analisis mobil bekas

5
Jagoan Pembiayaan Mobkas Niaga Sikap keras sang pemilik untuk mempertahankannya di tengah krisis membawa hasil. Dari posisi nyaris kolaps, kini masuk 10 besar. Masih ingat sosok Benny Suherman? Itu lho, pengusaha top era 1990- an yang berkongsi dengan mendiang Sudwikatmono mendirikan Grup Subentra dan memiliki jaringan Bank Subentra plus bioskop Cineplex 21. Meski kongsi keduanya terkubur, bukan berarti kiprah Benny meredup total. Salah satu bisnisnya yang masih berkilau adalah Multindo Auto Finance. Perusahaan ini masuk daftar Top 10 industri pembiayaan di Indonesia dengan aset di atas Rp 1 triliun. Bermarkas di Semarang sejak 1995, kantornya tersebar di sejumlah wilayah, baik di Jawa maupun Sumatera dan Kalimantan. Jeli memilih segmen tampaknya menjadi kunci sukses. Ketika puluhan perusahaan pembiayaan otomotif lain berebut menggarap pasar pembiayaan mobil dan sepeda motor baru, Multindo memilih ceruk lain: pasar mobil bekas (mobkas) jenis niaga atau komersial, khususnya truk, pikap dan minibus angkutan umum. Mengapa pilih segmen pembiayaan mobkas niaga? Setidaknya ada tiga alasan utama. Pertama, mobil pribadi dan sepeda motor dikuasai pemain besar dengan otot-otot finansial yang kuat karena ditopang pendanaan dalam serta luar negeri. ”Kami sadar diri untuk bermain di mobil bekas saja,” kata Giri Purdiyanto, Direktur Operasional Multindo saat ditemui di kantornya di Jl. Pandanaran, Semarang. Alasan kedua, selain risikonya lebih besar, pembiayaan mobil baru juga rentan terpaan krisis. Contoh banyak bertebaran, misalnya akibat kenaikan BBM yang berlangsung dua kali tahun 2005. Kebijakan ini membuat sejumlah perusahaan pembiayaan kelimpungan. Mereka terhantam tingginya tunggakan kredit mobil baru. Sebaliknya, pasar mobkas lebih tahan banting. Mengapa? Karena, dalam kondisi ekonomi gonjang ganjing sekalipun, mobil untuk

description

analisis mobkas niaga

Transcript of analisis mobil bekas

Page 1: analisis mobil bekas

Jagoan Pembiayaan Mobkas Niaga

Sikap keras sang pemilik untuk mempertahankannya di tengah krisis membawa hasil. Dari posisi nyaris kolaps, kini masuk 10 besar. Masih ingat sosok Benny Suherman? Itu lho, pengusaha top era 1990-an yang berkongsi dengan mendiang Sudwikatmono mendirikan Grup Subentra dan memiliki jaringan Bank Subentra plus bioskop Cineplex 21. Meski kongsi keduanya terkubur, bukan berarti kiprah Benny meredup total. Salah satu bisnisnya yang masih berkilau adalah Multindo Auto Finance. Perusahaan ini masuk daftar Top 10 industri

pembiayaan di Indonesia dengan aset di atas Rp 1 triliun. Bermarkas di Semarang sejak 1995, kantornya tersebar di sejumlah wilayah, baik di Jawa maupun Sumatera dan Kalimantan. Jeli memilih segmen tampaknya menjadi kunci sukses. Ketika puluhan perusahaan pembiayaan otomotif lain berebut menggarap pasar pembiayaan mobil dan sepeda motor baru, Multindo memilih ceruk lain: pasar mobil bekas (mobkas) jenis niaga atau komersial, khususnya truk, pikap dan minibus angkutan umum. Mengapa pilih segmen pembiayaan mobkas niaga? Setidaknya ada tiga alasan utama. Pertama, mobil pribadi dan sepeda motor dikuasai pemain besar dengan otot-otot finansial yang kuat karena ditopang pendanaan dalam serta luar negeri. ”Kami sadar diri untuk bermain di mobil bekas saja,” kata Giri Purdiyanto, Direktur Operasional Multindo saat ditemui di kantornya di Jl. Pandanaran, Semarang. Alasan kedua, selain risikonya lebih besar, pembiayaan mobil baru juga rentan terpaan krisis. Contoh banyak bertebaran, misalnya akibat kenaikan BBM yang berlangsung dua kali tahun 2005. Kebijakan ini membuat sejumlah perusahaan pembiayaan kelimpungan. Mereka terhantam tingginya tunggakan kredit mobil baru. Sebaliknya, pasar mobkas lebih tahan banting. Mengapa? Karena, dalam kondisi ekonomi gonjang ganjing sekalipun, mobil untuk angkutan umum, barang dan kebutuhan pokok tetap diperlukan. Alasan ketiga,kenakalan oknum nasabah. Mereka membeli mobil baru dengan cara kredit untuk sengaja digelapkan. Mobil-mobil tersebut kemudian dibawa lari ke daerah-daerah pedalaman sehingga sulit dilacak. Namun, bukan berarti Multindo tak pernah sama sekali masuk ke pasar ini. Tahun 2005 mereka sempat bermain di pembiayaan mobil baru. Akan tetapi, baru berjalan setahun terpaksa dihentikan karena kalah bersaing dengan pemain besar yang mampu menjual dengan bunga yang lebih murah. Celakanya, kala itu kondisi penjualan mobil baru sedang lesu dan banyak nasabah yang menunggak angsuran. Dan bak tertimpa tangga, saat mobil ditarik karena menunggak, nilai jualnya merosot tajam. “Kalaupun saat ini melayani permintaan pembiayaan mobil baru penumpang, misalnya sedan dan jip, itu hanya 10%. Fokus kami tetap menggarap pasar mobil niaga second dengan porsi 90% dari total kredit yang disalurkan,” ujar Giri Purdiyanto, Direktur Operasional Multindo saat ditemui di kantornya Jl. Pandanaran, Semarang. Setelah mobil baru, Multindo pun sempat tergoda menggarap motor

Page 2: analisis mobil bekas

baru, tepatnya tahun 2006. Akan tetapi, setelah berjalan tiga tahun lebih dengan mengucurkan kredit Rp 80 miliar, pada 2010 program itu pun dihentikan. Kompleksitas permasalahan yang muncul dalam proses bisnis pembiayaan kendaraan roda dua, dikatakan Giri, membuat Multindo mundur teratur. ”Bagi kami, mengelola kredit motor terasa berat, antara energi yang kami keluarkan dan hasil tidak seimbang. Mungkin memang bukan keahlian kami,” ujar kelahiran Sukabumi 1973 ini. Sekarang hanya tinggal Rp 30 miliar dana yang masih dalam perputaran kredit motor. Sekalipun sudah memilih ceruk di mobkas, bukan berarti tantangannya kian menyusut. Multindo tidak melenggang sendirian. Pasar mobkas niaga juga dilirik sejumlah perusahaan pembiayaan besar seperti Astra Credit Company, Adira Finance, Arthamas Finance dan Arthaprima. Namun, kinerja Mutindo tetap kinclong. Berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, posisinya berada di urutan ke-7 dari sisi aset. Kok bisa? Hanya karena sekadar fokus? Apa rahasianya? Bila dirunut, faktor besar itu terletak di Benny. Dia keukeuh mempertahankan Multindo tatkala berada dalam posisi jelek. Ibarat catur, saat krismon 1998, posisi perusahaan ini kena skak mat. Ia nyaris kolaps gara-gara kucuran dana bank yang selama ini diandalkan mendadak macet. Maklum, perbankan bersikap lebih hati-hati dan selektif menyalurkan kredit. Persoalan pendanaan tambah pelik lantaran Bank Subentra yang selama ini menjadi mitra juga telah dilikuidasi. Dan kondisi juga diperparah dengan pecahnya kongsi Benny dengan Pak Dwi. “Waktu itu Pak Benny berusaha sekuat tenaga menyelamatkan Multindo,” ujar Giri mengenang. Lantas, strategi apa yang dilancarkannya? Giri menjelaskan, banyak cara yang ditempuh bosnya saat itu. Di antaranya, mengetatkan pengeluaran biaya operasional, merasionalisasi karyawan, serta memangkas jumlah kantor dari 30 cabang menjadi enam cabang. Ini bisa dimengerti karena waktu itu dihadapkan pada kondisi force majeur yang benar-benar sulit. Beruntung, badai tak selamanya menerpa. Seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian nasional, performa Multindo pun berangsur pulih. Sejumlah bank kembali berani mengucurkan kredit, seperti Mandiri yang kemudian disusul BNI, BRI, CIMB Niaga, Danamon dan Permata. Rupanya, tak perlu waktu lama untuk Multindo bangkit. Tahun 2000 dapat dikatakan menjadi tahun kebangkitan. Multindo membuka kembali cabang-cabang yang sempat ditutup. Bahkan, rentang ekspansi pun dilebarkan ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pasar baru dibidik karena setelah otonomi daerah, potensi daerah di luar Jawa sangat besar. Dan, langkah ini terbukti ampuh. Di tengah masa kritis yang mampu dilewati, dan bahkan mampu mengepakkan sayap ke banyak tempat, Benny mengambil putusan penting di tahun 2002. Dia memercayai anak ketiganya, Arif Suherman (33 tahun), bergabung dalam tim manajemen. Dua tahun kemudian Arif didapuk menjadi CEO, sementara sang ayah bertindak sebagai preskom. Bapak dan anak ini memilih berkantor di Jakarta. Adapun pengelolaan kantor pusat di Semarang dipercayakan kepada direktur operasional dan direktur keuangan. Di bawah komando Arif, kinerja Multindo kian berpendar. Pertumbuhan bisnis melaju di kisaran 30%-40% tiap tahun. Jumlah cabang dan karyawan pun terus membengkak. Tahun 2000 hanya 20 cabang dengan 300 karyawan. Tahun 2011, mencapai 60 kantor dengan

Page 3: analisis mobil bekas

1.300 orang. Jumlah kredit yang disalurkan juga terus melonjak. Peningkatan drastis terjadi dari 2009 menuju 2010. Sampai Oktober 2011 kredit tersalurkan senilai Rp 1,3 triliun dengan jumlah nasabah mencapai 25 ribu orang. Dengan penyaluran kredit sebanyak itu, mereka masuk kategori 10 besar perusahaan pembiayaan beraset di atas Rp 1 triliun. ”Dari pasar yang ada kami menguasai lebih dari 50%,” Giri mengklaim. Kendati performa kian ciamik, Multindo tak berpuas diri. Agar terus jadi pemain papan atas, mereka berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk konsumen dan pemilik ruang pajang yang menjadi mitra bisnisnya. Saat ini, mereka memberikan jaminan pelayanan yang cepat untuk proses kredit. Bahkan, dalam satu hari bisa diputuskan apakah permohonan kredit disetujui atau tidak. Kelebihan lain, berani mematok bunga lebih rendah daripada kompetitor dengan selisih 1%. “Meski 1%, itu berharga. Juga, uang mukanya lebih ringan,” kata Anton Priyono, pemilik Anton Mobil Jogja, salah seorang dealer di Yogyakarta yang menjadi mitra. Di tengah upaya meningkatkan kepuasan pelanggan, Multindo juga akan terus berekspansi, membuka cabang di beberapa kota di luar Jawa yang memiliki pertumbuhan ekonomi potensial. Perhatian untuk pengembangan pasar di luar Jawa sudah bisa dilihat dari persentase kredit yang disalurkan yang sudah mendekati keseimbangan 60:40, 60% masih di Jawa dan 40% luar Jawa. Akan tetapi, faktor kehati-hatian harus tetap menjadi pertimbangan Giri dan jajaran manajemen. Apalagi, untuk membuka kantor di kota-kota pedalaman butuh persiapan matang, bukan hanya asal berani. Ini terkait tingkat keamanan dan keberlangsungan bisnis jangka panjang, di samping SDM yang mumpuni. Prinsip kehati-hatian ini juga sangat penting karena kibar Multindo bukan berarti tanpa potensi masalah. Non performing loan-nya mencapai 1,6%, jauh lebih tinggi ketimbang pada 2010 yang hanya di bawah 1%. Fandy Tjiptono pun mengingatkan Multindo untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan roda bisnis. “Multindo harus tetap menggunakan prinsip kehati-hatian. Ini untuk menghindari praktik-praktik kriminal yang sengaja memanfaatkan kemudahan kredit kendaraan untuk tujuan ngemplang,” demikian saran pengamat bisnis dari Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, itu. Baginya, penguasaan pasar mobil niaga bekas adalah pilihan unik. Karena, pasar ini ternyata ceruknya sangat besar dan tahan terhadap krisis. (***) butuh persiapan matang, bukan hanya asal berani. Ini terkait tingkat keamanan dan keberlangsungan bisnis jangka panjang, di samping SDM yang mumpuni. Prinsip kehati-hatian ini juga sangat penting karena kibar Multindo bukan berarti tanpa potensi masalah. Non performing loan-nya mencapai 1,6%, jauh lebih tinggi ketimbang pada 2010 yang hanya di bawah 1%. Fandy Tjiptono pun mengingatkan Multindo untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan roda bisnis. “Multindo harus tetap menggunakan prinsip kehati-hatian. Ini untuk menghindari praktik-praktik kriminal yang sengaja memanfaatkan kemudahan kredit kendaraan untuk tujuan ngemplang,” demikian saran pengamat bisnis dari Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, itu. Baginya, penguasaan pasar mobil niaga bekas adalah pilihan unik. Karena, pasar ini ternyata ceruknya sangat besar dan tahan terhadap krisis. (swa.co.id)

Page 4: analisis mobil bekas