Analisa Buku Daniel s Lev

17
TUGAS ANALISA BUKU HUKUM DAN POLITIK DI INDONESIA KARYA: DANIEL S. LEV Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas Mata Kuliah Politik Hukum Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Fauzan, SH., M.Hum Kelompok 10: 1. Agus Budianto (P2EA13028) 2. Eli Suningsih (P2EA13030) 3. Ratna Indriyati (P2EA13031) 4. Siti Fauziyah (P2EA13032) 5. Azim Izzul Islami (P2EA13034)

description

Tugas Pol Huk

Transcript of Analisa Buku Daniel s Lev

Page 1: Analisa Buku Daniel s Lev

TUGAS ANALISA BUKU

HUKUM DAN POLITIK DI INDONESIAKARYA: DANIEL S. LEV

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas Mata Kuliah Politik Hukum

Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Fauzan, SH., M.Hum

Kelompok 10:1. Agus Budianto (P2EA13028)2. Eli Suningsih (P2EA13030)3. Ratna Indriyati (P2EA13031) 4. Siti Fauziyah (P2EA13032)5. Azim Izzul Islami (P2EA13034)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN (UNSOED)

PURWOKERTO2014

Page 2: Analisa Buku Daniel s Lev

ANALISIS

HUKUM KOLONIAL DAN ASAL-USUL PEMBENTUKAN NEGARA

INDONESIA

(BAB 10)

Negara baru, dalam artian negara yang pernah dijajah dan berhasil mencapai

kemerdekaannya, mewarisi sistem hukum Negara kolonial sebelumnya. Sebagaimana

sistem hukum Negara Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda selama kurang lebih

350 tahun juga tidak bisa lepas dari pengaruh sistem hukum kolonial. Namun seiring

pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945 maka peristiwa tersebut mengandung

implikasi transisi sistem hukum dari sistem hukum kolonial menuju sistem hukum

nasional. Namun sedikit banyak corak sistem hukum lama masih dapat dirasakan pada

sistem hukum yang baru.

Pada bab 10 buku “Hukum dan Politik di Indonesia (Kesinambungan dan

Perubahan)” tentang HUKUM KOLONIAL DAN ASAL-USUL PEMBENTUKAN

NEGARA INDONESIA, Daniel S. Lev, sang penulis memaparkan 4 point yang layak

dibahas pada kajian tentang sistem hukum di masa pra-kemerdekaan dan pasca

kemerdekaan, antara lain; Kemajemukan organisasi hukum dan peradilan, Kebijaksanaan

hukum adat, Peranan Advokat dan Pengalihan tradisi hukum kolonial ke hukum

bercitarasa lokal.

1. Kemajemukan Organisasi Hukum dan Peradilan

Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum memang sering digunakan sebagai

sarana mencapai tujuan (kepentingan). Hukum juga kerap digunakan sebagai alat

legitimasi kekuasaan. Hal yang demikian dapat kita temui pada masa penjajahan

dimana VOC dan juga pemerintah kolonial Belanda membentuk hukum yang bersifat

eksploitatif dan menuntut adanya jurang pemisah antara pihak yang memeras dan

yang diperas. Belanda menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai alat untuk

memasukkan ide-ide mereka. Bentuk dari stratifikasi dalam hukum kolonial dapat kita

temukan dengan eksistensi dua birokrasi, yakni Pemerintah Belanda yang mengatur

urusannya sendiri dan Binnenlands Bestuur yang mengatur golongan Indonesia.

Pada bidang peradilan, Pemerintah Belanda juga membagi beberapa birokrasi

yudikatif ke dalam dua kelompok sebagaimana akan dijabarkan dalam table berikut:

Page 3: Analisa Buku Daniel s Lev

Lembaga yang mengatur Belanda/

Eropa

Lembaga yang mengatur Indonesia

1. Residentiegerecht

Yakni peradilan tingkat pertama.

2. Raad van Justitie

Yakni peradilan tingkat banding

3. Hooggerechtshof

Mahkamah Agung (MA)

1. Pengadilan Distrik (Kawedanan)

Untuk menyelesaikan perkara-

perkara ringan

2. Pengadilan Kabupaten

Untuk menyelesaikan perkara-

perkara yang lebih besar

3. Landraad

Peradilan yang menyelesaikan

perkara-perkara penting orang

Indonesia dan terletak di setiap

ibukota kabupaten.

Lembaga pengadilan untuk Eropa/ Belanda mengadili semua perselisihan

dagang internal dan eksternal dan juga pidana yang dilakukan oleh orang Eropa.

Raad van Justitie juga merupakan pengadilan tingkat banding untuk orang

Indonesia. Dan Hof (istilah untuk Hooggerechtshof) merupakan pengadilan

tertinggi yang juga membawahkan kepolisian kolonial. Untuk Landraad,

pengadilan bagi orang Indonesia, dipimpin oleh orang Belanda meskipun sekitar

tahun 1920 – 1930 dipimpin oleh orang Indonesia.

Pengadilan lain yang ada pada saat itu adalah pengadilan adat dan

pengadilan Islam di beberapa wilayah nusantara. Sampai pada akhir abad ke 19

pemerintah kolonial membiarkan eksistensi dan kemandirian pengadilan-

pengadilan tersebut, namun setelah itu kedua pengadilan tersebut ditundukkan ke

bawah pengawasan dan peraturan kolonial.

Kemajemukan lain juga terlihat pada kepada siapa hukum diberlakukan.

Seperti kaum bangsawan Jawa yang meleburkan diri dalam kebiasaan dan gaya

hidup barat, maka hukumpun melebur secara politis. Namun hal ini tidak berlaku

bagi kaum non-bangsawan. Sedang untuk orang asing non-Eropa seperti Cina,

India, Arab dan sebagainya, mereka diperlakukan sama dengan hukum orang

Indonesia asli dalam hukum pidana, namun dalam hukum dagang mereka

mengikuti hukum Eropa. Pengecualian bagi orang Jepang yang diberlakukan

Page 4: Analisa Buku Daniel s Lev

hukum Eropa sepenuhnya karena lobi-lobi Jepang yang pada saat itu kekuatannya

memang sedang tumbuh.

Sampai akhir abad ke 19 pemerintah kolonial memang membiarkan

pengadilan-pengadilan asli (pengadilan adat dan pengadilan Islam) tanpa campur

tangan. Namun sesudah itu memang tampak sekali pengebirian wewenang

pengadilan Agama. Khoirudin Nasution dalam bukunya1 menyebutkan beberapa

pendapat tentang bentuk pengebirian itu, antara lain:

a. Dicabutnya Compendium Freijder2

Compendium Freijder dicabut pada 3 Agustus 1828 dan kemudian

diberlakukan hukum adat terhadap orang-orang Indonesia asli

b. Munculnya Stbl. 1820 No. 24 pasal 13 yang diperjelas dengan Stbl No.

58 yang berbunyi:

Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai

soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa yang sejenis

yang harus diputus menurut Hukum Islam, maka ‘pendeta’ memberi putusan,

tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul dari keputusan para

‘pendeta’ itu haruslah diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa

c. Pemberlakuan Stbl.1929 No.221 juga dianggap mengebiri

pemberlakuan hukum Islam, khususnya memangkas kewenangan

Pengadilan Agama. Isi Stbl ini yaitu:

“dalam hal terjadi perkara perdata yang timbul diantara orang-orang Islam,

akan diselesaikan oleh Pengadilan Agama Islam apabila hukum adat mereka

menghendaki, dan sejauh tidak ditentukan lain oleh suatu ordonansi”.

1 Buku yang dimaksud adalah Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yoogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009. Diulas pada halaman 20 –

30 pada sub bahasan Sejarah Pembaruan Hukum Perkawinan Indonesia pada masa penjajahan Belanda.2 Compendium Freijer yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum

waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh Pengadilan

Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur (V.O.C.). Atas usul Residen Cirebon, Mr. P.C. Hasselaar

(1757-1765) dibuatlah kitab Tjicebonshe Rechtsboek. Sementara untuk Landraad (sekarang Pengadilan

Umum) di Semarang tahun 1750 dibuat Compendium tersendiri (sepertinya berlaku kitab Muharrar). Sedang

untuk daerah Makassar (sekarang Ujung Pandang) oleh V.O.C. disahkan suatu Compendium sendiri.

Keberadaan dan berlakunya Compendium ini diperkuat dengan sepucuk surat V.O.C. pada tahun 1808, yang

isinya memerintahkan agar para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus sendiri perkara - perkara

perkawinan dan warisan ( Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2132380-hukum-islam-

tentang-perkawinan-pada/#ixzz2rV4CLzf1, akses pada 20 Januari 2014)

Page 5: Analisa Buku Daniel s Lev

d. Sejak diberlakukannya pasal 134 ayat (2) IS (Indische Staatregeling)

yang isinya:

“bahwa perkara-perkara perdata yang timbul diantara orang-orang Islam, adalah diadili

oleh Pengadilan Agama Islam atau kepala adat, kecuali jika oleh sesuatu Undang

undang ditetapkan lain”

e. Dan sebagainya.

2. Kebijaksanaan Hukum Adat

Hukum adat di satu sisi merupakan masalah bagi pemerintah kolonial. Oleh

sebab itu terdapat perdebatan tentang pemberlakuan hukum adat di tanah jajahan.

Cornelis van Vollenhoven merupakan seorang sarjana dari Leiden yang

mengupayakan keberlangsungan hukum adat (adatrecht politiek). Ia menolak usulan

pemberlakuan KUHPerdata yang berlaku umum, sebab baginya tidak ada kitab

undang-undang apapun yang boleh menggantikan sistem hukum lokal yang beragam.

Qadri Azizy mengatakan bahwa di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20

memang telah terjadi perubahan politik hukum yang signifikan dari penjajah Belanda.

Perubahan ini kalau ditelusuri tidak lepas dari perkembangan politik dan reaksi

masyarakat dan tokoh Islam terhadap politik hukum Belanda. Maka terjadilah

peperangan antara sistem hukum Eropa, hukum adat dan hukum Islam.3

Untuk sebagian karena semangat teoritis yang menolak pengakuan pengaruh

asing ke dalam hukum adat setempat, tapi orang Belanda juga takut terhadap

perluasan Islam. Sehingga sebelum abad ke 19 terbiasa dengan teori Receptio in

Complexu,4 maka muncul teori receptie5 yang sukses didengung-dengungkan oleh

3 Qadri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum).

Yogyakarta: Gama Media, 2004. Hlm. 153.

4 Teori receptio in complexu ini dikemukakan oleh Mr. W.C. Van den Berg, Guru Besar di Delf dan

Penasihat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintah kolonial Belanda.

Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini

hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan

setia”. Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum

Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang

menyimpang dari hukum agama yang dipeluknya, maka hal ini dianggap sebagai

suatu“perkecualian/penyimpangan” dari hukum agama yang telah “in complexu gerecipieerd” (diterima

secara keseluruhan) itu. (http://ketutwirawan.com/teori-receptio-in-complexu/, akses pada 20 Januari 2014).5 Teori receptie diperkenalkan oleh Prof. Christhian Snouck Hurgronye. Teori ini menyatakan

bahwa pada dasarnya bagi rakyat pribumi berlaku hukum adat. Hukum islam berlaku jika telah di terima oleh

Page 6: Analisa Buku Daniel s Lev

Snouck Hurgrounje. Teori receptie ini melemahkan lembaga-lembaga syariah Islam

(pengadilan agama). Pada akhirnya, adatrecht politiek yang konon diberlakukan

dengan tujuan manis, yakni untuk melestarikan hukum lokal tetap saja berisi motif-

motif pemerintah kolonial untuk mengukuhkan kekuasaannya.

Pengukuhan hukum adat sebagai hukum tertulis pada akhirnya memunculkan

dua kubu:

a. Mereka yang berpihak pada adatrecht

terdiri dari hakim, pejabat pemerintah dan para sarjana yang sering

terlibat di dalam adatrecht politiek.

b. Mereka yang yang kurang berpihak pada adatrecht

terdiri dari advokat dan cendikiawan. Ketidak berpihakan ini

disebabkan adanya anggapan hukum adat sebagai hukum masyarakat

terbelakang dan di sisi lain bagi masyarakat desa harus kecewa

melepaskan kewenangan lembaga adat kepada lembaga yang diawasi oleh

pemerintah Belanda.

3. Peranan Advokat

Sebagaimana terjadi pada keberagaman sistem hukum dan lembaga peradilan

di masa kolonial yang telah disampaikan di atas, keberagaman juga dialami oleh

profesi hukum swasta, khususnya advokat. Ada 3 kelompok profesi hukum swasta

pada masa ini, yaitu:

a. Notaris

Sebagaimana notaris sekarang, notaris pada masa pra kemerdekaan bertugas

untuk membuat Dokumen-dokumen otentik. Hanya saja, notaris jaman dulu

jumlahnya kecil dan selalu terdiri dari orang-orang Belanda. Para notaris ini tidak

terlalu memperdulikan sistem hukum yang berlaku bagi pribumi.

b. Pokrol Bambu

Pokrol bambu memang profesi asing untuk masa sekarang, sebab profesi ini

hanya ada di zaman kolonial. Mereka mempunyai tugas sebagaimana advokat

pada umumnya namun hanya berkancah di sisi golongan Indonesia. Ia tidak

diperkenankan bekerja di pengadilan Eropa. Pokrol bambu merupakan penasihat

masyarakat sebagai hukum adat. teori ini dikemukakan agar orang-orang pribumi tidak memegang teguh

ajaran islam karena dihawatirkan mereka akan sulit menerima pengaruh budaya barat. ( http://kia-

ns.blogspot.com/2012/04/teori-receptie-receptie-contrario.html, akses pada 20 Januari 2014)

Page 7: Analisa Buku Daniel s Lev

hukum yang tidak melalui jalur pendidikan hukum, sehingga eksistensinya sering

dianggap sebagai pengacau, penipu dan penggemar debat kusir. Eksistensi pokrol

bambu ini bisa disebut sebagai bukti bahwa kinerja pegawai pemerintah (kolonial)

kurang memadai dan kurang memuaskan rakyat.

c. Advokat

Advokat Indonesia adalah orang-orang di antara para ahli hukum yang

mengetahui kedua sisi sistem hukum kolonial dan menilai sistem hukum itu

beserta dasar-dasar sosial dan politiknya secara kritis. Advokat pada masa itu

dihalangi oleh pemerintah kolonial agar tidak berpraktek swasta, sebab berpraktik

swasta mendapat anggapan yang buruk dari para advokat Belanda. Sebelum

mereka mendapatkan gelar, para advokat Indonesia sudah banyak berpengalaman

bekerja di Landraad sebagai panitera, sehingga mereka banyak berpengalaman di

kedua lembaga peradilan (pengadilan pribumi dan Eropa). Namun pada akhirnya

mereka lebih menyukai bekerja di Hof maupun di Raad van Justitie yang

mengadili dengan hukum Eropa. Bukan tanpa alasan, sebab setiap orang bisa

berpraktek di Landraad, namun hanya orang-orang tertentu yang bisa berpraktek

di Pengadilan Eropa, yang secara finansial lebih menguntungkan dan dari segi

prestise orang-orang yang berpraktek di Pengadilan Eropa akan mendapat

kehormatan dan status sosial yang tinggi.

Sejak semula, lembaga-lembaga liberal Belanda memang sudah mengangap

rendah hukum adat dan lembaga adat, pangreh praja dan orang-orang Indonesia

yang berpendidikan dan memiliki pekerjaan enak di boirokrasi. Di satu sisi

terdapat kesamaan derajat dalam hukum, namun di sisi lain terdapat kekuasaan

istimewa para pegawai, yang keleluasaannya untuk mengambil kebijakan

melebihi ketentuan-ketentuan hukum. Pandangan para advokat itu kemudian

dipinjam dari masyarakat Eropa dan kemudian dipegang teguh sebagai pedoman,

meskipun masyarakat tetap tidak tergantikan oleh negara.

4. Pengalihan Tradisi Hukum Kolonial ke Hukum Bercitarasa Lokal.

Ada dua macam tradisi hukum yang harus dipilih oleh bangsa Indonesia ketika

menghadapi kemerdekaan:

a. Negara dengan sistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial

b. Negara dengan sistem hukum kolonial yang diberlakukan bagi bangsa

Indonesia (pribumi) dengan alat hukum yang lebih halus.

Page 8: Analisa Buku Daniel s Lev

Namun pada akhirnya yang menang adalah corak hukum yang kedua.

Peristiwa ini bisa disebut sebagai kegagalan revolusi (kemerdekaan) untuk mengikis

warisan kolonial. Disebut gagal sebab banyak dari bentuk-bentuk lama yang kemudian

diambila alih, sehingga hukum substansif pasca 1945 hampir sama persis dengan

hukum substansif pada 1941. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan

Kitab Undang-Undang hukum Perdata (KUHPer) masih dalam keasliannya kecuali

sedikit perubahan. Contoh perubahan itu adalah kata “ratu” dan “gubernur jenderal”

kemudian diganti “Presiden” dan “Wakil Presiden”. Perubahan yang tidak terlalu

signifikan dan jutru lebih banyak mengadopsi –mungkin lebih tepatnya menerima

mentah-mentah- hukum yang lama inibukan sebuah kekhilafan, melainkan sudah

dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945 maupun UUD yang lain pada 1949 dan

1950 yang menghendaki pemberlakuan hukum lama sebelum ada hukum yang baru.

Akibatnya banyak sekali hukum-hukum yang bertentangan dengan UUD.

Sebenarnya perubahan hukum kolonial ke hukum nasional secara radikal sudah

pernah diusulkan oleh seorang ahli hukum, M. Yamin. Namun usulan tersebut ditolak

oleh sebagian besar peserta rapat berdasar pendapat pakar hukum adat, Soepomo, dan

didukung oleh Soekarno yang pandangannya berpihak sepenuhnya kepada sistem

hukum kolonial yang berlaku bagi golongan Indonesia.

Berdasarkan buku ini, setidaknya ada dua macam alasan pokok kenapa hukum

lama dibiarkan tetap berlaku. Alasan tersebut antara lain:

a. Tidak ada solusi atau alternatif yang jelas tentang konsep hukum yang baru.

b. Sebagian besar pejabat di negara baru itu (Indonesia) menerima hukum yang

majemuk dan masyarakat majemuk sebagai satu-satunya model kerja yang

mereka kenal.

Perubahan-perubahan haluan politik Negara Indonesia dari masa kolonial ke

masa pasca kolonial memang bisa dibilang terkesan perubahan instan, bukan

perubahan revolusioner. Tidak ada perubahan radikal yang diberlakukan pada aspek-

aspek tertentu. Sebagai contoh, adanya usulan hukum adat untuk menghapus kriteria

rasial tanah jajahan yang berlaku bagi keturunan cina supaya dihapuskan. Namun pada

kenyataannya, dominasi rasial hanya diganti coraknya menjadi dominasi kelas. Sebab

elite politik dan sosial Indonesia sejak lama sudah tidak merasa secara hgukum terikat

oleh adat yang dianggapnya sebagai hukum bagi lapisan kelas rendah. Sementrara

hukum substansif tetap sama dengan tetapnya hukum acara, melanjutkan Landraad

dan menghapus golongan pengadilan untuk golongan Eropa, mempertahankan

Page 9: Analisa Buku Daniel s Lev

lembaga Pangreh Praja, tetap memberlakukan HIR dan menghapus pemberlakuan

Hukum Acara Perdata dan Pidana untuk golongan Eropa. Sistem Republik memang

telah menghancurkan sistem hukum lama, menghapus struktur administratif negara

kolonial dan menciptakan yang baru. Sebaliknya politik revolusi lebih menghendaki

kesinambungan kelembagaan.

Pada masa awal kemerdekaan, lembaga peradilan secara politik kurang

mengemuka, tapi lembaga ini memberi gambaran serupa dengan corak yantg lebih

berwarna. Para Advokat menginginkan agar Republik mengambil kitab undang-

undang hukum acara Eropa sebagai dasar soitem peradilan karena mereka

mengenalnya dengan baik. Namun usulan para advokat tersebut ditolak berdasar

alasan praktis. Landraad bukan pengadilan tertinggi, namun hakim-hakim yang

berpengalaman hanyalah hakim Landraad. Jadi terdapat kesangsian akan kinerja

hakim-hakim ini yang nantinya akan menerapkan hukum Eropa dan HIR setelah

mereka diangkat. Selain kesangsian para hakim-hakim baru, ada juga kesangsian

terhadap para jaksa yang berasal dari masa kolonial yang oleh HIR tidak banyak

ditentukan bahwa dakwaan yang mereka buat tunduk pada peninjauan dan persetujuan

dari Hakim pertama.

Badan peradilan memang banyak mewarisi pemahaman normatif terhadap

peranannya yakni berbeda dengan pengadilan kolonial bagi Golongan Eropa, tidak

mempunyai kemandirian kelembagaan. Landraad juga masih dekat dengan tradisi

Raad van Justitie daripada misalnya, jaksa dengan tradisi officer van Justitie (penuntut

untuk golongan Eropa.

Walaupun kolonialisme tidak dapat mengikis nilai-nilai dasar yang terdapat di

Jawa atau di tempat-tempat lain, kolonialisme menyaring dan memberi bentuk-bentuk

nilai-nilai tersebut, memberlakukan bentuk-bentuk kekuasaan lembaga baru dengan

perbedaan gagasan yang ditentukannya sendiri. Aroma hukum kolonial memang

masih terasa hingga masa orde baru dan reformasi. Kitab Undang-Undang hukum

Pidana masih berlaku termasuk Haatzaai Artikelen (pasal-pasal “penyebaran

kebencian” terhadap pimpinan politik, pejabat atau golongan etnis). Dan sebagaimana

lima puluh tahun silam, kelompok advokat (tidak seluruhnya) adalah pihak yang

paling santer mengeritik. Ketidaksetujuannya terhadap hukum yang majemuk dan

keinginan untuk lebih dibatasinya kekuasaan masih merupakan warna gagasan para

advokat yang sdikit banyak menganut nilai-nilai yang terkandung dalam sistem yang

berlaku bagi golongan Eropa terdahulu. Keinginan para advokat untuk merubah kitab

Page 10: Analisa Buku Daniel s Lev

undang-undang hukum acara memang beberapa tercapai dengan munculnya Undang-

Undang No. 14 tahun 1970 mengenai Organisasi Badan Peradilan dan Undang-

Undang No. 8 tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana (undang-undang ini

merupakan hasil revisi pertama terhadap kitab undang-undang sejak masa kolonial).

DAFTAR PUSTAKA

Page 11: Analisa Buku Daniel s Lev

PRIMER

Lev , Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Cet. Ke-

3. Jakarta: LP3ES, 2013.

SEKUNDER

Buku

Azizi, Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum

Umum). Yogyakarta: Gama Media, 2004.

Nasution, Khoirudin. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yoogyakarta: Academia dan Tazzafa,

2009.

Website

http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2132380-hukum-islam-tentang-

perkawinan-pada/#ixzz2rV4CLzf1, akses pada 20 Januari 2014)

http://ketutwirawan.com/teori-receptio-in-complexu/, akses pada 20 Januari 2014).

http://kia-ns.blogspot.com/2012/04/teori-receptie-receptie-contrario.html, akses pada 20

Januari 2014)