ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI …repository.ub.ac.id/5101/1/Hafidh Fadhillah.pdf ·...
Transcript of ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI …repository.ub.ac.id/5101/1/Hafidh Fadhillah.pdf ·...
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGAMBILAN
KEPUTUSAN PETANI PADI DALAM MEMANFAATKAN PROGRAM
SISTEM RESI GUDANG
(Studi Kasus di Koperasi Niaga Mukti, Desa Jambudipa, Kecamatan
Warungkondang, Kabupaten Cianjur)
Oleh:
HAFIDH FADHILLAH
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PENGAMBILAN KEPUTUSAN PETANI PADI DALAM
MEMANFAATKAN PROGRAM SISTEM RESI GUDANG
(Studi Kasus di Koperasi Niaga Mukti, Desa Jambudipa, Kecamatan
Warungkondang, Kabupaten Cianjur)
Oleh:
HAFIDH FADHILLAH
135040101111207
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam skripsi ini merupakan
hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan komisi pembimbing. Skripsi ini
tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi manapun dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, Juli 2017
Hafidh Fadhillah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 7 Februari 1995 sebagai putra
kedua dari empat bersaudara dari Bapak Poniman dan Ibu Mutmainah (Almh).
Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Sumberjaya 03 Bekasi pada
tahun 2001 sampai tahun 2007, kemudian penulis melanjutkan ke SMP
Putradarma Islamic School Bekasi pada tahun 2007 dan lulus pada tahun 2010.
Pada tahun 2010 sampai tahun 2013 penulis melanjutkan sekolah di SMA Pusaka
Nusantara 2 Bekasi. Pada tahun 2013, penulis melanjutkan studi Strata-1 pada
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang,
melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
“You Achieve Success Step by Step, Not with Big Jump”
-Lyn St. James-
NO SACRIFICE, NO VICTORY!
-Transformers: The Last Knight-
Hello future, I know definitely need more sacrifices than this.
But, right now I’m going to dedicate a bit of the result of my struggle
during college to the people around me, especially for :
-Ayah dan mamah tercinta yang telah mendidikku dengan penuh kesabaran-
“mom...dad, thank you for everything and it’s a little dedication I can give.
Hopefully I can give you a much better and more valuable one from this!”
-Kakak dan adikku tersayang-
“Thank you for supporting and entertaining all this time, so it always makes me
miss the atmosphere at home and soon I'll be back home and get together with you
again!”
-Sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu mendukung
kegiatan kuliah, penelitian hingga skripsi ini bisa selesai dengan baik-
“Thank you for your support, suggestions and your time who have been willing to
listen to my moan all this time, especially during the compiling of my minor thesis.
This is a dedication from me and hopefully we can be successful together!”
-Hafidh Fadhillah-
i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap kinerja
pengelolaan program Sistem Resi Gudang (SRG) di Kabupaten Cianjur serta
memberikan masukan kepada petani padi dalam upaya peningkatan pendapatan
dengan memanfaatkan program Sistem Resi Gudang. Penelitian ini menggunakan
gap analysis, analisis usahatani, dan analisis regresi logistik. Hasil penelitian
menunjukan bahwa kinerja pengelolaan program SRG di Kabupaten Cianjur
masih terkendala masalah sosialisasi program dan pengawasan dari Bappebti
(Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Petani yang memanfaatkan
program SRG memiliki pendapatan usahatani lebih tinggi daripada petani
konvensional. Keputusan petani untuk memanfaatkan program SRG dapat
meningkatkan pendapatan usahatani padi, namun kenyataannya tidak semua
petani padi memanfaatkan program SRG. Hasil penelitian menunjukan bahwa
faktor-faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan petani padi adalah luas
lahan, produksi gabah, pendapatan usahatani, dan kepemilikan profesi di bidang
non usahatani.
Kata kunci: Petani padi, program SRG, kinerja pengelolaan, pendapatan
usahatani, keputusan
ABSTRACT
This research aims to give an assessment of the performance management of
Warehouse Receipt Program (WRS) in Cianjur regency and give a suggestion to
paddy farmers in an effort to increase revenue by utilizing Warehouse Receipt
program. This research uses gap analysis, farming analysis, and logistic
regression analysis. The results showed that the performance of WRS program
management in Cianjur regency is still facing problems of program socialization
and supervision from CoFTRA (Commodity Futures Trade Regulatory Agency).
Farmers who utilize the WRS program have higher farm incomes than
conventional farmers. Farmer’s decisions to utilize the WRS program can
increase farm incomes, but in reality not all paddy farmers use the WRS program.
The results showed that factors affecting decision making of paddy farmers are
land area, grain production, farm income, and ownership of profession non-
farming.
Keywords: Paddy farmers, WRS program, performance management, farm
income, decision
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala
yang telah memberikan segala rahmat, nikmat dan karunia-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Analisis Faktor-
Faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan Petani Padi dalam
Memanfaatkan Program Sistem Resi Gudang (Studi Kasus di Koperasi Niaga
Mukti, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur)”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu, membimbing, serta memberikan arahan dan motivasi
dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua atas segala doa, motivasi, dan kesabarannya dalam mengajarkan serta
membimbing penulis hingga seperti saat ini. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Wisynu Ari Gutama, SP., M.MA selaku dosen pembimbing utama
atas segala bimbingan, motivasi, dan kesabarannya kepada penulis. Tidak lupa
juga penulis ucapkan terima kasih kepada kepala dan staf Badan Pengawas
Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia dan Pengelola Gudang Koperasi Niaga Mukti yang telah memberikan
informasi dan arahan kepada penulis mengenai program Sistem Resi Gudang.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Maka dari itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat
penulis harapkan sebagai bahan evaluasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik
di masa yang akan datang. Penulis berharap dengan adanya penelitian yang akan
dilakukan dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan dapat dijadikan sumber
informasi dan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait.
Malang, Juli 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .............................................................................................. i
SUMMARY ................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 8
2.1 Penelitian Terdahulu ......................................................................... 8
2.2 Tinjauan tentang Gabah .................................................................... 11
2.2.1 Standar Mutu Gabah ................................................................ 11
2.2.2 Pasca Panen Gabah .................................................................. 15
2.3 Sejarah dan Implementasi Sistem Resi Gudang di Dunia ................. 18
2.3.1 Amerika Serikat ....................................................................... 18
2.3.2 Amerika Latin .......................................................................... 18
2.3.3 Eropa Timur dan Rusia ............................................................ 20
2.3.4 Afrika ....................................................................................... 21
2.3.5 India ......................................................................................... 22
2.3.6 Zambia...................................................................................... 23
2.4 Sistem Resi Gudang di Indonesia ..................................................... 24
2.4.1 Pengertian Sistem Resi Gudang ............................................... 24
2.4.2 Himpunan Peraturan Sistem Resi Gudang ............................... 25
2.4.3 Kelembagaan Sistem Resi Gudang .......................................... 27
2.4.4 Alur Skema Sistem Resi Gudang ............................................. 31
2.4.5 Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang ................................. 33
2.4.6 Manfaat Sistem Resi Gudang ................................................... 34
2.5 Kinerja Pengelolaan Progam ............................................................. 37
2.6 Efektivitas Program ........................................................................... 39
2.7 Pengambilan Keputusan .................................................................... 40
iv
2.7.1 Pengertian Pengambilan Keputusan ......................................... 40
2.7.2 Dasar-dasar Pengambilan Keputusan ....................................... 42
2.7.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan .... 44
2.7.4 Proses Pengambilan Keputusan (Decision Making Process)... 45
III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN .............................................. 46
3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 46
3.2 Hipotesis ............................................................................................ 49
3.3 Batasan Masalah................................................................................ 49
3.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ................................ 50
IV. METODE PENELITIAN ..................................................................... 53
4.1 Metode Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian.............................. 53
4.2 Metode Penentuan Responden .......................................................... 53
4.3 Metode Pengumpulan Data ............................................................... 54
4.4 Metode Analisis Data ........................................................................ 56
4.4.1 Analisis Gap ............................................................................. 56
4.4.2 Analisis Pendapatan Petani ...................................................... 59
4.4.3 Analisis Regresi Logistik ......................................................... 63
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 65
5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ..................................................... 65
5.1.1 Letak Geografis ........................................................................ 65
5.1.2 Keadaan Penduduk ................................................................... 66
5.2 Karakteristik Petani Responden ........................................................ 73
5.3 Pemasaran Gabah di Kabupaten Cianjur........................................... 77
5.4 Profil Koperasi Niaga Mukti ............................................................. 79
5.5 Hasil dan Pembahasan....................................................................... 81
5.5.1 Kinerja Pengelolaan Program Sistem Resi Gudang ................ 81
5.5.2 Efektivitas Program SRG dalam Meningkatkan Pendapatan
Usahatani Padi ........................................................................ 93
5.5.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan .... 113
VI. PENUTUP .............................................................................................. 121
6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 121
6.2 Saran .................................................................................................. 122
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 124
LAMPIRAN ................................................................................................. 128
v
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1 Rekapitulasi Transaksi Program SRG di Kab. Cianjur Tahun 2011-
2016 ................................................................................................... 3
2 Perbandingan Total Produksi Gabah dengan Total Gabah yang
Disimpan di Gudang SRG Kabupaten Cianjur ................................. 5
3 Persyaratan Kuantitatif Gabah ......................................................... 11
4 Pedoman Pelaksanaan Program Sistem Resi Gudang ....................... 58
5 Penjelasan Degree of Fit ................................................................... 58
6 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kab. Cianjur Tahun 2015 ....... 67
7 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Desa Jambudipa Tahun 2015 . 68
8 Jumlah Sarana Pendidikan di Kabupaten Cianjur Tahun 2015 ......... 69
9 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten
Cianjur Tahun 2015........................................................................... 70
10 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa
Jambudipa Tahun 2015 ..................................................................... 71
11 Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut
Lapangan Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin Tahun 2015 ............ 72
12 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Jambudipa
Tahun 2015 ....................................................................................... 73
13 Jumlah Petani Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ..................... 74
14 Jumlah Petani Responden Berdasarkan Umur .................................. 74
15 Jumlah Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............ 75
16 Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kepemilikan Profesi Non
Usahatani ........................................................................................... 76
17 Hasil Analisis Kesenjangan dalam Pengelolaan Gudang SRG di
Kabupaten Cianjur ............................................................................ 82
18 Jenis Pupuk, Harga Pupuk, dan Rata-rata Penggunaan Pupuk Pada
Petani Padi Konvensional dan Petani SRG ....................................... 98
vi
19 Rata-rata Biaya Variabel per Hektar Pada Petani Konvensional dan
Petani SRG ........................................................................................ 107
20 Rata-rata Biaya Tetap per Hektar Pada Petani Konvensional dan
Petani SRG ........................................................................................ 108
21 Rata-rata Penerimaan Usahatani Padi per Hektar Pada Petani
Konvensional dan Petani SRG .......................................................... 110
22 Pendapatan Rata-rata per Hektar Usahatani Padi Pada Petani
Konvensional dan Petani SRG .......................................................... 111
23 Hasil Uji Beda Rata-rata (Independent Sample T-Test) Pendapatan
Usahatani Padi ................................................................................... 113
24 Hasil Uji Regresi Logistik Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Pengambilan Keputusan Petani Memanfaatkan Program SRG ........ 113
25 Klasifikasi Gudang Komoditas Pertanian ......................................... 139
26 Biaya Variabel Usahatani Padi Petani Konvensional ....................... 151
27 Biaya Tetap Usahatani Padi Petani Konvensional ............................ 154
28 Penerimaan Usahatani Padi Petani Konvensional............................. 158
29 Pendapatan Usahatani Padi Petani Konvensional ............................. 161
30 Biaya Variabel (Variable Cost) Usahatani Padi Petani SRG ............ 164
31 Biaya Tetap (Fix Cost) Usahatani Padi Petani SRG ......................... 166
32 Penerimaan Usahatani Padi Petani SRG ........................................... 168
33 Pendapatan Awal Usahatani Padi Petani SRG .................................. 172
34 Pendapatan Akhir Usahatani Padi Petani SRG ................................. 174
35 Selisih Pendapatan Rata-rata per Hektar Sebelum dan Sesudah
Memanfaatkan Program SRG ........................................................... 176
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1 Alur Penerbitan Resi Gudang............................................................ 31
2 Alur Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................ 48
3 Rantai Pemasaran Gabah I di Kabupaten Cianjur ............................. 77
4 Rantai Pemasaran Gabah II di Kabupaten Cianjur ........................... 78
5 Struktur Organisasi Koperasi Niaga Mukti ....................................... 79
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Teks
1 Rekapitulasi Jumlah Komoditas SRG Tahun 2008 – 2016 ............... 129
2 Rekapitulasi Transaksi Sistem Resi Gudang Tahun 2008 – 2016 .... 129
3 Produksi Padi Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun
2011-2015 (dalam ton) ...................................................................... 130
4 Contoh Form Resi Gudang Koperasi Niaga Mukti .......................... 132
5 Jumlah Penduduk di Kabupaten Cianjur Tahun 2013 Hingga 2015 . 133
6 Jumlah Desa/Kelurahan, RW, dan RT per Kecamatan di
Kabupaten Cianjur Tahun 2015 ........................................................ 134
7 Luas Lahan Menurut Penggunaan Setiap Kecamatan Tahun 2015 .. 135
8 Gudang Komoditas Pertanian SNI 7331:2016 .................................. 136
9 Kuesioner Analisis Kesenjangan Berdasarkan Persepsi Petani SRG 143
10 Hasil Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) ..................................... 145
11 Analisis Usahatani Padi Konvensional ............................................. 151
12 Analisis Usahatani Padi Petani SRG ................................................. 164
13 Data Uji Regresi Logistik.................................................................. 177
14 Hasil Analisis Regresi Logistik Menggunakan SPSS ....................... 180
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada perdagangan komoditas padi di Indonesia, pengolahan padi menjadi
gabah merupakan tahap yang penting untuk menjaga kualitas gabah yang
dihasilkan. Kualitas gabah diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yaitu gabah
kering panen (GKP), gabah kering simpan (GKS), dan gabah kering giling (GKG)
(BPS, 2015a). Tahun 2015, Indonesia mampu memproduksi padi dalam bentuk
gabah kering giling (GKG) sebanyak 75,36 juta ton. Pencapaian produksi padi
tersebut menunjukkan kenaikan sebanyak 4,52 juta ton atau 6,37 persen lebih
tinggi dari tahun 2014. Peningkatan produksi padi di Pulau Jawa sebanyak 2,31
juta ton gabah kering giling dan di luar Pulau Jawa sebanyak 2,21 juta ton gabah
kering giling (BPS, 2016).
Salah satu wilayah produksi padi di Pulau Jawa adalah Provinsi Jawa Barat.
Pada tahun 2015, Provinsi Jawa Barat mampu memproduksi padi sebanyak
11.373.144 ton gabah kering giling dan menjadi daerah penghasil padi terbesar
kedua setelah Jawa Timur dengan total produksi mencapai 13.154.967 ton gabah
kering giling. Sentra produksi padi di Jawa Barat salah satunya adalah Kabupaten
Cianjur. Pada tahun 2013, produksi padi di Kabupaten Cianjur mencapai 801.622
ton gabah kering giling. Sementara itu, pada tahun 2014 dan 2015, produksi padi
dalam bentuk gabah kering giling masing-masing sebanyak 768.125 ton dan
772.706 ton (BPS, 2016).
Upaya pengembangan pada sektor pertanian di Kabupaten Cianjur terus
dilakukan. Upaya pengembangan yang dilakukan antara lain: memberikan subsidi
benih, pupuk, dan traktor kepada petani, penyediaan lahan bagi petani untuk
pengembangan dan pelestarian padi pandanwangi, pembelian gabah petani oleh
pihak yang ditunjuk oleh pemerintah daerah dan lain sebagainya. Namun, petani
sebagai pelaku usaha pertanian masih sulit mendapatkan pembiayaan untuk
kebutuhan hidup dan keberlanjutan usahataninya. Sulitnya pembiayaan
disebabkan karena harga jual gabah yang rendah saat musim panen. Sementara
itu, akses petani dalam memperoleh pembiayaan untuk kesinambungan kegiatan
2
usahataninya pada lembaga keuangan perbankan dan non-bank terkadang masih
memberatkan petani karena terkait dengan agunan (fixed asset) yang harus
dijaminkan oleh petani untuk memperoleh pinjaman modal, sehingga banyak
petani yang memilih untuk langsung menjual hasil panennya dalam bentuk gabah
kering panen dengan harga yang rendah kepada tengkulak.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan RI mengeluarkan kebijakan
program Sistem Resi Gudang (SRG) yang didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2011 (Bappebti, 2016a). Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa
program Sistem Resi Gudang (SRG) adalah kegiatan yang berkaitan dengan
penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. Resi
gudang adalah surat atau dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan
di gudang SRG.
Tujuan utama dari program Sistem Resi Gudang adalah membantu petani
dalam mengatasi persoalan pemasaran komoditas dan menciptakan daya saing
harga serta memperoleh kemudahan akses pembiayaan melalui lembaga
keuangan, baik perbankan ataupun lembaga keuangan non-bank. Selain itu,
program Sistem Resi Gudang bertujuan untuk membantu petani memperoleh
harga jual komoditas yang optimal dengan mekanisme tunda jual. Mekanisme
tunda jual yang diterapkan dalam program Sistem Resi Gudang adalah ketika
musim panen dan harga komoditas di pasar rendah, maka petani dapat menyimpan
komoditas di gudang SRG, kemudian menjualnya ketika harga tinggi. Melalui
mekanisme tunda jual maka juga akan menjaga kestabilan stok komoditi di pasar.
Menurut Coulter dan Onumah (2002) sebagai tujuan jangka panjang, program
SRG dapat berkontribusi meningkatkan pendapatan usahatani pedesaan dengan
mengembangkan perdagangan komoditas pertanian dan meningkatkan akses
pinjaman bagi petani.
Program Sistem Resi Gudang di Kabupaten Cianjur mulai diterapkan tahun
2011 yang dikelola oleh PT. Pertani. Pada tahun 2013, pengelola gudang SRG
digantikan oleh Koperasi Niaga Mukti. Adanya kebijakan terkait program SRG di
Kabupaten Cianjur sangat berpengaruh terhadap kegiatan usahatani padi yang
3
dilakukan oleh petani. Petani dapat memanfaatkan semua fasilitas yang ada di
gudang SRG, terutama untuk kegiatan pasca panen padi. Fasilitas yang tersedia di
gudang SRG antara lain: dryer, lantai jemur, rice milling unit, color sorter, truk,
dan sarana pendukung lainnya. Fasilitas tersebut dapat mendukung kegiatan pasca
panen yang tepat, sehingga dapat menjaga kualitas komoditas dan memberikan
nilai tambah pada komoditas yang disimpan.
Selain mendapatkan kemudahan akses untuk kegiatan pasca panen, petani
juga dapat memperoleh harga komoditas yang optimal dengan menerapkan
mekanisme tunda jual dan mendapatkan pembiayaan melalui jaminan resi gudang.
Kondisi tersebut menjadi hal yang potensial dalam mendukung peningkatan
partisipasi petani untuk memanfaatkan program SRG. Hingga tahun 2016, jumlah
transaksi pada program SRG di Kabupaten Cianjur mengalami fluktuasi, baik dari
jumlah gabah yang disimpan ataupun juga jumlah resi gudang yang diterbitkan
oleh pengelola gudang. Rekapitulasi transaksi program SRG di Kabupaten Cianjur
dari tahun 2011 hingga 2016 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi Transaksi Program SRG di Kab. Cianjur Tahun 2011 – 2016
Tahun Jumlah Resi
Gudang %
Volume
(Ton)
Nilai Barang
(Rp)
Pembiayaan
(Rp)
2011 17 5,69 261 1.530.732.000 1.017.520.000
2012 57 19,06 1.557,245 8.913.329.000 5.712.678.200
2013 41 13,71 1.311,025 78.770.042.500 5.395.490.000
2014 83 27,76 2.133,612 13.461.505.800 9.405.077.000
2015 66 22,07 1.647,565 10.287.047.500 7.165.233.000
2016 35 11,71 753,33 4.672.804.000 3.249.650.000
Total 299 100,00 7.663,777 117.635.460.800 31.945.648.200
Sumber: Bappebti, 2016b
Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa pada tahun 2012
jumlah resi gudang yang diterbitkan mengalami kenaikan sebesar 13,37 persen
dari tahun 2011 dan tahun 2014 kenaikan jumlah resi gudang sebesar 14,05 persen
dari tahun 2013. Sementara itu, pada tahun 2013, 2015, dan 2016 terjadi
penurunan jumlah resi gudang. Pada tahun 2013, penurunan jumlah resi gudang
sebesar 5,35 persen dari tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2015 dan 2016,
penurunan jumlah resi gudang masing-masing sebesar 5,69 persen dari tahun
2014 dan 10,36 persen dari tahun 2015.
4
Penurunan jumlah resi gudang yang terjadi disebabkan karena kurangnya
partisipasi petani untuk memanfaatkan program SRG. Keputusan petani untuk
memanfaatkan program SRG atau tidak memanfaatkan program SRG tergantung
pada kesadaran dan kebutuhan petani untuk dapat meningkatkan pendapatan
usahataninya, terutama pada saat musim panen. Semakin banyak petani yang
memanfaatkan program SRG, maka pendapatan yang diterima petani akan
semakin meningkat serta dapat memperoleh akses pasar yang mudah dan efisien.
Namun jika partisipasi petani untuk memanfaatkan program SRG rendah, maka
pendapatan yang diterima petani cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
petani yang memanfaatkan program SRG.
Pengambilan keputusan petani untuk memanfaatkan program SRG di
Kabupaten Cianjur masih belum diketahui dan diidentifikasi secara jelas. Maka
dari itu, peneliti merasa perlu melakukan penelitian lebih lanjut terkait faktor-
faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan petani dalam memanfaatkan
program Sistem Resi Gudang di Kabupaten Cianjur, sehingga dengan
dilakukannya penelitian ini, peneliti berharap petani dapat mengetahui efektivitas
program SRG dalam meningkatkan pendapatan usahatani. Selain itu, peneliti
berharap pemerintah dan stakeholder yang terkait dapat mengetahui secara jelas
kinerja dari pengelolaan program SRG di Kabupaten Cianjur dan mengetahui
faktor-faktor yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan petani dalam
memafaatkan program SRG.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2007,
penerapan awal program Sistem Resi Gudang hanya mencakup 8 komoditas.
Kemudian pada tahun 2013 bertambah menjadi 10 komoditas dan pada tahun
2016 menjadi 14 komoditas. Hal tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor: 35/M-Dag/Per/5/2016 tentang barang yang dapat disimpan
di gudang dalam penyelenggaraan program Sistem Resi Gudang, meliputi: gabah,
beras, teh, jagung, kakao, lada, kopi, karet, rumput laut, rotan, garam, timah,
5
gambir dan kopra. (Bappebti, 2016b). Namun, hingga tahun 2016, jumlah
komoditas yang telah disimpan di gudang SRG baru mencakup 7 komoditas saja.
Komoditas gabah menjadi komoditas yang paling mendominasi dalam
penyelenggaraan Sistem Resi Gudang (data disajikan dalam lampiran). Pada tahun
2008 hingga 2016, jumlah resi gudang yang diterbitkan mencapai 2.106 buah
dengan volume gabah sebanyak 71.711,36 ton. Sedangkan untuk nilai barang
yang disimpan mencapai Rp 371.191.096.736 dengan nilai pembiayaan komoditas
mencapai Rp 224.509.512.230.
Pengelolaan program SRG pada komoditas gabah yang dikelola oleh
Koperasi Niaga Mukti di Kabupaten Cianjur sudah cukup baik dibandingkan
dengan daerah lainnya, namun partisipasi petani dalam memanfaatkan program
SRG masih rendah. Hingga tahun 2016, total gabah yang disimpan sebanyak
7.663,777 ton dan resi gudang yang diterbitkan mencapai 299 buah. Sementara
itu, penurunan jumlah resi gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang terjadi
pada tahun 2013, 2015, dan 2016. Pada tahun 2013, penurunan jumlah resi
gudang sebanyak 16 lembar (5,35%) dari tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2015
dan 2016, penurunan jumlah resi gudang masing-masing sebanyak 17 lembar
(5,69%) dari tahun 2014 dan 31 lembar (10,36%) dari tahun 2015.
Berdasarkan jumlah transaksi dari program SRG di Kabupaten Cianjur,
pencapaian program tersebut masih sangat kecil bila dibandingkan dengan total
produksi padi di Kabupaten Cianjur. Perbandingan total produksi padi dengan
total gabah yang disimpan di gudang SRG tahun 2011 hingga 2013 dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Total Produksi Gabah dengan Total Gabah yang Disimpan
Di Gudang SRG Kabupaten Cianjur
Tahun Total Produksi
(Ton)
Total Gabah SRG
(Ton)
Persentase
(%)
2011 790.824 261 0,03
2012 868.538 1.557,245 0,18
2013 1.548.194 1.311,025 0,08
Total 3.207.556 3.129,267 0,09
Sumber: Kabupaten Cianjur dalam Angka 2014 dan Bappebti, 2016b
6
Berdasarkan data pada Tabel 2, produksi gabah di Kabupaten Cianjur dari tahun
2011 hingga 2013 mencapai 3.207.556, sedangkan total gabah yang disimpan di
gudang SRG hanya 3.129,267 ton. Perbandingan antara total produksi padi dengan
total gabah yang disimpan digudang SRG hanya 0,09 persen. Hal ini menjadi menarik
untuk diteliti karena meskipun Kabupaten Cianjur sangat potensial untuk
pengembangan program SRG, namun kuantitas gabah yang disimpan oleh petani di
gudang SRG masih sangat sedikit karena partisipasi dan minat petani yang masih
rendah.
Partisipasi petani dalam memanfaatkan program SRG merupakan sebuah
pilihan yang didasarkan pada kesadaran dan kebutuhan petani. Pilihan petani
untuk memanfaatkan program SRG sebagai alternatif pembiayaan dan
peningkatan pendapatan usahatani didasarkan pada keputusan individu petani.
Menurut Hadisapoetro, 1970 (dalam Mardikanto, 2007) petani sebagai manajer
mempunyai kewajiban untuk mengambil keputusan yang menguasai dan
mengatur penggunaan sumber-sumber produktif yang ada di usahataninya secara
efektif, sehingga dapat menghasilkan benda dan pendapatan seperti yang
direncanakan. Pengambilan keputusan biasanya berkaitan dengan suatu atau
serangkaian jalannya tindakan dari sejumlah alternatif yang akan menuju
pencapaian beberapa tujuan petani (Makeham dan Malcolm, 1991 dalam
Apriliana dan Mustadjab, 2016). Keputusan yang diambil petani didasarkan pada
faktor-faktor seperti jumlah anggota keluarga, kelompok tani, umur, pendidikan,
pendapatan, dan luas lahan usahatani (Soekartawi, 1988 dalam Apriliana dan
Mustadjab, 2016).
Keputusan petani padi untuk memanfaatkan program SRG di Kabupaten
Cianjur tergantung pada kesadaran dan kebutuhan petani dalam mendapatkan
harga komoditas yang optimal dan mendapatkan pembiayaan dengan jaminan resi
gudang. Semakin banyak petani yang memanfaatkan program SRG, maka
semakin mudah memengaruhi petani lain untuk dapat ikut memanfaatkan program
SRG. Sehingga nantinya program SRG di Kabupaten Cianjur dapat dimanfaatkan
secara masif oleh para petani.
7
Sejak program SRG di Kabupaten Cianjur beroperasi, sudah ada penelitian
yang membahas mengenai implementasi program SRG. Namun hingga saat ini
belum ada penelitian yang menjelaskan mengenai kinerja pengelolaan gudang
SRG, efektivitas program SRG dalam meningkatkan pendapatan petani, dan
faktor-faktor yang memengaruhi petani dalam memanfaatkan program SRG.
Berdasarkan uraian tersebut, dirasa perlu untuk diadakan penelitian mengenai
faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani dalam memanfaatkan program
SRG di Kabupaten Cianjur. Sehingga masalah penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja pengelolaan program Sistem Resi Gudang pada Koperasi
Niaga Mukti di Kabupaten Cianjur?
2. Bagaimana efektivitas dari program Sistem Resi Gudang dalam meningkatkan
pendapatan petani padi di Kabupaten Cianjur?
3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pengambilan keputusan petani padi
dalam memanfaatkan program Sistem Resi Gudang di Kabupaten Cianjur?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menganalisis kinerja pengelolaan program Sistem Resi Gudang di Kabupaten
Cianjur yang dikelola oleh Koperasi Niaga Mukti.
2. Menganalisis efektivitas program Sistem Resi Gudang dalam meningkatkan
pendapatan petani padi di Kabupaten Cianjur.
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan
petani padi dalam memanfaatkan program Sistem Resi Gudang di
Kabupaten Cianjur.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan telaah penelitian terdahulu yang dilakukan, terdapat beberapa
penelitian yang telah dilakukan terkait dengan Sistem Resi Gudang di Indonesia.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Widiyani (2014). Penelitian yang
dilakukan berjudul Analisis Program Sistem Resi Gudang di Kabupaten
Indramayu. Penelitian tersebut menganalisis perkembangan dan efektivitas
program SRG pada komoditas gabah, menganalisis perkembangan prediksi harga
gabah periode April 2014 hingga Maret 2015 dan menganalisis volume gabah
yang dapat disimpan di gudang SRG Indramayu untuk beberapa bulan. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode analisis, antara lain: analisis
deskriptif, gap analysis, analisis ARMA-ARIMA. Hasil dari penelitian tersebut
menjelaskan bahwa implementasi program SRG di Kabupaten Indramayu
mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga 2013, namun masih belum efektif
karena terdapat beberapa kendala dari aspek pengujian mutu barang, pengambilan
barang yang disimpan, status peserta, kapasitas gudang, dan sosialisasi. Selain itu,
terjadi fluktuasi harga gabah pada bulan April 2014 hingga Maret 2015 sesuai dengan
musim panen dan panceklik.
Kedua, penelitian dilakukan oleh Hadian dkk (2014) yang diselenggarakan
secara swakelola oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian
Perdagangan RI yang berjudul Analasis Sistem Resi Gudang Komoditi Lada di
Provinsi Lampung dan Bangka Belitung. Penelitian tersebut menggunakan
beberapa metode analisis, antara lain: analisis deskriptif, analisis harga, analisis
pelaku pasar, analisis kelembagaan, analisis kebijakan perdagangan komoditi dan
resi gudang serta analisis faktor pendorong (kebijakan) dan penarik (manfaat
secara ekonomis). Hasil dari penelitian tersebut menjelaskan bahwa implementasi
Sistem Resi Gudang untuk komoditi lada terutama di Lampung dan Bangka
Belitung belum siap baik dari sisi pelaku usaha, kelembagaan maupun sarana dan
prasarana yang digunakan. Selain itu, terdapat empat faktor kunci agar
implementasi SRG komoditi lada dapat terwujud, yaitu adanya komitmen kepala
9
pemerintah daerah, terintegrasinya kelembagaan dalam satu tempat, edukasi dan
sosialisasi, peningkatan produksi dan mutu serta terdapatnya off taker/ buyer/
pasar lelang.
Ketiga, penelitian dilakukan oleh Dewi (2016) yang berjudul Biaya
Transaksi Sistem Resi Gudang Gabah di Kabupaten Cianjur. Penelitian tersebut
bertujuan untuk menganalisis biaya transaksi yang harus dibayarkan petani dalam
melaksanakan Sistem Resi Gudang dan menganalisis faktor-faktor yang
memengaruhi biaya transaksi. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode
analisis data seperti Transactional Cost Analysis (TCA), analisis keuntungan
tunda jual dan pembiayaan pada Sistem Resi Gudang, dan analisis regresi
berganda pada faktor yang memengaruhi biaya transakasi. Hasil dari penelitian
tersebut menjelaskan bahwa biaya transaksi program SRG meliputi tiga aktivitas,
yaitu transaksi keanggotaan kelompok tani, transaksi kepemilikan resi gudang,
dan transkasi pembiayaan berbasis resi gudang. Total besaran biaya transaksi yang
dikeluarkan petani yang tergabung dalam kelompok tani sebesar Rp 787/kg dan
non kelompok tani sebesar Rp 1.111/kg. Selain itu, persentase rata-rata antara
biaya transaksi dengan keuntungan adalah 5,16 persen. Besaran biaya transaksi
yang dihasilkan masih sangat rendah jika dibandingkan dengan keuntungan yang
didapat dari program SRG. Kemudian faktor yang memengaruhi biaya transaksi
negatif secara signifikan adalah keikutsertaan dalam kelompok tani dan jumlah
pinjaman (loan size), sedangkan variabel jangka waktu kredit berpengaruh positif
terhadap biaya transaksi.
Keempat, penelitian dilakukan oleh Ashari dkk (2013) yang berjudul Kajian
Efektivitas Sistem Resi Gudang dalam Stabilisasi Pendapatan Petani. Penelitian
tersebut diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian RI. Metode analisis penelitian
tersebut menggunakan analisis kebijakan dengan melakukan review dan sintesis
terhadap berbagai dokumen dan laporan terkait dengan konsepsi, implementasi,
dampak, dan kendala program SRG di lapangan. Hasil dari penelitian tersebut
menjelaskan bahwa implementai SRG masih sangat rendah, hal itu disebabkan
karena kurangnya sosialisasi kepada stakeholder, terutama kepada petani dan
10
kelompok tani. Selain sosialisasi, implementasi program SRG masih terkendala
pada aspek teknis, sosial, ekonomi, kelembagaan, dan sumber daya manusia
maupun kebijakan yang juga sangat berpengaruh terhadap kinerja program SRG
dilapangan. Kunci keberhasilan program SRG adalah terletak pada dukungan
pemerintah daerah dalam hal ini mencakup gubernur, bupati/ walikota, dan dinas
terkait dibawahnya. Selain itu, sektor keuangan merupakan „engine‟ untuk
menghidupkan dan menggerakkan program SRG.
Kelima, penelitian dilakukan oleh Azmi (2008) yang berjudul Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) Serta Pengaruhnya Terhadap Pendapatan dan
Curahan Kerja. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi permasalahan yang terjadi dalam impelementasi program PHBM di
desa Babakan Kabupaten Bogor, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
keputusan petani untuk mengikuti program PHBM, dan mempelajari prospek
pengembangan program PHBM di desa Babakan Kabupaten Bogor. Penelitian
yang dilakukan menggunakan metode analisis data seperti analisis deskriptif,
analisis pendapatan, dan analisis model logistik. Hasil dari penelitian tersebut
menjelaskan bahwa LMDH tidak mampu menggerakkan anggotanya dalam
melaksanakan kewajiban sebagai penggarap dan manajemen dana bagi hasil yang
kurang transparan. Pendapatan dan curahan kerja petani peserta PHBM dan petani
non PHBM tidak berbeda nyata, walaupun manfaat program PHBM tetap
dirasakan oleh para peserta program. Status kepemilikan lahan usahatani pribadi
dan kepemilikan profesi lain di bidang non usahatani akan memperkecil peluang
petani mengikuti program PHBM, sedangkan keikutsertaan dalam penyuluhan
Perum Perhutani akan memperbesar peluang petani mengikuti program PHBM.
Penelitian terdahulu yang telah diuraikan diatas sebagai referensi peneliti
dalam melakukan penelitian. Pada penelitian ini, peneliti menemukan beberapa
persamaan dengan penelitian terdahulu seperti tujuan dan metode penelitian yang
sama, namun yang membedakan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu
adalah jenis komoditas dan lokasi penelitian yang dipilih.
11
2.2 Tinjauan tentang Gabah
2.2.1 Standar Mutu Gabah
Berdasarkan ketentuan dari Badan Standarisasi Nasional (1993), ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian mutu gabah. Penilaian mutu
gabah didasarkan pada prosedur SNI 01-0224-1987, meliputi:
1. Ruang Lingkup
Standar ini meliputi syarat mutu gabah, dasar penentuan tingkat mutu, dan cara
penyebutan tingkat mutu.
2. Deskripsi
Gabah adalah butir padi (Oryza sativa) yang telah terlepas dari malainya.
3. Klasifikasi
Gabah digolongkan ke dalam tiga jenis mutu, yaitu mutu I, mutu II, dan mutu III.
4. Persyaratan Mutu
A. Persyaratan Kualitatif Gabah:
1) Bebas hama dan penyakit.
2) Bebas bau busuk, asam atau bau-bau lainnya.
3) Bebas dari bahan kimia seperti sisa-sisa pupuk, insektisida, fungisida,
dan bahan kimia lainnya.
4) Gabah tidak boleh panas.
B. Persyaratan Kuantitatif Gabah
Tabel 3. Persyaratan kuantitatif gabah
No Komponen Mutu Kualitas
(% maksimum) I II III
1 Kadar air 14,0 14,0 14,0
2 Gabah hampa 1,0 2,0 3,0
3 Butir rusak + butir kuning 2,0 5,0 7,0
4 Butih mengapur + gabah muda 1,0 5,0 10,0
5 Butir merah 1,0 2,0 4,0
6 Benda asing - 0,5 1,0
7 Gabah varietas lain 2,0 5,0 10,0
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 1993
12
5. Definisi Istilah-istilah
a. Kadar air
Kadar air adalah jumlah kandungan air dalam butir gabah yang dinyatakan
dalam satuan persen dari berat basah (wet basis).
b. Butir gabah hampa
1) Butir gabah yang tidak berkembang sempurna, tetapi kedua tangkup
sekamnya utuh dan tidak berisi butir beras.
2) Termasuk dalam butir hampa adalah gabah-gabah yang kedua tangkup
sekamnya masih utuh, tetapi butir berasnya tidak ada akibat serangan
hama atau oleh sebab lain.
c. Benda asing
Benda asing adalah segala benda-benda yang tidak tergolong gabah,
misalnya debu, butir-butir tanah, batu-batu kecil, butir-butir pasir,
potongan-potongan logam, potongan-potongan kayu, biji-biji lain, tangkai
padi dan lain-lain.
d. Butir-butir kuning
Butir-butir kuning adalah butir beras pecah kulit (setelah dikupas) yang
berwarna kuning akibat proses perubahan warna yang terjadi selama
perawatan dan penimbunan.
e. Butir rusak
1) Butir beras pecah kulit (setelah gabah dikupas) yang menjadi rusak
karena faktor mekanis, fisiologis maupun biologis.
2) Gabah-gabah yang isinya:
- Berwarna putih tetapi ada bintik-bintik warna lain yang terdapat
pada permukaan butir (butir putih rusak).
- Berwarna kuning dan ada bintik-bintik warna lain yang terdapat
pada permukaan butir (butir kuning rusak).
- Putih mengapur dan ada bintik-bintik warna lain yang terdapat
pada permukaan butir (butir kapur rusak).
13
f. Butir mengapur dan gabah muda
Butir mengapur adalah beras pecah kulit (setelah dikupas) yang warnanya
putih dan keseluruhan butir berasnya rapuh seperti kapur (chalky) akibat
faktor fisiologis. Sedangkan gabah muda adalah butir padi yang belum
masak sempurna yang isinya masih rapuh dan mengapur.
g. Beras merah
Beras merah adalah beras pecah kulit (setelah gabah dikupas) yang
berwarna merah karena sifat varietas padi asal.
h. Hama dan/ atau penyakit
Hama dan/ atau penyakit adalah menyangkut ada tidaknya hama dan
penyakit yang hidup (kutu, lalat, dan sebagainya) yang terdapat dalam
contoh gabah yang diperiksa.
i. Bau
Adapun bau yang dapat ditangkap oleh indra penciuman terhadap sampel
gabah yang diperiksa.
j. Gabah varietas lain
Gabah varietas lain ditandai dengan bentuk (perbandingan panjang dan
lebar gabah serta ukurannya berbeda.
k. Persayaratan fakultatif
Persyaratan mutu yang dapat dipakai atau tidak dalam pertimbangan
menentukan tingkat mutu:
1) Bentuk gabah
- Gabah langsing : Gabah yang mempunyai perbandingan
panjang/ lebar di atas 3,0 cm.
- Gabah lonjong : Gabah yang mempunyai perbandingan
panjang/ lebar antara 2,0 – 3,0 cm.
- Gabah bulat : Gabah yang mempunyai perbandingan
panjang/ lebar lebih kecil dari 2,0 cm
2) Varietas padi : Pb 36, Cisadane, Pb 42, dan lain-lain
3) Berat biji : Berat gabah per satuan volume (misal kg/l)
14
4) Rendemen giling : Berat beras giling berderajat sosoh 90%
yang diperoleh dengan menggiling gabah
pada penggilingan ukuran laboratorium,
dinyatakan dalam persen berat gabah yang
di giling.
5) Butir retak : Butir beras yang rusak tetapi masih utuh
bentuknya.
6. Dasar-dasar Penentuan Tingkat Mutu
a. Kadar air gabah harus ditentukan dengan “Air Oven Method” khusus untuk
gabah ataupun dengan cara lain yang dapat memberikan hasil yang sama.
b. Semua hasil-hasil penentuan ukuran gabah dan butiran beras yang didapat
dengan menggunakan ayakan mekanis atau cara lain harus dikoreksi
dengan menggunakan cara pemungutan dengan tangan.
c. Persentase yang ditentukan atas dasar dan rasio antara panjang dan lebar
dinyatakan sampai satu angka desimal, pembulatan angka lebih kecil dari
0,05 menjadi 0,0 dan 0,05 atau lebih besar menjadi 0,1.
d. Pemeriksaan gabah hampa, gabah muda, dan benda asing dilakukan
dengan alat penguji kotoran (dockage tester) atau ayakan-ayakan
berlubang segi empat panjang (rectangular) atau cara lain yang
memberikan hasil yang sama.
e. Cara pengujian mutu dan pengambilan contoh terdapat dalam “Petunjuk
Pengujian Mutu dan Pengambilan Contoh” yang disajikan tersendiri dalam
pelaksanaan standar (implementasi).
7. Cara Penyebutan Tingkat Mutu
Penyebutan tingkat mutu gabah dengan menggunakan singkatan-singkatan
sebagai berikut:
a. Gabah 1 : G1
b. Gabah 2 : G2
c. Gabah 3 : G3
d. Gabah mutu rendah : Gabah Mutu Rendah (Sample Grade).
15
2.2.2 Pasca Panen Gabah
Pasca panen merupakan tahap terakhir dalam kegiatan produksi padi. Tahap
pasca panen padi meliputi pengeringan, penggilingan, penyimpanan dan
pemasaran. Kegiatan pengeringan dan penggilingan adalah faktor penting dalam
menentukan mutu beras yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan dari kegiatan
tersebut akan berdampak pada harga jual beras di pasaran. Maka dari itu, dalam
kegiatan pasca panen perlu mendapatkan perhatian khusus untuk menjaga mutu
beras yang dihasilkan.
1. Proses Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara atau metode untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air
menggunakan energi panas dimana tujuan utama dari pengeringan adalah untuk
pengawetan dan menjaga kualitas bahan. Dasar proses pengeringan adalah proses
penguapan kandungan air suatu bahan untuk menurunkan persentase kadar air
bahan dari kadar air semula.
Pengeringan bertujuan untuk mendapatkan gabah kering yang tahan untuk
disimpan maupun untuk digiling dan harus memenuhi persyaratan kualitas gabah
yang akan dipasarkan. Cara yang dilakukan yaitu dengan mengurangi kadar air
pada gabah hingga mencapai kadar air yang dikehendaki. Kadar air maksimum
yang dikehendaki Bulog dalam pembeliannya adalah 14 persen. Sedangkan untuk
gabah yang akan disimpan, kadar air pada gabah sebaiknya 12 persen, karena
kadar air yang semakin kering, maka hama dan serangga tidak dapat berkembang
baik dalam gabah (Kartasapoetra, 1994).
Secara biologis gabah yang baru dipanen masih melakukan proses respirasi
yang akan menghasilkan uap air dan panas serta proses biokimiawi berjalan
sangat cepat. Jika proses tersebut tidak segera dikendalikan, maka akan
berpengaruh pada gabah (menjadi rusak dan beras hasil penggilingan bermutu
rendah). Cara pengeringan untuk menurunkan kadar air gabah yang baru dipanen
dilakukan dengan cara penjemuran maupun menggunakan mesin pengering
buatan (Hasbi, 2012).
16
Kadar air gabah merupakan salah satu sifat terpenting untuk menentukan
kualitas gabah dan keamanan untuk untuk disimpan atau dapat digiling dengan
hasil rendemen maksimum. Secara matematis kadar air dasar basah dinyatakan
dalam persamaan:
K a- b
a …………………………………( )
Keterangan:
KA : Kadar air dasar/basis basah (%)
Wa : Berat awal (kg)
Wb : Berat akhir (kg)
Berdasarkan tingkat kekeringan gabah dapat diklasifikasikan menjadi tiga
jenis, antara lain:
a. Gabah Kering Panen (GKP)
Gabah yang mengandung kadar air lebih dari 18 persen tetapi sampai 25
persen.
b. Gabah Kering Simpan (GKS)
Gabah yang memiliki kandungan kadar air antara 14 persen sampai 18
persen.
c. Gabah Kering Giling (GKG)
Gabah yang memiliki kandungan kadar air maksimal 14 persen.
2. Proses Penggilingan
Penggilingan padi merupakan tahapan lanjutan setelah pengeringan.
Penggilingan bertujuan untuk memisahkan antara kulit gabah dengan endosperm
(bagian beras warna putih) dan akan menghasilkan produk sampingan (by
product) berupa dedak dan menir. Penggilingan padi ini biasanya menggunakan
huller. Penggilingan padi yang ada di masyarakat umumnya menggunakan mesin
dua tahap, yaitu mesin pecah kulit (husker) dan mesin penyosoh beras (polisher).
Mesin pecah kulit digunakan untuk mengupas gabah dari kulitnya dan akan
menghasilkan beras pecah kulit yang selanjutnya akan dilakukan penyosohan
(pembersihan/ pemurnian) beras dengan mesin penyosoh dan menjadi beras putih
(Umar, 2011).
17
Bila ditinjau dari konstruksinya, mesin penggilingan padi dapat
dikelompokan menjadi tiga, yaitu penggilingan padi skala kecil (PPK),
penggilingan padi sedang atau Rice Milling Unit (RMU) dan penggilingan padi
besar atau Rice Milling Plant (RMP). Perbedaan yang mendasar antara ketiganya
adalah pada ukuran, kapasitas, dan aliran bahan dalam proses penggilingan yang
dilakukan. Mesin penggilingan padi yang lengkap terkadang dilengkapi dengan
pembersih gabah sebelum masuk mesin pemecah kulit dan pengumpul dedak
sebagai hasil sampingan dari proses penyosohan (Hadiutomo, 2012).
3. Proses Penyimpanan
Beras yang dihasilkan dari proses penggilingan dapat langsung dipasarkan
ataupun disimpan. Dalam penyimpanan gabah, kadar air gabah harus benar-benar
kering, karena bila kadar air gabah tidak kering akan rentan terhadap hama
gudang karena hama gudang menyukai tempat lembab. Sebagai upaya untuk
menghidari serangan hama gudang, ruangan dalam gudang harus tetap kering dan
dilengkapi dengan ventilasi udara (Soemartono, 1992).
4. Pemasaran
Pemasaran merupakan tahap terakhir dari kegiatan pasca panen padi. Pada
umumnya, pemasaran dilakukan oleh petani dengan cara menjual langsung
gabahnya ke pengepul atau tengkulak. Hal tersebut tentu akan merugikan petani
dan menyebabkan rantai pemasaran yang panjang dan inefisien. Menurut Badan
Pusat Statistik (2015b) rantai pemasaran beras dari petani hingga sampai di tangan
konsumen harus melewati tujuh hingga sembilan tangan, yaitu petani,
penggilingan, distributor, pedagang pengepul, sub-distributor, agen, sub-agen,
pedagang grosir, pasar swalayan, dan rumah tangga. Akibatnya, disparitas harga
padi di tangan petani dan beras di tangan konsumen terpaut sangat jauh. Kondisi
seperti ini tentu akan menyebabkan keuntungan lebih besar yang dinikmati para
tengkulak, sementara petani yang telah memproduksi beras justru mendapat
keuntungan sedikit bahkan terkadang merugi.
18
2.3 Sejarah dan Implementasi Sistem Resi Gudang di Dunia
2.3.1 Amerika Serikat
Sistem Resi Gudang telah digunakan sejak peradaban Mesopotamia.
Perkembangan di wilayah Mid-West Amerika Serikat merupakan awal dari
penyebaran penggunaan SRG di dunia modern. Pembukaan lahan dan penanaman
padang rumput serta pembangunan jalur kereta dan navigasi uap, berdampak pada
banyaknya aliran gandum dari wilayah Mid-West ke Pantai Timur dan Eropa.
Kemudian penemuan telegraf berhasil mempercepat komunikasi ke tingkatan
yang lebih besar (Riana, 2010).
Kota Chicago berperan penting dalam pengembangan SRG di Amerika.
Selama tahun 1830 hingga 1850, Kota Chicago telah berubah dari wilayah
pedesaan perdagangan bulu binatang menjadi metropolis perdagangan komoditas.
Wirausaha membangun elevator bertenaga uap, bangunan bertingkat banyak
untuk menerima petani dan pemasok gandum yang lain dan menyimpannya dalam
jumlah yang besar, menjual yang lebih dahulu dan mengirim diawal dan
mengeluarkan resi gudang atas persediaan yang dapat diperjualbelikan. The
Chicago Board of Trade (CBOT) membentuk sistem perdagangan komoditas,
khususnya sistem perdagangan gandum dengan kualitas yang lebih baik. Sejak
akhir 1860-an, negara bagian Illinois membuat undang-undang untuk mengatur
elevator khususnya pada publikasi statistik dan untuk mencegah penyimpangan
penyelenggaraan Sistem Resi Gudang.
2.3.2 Amerika Latin
Kebutuhan jasa pergudangan juga muncul pada abad ke-19 di Argentina dan
ekonomi di Brazil yang dihasilkan dari ekspor produk pertanian. Namun,
pendekatan dengan peraturan gudang jauh berbeda dari model di Amerika Serikat.
Negara-negara Amerika Latin mengikuti pendekatan khusus dengan membuat
undang-undang umum pergudangan yang dibuat oleh Departemen Perdagangan
atau otoritas perbankan. Undang-undang dibuat untuk mengatur Perusahaan
Pergudangan Umum (Almacenes Generales de Deposito/ Armazens Gerais) yang
hampir sama dengan pegadaian raksasa, dapat bebas untuk menyimpan semua
19
jenis komoditas (pertanian dan non-pertanian), dan menjamin deposan dengan resi
gudang yang dapat digunakan oleh deposan untuk memperoleh kredit
pembiayaan. Tidak seperti elevator di Amerika Serikat, mereka biasanya tidak
diizinkan untuk memperdagangkan komoditas yang bersangkutan karena hal ini
dianggap menciptakan konflik kepentingan.
Di beberapa negara, bank adalah pemilik utama dari entitas. Situasi ini
terjadi di Kolombia dimana hanya ada lima perusahaan umum pergudangan yang
berlisensi, empat diantaranya milik bank dan yang satu milik negara. Setiap
perusahaan memiliki gudang dan silo sendiri. Bisnis yang paling menguntungkan
adalah bidang pergudangan, yaitu dengan menyediakan layanan pergudangan
untuk kepentingan pengguna jasa untuk mendapatkan pembiayaan. Kepemilikan
gudang dan entitas oleh bank telah mencegah kegagalan penyelenggaraan jasa resi
gudang dan berhasil meyakinkan deposan bahwa mereka akan dilindungi dari
penipuan. Di beberapa negara Amerika Latin lainnya, pengguna jasa pergudangan
dan deposan telah mengalami kerugian akibat penipuan.
Jasa umum pergudangan diatur oleh Departemen Perindustrian, Perdagangan
dan Pariwisata di bawah UU tahun 1903. Pada tahun 1997 ada sekitar 6.400
gudang gandum yang terdaftar dengan kapasitas statis hampir 60 juta ton (Leão de
Sousa dan Marques, 1998 dalam Riana, 2010). Namun, kualitas jasa pergudangan
buruk untuk seluruh komoditas pertanian kecuali kopi. Banyak perusahaan
pergudangan dibentuk dengan tergesa-gesa yang bertujuan untuk mengatur
intervensi pemerintah dalam persediaan yang besar, dimana fasilitas penyimpanan
kerap dirancang dengan buruk dan pengaturan pengawasan publik tidak efektif
dalam menghadapi praktik yang tidak profesional dan penipuan.
Reformasi pada tahun 1990-an mulai mengubah situasi. Pengadaan
pemerintah (public procurement) dikurangi, sektor pergudangan dilakukan oleh
swasta dan sistem resi gudang tidak memiliki kredibilitas dimata perbankan.
Rezim fiskal dan persyaratan hukum bahwa pergudangan memiliki status non-
perdagangan juga mempersulit mereka untuk beroperasi dengan sukses tanpa
kontrak pemerintah. Pada tahun 1998 ada apresiasi luas di kalangan stakeholder
20
atas kebutuhan untuk reformasi industri dan informasi menunjukkan bahwa
Kolombia telah membuat kemajuan melalui jalan ini.
2.3.3 Eropa Timur dan Rusia
Sejak akhir tahun 1980-an, berbagai pendekatan telah digunakan untuk
menjadikan persediaan sebagai tujuan pinjaman, termasuk pengawasan bank
menggunakan dokumentasi, sistem dan pengaturan pergudangan. Ada dukungan
dari luar yang cukup kuat untuk pengembangan SRG, yaitu dari European Bank
for Reconstruction and Development (EBRD), USAID, CFC dan lain-lain.
Menurut Hollinger et al, 2009 (dalam Riana, 2010) sebuah laporan FAO
menunjukkan bahwa ada 12 negara yang telah berusaha untuk mengembangkan
SRG. Sistem ini paling berkembang penuh di tiga negara, yaitu Hungaria,
Bulgaria, dan Kazakhstan. Semua negara-negara tersebut memiliki hukum resi
gudang khusus untuk gandum, bukan undang-undang yang luas meliputi berbagai
komoditas dan praktik komersial yang berbeda.
Pelaksanaan yang gagal atau hanya berlaku parsial disebabkan hilangnya
konsensus awal antar lembaga pemerintah dan sektor swasta mengenai prioritas
utama dan komponen penting. Di beberapa negara seperti Polandia dan Slovakia,
intervensi Pemerintah dipertahankan pada tingkat tinggi sehingga petani tidak
tertarik untuk menyimpan dengan resi gudang. Di Ukraina, terjadi inskonsistensi
dalam peraturan perundang-undangan dan kelemahan dalam proses perizinan
menyebabkan kurangnya kepercayaan.
Sistem di Bulgaria dikembangkan dengan sangat baik, dimana 47 gudang
publik berlisensi dan kapasitas lebih dari 500.000 ton berlisensi. Pengalaman
menunjukkan arti penting keterlibatan banyak bank pendukung dengan beberapa
fakta berikut:
a. Setelah mereka mengembangkan keahlian dalam pinjaman resi gudang dan
membangun prosedur internal yang efisien, mekanisme ini menjadi sangat
sederhana dengan biaya administrasi yang relatif rendah.
21
b. Bunga pinjaman turun dari 16 persen pada awal program ketika hanya dua
bank yang memberikan pinjaman menjadi 7-8 persen pada tahun 2008 ketika
kompetisi melibatkan 10 bank.
2.3.4 Afrika
Di Uganda, program SRG diformulasikan ke dalam undang-undang Sistem
Resi Gudang yang telah disahkan parlemen pada 5 April 2006. Namun program
ini sudah dimulai setahun sebelumnya dengan pilot project resi gudang kopi di
dua lokasi yakni, Uganda Barat dan Uganda Timur. Di Uganda Barat, lima
kelompok petani mendepositokan 25 ton kopi robusta mereka di Resi Gudang
Mbarara. Kopi tersebut kemudian dilelang di Komoditi Bursa Uganda. Setelah
UU itu disahkan, resi gudang dilanjutkan dengan komoditi kapas. Pada Februari
2006, sekitar 100.000 kilogram benih kapas didepositkan di Resi Gudang Kasese
dan Bushenyi yang dikelola Persatuan Koperasi Nyakatonsi.
Sebagai upaya untuk mempermudah pelaksanaan SRG, program ini juga
dilengkapi dengan Sistem Informasi Pasar, layanan informasi komoditi, seperti
fluktuasi harga. Informasi ini disebarkan melalui radio, koran gratis dan pesan
singkat telepon seluler. Petani Uganda dimana pun berada bisa mengetahui harga
kopi di pasar internasional dan nasional di lima lokasi berbeda dengan segera.
Berkat fasilitas tersebut, petani bisa mengambil keputusan cepat dengan
mengetahui kondisi harga di pasaran. Sejak diluncurkan, petani semakin
menunjukkan antusiasme mereka terhadap program ini. Terbukti dari semakin
banyaknya organisasi petani yang berpartisipasi pada program ini. Namun tidak
semua program resi gudang di Uganda berhasil. Pilot project resi gudang
komoditi kopi arabika di Uganda Timur seperti Mbale, Sironko, Manafa dan
Kapchorwa berjalan lambat. Penyebabnya adalah iklim kering sempat merusak
hasil panen kopi. Selain itu, pengelola program ini juga harus bersaing dengan
pembeli lokal yang sangat agresif mendekati petani.
Tidak berbeda dengan di Uganda, Tanzania juga memiliki konstitusi khusus
yang mengatur penyelenggaraan SRG. Parlemen Tanzania sudah mengesahkan
UU Resi Gudang sejak 1997 dan Presiden Tanzania mengeluarkan Keputusan
22
Presiden beberapa bulan kemudian. Tanzania juga sedang membuat aturan
operasional resi gudang lebih rinci lagi, termasuk pengembangan manual
operasional dan pembentukan badan regulator. Kepercayaan petani terhadap
program ini terus meningkat. Deposit hasil panen komoditi kapas terus meningkat.
Pada tahun 2002 hingga 2003, biji kapas yang didepositokan dengan resi gudang
hanya 103.273 kilogram. Tetapi tiga tahun kemudian, angka itu naik 120 persen.
Pada tahun 2005 hingga 2006, jumlah kapas yang didepositokan mencapai 1,2
juta kilogram. Peningkatan juga terlihat dari angka resi gudang kopi dari tahun ke
tahun.
Peningkatan penyelenggaraan SRG ini berbanding lurus dengan peningkatan
kucuran perbankan di sektor pertanian. Pengembangan resi gudang komoditi
kapas disana memang sempat terhambat karena kerap rusak karena minimnya
jumlah mesin pemisah kapas. Dalam menyiasati masalah, Departemen Koperasi
dan Pemasaran mengucurkan dana dengan membuka empat lokasi mesin
pemisahan. Sejak itu, resi gudang telah menghasilkan efisiensi besar-besaran.
Kualitas komoditi pun meningkat. Bahkan berkat program ini pula, kapas petani
Tanzania bisa masuk dengan mudah ke pasar Inggris hanya dengan bantuan
pialang lokal. Petani di Ghana juga merasakan manfaat program resi gudang,
bahkan para petani dapat menjual panen mereka di masa panceklik sekitar 75-270
persen lebih tinggi dari harga panen raya.
2.3.5 India
Salah satu aspek penting dari pasar derivatif komoditas di India adalah SRG.
SRG sebagai solusi alternatif bagi pelaku pasar untuk memperoleh pembiayaan
jangka pendek. Konsep SRG berbasis resi gudang yang dapat digunakan sebagai
jaminan untuk memperoleh pembiayaan. Sistem dibuat lebih mutakhir dengan
mengadopsi langkah-langkah seperti grading untuk komoditas berdasarkan
kualitasnya, me-ranking gudang berdasarkan besarnya, reputasi, dan integritas. Di
India, resi gudang dikeluarkan oleh gudang sentral atau pemerintah yang dapat
diterima sebagai agunan oleh bank sedangkan yang dikeluarkan gudang swasta
tidak dapat diagunkan. Jika petani/pedagang tidak menyimpan barang di gudang
23
swasta, maka kelangsungan hidup gudang swasta tersebut yang dipertaruhkan.
Oleh karena itu, terdapat peraturan untuk mengembangkan infrastruktur
pergudangan dan mewajibkan perbankan untuk menyetujui SRG dari gudang
swasta agar keberadaannya dapat dipertahankan (Mahanta, 2012 dalam Widiyani,
2014).
2.3.6 Zambia
Menurut Coulter dan Onumah (2002), kesuksesan SRG di Zambia
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendukung satu sama lain. Faktor-faktor
tersebut adalah jaringan gudang yang terintegrasi secara nasional, sertifikasi dan
sistem inspeksi yang handal, grading kualitas dan kuantitas, dukungan sektor
swasta, dan konsensus dari berbagai pemangku kepentingan. Penjelasan dari
berbagai faktor adalah sebagai berikut:
1. Jaringan Gudang Nasional
Fasilitas pergudangan dapat diakses untuk berbagai macam penyimpan
barang dengan volume yang berbeda-beda. Jaringan gudang yang terintegrasi
dimulai dari daerah perkotaan di sepanjang jalur transportasi utama. Kemudian
akses tersebar di wilayah yang lebih jauh dimana terdapat surplus komoditas.
Komoditas yang dapat dimasukkan dalam SRG adalah jagung, gandum dan
kedelai dan akan dikembangkan untuk komoditas lain termasuk komoditas ekspor.
2. Sertifikasi dan Sistem Inspeksi yang Handal
Zambian Agricultural Commodity Agency (ZACA) berperan menjamin
intregitasnya bahwa tidak ada intervensi dalam mengelola dan menerbitkan
perijinan SRG. Sistem sertifikasi dirancang untuk memotivasi investasi bagi
fasilitas SRG berskala kecil di perdesaan. Tidak ada kompromi dalam kualitas
layanan dan kepercayaan dalam sistem. Lembaga sertifikasi memperoleh subsidi
dari pemerintah pada awal tahun dan selanjutnya menyesuaikan dengan fee yang
diperoleh. Mereka mencapai break event point pada waktu sesingkat mungkin
dengan menambah jumlah gudang dan komoditas yang disimpan.
24
3. Grading Komoditas dan Berat Standar
Komoditas yang masuk gudang SRG harus memenuhi standar kualitas dan
kuantitas. Pengelola gudang beserta pegawainya dilatih dan akan mendapat
sertifikasi untuk menjamin kualitas dan kuantitas komoditas sesuai standar
komoditas.
4. Dukungan Swasta
Pengelola gudang bersertifikasi baik gudang sendiri maupun sewa, bebas
untuk mengenakan tarif penyimpanan. Pembiayaan Resi Gudang dalam istilah
komersial dan bukan termasuk kredit lunak dari pemerintah atau donatur.
5. Membangun Konsensus Pemangku Kepentingan
Upaya yang cukup keras untuk mendapat komitmen dari berbagai pihak
yang berkepentingan. Skema SRG melibatkan pihak-pihak terutama petani,
pedagang, prosesor, bank, dan pembuat kebijakan.
2.4 Sistem Resi Gudang di Indonesia
2.4.1 Pengertian Sistem Resi Gudang
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan Republik Indonesia membuat
kebijakan yang bertujuan untuk membantu petani saat musim panen. Kebijakan
tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem
Resi Gudang. Sistem Resi Gudang (SRG) adalah kegiatan yang berkaitan dengan
penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang.
Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di
gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang. Terdapat dua macam resi
gudang, yaitu resi gudang yang dapat diperdagangkan (negotiable warehouse
receipt) dan resi gudang yang tidak dapat diperdagangkan (non-negotiable
warehouse receipt). Resi gudang yang dapat diperdagangkan adalah resi gudang
yang memuat perintah penyerahan barang kepada siapa saja yang memiliki resi
gudang tersebut atau atas perintah dari pihak tertentu, sedangkan resi gudang yang
tidak dapat diperdagangkan adalah resi gudang yang memuat ketentuan bahwa
barang yang dimaksud hanya dapat diserahkan kepada pihak yang namanya telah
ditetapkan.
25
Resi gudang juga dapat diterbitkan dalam derivatif resi gudang berupa
warkat yang keduanya diperdagangkan di bursa komoditi. Derivatif resi gudang
adalah turunan resi gudang yang dapat berupa kontrak berjangka resi gudang, opsi
atas resi gudang, indeks atas resi gudang, surat berharga diskonto resi gudang,
unit resi gudang atau derivatif lainnya dari resi gudang sebagai instrumen
keuangan.
2.4.2 Himpunan Peraturan Sistem Resi Gudang
A. Dasar-dasar Hukum
Penyelenggaraan program Sistem Resi Gudang yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan pelaku usaha serta melibatkan banyak kelembagaan didasarkan pada
beberapa peraturan. Adapun dasar hukum yang mengatur tentang Sistem Resi
Gudang di Indonesia antara lain (Bappebti, 2016a):
1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2013.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2014 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Penetapan Lembaga Pelakasana Penjaminan Resi Gudang.
4. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 35/M-Dag/Per/05/2016 tentang
Barang yang Dapat Disimpan di Gudang dalam Penyelenggaraan Sistem Resi
Gudang.
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum.
B. Peraturan Tentang Teknis Pelaksanaan Sistem Resi Gudang
1. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 01/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 tentang
Persyaratan dan Tata Cara untuk Memperoleh Persetujuan Sebagai Pengelola
Gudang.
26
2. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 02/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 tentang
Persyaratan dan Tata Cara untuk Memperoleh Persetujuan Sebagai Gudang
Dalam Sistem Resi Gudang.
3. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 03/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 tentang
Persyaratan Umum dan Persyaratan Teknis Gudang.
4. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 04/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 tentang
Persyaratan dan Tata Cara untuk Memperoleh Persetujuan Sebagai Lembaga
Penilaian Kesesuaian dalam Sistem Resi Gudang.
5. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 05/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 tentang
Persyaratan dan Tata Cara untuk Memperoleh Persetujuan Sebagai Pusat
Registrasi.
6. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 06/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 tentang
Penetapan Hari Kerja dalam Sistem Resi Gudang.
7. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 07/BAPPEBTI/PER-SRG/3/2008 tentang
Pedoman Teknis Penerbitan Resi Gudang.
8. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 08/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2008 tentang
Pedoman Teknis Pengalihan Resi Gudang.
9. Peraturan Kepala Bappebti Nomor 09/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2008 tentang
Pedoman Teknis Penjaminan Resi Gudang.
10. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 10/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2008 tentang
Pedoman Teknis Penyelesaian Transaksi Resi Gudang.
11. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 11/BAPPEBTI/PER-SRG/5/2009 tentang
persyaratan keuangan bagi Pengelola Gudang.
12. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 12/BAPPEBTI/PER-SRG/5/2009 tentang
Tata Cara Penyampaian Laporan Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian
Kesesuaian dan Pusat Registrasi.
13. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 13/BAPPEBTI/PER-SRG/5/2009 tentang
Tata Cara Pemeriksaan Teknis Kelembagaan dalam Sistem Resi Gudang.
14. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 14/BAPPEBTI/PER-SRG/12/2010 tentang
Jenis Perizinan di Bidang Sistem Resi Gudang, Prosedur Operasi Standar
27
(Standard Operational Procedur) dan Tingkat Layanan (Service Level
Arrangement).
15. Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 15/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2012 tentang
Persyaratan dan Tata Cara untuk Memperoleh Persetujuan Sebagai Pengelola
Gudang.
Tujuan di susun dan diberlakukannya peraturan tersebut adalah untuk
memberikan kepastian hukum, melindungi masyarakat, dan semua pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan Sistem Resi Gudang di Indonesia. Peraturan tersebut
menjawab kebutuhan akan sesuatu instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat oleh masyarakat yang selama ini terkendala untuk memperoleh
pembiayaan usaha.
2.4.3 Kelembagaan Sistem Resi Gudang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006, menyatakan bahwa
kebijakan umum terkait Sistem Resi Gudang ditangani oleh Menteri Perdagangan.
Sedangkan dalam kegiatan operasionalnya, penyelenggaraan Sistem Resi Gudang
dijalankan oleh beberapa lembaga, antara lain: Badan Pengawas, Pengelola
Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), Pusat Registrasi, dan Lembaga
Jaminan Resi Gudang. Masing-masing lembaga tersebut memiliki tugas dan
fungsi sebagai berikut (Bappebti, 2016c):
1. Badan Pengawas
Badan pengawas Sistem Resi Gudang ditangani oleh Badan Pengawas
Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Bappebti adalah unit organisasi di
bawah Menteri Perdagangan yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan,
pengaturan dan pengawasan terhadapa kegiatan yang berkaitan dengan Sistem
Resi Gudang. Badan pengawas berwenang memberikan persetujuan sebagai
Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, dan Pusat Registrasi. Selain
itu, Badan Pengawas juga berwenang melakukan pemeriksaan terhadap semua
pihak yang diberikan persetujuan, baik secara periodik maupun sewaktu-waktu,
dengan pemberitahuan maupun tanpa pemberitahuan, dan terlebih lagi ketika
mereka diduga melakukan pelanggaran.
28
Struktur organisasi Bappebti terdiri atas tiga sub bagian, yaitu Sub Bagian
Pembinaan Pelaku Sistem Resi Gudang, Sub Bagian Pengawasan Pengelola
Agunan dan Lembaga Sertifikasi, Sub Bagian Pengawasan Lembaga Penjamin
dan Agen Penjual. Masing-masing sub bagian memiliki tugas dan fungsi yang
berbeda satu dengan yang lain. Sub Bagian Pembinaan Pelaku SRG memiliki
tugas melaksanakan penyiapan bimbingan teknis, penyelenggaraan, pelayanan,
dan pelaku SRG. Sub Bagian Pengawasan Pengelola Agunan dan Lembaga
Sertifikasi memiliki tugas pokok melakukan penyiapan bahan pengawasan,
pemantauan, dan evaluasi pengelola agunan dan lembaga sertifikasi. Lembaga
Penjamin dan Agen Penjual bertugas menyiapkan bahan pengawasan,
pemantauan, dan evaluasi lembaga penjamin dan agen penjual.
2. Pengelola Gudang
Pengelola gudang adalah pihak yang melakukan usaha pergudangan, baik
gudang milik sendiri maupun milik orang lain. Pengelola gudang harus berbentuk
badan usaha yang berbadan hukum dan telah mendapat persetujuan dari Bappebti.
Hingga tahun 2016, Bappebti telah memberikan persetujuan ke sejumlah
pengelola gudang di seluruh Indonesia, antara lain:
a) Koperasi Tani Bidara Tani
b) PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero)
c) PT. Petindo Daya Mandiri
d) PT. Pertani (Persero)
e) PT. Sucofindo (Persero)
f) PT. Reksa Guna Interservice
g) PUSKUD Aceh
h) Koperasi Selaras
i) Kospermindo, Makassar
j) Koperasi Niaga Mukti, Cianjur
k) KSU Annisa, Subang
l) PT. Gunung Lintong
m) Koperasi Unit Desa (KUD) Tuntung Pandang
29
n) PT. Pos Indonesia (Persero)
o) PT. Food Station Tjipinang Jaya
Seluruh pengelola gudang bertugas untuk melakukan kegiatan penyimpanan,
pemeliharaan dan pengawasan barang yang disimpan oleh pemilik barang serta
berhak untuk menerbitkan resi gudang. Pengelola gudang wajib membuat
perjanjian pengelolaan secara tertulis dengan pemilik barang atau kuasanya. Pada
perjanjian pengelolaan minimal memuat persyaratan berupa identitas serta hak
dan kewajiban para pihak, jangka waktu penyimpanan, deskripsi barang, dan
asuransi.
3. Lembaga Penilaian Kesesuaian
Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) adalah lembaga yang telah
terakreditasi dan mendapat persetujuan dari Badan Pengawas. LPK memiliki
tugas untuk melakukan kegiatan menilai dan membuktikan bahwa persyaratan
yang berkaitan dengan produk, proses, sistem dan/atau personil terpenuhi.
Kegiatan penilaian mencakup kegiatan sertifikasi, inspeksi, dan pengujian yang
berkaitan dengan barang, gudang serta pengelola gudang. Penyimpanan barang di
gudang erat kaitannya dengan mutu yang disimpan sehingga perlu disiapkan
sistem penilaian kesesuaian untuk menjaga konsistensi mutu barang yang
disimpan.
Sertifikat yang diterbitkan oleh LPK sekurang-kurangnya memuat identitas
pemilik barang, nomor dan tanggal penerbitan, jenis dan jumlah barang, sifat
barang, metode pengujian mutu barang, tingkat mutu dan kelas barang, jangka
waktu mutu barang dan tanda tangan pihak yang berhak mewakili lembaga. LPK
terdiri atas tiga bagian, antara lain:
A. Inspeksi Gudang:
a) PT. Bhanda Graha Reksa (Persero)
b) PT. Sucofindo (Persero)
c) PT. Sawu Indonesia
B. Uji Mutu Komoditi:
a) PT. Sucofindo (Persero)
30
b) PT. Beckjorindo Paryaweksana
c) Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang (Surabaya, Makassar,
Surakarta, Medan, Banda Aceh, Padang, Palu, Gorontalo, Bengkulu,
Kendari, Palangkaraya)
d) Seluruh Unit Bisnis Jasa Survey dan Pemberantasan Hama (UB-Jastasma)
Perum Bulog
e) Lembaga Sertifikasi Produk (LS-PRO CCQC)
f) Lab. Fakultas Pertanian Universitas Mataram
C. Sertifikat Manajemen Mutu:
a) PT. Sucofindo (Persero)
b) PT. Sawu Indonesia
4. Pusat Registrasi
Pusat Registrasi merupakan badan usaha berbadan hukum yang mendapat
persetujuan dari Badan Pengawas untuk melakukan penata- usahaan resi gudang
dan derivatif resi gudang, meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindah bukuan
kepemilikan, pembebanan, hak jaminan, pelaporan serta penyediaan sistem dan
jaringan informasi. Setiap pihak yang menerbitkan, mengalihkan, dan melakukan
pembebanan hak jaminan atas resi gudang wajib melaporkan tindakannya kepada
Pusat Registrasi. Saat ini Pusat Registrasi ditangani oleh PT. Kliring Berjangka
Indonesia. Adanya Pusat Registrasi memungkinkan pemerintah untuk memantau
pengalihan dan pembebanan hak jaminan atas resi gudang, mencegah munculnya
penjamin ganda (double collateral) dan melakukan pemantauan atas stok nasional
untuk komoditi tertentu melalui Pusat Registrasi.
5. Lembaga Jaminan Resi Gudang (LJRG)
Lembaga Jaminan Resi Gudang adalah lembaga yang akan mengelola Dana
Jaminan Resi Gudang. Lembaga ini berfungsi sebagai lembaga penjaminan seperti
layaknya LPS (Lembaga Penjaminan Simpanan) bagi perbankan. LPS menjamin
uang yang disimpan di bank sedangkan LJRG menjamin barang/ komoditas yang
disimpan Pengelola Gudang. LJRG akan memberikan perlindungan bagi pemilik
resi gudang khususnya petani, usaha kecil dan menengah serta lembaga keuangan
31
perbankan atau non-bank terhadap kegagalan, kelalaian atau ketidakmampuan
pengelola gudang dalam melaksanakan kewajibannya menjaga dan menyerahkan
barang sebagaimana tertera dalam resi gudang. Keberadaan LJRG akan
meningkatkan kepercayaan dunia usaha dan masyarakat serta menjaga integritas
Sistem Resi Gudang.
2.4.4 Alur Skema Sistem Resi Gudang
Pada kegiatan pelaksanaan program Sistem Resi Gudang meliputi beberapa
tahapan dan setiap tahapan pada pelaksanaan Sistem Resi Gudang melibatkan
beberapa lembaga. Alur kegiatan pelaksanaan Sistem Resi Gudang dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Alur Penerbitan Resi Gudang
Sumber: Widiyani, 2014
Pelaksanaan Sistem Resi Gudang dimulai dari penyerahan pemilik barang
(petani/kelompok tani/gapoktan/koperasi) kepada pengelola gudang. Penyerahan
barang dapat dilakukan dengan cara pemilik barang datang langsung ke gudang
dengan membawa komoditas yang akan diresigudangkan. Selanjutnya komoditas
yang akan disimpan di uji kualitasnya melalui Lembaga Penilaian Kesesuaian
Asuransi
Gudang
Pengelola
Gudang
LPK
Bappbeti
Pusat Registrasi
Lembaga
Keuangan Peserta SRG
Pasar
(Spot Future)
Pembeli, Pengolah,
Pedagang, Spekulan
32
(LPK). LPK akan menguji mutu komoditas sebelum disimpan di gudang.
Penilaian kesesuaian komoditas disesuaikan dengan SNI (Standar Nasional
Indonesia). Jika komoditas telah sesuai dengan standar mutu yang berlaku,
kemudian LPK membuat sertifikat untuk komoditas yang berisi informasi tentang
nomor, tanggal terbit, identitas pemilik, metode uji, jenis, sifat, jumlah, mutu,
kelas barang, jangka waktu mutu barang dan tanda tangan pihak yang berwenang.
Selain itu, pengelola gudang juga membuat Perjanjian Pengelolaan Barang dan
mendaftarkan komoditas ke pihak asuransi.
Kemudian pengelola gudang mendaftarkan barang ke pusat registrasi dan
menerima kode registrasi. Selanjutnya pengelola gudang akan menerbitkan resi
gudang yang berisi informasi tentang judul resi gudang, nama pemilik barang,
lokasi gudang, tanggal penerbitan, nomor penerbitan, nomor registrasi, waktu
jatuh tempo, deskripsi barang, biaya simpan, nilai barang serta harga pasar.
Pengelola gudang menyampaikan informasi tersebut ke pusat registrasi. Seluruh
data dan informasi dalam resi gudang ini ditatausahakan oleh pusat registrasi.
Pengelola gudang juga akan memberi tahu semua informasi tersebut ke badan
pengawas.
Setelah semua proses telah dilakukan, resi gudang dapat diterbitkan oleh
pengelola gudang dan selanjutnya resi gudang tersebut dapat dimanfaatkan oleh
pemilik barang. Pemanfaatan resi gudang terdiri dari tiga alternatif. Pertama, resi
gudang dapat segera diuangkan ke lembaga keuangan bank atau non-bank yang
ditunjuk oleh Badan Pengawas. Kedua, resi gudang dapat disimpan sebagai aset
atau surat berharga. Ketiga, resi gudang dapat diperdagangkan atau diperjual-
belikan secara langsung atau melalui Pasar Lelang Komoditi (PLK).
Sebagai upaya untuk menunjang implementasi Sistem Resi Gudang,
Bappebti mengembangkan sistem informasi harga untuk komoditas dalam SRG
yang bertujuan untuk membantu pengambilan keputusan bagi petani, pelaku usaha
dan perbankan. Bagi petani dan pelaku usaha, informasi harga komoditas berperan
penting untuk mengetahui dan memprediksi waktu yang tepat untuk menyimpan
dan menjual, sedangkan bagi lembaga keuangan untuk membantu menentukan
besarnya nilai pinjaman yang dapat diberikan.
33
Informasi dalam Sistem Resi Gudang dapat terintegrasi di semua pihak yang
terkait, secara online dan real time dimana setiap Pengelola Gudang dilengkapi
dengan perangkat sistem terhubung secara online ke Pusat Registrasi dengan
sistem komputer, baris data lokal, komunikasi melalui dial-up, leased lines, VPN
atau internet. Sementara Pusat Registrasi menyediakan sistem dan jaringan
informasi yang terhubung dengan stakeholders Sistem Resi Gudang meliputi
Badan Pengawas, Pengelola Gudang, LPK, Penguji Mutu, Pihak Asuransi, dan
Lembaga Keuangan untuk mempermudah administrasi Resi Gudang seperti
verifikasi, konfirmasi, registrasi, pengamanan, query, dan early warning system.
2.4.5 Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang
Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006, dokumen resi gudang dapat
dijadikan agunan atau jaminan ke bank atau lembaga keuangan non-bank untuk
memperoleh kredit. Kredit yang diberikan oleh lembaga keuangan berupa kredit
komersial dan kredit subsidi. Kredit komersial adalah kredit yang diberikan
kepada pemilik barang atau pihak yang menerima pengalihan dari pemilik barang
atau pihak lain yang menerima pengalihan lebih lanjut. Sedangkan kredit subsidi
adalah kredit modal kerja melalui skema Subsidi Sistem Resi Gudang (S-SRG)
yang mendapat subsidi bunga dari pemerintah dengan jaminan resi gudang yang
diberikan bank kepada petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan
koperasi tani. Ketentuan tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor: 171/PMK/05/2009 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 66/M-
DAG/PER/12/2009 (Bappebti, 2016a). Skema kredit melalui S-SRG, substansi
penerapannya adalah sebagai berikut:
1. Meliputi komoditas gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, dan rumput
laut.
2. Plafon kredit maksimal sebesar 70 persen dari nilai resi gudang.
3. Jangka waktu kredit maksimum enam bulan dan tidak dapat diperpanjang.
4. Suku bunga kredit 6 persen per tahun atau 0,5 persen per bulan.
5. Tidak dikenakan biaya provisi atau biaya administrasi dan sebagainya.
34
Pihak penyalur kredit S-SRG terdiri dari bank pemerintah dan bank swasta,
LPDB (Lembaga Pengelola Dana Begulir) Kementerian Koperasi dan UKM,
PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan), dan PT. Kliring Berjangka
Indonesia. Adapun bank milik pemerintah penyalur pembiayaan S-SRG meliputi:
a. Bank Rakyat Indonesia (BRI)
b. Bank Jabar dan Banten (BJB)
c. Bank Jatim
d. Bank Jateng
e. Bank Kalsel
f. Bank Sumatera Utara
g. Bank Lampung
2.4.6 Manfaat Sistem Resi Gudang
Manfaat utama dari program Sistem Resi Gudang adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan petani. Manfaat tersebut dapat tercapai melalui
skema pembiayaan yang disediakan oleh pemerintah yang dapat diakses oleh
petani dengan komoditas hasil pertanian sebagai jaminannya. Melalui program
SRG diharapkan petani dapat meningkatkan produktivitas usahataninya yang
berdampak pada peningkatan daya saing. Penerapan program SRG juga
bermanfaat dalam mengendalikan dan menstabilkan harga komoditas melalui
fasilitas penjualan sepanjang tahun. Selain itu, program SRG dapat menjamin
ketersediaan modal produksi bagi para produsen (petani) karena adanya
pembiayaan dari lembaga keuangan yang berpengaruh pada terjaminnya produksi
dan terkendalinya ketersediaan cadangan komoditas nasional.
Adanya prorgam SRG memberikan keleluasaan dalam penyaluran kredit
bagi dunia perbankan atau memberikan pasar bagi penyaluran kredit perbankan.
Dunia industri juga memperoleh manfaat dari program SRG melalui terjaminnya
ketersediaan bahan baku karena baik produsen maupun sektor komersial terkait
dapat mengubah status ketersediaan bahan mentah dan setengah jadi untuk produk
yang dapat diperjualbelikan secara luas.
35
Pada sektor pertanian, penerapan program SRG sangat prospektif untuk
meningkatkan pendapatan usahatani. Melalui progam Sistem Resi Gudang akan
diperoleh beberapa manfaat, diantaranya melalui:
1. Mekanisme tunda jual, yaitu saat musim panen petani menyimpan hasil
pertanian di gudang SRG.
2. Penjualan dilakukan pada saat harga komoditas pertanian telah tinggi.
3. Meminimalisir penimbunan barang oleh tengkulak ataupun pedagang
pengumpul, karena dengan resi gudang yang dapat diagunkan petani akan
mendapatkan dana tunai untuk kebutuhan modal usaha maupun untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangganya (Ashari dkk, 2013).
Menurut Bank Indonesia, 2008 (dalam Ashari dkk, 2013), pada aspek
ketersediaan dana, secara teori peluang pengembangan SRG sebagai alternatif
pembiayaan pertanian dengan dukungan perbankan sangat terbuka. Hal ini
didasarkan pada argumen sebagai berikut:
1. Secara kumulatif potensi pertanian besar.
2. Jangka waktu kredit SRG relatif pendek
3. Analisis kelayakan nasabah
4. Dilaksanakan oleh Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK),
dan asuransi.
5. Bank hanya setuju dengan dokumen resi gudang.
Menurut Sadaristuwati, 2008 (dalam Ashari dkk, 2013) Resi Gudang
memiliki posisi yang penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pelaku
usaha di sektor pertanian dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Resi gudang merupakan salah satu bentuk sistem tunda jual yang menjadi
alternatif dalam meningkatkan nilai tukar petani
2. Di era perdagangan bebas (free trade), resi gudang sangat diperlukan untuk
membentuk petani menjadi petani pengusaha dan petani mandiri.
3. Program SRG bisa memangkas pola perdagangan komoditas pertanian
sehingga petani bisa mendapatkan peningkatan harga jual komoditas.
36
Selain itu, keberadaan SRG tidak hanya bermanfaat bagi kalangan petani
tetapi juga pelaku ekonomi lainnya seperti perbankan, pelaku usaha, dan
pemerintah. Manfaatnya antara lain:
1. Menciptakan kestabilan dan dapat mengendalikan harga komoditas.
2. Memberikan jaminan modal produksi karena adanya pembiayaan dari
lembaga keuangan.
3. Keleluasaan penyaluran kredit bagi perbankan yang minim risiko.
4. Adanya jaminan ketersediaan barang.
5. Ikut berperan dalam menjaga stok nasional dalam rangka menjaga ketahanan
dan ketersediaan pangan nasional.
6. Distribusi perdagangan komoditas menjadi lebih terpantau.
7. Dapat menjamin ketersediaan bahan baku industri (agroindustri).
8. Mampu melakukan efisiensi baik logistik maupun distribusi.
9. Dapat memberikan kontribusi fiskal kepada pemerintah.
10. Mendorong tumbuhnya industri pergudangan dan bidang usaha yang terkait
dengan SRG lainnya.
Hasil kajian empiris dan ilmiah tentang potensi manfaat progam SRG bagi
petani dijelaskan pada penelitian Kurniawan, 2009 (dalam Ashari dkk, 2013) di
Kabupaten Majalengka tentang program SRG, menyimpulkan bahwa dari hasil
struktur pendapatan usahatani padi, petani yang berpartisipasi pada program SRG
memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan petani konvensional.
Maka dari itu, SRG memiliki kemampuan menghasilkan penerimaan tunai yang
lebih baik. Hasil penelitian Yudho, 2008 (dalam Ashari dkk, 2013) menunjukkan
program SRG cukup efektif dan memberikan manfaat lindung nilai bagi petani.
Biaya untuk resi gudang masih lebih rendah dibandingkan penerimaan yang
diterima dengan memanfaatkan program SRG.
Hasil penelitian Suryani dkk (2014) dan Ashari dkk (2013) menunjukkan
bahwa secara finansial, penyelenggaraan program SRG telah mampu mendorong
peningkatan pendapatan para petani maupun kelompok tani atau gabungan
kelompok tani (gapoktan) yang menjadi peserta SRG. Menurut Suryani dkk
(2014), secara umum esensi penyelenggaraan program SRG adalah untuk
37
meningkatkan pendapatan petani, sebagai sumber pembiayaan, pemasaran yang
lebih efisien dan modern, peningkatan kualitas produk dan standarisasi serta
revolusi pergudangan.
Manfaat program SRG untuk meningkatkan pendapatan adalah dengan cara
mekanisme tunda jual, pada saat musim panen terjadi over supply sehingga dapat
mencegah rendahnya harga dan tujuan akhirnya adalah pendapatan petani dapat
meningkat. Kemudian yang dimaksud dengan sumber pembiayaan yaitu jika
petani menyimpan hasil usahataninya di gudang SRG dan mendapat resi gudang,
maka resi gudang tersebut dapat diagunkan lembaga keuangan untuk pembiayaan
usahatani dan kebutuhan rumah tangga. Sementara itu, manfaat SRG untuk
menciptakan pemasaran yang lebih efisien dan modern dimaksudkan sebagai
fasilitas bagi sistem pemasaran khususnya melalui sistem lelang.
Melalui Sistem Resi Gudang, barang tidak perlu dibawa atau diangkut oleh
orang pada saat berlangsungnya proses penjualan atau pemasaran. Bahkan dengan
pola ini, proses pemasaran produk dapat dilakukan hingga menuju ke bursa
komoditi. Sedangkan yang dimaksudkan dengan peningkatan kualitas produk dan
standarisasi adalah mendorong dan membiasakan para produsen (petani) untuk
melakukan standarisasi dari produknya pada saat akan dimasukkan ke gudang
SRG, sesuai dengan aturan dan ketentuan yang ada. Hal ini sangat penting untuk
menghadapi persaingan pasar global. Kemudian sistem pergudangan yang
merupakan bagian penting dalam mendukung pola pemasaran modern dan harus
di desain sebagai sarana yang sesuai untuk menyimpan produk atau komoditas
yang diresigudangkan, sehingga dapat mewujudkan revolusi pergudangan.
2.5 Kinerja Pengelolaan Program
Menurut Widodo (2006), kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan
menyempurnakan sesuai tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang
diharapkan. Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategi perencanaan suatu
organisasi (Mahsun, 2006). Sementara Armstrong dan Baron, 1998 (dalam
38
Wibowo, 2007) menjelaskan bahwa kinerja (performance) adalah tentang
melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja
merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan
strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi.
Kinerja menjadi aspek yang lebih ditekankan pada tanggung jawab dengan hasil
yang diharapkan.
Penilaian kinerja pada dasarnya digunakan untuk penilaian atas keberhasilan
atau kegagalan pelaksanaan suatu kegiatan, program dan/atau kebijakan sesuai
dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi
dan misi instansi pemerintah. Pengukuran kinerja mencakup penetapan indikator
kinerja dan penetapan capaian indikator kinerja. Menurut Dwiyanto (2006)
penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting sebagai ukuran
keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya. Pada birokrasi publik,
informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk menilai seberapa jauh
penilaian yang diberikan oleh birokrasi itu memenuhi harapan dan memuaskan
masyarakat. Kemudian menurut Budiyanto (2013) menyatakan bahwa penilaian
kinerja merupakan proses standarisasi pekerjaan dan penilaian pekerjaan yang
telah dilakukan dengan menggunakan parameter standar kerja yang telah
ditetapkan tersebut.
Sementara itu, definisi dari pengelolaan tidak terlepas dari kegiatan pokok
manajemen karena pada dasarnya pengelolaan merupakan bagian dari manajemen.
Pengelolaan merupakan sebuah seni atau proses dalam menyelesaikan sesuatu
yang terkait dengan pecapaian tujuan (Tisnawati dan Saefullah, 2009).
Penyelesaian pada sesuatu hal dapat ditinjau dari tiga faktor, antara lain:
1. Adanya penggunaan sumber daya organisasi, baik sumber daya manusia
maupun faktor-faktor produksi lainya.
2. Proses yang bertahap mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan
dan pelaksanaan hingga pengendalian dan pengawasan.
3. Adanya seni dalam penyelesaian pekerjaan.
39
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja pengelolaan
program merupakan bentuk penilaian atas keberhasilan ataupun kegagalan suatu
program dengan melihat dinamika dari pengelolaan yang dilakukan.
2.6 Efektivitas Program
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas berawal dari kata
efektif yang berarti memiliki efek (akibat dan pengaruh), dapat membawa hasil,
dan mulai berlaku (peraturan). Efektivitas lebih mengarah pada pencapaian
sasaran atau tujuan sesuai dengan kebutuhan yang telah direncanakan. Menurut
Yusuf (2004) efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat
keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan lebih dahulu. Prinsip dari efektivitas adalah kemampuan mencapai
sasaran dan tujuan akhir melalui kerjasama orang-orang dengan memanfaatkan
sumberdaya yang ada dengan seefisien mungkin (Djunaedi, 2003).
Efektivitas pada dasarnya menekankan pada hasil (dampak) yang dicapai
dan menunjukkan pada taraf tercapainya hasil. Efektivitas menunjukkan
keberhasilan dari segi tercapainya tidaknya sasaran atau aturan yang telah
ditetapkan. Efektivitas merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi keberhasilan suatu tujuan. Menurut Dunn, 2003 (dalam Widiyani,
2014) menggambarkan kriteria evaluasi kebijakan menjadi enam tipe sebagai
berikut:
1. Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai
hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya suatu tindakan.
Efektivitas yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu
diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya.
2. Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
meningkatkan efektivitas. Efisiensi merupakan hubungan antara efektivitas
dan usaha yang umumnya diukur melalui biaya moneter.
3. Kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan
40
adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan
antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
4. Kesamaan (equity) menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara
kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang
berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya dapat
didistribusikan secara adil. Kebijakan yang dirancang untuk mendistribusikan
pendapatan, kesempatan memperoleh pendidikan atau pelayanan publik
biasanya direkomendasikan atas dasar kriteria kesamaan.
5. Responsivitas (responsiveness) berkenaan degan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok
masyarakat tertentu. Kriteria responsiveness menjadi sangat penting dalam
pelaksanaan evaluasi kebijakan, karena walaupun suatu kebijakan telah
memenuhi kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan dan kesamaan, namun jika
belum memenuhi kebutuhan aktual dari kelompok masyarakat yang
semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan, maka kebijakan tersebut
masih dinyatakan gagal.
6. Ketepatan (appropriateness) berkenaan dengan rasionalitas subtantif,
dikarenakan pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan
satuan kriteria individu, namun dua atau lebih kriteria secara bersama-sama.
Ketepatan merujuk kepada nilai atau harga dari tujuan-tujuan suatu kebijakan
atau program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan tersebut.
2.7 Pengambilan Keputusan
2.7.1 Pengertian Pengambilan Keputusan
Keputusan adalah proses pengakhiran dari proses pemikiran tentang sesuatu
yang dianggap sebagai masalah dengan menjatuhkan pilihan pada salah satu
alternatif pemecahannya. Keputusan merupakan pangkal atau permulaan dari
semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah baik secara individual, maupun
secara berkelompok. Keputusan bersifat futuristik, artinya mengenai hari
kemudian, efeknya akan berlangsung di hari yang akan datang (Atmosudirdjo,
1982 dalam Febriantie, 2012).
41
Keputusan merupakan hasil pemecahan dalam suatu masalah yang harus
dihadapi dengan tegas. Menurut Dagun (2006) dalam Kamus Besar Ilmu
Pengetahuan, pengambilan keputusan atau kebijakan yang didasarkan atas kriteria
tertentu. Proses ini meliputi dua alternatif atau lebih. Menurut Reason (1990),
pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran dari
proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan
diantara beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan
selalu menghasilkan satu pilihan akhir.
Keputusan merupakan suatu pilihan diantara dua atau lebih tindakan/
perilaku alternatif. Berbagai keputusan selalu mensyaratkan banyak pilihan
perilaku berbeda. Pengambilan keputusan adalah proses integrasi yang digunakan
untuk mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih
perilaku alternatif dan memilih satu diantaranya. Hasil dari proses tersebut adalah
suatu pilihan, secara kognitif menunjukan intensi perilaku. Intensi perilaku atau
rencana keputusan merupakan suatu rencana untuk menjalankan satu perilaku atau
lebih (Peter dan Olson, 2013).
Terry (2010) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan adalah sebagai
pemilihan yang didasarkan kriteria tertentu atas dua atau lebih alternatif yang
mungkin. Sementara itu, Syamsi (2000) menjelaskan bahwa proses pengambilan
keputusan itu dikerjakan oleh kebanyakan manajer berupa suatu kesadaran,
kegiatan pemikiran yang termasuk pertimbangan, penilaian dan pemilihan
diantara sejumlah alternatif.
Menurut Suharnan (2005), pengambilan keputusan adalah proses memilih
atau menentukan berbagai kemungkinan diantara situasi-situasi yang tidak pasti.
Pembuatan keputusan terjadi di dalam situasi-situasi yang menuntut seseorang
harus membuat prediksi ke depan, memilih salah satu diantara dua pilihan atau
lebih, membuat estimasi (prakiraan) mengenai frekuensi prakiraan yang akan
terjadi. Salah satu fungsi berpikir adalah menetapkan keputusan. Menurut Rakmat
(2007), keputusan yang diambil seseorang beraneka ragam, tetapi tanda-tanda
umumnya antara lain: keputusan merupakan hasil berpikir, hasil usaha intelektual,
keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif, keputusan selalu
42
melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau
dilupakan.
Menurut Salusu (2004) pengambilan keputusan adalah suatu proses memilih
alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai situasi. Ketika
keputusan sudah dibuat, sesuatu yang baru mulai terjadi atau dengan kata lain,
keputusan mempercepat mengambil tindakan serta mendorong lahirnya gerakan
dan perubahan. Terdapat dua pendekatan yang mendasari pengambilan keputusan,
yaitu pendekatan yang mendasari hasil dan pendekatan yang berorientasi proses.
Pendekatan yang berorientasi hasil, apabila sesorang dapat memprediksi hasil dari
proses pengambilan keputusan dengan benar maka akan memahami proses
pengambilan keputusan. Hasil dari pengambilan keputusan dan prediksi yang
benar merupakan inti dari pendekatan ini. Pendekatan yang berorientasi proses,
apabila seseorang memahami proses pengambilan keputusan maka dapat
memprediksi hasilnya dengan benar (Zeleny, 2010 dalam Febriantie, 2012).
Petani sebagai individu pembuat keputusan selalu dipengaruhi oleh
ketersediaan sumber daya rumah tangganya dan juga oleh hubungan sosialnya,
yaitu keputusan suatu masyarakat akan memengaruhi keputusan individu.
Disamping itu perilaku budidaya juga saling berhubungan dengan perilaku sosial,
budaya, ekonomi dan perilaku dari kehidupan masyarakat pedesaan. Bentuk
interaksi antar faktor-faktor tersebut pada akhirnya merupakan faktor penentu
dalam pembuatan keputusan oleh petani (Suek, 1994 dalam Theresia dkk, 2016).
2.7.2 Dasar-dasar Pengambilan Keputusan
Terry (2010) menjelaskan bahwa dasar-dasar dari pengambilan keputusan
yang berlaku antara lain:
a. Intuisi
Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi atau perasaan lebih bersifat
subjektif, yaitu mudah terkena sugesti, pengaruh luar, dan faktor kejiwaan
lain. Sifat subjektif dari keputusan intuisi ini terdapat beberapa keuntungan,
yaitu:
43
1) Pengambilan keputusan oleh satu pihak sehingga mudah untuk
memutuskan.
2) Keputusan intuitif lebih tepat untuk masalah-masalah yang bersifat
kemanusiaan.
Pengambilan keputusan yang berdasarkan intuisi membutuhkan waktu
yang singkat. Pada masalah-masalah yang dampaknya terbatas, pada
umumnya pengambilan keputusan yang bersifat intuitif akan memberikan
kepuasan, akan tetapi pengambilan keputusan ini sulit diukur kebenarannya
karena kesulitan mencari perbandingan dengan kata lain hal ini diakibatkan
pengambilan keputusan intuitif hanya diambil oleh satu pihak saja sehingga
hal-hal lain yang lain sering diabaikan.
b. Pengalaman
Pengalaman dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah.
Keputusan yang berdasarkan pengalaman sangat bermanfaat bagi pengetahuan
praktis. Pengalaman dan kemampuan untuk memperkirakan apa yang menjadi
latar belakang masalah dan bagaimana arah penyelesaiannya sangat membantu
dalam memudahkan pemecahan masalah.
c. Fakta
Keputusan berdasarkan sejumlah fakta, data atau informasi yang cukup
merupakan keputusan yang baik dan solid, namun untuk mendapatkan
informasi yang cukup itu sangat sulit.
d. Wewenang
Keputusan yang berdasarkan pada wewenang semata maka akan menimbulkan
sifat rutin dan mengasosiasikan dengan praktik diktatorial. Keputusan
berdasarkan wewenang kadangkala oleh pembuat keputusan sering melewati
permasalahan yang seharusnya dipecahkan justru menjadi kabur atau kurang
jelas.
e. Rasional
Keputusan tang bersifat rasional berkaitan dengan daya guna. Masalah-
masalah yang dihadapi merupakan masalah yang memerlukan pemecahan
rasional. Keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan rasional lebih
44
bersifat objektif. Di dalam kehidupan masyarakat, keputusan yang rasional
dapat diukur apabila kepuasan optimal masyarakat dapat terlaksana dalam
batas-batas nilai masyarakat yang diakui saat itu.
2.7.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan
Menurut Terry (2010), faktor-faktor yang memengaruhi dalam pengambilan
keputusan, yaitu:
1. Hal-hal yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang emosional maupun
yang rasional perlu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.
2. Setiap keputusan harus dapat dijadikan bahan untuk mencapai tujuan. Setiap
keputusan jangan berorientasi pada kepentingan pribadi, tetapi harus lebih
mementingkan kepentingan bersama.
3. Jarang sekali pilihan yang memuaskan, oleh karena itu buatlah alternatif-
alternatif tandingan.
4. Pengambilan keputusan merupakan tindakan mental, dari tindakan ini harus
diubah menjadi tindakan fisik.
5. Pengambilan keputusan yang efektif membutuhkan waktu yang cukup lama.
6. Diperlukan pengambilan keputusan yang praktis untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik.
7. Setiap keputusan hendaknya dilembagakan agar diketahui keputusan itu benar
8. Setiap keputusan merupakan tindakan permulaan dari serangkaian kegiatan
mata rantai berikutnya.
Arroba (1998) menyebutkan lima faktor yang memengaruhi pengambilan
keputusan, antara lain:
1. Informasi yang diketahui perihal masalah yang dihadapi
2. Tingkat pendidikan
3. Personality
4. Coping, dalam hal ini dapat berupa pengalaman hidup yang terkait dengan
pengalaman (proses adaptasi)
5. Culture
45
Sedangkan menurut Kotler (2009), faktor-faktor yang memengaruhi
pengambilan keputusan antara lain:
1. Faktor budaya, yang meliputi peran budaya, sub budaya, dan kelas sosial
2. Faktor sosial, yang meliputi kelompok acuan, keluarga, peran, dan status
3. Faktor pribadi, yang termasuk usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan
ekonomi, gaya hidup, kepribadiaan dan konsep diri
4. Faktor psikologis, yang meliputi motivasi, persepsi, pengetahuan, keyakinan,
dan pendirian.
2.7.4 Proses Pengambilan Keputusan (Decision Making Process)
Kotler (2009) menjelaskan proses pengambilan keputusan antara lain:
1. Identifikasi masalah
Dalam hal ini diharapkan mampu mengidentifikasi masalah yang ada di dalam
suatu keadaan.
2. Pengumpulan dan penganalisis data
Pengambilan keputusan diharapkan dapat mengumpulkan dan menganalisis
data yang dapat membantu memecahkan masalah yang ada.
3. Pembuatan alternatif-alternatif kebijakan
Setelah masalah dirinci dengan tepat dan tersusun baik, maka perlu dipikirkan
cara-cara pemecahannya.
4. Pemilihan salah satu alternatif terbaik
Pemilihan satu alternatif terbaik dilakukan atas dasar pertimbangan yang
matang atau berdasarkan rekomendasi dan perlu waktu yang lama karena hal
ini menentukan alternatif yang dipakai akan berhasil atau sebaliknya.
5. Pelaksanaan keputusan
Dalam pelaksanaan keputusan berarti seseorang pengambil keputusan harus
mampu menerima dampak yang positif atau negatif. Ketika menerima dampak
yang negatif, pengambil keputusan juga harus mempunyai alternatif lain.
6. Pemantauan dan pengevaluasian hasil pelaksanaan
Setelah keputusan dijalankan seharusnya pimpinan dapat mengukur dampak
dari keputusan yang telah dibuat.
46
III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Permasalahan pertanian di Indonesia yang sering terjadi salah satunya
adalah masalah ketidakmampuan petani dalam memenuhi biaya usahatani dan
masalah harga komoditas yang rendah saat musim panen serta akses untuk
melakukan kegiatan pasca panen yang sulit dan mahal. Pemerintah telah
menerapkan harga dasar gabah, dimana Bulog membeli beras petani dengan harga
yang telah ditentukan untuk mendorong peningkatan produksi, tetapi sangat sulit
untuk menjaga harga jual di tingkat petani sesuai dengan harga dasar dari
pemerintah apabila panen melimpah.
Pada tahun 2006, pemerintah membuat kebijakan tentang program Sistem
Resi Gudang (SRG). Program SRG bertujuan untuk mengatasi permasalahan
pembiayaan petani, memberikan harga jual yang sesuai, memberikan akses untuk
pengolahan pasca panen dan sebagainya. Implementasi program SRG di Indonesia
dimulai tahun 2008 dengan empat kabupaten sebagai daerah percontohan, yaitu
Kabupaten Banyumas, Kabupaten Jombang, Kabupaten Indramayu, dan
Kabupaten Gowa. Sasaran dari program SRG adalah petani, kelompok tani,
gabungan kelompok tani, dan koperasi tani. Komoditas yang dapat mengikuti
program SRG yaitu gabah, beras, jagung, kakao, kopi, teh, rumput laut, lada,
karet, rotan, garam, gambir, kopra, dan timah. Hingga tahun 2016, terdapat 192
gudang yang telah dibangun oleh pemerintah dan swasta yang berada di 25
provinsi dan 105 kabupaten/kota (Bappebti, 2016b).
Kabupaten Cianjur merupakan daerah penghasil padi terbesar kelima di
Jawa Barat (data disajikan di lampiran) dan menjadi daerah kedua terbesar yang
telah menerapkan program SRG sejak tahun 2011. Partisipasi petani dalam
memanfaatkan program SRG masih rendah. Berdasarkan data tahun 2016, total
resi gudang yang diterbitkan sebanyak 299 buah dengan total gabah yang
disimpan berjumlah 7.663,777 ton (Bappebti, 2016b). Total resi gudang yang
diterbitkan dan total gabah yang disimpan masih sangat sedikit bila dibandingkan
dengan total produksi di Kabupaten Cianjur.
47
Sebagai upaya meningkatkan partisipasi petani dalam memanfaatkan
program SRG dan implementasi program SRG secara masif, maka perlu meninjau
kinerja pengelolaan program SRG dan efektivitas program SRG dalam
meningkatkan pendapatan petani. Pengukuran kinerja pengelolaan program SRG
di Kabupaten Cianjur yang dikelola oleh Koperasi Niaga Mukti mengggunakan
gap analysis, yaitu dengan membandingkan harapan petani sebelum
memanfaatkan program SRG dengan kondisi aktual setelah memanfaatkan
progam SRG. Sementara itu, pengukuran efektivitas program SRG dalam
meningkatkan pendapatan petani akan membantu petani dalam mengambil
keputusan. Pengukuran efektivitas program SRG dalam meningkatkan pendapatan
petani dilakukan menggunakan analasis usahatani dan uji beda rata-rata (t-test),
yaitu dengan membandingkan rata-rata pendapatan antara petani yang
memanfaatkan program SRG dan petani yang tidak memanfaatkan program SRG.
Keberhasilan program SRG perlu didukung dengan adanya partisipasi petani
yang tinggi untuk memanfaatkan program SRG. Dalam hal ini, pengambilan
keputusan petani memegang peran penting. Keputusan petani untuk ikut
memanfaatkan program SRG akan berdampak pada peningkatan pendapatan
petani. Pengambilan keputusan petani didasarkan pada beberapa faktor yang dapat
memengaruhinya, maka perlu adanya penjelasan lebih lanjut mengenai faktor-
faktor yang memengaruhi keputusan petani dalam memanfaatkan program SRG.
Analisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani menggunakan analisis
regresi logistik.
Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan
dapat berkontribusi dalam pengembangan program SRG di Kabupaten Cianjur
serta dapat menjadi bahan monitoring dan evaluasi bagi stakeholder terkait untuk
dapat memperbaiki, meningkatkan serta mengembangkan program SRG secara
masif di Indonesia. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran diatas, maka alur
kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
48
Gambar 2. Alur Kerangka Pemikiran Penelitian
Keterangan:
= Alur berpikir
= Alur analisis
= Alat analisis
Kendala:
Sulitnya pembiayaan usahatani,
harga gabah rendah, kegiatan
pasca panen sulit dan mahal
Solusi pemerintah:
Program Sistem Resi Gudang
Manfaat program SRG:
Kepastian mutu, pembiayaan dengan
jaminan resi gudang, harga jual optimal
melalui mekanisme tunda jual, fasilitas
gudang mendukung kegiatan pasca panen
dan pemasaran terintegrasi pasar lelang
Permasalahan implementasi SRG:
Kuantitas gabah yang disimpan di gudang
SRG masih sedikit dan pastisipasi petani
masih rendah
Analisis regresi logistik Gap analysis
Peningkatan dan pengembangan program
SRG dapat dilakukan secara masif
Kinerja
pengelolaan SRG
Usahatani
padi
Potensi:
Permintaan beras bersifat
kontinu dan Kab. Cianjur
sebagai sentra produksi padi
di Jawa Barat
Efektivitas SRG dalam
meningkatkan
pendapatan petani
Faktor-faktor yang
memengaruhi
keputusan petani
Analisis usahatani dan
uji beda rata-rata
49
3.2 Hipotesis
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran pada penelitian ini, hipotesis yang
diajukan adalah:
1. Kinerja pengelolaan program SRG yang dikelola oleh Koperasi Niaga Mukti
masih terdapat kesenjangan antara harapan petani dengan pelaksanaan
program SRG.
2. Rata-rata pendapatan petani padi yang memanfaatkan progam SRG lebih
tinggi dibandingkan dengan petani konvensional.
3. Faktor-faktor yang berpengaruh positif dalam pengambilan keputusan petani
untuk memanfaatkan program SRG adalah produksi gabah per musim,
pendapatan usahatani, dan kepemilikan profesi non usahatani.
3.3 Batasan Masalah
Berikut merupakan ruang lingkup penelitian:
1. Penelitian ini dilakukan pada pelaksanaan program SRG komoditas gabah di
Kabupaten Cianjur.
2. Penelitian ini dibatasi pada gudang SRG yang dikelola oleh Koperasi Niaga
Mukti, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur.
3. Analisis kinerja pengelolaan gudang SRG yang dikelola oleh Koperasi Niaga
Mukti didasarkan pada pengukuran service quality yang dibatasi pada lima
dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi ketepatan, dimensi keterlibatan, dimensi
keterjaminan, dan dimensi empati.
4. Penilaian kinerja pengelolaan program SRG di Kabupaten Cianjur hanya
didasarkan pada persepsi petani yang telah memanfaatkan program SRG.
5. Analisis usahatani yang digunakan hanya meliputi analisis biaya usahatani
padi, penerimaan usahatani padi, dan pendapatan usahatani padi pada periode
musim tanam bulan Oktober 2016 hingga Januari 2017.
50
3.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Sistem Resi Gudang (SRG) adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan,
pengalihan, penjamin, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang.
2. Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di
gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang.
3. Gudang SRG adalah ruangan yang tidak bergerak, tidak dapat dipindah-
pindahkan dan memiliki kapasitas tertentu untuk kegiatan penyimpanan dan
pengolahan komoditas yang diresigudangkan.
4. Kinerja pengelolaan program SRG adalah pelaksanaan program SRG yang
diterapkan oleh pengelola gudang.
5. Efektivitas program SRG adalah suatu cara yang dilakukan untuk mengetahui
dampak yang ditimbulkan dari program SRG dalam meningkatkan pendapatan
petani padi.
6. Keputusan petani adalah suatu pilihan yang ditentukan oleh petani diantara
dua opsi, yaitu memanfaatkan program SRG atau tidak memanfaatkan
program SRG.
7. Sosialisasi program SRG adalah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan
informasi dan mengedukasi masyarakat mengenai program SRG yang digagas
oleh pemerintah melalui Kementerian Perdagangan.
8. Dimensi fisik (tangibility) adalah dimensi yang mengacu pada kemudahan
akses ke gudang SRG, sarana dan prasarana gudang SRG. Indikator-indikator
yang digunakan meliputi kemudahan akses (jarak ke gudang SRG), kapasitas
gudang, fasilitas sandar dan bongkar muat, ketersediaan mesin dryer, sarana
instalasi pendukung, dan akses jaringan informasi dan komunikasi. Skala
pengukuran menggunakan skala likert 1-5 (1 = sangat tidak setuju / sangat
tidak mudah; 2 = tidak setuju / tidak mudah; 3 = kurang setuju / cukup mudah;
4 = setuju / mudah; 5 = sangat setuju / sangat mudah).
9. Dimensi ketepatan (reliability) adalah dimensi yang mengacu pada aspek
ketepatan layanan, proses, dan waktu. Indikator-indikator yang digunakan
51
meliputi layanan uji mutu gabah oleh Ujastasma Bulog Divre Cianjur, kualitas
gabah sesuai dengan SNI, dan lamanya waktu pengujian kualitas gabah. Skala
pengukuran menggunakan skala likert 1-5 (1 = sangat tidak setuju / sangat
tidak mudah; 2 = tidak setuju / tidak mudah; 3 = kurang setuju / cukup mudah;
4 = setuju / mudah; 5 = sangat setuju / sangat mudah).
10. Dimensi keterlibatan (responsiveness) adalah dimensi yang mengacu pada
peran serta dari pihak-pihak yang terkait dan keterlibatan peserta program
SRG. Indikator-indikator yang digunakan meliputi peserta SRG yang terlibat
di dalam program SRG, peran staf Bappebti dalam pengelolaan gudang SRG,
dan peran Bappebti dalam mengawasi pihak yang melanggar peraturan. Skala
pengukuran menggunakan skala likert 1-5 (1 = sangat tidak setuju / sangat
tidak mudah; 2 = tidak setuju / tidak mudah; 3 = kurang setuju / cukup mudah;
4 = setuju / mudah; 5 = sangat setuju / sangat mudah).
11. Dimensi keterjaminan (assurance) adalah dimensi yang mengacu pada
kemampuan pengelola gudang dalam memberikan kemudahan penjaminan
resi gudang dan kemampuan meyakinkan petani untuk bisa mendapatkan
harga yang optimal. Indikator-indikator yang digunakan meliputi keterlibatan
pengelola gudang dalam mencari pembeli, jaminan resi gudang ke bank,
kepastian harga gabah dari Bappebti, dan penentuan harga dapat
menguntungkan petani. Skala pengukuran menggunakan skala likert 1-5 (1 =
sangat tidak setuju / sangat tidak mudah; 2 = tidak setuju / tidak mudah; 3 =
kurang setuju / cukup mudah; 4 = setuju / mudah; 5 = sangat setuju / sangat
mudah).
12. Dimensi empati (empathy) adalah dimensi yang mengacu pada kemampuan
komunikasi untuk melakukan sosialisasi kepada petani. Indikator-indikator
yang digunakan meliputi sosialisasi dari Bappebti, sosialisasi Bappebti
dilakukan saat menjelang musim panen, sosialisasi dari Bappebti terkait
efektivitas program SRG, pengelola gudang melakukan upaya persuasif untuk
menarik minat petani, dan PPL membantu dalam kelancaran program SRG.
Skala pengukuran menggunakan skala likert 1-5 (1 = sangat tidak setuju /
52
sangat tidak mudah; 2 = tidak setuju / tidak mudah; 3 = kurang setuju / cukup
mudah; 4 = setuju / mudah; 5 = sangat setuju / sangat mudah).
13. Umur adalah umur petani responden dari awal kelahiran sampai pada saat
penelitian dilakukan dan diukur dalam satuan waktu (tahun).
14. Tingkat pendidikan adalah lama waktu pendidikan formal yang diselesaikan
oleh petani responden dan diukur dalam satuan skala.
15. Luas lahan adalah luas area lahan garapan yang digunakan untuk melakukan
usatahani padi oleh petani responden dalam satuan hektar.
16. Produksi gabah per musim adalah hasil panen dari tanaman padi yang
diperoleh dalam satu musim tanam dan diukur dalam satuan kilogram.
17. Pendapatan usahatani padi adalah jumlah penerimaan total dikurangi biaya
total yang diperoleh petani dari kegiatan usahataninya dan diukur dengan
satuan rupiah per hektar.
18. Kepemilikan profesi non usahatani padi adalah profesi yang dimiliki dan
dikerjakan oleh petani responden selain kegiatan usahatani padi dan menjadi
sumber pendapatan lain.
19. Keikutsertaan petani dalam kelompok tani adalah petani responden yang
tergabung dalam kelompok tani.
53
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada program Sistem Resi Gudang di Kabupaten
Cianjur. Lokasi penelitian dilakukan di gudang SRG yang dikelola oleh Koperasi
Niaga Mukti di desa Jambudipa, kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan
pertimbangan bahwa penerapan program Sistem Resi Gudang di Kabupaten
Cianjur telah dilaksanakan selama lebih dari enam tahun dan memiliki fasilitas
serta pengelolaan gudang yang baik namun jumlah resi gudang yang diterbitkan
masih sedikit. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 23 Maret hingga 25
April 2017.
4.2 Metode Penentuan Responden
Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode
purposive sampling. Metode purposive sampling merupakan pengambilan sampel
yang dilakukan hanya atas dasar pertimbangan peneliti yang menganggap unsur-
unsur yang dikehendaki telah ada dalam anggota sampel yang diambil. Melalui
metode tersebut, sampel dipilih secara sengaja dengan kriteria tertentu yang harus
melekat pada sampel.
Jumlah populasi petani padi di Koperasi Niaga Mukti sebanyak 144 orang.
Berdasarkan jumlah populasi petani padi tersebut, kemudian peneliti menentukan
jumlah sampel responden dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:
n =
…………………………………(2)
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = error tolerance (batas toleransi kesalahan)
54
Berdasarkan formulasi diatas, maka jumlah sampel pada penelitian ini dapat
ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut:
n =
n =
n = 105,88 ≈ 106
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka jumlah sampel petani padi yang
diambil adalah 106 orang. Kemudian peneliti mengambil sampel petani SRG
dengan kriteria bahwa petani padi telah memanfaatkan program SRG yang
dikelola oleh Koperasi Niaga Mukti, yaitu sebanyak 35 orang. Sementara itu,
sampel petani konvensional yang diambil didasarkan pada kriteria bahwa petani
padi tidak memanfaatkan program SRG, yaitu sebanyak 71 orang.
4.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini mencakup data primer dan data
sekunder.
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari informan
sebagai sumber informasi. Informan pada penelitian ini meliputi pengelola gudang
dan petani responden. Pada pengambilan data primer terdapat beberapa kegiatan
yang peneliti lakukan diantaranya adalah kegiatan wawancara, observasi, dan
dokumentasi secara langsung di lokasi penelitian.
a. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data yang
dilakukan dengan tanya jawab, baik secara langsung ataupun secara tidak
langsung. Kegiatan wawancara dilakukan untuk mencari informasi terkait
kegiatan usahatani padi dan pelaksanaan program SRG di Kabupaten
Cianjur. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur,
dimana peneliti membuat beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan
topik penelitian yang disusun dalam bentuk kuesioner. Pertanyaan dalam
55
kuesioner penelitian ini menggunakan kombinasi sistem pertanyaan
tertutup dan terbuka dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang
lebih mendalam mengenai kegiatan usahatani padi dan program SRG di
Kabupaten Cianjur.
b. Observasi
Observasi merupakan salah satu metode pengumpulan data primer
dimana peneliti mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis
terhadap objek yang diteliti secara langsung. Pada penelitian ini, kegiatan
observasi yang dilakukan dengan mengamati dan mempelajari kegiatan
usahtani padi yang dilakukan oleh petani, pengelolaan gudang SRG, dan
penerapan program SRG yang dilakukan oleh petani.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk melengkapi
data penelitian. Hasil dari dokumentasi dijadikan sebagai bukti untuk
mendukung pernyataan atau argumen peneliti dalam melakukan penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber secara tidak
langsung. Informasi diperoleh sebagai pendukung data primer yang tidak bisa
diperoleh secara langsung. Data sekunder mencakup data yang diperoleh dari
sumber lain, yang dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan berasal dari
buku, artikel ilmiah, dan instansi yang terkait seperti Badan Pengawas
Perdagangan Berjangka Komoditi Kementerian Perdagangan, Badan Pusat
Statistik Kabupaten Cianjur, dan Badan Penyuluhan Pertanian kecamatan
Warungkondang. Data yang digunakan peraturan pelaksanaan Sistem Resi
Gudang, data gudang SRG dan implementasi SRG di Indonesia, nilai pembiayaan
berbasis resi gudang, alur kegiatan dan peran stakeholder didalam kelembagaan
SRG, dan rekapitulasi resi gudang tahun 2011 – 2016.
56
4.4 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis data statistik deskriptif dan analisis data kuantitatif. Metode analisis data
statistik deskriptif digunakan untuk menganalisa data dengan cara
mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul. Metode analisis
data statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan implementasi program
SRG dan tingkat kesenjangan dari kinerja pengelolaan program SRG dengan
membandingkan harapan petani dengan kondisi aktual yang ada di lokasi
penelitian.
Sementara itu, metode analisis data kuantitatif digunakan untuk
menganalisis seberapa besar efektivitas program SRG dalam meningkatkan
pendapatan petani padi. Pendapatan petani padi di analisis dengan menggunakan
analisis usahatani, kemudian dapat diketahui rata-rata tingkat pendapatan petani
yang memanfaatkan program SRG dan pendapatan petani yang tidak
memanfaatkan program SRG. Selain itu, metode analisis data kuantitatif
digunakan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi
keputusan petani dalam memanfaatkan progam SRG. Metode analisis yang
digunakan pada penelitian ini antara lain:
4.4.1 Analisis Gap
Analisis gap (gap analysis) atau analisis kesenjangan adalah suatu metode
atau alat yang digunakan untuk mengetahui tingkat kinerja suatu lembaga atau
institusi, dimana metode ini digunakan untuk mengetahui kinerja dari suatu sistem
yang sedang berjalan dengan sistem standar. Tingkat kinerja diketahui dengan
membandingkan antara harapan sebelum pelaksanaan dengan hasil yang dicapai
di dalam pelaksanaan. Analisis kesenjangan bertujuan untuk:
1. Menilai seberapa besar kesenjangan antara suatu standar kinerja yang
diharapkan dengan kinerja aktual.
2. Mengetahui peningkatan kinerja yang diperlukan untuk menutup kesenjangan
tersebut.
57
3. Menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan terkait dengan prioritas
waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi standar kinerja yang telah
ditetapkan.
Metode analisis kesenjangan ini digunakan untuk menjawab tujuan
penelitian yang pertama, yaitu menganalisis kinerja pengelolaan program SRG di
Kabupaten Cianjur. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan antara
harapan petani terhadap program SRG dengan implementasi program SRG yang
dilakukan oleh Koperasi Niaga Mukti. Tahapan analisis kesenjangan yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi variabel yang di analisis sesuai pedoman pelaksanaan Sistem
Resi Gudang. Pedoman pelaksanaan program SRG dapat dilihat pada Tabel 4.
2. Menetapkan lima dimensi yang akan diujikan, antara lain: fisik (tangibility),
ketepatan (reliability), empati (empathy), keterlibatan (responsivesness), dan
keterjaminan (assurance).
3. Menetapkan indikator pengujian pada setiap variabel yang digunakan dan
menentukan skor penilaian dengan menggunakan skala likert. Indikator
pengujian masing-masing dimensi disajikan di lampiran.
4. Melakukan pengambilan data kepada petani responden melalui wawancara
dan pengamatan.
5. Menghitung nilai rata-rata dari setiap variabel yang di analisis.
6. Menetapkan degree of fit yang terdiri dari kondisi fit, partial, dan gap untuk
mengetahui kinerja program SRG yang dilaksanakan oleh pengelola gudang.
Penjelasan degree of fit dapat dilihat pada Tabel 5.
7. Mendeskripsikan hasil degree of fit dari masing-masing variabel yang di
analisis.
58
Tabel 4. Pedoman Pelaksanaan Program Sistem Resi Gudang
Keterangan Kondisi yang Diharapkan
Uji mutu gabah Pengukuran mutu gabah sesuai dengan
prosedur SNI 01-0224-1987
Akses pasar dan jaminan resi
gudang
Tersedianya akses pasar yang mudah dan
harga yang optimal serta kemudahan dalam
menjaminkan resi gudang ke bank.
Peserta SRG Petani, kelompok tani, Gapoktan, Koperasi
Fasilitas gudang Fasilitas gudang sesuai dengan SNI 7331:2016
tentang Gudang Komoditas Pertanian
Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan setiap wilayah tempat
berdirinya gudang SRG
Sosialisasi dilakukan oleh Bappebti menjelang
musim panen
Pengawasan Bappebti
Badan Pengawas berwenang melaksanakan
pengawasan terhadap setiap pihak yang
diberikan persetujuan apabila melakukan
pelanggaran
Sumber: Bappebti, 2016a
Tabel 5. Penjelasan Degree of Fit
Degree Penjelasan
Fit (G < 0) Peraturan dan pedoman program SRG sepenuhnya telah
diterapkan di dalam pelaksanaan
Gap (G > 0) Peraturan dan pedoman program SRG belum diterapkan
dalam pelaksanaanya
Partial (G = 0)
Peraturan dan pedoman program SRG telah diterapkan dalam
pelaksanaanya, namun masih terdapat beberapa ketidak-
sesuaian dan permasalahan dalam pelaksanaannya.
Sumber: Bappenas, 2009 dalam Sukmawati 2013
Perhitungan rata-rata skor untuk setiap variabel yang di analisis dilakukan
dengan menghitung nilai rata-rata harapan petani (expected service) dan nilai rata-
rata pelayanan yang dirasakan oleh petani SRG (perceived service). Perhitungan
rata-rata skor dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut:
59
=
n .............................................. (3)
Keterangan:
: Nilai rata-rata
X : Variabel yang diukur
n : Jumlah observasi
Perhitungan pada formulasi (3) dilakukan untuk masing-masing variabel
yang telah dijelaskan diatas. Sementara itu, perhitungan untuk masing-masing
dimensi dihitung dengan menggunakan rumus:
Gi = nilai rata-rata expected service – nilai rata-rata perceived service
Keterangan:
Gi : Nilai kesenjangan
Expected service : Harapan petani SRG
Perceived service : Pelayanan yang diterima oleh petani SRG
4.4.2 Analisis Pendapatan Petani
Analisis pendapatan petani dilakukan dengan cara membandingkan rata-rata
pendapatan petani yang memanfaatkan program SRG dengan petani yang tidak
memanfaatkan program SRG. Metode untuk mengetahui tingkat pendapatan
petani menggunakan analisis usahatani dan uji beda rata-rata.
A. Analisis Usahatani Padi
1. Biaya Usahatani Padi
Biaya usahatani padi adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh petani
dalam melakukan usahatani padi. Analisis biaya usahatani padi pada penelitian ini
hanya mencakup biaya yang dikeluarkan petani pada periode musim tanam bulan
Oktober 2016 hingga Januari 2017. Perhitungan biaya usahatani padi meliputi
biaya tetap dan biaya variabel. Jika biaya tetap dan biaya variabel dijumlahkan,
maka akan didapatkan total biaya usahatani dengan rumus sebagai berikut:
60
TC = TFC + TVC …………………………………(4)
Keterangan:
TC : Total keseluruhan biaya usahatani padi (Rp)
TFC : Total biaya tetap usahatani padi (Rp)
TRC : Total biaya variabel usahatani padi (Rp)
2. Penerimaan Usahatani Padi
Penerimaan usahatani padi adalah hasil yang didapatkan petani dari jumlah
gabah yang terjual dikalikan dengan harga yang diterima petani. Penerimaan
usahatani padi dihitung menggunakan rumus:
TR = Q x P…………………………………(5)
Keterangan:
TR : Total penerimaan usahatani padi (Rp)
Q : Kuantitas gabah yang dijual (Kg)
P : Harga jual gabah per kilogram (Rp/kg)
3. Pendapatan Usahatani Padi
Pendapatan usahatani padi adalah hasil yang didapatkan petani dengan
mengurangi total penerimaan usahatani padi dengan total biaya usahatani padi
yang dikeluarkan. Pendapatan usahatani padi dapat dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut:
Π = TR – TC…………………………………(6)
Keterangan:
Π : Pendapatan usahatani padi (Rp)
TR : Total penerimaan usahatani padi (Rp)
TC : Total biaya usahatani padi (Rp)
B. Uji Beda Rata-rata
Uji beda rata-rata atau disebut dengan uji-t (t-test) adalah membandingkan
nilai rata-rata beserta selang kepercayaan tertentu dari dua populasi atau
kelompok. Uji beda rata-rata digunakan untuk mengetahui perbedaan dua sampel
pendapatan petani yang memanfaatkan program SRG dan petani yang tidak
61
memanfaatkan program SRG. Pada penelitian ini, pengujian beda rata-rata
pendapatan petani menggunakan independent sample t-test (sampel tidak saling
berhubungan). Uji beda rata-rata/ uji-t (t-test) dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Membuat hipotesis statistik yang diajukan, antara lain:
a. H0 : Tidak terdapat perbedaan pendapatan antara petani yang telah
memanfaatkan SRG dengan petani yang tidak memanfaatkan SRG
b. H1 : Terdapat perbedaan pendapatan antara petani yang telah
memanfaatkan SRG dengan petani yang tidak memanfaatkan SRG
2. Menguji nilai varians dari rata-rata pendapatan petani yang memanfaatkan
program SRG dan petani yang tidak memanfaatkan program SRG dengan uji
F menggunakan rumus berikut ini:
Fhitung =
…………………………………(7)
3. Melakukan uji t
a. Jika t hitung > t tabel dengan α = 5% (0,05), maka H1 diterima dan H0
ditolak yang artinya rata-rata tingkat pendapatan petani yang
memanfaatkan program SRG lebih tinggi daripada rata-rata tingkat
pendapatan petani yang tidak memanfaatkan program SRG.
b. Jika t hitung < t tabel dengan α = 5% (0,05), maka H0 diterima dan H1
ditolak yang artinya rata-rata tingkat pendapatan petani yang
memanfaatkan program SRG sama dengan pendapatan petani yang tidak
memanfaatkan program SRG.
4.4.3 Analisis Regresi Logistik
Analisis regresi logistik atau dikenal dengan model logit digunakan untuk
menjawab tujuan penelitian yang ketiga. Analisis regresi logistik bertujuan untuk
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani dalam
memanfaatkan program SRG. Analisis regresi logistik adalah suatu metode
analisis statistik untuk mendeskripsikan hubungan antara peubah respon
(dependent variable) yang memiliki dua kategori atau lebih dengan satu atau lebih
peubah penjelas (independent variable) berskala kategori atau interval. Regresi
62
logistik merupakan regresi non linear yang digunakan untuk menjelaskan
hubungan antara X dan Y yang bersifat tidak linear, ketidaknormalan sebaran Y,
keragaman respon tidak konstan yang tidak dapat dijelaskan dengan model regresi
linear biasa.
Penggunaan regresi logistik dilakukan ketika variabel dependen memiliki
nilai 0 dan 1. Bentuk umum persamaan model logit adalah:
ln (
) = α + β1X1 + β2X2 + … + βnXn + µ……………..... (8)
Pada penelitian ini, nilai biner atau dikotomi yang ada pada variabel
dependen, yaitu nilai 0 untuk petani yang tidak memanfaatkan program SRG dan
nilai 1 untuk petani yang memanfaatkan program SRG. Variabel yang digunakan
untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan petani
memanfaatkan program SRG antara lain: umur, tingkat pendidikan, luas lahan,
produksi gabah per musim, pendapatan usahatani, kepemilikan profesi non
usahatani padi, dan keikutsertaan petani dalam kelompok tani. Model dugaan dari
faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani untuk mengikuti program SRG
adalah:
= β0 + β1lnX1 + β2lnX2 + β3lnX3 + β4lnX4 + β5lnX5 + β6D1 +
β7D2 + e ………………………….(9)
Keterangan:
a) lnY = li = ln (
) keputusan petani padi memanfaatkan program SRG yang
dinyatakan dengan variabel dummy yang jika petani memanfaatkan program
SRG diberi nilai 1 dan jika petani tidak memanfaatkan program SRG maka
diberi nilai 0, dimana:
li = ln
, jika petani memanfaatkan program SRG
li = ln
, jika petani tidak memanfaatkan program SRG
b) X1 = Umur petani (tahun)
c) X2 = Tingkat pendidikan (skala)
d) X3 = Luas lahan (Ha)
e) X4 = Produksi gabah per musim (Kg)
f) X5 = Pendapatan usahatani (Rp/ha)
63
g) D1 = Dummy kepemilikan profesi non usahatani
D1 = 0, jika tidak memiliki profesi non usahatani
D1 = 1, jika memiliki profesi non usahatani
h) D2 = Dummy keikutsertaan kelompok tani
D2 = 0, jika petani tidak mengikuti kelompok tani
D2 = 1, jika petani mengikuti kelompok tani
i) e = error term
Pengujian signifikansi model dan parameter dalam analisis regresi logistik
diuraikan sebagai berikut:
1. Uji G (uji seluruh model)
Uji seluruh model disebut juga dengan uji keberartian model, dimana salah
satu alat pengujiannya adalah likelihood ratio test. Likelihood ratio test digunakan
dengan cara membandingkan nilai Ghitung dengan nilai Chi square. Statistik uji
yang digunakan dalam model likelihood ratio test adalah:
Ghitung = 2 (nilai log likelihood – (n1 ln (n1) + n0 ln (n0) – n ln (n)))
Keterangan:
G = Nilai likelihood ratio
n1 = Jumlah sampel yang termasuk dalam kategori P (Y = 1)
n0 = Jumlah sampel yang termasuk dalam kategori P (Y = 0)
n = Jumlah total sampel
2. Goodness of Fit (R2)
Uji R2 digunakan untuk mengetahui model regresi logistik yang dibentuk
sesuai dengan data yang ada atau tidak secara siginifikan. Ukuran R2 pada
penelitian ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel regressand (Y)
dapat dijelaskan oleh regressor (X). dijelaskan dengan berapa persen variabel
dependen mampu dijelaskan oleh variabel independen yang dimasukkan dalam
model regresi logistik.
64
3. Uji Signifikansi Tiap Parameter (Uji Wald)
H0 : βj = 0 untuk suatu j tertentu; j = 0, 1, …, p
H1 : βj ≠ 0
Nilai statistik wald merupakan hasil analisa regresi logistik dengan Chi-
square dengan derajat bebas (df) = 1 dan taraf signifikan (α) = 95% atau 0,05.
Variabel independen dilakukan pengujian terhadap parameter (koefisien) yang
ada, kemudian dilihat apakah estimasi parameter dari masing-masing variabel
independen layak dimasukkan ke dalam persamaan atau tidak.
4. Interpretasi Model atau Parameter
Ukuran yang digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan
peubah terikat dalam model logit adalah nilai odds ratio. Nilai tersebut didapat
dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (Li). Odds ratio
didefinisikan sebagai: (
) atau exp (Li), dimana P menyatakan peluang
terjadinya (Y = 1), yaitu bila petani memanfaatkan program SRG dan 1-P
menyatakan peluang tidak terjadinya peristiwa (Y = 0) yaitu bila petani tidak
memanfaatkan program SRG.
5. Uji Tingkat Signifikansi
Pengujian tingkat signifikansi pada penelitian ini digunakan untuk mengkaji
koefisien dari regresi logistik dan untuk melihat angka signifikansi. Pengujian
hipotesis dilakukan dengan cara membandingkan tingkat signifikansi dengan nilai
α yang ditetapkan, yaitu α = 0,05. Sehingga pengambilan keputusan yang
digunakan adalah nilai signifikansi secara statistik pada masing-masing variabel
independen dengan α sama dengan tingkat signifikansi yang dipakai, yaitu:
a. Jika signifikansi < α, maka variabel independen berpengaruh nyata terhadap
variabel dependen.
b. Jika signifikansi > α, maka variabel independen tidak berpengaruh nyata
terhadap variabel dependen.
65
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
5.1.1 Letak Geografis
Kabupaten Cianjur secara geografis terletak pada koordinat 1060
42’–1070
25 Bujur Timur dan 60 21’–7
0 25’ Lintang Selatan dengan ketinggian 7 – 2.962 m
dpl dan memiliki kemiringan 0 – 40%. Batas-batas wilayah daerah meliputi:
a) Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta
b) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Garut
c) Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia
d) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor.
Kabupaten Cianjur memiliki luas wilayah 361.434,98 Ha yang terdiri dari
32 kecamatan yang terbagi menjadi 354 desa dan 6 kelurahan yang mencakup
2.748 RW dan 10.483 RT (data lengkap dapat dilihat pada lampiran). Wilayah
Kabupaten Cianjur terbagi ke dalam tiga bagian yang terdiri dari wilayah Cianjur
Utara, Cianjur Tengah, dan Cianjur Selatan. Wilayah Cianjur Utara yang
merupakan dataran tinggi terletak di kaki gunung Gede dengan titik tertinggi pada
ketinggian 2.962 m dpl. Wilayah Cianjur Utara meliputi daerah Puncak dengan
ketinggian 1.450 m dpl, kecamatan Cipanas dan Pacet dengan ketinggian sekitar
1.110 m dpl serta kecamatan Cianjur dengan ketinggian sekitar 450 m dpl.
Wilayah Cianjur Tengah meliputi daerah perbukitan, dataran rendah
(persawahan), dan daerah perkebunan. Wilayah Cianjur Selatan merupakan
daerah dataran rendah dan terdapat daerah yang dikelilingi perbukitan.
Sementara itu, desa Jambudipa yang dijadikan lokasi penelitian berada di
wilayah Cianjur Utara dengan ketinggian wilayah antara 542 – 648 mdpl dan
tingkat kemiringan berkisar 0 – 7,4% dengan kemiringan rata-rata 4,3%. Secara
umum, desa Jambudipa beriklim tropis lembab dengan suhu udara
66
minimum rata-rata 21 derajat yang biasanya terjadi pada bulan Maret hingga
April, sedangkan suhu maksimal rata-rata adalah 31 derajat yang biasanya terjadi
pada bulan Oktober hingga November dengan kelembaban nisbi berkisar antara
80-90%. Pada bulan November hingga Maret, angin bertiup ke arah tenggara yang
biasanya berkaitan dengan musim kemarau. Adapun puncak musim kemarau
terjadi pada bulan Agustus, sedangkan puncak musim hujan terjadi pada bulan
Desember hingga Januari.
Lokasi desa Jambudipa berada sekitar ± 9 Km dari pusat Kabupaten Cianjur
dan ± 74 Km dari Kota Bandung. Berdasarkan data RPJMDes Jambudipa (2016),
luas lahan di desa Jambudipa adalah 167,6 hektar. Secara administrasi
pemerintahan, desa Jambudipa merupakan bagian dari 11 desa di kecamatan
Warungkondang. Jumlah dusun yang berada di desa Jambudipa sebanyak 3 dusun
dan mencakup 8 Rukun Warga (RW) dan 40 Rukun Tetangga (RT).
5.1.2 Keadaan Penduduk
1. Jumlah Penduduk
Penduduk merupakan salah satu unsur pada suatu wilayah yang menjadi
penggerak aktivitas dan kelangsungan hidup. Aspek kependudukan menjadi salah
satu faktor penting yang sangat memengaruhi perkembangan di suatu daerah.
Perkembangan dan kondisi penduduk suatu wilayah atau kawasan perencanaan
sangat vital karena merupakan suatu objek sekaligus subjek pembangunan secara
keseluruhan.
Pada tahun 2015, jumlah penduduk di Kabupaten Cianjur mencapai
2.243.904 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.155.177 jiwa dan
perempuan sebanyak 1.088.727 jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduk sebesar
621 jiwa/Km2. Sementara itu sex ratio di Kabupaten Cianjur sebesar 106,10.
Angka tersebut menunjukan bahwa terdapat 106 penduduk laki-laki pada setiap
100 penduduk perempuan. Jumlah penduduk terbanyak berada di kecamatan
Cianjur yaitu 163.828 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 6.266 jiwa/Km2
dan penduduk yang paling sedikit berada di kecamatan Campakamulya yaitu
24.211 jiwa dengan kepadatan penduduk sebanyak 326 jiwa/Km2.
67
Sementara itu, berdasarkan data BPS Kabupaten Cianjur (2016), tahun 2015
jumlah penduduk desa Jambudipa sebanyak 8.346 jiwa dengan kepadatan
penduduk sekitar 4.979 jiwa/ Km2. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4.323
jiwa dan perempuan sebanyak 4.023 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga
sebanyak 2.402. Sedangkan tingkat sex ratio adalah sebesar 107. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat 107 penduduk laki-laki pada setiap 100 penduduk
perempuan.
2. Keadaan Penduduk Menurut Umur
Keadaan penduduk menurut umur dikelompokkan menjadi tiga kelompok
usia. Usia belum produktif (0-14 tahun), usia produktif (15-64 tahun), dan usia
non produktif (65 tahun keatas). Jumlah penduduk menurut umur di Kabupaten
Cianjur tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kabupaten Cianjur Tahun 2015
Kelompok Umur
(tahun)
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
0 – 4 217.238 9,68
5 – 9 215.579 9,61
10 – 14 220.772 9,84
15 – 19 202.040 9,00
20 – 24 180.729 8,05
25 – 29 163.972 7,31
30 – 34 158.508 7,06
35 – 39 168.311 7,50
40 – 44 156.157 6,96
45 – 49 146.901 6,55
50 – 54 122.467 5,46
55 – 59 96.862 4,32
60 – 64 70.343 3,13
65 – 69 49.141 2,19
70 – 74 35.524 1,58
75 + 39.360 1,75
Tahun 2015 2.243.904 100,00
Sumber: Kabupaten Cianjur dalam Angka 2016
Berdasarkan data jumlah penduduk menurut umur di Kabupaten Cianjur
tahun 2015, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk terbanyak adalah kelompok
68
umur 10-14 tahun yaitu sebanyak 220.772 jiwa (9,84%). Sedangkan jumlah
penduduk yang paling sedikit adalah kelompok umur 70-74 tahun dengan jumlah
35.524 jiwa (1,58%). Sementara itu, jumlah penduduk usia produktif tahun 2015
sebanyak 1.466.290 jiwa dan jumlah penduduk usia belum produktif dan non
produktif sebanyak 777.614 jiwa.
Jumlah penduduk dari masing-masing kelompok umur dapat diketahui rasio
ketergantungan (dependency ratio). Rasio ketergantungan (dependency ratio)
adalah perbandingan jumlah penduduk tidak produktif (belum produktif dan non
produktif) dengan jumlah penduduk produktif selama setahun. Persentase rasio
ketergantungan di Kabupaten Cianjur tahun 2015 sebesar 53,03%. Hal tersebut
menunjukan bahwa setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 53 penduduk
usia non produktif.
Sementara itu, keadaan penduduk menurut umur di desa Jambudipa tahun
2015 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Desa Jambudipa Tahun 2015
Kelompok Umur
(tahun)
Laki-laki
(jiwa)
Perempuan
(jiwa)
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
0 – 4 624 555 1.179 14,13
5 – 9 590 521 1.111 13,31
10 – 14 563 517 1.080 12,94
15 – 19 469 447 916 10,98
20 – 24 403 373 776 9,30
25 – 29 311 304 615 7,37
30 – 34 263 282 545 6,53
35 – 39 237 229 466 5,58
40 – 44 197 177 374 4,48
45 – 49 182 163 345 4,13
50 – 54 178 138 316 3,79
55 – 59 135 110 245 2,94
60 + 171 207 378 4,53
Total 4.323 4.023 8.346 100,00
Sumber: BPS, Kecamatan Warungkondang dalam Angka 2016
Berdasarkan data pada Tabel 7, struktur usia non produktif (0-14 tahun) di
dominasi kelompok usia 0-4 tahun sebanyak 1.179 jiwa, kelompok usia produktif
(15-64 tahun) di dominasi oleh kelompok usia 15-19 tahun sebanyak 916 jiwa.
69
3. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia untuk menuju
masyarakat yang cerdas dan sejahtera. Pendidikan menjadi salah satu indikator
kemajuan masyarakat. Pemerataan pendidikan di daerah sangat diperlukan untuk
meningkatkan potensi suatu daerah. Tingkat pendidikan di suatu daerah dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kesadaran akan pentingnya pendidikan
dan keadaan sosial ekonomi serta ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan
yang ada. Jumlah sarana pendidikan di Kabupaten Cianjur tahun 2015 dapat
dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah Sarana Pendidikan di Kabupaten Cianjur Tahun 2015
No Tingkat Pendidikan Jumlah
(unit)
Persentase
(%)
1 Pendidikan Anak Usia Dini
(TK/RA/KB/TPA) 1.889 46,07
2 Sekolah Dasar (SD) 1.254 30,59
3 Madrasah Ibtidaiyah (MI) 224 5,46
4 Sekolah Menengah Pertama (SMP) 270 6,59
5 Madrasah Tsanawiyah (MTs) 135 3,29
6 Sekolah Menengah Atas (SMA) /
Madrasah Aliyah (MA) 144 3,51
7 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 170 4,15
8 Sekolah Luar Biasa (SLB) 9 0,22
9 Akademi 1 0,02
10 Sekolah Tinggi dan Universitas 4 0,10
Jumlah 4.100 100,00
Sumber: BPS, Kabupaten Cianjur dalam Angka 2016
Berdasarkan data pada Tabel 8, jumlah sarana pendidikan di Kabupaten
Cianjur mencapai 4.100 unit. Jumlah tersebut terbagi menjadi pendidikan negeri
dan swasta. Tingkat pendidikan usia dini memiliki jumlah sarana terbanyak, yaitu
sebanyak 1.889 unit, sedangkan tingkat pendidikan akademi hanya terdapat satu
unit saja. Ketersediaan sarana pendidikan yang baik harus diikuti juga dengan
peningkatan kualitas pendidikan dan partisipasi masyarakat terhadap pentingnya
pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur (2016),
Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Kabupaten Cianjur tahun 2015 pada kategori
usia 7 – 12 tahun berjumlah 99,13%, usia 13 – 15 tahun berjumlah 90,96%, dan
70
usia 16 – 18 tahun berjumlah 61,36%. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi
penurunan persentase Angka Partisipasi Sekolah (APS) pada kategori usia 13 – 15
tahun dan usia 16 – 18 tahun. Hal tersebut dapat diindikasikan bahwa partisipasi
masyarakat untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi masih rendah. Kondisi
tersebut didukung dengan data keadaan penduduk menurut tingkat pendidikan.
Keadaan penduduk di Kabupaten Cianjur menurut tingkat pendidikan pada tahun
2015 dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Cianjur
Tahun 2015
No Tingkat Pendidikan Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
1 Tidak / belum pernah sekolah
Tidak / belum tamat SD 112.829 11,75
2 SD / MI 474.019 49,37
3 SMP / MTs 170.374 17,74
4 SMA / MA 142.321 14,82
5 Perguruan Tinggi 60.623 6,31
Jumlah 960.166 100,00
Sumber: BPS, Kabupaten Cianjur dalam Angka 2016
Berdasarkan data pada Tabel 9, keadaan penduduk menurut tingkat
pendidikan di Kabupaten Cianjur tahun 2015 di dominasi pada jenjang sekolah
dasar (SD) dengan jumlah 474.019 jiwa (49,37%), sedangkan penduduk yang
mencapai jenjang pendidikan tingkat perguruan tinggi hanya berjumlah 60.623
jiwa (6,31%). Data tersebut juga menunjukkan bahwa terjadi penurunan
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga
perguruan tinggi. Penurunan pasrtisipasi masyarakat terhadap pendidikan yang
paling signifikan terjadi pada jenjang sekolah dasar ke sekolah menengah
pertama. Penurunan yang terjadi sebanyak 303.645 jiwa. Sedangkan penurunan
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan dari jenjang sekolah menengah atas ke
perguruan tinggi sebesar 81.698 jiwa. Selain itu, jumlah penduduk yang tidak/
belum pernah sekolah dan tidak/ belum tamat SD sebanyak 112.829 jiwa atau
sebesar 11,75%.
71
Sementara itu, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
Jambudipa (RPJMDes) tahun 2016, potensi sumber daya manusia yang ada di
desa Jambudipa menurut tingkat pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Jambudipa
Tahun 2015
No Tingkat Pendidikan Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%) Keterangan
1 Tidak tamat SD 652 13,60 Usia 45 tahun keatas
2 Tamat SD 1.882 39,26 -
3 Tamat SLTP 1.150 23,99 Termasuk kejar paket B
4 Tamat SLTA 763 15,92 Termasuk kejar paket C
5 Tamat Perguruan Tinggi 347 7,24 Diploma, S1, dan S2
Total 4794 100,00
Sumber: RPJMDes Jambudipa 2016
Berdasarkan data pada Tabel 10, keadaan penduduk menurut tingkat
pendidikan formal di desa Jambudipa tahun 2015 di dominasi oleh penduduk
tamat SD yaitu sebanyak 1.882 jiwa. Sedangkan tingkat pendidikan yang paling
sedikit adalah tamat perguruan tinggi, yaitu hanya sebanyak 347 jiwa. Selain itu,
jumlah penduduk yang tidak tamat SD sebanyak 652 jiwa dan di dominasi oleh
penduduk dengan usia 45 tahun keatas. Data tersebut juga menunjukkan adanya
penurunan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan formal. Penurunan
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan formal yang paling banyak terjadi
pada tingkat pendidikan SD ke SLTP. Penurunan yang terjadi sebanyak 732 jiwa.
Kemudian pada tingkat pendidikan dari SLTA ke Perguran Tinggi terjadi
penurunan sebesar 421 jiwa dan dari SLTP ke SLTA sebanyak 382 jiwa.
4. Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk di suatu daerah dipengaruhi oleh sumber daya
yang tersedia dan kondisi sosial ekonomi seperti keterampilan yang dimiliki,
tingkat pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan modal yang tersedia.
Keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Kabupaten Cianjur dapat dilihat
pada Tabel 11.
72
Tabel 11. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan
Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin Tahun 2015
Lapangan Pekerjaan
Utama
Jenis Kelamin Jumlah
Persentase
(%) Laki-laki Perempuan
Pertanian, Kehutanan,
Perburuan, dan Perikanan 226.430 84.177 310.607 35,97
Industri Pengolahan 34.455 43.646 78.101 9,04
Perdagangan Besar, Eceran,
Rumah Makan, dan Hotel 158.062 83.320 241.382 27,95
Jasa Kemasyarakatan 64.033 34.526 98.559 11,41
Lainnya (Pertambangan dan
Penggalian, Listrik, Gas dan
Air, Bangunan, Angkutan,
Pergudangan, dan
Komunikasi, Keuangan,
Asuransi, Usaha Persewaan
Bangunan, Tanah dan Jasa
Perusahaan
128.624 6.319 134.943 15,63
Tahun 2015 611.604 251.988 836.592 100,00
Sumber: BPS, Kabupaten Cianjur dalam Angka 2016
Berdasarakan data pada Tabel 11, mata pencaharian atau lapangan pekerjaan
utama di Kabupaten Cianjur tahun 2015 yang paling banyak adalah sektor
pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan yaitu sebanyak 310.607 jiwa
(35,97%) dan mata pencaharian yang paling sedikit adalah sektor industri
pengolahan yaitu sebanyak 78.101 jiwa (9,04%). Selaras dengan hal tersebut,
mata pencaharian di sektor pertanian juga mendominasi sebagian besar mata
pencaharian penduduk di desa Jambudipa. Berdasarkan data RPJMDes Jambudipa
(2016), pada tahun 2015 keadaan penduduk menurut mata pencaharian di desa
Jambudipa dapat dilihat pada Tabel 12.
73
Tabel 12. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Jambudipa
Tahun 2015
No Mata Pencaharian Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
1 Pertanian 998 53,57
2 Perdagangan 187 10,04
3 Industri 307 16,48
4 Jasa 196 10,52
5 Lain-lain 285 15,30
Jumlah 1.863 100,00
Sumber: RPJMDes Jambudipa 2016
Berdasarkan data pada Tabel 12, mata pencaharian yang paling banyak
adalah sektor pertanian dengan jumlah 998 jiwa (53,57%). Sedangkan mata
pencaharian yang paling sedikit adalah sektor perdagangan dengan jumlah 187
jiwa (10,04%). Sektor pertanian menjadi mata pencaharian sebagian besar
penduduk di desa Jambudipa, dimana terdapat 417 keluarga yang bekerja di sektor
pertanian atau sekitar 17,36 persen dari jumlah kepala keluarga. Kegiatan
pertanian yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat di desa Jambudipa
memberikan kontribusi sebesar 76,31 persen dari total pemanfaatan lahan yang
ada di desa.
5.2 Karakteristik Petani Responden
Keadaan petani responden di lokasi penelitian memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Pada penelitian ini karakteristik petani responden dikategorikan
berdasarkan jenis kelamin, kelompok umur, tingkat pendidikan, dan luas lahan.
1. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan jumlah petani berdasakan jenis
kelamin antara petani konvensional dengan petani SRG memiliki jumlah yang
berbeda. Jumlah petani responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada
Tabel 13.
74
Tabel 13. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Petani Konvensional Petani SRG
Jenis Kelamin Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%) Jenis Kelamin
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
Laki-laki 66 92,96 Laki-laki 19 54,29
Perempuan 5 7,04 Perempuan 16 45,71
Total 71 100,00 Total 35 100,00
Sumber: Data primer (diolah), 2017
Berdasarkan data pada Tabel 13, jumlah petani berdasarkan jenis kelamin
dikelompokkan menjadi dua, yaitu petani konvensional (non SRG) dan petani
SRG. Secara keseluruhan, jumlah petani responden di dominasi oleh laki-laki.
Dari total petani responden sebanyak 106 orang, terdapat 85 petani berjenis
kelamin laki-laki dan 21 petani berjenis kelamin perempuan. Pada kelompok
petani konvensional terdapat 66 petani laki-laki dan 5 petani perempuan.
Sedangkan pada kelompok petani SRG jumlah petani laki-laki sebanyak 19 orang
dan petani perempuan sebanyak 16 orang.
2. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Umur
Umur petani responden merupakan usia petani responden pada saat
dilakukan penelitian, yang dinyatakan dalam satuan tahun. Umur petani berkaitan
dengan pengalaman dan kematangan petani dalam melaksanakan usahataninya.
Umur petani akan memengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal
baru dalam menjalankan usahataninya. Ada kecenderungan bahwa petani muda
lebih cepat mengadopsi suatu inovasi karena mereka mempunyai semangat untuk
mengetahui apa yang belum mereka tahu. Jumlah petani responden berdasarkan
umur dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 141. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Umur
Petani Konvensional Petani SRG
Umur
(tahun)
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
Umur
(tahun)
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
< 40 1 1,41 < 40 0 0,00
40 – 49 17 23,94 40 – 49 13 37,14
50 – 59 29 40,85 50 – 59 20 57,14
60 – 69 20 28,17 60 – 69 2 5,71
> 70 4 5,63 > 70 0 0,00
Total 71 100,00 Total 35 100,00
Sumber: Data primer (diolah), 2017
75
Berdasarkan data pada Tabel 14, umur yang paling mendominasi di
kelompok petani konvensional dan petani SRG adalah umur 50 hingga 59 tahun.
Pada petani konvensional, jumlah petani kategori umur 50 – 59 tahun ada 29
orang, sedangkan pada petani SRG kategori umur 50 – 59 tahun ada 20 orang.
Karakteristik petani responden berdasarkan umur didominasi oleh petani yang
sudah berusia lanjut. Hal tersebut terjadi karena usahtani padi telah dilakukan
secara turun menurun. Selain itu, regenerasi di bidang pertanian sangat rendah,
sehingga lebih banyak petani yang berusia lanjut yang melakukan usahatani padi.
3. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan proses yang perlu dilalui seseorang dalam rangka
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Proses peningkatan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap ini bisa ditempuh melalui pendidikan
informal, pendidikan formal, dan pendidikan non formal. Tingkat pendidikan akan
memengaruhi pola pikir seseorang dalam menghadapi sesuatu. Tingkat
pendidikan petani responden di desa Jambudiapa dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Petani Konvensional Petani SRG
Tingkat
Pendidikan
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
Tingkat
Pendidikan
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
SD 36 50,70 SD 7 20,00
SLTP 18 25,35 SLTP 8 22,86
SLTA 17 23,94 SLTA 18 51,43
Perguruan
Tinggi 0 0,00
Perguruan
Tinggi 2 5,71
Total 71 100,00 Total 35 100,00
Sumber: Data primer (diolah), 2017
Berdasarkan data pada Tabel 15, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
formal pada petani konvensional paling banyak didominasi petani lulusan sekolah
dasar dan tidak ada petani yang lulus dari jenjang perguruan tinggi. Sementara itu,
pada petani SRG tingkat pendidikan yang paling banyak didominasi petani
lulusan sekolah menengah atas. Pada jenjang perguruan tinggi hanya terdapat dua
orang petani.
76
4. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Kepemilikan Profesi di Bidang
Non Usahatani
Pada penelitian ini, petani responden menjadikan usahatani padi sebagai
pekerjaan utama. Namun, terdapat beberapa petani yang memiliki pekerjaan lain
di bidang non usahatani padi. Jumlah petani responden yang memiliki profesi di
bidang non usahatani dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kepemilikan Profesi Non
Usahatani
Petani Konvensional Petani SRG
Keterangan Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%) Keterangan
Jumlah
(jiwa)
Persentase
%
Memiliki
profesi non
usahatani
17 23,94
Memiliki
profesi non
usahatani
19 54,29
Tidak memiliki
profesi non
usahatani
54 76,06
Tidak memiliki
profesi non
usahatani
16 45,71
Total 71 100,00 Total 35 100,00
Sumber: Data primer (diolah), 2017
Berdasarkan data pada Tabel 16, dapat diketahui bahwa petani responden
yang memiliki profesi di bidang non usahatani paling banyak terdapat pada petani
SRG. Jumlah petani SRG yang memiliki profesi di bidang non usahatani sebanyak
19 orang atau 54,29 persen dan yang tidak memiliki profesi di bidang non
usahatani sebanyak 16 orang atau 45,71 persen. Kondisi tersebut berbanding
terbalik dengan petani konvensional. Pada petani konvensional, petani yang
memiliki profesi di bidang non usahatani hanya berjumlah 17 orang atau 23,94
persen, sedangkan petani yang tidak memiliki pekerjaan di bidang non usahatani
sebanyak 54 orang atau 76,06 persen.
Petani responden di lokasi penelitian merupakan petani yang melakukan
usahatani padi sebagai pekerjaan utama. Terdapat beberapa petani yang hanya
melakukan usahatani padi saja, namun ada juga petani yang melakukan usahatani
padi dan memiliki pekerjaan lain selain melakukan usahatani padi. Pekerjaan di
bidang non usahatani yang dimiliki oleh petani responden berbeda-beda, antara
lain: berjualan sembako, ojek, konveksi, penggilingan padi, penggilingan tepung,
77
ternak ayam, dan lain sebagainya. Pekerjaan di bidang non usahatani biasanya
dilakukan bersama dengan anggota keluarga ataupun memperkejakan orang lain
untuk membantu mengurusi kegiatan non usahatani yang dimilikinya. Meskipun
demikian, petani tetap menjadikan usahatani padi sebagai sumber pendapatan
utama. Pekerjaan di bidang non usahatani dilakukan untuk menunjang kebutuhan
rumah tangga mereka dan sebagai alternatif jika suatu saat usahatani padi yang
dilakukan mengalami gagal panen atau kerugian.
5.3 Pemasaran Gabah di Kabupaten Cianjur
Pemasaran gabah di Kabupaten Cianjur secara umum masih banyak
dilakukan dengan sistem pemasaran langsung. Petani akan langsung menjual hasil
panennya kepada tengkulak atau pengepul. Sebelum atau saat kegiatan panen
sedang berlangsung, tengkulak atau pengepul akan melakukan tawar menawar
dengan petani untuk mendapatkan harga yang sesuai. Setelah petani dan tengkulak
menyetujui harga, maka tengkulak akan membayar langsung secara tunai. Rantai
pemasaran gabah di kabupaten Cianjur terdiri dari beberapa model pemasaran:
a. Rantai Pemasaran Gabah I
Gambar 3. Rantai Pemasaran Gabah I di Kabupaten Cianjur
Petani
Tengkulak
Pedagang Besar
Pasar Beras
Proses penggilingan
gabah
Menjual seluruh hasil
panen
78
Pola rantai pemasaran di Kabupaten Cianjur yang pertama adalah petani
menjual langsung seluruh gabah hasil panennya kepada tengkulak atau pengepul.
Para tengkulak biasanya sudah memiliki hubungan dengan petani karena sebagai
pembeli gabah tetap bagi petani. Tengkulak akan menjual hasil pembelian gabah
dari petani kepada pedagang besar yang berada di tingkat kecamatan. Pedagang
besar memiliki alat penggilingan padi sehingga gabah dari para tengkulak bisa
langsung digiling dan dijual dalam bentuk beras.
b. Rantai pemasaran gabah II
Gambar 5. Rantai Pemasaran Gabah II di Kabupaten Cianjur
Pola rantai pemasaran di Kabupaten Cianjur yang kedua biasanya dilakukan
oleh petani dengan hasil panen yang banyak. Petani menjual sebagian gabah hasil
usahataninya dan sebagian lagi disimpan sebagai persediaan untuk kebutuhan rumah
tangga petani selama periode musim tanam berlangsung. Penjualan biasanya langsung
ke pedagang besar yang kemudian akan di giling dan akan dijual dalam bentuk beras.
Petani
Disimpan sebagian
Pedagang Besar
Pasar Beras
Proses penggilingan
gabah
Menjual sebagian hasil
panen
79
5.4 Profil Koperasi Niaga Mukti
Pada tahun 2009 gudang komoditi program Sistem Resi Gudang di
Kabupaten Cianjur mulai didirikan dan di tahun 2011 mulai beroperasi serta telah
menerbitkan resi gudang yang mulai dikelola oleh PT. Pertani. Pada tahun 2013,
program SRG di Kabupaten Cianjur yang semula dikelola PT. Pertani kemudian
digantikan oleh Koperasi Niaga Mukti. Pada tanggal 18 Juni 2013 secara resmi
Koperasi Niaga Mukti menjadi pengelola gudang SRG di Kabupaten Cianjur
menggantikan PT. Pertani. Struktur organisasi Koperasi Niaga Mukti sebagai
pengelola gudang dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Organisasi Koperasi Niaga Mukti
Koperasi Niaga Mukti menjadi koperasi yang pertama diberikan untuk
mengelola program SRG oleh Bappebti. Besarnya potensi yang ada di Kabupaten
Cianjur membuat pengelola gudang optimis bisa mengelola gudang SRG dengan
baik. Hal tersebut dibuktikan dengan kinerja pengelola gudang SRG di Kabupaten
Cianjur yang terus meningkat dan bisa memaksimalkan gudang penyimpanan.
Pimpinan Pengelola
Gudang
Mandor TKBM
Kepala Gudang
Petugas Lapangan Administrasi Gudang
Tenaga Keamanan
Tenaga Kebersihan
80
Kinerja pengelolaan gudang yang dinilai baik oleh Bappebti tidak terlepas
dari peran yang dilakukan oleh para petugas pengelola gudang. Peran yang paling
berpengaruh adalah pada kepala gudang. Kepala gudang dijabat oleh bapak Nana
Sukatna. Beliau juga menjabat sebagai manajer gudang SRG di Kabupaten
Cianjur. Beliau memiliki andil yang cukup besar dalam kemajuan program SRG
di Kabupaten Cianjur. Latar belakang pekerjaan yang dimiliki sebagai petani
menjadi modal besar bagi bapak Nana untuk bisa memberikan pengaruh kepada
petani sekitar untuk bisa memanfaatkan program Sistem Resi Gudang.
Pelakasanaan program SRG di Kabupaten Cianjur yang dianggap berhasil
dibandingkan dengan daerah lain tidak terlepas dari kebijakan yang diberlakukan
oleh pengelola gudang. Pengelola gudang menetapkan Standar Operasional
Prosedur (SOP) dalam mengelola aktivitas pergudangan. Berikut Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang ditetapakan oleh Koperasi Niaga Mukti untuk
pengelolaan gudang SRG:
1. Pengelola gudang wajib membuat laporan bulanan, triwulan, dan tahunan.
2. Laporan bulanan mutasi stock wajib disampaikan kepada pengurus Koperasi
Niaga Mukti paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal periode laporan
berakhir.
3. Setiap menerbitkan resi gudang, pengelola gudang wajib melaporkan
penerbitan resi gudang yang dimaksud.
4. Pengelola gudang boleh mengeluarkan komoditas (gabah) di gudang apabila
resi gudang aslinya sudah diterima oleh pengelola gudang untuk pengeluaran
komoditas (gabah) seluruhnya.
5. Pengelola gudang boleh mengeluarkan komoditas (gabah) sebagian ataupun
dicicil sesuai dengan slip penyetoran ke bank BJB dan sudah dikonfirmasikan
terlebih dahulu oleh pengelola gudang dengan bank BJB
6. Pengurus Koperasi Niaga Mukti melakukan supervisi administrasi pengelola
gudang tiap tiga bulan sekali.
81
5.5 Hasil dan Pembahasan
5.5.1 Kinerja Pengelolaan Program Sistem Resi Gudang
Program Sistem Resi Gudang (SRG) di Kabupaten Cianjur telah diterapkan
mulai tahun 2011. Pada tahun 2011 gudang SRG di Kabupaten Cianjur dikelola
oleh PT. Pertani dan di tahun 2013 gudang SRG resmi dikelola oleh Koperasi
Niaga Mukti. Pengelolaan gudang SRG yang dikelola oleh Koperasi Niaga Mukti
sudah cukup baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya jumlah resi gudang
yang diterbitkan. Hingga tahun 2016, jumlah resi gudang yang diterbitkan
sebanyak 2.106 buah dengan jumlah gabah sebanyak 71.711,36 ton. Jika
dibandingkan dengan daerah lain yang telah menerapkan program SRG,
Kabupaten Cianjur dianggap telah berhasil dan mampu menerapkan program
tersebut. Namun pada penerapannya, Koperasi Niaga Mukti masih memiliki
beberapa kendala sehingga implementasinya belum sesuai dengan yang
diharapkan.
Pada penelitian ini, peneliti memberikan analisa mengenai kinerja program
SRG yang telah diterapkan di Koperasi Niaga Mukti. Analisis kinerja program
SRG dilakukan dengan cara membandingkan antara harapan petani sebelum
memanfaatkan program SRG dengan kondisi saat ini. Hasil dari analisis tersebut
akan menunjukkan ada tidaknya kesenjangan antara harapan petani dengan
kondisi saat ini. Analisis kinerja program SRG ini dilakukan dengan metode gap
analysis dan menggunakan 6 variabel, yaitu uji mutu gabah, akses pasar dan
jaminan resi gudang, peserta program SRG, fasilitas gudang SRG, sosialisasi, dan
pengawasan Bappbebti. Hasil dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 17.
82
Tabel 17. Hasil Analisis Kesenjangan dalam Pengelolaan Gudang SRG di Kabupaten Cianjur
Variabel Kondisi yang diharapkan Kondisi saat ini Degree of fit Keterangan
Uji mutu gabah
Uji mutu gabah mengacu
pada prosedur SNI 01-0224-
1987.
Prosedur pengujian sampel
gabah dan beras sesuai
dengan prosedur SNI 01-
0224-1987
Fit
G = -1,33
Pengujian mutu gabah dilakukan oleh
Ujastasma Bulog Divre Cianjur.
Pengelola gudang hanya akan
menerima gabah sesuai dengan
prosedur SNI 01-0224-1987 sebelum
disimpan di gudang SRG.
Akses pasar dan
jaminan resi gudang
Pengelola gudang memberi-
kan akses pasar komoditas
dan kemudahan menjaminkan
resi gudang sesuai dengan
Peraturan Kepala Bappebti
Nomor 09/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2008 tentang Pedoman
Teknis Penjaminan Resi
Gudang.
Pengelola gudang memberi-
kan akses pemasaran kepada
para petani dan membantu
petani dalam menjaminkan
resi gudang ke bank
Fit
G = -1,75
Pengelola gudang selalu memberikan
kemudahan untuk membantu petani
dalam mengurus peminjaman kredit
dengan jaminan resi gudang dan
memberikan kemudahan dalam
menjual gabah atau beras yang
disimpan di gudang SRG.
Peserta SRG
Peserta SRG meliputi petani,
kelompok tani, gapoktan, dan
koperasi sesuai dengan
Permendag Nomor 66/M-
DAG/PER/12/2009.
Petani, kelompok tani, dan
koperasi
Partial
G = 0
Peserta SRG mencakup petani,
kelompok tani dan koperasi. Namun di
beberapa kondisi, pengelola gudang
bersedia melayani dan menerima gabah
atau beras dari tengkulak atau
pedagang besar untuk di resi
gudangkan di gudang SRG.
83
Lanjutan Tabel 17. Hasil Analisis Kesenjangan dalam Pengelolaan Gudang SRG di Kabupaten Cianjur
Variabel Kondisi yang diharapkan Kondisi saat ini Degree of fit Keterangan
Fasilitas gudang
SRG
Fasilitas gudang SRG
mengacu pada SNI 7331:
2016.
Fasilitas gudang yang dikelola
oleh koperasi Niaga Mukti
telah sesuai dengan SNI 7331:
2016
Fit
G = -1,67
Fasilitas gudang SRG di Kabupaten
Cianjur merupakan gudang yang telah
sesuai dengan SNI 7331:2016 dan
tergolong ke dalam kelas A.
Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan di setiap
wilayah yang terdapat gudang
SRG dan dilakukan men-
jelang musim panen sesuai
dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Program
Sistem Resi Gudang.
Sosialisasi hanya dilakukan
oleh pengelola gudang
melalui pendekatan kepada
individu petani dan biasanya
dilakukan sebelum musim
panen
Gap
G = 33,20
Sosialisasi secara serentak belum
pernah dilakukan oleh Bappebti
maupun pengelola gudang kepada
petani, kelompok tani, gapoktan, dan
koperasi. Sosialisasi yang dilakukan
terbatas pada pendekatan persuatif ke
masing-masing individu petani dan
biasanya hanya dilakukan oleh manajer
gudang sebelum musim panen tiba.
Pengawasan
Bappebti
Badan pengawas berwenang
untuk melakukan pemeriksa-
an terhadap setiap pihak yang
diberikan persetujuan apabila
di duga melakukan pelanggar-
an sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun
2007 tentang Pelaksanaan
Program Sistem Resi Gudang.
Pengawasan Bappebti tidak
dilakukan secara masif,
namun masih terbatas pada
pengawasan secara admini-
stratif
Gap
G = 10,5
Pengawasan Bappebti hanya mencakup
pada pengawasan secara administratif
dan tidak terlibat dalam pengawasan
langsung di lapang. Kurangnya
sumberdaya manusia menjadi salah
satu kendala dalam pengawasan
implementasi program SRG di lapang.
Sumber: Data primer (diolah), 2017
84
Berdasarkan perhitungan analisis kesenjangan (gap analysis) pada Tabel 17,
dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan program SRG di Kabupaten Cianjur
masih terdapat kekurangan dan kendala (tidak sesuai harapan). Penjelasan dari
masing-masing variabel pada hasil analisis kesenjangan (gap analysis) adalah
sebagai berikut:
A. Uji Mutu Gabah
Berdasarkan data pada hasil Tabel 17, variabel uji mutu gabah memiliki nilai
kesenjangan sebesar -1,33 (G < 0). Nilai tersebut dikategorikan ke dalam kondisi
fit, artinya kualitas pengujian mutu gabah yang diharapkan petani lebih rendah
daripada kualitas pelayanan uji mutu gabah yang diterima oleh peserta SRG,
sehingga pengelola gudang SRG yang bekerja sama dengan Ujastasma Bulog
Divre Cianjur dianggap telah berhasil memberikan pelayanan yang baik kepada
peserta SRG dalam melakukan uji mutu gabah.
Mutu gabah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi sebelum barang
masuk gudang karena standar mutu yang dipenuhi akan menentukan ketahanan
gabah selama penyimpanan. Mutu gabah juga digunakan sebagai dasar dalam
menentukan nilai dari resi gudang yang diterbitkan. Selain itu, menurut Mahanta
(2012) kunci kepercayaan pihak bank dalam memberikan kredit kepada peserta
SRG adalah terjaminnya kesesuaian antara kuantitas dan kualitas barang yang
disimpan di gudang dengan keterangan yang tercantum dalam dokumen resi
gudang. Oleh karena itu, tahap pengujian mutu barang merupakan tahapan penting
dalam penyelenggaraan SRG. Risiko yang akan ditanggung oleh pengelola
gudang maupun LPK (Lembaga Penilaian Kesesuaian) apabila terjadi kerusakan
barang adalah mengganti barang dengan kualitas dan jumlah yang sama atau uang
sejumlah harga beli barang sesuai dengan harga pasar.
Pada pelaksanaannya, uji mutu gabah dilakukan oleh Ujastasma Bulog
Divre Cianjur. Uji mutu gabah mengacu pada prosedur SNI 01-0224-1987.
Pengujian mutu gabah dilakukan ketika petani akan menyimpan gabahnya di
gudang SRG. Pengujian dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
85
1) Petugas mengambil contoh atau sampel gabah dari karung-karung gabah yang
diambil secara acak. Pengambilan sampel minimal sebanyak 10 persen dari
jumlah karung gabah yang akan disimpan.
2) Setiap karung gabah yang dijadikan sampel kemudian isinya diambil secara
acak mulai dari bagian atas, tengah, dan bawah kemudian dicampur rata.
Pengambilan sampel menggunakan alat sample mixer devider. Sampel diambil
sebanyak 0,5 – 1 kg dari masing-masing karung dan kemudian dicampur serta
diaduk merata dengan sampel dari karung yang lain untuk mendapatkan
sampel primer.
3) Sampel gabah yang di uji diperoleh dengan cara membagi sampel gabah
menggunakan sample mixer devider sampai memperoleh sampel uji sebanyak
125 gram.
Kegiatan uji mutu gabah membutuhkan waktu tidak lebih dari satu hari dan
hasil dari uji mutu gabah akan rilis maksimal tiga hari setelah sampel diambil.
Jika hasil sampel gabah sesuai dengan SNI 01-0224-1987, maka petani dapat
melengkapi syarat administrasi lainnya dengan pengelola gudang, namun jika
hasil uji mutu gabah tidak sesuai dengan ketentuan, maka gabah yang disimpan
akan diberi perlakuan hingga mendapatkan kualitas yang sesuai dengan SNI 01-
0224-1987.
Pada pengujian mutu gabah, faktor kadar air gabah menjadi hal yang
penting. Hasil kadar air gabah petani seringkali melebihi batas maksimal,
terutama saat musim hujan. Berdasarkan ketentuan SNI 01-0224-1987 kadar air
gabah maksimal adalah 14 persen, namun kadar air gabah petani bisa mencapai 15
hingga 16 persen. Jika kadar air gabah melebihi batas maksimal (> 14%) biasanya
pengelola gudang memberikan rekomendasi kepada petani untuk memberikan
perlakuan terhadap gabah yang akan disimpan dengan cara dikeringkan melalui
mesin dryer ataupun melalui proses penjemuran dengan sinar matahari. Sementara
itu, jika petani tetap ingin menyimpan gabahnya di gudang SRG, pengelola
gudang akan menerima gabah tersebut namun dengan memberikan pertimbangan
kepada pemilik barang untuk menyimpan dalam waktu yang lebih singkat dan
86
pengelola gudang tidak berani mengambil risiko apabila terjadi kerusakan pada
gabah akibat kadar air gabah yang tinggi.
B. Akses Pasar dan Jaminan Resi Gudang
Resi gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang
disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9 Tahun 2007 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum, resi gudang termasuk ke dalam jenis surat berharga. Resi gudang
banyak dimanfaatkan oleh petani sebagai jaminan ke bank untuk mendapatkan
pinjaman, namun resi gudang dapat juga diperjual-belikan di Pasar Lelang
Komoditi (PLK) untuk meciptakan efisiensi pemasaran.
Pada pelaksanaannya, seluruh petani yang telah memanfaatkan proram SRG
di Kabupaten Cianjur menjadikan resi gudang sebagai jaminan untuk
mendapatkan pinjaman dari bank. Di wilayah Kabupaten Cianjur, bank yang
bekerja sama dengan Bappebti adalah bank BJB. Berdasarkan Peraturan Kepala
Bappebti Nomor: 09/Bappebti/Per-SRG/7/2008 Tentang Pedoman Teknis
Penjaminan Resi Gudang, ada beberapa tahapan dalam menjaminkan resi gudang,
antara lain:
1) Calon penerima hak jaminan menyampaikan permohonan verifikasi resi
gudang yang akan dibebani hak jaminan kepada pusat registrasi.
2) Pusat registrasi melakukan verifikasi mengenai keabsahan resi gudang,
keabsahan pihak pemberi hak jaminan, jangka waktu resi gudang, nilai resi
gudang pada saat diterbitkan, dan telah atau belum dibebaninya hak jaminan
atas resi gudang.
3) Jika disetujui oleh pusat registrasi, maka pusat registasi memberitahukan
bahwa resi gudang tersebut dapat dijaminkan.
4) Pemberi dan penerima hak jaminan menandatangani perjanjian pembebanan
hak jaminan atas resi gudang.
5) Penerima penjaminan memberitahukan terjadinya penjaminan resi gudang
kepada pusat registrasi dan pengelola gudang dan melampirkan dokumen,
87
seperti: bukti konfirmasi resi gudang dapat dibebani hak jaminan dari pusat
registrasi, fotokopi perjanjian pembebanan hak jaminan atas resi gudang,
fotokopi resi gudang.
6) Pusat registrasi melakukan pemutakhiran status resi gudang dan mencatat
pembebanan hak jaminan ke dalam buku daftar pembebanan hak jaminan
7) Pusat registrasi mengirimkan bukti konfirmasi telah diterima dan telah
dilakukannya pencatatan pemberitahuan pembebanan hak jaminan.
8) Penerima hak jaminan bisa menjaminkan resi gudang ke bank
9) Pihak bank akan memverifikasi dokumen dan melakukan kesesuaian barang
dengan resi gudang.
10) Penerima hak jaminan dan pihak bank melakukan persetujuan
11) Pinjaman diterima oleh pemilik resi gudang dengan pembiayaan maksimal 70
persen dari nilai resi gudang
Di dalam pelaksanannya, petani sebagai pemilik resi gudang terkadang
kesulitan jika melakukan tahapan-tahapan diatas, namun pengelola gudang selalu
membantu pemilik resi gudang untuk menjaminkan resi gudangnya ke bank.
Penjaminan resi gudang di bank biasanya menghabiskan waktu paling lama tiga
hari, tetapi biasanya hanya perlu satu hingga dua hari kerja petani sudah bisa
mendapatkan pembiayaan melalui jaminan resi gudang.
Selain mendapatkan kemudahan dalam menjaminkan resi gudangnya, petani
juga di bantu dalam aspek pemasaran. Sebelum masa penyimpanan di gudang
SRG habis, pengelola gudang akan memberikan rekomendasi kepada petani
mengenai pihak yang bersedia untuk membeli gabahnya, namun biasanya
pengelola gudang sering didatangi langsung oleh pembeli untuk mencari dan
membeli stok gabah yang ada di gudang SRG. Melalui proses tersebut petani bisa
mendapatkan harga yang optimal.
C. Peserta Program SRG
Implementasi program SRG yang terjadi di Kabupaten Cianjur adalah
peserta program SRG meliputi petani, kelompok tani, dan koperasi. Jika peserta
SRG akan menyimpan hasil panennya, maka wajib memiliki surat keterangan
88
bekerja sebagai petani dari desa setempat. Surat keterangan tersebut berguna
untuk memastikan bahwa peserta SRG yang akan menyimpan gabahnya di
gudang SRG adalah benar-benar berprofesi sebagai petani. Petani yang akan
menyimpan hasil panennya bisa mengatasnamakan diri sendiri ataupun
menyimpan secara kolektif melalui kelompok tani atau koperasi. Petani yang
menyimpan gabahnya dengan mengatasnamakan diri sendiri biasanya memiliki
hasil panen yang besar, karena syarat minimal jumlah gabah yang disimpan
adalah 10 ton. Sementara itu, pada kelompok tani atau koperasi umumnya akan
mengumpulkan hasil panen secara kolektif dari masing-masing anggota kelompok
tani atau koperasi agar dapat memenuhi jumlah minimal penyimpanan di gudang
SRG. Hal tersebut dilakukan karena hasil panen tiap petani yang relatif sedikit.
Ketua kelompok tani atau ketua koperasi bertindak sebagai koordinator dan pihak
yang mewakili anggotanya untuk dapat memperoleh resi gudang.
Selain itu, peserta SRG yang telah memiliki resi gudang berhak
mendapatkan skema subsidi SRG (S-SRG). Adapun persyaratan yang harus
dipenuhi sesuai dengan Permendag Nomor 66/M-DAG/PER/12/2009 Pasal 5
menyebutkan bahwa petani yang akan menerima S-SRG harus berusia minimal 21
tahun dan/ atau sudah menikah yang menyerahkan persyaratan persyaratan kartu
identitas diri dan surat pernyataan bermaterai yang menyatakan sebagai petani dan
diketahui oleh kepala desa atau lurah setempat.
D. Fasilitas Gudang SRG
Fasilitas gudang SRG mengacu pada prosedur SNI 7331:2016 tentang
gudang pertanian (disajikan dalam lampiran) dan didasarkan pada Peraturan
Kepala Bappebti Nomor: 02/Bappebti/Per-SRG/7/2007 Tentang Persyaratan dan
Tata Cara untuk Memperoleh Persetujuan Sebagai Gudang dalam Sistem Resi
Gudang. Gudang SRG di Kabupaten Cianjur yang dikelola oleh Koperasi Niaga
Mukti berlokasi di Jalan Raya Cianjur-Sukabumi. Lokasi tersebut sangat strategis,
mengingat lokasi tersebut merupakan jalur penghubung utama Kabupaten Cianjur
dengan kabupaten lainnya di Jawa Barat.
89
Luas area gudang SRG mencapai 3.000 m2 serta di dukung dengan fasilitas
yang lengkap dan memadai. Kapasitas gudang SRG mencapai 1.000 ton. Selain
itu tersedia fasilitas pengelola gudang juga menyediakan fasilitas penunjang
seperti fasilitas gudang yang disediakan untuk menunjang aktivitas pergudangan
berupa sarana sandar dan bongkar muat yang luas, pallet, timbangan, sorter,
mesin penggiling beras, dryer, lantai jemur, hydrant, CCTV, alarm, dan lain-lain.
Selain itu, tersedia juga fasilitas pendukung berupa kantor pengelola gudang.
Kantor tersebut dilengkapi dengan sarana yang memadai seperti sarana
komputerisasi, telepon, jaringan internet, dan sebagainya.
Berdasarkan Peraturan Kepala Bappebti Nomor: 02/Bappebti/Per-
SRG/7/2007 Pasal 2 menyebutkan bahwa terdapat tiga klasifikasi gudang tertutup,
yaitu gudang kelas A, gudang kelas B, dan gudang kelas C. Gudang SRG di
Kabupaten Cianjur termasuk kategori gudang kelas A. Gudang kelas A adalah
gudang yang memiliki kualitas terbaik dengan fasilitas dan peralatan lengkap
(kualitas 1). Fasilitas gudang yang lengkap dan memadai membuat petani bersedia
menyimpan gabahnya di gudang SRG dan dapat dimanfaatkan dengan harga yang
lebih murah dibandingkan dengan penyedia jasa pergudangan lainnya.
Meskipun demikian, terdapat beberapa fasilitas gudang yang terbengkalai
dan tidak tepat sasaran. Fasilitas gudang yang terbengkalai (jarang difungsikan)
pada saat penelitian dilakukan adalah mesin dryer. Dryer yang disediakan oleh
pengelola gudang untuk petani tidak terpakai. Kondisi tersebut disebabkan karena
petani biasanya sudah mengirim gabahnya ke gudang dalam bentuk gabah kering
giling, sehingga tidak perlu dikeringkan kembali. Selain itu, ketentuan harga dan
batas minimum kapasitas gabah yang diberlakukan oleh pengelola gudang dirasa
memberatkan petani, sebab petani harus membayar jasa pengeringan gabah
(melalui dryer) secara penuh, meskipun gabah yang dikeringkan hanya sedikit.
Sementara itu, fasilitas yang disediakan oleh pengelola gudang berupa truk
di nilai tidak tepat sasaran. Keberadaan truk di nilai tidak sesuai dengan kondisi
jalan yang ada di desa, karena kondisi jalan desa yang sempit sehingga sulit untuk
dilewati kendaraan besar seperti truk. Pengelola gudang menyediakan dua armada
truk untuk memfasilitasi petani, namun truk tersebut jarang digunakan dan hanya
90
digunakan saat akan mendistribusikan gabah atau beras ke daerah-daerah dengan
kondisi jalan yang baik (dapat dilewati oleh truk). Maka dari itu, perlu adanya
evaluasi dan perbaikan terkait penyediaan sarana dan prasarana gudang SRG,
sehingga nantinya semua fasilitas yang ada di gudang SRG dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk keperluan pelaksanaan program SRG.
E. Sosialisasi Program SRG
Sosialisasi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam implementasi
suatu program. Sosialisasi program SRG secara umum dapat dilakukan oleh
pihak-pihak yang terkait, namun yang lebih berwenang dalam melaksanakan
sosialisasi program SRG adalah Bappebti. Bappebti selaku badan pengawas dari
program SRG lebih berwenang dalam melaksanakan sosialisasi, karena
berhubungan langsung dengan pembuat kebijakan (Kementerian Perdagangan).
Permasalahan yang berkaitan dengan sosialisasi program SRG di Kabupaten
Cianjur adalah frekuensi sosialisasi yang masih sangat kurang. Kurangnya
sosialisasi SRG terutama di kecamatan Warungkondang yang mana di kecamatan
tersebut gudang SRG berada. Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang
peneliti lakukan, banyak petani yang mengatakan belum pernah sekali pun
sosialisasi program SRG diadakan. Walaupun demikian ada juga petani yang telah
menerima informasi terkait program SRG dari pengelola gudang, namun tidak
memanfaatkan program SRG.
Berdasarkan informasi dari staf Bappebti, pihaknya belum pernah
mengadakan sosialisasi ataupun perkumpulan secara serentak bersama petani-
petani di kecamatan tersebut. Bappebti memberikan kewenangannya kepada
pengelola gudang untuk melakukan sosialisasi program SRG. Hal tersebut
dilakukan karena perlu adanya pendekatan yang berbeda terhadap petani yang
notabene hidup di desa dengan kultur yang sudah ada sejak dahulu. Bappebti
mengatakan bahwa pendekatan melalui aspek penokohan di desa dapat membuat
sosialisasi program dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Aspek
penokohan (influencer) yang dimaksud adalah menjadikan tokoh masyarakat yang
91
dapat memengaruhi persepsi masyarakat secara luas. Hal itulah yang saat ini
dilakukan oleh pengelola gudang melalui manajer pengelola.
Manajer pengelola merupakan orang yang sudah lama berkecimpung di
bidang pertanian dan telah banyak dikenal masyarakat di beberapa daerah. Teknik
sosialisasi program SRG yang dilakukan adalah dengan pendekatan persuasif ke
masing-masing petani. Sosialisasi program biasa dilakukan pada saat menjelang
panen. Cara tersebut dinilai efektif karena sebelum petani menjual hasil panennya
langsung kepada tengkulak, petani diberi alternatif untuk menyimpan gabahnya
terlebih dahulu untuk mendapatkan harga yang optimal. Namun sosialisasi yang
dilakukan secara persuasif oleh pengelola gudang hanya terfokus di wilayah
kecamatan Cibeber saja. Pada kenyataannya kecamatan lain pun memiliki potensi
yang sama dengan kecamatan Cibeber, bahkan lebih berpotensi dari kecamatan
tersebut. Kecamatan lain yang juga memiliki potensi besar berada di kecamatan
Warungkondang, tepatnya di desa Jambudipa.
Desa Jambudipa merupakan daerah endemik penghasil beras pandanwangi.
Beras pandanwangi merupakan trademark dari kabupaten Cianjur. Desa
Jambudipa sebagai daerah penghasil beras pandanwangi menjadikan desa tersebut
sebagai daerah yang potensial untuk menciptakan harga jual beras yang optimal di
pasar, terlebih lagi beras pandanwangi memiliki banyak kelebihan dibandingkan
dengan beras varietas lainnya. Maka dari itu, pengelola gudang seharusnya bisa
lebih cermat dalam melihat potensi di wilayah sekitar. Perlu adanya sosialisasi
yang bersifat persuasif kepada petani terkait program SRG di desa Jambudipa,
sehingga petani dapat mengetahui mekanisme dari program SRG dan diharapkan
dapat terlibat untuk memanfaatkan program SRG.
F. Pengawasan SRG oleh Bappebti
Bappebti sebagai badan yang diberi kewenangan mengawasi pelaksanaan
program SRG memiliki tugas membina, mengatur, dan mengawasi kegiatan yang
berkaitan dengan SRG. Namun demikian, pengawasaan yang selama ini dilakukan
masih sebatas pengawasan administratif, yang meliputi kelengkapan dokumen dan
kesesuaian data komoditas dengan kondisi yang sebenarnya, pemantauan capaian
92
pembangunan gudang, capaian nilai resi gudang dan jumlah hari penyelesaian
perizinan pelaku usaha SRG. Selain itu dalam program SRG, Bappebti mengawasi
kesesuaian pelaksanaan kinerja lembaga-lembaga yang terkait dengan SRG
dengan aturan yang ada.
Adapun dalam pelaksanaan penyaluran S-SRG, Bappebti bertindak sebagai
pemantau yang dilakukan dengan pemantauan kinerja lembaga keuangan baik
bank maupun non-bank sebagai lembaga penyalur kredit. Pemantauan dilakukan
dengan pemeriksanaan dokumen, wawancara dengan petugas lembaga keuangan,
serta pemberian peringatan apabila terjadi pelanggaran. Penyaluran S-SRG
menjadi wewenang lembaga keuangan yang telah memperoleh izin dari Bappebti.
Dalam penyaluran S-SRG selama ini, lembaga keuangan tidak melakukan survei
terhadap calon penerima S-SRG melainkan hanya memastikan komoditas yang
disimpan ada dan sesuai dengan yang tertera dalam dokumen resi gudang.
Pengawasan secara langsung terhadap pihak yang benar-benar menerima S-
SRG belum pernah dilakukan di lapang. Keterbatasan sumber daya manusia di
Bappebti menjadi alasan utama. Bappebti sebagai unit eselon I di bawah
Kementerian Perdagangan memiliki tiga peran utama, yaitu mengembangkan
Perdagangan Berjangka Komoditi, Sistem Resi Gudang, dan Pasar Lelang.
Adapun kegiatan pengawasan terhadap program SRG diserahkan pada satu bagian
level eselon 3 dengan jumlah pegawai sebanyak ± 12 orang. Oleh karena itu,
sumber daya manusia yang ada masih sangat terbatas untuk menangani program
SRG yang diimplementasikan di seluruh Indonesia.
Pelakasanaan progam SRG yang mulai diberlakukan secara nasional sejak
tahun 2008 oleh Kementerian Perdagangan seharusnya bisa mempersiapkan
segala sesuatunya dengan baik, termasuk dalam hal penyediaan sumber daya
manusia. Permasalahan jumlah sumber daya manusia yang terbatas semestinya
harus bisa diatasi dengan baik, mengingat implementasi progam SRG telah
berlangsung selama sembilan tahun. Jika pemerintah serius untuk
menyejahterakan petani melalui program SRG, maka permasalahan seperti
kurangnya sumber daya manusia harus segera di evaluasi dan ditindaklanjuti
untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan terus
93
menerus, maka akan memperlambat kinerja program SRG karena minimnya
pengawasan dari Bappebti selaku badan pengawas program SRG.
5.5.2 Efektivitas Program Sistem Resi Gudang dalam Meningkatkan Pendapatan
Usahatani Padi
1. Kondisi Usahatani Padi
Kondisi usahatani padi menjelaskan tentang kegiatan usahatani padi yang
dilakukan di Kabupaten Cianjur. Usahatani padi merupakan kegiatan yang telah
dilakukan secara turun menurun oleh petani. Berdasarkan hasil wawancara
mendalam, rata-rata pengalaman petani dalam melakukan usahatani padi telah
dilakukan lebih dari 10 tahun. Potensi sumber daya alam yang tersedia dapat
dimanfaatkan oleh petani dengan baik sehingga menciptakan peluang produksi
padi yang lebih optimal. Selain itu, keberadaan beras Cianjur sudah menjadi
trademark tersendiri bagi konsumen di Indonesia, khusunya wilayah Jawa Barat.
Oleh karena itu, banyak petani yang saat ini masih melakukan usahatani padi dan
terus berupaya melestarikan keberadaan varietas lokal untuk meningkatkan nilai
jual beras di pasaran serta untuk menjaga citra beras Cianjur tetap baik di
masyarakat. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu adanya penjelasan lebih lanjut
untuk mengidentifikasikan penggunaan sarana produksi, teknik budidaya, dan
output yang dihasilkan dari usahatani padi yang dilakukan oleh petani
konvensional dan petani SRG.
A. Pola Tanam
Padi merupakan komoditas utama yang dibudidayakan oleh petani di desa
Jambudipa, kecamatan Warungkondang, kabupaten Cianjur. Usahatani padi
dilakukan sebanyak tiga kali tanam dan dua kali panen dalam satu tahun. Periode
musim tanam biasa dilakukan pada bulan Januari – April, Juni – September, dan
Oktober – Januari. Sementara itu, pola tanam yang diterapakan secara umum
adalah menggunakan pola tanam monokultur (padi-padi-padi), artinya petani
selama satu tahun hanya menanam padi saja dan hanya ada sedikit jeda waktu
untuk mengistirahatkan tanah. Penerapan pola tanam yang dilakukan sebanyak
94
tiga kali dalam setahun didasarkan pada keinginan petani untuk terus melakukan
usahatani padi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
B. Sarana Produksi
1) Lahan
Lahan merupakan sumber daya alam yang paling utama dan penting dalam
melakukan kegiatan usahatani. Di Indonesia, kondisi lahan di masing-masing
wilayah memiliki potensi yang berbeda. Potensi lahan di berbagai wilayah
ditentukan berdasarkan jenis tanah yang ada. Di kabupaten Cianjur, jenis tanah di
masing-masing daerah berbeda-beda. Jenis tanah yang ada di kabupaten Cianjur
antara lain tanah alluvial, tanah regosol, tanah andosol, dan tanah latosol.
Masing-masing jenis tanah memiliki potensi yang berbeda-beda.
Berdasarkan RPJMDes Jambudipa (2016) tanah yang ada di desa
Jambudipa, kecamatan Warungkondang berjenis alluvial. Tanah alluvial
merupakan tanah yang berasal dari pengendapan dan banyak terdapat di wilayah
dataran rendah. tanah alluvial memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk
lahan pertanian, khususnya tanaman pangan (padi dan palawija). Pemanfaatan
lahan di desa Jambudipa di dominasi oleh kegiatan pertanian sebesar 76,31% dan
sisanya adalah lahan pemukiman dan kebun. Kondisi tersebut merupakan potensi
yang besar bagi petani untuk terus melakukan kegiatan usahatani padi di desa
tersebut, namun perlu adanya faktor penunjang lain untuk bisa meningkatkan dan
melestarikan potensi sumber daya alam yang ada sehingga bisa melakukan
kegiatan usahatani padi yang berkelanjutan.
Sementara itu, sumber daya lahan yang dimiliki setiap petani berbeda-beda.
Rata-rata kepemilikan lahan petani konvensional di desa Jambudipa adalah 0,6
hektar, sedangkan rata-rata kepemilikan lahan petani SRG adalah 2,3 hektar.
Kondisi tersebut cukup jauh berbeda, karena lahan yang dimiliki petani
konvensional hanya berada di dalam desa Jambudipa saja, sedangkan lahan yang
dimiliki petani SRG tidak berada dalam satu wilayah saja, namun berada di
wilayah yang berbeda-beda. Mayoritas kepemilikan lahan petani di desa
Jambudipa diperoleh dari warisan keluarga. Banyak dari petani yang tetap
95
menjaga dan melestarikan lahan yang dimilikinya untuk kegiatan usahatani,
khususnya usahatani padi.
2) Air
Air merupakan sumber daya alam yang paling penting untuk kegiatan
usahatani padi. Air berfungsi untuk membantu penyerapan unsur hara dari dalam
tanah oleh akar tanaman dan mengangkut unsur hara ke seluruh organ tanaman.
Selain itu, air juga dapat membantu proses fotosintesis pada tanaman.
Ketersediaan air dalam kegiatan usahtani padi sangat diperlukan untuk menunjang
produktivitas tanaman. Ketersediaan air di lahan persawahan banyak di suplai
melalui saluran irigasi. Saluran irigasi yang ada di desa Jambudipa meliputi air
permukaan yang bersumber dari sungai Cikaroya dan sungai Cipadang, mata air
yang mengalir di bantaran sungai Cikaroya serta air tanah bebas dangkal dan air
tanah bebas dalam.
Usahatani padi di desa Jambudipa menggunakan irigasi setengah teknis,
dimana terdapat sumber mata air yang menjadi saluran primer (sungai Cikaroya
dan sungai Cipadang) yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat, sehingga
dalam pemeliharaan saluran irigasi sepenuhnya melibatkan masyarakat.
Pengelolaan saluran irigasi yang dilakukan swadaya oleh masyarakat tidak
dibebankan biaya-biaya tertentu, tetapi petani hanya perlu membayar dengan
sukarela untuk keperluan pemeliharaan irigasi.
Adanya sumber air yang melimpah di desa Jambudipa menyebabkan lahan
persawahan dapat terus teraliri air sepanjang tahun, meskipun sedang musim
kemarau, sehingga produktivitas tanaman bisa optimal. Selain itu, melimpahnya
sumber air yang ada di desa Jambudipa dimanfaatkan petani untuk melakukan
usahatani padi dengan sistem minapadi. Minapadi adalah suatu konsep usahatani
gabungan (combined farming) yang memanfaatkan genangan air sawah yang
sedang ditanami padi sebagai kolam untuk budidaya ikan tawar (Balitbang
Pertanian, 2016). Pada dasarnya, sistem minapadi memiliki beberapa keunggulan
seperti penerapan Pengendalian Hama Terpadu (HPT) secara alami serta dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan air. Penerapan sistem minapadi
yang dilakukan oleh petani tidak memiliki tujuan khusus, petani hanya ingin
96
memanfaatkan genangan air yang ada di sawah. Namun petani beranggapan
bahwa dengan menerapkan sistem minapadi tersebut, petani merasa lebih
bersemangat dalam melakukan usahataninya karena keberadaan ikan di lahan
sawah yang di garapnya.
3) Benih
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992
Tentang Budidaya Tanaman Pasal 1 Ayat 4 menyebutkan bahwa benih tanaman
yang selanjutnya disebut benih adalah tanaman atau bagiannya yang digunakan
untuk memperbanyak dan/ atau mengembangbiakkan tanaman. Benih dapat
diperoleh melalui perkembangbiakkan secara generative maupun vegertatif.
Menurut Haryadi (2006) perkembangbiakkan secara generatif adalah
perkembangbiakkan tanaman melalui proses kawin atau perkembangbiakkan yang
dialami oleh tanaman berbiji melalui penyerbukan. Sementara perkembang-
biakkan secara vegetatif adalah perkembangbiakkan tanpa didahului dengan
peleburan sel kelamin.
Benih pada tanaman padi memiliki berbagai jenis varietas. Menurut Badan
Litbang Pertanian (2012), terdapat lebih dari 200 varietas padi yang ada di
Indonesia. Setiap varietas mempunyai karakteristik yang beragam, seperti umur
pendek, produktivitas tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit tertentu, dan
karakteristik unggul lainnya. Lebih dari 90 persen areal persawahan di Indonesia
telah ditanami Varietas Unggul Baru (VUB) yang dihasilkan oleh Badan Litbang
Pertanian. Beberapa VUB yang telah banyak digunakan oleh petani adalah seperti
IR 64, ciherang, cibogo, cigeulis, dan ciliwung.
Sementara itu, benih padi yang banyak ditanam oleh petani di desa
Jambudipa adalah varietas pandanwangi, ciherang, mikongga, inpari 13, IR 64,
japonica, dan sintanur. Varietas padi tersebut memiliki umur tanaman yang
berbeda-beda. Pada benih padi pandanwangi umur tanaman mencapai 150-165
hari, ciherang 80-96 hari, japonica 110-125 hari, dan benih IR 64, Inpari 13 serta
sintanur mempunyai umur tanaman sekitar 110-115 hari. Benih padi yang ditanam
oleh petani tersebut biasanya diperoleh dari toko pertanian dan bantuan dari
pemerintah ataupun swasta. Pada petani konvensional, rata-rata penggunaan benih
97
per hektar sebanyak 28,9 kg. Sementara pada petani SRG, rata-rata penggunaan
benih per hektar sebanyak 25,1 kg. Adanya perbedaan jumlah rata-rata
penggunaan benih padi pada petani konvensional dan petani SRG terjadi karena
adanya perbedaan rata-rata luas lahan yang signifikan dan sistem tanam. Sistem
tanam yang banyak dilakukan oleh petani SRG adalah sistem jajar legowo. Sistem
jajar legowo merupakan sistem tanam padi yang dilakukan dengan mengatur jarak
antar tanaman, sehingga tidak memerlukan benih yang banyak dalam
usahataninya.
Meskipun rata-rata penggunaan benih pada petani konvensional lebih
banyak dibandingkan petani SRG, tetapi rata-rata harga benih per hektar pada
petani SRG lebih tinggi dibandingkan petani konvensional. Pada petani
konvensional, rata-rata harga benih adalah Rp 341.851, sedangkan pada petani
SRG rata-rata harga benih sebesar Rp 355.559. Perbedaan rata-rata harga benih
terjadi karena adanya penggunaan varietas benih yang berbeda. Pada petani SRG,
varietas yang banyak ditanam adalah varietas japonica dan sintanur. Varietas
tersebut memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lain
seperti inpari 13, mikongga, dan ciherang.
4) Pupuk
Pupuk merupakan bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara
tanaman yang jika diberikan ke pertanaman dapat meningkatkan pertumbuhan dan
hasil tanaman. Terdapat dua jenis pupuk, yaitu pupuk organik dan pupuk
anorganik (pupuk buatan). Pupuk organik merupakan pupuk yang tersusun dari
materi mahluk hidup seperti pelapukan sisa-sisa tanaman, hewan, dan manusia.
Pupuk organik bisa berupa pupuk cair atau padat. Jenis pupuk organik bermacam-
macam, antara lain: pupuk kandang, pupuk hijau, pupuk kompos, dan humus.
Sementara itu, pupuk anorganik merupakan pupuk yang dibuat dengan bahan
kimia yang mengandung unsur hara tertentu. Jenis pupuk anorganik antara lain:
NPK, SP36, ZA, KCL, dan lain-lain.
Pupuk yang digunakan oleh petani responden terdiri dari dua jenis, yaitu
pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik yang digunakan adalah
pupuk kandang, sedangkan pupuk anorganik yang digunakan adalah pupuk urea,
98
SP36, NPK, dan ZA. Pupuk kandang yang digunakan diperoleh dari warga di
wilayah desa Jambudipa yang memiliki hewan ternak seperti ayam, kambing, dan
sapi. Sementara pupuk anorganik (urea, SP36, NPK, dan ZA) diperoleh petani
dengan membelinya di kios pertanian yang berada di wilayah desa Jambudipa.
Penggunaan pupuk organik mulai menjadi perhatian bagi banyak petani di
desa Jambudipa. Petani mulai menyadari bahwa penggunaan pupuk organik akan
dapat menjaga kesuburan tanah. Saat ini petani mulai beralih menggunakan pupuk
organik dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Jumlah penggunaan
pupuk organik dan anorganik pada petani konvensional dan petani SRG dapat
dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Jenis Pupuk, Harga Pupuk, dan Rata-rata Penggunaan Pupuk Pada
Petani Padi Konvensional dan Petani SRG
No Jenis Pupuk Harga/Kg
(Rp)
Petani Konvensional
(Kg)
Petani SRG
(Kg)
1 Pupuk Kandang 500 127 1.033
2 Urea 1.800 155,21 569,4
3 SP36 2.000 106,41 346
4 NPK 2.300 194,71 378
5 ZA 1.400 7,5 49
Sumber: Data primer (diolah), 2017
Berdasarkan data pada Tabel 18, data jumlah penggunaan pupuk merupakan
hasil perbandingan antara total pupuk yang digunakan oleh semua petani dibagi
dengan seluruh petani. Hasil tersebut menunjukkan adanya perbedaan jumlah
penggunaan pupuk antara petani konvensional dengan petani SRG. Hal itu terjadi
karena adanya perbedaan luas lahan yang dimiliki oleh petani konvensional dan
petani SRG. Semakin luas lahan garapan petani, maka kebutuhan pupuk akan
semakin banyak juga.
Pada petani konvensional, jumlah pupuk yang paling banyak digunakan
adalah pupuk NPK, yaitu sebesar 194,71 Kg. Jumlah penggunaan pupuk NPK
yang lebih banyak daripada pupuk lainnya adalah karena pupuk NPK dapat
memacu perkembangan tanaman dan memacu proses pembungaan dan
pembuahan padi. Sementara itu, pupuk yang paling sedikit digunakan oleh petani
konvensional adalah pupuk ZA, yaitu 7,5 kg. pupuk ZA tidak banyak digunakan
99
oleh petani karena kandungan unsur hara dan fungsi dari pupuk ZA hampir sama
dengan pupuk penggunaan pupuk NPK, yaitu mengandung unsur hara N yang
berfungsi untuk pembentukan butir hijau pada daun dan mempercepat
pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman.
Pada petani SRG, pupuk yang paling banyak digunakan adalah pupuk
kandang, yaitu 1.033 Kg. Menurut petani, pupuk kandang berfungsi untuk
menjaga kesuburan tanah dan dapat meningkatkan unsur hara dalam tanah.
Sementara itu untuk mempercepat pertumbuhan tanaman, petani menggunakan
pupuk urea. Selain dapat mempercepat pertumbuhan tanaman, pupuk urea juga
berfungsi untuk mempercepat tanaman tumbuh tinggi serta memiliki bulir padi
yang banyak dan berisi.
Kebutuhan pupuk masing-masing petani telah diatur melalui Rencana
Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). RDKK merupakan data yang berisi
kebutuhan pupuk per petani. Di dalam RDKK tercantum jenis pupuk, kebutuhan
pupuk yang telah disesuaikan dengan luas lahan masing-masing petani. RDKK
disusun berdasarkan kelompok tani yang ada di desa Jambudipa. Menurut
penyuluh lapang desa Jambudipa, tujuan dari dibuatnya RDKK adalah untuk
mengestimasi kebutuhan pupuk per petani yang selanjutnya akan diserahkan ke
Dinas Pertanian untuk mendapatkan subsidi pupuk. Subsidi pupuk bisa didapatkan
oleh petani jika petani telah tergabung ke dalam kelompok tani dan telah tercatat
di RDKK. Pupuk bersubsidi di distribusikan ke kios-kios pertanian yang berada di
wilayah kecamatan Warungkondang dan telah mendapat izin dari Dinas Pertanian
Kabupaten Cianjur.
Adanya program pupuk bersubsidi yang dilakukan oleh pemerintah tidak
sepenuhnya dapat diterima dengan baik oleh petani. Petani mengatakan bahwa
program pupuk bersubsidi di daerahnya tidak menjadi perhatian penting, tetapi
petani menginginkan program subsidi harga gabah. Petani beranggapan bahwa
penggunaan pupuk di desa Jambudipa sudah bukan menjadi keharusan lagi,
namun petani sangat mengharapkan adanya program dari pemerintah yang bisa
menjamin harga gabah di tingkat petani, sehingga dalam melakukan usahatani
padi petani bisa merasa terjamin dan bisa menyejahterakan petani.
100
5) Pestisida
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992
Tentang Budidaya Tanaman Pasal 1 Ayat 11 menyebutkan bahwa pestisida adalah
zat atau senyawa kimia, zat pengatur dan perangsang tumbuh, bahan lain serta
organisme renik atau virus yang digunakan untuk melakukan perlindungan
tanaman. Pestisida yang digunakan oleh petani tergantung dari individu petani dan
kondisi tanaman padi di lahan. Jika ditemukan banyak hama di areal persawahan,
maka petani akan menggunakan pestisida untuk membasmi hama tersebut. Namun
secara umum petani sudah mulai mengurangi penggunaan pestisida karena untuk
mencegah pencemaran lingkungan dan mencoba beralih ke pertanian organik.
Meskipun penggunaan pestisida perlahan dikurangi oleh petani, namun
petani tetap menyediakan pestisida dirumahnya. Hal tersebut dilakuan untuk
antisipasi jika tiba-tiba padi diserang hama. Pestisida yang digunakan ada dua
jenis, yaitu pestisida padat (powder) dan cair. Merek pestisida padat yang
digunakan petani adalah furadan/kurater dan bentan. Sedangkan merek pestisida
cair yang digunakan adalah virtako, akodan, greta, dan score (ZPT).
Kegiatan penyemprotan pestisida dilakukan pada pagi hari. Intensitas
penyemprotan pestisida oleh petani dilakukan sesuai dengan keadaan di lahan.
Jika petani menganggap tanaman padinya perlu diberi pestisida, maka
penyemprotan bisa dilakukan hingga empat kali dalam satu masa tanam. Jumlah
rata-rata pestisida yang digunakan oleh petani konvensional per hektar lahan
sebanyak 0,35 liter pestisida cair dan 8,12 kilogram pestisida padat (powder).
Sementara jumlah rata-rata pestisida yang digunakan oleh petani SRG per hektar
lahan sebanyak 0,97 liter pestisida cair dan 18 kilogram pestisida padat (powder).
6) Alat-alat Pertanian
Alat pertanian merupakan peralatan yang digunakan oleh petani dalam
melakukan kegiatan usahatani padi di lahan. Jenis alat pertanian yang digunakan
dalam kegiatan usahatani padi adalah cangkul, sabit, knapsack sprayer, dan
traktor. Cangkul digunakan untuk menggemburkan tanah dan membuat galengan
(pembatas), sabit digunakan untuk menyiangi tanaman dan panen padi, knapsack
101
sprayer digunakan sebagai media untuk menyemprotkan pestisida ke tanaman,
dan traktor digunakan untuk membajak sawah.
Alat pertanian yang digunakan petani merupakan barang milik pribadi, tetapi
alat pertanian berupa traktor biasa digunakan petani dengan cara menyewa.
Peralatan pertanian milik pribadi dihitung biaya penyusutannya dan jika petani
menyewa traktor, maka dihitung biaya sewanya. Rata-rata biaya penyusutan alat
pertanian pada petani konvensional sebesar Rp 124.064 dan rata-rata biaya sewa
sebesar Rp 1.017.731. Sementara itu, rata-rata biaya penyusutan alat pertanian
pada petani SRG sebesar Rp 192.914 dan rata-rata biaya sewa sebesar
Rp 851.732. Berdasarkan data rata-rata biaya penyusutan dan biaya sewa, terjadi
perbedaan jumlah biaya per hektar antara petani konvensional dengan petani SRG.
Pada petani SRG, biaya penyusutan memiliki jumlah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan petani konvensional, tetapi biaya sewa pada petani SRG
lebih rendah dibandingkan dengan petani konvensional. Hal tersebut terjadi
karena kepemilikan traktor secara pribadi pada petani SRG lebih banyak
dibandingkan dengan petani konvensional sehingga menaikkan rata-rata biaya
penyusutan.
7) Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang utama dalam
kegiatan usahatani. Tenaga kerja yang digunakan dalam kegiatan usahatani padi
yang dilakukan di lokasi penelitian terdiri ata tenaga kerja laki-laki dan tenaga
kerja perempuan. Tenaga kerja yang digunakan oleh petani responden terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar
keluarga. Penggunaan tenaga kerja baik tenaga kerja dalam keluarga maupun
tenaga kerja luar keluarga digunakan dalam kegiatan usahatani mulai dari
pengolahan lahan, pembibitan dan penanaman, pemupukan, penyiangan,
penyemprotan dan pemanenan. Masing-masing kegiatan usahatani padi
mempunyai biaya tenaga kerja yang berbeda-beda.
Pada jenis kegiatan pengolahan lahan, petani menggunakan traktor dan
dikerjakan oleh tenaga kerja dari luar keluarga. Tenaga kerja yang melakukan
kegiatan pengolahan lahan sepenuhnya dilakukan oleh laki-laki. Kegiatan
102
pengolahan lahan dilakukan selama 4-6 jam per hari. Biaya tenaga kerja pada
kegiatan pengolahan lahan sebesar Rp 45.000. Pemberian upah tenaga kerja
dibayarkan secara tunai oleh petani setelah kegiatan pengolahan lahannya selesai
dikerjakan. Sementara pada kegiatan pembibitan dan penanaman mayoritas
dilakukan oleh tenga kerja perempuan yang berasal dari luar keluarga. Biaya
tenaga kerja perempuan sebesar Rp 33.000 dan tenaga kerja laki-laki sebesar
Rp 45.000. Pembayaran upah tenaga kerja dilakukan setelah proses penanaman
padi selesai. Pemberian upah tenaga kerja dibayarkan secara tunai oleh petani.
Pada kegiatan pemupukan, petani dengan luas lahan kecil (< 0,5 hektar)
biasanya tidak menggunakan tenaga kerja tambahan, sedangkan pada petani yang
luas lahannya lebih dari 0,5 hektar, biasanya akan menggunakan tambahan tenga
kerja, baik dari dalam keluarga maupun luar keluarga. Kegiatan pemupukan
dilakukan sebanyak 3-4 kali. Biaya tenaga kerja pada kegiatan pemupukan sebesar
Rp 40.000 untuk tenaga kerja laki-laki dan Rp 30.000 untuk tenaga kerja
perempuan. Pemberian upah tenaga kerja dibayarkan secara tunai oleh petani
setiap satu kali kegiatan pemupukan selesai. Sementara pada kegiatan penyiangan,
petani tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Kegiatan ini biasa dilakukan
oleh petani sendiri dan jika lahan garapannya luas, maka petani menggunakan
tenaga kerja tambahan. Biaya tenaga kerja pada kegiatan penyiangan ini sebesar
Rp 40.000 untuk tenaga kerja laki-laki dan Rp 30.000 untuk tenaga kerja
perempuan.
Pada kegiatan penyemprotan, petani menyesuaikan dengan kondisi yang
terjadi di lahan. Jika di lahan terjadi serangan hama yang cukup banyak, maka
petani memerlukan kegiatan penyemprotan pestisida, sehingga akan
menggunakan tenaga kerja tambahan. Biaya tenaga kerja kegiatan penyemprotan
pestisida sebesar Rp 40.000 untuk tenaga kerja laki-laki dan Rp 30.000 untuk
tenaga kerja perempuan. Pembayaran dilakukan secara tunai setelah tenaga kerja
selesai melakukan kegiatan penyemprotan. Sementara itu, pada kegiatan
pemanenan, petani menggunakan tenaga keja tambahan. Kegiatan pemanenan
membutuhkan waktu sekitar 2-4 hari untuk luas lahan satu hektar, tetapi
tergantung dari jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Biaya tenaga kerja pada
103
kegiatan pemanenan adalah sebesar Rp 45.000 untuk tenaga kerja laki-laki dan
Rp 35.000 untuk tenaga kerja perempuan. Pembayaran upah tenaga kerja
dilakukan setelah petani selesai melakukan pemanenan.
Permasalahan yang saat ini terjadi di lokasi penelitian adalah terbatasnya
jumlah tenaga kerja yang ada di desa dan tidak ada regenerasi petani. Menurut
informasi dari petani responden, kurangnya tenaga kerja baik laki-laki ataupun
perempuan disebabkan adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih
mengutamakan kemudahan dan praktis. Banyak penduduk usia produktif yang
lebih memilih pekerjaan lain selain bekerja sebagai petani. Keputusan untuk
beralih profesi banyak dilakukan oleh warga di lokasi penelitian. Banyak warga
yang memutuskan untuk mencari pekerjaan lain diluar usahatani, seperti menjadi
tukang ojek, bekerja di pabrik, dan berdagang. Minat masyarakat untuk bekerja di
sektor pertanian, khususnya usahatani padi ini menjadi masalah yang cukup
serius. Kondisi yang saat ini terjadi sudah mulai dirasakan oleh petani, dimana
petani mulai kesulitan mencari tenaga kerja untuk kegiatan usahatani padi. Dalam
melakukan usahatani padi, khusunya kegiatan penanaman, petani perlu bergantian
dalam menggunakan tenaga kerja, sehingga terjadi penundaan waktu tanam padi
yang menyebabkan perbedaan masa tanam antar petani.
C. Teknik Budidaya
Teknik budidaya merupakan faktor penting dalam usahatani untuk
menentukan jumlah input dan output yang optimal. Pada usahatani padi, teknik
budidaya meliputi pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, pemupukan,
penyiangan, dan pengendalian hama dan penyakit tanaman serta pemanenan.
1) Pengolahan lahan
Tahap pengolahan lahan dilakukan untuk mengubah sifat fisik tanah. Hal ini
dilakukan agar jerami dan gulma yang ada di lahan sawah terdekomposisi oleh
tanah sehingga bisa mengembalikan unsur hara dalam tanah. Pengolahan lahan
dilakukan dengan menggunakan traktor dan cangkul. Penggunaan traktor untuk
membajak sawah dianggap lebih efisien karena dapat mempercepat proses
pengolahan tanah dengan jangkauan lahan yang luas serta dapat menggali tanah
lebih dalam. Sedangakan cangkul digunakan untuk memperbaiki dan mengatur
104
galengan (pematang sawah) dan saluran drainase. Perbaikan dan pengaturan
pematang sawah bertujuan untuk mempermudah aliran air irigasi, sehingga air
dapat masuk ke areal sawah dengan volume air yang sesuai kebutuhan.
2) Pembibitan
Padi merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang umumnya ditanam
dengan menggunakan bahan tanam berupa bibit. Bibit merupakan fase
pertumbuhan yang penting dan perlu mendapat perhatian. Kesalahan dalam
penggunaan bibit akan membawa dampak terhadap ketidakseragaman
pertumbuhan tanaman dan akan berdampak terhadap penurunan kualitas serta
hasil panen yang diperoleh.
Usaha mendapatkan bibit tanaman padi yang baik dapat dilakukan melalui
kegiatan pembibitan yang memenuhi standar baku teknis. Ada dua model
pembibitan padi yang umum dikembangkan oleh masyarakat yaitu pembibitan
basah dan pembibitan kering. Secara garis besar prinsip kedua model pembibitan
tersebut sama, hanya penggunaan jumlah air dalam media tanam pembibitan yang
dibedakan. Pada wilayah yang tersedia banyak air umumnya menggunakan sistem
pembibitan basah dan langsung dilakukan di sawah, sedangkan wilayah yang
ketersediaan airnya terbatas banyak menggunakan pembibitan.
Pembibitan di lokasi penelitian yang dilakukan oleh petani adalah dengan
menggunakan model pembibitan basah. Pembibitan basah dipilih karena
ketersediaan air di desa mencukupi. Selain itu, model pembibitan basah juga
menghasilkan bibit yang lebih bagus. Proses pembibitan diawali dengan persiapan
benih yang akan digunakan. Benih yang akan digunakan di seleksi terlebih dahulu
dengan cara di rendam. Jika ada benih yang mengampung ke permukaan air, itu
menunjukkan bahwa benih tersebut tidak bagus dan tidak layak untuk dijadikan
bibit. Kemudian membuat media persemaian benih. Media persemaian yang
digunakan adalah tanah yang paling subur, sudah bersih dari jerami, dan rumput.
Pembuatan media persemaian dilakukan 3-7 sebelum menebar benih padi.
Ukuran media persemaian adalah 1/20 dari luas area sawah yang akan ditanami.
Setelah media persemaian siap, kemudian menebar benih. Benih ditebarkan di
media persemaian yang telah disiapkan. Setelah benih ditebarkan, kemudian akan
105
tumbuh menjadi bibit. Bibit siap dicabut saat berumur 20-35 hari. Setelah dicabut,
bibit di ikat menjadi ikatan besar dan kemudian siap untuk di tanam di lahan.
3) Penanaman
Penanaman padi yang dilakukan oleh petani responden ditanam dengan
jarak yang tertentu. Jarak tanam antar tanaman padi adalah 20 x 20 cm. Sebelum
dilakukan penanaman, lahan sawah diberi pestisida untuk membasmi mollusca
yang ada di sekitar sawah. Pemberian pestisida dilakukan tiga hari sebelum tanam.
Pada saat penanaman, bibit padi ditancapkan ke dalam tanah yang sudah diberi
garis dan tergenangi air sedalam 10-15 cm hingga akar tanaman padi masuk ke
dalam tanah.
4) Pemupukan
Pemupukan merupakan kegiatan penambahan beberapa unsur hara ke dalam
tanah untuk mempertahankan kesuburan tanah yang ditujukan untuk mencapai
produksi yang maksimal. Pada kegiatan usahatani padi di lokasi penelitian,
pemupukan dilakukan dengan tujuan agar ketersediaan unsur hara tanah dapat
tercukupi, sehingga tanaman padi dapat tumbuh dan menghasilkan output yang
optimal. Pemupukan dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu musim tanam, yaitu
pemupukan diawal tanam, 14 hari setelah tanam, dan 40 haris setelah tanam.
5) Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit pada kegiatan usahatani padi merupakan
salah satu komponen penting yang menentukan keberhasilan usahatani padi.
Kegiatan pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani responden
adalah dengan menyemprotkan pestisida ke tanaman padi yang bertujuan untuk
mencegah dan membasmu hama dan penyakit pada tanaman. Selain dengan
penyemprotan pestisida, cara lain yang dilakukan petani dalam mengatasi
permasalahan hama dan penyakit adalah dengan membuat formulasi bahan alami
untuk membasmi hama dan penyakit. Bahan alami yang digunakan adalah seperti
kunyit, bawang putih, batang serai, dan merica. Menurut petani formulasi
menggunakan bahan-bahan alami tersebut dapat membasmi hama seperti ulat
daun, kutu, dan wereng.
106
6) Pemanenan
Kegiatan pemanenan dilakukan pada saat padi sudah cukup umur untuk di
panen. Setiap varietas mempunyai waktu panen yang berbeda-beda. Secara visual,
padi yang siap di panen daunnya sudah mulai kecokelatan dan malai padi sudah
banyak yang berisi. Waktu panen yang dipilih oleh petani biasanya saat siang hari,
karena pada waktu tersebut hasil panen akan tersinari matahari dengan baik
sehingga akan membantu mengurangi kadar air pada gabah. Petani menghindari
waktu panen saat sedang hujan, karena kondisi tersebut menyebabkan kadar air
gabah meningkat.
Cara pemanenan yang dilakukan oleh petani responden adalah dengan
memotong padi dengan menggunakan sabit. Pemotongan padi dilakukan cara
potong bawah. Cara tersebut dilakukan karena setelah padi dipotong, padi
kemudian dirontokkan dengan menggunakan mesin perontok atau dengan cara di
gebot (banting). Perontokan padi dilakukan dengan tujuan untuk melepaskan
gabah dari malainya. Penggunaan mesin perontok dilakukan agar persentase
rendemen padi rendah. Selain itu persentase padi yang tidak rontok lebih rendah
bila dibandingkan dengan menggunakan sistem gebot atau dibanting, sehingga
hasil gabah yang didapat juga lebih banyak.
2. Analisis Biaya Usahatani Padi
Analisis biaya usahtani padi dalam penelitian ini meliputi biaya variabel
(variable cost) dan biaya tetap (fix cost). Berikut adalah penjelasan mengenai
biaya usahatani padi pada petani konvensional dan petani SRG:
1) Biaya Variabel (Variable Cost)
Biaya variabel merupakan biaya yang berubah (fluktuatif) secara
proporsional dengan kuantitas barang yang akan di produksi. Jika kuantitas barang
bertambah, maka biaya variabel akan ikut bertambah sebesar perubahan kuantitas
dikalikan dengan variabel per satuan. Pada penelitian ini, biaya varibel yang
dikeluarkan oleh petani konvensional meliputi biaya irigasi, benih, pupuk,
pestisida, tenaga kerja, dan sewa traktor. Sementara itu pada petani SRG biaya
variabel yang dikeluarkan meliputi biaya irigasi, benih, pupuk, pestisida, tenaga
107
kerja, sewa traktor, tarif jasa SRG, dan bunga bank. Perhitungan rata-rata biaya
variabel pada petani konvensional dan petani SRG dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Rata-rata Biaya Variabel per Hektar Pada Petani Konvensional dan
Petani SRG
No
Biaya Variabel
Keterangan Petani Konvensional
(Rp)
Petani SRG
(Rp)
1 Irigasi 36.441 36.059
2 Benih 341.851 355.599
3 Pupuk 1.479.706 1.338.122
4 Pestisida 219.759 175.236
5 Tenaga kerja 3.746.803 3.362.376
6 Sewa traktor 1.017.731 851.732
7 Jasa SRG 0 1.623.000
8 Bunga bank (1,5%) 0 319.835
Total 6.842.291 8.061.959
Sumber: Data primer (diolah), 2017
Berdasarkan data pada Tabel 19, dapat diketahui bahwa pada petani
konvensional dan petani SRG biaya variabel yang paling besar adalah biaya
tenaga kerja. Biaya tenaga kerja memiliki jumlah yang besar diantara biaya
variabel yang lain karena tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang
paling penting dalam kegiatan usahatani padi. Dalam kegiatan usahatani padi,
petani membutuhkan tenaga kerja yang cukup untuk menunjang kegiatan
usahataninya. Semua kegiatan dalam usahatani padi membutuhkan tambahan
kerja, sehingga petani perlu mengeluarkan biaya lebih untuk memperkerjakan
orang lain. Menurut informasi dari petani, tingginya biaya tenaga kerja
disebabkan karena semakin sulitnya tenaga kerja di bidang pertanian, terutama
dalam usahatani padi. Selain itu, upah tenaga kerja selalu mengalami kenaikan.
Kondisi tersebut menuntut petani untuk selalu mengeluarkan biaya lebih besar
untuk membayar tenaga kerja.
Sementara itu, berdasarkan data pada Tabel 19, rata-rata biaya variabel per
hektar yang paling besar adalah biaya variabel pada petani SRG. Hal tersebut
terjadi karena adanya beban biaya yang harus dikeluarkan. Biaya tersebut meliputi
biaya jasa SRG dan bunga bank. Biaya jasa SRG merupakan biaya yang harus
dikeluarkan oleh petani SRG ketika menyimpan gabahnya di gudang SRG. Biaya
108
yang dibebankan adalah sebesar Rp 125/Kg. Biaya tersebut merupakan biaya yang
telah ditetapkan oleh pengelola gudang. Dengan jumlah biaya yang harus
dikeluarkan oleh petani tersebut, petani merasa biaya tersebut cukuop terjangkau,
karena bisa mendapatkan semua fasilitas yang disediakan oleh pengelola gudang.
Sementara itu, biaya bunga bank merupakan biaya yang dibebankan kepada
petani SRG ketika menjaminkan resi gudangnya untuk mendapatkan pembiayaan
dari bank. Bunga bank yang dibebankan kepada petani adalah sebesar 0,5 persen
per bulan. Pada analisis biaya variabel ini, peneliti mengasumsikan beban bunga
sebesar 1,5 persen, karena petani yang telah memanfaatkan SRG minimal
menyimpan gabahnya selama tiga bulan. Biaya bunga bank dikeluarkan 1,5
persen dari pembiayaan yang didapatkan oleh petani. Biaya bunga bank
dibayarkan petani saat resi gudang yang dijaminkan telah jatuh tempo atau ketika
gabah yang disimpan di gudang akan dikeluarkan atau diambil oleh pemilik resi
gudang.
2) Biaya Tetap (Fix Cost)
Biaya tetap merupakan biaya yang tidak mengalami perubahan ketika ada
peningkatan atau penurunan jumlah barang yang diproduksi. Pada penelitian ini,
biaya tetap yang dikeluarkan oleh petani responden meliputi biaya sewa lahan,
pajak lahan, dan biaya penyusutan peralatan. Biaya tetap yang dikeluarkan oleh
masing-masing petani berbeda-beda, tergantung pada jenis dan jumlah input yang
digunakan. Rata-rata biaya tetap petani konvensional dan petani SRG per hektar
dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Rata-rata Biaya Tetap per Hektar Pada Petani Konvensional dan Petani
SRG
No
Biaya Tetap
Keterangan Petani Konvensional
(Rp)
Petani SRG
(Rp)
1 Sewa lahan (Ha/musim) 6.017.241 5.976.476
2 Pajak lahan (Ha/musim) 48.820 36.617
3 Penyusutan peralatan 124.064 192.914
Total 6.190.125 6.206.007
Sumber: Data primer (diolah), 2017
109
Berdasarkan data pada Tabel 20, biaya sewa lahan menjadi biaya tetap yang
paling besar. Biaya sewa lahan yang dibebankan petani merupakan biaya sewa
lahan per hektar per musim tanam. Seluruh lahan yang dimiliki petani baik
menyewa ataupun milik sendiri diasumsikan menjadi lahan sewa, sehingga
seluruh petani dibebankan biaya sewa lahan. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan perhitungan analisis usahatani padi yang proporsional.
Sementara itu, biaya pajak lahan yang dibebankan kepada petani jumlahnya
disesuaikan dengan luas lahan dan didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
yang berlaku di Kabupaten Cianjur. Biaya pajak lahan dibebankan per musim
tanam. Rata-rata biaya pajak lahan pada petani konvensional yaitu Rp 48.820,
sedangkan rata-rata biaya pajak lahan pada petani SRG sebesar Rp 36.617.
Pada biaya penyusutan peralatan yang dibebankan petani konvensional
sebesar Rp 124.064 dan petani SRG sebesar Rp 192.914. Biaya penyusutan yang
dibebankan oleh petani SRG lebih besar dibandingkan dengan petani
konvensional. Hal itu terjadi karena pada petani SRG jumlah lahan yang dimiliki
lebih luas dibandingkan luas lahan petani konvensional, sehingga membutuhkan
peralatan yang lebih banyak. Selain itu, kepemilikan traktor pribadi pada petani
SRG cukup banyak dibandingkan dengan petani konvensional. Kepemilikan
traktor secara pribadi oleh petani dianggap lebih efisien dibandingkan dengan
menyewa traktor. Petani menganggap bahwa dengan membeli traktor sendiri akan
menghemat pengeluaran dan dapat dijadikan sebuah investasi karena harga traktor
yang stabil.
3) Analisis Penerimaan Usahatani Padi
Penerimaan usahatani padi merupakan hasil perkalian antara jumlah
produksi yang dihasilkan dengan harga jual gabah yang diterima petani. Adanya
jumlah gabah yang diproduksi dan harga jual gabah yang berbeda akan
memengaruhi penerimaan yang didapatkan petani. Perbedaan jumlah produksi
dapat disebabkan karena adanya perbedaan luas lahan dan varietas yang
digunakan. sedangkan perbedaan harga jual gabah disebabkan karena kualitas
gabah dan bentuk gabah yang dijual. Perbedaan penerimaan rata-rata usahatani
padi per hektar dapat dilihat pada Tabel 21.
110
Tabel 21. Rata-rata Penerimaan Usahatani Padi per Hektar Pada Petani
Konvensional dan Petani SRG
Kategori Petani Penerimaan (Rp)
Petani SRG 30.460.508
Petani Konvensional 24.766.568
Selisih Penerimaan 5.693941
Sumber: Data primer (diolah), 2017
Berdasarkan data pada Tabel 21, rata-rata total penerimaan usahatani padi
pada petani SRG lebih tinggi dibandingkan dengan petani konvensional. Hal itu
terjadi karena pada petani SRG menyimpan dan menjual gabahnya dalam bentuk
gabah kering giling (GKG). Penjualan gabah dalam bentuk GKG lebih
menguntungkan petani karena kadar air dalam gabah kering giling lebih rendah
dan telah siap untuk di giling menjadi beras. Selain itu, petani yang memanfaatkan
program SRG mendapatkan harga jual gabah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan petani yang langsung menjual ke pengepul atau tengkulak.
Pada petani konvensional, penerimaan yang didapatkan lebih rendah
dibandingkan denga petani SRG. hal tersebut terjadi karena petani konvensional
menjual gabahnya dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Penjualan gabah
dalam bentuk GKP tidak memberikan nilai tambah karena gabah masih perlu di
proses lagi sebelum diolah menjadi beras. Selain itu, pada petani konvensional
sistem pemasaran yang dilakukan adalah dengan menjual langsung gabah yang
dihasilkan kepada pengepul atau tengkulak. Hal tersebut dilakukan karena petani
menganggap bahwa dengan cara seperti itu akan memudahkan petani dalam
menjual hasil panennya dan tidak memerlukan biaya-biaya tambahan serta dapat
langsung menerima uang hasil penjualan.
4) Analisis Pendapatan Usahatani Padi
Analisis pendapatan usahatani padi dilakukan dengan menggunakan
perhitungan total rata-rata penerimaan dan total rata-rata biaya usahatani padi per
hektar per musim tanam. Perbedaan pendapatan rata-rata usahatani padi pada
petani konvensional dan petani SRG dapat dilihat pada Tabel 22.
111
Tabel 22. Pendapatan Rata-rata per Hektar Usahatani Padi Pada Petani
Konvensional dan Petani SRG
Komponen Petani Konvensional Petani SRG
Jumlah (Rp) Jumlah (Rp)
A. Total Biaya 13.032.416 14.267.965
B. Total Penerimaan 24.766.568 30.460.508
C. Pendapatan (B – A) 11.734.152 16.192.543
Sumber: Data primer (diolah), 2017
Berdasarkan data pada Tabel 22, petani SRG memiliki pendapatan lebih
tinggi dibandingkan petani konvensional. Selisih pendapatan antara petani SRG
dengan petani konvensional sebesar Rp 4.458.391 atau 27,53 persen dari total
pendapatan petani SRG. Pendapatan petani melalui Sistem Resi Gudang dapat
meningkatkan harga jual gabah di tingkat petani. Melalui mekanisme tunda jual,
petani mendapatkan margin harga yang lebih tinggi daripada langsung dijual ke
pengepul atau tengkulak. Selain itu, melalui Sistem Resi Gudang, calon pembeli
merasa yakin terhadap kualitas gabah yang ada di gudang SRG, karena sebelum
petani menyimpan gabahnya di gudang SRG, gabah terlebih dahulu dilakukan
pengujian mutu gabah. Hal tersebut yang menjadi nilai tambah bagi petani karena
calon pembeli akan memberikan harga yang lebih baik, sehingga berpengaruh
pada pendapatan petani.
5) Analisis R/C Ratio Usahatani Padi
Analisis R/C ratio usahatani merupakan pengukuran efisiensi suatu
usahatani dengan perbandingan antara penerimaan usahatani dengan total biaya.
Nilai R/C dapat diketahui apakah suatu usaha menguntungkan atau tidak
menguntungkan. Jika nilai R/C > 1 maka suatu usaha dapat dikatakan layak dan
menguntungkan, namun jika nilai R/C < 1, maka suatu usaha tidak layak dan tidak
menguntungkan.
Pada analisis R/C ratio usahatani padi yang dilakukan oleh petani
konvensional memiliki nilai R/C adalah 1,90. Nilai R/C sebesar 1,90
menunjukkan bahwa setiap pengeluaran sebesar Rp 1,00 akan menghasilkan
penerimaan sebesar Rp 1,90. Sedangkan pada petani SRG nilai R/C adalah 2,14.
Nilai R/C ratio sebesar 2,14 menunjukkan bahwa setiap pengeluaran sebesar Rp
112
1,00 akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,14. Berdasarkan nilai R/C ratio
yang didapatkan oleh petani konvensional dan petani SRG menunjukkan bahwa
kegiatan usahatani padi sama-sama memberikan keuantungan. Namun, pada
petani SRG nilai R/C ratio yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan
petani konvensional. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan usahatani padi
dengan memanfaatkan Sistem Resi Gudang lebih menguntungkan dibandingkan
dengan usahatani tanpa melalui Sistem Resi Gudang (konvensional).
Nilai R/C ratio yang didapatkan petani SRG lebih tinggi karena penerimaan
usahatani padi yang diperoleh petani SRG juga tinggi. Penerimaan usahatani padi
pada petani SRG lebih tinggi karena dalam mekanisme Sistem Resi Gudang
menerapkan sistem tunda jual, dimana melalui mekanisme tersebut harga yang
diterima petani menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan menjual gabah
langsung kepada pengepul atau tengkulak. Meskipun demikian, penerimaan dan
pendapatan yang didapatkan petani SRG lebih tinggi, tetapi masih banyak petani
konvensional yang masih menjual hasil panennya secara langsung kepada
pengepul atau tengkulak. Kurangnya minat masyarakat terhadap Sistem Resi
Gudang salah satunya disebabkan karena petani masih belum melakukan
usahatani yang berorientasi bisnis (business oriented). Kehadiran program SRG
merupakan sebuah alternatif kepada petani untuk dapat memberikan nilai tambah
pada gabah yang diproduksi, sehingga dengan adanya pemberian nilai tambah
maka akan meningkatkan harga jual gabah ditingkat petani.
3. Uji Beda Rata-rata
Analisis uji beda rata-rata digunakan untuk mengetahui perbedaan dua
sampel pendapatan petani yang memanfaatkan program SRG dan petani yang
tidak memanfaatkan program SRG. Pengujian beda rata-rata pendapatan petani
menggunakan independent sample t-test. Hasil uji beda rata-rata (independent
sample t-test) dapat dilihat pada Tabel 23.
113
Tabel 23. Hasil Uji Beda Rata-rata (Independent Sample T-Test) Pada Pendapatan
Usahatani Padi
Pendapatan
Levene’s Test
for Equality
of Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig (2-
tailed)
Mean
defference
Std. Error
Difference
Equal
variance
assumed 4,276 0,041 7,443 104 0,000 4387968,809 589542,147
Equal
variance not
assumed
8,890 101,876 0,000 4387968,809 493589,478
Sumber: Data primer (diolah), 2017
Berdasarkan data pada Tabel 23, dapat diketahui bahwa nilai t hitung lebih
besar dari nilai t tabel df 104 (7,443 > 1,6596) dan nilai sig (2-tailed) sebesar
0,000 lebih kecil dari nilai probabilitas (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa
H1 diterima dan H0 ditolak. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
pendapatan antara petani SRG dengan petani konvensional.
5.5.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan
Hasil analisis faktor-faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan
petani dalam memanfaatkan program SRG dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Hasil Uji Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi
Pengambilan Keputusan Petani Memanfaatkan Program SRG
Variabel Koefisien SE Wald Sig. Exp (B)
Umur (X1) 0,532 735 0,525 0,469 1,703
Tingkat Pendidikan (X2) -16,792 2267,280 2,655 0,994 5,317
Luas Lahan (X3) 3,367* 15,482 3,947 0,018 28,994
Produksi Gabah (X4) 5,908* 15,990 4,060 0,038 2,020
Pendapatan Usahatani (X5) 1,020* 0,700 4,126 0,014 2,774
Profesi Non Usahatani (D1) 18,553* 2271,735 4,000 0,048 25,476
Keikutsertaan Kelompok
Tani (D2) 17,667 2271,733 0,312 0,994 23,893
Constant 6,043 984,457 0,317 0,995 21,254
Chi Square (X2
hitung) = 5,941
-2 Log Likelihood block 0 = 40,504
-2 Log Likelihood block 1 = 19,464
Nagelkerke R Square = 0,927
Keterangan:
*) nyata pada α = 0,05 X2
tabel pada df 1 (α = 0,05) = 3,841
114
Hasil lengkap uji regresi logistik mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
keputusan petani dalam meanfaatkan program SRG disajikan di lampiran.
Semenetara itu, langkah-langkah pengujian kelayakan model dalam uji regresi
logistik adalah sebagai berikut:
1) Uji G (Uji Seluruh Model)
Berdasarkan hasil uji G dapat diketahui bahwa variabel bebas (independen)
meliputi umur, tingkat pendidikan, luas lahan, produksi gabah, pendapatan
usahatani dan dummy profesi non usahatani serta dummy keikutsertaan petani
dalam kelompok tani dapat dimasukkan kedalam model. Hal tersebut dibuktikan
pada Tabel 24 bahwa nilai X2 hitung (5,941) lebih besar dari nilai X
2 tabel (3,841)
pada α = 5% (5,941 > 3,841) , sehingga H0 ditolak dan H1 diterima yang artinya
semua variabel dapat dimasukkan ke dalam model.
2) Uji Log Likelihood
Pada Tabel 24 diketahui bahwa nilai log likelihood (block number = 0)
sebesar 40,504 lebih besar daripada nilai log likelihood (block number = 1)
sebesar 19,464. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model
yang digunakan pada analisis regresi logistik sudah baik dan layak untuk
digunakan.
3) Uji Goodness of Fit
Cara untuk mengetahui ukuran ketepatan model regresi logistik yang dipakai
dapat menggunakan uji Goodness of Fit yang dinyatakan dengan persentase
perubahan variabel yang dijelaskan oleh variabel independen yang dimasukkan ke
dalam model regresi logistik. Nilai tersebut menunjukkan persentase variabel
independen yang dimasukkan ke dalam model dapat menjelaskan variabel
dependen, yaitu keputusan petani padi dalam memanfaatkan program Sistem Resi
Gudang.
Berdasarkan data pada Tabel 24, diketahui bahwa nilai Nagelkerke R square
adalah 0,927. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan variabel independen
dalam menjelaskan variabel dependen adalah sebesar 0,927 (92,7%) dan sebanyak
7,3% dapat dijelaskan oleh faktor lain di luar model.
115
Berdasarkan hasil dari ketiga uji model yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa model regresi logistik pada penelitian ini sudah baik dan
layak untuk digunakan. Pada Tabel 24 menunjukkan variabel yang berpengaruh
nyata positif pada keputusan petani padi dalam memanfaatkan program SRG,
yaitu luas lahan (X3), produksi gabah (X4), pendapatan usahatani (X5), dan profesi
non usahatani (D1). Berikut merupakan uraian hasil dan pembahasan dari masing-
masing variabel indpenden yang digunakan.
1. Pengaruh Umur Terhadap Keputusan Petani Memanfaatkan Program SRG
Berdasarkan data pada Tabel 24, dapat diketahui bahwa variabel umur tidak
tampak pengaruhnya terhadap keputusan petani dalam memanfaatkan program
Sistem Resi Gudang. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi 0,469 dan nilai
statistik wald variabel umur < X2
tabel df 1 (0,525 < 3,841). Sementara itu, nilai
exp (B) sebesar 1,703 dapat diartikan bahwa peluang petani padi untuk
memanfaatkan program SRG adalah 1,703 lebih kecil dibandingkan petani padi
konvensional.
Pada penerapan program Sistem Resi Gudang di Kabupaten Cianjur, umur
petani bukan menjadi suatu hal yang utama. Semua petani padi dari kalangan
umur berapa pun dapat memanfaatkan program SRG. Tidak ada kecenderungan
umur tertentu pada petani SRG ataupun petani padi konvensional. Petani padi
dengan tingkat umur yang berbeda-beda tetap memilih sistem penjualan gabah
yang menurut mereka lebih menguntungkan, karena mayoritas petani padi di
daerah penelitian sudah dari sejak kecil ikut terlibat dalam kegiatan usahatani dan
memiliki pengalaman usahatani yang hampir sama, sehingga dalam analisis ini,
faktor umur tidak memengaruhi keputusan petani dalam memanfaatkan program
Sistem Resi Gudang.
2. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Keputusan Petani Memanfaatkan
Program SRG
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik Tabel 24, dapat diketahui bahwa
variabel tingkat pendidikan tidak tampak pengaruhnya terhadap keputusan petani
dalam memanfaatkan program Sistem Resi Gudang. Hal ini dapat dilihat dari nilai
116
signifikansi sebesar 0,994 dan nilai statistik wald variabel umur < X2
tabel df 1
(2,655 < 3,841). Sementara itu, nilai exp (B) sebesar 5,317 dapat diartikan bahwa
peluang petani padi untuk memanfaatkan program SRG adalah 5,317 lebih kecil
dibandingkan petani padi konvensional.
Petani yang memanfaatkan program Sistem Resi Gudang memiliki tingkat
pendidikan yang berbeda-beda. Namun faktor tingkat pendidikan bukan menjadi
pertimbangan petani responden dalam memanfaatkan program SRG. Meskipun
demikian, pendidikan merupakan hal yang perlu diperhatikan, karena jika petani
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka akan memengaruhi pola pikir
petani di dalam mengambil keputusan. Menurut Arroba (1998), terdapat lima
faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan, salah satunya adalah tingkat
pendidikan. Sedangkan menurut Kotler (2009), tingkat pendidikan akan
memengaruhi faktor psikologis seseorang yang berkaitan dengan pengetahuan,
motivasi, persepsi, keyakinan, dan pendirian.
3. Pengaruh Luas Lahan Terhadap Keputusan Petani Memanfaatkan Program
SRG
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik pada Tabel 24, dapat diketahui
bahwa variabel luas lahan berpengaruh positif nyata terhadap keputusan petani
padi dalam memanfaatkan program Sistem Resi Gudang. Hal ini dibuktikan
dengan nilai signifikansi sebesar 0,018 dengan nilai statistik wald lebih besar
daripada X2
tabel df 1 (3,947 > 3,841). Sementara itu, nilai exp (B) sebesar 28,994
dapat diartikan bahwa peluang petani padi untuk memanfaatkan program SRG
adalah 28,994 lebih besar dibandingkan petani padi konvensional.
Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh terhadap keputusan
petani padi dalam memanfaatkan program SRG. Semakin luas lahan garapan
petani untuk usahatani padi, maka semakin besar peluang petani untuk
memanfaatkan program SRG. Luas lahan yang digunakan untuk usahatani padi
pada petani SRG dan petani konvensional menjadi pertimbangan yang penting,
karena luas lahan garapan petani akan sangat berpengaruh terhadap hasil panen
117
yang didapatkan. Semakin luas lahan garapan petani, maka akan berpengaruh
terhadap hasil produksi usahatani padi.
4. Pengaruh Produksi Gabah Terhadap Keputusan Petani Memanfaatkan
Program SRG
Berdasarkan data hasil analisis regresi logistik pada Tabel 24, diketahui
bahwa variabel produksi gabah berpengaruh positif nyata terhadap keputusan
petani memanfaatkan program Sistem Resi Gudang. Hal ini dibuktikan dengan
nilai signifikansi sebesar 0,038 dengan nilai statistik wald lebih besar daripada X2
tabel df 1 (0,4,060 > 3,841). Sementara itu, nilai exp (B) = 2,020 dapat diartikan
bahwa peluang petani padi untuk memanfaatkan program SRG adalah 2,020 lebih
besar dibandingkan petani padi konvensional.
Pada pelaksanaan program SRG di Kabupaten Cianjur, produksi gabah
merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan petani untuk memanfaatkan
program SRG. Jumlah gabah yang menjadi syarat untuk dapat disimpan di gudang
SRG adalah sebanyak 10 ton, sehingga untuk dapat merealisasikan hal tersebut,
petani mempertimbangkan hal itu untuk dapat memanfaatkan program SRG.
Petani padi dengan produksi gabah yang tinggi akan berpeluang lebih besar untuk
memanfaatkan progam SRG dibandingkan petani yang memiliki produksi gabah
yang sedikit. Akan tetapi, petani dengan hasil produksi gabah yang sedikit juga
dapat memanfaatkan program SRG melalui kelompok tani atau koperasi yang ada
di desa. Penyimpanan gabah dapat dilakukan secara kolektif melalui kelompok
tani atau koperasi, sehingga bisa memenuhi syarat penyimpanan gabah di gudang.
5. Pengaruh Pendapatan Usahatani Terhadap Keputusan Petani Memanfaatkan
Program SRG
Berdasarkan data hasil analisis regresi logistik pada Tabel 24, diketahui
bahwa variabel pendapatan usahatani berpengaruh nyata positif terhadap
keputusan petani padi memanfaatkan program Sistem Resi Gudang. Hal ini
dibuktikan dengan nilai signifikasi sebesar 0,014 dan nilai koefisien sebesar 1,020
serta nilai statistik wald lebih besar daripada X2
tabel df 1 (4,126 > 3,841).
Sementara itu, nilai exp (B) sebesar 2,774 dapat diartikan bahwa peluang petani
118
padi untuk memanfaatkan program SRG adalah 2,774 lebih besar dibandingkan
petani padi konvensional.
Pelaksanaan program SRG di Kabupaten Cianjur efektif meningkatkan
pendapatan petani padi. Berdasarkan hasil perhitungan pada analisis usahatani,
selisih pendapatan antara petani SRG dengan petani konvensional adalah
Rp 4.458.391. Pendapatan petani SRG lebih tinggi terjadi karena adanya
pemberian nilai tambah pada gabah yang dijual. Petani SRG menyimpan dan
menjual gabah dalam bentuk gabah kering giling (GKG). Gabah kering giling
memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual gabah
kering panen. Selain itu, penerapan mekanisme tunda jual pada program SRG
dapat meningkatkan harga jual gabah yang disimpan. Melalui mekanisme tunda
jual akan memberikan margin harga pada gabah yang dijual.
Sementara itu, selama proses penyimpanan berlangsung, petani SRG juga
akan memperoleh pembiayaan dari bank sebagai jaminan dari resi gudang yang
dimiliki petani. Pembiayaan tersebut diberikan oleh pihak bank maksimal 70
persen dari nilai resi gudang yang dijaminkan. Pembiayaan tersebut digunakan
oleh petani untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/ atau untuk membeli gabah
petani padi lainnya yang kemudian disimpan lagi di gudang SRG. Cara tersebut
sering dilakukan petani untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
6. Pengaruh Kepemilikan Profesi di Bidang Non Usahatani Terhadap Keputusan
Petani Memanfaatkan Program SRG
Berdasarkan data hasil analisis regresi logistik pada Tabel 24, diketahui
bahwa dummy kepemilikan profesi di bidang non usahatani berpengaruh positif
nyata terhadap keputusan petani untuk memanfaatkan program SRG. Hal tersebut
dibuktikan dari nilai signifikansi dummy profesi non usahatani sebesar 0,048 dan
nilai koefisien sebesar 18,553 serta nilai statistik wald lebih besar daripada X2
tabel df 1 (4,000 > 3,841). Sementara itu, nilai exp (B) sebesar 25,476 dapat
diartikan bahwa peluang petani padi untuk memanfaatkan program SRG adalah
25,476 lebih besar dibandingkan petani padi konvensional.
119
Kepemilikan profesi di bidang non usahatani merupakan hal yang penting
dalam pengambilan keputusan petani untuk memanfaatkan program SRG. Pada
penerapan program SRG di Kabupaten Cianjur, banyak petani SRG yang
memiliki profesi di bidang non usahatani. Seperti yang telah dijelaskan pada
subbab karakteristik petani berdasarkan kepemilikan profesi di bidang non
usahatani, terdapat 54,29 persen petani SRG yang memilki profesi di bidang non
usahatani, sedangkan pada petani konvensional hanya 23,94 persen saja petani
yang memiliki profesi di bidang non usahatani.
Petani padi yang memiliki profesi di bidang non usahatani lebih berpeluang
untuk memanfaatkan program SRG karena dengan memiliki profesi di bidang non
usahatani, maka petani memiliki sumber pendapatan lain untuk menopang
kebutuhan rumah tangganya selama proses penyimpanan gabah berlangsung.
Banyak petani padi yang belum mau untuk memanfaatkan program SRG karena
tidak memiliki sumber pendapatan lain selain usahatani padi, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya petani akan lebih memilih menjual langsung
gabahnya ke tengkulak atau pengepul dan akan langsung mendapatkan uang
sesuai harga yang telah disepakati.
7. Pengaruh Kelompok Tani Terhadap Keputusan Petani Memanfaatkan Program
SRG
Berdasarkan data hasil analisis regresi logistik pada Tabel 24, diketahui
bahwa dummy keikutsertaan petani dalam kelompok tani tidak tampak
pengaruhnya terhadap keputusan petani untuk memanfaatkan program SRG. Hal
tersebut dibuktikan dari nilai signifikansi dummy keikutsertaan petani dalam
kelompok tani lebih besar dari 0,05 yaitu 0,994 dan nilai koefisien sebesar 17,667
serta nilai statistik wald lebih kecil daripada X2
tabel df 1 (0,000 < 3,841).
Sementara itu, nilai exp (B) sebesar 23,893 dapat diartikan bahwa peluang petani
padi untuk memanfaatkan program SRG adalah 23,893 lebih kecil dibandingkan
petani padi konvensional.
Keberadaan kelompok tani di desa Jambudipa tidak berperan secara optimal.
Fungsi kelompok tani yang seharusnya dapat menjadi media aspirasi petani dan
120
sarana edukasi bagi petani secara massal tidak berjalan dengan baik. Peran
kelompok tani di desa Jambudipa hanya sebatas pada teknik budidaya padi saja
yang melibatkan penyuluh lapang. Eksistensi kelompok tani hanya dimanfaatkan
oleh para petani sebagai media untuk mendapatkan bantuan atau subsidi dari
program pemerintah yang sedang berjalan. Keterlibatan para petani di dalam
kelompok tani juga sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya petani
yang aktif dalam mengurus kelompok tani. Menurut informasi dari penyuluh
lapang di desa Jambudipa, pada kegiatan kelompok tani seringkali hanya dihadiri
oleh petani yang memiliki jabatan di dalam kelompok tani tersebut, seperti ketua
kelompok tani, sekretaris, dan bendahara. Peran kelompok tani yang belum
optimal dan keterlibatan petani dalam kelompok tani yang masih rendah
menyebabkan realisasi program SRG cenderung stagnan dan sulit untuk
memanfaatkan program SRG secara kolefktif.
121
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dijelaskan dalam penelitian ini,
maka peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pada implementasi program Sistem Resi Gudang di Kabupaten Cianjur,
kinerja pengelolaan program SRG masih belum sepenuhnya berjalan dengan
optimal. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil dari gap analysis atau analisis
kesenjangan yang menunjukkan bahwa terdapat variabel bernilai fit, tetapi ada
juga variabel yang bernilai partial dan gap. Variabel yang memiliki nilai fit,
meliputi uji mutu gabah, akses pasar dan jaminan resi gudang, dan fasilitas
gudang SRG. Sementara itu, variabel yang memiliki nilai partial adalah
peserta SRG, sedangkan variabel yang memiliki nilai gap adalah sosialisasi
program SRG, dan pengawasan Bappebti. Walaupun demikian, Koperasi
Niaga Mukti sebagai pengelola gudang SRG di Kabupaten Cianjur terus
berupaya memberikan pelayanan yang terbaik kepada petani yang ingin
memanfaatkan program SRG.
2. Pelaksanaan program SRG di Kabupaten Cianjur terbukti efektif dalam
meningkatkan pendapatan petani padi. Petani yang memanfaatkan program
Sistem Resi Gudang memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada petani
konvensional. Selisih pendapatan rata-rata per hektar antara petani SRG
dengan petani konvensional, yaitu Rp 4.458.391.
3. Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan dalam pengambilan
keputusan petani padi dalam memanfaatkan program Sistem Resi Gudang di
Kabupaten Cianjur meliputi:
a. Luas lahan
Luas lahan yang digunakan untuk usahatani padi pada petani SRG dan
petani konvensional menjadi pertimbangan yang penting, karena luas
lahan garapan petani akan sangat berpengaruh terhadap hasil panen yang
122
didapatkan. Semakin luas lahan garapan petani, maka akan berpengaruh
terhadap hasil produksi usahatani padi.
b. Produksi gabah
Petani padi dengan produksi gabah yang tinggi akan berpeluang lebih
besar untuk memanfaatkan progam SRG dibandingkan petani yang
memiliki produksi gabah yang sedikit. Akan tetapi, petani dengan hasil
produksi gabah yang sedikit juga dapat memanfaatkan program SRG
melalui kelompok tani atau koperasi yang ada di desa. Penyimpanan gabah
dapat dilakukan secara kolektif melalui kelompok tani atau koperasi,
sehingga bisa memenuhi syarat penyimpanan gabah di gudang SRG.
c. Pendapatan usahatani
Peluang petani padi untuk memanfaatkan program SRG lebih besar
dibandingkan petani padi konvensional. Petani SRG memiliki pendapatan
usahatani lebih tinggi daripada petani konvensional dengan selisih
pendapatan sebesar Rp 4.458.391.
d. Kepemilikan profesi non usahatani
Petani padi yang memiliki profesi di bidang non usahatani lebih
berpeluang untuk memanfaatkan program SRG karena dengan memiliki
profesi di bidang non usahatani, maka petani memiliki sumber pendapatan
lain untuk menopang kebutuhan rumah tangganya selama proses
penyimpanan gabah berlangsung.
6.2 Saran
Pada pelaksanaan program Sistem Resi Gudang di Kabupaten Cianjur,
pemerintah daerah, dalam hal ini adalah pemerintah Kabupaten Cianjur
hendaknya ikut terlibat dalam mensosialisasikan program SRG. Keterlibatan
pemerintah daerah yang perlu dilakukan adalah mencari dan menentukan tokoh
masyarakat (influencer) yang berasal dari daerah sekitar yang mampu
memberikan motivasi dan pengaruh kepada petani untuk dapat memanfaatkan
program Sistem Resi Gudang. Selain itu, pemerintah Kabupaten Cianjur melalui
Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan perlu dilibatkan juga
123
dalam melakukan pengawasan pelaksanaan program SRG. Pengawasan bertujuan
untuk mengawasi pihak yang melanggar aturan di dalam pelaksanaan program
SRG. Meskipun pengawasan dilakukan oleh dinas terkait, namun tetap harus
melakukan koordinasi dengan Bappebti sebagai institusi resmi yang mengawasi
pelaksanaan program Sistem Resi Gudang.
Sementara itu, upaya yang perlu dilakukan dalam meningkatkan partisipasi
petani untuk memanfaatkan program SRG adalah dengan memberikan keringanan
jumlah minimum gabah yang akan disimpan dan memberikan subsidi biaya jasa
SRG. Keringanan jumlah minimum gabah menjadi hal yang perlu diperhatikan,
karena selama ini petani merasa tidak mampu untuk menyimpan gabahnya di
gudang SRG karena jumlah minimum gabah yang dapat disimpan adalah 10 ton.
Hal tersebut tentu sulit dicapai oleh para petani karena mayoritas petani hanya
dapat memproduksi gabah kurang dari 10 ton. Selain itu, pemberian subsidi biaya
jasa SRG kepada petani perlu dilakukan. Pemberian subsidi biaya jasa SRG ini
bertujuan untuk meringankan beban petani. Adanya subsidi biaya jasa SRG
diharapkan mampu menarik minat petani untuk memanfaatkan program SRG dan
dapat merasakan dampak yang positif, seperti kemudahan akses pasar dan
mendapatkan harga jual yang optimal setelah memanfaatkan program SRG.
124
DAFTAR PUSTAKA
Apriliana, A.M., dan Mustadjab, M. 2016. Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Menggunakan
Benih Hibrida Pada Usahatani Jagung (Studi Kasus di Desa Patokpicis,
Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang). Jurnal Habitat. Volume 27 No.1 :
7-13.
Arroba, T. 1998. Decision Making by Chinese – US Journal of Social Psychology.
Ashari., Ariningsih, E., Supriyatna, Y., Adawiyah, C.R., dan Suharyono, S. 2013.
Kajian Effektivitas Sistem Resi Gudang dalam Stabilisasi Pendapatan
Petani. Laporan Kegiatan Kajian Isu-isu Aktual Kebijakan Pembangunan
Pertanian 2013. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Azmi, Zainul. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani
Mengikuti Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Serta
Pengaruhnya Terhadap Pendapatan dan Curahan Kerja. Tesis. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Litbang Pertanian. 2012. Varietas Unggul Baru. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Cianjur dalam Angka 2014. Cianjur: BPS
Kabupaten Cianjur.
Badan Pusat Statistik. 2015a. Produktivitas Gabah Indonesia. Subdirektorat
Statistik Perdagangan Dalam Negeri. Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2015b. Distribusi Perdagangan Komoditas Beras
Indonesia. Subdirektorat Statistik Perdagangan Dalam Negeri. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2016. Kabupaten Cianjur dalam Angka 2016. Cianjur: BPS
Kabupaten Cianjur.
Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Padi Indonesia Tahun 2013-2015.
Subdirektorat Statistik Perdagangan Dalam Negeri. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Padi Menurut Kabupaten/Kota di Jawa
Barat Tahun 2010-2015. Bandung: BPS Provinsi Jawa Barat.
Badan Standarisasi Nasional. 1993. Standar Mutu Gabah SNI 01-0224-1987.
BSN: Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2016. Ketentuan Gudang Komoditas Pertanian
Nomor 7331:2016. BSN: Jakarta.
125
Bappebti. 2016a. Himpunan Peraturan di Bidang Sistem Resi Gudang. Jilid 1.
Jakarta: Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.
Bappebti. 2016b. Laporan Rekapitulasi Transaksi Sistem Resi Gudang Tahun
2016. Biro Pasar Fisik dan Jasa. Jakarta.
Bappebti. 2016c. Sistem Resi Gudang Memberdayakan Bangsa. Biro Pasar Fisik
dan Jasa. Jakarta.
Budiyanto, E. 2013. Sistem Informasi Manajemen Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Coulter, J. dan Onumah, G. 2002. The Role of Warehouse Receipt Systems in
Enhanced Commodity Marketing and Rural Livelihoods in Africa. Food
Policy Journal. Vol. 27 No. 1 : 319-337.
Dagun, M. Save. 2006. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga
Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN).
Dewi, M. 2016. Biaya Transaksi Sistem Resi Gudang Gabah. Tesis. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Djunaedi. 2003. Efektivitas Komunikasi di dalam Program Imbal Swadaya di
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dwiyanto, A. 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: UGM Press.
Febriantie, C. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani
Dalam Adopsi Tumpangsari Tanaman Salak dengan Cabai di Desa
Mranggen Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Hadian, Y.N., Mutakin, F., Utama, R., Hartini, S., dan Nasrun. 2014. Analisis
Implementasi Sistem Resi Gudang Komoditi Lada. Jakarta: Pusat
Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia.
Hadiutomo, K. 2012. Mekanisasi Pertanian. Bogor: IPB Press.
Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: UGM Press.
Hasbi. 2012. Perbaikan Teknologi Pasca Panen Padi di Lahan Suboptimal. Jurnal
Lahan Suboptimal. Vol. 1 No. 2 : 186 - 196.
Kartasapoetra, G. 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Bina Aksara.
Kotler, Phillip. 2009. Manajemen Pemasaran. Edisi ketigabelas. Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
126
Mahsun, M. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Mardikanto, T. 2007. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
Peter, P. dan Olson, C.J. 2013. Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran. Buku
1 Edisi 9. Jakarta: Salemba Empat.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.
Reason, James. 1990. Human Error. Ashgate. ISBN 1-84014-104-2.
Riana, D. 2010. Penggunaan Sistem Resi Gudang Sebagai Jaminan Bagi
Perbankan di Indonesia. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.
RPJMDes. 2016. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Jambudipa
2016 – 2022. Sekertariat Desa Jambudipa: Kabupaten Cianjur.
Salusu. 2004. Pengambilan Keputusan Stratejik. Edisi 7. Jakarta: Grasindo.
Soemartono, B. 1992. Bercocok Tanam Padi. Jakarta: CV.Yasaguna.
Suharnan. 2005. Psikologi Kognintif. Surabaya: Srikandi.
Sukmawati, A. 2013. Analisis Implementasi Kebijakan Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran di Kementerian Pertanian Dalam Rangka
Meningkatkan Kinerja Sektor Pertanian. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Suryani, E., Erwidodo., dan Anugrah, I.S. 2014. Sistem Resi Gudang di
Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan. Analisis Kebijakan Pertanian.
Vol 12 No. 1 : 69-86.
Syamsi, Ibnu. 2000. Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Terry, R. George. 2010. Dasar-dasar Manajemen. Edisi kesebelas. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Theresia, V., Fariyanti, A., dan Tinaprilla, N. 2016. Pengambilan Keputusan
Terhadap Penggunaan Benih Bawang Merah Lokal dan Impor di Cirebon,
Jawa Barat. Jurnal Agraris. Vol. 2 No. 1 : 50-60.
Tisnawati, E. dan Saefullah, K. 2009. Pengantar Manajemen. Jakarta:
Kencana Perdana Media Group.
Umar, S. 2011. Pengaruh Sistem Penggilingan Padi Terhadap Kualitas Gilingan
di Sentra Produksi Beras Lahan Pasang Surut. Jurnal Teknologi
Pertanian. Vol. 7 No. 1 : 9-17.
127
Wibowo. 2007. Manajemen Kinerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Widiyani, M. 2014. Analisis Program Sistem Resi Gudang di Kabupaten
Indramayu. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Widodo, J. 2006. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Jakarta:
Bayumedia Publishing.
Yusuf, H. 2004. Efektivitas Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penyelesaian
Konflik Masyarakat di Maluku Utara. Tesis. Program Studi Komunikasi
Pembangunan Pertanian dan pedesaan. Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.