ANALISA TEGANGAN SISA DAN DISTORSI PADA PENGELASAN FILLET
-
Upload
aprabawaningtyas -
Category
Documents
-
view
136 -
download
4
description
Transcript of ANALISA TEGANGAN SISA DAN DISTORSI PADA PENGELASAN FILLET
ANALISA TEGANGAN SISA DAN DISTORSI PADA PENGELASAN FILLET T-JOINT
DENGAN METODE ELEMEN HINGGA
Yudhistira Perdana Putra, Sungging Pintowantoro, Sadino
Jurusan Teknik Material & Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, ITS, Surabaya
Kampus ITS, Keputih Sukolilo, Surabaya, 60111
Telp/Fax (031)5943645
Abstrak
Pengelasan fillet tipe-T banyak digunakan dalam dunia industri perkapalan, struktur
jembatan, dan industri – industri yang lain. Permasalahan utama proses pengelasan adalah
terjadinya tegangan sisa dan distorsi. Tegangan sisa dan distorsi merupakan fenomena yang terjadi
pada material, apabila diabaikan dapat mengakibatkan material hasil proses pengelasan tersebut
mengalami kegagalan pada saat beroperasi.Proses pengelasan fillet tipe-T dilakukan pada spesimen
dengan ukuran panjang fillet, lebar flange, dan tinggi web adalah 500 x 200 x 100 mm. Tebal web
adalah 10 mm. Sedangkan tebal flange divariasikan yaitu 10 dan 16 mm. Simulasi dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak yaitu ANSYS 8.0 berdasarkan metode elemen hingga model 3
dimensi. Kajian ini dititik beratkan pada perhitungan tegangan sisa dan distorsi. Tegangan sisa
dihitung berdasarkan iterasi regangan yang timbul akibat distribusi temperatur selama pendinginan
dari temperatur pengelasan menuju temperatur ruang.Dari hasil permodelan dan simulasi diketahui
bahwa distribusi tegangan menunjukkan distribusi tegangan terbesar terjadi pada daerah weld
metal. Dari hasil analisa didapatkan bahwa dengan meningkatnya tebal pelat (flange) maka tegangan
yang terjadi juga meningkat akan tetapi distorsi yang terjadi menjadi lebih kecil. Tegangan
longitudinal pada lasan lebih besar dibandingkan dengan tegangan transversal.
Kata Kunci : Distribusi temperatur, tegangan sisa, distorsi, GTAW, metode elemen hingga.
I. PENDAHULUAN
Penyambungan logam dengan sambungan
las banyak digunakan dalam berbagai bidang
manufaktur dan industri. Salah satu tipe
sambungan yang banyak digunakan adalah
sambungan tipe T, terutama dalam bidang
perkapalan dan konstruksi struktur jembatan. Pada
saat pengelasan, sumber panas berjalan terus dan
menyebabkan perbedaan distribusi temperatur
pada logam sehingga terjadi pemuaian dan
penyusutan yang tidak merata. Akibatnya
tegangan sisa dan distorsi akan timbul pada logam
yang dilas.
Tegangan sisa timbul karena adanya
perbedaan temperatur yang besar sedangkan
distorsi terjadi jika logam las dibiarkan bergerak
leluasa selama proses pendinginan. Tegangan sisa
yang terjadi pada kampuh las ini dapat
menyebabkan kegagalan (fatigue) yang mana
dapat mengurangi kekuatan dari struktur dan
komponen. Oleh karena itu tegangan sisa dalam
pengelasan harus dikurangi sampai sekecil
mungkin untuk mencegah kegagalan desain suatu
komponen. Dengan mengerti mekanisme
terjadinya tegangan sisa dapat dipelajari untuk
mengambil langkah – langkah
meminimalisasikan tegangan sisa yang terjadi
pada saat pengelasan.
II. Dasar Teori
2.1 Metode Elemen Hingga
Metode elemen hingga adalah prosedur
numerik untuk memecahkan masalah
mekanika kontinum . Pada dasarnya elemen
hingga merupakan bagian – bagian kecil dari
struktur yang aktual akan tetapi dalam
pembentukan elemen – elemen tersebut harus
memperhatikan nodal forces sehingga
didapatkan berbagai ragam deformasi elemen.
Keunggulan dari metode elemen hingga adalah
jaringan elemen – elemen yang terbentuk
sangat dekat dengan struktur aktual yang akan
dikaji. Disamping keunggulan metode elemen
hingga juga memiliki kelemahan yaitu hasil
dari analisa yang ada berupa numerik bukan
suatu persamaan bentuk tertutup yang dapat
dipakai dalam memecahkan berbagai kasus.2.2 Gas Tungsten Arc Welding
Gas tungsten arc welding (GTAW) adalah
termasuk las listrik yang menggunakan gas inert
sebagai pelindung daerah las terhadap pengaruh
udara luar. Gas tungsten arc welding (GTAW)
sering disebut juga dengan istilah Tungsten Innert
Gas (TIG), dimana menggunakan tungsten sebagai
elektode.
Pada dasarnya busur listrik timbul diantara
elektode tungsten dengan logam induk, dimana
elektode tungsten hanya berfungsi sebagai tempat
terjadinya busur listrik, elektode tidak ikut meleleh
(non consumable electrode).
Pada GTAW ini, menggunakan gas inert
yaitu Argon atau Helium atau campuran dari
keduanya. Fungsi gas pelindung untuk melindungi
busur listrik manik las dari kontaminasi udara luar
disamping sebagai fluida pendingin elektode
tungsten.
Sumber tenaga yang digunakan pada
GTAW ini dapat berasal dari generator DC (direct
current) maupun AC (alternating current). Dalam
hal listrik DC, rangkaian listriknya dapat dengan
straight polarity ( DCSP ) maupun reverse
polarity ( DCRP ).
Pada gambar 1, ditunjukkan proses
GTAW yang berlangsung, dimana proses
pengelasannya ini dilindungi oleh gas inert dari
udara sehingga tidak ada kontaminasi dengan
udara. Pada gambar tersebut, juga terdapat
elektode tungsten yang digunakan untuk
membangkitkan busur listrik dan filler metal
diumpankan pada busur listrik sehingga terjadi
proses pencairan logam.
Gambar 1 Skema proses pengelasan dengan
GTAW (AWS vol II, 1996)
2.3 Distribusi Temperatur
Sumber panas pada proses pengelasan
berasal dari panas elektrode yang ada. Dimana
panas ini secara matematis dapat dihitung
dengan persamaan empiris (AWS vol I, 1996):
v
IEf
Hnet
..
1
=
dimana :
netH : Energi input bersih ( J/mm).
E : Tegangan (Volt).
I : Arus (Ampere).
1
f : Efisiensi pemindahan panas
V: Kecepatan pengelasan (mm/s )
Tidak semua energi panas yang
terbentuk dari perubahan energi listrik diserap
100 % oleh logam lasan, akan tetapi hanya
sebagian besar saja. Sehingga energi busur las
dapat ditulis sebagai berikut (Pilipenko, 2001):
UIQ h= ;
dimana :
Q = net heat input (Watt)
h = Koefisien effisiensi (-)
U = Tegangan Busur (Volt)
I = Arus listrik (Ampere)
Pada pengelasan GTAW nilai effisiensi
pemindahan panas berkisar antara 25% - 75%.
Distribusi panas yang terjadi selama proses
pengelasan ialah distribusi panas secara
konduksi dan konveksi. Konduksi terjadi pada
bidang – bidang benda kerja yang menerima
panas secara langsung dari elektroda dan
transfer panas secara konveksi terjadi pada
permukaan yang berkontak langsung dengan
udara. Secara matematis persamaan dasar
konduksi panas pada benda pejal adalah (
Frank Kreith ,1999 ) :
ú
û
ù
ê
ë
é
¶
¶
¶
¶
+
ú
û
ù
ê
ë
é
¶
¶
¶
¶
+
ú
û
ù
ê
ë
é
¶
¶
¶
¶
+=
¶
¶
z
T
zy
T
yx
T
x
Q
t
T
c
G lllr
Dimana:
r : massa jenis ( kg/m
3
)
C : spesific heat ( J/kg.K )
l : konduktivitas termal ( W/m.K )
GQ : debit perubahan temperatur
( W/ m
3
)
2.4 Tegangan Termal Selama Pengelasan
Selama proses pemanasan dalam
pengelasan akan mengakibatkan suatutegangan. Tegangan akibat pemanasan ini dapat
didiskripsikan dengan membagi daerah lasan
menjadi beberapa buah potongan melintang
sebagai berikut :
A-A : Daerah yang belum tersentuh panas, B-B
: Daerah yang mencair tepat pada busur
las, C-C : Daerah terjadinya deformasi
plastis selama proses pengelasan, D-D : Dearah
yang sudah mengalami pendinginan
Bila pengelasan berjalan dari potongan DD ke potongan B-B maka akan terjadi distribusi
panas sepanjang pengelasan. Sesaat pengelasan
sampai dititik O maka setiap potongan pada alur
pengelasan dapat dianalisa distribusi teganganya.
Besarnya tegangan yang terjadi karena adanya
perubahan temperatur selama proses pengelasan
ditunjukkan oleh gambar 2.3.
Gambar 2 Distribusi temperatur dan tegangan
selama proses pengelasan (AWS vol I, 1996)
Pada daerah A-A, dimana ¨T § 0 maka
disini tidak terjadi tegangan, sedangkan pada
daerah B-B yaitu daerah yang mencair (terjadi
suhu maksimum) tepat pada garis lasan akan
terjadi tegangan tekan ( compression ) sedangkan
disisi kanan dan sisi kiri dari garis lasan akan
terjadi tegangan tarik ( tension ). Pada daerah C-C,
dimana suhu sudah mulai turun, pada daerah garis
lasan akan terjadi tegangan tarik dan pada daerah
sisi kanan dan kirinya akan terjadi tegangan tekan.
Demikian pula pada daerah D-D yaitu pada daerah
yang sudah terjadi pendinginan (¨T § 0 ) maka
pada garis lasan akan terjadi tegangan tarik dan
pada sisi kanan dan kiri dari garis lasan akan
mengalami tegangan tekan. Tegangan tarik yang
terjadi pada daerah D-D akan sifatnya tetap tinggal
pada material tersebut dan lebih sering disebut
tegangan sisa. (AWS vol I, 1996)
Sedangkan tegangan sisa karena
pengaruh pemanasan dapat dihitung dengan
menggunakan hubungan antara tegangan
regangan yang disebabkan oleh panas :
tll D=D 0 a
0
l
lD
=e
E
s
e =
EtD= as
dimana :
s = Tegangan sisa ( Pa )
E = Modulus elastisitas ( Pa )
0
l = Panjang mula – mula ( m )
lD = Perubahan panjang ( m )
tD = Perubahan temperatur ( K )
a = Koefisien muai panjang (K
-1
)
2.5 Terjadinya Distorsi
Pada proses pengelasan, tegangan sisa
dan distorsi merupakan kejadian yang saling
berhubungan. Ketika siklus pemanasan dan
pendinginan yang berlangsung dalam proses
pengelasan, regangan panas muncul di antara
weld metal dan base metal pada daerah yang
dekat dengan weld bead. Peregangan ini
menimbulkan suatu tegangan dalam yang
terdapat di dalam material dan bisa
menyebabkan terjadinya bending, buckling,
dan rotasi. Deformasi inilah yang disebut
distorsi.
Distorsi terjadi jika logam las
dibiarkan bergerak leluasa selama proses
pendinginan. Jadi distorsi terjadi karena
adanya pemuaian dan penyusutan yang bebas
akibat siklus termal las.
Jadi, ada dua alternatif :
a. Kalau benda kerja tidak boleh
mengalami distorsi setelah proses
pengelasan, maka diadaka fixturing
yang konsekuensinya timbul internal
stress,
b. Kalau benda kerja boleh mengalami
distorsi setelah proses pengelasan,
maka internal stress minim tetapi akan
terjadi perubahan bentuk.
Distorsi akan menyebabkan :
a. Bentuk akhir tidak memenuhi syarat
baik keindahan maupun letak
b. Terjadi misalignmentc. Dapat menjadi bagian terlemah
d. Mengganggu distribusi gaya
Macam-macam distorsi yang terjadi pada
pengelasan (lihat gambar 2.4) :
a. Transverse shrinkage.
Penyusutan yang terjadi tegak lurus
terhadap arah garis las.
b. Angular change.
Distribusi panas yang tidak merata pada
kedalaman menyebabkan distorsi
(perubahan sudut).
c. Rotational distortion.
Distorsi sudut dalam bidang plat yang
berkaitan dengan perluasan thermal.
d. Longitudinal shrinkage.
Penyusutan yang terjadi searah garis las.
e. Longitudinal bending distortion.
Distorsi dalam bidang yang melalui garis
las dan tegak lurus terhadap plat.
f. Buckling distortion.
Kompresi yang berkenaan dengan panas
menyebabkan ketidakstabilan ketika
platnya tipis.
Gambar 4 Macam – macam distorsi yang terjadi
pada pengelasan
III. Metode Penelitian
3.1 Spesimen
Pada penelitian ini material yang
digunakan adalah AISI/SAE 1020. Pengelasan
dilakukan pada ketebalan flange yang berbeda.
Tebal yang digunakan adalah 10 mm dan 16 mm.
Detail gambar dapat dilihat pada gambar
dibawah ini.
Gambar 5 Geometri spesimen permodelan
3.2 Kondisi Pengelasan
Metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah pengelasan single pass
GTAW dengan arus yang digunakan 250 A,
voltase 20 V, kecepatan pengelasan
4 mm/s,dandiameter elektroda 3,2 mm.
IV. Hasil dan Diskusi
4.1 Tegangan Sisa
Pada pengelasan bentuk fillet dikenal
ada dua macam bentuk tegangan sisa yaitu
tegangan sisa transversal dan tegangan sisa
longitudinal. Tegangan sisa transversal adalah
tegangan yang terjadi pada arah arah melintang
dari weld bead. Biasanya dinotasikan dengan
simbol
Xs . Sedangkan tegangan sisa yang
terjadi searah weld bead disebut tegangan sisa
longitudinal. Tegangan sisa longitudinal
dinotasikan dengan
Zs .
-20
0
20
40
60
80
100
-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100
Jarak (mm)
Tegangan Sisa (MPa)
16 mm 10 mm
Gambar 6 Distribusi tegangan sisa transversal
(
Xs ) pada ketebalan flange yang berbeda
pada arah melintang.Dari data – data yang tersaji di atas terlihat
bahwa tegangan sisa untuk pelat dengan tebal 16
mm lebih besar dibandingkan degan tebal 10 mm.
Tegangan maksimum pada flange 10 mm sebesar
186,17 MPa sedangkan pada flange 16 mm
sebesar 224,65 MPa. Tegangan sisa terbesar tejadi
pada daerah weld metal.
-20
0
20
40
60
80
100
-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100
Jarak (mm)
Tegangan Sisa (MPa)
16 mm 10 mm
Gambar 7 Distribusi tegangan sisa longitudinal
(
Zs ) pada ketebalan flange yang berbeda pada
arah melintang
Tegangan sisa longitudinal untuk pelat
dengan tebal 16 mm lebih besar dibandingkan
degan tebal 10 mm. Tegangan maksimum pada
pelat dengan tebal 10 mm sebesar 299,47 MPa
sedangkan pada pelat dengan tebal 16 mm sebesar
317,72 MPa. Pada daerah batas antara weld metal
dan base metal memiliki tegangan maksimum
kemudian semakin ke ujung base metal tegangan
yang terjadi semakin kecil.
Pada data diatas daerah pertemuan weld
metal dan batas material pelat flange maupun web
(fusion line) mengalami tegangan tarik
maksimum. Hal ini bisa terjadi karena pada saat
pengelasan, daerah ini mengalami pemanasan
lokal yang cukup besar. Pada saat pemanasan
daerah ini mengalami tegangan tekan karena pada
saat mengalami ekspansi termal, weld metal
tertahan oleh pelat baik web maupun flange. Pada
saat proses pengelasan selesai, terjadilah proses
pendinginan di mana bagian weld metal
menyusut cukup besar. Di samping karena
pendinginan juga karena adanya tegangan
tekan. Penyusutan ini ditahan oleh daerah base
metal, karena itu pada daerah weld metal akan
terjadi tegangan tarik yang diimbangi oleh
tegangan tekan pada daerah base metal.
Tegangan sisa arah melintang (transversal)
lebih kecil dibandingkan tegangan sisa arah
memanjang (longitudinal). Hal ini disebabkan
penyusutan ke arah memanjang lebih kecil
dibandingkan terhadap penyusutan melintang.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan oleh adanya
perlawanan dari logam induk. Karena
penyusutan juga merupakan bentuk distorsi
maka dapat dikatakan bahwa distorsi arah
memanjang lebih kecil dibandingkan terhadap
distorsi arah melintang. Selain itu perlawanan
dari logam induk merupakan salah satu bentuk
kekangan internal material. Oleh karena itu
pada arah memanjang memiliki distorsi yang
kecil dan memiliki kekangan internal
akibatnya tegangan sisa yang terjadi pun lebih
besar bila dibandingkan dengan arah melintang
4.2 Pengurangan Tegangan Sisa
-20
0
20
40
60
80
100
-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100
Jarak (mm)
Tegangan Sisa (MPa)
Gambar 8 Distribusi tegangan sisa transversal
(
Xs ) pada pengelasan urut loncat pada arah
melintang
-20
0
20
40
60
80
100
-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100
Jarak (mm)
Tegangan Sisa (MPa)
Gambar 9 Distribusi tegangan sisa longitudinal
(
Zs ) pada pengelasan urut loncat
4.3 Distorsi
Pada penelitian ini besar distorsi
ditandai dengan adanya pergerakan flange ke
arah sumbu Y. Pada pelat dengan tebal flange
10 mm distorsi yang terjadi sebesar 5,04 mm
(0.05 rad) dan pada pelat dengan tebal flange
16 mm distorsinya sebesar 2, 84 mm (0.028rad). Jadi pelat yang lebih tipis memiliki distorsi
lebih besar.
Gambar 10 Distorsi sudut yang terjadi pada pelat
dengan tebal flange 10 mm.
Gambar11 Distorsi sudut yang terjadi pada pelat
dengan tebal flange 16 mm
Pada flange 10 mm, transfer panas
konduksi lebih kecil sehingga waktu
pendinginannya juga lebih lama akibatnya
temperatur yang terjadi cukup besar dibandingkan
dengan flange 16 mm sehingga mengakibatkan
regangan termal yang besar pula. Regangan termal
meningkat maka makin besar volume penyusutan
lasan yang terjadi. Ditambah lebih rendahnya
kekakuan flange sehingga distorsi pada flange 10
mm relatif lebih besar.
4.4 Efek Tebal Pelat terhadap
Tegangan Sisa dan Distorsi
Berdasarkan beberapa referensi, sifat
tegangan sisa dan distorsi adalah berkebalikan.
Jika tegangan sisa material besar maka distorsi
yang terjadi kecil begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan teori ini maka data – data
permodelan sudah sesuai teori dimana pelat
dengan tebal flange 10 mm memiliki tegangan
sisa lebih kecil dibandingkan dengan pelat
dengan tebal flange 16 mm tetapi memiliki
distorsi yang lebih besar. Hal ini bisa terjadi
dikarenakan antara lain:
1. Pada tebal flange yang lebih tipis,
maka temperatur pemanasan lokal
lebih tinggi menyebabkan ekspansi
termal dan penyusutan material lebih
besar sehingga akibatnya distorsi juga
lebih besar.
2. Dengan flange lebih tebal maka efek
dari kekuatan pengekangan internal
meningkat akibatnya tegangan sisa
akan meningkat.
Pada saat pengelasan, kecepatan
pendinginan pada pelat tipis lebih lambat
dibandingkan dengan pelat yang lebih tebal
sehingga konduktivitas termal, modulus
elastisitas, dan kekuatan luluh berkurang
sedangkan koefisien ekspansi termal
meningkat. Efeknya, pada pelat yang lebih
tipis distorsi yang terjadi lebih besar
dibandingkan pelat yang lebih tebal. Sehingga
tegangan sisa yang terjadi pada pelat yang
lebih tipis lebih kecil dibandingkan pelat yang
lebih tebal.
5. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dan analisa data yang telah dibuat,
maka dapat disimpulkan bahwa
1. Metode elemen hingga dapat
digunakan untuk memprediksi
besarnya tegangan sisa dan distorsi.
2. Flange yang tipis memiliki tegangan
sisa lebih kecil dibandingkan dengan
flange yang tebal.
3. Flange yang tipis memiliki distorsi
lebih besar dibandingkan dengan
flange yang tebal.DAFTAR PUSTAKA
Anggono, Juliana. 1999. “Pengaruh Besar Input
Panas Pengelasan SMAW Terhadap Distorsi
Sambungan T Baja Lunak SS 400“. Jurnal
Teknik Mesin 1: 45 – 54.
Ma, N.X., Ueda, Y., Murakawa, H., Maeda, H.
1995. “FEM Analysis of 3D Welding Residual
Stress and Angular Distortions in T-type Fillet
Welds. Transaction of JWRI 24(2): 115 –
122.
Moaveni, Saeed. 2003. ”Finite Element Analysis:
Theory and Application with ANSYS”. New
Jersey: Pearson Education, Inc.
Musaikan. 2002. “Teknik Las“. Surabaya: Teknik
Mesin FTI ITS.
Pilipenko, Artem, 2001. Computer Simulation of
Residual Stress and Distortion of Thick
Plates in Multi-Electrode Submerged Arc
Welding Department of Machine Design and
Material Technology, Norway.
Shim, Y., Feng, Z., Lee, S., Kim, D., Jaeger, J.,
Prapitan, J.C., Tsai, C.L. 1992.
”Determination of Residual Stresses in Thick
Section Weldments. Welding Journal 305:12.
Sorensen, Martin B, 1999. Simulation of Welding
Distortions in Ship Section. Departement of
Naval Architecture and Offshore Engineering,
Technical University of Denmark.
Teng, T.L., Fung, C.P., dan Yang, W.C. 2001.“
Analysis of Residual Stresses and Distortion
in T-joint Fillet Weld“. International Journal
of Pressure Vessel and Piping 78: 523 – 538.
Wiryosumarto, H dan Okumura, T. (1996).
Teknologi Pengelasan Logam. Jakarta:
Pradnya Paramita.
________, 1991. Welding Handbook vol. I & II.
Miami : American Welding Society