ANALISIS DOMINASI KASUS CERAI GUGAT MASYARAKAT...

119
ANALISIS DOMINASI KASUS CERAI GUGAT MASYARAKAT MUSLIM KOTA SALATIGA DI PENGADILAN AGAMA (PA) SALATIGA TAHUN 2014 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh: Imam Syafi‟i NIM: 21111016 JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015

Transcript of ANALISIS DOMINASI KASUS CERAI GUGAT MASYARAKAT...

ANALISIS DOMINASI KASUS CERAI GUGAT

MASYARAKAT MUSLIM KOTA SALATIGA DI

PENGADILAN AGAMA (PA) SALATIGA TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Imam Syafi‟i

NIM: 21111016

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2015

ii

iii

MOTTO

“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

“Visi hanyalah ilusi tanpa ada aksi, dan

aksi tak kan berarti tanpa ridha Ilahy”

iv

v

vi

ABSTRAK

Syafi‟i, Imam. 2015. Analisis Dominasi Kasus Cerai Gugat Masyarakat Muslim

Kota Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014. Fakultas

Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Salatiga. Pembimbing : Farkhani, M.H.

Kata Kunci: Cerai Gugat

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui penyebab

maraknya kasus cerai gugat masyarakat muslim di Kota Salatiga.

Pertanyan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1)

Seberapa banyak perkara cerai gugat masyarakat muslim Kota Salatiga

tahun 2014?, dan apa penyebabnya?, (2) bagaimana kualitas suami dari

Kota Salatiga dalam membina rumah tangga?. Untuk menjawab

pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perkara cerai di PA

Salatiga 70% yang mendominasi adalah perkara cerai gugat. Faktor yang

melatar belakanginya karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah

tangga yang disebabkan berbagai hal : perselisihan, ekonomi, tidak

adanya tanggung jawab dari suami, KDRT, hadirnya pihak ke-3, dan

krisis moral seperti suami pemabuk. Selain itu perkara yang ada lebih

didominasi pasangan muda yang usia perkawinannya dibawah 10 tahun,

hal ini menunjukkan ketidak siapan pasangan dalam berumah tangga.

Lebih dari pada itu, maraknya cerai gugat menunjukkan belum

maksimalnya peran lembaga pemerintah yang dalam hal ini Kementrian

Agama melalui Bimas Islam dalam pendampingan berkeluarga yang baik.

Berdasarkan penelitian yang telah diakukan, bahwa tingkat cerai gugat

masyarakat muslim Kota Salatiga tergolong minim. Hal ini berdasarkan

fakta dari data perkawinan yang ada, rata-rata pertahunnya tercatat

sebanyak 1170 perkawinan di Kota Salatiga dengan perbandingan

perceraian sebanyak 120 pasangan. Artinya setiap terjadi 10 perkawinan

ada 1 pasangan yang bercerai di PA Salatiga. Ini menunjukkan bahwa

tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat muslim Kota Salatiga

dalam membina keluarga sakinah tinggi, sehingga diperoleh fakta bahwa

suami dari warga muslim Kota Salatiga rata-rata bertanggung jawab.

Mengacu pada temuan tersebut, maka penelitian ini merekomendasikan

agar tidak terjadi cerai gugat, maka bagi pasangan calon pengantin untuk

mematangkan kembali kesiapannya untuk menikah. Selanjutnya,

pemerintah harus memberikan perhatiannya berupa pendampingan

berkeluarga melalui lembaga yang ada, dalam hal ini Kementrian Agama

melalui Bimas Islam agar cerai gugat yang marak terjadi dapat

diminimalisir.

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin,

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat-

Nya, kesabaran, ketelitian dan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul: ”Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat Masyarakat

Muslim Kota Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014”, untuk

memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Fakultas

Syari‟ah Jurusan Ahwal al-Syahkhshiyyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Salatiga.

Penulisan skripsi ini tidak akan selesai apabila tanpa ada bantuan dari

berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan tenaga, fikiran dan waktunya

guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesaikannya

pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengahturkan

terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., Selaku Rektor IAIN Saltiga, yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian

dan penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga

yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

3. Bapak Syukron Makmun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal al-

Syakhshiyyah (AS) IAIN Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis

untuk menyusun skripsi ini.

viii

4. Bapak Farkhani, M.H., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan dengan baik.

5. Bapak Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga yang

telah berkenan memberikan izin penulis untuk melakukan penelitiaan di

Pengadilan Agama Salatiga

6. Dra. Widad sebagai Panitera Muda Hukum PA Salatiga yang telah membantu

memberikan informasi dan data-data yang penulis butuhkan.

7. Para Dosen Syari‟ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta do‟a selama

penulis menuntut ilmu di IAIN Salatiga.

8. Bapak dibumi rantau yang jauh disana, yang senantiasa membanting tulang

untuk mengais rizki demi membantu mewujudkan cita-cita penulis menuntut

ilmu.

9. Adik-adik dan para sahabatku yang telah memberikan dorongan, motivasi dan

do‟anya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

10. Semu pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga atas bantuan semua pihak yang telah berkontribusi dalam skripsi

ini sebagaimana disebutkan di atas mendapat limpahan berkah dan imbalan yang

setimpal dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan

Skripsi ini, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi

kasempurnaan tulisan ini serta bertambahnya pengetahuan dan wawasan penulis.

ix

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat

khususnya bsgi civitas akademika IAIN Salatiga dan semua pihak yang

membutuhkannya.

Atas perhatiannya penulis sampaikan banyak terimakasih.

Salatiga, 13 Agustus 2015

Penulis

Imam Syafi‟i

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii

MOTTO ...................................................................................................... iii

NOTA PEMBIMBING ............................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................. v

ABSTRAK ................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ................................................................................. vii

DAFTAR ISI ................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 6

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7

D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 7

E. Penengasan Istilah ............................................................................. 8

F. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 12

G. Metode Penelitian.............................................................................. 15

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.................................................. 15

2. Kehadiran Peneliti ....................................................................... 18

3. Lokasi Penelitian ......................................................................... 18

4. Kebutuhan dan Sumber Data ...................................................... 18

5. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 19

6. Analisis Data ............................................................................... 21

7. Pengecekan Keabsahan Data....................................................... 22

8. Tahap-tahap Penelitian ................................................................ 23

xi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Makna Perkawinan ............................................................................ 27

1. Pengertian Perkawinan ................................................................ 27

2. Dasar Hukum Perkawinan........................................................... 30

3. Rukun Dan Syarat Dalam Perkawinan ....................................... 33

4. Tujuan Perkawinan...................................................................... 36

5. Hak dan Kewajiban Suami Istri .................................................. 38

B. Putusnya Perkawinan ........................................................................ 46

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian ..................................... 47

2. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian .................................... 48

3. Putusnya Perkawinan Karena Atas Putusan Pengadilan ............. 57

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Salatiga .................................... 62

1. Sejarah pembentukan PA Salatiga .............................................. 62

2. Dasar hukum pembentukan PA Salatiga ..................................... 68

3. Wewenang Pengadilan Agama Salatiga...................................... 68

4. Visi dan Misi PA Salatiga ........................................................... 69

5. Struktur Organisasi PA Salatiga ................................................. 70

B. Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga......................................... 72

C. Temuan Penelitian ............................................................................. 76

xii

BAB IV PEMBAHASAN

A. Gambaran Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga ................................ 83

B. Faktor Penyebab Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga ...................... 88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 100

B. Saran .................................................................................................. 101

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada

semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.

Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-

Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya (Tihami & Sahrani,

2009:6). Semua yang diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan

berjodoh-jodohan, sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling sempurna

yakni manusia. Dalam surat al-Dzariyah ayat 49 disebutkan:

Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat kebesaran Allah”

Manusia tidak seperti binatang yang melakukan perkawinan dengan

bebas dan sekehendak hawa nafsunya. Bagi binatang, perkawinan hanya

semata-mata merupakan kebutuhan birahi dan nafsu syahwatnya, sedang bagi

manusia perkawinan diatur oleh berbagai etika dan peraturan lainya yang

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Oleh

karena itu, perkawinan manusia harus mengikuti peraturan yang berlaku.

Perkawinan tidak hanya semata-mata menjadi urusan kedua mempelai

saja, akan tetapi perkawinan merupakan sesuatu yang diridhoi Allah sebagai

suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita. Mereka

2

dipersatukan dengan saling mencintai dan mengharapkan dapat membuahkan

hasil dari cintanya yakni keturunan dalam suatu rumah tangga yang kekal dan

bahagia untuk mengarungi cakrawala kehidupan rumah tangga yang damai.

Namun demikian, kekalnya suatu rumah tangga yang akan dicapai itu

tergantung kepada masing-masing pasangan suami istri yang bersangkutan.

Artinya apabila sebuah rumah tangga itu tidak dijalani dengan sikap

keterbukaan, saling perhatian, saling menyayangi dan sikap serta saling

berfikir positif, hal ini dapat menimbulkan konflik dan masa suram yang

dihadapi sebuah rumah tangga. Konflik dan masa suram yang dimaksud dapat

disebabkan beberapa faktor. Faktor permasalah ini dapat mengganggu atas

kekalnya perkawinan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perceraian.

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada

Bab I Dasar Perkawinan Pasal 1 dinyatakan bahwa : perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari Undang-undang tersebut dapat

difahami bahwa perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan

manusia yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali

perjanjian yang suci atas nama Allah bahwa kedua mempelai berniat

membangun rumah tangga yang sakinah, tentram, dan dipenuhi oleh rasa cinta

dan kasih sayang. Untuk menegakan cita-cita kehidupan keluarga tersebut,

perkawinan tidak hanya bersandar pada ajaran Allah dalam al-Qur‟an dan as-

Sunnah yang bersifat global. Akan tetapi, perkawinan berkaitan pula dengan

3

hukum suatu negara. Perkawinan baru dikatakan sah jika menurut hukum

Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.

(Saebani, 2008:15).

Syari‟at yang dibangun Islam di atas dalam kenyataannya hal tersebut

tidaklah mudah diwujudkan. Dalam melaksanakan kehidupan rumah tangga

tidak mustahil apabila akan terjadi salah paham antara suami dan istri, salah

satu atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban, tidak saling percaya dan

sebagainya sehinga menyebabkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga

dikarenakan tidak dapat dipersatukan kembali persepsi dan visi antara

keduanya, keadaan seperti ini ada kalanya dapat di atasi dan diselesaikan,

sehingga hubungan suami istri baik kembali, namun adakalanya tidak dapat

diselesaikan atau didamaikan. Bahkan kadang-kadang menimbulkan

kebencian dan pertengkaran yang berkepanjangan dan berujung pada

perceraian.

Menurut UU Perkawinan putusnya perkawinan dapat terjadi karena:

(1) kematian; (2) perceraian; dan (3) karena putusan pengadilan. Dengan

demikian, perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.

Perceraian yang diajukan oleh pihak laki-laki (suami) disebut dengan cerai

talaq, sementara cerai yang diajukan oleh pihak perempuan (istri) disebut

dengan cerai gugat.

Perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan untuk diproses secara

hukum terbilang cukup signifikan dengan jumlah yang semakin bertambah

tiap tahunnya. Nazarudin Umar, mengungkapkan bahwa secara nyata, angka

4

perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi dibanding negara Islam

lainnya. Indonesia berada di peringkat tertinggi memiliki angka perceraian

paling banyak dalam setiap tahunnya, dibandingkan negara Islam di dunia

lainnya. Menurutnya, gejolak yang mengancam kehidupan struktur keluarga

ini semakin bertambah jumlahnya. Setiap tahun ada 2 juta perkawinan, tetapi

yang memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100

orang yang menikah, 10 pasangnya bercerai, dan umumnya mereka yang baru

berumah tangga. Dari berbagai kasus perceraian hampir 70 % adalah gugatan

cerai dari istri kepada suaminya, sedangkan sisanya adalah cerai talak dari

permohonan suami (Bahari, 2012:12).

Pergeseran nilai di dalam kehidupan masyarakat saat ini terlihat jelas,

dahulu isteri paling khawatir atau takut jika dicerai oleh suaminya, bahkan

dahulu isteri tidak punya kewenangan dalam hal cerai, karena talak merupakan

hak prerogatif suami, kenyataan sekarang menunjukkan bahwa sebagaian

besar istri-lah yang mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agama.

Gugat cerai yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama didasari dengan

berbagai alasan, mulai dari perselisihan terus menerus yang tidak dapat rujuk

kembali, suami berzina, suami tidak memberi nafkah, suami meninggalkan

istri tanpa kabar, hingga persoalan karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis.

Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat

selama periode 2005-2010 terjadi peningkatan perceraian hampir 70%. Pada

tahun 2010, terjadi sebanyak 285.184 perceraian di Indonesia. Penyebab

5

pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak adalah akibat faktor

ketidak harmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggung jawab

78.407 perkara dan masalah ekonomi 67.891 perkara (Republika.co.id, diakses

24 Januari 2012) .

Trend perceraian di Kota Salatiga terus mengalami peningkatan. Hal

ini sebagaimana dilangsir dari surat kabar Semarangmetro pada Jum‟at, 28

Februari 2014 yang menyebutkan bahwa permohonan perceraian yang

diajukan ke Pengadilan Agama Salatiga terus meningkat dari tahun ke tahun.

Berikut adalah rincian perkara Pengadilan Agama Salatiga dari tahun 2010-

2013

Tahun Diterima Jumlah Dicabut Dikabulkan Sisa Tahun

Sebelumnya

2010 1.051 1.340 68 921 289

2011 1.151 1.444 48 964 293

2012 1.254 1.596 50 1.165 342

2013 1.379 1.750 60 1.272 371

Tabel 1.1. Rincian data perkara PA Salatiga

Dalam surat kabar Semarangmetro dipaparkan berita bahwa pada

Januari 2014, PA Salatiga menerina 520 kasus 386 di antaranya sisa tahun

sebelumnya. Artinya dalam sebulan ada 134 permohonan cerai. Selanjutnya

sebagaimana wawancara yang telah dilakukan wartawan Semarangmetro

kepada Panitera Muda Hukum PA Salatiga Dra. Widad yang mengatakan

bahwa untuk perkara perceraian ada dua jenis yaitu cerai gugat dan cerai talak.

Cerai gugat merupakan permohonan dari istri sedangkan cerai talak atas

inisiatif suami. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa dari data yang

6

ditangani PA Salatiga, permohonan cerai gugat lebih banyak dibanding cerai

talak.

Dari data tersebut penulis tertarik untuk meneliti masalah perceraian

yang ada di Kota Salatiga, dengan fokus penelitian adalah perkara cerai gugat

yang diajukan oleh pihak istri di Pengadilan Agama Kota Salatiga selama

kurun waktu tahun 2014 yang telah lalu untuk dicari tahu apa alasan

pengajuan gugatan cerai itu, sehingga setelah diketemukan alasan-alasan dari

para istri tersebut penulis akan mengklasifikasikan data tersebut untuk dapat

dianalisa dengan seksama dan pada akhirnya mengetahui kredibilitas para

suami di Kota Salatiga berkenaan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala

rumah tangga dalam rangka menaungi dan melindungi istri dan keluarganya.

Sehingga penelitian ini sangatlah perlu untuk dilakukan untuk memberikan

pertimbangan bagi masyarakat dalam rangka mencari calon suami yang ideal

dari wilayah Kota Salatiga.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik permasalahan:

1. Seberapa banyak perkara cerai gugat masyarakat muslim Kota Salatiga

tahun 2014?, dan apa penyebabnya?

2. Bagaimana kualitas suami dari warga muslim Kota Salatiga dalam

membina rumah tangga?

7

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui penyebab cerai gugat yang terjadi di Kota Salatiga.

2. Mengetahui kualitas suami dari warga muslim Kota Salatiga dalam

membina rumah tangga.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam

mengetahui sejauh mana pemahaman warga kota Salatiga dalam

memahami arti penting dari sebuah pernikahan.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber bahan yang penting bagi

para peneliti di bidang syari‟ah.

c. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu bagi peneliti,

seluruh pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa IAIN Salatiga

pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi mengenai karakter seorang suami dari kota

Salatiga berkaitan masalah kredibilitasnya dalam mengemban tanggung

jawabnya sebagai seorang suami untuk membahagiakan istrinya dan

membangun keluarga yang sakinah sebagaimana diamanatkan oleh agama

dan Negara.

8

E. Penengasan Istilah

Definisi Cerai Gugat

1. Istilah Perceraian Menurut Undang-Undang

Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v (kata

kerja), 1. pisah; 2. putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian,

kata perceraian mengandung arti: n (kata benda), 1. Perpisahan; 2. Perihal

bercerai (antara suami istri); perpecahan. Adapun kata bercerai berarti: v

(kata kerja), 1. tidak bercampur (berhubungan, bersatu, dsb) lagi; 2.

Berhenti berlaki-bini (suami istri) (KBBI, 1997: 185).

Perceraian terdapat dalam Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 yang

memuat ketentuan fakultatif bahwa perkawinan putus karena kematian,

perceraian, dan putusan pengadilan. Jadi istilah perceraian secara yuridis

berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan

sebagai suami istri atau berhenti berlaki-bini (suami istri) sebagaimana

diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas.

Istilah perceraian menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974

sebagai aturan hukum positif tentang perceraian menunjukkan adanya:

a. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suai atau istri untuk

memutus hubungan perkawinan di antara mereka.

b. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami istri yaitu

kematian suami atau istri yang bersangkutan yang merupakan

ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha

Kuasa.

9

c. Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat

hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri

(Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: Sinar Grafika).

Dalam buku Hukum Perceraian (Syaifuddin, Turatmiyah &

Yahanan. 2013: 19-20), pengertian perceraian dapat dijelaskan dari

beberapa perspektif hukum berikut:

a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal

38 dan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP

No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut:

b. Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan

permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan

Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat

hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan

siding Pengadilan Agama (vide Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP

No. 9 Tahun 1975).

c. Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang

diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada

Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala

akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan

Psal 36).

d. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah

dipositifkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP

10

No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan

oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri, yang

dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat

pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatat di

Kantor Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9

tahun 1975).

2. Istilah Perceraian Menurut Doktrin Hukum

Menurut Abdul Kadir Muhammad, putusnya perkawinan karena

kematian disebut dengan cerai mati, sedangkan putusnya perkawinan

karena perceraian ada 2 (dua) istilah, yaitu cerai gugat (khulu’) dan cerai

talak. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan disebut dengan

istilah cerai batal (Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: 16).

Lebih lanjut Abdul Kadir Muhammad menjelaskan bahwa untuk

menyebut perkawinan dengan istilah-istilah tersebut, terdapat beberapa

alasan, yaitu:

a. Penyebutan istilah cerai mati dan cerai batal tidak menunjukkan kesan

adanya perselisihan antara suami istri;

b. Penyebutan cerai gugat (khulu’) dan cerai talak menunjukkan kesan

adanya perselisihan antara suami dan istri;

c. Putusnya perkawinan baik karena putusan pengadilan maupun

perceraian harus berdasarkan putusan pengadilan (Syaifuddin,

Turatmiyah & Yahanan. 2013: 16).

11

Perceraian dalam istilah fikih disebut talak, itu dugunakan oleh

para ahli fikih sebagai salah satu istlah yang berarti membuka ikatan,

membatalkan perjanjian. Perceraian dalam istilah fikih juga sering disebut

dengan furqah yang artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul.

Kemudian kedua istilah tersebut digunakan oleh para ahli fikih sebagai

salah satu istilah yang berarti perceraian suami istri (Soemiyati, 1982:

103).

Kata talak dalam istilah fikih mempunyai arti umum, ialah segala

macam bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami, yang

ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya

atau perceraian karena meninggalnya suami atau istri. Selain itu, talak juga

mempunyai arti yang khusus, yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh pihak

suami (Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: 17).

Cerai gugat (talak tebus) dalam Islam dikenal dengan khulu’,

artinya talak yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak

istri kepada suami. Cerai gugat terjadi karena adanya kemauan dari pihak

istri, dengan alasan perkawinannya tidak dapat dipertahankan lagi. Cerai

gugat dapat terjadi jika ada keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak

istri, karena ia benci kepada suaminya (Syaifuddin, Turatmiyah &

Yahanan. 2013: 17).

Perceraian berakibat hukum putusnya perkawinan. Abdul Ghofur

Anshori (2011: 36) menjelaskan bahwa putusnya perkawinan berarti

berakhirnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan itu ada dalam

12

bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk

putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 (empat) kemungkinan,

sebagai berikut:

a. Putusnya perkawinan karena atas kehendak Allah sendiri melalui

matinya salah seorang suami istri. Adanya kematian itu menyebabkan

dengan sendirinya berakhir hubungan perkawinan.

b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami karena adanya alasan

tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu.

Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.

c. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena istri melihat sesuatu

yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak

berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang

disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan

dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu.

Putusnya perkawinan dengan cara seperti ini disebut khulu’.

d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga

setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/istri yang menandakan

tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dijalankan. Putusnya

perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini tentu saja bukan penelitian yang pertama dengan

mengusung tema yang sama yaitu seputar perceraian. Banyak sekali

13

penelitian-penelitian yang pernah dilakukan berkaitan masalah perceraian ini,

namun tentunya fokus penelitiannya yang berbeda. Ada beberapa literal kajian

karya ilmiah yang pernah ditulis baik berupa skripsi, artikel maupun dalam

bentuk buku yang pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.

Salah satu penelitian yang pernah ada adalah penelitian oleh Nakiyah

(2002), mahasiswi Jurusan Syari‟ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Dalam skripsinya,

yang berjudul “Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Sebagai

Alasan Perceraian (Studi Kasus di PA Salatiga Tahun 1999-2001)”, Nakiyah

menggunakan metode penelitian Field Research. Penelitian ini berusaha

mengetahui motif tindakan kekerasan suami terhadap istri. Hasil yang

diperoleh dalam penelitian ini bahwa motif tindakan kekerasan suami terhadap

istri lebih banyak ditimbulkan akibat kesenjangan ekonomi, nilai budaya dan

pemahaman agama yang kurang. Sehingga akibat tidakan-tindakan suami

yang kasar seperti itu menyebabkan alasan mengapa istri menggugat cerai

pada sang suami.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Istikara (2004), mahasiswi

Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia yang

berjudul “Putusnya Perkawinan Karena Cerai Gugat (Analisa Kasus Putusan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan No: 1091/ pdt. G/ 2004/ PA JS)”, yang

menggunakan jenis penelitian kepustakaan. Peneliti meneliti faktor-faktor apa

yang menyebabkan putusnya perkawinan dan bagaimana akibat cerai gugat

terhadap anak. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa perceraian dalam kasus

14

di atas itu disebabkan karena dahulu kedua belah pihak antara suami dan istri

terburu-buru untuk melangsungkan pernikahan, tanpa ada petimbangan yang

matang untuk menikah. Terlebih ketika sang suami tidak cakap dalam

membangun sebuah keluarga yang akhirnya mengakibatkan perseturuan

panjang antara suami dan istri. Selanjutnya hadlanah pemeliharaan anak di

pegang oleh ayahnya karena ibunya tidak menyatakan keberatan dan ada hal-

hal tertentu yang menyebabkan ibu tersebut tidak bisa mendapatkan hak asuh

anak.

Selanjutnya skripsi yang ditulis oleh Taufiqi (2008) mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang berjudul “Penelantaran

Ekonomi Sebagai Alasan Gugatan Perceraian (Studi di Pengadilan Agama

Gresik)” dengan menggunakan metode penelitian yurudis sosiologis.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penelantaran ekonomi

sebenarnya tidak bisa dijadikan sebagai alasan gugat cerai karena tidak tidak

terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi penelantaran

ekonomi yang berujung pada perselisihan dan pertengkaran terus menerus

dapat dijadikan sebagai gugatan perceraian. Hal ini yang menjadi dasar bagi

hakim untuk mengabulkan gugatan istri sesuai dengan pasal 19 (F PP No. 9

Tahun 1975).

Kemudian skripsi yang ditulis oleh Aliyah (2013), mahasiswi Jurusan

Syari‟ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam

Negeri (STAIN) Salatiga yang berjudul “Perceraian Karena Gugatan Istri

(Studi Kasus Perkara Cerai Gugat Nomor: 0597/ pdt. G/ 2011/ PA. Sal Dan

15

Nomor: 0740/ pdt. G/ 2011/ PA. Sal di Pengadilan Agama Salatiga)”.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan

fenomenologis atau berdasarkan pengalaman subjek penelitian. Dalam

penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian pada perkara cerai gugat

dengan alasan pengajuan gugatan oleh istri berupa masalah sosial-ekonomi.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah ditemukannya faktor-faktor

yang menyebabkan istri menggugat cerai suami, diantaranya adalah pertama,

suami meninggalkan kewajiban menafkahi keluarga dan yang kedua, karena

suami dipenjara. Alasan-alasan tersebut yang dijadikan dasar gugatan istri.

Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan di atas, hampir

kesemuanya hanya fokus membahas seputar alasan pengajuan gugatan

perceraian istri kepada suami yang alasan-alasannya berupa masalah ekonomi.

Berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Dalam penelitian yang

berjudul Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat Masayarakat Muslim Kota

Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014, peneliti tidak hanya

meneliti alasan-alasan pengajuan gugatan istri. Tidak hanya terfokus pada

petitum dalam surat gugatannya, namun peneliti akan mengkualifikasin

alasan-alasan tersebut dan akan menganalisis dari pada alasan-alasan yang

telah ada hingga pada akhirnya akan ditarik kesimpulan mengenai kredibilitas

rasa tanggung jawab suami kepada istri dan keluarga dalam membangun

sebuah mahligai rumah tangga sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan

agama.

16

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Adapun yang

dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-

kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007: 6). Menurut

Milles dan Michael sebagaimana dikutip oleh Maslikhah (2013: 319)

penelitian kualitatif akan mendapatkan data kualitatif yang sangat menarik,

memiliki sumber dari dekripsi yang luas dan berlandaskan kokoh, serta

memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup

setempat. Penelitian ini dapat memahami alur peristiwa secara kronologis,

menilai sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan

memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat, serta dapat

memperoleh penemuan-penemuan yang tidak diduga sebelumnya untuk

membentuk kerangka teoritis baru. Tujuan dari penelitian ini adalah

mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variable dan keadaan yang terjadi

saat penelitian berjalan dan menyuguhkan data apa adanya.

Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian

deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan

masalah yang ada berdasarkan data-data. Penelitian deskriptif kualitatif

17

menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang

sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam masyarakat,

pertentangan dua keadaan atau lebih, hubungan antar variable, perbedaan

antar fakta, pengaruh terhadap suatu kondisi dan lain-lain. Selain itu

pendekatana yang digunakan adalah pendekatan normative, yakni sebuah

pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, produk-

produk hokum, perbandingan konsep hukum dan sejarah ataupun idiologi

yang sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat hukum (Soekanto &

Mamudji, 1995: 13-14). Berkaitan dengan apa yang penulis teliti, maka al-

Qur‟an dan al-Sunnah menjadi rujukan utama selain perbandingan dengan

hokum Islam di Indonesia serta konsep gender yang sedang ramai dibahas

dimasyarakat. Dan yang terakhir adalah pendekatan sosiologis, yaitu

pendekatan yang melandaskan pada fenomena atau gejala-gejala yang

berkembang ditengah-tengah masyarakat guna memahami hukum yang

berlaku dalam masyarakat (Soekanto, 1999: 45).

Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan dalam

penelitian ini dimaksudkan menelisik penyebab dominasi perkara cerai

gugat yang ada di PA Salatiga dengan mngumpulkan data-data perceraian

pada periode tahun 2014, guna memperoleh informasi mengenai alasan-

alasan pengajuan cerai gugat tersebut. Sehingga setelah diketahui

penyebab atau alasan-alasan cerai gugat tersebut akan dapat diketahui

kualitas sosok suami dari wilayah Kota Salatiga sebagai seorang kepala

rumah tangga, pada hasil akhir dari penelitian ini. Diharapkan melalui

18

penelitian ini mampu menyibak tabir dari rumusan masalah yang telah

penulis rumuskan di atas.

2. Kehadiran Peneliti

Kehadiran penulis dalam penelitian ini adalah sebagai seorang

peneliti. Dalam rangka mendapatkan data-data yang diperlukan, peneliti

akan melaksanakan observasi dan wawancara langsung pada subjek yang

diteliti, ditempat sumber data itu berada. Sehingga sudah berang tentu

peneliti akan turut aktif dalam kegiatan penelitian ini guna mencari data-

data yang dibutuhkan.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian tentang Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di

Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014 ini dilaksanakan di Pengadilan

Agama Salatiga yang beralamatkan di Jln. Lingkar Selatan, Dusun

Jagalan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga,

Jawa Tengah.

4. Kebutuhan dan Sumber Data

Kebutuhan dan sumber data dalam penelitian yang berjudul

Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga

Tahun 2014 adalah data-data perceraian yang masuk di PA Salatiga dalam

periode tahun 2014. Kemudian dari data-data tersebut peneliti akan

mengklasifikasikan menurut jenis percerainnya dan dari situ akan tampak

dominasi perceraian yang ada di PA Salatiga. Setelah itu peneliti akan

menganalisis data-data perkara cerai gugat itu lebih dalam untuk diketahui

19

alasan-alasan dalam gugatannya. Selain data-data perceraian tersebut

sumber data juga akan diperoleh dari para ahli yang ada di PA. Salatiga,

baik para hakim, panitera maupun dari para pihak yang berperkara sendiri

sebagai data sekunder guna menguatkan data primer yang telah ada.

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,

melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang

yang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan

tujuan tertentu (Mulyana, 2004: 180). Wawancara yang akan dilakukan

menggunakan dua tahap, pertama peneliti melakukan deskripsi dan

orientasi awal tentang masalah dan subjek yang dikaji. Kedua

melakukan wawancara mendalam sehingga menemukan informasi

yang lebih banyak dan penting sampai menemukan titik jenuh.

Wawancara yang digunakan dengan model wawancara terbuka, artinya

informan dapat mengungkapkan beberapa upaya yang dilaksanakan

dan gagasan beserta strategi yang akan dilaksanakan serta hambatan

yang diprediksikan (Maslikhah, 2013: 321). Meskipun demikian,

peneliti tetap menggunakan kisi-kisi wawancara yang sesuai dengan

rumusan masalah di atas. Untuk membantu mendapatkan data penting,

maka peneliti menggunakan alat rekam suara baik tape recorder

ataupun dengan handphone.

20

Dalam wawancara ini informan yang akan dijadikan sebagai

nara sumber adalah para hakim di pengadilan agama kota salatiga.

Menggingat para hakim adalah sebagai eksekutor dalam perkara

perceraian di PA Salatiga. Dan tentunya dalam setiap putusannya

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan konstitusi

dan agama. Dengan mewawancarai para hakim di PA Salatiga ini

diharapkan penelitian mendapatkan data yang dibutuhkan sehingga

dapat membantu dalam penelitian ini.

b. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data di mana peneliti

mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala

subjek yang sedang diteliti. Baik pengamatan itu dilakukan di dalam

situasi yang sebenarnya maupun dilakukan dalam situasi yang khusus

diadakan (Surachmad, 1972: 155). Dalam melaksanakan observasi ini

peneliti akan berkunjung langsung ke Pengadilan Agama kota Salatiga

guna menggali informasi dan mengumpulkan data-data seputar

perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama kota Salatiga. Disini

peneiliti akan mengamati langsung bagaimana proses perceraian yang

ada di Pengadilan Agama kota Salatiga. Menelaah lebih inheren

penyebab perceraian itu terjadi, alasan pengajuan gugatan perceraian

dan mengkoding atau mengaktegorikan dominansi jenis perceraian

yang ada sehingga tujuan dari penelitian ini akan tercapai dengan baik.

21

c. Penggunaan Dokumen

Dokumen dalam artian ini adalah setiap bahan tertulis ataupun

foto saat pelaksanaan penelitian sebagai bukti autentik dalam

membantu penyusunan laporan penelitian setelah purna. Penggunaan

dokumen ini dirasa sangat penting dibutuhkan, karena dalam penelitian

ini penggunaan dokumen sebagai sumber utama dalam jenis penelitian

deskriptif-kualitatif. Melalui dokumen-dokumen perceraian yang ada

di pengadilan agama kota salatiga ini akan didapatkan informasi terkait

intensitas tanggung jawab suami dikota salatiga dilihat dari sudut

pandang dominasi kasus cerai gugat yang ada di pengadilan agama

kota salatiga.

d. Analisis Data

Proses analisis data sepertihalnya penelitian kualitatif model

Miles dan Huberman sebagaimana dikutip oleh Emzir (2010: 129-

135), maka digunakan teknik analisis data dengan reduksi data,

penyajian data dan verifikasi.

Reduksi data (data reduction) yaitu proses pemilihan,

pemusatan pada penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data kasar

yang diperoleh dari lapangan. Melalui reduksi data ini peneliti akan

memilah dan memilih data dan sumber informasi yang ada sesuai

dengan focus penelitian sejak awal. Yaitu hanya berkutit dilingkup

perceraian. Mengingat begitu banyaknya kasus yang ditangani

pengadilan agama kota salatiga tidak hanya mengurusi masalah

22

perceraian saja ada juga kasusu-kasus lain seperti sengketa harta gono-

gini, warisan, wakaf dan lain sebagainya.

Penyajian data (data display) yaitu deskripsi kumpulan

informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan

kesimpulan dan mengambil tindakan. Dengan penyajian data ini

peneliti akan menyajikan dan menyusun sedemikian rupa secara runtut

data kasar yang berupa dukumen-dokumen perceraian, wawancara

dengan para hakim dan beberapa pihak yang berperkara, serta

pengamatan langsung tersebut dalam bentuk diskripsi kalimat yang

lugas sehingga mudah difahami dan dicermati hingga akhirnya penulis

akan dapat memberikan kesimpulan dalam penelitian ini.

Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclution drawing and

verification) dari permulaan pengumpulan data, periset kualitatif

mencari makna dari setiap gejala yang diperoleh dilapangan, mencatat

keterangan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada,

alur akusalitas dan proposisi. Dalam penarikan kesimpulan ini akan

didapatkan jawaban-jawaban dari rumusan maslah yang telah ada,

sehingga hasil dari penelitian tentang Menelisik Dominasi Kasus Cerai

Gugat Masyarakat Muslim Kota Salatiga di Pengadilan Agama

Salatiga Tahun 2014 dapat terealisasi dengan baik.

e. Pengecekan Keabsahan Data

Mengikuti teori Moleong sebagaimana dikutip oleh Maslikhah

(2013: 323-324) pengecekan keabsahan data yang digunakan

23

didasarkan pada empat kriteria yaitu derajat kepercayaan (credibility),

keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan

kepastian (confirmablity). Uji derajat kepercayaan (credibility)

dilakukan dengan cara melakukan pembuktian apakah yang diamati

oleh peneliti benar-benar sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi

secara wajar dilapangan. Untuk melakukan derajat kepercayaan ini

dilakukan observasi secara terus menerus. Keteralihan (transferability)

membuat uraian laporan atas data yang ditemukan secara khusus

dengan jelas ditulis sehingga dapat dipahami oleh pembaca.

Ketergantungan (dependability) dilakukan untuk mengurangi

kesalahan-kesalahan dalam mengumpulkan, menginterpretasi temuan

dan laporan hasil penelitian cara menentukan dependent auditor

(konsultan peneliti). Kepastian (confirmability) dilakukan untuk

mengetahui apakah data yang diperoleh memenuhi obyektifitas atau

tidak. Untuk melakukan uji confirmability ini dilakukan dengan cara

melakukan konfirmasi apakah pandangan, pendapat dan penemuan

seseorang juga telah disepekati oleh orang lain secara obyektif. Oleh

karena itu, data yang sudah dikumpulkan dikonfirmasikan dengan para

ahli yang membidanginya.

f. Tahap-tahap Penelitian

a. Tahap Pra-Lapangan

Dalam tahap pra-lapangan ini ada lima hal yang harus

dilengkapi oleh peneliti, yaitu:

24

1) Menentukan setting dan subyek penelitian

2) Menyusun rancangan penelitian

3) mengurus perizinan penelitian

4) Menyiapkan perlengkapan penelitian

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga

bagian, yaitu:

1) Memahami latar penelitian

2) Adaptasi peneliti dilapangan

3) Berperan serta sambil mengumpulkan data

c. Tahap Pasca Lapangan

Pada tahap pasca lapangan ini, peneliti membaginya

menjadi tiga tahap, yaitu:

1) Pengolahan data penelitian

2) Menganalisis data penelitian

3) Menyimpulkan hasil penelitian

d. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam

memahami penulisan penelitian ini, maka penulis akan

memberikan gambaran singkat mengenai permasalahan yang akan

dibahas dengan sistematika penulisan yang akan penulis susun

mencakup lima bab, yang subtansinya meliputi:

25

Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini menguraikan

tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan maslah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode

penelitian dan sitematika penulisan penelitian.

Bab kedua adalah kajian pustaka, yang berisikan penjelasan

tentang makna perkawinan, keluarga sakinah, putusnya

perkawinan. Dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal terkait hal

tersebut di atas baik dari sudut pandang agama maupun secara

konstitusi perundang-undangan negara. Pada bagian kajian pustaka

ini sangatlah penting, karena pada bab ini ibarat sebagai pisau

bedah yang akan membantu peneliti membedah problem dari

subyek yang diteliti.

Selanjutnya Bab ketiga adalah paparan data dan temuan

penelitian. Dalam bab ini peneliti akan memaparkan data-data yang

telah didapatkan baik berupa data hasil wawancara, maupun data

tertulis yang akan di notasikan dalam bentuk tulisan, selanjutnya

akan dikorelasikan pada data dari teori pada bab sebelumnya

sehingga akan didapatkan temuan penelitian yang dimaksud sesuai

dengan rumusan masalah yang sebelumnya dirumuskan.

Bab empat adalah pembahasan. Setelah ditemukan gap atau

temuan masalah dalam penelitian pada bab ke-tiga, peneliti akan

mengkaji lebih dalam menurut interpretasi sendiri berdasarkan

teori-teori para ahli dan hukum yang ada, kemudian

26

mengkrucutkannya untuk didapat jawaban dari penelitian tentang

Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di PA Salatiga Tahun

2014.

Dan Bab kelima adalah penutup, pada bab yang terakhir ini

membahas tentang kesimpulan penelitian yang telah dilakukan dan

saran-saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

penulis pada khususnya, bagi civitas akademika IAIN Salatiga dan

bagi masyarakat pada umumnya.

27

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

C. Makna Perkawinan

6. Pengertian Perkawinan

Awal dari kehidupan berkeluarga adalah dengan melaksanakan

perkawinan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Manusia tidak seperti binatang yang melakukan

perkawinan dengan bebas dan sekehendak hawa nafsunya. bagi binatang,

perkawinan hanya semata-mata merupakan kebutuhan birahi dan nafsu

syahwatnya, sedangkan bagi manusia, perkawinan diatur oleh berbagai

etika dan peraturan lainnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Oleh karena itu, perkawinan

manusia harus mengikuti peraturan yang berlaku.

Tanpa perkawinan, manusia tidak dapat melanjutkan sejarah

hidupnya karena keturunan dan perkembangan manusia disebabkan oleh

adanya perkawinan. Akan tetapi, jika perkawinan manusia tidak

didasarkan pada hukum Allah, sejarah dan peradaban manusia akan hancur

oleh bentuk-bentuk perzinahan sehingga manusia tidak berbeda dengan

binatang yang tidak berakal dan hanya mementingkan hawa nafsunya.

Perkawinan atau sering disebut dengan pernikahan berasal dari

kata dalam bahasa Arab yaitu kata nikah. Kata nikah adalah bentuk

masdar dari “nakaha”, yang artinya menggabungkan, mengumpulkan, atau

28

yang artinya kumpul. Juga bisa di artikan wath’u al-zaujah bermakna

menyetubuhi istri. Menurut Tihami dan Sahrani (2008: 7) sebagaimana

dikutip dari Rahmat Hakim memaparkan bahwa kata nikah berasal dari

bahasa Arab nikahun yang merupakan masdar atau asal kata dari kata

kerja (fi’il madhi) nakaha, sinonimnya tazawwaja kemudian

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah

sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.

Adapun menurut syara‟ nikah adalah akad serah terima antara laki-

laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama

lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah

serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah

adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata; nikah

atau tazwij (Tihami & Sahrani, 2008: 8). Hal ini sesuai dengan ungkapan

yang ditulis oleh Zakiyah Daradjat dan kawan-kawan (1985: 48) yang

memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:

عقد يتضمن إباحة وطئ بلفظ النكاح أو التزويج أو معناهما Artinya: “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan

kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna

keduanya”.

Pengertian perkawinan menurut Slamet Abidin dan Aminudin

sebagaimana dikutip oleh Saebani (2008: 14) terdiri atas beberapa definisi,

yaitu sebagai berikut:

a. Ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai

suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja.

29

Artinya, seorang laki-lakidapat menguasai perempuan dengan seluruh

anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan.

b. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad

dengan menggunakan lafadz nikah atau zauj, yang menyimpan arti

memiliki. Artinya, dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki atau

mendapatkan kesenangan dari pasangannya.

c. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad

yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak

mewajibkan adanya harga.

d. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad dengan

menggunakan lafadz inkah atau tazwij untuk mendapatkan kepuasan.

Artinya, seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang

perempuan dan sebaliknya. Dalam pengertian di atas terdapat kata-kata

milik yang mengandung pengertian hak untuk memiliki melalui akad

nikah. Oleh karena itu, suami istri dapat saling mengambil manfaat

untuk mencapai kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan

membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah di dunia.

Dari beberapa pengertian nikah tersebut dapat diambil kesimpulan

bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai pria

dengan calon mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua

belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat

yang telah ditetapkan oleh syara‟ untuk menghalalkan percampuran antara

30

keduanya, sehingga satu sama lainnya saling membutuhkan menjadi

sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga (Saebani, 2008: 15).

Berbicara masalah perkawinan, dalam tata hukum Indonesia pun

diatur. Menurut undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan

pada Bab I Dasar Perkawinan Pasal 1 dinyatakan bahwa: perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Bab II Dasar-Dasar Perkawinan Pasal

2 dinyatakan bahwa: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,

yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupaka ibadah. Dengan demikian,

pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya

dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial

yang sakral.

7. Dasar Hukum Perkawinan

Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur

hubungan antara manusia dengan sesamana yang menyangkut penyaluran

kebutuhan biologis antarjenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan

dengan akibat perkawinan tersebut (Tihami & Sahrani, 2008: 8).

Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara‟. Dalam

buku Pedoman Konselar Keluarga Sakinah yang diterbitkan oleh

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan

31

Haji Departemen Agama RI (2002: 5) disebutkan bahwa dasar perkawinan

menurut ajaran Islam, yang pertama adalah melaksanakan Sunnatullah,

sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa‟

ayat 3 :

Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga

atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku

adil, maka (kawinilah) seorang saja”.

Dan firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:

Artinya: “Dan kawinilah orang-orang yang sedirian (janda) diantara kamu,

dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba

sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu perempuan

yang patut “.

Dalam hadits Nabi Muhammad SAW, juga disebutkan:

يا : قال لنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: عن عبدهللا بن مسعود رضي هللا عنه قالأغض للبصر وأحصن للفرج من استطاع منكم الباءة فاليتزوج فاءنه معشرالشباب

.يستطع فعليه بالصوم فاءنه له وجاء ومن لمArtinya: “Ibnu Mas‟ud r.a berkata : “Rasulullah SAW bersabda kepada

kami: “Hai para pemuda, apabila di antara kamu mampu untuk

kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk

menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampu

hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya”

(H.R. Bukhari-Muslim).

Dan yang kedua adalah untuk mengamalkan sunnah Rasulullah SAW

sebagaimana disebut dalam hadits Nabi :

عن أنس ابن مالك رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم حمد هللا واثنى عليه لكني أنا اصلى وانام وافطر واتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني: وقال

Artinya: “Anas bin Malik r.a berkata : “ Sesungguhnya Nabi SAW memuji

Allah dan menyanjungnya, beliau lalu bersabda : ”Akan tetapi

32

aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, akau berbuka, dan aku

mengawini perempuan, barang siapa yang tidak suka dengan

perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (H.R.

Bukhari dan Muslim).

Tihami dan Sahrani menjelaskan dalam bukunya yang berjudul

Fikih Munakahat (2008: 11), bahwa hukum asal dari perkawinan adalah

mubah, namun dapat berubah menurut ahkam al-khamsah (hukum yang

lima) menurut perubahan keadaan :

a. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang

akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah

mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari

perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali

dengan nikah.

b. Nikah Haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya

tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan

kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan

kewajiban batin seperti mencampuri istri. Selain itu nikah haram bagi

orang yang berkehendak menyakiti perempuan yang dinikahi.

c. Nikah Sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah

mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan

haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada

membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.

d. Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah

dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum

wajib nikah dan tidak haram untuk menikah.

33

Selanjutnya Al-Aziz S (2005: 475) dalam bukunya Fiqih Islam

Lengkap Pedoman Hukum Ibadah Umat Islam Dengan Berbagai

Permasalahannya menambahkan bahwa hukum nikah makruh, bagi oyang

yang tidak mampu memberi nafaqah kepada istrinya.

Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa dasar

perkawinan, menurut Islam pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, dan

makruh tergantung dengan keadaan maslahat dan mafsadatnya.

8. Rukun Dan Syarat Dalam Perkawinan

Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia,

yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikat tali perjanjian yang

suci atas nama Allah bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah

tangga yang sakinah, tentram dan di penuhi oleh rasa cinta dan kasih

sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut,

perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam

al-Qur‟an dan as-Sunnah yang sifatnya global. akan tetapi, perkawinan

berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan

sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun

dan syarat-syaratnya. Perihal masalah syarat-syarat perkawinan, di dalam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 juga telah di atur secara jelas, yaitu

pada Bab II Tentang Syarat-Syarat Perkawinan.

Berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat dalam perkawinan,

Sayyid Sabiq (1987: 86) mengatakan bahwa syarat sahnya perkawinan

adalah sebagai berikut;

34

Pertama, perempuan yang hendak dinikahi adalah yang halal untuk

dinikahi oleh laki-laki yang bersangkutan, bukan perempuan yang haram

untuk dinikahi karena saudara sekandungnya misalnya. Kedua, adanya

para saksi dalam perkawinan, Ketiga, adanya ijab kabul.

Selain itu dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),

yaitu pada Bab IV tentang Rukun Dan Syarat Perkawinan, Bagian Kesatu

tentang Rukun Perkawinan meliputi hal-hal:

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali Nikah

d. Dua orang saksi

e. Ijab dan kabul

Sedangkan syarat perkawinan sebagaimana dijelaskan oleh Tihami

dan Sahrani (2008: 13-14) ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun

perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab

kabul.

Syarat-syarat Suami:

a. bukan mahram dari calon istri

b. tidak terpaksa/ atas kemauan sendiri

c. orangnya tertentu, jelas orangnya

d. tidak sedang ihram

e. tidak sedang beristri empat dalam satu masa

Syarat-syarat Istri:

35

a. tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak

sedang dalam iddah.

b. merdeka, atas kemauan sendiri.

c. jelas orangnya, dan

d. tidak sedang berihram

Syarat-syarat wali:

a. laki-laki

b. baligh

c. waras akalnya

d. tidak dipaksa

e. adil, dan

f. tidak sedang ihram

Syarat-syarat saksi:

a. laki-laki

b. baligh

c. waras akalnya

d. adil

e. dapat mendengar dan melihat

f. bebas, tidak dipaksa

g. tidak sedang ihram

9. Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa

Rasulullah SAW, yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan

36

duniawi dan ukhrawi. Dengan pengamatan sepintas lalu, pada batang

tubuh ajaran fikih dapat dilihat adanya empat garis dari penataan itu

(Tihami dan Sahrani 2008: 154) yakni;

a. Rub’al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk

dengan khaliknya.

b. Rub’al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas

pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya

sehari-hari.

c. Rub’al-munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam

lingkup keluarga,

d. Rub’al-jinayat, yang menata pengamanannya dalam suatu tertib

pergaulan yang menjamin ketentramannya.

Dalam buku Pedoman Konselar Keluarga Sakinah yang diterbitkan

oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

Penyelenggaraan Haji Departemen Agama Islam RI (2002: 5) dijelaskan

bahwa tujuan perkawinan di dalam ajaran Islam yang pertama adalah

seperti yang disebutkan dalam al-Qur‟an surat ar-Rum ayat 21:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu

cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya

diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

berfikir”.

37

Tujuan yang kedua adalah untuk menenangkan pandangan mata

dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:

يا : قال لنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: عن عبدهللا بن مسعود رضي هللا عنه قالمعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فاليتزوج فاءنه أغض للبصر وأحصن للفرج

.ومن لم يستطع فعليه بالصوم فاءنه له وجاءArtinya: “Ibnu Mas‟ud r.a berkata : “Rasulullah SAW bersabda kepada

kami: “Hai para pemuda, apabila di antara kamu mampu untuk

kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk

menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampu

hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya”

(H.R. Bukhari-Muslim).

Selain dari dua hal tersebut di atas maka tujuan yang ketiga adalah

untuk mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman kuat ilmu dan

kuat amal sehingga mereka itu akan dapat membangun hari depannya yang

lebih baik, bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat serta bangsa dan

negaranya.

Senada dengan pemaparan di atas, Zakiyah Darajat dkk (1985: 64),

mengemukakan ada lima tujuan dalam perkawinan, yaitu:

a. mendapat dan melangsungkan keturunan;

b. memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan

kasih sayangnya;

c. memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan

kerusakan;

d. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak

serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta

kekayaan yang halal, serta

38

e. membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang

tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Bab I tentang Dasar

Perkawinan Pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Selain itu, dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI), Bab II tentang Dasar-Dasar Perkawinan Pasal 3 disebutkan

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawadah dan rahmah. Dengan demikian, maka rumusan tentang

tujuan perkawinan yang ada di dalam undang-undang adalah sejalan

dengan ajaran Islam yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

10. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Terjadinya akad nikah telah menimbulkan akibat hukum bagi

pasangan yang menikah. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan

juga hak serta kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga, yang

meliputi hak suami istri secara bersama, hak suami atas istrinya berarti

kewajiban yang harus diberikan oleh istri kepada suami, dan hak istri atas

suami berarti kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istri.

Jika suatu pasangan suami istri sama-sama menjalankan tanggung

jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan

ketenangan hati sehingga sempurnalah kabahagiaan hidup berumah

39

tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai

dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah, warahmah.

Hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 terdapat dalam Bab VI Pasal 30-34. Dalam Pasal 30

disebutkan bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk

menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan

masyarakat.

Dalam Pasal 31 dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban

suami istri yaitu:

a. hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat;

b. masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum;

c. suami adalah kepala keluarga dan istri ibu ramah tangga.

Pasal 32 menyatakan bahwa:

a. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap;

b. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini

ditentukan oleh suami istri bersama.

Pasal 33; Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat

menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada

yang lain.

40

Pasal 34:

a. suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;

b. istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

c. jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat

mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Dalam KHI Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Istri dibagi

menjadi enam bagian, yaitu:

Bagian Kesatu, Umum adalah Pasal 77 yang berisi pasal-pasal yang sama

materinya dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 1/1974 Pasal 30-34, yaitu:

a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi

dasar dari susunan masyarakat.

b. Suami istri wajib saling cinta mencintai, menghormati, setia dan

memberi bantun lahir batin.

c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-

anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun

kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.

d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.

e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat

mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.

41

Bagian Kedua, Kedudukan Suami Istri pada Pasal 78:

a. Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga;

b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat;

c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Bagian Ketiga, Kewajiban Suami pada Pasal 80:

a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan

tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting

diputuskan oleh suami istri;

b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;

c. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan

memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan

bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa;

d. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:

1) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;

2) biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi

istri dan anak;

3) biaya pendidikan bagi anak.

e. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf

a dan b;

42

f. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila

istrinya nusyuz.

Bagian Keempat, Tempat Kediaman pada Pasal 81

a. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-

anaknya atau bekas istri istri yang masih dalam masa iddah;

b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama

dalam ikatan perakawinan atau dalam iddah atau iddah wafat;

c. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak anaknya

dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram.

Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta

kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga;

d. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan

kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat

tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun

sarana penunjang lainnya.

Bagian Kelima, Kewajiban Suami Beristri Lebih dari seorang, Pasal 82;

a. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi

tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara

berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung

masing-masing istri, kecauali ada perjanjian perkawinan;

b. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya

dalam satu tempat kediaman.

43

Bagian Keenam, Kewajiban Istri, pada Pasal 83

a. Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan batin

kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam;

b. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-

hari dengan sebaik-baiknya.

Pasal 84

a. Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-

kewajiban. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecauali

dengan alasan yang sah;

b. Selama istri dalam nusyuz kewajiban suami terhadap istrinya tersebut

pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku, kecuali hal-hal

untuk kepentingan anaknya;

c. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali

sesudah istrinya tidak nusyuz;

d. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus

didasarkan atas bukti yang sah.

Hak dan kewajiban suami istri menurut Undang-Undang Nomor

1/1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 juga Kompilasi Hukum

Islam (KHI) sudah lengkap. Hak istri adalah kewajiban suami, sebaliknya

hak suami adalah kewajiban istri.

Dalam hukum Islam pun tidak berbeda kewajiban suami adalah

pemimpin dalam keluarga. Dengan demikian, beristri harus mengabdi

kepada suami yang membimbingnya ke jalan kebajikan dan takwa.

44

Menurut Sayyid Sabiq (1987: 52) jika akad nikah telah sah, ia akan

menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, menimbulkan pula hak

serta kewajiban selaku suami istri. Hak dan kewajiban ini ada tiga macam,

yaitu: (1) Hak istri atas suami, (2) Hak suami atas istri, dan (3) Hak

bersama. Masing-masing suami istri jika menjalankan kewajibannya dan

memerhatikan tanggung jawabnya akan mewujudkan ketentraman dan

ketenangan hati sehingga suami istri mendapatkan kebahagiaan yang

sempurna.

Menurut Saebani (2008: 63) hak istri terhadap suami meliputi:

a. Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah;

b. Hak rohaniah, seperti melakukannya dengan adil jika suami poligami

dan tidak boleh menganiaya istri

Lebih lanjut Saebani (2008: 63) memaparkan bahwa suami

berkewajiban melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

a. Memberi keperluan hidup keluarganya untuk kebutuhan rohaniah dan

jasmaniah;

b. Suami melindungi istri dan anak-anaknya dari segala sesuatu yang

dapat mengancam jiwa dan keselamatan, sebagaimana suami

berkewajiban memberi tempat kediaman;

c. Suami memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan;

d. Suami berkewajiban menggauli istrinya dengan baik dan benar.

Selanjutnya menurut Saebani (2008:63), kewajiban istri adalah

melakukan hal-hal sebagai berikut:

45

a. Melayani kebutuhan suaminya secara lahir maupun batiniyah;

b. Menjaga nama baik dan kehormatan suami serta harta bendanya;

c. Mengabdi dengan taat kepada ajaran agama dan kepemimpinan suami

sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam;

d. Suami sebagai kepala keluarga yang berkewajiban membiayai semua

kebutuhan rumah tangganya memiliki hak untuk mengatur dengan baik

terhadap masalah-masalah yang dialami oleh keluarganya dengan cara

bermusyawarah.

Tihami dan Sahrani (2008: 154) menjelaskan bahwa dengan

adanya akad nikah, maka antara suami dan istri mempunyai hak dan

tanggung jawab secara bersama, yaitu sebagai berikut:

a. Suami dan istri dihalalkan mengadakan hubungan seksual.

b. Haram melakukan pernikahan, artinya baik suami maupun istri tidak

boleh melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing.

c. Dengan adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling mewarisi

apabila salah seorang di antaranya telah meninggal meskipun belum

bersetubuh.

d. Anak mempunyai nasab yang jelas

e. Kedua belah pihak wajib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat

melahirkan kemesraan dalam kedamaian hidup.

D. Putusnya Perkawinan

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974

dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang

46

bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam bahasa

KHI disebut mitssaqan ghalidzan (ikatan yang kuat). Tentunya dari tujuan

yang diamanatkan dalam Undan-Undang tersebut, setiap pasangan suami istri

berkeinginan akan memiliki sebuah bahtera kehidupan rumah tangga yang

bahagia dengan berhiaskan kerukunan, serta ketentraman lahiriyah dan

batiniyah. Namun apa daya, manusia tidak tahu apa yang telah Allah gariskan

dalam perjalanan hidup hamba-Nya. Tidak selamanya sebuah kehidupan

berkeluarga berjalan mulus, seindah apa yang dibayangkan ketika pasangan

itu duduk dipelaminan. Ketidak harmonisan, salah faham, dan bahkan sampai

terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga pun kerap kali terjadi, hingga

pada akhirnya akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (peceraian).

Menurut Budi Susilo sebagaimana dikutip oleh Syaifuddin,

Turatmiyah dan Yahanan (2013: 5) dalam buku Hukum Perceraian,

menjelaskan bahwa memang benar perkawinan merupakan ikatan suci antara

seorang pria dan wanita, yang saling cinta mencintai dan menyayangi. sudah

menjadi kebutuhan hidup mendasar, bahwa setiap insan akan menikah.

Umumnya, setiap orang berniat untuk menikah sekali dalam seumur hidupnya

saja, tidak pernah terbersit bila di kemudian hari harus bercerai, lalu menikah

dengan orang lain, atau memilih untuk tetap sendiri. Namun, pada

kenyatannya justru bukan demikian. Tidak sedikit pasangan suami istri, yang

akhirnya harus memilih berpisah alias bercerai. Faktor ketidak cocokan dalam

sejumlah hal, berbeda dengan persepsi serta pandangan hidup, paling tidak

menjadi beberapa alasan penyebab terjadinya perceraian.

47

Perceraian walaupun diperbolehkan, tetapi agama Islam tetap

memandang bahwa perceraian adalah suatu yang bertentangan dengan asas-

asas Hukum Islam sebagaimana yang ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW

dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yaitu:

و أبغض انحالل إنى هللا تعانى انطالق .قال رسىل هللا ص: عه ابه عمر قالArtinya: “Dari Ibn Umar ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda “Sesuatu

yang halal yang amat dibenci oleh Allah ialah talak” (Rasjid, 2011:

401).

Pada prinsipnya, suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena

berbagai hal. Menurut ketentuan Undang-Undang Pasal 38 UU No. 1 Tahun

1974, perkawinan dapat putus karena tiga hal yaitu: 1. kematian; 2. perceraian;

3. atas putusan pengadilan. Lebih lanjut dijelaskan dalam Undang-Undang

Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang isinya memuat ketentuan imperatif

bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah

Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

Dalam hal putusnya perkawinan menurut Undang-Undang Pasal 38

UU No. 1 Tahaun 1974 akan dijelaskan sebagai berikut:

4. Putusnya Perkawinan Karena Kematian

Menurut Prawirohamidjojo (2006: 123) menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan kematian bukanlah kematian perdata (le mort civile),

akan tetapi kematian daripada pribadi orangnya, bahkan yang dimaksud

oleh Undang-Undang kematian salah satu pihak, apakah sang suami

ataukah sang istri. Akan tetapi bukan kedua-duanya. Sebab, andai kata

kedua-duanya meninggal tidak perlu lagi kita bicarakan mengenai akibat-

akibat putusnya perkawinan terhadap pihak-pihak.

48

5. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian

Putusnya perkawinan karena kehendak suami atau istri atau

kehendak keduanya, karena adanya ketidak rukunan disebut dengan istilah

“perceraian” yang bersumber dari tidak dilaksanakannya hak-hak dan

kewajiban-kewajiban sebagai suami atau istri sebagaimana seharusnya

menurut hukum perkawinan yang berlaku. Pada dasarnya, seorang pria dan

seorang wanita yang mengikat lahir dan batinnya dalam suatu perkawinan

sebagai suami dan istri mempunyai hak untuk memutuskan perkawinan

tersebut dengan cara perceraian berdasarkan hukum perceraian yang

berlaku.Yang dimaksud dengan perceraian di sini adalah penjatuhan talak,

yaitu untuk membedakan dengan perceraian atas dasar gugatan

(Prawirohamidjojo, 2006: 123).

UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 hanya memuat

pengertian perceraian, yang terdiri dari cerai talak dan cerai gugat. Ini

berarti bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur lebih lanjut bentuk-

bentuk perceraian yang ada dalam hukum Islam bentuk-bentuk perceraian

itu justru lebih banyak pengaturan hukumnya. Namun demikian, bentuk-

bentuk perceraian yang berakibat hukum putusnya perkawinan itu tetap

dapat bermuara pada cerai talak dan cerai gugat serta alasan-alasan hukum

perceraiannya yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No.9

Tahun 1975.

Bentuk-bentuk perceraian yang mengakibatkan putusnya

perkawinan yang diatur dalam hukum Islam, yang dapat menjadi alasan-

49

alasan hukum perceraianya dan bermuara pada cerai talak dan cerai gugat

yang telah diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975,

dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Talak

Pengertian talak secara bahasa artinya melepaskan atau

meninggalkan. Menurut Sayyid Sabiq (1987: 7), “ Talak artinya

melepaskan ikatan perkawinan”. Menurut istilah syarak (Syaifuddin,

Turatmiyah, & Yahanan. 2013: 229) talak adalah:

حم رابطة انسواج وإوهاء انعالقة انسوجية Artinya: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami

istri”.

Menurut Al-Jazairi, talak ialah:

انطالق إزانة انىكاح او وقصان حهً بهفظ مخصىص Artinya: “Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau

mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata

tertentu”.

Sedangkan menurut Abu Zakariya Al-Anshari, talak ialah:

حم عقد انىكاح بهفظ انطالق ووحىي Artinya: “Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang

semacamnya”.

Jadi, dari beberapa pengertian talak dapat dipahami

bahwasannya talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga

setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi

suaminya. Ini terjadi dalam talak ba’in, sedangkan arti mengurangi

pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi

suami yang mengakinatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi

hak suami dari tiga menjadi dua, daru dua menjadi satu, dan dari satu

menjadi hilang hak dalam talak raj’i (Syaifuddin, Turatmiyah, &

Yahanan. 2013: 230).

50

Dalam pengertian perceraian (talak) dalam hukum Islam secara

garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi

menjadi dua macam, yaitu:

1) Talak raj’i

Yaitu talak di mana suami masih mempunyai hak untuk

merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-

lafal tertentu, dan istrinya benar-benar sudah digauli. Dalam talak

raj’i paling banyak talak hanya diperbolehkan dua kali seumur

hidup, atau selama pergaulan suami istri untuk bisa rujuk kembali,

namun dengan syarat masih dalam masa iddah. Bila perceraian

sudah sampai tiga kali, berarti telah melampaui batas dan ketika itu

tertutuplah pintu untuk kembali. Sebagaimana firman Allah dalam

surat al-Baqarah ayat 229:

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh

rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan

dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil

kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada

mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan

dapat menjalankan hukum-hukum Allah”.

2) Talak ba’in

51

Yaitu talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami

istri. Talak ba’in terbagi menjadi dua bagian:

a) Talak ba’in sughra yaitu talak yang menghilangkan hak-hak

rujuk dari bekas bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan

hak nikah baru kepada istri bekas istrinya itu. Yang termasuk

dalam talak ini adalah talak suami kepada istri sebelum terjadi

setubuh (dukhul) dan khulu‟.

b) Talak ba’in kubra yaitu talak yang mengakibatkan hilangnya

hak rujuk kepada bekas istri, walaupun kedua bekas suami istri

itu ingin melakukanny, baik waktu iddah atau sesudahnya.

Yang termasuk dalam talak ini adalah talak yang diakibatkan

karena ila’, zihar, dan li’an.

Secara umum, masyarakat biasanya hanya mengenal istilah

talak sebatas sebutan talak satu, talak dua, dan talak tiga. Talak yang

dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak. Sedangkan talak

yang diajukan oleh istri dinamakan cerai gugat. Jadi sebenarnya ada

dua jenis talak. Dari kedua talak ini, akan ada beberapa produk talak.

Produk cerai talak disebut sebagai talak raj’i, di mana untuk rujuk

tidak harus melalui akad nikah baru. Rujuk dalam talak raj’i cukup

hanya dengan pernyataan suami bahwa dia telah rujuk dengan sang

istri, tentu saja lewat lembaga KUA. Sedangkan produk cerai gugat

disebut talak ba’in, yang dalam hal ini dibagi menjadi dua yaitu ba’in

52

sughro (dimungkinkan rujuk dengan akad nikah baru) dan bain kubro

(tidak mungkin rujuk lagi).

Pembahasan mengenai masalah putusnya perkawinan karena

perceraian hanya terpaut pada cerai talak saja. Yaitu perceraian yang

diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada

Pengadilan Agama. Sedangkan perceraian dalam pengertian cerai

gugat dibicarakan dalam sub bab putusnya perkawinan karena atas

putusan pengadilan (Bahari, 2012: 19).

b. Syiqaq

Soemiyati menjelaskan bahwa syiqaq itu berarti perselisihan

atau menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami istri yang

diselesaikan oleh dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan

satu orang dari pihak istri. Pengangkatan hakam jika terjadi syiqaq ini

merujuk pada Al-Qur‟an surat An-Nisa Ayat 35, yang artinya : “ dan

jika kamu hawatir ada persengketaaan antara kedua suami istri, maka

utuslah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari

keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud

mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-

istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”.

Pengangkatan hakam yang dimaksud dalam ayat tersebut, terutama

bertugas untuk mendamaikan suai istri itu. Hanya dalam keadaaan

terpaksa sekali dan sudah sekuat tenaga berusaha mendamaikan suami

53

istri itu tidak berhasil, maka hakam boleh mengambil keputusan

menceraikan suami-istri tersebut (Syaifuddin, dkk. 2013: 16).

c. Khulu’

Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa khulu’ secara

etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Khulu’ dalam

kaitan hukum perkawinan sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat

187, disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu

merupakan pakaian bagi suaminya. Penggunakan kata khulu‟untuk

putusnya perkawinan, karena istri sebagai pakaian bagi suaminya

berusaha menanggalkan pakaianya itu dari suaminya. Dalam arti istilah

hukum dalam beberapa kitab fiqih khulu’ diartikan dengan putusnya

perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan

talak khulu’. Khulu’ itu merupakan satu bentuk dari putusnya

perkawinan, namun beda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan

itu, dalam khulu’ terdapat uang tebusan atau ganti rugi atau „iwadl

(Syaifuddin, dkk. 2013: 131).

d. Fasakh

Secara etimologi, fasakh berarti membatalkan. Apabila

dihubungkan dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan

perkawinan atau merusakan perkawinan. Kemudian secara

terminologis fasakh bermakna pembatalan ikatan pernikahan oleh

Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat

dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah

54

terlanjur menyalahi hukum pernikahan. Pengertian fasakh dijelaskan

oleh Sajuti Thalib ialah suatu lembaga pemutusan hubungan

perkawinan karena tertipu atau karena tidak mengetahui sebelum

perkawinan bahwa istri yang telah dinikahinya itu ada cacat celanya.

Salah satu hadits rasul yang membolehkan seorang wanita yang sudah

dinikahi baru diketahui bahwa dia tidak sekufu (tidak sederajat dengan

suaminya), untuk memilih tetap diteruskan hubungan perkawinannya

itu atau apakah dia ingin difasakhkan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Atsar, Umar bin Khatab pernah memfasakhkan suatu perkawinan pada

masa beliau menjadi khalifah karena penyakit bershak (semacam

penyakit menular) dan gila, rawahul Daruquthni (Syaifuddin, dkk.

2013: 137).

e. Fahisah

Fahisah menurut al-Qur‟an Surah Anisa‟: 15 ialah perempuan yang

melakukan perbuatan keji atau perbuatan buruk yang memalukan

keluarga, seperti perbuatan mesum, homo seksual, lesbian, dan

sejenisnya. Apabila terjadi peristiwa yang demikian itu, maka suami

dapat bertindak mendatangkan empat orang saksi laki-laki yang adil

yang memberikan kesaksian tentang perbuatan itu, apabila terbukti

benar, maka kurunglah wanita itu dalam rumah sampai mereka

menemui ajalnya, maksudnya sampai Allah memberikan jalan

petunjuk kepadanya hingga sadar dan bertaubat (Syaifuddin, dkk.

2013: 140).

55

f. Ta’lik Talak

Pada prinsipnya ta’lik talak, menurut penjelasan Sudarsono

adalah suatu penggantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap

peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat

sebelumnya antara suami istri. Dalam kenyataan, hubungan suami-istri

menjadi putus berdasarkan ta’lik talak dengan adanya beberapa syarat,

yaitu pertama, berkenaan dengan adanya peristiwa adanya peristiwa

dimana digantungkan talak berupa terjadinya sesuatu seperti yang

diperjanjikan. Misalnya: pernyataan suami bahwa jika ia meninggalkan

istri selama enam bulan dengn tiada kabar dan tidak mengirim nafkah

lahir batin atau suami berjanji bahwa ia tidak akan meukul istri lagi.

Kedua, menyangkut masalah ketidakrelaan istri. Apabila suami

ternyata tetap melakukan pemukulan kepada istri, maka istri tidak rela.

Ketiga, apabila istri sudah tidak rela, maka ia boleh menghadap pejabat

yang berwenang menangani masalah ini, yang dalam hal ini Kantor

Urusan Agama. Keempat, istri membayar „iwadl melalui pejabat yang

berwenang sebagai pernyataan tidak senang terhadap sikap yang

dilakukan suami terhadapnya (Syaifuddin, dkk. 2013: 141).

g. Ila’

Ila’ berasal dari bahasa Arab, yang secara arti kata berarti

tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah. Ila’ sebagai

mana yang terdapat dalam Syarah Minhaj Al-Thalibin berarti sumpah

suami untuk tidak menggauli istrinya. Sementara Ila’ menurut syara‟

56

adalah bersumpah untuk tidak menggauli istri. Dasar adanya Ila’

adalah firman Allah: “Kepada orang-orang yang mengIla‟ istrinya

diberi tangguh empat bulan lamanya”. (QS. Al-Baqarah: 226)

(Syaifuddin, dkk. 2013: 148).

h. Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan Ila’.

Arti Zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya itu

baginya sama dengan punggung ibunya. Syeikh Hasan Ayub

menjelaskan bahwa ulama sepakat bahwasanya zhihar berlaku dengan

cara menyerupakan istri dengan punggung ibunya. Namun mayoritas

ulama mengatakan yang disebut zhihar adalah apabila suami

menyerupakan istrinya dengan anggota tubuh yang haram dilihatnya

(Syaifuddin, dkk. 2013: 153).

i. Lian

Lian artinya melaknat. Diantara definisi yang representatif,

yang mudah difahami lian adalah sumpah suami yang menuduh

istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan

empat orang saksi. Hukuman menuduh zina tanpa saksi yang cukup

yaitu didera 80 kali. Al-Qur‟an Surah An-Nur ayat 4 mengatur:

Dalam hal yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik itu

berzina dan mereka tidak mempunyai empat orang saksi maka

deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera dan

janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk seama-

lamanya (Syaifuddin, dkk. 2013: 158).

j. Murtad (Riddah)

57

Syaikh Hasan Ayyub menjelaskan bahwa apabila salah seorang

suami-istri murtad sebelum terjadi persetubuhan, maka nikah terkena

fasakh menurut pendapat meyoritas ulama. Dituturkan dari Abu Daud

bahwa pernikahan tidak terkena fasakh sebab kemurtadan karena

menurut ketentuan dasar nikahnya tetap sah. Apabila kemurtadan

terjadi setelah persetubuhan maka dalam hal ini ada dua pendapat. Satu

pendapat mengatakan bahwa serta merta terjadi perpisahan. Ini adalah

pendapat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Pendapat lain mengatakan

bahwa perpisahan ditunda hingga berakhirnya iddah. Apabila yang

murtad itu kembali masuk Islam sebelum iddah berakhir, maka suami-

istri tetap dalam hubungan pernikahan. Apabila ia tidak masuk Islam

sampai akhir iddah berakhir, maka terjadi perpisahan sejak hari ia

murtad. Ini adalah madzab Syafi‟i (Syaifuddin, dkk. 2013: 162).

6. Putusnya Perkawinan Karena Atas Putusan Pengadilan

Putusnya perkawinan karena atas putusan pengadilan dalam hal ini

yang dibahas adalah berkenaan masalah cerai gugat. Produk cerai gugat

sendiri seperti halnya yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya

adalah talak ba’in.

Dalam setiap gugatan perceraian oleh istri kepada suami, biasanya

Pengadilan Agama memutus dan mangabulkan atau menolak gugatan

didasarkan oleh alasan-alasan tertentu. Dalam pasal 39 ayat 2 UU No.

1/1974 dijelaskan “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,

bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami

58

istri”. Sedangkan dalam penjelasan atas Pasal 39 ayat 2 UU No. 1/1974

dan juga dalam Pasal 19 PP No. 9/1975 disebutkan sebagai berikut: “

alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. salah satu meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di

luar kemauan;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan terhadap pihak lain;

e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang

mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;

f. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

Selanjutnya di dalam KHI juga dipertegas dalam Pasal 116, yang

substansinya sama dengan Pasal 19 PP No. 9/1975, namun ada tambahan

dua poin yaitu:

a. salah satu pihak melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab

kabul pernikahan;

59

b. salah satu pihak beralih agama atau murtad yang mengakibatkan

ketidakharmonisan keluarga dan tidak bisa hidup rukun.

Berbicara masalah taklik-talak sebagaimana dijelaskan di atas.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 1 huruf e dijelaskan bahwa sighat

taklik adalah perjanjian yang diucapkan oleh mempelai pria setelah akad

nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang

digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa

yang akan datang. Sighat taklik-talak ini terdapat pada buku kutipan akta

nikah bagian belakang. pada umumnya, setelah akad nikah mempelai pria

diminta untuk membacanya. Sekalipun sifatnya suka rela yang mana

berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, namun di negara ini

membaca taklik-talak seolah-olah menjadi kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh suami.

Rumusan sighat taklik-talak adalah rumusan yang ditetapkan

berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1990, yang

rumusan lengkapnya adalah sebagai berikut (Saifullah, Arifin & Izzudin.

2005: 55):

Sesudah akad nikah, saya ... bin ... berjanji dengan sesungguh hati,

bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan

akan saya pergauli istri saya bernama ... binti ... dengan baik (mu’asyarah

bil ma’ruf) menurut ajaran syari‟at Islam.

Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik atas istri saya itu

sebagai berikut:

60

Sewaktu-waktu saya:

(1) Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun bertururt-turut.

(2) Atau saya tidak memberi nafkaf wajib kepadanya tiga bulan lamanya.

(3) Atau saya menyakiti badan/ jasmani istri saya itu

(4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam

bulan lamanya,

kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada

Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu,

dan pengaduan dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas

tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh

ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak

saya satu kepadanya.

Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk

menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya

kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat untuk keperluan

ibadah sosial.

Berdasarkan rumusan tersebut ada 10 unsur-unsur pokok sighat

taklik-talak, yang apabila terpenuhi maka bisa dijadikan alasan dalam

pengabulan pemutusan perkawinan oleh Pengadilan, yakni:

a. Suami meninggalkan istri, atau;

b. Suami tidak memberi nafkah kepada istri, atau;

c. Suami menyakiti istri, atau;

d. Suami membiarkan tidak (memperdulikan) istri;

e. Istri tidak rela;

61

f. Istri mengadu ke Pengadilan;

g. Pengaduan istri diterima oleh Pengadilan;

h. Istri membayar uang iwadl;

i. Jatuhnya talak satu suami kepada istri;

j. Uang iwadl oleh suami diterimakan kepada Pengadilan untuk

selanjutnya diserahkan kepada pihak ketiga untuk kepentingan ibadah

sosial.

62

BAB III

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

D. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Salatiga

Dikutip dari website PA Salatiga (http://www.pa-

salatiga.go.id/index.php/news/profil.html#sejarah, diakses pada hari minggu

14 september 2014, 11.34 WIB), sekilas tentang sejarah perjalanan PA

Salatiga dapat dijabarkan sebagai berikut:

6. Sejarah pembentukan PA Salatiga

Pengadilan Negeri Salatiga dibentuk pada abad ke-19 yaitu pada

tahun 1896 berupa Landraad untuk keperluan Warga Negara Asing dan

Belanda, Pemerintah Daerah pada masa itu berupa Kabupaten Semarang

dan Kawedanan Salatiga yang berpusat di Salatiga berbentuk Gamanto

yang pada perubahannya setelah kemerdekaan menjadi Kota Praja dan kini

berbentuk Kota Madia. Sejarah Peradilan Agama Salatiga dibagi atas

beberapa dekade, yaitu:

a. Masa Sebelum Penjajah

Pengadilan Agama Salatiga dalam bentuk yang kita kenal

sekarang ini embrionya sudah ada sejak Agama Islam masuk ke

Indonesia. Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama dengan

perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga

dan Kabupaten Semarang. Masyarakat Islam di Salatiga dan di daerah

Kabupaten Semarang pada saat itu apabila terjadi suatu sengketa,

63

mereka menyelesaikan perkaranya melalui Qodli (Hakim) yang

diangkat oleh Sultan atau Raja, yang kekuasaannya merupakan

Tauliyah dari Waliyul Amri yakni penguasa tertinggi. Qodli (Hakim)

yang diangkat oleh Sultan adalah alim ulama' yang ahli dibidang

Agama Islam.

b. Masa Penjajahan Belanda Sampai Jepang

Ketika penjajah Belanda masuk Pulau Jawa khususnya di

Salatiga, dijumpainya masyarakat Salatiga telah berkehidupan dan

menjalankan syari'at Islam, demikian pula dalam bidang Peradilan

umat Islam Salatiga dalam menyelesaikan perkaranya menyerahkan

keputusannya kepada para hakim sehingga sulit bagi Belanda

menghilangkan atau menghapuskan kenyataan ini.

Oleh karena kesulitan pemerintah Kolonial Belanda menghapus

pegangan hidup masyarakat Islam yang sudah mendarah daging di

Indonesia pada umumnya dan khususnya di Salatiga, maka kemudian

pemerintah Kolonial belanda menerbitan pasal 134 ayat 2 IS ( Indische

Staatsregaling ) sebagai landasan formil untuk mengawasi kehidupan

masyarakat Islam di bidang Peradilan yaitu berdirinya Raad Agama,

disamping itu pemerintah kolonial Belanda menginstruksikan kepada

para Bupati yang termuat dalam Staatblad tahun1820 No. 22 yang

menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di

kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama.

64

Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun

1940, kantor yang ditempatinya masih menggunakan serambi Masjid

Kauman Salatiga dengan ketua dan hakim Anggotanya diambil dari

alumnus Pondok Pesantren. Pegawai yang ada pada waktu itu 4 orang

yaitu K. Salim sebagai Ketua dan K. Abdul Mukti sebagai Hakim

Anggota dan Sidiq sebagai sekretaris merangkap bendahara dan

seorang pesuruh. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi

Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang terdiri dari 14 Kecamatan.

Adapun Perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara

waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Pada waktu

penjajahan Jepang keadaan Pengadilan Agama Salatiga atau Raad

Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang berarti yaitu pada

tahun 1942 sampai dengan 1945 karena pemerintahan Jepang hanya

sebentar dan Jepang dihadapkan dengan berbagai pertempuran dan

Ketua beserta stafnya juga masih sama.

c. Masa Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945,

Pengadilan Agama Salatiga berjalan sebagaimana biasa. Kemudian

pada tahun 1949 Ketua dijabat oleh K. Irsyam yang dibantu 7 pegawai.

Kantor yang ditempati masih menggunakan serambi Masjid Al-Atiq

Kauman Salatiga dan bersebelahan dengan Kantor Urusan Agama

Kecamatan Salatiga yang sama-sama mengunakan serambi Masjid

sebagai kantor.

65

Kemudian kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah dari

serambi Masjid Al-Atiq ke kantor baru di Jl. Diponegoro No. 72

Salatiga sampai tanggal 30 April 2009 dan setelah sekian lama kantor

Pengadilan Agama Salatiga pindah ke gedung baru pada tanggal 1 Mei

2009 di Jl. Lingkar Selatan, Jagalan, Cebongan, Argomulyo, Salatiga.

Kemudian kantor lama digunakan sebagai arsip-arsip dan rumah dinas.

kemudian pada tahun 1953 Ketua dijabat oleh K. Moh Muslih,

padatahun 1963 Ketua dijabat oleh K.H. Musyafa'.Pada tahun 1967

Ketua dijabat oleh K. Sa'dullah, semua adalah alumnus Pondok

Pesantren.

d. Masa Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974

Sejak kehadiran dan berlakunya Undang-undang Nomor 14

Tahun 1970 pada tanggal 17 Desmber 1970 kedudukan dan posisi

Peradilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan

Agama Salatiga, namun umat Islam Indonesia masih harus berjuang

karena belum mempunyai undang-undang yang mengatur tentang

keluarga muslim. Melalu proses kehadirannya pada akhir tahun 1973

membawa suhu politik naik. Para ulama dan umat Islam di Salatiga

juga berjuang ikut berpartisipasi, akan terwujudnya undang-undang

perkawinan, maka akhirnya terbitlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974.

Setelah secara efektif Undang-Undang Perkawinan berlaku

yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

66

Pengadilan Agama Salatiga dilihat dari fisiknya masih tetap seperti

dalam keadaan sebelumnya, namun fungsi dan peranannya semakin

mantap karena banyak perkara yang harus ditangani oleh Pengadilan

Agama, di Pengadilan Agama Salatiga banyak perkara masuk yang

menjadi kewenangannya.

Volume perkara yang naik yaitu perkara Cerai Talak disamping

Cerai Gugat dan juga banyak masuk perkara Isbat Nikah ( Pengesahan

Nikah ), karena di Pengadilan Agama Salatiga yang wilayahnya sangat

luas yaitu meliputi Daerah Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang,

maka melalui SK Menteri Agama Nomor 95 tahun 1982 tanggal 2

Oktober 1982 Jo. KMA Nomor 76 Tahun 1983 tanggal 10 Nopember

1982 berdirilah Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran. Adapun

penyerahan wilayah yaitu dilaksanakan pada tanggal 27 April 1984

dari Ketua Pengadilan Agama Salatiga Drs. A.M. Samsudin Anwar

kepada Ketua Pengadilan Agama Ambarawa yaitu sebagian wilayah

Kabupaten Semarang.

e. Masa Berlakunya UU No. 7 Tahun 1989

Sejak diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

posisi Pengadilan Agama Salatiga semakin kuat. Pengadilan Agama

berwenang menjalankan keputusannya sendiri tidak perlu lagi melalui

Pengadilan Negeri, selain itu hukum acara yang berlaku di Pengadilan

Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.

Untuk melaksanakan tugas pemanggilan dan pemberitahuan, sudah ada

67

petugas Jurusita. Untuk menyesuaikan dengan Undang-undang

Pengadilan Agama ini, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan

bimbingan dan pembinaan dari Departemen Agama RI dan secara

teknis Yustisial mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung RI

dan Pengadilan Tinggi Agama.

Struktur organisasi Pengadilan Agama juga disesuaikan dengan

Peradilan Umum dan Peradilan lainnya, sehingga status kedudukannya

menjadi sederajat dengan Peradilan lain yang ada di Indonesia, dari

segi fisik dan jumlah personil Pengadilan Agama Salatiga masih

ketinggalan dari Peradilan Umum, hal ini disebabkan karena dana yang

tersedia untuk sarana fisik kurang memadai, namun kwalitas sumber

daya manusia Pegawai Pengadilan Agama Salatiga sama dan sejajar

dengan Peradilan Umum bahkan melebihi, karena tenaga yang direkrut

harus malalui seleksi yang ketat dan memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan.

Sejak Pengadilan Agama mendapatkan pembinaan dari

Mahkamah Agung RI mulai diadakan pemisahan jabatan antara

Kepaniteraan dan Kesekretariatan begitu juga rangkap jabatan antara

Jurusita dan Panitera Pengganti, bagi para Hakim juga diberi tugas

Pengawasan bidang-bidang. Upaya pembenahan di Pengadilan Agama

Salatiga selalu ditingkatkan. Pengadilan Agama Salatiga sampai tahun

2004 belum memenuhi standar gedung Pengadilan, yang ada sekarang

adalah bangunan rumah kuno peninggalan zaman Belanda, selain itu

68

balai sidang dan ruang-ruang lainnya sangat sempit. Demikianlah

keadaan sejarah Pengadilan Agama Salatiga sampai saat ini sehingga

untuk menyesuaikan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

sebagai Court of Law perlu pembenahan lebih lanjut.

7. Dasar hukum pembentukan PA Salatiga

a. Pengadilan Agama Salatiga dibentuk berdasarkan Staastblad tahun

1882 No. 152 (Nama Pengadilan Agama disebutkan sebagaimana

adanya pada saat itu Raad Agama).

b. Kemudian pada tahun 1951 terjadi perpindahan lokasi Pengadilan

Agama Salatiga dari halaman/serambi Masjid Jami' Kauman Salatiga

di tempat sekarang ini di Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga, berdasarkan

Keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 tahun 1990 dan Keputusan

Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/010/SK/III/1996 tanggal

06 Maret 1996 terjadi perubahan wilayah hukum Pengadilan Agama

Salatiga sampai sekarang ini.

8. Wewenang Pengadilan Agama Salatiga

Wewenang Pengadilan Agama terdiri dari wewenang absolut dan

wewenang relatif.

a. Wewenang Absolut

Wewenang absolut Pengadilan Agama berkenaan dengan jenis

perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Pasal 49 ayat 1 UU No. 7

Tahun 1989 menjelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara

69

tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a.

perkawinan, b. kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam, c. wakaf dan shadaqah.

b. Wewenang Relatif

Wewenang relatif berkenaan dengan daerah hukum suatu

Pengadilan. Adapun daerah yang termasuk dalam wewenang relatif

Pengadilan Agama Kota Salatiga disini terdiri dari 13 Kecamatan,

yaitu Kecamatan Sidorejo, Sidomukti, Argomulyo, dan Tingkir untuk

diwilayah Kota Salatiga sendiri. Sedangkan Kecamatan Bringin,

Bancak, Tuntang, Getasan, Tengaran, Susukan, Kaliwungu, Suruh dan

Pabelan untuk di wilayah Kabupaten Semarang.

9. Visi dan Misi PA Salatiga

a. Visi

Mewujudkan Pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu

pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan

berwibawa.

b. Misi

1) Mewujudkan rasa keadilan masayarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati

nurani;

2) Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan Independen, bebas dari

campur tangan pihak lain;

70

3) Meningkatkan pelayanan di bidang peradian kepada masyarakat

sehingga tercapai peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan;

4) Meningkatkan kwalitas sumber daya manusia aparat peradilan

sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara profesional

dan proposional;

5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan

bermartabat dalam melaksanakan tugas;

10. Struktur Organisasi PA Salatiga

Dasar hukum pembentukan:

a. UU No. 7 Tahun 1989

b. Keputusan Mahkamah Agung RI No. 004/sk/D/1992

c. Keputusan Mentri Negara No. 303 Tahun 1990

d. Keputusan Mentri Agama No. 73 Tahun 1993

e. SEMA RI No. 5 Tahun 1996

71

Gambar 3.1. Struktur Organisasi PA Salatiga

72

E. Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga

Angka perceraian di Kota Salatiga terus meningkat dari tahun ke

tahun. Selain angkanya meningkat, terdapat fakta kasus perceraian yang

sampai ke PA Salatiga, lebih banyak diajukan oleh kaum perempuan alias

pihak istri. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar perceraian itu

terjadi pada pasangan muda, yakni pada kisaran umur perkawinan 10 tahun ke

bawah, di usia produktif perkawinan. Data dari PA Salatiga menyebutkan,

mayoritas kasus yang mereka tangani terkait perceraian adalah perceraian

pasangan muda. Berdasarkan wawancara tanggal 26 Juni 2015 dengan Ibu

Widad, Panitera Muda Hukum PA Salatiga memaparkan bahwa pada tahun

2014, PA Salatiga menangani hampir 100 perkara perceraian tiap bulannya,

baik gugat cerai maupun gugat talak. Dari jumlah tersebut 70 adalah

perceraian pasangan usia muda yang umurnya dibawah 40 tahun. Jumlah ini

dinilai cukup tinggi. Pemohon cerai ini meliputi warga Kota Salatiga dan

beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Semarang, yang berdekatan

dengan Kota Salatiga.

Dari perkara perceraian yang masuk di PA Salatiga, pengajuan

perceraian yang ada lebih didominasi dari wilayah kabupaten Semarang.

Mengingat kewenangan relatif PA Salatiga terdiri dari 13 Kecamatan yang

terbagi atas Kota Salatiga hanya ada 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Sidorejo,

Sidomukti, Argomulyo, dan Tingkir, sedangkan sisanya adalah wilayah

Kabupaten Semarang sebanyak 9 Kecamatan yaitu Kecamatan Bringin,

Bancak, Tuntang, Getasan, Tengaran, Susukan, Kaliwungu, Suruh dan

73

Pabelan. Kewenangan relatif PA Salatiga ini berdasarkan Keputusan

Mahkamah Agung RI Np. KMA/010/SK/III/1996 tanggal 6 Maret 1996.

Meningkatnya gugatan cerai yang diajukan oleh pihak perempuan

terlihat jelas sejak beberapa tahun terakhir. Data yang dihimpun dari

Pengadilan Agama Kota Salatiga menyebutkan pada 2014 dari kasus

perceraian yang sampai ke Pengadilan Agama ada sebanyak 1329 perkara,

terdiri dari 401 permohonan cerai talak (penggugat laki-laki) dan 928

permohonan cerai gugat (penggugaat perempuan). Artinya separuh lebih

gugatan atau sekitar 70 dari gugatan cerai yang diajukan adalah lebih

banyak dari pihak istri dibanding gugatan yang diajukan pihak suami.

Berdasarkan data yang didapat dari laporan tahunan perkara yang

diputus pada Pengadilan Agama Salatiga, dalam setiap tahunnya rata-rata

perkara masuk adalah 1654 perkara. Hal ini didasarkan pada data perkara yang

masuk di PA Salatiga selama kurun waktu tahun 2011-2014. Dari data yang

ada sebanyak 73 adalah perkara perceraian dan 27 sisanya adalah perkara

campuran, baik masalah permohonan dispensasi nikah, perwalian, pengesahan

anak, isbat nikah, kewarisan, masalah perwalian dan lain sebagainya

mengingat Pengadilan Agama tidak hanya mengurusi masalah perceraian saja.

Di bawah ini adalah data perkara yang masuk di PA Salatiga dari tahun

2011-2014:

74

Tahun Diterima Jumlah Cerai

Talak

Cerai

Gugat

Dicabut Dikabulkan Sisa Tahun

Sebelumnya

2011 1.151 1.444 323 740 48 964 293

2012 1.254 1.596 405 768 50 1.165 342

2013 1.379 1.750 444 836 60 1.272 371

2014 1.440 1.826 401 928 70 1.345 386

Tabel 3.1. Data perkara masuk di PA Salatiga

Dari data tersebut di atas kita bisa melihat, bahwa pihak istri jauh lebih

banyak yang menggugat cerai dibanding suami setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil observasi data perceraian PA Salatiga tahun 2014

didapatkan informasi bahwasannya dari 1329 perkara cerai, faktor perceraian

yang paling dominan adalah hubungan pasutri (pasangan suami istri) yang

tidak harmonis sekitar 36%. Selanjutnya diikuti karena masalah ekonomi 25%

dan urutan tiga terakhir adalah karena suami meninggalkan kewajibannya

terhadap istri sekitar 22%.

Berikut adalah data penyebab perceraian di Pengadilan Agama

Salatiga Tahun 2014:

75

Gambar 3.2. Data penyebab perceraian PA Salatiga

Sebagaimana wawancara pada tanggal 26 Juni 2015 kepada

Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Salatiga, Ibu Widad yang

mengatakan bahwa terkait kasus cerai gugat yang tinggi, penyebab

terbanyak biasanya dipicu akibat perselisihan. Faktor penyebab

perselisihan dipicu kawin paksa, cemburu, faktor ekonomi, kawin di

bawah umur, tidak ada keharmonisan, selingkuh, ada WIL (wanita idaman

lain) atau PIL (pria idaman lain) namun itu angkanya sangat kecil. Selain

itu, faktor lain penyebab perceraian adalah karena tidak adanya tanggung

jawab dari suami, seperti suami lari dari tanggung jawab untuk memberi

nafkah istri, suami meninggalkan istri selama bertahun-tahun tanpa ada

kabar dan tanpa diketahui keberadaannya, kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT), krisis akhlak seperti suami mabuk-mabukan, perselingkuhan,

Gangguan pihak ketiga, 53

Tidak ada keharmonisan, 472

Ekonomi; 330

Tidak Tanggung jawab; 292 Krisis akhlak; 83

Cemburu; 64KDRT; 29

Dihukum; 9

Kawin di bawah umur; 13

Other; 51

76

yang pada akhirnya berujung pada perselisihan yang berkepanjangan dan

tidak ada jelan keluar penyelesainnya secara baik-baik.

F. Temuan Penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan di PA Salatiga, ada beberapa hal

yang ditemukan berdasarkan hasil dari observasi, wawancara dan pengkajian

data-data perceraian periode 2014. Di antara temuan penelitian tersebut yaitu:

Pertama adalah perihal data perkara yang masuk. Perkara yang

ditangani oleh PA Salatiga dalam setiap tahunnya rata-rata adalah 1654

perkara. Dengan porsi 73 adalah perkara perceraian yaitu sebanyak 1207

perkara, dan 27 sisanya yaitu 447 perkara adalah perkara campuran, baik

masalah permohonan dispensasi nikah, perwalian, pengesahan anak, isbat

nikah, kewarisan, masalah perwalian dan lain sebagainya. Dari 73 perkara

perceraian tersebut dibagi kembali atas cerai talak dan cerai gugat. Fakta yang

didapat, ternyata rata-rata prosentase kasus cerai yang paling besar ditangani

oleh PA Salatiga adalah perceraian sebab guguatan istri kepada suami atau

cerai gugat, sebesar 68% yaitu sebanyak 821 perkara . Dan 32% sisanya

sebanyak 386 adalah cerai talak.

Kedua, berkenaan kewenangan relatif PA Salatiga dalam mengadili,

dari rata-rata 1654 perkara yang masuk di PA Salatiga dalam setiap tahunnya,

hanya 10% perkara yang berasal dari wilayah Kota Salatiga yaitu sebanyak

165 perkara tiap tahunnya. Dan sisanya berasal dari sebagian kecamatan yang

ada di Kabupaten Semarang. Dari 165 perkara yang berasal dari Kota Salatiga,

77

sebanyak 120 perkara adalah berupa perkara perceraian dan 45 perkara adalah

selain perkara perceraian. Perkara perceraian yang terdaftar di PA Salatiga

dibagi atas cerai gugat yaitu sebanyak 84 perkara dan 36 lainnya adalah

perkara cerai talak . Dari data-data di atas dapat dipahami bahwa yang paling

mendominasi perkara perceraian di PA Salatiga adalah permohonan

perceraian masyarakat dari wilayah Kabupaten Semarang. Sehingga dapat

diambil perbandingan perkara perceraian yang berasal dari wilayah asli Kota

Salatiga dengan wilayah sebagian Kabupaten Semarang adalah satu

berbanding sembilan perkara pada setiap tahunnya.

Ketiga adalah kuantitas perceraian di Kota Salatiga tahun 2014. Dari

data perkawinan tahun 2011-2014 berdasakan data base perkawinan dari

KUA Kota Salatiga didapatkan informasi bahwasannya selama periode

tersebut, KUA Kota Salatiga telah mencatat rata-rata 1170 peristiwa nikah

dalam setiap tahunnya. Berikut adalah data peristiwa nikah di Kota Salatiga

tahun 2011-2014:

No Tahun Frekuensi

1 2011 1224

2 2012 1199

3 2013 1109

4 2014 1146

Jumlah 4678 Tabel 3.2 Data Perkawinan KUA Salatiga

Jika ditelisik kembali berdasarkan data perceraian warga Salatiga

sendiri yang berjumlah 120 perkara tiap tahunnya, maka perkawinan yang

berhasil dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah ada

sebanyak 1050 pasangan atau sekitar 90% dari 1170 peristiwa nikah. Dan

78

sisanya yang gagal membina rumah tangga ada sebanyak 120 pasangan atau

sekitar 10% saja.

Keempat adalah alasan-alasan permohonan cerai gugat istri pada

suami. Berdasarkan petitum surat gugatan yang ada, hampir rata-rata petitum

dalam surat gugatan yang dilayangkan ke PA Salatiga beralasankan:

1. Tidak ada keharmonisan dalam keluarga

Salah satu faktor paling dominan yang menjadi penyebab terjadi

perceraian adalah karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga

yang berujung pada perselisihan dan tiada penyelesainnya. Di PA Salatiga,

perkara ini paling tinggi prosentasenya sekitar 36% yaitu ada sebanyak

472 perkara.

2. Faktor ekonomi

Permasalahn ekonomi menjadi alasan kedua kenapa istri

menggugat suaminya. Di PA salatiga ada sekitar 25% perkara karena

alasan ini, yaitu 330 perkara. Gugat cerai istri terhadap suaminya yang

didasari oleh permasalahn ekonomi terjadi karena suami memberikan

nafkah kepada istrinya tidak mencukupi. Ada beberapa alasan

ketidakmampuan suami memberi nafkah istri. Pertama, karena suami

seorang tunawisma, yang mana justru istri yang menanggung kebutuhan

keluarga termasuk kebutuhan suami seperti perkara perceraian No.

0426/Pdt.G/2014/PA.Sal. Kedua, karena suami banyak hutang dan

seringkali ditagih hutang oleh debt collekctor. Seperti perkara No.

79

0637/Pdt.G/2014/PA.Sal, akibat terlilit hutang benyak, suami tidak pernah

memberikan nafkah lahir dan malah seringkali meminta uang kepada istri.

3. Tidak adanya tanggung jawab dalam rumah tangga

Faktor tidak ada tanggung jawab dalam rumah tangga ini sebagai

akibat tidak adanya singkronisasi seimbang pelaksanaan hak dan

kewajiban sebagai suami istri. Dari beberapa contoh putusan yang ada

bentuk tidak adanya tanggung jawab suami dalam rumah tangga adalah

suami tidak pernah memperdulikan atau mengurusi istri. Selain itu suami

juga tidak pernah memberikan nafkah wajib, baik lahiriyah maupun

batiniyah kepada istri dan anaknya. Di PA Salatiga ada sekitar 22%

perkara karena alasan ini yaitu sebanyak 292 perkara.

4. Tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

Seperti dicontohkan dalam perkara No: 0637/Pdt.G/2014/PA.Sal,

KDRT memang sering dijumpai dalam kehidupan berumah tangga. Dalam

perkara tersebut istri sering menerima perlakuan kasar dari suami sehingga

tidak tahan dan menuntut cerai dari suaminya. Pengajuan gugatan

perceraian karena KDRT dewasa ini tidak begitu mendominasi di PA

Salatiga, ada sekitar 1% saja atau sebanyak 9 perkara perceraian karena

alasan ini.

5. Hadirnya pihak ketiga

Hadirnya pihak ketiga masih menjadi polemik yang kontras terjadi.

Tanpa disadari ternyata kehadiran orang lain di luar struktur keluarga

secara utuh memberi kontribusi perceraian yang sangat signifikan. Di PA

80

salatiga percerian karena alasan ini ada sekitar 4% atau sebanyak 53

perkara. Dicontohkan dalam perkara No: 1278/Pdt.G/2014/PA.Sal dalam

petitumnya menyebutkan bahwa alasan istri mengajukan gugatan

perceraian kepada suami adalah karena sang suami menjalin hubungan

cinta dengan beberapa wanita lain.

6. Krisis moral

Seperti dicontohkan dalam perkara No: 0426/Pdt.G/2014/PA.Sal.

Dalam petitum dijelaskan bahwa alasan istri menggugat cerai suami

karena suami sering minum-minuman keras bahkan sampai mabuk. Dari

kebiasaan-kebiasaan negatif suami tersebut yang pada akhirnya istri

mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Dalam perkara ini hanya

ada sekitar 6% atau 83 perkara perceraian yang di laporkan ke PA

Salatiga.

Berdasarkan pemaparan data yang telah disampaikan di atas

bahwasannya perkara perceraian yang masuk di PA Salatiga, bagi penduduk

asli warga muslim Kota Salatiga pada periode tahun 2014 ada sebanyak 120

perkara dengan perincian 84 perkara cerai gugat dan 36 perkara cerai talak.

Adapun faktor penyebab cerai gugat yang paling mendominasi adalah karena:

1. Alasan ketidak harmonisan, ada sebanyak 31 perkara. Jika kita pahami

tentang ketidak harmonisan dalam rumah tangga yang menyebabkan hal

tersebut terjadi dapat berupa perbedaan pandangan, tingkat pendidikan,

serta pemahaan terhadap membina rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, warahmah.

81

2. Faktor penyebab selanjutnya adalah karena masalah ekonomi, ada

sebanyak 24 perkara. Dari perkara cerai gugat warga muslim Kota Salatiga

yang masuk di PA Salatiga berdasarkan data para pihak yang berperkara,

hampir rata-rata profesi mereka adalah sebagai karyawan swasta baik

sebagai buruh pabrik ataupun yang lainnya. Apabila melihat gaji seorang

karyawan swasta, tentunya masalah kebutuhan ekonomi keluarga dapat

teratasi, namun faktanya dalam petitum penggugat masalah ekonomi

menjadi alasan perceraian.

3. Penyebab cerai gugat selanjutnya adalah karena tidak adanya tanggung

jawab suami terhadap istri, baik tanggung jawab secara lahiriyah maupun

batiniyah. Dari perkara yang masuk di PA Salatiga, perkara oleh warga

muslim Kota Salatiga ada sebanyak 16 perkara. Berdasarkan alasan dalam

petitum pemohon, rata-rata pengajuan cerai gugat karena suami pergi

meninggalkan istri tanpa ijin dan tanpa alasan yang jelas. Hampir rata-rata

pengajuan gugatan cerai oleh istri kepada suami sebagai akibat dari suami

yang meninggalkan istrinya selama bertahun-tahun, dengan tanpa ada

kabar dan tidak diketahui letak keberadaannya. Lebih daripada itu, suami

tidak memberikan tinggalan apapun baik berupa uang ataupun harta benda

lainnya agar bisa dipergunakan istri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

4. Adapun faktor penyebab cerai gugat yang lain, namun tidak begitu

mendominasi bagi warga muslim Kota Salatiga sebagai alasan

permohonan cerai adalah karena masalah kekerasan dalam rumah tangga

ada sebanyak 6 perkara, krisis moral seperti suami sering mabuk-mabukan

82

ataupun seorang penjudi ada sebanyak 3 perkara dan karena hadirnya

pihak ke-3 ada sebanyak 4 perkara.

Gambar 3.3. Data Penyebab Perceraian Warga Muslim

Kota Salatiga Tahun 2014

Faktor-faktor di atas adalah sebagai alasan yang menyebabkan para

istri warga muslim Kota Salatiga berani mengambil tindakan untuk

mengambil sikap tegas agar hak-haknya dapat terlindungi yaitu melalui

pengajuan gugatan cerai atas suami kepada PA Salatiga. Karena mereka sadar

bahwa hukum di Indonesia menjamin dan memberikan perlindungan atas

tindakan-tindakan suami yang tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri

keadilan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan

tuntunan ajaran agama Islam yang ada.

24

16

6

34

Faktor Ekonomi Tidak Tanggung Jawab

KDRT Krisis Moral

Hadirnya Pihak Ketiga

83

BAB IV

PEMBAHASAN

C. Gambaran Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga

Perceraian merupakan bagian dari dinamika rumah tangga. Perceraian

ada karena adanya perkawinan. Walaupun tujuan perkawinan bukan

perceraian sebagaimana amanat Undang-Undang, tapi perceraian merupakan

sunnatullah dengan beragam penyebab yang melatar belakanginya. Pada

prinsipnya, suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal.

Dalam Undang-Undang Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan

disebabkan karena tiga hal yaitu: kematian, perceraian, dan atas putusan

pengadilan. Sebenarnya perceraian bisa dihindari jika suatu pasangan suami

istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan

terwujud ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan

hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan

terwujud sesuai dengan tuntunan agama dan amanat negara, yaitu sakinah,

mawaddah, warahmah. Wujud dari tanggung jawab sebagai suami istri itu

sendiri adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri,

sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam

BAB VI Pasal 30-34. Pasal 30 disebutkan, “Suami istri memikul kewajiban

yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari

susunan masyarakat”. Hal ini menunjukkan bahwa harus ada semacam

sinergisitas tanggung jawab yang harus dipikul bersama oleh suami dan istri

84

dalam membina rumah tangga yang baik. Sehingga konsep rub’al-jinayat

dalam fikih munakahat, yaitu menata pengamanannya dalam suatu tertib

pergaulan yang menjamin ketentraman pasangan suami-istri dapat terealisasi

secara sempurna.

Meskipun konflik keluarga tidak selamanya terselesaikan secara damai

tanpa harus bercerai, namun jalan perceraian itu adalah sebuah perbuatan yang

legal dan sah-sah saja untuk dilakukan, akan tetapi perceraian di dalam Islam

amatlah tidak dianjurkan, karena Islam tetap memandang bahwa perceraian

adalah suatu yang bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam, sebagaimana

hadits Nabi Muhammad SAW:

و أبغض انحالل إنى هللا تعانى انطالق .قال رسىل هللا ص: عه ابه عمر قالArtinya: “Dari Ibn Umar ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda “Sesuatu

yang halal yang amat dibenci oleh Allah ialah talak” (Rasjid, 2011:

401).

Perkara perceraian yang diajukan ke PA Salatiga untuk diproses secara

hukum terbilang cukup signifikan dengan jumlah yang semakin bertambah

tiap tahunnya. Padahal kita tahu bahwa Pengadilan Agama, khususnya

Pengadilan Agama Salatiga sendiri dalam azasnya selalu mempersulit

perceraian dan lebih memprioritaskan perdamaian baik melalui cara mediasi

maupun lainnya mediasi. Selain itu, dalam proses perceraian terlebih

berkenaan masalah cerai gugat, di Indonesia harus dilakukan di depan

lembaga taklik talak yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama,

sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Pasal 39 UU No. 1 Tahun

1974 yang isinya memuat ketentuan imperatif bahwa perceraian hanya dapat

85

dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan

berusaha mendamaikan.

Berdasarkan hasil penelitian yang ada, secara nyata diketahui bahwa

angka perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi dibanding negara

Islam lainnya (Bahari, 2012:12). Gejolak yang mengancam kehidupan struktur

keluarga ini semakin bertambah jumlahnya. Hal yang paling memilukan

adalah perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang

menikah, 10 pasangnya bercerai. Ironisnya dari berbagai kasus perceraian di

PA Salatiga hampir 70% adalah gugatan perceraian oleh istri kepada

suaminya, sedang sisanya adalah cerai talak dari permohonan suami. Hal ini

menunjukkan bahwa telah ada semacam pergeseran nilai-nilai dalam

kehidupan masyarakat.

Pada zaman dahulu kala perceraian adalah hak mutlak dari seorang

suami yang dijatuhkan kepada istrinya dengan sebab yang beragam di

antaranya karena permasalahan sudah tidak adanya rasa ketenangan dan

keharmonisan dalam rumah tangga dan lain sebagainya. Selain itu, dahulu istri

paling khawatir atau takut jika diceraikan oleh suaminya, namun kenyataan

sekarang yang terjadi menunjukkan bahwa sebagian besar istrilah yang lebih

banyak mengajukan cerai ke Pengadilan Agama. Pergeseran nilai ini

merupakan fenomena sosial yang menyangkut kultur budaya di masyarakat

yang menganggap lebih moderen dan mapan. Keberanian istri dalam

mengajukan gugatan cerai mengindikasikan perkembangan positif kesadaran

perempuan akan hak-haknya yang mulai meningkat. Dari yang dulunya masih

86

takut-takut ketika hak-hak dirinya apabila dalam rumah tangganya merasa

dizhalimi oleh suami, maka perempuan tersebut tidak merasa enggan lagi

untuk melaporkan ketidak adilan dan kekerasan yang terjadi pada rumah

tangganya, bahkan gugat cerai istri kepada suami sudah menjadi hal yang

dipandang biasa pada masa sekarang ini.

Dalam praktiknya yang terjadi di PA Salatiga, perceraian yang

dilakukan oleh istri atau yang lebih dikenal dengan cerai gugat mengalami

kenaikan atau bahkan lebih tinggi volumenya dibandingkan dengan perkara

cerai talak. Melonjaknya angka perceraian terlihat jelas sekali mulai tahun

2011 hingga 2014. Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2011 telah

menangani perkara cerai talak sebanyak 323 perkara, sedangkan cerai gugat

sebanyak 740 perkara, kemudian tahun 2012 ceri talak sebanyak 405 perkara

sedangkan cerai gugat sebanyak 768 perkara, pada tahun 2013 cerai talak

sebanyak 444 perkara, sedangkan cerai gugat 836 dan pada tahun 2014,

perkara cerai talak sebanyak 401, sedangkan perkara cerai gugat naik begitu

drastisnya hingga mencapai 928 perkara. Dari data perkara perceraian tahunan

tersebut dapat kita lihat, bahwa dalam kurun waktu empat tahun telah terjadi

kenaikan perceraian yang cukup signifikan baik cerai talak maupun cerai

gugat. Sempat terjadi penurunan perkara cerai talak di tahun 2014 dari tahun

sebelumnya namun berbanding terbalik dengan perkara cerai gugat yang

mengalami penambahan perkara yang melebihi separuh dari perkara cerai

talak. Fenomenaa ini sungguh sangat di sayangkan sekali ketika kasus perkara

cerai yang diajukan suami kepada istri tergolong rendah kenaikan tiap

87

tahunnya, namun melihat perkara cerai yang diajukan istri kepada suami justru

mengalami kenaikan berkali lipat setiap tahunnya sebagaimana pada

keterangan di atas . Untuk lebih mudahnya, berikut adalah grafik perkara

perceraian di PA Salatiga:

Gambar 4.1. Data perceraian di PA Salatiga

Dari sekian banyak perkara yang masuk di PA Salatiga setiap

tahunnya, apabila dilihat dari sudut pandang kewenangan relatif PA Salatiga

dalam mengadili perkara, kasus perceraian yang ada lebih didominasi dari

wilayah sebagian Kabupaten Semarang yaitu dari Kecamatan Bringin,

Bancak, Tuntang, Getasan, Tengaran, Susukan, Kaliwungu, Suruh dan

Pabelan, dibandingkan dari wilayah Salatiga sendiri. Kalau diprosentasikan

perkara yang masuk di PA Salatiga 90% adalah dari luar Salatiga dan 10%

adalah dari Salatiga sendiri, artinya PA Salatiga dalam menangani perkara dari

warga muslim Kota Salatiga tergolong minim, yaitu kurang lebih hanya 165

perkara dari 1654 perkara yang terdaftar di PA Salatiga pertahun. Dari 165

perkara 120 adalah perkara perceraian dan 45 adalah perkara di luar

0

200

400

600

800

1000

2011 2012 2013 2014

323405 444 401

740 768836

928

Cerai Talak Cerai Gugat

88

perceraian. 120 perkara perceraian itu sendiri dibagi kembali atas perkara cerai

talak oleh suami kepada istri sebanyak 36 perkara dan 84 sisanya adalah cerai

gugat oleh istri kepada suami. Artinya dalam sebulan telah terjadi sebanyak 10

kasus perceraian warga muslim Kota Salatiga yang tercatat di PA Salatiga

dengan rincian 7 adalah perkara cerai gugat dan 3 adalah perkara cerai talak.

Apabila ditelisik dari jumlah pernikahan di Kota Salatiga menurut

data dari KUA Salatiga yang rata-rata setiap tahunnya terjadi 1170 pernikahan

maka dapat difahami berarti setiap sebulan sekali ada 98 peristiwa nikah di

Kota Salatiga, dan rata-rata terjadi 10 perceraian di Kota Salatiga. Padahal

Kota Salatiga terbagi menjadi empat kecamatan maka dapat disimpulkan

bahwa dari tiap-tiap kecamatan ada 25 peristiwa nikah dengan tingkat

perceraian 2 sampai 3 perkara perceraian setiap bulannya. Angka ini

menunjukkan bahwa perceraian warga muslim diwilayah Kota Salatiga

cenderung kecil dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Semarang yang

masuk dalam kewenangan relatif PA Salatiga.

D. Faktor Penyebab Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga

Pada dasarnya tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga

yang tentram, damai dan bahagia sepanjang masa. Hal ini sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan

pada BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 dinyatakan bahwa :

“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

89

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam hukum perkawinan, begitu akad nikah selesai diucapkan secara

sah, maka hak dan kewajiban antara suami dan istri timbul dengan sendirinya.

Hal ini sebagaimana konsekuensi dari wujud pernikahan itu sendiri. Mengenai

hak dan kewajiban suami istri itu tidak hanya sebatas peraturan non legal saja,

melainkan juga diatur dalam perundang-undangan, sebagaimana dijelaskan

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu di Bab VI Pasal 30-34.

Selanjutnya diterangkan pula dalam KHI Bab XII perihal hak dan kewajiban

sebagai suami istri. Adanya peraturan ini tidak lain dalam rangka melindungi

antara suami dan istri dalam menjalani sebuah bahtera rumah tangga.

Dalam kehidupan rumah tangga tidak semudah apa yang kita

bayangkan, karena rumah tangga itu bukan angka yang bisa kita hitung

ataupun juga bisa kita prediksi. Banyak sekali problem yang selalu

bermunculan, baik itu disebabkan masalah ekonomi, biologis, psikologis,

perbedaan pandangan hidup, dan lain sebagainya. Semua itu adalah lika-liku

yang akan dijumpai dalam perjalanan kehidupan rumah tangga. Barang siapa

yang mampu melewatinya dengan baik maka selamatlah dia dengan keutuhan

rumah tangganya, namun barang siapa yang gagal melewatinya maka

perceraian adalah jalan akhirnya.

Perceraian adalah putusnya perkawinan, dalam makna putusnya ikatan

lahir-batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan

keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut. Perceraian adalah

90

perbuatan yang tercela dan dibenci oleh Allah SWT, namun hukum

membolehkan suami atau istri melakukan perceraian jika perkawinan mereka

sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian harus disertai dengan alasan-

alasan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat (2) UU No. 1

Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Psal 19 PP No. 9 Tahun 1975.

Seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial dan semakin banyaknya

perempuan yang sadar akan hak-hak dan kewajibannya, perempuan sebagai

istri tidak tinggal diam dan tidak mau diperlakukan semena-mena oleh laki-

laki, maka pihak perempuan akan menggunakan hak-haknya dengan

mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Pengadilan Agama yang

notabene sebagai lembaga yang berwenang memutuskan, apakah suatu

perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan tentunya tidak serta merta

langsung memutuskan gugatan pemohon. Di mata hukum, perceraian tentu

tidak dapat terjadi begitu saja. Artinya, harus ada alasan yang dibenarkan oleh

hukum untuk melakukan suatu perceraian.

Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun

1974, tepatnya Pasal 19 dijelaskan bahwa perceraian boleh dilakukan bila

terdapat sejumlah alasan penting yang mendasarinya. Alasan-alasan penting

sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 19 juga dikuatkan dengan KHI Pasal

116 yang subtansinya termaktub dalam taklik-talak pernikahan. Jika bukan

demikian, maka pengadilan tidak akan mengambil langkah bercerai sebagai

solusi atas gugatan perceraian yang diajukan seorang penggugat.

91

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, sebagaimana keterangan

yang diberikan Panitera Muda Hukum PA Salatiga, Ibu Widad pada

wawancara tanggal 26 Juni 2015 dan beberapa sampel salinan putusan dari PA

Salatiga, bahwa faktor penyebab cerai gugat bagi warga muslim Kota Salatiga

yang ada di PA Salatiga periode 2014, dilatarbelakangi karena masalah:

1. Tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga.

2. Faktor ekonomi

3. Tidak adanya tanggung jawab dalam rumah tangga

4. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

5. Hadirnya pihak ke-3

6. Krisis Moral

Masalah-masalah yang telah disebutkan di atas, merupakan alasan

yang paling dominan dicantumkan dalam setiap gugatan perkara cerai gugat

yang dilayangkan ke PA Salatiga.

Berkaitan dengan alasan perceraian tersebut di atas, dalam Pasal 39

ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf a

PP No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa perceraian harus disertai dengan

alasan-alasan hukum, yaitu:

1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa

izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar

kemampuannya;

92

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri

6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Sehingga sudah jelas bahwasannya perkara-perkara perceraian yang

terdaftar di PA Salatiga dengan faktor yang melatarbelakanginya sebagaimana

yang tercantum dalam petitum surat gugatan yang ada, telah melanggar Pasal

39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf a

PP No. 9 Tahun 1975.

Lebih daripada itu, kita mengetahui bahwasannya perkawinan di

Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan

sighat taklik-talak oleh suami setelah pengucapan ijab qabul. Sighat taklik

talak adalah perjanjian yang diucapkan mempelai pria setelah akad nikah yang

dicantumkan dalam buku kutipan akta nikah. Sighat taklik talak ini berupa

janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertetu yang mungkin

terjadi dimasa yang akan datang. Pada dasarnya sighat taklik talak ini

bertujuan untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak dari istri. Selain

itu sighat taklik talak ini sebagai alat pendidikan yang dipegang oleh suami

terhadap istri. Namun seiring perkembangan zaman sebagaimana yang terjadi

93

di Kota Salatiga, telah terjadi keterbalikan urgensi awal bahwa adanya sighat

taklik talak ini justru malah menjurus pada sisi negatif yang lebih bersifat

ancaman terhadap keutuhan rumah tangga.

Dalam rumusan sighat taklik talak terdapat 10 unsur pokok, yang

apabila terpenuhi maka bisa dijadikan alasan dalam pengabulan pemutusan

perkawinan oleh Pengadilan, yakni:

a. Suami meninggalkan istri, atau;

c. Suami tidak memberi nafkah kepada istri, atau;

d. Suami menyakiti istri, atau;

e. Suami membiarkan tidak (memperdulikan) istri;

f. Istri tidak rela;

g. Istri mengadu ke Pengadilan;

h. Pengaduan istri diterima oleh Pengadilan;

i. Istri membayar uang iwad;

j. Jatuhnya talak satu suami kepada istri;

k. Uang iwad oleh suami diterimakan kepada Pengadilan untuk selanjutnya

diserahkan kepada pihak ketiga untuk kepentingan ibadah sosial.

Seperti dicontohkan dalam perkara No: 0426/Pdt.G/2014/PA.Sal.

Dalam petitum dijelaskan bahwa semula rumah tangga penggugat dan tergugat

dalam keadaan rukun dan harmonis, namun sejak bulan November 2009

ketentraman rumah tangga penggugat dan tergugat mulai goyah, sering terjadi

perselisihan dan pertengkaran karena:

94

1. Masalah ekonomi yaitu tergugat tidak pernah memberi nafkah kepada

penggugat karena tergugat tidak bekerja dan untuk mencukupi kebutuhan

rumah tangga penggugat bekerja sendiri.

2. Tergugat sering minum-minuman keras bahkan sampai mabuk.

Karena penggugat tidak tahan lagi dengan sikap tergugat akhirnya

penggugat pulang kerumah orang tuanya yang hingga kini sudah 1 (satu)

tahun 11 (sebelas) bulan, dan selama itu pula penggugat dan tergugat sudah

tidak saling berkomunikasi lagi. Bahkan selama berpisah tergugat tidak pernah

memperdulikan / mengurusi penggugat dan tergugat juga tidak pernah

memberi nafkah wajib kepada penggugat dan anak. Karena masalah tersebut,

istri yang dalam hal ini sebagai penggugat tidak ridho atas perlakuan suami,

akhirnya mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Kota Salatiga.

Sebagaimana perkara yang dicontohkan di atas, peran antara seorang

suami tidak terjalankan dengan baik, sehingga justru pelanggaran hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan suami terhadap istrinya

secara mu’asyarah bil ma’ruf (mempergaulinya dengan baik) tidak

terealisaasi. Maka berdasarkan alasan/dalil-dalil di atas, selanjutnya

pertimbangan majelis hakim tentang hukumya menimbang bahwa pokok

permasalahan perkara tersebut adalah cerai gugat dengan alasan rumah tangga

yang tidak harmonis. Bahwa dari fakta hukum yang terungkap dipersidangan

antara penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan sebagaimana yang

tercantum dalam petitum surat gugatan, hal ini dibuktikan dengan keterangan

saksi-saksi. Sehingga majelis hakim dalam amar putusannya mengabulkan

95

gugatan penggugat dengan talak bain sughro kepada tergugat, karena tergugat

terbukti telah memenuhi pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1975 jo Pasal

116 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang terumuskan dalam 10 poin

yang telah dijelaskan di atas.

Pada hakikatnya perkara cerai gugat yang ada sebenarnya kalau

diamati berdasarkan praktiknya dimasyarakat tidak murni karena kehendak

pribadi masing-masing pasangan. Sebagaimana penjelasan yang telah penulis

paparkan bahwa telah ada semacam pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan

bermasayarakat yang merubah pola berfikir dalam pribadi seseorang. Penulis

mengamati ada tiga hal yang menyebabkan meningkatnya perkara cerai gugat

khususnya bagi masyarakat muslim Kota Salatiga, yaitu:

1. Faktor ekonomi

Ekonomi merupakan kunci utama mengukur tingkat kesejahteraan

sebuah keluarga. Sebuah keluarga cenderung akan lebih tentram dan

bahagia ketika tingkat perekonomian keluarga tercukupi. Sinergisitas

pasangan suami istri juga akan berjalan dengan baik dalam rangka

membina rumah tangga yang baik pula. Namun kebalikannya ketika

ekonomi tergolong rendah, dengan kebutuhan keluarga tidak tercukupi,

maka berbagai macam polemik rumah tangga akan timbul, baik berupa

perselisihan, pertengkaran bahkan sampai perceraian.

96

2. Media Sosial

Di era globlisasi sekarang ini, kehidupan manusia tidak kesulitan

lagi dari yang namanya informasi up to date. Corak berfikir masyarakat

akan lebih dominan berubah kritis karena sumber informasi yang ada.

Tidak ubahnya dengan para istri yang menuntut cerai kepada suaminya di

Kota Salatiga, mereka seakan tidak takut lagi untuk bercerai karena

mereka sadar hukum dan tahu bagaimana harus bersikap ketika mereka

merasa terdholimi oleh suami. Keberanian itu secara tidak langsung

dipengaruhi oleh media informasi yang ada, baik berupa media elektronik,

maupun media cetak yang ada. Semisal dicontohkan program televisi yang

menyuguhkan pola hidup para artis yang marak bercerai. Itu merupakan

pembelajaran pasif yang mampu merubah mindset masyarakat.

Media sosial ada banyak macamnya, mulai dari facebook, twitter

dan sebagainya. Siapa sangka hal itu dapat menjadi pemicu penyebab

perpisahan suami istri. Banyak orang yang membawa bukti status atau foto

di media sosial sebagai penguat keinginan untuk bercerai dalam

pembuktian di persidangan. Tuduhan seperti perselingkuhan dari foto tag

dan status mesra yang bisa menyebabkan pertengkaran dalam keluarga.

3. Minimnya perhatian pemerintah

Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pancasila tugas pemerintah

untuk mengayomi, melindungi serta mensejahterakan rakyatnya tidak

terlepas hanya dalam persoalan politik dan ekonomi saja. Dalam hal

97

kehidupan rumah tangga rakyatnya pun pemerintah harus turut andil di

dalamnya.

Dilema pesoalan maraknya perceraian di Pengadilan Agama

terlebih adalah persoalan cerai gugat, merupakan PR besar bagi

pemerintah untuk dicarikan solusi jalan keluarnya. Melalui peningkatan

peran Kementrian yang ada yaitu Kementrian Pemberdayaan Perempuan

dan Kementrian Agama melalui Ditjen Bimas Islam (KUA), Badan

Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) dengan bekerja

sama dengan tokoh masyarakat untuk memberikan nasihat-nasihat

perkawinan dan pelayanan kursus calon pengantin.

Perlu adanya terobosan baru dalam pengembangan program

keluarga sakinah di mana orang yang mau menjadi pengantin bisa

mempunyai idola keluarga yang sukses, baik dari sisi ekonomi, sisi anak-

anak yang sukses studi, serta hubungan antar tetangga yang baik. Semua

itu perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang ada untuk

disampaikan kepada para calon pengantin. Sukses story keluarga sakinah,

baik yang sudah tua maupun para keluarga yang muda-muda bisa

ditularkan kepada para calon pengantin dengan harapan akan mengurangi

angka perceraian utanya masalah cerai gugat yang ada di Pengadilan

Agama.

4. Lemahnya Iman

Secara tidak langsung tingkat keimanan seseorang sebagai tolak

ukur dalam berumah tangga yang baik. Tidak bisa dipungkiri ketika

98

keimanan seseorang pada tingkat rendah maka intervensi dari pihak lain

akan sangat mudah untuk menggoyahkan bahtera rumah tangga yang telah

terjalin. Demikian sebaliknya ketika tingkat keimanan seseorang pada

tingkat tinggi maka problematika serumit apapun akan dapat terselesaikan

dengan baik. Adapun salah satu cara untuk mengokohkan keimanan untuk

diaplikasikan dalam keluarga adalah dengan menyimak sirah (pejalanan

hidup) Rasulullah SAW dan meneladani beliau, maka kehidupan rumah

tangga yang bahagia akan tercipta dengan baik. Fungsi keluarga sebagai

tempat untuk menjaga dan tameng dari berbagai macam keburukan,

bahkan sebagai tempat berlindung dari fitnah yang menyesatkan akan

terealisasikan.

Masih banyak lagi contoh perkara cerai gugat warga muslim Kota

Salatigas yang ada di PA Salatiga dengan baragam faktor yang melatar

belakanginya, namun dalam hal ini penulis tidak dapat menyebutkannya satu

persatu. Akan tetapi perlu penulis tegaskan kembali bahwa dari sekian banyak

kasus perceraian dengan gugatan oleh istri kepada suami yang ada, rata-rata

penyebab utamanya adalah karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah

tangga baik berupa perselisihan pendapat, pertengkaran, masalah ekonomi

maupun masalah ketidak harmonisan lainnya yang sumber masalahnya dari

para suami yang kurang bertanggung jawab dan tidak menjalankan

kewajibannya sebagaimana mestinya. Tentunya ini menjadi dilema tersendiri

dalam masyarakat, terutama bagi warga Kota Salatiga saat akan memilih

calon suami dari penduduk Kota Salatiga. Namun berdasarkan penelitian ini

99

telah terjawabkan bahwasannya tidak semua laki-laki muslim dari Kota

Salatiga tidak bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan bahwasannya dari kurun

waktu empat tahun terakhir, rata-rata jumlah perkawinan warga muslim Kota

Salatiga sebanyak 1170 dalam setiap tahunnya, terjadi rata-rata sebanyak 120

perceraian dalam setiap tahunnya pula, berarti perceraian hanya ada 10%-nya

saja. Kemudian apabila perceraian dikategorikan atas cerai gugat dan cerai

talak dengan perbandingan yang ada 70% : 30% maka kasus cerai gugat ada

sebanyak 84 perkara dan cerai talak ada sebanyak 36 perkara. Angka ini

menunjukkan tingkat perceraian warga muslim Kota Salatiga yang tergolong

rendah ketika dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Semarang yang

masuk dalam kewenangan relatif PA Salatiga.

100

BAB V

PENUTUP

C. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Pengadilan Agama Salatiga setiap tahunnya rata-rata menerima perkara

perceraian masyarakat muslim Kota Salatiga sebanyak 120 perkara, dibagi

atas cerai gugat yaitu sebanyak 84 perkara dan 36 lainnya adalah perkara

cerai talak. Apabila dikaitkan denngan rata-rata pernikahan masyarakat

muslim Kota Salatiga yang tercatat sebanyak 1170 pertahun, maka

perbandingan pernikahan dengan perceraian adalah 10 : 1, hal ini adalah

sebuah nilai yang relatif rendah di Kota Salatiga. Jika kita fahami berarti

setiap sebulan sekali ada 98 peristiwa nikah di Kota Salatiga, dan rata-rata

terjadi 10 perceraian di Kota Salatiga. Padahal Kota Salatiga terbagi

menjadi empat kecamatan maka dapat disimpulkan bahwa dari tiap-tiap

kecamatan ada 25 peristiwa nikah dengan tingkat perceraian 2 sampai 3

perkara perceraian setiap bulannya. Adapun untuk faktor yang melatar

belakangi terjadinya cerai gugat berdasarkan petitum dalam gugatan istri

adalah sebagian besar karena permasalahan tidak adanya keharmonisan

dalam rumah tangga disebabkan kerana perselisihan yang berkepanjangan

karena masalah ekonomi, tidak adanya tanggung jawab dari suami, seperti

suami lari dari tanggung jawab untuk memberi nafkah istri, suami

101

meninggalkan istri selama bertahun-tahun tanpa ada kabar dan tanpa

diketahui keberadaannya.

2. Dari penelitin yang telah dilakukan dan data-data yang didapat, dapat

ditarik kesimpulan bahwa tidak semua laki-laki diwilayah Kota Salatiga

tidak bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya perceraian

dari masyarakat muslim kota Salatiga tahun 2014.

D. Saran

Dalam rangka membangun keluarga yang utuh dan bahagia, serta

meminimalisir terjadinya perceraian, ada kiat-kiat khusus yang harus lebih

ditekankan, yaitu:

1. Pemerintah harus lebih memperhatikan kesejahteraan rakyatnya baik

berkaitan masalah kesejahteraan ekonomi melalui peyediaan lapangan

pekerjaan, maupun kesejahteraan dalam berumah tangga dengan

memaksimalkan peran lembaga pemerintahan yang ada agar problem

perceraia dapat terhindarkan.

2. Kegiatan penyuluhan keagamaan serta pendidikan berkeluarga pra-nikah

yang dilakukan oleh Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian

Perceraian (BP4), KUA Kota Salatiga harus lebih dipersiapkan dan

dimaksimalkan dalam rangka membekali pengetahuan pasangan suami

istri tentang tatacara bagaimana membina keluarga yang baik.

3. Pasangan suami istri tidak harus gegabah dalam mengambil tindakan,

dengan langsung memutuskan bercerai ketika terjadi konflik dalam

102

keluarganya. Perlu adanya musyawarah internal keluarga secara damai

dengan pendekatan-pendekatan yang inklusif yang bertujuan meredam

konflik yang ada dan mengembalikan keutuhan kehidupan berkeluarga.

Bagi pasangan suami istri harus menyadari bahwa walaupun perceraian

adalah hal yang legal, baik menurut agama dan perundang-undangan yang

ada, namun perceraian adalah suatu perbuatan halal yang dibenci oleh

Allah SWT. Lebih dari pada itu, dampak perceraian akan berimbas pada

status yang akan masing-masing sandang sebagai janda atau duda. Padahal

status janda atau duda dalam pranata sosial yang ada masih dinilai kurang

baik karena dicap sebagai orang yang tidak bisa membangun rumah tangga

yang baik.

4. Figur seorang tokoh agama atau ulama‟ sangat dibutuhkan dalam rangka

memberikan pemahaman tentang arti sebenarnya dari sebuah perkawinan

dan sebuah keluarga kepada masyarakat. Karena tokoh agama atau ulama‟

adalah figur yang disegani dalam masyarakat dan mempunyai kedekatan

emosional yang sama, sehingga keterangan-keterangan yang disampaikan

akan mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Al Aziz S, Moh. Saifullah. 2005. Fiqih Islam Lengkap Pedoman Hukum Ibadah

Umat Islam Dengan Berbagai Permasalahannya. Surabaya: Terbit

Terang

Aliyah, Himayatul. 2013. “Perceraian Karena Gugatan Istri (Studi Kasus

Perkara Cerai Gugat Nomor: 0597/ pdt. G/ 2011/ PA. Sal Dan Nomor:

0740/ pdt. G/ 2011/ PA. Sal di Pengadilan Agama Salatiga)”. Salatiga:

Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga.

Anshori, Abdul Ghofur. 2011. Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan

HukumPositif). Yogyakarta: UII Press

Bahari, Adib. 2012. Prosedur Gugatan Cerai + Pembagian Harta Gono-

Gini+Hak Asuh Anak. Yogyakarta: PustakaYustisia

Daradjat, Zakiah. dkk . 1985. Ilmu Fikih .Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf

Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta Utara: Raja

Grafindo Persada

Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam. Departemen

Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam

Tahun 1999/2000

Istikara, Detty. 2004. “Putusnya Perkawinan Karena Cerai Gugat (Analisa Kasus

Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No: 1091/ pdt. G/ 2004/ PA

JS)” Disertasi tidak ditebitkan. Jakarta: Fakultas Hukum Magister

Kenotariatan UI Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2010: Gama Press

Maslikhah. 2013. Melejitkan Kemahiran Menulis Karya Ilmiah. Yogyakarta:

TrustMedia

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Mulyana, Dedi. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Nakiyah, Siti. 2002. “Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Sebagai

Alasan Perceraian (Studi Kasus di PA Salatiga Tahun 1999-2001)”

Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga.

Pedoman Konselar Keluarga Sakinah. 2002. Jakarta: Direktorat Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen

Agama RI

Prawirohardjojo, R. Soetoyo. 2006. Pluralisme Dalam Perundang-Undangan

Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Airlagga University Press

Rasjid, Sulaiman. 2011. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma‟arif

Saebani, Beni Ahmad. 2008. Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-

Undang. Bandung: CV Pustaka Setia

Saifullah, Muhammad. Mohammad Arifin & Ahmad Izzuddin. 2005. Hukum

Islam Solusi Permasalahan Keluarga. Yogyakarta: UII Press

Semarangmetro. 28 Februari 2014. Sebulan PA Salatiga Terima 134 Permohonan

Cerai, hal .30

Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Pers

________. 1999. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Rajawali Pers

Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1874 tantang Perkawinan).

Yogyakarta: Liberty

Surachmad, Winarno. 1972. Dasar dan Tehnik Research Pengantar Metodologi

Ilmiah. Bandung: CV Tarsito

Syaifuddin, Muhammad. Sri Turatmiyah & Annalisa Yahanan. 2013. Hukum

Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika

Taufiqi, Muhammad Iqbal. 2008. “Penelantaran Ekonomi Sebagai Alasan

Gugatan Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Gresik)”. Gresik:

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Gresik.

Tihami & Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers

http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/profil.html#sejarah. (Online).

diakses pada hari minggu 14 september 2014, 11.34 WIB

Republika. 2012. Angka Perceraian Pasangan Indonesia Naik Drastis 70%.

(Online). (http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24,

Diakses 24 Januari 2012)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Bendel Salinan Putusan PA Salatiga No. 0590/Pdt.G/2014/PA.Sal

Lampiran 2. Bendel Putusan PA Salatiga No. 1278/Pdt.G/2014/PA.Sal

Lampiran 3. Surat Rekomendasi Ijin Penelitian

LAmpiran 4. Laporan Perkara Yang Diputus PA. Salatiga