ANALISIS KONTRAK PEMBIAYAAN DI BPRS AL-SALAAM...

148
ANALISIS KONTRAK PEMBIAYAAN DI BPRS AL-SALAAM PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Fathur Rahman Al-Aziz 11140460000067 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Transcript of ANALISIS KONTRAK PEMBIAYAAN DI BPRS AL-SALAAM...

ANALISIS KONTRAK PEMBIAYAAN DI BPRS AL-SALAAM

PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Fathur Rahman Al-Aziz

11140460000067

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/2019 M

ABSTRAK

Fathur Rahman Al-Aziz. NIM 11140460000067. ANALISIS KONTRAK

PEMBIAYAAN DI BPRS AL-SALAAM PERSPEKTIF HUKUM

PERLINDUNGAN KONSUMEN. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1440

H/2019 M. Ix + 68 halaman 66 halaman lampiran.

Studi ini bertujuan untuk menganalisis kontrak-kontrak pembiayaan yang

digunakan oleh BPRS Al-Salaam perspektif hukum perlindungan konsumen.

Peraturan utama yang digunakan yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Surat

Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.

Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan dalam hal ini untuk membatasi kewenangan

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam menentukan setiap ketentuan dalam

kontrak perjanjian dengan nasabah. Pembatasan tersebut dilakukan oleh OJK melalui

peraturan yang dikeluarkan untuk memberikan perlindungan kepada nasabah sebagai

konsumen agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh LKS sebagai pihak yang

membuat perjanjian baku dengan nasabah.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan metode

library research untuk melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-

undangan, fatwa DSN, buku-buku, dan jurnal-jurnal penelitian yang berkaitan dengan

judul skripsi ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa klausula dalam kontrak-

kontrak pembiayaan yang disediakan oleh BPRS Al-Salaam kepada nasabah, masih

terdapat ketidaksesuaian dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan secara umum,

maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang secara khusus lebih mengatur

mengenai permasalahan yang ada dalam klausula kontrak pembiayaan tersebut.

Kata Kunci : Kontrak, Perjanjian Baku, Perlindungan Konsumen.

Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum., SH., M.A., MDC.

Daftar Pustaka : 1993 s.d. 2018

vi

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Alhamdulillahirabil’alamiin, Segala puji dan syukur kehadirat Allah

Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat iman dan Islam serta

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh umatnya sehingga dapat

terselesaikannya skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam semoga

selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam, kepada keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.

Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan

di dalamnya. Namun, penulis berharap semoga dengan adanya skripsi ini dapat

bermanfaat bagi semua orang yang membaca dan khususnya bagi penulis. Tidak lupa

juga ucapan terimakasih untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan tanpa

pamrih baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, dengan

penuh rasa hormat, ucapan terimakasih ingin penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S,Ag., S.H., M.H., M.A. selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. AM. Hasan Ali, M.A. dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. selaku Ketua Program Studi

dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Muhammad Maksum., SH., M.A., MDC selaku dosen pembimbing skripsi.

Terimakasih telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis,

keikhlasan hati, kesabaran dan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini, atas

kritik maupun saran sehingga dapat memotivasi penulis.

5. Bapak Rifai selaku pihak BPRS Al-Salaam yang menjabat sebagai legal officer

yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan informasi-informasi

mengenai BPRS Al-Salaam demi mendukung penyelesaian skripsi ini.

vii

6. Ibu Fatasyah, selaku pihak BPRS Al-Salaam yang menjabat sebagai SDM yang

telah bersedia meluangkan waktunya dan menerima penulis untuk melakukan

penelitian di BPRS Al-Salaam ini.

7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu

pengetahuan, arahan dan masukannya, serta bersedia memberikan segala data-

data yang penulis perlukan, sehingga penulisan ini terselesaikan.

8. Seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Terimakasih banyak karena dengan

kesediaannya penulis dapat mengambil berbagai macam referensi dari buku,

jurnal, maupun informasi lainnya.

9. Untuk keluarga, Ayah, Ibu, Kakak, dan adik yang penulis sangat sayangi dan

cintai, terimakasih selalu sabar dan selalu mensupport penulis dari dulu hingga

sekarang sampai nanti. Terimakasih telah sabar mengahadapi penulis dan

berusaha jerih payah untuk menyekolahkan penulis sampai ke jenjang perguruan

tinggi ini. Serta do’a yang selalu diberikan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada teman-teman Hukum Ekonomi Syariah 2014 yang sudah sama-sama

berjuang selama selama proses perkuliahan. Khususnya HES kelas B, yang sudah

mewarnai hari-hari penulis diperkuliahan.

11. Terimakasih banyak untuk Wekaweka yaitu Yessi, Laila, Ammar, Cahya, Huri,

Inggil, Ghaffar, Jeki sahabat dari awal masuk kuliah sampai sekarang yang telah

menemani penulis berjuang, menemani saat susah maupun senang, berbagi canda

dan tawa disela tugas kuliah, serta berdiskusi berbagai hal yang menarik di sekitar

kita. Semoga kita bisa sukses bareng-bareng, dan mencapai impian yang

diinginkan.

12. Teman-teman KOPASUS (Komando Pasukan Kosan Uus), yaitu Daus, Kholid,

Alung, Reno, Junet dan Junot yang telah sama-sama beristirahat dibawah atap

yang sama dari teriknya masa kuliah, berdiskusi tentang topik-topik yang

viii

berkembang di Indonesia, serta berdiskusi tentang masalah penelitian masing-

masing dan memberi masukan kepada penulis demi penyelesaian skripsi ini.

13. Kepada Rizky Amelia yang telah menemani hari-hari penulis, memberikan

semangat dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan hingga skripsi ini

dapat diselesaikan.

14. Kepada Aris dan Eky, sahabat terbaik penulis sejak masa sekolah hingga saat ini,

yang selalu berbagi canda tawa dengan penulis di sela-sela jadwal perkuliahan

maupun di sela-sela penulisan skripsi hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.

15. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) 158 HUGOS, terimakasih telah

mewarnai hari-hari penulis selama menjalani masa KKN maupun setelah KKN,

merupakan suatu pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan.

16. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah

memberikan pikiran maupun tenaga sehingga skripsi ini dapat selesai dengan

baik.

Semoga do’a, motivasi dan bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak

tersebut mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah Subhanahu wa

Ta’ala, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, 13 Mei 2019

Penulis,

Fathur Rahman Al-Aziz

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv

ABSTRAK ........................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah .......................................... 5

C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6

E. Metode Penelitian ................................................................................... 7

F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................... 12

A. Kajian Teoretis ....................................................................................... 12

1. Hukum Kontrak ................................................................................ 12

2. Hukum Pembiayaan ......................................................................... 25

3. Perlindungan Konsumen .................................................................. 27

B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................................... 34

BAB III TENTANG BPRS AL-SALAAM ...................................................... 38

A. Sejarah BPRS Al-Salaam ....................................................................... 38

B. Visi dan Misi .......................................................................................... 39

C. Fungsi dan Tujuan .................................................................................. 40

D. Dewan Pengawas Syariah ....................................................................... 40

E. Produk-produk di BPRS Al-Salaam ........................................................ 42

x

BAB IV ANALISA DAN TEMUAN ................................................................ 46

A. Perubahan Harga Sewa ........................................................................... 46

B. Berakhirnya Masa Sewa ......................................................................... 48

C. Rincian Biaya Administrasi .................................................................... 49

D. Jaminan .................................................................................................. 50

E. Penyelesaian Perselisihan ....................................................................... 54

F. Kewajiban Memuat Pernyataan dalam SEOJK Perjanjian Baku .............. 62

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 64

A. Simpulan ................................................................................................ 64

B. Rekomendasi .......................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66

LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 72

Lampiran 1: Surat Keterangan Penelitian di BPRS Al-Salaam ............................ 72

Lampiran 2: Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah ................................... 73

Lampiran 3: Kontrak Perjanjian Musyarakah ..................................................... 77

Lampiran 4: Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah ........... 90

Lampiran 5: Kontrak Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Musytarakah ............ 103

Lampiran 6: Kontrak Perjanjian Ijarah Multijasa ................................................ 111

Lampiran 7: POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

Sektor Jasa Keuangan .................................................................... 116

Lampiran 8: SEOJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku .......... 135

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kontrak atau perjanjian pada dasarnya dibuat berlandaskan pada asas

kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang memiliki kedudukan seimbang

dan kedua pihak berusaha mencapai kata sepakat melalui proses negosiasi. Dalam

perkembangannya, banyak perjanjian dalam transaksi bisnis bukan terjadi melalui

negosiasi yang seimbang di antara para pihak.1 Kontrak adalah peristiwa di mana

dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu perbuatan tertentu, yang umumnya dibuat secara tertulis.2 Urgensi

pengaturan kontrak dalam praktik bisnis adalah untuk menjamin pertukaran

kepentingan (hak dan kewajiban) berlangsung secara proporsional bagi para

pihak, sehingga dengan demikian terjalin hubungan kontraktual yang adil dan

saling menguntungkan. Bukan sebaliknya, merugikan salah satu pihak atau

bahkan pada akhirnya justru merugikan para pihak yang berkontrak.3

Keberadaan kontrak dalam dunia bisnis menjadi suatu keniscayaan sebagai

wujud efisiensi dalam praktik ekonomi dan bisnis yang telah diterima

kehadirannya oleh masyarakat, termasuk kontrak syariah. Kontrak yang

digunakan dalam praktik ekonomi dan bisnis, khususnya oleh Lembaga Keuangan

umumnya dikenal sebagai kontrak baku. Kontrak baku mengandung arti sebagai

kontrak yang dibuat secara baku, dimana salah satu pihak telah menyiapkan

syarat-syarat baku pada formulir kontrak yang sudah ada kemudian ditawarkan

kepada pihak lain untuk disetujui dengan kesempatan bernegosiasi yang minim.4

1 Abdurrahman Hakim, “Format Akad Kontraktual Lembaga Keuangan Syariah”, Jurnal

Misykat, Vol. 3, No. 01, (Juni, 2018), h. 64.

2 Azharuddin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan

Hukum Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 42.

3 Agus yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,

(Jakarta: Kencana, 2010), h. 6.

4 Abdurrahman Hakim, “Format Akad Kontraktual Lembaga Keuangan Syariah”, h. 86.

2

Pada kontrak baku, banyak literature dari para ahli yang menyatakan bahwa

beberapa asas kontrak yang terdapat dalam KUH Perdata tidak maksimal

diterapkan dan bahkan hampir dikesampingkan, terutama Asas Kebebasan

Berkontrak. Secara substansi, asas ini lahir untuk memberikan kesempatan kepada

kedua belah pihak yang melakukan perjanjian untuk dapat terlibat dalam

menentukan setiap klausula-klausula yang diperjanjikan. Sedangkan dalam

kontrak baku, klausula yang digunakan sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh

Lembaga Keuangan tanpa ada campur tangan dari konsumen. Dalam hal ini

berlaku prinsip take it or leave it, dimana apabila konsumen tidak setuju dengan

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kontrak tersebut, maka konsumen tidak

berkesempatan untuk mengubah ketentuan tersebut. Konsumen justru akan

disarankan untuk mencari alternatif lembaga lain yang memiliki ketentuan sesuai

dengan keinginan konsumen.

Dalam hal inilah Otoritas Jasa Keuangan hadir melalui peraturan yang

dibuatnya untuk membatasi Lembaga Keuangan dalam menentukan klausula-

klausula yang digunakan dalam kontrak agar tidak sepenuhnya merugikan

konsumen maupun Lembaga Keuangan itu sendiri. Menurut hemat penulis, Asas

Kebebasan Berkontrak ini telah terpenuhi dengan hadirnya Otoritas Jasa

Keuangan yang mewakili konsumen dalam menentukan klausula dalam

perjanjian/kontrak baku sehingga konsumen tidak lagi berada dalam pihak yang

lemah dalam suatu perjanjian.

Sama halnya dengan lembaga keuangan konvensional, dalam memberikan

fasilitas pembiayaan, lembaga keuangan syariah menggunakan kontrak baku

untuk mengikat hak dan kewajiban bank dengan nasabah. Terdapat hal-hal yang

perlu diperhatikan dalam pembuatan kontrak syariah antara lain: (1) Hal yang

diperjanjikan dan objek transaksi harus halal menurut syariat; (2) Tidak terdapat

ketidakjelasan (gharar) dalam rumusan akad maupun prestasi yang diperjanjikan;

(3) Para pihaknya tidak menzalimi dan tidak dizalimi; (4) transaksi harus adil; (5)

Transaksi tidak mengandung perjudian (maisyir); (6) terdapat prinsip kehati-

3

hatian; (7) Tidak membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam

ataupun barang najis (najsy); dan (8) Tidak mengandung riba.5 Keabsahan

kontrak baku syariah ditentukan melalui apakah klausula-klausula baku yang

tertera dalam kontrak tersebut bertentangan dengan prinsip syariah atau tidak.6

Dalam situs resminya, BPRS Al-Salaam menggunakan frasa “kredit” dalam

menawarkan salah satu produknya yakni pembiayaan kendaraan bermotor, baik

motor maupun mobil. Padahal penggunaan frasa “kredit” dalam transaksi

perbankan di Indonesia sudah sangat kental dengan kegiatan konvensional yang

berbasis bunga/riba.

Meskipun definisi kredit secara bahasa berarti kepercayaan, tidak ada unsur

bunga, kemudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian

kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara

mengangsur atau pinjaman hingga batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank

atau badan lain,7 tetapi dalam Pasal 1 ayat (11) Undang-undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perbankan, telah mendefinisikan kredit sebagai fasilitas pinjam-

meminjam yang disertai dengan pemberian bunga.8

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sendiri

sudah tidak lagi mendefinisikan kata kredit. Terkait transaksi jual beli dalam

bentuk piutang, istilah yang digunakan adalah pembiayaan.9 Undang-undang ini

sendiri telah mendefinisikan akronim dari BPRS sebagai Bank Pembiayaan

5 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 206-207. 6 Abdurrahman Hakim, “Format Akad Kontraktual Lembaga Keuangan Syariah”, h. 86.

7 Chatamarrasjid Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 57.

8 Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang

atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya

setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

9 Pasal 1 ayat (25) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, pembiayaan adalah penyediaan

dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

antara Bank Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan dana

tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

4

Rakyat Syariah,10 berbeda dengan pendahulunya yang bergerak di bidang

konvensional yaitu BPR (Bank Perkreditan Rakyat).11

Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi penulis terhadap ketetapan

kontrak yang digunakan dalam produk pembiayaan kendaraan bermotor di BPRS

Al-Salaam khususnya, dan pada ketetapan kontrak yang digunakan dalam produk-

produk pembiayaan lainnya. Namun setelah penulis melakukan observasi

langsung ke kantor pusat BPRS Al-Salaam untuk melihat kontrak yang

digunakan, penulis tidak menemukan klausul-klausul yang bertentangan dengan

prinsip syariah (Fatwa DSN-MUI), melainkan yang penulis temukan ada

beberapa ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang

belum sesuai dalam kontrak tersebut.

Dalam penelitian ini penulis telah mendapatkan lima (5) jenis kontrak

perjanjian yang terdapat dalam BPRS Al-Salaam. Diantara lima (5) kontrak

tersebut antara lain: Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah; Kontrak

Perjanjian Musyarakah; Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah

Mutanaqishah; Kontrak Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Musytarakah; dan

Kontrak Perjanjian Ijarah Multijasa.

Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk menganalisis kontrak-kontrak

tersebut dengan melihat kesesuaiannya pada Peraturan Perundangan-undangan

pada umumnya, serta khususnya pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan yang diperjelas

dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang

Perjanjian Baku.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dengan ini penulis mengambil judul

penelitian yaitu “Analisis Kontrak Pembiayaan di BPRS Al-Salaam

Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen”.

10 Lihat Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.

11 Lihat Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.

5

B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka identifikasi masalah dari penelitian

ini antara lain:

a. Bagaimana prosedur pembiayaan di Lembaga Keuangan Syariah?

b. Bagaimana struktur dan anatomi kontrak perjanjian di Lembaga Keuangan

Syariah?

c. Apakah kontrak perjanjian yang dibuat oleh Lembaga Keuangan Syariah

telah sesuai dengan Fatwa DSN-MUI?

d. Apakah kontrak perjanjian yang dibuat oleh Lembaga Keuangan Syariah

telah sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan?

2. Batasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak rancu dan meluas, maka

terdapat batasan masalah yang tujuannya agar penelitian ini jelas dan terfokus

terhadap satu pokok masalah. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini

yakni hanya melihat klausula-klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS

Al-Salaam yang masih belum sesuai dengan beberapa Peraturan Perundang-

undangan, khususnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

3. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian berdasarkan latar

belakang masalah maka rumusan masalah yang penulis buat adalah “Sejauh

mana kesesuaian klausula kontrak pembiayaan yang digunakan oleh

BPRS Al-Salaam dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan?”.

C. Tujuan Penelitian

Dalam sebuah penelitian, tujuan merupakan hal yang sangat penting untuk

mengetahui tentang kegunaannya. Dari rumusan di atas, penelitian ini memiliki

tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui struktur dan anatomi kontrak di BPRS Al-Salaam.

6

2. Menganalisis kesesuaian klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS Al-

Salaam dengan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Peraturan Otoritas

Jasa Keuangan.

3. Mengevaluasi ketentuan klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS Al-

Salaam.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dalam dua

aspek, yaitu teoritis dan praktis:

1. Secara Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada seluruh

kalangan akademisi dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya di

bidang Hukum Ekonomi Syariah.

b. Menambah wawasan keilmuan yang berguna bagi pengembangan ilmu

hukum dan hukum Islam khususnya dalam proses penyusunan kontrak

agar sesuai dengan syariat Islam maupun peraturan Perundang-undangan

yang berlaku.

c. Sebagai acuan untuk penelitian serupa di masa yang akan datang serta

dapat dikembangkan lebih lanjut demi mendapatkan hasil yang sesuai

dengan perkembangan zaman.

2. Secara Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Lembaga Keuangan

Syariah khususnya BPRS Al-Salaam dalam menyusun kontrak perjanjian

terhadap nasabah.

b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang akan

melakukan pembiayaan di BPRS Al-Salaam.

c. Untuk mengembangkan pemikiran sekaligus mengetahui kemampuan

peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. Dan tentunya penelitian

ini bermanfaat guna memperoleh gelar S1 Hukum Ekonomi Syariah.

7

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu

hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan

argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi.12 Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian

hukum normatif atau kepustakaan, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian dengan

pendekatan secara yuridis normatif.13 Maksudnya pembahasan permasalahan

yang ada kemudian dihubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku

dan dikaji dengan beberapa literatur yang ada.

2. Pendekatan penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa metode pendekatan yang

dapat digunakan dalam penelitian. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan

mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba

untuk dicari jawabannya.14 Metode pendekatan yang penulis gunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua

peraturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Hasil dari telaah merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang

dihadapi.15

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 35.

13 Penelitian hukum normatif mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2)

penelitian terhadap sistematika hukum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan

horisontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 13.

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 93

15 ibid.

8

3. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif, yaitu

menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi

kepustakaan yang berkaitan dengan judul penelitian hukum yang secara jelas

dan rinci kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang hendak

diteliti.

4. Data Penelitian

a. Data Primer

Data primer merupakan informasi yang dikumpulkan peneliti langsung

dari sumbernya.16 Data pimer yang digunakan oleh penulis dalam

penelitian ini yakni kontrak-kontrak perjanjian yang sedang digunakan

dan di dapat langsung dari BPRS Al-Salaam.

b. Data Sekunder

Data sekunder di bidang hukum (dipandang dari sudut kekuatan

mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3, yakni: 1) Bahan hukum primer;

2) Bahan hukum sekunder; dan 3) Bahan hukum tersier.17 Bahan hukum

yang penulis gunakan antara lain:

1) Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang mempunyai

otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas Undang-

undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan

suatu Badan atau Lembaga Negara, Peraturan Daerah, dan Putusan

Hakim.18 Bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penelitian

ini antara lain Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Fatwa Dewan

Syariah Nasional.

16 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1993), h. 69.

17 Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2015), h. 66.

18 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 47.

9

2) Bahan Hukum Sekunder, merupakan semua publikasi tentang hukum

yang memberikan penjelasan kepada bahan hukum primer.19 Publikasi

tersebut antara lain buku-buku teks yang membicarakan suatu

permasalahan hukum, skripsi, tesis, disertasi, jurnal-jurnal, kamus-

kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan hakim.

5. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang pertama digunakan dalam penelitian

ini adalah dengan cara library research (study kepustakaan) yaitu

mengumpulkan data-data dari peraturan perundang-undangan, buku, artikel,

dan media-media online. Kemudian berdasarkan data yang telah dikumpulkan

penulis mengklasifikasi permasalahan untuk dikaji secara komprehensif.

6. Teknik Analisis Data

Pada bagian ini dijelaskan tentang langkah yang harus ditempuh serta

teknik analisis data yang digunakan.20 Analisis data adalah proses untuk

mencari dan menyusun secara sistematis terhadap data yang sudah

diperoleh.21 Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis untuk menarik

kesimpulan dengan metode analisis kualitatif. Data tersebut digunakan

sebagai rujukan dalam rangka memahami atau memperoleh pengertian yang

mendalam dan menyeluruh untuk pemecahan masalah dengan menarik

kesimpulan secara deduktif-induktif. Pendekatan kualitatif merupakan tata

cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang

dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan

merupakan perilaku yang nyata. Yang diteliti dan dipelajari adalah objek

penelitian yang utuh dengan penggunaan teori terbatas dan lebih fokus

terhadap kasus tertentu. Analisis ini merupakan upaya untuk menata,

menyusun, dan memberi makna pada data yang telah dikumpulkan sehingga

19 ibid. h. 54.

20 Dalman, Menulis Karya Ilmiah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), h. 209.

21 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009),

h. 244.

10

dapat memberi jawaban pada pertanyaan penelitian yang diajukan, tentunya

dapat mencapai tujuan yang diharapkan.22

7. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman

Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2017.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan rangkaian urutan dari beberapa uraian suatu

sistem pembahasan dalam suatu kerangka ilmiah. Dalam kaitannya dengan

penulisan nantinya secara keseluruhan terdiri dari 4 (empat) bab, yang disusun

secara sistematis sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini, terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,

batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, pendekatan penelitian, data penelitian,

metode pengumpulan bahan hukum, dan metode pengolahan bahan hukum, serta

sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori

Dalam bab secara mendalam akan dijelaskan tentang pengertian daripada

kontrak yang berlaku dan diterapkan di Indonesia, baik secara umum maupun dari

sisi syariah, kemudian asas-asas dari hukum kontrak tersebut, serta penjelasan

mengenai kontrak ataupun perjanjian baku. Kemudian akan dijelaskan pula

tentang Hukum Pembiayaan di Indonesia dan Hukum Perlindungan Konsumen,

baik dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dalam Undang-

Undang Otoritas Jasa Keuangan.

22 Boy S. Sabarguna, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif, (Jakarta: UI Press, 2008), h.

38.

11

Lebih lanjut dalam bab ini akad dikemukakan mengenai Tinjauan Kajian

Terdahulu dari para peneliti sebelumnya yang relevan dengan penelitian penulis.

BAB III Profil Lembaga

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai profil dari BPRS Al-Salaam, seperti

sejarah, visi & misi, fungsi, tujuan, Dewan Pengawas Syariah, serta produk-

produk yang ditawarkan oleh BPRS Al-Salaam kepada Nasabah.

BAB IV Analisis dan Hasil Penelitian

Dalam bab ini berisi tentang hasil dan pembahasan yang tersusun atas hasil-

hasil penelitian yang merupakan kumpulan bahan hukum yang diperoleh dari

berbagai literatur dan pembahasan yang merupakan hasil analisis penulis terhadap

permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini. Hasil penelitian dan

pembahasan ini meliputi penelitian tentang klausul-klausul yang dimuat dalam

kontrak pembiayaan yang digunakan oleh BPRS Al-Salaam dengan ditinjau

terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan yang diperjelas dalam Surat Edaran

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku

maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan

permasalahan yang terjadi.

BAB V Penutup

Dalam bab ini terdiri dari simpulan (jawaban singkat atas rumusan masalah

yang ditetapkan) dan rekomendasi dari penulis.

Bagian akhir, berisi tentang daftar pustaka, dan lampiran-lampiran yang

terkait dengan penelitian ini.

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teoretis

1. Hukum Kontrak

Hukum kontrak dapat juga disebut hukum perjanjian dan di Indonesia

ketentuan-ketentuannya diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang Hukum

Perikatan.1 Hukum kontrak tidak terlepas dari faham individualisme, seperti

yang dijumpai dalam Burgerlijke Weatbook (lama) tahun 1838, Burgerlijke

Weatbook (baru) tahun 1992, maupun di dalam Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, sebagai ciri-ciri khas hukum perjanjian atau kontrak, yaitu dalam hal

kebebasan, kesetaraan, dan keterikatan kontraktual.2

Kontrak merupakan bagian penting dari Hukum Perdata yang

mengalami pekembangan dalam rangka memberikan kepastian pada bidang

ekonomi dan stabilitas nasional. Esensi kontrak adalah (sekumpulan) janji

yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.3

Istilah kontrak sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract.

Menurut Black’s Law Dictionary, kontrak diartikan sebagai suatu perjanjian

antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau

tidak berbuat sesautu hal yang khusus (contract is an agreement between two

or more persons which creates an obligation to do or not to do a peculiar

things).4 Pengertian lain mendefinisikan istilah kontrak sebagai suatu

perjanjian tertulis yang sengaja dibuat, sehingga dapat digunakan sebagai alat

1 Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di ASEAN Pengaruh Sistem Hukum Common Law

dan Civil Law, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 45.

2 Johannes Ibrahim & Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,

(Bandung: PT Refika Aditama, 2004), h. 51.

3 Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: PT RajaGafindo Persada, 2006), h. 17.

4 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 11-12.

13

bukti bagi para pihak yang berkepentingan.5 Ada tiga unsur dari kontrak,

yaitu:6

a. Adanya kesepakatan tentang fakta antara kedua belah pihak (the fact

between the parties)

b. Persetujuan tersebut dibuat secara tertulis (the agreement is written)

c. Adanya orang-orang yang berhak dan berkewajiban untuk membuat

kesepakatan dan persetujuan tertulis.

Sedangkan Ahmad Miru dalam bukunya, menjelaskan lebih detail

tentang unsur-unsur yang ada di dalam suatu kontrak, antara lain:7

a. Unsur Esensiali, merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak

karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak

ada kontrak. Contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan

mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan tersebut, maka

kontrak dapat batal demi hukum sebab tidak ada hal tertentu yang

diperjanjikan.

b. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-

undang sehingga apabila tidak diatur dalam kontrak, maka undang-undang

yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur ini merupakan unsur yang

selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak

tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku

ketentuan dalam KUHPerdata bahwa penjual yang harus menanggung

cacat tersembunyi.

c. Unsur Aksidentalia, merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para

pihak jika para pihak memperjanjikannya. Contoh, dalam kontrak jual beli

dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai

5 Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.7.

6 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah, h. 12.

7 Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2007), h. 31-32.

14

membayar kewajibannya, maka akan dikenakan denda keterlambatan

setiap bulannya, dan apabila debitur lalai membayar kewajibannya selama

tiga bulan berturut-turut, objek jual beli dapat ditarik kembali oleh

kreditur tanpa melalui proses pengadilan. Demikian pula klausul-klausul

lainnya yang kerap ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan

merupakan unsur esensial dalam kontrak tersebut.

Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan

kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut

pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para

pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk

kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan

(kepentingan) melalui proses tawar-menawar. Pada umumnya kontrak bisnis

berawal dari perbedaan kepentingan yang coba dipertemukan melalui kontrak.

Melalui kontrak perbedaan tersebut diakomodasi dan selanjutnya dibingkai

dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Dalam kontrak bisnis

pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan akan tercapai apabila

perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodasi melalui mekanisme

hubungan kontraktual yang bekerja secara proporsional.8

a. Kontrak Bisnis Syariah

Kontrak bisnis syariah didasarkan pada teori-teori akad yang ada

dalam Fiqh Muamalat. Dalam kajian Fiqh Muamalat, masalah akad

menempati posisi sentral karena ia merupakan cara paling penting yang

digunakan untuk memperoleh suatu maksud atau penting yang digunakan

untuk memperoleh suatu maksud atau manfaat sesuatu secara sah. Tidak

jarang karena kesalahan dalam memilih akad atau kurang terpenuhinya

8 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian…, h. 1-2.

15

syarat dan rukun akad, transaksi yang dilakukan seseorang bisa dinilai

tidak sah (batal).9

Dalam al-Qur’an, kata “akad” sendiri terdapat dalam QS. Al-Maidah

ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:

... فو ذين آمنو يها ال أ يا د ا بال عقو ا أو

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…” (QS. Al-

Maidah: 1).

Secara bahasa, akad berarti ikatan antara dua hal, baik ikatan secara

nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi.10

Secara terminologi, akad memiliki makna khusus. Dalam konsep fikih

muamalah, kontrak lebih dikenal dengan sebutan akad, yang menurut

fuqaha’ (ahli hukum Islam) berarti perikatan antara ijab dan qabul dengan

cara-cara yang disyariatkan dan mempunyai dampak terhadap apa yang

diakadkan tersebut.11 Sedangkan Dewan Syariah Nasional mendefinisikan

akad sebagai transaksi atau perjanjian syar’i yang menimbulkan hak dan

kewajiban.12 Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah, mendefinisikan kata akad sebagai suatu

kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan

pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing

pihak sesuai dengan prinsip syariah.13

Kontrak dalam hukum Islam tidak begitu berbeda dengan hukum

kontrak yang berlaku dalam hukum perdata umum yang didasarkan pada

Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan istilah yang berbagai

9 Azharuddin Lathif & Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis…, h. 64.

10 A. Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 129. 11 FORDEBI & ADESy, Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan

Bisnis Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 171.

12 Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 45/DSN-MUI/II/2005 tentang Line Facility.

13 Lihat Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah.

16

macam. Para pakar hukum perdata menggunakan istilah kontrak atau akad

dengan istilah yang berbeda. Sebagian menyebut dengan istilah perikatan,

sebagian lagi menggunakan kata perjanjian, perkongsian, transaksi dan

kontrak. Perbedaan yang terjadi dalam perikatan (kontrak) antara hukum

Islam dan hukum perdata umum adalah pada tahap perjanjiannya. Pada

hukum perikatan (kontrak) Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji

pihak kedua (merupakan dua tahap), kemudian lahir perikatan (kontrak).

Adapun menurut hukum perdata (KUH Perdata), perjanjian antara pihak

pertama dan pihak kedua ialah satu tahap yang kemudian menimbulkan

perikatan di antara mereka. Dalam hukum perikatan (kontrak) Islam, titik

tolak yang paling membedakannya adalah pada pentingnya ijab kabul

dalam setiap transaksi yang dilaksanakannya, kalau ini sudah terjadi maka

terjadilah perikatan atau kontrak.14

Empat prinsip umum hukum kontrak Islam yang menjadi pijakan

penting ketika hukum tersebut diterapkan pada keuangan modern:15

1) Sifat tak mengikat dari sebagian besar kontrak dasar.

2) Skema ganda untuk menentukan risiko kerugian.

3) Larangan jual beli hutang dengan hutang.

4) Sifat perjanjian yang tidak mengikat.

Prinsip di atas tidak ada yang secara tegas bersumber dari wahyu

seperti halnya konsep riba dan gharar. Kekuatannya justru muncul dari

kenyataan bahwa prinsip tersebut ditegakkan secara terus menerus pada

beragam aturan dari banyak kontrak. Dengan kata lain, prinsip tersebut

tidak ditetapkan secara harfiah dari sumber syariah namun melalui induksi

dari sebagian besar pedoman fiqih. Dari keempat prinsip tersebut, dua

prinsip pertama sebagian besar diakomodasi dalam praktek keuangan

14 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama,

(Jakarta: Kencana, 2012), h. 73-74.

15 Frank E. Vogel & Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and Return,

diterjemahkan oleh M. Sobirin Asnawi, dkk. (Bandung: Nusamedia, 2007), h. 136.

17

Islam dan jika dipraktekkan terus menerus akan memiliki pengaruh

penting. Kedua prinsip yang terakhir sangat kontroversial, dan sangat

mempengaruhi masa depan perbankan dan keuangan Islam.16

Ayat lain yang terkait dengan kontrak bisnis syariah terdapat dalam

QS. Al-Baqarah ayat 282 serta kaidah fiqih sebagai berikut:

ا ى ف م س م ل ج أ ى ل إ ن ي د ب م ت ن ا ي د ا ت ذ ا إ و ن آم ن ي ذ ا ال ه ي أ ا ي

... ل د ع ا ل ب ب ات ك م ك ني ب ب ت ك ي ل و ه و ب ت ك

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bermuamalah tidak

secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu

menuliskannya dengan benar…” (QS. Al-Baqarah: 282)

Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-Qur’an dan berbicara

soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. Ayat ini

menjelaskann cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat

terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman serta kedua belah pihak tidak

merugi.17

Relevansi ayat ini dengan kontrak bisnis syariah yakni ayat ini

memerintahkan manusia apabila melakukan kegiatan muamalah secara

tidak tunai dalam jangka wantu tertentu, maka hendaklah dituliskan dalam

suatu dokumen perjanjian agar tidak lupa akan kewajibannya dalam

bermuamalah tersebut. Isi dari dokumen perjanjian tersebut tentunya

memuat tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak yang bermuamalah.

Kemudian seorang penulis (Legal Drafter) dokumen perjanjian tersebut

hendaknya menuliskan dengan benar agar tidak ada kerugian bagi kedua

belah pihak.

16 ibid.

17 Diakses dari www.hajij.com/id/the-noble-quran/item/574-tafsir-al-quran-surah-al-baqarah-

ayat-282-286- pada 22 Juli 2019.

18

ل ضر ر ول ضرار

“Tidak boleh ada bahaya/mudharat dan yang membahayakan”.

Kaitan kaidah fiqih ini dengan kontrak bisnis syariah yaitu dalam

suatu perjanjian tidak boleh memuat suatu hal yang berbahaya dan yang

membahayakan. Misalnya objek perjanjian tidak boleh berupa suatu

barang yang dilarang/diharamkan oleh syariah. Kemudian dalam dokumen

perjanjian yang dibuat, tidak boleh ada ketentuan yang dapat merugikan

salah satu pihak sedang pihak lain mendapat keuntungan didalamnya,

karena yang demikian itu merupakan suatu bentuk perbuatan yang dzalim.

Selain itu dalam hukum Islam juga dikenal Maqashid Syariah.

Maqashid Syariah menurut Thahir ibn ‘Asyur dan Wahbat Mushthafa al-

Zuhailiy adalah makna (ma’aniy), tujuan (ahdaf), dan hikmah-hikmah

(hikam) yang menjadi perhatian Syari’ (Legislator: Allah SWT ketika

menetapkan hukum-hukum. Kemudian Imam al Syathibiy menyatakan

bahwa syari’at dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan

kemaslahatan makhluk. Kemaslahatan makhluk dapat tercapai apabila

lima hal primer dalam hidupnya telah terjamin.18 Lima hal tersebut antara

lain:19

1) Perlindungan terhadap agama (Hifdz Ad-Diin).

2) Perlindungan terhadap jiwa (Hifdz An-Nafs).

3) Perlindungan terhadap akal (Hifdz Al-‘Aql).

4) Perlindungan terhadap kehormatan (Hifdz Al-‘Ardh).

5) Perlindungan terhadap harta benda (Hifdz Al-Maal).

18 Firdaus Agung, “Maqashid Al-Syari’ah Imam Al-Syathibiy dan Relevansinya Dengan

Pembaruan Hukum Islam di Indonesia”, (Skripsi Fakultas Syari’ah, Universitas Negeri Malang, 2008),

h. 17. 19 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah. Penerjemah Khikmawati (Kuwais).

(Jakarta: Amzah, 2009), h. xiii.

19

Hal terpeting dalam Maqashid Syariah terkait dengan kontrak bisnis

syariah adalah perlindungan terhadap harta benda (Hifdz Al-Maal). Harta

merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di mana manusia

tidak akan bisa terpisah darinya.

Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya

dan demi menambah kenikmatan materi dan religi, dia tidak boleh berdiri

sebagai penghalang antara dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi

ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara

yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus

dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.20

b. Asas-asas Hukum dalam Kontrak

Sejumlah prinsip atau asas hukum merupakan dasar bagi hukum

kontrak. Asas-asas yang ada dalam hukum kontrak antara lain:

1) Hukum Kontrak Bersifat Mengatur

Kontrak sebagai hukum mengatur, merupakan peraturan-

peraturan hukum yang berlaku bagi subjek hukum. Dalam hal ini para

pihak dalam suatu kontrak.21

2) Asas Kebebasan Berkontrak

Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa

saja yang ingin mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa

yang tidak ingin dicantumkan di dalam naskah perjanjian, teatpi bukan

berarti tanpa batas. Dalam KUH Perdata, asas kebebasan berkontrak

ini diatur dalam Pasal 1338.22

3) Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas

kepastian hukum ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas

20 ibid, h. 167.

21 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), h. 13.

22 Syahmin AK, Hukum Kontrak International, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h.

4.

20

pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga

harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,

sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. hakim atau pihak

ketiga tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak

yang dibuat oleh para pihak.23

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338

ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang”.

4) Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat

(1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat

sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas

konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian

pada umunya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan

adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan

persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua

belah pihak.24 Konsensus atau kesepakatan tersebut tidak perlu ditaati

apabila salah satu pihak menggunakan paksaan, penipuan, ataupun

terdapat kekeliruan akan objek kontrak.25

5) Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dapat disimpulak dari Pasal 1338 ayat (3)

KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik”. Asas ini mengandung arti bahwa para pihak harus

melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau

keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.26

23 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,

2013), Cet. ke-9, h. 10.

24 ibid.

25 Syahmin AK, Hukum Kontrak International, h. 5.

26 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, h. 10-11.

21

6) Asas Obligatoir

Maksud dari asas ini yaitu jika suatu kontrak sudah dibuat,

maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas

timbulnya hak dan kewajiban semata-mata.27

7) Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua

belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur

mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan

dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun

debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu

dengan itikad baik.28

Dari sejumlah prinsip hukum tersebut terdapat tiga prinsip atau asas

utama yang mendapat perhatian lebih. Prinsip-prinsip atau asas-asas

utama tersebut dianggap sebagai soko guru hukum kontrak, memberikan

sebuah gambaran mengenai latar belakang cara berfikir yang menjadi

dasar hukum kontrak. Satu dan lain karena sifat fundamental hal-hal

tersebut, maka prinsip-prinsip utama itu dikatakan pula sebagai prinsip-

prinsip dasar.29

Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai hukum

kontrak adalah; prinsip atau asas “konsensualitas” di mana persetujuan-

persetujuan dapat terjadi karena persesuaian kehendak (konsensus) para

pihak. Pada umumnya persetujuan-persetujuan tersebut dapat dibuat

secara “bebas bentuk” dan tidak dibuat secara formal melainkan

konsensual.30

Prinsip atau asas “kekuatan mengikat persetujuan” menegaskan bahwa

para pihak harus memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu

27 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, h. 13.

28 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, h. 13-14

29 Johannes Ibrahim & Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis…, h. 51.

30 ibid, h. 52.

22

sama lain dalam persetujuan yang mereka adakan. Kemudian yang

terakhir adalah prinsip atau asas “kebebasan berkontrak” di mana para

pihak diperkenankan membuat suatu persetujuan sesuai dengan pilihan

bebas masing-masing dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk

membuat kontrak dengan siapa saja yang dikehendakinya. Selain itu para

pihak dapat menentukan sendiri isi maupun persyaratan-persyaratan suatu

persetujuan dengan pembatasan bahwa persetujuan tersebut tidak boleh

bertentangan dengan sebuah ketentuan undang-undang yang bersifat

memaksa, ketertiban umum, dan kesusilaan.31

Adapun konsensualitas menyangkut terjadinya sebuah persetujuan.

Prinsip kekuatan mengikat menyangkut akibat persetujuan, sedangkan

prinsip kebebasan berkontrak terutama berurusan dengan isi persetujuan.

Kendatipun di antara ketiga prinsip yang disebut di atas dapat dan harus

dibedakan dengan tegas satu dengan yang lain, maka untuk memperoleh

pengertian yang benar mengenai prinsip-prinsip tersebut, harus dibahas

secara bersama-sama karena ketiganya berhubungan erat satu sama lain.32

c. Perjanjian Baku

Semakin berkembangnya aspek-aspek perekonomian saat ini, para

pihak mencari format perjanjian yang lebih praktis. Salah satu pihak

menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format

perjanjian yang telah dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan

kepada pihak lainnya untuk disetujui (ditandatangani). Inilah yang

dimaksud dengan perjanjian baku.33

Perjanjian baku adalah suatu persetujuan yang dibuat para pihak

mengenai sesuatu hal yang sisinya telah ditentukan secara baku (standar).

31 ibid.

32 ibid.

33 Agus Satory, “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor

Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia”, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum,

Volume 2, Nomor 2, 2015, h. 274.

23

Perjanjian tersebut dituangkan secara tertulis serta menjadi tolak ukur atau

patokan ataupun pedoman bagi konsumen yang mengadakan hubungan

hukum dengan pengusaha. Perjanjian baku tersebut meliputi model,

rumusan, dan ukuran.34

Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang,

pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang bebas untuk

menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian,

pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan

tersebut untuk menentukan klausul-klausul tertentu dalam kontrak baku,

sehingga perjanjian yang seharusnya dirancang oleh para pihak yang

terlibat dalam perjanjian tidak ditemukan lagi dalam kontrak baku karena

format dan isi kontrak dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih

kuat.35 Ciri dari perjanjian baku itu sendiri antara lain:36

1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya

kuat;

2) Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan

isi perjanjian;

3) Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian

tersebut;

4) Bentuknya tertulis;

5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif.

Pemakaian kontrak baku dewasa ini menunjukkan perkembangan yang

cukup memberatkan kepentingan masyarakat. Misalnya di lingkungan

pengusaha real estate dikembangkan sistem pembelian satuan rumah

susun secara inden dalam bentuk perjanjian baku. Menurut Mariam Darus

Badrulzaman dalam bukunya yang berjudul Aneka Hukum Bisnis,

34 ibid.

35 Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, h. 39-40.

36 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2006), h. 146.

24

Perjanjian inden adalah cacat dan tidak sah, karena informasi terhadap

masyarakat tidak ada dan karena masyarakat sangat memerlukan, maka

tawaran dari pengusaha ini diserbu masyarakat.37

Dalam praktiknya, sering kali masyarakat yang membutuhkan

pembiayaan hanya menandatangani perjanjian tanpa dibacakan isinya.

Akan tetapi, isi perjanjian baru dipersoalkan pada saat masyarakat tidak

mampu melaksanakan prestasinya. Dengan demikian, utang yang harus

dibayar oleh masyarakat menjadi bertambah dikarenakan adanya denda

keterlambatan. Lembaga Keuangan sendiri berpedapat bahwa penerapan

denda keterlambatan itu sudah diatur dan ditentukan secara jelas dan rinci

di dalam kontrak, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk

menolak pemenuhan besaran utang beserta denda keterlambatan

tersebut.38 Mengingat masih awamnya masyarakat terhadap aspek hukum

dari perjanjian itu dan pemerintah mempunyai kewajiban untuk

mengawasi, maka sebagai wakil dari kepentingan umum, pemerintah

wajib mengawasi perjanjian baku tersebut.39

Implementasi dari perjanjian baku yang biasa digunakan banyak

diterapkan dalam dunia bisnis dan perdagangan. Pada sektor jasa

keuangan, perjanjian baku dimaksudkan untuk mempermudah operasional

bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos bisnis. Adapun yang merupakan

contoh-contoh dari perjanjian baku yang sering dilakukan dalam praktik

adalah sebagai berikut:40 (cari buku)

1) Polis Asuransi;

2) Kontrak di bidang perbankan;

3) Kontrak sewa guna usaha;

4) Kontrak jual-beli rumah atau apartemen dari perusahaan real estate;

37 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 35.

38 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, h. 147.

39 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, h. 35.

40 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Buku Kedua), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), h. 77.

25

5) Kontrak sewa menyewa gedung perkantoran;

6) Kontrak pembuatan credit card;

7) Kontrak pengiriman barang (darat, laut, dan udara).

2. Hukum Pembiayaan

Pembiayaan adalah perbuatan untuk membiayai baik perorangan

maupun bentuk perusahaan.41 Pembiayaan merupakan suatu kegiatan

perjanjian yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen

untuk pembelian barang atau jasa yang akan langsung dikonsumsi oleh

konsumen, serta pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh

konsumen.42 Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah, mendefinisikan pembiayaan sebagai suatu bentuk

penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:43

a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah;

b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk Ijarah atau sewa beli dalam

bentuk Ijarah Muntahiya Bittamlik;

c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, Salam, dan Istishna;

d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh; dan

e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk transaksi

multijasa.

Penyediaan dana yang dimaksud dilakukan berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang

mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk

mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan

Ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.44

41 Ahmad Muliadi, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Akademia Pratama, 2013), h. 3

42 ibid. h. 109-110.

43 Lihat Pasal 1 Angka 25 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

44 Lihat Pasal 1 Angka 25 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

26

Lembaga keuangan Indonesia merupakan suatu sistem, maka sudah

barang tentu ada kaitan antara subsistem yang satu dengan subsistem yang

lainnya. Lembaga pembiayaan sebagai suatu subsistem dari lembaga

keuangan bersama-sama dengan lembaga perbankan mempunyai kaitan satu

sama lain. Hal ini disebabkan oleh kedua lembaga tersebut sama-sama

bergerak di bidang keuangan yang berada di bawah satu sistem lembaga

keuangan. Meskipun antara lembaga pembiayaan dan lembaga perbankan

sama-sama sebagai lembaga keuangan dan ada kaitan satu dengan lainnya,

namun ada beberapa hal yang membedakan antara keduanya, antara lain

sebagai berikut:45

a. Dilihat dari kegiatannya, lembaga pembiayaan difokuskan pada salah satu

kegiatan keuangan saja. Misalnya perusahaan modal ventura menyalurkan

dana dalam bentuk modal penyertaan pada perusahaan pasangan usaha,

perusahaan sewa guna usaha menyalurkan dana dalam bentuk barang

modal kepada perusahaan penyewa, pegadaian menyalurkan dananya

dalam bentuk pinjaman jangka pendek dengan jaminan benda bergerak.

Adapun lembaga perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling

lengkap kegiatannya, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk

pinjaman, serta melaksanakan kegiatan di bidang jasa keuangan lainnya.

b. Dilihat dari cara menghimpun dana, lembaga pembiayaan tidak dapat

secara langsung menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro,

tabungan, deposito berjangka. Adapun lembaga perbankan dapat secara

langsung menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan,

dan deposito berjangka.

c. Dilihat dari aspek jaminan, lembaga pembiayaan dalam melakukan

pembiayaan tidak menekankan aspek jaminan (non collateral basis)

45 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 14-15.

27

karena unit yang dibiayai merupakan objek pembiayaan. Adapun lembaga

perbankan dalam pemberian kredit lebih berorientasi kepada jaminan

(collateral basis).

d. Dilihat dari kemampuan menciptakan uang giral, lembaga pembiayaan

tidak dapat menciptakan uang giral. Adapun lembaga perbankan, yaitu

Bank Umum dapat menciptakan uang giral yang dapat mempengaruhi

jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dari simpanan masyarakat

berupa giro, di samping dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran

dalam suatu transaksi dengan menggunakan cek atau bilyet giro, bagi

Bank Umum giro juga dapat dipergunakan untuk menciptakan uang giral.

3. Perlindungan Konsumen

Hukum konsumen adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang

mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak yang satu dengan

lainnya berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan

hidup. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum

konsumen yang lebih luas yang memuat asas-asas atau kaidah kaidah yang

bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan

konsumen.46

Hukum perlindungan konsumen menyangkut aturan-aturan guna

mensejahterakan masyarakat, bahkan bukan hanya masyarakat selaku

konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga

mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing

memiliki hak dan kewajibannya tersendiri.47 Hukum perlindungan konsumen

selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang

hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa

46 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 57.

47 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,

2011), h. 1.

28

terdapat pihak yang berpredikat sebagai “konsumen”. Oleh karena itu, ruang

lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan

menampungnya dalam satu jenis undang-undang saja, seperti Undang-Undang

Perlindungan Konsumen.48

Pemerintah berperan mengatur, mengawasi, dan mengontrol sehingga

tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan yang lain agar

tujuan mensejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.49

Ketidaksetaraan yang kerap terjadi antara kedudukan konsumen dengan

pelaku usaha mengakibatkan pemerintah mengeluarkan kaidah-kaidah hukum

yang dapat menjamin dan melindungi kepentingan konsumen.50

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen merupakan payung dari semua peraturan perundang-undangan

yang terkait dengan perlindungan konsumen. Penjelasan umum Undang-

Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa Undang-Undang

Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari

hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada

terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada

beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan

konsumen.51

Oleh karena itu, dalam penjelasan umum disebutkan setidaknya 20

(dua puluh) undang-undang lain yang substansinya melindungi kepentingan

konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengakui akan

adanya undang-undang lain yang muncul kemudian sebagai bagian dari

hukum perlindungan konsumen. Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan

merupakan salah satu contoh undang-undang yang lahir 12 tahun setelah

48 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen…, h. 57-58.

49 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 1.

50 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa…, h. 58.

51 Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

29

Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya akan memperkuat

sistem hukum perlindungan konsumen, khususnya terkait konsumen di sektor

jasa keuangan.52

a. Perlindungan Konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai

barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk

kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan . Sedangkan pelaku usaha merupakan orang

atau badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI,

baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan

kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.53

Pengaturan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya memberikan

perlindungan secara luas, yakni perlindungan hukum terhadap konsumen

barang dan/atau jasa.54

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat

kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama

disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu,

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan

hukum yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan upaya pemberdayaan

konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya

pemberdayaan ini menjadi penting karena tidak mudah mengharapkan

kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya pelaku usaha berusaha untuk

52 Inosentius Samsul, “Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Pasca Pembentukan Otoritas

Jasa Keuangan (OJK)”, Jurnal Negara Hukum, Vol. 4 No. 2 November 2013, h. 150.

53 Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 74.

54 Agus Suwandono, “Implikasi Pemberlakuan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan

Terhadap Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Dikaitkan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen”, Jurnal Perspektif, Vol. XXI No. 1 Januari 2016, h. 4.

30

mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal

seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen,

baik secara lansung maupun tidak langsung.55

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk

mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan

konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat demi mendorong

lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui

penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.56

Pengaturan melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang

sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi konsumen jasa keuangan

adalah ketentuan mengenai tata cara pencantuman klausula baku. Pasal 18

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai klausula

baku yang melarang pembuatan atau pencantuman klausula baku pada

setiap dokumen dan/atau perjanjian dengan beberapa keadaan tertentu.57

b. Perlindungan Konsumen dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan

Setelah adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011,

pengaturan dan pegawasan sektor perbankan yang semula berada pada

Bank Indonesia sebagai bank sentral di negara kita dialihkan pada Otoritas

Jasa Keuangan.58 Peralihan fungsi pengawasan ini merupakan bagian dari

politik hukum negara yakni melalui Pemerintah untuk menjawab

permasalahan yang dihadapi sebelumnya, mengingat Indonesia telah

beberapa kali dihadapkan pada masalah ekonomi yang berat, seperti

55 Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

56 Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

57 David Y Wonok, “Perlindungan hukum atas Hak-Hak Nasabah Sebagai Konsumen

Pengguna Jasa Bank Terhadap Risiko yang Timbul dalam Penyimpangan Dana”, Jurnal Hukum

Universitas Sam Ratulangi, Vol. 1 No. 2 April-Juni 2013, h. 60.

58 Wisnu Indaryanto, “Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal

Legislasi Indonesia, Vol. 9 No. 3 Oktober 2012, h. 333.

31

terjadinya krisis moneter yang dengan mudah memacu krisis perbankan

seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998.59

Otoritas Jasa Keuangan berfungsi menyelenggarakan sistem

pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan

kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.60 Adapun sektor jasa keuangan

yang dimaksud antara lain di sektor Perbankan, Pasar Modal,

Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa

Keuangan lainnya.61 Sistem pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas

Jasa Keuangan adalah sistem pengawasan terintegrasi, artinya seluruh

kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan

tunduk pada sistem pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.

Sistem pengawasan jasa keuangan secara terintegrasi dimulai di

Skandinavia pada pertengahan tahun 1980-an. Inggris dan Jepang

menerapkan sistem pengawasan terintegrasi pada tahun 1998 dengan

mendirikan United Kingdom Financial Services Authority dan Japan

Financial Services Agency.62

Berdasarkan pasal 7 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang

untuk melakukan pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan, antara

lain:63

1) Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang

meliputi:

a) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran

dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya

59 Sandi F. S. Rasjad, “Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap

Perbankan”, Jurnal Lex et Societis, Vol. III No. 3 April 2015, h. 108.

60 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

61 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

62 Zulkarnain Sitompul, “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal

Legislasi Indonesia, Vol. 9 No. 3 Oktober 2012, h. 344.

63 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

32

manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan

izin usaha bank.

b) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,

produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

2) Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

a) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan

modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio

pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank.

b) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank.

c) Sistem informasi debitur.

d) Pengujian kredit (credit testing).

e) Standar akuntansi bank.

3) Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,

meliputi:

a) Manajemen risiko.

b) Tata kelola bank.

c) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang.

d) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan

4) Pemeriksaan bank.

Kemudian terkait perlindungan konsumen dan masyarakat, Otoritas

Jasa Keuangan berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian

konsumen dan masyarakat, yang meliputi:64

1) Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas

karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya.

2) Meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya

apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat.

64 Pasal 28 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

33

3) Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan konsumen

dan masyarakat diatur dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

(POJK).65 POJK adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan

Komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.66

POJK Nomor 1/POJK.07/2013 mengatur tentang perlindungan

konsumen sektor jasa keuangan. Salah satu bentuk perlindungan

konsumen yang menjadi fokus Otoritas Jasa Keuangan dalam peraturan

ini adalah terkait perjanjian antara lembaga keuangan dengan konsumen,

dimana pelaku usaha jasa keuangan wajib memenuhi keseimbangan,

keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen.67

Dalam hal pelaku usaha jasa keuangan menggunakan perjanjian baku,

perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.68 Ketentuan lebih lanjut terkait perjanjian baku

sendiri diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam Surat Edaran Otoritas

Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.

B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Tema yang berkaitan dengan penelitian ini sebelumnya sudah pernah

dilakukan oleh beberapa penulis. Namun terdapat perbedaan dan persamaan pada

setiap penelitian, termasuk juga perbedaan dan persamaan dalam penelitian ini.

Pertama terdapat tesis dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang

ditulis oleh Wahyuni Tri Wardani pada tahun 2016 yang berjudul “Tinjauan

65 Pasal 31 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

66 Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

67 Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

68 Pasal 22 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

34

Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 dalam

Perjanjian Kredit Perbankan (Studi Kasus pada PT BPR Lumbungartha

Muntilanindo)”.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat penerapan Pasal 54 Peraturan Otoritas

Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor

Jasa Keuangan dalam perjanjian kredit di PT BPR Lumbungartha Muntilanindo

serta bentuk perlindungan konsumen yang dirugikan oleh Pelaku Usaha Jasa

Keuangan (PUJK) setelah berlakunya peraturan tersebut.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa pada prakteknya perjanjian belum sesuai

dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen karena perjanjian ini cenderung

memberatkan dan merugikan konsumen yaitu menekankan pada perlindungan

terhadap hak bank dan belum menunjukan perlindungan terhadap hak debitur

sebagai konsumen. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005

tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, debitur dapat mengadukan

permasalahannya kepada bank yang bersangkutan meskipun kenyataannya

konsumen kesulitan untuk mendapatkan penyelesaian karena memerlukan waktu

untuk menanggapinya. Penerapan Pasal 54 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 juga

telah dilakukan oleh PT BPR Lumbungartha Muntilanindo dengan cara merevisi

klausula-klausula perjanjian yang sebelumnya tidak sesuai dengan ketentuan

POJK.

Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang Penulis lakukan karena

penelitian yang Penulis lakukan lebih terfokus untuk menganalisis klausula-

klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS Al-Salaam dengan melihat

kesesuaiannya secara khusus pada POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan SEOJK Nomor

13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku secara keseluruhan. Sedangkan

penelitian diatas hanya fokus kepada penerapan Pasal 54 POJK Perlindungan

Konsumen, dimana peraturan tersebut mewajibkan PUJK untuk menyesuaikan

perjanjian baku yang sudah dibuat sebelum berlakunya POJK untuk disesuaikan

35

dengan POJK paling lambat pada saat berlakunya POJK yaitu tanggal 6 Agustus

2014. Objek analisis secara kelembagaan pun berbeda, penelitian diatas

melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan Konvensional sedangkan Penulis

melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan Syariah.

Kemudian Tesis dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang ditulis

oleh Yunita Candra Devi pada tahun 2017 dengan judul “Implementasi Surat

Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian

Baku dalam Perjanjian Kredit di Perbankan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten

Sleman”.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pemenuhan asas keseimbangan dan

kewajaran di dalam pembuatan perjanjian baku yang tertuang dalam Surat Edaran

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.

Selain itu, penelitian ini juga menganalisa pengawasan OJK dalam penerapan

surat edaran tersebut. Hasilnya, ketentuan dalam klausul perjanjian kredit di

Perbankan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman belum mencerminkan asas

keseimbangan dan kewajaran, sehingga perjanjian kredit yang telah disesuaikan

belum sepenuhnya memenuhi prinsip keseimbangan dan kewajaran terutama

terkait pencantuman kuasa mutlak dan penetapan harga/suku bunga kredit yang

terlalu tinggi. Pengawasan OJK sendiri hanya difokuskan pada risiko tertentu

yang salah satunya mencakup pemeriksaan atas perjanjian kredit bank namun

belum secara khusus meneliti terkait penerapan asas kesimbangan dan kewajaran,

sehingga masih ada lembaga perbankan yang klausula perjanjian bakunya belum

memenuhi asas keseimbangan dan kewajaran yang berpotensi merugikan

konsumen.

Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang Penulis lakukan karena

penelitian yang Penulis lakukan lebih terfokus untuk menganalisis klausula-

klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS Al-Salaam dengan melihat

kesesuaiannya secara khusus pada POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan SEOJK Nomor

36

13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku secara keseluruhan. Sedangkan

penelitian di atas terfokus pada penerapan asas keseimbangan dan kewajaran

berdasarkan SEOJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku dan

menganalisa bentuk pengawasan dari OJK terhadap penerapan surat edaran

tersebut. Objek analisis secara kelembagaan pun berbeda, penelitian diatas

melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan Konvensional sedangkan Penulis

melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan Syariah.

Selanjutnya ada skripsi dari Fakultas Hukum Universitas Mataram yang

ditulis oleh Nur Anita Mahratun pada tahun 2018 dengan judul “Tinjauan Yuridis

tentang Pencantuman Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi

Kasus Bank Mandiri Kota Mataram)”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum dan menganalisis

perlindungan hukum yang tepat bagi debitur terhadap pencantuman klausula

eksonerasi dalam perjanjian kredit di Bank Mandiri Kota Mataram. Hasil

penelitian menyatakan bahwa perjanjian kredit di Bank Mandiri Kota Mataram

masih menerapkan klausula eksonerasi dalam kontrak perjanjian yang dilarang

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan. Akibat hukum dari penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian

kredit tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum karena tidak terpenuhinya

syarat sah perjanjian mengenai causa yang halal (syarat objektif), sebab telah

bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Pasal 22

ayat (1) dan (3) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

Sektor Jasa Keuangan.

Sedangkan perlindungan hukum bagi debitur terhadap pencantuman klausula

eksonerasi tersebut meliputi perlindungan preventif dan represif. Perlindungan

preventif ini lazimnya melalui peraturan perundang-undangan yang memuat

mekanisme yang menuntun pihak kreditur maupun debitur agar pada saat

37

pelaksanaan perjanjian tidak menimbulkan permasalahan. Sedangkan

perlindungan represif adalah perlindungan yang diberikan terhadap debitur

setelah terjadinya permasalahan dan bersifat menanggulangi, seperti mekanisme

pengaduan konsumen maupun penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi

maupun non-litigasi.

Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang Penulis lakukan karena

penelitian yang akan Penulis lakukan lebih terfokus untuk menganalisis klausula-

klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS Al-Salaam dengan melihat

kesesuaiannya secara khusus pada POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan SEOJK Nomor

13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku. Sedangkan penelitian diatas hanya

mencari klausula eksonerasi yang terdapat dalam kontrak perjanjian kredit di

Bank Mandiri Kota Mataram dan masih menganalisis dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku secara umum, yakni Undang-Undang

Perbankan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan hanya sedikit

menggunakan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

Sektor Jasa Keuangan sebagai bahan analisis. Objek analisis secara kelembagaan

pun berbeda, penelitian diatas melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan

Konvensional sedangkan Penulis melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan

Syariah.

38

BAB III

TENTANG BPRS AL-SALAAM

A. Sejarah BPRS Al-Salaam

PT BPR Amal Salman yang lebih dikenal dengan nama BPR Al Salaam,

didirikan pada tanggal 9 Oktober 1991. Pendiriannya diprakarsai oleh para alumni

Institut Teknologi Bandung (ITB) yang aktif di Masjid Salman. Kebersamaan

selama menimba ilmu di perguruan tinggi telah mendorong para alumni ini untuk

melanjutkan kegiatan amalnya seperti yang telah dilakukan dahulu di Salman ITB

dengan membentuk lembaga yang bergerak di bidang sosial dengan nama

Yayasan Amal Salman. Salah satu bentuk kegiatan yang ditujukan untuk

membantu perekonomian masyarakat adalah dengan mendirikan sebuah lembaga

keuangan berbentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan nama BPR Al

Salaam.

Pendirian BPR Al Salaam juga dimaksudkan untuk turut serta dalam

pelayanan lembaga keuangan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah,

dengan corak khusus yaitu pelayanan perbankan dengan nafas keislaman.

Berbeda dari badan usaha swasta pada umumnya BPR Al Salaam merupakan

usaha yang berlandaskan kebersamaan (Solidarity Corporate) yang tetap

menjunjung tinggi profesionalisme. BPR Al Salaam hadir untuk memberikan

pelayanan “retail banking” bagi kemajuan bersama sesuai dengan motto “Maju

Dalam Kebersamaan”.

Kegiatan operasional BPR ini dimulai pada tanggal 29 Februari 1992

berdasarkan Akte No. 30 dari Abdul Latief, Notaris di Jakarta, diubah dengan

akte No.14 tanggal 5 Desember 1991 dari Abdul Latief, Notaris di Jakarta, yang

telah disetujui oleh Menteri Kehakiman RI dengan Surat Keputusan No.C2-

7937.HT.01.01.TH.91 tanggal 19 Desember 1991 dan didaftarkan pada Kantor

Pengadilan Negeri di Bogor dibawah No. WB.DH.1.PR.01.10.92 serta

39

diumumkan dalam tambahan No.657 dari Berita Negara RI No.13 tanggal 14

Pebruari 1992 dan tambahan No. 5045 dari Berita Negara RI No.70 tanggal 1

September 2000.

Jumlah modal yang disetor pada awal berdiri tahun 1991, sebesar Rp. 69,8

juta dengan jumlah pemegang saham sebanyak 40 orang.

Pada tahun 2003, modal yang disetor telah mencapai Rp. 1,28 milyar dengan

jumlah pemegang saham sebanyak 103 orang. Selanjutnya untuk mendukung

pengembangan telah disetujui peningkatan modal dasar perseroan dalam RUPS

tahun 2003 dari Rp. 1 milyar menjadi Rp. 5 milyar. Peningkatan tersebut juga

telah disetujui oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI melalui SK Nomor : C-

04029 HT.01.04.TH.2004.

Sesuai aspirasi dan idealisme para pemegang saham yang sejak awal

pendirian ingin menjadikan BPR Al Salaam sebagai lembaga keuangan bagi

masyarakat dengan pelayanan perbankan yang berazaskan keislaman, maka sejak

tanggal 3 Juli 2006 BPRS Al Salaam berubah dari BPR konvensional menjadi

BPR Syariah dan hingga tahun 2017, Modal Berjalan BPRS Al-Salaam

dilaporkan sebesar Rp. 40.000.000.000,- dengan 155 pemegang saham.1

B. Visi dan Misi

Visi yang diemban oleh BPRS Al-Salaam adalah “Menjadi Bank Pembiayaan

Rakyat Syariah Terbaik di Indonesia”. Sedangkan misi dari BPRS Al-Salaam

yaitu untuk “Menjadi lembaga keuangan mikro syariah yang menghasilkan

produk jasa perbankan terbaik bagi nasabah dan menciptakan kondisi yang

kondusif bagi pemerataan pembangunan perekonomian sektoral dengan orientasi

1 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/profile/tentang-al-salaam/sejarah-2/ pada

tanggal 20 November 2018.

40

pengembangan usaha kecil dan menengah menuju kesejahteraan bagi stake

holder”.2

C. Fungsi dan Tujuan

1. Fungsi

Sebagaimana perbankan pada umunya, fungsi daripada dibentuknya

BPRS Al-Salaam sendiri tidaklah jauh berbeda. Sebagai sebuah lembaga yang

melakukan penjualan jasa berbasis syariah, BPRS Al-Salaam berfungsi untuk

mengelola uang dari para nasabah maupun stake holder yang ada. Dana

tersebut dikelola dan dikembangkan dalam bentuk pembiyaan kepada para

nasabah dengan sasaran utamanya yakni masyarakat menengah ke bawah.

2. Tujuan

a. Dengan profesionalisme tinggi berusaha memberikan pelayanan kepada

nasabah melalui penyediaan jasa keuangan yang optimal dalam hal

kualitas, kenyamanan, keamanan, dan keuntungan dalam hal berinvestasi.

b. Memberikan tingkat kesejahteraan yang baik bagi seluruh karyawan.

c. Memberikan hasil yang terbaik bagi stake holder.3

D. Dewan Pengawas Syariah

Sebagai Lembaga Keuangan Syariah, PT BPRS Al-Salaam tentunya

menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman utama dalam setiap kegiatan

transaksinya. selain itu, sebagai lembaga keuangan syariah yang beroperasional di

Indonesia, PT BPRS Al-Salaam juga menjadikan Fatwa DSN-MUI sebagai

pedoman dalam setiap kegiatan operasionalnya. Untuk menjamin kepatuhan

2 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/profile/tentang-al-salaam/visi-misi-nilai/

pada tanggal 20 November 2018.

3 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/profile/tentang-al-salaam/visi-misi-nilai/

pada tanggal 20 November 2018.

41

syariah dari PT BPRS Al-Salaam dalam setiap transaksinya, PT BPRS Al-Salaam

diawasi oleh 2 (dua) orang Dewan Pengawas Syariah (DPS), antara lain:4

a. Mohammad Yahya

Dewan Pengawas Syariah PT. BPRS Al Salaam Amal Salman sejak tahun

2006 hingga sekarang. Selama 4 tahun beliau menjabat sebagai Dewan

Komisaris di tempat yang sama. Sebelumnya beliau pernah menjabat sebagai

Managing Director of Petroindo Gunapersada Engineering, Project Director of

Environmental Impact of Radiant Utama Group, dan Production Assistant

BAT.

b. Dr. H. Muhammad Choirin Lc., MA.

Menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah PT BPRS Al-Salaam Amal

Salman sejak Mei 2018. Beliau meraih gelar S3 Doctor of Philosophy (Ph.D)

dalam bidang Ushuluddin di University of Malaya, Kuala Lumpur – Malaysia

pada tahun 2015. Menyandang Licence in Islamic Studies and Arabic (Lc.)

dari The International Islamic Call College, Tripoli – Libya sejak tahun 2008.

Saat ini beliau juga aktif sebagai Peneliti Senior, Pusat Kajian Strategis

(Puskas) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Guru Pengajar di Pondok

Pesantren Modern Islam AlHasan Bekasi, serta dosen Pengajar di Universitas

Islam Syafi’iyah (UIA) Jakarta, Universitas Islam Negeri (UIN), Sultan

Maulana Hasanuddin Serang dan Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darul

Hikmah Bekasi.

Keterlibatan anggota DPS ini terkait dalam pembuatan akad sebagai

pengesah, setelah akad dibuat oleh admin legal drafting di kantor pusat. Apabila

ada akad baru, maka prosesnya pun sama di konfirmasi terlebih dahulu ke DPS

yang terdapat di BPRS Al-Salaam.

4 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/profile/tentang-al-salaam/tim-manajemen-

2/ pada tanggal 20 November 2018.

42

E. Produk-produk di BPRS Al-Salaam

1. Produk Tabungan

Produk-produk tabungan yang ditawarkan oleh BPRS Al-Salaam

kepada masyarakat antara lain:5

a. iB Amanah Tabungan Syariah, merupakan produk tabungan dengan

menggunakan akad Mudharabah. BPRS Al-Salaam mengklaim memiliki

nisbah bagi hasil yang lebih tinggi dibandingkan tabungan di bank lain,

dengan perbandingan nisbah sebesar 25:75 (nasabah : bank) atau setara

dengan 5,02% p.a. (equivalen rate Desember 2018). Untuk dapat

menabung disini, masyarakat hanya perlu memberikan setoran awal

minimal sebesar Rp. 100.000,- dengan setoran selanjutnya minimal

sebesar Rp. 50.000,- dan tidak dikenakan biaya administrasi bulanan.

b. Tabungan iB Amanah BerQurban, merupakan bentuk tabungan dengan

akan Mudharabah kepada nasabah dalam upaya menjalankan ibadah

qurban dengan penyediaan dan penyaluran hewan qurban yang dilakukan

sesuai ketentuan syariah. BPRS Al-Salaam menyediakan pilihan opsi

pembelian atau penyaluran hewan qurban melalui pihak-pihak yang

kredibel dan terpercaya, antara lain PKPU dan Kerajaan Domba. Untuk

dapat menggunakan produk ini, masyarakat hanya perlu melakukan

pembukaan rekening sebesar Rp. 100.000,- dan dibebaskan dari biaya

admin dengan pilihan hewan qurban sebagai berikut:

1) Pembelian dan Penyaluran Hewan Qurban (PKPU)

a) Kambing senilai Rp. 2.000.000,- (berat 23-25 kg)

b) Sapi senilai Rp. 14.000.000,- (berat 210-250 kg)

2) Pembelian dan Penyaluran Hewan Qurban (Kerajaan Domba)

a) Domba/Kambing senilai Rp. 2.300.000,- (berat 20-23 kg)

b) Sapi senilai Rp. 14.500.000,- (berat 200-220 kg)

5 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id di bagian menu Produk-Tabungan pada tanggal

15 Januari 2019.

43

Dengan tingkat bagi hasil yang kompetitif, BPRS Al-Salaam berharap

nasabah tidak hanya mendapatkan keberkahan qurban, tapi juga

keberkahan menabung secara syariah di BPRS Al-Salaam.

c. Tabungan Berencana Tabernas Platinum, merupakan produk tabungan

Mudharabah berjangka bagi masyarakat yang memiliki rencana tertentu,

seperti ibadah umroh/haji, pernikahan, pendidikan, travelling, dan rencana

lainnya. Untuk dapat menggunakan produk ini, masyarakat hanya perlu

melakukan setoran awal minimal sebesar Rp. 200.000,- dan setoran

selanjutnya minimal sebesar Rp. 200.000,- dengan perbandingan nisbah

sejumlah 35:65 (nasabah : bank) atau setara dengan 7,04% p.a. (equivalen

rate Desember 2018) dan tidak akan dikenakan biaya administrasi

bulanan. Setelah jangka waktu 1 tahun, nasabah dapat melakukan

penarikan sebelum jangka waktu berakhir tanpa dikenakan biaya penalti

dan juga dapat melakukan penutupan rekening tanpa dikenakan biaya.

2. Produk Pembiayaan

Produk-produk pembiayaan yang ditawarkan oleh BPRS Al-Salaam

kepada masyarakat antara lain:6

a. Pembiayaan Syariah Kepemilikan Sepeda Motor (PSKSM), merupakan

produk penyaluran dana untuk kepemilikan sepeda motor dengan

menggunakan akad Murabahah.

b. Pembiayaan Syariah Kepemilikan Kendaraan Bermotor (PSKKB),

merupakan produk penyaluran dana untuk kepemilikan mobil, baik mobil

baru maupun mobil bekas dengan menggunakan akad Murabahah.

c. Pembiayaan Al Salaam Syariah (PAS), merupakan produk penyaluran

dana untuk kebutuhan multiguna dengan plafond pembiayaan yang

6 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id di bagian menu Produk-Pembiayaan pada

tanggal 15 Januari 2019.

44

diberikan mulai dari Rp 15 juta dengan menggunakan akad Mudharabah

atau Murabahah.

d. Pembiayaan Syariah Modal Usaha (PSMU), merupakan produk

penyaluran dana untuk kebutuhan modal kerja atau investasi usaha dengan

plafond maksimal Rp 1,5 milyar.

e. Pembiayaan Sahabat Al Salaam iB (PSA iB), merupakan produk

penyaluran dana untuk kebutuhan multiguna dengan plafond yang

diberikan minimal Rp 3 juta dan maksimal Rp 10 juta.

f. Pembiayaan Syariah KPR iB, merupakan produk penyaluran dana untuk

kepemilikan rumah tinggal dan ruko.

g. Pembiayaan Kelompok Tanggung Renteng (KTR), merupakan produk

penyaluran dana berkelompok yang diberikan kepada ibu-ibu yang ingin

mengembangkan usaha mikronya dengan plafond yang diberikan mulai

dari Rp 1 juta dan maksimal Rp 5 juta.

h. Pembiayaan Al Salaam Syariah (PAS) Umroh, merupakan produk Al-

Salaam yang bertujuan untuk membantu mewujudkan rencana ibadah

umroh ke Baitullah dengan memberikan dana talangan perjalanan umroh

yang menggunakan prinsip-prinsip sesuai syariah dengan menggunakan

akad Ijarah Multijasa.

3. Deposito Syariah Rakyat

Deposito Syariah Rakyat merupakan produk investasi yang

menguntungkan, aman dan berkah dari BPRS Al-Salaam. Masyarakat yang

ingin menginvestasikan dananya dengan produk ini, diharuskan melakukan

penempatan deposito minimum sebesar Rp. 2.500.000,- dengan nisbah bagi

hasil sebesar 35:65 (nasabah : bank) atau setara dengan 7,04% p.a. (equivalen

rate Desember 2018) dan nilai bagi hasil tersebut dapat ditransfer ke rekening

nasabah di bank lain.

45

Selama investasi berjalan, nasabah tidak akan dikenakan biaya

administrasi. Kemudian jika nasabah akan melakukan pencairan dana deposito

sebelum jatuh tempo, nasabah tidak akan dikenakan biaya penalti atas

pencairan deposito tersebut.7

4. Refinancing Syariah Al-Salaam

Produk ini merupakan pembiayaan ulang yang diberikan kepada

nasabah BPRS Al-Salaam dengan plafond pembiayaan sebesar Rp.

2.000.000,- s/d Rp. 15.000.000,- dengan menggunakan akad Musyarakah

Mutanaqishah, Murabahah, ataupun Ijarah Multijasa.

Kriteria nasabah yang dimaksud untuk produk ini ialah nasabah

perorangan BPRS Al-Salaam yang pernah menggunakan produk angsuran

motor syariah Al-Salaam baik yang sudah lunas maupun yang masih berjalan

dengan maksimal jangka waktu angsuran hingga 24 bulan (dengan

mempertimbangkan usia maksimal motor).8

7 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/produk-harga/deposito/deposito-syariah-

rakyat-2/ pada tanggal 15 Januari 2019.

8 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/produk-harga/pembiayaan/pembiayaan-

umum/refinancing-syariah-al-salaam/ pada tanggal 15 Januari 2019.

46

BAB IV

ANALISA DAN TEMUAN

Berdasarkan teori serta permasalahan yang ditemukan, maka dengan ini

penulis berusaha mengkaji dan menganalisa setiap permasalahan yang ada di dalam

kontrak dengan melihat kesesuaiannya terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

(selanjutnya disebut POJK Perlindungan Konsumen) dan Surat Edaran Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku (selanjutnya disebut

SEOJK Perjanjian Baku).

Untuk lebih memperkuat hasil analisa, penulis juga merujuk kepada peraturan

perundang-undangan lainnya yang secara khusus mengatur mengenai permasalahan

yang ditemukan agar hasil analisa dapat lebih akurat dalam menjawab setiap

permasalahan yang ada.

Berdasarkan Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah; Kontrak Perjanjian

Musyarakah; Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah; Kontrak

Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Musytarakah; dan Kontrak Perjanjian Ijarah

Multijasa dari BPRS Al-Salaam, penulis telah mengelompokkan setiap permasalahan

yang ada dalam kontrak dan menganalisa sebaik mungkin dengan hasil sebagai

berikut:

A. Perubahan Harga Sewa

1. Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah

Dalam Pasal 4 ayat 2 tentang Jangka Waktu dan Harga Sewa dalam

kontrak perjanjian ini, BPRS Al-Salaam menentukan bahwa bank memiliki

“hak penuh” untuk menentukan kenaikan harga sewa secara berkala.1

1 Pasal 4 ayat 2 Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah: “Harga sewa disepakati

sebesar Rp. ……………,- (……) /Bulan dengan ketentuan Bank memiliki hak penuh untuk menentukan

kenaikan Harga Sewa secara berkala yang besarnya disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang

berkembang.”

47

Ketentuan yang mengatur mengenai perubahan manfaat, biaya, risiko,

syarat, dan segala ketentuan yang tercantum dalam dokumen perjanjian

terdapat dalam Pasal 12 POJK Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 12

POJK Perlindungan Konsumen mengatur bahwa setiap perubahan manfaat,

biaya, risiko, syarat dan ketentuan lainnya dalam perjanjian wajib

diinformasikan terlebih dahulu kepada nasabah dengan jangka waktu paling

lambat 30 hari kerja sebelum berlakunya perubahan tersebut.

Penggunaan kata “hak penuh” dalam pasal tersebut jika

diinterpretasikan dapat berarti wewenang yang tidak terbatas, dalam hal ini

terkait dengan penentuan kenaikan harga sewa. Padahal dalam setiap

perubahan harga sewa, meskipun POJK Perlindungan Konsumen tidak

mengatur mengenai kewenangan nasabah, namun bank perlu memberikan

informasi terlebih dahulu kepada nasabah sesuai dengan Pasal 12 POJK

Perlindungan Konsumen. Bahkan dalam Pasal 12 POJK Perlindungan

Konsumen memberikan hak kepada nasabah untuk tidak menyetujui

perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, ataupun ketentuan lainnya dalam

perjanjian tanpa dikenakan ganti rugi apapun oleh pihak bank.

Selain itu, ketentuan dalam fatwa DSN tentang Musyarakah

Mutanaqisah yang memungkinkan aset menjadi objek Ijarah dimana nasabah

dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati,2 maka

berlaku pula fatwa DSN tentang review ujrah yang menentukan bahwa

besaran ujrah boleh ditinjau ulang untuk periode berikutnya, namun harus

dengan cara yang diketahui dengan jelas (formula tertentu oleh kedua belah

pihak.3

Sehingga penggunaan kata “hak penuh” perlu dievaluasi lagi oleh

pihak Legal Drafter BPRS Al-Salaam agar tidak terkesan over power dan

2 Lihat bagian Keempat mengenai Ketentuan Khusus nomor 2 dalam Fatwa DSN Nomor

73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah.

3 Lihat bagian Kedua mengenai Ketentuan Hukum nomor 2 huruf b dalam Fatwa DSN Nomor

56/DSN-MUI/V/2007 tentang Ketentuan Review Ujrah pada Lembaga Keuangan Syariah.

48

merugikan hak nasabah atau setidaknya cukup diganti dengan kata

“wewenang” saja.

B. Berakhirnya Masa Sewa

1. Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah

Pasal 4 ayat 3 tentang Jangka Waktu dan Harga Sewa dalam perjanjian

ini melarang nasabah untuk mengakhiri sewa sebelum berakhirnya jangka

waktu sewa.4

Sedangkan dalam Pasal 12 ayat 3 POJK Perlindungan Konsumen

menyatakan apabila konsumen tidak menyetujui terhadap perubahan

persyaratan produk maka konsumen berhak memutuskan hubungan

kontraktual tersebut tanpa dikenakan ganti rugi apapun.5 Sehingga Pasal 4

ayat 3 Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah harus

dihapuskan/ditiadakan karena telah bertentangan dengan POJK Perlindungan

Konsumen.

Selain itu pasal 4 ayat 3 ini juga kontradiktif dengan Pasal 16 ayat 1

Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah6 itu sendiri yang isinya telah

sesuai dengan ketentuan POJK Perlindungan Konsumen. Hal ini tentunya

berpotensi membingungkan nasabah yang terikat dengan kontrak tersebut.

Terlebih lagi pasal 4 ayat 3 posisinya berada di awal kontrak, sehingga apabila

nasabah tidak teliti membaca kontrak serta peraturan terkait, maka hal ini

dapat membahayakan dan merugikan pihak nasabah yang akan berfikir bahwa

dirinya tidak dapat mengakhiri sewa sebelum jangka waktu berakhir.

Maka dari itu, menurut penulis ketentuan dalam Pasal 4 ayat 3 ini

harus dihapuskan atau setidaknya diganti dengan ketentuan bahwa nasabah

4 Pasal 4 ayat 3 Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah: “Nasabah tidak dapat

mengakhiri sewa sebelum berakhirnya jangka waktu sewa”.

5 Lihat Pasal 12 ayat 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

6 Pasal 16 ayat 1 Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah: “Masa sewa akan berakhir

apabila tidak terjadi kesepakatan atas peninjauan kembali Harga Sewa”.

49

dapat mengakhiri masa sewa sebelum berakhirnya jangka waktu sewa dengan

syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 perjanjian ini. Mengingat dalam

Pasal 16 ini berisi segala macam ketentuan mengenai syarat maupun kondisi

yang harus dipenuhi oleh nasabah apabila ingin mengakhiri masa sewa.

C. Rincian Biaya Administrasi

1. Kontrak Ijarah Multijasa

Ketentuan dalam Pasal 3 ayat 1 Kontrak Ijarah Multijasa tentang

Biaya Administrasi mewajibkan nasabah untuk membayar segala macam

biaya tanpa ada rincian detail terhadap besaran nilai pada setiap biaya yang

harus dikeluarkan.7

Pasal 11 ayat 2 huruf a POJK Perlindungan Konsumen menyatakan

bahwa syarat dan ketentuan dalam suatu produk sekurang-kurangnya harus

memuat tentang rincian biaya, manfaat, dan risiko.8 Sehingga seluruh jenis

biaya yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 kontrak Ijarah Multijasa perlu di

rinci oleh pihak Legal Drafter BPRS Al-Salaam agar nasabah dapat

mengetahui besaran biaya yang harus dikeluarkan dari setiap jenis biaya yang

dibebankan kepadanya.

Bahkan tidak hanya mencantumkan biaya secara rinci di dalam

kontrak, tetapi sebelum ditandatangani dokumen kontrak tersebut oleh

nasabah, BPRS Al-Salaam juga berkewajiban untuk memberikan informasi

secara langsung mengenai biaya yang harus ditanggung oleh konsumen

sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 1 POJK Perlindungan Konsumen.9

7 Pasal 3 ayat 1 Kontrak Ijarah Multijasa tentang Biaya Administrasi: “Nasabah diwajibkan

membayar seluruh biaya administrasi, pembukaan tabungan, asuransi, dan notaris sebesar Rp .....

sebelum atau pada saat Perjanjian ditandatangani”.

8 Lihat Pasal 11 ayat 2 huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013

tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

9 Lihat Pasal 10 ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

50

Selain itu pihak BPRS Al-Salaam juga berkewajiban untuk

menyediakan ringkasan informasi produk secara tertulis (seperti brosur) yang

isinya memuat tentang manfaat, risiko, biaya produk, syarat dan ketentuan

lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 POJK Perlindungan Konsumen.10

D. Jaminan

1. Kontrak Perjanjian Musyarakah, Mudharabah Musytarakah, dan Ijarah

Multijasa

Pasal 11 ayat 2 Kontrak Perjanjian Musyarakah, Pasal Pasal 8 ayat 2

Kontrak Perjanjian Mudharabah Musytarakah, dan Pasal 4 ayat 2 Kontrak

Perjanjian Ijarah Multijasa berisi substansi dan kalimat yang sama mengenai

jaminan yang menyatakan bahwa harta kekayaan/hak milik nasabah dengan

sendirinya menjadi jaminan atas penyelesaian hutang, dan bank diberi kuasa

untuk menjualnya.11

Pasal 21 POJK Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa Pelaku

Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan

kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen,12 yang selanjutnya

diperjelas dalam SEOJK Perjanjian Baku yang menyatakan bahwa klausula

dalam Perjanjian Baku dilarang memuat klausula eksonerasi/eksemsi yang

isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban PUJK (Pelaku Usaha

Jasa Keuangan), atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban

Konsumen.13

10 Lihat Pasal 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

11 Isi dari pasal-pasal mengenai jaminan tersebut yaitu: “Bahwa harta kekayaan/hak milik

NASABAH dengan sendirinya menjadi jaminan pula atas penyelesaian hutangnya. BANK diberi kuasa

untuk menjualnya apabila Barang Jaminan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 belum dan atau tidak

menutupi seluruh kewajiban NASABAH”.

12 Lihat Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

13 Lihat Bagian II Angka 3 huruf a mengenai Klausula dalam Perjanjian Baku dalam Surat

Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.

51

Sedangkan isi dari pasal-pasal mengenai jaminan dalam perjanjian

diatas telah menambah hak PUJK, dalam hal ini BPRS Al-Salaam, untuk

dengan sendirinya turut menguasai/memiliki harta kekayaan nasabah yang

bukan merupakan jaminan atas hubungan kontraktual yang terjadi serta

menjualnya apabila barang yang sudah dijaminkan sebelumnya belum

menutupi utang nasabah.

Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia, dalam Pasal 34 ayat 2 menentukan bahwa apabila hasil

eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung

jawab atas utang yang belum terbayar.14 Artinya, jika barang yang sudah

dijaminkan sebelumnya oleh nasabah namun belum mampu menutupi

kewajiban utang nasabah, maka sisa utang tersebut akan menjadi tanggung

jawab nasabah yang harus dipenuhi dengan cara pelunasan, bukan dengan

secara tiba-tiba bank mengambil harta kekayaan/hak milik nasabah diluar

barang jaminan untuk selanjutnya dijual oleh bank demi menutupi seluruh

kewajiban utang nasabah.

Meskipun Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan segala barang-barang

bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang

akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu,

tetapi maksud dalam pasal ini adalah barang jaminan umum, bukan barang

jaminan khusus. Jaminan umum ini timbul dari undang-undang. Tanpa adanya

perjanjian yang diadakan oleh para pihak lebih dulu, para kreditur semuanya

secara bersama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-

undang itu (Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata).15

Jaminan seperti itu diberikan kepada setiap kreditur terhadap seluruh

harta debitur dan karenanya disebut jaminan umum. Setiap kreditur

14 Lihat Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

15 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum

Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2001), cet. ke-2, h. 45.

52

menikmati hak jaminan umum seperti itu. Namun, hal itu tidak berarti bahwa

kreditur dapat menjual seluruh kekayaan debitur lalu mengambil suatu bagian

sebanding tertentu dari hasil penjualan tiap-tiap benda yang membentuk

kekayaan tersebut. Penjualan seluruh harta kekayaan debitur hanya terjadi

dalam hal ada kepailitan dan dalam penerimaan warisan dengan hak utama

untuk mengadakan pencatatan (penerimaan warisan secara beneficiair).16

Sedangkan dalam kontrak ini, sudah digunakan jaminan khusus berupa

kebendaan yang selanjutnya dapat dilakukan parate eksekusi, yakni bank

dapat mengeksekusi langsung barang yang sudah dijaminkan tanpa perlu

melalui proses pengadilan.

Namun terkait pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tanpa

pertolongan hakim (parate eksekusi) tanpa fiat eksekusi seperti dimaksud oleh

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

mengatakan apabila debitur cedera janji maka pemegang hak tanggungan

berhak menjual objek hak tanggungan tetapi secara teoritis pasal tersebut

terkendala dengan Pasal 26 undang-undang itu sendiri, maka untuk saat ini

pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dilaksanakan sebagaimana dimaksud

Pasal 224 HIR yaitu harus dilaksanakan atas perintah ketua pengadilan.17

Berdasarkan yurisprudensi MA Nomor 3021K/Pdt/1984 tanggal 30

Juni 1984, maka pelaksanaan parate eksekusi batal demi hukum karena

eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b KUHPerdata

jo. Pasal 11 ayat (2) huruf e tetap memerlukan fiat eksekusi pengadilan.18

Mencermati isi kontrak lebih lanjut, pada ayat selanjutnya dari

masing-masing pasal dalam kontrak diatas, dapat dikatakan telah sesuai

16 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2007), cet. ke-5, h. 5.

17 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik, (Depok:

Kencana, 2017), h. 202

18 ibid.

53

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Isi ayat selanjutnya dari

masing-masing pasal diatas menyatakan:

“BANK berhak menyita dan menjual Barang Jaminan secara umum maupun

dibawah tangan untuk sejumlah harga dan menurut syarat-syarat serta

perjanjian yang disetujui oleh NASABAH kemudian diperhitungkan dengan

seluruh kewajibannya dan apabila hasil penjualan tersebut melebihi jumlah

seluruh kewajiban maka BANK akan mengembalikan kelebihannya kepada

NASABAH, sebaliknya apabila terdapat kekurangan maka kekurangan

tersebut harus dipenuhi oleh NASABAH.”

Isi pasal diatas inilah yang layak dicantumkan dalam kontrak

perjanjian, karena sesuai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana ketika terjadi eksekusi jaminan dan

nilai penjualan melebihi nilai penjaminan, maka bank akan mengembalikan

kelebihan tersebut kepada nasabah. Begitupun sebaliknya, apabila hasil

eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, nasabah tetap bertanggung

jawab atas utang yang belum terbayar.19 Selain itu isi pasal diatas juga tidak

mengandung klausula eksonerasi yang menyatakan penambahan hak kepada

bank untuk memiliki harta kekayaan/hak milik nasabah di luar barang

jaminan, yang secara tegas dilarang dalam SEOJK Perjanjian Baku.

Jika mencermati lebih lanjut, bagian akhir dari ayat diatas menyatakan

“apabila terdapat kekurangan maka kekurangan tersebut harus dipenuhi oleh

NASABAH” yang mana menurut penulis ketentuan ini kontradiktif dengan

ketentuan dalam Pasal 11 ayat 2 Kontrak Perjanjian Musyarakah, kemudian

Pasal 8 ayat 2 Kontrak Perjanjian Mudharabah Musytarakah, dan Pasal 4 ayat

2 Kontrak Perjanjian Ijarah Multijasa yang menyatakan bahwa bank akan

menjual harta kekayaan/hak milik nasabah di luar barang jaminan apabila

19 Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

54

penjualan dari barang yang sudah dijaminankan sebelumnya belum dan atau

tidak menutupi seluruh kewajiban nasabah.

Isi kontrak yang kontradiktif ini tentunya dapat membingungkan

nasabah sebagai konsumen. Maka dari itu, menurut penulis ketentuan dalam

Pasal 11 ayat 2 Kontrak Perjanjian Musyarakah, kemudian Pasal 8 ayat 2

Kontrak Perjanjian Mudharabah Musytarakah, dan Pasal 4 ayat 2 Kontrak

Perjanjian Ijarah Multijasa perlu dihilangkan dari dalam kontrak tersebut oleh

legal drafter BPRS Al-Salaam karena dapat merugikan konsumen dan secara

jelas telah bertentangan dengan ketentuan dalam SEOJK Perjanjian Baku

maupun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

E. Penyelesaian Perselisihan

1. Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah

Pasal 26 Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah

tentang Penyelesaian Perselisihan hanya menentukan mekanisme

penyelesaian sengketa secara musyawarah untuk mufakat.20

Padahal dalam pasal 39 ayat 1 POJK Perlindungan Konsumen

menyatakan apabila tidak terjadi kesepakatan penyelesaian melalui sistem

pengaduan konsumen, maka konsumen dapat melakukan penyelesaian

sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Artinya ketika tidak

tercapai kesepakatan penyelesaian melalui jalur pengaduan (musyawarah),

maka nasabah dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau

melalui pengadilan.21

Sedangkan dalam kontrak Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah,

pasal penyelesaian perselisihan hanya dicantumkan sebatas diselesaikan

20 Pasal 26 Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah: “Apabila di kemudian

hari terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran atas hal-hal yang tercantum di dalam Akad ini atau

terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan Akad ini, para pihak sepakat untuk

menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat”.

21 Lihat Pasal 39 ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

55

secara musyawarah, ini jelas bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Kemudian dalam Fatwa DSN Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang

Musyarakah Mutanaqishah juga turut mengatur mengenai penyelesaian

perselisihan di antara para pihak. Ketentuan dalam fatwa tersebut mengatakan

jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai prinsip

syariah.22 Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam fatwa

tersebut tentunya termasuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dimana sebelumnya telah

disebutkan terkait ketentuan penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh

konsumen.

Peraturan perundang-undangan lainnya tergantung daripada

mekanisme penyelesaian sengketa yang akan ditempuh oleh para pihak. Jika

penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur di luar pengadilan, maka akan

berlaku Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa serta peraturan lain dibawah undang-undang

yang mengatur tentang tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa melalui

lembaga arbitrase (non-litigasi). Sedangkan jika penyelesaian sengketa

dilakukan melalui jalur pengadilan, maka akan berlaku Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta peraturan perundang-

undangan lain yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur tentang

mekanisme beracara di pengadilan.

Sehingga ketentuan Pasal 26 dalam kontrak perjanjian Musyarakah

Mutanaqishah perlu dibuatkan poin-poin tambahan selepas mekanisme

musyawarah tidak mencapai kata kesepakatan di antara kedua belah pihak.

22 Lihat bagian kelima mengenai penutup dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor

73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah.

56

Ketentuan tambahan yang dimaksud antara lain, apakah penyelesaian

sengketa akan dilakukan melalui Basyarnas seperti halnya dalam kontrak

perjanjian Murabahah, atau akan dilakukan melalui Pengadilan Agama

sebagaimana telah ditentukan dalam kontrak perjanjian Musyarakah,

Mudharabah Musytarakah, dan Ijarah Multijasa.

2. Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah

Pasal 10 ayat 5 kontrak Murabahah ini menyatakan penyelesaian

perselisihan dilakukan melalui lembaga di luar pengadilan, yaitu Badan

Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).23 Hanya saja dalam pelaksanaan

eksekusi terhadap putusan Basyarnas tersebut, legal drafter dari BPRS Al-

Salaam keliru dalam mencantumkan dasar hukum pelaksanaan eksekusi.

Dalam kontrak tertulis dasar hukumnya adalah Surat Edaran Mahkamah

Agung No. 1 tahun 2008, yang mana Surat Edaran tersebut terkait tentang

Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan. Seharusnya yang

dicantumkan adalah Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 tahun 2008

tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah, itupun sudah tidak

berlaku sejak keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.

Kemudian Pasal 10 ayat 3 menyatakan bahwa putusan yang ditetapkan

oleh Basyarnas merupakan keputusan pada tingkat pertama dan terakhir.24

Sedangkan apabila kita melihat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada Pasal 70

mengatur bahwasanya para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan

23 Pasal 10 ayat 5 Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah: “Mengenai pelaksanaan

(eksekusi) putusan BASYARNAS, sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung No. I tahun

2008, Para Pihak sepakat bahwa Para Pihak dapat meminta pelaksanaan (eksekusi) putusan

BASYARNAS tersebut pada setiap Pengadilan Agama diwilayah hukum Republik Indonesia”.

24 Pasal 10 ayat 3 Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah: “Para Pihak sepakat, dan

dengan ini mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa putusan yang ditetapkan oleh

BASYARNAS tersebut sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir”.

57

apabila putusan arbitrase tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai

berikut:

1) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

2) Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,

yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

3) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Permohonan pembatalan putusan tersebut harus diajukan dalam waktu

paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan

arbitrase kepada Panitera Pengadilan Agama.25

Apabila permohonan tersebut dikabulkan, Ketua Pengadilan Agama

menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian dari

putusan arbitrase. Putusan pembatalan ditetapkan dalam waktu paling lama 30

hari sejak permohonan pembatalan dilakukan, dan terhadap putusan tersebut

dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus

dalam tingkat pertama dan terakhir.26

Merujuk kepada Pasal 21 POJK tentang Perlindungan Konsumen,

ditentukan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi

keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan

Konsumen.27 Maka isi dari Pasal 10 ayat 3 dalam Perjanjian Murabahah ini

25 Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa masih secara umum menentukan Pengadilan Negeri sebagai lembaga peradilan

yang berhak melakukan pembatalan putusan arbitrase. Sementara sejak diundangkannya Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sengketa ekonomi syariah harus diselesaikan

dalam ruang lingkup Pengadilan Agama. Selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-

X/2012 telah secara tegas menyatakan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi

kewenangan absolut dari Pengadilan Agama, termasuk kepada eksekusi putusan Basyarnas.

26 Lihat Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. 27 Lihat Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

58

telah menciderai prinsip keadilan yang harus ada dalam suatu perjanjian

dengan konsumen.

Dengan adanya pasal tersebut yang menyatakan bahwa putusan

Basyarnas harus diakui sebagai putusan pertama dan terakhir, maka bank telah

melakukan pembatasan hak hukum nasabah dalam upaya mencari keadilan di

mata hukum apabila terjadi sengketa nantinya. Bahkan dengan adanya pasal

ini, bank juga akan turut dirugikan mengingat ketentuan dalam Pasal 10 ayat 3

Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah telah mengikat kedua belah pihak

yang menandatangani perjanjian. Sehingga apapun isi putusan Basyarnas

nantinya, tidak dapat dilakukan pembatalan apabila terdapat kerugian28 untuk

salah satu pihak.

Sehingga menurut penulis, ketentuan dalam Pasal 10 ayat 3 Kontrak

Perjanjian Pembiayaan Murabahah perlu dihilangkan karena akan membuat

nasabah sebagai konsumen berfikir bahwa tidak ada upaya hukum lain yang

dapat ditempuh oleh mereka. Hal ini tentunya akan cukup merugikan dari sisi

konsumen yang pada umumnya merupakan masyarakat menengah kebawah

dan masi awam terhadap hukum. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat 3 tersebut

juga sebenarnya sudah dijamin dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang

menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan

hukum tetap dan mengikat para pihak. Dengan demikian, tanpa perlu

dicantumkan dalam kontrak perjanjian, dapat dikatakan bahwa pada

prinsipnya putusan arbitrase adalah putusan tingkat pertama dan terakhir (final

and binding).29

28 Kerugian yang dimaksud hanya terbatas pada apa yang tercantum dalam Pasal 70 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

29 Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan

Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 64.

59

3. Kontrak Perjanjian Musyarakah, Mudharabah Musytarakah, dan Ijarah

Multijasa

Pasal 19 ayat 3 Kontrak Perjanjian Musyarakah, Pasal 15 ayat 3

Kontrak Perjanjian Mudharabah Musytarakah, dan Pasal 8 ayat 3 Kontrak

Perjanjian Ijarah Multijasa sama-sama menyatakan bahwa penyelesaian

perselisihan yang dilakukan di Pengadilan Agama akan diakui oleh kedua

belah pihak sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.30 Hal ini tentu

saja menghilangkan hak hukum nasabah untuk melakukan upaya hukum31

lainnya apabila keputusan Pengadilan Agama tersebut dirasa kurang adil.

Upaya hukum yang dimaksud antara lain upaya Banding, Kasasi, hingga

upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali. Ketentuan dalam

kontrak ini juga dapat menjadi boomerang kepada BPRS Al-Salaam sendiri

sebagai pihak yang membuat perjanjian apabila dalam penyelesaian

perselisihan, pihak nasabah yang dimenangkan oleh pengadilan.

Dasar hukum pelaksanaan upaya hukum Banding sendiri terdapat

dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang mengatur bahwa Putusan pengadilan tingkat pertama dapat

dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang

bersangkutan.32 Banding sendiri merupakan suatu bentuk permohonan

pemeriksaan kembali terhadap putusan pengadilan tingkat pertama

(Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atas putusan tersebut, ke

pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) yang mewilayahi

30 Isi dari masing-masing pasal tersebut yaitu: “Para Pihak sepakat, dan dengan ini

mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama

tersebut sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir”. 31 Upaya Hukum ialah suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang bagi seseorang maupun badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai suatu tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas atas adanya putusan hakim yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, karena hakim itu juga seorang manusia yang bisa secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan salah mengambil keputusan atau memihak kepada salah satu pihak. Menurut Yahya Harahap, upaya hukum merupakan upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah…, h. 181. 32 Lihat Pasal 26 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

60

pengadilan tingkat pertama yang memutus tersebut, dalam tenggang waktu

tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.33

Kemudian dasar hukum upaya hukum Kasasi terdapat dalam Pasal 23

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

mengatur bahwa putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan

kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan.34

Kasasi sendiri berarti memecahkan atau membatalkan sehingga suatu

permohonan terhadap putusan pengadilan di bawahnya diterima oleh

Mahkamah Agung, hal itu berarti putusan tersebut dapat dibatalkan oleh

Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan

hukumnya.35

Dalam hal kasasi ini, Mahkamah Agung hanya memeriksa dan

memutuskan ada atau tidaknya pelampauan batas wewenang (transgression),

salah menerapkan hukum atau peraturan yang berlaku (misjuge), atau karena

adanya kelalaian dalam cara mengadili menurut syarat-syarat yang ditentukan

peraturan perundang-undangan (negligent). Tingkat kasasi tidak berwenang

memeriksa seluruh perkara seperti kewenangan yang dimiliki peradilan

tingkat pertama dan tingkat banding.36

Selanjutnya dasar hukum upaya hukum Peninjauan Kembali terdapat

dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat

mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat

hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.37 Terhadap

putusan Peninjauan Kembali inilah yang merupakan putusan pada tingkat

33 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah…, h. 183.

34 Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

35 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah…, h. 183.

36 ibid. 37 Lihat Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

61

terakhir sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang

Mahkamah Agung.38 Berdasarkan pasal tersebut, putusan Peninjauan Kembali

bersifat tingkat pertama dan terakhir. Tidak ada upaya hukum luar biasa lain

yang terbuka untuk mengoreksinya lagi. Tertutup semua upaya hukum, demi

tegaknya kepastian hukum (legal certainty).39 Dengan demikian pada

ketentuan pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung melekat

prinsip, salah dan keliru atau tidak putusan Peninjauan Kembali, harus

dianggap putusan yang benar dan adil sehingga tidak bisa lagi dikoreksi oleh

lembaga mana pun.40

Merujuk kepada Pasal 21 POJK tentang Perlindungan Konsumen,

ditentukan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi

keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan

konsumen.41 Maka isi dari pasal-pasal dalam perjanjian diatas ini telah

menciderai prinsip keadilan yang harus ada dalam suatu perjanjian dengan

konsumen. Dalam Encyclopedia of American Judicial System II dikatakan,

bagi setiap orang yang kalah pada peradilan bawahan harus diberi hak

mengajukan banding/kasasi kepada pengadilan yang lebih tinggi (for every

loser in trial court should have a right to appeal to higher court).42

Dengan adanya pasal tersebut yang menyatakan bahwa putusan

Pengadilan Agama harus diakui sebagai putusan pertama dan terakhir, maka

bank telah melakukan pembatasan hak hukum nasabah dalam upaya mencari

keadilan di mata hukum apabila terjadi sengketa nantinya. Bahkan dengan

38 Pasal 70 ayat (2) menyatakan “Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan

kembali pada tingkat pertama dan terakhir”.

39 Sekiranya terhadap putusan Peninjauan Kembali ada dan terbuka lagi upaya hukum, proses

pemeriksaan dan penyelesaian suatu perkara, akan berlanjut berkepanjangan tanpa akhir (endless). M.

Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara

Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 449.

40 ibid.

41 Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

42 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung…, h. 234.

62

adanya pasal ini, bank juga akan turut dirugikan mengingat ketentuan dalam

pasal-pasal tersebut telah mengikat kedua belah pihak yang menandatangani

perjanjian. Sehingga apapun isi putusan Pengadilan Agama nantinya, tidak

dapat dilakukan upaya hukum lainnya (Banding, Kasasi, hingga Peninjauan

Kembali) apabila terdapat kerugian untuk salah satu pihak, mengingat adanya

asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak.

F. Kewajiban Memuat Pernyataan dalam SEOJK Perjanjian Baku

Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014

tentang Perjanjian Baku, pada bagian III angka 4 menyatakan:

“Dalam Perjanjian Baku wajib memuat pernyataan sebagai berikut:

PERJANJIAN INI TELAH DISESUAIKAN DENGAN KETENTUAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERMASUK KETENTUAN

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN.”

Sedangkan dalam Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah dan

Mudharabah Musytarakah pernyataan tersebut belum tercantum di dalam kontrak.

Sementara dalam Kontrak Perjanjian Musyarakah, Musyarakah Mutanaqishah,

dan Ijarah Multijasa telah mencantumkan ketentuan tersebut di bagian akhir

kontrak. Dalam hal ini perlu ada kejelian lebih dari pihak legal drafter BPRS Al-

Salaam agar dapat menyamakan setiap ketentuan umum yang dapat dimasukan di

setiap kontrak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan ini tidak hanya untuk dicantumkan di dalam kontrak, melainkan

kontrak tersebut juga sudah harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan

termasuk peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Namun berdasarkan analisa pada

subbab-subbab sebelumnya, kontrak perjanjian yang sudah mencantumkan

ketentuan ini ternyata masih ditemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan

63

ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan Otoritas Jasa

Keuangan.

Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian lebih dari pihak legal drafter BPRS

Al-Salaam untuk tidak hanya sekedar mencantumkan ketentuan ini, tetapi juga

harus menyesuakan setiap klausula yang ada di dalam kontrak dengan peraturan

perundang-undangan termasuk peraturan Otoritas Jasa Keuangan agar tidak

merugikan nasabah sebagai konsumen.

64

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan terhadap permasalahan yang

penulis temukan di dalam kontrak-kontrak pembiayaan yang ditawarkan oleh

BPRS Al-Salaam kepada nasabah, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam

kontrak-kontrak pembiayaan tersebut masih ditemukan beberapa klausula yang

dapat merugikan nasabah sebagai konsumen. Seperti klausula mengenai

perubahan harga sewa, berakhirnya masa sewa, biaya admnistrasi, jaminan, dan

penyelesaian perselisihan.

Permasalahan dalam klausula-klausula tersebut dinilai dapat merugikan

konsumen karena belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang sudah diatur oleh

Otoritas Jasa Keuangan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan maupun

dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang

Perjanjian Baku. Selain itu, ada pula kewajiban untuk memuat pernyataan sesuai

SEOJK Perjanjian Baku yang belum dicantumkan dalam beberapa kontrak

perjanjian, sedangkan di kontrak lainnya sudah tercantum.

Kemudian ketika ditarik lebih lanjut, permasalahan dalam klausula mengenai

jaminan dan penyelesaian perselisihan juga belum sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai permasalahan

tersebut. Diantara peraturan perundang-undangan tersebut antara lain Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Fatwa DSN

Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah.

65

B. Rekomendasi

Setelah penulis melakukan analisa terhadap kontrak-kontrak pembiayaan di

BPRS Al-Salaam, maka saran yang dapat penulis sampaikan kepada pihak BPRS

Al-Salaam maupun nasabah antara lain:

1. Kepada BPRS Al-Salaam, agar dapat selalu melakukan evaluasi terhadap

setiap ketentuan yang dimuat dalam kontrak sehingga dapat menyesuaikan

dengan peraturan yang berlaku demi meminimalisir kerugian yang akan

diterima oleh nasabah sebagai konsumen maupun kerugian yang akan

diterima oleh BPRS Al-Salaam sendiri.

2. Kepada legal drafter BPRS Al-Salaam, diharapkan dapat lebih teliti lagi

dalam memuat setiap ketentuan di dalam kontrak perjanjian agar tidak

terdapat perbedaan ketentuan umum yang dicantumkan dalam setiap kontrak.

3. Kepada nasabah yang akan mengajukan pembiayaan di BPRS Al-Salaam

harus dapat lebih teliti dan memahami setiap ketentuan yang ada di dalam

kontrak perjanjian. Selain itu nasabah juga diharapkan dapat memahami setiap

peraturan terkait kontrak untuk menghindari adanya kerugian apabila terjadi

sengketa di kemudian hari.

66

DAFTAR PUSTAKA

Ais, Chatamarrasjid. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana, 2014.

AK, Syahmin. Hukum Kontrak International. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2006.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994.

Dalman. Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.

Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di

Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Djamil, Fathurrahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

FORDEBI & ADESy. Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi

dan Bisnis Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Buku Kedua). Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

Harahap, M. Yahya. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan

Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Hartini, Rahayu. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme

Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. Jakarta: Kencana,

2009.

67

Hernoko, Agus yudha. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial. Jakarta: Kencana, 2010.

H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar

Grafika, 2013.

H.S, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata.

Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2006.

Hutagalung, Sophar Maru. Kontrak Bisnis di ASEAN Pengaruh Sistem Hukum

Common Law dan Civil Law. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Ibrahim, Johannes & Lindawaty Sewu. Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia

Modern. Bandung: PT Refika Aditama, 2004.

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah. Penerjemah Khikmawati

(Kuwais). Jakarta: Amzah, 2009.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika,

2011.

Latif, Azharuddin Latif dan Nahrowi. Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum

Positif dan Hukum Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.

Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan

Agama. Jakarta: Kencana, 2012.

Mardani. Hukum Perikatan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2008.

Miru, Ahmad. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2007.

68

Muliadi, Ahmad. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Akademia Pratama, 2013.

Nugroho, Susanti Adi. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari

Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Kencana, 2008.

Purwaningsih, Endang. Hukum Bisnis. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Sabarguna, Boy S. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif. Jakarta: UI Press, 2008.

Satrio, J. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2007.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: Rajawali Press, 2006.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum

Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta,

2001.

Suadi, Amran. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik. Depok:

Kencana, 2017.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,

2009.

Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Suratman dan Philips Dillah. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2015.

Syahmin. Hukum Kontrak Internasional. Jakarta: PT RajaGafindo Persada, 2006.

Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes. Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and

Return. Penerjemah M. Sobirin Asnawi, dkk. Bandung: Nusamedia,

2007.

69

Wasito, Hermawan. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1993.

Z, A. Wangsawidjaja. Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: Gramedia, 2012.

Skripsi dan Jurnal Ilmiah

Agung, Firdaus. “Maqashid Al-Syari’ah Imam Al-Syathibiy dan Relevansinya

Dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia.” Skripsi Fakultas Syari’ah,

Universitas Negeri Malang, 2008.

Hakim, Abdurrahman. “Format Akad Kontraktual Lembaga Keuangan Syariah”.

Jurnal Misykat. Vol. 3, No. 01, Juni, 2018.

Indaryanto, Wisnu. “Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal

Legislasi Indonesia. Vol. 9, No. 3, Oktober, 2012.

Rasjad, Sandi F. S. “Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap

Perbankan”. Jurnal Lex et Societis. Vol. III, No. 3, April, 2015.

Samsul, Inosentius. “Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Pasca Pembentukan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”. Jurnal Negara Hukum. Vol. 4, No. 2,

November, 2013.

Satory, Agus. “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis

Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia”.

Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 2, No. 2, 2015.

Sitompul, Zulkarnain. “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”. Jurnal

Legislasi Indonesia. Vol. 9, No. 3, Oktober, 2012.

70

Suwandono, Agus. “Implikasi Pemberlakuan Undang-Undang Otoritas Jasa

Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Dikaitkan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. Jurnal Perspektif. Vol. XXI, No.

1, Januari, 2016.

Wonok, David Y. “Perlindungan hukum atas Hak-Hak Nasabah Sebagai Konsumen

Pengguna Jasa Bank Terhadap Risiko yang Timbul dalam Penyimpangan

Dana”. Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi. Vol. 1, No. 2, April-Juni,

2013.

Lain-Lain

www.bprsalsalaam.co.id

www.hajij.com

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 45/DSN-MUI/II/2005 tentang Line Facility.

Fatwa DSN Nomor 56/DSN-MUI/V/2007 tentang Ketentuan Review Ujrah pada

Lembaga Keuangan Syariah.

Fatwa DSN Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

71

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian

Baku.

72

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Surat Keterangan Penelitian di BPRS Al-Salaam

73

2. Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah

74

75

76

77

3. Kontrak Perjanjian Musyarakah

78

79

80

81

82

83

84

85

86

87

88

89

90

4. Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah

91

92

93

94

95

96

97

98

99

100

101

102

103

5. Kontrak Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Musytarakah

104

105

106

107

108

109

110

111

6. Kontrak Perjanjian Ijarah Multijasa

112

113

114

115

116

7. POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan

117

118

119

120

121

122

123

124

125

126

127

128

129

130

131

132

133

134

135

8. SEOJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku

136

137

138