Analisa Buku Daniel s Lev
-
Upload
azim-izzul-islami -
Category
Documents
-
view
134 -
download
3
description
Transcript of Analisa Buku Daniel s Lev
TUGAS ANALISA BUKU
HUKUM DAN POLITIK DI INDONESIAKARYA: DANIEL S. LEV
Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas Mata Kuliah Politik Hukum
Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Fauzan, SH., M.Hum
Kelompok 10:1. Agus Budianto (P2EA13028)2. Eli Suningsih (P2EA13030)3. Ratna Indriyati (P2EA13031) 4. Siti Fauziyah (P2EA13032)5. Azim Izzul Islami (P2EA13034)
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN (UNSOED)
PURWOKERTO2014
ANALISIS
HUKUM KOLONIAL DAN ASAL-USUL PEMBENTUKAN NEGARA
INDONESIA
(BAB 10)
Negara baru, dalam artian negara yang pernah dijajah dan berhasil mencapai
kemerdekaannya, mewarisi sistem hukum Negara kolonial sebelumnya. Sebagaimana
sistem hukum Negara Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda selama kurang lebih
350 tahun juga tidak bisa lepas dari pengaruh sistem hukum kolonial. Namun seiring
pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945 maka peristiwa tersebut mengandung
implikasi transisi sistem hukum dari sistem hukum kolonial menuju sistem hukum
nasional. Namun sedikit banyak corak sistem hukum lama masih dapat dirasakan pada
sistem hukum yang baru.
Pada bab 10 buku “Hukum dan Politik di Indonesia (Kesinambungan dan
Perubahan)” tentang HUKUM KOLONIAL DAN ASAL-USUL PEMBENTUKAN
NEGARA INDONESIA, Daniel S. Lev, sang penulis memaparkan 4 point yang layak
dibahas pada kajian tentang sistem hukum di masa pra-kemerdekaan dan pasca
kemerdekaan, antara lain; Kemajemukan organisasi hukum dan peradilan, Kebijaksanaan
hukum adat, Peranan Advokat dan Pengalihan tradisi hukum kolonial ke hukum
bercitarasa lokal.
1. Kemajemukan Organisasi Hukum dan Peradilan
Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum memang sering digunakan sebagai
sarana mencapai tujuan (kepentingan). Hukum juga kerap digunakan sebagai alat
legitimasi kekuasaan. Hal yang demikian dapat kita temui pada masa penjajahan
dimana VOC dan juga pemerintah kolonial Belanda membentuk hukum yang bersifat
eksploitatif dan menuntut adanya jurang pemisah antara pihak yang memeras dan
yang diperas. Belanda menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai alat untuk
memasukkan ide-ide mereka. Bentuk dari stratifikasi dalam hukum kolonial dapat kita
temukan dengan eksistensi dua birokrasi, yakni Pemerintah Belanda yang mengatur
urusannya sendiri dan Binnenlands Bestuur yang mengatur golongan Indonesia.
Pada bidang peradilan, Pemerintah Belanda juga membagi beberapa birokrasi
yudikatif ke dalam dua kelompok sebagaimana akan dijabarkan dalam table berikut:
Lembaga yang mengatur Belanda/
Eropa
Lembaga yang mengatur Indonesia
1. Residentiegerecht
Yakni peradilan tingkat pertama.
2. Raad van Justitie
Yakni peradilan tingkat banding
3. Hooggerechtshof
Mahkamah Agung (MA)
1. Pengadilan Distrik (Kawedanan)
Untuk menyelesaikan perkara-
perkara ringan
2. Pengadilan Kabupaten
Untuk menyelesaikan perkara-
perkara yang lebih besar
3. Landraad
Peradilan yang menyelesaikan
perkara-perkara penting orang
Indonesia dan terletak di setiap
ibukota kabupaten.
Lembaga pengadilan untuk Eropa/ Belanda mengadili semua perselisihan
dagang internal dan eksternal dan juga pidana yang dilakukan oleh orang Eropa.
Raad van Justitie juga merupakan pengadilan tingkat banding untuk orang
Indonesia. Dan Hof (istilah untuk Hooggerechtshof) merupakan pengadilan
tertinggi yang juga membawahkan kepolisian kolonial. Untuk Landraad,
pengadilan bagi orang Indonesia, dipimpin oleh orang Belanda meskipun sekitar
tahun 1920 – 1930 dipimpin oleh orang Indonesia.
Pengadilan lain yang ada pada saat itu adalah pengadilan adat dan
pengadilan Islam di beberapa wilayah nusantara. Sampai pada akhir abad ke 19
pemerintah kolonial membiarkan eksistensi dan kemandirian pengadilan-
pengadilan tersebut, namun setelah itu kedua pengadilan tersebut ditundukkan ke
bawah pengawasan dan peraturan kolonial.
Kemajemukan lain juga terlihat pada kepada siapa hukum diberlakukan.
Seperti kaum bangsawan Jawa yang meleburkan diri dalam kebiasaan dan gaya
hidup barat, maka hukumpun melebur secara politis. Namun hal ini tidak berlaku
bagi kaum non-bangsawan. Sedang untuk orang asing non-Eropa seperti Cina,
India, Arab dan sebagainya, mereka diperlakukan sama dengan hukum orang
Indonesia asli dalam hukum pidana, namun dalam hukum dagang mereka
mengikuti hukum Eropa. Pengecualian bagi orang Jepang yang diberlakukan
hukum Eropa sepenuhnya karena lobi-lobi Jepang yang pada saat itu kekuatannya
memang sedang tumbuh.
Sampai akhir abad ke 19 pemerintah kolonial memang membiarkan
pengadilan-pengadilan asli (pengadilan adat dan pengadilan Islam) tanpa campur
tangan. Namun sesudah itu memang tampak sekali pengebirian wewenang
pengadilan Agama. Khoirudin Nasution dalam bukunya1 menyebutkan beberapa
pendapat tentang bentuk pengebirian itu, antara lain:
a. Dicabutnya Compendium Freijder2
Compendium Freijder dicabut pada 3 Agustus 1828 dan kemudian
diberlakukan hukum adat terhadap orang-orang Indonesia asli
b. Munculnya Stbl. 1820 No. 24 pasal 13 yang diperjelas dengan Stbl No.
58 yang berbunyi:
Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai
soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa yang sejenis
yang harus diputus menurut Hukum Islam, maka ‘pendeta’ memberi putusan,
tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul dari keputusan para
‘pendeta’ itu haruslah diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa
c. Pemberlakuan Stbl.1929 No.221 juga dianggap mengebiri
pemberlakuan hukum Islam, khususnya memangkas kewenangan
Pengadilan Agama. Isi Stbl ini yaitu:
“dalam hal terjadi perkara perdata yang timbul diantara orang-orang Islam,
akan diselesaikan oleh Pengadilan Agama Islam apabila hukum adat mereka
menghendaki, dan sejauh tidak ditentukan lain oleh suatu ordonansi”.
1 Buku yang dimaksud adalah Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yoogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009. Diulas pada halaman 20 –
30 pada sub bahasan Sejarah Pembaruan Hukum Perkawinan Indonesia pada masa penjajahan Belanda.2 Compendium Freijer yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum
waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh Pengadilan
Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur (V.O.C.). Atas usul Residen Cirebon, Mr. P.C. Hasselaar
(1757-1765) dibuatlah kitab Tjicebonshe Rechtsboek. Sementara untuk Landraad (sekarang Pengadilan
Umum) di Semarang tahun 1750 dibuat Compendium tersendiri (sepertinya berlaku kitab Muharrar). Sedang
untuk daerah Makassar (sekarang Ujung Pandang) oleh V.O.C. disahkan suatu Compendium sendiri.
Keberadaan dan berlakunya Compendium ini diperkuat dengan sepucuk surat V.O.C. pada tahun 1808, yang
isinya memerintahkan agar para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus sendiri perkara - perkara
perkawinan dan warisan ( Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2132380-hukum-islam-
tentang-perkawinan-pada/#ixzz2rV4CLzf1, akses pada 20 Januari 2014)
d. Sejak diberlakukannya pasal 134 ayat (2) IS (Indische Staatregeling)
yang isinya:
“bahwa perkara-perkara perdata yang timbul diantara orang-orang Islam, adalah diadili
oleh Pengadilan Agama Islam atau kepala adat, kecuali jika oleh sesuatu Undang
undang ditetapkan lain”
e. Dan sebagainya.
2. Kebijaksanaan Hukum Adat
Hukum adat di satu sisi merupakan masalah bagi pemerintah kolonial. Oleh
sebab itu terdapat perdebatan tentang pemberlakuan hukum adat di tanah jajahan.
Cornelis van Vollenhoven merupakan seorang sarjana dari Leiden yang
mengupayakan keberlangsungan hukum adat (adatrecht politiek). Ia menolak usulan
pemberlakuan KUHPerdata yang berlaku umum, sebab baginya tidak ada kitab
undang-undang apapun yang boleh menggantikan sistem hukum lokal yang beragam.
Qadri Azizy mengatakan bahwa di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20
memang telah terjadi perubahan politik hukum yang signifikan dari penjajah Belanda.
Perubahan ini kalau ditelusuri tidak lepas dari perkembangan politik dan reaksi
masyarakat dan tokoh Islam terhadap politik hukum Belanda. Maka terjadilah
peperangan antara sistem hukum Eropa, hukum adat dan hukum Islam.3
Untuk sebagian karena semangat teoritis yang menolak pengakuan pengaruh
asing ke dalam hukum adat setempat, tapi orang Belanda juga takut terhadap
perluasan Islam. Sehingga sebelum abad ke 19 terbiasa dengan teori Receptio in
Complexu,4 maka muncul teori receptie5 yang sukses didengung-dengungkan oleh
3 Qadri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum).
Yogyakarta: Gama Media, 2004. Hlm. 153.
4 Teori receptio in complexu ini dikemukakan oleh Mr. W.C. Van den Berg, Guru Besar di Delf dan
Penasihat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintah kolonial Belanda.
Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini
hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan
setia”. Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum
Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang
menyimpang dari hukum agama yang dipeluknya, maka hal ini dianggap sebagai
suatu“perkecualian/penyimpangan” dari hukum agama yang telah “in complexu gerecipieerd” (diterima
secara keseluruhan) itu. (http://ketutwirawan.com/teori-receptio-in-complexu/, akses pada 20 Januari 2014).5 Teori receptie diperkenalkan oleh Prof. Christhian Snouck Hurgronye. Teori ini menyatakan
bahwa pada dasarnya bagi rakyat pribumi berlaku hukum adat. Hukum islam berlaku jika telah di terima oleh
Snouck Hurgrounje. Teori receptie ini melemahkan lembaga-lembaga syariah Islam
(pengadilan agama). Pada akhirnya, adatrecht politiek yang konon diberlakukan
dengan tujuan manis, yakni untuk melestarikan hukum lokal tetap saja berisi motif-
motif pemerintah kolonial untuk mengukuhkan kekuasaannya.
Pengukuhan hukum adat sebagai hukum tertulis pada akhirnya memunculkan
dua kubu:
a. Mereka yang berpihak pada adatrecht
terdiri dari hakim, pejabat pemerintah dan para sarjana yang sering
terlibat di dalam adatrecht politiek.
b. Mereka yang yang kurang berpihak pada adatrecht
terdiri dari advokat dan cendikiawan. Ketidak berpihakan ini
disebabkan adanya anggapan hukum adat sebagai hukum masyarakat
terbelakang dan di sisi lain bagi masyarakat desa harus kecewa
melepaskan kewenangan lembaga adat kepada lembaga yang diawasi oleh
pemerintah Belanda.
3. Peranan Advokat
Sebagaimana terjadi pada keberagaman sistem hukum dan lembaga peradilan
di masa kolonial yang telah disampaikan di atas, keberagaman juga dialami oleh
profesi hukum swasta, khususnya advokat. Ada 3 kelompok profesi hukum swasta
pada masa ini, yaitu:
a. Notaris
Sebagaimana notaris sekarang, notaris pada masa pra kemerdekaan bertugas
untuk membuat Dokumen-dokumen otentik. Hanya saja, notaris jaman dulu
jumlahnya kecil dan selalu terdiri dari orang-orang Belanda. Para notaris ini tidak
terlalu memperdulikan sistem hukum yang berlaku bagi pribumi.
b. Pokrol Bambu
Pokrol bambu memang profesi asing untuk masa sekarang, sebab profesi ini
hanya ada di zaman kolonial. Mereka mempunyai tugas sebagaimana advokat
pada umumnya namun hanya berkancah di sisi golongan Indonesia. Ia tidak
diperkenankan bekerja di pengadilan Eropa. Pokrol bambu merupakan penasihat
masyarakat sebagai hukum adat. teori ini dikemukakan agar orang-orang pribumi tidak memegang teguh
ajaran islam karena dihawatirkan mereka akan sulit menerima pengaruh budaya barat. ( http://kia-
ns.blogspot.com/2012/04/teori-receptie-receptie-contrario.html, akses pada 20 Januari 2014)
hukum yang tidak melalui jalur pendidikan hukum, sehingga eksistensinya sering
dianggap sebagai pengacau, penipu dan penggemar debat kusir. Eksistensi pokrol
bambu ini bisa disebut sebagai bukti bahwa kinerja pegawai pemerintah (kolonial)
kurang memadai dan kurang memuaskan rakyat.
c. Advokat
Advokat Indonesia adalah orang-orang di antara para ahli hukum yang
mengetahui kedua sisi sistem hukum kolonial dan menilai sistem hukum itu
beserta dasar-dasar sosial dan politiknya secara kritis. Advokat pada masa itu
dihalangi oleh pemerintah kolonial agar tidak berpraktek swasta, sebab berpraktik
swasta mendapat anggapan yang buruk dari para advokat Belanda. Sebelum
mereka mendapatkan gelar, para advokat Indonesia sudah banyak berpengalaman
bekerja di Landraad sebagai panitera, sehingga mereka banyak berpengalaman di
kedua lembaga peradilan (pengadilan pribumi dan Eropa). Namun pada akhirnya
mereka lebih menyukai bekerja di Hof maupun di Raad van Justitie yang
mengadili dengan hukum Eropa. Bukan tanpa alasan, sebab setiap orang bisa
berpraktek di Landraad, namun hanya orang-orang tertentu yang bisa berpraktek
di Pengadilan Eropa, yang secara finansial lebih menguntungkan dan dari segi
prestise orang-orang yang berpraktek di Pengadilan Eropa akan mendapat
kehormatan dan status sosial yang tinggi.
Sejak semula, lembaga-lembaga liberal Belanda memang sudah mengangap
rendah hukum adat dan lembaga adat, pangreh praja dan orang-orang Indonesia
yang berpendidikan dan memiliki pekerjaan enak di boirokrasi. Di satu sisi
terdapat kesamaan derajat dalam hukum, namun di sisi lain terdapat kekuasaan
istimewa para pegawai, yang keleluasaannya untuk mengambil kebijakan
melebihi ketentuan-ketentuan hukum. Pandangan para advokat itu kemudian
dipinjam dari masyarakat Eropa dan kemudian dipegang teguh sebagai pedoman,
meskipun masyarakat tetap tidak tergantikan oleh negara.
4. Pengalihan Tradisi Hukum Kolonial ke Hukum Bercitarasa Lokal.
Ada dua macam tradisi hukum yang harus dipilih oleh bangsa Indonesia ketika
menghadapi kemerdekaan:
a. Negara dengan sistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial
b. Negara dengan sistem hukum kolonial yang diberlakukan bagi bangsa
Indonesia (pribumi) dengan alat hukum yang lebih halus.
Namun pada akhirnya yang menang adalah corak hukum yang kedua.
Peristiwa ini bisa disebut sebagai kegagalan revolusi (kemerdekaan) untuk mengikis
warisan kolonial. Disebut gagal sebab banyak dari bentuk-bentuk lama yang kemudian
diambila alih, sehingga hukum substansif pasca 1945 hampir sama persis dengan
hukum substansif pada 1941. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Kitab Undang-Undang hukum Perdata (KUHPer) masih dalam keasliannya kecuali
sedikit perubahan. Contoh perubahan itu adalah kata “ratu” dan “gubernur jenderal”
kemudian diganti “Presiden” dan “Wakil Presiden”. Perubahan yang tidak terlalu
signifikan dan jutru lebih banyak mengadopsi –mungkin lebih tepatnya menerima
mentah-mentah- hukum yang lama inibukan sebuah kekhilafan, melainkan sudah
dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945 maupun UUD yang lain pada 1949 dan
1950 yang menghendaki pemberlakuan hukum lama sebelum ada hukum yang baru.
Akibatnya banyak sekali hukum-hukum yang bertentangan dengan UUD.
Sebenarnya perubahan hukum kolonial ke hukum nasional secara radikal sudah
pernah diusulkan oleh seorang ahli hukum, M. Yamin. Namun usulan tersebut ditolak
oleh sebagian besar peserta rapat berdasar pendapat pakar hukum adat, Soepomo, dan
didukung oleh Soekarno yang pandangannya berpihak sepenuhnya kepada sistem
hukum kolonial yang berlaku bagi golongan Indonesia.
Berdasarkan buku ini, setidaknya ada dua macam alasan pokok kenapa hukum
lama dibiarkan tetap berlaku. Alasan tersebut antara lain:
a. Tidak ada solusi atau alternatif yang jelas tentang konsep hukum yang baru.
b. Sebagian besar pejabat di negara baru itu (Indonesia) menerima hukum yang
majemuk dan masyarakat majemuk sebagai satu-satunya model kerja yang
mereka kenal.
Perubahan-perubahan haluan politik Negara Indonesia dari masa kolonial ke
masa pasca kolonial memang bisa dibilang terkesan perubahan instan, bukan
perubahan revolusioner. Tidak ada perubahan radikal yang diberlakukan pada aspek-
aspek tertentu. Sebagai contoh, adanya usulan hukum adat untuk menghapus kriteria
rasial tanah jajahan yang berlaku bagi keturunan cina supaya dihapuskan. Namun pada
kenyataannya, dominasi rasial hanya diganti coraknya menjadi dominasi kelas. Sebab
elite politik dan sosial Indonesia sejak lama sudah tidak merasa secara hgukum terikat
oleh adat yang dianggapnya sebagai hukum bagi lapisan kelas rendah. Sementrara
hukum substansif tetap sama dengan tetapnya hukum acara, melanjutkan Landraad
dan menghapus golongan pengadilan untuk golongan Eropa, mempertahankan
lembaga Pangreh Praja, tetap memberlakukan HIR dan menghapus pemberlakuan
Hukum Acara Perdata dan Pidana untuk golongan Eropa. Sistem Republik memang
telah menghancurkan sistem hukum lama, menghapus struktur administratif negara
kolonial dan menciptakan yang baru. Sebaliknya politik revolusi lebih menghendaki
kesinambungan kelembagaan.
Pada masa awal kemerdekaan, lembaga peradilan secara politik kurang
mengemuka, tapi lembaga ini memberi gambaran serupa dengan corak yantg lebih
berwarna. Para Advokat menginginkan agar Republik mengambil kitab undang-
undang hukum acara Eropa sebagai dasar soitem peradilan karena mereka
mengenalnya dengan baik. Namun usulan para advokat tersebut ditolak berdasar
alasan praktis. Landraad bukan pengadilan tertinggi, namun hakim-hakim yang
berpengalaman hanyalah hakim Landraad. Jadi terdapat kesangsian akan kinerja
hakim-hakim ini yang nantinya akan menerapkan hukum Eropa dan HIR setelah
mereka diangkat. Selain kesangsian para hakim-hakim baru, ada juga kesangsian
terhadap para jaksa yang berasal dari masa kolonial yang oleh HIR tidak banyak
ditentukan bahwa dakwaan yang mereka buat tunduk pada peninjauan dan persetujuan
dari Hakim pertama.
Badan peradilan memang banyak mewarisi pemahaman normatif terhadap
peranannya yakni berbeda dengan pengadilan kolonial bagi Golongan Eropa, tidak
mempunyai kemandirian kelembagaan. Landraad juga masih dekat dengan tradisi
Raad van Justitie daripada misalnya, jaksa dengan tradisi officer van Justitie (penuntut
untuk golongan Eropa.
Walaupun kolonialisme tidak dapat mengikis nilai-nilai dasar yang terdapat di
Jawa atau di tempat-tempat lain, kolonialisme menyaring dan memberi bentuk-bentuk
nilai-nilai tersebut, memberlakukan bentuk-bentuk kekuasaan lembaga baru dengan
perbedaan gagasan yang ditentukannya sendiri. Aroma hukum kolonial memang
masih terasa hingga masa orde baru dan reformasi. Kitab Undang-Undang hukum
Pidana masih berlaku termasuk Haatzaai Artikelen (pasal-pasal “penyebaran
kebencian” terhadap pimpinan politik, pejabat atau golongan etnis). Dan sebagaimana
lima puluh tahun silam, kelompok advokat (tidak seluruhnya) adalah pihak yang
paling santer mengeritik. Ketidaksetujuannya terhadap hukum yang majemuk dan
keinginan untuk lebih dibatasinya kekuasaan masih merupakan warna gagasan para
advokat yang sdikit banyak menganut nilai-nilai yang terkandung dalam sistem yang
berlaku bagi golongan Eropa terdahulu. Keinginan para advokat untuk merubah kitab
undang-undang hukum acara memang beberapa tercapai dengan munculnya Undang-
Undang No. 14 tahun 1970 mengenai Organisasi Badan Peradilan dan Undang-
Undang No. 8 tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana (undang-undang ini
merupakan hasil revisi pertama terhadap kitab undang-undang sejak masa kolonial).
DAFTAR PUSTAKA
PRIMER
Lev , Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Cet. Ke-
3. Jakarta: LP3ES, 2013.
SEKUNDER
Buku
Azizi, Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum). Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Nasution, Khoirudin. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yoogyakarta: Academia dan Tazzafa,
2009.
Website
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2132380-hukum-islam-tentang-
perkawinan-pada/#ixzz2rV4CLzf1, akses pada 20 Januari 2014)
http://ketutwirawan.com/teori-receptio-in-complexu/, akses pada 20 Januari 2014).
http://kia-ns.blogspot.com/2012/04/teori-receptie-receptie-contrario.html, akses pada 20
Januari 2014)