ANALISIS KEWENANGAN RELATIF PENGADILAN AGAMA …eprints.walisongo.ac.id/8041/1/102111025.pdf ·...

164
i ANALISIS KEWENANGAN RELATIF PENGADILAN AGAMA SEMARANG PUTUSAN NO. 1565/Pdt.g/2014/PA.Smg TENTANG TALAK CERAI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun oleh: KHASANUDIN NIM : 1 0 2 1 1 1 0 2 5 JURUSAN AHWALUS SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2017

Transcript of ANALISIS KEWENANGAN RELATIF PENGADILAN AGAMA …eprints.walisongo.ac.id/8041/1/102111025.pdf ·...

i

ANALISIS KEWENANGAN RELATIF PENGADILAN AGAMA

SEMARANG PUTUSAN NO. 1565/Pdt.g/2014/PA.Smg

TENTANG TALAK CERAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Disusun oleh:

KHASANUDIN

NIM : 1 0 2 1 1 1 0 2 5

JURUSAN AHWALUS SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG 2017

ii

Muh. Arifin S.Ag, M.Hum

Perum Griya Lestari B. 3/12 Ngaliyan Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 Naskah eks

Hal : Naskah Skripsi

An. Sdr. Khasanudin

Kepa

da Yth.

Dekan

Fakultas Syari’ah

dan Hukum

UIN

Walisongo

Di

Semarang

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya,

bersama ini kami kirimkan naskah skripsi Saudara:

Nama : Khasanudin

NIM : 102111025

Program Studi : Ahwalus Syakhsiyah

Judul Skripsi : Analisis Kewenangan Relatif

Pengadilan Agama Semarang. Putusan

No. 1565/Pdt.G/2014/PA.Smg Tentang

Talak Cerai.

Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat

segera dimunaqosahkan.

Demikian harap menjadi maklum.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

iii

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM Jl. Prof. Dr. HamkaKampus III NgaliyanTelp. / Fax. 7601291, 7624691

Semarang 50185

PENGESAHAN

Skripsi Saudara :

iv

MOTTO

فقد مةحك ل ٱتيؤ ومنء يشا منمةحك ل ٱتييؤ

ذكريوماا كثيرا رخي أوتي ٱأولواإل بب ل ل

٩٦٢

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang

dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa

yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang

dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi

karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang

berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman

Allah)

(Q.S Al- Baqarah : 269)

v

PERSEMBAHAN

Sungguh Manusia tidak pernah merasa puas dalam

hidupnya, atas segala kekurangan yang telah melekat

kepada setiap dirinya. Akan tetapi sudah semestinya

manusia harus senantiasa bersyukur terhadap Allah dan

berterima kasih kepada sesamanya.

Karya tulis ini penulis dedikasikan untuk orang-orang yang telah

dengan ikhlas membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

Untuk kedua orang tua penulis ayahanda Achmad

Muzaid dan ibunda Muhtaromiyah, Tiada henti-henti

penulis panjatkan doa kepada Allah Swt, semoga

ayahanda dan ibunda selalu dalam rahmat dan ridho

Allah SWT di dunia dan akhirat.

Untuk saudara kandung penulis rakanda Ahmad

Muhtarom, ayunda Rohmatun, ayunda Nurul Abadiyah

dan adinda Mariyatun beserta keluarga tercinta, semoga

penulis dapat mewujudkan impian-impian kita.

Untuk Kang Musta’in yang menginspirasi serta

membantu, penulis ucapkan banyak terima kasih

vi

Kawan-kawan seperjuangan Himpunan Mahasiswa

Islam (HMI) yang selalu memotivasi penulis dengan

kata-kata bijak yang menyakitkan. (calon hakim mas

Kholis, calon bankir mas Syaifur, calon kyai Gus Arul,

calon menhan kang Toni)

Untuk Keluarga Ikatan Mahasiswa Kendal (IMAKEN),

skripsi ini adalah mantra mencabut kutukan kalian.

Keluarga ASA 10 maafkan aku yang terakhir diantara

kalian.

Kepada Bapak M. Sukri yang membatu penulis dalam

menyelasaikan skripsi penulis.

Kepada segenap civitas akademika Fakultas Syari’ah dan

Hukum, skripsi ini adalah bukti cinta 7 tahun penulis.

vii

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan

tanggung jawab, penulis menyatakan

bahwas kripsi ini tidak berisi materi

yang telah pernah ditulis orang lain

atau diterbitkan. Demikian juga skripsi

ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran

orang lain, kecuali informasi yang

terdapat dalam referensi yang dijadikan

bahan rujukan.

Semarang, 29 Mei 2017

viii

ABSTRAK

Dalam putusan Pengadilan Agama Semarang no.

1565/pdt.g/2014/PA.smg bahwa tergugat mengajukan

eksepsi yang berisi tentang Pengadilan Agama Semarang

tidak berhak mengadili perkara tersebut karena termohonan

(pihak istri) adalah warga Kabupaten Wonosobo. Maka

seharusnya pemohon mengajukan perceraian di Pengadilan

Agama Wonosobo, bukan di Pengadilan Agama Semarang

karena tempat tinggal istri senyatanya di Kabupaten

Wonosobo. Namun dalam putusan, hakim memutuskan

berwenang dalam memeriksa dan mengadili perkara ini.

Padahal dalam eksepsi termohon mengajukan bukti surat

foto kopi keterangan domisili atas nama termohon dari desa

Kaligowong Kecamatan Wadaslintang Kabupaten

Wonosobo tanggal 10 oktober 2014 bermaterai cukup dan

telah dicocokan dengan aslinya.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar

pertimbangan Hakim dalam menerima gugatan cerai talak

yang bukan merupakan kewenangan relatif Pengadilan

Agama Semarang. Hasil penulisan ini diharapkan mampu

menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam

menerima gugatan yang bukan kewenangan relatif

Pengadilan Agama. Skripsi ini merupakan penelitian

normatif-empiris dengan menggunakan metode

dokumentasi dan wawancara sebagai langkah dalam

mengumpulkan data. Dengan tujuan untuk mengungkapkan

masalah, keadaan, dan peristiwa sebagaimana adanya,

sehingga bersifat faktual, kemudian dikaitkan dengan

norma-norma hukum yang berlaku.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

majelis hakim dalam mengabulkan Putusan No.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg, di Pengadilan Agama Semarang,

ix

memutus perkara yang bukan menjadi kewenangan relatif

Pengadilan Agama Semarang. Majelis Hakim secara

normatif menolak eksepsi termohon tanpa melihat esensi

dari pasal 66 Undang-undang no. 7 tahun 1989 dengan

alasan agar beracara di Pengadilan berlangsung cepat dan

berbiaya murah.

Kata Kunci : Kewenangan relatif, eksepsi.

x

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan

rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua berupa akal dan

fikiran sehingga manusia mampu berfikir dan merenungi

kebesara-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah

kepada Nabi besar Muhammad Saw, yang telah membawa Islam

sebagai agama dan rahmat bagi seluruh alam. Semoga kita

termasuk umatnya yang akan mendapatkan syafaat di akhirat

kelak.

Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan

rasa syukur karena dapat menyelesaikan karya ilmiyah yang

sederhana berupa skripsi dengan judul “ANALISIS

KEWENANGAN RELATIF PENGADILAN

AGAMA SEMARANG PUTUSAN NO.

1565/Pdt.g/2014/PA.Smg TENTANG TALAK

CERAI.” dengan lancar dan baik. Penulis sangat menyadari

bahwa terselesaikanya penulisan skripsi ini bukanlah dengan

hasil jerih payah penulis secara pribadi, melainkan karena

xi

pertolongan Allah Swt dan dukungan serta bimbingan semua

pihak baik lahir maupun batin, akhirnya penulis dapat melalui

semua rintangan dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Oleh

karena itu sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih

sebesar- besarnya kepada:

1. Prof Dr. H. Muhibbin, M. Ag. Selaku Rektor UIN

Walsiongo Semarang.

2. Dr. H. Akhmad Arif Djunaidi, M.Ag selaku Dekan dan

Jajaran Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Walisongo Semarang.

3. Ibu Anthin Lathifah., dan Ibu Yunita Dewi, Selaku Ketua

Jurusan dan Sekretaris Jurusan Ahwalus Syakhsiyah

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.

4. Bapak Muh. Arifin, S.Ag., M.Hum. selaku pembimbing

penulis. Atas bimbingan, masukan dan motifasinya untuk

selalu melanjutkan garapan meskipun banyak halangan dan

rintangan menghadang. Juga atas kesabarannya dalam

membimbing penulis yang terkadang tidak teratur dalam

bimbingan.

5. Segenap Dosen dan Civitas Akademika Fakultas Syari’ah

dan Hukum UIN Walisongo Semarang.

xii

6. Ibunda Muhtaromiyah dan Ayahanda Achmad Muzaid,

kedua orang tua yang telah berkorban segalanya demi masa

depan penulis. Ungkapan yang tidak dapat terucap dengan

kata-kata, hanya doa yang dapat penulis panjatkan untuk

kebahagian tanpa akhir bagi keduanya di dunia dan akhirat.

Kepada kakak tersayang Ahmad Muhtarom, Rohmatun,

Nurul Abadiyah dan adikku Mariyatun.

Semarang, 13 Juli 2017

Penulis,

KHASANUDIN

NIM: 102111025

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................ii

HALAMAN PENGESAHAN..................................................iii

HALAMAN MOTTO.. ............................................................iv

HALAMAN PERSEMBAHAN................................................v

HALAMAN DEKLARASI.....................................................vii

HALAMAN ABSTRAK.........................................................viii

KATA PENGANTAR................................................................x

DAFTAR ISI............................................................................xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................1

B. Rumusan Masalah..........................................................16

C. Tujuan Penelitian...........................................................17

D. Tinjauan Pustaka............................................................18

E. Metodologi Penelitian....................................................19

F. Sistematika Penulisan....................................................25

BAB II KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA

A. Pengertian Pengadilan Agama.......................................28

B. Kewenangan Peradilan Agama……………..................29

xiv

C. Pengertian Perceraian……………………………….44

D. Dasar Hukum Perjalanan……………...........................47

E. Alasan-alasan Percaraian dalam KHI…........................51

F. Tata Cara Pengajuan Perkara Perceraian di Pengadilan

Agama………………………........................................58

BAB III PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI

SEMARANG

A. Deskripsi Pengadilan Agama Semarang........................71

B. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama

Semarang dalam putusan perkara

No.1565/Pdt.G/2014/PA.Smg........................................88

BAB IV ANALISIS KEWENANGAN RELATIF

PENGADILAN AGAMA SEMARANG

PUTUSAN NO. 1565/Pdt.G/2014/PA.Smg

TENTANG TALAK CERAI

A. Analisis Hukum Formil Terhadap Pertimbangan Hakim

Dalam Mengabulkan Perkara Yang Tidak Menjadi

Kewenangan Relatif Pengadilan Agama Semarang......92

xv

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN............................................................106

B. SARAN-SARAN.........................................................107

C. PENUTUP...................................................................108

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum

Republik Indonesia.1

Dalam pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 menyebutkan :

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.2

Peradilan Agama mendapatkan pengakuan ditandai

dengan disahkan dan diundangkannya Undang-undang No.

7 Tahun 1989 pada tanggal 29 Desember 1989 dalam

Lembaran Negara RI tahun 1989 No. 49 yang dinamai

dengan Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama dan Undang-Undang No. 48 Tahun 20019 tentang

1Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman

2Ibid

2

kekuasaan kehakiman. Dengan harapan mendapatkan hasil

yang maksimal dan dapat mempekuat persatuan serta

kedudukan dalam lembaga peradilan yang berdasarkan

hukum Islam. Maka Peradilan Agama akan lebih mantap

dalam menjalankan fungsinya, para pencari keadilan pun

demikian, akan lebih mudah dan kongkrit dalam berurusan

dengan Peradilan Agama.

R. Soeroso membagi kewenangan mengadili menjadi

dua kekuasaan kehakiman. Yakni kekuasaan kehakiman

atribusi dan kekuasaan kehakiman distribusi. Atribusi

kekuasaan kehakiman adalah kewenangan mutlak, atau juga

disebut kompetensi absolut. Yakni kewenangan badan

pengadilan didalam memeriksa jenis perkara tertentu dan

secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan

lain. Sedangkan tentang distribusi kekuasaan Pengadilan

atau apa yang dinamakan kompetensi relatif, atau

kewenangan nisbi. Yakni bahwa Pengadilan Negeri

ditempat tergugat tinggal (berdomisili) yang berwenang

memeriksa gugatan atau tuntutan hak.3

Menurut Roihan Rasyid, kewenangan seringkali juga

dimaknai kompetensi dan juga dimaknai dengan kekuasaan.

3R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata; Tata Cara dan Proses

Persidangan, Jakarta; Sinar Grafika, 2001, hal: 7.

3

Adapun kewenangan yang dimaksud disini adalah

kewenangan mengadili oleh lembaga peradilan. Roihan

Rasyid membagi kewenangan menjadi dua; Kewenangan

Relatif dan Kewenangan Absolut.4

Kompetensi Relatif diartikan sebagai kekuasaan

pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam

perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama

jenis dan sama tingkatan lainnya. Atau dengan kata lain

bahwa setiap lembaga Peradilan mempunyai wilayah

hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau

satu kabupaten.5

Kompetensi Absolut artinya kekuasaan pengadilan

yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis

pengadilan, atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaanya

dengan jenis perkara atau jenis pengadilan, atau tingkatan

pengadilannya. Misalnya, pengadilan Agama berkompeten

atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam,

sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kompetensi

Peradilan Umum.6

4Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; Raja

Grafindo Persada, 2007, hal: 26. 5Ibid., hal: 27.

6Ibid., hal: 28.

4

Kekuasaan peradilan agama terdiri atas kekuasaan

relatif (relative competentie) dan kekuasaan mutlak atau

absolut (absolute competentie), sama halnya kekuasaan

(kewenangan) pada lembaga peradilan yang lain.

Kewenangan relatif berkaitan dengan daerah hukum suatu

pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun

pengadilan tingkat banding. Artinya cakupan dan batasan

kekuasaan relatif pengadilan adalah meliputi daerah

hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Kompetensi Absolut Peradilan Agama (absolute

competentie) adalah kekuasaan peradilan yang berhubungan

dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat

pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau

jenis pengadilan atau tingkat pengadilan lainnya. Kekuasaan

pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di

kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang

beragama Islam.7

Untuk lingkungan Peradilan Agama menurut Bab I

pasal 2 jo Bab III pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ditetapkan

7Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama,

Bogor: Ghalia Indonesia,

2012, hal: 119.

5

tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang :

a. Perkawinan

b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam

c. Wakaf dan sedekah.8

Tiap-tiap Pengadilan mempunyai daerah hukum

sendiri-sendiri. Daerah hukum suatu Pengadilan meliputi

wilayah Kotamadya atau Kabupaten dimana Pengadilan

tersebut berada. Daerah hukum ini yang menentukan

kewenangan relatif suatu Pengadilan untuk menerima,

memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara.9

Mengenai Hukum Acara Peradilan Agama diatur dalam

bab IV dalam pasal 54 sampai 91 Undang-Undang No. 7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 54 menyatakan, bahwa

“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata

yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali

8Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Gema insani

Press, 1996, hal : 11. 9Riduan Syahrani , Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Solo:

Citra Aditya Bakti. 2006 hal: 39

6

yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang

tersebut.10

Setiap Pengadilan Agama terbatas daerah hukumnya.

Hal itu sesuai dengan kedudukan Pengadilan Agama, hanya

berada pada wilayah tertentu. Menurut Pasal 4 ayat 1 UU

No. 3 Tahun 2006 Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1986.

1. Pengadilan Agama berkedudukan di Ibukota

Kabupaten/Kota

2. Daerah hukum Pengadilan Agama, meliputi wilayah

Kotamadya dan Kabupaten yang bersangkutan

Berdasarkan pasal itu, kewenangan mengadili

Pengadilan Agama hanya terbatas pada daerah hukumnya,

di luar itu tidak ada kewenangan untuk mengadili, memutus

dan menyelesaikan perkara. Daerah hukum masing-masing

Pengadilan Agama hanya meliputi wilayah Kotamadya atau

Kabupaten, tempat dia berada dan berkedudukan.

Pengadilan Agama yang berkedudukan di Kabupaten

Bekasi misalnya, daerah hukumnya terbatas meliputi

wilayah Kabupaten Bekasi. Tegasnya, daerah hukum yang

menjadi kewenangan setiap Pengadilan Agama mengadili

10

Jaih Mubarok, Peradilan Agama Di Indonesia, Bandung: Pustaka

Bani Quraisy, 2004, hal: 121.

7

perkara sama dengan wilayah Kotamadya atau Kabupaten,

tempat dia berada atau berkedudukan.11

Tempat kedudukan daerah hukum, menentukan batas

kompetensi relatif mengadili bagi setiap Pengadilan Agama.

Meskipun perkara yang disengkatakan termasuk yurisdiksi

absolut lingkungan Pengadilan Agama , sehingga secara

absolut Pengadilan Agama berwenang mengadilinya,

namun kewenangan absolut itu dibatasi oleh kewenangan

mengadili secara relatif. Jika perkara yang terjadi diluar

daerah hukumnya, secara relatif Pengadilan Agama tersebut

tidak berwenang mengadili. Apabila terjadi pelampauan

batas daerah hukum, berarti Pengadilan Agama yang

bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas

kewenangan (exceeding its power). Tindakan ini berakibat

pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan dalam perkara itu

tidak sah. Oleh karena itu, harus dibatalkan atas alasan

pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan, dilakukan oleh

Pengadilan Agama yang tidak berwenang untuk itu.

Patokan menentukan kewenangan mengadili

dihubungkan dengan batas daerah hukum Pengadilan

Agama, merujuk pada ketentuan pasal 118 HIR (Pasal 142

11

Yahya Harahap, Hukum acara perdata,. Jakarta;Sinar grafika, hal: 191

8

RGB). Akan tetapi untuk memperjelas pembahasannya,

sengaja berorientasi pada pasal 99 Rv. Berdasarkan

ketentuan-ketentuan itu, dapat dijelaskan mengenai

beberapa patokan menentukan kewenangan relatif.

Sehubungan dengan itu, agar pengajuan tidak salah dan

keliru, harus diperhatikan patokan yang ditentukan undang-

undang.

Tujuan diadakannya beracara di muka Pengadilan

Agama adalah untuk mendapatkan ketentuan mengenai

hukum suatu perkara, artinya bagaimana hubungan hukum

yang ada.12 Di antara salah satu hukum acara yang berlaku

secara khusus di lingkungan Peradilan Agama adalah

tentang cerai talak, bahwa suami sebagai “Pemohon” dan

istri sebagai “Termohon”. Dalam hal ini, bagaimana

seseorang (Pemohon) dapat mengajukan gugatan dan di

Pengadilan Agama mana Pemohonannya akan atau dapat

diajukan, sehingga tidak ada kesalahan dalam mengajukan

suatu perceraian.

Acara cerai talak telah ditetapkan dalam pasal 66 UU

No. 3 Tahun 2006 Perubahan atas Undang-Undang No. 7

tahun 1989 tentang peradilan agama, bahwa “Perceraian

12

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: CV Rajawali,

1991,hal: 8.

9

diajukan oleh suami atau kuasanya kepada peradilan yang

daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon,

kecuali apabila Termohon dengan sengaja meninggalkan

tempat kediaman bersama tanpa izin Pemohon”.

Adapun pasal 66 No. 3 Tahun 2006 Perubahan No 7

Tahun 1989 yang berbunyi :

1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan

menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada

pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan

ikrar talak.

2. Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)

diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat kediaman Termohon, kecuali apabila

Termohon dengan sengaja meninggalkan tempat

kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin Pemohon.

3. Dalam hal Termohon bertempat kediaman di luar negeri,

permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon.

4. Dalam hal Pemohon dan Termohon bertempat kediaman

di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

10

perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada

Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

5. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah

istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan

bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun

sesudah ikrar talak diucapkan.

Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna

tangkisan atau bantahan (Objection). Bisa juga berarti

pembelaan (Plea) yang diajukan tergugat terhadap materi

gugatan penggugat. Menurut Yahya Harahap, eksepsi

secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam

konteks hukum acara, bermakna tangkisan atau bantahan

yang ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-

syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan

tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu

agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut

memeriksa pokok perkara.13

Namun tangkisan atau bantahan

yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal

yang menyangkut syarat formalitas gugatan yaitu :

Jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau

pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah

13

Opcit, Yahya Harahap. Hal. 418.

11

yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible),

dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk

eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan

terhadap pokok perkara (Verweer ten principale).

Dalam pasal 125 HIR ayat (2), 132 dan 133 HIR hanya

memperkenalkan eksepsi kompetensi absolut dan relatif

saja. Namun pasal 136 HIR menjelaskan adanya beberapa

jenis eksepsi yang lain. Eksepsi menurut ilmu hukum dibagi

menjadi tiga, yaitu :

1. Eksepsi Prosesual (Processuele Exeptie)

Eksepsi Prosesual (Processuele Exeptie) yaitu

eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan.

Eksepsi prosesual dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a) Eksepsi yang menyangkut kompetensi absolut

Eksepsi yang menyangkut kompetensi

absolute merupakan eksepsi yang menyatakan

bahwa Pengadilan Negeri yang sedang melakukan

pemeriksaan perkara tersebut karena persoalan yang

menjadi dasar gugatan tidak termasuk wewenang

Pengadilan Negeri tersebut, melainkan wewenag

badan peradilan lain, misalnya PTUN atau

Pengadilan Agama.

12

b) Eksepsi yang menyangkut kompetensi relatif

Eksepsi yang menyangkut kompetensi relatif

merupakan eksepsi yang menyatakan bahwa suatu

Pengadilan Negeri tertentu tidak berwenang untuk

mengadili perkara tersebut, karena tempat

kedudukan atau obyek sengketa tidak berada dalam

wilayah hukum Pegadilan Negeri yang sedang

memeriksa atau mengadili perkara tersebut.

2. Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi

Eksepsi Prosesual di luar Eksepsi kompetensi

terdiri dari berbagai bentuk atau jenis. Eksepsi yang

paling sering diajukan dalam praktiknya adalah :

a) Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah

b) Eksepsi Error In Persona

Eksepsi Error In Persona merupakan eksepsi

yang dapat diajukan oleh tergugat apabila gugatan

mengandung cacat Error In Persona.

c) Eksepsi Res Judicata atau Ne Bis In Idem

Eksepsi Res Judicata atau Ne Bis In Idem

merupakan eksepsi terhadap perkara yang sama

yang telah atau pernah diputus hakim dan

putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap.

13

d) Eksepsi Obscuur Libel

Yang dimaksud dengan obscuur libel,

merupakan surat gugatan penggugat yang kabur,

atau tidak terang (onduidelijk).

3. Eksepsi Hukum Materiil (Materiele Exeptie)

Ada dua jenis Eksepsi Hukum Materiil, yaitu:

a. Eksepsi Dilatoir (Dilatoria Exeptie)

Eksepsi ini merupakan eksepsi yang

menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat

dikabulkan, dengan kata lain gugatan penggugat

belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di

pengadilan, karena masih prematur (terlampau

dini).

b. Eksepsi Peremptoir (Exeptio Peremtoria)

Eksepsi ini merupakan eksepsi yang

menghalangi dikabulkannya gugatan, misalnya

karena gugatan telah diajukan lampau waktu

(kadaluwarsa) atau bahwa utang yang menjadi dasar

gugatan telah dihapuskan.

Tata Cara Saat Mengajukan Eksepsi Pasal 156 ayat (1),

pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas

alasan ”formal” oleh terdakwa atau penasihat hukum adalah

14

”hak” dengan ketentuan : (i) Prinsip harus diajukan pada

sidang pertama. (ii) Yakni sesaat atau ”setelah” penuntut

umum membaca surat dakwaan. (iii) Apabila pengajuan

dilakukan diluar tenggang yang disebutkan,eksepsi tidak

perlu ditanggapi penuntut umum dan Pengadilan Negeri,

kecuali mengenai eksepsi kewenangan mengadili yang

disebut kalam Pasal 156 ayat (7). 23 Prinsip ini disimpulkan

dari ketentuan Pasal 156 ayat (2) yang menegaskan jika

lebih lanjut. Berarti proses pengajuan keberatan berada

antara tahap pembacaan surat dakwaan. Pemeriksaan materi

pokok perkara dihentikan apabila keberatan ditolak. Dengan

demikian cukup alasan untuk menyimpulkan eksepsi tidak

lagi dapat diajukan apabila proses sudah memasuki

pemeriksaan materi pokok perkara sebagaimana.

Dalam putusan Pengadilan Agama Semarang no.

1565/pdt.g/2014/PA.smg bahwa tergugat mengajukan

eksepsi yang berisi tentang Pengadilan Agama Semarang

tidak berhak mengadili perkara tersebut karena termohonan

(pihak istri) adalah warga Kabupaten Wonosobo. Maka

seharusnya pemohon mengajukan perceraian di Pengadilan

Agama Wonosobo, bukan di Pengadilan Agama Semarang

15

karena tempat tinggal istri senyatanya di Kabupaten

Wonosobo.

Namun dalam putusan, hakim memutuskan berwenang

dalam memeriksa dan mengadili perkara ini. Padahal dalam

eksepsi termohon mengajukan bukti surat foto kopi

keterangan domisili atas nama termohon dari desa

Kaligowong Kecamatan Wadaslintang Kabupaten

Wonosobo tanggal 10 oktober 2014 bermaterai cukup dan

telah dicocokan dengan aslinya.

Jika merunut ketentuan Pasal 66 Ayat 2 UU. 70 Tahun

89 yang dirubah dengan UU No. 3 tahun 2006 yang

selanjutnya dirubah dengan UU No. 50 tahun 2009,

menyebutkan bahwa:

“Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat

(1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila

termohon dengan sengaja meninggalkan tempat

kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin

pemohon.”

Dalam putusan sela Pengadilan Agama No.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg Majlis Hakim menolak eksepsi

16

termohon dengan pertimbangan eksepsi termohon tidak

diajukan saat sidang pertama sesuai dengan ketentuan HIR

pasal 133 / Pasal 159 Rgb mengenai eksepsi kewenangan

relative harus diajukan pada sidang pertama.

Maka ada pertentangan dalam perkara ini, yaitu

tentang kewenangan mengadili PA Semarang dengan

pengajuan eksepsi kewenangan termohon. Sehingga penulis

tertarik untuk mengangkat kasus tersebut dalam skripsi

dengan judul :

“ANALISIS KEWENANGAN RELATIF

PENGADILAN AGAMA SEMARANG PUTUSAN NO.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg TENTANG TALAK CERAI”

B. RumusanMasalah

Rumusan masalah didefinisikan sebagai suatu

pertanyaan yang dicoba untuk ditemukan jawabannya.14

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis

merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam

mengabulkan perkara No.

14

BurhanAshhofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta,

1996, hal. 118.

17

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg yang tidak menjadi

kewenangan relatif Pengadilan Agama Semarang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam sebuah penelitian pasti ada terdapat tujuan yang

hendak dicapai. Dengan membaca latar belakang penelitian

serta rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan

untuk :

1. Mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam

menerima gugatan cerai talak yang bukan

merupakan kewenangan relatif Pengadilan Agama

Semarang.

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat

sebagai berikut :

1. Sebagai bahan pertimbangan hakim Pengadilan

Agama dalam menerima gugatan yang bukan

kewenangan relatif Pengadilan Agama.

2. Untuk memperkaya perbendaharaan khazanah

kepustakaan hukum pada umumnya dan berguna

untuk pengembangan hukum perdata dalam bidang

akademis.

18

D. Telaah Pustaka

Pembahasan tentang kewenangan relatif pengadilan

agama sangatlah menarik karena sepanjang pengamatan

penyusun masih jarang karya ilmiah atau tulisan yang

membahas secara spesifik tentang kewenangan relatif

Pengadilan Agama.

Skripsi yang berhubungan dengan kewenangan relatif

Pengadilan Agama adalah Skripsi karya Saudari Sari

Pamikatsih, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan judul

: “Studi Tentang Eksepsi Mengenai Kewenangan Relatif

Terhadap Pemeriksaan Perkara Perdata (Studi Kasus

Pengadilan Negeri Surakarta)” Skripsi ini membahas

tentang eksepsi yang dilakukan oleh pihak termohon

terhadap kewenangan relatif Pengadilan Negeri Surakarta.

Lebih terperinci menjelaskan mengenai bagaimana proses

pengajuan eksepsi kewenangan relatif sampai pada

pelaksanaannya dalam pemeriksaan perkara di PN,

pertimbangan hakim dalam menetukan diterima atau

tidaknya eksepsi kewenangan relatif dan Akibat Hukum

dari adanya eksepsi terhadap kewenangan relatif.

19

Yang membedakan anatara penelitian Sari Pamikatsih

dengan Penelitian ini adalah penilitian ini menitik beratkan

pada pertimbangan hakim dalam memutuskan eksepsi

kewenangan relatif yang diajukan oleh termohon.

Sedangkan penelitian saudara Sari Pamikatsih cenderung

menjelaskan tentang tata cara pengajuan eksepsi dan akibat

hukum eksepsi kewenangan relatif.

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat

dipertanggungjawabkan dan memudahkan penulis dalam

membahas setiap permasalahan dalam penulisan ini, maka

diperlukan seperangkat metodologi yang memadaiguna

untuk memperoleh data yang akurat. Adapun metode

penelitian yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Berdasarkan fokus penelitiannya, menurut

Prof. Abdulkadir Muhammad penelitian hukum

dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: penelitian hukum

normatif, penelitian hukum empiris dan penelitian

20

hukum normatif-empiris.15

Jenis penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian hukum normatif-empiris.

Dalam penelitian normatif-empiris merupakan

gabungan antara pernelitian normative dan empiris,

pokok penelitiannya adalah kajian implementasi

ketentuan hukum positif secara faktual pada

peristiwa hukum tertentu yang terjadi di

masyarakat guna mencapai tujuan yang telah

ditentukan. Penelitian hukum normatif-empiris

bermula dari ketentuan hukum positif tertulis yang

diberlakukan pada peristiwa hukum in concerto

dalam masyarakat, sehingga dalam penelitiannya

selalu terdapat gabungan dua tahap kajian, yaitu:16

a. Tahap pertama adalah kajian mengenai hukum

normatif yang berlaku

b. Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in

concerto guna mencapai tujuan yang telah

ditentukan. Penerapan tersebut dapat

diwujudkan melalui perbuatan nyata dan

15

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,. Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2004. hal: 52 16

Ibid.

21

dokumen hukum. Hasil penerapan akan

menciptakan pemahaman realisasi pelaksanaan

ketentuan-ketentuan hukum normatif yang

dikaji telah dijalankan secara patut atau tidak.

Karena pengunaan kedua tahapan tersebut,

maka penelitian hukum normatif-empiris

membutuhkan data primer dan data sekunder.

Penelitian ini dengan mengambil obyek

penelitian Putusan Sela No.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg Pengadilan Agama

Semarang sebagai data primer dan fokus studi yang

dikaji berkisar pada kewenangan relatif Pengadilan

Agama Semarang dalam mengadili suatu perkara.

Serta upaya hakim-hakim Pengadilan Agama

Semarang menangani perkara tersebut.

2. Sumber dan Jenis Data

Data adalah sekumpulan informasi yang

digunakan dan dilakukan analisis agar tercapai

tujuan penelitian.17

Guna memudahkan penelitian

dengan pendekatan penelitian hukum normative-

17

Adi Riyanto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Cet. ke-

1,Jakarta: Granit, 2004, hal: 57.

22

empiris, maka secara garis besar ada dua macam

sumber data yang dipergunakan dalam penelitian

ini, yakni data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer adalah data utama atau data

pokok penelitian yang diperoleh secara

langsung dari sumber utama yang menjadi

obyek penelitian. Dalam hal ini yang dimaksud

adalah Putusan Sela Pengadilan Semarang No.

1565/pdt.g/2014/PA.Smg

b. Data Sekunder

Adapun sumber data pelengkap

(sekunder) yaitu data-data yang digunakan

sebagai pendukung didalam penelitian atau

penulisan karya ilmiah. Sumber data pelengkap

dalam penelitian ini adalah wawncara dengan

ketua majlis sidang dalam kasus ini, buku-buku,

dan artikel makalah, yang dapat memberikan

kontribusi kepada penulis dalam penulisan

skripsi ini.

23

3. Metode Pengumpulan Data18

Metode pengumpulan data adalah prosedur

yang sistematik dan standar untuk memperoleh

data yang diperlukan. Dalam penulisan skripsi ini,

penulis mengumpulkan data dengan cara :

Dokumentasi dan wawancara. Dokumentasi yaitu

mencari data mengenai hal-hal atau variabel-

variabel yang berupa putusan sela maupun putusan,

catatan-catatan, buku-buku, hasil penelitian skripsi,

tesis atau disertasi yang berkaitan dengan judul

skripsi ini. Sedangkan wawancara yaitu penelitian

tanya jawab lesan antara dua orang atau lebih yang

berhadapan secara langsung atau fisik. Teknik

wawancara dalam penelitian ini menggunakan

daftar pertanyaan secara terstruktur, sebab

dianggap lebih sesuai dan memadai untuk

menyimpulkan data yang benar sesuai dengan

kenyataan. Wawancara dilakukan terhadap hakim

di Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa

dan memutus perkara perdata khususnya eksepsi

mengenai kewenangan relatif dalam perkara ini.

18

Moh. Nazir, Metode Penelitian,Cet. ke-3, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1988, h. 211.

24

4. Metode Analisis Data

Analisis data yaitu suatu cara yang dipakai

untuk menganalisa, mempelajari serta mengolah

kelompok data tertentu, sehingga dapat diambil

suatu kesimpulan yang kongkret tentang

permasalahan yang diteliti dan dibahas.19

Proses analisa data merupakan suatu proses

penelaahan data secara mendalam. Menurut Lexy J.

Moloeng proses analisa dapat dilakukan pada saat

yang bersamaan dengan pelaksanaan pengumpulan

data meskipun pada umumnya dilakukan setelah

data terkumpul.20

Dalam skripsi ini penulis menggunakan

analisis deskriptif normatif yaitu suatu penelitian

yang bertujuan untuk mengungkapkan masalah,

keadaan, dan peristiwa sebagaimana adanya,

sehingga bersifat faktual, kemudian dikaitkan

dengan norma-norma hukum yang berlaku. Dengan

menggunakan metode ini, penulis berusaha

19

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek,

Jakarta: Rineka Cipta, 2006, hal: 44. 20

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung:

RemajaRosda Karya, 2002, hal.

103.

25

menganalisa suatu putusan tentang Analisis

Kewenangan Relatif Pengadilan Agama Semarang

Putusan no. 1565/pdt.g/2014/pa.smg Tentang

Talak Cerai.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini penyusun membagi ke

dalam empat bab dengan tambahan satu bab sebagai

penutup. Bab-bab tersebut disetiap babnya terdiri dari sub

bab, yaitu antara bab satu dengan yang lainnya memiliki

keterkaitan. Sehingga skripsi ini akan tersusun suatu

pembahasan yang runtut. Adapun sistematika penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan berisi latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan

Bab kedua memaparkan tinjauan umum tentang

kewenangan Pengadilan Agama secara umum sebagai

gambaran awal skripsi ini. Yaitu kewenangan absolut dan

kewenangan relatif Pengadilan Agama.

Bab ketiga memamaparkan mengenai profil

Pengadilan Agama Semarang. Pada sub bab pertama

26

tentang deskripsi Pengadilan Agama Semarang, karena hal

ini digunakan untuk mengetahui kondisi lapangan yang

digunakan sebagai tempat penelitian. Dalam sub bab ini

juga dijelaskan tentang profil hakim-hakim yang ada

sebagai unsur terpenting Pengadilan Agama. Pada sub bab

kedua diuraikan bagaimana Pengadilan Agama Semarang

melaksanakan kompetensi menghadapi perkara yang bukan

merupakan kewenangannya yang akan terbagi menjadi dua

bagian pembahasan. Yang pertama menguraikan kebijakan

Pengadilan Agama Semarang dalam menangani perkara

yang bukan wewenangnya. Kemudian yang kedua diuraikan

dasar hukum majlis hakim Pengadilan Agama Semarang

menangani kasus yang bukan wewenangnya.

Sesuai bab sebelumnya maka untuk mempertajam

fokus penelitian ini, penyusun melanjutkan pada bab

keempat yang merupakan analisis terhadap kompetensi

relatif Pengadilan Agama Semarang dalam menangani

perkara yang bukan wewenangnya. Setelah pada bab-bab

sebelumnya yang merupakan deskripsi, maka pada bab

inilah saatnya dilakukan analisis terhadap dasar hukum

Pengadilan Agama Semarang dalam memutuskan perkara

yang bukan wewenangya.

27

Akhirnya penyusun akhiri pembahasan ini dengan bab

kelima yaitu penutup, yang berisi kesimpulan yang

merupakan jawaban dari pokok masalah dan saran-saran

bagi pihak-pihak yang ada kaitannya dengan pembahasan.

28

BAB II

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA

A. Pengertian Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan

pelaku kekuasaan kehakiman untuk meyelenggarakan

penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan

bagi orang-orang beragama Islam. Di dalam Undang-

Undang No.7 Tahun 1989 Pasal 2 tentang Peradilan Agama

disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu

pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari

keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata

tertentu.1

Pengadilan Agama merupakan peradilan tingkat

pertama, dalam menyelesaikan sengketa bagi orang pencari

keadilan yang beragama Islam. yang berkedudukan di

Kotamadya atau Ibukota Kabupaten dan daerah hukumnya

meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten. Peradilan

Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama

Islam.2

1 Undang-Undang Peradilan Agama (UU RI No. 7 Tahun 1989), Jakarta: PT.

Sinar Grafika, hal: 3 2 Ibid.

29

Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970

tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman

yang digantikan dengan UU No.4 Tahun 2004 tentang

pokok-pokok kekuasaan kehakiman, Peradilan Agama telah

mendapatkan pengakuan sebagai salah satu dari empat

lembaga Peradilan. Dengan diundangkannya UU No.7

Tahun 1989, Peradilan Agama akan lebih mantap dalam

menjalankan fungsinya. Para pencari keadilan pun

demikian, akan lebih mudah dan konkrit dalam berurusan

dengan Peradilan Agama.3

B. Kewenangan Peradilan Agama

Menurut Subekti, kompetensi juga dimaknai sebagai

kekuasaan atau kewenangan. Subekti sendiri membagi

kompetensi atau kewenangan menjadi dua, yakni

kompetensi absolute (kewenangan absolute) dan

kompetensi relative (kewenangan relative). Komptensi

absolute terkait dengan kekuasaan atau wewenang berbagai

jenis pengadilan dalam suatu Negara yang diatur dalam

undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan

3 Abdul Ghofur A, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No.3 Tahun

2006 (Sejarah,

Kedudukan, dan Kewenangan), Yogjakarta; UII press, 2007 hal: 37

30

kekuasaan relatif berkaitan dengan pembagian kekuasaan

antara badan-badan pengadilan dari tiap-tiap jenis

pengadilan tersebut, yang umumnya diatur dalam undang-

undang tentang hukum acara.4

Sedangkat menurut Subekti, untuk membedakan

kompetensi absolute dan relative sebuah lembaga peradilan

dapat dilihat dari undang-undang yang mengaturnya.

Kompetensi absolute dapat ditinjau dalam undang-undang

Pokok Kehakiman, sedangkan kompetensi relative dapat

ditinjau dari undang-undang hukum acara lembaga

peradilan tersebut.

Menurut pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

Kompetensi relatif pengadilan merupakan kewenangan

lingkungan peradilan tertentu berdasarkan yuridiksi

wilayahnya, yaitu untuk menjawab pertanyaan “Pengadilan

Negeri wilayah mana yang berwenang untuk mengadili

suatu perkara. Sedangkan kompetensi Absolut adalah

menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.

Sehingga kompetensi Absolut tersebut berkaitan dengan

pengadilan apa yang berwenang untuk mengadili.

4 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung; Bina Cipta, 1987, hal: 23.

31

Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur

dalam pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UU No. 7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri

atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Wewenang

relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau

Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama, sedang wewenang absolut

berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989. tentang

Peradilan Agama5, yaitu kewenangan mengadili perkara

perkara perdata bidang; (a) perkawinan; (b) kewarisan,

wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam ; (c)

wakaf dan sedekah. Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ini

sekarang sudah di amandemen dengan UU No.3 Tahun

2006.6

Menurut Yahya Harahap,7 ada lima tugas dan

kewenangan Peradilan Agama, yaitu; 1) fungsi kewenangan

mengadili, (2) memberi keterangan, pertimbangan dan

5 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama,

(Jakarta: Pustaka Kartini), 1993, hal: 134 6 Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,

Jakarta: Kencana,

2006, hal: 103 7 M. Yahya Harahap, dalam Sulaikin Lubis, Kedudukan, Kewenangan dan

Acara

Peradilan Agama, UU No.7 Tahun 1989, Jakarta: Pustaka Kartini, 1993, hal:

133

32

nasihat tentang (3) kewenangan lain oleh atau berdasarkan

Undang-Undang, (4) kewenangan Peradilan Tinggi Agama

mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili

sengketa kompetensi relatif; serta (5) bertugas mengawasi

jalannya peradilan.

Kekuasaan Peradilan Agama ini pada prinsipnya sama

makna, perumusan dan cara pengaturannya dengan

sebagaimana yang ditentukan dalam lingkungan Peradilan

Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Bahkan jenis kekuasaan fungsi dan kewenangan pun sama,

perbedaannya pada ruang lingkup kekuasaan mengadili,

yaitu disesuaikan dengan ciri yang melekat pada masing-

masing lingkungan peradilan.

1. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama

Pasal 10 UU No.14 tahun 1970 menetapkan

empat jenis lingkungan Peradilan, dan masing-masing

mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu

dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat

pertama dan tingkat banding. Untuk Peradilan Agama

menurut Bab I pasal 2 jo. Bab III pasal 49 UU No.7

Tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu

kewenangan mengadili perkara-perkara perdata bidang;

33

(a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat, hibah yang

dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan

sedekah. dengan demikian kewenangan Peradilan

Agama tersebut sekaligus dikaitkan dengan asas

personalitas ke-Islaman, yaitu yang dapat ditundukkan

terhadap kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya

mereka yang beragama Islam.8

Pengadilan Agama berkuasa atas perkara

perkawinan bagi mereka yang beragama Islam,

sedangkan bagi selain Agama Islam menjadi kekuasaan

peradilan umum. Pengadilan Agamalah yang berkuasa

memeriksa, mengadili perkara dalam tingkatan pertama,

tidak boleh langsung ke Pengadilan Tinggi Agama atau

Mahkamah Agung. Banding dari Pengadilan Agama di

ajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh

diajukan ke Pengadilan Tinggi. Terhadap kekuasaan

absolut ini Pengadilan Agama harus meneliti perkara

yang diajukan kepdanya, apakah termasuk kekuasaan

absolutnya atau bukan.9

8 Sulaikan Lubis, et al, Op Cit. Hal.105

9 A. Basiq Djalil, peradilan agama di indonesia. Kencana, Jakarta, 2006, hal:

115.

34

Lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006

tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama adalah konsekuensi logis

dari pemberlakuan konsep satu atap dalam pembinaan

lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung,

sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 4 tahun

2004 tentang kekuasaan kehakiman dan undang-undang

No. 5 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-

undang no. 14 tahung 1985 tentang Mahkamah Agung.

Dalam Undang-undang no. 3 tahun 2006, disamping

merubah ketentuan pembinaan teknis peradilan,

organisasi, administrasi dan finansial pengadilan oleh

MA seperti diatur pada pasal 5 (dalam undang-undang

No. 7 Tahun 1989 pasal 5 pembinaan teknis dilakukan

oleh Mahkamah Agung sedangkan pembinaan non teknis

(Organisasi, perlengkapan, kepegawaian dan keuangan)

dilakukan oleh Departemen Agama), juga yang penting

adalah mengatur mengenai penambahan kewenangan

Pengadilan Agama dalam pasal 49 Undang-undang No.

3 tahun 2006 disebutkan :10

10

Undang-undang no. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

35

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara

ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama

Islam di bidang :

a) Perkawinan

b) Waris

c) Wasiat

d) Hibah

e) Wakaf

f) Zakat

g) Infaq

h) Shadaqoh

i) Ekonomi Syariah

Bila dibandingkan dengan ketentuan pasal 49

undang-undang No. 7 tahun 1989 dalam pasal 49

undang-undang no. 3 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga)

tambahan kewenangan baru bagi Peradilan Agama, yaitu

zakat, infaq dan ekonomi syariah.

Dengan adanya penegasan tentang perluasan

kewenangan Peradilan Agama tersebut, juga

dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada

Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara infaq,

36

shodaqoh dan ekonomi syari’ah. Perluasaan kewenangan

ini menjadi suatu kebanggan tersendiri bagi Peradilan

Agama yang awalnya hanya menangani perkara hukum

keluarga saja.

Peradilan Agama adalah salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

keadilan yang beragama Islam mengenai perkara

tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang ini.

Perubahan terdapat pada kata-kata “perkara

tertentu” yang semula dalam Undang-undang No. 7

Tahun 1989 disebut dengan “perkara perdata tertentu”.

Penghapusan pada kata “perdata” dimaksudkan agar

tidak hanya perdata saja yang menjadi kompetensi

Pengadilan Agama. Perkara pidana yang berdasarkan

syariat Islam seperti yang berlaku di Propinsi Nangroe

Aceh Darussalam dapat diadili di Mahkamah Syari’ah

yang merupakan peradilan khusus dari Peradilan

Agama.11

11

Abdul Ghofur Anshori, Peradialn Agama di Indonesia pasca Undang-

undang No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan). UII

Press, Yogyakarta, 2007, hal:50.

37

Landasan hukum positif penerapan hukum Islam

diharapkan lebih kokoh dengan Undang-undang No. 3

Tahun 2006, karena telah menghapus permasalahan

pemilihan hukum atau biasa disebut hak opsi. Yang

dimaksud hak opsi disini adalah hak untuk memilih

sistem hukum yang dikehendaki para pihak berperkara

sebagai acuan hukum yang akan ditetapkan dalam

penyelesaian suatu perkara. Keberadaan hak ini

dilatarbelakangi oleh adanya konsep hukum perdata

yang bersifat mengatur, bukan bersifat memaksa

sehingga persetujuan para pihak yang berperkara dapat

dibenarkan dalam pemecahan perkara perdata.12

Dalam hal terjadinya sengketa hak milik atau

sengketa keperdataan lain antara orang-orang yang

beragama Islam dan non Islam mengenai objek sengketa

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49 Undang-

undang No. 3 Tahun 2006, maka cara penyelesaiannya

diatur dalam pasal 50 yang berbunyi :

1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa

lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut

12

Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia. Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2004, hal. 73.

38

harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum.

2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya

antara orang-orang yang beragama Islam, objek

sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama

bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 49.

2. Kompetensi Relatif Pengadilan Agama

Kompetensi (kewenangan) relatif berhubungan

dengan daerah hukum suatu Pengadilan, baik Pengadilan

tingkat pertama maupun Pengadilan tingkat banding.

Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relatif

Pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdsarkan

peraturan perundang-undangan.13

Dalam menentukan kompetensi relatif setiap

Peradilan Agama dasar hukumnya adalah berpedoman

pada ketentuan undang-undang Hukum Acara Pedata.

dalam pasal 54 UU No.7 Tahun 1989 ditentukan bahwa

acara yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama

adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada

13

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press,

2003. Hal.204

39

lingkungan Peradilan Umum. oleh karena itu, landasan

untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan

Agama merujuk pada ketentuan pasal 118 HIR, atau

pasal 142 R.Bg. jo pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7

Tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik

tolak dari aturan yang menetapkan ke pengadilan Agama

mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat

formal.14

Kompetensi relatif Pengadilan Agama juga

diartikan sebagai kekuasan peradilan yang satu jenis dan

satu tingkatan, dalam perbedaanya dengan kekuasaan

peradilan yang sama jenis dan sama tingkatan.15

Seperti

misalnya, Pengadilan Agama Semarang dengan

Pengadilan Agama Kendal.

Pengadilan Agama Semarang dan Pengadilan

Agama Kendal, keduanya adalah sama-sama berada

dalam lingkungan Peradilan Agama dan sama berada

dalam tingkat pertama. Persamaan ini yang disebut

dengan satu jenis.

14

Sulaikan Lubis, Op Cit. hal: 104 15

Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama. Cet 1. Pt raja Grafindo

Press Jakarta, 2005, hal: 25

40

Pasal 4 Undang-undang No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan agama menyebutkan :

“Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya

atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya

meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.”

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)

Undang-undang No. 7 Tahun 1989 menyebutkan :

“Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan

Agama ada di kotamadya atau di ibu kota

kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi

wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak

tertutup kemungkinan adanya pengecualian.”

Tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah

hukum tertentu atau dikatakan mempunyai “yuridiksi

relatif”,16

dalam hal ini meliputi satu kota atau satu

kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai

pengecualian, mengkin dalam satu wilayah bisa memiliki

pengadilan lebih atau kurang, seperti di Kabupaten Riau

16

Roihan Rasyid, Op Cit. Hal: 26

41

Kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama,

karena kondisi transportasi yang sulit.

Tujuan mengetahui yurisdiksi relatif agar para

pihak tidak salah dalam merngajukan gugatan atau

permohonan yakni ke Pengadilan Agama mana, orang

akan mengajukan perkarannya dan juga berhubungan

dengan hak eksepsi tergugat. Menurut teori umum

hukum acara perdata peradilan umum (tentang tempat

mengajukan gugatan), apabila penggugat mengajukan

gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja,

diperbolehkan dan Pengadilan tersebut masing-masing

boleh memeriksa dan mengadili perkara sepanjang tidak

ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh

saja orang (penggugat dan tergugat memilih untuk

berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang

mereka sepakati.17

Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas –tegas

dinyatakan lain. Pengadilan Negeri dalam hal ini boleh

menerima pendaftaran perkara tersebut disamping boleh

pula menolaknya. Namun sejak semula sudah tidak

17

HIR Pasal 118 ayat 4

42

berkenan menerima gugatan/permohonan semacam itu,

sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana

seharusnya gugatan/permohonan itu diajukan.

Ketentuan umum peradilan umum tersebut berlaku

juga untuk Peradilan Agama sebagaimana ditunjuk oleh

Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Di masa lalu sebelum Peradilan Agama mempunyai

kekuasaan absolut yang seragam di seluruh Indonesia

(sebelum Undang-undang No. 7 Tahun 1989), Peradilan

Agama tidak dapat menerima ketentuan umum peradilan

umum di atas, sebab suatu jenis perkara misalnya menjadi

kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Sumatera

belum tentu menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di

Pulau Jawa seperti mengenai kewarisan.18

Untuk menentukan kompetensi relatif setiap

Pengadilan Agama dasar hukumnya adalah berpedoman

pada ketentuan Undang-undang hukum acara perdata.

Dalam pasal 54 Undang-undang No. 7 Tahun 1989,

ditentukan bahwa acara yang berlaku pada lingkup

Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku pada

lingkup Peradilan Umum. Oleh karena itu, landasan untuk

18

A. Basiq Djalil, Pengadilan Agama di Indonesi. Jakarta: Kencana, 2006.

hal: 137-139

43

menentukan kewenangan realtif Pengadilan Agama merujuk

pada ketentuan Pasal 118 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo pasal

66 dan pasal 77 Undang-undang No. 7 Tahun 1989.

Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan

yang menetapkan ke Pengadilan Agama mana gugatan

diajukan, agar gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118

ayat (1) HIR menganut asas bahwa yang berwenang adalah

pengadilan di tempat kediaman tergugat. Asas ini dalam

bahasa latin disebut “actor sequirtur forum rei”. Menurut

asas ini, pengadilan tidaklah berwenang untuk memeriksa

suatu perkara apabila terdapat pengadilan di lain tempat

yang lebih berwenang untuk memeriksa perkara tersebut.

Prinsip ini kemudian secara universal diterima sebagai

prinsip umum dalam pengadilan perdata dengan

menggunakan acuan tempat kedudukan Tergugat. Namun

ada beberapa pengecualian, yaitu yang tercantum dalam

pasal 118 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), yaitu :

a) Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan

kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi

tempat kediaman salah seorang dari tergugat.

44

b) Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka

gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat tinggal

penggugat.

c) Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka

gugatan diajukan kepada Pengadilan di wilayah hukum

di mana barang tersebut terletak, dan

d) Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan satu

akta, maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan

tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut.19

C. Pengertian Perceraian

Talak menurut arti yang umum ialah segala macam

bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang

ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan

sendirinya atau perceraian karena meninggalnya seorang suami,

atau talak dalam arti yang khusus ialah perceraian yang

dijatuhkan oleh pihak suami.20

19

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah

Syari’ah. Jakarta: Sinar 2009, hal. 53-54. 20

Soemiyato, Hukum Perkawainan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.

Hlm 103

45

Secara etimologis, talak berarti melepas ikatan. Talak

berasal dari kata Arab Itlaq yang berarti melepaskan atau

meninggalkan.21

Dalam terminologi syariat, talak berarti memutuskan

atau membatalkan ikatan pernikahan, baik pemutusan itu terjadi

pada masa kini (jika talak itu berupa talak bain) maupun pada

masa mendatang, yakni setelah iddah (jika talak berupa talak

raj’i) dengan menggunakan lafadz tertentu.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak

diatur mengenai pengertian perceraian akan tetapi hal-hal yang

bersangkutan dengan perceraian diatur dalam pasal 113 sampai

dengan pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan

melihat isi dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa untuk

melakukan sebuah perceraian sangat sulit, karena jika seseorang

ingin melakukan perceraian harus memiliki alasan-alasan yang

kuat dan alasan-alasan tersebut harus benar-benar sesuai dengan

hukum yang berlaku.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum

Islam (KHI) yang isinya sebagai berikut:

21

Abu Malik kamal, Fikih Sunnah Wanita. Jakarta: Pena Pundi Aksara,

2007, hal: 230

46

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak”

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 115

seperti yang tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan

perceraian perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah

proses pengucapan ikrar talak yang harus dilakukan di depan

persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan Agama.

Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan diluar persidangan

maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak

sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Abdul Djamali dalam bukunya, hukum Islam,

mengatakan bahwa perceraian merupakan putusnya perkawinan

antar suami-istri dalam hubungan keluarga.22

Dari definisi yang

telah penulis kemukakan diatas, maka dapat penulis simpulkan

bahwa yang dimaksud talak adalah melepas adanya tali

perkawinan antara suami-istri dengan mengunakan kata khusus

yaitu kata talak atau semacamnya sehingga istri tidak halal

baginya setelah ditalak yang diajukan di Pengadilan Agama.

22

Abdul Djamali, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 1997,95.

47

D. Dasar Hukum Perceraian

Permasalahan perceraian atau talak dalam hukum Islam

dibolehkan dan diatur dalam dua sumber hukum Islam, yakni al-

Qur’an dan Hadist. Hal ini dapat dilihat pada sumber-sumber

dasar hukum berikut ini, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat

231 disebutkan bahwa :

أو سوف بمع سكىهه فأم أجههه ه فبهغ ء نىسا ٱ تم طهق وإذا

حىهه نتع ا ضساز سكىهه تم ول سوفبمع سس تدوا

ٱ ت ءاي ا تتخرو ول ۥ سه وف ظهم فقد نك ذ عم يف ومه لل

ٱ مت وع كسوا ذ ٱو ا هزو ه كمعهي أوزل وما كم عهي لل م

ٱ تقىا ٱو ۦ به يعظكم مت حك ن ٱو ب كت ن ٱ ٱ أن ا همى ع ٱو لل بكم لل

[١٣٢,انبقسة سىزة] ١٣٢ عهيم ء شي

Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka

mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka

dengan cara yang ma´ruf, atau ceraikanlah mereka

dengan cara yang ma´ruf (pula). Janganlah kamu

rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena

dengan demikian kamu menganiaya mereka.

48

Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia

telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.

Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah

permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan

apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al

Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi

pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-

Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta

ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui

segala sesuatu.” (QS: Al-Baqoroh ayat 231)

Hadist Rasulullah SAW bahwa talak atau perceraian

adalah perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah

seperti hadis Nabi dibawah ini yang berbunyi.23

ل رسول الله صلى اهلل عليه وسلم أب غض عن ابن عمر قال : قا

الحلل عند الله الطلق

23

Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, Beirut : Dar al-Kutub al Ilmiyah,

1996, hal: 34

49

Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah Azza

wa Jalla adalah talak.”

Secara tidak langsung, Islam membolehkan perceraian

namun disisi lain juga mengharapkan agar proses perceraian

tidak dilakukan oleh pasangan suami istri. Hal ini seperti tersirat

dalam tata aturan Islam mengenai proses perceraian. Pada saat

pasangan akan melakukan perceraian atau dalam proses

perselisihan pasangan suami-istri, Islam mengajarkan agar

dikirim hakim yang bertugas untuk mendamaikan keduanya.

Dengan demikian, Islam lebih menganjurkan untuk melakukan

perbaikan hubungan suami-istri dari pada memisahkan

keduanya. Perihal anjuran penunjukan hakim untuk

mendamaikan perselisihan antara suami-istri dijelaskan oleh

Allah dalam firman-Nya surat an-Nisa ayat 35 berikut ini:

Dalam hal ini ditunjukkan pula bahwa Islam sangat

berkeinginan agar kehidupan rumah tangga itu tentram dan

terhindar dari keretakan, bahkan diharapkan dapat mencapai

suasana pergaulan yang baik dan saling mencintai. Dan wanita

yang menuntut cerai dari suaminya hanya karena menginginkan

kehidupan yang menurut anggapannya lebih baik, dia berdosa

50

dan diharamkan mencium bau surga kelak di akhirat. Karena

perkawinan pada hakikatnya merupakan salah satu anugerah

Ilahi yang patut disyukuri. Dan dengan bercerai berarti tidak

mensyukuri anugerah tersebut (kufur nikmat). Dan kufur itu

tentu dilarang agama dan tidak halal dilakukan kecuali dengan

sangat terpaksa (darurat).24

Perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai‚ pintu

darurat yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan

rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan

kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir, Islam

menunjukkan agar sebelum terjadinya perceraian, ditempuh

usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, karena ikatan

perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh.

Perceraian dalam hukum negara diatur dalam:

a) Undang - Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

pada Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan Serta

Akibatnya mulai dari Pasal 38 sampai Pasal 41.

b) PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Perkawinan yang diatur dalam Bab V tentang Tata Cara

24

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada, 1995, 268.

51

Perceraian yang tertulis dari Pasal 14 sampai dengan Pasal

36.

c) UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama

menjelaskan tentang tata cara pemeriksaan sengketa

perkawinan. Penjelasan tersebut diatur dalam Bab Berita

Acara bagian kedua tentang Pemeriksaan Sengketa

Perkawinan yang diatur dari Pasal 65 sampai dengan Pasal

91.

d) Inpres No. I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

yang diatur dalam Bab XVI tentang Putusnya Perkawinan

serta Bab XVII tentang Akibat Putusnya Perkawinan. Pada

bab XVI ketentuan mengenai perceraian dijelaskan dalam

dua bagian. Bagian kesatu meru pakan ketentuan umum

tentang perceraian sedangkan bagian kedua berkaitan

dengan tata cara perceraian. Dalam bab ini kedua bagian

tersebut dijelaskan dari Pasal 114 sampai dengan Pasal 148.

Sedangkan pada Bab XVII dijelaskan dari Pasal 149 sampai

dengan Pasal 162.

E. Alasan-Alasan Perceraian Dalam KHI

Untuk dapat mengajukan gugatan perceraian ke

Pengadilan Agama harus disertai dengan alasan-alasan yang

52

cukup dan sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditetapkan

dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Adapun hal-hal yang dapat dipakai sebagai alasan untuk

mengajukan gugatan perceraian ini diatur dalam pasal 116 Ayat

a sampai dengan h dan dipertegas lagi dalam pasal 19 Peraturan

Pemarintah No. 9 tahun 1975, yang pada dasarnya sebagai

berikut:

1. Alasan Zina, Pemabuk dan Penjudi.25

Permohonan cerai atau gugatan cerai yang

diajukan para pihak kepada Pengadilan Agama, memiliki

berbagai masalah sesuai dengan besar dan kecilnya atau ada

tidaknya alasan perceraian, salah satunya alasan yang

dikemukakan adalah perceraian karena alasan zina.

Perzinaan disini adalah zina dalam pengertian hukum Islam

yang spesifik dan mempunyai ciri khusus. Membuktikan

sebuah perzinaan bukanlah persoalan yang mudah, terlebih

dahulu pihak yang dituduh berzina itu membantah atau

menyangkal dengan cara yang sama dan meneguhkannya.

Zina merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan

25

UU RI No. 1 Th. 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Op.Cit., hal: 268

53

rusaknya rumah tangga, menghilangkan harkat dan martabat

keluarga serta memutuskan tali pernikahan. Maka dalam hal

ini dapat dijadikan sebagai alasan suatu perceraian, dengan

cukup saksi untuk membukti kan perzinaan yang dilakukan

oleh salah satu pihak.

Begitu halnya pemabuk atau pengkonsumsi

minuman keras (khamar) dan penjudi dapat juga dijadikan

sebagai salah satu alasan perceraian, karena kedua

perbuatan tersebut dapat membuat orang lepas control

sehingga dapat mempengaruhi dirinya untuk berbuat yang

pada akhirnya menimbulkan sebuah pertengkaran,

permusuhan dan kebencian bahkan lupa akan Allah SWT

dan kewajibannya.

2. Alasan Cerai Karena Meninggalkan Salah Satu Pihak

Selama 2 (dua) Tahun.26

Salah satu pihak meniggalkan pihak yang lain

selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak

yang lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar

kemampuannya, maka untuk pengajuan gugatannya

diajukan setelah lampau tahun terhitung sejak tergugat

26

Tp, UU RI No. 1 Th. 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

Islam.Op.Cit., 269

54

meninggalkan rumah, agar gugatannya diterima, maka perlu

dibuktikan bahwa tergugat menyatakan atau menunjukkan

sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama.

3. Alasan Cerai Karena Pidana Penjara 5 (lima) Tahun.

Alasan perceraian karena salah satu pihak

mendapat hukuman penjara selama lima tahun atau

mendapat hukuman yang lebih berat setelah perkawinan

berlangsung, maka untuk membuktikan alasan tersebut,

penggugat menyampaikan salinan atau turunan putusan

pengadilan yang memutuskan perkara pidana penjara lima

tahun disertai adanya keterangan yang menyatakan bahwa

putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap

atau pasti.27

4. Melakukan Kekejaman atau Penganiayaan Berat.28

Undang-undang perkawinan tidak menjelaskan

lebih lanjut tentang kekejaman atau penganiayaan berat

yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan perceraian.

Dalam ketentuannya yang terpenting harus terdapat kata-

kata yang dapat membahayakan pihak lain. Tentang

27

Lihat PP. No.9/1975 pasal 19 huruf (h), tentang pelaksanaan UU No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan 28

Tp, UU RI No. 1 Th. 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

Islam. Op.Cit., 269

55

perbuatan bagaimana yang bersifat membahayakan pihak

lain itu juga tidak dijelaskan secara lengkap. Tampaknya

dalam permasalahan ini pembuat Undang-undang hendak

menyerahkan penafsirannya pada para hakim.

5. Alasan Perceraian Karena Cacat Badan atau Penyakit.

Alasan perceraian karena tergugat mendapat

cacat badan atau penyakit yang berakibat tidak dapat

menjalankan kewajiban sebagai suami-istri. Maka untuk

membuktikan alasan penggugat dapat mengajukan bukti

hasil pemeriksaan dari dokter.29

6. Alasan Perceraian Karena Berselisih dan Bertengkar.30

Alasan karena suami dan istri dalam rumah

tangganya terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi

dalam membina rumah tangga maka untuk membuktikan

alasan yang diajukan itu dan menjadi jelas sebab-sebab

perselisihan dan pertengkaran suami istri akan didengar

pihak keluarga dan orang yang dekat dengan suami dan istri

tersebut, selain itu bisa saja terjadi perselisihan yang

semakin memuncak yang mengakibatkan terjadinya

29

lihat UU No 7/1989 pasal 75 tentang Peradilan Agama 30

Tp, UU RI No. 1 Th. 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

Islam. Op.Cit., hal: 270

56

perceraian karena alasan syiqaq, sehingga dengan adanya

alasan tersebut Pengadilan Agama akan mendengar

keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau

orang-orang yang terdekat dengan suami istri dan dapat

mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-

masing atau bisa juga orang lain untuk menjadi hakam.

Tentang suami yang melanggar taklik talak.

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberikan hak

kepada istri untuk mengajukan gugatan dan sebagai alasan

gugatan perceraian ke pengadilan agama. Pelanggaran

perjanjian perkawinan yang dapat dijadikan alasan gugatan

perceraian, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan retaknya

hati dan munculnya pertengkaran terus menerus

pelanggaran yang berkaitan dengan taklik talak dan

perjanjian pelanggaran lain (yang dilaksankan sesuai

dengan hukum Islam) akan tetapi dilanggar suami atau istri

(lihat kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 45 dan 41). Pada

akhirnya alasan perceraian tetap mengacu pada bentuknya

yang limitatife sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 PP

No 9 Tahun 1975.

57

7. Salah Satu Pihak Murtad

Murtad dapat dijadikan alasan perceraian karena

apabila dalam suatu rumah tangga tidak ada kesamaan iman

maka tidak menutup kemungkinan sering terjadi

perselisihan dalam hidup berumah tangga. Oleh karena itu

apabila salah satu pihak (suami/istri) murtad maka menurut

fiqih syafi’iyyah secara otomatis perkawinan itu sudah

putus atau perkawinan itu batal (fasakh).

Dalam hal ini dua poin terakhir yakni “suami

telah melanggar taklik talak dan salah satu pihak murtad”

merupakan tambahan atas alasan perceraian. Penambahan

ini didasarkan atas pengalaman selama ini. Sering sekali

terjadi Pengadilan Agama menolak suatu gugatan

perceraian atas dalil suami atau istri berpindah agama

(murtad). Alasan penolakan yang dilakukan hakim

didasarkan pada pertimbangan bahwa UU No. 1 tahun 1974

dan PP No. 9 tahun 1975 tidak mengatur murtad sebagai

salah satu alasan cerai. Pada hal jika ditinjau dari segi

hukum Islam hal itu sangat beralasan untuk memutuskan

sebuah tali perkawinan.

58

F. Tata Cara Pengajuan Perkara Perceraian di Pengadilan

Agama

Tata cara perceraian/prosedur permohonan

perceraian di Pengadilan Agama diatur dalam Bab XVI

Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang putusnya

perkawinan bagian kedua. Tata cara perceraian/prosedur

permohonan perceraian yang diatur dalam KHI terdapat

dalam Pasal 129, 130, 131 ayat (1-5), 132 ayat (1-2), 133

ayat (1-2), 134, 135, 136 ayat (1-2), 137, 138 ayat (1-5),

139 ayat (1-4), 140, 141 ayat (1-3), 142 ayat (1-2), 143 ayat

(1-2), 144, 145, 146 ayat (1-2), 147 ayat (1-6), 148 ayat (1-

6) sebagai berikut31

:

1. Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada

istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun

tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi

tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta

meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.32

2. Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak

permohonan tersebut , dan terhadap keputusan tersebut

dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.33

31

Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab I : Hukum Perkawinan 32

Ibid 33

Ibid

59

3. a) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari

permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu

selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil

permohonan dan istrinya untuk meminta

penjelasan tentang segala sesuatu yang

berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

b) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil

menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup

alasan untuk menjatuhkan talak serta yang

bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun

dalam rumah tangga, Pengadilan Agama

menjatuhkan keputusan tentang izin bagi suami

untuk mengikrarkan talak.

c) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum

tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan

sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau

kuasanya

d) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam

tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan

Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak

60

suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan

perkawinan tetap utuh.

e) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan

Agama membuat penetapan tentang terjadinya

talak rangkap empat yang merupakan bukti

perceraian bagi bekas suami dan isteri.

Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan

kepada pegawai pencatat nikah yang mewilayahi

tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan,

helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan

kepada suami isteri, dan helai disimpan oleh

Pengadilan Agama.34

4. a) Gugatan perceraian di ajukan oleh istri atau

kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah

hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat

kecuali istri meninggalkan tempat kediaman

bersama tanpa izin suami.

b) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar

negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan

34

Ibid

61

gugatan tersebut kepada tergugat melalui

Perwakilan Republik Indonesia setempat.35

5. a) Gugatan percaraian karena alasan tersebut dalam

pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2

(dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan

rumah.

b) Gugatan dapat diterima apabila tergugat

menyatakan atau menunjukkaan sikap tidak mau

lagi kembali kerumah kediaman bersama

6. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam

Pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup

jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab

perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah

mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang

dekat dengan suami istri tersebut.36

7. Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat

hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang

lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c,

maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai

bukti penggugat cukup menyampaikan salinan

putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai

35

Ibid 36

Ibid

62

keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap.37

8. a) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas

permohonan penggugat berdasarkan pertimbangan

bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan

Agama dapat mengizinkan suami istri tersebut

untuk tinggal dalam satu rumah.

b) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas

permohonan penggugat, Pengadilan Agama dapat:

i. Menentuka nafkah yang harus ditanggung

oleh suami.

ii. Menentukan hal-hal yang perlu untuk

menjamin terpeliharanya barang-barang yang

menjadi hak bersama suami istri atau barang-

barang menjadi hak suami atau barang-

barang yang menjadi hak istri.38

9. Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri

meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama

mengenai gugatan perceraian itu.39

37

Ibid 38

Ibid 39

Ibid

63

10. a) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama

yang memeriksa gugatan perceraian , bagi

penggugat maupun tergugat, atau kuasa mereka

akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.

b) Panggilan untuk menghadiri sidang sebagai mana

tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh petugas

yang ditunjukkan oleh Ketua Pengadilan Agama.

c) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang

bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan

disampaikan melalui Lurah atau yang sederajat.

d) Panggilan sebagai tersebut dalam ayat (1)

dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah

diterima oleh penggugat maupun tergugat atau

kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari

sebelum sidang dibuka.

e) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan

salinan surat gugatan.40

11. a) Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau

tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang

tetap, panggilan dilakukan dengan cara

menempelkan gugatan pada papan pengumuman di

40

Ibid

64

Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui

satu atau beberapa surat kabar masa media lain

yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

b) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat

kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan

sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang satu bulan

antara pengumuman pertama dan kedua.

c) Tenggang waktu antara panggilan terakhir

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan

persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3

(tiga) bulan.

d) Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) dan tergugat dan kuasanya tetap

tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya

tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau

tidak beralasan41

12. Apabila tergugat dalam keadaan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilan

disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia

setempat.42

41

Ibid 42

Ibid

65

13. a) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh

hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari

setelah diterimanya berkas atau surat gugatan

perceraian.

b) Dalam menetapkan waktu sidang gugatan

perceraian perlu diperhatikan tentang waktu

pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut

oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa

mereka.

c) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti

tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang

pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan

sekurang- kurangnya 6 (enam) bulan terhitung

sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada

kepaniteraan Pengadilan Agama.43

14. a) Pada saat pemeriksaan gugatan perceraian, suami

isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada

kuasanya.

b) Dalam hal suami atau isteri mewakilkan untuk

kepentingan pemeriksaan hakim dapat

43

Ibid

66

memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir

sendiri.44

15. a) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim

berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

b) Selama perkara belum diputuskan, usaha

mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang

pemeriksaan.45

16. Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat

diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-

alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah

diketahui oleh penggugat pada waktu terjadinya

perdamaian.46

17. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan

gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.47

18. a) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan

dalam sidang terbuka.

b) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-

akibatnya terhitung sejak jatuhya putusan

44

Ibid 45

Ibid 46

Ibid 47

Ibid

67

Pengadilan Agama yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap.48

19. a) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka

panitera Pengadilan Agama meyampaikan salinan

surat putusan tersebut kepada suami isteri atau

kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari

masing-masing yang bersangkutan.

b) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban

mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan

Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap tanpa bermaterai kepada pegawai

pencatat nikah yang mewilayahi tempat tinggal

isteri untuk diadakan pencatatan.

c) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat

keterangan kepada masing-masing suami isteri atau

kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan

merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas

isteri.

d) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan

dalam ruang yang tersedia pada kutipan akta nikah

48

Ibid

68

yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai.

Catatan tersebut berisi tempat terjadinya

perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal

surat putusan serta tanda tangan Panitera.

e) Apabila pegawai pencatat nikah yang mewilayahi

tempat tinggal isteri berbeda dengan pegawai

pencatat nikah tempat pernikahan mereka

dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan

Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) dikirimkan pula kepada pegawai pencatat

nikah yang mewilayahi tempat perkawinan

dilangsungkan dan bagi perkawinan yang

dilangsungkan di luar negeri salinan itu

disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah di

Jakarta.

f) Kelalaian pengiriman salinan putusan tersebut

dalam ayat (1) menjadi tanggung jawab Panitera

yang bersangkutan, apabila yang demikian itu

mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau

isteri atau keduanya 49

49

Ibid

69

20. a) Seorang isteri yang mengajukan gugatan

perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan

permohonannya kepada Pengadilan Agama yang

mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau

alasan-alasannya.

b) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan

memanggil isteri dan suaminya untuk didengar

keterangnnya masing-masing.

c) Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama

memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan

memberikan nasehat-nasehatnya.

d) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang

besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan

Agama memberikan penetapan tentang izin bagi

suami untuk mengikrarkan talaknya di depan

sidang pengadilan agama. Terhadap penetapan itu

tdak dapat dilakukan upaya banding atau kasasi.

e) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana

yang diatur dalam pasal 131 ayat (5).

70

f) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang

besarnya tebusan atau iwadl, Pengadilan Agama

memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.50

50

Ibid

71

BAB III

PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG

A. Deskripsi Pengadilan Agama Semarang

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama

Semarang yang sekarang terletak di Jalan Urip Sumoharjo

No. 5. Membawahi wilayah hukum Kota Semarang terdiri

dari 16 Kecamatan dan 176 Desa atau Kelurahan. Batas

wilayah sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Demak, sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang,

sebelah barat dengan Kabupaten Kendal dan sebalah utara

dengan Laut Jawa. Letak geografis Pengadilan Agama

Semarang terletak pada 7°00' lintang selatan 110°24' bujur

timur.

2. Landasan berdiri Pengadilan Agama

Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qadha”

yang berarti “memutuskan”, melaksanakan,

menyelesaikan. Ada pula yang menyatakan bahwa pada

umum kamus tidak membedakan antara peradilan dengan

pengadilan. Selain itu arti menyelesaikan arti qadha yang

dimaksud ada pula yang berarti memutuskan hukum atau

72

menetapkan sesuatu ketetapan. Makna hukum di sini pada

asalnya berarti menghalangi atau mencegah, oleh karena

itu qadhi dinamakan hakim, karena seorang hakim

berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari

penganiayaan.1

Pengadilan Agama merupakan peradilan yang

melakukan kekuasaan kehakiman di Indonesia,

sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 14 tahun 1970 yang kemudian direvisi dan

disahkan menjadi UU RI Nomor 35 tahun 1999 dan

direvisi menjadi UU RI Nomor 4 tahun 2004 dan yang

terbaru UU RI Nomor 48 tahun 2009 tentang Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan

dalam lingkungan:

a. Peradilan Umum

b. Peradilan Agama

c. Peradilan Militer

d. Peradilan Tata Usaha Negara

Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan

agama sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini

1 Ulin Nuryani, Tentang Murtad Sebagai Alasan Fasakh Nikah, (Semarang:

IAIN Walisongo, 2012), hlm. 31.

73

dilaksanakan oleh pengadilan agama sebagai pengadilan

tingkat pertama dan pengadilan tingkat tinggi agama

sebagai pengadilan tingkat banding yang berpuncak pada

Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi atau terakhir

sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh

Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970, UU RI Nomor 35

tahun 1999, UU RI Nomor 4 tahun 2004, UU RI Nomor

48 tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan Kekuasaan

Kehakiman.2

Dilihat dari perubahan dari Undang-undang

Nomor 14 tahun 1970, UU RI Nomor 35 tahun 1999, UU

RI Nomor 4 tahun 2004, UU RI Nomor 48 tahun 2009

tentang ketentuan-ketentuan Kekuasaan Kehakiman,

Pengadilan agama mengalami perubahan yang menuju

pada kemandirian dalam menjalankan kekuasaan

kehakiman sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan

dengan diundangkannya UU RI Nomor 35 tahun 1999

tentang kekuasaan kehakiman yang sekarang diubah

dengan UU RI Nomor 48 tahun 2009.

Dengan demikian secara tegas administrasi umum

yang selama ini berada di bawah kekuasaan masing-

2 Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, cet. I, Yogyakarta:

Pustaka Offset, 2010, hlm. 21

74

masing departemen, maka seluruh administrasi baik secara

umum maupun yudisial berada di bawah kekuasaan

Mahkamah Agung RI. Kemudian lahirnya UU RI Nomor

4 tahun 2004 yang merupakan perubahan dari UU RI

Nomor 35 tahun 1999 dan sekarang diubah dengan UU RI

Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan antara lain

ditegaskan untuk pelaksanaan satu atap bagi lingkungan

peradilan agama, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 21

ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan

kehakiman, bahwa “organisasi” administrasi dan financial

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya berada pada kekuasaan Mahkamah Agung.3

UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

juga telah direvisi menjadi UU Nomor 3 tahun 2006 dan

sekarang diubah dengan UU Nomor 50 tahun 2009, dalam

Pasal 5 ayat (1) yaitu Pembinaan teknis peradilan,

organisasi, administrasi, dan financial pengadilan

dilakukan oleh Mahkamah Agung,4 namun hal ini tidak

mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan

3 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 48 tahun 2009), cet. I,

Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 11. 4 Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (UU RI Nomor 50 tahun

2009), cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 44.

75

memutuskan perkara sebagaimana disebutkan dalam ayat

(2) dalam Pasal yang sama.

3. Sejarah Peradilan Agama Semarang

Pengadilan Agama merupakan salah satu lembaga

Negara dan penegak hukum di Indonesia yang ada sejak

dahulu masuknya agama Islam di nusantara pada abad ke-

VII Masehi. Peradilan Agama sudah ada di Indonesia

sejak zaman kerajaan kerajaan. Di beberapa daerah

tertentu di Indonesia, agama Islam tidak saja menjadi

agama resmi atau agama Negara bahkan hukum yang

diberlakukan di daerah tersebut adalah hukum Islam.

Seperti kerajaan Islam Pasai, Pagar Ruyung, Padri,

Kerajaan Islam Mataram, di Jawa Tengah, Kerajaan Islam

Banjarmasin, dan Makasar.5

Perkembangan dari awal keberadaan sampai saat

ini telah mengalami pasang surut sesuai dengan keadaan

masa-masa yang ada pada zaman yang selalu berjalan.

Yakni masa sebelum penjajahan, kemudian keadaan pada

masa penjajahan Belanda dan Jepang, hingga masa

5Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta :

Pustaka Pelajar,

2004, hlm. 3.

76

kemerdekaan, bahkan pada tahun 2006 mengalami

perkembangan yang cukup pesat.

Pada awal Indonesia merdeka, Pengadilan Agama

berada dibawah naungan Kementerian Kehakiman.

Namun setelah berdiri Kementerian Agama pada tanggal 3

Januari 1946, maka berdasarkan penetapan pemerintah

Nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946, Pengadilan Agama

dipindah dari Kementerian Kehakiman masuk pada

Kementerian Agama.

Peraturan yang mengatur Pengadilan Agama di

Jawa dan Madura yakni peraturan sementara yang

tercantum dalam Verordering tanggal 8 Nopember 1946,

dan Pengadilan Agama di Kalimantan selatan dan

Kalimantan timur tetap tunduk pada peraturan lama yaitu

Statsblad 1937nomor 610, sedangkan Mahkamah Islam

Tinggi (Hoof Islamtische Zaken)baru mulai lagi

melaksanakan persidangan.

Pada tahun 1948 keluarlah Undang-Undang No.19

Tahun 1948 tentang susunan dan Kekuasaan Kehakiman

dan Kejaksaan. Dalam UU tersebut, kedudukan dan

kewenangan Peradilan Agama dimasukkan dalam

77

Pengadilan Umum secara istimewa yang diatur dala pasal

33, 35 ayat (2) dan pasal 75.

Undang-undang ini bermaksud mengatur tentang

peradilan serta menyempurnakan isi dari Undang-Undang

No.7 Tahun 1947. lahirnya UU ini mendapat reaksi dari

berbagai pihak, terutama para Ulama’ Sumatra. Misalnya

Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Selatan, sepakat

menolak kehadiran Undang-Undang tersebut serta

mengusulkan agar Mahkamah Syari’ah yang sudah ada

tetap berjalan. Pada Tahun 1951 di dalam lingkungan

peradilan diadakan sebuah perubahan yang penting dengan

diundangkannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951, UU ini

berisi tentang pelanjutan Peradilan Agama serta Peradilan

Desa.

Berdirinya Pengadilan Agama Semarang tidak

bisa dipisahkan dari sejarah berdirinya kota Semarang.

Sejarah kota Semarang diawali dengan kedatangan

Pangeran Made Pandan beserta putranya yang bernama

Raden Pandan Arang dari Kesultanan Demak Pulau

Tirang. Mereka membuka lahan dan mendirikan pesantren

di daerah tersebut sebagai sarana menyiarkan Agama

Islam. Daerah tersebut tampaklah pohon asam yang jarang

78

dalam bahasa Jawa disebut dengan Asam Arang. Sehingga

dalam perkembangan selanjutnya disebut dengan

Semarang.

Sultan Pandan Arang II (wafat 1533) putra dari

desa yang bergelar Kyai Ageng Pandan Arang I adalah

Bupati Semarang I yang meletakkan dasar-dasar

pemerintahan kota Semarang, yang kemudian dinobatkan

menjadi Bupati Semarang pada tanggal 12 Rabiul Awal

954 H bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 M. tanggal

penobatan tersebut dijadikan sebagai hari jadi kota

Semarang.

Dalam bentuknya yang sederhana, Pengadilan

Agama Semarang dikenal juga dengan Pengadilan

Surambi, karena pada awal berdirinya pengadilan tersebut

berkantor di serambi Masjid Agung Semarang yang

dikenal dengan Masjid besar Kauman yang terletak di

sebelah barat alun-alun dekat pasar Johar. Setelah

beberapa tahun berkantor di serambi masjid, kemudian

menempati sebuah bangunan yang terletak di sebelah

selatan masjid. Bangunan tersebut sekarang dijadikan

perpustakaan masjid besar Kauman.

79

Kemudian pada masa walikota Semarang dijabat

oleh Bapak Hadijanto, berdasarkan surat walikota pada

tanggal 28 Juli 1977 Pengadilan Agama Semarang untuk

dibangun gedung Pengadilan Agama Semarang diberikan

sebidang tanah seluas ±4000 m² yang terletak di Jalan

Ronggolawe Semarang untuk dibangun gedung

Pengadilan Agama Semarang. Gedung Pengadilan Agama

tersebut terletak di Jalan Ronggolawe Nomor 6 Semarang

dengan bangunan seluas 499 m² dan diresmikan pada

tanggal 19 September 1978 yang sekarang dipindah di

Jalan Urip Sumoharjo Nomor 5 Semarang yang

diresmikan pada tanggal 5 Oktober 2015.

Sejak tanggal tersebut Pengadilan Agama

Semarang memiliki gedung sendiri sampai sekarang dan

ditempati.6

4. Visi dan Misi Pengadilan Agama Semarang.

Pengadilan Agama Semang mempunyai

visi:“Terwujudnya Badan Peradilan Agama Yang Agung”

Selain visi Pengadilan Agama Semarang

mempunyai misi:

6 http://pa-semarang.go.id. diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2017

pukul 23.00 wib

80

a. Menyelenggarakan pelayanan yudisial dengan

seksama dan sewajarnya serta mengayomi

masyarakat.

b. Menyelenggarakan pelayanan non yudisial dengan

bersih dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan

nepotisme.

c. Mengembangkan penerapan manajemen modern

dalam pengurusan kepegawaian, sarana dan prasarana

rumah tangga Kantor dan pengelolaan keuangan.

d. Meningkatkan pembinaan sumber daya manusia dan

pengawasan terhadap jalannya peradilan.7

5. Dasar Hukum Dibentuknya Pengadilan Agama Semarang

Dasar Hukum Dibentuknya Pengadilan Agama

Semarang adalah:

a. Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor

24 tanggal 19 Januari 1882 yang dimuat dalam

Staadblad Nomor 152 tahun 1882 tentang

Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan

Madura.

b. Penetapan Pemerintah Nomor 5/SD tanggal 26 Maret

1946 tentang Penyerahan Mahkamah Islam Tinggi

7Ibid.

81

dari Kementrian Kehakiman kepada Kementrian

Agama.

c. Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951

tentang Pelanjutan Peradilan Agama dan Peradilan

Desa. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang

Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah

diubah dengan UU Nomor 4 tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 48 tahun

2009.

d. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-undang

Nomor 50 tahun 2009.8

6. Kedudukan Pengadilan Agama Semarang

UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan;

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di

bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan

Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara,

dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”9

8Ibid

9Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945

82

UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU

Nomor 3 tahun 2006 dan UU Nomor 50 tahun 2009, Pasal

2 menyatakan:

“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana

Kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragam Islam mengenai perkara perdata tertentu yang

diatur dalam undang-undang ini.”

Pasal 3 Peradilan Agama tersebut menyatakan:

a. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan

dilaksanakan oleh:

1) Pengadilan Agama;

2) Pengadilan Tinggi Agama;

b. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan

Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai

Pengadilan Negara Tertinggi.

Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 50 tahun 2009 atas

perubahan UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan

Agama menyatakan bahwa:

83

“Peradilan Agama berkedudukan di Ibu kota

Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi

wilayah Kabupaten/Kota.”10

7. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama Semarang

Pengadilan Agama merupakan lembaga peradilan

tingkat pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam,

sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 50 tahun

2009:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di

tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam,

dalam bidang:

a. Perkawinan ;

b. Waris

c. Wasiat

d. Hibah

e. Wakaf

f. Zakat

g. Infaq

10

Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 UU Nomor 50 tahun 2009

84

h. Shadaqah

i. Ekonomi Syari’ah11

8. Kompetensi Relatif Pengadilan Agama Semarang

Yang termasuk dalam wilayah kewenangan

Pengadilan Agama Semarang adalah:

a. Kecamatan Semarang Barat

b. Kecamatan Semarang Selatan

c. Kecamatan Pedurungan

d. Kecamatan Banyumanik

e. Kecamatan Mijen

f. Kecamatan Ngaliyan

g. Kecamatan Gayamsari

h. Kecamatan Tembalang

i. Kecamatan Semarang Utara

j. Kecamatan Semarang Tengah

k. Kecamatan Semarang Timur

l. Kecamatan Gajahmungkur

m. Kecamatan Genuk

n. Kecamatan Gunungpati

o. Kecamatan Tugu

p. Kecamatan Candisari12

11

Pasal 49 UU Nomor 50 tahun 2009 perubahan kedua tentang peradilan

agama

85

9. Fungsi Pengadilan Agama Semarang

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut,

Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. Memberikan pelayanan Teknis Yudisial dan

Administrasi Kepaniteraan bagi perkara tingkat

pertama serta Penyitaan dan Eksekusi;

b. Memberikan pelayanan di bidang Administrasi

Perkara Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali

serta Administrasi Peradilan lainnya;

c. Memberikan pelayanan administrasi umum pada

semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama;

d. Memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat

tentang Hukum Islam pada Instansi Pemerintah di

daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur

dalam Pasal 52 UU Nomor 50 tahun 2009 perubahan

kedua atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan

Agama;

e. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan

pertolongan pembagian harta peninggalan di luar

sengketa antara orang-orang yang beragama islam

yang dilakukan berdasarkan hukum islam

12

http://pa-semarang.go.id. diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2017

pukul 23.00 wib

86

sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU Nomor 3

tahun 2006 perubahan atas UU Nomor tahun 1989

tentang Peradilan Agama;

f. Waarmerking akta keahliwarisan di bawah tangan

untuk pengambilan deposito/tabungan, pensiunan dan

sebagainya;

g. Melaksanakan tugas-tugas lainnya seperti penyuluhan

hukum, memberikan pertimbangan hukum agama,

pelayanan riset/penelitian, dan sebagainya. 13

10. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Semarang.

Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama

Semarang sebagai berikut:

Ketua : Drs. H. Anis Fuadz, SH.

Wakil Ketua : Drs. H. Asep Immadudin, SH.

Hakim : Drs. M. Syukri, SH., MH.

Drs. H. Asy’ari, MH.

Drs. Muhammad Manshur Noor

Drs. H. Rifa’i, SH.

Drs. H. Ma’mun

Drs. Zainal Arifin, SH.

Drs. H. Ahmad Adib, SH., MH.

13

Ibid

87

Drs. H. Muhsin Ritonga, MH.

Drs. H. Syukur, MH.

Drs. H. Muhammad Kasthori, MH.

Drs. H. Mashudi, MH.

Dra. Hj. Amroh Zahidah, SH., MH.

Drs. H. M. Shodiq, SH.

Drs. M. Rizal, SH., MH.

Drs. Nurhafizhal, SH., MH.

Drs. H. Yusuf, SH., MH.

Kepala Subag : Fenia Ariasti, SE. (Umum & Keuangan)

Hj. Siti Sofiah Dwi Kurniati, SE.

Wifkil Hana, SH.

Wakil Panitra : H. Zainal Abidin, S.Ag.

Panitra Muda : Drs. H. Budiyono. (Gugatan)

Drs. Stya Adi W., SH. (Permohonan)

Drs. H. Junaidi (Hukum)

Panitra Pengganti : Dra. Hj. Sri Ratnaningsih, SH., MH.

Dra. Masturoh

Amiyati Budlwiyarsih, BA.

Hj. Cholisoh Dzikri, SH., MH.

Hj. Agustini Istiyarsih, BA.

Basiron

88

Fauziyah, S.Ag., MH.

Hj. Nur Hidayati, BA.

Siti Khodijah

Juru Sita : Sri Hidayati, SH.

Bakri, SH.

Juru Sita Pengganti : Kusman, SH.

Slamet Suharno, SH.

Hj. Sri Wahyuni, SH.

Abdul Jamil, SH.I.14

B. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan

Agama Semarang dalam putusan perkara

No.1565/Pdt.G/2014/PA.Smg

Dalam perkara No.1565/pdt.g/2014/PA.smg

Hakim Pengadilan Agama Semarang memutuskan

berwenang dalam memeriksa mengadili perkara ini.15

Padahal dalam salinan Putusan Pengadilan Agama

Semarang No.1565/pdt.g/2014/PA.smg menerangkan

bahwa tergugat mengajukan eksepsi yang berisi tentang

Pengadilan Agama Semarang tidak berhak mengadili

perkara tersebut karena termohon (pihak istri) adalah

14

Ibid 15

Putusan PA Semarang No.1565/pdt.g/2014/PA.smg

89

warga Kabupaten Wonosobo. Maka seharusnya

pemohon mengajukan perceraian di Pengadilan agama

Wonosobo, bukan di Pengadilan Agama Semarang

karena tempat tinggal istri senyatanya di Kabupaten

Wonosobo.

Eksepsi Termohon ini dilengkapi dengan

membawa bukti-bukti surat fotokopi keterangan domisili

atas nama termohon dari desa Kaligowong Kecamatan

Wadaslintang Kabupaten Wonosobo tanggal 10 Oktober

2014 bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan

aslinya.

Eksepsi ini diajukan Termohon berdasarkan Pasal

66 Ayat 2 UU. 70 Tahun 89 yang diubah dengan UU No.

3 tahun 2006 yang selanjutnya diubah dengan UU No.

50 tahun 2009, menyebutkan bahwa:

“Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat

(1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila

termohon dengan sengaja meninggalkan tempat

90

kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin

pemohon.”16

Isi Putusan Pengadilan Agama No.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg Majelis Hakim menolak

eksepsi termohon dengan pertimbangan eksepsi

Termohon tidak diajukan saat sidang pertama sesuai

dengan ketentuan HIR pasal 133 yang mengatur;

“Jika si tergugat dipanggil menghadap pengadilan

negeri, sedang menurut peraturan pasal 118 ia tak usah

menghadap pengadilan negeri itu, maka bolehlah ia

meminta supaya hakim menyatakan diri tidak berwenang

dalam hal itu, asal saja permintaan itu diajukan dengan

segera pada permulaan persidangan hari pertama;

permintaan itu tidak akan diperhatikan lagi, jika si

tergugat telah mengadakan suatu perlawanan lain. (Rv.

131; IR. 136, 191.)”17

Diatur juga dalam Pasal 159 Rgb

“Tergugat yang dipanggil dan menghadap ke suatu

pengadilan negeri yang menurut ketentuan pasal 142

tidak perlu menghadirinya, dapat menuntut agar hakim

16

Undang-undang No 50 Tahun 2009 perubahan kedua tentang peradilan

agama 17

Pasal 133 HIR

91

menyatakan dirinya tidak berwenang, asal hal itu

dilakukannya segera pada sidang pertama; tuntutan itu

tidak akan diperhatikan setelah tergugat mengajukan

suatu pembelaan lain. (Rv. 131; IR. 133.)”18

Pasal di atas menjelaskan mengenai eksepsi

kewenangan relative harus diajukan pada sidang

pertama. Dan pasal ini digunakan Hakim untuk

memutusan Pengadilan Agama No.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg.

18

Pasal 159 RgB

92

BAB IV

ANALISIS KEWENANGAN RELATIF PENGADILAN

AGAMA SEMARANG PUTUSAN NO.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg TENTANG TALAK CERAI

A. Analisis Hukum Formil Terhadap Pertimbangan Hakim

Dalam Mengabulkan Perkara Yang Tidak Menjadi

Kewenangan Relatif Pengadilan Agama Semarang.

Kekuasaan atau kewenangan peradilan kaitannya

adalah dengan hukum acara yang menyangkut dua hal,

yaitu: kewenangan relatif dan kewenangan absolut.1

1. Analisis Kewenangan Absolut Pengadilan Agama

Semarang dalam Putusan No.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg

Kata wewenang atau kekuasaan pada umumnya

dimaksudkan adalah kekuasaan absolut. Kekuasaan

absolut Peradilan Agama disebut dalam pasal 49 dan No.

55 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

diamandemen dengan UU No.3 Tahun 2006 yang

berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-

1BasiqDjalil, Op Cit. h.138

93

perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang: Perkawinan, Kewarisan,

Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Sedekah, dan

Ekonomi Syari’ah.2

Dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun

1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan

Kehakiman yang masih tetap berlaku berdasarkan

ketentuan pasal 47 UU No.4 Tahun 2004 tentang

kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa lingkungan

Peradilan Agama adalah salah satu peradilan “khusus”

sama halnya dengan Peradilan Militer dan Peradilan

Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, yang

melaksanakan fungsi kewenangan mengadili perkara

“tertentu” dan terhadap rakyat “tertentu”3 Dalam pasal 2

UU No.3 Tahun 2006 tentang perubahn UU No.7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama dinyatakan, bahwa

Peradilan Agama merupkan salah satu pelaksana

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan orang

beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur

dalam undang-undang ini.

2Penjelasanpasal 49 UU No.3 Tahun 2006 tentangPeradilan Agama

3ChatibRasyid, op cit, h. 11

94

Berdasarkan penjelasan, sepanjang pemahaman penulis

bahwa perkara talak cerai adalah salah satu kewenangan

absolut Pengadilan Agama. Dalam hal ini secara

kewenangan absolut talak cerai yang diajukan oleh

pemohon dalam putusan Pengadilan Agama Semarang No.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg adalah sesuai karena perkara

talak cerai bagi orang beragama Islam.

Khusus dalam perkara perceraian, eksepsi kompetensi

absolut memang hampir tidak ada masalah, sebab apabila

perkara perceraian tersebut diajukan oleh suami/isteri yang

beragama islam yang perkawinannya dilakukan di hadapan

PPN/KUA dengan bukti memiliki akta nikah yang

diterbitkan oleh KUA, pastilah perkara perceraian tersebut

menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Demikian

juga apabila perkara perceraian diajukan oleh suami/isteri

yang perkawinannya dilakukan tidak dihadapan PPN/KUA,

sehingga ia tidak memiliki akta nikah produk KUA, pastilah

Pengadilan Agama akan secara ex-officio menyatakan

dirinya tidak berwenang, walaupun tidak ada eksepsi dari

Tergugat.

95

2. Analisis Kewenangan Relatif Pengadilan Agama

Semarang dalam Putusan No.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg

Adapun dasar hukum untuk menentukan patokan

kompetensi relative adalah pasal 54 UU No.9 Tahun

1989 telah menyatakan hukum acara yang berlaku pada

lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara

perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum.

Landasan untuk menentukan patokan kewenangan

relatif pengadilan agama merujuk pada ketentuan pasal

118 HIR atau pasal 142 RBg jo pasal 66 dan pasal 73

UU No.7 Tahun 1989 penentuan kompetensi relatif

bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke

Pengadilan Agama mana gugatan diajukan agar

gugatan memenuhi syarat formil.4

Kewenangan relative telah dirumuskan oleh

Ridwan Syahrani sebagai kewenangan atau kekuasaan

Pengadilan yang satu jenis berdasrkan daerah atau

wilayah hukum.5 Dengan kata lain wewenang relatif

adalah wewenang dalam mengadili perkara berdasarkan

4M. Nur Rasyid, SH, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1999.

5 Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata,. Solo :Citra Aditya Bakti. 2006.

hal: 9

96

pada wilayah atau tempat domisili. Dimana setiap

perkara yang diajukan harus berdasarkan pada wilayah

hukum masing-masing pengadilan. Tidak

diperkenankan mengadili perkara diluar wilayah.

Adapun cara menyelesaikan eksepsi kompetensi

(absolut dan relatif) adalah diperiksa dan diputus

sebelum memeriksa pokok perkara. Jika eksepsi ditolak

dituangkan dalam putusan sela yang amarnya berbunyi

sebagai berikut:

a. Menolak eksepsi Tergugat;

b. Menyatakan Pengadilan Agama berwenag

mengadili perkara tersebut;

c. Memerintahkan kedua belah pihak melanjutkan

perkaranya;

d. Menangguhkan tentang biaya perkara hingga

putusan akhir.

Dalam perkara No. 1565/Pdt.G/PA.Smg majlis

hakim memutuskan menolak eksepsi termohon dengan

alasan sesuai dengan buku II pedoman pelaksanaan

tugas Mahkamah Agung yang berbunyi :

Dan pasal 133 HIR serta pasal 159 Rgb, yang

menyatakan bahwa pengajuan eksepsi harus diajukan

97

pada saat sidang pertama. Sedangkan dalam kasus

No.1565/dt.G/PA.Smg termohon mengajukan eksepsi

pada saat sidang kelima. Secara formil, pengajuan

eksepsi termohon tidak sah dan ditolak majlis hakim

maka para pemohon dan termohon diperintahkan untuk

melanjutkan perkara tersebut. Landasan hakim sudah

sesuai dan tepat dalam memutuskan menolak eksepsi

termohon.

Hakim hanya melihat buku II pedoman

pelaksanaan Mahkamah Agung, pasal 133 HIR dan

pasal 159 Rgb tanpa memandang pasal 66 ayat 2

Undang-undang 1989 yang berbicara khusus tentang

perceraian.

Pada umumnya untuk menentukan apakah suatu

Pengadilan Agama memiliki kompetensi secara relatif

terhadap suatu perkara perceraian, ada yang masih

menerapkan Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR,

yakni bahwa Pengadilan Agama manapun harus

menyatakan dirinya berwenang mengadili apabila tidak

ada eksepsi dari Termohon/Tergugat. Artinya eksepsi

kompetensi relative dalam perkara perceraian tetap

harus ada dan harus diajukan oleh Tergugat dalam

98

sidang pertama bersamaan pada saat jawaban pertama.

Apabila Termohon/Tergugat tidak mengajukan eksepsi

atau eksepsi tersebut tidak diajukan bersamaan dengan

jawaban pertama, maka Pengadilan Agama harus tetap

menganggap dirinya berwenang mengadili.

Sedangkan sebagian Hakim Pengadilan Agama

yang lain dalam menentukan kompetensi relative dalam

perkara perceraian, tidak lagi menerapkan Pasal 125

ayat (2) dan Pasal 133 HIR, tetapi menerapkan

ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989

untuk perkara Ijin Ikrar Talak atau cerai talak dan Pasal

73 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 untuk perkara

perceraian atau gugat cerai, yakni bahwa dalam perkara

perceraian tidak diperlukan adanya eksepsi kompetensi

relatif. Apabila perkara cerai talak diajukan di

Pengadilan Agama tempat tinggal Pemohon, tanpa ada

alasan “Termohon meninggalkan tempat tinggal

kediaman bersama tanpa ijin Pemohon”, maka

Pengadilan Agama tersebut secara ex-officio harus

menyatakan dirinya tidak berwenag mengadili.

Demikian juga apabila perkara cerai gugat diajukan di

Pengadilan Agama tempat tinggal Tergugat tanpa ada

99

alasan “Penggugat meninggalkan tempat kediaman

bersama tanpa ijin Tergugat”, maka Pengadilan Agama

tersebut secara ex-officio harus menyatakan dirinya

tidak berwenang mengadili. Tanpa harus ada eksepsi

dari Termohon atau Tergugat.

Dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Administrasi Peradilan Agama, edisi revisi 2013,

halaman 67-68, huruf (d) angka 2) dan 3) menegaskan:

“2). Jika Tergugat pada hari sidang pertama tidak

mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang kewenangan

mengadili secara relatif, Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar’iyah tidak beleh menyatakan

dirinya tidak berwenang (Pasal 133 HIR/159 R.Bg).

3). Eksepsi mengenai kewenangan relative harus

diajukan pada sidang pertama”.

Memang benar, tetapi harus difahami, bahwa yang

dimaksud oleh Buku II tersebut adalah ketentuan

menganai kompetensi relative dalam perkara perdata

secara umum (perkara non perceraian), sedangkan

tentang kompetensi relatif dalam perkara perceraian

telah diatur secara spesifik di dalam Pasal 66 ayat (2)

dan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun

100

1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 66 ayat (2): “Permohonan sebagaimana yang

dimaksud ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon, kecuali

apabila Termohon dengan sengaja meninggalkan tempat

kediaman yang ditentukan bersama tanpaijin Pemohon”.

Pasal 73 ayat (1): “Gugatan perceraian diajukan oleh

isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat, kecuali

apabila Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat

kediaman bersama tanpa ijin Tergugat”.

Kedua pasal tersebut telah secara tegas dan limitative

menetapkan, bahwa baik perkara cerai talak maupun

perkara cerai gugat adalah wewenang Pengadilan Agama

yang mewilayahi tempat tinggal isteri

(Termohon/Penggugat) kecuali isteri tersebut dengan

sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin

suaminya (minggat/kabur). Apabila isteri tidak kabur atau

tidak minggat atau perginya meninggalkan tempat

kediaman bersama atas ijin suaminya, maka baik perkara

ijin ikrar talak maupun perkara cerai gugat harus diajukan di

101

Pengadilan Agama tempat tinggal isteri. Dengan demikian

Pengadilan Agama tempat tinggal suami harus menyatakan

dirinya tidak berwenang mengadili terhadap perkara yang

diajukan kepadanya tanpa ada alasan isteri kabur atau

minggat. Jika tidak demikian berarti Pengadilan Agama

tersebut telah mengadili perkara yang bukan berada

dibawah kewengannya.

Dalam kasus yang penulis teliti, pengajuan eksepsi

termohon diajukan pada saat sidang kelima dan Majelis

Hakim memutuskan menolak eksepsi tersebut dengan

alasan tidak diajukan pada saat sidang pertama. Alasan

hakim diperkuat dengan dalam Buku II Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,

edisi revisi 2013, halaman 67-68, huruf (d) angka 2) dan 3).

Menurut hemat Penulis, Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73

ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 adalah acara yang secara

khusus dan merupakan leg spicialis dari ketentuan umum

tentang eksepsi kompetensi relative. Dalam perkara

perceraian, Pengadilan Agama semestinya tidak perlu

menunggu terlebih dahulu ada atau tidaknya eksepsi dari

pihak Tergugat/Termohon. Jika ada perkara permohonan

ikrar talak yang diajukan oleh suami di Pengadilan Agama

102

tempat tinggalnya sendiri, padahal menurut Pasal 66 ayat

(2) seharusnya perkara tersebut diajukan di Pengadilan

Agama tempat kediaman isterinya, maka secara ex-officio

Pengadilan Agama tersebut harus menyatakan dirinya tidak

berwenang mengadili. Demikian juga apabila ada perkara

gugat cerai diajukan oleh isteri di Pengadilan Agama tempat

tinggal suaminya, padahal menurut Pasal 73 Ayat (1)

seharusnya perkara tersebut diajukan di Pengadilan Agama

tempat kediamannya sendiri, maka secara ex-officio

Pengadilan Agama tersebut juga harus menyatakan dirinya

tidak berwenang mengadili.

Keharusan adanya eksepsi terhadap kompetensi

relative berdasarkan Pasal 133 HIR adalah merupakan

ketentuan dalam hukum acara perdata pada umumnya diluar

perkara perceraian. Sedangkan untuk perkara perceraian

kiranya ketentuan tersebut telah diganti dengan klausul:

“kecuali apabila Termohon sengaja meninggalkan tempat

kediaman bersama tanpa ijin Pemohon” yang terdapat

dalam Pasal 66 ayat (2) UUPA dan klausul : “Kecuali

apabila Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat

kediaman bersama tanpa izin Tergugat” yang terdapat

dalam Pasal 73 ayat (1) UUPA, sehingga untuk menentukan

103

apakah suatu Pengadilan Agama berwenang atau tidak

berwenang mengadili secara relative dalam perkara

perceraian, tidaklah tergantung dengan ada atau tidaknya

eksepsi, tetapi apakah terpenuhi unsurunsur dari klausula

tersebut.

Tegasnya, apabila ada suami mengajukan ijin ikrar

talak di Pengadilan Agama bukan tempat kediaman

isterinya (Termohon), maka suami dalam surat

permohonannya harus mempunyai alasan, bahwa isterinya

meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seijin

dirinya. Demikian pula jika ada isteri yang menggugat cerai

di Pengadilan Agama bukan Tempat kediamannya sendiri

(Penggugat), maka isteri tersebut harus mempunyai alasan,

bahwa dirinya telah meninggalkan tempat kediaman

bersama tanpa ijin suaminya. Hakim tidak dibenarkan serta

merta menyatakan berwenang mengadili dengan alasan

tidak ada eksepsi dari Termohon/Tergugat, karena dalam

perkara perceraian tidak diperlukan eksepsi.

104

3. Analisis Hasil Wawancara dengan Ketua Sidang

Majelis Hakim Perkara No.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg.

Sedangkan hasil wawancara dengan hakim ketua

sidang perkara No. 1565/Pdt.G/2014/PA.Smg diketahui

bahwa majlis hakim hanya berpatokan pada pengajuan

eksepsi termohon yang tidak diajukan pada sidang

pertama, namun diajukan pada saat sidang kelima (ke-

5). Alasan hakim adalah dalam pengajuan eksepsi,

sesuai buku pedoman II Mahkamah Agung, pasal 113

HIR dan pasal 159 Rgb bahwa eksepsi harus diajukan

pada saat sidang pertama. Karena eksespsi termohon

diajukan pada saat sidang kelima, majelis sidang

menolak eksepsi termohon dan menyatakan berwenang

mengadili perkara ini, tanpa melihat pasal 66 undang-

undang No. 7 tahun 1989 dan bukti keterangan domisili

yang dibawa termohon Hal ini senada dengan putusan

sela perkara 1565/Pdt.G/2014/PA.Smg.

Selain alasan normatif, majelis hakim juga

berpendapat dalam wawancara bahwa dalam

memeriksa pemohon dan termohon majlis hakim

memeriksa secara singkat identitas pemohon dan

105

termohon karena banyaknya kasus di Pengadilan

Agama Semarang dengan asas beracara cepat dan

ringan biaya. Selain itu majlis hakim mempersepsikan

alamat termohon sudah sesuai dengan surat gugatan

dengan alasan termohon datang pada saat sidang

pertama dan tidak mengajukan eksepsi secara lisan

maupun tulisan. Ketua Majelis Hakim juga

berpendapat, kalau pengajuan eksepsi tidak pada sidang

pertama di terima, maka pengadilan akan lama dan

menambah biaya perkara.

Dengan alasan banyaknya kasus di Pengadilan

Agama Semarang, seharusnya bukan menjadi alasan

hakim memeriksa pemohon maupun termohon secara

cepat sesuai dengan asas beracara cepat, sederhana dan

biaya ringan. Tapi majelis hakim harus lebih teliti,

karena pemeriksaan identitas pemohon maupun

termohon merupakan langkah awal untuk menentukan

apakah dalam perkara ini menjadi wewenang

Pengadilan Agama Semarang atau tidak.

106

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa majelis hakim dalam

mengabulkan Putusan No.

1565/Pdt.G/2014/PA.Smg, di Pengadilan Agama

Semarang, memutus perkara yang bukan menjadi

kewenangan relatif Pengadilan Agama Semarang,

didasarkan pertimbangan sebagai berikut:

Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) UU

No. 7 Tahun 1989 adalah acara yang secara

khusus dan merupakan leg spicialis dari ketentuan

umum tentang eksepsi kompetensi relative. Dalam

perkara perceraian, Pengadilan Agama semestinya

tidak perlu menunggu terlebih dahulu ada atau

tidaknya eksepsi dari pihak Tergugat/Termohon.

Jika ada perkara permohonan ikrar talak yang

diajukan oleh suami di Pengadilan Agama tempat

tinggalnya sendiri, padahal menurut Pasal 66 ayat

(2) seharusnya perkara tersebut diajukan di

107

Pengadilan Agama tempat kediaman isterinya,

maka secara ex-officio Pengadilan Agama

tersebut harus menyatakan dirinya tidak

berwenang mengadili. Demikian juga apabila ada

perkara gugat cerai diajukan oleh isteri di

Pengadilan Agama tempat tinggal suaminya,

padahal menurut Pasal 73 Ayat (1) seharusnya

perkara tersebut diajukan di Pengadilan Agama

tempat kediamannya sendiri, maka secara ex-

officio Pengadilan Agama tersebut juga harus

menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili.

Selain alasan tersebut, Ketua majelis hakim

juga menyatakan bahwa eksepsi termohon di tolak

karena jika di terima maka pengadilan akan

berlangsung lama dan banyak biaya, hal ini tidak

sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana dan

berbiaya ringan.

B. Saran-saran

Selain memperoleh kesimpulan, dari

pembahasan pada bab-bab sebelumnya, penulis

juga mencatat adanya beberapa saran yang dapat

108

diajukan terkait dengan

Putusan1565/Pdt.G/2014/PA.Smg. Dalam

persidangan hakim hendanya lebih teliti dalam

memeriksa pemohon maupun termohon. Dalam

memutus hendaknya Hakim melihat aturan hukum

yang lebih khusus dalam hal ini pasal 66 UU No.7

Tahun 1989 dan hakim secara langsung bisa

memutuskan tidak berhak mengadili kasus

tersebut karena tidak berada dalam wilayah

kewenangan relatif Pengadilan Agama Semarang.

Hakim juga harus lebih teliti dalam

memeriksa pemohon maupun termohon, karena

sidang pertama merupkan penentu apakah

termohon maupun pemohon dapat bercara di

Pengadilan Agama Semarang.

C. Penutup

Penulis memanjatkan puji syukur kepada

Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Segala kesulitan Alhamdulillah dapat teratasi

hanya karena rahmat-Nya.

109

Meskipun telah berupaya dengan optimal,

penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak

kelemahan dan kekurangan dari berbagai segi dan

jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan

hanyalah milik Allah SWT. Sehingga saran dan

kritik yang membangun penulis harapkan untuk

kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya

penulis berharap dan berdoa semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para

pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur, Peradialn Agama di Indonesia pasca

Undang-undang No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan

dan Kewenangan). UII Press, Yogyakarta, 2007

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan

Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2006,

Ashhofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka

Cipta, 1996

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta:

Rajawali Press,2003

Djalil, A. Basiq, peradilan agama di indonesia. Jakarta:

Kencana,2006

Djamali, Abdul. Hukum Islam, Bandung:Mandar Maju, 1997

Ghofur A, Abdul, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU

No.3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan

Kewenangan), Yogjakarta; UII press, 2007

Harahap, Yahya. Hukum acara perdata,. Jakarta;Sinar grafika,

1993

------------------- Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata

Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini), 1993

Lubis, Sulaikan, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di

Indonesia, Jakarta: Kencana,2006

Kamal, Abu Malik, Fikih sunnah wanita. Jakarta: Pena Pundi

Aksara, 2007.

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan

Mahkamah Syari’ah. Jakarta: sinar , 2009

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung:

RemajaRosda Karya, 2002

Mubarok, Jaih. Peradilan Agama Di Indonesia, (Bandung:

Pustaka Bani Quraisy, 2004)

Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan

Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012)

Nazir, Moh. Metode Penelitian,Cet. ke-3, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1988

Nuryani, Ulin, Tentang Murtad Sebagai Alasan Fasakh Nikah,

Semarang: IAIN Walisongo, 2012

Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada, 1995

Rasyid, M. Nur, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika,

Jakarta, 1999.

Rasyid , Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; Raja

Grafindo Persada, 2007

Riyanto, Adi. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Cet. ke-

1,Jakarta: Granit, 2004

Soemiyato, Hukum Perkawainan Islam dan Undang-Undang

Perkawinan

Soeroso, R. Praktek Hukum Acara Perdata; Tata Cara dan

Proses Persidangan, Jakarta; SinarGrafika, 2001

Subekti, R., Hukum Acara Perdata, (Bandung; Bina Cipta,

1987),

Sulaiman, Abi Daud. Sunan Abi Daud, Beirut : Dar al-Kutub al

Ilmiyah, 1996

Sutantio, Retnowulan, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Gema

insani Press, 1996)

Syahrani, Riduan. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata,.

Solo :Citra Aditya Bakti. 2006

Wahyudi, Abdullah Tri, Peradilan Agama di Indonesia. Cet I.

Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2004.

http://pa-semarang.go.id. diakses pada hari Selasa tanggal 26

April 2017 pukul 23.00 wib

Undang-undanng

Undang-Undang Peradilan Agama (UU RI No. 7 Tahun 1989),

Jakarta: PT. Sinar Grafika

Undang-undang no. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

Undang-undang RI No. 1 Th. 1974 Tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 48 tahun

2009), cet. I, Jakarta: Sinar Grafika,

Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (UU RI Nomor

50 tahun 2009), cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 perubahan kedua tentang

peradilan agama. Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2009

Herzien Inlandsh Reglement

Rechtglemen voor Buitengewesten

Hasil Wawancara dengan Ketua Majelis Hakim dalam

perkara No. 1565/Pdt.G/PA.Smg.1

Identitas Ketua Sidang Majelis Hakim perkara No.

1565/Pdt.G/PA.Smg

Nama : M. Sukri

Alamat : Jalan Ronggolawe 3 No. 16, semarang

Pendidikan : S1 Syariah IAIN Raden Patah Palembang Tahun 1983

S1 Fakultas Hukum Universitas Taman Siswa 1998

S2 Universitas Muhammadiyah Palembang 2012.

1. Apakah pertimbangan hakim dalam menolak putusan

eksepsi termohon ?

Di dalam pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi

pengadilan agama Buku II mahkamah agung tahun 2013,

eksepsi harus diajukan pada siding pertama. Berarti jika tidak

diajukan pada sidang pertama termohon menerima dengan hadir

dalam persidangan. Seharusnya sebelum pokok perkara

dilanjutkan termohon mengajukan keberatan dalam sidang

pertama baik secara lisan maupun tulisan. Dalam sidang kedua

ketiga dan keempat termohon juga hadir dalam persidangan

1 Wawancara dilaksanakan pada hari rabu tanggal 5 Juli 2017 di Kantor

Pengadilan Agama Semarang dengan Hakim Ketua Sidang perkara No. 1565/Pdt.G/2014/PA.Smg, Bapak M. Sukri, S.H., M.H. pada pukul 10.00 WIB.

artinya termohon tidak keberatan tapi termohon mengajukan

eksepsi pada sidang kelima padahal dalam buku II pedoman

pelaksanaan tugas Mahkamah Agung tahun 2013, eksepsi

diajukan pada saat sidang pertama dalam waktu ditentukan

undang-undang.

2. Apakah dalam persidangan termohon terbukti pindah

domisili dari rumah pemohon ke wadaslintang termohon ?

Termohon mengajukan eksepsi pada sidang kelima, tidak

pada sidang pertama maka secara formil, eksepsi termohon cacat

hukum karena tidak sesuai dengan pasal 113 HIR dan pasal 159

Rgb. Eksepsi mengenai kewenangan relative yang diajukan

tidak pada sidang pertama tapi diajukan pada sidang kelima

maka eksepsi termohon tersebut tidak sesuai dengan ketentuan

mahkamah agung dalam Buku II pelaksanaan tugas Mahkamah

Agung maka permohonan eksepsi tersebut dinyatakan ditolak.

Bahwa permohonan eksepsi termohon tersebut ditolak maka

Pengadilan Agama Semarang menyatakan berwenang mengadili

perkara tersebut. Menimbang bahwa Pengadilan Agama

Semarang berwenang mengadili perkara tersebut maka

diperintahkan pada pemohon dan termohon untuk melanjutkan

perkara tersebut. Jadi karena cacat formil, bukan karena alat

bukti, dalam mengajukan eksepsi itu harus pada saat sidang

pertama. Sedangkan eksepsi termohon diajukan pada sidang ke

lima, maka majelis hakim menyatakan ditolak. Dalam

pertimbangan hakim tidak menilai barang bukti karena

pengajuan cacat formal.

3. Apakah hakim mengetahui pada saat sidang pertama

termohon berdomisi di semarang atau di wonosobo?

Dalam persidangan termohon dipanggil dan hadir dalam

sidang pertama, pemohon mengajukan permohonan ke alamat

termohon di semarang dan hadir pada sidang pertama serta tidak

mengajukan eksepsi pada sidang pertama. seandainya termohon

tidak tinggal di alamat yang diajukan termohon (Genuk

Semarang) maka termohon tidak hadir pada saat sidang pertama

dan menyatakan bahwa dirinya tidak bertempat tinggal di

semarang sesuai dengan surat keterangan lurah itu, hakim akan

menyatakan tidak berwenang. Meskipun dengan surat saja dan

termohon tidak hadir dalam sidang. Seandainya pun kalau hakim

mengetahui termohon bertempat tinggal di wonosobo, hakim

akan melanjutkan sidang, karena tidak ada eksepsi dari

termohon.

4. Dalam sidang pertama apakah pemohon dan termohon

diperiksa identitas mereka secara lengkap ?

Biasanya hakim mencocokan orang yang hadir sesuai

identitas yang penting orang tersebut jelas. Apakah pemohon

dan termohon sesuai dengan identitas, hakim mencocokannya

dengan jawaban pemohon dan termohon. Pada saat termohon

ditanyakan identitas, termohon tidak menyanggah bahwa

termohon telah pindah ke wadaslintang wonosobo. Hakim

dalam persidangan bisa tanya identitas pemohon dan termohon

sampai ke akarnya atau bisa saja secara singkat, pemohon atau

termohon jika sudah diam berarti membenarkan apa pertanyaan

hakim. Di pengadilan Agama semarang kasusnya tidak hanya

satu atau dua tapi ribuan, makanya hakim memilih cepat.

5. Apakah dalam putusan hakim menimbang pasal 66 ayat 2

undang-undang no. 7 tahun 1989 ?

Karena sesuai dengan aturan Buku II pedoman

pelaksanaan teknis mahkamah agung dan pasal 113 HIR serta

pasal 159 Rgb, pengajuan termohon tidak sesuai maka tidak

dipertimbang. Pengajuan eksepsi pada sidang pertama bertujuan

pengadilan cepat dan berbiaya ringan. Kalau pengajuan eksepsi

di terima tidak pada saat sidang pertama, maka pengadilan akan

lama dan menambah biaya perkara. Memang ada pendapat,

eksepsi diajukan pada saat jawaban karena pada saat sidang

pertama termohon belum bisa menjawab.

Hal. 1 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

PUTUSAN

Nomor 1565/Pdt.G/2014/PA.Smg.

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara

tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah menjatuhkan

Putusan Sela sebagai berikut dalam perkara Cerai Talak antara:

Achmad Ridwan Hidayat bin Hery Gondo Susanto, umur 28 tahun, agama

Islam, pendidikan S-1, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal

di Jalan Tegalan I L RT.010 RW. 004 No. 148 Kelurahan

Palmeriam Kecamatan Matraman Kota Jakarta Timur, yang

berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 25 Juni 2014 berkuasa

kepada , Sakroni, S.HI dan Rekan, Advokat yang berkantor di

Jalan Ronggolawe V No.35 Semarang, sebagai Pemohon;

M e l a w a n

Siti Khamidah binti Khaerudin, umur 26 tahun, agama Islam, pendidikan D

III, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Jalan Kp.

Bugen Utara RT.005 RW. 003 Kelurahan Bangetayu Kulon

Kecamatan Genuk Kota Semarang berdasakan surat kuasa

khusus tanggal 9 September 2014 berkuasa kepada Latif

Nahrowi , SH.I Advokat dan Konsultan Hukum latif

nahrowi,SHI dan Rekan berlamat di Perumahan PGRI Blok I

No. 102 Klipang Permai Kota Semarang , sebagai Termohon;

Pengadilan Agama tersebut;

Telah membaca berkas perkara yang bersangkutan;

Telah mendengar keterangan Pemohon dan Termohon memeriksa bukti-bukti

di persidangan.

Hal. 2 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

TENTANG DUDUK PERKARA

Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya

tertanggal 26 Juni 2014 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan

Agama Semarang Nomor 1565/Pdt.G/2014/PA.Smg. tanggal 26 Juni 2014

mengajukan hal-hal sebagai berikut:

1.Bahwa pada tanggal 20 Mei 2011 Pemohon dan Termohon telah

melangsungkan pernikahan secara sah yang dicatat oleh Pegawai Pencatat

Nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Wadaslintang,

Kabupaten Wonosobo sebagaiamana ternyata dalam Kutipan Akta Nikah

Nomor : 295/48/V/2011 tertanggal 20 Mei 2011;

2. Bahwa setelah akad nikah Pemohon dan Termohon membina rumah

tangga di rumah pemberian orang tua Pemohon di Kp. Bugen Utara RT.

05 RW. 03, Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota

Semarang selama 2 tahun 7 bulan dan pernah hidup rukun serta telah

dikaruniai 1 orang anak bernama : SALSABILA AINAPUTRI ATIKA,

lahir : Semarang, 09 Juni 2012 serta selama perkawinan antara Pemohon

dan Termohon belum pernah bercerai;

3. Bahwa semula keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon dalam

keadaan harmonis sebagaimana tujuan perkawinan, namun sejak bulan

Mei 2013 keharmonisan rumah tangga Pemohon dan Termohon mulai

goyah karena terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan

mengakibatkan Pemohon dan Termohon sulit untuk hidup rukun lagi

dalam rumah tangga;

4. Bahwa faktor penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran antara

Pemohon dan Termohon dikarenakan masalah ekonomi, yaitu Termohon

selalu merasa kurang dengan uang nafkah yang Pemohon berikan kepada

Termohon, padahal dalam setiap bulannya Pemohon memberikan uang

Hal. 3 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

nafkah kepada Termohon rata-rata sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta

Rupiah) dan sejak saat itu pula, setiap Pemohon pulang ke rumah dan

mengajak Termohon untuk berhubungan suami istri, Termohon selalu

menolaknya tanpa alasan yang jelas;

5. Bahwa Termohon juga selalu menuntut Pemohon untuk sering pulang ke

rumah tinggal bersama, namun Pemohon tidak bisa menurutinya karena

pekerjaan Pemohon di Jakarta, sehingga apabila Pemohon menuruti

keinginan Termohon tersebut, uang hasil kerja Pemohon akan habis untuk

biaya perjalanan Pemohon;

6. Bahwa puncak perselisihan dan pertengkaran antara Pemohon dan

Termohon terjadi bulan Desember 2013, akibatnya sejak saat itu

Pemohon memutuskan untuk tidak pulang ke tempat kediaman bersama

dan Pemohon tinggal di kontrakan Pemohon di Jl. Tegalan I L No. 148

RT. 10 RW. 04, Kelurahan Palmeriam, Kecamatan Matraman, Kota

Jakarta Timur sampai sekarang;

7. Bahwa setelah kejadian sebagaimana posita angka (6) di atas, antara

Pemohon dan Termohon telah hidup berpisah selama 7 bulan tanpa

melakukan hubungan suami istri dan selama itu pula antara Pemohon dan

Termohon sudah tidak ada komunikasi layaknya suami istri;

8. Bahwa dengan kondisi rumah tangga Pemohon dan Termohon tersebut,

Pemohon menyakini rumah tangganya dengan Termohon benar-benar

sudah retak dan tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh karena itu,

perceraian merupakan jalan satu-satunya unuk menghindari madhorot

yang lebih besar lagi, sehingga Pemohon sudah berketetapan hati untuk

menjatuhkan talak terhadap Termohon;

9. Bahwa untuk memenuhi ketentuan pasal 84 ayat ( 1 )dan ( 2 ) Undang-

undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah di ubah dengan Undang-

Hal. 4 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,

mohon Ketua Majelis Hakim memerintahkan Panitera Pengadilan Agama

Semarang untuk mengirimkan salinan penetapan Ikrar Talak perkara ini

kepada Pegawai Pencatat Nikah yang Wilayahnya meliputi tempat tinggal

Pemohon dan Termohon;

10.Berdasarkan alasan/dalil-dalil tersebut di atas, kiranya cukup beralasan

permohonan Pemohon untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon dapat

diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh

karenanya Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Semarang

supaya berkenan untuk memanggil pihak-pihak, memeriksa, mengadili

dan menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut :

PRIMAIR :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon (ACHMAD RIDWAN

HIDAYAT bin HERY GONDO SUSANTO) untuk menjatuhkan talak

terhadap Termohon (SITI KHAMIDAH binti KHAERUDIN) di hadapan

sidang Pengadilan Agama Semarang;

3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Semarang mengirimkan

salinan penetapan Ikrar Talak perkara ini kepada Pegawai Pencatat Nikah

yang Wilayahnya meliputi tempat tinggal Pemohon dan Termohon dan

kepada pegawai pencatat Nikah di tempat perkawinan di langsungkan

guna dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;

4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum;

SUBSIDAIR :

Mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono);

Bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, Pemohon dan Termohon

telah hadir di persidangan, kemudian kepada para pihak telah diupayakan

Hal. 5 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

perdamaian, baik oleh Majelis Hakim maupun melalui proses mediasi dengan

mediator Drs. H.M. Hamdani, M.H., namun tidak berhasil, selanjutnya

dibacakan surat permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh

Pemohon;

Bahwa atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon terlebih

dahulu mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:

DALAM EKSEPSI

KOMPETENSI RELATIF

1 Bahwa Pengadilan Agama Semarang tidak berwenang memeriksa dan

mengadili Perkara Cerai Talak antara Pemohon dengan Termohon

perkara nomor 1565/Pdt.G/2014.PA.Smg, Pengadilan Agama yang

berwenang mengadili adalah Pengadilan Agama Wonosobo;

2 Bahwa pada Tanggal Juni 2014 Pemohon dengan di temani Orang tua

Pemohon beserta keluarganya serta orang tua Wanita selingkuhan

Pemohon mengantarkan dan memulangkan Termohon kerumah orang

tuanya yang beralamat di Semawung, Desa Kaligowong RT.04 RW.05

Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo dan sejak itu pula

Pemohon tidak pernah memberi nafkah kepada Termohon;

3 Bahwa tempat tinggal Termohon sejak Juni 2014 hingga sekarang bukan

Kampung Bugen Utara RT.005, RW.003, Kelurahan Bangetayu Kulon,

Kecamatan Genuk, Kota Semarang akan tetapi di Semawung, Desa

Kaligowong RT.04 RW.05 Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten

Wonosobo;

4 Bahwa dengan demikian maka seharusnya Pemohon mengajukan

perceraian di Pengadilan Agama Wonosobo, bukan di Pengadilan

Agama Semarang karena tempat tinggal kediaman istri (Termohon)

senyatanya di WONOSOBO, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal

Hal. 6 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

66 ayat 2 UU No.7 tahun 89 yang di rubah dengan UU No. 3 tahun 2006,

yang di rubah dengan UU No.50 tahun 2009;

Bahwa oleh karena Pengadilan Agama Semarang sedangkan yang

berwenang mengadili adalah Pengadilan Agama Wonosobo .Sehingga

patutlah jika Permohonan Pemohon harus di Tolak, atau setidak tidaknya

di nyatakan tidak dapat di terima;

DALAM KONVENSI

1. Bahwa Termohon menolak dengan tegas dalil-dalil Permohonan

Pemohon kecuali yang secara tegas dan jelas di akui oleh Termohon;

2. Bahwa benar dalil Pemohon sebagaimana posita nomor 1 benar adanya;

3. Bahwa Termohon menolak dengan tegas dalil Pemohon sebagaimana

posita nomor 2, karena faktanya setelah menikah Pemohon dan

Termohon bertempat tinggal di Rumah bersama Kampung Bugen Utara

RT.005, RW.003, Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota

Semarang kurang lebih sampai 1 (satu) Tahun kemudian Pemohon dan

Termohon bertempat tinggal di rumah orang tua Termohon yang

beralamat di Semawung Desa Kaligowong RT.04 RW.05 Kecamatan

Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo kurang lebih selama 7 (tujuh)

Bulan, kemudian Pemohon dan Termohon bertempat tinggal di ruamah

bersama di Semarang, selanjutnya Pemohon pada Juni 2014 Pemohon

dengan di Temani orang tua beserta keluarga serta orang tua wanita

selingkuhannya mengembalikan Termohon ke orang tua Pemohon yang

beralamat di Semawung, Desa Kaligowong RT.04 RW.05 Kecamatan

Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo hingga sekarang, dan benar dalam

dalam perkawinan Pemohon dan Termohon telah di karuniai seorang

anak Perempuan yang bernama SALSABILA AINAPUTRI ATIKA,lahir

Hal. 7 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

di Semarang pada tanggal 09 Juni 2012 dan anak tersebut dalam asuhan

Termohon;

4. Bahwa Termohon menolak dengan tegas dalil Pemohon sebagaimana

posita nomor 3, posita nomor 4 dan posita nomor 5, dan Termohon

memberi jawaban sebagai berikut:

a. Jawaban atas dalil Pemohon posita nomor 3, bahwa rumah tangga

Pemohon dan Termohon sejak awal pernikahan hingga sekarang

harmonis tidak ada masalah baru ada masalah ketika Pemohon

menjalin hubungan dengan Perempuan lain yang bernama DWI

NOVITASARI;

b. Jawaban atas dalil Pemohon posita nomor 4, bahwa karena faktanya

penghasilan Pemohon yang berprofesi sebagai penjual logam mulia

dan permata di MALL Rawa Bening, Maal khusus Permata dan

Logam Batu Mulia berpenghasilan cukup besar, sedangkan

Termohon di beri nafkah oleh Pemohon sebesar Rp. 4.000.000,-

(empat juta rupiah) di karenakan Pemohon melarang Termohon

untuk bekerja supaya focus mendidik anak menjadi ibu rumah

tangga, akan tetapi dengan Pemohon yang cukup besar Pemohon

tidak dapat menjaga tali suci perkawinan kemudian Pemohon

menjalin hubungan dengan seorang wanita yang bernama DWI

NOVITASARI bahkan Pemohon telah menikah siri dengan wanita

tersebut, tidak hanya itu wanita tersebut juga orang tuanya ikut

mengantar mengembalikan Termohon kepada orang tua Termohon

di Wonosobo;

c. Jawaban atas dalil Pemohon posita nomor 5, faktanya setelah

Pemohon menjalin hubungan dengan wanita tersebut yang

dahulunya Pemohon pulang 1 (satu) Bulan sekali kemudian

Hal. 8 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

Pemohon pulang ke semarang 3 (tiga) sampai 4 (empat) bulan sekali

maka sangat wajar jika Termohon menanyakan hal tersebut;

5. Bahwa Termohon menolak dengan tegas dalil Pemohon sebagaimana

posita nomor 6, karena faktanya tidak terjadi pertengkaran antara

Pemohon dan termohon tiba tiba pada Juni 2014 Pemohon pulang ke

Semarang dari Jakarta dengan di temani wanita selingkuhan Pemohon

yang bernama DWI NOVITASARI beserta orang tua wanita tersebut,

kemudian Pemohon dengan di temani keluarga Pemohon serta Wanita

tersebut beserta orangtua mengembalikan Termohon kerumah orang

tuanya yang beralamat di Semawung Desa Kaligowong RT.04 RW.05

Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo hingga Sekarang dan

sejak itu pula Pemohon tidak pernah memberi nafkah kepada Termohon;

6. Bahwa Termohon menolak dengan tegas dalil Pemohon sebagaimana

posita nomor 7, posita nomor 8, posita nomor 9 dan posita nomor 10,

faktanya Termohon dan orang tua Pemohon sangat menginginkan rumah

tangga Pemohon dan Termohon masih dapat di persatukan kembali

mengingat masa depan anak serta ekonomi rumah tangga Pemohon dan

Termohon bertambah baik;

Bahwa berdasarkan hal hal tersebut Termohon mohon kepada yang

Terhormat Ketua Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara

ini berkenan untuk menolak Permohonan Cerai Talak Pemohon atau

setidak tidaknya menyatakan permohonan cerai talak Pemohon di

nyatakan tidak dapat di terima;

DALAM REKONVENSI

1. Bahwa Termohon Dalam Konvensi dalam Rekonvensi ini mohon di

sebut sebagai Penggugat Rekonvensi dan sebaliknya Pemohon Dalam

Hal. 9 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

Konvensi dalam Rekonvensi ini mohon di sebut sebagai Tergugat

Rekonvensi;

2. Bahwa dalil-dalil Penggugat Rekonvensi yang tertuang dalam Eksepsi

dalam Konvensi secara mutatis mutandis di anggap terbaca dan di

pergunakan kembali dalam Bab Rekonvensi ini;

3. Bahwa apabila yang Terhormat Majelis Hakim yang memeriksa dan

mengadili perkara ini berpendapat bahwa rumah tangga Penggugat

Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi telah pecah dan tidak mungkin

dapat di persatukan kembali dalam sebuah rumah dan terpaksa terjadi

Perceraian, Maka Penggugat Rekonvensi meminta Hak-hak yang

seharusnya di terimanya sebagaimana yang di atur dalam pasal 41 huruf

(c) UU. No.1 Tahun 1974, jo pasal 24 ayat 2 huruf (a), Jo pasal 136

huruf (a), jo pasal 149 huruf (a) dan (b) KHI;

4. Bahwa mengingat Tergugat Rekonvensi berpendidikan Sarjana dan

penghasilan Tergugat Rekonvensi yang berprofesi sebagai penjual logam

mulia dan permata di MALL Rawa Bening, Maal khusus Permata dan

Logam Batu Mulia berpenghasilan cukup besar, sedangkan Penggugat

Rekonvensi di beri nafkah oleh Tergugat Rekonvensi sebesar Rp.

4.000.000,- (empat juta rupiah) setiap bulannya dan Tergugat

Rekonvensi Juni 2014 Tergugat Rekonvensi dengan di Temani orang tua

beserta keluarga serta orang tua wanita selingkuhannya mengembalikan

Penggugat Rekonvensi ke orang tua Penggugat Rekonvensi yang

beralamat di Semawung, Desa Kaligowong RT.04 RW.05 Kecamatan

Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo hingga sekarang tidak member

nafkah kepada Penggugat Rekonvensi baik lahir maupun batin terhadap

Penggugat Rekonvensi dan berdasarkan Pasal 80 KHI Ayat (1) sampai

Ayat (5) yang mengatur tentang kewajiban Suami terhadap Istri yang

Hal. 10 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

diantaranya adalah kepala Keluarga punya kewajiban untuk menanggung

Nafkah, Kiswah, Maskan, biaya rumah tangga, perawatan dan

pengobatan terhadap Istrinya;

5. Bahwa oleh karena Tergugat Rekonvensi sejak Juni 2014 hingga

September 2014 tidak pernah memberi Nafkah kepada Penggugat

Rekonvensi, dan sesuai dengan ketentuan Hukum Islam bahwa nafkah

Isteri adalah bersifat Lit Tamlik, dalam arti apabila isteri telah Tamkin

dan Taslim, ia telah berhak untuk memiliki Nafkah dari suaminya

sehingga jika nafkah tersebut tidak dibayar oleh suami akan berubah

menjadi hutang yang harus dibayar, oleh karenanya apabila masanya

telah lewat dapat dituntut, maka Tergugat Rekonvensi harus dibebani

nafkah madliyah. Hal tersebut telah di tegaskan dalam Pasal 77 Ayat (5)

KHI yang berbunyi: Jika Suami atau Istri melalaikan kewajibannya

masing-masing dapat mengajukan ke Pengadilan Agama;

Maka sepantasnya dan sepatutnya jika Penggugat Rekonvensi memohon

kepada Yang Terhormat Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili

perkara ini untuk menghukum Tergugat Rekonvensi membayar Nafkah

Madliyah kepada Penggugat Rekonvensi sejak Tergugat Rekonvensi

Mengembalikan Penggugat Rekonvensi yaitu sejak: Juni 2014 sampai

September 2014 atau sampai perkara ini di putus dan mempunyai

kekuatan hukum tetap, setiap Bulannya sebesar Rp 4.000.000,- (empat

juta Rupiah) x 3 Bulan = Rp 12.000.000,- (Dua Belas Juta Rupiah) atau

sampai perkara ini di putus dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang

perhitungannya Rp. 4.000.000,- x Bulan sampai perkara di putus dan

mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum ikrar talak di ucapkan;

6. Bahwa Penggugat Rekonvensi sampai saat ini masih mencintai dan

menyayangi Tergugat Rekonvensi dan masih sangat berharap Rumah

Hal. 11 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

tangga Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi masih dapat di

persatukan kembali untuk membina rumah tangga yang Sakinah

Warohmah Mawaddah dan dengan menjalaninya sebagai Ibadah serta

tidak mau bercerai dan apabila Tergugat Rekonvensi tetap ingin bercerai

dengan Penggugat Rekonvensi maka Penggugat Rekonvensi menuntut

Mut’ah terhadap Tergugat Rekonvensi. Hal tersebut tersebut sesuai

dengan ketentuan Pasal 149 huruf (a) KHI juga sesuai dengan pendapat

Fuqoha ABU ZAHRAH dalam Kitab Al-Ahwalus Syahsiyyah hal. 334

yang artinya: “Apabila Talak di jatuhkan setelah istri di setubuhi (ba’da

dukhul), sedang istri tidak rela atas talak tersebut, maka istri berhak

memperoleh mut’ah dari bekas suaminya, yaitu setara dengan nafkah

selama satu tahun terhitung sejak lepas iddah”;. Maka sepantasnya dan

sepatutnya jika Penggugat Rekonvensi memohon kepada Yang

Terhormat Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini

untuk menghukum Tergugat Rekonvensi membayar Mut’ah kepada

Penggugat Rekonvensi sebesar Rp. 48.000.000,- (Empat Puluh Delapan

Belas Juta Rupiah) dengan rincian sebagai berikut Rp. 4.000.000,- x 12

Bulan = Rp. 48.000.000,- (Empat Puluh Delapan Belas Juta Rupiah)

tunai dan sekaligus sebelum ikrar talak di ucapkan;

7. Bahwa oleh karena Tergugat Rekonvensi pada juni 2014 mengembalikan

Penggugat Rekonvensi ke orang tua Penggugat Rekonvensi yang

beralamat di Semawung, Desa Kaligowong RT.04 RW.05 Kecamatan

Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo dan berdasarkan Pasal 152 KHI di

tegaskan Bekas Istri berhak mendapat Nafkah Iddah dari bekas

Suaminya, kecuali Nuzus. Sedangkan Penggugat Rekonvensi terbukti

sebagai Istri yang tidak Nuzus, Maka sepantasnya dan sepatutnya jika

Penggugat Rekonvensi memohon kepada Yang Terhormat Majelis

Hal. 12 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menghukum

Tergugat Rekonvensi membayar Nafkah Iddah kepada Penggugat Dalam

Rekonvensi sebesar Rp.12.000.000,-; (Dua Belas Juta Rupiah). dengan

rincian sebagai berikut: Rp. 4.000.000,- x 3 Bulan = Rp 12.000.000,-;

(Dua Belas Belas Juta Rupiah);

8. Bahwa selama dalam pernikahan Penggugat Rekonvensi dan Tergugat

Rekonvensi telah mempunyai seorang anak Perempuan yang bernama

SALSABILA AINAPUTRI ATIKA,lahir di Semarang pada tanggal 09

Juni 2012 dan anak tersebut dalam asuhan Penggugat Rekonvensi Maka

Penggugat Rekonvensi mohon supaya ke anak tersebut hak

asuh/pemeliharaannya jatuh kepada Penggugat Rekonvensi sebagai Ibu

kandungnya;

9. Bahwa berdasarkan pasal 149 KHI huruf (d) bekas Suami berkewajiban

untuk memberi biaya Hadlonah untuk anak-anaknya yang belum

mencapai umur 21 Tahun, sedangkan anak Penggugat Rekonvensi dan

Tergugat Rekonvensi yang bernama: SALSABILA AINAPUTRI

ATIKA, lahir di Semarang pada tanggal 09 Juni 2012. Yang saat ini

dalam asuhan Penggugat Rekonvensi dan masih membutuhkan biaya

pemeliharaan, Pengobatan dan Pendidikan oleh sebab itu Penggugat

Rekonvensi mohon kepada Yang Terhormat Mejelis Hakim yang

memeriksa dan mengadili perkara ini untuk Menghukum Tergugat

Rekonvensi membayar biaya pemeliharaan anak tersebut yang di

terimakan kepada Penggugat Rekonvensi masing masing anak sebesar

Rp 3.000.000,- (Tiga Juta Rupiah) tiap bulannya dengan kenaikan 10 %

setiap Tahunnya sampai ketiga anak tersebut dewasa dan mandiri;

10. Bahwa selama dalam masa ikatan perkawinan Penggugat Rekonvensi

dan Tergugat Rekonvensi yaitu sejak 20 Mei 2012 hingga sekarang

Hal. 13 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

kurang lebih sudah berjalan 3 (tiga) Tahun telah memperoleh harta

bersama yaitu:

A. Barang tidak bergerak berupa:

Bangunan permanen Rumah tempat tinggal dengan ukuran 115 x 12

Meter² persegi di atas sebidang Tanah seluas 122 Meter² persegi

yang di beli pada Juni 2012 dengan uang pemberian orng tua

Pemohon dengan Dp 150.000.000,- dan sisanya di angsur di Bank

BPR sebesar Rp. 2.500.000,- perbulannya dari Juni 2011 sampai

Juni 2014 yang terletak di Kampung Bugen Utara RT.005, RW.003,

Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota Semarang

dengan batas batas sebagai berikut:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kolam Ikan milik Warga

- Sebelah Barat berbatasan Gang/ Jalan Bugen Utara

- Sebelah utara berbatasan dengan Tanah milik bapak Iman

- Sebelah Selatan berbatasan dengan rumah Ibu Salamet/anaknya

ibu Slamet Bpk Tomas;

Senilai Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah)

B. Barang barang bergerak, sepeda motor, perabotan rumah tangga dan

barang untuk persewaan usaha berupa:

1. 1 (satu) unit sepeda motor Roda Dua Yamaha Byson warna

Gold tahun Tahun 2012;

2. 1 (satu) unit Mobil Gran Livina warna putih tahun2014;

2. Bahwa harta bersama barang tidak bergerak sebagaimana Aquo posita

nomor 10 di kuasai Tergugat Rekonvensi ;

3. Bahwa apabila terjadi perceraian antara Penggugat Rekonvensi dan

Tergugat Rekonvensi, maka terdapat akibat hukum yang timbul yang

harus di selesaikan yaitu mengenai pembagian harta yang di peroleh

Hal. 14 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

dalam masa ikatan perkawinan (harta bersama) antara Penggugat

Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi;

4. Bahwa menurut ketentuan Hukum dan Peraturan Perundang undangan

yang berlaku di Negara Republik Indonesia harta bersama (gono-gini)

adalah harta/benda yang diperoleh selama masa ikatan perkawinan (vide

Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Jo Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf (f) menyebutkan

bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri

atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung

tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;

5. Bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur

menurut hukumnya masing-masing, menurut hukum Islam, janda atau

duda cerai hidup masing-masing berhak separuh dari harta bersama

sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan (vide Pasal

37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo Pasal

97 Kompilasi Hukum Islam, oleh sebab itu harta bersama tersebut

merupakan hak Penggugat dan Tergugat yang harus dibagi dimana

masing masing berhak atas separuh (½) bagian atas harta bersama

tersebut;

6. Bahwa saat ini ada indikasi iktikat tidak baik dari pihak Tergugat

Rekonvensi yang tidak mau membagi dan akan menguasai harta bersama

tersebut, karena sebelum Penggugat Rekonvensi hendak mengajukan

gugatan Rekonvensi harta bersama tersebut, Penggugat Rekonvensi telah

membicarakan secara kekeluargaan akan tetapi Tergugat Rekonvensi

menolaknya;

7. Bahwa atas alasan tersebut, maka sepantasnya jika Tergugat Rekonvensi

di hukum untuk menyerahkan separuh (½) bagian yang seharusnya

Hal. 15 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

menjadi hak Penggugat Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi dan

separuh (½) nya bagian Tergugat Rekonvensi;

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, mohon kepada Yang Terhormat

Ketua Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan

untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut :

DALAM EKSEPSI

1. Menerima dan mengabulkan Eksepsi Termohon seluruhnya;

2. Menyatakan Pengadilan Agama Semarang tidak berwenang mengadili

perkara Cerai Talak Pemohon

3. Menolak Permohonan Cerai Talak Pemohon atau setidak tidaknya

menyatakan permohonan Cerai Talak Pemohon di nyatakan tidak dapat

di terima;

4. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara;

DALAM KONVENSI

1. Menerima jawaban Termohon untuk seluruhnya;

2. Menolak Permohonan Cerai Talak Pemohon atau setidak tidaknya

menyatakan permohonan Cerai Talak Pemohon di nyatakan tidak dapat

di terima;

3. Menyatakan rumah tangga Pemohon dan Termohon dapat di persatukan

kembali dan menjalaninya sebagai ibadah;

4. Menghukum Pemohon untuk membayar semua biaya yang timbul dalam

perkara ini;

DALAM REKONVENSI

1. Menerima dan Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk

seluruhnya;

Hal. 16 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

2. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada Penggugat

Rekonvensi seketika sebelum Ikrar Talak di ucapkan tunai dan sekaligus

sebagai berikut:

a. Nafkah Madliyah sejak: Bulan Juni 2014 sampai September 2014

atau sampai perkara ini di putus dan mempunyai kekuatan hukum

tetap, setiap bulannya sebesar Rp 4.000.000,- (empat juta Rupiah)

x 3 Bulan = Rp 12.000.000,- (Dua Belas Juta Rupiah) atau sampai

perkara ini di putus dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang

perhitungannya Rp. 4.000.000,- x Bulan sampai perkara di putus dan

mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum ikrar talak di ucapkan;

b. Nafkah Iddah sebesar Rp.12.000.000,-; (Dua Belas Juta Rupiah).

dengan rincian sebagai berikut: Rp. 4.000.000,- x 3 Bulan = Rp

12.000.000,-; (Dua Belas Belas Juta Rupiah);

c. Mut’ah sebesar Rp. 48.000.000,- (Empat Puluh Delapan Belas Juta

Rupiah) dengan rincian sebagai berikut Rp. 4.000.000,- x 12 Bulan

= Rp. 48.000.000,- (Empat Puluh Delapan Belas Juta Rupiah)

dengan rincian sebagai berikut Rp. 4.000.000,- x 12 Bulan = Rp.

48.000.000,- (Empat Puluh Delapan Belas Juta Rupiah) tunai dan

sekaligus sebelum ikrar talak di ucapkan;

3. Menetapkan hak asuh anak ke 3 (tiga) anak Penggugat Rekonvensi dan

Tergugat Rekonvensi yang bernama: SALSABILA AINAPUTRI

ATIKA, lahir di Semarang pada tanggal 09 Juni 2012, Hak

Asuh/pemeliharaannya jatuh kepada Penggugat Rekonvensi sebagai Ibu

Kandungnya;

5. Menghukum Tergugat Rekonvensi membayar biaya pemeliharaan anak

tersebut yang di terimakan kepada Penggugat Rekonvensi masing

masing anak sebesar Rp 3.000.000,- (Tiga Juta Rupiah) tiap bulannya

Hal. 17 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

dengan kenaikan 10 % setiap Tahunnya sampai ketiga anak tersebut

dewasa dan mandiri;

6. Menyatakan harta bersama Penggugat Rekonvensi dan Tergugat

Rekonvensi yang belum terbagi adalah:

A. Bangunan permanen Rumah tempat tinggal dengan ukuran 115 x 12

Meter² persegi di atas sebidang Tanah seluas 122 Meter² persegi

yang di beli pada Juni 2012 dengan uang pemberian orng tua

Pemohon dengan Dp 150.000.000,- dan sisanya di angsura di Bank

BPR sebesar Rp. 2500.000,- perbulannya dari Juni 2011 sampai Juni

2014 yang terletak di Kampung Bugen Utara RT.005, RW.003,

Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota Semarang

dengan batas batas sebagai berikut:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kolam Ikan milik Warga

- Sebelah Barat berbatasan Gang/ Jalan Bugen Utara

- Sebelah utara berbatasan dengan Tanah milik bapak Iman

- Sebelah Selatan berbatasan dengan rumah Ibu Salamet/anaknya

ibu Slamet Bpk Tomas;

Senilai Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah)

B. Barang barang bergerak, sepeda motor, perabotan rumah tangga dan

barang untuk persewaan usaha berupa:

1. 1 (satu) unit sepeda motor Roda Dua Yamaha Byson warna

Gold tahun Tahun 2012;

2. 1 (satu) unit Mobil Gran Livina warna putih tahun2014;

7. Menetapkan separuh (½) dari harta bersama Aquo Posita nomor 10

adalah bagian Penggugat Rekonvensi dan separuh (½) nya adalah bagian

Tergugat Rekonvensi;

Hal. 18 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

8. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk menyerahkan separuh (½)

bagian dari harta bersama Aquo Dictum Nomor 6 kepada Penggugat

Rekonvensi;

9. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar semua biaya yang

timbul dalam perkara ini;

Atau: Apabila Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berpendapat lain

mohon putusan yang seadil adilnya. ( Ex Aequo et Bono);

Bahwa terhadap jawaban Termohon tersebut Pemohon telah

memberikan jawabannya sebagai berikut:

DALAM EKSEPSI

1. Bahwa Pemohon menolak semua dalil-dalil Eksepsi Termohon tentang

kompetensi relatif Pengadilan Agama Semarang dalam memeriksa dan

mengadili Permohonan Cerai Talak dalam Perkara A quo;

2. Bahwa setelah Pemohon memulangkan Termohon ke rumah orang tuanya

di Semawung, Desa Kaligowong RT. 04 RW. 05, Kecamatan

Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo, Termohon masih sering tinggal di

rumah yang beralamat di Kp. Bugen Utara RT. 05 RW. 03, Kelurahan

Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, sehingga tempat

tinggal Termohon masih tetap berkedudukan di Kp. Bugen Utara RT. 05

RW. 03, Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota

Semarang;

3. Bahwa tempat tinggal Termohon berkedudukan di Kp. Bugen Utara RT.

05 RW. 03, Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota

Semarang telah diakui oleh Termohon sebagaimana dalam Surat Kuasa

dan Jawaban Termohon yang secara tegas menyatakan tempat tinggal

Termohon di Kp. Bugen Utara RT. 05 RW. 03, Kelurahan Bangetayu

Kulon, Kecamatan Genuk, Kota Semarang;

Hal. 19 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

4. Bahwa oleh karena tempat tinggal Termohon berkedudukan di Kp. Bugen

Utara RT. 05 RW. 03, Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk,

Kota Semarang, maka sesuai ketentuan Pasal 66 Ayat (2) Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang

Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,

Pengadilan Agama Semarang berwenang memeriksa dan mengadili

perkara a quo. Oleh karenany Eksepsi dari Termohon harus ditolak;

DALAM KONVENSI

1. Bahwa dalil-dalil dalam Eksepsi di atas secara mutatis mutandis

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Pokok Perkara ini;

2. Bahwa pada pokoknya Pemohon tetap berpegang teguh pada

Permohonannya semula tertanggal 26 Juni 2014 dan menolak semua

dalil-dalil jawaban Termohon kecuali yang diakui kebenarannya secara

tegas oleh Pemohon sebagaimana di bawah ini;

3. Bahwa benar jawaban Termohon angka 2, karena memang demikian

adanya;

4. Bahwa Pemohon menolak jawaban Termohon angka 3 karena tidak

sepenuhnya benar demikian adanya, yang benar adalah setelah akad nikah

Pemohon dan Termohon membina rumah tangga di rumah pemberian

orang tua Pemohon di Kp. Bugen Utara RT. 05 RW. 03, Kelurahan

Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota Semarang selama 2 tahun

7 bulan dan Termohon tidak pernah pindah ke rumah orang tua Termohon

bersama Pemohon dan telah dikaruniai 1 orang anak bernama :

SALSABILA AINAPUTRI ATIKA, lahir : Semarang, 09 Juni 2012;

5. Bahwa Pemohon menolak jawaban Termohon angka 4 huruf (a) karena

tidak benar demikian adanya, yang benar adalah sejak bulan Mei 2013

antara Pemohon dan Termohon sering kali terjadi perselisihan dan

Hal. 20 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

pertengkaran terus menerus dan mengakibatkan Pemohon dan Termohon

sulit untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

6. Bahwa Pemohon menolak jawaban Termohon angka 4 huruf (b) karena

tidak benar demikian adanya, yang benar adalah adalah Pemohon bekerja

sebagai Penjual Perak dan Batu Cincin (Akik) yang Pemohon lakukan

dengan cara keliling, karena Pemohon tidak mempunyai tempat untuk

berjualan Perak dan Batu Cincin tersebut di Mall Rawa Bening, sehingga

Pemohon hanya sanggup memberikan uang nafkah kepada Termohon

setiap bulannya sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Oleh karena

hal tersebut menyebabkan perselisihan dan pertengkaran antara Pemohon

dan Termohon;

7. Bahwa Pemohon menolak jawaban Termohon angka 4 huruf (c) karena

tidak benar demikian adanya, yang benar adalah Pemohon tidak

pernah menjalin hubungan khusus seperti yang Termohon

tuduhkan, sebelum bulan Desember 2013, Pemohon pulang ke rumah

dalam sebulan sekali, namun oleh Termohon menuntut Pemohon untuk

pulang minimal dua kali dalam sebulan, oleh karena Penghasilan

Pemohon yang pas-pasan, Pemohon tidak dapat memenuhi tuntutan

Termohon tersebut;

8. Bahwa Pemohon menolak jawaban Termohon angka 5 karena tidak benar

demikian adanya, yang benar adalah pada bulan Juni 2014, Pemohon

pulang ke rumah untuk memperbaiki rumah tangga Pemohon dan

Termohon, namun Termohon justru marah-marah terhadap Pemohon

serta menuduh Pemohon telah selingkuh dengan wanita lain dan Pemohon

memulangkan Termohon ke rumah orang tuanya atas kemauan dan

kehendak dari Termohon sendiri;

Hal. 21 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

9. Bahwa Pemohon menolak jawaban Termohon angka 6, dikarenakan atas

sikap Termohon tersebut menyebabkan perselisihan dan pertengkaran

antara Pemohon dan Termohon, oleh karenanya tujuan dari perkawinan

untuk membentuk keluarga yang bahagia tidak mungkin terwujud,

sehingga Pemohon memutuskan untuk becerai dengan Termohon;

10. Bahwa dengan keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon yang

sering terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus tersebut,

mengakibatkan Pemohon dan Termohon sangat sulit untuk hidup rukun

lagi dalam rumah tangga, oleh karenanya Permohonan Pemohon telah

memenuhi alasan perceraian sebagaimana dikehendaki Pasal 19 huruf

(f) PP Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI. Maka sudah

sepatutnya Permohonan Pemohon untuk dikabulkan;

DALAM REKONVENSI

1. Bahwa dalil-dalil dalam Eksepsi dan Konvensi di atas secara mutatis

mutandis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Rekonvensi

ini;

2. Bahwa Tergugat Rekonvensi menolak dan keberatan atas tuntutan

Penggugat Rekonvensi sebagaimana dalam Gugatan Rekonvensinya

angka 5, dikarenakan Tergugat Rekonvensi memulangkan Penggugat

Rekonvensi ke rumah orang tuanya atas permintaan Penggugat

Rekonvensi sendiri, sehingga menurut hukum Penggugat Rekonvensi

telah membebaskan Tergugat Rekonvensi dari kewajiban-kewajibanya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 angka (6) KHI, dengan demikian

kewajiban Tergugat Rekonvensi untuk memberikan nafkah, kiswah dan

maskan kepada Penggugat Rekonvensi telah gugur menurut hukum;

3. Bahwa meskipun secara hukum kewajiban hukum Tergugat Rekonvensi

telah gugur, namun bulan Juni 2014 sampai bulan September 2014,

Hal. 22 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

Tergugat Rekonvensi tetap memberikan nafkah kepada Penggugat

Rekonvensi sesuai kemampuan Tergugat Rekonvensi, dengan demikian

tuntutan Penggugat Rekonvensi angka 5 harus ditolak;

4. Bahwa Tergugat Rekonvensi menolak dan keberatan atas tuntutan

Penggugat Rekonvensi sebagaimana dalam Gugatan Rekonvensinya

pangka 6 dan angka 7, karena tuntutan Penggugat Rekonvensi tersebut

sangat mengada-ngada dan jauh dari kemampuan Tergugat Rekonvensi;

5. Bahwa Tergugat Rekonvensi bekerja sebagai Penjual Perak dan Batu

Cincin (Akik) keliling dengan penghasilan kotor setiap bulannya rata-rata

sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah), sehingga

Tergugat Rekonvensi tidak mungkin mampu memenuhi tuntutan

Penggugat Rekonvensi sebagaimana angka 4 di atas. Oleh karenanya

tuntutan Penggugat Rekonvensi tentang Mut’ah dan Nafkah Iddah harus

ditolak;

6. Bahwa sesuai kemampuan Tergugat Rekonvensi yang berpenghasilan

setiap bulannya rata-rata sebesar Rp. 1.500.000,- (Satu juta lima ratus

riburupiah), Tergugat Rekonvensi bersedia memberikan Mut’ah kepada

Penggugat Rekonvensi sebesar Rp. 700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah) dan

Nafkah Iddah sebesar Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah);

7. Bahwa Tergugat Rekonvensi tidak keberatan apabila anak hasil

perkawinan yang bernama : SALSABILA AINAPUTRI ATIKA, lahir :

Semarang, 09 Juni 2012 dalam asuhan Penggugat Rekonvensi

sebagaimana dalam Gugatan Penggugat Rekonvensi angka 8, namun

demikian Tergugat Rekonvensi mohon kepada Majelis Hakim untuk

diberikan hak kunjung kepada anak tersebut;

8. Bahwa Tergugat Rekonvensi menolak dan keberatan atas Gugatan

Penggugat Rekonvensi angka 9 karena tuntutan Tergugat Rekonvensi

Hal. 23 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

tersebut jauh dari kemampuan Tergugat Rekonvensi, bahkan melebihi

dari penghasilan rata-rata Tergugat Rekonvensi dalam setiap bulannya

dan sesuai kemampuan Tergugat Rekonvensi, Tergugat Rekonvensi

bersedia memberikan biaya hadhonah untuk anak setiap bulannya

minimal sebesar Rp. 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah);

9. Bahwa Tergugat Rekonvensi menolak dan keberatan atas Gugatan

Penggugat Rekonvensi angka 10 huruf (A), karena sebidang tanah yang

terletak di Kp. Bugen Utara RT. 05 RW. 03, Kelurahan Bangetayu Kulon,

Kecamatan Genuk, Kota Semarang dan bangunan yang berdiri di atasnya

merupakan pemberian (hibah) dari orang tua Tergugat Rekonvensi;

10.Bahwa antara Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi tidak ada

perjanjian perkawinan berkaitan harta yang diperoleh masing-masing

sebagai hadiah atau warisan, maka sesuai ketentuan Pasal 87 angka (1)

KHI, harta sebagaimana dalam angka 9 di atas berada di bawah

penguasaan Tergugat Rekonvensi sendiri dan Penggugat Rekonvensi

tidak berhak mendapatkan bagian dari harta tersebut;

11.Bahwa Gugatan Penggugat Rekonvensi angka 9 sangatlah tidak masuk

akal, dimana Penggugat Rekonvensi mendalilkan sebidang tanah yang

terletak di Kp. Bugen Utara RT. 05 RW. 03, Kelurahan Bangetayu

Kulon, Kecamatan Genuk,Kota Semarang dibeli pada bulan Juni 2012

dengan DP dari orang tua Pemohon dan sisanya angsuran di Bank BPR,

namun angsurannya dimulai sejak bulan Juni 2011;

12.Bahwa Tergugat Rekonvensi menolak Gugatan Penggugat Rekonvensi

angka 10 huruf (B) angka (1) dan angka (2), karena selama dalam

perkawinan Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonpesi tidak pernah

memperoleh barang-barang sebagaimana dimaksud dan barang-barang

Hal. 24 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

yang dimaksud Penggugat Rekonvensi tersebut merupakan karangan

Penggugat Rekonvensi yang tidak berdasar;

13.Bahwa oleh karena sebidang tanah yang terletak di Kp. Bugen Utara RT.

05 RW. 03, Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota

Semarang dan bangunan yang berdiri di atasnya sebagaimana dalam

angka 9 di atas merupakan pemberian (hibah) dari orang tua Tergugat

Rekonvensi dan selama dalam perkawinan Penggugat Rekonvensi dan

Tergugat Rekonvensi tidak pernah memperoleh barang-barang

sebagaimana dalam angka 12 di atas, maka tuntutan Penggugat

Rekonvensi sebagaimana dalam Gugatan Rekonvensinya angka 2, 3 , 4,

5, 6 dan 7 harus ditolak;

Berdasarkan dalil-dalil/alasan tersebut di atas, Pemohon mohon kepada

Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk

menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut :

DALAM EKSEPSI :

1. Menolak Eksepsi dari Termohon;

DALAM KONVENSI :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon (ACHMAD RIDWAN

HIDAYAT bin HERY GONDO SUSANTO) untuk menjatuhkan talak

terhadap Termohon (SITI KHAMIDAH binti KHAERUDIN) di hadapan

sidang Pengadilan Agama Semarang;

3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Semarang mengirimkan

salinan penetapan Ikrar Talak perkara ini kepada Pegawai Pencatat Nikah

yang Wilayahnya meliputi tempat tinggal Pemohon dan Termohon dan

kepada pegawai pencatat Nikah di tempat perkawinan di langsungkan

guna dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;

Hal. 25 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum;

DALAM REKONVENSI :

1. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;

ATAU :

Apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini

berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono);

Bahwa Termohon mengajukan duplik yang selengkapnya termuat

dalam berita acara sidang perkara ini;

Bahwa karena karena Termohon mengajukan eksepsi maka

Pemohon dan Termohon masing-masing mengajukan bukti surat :

1. Bukti Pemohon:

- Fotokopi Surat Keterangan Pndah WNI atasnama Termohon bermeterai

cukup dan setelah dicocokkan dengan aslinya (P.1);

- Fotokopi Kartu Tanda Keluarga atasnama Pemohon dan Termohon

Nomor : 3374050610140007 bermeterai cukup dan setelah dicocokkan

dengan aslinya (P.2);

2. Bukti Termohon:

- Fotokopi Keterangan domisili atasnama Termohon dari Desa Kaligowong

Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo tanggal 10 Oktober

2014 bermeterai cukup dan setelah dicocokkan dengan aslinya ( T-1);

Bahwa Majelis Hakim mencukupkan bukti-bukti yang diajukan oleh

Pemohon dan Termohon dan akan menjatuhkan putusan Sela sebagaimana

tersebut ;

Bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini maka ditunjuk hal

ihwal yang tercantum dalam Berita Acara Persidangan bagian yang tak

terpisahkan dari putusan ini;

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM

Hal. 26 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

DALAM EKSEPSI

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon

adalah sebagaimana telah diuraikan di atas;

Menimbang, bahwa dalam perkara aquo Termohon mengajukan

eksepsi berkenaan dengan kompetensi relatif dengan alasan sebagai berikut:

1. Bahwa Pengadilan Agama Semarang tidak berwenang memeriksa dan

mengadili Perkara Cerai Talak antara Pemohon dengan Termohon

perkara nomor 1565/Pdt.G/2014.PA.Smg, Pengadilan Agama yang

berwenang mengadili adalah Pengadilan Agama Wonosobo;

2. Bahwa pada Tanggal Juni 2014 Pemohon dengan di temani Orang tua

Pemohon beserta keluarganya serta orang tua Wanita selingkuhan

Pemohon mengantarkan dan memulangkan Termohon kerumah orang

tuanya yang beralamat di Semawung, Desa Kaligowong RT.04 RW.05

Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo dan sejak itu pula

Pemohon tidak pernah memberi nafkah kepada Termohon;

3. Bahwa tempat tinggal Termohon sejak Juni 2014 hingga sekarang bukan

Kampung Bugen Utara RT.005, RW.003, Kelurahan Bangetayu Kulon,

Kecamatan Genuk, Kota Semarang akan tetapi di Semawung, Desa

Kaligowong RT.04 RW.05 Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten

Wonosobo;

4. Bahwa dengan demikian maka seharusnya Pemohon mengajukan

perceraian di Pengadilan Agama Wonosobo, bukan di Pengadilan Agama

Semarang karena tempat tinggal kediaman istri (Termohon) senyatanya di

Wonosobo, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat 2 UU No.7

tahun 89 yang di rubah dengan UU No. 3 tahun 2006, yang di rubah

dengan UU No.50 tahun 2009;

Hal. 27 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

Bahwa oleh karena Pengadilan Agama Semarang tidak berwenang

sedangkan yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Agama Wonosobo

sehingga patutlah jika permohonan Pemohon harus di Tolak, atau setidak

tidaknya di nyatakan tidak dapat di terima;

Menimbang, bahwa terhadap eksepsi Termohon tersebut Pemohon

memberikan jawaban yang pada pokoknmya sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon menolak semua dalil-dalil eksepsi Termohon tentang

kompetensi relatif Pengadilan Agama Semarang dalam memeriksa dan

mengadili permohonan cerai talak dalam perkara A quo;

2. Bahwa setelah Pemohon memulangkan Termohon ke rumah orang tuanya

di Semawung, Desa Kaligowong RT. 04 RW. 05, Kecamatan

Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo, Termohon masih sering tinggal di

rumah yang beralamat di Kp. Bugen Utara RT. 05 RW. 03, Kelurahan

Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, sehingga tempat

tinggal Termohon masih tetap berkedudukan di Kp. Bugen Utara RT. 05

RW. 03, Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota

Semarang;

3. Bahwa tempat tinggal Termohon berkedudukan di Kp. Bugen Utara RT.

05 RW. 03, Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota

Semarang telah diakui oleh Termohon sebagaimana dalam Surat Kuasa

dan Jawaban Termohon yang secara tegas menyatakan tempat tinggal

Termohon di Kp. Bugen Utara RT. 05 RW. 03, Kelurahan Bangetayu

Kulon, Kecamatan Genuk, Kota Semarang;

4. Bahwa oleh karena tempat tinggal Termohon berkedudukan di Kp. Bugen

Utara RT. 05 RW. 03, Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk,

Kota Semarang, maka sesuai ketentuan Pasal 66 Ayat (2) Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang

Hal. 28 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,

Pengadilan Agama Semarang berwenang memeriksa dan mengadili

perkara a quo. Oleh karenanya eksepsi dari Termohon harus ditolak;

Menimbang, Bahwa terhadap eksepsi Termohon tersebut, Termohon

memperkuat dalilnya dengan mengajukan bukti surat T.1 begitu pula

Pemohon untuk memperkuat bantahannya membuktikan dengan bukti P .1

dan P.2 alat bukti tersebut masing-masing telah diberi materi cukup sesuai

aslinya formil dan materiil dapat diterima sebagai alat bukti dalam perkara

ini;

Menimbang, bahwa terlepas dari jawab menjawab diantara

Pemohon dan Termohon dalam eksepsi dan upaya upaya yang dilakukan

masing-masing pihak untuk memperkuat dalilnya dengan bukti-bukti yang

telah diajukan dalam perkara ini, maka dalam perkara aquo Majelis hakim

terlebih dahulu perlu mempertimbangkan apakah eksepsi dalam perkara ini

telah diajukan oleh Termohon dalam waktu yang ditentukan Undang-undang

atau tidak;

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim mempelajari secara

seksama eksepsi relative yang diajukan oleh pihak Termohon, ternyata

pengajuan eksepsi relatif oleh Termohon tersebut terbukti tidak disampaikan

pada sidang pertama dan baru disampaikan pada persidangan lanjutan yaitu

persidangan kelima tanggal 17 September 2014;

Menimbang, bahwa dalam hal para pihak mengajukan eksepsi relatif,

sesuai Pedoman teknis (Buku II edisi revisi) yang diterbitkan Mahkamah

Agung Republik Indonesia telah memberikan petujuk hal-hal sebagai berikut:

- Jika Tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan

(eksepsi) tentang kewenangan mengadili secara relative maka Pengadilan

Hal. 29 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

Agama /Mahkamah Syariah tidak boleh menyatakan dirinya tidak

berwenang (Pasal 133 HIR/Pasal 159 RBg);

- Eksepsi mengenai kewenangan relatif harus diajukan pada sidang pertama;

Menimbang, bahwa karena Termohon terbukti mengajukan eksepsi

secara relatif pada persidangan kelima pada hari Rabu tanggal 17 September

2014 bukan pada persidangan pertama hari Rabu tanggal 27 Juli 2014

sebagaimana petunjuk teknis tersebut, Majelis hakim berpendapat eksepsi

relatif yang diajukan Termohon tersebut terbukti tidak sesuai dengan

ketentuan Mahkamah Agung RI tersebut, sehingga karenanya ipermohonan

eksepsi secara relatif oleh Termohon dalam perkara ini harus dinyatakan

ditolak;

Menimbang, bahwa karena eksepsi relatif Termohon tersebut

dinyatakan ditolak, maka Pengadilan Agama Semarang harus dinyatakan

berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini ;

Menimbang, bahwa karena Pengadilan Agama Semarang berwenang

mengadili perkara ini maka kepada Pemohon dan Termohon diperintahkan

untuk melanjutkan perkaranya di Pengadilan Agama Semarang tersebut;

Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan

maka sesuai Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, semua biaya perkara ini

dibebankan kepada Pemohon, akan tetapi karena perkara ini masih belum

selesai maka biaya perkara akan ditangguhkan atau diperhitungkan sampai

putusan akhir;

Memperhatikan, segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku

dan yang berkaitan dengan perkara ini;

MENGADILI

Hal. 30 dr. 30 hal. Put. No. /Pdt.G/20 /PA Smg

1. Menolak eksepsi Termohon;

2. Menyatakan Pengadilan Agama Semarang berwenang mengadili

perkara ini;

3. Memerintahkan kepada Pemohon dan Termohon untuk melanjutkan

perkaranya;

4. Menangguhkan biaya perkara ini sampai putusan akhir

Demikian putusan ini dijatuhkan dalam musyawarah Majelis Hakim

Pengadilan Agama Semarang pada hari Rabu tanggal 5 Nopember 2014

Masehi bertepatan dengan tanggal xxx Muharram 1419 Hijriyah oleh kami

Drs. M. Syukri, S.H., M.H. sebagai Hakim Ketua, Drs. H. Muhamad

Kasthori, M.H. dan Drs. Iskhaq, S.H. masing-masing sebagai Hakim

Anggota putusan teeersebut pada hari itu juga dibacakan dalam sidang

terbuka untuk umum dengan didampingi oleh Hakim Anggota dan dibantu

oleh Dra. Siti Nurjanah sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh

Pemohon dan Termohon.

Hakim Ketua

ttd

Drs. M. Syukri, S.H., M.H.

Hakim Anggota

Ttd

Hakim Anggota

ttd

Drs. H. Muhamad Kasthori, M.H. Drs. Iskhaq, S.H.

Panitera Pengganti

ttd

Dra. Siti Nurjanah

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Khasanudin

Tempat, tanggal lahir : Kendal, 5 Mei 1992

Alamat : Kelurahan Bandengan RT: 04

RW: 02 Kec. Kota Kendal,

Kab. Kendal.Prov. Jateng 51312

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Jurusan : Ahwalus Syakhsiyah (Hukum

Keluarga)

Pendidikan Formal :

1. SD Negeri 02 Bandengan, lulus tahun 2004

2. SMP Negeri 02 Kendal, lulus tahun 2007

3. SMK Negeri 02 Kendal, lulus tahun 2010

4. UIN Walisongo Semarang Fakultas Syariah Jurusan

Ahwal Asy-Syakhsiyah Tahun 2017

Pengalaman organisasi:

1. Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Kendal (IMAKEN)

2. Ketua HMI Cabang Semarang 2016-2017

Semarang, 13 Juli 2017

Khasanudin