ANALISA KONDISI USAHA INDUSTRI GULA MERAH · Kabupaten Madiun). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Machfud,...
Transcript of ANALISA KONDISI USAHA INDUSTRI GULA MERAH · Kabupaten Madiun). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Machfud,...
ANALISA KONDISI USAHA DAN RANCANG ULANG
TATA LETAK INDUSTRI GULA MERAH TEBU (Studi kasus di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun)
Oleh :
Santo Priyono
F34102088
2006
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ANALISA KONDISI USAHA DAN RANCANG ULANG
TATA LETAK INDUSTRI GULA MERAH TEBU (Studi kasus di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun)
Oleh :
Santo Priyono
F34102088
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor
2006
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ANALISA KONDISI USAHA DAN RANCANG ULANG
TATA LETAK INDUSTRI GULA MERAH TEBU (Studi kasus di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Santo Priyono
F34102088
Tanggal lulus : 22 Agustus 2006
Disetujui :
Bogor, 3 September 2006
Dr. Ir. Machfud, MS
Pembimbing Akademik
Santo Priyono. F34102088. Analisa Kondisi Usaha dan Rancang Ulang Tata Letak Industri Gula Merah Tebu (Studi kasus di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Machfud, MS.
RINGKASAN
Gula merah merupakan salah satu alternatif yang dapat membantu memenuhi kekurangan konsumsi gula pasir. Gula merah sudah digunakan di Jawa sejak tahun 400. Pada awalnya gula merah dibuat dari nira palma, nira kelapa dan nira siwalan. Setelah tebu masuk ke Indonesia, dikenal pembuatan gula merah dari nira tebu. Penelitian ini bertujuan untuk (i) menganalisa kondisi usaha industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari, (ii) menganalisa dan melakukan rancang ulang bangunan pabrik, dan (iii) menganalisa prospek pengembangan dan kelayakan usaha industri gula merah tebu. Penelitian ini termasuk kedalam kelompok penelitian survei dan studi kasus dengan sampel yaitu semua unit usaha pengolahan gula merah tebu yang pada saat penelitian sedang beroperasi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, observasi, wawancara, dan pengukuran langsung.
Industri gula merah tebu yang dikaji termasuk kelompok industri kecil non formal, dengan pola usaha (i) mengolah tebu yang berasal dari lahan milik dan atau lahan sewa, (ii) mengolah tebu yang berasal dari pembelian, dan (iii) mengolah tebu dari orang lain (titip giling). Kegiatan produksi dilakukan sesuai periode musim panen tebu antara bulan Mei – Oktober dengan tingkat produksi 268 kg gula merah / hari. Mutu produk yang dibagi menjadi (21%), sedang (51%), dan jelek (28%). Penentuan tingkat mutu produk dilakukan berdasarkan warna, rasa, dan kekerasan. Pemasaran dilakukan melalui pedagang pengumpul pengecer, pedagang pengumpul besar, dan konsumen secara langsung. Jumlah tenaga kerja adalah 5 – 10 orang / kelompok. Kebutuhan modal untuk kegiatan usaha berasal dari modal sendiri dan pinjaman. Berdasarkan kombinasi sumber bahan baku yang diolah, rata-rata usaha ini memberikan keuntungan sebesar Rp 302.053 / hari.
Pertimbangan kegiatan rancang ulang adalah (i) memperbaiki kondisi fisik bangunan pabrik gula merah tebu, (ii) membuat ruang produksi menjadi lebih bersih, dan (iii) memperbaiki aliran proses produksi dan perpindahan bahan. Hasil rancang ulang menunjukkan (i) tata letak lebih baik dan rapi, (ii) aliran proses produksi lebih baik, (iii) ruang produksi menjadi lebih bersih, dan (iv) mengurangi pergerakan pekerja. Analisa finansial dengan melihat nilai NPV, IRR, dan PBP sebagai kriteria kelayakan usaha menunjukkan rancang ulang layak dilakukan.
Santo Priyono. F34102088. Analyse Condition Effort and Redesign Manufacturing Plan of Brown Sugar Cane Industry (Case study in Sub district Kebonsari, Regency Madiun). Below tuition Dr. Ir. Machfud, MS
SUMMARY
Brown sugar is one alternative in supporting deficient sugar consumption. Brown sugar has been used in Java since the early of 5th century. In the past, brown sugar was made from palm, coconut, and siwalan juice. The production of brown sugar from sugar cane was introduced after sugar cane had entered Indonesia. The objective of this research are (i) analyze the condition of the brown sugar cane industry in Kebonsari Sub district, (ii) analyze and redesign the manufacturing plant, and (iii) analyze the development prospect and feasibility of the industry itself. The research is comprised in the survey and case study analysis category by means of samples of all production units operating. Data was attained through literary studies, observation, and direct sampling.
The research shows that brown sugar industries are considered a small informal industries, with patterns of business activity which are (i) sugar cane processed is obtained from sugar cane planted on private property and rented, (ii) sugar cane processed is obtained from purchased, and (iii) sugar cane processed is obtained from other person (refinery entrust). Production activity is conducted according to the season period of sugar cane harvesting between May – October with the production capacity 268 kg / day. Product quality consists of excellent (21 %), average (51 %), and poor (28 %) quality. Determination of quality is based on color, taste, and hardness. Distribution of product was conducted through retailers, mass retailers, and direct consumers. There are 5 – 10 laborers / group. Capital source derived for the business activity come from the industrialist and loan. Based on processed raw material source combination, the rate of benefit of the business activity is Rp 302.053 / day.
Manufacturing plant redesign is conducted to (i) repair the physical manufacturing plant condition, (ii) make the plant cleaner, and (iii) improve stream production process and material transfer. The result of manufacturing plant redesign shows (i) better and orderly plant layout, (ii) better production process, (iii) cleaner manufacturing plant, and (iv) improvement in workers movement efficiency.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa skipsi yang berjudul ”Analisa Kondisi Usaha
dan Rancang Ulang Tata Letak Industri Gula Merah Tebu (studi kasus di
Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun)” adalah benar-benar hasil karya
saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing atau dengan jelas ditunjukkan
rujukannya
Bogor, 3 September 2006
Yang menyatakan
Santo Priyono
F34102088
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotamadya Bogor, Propinsi Jawa
Barat pada tanggal 6 Oktober 1984. Penulis merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ibu Suprihatin dan
Bapak Suparyono. Pendidikan dasar penulis diselesaikan di
SD Negeri Lawanggintung I Bogor pada tahun 1996,
selanjutnya penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 2
Bogor. Setelah lulus dari SMU Negeri 2 Bogor, pada tahun 2002 penulis
melanjutkan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut
Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Penulis pernah melakukan kegiatan praktek
lapang di PT Sumber Sari Bumi Pakuan Perkebunan Teh Ciliwung Cisarua Bogor
pada tahun 2005.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT karena
dengan rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Analisa Kondisi Usaha dan Rancang Uiang Industri Gula Merah” yang dibuat
untuk memenuhi syarat meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Machfud, MS sebagai dosen pembimbing akademik yang bersedia
membimbing dan memberikan saran-saran
2. Dr. Ir. Ika Amalia Kartika, MS dan Ir. Elisa Anggareni MSc sebagai dosen
penguji yang memberikan saran-saran perbaikan penulisan skripsi
3. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc., Dr. Ir. Sukardi, MM., dan Dr. Ir. Suprihatin
yang telah memberikan kesempatan penelitian
4. Kedua orang tua dan adik-adik yang selalu memberikan dorongan semangat,
pengorbanan dan doa yang tiada putus
5. Keluarga Bapak Sugito yang selalu membantu penulis selama penelitian
6. Instansi-instansi yang telah memberikan ijin dan informasi dalam penelitian
7. Para pengusaha industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari sebagai
responden yang telah memberikan informasi dalam penelitian
8. Teman-teman semua atas kebersamaan, kerjasama, dan dukungan selama
penelitian dan studi
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian
dan studi
Kekurangan diakui oleh penulis dan untuk itu kritik dan saran yang
membangun akan sangat membantu dalam penyempurnaan skripsi ini. Demikian
semoga skripsi ini bermanfaat di kemudian hari.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN .......................................................................................
A. LATAR BELAKANG ................................................................................
B. TUJUAN PENELITIAN .............................................................................
C. RUANG LINGKUP ....................................................................................
D. MANFAAT PENELITIAN .........................................................................
1
1
2
3
3
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
A. INDUSTRI KECIL ....................................................................................
B. TEKNOLOGI PROSES GULA MERAH ..................................................
1. Bahan Baku ............................................................................................
2. Proses Pembuatan Gula Merah Tebu .....................................................
3. Mutu dan Kualitas Gula Merah ..............................................................
C. MANAJEMEN PEMASARAN ..................................................................
D. PERENCANAAN TATA LETAK .............................................................
E. ANALISA BIAYA DAN FINANSIAL ......................................................
4
4
5
6
7
8
9
10
11
III. METODOLOGI ............................................................................................
A. KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................
B. METODE PENELITIAN ............................................................................
1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................
2. Metode Sampling ....................................................................................
3. Metode Pengumpulan Data ....................................................................
4. Metode Pengolahan Data ........................................................................
13
13
16
16
16
17
17
iii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
A. PROFIL INDUSTRI GULA MERAH TEBU ............................................
1. Karakteristik Wilayah .............................................................................
2. Karakteristik Industri ..............................................................................
3. Kontribusi Industri Terhadap Wilayah ...................................................
B. RANCANG ULANG BANGUNAN INDUSTRI GULA MERAH TEBU
1. Perbaikan Tata Letak Pabrik ..................................................................
2. Analisa Finansial ....................................................................................
21
21
21
25
54
58
58
65
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
A. Kesimpulan ...............................................................................................
B. Saran .........................................................................................................
70
70
72
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 73
LAMPIRAN .......................................................................................................... 77
iv
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu gula merah tebu ......................................
8
Tabel 2. Luas tanah kecamatan kebonsari berdasarkan penggunaan ..................
22
Tabel 3. Hasil produksi pertanian, tanaman obat, dan perkebunan kecamatan kebonsari tahun 2004 ........................................................
22
Tabel 4. Mata pencaharian penduduk di kecamatan kebonsari tahun 2004 ....
23
Tabel 5. Sarana dan prasarana di kecamatan kebonsari ....................................
24
Tabel 6. Harga tebu berdasarkan bulan tahun 2006 ........................................
30
Tabel 7. Kebutuhan bahan baku dan areal perkebunan tebu industri gula merah tebu di kecamatan kebonsari ..................................................
31
Tabel 8. Penggunaan dan harga bahan tambahan pangan ................................
32
Tabel 9. Harga jual produk gula merah tebu tahun 2006 ..............................
45
Tabel 10. Biaya pengadaan bahan baku tebu / kotak (163 kw tebu) ...............
51
Tabel 11. Analisa profitabilitas berdasarkan bahan baku (264 kg produk/hari) ...
52
Tabel 12. Analisa kebutuhan dan luas ruang .....................................................
62
Tabel 13. Kondisi sebelum dan setelah rancang ulang ......................................
63
Tabel 14. Analisa profitabilitas sebelum rancang ulang ....................................
65
Tabel 15. Analisa profitabilitas setelah rancang ulang ......................................
66
Tabel 16. Investasi rancang ulang industri gula merah tebu ............................
67
Tabel 17. Biaya tetap peralatan industri gula merah tebu / tahun ...................
68
Tabel 18. Analisa kelayakan finansial rancang ulang .......................................
68
v
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Skematis pelaksanaan penelitian .....................................................
15
Gambar 2. Perencanaan tata letak secara sistematis ..........................................
18
Gambar 3. Prosedur pendirian perusahaan di Kabupaten Madiun ....................
28
Gambar 4. Sumber bahan baku untuk industri gula merah tebu .......................
29
Gambar 5. Grafik persentase areal tanaman tebu Kabupaten Madiun ..............
30
Gambar 6. Grafik luas areal tanaman tebu Kecamatan Kebonsari pada periode tahun 1997 – 2004 ..............................................................
31
Gambar 7. Mesin diesel dan mesin penggiling tebu .........................................
34
Gambar 8. Prinsip kerja mesin penggiling tebu ................................................
35
Gambar 9. Desain tungku pemasakan gula merah tebu ....................................
36
Gambar 10. Diagram alir proses gula merah tebu ...............................................
37
Gambar 11. Tahapan proses penggilingan ..........................................................
38
Gambar 12. Tahapan proses pemasakan .............................................................
40
Gambar 13. Tahapan proses pengentalan dan pencetakan .................................
41
Gambar 14. Tahapan proses pengemasan dan penyimpanan .............................
42
Gambar 15. Distribusi produk gula merah tebu ..................................................
46
Gambar 16. Peta keterkaitan aktivitas .................................................................
60
Gambar 17. Diagram keterkaitan aktivitas ..........................................................
61
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Peta lokasi Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun ....................
77
Lampiran 2. Mesin dan peralatan produksi ...........................................................
78
Lampiran 3. Analisa peningkatan dan penurunan tingkat upah ............................
79
Lampiran 4. Analisa profitabilitas industri gula merah tebu .................................
80
Lampiran 5. Kondisi awal pabrik gula merah tebu ...............................................
81
Lampiran 6. Peta proses operasi pembuatan gula merah tebu ..............................
82
Lampiran 7. Tata letak industri gula merah tebu awal ..........................................
83
Lampiran 8. Hasil rancangan tata letak industri gula merah tebu .........................
84
Lampiran 9. Kondisi akhir industri gula merah tebu .............................................
85
Lampiran 10. Laporan laba rugi rancang ulang tata tetak industri gula merah tebu
86
Lampiran 11.
Arus kas rancang ulang tata letak industri gula merah tebu .............
89
Lampiran 12. Kuesioner responden pengusaha industri gula merah tebu ............... 92
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gula merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok yang pengadaan
dan distribusinya diatur oleh pemerintah. Pada tahun 2004 konsumsi gula nasional
mencapai 3,4 juta ton, sedangkan produksi gula nasional hanya sebesar 2,05 juta
ton (Anonim, 2005). Gula merah merupakan salah satu alternatif yang dapat
membantu memenuhi kekurangan konsumsi gula pasir. Berbeda dengan gula
kristal, pengadaan dan distribusi gula merah tidak diatur oleh pemerintah.
Menurut Mubyarto (1984) pada akhir tahun 1960-an, industri gula mengalami
penurunan produktivitas dari tahun ke tahun karena inefisiensi dalam melakukan
pengolahan tebu menjadi gula. Akibat terjadinya penurunan nilai sewa tanah dan
harga tebu sehingga para petani lebih untung untuk mengolah sendiri tebu mereka
menjadi gula merah untuk dikonsumsi sendiri atau untuk dijual di pasar-pasar
terdekat dengan harga jual sebesar ± 80% dari harga gula pasir.
Gula merah sudah digunakan di Jawa sejak tahun 400. Pada awalnya gula
merah dibuat dari nira palma, nira kelapa dan nira siwalan. Setelah tebu masuk ke
Indonesia, dikenal pembuatan gula merah dari nira tebu. Sejarah usaha gula tebu
dimulai pada abad 17 pada jaman penjajahan Belanda yang memperkenalkan gula
tebu sebagai komoditi perdagangan dan kemudian sebagai komoditi industri yang
cukup potensial di Pulau Jawa (Wirioadmodjo et al., 1984).
Industri gula merah merupakan industri rumah tangga yang turun temurun.
Proses pengolahan gula merah dikerjakan dengan cara dan peralatan yang
sederhana. Secara tradisional gula merah banyak dibuat dari nira tebu, nira kelapa,
nira siwalan, dan nira dari palma lain. Gula merah mempunyai flavor yang khas
sehingga tidak dapat digantikan oleh gula pasir. Gula merah dapat digunakan
sebagai penyedap masakan, pemanis minuman, kue-kue, dan merupakan salah
satu bahan baku dalam industri kecap (Syukur et al., 1999).
Profil pengusaha kecil di Indonesia dari segi manajemen antara lain pemilik
sebagai pengelola, tidak membuat perencanaan tertulis dan pembukuan, kurang
mampu mempertahankan mutu, sangat tergantung pada pelanggan dan pemasok
2
disekitar usaha, dan kurang mampu membina hubungan perbankan. Profil
pengusaha kecil dari segi keuangan antara lain memulai usaha kecil-kecilan
dengan bermodalkan sedikit dana dan keterampilan pemilik, kemampuan
memperoleh sumber dana pinjaman dari perbankan rendah dan terbatas,
perencanaan anggaran kas kurang akurat, serta kurang memahami prinsip dan
pentingnya pencatatan keuangan dan penyajian laporan keuangan (Sejoedono dan
Tiktik, 2004).
Berbagai permasalahan yang umum dialami oleh pengusaha kecil juga
ditemukan pada pengusaha gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari. Oleh karena
industri gula merah tebu di Kecamatan Kecamatan Kebonsari merupakan sentral
gula merah tebu di Kabupaten Madiun serta mengingat usaha ini dapat
memberikan kontribusi terhadap kebutuhan gula dan memiliki potensi ekspor,
maka industri gula merah tebu perlu dikembangkan. Agar perkembangan tersebut
dapat efektif maka diperlukan informasi yang lengkap dan akurat mengenai
kondisi industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari saat ini.
Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain yang menentukan produktivitas UKM
agar dapat berkembang, salah satu faktor pada bidang manajemen produksi adalah
aspek tata letak pabrik. Oleh karena produksi gula merah tebu merupakan
kelompok bahan pangan, maka aspek higienis dan sanitasi dalam ruang produksi
dan selama proses produksi menjadi faktor yang penting. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka penelitian ini juga melakukan rancang ulang pabrik
di salah satu pengusaha gula merah tebu yang berada di Kecamatan Kebonsari
untuk memperbaiki produktivitas dan kualitas terutama dari segi higienis dan
kebersihan.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
1. Menganalisa kondisi usaha industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari,
Kabupaten Madiun yang meliputi aspek legalitas, aspek teknis dan
teknologis, aspek ketenagakerjaan, aspek pemasaran, aspek pembiayaan, dan
aspek profitabilitas.
2. Menganalisa dan melakukan rancang ulang pabrik salah satu pengusaha
industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun.
3
3. Menganalisa prospek pengembangan dan kelayakan usaha industri gula
merah tebu di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun.
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup penelitian adalah industri gula merah tebu, yaitu industri yang
mengolah tebu menjadi gula merah. Industri ini meliputi industri yang berskala
rumah tangga yaitu industri yang mempunyai tenaga kerja kurang dari lima orang,
dan industri kecil yaitu industri dengan tenaga kerja 5 – 19 orang. Penelitian ini
dibatasi pada dua kegiatan utama yaitu analisa profil usaha industri gula merah
tebu, dan analisa rancang ulang bangunan industri gula merah tebu di Kecamatan
Kebonsari, Kabupaten Madiun.
Analisa profil usaha industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari
meliputi karakteristik wilayah, karakteristik industri, dan kontribusi industri
terhadap wilayah. Karakteristik wilayah meliputi kondisi lokasi, kependudukan,
serta sarana dan prasarana. Karakteristik industri meliputi sejarah dan
perkembangan, aspek legalitas, aspek teknis dan teknologis, aspek
ketenagakerjaan, aspek pemasaran, aspek pembiayaan dan aspek profitabilitas.
Kontribusi industri terhadap wilayah meliputi pendapatan daerah, pertumbuhan
usaha lain, dan penyerapan tenaga kerja. Analisa rancang ulang bangunan industri
gula merah tebu meliputi aspek tata letak pabrik dan aspek finansial.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dilakukannya penelitian ini antara lain :
1. Memberikan informasi mengenai kondisi usaha industri gula merah tebu yang
saat ini dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten
Madiun.
2. Melakukan perbaikan tata letak dan fasilitas pabrik gula merah tebu yang
diharapkan akan memperbaiki mutu dan kualitas gula merah yang dihasilkan.
3. Mengidentifikasi berbagai permasalahan dalam industri gula merah tebu serta
memberikan rekomendasi yang diharapkan mampu menyelesaikan
permasalahan tersebut.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. INDUSTRI KECIL
Menurut Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, definisi
industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau
rumah-tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun
jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih
paling banyak Rp 200 juta, dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rp 1
milyar atau kurang.
Batasan mengenai skala usaha menurut BPS dilakukan berdasarkan kriteria
jumlah tenaga kerja, yaitu :
1. Industri dan Dagang Mikro (ID Mikro) : 1 – 4 orang
2. Industri dan Dagang Kecil (ID Kecil) : 5 – 19 orang
3. Industri dan Dagang Menengah (ID Menengah) : 20 – 99 orang
4. Industri dan Dagang Besar (ID Besar) : 100 orang ke atas
Berdasarkan Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tersebut, Departemen
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah membuat empat kelompok bidang usaha
yang ada pada usaha kecil dan menengah (UKM), yaitu :
1. Bidang usaha perdagangan
2. Bidang usaha industri pertanian
3. Bidang usaha industri non pertanian
4. Bidang usaha aneka jasa
Menurut Sejoedono dan Tiktik (2004) kriteria umum UKM dilihat dari ciri-
cirinya pada dasarnya bisa dianggap sama, yaitu sebagai berikut :
1. Struktur organisasi yang sangat sederhana
2. Tanpa staf yang berlebihan
3. Pembagian kerja yang “kendur”
4. Memiliki hierarki manajerial yang pendek
5. Aktivitas sedikit yang formal, dan sedikit menggunakan proses perencanaan
6. Kurang membedakan aset pribadi dari aset perusahaan
5
Menurut Adiningsih (2004) permasalahan utama UKM, yaitu masalah
finansial dan masalah manajemen. Masalah yang termasuk dalam masalah
finansial diantaranya adalah :
1. Kurangnya akses ke sumber dana yang formal baik disebabkan oleh ketiadaan
bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai
2. Bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi
3. Banyak UKM yang belum bankable baik disebabkan belum adanya
manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan
manajerial dan finansial
Masalah organisasi manajemen (non-finansial) antara lain :
1. Kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang
disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan
teknologi serta kurangnya pendidikan dan pelatihan
2. Kurangnya pengetahuan atas pemasaran yang disebabkan oleh terbatasnya
informasi yang dapat dijangkau oleh UKM mengenai pasar, selain karena
keterbatasan kemampuan UKM untuk menyediakan produk atau jasa yang
sesuai dengan keinginan pasar
3. Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) serta kurangnya sumber daya
untuk mengembangkan SDM
4. Kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi
B. TEKNOLOGI PROSES GULA MERAH
Gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat
yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya
digunakan untuk menyatakan sukrosa, gula yang diperoleh dari bit atau tebu
(Buckle et al, 1987). Menurut asalnya bahan pemanis dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu bahan pemanis alami dan bahan pemanis sintesis. Jenis-jenis
bahan pemanis alami di Indonesia diperoleh dari berbagai tanaman yaitu tebu,
singkong, aren, kelapa, siwalan, jagung, nipah dan Stevia rebaudiana (BPPPG,
1985). Salah satu jenis pemanis alami adalah gula merah. Jenis gula ini
mengandung bermacam-macam gula selain sukrosa (Buckle et al, 1987).
6
1. Bahan Baku
Salah satu bahan baku yang digunakan dalam industri gula merah adalah
tanaman tebu. Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan
atau industri berupa rumput tahunan. Tebu membutuhkan musim dengan keadaan
iklim yang panas, ada sinar matahari, dan lembab pada fase tumbuhnya.
Temperatur rata-rata adalah sekitar 200C, intensitas cahaya lebih dari 1.200
jam/tahun dan penyediaan air yang cukup merupakan persyaratan tumbuh yang
optimal. Bibit tebu tidak dapat bertunas dengan baik pada temperatur kurang dari
200C, namun tebu dapat tumbuh pada temperatur antara 150C – 450C. Tebu
membutuhkan curah hujan sebanyak lebih dari 1.300 mm/musim pertumbuhan
(Tjokrodirdjo et al., 1999).
Rendemen dipengaruhi oleh teknik budidaya tanaman tebu. Masa kemasakan
tebu adalah suatu gejala bahwa pada akhir dari pertumbuhannya terdapat
timbunan sakarosa di dalam batang tebu (Sutardjo, 2002). Menurut Sudiatso
(1982) menjelang tebu masak untuk dipanen dikehendaki keadaan kering tidak
ada hujan sehingga pertumbuhan terhenti. Hujan terus menerus turun
mengakibatkan kemasakan terus tertunda sehingga rendemen menjadi rendah.
Untuk mengurangi kepekaan tanaman tebu terhadap kekurangan air ini perlu
adanya penyesuaian masa tanam dengan keadaan iklim sehingga peramalan iklim
sangat penting dilakukan.
Nira adalah bahan baku dalam pembentukan gula nira tebu berupa cairan
hasil ekstraksi batang tebu yang mengandung gula antara 10 – 20% (b/v). Nira
tebu ini yang diolah menjadi gula merah tebu (Muchtadi, 1992). Komposisi nira
terdiri dari karbohidrat, protein, air, dan pati (Goutara dan Wijandi, 1975).
Santoso (1993) menambahkan nira mempunyai rasa manis, berbau harum dan
tidak berwarna. Adanya bahan-bahan dari berbagai jenis gula seperti sukrosa,
fruktosa, glukosa, dan maltosa menyebabkan rasa manis pada nira. Nira sangat
mudah mengalami kerusakan sehingga nira menjadi asam, berbuih putih, dan
berlendir. Apabila nira terlambat dimasak, biasanya warna nira akan berubah
menjadi keruh kekuningan, rasanya asam serta baunya menyengat.
7
2. Proses Pembuatan Gula Merah
Menurut Dachlan (1984) gula merah merupakan hasil olahan nira dengan cara
menguapkan airnya kemudian dicetak. Gula merah berbentuk padat dan berwarna
coklat kemerahan sampai dengan coklat tua. Proses pembuatan gula merah pada
prinsipnya adalah proses penguapan nira dengan cara pemanasan sampai nira
mencapai kekentalan tertentu kemudian mencetaknya menjadi bentuk yang
diinginkan (Abbas dan Nirawan, 1980).
Pembuatan gula merah ini biasanya dilakukan secara sederhana di daerah-
daerah pedesaan. Selain itu peralatan dan teknologi yang digunakan umumnya
masih sederhana sehingga mutu produk yang dihasilkan relatif rendah dan tidak
konsisten (Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur, 1997). Tahap awal dari proses
pembuatan gula merah adalah persiapan nira, kemudian disaring dengan
menggunakan kain penyaring untuk memisahkan kotoran-kotoran seperti
potongan ranting, daun kering, dan serangga. Nira hasil penyaringan dimasukkan
ke dalam wajan kemudian dipanaskan pada suhu sekitar 1100C sambil dilakukan
pengadukan. Pada pemasakan dengan suhu tinggi ini, kotoran-kotoran halus akan
terapung di permukaan bersama-sama dengan buih nira. Kotoran tersebut
kemudian dibuang dengan menggunakan serok (Santoso, 1983).
Buih-buih yang timbul selama proses dapat dikurangi dengan melakukan
pengadukan terus menerus serta dapat ditambahkan kelapa parut, minyak kelapa,
atau kemiri yang dihaluskan (Palungkun, 1993). Menurut Jatmika et al (1990)
minyak dalam parutan kelapa berfungsi sebagai penurun tegangan permukaan
antara buih dan cairan nira sehingga peluapan buih dapat dicegah. Pemanasan nira
dihentikan jika nira sudah mulai pekat dan berwarna kecoklatan serta buih-buih
nira sudah menurun. Gula yang dihasilkan akan berwarna gelap dan agak keras.
Kecukupan pemanasan sangat mempengaruhi mutu gula merah yang dihasilkan.
Apabila waktu pemanasan terlalu cepat maka gula merah yang dihasilkan akan
lembek dan mudah meleleh (Sardjono, 1985).
Nira pekat yang telah dimasak, kemudian dituangkan ke dalam cetakan yang
telah dibasahi dengan air untuk mempermudah pelepasan gula merah. Alat
pencetakan gula merah umumnya adalah tempurung kelapa atau batang bambu.
Tahap akhir pembuatan gula merah adalah pengemasan. Menurut Dyanti (2002)
8
pengemasan diperlukan untuk memperpanjang umur simpan gula merah dan
mencegah penurunan mutu gula merah akibat penyerapan air. Bahan kemasan
yang biasa digunakan adalah daun pisang kering, daun aren, kulit jagung, atau
plastik.
3. Mutu dan Kualitas Gula Merah
Mutu gula merah ditentukan dari penampilannya seperti bentuk, warna, dan
kekerasan. Kekerasan dan warna gula merah sangat dipengaruhi oleh mutu nira
yang telah terfermentasi. Gula merah memiliki tekstur dan struktur yang kompak
serta tidak terlalu keras, sehingga mudah dipatahkan dan memberi kesan empuk.
Namun apabila gula merah disimpan pada tempat yang lembab atau terkena air
maka teksturnya akan berubah menjadi lembek (Sardjono, 1986).
Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu gula merah tebu
Persyaratan No Jenis Uji Satuan Mutu I Mutu II Keadaan Bau - khas khas Rasa - khas khas Warna - coklat muda – tua coklat muda – tua
1 Penampakan - tidak berjamur tidak berjamur
2 Bagian yang tidak larut dalam air, b/b % maks 1,0 maks 5,0 3 Air, b/b % maks 8,0 maks 10,0 4 Gula (dihitung sebagai sakarosa), b/b % min 65 min 60 5 Gula Pereduksi (dihitung sebagai glukosa), b/b % maks 11 maks 14
Bahan tambahan makanan residu mg/kg maks 20 maks 20
6 benzoat mg/kg maks 200 maks 200
Cemaran logam timbal (Pb) mg/kg maks 2,0 maks 2,0 tembaga (Cu) mg/kg maks 2,0 maks 2,0 seng (Zn) mg/kg maks 40,0 maks 40,0 timah (Sn) mg/kg maks 40,0 maks 40,0
7 raksa (Hg) mg/kg maks 0,03 maks 0,03
8 Cemaran arsen mg/kg maks 0,1 maks 0,1 . Mutu produk gula merah yang dihasilkan ditentukan oleh warna gula merah,
tekstur, dan daya simpan. Mutu gula merah dapat digolongkan menjadi dua atau
tiga tingkat mutu tergantung tingkatan masing-masing daerah. Untuk pengolahan
mutu dengan dua tingkatan sesuai dengan standar mutu gula merah tebu yang
dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 01-6237-2000
(Tabel 1). Mutu gula merah yang digolongkan menjadi tiga tingkatan terdiri dari
9
mutu baik, sedang, dan jelek. Mutu baik adalah gula merah dengan warna kuning
jernih, tekstur berpasir lembut, dan terasa manis. Mutu sedang adalah gula merah
dengan warna kuning kemerahan dan tekstur berpasir kasar. Mutu jelek adalah
gula merah dengan warna merah tua dengan tekstur lunak (Syukur et al., 1999).
Gula merah memiliki aroma dan rasa yang khas. Rasa manis pada gula merah
disebabkan karena gula merah mengandung beberapa jenis gula seperti sukrosa,
fruktosa, glukosa dan maltosa (Santoso, 1993). Warna merupakan salah satu
faktor yang menentukan kualitas penampakan bahan makanan, disamping faktor
lainnya seperti bentuk dan ukuran. Pada gula merah, warna dijadikan salah satu
faktor yang digunakan untuk menentukan tingkat kualitas produk. Sardjono
(1986) menyatakan bahwa gula merah yang warnanya lebih cerah dianggap
memiliki kualitas yang lebih baik.
Pembentukan warna gula merah pada dasarnya sangat bergantung pada 2 hal,
yaitu kondisi bahan baku dan proses pembuatan gula merah. Kondisi bahan baku
tergantung pada komposisi kimia nira (kadar air, protein, asam organik, dan
lemak) dan kondisi kesegaran nira (pH awal sebelum proses). Tahap proses
tergantung pada suhu proses, pengadukan selama pemasakan, kondisi kebersihan
(sanitasi) proses dan alat-alat yang digunakan (Nurlela, 2001). Pengolahan dengan
pemanasan menyebabkan gula merah memiliki warna yang bervariasi dari kuning
hingga coklat tua. Menurut Nengah (1990) warna merah terbentuk karena adanya
reaksi pencoklatan (browning) selama pengolahan.
Berdasarkan hasil penelitian Nurlela (2002) agar diperoleh warna gula merah
yang coklat kekuningan, keras dan kering sebaiknya pH nira sebelum diolah
berkisar antara 5,5 – 6,5. Dachlan (1984) menambahkan untuk memperoleh warna
gula merah yang kekuningan, sebelum nira dipanaskan perlu ditambahkan kira-
kira 5 gram Na-Metabisulfit untuk setiap 25 liter nira. Penggunaan api jangan
terlalu besar tetapi cukup untuk mendidihkan nira dan nyala api diusahakan
lancar.
C. MANAJEMEN PEMASARAN
Pemasaran adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu dan
kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan
menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang
10
bernilai dengan pihak lain. Manajemen pemasaran adalah proses perencanaan dan
pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan,
barang, dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memenuhi sasaran-sasaran
individu dan organisasi (Kotler, 2004).
Bagi pemasaran produk barang, manajemen pemasaran akan dipecah atas 4
kebijakan pemasaran yang lazim disebut sebagai bauran pemasaran (marketing-
mix) yang terdiri dari 4 komponen, yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi
(Umar, 2003). Menurut Kotler (2004) pada umumnya harga ditetapkan oleh
pembeli dan penjual yang saling bernegosiasi. Dalam bauran pemasaran, harga
merupakan satu-satunya elemen yang menghasilkan pendapatan dan dapat diubah
dengan cepat.
Penetapan harga harus dipertimbangkan bersama-sama sebagai bagian dari
sistem ekonomi. Penetapan harga akan mempengaruhi keputusan bisnis produsen,
pemasar, dan konsumen dimana keputusan itu pada gilirannya akan
mempengaruhi harga (Hoos et al, 1954).
Sebagian besar produsen tidak menjual barang mereka secara langsung ke
pemakai akhir. Antara produsen dan pemakai akhir terdapat satu atau beberapa
saluran pemasaran, serangkaian pemasaran yang melaksanakan berbagai fungsi.
Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung dan
terlibat dalam proses untuk menjadikan produk atau jasa siap untuk digunakan
atau dikonsumsi. Keputusan saluran pemasaran merupakan salah satu keputusan
yang paling rumit dan menantang yang dihadapi perusahaan. Saluran yang dipilih
perusahaan sangat mempengaruhi semua keputusan pemasaran lain (Kotler,
2004).
D. PERENCANAAN TATA LETAK
Salah satu kegiatan rekayasawan industri yang tertua adalah menata letak
pabrik dan menangani perpindahan bahan. Tata letak yang baik selalu melibatkan
tata cara pemindahan bahan di pabrik, sehingga kemudian disebut tata letak pabrik
dan pemindahan bahan (Apple, 1990).
Menurut Machfud dan Agung (1990) perencanaan tata letak adalah suatu
perencanaan untuk menentukan dan mengatur mesin dan peralatan pada suatu
tempat atau lokasi yang paling baik, untuk memperoleh suatu aliran bahan yang
11
tercepat dengan biaya produksi yang paling rendah. Perencanaan tata letak harus
memperhitungkan keseluruhan proses produksi, sejak dari penerimaan bahan baku
sampai dengan pengiriman produk akhir.
Perencanaan tata letak mencakup desain atau konfigurasi dari bagian-bagian,
pusat kerja, dan peralatan yang membentuk proses perubahan dari bahan mentah
menjadi bahan jadi. Perencanaan tata letak merupakan salah satu tahap dalam
perencanaan fasilitas yang bertujuan untuk mengembangkan suatu sistem
produksi yang efisien dan efektif sehingga dapat tercapai suatu proses produksi
dengan biaya yang paling ekonomis (Herjanto, 1999).
Permasalahan tata letak sangat beragam jenisnya antara lain bila dilakukan
perubahan rancangan, perluasan departemen, pengurangan departemen,
penambahan produk baru, memindahkan satu departemen, penambahan
departemen baru, peremajaan peralatan yang rusak, perubahan metode produksi,
penurunan biaya, dan perencanaan fasilitas baru (Apple, 1990).
Menurut Machfud dan Agung (1990) prinsip-prinsip yang harus diperhatikan
dalam perencanaan tata letak fasilitas adalah sebagai berikut : (1) prinsip integrasi
menyeluruh, (2) prinsip jarak pergerakan yang minimum, (3) prinsip aliran, (4)
prinsip volume ruang, (5) prinsip kepuasan dan kenyamanan bagi pekerja dalam
melaksanaan pekerjaan, dan (6) prinsip fleksibilitas.
E. ANALISA BIAYA DAN FINANSIAL
Analisa finansial adalah suatu analisa yang membandingkan antara biaya-
biaya dengan manfaat (keuntungan) untuk menentukan apakah suatu proyek akan
menguntungkan selama umur proyek (Sutojo, 2002). Menurut Umar (2003),
tujuan menganalisa aspek keuangan dari suatu studi kelayakan proyek bisnis
adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan
manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan pengeluaran dan pendapatan,
seperti ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek untuk membayar
kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah
proyek akan berkembang terus.
Pengertian modal menurut Bakker dalam Riyanto (1989) adalah barang-
barang kongkrit yang ada dalam rumah tangga perusahaan yang terdapat di neraca
debet, maupun daya beli atau nilai tukar dari barang-barang yang tercatat di
12
neraca sebelah kredit. Sumber kepemilikan modal menurut Biro Pusat Statistik
(1999) antara lain modal sendiri, hibah atau transfer, dan pihak lain. Menurut
Umar (2003) beberapa sumber-sumber dana yang penting antara lain adalah :
1. Modal pemilik perusahaan yang disetorkan
2. Saham yang diperoleh dari penerbitan saham di pasar modal
3. Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan dan dijual di pasar modal
4. Kredit yang diterima dari bank
5. Sewa guna (leasing) dari lembaga non-bank
Jumlah dana pembiayaan dibagi menjadi dua yaitu dana modal tetap dan
modal kerja netto. Dana modal tetap meliputi dana pembiayaan dan pengadaan
kegiatan pra-investasi, harta tetap, pengadaan teknologi, biaya produksi
percobaan, dan pembayaran bunga pinjaman selama periode pembangunan
proyek. Dana modal kerja digunakan untuk memutar roda operasi sehari-hari
seperti dana pengadaan bahan baku, bahan pembantu, barang setengah jadi,
barang jadi, piutang dagang, dan sejumlah cadangan uang tunai (Sutoyo, 1996).
Biaya (cost) adalah pengorbanan yang dilakukan untuk memperoleh suatu
barang atau jasa yang diukur dengan nilai uang, baik itu pengeluaran berupa uang,
melalui tukar menukar, atau melalui pemberian jasa. Ongkos (expense) adalah
pengeluaran untuk memperoleh pendapatan (Rony, 1990).
Jenis biaya menurut Asri dan Adisaputro (1992) dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu : biaya produksi, biaya pemasaran, dan biaya administrasi dan umum. Biaya
produksi terdiri dari biaya bahan baku langsung, biaya tenaga kerja langsung, dan
biaya overhead pabrik (Rony, 1990).
Evaluasi kemampuan proyek menghasilkan keuntungan dengan
menggunakan rasio laba atas penjualan, laba atas dana yang ditanam dan laba atas
modal sendiri (Sutoyo, 1996). Menurut Sembiring dan Rivai (1991) analisa laba
kotor adalah penjualan dikurangi dengan biaya-biaya produksi (bahan baku,
tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik) dari barang-barang yang telah laku
terjual. Umar (2003) menambahkan beberapa metode yang dipertimbangkan
untuk menilai aliran kas dari suatu invetasi adalah Net Present Value (NPV),
Internal Rate of Rate (IRR), dan Payback Period (PBP).
13
III. METODOLOGI
A. KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian mengenai “Analisa Kondisi Usaha dan Rancang Ulang Tata Letak
Industri Gula Merah Tebu” dibagi menjadi dua kegiatan utama yaitu analisa
profil usaha industri gula merah tebu dan analisa rancang ulang bangunan industri
gula merah tebu yang berada di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun.
Analisa profil usaha industri gula merah tebu meliputi karakteristik wilayah,
karakteristik industri, dan kontribusi industri terhadap wilayah. Analisa rancang
ulang bangunan industri gula merah tebu meliputi aspek tata letak pabrik dan
aspek finansial.
Kondisi lokasi, kependudukan, dan sarana prasarana merupakan sumber daya
yang dimiliki untuk mengembangkan wilayahnya di semua sektor kehidupan
khususnya pada sektor industri gula merah tebu. Menurut Wijaya (2001)
industrialisasi pedesaan berdasarkan faktor lokasi dapat dikategorikan menjadi
dua, yaitu industri di desa lahan kering dan industri di desa lahan sawah.
Dipandang dari aspek lokasi, industralisasi pedesaan menunjukkan keterkaitan
antara sektor pertanian dengan sektor industri.
Karakteristik industri yang meliputi aspek legalitas, teknis teknologis,
ketenagakerjaan, pemasaran, pembiayaan dan profitabilitas digunakan sebagai
informasi dalam menentukan profil usaha industri gula merah tebu yang ada di
Kecamatan Kebonsari. Hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Manajemen FE
UI tahun 1987 di dalam Sejoedono dan Tiktik (2004) merumuskan profil usaha
kecil di Indonesia sebagai berikut : (1) Hampir setengah perusahaan kecil hanya
mempergunakan 60% kapasitas produksinya, (2) 60% menggunakan teknologi
tradisional, (3) 70% melakukan pemasaran langsung ke konsumen, dan (4) Untuk
memperoleh bantuan perbankan, dokumen-dokumen yang harus disiapkan
dipandang terlalu rumit.
Keberadaan suatu industri di wilayah tertentu memberikan pengaruh terhadap
lingkungannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Analisa kontribusi
industri gula merah tebu terhadap wilayah Kecamatan Kebonsari meliputi
14
pendapatan daerah, pertumbuhan usaha lain, dan penyerapan tenaga kerja.
Menurut Sejoedono dan Tiktik (2004) dalam pembangunan ekonomi di Indonesia
industri kecil selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan yang
penting, karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan
hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern.
Industri kecil menyumbang pembangunan dengan berbagai jalan antara lain
menciptakan kesempatan kerja, memperluas angkatan kerja, dan menekan laju
urbanisasi sehingga secara nasional industri kecil memberikan sumbangan
terhadap produk domestik bruto.
Kegiatan pengolahan gula merah tebu dilakukan pada satu lokasi yang tetap
sehingga sebuah industri gula merah memiliki sebuah bangunan pabrik untuk
kegiatan produksi. Salah satu kegiatan rekayasawan industri yang tertua adalah
menata letak pabrik dan menangani perpindahan bahan (Apple, 1990). Menurut
Herjanto (1999) perencanaan tata letak mencakup desain atau konfigurasi dari
bagian-bagian, pusat kerja, dan peralatan yang membentuk proses perubahan dari
bahan mentah menjadi bahan jadi. Rancang ulang bangunan pabrik gula merah
tebu termasuk kegiatan proyek. Menurut Umar (2003) kegiatan proyek adalah
kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka pendek dengan alokasi
sumber daya tertentu dan dimaksudkan untuk melaksanakan tugas dan sasarannya
telah digariskan dengan jelas.
Dalam pengkajian aspek ekonomi dan keuangan diperhitungkan berapa
jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun dan kemudian mengoperasikan
proyek (Sutoyo, 1996). Lebih lanjut Umar (2003) menambahkan tujuan
menganalisa aspek keuangan dari suatu studi kelayakan proyek bisnis adalah
untuk mengetahui perkiraan pendanaan dan aliran kas proyek bisnis sehingga
dapat diketahui layak atau tidaknya rencana bisnis yang dimaksud. Perusahaan-
perusahaan yang ingin sukses perlu memahami akuntansi baik akuntansi keuangan
(financial accounting) maupun akuntansi biaya (cost accounting). Laporan
keuangan dan pengelolaan keuangan perusahaan yang baik diperoleh dari proses
akuntansi. Aktivitas akuntansi keuangan berkaitan dengan mencatat dan
memeriksa data historis mengenai perubahan modal kerja, perubahan investasi,
dan perubahan posisi keuangan (Kuswadi, 2005)
15
Gambar 1. Skematis pelaksanaan penelitian
Skematis pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Penelitian ini
termasuk kedalam kelompok penelitian survei dan studi kasus. Penelitian survei
adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Effendi dan Singarimbun,
1989). Menurut Nasution (2003) penelitian survei bertujuan untuk mengumpulkan
16
informasi tentang orang yang jumlahnya besar dengan cara mewawancarai
sejumlah kecil populasi itu. Studi kasus (case study) adalah bentuk penelitian
tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di dalamnya. Supranto
(1991) menambahkan tujuan studi kasus adalah memberikan gambaran secara
mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus
ataupun status individu, yang kemudian sifat-sifat khas tersebut akan dijadikan hal
yang berifat umum. Dalam studi kasus elemen satu lokasi penelitian tidak terkait
dengan populasi tertentu. Kesimpulan yang diambil tidak bersifat umum, tetapi
hanya tertentu pada kasus yang diteliti.
B. METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian “Analisa Kondisi Usaha dan Rancang Ulang Tata Letak
Industri Gula Merah Tebu” dilaksanakan di Desa Pucanganom, Desa
Tambakmas, dan Desa Sidorejo yang termasuk ke dalam Kecamatan Kebonsari,
Kabupaten Madiun, Propinsi Jawa Timur. Pelaksanaan penelitian ini dimulai pada
tanggal 10 Februari 2006 sampai dengan 19 Mei 2006.
2. Metode Sampling
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan
diduga, sementara unit penelitian adalah unit yang akan diteliti atau dianalisa
(Effendi dan Singarimbun, 1989). Unit analisa dalam penelitian ini adalah unit
usaha pengolahan gula merah tebu dimana populasi adalah semua industri gula
merah tebu yang berada di Kecamatan Kebonsari. Yang menjadi sampel adalah
semua unit usaha yang pada saat penelitian ini sedang beroperasi. Dengan
demikian maka metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-
probability sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive
dan snowball sampling. Purposive sampling dilakukan dengan mengambil orang-
orang yang terpilih betul oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh
sampel itu, sementara dalam snowball sampling dimulai dengan salah satu
responden yang kemudian diminta untuk menunjuk kawan masing-masing dan
begitu seterusnya sehingga kelompok semakin besar (Nasution, 2003).
17
3. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan pengukuran langsung yang
dilakukan kepada pengusaha gula merah tebu, Desa Pucanganom, Desa
Tambakmas, Desa Sidorejo, Kecamatan Kebonsari, Dinas Perkebunan Kabupaten
Madiun, Dinas Perindustrian Kabupaten Madiun, dan BPS Kabupaten Madiun.
Data sekunder berasal dari buku, internet, publikasi dan lampiran dari berbagai
badan-badan resmi, dan hasil-hasil studi. Alat bantu yang digunakan dalam
pengumpulan data antara lain kuesioner, meteran, stopwatch, buku tulis, dan alat
tulis.
4. Metode Pengolahan Data
a. Analisa dan interpretasi data
Untuk mendapatkan deskripsi ciri atau karakteristik unit sampel atas dasar
analisa suatu variabel tertentu dilakukan kegiatan analisa terhadap data yang telah
dikumpulkan. Menurut Effendi dan Singarimbun (1989) analisa data adalah
proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan. Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
analisa tabel, grafik, dan diagram. Interprestasi data dilakukan dengan dua cara
yaitu interpretasi secara sempit dan luas. Pada interpretasi secara sempit, peneliti
hanya melakukan interpretasi atas data dan hubungan yang ada dalam
penelitiannya, sedangkan interprestasi secara luas mencoba mencari pengertian
yang lebih luas tentang hasil-hasil yang diperoleh kemudian membandingkan
hasil analisa peneliti dengan kesimpulan peneliti lain.
b. Analisa tata letak
Perencanaan tata letak secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 2.
Menurut Tompkins dan White (1984) ada beberapa prosedur yang berbeda dalam
pelaksanaan perancangan tata letak. Salah satu cara yang umum digunakan adalah
berdasarkan tahapan sebagai berikut :
1. Mendefinisikan tujuan fasilitas
2. Merinci aktivitas utama yang mendukung pencapaian tujuan
3. Menentukan hubungan antar semua aktivitas
18
4. Menentukan luasan yang diperlukan untuk semua aktivitas
5. Menyusun alternatif tata letak
6. Melakukan evaluasi terhadap alternatif-alternatif
7. Memilih salah satu alternatif
8. Melaksanakan tata letak yang dipilih
9. Memelihara dan menyesuaikan tata letak.
Gambar 2. Perencanaan tata letak secara sistematis (Machfud dan Agung, 1990)
19
c. Analisa finansial
1. Analisa profitabilitas
Analisa profitabilitas atau laporan laba rugi menggambarkan besarnya jumlah
pendapatan dan biaya dalam satu periode sehingga merupakan informasi yang
mengambarkan keberhasilan atau kegagalan kinerja perusahaan (Kuswadi, 2005)
TCTR −=π
π = Profit (keuntungan)
TR = Total Revenue (pendapatan total)
TC = Total Cost (biaya total)
2. R/C (Return to Cost) Rasio
Komposisi ini pada dasarnya untuk memudahkan apakah suatu usaha telah
mencapai titik impas (Break Even Point) dangan kriteria sebagai berikut :
R/C > 1 � menguntungkan
R/C = 1 � impas (tidak untung dan tidak rugi)
R/C < 1 � rugi 3. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara Present Value (PV) dari
investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa
yang akan datang (Umar, 2003).
on
t tt I
K
CTNPV −
+= ∑
=1 )1(
CFt = Aliran kas pada periode t
Io = Investasi awal pada tahun 0
K = Suku bunga (discount rate)
4. Internal Rate of Return (IRR)
Menurut Umar (2003) Internal Rate of Investment atau IRR adalah metode
yang digunakan untuk mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang
dari arus kas yang diharapkan di masa datang.
−−−−=
12
1211 CC
PPxCPIRR
20
P1 = Tingkat bunga ke-1
P2 = Tingkat bunga ke-2
C1 = NPV ke-1
C2 = NPV ke-2
5. Payback Period (PBP)
Payback Period (PBP) adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup
kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas (Umar, 2003).
)( 11 ++ −−+=
nn
n
BBBnPBP
n = Periode investasi nilai kumulatif Benefit negatif terakhir
Bn = Nilai kumulatif Bt - Ct negatif yang terakhir (Rp)
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PROFIL INDUSTRI GULA MERAH TEBU
1. Karakteristik Wilayah
a. Kondisi lokasi
Kecamatan Kebonsari merupakan salah satu Kecamatan yang termasuk dalam
wilayah Kabupaten Madiun. Batas wilayah Kecamatan Kebonsari bagian utara
adalah Kecamatan Geger, bagian selatan adalah Kabupaten Ponorogo, bagian
timur adalah Kecamatan Dolopo dan Kecamatan Geger, dan bagian barat adalah
Kabupaten Magetan (Lampiran 1). Kecamatan Kebonsari termasuk dataran rendah
dengan ketinggian 65,36 dari permukaaan laut. Rata-rata curah hujan adalah 1.200
mm dengan rata-rata lamanya musim penghujan adalah 5 bulan/tahun.
Luas wilayah kecamatan Kebonsari adalah 5.102,55 Ha yang terbagi menjadi
14 desa, yaitu Tambakmas, Tanjungrejo, Sukorejo, Pucanganom, Krandegan,
Singgahan, Sidoredjo, Palur, Mojorejo, Kebonsari, Rejosari, Balerejo, Bacem, dan
Kedondong. Lahan yang berada di Kecamatan Kebonsari digunakan petani
sebagai areal pertanian, tanaman obat dan pekebunan. Penggunaan lahan terbesar
di Kecamatan Kebonsari adalah lahan persawahan dengan hasil pertanian utama
berupa padi dan jagung. Tanaman obat yang dibudidayakan oleh petani adalah
jahe dan kunyit, sedangkan tanaman perkebunan berupa tebu, kelapa, kakao,
kapuk randu, dan melinjo.
Berdasarkan Tabel 2 dan 3 mengenai persentase lahan berdasarkan
penggunaan dan produksi beberapa jenis tanaman pada tahun 2004 di Kecamatan
Kebonsari, tanaman tebu termasuk salah satu komoditas utama di Kecamatan
Kebonsari sehingga tebu memberikan kontribusi yang berarti bagi pendapatan
mesyarakat. Selain ditanam di tanah sawah, tanaman tebu dapat ditanam pada
lahan kering sehingga tebu dapat ditanam di tegalan. Sejak awal tahun delapan
puluhan pabrik gula merintis mengembangkan tebu di daerah lahan kering, namun
menurut Soentoro et al., (1999) produktivitas tebu lahan kering jauh lebih rendah
dibandingkan dengan produktivitas tebu lahan sawah. Pada tahun 2004, tanaman
tebu termasuk tanaman yang menggunakan areal lahan terbesar kedua di
22
Kecamatan Kebonsari. Luas dan persentase penggunaan areal tanaman ini di
Kecamatan Kebonsari adalah 1.127 Ha atau 22,09% untuk tanaman tebu dengan
produktivitas tebu per luas area adalah 100 ton/Ha.
Tabel 2. Luas tanah kecamatan kebonsari berdasarkan penggunaannya Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%) Tanah Sawah
• Teknis 2439,34 47,81 • ½ teknis 542,25 10,63
Tanah Kering • Tadah hujan 140,68 2,76 • Tegal 329,33 6,45 • Mukim 1072,34 21,02
Perkebunan Rakyat 82 1,61 Fasilitas Umum
• Kas desa 365,75 7,17 • Lapangan 8,07 0,16 • Kantor 4,51 0,09 • Lainnya* 118,28 2,32
Jumlah 5102,55 100,00 * Masjid, Puskesmas, Koperasi, Gardu, dan lain-lain.
(Sumber : Kecamatan Kebonsari, 2005)
Tabel 3. Hasil produksi pertanian, tanaman obat, dan perkebunan Kecamatan
Kebonsari tahun 2004 Jenis Tanaman Luas Tanam Jumlah Produksi Pertanian
• Padi 2.074,00 Ha 10.971,46 ton • Jagung 447,41 Ha 4.872,29 ton • Lainnya 60,57 Ha 508,79 ton
Tanaman Obat • Jahe 3,42 Ha 3,11 ton • Kunyit 4,83 Ha 4,15 ton
Perkebunan • Tebu 1.127,00 Ha 112.700,00 ton • Kakao 22,00 Ha - • Kelapa 1.980 batang - • Kapuk randu 1.176 batang 0,58 ton • Melinjo 9.985 batang
(Sumber : Kecamatan Kebonsari, 2005)
b. Kependudukan
Jumlah penduduk Kecamatan Kebonsari adalah 53.781 jiwa dengan 13.895
kepala keluarga, dan tingkat kepadatan penduduk adalah 1.055 jiwa/km2. Jumlah
penduduk buta huruf adalah 374 jiwa. Mata pencaharian sebagian besar penduduk
23
adalah petani dengan persentase sebesar 83,06%. Jumlah pengangguran di
Kecamatan Kebonsari adalah 4314 jiwa. Komposisi penduduk berdasarkan mata
pencaharian di Kecamatan Kebonsari dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk di Kecamatan Kebonsari Tahun 2004 Mata pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%) Petani* 24.368 83,06 Peternak 209 0,71 Lainnya** 4.761 16,23 29.338 100,00 * Petani pemilik, Petani penyakap, dan Buruh tani ** ABRI/PNS, Pegawai swasta, Wiraswasta, Buruh/Karyawan, dan lain-lain
(Sumber : Kecamatan Kebonsari, 2005)
Sektor pertanian dan perkebunan di Kecamatan Kebonsari mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 24.368 jiwa dari 3.532,60 Ha areal pertanian dan
perkebunan yang ada. Perbandingan antara luas areal dengan tenaga kerja adalah
0,14 Ha/orang. Hasil wawancara dengan petani tebu, pengerjaan lahan
perkebunan tebu di Kecamatan Kebonsari umumnya dilakukan secara individu.
Rata-rata luas areal perkebunan tebu yang digarap berkisar antara 0,14 – 1 Ha
dengan jumlah pekerja sebanyak 1 – 7 orang. Petani dapat menggarap lahan milik
sendiri dan lahan milik orang lain terutama untuk petani penyakap dan buruh tani
karena tidak memiliki lahan milik sendiri untuk digarap.
Hasil penelitian mengenai analisis peluang peningkatan kesempatan kerja dan
pendapatan petani melalui pengelolaan usahatani bersama yang dilakukan oleh
Yusdja et al., (2004) menjelaskan bahwa usaha tani sawah rakyat yang dikelola
secara individu tidak efisien karena terbukti meningkatkan penggunaan biaya,
pupuk dan alokasi lahan. Kerjasama antar petani layak dilakukan karena dapat
meningkatkan produksi sebesar 5 – 10%, meningkatkan keuntungan 18 – 30%,
dan kesempatan kerja bertambah sebesar 20 – 30%.
c. Sarana dan prasarana
Aktivitas penduduk di Kecamatan Kebonsari di bidang perdagangan gula
merah tebu dan komoditas tebu didukung oleh sarana dan prasarana yang ada
Sarana dan prasarana yang terdapat di Kecamatan Kebonsari antara lain sarana
transportasi, komunikasi, dan irigasi (Tabel 5).
24
Tabel 5. Sarana dan prasarana di Kecamatan Kebonsari Sarana dan Prasarana Jumlah Transportasi
• Jalan desa 426 km • Jalan kampung 53 km • Jembatan 64 unit • Sepeda motor 8.733 unit • Mobil 471 unit • Angkutan Desa ada • Ojek ada • Bus ada
Komunikasi • Radio ada • Televisi 11.438 unit • Telepon ada
Irigasi • Primer 23.695 km • Tersier 49.646 km
(Sumber : Kecamatan Kebonsari, 2005)
Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan pengamatan langsung yang
dilakukan. Jalan desa yang berada di Kecamatan Kebonsari adalah jalan aspal
yang dilalui angkutan desa. Rata-rata frekuensi angkutan desa yang melintasi
Kecamatan Kebonsari kurang lebih dua jam sekali, namun pada pagi hari
frekunsinya antara 15 – 30 menit sekali karena umumnya mengangkut penumpang
dari pasar. Bus hanya melintasi Desa Tanjungrejo karena letaknya berada di
sebelah selatan dan berbatasan langsung dengan jalan utama yang
menghubungkan Kabupaten Ponorogo.
Tingginya tingkat kepemilikan sepeda motor menyebabkan mobilitas
penduduk di Kecamatan Kebonsari pada umumnya menggunakan sepeda motor
sebagai sarana transportasi. Sebagian kecil menggunakan sepeda, mobil pribadi,
dan jalan kaki sampai jalan desa yang dilalui angkutan desa. Mobilitas yang
dinamis dengan sarana dan prasarana transportasi yang memadai sangat
mendukung mobilitas penduduk, khususnya petani dan pengusaha industri gula
merah tebu untuk menjual produk, membeli bahan baku, dan mencari tenaga
kerja.
Perkembangan sarana dan prasarana komunikasi di Kecamatan Kebonsari
sudah cukup baik. Televisi dan radio merupakan sumber informasi utama petani
dan pengusaha industri gula merah tebu dalam mengetahui perkembangan dunia
usaha. Kegiatan komunikasi dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pada
25
komunikasi langsung biasanya kedua belah pihak melakukan pertemuan secara
langsung baik disengaja atau tidak, sedangkan komunikasi tidak langsung
dilakukan menggunakan alat komunikasi telepon dan handphone.
Saluran irigasi yang terdapat di Kecamatan Kebonsari terdiri dari irigasi
primer dan tertier. Hasil wawancara dengan Kepala Seksi PMD Kecamatan
Kebonsari dan staf Dinas Perkebunan Kabupaten Madiun, sumber air pada saluran
irigasi primer berasal dari bendungan atau sungai yang bisa mengairi 1 – 2
Kecamatan (irigasi sekunder) dan sebuah saluran irigasi sekunder dapat mengairi
beberapa desa (irigasi tertier). Pengelolaan saluran irigasi primer dan sekunder
diatur oleh Dinas Perairan setempat, sementara pengelolaan dan perawatan
saluran irigasi tertier diserahkan langsung kepada petani. Selain memanfaatkan
saluran irigasi, petani menggunakan sumur pompa diesel untuk mengairi areal
pertanian dan perkebunan.
2. Karakteristik Industri
a. Sejarah dan perkembangan
Industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari sudah dimulai sejak tahun
1930. Menurut Soentoro et al., (1999) masa kejayaan gula berakhir menjelang
tahun tiga puluhan bersamaan dengan terjadinya depresi ekonomi. Penurunan
harga gula yang drastis menyebabkan banyak pabrik gula yang tutup sehingga
produksi gula sangat merosot. Salah satu alternatif yang dilakukan petani tebu
adalah dengan mengolah sendiri tebu menjadi gula merah tebu yang kemudian
dijual di pasar-pasar tradisional sekitar. Dengan demikian industri gula merah tebu
terus tumbuh dan berkembang sebagai salah satu usaha petani tebu untuk
meningkatkan penghasilannya.
Pada awalnya tenaga yang digunakan untuk proses penggilingan tebu adalah
tenaga sapi. Pada saat panen tebu, proses pengolahan gula merah tebu dikerjakan
selama 24 jam penuh untuk menghindari kerusakan nira tebu yang sudah
ditebang. Pengusaha dan keluarga terlibat langsung dalam proses produksi gula
merah tebu pada siang hari, sedangkan pengolahan pada malam hari dilakukan
oleh pihak saudara atau penduduk sekitar.
Pada tahun 1975 mulai dikenal mesin diesel untuk menggerakkan mesin
giling menggantikan sapi. Dengan mesin ini, waktu proses pengolahan menjadi
26
lebih pendek 10 – 12 jam yang dimulai pada pukul 06.00 pagi untuk
menghasilkan gula merah tebu yang sama dengan menggunakan tenaga sapi.
Setelah adanya teknologi mesin pada industri gula merah tebu, pengusaha tidak
secara langsung terlibat dalam proses pengolahan. Pengolahan gula merah tebu
hanya dilakukan oleh tenaga kerja penggiling.
Sekitar tahun 1990-an pemerintah melalui Dinas Perkebunan melakukan
penyuluhan-penyuluhan pada petani tebu. Materi penyuluhan yang dilakukan
umumnya adalah materi di sektor hulu seperti pengelolaan, perawatan,
pengendalian, serta upaya meningkatkan produktivitas perkebunan tebu. Salah
satu bentuk penyuluhan mengenai industri gula merah tebu adalah adanya materi
pelatihan metode jarak jauh mengenai pengolahan gula merah tebu pada tahun
1997 oleh Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur.
Menurut Hawkins dan Van Den Ban (1999) definisi penyuluhan adalah
keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar
dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa
membuat keputusan yang benar. Petani memanfaatkan berbagai sumber untuk
mendapatkan pengetahuan dan informasi yang diperlukan untuk mengelola usaha
tani mereka dengan baik meliputi :
a) Petani-petani lain
b) Organisasi penyuluhan milik pemerintah
c) Perusahaan swasta yang menjual input, menawarkan kredit, dan membeli
hasil pertanian
d) Agen pemerintahan yang lain, lembaga pemasaran, dan politisi
e) Organisasi petani dan organisasi swasta beserta stafnya
f) Jurnal usaha tani, radio, televisi, dan media massa lainnya
g) Konsultan swasta, pengacara, dan dokter hewan
Pada tahun 1997 industri gula merah tebu yang beroperasi di Kecamatan
Kebonsari berjumlah 70 unit usaha. Setelah reformasi industri gula merah tebu
jumlah industri gula merah tebu yang beroperasi semakin berkurang. Hal tersebut
disebabkan rendahnya modal kerja yang dimiliki, dan sulit dalam mencari tenaga
kerja.
27
b. Aspek legalitas
Sesuai dengan Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil,
ditinjau dari tingkat usahanya industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari
merupakan usaha yang tergolong dalam industri kecil. Usaha ini dilakukan secara
perorangan yang bertujuan untuk memproduksi produk gula merah tebu sehingga
termasuk ke dalam kelompok bidang usaha industri pertanian. Berdasarkan
kriteria jumlah tenaga kerja, industri ini termasuk ke dalam kelompok industri dan
dagang mikro kecil karena dalam pengelolaannya melibatkan 4 – 10 orang tenaga
kerja.
Pada dasarnya industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari ini masih
belum memiliki badan hukum. Dalam menjalankan usahanya industri ini belum
mempergunakan surat izin usaha dari Dinas Perindustrian Kabupaten Madiun
sehingga termasuk ke dalam perusahaan non direktori. Menurut BPS (2003)
perusahaan non direktori adalah perusahaan atau usaha yang tidak memiliki status
atau badan hukum dimana kegiatannya dilakukan disuatu bangunan dan tempat
perlengkapannya tidak dipindah-pindahkan. Pada umumnya kelompok usaha ini
hanya mempunyai SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) bahkan ada yang tidak
mempunyai izin sama sekali.
Prosedur pendirian perusahaan di Kabupaten Madiun (Gambar 3) dimulai
dengan pembuatan akte pendirian di notaris, kemudian dilanjutkan dengan
membuat Surat Keterangan Domisili Usaha yang dikeluarkan oleh pihak
Kelurahan setempat. Kegiatan perizinan pendirian perusahaan yang dapat
dilakukan di Kantor Kecamatan Kebonsari adalah pembuatan Surat Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Gangguan (HO), dan Surat Izin Tempat
Usaha (SITU). Surat IMB yang dikeluarkan untuk industri gula merah tebu
termasuk IMB skala besar (bangunan tempat usaha). Besar retribusi suatu industri
ditetapkan berdasarkan letak bangunan, yaitu di tepi jalur Bina Marga, di tepi jalur
jalan Kabupaten, dan di tepi jalur jalan desa.
Permasalahan dalam perizinan bagi pengusaha adalah sulitnya pengurusan
izin usaha, dan membutuhkan biaya. Beberapa pengusaha menyatakan bahwa
usahanya bersifat musiman dan tidak kontinu sehingga tidak diperlukan izin
usaha. Pengusaha juga menganggap izin usaha tidak mempunyai fungsi yang
28
nyata. Hambatan lain mengenai permasalahan legalitas industri gula merah tebu di
Kecamatan Kebonsari antara lain belum adanya sikap proaktif dari pemerintahan
mengenai industri gula merah tebu seperti penyuluhan-penyuluhan dan lembaga
khusus untuk industri ini serta kurangnya pengetahuan dan informasi pengusaha
mengenai prosedur pendirian perusahaan.
Gambar 3. Prosedur pendirian perusahaan di Kabupaten Madiun
(Sumber : Kecamatan Kebonsari, 2005) Surat izin usaha sangat penting apabila seorang pengusaha ingin memperoleh
fasilitas-fasilitas dari pemerintah. Dalam hal bantuan permodalan, bank-bank atau
institusi permodalan memerlukan legalitas usaha dan jaminan untuk mengevaluasi
calon nasabah dalam rangka pemberian kredit atau investasi. Surat izin ini juga
dapat digunakan untuk menghindari adanya tuntutan dari pihak lain, seperti
tuntutan terhadap polusi debu dan suara yang ditimbulkan dalam kegiatan
menggiling dan memasak gula merah tebu. Dengan demikian peranan legalitas
sangat diperlukan untuk pengusaha industri gula merah tebu untuk
mempertahankan serta mengembangkan usahanya.
29
c. Aspek teknis dan teknologis
1. Bahan baku
Bahan baku utama dalam industri gula merah di Kecamatan Kebonsari adalah
tanaman tebu. Sumber bahan baku tebu yang diproses menjadi gula merah tebu
berasal dari hasil tanam sendiri, membeli, dan titip giling. Tebu yang berasal dari
hasil tanam sendiri terbagi menjadi dua kelompok yaitu tebu yang ditanam di
lahan milik dan lahan sewa, sementara tebu yang dibeli berasal dari perkebunan
tebu rakyat bebas (TRB) yang berada di Kecamatan Kebonsari. Pada pengolahan
gula merah titip giling, tebu berasal dari pemilik tebu baik tebu sendiri atau
pemborong tebu yang tidak memiliki pabrik gula merah tebu untuk kemudian
diolah menjadi gula merah tebu. Sumber bahan baku tebu yang digunakan industri
gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Sumber bahan baku untuk industri gula merah
Tebu rakyat bebas (TRB) yang dibeli pengusaha atau pemilik modal berasal
dari desa-desa di Kecamatan Kebonsari. Pembelian tebu umumnya dilakukan
pada antara bulan Februari – April dimana tebu masih berusia 8 – 10 bulan.
Pemilihan tebu yang dibeli dari tebu rakyat bebas (TRB) dilakukan oleh
pengusaha atau pemilik modal dengan memperhatikan pertumbuhan tanaman.
Tebu dipilih berdasarkan bentuk batang, kondisi perkebunan, dan umur tanaman.
Berdasarkan bentuk batang tebu yang baik adalah tebu yang memiliki batang
besar dan lurus. Tebu bengkok atau ambruk, belum cukup umur, dan tidak
memenuhi teknis pemeliharaan tanaman tebu akan menurunkan mutu produk gula
merah tebu yang dihasilkan.
30
Tabel 6. Harga tebu berdasarkan bulan tahun 2006 Bulan Harga ( kotak) Februari Rp 2.500.000 – 3.000.000 Maret Rp 2.750.000 – 3.100.000 April Rp 2.750.000 – 3.500.000 Mei Rp 2.900.000 – 3.500.000 Juni Rp 2.900.000 – 4.000.000
(Sumber : Data Primer)
Sistem pembelian tebu yang dilakukan pengusaha industri gula merah di
Kecamatan Kebonsari adalah sistem borongan dimana tebu dijual tidak
berdasarkan bobot melainkan per luas areal (dalam terminologi responden adalah
kotak). Rata-rata luas per kotak adalah 0,143 Ha. Harga tebu yang dijual
tergantung umur tebu, pada Tabel 6 dapat dilihat harga tanaman tebu tahun 2006.
Berdasarkan pengalaman petani tebu pada musim panen harga tebu akan terus
meningkat sampai pada puncaknya antara bulan Agustus – September dan setelah
bulan tersebut harga tebu akan menurun. Penurunan harga tebu ini disebabkan
umur tebu sudah terlalu tua dan sudah masuk musim penghujan sehingga
rendemen yang dihasilkan menurun. PERSENTASE AREAL TANAMAN TEBU
KABUPATEN MADIUN
12,41%
9,71%
11,56%
8,81%
10,10%
47,41%
KebonsariDolopoGegerJiwanBalerejoDagangan, Karee, Gemarang, Wungu, Madiun, Mejay an, Saradan, Pil kenceng, Sawahan, W i
Gambar 5. Grafik persentase areal tanaman tebu Kabupaten Madiun
31
LUAS AREAL TANAMAN TEBU KECAMATAN KEBONSARI
1.2971.120
915 941829 829 798
883
0
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
Ha
Gambar 6. Grafik luas areal tanaman tebu Kecamatan Kebonsari
pada periode tahun 1997 – 2004 Gambar 6 menunjukkan rata-rata luas perkebunan tebu di Kecamatan
Kebosari antara 1997 – 2004 adalah 952 Ha. Berdasarkan data dinas perkebunan
Kabupaten Madiun, antara tahun 1997 – 2003 luas area tanaman tebu di
Kecamatan Kebonsari mengalami penurunan dan baru pada tahun 2004 terjadi
kenaikan. Hal tersebut disebabkan karena adanya pertimbangan mengalihkan
usaha perkebunan tebu dengan tanaman alternatif. Menurut Soentoro et al., (1999)
analisa kelayakan finansial usaha tani tebu dan usaha tani non-tebu di daerah
sawah dan tegalan di Jawa Timur menunjukkan bahwa pendapatan bersih usaha
tani tebu di sawah secara keseluruhan tidak berbeda dengan tanaman
alternatifnya.
Tabel 7. Kebutuhan bahan baku dan areal perkebunan tebu industri gula merah
tebu di Kecamatan Kebonsari.
Responden Produksi / Hari (Ton Tebu)
Lama Produksi (Hari)
Kebutuhan Areal (Ha)
A 2,50 150 3,75 B 1,86 120 2,23 C 3,65 210 7,67 D 1,64 120 1,97 E 3,38 240 8,11 F 2,37 180 4,27 G 3,08 210 6,47
Rata-rata 2,64 176 4,92
32
Produktivitas tebu per luas area adalah 100 ton/Ha sehingga rata-rata dalam
setahun Kecamatan Kebonsari mampu memproduksi tebu sebanyak 952.000 ton
tebu. Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan produksi industri gula
merah tebu adalah 2,64 ton tebu/hari. Kegiatan pengolahan gula merah tebu di
Kecamatan Kebonsari dilakukan pada musim panen tebu yaitu antara bulan Mei –
Oktober. Berdasarkan hasil pengamatan, kegiatan pengolahan gula merah tebu
juga dilakukan sebelum musim panen tebu. Tebu yang diolah sebelum musim
panen merupakan tebu yang ditebang pada umur 8 – 10 bulan dimana pucuk tebu
hasil tebangan digunakan sebagai bibit. Hal tersebut tentu saja dapat
mempengaruhi mutu dan rendemen yang dihasilkan.
2. Bahan tambahan pangan dan penunjang produksi
Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara
alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke
dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan (Himpunan
Alumni Fateta, 2005). Bahan tambahan yang digunakan dalam industri gula
merah tebu di Kecamatan Kebonsari adalah larutan kapur (laru), dan minyak
kelapa (Tabel 8).
Tabel 8. Penggunaan dan harga bahan tambahan pangan
Bahan Tambahan Dosis / wajan (11 – 13 kg gula)
Harga (kg)
Minyak Kelapa 20 gram Rp 4.800 Kapur 100 gram Rp 350 Natrium Metabisulfit 10 gram Rp 8.000 (Sumber : Data Primer)
Menurut Goutara dan Wijandi (1985), larutan kapur telah digunakan sebagai
pengendap kotoran atau pemurnian nira sejak tahun 1685. Kapur tohor yang
digunakan untuk proses pemurnian nira umumnya dilarutkan dahulu di dalam air
menjadi susu kapur (Ca(OH)2). Penambahan larutan kapur dapat menetralkan pH
nira serta mengendapkan kotoran-kotoran yang terlarut dalam nira (Dinas
Perkebunan Propinsi Jawa Timur, 1997). Menurut Dachlan (1984) minyak kelapa
merupakan senyawa anti buih. Penambahan minyak kelapa dapat menurunkan
33
tegangan permukaan larutan nira sehingga memperlambat pembentukan buih
sehingga nira tidak meluap.
Bahan tambahan lain yang digunakan oleh pengusaha gula merah tebu adalah
Natrium Metabisulfit. Natrium metabisulfit merupakan bahan pewarna tambahan
yang digunakan untuk memberikan warna kuning pada gula merah tebu.
Penambahan Natrium metabisulfit pada proses pemasakan bertujuan untuk
mengurangi proses pencoklatan agar warna gula yang dihasilkan menjadi lebih
kuning dan cerah. Menurut Buckle (1987) adanya sulfit pada Natrium metabisulfit
dapat menurunkan pH dan mampu menghalangi beraksinya gugus karbon gula
pereduksi agar tidak bereaksi dengan asam amino sehingga warna coklat
kehitaman tidak terbentuk.
Bahan penunjang yang digunakan pada proses produksi gula merah tebu
antara lain bahan bakar diesel, oli, dan aspal padat. Bahan bakar diesel berfungsi
untuk menjalankan diesel penggerak mesin giling. Oli berfungsi untuk
melumaskan gigi (gear) pada mesin giling. Aspal padat berfungsi untuk membuat
sabuk transmisi (belt) yang menghubungkan mesin giling dan diesel tidak licin
dan mudah lepas. Untuk mengolah 25 – 35 kw tebu/hari, rata-rata bahan bakar
diesel dan oli yang digunakan adalah 8 liter dan 0,45 liter. Sebuah aspal padat
dapat digunakan selama ± 2 – 3 bulan. Bahan penunjang produksi lain yang
digunakan pada industri gula merah tebu adalah bahan bakar untuk kendaraan.
Penggunaan bahan bakar untuk kendaraan pengangkut tebu tergantung pada jarak
antara kebun dan pabrik, semakin jauh jarak tersebut akan meningkatkan
penggunaan bahan bakar kendaraan.
3. Mesin dan peralatan
Mesin dan peralatan yang digunakan dalam industri gula merah tebu di
Kecamatan Kebonsari antara lain golok, mesin diesel, mesin penggiling tebu, bak
nira, gerobak, selang dan pipa, tungku masak, penahan (bumbung), serok, ebor,
pengaduk, cetakan gula, ember, dan keranjang. Mesin diesel digunakan sebagai
sumber tenaga penggerak bagi mesin penggiling (Gambar 7).
Mesin diesel termasuk kelompok mesin bakar dalam. Menurut Pratomo dan
Kohar (1983) motor bakar dalam merubah tenaga yang berasal dari
pengembangan gas hasil ledakan campuran bahan bakar dengan udara menjadi
34
tenaga mekanis. Tenaga yang dihasilkan dari pembakaran mesin diesel akan
mengubah gerak torak yang bolak balik dalam arah lurus menjadi gerak putar.
Besarnya tenaga mesin diesel yang dimiliki oleh pengusaha industri gula merah
tebu di Kecamatan Kebonsari berkisar antara 12 – 14 PK.
Gambar 7. Mesin diesel dan mesin penggiling tebu
Putaran yang dihasilkan mesin diesel akan diteruskan ke roda gila pada mesin
penggiling dengan sabuk transmisi (belt) sebagai alat penyalur putaran. Pratomo
dan Kohar (1983) menyatakan bahwa penggerak berbentuk sabuk transmisi (belt)
bekerja atas dasar gesekan. Tenaga disalurkan dengan cara persinggungan antara
sabuk transmisi (belt) yang menghubungkan puli penggerak dan puli yang
digerakkan. Keuntungan penggunaan sabuk transmisi (belt) sebagai alat
penyaluran tenaga antara lain mudah dirancang, mudah dipasang, menyerap
getaran, mudah dirawat, murah, dan memungkinkan penghentian tenaga dengan
mudah. Beberapa kerugian penggunaan sabuk transmisi (belt) adalah tidak tahan
lama dibanding penggerak lain, tidak dapat meneruskan beban berat, dan tidak
dapat digunakan bila diperlukan ketepatan waktu yang tinggi.
Pada Gambar 8 dapat dilihat mesin penggiling tebu memiliki 3 buah gilingan.
Berdasarkan pengamatan, ukuran gilingan yang digunakan berkisar antara 14 – 18
inci dengan kapasitas 1 – 2 ton tebu/jam. Prinsip kerja mesin penggiling adalah
tebu yang ditekan (press) antara gilingan 1 dan 2 menghasilkan nira dan ampas
tebu (bagase). Ampas tebu (bagase) keluar antara gilingan 1 dan 3, sedangkan
nira yang dihasilkan keluar dari sekat antara gilingan 2 dan 3. Salah satu cara
untuk meningkatkan jumlah nira adalah mengatur jarak antara ketiga gilingan.
35
Pengaturan jarak yang tepat akan meningkatkan jumlah nira, dan bagase yang
dihasilkan tidak terlalu basah sehingga mempercepat penjemuran. Kesalahan
pengaturan akan menurunkan jumlah nira, bagase terlalu basah, dan apabila jarak
antara ketiga gilingan terlalu rapat menyebabkan kerusakan pada mesin
penggiling.
Gambar 8. Prinsip kerja mesin penggiling tebu
Sebagian besar mesin diesel dan giling yang dimiliki pengusaha gula merah
tebu sudah tua dan mengalami banyak perbaikan. Mesin diesel dan giling yang
digunakan biasanya dibeli bekas pakai atau dari tukang rongsok besi sehingga
harganya jauh lebih rendah dibandingkan membeli mesin baru. Hal tersebut
menyebabkan mesin tidak efisien lagi untuk digunakan. Pengusaha gula merah
tebu lebih memperhatikan perawatan dan pengadaan suku cadang. Ketika tidak
musim giling biasanya mesin diperbaiki (service) sehingga kondisinya baik ketika
akan digunakan. Apabila dalam kegiatan produksi terjadi kerusakan pada salah
satu mesin biasanya digunakan suku cadang yang sudah dipersiapkan, sementara
bagian mesin yang rusak diperbaiki.
Menurut Murdinah et al., (2002) perawatan mesin dan peralatan diperlukan
untuk menjamin kelancaran proses produksi. Perawatan perlu dilakukan secara
periodik untuk mencegah terjadinya kerusakan fatal yang mendadak sehingga
dapat menghambat proses produksi. Perawatan juga berarti menyiapkan mesin
dan peralatan pada kondisi puncak kerja dan memperpanjang umur ekonominya..
Tungku masak merupakan salah satu peralatan utama dalam proses
pengolahan gula merah tebu. Tungku masak yang umumnya dimiliki pengusaha
industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari hanya menggunakan bahan
bakar bagase. Selain bagase, sekam dapat digunakan sebagai bahan bakar tungku
masak. Penggunaan sekam biasanya hanya digunakan ketika cuaca tidak
36
mendukung untuk menjemur ampas tebu (bagase) sehingga terjadi kekurangan
bahan bakar ampas tebu (bagase).
Sebuah tungku masak terdiri dari tempat memasukkan bahan bakar, tempat
wajan pemasakan, tempat pengambilan abu, dan cerobong pembuangan asap.
Wajan yang digunakan dalam sebuah tungku masak berjumlah 7 – 9 buah dengan
diameter 90 cm. Kapasitas wajan pemasakan adalah 68 liter nira dengan
kemampuan menghasilkan 11 – 13 kg gula merah tebu. Desain tungku masak
seperti pada Gambar 9 dibuat miring agar uap panas lebih cepat dan merata.
Bahan bakar ampas tebu (bagase) dan sekam yang dimasukkan ke tungku akan
dibakar. Api hasil pembakaran akan memanaskan wajan yang terdekat dengan
sumber api, sedangkan wajan yang jauh hanya memanfaatkan uap panas hasil
pembakaran. Hal tersebut menyebabkan hanya wajan terdekat dengan sumber api
yang digunakan untuk menurunkan nira yang sudak masak (gulali).
Gambar 9. Desain tungku pemasakan gula merah tebu
4. Proses Produksi
Secara umum kegiatan proses produksi gula merah tebu di Kecamatan Tebu
masih dilakukan berdasarkan aturan dan cara yang sudah diterapkan secara turun
temurun. Faktor utama yang digunakan untuk membedakan tingkat mutu dan
kualitas produk gula merah tebu yang dihasilkan adalah warna dan kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurlela (2002) pembentukan
warna gula pada dasarnya sangat bergantung pada dua hal, yaitu kondisi bahan
baku dan proses pengolahan gula merah. Kondisi bahan baku meliputi komposisi
kimia nira (kadar air, protein, asam organik, dan lemak), dan kondisi kesegaran
nira (pH awal sebelum proses pemasakan). Kondisi proses pengolahan meliputi
37
suhu proses, pengadukan selama pemasakan, serta kondisi kebersihan proses dan
alat-alat yang digunakan. Selama ini kegiatan pengawasan mutu belum dilakukan
secara optimal oleh pengusaha industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari
sehingga menyebabkan kualitas dan mutu produk gula merah tebu yang dihasilkan
rendah.
Berdasarkan hasil observasi, pengamatan, dan wawancara diketahui bahwa
tahapan dalam proses produksi gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari terdiri
dari penggilingan, pemasakan, pengentalan, pencetakan, pengemasan, dan
penyimpanan. Diagram alir proses produksi pembuatan gula merah tebu dapat
dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Diagram alir proses gula merah tebu
38
a) Penggilingan
Proses penggilingan adalah proses penghancuran batang tebu untuk
mengekstraksi nira semaksimal mungkin (Gambar 11). Sejak tahun 1975, proses
penggilingan tebu dilakukan menggunakan mesin giling yang digerakkan oleh
mesin diesel dan dihubungkan dengan sabuk transmisi (belt). Tebu sebagai bahan
baku gula merah dipilih yang sudah masak, agar diperoleh hasil gula yang tinggi.
Berdasarkan wawancara dengan para pengusaha, umumnya tebu yang digunakan
industri gula merah tebu adalah tebu yang telah berumur minimal 11 – 12 bulan
dengan rendemen rata-rata 10%.
Gambar 11. Tahapan Proses Penggilingan
Menurut Goutara dan Wijardi (1985) tebu dianggap siap panen jika bunganya
sudah habis, hanya tinggal tangkainya dan ruas batang dibagian pucuk sudah
sangat pendek (umur 11 – 14 bulan). Nira yang diperoleh memiliki kadar gula
yang berbeda, tergantung kandungan gula dalam tebu dan tingkat ekstraksi yang
dilakukan. Kandungan gula dalam nira tebu tergantung pada faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan tebu meliputi curah hujan, jenis tanah, udara, suhu,
dan pupuk yang dgunakan.
Dalam keadaan segar, nira mempunyai rasa manis, berbau harum, dan tidak
berwarna. Nira yang digunakan haruslah bermutu tinggi agar dihasilkan gula
dengan mutu baik. Mutu nira ditentukan oleh kadar gula pereduksi dan
keasamannya. Kadar gula pereduksinya harus lebih kecil atau sama dengan 8%,
sedangkan tingkat keasaman atau pH yang baik adalah pH 6 – 7. Kondisi asam
(pH rendah) pada nira menyebabkan terjadi kerusakan sakarosa (inversi),
39
sedangkan kondisi basa (pH tinggi) menyebabkan terbentuknya gula reduksi. Gula
reduksi dalam nira terutama adalah heksosa, glukosa, fruktosa, dan manosa dalam
jumlah sedikit.
Kerusakan nira ditandai dengan rasanya yang asam, berbuih, dan berlendir.
Kerusakan ini terjadi karena aktivitas mikroba kontaminan yang menyebabkan
terjadinya fermentasi gula yang terdapat pada nira. Penghambatan kerusakan nira
dapat dilakukan dengan cara memasukkan larutan kapur ke dalam bak penampung
nira dan memanaskan nira segera mungkin setelah digiling.
Kemampuan menggiling industri gula merah tebu yang berada di Kecamatan
Kebonsari berkisar antara 2 – 4 ton tebu/hari sehingga dalam sehari biasanya
hanya dilakukan sekali pengangkutan. Tebu ditempatkan di sekitar mesin
penggiling untuk memudahkan dan mempercepat kegiatan penggilingan atau
pemerahan nira. Tebu dimasukkan dalam mesin penggiling secara bertahap sesuai
dengan kemampuan mesin. Hasil tebangan tebu yang dilakukan termasuk
tebangan bersih karena sebelum masuk penggilingan, kotoran berupa daun kering
tebu dan tanah sudah dibersihkan.
Hasil pemerahan nira dari mesin penggiling akan ditampung dalam bak
penampung nira. Bak penampung yang digunakan terdiri dari bak penampung
pertama dan kedua. Bak pertama berfungsi untuk menampung dan menyaring nira
dari kotoran-kotoran kasar, sedangkan bak kedua hanya berfungsi untuk
menampung nira. Bak penampung kedua ditempatkan dekat tungku masak agar
memudahkan pemindahan nira dari bak penampung menuju wajan-wajan
pemasakan.
b) Pemasakan
Menurut Abbas dan Nirawan (1980) proses pembuatan gula merah pada
prinsipnya adalah proses penguapan nira dengan cara pemanasan sampai nira
mencapai kekentalan tertentu kemudian mencetaknya menjadi bentuk yang
diinginkan. Nira yang sudah ditampung kemudian dialirkan ke wajan pemasakan
untuk segera dimasak. Menurut keterangan pengusaha gula merah tebu, nira harus
segera dimasak untuk menghindari kebusukan yang mengakibatkan gula menjadi
hitam, pahit, dan bahkan tidak bisa mengeras.
40
Penambahan larutan kapur dilakukan ketika nira dialirkan ke wajan
pemasakan untuk mengendapkan kotoran pada nira. Kotoran yang dihasilkan
biasa disebut untuk. Pada awal pemasakan untuk akan mengapung dibagian atas
nira bersama-sama dengan buih nira yang kemudian harus dibuang (Gambar
12.a). Kegiatan penyaringan ini harus dilakukan secara cepat dan berkali-kali
sampai bersih karena apabila nira sudah hampir matang dan untuk tidak dibuang
atau terlambat dibuang akan menyebabkan gula merah yang dihasilkan menjadi
berwarna hitam.
(a) (b)
Gambar 12. Tahapan proses pemasakan Seiring dengan peningkatan suhu dan lamanya pemasakan menyebabkan nira
menjadi masak dan menghasilkan banyak buih (Gambar 12.b). Untuk
menghindari meluapnya buih yang berlebihan maka wajan ditutup dengan
penahan (bumbung) yang terbuat dari anyaman bambu, selain itu penggunaan
penahan (bumbung) juga bertujuan untuk menghindari bercampurnya buih nira
dari satu wajan ke wajan yang lain.
Pengolahan gula merah tebu dengan pemanasan menyebabkan produk
memiliki warna yang bervariasi dari kuning hingga coklat tua, tetapi pada
umumnya berwarna coklat kemerahan. Menurut Nengah (1990) warna merah
yang terbentuk karena adanya reaksi pencoklatan (browning) selama proses
pemasakan. Suhu awal pemasakan nira berkisar antara 60 – 700C dan semakin
lama suhu akan meningkat sampai 110 – 1200C. Pengaturan suhu pemasakan
tidak dilakukan secara langsung melainkan secara intuisi (feeling) oleh pekerja
pengatur api. Pengaturan suhu bertujuan untuk mengurangi terjadinya reaksi
41
pencoklatan (browning) karena suhu pemasakan terlalu tinggi. Tingginya suhu
pemasakan dan terlalu lama dalam memasak nira dapat menyebabkan produk gula
yang dihasilkan gosong dan berwarna hitam.
Proses pematangan nira berlangsung pada 2 – 3 wajan yang terdekat pada
sumber api karena panas pada wajan-wajan tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan wajan yang jauh dari sumber api. Nira yang sudah hampir masak
ditambahkan minyak kelapa dan Natrium Metabisulfit. Sebelum nira masak
dipindahkan ke tempat pengentalan biasanya diambil sedikit larutan gula (gulali)
masak dan dicelupkan ke dalam air. Apabila larutan gula (gulali) tersebut
membentuk benang-benang gula atau dapat sedikit mengeras setelah dimasukkan
dalam air maka larutan gula (gulali) siap dipindahkan ke tempat pengentalan.
c) Pengentalan dan Pencetakan
Proses pengentalan larutan gula (gulali) merupakan proses pendinginan dan
pengadukan dalam tempat pengentalan. Tempat pengentalan yang digunakan
terbuat dari wajan dengan diameter 90 cm. Proses pengentalan larutan gula
(gulali) tidak membutuhkan sumber panas sehingga larutan gula (gulali) cukup
diturunkan suhunya dengan pengadukan secara kontinu sampai cukup
kekentalannya (Gambar 13.a). Pengadukan dilakukan selama 10 menit di dalam
wajan pengentalan menggunakan pengaduk yang terbuat dari bambu yang bagian
atasnya diikat pada kayu bagian atap bangunan pabrik.
(a) (b)
Gambar 13. Tahapan proses pengentalan dan pencetakan
42
Pada proses pembuatan gula merah, proses penggumpalan larutan gula
merupakan proses pembesaran kristal, yatu penempelan sakarosa pada inti kristal
yang ada setelah proses pemasakan. Pendinginan dan pengadukan yang dilakukan
akan menurunkan suhu larutan gula (gulali) yang mengakibatkan naiknya
koefisien kejenuhan. Naiknya koefisien kejenuhan ini mengakibatkan terjadinya
penempelan sakarosa pada inti kristal yang ada sebelumnya. Pengadukan yang
terus menerus akan menyebabkan larutan gula (gulali) menjadi padat.
Larutan gula (gulali) yang mulai dingin dan sedikit mengeras kemudian
dicetak menggunakan cetakan lemper (Gambar 13.b). Cetakan lemper yang
digunakan berbentuk piring berdiameter 18 cm dan terbuat dari tanah liat. Gula
merah tebu yang sudah dicetak disimpan selama 5 – 10 menit untuk
mendinginkan dan mengeraskan gula merah tebu. Gula merah tebu yang telah
dingin dan keras kemudian dilepaskan dari cetakan dan disusun kedalam
keranjang bambu.
d) Pengemasan dan Penyimpanan
Tahap terakhir proses produksi gula merah tebu adalah pengemasan dan
penyimpanan. Pengemasan dan penyimpanan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari proses produksi, khususnya untuk pengawetan bahan pangan,
baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk dijual pada masa yang akan datang.
Pengemasan diperlukan untuk memperpanjang umur simpan dan mencegah
terjadinya penurunan mutu produk gula akibat penyerapan air. Bahan kemasan
produk gula yang digunakan adalah plastik dan dikemas antara 5 – 6 kg/kemasan.
(a) (b)
Gambar 14. Tahapan proses pengemasan dan penyimpanan
43
Kegiatan pengemasan tidak dilakukan oleh semua pengusaha industri gula
merah tebu yang ada di Kecamatan Kebonsari karena memerlukan biaya
tambahan untuk membeli plastik. Gula merah tebu hanya disimpan dalam
keranjang bambu, dimasukkan dalam karung, ditutupi plastik besar, dan hanya
disimpan di dalam keranjang.
Kegiatan penyimpanan biasanya hanya dilakukan pengusaha pada masa akhir
giling atau ketika harga produk gula merah tebu rendah. Tujuan penyimpanan
gula adalah sebagai tabungan yang akan dijual pada waktu tidak giling. Gula yang
disimpan biasanya berasal dari tebu sendiri yang dimiliki pengusaha baik melalui
pengolahan lahan sewa atau tanah sendiri. Penyimpanan jarang dilakukan
terhadap gula yang dihasilkan dari proses pengolahan dengan tebu yang dibeli dari
Tebu Rakyat Bebas (TRB) karena biasanya uang hasil penjualan produk langsung
digunakan lagi untuk modal kerja. Kendala rendahnya kepemilikan modal kerja
yang dimiliki pengusaha menyebabkan kegiatan penyimpanan produk gula merah
tebu tidak dilakukan untuk jangka waktu lama.
5. Penanganan Limbah dan Sanitasi
Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan gula merah tebu adalah daun
tebu, ampas tebu (bagase), kotoran hasil pemasakan (untuk), abu dan asap hasil
pembakaran bahan bakar bagase dan sekam. Ampas tebu (bagase) yang dihasikan
dari proses penggilingan merupakan bahan bakar utama tungku pemasakan selain
daun tebu kering dan sekam. Ampas tebu (bagase) yang masih basah disimpan 1 –
2 hari di ruang bahan bakar sehingga tidak terlalu basah, kemudian ampas tebu
(bagase) tersebut dijemur sebentar lalu dipisahkan dan disimpan dekat tungku
pemasakan untuk digunakan sebagai bahan bakar.
Limbah abu dan untuk yang dihasilkan pada proses pemasakan belum
dikelola dan dimanfaatkan oleh pengusaha gula merah tebu di Kecamatan
Kebonsari. Selama ini limbah abu hanya digunakan untuk menimbun tanah-tanah
yang rendah, sedangkan limbah untuk hanya dibuang dalam kolam atau disekitar
pabrik. Keterbatasan pengetahuan dan alasan praktis menyebabkan pengusaha
tidak memanfaatkan limbah abu dan untuk yang dihasilkan.
Menurut Silitonga (1985) pakan ternak masih menggantungkan sebagian
besar hijauan limbah pertanian (jerami) dan limbah perkebunan (daun tebu) serta
44
rumput alam sebagai sumber makanan pokok. Rochiman (1985) menambahkan
pucuk tebu sebagai pakan ternak telah digunakan oleh peternak dan sangat mudah
diperoleh pada saat musim tebu tanpa memerlukan biaya. Penggunaan pucuk tebu
diberikan pada ternak dalam bentuk segar dengan membuang tulang daunnya
memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan ternak.
Secara umum kegiatan sanitasi yang dilakukan dalam industri gula merah
tebu di Kecamatan Kebonsari belum terlaksana dengan baik. Kegiatan sanitasi
hanya dilakukan terhadap peralatan produksi, sedangkan sanitasi terhadap pekerja
belum diterapkan. Pada kegiatan sanitasi rutin yang dilakukan setiap hari,
pembersihan mesin penggiling tebu, tungku masak, dan alat-alat produksi seperti
serok, ebor, penahan, dan cetakan lemper belum optimal dan bahkan tidak
dilakukan. Selama proses produksi tungku masak hanya dibersihkan satu kali
yaitu pada saat awal musim giling. Pembersihan dilakukan dengan cara
mengambil abu hasil pembakaran selama satu musim, kemudian tungku dibakar
sampai membara dan dibiarkan dingin. Setelah dingin tungku masak dibersihkan
dengan air sampai bersih dan siap digunakan untuk memasak nira tebu.
Pada kegiatan produksi para pekerja biasanya hanya mengenakan pakaian
kerja yang sudah kotor dan dipakai berhari-hari. Keringan dan kotoran lain pada
badan pekerja yang mengolah gula merah tebu merupakan sumber kontaminasi
yang sangat besar bagi nira tebu maupun terhadap produk gula merah tebu yang
dihasilkan. Kegiatan sanitasi terhadap mesin dan peralatan produksi seperti mesin
giling, tungku pemasakan, serok, ebor, penahan, dan cetakan lemper sebaiknya
selalu dibersihkan setiap hari atau setelah proses produksi. Salah satu alternatif
penyelesaian masalah santasi pekerja adalah sebaiknya pekerja menggunakan
pakaian kerja yang bersih dan selalu mengganti pakaian kerja setiap hari.
Kegiatan sanitasi yang baik akan mengurangi resiko kontaminasi kotoran terhadap
bahan baku (nira tebu) dan produk gula merah tebu yang dihasilkan.
d. Aspek Pemasaran
Produk yang dihasilkan industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari
adalah gula merah dengan bentuk lemper sehingga sering disebut juga gula
mangkok. Bobot sebuah produk gula merah tebu yaitu antara 400 – 500 gram.
Tidak adanya pengawasan dalam proses pencetakan dan ukuran standar cetakan
45
lemper menyebabkan bobot satuan produk tidak seragam. Hal tersebut dapat
menjadi kendala ketika akan menjual produk secara eceran.
Tingkatan mutu produk gula merah tebu dibagi menjadi tiga kelompok mutu
yaitu mutu baik, sedang, dan jelek. Penentuan tingkat mutu ini dilakukan secara
subjektif oleh pengusaha berdasarkan warna, rasa, dan kekerasan. Produk gula
merah tebu dengan mutu baik memiliki warna cerah (kuning), rasa manis, dan
tekstur yang keras. Mutu sedang memiliki warna kemerahan, rasa manis, dan
tekstur agak lunak. Mutu jelek memiliki warna gelap (hitam), rasa manis sedikit
pahit, dan tekstur yang lebih lunak.
Berdasarkan pengamatan, rata-rata persentase produksi gula mutu baik,
sedang, dan jelek adalah 21%, 51%, dan 28%. Gula mutu baik biasanya dijual ke
pedagang pengumpul pengecer untuk dikonsumsi sebagai pemanis minuman dan
kue, sedangkan gula mutu sedang dan jelek dijual ke pedagang pengumpul besar
untuk digunakan sebagai bahan baku dalam industri kecap.
Harga jual produk gula merah tebu sangat ditentukan oleh mutu dan kualitas
yang dihasilkan. Selisih harga antara produk gula merah tebu bermutu tinggi,
sedang, dan jelek adalah Rp 100 – 300/kg. Harga jual produk gula merah tebu dari
pabrik antara bulan Februari – Juni 2006 menunjukkan adanya penurunan sebesar
Rp 100 – 125/bulan (Tabel 8). Harga tersebut akan terus menurun sampai
puncaknya antara bulan Agustus – September karena produksi gula merah tebu
sangat tinggi antara bulan tersebut. Ketika harga jual produk gula merah tebu
rendah, pengusaha yang memiiki modal besar biasanya melakukan penyimpanan
produk gula merah tebu untuk mengurangi resiko kerugian. Penjualan produk gula
yang disimpan dilakukan ketika sudah tidak musim giling atau ketika harga jual
produk gula merah dirasakan menguntungkan bagi pengusaha.
Tabel 8. Harga jual produk gula merah tebu tahun 2006
Mutu Produk Bulan Baik Sedang Jelek
Februari Rp 4.000 Rp 3.800 Rp 3.600 Maret Rp 3.800 Rp 3.600 Rp 3.500 April Rp 3.700 Rp 3.500 Rp 3.400 Mei Rp 3.600 Rp 3.300 Rp 3.200 Juni Rp 3.600 Rp 3.300 Rp 3.200
(Sumber : Data Primer)
46
Tingkat harga gula merah tebu sangat ditentukan oleh keseimbangan antara
permintaaan dan penawaran sehingga pada masa di luar panen tebu sampai awal
musim giling harga gula merah tebu lebih tinggi dibandingkan saat panen raya
tebu. Penetapan harga gula merah tebu dari pabrik dilakukan berdasarkan
kesepakatan antara penjual dan pembeli. Adanya permintaan produk gula merah
tebu ketika penawaran sedikit atau belum musim panen tebu menyebabkan harga
produk tinggi, sedangkan ketika penawaran produk gula merah tebu tinggi dengan
jumlah permintaan yang sama akan menurunkan harga.
Pemasaran produk gula merah tebu yang dihasilkan oleh industri gula merah
tebu di Kecamatan Kebonsari menganut sistem bebas, dalam arti produsen dapat
menawarkan dan menjual gula secara bebas tergantung permintaan pasar atau
konsumen. Distribusi produk gula merah tebu sangat sederhana karena pedagang
pengumpul baik besar dan pengecer datang langsung ke pabrik-pabrik pengolahan
gula merah tebu untuk membeli dan sekaligus mengangkutnya. Distribusi produk
gula merah terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu distribusi melalui
pedagang pengumpul pengecer, pedagang pengumpul besar, dan konsumen
industri langsung (Gambar 15).
Industri Gula Merah Tebu
Pedagang Pengumpul Pengecer Konsumen
Pedagang Pengumpul Besar
Pedagang Pengumpul Pengecer Konsumen
Konsumen
Konsumen
Gambar 15. Distribusi Produk Gula Merah Tebu
Secara umum pemanfaatan gula merah sebagai bahan pemanis dapat
digolongkan menjadi dua bagian besar, yaitu permintaan langsung dan permintaan
antara. Permintaan langsung adalah permintaan yang berasal dari sektor rumah
tangga, sedangkan permintaan antara adalah permintaan yang sebagian besar
untuk memenuhi kebutuhan industri (Syukur et al., 1999). Hasil penelitian yang
47
dilakukan oleh Ade (2005) menunjukkan distribusi produk gula merah terdiri dari
empat pola yaitu :
1. Industri Gula Merah � Pedagang Pengumpul Tingkat Desa � Pedagang
Pengumpul Tingkat Kecamatan � Pedagang Besar � Pedagang Pengecer �
Konsumen
2. Industri Gula Merah � Pedagang Pengumpul Tingkat Desa � Pedagang
Besar � Konsumen
3. Industri Gula Merah � Pedagang Pengecer � Konsumen
4. Industri Gula Merah � Konsumen
Dalam sekali pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul pengecer
berkisar antara 50 – 200 kg produk gula merah tebu. Kegiatan pengangkutannya
dilakukan menggunakan sepeda dan sepeda motor. Pedagang pengumpul pengecer
berasal dari desa setempat dan menjual produk gula merah tebu di pasar-pasar
tradisional di Kecamatan Kebonsari dan Kecamatan Dolopo. Pedagang
pengumpul besar dan konsumen industri (kecap) biasanya membeli 2 – 4 ton
produk gula merah tebu menggunakan kendaraan dan truk. Daerah pemasaran
yang dilakukan oleh pedagang pengumpul besar jauh lebih luas dibandingkan
pedagang pengumpul pengecer yaitu sampai ke Karesidenan Madiun yang
meliputi Ponorogo, Magetan, Madiun, Ngawi, dan Pacitan.
Menurut Ade (2005) 80% distribusi pemasaran dilakukan menggunakan pola
I atau melalui jalur pedagang pengumpul. Rachmat (1992) menambahkan bahwa
peranan pedagang pengumpul dalam seluruh mata rantai pemasaran gula merah
sangat dominan. Bahkan dominasi pedagang pengumpul pada pasar gula merah
telah mengarah pada struktur pasar monopsonistik. Seorang monopsonis dalam
pasar produk adalah pembeli tunggal dari suatu produk (Bellante dan Jackson,
1990).
Struktur pasar yang demikian adalah sebagai akibat skala usaha industri gula
merah tebu yang kecil, modal yang terbatas, dan umumnya produk dipasarkan
secara sendiri-sendiri, belum terkoordinasi dalam bentuk pemasaran kelompok
apalagi dalam bentuk koperasi. Dalam kondisi tersebut posisi tawar menawar
(bargaining possision) para pengusaha gula merah tebu menjadi lemah yang pada
akhirnya berbagai “praktek ijon” tidak dapat dihindari.
48
e. Aspek Ketenagakerjaan
Tenaga kerja adalah penjual jasa baik pikiran maupun tenaganya dan
mendapat kompensasi yang besarnya telah ditetapkan terlebih dahulu (Hasibuan,
2003). Adisaputro dan Marwan (1992) menambahkan tenaga kerja merupakan
salah satu faktor produksi yang utama dan selalu ada dalam perusahaan, meskipun
pada perusahaan tersebut sudah digunakan mesin-mesin. Tenaga kerja dalam
industri gula merah tebu adalah orang atau sekelompok yang bekerja mengolah
tebu menjadi produk gula merah tebu. Tenaga kerja penggiling termasuk kedalam
kelompok tenaga kerja langsung. Menurut Asri dan Adisaputro (1992) yang
dikategorikan sebagai tenaga kerja langsung antara lain adalah para buruh pabrik
yang ikut serta dalam kegiatan proses produksi dari bahan mentah sampai
terbentuk barang jadi.
Sebuah industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari menggunakan 5 –
10 orang sebagai tenaga kerja. Tenaga kerja ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu
tenaga kerja di pabrik dan tenaga kerja di kebun. Satu kelompok tenaga kerja di
pabrik terdiri dari 4 – 5 orang, sedangkan satu kelompok tenaga kerja di kebun
terdiri dari 2 – 3 orang. Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan maka dalam
industri gula merah tebu pekerja dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu :
1. Tukang tebang
Tukang tebang biasanya dilakukan oleh 2 – 3 orang yang bekerja di kebun
selama 7 – 8 jam/hari. Rata-rata dalam sehari tukang tebang mampu menghasilkan
3 – 4 ton tebu yang siap digiling pada hari berikutnya. Pekerjaan yang dilakukan
tukang tebang adalah membersihkan batang tebu dari daun-daun kering,
menebang batang tebu, dan mengangkut tebu dari kebun menuju pabrik.
2. Tukang giling
Sebuah mesin penggiling tebu dikerjakan oleh 2 orang tukang giling.
Pekerjaan yang dilakukan tukang giling adalah menggiling tebu, mengangkut
ampas tebu (bagase) ke ruang bahan bakar, dan menjemur ampas tebu (bagase).
Penggilingan tebu biasanya hanya dilakukan seorang tukang giling, sementara
seorang lagi mengumpulkan dan mengangkut ampas tebu (bagase) ke ruang
bahan bakar.
49
3. Tukang masak
Sebuah tungku pemasakan biasanya dikerjakan oleh 2 – 3 orang tukang
masak. Pekerjaan yang dilakukan tukang masak antara lain memindahkan nira
dari bak penampungan ke wajan pemasakan, membersihkan nira dari kotoran
untuk, menurunkan larutan gula (gulali) ke wajan pengentalan untuk diaduk,
mencuci cetakan lemper, dan mencetak gula merah. Koordinasi antara tukang
masak dan tukang obor sangat diperlukan untuk mencegah larutan gula (gulali)
tidak gosong.
4. Tukang obor
Tukang obor adalah pekerja yang bertanggung jawab terhadap pengaturan
suhu api. Ampas tebu (bagase) dan sekam yang dimasukkan sebagai bahan bakar
tungku harus diatur sehingga suhu api dapat konstan. Seorang tukang obor harus
selalu siap memantau wajan pemasakan. Pemasukan bahan bakar ampas tebu
(bagase) dan sekam ketika pemasakan dilakukan secara kontinu, tetapi ketika
sudah ada larutan gula (gulali) yang hampir masak pemasukannya dihentikan
sampai larutan gula (gulali) diturunkan ke wajan pengentalan.
Dalam pelaksanaannya kelompok pekerja terutama yang bekerja di pabrik
tidak hanya mengerjakan pekerjaan tertentu. Sebagai sebuah kelompok, setiap
pekerja saling membantu satu sama lain. Sebagai contoh ketika tukang masak
sedang mengaduk larutan gula (gulali) dan mencetak gula merah, tukang obor
akan membantu membuang kotoran untuk apabila diperlukan. Sambil menunggu
ampas tebu (bagase) biasanya tukang giling akan membantu tukang masak
dengan memindahkan nira dari bak penampungan ke wajan pemasakan.
Skala industri gula merah tebu yang kecil menyebabkan tingkat kebutuhan
tenaga kerja tidak terlalu banyak sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut
hanya digunakan tenaga kerja yang berasal dari penduduk setempat dan sedikit
saja yang berasal dari daerah disekitarnya. Berdasarkan pengamatan selama
penelitian, dari 5 – 10 orang tenaga kerja yang bekerja di industri gula merah tebu
80% berasal dari Kecamatan Kebonsari, sedangkan 20% sisanya berasal dari
Kecamatan lain. Tenaga kerja yang berasal dari penduduk setempat biasanya
masih memiliki ikatan persaudaraan dengan pengusaha industri gula merah tebu.
50
Upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja dengan pedoman atas
perjanjian yang disepakati pembayarannya (Hasibuan, 2003). Berdasarkan jenis
penerima upah, upah yang diberikan pada tenaga kerja pengolah gula merah tebu
di Kecamatan Kebonsari termasuk dalam jenis upah kelompok. Menurut Ries
dalam Scheltema (1985) upah kelompok adalah penerima upah berupa
sekelompok pekerja, yang karenanya mencapai prestasi kerja secara bersama-
sama dimana kelompok itu membagi dirinya sesuai dengan pekerjaannya. Upah
diberikan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan tenaga kerja yang
dihitung berdasarkan hasil produksi dan dibayarkan dalam bentuk uang. Besarnya
upah yang diterima satu kelompok tenaga kerja sama dengan 1/6 – 1/5 hasil
produksi gula merah tebu yang dihasilkan.
f. Aspek pembiayaan
Sebuah industri memerlukan modal kerja untuk memutar roda operasi sehari-
hari seperti dana pengadaan bahan baku, bahan pembantu, barang setengah jadi,
barang jadi, piutang dagang, dan sejumlah cadangan uang tunai (Sutoyo, 1996).
Menurut BPS (2003) modal kerja yang dimiliki dapat berasal dari modal sendiri
dan pihak lain. Modal sendiri adalah harta milik usaha sendiri tanpa adanya
kontribusi dari usaha atau pihak lain, sedangkan modal pihak lain merupakan
harta milik pihak lain (bank, koperasi, lembaga keuangan bukan bank, keluarga,
dan perorangan) dimana pengusaha tidak berkontribusi sama sekali.
Berdasarkan keterangan pengusaha gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari,
sumber modal yang digunakan untuk kegiatan operasioanl usaha gula merah tebu
berasal dari modal milik sendiri dan pinjaman dari pihak lain. Sumber modal
yang berasal dari pinjaman kepada pihak lain sebagian besar berasal dari sanak
saudara, perseorangan, dan hanya sedikit yang menggunakan jasa perbankan.
Beberapa alasan pengusaha tidak menggunakan jasa perbankan adalah tidak
memiliki jaminan, prosedur sulit, dan tidak berminat.
Dalam menjalankan usahanya pengusaha gula merah tebu cenderung
menggunakan naluri dalam mengelola usahanya, namun pengusaha tidak
membiasakan diri membuat catatan-catatan tentang kegiatan yang terjadi. Data-
data transaksi, keuangan, janji-janji dagang, harta, persediaan dan sebagainya
sangat terbatas sekali. Tidak jarang terjadi bahwa janji dagang atau pesanan
51
terlupakan karena tidak tercatat dengan baik. Pengusaha hanya mengandalkan
daya ingat dengan sedikit catatan untuk menunjang kebijaksanaan yang
diambilnya.
Menurut Adiningsih (2004) salah satu kelemahan UKM dalam aspek
keuangan adalah banyaknya UKM yang belum bankable karena belum adanya
manajemen keuangan yang transparan. Murdinah et al., (2002) menambahkan
dalam bidang keuangan, UKM biasanya lemah dalam membuat anggaran, tidak
adanya pencatatan dan pembukuan yang memadai, dan tidak adanya batasan tegas
antara milik pribadi (keluarga) dengan milik perusahaan.
g. Aspek Profitabilitas
Bahan baku tebu yang digunakan dalam industri gula merah tebu di
Kecamatan Kebonsari dibagi menjadi empat pola, yaitu tebu yang berasal dari
lahan milik sendiri (Pola I), lahan sewa (Pola II), beli tebu (Pola III), dan titip
giling (Pola IV).
Tabel 10. Biaya pengadaan bahan baku tebu/kotak (163 kw tebu)
Kuantitas (Kotak) Pola I Pola II Pola III Pola IV
Biaya Bahan Baku 163 kw Rp 1.054.214 Rp 2.061.357 Rp 2.857.143 - Bibit 5.500 potong Rp 275.000 Rp 275.000 - - Irigasi 6 jam Rp 56.000 Rp 56.000 - - Pupuk 79 kg Rp 162.500 Rp 162.500 - -
Za 14 kg Rp 86.429 Rp 86.429 - - KCl 46 kg Rp 15.714 Rp 15.714 - - Urea 14 kg Rp 60.357 Rp 60.357 - -
Sewa Bajak 1 hari Rp 102.857 Rp 102.857 - - Tenaga Kerja 22 HOK Rp 442.857 Rp 442.857 - - Pajak Tanah - Rp 15.000 Rp 15.000 - - Sewa Tanah - - Rp 1.007.143 - -
Tabel 10 menunjukkan perbedaan biaya bahan baku tebu antara Pola I, Pola
II, Pola III, dan Pola IV. Biaya pengadaan bahan baku pada Pola I adalah biaya
pengelolaan areal perkebunan tebu yang meliputi biaya pengadaan bibit, biaya
irigasi, biaya pemupukan, biaya tenaga kerja, dan pajak. Biaya pengelolaan areal
perkebunan tebu Pola II lebih besar dari Pola I karena membutuhkan biaya
tambahan untuk sewa lahan. Biaya pengadaan bahan baku tebu pada Pola III lebih
tinggi dibandingkan Pola I dan II karena tebu berasal dari Tebu Rakyat Bebas
52
(TRB) dimana harga jual TRB adalah biaya pengelolaan areal perkebunan tebu
ditambah dengan keuntungan yang diharapkan petani tebu. Harga bahan baku tebu
Pola I adalah Rp 6.473/kw, Pola II adalah Rp 12.657/kw, dan Pola III adalah Rp
17.544/kw.
Pola IV tidak membutuhkan biaya pengadaan bahan baku karena tebu berasal
dari orang lain yang sengaja menitipkan tebunya untuk diproses menjadi gula
merah tebu. Hasil penjualan gula merah tebu yang dihasilkan akan dibagi kepada
pengusaha sebesar 40% dari total penjualan gula merah tebu yang dihasilkan.
Sistem bagi hasil yang dterapkan dalam usaha pengolahan gula merah tebu di
Kecamatan Kebonsari adalah bagi hasil murni. Menurut Senduk (2003) dalam
bagi hasil murni, pendapatan yang diterima adalah pembagian sebesar sekian
persen dari keuntungan kotor usaha.
Tabel 11. Analisa profitabilitas berdasarkan bahan baku (264 kg produk/hari)
Pola I Pola II Pola III Pola IV Penerimaan Rp 920.714 Rp 920.714 Rp 920.714 Rp 368.286
Total Penjualan (TR) Rp 920.714 Rp 920.714 Rp 920.714 Rp 920.714 Bagi Hasil (40 % x TR ) - - - Rp 368.286 Gula Baik (56 kg x Rp 3700) Rp 208.786 Rp 208.786 Rp 208.786 Rp 208.786 Gula Sedang (135 kg x Rp 3500) Rp 471.500 Rp 471.500 Rp 471.500 Rp 471.500 Gula Jelek (73 kg x Rp 3300) Rp 240.429 Rp 240.429 Rp 240.429 Rp 240.429
Biaya Produksi Rp 396.847 Rp 560.110 Rp 689.111 Rp 225.953 Biaya Bahan Baku (26,4 kw tebu) Rp 170.894 Rp 334.157 Rp 463.158 - Biaya Bahan Penunjang Rp 62.855 Rp 62.855 Rp 62.855 Rp 62.855
Kapur (2,2 kg x Rp 350) Rp 770 Rp 770 Rp 770 Rp 770 Minyak Kelapa (0,44 kg x Rp 4.700) Rp 2.068 Rp 2.068 Rp 2.068 Rp 2.068 Metabisulfit (0,22 kg x Rp 8.000) Rp 1.760 Rp 1.760 Rp 1.760 Rp 1.760 BBM Diesel (8 lt x Rp 4.300) Rp 33.786 Rp 33.786 Rp 33.786 Rp 33.786 Oli (0,45 lt x Rp 9.000) Rp 4.050 Rp 4.050 Rp 4.050 Rp 4.050 BBM Kendaraan (5 lt x Rp 4.300) Rp 20.271 Rp 20.271 Rp 20.271 Rp 20.271 Aspal padat (Rp 9.000 / 60 hari) Rp 150 Rp 150 Rp 150 Rp 150
Biaya Tenaga Kerja Rp 163.098 Rp 163.098 Rp 163.098 Rp 163.098 Pendapatan Rp 523.867 Rp 360.604 Rp 231.603 Rp 142.333 Pendapatan / kg Rp 1.984 Rp 1.366 Rp 877 Rp 539
R/C Ratio 2,32 1,64 1,34 1,63 Keempat tipe pola usaha gula merah tebu yang dilakukan di Kecamatan
Kebonsari pada tingkat produksi sebesar 264 kg gula/hari dengan harga jual
produk berkisar antara Rp 3.300 – Rp 3.700/kg memberikan keuntungan yang
53
berbeda bagi pengusaha gula merah tebu. Pada Tabel 11 dapat dilihat Pola I lebih
memberikan pendapatan, pendapatan per kg gula merah, dan nilai R/C rasio lebih
tinggi dibandingkan Pola II, III, dan IV. Besarnya pendapatan, pendapatan per kg
gula dan nilai R/C rasio Pola I adalah Rp 523.867, Rp 1.984, dan 2,32 ; Pola II
adalah Rp 360.604, Rp 1.366, dan 1,64 ; Pola III adalah Rp 231.603, Rp 877, dan
1,34 ; dan Pola IV adalah Rp 142.333, Rp 539, dan 1,63.
Dalam menjalankan usahanya pengusaha tidak hanya menggunakan salah
satu pola tertentu. Bahan baku tebu yang diolah menjadi gula merah dapat juga
hasil kombinasi dari keempat pola. Selama penelitian terdapat 6 kombinasi
sumber bahan baku, yaitu Kelompok 1 (100 % Pola IV), Kelompok 2 (57 % Pola
II, dan 43 % Pola IV), Kelompok 3 (46 % Pola I, dan 54 % Pola II), Kelompok 4
(33 % Pola I, dan 67 % Pola III), Kelompok 5 (100 % Pola II), dan Kelompok 6
(40 % Pola II, 46 % Pola III, dan 16 % Pola IV).
Analisa profitabitas industri gula merah tebu berdasarkan kombinasi sumber
bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 4. Pendapatan Kelompok 1 adalah Rp
360.085, Kelompok 2 adalah Rp 2.450.207, Kelompok 3 adalah Rp 2.272.634,
Kelompok 4 adalah Rp 3.756.693, Kelompok 5 adalah Rp 961.431, dan
Kelompok 6 adalah Rp 2.583.142. Perbedaan pendapatan ini disebabkan karena
adanya perbedaan jumlah produksi dan hari kerja pengolahan gula merah tebu.
Semakin banyak hari kerja yang digunakan untuk pengolahan gula merah tebu
maka semakin tinggi produksi gula merah tebu yang dihasilkan.
Analisa profitabilitas industri gula merah tebu menunjukkan besarnya
pendapatan per kg gula merah pada Kelompok 1 adalah Rp 463, Kelompok 2
adalah Rp 959, Kelompok 3 adalah Rp 1.542, Kelompok 4 adalah Rp 1.389,
Kelompok 5 adalah Rp 1.350, dan Kelompok 6 adalah Rp 933. Nilai R/C rasio
pada Kelompok 1 adalah 1,50, Kelompok 2 adalah 1,82, Kelompok 3 adalah 1,80,
Kelompok 4 adalah 1,66, Kelompok 5 adalah 1,64, dan Kelompok 6 adalah 1,47.
Nilai pendapatan per kg gula merah dan R/C rasio terkecil terjadi pada
Kelompok 1 karena pendapatan yang diterima pengusaha gula merah tebu adalah
40 % total penerimaan dikurangi biaya pengolahan. Kelompok 3 adalah kelompok
dengan pendapatan per kg gula merah dan R/C rasio terbesar karena rendahnya
54
komponen biaya bahan baku menyebabkan biaya produksi juga rendah sehingga
mampu meningkatkan penerimaan gula merah tebu.
Kegiatan produksi gula merah tebu berkisar antara bulan Mei – Oktober,
tetapi apabila pada periode tersebut harga jual gula merah tebu rendah, maka
pengusaha (Pola I dan II) akan mempertimbangkan alternatif lain pemanfaatan
tebu yang mereka usahakan. Berbagai alternatif lain yang dilakukan pengusaha
antara lain :
1. Menjual langsung tebu batang ke pabrik gula.
2. Menjual tebu batang melalui pedagang perantara (tengkulak).
3. Menyimpan hasil produksi gula merah yang dihasilkan sampai harga jual gula
merah tebu lebih menguntungkan.
Pertimbangan untuk menjual langsung tebu batang yang dihasilkan
pengusaha (Pola I dan II) atau orang yang menitip tebu (Pola IV) harus sebanding
dengan oportunity cost yang harus ditanggung untuk mengolah tebu menjadi gula
merah tebu, antara lain :
1. Tambahan pekerjaan seperti kegiatan pengolahan, mencari dan menghubungi
tenaga kerja, serta mencari dan menghubungi konsumen.
2. Tambahan waktu seperti waktu pengolahan, waktu mencari bahan baku tebu,
dan waktu penyimpanan.
3. Tambahan biaya seperti biaya pengolahan, dan biaya penyusutan.
4. Ketidakpastian terhadap tingkat produksi dan harga jual gula merah tebu.
Menurut Zuraidah (2005) keputusan petani mengolah tebu menjadi gula merah
tebu dipengaruhi oleh faktor pendapatan rumah tangga non tebu, status lahan, dan
pengalaman berusaha tani tebu. Jumlah tanggungan keluarga, dan luas lahan tidak
berpengaruh terhadap keputusan petani untuk mengolah tebu menjadi gula merah
tebu.
3. Kontribusi Industri Terhadap Wilayah
a. Pendapatan daerah
Dalam pemerintahan daerah kabupaten dibentuk pemerintahan desa yang
terdiri dari pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa. Sesuai dengan
ketentuan pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, sumber pendapatan asli daerah terdiri dari :
55
1. Hasil pajak daerah
2. Hasil retribusi daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahan; dan
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, pajak daerah adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Retribusi adalah
pembayaran kepada negara yang dilakukan kepada mereka yang menggunakan
jasa-jasa negara, artinya retribusi daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa
atau kerena mendapat pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang
berkepentingan atau jasa yang diberikan oleh daerah baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Berdasarkan keterangan perangkat desa di Kecamatan Kebonsari, suatu
industri akan memberikan pemasukan bagi daerah melalui hasil pajak dan
retribusi daerah. Belum terdaftarnya industri gula merah tebu di pemerintah
daerah dan masih rendahnya minat pengusaha dalam mengurus kelengkapan
usahanya menyebabkan keberadaan industri gula merah tebu tidak memberikan
kontribusi secara langsung kepada pemerintah daerah. Industri gula merah tebu
yang berada dalam wilayah Kecamatan Kebonsari belum memiliki bentuk hukum
dan izin usaha, selain itu bangunan pabrik gula merah tebu belum dilengkapi
dengan surat izin mendirikan bangunan (IMB). Hal tersebut tentu saja sangat
merugikan bagi pemerintah daerah karena industri gula merah tebu tidak
memberikan kontribusi melalui pajak dan retribusi kepada pemerintahan daerah.
b. Pertumbuhan usaha lain
Gula merah tebu termasuk produk yang dapat dikonsumsi secara langsung
(konsumsi akhir) dan dapat pula digunakan sebagai bahan baku bagi banyak
industri (barang antara). Menurut Simatupang, Nizwar, dan Farida (1999) kaitan
industri gula dengan industri-industri lain pengguna produk industri gula disebut
kaitan ke depan, sedangkan hubungan industri gula dengan industri-industri yang
menunjang kebutuhan sarana dan prasarana industri gula tersebut disebut kaitan
56
ke belakang. Peningkatan produksi industri gula dapat menarik peningkatan
produksi industri-industri pemasok bahan baku industri gula dan produksi
industri-industri yang menggunakan gula sebagai bahan bakunya.
Dalam kaitan ke belakang peningkatan produksi gula merah tebu akan
meningkatkan permintaan terhadap bahan baku tebu, bahan tambahan dan
penunjang produksi, serta kebutuhan mesin dan peralatan pengolahan.
Peningkatan permintaan bahan baku tebu akan meningkatkan usaha-usaha
penunjang sarana dan prasarana usaha tani tebu seperti industri mesin dan alat
pertanian, industri penyediaan bibit, dan industri pupuk. Peningkatan produksi
gula merah tebu dalam kaitan ke depan akan mempengaruhi permintaan akhir
industri-industri yang secara langsung membutuhkan produk gula merah tebu
sebagai bahan baku seperti industri makanan, industri minuman, dan industri
kecap.
Meningkatnya luas areal perkebunan tebu di Kecamatan Kebonsari sebesar
294 Ha antara tahun 2004 – 2005 sangat menguntungkan bagi industri gula merah
tebu karena pengusaha tidak mengalami kesulitan mencari bahan baku tebu.
Menurut keterangan petani tebu hasil produksi tebu sebagian besar digunakan
sebagai bahan baku industri gula kristal dan hanya sedikit saja yang diolah
menjadi gula merah tebu. Dengan demikian peningkatan produksi tebu belum
memberikan dampak positif terhadap industri gula merah tebu karena harga bahan
baku cenderung tinggi karena adanya persaingan permintaan bahan baku tebu
antara industri gula kristal.
Kegiatan usaha kecil dan menengah di Kecamatan Kebonsari pada tahun
2005 berjumlah 62 unit usaha. Sesuai dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995
tentang usaha kecil, bidang usaha yang ada pada usaha kecil dan menengah
(UKM) di Kecamatan Kebonsari meliputi bidang usaha industri pertanian, bidang
usaha industri non pertanian, dan bidang usaha aneka jasa. Bidang usaha industri
pertanian antara lain penyediaan bibit padi unggul, pupuk, dan ayam petelur.
Bidang usaha industri non pertanian terdiri dari usaha industri makanan (aneka
kerupuk, bakso, tahu, ayam bakar, mancho, wijen, unyu-unyu, tempe, rengginang,
dan jamur tiram) dan kerajinan (pengrajin perlengkapan reog, hiasan dinding, dan
tikar), sementara jasa pembubutan termasuk bidang usaha aneka jasa
57
Usaha kecil dan menengah yang terkait langsung dengan industri gula merah
tebu di wilayah Kecamatan Kebonsari adalah industri makanan manco. Mutu gula
merah tebu yang digunakan sebagai bahan tambahan produk mancho adalah gula
merah tebu yang berwarna kuning. Nilai investasi, nilai produksi, nilai tambah,
dan nilai bahan baku sebuah industri makanan manco berturut turut adalah Rp
2.560.000, Rp 7.500.000, Rp 3.300.000, dan 4.500.000 (BPS Kabupaten Madiun,
2005). Industri makanan mancho memiliki potensi yang sangat besar untuk
menyerap produk gula merah tebu sehingga peningkatan produksi gula merah
tebu seharusnya dapat merangsang pertumbuhan usaha ini.
Jasa komunikasi, tranportasi, dan warung-warung kecil secara tidak langsung
mempengaruhi industri gula merah tebu. Saat ini peranan wartel dan handphone
sangat membantu kelancaran komunikasi. Tidak terkecuali dalam industri gula
merah tebu, pengusaha memanfaatkan jasa komunikasi untuk membantu
kelancaran usahanya seperti menghubungi tenaga kerja, konsumen, dan supplier.
Jasa transportasi digunakan untuk kegiatan distribusi bahan baku tebu dan produk
gula merah yang dihasilkan, sedangkan keberadaan warung-warung kecil
membantu penyediaan kebutuhan sehari-hari pengusaha dan pekerja gula merah
tebu.
c. Penyerapan tenaga kerja
Sebuah industri gula merah tebu mampu menyerap 5 – 10 orang tenaga kerja.
Sumber tenaga kerja industri gula merah tebu berasal dari Kecamatan Kebonsari
dan daerah lain. 4 – 8 orang tenaga kerja (80%) berasal dari Kecamatan
Kebonsari, sedangkan sisanya berasal dari daerah lain seperti Kecamatan Dolopo.
Jenis kelamin tenaga kerja dalam industri gula merah tebu umumnya laki-laki
berusia 20 – 45 tahun karena pekerjaannya membutuhkan fisik dan stamina yang
tinggi. Perempuan atau istri pengusaha gula merah hanya membantu melayani
pembeli, membungkus gula merah yang dihasilkan, dan membantu administrasi
perusahaan.
Menurut keterangan pengusaha beberapa kendala dalam mencari tenaga kerja
pengolahan gula merah tebu antara lain pekerjaan tebu dirasakan terlalu berat,
ketidakpastian besarnya upah yang diterima pekerja, dan dilarang pihak keluarga.
Upah yang diterima satu kelompok tenaga kerja sama dengan 1/6 – 1/5 hasil
58
produksi gula merah tebu yang dihasilkan sehingga besar kecilnya pendapatan
tenaga kerja tidak pasti. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan penerimaan
upah tenaga kerja penggiling gula merah tebu adalah persentase bagi hasil upah,
tingkat produksi, harga produk, dan banyaknya tenaga kerja. Pada Lampiran 3
dapat dilihat berdasarkan keempat faktor tersebut menyebabkan upah yang
diterima tenaga kerja penggiling gula merah tebu dapat lebih tinggi atau lebih
rendah.
Industri gula merah tebu secara langsung dapat membuka lapangan pekerjaan,
namun keberadaannya belum mampu mengatasi tingginya pengangguran yang
terjadi di Kecamatan Kebonsari. Tingkat pengangguran di Kecamatan Kebonsari
pada tahun 2005 sebesar 22,83% dengan jumlah angkatan kerja 14.410 jiwa dan
pengangguran 3.026 jiwa. Kegiatan usaha gula merah tebu termasuk usaha
musiman dimana kegiatan pengolahan gula merah tebu hanya dilakukan ketika
musim panen tebu antara bulan Mei – Oktober. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya pengangguran musiman bagi tenaga kerja industri gula merah tebu.
Pekerjaan yang dilakukan pekerja penggiling pada saat tidak musim giling antara
lain bekerja menggarap sawah, kerja bangunan, dan lain sebagainya untuk dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
B. RANCANG ULANG BANGUNAN INDUSTRI GULA MERAH TEBU
1. Perbaikan Tata Letak Pabrik
a. Spesifikasi dan kondisi pabrik
Kegiatan rancang ulang bangunan industri dilakukan di salah satu pabrik gula
merah tebu yang ada di Kecamatan Kebonsari. Kemampuan produksi produk gula
merah tebu sangat ditentukan dengan tungku pemasakan dan mesin giling.
Diameter wajan yang dimiliki industri ini adalah 90 cm dengan kapasitas 11 – 12
kg gula merah tebu. Dalam satu tungku pemasakan terdapat 9 wajan yang
digunakan untuk proses pemasakan. Mesin giling yang digunakan memiliki
gilingan berukuran 14 inci dengan kapasitas giling 300 – 400 kw tebu/hari. Rata-
rata bahan baku tebu yang digiling adalah 250 – 300 kw/hari dengan rendemen
10% sehingga tingkat produksi industri ini adalah 250 – 300 kg gula merah/hari
atau sebanyak 20 – 25 wajan/hari.
59
Kondisi awal bangunan pabrik yang akan dilakukan rancang ulang adalah
bangunan dengan atap genting dan tanpa dinding. Tiang-tiang penyangga untuk
ruang produksi adalah beton cor, sedangkan untuk gudang bagase dan ruang
giling adalah tiang kayu dan bambu. Lantai pada pabrik sebagian besar adalah
tanah dan hanya sedikit bagian lantai yang diplester. Pabrik hanya membuang
limbah untuk yang dihasilkan dari proses pemasakan ke selokan, sedangkan
limbah abu hanya digunakan untuk menimbun tanah yang rendah.
Lampiran 5 menunjukkan kondisi awal pabrik gula merah tebu yang akan
dilakukan rancang ulang. Untuk itu pertimbangan rancang ulang industri gula
merah tebu meliputi :
1. Perbaikan bentuk bangunan pabrik gula merah tebu
2. Membuat ruang produksi menjadi lebih bersih
3. Perbaikan aliran proses produksi dan perpindahan bahan
4. Penyediaan tempat untuk pembuangan limbah
Pertimbangan perbaikan bentuk bangunan pabrik gula merah tebu karena
dengan adanya bangunan pabrik yang ideal dapat membuat ruang produksi lebih
bersih sehingga mampu mengurangi kontaminasi kotoran dalam proses
pengolahan gula merah tebu. Aliran proses yang ada saat ini juga memiliki resiko
yang tinggi terhadap kontaminasi kotoran baik terhadap bahan baku dan produk.
Nira sebagai bahan baku utama gula merah tebu adalah salah satu bahan pangan
yang mudah mengalami kerusakan (Puri, 2005). Menurut Indeswari (1987) nira
dikatakan rusak jika sukrosa dalam nira terinversi menjadi gula pereduksi yang
terdiri dari glukosa dan fruktosa dalam perbandingan yang sama. Salah satu
penyebab terjadinya inversi sukrosa dapat disebabkan aktivitas mikroorganisme.
Sukrosa yang sudah terinversi menyebabkan nira menjadi berwarna coklat dan
keruh, sehingga dapat menurunkan mutu produk (Indeswari, 1987). Pengurangan
resiko sumber-sumber kontaminasi kotoran yang dilakukan dalam industri gula
merah tebu diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas gula merah tebu
yang dihasilkan.
60
b. Analisa tata letak pabrik
Analisa tata letak pabrik gula merah tebu dilakukan sesuai dengan diagram
perencanaan tata letak secara sistematis (Gambar 2). Tahap awal pemasukan data
dan aktivitas menghasilkan aliran bahan dan keterkaitan aktivitas sebagai input
peta dan diagram keterkaitan aktivitas. Analisa diagram aliran bahan (Gambar 10)
dan peta proses operasi pembuatan gula merah tebu (Lampiran 6) menghasilkan
peta diagram keterkaitan aktivitas dalam pengolahan gula merah tebu (Gambar 16
dan 17).
Gambar 16. Peta keterkaitan aktivitas
61
Keterangan :
Aktivitas
1. Bongkar muat tebu
2. Penyimpanan tebu sebelum giling
3. Penggilingan tebu
4. Penampungan dan penyaringan nira
5. Pemasakan nira dan penambahan bahan tambahan
6. Pengentalan dan pencetakan gula
7. Pendinginan dan penyimpanan sementara gula merah tebu
8. Penyimpanan produk gula merah tebu
9. Penyimpanan ampas tebu (bagase) basah dan sekam
10. Penjemuran ampas tebu (bagase)
11. Tempat memasukkan ampas tebu (bagase) dan sekam
12. Pembuangan limbah abu dan untuk
Derajat kedekatan
A = Mutlak
E = Sangat penting
I = Penting
O = Kedekatan biasa
U = Tidak perlu
X = Tidak diharapkan
Keterkaitan produksi
1 = Urutan aliran kerja
2 = Memudahkan pemindahan bahan
3 = Menggunakan peralatan yang sama
4 = Kemungkinan kontaminasi limbah
5 = Kemungkinan berada dalam satu bangunan
Gambar 17. Diagram keterkaitan aktivitas
Berdasarkan peta dan diagram keterkaitan aktivitas maka dilakukan analisa
kebutuhan dan luas ruang. Analisa kebutuhan ruangan dilakukan sesuai dengan
diagram aliran proses sehingga diketahui ruangan yang diperlukan untuk rancang
ulang tata letak industri gula merah tebu. Sementara analisa luas ruangan
62
dilakukan dengan membandingkan antara luas yang digunakan pada tata letak
pabrik sebelum dilakukan rancang ulang dengan kebutuhan luas yang diperlukan
untuk mengolah tebu sebanyak 300 – 400 kw/hari. Pengukuran dalam analisa
meliputi luas mesin peralatan dan kebutuhan aktivitas pekerja yang digunakan
untuk menentukan kebutuhan luas ruang pada rancang ulang.
Tabel 12. Analisa kebutuhan dan luas ruang
Dimensi Kelonggaran (*)
p (m) l (m) t (m) L (m2) V (m3) Jumlah Luas
awal Kebutuhan
luas % L (m2) Total
Bongkar muat tebu - - - - - - - - - - -
parkir truk 4 2,5 - 10 - 1 - 10 50% 5 15 Penyimpanan tebu - - - - - - - - - - -
tebu/ton 2,5 2,5 1,5 6,25 9,38 4 - 25 40% 10 35 Penggilingan tebu - - - - - - 15 - - - -
mesin diesel 1 0,5 - 0,5 - 1 - 0,5 - - - mesin giling 1,5 1 - 1,5 - 1 - 1,5 - - - sabuk (belt) 5 0,1 - 0,5 - 1 - 0,5 - - -
Pemasangan belt - mesin 5 1,5 - 7,5 - 1 - 7,5 60% 4,5 12 Penampungan nira - - - - - - 1 -
bak nira 2 1 - 2 - 1 - 2 50% 1 3 Pemasakan - - - - - - 12 - - - -
tungku masak 10 1 - 10 - 1 - 10 20% 2 12
Pengentalan dan pencetakan - - - - - - 4 - - - - wajan pengentalan 1 0,5 - 0,5 - 2 - 1 100% 1 2
cetakan lemper 0,2 0,2 - 0,03 - 40 - 1,3 100% 1,3 3 bak cuci 0,5 0,5 - 0,3 - 1 - 0,25 100% 0,3 0,5
Pendinginan - - - - - - 4 - - - - meja 2,5 2 - 5 - 1 - 5 20% 1 6
Penyimpanan gula - - - - - - 28 15 85% 12,8 28
gula/kw 0,5 0,75 0,75 0,38 0,28 40 - 15 85% 12,8 28 Penyimpanan bagase - - - - - - 30 - - - -
bagase/ton gilingan 2 1,5 2 3 6 16 - 48 25% 12,0 60 Tempat memasukkan bagase - - - - - - - - - - -
bagase 2,5 2 0,5 5 3 1 - 5 50% 3 8
Penjemuran bagase - - - - - - - - - - - bagase/ton gilingan 10 5 - 50 - 1 - 50 - - 50
Pembuangan limbah - - - - - - - - - - - limbah/hari 1 1 1 1 1 40 - 40 - - 40
Analisa kebutuhan dan luas ruang dapat dilihat pada Tabel 12. Sebelum
dilakukan kegiatan rancang ulang, luas awal untuk kegiatan bongkar muat tebu,
penyimpanan tebu sebelum giling, tempat memasukkan ampas tebu (bagase) dan
sekam, penjemuran ampas tebu (bagase), dan tempat pembuangan tidak diketahui
secara pasti. Penyimpanan dan penjemuran tebu dilakukan dengan memanfaatkan
63
tempat yang tersedia, limbah untuk hanya dibuang ke selokan, dan limbah abu
digunakan untuk menimbun tanah yang rendah.
Hasil analisa menunjukkan kebutuhan luas untuk tempat bongkar muat tebu
adalah 10 m2 dengan kelonggaran 50% untuk untuk aktivitas bongkar muat oleh
pekerja dan gerak kendaraaan. Kebutuhan luas untuk menyimpan tebu sebanyak
10 kw adalah 6,25 m2 dengan ketinggian 1,5 m, sehingga untuk mengolah tebu
sebanyak 40 kw per hari luas minimum yang dibutuhkan 25 m2. Luas total untuk
mesin giling dan diesel hanya 2 m2, namun karena kedua mesin ini dihubungkan
dengan sabuk (belt) sehingga luas kebutuhan untuk penempatan mesin ini adalah
7,5 m2.
Produk gula sebanyak 1 kw disimpan dalam keranjang yang berukuran 0,5 x
0,75 x 0,75. Kebutuhan luas untuk menyimpan gula merah sebanyak 40 kw
adalah 15 m2 dengan kelonggaran 85% untuk gang, aktivitas pekerja, dan
meningkatkan kapasitas penyimpanan. Ampas tebu (bagase) yang dihasilkan dari
1 ton tebu hasil penggilingan memerlukan luas 50 m2 untuk dijemur. Pada musim
kemarau (ada panas dari energi matahari), waktu yang diperlukan untuk menjemur
ampas tebu (bagase) berkisar antara 1 – 2 jam sehingga. Volume limbah untuk
dan abu yang dihasilkan adalah 1 m3, sehingga volume kolam limbah yang
diperlukan untuk menampung selama satu musim giling (240 hari) adalah 240 m3
atau pada tanah seluas 40 m2 dengan tinggi 6 m.
c. Rancangan Tata Letak Pabrik
Tata letak awal pabrik dapat dilihat pada Lampiran 7. Faktor-faktor pembatas
rancang ulang industri gula merah tebu antara lain :
1. Batas sebelah timur dan selatan pabrik adalah perumahan
2. Luas area yang tersedia berbentuk L
3. Gudang produk menyatu dengan bangunan rumah pemilik
4. Posisi tungku pemasakan tidak berubah
Adanya keempat faktor pembatas menyebabkan rancangan yang dipilih
belum sesuai dengan diagram keterkaitan (Lampiran 8). Penempatan antara ruang
penggilingan, ruang penjemuran, ruang bahan bakar, ruang produksi, dan gudang
produk belum sesuai dengan hasil analisa diagram keterkaitan. Hal tersebut
mempengaruhi aliran limbah ampas tebu (bagase) dan aliran produk jadi,
64
sementara aliran proses yang dilakukan di ruang produksi tidak berpengaruh.
Kondisi sebelum dan setelah rancang ulang dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Kondisi sebelum dan setelah rancang ulang
Kondisi Sebelum Rancang Ulang Kondisi Setelah Rancang Ulang
1. Bangunan pabrik semi permanen 1. Bangunan pabrik permanen 2. Kondisi pabrik sangat kotor akibat debu,
ranting, daun-daunan, dan ampas tebu (bagase).
2. Hasil rancang ulang mampu mengurangi kotoran sehigga kondisi pabrik lebih bersih
3. Bak nira 1 tidak ditutup sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi kotoran.
3. Bak nira 1 ditutup sehingga mampu mengurangi kotoran pada nira
4. Bak nira 2 hanya berfungsi untuk menampung nira hasil penggilingan sebelum dipindahkan ke wajan pemasakan
4. Selain berfungsi untuk menampung nira, bak nira 2 didesain untuk mengendapkan kotoran hasil penggilingan
5. Hasil limbah untuk yang disaring pada proses pemasakan dibuang pada ember plastik. Setelah ember tersebut penuh, limbah untuk dibuang ke selokan.
5. Limbah untuk yang disaring dibuang pada bak pembuangan semi permanen yang langsung disalurkan ke kolam pembuangan melalui pipa yang tertanam di bawah tanah.
6. Posisi tempat memasukkan ampas tebu (bagase) berada dibagian depan tugku pemasakan atau sama dengan tempat pengentalan dan pencetakan sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi ampas tebu (bagase) pada produk yang dihasilkan.
6. Posisi tempat memasukkan ampas tebu (bagase) dipindahkan pada bagian belakang tungku pemasakan. Pada bagian belakang tungku pemasakan dberi pembatas dinding sehingga mengurangi kontaminasi ampas tebu (bagase) pada produk yang dihasilkan
7. Kegiatan pendinginan dan penyimpanan gula merah tebu yang dihasilkan dilakukan di lantai.
7. Kegiatan pendinginan dan penyimpanan gula merah tebu yang dihasilkan dilakukan di meja.
8. Ampas tebu (bagase) hasil penggilingan dipindahkan dengan cara dipikul
8. Ampas tebu (bagase) hasil penggilingan dipindahkan menggunakan gerobak
9. Persentase gula mutu baik 17%, mutu sedang 48%, dan mutu jelek 36%
9. Persentase gula mutu baik 29%, mutu sedang 42%, dan mutu jelek 29%
Rancang ulang menunjukkan tata letak bangunan pabrik gula merah tebu
lebih baik dan rapi, mampu mengurangi kotoran yang berasal dari debu, daun-
daunan, ranting, dan ampas tebu (bagase) pada ruang produksi sehingga ruangan
menjadi lebih bersih, membuat aliran proses menjadi lebih baik, dan mengurangi
pergerakan pekerja. Rancangan yang dipilih belum ideal karena bahan baku tebu
belum disimpan pada tempat yang terlindungi matahari yang dapat mengurangi
penguapan, dan adanya kegiatan transportasi (perpindahan) akibat gudang produk
terletak agak jauh dari ruang produksi, ruang bahan bakar ampas tebu (bagase)
terletak agak jauh dari ruang penggilingan, serta tempat umpan bahan bakar
ampas tebu (bagase) terletak agak jauh dari ruang penjemuran.
65
Pada saat implementasi terjadinya kerusakan pada tungku pemasakan
menyebabkan dilakukan perbaikan. Tungku pemasakan awal memiliki kelemahan
terutama pada cara pembuangan limbah untuk yang dihasilkan pada saat proses
pemasakan, sehingga dalam perbaikan dilakukan modifikasi tungku pemasakan.
Selain membuat saluran pembuangan limbah untuk, modifikasi terhadap tungku
pemasakan membuat kapasitas wajan dari 12 kg gula/wajan menjadi 13 kg
gula/wajan. Pada tingkat produksi 26 wajan/hari, modifikasi tungku pemasakan
dapat meningkatkan kemampuan produksi gula merah dari 286 kg gula/hari
menjadi 338 kg gula/hari.
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran, pengurangan resiko sumber-
sumber kontaminasi kotoran melalui rancang ulang industri gula merah tebu
mampu meningkatkan persentase mutu gula merah tebu yang dihasilkan.
Penetapan mutu ini tidak berdasarkan standar SNI melainkan dilakukan secara
subjektif oleh pengusaha berdasarkan kriteria warna, rasa dan kekerasan.
Klasifikasi gula merah tebu dengan mutu baik adalah warna cerah (kuning), rasa
manis, dan tekstur yang keras. Mutu sedang adalah warna kemerahan, rasa manis,
dan tekstur agak lunak. Mutu jelek adalah warna gelap (hitam), rasa manis sedikit
pahit, dan tekstur yang lebih lunak. Sebelum dilakukan rancang ulang rata-rata
produksi adalah 286 kg gula/hari dengan mutu baik 48 kg gula (17%), mutu
sedang 136 kg gula (48%), dan mutu jelek 102 kg gula (36%), namun setelah
dilakukan rancang ulang mengalami perubahan dengan rata-rata produksi sebesar
338 kg gula/hari dengan mutu baik 98 kg gula (29%), mutu sedang 144 kg gula
(42%), dan mutu jelek 97 kg gula (29%).
2. Analisa Finansial
Tujuan menganalisis aspek keuangan dari adalah untuk menentukan rencana
investasi atau usaha melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan
dengan membandingkan pengeluaran dan pendapatan seperti ketersediaan dana,
biaya modal, kemampuan untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu
yang telah ditentukan dan menilai apakah usaha akan berkembang terus (Umar,
2003).
Analisa profitabilitas sebelum dan setelah rancang ulang dilakukan untuk
mengetahui selisih pendapatan yang diterima pengusaha. Perhitungan analisa
66
profitabilitas dilakukan dengan sumber daya yang sama seperti jam kerja 10
jam/hari, dan tenaga kerja 7 orang. Bahan baku yang tersedia tidak terbatas dalam
arti bahan baku selalu tersedia berapa pun jumlahnya selama musim panen.
Kemampuan atau jumlah (batch) produksi adalah 26 wajan/hari.
Tabel 14. Analisa profitabilitas sebelum rancang ulang
Harga Jumlah Pola I Pola II Pola III Pola IV Total Penerimaan 286 kg Rp 990.200 Rp 990.200 Rp 990.200 Rp 396.080
Gula Baik Rp 3.700/kg 48 kg Rp
177.600 Rp
177.600 Rp
177.600 Rp
177.600
Gula Sedang Rp 3.500/kg 136 kg Rp
476.000 Rp
476.000 Rp
476.000 Rp
476.000
Gula Jelek Rp 3.300/kg 102 kg Rp
336.600 Rp
336.600 Rp
336.600 Rp
336.600 Biaya Produksi Gula Merah Rp 401.509 Rp 540.021 Rp 698.498 Rp 210.616
Biaya Tebu
Lahan Milik Rp 6.224/kw 28,6 kw Rp
177.993
Lahan Sewa Rp 11.518/kw 28,6 kw Rp
329.405
Beli Tebu Rp 17.059/kw 28,6 kw Rp
487.882
Biaya Pengolahan Rp
65.084 Rp
52.184 Rp
52.184 Rp
52.184
Kapur Rp 350/kg 2,60 kg Rp
910 Rp
910 Rp
910 Rp
910
Minyak Kelapa Rp 4.700/kg 0,52 kg Rp
2.444 Rp
2.444 Rp
2.444 Rp
2.444
Na-Metabisulfit Rp 8.000/kg 0,26 kg Rp
2.080 Rp
2.080 Rp
2.080 Rp
2.080
BBM Diesel Rp 4.300/lt 7 lt Rp
30.100 Rp
17.200 Rp
17.200 Rp
17.200
Oli Rp 9.000/lt 0,4 lt Rp
3.600 Rp
3.600 Rp
3.600 Rp
3.600
BBM Kendaraan Rp 4.300/lt 6 lt Rp
25.800 Rp
25.800 Rp
25.800 Rp
25.800
Aspal padat Rp 9.000/bj 0,02 bj Rp
150 Rp
150 Rp
150 Rp
150
Tenaga Kerja Rp
158.432 Rp
158.432 Rp
158.432 Rp
158.432
Total Pendapatan Rp 588.691 Rp 450.179 Rp 291.702 Rp 185.464 Pendapatan / kg Rp 2.058 Rp 1.574 Rp 1.020 Rp 648
R/C Ratio 2,47 1,83 1,42 1,88 Perhitungan analisa profitabilitas sebelum rancang ulang dilakukan pada
kapasitas 12 kg gula/wajan dengan persentase mutu gula baik (17%), mutu sedang
(48%), dan mutu jelek (36%). Perhitungan analisa profitabilitas setelah rancang
ulang dilakukan dengan dua kondisi yaitu : (1) perubahan persentase mutu gula
baik, sedang, dan jelek menjadi 29%, 42%, dan 29%, dan (2) perubahan
persentase mutu gula seperti pada kondisi pertama dan peningkatan kapasitas
wajan pemasakan menjadi 13 kg/wajan karena adanya perbaikan dan modifikasi
tungku pemasakan pada saat rancang ulang. Hasil analisa profitabilitas sebelum
67
rancang ulang (Tabel 13) dan setelah rancang ulang (Tabel 14) menggunakan 4
pola sumber bahan baku menunjukkan profitabilitas yang diterima pengusaha
mengalami peningkatan untuk kedua kondisi.
Tabel 14. Analisa profitabilitas setelah rancang ulang
A. Kapasitas tetap perubahan % mutu Harga Jumlah Pola I Pola II Pola III Pola IV
Total Penerimaan 286 kg Rp
1.001.000 Rp
1.001.000 Rp
1.001.000 Rp
400.400
Gula Baik Rp 3.700/kg 48 kg Rp
307.100 Rp
307.100 Rp
307.100 Rp
307.100
Gula Sedang Rp 3.500/kg 136 kg Rp
420.000 Rp
420.000 Rp
420.000 Rp
420.000
Gula Jelek Rp 3.300/kg 102 kg Rp
273.900 Rp
273.900 Rp
273.900 Rp
273.900
Biaya Produksi Gula Merah Rp
403.237 Rp
541.749 Rp
700.226 Rp
212.344
Biaya Tebu
Lahan Milik Rp 6.224/kw 28,6 kwRp
177.993
Lahan Sewa Rp 11.518/kw 28,6 kwRp
329.405
Beli Tebu Rp 17.059/kw 28,6 kwRp
487.882
Biaya Pengolahan Rp
65.084 Rp
52.184 Rp
52.184 Rp
52.184
Kapur Rp 350/kg 2,60 kg Rp
910 Rp
910 Rp
910 Rp
910
Minyak Kelapa Rp 4.700/kg 0,52 kg Rp
2.444 Rp
2.444 Rp
2.444 Rp
2.444
Na-Metabisulfit Rp 8.000/kg 0,26 kg Rp
2.080 Rp
2.080 Rp
2.080 Rp
2.080
BBM Diesel Rp 4.300/lt 7 lt Rp
30.100 Rp
17.200 Rp
17.200 Rp
17.200
Oli Rp 9.000/lt 0,4 lt Rp
3.600 Rp
3.600 Rp
3.600 Rp
3.600
BBM Kendaraan Rp 4.300/lt 6 lt Rp
25.800 Rp
25.800 Rp
25.800 Rp
25.800
Aspal padat Rp 9.000/bj 0,02 bj Rp
150 Rp
150 Rp
150 Rp
150
Tenaga Kerja Rp
160.160 Rp
160.160 Rp
160.160 Rp
160.160
Total Pendapatan Rp
597.763 Rp
459.251 Rp
300.774 Rp
188.056
Pendapatan / kg Rp
2.090 Rp
1.606 Rp
1.052 Rp
658
R/C Ratio 2,48 1,85 1,43 1,89
B. Kapasitas meningkat dan perubahan % mutu
Harga Jumlah Pola I Pola II Pola III Pola IV Total Penerimaan 338 kg Rp 1.183.400 Rp 1.183.400 Rp 1.183.400 Rp 473.360
Gula Baik Rp 3.700/kg 98 kg Rp
362.600 Rp
362.600 Rp
362.600 Rp
362.600
Gula Sedang Rp 3.500/kg 144 kg Rp
504.000 Rp
504.000 Rp
504.000 Rp
504.000
Gula Jelek Rp 3.300/kg 96 kg Rp
316.800 Rp
316.800 Rp
316.800 Rp
316.800
Biaya Produksi Gula Merah Rp 474.283 Rp 636.024 Rp 823.316 Rp 246.728 Biaya Tebu
Lahan Milik Rp 6.224/kw 33,8 kg Rp
210.355
68
Lahan Sewa Rp 11.518/kw Rp
389.296
Beli Tebu Rp 17.059/kw Rp
576.588
Biaya Pengolahan Rp
74.584 Rp
57.384 Rp
57.384 Rp
57.384
Kapur Rp 350/kg 2,60 kg Rp
910 Rp
910 Rp
910 Rp
910
Minyak Kelapa Rp 4.700/kg 0,52 kg Rp
2.444 Rp
2.444 Rp
2.444 Rp
2.444
Na-Metabisulfit Rp 8.000/kg 0,26 kg Rp
2.080 Rp
2.080 Rp
2.080 Rp
2.080
BBM Diesel Rp 4.300/lt 9 lt Rp
38.700 Rp
21.500 Rp
21.500 Rp
21.500
Oli Rp 9.000/lt 0,5 lt Rp
4.500 Rp
4.500 Rp
4.500 Rp
4.500
BBM Kendaraan Rp 4.300/lt 6 lt Rp
25.800 Rp
25.800 Rp
25.800 Rp
25.800
Aspal padat Rp 9.000/bj 0,02 bj Rp
150 Rp
150 Rp
150 Rp
150
Tenaga Kerja Rp
189.344 Rp
189.344 Rp
189.344 Rp
189.344
Total Pendapatan Rp 709.117 Rp 547.376 Rp 360.084 Rp 226.632 Pendapatan / kg Rp 2.098 Rp 1.619 Rp 1.065 Rp 671
R/C Ratio 2,50 1,86 1,44 1,92 Tabel 15. Investasi rancang ulang industri gula merah tebu
Komponen Biaya Jumlah Investasi Umur ekonomis Penyusutan / thn Bangunan + Tungku 1 Rp 38.000.000 10 tahun Rp 3.800.000 Gerobak 1 Rp 215.000 10 tahun Rp 21.500 Rp 38.215.000 Rp 3.821.500
Investasi yang dibutuhkan untuk rancang ulang adalah Rp 38.215.000.
Investasi ini digunakan untuk perbaikan bangunan pabrik, tungku pemasakan, dan
pembelian gerobak (Tabel 15). Investasi untuk perbaikan bangunan dan tungku
pemasakan sebesar Rp 38.000.000, sedangkan investasi untuk gerobak sebesar Rp
215.000. Biaya tetap yang dikeluarkan pengusaha untuk pembelian peralatan
produksi sebesar Rp 355.000/tahun. Peralatan produksi yang selalu dibeli
pengusaha setiap awal musim giling antara lain penahan (bumbung), golok, ebor,
keranjang, serok, ember, dan sodet.
Tabel 16. Biaya tetap peralatan industri gula merah tebu/tahun
Komponen Biaya Jumlah Harga (satuan) Harga (total) Penahan (bumbung) 6 Rp 20.000 Rp 120.000 Golok 6 Rp 15.000 Rp 90.000 Ebor 6 Rp 10.000 Rp 60.000 Keranjang 5 Rp 10.000 Rp 50.000 Serok 2 Rp 5.000 Rp 10.000 Ember 3 Rp 5.000 Rp 15.000 Sodet 2 Rp 5.000 Rp 10.000 Rp 355.000
69
Analisa finansial rancang ulang industri gula merah tebu dilakukan
berdasarkan sumber bahan baku, perubahan persentase mutu, dan peningkatan
kapasitas wajan. Lampiran 10 menunjukkan laporan laba rugi usaha gula merah
tebu dimana kegiatan produksi dilakukan selama 240 hari atau 8 bulan per tahun.
Biaya pembelian peralatan produksi sebesar Rp 355.000 dihitung sebagai biaya
tetap yang dikeluarkan per tahun.
Pada kondisi kapasitas wajan tetap dan perubahan persentase mutu, laba
bersih per tahun pada Pola I adalah Rp 139.286.860, Pola II adalah Rp
106.043.740, Pola III adalah Rp 68.009.260, dan Pola IV adalah Rp 40.956.940.
Laba bersih per tahun pada kondisi kapasitas wajan meningkat dan perubahan
persentase mutu Pola I adalah Rp 166.011.580, Pola II adalah Rp 127.193.740,
Pola III adalah Rp 82.243.660, dan Pola IV adalah Rp 50.215.180.
Arus kas industri gula merah tebu dapat dilihat pada Lampiran 11. Pada kasus
ini, sumber dana yang digunakan untuk investasi rancang ulang merupakan dana
hibah dimana pengusaha tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana
tersebut, sedangkan biaya operasional (biaya tetap dan biaya variabel) merupakan
modal sendiri.
Tabel 17. Analisa kelayakan finansial rancang ulang
A. Kapasitas tetap perubahan % mutu Pola I Pola II Pola III Pola IV
NPV Rp 653.460.258 Rp 492.788.697 Rp 308.959.403 Rp 178.209.387 IRR 309% 234% 148% 87%PBP 0,27 tahun 0,35 tahun 0,53 tahun 0,85 tahun B. Kapasitas meningkat dan perubahan % mutu
Pola I Pola II Pola III Pola IV NPV Rp 782.626.909 Rp 595.011.458 Rp 377.757.496 Rp 222.956.567 IRR 369% 282% 180% 108%PBP 0,23 tahun 0,29 tahun 0,44 tahun 0,71 tahun
Kriteria kelayakan usaha dilakukan dengan melihat nilai NPV, IRR, dan PBP
masing-masing pola. Analisa kelayakan dilakukan dengan umur proyek selama 10
tahun dan tingkat suku bunga 16%. Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa investasi
rancang ulang menggunakan keempat pola usaha gula merah tebu pada kedua
70
kondisi karena memberikan nilai NPV yang positif, IRR diatas tingkat suku bunga
yang ditetapkan, dan PBP kurang dari umur proyek.
Pada kondisi kapasitas wajan tetap dan perubahan persentase mutu, nilai NPV
pada Pola I adalah Rp 653.460.258, Pola II adalah Rp 492.788.697, Pola III
adalah Rp 308.959.403, dan Pola IV adalah Rp 178.209.387. Nilai IRR pada Pola
I adalah 309%, Pola II adalah 234%, Pola III adalah 148%, dan Pola IV adalah
87%. Nilai PBP pada Pola I adalah 0,27 tahun, Pola II adalah 0,35 tahun, Pola III
adalah 0,53 tahun, dan Pola IV adalah 0,85 tahun.
Pada kondisi kapasitas wajan meningkat dan perubahan persentase mutu, nilai
NPV pada Pola I adalah Rp 782.626.909, Pola II adalah Rp 595.011.458, Pola III
adalah Rp 377.757.496, dan Pola IV adalah Rp 222.956.567. Nilai IRR pada Pola
I adalah 369%, Pola II adalah 282%, Pola III adalah 180%, dan Pola IV adalah
108%. Nilai PBP pada Pola I adalah 0,23 tahun, Pola II adalah 0,29 tahun, Pola III
adalah 0,44 tahun, dan Pola IV adalah 0,71 tahun.
70
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa karakteristik wilayah, Kecamatan Kebonsari merupakan
daerah penghasil tanaman tebu terbesar di Kabupaten Madiun sehingga industri
gula merah tebu tidak mengalami kendala ketersediaan bahan baku. Pada tahun
2005 luas areal perkebunan tebu di Kecamatan Kebonsari adalah 1.127 Ha dengan
hasil produksi tebu sebanyak 112.700.000 ton. Selain ketersediaan bahan baku,
industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari juga didukung dengan
ketersediaan tenaga kerja dan sarana prasarana pendukungnya.
Industri gula merah tebu yang berada di Kecamatan Kebonsari termasuk
kelompok industri rumah tangga skala kecil non formal. Usaha ini dilakukan
secara perorangan. Bahan baku tebu yang diproses menjadi gula merah tebu
berasal dari hasil tanam sendiri dilahan milik, lahan sewa, beli tebu, dan titip
giling. Kegiatan produksi gula merah tebu dilakukan pada musim panen tebu
antara bulan Mei – Oktober dengan rata-rata kemampuan mengolah tebu 2,64
ton/hari. Rendahnya teknologi, pengawasan mutu, dan sanitasi pada proses
pengolahan gula merah tebu menyebabkan mutu produk yang dihasilkan tidak
seragam. Penetapan mutu produk dilakukan secara subjektif oleh pengusaha
berdasarkan kriteria warna dan kekerasan yang diklasifikasikan menjadi mutu
baik, sedang, dan jelek.
Produk gula merah tebu memiliki potensi pasar yang luas mengingat masih
terjadi defisit antara tingkat produksi dengan konsumsi gula secara nasional.
Kuatnya dominasi pedagang pengumpul menyebabkan pemasaran produk gula
merah tebu terbatas. Pemasaran dilakukan melalui pedagang pengumpul pengecer,
pedagang pengumpul besar, dan konsumen industri langsung. Modal kerja yang
dimiliki oleh pengusaha sebagai sumber pembiayaan usaha pengolahan gula
merah tebu juga terbatas karena berasal modal sendiri dan pinjaman ke institusi
non bank. Hasil analisa profititabilitas menunjukkan bahwa usaha ini memberikan
keuntungan yang berbeda-beda tergantung kombinasi sumber bahan baku, jumlah
produksi, jumlah tenaga kerja, dan hari kerja.
71
Kontribusi industri gula merah tebu terhadap wilayah meliputi pendapatan
daerah, pertumbuhan usaha lain, dan penyerapan tenaga kerja. Keberadaan
industri gula merah tebu belum memberikan kontribusi secara langsung kepada
pemerintah daerah (Kecamatan Kebonsari) berupa pajak dan retribusi.
Keberadaan industri gula merah tebu juga mampu merangsang usaha lain baik
yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Industri makanan “mancho”
yang banyak terdapat di Kecamatan Kebonsari memiliki potensi yang sangat besar
untuk menyerap produk gula merah tebu, sehingga peningkatan produksi gula
merah tebu dapat merangsang pertumbuhan usaha ini. Seperti UKM lain, industri
gula merah tebu memberikan kontibusi terhadap wilayah Kecamatan Kebonsari
melalui penyerapan tenaga kerja dimana usaha ini mampu menyerap 5 – 10 orang
dengan persentase 80% tenaga kerja berasal dari Kecamatan Kebonsari.
Gula merah tebu merupakan kelompok bahan pangan dimana aspek higienis
dan sanitasi dalam ruang produksi dan selama proses produksi menjadi faktor
yang penting, sehingga pertimbangan rancang ulang adalah untuk mengurangi
kontaminasi kotoran yang dapat menurunkan mutu dan kualitas produk gula
merah tebu. Implementasi rancang ulang tidak menggunakan rancangan ideal,
namun rancangan yang diimplementasikan mampu mengurangi sumber
kontaminan sehingga mutu produk gula yang baik meningkat. Perbaikan dan
modifikasi tungku pemasakan pada saat implementasi mampu mengurangi
pergerakan pekerja dalam membuang limbah untuk serta meningkatkan kapasitas
(batch) wajan dari 12 kg gula/wajan menjadi 13 kg gula/wajan.
Nilai investasi untuk rancang ulang industri gula merah tebu adalah Rp
38.215.000. Analisa profitabilitas sebelum dan setelah rancang ulang
menunjukkan adanya peningkatan pendapatan yang diterima pengusaha. Analisa
finansial dengan melihat nilai NPV, IRR, dan PBP sebagai kriteria kelayakan
usaha menunjukkan rancang ulang layak pada kedua kondisi karena memberikan
nilai NPV yang positif, IRR diatas tingkat suku bunga yang ditetapkan, dan PBP
kurang dari umur proyek
72
B. SARAN
1. Meningkatkan kesadaran pengusaha dalam pembuatan izin usaha industri
gula merah tebu. Izin usaha industri gula merah tebu dapat membantu
pengusaha untuk mengembangkan skala usaha dan menghindari konflik
dengan lingkungan akibat limbah dan polusi yang dihasilkan. Adanya izin
usaha industri gula merah tebu juga berdampak positif bagi pendapatan
pemerintah daerah dari sektor pajak dan restribusi.
2. Meningkatkan kegiatan penyuluhan dan pembinaan industri gula merah tebu.
Kegiatan ini meliputi pengelolaan usaha, peningkatan mutu dan kualitas
produk, serta penanganan dan pemanfaatan limbah yang dihasilkan.
Penyuluhan dan pembinaan dapat membantu pengusaha industri gula merah
tebu untuk meningkatkan produksi, mutu dan kualitas produk.
3. Meningkatkan pemantauan dan pengawasan pengelolaan pemasaran industri
gula merah tebu. Kegiatan ini meliputi sistem pemasaran, distribusi,
penentuan harga, cara penawaran dan pembayaran, dan kemasan produk.
Pemantauan dan pengawasan pengelolaan pemasaran dapat membantu
pengusaha industri gula merah tebu untuk mencapai sasaran pemasaran yang
dapat meningkatkan keuntungan usaha.
4. Melakukan kerjasama antara pengusaha dengan investor, pemilik modal, dan
jasa perbankan. Kerjasama ini dapat mengatasi permasalahan investasi dan
modal kerja usaha pengolahan gula merah tebu.
5. Mempertimbangkan rancang ulang bangunan pabrik bagi para pengusaha
gula merah tebu karena dapat meningkatkan kapasitas wajan pemasakan dan
persentase produk dengan mutu tinggi.
6. Mencoba untuk melakukan investasi untuk mesin dan peralatan yang
diharapkan dapat meningkatkan rendemen dan secara langsung akan
meningkatkan tingkat produksi gula merah tebu sehingga dapat meningkatkan
pendapatan pengusaha gula merah tebu.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. dan I.G.N. Nirawan. 1980. Peningkatan Teknologi Pembuatan Gula Merah Siwalan. Balai Penelitian Kimia Surabaya, Badan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian, Jakarta.
Ade, R.S. 2005. Analisis Pendapatan dan Pemasaran Gula Merah. Skripsi.
Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Adiningsih, S. 2004. Regulasi Dalam Revitalisasi Usaha Kecil dan Menengah di
Indonesia. Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Jakarta. Anonim. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu.
www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/files/0107L-TEBU.pdf. diakses tanggal 22 Agustus 2006.
Apple, J.M. 1990. Tata Letak Pabrik dan Penanganan Bahan. Penerbit ITB,
Bandung. Asri, M. dan G. Adisaputro. 1992. Anggaran Perusahaan Jilid 3. BPFE. Jakarta Badan Pusat Statistik. 2003. Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan
Hukum. Badan Pusat Statistik, Jakarta. BPPPG. 1985. Pergulaan di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang.
Prossiding. Pasuruan, Jawa Tengah. Bellante, D dan M. Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. LPFE UI, Jakarta. Buckle, K.A et al. 1987. Food Science. Universitas Indonesia, Jakarta. Dachlan, M.A. 1984. Proses Pembuatan Gula Merah. Balai Penelitian dan
Pengembangan Industri, BBHIP, Bogor. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur. 1997. Pengolahan Gula Merah Tebu.
Dinas Perkebunan Daerah Propinsi Jawa Timur. Dyanti, Riana. 2002. Studi Komparatif Gula Merah Kelapa dan Gula Merah Aren.
Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Effendi, S dan M. Singarimbun. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES, Jakarta. Goutara dan S. Wijandi. 1985. Dasar Pengolahan Gula I. Agro Industri Press.
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA. IPB. Bogor.
74
Hasibuan, M.S.P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT Bumi Aksara,
Jakarta. Hawkins dan Van Den Ban. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius, Jakarta. Herjanto. E. 1999. Manajemen Produksi dan Operasi Edisi Kedua. Grasindo.
Jakarta. Himpunan Alumni Fateta. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan.
Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Hoos, S., dan G.L. Mehren. 1954. Marketing. The United States Departement of
Agriculture. Washington. Indeswari, S.N. 1987. Penentuan Dosis Kapur dan Belerang pada Proses
Pemurnian Nira Tebu di Pabrik Gula Mini Lawang. Laporan Penelitian. Universitas Andalas. Padang.
Jatmika, A., M.A. Hamzah dan D. Siahaan. 1990. Alternatif Produk Olahan dari
Nira Kelapa. Di dalam Nurlela, Euis. 2002. Kajian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Warna Gula Merah. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kecamatan Kebonsari. 2006. Hasil Pengolahan dan Analisa Profil Desa Tahun
2005 Kecamatan Kebonsari. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Madiun.
Kotler, P. 2004. Manajemen Pemasaran Jilid 2. PT Indeks Kelompok Gramedia,
Jakarta. Kuswadi. 2005. Meningkatkan Laba Melalui Pendekatan Akuntansi Keuangan
dan Akuntansi Biaya. Gramedia, Jakarta. Machfud dan Agung Y. 1990. Perencanaan Tata Letak pada Industri Pangan.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor Mubyarto. 1984. Masalah Industri Gula di Indonesia. BPFE, Yogyakarta. Muchtadi, T.R., dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU
Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Murdinah, Singgih W., dan Yusro N.F. 2002. Pedoman Mengelola Perusahaan
Kecil. Swadaya, Jakarta. Nasution, S. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Bumi Aksara, Jakarta.
75
Nengah, I.K.P. 1990. Kajian Reaksi Pencoklatan Termal pada Proses Pembuatan Gula Merah dari Aren. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Nurlela, Euis. 2002. Kajian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan
Warna Gula Merah. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Palungkun, R. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa. Swadaya, Jakarta. Pratomo, M. dan A. Kohar. 1983. Mesin-Mesin Pertanian 3. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Puri, B.A. 2005. Kajian Pemurnian Nira Tebu dengan Membran Filtrasi dengan
Sistem Aliran Silang (Crossflow). Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rachmat, M. 1992. Pengusahaan Gula Kelapa Sebagai Suatu Alternatif
Pendayagunaan Kelapa. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 1 (9 Juli), Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Riyanto, B. 1989. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yayasan Badan
Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta. Rochiman. 1985. Respon Peternak Terhadap Pemberian Pucuk Tebu Serta
Pengaruhnya Pada Sapi PO. Di dalam Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Prosiding. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Rony, H. 1990. Akuntansi Biaya, Pengantar untuk Perencanaan dan
Pengendalian Biaya Produksi. LPFE UI, Jakarta. Santoso, H.B. 1993. Pembuatan Gula Kelapa. Kanisius, Jakarta. Sardjono. 1986. Pengembangan Peralatan untuk Pengembangan Serbuk Gula
Merah. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian, Bogor.
Schltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil Di Hindia Belanda. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta. Sejoedono, A.R. dan Tiktik S.P. 2004. Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan
Koperasi. Ghalia Indonesia, Bogor. Sembiring, Y dan Rivai W. 1991. Pengendalian Biaya. Pionir Jaya, Bandung. Senduk, S. 2003. Mengenal Dua Jenis Investasi Bagi Hasil dalam Tabloid NOVA
No. 849/XVI
76
Silitonga, A. 1985. Pemanfaatan Daun Tebu untuk Pakan Ternak di Jawa Timur.
Di dalam Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Prosiding. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Simatupang, P., Nizwar S., dan Farida L. 1999. Keterkaitan Antar Industri dan
Peranannya Dalam Perekonomian Nasional. Di dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Bibliografi. IPB, Bogor.
Soentoro, Novi I., dan A.M.S. Ali. 1999. Usaha Tani dan Tebu Rakyat
Intensifikasi di Jawa. Di dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Bibliografi. IPB, Bogor.
Sudiatso, S. 1982. Bertanam Tebu. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian.
IPB, Bogor. Supranto, J. 1991. Metode Riset Aplikasinya dalam Pemasaran. LPFE UI,
Jakarta. Sutardjo, E. 2002. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara, Jakarta. Sutoyo, S. 1996. Studi Kelayakan Proyek. PT Pustaka Binaman Pressindo.
Jakarta. Syukur, M., D. Kusnadi, dan R. Andrida. 1999. Industri Gula Merah dan Pemanis
Lainnya. Di dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Bibliografi. IPB, Bogor. Tjokrodirdjo,H.S., Lae M.S., dan Bubun S. 1999. Industri Gula di Luar Jawa. Di
dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Bibliografi. IPB, Bogor. Tompkins dan White. 1984. Facilities Planning. John Willey & Sons Inc, Canada Umar, H. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wijaya, M. 2001. Prospek Industrialisasi Pedesaan. Yayasan Pustaka Cakra,
Surakarta. Wirioadmodjo, B. et al. 1984. Pergulaan di Indonesia dan Prospeknya di Masa
Mendatang. Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula, Pasuruan. Yusdja, Y. et al. 2004. Analisis Peluang Peningkatan Kesempatan Kerja dan
Pendapatan Petani Melalui Pengelolaan Usahatani Bersama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Zuraidah, 2005. Analisis Pendapatan Usaha Tani Tebu dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Keputusan Pengolahan Gula Merah di Tingkat Petani. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
77
Lampiran 1. Peta Lokasi Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun
78
Lampiran 2. Mesin dan Peralatan Produksi
Mesin / peralatan Keterangan
Golok Digunakan untuk memotong dan membersihkan batang tebu
Mesin diesel Merupakan sumber penggerak gilingan, tenaga mesin yang digunakan berkisar 12 – 18 PK
Mesin penggiling Merupakan mesin pemeras tebu untuk mendapatkan nira. Mesin penggiling ini dihubungkan dengan mesin diesel sebagai penggerak. Ukuran gilingan berkisar 14 – 18 inchi.
Bak nira Digunakan sebagai tempat menampung nira, umumnya berupa kolam yang diplester dengan ukuran yang mampu menampung ± ½ dari total wajan di tungku pemasakan.
Gerobak Digunakan untuk kegiatan pemindahan material seperti bagase, dan limbah
Pipa dan selang Digunakan sebagai saluran nira Tungku masak Merupakan alat pemasakan untuk menguapkan air
yang ada pada nira sampai didapatkan nira yang pekat. Tungku masak dirancang dengan menggunakan bahan bakar bagase dan sekam. Rata-rata setiap tungku menampung 6 – 9 wajan tempat memasak nira tebu.
Wajan (1) Digunakan sebagai tempat memasak nira tebu yang terbuat dari besi baja dengan diameter ± 80 – 90 cm. (2) Digunakan sebagai tempat nira yang sudah pekat untuk proses pembekuan.
Serok Digunakan untuk menghilangkan kotoran yang mengapung pada saat pemasakan nira
Ebor Digunakan untuk memindahkan nira dari satu wajan ke wajan lain
Penahan (bumbung) Digunakan untuk menutupi wajan untuk menghindari meluapnya nira pada saat pemasakan. Bahannya terbuat dari anyaman bambu.
Pengaduk Digunakan untuk mengaduk nira yang sudah pekat agar cepat dingin.
Cetakan Digunakan untuk mencetak gula merah tebu. Cetakan yang digunakan terbuat dari tanah liat berbentuk lemper
Ember (1) Digunakan untuk memindahkan nira tebu dari bak nira ke tungku pemasakan. (2) Digunakan sebagai tempat mencuci cetakan gula
Keranjang Digunakan sebagai tempat menyimpan sementara gula merah tebu sebelum disimpan di gudang produk.
79
Lampiran 3. Analisa Peningkatan dan Penurunan Tingkat Upah
80
Lampiran 4. Analisa Profitabilitas Industri Gula Merah Tebu
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6 Harga Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Total Penerimaan 778 kg Rp1.083.800 2.555 kg Rp5.423.280 1.474 kg Rp5.105.400 2.705 kg Rp9.469.900 712 kg Rp2.472.200 2.770 kg Rp8.050.460 Lahan Milik 683 kg Rp2.360.100 898 kg Rp3.137.200 Hari Kerja 4 hari 3 hari Gula Baik Rp3.700/kg 88 kg Rp325.600 267 kg Rp987.900 Gula Sedang Rp3.500/kg 355 kg Rp1.242.500 335 kg Rp1.172.500 Gula Jelek Rp3.300/kg 240 kg Rp792.000 296 kg Rp976.800 Lahan Sewa 898 kg Rp3.116.200 791 kg Rp2.745.300 712 kg Rp2.472.200 922 kg Rp3.223.600 Hari Kerja 3 hari 5 hari 3 hari 5 hari Gula Baik Rp3.700/kg 190 kg Rp703.000 136 kg Rp503.200 111 kg Rp410.700 152 kg Rp562.400 Gula Sedang Rp3.500/kg 384 kg Rp1.344.000 403 kg Rp1.410.500 391 kg Rp1.368.500 601 kg Rp2.103.500 Gula Jelek Rp3.300/kg 324 kg Rp1.069.200 252 kg Rp831.600 210 kg Rp693.000 169 kg Rp557.700 Beli Tebu 1.807 kg Rp6.332.700 1.053 kg Rp3.707.700 Hari Kerja 5 hari 3 hari Gula Baik Rp3.700/kg 517 kg Rp1.912.900 237 kg Rp876.900 Gula Sedang Rp3.500/kg 814 kg Rp2.849.000 690 kg Rp2.415.000 Gula Jelek Rp3.300/kg 476 kg Rp1.570.800 126 kg Rp415.800 Titip Giling (40%) 778 kg Rp1.083.800 1.657 kg Rp2.307.080 795 kg Rp1.119.160 Hari Kerja 4 hari 4 hari 2 hari Gula Baik Rp3.700/kg 177 kg Rp653.050 336 kg Rp1.243.200 122 kg Rp451.400 Gula Sedang Rp3.500/kg 358 kg Rp1.251.250 826 kg Rp2.891.000 628 kg Rp2.198.000 Gula Jelek Rp3.300/kg 244 kg Rp805.200 495 kg Rp1.633.500 45 kg Rp148.500
Biaya Produksi Gula Merah Rp723.715 Rp2.973.073 Rp2.832.766 Rp5.713.207 Rp1.510.769 Rp5.467.318 Biaya Tebu Rp1.063.074 Rp1.514.144 Rp3.641.402 Rp931.385 Rp3.004.698 Lahan Milik Rp6.473/kw 68 kw Rp464.440 90 kw Rp558.873 Lahan Sewa Rp12.657/kw 90 kw Rp1.063.074 79 kw Rp1.049.704 71 kw Rp931.385 92 kw Rp1.194.854 Beli Tebu Rp17.544/kw 181 kw Rp3.082.529 105 kw Rp1.809.844 Biaya Pengolahan Rp181.815 Rp429.350 Rp467.722 Rp493.488 Rp167.351 Rp516.780 Kapur Rp350/kg 6,9 kg Rp2.401 21,3 kg Rp7.452 12,3 kg Rp4.299 20,8 kg Rp7.283 5,9 kg Rp2.077 25,2 kg Rp8.814 Minyak Kelapa Rp4.700/kg 1,4 kg Rp6.450 4,3 kg Rp20.014 2,5 kg Rp11.546 4,2 kg Rp19.559 1,2 kg Rp5.577 5,0 kg Rp23.671 Na-Metabisulfit Rp8.000/kg 0,7 kg Rp5.489 2,1 kg Rp17.033 1,2 kg Rp9.827 2,1 kg Rp16.646 0,6 kg Rp4.747 2,5 kg Rp20.145 BBM Diesel Rp4.300/lt 21 lt Rp88.150 59 lt Rp253.700 51 lt Rp219.300 66 lt Rp283.800 21 lt Rp90.300 75 lt Rp322.500 Oli Rp9.000/lt 1,4 lt Rp12.150 4,9 lt Rp44.100 3,1 lt Rp27.900 4,0 lt Rp36.000 1,4 lt Rp12.600 4,6 lt Rp41.400 BBM Kendaraan Rp4.300/lt 16 lt Rp66.650 20 lt Rp86.000 45 lt Rp193.500 30 lt Rp129.000 12 lt Rp51.600 23 lt Rp98.900 Aspal padat Rp9.000/bj 0,1 bj Rp525 0,1 bj Rp1.050 0,2 bj Rp1.350 0,1 bj Rp1.200 0,1 bj Rp450 0,2 bj Rp1.350 Tenaga Kerja Rp541.900 Rp1.480.650 Rp850.900 Rp1.578.317 Rp412.033 Rp1.945.840 Pendapatan Gula Merah Rp360.085 Rp2.450.207 Rp2.272.634 Rp3.756.693 Rp961.431 Rp2.583.142 Pendapatan / kg Rp463 Rp959 Rp1.542 Rp1.389 Rp1.350 Rp933 R/C Ratio 1,50 1,82 1,80 1,66 1,64 1,47
81
Lampiran 5. Kondisi Awal Pabrik Gula Merah Tebu
Tempat Penyimpanan Tebu
Ruang Giling
Gudang Bahan Bakar
Ruang Produksi (1)
Ruang Produksi (2)
Gudang Produk
82
Lampiran 6. Peta Proses Operasi Pembuatan Gula Merah Tebu
PETA PROSES OPERASI NAMA OBJEK NOMOR PETA DIPETAKAN OLEH TANGGAL DIPETAKAN
: PEMBUATAN GULA MERAH TEBU : : SANTO PRIYONO :
Ringkasan Kegiatan Jumlah Waktu (jam)
Operasi 16 - Pemeriksaan 2 - Total 18 -
83
Lampiran 7. Tata Letak Industri Gula Merah Tebu Awal
84
Lampiran 8. Hasil Rancangan Tata Letak Industri Gula Merah Tebu
85
Lampiran 9. Kondisi Akhir Industri Gula Merah Tebu
Tempat Penyimpanan Tebu
Ruang Giling
Gudang Bahan Bakar
Ruang Produksi (1)
Ruang Produksi (2)
Gudang Produk
86
Lampiran 10. Laporan laba rugi rancang ulang tata tetak industri gula merah tebu Kapasitas tetap dan perubahan % mutu
POLA I
Deskripsi Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Total penerimaan Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000
Total Biaya Operasi Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640
Biaya Tetap Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000
Biaya Variabel Rp 96.776.640 Rp 96.776.640 Rp 96.776.640 Rp 96.776.640 Rp 96.776.640 Rp 96.776.640 Rp 96.776.640 Rp 96.776.640 Rp 96.776.640 Rp 96.776.640
Laba Kotor Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360
Penyusutan Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500
Laba Bersih Rp 139.286.860 Rp 139.286.860 Rp 139.286.860 Rp 139.286.860 Rp 139.286.860 Rp 139.286.860 Rp 139.286.860 Rp 139.286.860 Rp 139.286.860 Rp 139.286.860
POLA II
Deskripsi Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Total penerimaan Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000
Total Biaya Operasi Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760
Biaya Tetap Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000
Biaya Variabel Rp 130.019.760 Rp 130.019.760 Rp 130.019.760 Rp 130.019.760 Rp 130.019.760 Rp 130.019.760 Rp 130.019.760 Rp 130.019.760 Rp 130.019.760 Rp 130.019.760
Laba Kotor Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240
Penyusutan Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500
Laba Bersih Rp 106.043.740 Rp 106.043.740 Rp 106.043.740 Rp 106.043.740 Rp 106.043.740 Rp 106.043.740 Rp 106.043.740 Rp 106.043.740 Rp 106.043.740 Rp 106.043.740
POLA III
Deskripsi Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Total penerimaan Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000
Total Biaya Operasi Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240
Biaya Tetap Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000
Biaya Variabel Rp 168.054.240 Rp 168.054.240 Rp 168.054.240 Rp 168.054.240 Rp 168.054.240 Rp 168.054.240 Rp 168.054.240 Rp 168.054.240 Rp 168.054.240 Rp 168.054.240
Laba Kotor Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760
Penyusutan Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500
Laba Bersih Rp 68.009.260 Rp 68.009.260 Rp 68.009.260 Rp 68.009.260 Rp 68.009.260 Rp 68.009.260 Rp 68.009.260 Rp 68.009.260 Rp 68.009.260 Rp 68.009.260
87
POLA IV
Deskripsi Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Total penerimaan Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000
Total Biaya Operasi Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560
Biaya Tetap Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000
Biaya Variabel Rp 50.962.560 Rp 50.962.560 Rp 50.962.560 Rp 50.962.560 Rp 50.962.560 Rp 50.962.560 Rp 50.962.560 Rp 50.962.560 Rp 50.962.560 Rp 50.962.560
Laba Kotor Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440
Penyusutan Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500
Laba Bersih Rp 40.956.940 Rp 40.956.940 Rp 40.956.940 Rp 40.956.940 Rp 40.956.940 Rp 40.956.940 Rp 40.956.940 Rp 40.956.940 Rp 40.956.940 Rp 40.956.940
Kapasitas meningkat dan perubahan % mutu
POLA I
Deskripsi Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Total penerimaan Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000
Total Biaya Operasi Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920
Biaya Tetap Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000
Biaya Variabel Rp 113.827.920 Rp 113.827.920 Rp 113.827.920 Rp 113.827.920 Rp 113.827.920 Rp 113.827.920 Rp 113.827.920 Rp 113.827.920 Rp 113.827.920 Rp 113.827.920
Laba Kotor Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080
Penyusutan Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500
Laba Bersih Rp 166.011.580 Rp 166.011.580 Rp 166.011.580 Rp 166.011.580 Rp 166.011.580 Rp 166.011.580 Rp 166.011.580 Rp 166.011.580 Rp 166.011.580 Rp 166.011.580
POLA II
Deskripsi Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Total penerimaan Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000
Total Biaya Operasi Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760
Biaya Tetap Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000
Biaya Variabel Rp 152.645.760 Rp 152.645.760 Rp 152.645.760 Rp 152.645.760 Rp 152.645.760 Rp 152.645.760 Rp 152.645.760 Rp 152.645.760 Rp 152.645.760 Rp 152.645.760
Laba Kotor Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240
Penyusutan Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500
Laba Bersih Rp 127.193.740 Rp 127.193.740 Rp 127.193.740 Rp 127.193.740 Rp 127.193.740 Rp 127.193.740 Rp 127.193.740 Rp 127.193.740 Rp 127.193.740 Rp 127.193.740
88
POLA III
Deskripsi Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Total penerimaan Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000
Total Biaya Operasi Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840
Biaya Tetap Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000
Biaya Variabel Rp 197.595.840 Rp 197.595.840 Rp 197.595.840 Rp 197.595.840 Rp 197.595.840 Rp 197.595.840 Rp 197.595.840 Rp 197.595.840 Rp 197.595.840 Rp 197.595.840
Laba Kotor Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160
Penyusutan Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500
Laba Bersih Rp 82.243.660 Rp 82.243.660 Rp 82.243.660 Rp 82.243.660 Rp 82.243.660 Rp 82.243.660 Rp 82.243.660 Rp 82.243.660 Rp 82.243.660 Rp 82.243.660
POLA IV
Deskripsi Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Total penerimaan Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400
Total Biaya Operasi Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720
Biaya Tetap Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000 Rp 355.000
Biaya Variabel Rp 59.214.720 Rp 59.214.720 Rp 59.214.720 Rp 59.214.720 Rp 59.214.720 Rp 59.214.720 Rp 59.214.720 Rp 59.214.720 Rp 59.214.720 Rp 59.214.720
Laba Kotor Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680
Penyusutan Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500 Rp 3.821.500
Laba Bersih Rp 50.215.180 Rp 50.215.180 Rp 50.215.180 Rp 50.215.180 Rp 50.215.180 Rp 50.215.180 Rp 50.215.180 Rp 50.215.180 Rp 50.215.180 Rp 50.215.180
89
Lampiran 11. Arus kas rancang ulang tata letak industri gula merah tebu
Kapasitas tetap dan perubahan % mutu POlA I
Deskripsi Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Cash Inflow Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000
Total penerimaan Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000
Cash Outflow Rp 38.215.000 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640
Investasi Rp 38.215.000
Biaya Produksi Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640 Rp 97.131.640
Aliran Kas Bersih Rp (38.215.000) Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360 Rp 143.108.360
Present Value Rp (38.215.000) Rp 123.369.276 Rp 106.352.824 Rp 91.683.469 Rp 79.037.473 Rp 68.135.753 Rp 58.737.718 Rp 50.635.964 Rp 43.651.693 Rp 37.630.770 Rp 32.440.319
Kumulatif Kas Rp (38.215.000) Rp 104.893.360 Rp 248.001.720 Rp 391.110.080 Rp 534.218.440 Rp 677.326.800 Rp 820.435.160 Rp 963.543.520 Rp 1.106.651.880 Rp 1.249.760.240 Rp 1.392.868.600
POlA II
Deskripsi Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Cash Inflow Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000
Total penerimaan Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000
Cash Outflow Rp 38.215.000 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760
Investasi Rp 38.215.000
Biaya Produksi Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760 Rp 130.374.760
Aliran Kas Bersih Rp (38.215.000) Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240 Rp 109.865.240
Present Value Rp (38.215.000) Rp 94.711.414 Rp 81.647.771 Rp 70.386.009 Rp 60.677.594 Rp 52.308.271 Rp 45.093.337 Rp 38.873.566 Rp 33.511.695 Rp 28.889.392 Rp 24.904.648
Kumulatif Kas Rp (38.215.000) Rp 71.650.240 Rp 181.515.480 Rp 291.380.720 Rp 401.245.960 Rp 511.111.200 Rp 620.976.440 Rp 730.841.680 Rp 840.706.920 Rp 950.572.160 Rp 1.060.437.400
POlA III
Deskripsi Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Cash Inflow Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000
Total penerimaan Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000 Rp 240.240.000
Cash Outflow Rp 38.215.000 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240
Investasi Rp 38.215.000
Biaya Produksi Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240 Rp 168.409.240
Kumulatif Kas Rp (38.215.000) Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760 Rp 71.830.760
Present Value Rp (38.215.000) Rp 61.923.069 Rp 53.381.956 Rp 46.018.928 Rp 39.671.489 Rp 34.199.560 Rp 29.482.379 Rp 25.415.844 Rp 21.910.210 Rp 18.888.112 Rp 16.282.856
Kumulatif Kas Rp (38.215.000) Rp 33.615.760 Rp 105.446.520 Rp 177.277.280 Rp 249.108.040 Rp 320.938.800 Rp 392.769.560 Rp 464.600.320 Rp 536.431.080 Rp 608.261.840 Rp 680.092.600
90
POlA IV
Deskripsi Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Cash Inflow Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000
Total penerimaan Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000 Rp 96.096.000
Cash Outflow Rp 38.215.000 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560
Investasi Rp 38.215.000
Biaya Produksi Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560 Rp 51.317.560
Aliran Kas Bersih Rp (38.215.000) Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440 Rp 44.778.440
Present Value Rp (38.215.000) Rp 38.602.103 Rp 33.277.675 Rp 28.687.651 Rp 24.730.734 Rp 21.319.598 Rp 18.378.964 Rp 15.843.934 Rp 13.658.564 Rp 11.774.624 Rp 10.150.538
Kumulatif Kas Rp (38.215.000) Rp 6.563.440 Rp 51.341.880 Rp 96.120.320 Rp 140.898.760 Rp 185.677.200 Rp 230.455.640 Rp 275.234.080 Rp 320.012.520 Rp 364.790.960 Rp 409.569.400
Kapasitas meningkat dan perubahan % mutu POlA I
Deskripsi Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Cash Inflow Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000
Total penerimaan Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000
Cash Outflow Rp 38.215.000 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920
Investasi Rp 38.215.000
Biaya Produksi Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920 Rp 114.182.920
Aliran Kas Bersih Rp (38.215.000) Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080 Rp 169.833.080
Present Value Rp (38.215.000) Rp 146.407.828 Rp 126.213.644 Rp 108.804.866 Rp 93.797.298 Rp 80.859.740 Rp 69.706.672 Rp 60.091.959 Rp 51.803.413 Rp 44.658.114 Rp 38.498.375
Kumulatif Kas Rp (38.215.000) Rp 131.618.080 Rp 301.451.160 Rp 471.284.240 Rp 641.117.320 Rp 810.950.400 Rp 980.783.480 Rp 1.150.616.560 Rp 1.320.449.640 Rp 1.490.282.720 Rp 1.660.115.800
POlA II
Deskripsi Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Cash Inflow Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000
Total penerimaan Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000
Cash Outflow Rp 38.215.000 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760
Investasi Rp 38.215.000
Biaya Produksi Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760 Rp 153.000.760
Aliran Kas Bersih Rp (38.215.000) Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240 Rp 131.015.240
Present Value Rp (38.215.000) Rp 112.944.172 Rp 97.365.666 Rp 83.935.919 Rp 72.358.551 Rp 62.378.061 Rp 53.774.191 Rp 46.357.061 Rp 39.962.983 Rp 34.450.848 Rp 29.699.007
Kumulatif Kas Rp (38.215.000) Rp 92.800.240 Rp 223.815.480 Rp 354.830.720 Rp 485.845.960 Rp 616.861.200 Rp 747.876.440 Rp 878.891.680 Rp 1.009.906.920 Rp 1.140.922.160 Rp 1.271.937.400
91
POlA III
Deskripsi Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Cash Inflow Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000
Total penerimaan Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000 Rp 284.016.000
Cash Outflow Rp 38.215.000 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840
Investasi Rp 38.215.000
Biaya Produksi Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840 Rp 197.950.840
Aliran Kas Bersih Rp (38.215.000) Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160 Rp 86.065.160
Present Value Rp (38.215.000) Rp 74.194.103 Rp 63.960.434 Rp 55.138.305 Rp 47.533.022 Rp 40.976.743 Rp 35.324.778 Rp 30.452.395 Rp 26.252.065 Rp 22.631.090 Rp 19.509.561
Kumulatif Kas Rp (38.215.000) Rp 47.850.160 Rp 133.915.320 Rp 219.980.480 Rp 306.045.640 Rp 392.110.800 Rp 478.175.960 Rp 564.241.120 Rp 650.306.280 Rp 736.371.440 Rp 822.436.600
POlA IV
Deskripsi Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10
Cash Inflow Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400
Total penerimaan Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400 Rp 113.606.400
Cash Outflow Rp 38.215.000 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720
Investasi Rp 38.215.000
Biaya Produksi Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720 Rp 59.569.720
Aliran Kas Bersih Rp (38.215.000) Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680 Rp 54.036.680
Present Value Rp (38.215.000) Rp 46.583.345 Rp 40.158.056 Rp 34.619.014 Rp 29.843.977 Rp 25.727.567 Rp 22.178.937 Rp 19.119.773 Rp 16.482.563 Rp 14.209.106 Rp 12.249.229
Kumulatif Kas Rp (38.215.000) Rp 15.821.680 Rp 69.858.360 Rp 123.895.040 Rp 177.931.720 Rp 231.968.400 Rp 286.005.080 Rp 340.041.760 Rp 394.078.440 Rp 448.115.120 Rp 502.151.800
92
Lampiran 12. Kuesioner Responden Pengusaha Industri Gula Merah Tebu
KUESIONER RESPONDEN PENGUSAHA INDUSTRI GULA MERAH TEBU
No. Responden : Tanggal wawancara : Nama responden : Kuesioner ini dibuat untuk menganalisa kondisi usaha industri gula merah dari nira tebu. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan skripsi
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Aspek Legalitas 1. Siapa pendiri / perintis industri gula merah tebu ............................................... 2. Tahun berapa usaha ini mulai dilakukan / dirintis ............................................. 3. Siapa penanggung jawab industri gula merah tebu saat ini ............................... 4. Dimana alamat industri gula merah tebu saat ini ............................................... 5. Apakah industri gula merah tebu yang anda kelola memiliki izin usaha dari
pemerintah daerah .............................................................................................. 6. Apakah bentuk usaha industri gula merah tebu yang anda dikelola .................. 7. Berdasarkan bentuk usahanya, bagaimana pendapat anda mengenai industri
gula merah tebu yang dikelola ........................................................................... 8. Apa saja yang menjadi kendala anda dalam masalah legalitas industri gula
merah tebu ..........................................................................................................
Aspek Teknis dan Teknologis Bahan Baku Tebu 9. Berapa kemampuan produksi gula merah tebu usaha anda / hari ...................... 10. Berdasarkan karakteristik tebu sebagai bahan baku,
a. Berapa umur tebu yang anda gunakan ........................................................ b. Bagaimana bentuk batang tebu yang anda gunakan ................................... c. Bagaimana bentuk daun tebu yang anda gunakan ...................................... d. Bagaimana tingkat kemanisan tebu yang anda gunakan .............................
11. Dari mana anda mendapatkan sumber bahan baku tebu yang anda gunakan untuk diproduksi menjadi gula merah tebu ........................................................
12. Apabila anda menggarap lahan perkebunan tebu, a. Berapa luas arel perkebunan yang anda garap ............................................ b. Berapa tingkat produksi tebu dari lahan yang anda garap ..........................
13. Apabila anda membeli bahan baku tebu, a. Dari daerah mana anda membeli bahan baku tebu ..................................... b. Bagaimana cara pembeian dan pembayaran tebu yang anda beli ............... c. Berapa harga tebu yang anda beli ...............................................................
14. Berapa rincian biaya bahan baku tebu yang anda keluarkan untuk masing-masing sumber ...................................................................................................
15. Apa saja yang menjadi kendala bahan baku tebu untuk industri gula merah tebu yang anda kelola .........................................................................................
93
Bahan Tambahan dan Penunjang 16. Bahan tambahan apa saja yang anda gunakan dalam proses produksi gula
merah tebu .......................................................................................................... 17. Berapa banyak bahan tambahan yang digunakan untuk produksi ..................... 18. Bahan penunjang apa saja yang anda gunakan dalam proses produksi gula
merah tebu .......................................................................................................... 19. Berapa banyak bahan penunjang yang digunakan untuk produksi .................... 20. Bagaimana cara anda memperoleh bahan tambahan dan penunjang produksi .. 21. Apa saja yang menjadi kendala bahan tambahan dan penunjang untuk industri
gula merah tebu yang anda kelola ...................................................................... Mesin dan Peralatan 22. Mesin dan peralatan apa saja yang anda gunakan dalam industri gula merah
tebu ..................................................................................................................... 23. Apakah fungsi dari masing-masing mesin dan peralatan yang anda gunakan ... 24. Bagaimana spesifikasi dari masing-masing mesin dan peralatan yang anda
gunakan .............................................................................................................. 25. Berapa jumlah mesin dan peralatan yang saat ini anda miliki ........................... 26. Bagaimana kondisi mesin dan peralatan yang saat ini anda miliki .................... 27. Bagaimana cara perawatan mesin dan peralatan yang anda lakukan ................. 28. Apa saja yang menjadi kendala mesin dan peralatan untuk industri gula merah
tebu yang anda kelola ......................................................................................... Proses Produksi 29. Bagaimana proses produksi gula merah tebu yang anda lakukan ...................... 30. Apa saja yang mempengaruhi mutu dan kualitas produk gula merah tebu yang
anda dihasilkan ................................................................................................... 31. Apa saja yang menjadi proses produksi produk gula merah tebu untuk industri
gula merah tebu yang anda kelola ...................................................................... Limbah dan Sanitasi 32. Limbah apa saja yang dihasilkan oleh industri gula merah tebu yang anda
kelola .................................................................................................................. 33. Bagaimana penanganan limbah yang dihasilkan oleh industri gula merah tebu
yang anda kelola ................................................................................................ 34. Bagaimana penanganan sanitasi (kebersihan) pada industri gula merah tebu
yang anda kelola ................................................................................................. 35. Apa saja yang menjadi kendala penanganan limbah dan sanitasi untuk
industri gula merah tebu yang anda kelola ......................................................... Produk dan Pemasaran 36. Berdasarkan karakteristik fisik produk gula merah tebu,
a. Bagaimana bentuk produk gula merah tebu yang anda hasilkan ................ b. Berapa bobot satuan produk gula merah tebu yang anda hasilkan ............. c. Bagaimana kemasan produk gula merah tebu yang anda hasilkan .............
37. Berdasarkan klasifikasi mutu produk gula merah tebu, a. Faktor-faktor apa saja yang membedakan mutu produk gula merah tebu
yang anda hasilkan ......................................................................................
94
b. Bagaimana penentuan klasifikasi mutu produk gula merah tebu berdasarkan faktor-faktor yang telah anda sebutkan sebelumnya ..............
c. Bagaimana pengaruh adanya tingkatan mutu produk gula merah tebu yang anda hasilkan ......................................................................................
38. Berapa harga produk gula merah tebu yang saat ini anda hasilkan ................... 39. Bagaimana kecenderungan harga produk gula merah tebu yang anda hasilkan
selama ini ........................................................................................................... 40. Bagaimana distribusi produk gula merah tebu yang anda hasilkan ................... 41. Apa saja yang menjadi kendala pemasaran produk gula merah tebu pada
industri gula merah tebu yang anda kelola ......................................................... Ketenagakerjaan 42. Dari mana anda mendapatkan sumber tenaga kerja untuk industri gula merah
tebu yang anda kelola ......................................................................................... 43. Siapa saja yang menjadi tenaga kerja dalam industri gula merah tebu yang
anda kelola ................................................................................................ 44. Berapa jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam industri gula merah tebu
yang anda kelola ................................................................................................. 45. Jenis pekerjaaan apa saja yang dilakukan oleh tenaga kerja .............................. 46. Berapa lama jam kerja yang dilakukan tenaga kerja dalam industri anda setiap
harinya ............................................................................................................... 47. Bagaimana sistem pemberian upah yang anda lakukan untuk tenaga kerja ...... 48. Berapa besar upah / hari yang diterima tenaga kerja dalam industri gula
merah tebu yang anda kelola .............................................................................. 49. Apa saja yang menjadi kendala ketenagakerjaan dalam industri gula merah
tebu yang anda kelola .........................................................................................