ANALISA KEKUATAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM …

of 12 /12
ANALISA KEKUATAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM MENAGANI SERANGAN TERORISME MELALUI STUDI KASUS PEMBAJAKAN PESAWAT GARUDA INDONESIA AIRWAYS DC-9 “WOYLA” PENELITIAN MANDIRI Oleh : A.A Bagus Surya W.N 1106145452 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA 2016

Embed Size (px)

Transcript of ANALISA KEKUATAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM …

“WOYLA”
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS UDAYANA
Penggunaan strategi pembajakan pesawat udara memiliki sejarah tersendiri dalam
perkembangan terorisme. Dalam artikel The Contagiousness of Aircraft Hijacking (Holden)
dikatakan bahwa strategi pembajakan pesawat udara memiliki efek “penularan” apabila
strategi ini berhasil dilakukan secara berturut-turut. Periode tertinggi dalam sejarah
pembajakan pesawat udara yang dialami oleh Amerika Serikat adalah pada kurun waktu
1968-1972. Menurut tipologinya strategi ini dibedakan menjadi dua kategori utama menurut
sejarah penggunaannya. Pertama, strategi pembajakan yang memiliki tujuan sebagai sarana
transportasi. Sebagai contoh adalah penggunaan strategi ini oleh para pengungsi untuk
melarikan diri (setelah Perang Dunia II dan setelah Revolusi Kuba) 1 . Dan juga digunakan
oleh para tahanan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain. Yang kedua,
penggunaan strategi ini yang bertujuan untuk melakukan pemerasan terhadap pemerintah
suatu negara 2 . Dalam tipologi yang kedua ini memiliki tujuan untuk mendapatkan bargaining
position agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga pada tipologi ini pembajakan
tidak lagi hanya bartujuan untuk transportasi namun juga memiliki tujuan politis. Dari
tipologi yang kedua inilah kemudian pembajakan pesawat udara lebih dominan dikatakan
sebagai salah satu tindakan terorisme yang bertujuan untuk mengintimidasi pemerintah suatu
negara agar menuruti keinginan pembajak.
Peristiwa pembajakan pesawat udara yang memiliki motif terorisme pertamakali terjadi
diluar AS pada tanggal 27 Juli 1968 yang dilakukan oleh Popular Front for the Liberation of
Palestine (PFLP) yang membajak pesawat miliki Israel dengan tujuan terbang ke
Aljazair. 3 Tuntutan dari para pembajak adalah agar pemerintah Israel membebaskan para
pejuang Palestina yang ditahan oleh Israel. Dari peristiwa inilah kemudian diikuti oleh
beberapa peristiwa pembajakan lainnya. Peristiwa pembajakan yang cukup terkenal yang
dialami oleh AS pada tanggal 24 November 1971 yang dilakukan oleh D.B Cooper yang
bertujuan meminta tebusan sebesar US$. 200.000 dan dua buah parasut. Namun angka
pembajakan setelah tahun 1972 yaitu pada periode 1973-1982 dikatakan mengalami
penurunan khususnya di AS yaitu 9.3 pembajakan pertahun yang jauh lebih rendah jika
dibandingnya pada periode sebelumnya 29 pembajakan pertahun (1968-1972) 4 .
Peristiwa pembajakan yang terjadi diluar AS seperti di Timur Tengah dan Amerika
Selatan juga pernah terjadi di Indonesia. Pembajakan pesawat udara ini merupakan salah satu
aksi serangan teror yang dilakukan oleh kelompok teroris yang berasal dari Indonesia. Jika
kita melihat sejarah terorisme di Indonesia maka terdapat beberapa periode tertentu yang
memperlihatkan bangkitnya kembali kelompok teroris yang berakar pada DI/TII 5 pimpinan
Sekarmadji Marijan Kartosuwirjo 6 .Benih-benih perkembangan pemikiran untuk mendirikan
negara yang memiliki basis Agama Islam telah menjadi dasar perjuangan yang dilakukan
1 Holden,T,R. hal 3
adalahsebutanterhadappemberontakankelompokIslamispadatahun 1950an yang basis utamanyaberada di wilayahJawa Barat.(Solahuddin, 2011)
6 International Crisis Group, “The Origins: Darul Islam”, dalam Al-Qaeda in Southeast Asia: The Case of The
“Ngruki Network” In Indonesia”, Jakarta/Brussels, 8 Agustus 2002, hal 3
2
oleh beberapa orang yang meyakini hal tersebut dapat terwujud. Salah satu aksinya adalah
peristiwa pembajakan pesawat Garuda Indonesia yang lebih dikenal dengan Pembajakan
“Woyla”.
Tanggal 28 Maret 1981 menjadi hari yang akan selalu dikenang dan tercatat dalam
sejarah perjalanan Republik Indonesia setelah kemerdekaan. Pesawat DC-9 Garuda Indonesia
Airways nomor penerbangan 209 dengan rute Jakarta menuju Medan dibajak oleh
sekelompok orang yang berjumlah 5 orang sesaat mengudara kembali setelah sebelumnya
transit di Palembang. Pembajakan tersebut dilakukan oleh kelompok Islam garis keras
bersenjatakan senjata api, granat bahkan dinamit dengan ancaman melukai penumpang dan
meledakkan pesawat. Mereka menuntut pembebasan rekan-rekan mereka yang ditahan atas
peristiwa penyerangan Pos Polisi Cicendo pada tanggal 11 Maret 1981. Dalam menjalankan
aksinya, pembajak memerintahkan Pilot Herman Rante untuk mengarahkan pesawat ke
Kolombo, Sri Lanka, namun bahan bakar yang ada di pesawat dengan rute dalam negeri tidak
memungkinkan menuju Kolombo. Pesawat akhirnya mengarahkan tujuan ke Penang,
Malaysia untuk mengisi bahan bakar pesawat untuk selanjutnya menuju Bandara Don Muang
di Thailand. Pembajak bersikeras agar pesawat segera keluar dari wilayah yurisdiksi
Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI waktu itu)
menjadi pihak yang paling disibukkan dengan adanya pembajakan pesawat Garuda Indonesia
Airways, bukan saja masalah pembajakan yang baru pertama kali terjadi di Indonesia, tapi
lokasi pesawat yang berada diluar kewenangan Pemerintah Indonesia memberikan kesulitan
tersendiri dalam hal diplomasi dan izin melancarkan opsi aksi militer di negara lain.
Pembajakan terjadi saat ABRI sedang melaksanakan latihan gabungan di Timor Timur
sampai dengan Morotai Provinsi Maluku. Akibatnya opsi serangan militer yang akan
dilaksanakan terhalang dengan ketersediaan pasukan yang siap diterjunkan. Seiring dengan
jalannya waktu, tuntutan pembajak pesawat meningkat menjadi pembebasan 80 orang
tahanan politik ekstrim kanan dan dengan tebusan uang sebesar US$. 1,5 juta disertai dengan
sebuah pesawat berbahan bakar penuh untuk mengantarkan para pembajak ke tempat
tujuannya. L.B. Moerdhani sebagai Asisten Intelijen Hankam melaporkan situasi
penyanderaan tersebut kepada Presiden Soeharto di Cendana dan Presiden memutuskan
bahwa pemerintah tidak akan tunduk pada tuntutan pembajak serta menyetujui opsi serangan
militer untuk membebaskan pesawat beserta penumpang di dalamnya. 7
Pasukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dari Tentara Nasional Indonesia-
Angkatan Darat ditunjuk sebagai pasukan yang akan melaksanakan operasi pembebasan
dibawah pimpinan Letkol. Sintong Panjaitan. 8 Pasukan melatihkan skenario operasi dengan
meminjam pesawat yang sama dari Garuda. Selanjutnya pasukan dan Moerdhani berangkat
ke Bandara Don Muang untuk menjalankan rencana yang telah disusun dengan menumpang
pesawat Garuda DC-10 yang mempunyai kapasitas lebih besar dan dapat mengudara lebih
lama. Sengaja Moerdhani menginstruksikan pilot agar mengaburkan nomor penerbangan
menjadi nomor penerbangan pesawat Garuda yang berasal dari Eropa untuk menghindari
kecurigaan para pembajak. Sesampainya di Thailand atas permintaan pihak berwenang
Thailand, maka pasukan harus tetap berada di dalam pesawat. Atas Situasi tersebut,
Moerdhani bersama Yoga Soegama selaku Kepala Bakin (Badan Kordinasi Intelijen Negara)
menghadap kepada Perdana Menteri Thailand Jenderal Prem Tinsulonanda untuk
7 Julius Pour dalam Tragedi Seorang Loyalis. Kata Penerbit, Jakarta. 2007. Hal. 213.
8 Ibid, Hal 211
dilakukan oleh pejabat Indonesia, pemerintah Thailand akhirnya pada tanggal 30 Maret 1981
memperbolehkan pasukan dari Indonesia untuk melancarkan serangan terhadap pesawat yang
dibajak asal perimeter luar pesawat dijaga oleh pasukan dari Thailand dan juru bicara atas
segala tindakan tersebut dilakukan oleh pejabat dari Thailand. 9
Operasi pembebasan berjalan dengan lancar. Semua pembajak dapat dilumpuhkan.
Dalam jalannya operasi pembebasan, 3 orang pembajak tewas tertembak langsung dan 2
lainnya terluka. Sedangkan dari pasukan pembebasan Peltu. Achmad Kirang dan Pilot
Herman Rante tertembak oleh peluru pembajak. Semua penumpang berhasil diselamatkan
tanpa sedikitpun ada yang terluka. Dari tangan pembajak turut diamankan pistol dan granat
yang gagal meledak sebagai upaya pertahanan pembajak saat operasi pembebasan
dilancarkan. Pada akhirnya pilot dan Peltu. Achmad Kirang tidak dapat bertahan dari luka
yang dideritanya serta 2 pembajak yang terluka pun tewas. Atas keberhasilan pasukan
membebaskan pesawat beserta penumpangnya, pemerintah menganugrahkan Bintang Sakti
(penghargaan tertinggi bagi anggota ABRI) dan kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi
sedangkan terhadap Peltu. Achmad Kirang dinaikan pangkat 2 tingkat lebih tinggi serta
pemakaman di TMP Kalibata. 10
Pemerintah dan Masyarakat menyambut dengan hangat
keberhasilan pasukan Kopassus menumpas aksi pembajakan pesawat Garuda yang pertama
kali terjadi di Indonesia.
Pembajakan pesawat Garuda Woyla merupakan yang pertama kali terjadi dengan
membawa pesawat keluar wilayah Indonesia. Pembajakan ini terjadi pada saat trend
pembajakan pesawat di dunia sedang menurun. Pelaku pembajakan Woyla yang diidentifikasi
sebagai bagian dari kelompok Islam garis keras berasal dari kelompok Jihad pimpinan
Warman yang merupakan sempalan dari Darul Islam setelah sebelumnya pada dekade 60-an
sampai dengan 70-an berhasil ditumpas oleh Pemerintah / ABRI. Dalam penulisan makalah
ini, pertanyaan yang ingin diajukan oleh penulis adalah “Kenapa para kelompok teroris ini
memilih menggunakan strategi pembajakan pesawat dalam melancarkan aksi untuk
mencapai tujuan yang dimiliki ?”dan “Bagaimana operasi pembebasan sandera
dilakukan?”. Pertanyaan dalam penulisan makalah ini didasari bahwa:
1. Tren pembajakan pesawat yang tidak sesering pada periode 1960-an hingga 1970-an;
2. Hampir semua bandara di Indonesia selain mendapatkan pengamanan dari kepolisian,
juga merupakan sebuah pangkalan udara bagi TNI-Angkatan udara yang berarti di
bandara tersebut juga ada personel tentara lengkap dengan persenjataannya;
3. Pelaku pembajakan adalah kelompok Islam garis keras binaan Kelompok Jihad
sempalan dari pentolan Daruul Islam yang dipimpin oleh Warman dan merupakan
binaan dari Ali Moertopo selaku Kepala Interlstrat Hankam saat itu.
4. Kesuksesan dalam membebaskan sandera menjadi salah satu sejarah manis dalam
perjalanan TNI khususnya Kopassus di dalam negeri maupun dunia internasional.
9 Ibid, Hal 220
10 Ibid, Hal 227
Menurut Rational Choice Theory (RCT), terorisme dipandang sebagai suatu metode
operasi yang rasional yang dimaksudkan untuk mempromosikan berbagai macam tujuan dan
mencapai tujuan politik tertentu (Crenshaw, 2000; Hoffman, 1998; Sphrinzak, 1998) 11
.
Dalam penjelasannya RCT menerangkan terorisme sebagai suatu kesadaran, rasional,
keputusan yang terukur untuk menentukan suatu rute dalam suatu aksi ke aksi yang lainnya
.
mutual value dan preferensi mereka. Dalam hal perhitungan rasional mengenai untung dan
rugi, terorisme dipilih sebagai suatu metode aktivitas politis karena dianggap merupakan cara
yang paling efektif dibanding dengan metode operasi lainnya, dalam hal ini keuntungannya
lebih besar dari biayanya.
Pada awalnya RCT ini digunakan pada teori ekonomi mikro yang kemudian digunakan
dalam berbagai bidang akademis. Konsep awalnya adalah bagaimana individu mengambil
suatu keputusan yang rasional dengan mempertimbangkan untung rugi dari tindakan yang
akan diambil berdasarkan permintaan dan supply yang dipengaruhi oleh pasar. Model RCT
yang dikemukakan menjelaskan bahwaindividu memaksimalkan kepuasan dengan memilih
salah satu dari beberapa alternatif pilihan dengan memperhatikan cost dan benefitnya
(Cornish and Clarke, 1986; Clarke and Felson, 1993:5) 13
. Demikian juga dalam mengejar
kepentingannya organisasi atau individu yang rasional akan memperhitungkan untung rugi
nya, oleh karena itu RCT dapat di formulasikan kedalam model matematika, seperti yang
dijelaskan oleh Laura Dugan 14
, sebagai berikut:
Jika p (success) * costs > [1- p(success)]*costs, maka tindakan criminal akan
muncul, sebaliknya
Jika p (success) * costs < [1-p(success)]*costs, maka tindakan criminal tidak akan
muncul
rational choice, offender akan menghitung probabilitas suksesnya ketika mengevaluasi
kesempatan untuk melakukan tindakan criminal.
Dalam menetapkan kebijakan terhadap pembajakan pesawat yang telah berlangsung
selama lebih dari 50 tahun terakhir, usaha yang dilakukan adalah dengan melakukan target
hardening, dengan cara pemeriksaan dengan menggunakan metal detector, menempatkan
petugas keamanan pada setiap bandara dan melakukan screening terhadap bagasi.
Menurut perspektif rational choice, keuntungan didapat baik dari sisi internal dan
eksternal bagi offender, misalnya perolehan uang tebusan (internal) dan pengakuan secara
politis (eksternal). Dari kasus-kasus terdahulu mengenai pembajakan akan meningkat jika
11
Boaz Ganor, Trends in The Modern Terrorism, DalamD. Weisburd et al. (eds.),To Protect and To Serve: Policing in an Age of Terrorism, Springer 2009. hal.15 12
Ibid, hal. 15 13
Laura Dugan, Testing of Rational Choice Model of Airline Hijackings, DalamCRIMINOLOGY VOLUME 43 NUMBER 4 2005, Hal. 1033 14
Ibid., Hal 1033
5
suatu aksi pembajakan berhasil dan akan menurun jika banyak yang mengalami kegagalan,
seperti pada contoh kasus pembajakan oleh DB Cooper, yang membajak North West orient,
tahun 1971, dengan meminta tebusan uang sebesar US$. 200,000, berhasil, telah memicu
pembajakan pesawat berikutnya dengan modus yang sama.
Secara garis besar perspektif pilihan rasional memprediksi bahwa frekuensi pembajakan
udara akan menurun jika kemungkinan keberhasilan menurun, manfaat yang dirasakan
berkurang, dan biaya yang ditimbulkan meningkat.
6
II. PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Aksi Pembajakan Pesawat udara di Indonesia Sebelum Peristiwa Woyla
Pembajakan Garuda Indonesia “Woyla” bukanlah yang pertamakali terjadi di
Indonesia. Jauh sebelumnya telah terjadi 2 kali pembajakan pesawat udara namun tidak
sampai keluar wilayah ruang udara nasional Indonesia. Pembajakan sebelumnya: 15
1. Pesawat milik maskapai Merpati Nusantara Airlines jenis Vickers Viscount pada
tanggal 4 April 1971 dengan rute Surabaya menuju Jakarta. Pembajakan diakhiri
dengan tewas tertembaknya pelaku pembajakan;
2. Pesawat DC-9 rute Surabaya menuju Jakarta pada tanggal 5 September 1977 dibajak
oleh Triyudho, seorang karyawan sipil honorer TNI-AU dengan bersenjatakan sebilah
badik menyandera seorang pramugari.
Kedua pembajakan diatas tidak ada ekspose media secara luas bahkan sampai dengan saat ini.
Data tentang apa tuntutan yang menjadi alasan dijadikan pendorong untuk melakukan
pembajakan juga tidak diungkap secara detail oleh pihak berwenang di Indonesia, apalagi
mengenai bagaimana cara-cara atau operasi pembebasan terhadap pembajakan yang terjadi.
Di masa tersebut memang di Indonesia pengawasan terhadap pemberitaan media sangat ketat
dilakukan oleh pemerintah dengan ancaman media akan bisa di-bredel. Di dalam struktur
angkatan bersenjata Indonesia sudah terdapat satuan yang bersifat khusus.Walaupun sudah
lama terbentuk pasukan khusus namun tidak ada unit yang secara spesifik untuk mengatasi
atau berurusan dengan penindakan dan penanggulangan terorisme. Sejarah pasukan anti teror
di Indonesia dimulai saat dibentuknya Detasemen 81-Gultor milik Kopassus tanggal 30 Juni
1982, 16
lalu disusul 2 tahun kemudian pasukan anti teror matra laut milik TNI-Angkatan Laut
yaitu Detasemen Jala Mengkara. Sedangkan TNI-Angkatan Udara baru membentuk pasukan
anti teror untuk matra udara di tahun 1990 sesuai dengan dengan nama pasukannya,
Detasemen-90 Bravo.
diantaranya Kapten Suganyo H.S. Dengan menumpang pesawat Garuda DC-10, pasukan
mendarat di Don Muang saat malam hari dan semua lampu navigasi tidak dinyalakan. Semua
pasukan dilarang untuk turun dari pesawat sambil menunggu izin dari Pemerintah Thailand.
Menghadapi medan operasi yang berbeda seperti pembajakan pesawat, pasukan Kopassus
menggunakan jenis peluru yang berbeda, yang tidak akan menembus dinding pesawat. 17
Saat
pembebasan, Moerdhani memutuskan operasi akan dilaksanakan pada jam 3 pagi.
Dalam pelaksanaan operasi ini, Kopassus melaksanakan simulasi pembebasan dengan
pesawat yang sama dengan pesawat yang dibajak. Atas pelaksanaan simulasi tersebut
15
16 Detasemen-81 Gultor, http://id.scribd.com/doc/138210920/Detasemen-Khusus-81-gultor, diakses pada
tanggal 27 Mei 2016. 17
Pour, Julius. Benny: Tragedi seorang loyalis. Kata Hasta Pustaka. Jakarta. 2007
sebagai jalan masuk, maka kemungkinan akan terganggu dengan parasut jalan turun
evakuasi. Atas dasar pertimbangan tersebut maka diputuskan pasukan akan masuk melalui
pintu utama pesawat dari depan dan belakang. Dengan mengendap-endap dari belakang
pesawat, pasukan mengambil posisi untuk menyerbu ke dalam pesawat. Serangan dua arah
ini mengandung risiko tersendiri, karena tidak menutup kemungkinan akan adanya “friendly
fire” antar sesama kawan. Usaha melumpuhkan para pembajak mendapatkan perlawanan
sengit dari dalam pesawat. Membuka pintu pesawat secara paksa membutuhkan usaha yang
cukup rumit dan membutuhkan teknik tertentu. Pasukan pembebasan segera berteriak
“penumpang tiarap” untuk membedakan antara penumpang dan para pembajak. Tapi
pembajak sudah bersiap dari dalam pesawat. Anggota Kopassus Peltu Achmad Kirang
sebagai personil yang masuk pertama kali terkena tembakan di area badan yang tidak
terlindungi Plate rompi anti peluru dan dengan sigap personil yang kedua melumpuhkan
pembajak. Sedangkan pasukan yang masuk dari arah depan juga dihujani tembakan oleh
pembajak namun tidak melukai pasukan, malah pelurunya menembus dinding kokpit dan
melukai kapten pilot Herman Rante. Secara keseluruhan operasi memakan waktu selama 5
menit dengan hasil tidak ada satupun penumpang yang terluka. Dengan berakhirnya operasi,
pasukan segera dipulangkan ke Indonesia terlebih dahulu dengan DC-10 dan penumpang
menyusul belakangan dengan DC-9.
2.3 Aksi dan Trend Pembajakan Pesawat Udara di Dunia Internasional serta
kaitannya dengan pemberitaan media secara luas
Berdasarkan data mengenai kuantitas pembajakan pesawat udara di Internasional
mengalami penurunan pada awal dekade 1980-an. Pembajakan udara mengalami lonjakan
terbanyaknya pada awal dekade 1970-an terutamanya di tahun 1972. Pada periode tersebut,
banyak pembajakan udara dilakukan berdasarkan kepentingan kelompok Islam garis keras
sekitar konflik yang terjadi di Timur Tengah, khususnya yang menyangkut dengan
kepentingan negara Israel. Namun dengan beberapa evaluasi atas kejadian pembajakan yang
menimpa kepentingan Israel salah satunya pembajakan maskapai penerbangan El Al, maka
celah-celah terulangnya pembajakan pesawat udara dapat diminimalisir walaupun tidak
menghilangkan potensi ancaman di masa yang akan datang.
Dalam hal pemberitaan yang dapat mempengaruhi kelompok-kelomok garis keras atau
teroris lainnya dibelahan lain tidak semudah seperti menyebarkan berita dimasa sekarang
yang sudah ditunjang dengan kecanggihan teknologi informasi. Pada masa atau periode
tersebut, penyebaran berita hanya sebatas pemberitaan yang menarik serta mempunyai daya
jual bagus untuk mendongkrak oplah surat kabar. Hal tersebut diluar dengan penyaringan
berita oleh pemerintah yang akan diterbitkan serta belum adanya media online yang dapat
diakses semua orang dari semua tempat. Sehingga dengan keterbatasan penyebaran berita
oleh media massa sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Dugan, Lafree dan Piquero
yang menyatakan bahwa kemungkinan penularan terhadap orang lain apabila ada atau terjadi
3 kasus yang berhasil dalam waktu yang singkat, sehingga seseorang atau bahkan
sekelompok orang akan terpengaruh untuk melancarkan aksi yang keempat.
2.4 Pembajakan Woyla Sebagai Sebuah Pilihan Rasional
Setelah kita melihat dan menelaah kasus pembajakan Woyla yang terjadi pada tahun
1981 memang tidak dapat kita mengatakan kasus ini terjadi karena dorongan dari maraknya
kasus pembajakan pesawat yang terjadi pada periode tersebut. Jadi oleh sebab itulah analisa
yang kami lakukan akan cenderung menggunakan teori pilihan rasional yang berkaitan
8
dengan keuntungan dan kerugian yang diterima oleh kelompok yang melakukan pembajakan.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dalam bagian kerangka konseptual maka kita
dapat berasumsi bahwa keuntungan yang dapat diperoleh oleh kelompok pembajak lebih
besar dari biaya yang harus ditanggung atau resiko yang harus mereka terima.Yang kemudian
menjadi menarik dalam setiap kasus pembajakan adalah bagaimana dalam setiap kasus yang
terjadi menciptakan efek dramatisasi yang lebih mengundang perhatian media dan
masyarakat secara keseluruhan.Efek intimidasi terhadap pemerintah akan menempatkan
mereka (pemerintah suatu negara) pada pilihan yang sulit, karena apabila mereka memilih
untuk bernegoisasi maka wibawa pemerintah dan negara menjadi taruhannya. Namun apabila
pemerintah menolak untuk melakukan negoisasi maka keselamatan para sandera akan
dipertaruhkan.
Area pesawat menjadi target yang ideal karena dalam segi pengawasan relatif lebih
mudah untuk dilakukan. hal ini dikarenakan jumlah pintu masuk dan keluar pesawat lebih
sedikit jika dibandingkan dengan gedung perkantoran atau kapal laut. Pada saat drama
penyanderaan terjadi para pembajak dapat meminta pilot untuk menerbangkan pesawat
kemanapun yang mereka inginkan. hal ini akan mempersulit pemerintah suatu negara untuk
dapat langsung merespon kejadian ini. Dalam kasus Woyla Pemerintah Indonesia harus
terlebih dahulu melakukan negosiasi dengan Pemerintah Thailand untuk dapat mengirimkan
pasukan ke Bangkok.Yurisdiksi menjadi kelemahan bagi negara-negara apabila terjadi
pembajakan pesawat karena drama pembajakan yang terjadi sebagian besar diluar wilayah
kewenangan yang dimiliki oleh negara yang menjadi korban.Namun kesulitan dalam strategi
pembajakan pesawat adalah bagaimana kelompok pembajak menyelundupkan senjata yang
mereka gunakan untuk membajak kedalam pesawat. Hingga saat ini data atau analisa yang
tersedia masih sangat lemah dalam hal ini.penyelundupan senjata dilakukan di Palembang
namun bagaimana cara mereka untuk menghindari alat metal detector dan x-ray masih
menjadi pertanyaan.
Keuntungan lain yang diperoleh para pelaku pembajakan adalah mereka dapat meminta
tebusan dan sarana untuk melarikan diri apabila pemerintah bersedia untuk bernegoisasi.
Dalam kasus Woyla para pembajak menuntut Pemerintah Indonesia untuk membebaskan 80
orang tahanan politik ekstrim kanan dan dengan tebusan uang sebesar US$. 1,5 juta disertai
dengan sebuah pesawat berbahan bakar penuh untuk mengantarkan para pembajak ke tempat
tujuannya. Skenario ideal yang ingin mereka capai adalah bagaimana melakukan intimidasi
dan mendapatkan posisi tawar terhadap pemerintah Indonesia dan setelah itu mereka dapat
melarikan diri dengan uang tebusan yang diberikan.Namun memang tuntutan yang
disampaikan oleh kelompok pembajak dianggap gagal karena Pemerintah Indonesia yang
pada saat itu dipimpin oleh Presiden Soeharto tidak mau bernegosiasi dengan kelompok
teroris.Terbunuhnya salah satu anggota kopassus pada saat penyerbuan kedalam merupakan
pukulan telak bagi pemerintah karena dan hal ini dianggap juga sebagai keuntungan dari
kelompok teroris untuk mengukuhkan eksistensi mereka. Eksistensi dan dukungan politik
merupakan faktor utama yang menggerakkan kelompok teroris karena tanpa adanya
pengakuan eksistensi dan dukungan politik maka regenerasi akan sulit untuk dilakukan.
2.5 Kejanggalan dalam Proses Pembajakan dan Setelah Pembajakan
Pembajakan yang terjadi memberikan kejutan kepada Pemerintah dan Rakyat
Indonesia. Pola dan aksi yang dilakukan oleh para pembajak merupakan hal yang baru di
Indonesia, bahkan aparat keamananpun tidak menjadikan pembajakan sebagai sesuatu hal
yang patut diwaspadai apalagi memberikan perhatian secara khusus. Kejanggalan dalam
9
pembajakan yang dilakukan terhadap pesawat Garuda “Woyla” adalah pelaksanaan aksi
pembajakan merupakan sesuatu yang baru dan pertama kali terjadi di Indonesia, saat aksi
pembajakan pesawat udara di dunia menunjukan tren penurunan. Pada dekade 1980-an saat
Indonesia sedang gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan dalam Pelita ke-2,
pembangunan sektor udara merupakan salah satu yang mendapatkan perhatian dari
pemerintah, termasuk keamanan disektor perhubungan udara. Perhatian serius ini dibuktikan
dengan keberhasilan maskapai nasional Garuda Indonesia Airways menjadi maskapai di
belahan selatan bumi yang terbesar selain Japan Airlines dengan lebih dari 79 pesawat. 18
Pembangunan Bandara Udara juga gencar dilaksanakan oleh pemerintah. Pada era itu,
penumpang pesawat udara di Indonesia tidak sebanyak sekarang. Rata-rata penumpang yang
memakai transportasi udara merupakan golongan masyarakat menengah keatas. Sehingga
pengawasan dan pengamanan di Bandara dapat dilaksanakan secara maksimum dan
maksimal.
kepentingan pembangunan yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, untuk
menghemat pembangunan pangkalan udara yang akan memakan banyak biaya, pemerintah
mengambil kebijakan bahwa pangkalan udara juga menyatu dengan bandar udara sipil di
Indonesia. Sehingga dengan kondisi tersebut, dalam bandar udara sipil di Indonesia juga
melibatkan unsur militer dalam pengamanan bandar udara sipil. Kekuatan yang melibatkan 2
matra yang tergabung dalam organisasi ABRI, memberikan pengamanan yang maksimal
serta memberikan jaminan keamanan yang tinggi dengan demikian dibutuhkan sebuah
rencana yang tersusun dengan rapi serta harus mengetahui seluk beluk dalam bandara di
Palembang.
Kejanggalan lainnya adalah tidak adanya pengumuman pemerintah secara resmi
ataupun pemberitaan oleh media massa, apa saja yang digunakan oleh pembajak untuk
melancarkan aksi-aksinya di pesawat Garuda “Woyla”. Dalam operasi pembebasan pesawat
dilaporkan 2 korban yaitu Pilot pesawat dan satu dari anggota pasukan pembebasan akibat
tertembak oleh pembajak, namun tidak ada penjelasan dari pemerintah, senjata apa yang
digunakan dan bagaimana senjata tersebut dapat lolos masuk ke dalam pesawat. Termasuk
yang menjadi pertanyaan besar dalam benak masyarakat Indonesia adalah apakah senjata
dimasukkan saat transit di Palembang atau saat berangkat pertama kali dari Bandara
Soekarno Hatta Jakarta ??? Tentu menjadi sebuah kesulitan yang besar bagi pembajak jika
memasukkan dari Bandara di Jakarta.
Tertutupnya pemerintah dalam akses berita mengenai seluk beluk pembajakan pesawat
Garuda “Woyla” juga semakin membuat misteri pembajakan yang terjadi. Bahkan dari
rentang waktu aksi teror yang terjadi di tahun 1981 sampai dengan sekarang sudah lewat 30
tahun. Tidak seperti aksi pembajakan pesawat yang terjadi di luar negeri, yang mendapatkan
penjelasan secara gamblang oleh pemerintah pemilik pesawat termasuk operasi pembebasan
yang dilakukan oleh angkatan bersenjata. Berbeda dengan pembajakan yang terjadi di luar
negeri yang mendapatkan liputan secara luas bahkan diangkat secara khusus oleh National
Geography atau Discovery Channel.
Dalam strategi pembajakan pesawat Woyla dapat kita lihat bahwa dorongan untuk
melakukan aksi teror melalui pembajakan pesawat lebih mengedepankan untuk mendapatkan
posisi tawar antara kelompok teroris dengan pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari sejumlah
tuntutan yang diminta oleh pembajak yang diantaranya adalah pembebasan rekan-rekan
mereka yang ditahan, sejumlah uang tebusan dan pesawat untuk melarikan diri. Walaupun
pada kenyataanya Pemerintah Indonesia lebih memilih untuk menolak melakukan negosiasi.
Usaha pembebasan sandera dilakukan dengan menurunkan Kopassus yang memiliki keahlian
khusus dalam misi pembebasan sandera dan penanggulangan teror. Namun langkah
Pemerintah Indonesia dalam menggunakan kekuatan militer sempat mendapatkan tentangan
dari Pemerintah Thailand dan hal inilah yang menjadikan pembajakan pesawat memiliki
kesulitan tertentu dalam penanganannya.
Pesawat udara merupakan alat transportasi yang menjadi target “primadona” oleh
kelompok teroris karena pesawat dapat diterbangkan keluar wilayah yurisdiksi pemerintah
yang bersangkutan. Dan juga, seperti halnya tragedi 9/11 pembajakan pesawat udara menjadi
sangat efektif dalam hal menarik perhatian media dan membangun persepsi ancaman di
masyarakat. Dari peristiwa pembajakan pesawat kita dapat melihat bahwa strategi
pembajakan pesawat dapat memiliki tiga tujuan utama yaitu sebagai alat transportasi untuk
membawa ke suatu tujuan tertentu, sebagai alat untuk meminta tebusan dan sebagai senjata
yang mematikan seperti yang terjadi pada peristiwa 9/11. Namun dari beberapa peristiwa
pembajakan pesawat yang terjadi sebenarnya pemerintah dan lembaga pengawasan
penerbangan telah menerapkan beberapa cara pencegahan diantaranya dengan melakukan x-
ray terhadap barang-barang yang dibawa oleh penumpang, pemeriksaan anggota badan
hingga memasang alat pengenal wajah untuk dapat mendeteksi orang-orang yang masuk
dalam daftar pencarian orang dengan menggunakan Interpol database system (I-24/7) yang
dilengkapi pada setiap Bandara Internasional pada umumnya, dan untuk isu keamanan
regional setiap negara kawasan ASEAN telah dilengkapi dengan E-ADS database system.
Belum lagi pemerikasaan dan pengamanan pesawat sebelum tinggal landas juga menjadi
prioritas dan standar keamanan penerbangan. Namun apabila pembajakan masih tetap terjadi
maka masih terdapat kelemahan dalam sistem pengamanan penerbangan yang telah ada
sehingga perlu dilakukan perbaikan.
Peristiwa pembebasan Woyla ini bukan hanya operasi militer biasa, melainkan dibantu
dengan operasi intelijen. Anggota TNI yang menyamar sebagai staf catering yang diutus oleh
pemerintah Thailand sebagai pengantar ransum/makanan untuk para teroris dan para
penumpang yang tersandera di pesawat, dengan masuknya Benny Moerdhani ke DC 09 maka
dapat mengetahui secara persis posisi-posisi para teroris berdiri/berjaga, dan para sandera
berada. Hal ini merupakan strategi untuk memberikan early warning and detection kepada
tim yang akan melakukan pembebasan sandera. Kronologis pembebasan sandera dalam
tragedi Woyla telah direncanakan secara sistematis dengan mengedepankan keselamatan
sandera dan anggota Kopassus, hal ini dapat dilihat dengan digunakannya peluru khusus
untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya friendly fire. Inilah kemudian yang menjadikan
operasi pembebasan Woyla menjadi salah satu operasi yang paling sukses di Indonesia dan di
dunia.
11
Crenshaw, M., Decision to Use Terrorism, Greenwich, London, 1992.
Crenshaw, M., The Logic of Terrorism, Washington DC, Woodrow Wilson Centre, 1998.
Crenshaw, M., The Psychology of Terrorism, Political Psychology, 2000.
Dugan, Laura et al, Testing A Rational Choice Model Of Airline Hijackings, Criminology
Volume 43 Number 4, 2005.
Ganor, Boaz, Trends in Modern International Terrorism, dalam D. Weisburd et al. (eds.), To
Protect and To Serve: Policing in an Age of Terrorism,Springer, 2009
Holden,T,R.,”The Contagiuosness o Air Craft Hijacking”, Indiana University
NN, International Crisis Group, “The Origins: Darul Islam”, dalam Al-Qaeda in Southeast
Asia: The Case of The “Ngruki Network” In Indonesia”, Jakarta/Brussels, 8 Agustus 2002
Pour, Julius. Benny: Tragedi seorang loyalis. Kata Hasta Pustaka. Jakarta. 2007.
Websites :
Gigih Nusantara dalam Indonesia di Peta Terorisme Global,
www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002/November/000629.html, diakses pada
sang-perancang pesawat-indonesia-pertama/, diakses pada tanggal 27 Mei 2016.