak 12 kali dalam setiap tahap upacara, baik
upacara mangarak marapule maupun upacara mampelok tampek basanding.
Penyajian dampeng dalam tahap mangarak marapule memiliki satu
aturan, yakni dampeng mangarak dan dampeng barande harus dibawakan dengan
hitungan ganjil. Hal ini terlihat melalui penyajian dampeng mangarak dibawakan
sebanyak 5 kali dan dampeng barande dibawakan sebanyak 7 kali. Selanjutnya,
penyajian dampeng basanding dalam tahap mampelok tampek basanding
dibawakan sebanyak 12 kali.
Namun sekarang ini telah dijumpai suatu upacara adat perkawinan gala
XII yang menyimpang dari syarat-syarat yang ditentukan. Misalnya,
penyembelihan lembu digantikan dengan ayam dan pemasangan selendang
berkurang jumlahnya dari 12 warna. Selain itu, penyajian dampeng telah
dilaksanakan secara tidak menyeluruh dalam suatu upacara adat perkawinan.
Berdasarkan pengamatan penulis, dalam beberapa upacara perkawinan dampeng
hanya dibawakan dalam tahap mampelok tampek basanding atau tahap mangarak
marapule.
3Hasil wawancara penulis dengan Pak Khairil Hasni pada tanggal 14 Maret 2014 dan
pengamatan penulis pada upacara adat perkawinan Suku Pesisir pada tanggal 15 Maret 2014 di Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga.
8
Pemahaman akan aspek-aspek tersebut akan memberikan suatu
pemahaman makna-makna yang terkandung dalam upacara adat perkawinan Suku
Pesisir. Makna-makna tersebut terpendam dalam masyarakatnya, adat-istiadatnya,
senimannya, dan kebudayaan musikalnya. Melalui pemahaman itu, penulis akan
melakukan penelitian yang dapat menjadi wawasan, pengayaan referensi, dan
pengenalan tentang kebudayaan Suku Pesisir.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, dampeng mencakup empat
aspek yang menarik perhatian penulis, yakni (1) struktur melodi dampeng sebagai
musik vokal Suku Pesisir; (2) makna teks dampeng yang disajikan untuk kedua
pengantin pada upacara adat perkawinan Suku Pesisir Kota Sibolga; (3) proses
penyajian dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga;
dan (4) proses upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga.
Keempat hal ini sangat relevan untuk dikaji secara etnomusikologis
sebagai bidang keilmuan yang penulis geluti selama empat tahun terakhir ini. Apa
yang dimaksud etnomusikologi itu adalah seperti berikut ini:
Ethnomusicology is the study of music in its cultural context. Ethnomusicologists approach music as a social process in order to understand not only what music is but why it is: what music means to its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed.
Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working field may have training in music, cultural, anthropology, folkore, performance studies, dance, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in the humanities, and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods: (1) Taking a global approach to music (regardless of area of origin, style, or genre). (2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is shaped by its cultural context). (3) Engaging in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music being studied, frequently gaining facility in another music tradition as a performer or theorist), and historical research.
Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to all elements of social life. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural
9
study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, disciplinary approaches, and methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may promote and document music traditions or participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution, medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicolo-gists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and other institutions that promote the appreciation of the world’s musics. http://www.ethnomusicology.org/ ?page= whatisethnomusicology
Dari kutipan dalam situs web etnomusikologi.org tersebut, maka dapat
dipahami bahwa etnomusikologi adalah studi musik dalam konteks budayanya.
Etnomusikolog biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial
untuk memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik
dan khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut.
Etnomusikologi sangat interdisipliner. Para ilmuwan yang bekerja di
lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik, ilmuwan
antropologi budaya, cerita rakyat, kajian pertunjukan, tari, studi budaya, studi
gender, studi ras atau etnik, studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmu-
ilmu humaniora dan sosial. Namun, semua etnomusikolog berbagi landasan yang
koheren dalam pendekatan dan metodenya, seperti berikut: 1) Mengambil
pendekatan global untuk musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau genre). 2)
Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia
yang dibentuk oleh konteks budaya). 3) Melakukan penelitian lapangan etnografi
(berpartisipasi aktif dalam mengamati musik yang sedang dipelajari, mengkaji
tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli teori sekeligus), dan penelitian
sejarah musik.
Etnomusikolog aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka
belajar musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua
10
elemen kehidupan sosial. Sebagai pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia,
musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus
(misalnya, tradisi musik sakral, musik dan politik, mengajarkan pendekatan
disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan dalam budaya
masyarakat. Bermitra dengan komunitas musik yang mereka pelajari,
etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi
atau berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya,
penyelesaian konflik, pengobatan, pemrograman seni, atau komunitas musik.
Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya, rekaman label, dan
lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia. Dengan demikian,
kerja keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa
itu etnomusikologi seperti tersebut di atas.
Melalui empat hal yang telah penulis tentukan dalam seni dampeng ini,
maka akan dapat menjelaskan kepada kita tentang struktur melodi dan makna
teks dampeng serta rangkaian upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota
Sibolga. Berdasarkan rumusan masalah dan beberapa alasan yang menarik
perhatian penulis di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: menganalisis
dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga, sehingga
mendapatkan dan memberikan makna yang terkandung dalam dampeng terhadap
Suku Pesisir Kota Sibolga. Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penulis
memfokuskan penelitian pada dampeng dan menuliskannya dalam karya ilmiah
dengan judul: Analisis Musikal dan Tekstual Dampeng pada Upacara Adat
Perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga.
11
1.2 Pokok Masalah
Berdasarkan uraian dan penjelasan latar belakang di atas, penulis
menentukan dua pokok masalah untuk membatasi wilayah pembahasan. Adapun
pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah struktur melodi dampeng yang disajikan dalam upacara
adat perkawinan Suku Pesisir di Kelurahan Pasar Belakang, Kota Sibolga?
2. Apakah makna teks dampeng yang disajikan dalam upacara adat
perkawinan Suku Pesisir di Kelurahan Pasar Belakang, Kota Sibolga?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Melalui penyusunan skripsi ini, penulis menentukan tujuan dan
memperoleh manfaat penelitian. Berikut ini, penulis menguraikan tujuan dan
manfaat penelitian sesuai dengan latar belakang dan pokok masalah yang telah
dipaparkan sebelumnya.
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui struktur melodi dampeng dalam upacara adat
perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga.
2. Untuk mengetahui makna teks dampeng dalam upacara adat perkawinan
Suku Pesisir di Kota Sibolga.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
12
1. Sebagai modal awal bagi penulis untuk mengasah dan membekali kemampuan
selaku mahasiswi Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara.
2. Sebagai dokumentasi kebudayaan Suku Pesisir Kota Sibolga dan secara
khusus dapat memotivasi generasi muda Suku Pesisir Kota Sibolga.
3. Sebagai informasi dan catatan kebudayaan bagi Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kota Sibolga.
4. Sebagai sumber bacaan yang dapat memberikan informasi tentang kebudayaan
Suku Pesisir di Perpustakaan Umum Kota Sibolga.
5. Sebagai sumber referensi bagi peneliti lain yang memiliki keterkaitan judul
penelitian dengan dampeng.
1.4 Konsep dan Teori
Melalui konsep dan teori, penulis diarahkan dan difokuskan untuk
memperoleh gambaran tentang objek penelitian dan memecahkan pokok
permasalahan yang telah ditentukan. Selain itu, konsep dan teori juga berfungsi
sebagai pedoman dan dasar untuk mencari dan melengkapi data-data yang
dibutuhkan.
1.4.1 Konsep
Konsep menurut R. Merton (dalam buku Koetjaraningrat 1983:21)
merupakan definisi dari apa yang perlu diamati; konsep menentukan antara
variabel-variabel mana kita ingin menentukan adanya hubungan empiris.
Sedangkan Koentjaraningrat (2009:85) mengatakan bahwa, konsep merupakan
penggabungan dan perbandingan bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan
bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan asas-
13
asas tertentu secara konsisten. Berdasarkan pengertian di atas, penulis
menggambarkan hubungan beberapa konsep yang berkaitan dengan tulisan ini
melalui definisinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008:58), kajian
atau analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Berpedoman dengan
definisi di atas, kata analisis dalam tulisan ini berarti hasil penguraian dan
penelaahan objek penelitian. Melodi dan teks dampeng yang diperoleh sebagai
inti penelitian diuraikan dan ditelaah untuk mendapat pengertian dan pemahaman
tentang dampeng secara keseluruhan.
Musik dalam Oxford Universal Dictionary Third Edition
(Merriam1964:27) didefinisikan sebagai berikut: That one of the fine arts which is
concerned with the combination of sounds with a view to beauty of form and the
expression of thought or feeling. Artinya secara harfiah adalah salah satu bagian
seni murni yang meliputi kombinasi bunyi-bunyian dengan suatu pandangan
dalam memperindah bentuk dan ekspresi hasil pikiran atau perasaan.
Selain itu, musik diartikan American College Dictionary Text Edition
(Merriam 1964:27) sebagai: An art of sound in time which expresses ideas and
emotions in significant forms through the elements of rhythm, melody, harmony,
and color. Definisinya secara harfiah yakni suatu seni bunyi dalam waktu yang
bersamaan mengungkapkan berbagai ide dan emosi dengan bentuk-bentuk yang
berarti melalui elemen-elemen dari ritme, melodi, harmoni, dan warna.
Berdasarkan dua pengertian musik di atas, dapat disimpulkan bahwa musikal
adalah suatu hal yang berkaitan dengan hasil pikiran dan perasaan di mana
14
mengandung kombinasi bunyi-bunyian (ritme, melodi, harmoni, dan warna) dan
berbagai ide serta emosi.
Dampeng pada upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga
dapat penulis nyatakan sebagai objek kajian Etnomusikologi, karena terbentuk
dari bunyi-bunyian, emosi, struktur, dan bentuk dan diklasifikasikan sebagai
nyanyian. Selain itu, dampeng juga mengandung elemen melodi, ritme, harmoni,
dan tekstur. Berdasarkan seluruh pemaparan di atas, tulisan ini membahas tentang
struktur musik dampeng yang difokuskan pada melodi.
Melodi menurut Michael Pilhofer and Holly Day (2007:219) dalam buku
Music Theory for Dummies, adalah sebagai berikut: The melody is the part of the
song we can’t get out of our heads. The melody is the lead line of a song, the part
that the harmony is built around, and the part of the song that gives as much
glimpse into the emotion of a piece as the rhythm does. Artinya secara harfiah
yaitu melodi adalah bagian dari lagu di mana kita tidak dapat melepaskannya dari
kepala kita. Melodi adalah garis awal dan akhir dari sebuah lagu, bagian yang
membangun harmoni, dan bagian dari lagu yang memberikan banyak pengenalan
ke dalam suatu emosi sebagaimana ritme juga.
Kebudayaan musik dunia mengandung unsur-unsur musikal secara murni.
Unsur-unsur musikal tersebut meliputi nada, ritme, harmoni, tekstur, dan bentuk.
Namun, unsur-unsur musikal terbentuk bersama berbagai unsur lainnya. Berbagai
unsur lainnya memiliki peranan dan tujuan yang sama. Mereka terlibat dan
mendukung unsur-unsur musikal.
Bahasa merupakan salah satu unsur pendukung kebudayaan musik dunia.
Bahasa dapat dikatakan sebagai jembatan yang mengantarkan proses
penyampaian suatu kebudayaan musik, baik dalam seni pertunjukan maupun
15
pertunjukan kultural. Dengan demikian, bahasa menjadi sarana komunikasi lisan
dalam setiap pertunjukan seni. Bahasa dalam pertunjukan seni sering disebut
sebagai teks.
Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan
dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, bahan tertulis untuk dasar
memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi keempat 2008:1474). Dari definisi teks di atas, tekstual berarti hal
yang berikatan dengan suatu teks. Teks mengacu pada syair-syair dampeng yang
disajikan dalam bentuk pantun. Dalam tulisan ini, penulis menganalisis makna
teks yaitu berupa naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang dampeng.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008:1595), ada
3 pengertian upacara, yaitu (1) tanda-tanda kebesaran; (2) peralatan (menurut
adat-istiadat); tingkah laku atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan tertentu
menurut adat atau agama; dan (3) perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau
diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. Berdasarkan 3 pengertian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa upacara adalah perayaan yang diadakan
sehubungan dengan peristiwa penting dan sakral yang terikat pada aturan-aturan
tertentu menurut adat atau agama.
Menurut Koentjaraningrat (2009:93), adat merupakan seluruh
pengetahuan, gagasan, dan konsep yang dianut oleh sebagian besar warga suatu
masyarakat. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat
(2008:58), ada 2 pengertian adat yakni: (1) aturan yang lazim diturut atau
dilakukan sejak dahulu kala; (2) kebiasaan; cara yang sudah menjadi kebiasaan.
Berpedoman pada 2 pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adat
16
adalah aturan dan kebiasaan yang lazim dilakukan berdasarkan gabungan
pengetahuan, gagasan, dan konsep yang dianut oleh suatu masyarakat.
Adat dalam Suku Pesisir disebut dengan istilah adat sumando. Adat
sumando Pesisir memiliki beberapa konsep pengertian. Sumando dapat diartikan
sebagai kebudayaan Pesisir meliputi keseluruhan aspeknya, baik adat istiadat,
kesenian, bahasa, dan makanan. Sumando dapat mengacu pada panggilan untuk
setiap pemuda yang menikah dengan pemudi Pesisir. Selain itu, sumando juga
merupakan pertambahan dan percampuran antara satu keluarga dengan keluarga
lain diikat dengan pernikahan menurut Agama Islam dan dikukuhkan dengan adat
Pesisir. Dengan demikian, sumando adalah lembaga adat yang memberikan status
pengakuan pada suatu upacara yang melaksanakannya sesuai dengan tata aturan
yang berlaku.
Menurut Djojodigoeno (dalam Koentjaraningrat 2009:119), suku
merupakan suatu masyarakat yang terdiri dari warga suatu kelompok kekerabatan.
Sedangkan suku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008:58)
adalah golongan orang-orang (keluarga) yg seturunan; suku sakat; golongan
bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar; golongan orang sebagian dari
kaum yang seketurunan. Berdasarkan pengertian di atas, penulis menyimpulkan
bahwa, suku merupakan suatu masyarakat hidup berdampingan yang terdiri dari
golongan kelompok yang seturunan, bangsa, dan kekerabatan serta mempunyai
rasa identitas yang sama.
Pesisir adalah suatu masyarakat yang hidup berdampingan dengan
melaksanakan sistem, aktivitas adat tertentu sebagai gabungan golongan
kelompok yang seturunan, bangsa, dan kekerabatan serta rasa identitas yang
sama. Menurut Takari dkk. (dalam Sitompul 2013:2) menyatakan bahwa
17
kebudayaan masyarakat Pesisir adalah merupakan melting pot (creole) antara
keturunan beberapa kelompok etnik, seperti: Minangkabau, Batak Toba,
Mandailing, Angkola, dan Melayu. Namun, secara mendalam seseorang dikenal
dan diidentitaskan sebagai masyarakat pendukung Suku Pesisir apabila ia
melakukan, melaksanakan dan mengikuti sumando Pesisir, yaitu: 1) adat Pesisir;
2) kesenian Pesisir; 3) bahasa Pesisir; dan 4) makanan Pesisir (Radjoki 2012:29).
Ada 6 tahap proses upacara adat perkawinan Suku Pesisir, yaitu (1) risik-
risik atau sirih tanyo; (2) marisik; (3) maminang; (4) manganta kepeng atau
batunangan; (5) mato karajo; dan (6) balik ari atau tapanggi (dalam Sitompul
2013:62).
Koentjaraningrat (1989:92) menyatakan bahwa perkawinan merupakan
salah satu tahap dalam siklus hidup manusia. Tahap-tahap yang ada di sepanjang
hidup manusia seperti masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertas,
masa sesudah menikah, masa tua, dan sebagainya. Perkawinan juga merupakan
media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan
jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan
yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat kesukuan
perkawinan dianggap sebagai alat agar seorang mendapat status yang lebih diakui
ditengah kelompoknya.
Berdasarkan pengertian di atas, pelaksanaan upacara adat perkawinan
Suku Pesisir di Kota Sibolga merupakan media budaya agar masyarakat Suku
Pesisir mendapat status yang lebih diakui ditengah kelompoknya. Hal tersebut
tercermin dalam pelaksanaan sumando dalam setiap perkawinan Suku Pesisir di
Kota Sibolga. Selain itu, perkawinan juga menandakan bahwa sudah terlewatinya
satu bagian dari siklus hidupnya.
18
1.4.2 Teori
Teori merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ilmiah.
Kerlinger (dalam Sugiono 2009:79), mengemukakan bahwa: Theory is a set of
interrelated construct (concepts), definitions, and proposition that present a
systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with
purpose of explaining and predicting the phenomena.
Artinya secara harafiah, teori adalah sebuah rangkaian hubungan konsep,
definisi, dan proposisi yang menunjukkan suatu urutan yang sistematis dari
fenomena dengan menggambarkan hubungan antara banyak variabel, dengan
tujuan menjelaskan dan memprediksikan fenomena tersebut. Dengan ini, penulis
menggunakan teori untuk membahas dan menjawab pokok permasalahan.
Untuk mengetahui sistem upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota
Sibolga, penulis berpedoman pada sistem upacara keagamaan yang menjadi
perhatian dari para ahli antropologi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat
(2009:296), yakni secara khusus mengandung empat aspek: (1) tempat upacara
dilakukan; (2) saat-saat upacara dijalankan; (3) benda-benda dan alat upacara; dan
(4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Setiap kebudayaan musik dunia memiliki sistem-sistem musik yang
berbeda. Karena kebudayaan musik dunia dikerjakan dengan cara yang tidak sama
oleh setiap pendukung kebudayaan (Nettl 1977:3). Sistem-sistem musik tersebut
dapat berupa teori, penciptaan, pertunjukan, pendokumentasian, penggunaan,
fungsi, pengajaran, estetika, kesejarahan, dan lain-lain.
Salah satu sistem yang terlihat jelas dalam suatu kebudayaan musik dunia
adalah pengajarannya yang diwariskan dari mulut ke mulut (oral tradition) (Nettl
1973:3). Dengan demikian pewarisan kebudayaan melalui mulut ke mulut dapat
19
menciptakan hasil kebudayaan musik yang berbeda dari setiap generasi. Hal ini
tentu dapat dijadikan sebagai hal yang menarik untuk diteliti dan harus diketahui
tentang materi-materi lisan dan variasi ragam musik yang menggunakan istilah-
istilah ideal dari suatu kebudayaan musik itu sendiri.
Tradisi lisan dalam pewarisan kebudayaan musik menciptakan berbagai
ragam variasi musik dan materi-materi lisan. Dampeng merupakan bagian dari
pewarisan musik vokal Suku Pesisir yang tercipta bersamaan dengan perubahan
waktu dan lingkungan sebagai konsekuensi dari tradisi lisan. Selain itu, generasi
pewaris dampeng juga menambahkan ragam baru melalui bakat musikalitas dan
semangat yang menambah keindahan bunyi dampeng.
Suatu kebudayaan musik mengandung tiga level analisis, antara lain
konseptualisasi tentang musik, perilaku yang berhubungan dengan musik, dan
bunyi musik itu sendiri (Merriam 1964: 32). Dalam hal ini, peneliti memilih
analisisi level ketiga yaitu bunyi musik itu sendiri. Merriam menyatakan bahwa
bunyi mempunyai struktur dan merupakan sebuah sistem. Berdasarkan pernyataan
di atas, peneliti melakukan analisis struktur bunyi musik yaitu struktur melodi
dampeng dalam kebudayaan musik Suku Pesisir.
Dalam menganalisis struktur melodi dampeng penulis berpedoman pada
teori weighted scale (bobot tangga nada) yang dikemukakan oleh William P.
Malm. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu (1)
tangga nada (scale); (2) nada dasar (pitch center); (3) wilayah nada (range); (4)
jumlah nada (frequency of notes); (5) jumlah interval (prevalent intervals); (6)
pola kadensa (cadence patterns); (7) formula melodik (melodic formulas); dan (8)
kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993:13).
20
Selain itu, untuk mendukung teori weighted scale (bobot tangga nada)
digunakan juga cara mendeskripsikan musik (description of musical
compositions) yang dikemukakan oleh Bruno Nettl. Hal-hal yang patut
diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi dampeng, yaitu (1) tonalitas, (2)
ritme, (3) bentuk, (4) tempo, dan (5) kontur melodi (1964:1450-1550).
Untuk membantu proses analisa struktur melodi dampeng, penulis
menggunakan metode transkripsi. Transkripsi merupakan proses menotasikan
bunyi yang didengar dan mengalihkan bunyi menjadi simbol visual. Dalam
menyelesaikan transkripsi, penulis berpedoman pada notasi musik yang
dikemukakan oleh Seeger (1967), yaitu notasi preskriptif dan deskriptif. Notasi
preskriptif merupakan notasi yang dimaksudkan sebagai alat pembantu untuk
penyaji supaya dapat menyajikan komposisi musik. Sedangkan notasi deskriptif
adalah notasi yang dimaksudkan untuk menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail
komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menggunakan notasi deskriptif
dalam pembahasan transkripsi melodi dampeng. Hal ini didasari oleh tujuan
notasi deskriptif yang menyampaikan informasi tentang dampeng secara jelas dan
mendetail, sehingga harapan komponis dampeng dapat diungkapkan.
Salah satu sumber daya untuk dapat memahami perilaku manusia melalui
hubungannya dengan musik adalah teks. Meskipun teks adalah perilaku bahasa,
tetapi bunyi musik dan teks merupakan satu bagian integral dalam musik
(Merriam 1964:187). Dalam musik vokal dampeng, teks merupakan karakteristik
penting lainnya, di mana melodi dampeng yang sama dinyanyikan dengan teks
yang berbeda-beda (strophic).
21
Studi teks juga memberikan kesempatan dalam menemukan hubungan-
hubungan antara aksen bahasa dan aksen musik sebagai reaksi musikal (Nettl
1977:9). Untuk menganalisa struktur teks dampeng, penulis berpedoman pada
teori William P. Malm. Dalam buku terjemahan Music Culture of the Pasific, the
Near East, and Asia, ia menyatakan bahwa dalam musik vokal, hal sangat penting
diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Apabila setiap nada
dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis. Sebaliknya
bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatik.
Dalam mendalami makna-makna teks dalam dampeng, penulis
menggunakan teori semiotik. Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai
lambang yang dikomunikasikan. Istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani,
semeion. Panuti Sudjiman dan van Zoest (dalam Bakar 2006:45-51) menyatakan
bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih
besar. Menurut Ferdinand de Saussure (perintis semiotika dan ahli bahasa),
semiotik adalah the study of “the life of signs within society”.
Secara harafiah dapat diartikan dengan studi dari tanda-tanda kehidupan
dalam masyarakat. Selain itu, teori pendekatan semiotik sosial (social semiotics)
yang diperkenalkan oleh Halliday juga menyatakan bahwa bahasa adalah sistem
arti dan sistem lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti
tersebut. Berdasarkan pengertian di atas, kedua teori di atas akan mengarahkan
penulis untuk menganalisis makna tersurat dan tersirat dampeng di balik
penggunaan lambang dalam kehidupan Suku Pesisir di Kota Sibolga.
22
1.5 Metode Penelitian
Menurut Koetjaraningrat (2009:35), metode ilmiah dari suatu pengetahuan
merupakan segala cara yang digunakan dalam ilmu tersebut, untuk mencapai
suatu kesatuan. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu
pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip
dengan sabar, hati-hati, dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis
2006:24). Jadi, metode penelitian adalah segala cara yang digunakan untuk
memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sistematis untuk mewujudkan
kebenaran dan kesatuan pengetahuan. Dalam melaksanakan penelitian, penulis
menggunakan metode kualitatif yang bersifat mengumpulkan, mengkhususkan,
dan menerangkan data dengan penguraian makna-makna.
1.5.1 Studi Pustaka
Koetnjaraningrat (2009:35) menyatakan bahwa studi pustaka bersifat
penting karena membantu penulis untuk menemukan gejala-gejala dalam objek
penelitian. Melalui studi pustaka, penulis sebagai peneliti awam diperkaya dengan
informasi-informasi pendukung awal dalam berbagai sumber buku yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
Dalam ilmu Etnomusikologi, ada dua sistem kerja dalam penelitian, yaitu
desk work (kerja laboratorium) dan field work (kerja lapangan). Studi kepustakaan
tergolong ke dalam kerja laboratorium. Di mana sebelum melakukan penelitian,
peneliti mengumpulkan data-data dan merangkum data-data yang telah didapat.
Kerja ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti saat terjun ke lapangan.
Selain itu, penulis dipersiapkan dan diarahkan untuk melakukan penelitian
lapangan.
23
Studi kepustakaan juga membantu penulis dalam menemukan data-data
yang berhubungan dengan kinerja dan pengembangan tulisan ini. Tahap awal
yang penulis lakukan dalam studi kepustakaan adalah melakukan studi
kepustakaan dengan cara mempelajari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan
objek pembahasan. Selanjutnya, penulis mencari dan mengumpulkan informasi
dan referensi dari skripsi yang ada di Departemen Etnomusikologi. Penulis juga
mempelajari bahan lain seperti buku dari Badan Perpustakaan, Arsip dan
Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara, Dinas Pariwisata Kota Sibolga, dan
artikel-artikel lainnya yang mendukung penyelesaian skripsi ini.
Penulis mengumpulkan data dengan menggunakan teknologi internet,
sesuai dengan kemajuan teknologi yang ada pada saat ini. Dengan melakukan
penelusuran data online di situs www.google.com dan website resmi Kota
Sibolga, penulis mendapat banyak anjuran-anjuran situs lain seperti
www.wikipedia.com, repository Universitas Sumatera Utara, blog-blog, dokumen
PDF (portable data file), dan lain-lain. Semua informasi dan data yang didapat
baik melalui skripsi, buku, artikel, dan internet membantu penulis untuk
mempelajari dan membandingkannya untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.
1.5.2 Penelitian Lapangan
Dalam penelitian lapangan, peneliti sekaligus penulis menunggu terjadinya
gejala yang menjadi objek dan masuk ke dalamnya yaitu dampeng dalam suatu
upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Untuk itu, penelitian
lapangan bersifat penting untuk mengumpulkan fakta-fakta dan keterangan
melalui pengamatan, wawancara, dan perekaman atau dokumentasi. Observasi
dilakukan dengan menceburkan diri dan mengamati dampeng secara berulang-
24
ulang dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga untuk
memperoleh data yang maksimal. Wawancara dilakukan dengan berinteraksi pada
peserta upacara adat perkawinan Suku Pesisir. Secara khusus dilaksanakan dengan
informan pangkal terutama kepada informan pokok atau kunci sebagai
narasumber penulis. Perekaman atau dokumentasi dilakukan dengan sebaik-
baiknya di mana penulis melakukan rekaman audio secara fokus untuk
memperoleh data melodi dampeng dan rekaman audiovisual untuk memperoleh
proses penyajian dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota
Sibolga.
1.5.2.1 Observasi
Observasi atau pengamatan digunakan dalam rangka mengumpulkan data
dalam suatu penelitian merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh
perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan,
atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan atau fenomena
sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat (Mardalis
2006:63). Metode observasi menggunakan kerja pancaindera mata sebagai alat
bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan
kulit (Burhan Bungin 2007:115).
Observasi yang dilakukan penulis bertujuan untuk melihat dan mengetahui
secara jelas tentang dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota
Sibolga. Selain mengamati dampeng dalam suatu upacara adat perkawinan Suku
Pesisir, penulis juga berkomunikasi dengan pelaku upacara adat lainnya secara
langsung.
25
Tahap awal kerja lapangan ini dilakukan dengan cara observasi langsung
ke lapangan, yaitu mengikuti dan melihat upacara adat perkawinan Suku Pesisir di
Kota Sibolga yang melaksanakan adat sumando dan dampeng, melakukan
pengamatan serta berbaur dengan peserta upacara, baik pengantin, orang tua
pengantin, tamu dan undangan, serta penyaji dampeng. Hal itu dilakukan agar
mendapat komunikasi yang baik dengan masyarakat dan peserta upacara adat
yang lainnya demi mendapat informasi yang lebih baik.
1.5.2.2 Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang
melengkapi dan menjelaskan data yang diperoleh melalui observasi.
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada si peneliti (Mardalis 2006:64).
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dalam rangka mengumpulkan
keterangan-keterangan tentang dampeng dalam kehidupan Suku Pesisir.
Koentjaraningrat (1983:138-139) menyatakan pada umumnya ada
beberapa macam wawancara yang dikenal oleh para peneliti.
Beberapa macam wawancara dibagi ke dalam dua golongan besar: (1) wawancara berencana (standardized interview) dan (2) wawancara tak berencana (standardized interview). Wawancara berencana selalu terdiri dari suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Sebaliknya wawancara tak berencana tak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata dan dengan tata urut tetap yang harus dipatuhi oleh peneliti secara ketat. Demikian macam metode wawancara tak berencana secara lebih khusus dapat dibagi ke dalam (a) metode wawancara berstruktur (structured interview) dan (b) metode wawancara tak berstruktur (unstructured interview). Wawancara tak berstruktur juga dapat dbedakan secara lebih khusus lagi dalam dua golongan, ialah (1) wawancara yang berfokus (focused interview) dan (2) wawancara bebas (free interview).
26
Metode wawacara yang digunakan penulis adalah wawancara berstruktur,
tak berstruktur, dan kombinasi keduanya. Pada awal penerapan wawancara,
penulis telah mempersiapkan daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada
informan pokok. Namun, kenyataannya siklus wawancara itu berubah. Hal itu
disebabkan oleh munculnya pertanyaan lain berdasarkan hasil saat wawancara
berlangsung. Dalam wawancara yang berikutnya, penulis akan melakukan
kolaborasi wawancara di mana akan dipersiapkan baik pertanyaan-pertanyaan
terfokus kepada informan pokok dan garis-garis besar topik wawancara diluar
daftar pertanyaan yang akan menggali informasi sedetail mungkin.
Dalam wawancara kali ini, penulis menetapkan 2 narasumber, yaitu Bapak
Khairil Hasni Siregar dan Bapak Syahriman Irawady Hutajulu. Kedua narasumber
tersebut adalah budayawan Suku Pesisir, sekaligus yang mempunyai pengetahuan
tinggi tentang kesenian yang ada di Sibolga dan Tapanuli Tengah. Kedua
narasumber juga termasuk dalam penyaji dampeng dalam upacara-upacara adat
perkawinan yang dilaksanakan di Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Selain itu, penulis juga mewawancarai penyaji dampeng lainnya serta beberapa
tokoh masyarakat lainnya yang berkaitan dengan pengembangan tulisan ini.
1.5.2.3 Perekaman atau Dokumentasi
Untuk pendokumentasian data yang berkaitan dengan dampeng dalam
upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga, penulis menggunakan
kamera digital dan perekam suara. Spesifikasi dari kamera digital yang dipakai
adalah merek Samsung Smart Camera WB30F, sedangkan spesifikasi dari
perekam suara adalah merek Sony IC Recorder ICD-312. Data rekaman atau
dokumentasi sebagai data penelitian diperoleh melalui rekaman audio dan
27
audiovisual pada upacara adat perkawinan sumando saudara Dewi Astuti Bandar
dengan Surya Dharma Kombih pada hari Sabtu tanggal 15 Maret 2014.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Dalam kerja laboratorium, penulis akan mengumpulkan seluruh data yang
terkumpul dari observasi, wawancara, dan perekaman atau dokumentasi. Data
wawancara dituliskan kembali untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam. Selanjutnya, penulis seluruh data observasi, wawancara, dan
perekaman diuraikan secara detail dan ditafsirkan dengan pendekatan emik dan
etik.
Data audio yang menjadi objek penelitian penulis ditranksripsikan dengan
cara didengar berulang kali dan dituliskan dalam bentuk notasi. Selanjutnya,
seluruh data dibentuk dan dijadikan sebagai data secara detail sesuai dengan objek
penelitian dalam penulisan skripsi. Data yang dipergunakan dalam tulisan ini
merupakan data-data yang diperlukan sesuai dengan kriteria disiplin ilmu
Etnomusikologi.
1.6 Lokasi Penelitian
Secara umum, suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga
diadakan di rumah pengantin perempuan. Dengan demikian, lokasi penelitian
penulis berada di rumah pengantin perempuan yang beralamat di Jalan Perintis
Kemerdekaan No. 52, Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota
Sibolga. Penulis memilih kota Sibolga sebagai lokasi penelitian karena upacara
adat perkawinan Suku Pesisir masih dapat ditemukan di Kota Sibolga. Selain itu,
28
lokasi penelitian ini juga masih menggunakan bahasa Pesisir, kesenian Pesisir,
makanan pesisir sebagai bagian dari sumando Pesisir.
29
BAB II
SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA
2.1 Gambaran Umum Suku Pesisir
Bab ini akan mengenalkan Suku Pesisir melalui lokasi penelitian. Lokasi
penelitian berada di Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota
Sibolga, Provinsi Sumatera Utara. Di wilayah ini, dampeng masih didapati dalam
suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir.
2.1.1 Topografi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, topografi merupakan kajian atau
atau penguraian yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah
(2008:1482). Kota Sibolga merupakan daerah yang terletak di wilayah Pesisir
Pantai Barat Sumatera Utara. Menurut Sogiarto dan Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan, pesisir itu adalah wilayah pertemuan antara darat dan laut dimana
ekosistem darat dan laut saling berinteraksi; ke arah darat meliputi bagian daratan,
baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti
pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi
bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Kota Sibolga berjarak lebih kurang 340 km dari Kota Medan, ibukota
Provinsi Sumatera Utara. Posisinya berada pada sisi pantai Teluk Tapian Nauli
menghadap ke arah Samudera Hindia. Seluruh wilayahnya berbatasan dengan
30
Kabupaten Tapanuli Tengah di sebelah Timur, Selatan, dan Utara. Sedangkan
sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Secara geografis, wilayah Kota Sibolga terletak terletak antara 1º 42'-1º 46'
Lintang Utara dan 98º 44' - 98º 48' Bujur Timur. Wilayah Kota Sibolga berdiri di
atas daratan pantai, lereng, dan pegunungan di mana sebagian besar penduduknya
bermukim di dataran pantai yang rendah. Bentuk Kota Sibolga memanjang dari
Utara ke Selatan mengikuti garis pantai. Sebelah Timurnya terdiri dari gunung.
Sedangkan sebelah Barat terdiri dari lautan. Lebar kota ini berjarak lebih kurang
500 meter dari garis pantai ke pegunungan sedangkan panjangnya adalah 8.520
km.
Keadaan alamnya relatif kurang beraturan. Kemiringan (lereng) lahan
bervariasi antara 0-2 % sampai dengan 40%. Sebagian besar (69%) wilayah kota
madya ini merupakan perairan dan pulau-pulau yang tersebar di Teluk Tapian
Nauli. Sedangkan sisanya merupakan dataran bekas rawa di dataran pantai
Sumatera yang ditimbun membujur dari Barat Laut ke Tenggara dengan ukuran
5,6 kali 0,5 km. Dataran ini merupakan tempat pemukiman penduduk.
Beberapa pulau yang tersebar di sekitar teluk Tapian Nauli yang termasuk
ke dalam wilayah administratif Kota Sibolga adalah pulau Poncan Gadang, Pulau
Poncan Ketek, Pulau Sarudik, dan pulau Panjang. Kota Sibolga dipengaruhi oleh
letaknya yang berada pada daratan pantai, lereng, dan pegunungan terletak pada
ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 150 meter.
Wilayah ini memiliki iklim yang cukup panas sekitar 21,6°C-32°C.
Sementara curah hujannya cenderung tidak teratur di sepanjang tahunnya. Curah
31
hujan tertinggi terjadi pada bulan November dengan jumlah sekitar 798 mm.
Sedangkan hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember selama 26 hari.4
2.1.2 Luas Wilayah
Kota Sibolga merupakan wilayah yang cukup sempit dengan cakupan
wilayah daratan seluas 1077 ha. Cakupan wilayah ini terdiri dari 889,16 ha
(82,5%) daratan, 187,84 ha (17,44%) daratan kepulauan. Sedangkan wilayah
lautannya memiliki luas sekitar 2.171,6 ha.
Secara administratif daerah ini terdiri dari empat kecamatan. Berdasarkan
data wilayah BPS Kota Sibolga tahun 2012, Kota Sibolga terdiri dari empat
kecamatan dengan 17 kelurahan dan 68 lingkungan.
17 kelurahan dalam wilayah kecamatan Kota Sibolga, yakni:
1. Kecamatan Sibolga Utara, meliputi Kelurahan Sibolga Ilir, Kelurahan
Angin Nauli, Kelurahan Hutabarangan, Kelurahan Hutatonga-tonga, dan
Kelurahan Simaremare;
2. Kecamatan Sibolga Kota, meliputi Kelurahan Pasar Baru, Kelurahan Pasar
Belakang, Kelurahan Pancuran Gerobak dan Kelurahan Kota Beringin;
3. Kecamatan Sibolga Sambas, meliputi Kelurahan Pancuran Kerambil,
Kelurahan Pancuran Pinang, Kelurahan Pancuran Bambu, dan Kelurahan
Pancuran Dewa;
4. Kecamatan Sibolga Selatan, meliputi Kelurahan Aek Muara Pinang,
Kelurahan Aek Habil, Kelurahan Aek Parombunan, dan Kelurahan Aek
Manis.
4Dikutip dari situs: www.sibolgakota.go.id
32
Tabel 2.1
Luas Wilayah Kota Sibolga berdasarkan Kecamatan
No. Kecamatan Luas Wilayah (km2)
1 Sibolga Utara 3,33
2 Sibolga Kota 2,73
3 Sibolga Selatan 3,14
4 Sibolga Sambas 1,57
Total 10,77
Sumber BPS Kota Sibolga Tahun 2010
2.1.3 Demografi
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kota
Sibolga adalah sebanyak 85.981 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 43.100 jiwa
laki-laki dan 42.881 jiwa perempuan.
Tabel 2.2
Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin
No. Kecamatan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan
Perempuan
1 Sibolga Utara 10.107 10.239 20.346
2 Sibolga Kota 7.194 7.417 14.611
3 Sibolga Selatan 15.419 15.140 30.559
4 Sibolga Sambas 10.380 10.085 20.465
Total 43.100 42.881 85.981
Sumber BPS Kota Sibolga Tahun 2010
Kota Sibolga dikenal dengan semboyan “Negeri berbilang kaum”. Hal ini
dapat dibuktikan dengan keanekaragaman suku di dalam daerah ini. Keempat
33
kecamatan ini dihuni oleh berbagai suku, antara lain Suku Melayu 2.382 jiwa,
Karo 425 jiwa, Simalungun 295 jiwa, Toba 45.695 jiwa, Mandailing 4.612 jiwa,
Pakpak 164 jiwa, Nias 6.293 jiwa, Jawa 5.283 jiwa, Minang 8.793 jiwa, Cina
3.496 jiwa, Aceh 2.613 jiwa, dan suku lainnya 1.690 jiwa. Total keseluruhan
berjumlah 81.699 jiwa (Hasil Sensus Dinas Kependudukan Kota Sibolga Tahun
2000). Berikut ini digambarkan secara grafis jumlah penduduk di Kota Sibolga
menurut Suku.
Diagram 2.1
Jumlah Penduduk Menurut Suku
2.2 Unsur Kebudayaan Suku Pesisir
Unsur Kebudayaan Suku Pesisir di Kota Sibolga meliputi, (1) adat-istiadat
Pesisir dikenal dengan adat sumando; (2) kesenian Pesisir terdiri dari kesenian
sikambang, yaitu tari-tarian, alat musik, lagu dan tata rias pengantin, pelaminan,
dan pernak-pernik pelaminan; (3) masakan khas pesisir seperti kue dan gulei
(Pasaribu 2008:54, 81, 273). Berikut ini disajikan beberapa unsur kebudayaan
Suku Pesisir Kota Sibolga.
Melayu
Karo
Simalungun
Toba
Mandailing
Pakpak
Nias
Jawa
Minang
Cina
Suku Lainnya
34
2.2.1. Adat-istiadat
Menurut Soedarsono (dalam Pasaribu 2008:54), adat-istiadat mengatur dan
memberi arah kepada tindakan dan karya manusia, baik pikiran-pikiran dan ide-
ide, maupun tindakan dan karya manusia dalam menghasilkan benda-benda
kebudayaan fisiknya. Dengan demikian, adat istiadat merupakan hasil ide dan
tindakan manusia yang diarahkan menjadi kebiasaan dari masyarakat penghasil
ide tersebut. Adat-istiadat Suku Pesisir dikenal dengan adat sumando. Adat
sumando secara umum berdasar kepada ajaran-ajaran Agama Islam. Konsepnya
tercermin dalam adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Ini
berarti bahwa adat sumando mendasarkan ide, pelaksanaan, dan penghayatannya
pada ajaran-ajaran Islam (Sitompul 2013:3).
Menurut Panggabean (1995:193), adat sumando berasal dari Pulau Poncan
yang diawali dengan perpindahan penduduk dari Poncan ke Sibolga dan kemudian
berkembang ke seluruh daerah Tapanuli Tengah. Istilah Sumando berasal dari
kata suman dalam bahasa Batak berarti serupa, atau terjemahan bebasnya
dipasuman-suman. Selanjutnya, kata suman berubah menjadi sumando artinya
hampir serupa tetapi tidak sama dengan adat yang ada pada Suku Minangkabau di
Sumatera Barat. Pada mulanya, adat yang tertinggi berada pada Raja atau Kuria.
Seterusnya, tingkat pelaksanaan adat berada pada empat lapisan, yaitu fakir
miskin (dada), orang miskin (lamukku), orang kaya (ata), dan keturunan raja
(bare).
Adat sumando adalah ”campuran”dari hukum Islam, adat Minangkabau,
dan adat Batak. Ini berarti bahwa semua hal-hal yang baik diterima dan yang tidak
sesuai dengan tata krama dan sikap hidup sehari-hari masyarakat Suku Pesisir
diabaikan. Hal tersebut sesuai dengan konsep sumando yakni adat bersandi sarak
35
dan sarak bersandi kitabullah, artinya adat berdampingan dengan kebiasaan atau
perilaku dan perilaku berlandaskan kepada kitab Allah (Sitompul 2013:9).
Orang sumando merupakan sebutan yang sering dipanggil untuk Suku
Pesisir. Mereka mempunyai motto, yaitu bulek ai dek dipambulu, bulek kato dek
mufakat, dek saiyo mangko sakato, dek sakato mangko sapakat (Sitompul
2013:9). Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
semua permasalahan pada akhirnya diputuskan lewat musyawarah dan dalam
musyawarah itu akan disatukan pendapat dengan tujuan untuk memperoleh hasil
yang terbaik.
2.2.2. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada Suku Pesisir Kota Sibolga bersifat patrilineal.
Patrilineal artinya garis keturunan diwariskan dari pihak ayah. Garis keturunan
tersebut dapat dilihat dari marga yang dibawa oleh keturunannya, misalnya
seorang laki-laki bermarga Bandar menikahi seorang perempuan bermarga
Sitompul, maka anaknya laki-laki atau perempuan memiliki marga ayahnya yaitu
Bandar. Skema di bawah ini menjelaskan tentang sistem patrilineal Suku pesisir.
Bagan 2.1:
Sistem Kekerabatan Patrilineal Suku Pesisir Kota Sibolga
♂ ♀ (R. Bandar) (S. Sitompul)
♀ ♂ ♂ (T. Bandar) (U. Bandar) (V. Bandar)
36
Dalam adat Pesisir, marga yang diterima dari pihak laki-laki atau ayah
tidak dipermasalahkan. Namun, marga tetap dipakai oleh seorang anak sebagai
pemberian dari orang tua. Sistem patrilineal dalam adat Suku Pesisir merupakan
sistem yang berbeda dari patrilineal lainnnya. Hal ini tercermin dari pembagian
harta warisan. Menurut adat sumando, semua anak yang dilahirkan baik anak laki-
laki maupun anak perempuan dalam keluarga pesisir mendapatkan hak warisan
yang sama rata.
Dalam adat Pesisir juga terdapat adat untuk memanggil atau menyebut
orang-orang yang terdekat dan menjadi bagian keluarga. Sistem tersebut dikenal
dan disebut Suku Pesisir dengan baso. Berikut ini, baso Suku Pesisir digambarkan
oleh penulis dengan diagram sederhana.
Bagan 2.2
Sistem Baso Suku Pesisir Kota Sibolga
♂ ♀ 1. R. Bandar 2. S. Sitompul
♂ + ♀ ♂ ♀ ♀ ♂ 3. T. Bandar 4. A.Gorat 5. B.Siregar + 6. U. Bandar 7. W.Ritonga + 8. V. Bandar
♀ + ♂ ♀ ♂
9. K. Bandar 10. L. Hutagalung 11. M. Bandar 12.
N. Bandar
37
Keterangan:
Kakek dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 1 dengan angku.
Nenek dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 2 dengan uci.
Ayah dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 3 dengan aya.
Ibu dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 4 dengan umak.
Abang dipanggil 11 dan 12 terhadap 9 dengan ogek.
Kakak dipanggil 12 terhadap 11 dengan uning.
Abang ipar dipanggil 5 terhadap 3 dengan ta’ajo.
Kakak Ipar dipanggil 6 terhadap 4 dengan ta’uti.
Tante dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 6 dengan oncu.
Paman dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 5 dengan pa’oncu.
3 dipanggil 9, 10, 11, dan 12 dengan pak tuo.
4 dipanggil 9, 10, 11, dan 12 dengan mak tuo.
2.2.3. Sistem Religi
Secara keseluruhan, masyarakat Suku Pesisir menganut Agama Islam.
Seluruh aktivitas kehidupan mereka disesuaikan dengan adat yang didasarkan
kepada ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam adat sumando yang berdasar pada
ajaran-ajaran Agama Islam. Konsep tersebut tercermin dalam adat bersendikan
syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Hal itu diartikan dengan Suku Pesisir
mendasarkan ide, pelaksanaan, dan penghayatan ajaran-ajaran Agama Islam
dalam adat sumando.
Tingkah laku dan perbuatan Suku Pesisir sehari-hari merupakan suatu
kesatuan dalam masyarakat menurut kebiasaan yang telah di atur oleh norma-
norma Agama Islam. Seluruh tingkah laku dan perbuatan Suku Pesisir tersebut
38
disebut sebagai adat Pesisir. Selain itu, adat Pesisir yang bersendikan Hukum
Islam juga berhubungan dengan pembagian harta warisan. Pada dasarnya,
pembagian warisan kepada anak laki-laki dan anak perempuan dalam Suku Pesisir
mendapat bagian yang sama. Namun, jika anak laki-laki tidak menyetujui
pembagian tersebut maka akan dikembalikan kepada Hukum Islam (faraid). Di
mana, anak laki-laki mendapat dua bagian dari harta warisan. Sedangkan anak
perempuan mendapat sebagian dari harta warisan, tetapi emas dan rumah
diserahkan kepada perempuan. Hal ini dimaksudkan bahwa apabila saudara laki-
laki mengunjungi kampung halaman, maka mereka akan mendatangi saudara
perempuannya.
2.2.4. Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi untuk Bahasa yang dipakai oleh Suku
Pesisir di Kota Sibolga adalah bahasa Pesisir. Bahasa Pesisir merupakan bahasa
yang hidup dalam masyarakat Pesisir Kota Sibolga dan dipakai untuk
berkomunikasi. Selain diterapkan dalam percakapan sehari-hari, peranan bahasa
Pesisir memiliki cakupan yang luas terhadap budaya Pesisir, di antaranya untuk
sambutan (tamu, perkawinan, nasihat), sentilan atau ajaran moral (pribahasa), seni
(sikambang, pantun, sair), cerita rakyat (legenda), dan silsilah atau jenjang tutur
dalam keluarga (baso).5
Bahasa Pesisir digunakan secara lisan maupun tulisan untuk
menyampaikan maksud dan tujuan sehingga tercapai rasa saling pengertian saat
berkomunikasi. Menurut Radjoki Nainggolan, bahasa Pesisir merupakan
perwujudan hubungan persaudaraan yang penuh keakraban dalam penyampaian
5 Lembaga Budaya Pantai Barat Sumatera Utara, 24 Juni 2014
39
pesan dan kesan. Hal ini dapat tercapai melalui ucapan yang indah dan
mengandung petatah-petitih sehingga menyentuh perasaan.
2.2.5. Kesenian
Kesenian Suku Pesisir lazim disebut dengan kesenian pesisir sikambang.
Kesenian sikambang secara umum mewakili seluruh kesenian yang berlaku bagi
masyarakat Pesisir Pantai Barat Sumatera, mulai dari Meulaboh di Banda Aceh,
sampai ke Tapanuli, Minangkabau, dan Bengkulu. Selain di Pantai Barat,
sikambang juga berlaku di Pantai Timur Kepulauan Nias dan Pulau Telo.
Kesenian Pesisir memiliki bagian pokok yang terdiri dari tarian dan
nyanyian dan mengemban unsur kebudayaan bernafaskan seni budaya. Kesenian
ini juga mengemban falsafah-falsafah kontemporer yang sarat makna, bercorak
petuah, berirama lagu, dan berwujud tari. Kesenian sikambang biasanya digelar
dalam berbagai upacara baik yang bersifat adat maupun hiburan, seperti upacara
perkawinan, upacara sunat Rasul (khitanan), penyambutan tamu, penobatan atau
pemberian gelar, turun karai (turun tanah), menabalkan dan mengayun anak,
memasuki rumah baru, peresmian, dan pertunjukan kesenian atau pagelaran
Seni budaya zaman dahulu seperti tari, lagu, pantun, dan talibun hadir bak
gayung bersambut dengan menunjukkan kepribadian masyarakat Pesisir yang
memiliki perasaan halus dan tenggang rasa yang tinggi sesuai dengan alamnya,
seperti malam disinari bulan, alunan ombak dan riak gelombang ombak gulung-
menggulung saling ikut satu sama lain (Radjoki 2012:47).
Sikambang berasal dari 2 kata, yakni “si” dan “kambang”. Kata “si”
merupakan kata sandang yang diletakkan di depan sebuah nama. Sedangkan
40
“kambang” merupakan sebuah nama. Menurut Suku Pesisir, sikambang
mempunyai beberapa pengertian, yaitu:
1. Nama salah satu jenis ansambel pada masyarakat Pesisir
2. Nama repertoar yaitu sikambang dan sikambang botan
3. Nama salah satu jenis pertunjukan pada masyarakat Pesisir
4. Sebutan untuk nyanyian atau lagu yang akrab.
Penyajian kesenian tersebut dibagi dalam empat, yakni alat musik, lagu,
tari, dan pantun. Kesenian ini dikenal dengan sebutan sikambang yang memiliki
ciri khas tersendiri baik dalam bentuk alat musik, lagu, tari, maupun pantun.
2.2.5.1 Alat Musik
Menurut Radjoki Nainggolan, kesenian Pesisir terasa lengkap apabila
diiringi dengan alat musik, antara lain:
1. Gandang sikambang terbuat dari kayu bulat dengan satu bagian sisi
dilapisi kulit kambing sedangkan bagian sisi satu lagi dibiarkan kosong.
Bagian yang kosong diganjal dengan kayu tipis diikat dengan rotan.
Gendang ini berfungsi sebagai pembawa ritme yang konstan dalam
ansambel.
2. Singkadu terbuat dari bambu dengan panjang 25 cm. Alat musik ini
memiliki tujuh lobang nada pada bagian atas dan berjarak 1 cm pada
masing-masing lobang. Sebelah bawah terdapat satu lobang. Lobang ini
berfungsi untuk keserasian suara. Singkadu berperan sebagi pembawa
melodi lagu.
3. Biola berperan sebagai pembawa melodi dalam satu ansambel.
41
4. Akordion juga berperan sebagai pembawa melodi dalam memainkan
sebuah lagu dalam kesenian sikambang.
Alat musik biola dan akordion merupakan alat musik yang dibawa oleh
Bangsa Eropa pada Abad ke-16 yang berdagang dan mencari rempah-rempah di
Pelabuhan Barus. Selanjutnya, alat musik ini dipakai dalam ansambel sikambang
(Radjoki 2012:58). Alat musik dipakai untuk mengiringi vokal atau lagu dalam
setiap kesenian Pesisir.
2.2.5.2 Lagu
Lagu dalam kesenian sikambang memiliki hubungan yang erat dengan
berbalas pantun. Dengan kata lain, teks lagu kesenian ini berupa pantun yang
diambil dari kehidupan masyarakat Suku Pesisir. Pantun terdiri atas 2 bagian,
yaitu (1) sampiran pantun diambil dari ungkapan-ungkapan tentang alam, tempat
tinggal, dan perihal kehidupan; (2) isi pantun disesuaikan dengan pesan yang
ingin disampaikan, misalnya ekspresi perasaan berupa ungkapan kesedihan dan
kasih sayang, nasihat, pujian, dan sindiran.
Pantun yang dibawakan dengan bernyanyi bersifat bersahut-sahutan. Teks
lagu dalam pantun digarap dan disesuaikan oleh pembawanya dengan melakukan
berbagai cara, misalnya pengulangan baris, penambahan beberapa kata,
penambahan kalimat yang berfungsi sebagai penjelasan atau keterangan,
pengurangan kata, dan penggantian kata.
Ada 5 jenis lagu dalam kesenian sikambang yang dinyanyikan dalam
upacara-upacara adat Suku Pesisir, yaitu:
1. Lagu kapri merupakan lagu pembukaan dalam setiap upacara adat atau
perayaan.
42
2. Lagu kapulo pinang merupakan lagu inti dalam suatu upacara adat atau
perayaan.
3. Lagu duo juga merupakan lagu inti dalam suatu upacara adat atau
perayaan.
4. Lagu dampeng merupakan lagu inti dalam suatu upacara adat.
5. Lagu sikambang merupakan lagu penutup dalam setiap upacara atau
perayaan.
Dalam suatu upacara adat, kelima lagu di atas merupakan bagian yang
terikat dan tidak terpisahkan satu sama lain. Lagu-lagu tersebut harus dinyanyikan
secara lengkap mulai dari lagu kapri sampai lagu sikambang. Menurut Khairil
Hasni, lagu dalam kesenian sikambang berisi tentang siklus hidup seorang
manusia. Lagu-lagunya menggambarkan proses kehidupan sepasang remaja dalam
masa perkenalan yang tercermin dalam lagu kapri. Selanjutnya, hubungan
perkenalan tersebut bertambah dalam dengan jalinan kasih dan keseriusan di
antara keduanya yang tercermin dalam lagu kapulo pinang dan lagu duo. Di mana
saat menyanyikan lagu kapulo pinang, tari payung mengiringinya dengan
memakai properti payung dan dibawakan seorang laki-laki untuk melindungi
kekasihnya. Sedangkan, saat menyanyikan lagu duo, tari selendang mengiringinya
dengan memakai selendang yang digunakan seorang perempuan. Lagu
mempunyai satu kesatuan yang utuh dengan tarian untuk saling mendukung.
2.2.5.3 Tari
Tari dalam kesenian sikambang berhubungan erat dengan lagu-lagunya.
Berdasarkan 5 jenis lagu di atas, ada 5 jenis tari pula dalam kesenian sikambang
yang ditarikan dalam upacara-upacara adat Suku Pesisir, yaitu:
43
1. Tari saputangan diiringi oleh lagu kapri. Tari ini merupakan tari pembuka
untuk memulai setiap tarian yang dilaksanakan pada setiap upacara adat
perkawinan. Tari ini menggunakan saputangan atau menari dengan memakai
saputangan. Menurut Siti Zubaidah, tari ini melambangkan curahan hati dan
perasaan seorang pemuda terhadap seorang pemudi di saat terang bulan.
Karena di saat terang bulan, para pemuda tidak turun ke laut. Dengan
demikian, itulah kesempatan bagi mereka untuk bersenda gurau dalam
mempererat silahturahmi.
2. Tari payung diiringi oleh lagu kapulo pinang. Jenis tari ini merupakan tari
yang dapat ditarikan pada upacara adat perkawinan yang berfungsi sebagai
hiburan. Tari ini merupakan tarian sepasang pemuda-pemudi, di mana pemuda
menggunakan payung dan pemudi menggunakan selendang. Siti Zubaidah
menyatakan bahwa tari ini melambangkan pergaulan pemuda-pemudi yang
telah diikat oleh suatu acara pertunangan. Di mana, si pemuda telah
mengganggap si pemudi telah menjadi pilihannya. Sebaliknya, si pemudi pun
telah beranggapan bahwa si pemuda itulah yang menjadi tambatan hatinya.
3. Tari selendang diiringi oleh lagu duo. Tarian ini merupakan tarian
kepahlawanan dengan menggunakan gerakan-gerakan silat yang diperhalus.
Tari ini adalah tarian berpasangan dengan menggunakan selendang, baik
pemuda maupun pemudi dan menarikan gerakan yang sama.
4. Tari rande diiringi oleh lagu dampeng. Tari ini merupakan tarian yang
disajikan oleh sekolompok laki-laki. Pada umumnya, tari ini merupakan tari
yang bersifat hiburan. Gerakan yang paling dikenali dalam tari ini adalah
gerakan berputar yang dilakukan berkali-kali sampai lagu pengiring selesai.
44
5. Tari anak diiringi oleh lagu sikambang. Tari berpasangan ini juga
menggunakan selendang saat menari. Siti Zubaidah menyatakan, bahwa
selendang menggambarkan perlindungan untuk seorang anak dari gangguan
yang menimbulkan penyakit. Secara khusus, tarian ini melambangkan curahan
kasih sayang seorang suami terhadap istrinya dan seorang ayah terhadap
anaknya.
45
BAB III
DESKRIPSI DAMPENG
PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU PESISIR
3.1 Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir
Berdasarkan pemerincian unsur kebudayaan besar oleh R. Linton,
perkawinan merupakan wujud sistem budaya dan sistem sosial suatu unsur
kebudayaan universal yang diperinci ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil,
berupa adat-istiadat dan aktivitas sosial. Adat-istiadat dan aktivitas sosial diperinci
ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil, berupa kompleks budaya dan kompleks
sosial. Selanjutnya, kompleks budaya dan kompleks sosial dapat diperinci ke
dalam unsur tema budaya dan pola sosial. Unsur-unsur tersebut terdapat dalam
semua Suku di dunia. Namun, perkawinan tidak disebut sebagai kebudayaan yang
universal. Hal ini disebabkan oleh sub-subunsur golongan yang lebih kecil yaitu
gagasan dan tindakan sudah terlampau kecil dan bersifat tidak universal
(Koentjaraningrat 2009:166-167,169).
Perkawinan Suku Pesisir merupakan wujud sistem budaya dan sistem
sosial kebudayaan Suku Pesisir. Unsur tersebut diperinci ke dalam adat-istiadat
dan aktivitas sosial yang dikenal dengan upacara adat perkawinan sumando.
Upacara adat perkawinan sumando Suku Pesisir harus dilaksanakan dalam
beberapa proses tahapan sesuai dengan ketentuannya.
Proses upacara perkawinan adat sumando Suku Pesisir Sibolga, meliputi
beberapa tahap antara lain: (1) risik-risik merupakan tahap untuk mencari
informasi dan menanyakan status tentang keberadaan seorang perempuan yang
46
belum menikah di suatu rumah; (2) sirih tanyo merupakan tahap untuk dan
menyatakan keinginan menjadikan perempuan tersebut sebagai menantu kepada
orang tuanya; (3) marisik merupakan tahap untuk menanyakan kesediaan
perempuan tersebut untuk dipersunting menjadi istri; (4) Maminang merupakan
tahap untuk menanyakan dan merundingkan pemberian bantuan atau mahar
kepada pihak perempuan; (5) manganta kepeng merupakan tahap untuk
mengantar bantuan (hantaran) yang telah disepakati kedua belah pihak dan
menentukan hari pernikahan yang disetujui kedua belah pihak; (6) mata karajo
merupakan tahap pelaksanaan pernikahan, yaitu a) akad nikah dengan Hukum
Islam yang diyakini kedua pengantin dan b) adat Suku Pesisir dengan adat
sumando; dan (7) balik ari atau tapanggi merupakan tahap untuk mengunjungi
dan memohon doa restu kepada orang tua pengantin laki-laki, karena kedua
pengantin akan tinggal selama kurang lebih setahun di rumah orang tua pengantin
perempuan atau sampai mempunyai anak. Seluruh rangkaian upacara adat berada
dalam lingkup konteks budaya dan agama Islam yang mengandung makna-makna
tersirat. Makna-makna tersirat tersimpan dalam setiap tahap upacara adat
perkawinan Suku Pesisir.
3.2 Tahap-tahap Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir
Tahap-tahap upacara adat perkawinan terlaksana dengan berbagai cara.
Seluruhnya berjalan dalam konteks budaya, tetapi tetap memegang nilai-nilai
dalam konteks agama Islam. Hal tersebut dilihat melalui cara-cara untuk
mengawali dan mengakhiri setiap tahap. Tahap awal dimulai dengan menjalin
silaturahim, yakni keluarga pihak laki-laki melakukan kunjungan ke rumah pihak
perempuan. Berikutnya, tahap tersebut dilanjutkan dengan menciptakan hubungan
47
saling menghormati, bermusyawarah, dan melangsungkan beberapa tradisi yang
bertujuan untuk mendoakan kedua pengantin. Tahap akhir dilakukan dengan
menjalin silaturahim, yakni keluarga pihak perempuan melakukan kunjungan ke
rumah pihak laki-laki.
Dalam pelaksanaannya, setiap tahap upacara adat melibatkan unsur-unsur
pendukung. Unsur-unsur pendukung utama tersebut meliputi keluarga pihak laki-
laki dan perempuan. Unsur-unsur pendukung utama lainnya meliputi kepala desa,
tokoh agama, dan tokoh adat. Unsur-unsur lainnya merupakan para tetangga dan
kerabat keluarga pihak laki-laki dan perempuan.
Ditinjau dari konteks budaya tujuh tahap dalam upacara adat perkawinan
Suku Pesisir berupa (1) tahap risik-risik; (2) tahap sirih tanyo; (3) tahap marisik;
(4) tahap maminang; (5) tahap manganta kepeng; (6) tahap mato karajo; dan (7)
tahap balik ari/tapanggi. Namun, saat ini dua tahap upacara telah berkurang
pelaksanaannya, yaitu tahap sirih tanyo dan marisik. Hal tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, misalnya faktor ekonomi dan faktor keefisienan waktu.
3.2.1 Risik-risik
Tahap risik-risik diawali dengan perbincangan antara ibu dan anaknya
laki-laki tentang keinginan untuk mencarikan jodoh dan menikahkan anaknya.
Kriteria anak laki-laki yang akan menikah sesuai dengan tradisi Suku Pesisir yaitu
telah cukup umur dan dewasa menurut Hukum Islam. Apabila anak laki-laki telah
menyetujuinya, si ibu memberitahukan hal tersebut kepada suami dan sanak
saudaranya. Selanjutnya, keluarga pihak laki-laki berdiskusi dan memutuskan
wakil (talangke) sebagai juru bicara pencarian calon istri anak laki-laki tersebut.
48
Wakil-wakil (talangke) merupakan ibu-ibu yang diutus dari keluarga pihak laki-
laki.
Para talangke mengunjungi pihak perempuan (calon istri) dan menanyakan
keberadaan dan statusnya. Perbincangan (risik-risik) ini dilakukan dengan santai.
Setelah perbincangan selesai, para talangke menyampaikan hasil perbincangan
tersebut kepada orang tua laki-laki untuk melakukan persiapan dalam
menanyakan kesediaan orang tua perempuan tersebut.
Tahap risik-risik menunjukkan awal permulaan proses upacara adat
perkawinan. Keberlangsungan tahap ini menentukan tahap upacara adat
berikutnya. Hal ini dikarenakan risik-risik bermakna sebagai penjalinan
silahturahim antara keluarga pihak laki-laki dan perempuan. Dengan demikian,
risik-risik menandakan telah diletakkannya hubungan silaturahmi yang baik.
3.2.2 Sirih Tanyo
Tahap sirih tanyo merupakan tahap kelanjutan dari hasil perbincangan
(risik-risik) yang lalu. Tahap ini dilanjutkan dengan kunjungan kedua para
talangke dari pihak laki-laki. Para talangke mengingatkan kembali kedatangannya
dan memperjelas kedatangan yang kedua tersebut. Perbincangan dimulai dengan
menaruh tepak sirih yang dibawa para talangke kepada pihak perempuan sebagai
adat-istiadat pembukaan perbincangan.
Setelah itu, para talangke menanyakan kesediaan orang tua pihak
perempuan untuk melamar anaknya menjadi menantu. Talangke dari pihak
perempuan juga menaruh tepak sirih untuk mengawali perbincangan mereka.
Akhirnya, pihak perempuan menjawab dan menyatakan persetujuan lamarannya.
Penyuguhan tepak sirih (kampi siri bakatuk) juga dilakukan keluarga pihak
49
perempuan untuk memulai perbincangan dalam adat Suku Pesisir kepada keluarga
pihak laki-laki.
Tahap sirih tanyo diawali dengan pemberian tepak sirih oleh keluarga
pihak laki-laki terhadap keluarga pihak perempuan. Selanjutnya, keluarga pihak
laki-laki menyatakan maksud dan tujuannya. Kemudian, diakhiri dengan
pemberian tepak sirih oleh keluarga perempuan dalam menjawab maksud dan
tujuan tersebut. Pemberian tepak sirih dalam memulai dan menjawab pembicaraan
menandakan sikap saling menghormati oleh kedua pihak. Dengan demikian, tahap
ini menghasilkan hubungan silahturahmi yang semakin erat.
3.2.3 Marisik
Tahap marisik merupakan tahap kelanjutan dari hasil perbincangan (sirih
tanyo) yang lalu. Tahap ini dilanjutkan dengan kunjungan ketiga para talangke
dan para kerabat dekat pihak laki-laki. Para talangke mengingatkan kembali
kedatangannya dan memperjelas kedatangan yang kedua tersebut. Perbincangan
dimulai dengan menaruh tepak sirih yang dibawa para talangke kepada pihak
perempuan sebagai adat-istiadat pembukaan perbincangan. Setelah itu, para
talangke menanyakan kesediaan anak perempuan untuk melamarnya menjadi
menantu. Talangke dari pihak perempuan juga menaruh tepak sirih untuk
mengawali perbincangan mereka. Akhirnya, anak perempuan tersebut menjawab
dan menyatakan persetujuan lamarannya.
Tahap marisik dilanjutkan oleh pihak perempuan dengan membicarakan
dan menentukan jadwal pelaksanaan adat pertunangan (maminang) bersama pihak
laki-laki. Setelah itu, kedua belah pihak keluarga membicarakan pemberian
50
bantuan dan mahar dari pihak laki-laki yang dibawa pada pelaksanaan adat
bertunangan.
Tahap marisik juga diawali dengan pemberian tepak sirih oleh keluarga
laki-laki terhadap. Selanjutnya, keluarga pihak laki-laki menyatakan maksud dan
tujuan kedatangannya. Kemudian, diakhiri dengan pemberian tepak sirih oleh
keluarga perempuan dalam menjawab maksud dan tujuan tersebut. Pemberian
tepak sirih dalam memulai dan menjawab pembicaraan menandakan sikap saling
menghormati oleh kedua pihak.
Selain itu, tahap ini menunjukkan proses musyawarah antara kedua pihak
keluarga. Itu terlihat dalam proses penentuan jadwal pelaksanaan adat
bertunangan. Kedua pihak keluarga membicarakannya bersama-sama sehingga
akhirnya didapat keputusan bersama yang menguntungkan pihak laki-laki atau
perempuan.
3.2.4 Maminang
Sebelum tahap maminang dilaksanakan, seluruh pihak laki-laki
memusyawarahkan bantuan dan mahar bersama-sama. Hal ini dilakukan agar
segala persiapan adat bertunangan telah terselesaikan dengan baik. Musyawarah
tersebut dihadiri oleh ketua adat sebagai pemberi nasihat dan arahan kepada
semua utusan pihak laki-laki. Setelah musyawarah selesai, pihak laki-laki
mempersiapkan kampi sirih bakatuk untuk membuka dan mengawali
pembicaraan, nasi tue untuk disajikan kepada seluruh peserta yang hadir.
Setelah semua persiapan selesai, kedatangan pihak laki-laki disambut di
rumah pihak perempuan. Sebelum pembicaraan dimulai, pihak laki-laki
memberikan tepak sirih satu persatu kepada pihak perempuan. Kemudian, kedua
51
pihak keluarga menyepakati pemberian bantuan dan mahar secara detail. Setelah
itu selesai, pihak laki-laki menanyakan waktu pengantaran kepada pihak
perempuan.
Seluruh proses pembicaraan dalam tahap maminang dimulai dan diakhiri
dengan pemberian tepak sirih. Kedua pihak keluarga tetap menjaga hubungan
silaturahmi yang baik dan saling menghargai. Tahap ini menunjukkan
kesepakatan yang cukup penting dan serius di antara kedua belah pihak keluarga.
Di mana penentuan mahar perempuan dimusyawarahkan bersama-sama sesuai
dengan konteks situasi.
Pembicaraan mahar biasanya berlangsung lebih lama dari tahap-tahap
sebelumnya. Setelah dicapai mufakat bersama, anak laki-laki dan perempuan
yang merajut hubungan telah bertunangan secara resmi di hadapan seluruh
keluarga dan talangke. Namun, kesepakatan ini mempunyai sangsi-sangsi yang
jelas apabila salah satu pihak mengingkarinya.
3.2.5 Manganta Kepeng
Sebelum tahap mangata kepeng dilaksanakan, pihak laki-laki mengadakan
pertemuan dengan ketua adat, alim ulama, dan sanak saudara serta tetangga yang
kemudian juga mengantarkan bantuan dan mahar ke rumah pihak perempuan.
Pertemuan tersebut merupakan penjelasan proses pelaksanaan mahar dan bantuan
kepada seluruh undangan yang hadir. Mahar6 dan bantuan dimasukkan ke dalam
kampi (sejenis tas anyaman) dan dilengkapi dengan berbagai syarat-syarat adat
6 Menurut Panggabean, dkk (dalam Sitompul 2013:8) salah satu ketentuan dalam adat sumando yaitu pernikahan dapat terjadi apabila pria meminang wanita terlebih dahulu dengan menyerahkan sejumlah uang atau barang. Uang atau barang disebut mahar, sebagai tanda pengikat, bahwa pada waktu tertentu akan dilangsungkan pernikahan nantinya dilaksanakan ijab qabul di hadapan wali dan saksi. Adat sumando tidak mengenal tuhor atau jujuran seperti dalam pernikahan adat Batak.
52
sumando Suku Pesisir Sibolga. Rombongan yang hadir pada tahap ini telah
ditentukan sebelumnya, sehingga keluarga pihak perempuan dapat
mempersiapkan segala sesuatunya.
Kampi tersebut dijinjing oleh oncu (adik ayah calon pengantin laki-laki)
dan berjalan di depan serta diiringi oleh rombongan lainnya. Setelah tiba, pihak
perempuan menyambut kedatangan tersebut dengan menaburkan beras kunyit
kepada rombongan yang hadir. Keluarga pihak laki-laki dan perempuan duduk
saling berhadapan. Sedangkan kepala desa, tokoh adat, dan tokoh agama duduk di
tengah untuk menengahi seluruh proses upacara.
Pembicaraan diawali oleh pihak perempuan dengan berpantun untuk
menanyakan maksud dan tujuan kehadiran keluarga pihak laki-laki. Setelah
seluruh undangan mengetahui maksud dan tujuannya, kepala desa dan tokoh adat
memimpin adat bertunangan. Kepala desa dan tokoh adat mempersilahkan pihak
rombongan laki-laki untuk menunjukkan segala sesuatu yang menjadi tanggung
jawab mereka. Salah seorang dari pihak laki-laki menyerahkan kampi yang berisi
bantuan, mahar, dan seperangkat syarat adat yang diwajibkan.
Setelah seluruhnya dilihat oleh kepala desa dan tokoh adat dan dikatakan
telah lengkap, selanjutnya kepala desa mengumumkan bahwa pertunangan telah
sah menurut hukun adat yang berlaku dan pihak laki-laki dan perempuan resmi
bertunangan. Bantuan dan mahar diserahkan kepada ibu calon pengantin
perempuan atas perintah kepala desa. Selanjutnya, ibu calon pengantin perempuan
menjinjing segala hantaran dan disimpan di dalam kamar.
Tahap ini dilanjutkan kedua pihak pengantin dengan membicarakan dan
menentukan hari pernikahan dan masalah sangsi yang berlaku pada masa
pertunangan. Sangsi-sangsi tersebut terdiri dari: (1) Bantuan dan mahar
53
dikembalikan sebanyak dua kali lipat kepada pihak calon pengantin laki-laki,
apabila pihak perempuan mengingkarinya. Sebaliknya, bantuan dan mahar
dikatakan hilang, apabila pihak laki-laki mengingkarinya; (2) Bantuan dan mahar
dimusyawarahkan kembali untuk mengambil jalan terbaik, apabila hal-hal yang
tidak diinginkan terjadi, misalnya salah satu di antara kedua calon pengantin
meninggal. Setelah perjanjian sangsi disepakati, masa bertunangan ditetapkan
sesuai dengan kesepakatan kedua pihak calon pengantin. Selanjutnya, acara
malam berinai dilakukan kedua calon pengantin di rumah pihak perempuan
dengan pemotongan kambing dan pemanggilan kenduri. Kenduri merupakan
acara mengundang kaum kerabat terdekat masing-masing pihak, tokoh
masyarakat, dan kepala desa.
3.2.6 Mato Karajo
Tahap mato karajo berlangsung selama 2 hari dari pagi hingga malam hari.
Sebelum tahap mato karajo dilaksanakan, keluarga pihak perempuan mengadakan
budaya menghias rumah. Semua dinding rumah dihiasi dengan kain 12 warna.
Bagian dalam dan luar rumah dihias oleh kaum muda dan induk inang. Kegiatan
ini dilakukan dengan tujuan agar rumah kelihatan seperti rumah raja. Hal ini
disebabkan oleh kedua pengantin dianggap seperti raja dan ratu sehari.
Tahap mato karajo dilaksanakan dengan diadakannya dua jenis upacara
yaitu (1) upacara adat Pesisir; (2) upacara akad nikah. Dalam upacara adat,
diadakan beberapa rangkaian acara di rumah anak daro. Upacara adat Pesisir
dimulai dengan upacara barinai, tepung tawar, bakonde, dan mandi limo.
Upacara barinai dan tepung tawar dilaksanakan untuk anak daro dan
marapule. Sedangkan upacara bakonde dan mandi limo dilaksanakan khusus
54
untuk anak daro. Saat ketiga proses upacara berlangsung baik anak daro maupun
marapule duduk di pelaminannya masing-masing. Seluruh rangkaian upacara
dibantu oleh induk inang yang mengetahui tiga proses upacara tersebut.
Upacara barinai dilaksanakan untuk marapule dan anak daro. Upacara ini
dilakukan oleh 12 perwakilan dari masing-masing pihak keluarga kedua
pengantin. 12 perwakilan tersebut yaitu kedua orang tua dan kerabat dekat kedua
pengantin. Kedua orangtua merupakan pihak-pihak yang memulai upacara ini
terlebih dahulu. Setelah itu, anggota keluarga lainnya melanjutkan gilirannya
dalam upacara tersebut. Namun, di antara 12 perwakilan tersebut kedua ibu anak
daro dan marapule mendapat 2 giliran baik di pelaminan marapule maupun
pelaminan anak daro.
Gambar 3.1
Ayah marapule mendapat giliran pertama melakukan penaburan beras dan
pemercikan air kepada marapule.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Upacara ini dilakukan dengan penaburan beras kuning dan pemercikan air
dengan daun pandan kepada anak daro dan marapule. Saat menaburkan beras dan
55
memercikkan air 12 perwakilan tersebut menyampaikan doa dan harapan mereka
kepada kedua pengantin. Setelah itu, anak daro dan marapule disalami oleh 12
perwakilan tersebut.
Gambar 3.2
Kerabat dekat anak daro mendapat giliran pertama melakukan penaburan
beras dan pemercikan air dengan daun pandan kepada anak daro.
Setelah seluruh perwakilan menyelesaikan bagiannya, upacara ini
dilanjutkan dengan memakaikan inai kepada anak daro dan marapule. Inai
dipakaikan di seluruh jari kaki dan tangan kedua pengantin. Upacara barinai
disaksikan oleh kedua orang tua dan kerabat dekat keluarga kedua pengantin.
Upacara barinai berlangsung pada hari pertama mato karajo. Upacara ini
dilaksanakan di hadapan kedua orang tua dan kerabat dekat anak daro dan
marapule. Anak daro dan marapule mengenakan pakaian adat sumando Pesisir
dengan lengkap.
56
Gambar 3.3
Marapule sedang dipakaikan inai oleh induk inang dalam upacara barinai.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Gambar 3.4
Anak daro sedang dipakaikan inai oleh induk inang di pelaminannya.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
57
Berikutnya, upacara tepung tawar juga dilaksanakan untuk marapule dan
anak daro. Upacara ini dilakukan dengan penaburan beras kuning dan pemercikan
air dengan daun pandan. Upacara ini dilakukan oleh 12 perwakilan dari pihak
keluarga, yaitu orang tua dan kerabat dekat anak daro dan marapule.
Satu per satu dari 12 perwakilan keluarga berdiri di hadapan anak daro
dan marapule. Upacara tepung tawar dimulai dengan menaburkan beras kuning
sebanyak 3 kali kepada anak daro dan marapule. Selanjutnya, masing-masing
perwakilan keluarga memercikkan air dengan beberapa helai daun pandan. Pada
akhir upacara ini, anak daro dan marapule disalami dan diberikan ucapan harapan
dan doa.
Gambar 3.5
Kerabat dekat memercikkan air dengan daun pandan kepada anak daro
dalam upacara tepung tawar.
Sumber: dokumentasi penulis (2014)
58
Gambar 3.6 Ayah anak daro memercikkan air dengan daun pandan kepada anak daro.
sumber: dokumentasi penulis (2014)
Sumber: dokumentasi penulis (2014)
Gambar 3.7
Ibu marapule memercikkan air dengan daun pandan kepada marapule.
sumber: dokumentasi penulis (2014)
59
Gambar 3.8
Kerabat dekat memercikkan air dengan daun pandan kepada marapule.
Sumber: dokumentasi penulis (2014)
Selanjutnya, upacara bakonde dan mandi limo secara khusus dilaksanakan
untuk anak daro. Seluruh rangkaian upacara dibantu oleh induk inang yang
mengetahui proses upacara tersebut. Empat proses upacara dilaksanakan dengan
tujuan untuk menghindari bahaya dan perbuatan jahat manusia terhadap kedua
pengantin. Selain itu, upacara tersebut merupakan suatu penghormatan kepada
kedua pengantin bahwa mereka diposisikan sebagai raja dan ratu sehari (Sitompul
2013:76).
Upacara bakonde dimulai dengan penyisiran dan pendadanan rambut
bagian depan anak daro. Pendandanan rambut berjumlah 12 ikat. Setelah selesai,
ibu anak daro mengambil giliran pertama untuk menggunting ikat dandanan.
Selanjutnya, ibu-ibu kerabat dekat anak daro menggunting ikatan lainnya
60
Gambar 3.9
Proses upacara bakonde dibantu oleh dua induk inang.
sumber: dokumentasi penulis (2014)
Gambar 3.10
Rambut bagian depan dipotong sedikit oleh ibu kandung anak daro.
sumber: dokumentasi penulis (2014)
61
Setelah pengguntingan 12 ikatan rambut anak daro tersebut, upacara
mandi limo dipersiapkan oleh induk inang. Upacara ini dimulai dengan penaburan
beras dan pemercikkan air dengan daun pandan oleh 12 perwakilan ibu-ibu
kerabat dekat anak daro. Kemudian, ayah anak daro menyiramkan limo yang
telah disiapkan. Limo tersebut disiram dari bagian kepala hingga seluruh tubuh.
Gambar 3.11
Upacara mandi limo dilakukan oleh bapak kandung anak daro.
sumber: dokumentasi penulis (2014)
Upacara adat berikutnya yaitu pemberangkatan, penyambutan, dan
penerimaan marapule di rumah anak daro (mangarak marapule). Upacara
pemberangkatan marapule menuju rumah anak daro dilengkapi dengan sunting
pernikahan tempat sirih yang dijunjung oncu marapule, pakaian adat marapule,
pasukan galombang XII sebagai pengarak marapule, payung kuning untuk
memayungi marapule, dua orang pengawal marapule, panji-panji nan duo bale,
bebarapa anak perawan, dan anak alek (pemusik sikambang) serta masyarakat
yang turut mengantar. Setelah seluruhnya lengkap, rombongan bergerak perlahan
62
menuju rumah anak daro. Pemberangkatan diiringi oleh lagu dan musik
sikambang hingga tiba di rumah anak daro.
Gambar 3.12 Persiapan upacara mangarak marapule menuju rumah anak daro.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Gambar 3.13
Suasana pengarakan marapule bersama rombongan.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
63
Rombongan pihak pengantin laki-laki disambut oleh pasukan galombang
XII pihak pengantin perempuan. Kedua pasukan tersebut bersilat untuk membela
raja (marapule) dan ratu (anak daro) mereka dan dipisahkan oleh langgue. Pihak
pasukan marapule harus mengalahkan pasukan anak daro untuk dapat memasuki
halaman rumah anak daro.
Gambar 3.14
Pertunjukan galombang XII dilakukan antara pihak marapule dan anak daro.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Selanjutnya, pertunjukan tari rande dilaksanakan untuk mempersiapkan
penyambutan marapule. Dengan demikian, tari ini dipertunjukkan di hadapan
kedua orang pengantin dan marapule. Tari ini dibawakan oleh 4 orang laki-laki.
64
Gambar 3.15 Tari rande disajikan di hadapan marapule.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Gambar 3.16 Suasana upacara akad nikah di rumah anak daro.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
65
Akhirnya, marapule diterima oleh ibu anak daro dan dicuci kakinya
dengan air dalam galeta. Lalu, marapule disambut dengan taburan beras kunyit
dan digiring ke atas kasur kain tingkah. Sebelum melangsungkan akad nikah,
marapule mengganti pakaian adatnya dengan pakai jas.
Upacara akad nikah dilaksanakan sekitar pukul 14.00 WIB. Upacara ini
dipimpin oleh kepala kecamatan dan kepala lingkungan tempat tinggal anak daro.
Upacara ini disaksikan kedua orang tua, dua orang saksi dari pihak keluarga dan
kerabat atau tetangga. Akad nikah dimulai dengan permohonan izin marapule dan
anak daro kepada kedua orang tuanya. Selanjutnya, ayah anak daro memimpin
ijab kabul nikah dengan marapule. Seusai ijab Kabul anak daro dan marapule
mengganti pakaiannya dengan pakaian adat Pesisir. Kemudian, anak daro diarak
di sekitar daerah tempat tinggalnya. Oncu, ibu, dan ibu-ibu rombongan kerabat
dekat anak daro turut mengaraknya, di mana ini merupakan suatu pernyataan
bahwan anak daro telah resmi menikah.
Gambar 3.17 Anak daro dan ibu-ibu keluarga anak daro mengaraknya.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
66
Pada malam harinya, dilakukan acara malam basikambang untuk
meyakinkan dan menyandingkan pengantin di pelaminan yang sama. Upacara
tersebut diisi dengan pertunjukan alat musik, lagu, dan tari dalam kesenian
sikambang untuk menghibur kedua pengantin. Upacara ini dilaksanakan di dalam
rumah pengantin perempuan. Dalam upacara ini, pihak pengantin perempuan
menyediakan makanan nasi lamak untuk menjamu tamu yang datang. Pada
penghujung acara, kedua pengantin melakukan upacara bersanding di pelaminan
(mampelok tampek basanding) yang menandakan pengantin laki-laki diterima
seutuhnya menjadi bagian dalam keluarga pihak perempuan.
Gambar 3.18
Malam basikambang dilaksanakan di rumah anak daro.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Penerimaan pengantin laki-laki menjadi bagian keluarga pihak pengantin
perempuan menunjukkan suatu makna. Makna penerimaan tersebut yaitu kedua
67
belah pihak telah menjadi satu keluarga. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang
dikerjakan dalam keluarga dilaksanakan dengan rasa saling menghormati dan
penuh persaudaraan.
Setelah bersanding, mereka mengikuti sub-upacara yaitu basuok-suokan
dan bacokki. Basuok-suokan merupakan acara saling suap-suapan yang bermakna
lambang tugas dan tanggung jawab istri untuk melayani suami. Selain itu juga
bermakna sebagai wujud kasih sayang suami kepada istri. Sedangkan bacokki
merupakan acara bermain halma dan saling merampas buah cokki dengan malu-
malu. Hal ini melambangkan makna wujud kasih sayang di antara mereka.
3.2.7 Balik Ari atau Tapanggi
Menurut tradisi Suku Pesisir, tahap balik ari atau tapanggi dilaksanakan
satu minggu setelah pesta pernikahan. Kedua pengantin diwajibkan untuk
mengunjungi ayah dan ibu pengantin laki-laki. Upacara ini bertujuan untuk
menyampaikan sembah sujud dan permohonan doa restu karena pengantin laki-
laki akan berpisah dengan kedua orang tuanya. Dalam hal ini, pengantin laki-laki
tinggal bersama di rumah orang tua istrinya hingga mereka memperoleh seorang
anak.
Kedua pengantin datang bersama orang tua dan kerabat dari keluarga
perempuan. Upacara ini bertujuan untuk menyambut kedatangan menantu di
rumah pihak laki-laki. Kedatangan mereka disambut keluarga laki-laki dengan
taburan beras kuning. Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar kedatangan
pengantin dan rombongan diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam upacara ini,
kedua orangtua pengantin memberikan nasihat-nasihat kepada kedua pegantin.
68
Nasihat-nasihat tersebut berupa kedua pengantin menjalani hubungan dengan
baik, menghargai kedua orang tua dan keluarga, dan mendapat keturunan.
Sebelumnya, makanan Pesisir disiapkan seperti nasi kunik panggang ayam
panggang geleng, panggang pacak, goreng geleng, sambam, dan beragam jenis
kue seperti nasi tue, kue koci, lappek, bainti, kue abuk, dan putu bendera. Namun,
persiapan makanan tersebut diberikan secara khusus kepada kedua orangtua
pengantin. Saat melakukan kunjungan tersebut, kedua pengantin mengenakan
pakaian tradisi adat Pesisir. Pengantin perempuan mengenakan palekat dan
selendang manduara. Sedangkan pengantin laki-laki mengenakan baju gunting
cino, sarung sesamping, dan peci.
3.3 Jenis-jenis Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir
Ada dua jenis perkawinan Suku Pesisir yang dibedakan dan diatur menurut
adat sumando, yaitu perkawinan gala IX dan gala XII. Pada awalnya, perkawinan
adat sumando dengan gala IX dan XII dilaksanakan untuk para raja-raja zaman
dahulu.7 Perkawinan dengan gala IX atau XII membutuhkan persiapan-persiapan
yang wajib dan khusus. Perkawinan dengan menyandang gala dapat dilaksanakan
jika pemilik pesta mampu untuk memenuhi syarat-syaratnya. Dengan kata lain,
perkawinan gala IX dan XII menunjukkan status pihak keluarga perempuan dan
laki-laki.
3.3.1 Upacara Adat Perkawinan Gala XII
Menurut Radjoki Nainggolan, perkawinan gala XII harus mempersiapkan
segala sesuatu sesuai dengan adat Sumando, yaitu:
7 Hasil wawancara penulis dengan Bapak Khairil Husni pada tanggal 20 Maret 2014.
69
1. Menggantung tabi dan langik-langik
2. Memasang pelaminan dengan perangkatnya yaitu mengikatkan 12 bambu
dengan ukuran dua meter
3. Menggantungkan 12 helai selendang yang beraneka warna di atas pelaminan
pengantin
4. Memakai banta basusun (tempat duduk pengantin)
5. Memakai cincin Nabi Sulaiman (selendang diikat dengan gelang)
6. Memakai kelambu tujuh lapis yang berwarna-warni
7. Memasang bi di pintu pelaminan (kain berbentuk celana laki-laki)
8. Memasang sauh di tengah kelambu yang bergambar kuda laut (tempat kaitan
kain kelambu kiri dan kanan)
9. Memakain bua buntun (tiang berbentuk bulat dibalut dengan kain kuning)
10. Memakai tali ai
11. Memakai nane sarumpun
12. Memakai lapik pandan berwarna hitam, kuning dan kain candei
13. Memakai laba mangirok
14. Memakai jajak lalu marapule (payung kuning)
15. Menyembelih kerbau
3.3.2 Upacara Adat Perkawinan Gala IX
Perkawinan gala IX harus mempersiapkan segala sesuatu sesuai dengan
adat Sumando, yaitu:
1. Memasang pelaminan dengan perangkatnya yaitu mengikatkan 9 bambu
dengan ukuran dua meter
70
2. Menggantungkan 9 helai selendang yang beraneka warna di atas pelaminan
pengantin
3. Memakai bua buntun (tiang berbentuk bulat dibalut dengan kain kuning)
4. Memakai tali ai
5. Memakai banta basusun (tempat duduk pengantin)
6. Memakai tingka
7. Menyembelih kambing
3.4 Komponen Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir
Dalam komponen upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga,
penulis berpedoman pada sistem upacara keagamaan yang menjadi perhatian dari
para ahli antropologi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2009:296), yakni
secara khusus mengandung empat aspek: (1) tempat upacara dilakukan; (2) saat-
saat upacara dijalankan; (3) benda-benda dan alat upacara; dan (4) orang-orang
yang melakukan dan memimpin upacara.
3.4.1 Tempat Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir
Tempat upacara adat perkawinan Suku Pesisir dilaksanakan pada dua
tempat, yaitu di rumah pengantin perempuan jalan Perintis Kemerdekaan No. 52
Sibolga dan rumah pengantin Laki-laki jalan Jamin Ginting No.7 Medan, antara
lain:
1. Tahap risik-risik dilaksanakan di rumah pihak pengantin perempuan dan
pengantin laki-laki.
2. Tahap sirih tanyo dilaksanakan di rumah pengantin perempuan.
3. Tahap marisik dilaksanakan di rumah pengantin perempuan.
71
4. Tahap maminang dilaksanakan di rumah pengantin laki-laki terlebih dahulu
sebagai tahap persiapan. Setelah itu, tahap ini dilanjutkan di rumah pengantin
perempuan.
5. Tahap manganta kepeng dilaksanakan di rumah pengantin laki-laki terlebih
dahulu sebagai tahap persiapan. Setelah itu, tahap ini dilanjutkan di rumah
pengantin perempuan.
6. Tahap mato karajo dan akad nikah dilaksanakan di rumah pengantin
perempuan.
7. Tahap balik ari atau tapanggi dilaksanakan di rumah pengantin laki-laki.
3.4.2 Waktu Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir
Menurut para informan, waktu pelaksanaan dibicarakan dan disepakati
oleh pihak pengantin perempuan dan pihak pengantin laki-laki. Setiap tahap
upacara adat mulai tahap risik-risik, sirih tanyo, marisik, mangata kepeng, mato
karajo sampai tahap balik ari atau tapanggi tidak dibatasi kuantitas waktunya.
Dengan demikian, waktu pelaksanaan setiap tahap bersifat relatif dan tergantung
pada hasil proses pembicaraan pihak pengantin perempuan dan pengantin laki-
laki.
3.4.3 Benda dan Peralatan Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir
Setiap tahap upacara adat perkawinan Suku Pesisir selalu dilaksanakan
dengan dukungan dari berbagai jenis benda dan peralatan. Setiap tahap upacara
adat memerlukan benda dan peralatan yang berbeda, antara lain:
1. Tahap risik-risik terlaksana dengan tidak menggunakan benda dan
peralatan apapun.
72
2. Tahap sirih tanyo terlaksana dengan menggunakan kampi siri bakatuk yang
diisi dengan daun sirih.
3. Tahap marisik terlaksana dengan menggunakan kampi siri bakatuk yang diisi
dengan daun sirih.
4. Tahap maminang terlaksana dengan menggunakan kampi siri bakatuk yang
berisi beras kunyit, lilin, imbalo, kemiri, benang dua warna, jarum, dan sirih.
5. Tahap manganta kepeng terlaksana dengan menggunakan uang (mahar) dan
kampi siri bakatuk.
6. Tahap mato karajo terlaksana dengan menggunakan kampi siri bakatuk,
sunting, pisang manis, kelapa muda yang diukir, gunting, payung berwarna
kuning, beras kuning, dua buah pedang bacabuk, langik-langik, banta
basusun, cincin nabi sulaiman, sauh, bi, bua buntun, tali ai, nane sarumpun,
lapik pandan, laba mangirok, tingka, selendang 12 warna, bambu, halma, dan
galeta.
7. Tahap balik ari atau tapanggi terlaksana dengan beras kuning..
3.4.4 Pemimpin dan Peserta Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir
Secara khusus, setiap tahap upacara adat dipimpin oleh dua orang
talangke, baik yang diutus oleh pihak pengantin laki-laki maupun yang diutus
oleh pihak pengantin perempuan. Berikut ini, penulis menguraikan pemimpin dan
peserta upacara adat Perkawinan Suku Pesisir:
1. Tahap risik-risik dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan pihak laki-
laki dengan peserta yang terdiri dari ibu-ibu kerabat dekat marapule dan
orang tua anak daro.
73
2. Tahap sirih tanyo dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan pihak laki-laki
dengan peserta yang terdiri dari ibu-ibu kerabat dekat marapule dan orang tua
anak daro.
3. Tahap marisik dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan pihak laki-laki
dengan peserta yang terdiri dari ibu-ibu kerabat dekat marapule, anak daro,
dan orang tua anak daro.
4. Tahap maminang dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan laki-laki,
kepala desa dan tokoh adat dengan peserta yang terdiri dari kedua orang tua,
dan kerabat dekat kedua pengantin.
5. Tahap manganta kepeng dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan laki-
laki, kepala desa, alim ulama dan tokoh adat serta para tamu undangan.
6. Tahap mato karajo dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan laki-laki,
kepala desa, tokoh agama, dan tokoh adat. Peserta tahap ini yaitu anak daro,
marapule, induk inang, orang tua pihak perempuan dan laki-laki, masyarakat
setempat, dan undangan.
7. Tahap balik ari atau tapanggi dipimpin oleh tokoh adat dan diikuti oleh anak
daro, marapule, dan keluarga pihak laki-laki dan perempuan.
3.5 Dampeng
Dampeng adalah salah satu musik vokal (lagu) kesenian sikambang Suku
Pesisir Sibolga yang harus disajikan dalam setiap upacara adat perkawinan
sumando. Musik vokal ini digunakan Suku Pesisir sebagai nyanyian nasihat yang
ditujukan kepada kedua pengantin dan orang tuanya. Selain itu juga dapat
ditujukan kepada undangan yang hadir dalam suatu upacara adat.
74
Dampeng merupakan nyanyian yang disajikan tanpa iringan alat musik.
Setiap penyaji memulai nyanyian ini dengan menarik nada berdasarkan yang
sudah dipelajarinya secara lisan sejak awal. Dalam penyajiannya, setiap penyaji
bernyanyi dengan melodi yang sama, tetapi teks yang dinyanyikan berubah-ubah.
Menurut Syahriman Hutajulu, teks dampeng dibentuk dari seluruh proses
kehidupan masyarakat Suku Pesisir Kota Sibolga. Dengan demikian, teks
dampeng bersifat penting dalam penyajian dampeng.
Dampeng terdapat dalam dua bagian suatu upacara adat yakni tahap
mangarak marapule yang dilakukan pada siang hari dan mampelok tampek
basanding yang dilakukan pada malam hari. Nyanyian ini bersifat penting dan
hanya dapat dibawakan oleh orang-orang yang mampu menyajikannya.
Dampeng dibawakan dengan cara berpantun. Setiap penyaji menyanyikan
dua bagian dalam pantun, yaitu sampiran dan isi pantun. Sampiran dan isi pantun
dinyanyikan secara call and responsorial, artinya terdapat dua kelompok penyaji.
Penyaji solo (pemimpin dampeng) menyanyikan sampiran dan isi pantun.
Sedangkan penyaji kelompok (perespon dampeng) menyanyikan bagian chorus
yang selalu diulangi saat sampiran dan isi pantun disajikan.
Dalam tahap mangarak marapule terdapat dua sub-upacara, yaitu
pemberangkatan dan penyambutan marapule. Saat pemberangkatan marapule,
dampeng dinyanyikan untuk mengawali keberangkatan. Sedangkan saat
penyambutan marapule, dampeng dinyanyikan sambil mengiringi tari rande.
75
3.6 Penyajian Dampeng
Dalam suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir, dampeng akan
disajikan dalam dua tahap, yaitu (1) memberangkatkan pengantin laki-laki
(marapule) menuju rumah pengantin perempuan (anak daro) dalam menjalani
akad nikah (mangarak marapule) dan (2) mengantarkan pengantin laki-laki dari
pelaminannya menuju pelaminan pengantin perempuan untuk menyandingkan
kedua pengantin (mampelok tampek basanding). Dalam tahap upacara ini,
dampeng disajikan sebanyak 3 kali, yaitu: (1) dampeng mangarak; (2) dampeng
barande; dan (3) dampeng basanding.
3.6.1 Dampeng Mangarak
Dampeng mangarak merupakan nyanyian nasihat yang dilaksanakan
untuk memberangkatkan marapule dari rumahnya. Nyanyian ini dapat dimulai
apabila seluruh rombongan berkumpul di halaman rumah marapule dan bersiap
untuk menuju rumah anak daro. Berdasarkan gala XII dalam upacara adat,
dampeng ini dibagi 2 secara ganjil. Bagian pertama dinyanyikan sebanyak 5 kali.
Dengan demikian, terdapat 5 pantun dengan masing-masing 5 sampiran
dan 5 isi pantun. Bagian kedua dinyanyikan dalam dampeng barande. Dampeng
mangarak dinyanyikan pada siang hari sekitar pukul 13.00 WIB. Setelah dampeng
mangarak dibawakan dengan 5 pantun, rombongan dapat bergerak menuju rumah
anak daro. Selama dalam perjalanan, rombongan diiringi alat musik dan lagu
kesenian sikambang.
76
Gambar 3.19
Dampeng mangarak dimulai saat marapule dan rombongan keluarga
marapule memulai keberangkatannya.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
3.6.2 Dampeng Barande
Dampeng barande merupakan nyanyian nasihat yang dilaksanakan untuk
menyambut marapule di halaman rumah anak daro. Nyanyian ini dimulai dengan
pertunjukan dua pasukan galombang XII. Selanjutnya, pasukan galombang
marapule harus memenangkan pertunjukan tersebut. Dengan demikian,
rombongan marapule baru dapat memasuki halaman rumah anak daro.
Setelah memenangkannya, seluruh rombongan berdiri di halaman rumah
anak daro. Kedatangan mereka disambut oleh kedua orang tua marapule dan anak
daro. Lalu marapule, orang tua marapule, dan orang tua anak daro duduk
77
bersama dan menikmati tari rande yang berfungsi untuk menghibur mereka. Tari
rande dimulai oleh dampeng mangarak.
Nyanyian ini merupakan nasihat-nasihat yang ditujukan kepada marapule,
orang tua marapule, dan orang tua anak daro dan seluruh undangan untuk
bersiap-siap dalam melaksanakan upacara akad nikah. Setelah selesai, marapule,
orang tua marapule, dan orang tua anak daro memasuki rumah anak daro.
Berdasarkan gala XII, dampeng barande disajikan dengan 7 pantun dengan
masing-masing 7 sampiran dan 7 isi pantun. Penyaji solo (pemimpin dampeng)
dilakukan secara bergantian dan bergiliran.
Gambar 3.20
Penyajian dampeng barande diiringi dengan tari rande.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
78
3.6.3 Dampeng Basanding
Dampeng basanding merupakan nyanyian nasihat yang dilaksanakan
untuk menerima marapule secara utuh di rumah anak daro. Seluruh rangkaian
dampeng basanding dilakukan pada malam hari sekitar pukul 23.00 WIB.
Upacara ini juga dikenal dengan malam basikambang. Di mana, seluruh kesenian
sikambang Pesisir Sibolga dapat disaksikan. Seluruh kesenian sikambang Pesisir
Sibolga ini dipertunjukkan di depan marapule. Dalam hal ini, marapule dianggap
sebagai raja dan harus dihibur. Upacara dimulai dengan pertunjukan tari
saputangan yang diiringi oleh lagu kapri. Selanjutnya, tari payung diiringi lagu
kapulo pinang. Berikutnya, tari selendang diiringi lagu duo. Pertunjukan diakhiri
oleh tari anak yang diiringi oleh lagu sikambang.
Sesuai dengan upacara adat perkawinan gala XII, dampeng basanding
dibawakan secara penuh, yaitu 12 pantun dengan 12 sampiran dan 12 isi pantun.
Secara khusus, nyanyian yang berisi nasihat-nasihat ini ditujukan kepada
marapule dan anak daro. Penyaji solo (pemimpin dampeng) dilakukan secara
bergantian dan bergiliran. Saat dampeng basanding dinyanyikan sampai dengan
pantun ke-5, marapule berdiri di tempat dan bersiap menuju pelaminan anak
daro. Selanjutnya, saat dampeng basanding dinyanyikan sampai dengan pantun
ke-8, marapule menggerakkan satu langkah kakinya menuju pelaminan anak
daro.
Berikutnya, saat dampeng basanding dinyanyikan sampai dengan pantun
ke-10, marapule menggerakkan satu langkah kakinya menuju pelaminan anak
daro. Akhirnya, saat dampeng basanding dinyanyikan sampai dengan pantun ke-
12, marapule menggerakkan satu langkah kakinya dan bertatapan muka dengan
anak daro di pelaminan anak daro.
79
Gambar 3.21
Marapule melangkah menuju pelaminan anak daro dengan diiringi
dampeng basanding.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
3.7 Fungsi dan Penggunaan Dampeng
Pada bagian ini, penulis mengemukakan fungsi dan penggunaan dampeng
dalam konteks upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Dalam
menemukan fungsi dan penggunaan dampeng, penulis berpedoman pada teori
Alan P. Merriam.
3.7.1 Fungsi Dampeng
Dampeng mempunyai fungsi dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir.
Menurut Merriam (1964 : 219-227), ada 10 fungsi musik dalam kebudayaan yaitu:
(1) sebagai hiburan; (2) sebagai perlambangan (simbolisme); (3) sebagai alat
komunikasi; (4) sebagai penghayatan estetis; (5) sebagai reaksi jasmani; (6)
sebagai pengungkapan emosional; (7) sebagai pengintegrasian masyarakat; (8)
80
sebagai kesinambungan kebudayaan; (9) sebagai pengesahan lembaga sosial dan
upacara agama/kepercayaan; serta (10) sebagai penekanan norma-norma sosial.
Dengan memperhatikan teori tersebut, penulis menyimpulkan bahwa terdapat 5
fungsi dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir, yaitu:
1. Sebagai hiburan, yaitu Suku Pesisir melaksanakan kesenian sikambang,
secara khusus dampeng dalam upacara adat perkawinan untuk menghibur
anak daro dan marapule, keluarga besar, dan masyarakat yang datang
dalam pesta tersebut.
2. Sebagai pengungkapan emosional, yaitu dampeng dilakukan berdasarkan
pengungkapan perasaan dan ekspresi sukacita yang dituangkan ke dalam
melodi dan teks dampeng.
3. Sebagai alat komunikasi, yaitu teks dampeng mengandung nasihat-nasihat
yang berguna untuk kehidupan baru pengantin dan kedua orang tua
pengantin.
4. Sebagai kesinambungan kebudayaan, yaitu dampeng diselenggarakan
untuk mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang ada pada kebudayaan
Suku Pesisir.
5. Sebagai pengesahan lembaga sosial dan upacara agama/kepercayaan, yaitu
dampeng terlaksana menjadi simbol bahwa upacara perkawinan tersebut
telah sah berjalan.
3.7.2 Penggunaan Dampeng
Dampeng merupakan bagian iringan dari berbagai kegiatan dalam upacara
adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Dengan kata lain, dampeng tidak
dapat dijadikan sebagai kegiatan yang berdiri sendiri. Dampeng dipakai dalam
81
setiap upacara adat sumando perkawinan Suku Pesisir. Namun, penggunaannya
dapat dilaksanakan apabila adat perkawinan merupakan adat perkawinan gala IX
dan gala XII.
3.8 Penyaji Dampeng (Anak alek)
Penyaji dampeng (anak alek) selalu melakukan pertunjukan secara
berkelompok. Anak alek tidak dapat melakukan suatu pertunjukan secara
perseorangan. Secara umum, mereka berjumlah 20-30 orang. Pada awalnya, anak
alek diundang dengan mendatangi pemimpin kelompok atau anggota-anggota
anak alek untuk melakukan serangkaian upacara yang berkaitan dengan
sikambang. Kedatangan itu ditandai dengan syarat membawa langue perak
(sejenis tepak terbuat dari perak) yang berisikan sirih. Pemimpin atau anggota
anak alek tidak dapat menolak jemputan tersebut apabila tidak didapati tugas yang
sama pada waktu yang bersamaan (Radjoki 2012:66-67).
Secara umum, proses pemberian langue perak tidak membicarakan hal-hal
yang berkenaaan dengan pembayaran. Namun, pembayaran diberikan secara
sukarela dan disesuaikan dengan kemampuan pihak yang mengadakan mato
karajo. Kedudukan pimpinan dan anggota anak alek sangat dihormati dan
dipercaya di kalangan Suku Pesisir. Hal itu dapat dilihat melalui cara
pengundangannya yang mempersembahkan langue perak. Selain itu, kepercayaan
masyarakat Suku Pesisir terhadap anak alek dapat dilihat melalui proses
pengaturan dan penyelenggaraan upacara yang diserahkan sepenuhnya.
82
BAB IV
ANALISIS TEKSTUAL
4.1 Bentuk Teks Dampeng
Dampeng sebagai salah satu pertunjukan kultural Suku Pesisir
mengandung unsur-unsur musikal. Di samping itu, dampeng juga mengandung
teks yang menjadikannya fungsional dalam kebudayaan Suku Pesisir, khususnya
dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir. Teks dampeng memiliki peranan
yang sangat penting dalam konteks upacara adat perkawinan Suku Pesisir.
Penyampaian teks dampeng membentuk komunikasi lisan di antara
penyaji dampeng, kedua pengantin (marapule dan anak daro), kedua orang tua
pengantin, dan para undangan yang hadir. Berbagai komunikasi lisan dalam
pertunjukan dampeng berdasarkan pada pola-pola budaya Pesisir. Dengan
demikian, komunikasi dua arah tersebut menciptakan interpretasi para
pendengarnya.
Teks dampeng berbentuk pantun secara keseluruhan dengan dua bagian
utama, yaitu sampiran dan isi. Sampiran dalam teks dampeng disampaikan dengan
menggunakan kata-kata berupa kata kiasan dan perumpamaan. Sedangkan isi teks
dampeng disampaikan dengan menggunakan kata-kata berupa kata-kata ungkapan
yang memiliki makna. Bagian utama dalam dampeng dibawakan secara solo dan
berganti-gantian.
Selain berbentuk pantun, teks dampeng juga memiliki bentuk lain yaitu
chorus. Chorus adalah pengulangan satu bagian lagu secara teratur. Bagian chorus
83
selalu dinyanyikan untuk mengawali dan mengakhiri bagian utama teks dampeng.
Bagian ini disajikan oleh seluruh penyaji dampeng secara bersama-sama.
Teks dampeng digolongkan sebagai teks yang bersifat logogenik.8
Logogenik berarti teks dalam dampeng tercipta secara spontan. Teks dampeng
diciptakan oleh penyaji dampeng dan bertemakan tentang proses kehidupan suatu
insan.
Teks dampeng juga digolongkan sebagai teks yang bersifat melismatik.
Melismatik berarti satu suku kata dapat dinyanyikan dengan beberapa nada.
Dalam teks dampeng ditemukan berbagai suku kata yang diciptakan penyaji dan
dinyanyikan dengan beberapa nada.
Dalam Bab IV ini, penulis mengkaji teks dampeng yang disajikan dalam
upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Kajian ini menggunakan
teori semiotik yang meletakkan lambang sebagai bagian dari komunikasi.
Komunikasi dapat terjadi dengan dua arah dan mengandung makna-makna
tertentu. Makna digunakan untuk menyampaikan suatu pesan.
4.2 Analisis Semiotik Tekstual Dampeng
Teks dampeng merupakan sastra tradisional (sastra lisan) Pesisir yang
bermuatan nilai-nilai budaya Suku Pesisir. Isi teks dampeng secara khusus
8 Logogenik adalah satu kebudayaan musik etnik atau musik dunia dengan ciri khas utamanya adalah menggunakan dan menumpukan teks yang dikomunikasikan secara verbal. Biasanya menggunakan salah satu atau perpaduan unsur-unsur ritme, melodi, atau harmoni. Dalam kebudayaan musik logogenik ini, unsur sastra dan folklor mendapat peranan penting. Namun, berbeda dengan bahasa sehari-hari, teks dipertunjukan melalui lagu bukan bahasa sehari-hari. Dengan demikian nyanyian jenis ini selalu menggunakan bahasa yang digayakan dan mengandung unsur-unsur perlambangan. Ada kalanya bersifat rahasia seperti pada mantra. Seterusnya, jika sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan menekankan kepada teks, maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini, lebih menumpukan pertunjukan pada aspek komunikasi bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melalui ritme, melodi, atau bunyi-bunyian lainnya, diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menelitinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang bisa dijejaki melalui pemikiran mereka (lihat Malm, 1977).
84
merupakan nasihat-nasihat yang disajikan dalam bentuk pantun. Dengan demikian
teks dampeng bernilai sama dengan karya sastra yang berkaitan erat dengan
sistem bahasa masyarakat pendukungnya.
Menganalisis teks dampeng berarti mencari tahu dan menemukan makna-
makna yang muncul dari teks dampeng tersebut. Sehubungan dengan penemuan
makna-makna tersebut, Alan P. Merriam mengemukakan bahwa musik juga
mempengaruhi bahasa di mana keperluan musikal meminta perubahan dalam
bentuk-bentuk percakapan yang normal. Ciri-ciri bahasa dalam lagu adalah jenis
terjemahan yang istimewa yang mana kadang kala memerlukan pengetahuan
bahasa yang istimewa pula (1964:188). Ini berarti teks dalam dampeng tidak
mengikuti struktur yang biasa dalam bahasa Pesisir.
Selanjutnya Merriam menyatakan bahwa salah satu kesulitan yang serius
melakukan terjemahan beberapa lagu ditemukan dari bentuk-bentuk kata untuk
kepentingan eufonis. Eufonis merupakan penambahan, pengubahan, atau
penghilangan silabel pada sebuah kata untuk mencapai efek musikal. Dengan
demikian, penemuan makna-makna dalam teks dampeng berdasarkan kepada
tafsiran-tafsiran penyaji dampeng.
Teks dampeng terdiri dari silabel-silabel yang tersusun berdasarkan
aturan-aturan tertentu. Artinya susunan silabel-silabel dalam teks dampeng diatur
sesuai dengan kebutuhan melodi dan keindahan pengembangan melodi dampeng.
Sebagian dari silabel tersebut berbentuk kata yang mempunyai arti. Sebagian lain,
berbentuk kata yang tidak mempunyai arti atau silabel tambahan. Yang dimaksud
dengan kata yang mempunyai arti adalah kata yang dapat diartikan ke dalam
bahasa daerah setempat atau bahasa Pesisir dan bahasa Indonesia. Berikut ini
merupakan contoh kata-kata yang mempunyai arti.
85
Tabel 4.1
Contoh Kata yang Mempunyai Arti
No. Kata Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia
1. kawanei Kawan Teman
2. dusanakei Dusanak saudara
3. Kininei Kini sekarang
Sedangkan silabel tambahan tidak dapat diartikan ke dalam bahasa daerah
setempat atau bahasa Pesisir dan Bahasa Indonesia. Jumlah silabel tambahan
dalam penyajian dampeng tidak sama karena hal itu tergantung pada penggarapan
teks seorang penyaji. Berikut ini merupakan contoh silabel tambahan dalam teks
dampeng.
Tabel 4.2
Contoh Silabel Tambahan
No. Kata
1. oi
2. da
3. are
4. to
Dalam analisis ini, penulis memilih teks dampeng yang dilaksanakan pada
malam hari, yaitu dampeng basanding. Teks dampeng tersebut terdiri dari 12
pantun. Selanjutnya untuk memudahkan proses penganalisisan teks dampeng¸
penulis membaginya menjadi dua bagian, yaitu 12 sampiran dan 12 isi pantun.
Selain itu penulis memisahkan silabel-silabel tambahan dari teks dampeng.
Berikut ini teks dampeng basanding dan artinya dalam Bahasa Indonesia. Arti
teks dampeng basanding ini langsung diterjemahkan oleh salah seorang penyaji
86
dampeng yang merupakan informan kunci penulis yaitu Bapak Syahriman
Hutajulu.
Dampeng Basanding
1. Sampiran Karambi dusun mangatari,
Tumbu di belok kampung cino
Kelapa dari kampung
Tumbuh di kampung Cina
Isi Tolan badusun managari,
tolong manompang dagang hino
Manusia bermasyarakat dalam satu kampung
Tolong menumpang perantau ini
2. Sampiran Indak baruba nibung di tabang,
Asalkan condong katapian
Tidak berubah nibung ditebang
Asalkan condong ke tepian
Isi Indak baruba dagang di tompang,
Asalkan samo paratian
Tidak berubah pilihan hati
Asalkan sama-sama perhatian
87
3. Sampiran Sakkik bana kane jilatang
Indahlah buli di baok mandi
Sakit sekali kena jilatang
Tidaklah dapat dibawa mandi
Isi Sakkik bana dagang manompang
Indaklah buli ba sukko ati
Sakit sekali bila menumpang
Tidaklah dapat sesuka hati
4. Sampiran Kok pande bakain panjang
Ala saraso bakain sarung
Jikalau pandai memakai kain panjang
Sudah serasa memakai kain sarung
Isi Kok pande bainduk samang
Ala sarupo ba umak kandung
Jikalau pandai berinduk semang
Sudah sama seperti ibu kandung
5. Sampiran Kok pande tolan malenggang
Malengganglah di tapi pasi
Jikalau saudara pandai berjalan
Berjalanlah di tepi pasir
88
Isi Kok pande tolan ba tenggang,
Diganggam indak tiri
Jikalau saudara pandai memegang
Digenggam tidak lepas
6. Sampiran Ujung pasi bakelok-kelok,
Bakelok lalu ka ujung karang
Ujung pantai berkelok-kelok
Berkelok ke ujung karang
Isi Bakasi-kasi mak buli elok
Jangan di danga fitanah urang
Saling menyayangi supaya mesra
Jangan didengar gunjingan orang
7. Sampiran Tali kai turunla bantaian,
Pangai anak kerong bali
Tali pancing disiapkan
Untuk memancing kerong bali
Isi Ala di maksud jadila pakaian,
Jangan diduo tigo lai
Telah dipilih jadilah dipakai
Janganlah dijadikan dua atau tiga
89
8. Sampiran Atak-atak bantalan basusun
Ambikla piso turila indayan
Diatur bantal bersusun
Ambillah pisau untuk membelah
Isi Tatap-tatap hunikan dusun
Janganla tolan kumari layan
Tetaplah hidup di kampung
Janganlah saudara hidup tidak menentu
9. Sampiran Siboga jolongla basusuk,
Banda di kali urang rante
Sibolga pada awalnya
Parit digali oleh tawanan perang
Isi Jangan manyasa tolan isuk
Tatompang dagang urang sangse
Jangan saudara menyesal kemudian
Hidup dengan orang yang melarat
10. Sampiran Siboga di lingkung gunung,
Panjang jambatan di kalangan
Sibolga dikelilingi gunung
Panjang jembatan di Kalangan
90
Isi Jiko tolan mandapek untung,
Kampung halaman lupokan jangan
Jika saudara mendapat untung
Kampung halaman jangan lupakan
11. Sampiran Ala datang si kapa puti,
Tagak bandera saputangan
Telah datang si kapal putih
Berdiri bendera saputangan
Isi Ala datang si kandak ati,
Mancari labuan agak tanang
Telah datang si jantung hati
Mencari labuhan hati yang tenang
12. Sampiran Limo puruk di ganggam ampek,
Siso balimo kalamari
Jeruk purut digenggam empat
Sisa dua hari yang lalu
Isi Pasang surut ombaknyo rapek
Jawek aluan biduk kami
Pasang yang sudah surut ombaknya kecil
Sambut haluan perahu kami
91
Teks dampeng di atas merupakan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh
para penyaji dampeng secara khusus kepada kedua pengantin. Namun, teks
dampeng tersebut juga ditujukan kepada kedua orang tua pengantin dan undangan
yang hadir. Secara umum, dampeng yang dinyanyikan kepada kedua pengantin
berisikan pedoman-pedoman dalam memulai dan mengarungi kehidupan rumah
tangga yang baru.
Setiap teks dampeng dimulai dengan kata-kata: “o dampeng si dampeng”
atau “o beleng si dampeng”. Teks “O dampeng si dampeng” dibawakan dalam
dampeng mangarak dan dampeng basanding. Menurut informan, kata “dampeng”
tidak mempunyai arti dalam bahasa Indonesia. Sedangkan teks “o beleng si
dampeng” dibawakan dalam dampeng barande. Kata “beleng”dalam bahasa
Pesisir berarti berputar. Kata-kata tersebut di atas selalu dinyanyikan untuk
memulai isi dan sampiran teks dampeng.
Dalam mengakhiri isi dan sampiran teks dampeng, kata-kata: “Oi da
kawanei tolongla iyokan, iyola, iyo, a ,are, to” selalu dinyanyikan. Arti kalimat ini
dalam bahasa Indonesia adalah ya teman, tolonglah iyakan. Namun, kata
“kawanei” dapat juga digantikan dengan kata-kata lain seperti sanakei, sayangei.
Secara struktural, seluruh teks dampeng terdiri dari 24 pantun. Teks ini
disajikan dengan menggunakan melodi yang terdiri dari delapan unsur seperti
tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval, nada, dan kontur.
Seluruh teks dampeng tersebut disajikan dengan penuh penghayatan.
Berikut ini, penulis menguraikan makna teks dampeng basanding dalam
upacara adat perkawinan Suku Pesisir Kota Sibolga. Pantun pertama yaitu
karambi dusun mangatari, tumbu di belok kampung cino, tolan badusun
managari, tolong manompang dagang hino. Artinya dalam bahasa Indonesia yaitu
92
kelapa dari kampung tumbuh di kampung Cina, manusia bermasyarakat dalam
satu kampung tolong menumpang perantau ini. Pantun ini berisi tentang tata
krama dalam menempati wilayah tempat tinggal yang baru. Dengan kata lain,
seorang perantau sebaiknya memohon izin kepada masyarakat setempat untuk
tinggal dalam suatu wilayah yang baru.
Selanjutnya, pantun kedua berbunyi sebagai berikut: indak baruba nibung
di tabang asalkan condong katapian, indak baruba dagang di tompang asalkan
samo paratian. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut: tidak berubah
nibung ditebang, asalkan condong ke tepian, tidak berubah pilihan hati asalkan
sama-sama perhatian. Pantun ini mengingatkan kedua pengantin bahwa
suami/istri tidak akan berubah asal keduanya saling memperhatikan.
Berikutnya, pantun ketiga yakni sakkik bana kane jilatang indahlah buli di
baok mandi, sakkik bana dagang manompang indaklah buli ba sukko ati. Bila
diartikan ke dalam bahasa Indonesia yakni sakit sekali kena jilatang tidaklah dapat
dibawa mandi, sakit sekali bila menumpang tidaklah dapat sesuka hati. Pantun ini
menyatakan bahwa seseorang tidak dapat berlaku seenaknya apabila sedang
berada di tempat yang asing atau baru.
Pantun keempat berbunyi sebagai berikut: kok pande bakain panjang ala
saraso bakain sarung, kok pande bainduk samang ala sarupo ba umak kandung.
Berikut ini arti pantun keempat dalam bahasa Indonesia: jikalau pandai memakai
kain panjang sudah serasa memakai kain sarung, jikalau pandai berinduk semang
sudah sama seperti ibu kandung. Pantun ini mengingatkan kedua pengantin bahwa
jikalau seseorang beradaptasi dengan bijaksana bersama orang lain, maka akan
terasa seperti keluarga sendiri.
93
Selanjutnya, pantun kelima berisikan sebagai berikut: kok pande tolan
malenggang malengganglah di tapi pasi, kok pande tolan ba tenggang diganggam
indak tiri. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut: jikalau saudara
pandai berjalan berjalanlah di tepi pasir, jikalau saudara pandai memegang yang
digenggam tidak lepas. Pantun ini berpesan kepada kedua pengantin bahwa setiap
masalah yang hadir dalam rumah tangga, sebaiknya disimpan rapat-rapat dan
tidak diketahui oleh orang lain.
Berikutnya, pantun keenam yaitu ujung pasi bakelok-kelok bakelok lalu ka
ujung karang, bakasi-kasi mak buli elok jangan didanga fitanah urang. Bila
diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: ujung pantai
berkelok-kelok berkelok ke ujung karang, saling menyayangi supaya mesra,
jangan didengar gunjingan orang. Dalam pantun ini, kedua pengantin diingatkan
untuk saling menyayangi dan mempercayai sebagai sepasang suami istri.
Pantun ketujuh berbunyi sebagai berikut: tali kai turunla bantaian pangai
anak kerong bali, ala di maksud jadila pakaian jangan diduo tigo lai. Dalam
bahasa Indonesia berarti tali pancing disiapkan untuk memancing kerong bali,
telah dipilih jadilah dipakai janganlah dijadikan dua atau tiga. Pantun ini tetap
mengingatkan kedua pengantin untuk saling setia dan tidak berselingkuh.
Berikutnya pantun kedelapan yaitu atak-atak bantalan basusun ambikla
piso turila indayan, tatap-tatap hunikan dusun janganla tolan kumari layan. Arti
pantun ini dalam bahasa Indonesia adalah diatur bantal bersusun ambillah pisau
untuk membelah, tetaplah hidup di kampung janganlah saudara hidup tidak
menentu. Pantun ini berpesan untuk tetap menyatu dalam keluarga atau membina
hubungan yang baik dengan keluarga.
94
Selanjutnya, pantun ke Sembilan yakni Siboga jolongla basusuk banda di
kali urang rante, jangan manyasa tolan isuk tatompang dagang urang sangse.
Dalam bahasa Indonesia diartikan berikut ini: Sibolga pada awalnya parit digali
oleh tawanan perang, jangan saudara menyesal kemudian hidup dengan orang
yang melarat. Pantun ini mengingatkan kedua pengantin untuk saling menerima
pasangan sebagaimana adanya dan tidak menyesal di hari yang akan datang.
Pantun kesepuluh berbunyi sebagai berikut: Siboga di lingkung gunung
panjang jambatan di Kalangan, jiko tolan mandapek untung kampung halaman
lupokan jangan. Pantun diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai
berikut: Sibolga dikelilingi gunung panjang jembatan di Kalangan, jika saudara
mendapat untung kampung halaman jangan lupakan. Pantun ini menyatakan
bahwa jika seseorang telah berhasil dan sukses tetaplah mengingat kampung
halaman.
Berikutnya, pantun kesebelas yaitu ala datang si kapa puti tagak bandera
saputangan, ala datang si kandak ati mancari labuan agak tanang. Di dalam
bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut telah datang si kapal putih berdiri
bendera saputangan, telah datang si jantung hati mencari labuhan hati yang
tenang. Pantun kesebelas ini menyatakan kepada pengantin perempuan bahwa
pengantin laki-laki telah datang untuk hidup bersama dengannya.
Pantun terakhir berbunyi sebagai berikut: limo puruk diganggam ampek
siso balimo kalamari, pasang surut ombaknyo rapek jawek aluan biduk kami.
Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut: jeruk purut digenggam empat
sisa dua hari yang lalu, pasang yang sudah surut ombaknya kecil sambut haluan
perahu kami. Pantun menyatakan isi hati pengantin laki-laki agar kedatangannya
diterima oleh pengantin perempuan.
95
BAB V
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIKAL DAMPENG
5.1 Transkripsi
Dalam ilmu Etnomusikologi, transkripsi merupakan proses penulisan
bunyi-bunyian sebagai hasil dari pengamatan dan pendengaran suatu musik ke
dalam bentuk simbol-simbol yang disebut dengan notasi. Untuk melakukan
transkripsi melodi dampeng, penulis memilih notasi deskriptif yang dikemukakan
oleh Charles Seeger. Notasi deskriptif adalah notasi yang ditujukan untuk
menyampaikan kepada pembaca tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi
musik yang belum diketahui oleh pembaca.
Dalam bab ini, penulis memilih untuk mentranskripsi dan menganalisis
melodi dampeng basanding. Hasil transkripsi dan analisis dikerjakan dengan
menggunakan notasi Barat. Penulis memilih notasi Barat agar dapat
menggambarkan pergerakan melodi dampeng secara grafis. Hasil transkripsi yang
dibuat oleh penulis merupakan hasil penelitian pada upacara adat perkawinan
Surya Dharma Kombih dengan Dewi Astuti Bandar di Kota Sibolga pada tanggal
14 Maret 2014.
5.1.1 Simbol Dalam Notasi
Simbol-simbol yang digunakan dalam notasi transkripsi melodi dampeng
merupakan simbol-simbol dalam notasi Barat. Berikut ini, beberapa simbol yang
digunakan dalam hasil transkripsi melodi dampeng.
96
1. : merupakan garis paranada yang memiliki lima buah
garis paranada dan empat buah spasi dengan tanda
kunci C.
2. : merupakan birama 4/4 dalam kunci C.
3. : merupakan dua buah not 1/16 dan satu buah not
1/8 yang digabung menjadi 1 not yang bernilai 1 ketuk.
4. : merupakan 8 not 1/32 yang digabung
menjadi 1 not bernilai 1 ketuk.
5. : merupakan satu buah not 1/4 yang bernilai 1 ketuk.
6. : merupakan satu buah not penuh yang bernilai 4 ketuk.
7. : merupakan satu buah not 1/8 yang bernilai 1/2 ketuk.
8. : merupakan satu buah not 1/2 dengan satu buah titik di
depannya yang bernilai 3 ketuk.
9. : merupakan satu buah not 1/32 dengan tanda pugar di
depannya yang berarti nada dikembalikan dengan
menaikkan atau menurunkan 1/2 laras dari
nada sebelumnya.
10. : merupakan satu buah not 1/32 dengan tanda kress di
depannya yang berarti nada dinaikkan 1/2 laras dari
nada sebelumnya.
11. : merupakan satu buah not 1/32 dengan tanda mol di
depannya yang berarti nada diturunkan 1/2 laras
dari nada sebelumnya.
12. : merupakan tanda diam yang bernilai 4 ketuk.
13. : merupakan tanda diam yang bernilai 1 ketuk.
97
Simbol-simbol di atas merupakan simbol-simbol yang terdapat dalam
lampiran partitur yang perlu diketahui agar pembaca memahami artinya. Ini
penting untuk menjelaskan tentang hal-hal yang dimaksud dalam notasi. Dari cara
bekerja transkripsi seperti diurai di atas, maka hasilnya adalah seperti di bawah
ini.
98
99
5.2 Analisis Melodi Dampeng
Dalam menganalisis melodi dampeng, penulis berpedoman kepada teori
yang dikemukakan oleh William P. Malm yang dikenal dengan teori weighted
scale. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu (1)
tangga nada (scale); (2) nada dasar (pitch center); (3) wilayah nada (range); (4)
jumlah nada (frequency of notes); (5) jumlah interval (prevalent intervals); (6)
pola kadensa (cadence patterns); (7) formula melodik (melody formula); dan (8)
kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993: 13).
5.2.1 Tangga Nada (Scale)
Dalam mendeskripsikan tangga nada (scale), penulis mengurutkan nada-
nada yang terdapat dalam dampeng tersebut dimulai dari nada terendah sampai
nada yang tertinggi. Penulis memperoleh bahwa terdapat 11 nada dengan nada
terendah adalah Dis dan nada tertinggi adalah E pada oktaf yang berikutnya.
Berdasarkan struktur tangga nada yang digunakan di atas, maka tangga
nada dampeng dapat dikategorikan ke dalam jenis tangga nada heptatonik, yaitu
tangga nada yang terdiri dari tujuh nada dengan dua jenis interval yaitu 1 laras dan
1/2 laras. Dalam hal ini interval tersebut adalah satu laras atau 200 sent dan
setengah laras atau 100 sent. Selengkapnya deretan nada yang digunakan dalam
melodi dampeng ini adalah sebagai berikut bersama dengan komposisi laras yang
digunakannya.
100
dis e fis g gis a b cis d dis e
1/2 1 1/2 1/2 1/2 1 1 1/2 1/2 1/2 laras
100 200 100 100 100 200 200 100 100 100 sen
5.2.2 Nada Dasar (Pitch Center)
Dalam menentukan nada dasar dampeng ini, penulis beracuan pada hasil
rekaman video maupun audio yang penulis peroleh saat pelaksanaan upacara adat
perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Selanjutnya, hasil rekaman telah
ditranskripsikan ke dalam notasi Barat. Hasil yang didapatkan dalam transkripsi
dampeng adalah E.
5.2.3 Wilayah Nada (Range)
Wilayah nada adalah jarak antara nada tertinggi dan nada terendah dalam
tangga nada. Wilayah nada dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir
di Kota Sibolga adalah sebagai berikut:
dis e
6 ½ Laras
1300 sent
101
5.2.4 Jumlah Nada (Frequency of Notes)
Jumlah nada adalah banyaknya nada-nada yang dipakai secara keseluruhan
dalam suatu musik baik musik instrumental atau vokal. Dalam melodi dampeng,
penulis memperoleh 4 nada Dis, 73 nada E, 29 nada Fis, 7 nada G, 51 nada Gis,
43 nada A, 31 nada B, 31 nada Cis, 4 nada D, 5 nada Dis’, dan 1 Nada E’ dalam 1
sampiran dampeng. Selengkapnya lihat gambar di bawah ini.
Nada yang paling sering muncul dalam dampeng adalah nada E, disusul
nada Gis dan A. Nada-nada lain muncul berkisar antara 4 sampai 31. Sementara
nada yang paling sedikit muncul adalah nada E’. Dengan demikian, intensitas
kemunculan yang paling banyak yaitu nada E sehingga mengindikasikan nada
tersebut sebagai pusat tonalitasnya.
Berdasarkan jumlah nada-nada yang diperoleh dalam 1 bait sampiran
dampeng, maka jumlah nada-nada secara keseluruhan dalam 24 bait dampeng
yaitu:
Tabel 5.1
Jumlah Nada dalam Dampeng
No. Nada Jumlah Nada dalam 1 Bait Total ( x 24 bait)
1. Dis, 4 96
2. E 73 1752
3. Fis 29 696
4. G 7 168
5. Gis 51 1224
6. A 43 1032
7. B 31 744
102
8. Cis 31 744
9. D 4 96
10 Dis’ 5 120
11. E’ 1 24
5.2.5 Jumlah Interval (Prevalent Intervals)
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri
dari interval naik maupun turun. Di bawah ini merupakan tabel jumlah interval
dalam dampeng.
Tabel 5.2
Jumlah Interval Dampeng
Interval Posisi Jumlah Total Total (x 24 ) 1P - 49 49 1176
1Aug ↑ 4 9 216 ↓ 5
2M ↑ 45 101 2424 ↓ 56
2m ↑ 37 82 1968 ↓ 45
3M ↑ 5 11 264 ↓ 6
3m ↑ 6 10 240 ↓ 4
4P ↑ 6 9 216 ↓ 3
Melalui tabel di atas dapat diketahui bahwa interval yang paling banyak
digunakan dalam penyajian dampeng adalah interval 1P dengan jumlah 1176 kali,
interval 2M dengan jumlah 2424 kali, dan interval 2m dengan jumlah 1968 kali.
Selanjutnya interval yang paling sedikit digunakan dalam penyajian dampeng
adalah interval 1Aug, 3M, 3m dan 4P. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa interval 1P, 2M, dan 2m memiliki peranan yang sangat penting dalam
membentuk dampeng.
103
5.2.6 Pola Kadensa
Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi yang menjadi
penutup pada bagian akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup
sempurna melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut
dalam satu frasa. Dalam dampeng hanya terdapat 1 jenis pola kadensa baik pada
akhir melodi maupun pertengahan melodi.
Pola pada akhir melodi
Pola pada pertengahan melodi
5.2.7 Formula Melodik
Formula melodik yang akan dibahas tulisan ini meliputi bentuk dan frasa.
Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola
melodi. Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi. William P. Malm
mengemukakan bahwa ada beberapa istilah dalam menganalisis bentuk, yaitu:
1. Repetitive adalah bentuk nyanyian dengan melodi pendek yang diulang-
ulang.
2. Iterative adalah bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang
kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam
keseluruhan nyanyian.
104
3. Strophic adalah bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks
nyanyian yang baru atau berbeda.
4. Reverting adalah bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan
pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi.
5. Progressive adalah bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan
materi melodi yang selalu baru.
Berpedoman pada apa yang dikemukakan Malm mengenai bentuk
nyanyian, maka penulis menarik kesimpulan bahwa bentuk yang terdapat dalam
dampeng pada upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga adalah
bentuk nyanyian dengan kategori strophic.
Dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Sibolga terdiri
dari 2 bentuk, yaitu bentuk A dan B. Namun dalam penyajiannya, bentuk A akan
diulangi pada bagian akhir. Dengan demikian, dampeng memiliki bentuk A-B-A.
Bentuk A merupakan bagian dampeng yang dinyanyikan pada bagian response.
Sedangkan bentuk B merupakan bagian dampeng yang dinyanyikan pada bagian
call.
Dampeng merupakan nyanyian yang terdiri dari 8 frasa. 8 frasa tersebut
adalah sebagai berikut:
Frasa 1
105
Frasa 2
Frasa 3
Frasa 4
Frasa 5
106
Frasa 6
Frasa 7
Frasa 8
5.2.8 Kontur
Kontur adalah garis melodi dalam sebuah nyanyian. Malm membedakan
kontur ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada
yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
107
2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada
yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah.
3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada
yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada
yang lebih tinggi atau sebaliknya.
4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada
ke nada yang lain baik naik maupun turun.
5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang
lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih
rendah ke nada yang lebih tinggi.
6. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada
yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun
minor.
7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai
batas-batasan.
Garis kontur yang terdapat pada melodi dampeng pada umumnya adalah
ascending, descending, conjuct, dan juga static. Untuk lebih jelasnya lihat gambar
di bawah ini:
Kontur Ascending dan Descending
108
Kontur Static
Kontur Conjuct
109
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Suku Pesisir merupakan salah satu suku yang secara administratif berada
di wilayah Kota Sibolga. Suku ini mendiami sebagian besar daerah pinggiran
pantai dan sebagian kecil daerah pegunungan yang terdapat dalam empat bagian
wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sibolga Selatan, Sibolga Kota, Sibolga
Utara dan Sibolga Sambas. Mereka berasal dari keturunan beberapa suku, seperti
Minangkabau, Batak Toba, Mandailing, Angkola, dan Melayu yang berinteraksi
dan membentuk adat-istiadatnya sebagai identitas baru.
Suku Pesisir mempunyai adat-istiadat yang berbeda dengan suku lain.
Adat-istiadat tersebut berhubungan erat dengan norma-norma dalam Agama
Islam. Suku Pesisir Sibolga menyebutnya dengan istilah sumando. Sumando
memiliki beberapa pengertian dalam Suku Pesisir. Sumando adalah satu kesatuan
ruang lingkup kebudayaan Suku Pesisir, meliputi meliputi adat-istiadat Pesisir,
kesenian Pesisir, bahasa Pesisir, dan makanan Pesisir.
Kesenian Pesisir dikenal dengan istilah kesenian sikambang. Kesenian
sikambang terdapat dalam tahap puncak pelaksanaan upacara adat perkawinan.
Kesenian tersebut meliputi musik instrumental, musik vokal, dan tari. Dampeng
merupakan bagian musik vokal sikambang dan bagian adat perkawinan Suku
Pesisir. Dampeng berperan penting dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir.
Dampeng dalam suatu pelaksanaan upacara adat perkawinan Suku Pesisir terdiri
dari 3, yaitu dampeng mangarak, dampeng barande, dan dampeng basanding.
110
Dampeng adalah nyanyian tanpa iringan instrumen (a capella). Menurut
adat sumando, dampeng dinyanyikan oleh sekelompok laki-laki. Penyaji dampeng
biasanya terdiri dari 7-12 orang. Penyaji tersebut merupakan seniman sikambang
yang dipanggil secara khusus untuk menyajikan dampeng. Mereka biasanya
terbagi dalam dua bagian kelompok yakni seorang penyaji berperan sebagai
pemimpin dampeng (solo leader) yang dilakukan secara bergantian. Sedangkan
penyaji lainnya menjadi perespon nyanyian (group chorus). Dalam penyajiannya,
dampeng dibawakan dengan gaya responsorial (call and response).
Teks dampeng berisikan nasihat-nasihat atau pengalaman-pengalaman
yang diambil dari proses kehidupan Suku Pesisir. Teks tersebut dinyanyikan
dalam bentuk pantun yang bersahut-sahutan. Dalam penyajiannya, dampeng
terdiri dari 12 pantun dengan 12 sampiran dan 12 isi. Isi teks dampeng
disampaikan dan ditujukan kepada kedua pengantin, orang tua kedua pengantin,
dan undangan yang hadir dalam upacara adat perkawinan.
Dampeng yang dibahas dalam tulisan ini terdiri dari 12 Pantun. Bentuk
atau pola nyanyiannya adalah stropic atau gaya nyanyian yang diulang dengan
teks yang baru atau berbeda. Dengan kata lain, dampeng adalah nyanyian yang
lebih mementingkan teks daripada melodi atau disebut dengan logogenic. Gaya
musik vokal yang dipakai dalam pujian ini adalah melismatis. Melismatis adalah
apabila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada.
111
6.2 Saran
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam proses penyusunan tulisan
ini. Salah satunya adalah kurangnya sumber-sumber referensi mengenai Suku
Pesisir yang dapat mendukung tulisan ini. Penulis berharap peneliti-peneliti
berikutnya dapat menyempurnakan tulisan ini.
Bagi para peneliti berikutnya, penulis menyarankan beberapa hal untuk
dipersiapkan dalam penyusunan tulisan ini. Pertama, kita harus mempunyai
pengetahuan umum tentang kebudayaan Suku Pesisir. Sehingga pada saat
menerapkan teknik-teknik penelitian lapangan kita dapat mengetahui dan
menyusun konsep pengerjaan selanjutnya secara bertahap dan sistematis, antara
lain wawancara, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya, kita juga harus
mempunyai kemampuan menjadi sebagai seorang insider. Dengan kata lain,
pengetahuan tentang bahasa Pesisir dapat mendukung proses penelitian nantinya.
Terakhir, penulis menyarankan agar peneliti berikutnya dapat mengkaji
kebudayaan musikal Suku Pesisir lainnya. Karena dalam ilmu Etnomusikologi
tulisan-tulisan yang membahas tentang Suku Pesisir masih terhitung sedikit
jumlahnya.
Bagi pemilik kebudayaan Suku Pesisir, penulis berharap agar bersedia
memberikan pengetahuan tentang seluruh kebudayaan musikal yang terdapat
dalam Suku Pesisir. Dengan demikian, seluruh kebudayaan tersebut akan
terdokumentasi nantinya. Penulis juga berharap, Suku Pesisir sebagai pendukung
dan pemilik kebudayaan Pesisir dapat menggenerasikan kebudayaannya dengan
tetap menjalankannya sesuai dengan adat-istiadat yang terdapat dalam Suku
Pesisir.
112
Demikiaan tulisan ini diselesaikan, semoga tulisan ini memberikan
manfaat kepada budaya dan pendidikan secara umum dan ilmu Etnomusikologi
secara khusus.
113
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Abdul Latiff Abu.2006.Aplikasi Teori Semiotika dalam Seni Pertunjukan. Etnomusikologi (Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Seni),(53), 45-51.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa. Hast, Dorothea E., James R. Cowdery, dan Stan Scott. 1999. Exploring the World
of Music. United States of America:Kendall/Hunt Publishing Company. Cowie, A.P. 1987. Kamus Oxford Learner’s Pocket.Oxford:Oxford University
Press. Kamal, Zahara. 1992. Analisis Musik Vokal Dampeang Luambeak di Nagari
Kepala Hilalang Kecamatan 2x11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Paraiman Sumatera Barat. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia. Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
xxi
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Malm, William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East, and Asia
(terjemahan). Medan. Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (terjemahan Takari).
Mardalis. 2006. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: Bumi
Aksara. Merriam, Alan P. 1964. The Antropology of Music. Indiana: Northwestern
University Press. Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya. Nainggolan, Radjoki. 2012. Buku Kesenian Pesisir Sikambang. Medan: Badan
Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara. Narrol, R. 1965. "Ethnic Unit Classification." Current Anthropology, volume 5
No. 4." Nettl, Bruno.1964.Theory and Method of Ethnomusicology. New York: The Free
Press. Pilhofer, Michael dan Holly Day. 2007. Music Theory for Dummies. Canada:
Wiley Publishing, Inc. Silaban, Nehemia Herwinka. 2012. Kirtan Pada Ibadah Mingguan Masyarakat
Sikh Di Gurdwara Tegh Bahadur Polonia Medan: Kajian Struktur Tekstual Dan Melodi. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Simbolon, Pardon. 2012. Organologi Gendang Sikambang di Desa Jago-jago,
Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Sitompul, Risman Arbi. 2013. Tradisi Kelisanan Baralek Gadang Pada Upacara
Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial. Skripsi Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung:
Alfabeta
xxii
www.sibolgakota.bps.go.id www.sibolgakota.go.id www.ethnomusicology.org repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29774/4/Chapter%20II.pdf repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41364/4/CHapter%20II.pdf
xxiii
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Khairil Hasni Siregar
Umur : 54 tahun
Alamat : Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah
Pekerjaan : Nelayan
2. Nama : Radjoki Nainggolan
Umur : 66 tahun
Alamat : Jl. Sei Ban-Ban, No. 7, Kota Medan
Pekerjaan : Dosen
3. Nama : Siti Zubaidah
Umur : 44 tahun
Alamat : Jl. KH. Ahmad Dahlan, Gg. Puskesmas, No.3, Kota Sibolga
Pekerjaan : Guru
4. Nama : Syahriman Irawady Hutajulu
Umur : 44 tahun
Alamat : Jl. Sisingamangaraja, Gg. Kenanga, Kota Sibolga
Pekerjaan : Penarik Becak
5. Nama : Ahmad Aritonang
Umur : 40 tahun
Alamat : Jl. SM. Raja Gg. Siopo-opoo, Kelurahan Aek Manis,
Kota Sibolga
Pekerjaan : Penarik Becak
6. Nama : Maskur Hutagalung
Umur : 57 tahun
Alamat : Pasar Sorkam, Desa Binasi, Kecamatan Sorkam, Kabupaten
Tapanuli Tengah
Pekerjaan : Petani
xxiv
7. Nama : Khairul Aman Hutagalung
Umur : 57 tahun
Alamat : Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah
Pekerjaan : Nelayan
8. Nama : Risman Sihombing
Umur : 40 tahun
Alamat : Pasar Sorkam, Desa Binasi, Kecamatan Sorkam, Kabupaten
Tapanuli Tengah
Pekerjaan : Nelayan
9. Nama : Syahbuni Gorat
Umur : 54 tahu
Alamat : Sorkam Kanan, Kecamatan Sorkam, Kabupaten
Tapanuli Tengah
Pekerjaan : Petani
10. Nama : Dewi Astuti Bandar (Pengantin Perempuan)
Umur : 24 tahun
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan No. 52 Sibolga
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
11. Nama : Surya Dharma Kombih (Pengantin Laki-laki)
Umur : 27 tahun
Alamat : Jl. Jamin Ginting No. 7 Medan
Pekerjaan : Wiraswasta
12. Nama : Eddy Syahputra Bandar (Ayah Pengantin Perempuan)
Umur : 50 tahun
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan No. 52 Sibolga
Pekerjaan : Wiraswasta
xxv
13. Nama : Hj. Dernawati (Ibu Pengantin Perempuan)
Umur : 54 tahun
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan No. 52 Sibolga
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
14. Nama : Robulut Kombih (Ayah Pengantin Laki-laki)
Umur : 54 tahun
Alamat : Jl. Jamin Ginting No. 7 Medan
Pekerjaan : Perwira
15. Nama : Yosnita Sitompul (Ibu Pengantin Laki-laki)
Umur : 48 tahun
Alamat : Jl. Jamin Ginting No. 7 Medan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
xxvi
LAMPIRAN I
Dampeng Mangarak
No. Pantun Terjemahan Bahasa Indonesia
1. Lape nan dari pondok budu
Pasabalakkang anyo lai
Lape nan dari tangan ibu
Pai badagang anyo lai
Lepat dari kampung
Pasar Belakang lagi
Lepat yang dari tangan ibu
Pergi didagangkan lagi
2.
Paku sarumpun jongon banto
Padi nan jangan ditugakan
Santano jau tolan di ranto
Bundo kandung jangan lupokan
Pakis serumpun sayur lain
Padi jangan dituangkan
Kalaulah kita pergi merantau
Ibu kandung jangan dilupakan
3. Usa baladang ujung pau
Rakkik siapo mangelokan
Usa badagang jau-jau,
Sakkik siapo mahebokan
Tidak usah berladang di ujung kampung
Rakit siapa mengemudinya
Tidak usah merantau jauh-jauh
Sakit siapa yang memperhatikan
4. Kayu gadang di lereng gunung
Ditabang lalu bala duo
Sanangla hati bundo kandung
Anak sorang jadilah ba duo
Kayu besar di lereng gunung
Dibelah jadi dua
Senanglah hati ibu kandung
Anak seorang sudah jadi dua
5. Tinggi gunungnyo Panakkalan,
Nampak nan dari si bura-bura
Salamat-salamat tolan bajalan,
Umu panjang rajakki mura
Tinggi gunungnya Panakkalan
Tampak dari si bura-bura
Selamat-selamat saudara berjalan
Umur panjang rejeki murah
xxvii
LAMPIRAN II
Dampeng Barande
No. Pantun Terjemahan Bahasa Indonesia
1. Di pilin-pilin basahan mandi
Di baok lalu katapian
Di pili-pili tampek hati,
Jangan manyasa kamudian
Diperas-peras kain basahan
Dibawa ke tepian
Dipilih-pilih tempat hati
Jangan menyesal kemudian
2. Badarak buni kilangan
Tadanga lalu katapian
Tagarak raso kahilangan
Raso di dalam kamatian
Berbunyi suara kilang
Terdengar sampai ke tepian
Tergerak rasa kehilangan
Serasa di dalam kematian
3. Marapati batali ijo
Taserak padi di halaman
Biala tabang kalangik ijo
Asalkan tali di tapak tangan
Merpati bertali hijau
Terserak padi di halaman
Biarlah terbang ke langit yang jauh
Asalkan tali di telapak tangan
4. Cubadak duo namonyo
Di tanam urang di tapi jalan
Kok taragak sabuk namonyo
Ai mato di buang jangan
Cempedak dua namanya
Ditanam orang ditepi jalan
Kalau teringat sebut namanya
Air mata jangan dibuang
5. Kian tasingki kian dalam
Dalam bacampu ai rimbo
Kian tapikki kian dalam
Dalam bacampu ati hibo
Semakin dalam air laut
Tercampur dengan limbah
Semakin terpikir semakin dalam
Dalam bercampur hati yang sedih
xxviii
6. Ancimun bungkuk dalam padi,
Luko di dalam paramasan
Bia baramuk dalam hati
Di muko jangan kalihatan
Mentimun bungkuk dalam padi
Luka di dalam peremasan
Biarlah berkecamuk dalam hati
Di muka jangan kelihatan
7. Indak baruba nibung di tabang,
Asalkan condong katapian
Indak baruba dagang di tompang
Asalkan samo paratian
Tidak berubah nibung ditebang
Asalkan condong ke tepian
Tidak berubah orang yang merantau
Asalkan sama perhatian
xxix
LAMPIRAN III
Teks Penyajian Dampeng Mangarak
1. O dampeng si dampeng . . . Lape nan dari da sanak ei Oi pondok budu, pasabalakkang kininei anyo lai Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
O dampeng si dampeng . . . Lape nan dari da sanak ei Oi tangan ibu, pai badagang kininei anyolai Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
2. O dampeng si dampeng . . .
Paku sarumpun da sanak ei Oi Jongon banto, padi nan jangan kininei ditugakan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
O dampeng si dampeng . . . Santano jau da sanak ei Oi tolan di ranto, bundo kandung kininei jangan lupokan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
3. O dampeng si dampeng . . .
Usa baladang da kawanei Oi ujung pau, rakkik siapo kininei mangelokan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
xxx
O dampeng si dampeng . . . Usa badagang da sanak ei Oi jau-jau, sakkik siapo kininei mahebokan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
4. O dampeng si dampeng . . .
Kayu gadang da sanak ei Oi di lereng gunung, ditabang lalu kininei oi bala duo Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
O dampeng si dampeng . . . Sanangla hati da sanak ei Oi bundo kandung, anak sorang kininei jadilah ba duo Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
5. O dampeng si dampeng . . .
Tinggi gunungnyo da sanak ei Oi panakkalan, nampak nan dari kininei si bura-bura Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
O dampeng si dampeng . . . Salamat-salamat da sanak ei Oi tolan bajalan, umu panjang kininei rajakki mura Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
xxxi
LAMPIRAN IV
Teks Penyajian Dampeng Barande
1. O beleng si dampeng . . .
Di pilin-pilin da sanak ei Oi basahan mandi, di baok lalu kininei katapian Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
O beleng si dampeng . . . Di pili-pili da sanak ei Oi tampek hati, jangan manyasa kininei kamudian Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
2. O beleng si dampeng
Badarak da sanak ei Oi buni kilangan, tadanga lalu kininei katapian Oi da sanak ei tolongla iyo kan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
O beleng si dampeng Tagarak da sanak ei Oi raso kahilangan, raso di dalam kamatian Oi anta-anta Oi da sanak ei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
3. O beleng si dampeng
Marapati da sanak ei Oi batali ijo, taserak padi kininei di halaman Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
xxxii
O beleng si dampeng Biala tabang da sanak ei Oi kalangik ijo, asalkan tali kininei di tapak tangan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
4. O beleng si dampeng
Cubadak da sanak ei Oi duo namonyo di tanam urang kininei di tapi jalan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
O beleng si dampeng Kok taragak da sanak ei Oi sabuk namonyo, ai mato kininei di buang jangan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
5. O beleng si dampeng
Kian tasingki da sanak ei Oi kian dalam, dalam bacampu kininei ai rimbo Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
O beleng si dampeng Kian tapikki da sanak ei Oi kian dalam, dalam bacampu kininei ati hibo Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
6. O beleng si dampeng
Ancimun bungkuk da sanak ei Oi dalam padi, luko di dalam kininei paramasan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
xxxiii
O beleng da sanak ei Oi dalam hati di muko jangan kalihatan Oi anta-anta Oi da sanak ei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
7. O beleng si dampeng Indak baruba da sanak ei Oi nibung di tabang, asalkan condong kininei katapian Oi anta-anta Oi da sanak ei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
O dampeng si dampeng Indak baruba da sanak ei Oi dagang di tompang, asalkan samo kininei paratian Oi anta-anta Oi da sanak ei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .