ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGGUNAAN SEMPADAN … Juanda... · Sempadan Jalan di...
Transcript of ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGGUNAAN SEMPADAN … Juanda... · Sempadan Jalan di...
ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
PENGGUNAAN SEMPADAN JALAN DI WILAYAH
GUNUNG GERUTEE DALAM PERSPEKTIF
HAQ AL-MURUR
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
WAHYU JUANDA NIM. 150102165
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prodi Hukum Ekonomi Syariah
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM BANDA ACEH
2020 M/1441 H
WAHYU JUANDA NIM. 150102165
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prodi Hukum Ekonomi Syariah
v
ABSTRAK
Nama : Wahyu Juanda/150102165
Fakultas/Prodi : Syariah dan Hukum/ Hukum Ekonomi Syariah
Judul Skripsi : Analisis Kebijakan Pemerintah terhadap Penggunaan
Sempadan Jalan di Wilayah Gunung Gerutee dalam
Perspektif Haq Al-Murur
Tanggal Sidang : 23 Januari 2020
Tebal Skripsi : 71 halaman
Pembimbing I : Dr. Hj. Soraya Devy, M.Ag
Pembimbing II
Kata Kunci
: Gamal Achyar, Lc., MA
: Kebijakan, Sempadan Jalan, Haq Al-Murur
Jalan Gunung Gerutee merupakan jalan nasional penghubung antar
kabupaten/kota di Aceh, sehingga banyak pengendara yang melintas di wilayah
tersebut. Namun di sisi lain puncak Gunung Gerutee juga telah dijadikan sebagai
salah satu kawasan wisata di Aceh dengan banyaknya warung-warung kecil agar
pengunjung dapat menikmati pemandangan dari atas gunung. Sehingga sebagian
sempadan jalan di pergunakan sebagai area parkir, sehingga menyebabkan
beberapa permasalahan. Dari permasalahan tersebut penulis mengkaji beberapa
rumusan masalah sebagai berikut pengaruh penggunaan sempadan jalan terhadap
lalu lintas di kawasan Gunung Gerutee, upaya yang dilakukan Dinas Perhubungan
terhadap penyempitan ruas jalan di sebabkan penggunaan sempadan jalan oleh
pedagang serta tinjauan konsep haq al-murur terhadap penggunaan sempadan
jalan oleh masyarakat di kawasan Gunung Gerutee. Untuk memperoleh data
penelitian digunakan metode penelitian yang berbentuk penelitian empirik dan
penelitian kepustakaan, jenis penelitian deskriptif analisis. Teknik pengumpulan
data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa pengaruh penggunaan sempadan terhadap lalu lintas di kawasan Gunung
Gerutee sangat mengganggu keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan di
kawasan tersebut. Karena perlintasan tersebut merupakan jalan nasional yang
menghubungkan antara Banda Aceh dengan arah Barat Selatan Aceh, yang mana
kondisi jalan tergolong sempit. Kebijakan yang dilakukan Dinas Perhubungan
dalam menjaga keselamatan pengendara di kawasan gunung Gerutee diantaranya
menyediakan alat keselamatan lalu lintas, membuat kebijakan berupa produk
hukum dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat umum tentang tertib
berlalu lintas dengan mematuhi rambu-rambu yang ada. Berdasarkan konsep haq
al-murur penggunaan sempadan jalan umum harus memperhatikan dua hal yaitu
tidak mengganggu dan merugikan orang lain dan mengantongi izin dari
pemerintah yang berwenang. Penggunaan sempadan jalan untuk parkir jelas
mengganggu kenyamanan pengguna jalan serta memberikan dampak negatif bagi
arus lalu lintas. Mengenai perizinan, pemilik café-café tidak memiliki izin resmi
dari pemerintah terkait.
vi
KATA PENGANTAR
ه الرحمن الرحيم بسم الل
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat dan karunia-
Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam kepada
junjungan umat, Nabi Muhammad SAW. yang telah merubah peradaban
sehingga dipenuhi dengan ilmu pengetahuan.
Alhamdulillah dengan rahmat dan hidayah-Nya, proses penulisan skripsi
dengan judul “Analisis Kebijakan Pemerintah terhadap Penggunaan
Sempadan Jalan di Wilayah Gunung Gerutee dalam Perspektif Haq Al-
Murur” dapat penulis selesaikan dengan baik guna memenuhi dan melengkapi
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) pada prodi Hukum
Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Darussalam
Banda Aceh.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan
hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.
Hj. Soraya Devy, M.Ag., selaku pembimbing I dan Bapak Gamal Achyar,
Lc.MA., selaku pembimbing II, yang telah banyak memberikan bimbingan,
bantuan, masukan, pengarahan dan waktu yang tak terhingga dari sejak awal
penulisan karya ini sampai dengan selesai. Terima kasih sebesar-besarnya juga
penulis ucapkan untuk dosen Metodologi Penelitian Hukum sekaligus
konsultan proposal saya yang telah banyak membimbing saya, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi saya dengan baik. Terima kasih penulis ucapkan kepada
Bapak Muhammad Siddiq, MH.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum beserta stafnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Arifin
Abdullah, S.HI., M.H, selaku ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah beserta
stafnya yang telah banyak memberi masukan dan bantuan dalam pengurusan
dokumen pelengkap yang berhubungan sengan skripsi ini.
vii
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Burhanuddin Abd. Gani,
M.A., selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberi nasehat dan
dukungan kepada penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua dosen
dan asisten yang mengajar dan membekali penulis dengan ilmu sejak semester
pertama hingga akhir.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan tak terhingga kepada
kedua sosok ayah saya ayahanda Alm Syarifuddin dan Kadir serta Ibunda
Fatimah yang telah bersusah payah membesarkan penulis serta tak pernah putus
memberikan kasih sayang dan dukungannya, baik secara materi maupun doa.
Penulis berharap dapat menjadi kebanggaan bagi kedua orang tua dunia akhirat.
Dan untuk adik-adik tercinta Sara Wahyuni, Aulia Juanda, M. Khadafi, Zaki
Mubarak yang telah memberikan motivasi, doa dan semangat dalam
mengerjakan skripsi ini. Terima kasih juga kepada Bunda Mariah yang selalu
memberi semangat dan doa. Serta untuk seluruh keluarga besar lainnya yang
juga memotivasi penulis dan memberikan dukungan baik moril maupun materil
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Terima kasih kepada kepala
perpustakaan UIN Ar-Raniry beserta seluruh stafnya dan kepada Kepala
Perpustakaan Wilayah beserta seluruh stafnya yang telah melayani pinjaman
buku-buku yang menjadi bahan rujukan dalam penulisan skripsi.
Terima kasih kepada Bupati Kabupaten Aceh Jaya dan staf terkait,
kepala Dinas Perhubungan Aceh dan staf-staf, serta kepala Dinas PUPR Aceh
dan staf-staf yang telah membantu dalam pengumpulan data yang diperlukan
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan maksimal.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat HES
leting 2015 yang telah bersama-sama berjuang. Terima kasih kepada sahabat-
sahabat kumpul bersama yang bernama semprol yang menjadi penyemangat,
yang selalu jadi teman yang menyenangkan, memotivasi, dan tak pernah henti
viii
mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi penulis. Dan untuk sahabat
dekat satu Unit sejak Semester I hingga sekarang Nur Akmal yang telah
menjadi penyemangat dan banyak memberikan bantuan kepada penulis di saat
penulis mengalami kesulitan. Selain itu terima kasih kepada Diky Arif
Munandar, Azdhasir, dan teman-teman lain yang tak bisa penulis ucapkan satu
persatu.
Penulis menyadari akan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki
sehingga membuat skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu,
kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis juga menyerahkan diri sepenuhnya
kepada Allah SWT, semoga amal kebaikan yang telah diberikan semua pihak
mendapat balasan dari Allah SWT. serta karunia-Nya kepada kita semua.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pembaca,
Aamiin Ya Rabbal ‘alamin.
Penulis,
Wahyu juanda
Banda Aceh, 23 Januari 2020
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
m r ahun Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
No Arab Latin Ket No Arab Latin Ket
ا 1
Tidak
dilambang
kan
ṭ ط 16
t dengan
titik di
bawanya
B ب 2
ẓ ظ 17
z dengan
titik di
bawahnya
ع T 18 ت 3
ṡ ث 4
s dengan titik
di
atasnya
G غ 19
F ف J 20 ج 5
ḣ ح 6h dengan titik
di bawahnya Q ق 21
K ك Kh 22 خ 7
L ل D 23 د 8
z˙ ذ 9
z dengan titik
di
atasnya
M م 24
N ن R 25 ر 10
W و Z 26 ز 11
x
H ه S 27 س 12
᾿ ء Sy 28 ش 13
ṣ ص 14s dengan titik
di bawahnya Y ي 29
ḍ ض 15
d dengan
titik
di bawahnya
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal dan vokal rangkap.
a. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin
Fathah A
Kasrah I
Dammah U
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Tanda dan Huruf Nama Gabungan
Huruf
Fathah dan ya Ai ي
Fathah dan wau Au و
Contoh:
xi
كیف : kaifa ھول : haula
3. Maddah
Maddah atau vocal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda
ي/ا Fatahah dan alif
atau ya Ā
Kasrah Ī
Dammah dan waw Ū ، و
Contoh:
ramā : رمى qāla : قال
yaqūlu : يقول qīla: قيل
4. Ta Marbutah (ة)
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua:
a.Ta marbutah (ة) hidup
Ta marbutah (ة) yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan
dammah, transliterasinya adalah t.
b. Ta marbutah (ة) mati
Ta marbutah (ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah h.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbutah ( ة) diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu
terpisah maka ta marbutah (ة) itu ditransliterasikan dengan h.
xii
Contoh:
rauḍah al-aṭfāl/rauḍatul aṭfāl : روضة الاطفال
al-Madīnah al-Munawwarah/ al-Madīnatul : المدينة المنورة
Munawwarah
Ṭalḥah : طلحة
Catatan:
Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa
transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya
ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Hamad Ibn Sulaiman.
2. Nama Negara dan kota ditulis menurut ejaan bahasa Indonesia, seperti
Mesir, bukan Misr, Beirut, bukan Bayrut, dan sebagainya.
3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus bahasa Indonesia
tidak ditransliterasikan. Contoh: Tasauf, bukan Tasawuf.
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Surat Keterangan Pembimbing Skripsi
Lampiran 2: Surat Permohonan Memberi Data
Lampiran 3: Lembar Kontrol Bimbingan
Lampiran 4: Daftar Riwayat Hidup
xiv
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
PENGESAHAN PEMBIMBING
PENGESAHAN SIDANG
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
TRANSLITERASI ........................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiv
BAB SATU : PENDAHULUAN ............................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 7
D. Penjelasan Istilah .................................................................. 8
E. Kajian Pustaka ...................................................................... 10
F. Metode Penelitian ................................................................. 13
G. Sistematika Pembahasan ....................................................... 17
BAB DUA : TEORI HAQ AL-MURUR DALAM ISLAM DAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH A. Konsep Haq Al-Murur dalam Islam ....................................... 19
1 Pengertian Haq Al-Murur dan Landasan Hukumnya ........ 19
2 Syarat dan Hukum Pemanfaatan Haq Al-Murur
dalam Perspektif Hukum Islam ................................. 27
3 Pendapat Fuqaha tentang Bentuk-Bentuk
Implementasi Haq Al-Murur ..................................... 31
4 Pelanggaran pada Penyimpangan Penggunaan Haq
Al-Murur ..................................................................... 34
B. Kebijakan Pemerintah Mengenai Penggunaan
sempadan jalan ............................................................... 38
1 Ruang Lingkup Kebijakan Pemerintah ..................... 38
2 Kebijakan Pemerintah tentang Penggunaan
Sempadan Jalan ......................................................... 40
BAB TIGA : ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH
TERHADAP PENGGUNAAN SEMPADAN JALAN
DI WILAYAH GUNUNG GERUTEE DALAM
PERSPEKTIF HAQ AL-MURUR .................................... 45
A. Gambaran Umum Kawasan Wisata Gunung Gerutee
Kabupaten Aceh Jaya ..................................................... 45
xv
B. Pengaruh Penggunaan Sempadan Jalan Terhadap Lalu
Lintas di Kawasan Gunung Gerutee ............................... 48
C. Kebijakan yang Dilakukan Dinas Perhubungan
Terhadap Penyempitan Ruas Jalan di Kawasan Gunung
Gerutee ........................................................................... 54
D. Tinjauan Konsep Haq Al-Murur terhadap Penggunaan
Sempadan Jalan oleh Masyarakat di Kawasan Gunung
Gerutee ........................................................................... 60
BAB EMPAT : PENUTUP .......................................................................... 67
A. Kesimpulan ......................................................................... 67
B. Saran ................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 70
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB SATU
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam
mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari
sistem transportasi nasional, lalu lintas dan angkutan jalan dikembangkan
potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban
lalu lintas dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah serta akuntabilitas
penyelenggaraan negara.
Peraturan lalu lintas jalan raya serupa dengan peraturan lalu lintas
kehidupan. Kenyataan bahwa lampu merah bukan menghambat kelancaran lalu
lintas, namun justru memperlancarnya. Sebagai seorang muslim, diwajibkan
mengindahkan peraturan lalu lintas, agar menjadi maslahah dengan berusaha
menjaga keselamatan nyawa diri sendiri dan orang lain.
Lalu lintas menurut Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009
didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas.
Sedangkan ruang lalu lintas adalah prasarana yang diperuntukan bagi gerak
pindah kendaraan, orang, atau barang yang berupa jalan dan fasilitas
pendukung.1 Tujuan utama peraturan lalu lintas dibuat untuk mempertinggi
mutu kelancaran dan keamanan dari semua lalu lintas di jalan-jalan.
Selain itu pengaturan lalu lintas yang baik juga bertujuan agar fungsi dari
fasilitas lalu lintas itu sendiri dapat digunakan dengan efektif. Salah satu fasilitas
lalu lintas yang sangat sering digunakan oleh masyarakat yaitu jalan. Jalan
adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya
1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan
Angkutan Jalan, Pasal 1, Ayat 11.
2
yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah,
di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.2
Untuk tetap menjaga ketertiban lalu lintas diperlukannya pengawasan
yang baik dan terarah, baik oleh petugas yang berwenang maupun kalangan
masyarakat itu sendiri. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dapat
berupa penyediaan fasilitas lalu lintas seperti traffic light, garis-garis jalan,
rambu lalu lintas, trotoar bagi pejalan kaki dan lain sebagainya. Masyarakat pun
dapat ikut berpartisipasi dalam pengawasan lalu lintas dengan menggunakan
fasilitas yang telah disediakan sebagaimana mestinya. Seperti menggunakan
trotoar untuk berjalan kaki, mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan sebagainya.
Namun, permasalahan yang terjadi sekarang ini sebagian masyarakat tidak dapat
menggunakan fasilitas lalu lintas yang tersedia atau telah disediakan oleh
pemerintah yang semestinya karena di sebabkan beberapa faktor, salah satunya
disebabkan oleh peralihan fungsi badan jalan baik dengan disengaja maupun
karena alasan tertentu yang bersifat isidentil dan kondisional sehingga ruas
badan jalan menjadi sempit, bahkan di beberapa titik tertentu lalu lintas terjadi
kemacetan.
Semakin maraknya tingkat kebutuhan masyarakat terhadap tempat
wisata membuat tingginya inisiatif kalangan tertentu membuat tempat wisata
yang menarik dengan fasilitas yang mendukung, misalnya wisata laut dengan
memberikan fasilitas lengkap, seperti penginapan, parkir yang luas, keamanan
yang baik dan sebagainya. Namun adapula kawasan wisata yang tidak
sepenuhnya memberikan fasilitas yang diperlukan, misalnya kawasan wisata
puncak Gunung dengan pemandangan laut yang indah tetapi tidak menyediakan
tempat parkir yang cukup luas. Selain semrautnya parkir pengunjung kawasan
wisata tersebut, badan jalan yang sempit juga membuat kawasan tersebut rawan
2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan
Angkutan Jalan, Pasal 1, Ayat 12.
3
terjadi kemacetan, apabila pada hari-hari libur atau akhir pekan. Hal tersebut
menyebabkan pengunjung memarkirkan kendaraannya di badan jalan, sehingga
dapat mengganggu kenyamanan pengguna jalan lain.
Dalam Islam telah diatur mengenai konsep penggunaan jalan untuk
tetap menjaga kemaslahatan umat. Setiap pengguna jalan mempunyai hak
melintasi jalan, walaupun jalan tersebut merupakan bagian dari tanah milik
orang lain. Penggunaan badan jalan dalam Islam terdapat dalam konsep haqq
al-murur, yaitu suatu hak yang diberikan kepada pemilik tanah atau rumah
yang ada disebelah dalam bentuk lewat di jalan umum atau jalan pekarangan
milik orang lain.3
Jika jalan umum yang dilalui itu jalan raya maka semua orang boleh
melewati jalan itu, berjualan di pinggir jalan tersebut, memarkir kendaraannya
di pinggir jalan itu; dengan syarat tidak memberi mudharat kepada orang lain
dan mendapat izin dari pemerintah. Apabila tindakan seseorang dalam
memanfaatkan hak ini memberi mudharat kepada orang lain, seperti jalan
menjadi sempit, maka perbuatan orang itu harus dilarang. 4
Semua orang berhak untuk melewati jalan tersebut tanpa izin orang lain,
dengan ketentuan jangan sampai merugikan pihak-pihak lain. Seperti
membangun suatu bangunan di jalan umum atau mengambil bagian dari badan
jalan untuk ditambahkan ke tempat miliknya yang bisa menutupi badan jalan.
Bagi mereka yang rumahnya menghadap jalan umum dibolehkan untuk
membuat pintu/jendela yang menghadap ke arah jalan tersebut. Akan tetapi,
tidak dibolehkan membuat kios atau tempat berjualan di pinggir jalan umum
tersebut, apabila itu mengganggu orang-orang yang lewat.5 Akan tetapi jika
tidak membawa mudharat kepada orang lain, menurut Imam Abu Hanifah, harus
mendapat izin dari pemerintah dalam pemanfaatan jalan raya itu, misalnya untuk
3 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 86.
4 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Prtama, 2007), hlm. 21.
5 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, hlm. 88.
4
memarkir kendaraan atau berjualan di pinggir jalan itu. 6
Apabila tidak izin dari
pemerintah maka setiap orang dapat mencegahnya dan membongkar kios dan
bangunan yang ada di jalan tersebut.7
Ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad
Ibn al-Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa dalam kasus seperti ini tidak
diperlukan minta izin kepada pemerintah. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa
jika pemanfaatan itu bersifat memiliki tidak boleh, seperti berdagang di sisi
jalan secara permanen. Berbeda dengan tempat parkir kendaraan, karena
kendaraan itu tidak selamanya menempati jalan itu, maka tidak dinamakan
memiliki. Oleh sebab itu, untuk parkir kendaraan, menurut Malikiyah, yang
penting diperhatikan adalah tidak membawa mudharat kepada orang lain, tidak
menyempitkan jalan, dan tidak merusak jalan raya itu. 8
Sedangkan jalan khusus, yakni jalan yang dimiliki oleh kelompok
tertentu maka pemanfaatan jalan tersebut hanya kepentingan kelompok tersebut,
sedangkan orang lain tidak diperbolehkan memanfaatkannya kecuali atas izin
mereka. Dalam Pasal 1219 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam
disebutkan: Orang yang tidak memiliki hak atas jalan pada jalan khusus tidak
boleh membuat pintu baru yang terbuka ke jalan khusus itu (lihat Pasal 96).9
Meskipun demikian, dalam kondisi jalan umum yang penuh dan berdesak-
desakan, orang-orang berhak untuk lewat melalui jalan khusus tersebut,
sehingga pemilik jalan khusus tidak dibolehkan menutup jalan tersebut.10
Selain konsep haq al-murur, pengaturan mengenai hak atas jalan juga
diatur dalam konsep milk al-daulah. Menurut Ahmad bin Hanbal tanah negara
adalah tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang secara personal, karena tanah
tersebut harus dikuasai oleh negara dan pemanfaatannya dilakukan untuk
6 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, hlm. 21.
7 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, hlm. 88.
8 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, hlm. 21.
9 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat ..., hlm. 89.
10 Ibid, hlm. 89.
5
kemaslahatan umum dan tidak boleh dijadikan tanah mati. 11
Harta milik negara
tersebut ditujukan untuk kepentingan orang banyak yang diatur dengan
perundang-undangan. Masyarakat yang memanfaatkan harta tersebut tidak boleh
merusak harta itu, berlaku sewenang-wenang dengan melanggar hak orang lain,
dan tidak boleh menjadikannya milik pribadi dengan melarang orang lain untuk
memanfaatkannya. 12
Penggunaan badan jalan untuk parkir bahkan berjualan dapat ditemui di
mana saja. Terutama di tempat-tempat strategis yang memungkinkan banyaknya
pengguna jalan melewati jalan tersebut. Sehingga banyak penjual yang berjualan
di tempat tersebut dan banyak pula yang memarkirkan kendaraannya. Apalagi di
tempat-tempat destinasi wisata yang selalu dikunjungi banyak wisatawan. Salah
satunya perlintasan di kawasan Gunung Gerutee yang terdapat di kabupaten
Aceh Jaya. Perlintasan tersebut banyak dilewati oleh masyarakat yang berasal
dari Kota Banda Aceh maupun dari arah Barat Selatan Aceh.
Perlintasan di kawasan Gunung Gerutee pada dasarnya bukanlah tempat
titik kumpul sebagai destinasi, akan tetapi kenyataannya sekarang perlintasan
tersebut mempunyai dua tujuan. Pertama, ada yang menjadikan wilayah
Gunung Gerutee sebagai perlintasan dan kedua, ada yang menjadikan sebagai
tempat destinasi wisata. Dan yang menjadikan Gunung Gerutee sebagai lintasan
dapat dibedakan menjadi dua tujuan, yaitu: pertama, sebagai perlintasan murni
yang hanya dilewati untuk sampai ke tujuan; dan kedua, sebagai rest area yaitu
menjadikan Gunung Gerutee sabagai tempat beristirahat. Sebagai contoh, para
pengguna jalan dari Aceh Barat, Nagan Raya atau sebaliknya yang sebagian dari
mereka menjadikan Gunung Gerutee sebagai tempat beristirahat. 13
11
Mahli Ismail, Fikih Hak Milik Atas Tanah Negara, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,
2013), hlm. 37. 12
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, hlm. 79. 13
Hasil wawancara dengan Alibasyah, Geuchik desa Babah Ie, pada tanggal 15 Maret
2019, di Jaya.
6
Akibat dari kedua perilaku pengguna jalan pada penggolongan pertama
yang menjadikan Gunung Gerutee sebagai destinasi dan penggolongan kedua
yang menjadikan Gunung Gerutee sebagai rest area tersebut mengakibatkan
ketidaknyamanan pengguna jalan lain yang melintasi kawasan tersebut.
Penggunaan jalan yang seharusnya sebagai perlintasan berubah fungsi
disebabkan oleh perilaku dari sebagian pengguna jalan. Hal inilah yang
seharusnya diatur lebih lanjut oleh pemerintah untuk meluruskan fungsinya
kembali pada fungsi dasar dari lintasan tersebut, karena jalan dibuat dan
digunakan untuk lalu lintas. Apabila ada yang menjadikannya sebagai rest area,
seharusnya tidak sampai menimbulkan ketidaknyamanan terhadap pengguna
jalan yang dapat menyebabkan resiko dan dapat membahayakan pengguna jalan
lain yang sedang melintas.14
Selain itu badan jalan di kawasan tersebut juga digunakan untuk parkir
oleh kedua perilaku tersebut sehingga mengakibatkan ketidaknyamanan para
pengguna jalan yang lainnya dikarenakan struktur jalan juga tergolong sangat
sempit.15
Fenomena ini sungguh sangat memudharatkan pengguna jalan,
padahal dalam konsep haqq al-murur diperbolehkan memarkirkan kendaraan
maupun berjualan di badan jalan selama hal tersebut tidak menggangu
kenyamanan pengguna jalan. Apabila hal tersebut dapat mengganggu pengguna
jalan, maka penjual tersebut harus memiliki izin dari pemerintah setempat yang
berwenang.
Selain itu Gunung gerutee juga sangat berbahaya bagi para pengguna
jalan ketika musim hujan, karena sering terjadinya longsor yang dapat menutup
badan jalan. Hal tersebut menimbulkan resiko terhadap pengguna jalan dan
mengakibatkan terjadi kemacetan. Selain itu kondisi jalan yang licin, lintasan
jalan yang sempit dapat berpotensi terjadinya kecelakaan. Bahkan pernah hancur
beberapa warung kecil yang disebabkan oleh hujan karena struktur tanah di
14
Hasil Observasi di Kawasan Gunung Gerutee, pada tanggal 15 Februari 2019. 15
Hasil Wawancara dengan Ismail, Pengendara yang Sering Melintas Kawasan Gunung
Gerutee, pada tanggal 15 Februari 2019.
7
Gunung gerutee tergolong labil. Dan juga ada beberapa pembangunan warung-
warung kecil di kawasan tersebut menggunakan badan jalan, hal inilah yang
seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk meluruskan kestabilan di
perlintasan Gunung gerutee. 16
Oleh sebab itu, penulis tertarik ingin meneliti permasalahan tersebut
sehingga didapatkan solusi yang dapat membantu. Judul yang penulis angkat
untuk proposal ini “Analisis Kebijakan Pemerintah Terhadap Penggunaan
Sempadan Jalan Di Wilayah Gunung Gerutee Dalam Perspektif Haq Al-
Murur”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
penulis memformat rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh penggunaan sempadan jalan terhadap lalu lintas di
kawasan Gunung Gerutee?
2. Bagaimana kebijakan yang dilakukan Dinas Perhubungan terhadap
penyempitan ruas jalan di sebabkan penggunaan sempadan jalan oleh
pedagang?
3. Bagaimana tinjauan konsep haq al-murur terhadap penggunaan sempadan
jalan oleh masyarakat di kawasan Gunung Gerutee?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas maka format dari tujuan penelitian
yang penulis formulasikan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan sempadan jalan terhadap lalu
lintas di kawasan Gunung Gerutee.
16
Hasil Wawancara dengan Ismail, Pengendara yang Sering Melintas Kawasan Gunung
Gerutee, pada tanggal 21 Maret 2019.
8
2. Untuk mengetahui kebijakan yang dilakukan Dinas Perhubungan terhadap
penyempitan ruas jalan di sebabkan penggunaan sempadan jalan oleh
pedagang.
3. Untuk mengetahui tinjauan konsep haq al-murur terhadap penggunaan
sempadan jalan oleh masyarakat di kawasan Gunung Gerutee.
D. Penjelasan Istilah
Untuk memudahkan dalam memahami proposal skripsi ini, maka penulis
terlebih dahulu menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul proposal
skripsi penulis, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam makna yang
saling bertentangan. Setiap kata dan frase yang terdapat dalam judul karya
ilmiah ini, perlu kiranya diberikan penjelasan istilah terlebih dahulu. Adapun
istilah-istilah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut:
1. Analisis
Menurut KKBI, analisis adalah penyelidikan terhadap suatu
peristiwa (karangan peristiwa) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya
(sebab-musabab, duduk perkaranya).17
2. Kebijakan
Menurut KBBI, kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak (tata pemerintahan, organisasi);
pernyatan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman
untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan. 18
Arti lain dari kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat
umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat atau keputusan yang
17
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 58. 18
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, hlm. 190.
9
bersifat kusuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu.19
Ini sejalan
dengan pengertian publik itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti
pemerintah, masyarakat atau umum.
3. Pemerintah
Menurut KBBI, pemerintah adalah sistem menjalankan wewenang
dan kekuasan yang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu
negara atau bagian-bagiannya. Pemerintah juga dapat diartikan sekelompok
orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk
menggunakan kekuasaan.20
4. Sempadan Jalan
Sempadan jalan terdiri dari dua kata yaitu sempadan dan jalan. Menurut
KBBI, sempadan adalah batas (negeri, daerah, sawah, dsb) atau juga diartikan
tanda batas seperti pancang atau garis. 21
Sedangkan jalan menurut KBBI, jalan
adalah tempat untuk lalu lintas orang (kendaraan), perlintasan (dari suatu tempat
ke tempat yang lain), yang dilaluiatau dipakai untuk keluar masuk. 22
5. Haq Al-Murur
Menurut Wahbah az-Zuhaili, haq al-murur yaitu hak pemilik tanah yang
terletak di bagian dalam untuk sampai ke tanahnya itu melalui sebuah jalan yang
ia lalui, baik apabila jalan tersebut adalah jalan umum yang tidak menjadi milik
siapa pun, maupun jalan khusus milik orang lain (lorong).23
Sedangkan menurur
Yusuf Musa, haq al-murur adalah suatu hak untuk sampainya seseorang kepada
hak miliknya, baik rumah maupun tanah, dengan jalan yang melewati hak milik
orang lain, baik jalan tersebut milik orang lain tersebut atau milik berdua
bersama-sama, maupun jalan umum.24
19
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm.47. 20
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, hlm. 1057 21
Ibid., hlm. 1264. 22
Ibid., hlm. 558. 23
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam 6, (Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), Jakarta:
Gema Insani, 2011), hlm 458. 24
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah …, hlm 88.
10
E. Kajian Pustaka
Menurut penelusuran yang penulis lakukan, pembahasan mengenai haq
al-murur telah diteliti oleh beberapa mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum,
khususnya mahasiswa UIN Ar-Raniry. Namun belum terdapat penelitian yang
serupa seperti:
Pertama, diantara karya tulis mengenai haq al-murur yaitu karya ilmiah
yang ditulis oleh Cut Maisuri Diwa, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
dengan judul “Pengawasan Pemerintah Kota Banda Aceh Terhadap Penggunaan
Badan Jalan Oleh Pedagang Kaki Lima di Darussalam Dalam Perspektif Haq
Al-Murur”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan Pemerintah Kota
Banda Aceh telah memberlakukan peraturan sesuai dengan Qanun Nomor 07
Tahun 2007 Tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Apabila
dilihat dari kaca mata Haq Al-Murur bahwa pedagang kaki lima dapat
menimbulkan gangguan bagi pengguna jalan yang lain sehingga perlu adanya
intervensi dari pemerintah untuk melakukan pengawasan agar ruas jalan dapat
digunakan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan mudharat bagi orang
lain.25
Perbedaan penelitian yang saya lakukan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Cut Maisuri Diwa terletak pada objek penelitian, pada penelitian
ini mengkaji tentang penggunaan badan jalan oleh pedagang kaki lima
sedangkan penelitian yang saya lakukan yaitu tentang penggunaan sempadan
jalan di wilayah gunung Gerutee dalam Perspektif Haq Al-Murur oleh
masyarakat sebagai tempat parkir yang mengakibatkan terganggu kenyamanan
dan keselamatan arus lalu lintas di kawasan tersebut.
Kedua, karya ilmiah yang ditulis oleh Ikhsan MJ, mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum dengan judul “Implementasi Haq Al-Murur dalam
Pemanfaatan Mal Al-‘Uqar di Desa Tanjong Selamat Menurut Perspektif Fiqh
25
Cut Maisuri Diwa, Pengawasan Pemerintah Kota Banda Aceh terhadap Penggunaan
Badan Jalan oleh Pedagang Kaki Lima di Darussalam dalam Perspektif Konsep Haq al-Murur,
(skripsi tidak dipublikasikan), (UIN Ar-Raniry, 2016).
11
Muamalah”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam implementasi
masyarakat terhadap pemanfaatan mal al-‘uqar masih terdapat kendala karena
sebagian masyarakat belum memahami pemanfaatan hak milik pribadi tersebut
serta masyarakat belum memiliki kesadaran bahwa di dalam hartanya terdapat
hak bagi umum. Masyarakat desa Tanjong Selamat terutama yang memiliki
lahan masih keengganan memberikan tanahnya secara sukarela serta sebagian
masyarakat tidak menjualnya, sedangkan pemerintah desa tidak dapat
mengambil tanah tersebut secara paksa. Hal ini sebabkan kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap agama khususnya tentang hak-hak yang
terdapat di dalam setiap harta yang dimiliki sehingga tidak adanya sifat social di
dalam kehidupan masyarakat.26
Perbedaan penelitian yang saya lakukan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ikhsan MJ terletak pada objek penelitian, pada
penelitian ini mengkaji tentang implementasi haq al-murur dalam pemanfaatan
mal al-‘uqar sedangkan penelitian yang saya lakukan yaitu tentang penggunaan
sempadan jalan di wilayah gunung Gerutee mengggunakan konsep haq al-
murur.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Erna Wardani, mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum dengan judul “Relokasi Pedagang Kaki Lima dan
Efektifitasnya dalam Peningkatan Pemanfaatan Haq Al-Murur di Ulee Kareng
Banda Aceh Menurut Perspektif Hukum Islam “. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kebijakan relokasi pedagang kaki lima di Ulee Kareng yang di lakukan
oleh pemerintah kota Banda Aceh pengaturannya terdapat dalam qanun Kota
Banda Aceh yaitu Qanun Nomor 3 tahun 2007 tentang pengaturan dan
pembinaan PKL. Adapun cara merelokasikannya adalah pemerintah kota
melalui pihak yang berwenang memberi peringatan secara tertulis sebanyak 3
kali, lalu memberi peringatan melalui lisan juga, jika tidak dikosongkan dan
26
Ikhsan MJ, Impelentasi Haq al-Murur dalam Pemanfaatan Mal al-‘Uqar di Desa
Tanjung Slamat Menurut Perspektif Fiqh Muamalah, (skripsi tidak dipublikasikan), (UIN Ar-
Raniry, 2013).
12
dihiraukan oleh PKL maka pemerintah kota bersama dengan pihak berwenang
melakukan pembongkaran dan menggusur barang dagangan PKL. Barang yang
digusur tersebut diambil oleh pihak berwenang dan jika PKL ingin
mengambilnya kembali maka harus menandatangani surat pernyataan yang
menerangkan bahwa tidak akan berjualan lagi di tempat yang telah dilarang.
Peningkatan dan efektifitas terhadap haq al-murur setelah di relokasinya
pedagang kaki lima oleh pemerintah kota Banda Aceh yaitu terkuranginya
kemecetan, meningkatnya ketertiban social, terminimalisinya ketidaknyamanan
aktivitas di jalan raya serta memperindah tata kota.27
Perbedaan penelitian yang
saya lakukan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erna Wardani terletak pada
objek penelitian, pada penelitian ini mengkaji tentang kelokasi pedagang kaki
lima dan efektifitasnya dalam peningkatan pemanfaatan haq al-Murur di Ulee
Kareng Banda Aceh menurut perspektif hukum Islam sedangkan penelitian yang
saya lakukan yaitu tentang penggunaan sempadan jalan di wilayah gunung
Gerutee dalam perspektif haq al-murur oleh masyarakat sebagai tempat parkir
yang mengakibatkan terganggu kenyamanan dan keselamatan arus lalu lintas di
kawasan tersebut.
Keempat, karya ilmiyah yang ditulis oleh Rayyan Azmi, mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum dengan judul “Feasibilitas Penempatan Billboard
pada Wilayah Perlintasan Kota Banda Aceh Menurut Perspektif Haq Al-Murur”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengawasan Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu terhadap pemasangan reklame tidak
dilaksanakan dengan maksimal, hal ini dibuktikan masih ada pelanggaran
reklame di Kota Banda Aceh. Penyelenggara reklame masih memasang reklame
di tempat dilarang karena kurang tersedia tempat, tempat strategis untuk
promosi dan kurangnya kesadaran hukum. Upaya yang ditempuh dalam
27
Erna Wardani, Relokasi Pedagang Kaki Lima dan Efektivitasnya dalam Peningkatan
Pemanfaatan Haq al-Murur di Ulee Kareng Banda Aceh Menurut Perspektif Hukum Islam,
(skripsi tidak dipublikasikan), (UIN Ar-Raniry, 2013).
13
mengatasi pelanggaran dengan membina penyelenggara reklame, meningkatkan
pengawasan, dan mengadakan tempat reklame. Disarankan kepada Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh harus menunjuk
pegawai untuk melakukan pengawasan agar tidak terjadi pelanggaran,
menyediakan tempat untuk pemasangan reklame dan disarankan kepada
penyelenggara reklame untuk mematuhi aturan apabila melanggar dikenakan
sanksi berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 7 Tahun 2012.28
Perbedaan
penelitian yang saya lakukan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rayyan
Azmi terletak pada objek penelitian, pada penelitian ini mengkaji tentang
feasibilitas penempatan billboard pada wilayah perlintasan kota Banda Aceh
menurut perspektif haq al-murur sedangkan penelitian yang saya lakukan yaitu
tentang penggunaan sempadan jalan di wilayah gunung Gerutee dalam
perspektif haq al-Murur oleh masyarakat sebagai tempat parkir yang
mengakibatkan terganggu kenyamanan dan keselamatan arus lalu lintas di
kawasan tersebut.
Karya tersebut berbeda dengan judul yang akan penulis teliti, variabel
yang akan penulis teliti yaitu pengaruh penggunaan sempadan jalan terhadap
lalu lintas di kawasan Gunung Gerutee, upaya yang dilakukan oleh Dinas
Perhubungan wilayah setempat terhadap penyempitan ruang jalan yang
disebabkan penggunaan sempadan jalan oleh pedagang di kawasan tersebut serta
konsep haq al-murur pada penggunaan sempadan jalan oleh masyarakat di
kawasan tersebut.
F. Metode Penelitian
Sebuah penelitian pada umumnya memerlukan suatu metodologi
penelitian agar fokus terhadap objek penelitian tidak melenceng, serta langkah-
28
Rayyan Azmi, Feasibilitas Penempatan Billboard pada Wilayah Perlintasan Kota
Banda Aceh Menurut Perspektif Haq Al-Murur, (skripsi tidak dipublikasikan), (UIN Ar-Raniry,
2018).
14
langkah penelitian terstruktur untuk mencapai keabsahan data yang diperoleh.
Untuk terlaksananya suatu penelitian, tahapan ataupun langkah-langkah dalam
metode penelitian yaitu sebagai berikut.
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang menunjukkan pada diri
pemecahan yang actual dengan menyusun, menganalisis, dan
menginterpretasikan seluruh data yang berhubungan dengan
penelitian.29
Dengan jenis penelitian ini, peneliti mencoba mendeskripsikan
mengenai kebijakan pemerintah terhadap penggunaan sempadan jalan di
kawasan unung Gerutee apabila ditinjau dari konsep Haq Al-Murur.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah suatu prosedur yang sistematik
dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Untuk mempermudah
dalam mengumpulkan data penulis menggunakan metode penelitian
lapangan (Field Research) dan penelitian kepustakaan (Library Research).
a. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan merupakan suatu penyelidikan yang
dilakukan dalam kehidupan atau obyek yang sebenarnya bertujuan
untuk mendukung penulis agar dapat memperoleh dan mengumpulkan
data yang berhubungan dengan mengunjung tempat penelitian. Penulis
mencari data lapangan pada penjual di kawasan Gunung Gerutee dan
pemerintahan Kab. Aceh Jaya.
b. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini diperoleh
dengan menggunakan teknik penulisan kepustakaan, yaitu sejenis
29
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
hlm. 75.
15
penulisan yang menggunakan buku-buku bacaan sebagai dasar atau
landasan untuk mengambil data yang ada kaitannya dengan penulisan
proposal ini, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan muamalah, haq al-
murur dan bacaan bacaan lain sebagai landasan untuk mengambil data.
Penulis juga menggunakan literatur-literatur pendukung lainnya, seperti
bacaan dari media internet dan artikel-artikel yang berkaitan dengan
penulisan proposal ini, yaitu dengan menjabarkan pembahasan yang ada
dan menjelaskan secara rinci.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan prosedur yang sistematis dan
standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Data yang dikumpulkan
harus cukup valid untuk digunakan. Dalam hal yang berkaitan dengan judul
ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu:
a. Wawancara
Dalam penelitian ini, penulis mendapatkan data menggunakan
teknik wawancara yaitu, salah satu teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan berhadapan secara lansung dengan mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan kepada pihak pemberi informasi yang berperan
penting dalam bidang yang diteliti. Wawancara yang dipakai adalah
guidance interview yaitu proses tanya jawab lisan yang diarahkan pada
permasalahan yang sudah terstruktur. Artinya peneliti sudah terlebih
dahulu sudah mempersiapkan pedoman tertulis tentang permasalahan
yang akan diajukan kepada pihak pemberi informasi.30
Penulis mewawancarai beberapa responden yaitu pengguna jalan,
penjual yang berdagang di kawasan Gunung Gerutee, pihak
pemerintahan Kab. Aceh Jaya, Dinas Perhubungan Aceh serta Dinas
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Aceh. Responden dipilih
30
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi, (Jakarta: Kencana,
2013), hlm 140.
16
menggunakan teknik judgement sampling/purposive sampling. Yaitu
salah satu teknik non-probabilitas yang pemilihan sampel berdasarkan
alasan tertentu yang ditetapkan oleh peneliti.
b. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan
mempelajari catatan-catatan mengenai data pribadi responden.
Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data berupa data-data
tertulis dari pemerintahan Kab. Aceh Jaya serta dibutuhkan informasi
dari Dinas Perhubungan Aceh serta Dinas Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Aceh.
c. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
suatu pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap
keadaan atau perilaku objek sasaran.31
Pada penelitian ini penulis
melakukan observasi tentang penyelewengan penggunaan sempadan
jalan di wilayah Gunung Gerutee dari fungsi dasar sebagai fasilitas lalu
lintas menjadi tempat parkir dan berjualan.
4. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan
teknik wawancara adalah kertas, pulpen, recorder (alat perekam) untuk
mencatat serta merekam keterangan-keterangan yang disampaikan nara
sumber.
Sedangkan instrumen yang digunakan dengan menggunakan
metode dokumentasi yaitu kamera.
5. Langkah-langkah Analisis Data
Setelah penulis mendapatkan data yang diperlukan, yaitu semua data
yang diperoleh dari lapangan baik hasil wawancara dan dokumentasi
31
Abdurrahman Fathoni, Metedologi Penelitian dan Teknik Peenyusunan Skripsi,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 104.
17
maupun bentuk kajian kepustakaan akan penulis klasifikasikan dengan
mengelompokkan dan memilahnya berdasarkan tujuan masing-masing
pertanyaan agar memberikan uraian terperinci yang akan memperlihatkan
berbagai hasil temuan.
Kemudian data yang diklasifikasikan tersebut dianalisis dengan
metode deskriptif, sehingga mudah dipahami serta memperoleh validitas
yang objektif dari hasil penelitian. setelah semua data dianalisis secara
deskriptif, selanjutnya tahap akhir pengolahan data adalah penarikan
kesimpulan. Setelah semua data tersaji permasalahan yang menjadi objek
penelitian dapat dipahami dan kemudian ditarik kesimpulan yang
merupakan hasil dari penelitian ini.
Dalam penulisan proposal ini, penulis berpedoman pada buku
pedoman penulisan karya ilmiah mahasiswa yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2019.
G. Sistematika Pembahasan
Pada penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan sistematika
pembahasan guna memudahkan penelitian. Dengan demikian penulis membagi
ke dalam empat bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka,
metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab dua membahas tentang konsep haq al-murur, pengertian haq al-
murur dan landasan hukumnya, hukum pemanfaatan haq al-murur dalam
perspektif hukum Islam, pendapat fuqaha tentang bentuk-bentuk implementasi
haq al-murur, pendapat ulama tentang konsekuensi pemanfaatan haq al-murur
dalam perspektif hukum Islam, pelanggaran dalam penyimpangan penggunaan
haq al-murur.
18
Bab tiga merupakan pembahasan yang meliputi hasil penelitian yang
dilakukan oleh penulis, yaitu pengaruh penggunaan sempadan jalan terhadap
lalu lintas di kawasan Gunung Gerutee, upaya yang dilakukan oleh Dinas
Perhubungan wilayah setempat terhadap penyempitan ruang jalan yang
disebabkan penggunaan sempadan jalan oleh pedagang di kawasan tersebut serta
konsep haq al-murur pada penggunaan sempadan jalan oleh masyarakat di
kawasan tersebut.
Bab empat merupakan penutup dari keseluruhan penelitian yang berisi
kesimpulan dari pembahasan yang telah dipaparkan, serta saran-saran yang
berkenaan dengan penelitian ini yang dianggap perlu oleh penulis untuk
menyempurnakan penelitian ini.
19
BAB DUA
TEORI HAQ AL-MURUR DALAM ISLAM DAN KEBIJAKAN
PEMERINTAH
A. Konsep Haq Al-Murur dalam Islam
1. Pengertian Haq Al-Murur dan Landasan Hukumnya
Haq al-murur merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab al-haq, dan
al-murur. Kata haq juga telah diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi
kata hak. Adapun الحق berasal dari kata حق , terdiri dari 2 huruf yakni ha
dan qaf. Maknanya berkisar pada kemantapan sesuatu dan kebenarannya.
Lawan dari yang batil/lenyap adalah haq. Sesuatu yang “mantap dan tidak
berubah”, juga dinamai haq, demikian juga yang “mesti dilaksanakan” atau
“yang wajib”.
Secara etimologi kata haq berasal dari kata حق -يحق -حق yang bermakna
nyata, pasti, tetap, menetapkan, dan memastikan.1
Sedangkan menurut kamus hukum, hak adalah:
a. Sesuatu yang benar
b. Kepunyaan, milik;
c. Kewenangan;
d. Kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh
Undang-Undang atau peraturan lain;
e. Kekuasaan yang benar untuk menuntut sesuatu atau kekuasaan yang
benar atas sesuatu.2
Kata al-haq menurut istilah, Wahbah Az-Zuhaili memberi pengertian
yaitu hubungan khusus dengan orang tertentu, seperti hak penjual untuk
1 A.W. Munawwir, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka progresif, 1997), hlm. 282. 2 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 154.
20
menerima harga barang, yang khusus dimiliki olehnya (penjual), atau hak
pembeli untuk menerima barang yang telah dibelinya, yang khusus dimiliki
olehnya dan tidak dimiliki oleh orang lain.3
Kata murur berasal dari bahasa Arab yang berarti melewati atau lalu
lalang.4 Haq al-murur adalah hak pemilik tanah yang terletak dibagian
dalam untuk sampai ke tanahnya melalui sebuah jalan yang dilalui, baik
jalan itu jalan umum maupun jalan khusus milik orang lain (lorong). Untuk
jalan umum, setiap orang memiliki hak untuk mengunakan dan melewati
jalan tersebut untuk kebutuhannya. Sedangkan untuk jalan khusus, hanya
pemiliknya saja yang berhak lewat di atas jalan tersebut dan juga orang lain
yang memiliki kepentingan dengan si pemiliknya serta orang lain yang telah
diberi izin oleh si pemilik jalan. Untuk jalan khusus ini, si pemilik bebas
bertasharruf terhadap jalan yang dimilikinya. Meskipun demikian, menurut
sebagian ulama, pemilik jalan tidak boleh menutup jalan itu untuk
masyarakat yang membutuhkannya.5
Haq al-murur menurut istilah adalah “hak bagi pemilik tanah yang
lebih jauh untuk melewati tanah yang lebih dekat.”6 Sedangkan menurut
Wahbah Zuhaili, haq al-murur adalah “hak pemilik benda tetap yang
terletak di bagian dalam untuk sampai ke benda tetapnya melalui jalan yang
dilewatinya baik itu jalan umum yang tidak dimiliki oleh seseorang,
maupun jalan khusus yang dimiliki oleh orang lain.7 Sedangkan menurut
Muhammad Yusuf Musa Haq al-murur adalah “suatu hak untuk sampainya
seseorang kepada hak miliknya, baik rumah maupun tanah, dengan jalan
3 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 9.
4 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah,
2010), hlm. 415. 5 Ahmad wardi Muslich, Fiqh Muamalah,…hlm. 10.
6 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 41. 7 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 88.
21
yang melewati hak milik orang lain, baik jalan tersebut milik orang lain
tersebut atau milik berdua bersama-sama, maupun jalan umum.”8
Dua pengertian yang dipaparkan oleh kedua ulama tersebut hampir
sama, mereka memberikan pengertian khusus dari haq al-murur dimana
pada prinsipnya, pemilik tanah yang di depan tidak boleh menimbulkan
kesulitan bagi pemilik tanah yang ada dibelakangnya, untuk melewati tanah
atau pekarangan si pemilik tanah depan seperti membuat pagar atau dinding
yang tidak dilengkapi dengan pintu jalan.
Berdasarkan pemaparan pengertian oleh kedua ulama tersebut tentang
haq al-murur penulis dapat membuat pengertian secara umum bahwa haq
al-murur adalah menggunakan jalan, baik itu jalan umum yaitu jalan raya
maupun jalan milik pribadi.
Jalan umum yang dimaksud disini adalah jalan yang biasa dilalui oleh
masyarakat yang disebut jalan raya dan jalan itu berada di atas jalan milik
negara. Semua orang bebas mempergunakan asalkan tidak mengganggu
pengguna jalan lain dan merugikan negara. Sedangkan jalan khusus yang
penulis maksud dalam tulisan ini adalah jalan yang berada di atas tanah
milik seseorang (pribadi) atau sekelompok orang, dimana pemilik tanah
tersebut harus memberikan izin kepada pengguna jalan untuk melewati
jalan tersebut apabila tidak ada akses jalan lain yang dapat dilalui.
Di dalam Burgerlijk Wetboek, ada pasal yang berupa dengan haq al-
murur yang tercantum dalam Pasal 674 sampai 710 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dalam bab pengabdian pekarangan atau disebut dengan hak
servituut, yang menurut Prof. Subekti adalah:
“Suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk
keperluan pekarangan lain yang berbatasan. Misalnya pemilik dari
8 Ibid.
22
pekarangan A harus mengizinkan orang-orang yang tinggal di
pekarangan B setiap waktu melalui pekarangan A atau air yang
dibuang pekarangan B harus dialirkan melalui pekarangan A.”
Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan, terlihat persamaan
antara haq al-murur dan hak suvituut, dimana seseorang pemilik tanah
harus mengizinkan tanahnya untuk dilewati orang-orang yang ingin
melewati tanahnya. Hak survituut melekat pada kebendaan, tidak terikat
dengan subjek (pemilik tanah), jadi apabila pemilik tanah berpindah ke
orang lain, maka hak survituut tetap berlaku bagi pengguna jalan tersebut.
Seperti terdapat di literarur yang ditulis oleh V.F.A Vollmar bahwa “tanda
ciri khas dari pengabdian pekarangan itu ialah bahwa pengabdian tersebut
tidak terikat kepada orang-orang tertentu, tetapi kepada sebidang
pekarangan tertentu yang pemilik langsungnya sebagai demikian melakukan
hak pengabdian pekarangan tersebut.”9 Berbeda dengan haq al-murur, hak
tersebut melekat pada pengguna jalan, yang tertera pada pengertian yang
dipaparkan oleh Wahbah Zuhaili yang telah penulis utarakan sebelumnya.
Mengenai landasan hukum haq al-murur (haq guna jalan) telah di atur
dalam Al-Qur’an dalam surah Thaha ayat 53. Allah berfirman:
دا و الذى رأض مهأ نابه سبل و لكمأ في أها سلك جعل لكم الأ رجأ أن أزل من السمآء مآء فأخأ (۳٥ :طه)من ن بات شت ازأوجا
Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang telah
menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit
air hujan. Maka kami tumbuhkan dengan hujan itu berjenis-jenis dari
tumbuhan yang bermacam-macam. (QS. Thaha : 53)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menjadikan bumi ini ibarat
sebuah lahan yang salah satu di alamnya terdapat jalan. Jalan tersebut itulah
9 V.F.A Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Yogyakarta: Gadjah Mada, 1961),
hlm. 255.
23
yang diserukan oleh Allah untuk digunakan sebagaimana fungsi yang
sesungguhnya dalam mendukung aktifitas sehari-hari, seperti kegiatan
ekonomi, aktifitas dalam dunia pendidikan dan aktifitas lain.
Seiring manusia melakukan aktifitas perjalanan, juga dijelaskan dalam
Al-Qur’an Surah Nuh ayat 19-20 yaitu:
رأض لله جعل وا ل ( ٩١)بساطا لكمأ الأ (۰۲) كوأا من أها سبل فجاجالتسأDan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan. Supaya kamu
dapat melewati jalan-jalan yang luas. (QS. An-Nuh : 19-20)
Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa, Allah SWT telah menciptakan
bumi yang terhampar luas agar manusia dapat memperoleh kemudahan
memanfaatkannya serta kenyamanan yang dapat diraih darinya. Surah Nuh
ayat 19-20 membuktikan bahwa pentingnya memperhatikan ruas-ruas jalan
tersebut dalam mendukung aktifitas sehari-hari. Akan tetapi, seberapa
luaspun jalan tersebut terkadang akan menjadi sempit yang diakibatkan oleh
kurangnya ketersediaan lahan parkir sehingga para pengguna jalan
memarkirkan kendaraannya pada badan jalan sehingga lebar jalan menjadi
sempit.
Selain itu juga terdapat hadis yang menjadi landasan hukum terhadap
hak jalan yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri radhiyallah’anhu pernah
mengkhabarkan sebuah hadist Nabi berkaitan dengan hak-hak jalan.
Rasulullah SAW bersabda:
ري أن ر ي سعيد عنأ أب س وأ جل والأ اكمأ ي إ :ال م ق و سل ه يأ ى الله عل ه صل سول الل ال خدأى ه صل لل ل سوأ قال ر ي ها ف حدث ف ت ا ن سن ال ج ا منأ م ن ل د سول الله ما ب ا ر ا ي وأ ال ات ق ق ر بالط ال سول الله ق ر اي يق ر ما حق الط وا و ال ق ه ق حق يأ ر وا الط عأط أ مأ ف ت يأ ب م إنأ أ سل و ه يأ الله عل ر ب ال و م السل د ى ور ذ صر و كف ال ض الب غ عأر مأ
نأ وف و الن المي عن الم مت فق ) كر هأ
(هعلي
24
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Ra, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah
kamu sekalian duduk-duduk di pinggir jalan” para sahabat berkata: “Ya
Rasulullah, kami tidak dapat meninggalkan majelis untuk bercakap-
cakap disana, “Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kamu semua
merasa keberatan untuk meninggalkan majelis itu, maka kamu sekalian
harus memberikan hak jalan “mereka bertanya, “Apa hak jalan itu ya
Rasulullah? ”Rasulullah menjawab “Tundukkan pandangan, hilangkan
aral dan jangan menjadi aral, menjawab salam, menganjurkan kepada
kebaikan dan mencegah dari kemungkaran”. (Muttafaq ‘Alaihi, No.
2465) 10
Dari hadist di atas dapat dianalisis bahwa hadist tersebut secara umum
melarang para sahabat untuk duduk dipinggir jalan, karena jalan sebagai
tempat orang lewat dan berlalu lalang sebagai perlintasan transportasi yang
tidak sesuai untuk digunakan sebagai tempat duduk dan tempat parkir.
Perkataan “jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka
berilah hak jalan tersebut”. Larangan ini bersifat tanzih (menjauhi hal-hal
yang dibenci atau tidak baik), agar orang yang duduk tidak kewalahan
menunaikkan kewajibannya.11
Perkataan “(hak jalan) adalah ghazul basar (menundukkan pandangan),
kafful adza (tidak mengganggu atau menyakiti orang), menjawab salam,
memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran”. Seperti yang
penulis tulis dari kitab Fathun Baari, Ibnu Hajar rahimatullah berkata:
“Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menyebutkan ghadhdhul
basyar (menundukkan pandangan) untuk mengisyaratkan keselamatan dari
fitnah karena lewatnya para wanita (yang bukan mahram) maupun yang
lainnya. Menyebutkan kafful adza (tidak mengganggu atau menyakiti
orang) untuk mengisyaratkan keselamatan dari perbuatan yang menghina,
mengunjing orang lain ataupun yang serupa. Menyebutkan perihal
“menjawab salam” untuk mengisyaratkan keharusan memuliakan atau
menghormati orang yang melewatinya. Menyebutkan perihal
“memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran” untuk
10
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari Jilid 14,
Kitabul Mazhalim, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hlm. 55. 11 Ibid., hlm. 57.
25
mengisyaratkan keharusan mengamalkan apa yang disyari’atkan dan
meninggalkan apa yang tidak disyari’atkan.”
Keterkaitan hadist tersebut dengan pembahasan dalam skripsi ini
adalah salah satu hak jalan yang diperintahkan Rasulullah SAW adalah وكف
yaitu menghilangkan gangguan dari jalan. Jalan adalah fasilitas umum الاذى
yang setiap orang memiliki hak yang sama di dalamnya. Tidak boleh bagi
seorang muslim untuk menghalangi atau melarang seseorang untuk
melintasinya. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
untuk duduk-duduk di pingir jalan, segala bentuk yang menghalangi
pandangan seseorang ketika melintas di jalan, sebab dapat mempersempit
jalan dan menghalangi orang lewat akibat keberadaan disitu. Di antara
bentuk memberi gangguan di jalan adalah membuang sampah di jalan,
menyirami jalanan dengan air comberan sehingga menyakiti hidung kaum
muslimin yang melintas dan membuat bangunan di atas jalan. Hal ini
berdasarkan hadist Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ل بن معاذ الجهني عنأ أ ن بأ مع عبأد الله م ض الر وأ أرأ ان ب ى حصأن سن ا عل ن زلأ ال ن ق ه يأ ب عنأ سهأل ن ق الن ضي ك ف عبأد الم
ن ن اس إ ها الن ي أ قال معاذ ق ف ريأ وا الط ع ط ل وق از اس الم ل سوأ ا مع ر ا غزوأ
ه يأ عل ى الله صل ب عث الن ق ف ب يأ ر اس الط ق الن ضي كذا ف زأوة كذا و م غ وسل ه يأ عل ى الله صل الله (رواه احمد وابو داود) ه جهاد ل فل قاي أ ر ع ط ط أوأ ق ل ق منأز ادى منأ ضي ن ا ف ادي م من وسل
Dari Sahal ibn Mu'adz ibn Anas Al-Juhni dari bapaknya Mu'adz ibn
Anas Al-Juhni berkata; “Kami berhenti pada benteng sinan, di kota
Romawi bersama Abdullah bin Abdul Malik, lalu orang-orang
mempersempi rumah-rumah pengungsian yang ada, dan mereka hingga
mereka menutup jalan (demi perumahan). Lantaran itu, Mu'adz
berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kami pernah
berperang bersama Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam pada perang
ini dan itu, lalu orang-orang mempersempit jalan-jalan yang ada, maka
Nabi Shallallahu' alaihiwasallam mengutus seorang juru seru untuk
menyerukan barangsiapa yang mempersempit rumah-rumah atau ia
26
menutup jalan, maka dia tidak ada jihad baginya.”. (HR. Ahmad dan
Abu Daud, Shahih Abu Daud No. 2364 ) 12
Hadist ini menegaskan bahwa jalan tidak boleh dialihkan
pemanfaatannya, meski apapun alasan yang digunakan. Dalam hadist
tersebut digambarkan bahwa di wilayah Roma dulunya sebagian jalan
beralih fungsinya menjadi lahan untuk area pembangunan rumah. Kondisi
ini tentu saja sangat merugikan kepentingan umum untuk menggunakan
jalan sebagai zona transportasi.
Telah jelas disebutkan pada hadist di atas bahwa Rasulullah tidak
membolehkan mempersempit jalan bagi manusia dan menutup jalan yang
biasa dilalui oleh manusia seperti mendirikan bangunan diatasnya,
mengendarai sepeda motor dengan sewenang-wenang hingga dapat
membahayakan nyawa orang lain, dan sebagainya. Hal ini tidak
diperbolehkan karena dapat menimbulkan kemudharatan dan merugikan
orang lain. Selain itu, manusia dianjurkan untuk menghilangkan gangguan
dari jalan, seperti sabda Rasulullah SAW.
ي الذى عن م و ت وسل ى الله عليأه صل سوأل الله قال ر : ال ق ضي الله عنأه ر ة ر يأ ب هر عنأ أ (رواه البخاري ومسلم) ة دق يق ص ر الط
Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi SAW “Menghilangkan gangguan dari
jalan adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
13
Hadist diatas juga menegaskan bahwa jalan harus lancar bebas dari
masalah yang menyebabkan tersendatnya arus lalu lintas dan transportasi
yang digunakan masyarakat. Apabila jaman sekarang, modal transportasi
begitu banyak sehingga menyebabkan arus lalu lintas bisa saja tersendat
12
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Abu Daud; Buku 2, Kitab Al
Jihad, (terj. Abd. Mufid Ihsan, M. Soban Rohman), (Jakarta: Pustaka Azzam,2006), hlm. 149. 13
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari ..., hlm. 59.
27
bahkan macet bila ada sedikit aja masalah yang timbul di jalan. Di beberapa
negara sarana transportasi dewasa ini sedikit inovatif untuk memudahkan
arus masyarakat dalam mengakses daerah atau wilayah yang menjadi
tujuannya.
Berdasarkan penguraian adab perjalanan di atas, berikut ini akan di
jelaskan hukum-hukum mengenai jalan:
a. Jalan umum yang sengaja digunakan untuk kepentingan pribadi
maupun kelompok yang menyebabkan terjadinya keresahan atau
mengganggu pengguna jalan dan kepentingan umum lainnya maka
hukumnya adalah haram.
b. Tidak diperbolehkan mengadakan pada miliknya sesuatu yang
mempersempit jalan. Misalnya membangun atap di atas jalan yang
membuat para pengendara susah lewat atau membuat tempat duduk di
jalan.
c. Di jalan umum juga dilarang menanam, membuat bangunan, membuat
kios-kios, membuat galian, menaruh kayu, membuang sampah dan
menaruh sesuatu yang berbahaya bagi orang yang lewat.
d. Dan jika jalan umum digunakan dengan sengaja demi kepentingan
yang lebih luas, dan tidak bermaksud untuk meresahkan atau
menggangu kepentingan umum lainnya, seperti acara-acara
pemerintah, pembangunan jalan, atau karena melayat, maka hal ini
dianggap “dharurat” dan hukumnya adalah mubah.
2. Syarat dan Hukum Pemanfaatan Haq Al-Murur dalam Perspektif
Hukum Islam
Sebagian besar, jalan raya maupun jalan kecil yang ada di Indonesia
adalah milik negara, sehingga masyarakat bebas menggunakannya, asalkan
masyarakat yang menggunakannya tidak menimbulkan kerusakan bagi jalan
28
tersebut. Apabila pemerintah hendak membuka (membuat) jalan dan di atas
jalan yang hendak dibuka adalah milik warga, maka pemerintah wajib
membeli tanah warga tersebut, dan warga wajib menjualnya untuk
pemerintah, karena hal ini untuk kepentingan masyarakat. Wahbah Az-
Zuhaili menjelaskan hukum mengenai pemanfaatan haq al-murur berbeda-
beda sesuai jenis jalan yang dilewatinya. Adapaun hukum pemanfaatan haq
al-murur sebagai berikut.
a. Jika jalan itu adalah jalan umum14
, maka setiap orang memiliki hak
pakai atau hak guna jalan tersebut, karena itu termasuk mubah, baik
untuk lewat, membuka jendela, membuat jalan cabang, membuat
balkon dan lain sebagainya.15
Setiap orang juga memiliki hak guna jalan untuk menghentikan
binatang kendaraan (parkir) atau mendirikan tempat-tempat dagang
(toko, kios dan lain sebagainya). Dalam hal ini hanya ada dua syarat
yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Tidak mengganggu dan merugikan orang lain, karena prinsip
mengatakan “laa dharara wa laa dhiraara” (tidak boleh ada
kemudharatan dan tidak boleh menimbulkan kemudharatan).16
2) Mengantongi izin dari hakim. Apabila mengganggu dan merugikan
orang pengguna jalan lainnya, seperti menyebabkan arus lalu lintas
jalan tersebut terganggu misalnya, maka tidak boleh. Namun jika
tidak mengganggu dan merugikan, maka boleh dengan syarat
mengantongi izin dari hakim menurut Imam Abu Hanifah.
Sementara itu, menurut Muhammad Abu Yusuf tidak perlu
mengantongi izin dari hakim. Begitu juga, menurut ulama
Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah, disini tidak perlu mengantongi
14
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukan bagi lalu lintas umum. 15
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islamiyah Wa Adillatuhu Jilid 6 (terj. Abdul Hayyie Al-
Khattani), (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 557 16
Ibid., hlm. 558.
29
izin dari hakim,17
sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Barangsiapa lebih dulu sampai kepada sesuatu yang sebelumnya
tidak ada seorang muslim yang lebih dulu sampai kepada sesuatu
itu, maka ia adalah orang yang paling berhak terhadap sesuatu
tesebut.”
Sementar itu, ulama Malikiyah18
mengatakan, barang siapa
membangun sesuatu bangunan di jalan kaum Muslimin atau
mengambil bagian dari badan jalan untuk ditambahkan ke tempat
miliknya, maka itu dilarang berdasarkan kesepakatan.
Sedangkan ulama Syafi’iyyah19
mengatakan, seseorang tidak boleh
melakukan suatu hal yang mengganggu para pengguna jalan
tersebut jika jalan tersebut adalah jalan tembus (jalan besar, jalan
umum). Karena jalan itu adalah hak seluruh kaum Muslimin. Maka
oleh karena itu, seseorang tidak boleh membangun sayap bangunan
yang menonjol ke jalan, juga tidak boleh membangun atap di
atasnya (atap yang menghubungkan dua tembok sementara jalan
tersebut berada di antara keduanya) yang mengganggu para
pengguna jalan lainnya.
Maksud dari pernyataan di atas adalah apabila jalan yang
dimanfaatkan adalah jalan umum, maka hukumnya mubah.
Apabila seseorang memanfaatkan jalan tersebut seperti membuat
jalan lewat, membuka jendela, membuat jalan cabang, bembu,
termasuk juga berjualan di pinggir jalan tersebut, dan memarkirkan
kendaraan di pinggir jalan itu.20
Asalkan pemanfaatan jalan tidak
bertentangan dengan syariat dan merugikan orang lain.
17
Ibid. 18
Ibid. 19
Ibid. 20
Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 21.
30
b. Adapun jika jalan tersebut jalan khusus21
, maka hak guna jalan tersebut
terbatas pada pemiliknya, atau orang-orang yang bertempat tinggal di
sekitar jalan tersebut. Maka oleh karena itu, orang selain mereka tidak
boleh membuka pintu atau jendela yang menjorok ke jalan tersebut
kecuali atas izin mereka. Namun, semua orang boleh ikut menggunakan
jalan tersebut untuk lewat jika jalan umum terlalu ramai dan padat. Para
pemilik jalan tersebut tidak boleh melarang, membuntuinya atau
menghilangkan demi untuk menghormati hak masyarakat umum
terhadap jalan tersebut.
Begitu juga, salah seorang dari para pemilik hak guna jalan khusus
tersebut tidak boleh menggunakannya dalam bentuk yang tidak
sewajarnya kecuali dapat izin dari yang lainnya secara keseluruhan,
bahkan orang yang membeli rumah salah seorang dari mereka setelah
adanya izin tersebut, juga tetap harus meminta izin lagi terlebih dahulu
jika ia akan menggunakan haknya dalam bentuk yang tidak sewajarnya,
seperti ingin membuat kamar, atau membangun balkon, saluran air dan
lain sebagainya.22
Berbeda hukum pemanfaatan apabila jalan itu milik umum, maka
apabila jalan yang dilewati adalah milik pribadi atau milik sebagian
orang, maka hukum pemanfaatannya harus dengan izin pemilik jalan.
Selain dari pemilik jalan, orang lain tidak boleh memanfaatkan jalan
tersebut kecuali atas izin pemilik jalan. Namun, apabila jalan umum
(jalan milik pemerintah) padat dan ramai dalam artian yaitu susah
untuk dilalui, maka pemilik jalan wajib membuka jalan miliknya demi
menghormati hak masyarakat umum terhadap jalan tersebut.
21
Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan
atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri. 22
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islamiyah Wa Adillatuhu Jilid 6 …, hlm. 559.
31
3. Pendapat Fuqaha tentang Bentuk-Bentuk Implementasi Haq Al-
Murur
Umat Islam harus memberikan rasa aman dan menjaga ketentraman
antar sesama umat manusia, terutama pada tempat-tempat fasilitas umum
seperti jalan raya, akhlak dan etika di dalam Islam menjunjung tinggi
persamaan hak dan lebih mengutamakan kemaslahatan yang lebih besar dari
pada kepentingan pribadi maupun kelompok, tidak saling zalim dan
menzalimi. Sehingga dari sinilah kemuliaan Islam yang selalu menjunjung
tinggi akan hak dan kemaslahatan tidak hanya dalam kehidupan sesama
manusia semata, melainkan lebih dari itu yaitu meliputi kemaslahatan
terhadap semesta alam.
Salah satu pembagian dari hak yang harus dijunjung demi
kemaslahatan sesama manusia yaitu hak al-irtifaaq. Hukum-hukum hak al-
irtifaaq yang bersifat umum adalah, bahwa hal al-irtifaaq apabila sudah
tertetapkan, maka akan terus ada dan berlaku selama keberadaannya tidak
berkonsekuensi munculnya suatu kemudharatan bagi pihak lain.
Haq al - murur merupakan bagian dari haqqul irtifaaq. Haqqul
irtifaaq adalah, sebuah hak yang ditetapkan atas suatu harta tidak bergerak
demi kemanfaatan dan kepentingan harta tidak bergerak lainnya yang
dimiliki orang lain. Ini adalah sebuah hak yang berlaku tetap selama kedua
harta tidak bergerak itu masih ada tanpa melihat siapa pemiliknya.23
Pendapat fuqaha tentang bentuk-bentuk implementasi haq al-murur
berkaitan dengan hak guna jalan umum/raya dan hak guna jalan khusus,
antara lain:
Jika jalan yang dilalui itu jalan raya maka semua orang boleh
melewati jalan itu, berjualan di pinggir jalan tersebut, memarkir
23
Ibid., hlm. 457.
32
kendaraannya di pinggir jalan itu; dengan syarat tidak memberi mudharat
kepada orang lain dan mendapat izin dari pemerintah. Apabila tindakan
seseorang dalam memanfaatkan hak ini memberi mudharat kepada orang
lain, seperti jalan menjadi sempit, maka perbuatan orang itu harus
dilarang.24
Semua orang berhak untuk melewati jalan tersebut tanpa izin orang
lain, dengan ketentuan jangan sampai merugikan pihak-pihak lain. Seperti
membangun suatu bangunan di jalan umum atau mengambil bagian dari
badan jalan untuk ditambahkan ke tempat miliknya yang bisa menutupi
badan jalan. Bagi mereka yang rumahnya menghadap jalan umum
dibolehkan untuk membuat pintu/jendela yang menghadap ke arah jalan
tersebut. Akan tetapi, tidak dibolehkan membuat kios atau tempat berjualan
di pinggir jalan umum tersebut, apabila itu mengganggu orang-orang yang
lewat.25
Akan tetapi jika tidak membawa mudharat kepada orang lain,
menurut Imam Abu Hanifah, harus mendapat izin dari pemerintah dalam
pemanfaatan jalan raya itu, misalnya untuk memarkir kendaraan atau
berjualan di pinggir jalan itu.26
Apabila tidak izin dari pemerintah maka
setiap orang dapat mencegahnya dan membongkar kios dan bangunan yang
ada di jalan tersebut.27
Ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Imam Abu Yusuf dan Imam
Muhammad Ibn al-Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa dalam kasus
seperti ini tidak diperlukan minta izin kepada pemerintah. Ulama Malikiyah
menyatakan bahwa jika pemanfaatan itu bersifat memiliki tidak boleh,
seperti berdagang di sisi jalan secara permanen. Berbeda dengan tempat
parkir kendaraan, karena kendaraan itu tidak selamanya menempati jalan
itu, maka tidak dinamakan memiliki. Oleh sebab itu, untuk parkir
24
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, hlm. 21. 25 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, hlm. 88. 26
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, hlm. 21. 27
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, hlm. 88.
33
kendaraan, menurut Malikiyah, yang penting diperhatikan adalah tidak
membawa mudharat kepada orang lain, tidak menyempitkan jalan, dan tidak
merusak jalan raya itu. 28
Apabila Memarkir kendaraan yang mengakibatkan terhambatnya
perjalan orang lain termasuk perbuatan mengambil hak jalan. Pandangan
Islam tentang parkir sembarangan di tempat umum itu adalah mengambil
hak orang lain, hal itu adalah suatu kezhaliman. Karena jalan umum di
peruntukkan untuk arus lalu lintas tidak boleh merusak atau mengalihkan
fungsinya, apakah itu untuk berdagang atau untuk hal lain. Dalam Islam,
jika tidak ada lahan untuk parkir, maka pemerintah harus bertindak dalam
membangun fasilitas umum tersebut.
Selain itu, apabila dapat mengakibatkan kemudharatan seperti
menaikinya dengan laju yang sangat kencang di atas batas kecepatan yang
normal atau melawan arus, maka itu tidak boleh. Hal ini berdasarkan hadist,
“Tidak ada kemudharatan dan tidak boleh menimbulkan kemudharatan.”
Juga karena menggunakan jalan umum harus terikat dan patuh kepada
peraturan-peraturan keselamatan berkendara.29
Juga karena berdasarkan
prinsip, “Adh-Dharar Laa yakuunu qadiiman,” (sesuatu yang menimbulkan
kemudharatan tidak boleh dibiarkan hanya karena alasan sesuatu itu sudah
ada atau berlaku terlebih dahulu).30
Sedangkan jalan khusus, yakni jalan yang dimiliki oleh kelompok
tertentu maka pemanfaatan jalan tersebut hanya kepentingan kelompok
tersebut, sedangkan orang lain tidak diperbolehkan memanfaatkannya
kecuali atas izin mereka. Meskipun demikian, dalam kondisi jalan umum
yang penuh dan berdesak-desakan, orang-orang berhak untuk lewat melalui
28
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, hlm. 21. 29
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islamiyah Wa Adillatuhu Jilid 6 ..., hlm. 460. 30
Ibid, hlm. 461.
34
jalan khusus tersebut, sehingga pemilik jalan khusus tidak dibolehkan
menutup jalan tersebut.31
Selain itu, dalam pemanfaatan jalan Rasulullah juga melarang
menyelenggarakan acara di bahu jalan atau badan jalan. Larangan
Rasulullah agar tidak duduk-duduk di pinggir jalan barang kali karena
kekhawatiran beliau akan terjadinya gangguan fungsi jalan sebagai sarana
bagi para pemakai jalan dalam melakukan perpindahan dari suatu tempat ke
tempat yang lain. Beliau memberikan dispensasi hanya apabila hak-hak
jalan dapat dijaga. Menyelenggarakan acara seperti pesta pernikahan,
pertunjukan, atau lainnya yang mengganggu arus lalu lintas sebaiknya tidak
dilakukan, karena dapat menyebabkan kemacetan atau setidak-tidaknya
membuat perjalanan orang terganggu.
Penulis menyimpulkan bahwa, para fuqaha berpendapat bahwa tidak
boleh melakukan sesuatu yang dapat membahayakan orang lain dalam hal
pemanfaatan jalan baik jalan itu jalan umum maupun jalan itu jalan khusus.
Jika pemanfaatan itu bersifat memiliki maka tidak boleh, seperti berdagang
di sisi jalan secara permanen. Berbeda dengan tempat parkir kendaraan,
karena kendaraan itu tidak selamanya menempati jalan itu, maka tidak
dinamakan memiliki. Akan tetapi menghilangkan kemudharatan lebih
utama karena tidak diperbolehkan mangadakan gangguaan di jalan-jalan
kaum muslimin, di pasar-pasar kaum muslimin, ataupun di tempat-tempat
kaum muslimin yang lain. Baik gangguan itu berupa kayu atau batu yang
mengganggu perjalanan, atau lobang galian yang bisa membahayakan, atau
bentuk gangguan lainnya. Karena semua itu bisa menimbulkan mudharat
kepada kaum muslimin.
4. Pelanggaran pada Penyimpangan Penggunaan Haq Al-Murur
31
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, hlm, hlm. 89.
35
Penyimpangan-penyimpangan pemanfaatan jaringan jalan dipicu oleh
tidak terkendalinya tata guna lahan dan pemanfaatan jalan untuk kegiatan-
kegiatan yang bukan untuk pergerakan manusia ataupun barang
memberikan dampak negatif yang berdampak pada kehidupan masyarakat
terutama masyarakat pengguna jalan. Fungsi jalan sebagai sarana
perpindahan kendaraan, orang, barang sebagaimana yang diamanatkan
Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan telah
dikesampingkan dan cenderung untuk diabaikan.
Keadaan ini tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu saja, hal ini mengingat
jalan merupakan salah satu sarana masyarakat luas dalam melaksanakan
kegiatan sehari-hari, berbagai peraturan dan perundang-undangan telah
banyak dikeluarkan dengan tujuan menciptakan keamanan dan ketertiban
para pengguna jalan dalam berlalulintas. Salah satu bentuk penyimpangan
penggunaan jalan adalah penutupan ruas-ruas jalan untuk kepentingan
pribadi seperti pelaksanaan pesta yang menggunakan ruas jalan dan sebagai
saran parkir sembarangan yang mengakibatkan tersendatnya arus lalu lintas.
Pelanggaran dalam penggunaan hak (ta’assuf fi isti’malil) juga
ditegaskan dalam ajaran Islam sebagai perbuatan terlarang dan tercela. Hal
yang menunjukkan larangan terhadap ta’assuf fi isti’malil menurut ulama
fiqh antara lain didasarkan pada dua pertimbangan prinsip, yaitu:
a. Prinsip tauhid mengajarkan bahwasanya Allah SWT adalah pemilik
hak yang sesungguhnya, sedangkan hak yang dimiliki manusia
merupakan amanat Allah yang harus dipergunakan sebagaimana yang
dikehendak-Nya. Oleh karena itu, penggunaan hak sama sekali tidak
boleh melanggar hak atau kepentingan masyarakat umum.32
Prinsip ini
menjelaskan bahwa Allah lah yang memiliki hak, manusia hanya diberi
32
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005),
hlm.75.
36
hak apabila dikehendaki oleh Allah. Apabila hak yang digunakan
manusia tidak sesuai dengan kehendak Allah, seperti dengan
menggunakan hak itu dapat merugikan orang lain, maka hak yang
digunakan manusia tidak diperbolehkan.
b. Prinsip kebebasan dalam Islam tidaklah bersifat mutlak, melainkan
kebebasan yang bertanggung jawab. Artinya, kebebasan
mempergunakan hak disertai sikap tanggung jawab atas terpeliharanya
hak dan kepentingan orang lain. Pelaksanaan kebebasan secara mutlak
menimbulkan akibat kebebasan melanggar hak dan kepentingan orang
lain. Prinsip ini menjelaskan bahwa manusia bebas menggunakan
haknya, namun hak yang dipergunakannya harus diiringi dengan
tanggung jawab. Apabila dalam penggunaan hak tidak disertai
tanggung jawab, maka hal ini tidak diperbolehkan menurut prinsip ini.
Perbuatan yang tergelong ta’assuf fi isti’malil haqq menurut ulama
fiqh yang penulis ambil dari kitab Wahbah Az-Zuhaili antara lain:
a. Apabila seseorang dalam mempergunakan haknya mengakibakan
pelanggaran terhadap hak orang lain atau menimbulkan kerugian
terhadap kepentingan orang lain. Sebagai contoh suami yang musafir
meninggalkan istri dan keluarganya dalam jangka waktu yang lama
sehingga memudharatkan keluarganya, wasiat yang memudharatkan
keluarganya dan piutang, orang yang sedang sakit mati yang mentalak
isterinya agar tidak mewarisinya, dan pengakuan utang oleh orang yang
sedang sakit mati untuk mencegah ahli waris untuk mendapatkan
hartanya.33
b. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang tidak disyariatkan dan
tidak sesuai dengan tujuan kemashlahatan yang ingin dicapai dalam
33
Fauzi, Teori Hak, Harta & Istislah Serta Aplikasinya dalam Fiqh Kontemporer,
(Jakarta ,Kencana Prenada, 2017) hlm. 52.
37
penggunaan haknya tersebut. Sebagai contoh, melakukan transaksi jual
beli sebagai sarana untuk riba atau bunga seperti jual beli ‘inah34
, dan
istri non muslimah lalu masuk Islam dengan tujuan mendapatkan
warisan suaminya atau menghibah harta sebelum haul dengan tujuan
agar zakat menjadi gugur.35
c. Apabila seseorang menggunakan haknya untuk kemashlahatan
pribadinya tetapi mengakibatkan kemudharatan yang besar terhadap
pihak lain atau kemashlahatan yang ditimbulkannya sebanding dengan
mudharat yang ditimbulkannya, baik terhadap kepentingan pribadi,
orang lain atau terhadap kepentingan masyarakat umum. Sebagai
contoh, ihtikar (penimbunan barang)36
, talaqqi al-rukban37
, menjual
anggur kepada peminum khamar, mejual senjata kepada perampok
ketika terjadi fitnah, dan lain sebagainya yang dapat menimbulkan
kemudharatan bagi orang lain.38
d. Apabila seseorang mempergunakan haknya tidak sesuai tempatnya ata
bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku serta menimbulkan
mudharat terhadap pihak lain. Seperti membesarkan suara radio yang
mengganggu tetangganya, menyewa rumah lalu membiarkan air
tergenang di dalamnya, menyewa mobil lalu membawa barang
melebihi muatannya, atau binatang lalu memukulnya dengan keras atau
membawa barang di laur kemampuannya.39
e. Apabila seseorang menggunakan haknya tanpa hati-hati, lalu
mengganggu orang lain, maka dianggap pelanggaran dan bertanggung
34
Jual beli sesuatu dengan pembayaran kemudian, lalu dijual kepada pembeli yang
sama secara tunai dengan harga yang lebih sedikit dari ‘aqd pertama dengan tujuan ribawi. 35
Fauzi, Teori Hak, Harta & Istislah Serta Aplikasinya …, hlm. 53. 36
Membeli kebutuhan pokok lalu menyimpannya untuk menjual pada saat harga
meninggi smentara manusia membutuhkannya. 37
Pedagang yang mencegat sekelompok orang yang membawa barang dagangan dari
kampung ke kota agar menjual barang-barang mereka dan membelinya di bawah harga pasar,
lalu ia mejualnya ke kota dengan harga yang melambung. 38
Fauzi, Teori Hak, Harta & Istislah Serta Aplikasinya …, hlm. 54. 39
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islamiyah Wa Adillatuhu Jilid 6 ..., hlm. 56.
38
jawab atas kekeliruannya itu. Kekeliruan itu bisa bersifat sengaja
seperti pemburu dengan objek bayangan dari jarak jauh. Ia menduga
bahwa bayangan itu pantulan dari binatang buruan, lalu ia
menembaknya, ternyata manusia atau kekeliruan yang tidak disengaja,
seperti pemburu yang melempar bintang buruan, lalu tergelincir dan
menimpa manusia, atau buruan lari dan menabrak manusia yang
menyebabkan kematian.40
B. Kebijakan Pemerintah Mengenai Penggunaan Sempadan Jalan
1. Ruang Lingkup Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah pada prinsipnya dibuat atau atas dasar kebijakan
yang bersifat luas. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang
menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan kebijakan pemerintah
mempunyai pengertian baku yaitu suatu keputusan yang dibuat secara
sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu yang
menyangkut kepentingan umum.
Sesuai dengan sistem administrasi Negara Republik Indonesia,
kebijakan dapat terbagi 2 (dua) yaitu:
a. Kebijakan internal (manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai
kekuataan mengikat aparatur dalam organisasi pemerintah sendiri.
b. Kebijakan eksternal (publik), yaitu suatu kebijakan yang mengikat
masyarakat umum, sehingga dengan kebijakan demikian kebijakan
harus tertulis.
Dalam penyelenggaraan tugas administrasi negara, pemerintah banyak
mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam berbagai bentuk seperti
beleidslijnen (garis-garis kebijakan), hed beleid (kebijakan), voorschriften
(peraturan-peraturan), richtlijnen (pedoman-pedoman), regelingen
40
Ibid., hlm. 57.
39
(petunjuk-petunjuk), circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-
resolusi), aanschrijvingen (intruksi-intruksi), beleidsnota (nota kebijakan),
reglemen (perauran-peraturan menteri), beschekking (keputusan-
keputusan).41
Salah satu kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan yaitu di bidang
tata ruang. Tata ruang berarti susunan ruang yang teratur. Yang ditata
adalah tempat berbagai kegiatan serta sarana dan prasarananya. Penataan
ruang terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu perencanaan tata ruang,
perwujudan tata ruang dan pengendalian tata ruang.42
Perencanaan tata
ruang merupakan kegiatan merumuskan dan menetapkan manfaat ruang dan
kaitannya atau hubungan antara berbagai manfaat ruang, berdasarkan
kegiatan-kegiatan yang perlu dan dapat dilaksanakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia di masa yang akan datang. Perwujudan tata ruang
merupakan kegiatan di lapangan untuk menetapkan bagian-bagian ruang
yang diperlukan untuk berbagai kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang.
Pengendalian tata ruang adalah setiap kegiatan yang ditujukan untuk
menjaga agar kegiatan pemanfaatan ruang, dengan ada atau tanpa
bangunan, dilaksakan sesuai dengan rencana tata ruang. 43
Aktivitas pengendalian tata ruang ini dapat meliputi tahap perizinan
yang menyangkut masalah izin lokasi, advis planning, izin mendirikan
bangunan, dan izin penggunaan bangunan. Setelah itu barulah diadakan
pengawasan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang di lapangan. Terhadap
gejala penyimpangan dari rencana dikenakan teguran-teguran dan tindakan-
tindakan pembetulan yang diperlukan. 44
41
Juniarso ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Layanan Publik, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2019), hlm. 155. 42
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan; Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 80. 43
Ibid., hlm. 81. 44
Ibid, hlm. 82.
40
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah Pasal 14 dan Pasal 15 berbunyi:
Pasal 14: Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak
atas tanah wajib mengikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 15: Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan
bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau,
sempadan waduk, dan atau sempadan sungai, harus memperhatikan:
a. kepentingan umum; b. keterbatasan daya dukung, pembangunan yang
berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta
kelestarian fungsi lingkungan.
Pengaturan mengenai pembinaan dan pengendalian penyelenggaraan
penatagunaan tanah diatur dalam Pasal 25-27 PP No. 16 Tahun 2004, yang
berbunyi:
Pasal 25: (1) Dalam rangka pembinaan dan pengendalian
penyelenggaraan penatagunaan tanah, Pemerintah melaksanakan
pemantauan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. (2)
Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
melalui pengelolaan sistem informasi geografi penatagunaan tanah.
Pasal 26: (1) Pembinaan atas penyelenggaraan penatagunaan tanah
dilakukan oleh Pemerintah. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, dan arahan.
Pasal 27: (1) Pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah
meliputi pengawasan dan penertiban. (2) Pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan Pemerintah dengan cara supervisi
dan pelaporan. (3) Penertiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
2. Kebijakan Pemerintah Tentang Penggunaan Sempadan Jalan
Variabel yang penulis teliti dalam skripsi ini yaitu penggunaan sempadan
jalan di wilayah gunung Geurutee yang berfokus pada penggunaan sempadan
jalan untuk parkir oleh pengendara yang singgah maupun berwisata di
wilayah puncak gunung Geurutee. Oleh karena itu, penulis akan mengkaji
lebih mengenai peraturan pemerintah tentang jalan dan parkir yang diatur
dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu diantaranya Undang-
41
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan serta diatur mengenai
penggunaan bahu jalan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005.
a. Peraturan Mengenai Parkir di Sempadan Jalan
Salah satu implementasi kebijakan pemerintah mengenai sempadan
jalan yaitu penetapan garis sempadan. Garis sempadan diciptakan untuk
berbagai alasan sesuai dengan jenisnya, namun pada umumnya untuk
melindungi penghuni bangunan itu sendiri. Dengan adanya garis
sempadan, masyarakat dapat mengetahui batas keamanan dapat
melakukan aktivitas di pinggir jalan demi menjaga keamanan pengguna
jalan yang lain.
Secara umum, aturan tentang perparkiran tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk
beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.45
Setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan
berhenti dan parkir. Sedangkan tempat parkir sebagaimana yang tertulis
dalam Qanun tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan umum
adalah tempat yang berada di atas badan jalan dan/atau di tepi jalan
umum tertentu dan telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota sebagai tempat
parkir kendaraan bermotor.46
a. Penyelenggaraan fasilitas parkir yang benar
Pada dasarnya, penyelenggaraan parkir untuk umum (tempat untuk
memarkir kendaraan dengan dipungut biaya) harus mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
45
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Pasal 1 angka 15. 46
Qanun tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan umum, Pasal 1, ayat 8.
42
1) Hanya dapat diselenggarakan di luar ruang milik jalan sesuai
dengan izin yang diberikan;
2) Penyelenggaraan fasilitas parkir di luar ruang milik jalan dapat
dilakukan oleh perseorangan warga negara indonesia atau badan
hukum indonesia berupa usaha khusus perparkiran atau penunjang
usaha pokok.
Dalam penyelenggaraan parkir yang dilakukan menggunakan bahu
jalan, maka itu dinamakan fasilitas parkir di dalam ruang milik negara.
Fasilitas parkir di dalam ruang milik jalan hanya dapat diselenggarakan
di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang
harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas, dan/atau marka jalan.47
Adapun parkir yang kendaraan yang dinyatakan sesuai dengan
ketentuan parkir yaitu setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor di jalan wajib memenuhi ketentuan berhenti dan parkir.48
Terkait parkir di bahu jalan, sebagaimana yang telah penulis jelaskan di
atas, maka pengemudi hanya dapat memarkirkan kendaraannya di bahu
jalan yang menandakan bahwa bahu jalan tersebut dapat dipergunakan
sebagai tempat parkir. Parkir kendaraan di jalan dilakukan secara sejajar
atau membentuk sudut menurut arah lalu lintas. 49
b. Larangan parkir di bahu jalan/ sempadan jalan beserta sanksinya
Badan jalan merupakan salah satu ruang manfaat jalan. Badan jalan
ini meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah, dan bahu
jalan.
47
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Pasal 43, ayat 3. 48
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Pasal 106, ayat 4. 49
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Pasal 120.
43
Ada aturan-aturan yang harus dipatuhi bagi pengguna jalan,
diantaranya aturan mengenai parkir kendaraan. Hal tersebut diatur dalam
beberapa peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
2005 Pasal 41 (2) menjelaskan bahwa “Penggunaan bahu jalan di atur
sebagai berikut:
a. Digunakan bagi arus lalu lintas pada keadaan darurat;
b. Diperuntukkan bagi kendaraan yang berhenti darurat;
c. Tidak digunakan untuk menarik/menderek/mendorong kendaraan;
d. Tidak digunakan untuk keperluan menaikkan atau menurunkan
penumpang dan/atau barang dan/ atau hewan.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan, Pasal 1 Angka 15, parkir adalah keadaan
kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat yang
ditinggalkan pengemudinya. Masih dalam Undang-Undang yang sama,
tercantum pada bagian kedua Pasal 120 bahwa “parkir kendaraan dijalan
dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah lalu lintas”.
Untuk keselamatan dan kenyamanan seluruh pengguna jalan, parkir di
tengah jalan dan parkir di rambu “P” sebagai tanda dilarang parkir
adalah hal yang terlarang. Tidak hanya itu, ada 10 area terlarang untuk
parkir mobil yang wajib diketahui, yaitu:
1. Tikungan, bahu bukit atau sebuah jembatan.
2. Di tempat pejalan kaki atau trek sepeda.
3. Dekat lampu lalu lintas atau penyeberangan pejalan kaki.
4. Di jalan utama atau di jalan dengan lalu lintas yang melaju cepat.
5. Berhadapan atau dekat dengan kendaraan berhenti lainnya di
seberang jalan sehingga mempersempit ruang jalan.
6. Dalam 6 meter (20 kaki) dari suatu persimpangan, atau dalam 9
meter (30 kaki) dari suatu pemberhentian bus, kecuali jika keadaan
44
rusak. Lalu jangan berhenti atau parkir 3 meter (10 kaki) di sisi lain
hidran pemadam api atau yang dapat mengganggu akses kendaraan
pemadam ke hindran.
7. Menghadap bagian depan mobil ke arah lalu lintas yang
berlawanan.
8. Sepanjang jalan yang licin.
9. Di jalan layang, terowongan, atau di sisi jalan yang menuju jalan
layang atau terowongan.
10. Di atas pinggiran rumput atau bahu jalan.
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan
yang melanggar tata cara berhenti dan parkir dapat dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp.
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).50
Selain itu, jika pengemudi memarkir dalam keadaan darurat
seperti kendaraan dalam keadaan mogok, kecelakaan lalu lintas, dan
mengganti ban, setiap pengemudi kendaraan bermotor wajib memasang
segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan berbahaya, atau isyarat lain
pada saat berhenti atau parkir.51
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak
memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau
isyarat lain pada saat berhenti atau parkir dalam keadaan darurat di jalan
itu, maka dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan
atau denda paling banyak Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).52
50
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Pasal 287, ayat 3. 51
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Pasal 121, ayat 1. 52
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Pasal 298.
45
BAB TIGA
ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
PENGGUNAAN SEMPADAN JALAN DI WILAYAH
GUNUNG GERUTEE DALAM PERSPEKTIF
HAQ AL-MURUR
A. Gambaran umum Kawasan Wisata Gunung Gerutee Kabupaten Aceh
Jaya
1. Kondisi Geografis
Kabupaten Aceh Jaya adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh,
Indonesia. Kabupaten Aceh Jaya dibentuk pada tahun 2002 sebagai hasil
pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat.
Secara geografis wilayah Kabupaten Aceh Jaya terletak pada lokasi
04022’-05016’ Lintang Utara dan 95010’-96003’ Bujur Timur. Wilayah
Kabupaten Aceh Jaya memiliki luas kurang lebih 387,272.36 Ha dengan
ibukota kabupaten terletak di Calang yang berjarak 156 km dari Kota Banda
Aceh (ibukota Provinsi). Wilayah Aceh Jaya merupakan bagian pantai barat
dan daratan Kepulauan Sumatera yang membentang dari Barat ke Timur
mulai dari kaki Gunung Gerutee (pertabatasan dengan Aceh Besar) sampai ke
sisi Cot Paleng (perbatasan dengan Aceh Barat). Secara administrasi
Kabupaten Aceh Jaya berbatasan dengan:
• Utara : Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie.
• Selatan : Kabupaten Aceh Barat dan Samudra Hindia.
• Timur : Kabupaten Aceh Barat.
• Barat : Samudera Hindia.
Secara geografis selain Kecamatan Jaya semua kecamatan di Wilayah
Kabupaten Aceh Jaya berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, jalur
panjang garis pantai lebih kurang 156 kilometer juga merupakan tempat
permukiman penduduk terpadat dibandingkan dengan daerah permukiman
46
yang jauh dari pantai. Jaringan jalan provinsi yang menyusuri pinggir
pantai yang
menghubungkan Banda Aceh dengan kota-kota di bagian barat dan selatan
provinsi ini menjadi faktor yang sangat mendukung bagi penduduk untuk
membangun permukiman disepanjang pantai. Pusat-pusat perdagangan dan
berbagai aktifitas perekonomian lainnya pada umumnya berlokasi di kota-kota
Kecamatan yang berada disepanjang pantai wilayah ini.
Pasca peristiwa musibah gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal
26 Desember 2004 wilayah Kabupaten Aceh Jaya merupakan wilayah yang
mengalami kerusakan paling parah. Secara fisik kawasan daratan bergeser
sejauh 2-4 km dari garis pantai, hubungan transportasi keluar dan ke dalam
wilayah terputus, pemukiman penduduk di sekitar pantai hancur dan
kerusakan lingkungan yang cukup parah.
Kabupaten Aceh Jaya terbagi sebanyak 9 (sembilan) wilayah
administratif, yaitu Kecamatan Jaya, Indra Jaya, Sampoiniet, Darul Hikmah,
Setia Bakti, Panga, Krueng Sabee, Teunom dan Pasi Raya. Selain sembilan
kecamatan tersebut juga terdapat 21 (dua puluh satu) mukim dan 172 (seratus
tujuh puluh dua) gampong. Selain itujuga di KabupatenAceh Jaya mempunyai
pulau-pulau kecil dengan jumlah kurang lebih 34 (tiga puluh empat) Pulau.
2. Karakteristik Kawasan Wisata Gunung Gerutee
Gunung Gerutee merupakan salah satu Gunung yang berada di
teritorial wilayah Aceh, lebih tepatnya berada di gampong Babah Ie,
Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya. Kecamatan Jaya terkenal dengan
profil penduduknya yang khas, sebagian penduduk Kecamatan Jaya ini
memiliki ras Belanda dan Portugis dengan ciri berkuli putih, bermata biru dan
berambut pirang, yang merupakan hasil perkawinan dengan prajurit Portugis
pada abad ke-16 yang kapalnya terdampar di pantai Kerajaan Daya, dan
47
ditawan oleh raja kawasan itu. Para prajurit Portugis yang tertawan ini lama-
kelamaan masuk Islam, kemudian menikah dengan penduduk setempat dan
beradaptasi dengan tradisi Aceh secara turun menurun. Keturunan tersebut
saat ini yang bertempat tinggal di Kecamatan Jaya (sekitar 75 km arah barat
daya Banda Aceh).1
Kabupaten Aceh Jaya menyimpan kekayaan alam yang berpotensial
dikomersilkan, salah satunya adalah puncak Gunung Gerutee yang sering
dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Puncak ini terletak di
perbatasan antara Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Besar, sekitar 1
jam 30 menit dari Kota Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh.
Puncak Gerutee ini merupakan kawasan pegunungan yang menjadi
lintasan jalan nasional menuju kawasan barat selatan Aceh. Gerutee juga
merupakan bagian dari hutan Ulu Masen yang kini dinobatkan sebagai salah
satu hutai penyuplai oksigen kepada dunia. Gunung ini mempunyai jurang
yang sangat dalam dan lansung berbatasan dengan bibir pantai Samudra
Hindia.
Secara data administratif bahwa puncak Gunung Gerutee Aceh Jaya
berada di perbatasan antara Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya. Kondisi
jalan begitu baik sehingga memudahkan para pengguna jalan dalam perjalanan.
Akan tetapi harus berhati-hati ketika musim hujan, karena kondisi jalan yang
tidak begitu besar dan rentan terjadinya longsor menyebabkan sering terjadi
rentuhan batu dari tebing Gunung Gerutee dan juga pepohonan.
Perlintasan di kawasan Gunung Gerutee pada dasarnya bukanlah
tempat titik kumpul sebagai destinasi, akan tetapi kenyataannya sekarang
perlintasan tersebut mempunyai dua tujuan. Pertama, ada yang menjadikan
wilayah Gunung Gerutee sebagai perlintasan dan kedua, ada yang menjadikan
1
Https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Aceh_Jaya, diakses pada tanggal 02
Desember 2019.
48
sebagai tempat destinasi wisata. Dan yang menjadikan Gunung Gerutee
sebagai lintasan dapat dibedakan menjadi dua tujuan, pertama, sebagai
perlintasan murni yang hanya dilewati untuk sampai ke tujuan; dan kedua,
sebagai rest area yaitu menjadikan Gunung Gerutee sabagai tempat
beristirahat. Sebagai contoh, para pengguna jalan dari Aceh Barat, Nagan
Raya atau sebaliknya yang sebagian dari mereka menjadikan Gunung Gerutee
sebagai tempat beristirahat. Karena terdapat banyak warung-warung kecil
yang berjajar yang dibangun di pinggir jalan yang menyajikan makanan dan
minuman, sebagian besar makanan dan minuman tersebut terdiri dari mie
instan, kelapa muda dan jajanan lainnya.
Lokasi puncak Gunung Gerutee berhadapan lansung dengan Samudra
Hindia, sehingga pengunjung dapat menyaksikan hamparan laut Samudra
begitu luas, terdapat gugusan pulau kecil-kecil berwarna hijau alami dari
kejauhan serta terlihat pula pasir putih pantai yang mengelilingi pulau-pulau
eksotis.
B. Pengaruh Penggunaan Sempadan Jalan Terhadap Lalu Lintas di
Kawasan Gunung Gerutee
Perlintasan di kawasan Gunung Gerutee dari dulu hingga sekarang
merupakan kawasan yang padat, karena semua kendaraan yang melintasi
kawasan Gunung ini tidak dapat melaju kencang, karena kondisi jalan di
Gunung Gerutee sempit dan juga berkelok-kelok sehingga setiap orang yang
mengemudi kendaraan di perlintasan ini harus ektra hati-hati dan
mengemudikan kendaraannya sesuai dengan ketentuan marka jalan yang dibuat
pemerintah. Hingga saat ini perlintasan Gunung Gerutee tidak dapat di buat
lebih lebar dari perlintasan sebelumnya karena jalan di kawasan Gunung ini
hanya dapat dibuat 6 meter, karena disebelah sisi Gunung terdapat dinding batu
yang tekstur sangat lemah sehingga rawan longsor, sedangkan di sebelah
49
sisinya satu lagi merupakan jurang yang curam yang langsung terhubung
dengan Samudra Hindia.
Untuk keselamatan para pengemudi pemerintah telah membuat rambu
dan marka jalan untuk menjadi pertanda baik bagi pengemudi yang sering lewat
di kawasan ini maupun pengemudi yang belum memiliki pengalaman
mengemudi di kawasan ini. Sehingga dengan adanya marka dan rambu lalu
lintas dapat membantu pengemudi melewati perlintasan di kawasan ini secara
aman. Secara teoritis marka jalan merupakan suatu tanda yang berada di
permukaan jalan atau di atas permukaan jalan yang meliputi peralatan atau
tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta
lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi
daerah kepentingan lalu lintas.2
Pemerintah secara konsisten mengawasi semua lokasi berbahaya yang
perlu dibuat sign board demi keselamatan pengemudi dan kendaraannya. Setiap
ruas jalan di Gunung Gerutee ini juga mepunyai sempadan jalan baik di sisi kiri
maupun di sisi kanan jalan. Namun sempadan tersebut hanya memiliki luas 1-2
meter apalagi di sisi jurang sangat sempit dan lansung pagar tebing. Secara
normatif sempadan jalan atau disebut juga dengan bahu jalan adalah bagian tepi
jalan yang dibatasi marka jalan dan dipergunakan sebagai tempat untuk
kendaraan yang mengalami kerusakan atau digunakan oleh kendaraan darurat
seperti ambulans, pemadam kebakaran atau polisi. Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun 2005 Pasal 41 (2) menjelaskan bahwa “Penggunaan bahu
jalan di atur sebagai berikut:
a. Digunakan bagi arus lalu lintas pada keadaan darurat;
b. Diperuntukkan bagi kendaraan yang berhenti darurat;
c. Tidak digunakan untuk menarik/menderek/mendorong kendaraan;
2 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang
Marka Jalan, Pasal 1, Ayat 1.
50
d. Tidak digunakan untuk keperluan menaikkan atau menurunkan
penumpang dan/atau barang dan/ atau hewan.
Keadaan darurat yang memperbolehkan kendaraan berhenti pada bahu
jalan yaitu masalah darurat dan mengakibatkan kendaraan tidak bisa berjalan
sama sekali. Misalnya pecah ban, mogok atau masalah lain yang membuat
kendaraan berhenti total seperti yang telah peneliti jelaskan pada bab dua yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan, Pasal 1 Angka 15, parkir adalah keadaan kendaraan berhenti
atau tidak bergerak untuk beberapa saat yang ditinggalkan pengemudinya.
Masih dalam Undang-Undang yang sama, tercantum pada bagian kedua Pasal
120 bahwa “parkir kendaraan dijalan dilakukan secara sejajar atau membentuk
sudut menurut arah lalu lintas”. Untuk keselamatan dan kenyamanan seluruh
pengguna jalan, parkir di tengah jalan dan parkir di rambu “P” sebagai tanda
dilarang parkir adalah hal yang terlarang. Tidak hanya itu, ada 10 area terlarang
untuk parkir mobil yang wajib diketahui, yaitu:
1. Tikungan, bahu bukit atau sebuah jembatan.
2. Di tempat pejalan kaki atau trek sepeda.
3. Dekat lampu lalu lintas atau penyeberangan pejalan kaki.
4. Di jalan utama atau di jalan dengan lalu lintas yang melaju cepat.
5. Berhadapan atau dekat dengan kendaraan berhenti lainnya di seberang
jalan sehingga mempersempit ruang jalan.
6. Dalam 6 meter (20 kaki) dari suatu persimpangan, atau dalam 9 meter
(30 kaki) dari suatu pemberhentian bus, kecuali jika keadaan rusak.
Lalu jangan berhenti atau parkir 3 meter (10 kaki) di sisi lain hidran
pemadam api atau yang dapat mengganggu akses kendaraan pemadam
ke hindran.
51
7. Menghadap bagian depan mobil ke arah lalu lintas yang berlawanan.
8. Sepanjang jalan yang licin.
9. Di jalan layang, terowongan, atau di sisi jalan yang menuju jalan
layang atau terowongan.
10. Di atas pinggiran rumput atau bahu jalan.
Pada bagian kedua di Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal
121, tertulis mengenai parkir yang diperbolehkan dalam kondisi darurat. Pada
pasal ini disebutkan bahwa seluruh kendaraan bermotor yang harus parkir
akibat kondisi darurat, maka pengemudi wajib memasang segitiga pengaman,
lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain.
Penggunaan area lalu lintas di kawasan Gunung Gerutee sangat tinggi,
karena perlintasan tersebut merupakan jalan nasional yang menghubungkan
antara Banda Aceh dengan arah Barat Selatan Aceh, yang mana kondisi jalan
tergolong sempit. Kondisi ini semakin diperparah karena sebagian badan jalan
digunakan untuk parkir kendaraan baik yang berwisata ke Gunung Gerutee
maupun yang menjadikan Gunung Gerutee sebagai rest area, dan juga
dipergunakan sebagai tempat berdagang dengan membangun cafe-café
disamping jalan yang sangat mengganggu pengguna jalan yang ingin melintas
di kawasan ini, disebabkan beberapa para pedagang-pedagang menggunakan
bahu jalan/sempadan jalan sebagai tempat untuk meletakkan barang dagangan
seperti kelapa dan juga menjadi tempat parkir motor dan mobil serta becak
dagangan mereka.
Fenomena ini sungguh sangat memudharatkan pengguna jalan, Penulis
telah mewawancarai responden yang sering melintasi jalan Gunung Gerutee
yang mengendarai mobil dump truck. Salah satunya Efendi, Efendi menyatakan
bahwa penggunaan sempadan jalan sebagai area parkir sangat mengganggu
arus lalu lintas dan harus ekstra hati-hati. Dalam konsep haqq al-murur
diperbolehkan memarkirkan kendaraan maupun berjualan di badan jalan selama
52
hal tersebut tidak menggangu kenyamanan pengguna jalan. Setiap orang
dilarang memanfaatkan ruang manfaat jalan yang mengakibatkan terganggunya
fungsi jalan yang dimaksud dengan terganggunya fungsi jalan adalah
berkurangnya fungsi jalan seperti parkir di badan jalan atau disempadan jalan.
Adapun parkir kendaraan yang dinyatakan sesuai dengan ketentuan parkir yaitu
setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memenuhi
ketentuan berhenti dan parkir.3 Terkait parkir di bahu jalan, sebagaimana yang
telah penulis jelaskan di atas, maka pengemudi hanya dapat memarkirkan
kendaraannya di bahu jalan yang menandakan bahwa bahu jalan tersebut dapat
dipergunakan sebagai tempat parkir.
Penulis telah mewawancarai responden yang sering melintasi jalan
Gunung Gerutee. Salah satunya Ismail, nelayan di Lamno, yang sering melintas
dan singgah di wilayah Gunung Gerutee. Ismail menyatakan bahwa ia terpaksa
memarkirkan kendaraannya sedikit menggunakan badan jalan karena tidak ada
tempat lain yang bisa digunakan untuk parkir. Bukan hanya dia saja yang
melakukannya, pengunjung yang lain juga melakukan hal tersebut. Mengenai
sosialiasi dari pihak pemerintah, ia menyatakan belum pernah mendapatkan
sosialiasi tentang dilarang parkir di badan jalan wilayah tersebut. 4
Selain pihak pengendara, penulis juga mewawancarai Syamsidar, salah
satu pemilik cafe di wilayah tersebut. Ia menyatakan bahwa kurang begitu
paham mengenai aturan-atauran hukum, terlebih lagi bahwa tidak
diperbolehkan parkir menggunakan sedikit badan jalan. Kalau tidak
menggunakan sedikit badan jalan, maka tidak ada tempat untuk pengunjung
warungnya untuk memarkirkan kendaraannya.5
3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Pasal 106, ayat 4. 4
Hasil Wawancara dengan Ismail, Pengendara yang Sering Melintas Kawasan
Gunung Gerutee, pada tanggal 16 Januari 2019, di Jaya. 5 Hasil Wawancara dengan Syamsidar, pemilik warung di kawasan Gunung Geurutee,
pada tanggal 03 Januari 2020, di Jaya.
53
Pada dasarnya segala permasalahan harus ditinjau dari dua sisi yang
berbeda, tak terkecuali permasalahan parkir di wilayah Gunung Gerutee. Dari
permasalahan tersebut dapat disimpulkan berdasarkan pengaruh atau dampak
yang dapat terjadi, jika tidak ada yang parkir maka arus lalu lintas aman dan
terkendali, bagi pengguna jalan 100% berdampak positif. Beberapa dampak
positif yang terjadi yaitu arus lalu lintas lancar, tingkat isi rasionya bagus/tinggi,
tingkat pelayanannya B serta kapasitas jalan menjadi lancar. Tetapi ada dampak
negatifnya bagi para pemilik cafe tersebut, salah satu dampaknya yaitu tidak
ada yang beli atau tidak ada yang singgah di warung-warung mereka. Sehingga
pemilik tersebut tidak mendapatkan penghasilan dan tidak bisa menghidupi
keluarga. Dengan demikian mengakibatkan munculnya permasalahan sosial
lainnya seperti pengangguran, pencurian dan lain sebagainya. 6
Sedangkan apabila ada kendaraan yang parkir di wilayah Gunung
Gerutee, dampak positif yang timbul yaitu meningkatnya perekonomian
keluarga pemilik cafe di wilayah tersebut dengan adanya penumpang yang
singgah sekaligus penumpang tersebut dapat menikmati pemandangan di
wilayah tersebut. Sedangkan dampak negatif yang timbul yaitu diantaranya
kapasitas jalan menjadi berkurang, akan mengganggu tingkat kelancaran lalu
lintas di wilayah tersebut, menurunkan tingkat pelayanan, isi rasio bertambah
besar, tingkat keselamatan berkurang, tingkat kenyamanan berkurang, serta
aksesibilitas7 menjadi lambat.
6 Hasil wawancara dengan M. Hanung Kuncoro, Kasi Lalu Lintas dan Keselamatan
Jalan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pada tanggal 10 Januari 2020, di Banda Aceh. 7 Aksesibilitas adalah ukuran kemudahan lokasi untuk dijangkau dari lokasi lainnya
melalui sistem transportasi.
54
C. Kebijakan yang Dilakukan Dinas Perhubungan terhadap
Penyempitan Ruas Jalan di Kawasan Gunung Gerutee
Tanah milik negara secara yuridis formal harus dikuasai negara dan
dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Secara normatif, tidak boleh satu
pihak pun baik secara individual maupun kelompok mengklaim harta milik
negara sebagai harta milik pribadi dan kelompok tersebut. Pemerintah
berkewajiban melindungi dan memproteksi harta tersebut sehingga tidak
mengganggu kepentingan publik atas semua fasilitas yang telah dibangun
pada tanah tersebut.
Sistem proteksi yang dibuat negara untuk melindungi kepentingan
publik tersebut ditetapkan dalam perundang-undangan sehingga memiliki
kekuatan dan kepastian hukum sebagai ketentuan legal formal yang harus
dipatuhi oleh setiap masyarakat. Salah satu bentuk ketentuan hukum yang
diatur mengenai kepemilikan harta negara adalah tentang jalan dan jalan raya.
Hal tersebut harus diatur supaya tidak terjadi klaim atas tanah jalan yang telah
dibangun. Dalam pengaturan jalan raya tersebut telah dibuat stratifikasi untuk
memudahkan penguasaan dan pemeliharaan jalan, yang dikenal 3 bentuk
stratifikasi yaitu jalan nasional yang dikuasai oleh pusat dan wewenang
pemeliharaannya diserahkan pada provinsi, kemudian jalan provinsi yang
menghubungkan antar kabupaten dan dikuasai kewenangannya oleh provinsi
dan kemudian jalan kabupaten yang kewenangannya berada pada pemerintah
kabupaten. 8
Dalam kasus yang penulis teliti, untuk wilayah jalan yang melintasi
Gunung Gerutee kewenangan dan penguasaannya sepenuhnya berada pada
pemerintah provinsi Aceh. Untuk pembangunan dan pemeliharaannya
dilakukan oleh pemerintah nasional dan dalam pengawasan Pemerintah Aceh,
8 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 13.
55
dalam hal ini memberikan wewenang mengatur perihal keselamatan
berlalulintas di wilayah Aceh kepada Dinas Perhubungan Aceh.
1. Kewenangan Dinas Perhubungan Aceh
Berdasarkan hasil interview diperoleh data bahwa secara
legalitasnya, jalan Gunung Gerutee merupakan jalan nasional sebagai jalan
dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota
provinsi dalam hal ini ibukota provinsi Aceh yaitu Banda Aceh dan ibukota
Provinsi Sumatera Utara yaitu Medan. Selain jalan dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, beberapa bentuk
jalan nasional dan dalam kewenangan provinsi seperti jalan arteri9 dan
jalan kolektor10
dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.11
Dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan,
dalam ketentuan UU ini Pada Pasal ditetapkan bahwa setiap jalan berada di
bawah wewenang masing-masing wilayah, yaitu:
a) Jalan nasional merupakan kewenangan pemerintah pusat, dalam hal
ini yaitu Kementerian Perhubungan.
b) Jalan provinsi merupakan kewenangan gubernur, dalam hal ini Dinas
Perhubungan provinsi.
c) Jalan kabupaten/kota merupakan kewenangannya bupati/wali kota,
dalam hal ini Dinas Perhubungan kabupaten/kota.
Hasil wawancara dengan M. Hanung Kuncoro, Kasi Lalu Lintas
dan Keselamatan Jalan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dinas
Perhubungan Aceh menyatakan bahwa untuk wilayah Gunung Gerutee
9 Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara berdaya guna. 10
Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul
atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah
jalan masuk dibatasi. 11
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 9, Ayat 2.
56
merupakan kewenangan Kementrian Perhubungan dalam hal ini yaitu Balai
Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah I Aceh. Dinas Perhubungan
Aceh melalui Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah I Aceh
wajib melakukan penyusunan rencana program dan anggaran dan
melaksanakan manajemen rekayasa lalu lintas. 12
Bila dianalisis Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 dalam Pasal
8 ditetapkan bahwa pada jalan arteri sebagai jalan utama dari jalan nasional,
tidak boleh kendaraan diparkir, sehingga pemilik mobil ataupun
pengendara dilarang untuk menggunakan badan jalan dan sempadannya
sebagai tempat atau lokasi parkir kendaraan yang dikemudikannya.
Menurut Hanung, bila ada pihak yang menggunakan badan jalan sebagai
tempat parkir maka tindakan tersebut telah melanggar diktum UU yang
merupakan ketentuan ketertiban dan keselamatan jalan yang mengatur
prilaku supir dan pihak pengemudi lainnya yang diatur dalam UU No 22
Tahun 2009 Pasal 106 ayat (4).13
Adapun parkir yang kendaraan yang
dinyatakan sesuai dengan ketentuan parkir yaitu setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memenuhi ketentuan
berhenti dan parkir. Terkait parkir di bahu jalan, sebagaimana yang telah
penulis jelaskan di atas, maka pengemudi hanya dapat memarkirkan
kendaraannya di bahu jalan yang menandakan bahwa bahu jalan tersebut
dapat dipergunakan sebagai tempat parkir. Parkir kendaraan di jalan
dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah lalu lintas.14
Hingga sekarang di perlintasan Gunung Gerutee ini memang tidak
ditempatkan marka dan rambu larangan parkir, karena desakan pihak
12
Hasil wawancara dengan M. Hanung Kuncoro, Kasi Lalu Lintas dan Keselamatan
Jalan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pada tanggal 10 Januari 2020, di Banda Aceh. 13
Hasil wawancara dengan M. Hanung Kuncoro, Kasi Lalu Lintas dan Keselamatan
Jalan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pada tanggal 10 Januari 2020, di Banda Aceh. 14
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Pasal 120.
57
pedagang yang menginginkan masyarakat singgah di tempat dagang berupa
warung-warung kecil yang dibangun di bahu jalan sebelah tebing yang
langsung mengarah ke lautan Samudera Hindia. Kawasan ini memiliki spot
yang indah sebagai daya tarik masyarakat yang melintasi areal jalan ini
ataupun masyarakat yang menjadikan kawasan ini sebagai destinasi
kunjungannya. Hal ini menyebabkan perlintasan di spot Gunung Gerutee
dipadati dengan kendaraan terutama di hari-hari tertentu, seperti week end,
dan masa-masa liburan.
Hal ini menjadi sangat dilematis bagi Dinas Perhubungan Provinsi
Aceh dan juga Dinas Perhubungan Aceh Jaya, karena dihadapkan pada dua
kepentingan yang berbeda, di satu sisi pihak pemerintah mengharap
kelancaran lalu lintas di kawasan tersebut yang merupakan perlintasan
yang rawan karena tanjakan Gunung dan juga jurang yang curam. Di sisi
yang lain dihadapkan pada kepentingan masyarakat sebagai pihak pemilik
dan pengelola warung pinggir jalan yang merupakan kepentingan yang
sangat urgen sebagai tempat untuk mencari nafkah. Permasalahan sosial
inilah yang sulit diatasi, karena masyarakat yang berjualan menjadi lahan
sumber perolehan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan primernya.
Kondisi ini terus terjadi dari tahun ke tahun, sejak jalan Meulaboh
Banda Aceh ini siap dibangun oleh NGO setelah luluh lantak dihantam
gempa dan tsunami. Meskipun pelanggaran aturan dan ketentuan hukum
terus terjadi, tapi pihak Dinas Perhubungan harus mencari solusi praktis
agar tidak terjadi kecelakaan yang akan merenggut korban jiwa.
Menurut masyarakat pedagang dan juga konsumen di areal rest area
ilegal tersebut: “Kami menyadari sepenuhnya bahwa aturan yang
ditetapkan pemerintah untuk menjaga keselamatan warga baik masyarakat
penggunaan moda transportasi maupun masyarakat yang menikmati dan
58
beristirahat di Gunung Gerutee tersebut, namun selama tidak ada yang
komplain langsung dari warga dan pemerintah maka kami tetap
menggunakan areal dan kawasan ini untuk berdagang. 15
Pemerintah telah membentuk aturan secara ideal dan sesuai. Secara
aturan sebenarnya memang tidak boleh mengganggu hak-hak pengguna
jalan yang akan mengakibatkan ruas jalan yang dapat dilalui menjadi
sempit. Dengan adanya kendaraan yang parkir di sempadan jalan tersebut
maka akan mengakibatkan kendaraan-kendaraan yang melintas akan
terhambat dan terganggu perjalanannya.
2. Kebijakan Dinas Perhubungan
Kebijakan Dinas perhubungan terhadap lalu lintas di Gunung Geurute
adaalah menjaga keselamatan berlalu lintas dengan upaya menyediakan:
a) Rambu-rambu lalu lintas
Rambu lalu lintas adalah bagian dari perlengkapan jalan yang
memuat lambang, huruf, angka, kalimat untuk memberikan peringatan,
larangan, perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan.
b) Kaca cembung
Kaca cembung adalah cermin yang memiliki bentuk lengkung, yang
di mana permukaan cerminnya memantulkan suatu cahaya yang
melengkung ke luar.
c) Delinator
Delinator adalah digunakan sebagai rambu pembatas jalan/patok
jalan. Delinator biasa digunakan di jalur yang rawan kecelakaan atau
jalur berbahaya. Di pasang yaitu untuk mengingatkan kepada
pengendara guna berhati-hati dengan jalur tersebut.
15
Hasil wawancara dengan Syamsidar, Pemilik Warung di Gunung Gerutee, pada
tanggal 03 Januari 2020, di Jaya.
59
d) Pagar guardrail atau pagar pengaman jalan
Pagar guardrail adalah sistem pengaman orang atau kendaraan
yang terbuat dari rail besi atau baja panjang sebagai pagar pada jalan-
jalan yang berbahaya seperti jalan pergunungan, sungai, jurang.
Fungsinya adalah sebagai pelindung agar kendaraan yang melewatinya
terlindung dari terjatuh ke sungai atau jurang.
Secara teori, pihak pemerintah tinggal meletakkan rambu di larang
parkir, artinya secara teori pemerintah terlepas dari tanggung jawab.
Misalnya terjadi kecelakaan maka yang disalahkan adalah orang yang
memarkirkan kendaraannya di sempadan jalan walaupun pihak Dinas
Perhubungan tetap bertanggung jawab. Oleh karena itulah pihak Dishub
meletakkan rambu dilarang parkir di jalan-jalan yang sempit apalagi daerah
pergunungan. Pihak Dinas Perhubungan tidak mungkin berjaga di wilayah
tersebut hingga 1x24 jam.
Kebijakan lain yang telah dilakukan Dinas Perhubungan yaitu
sosialisasi taat rambu lalu lintas kepada masyarakat secara umum, namun
sosialisasi secara spesifik mengenai dilarang parkir di wilayah Gunung
Gerutee belum terlaksana. Sedangkan mengenai pemberian sanksi kepada
pengendara yang melanggar tersebut atau menertibkan warung-warung di
wilayah Gunung Gerutee bukan merupakan kewenangan pihak Dinas
Perhubungan. 16
Dinas perhubungan telah memberikan penyuluhan kepada
masyarakat umum dalam berbagai cara, seperti menempelkan spanduk
16
Hasil wawancara dengan Diana Devi, Kepala Bidang Pengembangan Sistem dan
Multimoda, pada tanggal 13 Januari 2020, di Banda Aceh.
60
peringatan, memberikan penyuluhan ke sekolah-sekolah, memposting di
sosial media, dan lain sebagainya. 17
D. Tinjauan Konsep Haq Al-Murur terhadap Penggunaan Sempadan
Jalan oleh Masyarakat di Kawasan Gunung Gerutee
Pemerintah telah membuat beberapa regulasi menyangkut lalu lintas di
jalan yang di dalamnya juga membahas aturan parkir, diantaranya
UndangUndang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pemerintah
telah melakukan beberapa kebijakan seperti membuat regulasi yang memadai,
melakukan pengawasan, sosialisasi bahkan memberikan sanksi bagi yang
melanggar. Namun tetap saja ada pengguna jalan yang melanggar aturan
tersebut.
Hal tersebut dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat masih rendah,
sehingga banyak masyarakat memarkirkan kendaraannya di sempadan jalan
wilayah Gunung Gerutee. Hal tersebut juga disebabkan tidak adanya tempat
parkir khusus yang dibuat oleh pemerintah untuk parkir di area wisata Gunung
Gerutee. Sehingga masyarakat terpaksa memarkirkan kendaraannya di
sempadan jalan/bahu jalan. 18
Namun, pihak pemerintah tidak membuat tempat parkir khusus karena
kondisi wisata Gunung Gerutee tidak memungkinkan untuk pembuatan tempat
parkir khusus, karena membutuhkan waktu yang tidak sedikit, butuh
perencanaan yang matang serta butuh biaya yang banyak.
Sedangkan dalam perspektif hukum Islam, penggunaan jalan untuk
melintas berkaitan dengan konsep haq al-murur. Wahbah Zuhaili menjelaskan
haq al-murur adalah hak pemilik benda tetap yang terletak di bagian dalam
17
Hasil wawancara dengan Diana Devi, Kepala Bidang Pengembangan Sistem dan
Multimoda, pada tanggal 13 Januari 2020, di Banda Aceh. 18
Hasil wawancara dengan Alibansyah, Keuchik Desa Babah Ie pada tanggal 03
Januari 2020, di Jaya.
61
untuk sampai ke benda tetapnya melalui jalan yang dilewatinya baik itu jalan
umum yang tidak dimiliki oleh seseorang, maupun jalan khusus yang dimiliki
oleh orang lain.19
Bentuk-bentuk haq al-murur dibagi dua yaitu hak guna jalan (haq
almurur) umum/raya dan hak guna jalan (haq al-murur) khusus.20
Dalam
perspektif fiqh, menurut Wahbah Zuhaili, jalan umum/raya bebas digunakan
oleh masyarakat, namun pemanfaatannya tidak melanggar syariat dan
merugikan orang lain.21
Dari dua bentuk tersebut, jalan wilayah Gunung Gerutee merupakan
bagian jalan umum/jalan raya yang dapat dilalui oleh siapa saja yang
merupakan haq al-murur al-‘am. Penggunaan jalan tersebut tidak terbatas dan
tidak dapat diblokade oleh perorangan untuk kepentingan pribadi dikarenakan
hanya ada satu jalan untuk dapat melintas dari kota Banda Aceh ke daerah
Barat-Selatan Aceh. Sehingga tidak diperkenankan bagi pihak-pihak tertentu
melakukan kegiatan apapun yang dapat menggangu kenyamanan pengguna
jalan yang melintas. Hal tersebut juga telah dijelaskan dalam hadist Nabi
Muhammad SAW riwayat Ahmad dan Abu Dawud yang berbunyi:
مع عبد الل م ض الرو أر ان ب ى حصن سن ا عل ن ـزل ال ن ق ه ي ب عن أ عن سهل بن معاذ الجهني ل ب
ن ق الن ضي ك ف ن عبد الم
ا مع ا غزون ن اس إ ـها الن ي أ ـقال معاذ ق ف ري وا الط ع ط ل وق از اس الم
ى الل صل ب ـعث الن ق فـب ي ر اس الط ق الن ضي كذا ف زوة كذا و م غ وسل ه ي عل ى الل صل ل الل سو ر رواه احمد وابو ) ه جهاد ل ق ا فل ي ـر ع ط ط أو ق ل ق منز ادى من ضي ـن ا ف ادي م من وسل ه ي عل
(داود
Dari Sahal ibn Mu'adz ibn Anas Al-Juhni dari bapaknya Mu'adz ibn
Anas Al-Juhni berkata; “Kami berhenti pada benteng sinan, di kota
19
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 88. 20
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 21. 21
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid 6, (Jakarta: Gema Insani,
2002), hlm. 557.
62
Romawi bersama Abdullah bin Abdul Malik, lalu orang-orang
mempersempi rumah-rumah pengungsian yang ada, dan mereka
hingga mereka menutup jalan (demi perumahan). Lantaran itu, Mu'adz
berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kami pernah
berperang bersama Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam pada perang
ini dan itu, lalu orang-orang mempersempit jalan-jalan yang ada, maka
Nabi Shallallahu' alaihiwasallam mengutus seorang juru seru untuk
menyerukan barangsiapa yang mempersempit rumah-rumah atau ia
menutup jalan, maka dia tidak ada jihad baginya.”. (HR. Ahmad dan
Abu Daud, Shahih Abu Daud No. 2364 ) 22
Hadist ini menegaskan bahwa jalan tidak boleh dialihkan
pemanfaatannya, meski apapun alasan pengalihan. Dalam hadist tersebut
digambarkan bahwa di wilayah Roma dulunya sebagian jalan beralih fungsinya
menjadi lahan untuk area pembangunan rumah. Kondisi ini tentu saja sangat
merugikan kepentingan umum untuk menggunakan jalan sebagai jalur untuk
melintas.
Begitu pula halnya dengan penggunaan sempadan jalan di wilayah
Gunung Gerutee oleh pemilik warung dan pengendara yang parkir untuk
menikmati pemandangan dari atas Gunung Gerutee di warung-warung tersebut.
Hal tersebut tentu mengganggu pengendara lainnya yang melintas. Jalan yang
sempit dan ditambah kendaraan yang parkir di badan jalan membuat ruas jalan
yang tersisa semakin sedikit.
Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan setiap orang memiliki hak guna jalan
untuk menghentikan kendaraan (parkir) atau mendirikan tempat-tempat dagang
(toko, kios dan lain sebagainya) di jalan umum. Namun dengan memperhatikan
beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
22
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Abu Daud; Buku 2, Kitab Al
Jihad, (terj. Abd. Mufid Ihsan, M. Soban Rohman), (Jakarta: Pustaka Azzam,2006), hlm. 149.
63
1. Tidak mengganggu dan merugikan orang lain.
Apabila mengganggu dan merugikan pengguna jalan lainnya, seperti
menyebabkan arus lalu lintas jalan tersebut terganggu, maka tidak boleh. Hal
itu sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW:
ىصل ـ سول اللهأن ر ه ان الـخدري رضي الل عن ن سن ك ب ن مال عن أبـي سعيد سعد ب (رواه ابن ماجه)ضرار ل ضرر و ل : ال م ق وسل ه ي الل عل
Dari Abu Sa‘id Sa‘id bin Malik bin Sinan al-Khudri Radhyallahu
‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR.
Ibnu Majah).
Sedangkan ulama Syafi’iyyah mengatakan, seseorang tidak boleh
melakukan suatu hal yang mengganggu para pengguna jalan tersebut jika
jalan tersebut adalah jalan tembus (jalan besar, jalan umum).23
Karena jalan
itu adalah hak seluruh kaum Muslimin. Maka oleh karena itu, seseorang tidak
boleh membangun sayap bangunan yang menonjol ke jalan, juga tidak boleh
membangun atap di atasnya (atap yang menghubungkan dua tembok
sementara jalan tersebut berada di antara keduanya) yang mengganggu para
pengguna jalan lainnya.
Pada kondisi jalan di wilayah Gunung Gerutee, keberadaan
warungwarung tersebut menyebabkan adanya pengendara yang parkir di
badan jalan. Hal tersebut tentu mengganggu bahkan membahayakan pengguna
jalan yang melintas di wilayah tersebut. Badan jalan yang pada dasarnya
lumayan sempit karena jalan nasional yang terletak di wilayah pergunungan.
Luas jalan nasional di wilayah tersebut yaitu ± 6 meter.
Penulis akan memberikan ilustrasi mengenai kendaraan yang melintas
dibandingkan luas jalan yang tersedia. Pada umumnya kendaraan besar seperti
23
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid 6 …, hlm. 558.
64
dump truck, mobil tangki dan sejenisnya memiliki lebar ± 2,5 meter,
sedangkan mobil-mobil kecil memiliki lebar ± 1,9 meter. Tentu saja jalan
tersebut tegolong sempit dan sangat pas-pasan dengan mobil dari dua arah
yang berbeda. Apabila setiap kendaraan roda empat seperti mobil
memarkirkan dengan keadaan setengah bagian kendaraan berada di badan
jalan atau diperkiran menempati 1 meter bagian jalan maka pengguna jalan
lainnya yang melintas harus menurunkan kecepatan laju kendaraannya.
Bahkan harus berhenti jika dari arah yang berlawanan juga terdapat
pengemudi yang menggunakan kendaraan roda empat. Jika tidak
dikhawatirkan akan terjadi kecelakaan, mengingat keadaan jalan Gunung
Gerutee yang memiliki belokan tajam sehingga menyebabkan pengemudi
tidak dapat melihat kendaraan yang datang dari arah yang berlawanan.
2. Mengantongi izin dari hakim24
.
Apabila tidak mengganggu dan merugikan penggun jalan lain, maka
dibolehkan dengan syarat mengantongi izin dari hakim menurut Imam Abu
Hanifah. Sementara itu, menurut Muhammad Abu Yusuf tidak perlu
mengantongi izin dari hakim. Begitu juga, menurut ulama Syafi’iyyah dan
ulama Hanabilah, disini tidak perlu mengantongi izin dari hakim.25
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “Barangsiapa lebih dulu sampai kepada
sesuatu yang sebelumnya tidak ada seorang muslim yang lebih dulu sampai
kepada sesuatu itu, maka ia adalah orang yang paling berhak terhadap sesuatu
tesebut.”
Sementara itu, ulama Malikiyah26
mengatakan, barang siapa
membangun sesuatu bangunan di jalan kaum Muslimin atau mengambil
24
Hakim yang dimaksud yaitu pemerintah yang mempunya kewenangan terhadap
jalan tersebut. 25
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid 6 …, hlm. 558. 26
Ibid.
65
bagian dari badan jalan untuk ditambahkan ke tempat miliknya, maka itu
dilarang berdasarkan kesepakatan.
Selain itu dalam Undang-Undang tentang jalan juga dijelaskan bahwa
penguasaan atas jalan ada pada negara dan negara memberi wewenang kepada
pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan penyelenggaraan jalan. 27
Sehingga aktivitas yang menyimpang dari fungsi jalan sebagai sarana
mobilisasi, harus adanya perizinan dari pemerintah terkait.
Penulis juga mewawancarai salah satu pemilik warung di Gunung
Gerutee. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, mengenai izin pendirian
warung-warung di kawasan Gunung Gerutee sebenarnya dulunya tidak perlu
minta izin kepada pihak manapun. Namun beberapa waktu yang lalu, telah
ada peraturan dari pemerintah bagi masyarakat yang ingin mendirikan
warungwarung di kawasan tersebut harus mempunyai izin dari keuchik desa
Babah Ie. 28 Tapi pada hakikat sebenarnya pihak pemerintah melarang
pendirian warung-warung tersebut namun karena itu menjadi permasalah
sosial, artinya tempat itu sudah menjadi tempat mata pencarian masyarakat
setempat maka pihak pemerintah membiarkan saja. Namun sekarang ini
mengenai pendirian warung-warung tersebut sudah tidak dibenarkan lagi atau
tidak dibolehkan lagi karena sudah terlalu banyak dan sebenarnya sangat
beresiko baik untuk lalu lintas karena sedikit mengambil bagian sempadan
jalan maupun untuk mereka sendiri, karena warung-warung tersebut mereka
dirikan lebih kepada diatas jurang Gunung Geurute. 29
Berdasarkan konsep haq al-murur tersebut memiliki perbedaan
pendapat antara para fuqaha. Namun penulis menyimpulkan bahwa sebagian
27
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 13. 28
Hasil wawancara dengan Syamsidar, Pemilik Warung di Gunung Gerutee, pada
tanggal 03 Januari 2020, di Jaya. 29
Hasil wawancara dengan Alibasyah, Keuchik Desa Babah Ie pada tanggal 03
Januari 2020, di Jaya.
66
besar pendapat para fuqaha lebih cenderung tidak memperbolehkan
penggunaan jalan umum yang dapat mengganggu kemaslahatan umum.
Dengan adanya pengendara yang parkir di sempadan jalan wilayah Gunung
Gerutee memberikan dampak negatif diantaranya kapasitas jalan menjadi
berkurang, akan mengganggu tingkat kelancaran lalu lintas di wilayah tersebut,
menurunkan tingkat pelayanan, isi rasio bertambah besar, tingkat keselamatan
berkurang, tingkat kenyamanan berkurang, serta aksesibilitas30
menjadi
lambat.
30
Aksesibilitas adalah ukuran kemudahan lokasi untuk dijangkau dari lokasi lainnya
melalui sistem transportasi.
67
BAB EMPAT
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis uraikan pada bab
sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengaruh penggunaan sempadan jalan terhadap lalu lintas di kawasan
Gunung Gerutee sangat mengganggu keselamatan dan kenyamanan
pengguna jalan di kawasan tersebut. Karena perlintasan tersebut
merupakan jalan nasional yang menghubungkan antara Banda Aceh
dengan arah Barat Selatan Aceh, yang mana kondisi jalan tergolong
sempit. Kondisi ini semakin diperparah karena sebagian jalan digunakan
untuk parkir kendaraan baik yang berwisata maupun yang menjadikan
Gunong Geurutee sebagai rest area, dan juga dipergunakan sebagai
tempat berdagang dengan membangun warung-warung kecil di
sempadan jalan.
2. Kebijakan yang dilakukan Dinas Perhubungan dalam menjaga
keselamatan pengendara di kawasan Gunung Gerutee diantaranya
menyediakan alat keselamatan lalu lintas seperti rambu-rambu lalu lintas
seperti rambu dilarang parkir, kaca cembung, delinator dan pagar
guardrail (pagar pengaman jalan). Pemerintah dalam hal ini juga telah
membuat kebijakan-kebijakan berupa produk hukum yang harus ditaati
dan dipatuhi oleh masyarakat mengenai aturan lalu lintas yang sesuai.
Dinas perhubungan juga memberikan penyuluhan kepada masyarakat
umum dalam berbagai cara, seperti menempelkan spanduk peringatan,
memberikan penyuluhan ke sekolah-sekolah, memposting di sosial
media. Namun belum ada upaya Dinas Perhubungan yang secara
spesifik langsung tertuju pada permasalahan parkir di sempadan jalan
wilayah gunung Geurutee. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
68
dalam bentuk produk peraturan perundang-undangan telah memadai,
tetapi kendalanya banyak masyarakat yang tidak mengerti hukum
sehingga tidak tersampaikan dengan baik.
3. Ditinjau dari konsep haq al-murur penggunaan sempadan jalan umum
harus memperhatikan dua hal yaitu tidak mengganggu dan merugikan
orang lain dan mengantongi izin dari pemerintah yang berwenang.
Penggunaan sempadan jalan untuk parkir jelas mengganggu
kenyamanan pengguna jalan serta memberikan dampak negatif bagi arus
lalu lintas. Selain itu mengenai perizinan, pemilik warung-warung yang
menjadi penyebab pengemudi memarkirkan kendaraanya di tempat
tersebut juga tidak memiliki izin resmi dari pemerintah terkait. Karena
pada dasarnya pendirian warung-warung diatas jurang itu dilarang,
namun warung tersebut telah menjadi mata pencaharian masyarakat
setempat maka pihak pemerintah membiarkan saja.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis
merekomendasikan beberapa saran-saran sebagai berikut:
1. Diharapkan kepada pemerintah agar memberdayakan usaha warung-
warung masyarakat dengan mengembangkan puncak Gunung Geurutee
menjadi tempat wisata halal karena masyarakat membutuhkan tempat
usaha tersebut yang telah menjadi mata pencaharian masyarakat
setempat.
2. Diharapakan kepada pemerintah agar mencari solusi yang memberikan
dampak positif bagi pemilik warung di wilayah Gunung Geurutee tanpa
mengganggu pengguna jalan yang melintas.
3. Diharapkan kepada pemerintah agar melakukan sosialisasi dan
penyuluhan langsung kepada pemilik-pemilik warung serta pengendara
yang memarkirkan kendaraanya menggunakan sebagian besar ruas jalan,
69
sehingga parkir diwilayah tersebut tidak mengganggu kenyamanan
pengguna jalan yang lain.
4. Kepada peneliti selanjutnya untuk dapat mengkaji lebih lanjut mengenai
penggunaan sempadan jalan di kawasan wisata gunung Geurutee dari
sisi yang berbeda. Adapun variabel yang dapat dikaji, diantaranya
mengenai perencanaan tata ruang yang tepat oleh Dinas PUPR Aceh
untuk wilayah Gunung Geurutee dengan keadaan wilayah tersebut yang
mempunyai tempat wisata yang banyak dikunjungi. Selain itu peneliti
juga dapat mengkaji bagaimana kebijakan Dinas Pariwisata Aceh dalam
mengembangkan tempat wisata tersebut menjadi potensi wisata halal
yang bertaraf nasional bahkan internasional dengan tetap
memperhatikan keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan di wilayah
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi penelitian & Teknik Penuyusunan Skripsi,
Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2015.
A.W. Munawwir, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka progresif, 1997.
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi, Jakarta: Kencana,
2013.
Cut Maisuri Diwa, Pengawasan Pemerintah Kota Banda Aceh terhadap
Penggunaan Badan Jalan oleh Pedagang Kaki Lima di Darussalam
dalam Perspektif Konsep Haq al-Murur, (skripsi tidak dipublikasikan),
UIN Ar-Raniry, 2016.
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Erna Wardani, Relokasi Pedagang Kaki Lima dan Efektivitasnya dalam
Peningkatan Pemanfaatan Haq al-Murur di Ulee Kareng Banda Aceh
Menurut Perspektif Hukum Islam, (skripsi tidak dipublikasikan), UIN
Ar-Raniry, 2013.
Fauzi, Teori Hak, Harta & Istislah Serta Aplikasinya dalam Fiqh Kontemporer,
Jakarta, Kencana Prenada, 2017.
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2004.
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari Jilid
14 Jakarta: Pustaka Azzam, 2005.
Ikhsan MJ, Impelentasi Haq al-Murur dalam Pemanfaatan Mal al-‘Uqar di
Desa Tanjung Slamat Menurut Perspektif Fiqh Muamalah, (skripsi tidak
dipublikasikan), UIN Ar-Raniry, 2013.
Juniarso ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Layanan Publik, Bandung: Nuansa Cendikia, 2019.
70
71
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan; Dalam Sistem Penegakan Hukum
lingkungan indonesia, Bandung: Alumni, 2001.
Mahli Ismail, Fikih Hak Milik Atas Tanah Negara, Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2013.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa
Dzuriyyah, 2010.
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Abu Daud; Buku 2, (terj.
Abd. Mufid Ihsan, M. Soban Rohman), Jakarta: Pustaka Azzam, 2006).
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1981.
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014
tentang Marka Jalan.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
Rayyan Azmi, Feasibilitas Penempatan Billboard pada Wilayah Perlintasan
Kota Banda Aceh Menurut Perspektif Haq Al-Murur, (skripsi tidak
dipublikasikan), UIN Ar-Raniry, 2018.
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1999.
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004.
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas
dan Angkutan Jalan.
V.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Yogyakarta: Gadjah Mada,
1961.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam 6, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jakarta:
Gema Insani, 2011.
Penulis,
Wahyu juanda
Banda Aceh, 23 Januari 2020