ANALISA KASUS PUTUSAN (PERKARA NOMOR...
Transcript of ANALISA KASUS PUTUSAN (PERKARA NOMOR...
ANALISA KASUS PUTUSAN (PERKARA NOMOR
225/PID.B/2010/PN-BKL) DALAM PRESPEKTIF RESTORATIF
JUSTICE
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH:
RANI PUTRI LARASATI
NIM: 1110043200003
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/ 2014 M
v
ABSTRAK
Dalam tatanan sistem peradilan pidana tujuan utama yang dapat diharapkan
adalah sebuah keadilan. Tidaklah mudah mencapai sebuah keadilan hanya dengan
penegakan hukum tanpa disertai dengan kepastian hukum. Salah satu ciri dari hukum
modern saat ini yang mulai dikenal dengan sistem restorative justice. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengkaji bagaimana sistem restorative justice di dalam Hukum
Islam juga mampu bekerja dalam menyelesaikan kasus tindak pidana ringan. Metode
yang digunakan dengan pendekatan hukum normatif. penulis menggunakan dua jenis
data yaitu data Primer dan data Sekunder. primer yang digunakan adalah undang-
undang yang diterapkan atau berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan masalah
yang penulis kaji. Sedangkan sumber sekunder adalah berupa komentar dan buku-
buku, dokumen-dokumen, serta artikel-artikel yang terkait.
Teori yang digunakan dalam penulisan dengan teori keadilan dan cara-cara
pemulihan keadilan serta alternatif hukuman yang dianggap ukuran adil dalam
Hukum Islam. Dari analisis maka dapat diperoleh hasil bahwa konsep restorative
justice tidak hanya terdapat dalam hukum positif saja namun dalam Hukum Islam
juga terdapat teori yang serupa dan dapat pula diterapkan dalam tindak pidana ringan.
Dalam hukum islam konsep restorative justice terlebih dahulu digunakan dengan
qishas dan diyat serta takzir.
Rani Putri Larasati,1110043200003. Analisa Kasus Putusan (perkara Nomor
225/pid.B/2010/PN-BKL) Dalam Prespektif Restoratif Justice. Perbandingan Hukum,
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan kata kunci: restorative justice dalam Hukum Islam. Di bawah bimbingan
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, selaku dosen Sosiologi Hukum.
vi
ABSTRACT
In the arrangement of criminal justice system, the main target that can be expected is
a justice. But it is not easy to reach a justice only with straightening of law without
the rule of law. One of modern law characteristic, in this time, it starts to be
recognized with system of “Restorative Justice”. The intention of this research is for
studying system of Restorative Justice in Islamic Law able to finish the case of
misdemeanor. The method of this research is normative law approaching. Writer uses
two types of data, primary and secondary data. The primary data is Indonesian statute
which is related to the problems of this research. While the source of secondary data,
writer takes from books, documents, peoples comments and also the relevant articles.
This research uses theory of justice and the way of justice cure and also the
alternative law assumed as fair size measurement in Islamic Law. The result of
writer’s analysis obtains that the concept of Restorative Justice not only presents in
Positive Law but there are also similar theory in Islamic Law and can be applied to
finish the misdemeanor. In Islamic Law, the conception of Restorative Justice is used
with kisas, diat, and takzir.
Rani Putri Larasati, 110043200003. “Analisa Kasus Putusan (perkara Nomor
225/pid.B/2010/PN-BKL) Dalam Prespektif Restoratif Justice”. Comparison of law,
Syari’ah and Law Fakulty, Islamic Syarif Hidayatullah State University. Keywords:
Restorative Justice in Islamic Law. To be under guidanca of Fahmi Muhammad
Ahmadi, M.Si, as lecture sociology of law.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, berkat rahmat Allah SWT yang senantiasa
memberikan taufik serta hidayahnya. Sholawat serta salam tercurah kepada Nabi
Besar Muhammad SAW beserta Keluarga dan para sahabatnya. Kemudahan serta
pertolongan Allah yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisa Kasus Putusan (perkara Nomor
225/pid.B/2010/PN-BKL) Dalam Prespektif Restoratif Justice” Karya ini tidaklah
dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari kawan-kawan serta pihak-pihak yang
terkait dalam memberikan dukungan dan memberikan sumbangsih ide serta waktu
untuk berdiskusi dengan penulis. Oleh karena itu penulis merasa sangat perlu untuk
mengucapkan terimakasih sebagai bentuk penghargaan kepada:
1. Bapak Dr. Phill. J.M. Muslimin, M. A, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku Ketua Prodi
Perbandingan Mazhab Hukum, Fakultas syariah dan hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku sekretaris prodi
Perbandingan Mazhab Hukum, Fakultas syariah dan hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Yang juga sebagai dosen pembimbing skripsi yang
telah berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya
untuk memberikan pencerahan serta pengarahan yang begitu baik bagi
viii
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya ada satu kata,
LUAR BIASA.
4. Pimpinan dan staf karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif hidayatullah
Jakarta dan Pimpinan serta karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun ainnya,
sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
5. Seluruh dosen fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis
selama menjalani masa pendidikan berlangsung.
6. Ayahanda tercinta Bapak Budiyono dan ibunda tercinta Ibu Ely yang
selalu mendukung dan memberikan segalanya kepada ananda, agar ananda
dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Adik-adik tersayang, Annisa Indah Rahmah dan Fadhillah Hasbi.
8. Teman berkeluh kesah Denny Sujalismarega Putra, yang selalu
memberikan semangat dan dukungan.
9. Sahabat tercinta Lusyani Dwi Ramelan, Rudiyana, dan M. Aidzbillah
yang tak henti-henti memberikan dukungan serta menemani dalam kondisi
suka dan duka juga menjadi teman diskusi yang baik dalam untuk penulis
menyelesaikan skripsi ini.
ix
10. Teman-teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan satu per satu
Perbandingan hukum angkatan 2010 yang selalu memberikan motivasi
dan kenangan dalam menjalani pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 4 Juni 2014
Rani Putri Larasati
x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………........1
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah………………………7
C. Tujuan Serta Maanfaat Penelitian……………………………......8
D. Review (Kajian) Studi Terdahulu………………………………. 9
E. Metode Penelitian………………………………………………11
F. Sistematika Penulisan ………………………………………….13
BAB II RESTORATIVE JUSTICE SYSTEM
A. Filsafat Restorative Justice System ………………………..........14
B. Kedudukan Hukum Pidana Modern……………………………26
BAB III PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE MENURUT HUKUM
POSITIF
A. Penerapan dan konsep Restorative Justice System
1. Penerapan Restorative Justice dengan Pendekatan
Criminal Justice System……………………………… ….…....34
2. Konsep Pidana Alternatif……………………………………41
xi
B. Kejadian atau Perkara
1. Kronologi peristiwa atau kejadian…………………………..58
1. Tuntutan Jaksa……………………………………………...59
2. Putusan Hakim ………………………………………….....60
3. Analisa Putusan Hakim Menurut Hukum Positif…………..61
BAB IV PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE MENURUT HUKUM ISLAM
A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Ringan Dengan
Restorative justice…………………………………………….. 64
B. Relevansi Tinjauan Hukum Islam Dan Diversi Terhadap Restorative
Justice ………………………………………………………… 82
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN……………………………………………….. 87
B. SARAN……………………………………………………… ...88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu negara yang telah membukukan dirinya
sebagai negara hokum. Artinya semua sendi–sendi kehidupan negara harus
didasarkan kepada keselarasan etika dan moral. Keselarasan artinya semua sendi
kehidupan harus teratur atau tunduk kepada keteraturan yang baik dan terukur,
keteraturan itu harus didasarkan kepada rumusan–rumusan keseimbangan,
rumusan keseimbangan itu juga harus diartikan sebagai sebuah keadilan dan
penghormatan serta penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk yang sempurna. Tetapi pada kenyataannya di Indonesia sampai sekarang
hukum yang sesungguhnya belum mampu menyentuh sendi kehidupan bangsanya
secara baik.1 Keadilan yang selalu diharapkan oleh warga negara pun belum
dirasa cukup.
Dalam adagiumnya fiat justisia ruat coelum, pepatah yang berasal dari
bahasa latin ini memiliki pengertian “meski langit runtuh keadilan harus
ditegakkan”. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering
digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem
peraturan hukum. Dalam Hukum Islam yang dikatakan oleh Sa’id Ibnu Jubair
“keadilan mengambil empat bentuk: salah satu dari ke-empat bentuk tersebut
1 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2010 Hlm. 13 s.d 15.
2
adalah keadilan dalam membuat keputusan-keputusan yang sesuai dengan firman
Allah tentang keadilan yang terkandung dalam surat al-Nissa, ayat 58 2”.
Keadilan tidak dapat digapai, apabila kepastian (hukum) tidak terpenuhi,
karena subjek hukum tertentu dapat dihukum tanpa memperhatikan terlebih
dahulu, apakah tindakan yang dianggap sebagai suatu pelanggaran atau kejahatan,
yang memang merupakan suatu delik.3 Keterkaitan antara nilai keadilan dan
kepastian (hukum) sangat erat, yakni memberikan perlindungan yang bermanfaat
bagi hak-hak setiap individu, dimana hal tersebut dilaksanakan menurut prosedur-
prosedur yang seadil-adilnya.
Pernyataan yang juga disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, di negara kita
masih sangat didominasi oleh peraturan perundang-undangan daripada
menyelesaikan kasus dengan akal sehat. Berhukum dengan peraturan adalah
berhukum minimalis, yaitu manjalankan hukum dengan cara menerapkan apa
yang tertulis dalam teks secara mentah–mentah.4
Ada beberapa sinyalemen yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, antara
lain bahwa penegakan hukum yang bercorak kepada penegakan peraturan
perundang–undangan belaka akan ada kendala. Kendala itu adalah ketidak-
mampuan penegakan hukum untuk membaca dan menemukan sesungguhnya
masalah hukum yang mana dan seperti apa yang sebenarnya terjadi, kemudian
2 Kaduri Majid, Teologi Keadilan Menurut Islam, Surabaya, Risalah Gusti,1999, h. 10. 3 E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, Jakarta, Januari 2007, h.101. 4 Satjipto Raharjo, “Berhukum dengan Akal Sehat”, Kompas, 19 Desember 2008.
3
sinyelemen itu tentu akan terkait dengan sulitnya meletakkan sendi–sendi
keadilan yang sesungguhnya.
Karena pada kenyataannya, masih sering kita jumpai hukum yang hanya
berpihak pada kalangan tertentu, seperti yang kita ketahui tentunya pada kasus
yang menimpa salah satu menteri dalam kabinet 2009-2014.5 Hal ini berbanding
terbalik dengan kasus yang menimpa seorang kakek.6 Bila kita melihat dari sudut
pandang hukum, jelas si kakek dan RAR wajib dihukum secara pidana, akan
tetapi, ketika kita melihat dari sudut pandang keadilan apakah bisa kita katakan
adil dalam hal penjatuhan hukuman antara keduanya? disinilah nilai keadilan
berfungsi menentukan secara nyata, apa yang pantas (sebanding atau setimpal)
diterima oleh seseorang sebagai konsekuensi lanjutan dari norma hukum yang
mengaturnya.7 Hal tersebut yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya
derajat hukum sebagai alat untuk memberikan keadilan (dispensing justice).8
Dari catatan kasus tindak pidana seperti di atas, hanya sebagian kasus yang
ramai dibicarakan, masih banyak kasus pidana ringan yang sedemikian terjadi.
Dalam skripsi ini, penulis mencoba mengangkat kasus yang serupa yaitu
5 Putra bungsu Menteri Koordinator Perekonomian RI, RAR yang menewaskan dua orang
dalam kasus kelalaiannya dalam berkendara. RAR hanya dikenakan hukuman penjara lima bulan dan
denda uang sebesar dua belas juta rupiah. 6 Seorang kakek yang bekerja sebagai buruh tani, yang mengambil satu semangka yang paling
jelek, karena ia haus dan tidak mempunyai uang untuk membeli minuman. Ia memotongnya, dan
mencoba meminum beberapa tetes air yang ada di dalam semangka tersebut. Tiba-tiba ada salah satu
karyawan yang memergoki sang kakek sedang meminum semangka itu. Terbukti melakukan tindakan
pencurian, perusahaan lokal tersebut menuntut sang kakek dengan pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman penjara lima tahun.
7 E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, Jakarta, Januari 2007, h.101. 8 Satjipto Rahardjo, Sisi – sisi Lain dari Hukum Indonesia. Kompas, Jakarta, Januari 2006, h.
52.
4
membahas bagaimana memberikan rasa keadilan kepada pelaku dan korban yang
juga dipandang dari sudut pandang Hukum Islam. Karena sebuah tindak pidana,
adakalanya dengan masalah yang serupa bisa dengan cepat terselesaikan tanpa
diharuskannya naik sampai ke meja hijau atau sampai pada pemidanaan pada
pelaku yang tidak seberapa dengan apa yang dilakukannya. Juga pada dasarnya
korban yang takut akan kejadian yang serupa dengan melaporkan kejadian
tersebut kepihak yang berwenang dan berujung pada pemidanaan pada pelaku
kejahatan.
Sistem pemidanaan sepertinya bukan lagi momok yang ditakutkan ataupun
memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana. Berdesak- desakannya
ruang tahanan hanya akan berimbas pada makin banyaknya tindak kriminal yang
terjadi di dalam rutan. Apakah dengan di pidananya pelaku lalu korban akan
merasa puas? Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana
terhadap pelaku. Posisi pelaku dan korban yang telah berdamai seakan tidak
digubris sebagai dasar penghentian perkara tersebut.
Konsep seperti ini, seakan tidak memberi perlindungan dan penghargaan
kepada kepentingan korban maupun pelaku. Jelas adalah sebuah mekanisme
konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses peradilan pidana (criminal
justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat, tanpa melihat kepentingan
masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di masyarakat. Keadaan yang
demikian menjadi suatu pengantar yang cukup dalam mempromosikan
konsep restorative justice dalam proses criminal justice sytem di Indonesia.
5
Pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih
menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku
tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana
yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan
seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi,
apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional
dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi
memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara
pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas
kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat
menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku diberi
kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja
sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional
tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat untuk dapat menyelesaikan
masalahnya di luar pengadilan. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa
memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah
penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi
6
aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya
bermuara pada putusan pemidanaan tanpa melihat esensi.9
Ketika tujuan hukuman adalah untuk memperbaiki individu, menjaga
masyarakat, dan memelihara sistem mereka, hukuman wajib berdiri di atas satu
prinsip dasar yang dapat mewujudkan tujuan–tujuan tersebut supaya hukum dapat
memenuhi tugas yang semestinya. Semua hukuman dengan pelbagai bentuknya
adalah pendidikan ta’dīb, perbaikan dan pencegahan yang saling berbeda sesuai
dengan perbedaan tindak pidana yang diakukan.
Tujuan kaidah dasar ushūl yang menjadi asas hukuman dalam Hukum
Islam dipertalikan kepada dua dasar pokok, sebagian bertujuan untuk memerangi
tindak pidana tanpa memedulikan pelaku tindak pidana. Sebagian yang lain
bertujuan untuk memerhatikan pelaku tanpa melakukan tujuan untuk memerangi
tindak pidana. Tak dapat disangkal bahwa terdapat pertentangan yang jelas pada
dua kaidah dasar tersebut. Ketika memelihara kemaslahatan orang banyak dari
pelaku tindak pidana, hal tersebut mengharuskan diabaikannya diri pelaku,
sedangkan ketika memerhatikan kondisi pelaku, hal tersebut menuntut
diabaikannya pemeliharaan kemaslahatan masyarakat.
Demikianlah teori hukuman dalam pandangan Hukum Islam yang berdiri
di atas dasar dua kaidah yang saling bertentangan. Hukum Islam telah
9 Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dari http://www.hukumonline.com/berita
/baca/it4e25360a422c2 / pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-system-pidana-indonesia.
7
menggabungkan kedua prinsip dasar tersebut dengan cara menghilangkan
pertentangan yang jelas antara keduanya. Disatu sisi, Hukum Islam memelihara
masyarakat dalam dalam banyak kondisi, namun disisi lain tetap memperhatikan
keadaan diri pelaku dalam banyak kondisinya. Sebab Hukum Islam menggunakan
prinsip memelihara masyarakat secara mutlak dan mewajibkan untuk dipenuhi
dalam setiap hukuman yang diberikan untuk setiap tindak pidana. Oleh karena itu
hukuman yang diberikan haruslah sesuai kadar yang cukup untuk dapat mendidik
pelaku yang dapat mencegahnya untuk tidak kembali mengulangi tindak
pidananya.10
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mencermati
kasus dalam tindak pidana ringan, dengan menggunakan teori dan konsep
restorative justice system dari sisi Hukum Positif dan Hukum Islam. Dimana
penulis ingin mengkaji hal tersebut dalam sebuah karya ilmiah dan kemudian di
kemas dengan judul “Analisa Kasus Putusan (perkara Nomor
225/pid.B/2010/PN-BKL) Dalam Prespektif Restoratif Justice “
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, tema yang akan dibahas akan sangat
luas apabila dipaparkan keseluruhan di dalam skripsi ini. Maka dari itu penulis
membatasi pembahasan dalam skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis berusaha
mengkaji masalah pemulihan keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban
10 Abdul Qadir Audah, ensiklopedi pidana Islam jilid III, PT Kharisma Ilmu, h. 20.
8
tindak pidana ringan dengan menggunakan pendekatan restorative justice system.
Berdasarkan pembatasan masalah yang ada, pembahasan yang akan dilakukan
dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dan alasan dapat di terapkannya restorative justice dalam
tindak pidana ringan pencurian (perkara nomor 255/ Pid. B/2010/ PN-BKL)?
2. Bagaimana konsep restorative justice dalam perspektif hukum islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari rumusan masalah yang di atas, maka ada tujuan–tujuan yang hendak
dicapai dari penulisan ini. Tujuan dari penulisan ini diantaranya adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan dari restorative justice system dalam
Hukum Positif dan Hukum Islam dalam tindak pidana ringan .
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan restorative justice system dalam Hukum
Islam.
3. Untuk mengetahui alasan–alasan apa sajakah yang digunakan Hukum Positif
dan Hukum Islam dalam menerapkan restorative justice system.
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini ialah sebagai
berikut:
a. Bagi penulis, adanya penelitian ini dapat memperluas wawasan dan
khazanah dalam bidang hukum yang terutama dalam bidang penyelesaian
kasus dengan menggunakan konsep restorative justice system.
b. Dengan penelitian ini kiranya bisa memberikan informasi dan pengetahuan
yang lebih bagi masyarakat umum terutama dalam bidang hukum
9
bagaimana penerapan restorative justice system dapat diterapkan dalam
sistem Hukum Positif maupun Hukum Islam.
D. Review (kajian) Studi Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian terdahulu, beberapa hasil
penelitian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema yang penulis angkat
untuk dijadikan penelitian. Banyak sekali penelitian yang membahas masalah
pidana ringan dan sistem denda atau ganti rugi yang merupakan salah satu ciri dari
restorative justice system, baik berupa skripsi maupun berupa tulisan–tulisan dan
PERPU. Dari beberapa hasil penelitian yang telah penulis baca maka ada
beberapa yang penulis anggap bisa dijadikan review (kajian) antara lain:
1. Dalam skripsi yang berjudul “Pidana Ganti Rugi Pada Kecelakaan Kendaraan
Bermotor yang Mengakibatkan Tewasnya Korban (suatu tinjauan positif dan
Hukum Islam)” yang di tulis oleh Fandi Machfuz pada tahun 2010. Dalam
tulisannya di bahas bagaimana pengertian ganti rugi kerugian dalam perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif lalu dibahas juga mengenai bagaimana
perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang pidana ganti
rugi pada kecelakaan kendaraan bermotor yang mengakibatkan tewasnya
korban.
2. Dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Peraturan
Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 Tentang penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Pencurian Ringan dan Denda dalam KUHP” yang ditulis oleh
Murtazdah Nauna pada tahun 2013 hal yang di bahas di dalam skripsi ini ialah
10
seberapa batasan denda yang harus dibayarkan oleh pelaku dalam tindak
pidana ringan berupa pencurian. Dalam skripsi ini menjelaskan bagaimana
pandangan menurut Hukum Islam tentang pembatasan denda tersebut. Dalam
tulisannya dibahas konsep pidana ganti rugi dalam sistem hukum pidana Islam
dan bagaimana konsep pidana ganti rugi dalam sistem Hukum Positif serta
persamaan dan perbedaan pandangan hukum pidana Islam dan Hukum Positif
tentang ganti rugi. Penulis merasa judul tersebut Jelas berbeda dengan skripsi
yang dituliskan dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Peraturan
Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 Tentang penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Pencurian Ringan dan Denda dalam KUHP”. Dalam skripsi yang
penulis buat, penulis ingin menjelaskan bagaimanakah penerapan restorasi
justice system diterapkan di dalam kasus pidana ringan, apakah bisa diterapkan
dalam kasus pidana ringan?
3. Lalu dalam skripsi yang berjudul “Alasan Pemaaf atas Hukum Pembunuhan
kajian Hukum Islam dan Hukum Positif” yang di tulis oleh Khusnul Hotimah
pada tahun 2013. Dalam skripsi ini dibahas pandangan Islam terhadap alasan
pemaaf dalam tindak pidana pembunuhan dan pandangan Hukum Positif
terhadap alasan pemaaf atas tindak pidana pembunuhan serta analisis Hukum
Islam dan Hukum Positif terhadap putusan MA Nomor. 1445 k/pid/2011
tentang alasan pemaaf atas tindak pidana pembunuhan.
4. Kemudian dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02
Tahun 2012. Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
11
Denda dalam KUHP. Dimana dalam PERMA tersebut menjelaskan batasan
tindak pidana ringan serta jumlah denda yang ditentukan. Tindak pidana ringan
tersebut ialah pada pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 KUHP. Dimana
kata-kata “dua ratus ribu rupiah“ dibaca menjadi RP 2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah).
Dari sekian banyak studi terdahulu yang telah penulis baca, tulisan tersebut
membahas masalah tindak pidana pencurian. Akan tetapi penulis mempunyai
judul dan isi yang jelas berbeda dengan studi review yang telah dibaca oleh
penulis sebelumnya. Penulis mencoba meneliti bagaimana penerapan dan alasan
apa sajakah restorative justice system dapat diterapkan pada tindak pidana ringan
menurut Hukum Positif dan Hukum Islam.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dengan menggunakan kajian pendekatan hukum normatif
yaitu mengumpulkan peraturan perundang–undangan dari bidang-bidang tertentu,
yang menjadi pusat perhatian dari peneliti. Klasifikasi dapat dibuat atas dasar
kronologi, bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut, dan seterusnya.
Kemudian diadakan suatu analisa, dengan mempergunakan pengertian-pengertian
dasar dari sistem hukum, analisa hanya dilakukan terhadap pasal-pasal yang isinya
merupakan kaedah (hukum).11
Penelitian hukum normatif mencakup:12
11 Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta , cetakan ke-3, 1984, hlm. 255. 12 Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta , cetakan ke-3, 1984, hlm. 51
12
a. Penelitian terhadap azas-azas hukum,
b. Penelitian terhadap sistematika hukum,
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum,
d. Penelitian sejarah hukum,
e. Penelitian perbandingan hukum.
Pada skripsi ini menggunakan penelitian terhadap azas-azas hukum, yaitu
penelitian terhadap unsur-unsur hukum yang dilakukan dengan cara hukum. Baik
unsur ideal yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum melalui filsafat hukum,
maupun dan unsur nyata yang terjadi di masyarakat yang menghasilkan tata
hukum tertentu.13
Dalam skripsi ini menjadi tumpuannya adalah peraturan
perundang-undangan dan ditopang oleh pendapat-pendapat para ahli terkait
penerapan restorative justice system.
2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis data. Data
yang digunakan yaitu data Primer dan data Sekunder. Untuk penelitian normatif
data primer yang digunakan adalah undang-undang yang di terapkan atau berlaku
di Indonesia yang berkaitan dengan masalah yang penulis kaji. Sedangkan sumber
sekundernya adalah berupa komentar dan buku-buku, dokumen-dokumen, serta
artikel-artikel yang terkait.
3. Pengumpulan Data
13 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, metode Penelitian Hukum, Jakarta, Lembaga
Penelitian UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Desember 2010, hlm.31.
13
Untuk pendekatan penelitian normatif dilakukan dengan cara studi
kepustakaan. Yaitu dengan menelusuri bahan–bahan tertulis atau pustaka yang
terkait dengan judul dan masalah yang penulis teliti. Baik berupa putusan ataupun
dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan yang terkait dengan skripsi ini.
4. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan content analyisis, yaitu menganalisa dengan
mendeskripsikan putusan tindak pidana ringan berupa pencurian yang dipadukan
dengan komentar-komentar dan studi kepustakaan yang terkait.
5. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan acuan dari Buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan dalam membahas permasalahan, penulis
menyusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I, adalah bab yang berisikan pendahuluan. Bab II, adalah bab yang
berisikan kerangka teori dari restorative justice system. Bab III, adalah bab yang
menerangkan penerapan restorative justice system. Bab IV, adalah bab yang
menerangkan penerapan restorative justice system menurut Hukum Islam. Serta
Bab V, adalah bab yang berisikan kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
SISTEM KEADILAN RESTORATIF
A. Filsafat Restorative Justice System
Kata restorative justice atau yang lebih dikenal dengan keadilan restoratif
adalah salah satu sistem peradilan dizaman modern. Namun untuk mengetahui
bagaimana munculnya sistem keadilan restoratif tersebut maka perlu diketahui
terlebih dahulu filsafat hukum dan keadilan. Kata “filsafat” berasal dari bahasa
yunani yaitu filosofie, kata filo berarti cinta atau ingin dan sofie mempunyai arti
kebijaksanaan. Bisa dikatakan bahwa kata filsafat adalah cinta akan
kebijaksanaan. Kata filsafat juga sering dipersepsi sebagai sebuah teori umum
tentang sesuatu, khususnya tentang bagaimana memperoleh pengertian yang luas
tentang sesuatu tersebut.1 Filsafat adalah sebuah “teori” yang lebih luas, lebih
umum, lebih mendalam dan tentunya lebih spekulatif tentang sesuatu. Filsafat
juga sering dipahami sebagai sebuah falsafah mendalam tentang hidup yang
dijalani manusia.2
Filsafat hukum, tidak terlepas mengenai keadilan yang sepanjang jalan
akan terus dibicarakan. Mengingat salah satu tujuan hukum adalah mencapai
sebuah keadilan. Di dalam kepustakaan hukum, ilmu hukum yang dikenal dengan
1 Antonius Cahyadi dan E. Fernando Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, cet.2(Jakarta:
kencana, 2008), h. .01. 2 Antonius Cahyadi dan E. Fernando Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, cet.2(Jakarta:
kencana, 2008), h. 03.
15
nama jurisprudence, yang berakar dari kata jus, juris yang artinya hukum atau
hak; prudensi mempunyai arti melihat kedepan atau mempunyai keahlian. Arti
yang umum dari kata jurisprudence adalah ilmu yang mempelajari hukum.3
Satjipto Rahardjo mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum
mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan- pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi yang
mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang mendasar.
Gustav Radbruch merumuskannya dengan sederhana yaitu filsafat hukum itu
adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar, sedangkan
Langemeyer mengatakan pembahasan secara filosofis tentang hukum.
Rumusan lain dari Unrecht mengetengahkan sebagai berikut: “Filsafat
hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum itu
sebenarnya (persoalan adanya dan tujuan hukum) apakah sebabnya maka kita
menaati hukum? (Persoalan berlakunya hukum) apakah keadilan yang menjadi
ukuran untuk baik buruknya hukum itu (persoalan keadilan hukum).”4
Baik Stamler maupun Kelsen menitikberatkan keadilan sebagai tujuan
hukum. Demikian pula Radbruch yaitu keadilan sebagai tujuan umum yang dapat
diberikan arah berbeda-beda dalam mencapai keadilan sebagai tujuan dari
hukum. Oleh karena fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum dalam
masyarakat, menjaga hak-hak manusia, dan mewujudkan dalam hidup bersama.
3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , Bandung, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti , 2000, h. 9. 4 Inge Dwisvimiar, keadilan dalam perspektif filsafat ilmu hukum,; jurnal dinamika hukum,
vol 11, No. 3 September 2011,h. 525-526.
16
Ketiga konsep tersebut tidak bertentangan, tapi merupakan konsep dasar yaitu
manusia harus hidup dalam masyarakat dan masyarakat diatur oleh pemerintah
yang baik bedasarkan hukum.
Kata “keadilan” yang dalam bahasa Inggris adalah “justice” berasal dari
bahasa latin “iustitia” memiliki sejarah pemikiran panjang. Satjipto Raharjdo
telah mencatat beberapa rumusan atau pengertian keadilan yang disampaikan oleh
banyak pemikir keadilan di antaranya;5
1. Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar
dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa
yang hak (Aristolteles);
2. Keadilan adalah kebajikan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang
mendapat apa yang merupakan bagiannya (Keadilan Justinian);
3. Roscou Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkret yang bisa
diberikannya kepada masyarakat;
4. Keadilan, suatu tertib sosial tertentu yang di bawah lindungannya usaha untuk
mencari kebenaran bisa berkembang dengan subur. Keadilan saya karenanya
adalah, keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, kedilan demokrasi-
keadilan toleransi (Hans Kelsen)
5 Dikutip sesuai dengan teks aslinya, namun tidak secara keseluruhan (diambil hanya bagian-
bagian yang penting dan relevan) dari Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,2000), h.163-165, yang kemudian dikutip kembali oleh E. Fernando M. Manulang, Menggapai
Hukum Berkeadilan (Tujuan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai), Jakarta : PT Kompas Media
Nusantara, 2007, h. 98-99.
17
Ragam pengertian keadilan yang demikian merupakan konsekuensi dari
substansi teori keadilan yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir tersebut di
atas. Tiap pemikir mempunyai substansi (teori) keadilan yang pasti berbeda-beda.
Berikut merupakan teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa pemikir
mengenai keadilan.
1) Keadilan menurut Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.
Persoalan keadilan menjadi hal yang utama dalam pembahasan hukum
kodrat pada masa Yunani Kuno, dengan peletak hukum kodrat Aristoteles.
Aristoteles merupakan murid dari Plato, pada dasarnya mengikuti pemikiran
Plato ketika Aristoteles memulai memersoalkan tentang keadilan dan kaitanya
dengan Hukum Positif. Namun yang membedakan di antara mereka, bahwa Plato
dalam mendekati problem keadilan dengan sudut pandang yang bersumber dari
inspirasi, sementara Aristoteles mendekati dengan sudut pandang rasional.
Kaitan antara keduanya adalah, bahwa keduanya sama-sama berupaya
membangun konsep tentang nilai keutamaan (concept of virtue), yang bertujuan
untuk mengarahkan manusia kepada suatu kecondongan, yang pada dasarnya
telah menjadi problem utama dalam pemikiran Hukum Kodrat masa itu, tentang
arah yang baik atau arah yang buruk, berdasarkan nilai keadilan atau tiadanya
keadilan.
Selanjutnya menurut Sumaryono mengemukakan “Dalil, hidup manusia
harus sesuai dengan alam”, merupakan pemikiran yang diterima saat itu, dan oleh
sebab itu, dalam pandangan manusia, seluruh pemikiran manusia harus
18
didasarkan pada kodratnya tadi, sehingga manusia dapat memandang tentang hal
yang benar dan keliru. Untuk melaksanakan peran kodrati manusia tadi, setiap
manusia seharusnya mendasarkan tindakannya sesuai dengan gagasan keadilan,
sehingga manusia dapat memahami dan melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan alam tempat manusia hidup.6
Plato berusaha untuk mendapatkan konsepnya mengenal keadilan dari
ilham; sementara Aristoteles mengembangkannya dari analisa ilmiah atas prinsip-
prinsip rasional dengan latar belakang model-model masyarakat politik dan
undang-undang yang telah ada. Doktrin-doktrin Aristoteles tidak hanya
meletakkan dasar-dasar bagi teori hukum, tetapi juga kepada filsafat barat pada
umumnya. Kontribusi Aristoteles bagi filsafat hukum adalah formulasinya
terhadap masalah keadilan, yang membedakan antara:
Keadilan “distributif” dengan keadilan ”koersif” atau “remedial” yang
merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan.
Keadilan distributif berlaku dalam hukum publik7, mengacu kepada pembagian
barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam
masyarakat dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum
(equality before the law). Keadilan jenis ini menitik beratkan pada kenyataan
fundamental, dan selalu benar, meskipun selalu dikesampingkan oleh hasrat filsuf
6 E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
Penerbit: Yogyakarta,Kanisius,2002, h. 92 yang dikutip kembali oleh Inge Dwisvimiar, keadilan dalam perspektif filsafat ilmu hukum,; jurnal dinamika hukum, vol 11, No. 3 September 2011, h. 526.
7 E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
Penerbit: Yogyakarta,Kanisius,2002, h. 92 yang dikutip kembali oleh Inge Dwisvimiar, keadilan
dalam perspektif filsafat ilmu hukum,; jurnal dinamika hukum, vol 11, No. 3 September 2011, h. 527.
19
hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita-cita
keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi tertentu sekaligus sah.
Keadilan tersebut untuk Hukum Positif untuk menjelaskan siapa-siapa
yang sederajat dalam hukum, diperlukan prisip-prinsip etika tertentu. Sementara,
keadilan “korektif”, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan prinsip-prinsip
yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur ralasi-relasi, hukum harus
ditemukan standar yang umum untuk memperbaiki pelakunya dan tujuan dari
perilaku-perilaku, dan objek-objek tersebut harus diukur melaui satu ukuran yang
objektif. Hukuman harus memperbaiki kejahatan, ganti rugi harus memulihkan
keuntungan yang tidak sah.
Kontribusi ke-tiga adalah pembedaan antara keadilan menurut hukum dan
keadilan menurut alam. Keadilan pertama mendapat kekuasannya dari apa yang
ditetapkan sebagai hukum, apakah adil atau; keadilan kedua, mendapatkan
kekuasaannya dari apa yang menjadi sifat dasar manusia. Kontribusi ke-empat
adalah definisi hukum, yakni sebagai seperangkat peraturan yang tidak hanya
mengikat masyarakat tetapi juga hakim8, seperti dikatakan Aristoteles:
9
berlakunya suatu norma itu berlapis-lapis dan berjenjang dalam suatu susunan
hierarki. Norma yang satu berlaku atas dasar dan bersumber pada norma lain
yang lebih tinggi, demikian seterusnya ke atas sampai pada suatu norma yang
8 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah , Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum pemikiran
menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.1 (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2012) h. 145. 9 W. Friedman, Legal Theory , h.10.
20
tertinggi, yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, yang disebut ground norm atau
norma dasar, dari norma tersebut akan dijadikan suatu konstitusi yang disebut
undang-undang yang mengatur hukum dan jenis sanksi di dalamnya.10
Thomas Aquinas, yang dikenal sebagai penerus tradisi filsafat ala
Aristoteles, sampai tingkat tertentu meneruskan garis pemikiran Aristoteles dan
juga kaum Stoa. Thomas membedakan tiga macam hukum yaitu hukum abadi
(lex eternal), hukum kodrat (lex naturalis), hukum manusia dan Hukum Positif
(lexhumana). Hukum abadi adalah kebijakan atau rencana abadi Tuhan berkaitan
dengan pencarian alam semesta atau dunia dengan segala isinya. Hukum kodrat
adalah perwujudan kebijaksanaan atau rencana abadi tadi dalam kodrat manusia.
Hukum manusia adalah ketentuan tertentu dari akal budi manusia demi
kepentingan bersama yang dibuat oleh orang yang perduli terhadap komunitas
dan diberlakukan merata bagi semua orang.
Selanjutnya hukum ini harus memenuhi syarat formal dan material
tertentu. Secara formal hukum manusia harus adil dan dimaksudkan untuk
kesejahteraan manusia. Secara materil, pertama, hukum manusia sah kalau begitu
saja mengungkapkan hukum kodrat, kedua, hukum manusia sah kalau merupakan
kesimpulan logis dari hukum kodrat, ketiga, hukum manusia sah kalau memberi
10 Hasil perbincangan dengan Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si. di kediamannya, Pamulang,
Tangerang pada tanggal 18 Februari 2014 , pukul 21.00 WIB.
21
keteragan dalam hal yang memang harus diatur, tetapi dari segi hukum kodrat
masih tetap terbuka kepada pengaturan mana yang mau dipilih.11
2) Keadilan menurut John Rawls
John Rawls berpendapat bahwa keadilan hanya dapat ditegakkan apabila
negara melaksanakan asas keadilan, berupa setiap orang hendaknya memiliki hak
yang sama untuk mendapatkan kebebasan dasar (basic liberties); dan perbedaan
sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memberi manfaat
yang besar bagi mereka yang berkedudukan paling tidak beruntung, dan bertalian
dengan jabatan serta kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan
persamaan kesempatan yang layak.
John Rawls memunculkan suatu ide dalam bukunya A Theory of justice
mengatakan12
. “Tujuan saya adalah untuk menyajikan sebuah konsep keadilan
yang menggeneralisasi dan mengangkat teori kontrak sosial yang diungkapkan
oleh, katakanlah, Locke, Rousseau, dan Kant ke tingkat abstraksi yang lebih
tinggi. Untuk melakukan hal ini kita tidak akan menganggap kontrak sebagai
satu-satunya cara untuk memahami masyarakat tertentu atau untuk membangun
bentuk pemerintahan tertentu. Namun, gagasan yang menandainya adalah
prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dari
keseakatan. Hal itu adalah prinsip yang akan di terima orang-orang yang bebas
11 E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
Penerbit: Yogyakarta,Kanisius,2002, h. 92; yang dikutip kembali oleh Inge Dwisvimiar, keadilan
dalam perspektif filsafat ilmu hukum,; jurnal dinamika hukum, vol 11, No. 3 September 2011, h. 527. 12 John Ralws, A Theory of Justice (Revised Edition), USA: Harvard University Press, 1971,
h. 10.
22
dan rasional untuk mengejar kepentingan mereka dalam posisi asali ketika
mendefinisikan kerangka dasar asosiasi mereka. Prinsip-prinsip ini akan
mengatur semua lebih lanjut, mereka menentukan jenis kerja sama social yang
bisa dimasuki dan bentuk-bentuk pemerintah yang bisa didirikan. Cara pandang
terhadap prinsip keadilan ini akan saya sebut keadilan fairness.”
Unsur-unsur formal dari keadilan sesuai dengan pembagian aliran
keadilan menurut Kelsen dan Rawls yang pada dasarnya terdiri atas:13
1. Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk
memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak),
2. Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada
setiap individu (unsur manfaat).
Dengan unsur nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur
hak dan manfaat. Ditambahkan bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi
hukum itu terwujud lahiriyah, tanpa mempertanyakan terlebih dahulu itikad
moralnya. Jadi bisa di katakan bahwa keadilan pada hakikatnya harus
memberikan manfaat dan memiliki kedudukan serta hak yang sama dihadapan
hukum kepada setiap individu tanpa terkecuali di dalam hukum. Melihat dari
uraian mengenai terminologi keadilan di atas jelaslah bahwa untuk dapat melihat
adanya gambaran keadilan terdapat ukuran tersendiri yang dapat mengukurnya.
13 E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tujuan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai), Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2007, hlm. 100.
23
Seiring dengan berkembangnya zaman, maka kebutuhan akan hukum di
masyarakat semakin kompleks. Nilai-nilai keadilan yang dituntutpun semakin
terasa. Nilai keadilan di sini mempunyai aspek empiris juga, di samping aspek
idealnya. Maksudnya adalah apa yang dinilai adil, dalam konteks hukum, harus
dapat diaktualisasikan secara konkret menurut ukuran manfaatnya. Dengan
adanya ukuran manfaat nilai keadilan ini pada akhirnya dapat dipandang menurut
konteks yang empiris juga.
Seorang terdakwa misalnya, dapat merasakan suatu nilai keadilan apabila
ia melakukan tindak pidana dan mendapatkan hukuman sesuai dengan berat dan
ringannya suatu perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian maka terdakwa
akan merasakan hukuman yang setimpal dengan kesalahan yang dilakukannya.
Hal tersebut adalah cermin dari keadilan yang ideal. Memandang keadilan hanya
sebagai keadilan pun tidak akan berjalan apabila tidak ada kepastian (hukum),
karena dua hal tersebut harus ada sebagai terwujudnya hukum yang akan dicapai.
Dalam hal pemidanaan model keadilan yang dikatakan Sue Titus Reid
sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan. Model ini di sebut pendekatan
keadilan atau just desert (ganjaran setimpal). Di samping just desert mode,
terdapat model lain yang dikenal sebagai restorative justice model. Model ini,
yang diajukan oleh kaum Abolisionis, kaum ini sebuah gerakan akademis yang
menempatkan dirinya sekitar tahun 1985 di Vienna, Austria pada the ninth World
Conference on Criminology. Gerakan ini dipengaruhi pandangan krimonologis
kritis, seperti labeling approach. Gerakan yang mendasar dari kaum ini adalah
24
penolakannya terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti
dengan sarana reparatif.14
Analisis paham Abolisionis, menurut Brants dan Silvis sebagaimana
dikutip Romli Atmasasmita, lebih banyak ditujukan terhadap kegagalan dari
sistem peradilan pidana dibandingkan terhadap keberhasilannya.15
Dalam konteks
sistem sanksi hukum pidana, Cohen berpendapat bahwa nilai-nilai yang
melandasi paham Abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi
yang lebih manusiawi, layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.16
Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan
pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang
bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.17
Definisi restorative
justice sendiri menurut Black’s Law Dictionary, yaitu18
:
Hal ini menyatakan "Sanksi kejahatan atau pelanggaran sebuah alternatif
yang berfokus pada perbaikan kesalahan yang dilakukan, memenuhi kebutuhan
14 Muladi , Kapita selekta Hukum Pidana, badan penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1995, h. 125. 15Romli Atmassmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan
Abolosionisme,Binacipta, Bandung, 1996, h.101; dikutip kembali oleh M. Sholehuddin, Sistem Sanksi
Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2007, h. 66. 16Romli Atmassmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan
Abolosionisme,Binacipta, Bandung, 1996, h. 99; Ibid., h. 66. 17 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, h. 2; yang di
kutip kembali dalam skripsi oleh Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, h. 59
18 Black’s Law Dictionary, Eighth Edition. (St. Paul, MN: West Thomson, 2004), h. 1340.
25
korban, dan menahan pelaku untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Sanksi
keadilan restoratif menggunakan pendekatan yang seimbang, setidaknya
menghasilkan disposisi yang membatasi sementara menekankan akuntabilitas
pelaku dan memberikan bantuan kepada korban. Pelaku dapat diperintahkan
untuk membayar ganti kerugian, untuk melakukan pelayanan masyarakat, atau
untuk menebus kesalahan dalam beberapa cara lain yang diperintahkan
pengadilan."
Pengertian restorative justice atau keadilan restoratif juga dapat merujuk
pada ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (“UU SPPA”) yang berbunyi19
:
“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”
PBB mendefinisikan keadilan restorative sebagai sebuah penyelesaian
terhadap perilaku pidana dengan cara menyelaraskan kembali harmonisasi antara
masyarakat, korban dan pelaku.20
Di dalam encyclopedia of Law enforcement
19Di akses pada tanggal 14 Februari 2014 dari http://www.hukumonline.com/
klinik/detail/lt519065e9ed0a9 /penyelesaian-perkara-pencurian-ringan-dan-keadilan-restoratif 20Handbook on Restorative justice Programme, New York: United Nations, 2006, h. 6 yang
di kutip kembali dalam skripsi oleh Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana
Pembunuhan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, h. 61.
26
keadilan restoratif adalah paradigm alternatif untuk keadilan yang kontras dengan
nilai-nilai tradisional dan prosedur sistem pengadilan pidana.21
Dari beberapa definisi keadilan restoratif yang tertulis, maka penulis
mendefinisikan bahwa keadilan restoratif adalah pengembalian atau pemulihan
terhadap pelaku dan korban kepada kejadian sebelum terjadinya tindak pidana,
yang mana hak-hak para korban dan pelaku dikembalikan, serta pelaku tetap
mempertanggung-jawabkan perbuatannya dengan membayar ganti rugi,
rehabilitasi, atau pun kerja sosial sebagai alternatif pidana penjara.22
B. Kedudukan Hukum Pidana Modern
Hubungan antara keadilan dan Hukum Positif baru mulai abad ke-delapan
yang dilatarbelakangi oleh adanya kekacauan dalam masyarakat, rasa ketidak
puasan rakyat terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hubungannya dengan
filsafat ilmu hukum, keadilan diwujudkan melalui hukum sehingga dapat
disimpulkan bahwa hukum yang mewujudkan keadilan itu mutlak perlu dalam
kehidupan bersama manusia.23
Friedman mengatakan dalam bukunya 24
, “The Romans have laid the
foundations of modern analytical jurisprudence, but their contributions to legal
philoshiphy has been slight.” Yang pada dasarnya para ahli fikir romawi telah
21Larry E. Sullivan dan Dorothy Moses Schulz (John Jay College of Criminal Justice, New
York), Encyclopedia of Law Enforcement, 2010, h.154. 22 Hasil diskusi dengan Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si. di lt 5 gedung UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Februari 2014 , pukul 10.53 23 Inge Dwisvimiar, keadilan dalam perspektif filsafat ilmu hukum,; jurnal dinamika hukum,
vol 11, No. 3 September 2011, h. 528. 24 W. Friedman, Legal Theory , h. 5.
27
meletakkan dasar-dasar pemikirannya menngenai hukum modern. Mulai dari
hukum kontrak ataupun menuju pada pemikiran-pemikiran yang mendalam
tentang fungsi dan problema-problema hukum di dalam masyarakat.
Seperti ada dalam teori bahwa tujuan hukum semata-mata untuk
mewujudkan keadilan (justice), yang dimuat dalam teori tujuan hukum klasik
sedangkan teori prioritas modern baku yang ada dalam teori modern yaitu tujuan
hukum mencakupi keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pelaksanaan
keadilan di Indonesia bersandarkan pada ketentuan pasal 24 ayat(1) UUD 1945
yang menyatakan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Ketentuan keadilan juga terdapat di dalam pembukaan UUD 1945 alenia
ke-empat, yang menyatakan “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indoesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Juga terdapat
pada norma dasar Negara Indonesia yaitu pancasila, sila ke-5 yang berbunyi
“keadilan sosial bagi seluruh rakyak Indonesia”.
Dalam tataran praktikal peradilan terdapat pada pasal 5 ayat (1) UU
Nomor 48 tahun 2009 yang berbunyi “hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”. Bedasarkan pasal di atas maka hakim mempunyai
28
tugas menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat.
Memandang keadilan maka tidak terlepas dari kepastian hukum dan
sistem peradilan yang mengadilinya. Maka pada point sebelumnya telah dibahas
adanya alternatif sanksi pidana pada hukum pidana modern yang lebih dikenal
dengan Restorative justice atau keadilan restoratif yang lebih manusiawi.
Keadilan restoratif ada pada kajian hukum modern hadir untuk mereformasi
sistem peradilan pidana untuk mencapai keadilan yang ada di dunia.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Zehr25
. Dalam hukum pidana
modern, sistem peradilan pidana atau criminal justice system sangat berperan
penting. Secara singkat sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu
sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut masih
berada dalam batas-batas toleransi mayarakat.26
Sistem peradilan pidana bukan
merupakan struktur yang telah direncanakan sebagai sebuah sistem. Juga tidak
begitu terorganisir bahwa beberapa bagian saling beroperasi secara harmonis.27
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) pada dasarnya terbentuk
sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari
bentuk-bentuk perilaku sosial yang ditetapkan secara hukum sebagai kejahatan.
25Lihat, John Braithwaite, Restorative justice and criminal law (Competing or Reconcilable
Paradigms?), Oxford and Portland, 2003 h. 1. 26Teguh Prasetyo dan Abdul H.im Barkatullah , Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum pemikiran
menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.1 (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,2012) h. 115.
27Andrew Ashworth, Sentencing and Criminal Justice, Fifth Edition, United States of
America by Cambridge University Press, New York, 2012, h. 71.
29
Di samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk
melembagakan pengendalian sosial oleh negara. Ikhtisar memberikan
perlindungan terhadap masyarakat melalui sistem peradilan pidana merupakan
rangkaian dari kegiatan instasional kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan28
. komponen tersebut harus saling berkaitan, jika
terdapat kelemahan pada salah satu sistem kerja komponennya, akan
mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi itu.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah peranan sistem peradilan
pidana diharapkan tidak semata-mata bekerja dalam kapasitas instrumentalnya.
Akan tetapi lebih jauh lagi, yakni diharapkan mampu mengembangkan peranan
dalam penataan keadilan (the ording of justice).29
Aliran modern yang lebih
dikenal dengan Hukum Positif mempunyai konsep pemikiran ajaran yang
bertujuan untuk secara langsung mengadakan pendekatan dan berusaha
mempengaruhi terhadap pelaku tindak pidana secara positif sejauh masih dapat
dibina dan diperbaiki menuju kembali ke jalan yang benar.30
Pada hukum pidana modern yang berlaku di Indonesia kini mulai
menerapkan sistem pemidanaan yang tidak hanya menitik beratkan pidana pada
pelaku, tapi juga terciptanya keadilan bagi pelaku dan korbannya. Dalam hukum
28 Mulyana w. kusuma dan Adnan Buyung Nasution, Tegaknya Supremasi Hukum (Terjebak
Antara Memilih Hukum dan Demokrasi, cet-1, Bandung : PT Remaja Roksadakarya, februari,2011. h.
03. 29 Mulyana w. kusuma dan Adnan Buyung Nasution, Tegaknya Supremasi Hukum (Terjebak
Antara Memilih Hukum dan Demokrasi, cet-1, Bandung : PT Remaja Roksadakarya, februari,2011, h.
05. 30M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 56.
30
pidana di Indonesia, legislator memberikan peluang dan kebebasan yang relatif
kepada hakim untuk memilih jenis pidana, berat-ringannya pidana dan cara
bagaimana pidana tersebut dilaksanakan. Jenis sanksi pidana, peluang, dan
kebebasan hakim untuk memilih bentuk sanksi yang dikehendakinya, mulai dari
sanksi pidana yang berakhir dengan sistem alternatif maupun kumulatif yang
tercantum di dalam undang-undang. Menuerut Colin Howard, Sistem ini dapat
dikatakan sebagai Indeterminate Sentence, yaitu sistem yang tidak menentukan
batas maksimum pidana melainkan diserahkan sepenuhnya kepada aparat
penegak hukum untuk menetapkan jenis, berat-ringannya, serta bagaimana pidana
dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana.31
Terkait dengan sanksi pidana
tersebut, penulis akan menjelaskannya pada bab selanjutnya.
Jenis pidana yang dirumuskan dalam KUHP pada umumnya memakai dua
pilihan sebagai salah satu sistem alternatif, misalnya pidana “penjara” atau pidana
“denda”. Namun pada jenis sanksi pidana yang pada umumnya di cantumkan
dalam perumusan delik menurut pola KUHP ialah pidana pokok, dengan
menggunakan Sembilan bentuk perumusan, yaitu:32
diancam dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup atau penjara tertentu, diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau penjara tertentu, diancam dengan pidana penjara (tertentu),
diancam dengan pidana penjara atau kurungan, diancam dengan pidana penjara
31 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 57. 32 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya), h. 189.
31
atau kurungan atau denda, diancam dengan pidana penjara atau denda, diancam
dengan pidana kurungan, diancam dengan pidana kurungan atau denda, dan yang
terakhir diancam dengan pidana denda.
Pengaruh perkembangan kesadaran hukum masyarakat memunculkan
aliran neo-klasik yang menitik-beratkan konsepsinya kepada kebebasan kehendak
manusia. Pada sekitar tahun 1810 mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya
pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran neo-klasik
memberikan kekuasaan kepada hakim untuk menetapkan pidana penjara antara
batas minimum dan maksimum yang ditentukan dalam undang-undang. Dengan
demikian system the definite sentence ditinggalkan dan beralih kepada system the
indefinite sentence. Ciri daripada aliran neo-klasik adalah adanya doktrin
kebebasan berkendak dan dokrtin pertanggung-jawaban pidana.
Karena perpaduan dua konsep tersebut maka lahirlah ide individualisasi
pidana. Maka sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern berorientasi pada
pelaku dan perbuatan. Sehingga tidak hanya sanksi pidana yang didapatkan tetapi
juga sanksi tindakan yang relatif lebih mengarah kepada pendidikan. Dalam ide
individualisasi pidana hal yang harus diperhatikan adalah pendekatan humanistic
dalam penggunaan sanksi pidana untuk perlindungan masyarakat (social
defence). Tujuan dari pada perlindungan masyarakat yaitu untuk mencapai
32
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Ide menyangkut social defence
tersebut ternyata diterima oleh ahli hukum pidana di Indonesia, terbukti dalam 33
:
a. Kesimpulan seminar kriminologi ke-3 tahun 1976 yang menyatakan:
“Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk
social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan
memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitate) pembuat tanpa
mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan
masyarakat.”
b. Salah satu laporan dari Symposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Tahun 1980 yang menyatakan bahwa: Sesuai dengan hukum pidana, maka
tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari
kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat
dengan memperhatikan kepentingan masyarakat/negara, korban, dan pelaku.
Dan atas dasar tujuan tersebut, maka pemidanaan harus mengandung unsur-
unsur yang bersifat: Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut
menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. Edukatif, dalam arti bahwa
pemidanaan itu mampu membuat oranng sadar sepenuhnya atas perbuatan
yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan
konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. Serta Keadilan, dalam arti
33 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya),h. 58-59.
33
bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh terhukum maupun oleh
korban ataupun oleh masyarakat).
Sistem pidana modern tersebut tersebut masuk ke dalam kategori sistem
restorative justice atau keadilan restoratif. Model restoratif ini berlandaskan
dengan due process of law, yang sangat menghormati hak-hak hukum setiap
tersangka seperti hak untuk diduga dan diperlakukan sebagai orang yang tidak
bersalah jika pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak untuk membela diri
dan hak untuk mendapatkan hukuman yang proposional dengan pelanggaran yang
telah dilakukan.34
Bukan hanya lewat pemidanaan yang menggunakan jeruji besi
atau penjara namun sanksi pidana juga bisa dilakukan dengan mengganti
kerugian ataupun bekerja sosial sesuai dengan kemampuan seseorang. Bukan
berarti pelaku tidak mempertanggung jawabkan perbuatannya, cara tersebut lebih
dikatakan rasional dengan tingkat kejahatan yang ringan. Sanksi pidana tersebut
tidak hanya sebagai pertanggung-jawaban terhadap pelaku namun juga
memberikan keselarasan juga keseimbangan pada masyarakat.
34 Paulus Hadisuprapto, Hukum Pidana Dalam Perspektif, Denpasar, Bali: Pustaka Larasan,
Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas laiden, Universitas Griningen, 2012. h. 302.
34
BAB III
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE MENURUT HUKUM POSITIF
A. Penerapan dan konsep Restorative justice system
1. Penerapan Restorative justice dengan Pendekatan Criminal Justice System
Nilai dasar penghidupan tata negara di negara kita tercermin jelas pada
konsep negara hukum, sebagaimana dicita-citakan oleh landasan hukum tertinggi
Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Bagir Manan sendi utama
negara berdasarkan atas hukum adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi
(supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum
antar negara dan masyarakat yang satu dengan yang lain. Hukum yang didorong
berlaku tanpa terkecuali umumnya dilandasi nilai kepastian hukum. Menurut
Gustav Radbruch ada tiga nilai dasar hukum, yaitu: keadilan, kegunaan, dan
kepastian hukum.1
Mekanisme dalam penegakan supremasi hukum juga sangat di pengaruhi
oleh sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam perspektif sistem
peradilan pidana, di Indonesia di kenal lima institusi yang merupakan sub sistem
peradilan pidana. Terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai panca
wangsa penegakan hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (Undang-Undang Nomor
2 tahun 2002), Kejaksaan (Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004), Pengadilan
1 Nitibaskara, Rahman Ronny, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara, 2006. h. 59.
35
(Undang-undang Nomor 8 tahun 2004), Lembaga Pemasyarakatan (Undang-
Undang Nomor 12 tahun 1995), dan Advokat (Undang-Undang Nomor 18 tahun
2003).2 Dalam sistem peradilan pidana meliputi awal investigasi kejahatan,
melalui berbagai pra-proses persidangan, ketentuan dalam hukum pidana, sidang,
bentuk hukuman, kemudian keputusan.3
Dalam kesempatan lain Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan
pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya
dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan dengan
mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan
yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang
bersalah dipidana, dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan
kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat
komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan). Diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk
suatu sistem peradilan yang terintegrasi4 yang mengacu kepada Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain hukum acaranya beroitentasi
2 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan permasalahannya,
Bandung: PT. Alumni. 2007, h.4. 3 Ashworth, Andrew, Sentencing and Criminal Justice, Fifth Edition, United States of
America by Cambridge University Press, New York, 2012. h. 71. 4 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) persektif
eksistensialisme dan abolisionisme,cet. Ke-dua (revisi), Bandung: Binacipta, Januari, 1996. h. 15.
36
kepada KUHAP sebagaimana tersebut di atas, ketentuan hukum materilnya juga
mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di luar
KUHP.5
Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem
terpadu” (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan
diatas landasan prinsip “diferensiasi fungsional”. Di antara aparat penegak hukum
sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada
masing-masing. Berdasaran kerangka landasan yang dimaksud aktivitas
pelaksanaannya, merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari
legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara, serta badan yang berkaitan, baik
yang ada di lingkungan pemerintahan atau diluarnya.
Polisi Republik Indonesia (POLRI) berdiri untuk republik Kepolisian
Indonesia. seperti polisi lainnya di seluruh dunia, tugas pokok POLRI adalah
mencegah dan memerangi kejahatan. Pelaksanaan tugas pokok POLRI,
bagaimanapun, adalah berbeda dari yang polisi dibanyak negara lain karena
filosofi sistem yang berbeda, mulai dari pemerintah, geografi, dan demografi,
ekonomi, situasi politik, sosial, dan politik di Indonesia. negara-negara lain
mungkin berpendapat bahwa kejahatan hanya berarti pelanggaran hukum pidana.
kejahatan di Indonesia, namun juga mencakup pelanggaran norma dalam
masyarakat, termasuk norma adat atau tradisional yang tidak ada di negara lain.
Oleh karena itu, perlu untuk menyatakan benar peran utama dari POLRI dalam
5 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan permasalahannya, h.4.
37
menghadapi problem-problem pidana di Indonesia. Peranan, fungsi, dan tugas
pokoknya dirangkum dalam undang-undang No. 13/1961 (hukum dasar polisi).6
Tugas pokok dan fungsi jaksa dijelaskan dalam No.5/1991 hukum pada
jaksa penuntut umum. Hukum menetapkan bahwa jaksa adalah pejabat yang
memiliki wewenang untuk membawa kasus ke pengadilan dan melaksanakan
keputusan hakim yang telah menjadi tidak dapat dibatalkan. Jaksa memiliki
wewenang untuk mengadili orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam
yurisdiksi mereka dengan membawa kasus ini ke pengadilan yang memiliki
yurisdiksi atas kasus tersebut.7ketika kasus diadili, tugas jaksa meliputi:
8
Membuat argumen tertulis terhadap putusan putusan pengadilan distrik bahwa
kasus tersebut harus ditransfer ke pengadilan negeri lain karena tidak memiliki
yurisdiksi atas kasus tersebut .
Membuat argumen tertulis terhadap keputusan pengadilan distrik yang
menerima terdakwa atau keberatan penasihat hukumnya bahwa dakwaan harus
ditolak. Argumen tertulis harus dikirim ke pengadilan tinggi melalui Pengadilan
Negeri, membaca surat dakwaan, kemudian setelah pemeriksaan percobaan
berakhir, jaksa membuat kalimat permintaan (requisitoir), membuat banding
6Adi Andojo Soetjipto, Criminal Justice Profiles of Asia (Investigation, prosecution, and
Trial), Published: by United Nations Asia and Far East Institute,UNAFEI, Harumicho, Fuchu, Tokyo,
Japan. h. 47. 7 Adi Andojo Soetjipto, Criminal Justice Profiles of Asia (Investigation, prosecution, and
Trial), Published: by United Nations Asia and Far East Institute,UNAFEI, Harumicho, Fuchu, Tokyo, Japan, h. 52.
8 Adi Andojo Soetjipto, Criminal Justice Profiles of Asia (Investigation, prosecution, and
Trial), Published: by United Nations Asia and Far East Institute,UNAFEI, Harumicho, Fuchu, Tokyo,
Japan. h. 53-54.
38
terhadap putusan pengadilan negeri, setelah itu mengeksekusi putusan yang tidak
dapat dibatalkan pengadilan itu, dan yang terakhir melaksanakan putusan hakim.
Pengadilan, di Indonesia tidak membedakan antara pengadilan berurusan
dengan kasus pidana dan berurusan dengan pengadilan kasus perdata. Semua
pengadilan di peradilan umum memiliki yurisdiksi atas kasus pidana dan perdata.
Pasal 2 UU No 14/1970 tentang tentang hukum dasar kekuasaan kehakiman
menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman diberikan ke pengadilan dengan tugas
untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan setiap kasus yang didelegasikan
kepada mereka. Oleh karena itu hakim tidak hanya menangani kasus-kasus
pidana, tetapi juga dengan kasus perdata juga.
Undang-Undang No 2/1986 tentang pengadilan umum menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman pengadilan umum didelegasikan kepada: pengadilan
negeri, pengadilan tinggi, Mahkamah Agung. Pengadilan negeri yang terletak di
kota atau kabupaten, dan yurisdiksi mereka mencakup bidang kotamadya atau
kabupaten mereka dengan jumlah 293 pengadilan negeri di seluruh Indonesisa.
Pengadilan tinggi yang terletak di ibukota provinsi dan wilayah hukumnya
meliputi provinsi masing-masing yang berjulah 26 pengadilan di seluruh negeri.9
9 Adi Andojo Soetjipto, Criminal Justice Profiles of Asia (Investigation, prosecution, and
Trial), Published: by United Nations Asia and Far East Institute,UNAFEI, Harumicho, Fuchu, Tokyo,
Japan, h. 55.
39
Di Indonesia terdapat dua jenis pengacara10
. Yang pertama adalah yang
ditunjuk oleh menteri kehakiman (advokat) dan yang kedua adalah orang lain
yang praktek sebagai pengacara tanpa ditunjuk oleh menteri kehakiman. Seorang
pengacara memiliki kewajiban untuk menolak dakwaan selama persidangan, serta
membuat argumen, mempertanyakan kliennya, membuat pernyataan pembelaan,
meminta banding terhadap putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dan
mempersiapkan dokumen untuk banding. Ada beberapa organisasi pengacara di
Indonesia salah satunya A.A.I. (Asosiasi Advokat Idonesia), IKADIN (Ikatan
Advokat Indonesia), yang P.P.H.I. (Persatuan Penasihat Hukum Indonesia), dan
sebagainya. Jumlah advokat di Indonesia adalah sekitar 930.
Tujuan pokok dari gabungan fungsi dalam kerangka criminal justice
system adalah menegakkan, melaksanakan, dan memutuskan hukum pidana.
Dalam menjalankan kegiatannya sistem peradilan pidana didukung dan
dilaksanakan oleh empat fungsi utama, diantaranya11
dengan fungsi pembuatan
undang-undang. Fungsi ini dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah atau badan
lain berdasar delegated legislation yang diharapkan, hukum yang diatur dalam
undang-undang tidak kaku. Sedapat mungkin fleksibel yang bersifat akomodatif
terhadap kondisi-kondisi perubahan sosial. Kemudian fungsi penegakan hukum,
tujuan ojektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial terdiri dari
10 Adi Andojo Soetjipto, Criminal Justice Profiles of Asia (Investigation, prosecution, and
Trial), Published: by United Nations Asia and Far East Institute,UNAFEI, Harumicho, Fuchu, Tokyo,
Japan, h. 61-62. 11 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan
penuntutan, Edisi kedua, Ceta.11, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h. 90-91.
40
penegakan hukum secara aktual meliputi tindakan penyelidikan-penyelidikan,
penangkapan, penahanan, persidangan pengadilan, dan pemidanaan.
Kedua, ditinjau dari efek preventif fungsi penegakan hukum preventif
diharapkan dapat mencegah orang melakukan tindak pidana. Dengan keberadaan
dan kehadiran polisi di tengah masyarakat, dimaksudkan sebagai upaya prevensi
yang memiliki daya cegah anggota masyarakat melakukan tindak kriminal.
Ketiga, ditinjau fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan. Fungsi ini
merupakan sub-fungsi dari kerangka penegakan hukum yang dilakasanakan oleh
jaksa PU dan Hakim serta pejabat pengadilan yang terkait. Melalui fungsi ini
dapat di tentukan kesalahan terdakwa dan penjatuhan hukuman. Serta fungsi
yang keempat adalah fungsi memperbaiki terpidana. Fungsi ini meliputi aktivitas
lembaga pemasyarakatan, pelayanan sosial terkait, dan lembaga kesehatan
mental. Tujuan umum semua lembaga-lembaga yang berhubungan dengan
penghukuman dan pemenjaraan terpidana, merehabilitasi pelaku pidana agar
dapat kembali menjalani kehidupan normal dan produktif.
Apabila criminal justice system dikaitkan dengan konsep restorative
justice atau keadilan restoratif yang merupakan suatu pendekatan yang lebih
menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi
pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Namun tidak hanya itu, Menurut
Muladi model sistem peradilan yang cocok bagi Indonesia adalah model yang
mengacu pada: “daad-dader straftrecht” (model keseimbangan kepentingan).
Model ini adalah model yang realistik yaitu yang memperhatikan pelbagai
41
kepentingan yang harus dilindingi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara,
kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan
kepentingan korban kejahatan.
Maka fungsi untuk memperbaiki terpidana dan penjatuhan pidananya
dalam kasus pidana ringan akan terasa lebih rasional. Prinsip-prinsip restorative
justice adalah, membuat pelaku bertanggung jawab untuk membuktikan kapasitas
dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang
konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga, sekolah atau teman
bermainnya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah yang berhubungan
dengan kejahatan untuk mengatasinya.12
Dalam penerapannya, restorative justice
di Indonesia dapat kita lihat dari dikeluarkannya PERMA RI Nomor 02 Tahun
2012 pada 27 Februari 2012, yang menjelaskan penyesuaian batasan tindak
pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP.
2. Konsep Pidana Alternatif
Kata restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan
pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara
korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang
dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya melalui
mekanisme ganti rugi, perdamaian kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan
lainnya. Di dalam proses peradilan pidana konvensional konsep ini di kenal
12 Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, h. 165
42
dengan adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban.13
Menurut Antony Duff14
keadilan restoratif memiliki keterkaitan dengan alasan pembalasan yang dapat di
ganti dengan ketentuan ganti rugi. Restorative justice menempatkan nilai yang
lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu
untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelakau didorong untuk memikul
tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang
disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya.15
Dalam Hand book restorative justice PBB mengemukakan prinsip-prinsip
yang mendasari program keadilan restoratif, yaitu:16
1. Penanganan terhadap tindak pidana harus semaksimal mungkin
membawa pemulihan bagi korban. Prinsip ini merupakan salah satu tujuan utama
manakala pendekatan keadilan restoratif dipakai sebagai pola pikir yang
mendasari suatu upaya penanganan tindak pidana. Penyelesaian dengan
pendekatan keadilan restoratif membuka akses bagi korban untuk menjadi salah
satu pihak yang menentukan penyelesaian akhir dari tindak pidana karena korban
adalah pihak yang paling dirugikan dan yang paling menderita. Oleh karenanya
pada tiap tahapan penyelesaian yang dilakukan harus tergambar bahwa proses
yang terjadi merupakan respon positif bagi korban yang diarahkan pada adanya
13Di akses pada tanggal 2 Februari 2014 pukul 10.15 dari http: // www. justice. act.gov.
au/criminal _ and _ civil_justice /restorative_justice 14Andrew von Hirsch, julian v. Roberts, anthony bottoms, Restorative justice and Criminal
Justice Competing or Reconcilable Paradigms?, Oxford And Portland, Oregon, 2003, h. 44-45. 15 Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: PT Refika
Aditama, juni, 2006, h. 14-15. 16 Handbook on Restorative justice Programme, New York: United Nations, 2006, h. 8
43
upaya perbaikan atau penggantian kerugian atas kerugian yang dirasakan
korban.17
2. Pendekatan keadilan restoratif dapat dilakukan hanya jika pelaku
menyadari dan mengakui kesalahanya. Dalam proses restoratif, diharapkan
pelaku juga semakin memahami kesalahannya tersebut serta akibatnya bagi
korban dan masyarakat. Kesadaran ini dapat membawa pelaku untuk bersedia
bertanggungjawab secara sukarela. Makna kerelaan harus diartikan bahwa pelaku
mampu melakukan intropeksi diri atas apa yang telah dilakukannya dan mampu
melakukan evaluasi diri sehingga muncul akan kesadaran untuk menilai
perbuatannya dengan pandangan yang benar. Suatu proses penyelesaian perkara
pidana diharapkan merupakan suatu program yang dalam setiap tahapannya
merupakan suatu proses yang dapat membawa pelaku dalam suatu suasana yang
dapat membangkitkan ruang kesadaran untuk pelaku mau melakukan evaluasi
diri. Dalam hal ini pelaku dapat digiring untuk menyadari bahwa tindak pidana
yang dilakukannya adalah suatu yang tidak dapat di terima dalam masyarakat,
bahwa tindakan itu merugikan korban dan pelaku sehingga konsekuensi
pertanggungjawaban yang dibebankan pada pelaku di anggap sebagai suatu yang
memang seharusnya diterima dan dijalani.18
3. Dalam hal pelaku menyadari kesalahannya, pelaku dituntut untuk rela
bertanggungjawab atas “kerusakan” yang timbul akibat tindak pidana yang
17 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2009, h.15 18 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2009. h. 16.
44
dilakukannya tersebut. Ini merupakan tujuan lain yang ditetapkan dalam
pendekatan keadilan restoratif. Tanpa adanya kesadaran atas kesalahan yang
dibuat, maka mustahil dapat membawa pelaku secara sukarela bertanggung jawab
atas tindak pidana yang telah dilakukannya.19
4. proses penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan
restoratif membuka akses kepada korban untuk berpartisipasi secara langsung
terhadap proses penyelesaian tindak pidana yang terjadi.Partisipasi korban bukan
hanya dalam rangka menyampaikan tuntutan atas ganti kerugian, karena
sesungguhnya korban juga memiliki posisi penting untuk mempengaruhi proses
yang berjalan termasuk membangkitkan kesadaran pada pelaku sebagaimana
dikemukakan dalam prinsip kedua. Konsep dialog yang diusung oleh pendekatan
ini memberikan suatu tanda akan adanya kaitan yang saling mempengaruhi antara
korban dan pelaku dalam memilih penyelesaian terbaik sebagai upaya pemulihan
hubungan sosial antara keduanya.
5. Suatu upaya restoratif bukan hanya melibatkan korban dan pelaku,
tetapi juga masyarakat. Masyarakat memiliki tanggung jawab baik dalam
penyelenggaraan proses ini maupun dalam pelaksanaan hasil kesepakatan, Maka,
dalam upaya restoratif, masyarakat dapat berperan sebagai penyelenggara,
pengamat maupun fasilitator. Secara langsung maupun tidak langsung,
masyarakat juga merupakan bagian dari korban yang harus mendapatkan
19 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2009. h. 17.
45
keuntungan atas hasil proses yang berjalan.20
Selain itu juga mengupayakan untuk
me-restore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih
penting adalah sense of control. Ada beberapa yang dapat dikemukakan
Karakteristik dan ciri-ciri restorative justice theory menurut Van Nes21
dan
menurut Muladi.22
Berkaitan dengan masalah tersebut yang secara lebih umum, khususnya
dalam melakukan pembahuan hukum pidana dan lebih khusus lagi tentang
penyusunan konsep KUHP baru yang tidak dapat dilepaskan dari ide tau
kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berdasarkan pancasila
sebagai nilai- nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Seperti yang telah
dipaparkan pada bab sebelumnya ada jenis rumusan pidana dan juga yang tertera
di dalam KUHP pasal 1023
. Rumusan pidana dalam KUHP tersebut berbeda
dengan uraian yang terdapat pada Naskah Rancangan KUHP baru (hasil
penyempurnaan Tim intern Departemen Kehakiman).24
Jenis pidana tersebut adalah pidana yang telah ditentukan oleh undang-
undang. Pidana yang dijatuhkan pun sesuai dengan berat ringannya jenis tindak
pidana yang dilakukan. Apabila dalam penjatuhan pidana penjara terdapat
20 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2009 h. 18 21 Lihat, Van Ness, W Daniel, Restorative justice and International Human Rights,
Restorative Justice: International Perspective, Amsterdam, the Netherland, 2003. h. 23 . 22 Lihat, Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana , Semarang:Penerbit UNDIP,
1995, h. 27-29. 23 Lihat, A. Hamzah, KUHP dan KUHAP, Cet-kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta, Juni,1992. h.
6. 24 Bambang, Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, cet- ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
h.11.
46
alternatif pidana ganti rugi. Dalam restorative justice juga terdapat konsep yang
demikian, adanya alternatif lain selain pidana penjara, yaitu dengan pidana denda,
ganti kerugian, rehabilitasi ataupun kerja sosial.
1) Pidana Denda
Pidana denda bisa dipandang sebagai alternatif pidana pencabutan
kemerdekaan. Sebagai sarana dalam politik kriminal pidana ini tidak kalah
efektifnya dari pidana pencabutan kemerdekaan. Berdasarkan pemikiran ini maka
pada dasarnya sedapat mungin denda itu harus dibayar oleh terpidana dan untuk
pembayaran itu ditetapkan tenggang waktu tertentu. Kalau keadaan mengizinkan,
denda yang tidak dibayar itu dapat diambilkan dari kekayaan atau pendapatan
terpidana sebagai antinya.25
Penjatuhan pidana denda sebagai alternatif dari pidana penjara ataupun
kurungan jangka pendek yang merupakan jenis pidana pokok yang paling jarang
dijatuhkan oleh hakim, khususnya dalam praktek peradilan pidana, contohnya
saja pada kasus yang akan penulis jelaskan pada point berikutnya. Pidana denda
termasuk jenis pidana yang tertua di dunia, disamping pidana mati (yang juga
dikenal dalam kitab Taurat maupun Al- Quran).26
Y.E Lokollo dengan mengacu
pada beberapa kepustakaan mengatakan bahwa perkembangan pidana denda tidak
25 Niniek, Suparni, Eksistensi pidana denda dalam sistem pidana dan pemidanaan, Jakarta:
Sinar Grafika, cet-kedua, juli 2007. h. 36. 26 Niniek, Suparni, Eksistensi pidana denda dalam sistem pidana dan pemidanaan, Jakarta:
Sinar Grafika, cet-kedua, juli 2007. h. 47.
47
saja mengenai banyaknya penggunaan pidana dalam penjatuhan pidana, akan
tetapi juga mengenai besarnya minimum dan maksimum denda.
Kebijakan legislatif terhadap pidana denda dalam konsep rancangan
KUHP tidak terlepas dari pemikiran bahwa nilai pidana denda tidak sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan perumusan tentang maksimum umum
pidana denda tidak dapat dilepaskan dari kenyataan akan terjadi perubahan nilai
uang (rupiah), dan kemungkinan terjadinya perubahan perundang-undangan.
Dalam rangka menentukan maksimum umum pidana denda yang mampu
menghadapi perubahan dan perkembangan tersebut, dapat dipahami sebagai
pilihan perubahan stelsel maksimum umum pidana denda dengan sistem kategori
maksimum umum. Perumusan pidana denda dalam konsep Rancangan KUHP
yang si susun oleh TIM RUU Hukum Pidana 1992 terdapat dalam buku I
mengenai ketentuan umum Bab III pasal 72 dan 73.27
Maksimum denda
ditetapkan berdasarkan enam kategori.28
Tujuan utama penggunaan kategori denda adalah:
a. Agar memperoleh pola yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan
untuk berbagai tindak pidana (ada enam kategori)
b. Agar mudah melakukan perubahan, apabila terjadi perubahan dalam keadaan
ekonomi dan moneter di negara kita.
27 Niniek, Suparni, Eksistensi pidana denda dalam sistem pidana dan pemidanaan, Jakarta:
Sinar Grafika, cet-kedua, juli 2007, h. 70. 28 Niniek, Suparni, Eksistensi pidana denda dalam sistem pidana dan pemidanaan, Jakarta:
Sinar Grafika, cet-kedua, juli 2007, h.73
48
Sebagai kenyataan dalam perundang-undangan hukum pidana yang
berlaku, maka pidana denda dirumuskan dan digambarkan dengan anggapan
bahwa pidana denda digolongkan dalam kelompok pidana ringan dalam jenis
delik yang bersifat pelanggaran dan di samping hal tersebut juga adanya
anggapan bahwa pidana denda kurang efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan
dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan sebagai pidana yang
berat. Dalam menjatuhkan pidana, peranan hakim sangat penting. Hakim wajib
mempertimbangkan keadaan-keadaan sekitar pembuat tindak pidana, ada dan
bagaimana pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan, pengaruh pidana
yang dijatuhkan bagi pembuat pidana pada masa mendatang, pengaruh tindak
pidana terhadap korban.29
Hal yang juga penting dalam menetapkan pidana denda antara lain
mengenai sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda, batas waktu
pelaksanaan pembayaran denda, tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan
dapat menjamin terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat
membayar dalam batas waktu yang telah ditentukan, pelaksanaan denda dalam
hal khusus (misalnya seorang anak yang belum dewasa atau belum bekerja atau
masih dalam tanggungan orang tua), serta pedoman atau kriteria untuk
menjatuhkan pidana denda.30
29 Niniek, Suparni, Eksistensi pidana denda dalam sistem pidana dan pemidanaan, Jakarta:
Sinar Grafika, cet-kedua, juli 2007, h. 49. 30 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,cet. Ke-dua,
Bandung: Penerbit Alumni, 1992. h. 181.
49
Pidana denda sebagai alternatif daripada pidana perampasan kemerdekaan
jangka pendek juga memiliki keleman dan kelebihan. Kelemahan-kelemahan
pidana denda antara lain:31
1) Bahwa pidana denda ini dapat dibayarkan atau di tanggung oleh pihak ke-tiga.
Sehingga pidana yang dijatuhkan tidak secara langsung dirasakan oleh
terpidana sendiri.
2) Bahwa pidana denda ini lebih menguntungkan bagi orang-orang yang mampu.
3) Bahwa terdapat kesulitan dalam pelaksanaan penagihan uang denda selaku
eksekutor, terutama bagi terpidana yang tidak ditahan atau tidak berada dalam
penjara.
Di samping kelemahan-kelemahan pidana denda juga terdapat beberapa
kelebihan dari pidana denda, yaitu: Dengan penjatuhan pidana denda maka
anomitas terpidana akan tetap terjaga. Pidana denda tidak menimbulkan stigma
atau cap jahat bagi terpidana. Dengan penjatuhan pidana denda, negara akan
mendapatkan pemasukan dan di samping proses pelaksanaan hukumnya lebih
mudah.
Menurut sistem KUHP, alternatif yang dimungkinkan dalam hal terpidana
tidak mau membayar dendanya, hanyalah dengan mengenakan kurungan
pengganti. Dengan demikian betapa pun tingginya pidana denda yang dijatuhkan,
apabila terpidana tidak mau membayar, konsekuensinya hanyalah dikenakan
31 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,cet. Ke-dua,
Bandung: Penerbit Alumni, 1992. h. 67-68
50
pidana kurungan yang maksimum enam bulan kurungan atau dapat menjadi
paling lama delapan bulan jika ada pemberatan denda.32
Karena kurungan
pengganti merupakan satu kesatuan sitem dengan pidana denda karena
perhitungannya didasarkan pada jumlah denda yang dijatuhkan yang secara logis
bahwa apabila kebijakan legislatif mengenai jumlah pidana denda berubah, maka
hal ini juga harus diikuti dengan perubahan kebijakan legislatif dalam
perhitungan lamanya kurungan pengganti denda.33
2) Pidana Ganti Kerugian
Ganti kerugian diharapkan dapat menjadi pidana alternatif yang akan
membantu proses rehabilitasi dan meningkatkan pelayanan terhadap korban
kejahatan. Sanksi ini cenderung lebih ringan, karena bukan merupakan pidana
badan. Sehingga dapat menghindarkan pelaku tindak pidana dari pidana penjara,
atau mengurangi pidana penjara yang harus dijalani.34
Di Indonesia, ganti
kerugian telah dikenal pula sebagai sanksi istilah membayar uang pengganti.
Sanksi ganti kerugian (restitution) sebagai bagian dari sanksi pidana yang sering
dipergunakan secara tumpang tindih dengan kompensasi yang pada dasarnya
memiliki arti yang berbeda. Penjelasan pasal 35 Undang-undang No. 26 tahun
2000 memberikan pengertian kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan
oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya
32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,cet. Ke-dua,
Bandung: Penerbit Alumni, 1992, h. 180. 33 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,cet. Ke-dua,
Bandung: Penerbit Alumni, 1992, h. 185. 34 Kumpulan Karangan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Hukum Dalam Teori
dan Praktek, Denpasar, Bali: Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1994. h. 348.
51
yang menjadi tanggungjawabnya sedanngkn restitusi, yaitu ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Restitusi dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti
kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu.35
Menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu
adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari
permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk
pertanggungjawaban masyarakat atau negara sedangkan restitusi lebih bersifat
pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana
atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana. Jadi ganti kerugian
sebagai sanksi pidana adalah pembayaran sejumlah uang pengganti oleh pelaku
kejahatan kepada korban kejahatan sebagai akibat kerugian yang diderita korban
kejahatan karena kejahatan yang ditimbulkan oleh pelaku kejahatan, sedangkan
besarnya ditentukan oleh hakim tanpa melalui gugatan.
Dalam hukum pidana, dikenal dengan dua macam sanksi ganti kerugian,
pertama, sanksi ganti kerugian yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan berupa
keharusan membayar sejumlah uang kepada korban kejahatannya (victim of
crime). Serta sanksi yang kedua, sanksi ganti kerugian yang dijatuhkan pada
35 Didik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindunngan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h.166.
52
penegak hukum berupa keharusan membayar sejumlah uang kepada korban
kesalahan penegakkan hukum.36
Pembayaran ganti kerugian diatur dan juga ditegaskan di dalam pasal 95
KUHP dan dalam pasal 96 Rancangan Undang-undang KUHP Baru. Keberadaan
ganti kerugian sebagai sanksi dalam hukum pidana, memiliki tujuan-tujuan
tertentu mennurut Gallaway yaitu, untuk memberikan manfaat kepada pelaku,
untuk memberikan manfaat keapada korban, untuk memberikan manfaat pada
peradilan pidana, untuk membantu mendapatkan keadilan, serta yang terakhir
untuk mendapatkan manfaat dari program itu sendiri.37
Keuntungan pada sanksi pidana bagi pelaku adalah kepatuhan pelaku
tindak pidana dalam melaksanakan sanksi ganti kerugian menunjukkan adanya
itikad baik dari yang bersangkutan. Itikad yang baik ini pada umumnya diterima
baik oleh para korban tindak pidana maupun masyarakat. Keadaan yang demikian
sangat mendukung adanya upaya rehabilitasi (pemulihan nama baik) terpidana
tersebut, sekaligus akan mengurangi kemungkinan adanya balas dendam dari
korban, keluarganya atau masyarakat. Keuntungan sanksi ganti kerugian juga
dapat menguntungkan korban tindak pidana. Sanksi ganti kerugian dapat
membantu usaha mengembalikan kondisi pada awal kejadian pada saat beum
36 Dwidja Priyatno,, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, cet. Pertama,
Bandung: PT Refika Aditama, juni, 2006. h. 62. 37 Jocelynne A Scutt, Victim Offender And Restitution: Real Alternatifs Or Penance,
Australia Law Jurnal, Vol. 56, April 1982, h. 194.
53
terjadi tindak pidana pada korban. Korban bisa mendapatkan kembali apa yang
menjadi miliknya.
Sanksi ganti kerugian selama ini sering dilaksanakan untuk menyelesaikan
konflik, tetapi tidak sebagai sanksi formal. Penyelesian didasarkan pada kedua
belah pihak, mereka sama-sama menghendaki tindak pidana yang terjadi tidak
diteruskan ke pihak yang berwenang. Tindak-tindak pidana yang sering
diselesaikan di luar peradilan karena adanya ganti kerugian adalah penganiayaan,
pelanggaran lalu lintas, perusakan dan berbagai bentuk tindak pidana ringan
lainnya.38
Hal yang perlu diperhatikan penting dalam pelaksanaan pembayaran
ganti kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan agar sistem pemberian
ganti kerugian dilaksanakan dengan sederhana dan singkat sehingga apa yang
menjadi hak korban dapat segera direalisasikan. Apabila jangka waktu yang
diperlukan untuk merealisasikan pembayaran ganti kerugian ini membutuhkan
waktu yang lama, dikawatirkan konsep perlindungan korban dalam kaitan
pembayaran ganti kerugian akan terabaikan.39
3) Rehabilitasi
Rehabilitisi mempunyai beberapa definisi dari berbagai perundang-
undangan. Dari beberapa definisi tersebut diantaranya yang terdapat pada pasal 1
butir 23 KUHAP dan pasal 1 Angka 30 UU No 9 Tahun 1976 Tentang
38 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, cet. Pertama,
Bandung: PT Refika Aditama, juni, 2006. h. 355. 39 Didik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindunngan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h.169.
54
Narkotika, juga yang terdapat pada Pasal 1 Angka 31 UU Nomor 31 Tahun 1997
Tentang Peradilan Militer, Definisi rehabilitasi juga ditemukan pada Pasal 35 UU
Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. yang
kesemuanya berfokus pada:40
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya
dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya sehingga dapat
menyesuaikan dan meningkatkan kembali keterampilannya, pengetahuannya
serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup yang di atur menurut cara yang
diatur dalam undang-undang.”
Pengertian di atas memberikan pengertian bahwa rehabilitasi sebagai hak
seorang terdakwa untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya. Rehabilitasi di dalam KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana) hanya terdapat pada satu pasal, yaitu
pasal 97.41 Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan di
putus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah
mempunyai hukum tetap
Rancangan KUHP baru dalam rumusannya pasal 105-102 terdapat salah
satunya tindakan rehabilitasi yang lebih ditekankan bagi tindak pidana yang
kecanduan alkohol, obat bius, obat keras narkotika. Pada penjabarannya di
tuliskan tindakan rehabiltitas pertama, pengenaan tindakan rehabilitasi dijatuhkan
40 A. Hamzah, KUHP dan KUHAP, cet- kedua Jakarta: PT. Rineka Cipta, Juni, 1992, h. 233. 41 A. Hamzah, KUHP dan KUHAP, cet- kedua Jakarta: PT. Rineka Cipta, Juni, 1992, h. 271.
55
kepad tindak pidana yang kecanduan alkohol, obat bius, obat keras narkotika,
yang mengidap kelainan seksual, atau yang mengidap kelainan jiwa. Kedua,
rehabilitasi dilaksanakan di dalam suatu lembaga pengobatan dan pembinaan,
baik swasta maupun pemerintah.42
4) Kerja Sosial
Pidana kerja sosial merupakan sanksi pidana alternatif pidana penjara
jangka pendek dan denda yang ringan. Pidana kerja sosial adalah salah satu jenis
pidana pokok yang diatur dalam pasal 65 dan 86 RUU KUHP 2010. Pidana kerja
sosial dapat diterapkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan denda
yang ringan. Sebagai salah satu sanksi alternatif yang sekiranya mampu mencapai
tujuan dalam konsep pemidanaan yaitu: untuk memperbaiki pribadi dari penjahat
itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-
kejahatan, untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan
kejahatan yang lain, yakni penjahat dengan cara- cara yang lain sudah tidak dapat
diperbaiki lagi.43
Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penjatuhan
pidana kerja sosial adalah harus ada persetujuan terdakwa sesuai dengan
ketentuan dalam forced labour convention (geneva convention 1930), the
convention for the protection of human rights and fundamental freedom (treaty of
42 Bambang Waluyo, Pidana dan pemidanaan, cetakan ke-tiga, Jakarta: Sinar Grafika, juni,
2008. h. 25. 43 P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, , Hukum Penitensier, Cet.II, Jakarta: Sinar Grafika,
2012. h. 11
56
rome 1950), the abolition of forced labour convention (the geneva convention,
1957) dan the international covenant on civil and political rights (the new york
convention, 1966). Pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai
pidana (work as a penalty), oleh karena itu pelaksanaan pidana ini tidak boleh
mengandung hal-hal yang bersifat komersial. Riwayat sosial terdakwa diperlukan
untuk menilai latar belakang terdakwa serta kesiapan yang bersangkutan baik
secara fisik maupun mental dalam menjalani pidana kerja sosial. Pelaksanaan
pidana kerja sosial dapat dilakukan di rumah sakit, rumah panti asuhan, panti
lansia, sekolah, atau lembaga-lembaga sosial lainnya, dengan sebanyak mungkin
disesuaikan dengan profesi terpidana.44
Pidana kerja sosial atau dalam istilah asing sering disebut sebagai
community service orders (CSO) adalah bentuk pidana dimana pidana tersebut
dijalani oleh terpidana dengan melakukan kerja sosial yang ditentukan. Sehingga
pidana kerja sosial ini adalah pidana alternatif dari perampasan kemerdekaan
jangka pendek yang dilakukan dengan berdasarkan hitungan jam tertentu dan
dilakukan tanpa bayaran.45
Pidana kerja sosial termasuk jenis pidana baru yang
apabila nanti diterapkan oleh pemerintah sebagai salah satu jenis pidana di
Indonesia. Kerja sosial yang sejatinya mungkin akan dilaksanakan di Indonesia
seharusnya selalu melihat keadaan dan kemanfaatan yang akan didapat dari
44 Niniek Suparni, Eksistensi pidana denda dalam sistem pidana dan pemidanaan, Jakarta:
Sinar Grafika, cet-kedua, juli 2007. h. 36 45 Tongat,, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta :
Djambatan, 2001, h. 7.
57
sanksi tersebut. Sanksi yang dijalanai dalam kerja sosial juga harus rinci dan
jelas, agar pelaku dapat menjalni hukuman sesuai dengan kemampuan yang sudah
diatur oleh pengadilan. Sanksi ini juga seharusnya mampu memberi efek jera bagi
pelaku, dan dijalankan dengan ketat oleh pelaku yang diawasi oleh para
pengawas, supaya pelaku tidak akan mengulangi tindak pidana dikemudian hari.
Dalam hal pidana kerja sosial dijatuhkan, haim harus mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
Pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; Usia layak
kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; Persetujuan
terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tuuan dan segala hal yang berhubungan
dengan pidana kerja sosial; Riwayat sosial terdawa; Perlindungan keselamatan
kerja terdakwa; Keyakinan agama dan politik terdakwa; dan Kemampuan
terdakwa membayar denda.
Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama dua ratus empat puluh jam bagi
terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas, dan seratus dua
puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
paling singat 7 (tujuh) jam. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan memperhatikan kegiatan
terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau kegiatan lain yang
bermanfaat. Apabila terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban
menjalankan pidana kerja sosial tanpa ada alasan yang sah, maka terpidana
diperintahkan untuk: Mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial
58
tersebut; menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan
pidana kerja sosial tersebut; atau membayar seluruh atau sebagian pidana denda
yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai
pengganti denda yang tidak dibayar. 46
B. Putusan Hakim
1. Kronologi peristiwa atau kejadian
Kejahatan berupa pencurian yang dilakukan bedasarkan putusan
pengadilan pengadilan Negeri Bengkulu NO: 255 / Pid.B / 2010 / PN.BKL.
Untuk dapat melihat bagaimana tindak pidana yang tergolong ke dalam tindak
pidana ringan dengan perkara pencurian ini terjadi dilakukan, berikut ini
merupakan kronologi peristiwa pencurian yang dilakukan oleh pelaku:
a. Bahwa pada hari senin tanggal 26 April 2010 sekitar pukul 19.00 WIB di
Perumdam RT. 04 Kel. Kandang Mas Kec. Kampung Melayu Kota Bengkulu,
Terdakwa mengambil satu buah sandal merk Converse; awalnya terdakwa
hendak bermain bersama dua temannya dan tidak menggunakan sandal jepit.
b. Bahwa terdakwa melihat ada sandal jepit yang terletak di teras depan pintu
yang sedang tertutup dan rumah tersebut tidak berpagar; terdakwa menyuruh
temannya Bani untuk mengambil sandal jepit tersebut, namun Bani tidak
46 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, cet. Pertama,
Bandung: PT Refika Aditama, juni, 2006. h. 58.
59
berani, terdakwa mendekati sandal jepit tersebut lalu langsung mengambilnya
dan dipakai oleh terdakwa;
c. Bahwa sandal jepit milik terdakwa siberikan kepada saksi Bani, kemudian
terdakwa bersama Bani dan Wahyu lalu kabur meninggalkan rumah korban.
Dari gambaran kronologi tersebut di atas, pelaku melakukan aksinya
seorang diri. Fokus dari putusan tersebut adalah Shodiq Mumtazum als Shodiq
als Tayun bin Gunadi merupakan pelaku utama.
2. Tuntutan Jaksa
Atas perbuatan Shodiq Mumtazum als Shodiq als Tayun bin Gunadi,
maka jaksa penuntut umum mendakwakan :
a. Bahwa perbuatan tersebut dianggap telah melakukan tindak pidana pencurian
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 362 KUHP yang
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur “setiap orang” Menimbang, bahwa yang dimaksud “setiap orang adalah
semua orang selaku subjek hukum yang mampu melakukan perbuatan hukum
dan mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum;
2. Unsur “mengambil suatu barang” Menimbang, bahwa yang dimaksud
mengambil suatu barang adalah membawa atau memindahkannya sesuatu
barang dari suatu tempat ke tempat lain yang sebelumnya tidak dalam
penguasaannya menjadi dalam penguasaannya;
3. Unsur “yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain” Menimbang bahwa
satu pasang sandal warna hitam lis merah merk Converse bukan milik
60
terdakwa Shodiq Mumtazum als Shodiq als Tayun bin Gunadi, melainkan
milik korban Husnan bin Munir;
4. Unsur “dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum” Menimbang,
bahwa satu pasang sandal warna hitam lis merah merk Converse tersebut
dilakuakn secara sadar dengan maksud dan tujuan yang pasti yaitu digunakan
untuk kepentingan sendiri dan dilakukan tanpa seijin yang berhak yaitu saksi
Husnan bin Munir sehingga bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur-unsur dari pasal 362 KUHP
telah terpenuhi, maka kepada terdakwa dapat dinyatakan secara sah dan
menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencurian”. Dari dakwaan
tersebut di atas, jaksa menuntut Shodiq Mumtazum als Shodiq als Tayun bin
Gunadi agar mempertanggungjawabkan atas perbuatannya dan meminta kepada
tim hakim pengadilan Negeri Bengkulu yang mengadilinya dengan fonis kepada
terdakwa dengan hukuman penjara dua bulan.
3. Putusan Hakim
Dalam putusan pengadilan Negeri Bengkulu yang di bacakan pada hari
Senin tanggal 28 Juni 2010 dengan Nomor: 255/ Pid.B / 2010 / PN.BKL
terdakwa dengan nama Shodiq Mumtazum als Shodiq als Tayun bin Gunadi;
tempat lahir Temanggung; umur/ Tanggal 15 tahun/ 13 Juli 1994; jenis kelamin
laki-laki; kewarganegaraan Indonesia yang bertempat tinggal di Jl. RE.
61
Martadinata RT. 04 RW. 06 Kel. Muara Dua Kec. Kampung Melayu Kota
Bengkulu; agama Islam; dan pekerjaan sebagai pelajar di MTs Kelas VII.
Menyatakan terdakwa Shodiq Mumtazum als Shodiq als Tayun bin
Gunadi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “pencurian”. Hal tersebut dikatakan oleh hakim anak A. Sumardi, SH,
M.Hum. dalam pembacaan fonis terhadap terpidana Shodiq Mumtazum als
Shodiq als Tayun bin Gunadi di pengadilan Negeri Bengkulu. Dalam putusannya
mengatakan, terdakwa secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP
tentang tindak pidana pencurian.
Terdakwa terbukti melakukan pencurian dengan mengambil barang milik
orang lain, sehingga terdakwa difonis selama satu bulan, dan adapun yang dapat
meringankan hukuman tersebut, dengan hakim menyatakan beberapa alasan
antara lain: terdakwa masih anak-anak (lima belas tahun) dimungkinkan masih
bisa dibina; terdakwa belum pernah dihukum; terdakwa bersikap sopan dalam
persidangan dan mengakui terus terang perbuatannya; keluarga terdakwa sudah
melakukan perdamaian dengan korban dan sudah membayar ganti rugi atas
kerugian korban; serta terdakwa masih berstatus sebagai pelajar.
4. Analisa Putusan Hakim Menurut Hukum Positif
Jika di pandang dari sudut pandang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) atas putusan Pengadilan Negeri Bengkulu atas perkara No: 255 / Pid.B /
2010 / PN.BKL. Tindak pidana pencurian yang dilakukan Shodiq Mumtazum als
Shodiq als Tayun bin Gunadi belum sesuai dengan amanat Undang-undang yang
62
berlaku di Indonesia. Dalam putusan tersebut terdakwa dijatuhi hukuman selama
satu bulan. Secara tegas dalam perkara tersebut terdakwa telah terbukti secara
meyakinkan melakukan perbuatan pencurian (pasal 362 KUHP) yang seharusnya
dihukum lima tahun penjara atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Karena tindakan yang dilakukan terdakwa adalah telah merugikan orang lain.
Meskipun kerugian yang ditimbulkan oleh terdakawa bernilai kecil namun
Pengadilan Negeri Bengkulu belum mampu memenuhi amanat yang tertera dalam
KUHP. Namun hakim memutuskan perkara tersebut juga dengan hal-hal yang
meringankan, diantaranya terdakwa masih anak-anak (lima belas tahun) dan
masih berstatus sebagai pelajar. Batas cakap hukum dalam menjatuhi hukuman
adalah tujuha belas tahun. Maka dari kasus di atas terdakwa belum dikatakan
cakap hukum atau masih dikatakan dalam kategori anak-anak dalam menjalani
hukuman.
Apabila mengkajinya menggunakan konsep restorative justice, kasus yang
menimpa terdakwa Shodiq Mumtazum als Shodiq als Tayun bin Gunadi
seharusnya tidak perlu sampai pada tingkat pengadilan. Dikarenakan sudah ada
keluarga terdakwa yang sudah melakukan perdamaian dengan korban dengan
membayar ganti kerugian atas kerugian yang diakibatkan oleh terdakawa kepada
korban. Pada konsep restorative justice penerapan pidana penjara bukanlah jalan
keluar yang terbaik bagi anak-anak yang bermasalah dengan hukum karena
63
pengaruhnya akan lebih buruk jika mereka dibina dalam lingkungan yang
bermasalah.47
Selain itu, tetap harus memperhatikan hak-hak asasi anak sebagai
tersangka. Oleh karena itu, sebisa mungkin anak-anak dijauhkan dari tindakan
penghukuman sebagaimana yang biasa diterapkan kepada pelaku dewasa. Perkara
dengan No: 255 / Pid.B / 2010 / PN.BKL sudah mencoba menyelesaikan kasus
ini dengan pembayaran kerugian sebagaimana yang dilakukan terdakwa dengan
mengambil sepasang sandal jepit merk Converse senilai delapan puluh ribu
rupiah. Juga barang bukti sepasang sandal jepit pun sudah dikembalikan kepada
Husnan bin Munir selaku korban. Penyelesaian kasus ini menggunakan konsep
restorative justice dapat dilakukan dengan memberi kesempatan kepada keluarga
terdakwa dan korban untuk duduk bersama dan memberi solusi terbaik selain
dengan jalan pidana penjara. Pemberian ganti kerugian ataupun rehabilitasi dapat
dilakukan pada terdakwa di samping pidana penjara yang dihadapi masih
mengingat mereka belum sempurna dikatakan cakap hukum. Seharusnya, aparat
penegak hukum pun bisa menilai dan memutuskan putusan dengan rasional yang
setimpal dengan apa yang akan menjadi ganjaran kepada pelaku guna
memberikan efek jera pada pelaku dan tidak mengulangi kejadian yang sama
dilain waktu.
47 Paulus Hadisuprapto, Hukum Pidana Dalam Perspektif, Denpasar, Bali: Pustaka Larasan,
Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas laiden, Universitas Griningen, 2012. h. 300.
64
BAB IV
Penerapan Restorative Justice Menurut Hukum Islam
A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Ringan Dengan Restorative
justice
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana restorative justice dapat
digunakan dalam kasus tindak pidana ringan. Sehubungan dengan hal tersebut maka
dalam perspektif islam juga memiliki konsep yang sama dengan restorative justice.
Makna keadilan saling berkaitan tidak hanya penting dalam pengertian yang abstrak,
tetapi juga memberi gambaran penjelasan bagi suatu pemahaman tentang aspek-aspek
keadilan yang bermacam-macam. Salah satunya memberikan keadilan kepada orang
yang melakukan tindak pidana dengan hukuman (ganjaran) yang setimpal dengan
tindak pidana yang dilakukannya. Namun hukuman selalu dikaitkan dengan keadilan
dan hak asasi manusia. Adalah dua konsep yang yang dinyatakan secara tidak
langsung secara abstrak “al-haq“, yang merupakan salah satu tujuan tertinggi dari
hukum.1uqūbah atau hukuman dalam islam adalah sanksi hukuman yang telah
ditentukan untuk kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah syarak (Allah
SWT dan rasul-Nya). Pada Hukum Islam hukuman terbagi atas beberapa bagian,
1 Majid,Khadduri, Teologi keadilan menurut islam, Surabaya: risalah gusti, 1999, h. 345.
65
diantaranya berdasarkan berat-ringannya hukuman, 2pertama, jarimah hudud; kedua,
jarimah kisas dan diat; serta yang terakhir, jarimah takzir.
a) Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan
menjadi hak Allah swt. atau segala bentuk tindak pidana yang telah ditentukan bentuk,
jumlah, dan ukuran hukuman semata-mata. Artinya tindak pidana hudud ini bersifat
terbatas, jenis hukumannya telah ditentukan, dan ukuran hukumannya pun tidak
memiliki batas terendah maupun tertinggi. Bentuk-bentuk jarimah yang termasuk ke
dalam hudud menurut ulama fiqih adalah: jarimah zina, jarimah qazdaf, jarimah
syurbul khamar, jarimah pencurian, jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah al-
Bagyu.
b) Jarimah kisas dan diat adalah tindak pidana yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap jiwa atau anggota tubuh seseorang, yaitu membunuh atau
melukai seseorang. Jarimah kisas dan diat merupakan hukuman yang merupakan hak
individu yang kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak memiliki batas minimal
atau maksimal. Pebedaan dengan hukuman had adalah banhwa had merupakan hak
Allah, sedangkan kisas dan diat adalah hak manusia (hak individu). Maksud dari hak
individu dalam hal ini bahwa hukumann tersebut bisa dimaafkan oleh korban atau
keluarganya yang akan lebih dijelaskan pada point selanjutnya. Tindak pidana yang
termasuk termasuk ke dalam tindak pidana kisas dan diat adalah: pembunuhan
2 Ahmad Wardi Muslich, pengantar dan asas hukum pidana islam (fiqih jinayah), Jakarta:
Sinar Garfika, September, 2004. h. 17.
66
disengaja, pembunuhan yang menyerupai disengaja, pembunuhan tersalah, pelukaan
disengaja, pelukaan tersalah.
c) Tindak pidana Takzir adalah hukuman yang belum di tetapkan oleh syara,
melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuan ataupun pelakasanaannya.
Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman sacara
global saja. Artinya, pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk
masing-masing jarimah takzir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman
dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Tujuan diberikannya hak
penentuan jarimah-jarimah takzir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar
mereka dapat mengatur masyarakat dan memilihara kepentingan-kepentingannya.3
Pentingnya pembagian tindak pidana menjadi hudud, kisas, diat, dan takzir
karena beberapa hal yaitu yaitu, pertama dari segi pengampunan hukuman. Pada
tindak pidana hudud tidak ada pengampunan secara mutlak, baik dari korban maupun
dari penguasa tertinggi (kepala negara). Karena itu, pengampunan yang diberikan oleh
salah satu dari keduanya akan sia-sia dan tidak berpengaruh, baik terhadap tindak
pidana yang diperbuat maupun terhadap hukuman tersebut. Adapun pada tindak
pidana kisas, pengampunan bisa diberikan oleh korban. Dalam hal ini, pengampunan
yang diberikan mempunyai pengaruh. Karena itu korban bisa memaafkan hukuman
kisas untuk diganti dengan hukuman diat sebagaimana juga bisa membebaskan pelaku
dari hukuman diat.
3 Ahmad Wardi Muslich, pengantar dan asas hukum pidana islam (fiqih jinayah), Jakarta:
Sinar Garfika, September, 2004. h. 19-20.
67
Mengenai tindak pidana kisas, kepala negara (penguasa tertinggi) tidak boleh
memberikan pengampunan karena pengampunan dalam tindak pidana ini hanya
dimiliki oleh korban atau walinya. Akan tetapi kalau korban tidak cakap (masih di
bawah umur atau gila) dan korban tidak memiliki wali, maka kepala negara yang
menjadi walinya. Dalam pidana takzir, pihak penguasa memiliki hak untuk
menngampuni pelaku tindak pidana dan hukuman sekaligus, dengan syarat tidak
mengganggu hak pribadi korban. Korban juga bisa memberikan pengampunan dalam
batas-batas yang berhubungan dengan hak-hak pribadinya. Seorang hakim mempunyai
kekuasaan yang luas pada tindak pidana takzir dalam mepertimbangkan keadaan-
keadaan yang meringankan serta peringanan hukuman.
Kedua, segi kekuasaan hakim, dalam pidana hudud apabila tindak pidana ini
sudah dapat dibuktikan. Hakim sudah harus melaksanakan hukuman yan telah
ditentukan, tanpa mengurangi, menambah, mengganti atau menunda pelaksanaannya.
Artinya, kekusaannya dalam tindak pidana hudud hanya terbatas pada pengucapan
(penetapan) putusan hukuman yang telah ditentukan. Begitu juga dalam tindak pidana
kisas, kekuasaan hakim hanya terbatas pada penjatuhan putusan yang telah ditetapkan
apabila perbuatan yang dituduhkan kepada pelaku telah dibuktikan. Apabila
mendapatkan maaf dari korban maka hakim harus menjatuhkan hukuman diat kepada
68
pelaku. Adapun pada tindak pidana takzir, hakim diberi kekuasaan yang luas untuk
menentukan jenis dan ukuran hukumannya.4
1) Berdasarkan niat pelaku di bagi atas jarimah yang disengaja dan jarimah yang tidak
disengaja. Jarimah yang disengaja, yaitu secara nyata terpidana bermaksud untuk
melakukan tindak pidana tersebut dan terpidana mengetahui bahwa perbuatan itu
tidak boleh (dilarang) dilakukan dan pelakunya diancam dengan hukuman.
Contohnya saja berniat untuk membunuh orang lain dengan segala sesuatu yang
sudah direncanakan. Sedanngkan, jarimah yang tidak disengaja, yaitu terpidana
tidak mempunyai niat sama sekali untuk melakukan tindak pidana tersebut.
Terjadinya tindak pidana ini karena kesalahan semata. Contohnya saja seseorang
berniat untuk berburu namun karena salah duga seorang tersebut menembak orang
lain yang dikiranya seekor hewan buruan.
2) Di lihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah terbagi atas:5 al-jarīmah ījābiyah
dan al-jarīmah salabiyah. Al-jarīmah ījābiyah (tindak pidana yang bersifat positif),
yaitu melakukan suatu perbuatan yang dilarang, seperti perampokan, perzinaan, dan
pemukulan. al-jarīmah al-salābiyah (tindak pidana yang bersifat negatif), berupa
sikap tidak mau melaksanakan suatu perbuatan yang diperintahkan, seperti
4 Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, jilid ke
I, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 101-102. 5 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h.
809.
69
keengganan saksi untuk mengemukakan kesaksiannya atau keengganan seseorang
membayar zakat.
3) Di tinjau dari segi objeknya, jarimah terbagi atas: tindak pidana perorangan dan
tindak pidana masyarakat. Tindak pidana perorangan, yaitu tindak pidana yang
pensyariatan hukumannya untuk menjamin kemaslahatan pribadi, meskipun
menyangkut hak pribadi namun didalamnya terkait kepentingan umum, contohnya
pembunhan, pemukulan dan jarimah takzir yang termasuk hak individu. Tindak
pidana masyarakat, yaitu tindak pidana yang pensyariatan hukumannya
dimaksudkan untuk memelihara kemaslahatan dan ketertiban masyarakat, baik
menjadi korban dalam tindak pidana adalah pribadi, masyarakat, maupun stabilitas
masyarakat dan keamanan mereka.
4) Di tinjau dari segi tabiatnya, jarimah terbagi atas: tindak pidana biasa dan tindak
pidana politik. Tindak pidana biasa, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politik. Tindak pidana politik,
menurut Muhammad Abu Zahra yaitu jarimah yang merupakan pelanggaran
terhadap peraturan pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap garis-
garis politik yang telah ditentukan oleh pemerintah.6
Hukum pidana konvensional dalam menghukum seseorang dengan apa
yang terdapat di dalam KUHP dengan berdasarkan dua jenis hukuman yang terbagi
atas hukuman pokok dan hukuman pengganti. Hukuman pengganti yang telah
6 Ahmad Wardi Muslich, pengantar dan asas hukum pidana islam (fiqih jinayah), Jakarta:
Sinar Garfika, September, 2004. h. 27.
70
dijelaskan pada bab sebelumnya merupakan konsep dari restorative justice yang
belaku dizaman modern dengan penggantian denda, ganti rugi, kerja sosial, serta
rehabilitasi. Hukum Islam pun memiliki jenis hukuman yang serupa dengan konsep
restorative justice. Pertama, hukuman pokok (al-uqûbah al-ashliyyah), yaitu
hukumann yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti hukuman kisas bagi
tindak pidana pembunuhan dan hukuman potong tangan bagi pencurian.
Kedua, hukuman pengganti (al-uqûbah al-badāliyyah), yaitu hukuman yang
menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan
karena alasan yang syar’i, seperti hukuman kisas yang berganti dengan hukuman diat,
layaknya hukuman penjara dengan menggunakan hukuman denda dalam hukum
konvensional. Ketiga, hukuman tambahan (al-uqûbah al-tabaiyyah), yaitu hukuman
yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri. Contohnya
larangan menerima warisan bagi pembunuh. Larangan menerima warisan ini adalah
konsekuensi atas penjatuhan hukuman mati terhadap pembunuh.
Keempat, hukuman pelengkap (takmīliyyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim contohnya,
mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong kelehernya, hukuman pengalungan
ini baru boleh dilakukan setelah dikeluarkannya putusan hukuman tersebut. Konsep
hukuman secara umum, tradisi hukum pidana berkembang dalam praktek setiap
masyarakat yang mengenal struktur kekuasaan. Praktek memberikan hukuman kepada
setiap pelanggaran yang bersifat publik terdapat dalam setiap masyarakat. Hal ini
71
merupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa di mana ada masyarakat, di sana
ada hukum.7
Dari gambaran betuk-bentuk pidana dalam Hukum Islam di atas dapat
disimpulkan konsep pemidanaan dalam tradisi islam itu meliputi pidana atas jiwa
anggota badan, atas harta dan atas kemerdekaan. Keempat konsep pidana tersebut
merupakan sanksi yang bersifat hukuman. Akan tetapi sebagai sanksi hukum, keempat
jenis pidana di atas tidak murni bersifat pidana seperti yang dipahami dalam konsep
barat modern. Dalam tradisi islam mengenai sanksi hukuman, terdapat dua keunikan
sekaligus. Pertama konsep sanksi hukum itu mempunyai kaitan dengan sanksi agama
dan kedua, konsep sanksi hukum itu sendiri mempunyai dua sifat sekaligus, yaitu
pidana dan perdata. Contohnya pada hukuman kisas, maka hak korban untuk menuntut
sangat didahulukan namun dalam menjalankan hukuman tersebut harus mementingkan
kepentingan hak pelaku selaku pribadi yang ingin di kisas.
Selain itu, yang juga menarik pengelompokan bentuk-bentuk pidana tersebut
terjadi karena dalam tradisi pemikiran Hukum Islam, jenis-jenis kejahatan
dikelompokkan dengan kriteria hak yang dilanggar antara hak Allah atau hak manusia.
Konsep hukuman yang dinyatakan dalam Al-Quran itu sendiri dipahami sebagai
hukuman yang pasti dan tidak dapat berubah. Karena itulah, pidana kisas dan diat
dikelompokkan secara tersendiri, dan begitu pula dengan pidana had dan pidana takzir.
Tetapi menurut Fazlur Rahman, guru besar studi islam pada University of Chicago,
7 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-Bentuk
Pidana Dalam Tradisi Huku Fiqh Dan Relevansinya Bagi Usaha Pembahuan KUHP Nasional,
Bandunng: Angkasa, 1996. h.53.
72
konsep Al-Quran sendiri mengenal sanksi hukum terutama sanksi pidana. Sebenarnya
berpusat kepada konsep “had” yang berarti mencegah atau memisahkan sesuatu dari
yang lain, yang pada intinya sebagaimana dikemukakan juga oleh para ahli hukum
(fuqaha) masa lalu, mengandung prinsip pencegahan (deterrence) dan pembinaan
(reformation).8
Khusus mengenai konsep restorative justice dalam Hukum Islam dapat
diterapkan pada pidana kisas dan diat dan pidana potong tangan pada tindak pidana
pencurian dengan takzir, pada pidana kisas yang daya ancamannya memang khas
untuk delik-delik yang membahayakan keselamatan jiwa dan badan manusia yang
sangat dilindungi dalam islam. Tradisi kisas berasal dari tradisi Yahudi dan diat dari
tradisi Nasrani, yang dengan pandangan yang lebih manusiawi dikembangkan secara
seimbang dalam tradisi al-quan baik dalam rangka kepentingan korban maupun
kepentingan pelaku kejahatan.9 Konsep ini pula yang serupa dengan konsep
restorative justice dalam hukum konvensional yang menyeimbangkan kepentingan
korban juga kepentingan pelaku.
Konsep kisas yang menekankan prinsip pembalasan pada zamannya berhasil
dibangun oleh Nabi Musa secara adil, tertib dan tentram. Hanya kemudian dizaman
sesudahnya, yaitu diZaman Nabi Isa, pelaksanaan hukum kisas sendiri cenderung
berubah dari hakikatnya sebagai hukum yang menciptakan keseimbangan hidup dalam
8 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-Bentuk
Pidana Dalam Tradisi Huku Fiqh Dan Relevansinya Bagi Usaha Pembahuan KUHP Nasional,
Bandunng: Angkasa, 1996. h. 119. 9 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-Bentuk
Pidana Dalam Tradisi Huku Fiqh Dan Relevansinya Bagi Usaha Pembahuan KUHP Nasional,
Bandunng: Angkasa, 1996. h. 121.
73
masyarakat. Sikap Yahudi yang kental dengan balas dendam, kekasaran, permusuhan,
dan penindasan dirubah dengan ajaran kasih sayang dari Nabi Isa. Dalam
hubungannya dengan masalah hukum, Nabi Isa melalui Injil yang dibawanya,
memperkenalkan kepada masyarakat bani Israel ajaran baru dengan memaafkan setiap
kejahatan yang dilaukan orang lain. Ajaran pemberian maaf itu, dilengkapi pula
dengan suatu konsep hukum baru yang disebut dengan diat (denda), mengiringi
pemberian maaf. Artinya, setiap korban kejahatan dianjurkan untuk bersabar dan
memaafkan pelaku delik dengan memberikan hak menurut denda (diat) sebagai ganti
rugi akibat penderitaan yang dialami, akibat kejahatan yang dilakukan pelaku delik.
Namun demikian, dalam perjalanan waktu sepeninggal Nabi Isa, baik tradisi
kisas maupun diat berkembang dalam praktek-praktek yang dekaden. Kisas berubah
dari hakikatnya sebagai bentuk pidana yang berusaha menciptakan keseimbangan
dalam masyarakat menjadi alat legitimasi balas dendam dan diat berada dalam konteks
ajaran pemaaf dan kasih sayang yang berusaha melindungi kepentingan korban,10
berubah menjadi alat yang melidungi kepentingan kaum Borjuis dan kaya dan
memperlakukan kaum lemah secara semena-mena. Islam yang diajarkan oleh
Muhammad melalui Al-Quran yang diwahyukan oleh Allah, justru berusaha
meluruskan kembali tradisi ajaran yang telah diwahyukan sebelumnya itu sesuai
dengan hakikat semula. Alquran lebih menyederhanakannya dalam pelaksanaannya.
10 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-Bentuk
Pidana Dalam Tradisi Huku Fiqh Dan Relevansinya Bagi Usaha Pembahuan KUHP Nasional,
Bandunng: Angkasa, 1996. h. 128.
74
Beban yang diancamkan dalam hukum kisas dan diat itu ditentukan secara lebih ringan
daipada ketentuan-ketentuan sebelumnya.
Berbagai tradisi hukum yang dikembangkan oleh islam, bersifat lebih ringan
dari praktek sebelumnya. Karena itu, dalam studi filsafat Hukum Islam dikenal adanya
prinsip taqliq al-takalif (meringankan beban). Adanya prinsip ini didasarkan pada
maksud dari surat Al-Baqarah ayat (286) yang berarti :11
“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupan. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang di usahakannya, dan ia
mendapat siksa (dari kejahatannya) yang dikerjakan.”
Karena itu, ketentuan Al-Quran mengandung prinsip yang lebih meringankan
beban hukum bagi umat Islam bila dibandingkan dengan beban-beban hukum yang
dipikulkan kepada umat-umat yang terdahulu.
Oleh karena itu, dalam persoalan kisas dan diat pun menjadi disederhanakan
kepada terpidana. Konsep diat (denda) dalam tradisi Islam adalah denda yang harus
dibayar oleh terpidana kepada korban atau keluarganya sebagaimana yang dinyatakan
dalam surat Al-Baqarah ayat (178):
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
11 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-Bentuk
Pidana Dalam Tradisi Huku Fiqh Dan Relevansinya Bagi Usaha Pembahuan KUHP Nasional,
Bandunng: Angkasa, 1996. h. 129
75
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi
ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih.”
Selanjutnya pada pidana potong tangan pada tindak pidana pencurian
sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Maidah ayat (38) dalam ayat ini disebutkan
“Laki-laki yang mencuri maunpun perempuan yang mencuri potpnglah
tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang ,mereka lakukan dan sebagai
siksaan dari allah. Dan allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Bentuk pidana potong tangan tersebut dalam ayat di atas pelaksanaannya
pidananya bersifat gradual. Pertama kali dipotong kaki kiri. Apabila ternyata yang
bersangkutan mengulangi lagi perbuatann yang sama, maka yang dipotong adalah
tangan kiri, dan dengan demikian seterusnya dipotong kaki kanan.12
Dasar pengertian
dari pencurian adalah mengambil harta orang lain yang terpelihara secara sembunyi-
sembunyi.13
Syarat-syarat untuk mengenakan had potong tangan dalam kasus
pencurian menurut sayyid Sabiq terdiri dari syarat mengenai pencurinya, syarat
12 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-Bentuk
Pidana Dalam Tradisi Huku Fiqh Dan Relevansinya Bagi Usaha Pembahuan KUHP Nasional,
Bandunng: Angkasa, 1996.h. 74. 13 Abdul azis dahlan, ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: ichtiar baru van hoeve, 1996, h. 1389
76
mengenai barang yang dicuri, dan syarat mengenai tempat penyimpanan barang yang
dicuri.14
Sedangkan syarat ketiga adalah syarat yang menyangkut tempat
penyimpanan, yaitu bahwa baranng yang dicuri haruslah memang benda yang
dipelihara, disimpan, dijaga, atau lazimnya dianggap sedang berada dalam
pengawasan dan penjagaan oleh pemiliknya.15
Pencurian dapat dibuktikan dengan
salah satu dari dua cara pembuktian berikut16
.Pengakuan pelaku bahwa dirinya telah
melakukan pencurian. Pelaku mengakui perbuatannya bukan disebabkan karena
adanya tekanan dengan sebab apapun, melainkan kerana kehendaknya sendiri. Jika
pelaku menarik kembali pengakuannya sebelum dikenakan had mencuri kepadanya,
maka tangannya tidak dipotong, tetapi pelaku harus mengganti barang yang dicurinya.
Dan kesaksian dua orang saksi adil yang bersaksi bahwa pelaku telah melakukan
pencurian.
Apabila suatu kasus pencurian memenuhi ketiga persyaratan di atas, maka
pelakunya dipidana potong tangan dan dihukum mengembalikan barang curiannya
kepada pemiliknya, dalam hal pencurian yang tidak memenuhi salah satu syarat dari
ketiga sayarat di atas, maka kepada pelakunya tidak dikenakan pidana had potong
tangan, sebagaimana dinyatakan dalam hadis rasulullah yang diriwayatkan dari jabir
14 Lihat Asadulloh, Al Faruq, Hukum pidana dalam sistem Hukum Islam, penerbit Ghia
Indonesia, Oktober 2009. h. 34. 15 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-Bentuk
Pidana Dalam Tradisi Huku Fiqh Dan Relevansinya Bagi Usaha Pembahuan KUHP Nasional,
Bandunng: Angkasa, 1996. h. 91. 16 Asadulloh, Al Faruq, Hukum pidana dalam sistem Hukum Islam, penerbit Ghia Indonesia,
Oktober 2009. h. 33.
77
bahwa “penipu, perampas, dan pencopet tidaklah di kenakan pidana potong tangan”
(riwayat Ashabu Al-Sunnah, Hakim, Baihaqi, dan dibenarkan oleh Tirmindzi dan Ibn
Hibban). Tindakan mengambil harta atau barang orang lain tanpa hak, tetapi tidak
mencukupi syarat sebagai pencurian yang dikenal dalam pidana had potong tangan
sebagaimana disebutkan di atas. Pencuri yang tidak memenuhi syarat untuk dipidana
potong tangan tersebut dapat dikatakan pencurian ringan.
Rasulullah terhadap kasus semacam ini pernah mengenakan sanksi
mengembalikan barang curiannya dengan denda dua kali harga barang yang dicuri.
Dengan kasus yang lain juga beliau pernah mengenakan hukuman pemukulan kepada
pencuri, selain denda dua kali lipat dari harga curian.17
Dari peristiwa-peristiwa di
atas, dapat diketahui bahwa terhadap kasus pencurian ringan, jika barang yang dicuri
tidak mencapai batas nisab, maka pidana yang diancamkan juga ringan yaitu dengan
ganti rugi dan pidana pemukulan badan sebagai peringatan atau diganti dengan
takzir18
.
Menurut Hukum Islam, kasus yang menimpa Shodiq Mumtazum siswa MTs
kelas tiga di Bengkulu adalah satu kasus tindak pidana ringan dengan tindak pidana
pencurian (al-Sariqah) sepasang sandal jepit. Kasus yang menimpa Shodiq dalam
Hukum Islam bisa dikenakan jarimah potong tangan. Namun dalam menjalankan
17 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-Bentuk
Pidana Dalam Tradisi Huku Fiqh Dan Relevansinya Bagi Usaha Pembahuan KUHP Nasional,
Bandunng: Angkasa, 1996. h. 92. 18 Abdur Rahman I Doi, Shari’ah, the islamic law, jakarta: PT Rineka cipta, januari 1992. h.
65.
78
hukuman potong tangan ada beberapa persyaratan yang diperlukan diantaranya dalam
kasus Shoqiq mumtazum adalah:
1) Pengambilan barang itu dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-
sembunyi. Syarat ini masuk dalam salah satu syarat dari beberapa sayarat yang lain
dalam potong tangan. Karena pada kasus ini pelaku pengambil barang yang berupa
sandal sepasang sandal jepit yang diambil secara diam-diam tanpa izin dari pemilik
sandal tersebut selaku korban Husnan Bin Munir. Pada saat itu Husnan sedang
menonton tv dan tidak tahu bahwa sandal yang dilettakkan di teras rumahnya hilang.
2) Yang dicuri itu bernilai. Bahwa pada kasus ini sepasang sandal jepit
converse yang dicuri oleh pelaku adalah bernilai delapan puluh ribu rupiah (Rp
80.000,00). Dalam Hukum Islam batas nisab untuk dikenakannya had potong tangan
adalah sebesar seperempat dinar. Bila dihitung dengan emas maka nisab tersebut
mencapai 1,125 gram emas. Maka apabila emas itu ditukarkan dalam bentuk rupiah
maka nilainya adalah empat ratus lima puluh ribu rupiah. Alhasil maka tersangka tidak
memenuhi syarat untuk menjalankan hukuman had potong tangan.
3) Pelaku adalah mukhalaf, dalam hal ini Rasulullah menyatakan19
”
pembenanan hukum diangkat dalam tiga hal, yaitu anak kecil sampai ia mimpi, orang
gila sampai ia sembuh, dan orang tidur sampai ia bangun” oleh karena itu, orang
yang yang belum cakap bertindak hukum tidak bisa dikenakan hukuman pencurian. Di
samping itu, ulama mazhab Syafi’I dan Hambali menambahkan syarat orang yang
mencuri tersebut haruslah atas kesadaran sendiri. Shodiq dikategorikan kedalam orang
19 Abdul azis dahlan, Jakarta: ichtiar baru van hoeve, 1996, h. 1391.
79
yang belum cakap hukum namun apabila dilihat dari umur pelaku mayoritas Fuqaha
membatasi usia minimal lima belas tahun untuk laki-laki dan permpuan20
maka shodiq
dikatakana baliq. Perbutannya pun diakuinya dengan kesadaran sendiri tanpa ada
paksaan dari pihak luar.
Ketiga syarat yang tertera dalam persyaratan had potong tangan dengan
terdakwa Shodiq Mumtazum belum bisa dilakukan. Karena shodiq belum benar-benar
memiliki kecakapan hukum. Maka dari itu hukuman had potong tangan apabila
dengan konsep restorative justice maka perbuatan Shodiq Mumtazum yang seharusnya
dikenakan potong tangan namun dengan kecakapan hukum yang belum sempurna
maka konsep restorative justice dapat digunakan dengan memberikannya hukuman
berupa merehabilitasi dengan tujuan melindungi masyarakat untuk mendidik dan
member efek jera pada pelaku ataupun pembayaran diat.
Kiranya shodiq mumtazum dikenakan had potong tangan maka konsep
restorative justice yang diberlakukan adalah dengan sanksi takzir, Allah memberikan
keringanan tersebut kepada pelaku sesuai dengan sabda Rasulullah SAW
21“Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga jenis orang: (1) anak kecil sampai ia
balig, (2) orang tidur sampai ia bangun, (3) orang gila sampai ia sembuh”. Dasar
peringanan hukuman tersebut sama dengan konsep restorative justice dalam hukum
pidana, yaitu dengan membayar ganti rugi atau diat kepada korban dengan membayar
20 Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy,
Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 258. 21 Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy,
Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 63.
80
dua kali lipat dari kerugian yang dilakukan terdakwa terhadap korban. Jika menurut
hukum pidana islam yang mengklasifikasikan pencurian berdasarkan jenis
perbuatannya dengan ada tidaknya unsur mengambil secara diam-diam sebagai
indikatornya, maka hal ini merupakan upaya untuk menemukan kebenaran materiil.
Menurut hukum pidana konvensional dalam sistem peradilan pidana khususnya
Indonesia, hal yang paling mendasar dalam sistem peradilan pidana adalah untuk
menemukan kebenaran meteriil, baik dalam hukum acara pidananya maupun hukum
materiilnya yang termaktub dalam pasal perpasal dalam KUHP. Tentu saja dengan
penegakkan hukum yang benar dan sesuai dengan undang-undang, maka sudah boleh
dikatakan hukum dapat bekerja sebagaimana mestinya, bukan hanya sebagai fungsi
kontrol dan fungsi rekayasa belaka akan tetapi hukum telah selangkah lebih maju
yakni, hukum telah berfungsi sebagai penegak kedilan yang pada dasarnya keadilan di
sini dipahami sebagai nilai-nilai yang diyakini dan hidup dalam masyarakat dalam
pengertian yang universal.22
Upaya restoratif Hukum Islam dalam tindak pidana pencurian adalah dengan
melibatkan korban atau dalam hal ini keluarga korban, pelaku, serta hakim sebagai
representasi dari masyarakat untuk proses mediasi dan eksekusi. Keluarga korban
sebagai orang yang terkena dampak secara langsung atas terjadinya tindak pidana
pencurian memiliki kewenangan untuk menentukan sanksi terhadap pelaku berupa
22
Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan
Pendekatan Keadilan Restoratif, Semarang :Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2012, h. 68.
81
hukum potong tangan ataupun diat, ataupun pemaafan tanpa diat sekalipun. Pelaku
dalam hal ini sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas kerugian yang telah
ditimbulkan diharuskan memiliki kerelaan untuk bertanggungjawab dengan memenuhi
permintaan dari korban, hakim disini sebagai representasi masyarakat dapat bertindak
sebagai mediator dan pengawas bahkan pelaksana eksekusi jika dalam musyawarah
tersebut korban menginginkan dilaksanakan hukuman potong tangan.
Diat merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok kisash yang
diharapkan mampu memulihkan kerugian yang dialami oleh keluarga korban dengan
terbunuhnya anggota keluarganya. Demikian pula diat dalam tindak pidana pencurian
juga pengganti dari hukuman pokok potong tangan. Konsep diat inilah yang kemudian
menjadikan Hukum Islam menjadi lebih dinamis dalam rangka untuk memperoleh
keadilan. Dalam hukum konvensioal konsep diat hampir sama dengan restitusi atau
denda. Restitusi adalah denda yang harus dibayarkan untuk mengganti atas kerugian
yang telah ditimbulkan. Selain itu diat bagi pelaku merupakan bentuk
pertanggungjawaban yang harus dipenuhi atas kerugian yang ditimbulkannya. Akan
tetapi lebih dari itu, proses dialog antara korban dan pelaku dalam penyelesaian
perkara pidana diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran pada pelaku atas
tindakannya, sehingga keadilan restoratif bukanlah semata-mata bertumpu pada
pemulihan korban, akan tetapi juga dapat memberikan kesadaran pada pelaku dan
lebih meningkatkan peran serta mensyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
menciptakan suasana yang tertib dan aman.
82
B. Relevansi Tinjauan Hukum Islam Dan Diversi Terhadap Restorative justice
Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan
pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang
bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Berjalannya proses
peradilan adalah untuk mencapai keadilan yang bukan hanya berhenti pada pemberian
sanksi pidana pada pelaku sebagai pembalasan atas kerusakan yang dilakukan, akan
tetapi proses peradilan diharapkan mampu untuk memulihkan kerugian yang dialami
korban kepada posisi semula dimana kejahatan belum terjadi. Itulah yang kemudian
menjadi idaman masyarakat dunia saat ini yang merasa tidak puas dengan sistem
peradilan pidana yang ada karena tidak memberikan ruang bagi korban untuk terlibat
secara langsung dalam proses penyelesaian perkara pidana.23
Konsep keadilan restoratif memiliki perbedaan mendasar dengan konsep
keadilan retributif yang menjiwai sistem peradilan pidana dimayoritas negara.
Keadilan retributif memandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata atau mutlak
yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku tindak pidana. Fokus
perhatian keadilan retributif yaitu kepada pelaku melalui pemberian derita, dan kepada
masyarakat melalui pemberian perlindungan dari kejahatan berbeda dengan keadilan
restoratif yang lebih menekankan pada pemulihan serta memberikan fokus perhatian
kepada korban, pelaku, dan masyarakat terkait.
23 Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan
Pendekatan Keadilan Restoratif, Semarang :Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2012, h. 71.
83
Konsep keadilan restoratif tidak akan terwujud tanpa adanya upaya restoratif,
upaya restoratif dapat dipahami sebagai upaya yang menggunakan konsep keadilan
restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu kesepakatan dari antara
para pihak yang terlibat. Kesepakatan ini merupakan kesepakatan para pihak agar
mencapai pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat atas kerugian yang timbul
dari tindak pidana yang terjadi. Hasil kesepakatan tersebut dapat berbentuk sejumlah
program seperti restitusi, community service, rehabilitasi dan pidana alternatif lainnya
seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Berbeda dengan hukum pidana konvensional yang memandang tindak pidana
murni terlepas dari penyelesaian yang bersifat perdata, Hukum Pidana Islam
memandang setiap tindak pidana didalamnya terdapat unsur keperdataan antara korban
dan pelaku yang akan mempengaruhi proses hukuman yang akan diberikan kepada
pelaku. Aturan ini lebih lanjut pada asas kepatrian hukum yang senantiasa berpijak
apada asas pada aturan legalitas aturan yang diundangkan dalam hukum pidana positif,
tidak jauh berbeda dengan Hukum Pidana Islam yang juga berpijak pada asas legalitas
yang aturannya berpatokan pada Al-Quran dan Sunnah.24
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat pentingnya konsep keadilan restoratif
dalam sistem peradilan pidana konvensional maupun dalam hukum pidana islam.
Meskipun konsep keadilan restoratif saat ini hanya bisa digunakan pada delik-delik
pidana tertentu, akan tetapi pandangan Hukum Islam yang memungkinkan adanya
24 Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan
Pendekatan Keadilan Restoratif, Semarang :Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2012. h. 74.
84
diversi dari kisas ke diat juga hukum potong tangan ke-takzir diharapkan menjadi
pijakan dalam penyelesaian perkara pidana untuk lebih memperhatikan kepentingan
korban dalam rangka pemulihan atas kerugian yang diderita.
Diversi dalam keadilan restoratif melalui sistem peradilan pidana bisa dilihat
dalam tiga tahap yaitu tahapan pra-adujikasi, ajudikasi, dan purna-ajudikasi. Pada
tahap pra ajudikasi pendekatan keadilan restoratif ditawarkan dalam fase awal proses
peradilan pidana, kalau dalam sistem peradila pidana di Indonesia yaitu proses
peradilan pidana pada tahap kepolisian. Pada tahap ini, kepolisian bisa menggunakan
kewenangan diskresinya yang diatur dalam Undang-Undang No. 02 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan diversi atau
pengalihan proses pidana pada proses informal. Diversi ini bisa berbentuk mediasi
yang mempertemukan pihak pelaku dan korban untuk bersama menyelesaiakan
perkara pidana yang dihadapi, sehingga perkara tidak pelu untuk dilanjutkan sampai
kejaksaan. Saat ini kewenangan diskresi kepolisian untuk melakukan diversi sangat
jarang dilakukan karena belum adanya payung hukum yang mengatur secara obyektif
terkait dengan kewenangan diskresi kepolisian untuk melakukan diversi sehingga
proses diversi yang dilakukan tidak berbenturan dengan asas kepastian hukum. Oleh
karena itu perlu kiranya bagi kepolisian untuk mempertimbangkan aspek-aspek
keadilan restoratif misalnya menggunakan kewenangan diskresinya dalam kasus-kasus
85
Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dengan mempertimbangkan prinsip
kepentingan terbaik25
dan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan.26
Tahapan ajudikasi penerapan keadilan restoratif dapat berbentuk putusan
hakim yang mempertimbangkan aspek-aspek keadilan misalnya berupa pembinaan
terhadap pelaku tindak pidana sehingga pemidanaan tidak hanya dipahami sebagai
upaya untuk membalas suatu tindak pidana, akan tetapi sedapat mungkin pemidanaan
mampu untuk memulihkan kembali hubungan sosial yang rusak akaibat tindak pidana.
Dalam hal ini dukungan legislasi dan kebijakan pemerintah menjadi sangat penting
dalam memberikan pembenaran kepada hakim untuk melakukan diversi tanpa takut
bertentangan dengan hukum. Bila diversi didifinisikan sebagai pengalihan dari proses
upaya pidana kepada upaya lain sebelum persidangan, maka dalam hal ini diversi
dimaknai lebih luas, termasuk juga putusan hakim untuk mengalihkan jenis
pemidanaan, peringanan pidana atau penghapus pidana. Melalui pendekatan restoratif,
diversi tidak hanya dapat dilakukan oleh polisi tapi juga oleh hakim di dalam
putusannya.
Sementara dalam tahapan purna ajudikasi penerapan keadilan restoratif yang
digunakan bisa dalam bentuk pendampingan dari putusan yang dijatuhkan oleh
pengadilan. Pendampingan disini dapat berupa suatu program yang mengupayakan
pertemuan antara terpidana dan korban sehingga diharapkan terpidana bisa menyadari
25
Prinsip kepentingan tebaik anak secara spesifik diatur dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak. 26 Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan
Pendekatan Keadilan Restoratif, Semarang :Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2012, h. 83.
86
kerusakan yang timbul atas perbuatan yang telah dia lakukan dan korban dapat
memberikan pemaafan sehingga bagi terpidana tidak lagi memiliki beban moral yang
harapannya ketika kembali lagi ke masyarakat bisa memulihkan hubungan sosial yang
selama ini terstigma atas kejahatan yang pernah pelaku lakukan. Tentunya masih jauh
jika melihat sistem peradilan pidana Indonesia yang ada saat ini yang kurang
memberikan tempat bagi keadilan restoratif guna memposisikan hukum sebagaimana
mestinya untuk menegakkan keadilan. Berdasarkan analis penulis sangat perlu kiranya
untuk melakuakan reformasi KUHAP dengan memasukkan prinsip-prinsip keadilan
restoratif dalam setiap proses peradilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia
sehingga hukum tidak hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang kaku, akan tetapi
hukum sebagaimana diungkapkan satjipto raharjo hukum yang dapat memberikan
kebahagiaan bagi semua pihak.27
27
Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan
Pendekatan Keadilan Restoratif, Semarang :Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2012, h. 85.
87
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah penulis menguraikan dan menganalisis pembahasan skripsi yang
berfokus pada persoalan restorative justice system dalam tindak pidana ringan menurut
Hukum Islam dan penerapan restorative justice dengan pendekatan criminal justice
system serta relevansi tinjauan Hukum Islam terhadap tindak pidana ringan dengan
keadilan restoratif, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam kasus tindak pidana ringan, penerapan dan alasannya dapat di
laksanakannya restorative justice digunakan sebagai upaya mencari keadilan dalam
Hukum Islam dan Hukum positif. Hal ini dapat dilihat dalam menyelesaikan perkara
pencurian, Di dalam criminal justice system, pendekatan keadilan restoratif dapat
diterapkan pada tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, maupun purna-ajudikasi dengan
menggabungkannya pada sistem peradilan pidana yang ada dalam setiap proses
peradilan, sehingga tidak bertentangan dengan kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing.
2. Dalam konsep Hukum Islam menekankan adanya perdamaian antara korban,
pelaku, dan perwakilan masyarakat (hakim) dengan konsep kisas dan diat serta takzir.
Keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian perkara pidana
pencurian dalam Hukum Islam sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang harus
terpenuhi dalam pendekatan restorative justice, yaitu terbukanya akses bagi korban
untuk berpartisipasi sehingga diharapkan mampu memberikan pemulihan bagi korban,
88
serta mempertemukan korban dan pelaku yang diharapkan mampu untuk membuka
ruang kesadaran bagi pelaku untuk bertanggung jawab dan menyadari kesalahannya.
B. SARAN
Setelah penulis melakukan penulisan skripsi ini banyak hal tentunya yang
harus diperhatikan kembali dalam proses penyelesaian perkara pidana dalam sistem
peradilan pidana yang ada pada saat ini terutama dalam tindak pidana ringan.
Beberapa hal tersebut akan disajikan dalam bentuk saran-saran sekaligus rekomendasi,
antara lain:
1. Kepada aparat penegak hukum, hukum seharusnya mampu mengutamakan wibawa
keadilan dibandingkan dengan penegakkannya. Sehingga hukum dapat menjadi alat
untuk mencari keadilan yang dinamis dan tidak kaku, karena untuk mengetahui ukuran
keadilan yang paling dasar adalah kepuasan dari semua pihak yang berkaitan, baik
pelaku, korban, maupun masyarakat supaya rasa keadilan dapat dirasakan tidak hanya
secara abstrak namun juga dalam realitas.
2. Kepada hakim dan aparat penegak hukum, hukum seharusnya mampu memberikan
kesempatan bagi korban dalam proses penyelesaian perkara pidana dalam peradilan
pidana. Sehingga keterlibatan korban dalam peradilan akan berdampak pada
pemulihan terhadap kerugian atas tindak pidana yang terjadi. Hukum seharusnya
mampu memberikan peluang terciptanya upaya-upaya restoratif untuk dilakukan
terlebih dahulu dalam setiap proses peradilan, sehingga pemulihan bukan hanya
berdampak bagi korban, akan tetapi juga akan berdampak untuk pelaku dan
masyarakat yang juga berkaitan dengan pemulihan terhadap interaksi sosial.
89
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan dan Aripin, Jaenal, metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Desember 2010.
Ahmadi, Fahmi Muhammad, Pembaruan Hukum di Indonesia, Makalah Unverstas
Indonesia, 2001.
Ahmadi, Fahmi Muhammad, Praktek Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN, 2005.
Al Faruq, Asadullah, Hukum pidana dalam sistem hukum islam, penerbit Ghalia
Indonesia, oktober 2009.
Andrew Von Hirsch, dkk. Restorative Justice and Criminal Justice (Competing or
Reconcilable Paradigms?), Oxford And Portland, Oregon, 2003.
Arifin, Zainal, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan
Pendekatan Keadilan Restoratif, Semarang: Institut Agama Islam Negeri
Walisongo 2012
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) persektif
eksistensialisme dan abolisionisme,cet. Ke-dua (revisi), Bandung: Binacipta,
Januari, 1996.
Asshidiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-
Bentuk Pidana Dalam Tradisi Huku Fiqh Dan Relevansinya Bagi Usaha
Pembahuan KUHP Nasional, Bandunng: Angkasa, 1996.
90
Ashworth, Andrew, Sentencing and Criminal Justice, Fifth Edition, United States of
America by Cambridge University Press, New York, 2012.
Audah, Abdul Qadir, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy,
Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu.
Black’s Law Dictionary, Eighth Edition. (St. Paul, MN: West Thomson, 2004).
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: ichtiar baru van hoeve, 1996.
Daniel, Van Ness W, Restorative Justice and International Human Rights,
Restorative Justice: International Perspective, Amsterdam, the Netherland,
2003.
Dwisvimiar, Inge, keadilan dalam perspektif filsafat ilmu hukum; jurnal dinamika
hukum, vol 11, No. 3 September 2011.
Friedman, W, Legal Theory, Third Edition, Stevens and Sons Limited, London, 1953.
Hadisuprapto, Paulus, Hukum Pidana Dalam Perspektif, Denpasar, Bali: Pustaka
Larasan, Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas laiden, Universitas
Griningen, 2012.
Hanafi, Ahmad , asas-asas hukum pidana islam, Jakarta: bulan bintang, 1967.
Handbook on Restorative Justice Programme, New York: United Nations, 2006.
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Cet-kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta, Juni,1992.
Harahap, M yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan
dan penuntutan, Edisi kedua, Ceta.11, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum
Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
91
Jocelynne A Scutt, Victim Offender And Restitution: Real Alternatives Or Penance,
Australia Law Jurnal, Vol. 56, April 1982.
John, Braithwaite, Restorative justice and criminal law (Competing or Reconcilable
Paradigms?), Oxford and Portland, 2003.
Kelsen, Hans, General Theory of Law And State, Bee Media Indonesia, 2007.
Kumpulan Karangan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Hukum Dalam
Teori dan Praktek, Denpasar, Bali: Fakultas Hukum Universitas Udayana,
1994.
Kusuma, Mulyana, w. dan Nasution, Adnan Buyung Tegaknya Supremasi Hukum
(Terjebak Antara Memilih Hukum dan Demokrasi), cet-1, Bandung: PT Remaja
Roksadakarya, Februari,2011.
Majid,Khadduri, Teologi Keadilan Menurut Islam, Surabaya: Risalah Gusti,1999.
Mansyur, Didik M Arief dan Gultom, Elisatris, Urgensi Perlindunngan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007.
Muladi dan Arief, Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,cet. Ke-dua,
Bandung: Penerbit Alumni, 1992.
Muladi, Kapita selekta Hukum Pidana, badan penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1995.
Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan
permasalahannya, Bandung: PT. Alumni. 2007.
92
M. Manulang, E. Fernando, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat
dan Antinomi Nilai, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2007.
Muslich, Ahmad Wardi , pengantar dan asas hukum pidana islam (fiqih jinayah),
Jakarta: Sinar Garfika, September, 2004.
Nitibaskara, Ronny Rahman, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara, September, 2006.
P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, , Hukum Penitensier, Cet.II, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP
Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul Halim, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum
pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.1 Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, Juni 2012.
Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, cet. Pertama,
Bandung: PT Refika Aditama, juni, 2006.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum , Bandung: Alumni, 1986.
Rahardjo, Satjipto, Sisi–sisi Lain dari Hukum Indonesia, Jakarta: Penerbit Harian
Kompas, 2006.
Raharjo, Satjipto, Berhukum dengan Akal Sehat, Jakarta: penerbit harian kompas,
2008.
Rahman, Abdur I Doi, Shari’ah, the islamic law, jakarta: PT Rineka cipta, Januari
1992.
93
Ralws, John, A Theory of Justice (Revised Edition), USA: Harvard University Press,
1971.
Sholehuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track
System & Implementasinya), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Soetjipto, Adi Andojo, Criminal Justice Profiles of Asia (Investigation, prosecution,
and Trial), Published: by United Nations Asia and Far East Institute,UNAFEI,
Harumicho, Fuchu, Tokyo, Japan. 1995.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-
Press), cetakan ke-3, 1984.
Sullivan, Larry E. dan Schulz, Dorothy Moses (John Jay College of Criminal Justice,
New York), Encyclopedia of Law Enforcement, 2010.
Suparni, Niniek, Eksistensi pidana denda dalam sistem pidana dan pemidanaan,
Jakarta: Sinar Grafika, cet-kedua, juli 2007.
Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta
: Djambatan, 2001.
UUD 1945 dan Amandemennya, penerbit: Media Centre.
Waluyo, Bambang, Pidana dan pemidanaan, cetakan ke-tiga, Jakarta: Sinar Grafika,
juni, 2008.
Zulfa , Eva Achjani. Keadilan Restoratif, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitasn Indonesia, 2009.
Perbincangan dengan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si. di kediamannya,
Pamulang, pada tanggal 18 Februari 2014, Pukul 21.00 WIB.
94
Perbincangan dengan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si. di Lantai lima,
Gedung UIN syarif hidayatullah, pada tanggal 13 Februari 2014, Pukul 10.53
WIB.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt519065e9ed0a9/penyelesaian-perkara-
pencurian-ringan-dan-keadilan-restoratif
http://www.hukumonline.com/berita/baca/it4e25360a422c2/pendekatan-restorative-
justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia.
http://www. justice. act.gov. au/criminal _ and _ civil_justice /restorative_justice
http://kbbi.web.id/metode
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A NPerkara Nomor 255/P id .B /2010 /PN.BKL.
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“
Pengad i l an Neger i Klas I A Bengku lu yang memer iksa dan
mengadi l i perka ra - perkara pidana anak dengan acara pemer iksaan
biasa pada perad i l an t i ngka t per tama, te l ah menja tuhkan
putusan sebaga i ber i ku t da lam perkara Terdakwa :
Terdakwa di tahan oleh :
1. Peny id i k se jak tangga l 30 Apr i l 2010 sampai
dengan tangga l 19 Mei 2010;
2. Perpan jangan oleh Penuntu t Umum se jak tangga l 20
Mei 2010 sampai dengan tangga l
29 Mei 2010;
3. Penuntu t Umum (Tahanan Kota) se jak tangga l 27
Mei 2010 sampai dengan 05 Jun i 2010;
4. Hakim Pengadi l an Neger i (Tahanan Kota) tangga l
02 Jun i 2010 sampai dengan tangga l 16 Jun i 2010;
5. Perpan jangan Ketua Pengad i l an Neger i se jak
tangga l 17 Jun i 2010 sampai dengan tangga l 16
Ju l i 2010;
Nama Lengkap
Tempat Lah i r
Umur / Tangga l
Lah i r
Jen is Kelamin
Kewarganegaraa
n
Alamat
Agama
Peker j aan
Pendid i kan
:
:
:
:
:
:
:
:
:
SHODIQ MUMTAZUM als SHODIQ als TAYUN
Bin GUNADI;
Temanggung;
15 Tahun / 13 Ju l i 1994;
Lak i - lak i ;
Indones ia ;
J l . RE. Martad ina ta RT. 04 RW. 06 Kel .
Muara Dua Kec. Kampung Melayu Kota
Bengku lu ;
Is l am;
Pela ja r ;
MTs Kelas VI I
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
1. Menyat akan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
Terdakwa dalam perkara in i t i dak didamping i Penasehat
Hukum;
PENGADILAN NEGERI TERSEBUT;
Sete lah membaca berkas perkara ;
Sete lah mendengar kete rangan Saks i - saks i dan Terdakwa
Sete lah mendengar tun tu tan pidana Jaksa Penuntu t Umum
te r t angga l 21 Jun i 2010 yang pada pokoknya sebaga i ber i ku t :
1. Menyatakan Terdakwa SHODIQ MUMTAZUM als SHODIQ als
TAYUN Bin GUNADI, bersa lah melakukan t i ndak pidana “
pencur i an “ sebaga imana dia tu r dan diancam pidana dalam
Pasa l 362 KUHP, da lam sura t dakwaan kami .
2. Menja tuhkan pidana te rhadap Terdakwa berupa pidana penja ra
se lama 2 (dua) bu lan ; .
3. Menyatakan barang bukt i berupa :
- 1 (sa tu ) pasang sanda l warna hi t am l i s merah merk
CONVERSE;
Dikembal i kan kepada HUSNAN Bin MUNIR;
4. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp. 3.000 . - ( t i ga r i bu rup iah ) ;
Menimbang, bahwa Terdakwa te l ah member ikan pembelaan yang
pada pokoknya mohon ker i nganan hukuman yang pada in t i n ya
menyesa l i perbua tannya dan t i dak mengulang i lag i .
Menimbang, bahwa Terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntu t Umum
te lah melakukan t i ndak pidana dengan dakwaan te r l amp i r da lam
berkas perkara ;
Perbuatan Terdakwa sebaga imana d ia tu r dan diancam pidana
pasa l 362 KUHP;
Menimbang, bahwa di pers idangan te l ah d idengar saks i - saks i
yang dia jukan oleh Jaksa Penuntu t Umum sebaga i ber i ku t :
1. Saksi HUSNAN Bin MUNIR (Alm) , dibawah sumpah member i kan
kete rangan yang pada pokoknya sebaga i ber i ku t :
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
- Bahwa saks i keh i l angan sanda l merk Converse pada har i
Senin tangga l 26 Apr i l 2010 sek i r a puku l 19.00 WIB di
rumah saks i d i Perumdam RT. 04 Kel . Kandang Mas Kec.
Kampung Melayu Kota Bengku lu ;
- Bahwa awalnya saks i t i dak tahu s iapa pelaku pencur i an
te rsebu t , kemudian datang Pol i s i kerumah saya yang
mengatakan ka lau Terdakwa pelaku pencur i an te rsebu t ;
- Bahwa ak iba t keh i l angan sanda l te r sebu t , saks i mender i t a
kerug ian sek i t a r Rp. 80.000 , - de lapan puluh r ibu rup iah ) ;
- Terdakwa t i dak ada iz i n mengambi l barang dar i saks i ;
Atas kete rangan saks i te rsebu t , Terdakwa t i dak kebera tan
dan membenarkannya .
2. Saksi FIRMANSYAH Bin FAJAR USMAN., dibacakan kete rangannya
di pers i dangan , pada pokoknya sebaga i ber i ku t :
- Bahwa kakek saks i keh i l angan sanda l merk Converse pada
har i Senin tangga l 26 Apr i l 2010 sek i r a puku l 19.00 WIB di
rumah kakek saks i d i Perumdam RT. 04 Kel . Kandang Mas Kec.
Kampung Melayu Kota Bengku lu ;
- Bahwa saat ke jad ian pencur i an te rsebu t saks i sedang nonton
TV bersama kakeknya (saks i HUSNAN) sedangkan sanda l jep i t
yang hi l ang te rsebu t berada di te ras rumah dan pin tu
rumah dalam keadaan te rkunc i ;
- Bahwa ak iba t keh i l angan sanda l te r sebu t , kakek saks i
mender i t a kerug ian sek i t a r Rp. 80.000 , - de lapan pu luh r ibu
rup iah ) ;
Atas kete rangan saks i te rsebu t , Terdakwa t i dak kebera tan
dan membenarkannya .
3. Saksi WAHYU ROMADHON Bin SARDI. , dibacakan kete rangannya
di pers i dangan , pada pokoknya sebaga i ber i ku t :
- Bahwa pada har i Senin tangga l 26 Apr i l 2010 sek i r a puku l
19.00 WIB di Perumdam RT. 04 Kel . Kandang Mas Kec. Kampung
Melayu Kota Bengku lu , te rdakwa mengambi l 1 (sa tu ) pasang
sanda l merk Converse ;
- Bahwa saat ke jad ian saks i ja l an ke Perumdam bersama
Terdakwa dan saks i BANI, saat i t u saks i BANI t i dak memakai
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
sanda l dan Terdakwa mengatakan kepada BANI “Ban kau tu
ngapo in nggak paka i sanda l? Car i l ah sanda l ! ” la l u ket i ka
t i ba d i depan rumah saks i korban , te rdakwa mel iha t ada
sanda l jep i t yang te r l e t a k di te ras depan p in tu yang
sedang te r t u t up , dan rumah te rsebu t t i dak berpagar la l u ,
te rdakwa berka ta kepada BANI “ i t u nan Ban sanda l ! ” sambi l
menunjuk kearah sanda l te r sebu t , namun BANI t i dak beran i
mengambi lnya la l u Terdakwa mendekat i sanda l jep i t te rsebu t
la l u langsung mengambi lnya . Sedangkan BANI dan saks i hanya
menunggu dar i jauh d i ja l an , sete lah sanda l jep i t te rsebu t
d idapa tkan lau Terdakwa paka i , sedangkan sanda l jep i t
mi l i k Terdakwa d ibe r i kan kepada BANI , kemudian saks i
bersama BANI dan Terdakwa la l u kabur meningga lkan rumah
korban ;
Atas kete rangan saks i te rsebu t , Terdakwa t i dak kebera tan
dan membenarkannya .
4. Saksi AHMAD HASBANI Als BANI Bin AHMAD ZARKASIH. ,
dibacakan kete rangannya d i pers idangan , pada pokoknya
sebaga i ber i ku t :
- Bahwa pada har i Senin tangga l 26 Apr i l 2010 sek i r a puku l
19.00 WIB di Perumdam RT. 04 Kel . Kandang Mas Kec. Kampung
Melayu Kota Bengku lu , te rdakwa mengambi l 1 (sa tu ) pasang
sanda l merk Converse ;
- Bahwa saat ke jad ian saks i ja l an ke Perumdam bersama
Terdakwa dan saks i WAHY, saat i t u saks i t i dak memakai
sanda l dan Terdakwa mengatakan kepada saks i “Ban kau tu
ngapo in nggak paka i sanda l? Car i l ah sanda l ! ” la l u ket i ka
t i ba d i depan rumah saks i korban , te rdakwa mel iha t ada
sanda l jep i t yang te r l e t a k di te ras depan p in tu yang
sedang te r t u t up , dan rumah te rsebu t t i dak berpagar la l u ,
te rdakwa berka ta kepada saks i “ i t u nan Ban sanda l ! ” sambi l
menunjuk kearah sanda l te rsebu t , namun saks i t i dak beran i
mengambi lnya la l u Terdakwa mendekat i sanda l jep i t te rsebu t
la l u langsung mengambi lnya . Sedangkan saks i dan WAHYU
hanya menunggu dar i jauh di ja l an , sete lah sanda l jep i t
te rsebu t d idapa tkan lau Terdakwa paka i , sedangkan sanda l
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
jep i t mi l i k Terdakwa dibe r i k an kepada saks i , kemudian
saks i bersama WAHYU dan Terdakwa la l u kabur meningga lkan
rumah korban ;
Atas kete rangan saks i te rsebu t , Terdakwa t i dak kebera tan
dan membenarkannya .
Menimbang, bahwa di Pers idangan Terdakwa SHODIQ MUMTAZUM
als SHODIQ als TAYUN bin GUNADI, te lah member ikan kete rangan
yang pada pokoknya sebaga i ber i ku t :
- Bahwa pada har i Senin tangga l 26 Apr i l 2010 sek i r a puku l
19.00 WIB di Perumdam RT. 04 Kel . Kandang Mas Kec. Kampung
Melayu Kota Bengku lu , te rdakwa mengambi l 1 (sa tu ) buah
sanda l merk Converse ;
- Bahwa saat ke jad ian te rsebu t TERDAKWA ja l an ke Perumdam
bersama BANI dan WAHYU, saat i t u BANI t i dak memakai sanda l
dan Terdakwa mengatakan kepada saks i “Ban kau tu ngapo in
nggak paka i sanda l? Car i l ah sanda l ! ” la l u ket i ka t i ba di
depan rumah saks i korban , te rdakwa mel iha t ada sanda l
jep i t yang te r l e t a k di te ras depan pin tu yang sedang
te r t u t up , dan rumah te rsebu t t i dak berpagar la l u , te rdakwa
berka ta kepada saks i BANI “ i t u nan Ban sanda l ! ” sambi l
menunjuk kearah sanda l te rsebu t , namun saks i BANI t i dak
beran i mengambi lnya la l u Terdakwa mendekat i sanda l jep i t
te rsebu t la l u langsung mengambi lnya . Sedangkan saks i BANI
dan WAHYU hanya menunggu dar i jauh di ja l an , sete lah
sanda l jep i t te rsebu t d idapa tkan lau Terdakwa paka i ,
sedangkan sanda l jep i t mi l i k Terdakwa dibe r i k an kepada
saks i BANI , kemudian Terdakwa bersama BANI dan WAHYU la l u
kabur meningga l kan rumah korban ;
Menimbang, bahwa di Pers idangan Jaksa Penuntu t Umum te lah
pula mengajukan barang bukt i berupa :
- 1 (sa tu ) pasang sanda l warna hi t am l i s merah merk
CONVERSE;
Menimbang, bahwa berdasarkan sega la apa yang dikemukakan
saks i - saks i d ibawah sumpah dan kete rangan Terdakwa yang
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
dia jukan Jaksa Penuntu t Umum di Pers idangan maka dipero l eh
fak ta - fak ta hukum sebaga i ber i ku t :
- Bahwa benar pada har i Senin tangga l 26 Apr i l 2010 sek i ra
puku l 19.00 WIB d i Perumdam RT. 04 Kel . Kandang Mas Kec.
Kampung Melayu Kota Bengku lu te lah te r j ad i t i ndak pidana
pencur i an 1 (sa tu ) pasang sanda l merk CONVERSE yang
di l akukan Terdakwa;
- Bahwa benar yang menjad i korban pencur i an te rsebu t ada lah
saks i korban HUSNAN Bin MUNIR;
- Bahwa benar ak iba t keh i l angan sanda l te rsebu t , saks i
korban HUSNAN Bin MUNIR mender i t a kerug ian sek i t a r Rp.
80.000 , - de lapan puluh r ibu rup iah ) ;
- Bahwa benar Terdakwa t i dak ada iz i n mengambi l barang dar i
saks i korban ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fak ta - fak ta seper t i te rsebu t
d ia tas dihubungkan dengan tun tu tan Jaksa Penuntu t Umum, maka
Maje l i s Hakim mengura ikan te r l eb i h dahu lu dakwaan Jaksa
Penuntu t Umum melanggar Pasa l 362 KUHP yang mengandung unsur -
unsur sebaga i ber i ku t :
1. Unsur “Set i ap Orang”
Menimbang, bahwa yang dimaksud “Set i ap Orang” ada lah
semua orang se laku subyek hukum yang mampu melakukan
perbua tan hukum dan mampu memper tanggung jawabkan
perbua tannya secara hukum.
Menimbang, bahwa dipers i dangan te lah dia jukan Terdakwa
SHODIQ MUMTAZUM als SHODIQ a ls TAYUN bin GUNADI da lam
keadaan sehat jasmani dan rohan i yang membenarkan
iden t i t a snya sebaga imana dalam sura t dakwaan, seh ingga t i dak
te r j ad i sa lah orang atau eror in person .
Menimbang, bahwa mengenai benar t i daknya Terdakwa
melakukan perbua tan sebaga imana dalam dakwaan, Maje l i s Hakim
masih memer lukan per t imbangan unsur la i nnya .
Menimbang, bahwa berdasarkan hal - ha l seper t i te rsebu t
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Meni mbang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
dia tas , maka unsur in i te l ah te rpenuh i .
2. Unsur “ mengambi l sesuatu barang ”
Menimbang, bahwa yang dimaksud mengambi l sesuatu barang
ada lah membawa atau memindahkannya sesuatu barang dar i suatu
tempat ketempat la i n yang sebe lumnya t i dak dalam
penguasaannya menjad i da lam penguasaannya;
Menimbang, bahwa berdasarkan fak ta - fak ta yang d idapa t
d i pers idangan , benar Terdakwa pada har i Senin tangga l 26
Apr i l 2010 sek i ra puku l 20.00 WIB te l ah mengambi l 1 (sa tu )
pasang sanda l merk CONVERSE;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal - ha l seper t i te rsebu t
d ia tas , maka unsur in i te l ah te rpenuh i .
3. Unsur “yang sebag ian atau se lu ruhnya mi l i k orang la i n ”
Menimbang, bahwa 1 (sa tu ) pasang sanda l warna hi tam l i s
merah merk CONVERSE bukan mi l i k Terdakwa SHODIQ MUMTAZUM als
SHODIQ als TAYUN bin GUNADI, mela inkan mi l i k korban HUSNAN
bin MUNIR;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal - ha l seper t i te rsebu t
d ia tas , maka unsur in i te l ah te rpenuh i ;
4. Unsur “ dengan maksud untuk dimi l i k i dengan melawan hukum”
Menimbang, bahwa Terdakwa mengambi l barang berupa 1
(sa tu ) pasang sanda l warna hi tam l i s merah merk CONVERSE
te rsebu t d i l akukan secara sadar dengan maksud dan tu j uan
yang past i ya i t u digunakan untuk kepent i ngan send i r i dan
di l akukan tanpa se i j i n yang berhak ya i t u saks i HUSNAN bin
MUNIR seh ingga ber ten tangan dengan keten tuan hukum yang
ber laku ;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal - ha l seper t i te rsebu t
d ia tas , maka unsur in i te l ah te rpenuh i ;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur - unsur dar i pasa l
362 KUHP te lah te rpenuh i , maka kepada Terdakwa dapat d inya takan
secara sah dan meyak inkan bersa lah melakukan t i ndak pidana
“pencur ian “.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa te l ah dinya takan
bersa lah , maka Terdakwa harus di j a t uh i hukuman yang set impa l
dengan perbua tannya dan b iaya perkara sudah sepantasnya
dibebankan kepadanya;
Menimbang, bahwa se lama pemer iksaan d i pers i dangan Maje l i s
Hakim t i dak menemukan adanya alasan pemaaf dan ataupun alasan
pembenar yang dapat menghapuskan pidana dar i perbua tan Terdakwa
te rsebu t ser ta Terdakwa harus memper tanggung jawabkan sega la
perbua tannya dan oleh karenanya Terdakwa harus dihukum;
Menimbang, bahwa Maje l i s Hakim memandang bahwa pidana
bersyara t yang di j a t uhkan te rsebu t da lam amar putusan dibawah
in i te l ah se imbang dengan bera tnya ke jaha tan te rsebu t dan juga
sesua i dengan jumlah barang ni l a i kerug ian yang d ia l ami korban
ser ta sesua i pu la dengan rasa kead i l an oleh karena anta ra
ke lua rga Terdakwa dan Keluarga korban te l ah ada perdamaian ;
Menimbang, bahwa dalam menentukan hukuman te rhadap di r i
Terdakwa, Maje l i s Hakim memper t imbangkan hal - ha l yang
memberatkan dan hal - ha l yang mer ingankan ;
Hal- hal yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa meresahkan masyaraka t dan merug ikan
orang la i n ;
Hal- hal yang meringankan:
- Terdakwa masih anak- anak (15 tahun) dimungk inkan masih
bisa dib ina ;
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa bers i kap sopan da lam pers idangan dan mengaku i
te rus te rang perbuatannya ;
- Keluarga Terdakwa sudah melakukan perdamaian dengan
korban dan sudah membayar gant i rug i atas kerug ian
korban ;
- Terdakwa masih bers ta tus pela j a r ;
Menginga t dan memperhat i kan keten tuan Undang- Undang yang
berkenaan dengan perkara in i , pasa l 362 KUHP dan pera tu ran
perundang- undangan la i n yang bersangku tan . ;
M E N G A D I L I :
1 Menyatakan Terdakwa SHODIQ MUMTAZUM als SHODIQ als
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
TAYUN Bin GUNADI, te l ah te rbuk t i secara sah dan
meyak inkan bersa lah melakukan t i ndak pidana “
pencur i an “. ;
2 Menja tuhkan p idana te rhadap Terdakwa oleh karena i t u
dengan pidana pen ja ra se lama 1 (sa tu )
bu lan ; .
3 Menetapkan pidana pen ja ra yang d i j a t uhkan t i dak usah
di j a l an i kecua l i apabi l a suatu har i ada per in t ah dar i
Hakim karena Terdakwa melakukan suatu t i ndak pidana
sebe lum hab is masa percobaan se lama 2 (dua) bu lan ;
4 Menetapkan barang bukt i berupa :
- 1 (sa tu ) pasang sanda l warna h i t am l i s merah merk
CONVERSE;
Dikembal ikan kepada HUSNAN Bin MUNIR;
5 Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp. 1.000 . - (se r i bu rup iah ) ;
Demik ian lah dipu tuskan pada har i Senin tangga l 28 Juni
2010 o leh A. SUMARDI, SH, M.Hum sebaga i Hakim Anak. Putusan
te rsebu t d iucapkan da lam Pers idangan yang te rbuka untuk umum
pada har i dan tangga l i t u juga o leh Hakim Anak te rsebu t ,
d iban tu oleh YONGKI, SH. , sebaga i Pani te ra Penggant i dengan
dihad i r i o leh AHLAL HUDARAHMAN, SH. , se laku Jaksa Penuntu t Umum
dan Terdakwa ser ta orang tua Terdakwa;
Pani te ra Penggant i
Y O N G K I , SH.
Hakim Anak Tersebut
A. SUMARDI, SH, M.Hum
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
____________________ O O ____________________
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10