Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

19
TUGAS PERPAJAKAN ANALISIS KASUS PERPAJAKAN “PEMBUKUAN / PENCATATAN PAJAK SERTA PEMERIKSAAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK” Disusun oleh : 1. Nur Aini Kusumaningrum F0311087 2. Nur Chayati F0311088 3. Oktiandri C.K. F0311092 4. Susani Astari A. F0311106 1

Transcript of Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

Page 1: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

TUGAS PERPAJAKAN

ANALISIS KASUS PERPAJAKAN

“PEMBUKUAN / PENCATATAN PAJAK SERTA PEMERIKSAAAN DAN

PENYIDIKAN PAJAK”

Disusun oleh :

1. Nur Aini Kusumaningrum F0311087

2. Nur Chayati F0311088

3. Oktiandri C.K. F0311092

4. Susani Astari A. F0311106

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

1

Page 2: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

PEMBUKUAN/ PENCATATAN

Vincent Beberkan Kasus Pajak Asian Agri

"Tujuannya Adalah Melakukan Pembukuan Fiktif."

Kamis, 28 April 2011, 16:53 WIB

Arry Anggadha, Desy Afrianti

VIVAnews - Terpidana pencucian uang PT Asian Agri Group (AAG), Vincentius Amin

Susanto, menjadi saksi dalam kasus penggelapan pajak dengan terdakwa Manajer Pajak Asian

Agri, Suwir Laut. Dalam kesaksiannya, Vincent mengatakan, setiap tahunnya, Asian Agri selalu

melaksanakan pertemuan perencanaan untuk menghemat pembayaran pajak yang harus

dibayarkan.

"Saya tidak mengetahui angka detilnya, tapi berdasarkan target pertemuan, jumlah yang dihemat

70 juta dolar per tahun," kata Vincent di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 28 April 2011.

Menurut Vincent, salah satu jalan untuk melakukan penghematan yaitu dengan pembukuan

fiktif. Vincent mencontohkan, salah satunya dengan cara memasukkan biaya pemotongan rumput

sebagai biaya pokok produksi perusahaan.

"Biaya lapangan menjadi biaya produksi. Biaya pemotongan rumput dan lain-lain dimasukan ke

harga pokok. Tujuannya adalah melakukan pembukuan fiktif," terang Vincent.

Manipulasi juga dilakukan dengan cara membuat laporan keuangan selalu terlihat kurang

mendapatkan untung. "Tiap kali selalu rugi. Kepala Marketing kok tidak dipecat. Kerugiannya

sampai pada puluhan juta dollar. Ini karena sebenarnya untung," jelasnya.

Suwir Laut didakwa telah membuat laporan yang keliru tentang SPT perusahaan sehingga

menimbulkan potensi kerugian negara dari penerimaan pajak senilai Rp 1,259 triliun.

Suwir Laut terancam hukuman enam tahun penjara karena kejahatan berlanjut yang

dilakukannya. Dalam dakwaan jaksa, Suwir dikatakan turut menyuruh melakukan, turut

melakukan, menganjurkan melakukan dan membantu melakukan penggelapan pajak di beberapa

perusahaan.

Suwir disebut merekayasa harga jual yang mengakibatkan keuntungan perusahaan menjadi lebih

kecil dari yang sebenarnya. Adanya rekayasa ini, diperkuat dengan adanya pertemuan tertanggal

2

Page 3: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

4,5 Agustus, 2 September, 18, 19 September 2002 antara Suwir Laut, Vincentius Amin Sutanto

dan teman- temannya. Pertemuan tersebut dengan agenda tax planning meeting membahas

pengecilan jumlah pajak perusahaan tersebut.

Selain itu dilakukan pula pembiayaan fiktif dengan menciptakan kerugian. Cara ini dilakukan

dengan cara perusahaan yang bernaung di bawah AAG, seolah membuat kontrak ekspor

penjualan minyak kelapa sawit mentah ke perusahaan di Hongkong yang penyerahan barangnya

dilakukan beberapa waktu kemudian.

Namun, sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan, perusahaan yang tergabung dalam

AAG melakukan pembelian kembali oleh dengan harga yang lebih tinggi. Perbuatan Suwir laut

tersebut melanggar Pasal 39  ayat 1 huruf C junto pasal 43 ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 38 huruf b junto pasal 43 ayat 1 UU No. 6

tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Suwir Laut didakwa dengan dakwaan primair Pasal 39 Ayat (1) huruf C UU Nomor 16 Tahun

2000 tentang tata cara prosedur pembayaran pajak, ancamannya enam tahun penjara dan denda

empat kali kerugian pajak. (eh)

Sumber :

http://nasional.vivanews.com/news/read/217279-vincent-beberkan-kasus-pajak-asian-agri

3

Page 4: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

ANALISIS KASUS

Terpidana pencucian uang PT Asian Agri Group (AAG), Vincentius Amin Susanto, menjadi

saksi dalam kasus penggelapan pajak dengan terdakwa Manajer Pajak Asian Agri, Suwir Laut.

Sesuai persidangan yang telah dilaksanakan terungkap pengakuan bahwa PT Asian Agri Group

(AAG), bahwa setiap tahunnya selalu melaksanakan pertemuan perencanaan untuk menghemat

pembayaran pajak yang harus dibayarkan. Sesuai dengan pertemuan yang telah dilakukan Asian

Agri berusaha mengehemat pembayaran hamper 70 juta dolar per tahun.

Salah satu jalan untuk melakukan penghematan yaitu dengan pembukuan fiktif. Cara

pengehematan pembayaran pajak salah satunya dengan cara memasukkan biaya pemotongan

rumput sebagai biaya pokok produksi perusahaan. Kemudian biaya lapangan menjadi biaya

produksi. Biaya pemotongan rumput dan lain-lain dimasukan ke harga pokok. Tujuannya adalah

melakukan pembukuan fiktif.

Manipulasi juga dilakukan dengan cara membuat laporan keuangan selalu terlihat kurang

mendapatkan untung. Sehingga pajak yang dibayarkan akan semakin sedikit. Suwir Laut

didakwa telah membuat laporan yang keliru tentang SPT perusahaan sehingga menimbulkan

potensi kerugian negara dari penerimaan pajak senilai Rp 1,259 triliun.

ANALISIS UU

Sesuai berita terkait maka Suwir Laut didakwa dengan dakwaan primair Pasal 39 Ayat (1)

huruf C UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang tata cara prosedur pembayaran pajak, ancamannya

enam tahun penjara dan denda empat kali kerugian pajak. Karena kasus tersebut mencuat

sebelum Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terbit.

Akan tetapi jika ditilik dengan UU terbaru sesuai dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang No. 16 Tahun 2009 Pasal 39 yaitu:

1. Setiap orang yang dengan sengaja:

a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak

melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

4

Page 5: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau

tidak lengkap;

e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan

seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan

atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau

pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang

dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau

i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling

sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4

(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

2. Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali

sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum

lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

3. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan

atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena

Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat

Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau

melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)

kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang

dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau

kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

5

Page 6: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

Oleh karena itu maka dengan Undang-Undang yang berlaku saat ini perbuatan Suwir laut

tersebut melanggar Pasal 39  ayat 1 huruf F sehingga Suwir Laut diancam dengan pidana penjara

paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah

pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang

yang tidak atau kurang dibayar.

Akan tetapi karena sesuai dengan Pasal II Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 yang

menyatakan bahwa :

“Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun

Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali

diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.”

Oleh karena itu maka Suwir Laut didakwa dengan dakwaan primair Pasal 39 Ayat (1) huruf C

UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang tata cara prosedur pembayaran pajak, ancamannya enam

tahun penjara dan denda empat kali kerugian pajak.

Akan tetapi sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku saat ini, perbuatan Suwir laut

tersebut melanggar Pasal 39 UU KUP 1984  ayat 1 huruf F Setiap orang yang dengan sengaja :

a. ….. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak beanr atau

tidak lengkap;

b. ...... sehinga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidan

penjara paling singkat 6(enam) bulan dan paling lama 6(enam) tahun dan denda paling

sedikit 2(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak

4(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Berdasarkan pasal 39 UU KUP 1984 ini, PT Asian Agri data dituntut dengan pidana tersebut

di atas. Dengan begitu, pokok pajak dan sanksi yang harus dibayarkan oleh PT Asian Agri

adalah sekitar Rp 3,9 T – Rp 6,5 T.

ANALISIS HUKUM

1. Terkait dengan aksinya ini, PT Asian Agri telah melanggar beberapa ketentuan yang dimuat

dalam beberapa pasal dalam KUHP dan KUP.

Pasal 263 ayat 1 KUHP berbunyi ;

6

Page 7: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

“ Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan

sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memaki surat

tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Diancam, jika pemakai tersebut dapat

menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun”

2. Dalam hal ini PT Asian Agri telah dengan sengaja melakukan pemalsuan surat yang

diperuntukkan sebagai bukti pelaporan penghitungan dan/atau pembayaran pajak. Surat yang

dipalsu oleh PT Asian Agri adalah Surat Pemberitahuan.

Selain memalsukan surat—dalam hal ini SPT—PT Asian Agri juga seklaigus sebagai pihak

pengguna surat yang telah dipalsukan tesebut, sehingga PT Asian Agri juga telah melakukan

pelanggaran terhadap pasal 263 ayat 2 KUHP yang berbunyi ;

“ diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya

tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu

dapat menimbulkan kerugian.”

3. Selain melanggar pasal-pasal berkenaan dengan pemalsuan surat tersebut, PT Asian Agri

juga melanggar ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana penggelapan, yakni KUHP

pasal 372 yang berbunyi ;

“barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich

toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,

tetapu yang ada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan

dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh juta

rupiah.”

Pengakuan barang milik sendiri disini—yang terjadi dalam PT Asian Agri—adalah sejumlah

uang yang sebenarnya merupakan pajak. pajak tersebut seharusnya dibayarkan kepada kas

negara dan menjadi milik negara untuk kepentingan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Terkait dengan penggelapan pajak ini, PT Asian Agri dapat dituntut dengan pidana penjara

paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh juta rupiah.

4. Pasal lain yang mengatur mengenai tindak pidana penggelapan adalah pasal 374 KUHP yang

berbunyi;

7

Page 8: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan

karena ada hubungan kerja atau karena pencariannya atau karena mendapatkan upah untuk

itu, diancam denga pidana pejara paling lama lima tahun.”

PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK

Hasil Audit BPK Atas Kasus Pajak Asian Agri

Asian Agri Diduga Menggelapkan Pajak Rp1,4 Triliun. Namun, Penyidikan Tidak

Optimal.

Kamis, 27 Januari 2011, 12:51 WIB

Heri Susanto

VIVAnews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit atas proses pemeriksaan

dan penyidikan pajak terhadap enam perusahaan. Hasil pemeriksaan itu mengungkap proses

pemeriksaan rupanya tidak efektif.

Berdasarkan dokumen hasil audit BPK yang diterima VIVAnews.com, pemeriksaan BPK tersebut

lebih ditujukan untuk menilai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta

efektivitas proses pemeriksaan dan penyidikan terhadap wajib pajak.

Asian Agri misalnya. Ini merupakan wajib pajak yang bergerak di sektor perkebunan kelapa

sawit. Asian Agri diduga menggelapkan pajak sejak 2002 hingga 2005 sebesar Rp1,4 triliun.

Dari hasil audit BPK terungkap, kinerja pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak oleh

Ditjen Pajak terhadap Asian Agri periode 2002-2005 yang belum sepenuhnya efektif. Akibatnya,

proses pemeriksaan atas kasus ini berjalan berlarut-larut cukup lama.

Jangka waktu pelaksanaan bukti permulaan atas Asian Agri melebihi ketentuan, yakni melewati

dua bulan dan tidak didukung dengan usulan serta surat persetujuan perpanjangan pemeriksaan.

Akibatnya, pelaksanaan pemeriksaan bukti awal tidak punya kepastian penyelesaian dan

mengganggu efektivitas penyelesaian tindak pidana perpajakan.

Pelaksanaan penyidikan dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan, namun Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tanggal 14 Mei 2007 hanya ditujukan kepada

Kejaksaan Tinggi Jakarta, melalui Mabes Polri, bukan disampaikan kepada Kejaksaan Agung.

8

Page 9: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

"Akibatnya, penyidikan menjadi tidak efektif dan berpotensi menimbulkan gugatan hukum," kata

BPK.

Ditjen Pajak telah mengikuti prosedur sesuai dengan ketentuan atas permohonan perpanjangan

pencegahan terhadap para tersangka tindak pidana perpajakan dalam kasus Asian Agri.

Penyidik Pajak tidak membuat Berita Acara Penggeledahan saat melakukan penggeledahan pada

keadaan perlu dan sangat mendesak sesuai surat perintah tanggal 14 Mei 2007. Penggeledahan

itu berlokasi di Marunda, Jakarta.

Selain itu, terdapat ketidaksesuaian alamat/lokasi penggeledahan antara surat perintah

penggeledahan yang menyebutkan kompleks Duta Merlin C33 Jakarta Barat dengan lokasi

sebenarnya B33. Atas tindakan penggeledahan itu, Wajib Pajak mengajukan permohonan pra

peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2008. Putusan pra peradilan pada 1 Juli

2008 menyebutkan tindakan penggeledahan tidak sah.

Atas putusan tersebut, Ditjen Pajak kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun,

permohonan kasasi ditolak oleh PN Jaksel dan tidak diteruskan ke MA karena tidak memenuhi

syarat formal. "Akibatnya, proses penyelidikan Ditjen Pajak terhadap Asian Agri menjadi tidak

efektif."

Soal penyitaan, penyidik pajak telah melakukan penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak

pada 14 Mei 2007. Persoalannya, penyidik pajak baru melaporkan pelaksanaan dan hasil

penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat persetujuan pada 14 Agustus 2007

atau 90 hari setelah penyitaan, padahal semestinya dua hari setelah penyitaan.

Atas penyitaan tersebut, Wajib Pajak kemudian mengajukan gugatan pra peradilan pada Juni

2008 ke PN Jaksel. Pengadilan menyatakan penyitaan oleh penyidik tidak sah. Atas putusan itu,

Ditjen Pajak kemudian mengajukan kasasi ke MA, namun kasasi tidak diproses PN Jaksel karena

tidak memenuhi syarat formal.

Temuan BPK lainnya menyebutkan penyidik Ditjen Pajak melengkapi berkas perkara P-19

melewati batas waktu yang ditentukan. Mereka juga belum menyerahkan barang bukti dan

tersangka atas berkas perkara yang sudah lengkap (P-21) dalam kasus Pajak Asian Agri kepada

Kejaksaan Agung.

"Akibatnya, proses penyidikan tidak optimal," kata BPK. Karena itu, BPK meminta Dirjen Pajak

segera memenuhi dan melengkapi berkas perkara seperti diminta Kejaksaan Agung.

9

Page 10: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

Tanggapan Ditjen Pajak

Atas hasil pemeriksaan BPK tersebut, Ditjen Pajak menanggapinya sejumlah temuan tersebut.

Soal jangka waktu pemeriksaan bukti permulaaan misalnya.  Ditjen Pajak menyatakan

pemeriksaan bukti permulaan diselesaikan dalam tempo dua bulan dan dapat diperpanjang untuk

jangka waktu yang disesuaikan.

Namun, BPK tidak sependapat. BPK malah meminta Dirjen Pajak memberi sanksi pejabat pajak

yang membuat proses pemeriksaan melebihi batas waktu.

Soal penggeledahan dan penyitaan, Ditjen Pajak menjelaskan bahwa penggeledahan di Marunda

telah dibuatkan Berita Acara Penggeledahan pada 14 Mei 2007. Sedangkan untuk alamat di Duta

Merlin baik di C-33 atau B-33, tidak pernah dilakukan penggeledahan berdasarkan kesepakatan

dengan Wajib Pajak pada 15 Mei 2007.

Sementara itu, penyitaan dilakukan oleh penyidik pajak pada 14 Agustus 2007, bukan pada 14

Mei 2007 seperti disebutkan. Itu didasarkan pada Surat Perintah Penyitaan pada 14 Agustus

2007.

Saat dihubungi, salah satu pejabat Raja Garuda Mas (induk usaha Asian Agri), Tjandra Putra

tidak mengangkat ponselnya. Sedangkan, pengacara Asian Agri, Hinca Panjaitan juga belum bisa

dimintai komentarnya saat dihubungi via ponsel.

Penjelasan diperoleh dari humas Asian Agri, Fiona Mambu. Menurut dia, kasus pajak Asian Agri

sesungguhnya sudah masuk ranah pengadilan. Karena itu, dia merasa lebih baik dibahas di

pengadilan. "Kami tidak mau spekulasi, yang jelas kami selalu kooperatif dan berharap

diselesaikan secara adil dan tranparan sesuai ketentuan yang berlaku."

Fiona mengakui mengacu pada berita-berita yang beredar, Asian Agri memang dituduh

menggelapkan pajak itu Rp1,4 triliun. Namun, dia berharap Ditjen Pajak melakukan hitung-

hitungan yang adil dan transparan. Penyelesaiannya juga harus mengacu aturan yang berlaku.

"Sebenarnya, kami melihatnya masalah perpajakan Asian Agri seharusnya diselesaikan secara

hukum administratif, bukan dengan pidana," kata Fiona. (art)

Sumber :

http://us.nasional.vivanews.com/news/read/201621-hasil-audit-bpk-atas-kasus-pajak-asian-agri

10

Page 11: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

ANALISIS KASUS

Badan pemeriksa keuangan setelah mengaudit proses pemeriksaan dan penyidikan kasus

Asian Agri yang diduga telah menggelapkan pajak 2002-2005 sebesar 1,4 triliun,

menemukan bahwa terjadi ketidakefektifan dikarenakan beberapa hal:

1. Jangka waktu pelaksanaan bukti permulaan lebih dari 2 bulan, serta tidak didukung

usulan dan surat persetujuan perpanjangan pemeriksaan, sehingga tidak ada kepastian

penyelesaian dan tidak efektif.

2. SPDP (Surat Dimulainya Penyidikan Pajak) 14 Mei 2007 hanya ditujukan pada

Kejaksaan tinggi Jakarta, bukan pada Kejaksaan Agung, sehingga tidak efektif dan

berpotensi timbulnya gugatan hukum.

3. Penyidik pajak tidak membuat Berita Acara Penggeledahan sesuai surat perintah 14 Mei

2007.

4. Ketidaksesuaian lokasi penggeledahan. Berdasarkan surat perintah, lokasi pengfeledahan

di Komplek Duta Merlin C33 Jakarta Barat, sedangkan lokasi sebenarnya ada di B33.

5. Berkaitan dengan penyitaan 14 Mei 2007, Penyidik pajak baru melaporkan pelaksanaan

dan hasil penyitaan pada ketua pengadilan negeri untuk mendapat persetujuan pada 14

Agustus 2007, atau 90 hari kemudian, di mana seharusnya 2 hari setelahnya.

6. Ditjen Pajak melengkapi berkas perkara P-19 melebihi batas waktu, serta belum

melengkapi barang bukti dan tersangka atas berkas perkara yang sudah lengkap (P-21).

ANALISIS UU

Landasan Hukum yang dapat dipakai dalam kasus ini adalah:

1. Pasal 29 UU KUP tentang Pemeriksaan

2. Pasal 29AUU KUP tentang Pemeriksaan Terbuka

3. Pasal 30 UU KUP tentang Penyegelan

4. Pasal 31 UU KUP tentang Tata Cara Pemeriksaan

5. PMK 198/PMK.03/07 tentang Penyegelan

6. PMK 199/PMK.03/07 tentang Tata Cara Pemeriksan

7. PP 80 thn 07 tentang Hak Dan Kewajiban WP

8. SE-10/PJ.04/2008 tentang Kebijakan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan WP

11

Page 12: Analisis Kasus Pembukuan Dan Pemeriksaan Pajak

9. PER 19 thn 2008 tentang Petunjuk Teknis Pelaksaan Pemeriksaan Lapangan

10. PER 20 thn 2008 tentang Petunjuk Teknis Pelaksaan Pemeriksaan Kantor

11. PER 9/PJ/2010 tentang Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan WP

Berdasarkan Pasal 29 ayat 1 UU KUP, Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan

Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup

pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis

pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan. Maka, pemeriksaan

yang diterapkan pada Asian Agri adalah pemeriksaan lapangan, karena dilakukan di tempat

wajib pajak.

Berdasarkan sifatnya, pemeriksaan yang diterapkan pada Asian Agri adalah pemeriksaan

khusus, di mana dilakukan setelah ada persetujuan atau instruksi dari unit atasan (Direktur

Jenderal Pajak atau kepala kantor yang bersangkutan) dalam hal terdapat indikasi bahwa

wajib pajak melakukan tindak pidana dibidang perpajakan. Hal tersebut sesuai dengan

dugaan bahwa Asian Agri menggelapkan pajak sebesar Rp 1,4 triliun.

ANALISIS HUKUM

Jika pemeriksa pajak, dalam hal ini adalah Ditjen pajak terbukti melakukan penundaan dalam

proses pemeriksaan bukti permulaan, yaitu melebihi ketentuan (lebih dari 2 bulan), dan tidak

didukung dengan usulan, serta surat persetujuan perpanjangan pemeriksaan, yang dapat

mendatangkan kerugian bagi negara, maka pemeriksa pajak telah melanggar Pasal 36A(1)

UU KUP

“Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan

pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Sesuai dengan Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP), LPP yang berkaitan dengan

pengungkapan penyimpangan Surat Pemberitahuan harus memperhatikan Kertas Kerja

Pemeriksaan (KPP), antara lain mengenai berbagai factor perbandingan, nilai absolute dari

penyimpangan, sifat dari penyimpangan, petunjuk atau temuan adanya penyimpangan,

pengaruh penyimpangan, dan hubungan adanya pemasalahan lainnya.

12