Analisis Agitasi, Retorika Dan Propaganda Politik
-
Upload
tomy-satria-wardhana -
Category
Documents
-
view
1.641 -
download
15
Transcript of Analisis Agitasi, Retorika Dan Propaganda Politik
TUGAS
ANALISIS AGITASI, RETORIKA DAN PROPAGANDA POLITIK
(Disusun sebagai Tugas pada Mata Kuliah JURNALISTIK POLITIK)
Dosen : Bpk Dr. Mohammad Nasih
Disusun Oleh:
Tomy Satria Wardhana
NPM : 2011130007
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2013
Perkembangan jurnalistik dimulai dari perkembangan jurnalistik sebagai pengetahuan
kemasyarakatan dalam bidang pernyataan antar manusia. Namun, gejala dan masalah-masalah jauh
sebelum itu sudah terlihat. Berdasarkan pada sifat manusia yang selalu berusaha menghubungkan diri dan
mencari hubungan dengan sesama serta lingkungannya, menunjukkan bahwa karya jurnalistik itu
mempunyai usia yang sama dengan umur manusia itu sendiri.
Adapun usaha untuk melaksanakan hubungan antar manusia diantaranya adalah saling
menyatakan atau menyiarkan dan saling menerima gerak kehendak serta cipta rasanya masing-masing
hingga dalam perkembangan peradabannya timbul berbagai macam pengetahuan, seperti ilmu retorika,
ilmu tulis menulis, karang mengarang, penerangan, propaganda, reklame dan agitasi, ilmu gerak-gerik
atau isyarat manusia, dan seni drama.
Demikian pula dalam bidang perkakas maupun alat-alat untuk kepentingan usaha tersebut, kita
lalu mengenal ilmu-ilmu kejurusan teknik dalam hal telepon, radio, film, dan televisi. Dengan adanya
alat-alat yang dipergunakan untuk keperluan usaha manusia dalam hal pernyataannya itu, sebagai
akibatnya maka timbul pula ilmu pendapat umum.
Perkembangan serta pertumbuhan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut menggambarkan
perkembangan dan kemajuan keperluan manusia terhadap hubungan dan pengertian satu sama lainnya,
atau terhadap rasa dan kesadaran bermasyarakat. Gairah untuk menyatakan dan/ menyiarkan gerak
kehendak serta isi hati nurani kepada sesamanya, serta gairah untuk mengetahui isi hati sesamanya adalah
ciri-ciri asasi manusia dalam hidup bermasyarakat.
Politik bahasa di Indonesia menjadi kepanjangan tangan dari rezim orde baru. politik bahasa
terkadang dijadikan agenda dan ideologi kehidupan bernegara. penetapan bahasa Indonesia yang baik dan
benar pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kedudukan dan fungsi bahasa daerah asing Indonesia, ejaan
bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD), pedoman umum pembentukan istilah. Tata bahasa baku
bahasa Indonesia, peristilahan Indonesia (asing ke Indonesia, baku ke tidak baku) oleh pusat pembinaan
dan pengembangan bahasa yang ‘notabene’ organ pemerintahan merupakan contoh pembentukan politik
bahasa Indonesia. menurut Ariel Heryanto dalam bukunya “Bahasa dan Kuasa adalah tatapan
postmodernisme dalam bahasa dan kekuasaan”, bahasa Indonesia pada hakikatnya merupakan komoditas
industrial. bahasa tidak lahir dan tumbuh dari dinamika umum masyarakat, tetapi merupakan produk
rekayasa para professional yang dirancang untuk dipasarkan secara massal. bahasa bukan lagi menjadi
bahasa ibu maupun sebagai bahasa yang telah berkembang luas dan menjadi penghantar berkomunikasi
antar dan inter komunitas melainkan menjadi komuditas yang bersumber pada keputusan para pejabat
pembinaan dan pengembangan bahasa.
Politisasi bahasa yang paling terlihat dan sering dipergunakan oleh penguasa dan masyarakat
adalah penjulukan atau labeling. Pola semacam ini juga berlaku pada era orde baru dimana kita kerap
mendengar istilah-istilah ekstrim kanan, ekstrim kiri, anti pancasila, subversive, anti pembangunan,
provokator, OTB, GPK. Selain labeling muncul pula berbagai gaya bahasa seperti eufimisme atau
dihalus-haluskan, puferistis atau sarkastis (dikasar-kasarkan), bombastis (dibesar-besarkan), vulgarristis
(dijijik-jijikkan), feodalistis atau stratifikatif dan juga sloganistis dijadikan gaya bahasa pemerintah Orde
baru dalam Reformasi Pembangunan. counter yang dilakukan oleh masyarakat kemudian menghasilkan
plesetan bahasa seperti, Supersemar (Soeharto persis seperti Marcos), RCTI (Ratu cendana Titip
Investasi) SDSB (Soeharto Dalang Segala Bencana), KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), BJ Habibie
(bicara jago, habis bicara bingung), Akbar Tanjung (Akhirnya Bubar Tanpa Ujung). Keduanya
merupakan contoh bahasa politik yang berlaku di Indonesia sekaligus respon yang muncul dari
masyarakat. Muncul istilah-istilah yang secara makna dikudeta oleh para penguasa orde baru telah
mengubah pandangan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang menjadi subjek bahasa.
Bahasa politik merupakan bahasa yang dipergunakan oleh para elit birokrasi guna menyampaikan
kepentingan dalam kekuasaannya. Menurut Virginia Matheson Hooker dalam bukunya “Bahasa dan
Pergeseran Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru” menyebutkan ciri bahasa politik yaitu :
terjadinya politisasi makna atas bahasa-bahasa yang dipergunakannya, terjadi penghalusan makna dalam
bentuk eufimisme atau ungkapan halus dari bahasa yang dalam terminologi Mochtar Lubis sebagai
sebuah penyempitan makna serta memunculkan citra positif terhadap penguasa dengan menyembunyikan
kenyataan yang menyakitkan, terjadinya bentuk-bentuk bahasa propaganda dalam rangka meyakinkan
pihak lain, terutama masyarakat. propaganda yang paling berani adalah menggunakan bahasa agitasi dan
bahasa rumor (tidak jelas sumbernya) untuk mencegah gejolak social.
Istilah agitasi, propaganda, dan retorika atau orang-orang sering menyebutnya ARETOP (Agitasi,
Retorika dan Propaganda) adalah bagian dari cara berkomunikasi. Sebetulnya ada banyak cara
berkomunikasi lainya seperti penerangan, jurnalistik, humas, publisitas, pameran, dll. Seperti apa yang
menjadi tujuan umum dari komunikasi maka ARETOP ditujukan juga untuk mengubah sikap, pendapat,
dan perilaku orang lain seperti yang diharapkan oleh komunikator (pengirim pesan) atau jurnalis.
Karena terkait masalah perilaku individu dalam situasi sosial, ARETOP tidak lepas dari masalah
psikologi sosial. ARETOP akan menjadi efektif apabila disertai dengan pemahaman atas faktor-faktor
internal maupun eksternal yang mempengaruhi sikap, maupun perilaku individu maupun kelompok.
Faktor internal seperti kepribadian, sistem nilai, motivasi, serta sikap terhadap sesuatu yang ada
disekitarnya, sedangkan secara eksternal dipengaruhi oleh sistem nilai yang hidup ditengah masyarakat,
kondisi lingkungan alam, tata ruang dan kondisi sosial ekonomi. ARETOP menjadi penting bagi
organisasi masyarakat (ormas) maupun partai politik (parpol) hingga perusahaan komersial sekalipun
karena menyangkut upaya-upaya untuk mecapai kemenangan maupun mempengaruhi sikap, pendapat
maupun perilaku dari pihak-pihak lain baik itu pihak musuh (politik, ideologi, saingan bisnis), pihak
netral maupun kawan. Bagi ormas atau Parpol, aliran dari ARETOP ditujukan bagi sasaran pencapaian ke
arah cita-cita perubahan sosial dari ideologi ormas, atau parpol yang bersangkutan.
Seorang Komunikator (agitator, propagandator, ataupun orator) yang baik, setidak-tidaknya harus
mengerti unsur-unsur dasar komunikasi.
AGITASI
Dalam makna denotatifnya, agitasi berarti hasutan kepada orang banyak untuk
mengadakan huru-hara, pemberontakan dan lain sebagainya. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh
tokoh/aktivis partai politik, ormas dan lain sebagainya dalam sesi pidato maupun tulisan. Dalam praktek,
dikarenakan kegiatan agitasi yang cenderung “menghasut” maka seringkali disebut sebagai kegiatan
“provokasi” atau sebagai perbuatan untuk membangkitkan kemarahan. Bentuk agitasi sebetulnya bisa
dilakukan secara individual maupun dalam basis kelompok (massa).
Beberapa perilaku kolektif yang dapat dijadikan sebagai pemicu dalam proses agitasi adalah :
1. Perbedaan kepentingan, seperti misalnya isu SARA (Suku, Agama, Ras). Perbedaan
kepentingan ini bisa menjadi titik awal keresahan masyarakat yang dapat dipicu dalam proses agitasi.
2. Ketegangan sosial, ketegangan sosial biasanya timbul sebagai pertentangan antar
kelompok baik wilayah, antar suku, agama, maupun pertentangan antara pemerintah dengan rakyat.
3. Tumbuh dan menyebarnya keyakinan untuk melakukan aksi, ketika kelompok merasa
dirugikan oleh kelompok lainya, memungkinkan timbul dendam kesumat dalam dirinya. Hal ini bisa
menimbulkan keyakinan untuk dapat melakukan suatu aksi bersama.
Dalam politik, ketiga perilaku kolektif diatas akan menjadi ledakan sosial apabila ada
faktor penggerak (provokator)nya. Misalnya ketidakpuasan rakyat kecil terhadap kebijakan pemerintah
yang tidak memihak kepada mereka juga bisa menjadi sebuah alat pemicu yang efektif untuk
mendongkrak sebuah rezim. Dalam tahap selanjutnya, mobilisasi massa akan terbentuk apabila ledakan
sosial yang muncul dapat memancing solidaritas massa. Hingga pada pertambahan tertentu bisa
memunculkan kondisi tidak teratur.
Dalam proses agitasi pemahaman perilaku massa menjadi penting. Agar agitasi dapat dilakukan
secara efektif maka perlu diperhatikan sifat orang-orang dalam kelompok(massa) seperti; massa yang
cenderung tidak rasional, mudah tersugesti, emosional, lebih berani mengambil resiko, tidak bermoral.
Kemampuan seorang agitator untuk mengontrol emosi massa menjadi kunci dari keberhasilan proses
agitasi massa. Sedangkan pendekatan hubungan interpersonal merupakan kunci sukses dalam agitasi
individu.
PROPAGANDA
Propaganda sendiri berarti penerangan (paham, pendapat, dsb) yang benar atau salah yang
dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang lain agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah
tindakan tertentu. Kegiatan propaganda ini banyak dipakai oleh berbagai macam organisasi baik itu
orgnisasi massa, parpol, hingga perusahaan yang berorientasi profit sekalipun baik kepada kawan, lawan
maupun pihak netral. Propaganda juga merupakan inti dari kegiatan perang urat syaraf (nerve warfare)
baik itu berupa perang ideologi, politik, ide, kata-kata, kecerdasan, dll.
Kegiatan propaganda menurut bentuknya seringkali digolongkan dalam dua jenis, yaitu
propaganda terbuka dan tertutup. Propaganda terbuka ini dilakukan dengan mengungkapkan sumber,
kegiatan dan tujuannya secara terbuka. Sebaliknya, propaganda tertutup dilakukan dengan
menyembunyikan sumber kegiatan dan tujuannya.
Para pakar organisasi menggolongkan 3(tiga) jenis model propaganda. Menurut William E
Daugherty, ada 3(tiga) jenis propaganda :
1. Propaganda putih (white propaganda ), yaitu propaganda yang diketahui
sumbernya secara jelas, atau sering disebut sebagai propaganda terbuka. Misalnya propaganda
secara terang-terangan melalui media massa. Biasanya propaganda terbuka ini juga dibalas
dengan propaganda dari pihak lainya (counter propaganda).
2. Propaganda Hitam (black propaganda), yaitu propaganda yang menyebutkan
sumbernya tapi bukan sumber yang sebenarnya. Sifatnya terselubung sehingga alamat yang dituju
sebagai sumbernya tidak jelas.
3. Propaganda abu-abu (gray propaganda), yaitu propaganda yang mengaburkan
proses indentifikasi sumbernya. Penerbit Harcourt, Brace and Company menyebarkan publikasi
berjudul The Fine Art of Propaganda atau yang sering disebut sebagai the Device of Propaganda
(muslihat propaganda) yang terdiri dari 7 (tujuh) jenis propaganda.
4. Penggunaan nama ejekan, yaitu memberikan nama-nama ejekan kepada suatu
ide, kepercayaan, jabatan, kelompok bangsa, ras dll, agar khalayak menolak atau mencercanya
tanpa mengkaji kebenaranya.
5. Penggunaan kata-kata muluk, yaitu memberikan istilah muluk dengan tujuan agar
khalayak menerima dan menyetujuinya tanpa upaya memeriksa kebenaranya.
6. Pengalihan, yaitu dengan menggunakan otoritas atau prestise yang mengandung
nilai kehormatan yang dialihkan kepada sesuatu agar khalayak menerimanya.
7. Pengutipan, yaitu dilakukan dengan cara mengutip kata-kata orang terkenal
mengenai baik tidaknya suatu ide atau produk, dengan tujuan agar publik mengikutinya.
8. Perendahan diri, yaitu teknik propaganda untuk memikat simpati khalayak
dengan meyakinkan bahwa seseorang dan gagasannya itu baik.
9. Pemalsuan, yaitu dilakukan dengan cara menutup-nutupi hal-hal yang faktual
atau sesungguhnya dengan mengemukakan bukti bukti palsu sehingga khalayak terkecoh.
10. Hura-hura, yaitu propaganda dengan melakukan ajakan khalayak secara beramai-
ramai menyetujui suatu gagasan atau program dengan terlebih dahulu meyakinkan bahwa yang
lainya telah menyetujui. Seperti halnya komunikasi lainya maka ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan propaganda, diantaranya:
a. Siapa yang dijadikan sasaran propaganda, kawan, lawan, atau pihak netral?
b. Media apa yang akan dipergunakan, surat kabar, radio, majalah, televisi, sms, buku, film,
pamlet, poster dll. Untuk musuh misalnya melalui desas-desus dan pihak netral dengan negosiasi atau
diplomasi.
c. Pesan apa yang akan disebarkan?
d. Apa yang menjadi tujuan dari propaganda, misalnya ketakutan , kekacauan, ketidakpercayaan
dsb.
Propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin
menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri dari individu-
individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu
organisasi. (Jacques Ellul, 1993: 123)
Ciri-ciri propaganda:
1. Komunikasi satu kepada orang banyak,
2. Beroperasi terhadap orang-orang yang mengidentifikaasi diri mereka sebagai
anggota kelompok,
3. Sebagai mekanisme kontrol sosial dengan menggunakan persuasi untuk
mencapai ketertiban.
Jadi propaganda adalah suatu syarat mekanisme kontrol sosial dengan menggunakan lambang
untuk meningkatkan ketertiban sosial melalui kepercayaan bersama, nilai yang diakui bersama, dan
pengharapan yang saling lingkup.
Tipe-tipe propaganda
1. Propaganda yang disengaja yaitu dengan sengaja mengindoktrinasi komunikan dengan
pandangan-pandangan tertentu. Contoh: Guru ekonomi dengan sengaja mengidoktrinasi siswa dengan
pandangan Marxis.
2. Propaganda yang tidak disengaja, yaitu jawaban spontan dari suatu pertanyaan dengan
menunjukkan segi-segi positif dari suatu pandangan tertentu. Contoh: ketika guru ekonomi menjawab
spontan pertanyaan siswanya dengan menunjukkan segi-segi positif ajaran Marxiz.
Leonard Doob membedakan propaganda menjadi :
a. Propaganda yang tersembunyi, yaitu propagandis menyelubungi tujuan yang sebenarnya.
Misalnya ketika seorang presiden menyelenggarakan konferensi pers dengan cara mengembalikan
pertanyaan wartawan agar menguntungkan baginya.
b. Propaganda terang-terangan menyiapkan tujuan yang sebenarnya. Contoh : ketika kandidat
anggota DPR secara terang-terangan berusaha memperoleh suara dalam pemilu.
Jacques Ellul membedakan propaganda menjadi;
a. Propaganda politik, yaitu propaganda yang melibatkan usaha-usaha pemerintah, parpol atau
golongan yang berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis.
b. Propaganda sosiologis, biasanya kurang kentara dan lebih berjangka panjang. Melalui
propaganda ini orang disuntik dengan suatu cara hidup, suatu ideologi berangsur-angsur merembes ke
dalam lembaga politik, sosial dan ekonomi.
3. Agitasi, berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanaan yang besar bagi tujan
yang langsung, dengan mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita.
4. Integrasi menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui
propaganda ini orang-orang diharapkan mengabdikan diri mereka kepada tujuan-tujuan yang mungkin
tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun, bahkan selama mereka hidup.
5. Propaganda vertikal, penebaran imbauannya ditujukan satu kepada banyak dan terutama
mengandalkan media massa.
6. Propaganda horizontal, imbauannya lebih banyak melalui komunikasi interpersonal dan
komunikasi organisasi ketimbang melalui komunikasi massa- misalnya anjang sono (convassing),
pelatihan kader partai dsb.
RETORIKA
Retorika atau Public Speaking berasal dari bahasa Yunani Rhetorica, yang berarti seni berbicara
dengan orang lain, baik antarpersonal(satu-kepada-satu) dan berkembang menjadi kegiatan komunikasi
massa(satu-kepada-semua). Tujuan adalah mempengaruhi dan merayu publik dalam rangka membentuk
dan membina opini publik atau pendapat umum. Retorika sebagai seni mengandung banyak unsur
persuasif (membujuk) yang tinggi seperti penggunaan suara, bahasa lisan yang indah, berirama dalam
menyampaikan pesan ketika berpidato.
Merayu publik adalah hal yang sangat penting dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kita
terutama dalam hal membangun kesadaran dan kebenaran. Publik atau khalayak memiliki daya tangkal
dan sekaligus daya serap. Retorika dipergunakan agar publik mengunakan daya serapnya dan tidak
sebaliknya.
Sejak jaman Yunani sampai Romawi telah dikenal banyak ahli pidato ulung yang disebut dengan
istilah Orator (ahli orasi). Dalam perkembangannya hal itu banyak ditiru olah tokoh-tokoh politik seperti
Hitler, Lenin, Rossevelt, Soekarno, Nehru dan banyak lainnya. Mereka adalah merupakan orator-orator
yang mampu memukau publik.
Pada awalnya retorika banyak dipergunakan oleh tokoh-tokoh politik dalam agitasi dan
propaganda mereka mempengaruhi khalayak demi mencapi tujuan-tujuan politiknya. Para agitator dan
propagandis politik melakukan persuasi politik terhadap khalayak untuk membentuk pendapat umum.
Retorika model tersebut banyak dikecam sebagai retorika persuasif negatif yang banyak berisi
kebohongan dan pemalsuan tanpa memperhitungkan prinsip-prinsip kebenaran, kebajikan dan moralitas.
Meski sejak jaman Romawi Plato telah mengecam retorika persuasif negatif tersebut namun
kenyataannya sampai sekarang masih banyak dipakai dalam kegiatan politik, karena daya pesonanya
sangat luar biasa dalam memakau khalayak. Dengan menggunakan bahasa lisan yang indah, irama,
mimik, intonasi suara dan gerak tubuh yang selaras membuat retorika atau pidato politik memiliki daya
persuasi politik yang sangat tinggi. Hal ini sangat berbahaya jika dipergunakan sebagai medium
propaganda yang negatif. Hitler dan Stalin, Lenin, Mao Tze Tung, Aidit, membuat jutaan orang mati
hanya karena pidato-pidato politik mereka.
Plato menyebutnya sebagai racun yang membunuh demokrasi dan memperkenalkan teori baru
dealektical rhetoric yang menekankan pada jiwa manusia. Retorika adalah kemampuan untuk
mempengaruhi dan memotivasi jiwa manusia secara positif kea rah kebenaran dan kebajikan. Orator atau
komunikator dalam ucapan-ucapannya harus senantiasa berpedoman dan terikat pada dasar-dasar
kebenaran, tanggung jawab, kejujuran, keadilan dan tidak boleh berpidato dengan menyampaikan
kebohongan, fitnah, adu domba dan sesuatu yang tidak benar. Para nabi, ulama, motivator merupakan
contoh-contoh yang nyata.
Aristoteles membagi retorika politik dalam tiga jenis, dalam karyanya Retorika yakni : (1)
retorika diliberitif, (2) retorika forensic, (3) retortika demonstratif. Retorika deliberitif dirancng untuk
emepengaruhi khalayak , dalam kebijakan pemerintah. Pembicaraan difokuskan pada keuntungan dan
kerugian jika sebuah kebijakan diputuskan atau dilaksanakan. Retorika Forensik adalah retorika yang
berkaitan dengan pengadilan, fokus pembicaraan pada masa lalu yang berkaitan dengan keputusan
pengadilan. Retorika Demonstratif mengembangkan wacana yang dapat memuji atau menghujat. Retorika
politik pada umumnya menerapkan retorika ini untuk mempengaruhi khalayak.
Retorika menurut arti katanya adalah ilmu bicara (rhetorica). Menurut Cleanth Brooks dan Robert
Penn Warren adalah seni penggunaan bahasa secara efektif. Namun sebagian besar pakar komunikasi
mengartikan retorika tidak hanya menyangkut pidato (public speaking), tapi juga termasuk seni menulis.
Menurut A. Hitler hakekat retorika adalah senjata psikis untuk untuk memelihara massa dalam keadaan
perbudakan psikis.
Retorika sebagai seni berbicara sudah dipelajari sejak abad ke lima sebelum masehi, yaitu sejak
kaum Sophis di Yunani mengajarkan pengetahuan mengenai politik dan pemerintahan dengan penekanan
utama dalam kemampuan berpidato. Georgias (480-370 SM) sebagai tokoh aliran Sophisme menyatakan
kebenaran suatu pendapat hanya dapat dibuktikan jika tercapai kemenangan dalam pembicaraan. Namun
karena dalam praktek retorika lebih cenderung dimaksudkan untuk memutarbalikan fakta demi
kemenangan, maka Plato mendirikan akademia sebagai proses pencarian kebenaran dengan
pengembangan thesa dan antithesa. Menurut Plato sendiri retorika bertujuan untuk memberikan
kemampuan menggunakan bahasa yang sempurna dan merupakan jalan bagi seseorang untuk
memperoleh pengetahuan yang luas dan dalam terutama dalam bidang politik. Menurut Effendy, dengan
mencontohkan pada figur Bung Karno, seorang orator politik yang baik setidak-tidaknya harus memiliki
tiga prasyarat sebagai berikut :
Ethos, kredibilitas sumber.
Pathos, menunjukan imbauan emosional.
Logos, menunjukan imbauan logis.
Menurut teori, setidaknya ada empat bagian dalam pidato :
1. Exordium (kepala), adalah bagian pendahuluan. Fungsinya sebagai pengantar ke arah pokok
persoalan yang akan dibahas dan sebagai upaya untuk menyiapkan mental para hadirin. Yang terpenting
adalah membangkitkan perhatian. Beberapa cara untuk mengundang perhatian adalah sebagai berikut :
Mengemukakan kutipan, mengajukan pertanyaan, menyajikan ilustasi yang spesifik, memberikan fakta
yang mengejutkan, menyajikan hal yang mengundang rasa manusiawi, mengetengahkan pengalaman
yang ganjil. Tentu dari sekian cara tersebut juga harus disesuaikan dengan latar belakang kebudayaan dan
pendidikan.
2. Protesis (Punggung), adalah bagian pokok pembahasan yang ditampilkan dengan terlebih
dahulu mengemukakan latar belakangnya.
3. Argumenta (Perut), adalah batang tubuh dari pidato yang merupakan satu kesatuan dengan
punggung atau pokok pembahasan. Argumenta adalah alasan yang mendukung hal-hal yang
dikemukakanpada bagian protesis.
4. Conclusio (ekor), adalah bagian akhir dari naskah pidato yang merupakan kesimpulan dari
uraian keseluruhan sebelumnya. Konklusia adalah merupakan sebuah penegasan , hasil pertimbangan
yang mengandung justifikasi si orator. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun
conclusio : jangan mengemukankan fakta baru, jangan menggunakan kata-kata mubazir, jangan
menampilkan hal-hal yang menimbulkan antiklimaks. Pidato dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
menggunakan teks dan tanpa teks. Namun semuanya harus tetap dipersiapkan dengan baik. Pepatah tua
mengatakan “Qui ascendit sine labore, desendit sine honore” (siapa yang naik tanpa kerja, akan turun
tanpa penghormatan”.
Jadi, Retorika adalah komunikasi dua arah, satu kepada satu, dalam arti bahwa satu atau lebih
(seseorang berbicara kepada beberapa orang maupun seseorang berbicara kepada seseorang) Masing-
masing berusaha dengan sadar untuk mempengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal
baik. Retorika politik adalah suatu proses yang memungkinkan terbentuknya masyarakat melalui
negosiasi, yang berbeda dengan propaganda yang melibatkan mekanisme kontrol sosial dan periklanan
mengandalkan keselektifan konvergen.
TIPE-TIPE RETORIKA POLITIK.
1. Aristoteles mengidentifikasi tiga cara pokok: Retorika liberatif, dirancang untuk
mempegaruhi orang-orang dalam masalah kebijakan pemerintah dengan menggambarkan
keuntungan dan kerugian relatif dari cara-cara alternatif dalam melakukan segala sesuatu.
Fokusnya pada yang akan terjadi di masa depan, jika ditentukan kebijakan tertentu. Jadi si orator
menciptakan dan memodifikasi pengharapan atas ihwal yang akan datang.
2. Retorika forensik adalah yuridis. Ia berfokus pada apa yang terjadi pada masa
lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak bersalah, pertanggungjawaban atau hukuman dan
ganjaran. Settingnya yang biasa adalah ruang pengadilan, tetapi terjadinya di tempat lain,
contohnya adalah pemeriksaan kasus pelecehan seksual dari presiden Clinton.
3. Retorika demonstratif, adalah wacana yang memuji dan menjatuhkan. Tujuannya
untuk memperkuat sifat baik dan sifat buruk seseorang, suatu lembaga, atau gagasan. Contoh:
kampanye politik dan dukungan editorial dari surat-kabar, majalah, televisi danradio terhadap
seseorang kandidat anggota parlemen.
TEKNIK PERSUASI POLITIK
Lembaga untuk analisis propaganda, menurunkan tujuh sarana untuk merangkum berbagai teknik
propaganda terpenting untuk memanfaatkan kombinasi kata, tindakan, dan logika untuk tujuan persuasif:
1. Penjulukan (name calling), yaitu memberi label buruk kepada gagasan, orang,
objek, atau tujuan agar orang menolaknya tanpa menguji kenyataannya terlebih dulu.
2. Iming-iming (glittering generalities), yaitu dengan menggunakan “kata yang
baik” untuk melukiskan sesuatu agar memperoleh du’kungan, tanpa menyelidiki ketepatan
asosiasi itu. Contoh: koperasi merupakan “sokongan guru” ekonomi pancasila. Generasi muda
sebagai “pewaris masa depan”, dll.
3. Transfer, yaitu mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang otoritas. Contoh:
H.M. Soeharto telah memenuhi syarat untuk diangkat menjadi presiden ketujuh kalinya,
demikianlah ujar Ketua Umum Golkar.
4. Testimonial, menggunakan ucapan yang dihormati atau dibenci untuk
mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Sarana yang paling mudah kita kenal dalam
dukungan politik oleh suatu surat kabar, oleh tokoh terkenal, dll. Contoh: Menolong masyarakat
“jangan hanya memberi ikan”.
5. Merakyat (plain folk), imbauan yang menyatakan bahwa pembicara berpihak
kepada khalayak dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, saya salah seorang dari anda,
hanya rakyat jelata.
6. Memupuk kartu (card stacking), memilih dengan teliti pernyataan yang akurat
dan tidak akurat, logis atau tidak logis, dsb. Untuk membangun suatu kasus. Contoh: Apa yang
saya ucapkan adalah “amar ma’ruf nahi munkar”, “orang bijak tepat bayar pajak”, dll.
7. Gerobak musik (bandwagon technique); usaha untuk meyakinkan khalayak akan
kepopuleran dan kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan turut naik (turut serta). Contoh:
dengan cara pawai atau arak-arakan dengan atau tanpa kendaraan dengan mengumandangkan yel-
yel dan jargon.
GAYA PENYAJIAN RETORIKA
Selain gaya persuasif yang umum (gaya panas dan dingin) ada gaya retoris sebagai berikut:
1. Ekshortif: mendesak khalayak bahwa ada masalah, bahwa sesuatu harus
dilakukan, dan bahwa mereka harus mengambil tindakan. Misalnya mendesak penyelesaian
krismon.
2. Legal; menggunakan bahasa resmi yang melambangkan kesahihan dan
kecermatan, dll.
3. Birokratis; menggunakan jargon teknis, uraias yang berbelit-belit yang dikaitkan
dengan kaidah (aturan).
4. Tawar-menawar (negosiasi); memberi dan menerima kompromi, barter, balas
jasa dan percakapan politik.
5. Teretutup/terbuka; mengacu kepada ucapan yang berhati-hati dan
mengkontraskan efek dari komunikator politik. Contoh tertutup : kampanye suatu jabatan yang
menyatakan masih ragu, sedangkan contoh yang terbuka adalah kampanye Jimmy Carter.
Daftar Pustaka :
http://kamusbahasaindonesia.org/collaps
http://dyantezaanggara27.blogspot.com/2013/04/pengertian-jurnalistik.html
http://angintimur147.blogspot.com/2012/10/retorika-public-speaking-dan-protokoler.html
http://jf-bohemiancry.blogspot.com/2012/03/persuasi-politik-propaganda-periklanan.html
http://4tuban.blogspot.com/2013/03/jurnalistik-dalam-islam.html