ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA...

15
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO ANALYSIS OF FACTORS RELATED TO THE OCCURRENCE OF DIARRHEA IN CHILDREN IN THE CITY OF HEALTH MUNGKAJANG PALOPO Jumadil 1 , Juspin Landung 2 AKADEMI KEPERAWATAN SAWERIGADING PEMDA LUWU ABSTRACT Diarrheal disease is one disease that commonly affects infants and young children, said diarrhea when frekuensianya more than 3 times a day. PHC Mungkajang in Palopo, diarrheal disease in the top ten greatest disease which ranks sixth with a proportion of 2.44%. This study aims to mengenalisis factors most dominant on the incidence of diarrhea in infants in PHC Mungkajang Palopo. The research method is analytical survey with case control design. Population in this research are children who live in PHC Mungkajang Palopo. Samples were taken by proportional random sampling totaling 246 people. Data analysis included univariate, bivariate and multivariate. The results showed that there is no correlation age, sex, measles immunization, maternal age, mother's occupation and environmental sanitation with the incidence of diarrhea in infants (p> 0.05) and there is a relationship of nutritional status, exclusive breastfeeding, education, personal hygiene, water supply Clean and availability toilet with diarrhea (p <0.05). The most predominant risk factors associated with the incidence of diarrhea in children under five is personal hygiene with OR = 3,065 (p = 0.001) and Exp (B) = 3,065. Models of logistic regression equations known to toddlers who are not exclusively breastfed and personal hygiene, provision of clean water and poor availability of latrines, then have a probability of occurrence of diarrhea by 48%. Advised the public to raise awareness to behave clean and healthy lifestyle in reducing the frequency of morbidity of diarrhea in infants. Keywords: toddler factors, maternal factors, environmental factors, the incidence of diarrhea PENDAHULUAN Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan derajat kesakitan dan kematian yang tinggi di berbagai negara terutama di negara berkembang, dan sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian anak di dunia. Secara umum, diperkirakan lebih dari 10 juta anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahunnya, sekitar 20 % meninggal karena infeksi diare (Kosek, M., 2003). Setiap tahun diperkirakan 2,5 miliar kejadian diare pada anak balita, dan hampir tidak ada perubahan dalam dua dekade terakhir. Diare pada balita tersebut lebih dari separohnya terjadi di Afrika dan Asia Selatan, dapat mengakibatkan kematian atau keadaan berat lainnya.Insidens diare bervariasi menurut musim dan umur. Anak-anak adalah kelompok usia rentan terhadap diare, insiden diare tertinggi pada kelompok anak usia dibawah dua tahun, dan menurun dengan bertambahnya usia anak (Parashar, 2003). The Millenium Development Goals (MDG’s) menargetkan untuk menurunkan dua per tiga kematian anak dalam periode 1990- 2015. Diare menduduki urutan kedua penyebab kematian pada anak 5, dan sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kematian anak di dunia (UNICEF-WHO, 2009) Dari hasil Riskesdas 2013 dibawah period prevalens diare agar bisa dibandingkan dengan Riskesdas 2007. Period prevalen diare pada Riskesdas 2013 (3,5%) lebih kecil dari Riskesdas 2007 (9,0%). Penurunan period prevalen yang tinggi ini dimungkinkan karena waktu pengambilan sampel yang tidak sama antara 2007 dan 2013. Pada Riskesdas 2013

Transcript of ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA...

Page 1: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA

BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

ANALYSIS OF FACTORS RELATED TO THE OCCURRENCE OF DIARRHEA IN

CHILDREN IN THE CITY OF HEALTH MUNGKAJANG PALOPO

Jumadil1, Juspin Landung

2

AKADEMI KEPERAWATAN SAWERIGADING PEMDA LUWU

ABSTRACT

Diarrheal disease is one disease that commonly affects infants and young children, said diarrhea

when frekuensianya more than 3 times a day. PHC Mungkajang in Palopo, diarrheal disease in the

top ten greatest disease which ranks sixth with a proportion of 2.44%. This study aims to

mengenalisis factors most dominant on the incidence of diarrhea in infants in PHC Mungkajang

Palopo. The research method is analytical survey with case control design. Population in this

research are children who live in PHC Mungkajang Palopo. Samples were taken by proportional

random sampling totaling 246 people. Data analysis included univariate, bivariate and multivariate.

The results showed that there is no correlation age, sex, measles immunization, maternal age,

mother's occupation and environmental sanitation with the incidence of diarrhea in infants (p>

0.05) and there is a relationship of nutritional status, exclusive breastfeeding, education, personal

hygiene, water supply Clean and availability toilet with diarrhea (p <0.05). The most predominant

risk factors associated with the incidence of diarrhea in children under five is personal hygiene with

OR = 3,065 (p = 0.001) and Exp (B) = 3,065. Models of logistic regression equations known to

toddlers who are not exclusively breastfed and personal hygiene, provision of clean water and poor

availability of latrines, then have a probability of occurrence of diarrhea by 48%. Advised the

public to raise awareness to behave clean and healthy lifestyle in reducing the frequency of

morbidity of diarrhea in infants.

Keywords: toddler factors, maternal factors, environmental factors, the incidence of diarrhea

PENDAHULUAN

Penyakit diare masih merupakan masalah

global dengan derajat kesakitan dan kematian

yang tinggi di berbagai negara terutama di

negara berkembang, dan sebagai salah satu

penyebab utama tingginya angka kesakitan dan

kematian anak di dunia. Secara umum,

diperkirakan lebih dari 10 juta anak berusia

kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahunnya,

sekitar 20 % meninggal karena infeksi diare

(Kosek, M., 2003).

Setiap tahun diperkirakan 2,5 miliar

kejadian diare pada anak balita, dan hampir

tidak ada perubahan dalam dua dekade terakhir.

Diare pada balita tersebut lebih dari separohnya

terjadi di Afrika dan Asia Selatan, dapat

mengakibatkan kematian atau keadaan berat

lainnya.Insidens diare bervariasi menurut

musim dan umur. Anak-anak adalah kelompok

usia rentan terhadap diare, insiden diare

tertinggi pada kelompok anak usia dibawah dua

tahun, dan menurun dengan bertambahnya usia

anak (Parashar, 2003).

The Millenium Development Goals

(MDG’s) menargetkan untuk menurunkan dua

per tiga kematian anak dalam periode 1990-

2015. Diare menduduki urutan kedua penyebab

kematian pada anak 5, dan sebagai salah satu

penyebab utama tingginya angka kematian anak

di dunia (UNICEF-WHO, 2009)

Dari hasil Riskesdas 2013 dibawah period

prevalens diare agar bisa dibandingkan dengan

Riskesdas 2007. Period prevalen diare pada

Riskesdas 2013 (3,5%) lebih kecil dari

Riskesdas 2007 (9,0%). Penurunan period

prevalen yang tinggi ini dimungkinkan karena

waktu pengambilan sampel yang tidak sama

antara 2007 dan 2013. Pada Riskesdas 2013

Page 2: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

sampel diambil dalam rentang waktu yang lebih

singkat. Lima provinsi dengan insiden dan

period prevalen diare tertinggi adalah Papua

(6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan

10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat

(4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah (4,4%

dan 8,8%). Insiden diare untuk seluruh

kelompok umur di Indonesia adalah 3.5 persen.

Insiden dan period prevalence diare untuk

seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3,5

persen dan 7,0 persen. Insiden diare pada

kelompok usia balita di Indonesia adalah 10,2

persen. Berdasarkan karakteristik penduduk,

kelompok umur balita adalah kelompok yang

paling tinggi menderita diare.dan merupakan

penyebab utama kematian pada balita. Dari

hasil Riskesdas Tahun 2013 menunjukkan

bahwa Insiden diare balita di Indonesia adalah

6,7 persen. Karakteristik diare balita tertinggi

terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan

(7,6%), laki-laki (5,5%). (Balitbang Depkes RI,

2013)

Faktor risiko yang sangat berpengaruh

untuk terjadinya diare pada balita yaitu status

kesehatan lingkungan (penggunaan sarana air

bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah,

pembuangan air limbah) dan perilaku hidup

sehat dalam keluarga. Sedangkan secara klinis

penyebab diare dapat dikelompokkan dalam

enam kelompok besar yaitu infeksi (yang

meliputi infeksi bakteri, virus dan parasit),

malabsorpsi, alergi, keracunan (keracunan

bahan-bahan kimia, keracunan oleh racun yang

dikandung dan diproduksi baik

jazad renik, ikan, buah-buahan, sayur-sayuran,

algae dll), imunisasi, defisiensi dan sebab-sebab

lain (Latif, B. 2010)

Upaya pemerintah dalam menanggulangi

penyakit diare, terutama diare pada balita sudah

dilakukan melalui peningkatan kondisi

lingkungan baik melalui program proyek desa

tertinggal maupun proyek lainnya, namun

sampai saat ini belum mencapai tujuan yang

diharapkan, karena kejadian penyakit diare

masih belum menurun. Apabila diare pada

balita ini tidak ditangani secara maksimal dari

berbagai sektor dan bukan hanya tanggung

jawab pemerintah saja tetapi masyarakatpun

diharapkan dapat ikut serta menanggulangi dan

mencegah terjadinya diare pada balita ini,

karena apabila hal itu tidak dilaksanakan maka

dapat menimbulkan kerugian baik itu

kehilangan biaya untuk pengobatan yang cukup

besar ataupun dapat pula menimbulkan

kematian pada balita yang terkena diare

(Sinthamurniwaty,2006). Berbagai upaya dilakukan untuk

menurunkan angka kejadian diare, namun

kenyataannya hasilnya belum sesuai dengan

yang diharapkan. Menurut Profil Kesehatan

Kota Palopo tahun 2013 dilaporkan proporsi

penderita rawat jalan di puskesmas untuk balita

2,68% yaitu 8.996 penderita dari 80.706 seluruh

penderita berbagai jenis penyakit dan lain-lain.

Penyakit diare menduduki urutan ke empat pada

sepuluh penyakit terbesar di seluruh puskesmas

kota palopo.

Berdasarkan laporan SP2TP di puskesmas

Mungkajang Kota Palopo yang wilayah

kerjanya adalah Kecamatan Mungkajang,

didapatkan bahwa penyakit diare masuk dalam

sepuluh penyakit terbesar yang menduduki

peringkat ke enam dengan proporsi sebesar

2,44%. Berdasarkan latar belakang yang telah

diuraikan di atas, maka perlu dilakukan

penelitian tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian diare pada anak

balita di wilayah kerja Puskesmas Mungkajang

Kota Palopo.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian

analitik, dengan menggunakan desain cross

sectional yang dilaksanakan di wilayah kerja

Puskesmas Mungkajang Kota Palopo tahun

2015. Variabel bebas adalah faktor balita

(umur, jenis kelamin, status gizi, imunisasi

campak dan ASI ekslusif), faktor ibu (umur,

pendidikan dan pekerjaan) dan faktor

lingkungan (sanitasi lingkungan, personal

hygiene, penyediaan air bersih dan ketersediaan

jamban). Variabel terikat adalah kejadian diare

pada balita. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh anak balita yang tinggal di

Puskesmas Mungkajang. Penggambilan Sampel

dalam penelitian ini adalah probability Random

Sampling dengan cara proportional random

sampling yaitu populasi mempunyai anggota

atau unsur yang tidak homogen dan berstrata

secara proporsional.

Page 3: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

Metode pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan

instrumen penelitian berupa kuesioner. Data

yang sudah terkumpul di olah secara manual

dan dilanjutkan dengan bantuan computer

dengan program SPSS (Statistical Product and

Service Solution), melalui tahapan editing,

coding, entry data dan cleaning. Analisis data

yang dilakukan adalah analisis univariat untuk

memperoleh gambaran distribusi frekuensi atau

besarnya proporsi berdasarkan variabel yang

diteliti. Analisis bivariat dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara variabel bebas dan

variabel terikat dengan menghitung rasio

prevalensdengan ujiChi-Square dengan tingkat

kepercayaan 95% (α = 0,05). Analisis

multivariat dilakukan untuk mengetahui

hubungan variabel yang mempunyai

kemaknaan statistik pada analisis bivariat,

melalui analisis regresi logistik berganda

(Multiple Logistic Regression) untuk mencari

faktor risiko yang paling dominan pada

beberapa variabel yang dilakukan secara

bersama-sama terhadap terhadap kejadian diare.

Hipotesis a. Ada hubungan faktor anak balita (umur,

jenis kelamin, status gizi, status imunisasi,

dan ASI eksklusif) dengan kejadian diare

b. Ada hubungan faktor ibu (umur,

pendidikan, dan pekerjaan) dengan kejadian

diare pada anak balita.

c. Ada hubungan faktor lingkungan (sanitasi

lingkungan, personal hygiene, penyediaan

air bersih dan ketersediaan jamban) dengan

kejadian diare pada anak balita.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Analisis Bivariat

Tabel 1.

Hasil Analisis Bivariat Faktor Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang

Kota Palopo Tahun 2015

Variabel

Kejadian Diare

Ya Tidak Total

f % f % f %

Umur

<24 bulan 39 37.9 64 62.1 103 100

≥24 bulan 38 26.6 105 73.4 143 100

ρ = 0.060 : RP = 1.684 (95% CI=0.977-2.902)

Jenis Kelamin

Laki-laki 39 35.5 71 64.5 110 100

Perempuan 38 27.9 98 72.1 136 100

ρ = 0.206: RP = 1.417 (95% CI=0.825-2.434)

Status Gizi

Kurang 21 44.7 26 55.3 47 100

Baik 56 28.1 143 71.9 136 100

ρ = 0.028: RP = 2.063 (95% CI=1.074-3.962)

Imunisasi Campak

Tidak 12 34.3 23 65.7 35 100

Ya 65 30.8 146 69.2 211 100

ρ = 0.681: RP = 1.172 (95% CI=0.550-2.498)

1. ASI Eksklusif

Tidak 30 43.5 39 56.5 69 100

Ya 47 26.6 130 73.4 177 100

ρ = 0.010 : RP = 2.128 (95% CI=1.190-3.805)

Umur Balita

Umur merupakan salah satu variabel yang

dipakai untuk memprediksi perbedaan dalam

hal penyakit, kondisi dan peristiwa kesehatan.

Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada

bayi daripada anak yang lebih besar. Penyakit

diare tersebar di semua kelompok umur dengan

insidensi tertinggi terdeteksi pada anak balita

(1-4 tahun) (Kemenkes RI. 2011).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa

prevalens rate kejadian diare pada balita dengan

umur <24 bulan sebesar 37.9 % sedangkan pada

balita dengan umur ≥24 bulan sebesar 26.6 %..

Hal ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian

diare pada usia < 24 bulan lebih tinggi dari

pada usia ≥ 24 bulan, hal ini disebakan karena

balita pada umur < 24 bulan sangat rentan

terhadap serangan berbagai macam penyakit

khusunya penyakit diare. Faktor penyebabnya

adalah akibat rendahnya daya tahan tubuh anak

sehingga rentan untuk terkena penyakit infeksi

seperti diare. Selain itu Balita juga banyak yang

tidak memperoleh ASI eksklusif dan tidak

memperoleh ASI selama 2 tahun penuh serta

belum tepatnya waktu pemberian kolostrum

pada anak sehingga daya tahan tubuh anak

menjadi berkurang.

Hasil survei Demografi dan Kesehatan

Indonesia tahun 1991 (BPS, 1993) juga

menemukan bahwa semakin muda usia anak

balita semakin besar kecenderungan terkena

penyakit diare, kecuali pada kelompok usia

Page 4: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

kurang dari enam bulan, yang mungkin

disebabkan makanan bayi masih sangat

tergantuing pada Air Susu Ibu (ASI). Balita

pada usia < 24 bulan sangat rentan terhadap

serangan berbagai macam penyakit khusunya

penyakit diare akibat rendahnya daya tahan

tubuh anak. Balita pada usia ini mengalami

masa transisi setelah dia bergantung

sepenuhnya dari ibu. Balita mulai aktif bermain

karena sudah serta suka memasukkan benda

apapun yang dijumpainya kedalam mulut tanpa

memperhatikan kebersihannya. Kejadian diare

di kelompok usia balita terkait dengan perilaku

bermain balita yang masih belum mengerti

permainan atau kondisi kotor yang dapat

menyebarkan kuman penyakit. Kebiasaan balita

yang demikian seharusnya dapat dicegah

dengan peran orang tua atau orang di sekitarnya

yang mengerti perilaku hidup bersih dan sehat.

Oleh karena itu pola asuh terhadap anak balita

yang berusia dini harus lebih baik daripada

yang berusia lebih tua.

Menurut Notoatmodjo (2010), umur

merupakan variabel yang selalu diperhatikan di

dalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi.

Angka-angka kesakitan maupun kematian di

dalam hampir semua keadaan menunjukkan

hubungan dengan umur, tetapi untuk penyakit

diare masih ada faktor-faktor lain yang harus

dihubungkan seperti faktor lingkungan,

pelayanan kesehatan, dan faktor personal yang

lebih berperan terhadap kejadian diare.

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.060 (p>0,05) sehingga Ho diterima berarti

tidak ada hubungan signifikan antara umur

balita dengan kejadian diare pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo. Hal ini menunjukkan bahwa umur

balita memiliki rentan yang sama terhadap

penyakit diare. Secara teoritis anak balita umur

< 24 tahun lebih rentan terhadap penyakit diare,

akan tetapi karena distribusi umur anak balita

yang menjadi sampel lebih banyak umur ≥ 24

bulan membuat umur anak balita tidak

berpengaruh terhadap kejadian diare.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Asny Olyfta (2010), tidak ada

hubungan antara umur dengan kejadian diare

pada anak balita di Kelurahan Tanjung Sari

Kecamatan Medan Selayang dengan nilai p =

0,127. Berbeda dengan hasil penelitian

Rofingatul Mubasyiroh (2007), umur balita

memiliki hubungan signifikan dengan kejadian

diare. Penelitian Muhamad Susmono (2005)

yang juga menunjukkan bahwa umur balita

memiliki hubungan signifikan dengan diare.

Penelitian UNICEF (1997) yang

mengungkapkan bahwa kejadian diare

meningkat pada usia 1 tahun dan selanjutnya

turun kembali sesuai dengan bertambahnya

umur anak hingga lima tahun.

JENIS KELAMIN BALITA

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

Prevalens rate kejadian diare pada balita dengan

jenis kelamin Laki-laki sebesar 35.5 %

sedangkan pada balita dengan jenis kelamin

perempuan sebesar 27.9 %. Hal ini

menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare

pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding

anak perempuan. Riskesda tahun 2013

menunjukkan bahwa Kejadian diare akut pada

anak laki-laki hampir sama dengan anak

perempuan dimana karakteristik jenis kelamin

prevalensi yaitu 5.5% pada laki-laki dan 4,9 %

pada perempuan (Depkes RI, 2014)

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.206 (p>0,05) sehingga Ho diterima berarti

tidak ada hubungan signifikan antara jenis

kelamin balita dengan kejadian diare pada balita

di Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo. Hal ini menunjukan bahwa anak laki-

laki dan anak perempuan mempunyai risiko

yang sama unutk terkena diare.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Desi Cahyaningrum, (2014),

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan jenis

kelamin dengan kejadian diare dengan nilai p

value 0,793 (P>0,10). Penelitian Aji

Jatmiko (2014), menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan jenis kelamin dengan

kejadian diare pada balita. Berbeda dengan

hasil penelitian Erawati Yusriana (2007)

menunjukkan bahwa hubungan jenis kelamin

dengan kejadian diare p=0,001 dan OR=0,091.

STATUS GIZI BALITA

Pada anak yang kurang gizi karena

pemberian makanan yang kurang

mengakibatkan diare akut yang lebih berat,

Page 5: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

yang berakhir lebih lama dan lebih sering

terjadi pada diare persisten dan disentri lebih

berat. Resiko meninggal akibat diare persisten

atau disentri sangat meningkat, apabila anak

sudah kurang gizi (Depkes, 2005).

Prevalens rate kejadian diare pada balita

dengan status gizi kurang sebesar 44.7 %

sedangkan pada balita dengan status gizi baik

sebesar 28.1 %. Hal ini menunjukkan bahwa

proporsi kejadian diare pada balita yang

memiliki status gizi kategori kurang baik lebih

tinggi dari pada balita dengan status gizi

kategori baik. Semakin buruk keadaan / status

gizi balita, semakin sering dan berat diare yang

diderita.

Kesehatan balita berhubungan dengan

kebiasaan ibu dalam memberikan pola makan

kepada balitanya. Jika seorang ibu tidak

memperhatikan keadaan anaknya terutama

dalam pemberian makan, maka anaknya

tersebut akan mengalami masalah kesehatan,

yaitu berupa masalah gizi yang tidak baik. Anak

yang menderita gizi kurang mempunyai

kemungkinan yang lebih besar menderita

penyakit diare. Oleh sebab itu, masukan

makanan atau zat gizi harus diperhatikan agar

tidak terjadi penurunan metabolisme di dalam

tubuh.

Sedangkan menurut Suhardjo (2003)

bahwa karena keadaan gizi yang buruk akan

mempermudah seseorang untuk terkena

penyakit terutama penyakit infeksi seperti

penyakit diare. Keadaan gizi yang tidak baik

muncul sebagai faktor yang penting untuk

terjadinya suatu infeksi. Gizi yang baik pada

umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh

terhadap penyakit-penyakit infeksi tetapi

sebaliknya kekurangan gizi berakibat

kerentanan seseorang terhadap penyakit infeksi.

Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin

sering dan semakin berat diare yang

dideritanya. Keadaan gizi anak juga

berpengaruh terhadap diare.

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.028 (p<0,05) sehingga Ho ditolak berarti

ada hubungan signifikan antara jenis kelamin

balita dengan kejadian diare pada balita. Ratio

Prevalens = 2.063 (95%CI=1.074-3.962), hal

ini menunjukkan bahwa balita dengan status

gizi kurang akan berisiko 2.063 kali

mengalami kejadian diare daripada balita status

gizi baik.

Status gizi yang rendah pada bayi dan

balita merupakan faktor risiko terjadinya diare.

Status gizi yang buruk dapat memengaruhi

kejadian dan lamanya diare. Pada balita

penderita gizi kurang serangan diare terjadi

lebih sering. Semakin buruk status gizi balita,

maka akan semakin sering dan semakin berat

diare yang diderita. Hal ini diduga bahwa

mukosa usus penderita malnutrisi sangat peka

terhadap infeksi karena daya tahan tubuh yang

kurang

Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Diana Adriliadesiani (2012) bahwa

dari uji chi-square didapatkan p value = 0,834

(p > 0,05) yang berarti secara statistik tidak ada

hubungan antara status gizi dan diare pada

balita. Penelitian Sularno (2009), menunjukan

ada hubungan bermakna antara status gizi balita

dengan frekuensi kejadian diare pada bayi usia

0-4 bulan Puskesmas Warungasem Batang

dengan niali r = - 0,777 dan p = 0,000.

Hasil penelitian dengan kerangka teori

faktor penyebab kurang energi protein UNICEF

(1999), bahwa status gizi berpengaruh secara

langsung terhadap terjadinya penyakit infeksi,

pola asuh balita dalam hal ini termasuk pola

makan balita yang tidak adekuat menyebabkan

asupan gizi pada balita tidak adekuat sehingga

pada akhirnya menyebabkan status gizi kurang

pada balita. Status gizi kurang menyebabkan

daya tahan tubuh balita menurun sehingga

mudah mengalami penyakit infeksi seperti

diare.

IMUNISASI CAMPAK

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

Prevalens rate kejadian diare pada balita yang

tidak mendapat imunisasi campak sebesar 34.3

% sedangkan pada balita yang mendapat

imunisasi campak sebesar 30.8 %. Hal ini

menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare

pada balita yang tidak mendapatkan imunisasi

campak lebih tinggi dari pada balita yang

mendapat imunisasi campak.

Diare sering timbul menyertai campak,

sehingga pemberian imunisasi campak juga

dapat mencegah diare. Pemberian imunisasi

campak akan menimbulkan kekebalan aktif dan

Page 6: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

bertujuan untuk melindungi terhadap penyakit

campak hanya dengan sekali suntikan, dan

diberikan pada usia anak sembilan bulan atau

lebih. Anak harus diimunisasi terhadap campak

secepat mungkin setelah usia 9 bulan. Diare dan

disentri sering terjadi dan berakibat berat pada

anak-anak yang sedang menderita campak

dalam 4 mingggu terkahir. Hal ini sebagai

akibat dari penurunan kekebalan tubuh

penderita. Selain imunisasi campak, anak juga

harus mendapat imunisasi dasar lainnya seperti

imunisasi BCG untuk mencegah penyakit TBC,

imunisasi DPT untuk mencegah penyakit

diptheri, pertusis dan tetanus, serta imunisasi

polio yang berguna dalam pencegahan penyakit

polio.

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.681 (p>0,05) sehingga Ho diterima berarti

tidak ada hubungan signifikan antara imunisasi

campak balita dengan kejadian diare pada balita

di Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo. Hal ini menunjukkan bahwa balita yang

mendapatkan dan tidak imunisasi campak

memiliki kemungkinan yang sama untuk

terkena diare. Secara teoritis Anak balita yang

tidak mendapatkan imunisasi campak akan

lebih mudah untuk terkena diare dibanding

yang mendapatkan imunisasi campak.

Hasil penelitian Tazkiyyatul M (2011) di

Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang

menunjukkan tidak ada hubungan yang

bermakna antara pemberian imunisasi campak

dengan kejadian diare pada anak balita dimana

nilai p >0,05. Berbeda dengan penlitian

Kadaruddin (2014), ada hubungan antara status

imunisasi dengan kejadian diare pada bayi.

Penelitian Amin Rahman Hardi (2012)

menunjukan adanya hubungan yang signifikan

antara faktor status imunisasi batita pada batita

di wilayah kerja Puskesmas Barang Lompo

Kecamatan Ujung tanah (p=0,038. Penelitian

Olyfta (2010), faktor yang paling dominan

mempengaruhi kejadian diare di Kelurahan

Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang

adalah status imunisasi campak.

ASI EKSLUSIF

Pencegahan penyakit diare yang telah di

keluarkan DepKes RI (2002) yaitu memberikan

ASI eksklusif karena ASI mempunyai khasiat

preventif secara imunologik dengan adanya

antibody dan zat-zat lain yang dikandungnya.

ASI mempunyai zat-zat pelindung antara lain

immunoglobulin dan sel-sel darah putih yang

mempunyai fungsi untuk melindungi

pencernaan bayi mencegah penyakit yang

ditimbulkan oleh infeksi bakteri.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

Prevalens rate kejadian diare pada balita yang

tidak ASI ekslusif sebesar 43.5 % sedangkan

pada balita dengan ASI ekslusif sebesar 26.6

%. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi

kejadian diare pada balita yang tidak ASI

ekslusif hamper dua kali lebih tinggi dari pada

balita dengan ASI ekslusif.

ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI

saja tanpa tambahan cairan lain. Pemberian ASI

eksklusif dianjurkan untuk jangka waktu

selama 6 bulan. ASI merupakan makanan

pertama, utama dan terbaik baik bayi, yang

bersifat alamiah. ASI mengandung berbagai zat

gizi yang dibutuhkan dalam proses

pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI

mempunyai khasiat preventif secara imunologik

dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang

dikandungnya. ASI turut memberikan

perlindungan terhadap diare pada bayi yang

baru lahir pemberian ASI secara penuh

mempunyai daya lindung 4x lebih besar

terhadap diare daripada pemberian Asi yang

disertai dengan susu botol. Flora usus pada

bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya

bakteri penyabab diare. Pada bayi yang tidak

diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama

kehidupan, risiko mendapat diare adalah 30x

lebih besar (Roesli, 2005)

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.010 (p<0,05) sehingga Ho ditolak berarti

ada hubungan signifikan antara pemberian ASI

ekslusif dengan kejadian diare pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo. Ratio Prevalens = 2.128

(95%CI=1.190-3.805) artinya balita yang tidak

mendapatkan ASI esklusi akan berisiko 2.128

kali mengalami kejadian diare daripada balita

yang mendapatkan ASI ekslusif.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Kamalia (2005), ada hubungan yang

signifikan antara pemberian ASI eksklusif

Page 7: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

dengan kejadian diare, dimana semakin lama

bayi diberi ASI secara eksklusif semakin kecil

kemungkinan bayi untuk terkena diare.

Penelitian Amin Rahman Hardi (2012)

menunjukan adanya hubungan yang signifikan

antara faktor pemberian ASI Ekslusif pada

batita di wilayah kerja Puskesmas Barang

Lompo Kecamatan Ujung tanah (p=0,008).

Berbeda dengan hasil penelitian Diana

Adriliadesiani (2012) balita dengan ibu sebagai

responden yang memberikan ASI eksklusif

yaitu sebesar 40,9% dan diare yang dialami

balita dengan ibu sebagai responden yang tidak

memberikan ASI eksklusif yaitu sebesar 18%.

Dari perhitungan Pearson Chi-Square

didapatkan nilai p = 0,682 (p > 0,05) yang

berarti secara statistik tidak ada hubungan

antara Pemberian ASI eksklusif dan diare pada

balita.

Tabel 2.

Hasil Analisis Bivariat Faktor Ibu Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang

Kota Palopo Tahun 2015

Variabel

Kejadian Diare

Ya Tidak Total

f % f % f %

Umur

< 30 tahun 45 36.0 80 64 125 100

≥ 30 tahun 32 26.4 89 73.6 121 100

ρ = 0.106 : RP = 1.564 (95% CI=0.907-2.697)

Pendidikan

Rendah 19 45.2 23 54.8 42 100

Tinggi 58 28.4 146 71.6 204 100

ρ = 0.032 : RP = 2.079 (95% CI=1.054-4.103)

Pekerjaan

Bekerja 25 35.7 45 64.3 70 100

Tidak

bekerja 52 29.5 124 70.5 176 100

ρ = 0.346: RP = 1.325 (95% CI=0.737-2.381)

Umur

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

prevalens rate kejadian diare pada balita dengan

kategori ibu dengan umur < 30 tahun sebesar

36.0 % sedangkan pada anak balita dengan

kategori ibu dengan umur ≥ 30 tahun sebesar

26.4 %. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi

kejadian diare pada balita yang ibunya berusia

< 30 tahun lebih tinggi dari pada balita yang

ibunya berusia ≥ 30 tahun. Semakin cukup

umur tingkat pematangan dan kekuatan

sesorang akan lebih matang dalam berfikir,

belajar, bekerja sehingga pengetahuan akan

bertambah, dari segi kepercayaan masyarakat

seseorang yang lebih dewasa akan lebih

dipercaya. Umur terkait dengan pengalaman

yang diperoleh dapat memecahkan

permasalahan yang dihadapi pada masa lalu.

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.106 (p>0,05) sehingga Ho diterima berarti

tidak ada hubungan signifikan antara umur ibu

balita dengan kejadian diare pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo. Hal ini diasumsikan bahwa ibu dengan

umur yang lebih muda atau yang lebih tua

memiliki perilaku yang sama dalam mengawasi

dan merawat kesehatan anak balitanya.

Penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Mansyah (2005), juga menunjukkan

faktor status ibu bekerja atau tidak bekerja tidak

memiliki hubungan dengan kejadian diare pada

balita. Penelitian Asny Olyfta (2010), tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara umur

ibu dengan kejadian diare pada anak balita.

Penelitian Diana Adriliadesiani (2012), umur

ibu tidak berhubungan dengan kejadian diare,

dengan nilai p = 0,114.

Menurut Notoatmodjo (2010), umur

merupakan variabel yang selalu diperhatikan di

dalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi.

Angka-angka kesakitan maupun kematian di

dalam hampir semua keadaan menunjukkan

hubungan dengan umur, faktor umur

merupakan bagian dari penentu perilaku ibu,

namun faktor umur bukan sebagai penentu

utama baik atau buruknya perilaku ibu dalam

bertindak mencegah kejadian diare balita. tetapi

untuk penyakit diare masih ada faktor-faktor

lain yang harus dihubungkan seperti faktor

lingkungan, pelayanan kesehatan, dan faktor

personal yang lebih berperan terhadap kejadian

diare.

Pendidikan

Menurut Widyastuti (2005), orang yang

memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih

berorientasi pada tindakan preventif,

mengetahui lebih banyak tentang masalah

kesehatan dan memiliki status kesehatan yang

Page 8: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

lebih baik. Dari hasil penelitian diperoleh

bahwa Prevalens rate kejadian diare pada balita

dengan kategori ibu dengan pendidikan rendah

sebesar 45.2% sedangkan pada anak balita

dengan kategori ibu dengan pendidikan rendah

sebesar 28.4 %. Hal ini menunjukkan bahwa

proporsi kejadian diare pada balita yang ibunya

dengan tingkat pendidikan rendah hapir dua

kali lebih tinggi dari pada balita yang ibunya

dengan tingkat pendidikan tinggi. Tingkat

pendidikan yang terlalu rendah akan sulit

memahami pesan atau informasi yang

disampaikan. Semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang semakin mudah

menerima informasi sehingga banyak pula

pengetahuan yang dimilki. Pendidikan dapat

mempengaruhi seseorang termasuk perilaku

akan pola hidup terutama dalam motivasi untuk

sikap berperan serta dalam pembangunan

kesehatan.

Menurut Widyastuti (2005), orang yang

memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih

berorientasi pada tindakan preventif,

mengetahui lebih banyak tentang masalah

kesehatan dan memiliki status kesehatan yang

lebih baik. Koizer (1995) menyatakan bahwa

tingkat pendidikan yang tinggi akan

mempunyai penalaran yang tinggi tentang

sesuatu hal. Pendidikan dapat mempengaruhi

sikap dan tingkah laku manusia. Tingkat

pendidikan yang relatif tinggi dapat

memungkinkan masyarakat cepat tanggap

terhadap masalah kesehatan. Namun demikian

walaupun ibu tingkat pendidikan tinggi akan

tetapi memilki pola perilaku yang sama

terhadap kesehatan dan memiliki fasilitas

lingkungan dalam keadaan buruk tetap saja

anak balitanya memiliki resiko untuk

mengalami diare. Sedangkan pendidikan rendah

akan berpengaruh dengan pola penalaran dalam

penanganan dan pencegahan penyakit

khususnya penyakit diare, sehingga kurang

memahami informasi yang diperoleh melalui

lembaga kesehatan maupun media massa. Hal

ini mengakibatka ibu-ibu cenderung

menggunakan cara-cara tradisional yang

menjadi pola kebiasaan masyarakat dalam

mengobati penyakit diare.

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.032 (p<0,05) sehingga Ho ditolak berarti

ada hubungan signifikan antara pendidikan ibu

balita dengan kejadian diare pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang. Ratio

Prevalens = 2.079 (95% CI=1.054-4.103),

artinya ibu balita dengan tingkat pendidikan

rendah akan berisiko 2.079 kali anaknya

mengalami kejadian diare daripada ibu balita

dengan tingkat pendidikan tinggi.

Penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Yulisa (2008), ada pengaruh tingkat

pendidikan ibu terhadap kejadian diare pada

balita dengan nilai p = 0,001. Diana

Adriliadesiani (2012) ada hubungan antara

tingkat pendidikan responden dan diare pada

balita dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05).

Beberbeda dengan hasil penelitian

penelitian Setyanto di Puskesmas Wirosari I

Kabupaten Grobogan tahun 2008 dengan desain

cross sectional menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu

dengan kejadian diare pada anak balita dengan

p = 0,107 (p > 0,05). Penelitian Wulandari

(2009), bahwa tidak ada hubungan tingkat

pendidikan ibu dengan kejadian diare pada anak

balita dengan nilai p = 0,08.

Menurut Notoatmodjo (2010), tingkat

pendidikan seseorang dapat meningkatkan

pengetahuannya tentang kesehatan. Salah satu

faktor yang mempengaruhi pengetahuan

seseorang adalah tingkat pendidikan.

Pendidikan akan memberikan pengetahuan

sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang

meningkat. Menurut Sander (2005), Pendidikan

masyarakat yang rendah menjadikan mereka

sulit diberi tahu mengenai pentingnya

kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan

untuk mencegah terjangkitnya penyakit

menular, yang salah satunya diare.

Pekerjaan

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

Prevalens rate kejadian diare pada balita dengan

kategori ibu yang bekerja sebesar 35.7%

sedangkan pada anak balita dengan kategori ibu

yang tidak bekerja sebesar 29.5 %. Hal ini

menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare

pada balita yang ibunya bekerja lebih tinggi

dari pada balita yang ibunya tidak bekerja.

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

Page 9: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

p=0.346 (p>0,05) sehingga Ho diterima berarti

tidak ada hubungan signifikan antara pekerjaan

Ibu balita dengan kejadian diare pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo. Hal ini mungkin disebabkan di

Puskesmas Mungkajang walaupun ibu-ibu

banyak yang bekerja tetapi pekerjaan tersebut

adalah sebagai besar petani. Sehingga walaupun

bekerja ibu-ibu juga masih memiliki waktu

untuk mengasuh balita mereka dan

memperhatikan pola makan serta kesehatan

anak balitanya, karena jenis pekerjaan tersebut

tidak membutuhkan waktu yang lama untuk

meninggalkan balita dirumah.

Penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Pitono, et al, (2006), tidak ada

hubungan status pekerjaan ibu dengan lamanya

diare yang dialami balita dengan nilai p > 0,05.

Penelitian Setyanto (2008), ada hubungan yang

bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian

diare pada balita di Puskesmas Wirosari I

Kabupaten Grobogan. Berbeda dengan hasil

penelitian Diana Adriliadesiani (2012), ada

hubungan antara pekerjaan responden dan diare

pada balita di Desa Penyarang.

Tabel 3.

Hasil Analisis Bivariat Faktor Lingkungan

di Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang

Kota Palopo Tahun 2015

Variabel

Kejadian Diare

Ya Tidak Total

f % f % f %

Sanitasi lingkungan

Buruk 24 41.4 34 58.6 58 100

Baik 53 28.2 135 71.8 188 100

ρ = 0.058: RP = 1.798 (95% CI=0.975-3.314)

Personal Hygiene

Buruk 33 47.8 36 52.2 69 100

Baik 44 24.9 133 75.1 177 100

ρ = 0.000: RP = 2.771 (95% CI=1.548-4.961)

Penyediaan Air Bersih

Buruk 25 51.0 24 49.0 49 100

Baik 52 26.4 145 73.6 197 100

ρ = 0.028: RP = 2.905 (95% CI=1.526-5.528)

Ketersediaan Jamban

Buruk 27 44.3 34 55.7 61 100

Baik 50 27.0 135 73.0 185 100

ρ = 0.012: RP = 2.144 (95% CI=1.176-3.909)

Sanitasi lingkungan

Sanitasi merupakan faktor penting dalam

menciptakan lingkungan yang sehat.

Banyaknya penyakit ditularkan karena tidak

dilakukan cara-cara penanganan sanitasi yang

benar. Rendahnya mutu sanitasi lingkungan

merupakan keadaan yang potensial untuk

menjadi sumber penularan penyakit diare (Latif,

B. 2010).

Dari hasil penelitian diperoleh prevalens

rate kejadian diare pada balita dengan kategori

sanitasi lingkungan buruk sebesar 41.4%

sedangkan pada anak balita dengan kategori

sanitasi lingkungan baik sebesar 28.2 %. Hal ini

menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare

pada balita sanitasi lingkungan kategori buruk

lebih tinggi dari pada balita dengan sanitasi

lingkungan kategori baik.

Sanitasi lingkungan yang kurang baik

merupakan faktor yang penting terhadap

terjadinya diare dimana interaksi antara

penyakit, manusia, dan faktor lingkungan yang

mengakibatkan penyakit perlu diperhatikan

dalam penaggulangan diare. Peranan faktor

lingkungan, enterobakteri, parasit usus, virus,

jamur dan beberapa zat kimia telah secara

klasik dibuktikan pada berbagai penyelidikan

epidemiologis sebagai penyebab diare (Wibowo

D, 1993).

Sedangkan lingkungan yang kurang berish

bisa menjadi pemicu munculnya bakteri-bakteri

penyebab diare dalam tubuh manusia. Sistem

penyebaran diare pada manusia diantaranya

melalui air yang digunkan untuk keperluan

sehari-hari, bila memiliki kebersihan air yang

minim, sehingga dapat membawa bakteri

masuk dalam perut dan berdiam di usus besar.

Akibatnya bakteri pembawa diare itu dengan

leluasa menyebar ke seluruh bagian usus

manusia dan menginfeksinya, selanjutnya tanah

yang kotor dapat menghantarkan bakteri E. Coli

menuju perut, sehingga selalu membiasakan

mencuci bahan makanan yang akan dimasak

dengan besih sebelum dikonsumsi (Yulisa,

2008).

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.058 (p>0,05) sehingga Ho diterima berarti

tidak ada hubungan signifikan antara sanitasi

lingkungan dengan kejadian diare pada balita di

Page 10: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo. Hasil penelitian ini berbeda dengan

penelitian Amin Rahman Hardi (2012) Hasil

analisis bivariat menunjukan adanya hubungan

yang signifikan antara faktor sanitasi

lingkungan batita pada batita di wilayah kerja

Puskesmas Barang Lompo Kecamatan Ujung

tanah (p=0,021).

Penyakit diare merupakan salah satu

penyakit yang berbasis lingkungan. Apabila

faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar

kuman diare serta berakumulasi dengan

perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu

melalui makanan dan minuman, maka dapat

menimbulkan kejadian penyakit diare.

Personal hygiene

Higiene perorangan adalah suatu tindakan

untuk memelihara kebersihan dan kesehatan

seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis.

Rendahnya cakupan higiene perorangan dan

sanitasi lingkungan sering menjadi faktor risiko

terjadinya diare (Kemenkes RI. 2011).

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

Prevalens rate kejadian diare pada balita dengan

kategori personal hygiene buruk sebesar 47.8%

sedangkan pada anak balita dengan kategori

personal hygiene baik sebesar 24.9%. Hal ini

menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare

pada balita dengan personal hygiene kategori

buruk hapir dua kali lebih tinggi dari pada

balita dengan personal hygiene kategori baik.

Perilaku hygiene merupakan salah satu

sasarn terhadap perilaku hidup bersih dan sehat

(PHBS), dimana pengertian dari perilaku

hygiene itu sendiri adalah suatu aktifitas atau

tindakan yang mempunyai tujuan untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai

kesehatan pribadi dan lingkungan, yaitu

mencakup beberapa kebiassaan bersih yang

merupakan salah satu upaya dalam pencegahan

penyakit diare. Kebiasaan tersebut meliputi

mencuci tangan dengan memakai sabun,

mengkonsumsi makanan dan minuman yang

bersih, membuang sampah pada tempatnya

serta buang air besar pada toilet. Sedangkan

PHBS yang dilakukan ditatanan rumah tangga

itu sendiri adalah upaya untuk memberdayakan

anggota rumah tangga agar sadar, mau, dan

mampu melakukan PHBS untuk memelihara

dan meningkatkan kesehatannya, mencegah

resiko terjadinya penyakit dan melindungi diri

dari ancaman penyakit serta berperan aktif

dalam gerakan kesehatan masyarakat (Dinkes

Sulawesi Selatan, 2006

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.000 (p<0,05) sehingga Ho ditolak berarti

ada hubungan signifikan antara sanitasi

lingkungan dengan kejadian diare pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo. Ratio Prevalens = 2.771

(95%CI=1.548-4.961) artinya bahwa personal

hygiene yang buruk akan berisiko 2.771 kali

balita mengalami kejadian diare dari pada

personal hygiene yang baik.

Penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Amin Rahman Hardi (2012) Hasil

analisis bivariat menunjukan adanya hubungan

yang signifikan antara faktor hygiene

perorangan pada batita di wilayah kerja

Puskesmas Barang Lompo Kecamatan Ujung

tanah (p=0,58). Ismail, Ujang (2007),

menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih yang

dilakukan ibu mempunyai hubungan yang

bermakna dalam mencegah terjadinya penyakit

diare pada bayi dan balita. Salah satu perilaku

hidup bersih yang umum dilakukan ibu adalah

mencuci tangan sebelum memberikan makan

pada anaknya

Berbeda dengan hasil penelitian Marsanti

(2013) Tidak Ada Hubungan antara Personal

Higiene Ibu dengan kejadian diare pada anak

usia < 1 tahun dengan p value =1,000

Penyediaan Air Bersih

Sumber air minum menurut Depkes RI

(2000) mempunyai peranan dalam penyebaran

beberapa penyakit menular. Sumber air minum

merupakan salah satu sarana sanitasi yang

berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian

kuman infeksius penyebab diare ditularkan

melalui jalur fekal oral. Mereka dapat

ditularkan dengan memasukkan ke dalam

mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan

misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan

yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan

air tercemar

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

Prevalens rate kejadian diare pada balita dengan

kategori penyediaan air bersih buruk sebesar

51.0% sedangkan pada anak balita dengan

Page 11: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

kategori penyediaan air bersih baik sebesar

26.4%. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi

kejadian diare pada balita dengan penyediaan

air bersih kategori buruk hapir dua kali lebih

tinggi dari pada balita dengan penyediaan air

bersih kategori baik. Menurut Kemenkes (RI.

2011), Seperti yang diprediksi prevalensi diare

paling tinggi terjadi pada anak yang tinggal di

rumah tanpa akses air bersih dan yang memakai

fasilitas kakus di sungai/kolam/danau (18,4%)

Menurut Sukarni (2002), sumber air

minum tidak terlindung seperti sumur, harus

memenuhi syarat kesehatan sebagai air bagi

rumah tangga, maka air harus dilindungi dari

pencemaran. Sumur yang baik harus memenuhi

syarat kesehatan antara lain, jarak sumur

dengan lubang kakus, jarak sumur dengan

lubang galian sampah, saluran pembuangan air

limbah, serta sumber-sumber pengotor lainnya.

Jarak sumur dengan tempat pembuangan tinja

lebih baik 10 meter atau lebih

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.001 (p<0,05) sehingga Ho ditolak berarti

ada hubungan signifikan antara sanitasi

lingkungan dengan kejadian diare pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo. Ratio Prevalens = 2.905 (95% CI =

1.526-5.528), artinya bahwa penyediaan air

bersih yang buruk akan berisiko 2.905 kali

balitanya mengalami kejadian diare dari pada

Penyediaan Air Bersih yang baik. Hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat yang

terjangkau oleh penyediaan air yang bener-

bener bersih mempunyai resikobalitanya

menderita diare lebih kecil dibandingkan

dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air

bersih. Masyarakat dapat mengurangi resiko

terhadap serangan diare yaitu dengan

menggunakan air yang bersih dan melindungi

air tersebut dari kontaminasi mulai dari

sumbernya sampai penyimpanan dirumah.

Penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Zubir (2006), tentang faktor-faktor

risiko kejadian diare akut pada anak 0-35 bulan

(Batita) di Kabupaten Bantul. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sumber air minum yang

digunakan mempengaruhi terjadinya diare akut

dengan nilai p < 0,05 , (OR) = 3,10. Penelitian

Yulisa (2008), yang menunjukkan bahwa ada

pengaruh sumber air minum dengan kejadian

diare pada balita dengan nilai p = 0,0001 dan

OR = 17,7. penelitian Wohangaradkk (2012)

dimana ada hubungan antara tersedianya sarana

air bersih dengan kejadian diare pada balita.

bermakna secara statistik, dengan hasil

tersedianya sarana air bersih (OR: 3,824; P

value = 0,017 (p < 0,05); 95% CI; 1,239-

11,801)

Berbeda dengan hasil Penelitian Kamilla

(2012), sebahagian besar responden mempunyai

sumber air bersih yang hasil analisa

menunjukkan tidak ada hubungan kejadian

diare dengan sumber air bersih dengan nilai p=

0,432 (p > 0,05); RP= 1,254). Penelitian Diana

Adriliadesiani (2012) menunjukan bahwa dari

perhitungan Pearson Chi-Square didapatkan

nilai p = 0,107 ( p > 0,05) yang berarti secara

statistik tidak ada hubungan antara sumber air

minum dan diare pada balita.

Air minum yang aman merupakan

kebutuhan hidup yang essensial dan menjadi

hak azasi setiap rnanusia, namun dalam

keberadaannya air minum juga berperan

sebagai transmisi penyakit. Diare salah satu

penyakit yang timbul akibat air minum yang

terkontaminasi menjadi penyebab utama

kematian terutama pada bayi dan balita.

Menggunakan air minum yang tercemar, dapat

menjadi salah satu faktor risiko terjadinya diare

pada balita. Air mungkin sudah tercemar dari

sumbernya atau pada saat penyimpanan di

rumah, seperti ditampung pada tempat

penampungan air (Depkes, 2005).

Untuk mencegah terjadinya diare maka air

bersih harus diambil dari sumber yang

terlindungi/tidak terkontaminasi. Sumber air

bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus

paling sedikit sepuluh meter dari sumber air.

Air harus ditampung dalam wadah yang bersih

dan pengambilan air dalam wadah dengan

menggunakan gayung yang bersih, dan untuk

minum air harus di masak. Masyarakat yang

terjangkau oleh penyediaan air bersih beresiko

menderita diare lebih kecil bila dibandingkan

dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air

besih.

Ketersediaan Jamban

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

Prevalens rate kejadian diare pada balita dengan

Page 12: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

kategori ketersediaan jamban buruk sebesar

44.3% sedangkan pada anak balita dengan

kategori ketersediaan jamban baik sebesar

27.0%. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi

kejadian diare pada balita dengan ketersediaan

jamban kategori buruk hapir dua kali lebih

tinggi dari pada balita dengan ketersediaan

jamban kategori baik. Masyarakat yang tidak

menggunakan jamban untuk keperluan buang

air besar memiliki peluang yang lebih besar

terkena penyakit diare dibandingkan dengan

yang buang air besar menggunakan jamban. Hal

ini disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat

akan kesehatan diri dan keluarganya. Selain itu

faktor perilaku dan pengetahuan masyarakat

akan pentingnya penggunaan jamban dan

pengetahuan tentang penyakit diare juga sangat

berpengaruh

Kemenkes RI (2011) menyatakan bahwa di

beberapa Negara membuktikan bahwa upaya

penggunaan jamban mempunyai dampak yang

besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit

diare. Menurut Mubarak (2009), lingkungan

yang buruk akan merugikan kesehatan dan

untuk mencapai derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya, maka lingkungan yang

buruk harus diperbaiki. Banyak faktor yang

berpengaruh terhadap kesehatan,salah satunya

mengenai pembuangan kotoran. Teori ini juga

sejalan dengan yang dikemukakan oleh Fidianti

(2011), bahwa faktor risiko yang menyebabkan

diare diantaranya penggunaan jamban,

ketersediaan sarana air bersih dan praktik cuci

tangan.

Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai

p=0.012 (p<0,05) sehingga Ho ditolak berarti

ada hubungan signifikan antara ketersediaan

jamban dengan kejadian diare pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo. Ratio Prevalens = 2.144 (95% CI =

1.176-3.909), artinya bahwa Penyediaan Air

Bersih yang buruk akan berisiko 2.144 kali

balitanya mengalami kejadian diare dari pada

Penyediaan Air Bersih yang baik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Ismail, Ujang (2007), Terdapat

hubungan yang bermakna dengan kepemilikan

jamban yang memenuhi syarat dengan risiko

kejadian penyakit diare akut anak usia 0-5

tahun di Kabupaten Bengkulu Utara. Penelitian

Wibowo, et al (2004), bahwa tempat

pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat

sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya

diare berdarah pada anak balita sebesar 2,55

kali lipat dibandingkan dengan keluarga yang

membuang tinjanya secara saniter. Penelitian

Diana Adriliadesiani (2012), menunjukkan

bahwa dari perhitungan Pearson Chi-Square

didapatkan nilai p = 0,047 (p < 0,05) yang

berarti secara statistik ada hubungan antara

ketersediaan jamban sehat dan diare pada balita.

Pembuangan tinja merupakan bagian yang

penting dari kesehatan lingkungan.

Pembuangan tinja yang tidak menurut aturan

memudahkan terjadinya penyebaran penyakit

tertentu yang penulurannya melalui tinja antara

lain penyakit diare. Untuk mencegah

kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka

pembuangan kotoran manusia harus dikelola

dengan baik pada jamban memenuhi syarat

kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2010), syarat

pembuangan kotoran yang memenuhi aturan

kesehatan adalah tidak mengotori permukaan

tanah di sekitarnya, tidak mengotori air

permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air

dalam tanah di sekitarnya, dan kotoran tidak

boleh terbuka sehingga dapat dipakai sebagai

tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan

vektor penyakit lainnya. Namun pada

kenyataanya masyarakat, masih banyak yang

belum memiliki jamban sehat. Selain itu

sebagian masyarakat yang belum memiliki

jamban pribadi, sehingga apabila mereka buang

air besar buang air besar di sungai dekat rumah.

Bila dilihat dari perilaku ibu, masih ada

sebagian ibu yang tidak membuang tinja balita

dengan benar, mereka membuang tinja balita ke

sungai, ke kebun atau pekarangan. Mereka

beranggapan bahwa tinja balita tidak berbahaya.

Tinja yang dibuang di tempat terbuka dapat

digunakan oleh lalat untuk bertelur dan

berkembang biak, kemudian lalat hinggap pada

makanan manusia dan mengakibatkan penyakit

diare. Padahal menurut Depkes (2000), tinja

balita juga berbahaya karena mengandung virus

atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja balita

juga dapat menularkan penyakit pada balita itu

sendiri dan juga pada orang tuanya.

Page 13: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

Analisis Multivariat

Untuk mengetahui model terjadinya diare

akut pada balita maka dilakukan analisis

multivariat. Berdasarkan analisis bivariat, yang

dapat masuk keanalisis multivariat adalah yang

memiliki nilaip < 0,25.

Faktor dominan yang mempengaruhi

kejadian diare akut pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Mungkajang Kota Palopo adalah

seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 4.

Model Akhir Variabel yang Berhubungan

dengan Diare pada Balita Di Wilayah

Kerja Puskesmas Mungkajang

Kota Palopo Tahun 2015

Variabel

Independen Nilai B Nilai p

Exp

(B)

95%C.l.for

Exp(B)

Lower Upper

Asi eksklusif 0.852 0.007 2.343 1.261 4.355

Personal

hygiene

1.120 0.001 3.065 1.604 5.856

Penyediaan

air bersih

0.783 0.026 2.188 1.100 4.351

Ketersediaan

jamban

1.003 0.003 2.727 1.415 5.255

Constant -5.655 0.000

Hasil analisis uji regresi logistik berganda

menunjukkan bahwa dari 10 variabel diketahui

ada 4 variabel yang hubungan kekuatan variabel

dengan kejadian diare yaitu Asi eksklusif (Exp

(B) =2.343), Personal hygiene (Exp (B)

=3.065), Penyediaan air bersih (Exp (B)

=2.188) dan Ketersediaan jamban (Exp (B)

=2.727) dengan kejadian diare pada balita. Dari

keempat variabel tersebut di atas dapat

diketahui bahwa variabel yang paling dominan

berhubungan dengan kejadian diare pada balita

di Wilayah Kerja Puskesmas Mungkajang Kota

Palopo adalah Personal hygiene dengan nilai

koefisien Exp (B) tertinggi yaitu 3.065.

Dari hasil analisis multivariat didapatkan

nilai overal percentage sebesar 48 %, artinya

kontribusi variabel ASI ekslusif, personal

hygiene, penyediaan air bersih dan ketersediaan

jamban yang buruk, mempunyai probabilitas

untuk menyebabkan kejadian diare adalah

sebesar 48 %. Penelitian Hannif (2010), Faktor

risiko yang berhubungan dengan kejadian diare

akut pada balita di Kecamatan Umbulharjo dan

Kotagede adalah higiene perorangan dan risiko

sarana air bersih. Faktor risiko paling dominan

yang berhubungan dengan kejadian diare akut

pada balita adalah higiene perorangan. Kejadian

luar biasa diare masih sering terjadi terutama di

daerah yang pengendalian faktor risikonya

masih rendah. Cakupan perilaku higiene dan

sanitasi yang rendah sering menjadi faktor

risiko terjadinya KLB diare (Kementerian

Kesehatan RI, 2011).

KESIMPULAN

Faktor risiko yang tidak berhubungan

dengan kejadian diare pada balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Mungkajang adalah umur

balita (p=0.060), jenis kelamin (p=0.206),

imunisasi campak (p=0.681), umur ibu

(p=0.106), pekerjaan ibu (p=0.346) dan sanitasi

lingkungan (p=0.058).

Sedangkan faktor risiko yang berhubungan

dengan kejadian diare pada balita adalah status

gizi (p=0.028, OR = 2.063), ASI ekslusif

(p=0.010, OR = 2.128), pendidikan (p=0.032,

OR = 2.079), personal hygiene (p=0.000, OR =

2.771), penyediaan air bersih (p=0.001, OR = 2)

dan ketersediaan jamban (p=0.012, OR = 2.144)

dengan kejadian diare.

Dari Model persamaan regresi logistic

diketahui balita yang tidak ASI ekslusif

serta personal hygiene, penyediaan air

bersih dan ketersediaan jamban yang buruk,

maka mempunyai probabilitas kejadian

diare sebesar 48 %. Faktor risiko paling

dominan berhubungan dengan kejadian diare

pada balita adalah personal hygiene dengan

OR=3.065 (p=0.001) dan Exp (B) = 3.065.

SARAN

Pelayanan Kesehatan hendaknya meningkatkan

penyebaran informasi melalui penyuluhan

kepada masyarakat melaui peran kader guna

meningkatkan pengetahuan tentang diare dan

merubah perilaku hidup bersih dan sehat dalam

menekan frekuensi kesakitan diare pada balita.

KEPUSTAKAAN

1. Aji,Jatmiko (2014) Hubungan Karakteristik

Jenis Kelamin, Usia, Status Gizi, Dan

Pendidikan Orang Tua Dengan Kejadian

Diare Pada Balita (Studi Kasus di Rumah

Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Page 14: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

Periode 1 Januari 2013 – 31 Desember

2013). Undergraduate thesis, Fakultas

Kedokteran UNISSULA.

2. Amin Rahman Hardi1, Masni, Rahma,

(2012), Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Kejadian Diare Pada Batita

Di Wilayah Kerja Puskesmas Baranglompo

Kecamatan Ujung Tanah, Fakultas

Kesehatan Masyarakat, UNHAS, Makassar

3. Anies, 2005. Mewaspadai Penyakit

Lingkungan Jakarta: Elex Media

Komputindo.

4. Asny Olyfta. 2010, Analisis Kejadian Diare

Pada Anak Balita Di Kelurahan Tanjung

Sari Kecamatan Medan Selayang, Fakultas

Kesehatan Masyarakat USU Medan

5. Badan Litbangkes. 2011. Laporan Hasil

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

Nasional 2011. Depkes RI. Jakarta

6. Badan Litbangkes. 2013. Laporan Hasil

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

Nasional 2013. Depkes RI. Jakarta

7. Depkes RI, 2007. Pedoman Pemberantasan

Penyakit Diare Edisi Ketiga. Ditjen PPM &

PL. Jakarta

8. Depkes RI, 2011, Data Dan Iformasi

Kesehatan, Depkes RI. Jakarta

9. Depkes RI. 2013. Profil Kesehatan

Indonesia 2013. Jakarta

10. Desi Cahyaningrum, 2014, Studi Tentang

Diare Dan Faktor Resikonya Pada Balita

Umur 1-5 Tahun Di Wilayah Kerja

Puskesmas Kalasan Sleman,

http://opac.say.ac.id/386/1/NASKAH%20P

UBLIKASI%20DESI%20(1).pdf

11. Diana Adriliadesiani (2012) Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare

Pada Balita Di Desa Penyarang Kabupaten

Ketapang. ejournal.stik-

sintcarolus.ac.id/file.php?file=mahasiswa&i

d=501..

12. Dinkes, 2014. Profil Kesehatan Kota

Palopo Tahun 2013.Palopo.

13. Dinkes, 2014.Profil Kesehatan Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013.Makassar.

14. Erawati Yusriana, 2007. Faktor – Faktor

Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare

Pada Bayi Dan Balita (Studi Kasus di

Puskesmas Patebon 02 Kabupaten Kendal ),

http://mahasiswa.dinus.ac.id/docs/skripsi/ab

strak/6626.pdf

15. Fikawati, Sandra dan Ahmad Syafiq (2010).

Kajian Implementasi dan Kebijakan Air

Susu Ibu Eksklusif dan Inisiasi Menyusui

Dini di Indonesia. URL:HYPERLINK

http://www.journal.ui.ac.id/upload/artikel/6

42- 1299-2-PB.pdf.

16. Gerald T. Keusch, Olivier Fontaine, Alok

Bhargava. dkk. Diarrheal Diseases.di unduh

dari Disease Control Priorities Project.

http://www.dcp2.org/pubs/DCP/19/,

15April 2015 Illness and deaths caused by

rotavirus disease in children. Emerg Infect

Dis 9: 565-572.

17. Kemenkes RI. 2011. Buletin Jendela Data

dan Informasi Kesehatan Volume

2 Triwulan 2. Jakarta

18. Kosek, M., Bern, C., and Guerrant, R.L.

The global burden of diarrhoeal disease,

asestimated from studies published between

1992 and 2000. Bull World Health Organ.

2003, 81: 197-204.

19. Latif, B. 2010. Sanitasi Lingkungan. Ilmu

Keperawatan.http://www.ilmu keperawa

tan.net/index.php/artikel/13-kesehatan-

masyarak a t/33-sanitasi-lingkungan.html

20. Malhotra, C. 2010. Disparities in the

Treatment of Childhood Diarrhoea in India.

http://www.rehydrate.org/diarrhoea/pdf/dis

parities-in-the-treatment-of-childhood-

diarrhoea-in-india.pdf

21. Maryunani, A. 2010.Ilmu Kesehatan Anak

Dalam Kebidanan. Trans Info Media.

Jakarta

22. Muhamad Susmono. Determinan Kejadian

Diare pada Balita di Indonesia: Analisis

Data SDKI 2002-2003[Tesis]. Depok

:Program Pasca Sarjana Universitas

Indonesia; 2005.

23. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit

Edisi Dua. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jakarta

24. Notoatmodjo S., 2010, Pendidikan dan

Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT.Rineka

Cipta

25. Notoatmodjo S,2010.Metodologi Penelitian

Kesehatan. Jakarta. PT Rineka Cipta

26. Notoatmodjo S., 2007. Promosi Kesehatan,

Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta

27. Olyfta, A. 2010. Analisis Kejadian Diare

Page 15: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS MUNGKAJANG KOTA PALOPO

Pada Anak Balita di Kelurahan

Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang

Tahun 2010. Skripsi FKM USU. Medan

28. Puskesmas Mungkajang, 2014. Laporan

Kegiatan SP2TP di Puskesmas Mungkajang

Tahun 2014. Palopo

29. Roesli, U. 2000. Mengenal ASI Eksklusif.

Trubus Agriwidya. Jakarta

30. Rofingatul Mubasyiroh, 2007. Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada

Balita Di Beberapa Iwgional Indonesia

Tahun 2007, Puslitbang Ekologi dan Status

Kesehatan Litbang Depkes, Bul. Penelit.

Kesehat, Suplemen, 2010

31. Sinthamurniwaty. 2006. Faktor-faktor

Resiko Kejadian Diare Akut Pada

Balita (Studi Kasus di Kabupaten

Semarang). Program Pasca Sarjana

Universitas Diponegoro Semarang.

http://eprints.undip.ac.id/15323/

32. Soegianto, S. 2002. Ilmu Penyakit Anak-

Diagnosa dan Penatalaksanaan.Penerbit

Salemba Medika. Jakarta.

33. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK-UI,

2002. Ilmu Kesehatan Anak. Buku kuliah I.

Infomedika. Jakarta.

34. Suharyono. 2008. Diare Akut, Klinik dan

Laboratorik Cetakan Kedua. Rineka Cipta.

Jakarta

35. Sujana, Widia Isa Aprillia (2014) Profil

penderita diare akut balita di rumah sakit

Gotong Royong Surabaya. Undergraduate

thesis, Widya Mandala Catholic University

Surabaya. http://repository.wima.ac.id/

1269/2/Bab%201.pdf

36. Tazkiyyatul, M. 2011. Hubungan Sanitasi

Lingkungan dan Status Imunisasi

Campak dengan Kejadian Diare Pada Anak

Balita di Kelurahan Bandarharjo Kota

Semarang. Skrpsi FKM UNIMUS

Semarang.http://digilib.unimus.ac.id/gdl.ph

p?mod=browse&op=read&id=jtptunimusgd

l-tazkiyyatu5950&q=kelurahan%20

bandarharjo

37. UNICEF and WHO. 2011. Child Info :

Monitoring The Sitiation of Children and

Women. Geneva. http://www.

childinfo.org/files/diarrhoea_hires.pdf

38. Widoyono.2008. Penyakit Tropis-

Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &

Pemberantasannya. Penerbit Erlangga.

Jakarta

39. Yeyeh A., dkk. 2010. Asuhan Neonatus,

Bayi dan Anak Balita. Trans Info Media.

Jakarta