Analisis Korupsi Di Indonesia Dengan Teori Strukturasi.docx

9
Analisis Korupsi Di Indonesia Dengan Teori Strukturasi Korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua. Kasus korupsi yang muncul tak hanya menjerat sejumlah penyelenggara negara, tetapi juga menghambat penyejahteraan rakyat. Hampir setiap media massa memberitakan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, baik itu yang diusut tuntas ataupun yang sekarang masih tidak jelas. Merajalelanya korupsi di tanah air ini suatu hal yang sistematis terjadi. Pelaku dan struktur merupakan suatu dualitas, keduanya saling mengandaikan dan saling berperan penting dalam perkembangan praktik korupsi di Indonesia. Perilaku korup merupakan sedimentasi dari struktur yang terus berulang. Melakukan tindakan yang serupa menganggap hal ini sebagai biasa. Tulisan ini menjelaskan kasus korupsi disertai analisis dari Anthony Giddens, tentang strukturasi (structuration). Mengenai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia kian hari semakin bertambah. Seolah membudaya dalam tubuh bangsa ini. Dengan ini menyajikan pertama, mengenal tentang korupsi baik itu pengertian, sejarah korupsi di Indonesia, penyebab atau pemicu korupsi. Kedua, tindakan korupsi Panser Raksasa di Indonesia, disajikan dengan sebagian kasus yang ada. Ketiga, penutup dan penarikan kesimpulan dari tulisan ini. Dengan analisis Giddens diharapkan tulisan ini memberikan informasi penting untuk pengamatan korupsi. Pelaku dan struktur yang dijelaskan Giddens menjadikan teori utama tulisan ini. Panser Raksasa ”Juggernout” merupakan istilah yang digunakan Giddens dalam pemikirannya. Dalam hal ini

Transcript of Analisis Korupsi Di Indonesia Dengan Teori Strukturasi.docx

Analisis Korupsi Di Indonesia Dengan Teori StrukturasiKorupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua. Kasus korupsi yang muncul tak hanya menjerat sejumlah penyelenggara negara, tetapi juga menghambat penyejahteraan rakyat. Hampir setiap media massa memberitakan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, baik itu yang diusut tuntas ataupun yang sekarang masih tidak jelas. Merajalelanya korupsi di tanah air ini suatu hal yang sistematis terjadi. Pelaku dan struktur merupakan suatu dualitas, keduanya saling mengandaikan dan saling berperan penting dalam perkembangan praktik korupsi di Indonesia. Perilaku korup merupakan sedimentasi dari struktur yang terus berulang. Melakukan tindakan yang serupa menganggap hal ini sebagai biasa.Tulisan ini menjelaskan kasus korupsi disertai analisis dari Anthony Giddens, tentang strukturasi (structuration). Mengenai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia kian hari semakin bertambah. Seolah membudaya dalam tubuh bangsa ini. Dengan ini menyajikan pertama, mengenal tentang korupsi baik itu pengertian, sejarah korupsi di Indonesia, penyebab atau pemicu korupsi. Kedua, tindakan korupsi Panser Raksasa di Indonesia, disajikan dengan sebagian kasus yang ada. Ketiga, penutup dan penarikan kesimpulan dari tulisan ini.Dengan analisis Giddens diharapkan tulisan ini memberikan informasi penting untuk pengamatan korupsi. Pelaku dan struktur yang dijelaskan Giddens menjadikan teori utama tulisan ini. Panser Raksasa Juggernout merupakan istilah yang digunakan Giddens dalam pemikirannya. Dalam hal ini diartikan sebagai suatu perilaku yang terjadi di negara ini. Mulanya disebabkan oleh kapitalisme dan matrealisme yang mendorong pelaku dan struktur untuk melakukan korupsi. Teori-teori Giddens dalam tulisan ini akan dikaitkan dengan kasus-kasus yang marak terjadi. Begitu juga kasus yang terjerat oleh daftar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa kasus yang di tangani KPK akan melengkapi data korupsi di Indonesia. Meski tidak semua disajikan akan tetapi tulisan ini berusa mengulas lebih dalam tentang struktursi dalam korupsi.Aktor utama korupsi adalah pemerintah dan sektor swasta, dan rakyat banyak menjadi korbannya yang utama. Untuk itu kenapa ICW lalu amat mempercayai bahwa gerakan anti korupsi harus bertumpu pada pemberdayaan rakyat untuk mengimbangi kolaborasi pemerintahan dan sektor swasta. Hal ini diwujudkan ICW adalah satu diantara sekian banyak lembaga independen yang berdiri memasang jarak, memperhatikan dari kejauhan kinerja pemerintahan atau secara langsung memberikan advokasi dan pengajaran politik kepada masyarakat. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa lembaga atau organisasi seperti ini baru merebak usai orde baru di bawah Soeharto dan gelombang reformasi mulai didengungkan pada akhir tahun 1998 kemarin. Dalam masa-masa awal kekuasaan Orde Baru, lembaga yang berkiblat pada masyarakat akan dituduh komunis, organisasi pers terlampau kritis bahkan elit pemerintah yang kurang simpati pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan akan menuai bencana pemecatan atau ditahan.Teori strukturasi (structuration) Anthony Giddens (1984) kunci pendekatan Giddens adalah melihat agen dan struktur sebagai dualitas, artinya keduanya dapat dipisahkan satu sama lain. Agen terlibat dalam struktur dan struktur melibatkan agen. Giddens menolak untuk melihat struktur semata sebagai pemaksa terhadap agen, tetapi melihat struktur baik sebagai pemaksa maupun penyedia peluang. Untuk memenuhi kebutuhan barang-barang ekonomi dan konsumtif ternyata banyak yang tidak dapat bersabar dan tabah, sehingga dalam kondisi terjepit karena didesak istri atau keluarga, memaksanya untuk menyelewengkan dalam tugas yaitu mengambil uang negara dengan cara tidak halal. Adapun faktor penyebab antara lain sebagai berikut:1. ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan memengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.2. kelemahan ajaran-ajaran agama dan etika3. akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintah asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi4. kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan5. kemiskinan yang bersifat struktural6. sanksi hukum yang lemah7. kurang dan terbatasnya lingkungan yang antikorupsi8. struktur pemerintahan yang lunak9. perubahan radikal, sehingga terganggunya kestabilan mental. Ketika suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit tradisional10. kondisi masyarakat, karena korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cermin keadaan masyarakat secara keseluruhan.

Dari kesepuluh poin penyebab diatas akan di golongkan menjadi tiga faktor : Pertama, faktor politik. Hal ini disebabkan oleh politik atau yang berkaitan dengan masalah kekuasaan. Di Indonesia dua puluh tahun lalu yaitu 1970 telah dilanda badai korupsi pada berbagai sektor kehidupan masyarakat. Perkembangan korupsi ketika itu nampaknya terpelihara dan secara tertutup dilindungi oleh mereka yang berkuasa. Suatu bentuk dalam sejarah korupsi di Indonesia telah terungkap baru-baru ini, yakni peranan bank-bank dalam meningkatkan korupsi. Periode sebelumnya sangat sulit untuk mendeteksi kegiatan korupsi di bank yang memeng dikendalaikan oleh penguasa bank yaitu para direkturnya. Kini, yang biasa terjadi adalah korupsi para pejabat bank dalam bentuk komisi-komisi. Atau penyuapan untuk setiap pinjaman yang diperoleh dari bank, namun dengan jaminan keamanan yang cukup. Kedua, faktor yuridis. Yaitu berupa lemahnya sanksi hukuman, hal ini terkait dua aspek. Pertama, yang menyangkut peranan hakim dalam menjatuhkan putusan. Aspek yang kedua, adalah sanksi yang memang lemah berdasarkan bunyi pasal-pasal dan ayat-ayat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Ketiga, faktor budaya. Yaitu berdasarkan peninggalam pandangan feodal, yang sekarang menimbulkan benturan kesetiaan yaitu antara kewajiban-kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban terhadap negara. Oleh karena itu, banyak orang terkemuka seperti pejabat dalam masyarakat Indonesia, meskipun berpangkat rendah menganggap biasa melakukan korupsi.

Tindakan Korupsi Panser Raksasa Di IndonesiaAnthony Giddens melihat modernitas sebagai juggernaut (panser raksasa) yang lepas kontrol. Deretan kasus korupsi di Indonesia sepanjang sejarah sangat panjang. Berapa kasus yang telah ditangani seperti gunung es, yang muncul kepermukaan adalah itu yang diketahui oleh lembaga pemberantas korupsi. Tersangka yang terjerat Pengadilan Tipikor merupakan orang yang tidak bisa berdalih lebih panjang dalam melawan hakim. Berikut adalah kasus korupsi yang diambil dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Nama dan JabatanDugaan KasusKeterangan

Ranendra Dangin (mantan Direktur Keuangan PT Rajawali Nusantara Indonesia)Diduga mengambil sebagian dari total keuntungan PT RNI sebesar Rp.33 miliar ketika perusahaan itu ditunjuk sebagai pengimpor gula putih pada 2001-2004Ditetapkan sebagai tersangka (9/10/2008)Mulai diadili (Pengadilan Tipikor 30/3/2009)Tuntutan 4 tahun (Pengadilan Tipikor 1/6/2009Vonis 3 tahun (pengadilan Tipikor 22/6/2009)

Bagindo Quiniro (Mantan Ketua Tim auditor Badan Pemeriksa Keuangan Di Depnakertrans)Diduga telah menerima uang saat mengaudit proyek negara pelatihan dan pemagangan di Depnakertrans pada tahun 2004Ditahan (19/2/2009)

Direktur Utama Kimia PT. Farma Trading, Gunawan Pranoto dan Rifai Yusuf dari PT Rifa Jaya MuliaKorupsi pengadaan di Departemen Kesehatan tahun 2003 dengan kerugian negara sekitar Rp.71 miliarDitetapkan sebagai tersangka (2/3/2009)

Syahrial Oesman (Mantan Gubernur Sumatra Selatan)Korupsi alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Kabupaten Banyuasin, Sumsel seluas 600 hektar untuk pelabuhan tanjung Api-api Ditetapkan sebagai tersangka (12/3/2009)Ditahan KPK (11/5/2009)Mulai diadili (Pengadilan Tipikor 3/8/2009)

Hengky Samuel (rekanan Depdagri Direktur PT Istana Sarana Raya)Korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran di sejumlah kebupaten/kotaDitangkap KPK (19/6/2009)

Umar Syarifudin (Mantan Direktur Umum Bank Pembangunan Daerah Jawa BaratKorupsi karena memungut biaya setoran modal dan biaya setoran pajak dari 33 cabang Bank Jabar Banten pada 2003-2004 senilai 37 miliarDitangkap KPK (31/7/2009)

Tersangka korupsi kebanyakan adalah orang-orang wakil rakyat, sudah ada delapan anggota parlemen berlatar partai politik berbeda diproses secara hukum oleh KPK karena terlibat kasus korupsi. Meskipun kian banyak anggota DPR yang tertangkap tangan menerima uang haram, tetapi kondisi ini masih dipandang sebagai puncak gunung es dari korupsi yang sebenarnya terjadi di parlemen. Pasalnya, hampir pada semua kewenangan DPR, baik pada konteks pengawasan, penganggaran, maupun legislasi, semua rawan praktik korupsi.Akar masalah korupsi di parlemen, pertama, akuntabilitas politik DPR amat rendah. Hampir tidak ada mekanisme yang dapat menjamin akuntabilitas politik itu dijalankan. Saat ini, pertanggungjawaban kerja parlemen hanya sebatas laporan lima tahun yang dibuat satu kali menjelang masa jabatan mereka berakhir. Dari sisi akuntabilitas anggaran, memang ada audit reguler yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi wilayah anggaran mereka sendiri. Wilayah kerja korupsi parlemen lebih banyak dilakukan pada perdagangan kekuasaan dan wewenang, baik dalam fungsi pengawasan, penganggaran, maupun legislasi.Kedua, mekanisme perekrutan politik di internal partai politik yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang kader yang cukup bagus, memiliki integritas tinggi, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, kecil kemungkinan mendapat tempat. Sebaiknya, kader-kader yang buruk integritasnya, tetapi memiliki akses luas terhadap uang dan elite partai, akan menjadi calon kuat. Loyalitas antara partai politik dan kadernya diikat oleh uang.Ketiga, mahalnya ongkos politik, bagi politisi yang kemudian menjadi pejabat publik dan menguasai sumber daya ekonomi, pertama-tama yang dilakukan adalah mengembalikan investasi politik yang telah untuk menjadi pejabat publik, lalu menggunakan sumber daya publik yang disini korupsi menjadi mata rantai yang sulit diputus karena sudah dimulai sejak ranah partai politik.Pelaku korupsi merupakan suatu struktur yang rasio sebagai hasil dari sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Tindakan immoral ini yang bisa dilakukan berkali-kali memiliki implikasi pada terbaliknya cara berfikir. Perasaan kesenangan yang dirasakan setelah mengkonsumsi hasil korupsi membawa pelaku sebagai keyakinan bahwa melakukan tindakan korupsi dianggap lebih rasional ketimbang menghindarinya. Semakin banyak tindakan korupsi maka semakin wajar untuk terus melakukannya. Struktur perilaku korup yang telah terbentuk dalam rasio pelaku kemudian dijadikan sebagai praktik sosial. Berdasarkan pada tingkat rasionalitasnya, hal tersebut adalah tindakan yang wajar, normal, dan telah membudaya. Pelaku korup seolah-olah mereka seperti mendapatkan timbal balik jasa, atas kerjanya. Rasionalitas ini pada akhirnya menularkan kepada orang sekitarnya, menimbulkan suatu kesepahaman akan tindakan korupsi tersebut. Terkadang orang yang menjadi korban akan melakukan hal serupa. Sehingga kerja korupsi terlihat secara sistematis, terorganisai, dan saling terkait dengan pihak yang lainnya. Beberapa kasus korupsi yang terorganisasi biasanya melibatkan pihak yang memiliki kekuasaan dan pihak yang menentukan perijinan. Semua pihak menjadikanya sebagai suatu struktur yang dianggap wajar. Struktur terdiri dari aturan dan sumberdaya, pada akhirnya dapat dilihat sebagai suatu ciri atau sifat dari sistem sosial.Jadi struktur korupsi adalah aturan dan sumber daya yang terdapat pada rasio pelaku sebagai hasil sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Struktur yang terbentu dari perulangan praktik korupsi ini, selanjutnya akan menjadi sarana praktik korupsi berikutnya. Struktur korupsi ini pada akhirnya dapat dilihat sebagai sifat atau ciri-ciri dari sistem yang korup. Sistem yang korup merupakan pelembagaan dari struktur korupsi, yaitu atutan-aturan dan sumberdaya yang korup.