ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DI … fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id...
Transcript of ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DI … fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ANALISIS KETAHANAN PANGAN
RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN SUKOHARJO
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Oleh:
WAHYUNI
H 0307089
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
KATA PANGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur ke hadirat Alloh SWT atas segala limpahan,
rahmat, karunia, dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Ketahanan Pangan
Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo” dengan baik. Skripsi ini disusun
guna memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya bantuan dari
semua pihak, baik instansi maupun perorangan. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, M.S., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Ibu Dr. Ir. Sri Marwanti, M.S., selaku Ketua Jurusan/Program Studi Sosial
Ekonomi Pertanian/Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta dan selaku Pembimbing Utama yang telah begitu sabar memberikan
bimbingan, nasehat, arahan dan masukan yang sangat berharga bagi penulis.
3. Ibu Umi Barokah, S.P., M.P., selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan masukannya.
4. Ibu Prof. Dr. Ir. Suprapti S.,MP, selaku penguji yang telah memberikan
bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Ir. Suprapto selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas saran,
nasehat dan arahannya selama ini.
6. Ibu Ir. Sugiharti Mulya Handayani, M.P., selaku Ketua Komisi Sarjana
Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
atas ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan.
8. Seluruh karyawan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan bantuan.
9. Kepala Kesbangpolinmas, BAPPEDA, BPS, Dinas Pertanian, KPPKBN
Kabupaten Sukoharjo, Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
Kepala Kantor Kecamatan Bulu, Kepala Desa Puron, Kepala Desa
Karangasem, dan Kepala Desa Kedungsono serta semua responden yang telah
memberikan ijin kepada Penulis untuk melakukan penelitian dan membantu
dalam menyediakan data yang dibutuhkan bagi Penulis.
10. Kedua orang tua sekaligus teladanku, Bapak Parno dan Ibu Mulyani, terima
kasih atas segala doa, dukungan moril maupun materiil, motivasi, semangat,
nasihat, cinta dan kasih sayang, sehingga Penulis dapat menjadi pribadi yang
lebih baik, ijinkan aku membanggakan dan membahagiakan kalian.
11. Kakak-kakakku, Agus Priyanto, Hartini dan Poniyem serta tak lupa
keponakanku Kireina Mutia As-Syifa Apriyanto, terima kasih atas segala,
motivasi, dukungan, semangat, semua saran dan doanya.
12. Keluarga besarku, terima kasih atas bantuan, dukungan serta doa restunya.
13. Teman terdekatku, Susilo Hadi, terima kasih atas doa, dukungan, perhatian,
pengertian, semangat, motivasi dan kesabaran yang luar biasa disela kesibukan
dan kelelahanmu.
14. Sahabat-sahabatku, Desi, Herlina, Linda, mb phina, dan Sabila, Terima kasih
atas persahabatan yang sangat berharga, do’a yang sangat bermakna,
dukungan, motivasi, semangat, keceriaan, saran dan bantuannya.
15. Teman-teman “HIBITU” seperjuangan, terima kasih atas persahabatan dan
kebersamaan yang indah dari awal kuliah sampai saat ini.
16. Semua pihak yang telah membantu Penulis dalam penyusunan skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat dijadikan sebagai
acuan dan tambahan referensi dalam penulisan skripsi di masa yang akan datang.
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Surakarta, Juni 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
RINGKASAN .................................................................................................
SUMMARY ......................................................................................................
I
ii
iii
v
vii
ix
x
xi
xii
I. PENDAHULUAN ................................................................................. A. Latar Belakang …………………………...……………………….. B. Rumusan Masalah .............................................................................. C. Tujuan Penelitian ............................................................................... D. Kegunaan Penelitian ..........................................................................
1 1 4 7 7
II. LANDASAN TEORI ............................................................................. A. Penelitian Terdahulu ……………………………………………...... B. Tinjauan Pustaka ................................................................................
1. Pangan ......................................................................................... 2. Pengeluaran Pangan dan Non Pangan ………………………… 3. Proporsi Pengeluaran Pangan ….................................................. 4. Konsumsi Pangan …...………………………………………..... 5. Rumah Tangga Miskin ...………………………………............. 6. Kemiskinan................………………………………………....... 7. Ketahanan Pangan .……………………………………………..
C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ………...……………………. D. Asumsi ……...…………………………………………………..….. E. Pembatasan Masalah …...………………………………….............. F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ................................
9 9 11 11 11 12 13 14 15 17 20 21 21 22
III. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... A. Metode Dasar Penelitian .................................................................... B. Metode Pengambilan Daerah Penelitian ............................................ C. Metode pengambilan Sampel ............................................................ D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data .................................................
1. Jenis Data ..................................................................................... 2. Teknik Pengumpulan Data ..........................................................
25 25 25 27 28 28 29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
E. Metode Analisis Data …..……………………………..…………… 1. Analisis Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan terhadap Total
Pengeluaran ................................................................................. 2. Analisis Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga
Miskin .......................................................................................... 3. Analisis Hubungan Proporsi Pengeluaran Pangan dari Total
Pengeluaran dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) ............... 4. Analisis Ketahanan Pangan .........................................................
29 29 30 33 33
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN …………………… A. Keadaan Alam ……………………………………………………... B. Keadaan Penduduk …………………………………………………
1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk …………………………... 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin ……... 3. Komposisi Penduduk Menurut Lapangan Usaha Utama ………
C. Keadaan Perekonomian ……………………………………………. D. Keadaan Pertanian …………………………………………………. E. Kondisi Kemiskinan ………………………………………………..
35 35 36 36 37 39 41 42 43
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………….. A. Karakteristik Rumah Tangga Responden …………………………... B. Pendapatan Rumah Tangga Responden …………………………… C. Pengeluaran Rumah Tangga Responden …………………………… D. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan Terhadap Pengeluaran
Total Rumah Tangga ……………………………………………….. E. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga …………….. F. Hubungan Proporsi Pengeluaran Pangan dengan Konsumsi Energi
dan protein ………………………………………………………….. G. Ketahanan Pangan Rumah Tangga …………………………………
45 45 47 49 59 61 65 66
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………. A. Kesimpulan ………………………………………………………... B. Saran ………………………………………………………………..
69 69 70
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR TABEL
No. Judul
Halaman
1. Ketersedian dan Kebutuhan Pangan Berupa Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010 ……………………..........................
2
2. Data keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I se Eks-Karisidenan Surakarta Tahun 2009 …………………....................
3
3. Data KK Miskin berdasarkan kelompok Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I di Kabupaten Sukoharjo ........................
5
4. Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga …………………........ 18 5. Data KK Miskin menurut Desa di Kecamatan Bulu Tahun
2009……………………………………………………………….
26 6. Jumlah Sampel Responden KK Miskin Tiap Kelurahan ………... 27 7. Daftar Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan
Protein (AKP) Berdasar Umur dan Jenis Kelamin ………………
32 8. Kategori Rumah Tangga Berdasarkan Indikator Ketahanan
Pangan ………………………………………………………........
34 9. Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten
Sukoharjo Tahun 2006-2010 ……………………………………..
36 10. Jumlah Kelahiran dan Kematian Penduduk di Kabupaten
Sukoharjo Tahun 2006-2010 ……………………………………..
37 11. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010 ………………….
38 12. Penduduk Umur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha Utama di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010 ….
40 13. PDRB Kabupaten Sukoharjo Menurut Lapangan Usaha Atas
Harga Berlaku Tahun 2008-2009 (Jutaan Rupiah) ………………
41 14. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kabupaten Sukoharjo
Tahun 2010 ………………………………………………………
42 15. Jumlah dan Proporsi Kemiskinan menurut BKKBN di Kabupaten
Sukoharjo Tahun 2006-2010 ……………………………………..
43 16. Karakteristik Rumah Tangga Responden di Kabupaten
Sukoharjo ………………………………………………………...
45 17. Jumlah Anggota Rumah Tangga Responden di Kabupaten
Sukoharjo…………………………………………………………
47 18. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Responden Di Kabupaten
Sukoharjo ………………………………………………………...
48 19. Rata-Rata Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Responden di
Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 ……………………
49 20. Rata-Rata Pengeluaran Non Pangan Rumah Tangga Responden
di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 …………………
56 21. Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga Responden di Kabupaten
Sukoharjo Bulan Desember 2011 ………………………………..
60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
22. Rata-rata Konsumsi Energi dan Protein, AKG yang dianjurkan, dan Tingkat Konsumsi Gizi Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 …………………...
61 23. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah
Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011……………………………………………………………….
63 24. Hasil Analisis Korelasi Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan
dengan Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 ………………...
65 25. Jumlah Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo
Menurut Kategori Ketahanan Pangan ............................................
67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR GAMBAR
No. Judul
Halaman
1. Skema Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah....................... 21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul
Halaman
1. Identitas Responden ………………………………………… 74 2. Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Responden ……………. 75 3. Pengeluaran Non Pangan Rumah Tangga Responden ………. 76 4. Proporsi Pengeluaran Pangan dengan Pengeluaran Total
Rumah Tangga Responden …………………………………...
77 5. AKG, Konsumsi Gizi dan TKG Rumah Tangga Responden ... 78 6. Hubungan Proporsi Pengeluaran Pangan dengan Konsumsi
Energi dan Protein Rumah Tangga Responden ……………… 79
7. 8.
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Responden ……………… Sebaran Ketahanan Pangan Rumah Tangga ………………….
80 81
9. Peta Kabupaten Sukoharjo …………………………………… 82 10. 11.
Peta Komposit Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo …… Kuesioner ……………………………………………………..
83 84
12. Foto Penelitian ……………………………………………….. 90 13. Surat Ijin Penelitian ………………………………………….. 91
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN SUKOHARJO
RINGKASAN
Wahyuni, H0307089. 2012. “Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo”. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sri Marwanti, M.S. dan Umi Barokah S.P., M.P.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran, besarnya konsumsi energi dan protein, hubungan antara proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi dan protein, serta kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo dilihat dari indikator proporsi pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi energi.
Metode dasar penelitian ini adalah deskriptif analitis dan pelaksanaannya menggunakan teknik survei. Penelitian dilakukan di Kabupaten Sukoharjo. Penentuan sampel kecamatan dan desa dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan proporsi rumah tangga miskin di Kecamatan dan desa tersebut yang terbesar, yaitu Kecamatan Bulu sedangkan untuk desa terpilih yakni Desa Kedungsono, Desa Karangasem dan Desa Puron. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data yang digunakan adalah analisis proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga, tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga, hubungan proporsi pengeluaran konsumsi pangan dari total pengeluaran dengan konsumsi energi dan protein, dan ketahanan pangan rumah tangga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya rata-rata proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran adalah 75,77%, artinya pengeluaran konsumsi pangan masih mengambil bagian terbesar dari total pengeluaran rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo. Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) 69,17% dan rata-rata Tingkat Konsumsi Protein (TKP) 92,02%. Hubungan antara proporsi pengeluaran konsumsi pangan dengan konsumsi energi dan protein adalah berlawanan, artinya proporsi pengeluaran konsumsi pangan tinggi, maka konsumsi energi dan proteinnya rendah, dan juga sebaliknya. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo terdiri atas kategori rawan pangan sebesar 80% dan rentan pangan 20%.
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa diperlukan bantuan dari berbagai pihak terutama pemerintah untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga agar lebih kontinyu serta penyuluhan pengetahuan mengenai gizi pada rumah tangga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
AN ANALYSIS OF POOR HOUSEHOLD FOOD SECURITY IN SUKOHARJO REGENCY
SUMMARY
Wahyuni, H0307089. 2012. " An Analysis Of Poor Household Food Security
In Sukoharjo Regency ". Faculty Of Agriculture. University of Sebelas Maret Surakarta. Under the guidance of Dr. Ir. Sri Marwanti, M.S. and Umi Barokah, S.P., M.P.
This research aim to know the level of expenditure proportion consume the food to totalizeing expenditure, level of consumption of energy and protein, relation between the proportion of food expenditure with the consumption of energy and protein, and the condition of peasant resistance of poor household food security in Sukoharjo Regency seen from the indicators of the proportion of food expenditure and energy consumption levels.
The basic method this Research is analytical descriptive and survey method for field implementation. The research conducted in Sukoharjo Regency. Determination of Sampel of subdistrict and village conducted purposive with the poor household proportion consideration is the biggest in the subdistric and village, that is Bulu Subdistrict of while for the countryside of chosen namely Kedungsono Village, Karangasem Village and Puron Vilage. Types and sources of data used consists of primary data and secondary data. The analyse data used by analysis of expenditure proportion consume the food to totalizeing household expenditure, mount the consumption of energy and household protein, relation of expenditure proportion consume the food from totalizeing expenditure with the consumption of energy and protein, and household food security.
The result of research indicate that the level of mean of expenditure proportion consume the food to totalizeing expenditure is 75,77%, meaning that food expenditure are still taking the lion's share of total poor household expenditure in Sukoharjo Regency. Amount of household energy consumption (TKE) is 69,17% and amount of household protein consumption (TKP) is 92,02%. Relation of between expenditure proportion consume the food with the consumption of energy and protein is adversative, its meaning high level of food expenditure proportion, indicate low level of energy and protein consumption, conversely. The condition of poor household food security in Sukoharjo Regency are consisted the category of food insecurity equal to 80% and food disturbed security 20%.
From this research result can be suggested by that needed by aid from various governmental party especially to increase household earnings, so that more kontinyu and also knowledge counselling of concerning gizi to household.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi alam dan
sumber daya manusia yang melimpah dan beragam. Ketersediaan potensi
yang melimpah tersebut merupakan modal awal dan bekal yang potensial
untuk mendukung pembangunan nasional di segala bidang. Hakikat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, termasuk juga
pembangunan di bidang pertanian sebagai upaya untuk mewujudkan
ketahanan pangan nasional. Batasan mengenai ketahanan pangan berdasarkan
Undang-undang No. 7 tahun 1996 diartikan sebagai segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman.
Ketahanan pangan merupakan salah satu bagian penting dari
pembangunan pertanian di Indonesia dengan mengingat bahwa Indonesia
adalah negara dengan jumlah penduduk yang besar sehingga membutuhkan
ketersediaan pangan dari hasil pertanian yang mencukupi. Akan tetapi,
persediaan pangan yang cukup secara nasional maupun secara regional tidak
menjamin adanya ketahanan pangan rumah tangga atau individu (Ariningsih
dan Rachman, 2008).
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu daerah penghasil padi
yang merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, selain itu jumlah
penduduk di Kabupaten Sukoharjo mengalami peningkatan setiap tahunnya,
sehingga kebutuhan akan pangan juga akan meningkat. Akan tetapi hal ini
tidak menjadi masalah karena Kabupaten Sukoharjo mampu memenuhi
kebutuhan konsumsi pangan terutama untuk komoditas beras. Hal ini dapat
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dilihat dalam tabel ketersediaan dan kebutuhan pangan berupa komoditas
beras dibawah ini.
Tabel 1. Ketersedian dan Kebutuhan Pangan Berupa Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010
Tahun Jumlah Penduduk
(Jiwa) Ketersediaan Kebutuhan
(Ton) Surplus Minus
2006 826.289 190.038,92 76.746 113.292,92 2007 831.613 190.174,48 77.240 112.934,48 2008 837.279 198.772,69 77.766 121.006,69 2009 843.127 210.726,38 78.310 132.416,38 2010 846.978 154.040,53 78.667 75.373,53
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010
Tabel 1 menunjukkan bahwa Kabupaten Sukoharjo mampu memenuhi
kebutuhan pangan penduduknya yang semakin bertambah tiap tahunnya,
bahkan ketersediaan beras di Kabupaten Sukoharjo selalu mengalami surplus
yang rata-rata mengalami peningkatan. Hal ini tentu menunjukkan bahwa
perkembangan produksi padi di Kabupaten Sukoharjo mengalami
peningkatan, akan tetapi pada tahun 2010 mengalami penurunan surplus
hingga lebih dari setengah dari tahun 2009. Hal ini disebabkan karena pada
tahun 2010, banyak tanaman padi yang terserang hama wereng, selain itu
karena faktor iklim yang tidak mendukung. Kondisi ketersediaan pangan
yang surplus menunjukkan bahwa kondisi ketahanan pangan di Kabupaten
Sukoharjo tinggi. Hal tersebut juga menunjukan bahwa secara regional
ketersediaan pangan di Kabupaten Sukoharjo telah mampu memenuhi
kebutuhan per kapita penduduknya.
Tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah atau regional tidak
menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Hal ini
ditunjukkan adanya fakta bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah
(provinsi) memiliki status tahan pangan terjamin, yang berarti secara regional
daerah tersebut mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya yang
ditunjukkan dengan jumlah produksi dan ketersediaan pangan yang tinggi.
Namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
(Sudaryanto dan Rusastra, 2000; Rachman, 2004 dalam Ilham dan Sinaga
2008).
Rawan pangan merupakan kebalikan dari ketahanan pangan, yaitu
kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah
tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi
pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (Ariningsih dan Rachman, 2008).
Masalah kerawanan pangan secara mikro disebabkan karena kemiskinan
(Media Holdings, 2011).
Kerawanan pangan mempunyai korelasi positif dan erat kaitannya
dengan kemiskinan. Mereka yang dikategorikan rawan pangan adalah rumah
tangga miskin, karena rumah tangga miskin tidak mengkonsumsi pangan yang
cukup. selain karena daya beli yang rendah, pengetahuan tentang gizi juga
rendah, sehingga dalam mengkonsumsi makanan mereka kurang
mempertimbangkan kandungan gizi pada makanan
Kabupaten Sukoharjo yang dianggap mampu untuk memenuhi
kebutuhan pangan regional ternyata masih memiliki penduduk yang dianggap
rawan pangan karena tergolong sebagai rumah tangga miskin. Menurut
BKKBN yang termasuk sebagai rumah tangga miskin adalah keluarga Pra-
Sejahtera (Pra-KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS-I). Berikut merupakan data
keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang tergolong sebagai
rumah tangga miskin se Eks-Karisidenan Surakarta.
Tabel 2. Data keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I se Eks-Karisidenan Surakarta Tahun 2009.
No. Kabupaten Jumlah
KK
Keluarga Pra-Sejahtera (PS)
Keluarga Sejahtera I (KS-I)
Jumlah Proporsi(%) Jumlah Proporsi(%) 1. Boyolali 288.367 111.317 38,60 54.157 18,78 2. Klaten 343.396 78.179 22,27 72.994 21,26 3. Sukoharjo 222.450 52.620 23,65 46.232 20,78 4. Karanganyar 241.804 35.140 14,52 23.381 9,67 5. Wonogiri 324.584 70.717 21,79 65.168 20,08 6. Sragen 267.952 108.723 40,58 49.528 18,48 7. Surakarta 119.488 11.952 10,00 24.893 20,83
Sumber: BPS Jateng, 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Pada Tabel 2, menunjukkan bahwa jumlah KK miskin di Kabupaten
Sukoharjo yang termasuk dalam keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga
Sejahtera I berada pada tingkat ke lima yaitu sebesar 52.620 KK dan 46.232
KK, dengan proporsi Keluarga Pra-Sejahtera sebesar 23,65% dan Keluarga
Sejahtera I sebesar 20,78%, dimana kedua golongan ini berada pada tingkat
ke tiga, untuk keluarga Pra-Sejahtera setelah Kabupaten Sragen dan
Kabupaten Boyolali sedangkan keluarga Sejahtera I setelah Kabupaten Klaten
dan Kota Surakarta.
Berdasarkan data dari BKKBN Kabupaten Sukoharjo tahun 2010
jumlah KK yang termasuk dalam kelompok KPS (Keluarga Pra-Sejahtera)
dan KS-I (Keluarga Sejahtera-I) tidak dibedakan lagi antara alasan ekonomi
dan non ekonomi adalah sebesar 51.180 KK (22,35%) dan 45.598 KK
(19,91%). Dari sisi jumlah KK yang termasuk dalam rumah tangga miskin
kedua kelompok ini sama-sama mengalami penurunan dari tahun 2009, akan
tetapi dari jumlah tersebut terlihat bahwa jumlah KPS dan KS-1 di Kabupaten
Sukoharjo masih terbilang tinggi. Dilihat dari kondisi kemiskinan di
Kabupaten Sukoharjo yang merupakan produsen padi, dihadapkan pada
kenyataan bahwa daerah yang mempunyai basis perekonomian pada sektor
pertanian dan produktivitas pertanian yang lebih baik justru memiliki jumlah
masyarakat miskin yang tinggi. Hal ini ditunjukan pada Tabel 1, dimana
ketersedian pangan berupa beras di Kabupaten Sukoharjo selalu mengalami
surplus tiap tahunnya. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diadakan
penelitian mengenai ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten
Sukoharjo.
B. Rumusan Masalah
Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap saat,
baik kuantitas maupun kualitas, aman, bergizi dan terjangkau daya beli
masyarakat. Kekurangan pangan atau rawan pangan tidak hanya dapat
menimbulkan dampak sosial, ekonomi, bahkan dapat mengancam keamanan
sosial. Rawan pangan merupakan kebalikan dari ketahanan pangan, yaitu
kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
untuk hidup sehat dan beraktivitas dengan baik untuk sementara waktu dalam
jangka panjang, kondisi ini dapat saja sedang terjadi atau berpotensi untuk
terjadi (Kompas, 2004 dalam Hendra, 2008). Masalah kerawanan pangan
secara mikro disebabkan karena kemiskinan, karena meskipun komoditas
pangan tersedia namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya
beli rumah tangga maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan
yang tersedia dengan tingkat pendapatan yang mereka dapatkan.
Kabupaten Sukoharjo yang merupakan salah satu kabupaten sebagai
produsen padi ternyata masih memiliki jumlah KK miskin yang bisa di bilang
tidak sedikit. Berikut merupakan data jumlah KK miskin menurut kelompok
Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I berdasarkan BKKBN di kabupaten
Sukoharjo.
Tabel 3. Data KK Miskin Berdasarkan Kelompok Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I di Kabupaten Sukoharjo
No Kecamatan Keluarga Pra-
Sejahtera Keluarga Sejahtera I KK Miskin
Jumlah Proporsi(%) Jumlah Proporsi(%) Jumlah Proporsi(%) 1. Bulu 4.503 42,08 3.075 28,73 7.578 70,81 2. Weru 6.593 41,49 3.944 24,82 10.537 66,32 3. Tawangsari 5.670 37,03 2.714 17,72 8.384 54,75 4. Bendosari 6.179 36,67 3.012 17,87 9.191 54,54 5. Mojolaban 7.477 32,32 4.564 19,73 12.041 52,04 6. Polokarto 4.973 23,13 4.029 18,74 9.002 41,91 7. Gatak 3.387 24,18 2.609 18,63 5.996 42,81 8. Nguter 3.424 21,21 1.842 11,41 5.266 32,62 9. Sukoharjo 3.067 14,28 5.848 27,23 8.915 41,51 10. Grogol 3.473 11,27 5.573 18,09 9.046 29,36 11. Baki 1.093 6,91 4.080 25,80 5.173 32,71 12. Kartasura 1.341 4,91 4.308 15,76 5.649 20,67
Sumber : BKKBN Kabupaten Sukoharjo, 2010.
Tabel 3 menunjukkan bahwa Kecamatan Bulu merupakan kecamatan
yang memiliki proporsi jumlah rata-rata KK miskin tertinggi yaitu sebesar
70,81%. Kecamatan Bulu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Sukoharjo yang rata-rata penduduknya bermata pencahariaan sebagai petani.
Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia sekitar 17,8
persen atau sekitar 40 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar
68 persen tinggal di pedesaan, dan umumnya bekerja pada sektor pertanian
atau berbasis pertanian. Data tersebut tidak jauh berbeda dengan data di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
tingkat dunia, yaitu setengah dari kelompok miskin ini adalah petani kecil, dan
seperlima dari kaum miskin tersebut adalah para buruh tani yang tidak mampu
memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan keluarganya sendiri (Lamba,
2006).
Kecamatan Bulu sendiri terletak pada ketinggian 118 meter di atas
permukaan laut (dpl), dengan luas wilayah 43,86 km2 atau 4.386 hektar yang
rata-rata lahannya merupakan lahan kering. Penggunaan lahan di Kecamatan
Bulu terbagi menjadi dua yaitu lahan sawah dan lahan kering. Luas yang ada
terdiri dari 1.117 hektar atau 25,47% lahan sawah dan 3.269 hektar atau
75,53% lahan kering. Lahan kering menurut Utomo (2002) dalam Wisnu dkk
(2005) mendifinisikan lahan kering sebagai hamparan lahan yang
didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun
musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Ketahanan pangan
rumah tangga petani di wilayah pertanian lahan kering relatif menyebabkan
kemiskinan.
Upaya mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga bukan
persoalan yang sederhana. Keterbatasan pemenuhan kebutuhan pangan dalam
rumah tangga antara lain disebabkan karena keterbatasan fisik dan ekonomi,
bencana alam serta berbagai faktor sosial masyarakat, terutama untuk rumah
tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo dimana jumlah proporsi terbanyak
berada pada Kecamatan Bulu dengan kondisi geografis daerah tersebut
berdominasi lahan kering dan sebagian masyarakat bermatapencahariaan
sebagai petani. Dimana tingkat pendapatan mereka dari kegiatan pertanian
akan berpengaruh pada akses pangan dan ketahanan pangan rumah tangga.
Menurut Malassis dan Ghersi (1992) dalam Irawan ( 2002) penggunaan nilai
kalori dan nilai protein sudah cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan
rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia
untuk hidup secara aktif, sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk
memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada usia dewasa atau untuk menjamin
pertumbuhan normal pada usia muda. Berdasarkan uraian di atas akan
dilakukan penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
1. Berapa besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total
pengeluaran rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo?
2. Berapa besarnya konsumsi energi dan protein rumah tangga miskin di
Kabupaten Sukoharjo?
3. Bagaimana hubungan antara proporsi pengeluaran konsumsi pangan dari
total pengeluaran dengan konsumsi energi dan protein rumah tangga
miskin di Kabupaten Sukoharjo?
4. Bagaimana kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten
Sukoharjo dilihat dari indikator proporsi pengeluaran pangan dan tingkat
konsumsi energi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap
total pengeluaran rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo.
2. Mengetahui besarnya konsumsi energi dan protein rumah tangga miskin di
Kabupaten Sukoharjo.
3. Mengetahui hubungan antara proporsi pengeluaran konsumsi pangan dari
total pengeluaran dengan konsumsi energi dan protein rumah tangga
miskin di Kabupaten Sukoharjo.
4. Mengetahui kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten
Sukoharjo dilihat dari indikator proporsi pengeluaran pangan dan tingkat
konsumsi energi.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengetahuan terutama yang
berkaitan dengan topik penelitian dan merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Bagi Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, penelitian ini berguna sebagai
sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam pengambilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pemantapan ketahanan
pangan di Kabupaten Sukoharjo.
3. Bagi pembaca, penelitian ini berguna sebagai wacana dalam menambah
pengetahuan mengenai ketahanan pangan rumah tangga miskin di
Kabupaten Sukoharjo.
4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
II. LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian Rachman, dkk (2003) yang berjudul Distribusi Provinsi di
Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga menyatakan
bahwa secara nasional pada tahun 1999 lebih dari 30% rumah tangga di
Indonesia tergolong rawan pangan, di daerah kota sekitar 27% dan di
pedesaan sekitar 33%. Dari 26 provinsi di Indonesia 5 provinsi yang memiliki
proporsi rumah tangga rawan pangan tertinggi adalah Jawa Timur, Nusa
Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari sisi
ekonomi rumah tangga rawan pangan diindikasikan oleh pangsa pengeluaran
pangan yang tinggi dan dari tingkat konsumsi energinya kurang. Hal ini
membuktikan bahwa aspek pendapatan untuk meningkatkan akses terhadap
pangan merupakan faktor penting dalam peningkatan ketahanan pangan rumah
tangga.
Ilham dan Sinaga (2008) dalam penelitiannya yang berjudul
Penggunaan Pangsa Pengeluaran Pangan sebagai Indikator Komposit
Ketahanan Pangan, menyatakan bahwa hubungan antara kedua variabel yaitu
pangsa pengeluaran pangan berlawanan arah dengan konsumsi energi dan
konsumsi protein setiap penduduk. Selain itu mereka juga menyimpulkan
bahwa pangsa pengeluaran pangan layak dijadikan indikator ketahanan
pangan karena mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai ukuran
ketahanan pangan yaitu tingkat konsumsi, keanekaragaman pangan, dan
pendapatan serta memiliki ciri dapat diukur dengan angka, cukup sederhana
untuk memperoleh dan menafsirkannya, objektif, dan responsive terhadap
perubahan-perubahan akibat adanya perubahan kondisi perekonomian,
kebijakan dan program pembangunan.
Alfiasari (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Modal Sosial dan
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sereal dan
Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Menyatakan bahwa pada tahun 2003
terdapat perbedaan yang mencolok antara desa dan kota, yang mana sebagian
9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
besar wilayah perkotaan (56,2%) tergolong dalam kategori 55-56%
pengeluaran total yang digunakan untuk pangan. Sementara itu, sebagian besar
wilayah pedesaan (63,0%) tergolong dalam kategori 65-75%pengeluaran total
yang digunakan untuk pangan. Apabila diasumsikan bahwa semakin besar
persentase pengeluaran untuk pangan menunjukan semakin rendahnya
kemampuan ekonomi rumah tanggaa, maka kondisi tersebut menegaskan
bahwa kemampuan ekonomi rumah tangga di perkotaan lebih tinggi di
banding wilayah pedesaan.
Dina (2010), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Ketersediaan
Pangan Pokok Dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu
Kabupaten Sukoharjo menyimpulkan bahwa rata-rata Tingkat Konsumsi
Energi (TKE) rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
yaitu 70,08 % dan tergolong tergolong kurang. Sedangkan rata-rata Tingkat
Konsumsi Protein (TKP) rumah tangga yaitu 95,36 % dan tergolong sedang.
Berdasarkan sebaran kategori TKE, sejumlah 46,67 % rumah tangga termasuk
kategori kurang. Sedangkan berdasarkan sebaran kategori TKP, 43,33 %
rumah tangga termasuk kategori sedang. Sejumlah 60% rumah tangga
termasuk tidak tahan pangan energi dan 53,33 % termasuk rumah tangga tahan
pangan protein. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak rumah tangga yang
tahan pangan protein daripada rumah tangga tahan pangan energi.
Berdasarkan penelitian terdahulu, peneliti ingin mengkaji lebih dalam
mengenai pola pengeluaran pangan dan pola konsumsi rumah tangga miskin
di Kabupaten Sukoharjo. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
pengeluaran konsumsi merupakan indikator ketahanan pangan, dimana
pengeluaran konsumsi untuk pangan lebih mendominasi. Tinggimya proporsi
pengeluaran konsumsi pangan dapat menunjukan bahwa terjadinya penurunan
kesejahteraan rumah tangga yang akan mempengaruhi ketahanan pangan
rumah tangga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
B. Tinjauan Pustaka
1. Pangan
Pangan menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1996 adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak
diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan dan
bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan pengolahan dan atau
pembuatan makanan dan minuman (BPOM RI, 1996).
Pangan adalah segala bahan yang bila dimakan atau masuk ke dalam
tubuh akan membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan
tenaga atau mengatur semua proses dalam tubuh. Disamping itu makanan
juga mengandung nilai tertentu bagi berbagai kelompok manusia, suku/
bangsa atau perseorangan; yakni unsur kesehatan, memberikan rasa
kenyang dan nilai yang dikaitkan dengan faktor-faktor lain seperti emosi
atau perasaan, tingkat sosial, agama atau kepercayaan dan lain-lain
(Handajani, 1994).
Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohirat, lemak, protein, vitamin,
mineral dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai
kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Penentu
ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional dan lokal dilihat dari
tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan.
Sementara itu penentu utama ditingkat rumah tangga adalah akses fisik
dan ekonomi terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait
dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut (Sawit dan Ariani, 1997).
2. Pengeluaran Pangan dan Non Pangan
Secara garis besar kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokan ke
dalam dua kategori besar, yaitu kebutuhan akan pangan dan bukan pangan.
Dengan demikian, pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan
mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan
tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan
mencapai titik jenuh, sementara kebutuhan bukan pangan termasuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Dengan demikian,
besaran pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran total) yang
dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan
sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Atau
dengan kata lain semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, berarti
semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Sebaliknya,
semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut
semakin sejahtera (Purwantini dan Ariani, 2008).
Secara umum kebutuhan konsumsi atau pengeluaran rumah tangga
berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan, dimana kebutuhan
keduanya berbeda. Pada kondisi pendapatan yang terbatas, terlebih dahulu
mementingkan kebutuhan konsumsi pangan. Sehingga dapat dilihat pada
kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah, sebagian besar
pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Namun
demikian seiring dengan pergeseran dan peningkatan pendapatan, proporsi
pola pengeluaran untuk makan akan menurun dan meningkatnya
peneluaran untuk kebutuhan non pangan (Sugiarto, 2008).
3. Proporsi Pengeluaran Pangan
Pengeluaran total dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu
pengeluaran untuk pangan dan barang-barang bukan pangan. Proporsi
antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai
indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan
rumah tangga. Dari proporsi pengeluaran pangan dapat diungkapkan
bahwa semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat
kesejahteraan atau ketahanan rumah tangga semakin rendah atau rentan.
Hukum Engel menyatakan dengan asumsi selera seseorang adalah tetap,
proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan akan semakin kecil
seiring dengan semakin meningkatnya pendapatan
(Ariani dan Purwantini, 2008)
Berdasarkan data pengeluaran keluarga menurut Badan Pusat
Statistik 1997 diungkapkan tentang pola konsumsi keluarga dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk pangan dan non
pangan. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser
dari pengeluaran pangan ke pengeluaran non pangan. Pada umumnya
keluarga akan mengalokasikan setiap pendapatannya utuk memenuhi
kebutuhan dasarnya terlebih dahulu, yaitu berupa pangan. Apabila
kebutuhan dasar tersebut sudah terpenuhi, maka keluarga akan
mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan non pangan
(Yulia dkk, 1999).
4. Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan seseorang atau kelompok orang (keluarga atau rumah
tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukan bahwa telaahan dan
jumlah pangan yang dikonsumsi. Susunan jenis pangan yang dikonsumsi
berdasarkan kriteria tertentu disebut pola konsumsi pangan
(Hardinsyah dan Martianto, 1992).
Konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Menurut Harper et.al. ada empat factor utama yang
mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu :
a. Produksi pangan untuk keperluan rumah tangga
b. Pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga
c. Pengetahuan gizi (mempengaruhi point a dan b)
d. Tersedianya pangan (dipengaruhi oleh point a dan b)
(Suhardjo dkk, 1988)
Menurut Handajani (1994), tingkat konsumsi pangan kaitanya
dengan pendapatan dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Initial stage, pada tingkat ini makanan yang dibeli semata-mata hanya
untuk mengatasi rasa lapar. Makanan yang dikonsumsi hanya kalori,
dan biasanya hanya berupa bahan-bahan karbohidrat saja. Dalam hal
ini kualitas pangan hampir tidak terpikirkan. Karakteristik tingkat ini,
ada korelasi erat antara pendapatan dan tingkat konsumsi pangan. Jika
pendapatan naik, maka tingkat konsumsi pangan akan naik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
b. Marginal stage, pada tingkat ini korelasi antara tingkat pendapatan dan
tingkat konsumsi pangan tidak linear, artinya kenaikan pendapatan
tidak memberi reaksi yang proporsional terhadap tingkat konsumsi
pangan.
c. Stable stage, pada tingkat ini kenaikan pendapatan tidak memberikan
respon terhadap kenaikan konsumsi pangan. Pada tingkat ini ada
kecenderungan mengkonsumsi pangan secara berlebihan, tanpa
mempertimbangkan gizi.
5. Rumah Tangga Miskin
Menurut kegiatan ekonominya, ada rumahtangga miskin yang pasif
dan sebagian ada yang aktif. Anak-anak yang terlantar, kemudian
gelandangan dan pengemis berbeda sekali karakternya dengan petani
misalnya. Komunitas petani seringkali terjebak ke dalam situasi
kemiskinan, meski curahan waktu kerjanya lebih intensif. Komunitas
petani, meski sebagian besar tergolong miskin, memiliki peran strategis
dalam perekonomian regional maupun nasional. Mereka memasok hasil
produksi untuk kebutuhan konsumsi dan bahan baku produksi sektor
manufaktur (Yukha, 2007).
Dimensi pengeluaran untuk kebutuhan pangan diukur berdasarkan
standar minimum kebutuhan makanan yang dibutuhkan individu untuk
hidup sehat yaitu setara dengan 2.100 kkal energy/kapita/hari dan 50 gram
protein/kapita/hari (WNPG, 1978). Berdasarkan standar ini, rumah tangga
miskin adalah rumah tangga yang pengeluaran untuk kebutuhan
pangannya berada dibawah nilai minimum untuk memenuhi kebutuhan
anggota rumah tangganya sesuai dengan standar kebutuhan minimum
tersebut (Aswatini dkk, 2004).
Pada Program Keluarga Sejahtera sesuai Inpres No.3 tahun 1996,
miskin disebut dengan istilah “kurang sejahtera”, yaitu keluarga yang
tergolong Pra Sejahtera dan Sejahtera I. Atas dasar batasan ini, BKKBN
mengkategorikan semua rumahtangga di Indonesia dalam lima kategori
kesejahteraan, yakni:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
a. Keluarga Pra Sejahtera,
b. Keluarga Sejahtera I,
c. Keluarga Sejahtera II,
d. Kelauarga Sejahtera III, dan
e. Keluarga Sejahtera III plus.
Rumah tangga miskin menurut BKKBN berdasarkan indikator
Keluarga Sejahtera I (KS-I) :
a. Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
b. Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk dirumah,
bekerja/ sekolah dan bepergian
c. Rumah yang ditempati keluarga mempunyai atap, lantai, dan dinding
yang baik
d. Bila ada anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan
e. Bila pasangan usia subur ingin ber KB pergi ke sarana pelayanan
kontrasepsi
f. Semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah
Diluar indikator diatas atau jika suatu rumah tangga yang tidak
memenuhi salah satu indikator Keluarga Sejahtera I diatas maka rumah
tangga tersebut dapat dikatakan sebagai keluarga pra-sejahtera
(BKKBN, 2010).
6. Kemiskinan
BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi
dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak
mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat
desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak
kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik,
baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar
masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach),
pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar
(human capability approach) dan pendekatan objective and subjective
(Sahdan, 2005).
Kemiskinan bisa diartikan sebagai situasi yang serba kekurangan
yang terjadi bukan karena dikehendaki si miskin, melainkan karena tidak
dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Dengan demikian
mengentaskan penduduk miskin itu perlu bantuan pihak luar dari si miskin
itu sendiri. Orang miskin bukanlah orang yang tidak memiliki apapun,
melainkan orang memiliki sesuatu namun sedikit (Shintawati, 2003).
World Bank (2000) menyebutkan bahwa kemiskinan mempunyai
empat dimensi yaitu kurangnya kesempatan (luck of opportunity),
rendahnya kemampuan (low capabilities), rendahnya tigkat ketahanan
(low level of security), dan rendahnya pemberdayaan (empowerment). Ciri
utama yang terlihat dari keempat dimensi kemiskinan tersebut adalah
rendahnya pendapatan dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia akibat
ketidakmampuan orang miskin untuk mengakses kesempatan ekonomi dan
pendidikan yang tersedia. Terkait dengan upaya-upaya penguatan
ketahanan pangan rumah tangga miskin, hal mendasar yang menentukan
tercukupinya pangan di tingkat rumah tangga baik jumlah maupun
mutunya secara aman dan terjangkau adalah bagaimana mengubah
sumberdaya-sumberdaya yang pada rumah tangga miskin dan
lingkungannya menjadi modal-modal ekonomi yang dimanfaatkan untuk
mengakses pangan sesuai dengan norma gizi yang berlaku. Modal
ekonomi disini tentu tidak hanya dalam bentuk uang yang kasat mata
namun juga mencakup modal-modal lain yang ada di dalam masyarakat
yang dalam kondisi tertentu dapat dikonversi dalam bentuk uang.
Keterbatasan modal berupa uang, modal alam, modal fisik, dan juga modal
manusia yang dimiliki rumah tangga miskin khususnya dalam pemenuhan
pangan rumah tangga kiranya membutuhkan pendorong berupa
sumberdaya yang dimiliki dari hubunga-hubungan sosial yang dimiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
anggota masyarakat, yang dikenal sebagai modal sosial
(Alfiasari dkk, 2009).
7. Ketahanan Pangan
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dari pengertian
tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional
harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi-kondisi berikut :
a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan
pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang
berasal dari tamanan, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, yang bermanfaat bagi
pertumbuhan dan kesehatan manusia.
b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, dengan pengertian
bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta
aman menurut kaidah agama.
c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dengan pengertian
bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan setiap
saat dan merata di seluruh tanah air.
d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa
pangan mdah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
(Soetrisno, 2005).
Definisi ketahanan pangan menurut undang-undang No.7 Tahun
1996 adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersediannya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan dapat dicapai,
apabila ada system pangan nasional yang kuat, yaitu segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengetahuan, pembinaan dan pengawasan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai
dengan siap dikonsumsi manusia (Badan Ketahanan Pangan, 2010).
Ketahanan pangan merupakan terjemahan dari food security,
secara luas diartikan sebagai terjaminnya akses pangan bagi setiap
individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya agar dapat hidup sehat
dan beraktivitas (Ariningsih dan Rachman, 2008).
Menurut Suhardjo dalam Ilham dan Sinaga (2008), ketahanan
pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain: (1)
tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, (2) penurunan produksi
pangan, (3) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, (4) proporsi
pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, (5) fluktuasi harga pangan
utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, (6) perubahan kehidupan
sosial, seperti migrasi, menjual/menggadaikan asset, (7) keadaan konsumsi
pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan serta (8)
status gizi. Makin besar angka ketersediaan pangan untuk dikonsumsi,
makin tersedia pangan di tingkat nasional. Aksesibilitas pangan dapat
diproksi dari tingkat konsumsi rumah penduduk yang ada dari data
Susenas. Makin tinggi konsumsi penduduk makin tinggi pula akses
penduduk tersebut terhadap pangan.
Indeks ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dikategorikan
seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 4. Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Kontinyuitas ketersediaan
pangan
Kualitas/keamanan pangan: Konsumsi protein hewani dan/atau nabati
Protein hewani dan nabati/protein hewani saja
Protein nabati saja
Tidak ada konsumsi protein
hewani, dan nabati
Kontinyu Tahan Kurang tahan Tidak tahan Kurang kontinyu
Kurang tahan Tidak tahan Tidak tahan
Tidak kontinyu
Tidak tahan Tidak tahan Tidak tahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Berdasarkan matrik tersebut, maka rumah tangga dapat dibedakan
menjadi tiga kategori, yaitu:
a. Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki
persedian pangan/makanan pokok secara kontinyu (diukur dari
persediaan makan selama jangka masa satu panen dengan panen
berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta
akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan
nabati atau protein hewani saja.
b. Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang
memiliki:
1) Kontinyuitas pangan/makanan pokok kontinyu, tetapi hanya
mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja
2) Kontinyuitas ketersediaan pangan/makanan kurang kontinyu dan
mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati
c. Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang dicirikan
oleh:
1) Kontinyuitas ketersediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki
pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati
2) Kontinyuitas ketersediaan pangan kontinyu kurang kontinyu dan
hanya memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau
tidak untuk kedua-duanya
3) Kontinyuitas ketersediaan pangan tidak kontinyu walaupun
memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati
4) Kontinyuitas ketersediaan pangan tidak kontinyu dan hanya
memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk
kedua-duanya
(PPK-LIPI, 2004).
Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional Tahun 1996,
ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif
rumusan, yaitu (i) kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan
anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu, dan ragam sesuai dengan bu-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
daya setempat dari waktuke waktu agar hidup sehat; (ii) kemampuan
rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari produk
sendiri dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup; dan (iii)
kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan
anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat (Sudrajat, 2010).
C. Kerangka Berfikir Pendekatan Masalah
Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap saat,
baik kuantitas maupun kualitas, aman, bergizi dan terjangkau daya beli
masyarakat. Kekurangan pangan tidak hanya dapat menimbulkan dampak
sosial, ekonomi, bahkan dapat mengancam keamanan sosial. Persediaan
pangan yang cukup secara nasional tidak menjamin adanya ketahanan pangan
tingkat regional maupun rumah tangga atau individu. Menurut FAO (1997)
dalam Idur (2007), mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi di mana
semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk
memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan dimana rumah
tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal ini
berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai,
stabilitas dan akses terhadap pangan-pangan utama. Determinan dari
ketahanan pangan dengan demikian adalah daya beli atau pendapatan yang
memadai untuk memenuhi biaya hidup.
Pada kondisi pendapatan yang terbatas, akan lebih dulu mementingkan
kebutuhan konsumsi pangan selain itu juga akan mempengaruhi jumlah
pangan yang akan di konsumsi. Seiring dengan pergeseran dan peningkatan
pendapatan, proporsi pengeluaran untuk makan akan menurun dan
meningkatnya pengeluaran untuk kebutuhan non pangan. Sisa pendapatan
untuk pengeluaran pangan dan non pangan akan ditabung untuk investasi.
Akan tetapi, pada kelompok masyarakat dengan pandapatan rendah, sebagian
besar pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga
kemungkinan besar mereka tidak menabung.
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari
cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Untuk mengukur derajat ketahanan
pangan tingkat rumah tangga, digunakan dua indikator ketahanan pangan,
yaitu proporsi pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi energi
(Jonsson dan Toole dalam Rachman dan Ariani, 2002).
Adapun skema kerangka teori dan pendekatan masalah dari penelitian
ini adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah
D. Asumsi
Diasumsikan jika energi terpenuhi dari beragam pangan maka zat gizi lain
juga terpenuhi.
E. Pembatasan Masalah
1. Harga barang baik pangan dan bukan pangan berdasarkan harga saat
penelitian dilakukan yaitu pada bulan November-Desember 2011.
2. Pengeluaran pangan dan pengeluaran bukan pangan masing-masing
dikonversikan kedalam rata-rata pengeluaran perbulan.
Pendapatan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo
Total Pengeluaran Rumah Tangga Miskin di Kabupaten
Sukoharjo
Konsumsi Pangan Pengeluaran Pangan
Pengeluaran Bukan Pangan
Tingkat Konsumsi
Protein
Tingkat Konsumsi
Energi
Proporsi Pengeluaran Pangan Terhadap Total
Pengeluaran
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di
Kabupaten Sukoharjo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman
(Undang-Undang No.7 Tahun 1996).
2. Rumah Tangga Miskin menurut BKKBN, Program Keluarga Sejahtera
sesuai Inpres No.3 tahun 1996, miskin disebut dengan istilah “kurang
sejahtera”, yaitu keluarga yang tergolong Pra Sejahtera dan Sejahtera I.
Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data dari Kantor
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Sukoharjo.
3. Konsumsi pangan adalah sejumlah makanan atau minuman yang dimakan
atau diminum oleh penduduk/seseorang dalam rangka memenuhi
kebutuhan fisiknya. Konsumsi pangan dinilai dari konsumsi energi dan
protein.
4. Konsumsi non pangan adalah sejumlah barang atau jasa yang dikonsumi
oleh rumah tangga miskin yang terdiri dari perumahan, barang dan jasa,
pendidikan, kesehatan, sandang, barang tahan lama, pajak, asuransi dan
kebutuhan sosial.
5. Pengeluaran pangan adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh rumah
tangga untuk memenuhi kebutuhan pangannya dalam satuan rupiah.
Pengeluaran pangan rumah tangga terdiri dari pengeluaran untuk padi-
padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-
kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-
bumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, tembakau dan
sirih yang dinyatakan dalam rupiah per bulan.
6. Pengeluaran non pangan adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh
rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan diluar pangannya dalam satuan
rupiah. Pengeluaran non pangan terdiri dari pengeluaran untuk perumahan,
barang dan jasa, biaya pendidikan, biaya kesehatan, pakaian, alas kaki dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
tutup kepala, barang tahan lama, pajak dan asuransi, keperluan pesta dan
upacara, yang dinyatakan dalam rupiah per bulan.
7. Pengeluaran total rumah tangga adalah sejumlah uang yang dikeluarkan
rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya yang diperoleh dari
penjumlahan pengeluaran pangan dengan pengeluaran non pangan dalam
satuan rupiah per bulan.
8. Proporsi pengeluaran pangan adalah persentase perbandingan antara
jumlah pengeluaran yang digunakan untuk pangan dengan jumlah total
keseluruhan pengeluaran yang dikeluarkan, yang dinyatakan dalam %.
Proporsi atau pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran
pangan rumah tangga merupakan indikator ketahanan pangan rumah
tangga yang sangat penting.
9. Konsumsi Energi adalah sejumlah energi pangan yang dinyatakan dalam
kilokalori (kkal) yang dikonsumsi per orang per hari.
10. Konsumsi Protein adalah sejumlah protein pangan yang dinyatakan dalam
gram yang dikonsumsi per orang per hari.
11. Tingkat Konsumsi Energi (TKE) adalah persentase antara perbandingan
konsumsi energi dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan
dan dinyatakan dalam %.
12. Tingkat Konsumsi Protein (TKP) adalah persentase antara perbandingan
konsumsi protein dengan Angka Kecukupan Protein (AKP) yang
dianjurkan dan dinyatakan dalam %.
13. Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah sejumlah zat gizi yang diperlukan
oleh seseorang atau rata-rata kelompok orang untuk memenuhi kebutuhan.
Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan sesuai dengan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan No.1593/Menkes/SK/IX/2005 yaitu berdasarkan umur
dan jenis kelamin.
14. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) adalah daftar yang
menyajikan komposisi bahan makanan untuk menghitung besarnya zat gizi
dari bahan makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
15. Ketahanan Pangan Rumah Tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup
dalam jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau (UU RI No.7 Tahun
1996). Dalam penelitian ini ketahanan pangan tingkat rumah tangga dilihat
dari proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran dan tingkat
konsumsi energi (TKE)
16. Recall adalah suatu metode pengukuran konsumsi makanan dengan
mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode
24 jam yang lalu. Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali
dengan menyatakan dalam bentuk Ukuran Rumah Tangga (URT), dari
URT jumlah pangan dikonversikan kedalam satuan berat (gram) dengan
menggunakan daftar URT yang umum berlaku atau dibuat sendiri pada
saat survey (Suhardjo dkk, 1988).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analitis. Menurut Surakhmad (1994), metode deskriptif analitis
adalah suatu metode yang memusatkan perhatian pada pemecahan masalah
yang ada pada masa sekarang. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau sekelompok orang
tertentu, atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala
atau lebih.
Metode deskriptif menurut Surakhmad (1994) mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Memusatkan pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang, pada
masalah-masalah yang aktual.
2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian
dianalisa (karena itu metode ini sering disebut metode analitik).
Adapun teknik pelaksanaan penelitian yang digunakan adalah dengan
cara survei, penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun
dan Effendi, 1995).
B. Metode Pengambilan Daerah Penelitian
Metode pengambilan daerah sampel dilakukan dengan purposive
sampling, yaitu penentuan daerah sampel yang diambil secara sengaja
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Surakhmad, 1994).
Pemilihan daerah penelitian adalah secara purposive sampling berdasarkan
pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan kecamatan dengan proporsi
jumlah KK miskin tertinggi yakni Kecamatan Bulu seperti yang terlihat pada
Tabel 3.
Penentuan desa dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu
sama dengan pertimbangan pemilihan daerah sampel kecamatan yaitu
25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
proporsi jumlah rumah tangga miskin tertinggi. Berikut merupakan data KK
miskin menurut desa di Kecamatan Bulu tahun 2009.
Tabel 5. Data KK Miskin menurut Desa di Kecamatan Bulu Tahun 2009
No Desa Keluarga Pra-Sejahtera
Keluarga Sejahtera I Jumlah Proporsi
(%) 1. Sanggang 323 152 475 64,54 2. Kamal 212 362 574 74,64 3. Gentan 457 250 707 75,37 4. Kedungsono*) 397 333 730 75,96 5. Tiyaran 424 361 785 75,85 6. Bulu 305 337 642 67,44 7. Kunden 380 179 559 64,11 8. Puron*) 341 261 602 81,02 9. Malangan 418 226 644 60,47 10. Lengking 274 242 516 68,98 11. Ngasinan 477 329 806 75,05 12. Karangasem*) 493 132 625 82,02
Sumber : Kecamatan Bulu dalam Angka 2009/2010. Keterangan : *) : Daerah penelitian
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa desa yang mempunyai
proporsi jumlah KK miskin tertinggi adalah Desa Karangasem yaitu sebesar
82, 02%, kemudian Desa Puron dengan proporsi KK miskin sebesar 81, 02%
dan Desa Kedungsono sebesar 75, 96%. Pemilihan desa dengan melihat
proporsi dari jumlah KK miskin tertinggi adalah untuk menghindari kebiasan
data, karena untuk jumlah KK miskin tinggi belum tentu menggambarkan
keadaan daerah tersebut. Misalkan saja daerah tersebut mepunyai KK miskin
tinggi akan tetapi jumlah penduduk di daerah tersebut juga tinggi, jadi akan
menjadi wajar, berbeda halnya jika daerah tersebut memiliki KK miskin
tinggi akan tetapi jumlah penduduknya sedikit.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dipilih Desa Karangasem,
Desa Puron dan Desa Kedungsono. Pemilihan tiga desa di Kecamatan Bulu
juga mempunyai maksud agar lebih dapat menggambarkan keadaan di
Kabupaten Sukoharjo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
C. Metode Pengambilan Sampel
Menurut Singarimbun dan Efendi (1995), data yang dianalisis harus
menggunakan jumlah sampel yang cukup besar sehingga dapat mengikuti
distribusi normal. Sampel yang jumlahnya besar yang distribusinya normal
adalah sampel yang jumlahnya minimal 30. Populasi dalam penelitian ini
adalah rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo berdasarkan kriteria data
dari BKKBN.
Penentuan jumlah sampel rumah tangga miskin dari desa terpilih
dilakukan secara proporsional, yaitu penentuan jumlah sampel berdasarkan
jumlah populasinya dengan menggunakan rumus :
Ni = NNk
x 30
Dimana :
Ni : Jumlah rumah tangga miskin sampel
Nk : Jumlah rumah tangga miskin di tiap kelurahan
N : Jumlah rumah tangga miskin diseluruh kelurahan
Berdasarkan rumus tersebut, maka jumlah sampel dari setiap kelurahan
adalah sebagai berikut :
Tabel 6. Jumlah Sampel Responden KK Miskin Tiap Kelurahan
Kelurahan Jumlah KK Miskin Jumlah Sampel (KK) Karangasem 625 10 Puron 605 9 Kedungsono 730 11 Jumlah 1960 30
Sumber: Analisis Data Sekunder
Berdasarkan Tabel 6, maka jumlah responden dari Desa Karangasem
sebanyak 10 orang, dari Desa Puron sebanyak 9 orang, dan untuk Desa
Kedungsono sebanyak 11 orang, sehingga jumlah responden untuk penelitian
ini sebanyak 30 orang.
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Simple Random Sampling yang merupakan cara pemilihan sampel
dimana anggota dari populasi dipilih satu persatu secara acak, sehingga semua
anggota populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Pemilihan rumah tangga sampel ditentukan dengan undian, yaitu dengan cara
menuliskan nama masing-masing kepala keluarga yang ada di setiap kelurahan
terpilih pada secarik kertas kemudian menggulungnya dan memasukkannya ke
dalam sebuah kotak. Kotak tersebut kemudian dikocok dan diambil satu
gulungan kertas. Nama kepala keluarga yang terambil akan menjadi responden
yang diteliti. Demikian seterusnya hingga terpenuhi jumlah sampel yang
dikehendaki
D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
1. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer yaitu data penelitian yang berasal dari sumber data
yang langsung memberikan data kepada pengumpul data dan dilakukan
dengan teknik survei menggunakan kuesioner. Kuesioner merupakan
instrumen pengumpulan data dengan cara memberi pertanyaan-
pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab. Data primer dalam
penelitian ini meliputi identitas rumah tangga responden, pendapatan
rumah tangga, serta pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pangan
dan non pangan.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang telah tersedia
dalam berbagai bentuk, dan diperoleh dengan cara mengutip laporan
maupun dokumen lain yang sudah ada pada lembaga atau instansi yang
berhubungan dengan penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian
ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sukoharjo
meliputi data Kabupaten Sukoharjo dalam Angka 2010 dan 2011,
Kecamatan Bulu dalam Angka 2009/2010. Selain itu data juga
diperoleh dari instansi Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo
serta dari Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
Kabupaten Sukoharjo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Dilakukan dengan cara mengamati secara langsung objek
penelitian yang berupa kondisi wilayah dan responden (rumah tangga
miskin).
b. Wawancara
Teknik wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data
yang digunakan untuk memperoleh data primer melalui tanya jawab
langsung kepada responden (rumah tangga miskin) dengan bantuan
daftar pertanyaan atau kuesioner yang sudah disiapkan sebelumnya
dan catatan sebagai alat bantu sehingga didapatkan gambaran yang
jelas tentang objek yang diteliti.
c. Pencatatan
Pengumpulan data dengan cara mencatat data, baik dari
responden langsung maupun dari data yang ada pada instansi
pemerintah atau lembaga yang terkait dengan permasalahan dalam
penelitian.
d. Recall
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh
data konsumsi pangan dengan cara mencatat jenis dan jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi pada masa lalu (24 jam yang lalu).
E. Metode Analisis Data
1. Analisis Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan terhadap Total
Pengeluaran
Proporsi pengeluaran konsumsi pangan adalah proporsi pengeluaran
rumah tangga untuk pangan terhadap total pengeluaran. Total pengeluaran
didapatkan dengan menjumlahkan antara besarnya pengeluaran untuk
pangan dan non pangan. Untuk mengetahui proporsi pengeluaran pangan
terhadap total pengeluaran didapatkan dengan perhitungan rumus :
å=
PtKp
Qp x 100 %
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Keterangan :
Qp = Proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran (%)
Kp = Pengeluaran pangan (Rupiah)
Pt = Pengeluaran Total (Rupiah)
2. Analisis Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Miskin
Konsumsi dapat diketahui dengan melihat besarnya konsumsi
pangan masing-masing rumah tangga miskin yang kemudian
dikonversikan kedalam bentuk konsumsi energi (kkal/orang/hari) dan
protein (gram/orang/hari). Pengkonversian dilakukan dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).
Penilaian konsumsi pangan rumah tangga dapat dilihat dari dua
sisi, yaitu kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Dalam penelitian ini,
penilaian konsumsi pangan akan dilihat dari aspek kuantitas pangan untuk
menentukan ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Kuantitas konsumsi
pangan dapat diukur dari zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan.
Data konsumsi pangan dapat diperoleh menggunakan recall method
selama 1 x 24 jam (Supariasa, 2002). Dalam metode ini, responden
diminta menceritakan semua pangan yang dimakan dan diminum selama
24 jam yang lalu. Jumlah konsumsi pangan dinyatakan dengan URT
(Ukuran Rumah Tangga) seperti sendok, gelas, potong, dan sebagainya.
URT akan dikonversi ke dalam satuan gram sesuai dengan ukuran yang
berlaku di daerah penelitian.
Secara umum penilaian jumlah zat gizi yang dikonsumsi dihitung
sebagai berikut
KGijxBdd
xBPj
Gij j
100100=
Dimana:
Gij : Jumlah energi atau protein yang dikonsumsi dari pangan j (energi
dalam satuan kilokalori dan protein dalam satuan gram)
BPj : Berat pangan j yang dikonsumsi (gram)
Bddj : Bagian yang dapat dimakan dari 100 gram pangan j (%)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
KGij : Kandungan energi atau protein per 100 gram pangan j yang
dikonsumsi (energi dalam satuan kilokalori dan protein dalam
satuan gram)
Sesuai dengan rumus diatas maka untuk menilai konsumsi energi
dapat di gunakan rumus sebagai berikut :
KGejxBdd
xBPj
Gej j
100100=
Sedangkan konsumsi protein dapat dirumuskan sebagai berikut
KGpjxBdd
xBPj
Gpj j
100100=
Kuantitas konsumsi pangan ditinjau dari volume pangan yang
dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung dalam bahan pangan.
Kedua hal ini digunakan untuk mengetahui apakah konsumsi pangan
sudah cukup memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat (AKG).
Untuk menilai konsumsi pangan secara kuantitatif digunakan parameter
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP).
TKE= 100% x dianjurkan yang AKE
Energi Konsumsiå
TKP= 100% x dianjurkan yang AKP
Protein Konsumsiå
Dimana :
TKE : Tingkat Konsumsi Energi (%)
TKP : Tingkat Konsumsi Protein (%)
Σ Konsumsi Energi : Jumlah Konsumsi Energi (kkal/orang/hari)
Σ Konsumsi Protein : Jumlah Konsumsi Protein (gram/orang/hari)
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai dengan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan No.1593/Menkes/SK/IX/2005. yaitu berdasarkan umur
dan jenis kelamin, yang dapat dilihat pada Tabel 7 :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Tabel 7. Daftar Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) Berdasar Umur dan Jenis Kelamin
No. Kelompok Umur Energi (kkal) Protein (gram) 1. Anak
0 - 6 bulan 550 10
7 - 11 bulan 650 16
1 - 3 tahun 1.000 25
4 - 6 tahun 1.550 39
7 - 9 tahun 1.800 45
2. Laki-Laki
10 - 12 tahun 2.050 50
13 - 15 tahun 2.400 60
16 - 18 tahun 2.600 65
19 - 29 tahun 2.550 60
30 - 49 tahun 2.350 60
50 - 64 tahun 2.250 60
65+ tahun 2.050 60
3. Wanita
10 - 12 tahun 2.050 50
13 - 15 tahun 2.350 57
16 - 18 tahun 2.200 55
19 - 29 tahun 1.900 50
30 - 49 tahun 1.800 50
50 - 64 tahun 1.750 50
65+ tahun 1.600 45
4. Hamil (+an)
Trisemester 1 +180 +17
Trisemester 2 +300 +17
Trisemester 3 +300 +17
5. Menyusui (+an)
6 bulan pertama +500 +17
6 bulan kedua +550 +17
Sumber : Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.1593 Tahun 2005
Tingkat konsumsi gizi diklasifikasikan berdasarkan pada nilai ragam
kecukupan gizi yang dievaluasi secara bertingkat berdasarkan acuan Buku
Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes (1990) dalam Supariasa (2002)
yaitu:
a. Baik : TKG ≥ 100% AKG
b. Sedang : TKG 80-99%AKG
c. Kurang : TKG 70-80%AKG
d. Defisit : TKG <70 AKG
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
3. Analisis Hubungan Proporsi Pengeluaran Pangan dari Total Pengeluaran
dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
Proporsi pengeluaran untuk pangan mempunyai hubungan terhadap
kecukupan energi yang dikonsumsi oleh setiap rumah tangga. Konsumsi
energi akan berbeda pada proporsi pengeluaran yang berbeda. Hal ini
dapat diketahui dengan analisis korelasi menggunakan program SPSS.
Tingkat keeratan hubungan r memiliki nilai -1 hingga 1. Jika r mendekati
1 maka dapat dikatakan bahwa variabel-variabel memiliki hubungan erat.
Tanda positif (+) dan (-) menunjukkan sifat hubungan dimana tanda (+)
menunjukkan hubungan positif yaitu searah sedangakan tanda (-)
menunjukkan hubungan yang negatif atau berlawanan. Alhusin (2003)
mengelompokkan nilai r dalam kategori sebagai berikut :
a. 0 – 0,20 : Korelasi sangat rendah (hampir tidak ada hubungan)
b. 0,21 – 0,40 : Korelasi rendah
c. 0,41 – 0,60 : Korelasi sedang
d. 0,61 – 0,80 : Korelasi cukup tinggi
e. 0,91 – 1,00 : Korelasi tinggi
Untuk menguji probabilitas (tingkat signifikasi) dari hasil koefisien
korelasi menggunakan hipotesis : Ho: probabilitas r > 0,05
Ha: probabilitas r < 0,05
Kriteria pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Ho diterima jika probabilitas r > 0,05, berarti besarnya konsumsi energi
dan protein tidak berhubungan dengan proporsi pengeluaran pangan
rumah tangga miskin (tidak terdapat korelasi).
b. Ho ditolak dan Ha diterima jika probabilitas r < 0,05, berarti besarnya
konsumsi energi dan protein mempunyai hubungan dengan proporsi
pengeluaran pangan rumah tangga miskin (terdapat korelasi).
4. Analisis Ketahanan Pangan
Indikator yang digunakan untuk mengukur derajat ketahanan
pangan tingkat rumah tangga adalah klasifikasi silang dua indikator
ketahanan pangan, yaitu proporsi pengeluaran pangan dan tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
konsumsi energi. Kategori rumah tangga berdasarkan indikator ketahanan
pangan dapat dilihat pada Tabel 8 :
Tabel 8. Kategori Rumah Tangga Berdasarkan Indikator Ketahanan Pangan
Konsumsi Energi
Proporsi Pengeluaran Pangan
Rendah (< 60% pengeluaran total)
Tinggi (≥ 60% pengeluaran total)
Cukup (> 80% kecukupan energi)
1. Tahan Pangan 2. Rentan Pangan
Kurang (≤ 80% kecukupan energi)
3. Kurang Pangan 4. Rawan Pangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
VI. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Keadaan Alam
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu kabupaten di Propinsi
Jawa Tengah yang mempunyai luas 46.666 Ha atau sekitar 1,43% luas
wilayah Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan
Polokarto yaitu 6.218 Ha (13%), sedangkan yang paling kecil adalah
Kecamatan Kartasura seluas 1.923 Ha (4%) dari luas Kabupaten
Sukoharjo. Secara geografis Kabupaten Sukoharjo terletak pada koordinat
sebagai berikut :
Bagian ujung sebelah timur : 110 57’ 33.70”BT
Bagian ujung sebelah barat : 110 42’ 6.79”BT
Bagian ujung sebelah utara : 7 32’ 17.00”LS
Bagian ujung sebelah selatan : 7 49’ 32.00”LS
Kabupaten Sukoharjo terbagi dalam 12 kecamatan, 150 desa dan 17
kelurahan, 2.071 dukuh, 1.474 Rukun Warga (RW) dan 4.517 Rukun
Tetangga (RT). Kecamatan Polokarto merupakan kecamatan dengan
jumlah desa terbanyak yaitu 17 desa dan kecamatan dengan jumlah desa
terkecil adalah Kecamatan Bulu, Kecamatan Tawangsari dan Kecamatan
Kartasura dengan masing-masing jumlah desa sebanyak 12 desa. Adapun
batas wilayah Kabupaten Sukoharjo dibatasi oleh enam kabupaten/ kota,
diantaranya adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar
Sebelah Timur : Kabupaten Karanganyar
Sebelah Selatan : Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Gunung
Kidul (DIY)
Sebelah Barat : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten
Kabupaten Sukoharjo memiliki hari hujan tertinggi adalah 21 hari
yaitu pada bulan Januari, sedangkan terendah pada bulan Agustus dan
September yaitu 0 hari. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Sukoharjo
pada tahun 2009 terjadi pada bulan Januari yaitu mencapai tinggi 24 mm,
35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
untuk rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus dan
September yaitu 0 mm.
B. Keadaan Penduduk
Gambaran tentang penduduk Kabupaten Sukoharjo dapat diuraikan
dari penjelasan mengenai jumlah dan pertumbuhan penduduk, komposisi
penduduk menurut umur dan jenis kelamin, serta komposisi penduduk
menurut lapangan usaha utama.
1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk
Data kependudukan merupakan data pokok yang dibutuhkan
baik kalangan pemerintah maupun swasta sebagai bahan untuk
perencanaan dan evaluasi hasil-hasil. Gambaran tentang keadaan
penduduk di Kabupaten Sukoharjo dapat diuraikan dari jumlah dan
pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sukoharjo. Berikut merupakan
data jumlah dan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sukoharjo.
Tabel 9. Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010
Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Pertumbuhan Penduduk (%) 2006 826.289 0,62 2007 831.613 0,64 2008 837.279 0,68 2009 843.127 0,70 2010 846.978 0,46
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011
Tabel 9 menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di
Kabupaten Sukoharjo selama lima tahun rata-rata mengalami
peningkatan. Selama kurun waktu 2006 hingga 2010, pertumbuhan
penduduk terbesar terjadi pada tahun 2009 yaitu mencapai 0,70%.
Pertumbuhan penduduk yang paling kecil terjadi pada tahun 2010
yaitu sebesar 0,46%. Pertumbuhan ini disebabkan karena adanya
kelahiran, selain itu karena kematian. Sedangkan pada tahun 2010
menunjukan penurunan persentase pertumbuhan penduduk dari 0,70%
menjadi 0,46%, hal ini menunjukan bahwa kinerja dari berbagai pihak
yang mendukung program penekanan jumlah pertumbuhan penduduk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
bekerja dengan maksimal. Berikut merupakan data kelahiran dan
kematian di Kabupaten Sukoharjo selama kurun waktu lima tahun.
Tabel 10. Jumlah Kelahiran dan Kematian Penduduk di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010
Tahun Kelahiran Kematian
Jumlah % Jumlah % 2006 8.658 0 4.590 0 2007 9.451 8,39 4.867 5,69 2008 10.320 8,42 5.175 5,95 2009 10.490 1,62 5.243 1,30 2010 10.226 -2,58 5.600 6,38
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011
Tabel 10 menunjukkan pada tahun 2010 jumlah kelahiran
mencapai 10.226 jiwa, jumlah ini terbilang tinggi dibanding dengan
tahun 2006 dan 2007 yang mencapai 8.658 jiwa dan 9.451 jiwa. Akan
tetapi tingkat kelahiran di tahun 2010 memiliki tingkat terendah
dibanding dengan tahun-tahun lainnya yaitu mencapai -2,58%, selain
itu tingkat kematian pada tahun ini juga tinggi jika dibanding dengan
tahun-tahun lainnya. Hal ini merupakan salah satu faktor rendahnya
pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2010.
2. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Faktor umur dan jenis kelamin secara tidak langsung
mempengaruhi tingkat produktivitas kerja seseorang, sehingga dapat
diketahui jumlah penduduk usia kerja, beban tanggungan, dan struktur
penduduk. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sukoharjo,
golongan umur nonproduktif adalah golongan umur antara 0-14 tahun
dan golongan umur lebih dari atau sama dengan 65 tahun. Sedangkan
golongan umur produktif adalah golongan umur 15-64 tahun. Berikut
merupakan data jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dan
jenis kelamin di Kabupaten Sukoharjo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Tabel 11. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010
Kelompok umur
Laki-laki Perempuan Laki-Laki + Perempuan Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
Jumlah (Jiwa)
Presentase (%)
0 – 14 104.422 12,33 99.439 11,74 203.861 24,07 15 – 64 283.359 33,45 290.916 34,35 574.275 67,80
≥ 65 31.657 3,74 37.185 4,39 68.842 8,13 Jumlah 419.438 49,52 427.540 50,48 846.978 100
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 11, terlihat bahwa kelompok umur produktif
yaitu golongan umur 15-64 tahun mendominasi jumlah penduduk di
Kabupeten Sukoharjo yakni mencapai 574.275 jiwa (67,80%).
Golongan umur produktif merupakan bagian dimana pada rentan umur
ini dianggap mampu untuk melakukan suatu aktivitas yang dapat
menghasilkan pendapatan. Kemudian diikuti oleh golongan umur 0-14
tahun yaitu sebanyak 203.861 jiwa (24,07%) dan terakhir adalah
golongan umur lebih dari sama dengan 65 tahun yaitu sebanyak 68.842
jiwa (8,13%). Angka beban tanggungan di Kabupaten Sukoharjo dapat
dihitung dengan rumus :
ABT = 100% x th)64(15Penduduk
) th 65(Penduduk th)14(0Penduduk -
³+-
= 100% x 574.275
68.842203.861+
= 47,48 %
Angka beban tanggungan penduduk di Kabupaten Sukoharjo
adalah 47,48 %. Artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif
(antara 15-64 tahun) di Kabupaten Sukoharjo menanggung 47 orang
penduduk berusia nonproduktif (usia 0-14 tahun dan usia 65 tahun ke
atas) di wilayah tersebut.
Menurut jenis kelamin, penduduk perempuan lebih banyak di
banding dengan laki-laki, yaitu 427.540 jiwa (50,48%) untuk
penduduk perempuan dan 419.438 jiwa (49,52%) untuk laki-laki.
Kelompok penduduk untuk usia produktif, penduduk laki-laki lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
sedikit dibanding dengan perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 283.359
jiwa (33,45%), sedangkan untuk perempuan sebesar 290.916 jiwa
(34,35%). Hal ini menunjukkan bahwa penawaran tenaga kerja wanita
di Kabupaten Sukoharjo lebih besar dibanding dengan tenaga kerja
laki-laki. Dari jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, dapat
diketahui angka sex ratio di Kabupaten Sukoharjo. Sex ratio adalah
suatu angka yang menunjukkan perbandingan jumlah penduduk laki-
laki dan perempuan di suatu daerah. Berikut merupakan rumus untuk
mencari sex ratio di Kabupaten Sukoharjo :
Sex Ratio = 100% x perempuanpenduduk Jumlah
laki-lakipenduduk Jumlah
= 100% x 427.540419.438
= 98,10%
Angka sex ratio penduduk di Kabupaten Sukoharjo adalah
sebesar 98,10%. Artinya pada setiap orang penduduk perempuan di
Kabupaten Sukoharjo terdapat 98 orang penduduk laki-laki.
3. Komposisi Penduduk Menurut Lapangan Usaha Utama
Keadaan mata pencaharian penduduk suatu wilayah dipengaruhi
oleh sumber daya yang tersedia dan kondisi sosial ekonomi seperti
ketrampilan yang dimiliki, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan dan
modal yang ada. Keadaan penduduk menurut lapangan usaha utama di
Kabupaten Sukoharjo ditunjukkan tabel berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Tabel 12. Penduduk Umur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010
No Jenis lapangan Usaha
Laki-laki (Jiwa)
Perempuan (Jiwa)
Jumlah (Jiwa)
Prosentase (%)
1. Pertanian 48.719 27.193 75.912 19,19 2. Pertambangan dan
Galian 0 0 0 0
3. Industri 42.277 61.033 103.310 26,12 4. Listrik Gas dan
Air 1.417 - 1.417 0,36
5. Konstruksi 30.118 707 30.825 7,80 6. Perdagangan 46.681 54.791 101.472 25,66 7. Komunikasi 14.031 3.545 17.576 4,44 8. Keuangan 5.460 2.936 8.396 2,12 9. Jasa 30.799 25.819 56.618 14,31 Total 219.502 176.024 395.526 100,00
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011
Tabel 12 menunjukkan bahwa seperempat lebih penduduk umur
15 tahun ke atas di Kabupaten Sukoharjo bekerja pada lapangan usaha
di bidang industri yaitu sebesar 103.310 jiwa (26,12%), yang di
dominasi oleh penduduk perempuan. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar industri yang ada di Kabupaten Sukoharjo adalah
perusahaan yang bergerak di bidang garment dan industri rumah
tangga yang rata-rata mempekerjakan para perempuan, sehingga
perempuan lebih mendominasi dalam bidang ini. Kemudian dikuti oleh
lapangan usaha di bidang perdagangan yaitu sebesar 101.472 jiwa
(25,66%). Sama halnya dengan di bidang industri, untuk bidang
perdagangan lebih di dominasi oleh kaum perempuan yang mencapai
54.791 jiwa. Bidang pertanian menempati urutan ketiga dalam
penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 75.912 jiwa (19,19%). Lain
halnya dengan bidang industri dan perdagangan, di bidang pertanian
ini lebih di dominasi oleh kaum laki-laki yang mencapai 48.719 jiwa.
Rendahnya bidang pertanian menyerap tenaga kerja dibanding dengan
bidang usaha lain disebabkan karena semakin banyaknya lahan
pertanian yang beralih fungsi menjadi non pertanian sehingga
mengakibatkan lahan pertanian menjadi sempit dan banyak masyarakat
yang lebih memilih untuk bekerja di bidang industri dibanding di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
bidang pertanian karena semakin luasnya kawasan industri di
Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan lapangan usaha di bidang
pertambangan dan galian sama sekali tidak ada.
C. Keadaan Perekonomian
Perkembangan perekonomian dapat dilihat salah satunya dari
besarnya Produk Domestik Regional Bruto dari tahun ke tahun. Untuk
tahun 2008 perekonomian Kabupaten Sukoharjo tumbuh sebesar 4,84%,
lebih rendah apabila dibandingkan dengan tahun 2007 yang tumbuh
sebesar 5,11%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini sejalan dengan
perlambatan perekonomian nasional akibat dampak dari krisis finansial di
akhir tahun 2008. Berikut merupakan PDRB Kabupaten Sukoharjo
menurut lapangan usaha utama atas harga berlaku tahun 2008-2009.
Tabel 13. PDRB Kabupaten Sukoharjo Menurut Lapangan Usaha Atas Harga Berlaku Tahun 2008-2009 (Jutaan Rupiah)
No. Lapangan Usaha Tahun
2008 % 2009 % 1. Pertanian 1.571.001,22 19,54 1.740.526,35 19,51 2. Pertambangan dan Penggalian 64.866,44 0,81 68.794,75 0,77 3. Industri 2.373.783,75 29,52 2.595.982,24 29,10 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 138.731,96 1,73 156.109,68 1,75 5. Bangunan 403 303.76 5,02 463.329,05 5,19 6. Perdagangan, Hotel dan
Restoran 2.072.979,21 25,78 2.304.657,31 25,84
7. Pengangkutan dan Komunikasi 465.071,20 5,78 507.532,29 5,69 8. Keuangan, Sewa dan Jasa
Perusahaan 279.174,26 3,47 318.237,69 3,57
9. Jasa-jasa 672.364,56 8,36 765.592,54 8,58 PDRB 7.637.972,60 100 8.920.761,90 100
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011
Pembangunan di sektor industri merupakan prioritas utama
pembangunan ekonomi. Sektor industri memegang peranan yang sangat
penting dalam perekonomian Kabupaten Sukoharjo, dengan distribusi
terhadap PDRB Kabupaten Sukoharjo tahun 2008 sebesar 29,10%,
meskipun mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Sektor pertanian
sendiri berada pada urutan ketiga setelah sektor perdagangan, hotel dan
restoran yaitu sebesar 19,51%. Kontribusi PDRB dari sektor pertanian pun
turun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 19,54%. Hal ini disebabkan
karena banyaknya lahan pertanian yang dialih fungsikan menjadi sektor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
non pertanian. Kondisi ini terlihat dengan semakin luasnya kawasan
industri di Kabupaten Sukoharjo, selain itu banyak pembangunan untuk
pembuatan perumahan yang banyak diantaranya mengalihfungsikan lahan
pertanian. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
kontribusi dari sektor pertanian terhadap PDRB di Kabupaten Sukoharjo
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.
D. Keadaan Pertanian
Kabupaten Sukoharjo memiliki luas tanah sebesar 46.666 Ha yang
terbagi menjadi 12 Kecamatan, 150 Desa dan 17 Kelurahan, 2.071 Dukuh,
1.474 Rukun Warga (RW) dan 4.517 Rukun Tetangga (RT). Berdasarkan
luas tersebut Kabupaten Sukoharjo terdiri dari 21.287 Ha lahan sawah dan
25.379 Ha lahan bukan sawah. Data lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 14. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010
No Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) A. Lahan Sawah
1. Irigasi Teknis 2. Irigasi ½ Teknis 3. Irigasi Sederhana 4. Tadah Hujan
21.287 14.930 1.902 2.021 2.434
45,62 31,99
4,08 4,33 5,22
B. Lahan Bukan Sawah 1. Pekarangan 2. Tegal/ Kebun 3. Ditanami pohon/ hutan rakyat 4. Tambak 5. HN 6. PBS/ PBN 7. Lain-lain
25.379 16.058 4.445 1.058
38 350 708
2.682
54,38 34,41
9,53 2,27 0,08 0,84 1,52 5,75
Jumlah Total 46.666 100
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011
Tabel 14 menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Kabupaten
Sukoharjo terbagi menjadi dua yaitu lahan sawah dan lahan bukan sawah,
untuk pembagian lahan sawah yang mempunyai luas sebesar 21.287 Ha
terbagi menjadi empat lahan dengan urutan luas lahan dari yang terbesar
yakni lahan sawah irigasi teknis, sawah irigasi sederhana, sawah tadah
hujan dan sawah irigasi ½ teknis. Penggunaan lahan sawah terbesar adalah
sawah irigasi teknis dengan luas 14.930 Ha (31,99%) dari luas keseluruhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
wilayah di Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan penggunaan luas lahan
sawah terkecil adalah sawah irigasi ½ teknis dengan luas sebesar 1.902 Ha
(4,08%) dari luas keseluruhan.
Penggunaan lahan bukan sawah di Kabupaten Sukoharjo terbagi
menjadi enam lahan, diantaranya pekarangan, tegal/ kebun, ditanami
pohon/ hutan rakyat, tambak, HN, dan PBS/ PBN. Berdasarkan luas
keseluruhan lahan bukan sawah, pekarangan memiliki luas terbesar di
banding dengan lahan lain yaitu sebesar 16.058 Ha (34,41%). Pekarangan
yang dimiliki biasanya dimanfaatkan pemiliknya untuk ditanami tanaman
buah-buahan seperti mangga, sawo, jambu, dan lain-lain. Selain itu mereka
memanfaatkan lahan yang ada untuk ditanami tanaman sayur-sayuran.
Sedangkan untuk lahan terkecil dari lahan bukan sawah ini adalah tambak.
E. Kondisi Kemiskinan
Menurut BKKBN kriteria keluarga yang dikategorikan sebagai
keluarga miskin adalah Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS) dan Keluarga
Sejahtera I (KS-I). Berikut merupakan data kemiskinan di Kabupaten
Sukoharjo selama kurun waktu lima tahun menurut BKKBN.
Tabel 15. Jumlah dan Proporsi Kemiskinan menurut BKKBN di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010
Tahun Keluarga Pra-
Sejahtera Keluarga Sejahtera I KK Miskin
Jumlah Proporsi(%) Jumlah Proporsi(%) Jumlah Proporsi(%) 2006 48.930 23,00 47.241 22,21 96.171 45,22 2007 50.373 23,00 45.276 20,92 95.649 44,20 2008 52.060 24,00 46.566 21,21 98.626 44,93 2009 52.620 24,00 46.232 20,78 98.852 44,44 2010 51.180 22,35 45.598 19,91 96.778 42,27
Sumber: BPS Kabupaten Sukoharjo, 2011
Tabel 15 menunjukkan bahwa kondisi kemiskinan di Kabupaten
Sukoharjo menurut data BKKBN selama lima tahun terakhir mengalami
fluktuatif. Proporsi terbesar jumlah kemiskinan terjadi pada tahun 2006
yaitu sebesar 45,22% dengan jumlah sebanyak 96.171 keluarga. Pada
tahun 2010, proporsi kemiskinan di Kabupaten mengalami penurunan
menjadi 42,27% dengan jumlah sebanyak 96.778 keluarga. Meskipun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
jumlah kemiskinan bertambah akan tetapi untuk proporsi kemiskinan pada
tahun ini berkurang, hal ini disebabkan karena semakin banyaknya jumlah
keluarga dari tahun 2006 sampai dengan 2010. Semakin berkurangnya
proporsi kemiskinan di Kabupaten Sukoharjo menunjukkan bahwa
kesejahteraan keluarga di Kabupaten Sukoharjo semakin meningkat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Rumah Tangga Responden
Karakteristik rumah tangga responden merupakan keadaan yang
menggambarkan kondisi umum, maupun latar belakang rumah tangga
responden. Karakteristik rumah tangga responden meliputi data-data yang
mencakup mengenai identitas responden dan seluruh anggota responden.
Berikut merupakan data mengenai karakteristik rumah tangga responden di
Kabupaten Sukoharjo.
Tabel 16. Karakteristik Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo
No. Uraian Rata-rata 1. Umur (tahun) a. Suami
b. Istri 48 35
2. Tingkat Pendidikan (Tahun) a. Suami
b. Istri 6 5
3. Jumlah anggota keluarga (orang) 3
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 1)
Tabel 16 menunjukkan bahwa rata-rata umur suami 48 tahun
sedangkan untuk istri 35 tahun. Rata-rata umur suami dan istri responden
masih berada pada usia produktif, sehingga mereka masih mampu untuk
melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka. Sebagian
besar responden bekerja sebagai buruh, baik buruh tani ataupun buruh
bangunan, tergantung ada tidaknya pekerjaan. Selain itu, sebagian istri dari
responden adalah pedagang yang rata-rata merantau.
Pendidikan formal merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh terhadap seseorang untuk menguasai suatu pengetahuan dan
wawasan. Tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri responden rata-rata
adalah lulusan Sekolah Dasar (SD), dan termasuk masih rendah. Hal ini akan
mempengaruhi pola pikir serta bagaimana mereka mengambil keputusan.
Baik dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka, yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada konsumsi dan pola makan. Rendahnya
45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
tingkat pendidikan mereka salah satunya disebabkan karena faktor ekonomi.
Tingkat pendidikan dari responden yang rata-rata adalah lulusan SD mampu
menggambarkan kondisi tingkat pendidikan rumah tangga miskin di
Kabupaten Sukoharjo, hal ini sesuai dengan data tingkat pendidikan rumah
tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo untuk lulusan SD atau SLTP
mencapai 35,57% dari total rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo.
Besarnya tingkat lulusan SD atau SLTP ini berada pada tingkat dua setelah
tingkat pendidikan tidak tamat SD yakni sebesar 35,68%. Sedangkan sisanya
untuk pendidikan SLTA atau lebih yaitu sebesar 28,76%.
Tingkat pendidikan seorang ibu akan sangat mempengaruhi
bagaimana pola konsumsi pangan suatu rumah tangga, karena biasanya
mereka yang menentukan dan mengolah makanan yang akan disajikan, dan
tentunya disesuaikan dengan pendapatan rumah tangga mereka. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seorang ibu akan berpengaruh pada pengetahuan
yang dimiliki sehingga mereka mampu untuk mengambil keputusan untuk
mengolah makanan yang baik untuk keluarganya, karena makanan
merupakan sumber energi untuk anggota keluarganya melakukan aktivitas
dan pada akhirnya akan menentukan produktivitas mereka. Akan tetapi dalam
rumah tangga responden tidak semua keputusan dalam mengolah makanan di
ambil oleh ibu rumah tangga mereka. Hal ini disebabkan sebagian dari istri-
istri responden memiliki pekerjaan di luar wilayah Kabupaten Sukoharjo atau
merantau, selain itu karena status mereka yang sebagian sudah tidak memiliki
pendamping. Sehingga keputusan dalam rumah tangga dalam mengambil
keputusan untuk mengolah makanan di ambil oleh kepala rumah tangga atau
anak perempuan mereka yang dianggap sudah mampu untuk mengolah
makanan. Terkecuali jika istri dari responden pulang dari merantau, mereka
yang akan menentukan jenis konsumsi dan mengolah makanan dalam rumah
tangga mereka.
Rumah tangga terdiri dari kepala keluarga, istri, anak dan anggota
keluarga lain. Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi jumlah
pengeluaran baik pengeluaran pangan maupun non pangan. Semakin banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
jumlah anggota keluarga maka akan semakin banyak pula pengeluaran untuk
rumah tangga tersebut. Berikut merupakan data distribusi jumlah anggota
rumah tangga responden di Kabupaten Sukoharjo.
Tabel 17. Jumlah Anggota Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo
Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah Persentase (%) 1 – 2 9 30 3 – 4 18 60
≥5 3 10 Total 30 100,00
Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 1)
Jumlah anggota rumah tangga responden paling banyak adalah antara
3 hingga 4 orang yaitu sebesar 60 % atau 18 rumah tangga. Biasanya terdiri
dari ayah sebagai kepala keluarga, ibu, anak dan angota keluarga lain.
Sedangkan 30% lainnya atau sebanyak 9 rumah tangga berjumlah 1 hingga 2
orang anggota rumah tangga, untuk sisanya sebesar 10% atau sebanyak 3
rumah tangga berjumlah lebih dari sama dengan 5 orang.
B. Pendapatan Rumah Tangga Responden
Pendapatan rumah tangga merupakan sejumlah uang yang diperoleh
oleh masing-masing anggota rumah tangga dari pekerjaan yang dilakukan
dalam satu bulan. Rata-rata pendapatan rumah tangga responden adalah
sebesar Rp 1.003.333,33 (lampiran 1). Sumber pendapatan rumah tangga
berasal dari suami sebagai kepala rumah tangga, istri, anak, dan anggota
keluarga lain. Banyak jenis pekerjaan yang dilakukan untuk para kepala
keluarga diantaranya buruh tani, buruh bangunan dan berbagai pekerjaan
serabutan yang mampu untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Sedangkan untuk pekerjaan istri rata-rata adalah pedagang.
Selain pendapatan dari suami dan istri, pendapatan rumah tangga juga
berasal dari anak, baik yang merantau ataupun masih tinggal dalam satu
rumah. Pendapatan lain berasal dari anggota keluarga lain yang tinggal dalam
satu rumah, diantaranya bekerja sebagai buruh. Pendapatan yang diperoleh
rumah tangga ini di dominasi oleh pendapatan dari kepala rumah tangga,
sedangkan ibu dan anak-anak yang sebagian merantau mereka hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
mengirimkan uang dalam jangka waktu satu bulan atau ketika kepala rumah
tangga merasa benar-benar membutuhkan uang karena pekerjaan mereka
yang tidak menentu atau mengikuti musim. Berikut merupakan data distribusi
pendapatan rumah tangga responden di Kabupaten Sukoharjo
Tabel 18. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Responden Di Kabupaten Sukoharjo
No. Pendapatan Jumlah Rumah Tangga 1 Rp 100.000 – Rp 500.000 4 2 Rp 600.000 – Rp 1.000.0000 13 3 Rp 1.100.000 – Rp 1.500.000 13
Jumlah 30
Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 1)
Tabel 18 menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga responden
rata-rata berada pada tingkat pendapatan antara Rp 600.000,00 hingga
Rp 1.000.000,00 dan pada tingkat pendapatan Rp 1.100.000,00 hingga
Rp 1.500.000,00 yaitu sejumlah 13 rumah tangga. Sedangkan sisanya
sebanyak empat rumah tangga mempunyai tingkat pendapatan antara
Rp 100.000,00 hingga Rp 500.000,00. Rendahnya tingkat pendapatan rumah
tangga ini disebabkan karena di dalam rumah tangga tersebut hanya ada satu
orang atau satu anggota rumah tangga, sehingga pendapatan yang diperoleh
juga tidak tinggi.
Tingkat pendapatan suatu rumah tangga akan sangat berpengaruh
terhadap tingkat konsumsi atau tingkat pengeluaran baik pangan ataupun non
pangan suatu rumah tangga. Rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah
akan lebih mengutamakan untuk konsumsi pangan daripada non pangan,
selain itu mereka akan lebih mementingkan kuantitas dari makanan yang
dianggap dapat mengenyangkan daripada kualitas gizi yang terkandung
dalam makanan tersebut. Berbeda halnya untuk rumah tangga dengan
pendapatan tinggi mereka tidak hanya mementingkan kuantitas tetapi kualitas
atau gizi yang terkandung dalam makanannya. Hal ini sesuai dengan Hukum
Engel yang menyatakan dengan asumsi selera seseorang adalah tetap,
proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan akan semakin kecil seiring
dengan semakin meningkatnya pendapatan (Ariani dan Purwantini, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
C. Pengeluaran Rumah Tangga Responden
Pengeluaran rumah tangga adalah besarnya jumlah uang yang
dikeluarkan suatu rumah tangga untuk konsumsi. Pengeluaran rumah tangga
terdiri dari dua yaitu pengeluaran pangan dan non pangan. Berikut merupakan
rata-rata pengeluaran pangan rumah tangga responden selama satu bulan.
Tabel 19. Rata-Rata Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011
No. Pengeluaran Pangan Rata-Rata (Rp/Bln) Proporsi (%) 1. Padi-padian 184.425,00 30,07 2. Umbi-umbian 2.550,00 0,42 3. Ikan 8.233,33 1,31 4. Daging 13.316,67 2,17 5. Telur dan susu 17.133,33 2,79 6. Sayur-sayuran 71.100,00 11,55 7. Kacang-kacangan 57.900,00 9,28 8. Buah-buahan 2.033,33 0,33 9. Minyak dan lemak 42.575,00 6,94 10. Minuman 35.383,33 5,77 11. Bumbu-bumbuan 50.780,00 8,28 12. Konsumsi lain 33.310,00 5,43 13. Makanan dan minuman jadi 33.800,00 5,51 14. Tembakau dan sirih 61.866,67 10,09
Jumlah 613.406,67 100,00
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 2)
Pengeluaran pangan untuk rumah tangga dalam penelitian ini di bagi
menjadi 14 bagian diantaranya padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur
dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak,
minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lain, makanan dan minuman jadi, dan
yang terakhir adalah tembakau dan sirih. Rata-rata pengeluaran untuk
konsumsi pangan selama satu bulan rumah tangga responden adalah sebesar
Rp 613.406,67.
Pengeluaran untuk padi-padian selama satu bulan dalam rumah tangga
responden yaitu sebesar Rp 184.425,00 atau mencapai 30,07% dari total
pengeluaran untuk pangan. Kelompok ini terdiri dari beras, jagung, tepung
beras, tepung terigu dan tepung jagung. Beras sendiri memiliki proporsi
pengeluaran terbesar dibanding jenis komoditi lain dalam kelompok padi-
padian, karena beras merupakan makanan pokok rumah tangga yang harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
ada setiap harinya sebagai sumber energi anggota rumah tangga untuk
melakukan aktivitas. Kandungan energi dalam 100 kg beras adalah 360 kkal
dan protein sebesar 8,4 gram. Selain itu, sesuai dengan anggapan masyarakat
Jawa yang menganggap jika seseorang belum makan nasi yang berasal dari
beras bisa dianggap bahwa orang tersebut belum makan.
Rumah tangga responden yang merupakan rumah tangga miskin dalam
penelitian ini menjadi Rumah Tangga Sasaran (RTS), dimana mereka
mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk pemenuhan pangan berupa beras
yang dijatah setiap bulannya, istilah lainnya adalah raskin. Setiap rumah
tangga penerima bantuan tidak selalu sama jumlah beras yang diterima,
karena kesepakatan dari masyarakat sekitar untuk membagi rata raskin
kepada setiap keluarga. Akan tetapi, untuk keluarga yang termasuk rumah
tangga miskin atau masuk dalam daftar RTS akan mendapatkan jatah raskin
setiap bulannya, lain halnya dengan keluarga yang tidak termasuk dalam RTS
mereka akan mendapatkan jatah raskin secara bergilir. Hal ini mengakibatkan
jumlah jatah beras yang seharusnya diterima oleh RTS tidak sesuai dengan
jatah yang seharusnya yakni sebesar 15 Kg per bulan. Sementara besarnya
raskin yang diberikan setiap bulannya adalah sebesar 5 Kg dengan harga
Rp 8.500,00, yang berarti setiap satu kilogram beras berharga Rp 1.700,00.
Harga ini lebih tinggi dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah yakni
sebesar Rp 1.635,00. Kualitas dari raskin sendiri yang diberikan kepada RTS
setiap bulannya tidak selalu sama, namun lebih sering beras yang diberikan
kualitasnya buruk, yaitu dari kenampakan luar putih kehitaman, ketika
dimasak masih terasa kasar, berwarna kekuningan, dan muda basi. Hal ini
yang mendorong para penerima raskin untuk mencampurnya dengan beras
lain saat mengolah, ada juga yang menggilingnya kembali agar warna dari
beras menjadi lebih putih bersih sebagai campuran beras lain. Bahkan ada
sebagian dari penerima raskin menjualnya kembali karena kualitas beras yang
diberikan dari pemerintah dianggap terlalu buruk. Hasil dari penjualan beras
ini biasanya mereka gunakan untuk membeli bahan makanan lain atau
sebagai pendapatan yang nantinya akan digunakan untuk konsumsi lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Kondisi ini menyebabkan distribusi raskin untuk para penerima raskin tidak
tepat, karena jumlah yang harus diberikan tidak sesuai, selain itu harga yang
diberikan tidak sesuai meskipun perbedaan dari harga sangat rendah.
Sedangkan untuk jenis konsumsi lain dalam padi-padian hanya
dianggap sebagai bahan pelengkap bukan sebagai makanan pokok. Seperti
tepung beras dan tepung terigu biasanya mereka gunakan untuk membuat
lauk seperti bakwan, kemudian adonan untuk mengoreng tempe dan lain-lain.
Pengeluaran pangan terbesar kedua adalah sayur-sayuran yaitu sebesar
Rp 71.100,00 atau setara dengan 11,55% dari total pengeluaran pangan. Jenis
konsumsi pangan ini antara lain bayam, kangkung, kubis, kancang panjang,
buncis, tomat, wortel dan lain-lain. Sayur-sayuran merupakan sumber vitamin
dan mineral yang sangat dibutuhkan dalam tubuh manusia untuk melakukan
aktivitas. Besarnya konsumsi untuk golongan sayur-sayuran ini disebabkan
sebagian besar rumah tangga lebih memilih mengolah sayur sendiri untuk
dikonsumsi dibanding harus membeli makanan jadi. Biasanya dalam sehari
mereka memasak hanya sekali saja. Sayur-sayuran yang mereka olah
biasanya di beli dari tukang sayur keliling, warung-warung atau pasar-pasar
terdekat, bahkan tidak sedikit dari rumah tangga memanfaatkan sayur-sayuran
yang ada di halaman rumah mereka, karena rata-rata dari mereka
memanfaatkan lahan pekarangan mereka untuk ditanami sayur-sayuran. Hal
ini merupakan salah satu alternatif rumah tangga dalam meminimalisir
pengeluaran mereka.
Pengeluaran pangan terbesar ketiga adalah kelompok tembakau dan
sirih yaitu sebesar Rp 61.866,67 atau sebesar 10,09% dari total pengeluaran
pangan. Tingginya pengeluaran pangan dalam kelompok ini disebabkan
hampir setiap kepala rumah tangga mempunyai kebiasaan untuk merokok.
Tidak jarang dalam satu hari mereka mampu menghabiskan satu bungkus
rokok bahkan lebih. Jenis rokok yang dikonsumsi pun beranekaragam
bermula dari harga Rp 3.000,00 hingga Rp 7.500,00. Kebiasaan ini sulit
untuk mereka hentikan meskipun di dalam bungkus rokok tersebut
dicantumkan berbagai resiko yang akan terjadi jika mengkonsumsinya. Hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
ini disebabkan karena anggapan setiap perokok jika selang waktu terlalu lama
tidak merokok akan terasa masam di lidah dan aneh jika tidak merokok saat
mereka selesai makan, terasa tidak puas jika tidak diakhiri dengan merokok.
Pengeluaran pangan untuk kelompok kacang-kacangan menempati
urutan ke empat setelah kelompok pangan tembakau dan sirih yaitu sebesar
Rp 57.900,00 atau memiliki proporsi sebesar 9,28% dari total pengeluaran
pangan. Kelompok ini terdiri dari kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau,
tahu, dan tempe. Kacang-kacangan merupakan salah satu sumber protein
nabati. Dalam kelompok ini jenis pangan yang paling banyak dikonsumsi
adalah tahu dan tempe, hasil olahan dari kacang-kacangan. Hampir setiap hari
mereka mengkonsumsi jenis pangan ini, selain karena harganya terjangkau,
jenis pangan ini mudah dalam pengolahannya dan dapat bervariasi. Meskipun
harganya murah, kandungan protein nabati dalam pangan ini tinggi.
Kandungan protein pada 100 gram tempe yaitu 20,8 gram.
Pengeluaran untuk kelompok bumbu-bumbuan yang terdiri dari garam,
merica, ketumbar, terasi, vetsin, kecap, bawang merah, bawang putih, cabai,
dan lain-lain ini menempati urutan ke lima yaitu sebesar Rp 50.780,00 atau
8,28% dari total pengeluaran pangan. Proporsi pengeluaran terbesar dalam
kelompok ini adalah cabai, bawang merah dan bawang putih. Ketiga bumbu
ini merupakan dasar dari suatu masakan terutama bawang merah dan putih,
karena setiap masakan akan menggunakan bumbu ini, sedangkan untuk cabai
rata-rata rumah tangga mengolahnya menjadi sambal dan campuran olahan
makanan lain.
Pengeluaran untuk kelompok pangan minyak dan lemak sebesar
Rp 42.575,00 atau 6,94% dari total pengeluaran pangan. Kelompok ini terdiri
dari minyak goreng dan mentega. Hampir seluruh rumah tangga miskin
responden lebih memilih menggunakan minyak goreng dibanding dengan
mentega untuk menggoreng dan menumis makanan. Minyak goreng yang
mereka konsumsi rata-rata adalah minyak goreng curah. Hal ini disebabkan
karena harga minyak goreng curah lebih murah dibanding dengan minyak
goreng kemasan dan mentega.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Pengeluaran untuk kelompok minuman yang terdiri dari gula, teh, kopi,
dan lain-lain ini sebesar Rp 35.383,33 atau proporsi sebesar 5,77% dari total
pengeluaran pangan rumah tangga responden. Pengeluaran terbesar
digunakan untuk membeli gula, karena gula digunakan sebagai campuran
atau pemanis hampir semua minuman baik teh ataupun kopi. Selain itu gula
juga dimanfaatkan sebagai bumbu dapur agar rasa masakan lebih gurih. Gula
sendiri memiliki sumber karbohidrat yang cukup tinggi.
Pengeluaran kelompok makanan dan minuman jadi rumah tangga
responden sebesar Rp 33.800,00 atau memiliki proporsi sebesar 5,51% dari
total pengeluaran pangan. Kelompok ini terdiri dari roti, biskuit, bakso, dan
lain-lain. Rumah tangga responden yang sering mengkonsumsi makanan dan
minuman jadi rata-rata mempunyai anak yang masih sekolah. Mereka lebih
sering mengkonsumsi roti atau biskuit sebagai camilan setiap harinya.
Sedangkan untuk bakso dan makanan olahan lainnya mereka jarang untuk
mengkonsumsinya karena mereka lebih sering mengolah makanan sendiri
daripada membeli makanan jadi.
Pengeluaran kelompok konsumsi lain seperti kerupuk, karak, mie,
bihun, dan lain-lain ini adalah sebesar Rp 33.310,00 atau 5,43% dari total
pengeluaran pangan. Proporsi terbesar dalam kelompok ini adalah kerupuk,
tidak hanya sebagai teman makan kerupuk juga dijadikan sebagai camilan.
Mie sendiri, terutama mie instan menjadi alternatif pengganti utama nasi
disaat suatu rumah tangga tidak mengolah makanan. Terutama anak-anak
yang terkadang memiliki selera tersendiri pada masakan, jika tidak sesuai
dengan masakan yang dihidangkan mereka lebih memilih untuk memasak
mie instan. Selain mudah memperolehnya, mie instan sangat mudah
pengolahannya sehingga banyak keluarga yang menjadikannya sebagai
substitusi nasi. Hasil analisis data runtut waktu Susenas yang dilakukan oleh
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian serta Badan
Ketahanan Pangan Departemen Pertanian menunjukkan (Ariani, 2008) bahwa
pada tahun 2002, mie merupakan pangan pokok kedua, dan semakin
signifikan pada tahun 2005, bahwa semua masyarakat dikota atau desa dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
kaya atau miskin hanya mempunyai satu pola pangan pokok yaitu beras dan
mie.
Pengeluaran untuk kelompok telur dan susu sebesar Rp 17.133,33 atau
2,79% dari total pengeluaran pangan rumah tangga. Kelompok pangan ini
terdiri dari telur ayam, telur itik, telur puyuh, dan susu. Pengeluaran terbesar
dalam kelompok pangan ini digunakan untuk membeli telur, terutama telur
ayam dibanding yang lain, karena lebih mudah untuk mendapatkannya
dibandingkan dengan yang lain. Telur itik dan telur puyuh biasanya didapat
sudah dalam bentuk rebusan sehingga harganya lebih mahal, untuk telur asin
harganya Rp 1.500,00 per butir, sedangkan telur puyuh Rp 2.000,00 per
delapan butir. Telur ayam sendiri memiliki kandungan protein hewani yang
sangat tinggi yang sangat berguna untuk pertumbuhan dan pengganti sel
tubuh yang rusak. Sedangkan untuk konsumsi susu, rata-rata rumah tangga
responden tidak mengkonsumsinya, kecuali rumah tangga yang masih
memiliki bayi.
Rumah tangga responden tidak setiap hari mengkonsumsi daging.
Mereka mengkonsumsi daging hanya tiga atau empat minggu sekali, bahkan
tidak sama sekali dalam sebulan. Hal ini terlihat bahwa pengeluaran pangan
untuk konsumsi daging hanya sebesar Rp 13.316,67 atau 2,17% dari total
pengeluaran pangan. Pengeluaran terbesar dalam kelompok ini digunakan
untuk membeli daging ayam dibanding dengan daging sapi atau kambing. Hal
ini disebabkan karena harga ayam lebih murah dibanding dengan harga
daging lain terutama daging sapi yang mencapai Rp 60.000,00 per Kg. Harga
daging ayam sendiri hanya mencapai Rp 22.000.00 per Kg, sehingga
mengakibatkan rumah tangga responden lebih memilih daging ayam
dibanding dengan daging sapi atau daging kambing.
Rumah tangga responden juga jarang sekali mengkonsumsi ikan, hal ini
ditunjukan dari pengeluaran pangan untuk kelompok ikan hanya sebesar
Rp 8.233,33 atau 1,31% dari total pengeluaran pangan. Kelompok pangan
ikan ini terdiri dari ikan segar dan ikan awetan. Rumah tangga responden
lebih sering untuk mengkonsumsi ikan awetan dibanding dengan ikan segar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Hal ini disebabkan untuk ikan awetan mampu digunakan dalam jangka waktu
cukup lama, sedangkan untuk ikan segar sebaliknya. Ikan awetan yang
mereka konsumsi biasanya berupa ikan layur dan teri. Sedangkan untuk ikan
segar yang sering dikonsumsi oleh rumah tangga responden adalah ikan jenis
bandeng dan ikan besekan atau ikan asin. Harganya pun beragam, untuk
bandeng dari Rp 2.000,00 hingga Rp 5.000,00 per buah tergantung ukuran
dan jenisnya, untuk ikan besekan antara Rp 1.000,00 hingga Rp 2.000,00
tergantung ukurannya juga.
Pengeluaran pangan untuk kelompok umbi-umbian sebesar
Rp 2.550,00 atau 0,42 % dari total pengeluaran pangan. Hal ini menunjukan
bahwa rumah tangga responden jarang sekali mengkonsumsi umbi-umbian.
Kelompok umbi-umbian ini terdiri dari ketela pohon, ketela rambat, kentang,
dan lain-lain. Proporsi terbesar untuk pengeluaran pada kelompok pangan ini
berada pada kentang. Rata-rata keluarga mengkonsumsi kentang untuk diolah
menjadi lauk. Sedangkan untuk konsumsi ketela pohon dan ketela rambat,
biasanya mereka memperoleh dari kebun mereka sendiri sehingga tidak setiap
hari mereka mengkonsumsinya. Umbi-umbian merupakan makanan lain
sumber karbohidrat. Akan tetapi lebih banyak masyarakat lebih memilih nasi
sebagai sumber karbohidrat untuk pemenuhan energi mereka dalam
beraktivitas, sehingga hal ini yang menyebabkan konsumsi untuk umbi-
umbian rendah.
Pengeluaran pangan untuk kelompok buah-buahan menjadi prioritas
terakhir dalam pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Hal ini terbukti bahwa
pengeluaran pangan untuk buah-buahan hanya sebesar Rp 2.033,33 atau
0,33% dari total pengeluaran pangan. Buah-buahan memiliki kandungan gizi
antara lain vitamin, nutrisi, mineral dan lain-lain yang dibutuhkan dalam
tubuh. Meskipun vitamin dan mineral merupakan zat gizi mikro yang
dibutuhkan dalam jumlah kecil, tetapi harus terpenuhi agar tubuh tidak
mengalami gangguan. Rendahnya konsumsi buah-buahan ini terjadi karena
rumah tangga responden lebih mementingkan pengeluaran untuk konsumsi
energi yang mampu mengenyangkan dibanding vitamin atau kandungan gizi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
lainnya. Mereka biasanya hanya mengkonsumsi buah-buahan yang ada di
kebun atau halaman mereka, sehingga tidak tentu kapan mereka akan
mengkonsumsi buah-buahan tergantung ada tidaknya buah-buahan di
pekarangan mereka.
Pengeluaran non pangan untuk rumah tangga responden dalam
penelitian ini dibagi menjadi delapan kelompok. Antara lain, perumahan,
aneka barang dan jasa, biaya pendidikan, biaya kesehatan, sandang, barang
tahan lama, pajak dan asuransi, dan keperluan sosial. Berikut merupakan data
rata-rata pengeluaran non pangan rumah tangga responden di Kabupaten
Sukoharjo.
Tabel 20. Rata-Rata Pengeluaran Non Pangan Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011
No. Pengeluaran Non Pangan Rata-Rata (Rp/Bln) Proporsi(%) 1. Perumahan 67.100,00 34,22 2. Aneka barang dan jasa 65.093,33 33,19 3. Biaya pendidikan 15.770,00 8,04 4. Biaya kesehatan 7.716,67 3,93 5. Sandang 7.610,00 3,88 6. Barang tahan lama 1.000,00 0,51 7. Pajak dan asuransi 5.301,67 2,70 8. Keperluan sosial 26.515,00 13,52
Jumlah 196.106,67 100,00
Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 3)
Berdasarkan Tabel 20 total rata-rata pengeluaran non pangan rumah
tangga responden di Kabupaten Sukoharjo mencapai Rp 196.106,67.
Pengeluaran terbesar berada pada kelompok perumahan yaitu sebesar
Rp 67.100,00 atau 34,22% dari total pengeluaran non pangan. Kelompok
perumahan ini terdiri dari sewa/ kontrak, listrik, minyak tanah, kayu bakar,
Liquified Petroleum Gas (LPG),dan lain-lain. Hampir seluruh responden
menempati rumah mereka sendiri, dengan kata lain tidak menyewa atau
mengontrak. Konsumsi terbesar dalam kelompok ini berada pada jenis
konsumsi listrik, karena listrik sangat dibutuhkan untuk kegiatan mereka di
malam hari. Sedangkan untuk jenis bahan bakar kayu bakar dan LPG, rata-
rata rumah tangga responden lebih memilih menggunakan kayu bakar untuk
keseharian pokoknya dibanding menggunakan LPG. LPG hanya mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
gunakan saat terdesak, misalnya saat mereka ingin membuat mie instan,
ataupun membuat lauk-pauk.
Pengeluaran non pangan terbesar kedua adalah aneka barang dan jasa
yaitu sebesar Rp 65.093,33 atau 33,19% dari total pengeluaran non pangan.
Pengeluaran non pangan aneka barang dan jasa ini terdiri dari sabun mandi,
sabun cuci, pasta gigi, sikat gigi, shampo, ongkos transportasi, bensin,
perawatan kendaraan, komunikasi, dan lain-lain. Konsumsi terbesar untuk
rumah tangga responden adalah untuk kebutuhan mereka sehari-hari yakni
sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, dan shampo. Sedangkan untuk
transportasi, hanya beberapa mereka yang mempunyai kendaraan sepeda
motor. Sebagian besar responden memilih menggunakan alat transportasi
umum atau kendaran sepeda untuk melakukan aktivitas mereka di luar rumah.
Sebagai pendukung komunikasi dengan keluarga mereka yang merantau atau
kegiatan pekerjaan mereka, sebagian dari rumah tangga responden telah
memiliki alat komunikasi berupa handphone.
Pengeluaran non pangan berupa keperluan sosial menempati urutan ke
tiga yaitu sebesar Rp 26.515,00 atau 13,52% dari total pengeluran non
pangan. Kelompok ini terdiri dari perkawinan, kematian, khitanan, perayaan
agama, perayaan adat dan lain-lain. Kondisi desa yang masih kuat tradisi dan
sosialnya membuat sebagian besar pengeluaran digunakan untuk acara
perayaan adat, meskipun sebagian dukuh dari ketiga desa tersebut tidak
mengikutinya lagi. Pengeluaran untuk keperluan sosial ini tidak menentu
jumlahnya setiap bulan, tergantung ada dan tidaknya suatu aktivitas dan
kegiatan di daerah mereka masing-masing. Terutama pengeluaran untuk
perkawinan, sangat tergantung dari jumlah masyarakat yang mengadakan
acara. Rata-rata pengeluaran terbesar untuk acara perkawinan, rumah tangga
responden paling tidak harus menyumbang uang sebesar Rp 20.000,00, akan
lebih besar jumlahnya apabila yang mengadakan acara masih memiliki
hubungan keluarga.
Pengeluaran non pangan untuk kelompok pendidikan menempati urutan
ke empat yaitu sebesar Rp 15.770,00 atau 8,04% dari total pengeluaran non
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
pangan. kelompok ini terdiri dari uang pangkal, SPP, pramuka, prakarya,
buku, alat tulis, dan lain-lain. Pengeluaran terbesar dalam kelompok ini
digunakan untuk membeli buku, terutama buku pelajaran dan buku Lembar
Kerja Siswa (LKS). Kecilnya proporsi pengeluaran untuk pendidikan bukan
berarti mereka tidak menganggap pendidikan anak mereka tidak penting, hal
ini disebabkan beberapa sekolah negeri yang ada di Kabupaten Sukoharjo
membebasbiayakan biaya sekolah untuk SPP, terutama untuk tingkat SD dan
SMP yang juga mendapat bantuan dari pemerintah dengan program sembilan
tahun.
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
seseorang. Karena akan sangat berpengaruh pada seseorang untuk melakukan
aktivitas dan berproduksitivitas. Dilihat dari pengeluaran rumah tangga untuk
kesehatan yang hanya sebesar Rp 7.716,67 atau 3,93% dari total pengeluaran
non pangan menunjukan bahwa kepedulian terhadap kesehatan mereka sangat
rendah, rendahnya proporsi pengeluaran untuk kesehatan ini bukan
disebabkan karena mereka tidak memperhatikan kesehatan mereka akan
tetapi karena memang biaya untuk berobat puskesmas gratis atau pada
sebagian bidan negeri, kecuali jika mereka harus disuntik, mereka harus
membayar uang sebesar Rp 3.000,00. Adapula yang cukup dengan membeli
obat di warung untuk mengobati sakit mereka, karena mereka menganggap
itu hanya sakit ringan.
Pengeluaran non pangan untuk sandang memiliki pengeluaran sebesar
Rp 7.610,00 atau sebesar 3,88% dari total pengeluaran non pangan.
Kelompok sandang ini terdiri dari pakaian, alas kaki, tutup kepala, dan lain-
lain. Pengeluaran terbesar digunakan untuk membeli pakaian. Biasanya
mereka membeli pakaian untuk anak-anak mereka menjelang Idul Fitri.
Selain itu mereka juga membeli pakaian dengan cara kredit. Mereka
membayar setiap 5 hari sekali atau mingguan, sesuai dengan hari pasaran
tempat penjual pakaian tersebut berjualan. Penjual tersebut akan berkeliling
untuk menarik uang cicilan dan menawarkan pada setiap keluarga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Pengeluaran untuk pajak dan asuransi sebesar Rp 5.301,67 atau sebesar
2,70% dari total pengeluaran non pangan. Pajak yang dimaksud dalam hal ini
adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Besarnya PBB tergantung dari luas
dan kelas tanah menurut lokasinya, semakin luas dan semakin dekat dengan
jalan raya akan memiliki nilai PBB yang lebih besar. PBB sendiri biasanya
dibayar setahun sekali, sehingga akan mempunyai nominal yang kecil jika di
hitung per bulan. Selain PBB, pajak yang dimaksud adalah pajak kendaraan
yang biasanya dikeluarkan oleh rumah tangga yang memiliki kendaraan
bermotor. Besarnya pajak kendaraan motor juga tergantung dari tahun
keluaran kendaraan tersebut. Semakin baru kendaraan tersebut maka akan
semakin besar nilai pajak yang akan dikeluarkan. Rendahnya pengeluaran
untuk pajak dan asuransi ini disebabkan karena lokasi tanah rumah tangga
responden jauh dari dari jalan raya dan sebagian besar dari responden tidak
memiliki kendaraan pribadi seperti motor. Mereka menggunakan transportasi
umum untuk melakukan aktivitas mereka, selain itu mereka juga
menggunakan sepeda.
Proporsi pengeluaran terkecil dari pengeluaran non pangan adalah
kelompok barang tahan lama yang terdiri dari alat rumah tangga, alat dapur,
alat hiburan, dan lain-lain yaitu sebesar Rp 1.000,00 atau sebesar 0,51% dari
total pengeluaran non pangan. Sedikitnya proporsi pengeluaran untuk barang
tahan lama adalah karena sifat dari barang itu sendiri yang tahan lama
sehingga ketika rumah tangga tersebut sudah memiliki barang tersebut
mereka tidak memerlukannya lagi, dan akan membeli lagi ketika barang
tersebut rusak dan saat mereka membutuhkannya.
D. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan terhadap Total Pengeluaran
Rumah Tangga Responden
Proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran merupakan
persentase besarnya pengeluaran untuk konsumsi pangan dibanding dengan
total pengeluaran rumah tangga yakni pengeluaran pangan dan non pangan.
berikut merupakan tabel proporsi pengeluaran rumah tangga responden di
Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Tabel 21. Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011
Pengeluaran Jumlah (Rp/Bulan) Proporsi (%) Pengeluaran Pangan Pengeluaran Non Pangan
613.406,67 196.106,67
75,77 24,23
Total Pengeluaran 809.513,33 100,00
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 4)
Berdasarkan Tabel 21 total pengeluaran rumah tangga responden di
Kabupaten Sukoharjo yang terdiri dari pengeluaran pangan dan non pangan
mencapai Rp 809.513,00. Pengeluaran pangan sendiri sebesar Rp 613.406,67
atau setara dengan proporsi sebesar 75,77% dari total pengeluaran.
Sedangkan untuk konsumsi non pangan sendiri mencapai Rp 196.106,67 atau
setara dengan 24,23% dari total pengeluaran rumah tangga. Besarnya
pengeluaran rumah tangga responden untuk konsumsi pangan berada di atas
rata-rata pengeluaran pangan untuk rumah tangga miskin di Kabupaten
Sukoharjo dalam publikasi umum yang hanya mencapai 64,60% dari
pengeluaran total. Perbedaan ini terjadi karena sampel yang digunakan dalam
penelitian mempunyai jumlah dan karakteristik yang berbeda sehingga
memiliki nilai yang berbeda pula.
Proporsi pengeluaran pangan dan non pangan juga digunakan sebagai
indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan
rumah tangga. Dari proporsi pengeluaran pangan dapat diungkapkan bahwa
semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat kesejahteraan atau
ketahanan rumah tangga semakin rendah atau rentan. Hukum Engel
menyatakan asumsi selera seseorang adalah tetap, proporsi pengeluaran
rumah tangga untuk pangan akan semakin kecil seiring dengan semakin
meningkatnya pendapatan (Ariani dan Purwantini, 2008).
Pengeluaran pangan dalam rumah tangga responden di dominasi oleh
pengeluaran untuk pangan jenis padi-padian terutama beras, karena beras
merupakan makanan pokok masyarakat dan jarang sekali beras ini digantikan
dengan komoditas makanan lain seperti umbi-umbian atau sumber energi
lainnya. Sedangkan pengeluaran untuk konsumsi non pangan terbesar berada
pada perumahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Besarnya proporsi pengeluaran pangan dibanding dengan proporsi
pengeluaran non pangan disebabkan karena tingkat pendapatan rumah tangga.
Tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan mereka lebih mengutamakan
konsumsi pangan dibanding dengan non pangan untuk memenuhi kebutuhan
pangan mereka, karena hal ini mampu untuk mengatasi rasa lapar sehingga
kualitas pangan juga jarang diperhatikan.
E. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga
Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan seseorang atau kelompok orang (keluarga atau rumah tangga)
pada waktu tertentu. Konsumsi pangan yang dinilai adalah konsumsi energi
dan konsumsi protein. Konsumsi gizi rumah tangga diketahui dengan
menghitung konsumsi rumah tangga 24 jam yang lalu istilah lainnya adalah
recall dengan pedoman Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).
Selanjutnya, konsumsi gizi ini dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) untuk mengetahui nilai Tingkat konsumsi Gizi (TKG). Besarnya
AKG berbeda-beda untuk setiap individu karena AKG ditentukan
berdasarkan umur dan jenis kelamin. Rata-rata angka kecukupan gizi, baik
energi dan protein rumah tangga responden diperoleh dengan menjumlahkan
AKG setiap anggota keluarga menurut golongan umur dan jenis kelamin,
kemudian dibagi dengan jumlah total anggota keluarga. Berikut ini
merupakan rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga responden
dan tingkat konsumsi gizinya.
Tabel 22. Rata-rata Konsumsi Energi dan Protein, AKG yang dianjurkan, dan Tingkat Konsumsi Gizi Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011
Kandungan Gizi Rata-rata AKG yang dianjurkan TKG (%) Energi (kkal/orang/hari) 1.459,33 2.066,06 69,17 Protein (gram/orang/hari) 50,22 53,74 92,02
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 5)
Konsumsi energi adalah sejumlah energi pangan yang dikonsumsi per
orang per hari yang dinyatakan dalam kkal/orang/hari dan konsumsi protein
adalah sejumlah protein pangan yang dikonsumsi yang dinyatakan dalam
gram/orang/hari. Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui bahwa rata-rata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
kandungan energi yang di konsumsi oleh rumah tangga responden mencapai
1.459,33 kkal/orang/hari. Sedangkan untuk protein mencapai 50,22
gram/orang/hari. Besarnya rata-rata konsumsi energi dan protein rumah
tangga responden masih berada di bawah angka kecukupan gizi yang
seharusnya mencapai 2.066,06 kkal/orang/hari untuk energi dan 53,74
gram/orang/hari untuk protein.
Sesuai penjelasan diatas diketahuinya jumlah konsumsi rumah tangga
dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan umur dan
jenis kelamin maka akan di dapat nilai Tingkat Konsumsi Gizi (TKG) untuk
energi dan protein suatu rumah tangga yang dinyatakan dalam bentuk
persentase. Tabel di atas menunjukkan bahwa besarnya Tingkat Konsumsi
Energi (TKE) rumah tangga mencapai 69,17%, sedangkan untuk Tingkat
Konsumsi Protein (TKP) mencapai 92,02%. Besarnya tingkat konsumsi
energi dan tingkat konsumsi protein, apabila di lihat pada nilai ragam
kecukupan gizi terlihat bahwa untuk tingkat konsumsi energi masuk dalam
kategori defisit karena berada pada nilai kurang dari 70% dari angka
kecukupan gizi. Sedangkan untuk tingkat konsumsi protein masuk dalam
kategori sedang karena berada pada nilai antara 80-99% dari angka
kecukupan gizi.
Rendahnya rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga
responden dibanding dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan tingkat
konsumsi energi yang masuk dalam kategori defisit serta untuk tingkat
konsumsi protein masuk dalam kategori sedang, disebabkan karena konsumsi
untuk energi rata-rata rumah tangga hanya dipenuhi dari nasi sebagai
makanan pokok untuk sumber enegi serta kurangnya konsumsi pangan
sumber energi lain. Sedangkan untuk protein, banyak rumah tangga miskin
memenuhi kebutuhan protein hanya dengan tahu dan tempe sebagai sumber
protein nabati, untuk sumber protein hewani rata-rata hanya berasal dari telur
ayam. Hal ini disebabkan karena daya beli meraka yang rendah sehingga
konsumsi pangan sumber protein ini masih berada di bawah Angka
Kecukupan Gizi yang di anjurkan. Tingkat pendapatan merupakan salah satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
faktor terbesar rumah tangga menentukan keputusan untuk membeli
konsumsi pangan. Pendapatan yang rendah membuat mereka enggan untuk
membeli makanan sumber protein hewani yang lebih mahal seperti daging
sapi, daging ayam dan ikan segar lainnya.
Menurut hasil kajian Ariningsih (2002) menunjukan bahwa pada
rumah tangga berpendapatan rendah di pedesaan konsumsi yang bersumber
dari bahan pangan nabati masih sangat dominan. Ditinjau dari aspek mutu
gizi, ketergantungan yang tinggi terhadap protein nabati kurang baik karena
kurang lengkapnya kandungan asam amino esensial protein nabati. Penduduk
dengan pola konsumsi pangan tinggi serelian dan kurang beragam, serta
konsumsi pangan hewani yang rendah seperti di Indonesia umumnya
mengalami defisit beberapa asam amino dalam menu makanannya. Lima
asam amino esensial yang sering defisit dalam pola konsumsi pangan di
Indonesia adalah lisin, treonin, triptofan, dan asam amino yang mengandung
sulfur, yaitu sistin dan metionin. Hal tersebut menjadi masalah karena
kekuranglengkapan asam amino esensial dalam pangan akan menyebabkan
mutu cerna dan daya manfaat protein yang dikonsumsi menjadi rendah.
Disamping itu, sisa-sisa (racun) dari protein nabati yang dikeluarkan oleh
ginjal lebih banyak daripada protein hewani, sehingga lebih memberatkan
kerja ginjal.
Sebaran kategori tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga
responden di Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 23. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011
Kategori Tingkat Kecukupan Gizi
Energi Protein Jumlah RT % Jumlah RT %
Baik (TKG ≥100% AKG) 2 6,67 10 33,33 Sedang (TKG 80–99% AKG) 4 13,33 11 36,67 Kurang (TKG 70–80% AKG) 6 20,00 2 6,67 Defisit (TKG <70% AKG) 18 60,00 7 23,33 Jumlah 30 100,00 30 100,00
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 5)
Tingkat konsumsi gizi diklasifikasikan berdasarkan pada nilai ragam
kecukupan gizi yang dievaluasi secara bertingkat berdasarkan acuan Buku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes (1990) dalam Supariasa (2002)
yaitu kategori tingkat konsumsi energi dan protein di katakan baik jika tingkat
konsumsi energi dan protein rumah tangga berada pada nilai di atas sama
dengan 100% dari nilai angka kecukupan gizi (TKG ≥100% AKG).
Dikatakan sedang apabila tingkat konsumsi energi dan protei rumah tangga
berada pada nilai antara 80-99% dari nilai angka kecukupan gizi (TKG 80–
99% AKG). Dikatakan kurang apabila tingkat konsumsi energi dan protei
rumah tangga berada pada nilai antara 70-80% dari nilai angka kecukupan
gizi (TKG 70–80% AKG), dan yang terakhir Dikatakan defisit apabila tingkat
konsumsi energi dan protein rumah tangga berada pada nilai di bawah 70%
dari nilai angka kecukupan gizi (TKG <70% AKG).
Tabel 23 menunjukkan bahwa rumah tangga yang berada pada kategori
tingkat kecukupan gizi baik untuk konsumsi energi hanya dua rumah tangga
atau 6,67% dari total keseluruhan responden. Proporsi terbanyak yaitu pada
kategori defisit yaitu sebesar 60% atau sejumlah 18 rumah tangga. Kategori
tingkat kecukupan energi untuk tingkat sedang dan kurang memiliki proporsi
sebesar 13,33% dan 20% yaitu sejmlah empat dan enam rumah tangga dari
total responden.
Jumlah terkecil kategori tingkat kecukupan gizi untuk protein berada
pada kategori kurang yaitu 6,67% atau sebanyak dua responden. Rumah
tangga yang masuk dalam kategori defisit yakni sebesar 20,00% atau
sebanyak tujuh rumah tangga. Sedangkan untuk kategori sedang memiliki
proporsi tersebar yang mencapai 36,67% atau sebanyak 11 rumah tangga,
untuk kategori rumah tangga yang tergolong baik terdapat sebesar 33,33%
atau sejumlah 10 rumah tangga. Secara keseluruhan, konsumsi protein
memiliki nilai yang lebih besar dibanding dengan tingkat konsumsi energi
rumah tangga, hal ini disebabkan karena hampir setiap hari rumah tangga
responden mengkonsumsi tahu-tempe yang merupakan sumber protein. Tidak
hanya untuk lauk, terkadang tempe atau tahu dijadikan camilan. Kondisi ini
disebabkan karena tahu-tempe sendiri merupakan barang yang mudah untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
didapat, harganya murah sehingga terjangkau untuk ekonomi rumah tangga
serta mudah untuk mengolahnya.
F. Hubungan Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dengan Konsumsi
Energi dan Protein
Proporsi pengeluaran konsumsi pangan mempunyai hubungan terhadap
konsumsi energi dan protein suatu rumah tangga. Konsumsi energi dan
protein akan berbeda pada proporsi pengeluaran yang berbeda pula. Dari hasil
analisis hubungan korelasi dengan menggunakan program SPSS 16 antara
proporsi pengeluaran konsumsi pangan dengan konsumsi energi dan protein
rumah tangga, diperoleh data sebagai berikut.
Tabel 24. Hasil Analisis Korelasi Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dengan Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011
Uji Korelasi Hasil Analisis Korelasi
Nilai Probabilitas α
Koefisien Korelasi
Proporsi Pengeluaran Pangan dengan Konsumsi Energi 0,026 0,05 - 0,405
Proporsi Pengeluaran Pangan dengan Konsumsi Protein 0,047 0,05 - 0,365
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 6)
Hasil analisis pada Tabel 24 menunjukkan bahwa nilai probabilitas
untuk proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi dan protein
adalah 0,026 dan 0,047. Nilai probabilitas antara proporsi pengeluaran
pangan dengan konsumsi energi dan protein lebih kecil dari tingkat kesalahan
yaitu 0,05 (α=0,05). Apabila nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 maka Ho
ditolak, artinya antara proporsi pengeluaran konsumsi pangan dengan
konsumsi energi dan protein mempunyai hubungan yang signifikan pada
tingkat kepercayaan 95%.
Korelasi antara proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi
dan protein memiliki hubungan yang rendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel
21, dimana nilai koefisien korelasi antara proporsi pengeluaran pangan
dengan konsumsi energi sebesar -0,405, sedangkan untuk protein sebesar -
0,365. Hasil nilai yang negatif pada hubungan proporsi pengeluaran pangan
dengan konsumsi energi dan protein ini menunjukan bahwa antara variabel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
tersebut mempunyai hubungan yang berlawanan, apabila proporsi
pengeluaran pangan bertambah maka konsumsi energi dan protein akan
berkurang begitu pula sebaliknya.
Tingkat proporsi pengeluaran pangan dapat menggambarkan
kesejateraan suatu rumah tangga, dimana suatu rumah tangga memiliki
tingkat pendapatan rendah, sedangkan proporsi pengeluaran pangan tinggi hal
ini menunjukan bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut rendah.
Pendapatan rumah tangga yang rendah akan lebih memprioritaskan untuk
konsumsi pangan tanpa memperdulikan kandungan zat gizi yang terkandung
dalam makanan tersebut. Sehingga mengakibatkan konsumsi energi dan
protein mereka rendah. Lain halnya dengan kelompok dengan tingkat
pendapatan tinggi, semakin tinggi tingkat pendapatan suatu rumah tangga
maka proporsi pengeluaran pangan rendah, kondisi ini menggambarkan
kesejahteraan rumah tangga tersebut tinggi.
Hal ini sesuai dengan hukum Engel bahwa pendapatan seseorang sangat
menentukan ketahanan pangan. Menurut Engel, proporsi pengeluaran pangan
rumah tangga miskin lebih besar daripada proporsi pengeluaran pangan
rumah tangga kaya. Proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total
dapat dijadikan indikator langsung terhadap kesejahteraan rumah tangga
(Deaton dan Muelbauer, dalam Ilham dan Sinaga, 2008).
G. Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan suatu
rumah tangga. Ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu
ketersediaan, konsumsi, dan distribusi. Dalam penelitian ini ketahanan
pangan hanya dilihat melalui konsumsi pangan, terutama pada konsumsi
energi. Konsumsi pangan merupakan gambaran dari aspek ketersediaan dan
kemampuan keluarga tersebut untuk membeli dan memperoleh pangan,
sehingga konsumsi pangan merupakan variabel yang mudah digunakan
sebagai indikator ketahanan pangan. selain konsumsi pangan berupa energi,
variabel lain yang diamati untuk dijadikan indikator ketahanan pangan suatu
rumah tangga adalah proporsi pengeluaran untuk pangan. Berikut merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
data mengenai kategori ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten
Sukoharjo.
Tabel 25. Jumlah Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo Menurut Kategori Ketahanan Pangan
Kategori Ketahanan Pangan Proporsi
Pengeluaran Pangan (%)
Tingkat Konsumsi Energi (%)
Jumlah RT (%)
Tahan Pangan, jika proporsi pengeluaran pangan <60%, konsumsi energi cukup (>80% kecukupan energi)
0
0 0 0
Rentan Pangan, jika proporsi pengeluaran pangan ≥60%, konsumsi energi cukup (>80% kecukupan energi)
77,98 93,98 6 20
Kurang Pangan, jika proporsi pengeluaran pangan <60%, konsumsi energi kurang (≤80% kecukupan energi)
0 0 0 0
Rawan Pangan, jika proporsi pengeluaran pangan ≥60%, konsumsi energi kurang (≤80% kecukupan energi)
76,06 65,33 24 80
Jumlah 30 100
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 7 dan 8)
Pada umumnya, rumah tangga yang dikategorikan miskin adalah rumah
tangga yang rawan pangan atau tidak tahan pangan. Berdasarkan tabel di atas
sejumlah 30 responden, tidak ada rumah tangga yang termasuk dalam rumah
tangga tahan pangan dan kurang pangan. Hal ini disebabkan karena sebagian
besar pendapatan yang diperoleh rumah tangga responden digunakan untuk
memenuhi kebutuhan berupa kebutuhan pangan. Rata-rata rumah tangga
responden masuk dalam kategori rumah tangga rawan pangan, yakni sebesar
80,00% atau setara dengan jumlah sebanyak 24 rumah tangga. Sisanya
sejumlah enam rumah tangga responden atau sebesar 20% masuk dalam
kategori rentan pangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Status rumah tangga yang termasuk dalam kategori rawan pangan
memiliki proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah
tangga sebesar 76,06% dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) sebesar
65,33%. Tingkat proporsi pengeluaran pangan yang melebihi batas nilai
indikator ketahanan pangan rumah tangga yaitu sebesar lebih dari sama
dengan 60% menunjukan bahwa kesejahteraan rumah tangga tersebut rendah
karena sebagian besar pendapatan yang mereka peroleh, mereka gunakan
untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sedangkan untuk konsumsi energi yang
mereka peroleh berada dibawah batas kecukupan sesuai indikator ketahanan
pangan yakni sebesar kurang dari sama dengan 80%.
Sebanyak enam rumah tangga atau sebesar 20% keseluruhan responden
termasuk dalam rumah tangga rentan pangan, yang memiliki proporsi
pengeluaran pangan sebesar 77,98% dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
sebesar 93,98%. Dikatakan rentan pangan karena rumah tangga tersebut
memiliki pengeluaran pangan melebihi batas indikator ketahanan pangan
rumah tangga yakni sebesar lebih dari sama dengan 60% dari pengeluaran
total. Sedangkan untuk konsumsi energi telah mencapai lebih dari 80% dari
kecukupan gizi. Nilai ini telah memenuhi kecukupan gizi yang dianjurkan.
Terpenuhinya konsumsi gizi sesuai dengan angka kecukupan gizi yang
dianjurkan disebabkan karena ragam pangan yang dikonsumsi berasal dari
jenis pangan sumber energi yang terjangkau untuk dikonsumsi responden,
sehingga kebutuhan energi rumah tangga responden melebihi dari angka
kecukupan yang dianjurkan.
Kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin yang rata-rata masuk
dalam kategori rawan pangan sangat dipengaruhi oleh pendapatan suatu
rumah tangga itu sendiri. Hal ini sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas
makanan yang dikonsumsi. Rendahnya pendapatan yang mereka peroleh
maka akan menyebabkan rumah tangga tersebut lebih mengutamakan
kuantitas suatu makanan di banding dengan kualitas, sehingga akan
mempengaruhi konsumsi gizi, dan akhirnya akan berpengaruh pada
produktivitas mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Analisis Ketahanan Pangan
Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo, maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Besarnya rata-rata proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total
pengeluaran adalah 75,77%, artinya sebagian besar pengeluaran konsumsi
rumah tangga miskin di beratkan pada konsumsi pangan.
2. Rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga miskin di Kabupaten
Sukoharjo adalah 1.459,33 kkal/orang/hari dan 50,22 gram/orang/hari dan
masih berada di bawah dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang
dianjurkan. Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) sebesar 69,17% dan
termasuk kategori defisit, sedangkan Tingkat Konsumsi Protein (TKP)
sebesar 92,02% dan termasuk kategori sedang.
3. Proporsi pengeluaran konsumsi pangan dengan konsumsi energi dan
protein mempunyai hubungan yang signifikan. Nilai koefisien korelasi
untuk proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi dan protein
adalah -0,405 dan -0,365. Nilai koefisen korelasi bernilai negatif
menunjukkan bahwa hubungan antara proporsi pengeluaran konsumsi
pangan dengan konsumsi energi dan protein adalah berlawanan, artinya
proporsi pengeluaran konsumsi pangan tinggi, maka konsumsi energi dan
proteinnya rendah.
4. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo
adalah rumah tangga kategori rawan pangan sebesar 80% dan sisanya 20%
termasuk dalam kategori rentan pangan.
69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo, maka
saran yang dapat peneliti sampaikan adalah :
1. Sebagian besar rumah tangga miskin masuk dalam kategori rumah tangga
rawan pangan, hal ini disebabkan karena faktor tingkat pendapatan
mereka yang rendah serta pendapatan yang tidak kontinyu tiap bulannya,
sehingga diperlukan adanya bantuan dari berbagai pihak terutama
pemerintah untuk peningkatan pendapatan, baik dengan pelatihan
ataupun pemberian keterampilan, karena banyak diantaranya kepala
keluarga rumah tangga miskin berpencahariaan sebagai buruh, sehingga
pendapatan yang diterima tidak tetap tiap bulannya hanya tergantung dari
ada atau tidaknya pekerjaan yang ada.
2. Dilihat dari tingkat rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga
miskin yang masih berada dibawah angka kecukupan gizi, maka
diperlukan pengeanekaragaman konsumsi pangan agar kebutuhan energi
dan protein tercukupi, misalnya rumah tangga dapat
menganekaragamkan konsumsi pangan yang dapat menambah konsumsi
energi maupun konsumsi protein untuk mencapai kebutuhan energi dan
protein yang dianjurkan seperti umbi-umbian sebagai pangan sumber
energi di samping beras.
3. Selain itu juga pengetahuan mengenai pangan dan kandungan gizi, hal ini
dapat dilakukan penyuluhan untuk menambah pengetahuan anggota
rumah tangga mengenai gizi, yang diharapkan dapat mampu
memperbaiki pola pangan yang dibutuhkan dari sisi kuantitas maupun
kualitas.