anak aning
-
Upload
iamnotalone7699 -
Category
Documents
-
view
680 -
download
8
Transcript of anak aning
29
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan dan Kebijakan Publik
2.1.1 Pengertian Kebijakan
Istilah kebijakan atau sebagian orang mengistilahkan kebijaksanaan
seringkali disamakan pengertiannya dengan istilah policy. Hal tersebut
barangkali dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang
tepat istilah policy ke dalam Bahasa Indonesia.
Menurut Hoogerwerf dalam Sjahrir (1988, 66) pada hakekatnya pengertian
kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan
upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara
tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah. Sementara James E. Anderson
(1978, 33), memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah
aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu.
Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh
para ilmuwan tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada
hakekatnya studi tentang policy (kebijakan) mencakup pertanyaan : what,
why, who, where, dan how. Semua pertanyaan itu menyangkut tentang
masalah yang dihadapi lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang
30
menyangkut; isi, cara atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu
keputusan itu diambil dan dilaksanakan.
Di samping kesimpulan tentang pengertian kebijakan dimaksud, pada dewasa ini
istilah kebijakan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya
dengan tindakan-tindakan pemerintah serta perilaku negara pada umumnya
(Charles O. Jones,1991, 166)
Setelah memahami dengan seksama pengertian dari kebijakan sebagaimana
diuraikan di atas, adalah penting sekali bagi kita untuk menguraikan makna dari
kebijakan publik, karena pada dasarnya kebijakan publik nyata-nyata berbeda
dengan kebijakan private/swasta (Afan Gaffar, 1991:7). Banyak sekali pengertian
yang telah diungkapkan oleh pakar tentang kebijakan publik, namun demikian
banyak ilmuwan yang merasakan kesulitan untuk mendapatkan pengertian
kebijakan publik yang benar-benar memuaskan. Hal tersebut dikarenakan sifat
dari pada kebijakan publik yang terlalu luas dan tidak spesifik dan operasional.
Luasnya makna kebijakan publik sebagaimana disampaikan oleh Charles O. Jones
(1991, 3) di dalam mendefinisikan kebijakan publik sebagai antar hubungan di
antara unit pemerintah tertentu dengan lingkungannya. Agaknya definisi ini
sangat luas sekali nuansa pengertiannya, bahkan terdapat satu kesan sulit
menemukan hakekat dari pada kebijakan publik itu sendiri.
Santoso (1998:4-8) memisahkan berbagai pandangan tentang kebijakan publik ke
dalam dua kelompok. Pemikiran pertama menyatakan bahwa kebijakan publik
sama dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana yang
31
diungkapkan oleh Thomas K. Dye (1978:3) bahwa "Public policy is whatever
government chose to do or not. to do" (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan).
Meskipun memberikan pengertian kebijakan publik hanya memandang dari satu
sudut saja (yakni pemerintah), namun apa yang diungkapkan oleh Thomas Day
telah memberikan nuansa terhadap pengertian kebijakan publik. Barangkali
semua memahami bahwa kebijakan semata-mata bukan merupakan keinginan
pemerintah, akan tetapi masyarakatpun juga memiliki tuntutan-tuntutan
(keinginan), sebab pada prinsipnya kebijakan publik itu adalah mancakup “apa”
yang dilakukan, “mengapa” mereka melakukannya, dan “bagaimana” akibatnya
(Afan Gaffar, 1991:7).
Di pihak lain Edward C.George III (1980:2) menyatakan bahwa tidak ada definisi
yang tunggal dari kebijakan publik sebagaimana yang dimaksudkan adalah “what
government say and do, or not to do”. Bahkan David Easton (1953:129)
mengemukakan bahwa “Policy is the authoritative allocation of value for the
whole society" (pengalokasian nilai-nilai secara paksa/syah pada seluruh anggota
masyarakat).
Dari definisi ini, maka kebijakan publik meliputi segala sesuatu yang dinyatakan
dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Disamping itu kebijakan
publik adalah juga kebijakan-kebijakan yang dikembangkan/dibuat oleh badan-
badan dan pejabat-pejabat pemerintah (James E. Anderson dalam Abidin, 1984).
Implikasi pengertian dari pandangan ini adalah bahwa kebijakan publik :
32
1.) Lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai
perilaku atau tindakan yang kebetulan;
2.) Pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling terkait;
3.) Bersangkutan dengan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah
dalam bidang tertentu atau bahkan merupakan apa yang pemerintah
maksud atau melakukan sesuatu atau menyatakan melakukan sesuatu;
4.) Bisa bersifat positif yang berarti merupakan beberapa bentuk tindakan
(langkah) pemerintah mengenai masalah tertentu, dan bersifat negatip
yang berarti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan
sesuatu;
5.) Kebijakan publik setidak-tidaknya dalam arti positip didasarkan atau
selalu dilandaskan pada peraturan atau undang-undang yang bersifat
memaksa (otoratif).
Pandangan lainnya dari kebijakan publik, melihat kebijakan publik sebagai
keputusan yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu, berupa serangkaian
instruksi dan pembuatan keputusan kepada pelaksana kebijakan yang
menjelaskan tujuan dan cara mencapai tujuan. Hal ini sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh Soebakti dalam Samodro Wibowo (1994:190) bahwa
kebijakan negara merupakan bagian keputusan politik yang berupa program
perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat negara. Kesimpulan dari
pandangan ini adalah: pertama, kebijakan publik sebagai tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah dan kedua kebijakan publik sebagai keputusan
pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu.
33
Dari beberapa pandangan tentang kebijakan negara tersebut, dengan mengikuti
paham bahwa kebijakan negara itu adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan
dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada
tujuan tertentu demi kepentingan seluruh rakyat, maka M. Irfan Islamy (1997:20)
menguraikan beberapa elemen penting dalam kebijakan publik, yaitu :
1.) Bahwa kebijakan publik itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan
tindakan-tindakan pemerintah;
2.) Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi
dilaksanakan dalam bentuk yang nyata;
3.) Bahwa kebijakan publik, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak
melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan tertentu;
4.) Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan
seluruh anggota masyarakat.
Definisi tersebut memberikan gambaran pemahaman mengenai kebijakan publik,
yaitu; tindakan, tujuan dan berkaitan dengan urusan publik. Menurut James
Anderson dalam Abidin (1984), kebijakan publik secara konsisten menunjukkan
ciri tertentu yang dilakukan oleh pemerintah.
Analisis kebijakan sendiri merupakan suatu aktivitas intelektual dan praktis yang
ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan
pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (William N, Dunn, 2000).
Hasil dari analisis kebijakan pada umumnya sebuah rekomendasi kebijakan yang
lebih lanjut atau kebijakan alternatif yang lain.
34
2.1.2 Proses Analisis Kebijakan Publik
Para pengambil keputusan dalam mengambil sebuah kebijakan yang akan
digunakan terlebih dahulu melakukan sebuah analisis kebijakan yang hendak
dibuat. Dalam membuat analisis kebijakan, dikenal langkah-langkah yang
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengenalan, perumusan dan perincian masalah
2. Penetapan kriteria evaluasi
3. Identifikasi kemungkinan dan alternatif
4. Evaluasi alternatif
5. Penjabaran pemilihan alternatif
6. Pengawasan dan evaluasi rencana/hasil kebijakan.
Gambar 5.
Proses Dasar Analisis Kebijakan
Pengenalan, Perumusan
Penetapan Kriteria Evaluasi
Identifikasi Alternatif Rencana / Kebijakan
Evaluasi Alternatif Rencana / Kebijakan
Penjabaran dan Pemilihan Alternatif Kebijakan
Pengawasan dan Evaluasi Hasil Rencana / Kebijakan
Sumber : Patton & Sawicki, 1986
35
Proses analisis kebijakan diatas menggambarkan sebuah bentuk dasar dari proses
perencanaan dan pengambil keputusan yang sering dijumpai dalam konteks
perencanaan wilayah dan kota. Proses dasar yang dilakukan juga dapat dilihat
secara diagramatis pada gambar 6 di atas.
2.2 Konsepsi Masalah (Isu) Publik sebagai Agenda Kebijakan
Sebuah kebijakan lahir karena ada suatu masalah yang hendak dipecahkan
(Abidin, 2004:103). Oleh karena itu, kebijakan merupakan alat atau cara untuk
memecahkan masalah yang sudah ada sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar
pembuatan kebijakan adalah masalah. Jika tidak ada masalah tidak perlu ada suatu
kebijakan baru.
Kebijakan sebagai instrumen pengelolaan pemerintahan merupakan mata rantai
utama dalam operasionalisasi fungsi kepemerintahan (governance). Sebagai mata
rantai utama, jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan
di dalam negara, konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah dalam fungsi
implementatifnya. Permasalahan kebijakan yang terjadi umumnya baru dirasakan
saat sebuah kebijakan tersebut dilaksanakan, para pembuat kebijakan (policy
maker) atau pelaksana (implementor) baru menjerit dan sadar akan kesalahannya
ketika terjadi kondisi implementasi yang buruk (bad implementation).
Dalam kondisi yang teramat sulit, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan
penolakan atau pengabaian oleh elemen-elemen yang secara legal terlibat di
dalamnya. Dalam konteks ini, pemerintah telah bertindak sangat tidak efektif
karena telah mengeluarkan demikian banyak energi untuk suatu kebijakan yang
36
tidak mampu diimplementasikan, apalagi mampu mengatasi masalah kebijakan
secara tuntas.
Ada persoalan proses kebijakan yang paling pokok terjadi, yaitu sesuatu yang
disebut sebagai kesalahan tipe ketiga; yaitu memecahkan masalah yang salah.
Rasionalitas yang dikembangkan terhadap sebuah isu kebijakan dilakukan dengan
pilihan yang tidak disadari, tidak kritis serta justru sering mengacaukan secara
serius konseptualisasi masalah substantif dan solusinya yang potensial (Hoss,
Tribe dalam Hutagalung, 2008).
Hadirnya isu kebijakan dari opini dalam masyarakat bersifat kompleks karena
menyangkut berbagai faktor yang menjadi latar belakang. Kemampuan
mengidentifikasi dan melihat gambaran besar dari faktor tersebut menjadi awal
yang menentukan proses selanjutnya. Apakah isu tersebut adalah memiliki
implikasi yang sangat kuat dalam mengatasi persoalan yang melatarbelakanginya
secara siginifikan. Melalui pertanyaan itu dapat ditentukan pentingnya isu menjadi
masalah dan menjalani proses kebijakan selanjutnya.
Dengan demikian, kemampuan analisis kebijakan publik memiliki peran sangat
menentukan. Kemampuan rasionalitas erotetik dalam mengelola isu,
metamasalah, dan masalah formal dalam proses kebijakan merupakan penentu
utama dalam efektifnya desain sebuah rumusan masalah yang menjadi input
dalam proses kebijakan.
Melihat banyaknya kebijakan yang bermasalah, maka sudah sepantasnya jika
sebagai pelaku kebijakan, pemerintah pusat, daerah dan stakeholder yang lain
memiliki perhatian yang lebih baik dalam konteks ini. Kemampuan memahami
37
masalah sebagai bagian besar dari mengatasi keseluruhan persoalan merupakan
modal untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih baik.
2.2.1 Makna Isu Kebijakan dan Dinamikanya
Sekalipun harus diakui dalam pelbagai literatur istilah isu itu tidak pernah
dirumuskan dengan jelas, namun sebagai suatu "technical term' utamanya dalam
konteks kebijakan publik, muatan maknanya lebih kurang sama dengan apa yang
kerap disebut sebagai "masalah kebijakan" (policy problem). Dalam analisis
kebijakan publik, konsep ini menempati posisi sentral.
Hal tersebut mungkin ada kaitannya dengan fakta, bahwa proses pembuatan
kebijakan publik apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of a
problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu). Misalnya, gagalnya kebijakan
tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang
dianggap memuaskan.
Tapi, pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan publik juga
bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama
dipersepsikan sebagai "belum pernah tersentuh" oleh pemerintah atau
ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai
membangkitkan tingkat perhatian tertentu. (Wahab : 2001:35)
Jadi, pada intinya isu kebijakan (policy issues) lazimnya muncul karena telah
terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah
atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter
permasalahan itu sendiri.
38
Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari adanya
perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu
masalah tertentu (Dunn, 1990). Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung
makna adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan
positif tertentu dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersepsikan sebagai
memiliki nilai potensial yang signifikan (Hogwood dan Gunn, 1996).
Dipahami seperti itu, maka isu bisa jadi merupakan kebijakan-kebijakan alternatif
(alternative policies) atau suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan
kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang
dianggap bermanfaat bagi mereka (Alford dan Friedland, 1990: 104). Singkatnya,
timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah terjadi konflik atau
"perbedaan persepsional" di antara para aktor atas suatu situasi problematik yang
dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.
Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah proses
dengan mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna
tertentu atas pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari
luar dirinya. Singkatnya, persepsi adalah "lensa konseptual" (conceptual lense)
yang pada diri individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami
suatu masalah (Allison, 1971).
Karena dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman, dan tentu saja
perumusan atas suatu isu sesungguhnya amat bersifat subjektif. Dilihat dari sudut
pandang ini, maka besar kemungkinan masing-masing orang, kelompok atau
pihak-pihak tertentu dalam sistem politik yang berkepentingan atas sesuatu isu
39
akan berbeda-beda dalam cara memahami dan bagaimana merumuskannya.
Persepsi ini, pada gilirannya juga akan mempengaruhi terhadap penilaian
mengenai status peringkat yang terkait pada sesuatu isu.
Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan dapat
dibagi menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder, isu
fungsional, dan isu minor (Dunn, 1990). Kategorisasi ini menjelaskan bahwa
makna penting yang melekat pada suatu isu akan ditentukan oleh peringkat yang
dimilikinya. Artinya, makin tinggi status peringkat yang diberikan atas sesuatu
isu, maka biasanya makin strategis pula posisinya secara politis.
2.2.2 Pentingnya Masalah Publik sebagai Isu Kebijakan
Sedikitnya ada dua alasan yang dapat dikemukakan mengenai hal ini. Pertama,
sebagai telah disinggung di muka, proses pembuatan kebijakan publik di sistem
politik mana pun lazimnya berangkat dari adanya tingkat kesadaran tertentu atas
suatu masalah atau isu tertentu. Kedua, derajat keterbukaan yakni tingkat relatif
demokratis atau tidaknya suatu sistem politik, di antaranya dapat diukur dari cara
bagaimana mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda kebijakan pemerintah,
dan pada akhirnya menjadi kebijakan publik (Wahab:2001:38).
Artinya, yang dimaksud dengan kebijakan publik ialah tindakan (politik) apa pun
yang diambil oleh pemerintah (pada semua level) dalam menyikapi sesuatu
permasalahan yang terjadi dalam konteks atau lingkungan sistem politiknya.
Dipahami seperti ini, maka perilaku kebijakan (policy behavior) akan mencakup
pula kegagalan bertindak yang tidak disengaja, dan keputusan yang disengaja
40
untuk tidak berbuat sesuatu apa pun, semisal tindakan-tindakan tertentu yang
dilakukan (baik secara sadar atau tidak), untuk menciptakan rintangan-rintangan
(constraints) tertentu agar publik atau masyarakat tidak dapat menyikapi secara
kritis terhadap kebijakan pemerintah (Bachrach dan Baratz, 1962; Heclo, 1972).
2.2.3 Kriteria Isu (Masalah) Publik sebagai Agenda Kebijakan
Dalam sejumlah literatur (Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980;
Hogwood dan Gunn, 1986) memang disebutkan bahwa secara teoritis, suatu isu
akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan
agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa kriteria tertentu. Diantara
sejumlah kriteria itu yang penting ialah:
1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak
lagi bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu
ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan
krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang.
2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat
menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.
3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang
banyak bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa
liputan media massa yang luas.
4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam
masyarakat.
6. Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya
sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.
41
Di sisi lain Abidin (2004:107) menambahkan bahwa masalah publik dapat dibagi
ke dalam masalah strategis dan masalah yang tidak strategis (taktis). Masalah
strategis adalah masalah yang antara lain memenuhi keempat syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Luas cakupanya. Artinya, wawasan cakupannya tidak hanya meliputi satu
sektor atau satu wilayah saja, tetapi meliputi beberapa sektor/wilayah.
2. Jangka waktunya panjang. Pengertian ini erat hubungannya dengan tujuan dari
perencanaan jangka panjang. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa penyelesaian
masalah memerlukan waktu yang panjang dan dampak yang ditimbulkan bisa
jadi mempunyai akibat yang jauh ke depan.
3. Mempunyai keterkaitan yang luas. Substansi permasalahan dan cara-cara
penyelesaiannya menyangkut banyak pihak dalam masyarakat
4. Mengandung resiko dan kemungkinan keuntungan yang besar. Rugi yang
ditimbulkan atau hasil yang mungkin diperoleh akibat dari penanganan
masalah tersebut cukup besar baik dalam nilai uang maupun dalam nilai sosial
lainnya yang tidak dapat dinilai dengan uang.
Oleh karena itu, tidak semua masalah atau isu akan masuk ke dalam agenda
kebijakan. Lester dan Steward dalam Winarno (2002 : 60) menyatakan bahwa
suatu isu akan mendapat perhatian bila memenuhi beberapa kriteria yakni :
1. Bila suatu isu telah melampaui proporsi suatu krisis dan tidak dapat terlalu
lama didiamkan.
2. Suatu isu akan mendapat perhatian bila isu tersedbut mempunyai sifat
partikularitas, di mana isu tersebut menunjukkan dan mendramatisir isu yang
lebih besar.
42
3. Mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena
faktor human interest.
4. Mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan legitimasi dari
masyarakat.
5. Isu tersebut sedang menjadi trend atau sedang diminati oleh banyak orang.
2.2.4 Kajian Isu Publik untuk Pembahasan Rumusan Masalah
Kriteria sesuatu menjadi isu dan masalah publik sebagai dasar penetapan
kebijakan atau agenda kebijakan di atas sesungguhnya memiliki derajat
kredibilitas dan makna ilmiah yang cukup tinggi. Dalam konteks Perencanaan
Kota Baru Lampung di Natar yang diikhtiarkan untuk menjawab isu dan masalah
(publik) yang dihadapi oleh Kota Bandar Lampung, maka kriteria tersebut akan
dijadikan sebagai parameter sekaligus sebagai kerangka acuan untuk melakukan
evaluasi terhadap isu-isu publik yang teridentifikasi.
Artinya, kriteria dan teori tersebut akan dijadikan dasar pijakan untuk menilai
apakah masalah dan isu (publik) yang dihadapi oleh Kota Bandar Lampung telah
memenuhi unsur-unsur tersebut sehingga kebijakan Pemindahan Pusat
Pemerintahan Provinsi Lampung dengan pengembangan Kota Baru Lampung ke
Natar dapat dilakukan. Jika memenuhi unsur dan kriteria tersebut, maka terdapat
relevansi antara masalah dengan kebijakan yang diambil sebagai agenda setting
atau sebaliknya jika isu yang ada tidak memenuhi unsur tersebut maka tidak
terdapat relevansi antara masalah dan kebijakan yang diambil.
43
2.3 Model-Model Perumusan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang rumit. Oleh karena itu,
beberapa ahli mengembangkan model-model perumusan kebijakan publik untuk
mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih mudah dipahami. Dengan
demikian, pembuatan model-model perumusan kebijakan digunakan untuk lebih
menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang berlangsung secara rumit
tersebut.
2.3.1 Model Sistem
Paine dan Naumes menawarkan suatu model proses pembuatan kebijakan
merujuk pada model sistem yang dikembangkan oleh David Easton. Model ini
menurut Paine dan Naumes merupakan model deskripitif karena lebih berusaha
menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembuatan kebijakan.
Menurut Paine dan Naumes, model ini disusun hanya dari sudut pandang para
pembuat kebijakan. Dalam hal ini para pembuat kebijakan dilihat perannya dalam
perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah yang
akan (1) menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan
internal dan eksternal, (2) memuaskan permintaan lingkungan, dan (3) secara
khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu
sendiri.
Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan oleh Easton, Paine dan
Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang
terjadi antara lingkungan dengan para pembuat kebijakan dalam suatu proses yang
dinamis.
44
Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terdiri dari
interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan dengan
lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs
dan outputs). Keluaran yang dihasilkan oleh organisasi pada akhirnya akan
menjadi bagian lingkungan dan seterusnya akan berinteraksi dengan organisasi.
Paine dan Naumes memodifikasi pendekatan ini dengan menerapkan langsung
pada proses pembuatan kebijakan.
Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatu
sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang
merupakan kondisi atau keadaan yang berada diluar batas-batas politik. Kekuatan-
kekuatan yang timbul dari dalam lingkungan dan mempengaruhi sistem politik
dipandang sebagai masukan-masukan (inputs) sebagai sistem politik, sedangkan
hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tanggapan
terhadap tuntutan-tuntutan tadi dipandang sebagai keluaran (outputs) dari sistem
politik.
Sistem politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling
berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai
bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik merupakan
alokasi-alaokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini
merupakan kebijakan politik. Di dalam hubungan antara keduanya, pada saatnya
akan terjadi umpan balik antara output yang dihasilkan sebagai bagian dari input
berikutnya. Dalam hal ini, berjalannnya sistem tidak akan pernah berhenti.
45
Konseptualisasi kegiatan-kegitan dan kebijakan publik ini dapat dilihat dalam
Gambar 2.2.
Gambar 6.
Kerangka Kerja Sistem yang Dikembangkan Easton INPUTS A OUTPUTS POLITICAL SISTEM FEEDBACK
Gambar ini adalah suatu versi yang disederhanakan dari gagasan ilmu politik
yang dijelaskan panjang lebar oleh seorang ilmuwan politik bernama David
Easton. Pemikiran sistem politik yang dikemukakan oleh Easton ini, baik secara
implisit atau eksplisit telah digunakan oleh banyak sarjana untuk melakukan
analisis mengenai sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi yang timbul akibat
adanya kebijakan publik.
Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari suatu sistem
politik. Konsep ”sistem” itu sendiri menunjuk pada seperangkat lembaga dan
kegiatan yang dapat diidentifikasi dalam masyarakat yang berfunsi mengubah
tuntutan-tuntutan (demands) menjadi keputusan-keputusan yang otoritatif. Konsep
”sistem” juga menunjukkan adanya saling hubungan antara elemen-elemen yang
membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menanggapi
kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Masukan-masukan diterima oleh sistem
politik dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan dukungan.
46
Gambar 7.
Model Pembuatan Kebijakan yang Dikembangkan Oleh Pained dan Naumes
Strukture Roles, Program Self-interest or Values Politicall Resources
Environmental Forces- External dan Internal Interaction For Demands Requirements ces & Structure
Opportunities Capabilities Support Objective, Strategies Change in Environmental Role Performance Forces Organization Outcomes (Inputs) (Feedback) (Outputs)
Tuntutan-tuntutan timbul bila individu atau kelompok-kelompok dalam sistem
politik memainkan peran dalam mempengaruhi kebijakan publik. Kelompok-
kelompok ini secara aktif berusaha mempengaruhi kebijakan publik. Sedangkan
dukungan (supports) diberikan bila individu-individu atau kelompok-kelompok
dengan cara menerima hasil-hasil pemilihan-pemilihan, mematuhi undang-
undang, membayar pajak dan secara umum mematuhi keputusan-keputusan
kebijakan. Suatu sistem menyerap bermacam-macam tuntutan yang kadangkala
bertentangan antara satu dengan yang lain.
Untuk mengubah tuntutan-tuntutan menjadi hasil-hail kebijakan (kebijakan-
kebijakan publik), suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian-penyelesaian
pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian-penyelesaian ini pada
47
pihak yang bersangkutan. Oleh karena suatu sistem dibangun berdasarkan elemen-
elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi
antara berbagai subsistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui
tiga hal, yakni: 1) menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan, 2)
menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri, dan
3) menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan
otoritas).
Dengan penjelasan yang demikian, maka model ini memberikan manfaat dalam
membantu mengorganisaikan penyelidikan terhadap pembentukan kebijakan.
Selain itu, model ini juga menyadarkan mengenai beberapa aspek penting dari
proses perumusan kebijakan, seperti misalnya bagaimana masukan-masukan
lingkungan mempengaruhi substansi kebijakan publik dan sistem politik?
Bagaimana kebijakan publik mempengaruhi lingkungan dan tuntutan-tuntutan
berikut sebagai tindakan? Kekuatan-kekuatan atau faktor-faktor apa saja dalam
lingkungan yang memainkan peran penting untuk mendorong timbulnya tuntutan-
tuntutan pada sistem politik.
2.3.2 Model Rasional Komprehensif
Model ini merupakan model perumusan kebijakan yang paling terkenal dan juga
paling luas diterima para kalangan pengkaji kebijakan publik. Pada dasarnya
model ini terdiri dari beberapa elemen, yakni :
1. Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini
dapat dipisahkan dengan masalah-masalah lain atau paling tidak masalah
48
tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah-
masalah yang lain.
2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang mengarahkan pembuat
keputusan dijelaskan dan disusun menurur arti pentingnya.
3. Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4. Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap
pemilihan alternatif diteliti.
5. Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan
dengan alternatif-alternatif lain. Pembuat keputusan memiliki alternatif
beserta konsekuensi-konsekuensinya yang memaksimalkan pencapaian tujuan,
nilai- atau sasaran-sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan suatu keputusan rasional, yaitu
keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.
2.3.3 Model Penambahan
Kritik terhadap model rasional komprehensif akhirnya melahirkan model
penambahan atau inkrementalisme. Oleh karena itu berangkat dari kritik terhadap
model rasional komprehensif, maka model ini berusaha menutupi kekurangan
yang ada dalam model tersebut dengan jalan menghindari banyak masalah yang
ditemui dalam model rasional komprehensif.
Model ini lebih bersifat deskriptif dalam pengertian, model ini menggambarkan
secara aktual cara-cara yang dipakai para pejabat dalam membuat keputusan. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan
(inkrementalisme), yakni:
49
1. Pemilihan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dan analisis-analisis empirik
terhadap tindakan dibutuhkan. Keduanya lebih berkaitan erat dengan dan
bukan berada satu sama lain.
2. Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk
menaggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif-alternatif ini hanya berada
secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
3. Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa
konsekuensi yang dianggap penting saja.
4. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara
berkesinambungan. Inkrementalisme memungkinkan penyesuaian-
penyesuaian sarana-tujuan dan tujuan-sarana sebanyak mungkin sehingga
memungkinkan masalah dapat dikendalikan.
5. Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap ”tepat”
pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik bahwa persetujuan terhadap
berbagai analisis dalam rangka memecahkan persoalan tidak diikuti
persetujuan bahwa keputusan yang diambil merupakan sarana yang paling
cocok untuk meraih sasaran yang telah disepakati.
6. Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial
dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan
sosial yang nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa
depan.
Inkrementalisme merupakan proses pembuatan keputusan-keputusan dan
kebijakan-kebijakan yang merupakan hasil kompromi dan kesepakatan bersama
antara banyak partisipan. Dalam kondisi seperti ini, keputusan yang bijaksana
50
akan lebih mudah dicapai kesepakatan bila persoalan-persoalan yang
dipersengketakan berbagai kelompok dalam masyarakat hanya berupa perubahan-
perubahan terhadap program-program yang sudah ada atau hanya menambah atau
mengurangi anggaran belanja.
Sementara itu, konflik biasanya akan meningkat bila pembuat keputusan
memfokuskan pada perubahan-perubahan kebijakan besar yang dapat
menimbulkan keuntungan atau kerugian besar. Karena ketegangan politik yang
timbul demikian besar dalam menetapkan program-program atau kebijakan baru,
maka kebijakan masa lalu diteruskan untuk tahun depan kecuali bila terdapat
perubahan politik secara substansial. Dengan demikian, pembuatan keputusan
secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik,
memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.
Menurut pandangan kaum inkrementalis, para pembuat keputusan dalam
menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan
dengan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka
keputusan-keputusan inkremental dapat mengurangi resiko atau biaya
ketidakkepastian itu. Inkrementalisme juga mempunyai sifat realistis karena
didasari kenyataan bahwa para pembuat keputusan kurang waktu, kecakapan dan
sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk melakukan analisis yang menyeluruh
terhadap semua penyelesaian alternatif masalah-masalah yang ada.
Di samping itu, pada hakikatnya orang ingin bertindak secara pragmatis, tidak
selalu mencari cara hingga yang paling baik dalam menanggulangi suatu masalah.
51
Singkatnya, inkrementalisme menghasilkan keputusan-keputusan yang terbatas,
dapat dilakukan dan diterima.
2.3.4 Model Penyelidikan Campuran
Ketiga model yang telah dipaparkan sebelumnya, yakni model sistem, model
rasional komprehensif dan model inkremental pada dasarnya mempunyai
keunggulann dan kelemahannya masing-masing. Oleh karena itu, dalam rangka
mencari model yang lebih komprehensif, Amitai Etzioni mencoba membuat
gabungan antara keduanya dengan menyarankan penggunaan mixedscanning.
Pada dasarnya ia menyetujui model rasional, namun dalam beberapa hal ia juga
mengkritiknya. Demikian juga, ia melihat pula kelemahan-kelemahan model
pembuatan keputusan inkremental.
Menurtu Etzioni, keputusan yang dibuat para inkrementalis merefleksikan
kepentingan kelompok-kelompok yang paling kuat dan terorganisir dalam
masyarakat, sementara kelompok-kelompok yang lemah tidak terorganisir secara
politik diabaikan. Di samping itu, dengan memfokuskan pada kebijakan-kebijakan
jangka pendek dan terbatas, para inkrementalis mengabaikan pembaruan sosial
yang mendasar. Keputusan-keputusan yang besar dan penting, seperti pernyataan
perang dengan negara lain tidak tercakup dengan inkrementalisme. Sekalipun
jumlah keputusan yang dapat diambil dengan menggunakan model rasional
terbatas, tetapi keputusan-keputusan yang mendasar menurut Etzioni adalah
sangat penting dan seringkali memberikan suasana bagi banyak keputusan yang
bersifat inkremental.
52
Etzioni memperklenalkan mixed scanning sebagai suatu pendekatan terhadap
pembuatan keputusan yang memperhitungkan keputusan-keputusan pokok dan
inkremental, menetapkan proses-proses pembuat kebijakan pokok urusan tinggi
yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan
keputusan-keputusan pokok dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai.
Untuk menjelaskan mixed scanning, Etzioni memberi gambaran sebagai berikut:
”kita beranggapan akan membuat sistem pengamatan cuaca seluruh dunia dengan menggunakan satelit-satelit cuaca”.
Pendekatan rasionalitas akan menyelidiki keadaan-keadaan cuaca secara
mendalam dengan menggunakan kamera-kamera yang mampu melakukan
pengamatan-pengamatan dengan teliti dan dengan pemeriksaan-pemeriksaan
terhadap seluruh angkas sesering mungkin. Hal ini akan memberikan banyak hasil
pengamatan secara terperinci, biaya yang mahal untuk menganalisisnya dan
kemungkinan membebani kemampuan-kemampuan untuk mengambil tindakan.
Inkrementalisme akan memusatkan pada daerah-daerah itu serta pola-pola yang
serupa yang berkembang pada waktu yang baru lalu dan barangkali terdapat
diwilayah terdekat. Dengan demikian, inkrementalisme mungkin tidak dapat
mengamati tempat-tempat yang kacau di daerah-daerah yang tidak dikenal.
Strategi penyelidikan campuran (mixed scanning strategy) menggunakan elemen-
elemen dari dua pendekatan dengan menggunakan dua kamera, yakni sebuah
kamera dengan sudut pandang lebar yang mencakup semua bagian luar angkasa,
tetapi tidak sangat terperinci dan kamera yang kedua membidik dengan tepat
daerah-daerah yang diambil oleh kamera pertama untuk mendapatkan
penyelidikan yang mendalam. Menurut Etzioni, daerah-daerah tertentu mungkin
luput dari penyelidikan campuran ini, namun pendekatan ini masih lebih baik
53
dibandingkan dengan inkrementalisme yang mungkin tidak dapat mengamati
tempat-tempat yang kacau di daerah-daerah yang tidak dikenal.
Dalam penyelidikan campuran para pembuat keputusan dapat memanfaatkan
teori-teori rasional komprehensif dan inkremental dalam situasi-situasi ayang
berbeda. Dalam beberapa hal, mungkin pendekatan inkrementalisme mungkin
telah cukup memadai namun dalam situasi yang lain dimana masalah yang
dihadapi berbeda, maka pendekatan yang lebih cermat dengan menggunakan
rasional komprehensif mungkin jauh lebih memadai.
Penyelidikan campuran juga memperhitungkan kemampuan-kemampuan yang
berbeda dari para pembuat keputusan. Semakinbesar kemampuan para pembuat
keputusan memobilisasi kekuasaan untuk melaksanakan keputusan, maka semakin
besar pula penyelidikan campuran dapat digunakan secara relistis oleh para para
pembuat keputusan. Menurut Etzioni, bila bidang cakupan penyelidikan campuran
semakin besar, maka akan semakin efektif pembuatan keputusan tersebut
dilakukan.
Dengan demikian, penyelidikan campuran merupakan suatu bentuk pendekatan
”kompromi”yang menggabungkan penggunaan inkrementalisme dan rasionalisme
sekaligus. Namun demikian, Etzioni tidak memberi penjelasan yang cukup
memadai menyangkut bagaimana pendekatan itu digunakan dalam praktiknya.
Walaupun begitu, pendekatan yang ditawarkan Etzioni tersebut dapat membantu
mengingatkan kenyataan-kenyataan penting bahwa keputusan berubah secara
besar-besaran dan proses keputusan yang berbeda adalah wajar sejalan dengan
sifat keputusan yang berubah-ubah tadi.
54
2.3.5 Pilihan Model Sistem dalam Pembahasan Rumusan Masalah
Dari keempat model perumusan kebijakan tersebut, beberapa ahli di bidang kajian
politik mengajukan beberapa keberatan dan kritik yang terutama diberikan
terhadap model rasional komprehensif. Pertama, menurut para pengkritik model
rasional komprehensif, para pembuat keputusan tidak dihadapkan pada masalah-
masalah konkrit yang jelas. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan untuk
menyelesaikan masalah tersebut tidak tepat kalau tidak ingin dikatakan
”melenceng” sama sekali.
Kedua, kritik selanjutnya terhadap model rasional komprehenif adalah bahwa
teori rasional komprehensif menurut mereka tidak realistis dalam tuntutan-
tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan. Menurut model rasional
komprehensif, pembuat keputusan akan mempunyai cukup informasi mengenai
alternatif-alternatif yang digunakan untuk menanggulangi masalah. Asumsi yang
digunakan model ini adalah bahwa pembuat keputusan akan mampu membuat
perbandingan-perbandingan alternatif berdasarkan biaya dan keuntungan secara
tepat.
Dalam kenyataannya, seperti diungkapkan oleh para pengkritik model ini,
pemikiran sesaat tentang sumber-sumber informasi dan intelektual yang
dibutuhkan agar dapat bertindak secara rasional mengenai masalah inflasi yang
dikemukakan sebelumnya merupakan hambatan-hambatan terhadap tindakan
rasional yang dinyatakan dalam asumsi-asumsi ini, misalnya kurangnya waktu,
kesulitan mengumpulkan informasi dan meramalkan kerumitan perhitungan-
perhitungan masa depan. Para pembuat keputusan seringkali dihadapkan oleh
waktu yang tidak memadai karena desakan-desakan masalah yang membutuhkan
55
penanganan sesegera mungkin. Hal ini berakibat pada ketidakakuratan informasi
yang digunakan karena proses pengumpulan informasi itu sendiri membutuhkan
waktu yang cukup lama. Ketiga, merujuk pada aspek nilai. Para pembuat
keputusan publik biasanya dihadapkan dengan situasi konflik dari pada
kesepakatan nilai. Sementara nilai-nilai yang bertentangan tersebut tidak mudah
dibandingkan dan diukur bobotnya.
Selain itu, menurut para pengkritik model rasional komprehensif, para pembuat
keputusan mempunyai kemungkinan untuk mengacaukan nilai-nilai pribadi
dengan nilai-nilai publik. Pada akhirnya, seperti diungkapkan oleh para pengkritik
teori ini, asumsi rasionalistik yang menyatakan bahwa fakta-fakta dan nilai-nilai
dapat dipisahkan dengan mudah tidak berlaku dan sulit untuk dilaksanakan.
Kritik keempat terhadap model ini karena dianggap lebih merujuk pada kenyataan
bahwa para pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk menetapkan
keputusan-keputusan berdasarkan tujuan-tujuan masyarakat, tetapi sebaliknya
mereka mencoba memaksimalkan gagasan-gagasan mereka sendiri, seperti
misalnya kekuasaan, kedudukan, motivasi agar dipilih kembali pada pemilu yang
akan datang, uang dan sebagainya.
Kelima, para pembuat keputusan mempunyai kebutuhan-kebutuhan, hambatan-
hambatan, dan kekurangan-kekurangan sehingga menyebabkan mereka tidak
dapat mengambil keputusan-keputusan atas dasar rasionalitas yang tinggi. Kritik
kelima ini lebih didasarkan pada kelemahan-kelemahan yang secara alamiah
dimiliki manusia.
56
Keenam, sekalipun para pembuat keputusan dapat memanfaatkan teknik-teknik
analisis komputer yang paling maju, mereka tidak mempunyai kecakapan yang
cukup untuk menghitung rasio biaya dan keuntungan secara tepat bila sejumlah
nilai-nilai yang berbeda, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya yang menjadi
taruhannya. Ketujuh, investasi-investasi yang besar dalam program-program dan
kebijakan menyebabkan para pembuat keputusan tidak mempertimbangkan lagi
alternatif yang telah diciptakan oleh keputusan sebelumnya.
Kedelapan, terdapat banyak hambatan dalam mengumpulkan semua informasi
yang diperlukan untuk mengetahui semua kemungkinan alternatif dan
konsekuensi-konsekunsi dari masing-masing alternatif, termasuk di dalamnya
biaya pengumpulan informasi, ketersediaan informasi dan waktu yang dibutuhkan
untuk pengumpulannya.
Oleh karena itu, untuk menganalisis tentang substansi input (masukan, agumentasi
dan latar belakang) terhadap kebijakan Perencanaan Kota Baru Lampung di Natar
yang telah lahir menjadi Perda No. 13 Tahun 2007, model perumusan kebijakan
dengan memakai Teori Sistem dianggap memiliki relevansi yang tepat. Input
dapat didentifikasi dengan siapa dan apa, proses akan dianalisis dengan dinamika
apa yang terjadi di dalam pembahasan input baik di Pemerintah Provinsi
Lampung terutama di DPRD Provinsi Lampung. Sedangkan output dapat dilihat
dengan substansi Perda yang berhasil dikeluarkan. Feedback akan dapat dianalisis
dengan melihat sejauh mana Perda kebijakan Perencanaan Kota Baru Lampung di
Natar tersebut memberikan input (tanggapan) baru untuk upaya implementasi dari
kebijakan Perencanaan Kota Baru Lampung di Natar tersebut.
57
2.4 Model Kekuasaan dan Politik dalam Perumusan Kebijakan Publik
2.4.1 Konsepsi Perencanaan Sebagai Sebuah Proses Politik
Ketika perencanaan dipandang sebagai sebuah alat dan metode dalam
pengambilan keputusan dan tindakan publik, maka sudah sewajarnya dipahami
akan adanya dimensi politik dalam perencanaan (Astuti dan Mirmasari, 2002).
Dimensi politik dalam perumusan kebijakan publik merupakan sebuah hal yang
tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan sebagai sebuah tindakan yang
rasional dan ilmiah. Perbedaan dalam proses perencanaan yang teknokratis
dengan perencanaan yang demokratis sangat jelas terlihat dan mempengaruhi
perencana untuk masing-masing konteks. Perbedaan tersebut dapat diamati dalam
tabel berikut.
Tabel 2. Perbedaan Antara Proses Pengambilan Keputusan Teknokratis
dengan Proses Pengambilan Keputusan Demokratis
Aspek Perbandingan Pengambilan Keputusan Secara Teknokratis
Pengambilan Keputusan Secara Demokratis
Pihak yang paling berperan dalam proses pengambilan keputusan
Tenaga ahli dari pemerintah Masyarakat dan lembaga atau organisasi masyarakat
Asumsi yang digunakan
� Tenaga ahli memiliki keahlian untuk mempertimbangkan keputusan yang paling menguntungkan dan dapat meminimasi kerugian yang mungkin ditimbulkan.
� Masyarakat mungkin terlibatsecara emosional dengan isu terkait sehingga tidak bisa bertindak secara rasional.
� Masyarakat yang langsung terkena dampak mengatahui penilaian yang pantas untuk diberikan untuk sebuah persoalan
� Suara masyarakat menentukan hal yang menjadi persoalan publik
Kriteria dalam evaluasi kebijakan
Efisiensi dan rasionalitas Keterjangkauan proses dan tanggapan atas kebijakan bagi mereka yang terkena dampak keputusan
Sumber : Kweit dalam Astuti dan Mirmasari, 2002
58
2.4.2 Relasi Power (Kekuasaan) dan Knowledge (Pengetahuan)
Dalam memahami kekuasaan sebagai sebuah bagian dari perencanaan, maka
harus dapat dilihat pada sebuah titik tolak, yaitu bahwa peran kekuasaan dalam
sebuah perencanaan ialah proses dalam mempengaruhi keputusan publik yang
dibuat dan produk perencanaan yang dihasilkan. Proses perencanaan akan selalu
menjadi sebuah proses dalam mempengaruhi alternatif-alternatif yang mungkin
diambil dalam penataan ruang sebuah kota atau wilayah.
Istilah kekuasaan banyak mengalami proses diskursus dan transformasi persepsi
serta pemahaman dari waktu ke waktu. Koneksitas antara kekuasaan dan
pengetahuan menjadi sebuah diskusi yang menarik diantara para ahli organisasi
dan filsafat. Dua ahli yang sangat terkenal membahas koneksitas pengetahuan dan
power adalah Michael Foucault (1926-1984) dan Francis Bacon (1561-1626).
Francis Bacon memulai diskursus mengenai koneksitas kekuasaan dan
pengetahuan pada abad 17. Bacon memiliki sebuah kutipan yang sangat terkenal
yaitu ”knowledge it self is power”. Pendapat ini didasari pada sebuah keyakinan
bahwasanya suatu saat semua persoalan manusia akan dapat diselesaikan melalui
ilmu pengetahuan. Bacon mendasarkan pendapatnya setelah kemajuan yang
signifikan dicapai oleh bangsa Eropa setelah mengambil teknologi yang dimiliki
bangsa Islam di Cordoba.
Pemikiran empirisme sangat mendominasi ide rasionalitas yang membangun
kekuatan, atau dengan kata lain wacana yang memberikan kekuasaan kepada
manusia baik untuk mensejahterakan maupun menindas. Wacana empirisme
terhadap kekuatan membuat sebuah superioritas pengetahuan terhadap aspek
59
lainnya, dengan sebuah stigma awal bahwasanya pengetahuan yang membentuk
peradaban manusia begitu juga kekuatan yang dimiliki untuk membentuk
peradaban itu sendiri.
Di spektrum lainnya, berdiri pemikiran Foucault mengenai relasi antara kekuasaan
dan pengetahuan. Foucault merupakan filosof yang menjadi gerbong gerakan
filosofi post-modern di dunia bersama dengan Jacques Derrida. Pemikirannya
dilandasi oleh sebuah pemikiran kritis terhadap pemikiran pada masa lalu, ia
menganggap bahwa pemikiran dapat mengalami proses seiring perjalanan waktu.
Foucault mengkritik pemikiran dari Bacon dan memunculkan pemikiran baru
yaitu “power/knowledge”. Foucault melakukan sebuah demistifikasi terhadap
sebuah makna power terhadap sebuah hubungan resiprokal, mutualisme antara
sirkulasi pengetahuan dengan kekuatan untuk mengendalikan. Foucault
menyatakan dalam bukunya “power/knowledge” (1980), bahwa power adalah
sebuah mekanisme yang menciptakan rasionalitas hukum dan pengetahuan
sebagai sebuah alat untuk menegakkan kekuasaan yang lebih besar.
Analogi pernyataan ini adalah seperti tidak ada kriminologi tanpa penjara, tidak
ada teknologi forensik tanpa polisi atau tidak ada obat tanpa ada klinik, yang
menunjukkan sebuah pengetahuan tidak lebih dari sekedar perangkat dalam
memaksa individu-individu untuk mematuhi kekuasaan yang ada.
power/knowledge menunjukkan sebuah hubungan positif antara kekuasaan dan
pengetahuan. Menurut Foucault, yang mendasari ahli lain seperti Luke, Dahl,
Clegg, dan Giddens, dalam membuat pemahaman baru mengenai fungsi, definisi
dan posisi power dalam konteks relasi dengan pengetahuan.
60
Luke (1974) mengungkapkan konsepsi kekuasaan sebagai sebuah kepentingan
dalam berusaha memenuhi kepentingan rakyat dengan menguasai atau
menghindari oposisinya. Dahl (1986) mengungkapkan kekuasaan sebagai suatu
kemampuan untuk mempengaruhi seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang
bilamana tanpa itu maka ia takkan mengerjakannya. Mirip dengan Dahl, Wrong
(1979, dalam Clegg, 1989) menginterpretasikan kekuasaan sebagai sebuah
kapasitas yang dimiliki seseorang untuk menghasilkan efek yang dikehendaki dan
nyata terhadap orang lain.
Kekuasaan secara etimologis (dalam KBBI) merupakan kesanggupan,
kemampuan, kuasa untuk menentukan, mengatur dan kemampuan orang/golongan
untuk mempengaruhi orang/golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang
atau kekuatan fisik. Kekuasaan dan pengaruh merupakan istilah yang digunakan
untuk menggambarkan relasi atau aktivitas yang merupakan bagian dari politik
(Dwicaksono,2003).
Barnes (1989) mengungkapkan konsep power sebagai sebuah entitas dari sebuah
prilaku, proses atau agen yang dimiliki. Barnes menyebutkan tiga dimensi dari
kekuasaan yang mungkin dimiliki oleh seseorang, pertama kekuatan fisik, kedua
kekuatan karisma, dan ketiga kekuatan posisi atau kedudukan yang dimilikinya
dalam sebuah kelompok.
Menurut Culver dan Syer (dalam Dwicaksono,2003) kekuasaan (power) dapat
dibagi menjadi dua yaitu kekuasaan individu dan kelompok. Dalam kekuasaan
individu faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah sumber daya yang dimiliki,
61
keinginan untuk menggunakan sumber daya tersebut, dan kemampuan untuk
menggunakan sumber daya yang dimilikinya.
Pengertian sumber daya yang dikaji ini bermakna luas. Secara umum jenis
kepemilikan sumber daya yang dimiliki yang mempengaruhi tingkat kekuasaan,
yaitu:
1. Kepemilikan yang meliputi informasi, ekonomi dan lain-lain
2. Atribut yang melekat pada kepribadian seseorang
3. Kemampuan tambahan
Agak berbeda dengan kekuasaan individu, pada kekuasaan kelompok sumber
daya dimiliki oleh keanggotaan dari kelompok tersebut (Dwicaksono,2003).
Dengan berkumpulnya individu-individu yang memiliki sumber daya, maka
kelompok tersebut akan memiliki akumulasi yang dimiliki oleh individu-individu
yang dimiliki di dalam kelompok tersebut.
Pada akhirnya kekuasaan-kekuasaan individu tersebut akan dijadikan sebagai
sebuah bentuk kekuasaan kelompok dalam melaksanakan agenda yang telah
disepakati oleh kelompok tersebut. Kekuasaan yang dimiliki oleh individu
tersebut merupakan sebuah modal yang akan dipakai oleh kelompok tersebut
untuk mempengaruhi kelompok lain untuk turut mendukung agenda kelompok
tersebut. Dalam konteks perumusan kebijakan publik, yang berupa produk
perencanaan, kelompok yang memiliki kekuasaan akan menggunakan
kekuasaannya tersebut untuk mempengaruhi keputusan publik yang hendak
dibuat, sehingga dapat sesuai dengan agenda yang ingin dicapai oleh kelompok
tersebut.
62
2.4.3 Partisipasi dalam Perencanaan
Wacana tentang partisipasi publik dalam perencanaan dan pengelolaan sektor
publik sebenarnya mendapat perhatian. Di Amerika wacana ini muncul sejak
akhir tahun 1950-an, sementara di Inggris sejak awal tahun 1960-an dan Australia
menyusul pada tahun 1970-an. Wacana ini berkembang sejalan dengan perubahan
struktur politik yang mengarah kepada sistem yang disebut sebagai demokrasi.
Proses demokratisasi ini pada suatu saat akan mendorong terbentuknya suatu
tatanan masyarakat untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan publik.
Paradigma perencanaan sebagai sebuah domain publik merupakan sebuah
paradigma yang lahir dari tradisi perencanaan sebagai sebuah proses pembelajaran
sosial. Dari hal tersebut maka lahir sebuah konsekuensi logis perencanaan yang
berbasiskan diri kepada masyarakat dengan peran perencana yang berbeda dengan
perencana sebagai sebuah alat dalam mempertahankan power yang dimiliki.
Terminologi perencanaan partisipatif pertama kali dicetuskan oleh John Friedman
pada tahun 1973 sebagai sebuah cerminan dari goncangan yang terjadi pada
paradigma perencana yang terjadi di Amerika Serikat. Kritikan dilancarkan oleh
John Friedman kepada paradigma-paradigma perencana awal di Amerika Serikat,
yang hanya memfokuskan diri kepada para pembuat dokumen rencana semata dan
melupakan proses dan hubungan timbal balik antara elemen-elemen sosial di
dalamnya. Inti dari pemikiran John Friedman pada saat itu, ialah perencanaan
’dari bawah’ yang dapat mencerminkan dengan tepat kepentingan rakyat yang
sesungguhnya dari rakyat yang yang terlibat dalam kegiatan kehidupan sosial
mereka (Friedman, 1981).
63
2.4.4 Dimensi Kekuasaan dan Politik dalam Perencanaan
Kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Definisi
tentang kekuasaan terkadang tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan
keputusan. Lasswell (Dalam Dwicaksono, 2003) berpendapat bahwa kekuasaan
adalah partisipasi dalam membuat keputusan yang penting. Sheppered (dalam
Abbot, 1995) berpendapat bahwa proses pengambilan keputusan publik adalah
contoh nyata dari penggunaan kekuasaan. Kekuasaan merupakan sesuatu yang
tidak dapat dilepaskan dari proses pembuatan keputusan yang melipatkan
hubungan antar individu dan kelompok kepentingan dengan negara.
Teori mengenai kekuasaan mengalami metamorfosa dan proses dialektika untuk
menuju sebuah penyempurnaan mengenai pemahaman para ahli mengenai
kekuasaan. Salah satu teori yang terkemuka adalah teori tiga dimensi kekuasaan
yang dikemukakan oleh Luke dan dikembangkan oleh John Gaventa. Teori
tersebut merupakan sebuah evolusi dari teori lain yang berkembang sebelumnya.
Teori yang pertama adalah teori kekuasaan satu dimensi yang dikemukakan oleh
Robert Dahl. Persepektif ini disebut sebagai pendekatan pluralis dan
meningkatkan kepada peningkatan kekuasaan melalui proses pembuatan
kebijakan dan perilaku yang bisa diamati. Persepektif satu dimensi ini
menjelaskan sebuah kondisi dimana salah satu kelompok didominasi oleh
kelompok yang lain, sehingga kelompok yang didominasi tidak bisa melakukan
apapun tanpa ada ’perintah’ dari kelompok yang mendominasi.
Pendekatan pluralis melihat arena politik sebagai sebuah sistem terbuka dengan
kesempatan yang sama dengan semua orang untuk dapat terlibat, bukan hanya
64
berputar disebuah elite saja. Setiap orang akan ikut terlibat dan berpartisipasi
dalam proses kebijakan, apabila merasa terkait dengan satu isu dan ingin
menyampaikan pendapatnya mengenai isu tersebut. Apatisme atau non-partisipasi
merupakan sebuah gambaran dari kurangnya minat terhadap sebuah isu yang
berkembang. Menyadari kondisi masyarakat yang beragam, maka konflik
merupakan sebuah hal yang wajar terjadi sebagai sebuah hasil yang diharapkan
atau sebagai sebuah media untuk menentukan siapa yang menang.
Pendekatan ini mendapatkan kritikan yang menyatakan bahwa ketika pendekatan
satu dimensi ini melihat kekuasaan sebagai sebuah fungsi yang tersembunyi dari
pembuatan kebijakan yang mengamati konflik terbuka melalui partisipasi terbuka,
maka pendekatan itu telah mengabaikan mekanisme politik yang penting.
Seringkali terjadi, dimana kekuasaan menggunakan potensinya untuk mencegah
satu isu untuk diangkat dan menekan partisipasi di dalam arena politik. Isu
potensial dan keluhan tidak pernah terungkapkan karena telah dimatikan oleh
kekuasaan. Pendekatan yang membatasi pada sebuah fenomena yang nampak,
dapat melewatkan fenomena manipulasi dan paksaan yang menyebabkan sebuah
isyu atau suatu kelompok tidak masuk dalam arena politik.
Kritikan terhadap pendekatan satu dimensi melahirkan pendekatan kedua yang
dikemukakan oleh Bachrach dan Baratz yang melihat kekuasaan melalui
pendekatan dua dimensi yang sering disebut sebagai elite model. Dimensi pertama
melihat arena sebagai sebuah sistem terbuka dan walaupun distribusi kekuasaan
tidak tersebar merata, akan tetapi tidak berpusat pada satu kelompok saja.
Dimensi yang kedua adalah sistem ketidakmerataan yang monopolistik diciptakan
dan dipertahankan oleh kelas dominator. Elite mempunyai kekuatan dan sumber
65
daya untuk mencegah tindakan politik yang tidak menguntungkan mereka. Elite
menentukan agenda untuk mempertahankan dominasinya. Pendekatan dua
dimensi ini membahas lebih dalam mengenai fenomena non-partisipasi, keluhan
dan apatisme.
Analisis yang lebih dalam dari dimensi kedua ini tetap melahirkan kritikan. Salah
satu kritikan yang dikemukakan adalah pada dasarnya pendekatan ini tidak
berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yakni memfokuskan analisis pada
sebuah konflik yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak terjadi konflik,
maka sudah terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber daya yang
menyebabkan tidak terjadi sebuah konflik. Luke (dalam Hardiansyah, 2005)
menerangkan bahwasanya manipulasi dan kewenangan merupakan sebuah bentuk
kekuasaan yang tidak perlu melibatkan konflik terbuka. Sehingga konflik laten
dapat terjadi dimana ketika seseorang menerima sesuatu yang berlawanan dengan
kepentingannya tanpa mengetahuinya sama sekali.
Pendekatan tiga dimensi merupakan perluasan daari pendekatan satu dimensi dan
dua dimensi dan sering disebut calss dialetical model. Pendekatan ini lahir dari
sebuah kritikan terhadap pendekatan yang fokus dan prilaku yang memasukkan
pertimbangan kekuatan yang tersembunyi dan konflik yang mendapat pengaruh
kekuasaan (Gaventa, 1985) adalah untuk mengidentifikasi alat dan media yang
digunakan oleh pengaruh kekuasaan untuk membentuk atau menentukan konsepsi
dari kebutuhan, kemungkinan dan strategi untuk menghadapi konflik yang terjadi.
Proses yang terjadi dalam proses politik dalam persepektif dalam tiga dimensi ini
adalah sebuah proses ekskalatif. Dimana kelompok yang terdominasi akan
66
bergerak dari sebuah kondisi ketidakberdayaan menjadi sebuah kondisi melawan
kelompok dominan. Proses ini dipersepsikan oleh Gaventa (1985) sebagai kondisi
”power serves to create power, powerlessness serves to re-enforce powerless-
ness”.
Tabel 3.
Kerangka Kekuasaan Tiga Dimensi
Terkait hanya dengan dimensi
pertama
Terkait dengan dimensi pertama dan
kedua
Hubungan antara ketiga dimensi
Elemen kunci Dimensi pertama Dimensi kedua Dimensi ketiga Objek analisis Perilaku Pemahaman
intrepetatif terhadap tindakan bertujuan
Evaluasi teoritis tindakan-tindakan berkepentingan
Keputusan konkrit Non-keputusan Agenda politik Isu Isu potensial Isu dan isu
potensial Indikator Konflik terbuka Konflik tertutup Konflik Laten Bidang analisis Membahas
kebijakan yang berpihak kepada partisipasi politik
Membahas kebijakan yang berpihak kepada penyebab dari sub-politikal
Hubungan antara kebijakan dengan kepentingan riil
Sumber : Luke, 1979
Dimensi pertama, yaitu kekuasaan, melibatkan sebuah titik tekan dari perilaku
dalam pengambilan keputusan dari sebuah isu yang terdapat konflik terbuka dari
sebuah kepentingan subjektif. Dimensi ini mencoba menjelaskan bagaimana
sebuah kelompok atau individu berusaha untuk memperbesar dan memperluas
kekuasaan yang dimilikinya. Domensi kedua adalah kepentingan, merupakan
perluasan dari dimensi pertama, sehingga proses-proses yang terjadi dalam
spektrum dimensi pertama termasuk pula dalam dimensi kedua.
Dimensi kedua mencoba menjelaskan bagaimana proses pembuatan keputusan
sedapat mungkin berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah
67
konflik terbuka dari sebuah kepentuingan subjektif semata. Tindakan-tindakan
politis yang diambil dan termasuk spektrum dimensi ini menekankan kepada
sebuah proses perluasan kekuasaan serta mulai melibatkan kepentingan sebagai
sebuah pencapaian yang harus daraih. Pada titik ini tindakan-tindakan yang
dilakukan dimaksudkan untuk memperbesar kekuasaan dan kepentingan-
kepentingan yang dimiliki oleh kelompok atau individu. Pada dimensi ini pula
kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan perluasan kekuasaan dan
kepentingan objektif mulai disingkirkan.
Dimensi yang ketiga adalah hegemoni, yang merupakan perluasan dari kedua
dimensi sebelumnya. Dimensi kedua dan ketiga pada dasarnya dibangun untuk
memperoleh sebuah gambaran mengenai hubungan sebab akibat dari dimensi
yang pertama. Dimensi ketiga merupakan sebuah proses bagaimana sebuah
kelompok atau individu bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha
meloloskan kepentingan mereka, tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni
yang telah dimiliki oleh kelompok atau individu.
John Gaventa (1980) mencoba menjelaskan hubungan para pelaku pilitik dalam
konteks kerangka kekuasaan tiga dimensi Luke. Model ini menganalogikan dua
belah pihak antara A dan B. Kelompok A merupakan kelompok dominan
sedangkan kelompok B kelompok yang terdominasi. Hal ini diungkapkan oleh
Gaventa pada penelitiannya yang menggunakan pendekatan tiga dimensi ini pada
kasus Suku Indian Applachian yang terdominasi oleh kelompok pengusaha yang
mengambil alih lahan yang dimiliki.
68
Tabel 4.
Model Relasi Kekuasaan Tiga Dimensi Gaventa
Relasi A/B Dimensi I Dimensi II Dimensi III
Kekuasaan A terhadap B
Kecenderungan untuk mendominasi B oleh A melalui kepemilikan dan superioritas kontrol A terhadap sumber daya
A membangun kendala agar B tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan melalui setting dan pembiasaan arti partisipasi
A mempengaruhi dan membentuk kesadaran eksistensi ketidak setaraan dalam proses produksi, kontrol informasi dan ideologi
Ketidakberdayaan B terhadap A
A mengalahkan B karena ketiadaan sumber daya pada B
B tidak berpartisipasi dalam agenda politik karena kendala yang riil dan yang dipersepsi oleh B bahwa partisipasi hanya akan merugikan dan kekalahan baginya
Penerimaan tentang mitos-mitos pelegetimasian ideology, ketidakberdayaan , dan ketidakmampuan berpikir kritis B karena pengaruh A.
Perlawanan B terhadap A
Konflik B dan A, dimana masing-masing memiliki sumber daya yang dikompetisikan, konflik terjadi dalam isu yang jelas
Mobilisasi dalam isu tersebut dan aksi menentang kendala
Formulasi isu dan Strategi oleh B
Sumber : Gaventa, (dalam Clegg, 1989)
Proses penyusunan strategi dalam meraih kepentingan adalah sebuah usaha dalam
meraih inovasi deliberatif yang dijelaskan oleh Bryson dan Crosby (1992).
Penjelasan model ini mengadaptasi dari model kekuasaan tiga dimensi yang
dikemukakan sebelumnya oleh Luke. Bryson dan Crosby (1992) mencoba
menjelaskan sebuah tindakan yang diambil oleh masing-masing aktor
perencanaan dalam perumusan kebijakan publik berdasarkan dimensi Luke dal
tiga macam sifat pertemuan yaitu forum, arena dan pengadilan.
Titik perbedaan ketiganya adalah jenis pertemuan yang dilakukan dalam
memenuhi kepentingan kelompok dan individu yang ada. Pada forum
69
menekankan kepada sebuah proses komunikasi dan interpretasi makna, sedangkan
pada arena titik tekannya pada sebuah proses pembuatan dan implementasi dari
kebijakan. Sedangkan pengadilan merupakan sebuah bentuk dan media arbitrasi
dalam meminimasi konflik yang terjadi. Pemain kunci dari ketiga bentuk
pertemuan ini adalah para pemimpin yang berperan sebagai seorang inisiator dan
pemimpin dari kelompok-kelompok tersebut. Pekerjaan dalam membangun
sebuah forum adalah melibatkan sebuah kesepakatan diantara para aktor utama
dengan mencoba mencari sebuah konsensus antara kelompok yang
berkepentingan.
Dalam persepektif perencanaan model ini melihat dan memformulasikan proses-
proses politik yang tidak mungkin dihindari dari sebuah perumusan kebijakan
publik. Targetan-targetan dari tiap dimensi dari masing-masing jenis pertemuan
berbeda-beda, karena kepentingan yang akan diraih berbeda pula untuk masing-
masing konteks.
Dimensi politik dalam proses pengambilan keputusan publik selalu terkait erat
dengan sebuah proses pengaruh dalam pengambilan keputusan. Menurut Cristian
Bay (Dalam Varma, 1992), arena politik bukan hanya studi yang terkait dengan
bentuk kenegaraan, tetapi termasuk pula proses mensejahterakan manusia dan
kemaslahatan masyarakat. Dimana kedua proses tersebut difokuskan kepada
perbaikan-perbaikan individu yang terpinggirkan dalam dunia publik.
Paul Davidovf menekankan pada sisi politis dan srat nilai perencanaan. Davidoff
menilai perencanaan sebagai sebuah proses, yang menekankan lebih sebagai
proses atas-atas pilihan. Sehingga dalam sebuah proses perencanaan, akan sangat
70
terkait sekali dengan proses penentuan pilihan-pilihan yang merupakan sebuah
pengejewantahan dari proses politik yang terjadi dalam proses politik perumusan
kebijakan publik.
Dalam persepektif perencanaan model ini melihat dan memformulasikan proses-
proses politik yang tidak mungkin dihindari dari sebuah perumusan kebijakan
publik. Targetan-targetan dari tiap dimensi dalam masing-masing jenis pertemuan
berbeda-beda, karena kepentingan yang ingin diraih berbeda pula untuk masing-
masing konteks. Model ini akan menjadi sebuah dasar untuk mengamati tindakan
yang diambil oleh aktor dalam mempengaruhi sebuah kebijakan publik.
Penelusuran modus, strategi dan rencana para aktor dalam mempengaruhi proses
penataan ruang dapat diidentifikasi dengan menggunakan model di atas.
Proses partisipasi di masyarakat seringkali dapat merupakan sebuah usaha dari
kelompok elite untuk mempertahankan atau memperkuat kekuasaannya dan untuk
membina usaha-usaha mencapai tujuan lain yang mereka perlu. Para politik elite
akan berusaha memberikan ruang partisipasi sebagai metode mengendalikan
partisipasi itu sendiri. Menurut Huntington dan Nelson (1954, dalam Aswindi,
2002), dibanyak negara dunia ketiga pendekatan pembangunan sering
meminggirkan golongan masyarakat marjinal.
2.4.5 Teori Tiga Dimensi Kekuasaan untuk Membahas Masalah Penelitian
Dalam melakukan analisa terhadap dimensi politik dan kekuasaan dalam sebuah
kasus perencanaan akan dibangun berdasarkan analisis terhadap kepentingan,
strategi dan sumber daya yang dimiliki masing-masing pihak. Dengan
71
menghubungkan ketiga hal ini dengan hasil perencanaan akan dapat terlihat efek
yang diberikan dan yang diderita oleh masing-masing aktor.
Model yang dikembangkan oleh Roger Few ini menggambarkan sebuah arena
politik dan keterkaitan antar sebuah hasil perencanaan dengan proses politik yang
terjadi dalam sebuah arena politik. Analis terhadap motif, sumber daya dan taktik
dari aktor yang berbeda dalam sebuah arena politik dapat memberikan sebuah
fondasi dasar pemahaman dari sebuah akibat yang ditimbulkan oleh kekuatan
sosial dan hubungan kekuasaan.
Oleh karena itu, pendekatan tiga dimensi kekuasaan yakni kekuasaan,
kepentingan dan hegemoni dalam perencanaan Kota Baru Lampung di Natar ini
akan dianalisis ke dalam tiga dimensi. Dalam perspektif analisis tiga dimensi ini,
akan diketahui siapakah aktor perencanaan, apakah ada pengaruh kekuasaan di
dalam perencanaan, apakah ada hegemoni kepentingan dalam perumusan
kebijakan perencanaan termasuk siapa yang akan diuntungkan dan siapa yang
akan dirugikan atas terjadinya hegemoni kepentingan itu.
2.5 Stakeholders atau Aktor dalam Perumusan Kebijakan Publik
2.5.1 Pengertian Stakeholders
Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak
pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen
bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain.
Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke
dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana,
72
stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak
yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana.
Freeman (1984) mendefenisikan stakeholders sebagai kelompok atau individu
yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan
tertentu. Sedangkan Biset (1998) secara singkat mendefinisikan stakeholder
sebagai orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan.
Stakeholder ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagaimana
dikemukakan Freeman (1984), yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif
stakeholder terhadap issu, Grimble and Wellard (1996), dari segi posisi penting
dan pengaruh yang dimiliki mereka.
Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu
issu, stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok yaitu
stakeholder primer, sekunder dan stakeholder kunci.
Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan
secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus
ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan.
Misalnya masyarakat dan tokoh masyarakat, masyarakat yang terkait dengan
proyek, yakni masyarakat yang di identifkasi akan memperoleh manfaat dan yang
akan terkena dampak (kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata
pencaharian) dari proyek ini. Sedangkan tokoh masyarakat adalah anggota
masyarakat yang oleh masyarakat ditokohkan di wilayah itu sekaligus dianggap
dapat mewakili aspirasi masyarakat. Di sisi lain, stakeholders utama adalah juga
73
pihak manajer Publik yakni lembaga/badan publik yang bertanggung jawab dalam
pengambilan dan implementasi suatu keputusan.
Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan
kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek,
tetapi memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut
bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal
pemerintah. Yang termasuk dalam stakeholders ini misalnya lembaga(Aparat)
pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung,
lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki kewenangan
secara langsung dalam pengambilan keputusan, Lembaga swadaya Masyarakat
(LSM) setempat : LSM yang bergerak di bidang yang bersesuai dengan rencana,
manfaat, dampak yang muncul yang memiliki concern (termasuk organisasi
massa yang terkait). Perguruan Tinggi yakni kelompok akademisi ini memiliki
pengaruh penting dalam pengambilan keputusan pemerintah serta Pengusaha
(Badan usaha) yang terkait sehingga mereka juga masuk dalam kelompok
stakeholder pendukung.
Sedangkan Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan
secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud
adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif dan instansi. Misalnya,
stakeholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level daerah
kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten, DPR Kabupaten serta dinas yang
membawahi langsung proyek yang bersangkutan.
74
Di sisi lain, James Anderson (1979), Charles Lindblom (1980), James Lester dan
Joseph Stewart, Jr (2000) dalam Winarno (2002 : 84) berpendapat bahwa aktor-
aktor atau pemeran dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua
kelompok yaitu para pemeran resmi dan para pemeran tidak resmi. Yang termasuk
para pemeran resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), eksekutif (presiden,
gubernur, bupati/walikota), legislatif dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk
dalam kelompok pemeran tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan,
partai politik dan warga negara individu baik para pakar perencana maupun
individu lainnya.
2.5.2 Perencana sebagai Salah Satu Stakeholders atau Aktor
Perencanaan sebagai sebuah proses komunikasi, menekankan kepada peran
perencana sebagai komunikator dari produk perencanaan yang dihasilkannya.
Perencana mendengarkan, mengakomodasi, melakukan mediasi dan pada
akhirnya melakukan sebuah sosialisasi mengenai produk rencana yang dihasilkan.
Perspektif manapun yang dipilih oleh seorang perencana, ketika berhadapan
dengan situasi dan proses politik yang kompleks, fungsi perencana sebagai
seorang komunikator memegang peranan penting dalam menyelesaikan konflik
yang terjadi. Karena informasi merupakan sumber kekuasaan bagi setiap aktor
yang dapat meningkatkan kapasitas dan posisi politik setiap aktor, perencana
memiliki posisi yang strategis ketika berperan sebagai pemberi informasi.
Forester (1989) memberikan lima persepektif yang ada dalam menjelaskan peran
informasi dalam sebuah perencanaan yang sarat dengan nuansa politik. Pertama
sebagai technician, dimana kekuasaan terletak di informasi teknis yang berkaitan
75
dengan sumber data dan metode analisis yang digunakan. Perspektif ini
menggunakan ide paling tradisional dari perencanaan, dimana perencana
bertindak sebagai pemecah masalah dan bertindak untuk tidak terlibat secara
langsung dengan politik.
Kedua, perencana sebagai seorang inkrementalis yang memandang informasi
sebagai sumber kekuasaan karena informasi itu menjawab kebutuhan organisasi,
dimana setiap orang membutuhkan sumber informasi, prosedur perijinan atau
restriksi dalam melakukan perencanaan. Kekuasaan yang didapatkan melalui
organisasi sebagi sumber informasi, memungkinkan perencana memilih informasi
yang ingin disampaikan.
Ketiga, perencana sebagai liberal-advocate yang memandang informasi sebagai
sumber kekuasaan karena merespon kebutuhan dari sebuah sistem politik yang
beragam. Informasi dapat digunakan oleh kelompok yang tidak terwakili atau
tidak terorganisasi untuk meningkatkan kapasitas partisipasi dalam proses
perencanaan. Perencana memiliki peran sebagai pendamping kelompok
masyarakat yang tidak terwakili untuk memberikan saran dan pertimbangan teknis
untuk memperkuat kapasitas dan memperbesar tingkat partisipasi.
Keempat, perencana sebagai strukturalis, dimana informasi menjadi media dan
alat dalam memperoleh atau memperkuat legitimasi struktur kekuasaan yang ada
dan memperkuat perhatian publik terhadap sebuah isu. Seorang perencana tidak
memiliki kekuasaan, akan tetapi dapat mempertahankan kekuasaan yang ada dan
memberikan sebuah kondisi status-quo dalam tatanan politik yang telah ada.
76
Yang terakhir adalah perencana sebagai kekuatan progresif dimana informasi
dimanfaatkan sebagai alat meningkatkan partisipasi masyarakat dan menghindari
legitimasi yang dibuat oleh struktur yang ada. Perencana memiliki fungsi dalam
mengorganisir tindakan masyarakat untuk meraih kekuasaan yang ada dengan
mengorganisir informasi yang ada untuk mencegah misinformasi dan manipulasi
informasi yang dilakukan oleh kelompok dengan kapasitas politik yang lebih
besar.
Tabel 5. Model Perencana Forester
Perspektif Fungsi informasi
Technician Sebagai bahan masukan untuk pengambil kebijakan The Incrementalist Menjawab kebutuhan dan fungsi organisasi mendukung
fungsi birokrasi The liberal Advocative Mengisi kesenjangan antara rasionalitas antara pemerintah
dan masyarakat. Membangun pemahaman teknis masyarakat The structuralist Menggunakan sebagai sebuah bahan legimitasi dalam
membuat kebijakan Mempertahankan posisi dan status organisasi
The progressive Membangun pemahaman masyarakat dan mengimbangi informasi dari pemerintah. Informasi juga difungsikan sebagai alat mobilisasi opini
2.6 Kriteria Kelayakan Sebuah Kebijakan
Dalam melakukan sebuah proses analisis harus ditetapkan terlebih dahulu kriteria
yang ingin digunakan dalam sebuah proses analisis kebijakan. Ada beberapa
kategori dalam penentuan kriteria yang bertujuan untuk mengarahkan kriteria
yang akan dipilih sesuai dengan konteks yang terjadi. Baardach dalam Abidin
1972) mengemukakan empat titik fokus yang dapat disesuaikan dengan tujuan
dari sebuah analisis kebijakan, yaitu sebagai berikut:
77
1. Technical feasibility
Tipologi kriteria yang menitikberatkan hasil sebuah tujuan pada ukuran-
ukuran teknis yang pasti untuk mencapai tujuan dasar.
2. Economic dan financial possibility
Mengukur program atau kebijakan dengan ukuran ekonomi, seperti
pembiayaan, keuntungan yang akan didapat dan ukuran-ukuran finansial
lainnya.
3. Administrative operability
Tipologi kriteria yang mengukur tingkat pelaksanaan rencana dalam konteks
administrasi.
4. Political viability
Tipologi kriteria yang mengukur kemungkinan sebuah rencana kebijakan
dilaksanakan dalam konteks yang terkait dengan kelompok kepentingan dan
para pengambil keputusan, seperti badan legislatif, badan eksekutif, partai
politik, LSM, kelompok warga dan aktor-aktor lainnya yang terkait dan
terkena dampak dari program dan kebijakan yang hendak dibuat.
2.6.1 Kelayakan atas Dasar Model dan Corak Perencanaan
Secara umum, keragaman corak perencanaan yang ada dalam praktek saat ini,
yaitu: (1) perencanaan komprehensif (comprehensive planning); (2) perencanaan
induk (master planning); (3) perencanaan strategis (strategic planning); (4)
perencanaan ekuiti (equity planning); (5) perencanaan advokasi (advocacy
planning); dan (6) perencanaan inkrimental (incremental planning). (Djunaedi,
2000 : 2)
78
2.6.1.1 Corak Perencanaan Komprehensif dan Induk
Corak perencanaan induk (master planning) adalah model yang paling tua.
Perencanaan komprehensif melakukan perencanaan secara menyeluruh
(komprehensif), yang berarti Perencanaan induk (master planning) biasanya
diterapkan pada perencanaan komplek bangunan atau kota baru secara fisik.
Dibandingkan dengan perencanaan komprehensif yang dilakukan secara multi-
disiplin, maka perencanaan induk umumnya dilakukan secara satu disiplin, yaitu
arsitektur. Keduanya, perencanaan induk dan perencanaan komprehensif,
mempunyai kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yang jelas, rinci, end-
state, tidak fleksibel—seakan masa depan sangat pasti-. Proses perencanaan induk
mengacu pada perencanaan dan perancangan arsitektur, yaitu dengan langkah-
langkah sekuensial (urut): (1) problem seeking, (2) programming, dan (3)
designing. Terhadap hasil perencanaan/perancangan dilakukan kegiatan
konstruksi atau pelaksanaan aksi/tindakan.
2.6.1.2 Corak Perencanaan Strategis
Sebagai respon terhadap tujuan yang terlalu luas (dan sering seperti impian)
dalam perencanaan komprehensif, maka para perencana, di dekade-dekade akhir
Abad ke 20, meminjam pendekatan perencanaan strategis yang biasa dipakai
dalam dunia usaha dan militer. Pendekatan strategis memfokuskan secara efisien
pada tujuan yang spesifik, dengan meniru cara perusahaan swasta yang diterapkan
pada gaya perencanaan publik, tanpa menswastakan kepemilikan publik.
Di tahun 1987, Jerome Kaufman dan Harvey Jacobs dalam Djunaedi (2000:4)
mengkaji perencanaan strategis ini dengan bertanya apakah tipe perencanaan ini
79
dapat dipakai untuk seluruh masyarakat dan bukan hanya untuk pengguna
tradisionalnya yaitu sebuah perusahaan publik atau kantor dinas. Mereka juga
mewawancarai perencana praktisi untuk mengetahui seberapa jauh sebenarnya
para praktisi tersebut menggunakan pendekatan perencanaan strategis tersebut.
Hal yang paling penting, ada anggapan bahwa perencanaan strategis secara
fundamental berbeda dengan praktek perencanaan yang ada (komprehensif).
Dapat disimpulkan bahwa banyak unsur dasar perencanaan strategis (seperti:
berorientasi tindakan, kajian lingkungan, partisipasi, kajian kekuatan dan
kelemahan masyarakat) sebenarnya telah ada sejak lama dalam tradisi
perencanaan. Membandingkan perencanaan strategis dengan perencanaan
komprehensif, menurut para tokoh di atas bagaikan “barang yang sama tapi
dikemas dengan bungkus yang lebih baru”.
Perencanaan strategis tidak mengenal standar baku dan prosesnya mempunyai
variasi yang tidak terbatas. Tiap penerapan perlu merancang variasinya sendiri
sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi setempat. Meskipun demikian,
secara umum proses perencanaan strategis memuat unsur-unsur: (1) perumusan
visi dan misi, (2) pengkajian lingkungan eksternal, (3) pengkajian lingkungan
internal, (4) perumusan isu-isu strategis, dan (5) penyusunan strategi
pengembangan (yang dapat ditambah dengan tujuan dan sasaran). Proses
perencanaan strategis tidak bersifat sekuensial penuh, tapi dapat dimulai dari salah
satu dari langkah ke (1), (2), atau (3).
Ketiga langkah tersebut saling mengisi. Setelah ketiga langkah pertama ini selesai,
barulah dilakukan langkah ke (4), yang disusul dengan langkah ke (5). Setelah
80
rencana strategis (renstra) selesai disusun, maka diimplementasikan dengan
terlebih dahulu menyusun rencana-rencana kerja (aksi/tindakan).
Seperti disebutkan di atas, karena tidak ada standar baku proses perencanaan
strategis, maka banyak sekali terdapat versi perencanaan strategis. Suatu versi
yang mengkombinasikan antara perencanaan strategis dan perencanaan
komprehensif juga mungkin dilakukan untuk mengisi masa transisi dari
penggunaan perencanaan komprehensif ke masa perencanaan strategis.
Pada suatu masa transisi dari pemerintahan yang bersifat sentralistik kuat (yang
menyeragamkan tipe perencanaan yang dipakai—misal pemerintahan Orde Baru)
ke pemerintahan desentralistik (dalam Era Otonomi Daerah) mungkin sekali
dipakai suatu versi perencanaan strategis yang diseragamkan untuk semua daerah.
Bila semua daerah telah terbiasa berbeda dalam tipe perencanaan yang dipakai,
maka tiap daerah dapat memilih versi perencanaan strategisnya sendiri-sendiri.
2.6.1.3 Corak Perencanaan Ekuiti
Di dekade-dekade akhir Abad ke 20, tidak hanya pendekatan perencanaan
strategis saja yang muncul, tapi juga tipe perencanaan ekuiti. Tipe ini secara
progresif mempromosikan kepentingan umum bersama yang lebih besar (tidak
hanya kepentingan satu kelompok saja) sekaligus menentang ketidakadilan di
perkotaan. Perencanaan ekuiti mengikuti pendapat perencanaan advokasi bahwa
akar-akar ketidakadilan sosio-ekonomis perkotaan perlu diatasi, tapi tidak
sependapat bahwa perencana mempunyai tanggung-jawab eksplisit untuk
membantu pihak-pihak yang tidak beruntung.
81
Pengalaman dalam mempraktekkan tipe perencanaan ini dilaporkan oleh Norman
Krumholz di tahun 1982, yang pernah bertugas sebagai direktur perencanaan
Cleveland (AS), yang mempunyai pengalaman impresif dalam melakukan
pemerataan sosial di sebuah kota industri yang mengalami pertumbuhan yang
negatif. Hasil perencanaan ekuiti dapat saja menjadi satu dengan hasil
perencanaan komprehensif atau perencanaan strategis bila partisipasi “kaum
pinggiran” (kelompok minoritas)—yang memperjuangkan keadilan bagi
kelompoknya—telah terwadahi dengan memuaskan.
2.6.1.4 Corak Perencanaan Advokasi
Perencanaan advokasi meragukan bahwa ada satu saja “kepentingan umum”
bersama. Paul Davidoff dalam Junaedi (2000:6) mengkiritik bahwa perencanaan
yang mengaku mampu merumuskan satu versi kepentingan umum berarti
memonopoli kekuatan/kewenangan perencanaan dan tidak mendorong adanya
partisipasi. Menurut penulis tersebut, bila perencanaan bersifat inklusif, maka
sebuah lembaga tidak akan dapat mewadahi kepentingan masyarakat yang
beragam dan saling konflik.
Sebaliknya, perencanaan haruslah dapat mendorong pluralisme yang berimbang
dengan cara mengadvokasi (“memberi hak bersuara”) pihak-pihak yang tidak
mampu menyalurkan aspirasinya. Perencanaan tradisional menghambat
tumbuhnya pluralisme yang efektif, karena: (1) komisi perencanaan (semacam
Bappeda) tidak demokratis dan kurang sekali mewakili kepentingan yang saling
bersaing dalam masyarakat yang beragam (plural), dan (2) perencanaan kota
82
tradisional berfokus pada aspek fisik yang terpisah dengan aspek sosial, sehingga
mengabaikan kenyataan adanya konflik sosial dan ketidakadilan di kota.
Karena tidak percaya adanya satu kepentingan umum, yang berarti juga tidak
percaya adanya satu rencana yang dapat disepakati bersama, maka menurut
perencanaan advokasi, tiap kelompok masyarakat dapat mempunyai rencananya
sendiri. Dengan demikian, terdapat beragam rencana yang mewadahi kepentingan
yang plural di masyarakat.
2.6.1.5 Corak Perencanaan Inkrimental
Kritik paling awal dalam sejarah terhadap pendekatan perencanaan
komprehensif—dan sangat mempengaruhi—diberikan oleh Charles Lindblom
pada tahun 1959. Penulis tersebut mengkritik pendekatan perencanaan
komprehensif sebagai model perencanaan yang membutuhkan tingkat
ketersediaan data dan kompleksitas analisis yang berada di luar jangkauan dan
kemampuan para perencana pada umumnya.
Menurutnya, dalam praktek, jarang perencanaan dilakukan secara komprehensif,
sehingga lebih baik perencanaan dilakukan secara inkrimental (sepotong demi
sepotong) menggunakan “perbandingan terbatas dari hasil-hasil berurutan” untuk
mencapai tujuan jangka pendek yang realistis.
Pendekatan inkrimental sendiri juga dikritik sebagai terlalu “kuatir” dan
konservatif, karena memperkuat kondisi yang ada (status quo) dan mengingkari
kekuatan perubahan sosial yang revolusioner (perubahan besar dan dalam waktu
relatif singkat). Pendekatan ini juga dikritik berkaitan dengan kelemahannya
83
dalam berpikir induktif dengan berasumsi bahwa stimulus dan respon jangka
pendek dapat menggantikan kebutuhan terhadap visi dan teori.
Meskipun menerima kritik-kritik tersebut, pendekatan ini merupakan argumen
balik/kontra terhadap perencanaan tradisional “master planning” yang berbasis
kekomprehensifan arsitektur dan perancangan kota. Pendekatan inkrimental
meningkatkan orientasi ke analisis marginal dari kebijakan sarana prasarana,
ekonomi dan politik serta sosial budaya secara pragmatis dan tidak terpadu. Oleh
karena itu, perencanaan inkrimental (oleh beberapa pihak) dianggap bukan
perencanaan karena tidak mengantisipasi masa depan yang berjangka panjang;
Tabel 6. Hubungan Corak Perencanaan dengan Teori Politik
Keragaman Teori Politik Corak
Perencanaan Teknokratik Demokratik Sosialis Liberal
Perencanaan Induk
Perencanaan Komprehensif
Perencanaan Strategis
Perencanaan Ekuiti
Perencanaan Advokasi
Perencanaan Inkremental
Berdasar pemikiran
rasional dan ilmiah
Didukung mayoritas penduduk
Mewadahi Pluralisme dan Konflik Sosial
Pluralisme dan tidak terikat pada masa lalu/masa
depan Sumber : Djunaedi, 2000:8
Perencanaan strategis memang lebih mewadahi partisipasi masyarakat dalam
proses perencanaannya, sehingga memang mampu mewadahi aspirasi partai atau
84
golongan/ kelompok yang memperjuangkan demokrasi. Aliran sosialis cenderung
memilih corak perencanaan ekuiti atau perencanaan advokasi. Aliran sosialis yang
“radikal” mungkin lebih menyukai perencanaan advokasi, karena mewadahi
konflik antar kelas sosial, sedangkan aliran sosialis yang lebih lunak mungkin
memilih perencanaan ekuiti, karena hasilnya menjadi satu rencana, secara
kompromi dengan golongan lain di masyarakat.
Kompromi tersebut dapat saja berakhir dengan menerima rencana komprehensif
atau rencana strategis bila aspirasi kelompok minoritas/tertindas yang
diperjuangkan oleh para perencana ekuiti secara adil telah dapat terwadahi.
Kelompok masyarakat yang ingin lebih bebas, tidak terikat dengan pihak lain dan
juga tidak terikat dengan masa lalu serta merasa tidak perlu mempunyai tujuan
jangka panjang, mungkin sekali akan lebih memilih perencanaan inkrimental.
2.6.2 Teori Perencanaan Induk untuk Analisis Penelitian
Atas beberapa bahasan di atas, dapat dikemukakan bahwa perencanaan induk
(master planning) dan perencanaan komprehensif cocok untuk perencanaan kota
baru, real estate atau kompleks bangunan yang belum ada penduduknya atau
karakteristik penduduknya belum pasti. Bila perencanaan komprehensif
ditingkatkan “kadar demokrasi”nya dalam proses perencanaan, maka tipe
perencanaan ini dapat menjadi pilihan dari aliran “demokrat” sebagai bagian dari
peningkatan proses demokratisasi.
Keduanya, perencanaan induk dan perencanaan komprehensif, mempunyai
kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yakni menghasilkan rencana yang
85
jelas, rinci, end-state, namun tidak fleksibel karena sudah merupakan
keniscayaan—seakan masa depan telah sangat pasti-.
Proses perencanaan induk dan perencanaan komprehensif mengacu pada
perencanaan dan perancangan arsitektur, yaitu dengan langkah-langkah sekuensial
(urut): (1) problem seeking, (2) programming, dan (3) designing. Terhadap hasil
perencanaan/perancangan dilakukan kegiatan konstruksi atau pelaksanaan
aksi/tindakan. Persoalannya, ia membutuhkan dukungan mayoritas masyarakat
sebagai prasyarat utamanya.
Perencanaan Kota Baru Lampung di Natar akan ditinjau dengan corak
perencanaan komprehensif ini sekaligus melihat apakah prasyarat utamanya telah
terpenuhi sebagai bagian dari upaya membangun demokratisasi.
2.6.3 Teori Perencanaan (Pembangunan) Kota Baru
Membangun sebuah kota baru yang mandiri bukanlah hal yang mudah. Melihat
dari perspektif sejarah, kota ternyata bukanlah sekedar lahan hunian yang besar
dengan jumlah penduduk tertentu. Kota yang mandiri justru tumbuh dari kegiatan
ekonomi yang beranglomerasi secara serasi di mana terdapat daya dukung
lingkungan alami dan lingkungan terbangun yang memadai. Sebagai suatu simpul
kegiatan ekonomi, kota adalah resultan dari economy of scale dan economy of
scope berbagai kegiatan industri.
Menurut F.J Osborn dan Whittick dalam URDI (2005:255), fungsi kota baru
adalah sebagai alternatif upaya untuk memecahkan dan mengatasi masalah
pertumbuhan permukiman tersebar yang tidak terkendali dan kemacetan kota-kota
86
besar, karena semakin berkembangnya kegiatan usaha penduduk kota besar akibat
perkembangan industri secara besar-besaran pada awal abad ke-20.
Dalam perspektif ini, meskipun secara tata ruang semua fungsi sudah dipenuhi,
namun preferensi lokasi kegiatan manusia tidak selalu bersifat meminimasi jarak
atau biaya perjalanan. Oleh karena itu, indikator mandiri salah satunya adalah
tidak terjadinya pola perjalanan ulang alik (commuting). Konsekuensi dari hal ini
adalah bahwa kelengkapan fungsi kota tidak membuat kota itu menjadi mandiri.
Definisi dan konsep kota baru yang mandiri menurut Eko Budiharjo dan Djoko
Sujarto dalam URDI (2005:256) ialah secara ekonomis dan sosial telah dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri, atau paling tidak sebagian besar penduduknya,
dan secara geografis berlokasi di wilayah tersendiri yang berjarak cukup jauh dari
kota yang ada, dan secara fisik terpisah oleh wilayah bukan permukiman seperti
pertanian, hutan, jalur hijau atau wilayah non urban lainnya dengan jarak kira-kira
80 kilometer.
Sedangkan Golany dalam URDI (2005:354) menyatakan bahwa kota baru adalah
suatu kota yang direncanakan, didirikan dan kemudian dikembangkan secara
lengkap di atas suatu wilayah yang sama sekali baru setelah ada kota atau kota-
kota lainnya yang telah tumbuh dan berkembang terlebih dahulu.
Kota baru pada hakekatnya merupakan suatu proyek pengembangan lahan yang
luasnya mampu menyediakan unsur-unsur perkotaan yang lengkap dan utuh yang
mencakup tempat tinggal (perumahan), perdagangan, sarana pelayanan sosial dan
87
pelayanan umum dan kegiatan kerja yang secara keseluruhan mampu
memberikan:
• Kesempatan untuk hidup dan bekerja di dalam lingkungan tersebut
• Suatu spektrum atau variasi jenis dan harga rumah yang memberikan peluang
bagi semua golongan untuk dapat tinggal di dalamnya.
• Kebutuhan ruang terbuka bagi kegiatan aktif dan pasif yang permanen serta
ruang terbuka yang melindungi kawasan tempat tinggal dari dampak
pencemaran industri.
• Adanya pengendalian lingkungan fisik.
Kota baru juga mengandung arti sebagai suatu permukiman mandiri yang
dibangun di atas suatu lahan dalam skala yang besar sehingga memungkinkan
untuk menunjang kebutuhan berbagai jenis dan harga tempat tinggal dan kegiatan
kerja bagi masyarakat di dalam lingkungan kota itu sendiri.
Jadi secara umum, kota baru dapat diartikan sebagai :
• Kota atau permukiman berskala besar setara kota yang direncanakan,
dibangun dan dikembangkan pada saat kota atau kota-kota lainnya yang
direncanakan dan dibangun sebelumnya telah tumbuh dan berkembang.
• Kota yang ditetapkan, direncanakan, dibangun dan dikembangkan pada suatu
wilayah di mana belum terdapat konsentrasi penduduk.
• Kota yang dibangun untuk meningkatkan fungsi dan kemampuan suatu
permukiman atau kota kecil yang telah ada di ekitar kota besar untuk
mengembangkan wilayah sekitar atau mengurangi beban kota besar tersebut.
88
• Kota yang sama sekali baru dan mampu untuk mandiri dalam arti dapat
memenuhi berbagai kebutuhan serta berkembang dengan kemampuan sendiri.
• Permukiman berskala besar yang menampung kebutuhan tempat tinggal bagi
penduduk suatu kota besar tetapi secara fungsional masih tergantung kepada
kota induknya.
Apabila ditinjau sebagai satu sistem, maka kota baru juga harus menjadi sebuah
komunitas yang seimbang (a socially balanced community). Salah satu indikator
konsep ini ialah hadirnya perpaduan antara struktur ekonomi, sosial dan budaya
penghuni yang heterogen, sebagai dasar dari konsep pengembangan hunian kota
baru dan sudah ada sejak pada tahap perencanaan awal. Untuk sebuah kota baru,
heterogenitas budaya adalah niscaya karena penghuni berasal dari daerah. Satu-
satunya yang cenderung homogen adalah daya beli penduduknya karena untuk
menjadi penghuni artinya mampu membeli rumah di kota baru tersebut.
Selain menjadi komunitas yang seimbang, kota baru mandiri juga harus mampu
memenuhi pelayanan kebutuhan penghidupan penghuninya. Indikator konsep
tersebut ialah, kemudahan jarak pencapaian ke fasilitas-fasilitas kota tercermin
pada konsep penataan lokasi fasilitas di kota baru tersebut. Syarat di atas secara
signifikan merefleksikan sifat mandiri yang harus dimiliki oleh sebuah kota baru.
Oleh karena itu, dalam perspektif perencanaan, kota baru seyogyanya ditempatkan
sebagai suatu eksponen di dalam sistem perkotaan pada pengembangan suatu
wilayah. Sebagai salah satu bentuk pengembangan perkotaan maka di Indonesia
pengembangan kota baru sebagaimana juga pengembangan kota lainnya mengacu
kepada kebijaksanaan pengembangan perkotaan yaitu :
89
• Pembangunan perkotaan ditingkatkan dan diselenggarakan secara berencana
dan terpadu dengan memperhatikan rencana umum tata ruang, pertumbuhan
penduduk, lingkungan permukiman, lingkungan usaha dan lingkungan kerja
serta kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial lainnya agar terwujud pengelolaan
perkotaan yang efisien dan tercipta lingkungan yang sehat, rapi, aman dan
nyaman.
• Pembangunan perumahan dan permukiman perlu lebih ditingkatkan dan
diperluas hingga dapat main merata dan menjangkau masyarakat
berpenghasilan rendah dengan senantiasa memperhatikan rencana tata ruang
dan keterkaitan serta keterpaduan dengan lingkungan sosial di sekitarmya.
• Air, tanah dan lahan yang mempunyai nilai ekonomi dan fungsi sosial
pemanfaatanya perlu diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang
terkoordinasi bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat melalui berbagai
penggunaan, terutama untuk kepentingan permukiman, pertanian, kehutanan,
industri, pertambangan dan kelistrikan serta prasarana pembangunan lainnya.
Atas pertimbangan tersebut maka ada lima acuan idealis yang perlu dibangun di
dalam mewujudkan fungsi kota baru dengan beragam fungsi yang hendak
diwujudkan sehingga menjamin adanya sinergisitas antara kebutuhan pada satu
sub sistem dengan kebutuhan pada sub sistem yang lain. Pola tersebut secara
terinci yaitu :
1. Wisma : Pembentukan populasi
2. Marga : Penyediaan infrastruktur (transportasi, telekomunikasi,
listrik, dsb)
3. Suka : penyediaan fasilitas untuk kehidupan kota yang
90
berkualitas
4. Karya : Penyediaan lapangan Kerja
5. Penyempurna : Sarana penunjang kesadaran lingkungan dan sosial
Gambar 8.
Skema Keterpaduan dan Integrasi Fisik & Fungsi Pengembangan Kota Baru
WISMA CREATE PEOPLE
Perumahan - Komunitas
INFRASTRUCTURE
NETWORK :
- Transportasi
-Telekomunikasi
- Draniase
- Air Bersih
- Telepon
- Listrik
- dsb
KARYA PENYEMPURNA SUKA
PEKERJAAN :
- Pusat Perdagangan
-Pusat Bisnis
- Kawasan Industri
SARANA PENUNJANG SOSIAL
DAN LINGKUNGAN :
- Sistem Sanitasi Lingkungan
-Tata Aturan
- Organisasi Hubungan
- Pembagian Kawasan
- Ruang Privat
- Beautification
FASILITAS :
- Pendidikan & RS
-Pusat Pemerintahan
- Pusat Olahraga
- Pusat Rekreasi
- Pusat Belanja
- Tempat Pelatihan
91
Gambar 9.
Proses Perencanaan Kota Baru berdasarkan RTRW
Kebijaksanaan Pengembangan Perkotaan
Nasional
RPJP Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota
RTRW Provinsi RTRW Kabupaten/Kota
Penelaahan Wilayah
Penelaahan Spesifik wilayah layak untuk Kota Baru
Penelaahan Detail bagian-bagian wilayah
Penelaahan spesifik pada suatu peruntukan kawasan
fungsional tertentu
Interpretasi Kebijaksanaan Pengembangan Perkotaan dalam kaitannya dengan kota baru yang diusulkan
PERUMUSAN FUNGSI KOTA BARU YANG
AKAN DIKEMBANGKAN
Analisis Kelayakan suatu lokasi dengan RTRW dari
wilayah yang bersangkutan dalam kaitan dengan sistem perkotaannya
LOKASI-LOKASI ALTERNATIF KOTA BARU PADA SUATU
WILAYAH/KOTA
Analisis Wilayah
Analisis Spesifik Wilayah Perencanaan Kota Baru
Analisis Spesifik pada wilayah prioritas untuk kawasan fungsioonal
tertentu
Analisis Tapak
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
(RTRW) PERKOTAAN UNTUK KOTA BARU
YANG AKAN DIKEMBANGKAN
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
(RTRW) KOTA BARU
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KAWASAN FUNGSIONAL
TERTENTU
RENCANA TEKNIK RUANG KOTA BARU
- Rencana Tata Bangunan - Tata Jaringan Utama
- Tata Lansekap
92
Gambar 10.
Proses Perencanaan Kota Baru berdasarkan Lokasi Tertentu
DISUSUN OLEH PIHAK KETIGA/INVESTOR/PENGEMBANG DENGAN
KOORDINASI DENGAN PEMDA
Kebijaksanaan Pengembangan Perkotaan
Nasional
RPJP Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota
Penelaahan Wilayah
Penelaahan Spesifik wilayah layak untuk Kota Baru
Penelaahan Detail bagian-bagian wilayah
Penelaahan spesifik pada suatu peruntukan kawasan
fungsional tertentu
RTRW PROVINSI, KABUPATEN/KOTA
LAHAN UNTUK KOTA
BARU SUDAH DIMILIKI
PERUMUSAN FUNGSI KOTA BARU YANG
AKAN DIKEMBANGKAN
Analisis Wilayah
Analisis Spesifik Wilayah Perencanaan Kota Baru
Analisis Spesifik pada wilayah prioritas untuk kawasan fungsioonal
tertentu
Analisis Tapak
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
(RTRW) PERKOTAAN UNTUK KOTA BARU
YANG AKAN DIKEMBANGKAN
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
(RTRW) KOTA BARU
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KAWASAN FUNGSIONAL
TERTENTU
RENCANA TEKNIK RUANG KOTA BARU
- Rencana Tata Bangunan - Tata Jaringan Utama
- Tata Lansekap
DISUSUN OLEH PEMDA
DISUSUN OLEH PEMDA/PIHAK KETIGA
93
2.7 Penelitian Sejenis
Beberapa peneilitain sejenis yang relevan dengan penelitian ini diantaranya adalah
penelitian tentang Ambivalensi Dimensi Politik dalam Kebijakan Perencanaan
Pembangunan Jalan Dago-Lembang, Jawa Barat oleh Elkana Catur Hardiansyah
Institut Teknologi Bandung (2004).
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan perencanaan
Pembangunan Jalan Dago Lembang Jawa Barat Tahun 2003 tidak dapat berlepas
diri dari kepentingan politik, karena perencana memiliki hubungan yang sangat
dekat dengan lembaga dan individu yang bergerak berdasarkan kepentingan
politik. Proses perencanaan telah bergeser dari sebuah proses rasional menjadi
sebuah proses komunikatif, dimana setiap aktor berkomunikasi mengenai
kepentingan, keberpihakan dan sikap yang diusung.
Perencana kemudian menjadi stakeholders atau aktor yang dominan. Atas dasar
pertentangan antara rasionalitas versus komunikasi dan lobby, perencana harus
berani untuk mengambil sikap di hadapan proses politik, tanpa harus terlibat
dalam kepentingan praktis yang identik dengan dunia politik. Dalam perspektif
perencanaan sebagai sebuah proses komunikatif peran perencana sangat vital
dalam perencanaan sehingga lahirlah kebijakan. Dalam perspektif ini, ada
ketergantungan yang sangat tinggi dari pemerintah terhadap posisi perencana
sebagai supporting substansi dari kebijakan tersebut.
Namun, sebuah proses perumusan kebijakan publik yang lebih terbuka
memberikan kesempatan setiap kelompok kepentingan untuk mengintervensi
setiap kebijakan yang akan dibuat. Hal ini mendorong kelompok-kelompok aktor
94
yang memiliki kepentingan untuk melakukan tindakan-tindakan politis untuk
memperbesar kekuasaan yang dimilikinya. Dalam hal ini terdapat pemilihan serta
pertentangan kepentingan sehingga proses perumusan kebijakan memunculkan
pro dan kontra.
Kasus Rencana Pembangunan Jalan Dago-Lembang Trase 5 merupakan sebuah
illustrasi kontekstual yang memperlihatkan peran aspek politis yang sangat besar
dalam pembuatan keputusan yang dihasilkan oleh DPRD Provinsi Jawa Barat. Hal
ini terjadi bukan disebabkan oleh sebuah hal yang wajar dan keniscayaan,
melainkan melalui sebuah proses politik yang panjang yang dilakukan oleh
masing-masing aktor untuk meloloskan agendanya. Interaksi antar aktor dalam
“arena politik” yang terjadi mempengaruhi secara signifikan keputusan yang
dihasilkan. Oleh karena itu, terdapat kecenderungan adanya ketidaklayakan dalam
implementasi dari kebijakan tersebut baik kelayakan aspek politik, sosial,
pendanaan dan lainnya.
Hasil penelitian ini membuktikan dimensi politik tetap akan menjadi sebuah
fenomena menarik bagi para ahli kebijakan. Sebuah pandangan mengenai
keberadaan dimensi politik dalam lahirnya kebijakan dalam sebuah produk
perencanaan harus dapat dilihat dengan konteks yang lengkap yakni proses
perencanaan, substansi kebijakan dan kepentingan politik.
2.8 Kerangka Pikir Penelitian
Sebagai ibukota provinsi, Kota Bandar Lampung dalam perkembangan ke depan
akan dihadapkan pada persoalan ketidakmampuan untuk dapat memberikan fungsi
dan layanan kota yang ideal. Sebagai kota terbesar di Provinsi Lampung, Kota
95
Bandar Lampung dihadapkan pada tuntutan dan kebutuhan masyarakat untuk (1)
memenuhi kebutuhan akan tempat berusaha dan tempat tinggal, baik dalam
kualitas maupun kuantitas; (2) memenuhi kebutuhan akan suasana kehidupan
yang memberikan rasa aman, damai, tenteram dan sejahtera dan (3) Memberikan
pelayanan publik yang maksimal baik sebagai daerah otonom kepada masyarakat
kotanya maupun sebagai ibukota provinsi kepada wilayah di sekitarnya.
Namun persoalannya adalah apakah isu dan masalah yang dihadapi oleh Kota
Bandar Lampung tersebut masuk ke dalam kategori isu strategis sehingga layak
menjadi latar belakang lahirnya kebijakan yang justru kebijakan itu diambil oleh
Pemerintah Provinsi Lampung? Rumusan masalah inilah menjadi masalah
pertama yang hendak dijawab dalam penelitian ini.
Secara teori, sebuah permasalahan dapat dikatakan sebagai isu strategis sehingga
layak menjadi latar belakang lahirnya kebijakan apabilan memenuhi sedikitnya
enam syarat. Pertama, isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu,
sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah
dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru
akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang.
Kedua, isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat
menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik. Ketiga, isu tersebut
menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak bahkan
umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media
massa yang luas. Keempat, isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
Kelima, isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi)
96
dalam masyarakat. Keenam, isu tersebut menyangkut suatu yang fasionable yaitu
sebuah keadaan yang posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan.
Asumsi awal peneliti menunjukkan bahwa beberapa kriteria tersebut telah
terpenuhi, maka Bandar Lampung dihadapkan pada masalah perkotaan yang
kompleks dan strategis baik yang dihadapi oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat. Masalah kemacetan, permukiman, banjir, serta masalah-masalah
lainnya menunjukkan gejala yang akan semakin meningkat jika tidak segera
dilakukan antisipasi dengan melakukan kebijakan yang tepat, komprehensif dan
menjawab persoalan. Atas dasar berbagai permasalahan tersebut, lahirlah
kebijakan untuk memindahkan kantor pemerintahan Provinsi Lampung dengan
membangun Kota Baru Lampung di Natar yang akan berada di atas lahan 4000
hektar yang saat ini masih dalam penguasaan PTPN VII. Kebijakan ini
dikeluarkan oleh Pemprov Lampung melalui dukungan Perda 13 Tahun 2007.
Persoalan kedua yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana
proses formulasi kebijakan perencanaan pembangunan Kota Baru Lampung ini
hingga lahirnya Perda 13/2007? Sebagai sebuah kebijakan, lahirnya kebijakan
Pembangunan Kota Baru Lampung di Natar tersebut dapat dilihat dan dianalisis
dari dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang proses yakni bagaimana proses
formulasi kebijakan yang telah dilakukan baik oleh eksekutif maupun legislatif
sampai akhirnya lahirlah kebijakan dalam Perda 13/2007 ini. Proses formulasi ini
akan dilihat dari siapa saja aktor yang terlibat, kepentingan apa yang dibawa oleh
para aktor serta bagaimana para aktor melakukan tindakan politik sehingga
memunculkan analisis tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
97
Secara teori, analisis terhadap sudut pandang proses ini akan mempergunakan
teori sistem.
Dalam teori sistem, lahirnya sebuah kebijakan diawali dengan input yakni
sejumlah tuntutan atau dukungan yang diberikan oleh masyarakat baik secara
individu maupun kelompok terhadap masalah tertentu. Semakin banyak input
yang masuk maka akan semakin banyak kepentingan yang ada sekaligus semakin
banyak pertimbangan yang harus dilakukan dalam proses artikulasi dalam konteks
menyeimbangkan antara tuntutan dan dukungan yang masuk tersebut. Dalam
kaitan dengan lahirnya kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung di Natar,
maka input ini adalah sejumlah tuntutan yang disampaikan oleh masyarakat
terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Kota Bandar Lampung.
Proses berikutnya adalah artikulasi input. Artikulasi input dimaknai sebagai
proses pembahasan untuk melahirkan sebuah kebijakan yang dilakukan oleh
lambaga berwenang atas dasar input yang masuk. Jika input yang masuk adalah
gugatan dan tuntutan agar pemerintah mengambil langkah-langkah dalam rangka
menyelesaikan permasalahan perkotaan yang dihadapi oleh Kota Bandar
Lampung, maka artikulasi input dalam konteks membahas masalah itu harus
dilakukan oleh lembaga berwenang dalam hal ini Pemerintah Provinsi Lampung
(eksekutif dan DPRD)
Hasil dari proses artikulasi input/pembahasan adalah lahirnya output dalam
bentuk kebijakan. Didasarkan atas input yang masuk serta proses pembahasan
yang dilakukan, maka output yang keluar adalah serangkaian tindakan atau
kebijakan dalam rangka menjawab persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu, jika
98
input yang masuk adalah tuntutan agar permasalahan crowded nya Kota Bandar
Lampung dapat diatasi yang disampaikan oleh para aktor melalui cara-cara
parlementer atau ekstra parlementer dan pembahasan telah dilakukan maka output
yang lahir adalah kebijakan. Beragam input yang dibawa oleh para aktor tersebut
menunjukkan beragamnya pula kepentingan yang dibawa oleh para aktor itu.
Menurut teori Tiens Bergen Rule yakni satu kebijakan idealnya menjawab satu
permasalahan, maka semakin banyak persoalan yang dihadapi oleh Kota Bandar
Lampung, maka idealnya terdapat beberapa alternatif kebijakan yang ditawarkan
sebagai output dari pembahasan yang dilakukan.
Output atau kebijakan itu yang selanjutnya akan diimplementasikan. Tahapan
terakhir dari teori sistem setelah diimplementasikannya kebijakan adalah
munculnya umpan balik dari masyarakat. Umpan balik dalam hal ini sekaligus
menjadi input baru dalam kerangka perbaikan kebijakan selanjutnya. Dalam
persektif kebijakan, hal ini sesuai dengan teori bahwa analisis kebijakan itu tidak
pernah selesai (policy analysis never end).
Di sisi lain, dalam teori perencanaan modern, sebuah output atau kebijakan akan
dapat diimplementasikan secara maksimal jika memenuhi beberapa syarat.
Pertama, pelibatan masyarakat secara maksimal dalam proses perencanaan dan
adanya jaminan keterlibatan hingga tahap implementasi. Kedua, pembahasan yang
maksimal dengan menyeimbangkan secara substansi antara tuntutan dan
dukungan yang masuk dalam proses input. Ketiga, terdapat alternatif kebijakan
lain sebagai kebijakan pendukung terhadap prioritas kebijakan yang diambil atau
kebijakan yang diambil bukan merupakan kebijakan tunggal. Keempat,
terpenuhinya dasar-dasar atau kelayakan yang rasional dan komprehensif sebagai
99
argumentasi bahwa kebijakan yang diambil tersebut akan dapat
diimplementasikan. Oleh karena itu, penilaian dalam konteks menemukan
argumentasi penguat terhadap sebuah kebijakan juga penting dilakukan terhadap
output kebijakan.
Jika penekanan atau analisis dilakukan dengan mempergunakan teori sistem maka
dapat diasumsikan bahwa terdapat input yakni beberapa masukan dari pihak-pihak
(baik formal maupun tidak formal) dalam memberikan dukungan, kritikan, catatan
seerta saran terkait dengan rencana proses perumusan kebijakan ini. Terdapat juga
proses artikulasi dengan terbentuknya Pansus Tata Ruang di DPRD Lampung dan
output juga keluar yakni lahirnya Perda 13/2007 sebagai payung hukum atas
produk kebijakan perencanaan Kota Baru Lampung ini. Namun, jika dikaitkan
dengan kecenderungan adanya problem implementasi terhadap kebijakan tersebut
sampai saat ini, maka terdapat arus atau mekanisme berjalannya sistem yang tidak
ideal dalam hal tidak terdapat kesesuaian antara input yang masuk dengan ouput
(produk kebijakan) yang dihasilkan oleh proses artikulasi di Pansus Tata Ruang
DPRD Lampung.
Kedua, kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung dianalisis dari sudut
pandang ouput/produk kebijakan/substansi. Analisis ini sekaligus menjawab
permasalahan penelitian yang keempat yaitu mengapa terjadi problem
implementasi terhadap kebijakan pembangunan Kota Baru Lampung ini. Dalam
menjawab permasalahan ini ini, dilakukan analisis terhadap kelayakan kebijakan
berdasarkan teori kelayakan. Sebagai penelitian kebijakan, kelayakan terhadap
dokumen perencanaan ini merupakan analisis keyakinan (evaluasi faktor
pendukung terimplentasinya kebijakan) atau keraguan (evaluasi faktor
100
penghambat terimplementasinya kebijakan). Semakin memenuhi unsur kelayakan
maka akan semakin memungkinkan untuk terealisasinya (terimplementasinya)
kebijakan tersebut. Sebaliknya, semakin jauh dari kelayakan, maka akan semakin
berat atau sulit kebijakan itu dapat diimplementasikan.
Berdasarkan substansi dari kebijakan Perencanaan Kota Baru Lampung ini
disandingkan dengan teori kelayakan, maka analisis kelayakan dilakukan terhadap
kelayakan peraturan perundang-undangan (sejauh mana dukungan peraturan),
kelayakan teknis (sejauh mana dukungan teknis misalnya lokasi), kelayakan
ekonomi dan keuangan (sejauh mana dukungan pendanaan terhadap implementasi
kebijakan), kelayakan politik (sejauh mana dukungan politik sebagai prasyarat
terimplementasinya kebijakan), kelayakan administratif (sejauh mana konflik
secara administratif dikhawatirkan akan menghambat terimplementasinya
kebijakan atau pasca implementasi kebijakan/tahap operasi), kelayakan
infrastruktur (sejauh mana dukungan infrastruktur saat ini mendukung realisasi
kebijakan) serta kelayakan sosial budaya masyarakat; baik masyarakat pada calon
lokasi pembangunan Kota Baru Lampung atau kelompok masyarakat yang pada
saatnya nanti akan menghuni Kota Baru Lampung.
Oleh karena itu, jika sampai saat ini produk kebijakan perencanaan Kota Baru
Lampung belum dapat diimplementasikan, berarti terdapat banyak faktor
kelayakan yang tidak dapat terpenuhi. Banyaknya faktor kelayakan implementasi
kebijakan yang tidak dapat terpenuhi menunjukkan indikasi awal bahwa proses
perumusan kebijakan yang dilakukan tidak didasarkan atas proses formulasi
kebijakan yang ideal.
101
Gambar 11.
Kerangka Pemikiran (Desain) Penelitian
ANALISIS ISU STRATEGIS & MASALAH PUBLIK KOTA BANDAR LAMPUNG
Latar Belakang Kebijakan
KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA BARU
LAMPUNG DI NATAR
EVALUASI PROSES PERUMUSAN
EVALUASI SUBSTANSI) DAN PROBLEM IMPLEMENTASI
1. Bagaimana formulasi kebijakan 2. Siapa saja aktor yang terlibat 3. Kepentingan apa yang dibawa oleh para
aktor 4. Kepentingan aktor mana yang paling
dominan 5. Analisis siapa yang diuntungkan & siapa
yang dirugikan
1. Kelayakan Peraturan Perundang-Undangan
2. Kelayakan Teknis 3. Kelayakan Ekonomi dan Keuangan 4. Kelayakan Politik 5. Kelayakan Administratif 6. Kelayakan Infrastruktur 7. Kelayakan Sosial Budaya
Teori Isu Kebijakan
Teori Sistem
Teori Kelayakan Kebijakan