ANALISIS KEBIJAKAN IMBALAN BUNGA DALAM SENGKETA …
Transcript of ANALISIS KEBIJAKAN IMBALAN BUNGA DALAM SENGKETA …
1
ANALISIS KEBIJAKAN IMBALAN BUNGA DALAM SENGKETA PAJAK DITINJAU DARI ASAS KESETARAAN WAJIB PAJAK DAN FISKUS
Luthfan Ali Azka Dikdik Suwardi
Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
ABSTRAK
Kebijakan imbalan bunga dalam sengketa pajak yang diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan KUP 2007 dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan diantara Wajib Pajak dan fiskus. Penelitian ini mendeskripsikan perkembangan kebijakan imbalan bunga dalam sengketa pajak dan meninjau kebijakan dengan asas kesetaraan. Pendekatan yang digunakan diberlakukannyaa adalah kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara mendalam dan studi pustaka. Penelitian ini menemukan bahwa realisasi kebijakan tersebut tidak sepenuhnya setara.
Kata kunci : Imbalan bunga, Asas Kesetaraan, Sengketa Pajak
ABSTRACT
The policy of interest on overpayment related to tax dispute which stipulated in Tax Administration Law and Procedure Year 2007 and Government Regulation Number 74 2011 potentially caused unfairness between taxpayer and tax authority. This research describes the development of the interset policy related to to tax dispute and reviewing the policy with the fair play principle. This research uses descriptive qualitative method with in-depth interview and literature study techniques. This research finds that the interest policy is not fully fair
Keywords : Interest on Overpayment, Fair Play Principle, Tax Dispute
1. Pendahuluan
Tertundanya pengembalian dari ditjen pajak atas kelebihan pembayaran yang diajukan oleh
Wajib Pajak dikarenakan adanya sengketa pajak dapat berdampak buruk terhadap Wajib Pajak.
Hal tersebut merugikan Wajib Pajak dimana kelebihan pembayaran pajak tersebut tertahan dan
mengakibatkan terganggunya arus kas dan cadangan kas Wajib Pajak yang dapat mengganggu
dan merugikan kegiatan usaha Wajib Pajak itu sendiri.
Atas dasar tertundanya pembayaran kelebihan bayar pajak tersebut, maka Wajib Pajak
berhak mendapatkan imbalan bunga. Adanya imbalan bunga ini merupakan perwujudan dari
Pasal 11 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP menyatakan bahwa imbalan bunga
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
2
bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak. Keseimbangan
tersebut dapat dilihat dari sisi hak dalam bentuk bunga dan dari sisi kewajiban dalam bentuk
bunga. Apabila Wajib Pajak terlambat memberikan hak negara, timbul kewajiban bagi Wajib
Pajak untuk membayar sanksi administrasi berupa bunga sebesar dua persen per bulan.
Sebaliknya, apabila negara terlambat memberikan hak Wajib Pajak, timbul kewajiban bagi
negara untuk membayar imbalan yang juga berupa bunga sebesar 2 persen per bulan. Disamping
itu, dapat dikatakan pula bahwa imbalan bunga yang diberikan merupakan keseimbangan hak
antara Wajib Pajak dan negara, artinya ketika Wajib Pajak mengajukan keberatan kemudian
ditolak atau dikabulkan sebagian, maka Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda
50% dari jumlah pajak berdasar keputusan keberatan dan denda 100% dari jumlah pajak berdasar
keputusan banding, maka wajar apabila keberatan atau banding Wajib Pajak dikabulkan, Wajib
Pajak diberikan imbalan bunga(Imbalan Bunga Bukanlah Kerugian Negara, 2011).
Kebijakan imbalan bunga yang sebagaimana diatur dalam pasal 27 A Undang-Undang No.
28 Tahun 2007 dan peraturan perundangan dibawahnya yakni dalam pasal 43 Peraturan
Pemerintah No. 74 tahun 2011 merupakan salah satu produk dari kebijakan publik yang
merupakan pembaharuan dari peraturan perundang-undangan sebelumnya yakni UU 16 Tahun
2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pembaharuan tersebut merupakan
tujuan dari reformasi perpajakan agar sistem perpajakan tidak menimbulkan hambatan atau
perlawanan dari masyarakat.
Tujuan dari perubahan kebijakan dan peraturan perpajakan tersebut berlandaskan pada
UUD 1945 sebagai landasan konstitusi. Amanat dalam UUD 1945 sebagaimana tertuang dalam
pasal 28 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di
bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat yang merupakan hak asasi; serta setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.” Peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
haruslah menjunjung tinggi hak dan kewajiban dan menciptakan keadilan dan persamaan bagi
semua pihak dalam sistem perpajakan itu sendiri. Persamaan yang dimaksud adalah kedudukan
yang sama dalam hal hak dan kewajiban antara Wajib Pajak dan fiskus.
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
3
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan
kebijakan imbalan bunga sebagaimana diatur dalam UU KUP Tahun 2007 dan Peraturan
Pemerintah No. 74 Tahun 2011dan menganalisis kesesuaian kebijakan imbalan bunga yang diatur
dalam UU KUP Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011dengan asas
kesetaraan Wajib Pajak dan fiskus.
2. Tinjauan Teoritis
Kebijakan Menurut Laswell dan Kaplan dalam Islamy (1997, 17) kebijakan adalah suatu
program pencapaian tujuan, nilai-nilai, dan praktek-praktek yang terarah.Sedangkan menurut
Eulau dan Prewitt dalam Jones (1996, 47) mendefinisikan kebijakan publik adalah keputusan
tetap dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan
dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap
yakni seperti yang diutarakan oleh Subarsono (2006,10 yakni perumusan masalah, forecasting,
rekomendasi kebijakan, monitoring dan terakhir yakni evaluasi kebijakan. Namun menurut Lester
& Steward Jr (2000) proses kebijakan publik tidak berhenti sampai tahap evaluasi kebijakan saja,
namun ada dua tahap setelah tahap evaluasi kebijakan yaitu perubahan kebijakan dan
penghapusan kebijakan.
Hukum pajak yang dapat disebut juga hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-
peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan
bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dengan
orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (Brotodihardjo:
1989).
Selanjutnya disebutkan pula dalam Brotodihardjo (1989) bahwa hukum pajak dibagi ke
dalam dua bagian, yaitu:
a. Hukum pajak material
Hukum pajak material membuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan,
perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak (objek),
siapa-siapa yang harus dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajaknya, dengan
perkataan lain segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya dan hapusnya utang pajak dan
pula hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Isinya juga mencakup
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
4
peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, denda-denda, dan hukuman-
hukuman serta cara-cara tentang pembebasan-pembebasan dan pengembalian pajak.
b. Hukum pajak formal
Yang termasuk ke dalam hukum pajak formal adalah peraturan-peraturan mengenai
cara-cara untuk menjelmakan hukum material tersebut menjadi suatu kenyataan.Bagian
hukum ini memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan suatu hutang pajak,
kontrol oleh pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para wajib pajak,
kewajiban pihak ketiga dan pula prosedur dalam pemungutannya. Maksud dari hukum
formal adalah untuk melindungi, baik fiskus maupun wajib pajak, jadi untuk memberi
jaminan, bahwa hukum materialnya akan dapat diselenggarakan setepat-tepatnya. Hukum
pajak formal di Indonesia contohnya antara lain diatur dalam Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP) dan dalam Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
Sengketa pajak adalah perselisihan antara wajib pajak, pemotong, atau pemungut pajak, serta
penanggung pajak dengan pejabat pajak mengenai penerapan undang-undang pajak. Dalam
pengertian ini, yang berselisih adalah: (1) wajib pajak dengan pejabat pajak; (2) pemotong atau
pemungut pajak dengan pejabat pajak; (3) wajib pajak dengan pemotong atau pemungut pajak;
(4) penanggung pajak dengan pejabat pajak (Saidi, 2007, 91). Menurut Gordon (1996, 105),
penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu
Compromise/Kompromi, Payment of Tax During Dispute / Pembayaraan Saat Sengketa Pajak
Berjalan dan Disputes Within the Taxation Authority.
Imbalan bunga Menurut Gordon (1996, hal. 110), imbalan bunga didefinisikan sebagai
berikut: “Interest must be assessed on every late payment of tax or penalty, as well as on every
payment due from treasury to the taxpayer. It should be stressed that interest is not the same as a
penalty due for noncompliance. Interest reflect the time value of money and should therefore
never be waived or subject to compromise. An interest rate that reflect the full cost of money,
including inflation, should be specified, typically by reference to the central bank discount rate, a
rate on treasury obligations, or the like.” Imbalan bunga haruslah dinilai pada setiap telat
pembayaran dalam pajak ataupun sanksi, dan juga untuk setiap telat bayar dari bendaharawan
pemerintah terhadap wajib pajak. Harus ditekankan bahwa imbalan bunga tidak sama dengan
sanksi atas ketidakpatuhan dalam pemenuhan kewajiban. Imbalan bunga mencerminkan time
value of money (nilai waktu uang) dan maka dari itu tidak diboleh
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
5
dibebaskan/dihilangkan.Sebuah suku bunga yang mencerminkan biaya penuh uang, termasuk
inflasi, harus ditentukan, biasanya dengan mengacu pada suku bunga bank sentral, obligasi, dan
sejenisnya Pengertian imbalan bunga sebagai hak bagi wajib pajak dijelaskan juga oleh Morgan
(1990, 176) yang menjelaskan bahwa ”The government must pay interest to taxpayers who have
overpaid their taxes, and taxpayers must pay interest to the government for underpayments
(deficiencies) of taxes. The principle is simple: the government must compensate the taxpayer for
its use of her money, and the taxpayer must similarity compensate.” Pemerintah harus membayar
bunga kepada wajib pajak yang memiliki kelebihan pembayaran pajak, dan wajib pajak juga
harus membayar bunga kepada pemerintah atas pajak yang kurang dibayar. Prinsip tersebut
sederhana: Pemerintah harus memberikan kompensasi atas uang yang wajib pajak yang telah
digunakan oleh pemerintah, dan begitu pula sebaliknya.
Asas kesetaraan atau fair play menurut Vanistendael (1996, hal. 21) adalah “The
principle of fair play or public trust means that the taxation authority must not be allowed an
unfair advantage in its dealings with taxpayer. Application of this principle suggests that (1) the
authority must notify taxpayer of any action the authority may take relating to the taxpayer, (2)
during litigation, a taxpayer must be afforded all the rights of process allowed the authority, and
(3) the authority must be bound by its interpretation of the law as apllied to a taxpayer’s
particular situation. In most countries,these rules of fair play are part of the general
administrative law. However, exception to thesecan be made when fair play does not suffer as a
result.” Prinsip dari fair play (kesetaraan)atau public trust (kepercayaan publik) berarti bahwa
otoritas pajak dalam hal ini fiskus tidak boleh mengambil keuntungan dalam menghadapi
wajib pajak. Pelaksanaan dari prinsip ini adalah fiskus harus memberikan pemberitahuan atas
segala tindakan fiskus yang berkaitan dengan wajib pajak, Selama litigasi, Wajib Pajak harus
dipenuhi hak-haknya dalam proses yang sesuai dengan undang-undang. Pihak berwenang harus
terikat dengan interpretasinya terhadap hukum sebagaimana diaplikasikan terhadap situasi khusus
dan yang kini dimiliki oleh Wajib Pajak.. Hal tersebut biasanya merupakan bagian dari hukum
administrasi suatu negara. Namun pengecualian dapat dibuat apabila kesetaraan (fair play) ini
tidak terjadi dengan adanya pokok-pokok pemikiran tersebut.maka dari itu, pada intinya prinsip
kesataraan adalah menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
Tidak boleh ada suatu pihak yang dapat mengambil keuntungan dari suatu aturan yang
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
6
ada.Aturan tersebut tidak boleh berat sebelah atau condong satu pihak dalam hal ini fiskus
maupun wajib pajak.
3. Metode Penelitian
3.1.Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan
kualitatif.Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini diteliti dengan menggunakan
pendekatan kualitatif karena peneliti merasa perlu untuk fokus pada konteks penelitian
yang dapat menggambarkan dan membentuk pemahaman dari fenomena yang sedang
diteliti serta mengembangkan teori yang digunakan dalam penelitian ini.Menurut Bogdan
& Taylor dalam Basrowi dan Suwardi (2008, p. 1) menyebutkan bahwa pendekatan
kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan atau tulisan dan perlaku orang-orang yang diamati. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Creswell (1994, p. 1) mendeskripsikan pendekatan kualitatif sebagai sebuah
proses untuk memahami masalah sosial dan atau masalah manusia, dengan berdasar pada
proses membangun sebuah gambaran holistic dan kompleks yang disusun oleh kata-kata
guna melaporkan gambaran detil dari informan dan dilakukan dalam setting natural.
Pilihan pendekatan kualitatif ini dimaksudkan agar penelitian dapat memberikan
gambaran pengertian dan pemahaman yang menyeluruh atas kebijakan imbalan bunga
dalam sengketa pajak.
3.2.Jenis Penelitian
Penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam kategori penelitian deskriptif.Menurut
Prasetyo & Jannah (2005, hal. 42) penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan
untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.
Hasil dari studi deskriptif adalah gambaran mendetil dari subjek penelitian.Hal tersebut
sejalan dengan tujuan penelitian ini menggambarkan kebijakan imbalan bunga dalam
sengketa pajak secara mendalam, serta melakukan analisis atas kebijakan tersebut dilihat
dari asas fairplay atau kesetaraan.
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
7
Selanjutnya, jenis penelitian yang digunakan peneliti berdasarkan menfaatnya
adalah penelitian murni. Penelitian ini dapat dikategorikan terhadap penelitian murni atau
basic research.Menurut tujuannya, penelitian murni adalah penelitian untuk
mengembangkan teori dan tidak memperhatikan kegunaan yang langsung bersifat
praktis(Sugiyono, 2011).Penelitian ini termasuk dalam penelitian murni karena
berorientasi pada ilmu pengetahuan dan akademis.Penelitian murni tidak memiliki
implikasi langsung daam penyelasian masalah secara cepat. Selain itu, penelitian ini tidak
terikat dengan pihak atau sponsor manapun.
Jika dilihat dari aspek dimensi waktu , penelitian yang peneliti lakukan termasuk
ke dalam kategori penelitian cross sectional studies, yaitu penelitian yang dilakukan pada
satu waktu tertentu tersebut (Prasetyo & Jannah, 2005, hal. 45). Penelitian ini merupakan
penelitian cross sectional karena hanya dilakukan pada satu periode tertentu dan tidak
akan melakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan.
Terakhir, sesuai dengan pendekatan penelitiannya, penelitian ini menggunakan
teknik pengumpulan data kualitatif.Menurut Lofland & Lofland dalam (Basrowi &
Suwardi, 2008, hal. 169) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata
dan tindakan, yang merupakan data primer.Selebihnya adalah data sekunder berupa data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain.Sesuai pengertian tersebut, peneliti
mengguanakan studi literatur dan wawancara mendalam dalam penelitian.
3.3.Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi literatur
(library research) dan studi lapangan (field research). Melalui studi literatur, peneliti
dapat menyatakan secara eksplisit, dan pembaca dapat melihat mengapa hal yang ingin
diteliti merupakan masalah yang memang harus diteliti, baik dari segi subjek yang akan
diteliti dan lingkungannya, maupun dari sisi hubungan penelitian tersebut dengan
penelitian lain yang relevan (Neuman, 2000). Dengan studi literatur, peneliti melakukan
studi dengan cara membaca dan mengumpulkan data-data kepustakaan dari buku-buku,
peraturan perundang-undangan, karya ilmiah dan berbagai literature lainnya yang relevan
dengan permaslahan yang diangkat dalam penelitian ini. Studi lapangan dalam Penelitian
kualitiatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam atau in depth interview.Creswell
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
8
menjelaskan bahwa peneliti kualitatif mengkonduksi studi mereka di ‘lapangan’, dimana
partisipan hidup dan bekerja (Creswell, 1994). Studi lapangan dilakukan guna
mendapatkan data primer dengan melakukan wawancara mendalam terhadap informan
yang berkaitan langsung dengan permasalahan.Wawancara mendalam merupakan sumber
utama pencarian data dalam penelitian kualitatif
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1.Analisis Perkembangan Kebijakan Imbalan Bunga dalam Sengketa
Sebagaimana Diatur dalam UU No. 28 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah
No. 74 Tahun 2011
Ketentuan imbalan bunga dalam rezim UU KUP Tahun 2000 mengatur bahwa
imbalan bunga diberikan kepada wajib pajak. Apabila Wajib Pajak melakukan upaya
hukum yang kemudian atas upaya hukum tersebut, baik itu keberatan, banding,
maupun peninjauan kembali, menimbulkan kelebihan bayar yang dalam hal ini
putusan atas upaya hukum tersebut, baik itu putusan keberatan, putusan banding,
putusan peninjauan kembali, yang menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, maka
Wajib Pajak secara penuh berhak menerima imbalan bunga. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu dan dilakukan pembaharuan kebijakan, dengan ditetapkannya UU
No. 28 Tahun 2007 yang merupakan perubahan ketiga dari UU KUP, ketentuan
imbalan bunga atas sengketa pajak pun mengalami perubahan.
Dengan ketentuan rezim baru sebagaimana diatur dalam Pasal 27A UU KUP
2007, dapat dilihat bahwa ketentuan mengenai imbalan bunga diatur lebih lanjut,
dengan diaturnya beberapa ketentuan-ketentuan baru yang mengatur mengenai
kondisi-kondisi apa saja yang dapat menimbulkan pemberian imbalan bunga kepada
Wajib Pajak. Dalam rezim baru ini, ketentuan imbalan bunga tidak hanya diatur dalam
Pasal 27A UU KUP 2007 saja, namun juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 80
Tahun 2007. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan menjadi Peraturan
Pemerintah No. 74 Tahun 2011. dalam Peraturan Pemerintah tersebut diatur mengenai
ketentuan apa saja yang menyebabkan Wajib Pajak tidak berhak menerima imbalan
bunga atas sengketa pajak.
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
9
Perkembangan kebijakan imbalan bunga atas sengketa pajak dari rezim lama UU
KUP 2000 yang kemudian diganti dengan UU KUP 2007 dan juga diatur dalam PP 74
Tahun 2011, tentunya didasari oleh beberapa pertimbangan yang menyebabkan
kebijakan imbalan bunga atas sengketa pajak ini berubah. Seperti yang disebutkan
oleh Lester dan Steward dalam bukunya Public Policy, an Evolutionary Approach
(1996) perubahan kebijakan adalah titik dimana kebijakan dievaluasi dan didesain
ulang sehingga proses seluruh kebijakan baru dimulai. Berikut pemaparan mengenai
perkembangan kebijakan imbalan bunga dalam sengketa pajak.
4.1.1 Kedudukan Surat Ketetapan Pajak dalam Kebijakan Imbalan Bunga dari Rezim
Lama UU KUP Tahun 2000 ke Rezim Baru UU KUP Tahun 2007 dan PP No. 74
Tahun 2011. Dalam UU KUP 2000, ketentuan mengenai SKP tersebut yang mewajibkan Wajib
Pajak untuk membayar Pajak dalam SKPKB hasil pemeriksaan sebelum melakukan
upaya hukum tentunya memberatkan Wajib Pajak dalam melakukan upaya hukum,
baik itu keberatan hingga peninjauan kembali. Maka pada UU KUP 2007, ketentuan
mengenai Surat Ketetapan Pajak yang sebelumnya diwajibkan kepada Wajib Pajak
sebagaiman diatur dalam Pasal 25 Ayat 7 UU KUP 2000 untuk membayar pajak
terutangnya terlebih dahulu sebelum melakukan upaya hukum, diubah sebagaimana
diatur dalam Pasal 25 Ayat 3A UU KUP 2007.
Berdasarkan aturan tersebut, dapat dilihat bahwa kedudukan SKP pada UU KUP
2007 berbeda dengan aturan sebelumnya dalam UU KUP 2000. Dalam UU KUP
2000, SKP yang diterbitkan oleh fiskus bersifat wajib untuk dibayar. Namun, dengan
adanya perubahan sebagaimana diatur dalam UU KUP 2007, kedudukan SKP
mengalami perubahan yang berimplikasi pada tidak wajibnya pajak yang terhutang
dalam SKPKB dibayar oleh Wajib Pajak sebelum melakukan upaya hukum. Wajib
Pajak diperbolehkan melunasi hutang pajak hanya sebatas yang disetujui oleh Wajib
Pajak itu sendiri pada saat pembahasan hasil pemeriksaan.
Dengan adanya perubahan kedudukan SKP tersebut, berimplikasi pada ketentuan
imbalan bunga atas sengketa pajak yang diatur dalam UU KUP 2007 dan PP 74 Tahun
2011. Apabila sebelumnya dalam UU KUP 2000 imbalan bunga diberikan atas segala
keputusan pajak yang menyebabkan kelebihan pembayaran, dalam UU KUP 2007
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
10
yang juga diatur dalam PP 74 Tahun 2011 mengatur kondisi-kondisi yang
menyebabkan Wajib Pajak tidak berhak menerima imbalan bunga. Kondisi-kondisi
dimana Wajib Pajak tidak berhak untuk menerima imbalan bunga atas sengketa pajak
terjadi karena adanya perubahan kedudukan SKP itu sendiri. Dengan tidak wajibnya
Wajib Pajak membayar hutang pajak pada SKP hasil pemeriksaan, maka pemerintah
dalam hal ini fiskus beranggapan bahwa pemerintah tidak harus memberikan imbalan
bunga karena wajib pajak tidak membayar pajak terhutangnya dalam SKP hasil
pemeriksaan.
4.1.2 Hambatan Implementasi Kebijakan Imbalan Bunga dari Rezim Lama UU
KUP Tahun 2000 ke Rezim Baru UU KUP Tahun 2007 dan PP No. 74 Tahun
2011
Dalam pengimplementasiannya, kebijakan mengenai imbalan bunga dalam
sengketa pajak masih terdapat kendala-kendala. Kita ketahui bahwa dengan adanya
perubahan-perubahan, diperlukan sosialisasi mengenai perubahan ketentuan
perundang-undangan atas kebijakan imbalan bunga tersebut guna memberikan
pemberitahuan dan juga pemahaman pada Wajib Pajak atas adanya perubahan
tersebut. Namun, apabila sosialisasi tersebut kurang efektif dilakukan tentunya dapat
menimbulkan misinterpretasi dan juga kurangnya pemahaman Wajib Pajak terhadap
perubahan kebijakan imbalan bunga atas sengketa pajak yang berlaku saat ini.
Perbedaan penafsiran dalam hal ini Wajib Pajak tersebut tentunya timbul karena
kurangnya sosialisasi dan juga bermacam-macamnya peraturan kebijakanimbalan
bunga atas sengketa pajak yang diatur baik di dalam undang-undang maupun
peraturan pemerintah. Wajib Pajak pun juga mengalami kurangnya pemahaman
terhadap makna dari kebijakan imbalan bunga dalam sengketa pajak itu sendiri.
Perbedaan penafsiran dalam hal ini Wajib Pajak tersebut tentunya timbul karena
kurangnya sosialisasi dan juga bermacam-macamnya peraturan kebijakanimbalan
bunga atas sengketa pajak yang diatur baik di dalam undang-undang maupun
peraturan pemerintah.
Dengan timbulnya hambatan-hambatan tersebut, baik itu yang dialami oleh Wajib
Pajak maupun oleh pihak pemerintah itu sendiri, maka diperlukan adanya simplifikasi
peraturan guna meminimalisasi timbulnya perbedaan pemahaman konsep, perbedaan
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
11
interpretasi dan kurangnya pemahaman Wajib Pajak terhadap perubahan kebijakan
imbalan bunga atas sengketa pajak yang berlaku saat ini dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Keuangan yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Dengan
diterbitkannya aturan tersebut akan menghapus segala peraturan di bawah Peraturan
Menteri Keuangan, sesuai dengan amanat UU No. 12 Tahun 2011, yang menetapkan
bahwa peraturan perundang-undangan paling rendah diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan, diharapkan Wajib Pajak maupun pihak pemerintah dapat lebih mudah
membaca dan juga memahami substansi dan maksud dari peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai imbalan bunga atas sengketa pajak.
4.1.3 Besaran Imbalan Bunga Dalam Sengketa Pajak dari Rezim Lama UU KUP
Tahun 2000 ke Rezim Baru UU KUP Tahun 2007 dan PP No.74 Tahun 2011
Ketentuan atas besaran bunga yang ekuivalen dengan sanksi bunga yakni sebesar
2 persen per bulan dapat dilihat sebagai kesetaraan antara sanksi dan hak bagi Wajib
Pajak. Apabila Wajib Pajak menerima keterlambatan pembayaran atas kelebihan
pembayaran pajak yang harus ia terima dari pemerintah maka Wajib Pajak berhak
menerima imbalan bunga sebesar 2 persen per bulan pajak yang lebih dibayar. Tetapi,
apabila hal sebaliknya terjadi yakni terjadi keterlambatan pembayaran oleh Wajib
Pajak maka wajib pajak dikenakan sanksi keterlambatan pembayaran sebesar 2 persen
per bulan dari pajak yang kurang dibayar. Seperti yang disebutkan oleh Morgan
(1990) yakni Pemerintah harus membayar bunga kepada wajib pajak yang memiliki
kelebihan pembayaran pajak, dan wajib pajak juga harus membayar bunga kepada
pemerintah atas pajak yang kurang dibayar. Prinsip tersebut sederhana: Pemerintah
harus memberikan kompensasi atas uang yang wajib pajak yang telah digunakan oleh
pemerintah, dan begitu pula sebaliknya.
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
12
Tabel 4.1 Perkembangan Kebijakan Imbalan Bunga dalam Sengketa Pajak
Sebagaimana diatur dalam UU KUP Tahun 2007 dan PP No.74 Tahun 2011
Sebelum Rezim Baru (UU KUP Tahun
2000) Rezim Baru (UU KUP Tahun 2007 & PP
No.74 Tahun 2011)
Kedudukan SKP Kedudukan SKP sebagai hutang pajak dimana Wajib Pajak wajib membayar pajak terutang sebelum melakukan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Ayat (7) UU KUP 2000.
Kedudukan SKP sebagai hutang pajak dimana Wajib Pajak tidak wajib membayar pajak terutang sebelum melakukan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Ayat 3A UU KUP 2007.
Hambatan Banyak perbedaan interpretasi dan pemahaman Wajib Pajak maupun pihak pemerintah mengenai kebijakan imbalan bunga atas sengketa pajak terhadap tahun pajak dan peraturan yang harus diacu.
Besaran Imbalan Bunga Besaran imbalan bunga masih lah sama yakni sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk jangka waktu maksimal 24 bulan. Ketentuan atas besaran bunga tersebut agar ekuivalen dengan sanksi bunga yakni sebesar 2 persen per bulan.
4.2. Analisis Kesesuaian Kebijakan Imbalan Bunga yang Diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 74 Tahun 2011 dengan Asas Kesetaraan Wajib Pajak dan Fiskus
Secara teknis, pemerintah dalam pengimplementasian kebijakan mengenai
imbalan bunga dalam sengketa pajak memang sudah memberikan pemberitahuan
melalui pembahasan akhir (closing conference) atas pemberitahuan SKP pada Wajib
Pajak dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh fiskus terhadap Wajib Pajak.
Fiskus memang telah memberikan pemberitahuan melalui pembahasan akhir (closing
conference) atas pemberitahuan SKP pada Wajib Pajak dalam proses pemeriksaan
yang dilakukan oleh fiskus terhadap Wajib Pajak, selaras dengan asas fair play atau
kesetaraan, seperti yang dikemukakan oleh Vanistendael (1996), “the authority must
notify taxpayer of any action the authority may take relating to the taxpayer.” Pihak
berwenang harus memberitahu Wajib Pajak akan tindakan yang dapat dilakukan oleh
pihak berwenang terkait dengan Wajib Pajak.
Di sisi lain, secara substantif, ketentuan tambahan mengenai kebijakan imbalan
bunga dalam sengketa pajak sebagaimana diatur dalam PP 74 Tahun 2011 justru
menciptakan adanya batasan-batasan yang berimplikasi pada tertutupnya peluang dan
hak Wajib Pajak untuk memperoleh imbalan bunga apabila mengajukan upaya hukum
atas sengketa pajak yang terjadi antara kedua pihak. Kondisi yang mengharuskan
Wajib Pajak untuk tidak setuju dan tidak membayar atas hutang pajak sebagaimana
tertulis dalam SKP hasil pemeriksaan tentunya memperkecil kesempatan Wajib Pajak
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
13
untuk memperoleh imbalan bunga. Padahal, dalam Pasal 27A UU KUP 2007, dapat
diringkas bahwa imbalan bunga diberikan atas segala ketetapan pajak maupun
keputusan atas upaya hukum yang mengakibatkan kelebihan pembayaran bagi Wajib
Pajak.
Terdapatnya batasan-batasan yang menyebabkan berukurangnya imbalan bunga
tersebut tidak selaras dengan apa yang diutarakan oleh Vanistendael (1996) mengenai
asas kesetaraan yaitu “during litigation, a taxpayer must be afforded all the rights of
process allowed the authority”. Ketika melakukan upaya hukum, wajib pajak harus
diberikan segala hak nya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Hal yang
bertolak belakang memang terjadi terhadap dua aturan yang mengatur mengenai
imbalan bunga dalam sengketa pajak ini. Dalam UU KUP Tahun 2007 diatur bahwa
imbalan bunga diberikan atas segala ketetapan pajak yang menyebabkan kelebihan
pembyaran pajak, tapi aturan mengenai imbalan bunga yang diatur dalam PP 74
Tahun 2011 mengurangi hak-hak Wajib Pajak untuk menerima imbalan bunga dalam
sengketa pajak.
Selain menciptakan batasan-batasan, aturan yang diatur dalam PP No.74 Tahun
2011 mengenai wajib pajak harus tidak mnyetujui seluruhnya hutang pajak atas SKP
yang terbitkan oleh fiskus menjadi penentu atas hak Wajib Pajak memperoleh imbalan
bunga kurang berisfat objektif dimana ketetapan pajak itu sendiri diterbitkan secara
sepihak oleh fiskus. Sebenarnya Wajib Pajak maupun fiskus sendiri masih dapat
melakukan upaya hukum baik itu keberatan, banding, maupun peninjauan kembali,
dimana putusan atas upaya hukum tersebut lebih bersifat objektif, karena putusan
tersebut dikeluarkan oleh lembaga yang netral, yang memang berwenang untuk
memutus sengketa pajak seadil mungkin, dalam hal ini pengadilan pajak dan
mahkamah agung.
Pemaparan sebelumnya yakni meski Wajib Pajak menerima putusan atas sengketa
pajak yang menyebabkan kelebihan bayar namun Wajib Pajak tidak berhak menerima
imbalan bunga tidak selaras dengan apa yang diutarakan oleh Vanistandael (1996)
mengenai asas fair play atau kesetaraan yang menjelaskan “the authority must be
bound by its interpretation of the law as apllied to a taxpayer’s particular situation.”
Pihak berwenang harus terikat dengan interpretasinya terhadap hukum sebagaimana
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
14
diaplikasikan terhadap situasi khusus yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Dalam hal ini,
apabila putusan atas sengketa pajak baik itu keberatan, banding, maupun peninjauan
kembali menetapkan bahwa Wajib Pajak berhak menerima kelebihan pembayaran atas
pajaknya, maka seharusnya pemerintah dalam hal ini fiskus taat terhadap putusan
tersebut dan memberikan imbalan bunga dikarenakan putusan tersebut memang
mengakibatkan kelebihan pembayaran bagi Wajib Pajak, dimana uang Wajib Pajak
telah tertahan lama di kas negara. Hal tersebut sejalan sebagaimana yang diutarakan
oleh Gordon (1996) “Imbalan bunga mencerminkan time value of money (nilai waktu
uang) dan maka dari itu tidak diboleh dibebaskan/dihilangkan”.
Dalam realisasinya, sebagaimana diatur dalam PP 74 Tahun 2011, setuju dan tidak
setuju nya Wajib Pajak atas SKP yang diterbitkan oleh fiskus atas hasil pemeriksaan
menjadi penentu dasar pengambilan keputusan oleh fiskus atas apakah Wajib Pajak
berhak menerima imbalan bunga atau tidak. Padahal, kita ketahui sendiri bahwa SKP
tersebut diterbitkan secara sepihak, yang dimana ketetapan pajak tersebut kurang
bersifat objektif. Berdasarkan pemaparan tersebut, dijelaskan bahwa aturan mengenai
imbalan bunga yang diatur dalam PP No. 74 Tahun 2011 cenderung menguntungkan
fiskus, yang dimana penentuan Wajib Pajak berhak menerima imbalan bunga adalah
berdasarkan setuju atau tidak setuju Wajib Pajak atas SKP tersebut. Hasil putusan
keberatan, banding, maupun peninjauan kembali yang menyebabkan kelebihan
pembayaran menjadi tidak berarti karena adanya pilihan untuk setuju atau tidak setuju
Wajib Pajak atas SKP tersebut.
Padahal, secara undang-undang, putusan keberatan, banding, maupun peninjauan
kembali merupakan putusan yang lebih objektif karena ketetapan pajak tidak
diterbitkan oleh kedua pihak yang bersengketa. Hal tersebut tidak selaras dengan
pokok pemikiran asas fair play atau kesetaraan, sebagaimana dikemukakan
olehVanistendael (1996) yang menjelaskan bahwa, “The principle of fair play or
public trust means that the taxation authority must not be allowed an unfair
advantage in its dealings with taxpayer.” Prinsip dari asas fairplay atau kesetaraan
tersebut menunjukkan bahwa otoritas pajak dalam hal ini fiskus tidak boleh dalam
berada dalam posisi yang lebih tinggi atau menguntungkan dalam menghadapi wajib
pajak. Pemaparan mengenai kesesuaian kebijakan imbalan bunga dalam sengketa
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
15
pajak dengan asas fair play atau kesetaraan secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4.2
dibawah ini.
Tabel 4.2 Realisasi Asas Kesetaraan Wajib Pajak dan Fiskus
No. Asas Kesetaraan Wajib Pajak dan Fiskus Asas Realisasi
1 Pihak berwenang harus memberitahu Wajib Pajak akan tindakan yang dapat dilakukan oleh pihak berwenang terkait dengan Wajib Pajak.
Setelah memeriksa Wajib Pajak, ada closing conference dan pemberitahuan SKP.
2 Selama litigasi, Wajib Pajak harus dipenuhi hak-haknya dalam proses yang sesuai dengan Undang-undang.
Pada peraturan pemerintah, hak-hak Wajib Pajak untuk menerima imbalan bunga dikurangi. Sementara, UU No. 28 Tahun 2007 tidak mengurangi hak-hak Wajib Pajak untuk menerima imbalan bunga.
3
Pihak berwenang harus terikat dengan interpretasinya terhadap hukum sebagaimana diaplikasikan terhadap situasi khusus dan yang kini dimiliki oleh Wajib Pajak.
Berhak atau tidaknya Wajib Pajak menerima imbalan bunga ditentukan oleh setuju atau tidak setuju nya Wajib Pajak atas SKPKB yang diterbitkan. Putusan sengketa pajak yang menetapkan kelebihan pembayaran Wajib Pajak tidak berpengaruh atas berhak tidak ny Wajib Pajak menerima imbalan bunga.
Pada pelaksanaannya, kebijakan imbalan bunga yang diatur dalam Peraturan UU
KUP 2007 dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 tidak sepenuhnya sesuai
dengan asas fairplay atau kesetaraan ini, dimana kesetaraan dicapai hanya dalam
tataran teknis, namun kurang tampak dalam tataran substantif.
5. Simpulan dan Saran
5.1.Simpulan
1. Dengan adanya aturan mengenai imbalan bunga dalam sengketa pajak
sebagaimana diatur dalam UU KUP Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No.
74 Tahun 2011, perkembangan yang terjadi adalah:
a. Kedudukan SKP sebagai hutang pajak dimana Wajib Pajak tidak wajib
membayar pajak terutang sebelum melakukan upaya hukum. Hal tersebut
berimplikasi pada adanya ketentuan yang mengatur kondisi apa saja yang
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
16
menyebabkan Wajib Pajak tidak berhak menerima imbalan bunga
sebagaimana diatur dalam. Hal tersebut dikarenakan oleh berubahnya
kedudukan SKP sebagai hutang pajak dimana Wajib Pajak tidak wajib
membayar pajak terutang sebelum melakukan upaya hukum sebagaimana
diatur dalam PP No.74 Tahun 2011.
b. Masih banyak perbedaan interpretasi dan pemahaman Wajib Pajak maupun
pihak pemerintah mengenai kebijakan imbalan bunga atas sengketa pajak
terhadap tahun pajak dan peraturan yang harus diacu.
c. Besaran yakni sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk jangka waktu
maksimal 24 bulan. Ketentuan atas besaran bunga tersebut agar ekuivalen
dengan sanksi bunga yakni sebesar 2% (dua persen) per bulan.
2. Pada pelaksanaannya, kebijakan imbalan bunga yang diatur dalam UU KUP 2007
dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 tidak sepenuhnya sesuai dengan
asas fairplay atau kesetaraan hal tersbut terlihat dari:
a. Kesetaraan dicapai hanya dalam tataran teknis, yakni setelah memeriksa
Wajib Pajak, ada closing conference dan pemberitahuan SKP. Hal tersebut
selaras dengan salah satu bagian dari asas kesetaraan yang menjelaskan
bahwa Pihak berwenang harus memberitahu Wajib Pajak akan tindakan
yang dapat dilakukan oleh pihak berwenang terkait dengan Wajib Pajak.
b. Kesetaraan tidak dicapai dalam tataran substantif, pada PP No.74 Tahun
2011, hak-hak Wajib Pajak untuk menerima imbalan bunga dikurangi.
Sementara, UU No. 28 Tahun 2007 tidak mengurangi hak-hak Wajib Pajak
untuk menerima imbalan bunga. Seharusnya selama litigasi, Wajib Pajak
harus dipenuhi hak-haknya dalam proses yang sesuai dengan undang-
undang. Kemudian aturan mengenai imbalan bunga sebagaimana diatur
dalam peraturan pemerintah tersebut mengatur berhak atau tidaknya Wajib
Pajak menerima imbalan bunga yang setuju atau tidak setuju nya Wajib
Pajak atas SKPKB yang diterbitkan. Putusan sengketa pajak yang
menetapkan kelebihan pembayaran Wajib Pajak tidak berpengaruh atas
berhak tidak nya Wajib Pajak menerima imbalan bunga yang dimana
seharusnya pihak berwenang dalam hal ini harus terikat dengan
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
17
interpretasinya terhadap hukum sebagaimana diaplikasikan terhadap situasi
khusus dan yang kini dimiliki oleh Wajib Pajak.
5.2.Saran
1. Perlu adanya simplifikasi dan sosialisasi aturan untuk menghindari perbedaan
peraturan mengenai kebijakan imbalan bunga dalam sengketa pajak ini, baik dari
pihakWajib Pajak maupun pemerintah.Isi peraturan sebaiknya dibuat dengan lebih
lengkap sehingga lebih mudah dipahami.
2. Untuk mencapai asas fairplay atau kesetaraan secara menyeluruh, sebaiknnya
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 yang mengatur mengenai imbalan bunga
dalam sengketa pajak dihapus untuk menciptakan kedudukan yang lebih setara
antara Wajib Pajak dan Fiskus.
3. Penelitian ini masih belum meninjau lebih jauh aspek ilmu perundang-undangan,
khususnya ketentutan substantif yang diatur dalam peraturan pemerintah, dimana
seharusnya peraturan pemerintah hanya berfungsi sebagai peraturan pelaksanaan.
Hal tersebut dapat menjadi bahan penelitian lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Basrowi, & Suwardi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Brotodiharjo, R. Santoso. (1989). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : PT Eresco
Creswell, J. W. (1994). Research Design; Qualitative and Quantitative Approaches. California: Sage Publications.
Gordon, R. K. (1996). Law of Tax Administration and Procedure. In V. Thuronyi, Taw Law Design and Drafting. Washington D.C: International Monetary Fund.
Islamy, M. I. (1997). Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Jones, C. O. (1996). Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Lester, J. P., & Stewart Jr., J. (2000). Public Policy : An Evolutionary Approach, Second Edition. Belmont: Wadworth Thomson Learning.
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013
18
Morgan, P. T. (1990). Tax Procedure And Tax Fraud In A Nutshell. St.Paul: West Publishing Co.
Neuman, W. L. (2000). Social Research Method, Qualitative and Quantitative Approach, 4th Edition. USA: Ally & Bacon.
Prasetyo, B., & Jannah, L. M. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Saidi, M. D. (2007). Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Subarsono. (2005). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Administrasi, dengan Metode R&D. Bandung: CV Alfabeta.
Vanistendael, F. (1996). Legal Framework for Taxation. Dalam V. Thuronyi, Tax Law Design and Draftting. Washington D.C: International Monetary Fund.
Website
Imbalan Bunga Bukanlah Kerugian Negara. (2011, March 28). Retrieved March 2, 2013, from Kantor Wilayah Pajak Wajib Pajak Besar: http://www.kanwilpajakwpbesar.go.id/file_share/kontan28_3april.pdf
Analisis kebijakan..., Luthfan Ali Azka, FISIP-UI, 2013