Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

download Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

of 61

Transcript of Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    1/61

     

    Draft Laporan Akhir

    ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOKPRODUK PERIKANAN DI KABUPATEN ROTE NDAO

    (STUDI KASUS NELAYAN MOU BOX 1974)

    KEMENTERIAN/LEMBAGA:

    BALITBANG KEMENTERIAN PERTAHANAN

    Peneliti:

    1.Peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenetrian Pertahanan Republik Indonesia;

    2.Peneliti pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Rote Ndao, NTT

    3.Mahasiswi Pasca Sarjana pada Facuty of Environmental Science pada University of Western Australia 

    1.Petrus Sembiring, Tarya Adiwijaya dan Dimaz Rezamudra

    2.Jermi Haning dan

    3.Maria Bria

    INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA

    KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

    2012

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    2/61

     

    Page | 2

    INTISARI

    Manajemen rantai pasok secara teoritik dilihat sebagai pendekatan filosofis untuk

    menciptakan manajemen dengan fokus pada permintaan dan pasokan. Pengelolaan

    rantai pasok mendorong aliran produk dan informasi/pengetahuan yang menjembatani

    terciptanya hubungan ketergantungan antara para pelaku sepanjang rantai produksi,

    distribusi, pengolahan, pemasaran hingga konsumsi.

    Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Rote Ndao memiliki potensi kelautan dan

    perikanan yang besar, dapat dlihat dari kontribusi sektor perikanan terhadap Produk

    Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Rote Ndao yang mencapai 13 %. Namun

    demikian ternyata kualitas kehidupan para nelayan masih sangat memprihantinkan,

    sebagian besar masuk dalam kategori penduduk miskin. Sebanyak 67,38% dari total

    115.332 penduduknya hidup sebagai petani/nelayan subsistem, dengan pendapatan

    kurang dari Rp.15.000 per hari.

    Salah satu penyebabnya adalah belum terlembaganya manajemen rantai pasok

    produk perikanan berupa sirip hiu dan teripang yang bernilai tinggi yang diproduksi

    oleh nelayan tradisional di Kabupaten Rote Ndao dari area MoU Box 1974 di wilayah

     Australia. Kenyataan yang dijumpai dan dihadapi oleh nelayan tradisional sangatmemprihatinkan. Permasalahan yang dihadapi tidak saja sebatas rantai pasok seperti

    hubungan patron-client  antara pekerja dan pemodal, pembagian beban dan hasil yang

    kurang adil tetapi juga persoalan kebijakan akses yang diwarnai oleh berbagai

    kebijakan yang sangat merugikan nelayan dan dalam hal penegakan hukum.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    3/61

     

    Page | 3

    DAFTAR ISI

    HalamanINTISARI ........................................................................................................... 2DAFTAR ISI ................................................................................................... ... 3

    BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 41.1 Latar belakang.... ...................................................................... 41.2 Pokok permasalahan.................................................................. 6

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA 72.1 Pengertian Manajemen Rantai Pasok........................................ 72.2 Kerangka analisis....................................................................... 9

    BAB III TUJUAN DAN MANFAAT 113.1 Tujuan ...................................................................................... 113.2 Manfaat .................................................................................... 11

    BAB IV METODOLOGI ................................................................................... 124.1 Langkah penelitian... .................................................................. 124.2 Metode Penelitian....................................................................... 12

    BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 145.1 Pemetaan Potensi Perikanan..................................................... 145.2 Pemetaan rantai pasok............................................................... 18

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 5724. Kesimpulan ........................................................................... ..... 5725. Saran ......................................................................................... 59

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    4/61

     

    Page | 4

    BAB I PENDAHULUAN 

    1.1 Latar Belakang

    Kabupaten Rote Ndao yang terletak di sebelah barat daya Pulau Timor

    merupakan salah satu kabupaten yang memiliki kekayaan maritim yang sangat besar

    namun belum dikelola secara optimal. Dengan jumlah pulau sebanyak 102, total luas

    daratan 1.280,10 km2, luas lautan mencapai 2.376 km2 dan panjang pantai mencapai

    330 km, jumlah penduduk mencapai 120.861 jiwa (2011) dan sekitar 6.438 Kepala

    Keluarga yang hidup dari usaha perikanan dan kelautan.

    Data statistik memperlihatkan bahwa potensi perikanan mencapai 17.875

    ton/tahun, dimana potensi perikanan tangkap mencapai 14.300 ton/tahun. Selain itu

    para nelayan juga memiliki akses ke Australian Fishery Zone (AFZ) yang masuk dalam

    wilayah MOU Box 1974 yang secara turun-temurun telah menjadi area favorit nelayan

    Indonesia pergi mencari dan menangkap ikan. Area MOU Box 1974 ini kaya akan ikan

    Hiu, Teripang dan Lola yang merupakan makanan favorit dan bergengsi kaum

    bangsawan dan orang kaya di daratan China.

    Namun demikian produksi perikanan per tahun baru mencapai 30 persen yang

    terdiri dari ikan Demersal sebanyak 40 persen dan ikan Pelagis sebanyak 60 persen.

    Sehingga kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) Kabupaten Rote Ndao cukup signifikan dan cenderung meningkat pada angka

    sekitar 13 %. Sebagian besar kualitas kehidupan nelayan masih sangat

    memprihantinkan, masuk dalam kategori penduduk miskin. Secara keseluruhan,

    sebanyak 67,38% dari total 115.332 penduduknya hidup sebagai petani/nelayan

    subsisten, dengan pendapatan kurang dari Rp.15.000 per hari. Efek domino yang

    timbul adalah : busung lapar yang tercatat mencapai 10 anak setiap tahun, angka

    kematian bayi mencapai 7,5 /1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu sekitar

    421/100.000 kelahiran hidup.

    Salah satu jawaban terhadap kondisi paradoksial ini dijumpai dalam penelitian

    terhadap kehidupan ekonomi sosial yang dilakukan oleh Therik (2008) di Desa Papela

    (Pusat nelayan di sebelah timur Rote) dan Carnegie (2008) di Desa Oelua (Pusat

    nelayan di sebelah barat Rote) yang berargumentasi bahwa permasalahan kemiskinan

    yang dihadapi oleh para nelayan di kedua kantong nelayan ini bukan hanya terletak

    pada produksi/produktifitas perikanan yang rendah tetapi masih terdapat banyak

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    5/61

     

    Page | 5

    faktor lainnya seperti faktor hubungan patron-klien yang merugikan bahkan cenderung

    eksploitatif yang mempengaruhi negosiasi biaya dan pembagian keuntungan di antara

    pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok ikan. Sementara itu Fox & Sen (1999),

    Stacey (1999; 2001) dan Balint (2005) cenderung menyalahkan pemerintah Australia

    atas kebijakan pengelolaan perikanan di area MOU Box 1974 yang tidak hanya

    membatasi pemanfaatan teknologi perikanan tetapi juga semakin memarginalkan

    nelayan tradisional.

    Menyadari permasalahan di atas, pemerintah daerah baik pemerintah Provinsi

    NTT maupun pemerintah Kabupaten Rote Ndao telah menempuh beberapa kebijakan

    untuk meringankan beban usaha para nelayan. Dengan reformasi anggaran,

    pemerintah provinsi memberi hibah anggaran sebesar Rp.250 juta per desa melalui

    program Desa Mandiri Anggur Merah sedangkan pemerintah kabupaten

    mengalokasikan anggaran sebesar Rp.65 juta per desa melalui program Lakamola

     Anan Sio untuk membantu masyarakat desa melaksanakan usaha ekonomi produktif

    di sektor pertanian dan perikanan. Lebih khusus pemerintah kabupaten Rote Ndao

    telah mencoba membangun komunikasi dengan pemerintah Australia untuk

    mencarikan solusi yang lebih tepat dalam memberdayakan nelayan kecil Rote guna

    menghindari praktek penangkapan ikan khususnya sirip hiu dan teripang yang tidak

    berkelanjutan di area MOU Box 1974. Namun demikian, dari studi awal yang telah

    dilakukan, diketahui bahwa pendekatan yang diadopsi oleh pemerintah belum

    dilaksanakan secara komprehensif dan masih menyisahkan isu lainnya seperti isu

    kelembagaan yang memungkinkan para nelayan kecil memiliki hubungan yang saling

    menguntungkan dengan berbagai pihak yang terlibat dalam rantai pasok kegiatan

    perekonomian di sektor perikanan dan isu pasca panen lainnya yang juga ikut

    mempengaruhi produksi dan produktifitas nelayan. Sehingga studi lanjutan ini melihat

    manajemen rantai pasok sirip hiu dan teripang, dua produk perikanan yang

    dikumpulkan dari AFZ khususnya area MOU Box 1974 yang telah dilakukan secara

    turun-temurun oleh nenek moyang nelayan Rote. Studi ini tidak melihat menejem

    rantai pasok perikanan secara menyeluruh, hal ini bukan disebabkan oleh

    keterbatasan waktu dan dana tetapi lebih pada upaya untuk memahami permasalahan

    nelayan tradisional di Kabupaten Rote Ndao.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    6/61

     

    Page | 6

    1. 2 Pokok Permasalahan

    Berdasarkan uraian latar belakang masalah pada pendahuluan di atas, maka

    permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

    berikut :

    1.2.1 Bagaimana biaya dan keuntungan dinegosiasikan diantara berbagai pelaku

    yang berbeda-beda peran dan kontribusi ini mempengaruhi hubungan para

    pelaku dalam rantai pasok?

    1.2.2 Bagaimana faktor-faktor produksi mempengaruhi rantai pasok sirip hiu dan

    teripang di Kabupaten Rote Ndao?

    1.2.3 Bagaimana kebijakan pemerintah daerah kabupaten Rote Ndao dalam

    memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan pengumpulan teripang

    dan sirip hiu di area MOU Box 1974?

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    7/61

     

    Page | 7

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pengertian Manajemen Rantai Pasok

    Pemahaman tentang pengelolaan Rantai Pasok dalam agribisnis dan

    agroindustri didefiniskan sebagai hubungan kerjasama antara produsen di lahan,

    pengolah serta wholesale  (pasar induk) atau pedagang ritel dalam memberikan

     jaminan serta untuk meminimalkan biaya produksi (Brown, 2003). Manajemen rantai

    pasok secara teoritik dapat dinyatakan sebagai pendekatan filosofi secara mendasar

    untuk penciptaan manajemen rantai nilai (value chain management) dalam

    membangun nilai yang difokuskan pada permintaan konsumen. Inti dari manajemen

    rantai pasok adalah aliran produk dan informasi yang diharapkan dapat menjembatani

    permintaan konsumen dan hubungan antara pelaku di dalam sistem pemasaran.

    Hubungan rantai pasok diharapkan tercipta secara alamiah dan hasilnya bermanfaat

    bagi pembeli dan penjual. Dengan demikian, aspek-aspek sosial seperti kepercayaan

    (trust), transfer informasi, dan kemampuan belajar akan mempengaruhi kinerja,

    pengembangan dan keberhasilan rantai nilai (Champion dan Fearne, 2001).

    Namun demikian, sampai sekarang belum banyak lembaga yang melakukanintervensi menyeluruh pada semua rantai pasok. Kebanyakan lembaga memulai

    dengan intervensi yang menitiberatkan peningkatan produksi dan perbaikan kualitas

    produksi. Sebagian lembaga telah memulai melakukan intervensi untuk meningkatkan

    nilai tambah secara ekonomi dengan pasca panen dan pemasaran. Sejauh yang

    diketahui, belum banyak hal menggembirakan dari semua usaha-usaha tersebut.

    Perbaikan dalam praktek budidaya dan peningkatan kualitas tidak diikuti dengan

    peningkatan akses terhadap pasar untuk mendapatkan harga dan margin keuntungan

    yang lebih baik. Pemasaran bersama yang digagas oleh Lembaga Swadaya

    Masyarakat (LSM) mengalami pasang surut dari segi keberlanjutan bisnis dan

    kebanyakan belum mandiri secara finansial.

    Masalah besar yang sangat jelas terlihat adalah tidak adanya sinergi dan

    keterpaduan dalam kerja di lapangan dalam rangka pembangunan pertanian yang

    berkelanjutan dan peningkatan kesejateraan nelayan kecil. Sehingga dengan

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    8/61

     

    Page | 8

    pendekatan menyeluruh terhadap semua rantai (chain approach),  diharapkan peta

    permasalahan produksi perikanan dapat dipahami secara komprehensif dan

    memungkinkan dilakukan intervensi yang lebih sistematis.

    Gambar 2.1 Kerangka Rantai Pasok (Tata Niaga) Produk Perikanan

    Gambar di atas merupakan skema sederhana dari rantai (tata niaga) ikan yang

    terdiri dari beberapa pelaku yang terbatas. Situasi ini tentu lebih kompleks, dimana

    pelaku bisa lebih banyak dan lebih panjang. Setiap pelaku dalam rantai ini memiliki

    peran dan pengaruh yang berbeda baik setiap rantai/pelaku maupun dalam

    hubungannya dengan pelaku/rantai lain. Peran dan pengaruh ini menentukan besaran

    nilai tambah (value added) yang dinikmati oleh masing-masing pelaku.

    Selain pelaku di tiap rantai, peran sistem pendukung/institusi eksternal juga

    memegang peran penting dalam mempengaruhi rantai (tataniaga ikan), seperti

    kebijakan pemerintah, perbankan, koperasi, lembaga keuangan, aturan perdagangan

    global (WTO), dan sebagainya. Interaksi para pihak dan intitusi eksternal inilah yang

    mempengaruhi kinerja rantai pasok yang berimplikasi pada besaran porsi nilai tambah

    yang diterima oleh para pelaku, khususnya nelayan.

    PASOK (Barang, Jasa dll)

    Sistim pendukung:

    1. Kebijakan pemerintah

    2. Lembaga keuangan

    3. Pedagang internasional

    PERMINTAAN (Kredit, Informasi, Teknologi, Pasar, Dll)

    Nelayan Pemilik

    perahu

    Pengepul/

    pedagang

    kecill

    Pengecer/

    pedagang

    sedang

    Pedagang

    besarKonsumen

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    9/61

     

    Page | 9

    Uraian di atas sejalan dengan rincian manfaat rantai pasok yang disampaikan

    oleh Champion dan Fearne (2001) yang dengan rinci mencoba membandingkan

    manfaat pendekatan berbasis rantai pasok dengan pendekatan konvensional (Tabel

    1). Manfaat pengelolaan rantai pasok ini dipakai sebagai kerangka analisis dalam

    penelitian ini untuk menilai seperti apa pengelolaan sirip hiu dan teripang di Rote

    Ndao, antara pendekatan konvensional dan rantai pasok.

    Tabel 2.1  Perbandingan Pendekatan Konvensional vs Pendekatan Rantai Pasok

    No

    Faktor Pendekatan

    Konvesional

    Pendekatan Rantai Pasok

    1 Pertukaran informasi Sedikit atau tidak ada Ekstensif  

    2 Fokus utama Biaya/harga Nilai/mutu komoditas3 Orientasi Komoditas Diferensiasi produk

    4 Hubungan kekuatan Dorongan pasokan Tarikan permintaan5 Struktur organisasi Independen Interdependen6 Filosofi Keuntungan pribadi Optimasi rantai7 Titik kontak interorganisasi Sedikit Banyak8 Model operasi Taktis Strategis9 Komunikasi antar pemangku kepentingan Formal dan lambat Informal dan cepat10 Kepercayaan antara para pemangku bisnis Jangka pendek Jangka panjang

    11

    Difusi pengetahuan/pengalaman antar pemangku

    bisnis

    Rendah Tinggi

    12 Pemangku bisnis di dalam sistem Banyak Sedikit13 Model organisasi Mekanistik Organik14 Visi organisasi nilai antar pemangku bisnis Berbeda, divergen Hampir setipe, konvergen (fokus)

     

    2.2 Kerangka Analisis.

    Berdasarkan Gambar 2.1. di atas, dalam esensinya terdapat empat komponen

    besar yang perlu dibina dalam mengelola rantai pasok:

    2.1.1 Produksi untuk menangani pembelian, manajemen operasi dan operasi

    pergudangan. Pihak-pihak yang terlibat adalah petani produsen komoditas

    sebagai bahan baku atau produk pangan bagi konsumen.

    2.1.2 Perdagangan untuk menangani pembelian, pencarian pemasok andalan dan

    distribusi bahan pangan. Pihak-pihak yang terlibat adalah pedagang ritel,

    pedagang pasar induk, serta distributor.

    2.1.3 Kelembagaan jasa untuk menangani pembelian, operasi dan manajemen

    sistem rantai pasok. Pihak-pihak yang terlibat adalah beragam institusi jasa

    termasuk bank, lembaga pembiayaan, rumah sakit, lembaga pendidikan,

    lembaga penyedia jasa asuransi dll.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    10/61

     

    Page | 10

    2.1.4 Transportasi untuk menangani manajemen sistem pasok dan manajemen

    lalulintas. Pihak-pihak yang terlibat adalah perusahaan jasa angkutan darat, laut

    maupun udara yang memiliki kompetensi dan pengalaman terkait.

     Analisis pengelolaan rantai pasok dilakukan pada ke-empat komponen di atas

    untuk dapat menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dan untuk

    dapat mengetahui sejauhmana pengelolaan rantai pasok di Kabupaten Rote Ndao

    masuk kategori yang dibuat oleh Champion dan Fearne (2001) pada tabel 2.1. di atas.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    11/61

     

    Page | 11

    BAB III TUJUAN DAN MANFAAT

    3.1 Tujuan.

    Tujuan dari penelitian ini adalah:

    3.2.1 Untuk memahami bagaimana biaya dan keuntungan dinegosiasikan

    diantara berbagai pelaku yang berbeda-beda peran dan kontribusinya

    terhadap hubungan para pelaku.

    3.2.2 Untuk memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi

    perikanan khususnya sirip hiu dan teripang di pulau Rote Ndao.

    3.2.3 Untuk memahami implementasi kebijakan pemerintah kabupaten Rote

    Ndao dalam memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan

    pengumpulan teripang dan sirip hiu di area MOU Box 1974

    3.2. Manfaat.

    Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah :

    3.2.1 Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

    pemikiran terhadap masalah manajemen rantai pasok produk perikanan yang ada di

    Kabupaten Rote Ndao.

    3.2.2 Secara praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi

    masyarakat khususnya nelayan serta aparat pemerintah Kabupaten Rote Ndao.

    3.2.3 Dari penelitian yang dihasilkan berupa sebuah Konsep Model Pemberdayaan

    Pengelolaan Rantai Pasok Produk Perikanan ( Sirip Hiu dan Teripang) di Kabupaten

    Rote Ndao NTT yang dapat dipakai pimpinan (Bupati) Rote Ndao dalam pengambilan

    kebijakan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan di Kabupaten

    Rote Ndao.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    12/61

     

    Page | 12

    BAB IV METODOLOGI

    4.1 Langkah Penelitian

    4.1.1 Waktu Penelitian

    Penelitian dilakukan selama 8 (delapan) bulan yaitu mulai bulan Februari

    sampai dengan bulan September 2012.

    4.1.2 Tempat Penelitian

    Tempat penelitian dilakukan di Kabupaten Rote Ndao NTT pada tiga Desa yaitu

    Desa Landu, Desa Oelua dan Desa Londalusi (kampung nelayan Papela). Ketiga desa

    ini adalah pusat pemukiman nelayan yang menangkap dan menjual sirip hiu dan

    teripang dari MOU Box 1974 secara turun-temurun. Selain itu secara etnografis ketiga

    desa ini dihuni oleh nelayan dengan latar belakang etnis yang dianggap mewakili etnis

    nelayan yang ada di pulau Rote yaitu nelayan asli etnis Rote dan nelayan pendatang

    etnis Bajo. Desa Landu yang merupakan pulau terpisah sekaligus terluar dan

    terselatan dari pulau Rote dihuni oleh penduduk asli Rote yang bermatapencaharian

    sebagai nelayan. Sedangkan Desa Londalusi terletak disebelah timur pulau Rote lebih

    banyak dihuni oleh nelayan etnis Bajo. Selanjutnya Desa Oelua dihuni oleh nelayankedua etnis baik Rote maupun Bajo yang telah hidup bersama dan bekerjasama

    menangkap dan menjual teripang dan sirip hiu dari MOU Box 1974.

    4.2 Metode Penelitian

    Penelitian studi kasus ini memakai gabungan pendekatan  kualitatif dan

    kuantitatif yang menekankan pada analisis diskriptif eksploratif. Gabungan dari kedua

    pendekatan ini merupakan bagian dari triangulasi baik dalam hal sumber teori, teknik

    pengumpulan data, sumber data dan analisis.

    Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara mendalam dengan para

    narasumber dan melalui proses pengamatan untuk waktu yang lama. Ada beberapa

    narasumber yang diwawancarai diantaranya para nelayan, pengepul, pemerintah desa

    dan pemerintah kabupaten yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Pertanyaan-

    pertanyaan dalam wawancara ini bersifat terbuka sehingga lebih fleksibel dan

    membuka ruang bagi tema-tema atau isu-isu baru yang muncul dalam proses

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    13/61

     

    Page | 13

    wawancara yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Meskipun riset ini bersifat induktif

    empirik, pertanyaan-pertanyaan terutama dalam wawancara awal yang dibuat

    diinspirasi dari konsep-konsep (teori) yang dipakai, disamping literatur-literatur

    terdahulu. Pertanyaan-pertanyaan pada wawancara selanjutnya akan dikembangkan

    dari temuan terdahulu (wawancara terdahulu disamping inspirasi teoritik dan literatur).

    Disamping itu penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa laporan

    penelitian menyangkut industri perikanan baik yang dikeluarkan lembaga resmi

    pemerintah dan organisasi internasional maupun yang dikeluarkan lembaga penelitian

    ekonomi non pemerintah. Data-data sekunder ini juga diperkaya dari sumber-

    sumber lain, seperti artikel, jurnal, buku-buku dan berita.

    Dalam penelitian ini proses analisis data banyak dituntun oleh kerangka teoritik

    yang digunakan tetapi tidak bersifat membatasi. Untuk data numerik, proses analisis

    data menggunakan metode statistik dengan formula tertentu yang sesuai dengan

    tujuan dan bentuk data. Hasil penelitian diagregasi untuk diinterpretasikan

    berdasarkan kerangka numerik yang dipakai. Sementara untuk data non numerik

    proses analisis data melibatkan tiga prosedur utama, yakni pertama redaksi dan

    refunary mendalam untuk menentukan data mana yang perlu diteliti lebih lanjut dan

    mana yang perlu dibuang. Kedua, kategorisasi data berdasarkan variabel dan konsep

    yang diturunkan dari teori yang dipakai. Ketiga, interpretasi data berdasarkan alur

    logika teoritik yang dipakai dalam penelitian. Dalam proses interpretasi ini, penilaian

    dari peneliti sangat dimungkinkan. Penilaian ini mempengaruhi proses narasi dalam

    laporan penelitian.

    Kepekaan teoritis dan subjective assesment  peneliti menjadi faktor yang sangat

    menentukan dalam proses analisis data. Secara umum dalam penelitian ini teori

    menjadi panduan dalam mencari data dan interpretasi data-data tersebut. Oleh

    karenanya dalam penelitian ini data atau fakta yang ditelusuri disesuaikan dengan

    indikator-indikator yang dioperasionalkan dari konsep-konsep yang ada dalam teori

    yang dipakai. Selanjutnya berdasarkan konsep dan katagori tematik tersebut data-data

    yang telah diperoleh ini di coding dan dianalisis. Hasil analisis ini digeneralisasi untuk

    memperoleh gambaran dan penjelasan umum (inference) terhadap fenomena yang

    diteliti.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    14/61

     

    Page | 14

    BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1 Pemetaan Potensi Perikanan.

    5.1.1 Potensi Perikanan

    Kabupaten Rote Ndao sebagai kabupaten kepulauan sekaligus perbatasan,

    memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Secara geografis, luas

    perairan mencapai 2.376 KM2 (32.675 Ha untuk budidaya laut, 32.000 Ha untuk

    budidaya rumput laut, 12.937 Ha untuk budidaya pantai, 127 Ha untuk budidaya

    perairan dan 30 Ha untuk budidaya mutiara), garis pantai sepanjang 330 KM. Potensi

    perikanan lestari sebesar17.875 ton/tahun sedangkan potensi perikanan tangkap yang

    dimanfaatkan baru mencapai 6,9% dari total potensi perikanan tangkap yang

    diperbolehkan sebesar 14.300 ton/tahun.

    Data statistik memperlihatkan bahwa terdapat 58 desa dari total 89 desa di

    kabupaten Rote Ndao, dengan jumlah nelayan mencapai 6.438 KK/23.384 dan jumlah

    pembudidaya rumput laut sebanyak 9.501 KK/33.609 Jiwa. Sehingga terlihat bahwa

    produksi masih sangat rendah dimana produksi ikan sebesar 29,46 kg/jiwa/tahun dan

    produksi rumput laut sebesar 28,15 kg/jiwa/tahun. Rendahnya produktifitas ikan dan

    rumput laut ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor budaya, metodepenangkapan, dukungan kebijakan publik dan pemasaran.

    Secara kultural, masyarakat Rote lebih merupakan masyarakat daratan yang

    hidup dari usaha pertanian dan budidaya lontar untuk menghasilkan gula yang

    merupakan bahan makanan pokok (Fox 1977). Aktifitas yang berhubungan dengan

    laut hanya sebatas pengambilan produk perikanan dan kelautan saat pasang surut,

    tidak ada catatan sejarah tentang penangkapan ikan pada laut bebas. Aktifitas

    perikanan mulai berkembang seiring dengan kedatangan nelayan etnis Bajo, Bugis,

    dan Buton yang selain mencari ikan, juga melayani transportasi barang dan jasa antar

    pulau. Hal ini terlihat dari penyebaran pusat-pusat produksi ikan yang hanya berkaitan

    dengan penyebaran komunitas nelayan etnis non-Rote seperti Pepela, Oelua, Batutua

    dan Oeseli. Komunitas nelayan asli Rote yang cukup produktif dijumpai pada pulau-

    pulau kecil yang tidak memiliki potensi pertanian dan lontar yang cukup signifikan.

    Termasuk di dalamnya adalah masyarakat di pulau Landu, Nusa Manuk, pulau Ndao,

    pulau Nuse dan pulau Usu.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    15/61

     

    Page | 15

    Rendahnya produksi perikanan dan non perikanan ikut dipengaruhi oleh metode

    penangkapan yang destruktif, merusak ekosistim laut yang mendukung produksi

    perikanan. Maraknya penggunaan pukat harimau dan bahan kimia beracun seperti

    sianida untuk menangkap masih terus berlangsung di banyak area laut. Hasil kajian

    Tim Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu (2012), demikian juga hasil studi awal

    yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (2012)

    memperlihatkan tingkat kerusakan ekosistim laut yang cukup parah di berbagai

    wilayah laut di kabupaten Rote Ndao. Hal ini diperburuk oleh pencemaran laut Timor

    pada tahun 2009 yang membawa dampak luas dan besar di seluruh perairan

    kabupaten Rote Ndao. Produksi ikan yang besar pada tahun 2007 dan 2008 masing-

    masing sebanyak 3.170 ton dan 3.500 ton kemudian menurun drastis menjadi 2.731

    ton pada tahun 2009 dan 990 ton pada tahun 2010. Demikian juga dengan produksi

    rumput laut kering yang pada tahun 2009 sebanyak 6.127 ton dan tahun 2010

    sebanyak 7.334 ton menurun drastis menjadi 1.512 ton pada tahun 2009 dan 946 ton

    pada tahun 2010.

    Kerusakan ekosistim khususnya ekosistim pesisir ini kurang didukung dengan

    pengembangan perikanan tangkap untuk memaksimal hasil tangkapan pada laut lepas

    yang kaya dengan sumberdaya ikan baik karena ekosistim yang masih baik maupun

    yang masuk dalam jalur migrasi ikan. Data yang terkumpul memperlihatkan rasio

    kepemilikan alat tangkap dan kualitas sumber daya manusia yang masih sangat

    rendah khususnya pursue seine sebanyak 100 unit dengan rincian 60 unit dimiliki oleh

    nelayan Rote dan 40 unit milik nelayan dari daerah lain. Dimana baru sekitar 112 awak

    yang terlatih untuk 14 kapal sehingga rerata hasil tangkapan semua kapal ini

    sebanyak 600 kg/kapal/hari, atau sebanyak 30% dari kapasitas tangkap yang

    sejatinya.

    5.1.2 Potensi Sirip Hiu dan Teripang

    Sejarah penangkapan sirip hiu dan pengumpulan teripang oleh nelayan tidak

    didasari oleh besarnya potensi kedua produk ini di kabupaten Rote Ndao, tetapi lebih

    pada kedekatan geografis pulau Rote dengan perairan laut di sebelah utara Australia

    yang dikenal dengan pulau Pasir yang memiliki potensi hiu dan teripang yang besar.

    Beberapa catatan sejarah memperlihatkan bahwa nelayan-nelayan Bajo dari Sulawesi

    yang mencari sirip hiu dan teripang sejak masa penjajahan Belanda selalu mampir di

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    16/61

     

    Page | 16

    Kupang dan Rote dalam perjalanan ke dan pulang dari pulau Pasir (Stacey 1999).

    Seiring dengan meningkatnya harga sirip hiu dan teripang pada akhir tahun 1980-an

    hingga tahun 1990-an nelayan-nelayan ini tidak saja mampir tetapi mulai berpindah ke

    Rote guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas penangkapan sirip hiu dan

    pengumpulan teripang.

    Namun secara turun-temurun hingga sekarang masyarakat Rote

    mengkonsumsi teripang yang dimakan mentah hanya dengan direndam dalam cuka

    untuk beberapa jam sebelum di konsumsi dengan minum gula lontar. Konsumsi

    teripang ini sangat luas, hampir oleh semua lapisan masyarakat sebelum teripang

    menjadi produk perikanan yang memiliki nilai jual tinggi. Potensi teripang hampir bisa

    dijumpai di seluruh perairan Rote walaupun dalam jumlah yang semakin terbatas.

    Potensi teripang yang besar masih bisa dijumpai di beberpa titik di perairan sebelah

    utara pulau Rote. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Rote Ndao tahun 2012 yang

    dikumpulkan dari kapal-kapal luar yang mengumpulkan teripang memperlihatkan

    bahwa potensi teripang masih sangat besar, namun hanya bisa dijumpai pada

    perairan dengan kedalaman yang besar sehingga diperlukan ketrampilan menyelam

    dan peralatan yang modern dan mahal. Sedangkan potensi teripang di sebelah

    selatan seperti di sekitar pulau Landu semakin langkah. Pada tahun 2012, rerata

     jumlah teripang kering yang berhasil di kumpulkan oleh seorang nelayan Desa Landu

    tidak melebihi 1 kg per bulan yang dapat dijual maksimal tidak lebih dari Rp.150.000.

    Potensi hiu sepanjang perairan selatan Rote cukup besar. Secara turun-

    temurun nelayan Rote menangkap hiu untuk di konsumsi, namun tidak dimanfaatkan

    sirip hiu seperti halnya konsumen Tionghoa. Stacey dkk (2008) dalam menggali

    kearifan ekologi lokal yang bermanfaat bagi pelestarian hiu di Indonesia bagian timur

    termasuk Nusa Tenggara Timur dan Rote memperkuat pengetahuan lokal masyarakat

    tentang potensi hiu yang cukup besar di perairan sekitar pulau Ndana, batu Heliana

    dan pulau Landu. Namun seperti halnya dengan teripang, tidak tersedia data

    kuantitatif volume penangkapan sirip hiu dan teripang yang dikonsumsi oleh

    masyarakat Rote.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    17/61

     

    Page | 17

    Gambar 5.1 Peta Jalur Migrasi Hiu di Pulau Rote

    Berdasarkan data pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah retribusi yang

    dikenakan terhadap sirip hiu dan teripang yang dikumpulkan mulai dari tahun 2008

    sampai dengan tahun 2011 cenderung fluktuatif, dengan rata-rata sekitar Rp.770.125

    untuk teripang dan Rp.1.958.625 untuk Srip Hiu. Jumlah pendapatan ini diperkirakan

    hanya sekitar 15% dari volume hasil tangkap yang diperoleh. Diperkirakan rerata

    volume hasil tangkap per tahun dapat mencapai 5.134 kg untuk teripang dan 5.223 kg

    untuk sirip hiu. Dengan demikian rerata total pendapatan kotor yang diperoleh setiap

    tahun dapat mencapai Rp.550 juta untuk teripang dan Rp.3,5 milyar untuk sirip hiu.

    Tabel 5.1 Rincian pendapatan dari Retribusi Teripang dan Sirip Hiu (Rp.)

    Jenis produk 2008 2009 2010 2011

    Teripang 1.091.500  108.000  1.091.000  790.000 

    Sirip hiu 2.852.500  77.000  2.390.000  2.515.000 

    Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Rote Ndao, 2012

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    18/61

     

    Page | 18

    5.2 Pemetaan Rantai Pasok.

    5.2.1 Pemetaan Pelaku

    Pelaku yang menjadi responden dalam penelitian ini mencakup Pemilik perahu;

    Juragan (Kapten perahu) dan Anak buah perahu. Secara geografis para pelaku yang

    menjadi responden di pilih dari 3 desa (dari total 49 desa pesisir) yang merupakan

    sumber utama asal nelayan MOU Box 1974. Nelayan di tiga lokasi ini memiliki

    keterkaitan yang erat namun memiliki karakteristik yang berbeda satu dari yang

    lainnya baik dalam hal keragaman tingkat ekonomi dan sosial, livelihood, dan jenis

    tangkapan hasil laut.

    Pilihan lokasi ini telah dikonfirmasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan

    Daerah (Bappeda) Rote Ndao dan Dinas Kelautan dan Perikanan Rote Ndao. Dari

    masing-masing desa ini dilakukan wawancara terhadap 5 orang pemilik kapal, 5 orang

     juragan perahu dan 5 orang anak buah perahu sehingga jumlah keseluruhan

    responden adalah sebanyak 45 orang. Wawancara lanjutan juga dilakukan dengan

    Kepala Desa Landu dan Kepala Desa Oelua yang adalah juga pemilik kapal, juga

    dengan 2 pengusaha/pemodal utama di Landu dan 1 pengusaha/pemodal di Pepela.

    Gambar 5.2  Peta Lokasi Penelitian

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    19/61

     

    Page | 19

    5.2.1.1 Desa Landu

    Desa ini terletak di Pulau Landu Kecamatan Rote Barat Daya, merupakan pulau

    terselatan Indonesia. Awalnya merupakan bagian dari Desa Oebou di Kecamatan

    Rote Barat Daya, kemudian sejak tahun 2011 dipisahkan dari desa induk dan

    ditetapkan menjadi desa mandiri. Penduduk desa Landu sebanyak 771 jiwa, mayoritas

    penduduk asli Rote yang beragama Kristen, dengan rincian: 178 Kepala Keluarga (KK)

    penduduk asli, 4 KK keturunan Ndao yang beragama Kristen, 1 (KK) keturunan

    Dawan beragama Kristen dan 4 KK keturunan Bajo yang beragama Muslim. Hampir

    semua penduduk desa pulau ini bermatapencaharian sebagai nelayan, termasuk 5 KK

    tenaga pengajar di Sekolah Dasar Landu yang juga memiliki usaha yang berbasis

    perikanan, termasuk sebagai pemilik perahu yang menangkap hiu di area MoU Box

    1974.

    Keterlibatan nelayan Landu secara langsung dalam bisnis penangkapan hiu di

    perairan Australia termasuk belum lama yaitu sekitar tahun 2005. Jauh sebelumnya

    yaitu sejak tahun 1985 nelayan Landu hanya bekerja sebagai anak buah perahu pada

    pemilik perahu di Pepela. Setiap tahun sebelum tiba di lokasi penangkapan hiu, para

    nelayan Pepela mampir di pulau Landu untuk mengambil air minum dan juga

    berlindung dari badai untuk sementara waktu. Para nelayan Pepela juga berbagi

    informasi tentang bisnis sirip hiu dan teripang. Sehingga selain bekerja sebagai anak

    buah perahu, sebagian terlibat dalam pengumpulan teripang di sekitar perairan Landu.

    Seiring dengan meningkatannya pengetahuan nelayan Landu tentang bisnis

    sirip hiu dan teripang, maka sejak tahun 1985 para nelayan Landu mulai pergi berlayar

    menangkap sirip hiu tanpa melibatkan nelayan Pepela. Jumlah perahu dari pulau

    Landu yang dipakai berlayar mencapai 23 unit, dengan memperkerjakan sebanyak 23

     juragan dan 161 anak buah perahu, semuanya merupakan penduduk asli Landu.

    Namun seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah Australia di area MoU

    Box 1974, motivasi nelayan Landu untuk menangkap hiu mengalami kemunduran

    hingga berhenti total pada tahun 2007. Jumlah perahu Landu yang ditahan dan

    dibakar pemerintah Australia sejak tahun 2005 hingga tahun 2007 mencapai 18 unit.

    Pelanggaran utama yang menjadi alasan penangkapan dan pembakaran perahu-

    perahu ini adalah pelanggaran jenis perahu yang diijinkan. Semua perahu yang

    ditahan adalah perahu motor, bukan perahu layar sesuai dengan amanat MoU Box

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    20/61

     

    Page | 20

    1974. Kemunduran serupa juga dialami oleh nelayan pengumpul teripang, seiring

    dengan semakin menurunnya potensi teripang di perairan Landu. Pada masa jayanya

    hingga tahun 2003, jumlah teripang kering dari perairan Landu yang dapat

    diantarpulaukan mencapai 1 ton per bulan, namun kemudian mengalami penurunan

    hingga hanya mencapai sekitar 50 Kg per bulan pada tahun 2012.

    Dampak dari kemunduran kegiatan perikanan ini terlihat dari meningkatnya

     jumlah penduduk yang telah keluar mencari pekerjaan di daerah lain. Hingga tahun

    2012, jumlah penduduk yang telah keluar sebanyak 176 jiwa, menyebar hampir di

    seluruh Indonesia, namun sebagian besar masih bekerja pada subsektor kelautan dan

    perikanan.

    5.2.1.2 Desa Oelua

    Desa Oelua terletak di sebelah timur laut Kecamatan Rote Barat Laut dengan

    lokasi pelabuhan yang tertutup rapat oleh hutan bakau yang lebat dan luas sehingga

    pantainya sangat terlindung dari amukan angin barat selama musim hujan. Penduduk

    desa ini sangat beragam, baik dari aspek etnis, agama, maupun kondisi sosial dan

    ekonomi. Secara umum, kehidupan ekonomi desa ini jauh lebih baik dan beragam dari

    pada kondisi ekonomi nelayan di desa Landu (Carnegie 2008).

    Dari jumlah penduduk 2.706 jiwa, 35,66% adalah etnis Bugis, Buton dan Bajo

    yang beragama Muslim, 62,68% adalah penduduk lokal beragama Kristen dan1,66%

    berasal dari daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Menariknya, Kepala Desa Oelua

    adalah etnis pendatang yang beragama Muslim yang dipilih secara demokrasi oleh

    penduduk Oelua.

    Mayoritas penduduk beragama Muslim adalah nelayan dan pedagang sembilan

    bahan pokok kebutuhan hidup sehari-hari termasuk penyedia jasa transportasi bahan

    bakar minyak dari Kupang ke Sabu dan Rote. Mayoritas penduduk pendatang berdiam

    di pinggir pantai di dusun Oelaba dan menguasai lebih dari 50% kegiatan

    perekonomian di Oelua. Sedangkan penduduk asli lebih fokus pada kegiatan pertanian

    dan pengolahan dan perdagangan gula merah antar pulau yang menciptakan

    ketergantungan dengan para pemilik perahu penduduk pendatang.

    Hingga tahun 2012 jumlah perahu yang layak untuk melakukan pelayaran ke

    area MoU box 1974 sebanyak 12 unit, 21 unit lainnya dalam kondisi tidak layak

    berlayar, 5 unit mengangkut bahan bakar minyak dan sembilan bahan pokok

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    21/61

     

    Page | 21

    kebutuhan masyarakat dari Kupang ke Sabu dan dari 2 unit dari Kupang ke Rote.

    Pengangkutan bahan bakar minyak dan sembilan bahan pokok di mulai pada tahun

    2009 seiring dengan semakin sulitnya para pemilik perahu untuk memperoleh juragan

    dan anak buah perahu untuk belayar dan mengumpul teripang di area MoU Box 1974.

    5.2.1.3 Desa Londalusi

    Desa Londalusi terletak di Kecamatan Rote Timur di sebelah timur laut ujung

    pulau Rote dengan kampung nelayan utama bernama Pepela. Kampung Pepela

    terletak disebelah selatan teluk yang cukup terlindungi dari arah barat. Teluk Pepela

    dipisah dari daerah sekitarnya oleh pantai berpasir dan hutan manggrove, dan

    terumbuh karang dapat dijumpai di tengah-tengah. Lokasinya yang uniknya sangat

    cocok menjadi tempat perlindungan bagi perahu kecil dari angin barat dan timur yang

    kadang sangat keras.

    Jumlah penduduk Londalusi mencapai 4.002 jiwa, dengan rincian penduduk

    yang beragama Muslim sebanyak 46,43%, Kristen Protestan sebanyak 51,67% dan

    Kristen Katolik sebanyak 1,9%. Penduduk asli beragama Kristen Prostetan,

    sedangkan kaum imigran dari pulau lain umumnya adalah etnis Bajo, Buton dan Bugis

    yang beragama Muslim dan Kristen Katolik. Kegiatan ekonomi penduduk Pepela

    berbasis pada penangkapan ikan di laut Timor dan perdagangan yang berhubungan

    dengan produk perikanan.

    Di dusun Pepela sendiri terdapat perkampungan kumuh nelayan yang sedikit

    terpisah ke arah timur yaitu Tanjung Pasir, yang dihuni oleh 420 jiwa atau 128 kepala

    keluarga di 84 rumah. Di kampung ini terdapat 11 perahu yang melakukan pelayaran

    ke area MoU Box 1974 setiap tahun dan pada bulan Juni 2012, 8 unit perahu sedang

    berlayar ke/berada di area MoU Box 1974.

    Tabel 5.2.1  Lokasi dan Jumlah Penduduk

    Desa Penduduk RT RTM Perahu

    Layar 

    Awak Perahu

    Layar 

    Landu 771  187  126  -  - 

    Oelua 2.706  605  502  27  215 

    Londalusi 4.002  981  523  43  209 

    Rote 120.861  30.046  13.366  98  535 

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    22/61

     

    Page | 22

    5.2.2 Pemetaan Proses

    Suatu peta rantai nilai yang komprehensif dan mencakup keseluruhan hal tidak

    akan pernah ada (ACIAR 2012). Proses yang diidentifikasi dalam rantai nilai teripang

    dan sirip hiu minimal terdiri dari 8 (delapan) tahapan. Empat tahapan awal yaitu

    penyediaan input, penangkapan, pengolahan awal dan pengumpulan dilakukan oleh

    para nelayan dan pemilik perahu di Rote, sedangkan tahapan pengolahan lanjutan,

    pengiriman, pemasaran dan pengolahan akhir dilakukan di Kupang, Makasar,

    Surabaya dan negara tujuan.

    5.2.2.1 Penyediaan input, penangkapan, pengolahan awal dan pengepulan.

    Kedua produk yang menjadi objek penelitian, yaitu sirip hiu dan teripang,

    membutuhkan input yang berbeda-beda. Input yang paling utama adalah perahu,

    tenaga kerja dan kebutuhan makanan dan minuman selama pelayaran. Perbedaan

    keduanya adalah pada penangkapan, dimana teripang tidak membutuhkan alat

    tangkap seperti halnya sirip hiu. Pengumpulan teripang dilakukan dengan tangan,

    namun untuk itu dibutuhkan perlengkapan penyelaman seperti kaca mata dan lampu

    penerang khusus untuk penyelaman di malam hari.

    Proses selanjutnya teripang harus segera di olah sehingga dibutuhkan input

    tambahan berupa alat dan kayu bakar untuk di rebus. Proses ini dilakukan terhadap

    sirip hiu namun tidak dilakukan oleh nelayan tetapi dilakukan oleh pemilik rumah

    makan yang menyajikan makanan. Kebutuhan input untuk pengepulan hanya berupa

    neraca atau alat timbang dan karung untuk mengisi sirip hiu dan teripang yang dalam

    penelitian ini tidak diperhitungkan oleh karena neraca yang dipakai telah dipakai untuk

     jangka waktu yang lama dan tidak membutuhkan biaya operasional dan pemeliharaan,

    sedangkan input berupa karung telah diperhitungkan ke dalam harga produk yang

    menjadi tanggungan penjual.

    Biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan input ini bervariasi,

    tergantung pada lokasi keberangkatan. Nelayan yang berasal Oelua dan Pepela

    menempuh jarak pelayaran yang lebih panjang sehingga kebutuhan bahan makanan

    lebih banyak dari pada nelayan Landu. Namun demikian kebutuhan bahan makanan

    ini masih juga dipengaruhi oleh jenis produk yang hendak ditangkap. Nelayan Oelua

    yang mengumpulkan teripang, membutuhkan lebih banyak waktu, bisa mencapai 2

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    23/61

     

    Page | 23

    bulan, sedangkan nelayan Pepela dan Landu yang menangkap hiu hanya

    membutuhkan waktu 7 – 21 hari.

    Tabel 5.2.2  Perbandingan Kebutuhan Input Sirip Hiu dan Teripang

    Cash Non-Cash Cash Non-Cash

    1 Perahu 30.000.000  -  30.000.000  -  Rp

    2 Alat tangkap 7.000.000  2.000.000  -  Rp

    3 Waktu -  7  -  60  Hari

    4 Kayu bakar -  -  500.000  -  Rp

    Sirip Hiu TeripangNo Kebutuhan Satuan

     

    5.2.2.2 Pengolahan Lanjutan, Pengiriman, Pemasaran dan Pengolahan Akhir.

    Penelitian ini masih sebatas pada tahap pertama rantai pasok, sehingga

    kebutuhan input untuk tahap yang kedua tidak dilakukan pengumpulan data primer.

    Keterbatasan yang dijumpai sebagai alasan pembatasan fokus penelitian ini adalah

    pada ketersediaan waktu dan biaya, dan kesulitan untuk menggali informasi harga dan

    biaya pada pelaku selanjutnya setelah para nelayan.

    Namun demikian, beberapa data sekunder telah dipakai dalam analisis

    beberapa isu seperti harga pembelian, standar kualitas produk dan proses

    pengolahan lanjutan. Informasi berharga lain seperti jaringan dan identitas pelaku

    yang lebih dekat kepada konsumen masih merupakan rahasia dagang yang sulit sekali

    untuk diperoleh. Sehingga pelaku yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

    sebatas pelaku lokal yang berdomisili dan merupakan penduduk di Rote Ndao.

    5.2.3 Pemetaan Alur Produk.

    Sepanjang tahap pertama proses rantai pasok, produk yang dihasilkan masih

    berupa bahan mentah yang belum banyak mengalami pengolahan dengan sentuhanteknologi. Produk yang dihasilkan pasca penangkapan hiu masih berupa sirip hiu yang

    dipotong dengan menggunakan pisau dan tangan lalu dikeringkan dengan sinar

    matahari. Demikian juga dengan pengolahan teripang berupa penggaraman dan

    pembersihan secara tradisional menggunakan tangan dan pengeringan dengan

    bantuan alam yaitu matahari.

    Kenyataan ini bukan disebabkan oleh ketiadaan teknologi pengolahan, tetapi

    lebih disebabkan oleh pola hubungan dan pembiayaan pelayaran yang mempengaruhi

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    24/61

     

    Page | 24

    kekuatan tawar-menawar antara para pelaku dengan pemodal pasca penangkapan.

    Para pemodal memiliki kekuatan untuk menekan para pelaku untuk secepatnya

    mengembalikan modal pinjaman yang telah mereka peroleh dan untuk menghindari

    beban bunga tambahan yang dapat dikenakan, dipihak lain para pelaku yang telah

    meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama dibebani oleh tanggungjawab untuk

    memenuhi kebutuhan keluarga.

    5.2.4 Pemetaan Pengetahuan dan Alur Informasi.

    Hal-hal yang tak kasat mata yang terkait dengan rantai nilai, seperti misalnya

    informasi dan pengetahuan, pada umumnya lebih sulit ditangkap dalam suatu peta

    visual namun memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas produk

    dan posisi tawar-menawar produsen.

    Penelitian ini menemukan bahwa ternyata informasi berharga yang

    mempengaruhi produksi dan kualitas produksi tidak dimiliki oleh semua pelaku

    sepanjang rantai pasok. Informasi harga sirip hiu dan teripang ditentukan sepihak oleh

    pedagang perantara dari luar Rote, bahkan khusus harga sirip hiu yang berlaku saat

    ini sama dengan harga tahun 2010.

    Hal serupa juga berlaku dalam hal informasi dan fasilitas kredit untuk

    mengadakan kebutuhan input pelayaran. Pinjaman kredit yang tersedia hanya

    diperoleh dari pemodal yang setiap saat dapat diakses oleh para pelaku tanpa

    prosedur yang panjang dan tidak harus menyediakan jaminan aset pribadi. Disisi lain

    akses terhadap kredit yang disiapkan oleh pemerintah dan lembaga pengkreditan tidak

    tersedia setiap waktu, dan harus melalui proses seleksi dan penilaian kelayakan yang

    rumit dan panjang.

    5.2.5 Pemetaan Volume Produk, Jumlah Pelaku dan Lapangan Kerja.

    Informasi yang berhubungan dengan volume produksi jauh lebih sulit diperoleh

    dari pada informasi yang terkait dengan pelaku dan ketersedian lapangan kerja.

    Informasi volume produk sangat bermanfaat dalam memperkirakan permintaan pasar,

    harga, potensi produk yang masih dapat digali dan nilai produk yang seharusnya dapat

    dimaksimalkan. Informasi produk juga memberi indikasi informasi jumlah pelaku dan

     jumlah lapangan kerja yang terserap.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    25/61

     

    Page | 25

    Data yang berhasil dikumpulkan hanya sebatas data pendapatan pemerintah

    daerah yang bersumber dari retribusi yang dikenakan terhadap produk sirip hiu dan

    teripang yang diantarpulaukan keluar Rote. Tidak ada data yang jelas dan spesifik per

    lokasi, namun menurut Dinas Kelautan dan Perikanan, bahwa sumber retribusi sirip

    hiu hanya berasal dari Pepela, sedangkan sumber retribusi teripang umunya berasal

    dari Oelua yang mencapai 60% sedangkan selebihnya berasal dari desa Netenaen.

    Tabel 5.2.5  Perkembangan Produksi Teripang Dan Sirip Hiu

    Jenis Produk Satuan

    2004 2008 2009 2010 2011

    Teripang Kg 33.300 728 720 7.273 5.266

    Sirip Hiu Kg 1.915 1.902 51 1.593 1.677

    Sedangkan untuk informasi jumlah pelaku dan jumlah lapangan kerja diperoleh

    dari jumlah pelayaran yang dilakukan oleh setiap perahu. Hampir semua perahu, baik

    yang menangkap hiu maupun mengumpulkan teripang diawaki oleh minimal 7 orang

    yang terdiri dari 1 juragan dan 6 anak buah perahu. Setiap tahun rata-rata terdapat 5

    perahu dari Oelua yang berlayar mengumpulkan teripang dengan jumlah rerata nilai

    penjualan produk mencapai Rp. 20 juta, sedangkan jumlah perahu dari Pepela yang

    berlayar ke area MOU Box 1974 dapat mencapai 43 unit, dimana rata-rata 1 unit

    perahu dapat melakukan pelayaran sebanyak 2 kali per tahun dengan jumlah nilai

    penjualan produk dapat mencapai Rp.30 juta per pelayaran.

    Peluang peningkatan produksi ke MOU Box 1974 tetap terbuka jika masalah

    keterbatasan tenaga kerja dapat diatasi. Penurunan minat generasi muda yang terlihat

    dari kesulitan para pemilik perahu untuk memperkerjakan juragan dan anak buah

    perahu, meningkatnya peluang lapangan kerja di sektor lain dan di daerah lain yang

    mendorong meningkatnya urbanisasi disertai dengan persyaratan khususnya yang

    harus dimiliki seperti kemampuan menyelam yang tinggi dan kemampuan untuk hidup

    terisolasi dan terputus komunikasi dengan keluarga untuk jangka waktu yang lama

    merupakan beberapa fakta yang memperngaruhi persediaan tenaga kerja.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    26/61

     

    Page | 26

    Secara umum jumlah tenaga kerja yang tersedia semakin terbatas dan langka.

    Dalam hal kualitatif, lebih dari 80% tenaga kerja lokal pada tahap produksi telah

    berusia antara 40 hingga 50 tahun khususnya di Oelua. Sementara itu secara

    kuantitatif, lebih dari 80% tenaga kerja di Oelua didatangkan dari Alor setiap tahun

    dengan beban biaya tambahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan

    memperkerjakan tenaga kerja lokal. Permasalahan ketersedian tenaga kerja tidak

    dihadapi oleh di Pepela. Dari total 43 unit perahu layar di Pepela yang dapat berlayar

    ke area MoU Box 1974, 33 unit perahu ini dikemudikan sendiri oleh pemilik dengan

    rerata usia antara 30 tahun sampai dengan 40 tahun, sedangkan usia anak buah

    perahu masih relatif muda, rerata usia mereka antara 20 tahun hingga 30 tahun dan

    merupakan penduduk asli Pepela.

    Ketersediaan tenaga kerja sangat mempengaruhi produksi. Tenaga kerja yang

    berasal dari Alor jauh lebih produktif dari tenaga kerja lokal. Hal ini membuat

    keuntungan yang diperoleh dengan memperkerjakan tenaga kerja asal Alor lebih

    besar, namun perbedaan lokasi pemberangkatan dimana para tenaga kerja harus

    datang ke Rote dan menunggu hingga kondisi laut mendukung pelayaran, maka

    keuntungan lebih yang diperoleh tenaga kerja dari Alor harus dialokasikan untuk biaya

    hidup selama menunggu dan termasuk biaya transportasi dari dan ke Alor.

    Permasalahan kelangkaan tenaga kerja ini, merupakan wilayah privat pemilik kapal.

    Tidak ada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah untuk memasok tenaga

    kerja yang termasuk langkah dan sangat membutuhkan kerampilan dan resiliensi yang

    tinggi ini.

    5.2.6 Pemetaan Hubungan dan Keterkaitan Antar Pelaku.

    Kepercayaan dan keterhubungan memiliki kaitan yang amat erat dalam suatu

    rantai nilai. Organisasi yang tidak memiliki keterhubungan tidak punya alasan untuk

    saling “percaya”,  sekalipun mereka bukannya “tidak percaya” pada pihak lainnya.

    Sebaliknya, kepercayaan mungkin tidak penting bila terdapat mekanisme penegakan

    yang memastikan terjadinya kepatuhan atas peraturan yang memayungi hubungan

    (misalnya, kontrak dan regulasi hukum lainnya). Akan tetapi, bila tidak terdapat

    mekanisme penegakan yang efektif, hubungan yang terjalin tanpa adanya

    kepercayaan akan selalu merupakah hubungan yang lemah.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    27/61

     

    Page | 27

    Keterkaitan, yang didefinisikan sebagai hubungan sosial antara dua pihak, dapat

    berperan dalam rantai nilai tertentu, misalnya usaha keluarga yang melibatkan

    beberapa anggota keluarga atau kelompok keluarga yang masing-masing memiliki

    tugas spesifik atau spesialisasi dalam rantai nilai (biasanya dengan tingkat

    kepercayaan yang tinggi), sedangkan keterhubungan merupakan norma yang lebih

    umum di kebanyakan rantai nilai (dengan berbagai derajat kepercayaan antara para

    pelaku). Mulai dari sini alat ini akan berfokus pada keterhubungan dan kepercayaan.

     Analisis keterhubungan mencakup tidak hanya sekedar melakukan identifikasi

    atas organisasi dan pelaku mana saja yang terhubung satu sama lain, namun juga

    mengidentifikasi alasanalasan terjadinya hubungan ini dan apakah keterhubungan

    tersebut bermanfaat atau tidak.

    Para pelaku dalam rantai nilai memiliki hubungan antara satu sama lain karena

    mereka bertujuan memperoleh manfaat dari hubungan tersebut. Suatu identifikasi

    adanya manfaat (atau kurangnya manfaat) juga memerlukan identifikasi hambatan

    dalam meningkatkan keterhubungan dan kepercayaan di antara para partisipan rantai

    nilai.

    Keterhubungan dalam suatu rantai nilai kebanyakan merupakan hubungan

    usaha, dan hubungan ini bisa berupa hubungan formal namun seringkali justru bersifat

    informal. Hubungan informal mengacu pada ranah modal sosial (l ihat Gambar 10 pada

     Alat 3), dan kepercayaan dapat memainkan peran inti dalam hubungan semacam ini.

    Banyak penelitian menunjukkan bahwa dalam komunitas tradisional yang dinamis,

    derajat modal social dalam kegiatan usaha banyak memiliki keterhubungan yang

    didasarkan pada kepercayaan.

    Umunya pemilik perahu diLandu dan Oelua tidak ikut berlayar bersama dengan

     juragan/anak buah kapal ke MOU Box 1974. Kadangkala beberapa pemilik perahu

    turut serta berlayar dengan perahu di saat-saat pertama kali mereka memperkerjakan

     juragan baru, namun disaat jumlah perahu bertambah, para pemilik perahu yang

    sudah tua harus belajar mempercayai juragan yang masih muda. Untuk memastikan

    keselamatan perahu dan awak kapal, biasanya juragan perahu adalah saudara atau

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    28/61

     

    Page | 28

    kenalan dekat pemilik perahu yang telah terbukti pengalamannya. Sementara itu

    untuk urusan yang berhubungan dengan anak buah kapal, pemilik perahu

    mempercayakan sepenuhnya kepada juragan kapal.

    Hal ini berlaku khususnya jika juragan kapal berasal dari Alor dimana anak buah

    perahu terkenal dengan kemampuan menyelam yang tinggi. Jika juragan adalah

    bukan saudara pemilik perahu, maka biasanya anak buah kapal adalah juga kenalan

    dekat juragan perahu dan/atau pemilik perahu. Khusus untukk perahu di Pulau Landu,

    pada awalnya yatu sekitar tahun 2003 juragan perahu berasal dari Papela, sedangkan

    anak buah kapal adalah penduduk asli Pulau Landu. Hal ini terjadi demikian karena

    para juragan kapal asli Landu belum memiliki pengalaman berlayar ke MOU Box 1974.

    Selanjutnya mulai sejak tahun 2005 juragan perahu direkrut dari anak buah perahu asli

    Landu yang telah memiliki pengalaman melakukan pelayaran ke MOU Box 1974.

    Titik penting lainnya dalam hubungan para pihak yang ada sehubungan dengan

    penimbangan dan penentuan harga jual per satuan berat tertentu. Di Oelua dan

    Papela penimbangan berat dan kesepakatan harga dilakukan bersama ketiga pihak

    dihadapan pihak pembeli yang datang mengumpul hasil di kedua desa ini sehingga

    peluang kesalahan penimbangan yang dapat menimbulkan konflik, kecurigaan dan

    ketidakpercayaan dapat dicegah. Namun hal ini tidak terjadi di Landu, dimana hanya

    pemilik kapal yang melakukan penimbangan dan transaksi dengan pembeli yang

    berkedudukan di Kupang.

    Hampir semua pemilik perahu mengakui bahwa kedekatan hubungan antara

     juragan dan anak buah kapal ikut mempengaruhi tingkat kepercayaan, solidaritas

    bahkan disiplin dan motivasi kerja, walaupun tidak selamanya variabel-variabel ini ikut

    berdampak terhadap tingkat produktifitas. Produktifitas juga dipengaruhi oleh

    kemampuan dan ketrampilan menyelam, sistim dan transparansi dalam pembagian

    beban (input dan eksekusi) dan keuntungan (nilai jual hasil tangkapan).

    5.2.7 Pemetaan Layanan Yang Digunakan Dalam Rantai.

    Pemetaan terhadap jenis layanan yang merupakan prioritas utama yang paling

    dibutuhkan berbeda-beda antar pelaku. Para juragan yang memikul tanggungjawab

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    29/61

     

    Page | 29

    utama mulai dari pengadaan anak buah perahu, hingga pengumpulan hasil dan

    pengolahan awal membutuhkan lebih banyak layanan dibandingkan dengan pemilik

    perahu dan anak buah perahu. Pada ketiga desa diketahui kalau para juragan melihat

    pinjaman yang tidak mengikat dan tidak terlalu tingginya adalah prioritas mereka diikuti

    dengan kebutuhan akan informasi harga dan pembeli yang terkini. Kesulitan

    memperoleh anak buah perahu yang dapat diandalkan untuk mengumpulkan hasil

    lebih banyak disuarakan oleh juragan dan juga pemilik perahu di Oelua.

    Sedangkan kebutuhan yang berhubungan dengan jaminan kepastian

    sehubungan dengan ketiadaan garis batas di laut yang memberi kepastian batas area

    MOU Box 1974 diangkat oleh ketiga pihak dari ketiga desa. Penggunaan alat bantu

    GPS (Geographic Positioning System) dapat membantu, namun sering terjadi selisih

    pendapat dengan petugas Australia dengan hasil akhir para nelayan harus mengalah

    dan menjadi korban kepada keputusan sepihak yang diambil oleh para petugas.

    Informasi abu-abu semacam ini perlu dibuat jelas dan apabila dirasa terjadi

    pelanggaran, maka pemerintah Indonesia wajib mengetahui pada kesempatan

    pertama sehingga tidak menimbulkan kesimpangpiuran bagi keluarga yang ditinggal.

    Kebutuhan akan fasilitasi pembelian produk oleh pemerintah disuarakan hampir

    oleh semua pihak di ketiga desa. Para nelayan merasa pemerintah perlu ikut

    memfasilitas pembelian hasil tangkapan para nelayan sehingga taksiran kualitas dan

    harga tidak dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh pengumpul

    dan/atau pemilik modal.

    Dalam prakteknya pengadaan GPS dilihat sebagai bagian tidak terpisahkan dari

    kapal/perahu sehingga biaya pengadaannya ditanggung seutuhnya oleh pemilik kapal.

    GPS sangat mempengaruhi produksi, membantu nelayan untuk berlayar mengikuti

    pergerakan ikan tanpa kuatir melanggar garis batas yang telah ditetapkan sehingga

    kepemilikan GPS menjadi salah satu faktor pertimbangan juragan dan anak buah

    perahu dalam memilih kapal/perahu yang akan mereka pakai dan dalam mengambil

    keputusan sehubungan dengan waktu pelayaran.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    30/61

     

    Page | 30

    5.2.8 Pemetaan Tata Kelola: Koordinasi, Regulasi dan Kendali

     Analisis tata kelola dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi dan memahami

    berbagai aturan yang mendukung rantai pasok, serta sistem koordinasi, regulasi, dan

    kendali yang berjalan saat terbentuknya nilai dalam suatu rantai (Gereffi, G., J.

    Humphrey, et al. 2003).

    Tata kelola rantai pasok sirip hiu dan teripang mengacu pada aturan-aturan

    “resmi” yang terkait dengan keluaran serta berbagai syarat penting untuk berkompetisi

    dalam perniagaan yang mempengaruhi struktur produksi (Tabel 5.2.8). Dalam

    prakteknya ternyata tata kelola yang terbangun tidak berdasarkan aturan-aturan resmi

    yang dipahami dan menjadi pengetahuan publik. Kebutuhan akan sirip hiu dan

    teripang memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun, namun bisnis ini masih

    belum di atur secara resmi. Pada level pemerintah daerah, telah dikeluarkan

    Keputusan Bupati Rote Ndao Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan peraturan

    daerah kabupaten Rote Ndao Nomor 34 2004 tentang Retribusi pelaksanaan izin

    pengumpulan dan pengeluaran hasil kelautan dan perikanan, namun tatakelola

    kegiatan pengumpulan, pengeluaran dan harga beli diserahkan kepada mekanisme

    pasar. Tidak ada aturan hukum yang memberi perlindungan kepada nelayan, demikian

     juga tidak ada mekanisme dan informasi pasar yang difasilitasi oleh pemerintah.

    Sejatinya dengan adanya peningkatan permintaan di satu sisi dan penurunan

    potensi di pihak lain, kompetisi semakin kuat sehingga posisi pelaku pada level

    produksi semakin kuat, namun ternyata posisi tawar-menawar produsen masih lemah.

    Hubungan kerja antara juragan dan anak buah perahu dengan pemilik perahu bersifat

    informal, tidak ada kontrak tertulis yang menjelaskan hak para pekerja dan kewajiban

    pemilik perahu. Hal serupa juga ditemui dalam hubungan Hubungan kerja antara

     juragan dan anak buah perahu dengan pemilik perahu bersifat informal, tidak ada

    kontrak tertulis yang menjelaskan hak para pekerja dan kewajiban pemilik perahu.

    Dalam hal upah, sebagai contoh, tidak ada kepastian jumlah minimal yang akan

    diperoleh juragan dan anak buah perahu, demikian pula bila terjadi kecelakaan kerja

    yang dapat menyebabkan cacat fisik bahkan kehilangan nyawa. Hal serupa juga

    ditemui dalam hubungan antara para pemilik perahu dengan pemodal yang sekaligus

    berperan sebagai pembeli/pedagang.

    Persyaratan sederhana seperti kualitas produk, ukuran, warna tesktur

    ditetapkan oleh pemodal/pembeli, namun karena posisi tawar-menawar juragan dan

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    31/61

     

    Page | 31

    anak buah perahu yang lemah dalam menentukan grade produk yang dijual sehingga

    insentif untuk memproses produk guna meningkatkan nilai jualnya hampir tidak ada.

    Hal ini diperburuk oleh asimetri informasi yang berhubungan dengan pembeli alternatif

    dan ketiadaan upaya untuk mengorganisir para pemasok membuat para pelaku pada

    level produksi tidak memiliki pilihan lain selain segera menjual produk yang termasuk

    kategori mudah rusak.

    Tabel 5.2.8a  Peraturan dan Standar yang Mempengaruhi Rantai Pasok

    Jenis Contoh Pemberlakuan dan Sanksi Praktek

    Standar resmi

    “legal”

    Larangan penggunaan bahan

    pengawet berbahaya

    Larangan atas produk yang tidak

    memenuhi syarat yang ditetapkan pasar

    tujuan

    Tidak ada

    Standarsukarela

    Persyaratan produksi untuksertifikasi dan pelabelan organik

    Tidak diperolehnya sertifikasi ataupelabelan nilai-tambah

    Tidak ada

    Persyaratan

    atau Norma

    Komersil

    ("Aturan

    dagang")

    Persyaratan produk yang kasat

    mata seperti misalnya volume,

    ukuran, warna, komposisi, atau

    tingkat kesegaran, yang dapat

    dibukukan maupun yang tidak

    Penolakan produk di tempat yang

    dilakukan oleh pembeli pada saat

    pengiriman atau pengumpulan, atau

    pengurangan harga bagi penjual

    (downgrading)

     Ada

     

    Salah satu regulasi lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Rote Ndao

    adalah Keputusan Bupati Rote Ndao nomor 119 tahun 2004 tentang pelaksanaan

    peraturan daerah kabupaten Rote Ndao nomor 34 tahun 2004 tentang retribusi izin

    pengumpulan dan pengeluaran hasil kelautan dan perikanan, yang menetapkan

     jumlah retribusi yang harus dibayarkan oleh pengepul/pembeli teripang dan sirip hiu

    (Tabel 5.2.8b). Namun pelaksanaanya secara teknis dalam taksasi volume dan jenis

    dan transaksi keuangan tidak dilakukan pemisahan sebagaimana mestinya, para

    pembeli lebih cenderung melakukan penyeragaman yang mempermudah taksasi

    namun dapat merugikan nelayan dan pemerintah daerah.

    Tabel 5.2.8b  Retribusi Teripang dan Sirip Hiu

    No Jenis Teripang Biaya (Rp.) No Jenis Sirip Biaya (Rp.)

    1 Teripang nenas 5.000  1 Sirip hiu tiger (super) 25.000 

    2 Teripang susu/koroh 5.000  2 Sirip hiu tiger (non super) 10.000 

    3 Teripang batu 1.000  3 Sirip hiu putih (super) 20.000 

    4 Teripang kunyit 1.000  4 Sirip hiu putih (non super) 15.000 

    5 Teripang ketimun 1.000  5 Sirip hiu bingkung (super) 10.000 

    6 Teripang cera 500  6 Sirip hiu bingkung (non super) 7.500 

    7 Teripang polos 2.500 

    8 Teripang bintik 2.500 

    2.500 7 Sirip hiu kepel

     

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    32/61

     

    Page | 32

    Dari hasil wawancara maupun pengamatan hampir semua pemilik

    kapal/perahu, juragan dan anak buah perahu tidak menganggap keberadaan pungutan

    hasil laut sebagai beban tambahan bagi usaha perikanan yang mereka geluti.

    Permasalahan muncul disaat para nelayan berusaha untuk memperoleh pelayanan

    perijinan pelayaran yang seringkali harus membuat para nelayan menunggu untuk

    waktu yang lama. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata kualitas pelayan publik

    telah mengalami perubahan dan perbaikan yang signifikan, kebanyakan nelayan telah

    memperoleh pelayanan yang jauh lebih baik, lebih mudah dan terjangkau.

    5.2.9 Pemetaan nelayan

    5.2.9.1 Karakter rumah tangga dan perumahan nelayan

    Karakter rumah tangga dan kondisi perumahan nelayan pada ketiga lokasi

    penelitian sangat beragam. Khusus juragan dan anak buah perahu dapat dikatakan

    bahwa umumnya nelayan Pepela berasal dari pemukiman di Tanjung Pasir dengan

    rata-rata usia anak buah perahu dibawah 30 tahun sedangkan rata-rata usia juragan di

    atas 45 tahun, nelayan Oelua juga termasuk masih muda antara 20- 30 tahun, namun

    sebagian besar berasal dari Alor, nelayan asli baik sebagai juragan maupun anak

    buah perahu umumnya berusia di atas 45 tahun. Hal serupa juga dijumpai pada anak

    buah perahu nelayan Landu yang cenderung masih muda, dan belum membentuk

    rumah tangga sendiri.

    Dari 15 anak buah perahu yang diwawancara, hanya 26,6% yang pergi berlayar

    ke Mou Box 1974 pada tahun 2011, sebagian besar lainnya memilih melakukan

    pekerjaan lain. Secara psikologis, anak buah perahu yang masih muda cenderung

    memiliki rasa tanggungjawab yang kurang, hal ini terlihat dari struktur pengeluaran

    yang lebih banyak dipakai untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti untuk membeli

    rokok, dan handphone. Selama mereka melakukan pelayaran ke dan dari MoU Box

    1974 dan selama melakukan penangkapan dan pengumpulan sirip hiu dan teripang

    pengeluaran untuk rokok dapat mencapai 35% dari pendapatan bersih yang mereka

    peroleh pasca transaksi keuangan di darat. Pengeluaran besar berikutnya adalah

    makan dan minum yang dapat mencapai 20% pendapatan, sehingga penghasilan

    bersih hanya sekitar 45%, namun karena kebanyakan anak buah perahu telah terikat

    hutang dengan pemodal, maka penghasilan yang dapat dibawa pulang tidak lebih dari

    20%. Pengeluaran yang cenderung destruktif dan konsumtif ini dipengaruhi oleh

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    33/61

     

    Page | 33

    tingkat pendidikan nelayan, baik juragan dan anak buah perahu yang kurang dari 50%

    hanya menamatkan pendidikan dasar setingkat Sekolah Dasar (6 Tahun).

    Cerminan tingkat pendidikan dan pendapatan dapat dilihat dari kondisi fisik

    perumahan nelayan baik juragan maupun anak buah perahu dimana lebih dari 90%

    termasuk kategori rumah tidak layak huni khususnya di Pepela. Kondisi perumahan

    yang sedikit lebih baik dijumpai di Landu, sekitar 40% termasuk rumah layah huni,

    sedangkan perumahan nelyan di Oelua adalah yang terbaik. Namun demikian seperti

    halnya komunitas nelayan dan penduduk Rote pada umunya, lebih dari separuh

    perumahan penduduk masuk katergori rumah tidak layak huni. Perbedaan kondisi

    perumahan ini dapat dijelaskan seara kultural, berdasarkan etnis penduduk pada

    ketiga lokasi dimana lebih dari 90% penduduk Pepela terutama Tanjung Pasir berasal

    dari etnis Bajo, lebih dari 97,86% penduduk Landu berasal dari etnis Rote dan kurang

    dari 10% penduduk Oelua berasal dari etnis Bajo. Secara kultural, nelayan etnis bajo

    lebih memilih untuk hidup dilaut, diantara pulau-pulau dan berpindah kemana ikan

    berpindah (Stacey 1999). Sebaliknya penduduk Rote lebih memiliki identitas geografis

    darat yang sangat kuat, sehingga nelayan Rote tidak dicatat dalam sejarah dalam hal

    penangkapan ikan di laut lepas (Fox 1998). Inilah alasan kepemilikan aset tetap

    seperti rumah dan tanah di daratan tidak merupakan prioritas investasi nelayan etnis

    Bajo, sebaliknya aset tetap dapat dipandang sebagai penghambat mobilitas

    mereka.Ukuran yang lebih tepat untuk mengukur kepemilikan aset etnis Bajo adalah

    pada kapal/perahu dan alat tangkap yang dimiliki, termasuk di dalamnya status Haji

    khususnya bagi etnis muslim Bajo.

    5.2.9.2 Tenaga Kerja

    Penggunaan tenaga kerja mengalami dinamika seiring dengan penguasaan

    pengetahuan pelayaran, jenis tangkapan, dan jenis alat tangkap. Pada awalnya

    tenaga kerja khususnya yang berperan sebagai Juragan di Pulau Landu adalah anak

    buah perahu dari Pepela yang telah memiliki pengalaman berlayar ke MOU Box 1974.

    Peluang ketiadaan pengalaman nelayan Landu dimanfaatkan oleh anak buah perahu

    dari Pepela, dari anak buah perahu dengan hak dan kewajiban yang kurang kemudian

    menjadi juragan yang diapresiasi lebih. Kondisi ini bertahan selama dua tahun yaitu

    mulai sejak tahun 2003 hingga tahun 2004. Selanjutnya semenjak tahun 2004 hingga

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    34/61

     

    Page | 34

    tahun 2007 anak buah perahu asal Landu yang telah memahami kondisi dan jalur

    pelayaran dapat mengisi jabatan sebagai juragan.

    Kondisi serupa juga terjadi di Oelua dimana terdapat ketergantungan terhadap

    tenaga kerja dari luar khususnya dari Alor semakin tinggi. Adalah nelayan Oelua yang

    secara turun-temurun memperkerjakan tenaga kerja lokal sebagai anak buah perahu

    dan juragan. Namun kondisi ini mulai berangsur-angsur bergeser semenjak 16 tahun

    lalu seiring dengan semakin langkahnya teripang pada area yang dangkal yang dapat

    dikumpulkan tanpa membutuhkan banyak kerja keras khususnya kemampuan

    menyelam yang tinggi. Seiring dengan perubahan tingkat pendidikan generasi muda di

    Oelua dan terbukanya peluang kerja di sektor lain di tempat lain yang lebih baik,

     jumlah tenaga kerja lokal yang mampu dan mau berlayar ke area MOU Box 1974

    semakin berkurang. Inilah yang mendorong pemilik perahu untuk beralih mencari

    tenaga kerja dari Pulau Alor. Tenaga kerja asal Alor terkenal dengan kemampuan

    menyelam yang sangat tinggi. Abraham, seorang anak buah perahu yang bekerja

    untuk Kepala Desa Oelua, menuturkan bahwa di usianya yang ke 49 ia masih memiliki

    kemampuan untuk menyelam hingga kedalaman 30-40 depa. Kemampuan ini hampir

    tidak dapat disamai oleh penyelam asal Oelua.

    Namun karena keterbatasan tenaga kerja asal Alor, maka pelayaran ke MOU

    Box 1974 tergantung dari kesedian dan kemampuan pemilik kapal untuk membayar di

    muka termasuk membayar biaya transportasi dan akomodasi tenaga kerja dari Alor ke

    Rote. Hingga akhir Juni 2012, baru 4 perahu dari total 10 perahu yang layak berlayar

    yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi berlayar dengan rincian 3 perahu

    memperkerjakan tenaga kerja asal Alor dan 1 perahu yang memakai tenaga kerja

    lokal. 6 perahu lainnya belum jelas waktu pelayaran bahkan kemungkinan besar

    mereka tidak akan berlayar. Alasan inilah yang terjadi dengan pemilik perahu yang

     juga Kepala Desa Oelua dimana selama tahun 2010 dan 2011 perahunya tidak

    berlyar. Ia baru bisa memberangkatkan perahunya setelah ia berhasil memperkerjakan

    anak buah perahu dan juragan asal Alor pada tahun 2012 ini. Jika kondisi ini tidak

    mengalami perubahan, maka sangat mungkin bagi 6 perahu tersebut di atas untuk

    menyusul 21 perahu lainnya yang tidak lagi berlayar ke MOU Box 1974 karena

    kesulitan tenaga kerja.

    Kesulitan yang di alami oleh para pemilik perahu di Oelua tidak terjadi di

    Pepela. Selain sebagai pusat pemukiman nelayan asal Bajo, target tangkapan nelayan

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    35/61

     

    Page | 35

    Pepela adalah sirip hiu, bukan teripang sebagaimana halnya nelayan Oelua.

    Perbedaan ini ikut mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang layak untuk diperkerjakan.

    Penangkapan hiu dengan menggunakan longlines membutukn sedikit tenaga dan

    kemampuan menyelam yang tidak harus tinggi seperti halnya dengan pengumpulan

    teripang. Perbedaan target ini juga mempengaruhi waktu pelayaran pergi dan pulang,

    dan waktu menangkap/mengumpulkan hasil di MOU Box 1974. Rerata waktu yang

    dibutuhkan untuk berlayar dan menangkap hiu hanya selama 21 hari, sementara itu

    waktu yang dibutuhkan untuk berlayar dan mengumpulkan teripang dapat mencapai

    56 hari. Hal lainnya berhubungan dengan kuatnya hubungan patron-client di Pepela

    yang selain menyediakan solusi berupa bantuan finansial bagi nelayan disaat mereka

    membutuhkan, juga sekaligus bersifat mengikat dan memaksa para nelayan untuk

    pergi berlayar guna melunasi hutang pinjaman yang diberikan oleh pemilik modal. Di

    Pepela terdapat 5 bos pemilik modal sekaligus sebagai pedagang sirip hiu dan pemilik

    perahu yang ikut berperan besar terhadap penangkapan hiu. Hal ini yang

    menyebabkan perbedaan dinamika pelayaran ke area MOU Box 1974 antara nelayan

    Pepela dan nelayan Oelua.

    5.2.9.3 Biaya Pelayaran dan Pengaturan Kredit

    Untuk memenuhi biaya perjalanan baik berupa bahan bakar, bahan makanan,

    alat tangkap dan biaya lainnya, para nelayan yaitu juragan dan anak buah

    memperoleh pinjaman dari pihak lain baik itu dari pemilik kapal maupun dari pihak lain

    pemodal yang nantinya akan membeli kembali hasil tangkapan yang akan dibawa

    pulang. Tergantungan pada pinjaman dalam masyarakat perikanan terkait erat dengan

    produktifitas perikanan sehingga Alexander (1982:58) mengatakan bahwa “puncaknya

    sangat tajam dan lembahnya sangat dalam” yang artinya pendapatan para nelayan

    yang berada di bawah lembah sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan besar

    seperti pendidikan, ritual siklus hidup, pesta keagamaan, peralatan tangkap dan

    pemeliharaan perahu. Sehingga para nelayan berhadap pada kredit untuk memenuhi

    semua kebutuhan tersebut. Selain itu bahwa cara lain untuk memperoleh kredit dari

    bank sangatlah tidak mudah bagi mereka karena aset mereka tidak cocok menjadi

     jaminan, atau juga karena domisili mereka yang tidak memberi kepastian.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    36/61

     

    Page | 36

    Di Landu terdapat dua bos besar yang memberi pinjaman kepada para nelayan

    di 18 perahu. Pinjaman yang diberikan mencapai Rp.5 juta untuk sekali perjalanan dan

    bebas dari bunga. Sebagian besar pinjaman ini dipakai untuk membeli bahan bakar

    mesin perahu, sedangkan biaya lainnya jauh lebih sedikit karena waktu perjalan dan

    pengumpulan hasil disana yang relatif singkat yaitu 6 hari perjalanan pergi pulang dan

    dua hari mengumpul hasil. Kewajiban para nelayan dan pemilik perahu adalah menjual

    hasil (sirip hiu) kepada pemodal dengan besaran harga yang ditentukan sendiri oleh

    pemodal. Selanjutnya pemodal yang akan menjual hasil tangkapan ke pembeli di

    Kupang, sehingga harga hasil tangkapan hanya diketahui oleh pemodal sendiri.

    Di Oelua terdapat sekitar 10 pemilik perahu yang masih aktif ke MOU Box 1974

    yang juga bertindak selaku pemodal pelayaran, namun kadang-kadang pembeli dari

    Kupang langsung membiayai biaya pelayaran. Pinjaman yang diberikan dapat

    mencapai Rp.8 juta yang sebagian besar dipakai untuk ransom, kayu bakar,

    kebutuhan makanan/minuman, dan merokok. Pinjaman dikembalikan bersama dengan

    10% bunga setelah hasil tangkapan (teripang) dibeli oleh pembeli dari

    Kupang/Surabaya/Makasar yang datang ke Desa Oelua untuk membeli sendiri dengan

    harga yang diketahui bersama oleh juragan/anak buah kapal dan pemilik kapal.

    Di Desa Papela terdapat 2 bos yang membiayai hampir semua biaya pelayaran

    43 perahu yang melakukan pelayaran ke area MoU Box 1974. Kedua bos ini adalah

     juga pembeli yang memberi pinjaman tanpa syarat bahkan jauh sebelum para nelayan

    melakukan pelayaran. Setiap saat para nelayan baik juragan maupun anak buah

    perahu mengalami kesulitan keuangan dan membutuhkan pinjaman yang cepat, maka

    kedua bos ini adalah tempat pelarian yang cepat memberi bantuan. Pinjaman yang

    diberikan bervariasi, dapat mencapai Rp. 1,5 juta kemudian diberikan hingga dapat

    mencapai Rp.2,5 juta per orang saat para nelayan memutuskan untuk melakukan

    pelayaran. Tidak ada bunga yang dikenakan terhadap pinjaman yang diberikan,

    namun disinilah letak posisi tawar-menawar pemodal saat dilakukan taksasi volume,

    kualitas dan harga hasil tangkapan nelayan, pemodal adalah juga pembeli hasil

    tangakapan nelayan.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    37/61

     

    Page | 37

    Tabel 5.2.9 Perbandingan Jenis Produk, Sumber Pinjaman dan Penentuan Kualitasdan Harga.

    Lokasi Produk Sumber Pinjaman Besar

    Pinjaman

    Bunga

    (%)

    Penentuan

    Kualitas &

    Harga

    Landu Sirip hiu Pemodal 8.000.000  0 Pemodal

    Oelua Teripang Pemilik kapal 5.000.000  10 Bersama

    Papela Sirip hiu Pemodal 0 Pemodal

     

    5.2.10 Karakter Perahu dan Alat Tangkap.

    5.2.10.1 Kondisi Perahu

    Sesuai dengan Amanat MOU 1974 perahu yang digunakan oleh para nelayan

    adalah perahu tradisional, yang tidak mengikuti perkembangan teknologi yaitu perahu

    kayu yang digerakan dengan tenaga angin. Perahu yang dimaksud adalah perahu

    layar, bukan perahu yang digerakan oleh mesin motor. Pembatasan ini sejalan dengan

    definisi tradisional yang dianut dalam MOU Box 1974 yang secara garis besar

    mengatakan bahwa akses dan penangkapan produk perikanan di MOU Box 1974

    diberikan kepada semua nelayan yang secara turun-temurun konsisten dalam

    menggunakan perahu kayu yang digerakan oleh angin.

    Namun karena berbagai alasan seperti faktor cuaca dan demi efektifitas dan

    efisiensi biaya dan waktu perjalanan ke dan pulang dari Mou Box 1974, sehingga

    sampai dengan tahun 2012, masih terdapat beberapa nelayan yang mencoba untuk

    memakai perahu bermotor. Secara umum, jumlah perahu yang menyimpang dari

    kesepakatan ini terus mengalami penurunan sebagai akibat dari semakin gesitnya

    aparat pemerintah Australia menempuh kebijakan tangkap, tahan dan bakar.

    Dari ketiga lokasi penelitian, diketahui bahwa biaya pembangunan perahu

    tradisional yang menggunakan layar jauh lebih rendah dari pada biaya yang

    dibutuhkan untuk dapat memiliki perahu motor. Rerata harga perahu layar pada tahun

    2012 dapat mencapai Rp. 50 juta, sedangkan perahu motor dapat mencapai Rp.60

     juta. Perbedaan biaya yang paling utama terdapat pada penggunaan mesin motor

    yang pada umumnya berkekuatan 26 PK. Seorang pemilik perahu di Landu - perahu

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    38/61

     

    Page | 38

    motornya dibakar oleh pemerintah Australia pada tahun 1996  – membeli perahunya

    sebesar Rp.95 juta dengan kekuatan mesin sebesar 52 PK.

    Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memiliki perahu motor, ikut

    mempengaruhi kepemilikan dan pemilik perahu di ketiga lokasi penelitian. Di Landu

     jumlah kepemilikan perahu hampir merata, terdapat 2 pemilik modal yang memiliki 6

    perahu sedangkan selebihinya hanya memiliki 1 perahu. Kondisi serupa juga ditemui

    di Oelua dimana jumlah rerata kepemilikan perahu cukup merata yaitu 1 perahu per

    orang, sedangkan seorang pemiliki modal yang saat ini telah berubah fungsi menjadi

    transportasi barang dan jasa memiliki 3 perahu. Kondisi sosial ekonomi kedua lokasi

    ini berbeda jauh dari kondisi kepemilikan perahu di Pepela, dimana lebih dari separuh

    perahu dimiliki oleh 2 pemodal besar.

    Jumlah perahu motor di Landu telah mengalami penurunan yang cukup drastis

    dari 23 unit pada tahun 2005 menjadi 5 unit pada tahun 2012. Pengurangan ini adalah

    sebagai akibat langsung dari kebijakan penahanan dan pembakarann perahu oleh

    aparat pemerintah Australia yang mencapai 37 unit antara tahun 2004 dan 2006. Di

    Oelua jumlah perahu yang masih bisa berlayar ke area MOU Box 1974 sebanyak 12

    unit, atau mengalami pengurangan sebanyak 27 unit secara berangsur-angsur

    semenjak tahun 2005 yang disebabkan oleh ketiadaan tenaga kerja (21 unit) dan

    perubahan peruntukan yaitu menjadi pengangkut bahan bakar minyak dan sembilan

    bahan pokok kebutuhan rumah tangga, dan 48 unit yang dibakar oleh pemerintah

     Australia. Keadaan serupa juga dialami oleh pemilik perahu di Pepela. Jumlah perahu

    yang dimiliki oleh nelayan Pepela yang berlayar ke MOU Box 1974 mengalami

    penurunan yang cukup drastis menjadi 43 unit pada tahun 2012, dimana 170 unit

    dibakar oleh pemerintah Australia antara tahun 2005 hingga tahun 2012 sebanyak 250

    unit, selebihnya rusak karena usia dan karena dijual ke daerah lain. Sehingga secara

    keseluruhan, jumlah perahu yang telah ditahan dan dibakar oleh pemerintah Australia

    dari ketiga lokasi antara tahun 2005 dan 2012 sebanyak 250 unit.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    39/61

     

    Page | 39

    Gambar 5.2.10.1 Perahu Tradisional yang Digunakan Nelayan

    5.2.10.2 Alat tangkap 

    Penggunaan alat tangkap hanya berlaku bagi nelayan Landu dan Pepela yang

    menangkap hiu, sedangkan untuk nelayan Oelua yang hanya mencari teripang,

    mereka melakukan pengumpulan teripang dengan menggunakan tangan kosong.

    Penggunaan alat tangkap hiu telah mengalami perkembangan dan perubahan

    sebagai respon terhadap potensi hiu dan perubahan kebijakan area penangkapan

    dengan karakteristik fisik perairan yang berbeda. Secara turun-temurun para nelayan

    menangkap hiu dengan menggunakan tali pancing yang dipegang oleh tangan dan

    bubu namun sejak pemberlakukan amendemen tahun 1989 terhadap MOU Box 1974

    peralatan tangkap yang dipakai mengalami penyesuaian.

    Sekitar tahun 1991 setelah sistim penjualan sirip hiu langsung dilakukan

    dengan pembeli yang berbasis di Papela, nelayan Pepela beralih memakai alat

    tangkap yang dikenal dengan istilah  longline  (Gambar 5.4). Hal ini dilakukan setelah

    mereka mengetahui dari seorang nelayan Bajo yang sukses menggunakan longlines.

    Cerita ini mendorong mereka meninggalkan alat tangkap yang lama. Faktor

    pendorong lainnya yang menyebabkan para nelayan Pepela tertarik untuk belajar

    teknik penangkapan yang baru ini adalah karena semakin berkurangnya sumberdaya

    sedentary sebagai akibat dari kelebihan eksploitasi di area MOU Box 1974, dan

    tingginya harga sirip hiu. Proses pembelajaran ini berlangsung antara tahun 1991 dan

    1993.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    40/61

     

    Page | 40

     Adopsi longlines juga adalah bagian dari respon terhadap amendement MOU

    Box 1974 pada tahun 1989. Dengan adanya amendemen, maka para nelayan

    kehilangan akses akan sebagian besar area hiu sepanjang air dangkat berwarna putih

    di Sahul Shelf yang berada di luar area MOU Box 1974 tetapi masih merupakan

    bagian dari perairan Australia. Para nelayan terpaksa harus mencari di perairan yang

    dalam di area MOU Box 1974 dan di bagian utara. Penggunaan longlines

    dimungkinkan dengan adanya kredit untuk membiaya peralatan yang baru. Namun

    demikian hal ini justru menimbulkan beban finansial dan hubungan yang semakin tidak

    berimbang antara para nelayan dan para pemodal.

    Gambar 5.2.10.2 Longlines untuk Menangkap Hiu.

    Dari hasil wawancara dengan beberapa nelayan di Tanjung, Pepela diketahui

    bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan satu set longline dapat mencapai Rp.

    7 juta. Biaya ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik perahu. Adapula kesepakatan

    bahwa apabila dalam pemanfaatannya saat para nelayan menangkap hiu di MOU Box1974, terjadi kerusakan melebih 10%, maka biaya pergantian ditanggung bersama

    antara pemlik perahu, juragan dan anak buah perahu. Sehingga terlihat jelas bahwa

    ketersediaan jenis dan jumlah alat tangkap sangat mempengaruhi motivasi para

    nelayan dan produktifitas penangkapan secara keseluruhan.

  • 8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote

    41/61

     

    Page | 41

    5.2.11 Pemetaan Produk Tangkapan

    5.2.11.1 Pemetaan Kualitas

    Ukuran fisik dan jenis adalah hal pertama yang menentukan harga jual sirip hiu

    maupun teripang. Namun seiring dengan perubahan kebijakan di area MoU box 1974,

    maka kualitas tangkapan berdasarkan karakter jenis dan ukuran yang memiliki nilai

     jual tinggi semakin berkurang. Untuk memaksimalkan efektifitas pelayaran, maka

    penangkapan dilakukan siang dan malam hari, saat air laut pasang dan surut bahkan

    kadang di dalam dan di luar area MoU Box 1974.

    Pengumpulan teripang umunya dilakukan selama air pasang surut khususnya

    bagi anak buah perahu yang secara fisik lemah, namun jumlah teripang di area ini

    semakin berkurang, dan termasuk kategori teripang dengan nilai jual rendah dan

    ukuran yang kecil. Teripang yang dikumpulkan saat pasang surut seperti teripang

    coklat, cerak, koro batu, bintik dan loreng; sedangkan teripang yang hanya bisa

    dikumpulkan dengan cara menyelam adalah yang memiliki ukuran fisik besar dan nilai

     jual tinggi, seperti teripang koro batu, koro susu, nanas, duyung dan bintik polos.

    Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rote

    Ndao (2012), diketahui bahwa hampir 80% jumlah teripang yang dikumpulkan di area

    MoU Box 1974 maupun di perairan sekitar Rote termasuk kategori teripang bintik,

    sedangkan s