ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI … · sektor peternakan merupakan salah satu sektor...

113
ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus : PT.Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor) OLEH NHIMAS ANTYAN BANUMASTYA H14070083 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Transcript of ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI … · sektor peternakan merupakan salah satu sektor...

ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI

BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA

PENGGEMUKAN SAPI POTONG

(Studi Kasus : PT.Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan

Cileungsi, Kabupaten Bogor)

OLEH

NHIMAS ANTYAN BANUMASTYA

H14070083

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2011

Nhimas Antyan Banumastya

H14070083

ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI

BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA

PENGGEMUKAN SAPI POTONG

(Studi Kasus : PT.Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan

Cileungsi, Kabupaten Bogor)

Oleh

NHIMAS ANTYAN BANUMASTYA

H14070083

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

Judul Skripsi : Analisis Dampak Pembatasan Volume Impor Sapi Bakalan

terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong

(Studi Kasus : PT.Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan

Cileungsi, Kabupaten Bogor)

Nama : Nhimas Antyan Banumastya

NRP : H14070083

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Arief Daryanto M.Ec

NIP. 19610618 198609 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec

NIP. 19641022 198903 1 003

Tanggal Kelulusan:

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena

atas berkat rahmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Dampak Pembatasan Volume

Impor Sapi Bakalan terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong

(Studi Kasus : PT. Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan Cileungsi,

Kabupaten Bogor)”. Peternakan merupakan topik yang sangat menarik karena

sektor peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam pemenuhan

kebutuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan topik ini, khususnya untuk usaha penggemukan sapi potong di

wilayah Kabupaten Bogor. Disamping hal tersebut, skripsi ini disusun sebagai

salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen

Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai

pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada:

1. Dr.Ir.Arief Daryanto, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam

proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Tanti Novianti, M.Si sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi

yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam

penyempurnaan skripsi ini.

3. Lukytawati Anggraeni, Ph.D sebagai dosen penguji dari komisi

pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tata cara

penulisan skripsi yang baik.

4. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu

Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada

penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.

5. Kedua Orangtua tercinta (Alm.) Bapak Bambang Nugroho, SH. dan Ibu

Emma Setyowati, kakak Dhimas Annang Banumasetya serta segenap

keluarga besar, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi,

dukungan baik moril maupun material serta doa bagi penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

6. Pak Heri, Pak Giyono, Pak Marlan dan seluruh Staf PT.Widodo Makmur

Perkasa yang telah memberikan izin bagi penulis dan bersedia menjadi

tempat penelitian dalam skripsi ini.

7. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian RI, Dinas

Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Jhony Liano (APFINDO),

Bapak Saptana (PSEKP), Anggun, dan Mbak Andin yang telah membantu

penulis memperoleh data dan memberikan pengetahuan dalam

penyusunan skripsi ini.

8. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Fifi, Ika, dan khususnya

Nyenyo atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa ini.

9. Sahabat-sahabatku di Ilmu Ekonomi 44: Opie, Aii, Amboii, Ayie, Ranin,

Inggy, Ajeng, Achuy, Michelle dan lainnya yang tidak bisa disebutkan

satu persatu, serta Riandy Laksono atas sharing, motivasi, dukungan, dan

doanya untuk penulis selama ini.

10. Hipotesa, INTEL 2009 dan CER 2010 atas semangat dan kebersamaannya

yang luar biasa.

11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini

namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat

kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang

membutuhkan.

Bogor, Juni 2011

Nhimas Antyan Banumastya

H14070083

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Nhimas Antyan Banumastya, lahir pada tanggal 29 Juli

1989 di Pontianak. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari

pasangan (Alm.) Bambang Nugroho,SH. dan Emma Setyowati. Penulis

mengawali pendidikannya pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 di SD

Rimba Putra Bogor. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat

pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SMP Negeri 4 Bogor. Setelah itu,

penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 5 Bogor dan

lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar sebagai

mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu

Ekonomi dan mengambil Supporting Course pada beberapa mata kuliah tertentu.

Selama menjadi mahasiswa, penulis mencoba mengaktualisasi diri bergabung

dengan UKM MAX!! (Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agriculture Expression)

sebagai Vice Manager General Affair, HIPOTESA (Himpunan Profesi dan

Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) sebagai Ketua Divisi pada Divisi

Kerjasama dan Hubungan Eksternal dan organisasi IMEPI (Ikatan Mahasiswa

Ekonomi Pembangunan Indonesia) sebagai Kepala Bidang POSDAM

(Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia) IMEPI Wilayah Jawa

Bagian Barat. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan

seperti AlfaMAX!! 2008, Hipotex-R 2008 dan 2009, Masa Pengenalan Fakultas

dan Departemen (MPF/D) 2009, FEMily Day 2009, Latihan Kepemimpinan dan

Organisasi (LKO) IMEPI Jabagbar 2010, dan kegiatan kepanitiaan lainnya.

Penulis juga aktif menjadi pengisi acara sebagai Master of Ceremony dan penyayi

solo pada beberapa acara internal kampus. Tahun 2011 penulis melakukan

penelitian dengan judul “Analisis Dampak Pembatasan Volume Impor Sapi

Bakalan terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus :

PT.Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor)” untuk

memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi

I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang................................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah........................................................................... 9

1.3. Tujuan Penelitian............................................................................... 14

1.4. Manfaat Penelitian............................................................................. 15

1.5. Ruang Lingkup Penelitian.................................................................. 16

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN................... 17

2.1. Sejarah Sapi Potong........................................................................... 17

2.2. Jenis Sapi........................................................................................... 18

2.2.1. Jenis Sapi Lokal....................................................................... 18

2.2.2. Jenis Sapi Bukan Lokal........................................................... 19

2.3. Sapi Bakalan...................................................................................... 20

2.4. Usaha Penggemukan Sapi Potong..................................................... 20

2.5. Teori Perdagangan Internasional....................................................... 22

2.6. Teori Daya Saing............................................................................... 23

2.7. Teori Keunggulan Komparatif.......................................................... 24

2.8. Teori Keunggulan Kompetitif........................................................... 26

2.9. Teori Kebijakan Pemerintah.............................................................. 27

2.9.1. Kebijakan Pemerintah pada Harga Output.............................. 27

2.9.1.1. Tipe Instrumen................................................................... 28

2.9.1.2. Kelompok Penerima........................................................... 31

2.9.1.3. Tipe Komoditas.................................................................. 32

ii

2.9.2. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input................................ 32

2.9.2.1. Kebijakan Input Tradable.................................................. 32

2.9.2.2. Kebijakan Input Non-tradable........................................... 34

2.10. Teori Matriks Kebijakan.................................................................... 35

2.11. Penelitian Terdahulu.......................................................................... 37

2.11.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Sektor Peternakan Sapi...... 37

2.11.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Daya Saing

dan Policy Analysis Matrix (PAM)...................................... 39

2.12. Kerangka Pemikiran........................................................................... 40

III. METODE PENELITIAN........................................................................... 44

3.1. Jenis dan Sumber Data...................................................................... 44

3.2. Metode Analisis ............................................................................... 45

3.3. Policy Analysis Matrix (PAM)......................................................... 45

3.3.1. Analisis Keuntungan .............................................................. 48

3.3.2. Analisis Efisiensi..................................................................... 49

3.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah............................................... 50

3.3.3.1. Kebijakan Output................................................................ 50

3.3.3.2. Kebijakan Input.................................................................. 51

3.3.3.3. Kebijakan Input-Output...................................................... 52

3.4. Penentuan Harga Bayangan............................................................... 54

3.4.1. Penentuan Harga Bayangan Input........................................... 55

3.4.2. Penentuan Harga Bayangan Output........................................ 57

3.4.3. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar................................. 58

IV. GAMBARAN UMUM.............................................................................. 59

4.1. Sejarah Perusahaan............................................................................ 59

4.2 Letak Geografis Perusahaan.............................................................. 60

4.3. Jalur Tataniaga Perusahaan............................................................... 61

4.4. Manajemen Perusahaan..................................................................... 62

4.4.1. Manajemen Organisasi............................................................ 62

4.4.2. Manajemen Tenaga Kerja....................................................... 62

4.4.3. Manajemen Pemasaran............................................................ 63

iii

4.5. Struktur Organisasi........................................................................... 63

4.6. Kegiatan Perusahaan......................................................................... 65

4.6.1. Pemberian Pakan..................................................................... 65

4.6.2. Pemberian Air Minum............................................................. 65

4.6.3. Penimbangan Sapi................................................................... 66

4.6.4. Perbersihan Feses.................................................................... 66

4.7. Pemasaran Perusahan........................................................................ 67

4.8. Keragaan Sapi Bakalan yang Digunakan.......................................... 68

V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 70

5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan.................................... 70

5.2. Perbandingan Indikator PAM Usaha

Penggemukan Sapi Potong PT.Widodo Makmur Perkasa

untuk Sapi betina dan Sapi jantan..................................................... 74

5.2.1. Analisis Daya Saing................................................................ 75

5.2.2. Analisis Kebijakan Pemerintah................................................ 78

5.2.2.1. Kebijakan Output................................................................ 78

5.2.2.2. Kebijakan Input.................................................................. 78

5.2.2.3. Kebijakan Input-Output...................................................... 80

5.3. Analisis Sensitivitas............................................................................. 82

5.3.1. Kebijakan Pembatasan Volume Impor

Sapi Bakalan diperketat dengan Penurunan

Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen…................... 83

5.3.2. Kebijakan Pembatasan Volume Impor

Sapi Bakalan diperlonggar dengan Peningkatan

Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen…................... 85

VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 88

6.1. Kesimpulan........................................................................................ 88

6.2. Saran.................................................................................................. 89

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 91

LAMPIRAN......................................................................................................... 94

iv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Rata-rata Konsumsi Protein Penduduk Indonesia

Menurut Kelompok Makanan tahun 2005-2009

(gram/kaptita/hari)…................................................................................. 2

1.2. Produksi Daging di Indonesia Periode

2005-2010 (000 ton) …............................................................................ 3

1.3. Populasi Ternak (000 ekor) 2005-2009…................................................ 3

1.4. Perkembangan Produksi Daging Impor

di Jawa Barat (Ton) 2004-2009…............................................................ 7

1.5. Usaha Penggemukan Sapi Potong Kabupaten Bogor…........................... 13

2.1. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas….............................................. 28

2.2. Tabel Analisis Matriks Kebijakan…........................................................ 37

3.1. Tabel Analisis Matriks Kebijakan…........................................................ 48

4.1. Permintaan Sapi di Beberapa Rumah Potong Hewan….......................... 68

5.1. Policy Analysis Matrix (PAM)

Usaha Penggemukan Sapi Potong

PT.Widodo Makmur Perkasa Tahun 2010…........................................... 72

5.2. Perbandingan Indikator-Indikator PAM

pada Usaha Panggemukan Sapi Potong

PT.Widodo Makmur Perkasa untuk

Sapi betina dan Sapi jantan tahun 2010…................................................ 75

5.3. Perubahan Indikator Daya Saing

dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap

Usaha Penggemukan Sapi Potong pada Analisis Sensitivitas….............. 83

5.4. Tabulasi PAM dengan Penurunan

Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen….................................... 84

5.5. Tabulasi PAM dengan Peningkatan

Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen….................................... 86

v

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. Perkembangan Volume Impor Daging Sapi

tahun 2004-2010…................................................................................... 4

1.2. Produksi Daging Sapi Provinsi Jawa Barat

Tahun 2004-2009…................................................................................. 5

1.3. Realisasi Impor Sapi Bakalan tahun 2005-2010….................................. 11

2.1 Pajak dan Subsidi pada Input Tradable…................................................ 32

2.2. Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable…......................................... 34

2.3. Kerangka Pemikiran….............................................................................. 44

4.1. Peta Potensi Wilayah Pengembangan

Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bogor…............................................. 61

4.2. Jalur Tataniaga PT.Widodo Makmur Perkasa…...................................... 62

4.3. Struktur Organisasi PT.Widodo Makmur Perkasa…............................... 64

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Alokasi Komponen Domestik-Asing….................................................... 95

2. Penentuan Harga Bayangan Sapi Bakalan…........................................... 96

3. Penentuan Harga Bayangan Sapi….......................................................... 96

4. Penentuan Harga Bayangan Pakan Konsentrat….................................... 97

5. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar…............................................... 98

6. Alokasi Budget Usaha Penggemukan Sapi

untuk Sapi betina…................................................................................... 99

7. Alokasi Budget Usaha Penggemukan Sapi

untuk Sapi jantan…................................................................................... 100

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara agraris yang memiliki sumber daya alam

yang sangat melimpah terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian

mempunyai peran penting yaitu sebagai sektor yang dapat diandalkan untuk

memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sektor peternakan merupakan bagian

integral dari sektor pertanian yang menjadi sektor utama penyedia pangan hewani

di Indonesia.

Pemahaman terhadap potensi penyediaan pangan hewani di Indonesia dan

upaya mencapai kemandirian atau swasembada memiliki tingkat urgensi yang

tinggi dan sangat strategis dalam kehidupan berbangsa. Hal ini dapat dipahami

karena daya saing suatu bangsa sangat tergantung pada ketersediaan dan kualitas

pangan, selanjutnya akan menentukan kualitas SDM-nya, sehingga menjadi

penentu kemajuan suatu bangsa (Daryanto, 2009).

Adanya pemahaman tersebut yang disertai dengan tingkat

pendidikan/pengetahuan masyarakat yang semakin maju, meningkatkan kesadaran

masyarakat akan pentingnya asupan gizi, hal ini menyebabkan terjadinya

pergeseran pola konsumsi rumah tangga ke arah peningkatan konsumsi protein

hewani seperti daging, susu dan telur. Sapi merupakan salah satu hewan ternak

ruminansia yang memiliki peran peting dalam meningkatkan kesehatan dan

asupan gizi masyarakat. Produk hasil ternak sapi yaitu berupa susu, daging,

2

jerohan, dan berbagai produk lainnya yang mengandung protein hewani. Komoditi

daging sapi merupakan komoditi dengan konsumsi protein yang cukup tinggi.

Perubahan pola konsumsi yang menyertai peningkatan jumlah penduduk

Indonesia ini, merupakan penyebab utama terjadinya peningkatan produk

peternakan dalam negeri terutama daging sapi. Berdasarkan (Tabel 1.1) terlihat

bahwa rata-rata konsumsi protein dari daging penduduk Indonesia dalam periode

tahun 2005-2009 berada pada posisi keempat setelah beras, ikan,dan telur dan

susu. Tingkat konsumsi protein daging penduduk Indonesia rata-rata dari tahun

2005-2009 yaitu berkisar antara 2,3 – 2,4 gram/kapita/hari.

Tabel 1.1. Rata-rata Konsumsi Protein Penduduk Indonesia Menurut

Kelompok Makanan tahun 2005-2009 (gram/kapita/hari)

No. Komoditi 2005 2006 2007 2008 2009

1. Beras 23,42 23,33 22,43 22,75 22,06

2. Ikan 7,92 7,49 7,77 7,94 7,28

3. Telur dan Susu 2,56 2,51 3,23 3,05 2,96

4. Daging 2,47 1,95 2,62 2,40 2,22

5. Kacang-kacangan 5,78 5,88 6,51 5,49 5,19

6. Sayuran 2,64 2,66 3,02 3,01 2,58

7. Makanan Jadi 6,24 5,83 7,33 8,36 8,10

8. Lainnya 4,26 4,01 4,75 4,49 3.95

Jumlah 55,29 53,66 57,66 57,49 54,34

Sumber : Statistik Peternakan 2010, Direktorat Jenderal Peternakan.

Pada periode tahun 2005-2010 produksi daging sapi di Indonesia terus

mengalami peningkatan (Tabel1. 2) , namun ternyata peningkatan tersebut belum

dapat mengimbangi pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, sehingga besarnya

permintaan masyarakat atas daging sapi akan lebih besar daripada produksinya.

Pada tahun 2006, tingkat konsumsi daging sapi yaitu sebesar 399.660 ton, atau

setara dengan 1,70-2 juta ekor sapi potong, sementara tingkat produksi hanya

395.770 ton.

3

Tabel 1.2. Produksi Daging di Indonesia periode 2005-2010 (000 ton)

Jenis Daging 2006 2007 2008 2009 2010

Sapi Potong 395.8 339.5 392.5 409.3 435.3

Kerbau 43.9 41.8 39.0 34.5 37.3

Kambing 65.0 63.6 66.0 73.8 77.6

Domba 75.2 56.9 47.0 54.3 59.2

Babi 196.0 225.9 209.8 200.1 203.7

Kuda 2.3 2.0 1.8 1.8 1.8

Ayam Buras 341.3 294.9 273.5 247.7 259.9

Ayam Ras Petelur 57.6 58.2 57.3 55.1 60.8

Ayam Ras Pedaging 861.3 942.8 1.018.7 1.101.8 1.184.4

Itik 24.5 44.1 31.0 25.8 27.9

Kelinci - - - 0.1 0.1

Burung Puyuh - - - 0.2 -

Merpati - - - 0.3 0.5

Sumber : Statistik Peternakan 2010,Direktorat Jenderal Peternakan.

Dalam perkembangan populasi ternak, jumlah populasi dari ternak sapi

potong memang terlihat terjadi peningkatan setiap tahunnya, namun peningkatan

ini ternyata masih tergolong rendah (Tabel 1.3). Besarnya peningkatan populasi

sapi potong yang pertumbuhannya hanya 2,33 persen per tahun, ternyata belum

mampu mengimbangi laju permintaan akan daging sapi nasional.

Tabel 1.3. Populasi Ternak (000 ekor) 2005-2009 No. Ternak 2005 2006 2007 2008 2009

1. Sapi Potong 10.569 10.875 11.515 12.257 12.760

2. Sapi Perah 361 369 374 458 475

3. Kerbau 2.128 2.167 2.086 1.931 1.933

4. Kuda 387 398 401 393 399

5. Kambing 13.409 13.790 14.470 15.147 15.815

6. Domba 8.327 8.980 9.514 9.605 10.199

7. Babi 6.801 6.218 6.711 6.338 6.975

8. Ayam Buras 278.954 291.085 272.251 243.423 249.964

9. Ayam Ras Petelur 84.790 100.202 111.489 107.955 99.768

10. Ayam Ras Pedaging 811.189 797.527 891.659 902.052 991.281

11. Itik 32.405 32.481 35.867 38.840 42.318

Sumber : Statistik Peternakan 2010,Direktorat Jenderal Peternakan.

Jumlah populasi sapi potong saat iniyang ada, secara nyata ketersediaan

dalam negeri belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi yang terus

meningkat, maka pemerintah melakukan langkah antisipasif yaitu dengan

4

melakukan impor daging sapi serta impor sapi bakalan untuk digemukkan, dimana

jumlah impor tersebut dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang

cukup signifikan (Gambar 1.1).

Sumber : Pemasaran Internasional, Direktorat Jenderal Peternakan 2011 (diolah). *)angka sementara

Gambar 1.1. Perkembangan Volume Impor Daging Sapi tahun 2004-2010

Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang berada di posisi kedua

dengan tingkat produksi daging sapi terbesar setelah Jawa Timur dengan rata-rata

produksi periode tahun 2004 sampai 2009 yaitu sebesar 87.457 ton (Statistik

Peternakan 2010,Dirjen Peternakan). Sebagai provinsi dengan tingkat produksi

yang cukup besar, maka jumlah produksi tiap tahunnya akan berdampak besar

pada ketersediaan daging sapi nasional. Perkembangan produksi daging sapi di

provinsi Jawa Barat sepanjang tahun 2004 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar

1.2.

5

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

80000

90000

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

ton

Tahun

Produksi Daging Sapi

Sumber : Statistik Peternakan 2010,Dirjen Peternakan (diolah).

Gambar 1.2. Produksi Daging Sapi Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2009 Produksi daging sapi di Provinsi Jawa Barat cukup berfluktuatif sepanjang

tahun 2003 (79.029 ton) hingga 2006 (77.759 ton) dan mengalami penurunan yang

cukup signifikan pada tahun 2007 (50.646 ton) dikarenakan terjadinya kasus flu

burung dan anthrax yang menyebabkan produksi daging sapi berkurang, namun

terjadi peningkatan kembali pada tahun 2008 hingga 2009 (70.662 ton). Fluktuasi

produksi daging sapi di Provinsi Jawa Barat disebabkan oleh keadaan sosial

maupun kondisi alam dari tiap kabupaten dan kota yang berkontribusi dalam

penyediaan daging sapi serta muculnya banyak kendala yang dialami oleh

usahaternak sapi potong di Provinsi Jawa Barat. Namun, secara agregat tingkat

produksi daging sapi di Provinsi Jawa Barat masih relatif tinggi dibanding

provinsi lainnya.

Provinsi Jawa Barat terdiri dari tujuh belas kabupaten dan sembilan kota.

Setiap kabupaten dan kota yang terdapat di Provinsi Jawa Barat memiliki tingkat

produksi daging sapi yang beragam. Kabupaten Bogor merupakan salah satu

kabupaten di provinsi Jawa Barat yang memiliki tingkat produksi daging sapi

6

lokal yang cukup fluktuatif walau volume dan perkembangannya tidak cukup

besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Perkembangan produksi daging sapi

lokal di Kabupaten Bogor mencapai jumlah produksi yang cukup tinggi yaitu pada

tahun 2006 (2.889 ton) lalu kembali mengalami penurunan pada sepanjang tahun

2008 hingga 2009 (1.374 ton) (Dinas Peternakan Jawa Barat,2011) . Namun, fakta

lain yang muncul adalah perkembangan produksi daging sapi impor di Kabupaten

Bogor mengalami perkembangan yang cukup signifikan bandingkan wilayah

lainnya di provinsi Jawa Barat dengan perkembangan yang cukup signifikan

terjadi pada tahun 2007 (6.194 ton) dan pada tahun 2009 yang mencapai 7.916

ton. Perkembangan yang terjadi pada periode tahun 2008 dan 2009 menjadikan

Kabupaten Bogor menduduki posisi kedua setelah Kabupaten Bandung yang

merupakan sentra pemasok daging sapi di Jawa Barat (Tabel 1.4).

7

Tabel 1.4. Perkembangan Produksi Daging Impor di Jawa Barat (Ton)

2004-2009

NO.

KABUPATEN /

KOTA DAGING SAPI IMPOR

2004 2005 2006 2007 2008 2009

KABUPATEN

1 B O G O R 2.519 1.25 4.42 6.194 6.965 7.916

2 SUKABUMI 1.078 731 658 1.565 585 627

3 CIANJUR 1.481 893 869 1.102 1.639 855

4 BANDUNG 2.545 2.076 1.591 4.148 491 -

5 GARUT 1 2 - - - -

6 TASIKMALAYA - 6 8 29 794 466

7 CIAMIS - - - - - -

8 KUNINGAN 110 37 31 97 45 -

9 CIREBON 23 - 7 - - 3.132

10 MAJALENGKA - - - - - -

11 SUMEDANG 259 207 92 12 33 125

12 INDRAMAYU - 33 - - - -

13 SUBANG 7.627 8.557 - - - -

14 PURWAKARTA 555 690 831 861 791 657

15 KARAWANG - - 136 263 58 134

16 BEKASI - 2.138 1.699 113 191 483

17 BANDUNG BARAT

- - - - - 108

KOTA

18 BOGOR 2.28 2.022 1.5 1.41 2.384 3.334

19 SUKABUMI 338 325 278 684 702 1.053

20 BANDUNG 5.62 3.983 4.804 6.752 6.752 10.232

21 CIREBON - - - - - -

22 BEKASI - - - - - 586

23 DEPOK 1.845 1.909 2.199 1.514 2.259 4.334

24 CIMAHI - - - - - -

25 TASIKMALAYA 268 888 646 1.15 1.493 2.071

26 BANJAR - - - - - 778

JAWA BARAT 26.55 25.747 19.769 25.894 25.176 36.896

Sumber : Dinas Peternakan Jawa Barat,2011 (diolah).

8

Pertumbuhan impor daging sapi yang relatif lebih cepat dibandingkan

pertumbuhan daging sapi lokal menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging

sapi domestik belum mampu mengikuti pertumbuhan konsumsi daging sapi dalam

negeri khususnya di wilayah kabupaten Bogor. Hal ini mengindikasinya akan

mucul kecenderungan bahwa pengadaan daging sapi di Kabupaten Bogor akan

semakin tergantung pada daging sapi asal impor, dan akan berdampak pula pada

ketergantungan daging sapi impor untuk pemenuhan konsumsi daging nasional.

Berdasarkan kondisi yang ada, pemerintah berinisiatif untuk mengawali

upaya untuk meningkatkan produksi ternak sapi potong dalam negeri khususnya di

Provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu sentra produksi daging sapi dan di

Kabupaten Bogor yang merupakan daerah dengan tingkat perkembangan produksi

daging impor yang cukup tinggi. Peningkatan tersebut selain bertujuan untuk

memenuhi permintaan konsumen akan produk daging sapi di Kabupaten Bogor,

dapat juga dijadikan modal utama Kabupaten Bogor untuk meningkatkan daya

saing komoditi daging sapi, serta pada jangka panjang mengurangi ketergantungan

Indonesia terhadap negara pengekspor daging sapi, meningkatkan kegunaan

sumberdaya domestik yang dimiliki, serta mengurangi penggunaan devisa dalam

negeri.

Pemerintah juga telah mencanangkan Kegiatan Prioritas Pencapaian

Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014 yang merupakan keinginan

bersama dan menjadi program utama Direktorat Jenderal Peternakan. Salah satu

tujuan penting PSDS 2014 yaitu perkembangan populasi dan perbaikan

produktivitas sapi potong, serta peningkatan produksi daging sapi yang terjamin

9

secara berkesinambungan. Tujuan ini harus seirama dengan peningkatan

pendapatan dan kesejahteraan peternak, kelestarian lingkungan hidup dan

peningkatan daya saing, serta adanya kesinambungan atau keberlanjutan usaha

peternakan. Adapun skenario utama dalam PSDS 2014 meliputi 5 aspek, yakni

dari aspek perbibitan, pakan, budidaya, kesehatan hewan dan kesehatan

masyarakat vetenier (Blue Print PSDS 2014).

1.2. Perumusan Masalah

Perkembangan ekonomi dan arus global telah mendorong masyarakat

Indonesia mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur, dan susu lebih

banyak sehingga terjadi peningkatan pada jumlah permintaanya. Namun produksi

daging sapi dalam negeri saat ini secara nyata belum mampu memenuhi

permintaan tersebut terkait dengan pertambahan populasi sapi potong yang tidak

seimbang dengan kebutuhan konsumsi daging nasional, serta adanya berbagai

permasalahan dalam pengembangan usahaternak sapi potong.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah di provinsi Jawa Barat

yang memiliki potensi yang besar dalam pengembangan usaha peternakan

khususnya peternakan sapi potong. Perkembangan populasi sapi potong di

Kabupaten Bogor yaitu 18.196 ekor pada tahun 2008 dan 17.472 ekor pada tahun

2009 (Buku Data Potensi Peternakan Kabupaten Bogor, 2009). Dengan jumlah

populasi ini, perkembangan produksi daging sapi lokal ternyata juga belum

mampu mengimbangi laju permintaan masyarakat, hal ini ditunjukkan oleh tingkat

perkembangan produksi daging sapi impor yang lebih besar dibandingkan tingkat

10

perkembangan daging sapi lokal bahkan pada tahun 2009 volume impor daging

sapi Kabupaten Bogor menduduki posisi kedua di Provinsi Jawa Barat yaitu

mencapai 7.916 ton.

Kebijakan impor sapi bakalan ataupun daging sapi terpaksa tetap

dilakukan oleh pemerintah karena tanpa adanya kebijakan tersebut, dimungkinkan

terjadi pengurasan pada sapi lokal yang akan berdampak buruk bagi usaha

peternakan sapi potong dan ketahanan pangan nasional. Peningkatan impor daging

sapi dan sapi bakalan setiap tahunnya juga akan menguras devisa Negara yang

sangat besar. Saat ini pengeluaran devisa Negara untuk impor tersebut telah

mencapai 5,1 trilyun rupiah per tahunnya. Pengurasan devisa Negara ini akan

terus berlanjut, apabila penyediaan daging produksi lokal tidak ditingkatkan secara

signifikan. Oleh karena itu, diperlukan terobosan untuk meningkatkan populasi

ternak sapi dan produksi daging lokal melalui pemanfaatan sumber daya lokal

yang belum diberdayakan secara optimal (Blue Print PSDS 2014).

Berdasarkan kondisi tersebut, sangat beralasan jika pemerintah

menetapkan Kegiatan Prioritas Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS)

Tahun 2014. Kegiatan ini ditujukan sebagai upaya pemerintah dalam peningkatan

populasi ternak dan produksi daging sapi, agar impor daging sapi dan bakalan

bertahap dapat dikurangi. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan

kontribusi terhadap ketahanan pangan, serta peningkatan kesejahteraan peternak

dan masyarakat. Salah satu kebijakan yang saat ini sudah diberlakukan yaitu

adanya pembatasan volume bakalan sapi dengan volume bakalan sapi sejumlah

500.000 ekor/tahun, kebijakan ini mulai berlaku sejak tahun 2010. Realisasi

11

kebijakan ini tampak pada terjadinya penurunan volume impor sapi bakalan pada

tahun 2010 (Gambar1. 3).

Sumber : APFINDO, 2011.

Gambar 1.3. Realisasi Impor Sapi Bakalan tahun 2005-2010

Dengan adanya kebijakan tersebut, menjadi suatu hal yang dilematis bagi

pemerintah dan peternak, karena impor sapi bakalan untuk selanjutnya digemukan

pada usaha penggemukan sapi ternyata tetap menjadi pilihan dibandingkan harus

mengimpor daging sapi, hal ini dikarenakan kualitas bakalan sapi impor yang

digunakan untuk produksi masih lebih baik dibanding sapi lokal. Namun di lain

sisi, ternyata usaha penggemukan sapi secara tidak langsung memiliki potensi

dalam meningkatkan daya saing domestik dibandingkan dengan impor daging

sapi. Menurut APFINDO (2011) sebagai asosiasi peternak sapi potong Indonesia,

peranan stategis dari usaha penggemukan sapi potong , antara lain :

1. Menghasilkan pertambahan nilai (value adding) dan penggandaan sumber

daya melalui kenaikan berat badan sapi yang dihasilkan dari kegiatan

penggemukan

12

2. Membantu mengurangi laju pengurasan sumber daya ternak sapi potong

lokal dan menjaga kesimbangan supply-demand dalam mengatasi laju

pertumbuhan demand/konsumsi daging terhadap kemampuan pertumbuhan

supply sapi lokal yang terbatas.

3. Menghasilkan output daging sapi segar yang memenuhi kaidah ASUH

(Aman, Sehat, Utuh, Halal)

4. Dengan nilai pasar mencapai sekitar 5 trilyun rupiah per tahun, dimana

sekitar 15 persen adalah input pakan, usaha penggemukan memberikan

multiplyer effect terhadap pertumbuhan ekonomi pedesaan dan tenaga

kerja, kemitraan komoditas pakan, pemanfaatan limbah kotoran sapi, serta

jasa transportasi.

PT.Widodo Makmur Perkasa yang terletak di Desa Mampir Kecamatan

Cileungsi merupakan salah satu usaha penggemukan sapi potong yang sangat

potensial di wilayah Kabupaten Bogor . PT.Widodo Makmur Perkasa merupakan

usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor dengan kapasitas produksi

yang tinggi di wilayah Kabupaten Bogor yaitu 5.000 ekor atau setara dengan

18,21 persen dari jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Bogor. PT.Widodo

Makmur Perkasa merupakan salah satu sentra pemasok daging sapi di Kabupaten

Bogor (Tabel 1.5). Dengan jumlah kapasitas produksi ini, PT.Widodo Makmur

dapat menggambarkan secara umum keragaan usaha penggemukan sapi potong di

Kabupaten Bogor.

13

Tabel 1.5. Usaha Penggemukan Sapi Potong Kabupaten Bogor

No Nama Perusahaan /

Perorangan

Lokasi Kapasitas

Produksi

(ekor) Desa Kecamatan

1 PT. GRAHA NUSANTARA Pengasinan Gunung Sindur 6000

2 PT. TRIBAHAGIA CIPTA. M Pengasinan Gunung Sindur 250

3 HELLENA KWENTINO Curug Gunung Sindur 350

4 KOESBANDRIO Rabak Rumpin 500

5 PT. AUSINDO FEEDLOT INDUSTRY

Rabak Rumpin 3100

6 PT. RUMPINARY AI Rabak Rumpin 3000

7 PT. SINAR KATEL P Sumur Batu Babakan Madang

4000

8 PT. PRISMA MAHESA UNGGUL

Karang Tengah

Babakan Madang

3000

9 PT. WIDODO MAKMUR P Mampir Cileungsi 5000

10 PT. MEKAR UNGGUL SARI Mampir Cileungsi 2400

Sumber : Buku Data Potensi Peternakan Kabupaten Bogor 2010

Kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan yang telah ditetapkan

pemerintah pada tahun 2010, secara langsung berdampak pada kelangsungan

produksi usaha penggemukan sapi potong di Indonesia tidak terkecuali

PT.Widodo Makmur Perkasa dan usaha penggemukan sapi potong lainnya di

Kabupaten Bogor yang sebagian besar masih menggunakan sapi bakalan impor.

Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan produksi daging sapi pada tahun 2008

yaitu sebesar 8.311 kg lalu meningkat pada tahun 2009 sebesar 11.153 kg, namun

terjadinya penurunan produksi daging sapi di Kabupaten Bogor pada tahun 2010

yaitu sebesar 10.790 kg (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor,

2010).

Terjadinya penurunan volume sapi bakalan impor secara langsung

mengurangi jumlah produksi yang berdampak pada terjadinya penurunan

14

pendapatan perusahaan. Kelangkaan yang terjadi pada sapi bakalan impor

menyebabkan terjadinya peningkatan harga sapi bakalan impor yang merupakan

input utama usaha penggemukan sapi potong. Penurunan pendapatan, peningkatan

harga input, serta peningkatan biaya produksi mempengaruhi tingkat keunggulan

komparatif dan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor.

Tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif ini mencerminkan tingkat daya

saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor khususnya di

PT.Widodo Makmur Perkasa.

Berdasarkan dinamika yang terjadi pada usaha penggemukan sapi potong

Indonesia dan khususnya di wilayah Kabupaten Bogor, maka perumusan masalah

yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana tingkat daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif)

usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor yang digambarkan

oleh PT.Widodo Makmur Perkasa ?

2. Bagaimana dampak kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan

terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor

yang digambarkan oleh PT.Widodo Makmur Perkasa ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan dari penelitian

ini adalah

15

1. Menganalisis tingkat daya saing usaha penggemukan sapi potong di

Kabupaten Bogor yang digambarkan oleh daya saing PT.Widodo Makmur

Perkasa.

2. Menganalisis dampak kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan

terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor

yang digambarkan oleh PT.Widodo Makmur Perkasa.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan

pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan pertumbuhan

ekonomi dari sektor peternakan khususnya usaha penggemukan sapi

potong, yaitu dengan menetapkan kebijakan yang mendukung kinerja

usaha penggemukan sapi potong.

2. Memberikan informasi kepada para pelaku usaha yang bergerak dalam

usaha penggemukan sapi untuk meningkatkan kinerja dan daya saing

usahanya.

3. Menambah khasanah literatur mengenai studi usaha penggemukan sapi di

Indonesia bagi pihak yang berkepentingan sehingga dapat menambah

wawasan baru bagi masyarakat.

4. Menambah informasi untuk penelitian dengan topik sejenis selanjutnya.

16

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian mengambil studi kasus di PT.Widodo Makmur Perkasa, dengan

asumsi bahwa PT.Widodo Makmur Perkasa merupakan usaha

penggemukan sapi potong yang dapat menggambarkan secara umum

keragaan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor dengan

jumlah populasi yaitu 18,21 persen dari total populasi sapi potong di

Kabupaten Bogor.

2. Data yang diolah adalah data produksi dan biaya produksi satu siklus

produksi / shipment usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur

Perkasa pada tahun periode bulan Juli 2010 yaitu ketika kebijakan

pembatasan volume impor sapi bakalan telah direalisasikan.

3. Jenis sapi bakalan yang diteliti adalah jenis sapi Brahman Cross betina dan

jantan yang merupakan jenis sapi yang paling banyak diimpor dan

digemukkan oleh PT.Widodo Makmur Perkasa.

4. Siklus produksi atau lamanya penggemukan untuk tiap jenis sapi berbeda

satu sama lain, yaitu 90 hari untuk betina dan 58 hari untuk jantan, hal ini

dikarenakan bobot awal yang berbeda yaitu rata-rata 321 kg/ekor untuk

sapi betina dan 314 kg/ekor untuk sapi jantan, serta tingkat produktivitas

sapi yang berbeda. Volume/jumlah sapi yang digemukkan pada penelitian

ini yaitu 851 ekor untuk sapi betina dan 646 ekor untuk sapi jantan.

17

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Sapi Potong

Dari sejarahnya, semua bangsa sapi yang dikenal di dunia berasal dari

Homacodontidae yang dijumpai pada zaman Paleocene. Adapun jenis primitifnya

ditemukan pada zaman Pliocene di India, Asia. Perkembangan dari jenis-jenis

primitif itulah menghasilkan tiga kelompok nenek moyang sapi hasil penjinakan.

Adapun sapi yang dihasilkan dari jenis primitif, diklasifikasikan menjadi tiga

kelompok besar yang memiliki genetik sapi yang penting untuk menghasilkan

keturunan yang berkualitas, yaitu :

1) Bos sondaicus atau Bos banteng, sampai sekarang ini masih bisa ditemui

hidup liar di daerah margasatwa yang dilindungi di pulau Jawa seperti

Pangandaran dan Ujung Kulon.

2) Bos indicus atau Sapi zebu, sampai sekarang mengalami perkembangan di

India dan Asia.

3) Bos Taurus atau sapi Eropa, sampai sekarang mengalami perkembangan di

Eropa.

Tiga kelompok nenek moyang tersebut, baik secara alamiah ataupun

karena peran serta manusia mampu mengalami perkembangan hasil prekawinan

atau persilangan yang menunjukan bangsa-bangsa sapi modern, baik tipe potong-

perah, tipe potong-kerja, tipe potong-murni.

18

2.2. Jenis-Jenis Sapi

2.2.1. Jenis Sapi Lokal

Jenis-jenis sapi yang sudah lama terdapat di Indonesia dan telah

berkembang secara turun temurun dikenal dengan sebutan sapi lokal. Jenis-jenis

sapi lokal tersebut tersebar di hampir semua daerah di Indonesia, tetapi ada pula

yang hanya terdaapt di daerah-daerah tertentu saja. Jenis sapi tersebut antara lain :

1) Sapi Bali, merupakan keturunan dari Bos banteng. Sapi Bali mempunyai

bentuk dan karakteristik yang sama dengan banteng dan tergolong sapi

yang cukup subur, sehingga sapi Bali sangat cocok untuk sebagai ternak

bibit yang potensial. Sapi Bali mempunyai fertilitas 83-86 persen

(Murtijdo 1990 dalam Rivai 2009), tipe pekerja yang baik, persentase

karkas yang tinggi, daging rendah lemak, dan daya adaptasi terhadap

lingkungajn.

2) Sapi Ongole, merupakan keturuan Bos indicus yang masuk ke Indonesia

melalui jalur perdangan. Sapi ini berwarna putih dan memiliki banyak

lipatan di bagian leher dan perut.

3) Sapi Peranakan Ongole, sapi ini juga dikenal sebagai sapi Sumba Ongole

merupakan hasil persilangan sapi Ongole asal India dengan sapi Madura

secara keturuan hasil perkawinan yang dikawinkan kembali dengan sapi

Ongole (grading up). Sapi ini berwarna putih dan berpunuk.

4) Sapi Madura merupakan sapi lokal yang mirip sapi Bali. Perbedaan yang

signifikan antara sapi Bali dan sapi Madura terletak pada keberadaan

punuk, sapi Bali tidak berpunuk sedangkan sapi Madura berpunuk.

19

2.2.2. Jenis Sapi Bukan Lokal

1) Sapi Limousin, merupakan sapi potong keturunan Bos taurus yang berhasil

di kembangkan di Perancis. Bentuk tubuhnya memanjang penuh daging

dan sangat padat, hampir mirip dengan singa. Berat badan sapi Limousin

betina bisa mencapai rata-rata 650 kg, dan sapi jantan mencapai berat rata-

rata 850 kg. Sapi Limousin mempunyai pertambahan berat badan yang

cukup tinggi sehingga banyak di impor dalam bentuk bakalan.

2) Sapi Charolais, merupakan sapi potong keturunan keturuan Bos taurus dan

banyak dikembangbiakkan di Amerika. Warna tubuhnya krem muda atau

keputih-putihan. Postur tubuhnya besar dan padat, tetapi kasar dengan

bobot badan jantan dewas dapat mencapai 1.000 kg, sedangkan betina

dewasa sekitar 750 kg.

3) Sapi Brahman , merupakan sapi yang termasuk dalam golongan sapi Zebu.

Sapi Brahman banyak disilangkan dengan jenis sapi lainnya dan

menghasilkan peranakan Amerika Brahman (Brahman Cross) , dimana

jenis sapi Brahman mempunyai pertambahan berat badan jantan dewasa

rata-rata 1100 kg dan betina dewasa 850 kg. Jenis sapi Brahman umumnya

di impor dari Australia dan Selandia Baru dalam bentuk bakalan untuk

digemukkan kembali. Jenis sapi ini merupakan jenis sapi yang digemukkan

pada penelitian di PT.Widodo Makmur Perkasa.

20

2.3. Sapi Bakalan

Menurut Sarwono (2003), sapi bakalan merupakan anak sapi jantan dan

sapi betina yang berumur 1-2 tahun untuk selanjutnya digemukkan. Keberhasilan

penggemukan sapi potong sangat tergantung pada pemilihan bibit atau bakalan

yang baik dan kecermatan selama pemeliharaan. Bakalan yang akan digemukkan

dengan pemberian pakan tambahan dapat berasal dari sapi lokal yang dipasarkan

di pasar hewan atau sapi impor yang belum maksimal pertumbuhannya. Sebaiknya

bakalan dipilih dari sapi yang memiliki potensi dapat tumbuh optimal setelah

digemukkan. Prioritas utama bakalan sapi yang dipilih yaitu kurus, berusia remaja,

dan sepasang gigi serinya telah tanggal. Usaha penggemukan sapi bertujuan

mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan bobot sapi yang dipelihara.

Pertumbuhan dan lama penggemukan ditentukan oleh faktor individu, ras (bangsa)

sapi, jenis kelamin, dan usia ternak bakalan. Laju pertumbuhan ternak pada usaha

penggemukan terletak pada pemilihan bakalan. Bakalan harus dipilih dari sapi

yang cepat besar.

2.4. Usaha Penggemukan Sapi Potong

Menurut The National Guidelines for Beef Cattle Feedlot in Australia (2nd

Edition) dalam Tawaf (2009) bahwa penggemukan sapi potong didefinisikan

sebagai suatu lokasi/kandang yang dilengkapi oleh fasilitas pakan dan minuman,

baik secara manual ataupun mekanis berguna bagi peningkatan produksi.

Penggemukan sapi potong menjamin formula pakan konsentrat yang digunakan

untuk mencapai target berat badan pada suatu periode tertentu.

21

Sugeng (2000), menyatakan bahwa penggemukan sebaiknya dilakukan

pada ternak sapi usia 12-18 bulan atau paling tua umur 2,5 tahun. Pembatasan usia

ini dilakukan atas dasar bahwa pada usia tersebut ternak tengah mengalami fase

pertumbuhan dalam pembentukan kerangka maupun jaringan daging, sehingga

bila pakan yang diberikan itu jumlah kandungan protein, mineral dan vitaminnya

mencukupi, sapi dapat cepat menjadi gemuk. Pemeliharaan sapi potong di

Indonesia dilakukan secara ekstensif, semi-ekstensif, dan intensif. Pemeliharaan

secara intensif, hampir sepanjang hari berada di dalam kandang dan diberikan

pakan sebanyak dan sebaik mungkin sehingga cepat gemuk. Selanjutnya dikatakan

bahwa sapi-sapi yang dipelihara secara ekstensif, dilepas di padang

penggembalaan dan digembalakan sepanjang hari, mulai dari pagi hingga sore.

Menurut Siregar dalam Rivai (2009), sistem penggemukan ada tiga, yakni

sistem kereman, sistem pasture fattening dan sistem dry lot fattening.

Penggemukan berkisar antara 3-6 bulan. Sapi bakalan yang digunakan dalam

kereman umumnya sapi-sapi jantan yang berumur sekitar 1-2 tahun dalam kondisi

kurus dan sehat. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 3 kilogram per hari

dengan kenaikan berat rata-rata 0,33 kilogram per hari. Sistem pasture fattening

memerlukan waktu yang relatif lama, yaitu sekitar 8-10 bulan, dengan sapi

bakalan yang digunakan pada pasture fattening adalah sapi jantan atau betina

dengan umur minimal sekitar 2,5 tahun. Sapi jantan mempunyai pertumbuhan

relatif cepat dibandingkan sapi betina sehingga waktu penggemukannya relatif

singkat. Sistem dry lot fattening adalah sistem penggemukan dimana sapi berada

terus-menerus dalam kandang dan tidak di gembalakan ataupun dipekerjakan. Sapi

22

bakalan yang dipergunakan pada dry lot fattening umumnya sapi-sapi jantan yang

telah berumur dari 1 tahun dengan lama penggemukan sekitar 2-6 bulan.

2.5. Teori Perdagangan Internasional

Gagasan utama terjadinya perdagangan internasional adalah adanya

perbedaan karunia sumber-sumber daya yang dimiliki oleh setiap negara. Hal ini

merupakan suatu landasan teori yang sangat berpengaruh dalam ilmu ekonomi

internasional. Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh

penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan

bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu

dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah

suatu negara dengan pemerintah negara lain. Berdasarkan teori perdagangan

internasional, motivasi utama melakukan perdagangan adalah memperoleh

keuntungan (Salvatore, 1997).

Manfaat langsung yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan

internasional antara lain adalah (Salvatore, 1997) :

1) Suatu negara mampu memperoleh komoditas yang tidak dapat diproduksi

di dalam negeri sehingga negara tersebut mampu untuk memenuhi

kebutuhan terhadap barang atau jasa yang tidak dapat diproduksi secara

lokal karena adanya keterbatasan kemampuan produksi

2) Negara yang bersangkutan dapat memperoleh keuntungan dari spesialisasi,

yaitu dapat mengekspor komoditas yang diproduksi lebih murah untuk

23

ditukar dengan komoditas yang dihasilkan negara lain jika diproduksi

sendiri biayanya akan mahal.

3) Perluasan pasar produk suatu negara, akan meningkatkan pendapatan

nasional nantinya dapat meningkatkan output dan laju pertumbuhan

ekonomi, mampu memberikan peluang kesempatan kerja dan peningkatan

upah bagi warga dunia, menghasilkan devisa, dan memperoleh kemajuan

teknologi yang tidak tersedia di dalam negeri.

Sedangkan, manfaat secara tidak langsung yang diperoleh dari adanya

perdagangan internasional antara lain adalah :

1) Perluasan pasar di bidang promosi.

2) Meningkatnya kemampuan suatu negara untuk memperbaiki kualitas dan

mutu hasil produksi.

3) Terciptanya iklim persaingan yang sehat dan sarana pemasukan modal

asing.

4) Terciptanya peluang untuk meningkatkan teknologi.

2.6. Teori Daya Saing

Menurut Mudrajad (2005), daya saing merupakan kemampuan suatu

produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah

sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional tersebut

menguntungkan. Efisien tidaknya produksi suatu komoditi yang bersifat tradeable

bergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinya, apakah biaya produksi riil

yang terjadi dari pemakaian sumber-sumber domestik cukup rendah sehingga

24

harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan.

Indikator daya saing adalah keuntungan dari pengusahaan suatu komoditi yang

dilihat dari sisi privat dan sosial. Sedangkan tingkat efisiensi pengusahaan suatu

komoditi dilihat dari keunggulan komparatif dan kompetitifnya.

Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu

produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan

biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar

internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh

laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya

produksinya (Simanjuntak 1992 dalam Novianti 2003). Dengan kata lain, daya

saing komoditas tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik.

2.7. Teori Keunggulan Komparatif

Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang

diperkenalkan oleh Ricardo sekitar abad ke-18 (1823) yang selanjutnya dikenal

dengan Model Ricardian Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law

of Comparative Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah Negara

kurang efisien dibandingkan (memiliki keunggulan absolut terhadap) Negara lain

dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk

melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama

harus memiliki spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang

memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan

25

mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki

keunggulan komparatif (Salvatore,1997).

Teori keunggulan komparatif Ricardo kemudian disempurnakan oleh

Haberler (1936) yang mengemukakan Konsep keunggulan komparatif yang

berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Haberler

menyatakan bahwa biaya dari satu komoditas adalah jumlah komoditas kedua

terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk

memproduksi satu unit tambahan pertama (Salvatore, 1997).

Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori Heckscher-

Ohlin (1933), yang menekankan pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar

Negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori H-O

menganggap bahwa setiap Negara akan mengekspor komoditas yang relatif

intensif menggunakan faktor produksi yang melimpah karena biayanya akan

cenderung murah, serta mengimpor komoditas yang faktor produksinya relatif

langka dan mahal (Salvatore, 1997).

Simatupang 1995 dalam Novianti 2003, mengemukakan bahwa untuk

meningkatkan daya saing produk pertanian dapat dilakukan dengan strategi

pengembangan agribisnis dalam konsep industrialisasi pertanian yang diarahkan

pada pengembangan agribisnis sebagai suatu sistem keseluruhan yang dilandasi

prinsip-prinsip efisiensi dan berkelanjutan, dimana konsolidasi usahatani

diwujudkan melalui koordinasi vertikal sehingga produk akhir dapat dijamin dan

disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir. Keunggulan komparatif bersifat

dinamis. Artinya, suatu Negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor

26

tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan

negara lain. Keunggulan komparatif berubah karena faktor yang

mempengaruhinya.

2.8. Teori Keunggulan Kompetitif

Sudaryanto dan Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang

lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif

atau sering disebut revealed competitive advantage, yang merupakan pengukur

daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Selanjutnya

dikatakan suatu negara atau daerah yang memiliki keunggulan komparatif maupun

kompetitif menunjukkan keunggulan baik dalam potensi alam, penguasaan

teknologi, maupun kemampuan managerial dalam kegiatan yang

bersangkutan.Keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu

aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari

sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut, sedangkan

analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara

keseluruhan tanpa melihat siapa yang menyumbangkan dan siapa yang menerima

manfaat tersebut (Kadariah et al., 1978).

Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu

aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai

tukar resmi yang berlaku (analisis finansial), sehingga konsep keunggulan

kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau

mensubtitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan

27

suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi. Dalam hal ini, keunggulan

kompetitif digunakan untuk mengukur daya saing kegiatan ekonomi (produksi)

pada kondisi ekonomi aktual atau pada suatu perusahaan individu

(Novianti,2003).

2.9. Teori Kebijakan Pemerintah

Hingga saat ini, kebijakan pemerintah masih tetap dipraktekkan dalam

perdagangan baik perdangan domestik maupun internasional, khususnya oleh

Negara-negara yang sedang berkembang. Kebijakan pemerintah tersebut

diterapkan dalam rangka mejaga stabilitas produk dalam negeri atau pun sebagai

usaha meningkatkan ekspor untuk memperbesar devisa suatu negara.

Dalam penelitian ini, kebijakan pemerintah yang dimaksud yaitu

diberlakukan terhadap input seperti sapi bakalan, pakan ternak, tenaga kerja,

maupun output berupa sapi yang mengakibatkan adanya perbedaan antara harga

input atau output yang diterima produsen dengan harga yang seharusnya diterima

pada kondisi tanpa intervensi pemerintah atau pada pasar persaingan sempurna.

Pada akhirnya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output akan

mempengaruhi daya saing suatu komoditas.

2.9.1. Kebijakan Pemerintah pada Harga Output

Pengaruh intervensi pemerintah pada harga output diterangkan oleh Monke

and Pearson 1989 dalam Novianti 2003, yang membagi ke dalam delapan tipe

kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan. Klasifikasi dari kebijakan

harga komoditas dapat dijelaskan pada Tabel 2.1.

28

Tabel 2.1. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas

Instrumen Dampak Pada

Produsen

Dampak pada

Konsumen

Kebijakan Subsidi

• Tidak merubah harga pasar dalam negeri.

• Merubah harga pasar dalam negeri.

Subsidi Pada Produsen

• Pada barang-barang subtitusi impor (S+PI ; S-PI).

• Pada barang-barang orientasi ekspor (S+PE ; S-PE).

Subsidi Pada Konsumen

• Pada barang-barang subtitusi impor (S+CI ; S-CI).

• Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE ; S-CE).

Kebijakan

perdagangan

(merubah harga pasar dalam negeri).

Hambatan pada barang impor (TPI)

Hambatan pada barang ekspor (TCE)

Sumber : Monke and Pearson, 1989. Keterangan: S+ = Subsidi S- = Pajak PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang subtitusi impor CI = Konsumen barang subtitusi impor TCE = Hambatan barang ekspor TPI = Hambatan barang impor

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga

kriteria. Pertama, tipe instrumen yang berupa subsidi atau kebijakan

perdagangan, kedua, kelompok penerima, meliputi produsen atau konsumen dan

ketiga, tipe komoditas yang berupa komoditas dapat diimpor atau dapat diekspor.

2.9.1.1. Tipe Instrumen

Dalam kebijakan pemerintah tipe instrumen, dibedakan pengertian antara

subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk

pemerintah. Apabila dibayar dari pemerintah maka disebut subsidi positif,

sedangkan dibayar untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Pada

dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik

29

agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau

produsen dalam negeri.

Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor

atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan dapat diterapkan baik terhadap harga

komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) atau dengan

pembatasan jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan

jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan antara harga

internasional (harga dunia) dengan harga domestik (harga dalam negeri). Untuk

barang yang diimpor misalnya dapat dilakukan dengan menekan tarif per unit

(pajak impor) maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) untuk membatasi

kuantitas yang diimpor dan meningkatkan harga domestik di atas harga

internasional.

Kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah

yang diekspor melalui penekanan baik pajak ekspor maupun pembatasan jumlah

ekspor sehingga harga domestik lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di

pasar dunia/harga internasional. Kebijakan subsidi dan perdagangan berbeda

dalam tiga aspek, pertama, yang berimplikasi pada anggaran pemerintah, kedua

berupa alternatif kebijakan dan ketiga adalah kemampuan penerapan.

a. Implikasi Pada Anggaran Pemerintah

Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah,

sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah dan subsidi

negatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah.

30

b. Tipe Alternatif Kebijakan

Ada delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang

orientasi ekspor (PE) dan barang subtitusi impor (SI) yaitu :

a. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI)

b. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE)

c. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI)

d. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE)

e. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI)

f. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE)

g. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI)

h. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE)

Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen akan

membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan lebih rendah

demikian halnya bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan

sebelum ada kebijakan subsidi positif, sedangkan penerapan subsidi negatif

(pajak) akan membuat harga yang diterima produsen lebih rendah, dan jika

diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga lebih tinggi. Kondisi ini bagi

produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi

sebelum subsidi negatif (pajak) diterapkan.

Pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan

perdagangan pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang

ekspor (TPE), Aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan

atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang

31

efektif untuk mengontrol penyelundupan, sedangkan dampak dari perluasan

ekspor atau impor (lawan dari hambatan perdagangan pada ekspor dan impor)

tidak dapat diciptakan oleh kebijakan perdagangan. Negara hanya dapat

melakukan subsidi impor atau ekspor dan memperluas perdagangan, namun

kegiatan ini merupakan kebijakan subsidi bukan kebijakan perdagangan.

c. Tingkat Kemampuan Penerapan

Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas

tradable maupun komoditas non tradable, sedangkan kebijakan perdagangan

hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable).

2.9.1.2. Kelompok Penerima

Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah apakah kebijakan

dimaksudkan untuk konsumen atau produsen. Subsidi atau kebijakan perdagangan

mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen dan keuangan

pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan,

pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika

produsen memperoleh keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, dan ketika

konsumen memperoleh keuntungan dan produsen mengalami kerugian. Pada

kondisi seperti ini menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh satu

pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami pihak lain, tetapi

dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang, maka

keuntungan yang akan diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita.

Oleh karena itu, manfaat yang diperolah kelompok tertentu (konsumen,produsen

32

atau keuangan pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari

kelompok lainnya.

2.9.1.3. Tipe Komoditas

Klasifikasi tipe komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas

yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada

kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga pasar

internasional, dimana untuk barang yang dapat diekspor digunakan adalah harga

fob (free on board/ harga dipelabuhan ekspor) dan untuk barang yang dapat

diimpor digunakan harga cif (cost insurance freight /harga di pelabuhan impor).

Kebijakan harga yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan

subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan

hambatan perdagangan yang berupa tarif kuota. Kebijakan subsidi pada harga

output menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan surplus

konsumen berubah.

2.9.2. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input

Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input

non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif

dan subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak

diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input domestik (non

tradable) hanya diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di

dalam negeri.

33

(a)S-II

2.9.2.1. Kebijakan Input Tradable

Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak

dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input

tradable dapat ditunjukkan pada Gambar 2.2 berikut ini :

Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : S-II = Pajak untuk Imput Impor S+II = Subsidi untuk Impor Impor

Gambar 2.1 Pajak dan Subsidi pada Input Tradable

Gambar 2.1 (a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input tradable yang

digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat

sehingga pada tingkat output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan

kurva suplai bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC,

yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan

ongkos produksi dari output Q2BCQ1. Gambar 2.1 (b) menggambarkan dampak

subsidi input yang menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi

lebih rendah sehingga kurva suplai bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1

ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu

Q2 Q1

D

S1

S

D

B

C

A PW

P

Q1 Q2

S

S1

B

C A PW

P

(b)S+II

34

(a) S - N

perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output

dengan peningkatan nilai

input.

2.9.2.2. Kebijakan Input Non Tradable

Pada input non tradable kebijakan pemerintah meliputi kebijakan pajak

dan subsidi karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi dalam

negeri, sedangkan kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non

tradable. Ilustrasi mengenai kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan

pemerintah pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : S-N = Pajak untuk Barang Non Tradable

S+N = Subsidi untu Barang Non Tradable

Gambar 2.2. Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable

Pada Gambar 2.2 (a) dengan adanya pajak (Pc-Pp) menyebabkan produksi

yang dihasilkan turun menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang

sebesar BCA dan dari konsumen yang hilang sebesar DBA. Pada subsidi positif

(Gambar 2.2 (b)), adanya subsidi menyebabkan produk meningkat dari Q1 ke Q2,

D

(b) S + N

Q2 Q3

Pc

Pp

P

Pp’

Pp

Pd

Q3

D

Q1

D

S

B

C

A

Pd

Q1 Q2

B

C

A

Pc

P S

D

35

harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen

turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara

peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan

meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk

membayar.

2.10. Teori Matriks Kebijakan

Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Kebijakan digunakan untuk

menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem

komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas,

yaitu tingkat usahatani (farm production), penyampaian dari usahatani ke

pengolahan, pengolahan maupun pemasaran (Monke and Pearson, 1989).

Tujuan dari penggunaan sebuah tabel PAM untuk analisis suatu usahatani

memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat, yaitu

sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual.

Tujuan kedua dari analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan sosial

sebuah usahatani yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat

harga efisiensi (social opportunity cost). Tujuan lain dari analisis PAM adalah

menghitung transfer effects, sebagai dampak dari suatu kebijakan (Pearson et al.,

2005).

Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasikan

tiga analisis yaitu analisis keuntungan yaitu keuntungan privat dan keuntungan

sosial/ekonomi, analisis daya saing (keunggulan kompetifif dan komparatif) serta

36

analasis dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem komoditas.

Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom (Tabel 2.2). Baris pertama

mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya

berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi

kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya

saing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga

sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa

adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara

baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi (Pearson et al.,

2005).Penerimaan dan biaya produksi pada harga finansial dan harga sosial dibagi

menjadi komponen tradable (asing) dan nontradable (domestik). Input yang

digunakan seperti sapi bakalan, pakan, peralatan, dan lain-lain dipisahkan

menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor domestik (Pearson et al.,

2005).

37

Tabel 2.2. Tabel Analisis Matriks Kebijakan

Uraian Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable

Faktor

Domestik

Privat

A B C D

Ekonomi

E F G H

Efek Divergensi

I J K L

Sumber : Pearson et al. (2005) Keterangan : A: Penerimaan Privat G: Biaya Input Domestik Sosial B: Biaya Input tradable Privat H: Keuntungan Sosial = E - (F+G) C: Biaya Input Domestik Privat I: Transfer Output (A - E) D: Keuntungan Privat = A - (B+C) J: Transfer Input tradable (B – F) E: Penerimaan Sosial K: Transfer Faktor domestik (C – G) F: Biaya Input tradable Sosial L: Transfer Bersih (D – H) Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A-B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G/(E-F) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =B/F Koefisien Keuntungan (PC) = D/H

2.11. Penelitian Terdahulu

2.11.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Sektor Peternakan Sapi

Rivai (2009) melakukan penelitian mengenai analisis kelayakan usaha,

analisis kelayakan aspek finansial dan analisis sensitivitas kelayakan usaha

fattening sapi potong di PT. Zagrotech Dafa International. Analisis dalam

penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif

dilakukan untuk mengkaji aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek

sosial, ekonomi dan lingkungan pada usaha fattening sapi potong pada

PT.Zagrotech Dafa International yang dijelaskan secara deskriptif. Analisis

kuantitatif digunakan untuk mengkaji kelayakan finansial usaha fattening sapi

potong berdasarkan criteria kelayakan investasi yaitu, Net Present Value (NPV),

38

Internal Rate Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio), Payback

Period (PP) dan analisis sensitivitas switching value. Hasil analisis aspek finansial

menunjukkan bahwa kedua skenario yaitu skenario I (modal sendiri) dan skenario

II (modal pinjaman) layak untuk dijalankan karena kedua skenario sudah

memenuhi criteria kelayakan investasi. Hasil analisis sensitivitas switching value

dengan dua variabel parameter yaitu peningkatan harga bakalan dan penurunan

sapi potong lebih sensitif. Dari kedua skenario menunjukkan bahwa skenario II

lebih sensitive (peka) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik itu

perubahan peningkatan harga bakalan sapi ataupun penurunan penjualan sapi

potong.

Nefri (2000) melakukan penelitian mengenai optimalisasi dan daya saing

usaha peternakan sapi potong di Indonesia. Dengan menggunakan linear

programming, memperoleh hasil analisis keunggulan kompetitif dan komparatif

terhadap kinerja usaha peternakan sapi potong memperlihatkan tingkat daya saing

yang masih relatif rendah baik sebelum ataupun setelah perbaikan pakan,dimana

nilai efisiensi ongkos produksi (C/P ratio) adalah sebesar 0.87-0.88 dan tingkat

pengembalian modal (ROI) 12-13 persen serta koefisien biaya sumberdaya

domestik (KBSD) 0.52-0.56. Pada saat kapasitas terpasang maksimal dan

perbaikan efisien usaha, daya saing perusahaan menunjukkan tingkat yang relatif

lebih tinggi dengan nilai efisiensi ongkos produksi (C/P ratio) 0.76 dan tingkat

pengembalian dengan modal (ROI) 29.3 persen serta koefisien biaya sumberdaya

domestik (KBSD) 0.35. Penelitian ini juga membahas tentang analisis

optimalisasi penyusunan pakan ternak sapi potong dengan pemanfaatan

39

sumberdaya yang tersedia; analisis optimalisasi produksi usaha peternakan sapi

potong dalam kondisi krisis ekonomi yang melanda dunia usaha di Indonesia;

analisis dampak perubahan berbagai faktor internal dan ekonomi eksternal

terhadap pola optimalisasi produksi ternak sapi potong; analisis daya saing

komoditi ternak sapi potong berdasarkan keunggulan kompetitif dan komparatif

pada suatu pengembangan usaha peternakan sapi potong; serta analisis dampak

perubahan berbagai faktor internal dan faktor ekonomi eksternal terhadap daya

saing komoditi ternak sapi potong.

2.11.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Daya Saing dan Policy Analysis Matrix

(PAM)

Kuraisin (2006) melakukan penelitian mengenai daya saing dan dampak

perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi. Dengan

menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) hasil analisis menunjukkan

bahwa usahatani sapi perah pada ketiga skala usaha di Desa Tajurhalang

menguntungkan secara finansial dan secara ekonomi. Artinya komoditas susu

layak untuk diusahakan dan dikembangkan di Desa Tajurhalang baik dengan atau

tanpa kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu pada

ketiga skala usaha menyebabkan surplus produsen berkurang, keuntungan privat

lebih kecil dari keuntungan sosial dan tidak memberikan proteksi yang positif.

Dengan demikian secara keseluruhan kebijaksanaan pemerintah tidak memberikan

intensif bagi produsen untuk berproduksi. Berdasarkan hasil sensitivitas pada saat

terjadi masing-masing peningkatan harga pakan ternak sebesar 30 persen

penurunan harga susu sapi sebesar persen, dan analisis sensitivitas gabungan

menunjukan bahwa usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha tetap memiliki

40

keunggulan kompetitif dan komparatif. Karena nilai dari keuntungan finansial dan

ekonominya lebih dari nol sehingga tetap efisien untuk diusahakan.

Aliyatillah (2009) melakukan penelitian tentang analisis daya saing serta

dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao di perkebunan Afdeling

Rajamandala. Hasil analisis dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix

(PAM) menunjukkan bahwa pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling

Rajamandala efisien secara privat dan ekonomi serta memiliki keunggulan

kompetitif dan komparatif . Dampak kebijakan pemerintah yang ada terhadap

pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala juga secara umum dapat

dikatakan menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing

komoditi kakao. Penurunan produktivitas lebih dari 10 persen dan penurunan

harga kakao sebesar 5 persen akan menyebabkan komoditas kakao di perkebunan

Afdeling Rajamandala tidak berdayasaing baik dar segi keunggulan komparatif

maupun kompetitifmya sedangkan depresi dan apresiasi mempengaruhi dayasaing

kakao dalam segi keunggulan komparatifnya.

2.12. Kerangka Pemikiran

Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup

diminati oleh masyarakat. Adanya permintaan yang tinggi akan daging sapi dalam

pasar nasional dan permintaan yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat dan

khususnya Kabupaten Bogor merupakan kesempatan untuk peternak memenuhi

peluang kekurangan pasokan daging sapi tersebut. Namun pada kenyataanya,

dengan populasi sapi potong di Kabupaten Bogor yang ada saat ini belum mampu

41

menghasilkan produksi daging sapi yang mampu mengimbangi laju permintaan

daging sapi di Kabupaten Bogor.

Kekurangan pasokan daging sapi yang terjadi di wilayah Kabupaten Bogor

menyebabkan pemerintah melakukan impor baik impor daging sapi maupun sapi

bakalan, hal ini yang menyebabkan tingkat perkembangan produksi daging sapi

impor di Kabupaten Bogor cukup tinggi di provinsi Jawa Barat. Untuk mengatasi

hal tersebut, maka pemerintah melakukan upaya-upaya sistematis yang dapat

menahan tekanan produk daging sapi impor. Upaya-upaya yang dilakukan oleh

pemerintah dituangkan dalam bentuk paket-paket kebijakan. Impor sapi bakalan

masih menjadi pilihan pemerintah untuk menanggulangi kekurangan ketersediaan

daging sapi tersebut dibandingkan dengan impor daging sapi. Sejalan dengan

usaha untuk mencukupi pasokan daging sapi dalam negeri, pemerintah juga telah

mencanangkan Kegiatan Prioritas Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS)

Tahun 2014 yang salah satu paket kebijakannya yaitu adanya pembatasan volume

impor sapi bakalan yang telah berlaku pada pertengahan tahun 2010. Hal ini

dilakukan pemerintah untuk tetap mempertahankan pasar domestik serta untuk

meningkatkan daya saing usahaternak sapi potong yang menjadi sektor utama

yang diandalkan sebagai pemasok komoditi daging sapi dalam negeri.

Metode PAM digunakan untuk menganalisis daya saing usaha

penggemukan sapi potong sesudah adanya kebijakan pembatasan volume impor

sapi bakalan, dengan keunggulan kompetitif dianalisis berdasarkan keuntungan

privat dan Rasio Biaya Privat (PCR), keunggulan kompetitif dianalisis

berdasarkan keuntungan social dan Rasio Biaya Sumber Daya Domestik (DRC).

42

Selain itu metode PAM juga bisa digunakan untuk menganalisis penerapan

kebijakan pemerintah pada harga output, kebijakan harga input, dan kebijakan

input-output. Kebijakan harga input dianalisis berdasarkan nilai transfer (input

transfer atau TI), koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient

on input atau NPCI), tingkat proteksi input nominal (nominal protection rate on

input atau NPRI) dan transfer faktor (factor transfer atau FT). Sebagai pereduksi

kelemahan dari PAM yang bersifat statis, dilakukan analisis sensitivitas untuk

mengetahui daya saing usahaternak sapi potong apabila terjadi perubahan harga

input maupun output. Terakhir, setelah diperoleh kesimpulan dari hasil analisis

yaitu memberikan saran kepada peternak dan pemerintah. Skema kerangka

pemikiran operasional penelitian disajikan pada Gambar 2.3.

43

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran

• Produksi daging sapi lokal Kabupaten Bogor rendah

• Prospek usaha penggemukan sapi

potong di Kabupaten Bogor

Kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan (PSDS 2014)

Policy Analysis Matrix (PAM)

Keunggulan Kompetitif

• Keuntungan Privat

• Rasio Biaya Privat (PCR)

Keunggulan Komparatif

• Keuntungan sosial

• Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)

Dampak kebijakan pemerintah

• Kebijakan output

• Kebijakan input

• Kebijakan input output

Analisis Sensitivitas

Hasil Akhir

• Mengetahui daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor yang digambarkan oleh PT.Widodo Makmur Perkasa

• Mengetahui dampak kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor yang

digambarkan oleh PT.Widodo Makmur Perkasa

Daya saing sesudah kebijakan

44

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini merupakan suatu studi kasus dengan mengambil lokasi pada

salah satu perusahaan penggemukan sapi potong di Kecamatan Cileungsi,

Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di PT.

Widodo Makmur Perkasa dengan pertimbangan bahwa PT.Widodo Makmur

Perkasa merupakan usaha penggemukan sapi potong dengan kapasitas produksi

yang cukup besar yaitu sebesar 18,12 persen dari total polulasi sapi potong di

Kabupaten Bogor dan menjadi salah satu pemasok ketersediaan daging sapi di

wilayah Kabupaten Bogor, sehingga PT.Widodo Makmur Perkasa sudah dapat

menggambarkan secara umum kondisi usaha penggemukan sapi potong di

wilayah Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Januari hingga Mei

2011.

Data yang digunakan sebagai sample merupakan data primer dan sekunder

yang diperoleh dari berbagai sumber meliputi Badan Pusat Statistik (BPS),

Kementrian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Asosiasi Pengusaha

Feedlot Indonesia (APFINDO), Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten

Bogor serta informasi-informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang

diperoleh dari buku-buku literatur, perpustakaan, dan internet yang digunakan

untuk melengkapi data dalam penelitian ini. Untuk input output yang dapat

diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan

harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga

45

CIF (Cost, Insurance and Freight) sedangkan untuk menghitung harga sosial

input non tradable digunakan harga imbangannya (opportunity cost).

3.2. Metode Analisis

Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data penelitian terdiri atas

beberapa tahap. Pertama adalah penentuan input usaha penggemukan sapi potong.

Tahap ini diperoleh dari data input yang digunakan dalam berproduksi yang

bersumber dari PT.Widodo Makmur Perkasa.Tahap kedua adalah

pengidentifikasian input kedalam komponen input tradable dan non tradable,

penelitian ini menggunakan pendekatan langsung dimana input tradable yaitu

input yang diperdagangkan di pasar internasional baik diekspor maupun diimpor

dan identifikasi input non tradable yaitu input yang dihasilkan dipasar domestik

dan tidak diperdagangkan secara internasional. Alokasi komponen untuk

penelitian ini tersaji dalam Lampiran 1. Selanjutnya adalah penentuan harga

bayangan input dan output, kemudian dianalisis dengan menentukan Policy

Analysis Matrix (PAM) yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi

pemerintah dan Langkah terakhir adalah analisis sensitivitas.

3.3. Policy Analysis Matrix (PAM)

Menurut Pearson et al (2005), PAM (Policy Analisis Matriks) adalah alat

yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan

dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas meliputi empat aktivitas

yaitu aktivitas usahatani (farm procuction), penyampaian dari usahatani ke

46

pengolah, pengolahan, dan pemasaran. Metode PAM dapat digunakan untuk

mengidentifikasi tiga hal, yaitu analisis keuntungan (Privat dan Sosial), analisis

dayasaing (keunggulan komparatif dan kompetitif), serta analisis dampak

kebijakan pemerintah.

PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama untuk

mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya

berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh

semua kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Baris kedua untuk

mengestimasi keunggulan ekonomi atau dayasaing dalam keunggulan komparatif.

Istilah ekonomi mengacu pada penerimaan dan biaya berdasarkan harga efisien

dimana kegagalan pasar dan intervensi pemerintah tidak ada. Baris ketiga

merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan

adanya divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah. Matriks PAM juga terdiri

dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan, kolom biaya

input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan yang

merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya.

Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam metode PAM, diantaranya :

1) Perhitungan berdasarkan harga privat (privat cost) yaitu harga yang benar-

benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang

benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan.

2) Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan

(shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau

harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan.

47

3) Output bersifat tradable (dapat diperdagangkan) dan input dapat

dipasarkan ke dalam komponen asing dan domestik.

4) Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan

(Eksternalitas=0).

Dasar perhitungan harga PAM mempunyai empat tahap yaitu sebagai

berikut :

1) Penentuan masukan-masukan fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi

yang akan dianalisis.

2) Penarikan harga bayangan (shadow price) dari masukan dan keluaran.

3) Pemisahan seluruh biaya kedalam komponen asing dan domestik serta

menghitung besarnya penerimaan.

4) Menghitung dan menganalisis beberapa indikator yang bisa dihasilkan

oleh analisis PAM.

Selain itu analisis metode PAM juga memiliki beberapa kelebihan

diantaranya:

1) Analisis PAM adalah perhitungan yang dapat dilakukan secara

keseluruhan, sistematis, dan output dapat beragam.

2) Analisis dapat digunakan pada system komoditas dengan berbagai daerah,

berbagai tipe usahatani dan teknologi.

Matriks analisis kebijakan lebih jelasnya tersaji pada Tabel 3.1 berikut ini:

48

Tabel 3.1. Tabel Analisis Matriks Kebijakan

Uraian Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable

Faktor

Domestik

Privat

A B C D

Ekonomi

E F G H

Efek Divergensi

I J K L

Sumber : Pearson et al.(2005) Keterangan : A: Penerimaan Privat G: Biaya Input Domestik Sosial B: Biaya Input tradable Privat H: Keuntungan Sosial = E - (F+G) C: Biaya Input Domestik Privat I: Transfer Output (A - E) D: Keuntungan Privat = A - (B+C) J: Transfer Input tradable (B – F) E: Penerimaan Sosial K: Transfer Faktor domestik (C – G) F: Biaya Input tradable Sosial L: Transfer Bersih (D – H) Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A-B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G/(E-F) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =B/F Koefisien Keuntungan (PC) = D/H

3.3.1. Analisis Keuntungan

1) Keuntungan Privat (Privat Profit/ PP)

PP = D = A – (B + C)

Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas

berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada

(Monke and Pearson, 1989). Jika keuntungan privat lebih besar atau sama dengan

nol menunjukkan bahwa secara privat pengusahaan suatu komoditas layak untuk

diteruskan. Begitu juga sebaliknya, jika nilainya kurang dari nol maka komoditas

tersebut tidak layak diteruskan karena dapat menimbulkan kerugian.

49

2) Keuntungan Sosial (Social Profit/ SP)

SP = H = E – (F + G)

Keuntungan sosial merupakan indikator daya saing atau efisiensi dari sistem

usahatani pada kondisi tidak ada efek divergensi baik akibat kebijakan pemerintah

maupun distorsi pasar (Monke and Pearson, 1989). Jika nilai keuntungan sosial

lebih dari satu atau sama dengan nol menunjukkan bahwa secara ekonomi

pengusahaan suatu komoditas dapat dilanjutkan. Begitu juga sebaliknya, jika

nilainya kurang dari nol maka komoditas tersebut tidak layak diteruskan karena

dapat menimbulkan kerugian.

3.3.2. Analisis Efisiensi

1) Rasio Biaya Privat (Privat Cost Ratio/ PCR)

PCR = C / (A – B)

Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah terhadap

harga privat. Nilai PCR mencerminkan berapa banyak sistem komoditas tersebut

dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi

kompetitif yakni break event setelah membayar keuntungan normal (D=0)

(Monke and Pearson, 1989). Suatu komoditas mempunyai keunggulan kompetitif

jika nilai PCR-nya lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan

nilai tambah sebesar satu satuan, diperlukan tambahan biaya faktor domestik yang

dikeluarkan lebih kecil dari satu satuan.

50

2) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/ DRC)

DRC = G / (E - F)

Rasio biaya sumberdaya domestik merupakan indikator keunggulan

komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat

untuk menghasilkan satu satuan devisa atau kemampuan sistem komoditi dalam

membiayai biaya faktor domestik pada harga sosial (Monke and Pearson, 1989).

Suatu usahaternak memiliki keunggulan komparatif jika nilai DRC lebih kecil dari

satu. Hal ini berarti bahwa pengusahaan komoditas tertentu mempunyai efisiensi

secara ekonomi dalam pengalokasian sumberdaya atau memiliki keunggulan

komparatif

3.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah

3.3.3.1. Kebijakan Output

1) Transfer Output (TO)

TO = I = A – E

Transfer Output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas

harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung atas harga sosial

(bayangan). Nilai TO menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah pada output

sehingga ada perbedaan antara harga output privat dan sosial (Monke and

Pearson, 1989). Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya insentif masyarakat

terhadap produsen. Nilai TO yang positif berarti masyarakat harus membeli

dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan, dan

produsen menerima harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima.

51

2) Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient

Outputs/ NPCO)

NPCO = A / E

Koefisien Proteksi Output atau Nominal Protection on Tradable Output

adalah rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan

penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikator

dari tingkat proteksi pemerintah terhadap output (Monke and Pearson, 1989).

NPCO digunakan untuk mengukur dampak intensif kebijakan pemerintahan yang

menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat

dan social. Jika nilai NPCO lebih kecil dari satu menunjukkan adanya kebijakan

pemerintah yang menghambat ekspor output yang berupa subsidi negatif (pajak).

3.3.3.2. Kebijakan Input

1) Transfer Input (TI)

TI = J = B – F

Transfer Input adalah selisih antara biaya input tradable pada harga privat

dengan biaya input tradable pada harga sosial. Nilai TI menunjukkan adanya

kebijakan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable (Monke and

Pearson, 1989). Nilai TI yang positif menunjukkan kebijakan pemerintah pada

input tradable menyebabkan keuntungan yang diterima lebih kecil dibandingkan

tanpa adanya kebijakan. Nilai TI negatif menunjukkan keuntungan yang diterima

secara privat lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan.

52

2) Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Protection Coefficient on

Inputs/ NPCI)

NPCI = B / F

Koefisien proteksi input nominal merupakan indikator yang menunjukkan

tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. NPCI adalah rasio

antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya

input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi

adanya transfer input (Monke and Pearson, 1989). Nilai NPCI lebih besar dari

satu menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input, sementara sektor

yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya

produksi. Jika nilai NPCI lebih kecil dari satu berarti menunjukkan adanya

hambatan ekspor input sehingga produksi menggunakan input lokal.

3) Transfer Faktor (TF)

TF = K = C – G

Nilai TF menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable. Jika nilai

TF positif berarti terdapat subsidi negatif pada input non tradable(Monke and

Pearson, 1989) . Jika nilai TF negatif berarti terdapat subsidi positif pada input

non tradable.

3.3.3.3. Kebijakan Input – Output

1) Koefisien Proteksi Efektif ( Effective Protection Coefficient / EPC)

EPC = (A – B) / (B – F)

Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak

keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditas

53

dalam negeri. Nilai EPC menggambarkan seberapa besar kebijakan pemerintah

bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif (Monke

and Pearson, 1989). Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah

apakah bersifat melindungi ataukah menghambat produksi domestic secara

efektif. Nilai EPC lebih besar sari satu menunjukkan tingginya proteksi

pemerintah dalam sistem produksi daging sapi, sedangkan nilai EPC kurang dari

satu berarti proteksi pemerintah terhadap sistem produksi daging sapi sangat

rendah

2) Transfer Bersih (TB)

TB = L = D – H

Transfer Bersih (TB) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-

benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. TB

menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap

penerimaan petani, apakah merugikan atau menguntungkan petani (Monke and

Pearson, 1989). TB digunakan untuk melihat ketidakefisienan dalam sistem

produksi. Jika nilai TB lebih besar dari nol, maka nilai tersebut menunjukkan

tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang

dilakukan pada input dan output. Nilai TB yang lebih kecil akan menunjukkan

keadaan yang sebaliknya.

3) Koefisien Keuntungan ( Profitability Coefficient / PC)

PC = D / H

Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang

benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial. KK

54

menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan perbedaan

antara keuntungan privat dan sosial (Monke and Pearson, 1989). Nilai PC kurang

dari satu menunjukkan kebijakan pemerintah yang mengakibatkan keuntungan

yang diterima produsen lebih kecil jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan.

Sebaliknya, nilai PC lebih dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan

keuntungan yang diterima oleh produsen lebih besar.

4) Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)

SRP = L / H

Rasio subsidi produsen menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan

penerimaan total karena adanya kebijakan pemerintah. SRP memungkinkan untuk

membuat perbandingan antara besarnya subsidi perekonomian bagi sistem

komoditi pertanian (Monke and Pearson, 1989). Nilai SRP yang negatif

menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan

produsen mengeluarkan biaya produsen lebih kecil dari biaya imbangan untuk

berproduksi. Sebaliknya, nilai SRP yang positif menunjukkan kebijakan

pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya

produsen lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi.

3.4. Penentuan Harga Bayangan

Dalam melakukan analisis komparatif dalam konsep daya saing,

digunakan harga bayangan yaitu suatu harga yang lebih dekat menggambarkan

biaya imbangan terhadap masyarakat (Gittinger,1986) dan menggunakan harga

pasar untuk mengetahui keunggulan kompetitif. Untuk output yang sedang atau

55

kemungkinan untuk diimpor, harga yang dgunakan adalah c.i.f (cost insurance

freight) ditambah pengeluaran transfer (transfer payment) atau biaya tataniaga

lainnya. Harga bayangan untuk faktor produksi mencakup input sarana produksi

dan peralatan, dibedakan menjadi barang yang tradable (dapat diperdagangkan)

dan non tradable (tidak dapat diperdagangkan).

3.4.1. Penentuan Harga Bayangan Input

1) Sapi Bakalan

Sumber bibit atau bakalan sapi diperoleh dari hasil impor. Harga bayangan

bakalan yang diimpor digunakan harga c.i.f yang dikonversikan ke rupiah dengan

nilai tukar bayangan dan ditambah dengan biaya transportasi dan biaya tataniaga

lainnya (transfer payment). Perhitungan harga bayangan sapi bakalan secara

lengkap disajikan pada Lampiran 2.

2) Tenaga Kerja

Menurut Gittinger (1986), di negara berkembang umumnya tenaga kerja

ahli (terdidik) jumlahnya sedikit, upah yang ditunjukkan umumnya sudah

menunjukkan nilai marjinal tenaga kerja. Di Negara berkembang banyak

pengangguraan dan adanya peraturan upah minimum menyebabkan upah yang

dibayarkan tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya, yaitu lebih besar dari

social opportunity cost (Kadariah et al, 1978). Oleh karena itu harga bayangan

tenaga kerja haruslah lebih rendah dari tingkat upah pasarnya. Penentuan harga

bayangan tenaga kerja menggunakan pendekatan perhitungan yang dilakukan

Yudja (2001) dan Suryana (1980) dalam Emilya (2001) yaitu sebesar 80 persen

dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian.

56

3) Pakan Ternak

Hampir seluruh bahan baku penyusun konsentrat digolongkan sebagai

komponen tradable, sementara pakan hijauan digolongkan sebagai komponen non

tradable, maka penentuan harga bayangan konsentrat sama seperti penentuan

harga bayangan sapi bakalan. Sedangkan pakan hijauan diasumsikan sama dengan

harga pasar, dimana didekati dengan harga hijauan di tingkat petani yang

menggambarkan biaya produksi yang digunakan untuk menghasilkan hijauan.

Perhitungan harga bayangan pakan konsentrat disajikan pada Lampiran 3.

4) Bunga Modal

Tingkat bunga modal diperlukan dalam menghitung biaya tunai yang

dikeluarkan dalam proses produksi. Modal yang digunakan oleh petani pada

penelitian ini seluruhnya menggunakan modal sendiri. Untuk menghitung harga

bayangan bunga modal digunakan pendekatan suku bunga rill yaitu tingkat suku

bunga aktual dikurangi dengan inflasi ( 15 persen dikurangi inflasi 5,12 persen).

5) Listrik (pemeliharaan)

Biaya listrik dan air merupakan biaya yang dikeluarkan untuk

pemeliharan, karena air yang digunakan yaitu menggunakan pompa air dengan

listrik, maka biaya air dianggap sama dengan biaya listrik. Menurut Sunandar

(2006), listrik merupakan komponen non-tradeable yang masih bersubsidi,

sehingga harga bayangan listrik ditentukan dengan harga pasar ditambah dengan

besarnya subsidi listrik pada tahun 2010 yaitu sebesar 25,6 persen.

57

6) Angkutan

Biaya angkutan merupakan biaya transpotasi yang digunakan untuk

melakukan kegiatan distribusi dan pemasaran. Angkutan yang dipakai

menggunakan bahan bakar minyak yang merupakan komponen non-tradeable

yang masih bersubsidi. Serupa dengan penentuan harga bayangan listrik, harga

bayangan angkutan ditentukan dengan harga pasar ditambah dengan besarnya

subsidi BBM pada tahun 2010 yaitu sebesar 36,7 persen.

7) Administrasi Kantor, Jalan dan Prasarana

Biaya administrasi kantor, jalan dan prasarana merupakan komponen non-

tradeable maka diasumsikan mempunyai harga bayangan yang sama dengan

harga pasarnya.

8) Bangunan,Kandang dan Peralatan

Biaya pembuatan bangunan dan kandang serta biaya penyusutannya

dianggap mempunyai harga bayangan yang sama dengan harga pasarnya

(diasumsikan komponen non tradable). Sedangkan untuk penysutan peralatan

juga merupakan komponen non tradable, diasumsikan harga bayangan sama

dengan harga pasarnya.

3.4.2. Penentuan Harga Bayangan Output

1) Sapi (Output)

Sapi merupakan output yang dihasilkan dari usaha penggemukan sapi

potong. Sapi termasuk komponen tradable karena diperdangkan di pasar

internasional, maka penenentuan harga bayangan sapi serupa dengan penentuan

harga banyangan sapi bakalan yaitu digunakan harga c.i.f yang dikonversikan ke

58

rupiah dengan nilai tukar bayangan dan ditambah dengan biaya transportasi dan

biaya tataniaga lainnya (transfer payment). Perhitungan disajikan pada Lampiran

3.

3.4.3. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar

Menurut Gittinger (1986), harga bayangan nilai tukar diperoleh secara

sistematis dengan cara :

SER = OER (M + Ti) + (X – Sx) = OER/SCF

M + X

Keterangan : SER = nilai tukar harga bayangan (Rp/US$ 1) OER = nilai tukar resmi (Rp/US$ 1) X = nilai ekspor (Rp) M = nilai impor (Rp) Ti = penerimaan pemerintah dan pajak impor (Rp)

Sx = subsidi ekspor (penrimaan dari pajak ekspor dapat dianggap sebagai subsidi yang bernilai negative

Penentuan harga bayangan nilai tukar secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.

59

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Sejarah Perusahaan

PT.Widodo Makmur Perkasa merupakan salah satu perusahaan yang

bergerak dalam bidang perdagangan (trading) dan penggemukan (fattening) sapi

pedaging. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1997 di mulai di Klaten dengan

nama Koperasi Majelis Taklim Widodo Makmur. Kegiatan perusahaan pada awal

berdirinya hanya melakukan perdagangan sapi lokal yang didatangkan dari

Madura untuk kebutuhan daging di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat

khususnya Jakarta. Kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan pada tahun

pertama semakin meningkat yang ditandai dengan bertambahnya populasi sapi

yang ada sehingga dibutuhkan lahan lebih luas sebagai tempat penampungan

ternak sekaligus tempat penggemukan. Kebutuhan tersebut menjadi latar belakang

perusahaan untuk melanjutkan usaha ke kawasan Gunung Putri, Bogor, Jawa

Barat pada tahun 1999.

Sepanjang tahun 2000, kondisi pasar ternak sapi semakin membaik

dikarenakan permintaan daging sapi yang mengalami peningkatan, maka pada

tahun 2001 perusahaan melakukan ekspansi usaha di Cileungsi, Bogor, Jawa

Barat dengan kapasitas kandang 10.000 ekor. Sapi yang digemukkan adalah sapi

impor dari Australia, dikarenakan permintaan akan daging sapi impor semakin

meningkat dan sebaliknya populasi sapi bakalan lokal semakin menurun.

Berdasarkan akta notaris No. 1 tertanggal 1 April 2003 yang dibuat dihadapan

Notaris Durachman, SH, dan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak

60

Asasi Manusia tanggal 2 Juni 2003 nomor : C-12140HT.01.01.TH.2003

perusahaan berubah nama menjadi PT.Widodo Makmur Perkasa.

Peningkatan jumlah sapi impor tersebut, mendorong perusahaan

mendirikan cabang feedlot di daerah Cianjur, Jawa Barat pada tahun 2007 yang

disebut PT.Pasir Tengah dengan kapasitas kandang 12.000 ekor dan luas lahan

kurang lebih 50 ha. Anak perusahaan ini didirikan sebagai antisipasi terhadap

penyediaan ternak untuk kota Jakarta, Bandung dan sekitarnya, karena kebutuhan

daging sapi untuk konsumsi penduduk Jakarta belum terpenuhi serta

memanfaatkan peluang pasar sapi potong.

4.2. Letak Geografis Perusahaan

PT.Widodo Makmur Perkasa melakukan kegiatan usahanya di Kampung

Nyalindung Desa Mampir Rt 10/V Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, Jawa

Barat. Kantor pusat berlokasi di Ruko Cibubur Indah Blok F no.16 dengan alamat

Jalan Lapangan Tembak Jakarta TImur. Kisaran suhu di wilayah PT.Widodo

Makmur Perkasa antara 28°C-32°C dan memiliki curah hujan rata-rata setiap

tahun 1.950 mm3 . Daerah peternakan merupakan daerah perkebunan dan

persawahan yang memiliki topografi tanah yang relatif datar dengan sedikit tanah

yang berbukit-bukit dan berada di ketinggian 164 m dari permukaan laut (dpl).

Perusahaan didirikan di daerah perbukitan dengan tanah berwarna

kemerahan dan jarak rata-rata dengan pemukiman penduduk 30 meter dari lokasi

peternakan. Luas areal yang digunakan untuk peternakan adalah 30.000 m2. Batas

wilayah perusahaan adalah batas utara Desa Gandoang, batas timur Desa Situ

61

Sewu, batas selatan Desa Bojong dan batas barat Desa Dayeuh. Sejak tahun 2008,

daerah Cileungsi telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan dengan komoditas

unggulan di bidang peternakan yaitu sapi potong, dilihat dari potensi daerahnya di

wilayah Kabupaten Bogor, dan PT.Widodo Makmur Perkasa sebagai perusahaan

penggemukan sapi potong terbesar di kawasan tersebut (Gambar 4.1).

Tenjo

Gn. Sindur

Rumpin

Ciseen

gCiseeng

Parung

Tjr.

Halang Bj.

Gede

Gunung

Putri

Cileungsi

JasingaCigudeg

Sukajaya

Leuwi-

sadeng Cibung-

bulangCiam

pea

Rc.

Bungur

Kemang

Tenjo-

laya

Kota

BogorDra-

maga

Taman-

sari

Cigom-

bong

Cijeruk

Sukamakmur

Bbk.

Madang

Citeureup

Suka-

raja

Caringin

Ciawi

Ciungbu

langMg.mendung

Cisarua

Jonggol

Tanjung Sari

Klapanunggal

Sapi Potong

Keterangan:

Ciomas

Cibinong

Cariu

Pamijahan

Nanggung

Pr.

Panjang

Leuwiliang

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2011

Gambar 4.1. Peta Potensi Wilayah Pengembangan Ternak Sapi Potong di

Kabupaten Bogor

4.3. Jalur Tataniaga Perusahaan

Jalur tataniaga merupakan bagian penting dalam keberlangsungan usaha di

PT.Widodo Makmur Perkasa karena jalur tataniaga dalam proses produksi, akan

menentukan besarnya biaya produksi serta akan menentukan kualitas bahan baku

dalam hal ini yaitu sapi potong hidup. Jalur tataniaga dalam usaha penggemukan

ini dari sapi bakalan hingga sampai kepada konsumen tersaji dalam Gambar 4.2.

62

Sumber : Arsip PT.Widodo Makmur Perkasa, 2011

Gambar 4.2. Jalur Tataniaga PT.Widodo Makmur Perkasa

4.4. Manajemen Perusahaan

4.4.1. Manajemen Organisasi

Keberhasilan suatu proyek/ usaha sangat ditentukan oleh kemampuan

manajemen yang bersangkutan untuk secara professional mengelola proyek/ usaha

tersebut. Penerapan sistem manajemen yang tepat, pemilihan dan penempatan

tenaga manajerial serta tenaga professional yang tepat akan mampu menciptakan

proyek yang nantinya dapat memberikan benefit yang signifikan bagi perusahaan.

Prinsip manajemen yang diterapkan pada perusahaan PT.Widodo Makmur

Perkasa ini, pada dasarnya mengacu pada sistem manajemen modern yang

meliputi perncanaan, organisasi, pelaksanaan dan pengawasan.

4.4.2. Manajemen Tenaga Kerja

Salah satu hal penting dalam menjalankan suatu usaha adalah bagaimana

mengelola sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan sehingga pihak

manajemen perusahaan bisa menyatukan dan mengarahkan sumber daya manusia

yang ada, kearah satu tujuan yang telah ditetapkan dan sekaligus perusahaan dapat

digemukkan

Pelabuhan Tanjung Priok Karantina

PT.Widodo Makmur Perkassa

Sapi bakalan dari Australia

RPH Perusahaan Pengolahan

Daging

Konsumen Lainnya

63

memperoleh manfaat yang maksimal. Kebutuhan akan tenaga kerja ini tentunya

disesuaikan dengan pos-pos yang tersedia dan kemampuan serta keterampilan

yang dimiliki. Banyaknya tenaga kerja PT.Widodo Makmur Perkasa saat ini yaitu

berjumlah ± 42 orang tediri dari 12 orang top manajerial dan 30 orang staf biasa.

Dalam rencana pengembangan usahanya, perusahaan juga akan merekrut pegawai

baru yang akan ditempatkan di lokasi peternakan dengan jumlah sekitar 6 orang

manajer dan 30 orang staf.

4.4.3. Manajemen Pemasaran

Hal pertama yang umumnya harus dipethatikan dalam manajemen

pemasaran ini antara lain adalah pemilihan pasar, yaitu mengetahui sampai sejauh

mana permintaan dan penawaran atas produk yang dihasilkan. Sebagai kelanjutan

dari pemilihan pasar diatas adalah penentuan harga jual, sifat jasa, strategi

pemasaran yang efektif & efisien, analisa pesaing dan market share yang ada.

Selain itu perusahaan perlu menjaga mutu pelayanan dan menepati jawdal

pelayanan baik kepada supplier maupun kepada konsumen.

4.5. Struktur Organisasi

Kegiatan operasional perusahaan akan dapat berjalan dengan baik apabila

ditunjang dengan adanya pembagian tugas pada masing-masing personal.

Pembagian tugas dan fungsi tersebut diatur sesuai dengan struktur organisasi yang

dimiliki perusahaan. Melalui struktur organisasi akan membatu dalam penentuan

tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kepada siapa seseorang harus melaporkan

hasil kegiatannya.

64

Pemegang kekuasaan tertinggi pada PT.Widodo Makmur Perkasa adalah

Komisaris dan pelaksanaan kegiatan operasional dipimpin oleh Direktur Utama.

Pelaksanaan operasional di lapangan dipimpin oleh seorang Manager Farm yang

dibantu oleh seorang supervisor dalam melaksanakan tugasnya. Pembagian tugas

dan fungsi yang ada di PT.Widodo Makmur Perkasa dapat dilihat pada Gambar

4.3.

Sumber : Arsip PT.Widodo Makmur Perkasa, 2011

Gambar 4.3. Struktur Organisasi PT.Widodo Makmur Perkasa

Direktur Utama

Ir.Tumiyana

Chief Executive Officer

Bapak Nugroho

Bagian Keuangan

Bapak Marlan

Bagian Produksi

Bapak Ali Agus

Pemasaran

Indra G.

Feedmill

Ir.Ali M.

Keuangan

Sri R.

Logistik

Winanto

Feedlot

Ir.Heri

Data

Ir.Giyono

Kepala

Kandang

Mekanik

Peralatan

Staff

Pekerja

Feedmill

Keamanan

Sopir

Kondektur,

Montir

65

4.6. Kegiatan Perusahaan

4.6.1. Pemberian Pakan

Pakan yang digunakan PT.Widodo Makmur Perkasa ada dua jenis yaitu

hijauan dan konsentrat. Penentuan bahan pakan didasarkan pada kebutuhan

ternak, kandungan nutrisi bahan pakan serta memperhatikan faktor ekonomi.

Hijauan yang digunakan adalah jerami padi fermentasi sedangkan konsentrat yang

digunakan merupakan buatan sendiri. PT.Widodo Makmur Perkasa memperoleh

pakan dengan cara membeli, perusahaan mengusahakan pakan semurah mungkin

namun dengan kualitas konsentrat yang baik, dari segi kualitas maupun kuantitas

pakan. Karena pakan merupakan faktor terbesar yang berpengaruh pada faktor

produksi.

Pemberian pakan konsentrat di PT.Widodo Makmur Perkasa dilakukan

sebanyak 3 kali, yaitu pukul 09.00 WIB, 14.00 WIB dan 18.00 WIB sebanyak 6-8

kg per ekor perhari. Sedangkan pemberian jerami dilakukan 2 kali , yaitu pukul

07.00 WIB dan 13.00 WIB sebanyak 3-5 kg per ekor perhari. Pengaturan

pemberian pakan jerami dan konsentrat bertujuan untuk meningkatkan efisiensi

kecernaan bahan pakan karena pada dasarnya ternak akan mengkonsumsi pakan

dengan baik daripada diberi pakan secara sekaligus. Hal ini juga akan

meningkatkan kecernaan pakan tersebut.

4.6.2. Pemberian Air Minum

Dalam pemberian pakan, pemberian minum juga harus diperhatikan

karena air memiliki peranan yang besar bagi tubuh ternak. Pemberian air minum

pada sapi di PT.Widodo Makmur Perkasa yaitu dengan pemberian air minum

yang disediakan pada masing-masing kandang secara melimpah dan tidak

66

dibatasi. Air minum idealnya diganti sebanyak dua kali sehari, namun karena

keterbatasan tenaga kerja di PT.Widodo Makmur Perkasa maka pembersihan

tempat air minum dilaksanakan dua minggu sekali.

4.6.3. Penimbangan Sapi

Ternak yang digemukkan di PT.Widodo Makmur Perkasa diperoleh dari

Australia dengan melakukan kerja sama antara perusahaan dengan Scott, Hallen

dan South East Asian Livestock Service (SEALS) sebagai eksportir. Pembelian

dilakukan atas dasar kepercayaan antara kedua belah pihak melalui telepon,

faximile maupun e-mail dan dilakukan per kelompok. Setelah ada kesepakatan

harga maka ternak dikirim melalui kapal laut yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung

Priok. Penentuan harga didasarkan pada bobot badan ternak saat tiba di Pelabuhan

Tanjung Priok.

Penimbangan sapi yang dilakukan di PT.Widodo Makmur Perkasa

dilaksanakan setiap satu minggu sekali, baik untuk penjualan maupun untuk

mengetahui pertambahan bobot badan harian (PBBH) per minggu. Penimbangan

untuk mengetahui PBBH umumnya hanya dilakukan secara acak atau sample

diambil dari setiap pen atau dari satu pen semua, sedangkan penimbangan untuk

penjualan dilakukan per ekor. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pertambahan

bobot badan harian dan harga jual pembeli.

4.6.4. Pembersihan Feses

Pembersihan feses di PT.Widodo Makmur Perkasa dilaksanakan setiap

dua minggu sekali. Pembersihan feses juga dapat dilihat dari keadaan iklim dan

cuaca sekitarnya. Pada musim hujan lantai kandang dapat dibersihkan dari feses,

67

air urine dan sisa-sisa pakan yang terjatuh di lantai kandang sebanyak satu minggu

sekali, jika lantai kandang sudah terlihat penuh dengan feses maka segera

dibersihkan dan seterusnya.

Feses mengalir dari kandang sapi ke bagian selokan yang sudah diarahkan

ke bagian penampungan feses berupa jalan selokan yang akan ditangani kemudian

oleh para pekerja untuk diolah dan dijadikan pupuk kompos yang siap dijual.

Kemiringan lantai kandang kurang lebih 5°, agar air dan feses dapat mengalir

sendiri ke tempat penampungan feses.

4.7. Pemasaran Perusahaan

Perdagangan sapi di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya dijalankan oleh

beberapa peternak besar, salah satu diantaranya adalah PT.Widodo Makmur

Perkasa. Masing-masing peternak memiliki area pasar sendiri sesuai dengan letak

lokasi usaha masing-masing sehingga persaingan antara peternak yang satu

dengan yang lain tidak terlalu berdampak negatif. Persaingan yang ada saat ini

yaitu pada kualitas produk ternak sapi, bukan masalah harga. Karena harga satu

peternak dengan peternak lainnya relatif sama. Untuk mengatasi persaingan

tersebut perusahaan melakukan efisiensi produksi dengan tetap mmenghasilkan

ternak yang berkualitas. Orientasi pemasaran produk PT.Widodo Makmur Perkasa

yaitu pada kota-kota padat penduduk seperti Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi

ditambah wilayah lain seperti Cianjur dan sekitarnya. Permintaan pasar di daerah

tersebut tersaji pada Tabel 4.1.

68

Tabel 4.1. Permintaan Sapi di Beberapa Rumah Potong Hewan

No. Wilayah Volume

(ekor/hari)

Total

(ekor/hari)

1.

Jakarta

RPH Priok 40

298

RPH Cakung 100

RPH Pulo Gadung 80

RPH Bekasi 28

RPH Lainnya 50

2.

Bogor

RPH Good Year 70

162

RPH Leuwiliang 20

RPH Cibinong 30

RPH Cileungsi 12

RPH Lainnya 30

3.

Cianjur

RPH Jebrod 36

220 RPH Cipanas 24

RPH Sukabumi 80

RPH Subang 80

4.

Tangerang

RPH Karawaci 160

472

RPH Ps.Kemis 70

RPH Ciputat 24

RPH Reni Jaya 36

RPH Bayur 62

RPH Gondrong 40

RPH Lainnya 80

5. Tidak terdaftar di RPH

400

Total 1.552 Sumber : Arsip PT.Widodo Makmur Perkasa

Dari total kebutuhan pasar 1.552 ekor sapi potong per hari, PT.Widodo Makmur

Perkasa dapat memenuhi kebutuhan pasar sebesar rata-rata 130 ekor per hari atau

sekitar 8,4 persen.

4.8. Keragaan Sapi Bakalan yang Digunakan

Jenis sapi bakalan yang digunakan pada usaha penggemukan ini adalah

sapi bakalan impor dari Australia berjenis Brahman Cross. Pada penelitian ini,

jenis sapi yang digemukkan yaitu Brahman Cross betina dan jantan yang

memiliki keragaan yang berbeda dari segi jumlah/ volume, bobot, serta lamanya

69

penggemukkan. Jumlah sapi betina yang digemukkan pada penelitian ini

berjumlah lebih banyak dibandingkan sapi jantan yaitu sebanyak 851 ekor, hal

tersebut dikarenakan sapi betina lebih diminati oleh para trader sapi potong hidup

karena selain dapat dipotong, sapi betina juga dapat menghasilkan bibit sapi yang

dapat dikembangbiakan. Sedangkan jumlah sapi jantan yang digemukkan

sebanyak 646 ekor. Rata-rata bobot awal sapi bakalan (per ekor) pada penelitian

ini yaitu 314 kg untuk sapi betina dan 321 kg untuk sapi jantan. Pertambahan

bobot yang terjadi akibat penggemukkan yang dilakukan pada usaha ini yaitu

dengan pertambahan bobot sebesar 32,75 persen dengan lama penggemukan 90

hari untuk sapi betina dan sebesar 13,82 persen dengan lama penggemukan 58

hari untuk sapi jantan. Penggemukan yang dilakukan pada usaha ini yaitu dengan

pemeliharaan secara intensif, sehingga rata-rata bobot sapi (per ekor) yang telah

siap untuk dijual yaitu 416 kg untuk sapi betina dan 366 kg untuk sapi jantan.

70

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan

Daya saing usaha penggemukan sapi potong diukur menggunakan metode

Policy Analysis Matrix (PAM) melalui analisis keunggulan komparatif dan

kompetitif. Tabel PAM juga dapat digunakan untuk menganalisis dampak

kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong. Pada penelitian

ini, daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor ditunjukkan

oleh daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa.

Daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa

dihitung dari dua jenis sapi bakalan yang berbeda yang merupakan input produksi

peternak, yaitu sapi betina dan sapi jantan. Perbandingan daya saing usaha

penggemukan sapi potong dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan

tabel PAM sapi betina dan sapi jantan pada tahun 2010 yang merupakan tahun

setelah terjadi kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan di Indonesia.

Perhitungan daya saing usaha penggemukan sapi potong ketika terjadi kebijakan

pembatasan volume impor sapi bakalan untuk sapi betina dan sapi jantan

menggunakan biaya produksi dan penerimaan pada tahun 2010 dengan

memperhitungkan inflasi yang terjadi.

Baris pertama Tabel PAM merupakan estimasi dari keuntungan privat

yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang

mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah dan

kegagalan pasar. Adapun rekapitulasi dari perhitungan budget privat usaha

71

penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina dan

sapi jantan disajikan pada Lampiran 6 dan 7. Berdasarkan rekapitulasi pada

Lampiran tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah penerimaan privat usaha

penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina yaitu

sebesar Rp 8.208.170.012, biaya input tradable sebesar Rp 6.632.765.231, dan

biaya faktor domestik Rp 553.028.738. Oleh karena itu diperoleh keuntungan

privat sebesar Rp 1.022.376.043 yang merupakan selisih dari total penerimaan

dan total biaya (tradable dan faktor domestik). Jumlah penerimaan privat untuk

sapi jantan yaitu sebesar Rp 5.367.775.336, biaya input tradable sebesar Rp

4.466.001.370, dan biaya input domestik Rp 278.944.047. Maka keuntungan

privat yang diperoleh sebesar Rp 622.829.919.

Baris kedua merupakan estimasi keuntungan sosial atau daya saing dalam

keunggulan komparatif yang tercermin dari keuntungan sosial. Rekapitulasi dari

perhitungan budget sosial usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur

Perkasa untuk sapi jenis betina dan sapi jenis jantan tersaji pada Lampiran 3 dan

4. Berdasarkan rekapitulasi tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah penerimaan

sosial usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi

betina sebesar Rp 5.538.261.676, biaya input tradable sebesar Rp 4.898.687.144,

dan biaya input domestik sebesar Rp 499.783.650, sehingga diperoleh keuntungan

sosial sebesar Rp 599.143.026. Jumlah penerimaan sosial untuk sapi jantan yaitu

sebesar Rp 3.697.120.016, biaya input tradable sebesar Rp 3.408.355.323, dan

biaya input domestik Rp 256.238.451. Maka keuntungan privat yang diperoleh

sebesar Rp 272.547.734.

72

Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang

menggambarkan divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah. Matriks PAM

juga terdiri dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan,

kolom biaya input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan

yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Berdasarkan rekapitulasi

perhitungan budget privat dan sosial tersebut, kemudian diperoleh Tabel PAM

usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi jenis

betina dan sapi jenis jantan. Adapun hasil tabulasi dasar matriks kebijakan

pemerintah pada usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa

dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Policy Analysis Matrix (PAM) Usaha Penggemukan Sapi Potong

PT.Widodo Makmur Perkasa Tahun 2010

Uraian Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input Tradable

Faktor

Domestik

Sapi Betina

Privat 8.208.170.012 6.632.765.231 553.028.738 1.022.376.043

Sosial 5.538.261.676 4.898.687.144 499.783.650 599.143.026

Divergensi 2.669.908.336 1.734.078.087 53.245.088 423.233.017

Sapi Jantan

Privat 5.367.775.336 4.466.001.370 278.944.047 622.829.919

Sosial 3.697.120.016 3.408.355.323 256.238.451 272.547.734

Divergensi 1.670.655.321 1.057.646.047 22.705.596 350.282.185

Sumber: Data Primer, diolah (2011)

Berdasarkan Tabel 5.1, dapat dilihat bahwa usaha penggemukan sapi

potong di PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina dan sapi jantan memiliki

daya saing pada harga privat dan sosial. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai

Keuntungan Privat (Privat Provit/PP) dan Keuntungan Sosial (Social Provit/SP)

untuk sapi betina yang bernilai positif, yaitu Rp 1.022.376.043 dan Rp

599.143.026 per shipment dan untuk sapi jantan yaitu Rp 622.829.919 dan Rp

73

272.547.734 per shipment. Besar nilai PP dan SP menunjukkan besar penerimaan

yang diterima perusahaan setelah membayar semua biaya input produksi. Nilai PP

lebih besar dibanding nilai SP menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan volume

impor sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor

untuk sapi betina dan sapi jantan menguntungkan bagi perusahaan karena

perusahaan menerima keuntungan yang lebih besar dibanding keuntungan yang

seharusnya diterima ketika tidak ada kebijakan tersebut.

Divergensi atau selisih antara penerimaan privat dan sosial bernilai positif

untuk sapi betina sebesar Rp 2.669.908.336 dan sapi jantan sebesar Rp

1.670.655.321 per shipment. Hal ini dikarenakan harga privat output (sapi) untuk

sapi betina dan sapi jantan lebih besar dibanding harga sosialnya. Perbedaan harga

privat dan sosial ini diindikasikan dikarenakan adanya kebijakan pemerintah

berupa penetapan kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan. Pembatasan

tersebut menyebabkan supply sapi bakalan impor berkurang, sehingga permintaan

akan sapi bakalan domestik meningkat dan harga sapi bakalan domestik naik. Hal

ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah berupa pembatasan volume

impor sapi bakalan menguntungkan bagi perusahaan, karena penerimaan yang

diterima pada kondisi aktual lebih besar dibanding yang seharusnya diterima

ketika tidak ada kebijakan tersebut.

Divergensi atau selisih antara biaya input tradable privat dan sosial juga

bernilai positif untuk sapi betina dan sapi jantan yaitu sebesar Rp 1.734.078.087

dan Rp 1.057.646.047 per shipment. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan

74

adanya kebijakan pemerintah, usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo

Makmur Perkasa harus membayar harga lebih tinggi dari harga ekonominya.

Divergensi atau selisih antara biaya faktor domestik privat dan sosial juga

bernilai positif untuk sapi betina dan sapi jantan yaitu sebesar Rp 53.245.088 dan

Rp 22.705.596. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha penggemukan sapi potong

PT.Widodo Makmur Perkasa harus mengeluarkan biaya lebih atas faktor domestik

dibanding dengan biaya faktor domestik secara ekonomi. Alasan yang

menyebabkannya adalah adanya kebijakan mengenai Upah Minimun Regional.

5.2. Perbandingan Indikator PAM Usaha Penggemukan Sapi Potong

PT.Widodo Makmur Perkasa untuk Sapi betina dan Sapi jantan tahun

2010

Dampak kebijakan pemerintah berupa adanya pembatasan volume impor

sapi bakalan pada pertengahan tahun 2010 terhadap daya saing usaha

penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor khususnya di PT.Widodo Makmur

Perkasa untuk sapi betina dan sapi jantan dapat dilihat dari perbandingan indikator

tabel PAM untuk sapi betina dengan tabel PAM untuk sapi jantan (Tabel 5.1).

Perbandingan nilai indikator PAM kedua jenis sapi tersebut dapat dilihat pada

Tabel 5.2.

75

Tabel 5.2. Perbandingan Indikator-Indikator PAM pada Usaha

Panggemukan Sapi Potong PT.Widodo Makmur Perkasa untuk

Sapi betina dan Sapi jantan tahun 2010

No. Indikator

Nilai

Sapi betina Sapi jantan

Analisis Daya Saing

1. Keuntungan Privat (PP) 1.022.376.043 622.829.919

2. Keuntungan Sosial (SP) 599.143.026 272.547.734

3. Rasio Biaya Privat (PCR) 0,35 0,31

4. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,78 0,89

Dampak Kebijakan Pemerintah

Kebijakan Output

5. Transfer Output (TO) 2.669.908.336 1.670.655.321

6. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 1,48 1,45

Kebijakan Input

7. Transfer Input (TI) 1.734.078.087 1.057.646.047

8. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,35 1,31

9. Transfer Faktor 53.245.088 22.705.596

Kebijakan Input-Output

10. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 2,46 3,12

11. Transfer Bersih (NT) 423.233.017 350.282.185

12. Koefisien Keuntungan (PC) 1,71 2,29

13. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) 0,08 0,09

Sumber: Data Primer, diolah (2011)

Tabel 5.2 menunjukkan perbedaan dari indikator daya saing usaha

penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina dan

sapi jantan pada tahun 2010. Adanya kebijakan pembatasan volume impor sapi

bakalan mempengaruhi tingkat daya saing usaha penggemukan sapi potong di

PT.Widodo Makmur Perkasa khususnya untuk kedua jenis sapi bakalan tersebut.

5.2.1. Analisis Daya Saing

Analisis daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo

Makmur Perkasa setelah adanya kebijakan pembatasan volume impor sapi

bakalan dapat dilihat dari tingkat keunggulan kompetitif dan komparatif dari

76

usaha penggemukan sapi potong untuk kedua jenis sapi bakalan yang digunakan

tersebut. Keunggulan kompetitif dan komparatif diukur dari nilai indikator pada

PAM untuk sapi betina dan sapi jantan (Tabel 5.2). Indikator keunggulan

kompetitif antara lain Keuntungan Privat (PP) dan Rasio Biaya Privat (Privat Cost

Ratio/PCR). Keunggulan komparatif dapat diukur dari indikator Keunggulan

Sosial (SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource

Cost/DRC).

Keunggulan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo

Makmur Perkasa ditunjukkan oleh nilai Keuntungan Privat (PP) dan Rasio Biaya

Privat (PCR). Adapun nilai keuntungan privat untuk sapi betina dan jantan

bernilai positif seperti yang tercantum pada pembahasan sebelumnya. Dengan

demikian, sistem usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa

menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat.

Sementara itu, nilai PCR di PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina yaitu

0,35 dan untuk sapi jantan yaitu 0,31. Hal ini mempunyai arti bahwa untuk

mendapatkan nilai tambah ouput sebesar satu satuan pada harga privat di

PT.Widodo Makmur Perkasa, diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang

dari satu satuan yaitu sebesar 0,35 untuk sapi betina dan 0,31 untuk sapi jantan.

Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka akan semakin besar tingkat

keunggulan kompetitif yang dimiliki. Berdasarkan nilai PCR tersebut, dengan

menggunakan input berupa sapi bakalan baik sapi betina maupun sapi jantan,

sistem usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa dapat

dikatakan efisien sacara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif.

77

Keunggulan komparatif adalah salah satu indikator untuk menilai apakah

usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa memiliki daya

saing dan mampu bertahan tanpa adanya intervensi pemerintah. Keunggulan

komparatif dapat dilihat dari keuntungan sosial (SP) dan nilai Rasio Biaya

Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/DRC). Keuntungan sosial untuk

sapi betina dan jantan menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan

keuntungan privatnya. Hal ini berarti usaha penggemukan sapi potong di

PT.Widodo Makmur Perkasa lebih menguntungkan saat adanya intervensi dari

pemerintah terhadap input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Adapun

nilai DRC pada usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa

untuk sapi betina dan jantan yaitu 0,78 dan 0,89. Hal ini mengindikasikan bahwa

untuk melakukan penggemukan sapi bakalan menjadi sapi siap jual, PT.Widodo

Makmur Perkasa membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 78 persen

untuk sapi betina dan sebesar 89 persen untuk sapi jantan terhadap biaya impor

yang dibutuhkan. Dengan kata lain, usaha penggemukan sapi potong ini efisien

secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai DRC<1 menunjukkan

bahwa walaupun tanpa kebijakan atau intervensi pemerintah, usaha penggemukan

sapi potong tetap efisien untuk dilakukan.

Perbandingan antara keunggulan kompetitif dan komparatif untuk sapi

betina dan jantan pada usaha pengemukkan sapi potong di PT.Widodo Makmur

Perkasa dapat dilihat dari nilai PCR yang lebih kecil dari nilai DRC. Hal ini

berarti usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa didukung

78

oleh kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung meningkatkan efisiensi

dalam melakukan aktifitas usaha.

5.2.2. Analisis Kebijakan Pemerintah

5.2.2.1. Kebijakan Output

Kebijakan pemerintah dalam output dapat dilihat dari dua indikator yaitu

transfer output (TO) dan koefisien proteksi output nominal (Nominal Protection

Coefficient Outputs/ NPCO). Nilai transfer output yang dihasilkan pada usaha

penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina dan

jantan bernilai positif yaitu Rp 2.669.908.336 dan Rp 1.670.655.321. Hal ini

berarti masyarakat atau konsumen membeli dengan harga yang lebih tinggi dari

harga yang seharusnya dibayarkan kepada produsen. Dengan kata lain,

masyarakat memberikan insentif terhadap PT.Widodo Makmur Perkasa dengan

adanya kebijakan pemerintah.

Nilai Koefisien proteksi output nominal (NPCO) adalah rasio antara

penerimaan berdasarkan harga privat dengan permintaan berdasarkan harga sosial.

Nilai NPCO yang dihasilkan untuk sapi betina dan jantan yaitu 1,48 dan 1,45. Hal

ini berarti pemerintah memberikan proteksi pada usaha penggemukan sapi potong

PT.Widodo Makmur Perkasa dengan cara menaikkan harga output di atas harga

efisiensinya.

5.2.2.2. Kebijakan Input

Kebijakan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan output saja,

melainkan juga kebijakan yang berkaitan dengan input. Penerapakan kebijakan

berupa pembatasan volume impor sapi bakalan merupakan kebijakan yang

79

sebenarnya dilakukan pemerintah untuk melindungi produsen atau dalam hal ini

adalah peternak. Kebijakan pemerintah terhadap input produksi dapat dilihat dari

nilai transfer input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Nominal

pada Input (Nominal Protection Coefficient on Inputs/NPCI).

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai transfer input yang dihasilkan

untuk sapi betina dan jantan yaitu Rp 1.734.078.087 dan Rp 1.057.646.047. Hal

ini mengindikasikan bahwa dalam usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo

Makmur Perkasa, harga input tradable yang dikeluarkan lebih tinggi

dibandingkan dengan harga input tradable yang harus dikeluarkan pada harga

ekonomi. Dengan kata lain, harga sosial input tradable lebih rendah daripada

harga privatnya sehingga PT.Widodo Makmur Perkasa membayar input lebih

besar Rp 1.734.078.087 untuk sapi betina dan Rp 1.057.646.047 untuk sapi jantan

dari kondisi seharusnya akibat divergensi pemerintah.

Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah rasio antara biaya input

tradable berdasarkan harga privat dan biaya input tradable berdasarkan harga

sosial. Nilai NPCI yang diperoleh untuk sapi betina dan jantan adalah 1,35 dan

1,31 yang berarti pemerintah meningkatkan harga input tradable di pasar

domestik yang dihadapi PT.Widodo Makmur Perkasa di bawah harga dunia. Nilai

NPCI>1 menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap produsen input

tradable di pasar domestik. Dengan kata lain, adanya proteksi terhadap produsen

input tradable, akan berdampak kepada PT.Widodo Makmur Perkasa sebagai

sektor yang menggunakan input tersebut karena akan dirugikan dengan tingginya

biaya produksi

80

Transfer faktor (TF) adalah perbedaan harga sosial dengan harga privat

yang diterima oleh PT.Widodo Makmur Perkasa untuk pembayaran faktor

produksi domestik. Nilai TF pada penelitian ini adalah positif yaitu Rp 53.245.088

untuk sapi betina dan Rp 22.705.596 untuk sapi jantan yang menunjukkan bahwa

harga input domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga privat lebih tinggi

dibandingkan dengan biaya domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga

ekonomi. Artinya, adanya kebijakan pemerintah yang bersifat melindungi input

domestik, misalnya subsidi kepada produsen input domestik yang digunakan oleh

PT.Widodo Makmur Perkasa. Kondisi ini mengakibatkan PT.Widodo Makmur

Perkasa sebagai salah satu usaha penggemukan sapi potong harus membayar input

domestik lebih mahal dari harga sosialnya, sementara produsen input domestik

mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp 53.245.088 untuk sapi betina dan

Rp 22.705.596 untuk sapi jantan.

5.2.2.3. Kebijakan Input-Output

Analisis kebijakan Input-Output merupakan analisis gabungan antara

analisis input dan output. Analisa kebijakan input-output antara lain Koefisien

Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient/ EPC), Transfer Bersih (TB),

Koefisien keuntungan (Profitability Coefficient/ PC), dan Rasio Subsidi Produsen

(SRP).

Koefisien proteksi efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak

keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem usaha penggemukan sapi

potong di PT.Widodo Makmur Perkasa. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana

kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik.

81

Adapun nilai EPC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah lebih dari satu yaitu

2,46 untuk sapi betina dan 3,12 untuk sapi jantan yang menunjukkan bahwa

adanya proteksi pemerintah dalam sistem usaha penggemukan sapi potong.

Diindaksikan bahwa dampak kebijakan pemerintah secara tidak langsung

memberikan dukungan terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong

dengan menetapkan harga output di atas harga efisiensinya atau dengan kata lain

usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa menerima insentif

dari konsumen. Secara umum, nilai EPC lebih dari satu mengandung arti bahwa

terdapat kebijakan pemerintah terhadap harga output dan input yang efektif

melindungi usaha penggemukan sapi potong.

Transfer bersih (TB) adalah selisih antara keuntungan privat dengan

keuntungan bersih sosialnya. Nilai transfer bersih di lokasi penelitian adalah lebih

besar dari nol yaitu Rp 423.233.017 untuk sapi betina dan Rp 350.282.185 untuk

sapi jantan yang berarti adanya penambahan keuntungan untuk PT.Widodo

Makmur Perkasa yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Nilai tersebut juga

mencerminkan bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output

akan meningkatkan surplus usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur

Perkasa sebesar Rp 423.233.017 untuk sapi betina dan Rp 350.282.185 untuk sapi

jantan.

Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih

privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan

indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output,

kebijakan input asing, dan input domestik (net policy transfer). Nilai PC yang

82

dihasilkan pada penelitian ini bernilai lebih dari satu yaitu 1,71 untuk sapi betina

dan 2,29 untuk sapi jantan. Angka teresbut menunjukkan keuntungan privat yang

diterima PT.Widodo Makmur Perkasa lebih besar dari keuntungan bersih

sosialnya. Artinya kebijakan pemerintah yang ada mengakibatkan keuntungan

yang diterima lebih besar jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan.

Rasio subsidi produsen (SRP) menunjukkan proporsi penerimaan pada

harga sosial di usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa

yang dapat menutupi subsidi dan pajak sehingga melalui SRP dapat

memungkinkan membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian

bagi sistem usaha penggemukan sapi potong. Nilai SRP yang diperoleh pada

penelitian ini adalah 0,08 untuk sapi betina dan 0,09 untuk sapi jantan yang berarti

bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan usaha

penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa mengeluarkan biaya lebih

rendah 8 persen untuk sapi jenis betina dan 9 persen untuk sapi jantan dari biaya

opportunity cost untuk berproduksi. Dengan demikian, kebijakan pemerintah yang

ada secara tidak langsung menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan

daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa.

5.3. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubtitusi kelemahan metode

PAM yang bersifat statis yang hanya memberlakukan satu tingkat harga yang

sebenarnya sangat bervariatif. Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk

mengetahui bagaimana kondisi daya saing usaha penggemukan sapi potong di

PT.Widodo Makmur Perkasa apabila terjadi perubahan kebijakan pada input

83

utama yaitu sapi bakalan. Pada penelitian ini, analisis sensitivitas yang akan

diperhitungkan yaitu perubahan jumlah/volume input sapi bakalan. Hasil tabulasi

analisis sensitivitas pada matriks PAM tercantum pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Perubahan Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan

Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan Sapi Potong pada

Analisis Sensitivitas

Perubahan Indikator

PCR DRC NPCO NPCI EPC PC SRP

Sapi betina

Normal 0,35 0,78 1,48 1,35 2,46 1,71 0,08

Volume Sapi Bakalan turun 10 persen

0,26 0,49 1,48 1,35 2,08 1,60 0,11

Volume Sapi Bakalan naik 10 persen

0,54 1,93 1,48 1,35 3,96 2,16 0,05

Sapi jantan

Normal 0,31 0,89 1,45 1,31 3,12 2,29 0,09

Volume Sapi Bakalan turun 10 persen

0,21 0,44 1,45 1,31 2,23 1,80 0,12

Volume Sapi Bakalan naik 10 persen

0.56 -36,25 1,45 1,31 -71,01 -9,58 0,07

Sumber: Data Primer, diolah (2011)

5.3.1. Kebijakan Pembatasan Volume Impor Sapi Bakalan diperketat

dengan Penurunan Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen

Kebijakan pembatasan impor sapi bakalan merupakan salah satu paket

regulasi pemerintah dalam rangka mengurangi ketergantungan impor sapi bakalan

serta peningkatan pada peningkatan sumberdaya domestik. Ketika kebijakan

pembatasan volume sapi bakalan ini semakin diterapkan atau diperketat maka

jumlah/volume impor sapi bakalan akan semakin dikurangi. Hal ini sangat

mungkin terjadi untuk mendukung pencapaian PSDS 2014. Penetapan 10 persen

berdasarkan fakta bahwa dengan adanya kebijakan yang berlaku pada tahun 2010,

84

menyebabkan penurunan volume impor sapi bakalan sebesar 10 persen. Volume

sapi bakalan mengalami penurunan sebesar 10 persen yaitu 851 ekor menjadi 765

ekor untuk sapi betina dan 646 ekor menjadi 581 ekor untuk sapi jantan. Tabulasi

PAM untuk analisis sensitivitas yaitu dengan penurunan volume input sapi

bakalan sebesar 10 persen disajikan pada Tabel 5.4.

Table 5.4. Tabulasi PAM dengan Penurunan Volume Input Sapi Bakalan 10

persen

Uraian Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input Tradable

Faktor

Domestik

Sapi betina

Privat 8.208.170.012 6.083.307.958 553.028.738 1.571.833.316

Sosial 5.538.261.676 4.518.262.710 499.783.650 979.567.460

Divergensi 2.669.908.336 1.565.045.248 53.245.088 592.265.856

Sapi jantan

Privat 5.367.775.336 4.066.202.233 278.944.047 1.022.629.056

Sosial 3.697.120.016 3.112.521.860 256.238.451 568.381.198

Divergensi 1.670.655.321 953.680.373 22.705.596 454.247.859

Sumber: Data Primer. diolah (2011)

Analisis sensitivitas ini mengakibatkan daya saing usaha penggemukan

sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa mengalami sedikit perubahan pada

tingkat keuntungan baik keuntungan privat maupun sosial untuk masing-masing

jenis. Namun perubahan penurunan harga sapi bakalan ini justru meningkatkan

daya saing usaha dari segi keunggulan komparatif maupun kompetitifnya

dibandingkan dengan kondisi normal. Hal ini tercermin dari nilai PCR yang

semakin kecil yaitu 0. 26 untuk sapi betina dan 0.21 untuk sapi jantan (Tabel 5.3).

Sedangkan nilai DRC yang diperoleh juga semakin kecil yaitu 0.49 untuk sapi

betina dan 0.44 untuk sapi jantan.

85

Analisis efisiensi dengan skenario penurunan volume input sapi bakalan

sebesar 10 persen ini ternyata mendapatkan hasil tingkat daya saing yang paling

tinggi dibandingkan dengan skenario sensitivitas lainnya dan kondisi normal. Hal

ini ditunjukkan dengan nilai PCR yang paling kecil yang berarti bahwa semakin

kecil nilai PCR maka semakin tinggi tingkat keuntungan kompetitif. Sedangkan

nilai DRC yang diperoleh juga menunjukkan nilai yang semakin kurang dari satu

yang berarti usaha menjadi semakin efisien dan memiliki keunggulan komparatif.

Nilai PCR dan DRC yang tercermin diperoleh dari kedua jenis sapi. Berdasarkan

fakta menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan

cukup efektif diterapkan pada usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo

Makmur Perkasa dan diharapkan juga berdampak secara merata bagi usaha

penggemukan sapi potong lainnya di Indonesia.

5.3.2. Kebijakan Pembatasan Volume Impor Sapi Bakalan diperlonggar

dengan Peningkatan Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen

Kebijakan pembatasan impor sapi bakalan diharapkan dapat mengurangi

ketergantungan akan impor sapi bakalan. Namun. regulasi ini juga terkadang

menjadi dilematis apabila terjadi peningkatan permintaan dalam negeri akan sapi

potong untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi sementara sumberdaya domestik

secara nyata belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan tersebut.

Oleh karena itu. analisis sensitivitas ini menunjukkan kondisi apabila kebijakan

pembatasan impor sapi bakalan diperlonggar dan terjadi peningkatan volume

impor sapi bakalan. Penetapan 10 persen berdasarkan bahwa ketika kebijakan

pembatasan volume impor sapi bakalan belum diberlakukan. Indonesia mampu

melakukan impor sebesar 10 persen di atas volume setelah terjadinya kebijakan.

86

Volume sapi bakalan mengalami peningkatan sebesar 10 persen yaitu 851 ekor

menjadi 936 ekor untuk sapi betina dan 646 ekor menjadi 710 ekor untuk sapi

jantan. Tabulasi PAM untuk analisis sensitivitas yaitu dengan peningkatan volume

input sapi bakalan sebesar 10 persen disajikan pada Tabel 5.5.

Table 5.5. Tabulasi PAM dengan Peningkatan Volume Input Sapi Bakalan

10 persen

Uraian Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input Tradable

Faktor

Domestik

Sapi betina

Privat 8.208.170.012 7.182.222.504 553.028.738 472.918.770

Sosial 5.538.261.676 5.279.111.578 499.783.650 218.718.591

Divergensi 2.669.908.336 1.903.110.926 53.245.088 254.200.179

Sapi jantan

Privat 5.367.775.336 4.865.800.507 278.944.047 223.030.782

Sosial 3.697.120.016 3.704.188.786 256.238.451 -23.285.729

Divergensi 1.670.655.321 1.161.611.721 22.705.596 246.316.511

Sumber: Data Primer. diolah (2011).

Analisis sensitivitas ini mengakibatkan daya saing usaha penggemukan

sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa mengalami perubahan yang

diakibatkan oleh perubahan pada tingkat keuntungan sosial sapi jantan bernilai

negatif yaitu Rp 23.285.729 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan volume

input sapi bakalan sebesar 10 persen maka usaha akan mengalami kerugian pada

tingkat harga sosial untuk sapi jantan .Perubahan peningkatan volume input sapi

bakalan ini mengakibatkan usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur

Perkasa tidak memiliki daya saing usaha dari segi keunggulan komparatif untuk

sapi jantan. walaupun masih memiliki keunggulan dari segi keunggulan

kompetitif dibandingkan dengan kondisi normal. Hal ini tercermin dari nilai PCR

yaitu 0.54 untuk sapi betina dan 0.56 untuk sapi jantan . Sedangkan nilai DRC

yang diperoleh lyaitu 1.93 untuk sapi betina dan -36.25 untuk sapi jantan.

87

Perubahan yang cukup signifikan dibandingkan pada kondisi normal (Tabel 5.3).

Artinya. kebijakan ini menghasilkan usaha penggemukan sapi potong yang tidak

efisien secara ekonomi dan tidak memiliki keunggulan komparatif.

88

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor yang

diwakili oleh PT.Widodo Makmur Perkasa dapat dilihat dari analisis

keunggulan kompetitif dan komparatifnya. Indikator analisis keunggulan

kompetitif terdiri dari analisis keuntungan privat (Privat Profit / PP) dan

Rasio Biaya Privat (Privat Cost Benefit / PCR). Nilai keuntungan privat

bernilai positif menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong

PT.Widodo Makmur Perkasa memperoleh profit di atas normal sedangkan

nilai PCR menunjukkan nilai yang kurang dari satu. Hal ini menunjukkan

usaha ini efisien secara privat dan memiliki keunggulan kompetitif. Analisis

keungguluan komparatif terdiri dari analisis keuntungan sosial (Social

Profit/SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource

Cost/DRC). Nilai keuntungan sosial bernilai positif, sedangkan nilai DRC

yang dihasilkan kurang dari satu, hal ini menunjukkan bahwa usaha

penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa efisien secara

ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai PCR dan DRC yang

tercermin diperoleh dari kedua jenis sapi bakalan yang diproduksi.

2. Pengaruh adanya kebijakan pemerintah berupa pembatasan impor sapi bakalan

secara tidak langsung meningkatkan tingkat efisiensi yang berdampak pada

peningkatan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor

89

yang diwakili oleh PT.Widodo Makmur Perkasa. Kebijakan ini menyebabkan

PT.Widodo Makmur Perkasa mengeluarkan biaya lebih rendah dari

opportunity cost untuk berproduksi. menetapkan harga output di atas harga

efisiensinya, serta meningkatkan surplus usaha. Hal ini sesuai dengan hasil

analisis sensitivitas dengan skenario penurunan volume sapi bakalan, dimana

ketika kebijakan pembatasan impor sapi bakalan semakin diperketat maka

tingkat daya saingnya semakin meningkat.

6.2. Saran

1. Kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan terbukti sangat

mempengaruhi daya saing usaha penggemukan sapi potong. Namun dengan

adanya kebijakan ini justru meningkatkan daya saing usaha penggemukan sapi

potong dalam negeri. Kebijakan ini diharapkan disikapi dengan positif oleh

peternak sapi potong di Indonesia dengan cara meningkatkan efisiensi dalam

berproduksi serta mensubtitusi input yang masih bergantung dari impor

dengan penggunaan sumberdaya lokal.

2. Dengan adanya kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan, dari sisi

pemerintah juga diharapkan mengimbanginya dengan kebijakan lain yaitu

dengan adanya upaya nyata dalam hal pengembangan peternakan lokal yang

terpadu. Adapun upaya yang dilakukan yaitu melalui peningkatan populasi

dan produktivitas ternak sapi yang secara komprehensif mengarah kepada

pemberdayaan sumberdaya lokal dan secara sinergi melibatkan peran swasta

dan masyarakat. Hal ini diharapkan dapat menuju tercapainya peningkatan

ketersediaan daging sapi produksi lokal yang optimal dan berkelanjutan

90

seperti tujuan utama Kegiatan Prioritas Pencapaian Swasembada Daging Sapi

Tahun 2014 (PSDS 2014) yaitu kegiatan ini diharapkan tidak hanya

memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional namun juga

peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak serta memberikan

kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional.

91

DAFTAR PUSTAKA

[APFINDO] Asosiasi Pengusaha Feedlot Indonesia. 2011. Realisasi Impor Sapi

Bakalan. Sekretariat APFINDO. Jakarta.

Aliyatillah. F. M. 2009. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah

Terhadap Komoditi Kakao [skripsi]. Departemen Agribisnis. Fakultas

Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2010. Tabel Impor dan Ekspor menurut Bulan Tahun 2010

.Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Daryanto. A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor.

. 2009. Swasembada Daging Sapi di Indonesia: Kinerja. Kendala dan

Strategi. Didalam : Rakorteknas Direktorat Jenderal Peternakan. Bandung 9

Desember 2009.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Buku Statistik Peternakan 2008. Direktorat

Jenderal Peternakan. Jakarta.

. 2010. Buku Statistik Peternakan 2010.

Direktorat Jenderal Peternakan .Jakarta.

. 2010. Blue Print Kegiatan Prioritas

Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014. Direktorat Jenderal

Peternakan. Jakarta.

. 2010. Perkembangan Volume Impor Daging

Sapi 2004-2010. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta

. 2010. Volume dan Nilai Impor menurut Kode

HS 01 s/d 25 Januari-Oktober 2010. Direktorat Jenderal Peternakan.

Jakarta.

Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2010. Buku Data Potensi

Peternakan Kabupaten Bogor 2010. Dinas Peternakan dan Perikanan

Kabupaten Bogor. Bogor.

92

Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2010. Perkembangan Produksi Daging

Impor Jawa Barat 2004-2009. www.disnak.jabarprov.go.id [13 Maret

2011].

Emilya. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Serta Dampak

Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Komoditas Tanaman Pangan

Propinsi Riau. [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gittinger. J. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi Kedua.

Diterjemahkan oleh Sutomo dan Mangiri. Universitas Indonesia Press.

Jakarta.

Kadariah. L. Karlina. C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Kuraisin. V. 2006. Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan Kebijakan

Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Kasus di Desa Tajurhalang.

Kecamatan Cijeruk. Kabupaten Bogor) [skripsi]. Departemen Ekonomi

Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Mudrajad. K. 2005. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif.

Erlangga, Jakarta.

Monke. and Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural

Development. Cornel University Press, New York.

Murtidjo. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.

Nefri. J. 2000. Optimalisasi dan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong.

[tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Novianti, T. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing

Komoditas Unggulan Sayuran [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pearson. S.. C. Goscth.. S. Bahri 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix Pada

Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Rivai. A. 2009. Analisis Kelayakan Usaha Penggemukan Sapi Potong (Fattening)

pada PT.Zagrotech Dafa International (ZDI) Kecamatan Ciampea

Kabupaten Bogor [skripsi]. Program Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan

93

Khusus Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Salvatore. D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta.

Sarwono. B. 2003. Penggemukan Sapi Potong secara Cepat. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Sudaryanto. T.. dan P. Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis :

Suatu Catatan Kerangka Analitis. Didalam: Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Sugeng Y B. 2000. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sunandar. 2006. Keunggulan Komparatif Usahaternak Sapi Potong di Kabupaten

Gunung Kidul. Didalam: Agros Vol.8 Nomer 1. Januari 2006: 43-46. BPTP,

Jawa Barat

Tawaf. R. 2009. Dampak Impor Daging Sapi dari Australia terhadap Bisnis

Feedlot di Indonesia. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.

94

LAMPIRANLAMPIRANLAMPIRANLAMPIRAN

95

Lampiran 1. Alokasi Komponen Domestik-Asing

Jenis Fisik Alokasi Komponen

Domestik Asing

Input

Sapi bakalan betina / jantan 100%

Pakan

Konsentrat 100%

Rumput 100%

Jerami 100%

Angkutan 100%

tenaga kerja 100%

penyusutan bangunan 100%

penyusutan peralatan 100%

bunga bank 100%

listrik(pemeliharaan) 100%

administrasi kantor 100%

jalan&prasarana 100%

Output Sapi 100%

96

Lampiran 2. Penentuan Harga Bayangan Sapi Bakalan

No. Keterangan sapi bakalan

1 FOB ($/kg) 0.23

2 Freight and Insurance ($/kg) 0.02

3 CIF Indonesia ($/kg) 0.25

4 Nilai Tukar ($/USD) 9.034

5 Premium Nilai Tukar (%) 99.56%

6 Nilai Tukar Equilibrium (Rp/$) 9.074

7 CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) 2.290.91

8 Biaya retribusi (Rp/kg) 4.582.55

9 Biaya karantina (Rp/kg) 262.31

10 Biaya penanganan (Rp/kg) 293.48

11 Pajak (Rp/kg) 642.00

12 Nilai sebelum proses (rp/kg) 8.071.25

13 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 13.851.59

14 Biaya distribusi ke tingkat peternak (Rp/kg) : 386.92

15 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 14.238.51

Sumber : Data Primer. 2011 (diolah)

Lampiran 3. Penentuan Harga Bayangan Sapi

No. Keterangan Sapi

1 FOB ($/kg) 0.21

2 Freight and Insurance ($/kg) 0.02

3 CIF Indonesia ($/kg) 0.23

4 Nilai Tukar ($/USD) 9.034

5 Premium Nilai Tukar (%) 99.56%

6 Nilai Tukar Equilibrium (Rp/$) 9.074

7 CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) 2.095.24

8 Biaya retribusi (Rp/kg) 5.250.00

9 Biaya karantina (Rp/kg) 275.94

10 Biaya penanganan (Rp/kg) 300.00

11 Pajak (Rp/kg) 750.00

12 Nilai sebelum proses (rp/kg) 8.671.18

13 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 15.247.12

14 Biaya distribusi ke tingkat peternak (Rp/kg) : 386.92

15 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 15.634.03

Sumber : Data Primer. 2011 (diolah)

97

Lampiran 4. Penentuan Harga Bayangan Pakan Konsentrat

No. Keterangan Konsentrat

1 FOB ($/kg) 0.09

2 Freight and Insurance ($/kg) 0.01

3 CIF Indonesia ($/kg) 0.10

4 Nilai Tukar ($/USD) 9.034

5 Premium Nilai Tukar (%) 99.56%

6 Nilai Tukar Equilibrium (Rp/$) 9.074

7 CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) 935.56

8 Biaya retribusi (Rp/kg) 182.55

9 Biaya penanganan (Rp/kg) 100.00

10 Pajak (Rp/kg) 42.00

11 Nilai sebelum proses (rp/kg) 1.260.11

12 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 1.584.66

13 Biaya distribusi ke tingkat peternak (Rp/kg) : 50.00

14 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 1.634.66

Sumber : Data Primer. 2011 (diolah)

Keterangan Sumber Penentuan Harga Bayangan :

No. Uraian

1 Direktorat Jenderal Peternakan 2011

2 10% dari harga FOB untuk barang dari Australia

4 berdasarkan nilai tukar rata rata tahun 2010

5 perhitungan SCF berdasarkan data BPS tahun 2010

6 perhitungan SER berdasarkan data BPS tahun 2010 dan nilai tukar tanggal 28 Juli 2010

8 keterangan PT.Widodo Makmur

9 keterangan PT.Widodo Makmur

10 keterangan PT.Widodo Makmur

11 keterangan PT.Widodo Makmur

98

Lampiran 5. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar

Uraian Jumlah (Rp)

Total Ekspor (Xt) 1425376420747980.00

Total Impor (Mt) 1225582108089630.00

Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) 5454000000000.00

Penerimaan Pajak Impor (TMt) 17107000000000.00

Nilai Tukar Rupiah/USD (OERt) 9034.00 Sumber : Badan Pusat Statistik. 2010

Nilai tukar : http://www.exchange-rates.org/Rate/USD/IDR/7-28-2010 [28 Juli 2010]

SCFt = Xt + Mt SERt = OERt

(Xt-TXt) + (Mt+TMt) SCFt

SCFt = 99.56% SERt = 9074

Keterangan:

StCF= Standart Convertion Factor/ premium nilai tukar (%)

SER t= Nilai tukar bayangan /equilibrium (Rp/$)

OER t= Nilai tukar resmi (Rp/$)

99

Lampiran 6. Alokasi Budget Usaha Penggemukan Sapi untuk Sapi betina

Jenis Fisik Satuan Harga

privat

Harga

Sosial Budget privat Budget sosial

input

tradable Sapi bakalan betina Rp/kg

20.565

14.238.51

5.494.572.731

3.804.244.342

Konsentrat Rp/kg

1.700

1.634.66

1.138.192.500

1.094.442.802

Input

non-

tradable Rumput Rp/kg

300

300

31.253.400

31.253.400

Jerami Rp/kg

150

150

20.235.600

20.235.600

Angkutan Rp/ekor

60.000

82.020

51.060.000

69.799.020

tenaga kerja Rp/HOK

35.000

28.000

68.906.250

55.125.000

penyusutan bangunan Rp

47.357.209

47.357.209

47.357.209

47.357.209

penyusutan peralatan Rp

40.431.506

40.431.506

40.431.506

40.431.506

bunga bank Rp

203.223.942

133.856.836

203.223.942

133.856.836

listrik(pemeliharaan) Rp

43.610.340

54.774.587

43.610.340

54.774.587

administrasi kantor Rp

5.849.155

5.849.155

5.849.155

5.849.155

jalan&prasarana Rp

41.101.336

41.101.336

41.101.336

41.101.336

Output Sapi Rp

23.171

15.634.03

8.208.170.012

5.538.261.676

Sumber : Data Primer. 2011 (diolah)

100

Lampiran 7. Alokasi Budget Usaha Penggemukan Sapi untuk Sapi jantan

Jenis Fisik Satuan Harga

privat

Harga

sosial Budget privat Budget sosial

input

tradable

Sapi bakalan

jantan Rp/kg

19.242

14.238.51

3.997.991.370

2.958.334.632

Konsentrat Rp/kg

1.700

1.634.66

468.010.000

450.020.691

Input

non-

tradable Rumput Rp/kg

300

300

15.992.100

15.992.100

Jerami Rp/kg

150

150

12.955.650

12.955.650

Angkutan Rp/ekor

60.000

82.020

38.760.000

52.984.920

tenaga kerja Rp/HOK

35.000

28.000

44.406.250

35.525.000

penyusutan

bangunan Rp

18.994.837

18.994.837

18.994.837

18.994.837

penyusutan

peralatan Rp

16.216.958

16.216.958

16.216.958

16.216.958

bunga bank Rp

95.294.570

62.767.357

95.294.570

62.767.357

listrik(pemeliha

raan) Rp

17.491.979

21.969.926

17.491.979

21.969.926

administrasi

kantor Rp

2.346.079

2.346.079

2.346.079

2.346.079

jalan&prasaran

a Rp

16.485.625

16.485.625

16.485.625

16.485.625

Output Sapi Rp

22.699

15.634.03

5.367.775.336

3.697.120.016

Sumber : Data Primer. 2011 (diolah)