AMBANG SENSORI RASA DASAR DAN PREFERENSI DALAM … · rasa dasar serta preferensinya pada matriks...
Transcript of AMBANG SENSORI RASA DASAR DAN PREFERENSI DALAM … · rasa dasar serta preferensinya pada matriks...
AMBANG SENSORI RASA DASAR DAN PREFERENSI
DALAM MATRIKS PANGAN DENGAN PENDEKATAN
MULTIKULTURAL DI INDONESIA
USWATUN HASANAH
F251114081
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ambang Sensori Rasa
Dasar dan Preferensi dalam Matriks Pangan dengan Pendekatan Multikultural di
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Uswatun Hasanah
NIM F251114081
RINGKASAN
USWATUN HASANAH. Ambang Sensori Rasa Dasar dan Preferensi dalam
Matriks Pangan dengan Pendekatan Multikultural di Indonesia. Dibimbing oleh
DEDE R. ADAWIYAH dan BUDI NURTAMA.
Rasa merupakan parameter penting yang menentukan penerimaan sebuah
produk pangan. Hingga kini terdapat lima macam rasa dasar yang dikenal indera
perasa manusia, yaitu manis, pahit, asam, asin, dan umami. Konsentrasi minimum
senyawa rasa untuk dapat dikenali dan dideteksi oleh indera sensori manusia
disebut dengan threshold atau ambang sensori. Beberapa penelitian mancanegara
memperoleh hasil bahwa kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi ambang sensori. Hasil penelitian cross-cultural terhadap suku
dengan kebiasaan konsumsi makanannya juga menunjukkan adanya pengaruh
pada preferensi seseorang terhadap suatu makanan, terkait dengan intensitas rasa
tertentu yang terdapat pada makanan tersebut.
Indonesia merupakan bangsa multikultural dengan lebih dari 740 suku
bangsa. Suku-suku di Indonesia memiliki perbedaan karakteristik rasa pada
makanan khas masing-masing. Perbedaan karakteristik rasa makanan khas yang
dapat berpengaruh terhadap kebiasaan makan antarsuku di Indonesia merupakan
hal yang menarik untuk dikaji pengaruhnya dari segi ilmu sensori, karena belum
terdapat literatur mengenai hal tersebut. Institut Pertanian Bogor sebagai salah
satu dari lima perguruan tinggi terbaik di Indonesia dapat menjadi representasi
bagi keragaman suku di Indonesia. Mahasiswa TPB merupakan representasi yang
baik karena belum terlalu lama tinggal di Bogor sehingga diperkirakan memiliki
kebiasaan makan yang masih sama seperti di daerah asalnya.
Tujuan penelitian ini adalah menentukan ambang sensori tiga rasa dasar dari
senyawa rasa, yaitu manis (sukrosa), pahit (kafein), dan asin (NaCl) serta
preferensinya dalam matriks pangan teh (rasa manis), kopi (rasa pahit), dan sup
(rasa asin) pada tiga suku di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan mengetahui
pengaruh perbedaan gender terhadap ambang dan preferensi sensori serta
mengetahui hubungan antara ambang sensori dengan preferensi rasa dasar pada
tiga suku di Indonesia.
Penelitian dilakukan dalam empat tahapan, yaitu: (1) penelitian pendahuluan
berupa penentuan seri konsentrasi senyawa rasa dasar untuk pengujian ambang
sensori dan formulasi sampel untuk pengujian preferensi, (2) rekrutmen panelis,
(3) pengujian ambang sensori rasa dasar serta preferensinya pada matriks pangan,
dan (4) analisis data. Panelis merupakan mahasiswa TPB IPB yang direkrut
bekerja sama dengan Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) tiga suku yang
berbeda, yaitu Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara. Kriteria panelis yaitu berusia
17-25 tahun dan telah bertempat tinggal di daerah asal sukunya selama minimal
10 tahun. Jumlah panelis dari tiap suku adalah 30 orang dengan perbandingan
60:40 untuk perempuan dan laki-laki. Pengujian sensori dilakukan di
Laboratorium Analisis Sensori SEAFAST Center, dengan booth individu pada
kondisi suhu ruang (25oC). Pengujian ambang sensori dilakukan dengan metode
American Standard of Testing Materials (ASTM) E679, sedangkan pengujian
preferensi dilakukan dengan metode Rank-Rating. Pengolahan data dilakukan
menggunakan Microsoft Excel for Windows 2007 dan SPSS 20.
Pengolahan data kuesioner menunjukkan bahwa cita rasa dominan yang
terdapat pada makanan khas ketiga suku tersebut adalah gurih dan manis.
Kekhasan makanan suku Minang terdapat pada cita rasa pedas yang cukup
dominan, yang tidak ditemukan dalam jumlah cukup besar pada dua suku lainnya.
Minuman khas atau yang biasa dikonsumsi ketiga suku tersebut memiliki cita rasa
dominan manis, dengan persentase jauh lebih tinggi dibandingkan cita rasa
lainnya.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa rata-rata ambang sensori ketiga suku
tersebut untuk rasa manis adalah 6.027 mM (sukrosa), rasa pahit 0.713 mM
(kafein), dan rasa asin 1.982 mM (NaCl). Panelis suku Minang memiliki ambang
sensori tertinggi untuk rasa manis (8.139 mM) dan pahit (0.770 mM). Panelis
Suku Jawa memiliki ambang sensori tertinggi pada rasa asin (2.177 mM). Nusa
Tenggara memiliki sensitivitas tertinggi, dengan ambang sensori terendah pada
ketiga rasa dasar tersebut (4.070 mM sukrosa, 0.671 mM kafein, dan 1.895 mM
NaCl). Analisis statistik dengan ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
ambang sensori rasa manis yang signifikan pada tiga suku tersebut (p=0.034).
Suku Minang dan Nusa Tenggara memiliki ambang sensori rasa manis yang
berbeda signifikan. Secara umum, panelis perempuan memiliki ambang sensori
lebih rendah (lebih sensitif) pada ketiga rasa dasar tersebut dibandingkan panelis
laki-laki. Uji-t memberikan hasil bahwa perbedaan gender mengakibatkan
perbedaan yang signifikan pada ambang sensori rasa asin panelis laki-laki dan
perempuan.
Pengujian preferensi memberikan hasil bahwa panelis ketiga suku memiliki
kecenderungan yang sama, yaitu menyukai teh dengan rasa lebih manis dan
minuman kopi dengan konsentrasi bubuk kopi tidak terlalu tinggi (rasa kopi tidak
dominan). Rata-rata skor kesukaan tertinggi panelis ketiga suku diberikan pada
teh dengan konsentrasi gula 12.5% dan kopi dengan konsentrasi bubuk kopi
1.07%. Analisis statistik dengan ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan suku
memberikan perbedaan yang signifikan terhadap preferensi rasa pahit dalam
minuman kopi (p=0.031). Suku Jawa dan Nusa Tenggara memiliki preferensi rasa
pahit dalam minuman kopi yang berbeda signifikan. Variasi skor kesukaan yang
tinggi pada grafik rasa asin dalam sup dapat disebabkan penyajian sampel yang
berbeda dengan kondisi konsumsi normal sehingga kemungkinan panelis
mengalami bias. Hasil pengujian menunjukkan bahwa panelis perempuan
cenderung menyukai teh yang lebih manis dibandingkan panelis laki-laki,
sedangkan panelis laki-laki menyukai kopi yang lebih pahit dibandingkan panelis
perempuan. Meski demikian, uji-t memberikan hasil bahwa perbedaan gender
tidak berpengaruh signifikan terhadap preferensi rasa dasar dalam matriks pangan.
Korelasi antara ambang sensori rasa dasar dan preferensinya dalam matriks
pangan memberikan nilai yang rendah. Diduga tidak terdapat korelasi antara
ambang sensori rasa dasar dan preferensinya dalam matriks pangan. Identifikasi
cita rasa dominan pada makanan dan minuman khas daerah tidak disertai
intensitas rasa, sehingga belum dapat diperkirakan pengaruhnya terhadap ambang
sensori dan preferensinya dalam pangan.
Kata kunci: 3-AFC, ambang sensori, gender, multikultural, preferensi.
SUMMARY
USWATUN HASANAH. Basic Taste Threshold and Preferences in Food
Matrices by Multicultural Approach in Indonesia. Supervised by DEDE R.
ADAWIYAH and BUDI NURTAMA.
Taste is the most important parameter for food acceptance. Each of the basic
tastes; sweet, bitter, sour, salty, and umami, has its minimum concentration to be
detected or identified by human senses, called threshold. Cross-cultural studies
showed that eating habit was one of the factors that affect taste threshold and
preference of food, associated with taste intensity in the food.
Indonesia is an archipelagic country with multiethnic citizens with more
than 740 ethnic groups. Each ethnic group has its unique food taste and eating
habits. Bogor Agricultural University as one of the best university in Indonesia
could be a good representative of Indonesian multiethnicity. First year
undergraduate students are good representatives. They have lived in Bogor for a
short time, thus it can be assumed that their eating habit based on ethnicity still
remains.
The aim of this study was to evaluate taste threshold of three basic tastes
(sweet, bitter, and salty) and preference in food matrices (tea, coffee, and
vegetable soup broth) of three ethnic groups in Indonesia. The other aims were to
evaluate the influence of gender to taste threshold and preference in Indonesia and
to evaluate the correlation between taste threshold and its preference in food
matrices.
This study was conducted in four stages: (1) preliminary study to determine
concentration series of taste threshold and preference tests, (2) panelist
recruitment, (3) evaluation of taste threshold and preferences in food matrices, and
(4) data analysis. The panelists were first year undergraduate students in Bogor
Agricultural University recruited from regional student organizations of three
ethnic groups: Minangese, Javanese, and Nusa Tenggara. Recruitment criterias are
age (17-25 years old) and having lived in the area of ethnic origin for 10 years
minimum. Each ethnic group was represented by 30 panelists, with the proportion
60:40 for female and male. Sensory tests were conducted in Food Sensory
Analysis Laboratory, SEAFAST Center, in individual booths on room
temperature (25oC). Taste threshold determination was conducted by using three-
alternative force choice (3-AFC) ascending concentration series method of limits
(ASTM E679), while preference test was conducted using Rank-Rating method.
Data analysis were using Microsoft Excel for Windows 2007 and SPSS 20.
Analysis of questionnaire data showed that umami and sweet taste were
dominantly found in Minangese, Javanese, and Nusa Tenggara foods. Minangese
foods were uniquely dominant in spicy taste. The beverages from three ethnic
groups were dominant in sweet taste.
The average of sweet taste threshold of Indonesian was 6.027 mM of
sucrose, 0.713 mM of caffeine for bitter taste, and 1.982 mM of NaCl for salty
taste. Minangese had the highest threshold for sweet taste (8.139 mM of sucrose)
and bitter taste (0.770 mM of caffeine). Javanese had the highest threshold of salty
taste (2.177 mM of NaCl). Panelists from Nusa Tenggara had the lowest threshold
of all tastes (4.070 mM of sucrose, 0.671 mM of caffeine, and 1.895 mM of
NaCl). Statistical analysis showed that ethnic groups have significantly affected
sweet taste threshold (p=0.034) between Nusa Tenggara and Minangese. Gender
differences showed that female panelists had lower threshold of all tastes.
Statistical analyses of threshold differences between genders resulted that gender
difference only affected threshold of salty taste significantly.
Evaluation of basic tastes preference in food matrices of three ethnic groups
in Indonesia) showed that all of the three ethnic groups had similar pattern of
preference of sweetness and bitterness in food matrices. The panelists tend to
prefer sweeter tea and low concentration of coffee powder in coffee beverage. The
maximum hedonic score was given to the tea with 12.5% of sugar concentration
and coffee beverages with 1.07% of coffee powder concentration. Statistical
analysis resulted that ethnic groups have significantly affected preference of bitter
taste in coffee beverages (p=0.031), especially between Nusa Tenggara and
Javanese. The preference of saltiness in soup varied with unclear pattern. This
might be caused by the different sample presentation from the normal
consumption condition. Gender differences showed that female panelists tend to
prefer sweeter tea, while male panelists tend to prefer more bitter coffee.
Nevertheless, statistical analyses resulted that there were no significant
differences of all basic taste preference in food matrices between genders.
The analysis of correlation showed that all basic tastes threshold had low
correlation score with the preference in food matrices. There might be no
correlation between taste threshold and the preference in food matrices. In this
study, the identification was just about the dominant taste but not the intensity of
each taste in food and beverages. Therefore, the effect of eating habits on taste
threshold and preference could not be estimated.
Keywords: 3-AFC, gender, multicultural, preference, taste threshold.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan
AMBANG SENSORI RASA DASAR DAN PREFERENSI
DALAM MATRIKS PANGAN DENGAN PENDEKATAN
MULTIKULTURAL DI INDONESIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
USWATUN HASANAH
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Didah Nur Faridah, STP, M.Si
Judul Tesis : Ambang Sensori Rasa Dasar dan Preferensi dalam Matriks Pangan
dengan Pendekatan Multikultural di Indonesia
Nama : Uswatun Hasanah
NIM : F251114081
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Dede R. Adawiyah, MSi
Ketua
Dr Ir Budi Nurtama, MAgr
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 7 Februari 2014
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)
Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih untuk penelitian yang dilakukan penulis adalah sensori pangan, dengan
judul Ambang Sensori Rasa Dasar dan Preferensi dalam Matriks Pangan dengan
Pendekatan Multikultural di Indonesia.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya tesis ini, penulis
ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. sebagai ketua komisi pembimbing
serta Bapak Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr sebagai komisi pembimbing.
2. Ibu Dr. Didah Nur Faridah, STP, M.Si sebagai dosen penguji luar
komisi dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc sebagai
Ketua Program Studi IPN, terima kasih atas bimbingan dan masukan
kepada penulis.
3. Ibu Yudiwanti dan Bapak Achmad atas segala dukungan moril,
materiil, ridho, dan doa kepada penulis.
4. Suami tercinta, Mas Syaefudin, atas dukungan, bantuan, ridho, dan
doanya untuk penulis.
5. Teman-teman OMDA yang bersedia membantu penulis dalam
rekrutmen panelis.
6. Caca dan Jannah yang telah membantu penulis dalam pengumpulan
data penelitian.
7. Bu Sri dan rekan-rekan SEAFAST Center yang telah memudahkan
penulis dalam melaksanakan penelitian.
8. Teman-teman IPN 2011 dan 2012 atas kebersamaan dan bantuannya
selama perkuliahan hingga melaksanakan tugas akhir.
9. Adik-adik di rumah (Jannah, Mu’minah, Thoyyibah, Mardhiyyah,
Muttaqin) dan Mbak Nur sekeluarga untuk keceriaan dan dukungannya
pada penulis.
10. Teman-teman Lingkaran Cahaya dan Teh Bairanti untuk penjagaan,
dukungan, dan doanya.
11. Teman-teman FORKOM ALIMS, adik-adik mentoring SPENSA dan
Mentoring Plus di SMANSA yang telah memberikan berbagai inspirasi
kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberikan kontribusi nyata
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya di bidang
pangan.
Bogor, Februari 2014
Uswatun Hasanah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Hipotesis Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
Hasil yang Diharapkan 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Kebiasaan Makan Multikultural 4
Ambang Sensori 8
Preferensi Sensori 10
3 METODE 12
Waktu dan Tempat Penelitian 12
Bahan dan Alat 12
Metode Penelitian 12
Prosedur Analisis Data 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Penelitian Pendahuluan 18
Identifikasi Cita Rasa Dominan pada Makanan dan Minuman Khas dari
Tiga Suku di Indonesia 24
Ambang Sensori Tiga Suku di Indonesia 26
Preferensi Tiga Suku di Indonesia terhadap Rasa Dasar dalam Matriks
Pangan 34
Korelasi Ambang Sensori dengan Preferensi 42
5 SIMPULAN DAN SARAN 43
DAFTAR PUSTAKA 44
LAMPIRAN 46
RIWAYAT HIDUP 104
DAFTAR TABEL
1 Beberapa hasil studi ambang sensori di mancanegara 6
2 Beberapa hasil studi preferensi di mancanegara 7
3 Seri konsentrasi pengujian ambang sensori sebelumnya 18
4 Seri konsentrasi pengujian ambang sensori 20
5 Jumlah bahan untuk pembuatan sup sayuran 22
6 Seri konsentrasi pengujian preferensi 22
7 Seri konsentrasi pengujian preferensi berdasarkan hasil FGD 23
8 Beberapa makanan dan minuman khas Sumatera Barat (Suku Minang) 24
9 Beberapa makanan dan minuman khas Jawa Tengah (Suku Jawa) 24
10 Beberapa makanan dan minuman khas Nusa Tenggara 25
11 Hasil uji-t pengaruh gender terhadap ambang sensori 33
12 Hasil uji-t pengaruh gender terhadap preferensi 40
13 Korelasi ambang sensori dengan preferensi 42
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir tahapan penelitian 13
2 Susunan penyajian sampel untuk pengujian ambang sensori 15
3 Kartu bantu pengujian preferensi 17
4 Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa sukrosa 19
5 Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa kafein 19
6 Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa NaCl 20
7 Grafik cita rasa dominan pada makanan khas tiga suku di Indonesia 25
8 Grafik cita rasa dominan pada minuman khas tiga suku di Indonesia 26
9 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
manis pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C) 27
10 Ambang sensori rasa manis tiga suku di Indonesia 28
11 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
pahit pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C) 29
12 Ambang sensori rasa pahit tiga suku di Indonesia 30
13 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
asin pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C) 31
14 Ambang sensori rasa asin tiga suku di Indonesia 32
15 Ambang sensori tiga rasa dasar pada tiga suku di Indonesia 33
16 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa manis teh 35
17 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa pahit kopi 36
18 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa asin sup 37
19 Variasi skor preferensi rasa manis dalam teh yang diberikan
panelis suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C) 38
20 Variasi skor preferensi rasa pahit dalam minuman kopi yang
diberikan panelis suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C) 38
21 Variasi skor preferensi rasa asin dalam sup yang diberikan panelis
suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C) 39
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kode sampel 46
2 Contoh kombinasi pengacakan penyajian sampel 47
3 Kuesioner seleksi panelis 53
4 Pernyataan kesediaan menjadi panelis 54
5 Kuesioner makanan dan minuman khas daerah 55
6 Kuesioner pengujian ambang sensori 56
7 Kuesioner pengujian preferensi 57
8 Data makanan dan minuman khas daerah 58
9 Hasil uji statistik dengan SPSS 70
10 Dokumentasi penelitian 99
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rasa merupakan parameter penting yang menentukan penerimaan sebuah
produk pangan. Hingga kini terdapat lima macam rasa dasar yang dikenal indera
perasa manusia, yaitu manis, pahit, asam, asin, dan umami. Setiap rasa tersebut
memiliki mekanisme pengecapan tersendiri di kuncup pengecap pada lidah
manusia. Mekanisme pengecapan berkaitan dengan kemampuan senyawa rasa
terlarut dalam saliva, diterima kuncup pengecap, dan menimbulkan respon otak.
Sebagai contoh, mekanisme penerimaan rasa manis dan pahit berkaitan dengan
protein GPCR yaitu reseptor jenis T1R dan T2R (Montmayeur dan Matsunami
2002), sedangkan mekanisme penerimaan rasa asam dan asin berkaitan dengan
saluran ion.
Selain memiliki mekanisme penerimaan yang berbeda-beda, rasa juga
memiliki konsentrasi minimum untuk dapat dikenali dan dideteksi oleh indera
sensori manusia. Meski dapat membedakan intensitas dari konsentrasi yang
berbeda, kuncup pengecap memiliki keterbatasan. Batas kapasitas sensori manusia
disebut dengan istilah threshold (Meilgaard et al. 2007).
Terdapat berbagai faktor yang menentukan perbedaan threshold atau
ambang sensori. Terkait dengan indera sensori, faktor yang menentukan
perbedaan ambang di antaranya jenis kelamin, usia, kebiasaan makan, waktu
pencicipan, dan metabolisme tubuh. Setiap individu memiliki perbedaan dalam
sensitivitas rasa, dapat pula diwariskan secara genetis (Lawless dan Heymann
2010). Studi oleh Okoro et al. (1998) terhadap pelajar berusia remaja di Nigeria
menunjukkan bahwa pelajar laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan ambang
pengenalan rasa asin. Perbedaan gender juga berpengaruh signifikan terhadap
kemampuan identifikasi rasa pahit (Michon et al. 2009). Mojet et al. (2005)
menyatakan bahwa panelis berusia muda (19-33 tahun) dan tua (60-75 tahun)
memiliki perbedaan sensitivitas ambang. Studi lainnya oleh Sanders et al. (2002)
menunjukkan bahwa usia berpengaruh secara signifikan terhadap ambang sensori
rasa manis. Selain itu, jenis rasa dan senyawa rasa dasar juga memberikan
perbedaan ambang sensori.
Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi ambang
sensori. Mitchell et al. (2013) dalam penelitiannya pada penduduk Dublin
(Irlandia, Eropa) memperoleh hasil bahwa individu yang mengonsumsi makanan
dengan kadar garam tinggi akan cenderung membutuhkan garam lebih banyak
untuk memperoleh sensasi rasa yang sama dibandingkan dengan individu yang
lebih tidak sensitif terhadap garam. Dengan kata lain, kebiasaan konsumsi
makanan dengan kadar garam tinggi akan meningkatkan ambang sensori terhadap
rasa asin.
Selain memengaruhi ambang sensori, etnis atau suku dengan kulturnya
masing-masing termasuk kebiasaan konsumsi makanannya juga memengaruhi
preferensi seseorang terhadap suatu makanan, terkait dengan intensitas rasa
tertentu yang terdapat pada makanan tersebut. Lanfer et al. (2013) telah
melakukan studi mengenai preferensi anak-anak di delapan negara Eropa terhadap
rasa dasar manis, pahit, asin, dan gurih dalam matriks makanan yang berbeda-
2
beda. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa negara asal merupakan faktor
terkuat yang memengaruhi preferensi terhadap keempat rasa tersebut. Sebagai
contoh, anak-anak dari Jerman dan Spanyol menyukai rasa gurih dengan intensitas
yang tinggi, sementara anak-anak dari Siprus dan Belgia menyukai rasa gurih
dengan intensitas yang lebih rendah. Perbedaan konsentrasi rasa antara tertinggi
dan terendah mencapai lebih dari dua kali lipat.
Indonesia merupakan bangsa multikultural, terdapat lebih dari 740 suku
bangsa yang mendiami 17.504 pulau (Widodo 2009). Telah diketahui secara luas
bahwa suku-suku di Indonesia memiliki perbedaan karakteristik rasa pada
makanan khas masing-masing. Sebagai contoh, suku Jawa cenderung berselera
dengan makanan atau masakan yang manis. Suku lainnya yaitu Minang cenderung
menyukai makanan atau masakan yang pedas (Ariyani 2013). Suku Riau dan
Palembang cenderung mengonsumsi pangan dengan rasa asin, dilihat dari
makanan olahan ikan dan gulai yang berlemak. Kekhasan tersebut dapat
memengaruhi sensitivitas serta preferensi orang yang berasal dari suatu suku
terhadap rasa tertentu.
Institut Pertanian Bogor adalah salah satu dari lima perguruan tinggi terbaik
di Indonesia, berdasarkan bibliometric ranking dan QS Indonesia ranking.
Mahasiswa IPB memiliki karakteristik yang beragam, dengan latar belakang suku
yang berbeda-beda. Hal tersebut terkait dengan cukup besarnya proporsi
penerimaan mahasiswa dari jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN) dan Beasiswa Utusan Daerah (BUD) yang diseleksi dari
seluruh Indonesia. Mahasiswa tingkat 1, atau lebih dikenal sebagai mahasiswa
Tingkat Persiapan Bersama (TPB) merupakan representasi yang baik dari
keragaman suku serta kebiasaan makan masing-masing suku. Dewi et al. (2009)
menyatakan bahwa mahasiswa TPB merupakan representasi remaja yang berasal
dari seluruh wilayah Indonesia. Mahasiswa TPB belum terlalu lama tinggal di
Bogor sehingga diperkirakan memiliki kebiasaan makan yang masih sama seperti
di daerah asalnya.
Keragaman cita rasa makanan khas dan kebiasaan makan antar suku di
Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dikaji pengaruhnya dari segi ilmu
sensori, karena penelitian dasar seperti ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan adalah pengujian ambang sensori tiga rasa dasar serta
preferensinya dalam matriks pangan dengan panelis mahasiswa TPB IPB dari tiga
suku yang berbeda di Indonesia. Rasa dasar yang diujikan adalah manis, pahit,
dan asin, sebab ketiga rasa dasar tersebut lebih banyak dikenal dan terdapat dalam
pangan masyarakat Indonesia, serta lebih mudah dalam pemilihan matriks pangan
yang digunakan. Matriks pangan yang digunakan adalah minuman teh untuk rasa
manis, minuman kopi untuk rasa pahit, dan larutan sup sayuran untuk rasa asin.
Pemilihan matriks pangan didasarkan pada pengenalan masyarakat Indonesia serta
persepsi umum mengenai rasa dominan yang sesuai dalam ketiga produk pangan
tersebut. Pengujian dilakukan terhadap suku Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara
berdasarkan demografi berupa keterwakilan masyarakat Indonesia dari wilayah
paling barat (Sumatera), suku dengan jumlah penduduk mayoritas (Jawa), serta
wilayah Indonesia Tengah-Timur (Nusa Tenggara).
3
Perumusan Masalah
Perbedaan preferensi terhadap rasa dasar pada makanan khas berbagai suku
di Indonesia dapat mengindikasikan adanya pengaruh terhadap ambang sensori
dan preferensi. Hal tersebut didukung oleh penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya di mancanegara. Rumusan masalah pada penelitian ini
adalah: (1) pengaruh perbedaan tiga suku di Indonesia terhadap ambang sensori
tiga rasa dasar, (2) pengaruh perbedaan tiga suku di Indonesia terhadap preferensi
sensori rasa dasar dalam matriks pangan, (3) pengaruh perbedaan gender terhadap
ambang dan preferensi sensori, serta (4) hubungan antara ambang sensori dengan
preferensinya pada ketiga suku tersebut.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menentukan ambang sensori tiga rasa dasar dari senyawa rasa, yaitu
manis (sukrosa), pahit (kafein), dan asin (NaCl) pada tiga suku yang
berbeda di Indonesia
2. Menentukan preferensi rasa dasar dalam matriks pangan teh (rasa
manis), kopi (rasa pahit), dan sup (rasa asin) pada tiga suku yang
berbeda di Indonesia
3. Mengetahui pengaruh perbedaan gender terhadap ambang dan
preferensi sensori, serta
4. Mengetahui hubungan antara ambang sensori dengan preferensi rasa
dasar pada tiga suku yang berbeda di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu:
1. Memberikan rujukan ilmiah mengenai ambang sensori rasa manis,
pahit, dan asin serta preferensi dalam matriks pangan pada tiga suku
di Indonesia
2. Memberikan rujukan ilmiah mengenai ambang sensori rasa manis,
pahit, dan asin serta preferensi dalam matriks pangan berdasarkan
gender
3. Memperkaya literatur mengenai keragaman cita rasa makanan khas
dan kebiasaan makan akibat perbedaan suku di Indonesia dari sudut
pandang sensori pangan
4. Memberikan rujukan ilmiah bagi keperluan formulasi produk pangan
(minuman dan produk seasoning) dengan pendekatan wilayah atau
suku di Indonesia.
4
Hipotesis Penelitian
Hipotesis untuk penelitian yang dilakukan yaitu:
1. Perbedaan suku menyebabkan perbedaan ambang sensori rasa dasar
serta preferensinya dalam matriks pangan, atau
2. Perbedaan suku tidak menyebabkan perbedaan ambang sensori rasa
dasar, namun menyebabkan perbedaan preferensinya dalam matriks
pangan
3. Perbedaan gender memengaruhi perbedaan ambang sensori rasa dasar
4. Terdapat korelasi antara ambang sensori rasa dasar dengan preferensi
dalam matriks pangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan berada dalam ruang lingkup berikut.
1. Studi dilakukan pada mahasiswa TPB IPB dari tiga suku berbeda,
yaitu Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara
2. Studi difokuskan pada tiga dari lima rasa dasar, yaitu manis, pahit,
dan asin
3. Matriks pangan yang digunakan untuk pengujian preferensi adalah
minuman teh untuk rasa manis, minuman kopi untuk rasa pahit, dan
larutan sup sayuran untuk rasa asin.
Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:
1. Postulasi ilmiah mengenai pengaruh perbedaan suku dan keragaman
cita rasa makanan khas di Indonesia terhadap ambang sensori dan
preferensi rasa dasar
2. Publikasi ilmiah mengenai keragaman cita rasa makanan khas suku di
Indonesia dari sudut pandang ilmu sensori pangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebiasaan Makan Multikultural
Kebiasaan makan dapat memengaruhi ambang sensori rasa dasar. Studi oleh
Mitchell et al. (2013) terhadap pada penduduk Dublin (Irlandia, Eropa)
memperoleh hasil bahwa individu yang terbiasa mengonsumsi makanan dengan
kadar garam tinggi akan cenderung membutuhkan garam lebih banyak untuk
memperoleh sensasi rasa yang sama dibandingkan dengan individu yang lebih
tidak sensitif terhadap garam. Dengan kata lain, kebiasaan konsumsi makanan
dengan kadar garam tinggi akan meningkatkan ambang sensori terhadap rasa asin.
Selain memengaruhi ambang sensori, suku bangsa juga memengaruhi
preferensi seseorang terhadap suatu makanan, terkait dengan intensitas rasa
5
tertentu pada makanan tersebut. Hasil studi Prescott et al. (1997) mengenai
preferensi konsumen Jepang dan Australia terhadap intensitas rasa manis pada jus
jeruk, sereal sarapan, serta es krim menunjukkan bahwa terdapat beberapa
perbedaan persepsi antara kedua suku bangsa tersebut mengenai intensitas sensori.
Variasi pola respon panelis terhadap kemanisan yang meningkat terlihat pada
jenis matriks pangan dan suku bangsa. Meski demikian, diperoleh hasil antar suku
bangsa yang sama mengenai konsentrasi kemanisan optimum untuk setiap jenis
pangan yang diujikan.
Ludy dan Mattes (2012) melakukan studi terhadap suku bangsa Kaukasia
dan Asia dengan kebiasaan konsumsi makanan pedas yang berbeda. Hasil studi
tersebut menunjukkan bahwa panelis yang telah mengonsumsi makanan yang
mengandung cabai sejak kecil memiliki preferensi terhadap konsentrasi cabai
merah yang lebih tinggi dalam matriks pangan sup tomat jika dibandingkan
dengan panelis yang mengenal sensasi rasa pedas setelahnya (remaja atau
dewasa). Negara-negara yang penduduknya banyak mengonsumsi cabai merah
memiliki penduduk yang terbiasa dengan rasa pahit dari senyawa 6-n-
prophythiouracil (PROP) (Ludy dan Mattes 2012). Diduga terdapat keterkaitan
antara kebiasaan konsumsi makanan pedas dengan penerimaan rasa pahit.
Lanfer et al. (2013) melakukan studi mengenai ambang sensori dan
preferensi terhadap rasa dasar manis, pahit, asin, dan gurih pada anak-anak di
delapan negara Eropa. Pengujian preferensi rasa dasar dilakukan dalam matriks
pangan yang berbeda-beda. Rasa manis diujikan dalam matriks jus apel,
sedangkan rasa asin dan gurih diujikan dalam matriks kraker. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa negara asal merupakan faktor terkuat yang
memengaruhi preferensi terhadap keempat rasa tersebut. Sebagai contoh, anak-
anak dari Jerman dan Spanyol menyukai rasa gurih dengan intensitas yang tinggi,
sementara anak-anak dari Siprus dan Belgia menyukai rasa gurih dengan
intensitas yang lebih rendah. Perbedaan konsentrasi rasa antara tertinggi dan
terendah mencapai lebih dari dua kali lipat. Hasil analisis terhadap data
menunjukkan bahwa preferensi terhadap rasa manis berkaitan dengan ambang
sensori rasa asin dan gurih. Anak-anak dengan ambang sensori rasa asin dan gurih
yang rendah memiliki peluang lebih besar untuk memilih jus apel dengan rasa
yang lebih manis. Beberapa hasil studi mancanegara mengenai ambang sensori
dan preferensi disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2.
Indonesia merupakan negara yang penduduknya terdiri lebih dari 740 suku
bangsa (Widodo 2009). Masing-masing suku memiliki unsur kebudayaan yang
unik dan khas. Unsur-unsur kebudayaan tersebut di antaranya adalah sistem religi
dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem ilmu
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem sarana kehidupan, serta sistem teknologi.
Beberapa hal yang memiliki perbedaan menonjol antar suku adalah bahasa,
norma, dan makanannya (Ariyani 2013).
Makanan atau masakan merupakan kekayaan budaya suatu suku yang sering
dianggap biasa. Ariyani (2013) dalam penelitiannya mengenai strategi adaptasi
orang Minang terhadap bahasa, makanan, dan norma masyarakat Jawa
menyebutkan bahwa orang Minang memiliki kecenderungan menyukai makanan
atau masakan yang pedas. Suku Jawa cenderung berselera dengan makanan atau
masakan yang manis. Dijelaskan bahwa perbedaan selera atau kebiasaan makan
6
ini tidak sepenuhnya mutlak bagi anggota suku tertentu, tetapi memang terdapat
konstruksi pemikiran jenis makanan dari masing-masing suku tersebut.
Tabel 1 Beberapa hasil studi ambang sensori di mancanegara
No Rasa
Dasar
Senyawa
Rasa
Dasar
Ambang Sensori Panelis Sumber
1 Manis Sukrosa 50 mM (sebanyak
51.41% panelis
mengenali rasa dengan
benar)
pelajar Nigeria
berusia 9-17 tahun
Okoro
et al.
(1998)
Sukrosa 41.4 mM (ambang
pengenalan)
mahasiswa Paris
dengan rata-rata usia
26 tahun, dalam
keadaan kenyang
Pasquet
et al.
(2006)
Sukrosa 4 g/L (sebanyak 81%
panelis mengenali rasa
dengan benar)
panelis terlatih di
Norwegia berusia
31-67 tahun
Bitnes
et al.
(2007)
2 Pahit Urea >750 mM (kurang dari
40% panelis
mengenali rasa dengan
benar)
pelajar Nigeria
berusia 9-17 tahun
Okoro
et al.
(1998)
Quinin
sulfat
0.0068 mM (ambang
pengenalan)
mahasiswa Paris
dengan rata-rata usia
26 tahun, dalam
keadaan kenyang
Pasquet
et al.
(2006)
Kafein 0.14 g/L (sebanyak
81% panelis
mengenali rasa dengan
benar)
panelis terlatih di
Norwegia berusia
31-67 tahun
Bitnes
et al.
(2007)
3 Asin NaCl 30 mM (sebanyak
64.89% panelis
mengenali rasa dengan
benar)
pelajar Nigeria
berusia 9-17 tahun
Okoro
et al.
(1998)
NaCl 19.3 mM (ambang
pengenalan)
mahasiswa Paris
dengan rata-rata usia
26 tahun, dalam
keadaan kenyang
Pasquet
et al.
(2006)
NaCl 0.3 g/L (sebanyak
71% panelis
mengenali rasa dengan
benar)
panelis terlatih di
Norwegia berusia
31-67 tahun
Bitnes
et al.
(2007)
NaCl 10.08 ± 0.78 mM
(ambang deteksi) dan
22.23 ± 1.27 mM
(ambang pengenalan)
penduduk Irlandia
berusia 22-56 tahun
Mitchell
et al.
(2013)
7
Tabel 2 Beberapa hasil studi preferensi di mancanegara
No Rasa
Dasar
Matriks
Pangan
Preferensi Panelis Sumber
1 Manis Jus jeruk
komersial
Jus jeruk dengan
penambahan gula
sebanyak 20 g/L
konsumen Australia
berusia 19-60 tahun
Prescott
et al.
(1997)
Jus jeruk dengan
penambahan gula
sebanyak 20 g/L
konsumen Jepang
berusia 20-54 tahun
Prescott
et al.
(1997)
Sereal
sarapan
komersial
Sereal dengan
kandungan gula
225%
konsumen Australia
(berusia 21-60
tahun) dan Jepang
(berusia 21-54
tahun)
Prescott
et al.
(1997)
Es krim
komersial
Es krim dengan
kandungan gula
13%
konsumen Australia
berusia 19-55 tahun
Prescott
et al.
(1997)
Es krim dengan
kandungan gula
15% (standar)
konsumen Jepang
berusia 20-43 tahun
Prescott
et al.
(1997)
2 Pahit Jus jeruk
(grapefruit)
komersial
Jus jeruk tanpa
penambahan
kafein (0 g/L)
konsumen Australia
(berusia 19-53
tahun) dan Jepang
(berusia 21-45
tahun)
Prescott
et al.
(1998)
3 Asin Sup
sayuran
komersial
Sup sayuran
dengan
kandungan garam
0.93% tidak
berbeda
signifikan dengan
0.45%
penduduk Irlandia
berusia 22-56 tahun
Mitchell
et al.
(2013)
Kraker Kraker dengan
penambahan
kandungan garam
anak-anak di delapan
negara Eropa berusia
6-9 tahun
Lanfer
et al.
(2013)
Sereal
sarapan
komersial
Sereal dengan
kandungan garam
75%
konsumen Australia
(berusia 24-55
tahun) dan Jepang
(berusia 21-54
tahun)
Prescott
et al.
(1998)
Hasil penelitian Ariyani (2013) menunjukkan bahwa makanan Jawa
memiliki kekhasan yang berbeda sesuai daerah asalnya, namun secara prinsip
terdapat kesamaan dalam cita rasanya. Jenis makanan yang umum adalah ramesan
dan penyet. Hampir sebagian besar masakan menggunakan campuran gula, baik
gula putih (pasir) ataupun gula merah.
8
Menurut Ariyani (2013), orang Minang yang merantau ke daerah Jawa
melakukan strategi adaptasi dengan bahasa dan norma yang berlaku. Adaptasi
juga dilakukan terhadap makanan yang merupakan kebutuhan dasar alamiah-
biologis. Dalam mengonsumsi makanan Jawa, orang Minang melakukan adaptasi
dengan memilih makanan yang cenderung pedas atau menyertakan sambal yang
dapat memberikan rasa pedas, atau dengan memasak makanan sendiri. Orang
Minang melakukan pemilihan terhadap jenis makanan yang dikonsumsi, sebab
masakan yang manis cenderung membuat orang Minang merasa mual dan ingin
muntah. Adaptasi konsumsi makanan memerlukan pembiasaan dalam waktu
cukup lama. Perbedaan kebiasaan makan antar suku di Indonesia tersebut
merupakan hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, dalam kaitannya dengan
ambang sensori rasa dasar dan preferensinya dalam matriks pangan.
Ambang Sensori
Meilgaard et al. (2007) menjelaskan bahwa ambang sensori atau threshold
adalah batas kapasitas sensori manusia. Ambang dapat digolongkan menjadi
empat, yaitu ambang mutlak atau ambang deteksi, ambang pengenalan, ambang
beda, dan ambang terminal. Ambang deteksi adalah stimulus terendah yang dapat
memberikan sensasi. Jika stimulus tersebut telah dapat dikenali dan diidentifikasi
secara spesifik, maka konsentrasi terendahnya disebut dengan ambang
pengenalan. Umumnya ambang pengenalan lebih tinggi dari ambang deteksi.
Ambang beda adalah perubahan konsentrasi yang dibutuhkan untuk memberikan
perbedaan intensitas yang dapat dikenali, sedangkan ambang terminal adalah
konsentrasi yang jika dinaikkan tidak terjadi perubahan intensitas lagi, berkaitan
dengan kejenuhan kuncup pengecap.
Secara garis besar, terdapat tiga kategori utama pada metode penentuan
ambang sensori (Kolpin 2008). Ketiga kategori utama tersebut adalah staircase
procedures, R-index measures, dan alternative forced choice. Staircase
procedures umum digunakan untuk menentukan ambang deteksi dan ambang
lainnya, seperti ambang beda atau ambang pengenalan. Metode tersebut
menggunakan serangkaian reverse 2-alternative forced choices (2-AFC). Metode
2-AFC dilakukan dengan menggunakan sepasang sampel, terdiri dari satu sampel
yang mengandung stimulus dan satu sampel yang tidak mengandung stimulus
(netral). Panelis diminta untuk menentukan sampel mana yang mengandung
stimulus. Jika jawaban panelis salah, pengujian dilanjutkan menggunakan sampel
yang mengandung stimulus dengan konsentrasi lebih tinggi. Jika jawaban panelis
benar, pengujian diulang pada konsentrasi stimulus yang sama. Jawaban benar
sebanyak dua kali pada konsentrasi stimulus yang sama akan berlanjut dengan
pengujian menggunakan stimulus dengan konsentrasi lebih rendah. Peningkatan
dan penurunan konsentrasi yang digunakan tersebut dikenal dengan nama
reversal. Prosedur reversal dilakukan hingga rasa dari dua peningkatan berturut-
turut dapat dijawab dengan benar. Ambang pengenalan ditentukan dari rata-rata
konsentrasi terendah yang dikenali pada setiap reversal (Pasquet et al. 2006).
Metode R-index didasarkan pada signal detection theory (SDT). Meilgaard
et al. (2007) menjelaskan bahwa SDT merupakan sistem yang berdasarkan pada
gagasan bahwa yang akan dituju bukanlah ambang sensori, melainkan perbedaan
9
psikologis antara dua stimulus, yang dilambangkan dengan d’. R-index
merupakan peluang pemberian jawaban benar pada pengujian pasangan sampel
signal (S) dan noise (N). Perbedaan yang besar antara dua stimulus akan
memberikan peluang yang lebih besar untuk terdeteksinya perbedaan, sehingga R-
index akan bernilai besar (Kolpin 2008). Lebih lanjut, Simpson et al. (2012)
menjelaskan bahwa sampel terdiri dari set dengan satu S dan dua N disajikan
secara acak. Panelis diminta untuk menjawab apakah suatu sampel merupakan S
atau N, serta yakin atau tidak dengan jawaban tersebut. Deteksi stimulus
merupakan hasil dari pengambilan keputusan yang bergantung pada tingkat
keyakinan dan akurasi panelis.
Metode three-alternative forced-choice (3-AFC) ascending concentration
series method of limits dideskripsikan dalam American Standard of Testing
Materials atau ASTM E679 (ASTM 2011) dan ASTM 1432. Kedua metode
tersebut menggunakan set sampel yang terdiri dari satu sampel berisi stimulus
(test sample) dan dua blanko (blank sample). Panelis diminta untuk
mengidentifikasi sampel mana yang merupakan test sample. Jumlah set sampel
yang digunakan bervariasi, namun setiap set sampel mengandung test sample
berisi stimulus dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Peningkatan konsentrasi
pada setiap set harus merupakan faktor konstan, misalnya 2 atau 3. Panelis
memulai pengujian pada set yang mengandung sampel dengan konsentrasi
stimulus terendah, dan bertahap dilanjutkan ke set dengan konsentrasi stimulus
lebih tinggi pada sampel (ascending concentration). Jawaban panelis dinilai
dengan 0 untuk jawaban salah dan + untuk jawaban benar.
Perbedaan ASTM E679 dan ASTM 1432 terletak pada jumlah pengulangan
yang dilakukan serta pengolahan data untuk memperoleh ambang sensori. Pada
ASTM E679, pengujian untuk seluruh set hanya dilakukan satu kali, sedangkan
pada ASTM 1432 dilakukan pengulangan untuk seluruh set sebanyak 5-7 kali
(Kolpin 2008). Oleh karena itu ASTM E679 disebut juga dengan metode cepat.
Ambang sensori grup pada ASTM 1432 ditentukan berdasarkan metode frekuensi.
Ambang deteksi grup merupakan konsentrasi yang memberikan jawaban benar
sebanyak 50% dari seluruh panelis. Metode pengolahan data yang digunakan oleh
ASTM E679 memperhitungkan perkiraan terbaik (best estimate) dari setiap
panelis, kemudian memperhitungkan geometric mean untuk memperoleh nilai
akhir ambang sensori dari grup (ASTM 2011). Lawless (2010) menyatakan bahwa
metode ASTM E679 terbukti mampu memperkirakan ambang sensori untuk rasa
dan aroma, serta telah digunakan lebih dari 30 tahun.
Metode-metode pengujian ambang sensori tersebut telah umum digunakan
dalam studi sensori, sehingga telah terdapat berbagai evaluasi. Kolpin (2008)
menyatakan bahwa tidak ada prosedur baku untuk staircase method, sehingga
tidak dapat dipastikan berapa reversal yang dibutuhkan untuk memperoleh
ambang sensori yang valid. Metode tersebut membutuhkan pengolahan data
langsung sebelum pengambilan keputusan berupa reversal. Selain itu, staircase
method membutuhkan sampel dalam jumlah banyak serta perhatian individu
untuk masing-masing panelis. Metode lainnya yaitu R-index memiliki kelemahan
dalam pengolahan data yang rumit. Dibutuhkan pengulangan sehingga dicapai
perbedaan R-index di atas 50%. Hasil yang akurat baru dapat dicapai dengan 20-
40 set pengujian, hampir sama dengan ASTM 1432. Kelemahan dari ASTM 1432
10
terletak pada banyaknya pengulangan set pengujian serta waktu pengujian yang
panjang. Total 20-40 set pengujian tersebut dilakukan selama 5-7 hari berbeda.
Studi terhadap ambang sensori haze (kompleks protein dan pektin yang
menyebabkan kekeruhan) pada jus apel menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh
dari staircase method sama dengan hasil yang diperoleh dari ASTM E679.
Kelebihan metode ASTM E679 dibandingkan dengan ASTM 1432 yaitu jumlah
sampel yang tidak terlalu banyak (3 sampel untuk setiap set, dengan jumlah 6-10
set) dan waktu pelaksanaan yang cepat (hanya satu kali pengulangan). Penetapan
ambang sensori secara konvensional pada konsentrasi yang memberikan
kemungkinan deteksi sebesar 50% dilakukan pada ASTM 1432, namun hal
tersebut dipengaruhi oleh individu yang melakukan pengujian (Lawless 2010).
Oleh karena itu, hasil yang diperoleh dari pengolahan data dengan metode ASTM
E679 dilaporkan sebagai “not far therefrom” atau “tidak jauh dari” (ASTM 2011).
Hasil penelitian Kolpin (2008) menunjukkan bahwa pengujian ambang sensori
rasa pahit pada asam hop (Humulus lupulus) bir dan madu dengan metode ASTM
E679 memberikan hasil yang tidak berbeda signifikan dengan metode ASTM
1432.
Preferensi Sensori
Preferensi sensori termasuk ke dalam uji afektif, dengan tujuan utama
memperoleh respon personal terhadap produk, ide dari sebuah produk, ataupun
karakteristik produk yang spesifik (Meilgaard et al. 2007). Selain preferensi, yang
tergolong uji afektif adalah penerimaan. Uji afektif dilakukan dengan panelis
konsumen, maka sering pula disebut uji konsumen. Hasil dari uji afektif dapat
berguna untuk menjaga kualitas produk, optimasi atau peningkatan kualitas
produk, pengembangan produk baru, mengetahui pasar yang potensial, review
kategori produk, ataupun sebagai data pendukung untuk klaim produk.
Uji afektif dapat dilakukan secara kualitatif dengan metode focus group,
focus panels, mini groups, ataupun one-on-one interview. Uji afektif dapat pula
dilakukan secara kuantitatif. Metode yang digunakan bergantung pada jumlah
sampel dan jenis data yang ingin diperoleh. Untuk sampel dengan jumlah tiga atau
lebih, pengujian preferensi dapat dilakukan dengan metode ranking. Pada metode
simple ranking test, panelis menerima sejumlah sampel dan diminta memberikan
penilaian secara berurut, misalnya 1 untuk penilaian terendah, dilanjutkan dengan
angka-angka berikutnya (2, 3, dan seterusnya bergantung pada jumlah sampel)
untuk penilaian yang lebih tinggi. Analisis dan interpretasi data dilakukan dengan
Friedman’s test dan uji lanjut LSDrank (Meilgaard et al. 2007).
Lebih lanjut, Meilgaard et al. (2007) menjelaskan bahwa kekurangan dari
metode ranking adalah data yang bersifat ordinal (non-parametrik), sehingga data
tidak dapat menggambarkan besarnya perbedaan. Oleh karena itu, uji preferensi
sering pula dilakukan dengan metode rating. Meski metode rating umum
digunakan untuk uji penerimaan, uji preferensi berkaitan erat dengan uji
penerimaan. Penerimaan yang tinggi menandakan preferensi yang tinggi pula.
Pada uji rating, panelis menerima sejumlah sampel dan diminta memberikan
penilaian menggunakan skala spesifik. Uji rating dapat dilakukan dengan skala
kategori (seperti skala 1-9) ataupun skala garis, dengan data bersifat numerik
11
(parametrik). Analisis data dilakukan dengan ANOVA. Jika terdapat sampel yang
berbeda nyata, dapat dilakukan uji lanjut dengan LSD atau Tukey-HSD.
Kim dan O’Mahony (1998) mengevaluasi efektivitas penggunaan metode
tradisional 9-skala rating. Studi-studi sebelumnya menggunakan 9-skala kategorik
dinyatakan memberikan hasil yang tidak konsisten. Adanya efek adaptasi selama
pengujian dapat memberikan perubahan intensitas yang diterima antara sampel
yang diuji pertama kali dengan sampel-sampel berikutnya. Kemungkinan lainnya
adalah stimulus mungkin membingungkan bagi panelis sehingga tidak dapat
langsung dibedakan dengan prosedur uji rating. Perbedaan intensitas dalam
jumlah yang rendah dapat membingungkan sehingga tidak berbeda signifikan
dengan metode tersebut. Selain itu, jumlah sampel yang banyak dapat
menyebabkan panelis sulit mengingat nilai yang diberikan terhadap intensitas
suatu atribut pada sampel awal dan sampel-sampel berikutnya, sebab pencicipan
ulang tidak diperbolehkan.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, dapat digunakan metode
Rank-Rating. Metode Rank-Rating menggunakan 9-skala yang sama seperti
metode rating, namun panelis dapat mengulang pencicipan seperti pada metode
ranking. Pencicipan ulang memungkinkan panelis memberikan penilaian secara
lebih baik, karena kesulitan mengingat intensitas ataupun nilai dapat
diminimalisir. Panelis diberi kartu bantu besar yang mencantumkan 9-skala
penilaian. Panelis memberikan penilaian dengan meletakkan wadah sampel pada
skala di kartu bantu besar. Metode Rank-Rating memperbolehkan pengubahan
nilai yang diberikan selama pengujian karena adanya stimulus dengan intensitas
baru yang diterima pada sampel-sampel selanjutnya (Kim dan O’Mahony 1998).
Studi oleh Kim dan O’Mahony (1998) mengenai intensitas NaCl
menggunakan 9-skala rating dan Rank-Rating memberikan hasil bahwa metode
Rank-Rating memiliki nilai kesalahan yang lebih rendah (5.0±2.2) dibandingkan
dengan metode 9-skala rating tradisional (7.2±3.1). Dengan metode Rank-Rating,
panelis memberikan nilai yang tidak berbeda signifikan pada sampel yang
memiliki intensitas sama, serta nilai yang berbeda secara signifikan pada sampel-
sampel yang memiliki perbedaan intensitas meski perbedaan tersebut rendah.
Metode 9-skala rating menunjukkan hasil bahwa panelis sulit memberikan
penilaian yang berbeda signifikan pada sampel-sampel yang memiliki perbedaan
intensitas rendah. Metode Rank-Rating juga dapat dilakukan dengan jumlah
panelis yang lebih sedikit. Pada studi tersebut, hasil yang sama berupa perbedaan
signifikan antarsampel diperoleh dengan menggunakan 6 panelis untuk metode
Rank-Rating dan 12 panelis untuk metode 9-skala rating. Dengan demikian,
metode Rank-Rating lebih efektif digunakan daripada metode 9-skala rating untuk
penilaian intensitas.
12
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – November 2013 di lingkungan
kampus Institut Pertanian Bogor. Lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa
mahasiswa IPB memiliki karakteristik yang beragam, dengan latar belakang
budaya yang berbeda-beda terkait dengan cukup besarnya proporsi mahasiswa
yang diterima dari jalur SBMPTN dan BUD, sehingga dapat merepresentasikan
mahasiswa seluruh Indonesia. Pengujian organoleptik bertempat di Laboratorium
Analisis Sensori South East Asian Food and Agricultural Science and Technology
(SEAFAST) Center IPB.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian ambang sensori adalah
sukrosa, kafein (diperoleh dari Shiratori Pharmaceutical Co., Ltd), dan NaCl
(diperoleh dari Tomita Pharmaceutical Co., Ltd). Air digunakan sebagai penetral
indra pencicip dan pelarut pada pengujian ambang sensori. Bahan-bahan yang
digunakan pada pengujian preferensi yaitu teh hitam celup Sariwangi, kopi hitam
instan Nescafé Classic, krimer MaxCreamer, gula pasir Gulaku, kraker Original
Premium Nabisco, garam meja, bawang putih bubuk dan lada bubuk Koepoe
Koepoe, serta sayur-sayuran segar (kentang, wortel, daun bawang, dan seledri).
Bahan-bahan pengujian preferensi diperoleh dari pasar lokal. Alat yang digunakan
untuk pengujian adalah alat-alat gelas, timbangan analitis, gelas ukur, sendok,
nampan, disposable cup 1 oz untuk penyajian, aluminium foil, label, dan spidol.
Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian kuesioner.
Metode Penelitian
Penelitian ambang sensori rasa dasar serta preferensinya pada matriks
pangan dilakukan secara paralel. Hasil dari penelitian ambang sensori tidak
dijadikan landasan pengujian preferensi. Terdapat penelitian pendahuluan berupa
penentuan konsentrasi untuk setiap senyawa rasa dasar pada uji ambang sensori
serta persiapan untuk pengujian preferensi. Pelaksanaan penelitian utama meliputi
rekrutmen panelis yang dilanjutkan dengan uji organoleptik ambang sensori dan
preferensi. Uji organoleptik dilakukan dengan memerhatikan prinsip-prinsip
sensori. Panelis melakukan pengujian dalam booth individu dengan kondisi suhu
ruang (25oC). Pelabelan sampel dengan tiga digit angka acak serta pengacakan
penyajian sampel dilakukan untuk menghindari bias (Lampiran 1, halaman 46 dan
Lampiran 2, halaman 47).
Tahapan penelitian disajikan secara ringkas dalam diagram alir pada
Gambar 1 berikut.
13
Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian
Penelitian Pendahuluan
Tahap penelitian pendahuluan meliputi penentuan seri konsentrasi untuk
setiap senyawa rasa dasar pada uji ambang sensori serta persiapan untuk
pengujian preferensi. Kriteria seri konsentrasi untuk pengujian ambang sensori
menurut ASTM (2011) yaitu meliputi konsentrasi yang lebih rendah dari
kemungkinan deteksi atau pengenalan oleh panelis yang sensitif, juga meliputi
konsentrasi yang dapat dikenali dengan benar oleh semua panelis. Meilgaard et al.
(2007) menyatakan bahwa dibutuhkan penelitian pendahuluan terhadap seri
konsentrasi yang digunakan pada pengujian ambang sensori untuk meminimalisir
bias yang mungkin terjadi.
Pada penelitian ini, seri konsentrasi untuk pengujian ambang sensori
ditentukan berdasarkan pengolahan data terhadap penelitian sebelumnya
mengenai ambang sensori rasa dasar (manis, asam, pahit, asin, dan gurih)
penduduk Indonesia (tidak dipublikasi). Penelitian sebelumnya dilakukan dengan
metode yang belum terstandar dan masih dalam pengembangan, yaitu metode 2-
AFC (alternative forced choice) dengan konsentrasi sampel disajikan secara acak.
Representasi penduduk Indonesia dalam studi tersebut adalah mahasiswa IPB
yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Pengolahan data dilakukan sehingga
14
diketahui BET grup dan grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu, yang
digunakan sebagai pertimbangan konsentrasi yang digunakan.
Persiapan pengujian preferensi dilakukan untuk setiap matriks pangan yang
ditambahkan senyawa rasa dasar. Penentuan Standard Operational Procedure
dilakukan untuk penyiapan sampel. Untuk preferensi terhadap rasa manis,
dilakukan penentuan 6 konsentrasi gula dalam teh hitam. Untuk preferensi
terhadap rasa pahit, dilakukan penentuan 6 takaran penyeduhan yang memberikan
6 konsentrasi kafein dalam teh hitam, dengan konsentrasi gula dan krimer yang
sama. Untuk preferensi terhadap rasa asin, dilakukan penentuan 6 konsentrasi
garam dalam larutan sup, dengan konsentrasi bubuk bawang putih dan lada yang
sama. Setelah itu dilakukan Focus Group Discussion yang melibatkan perwakilan
panelis dari setiap suku.
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan dengan tujuan memperoleh
masukan mengenai formulasi dan seri konsentrasi sampel yang telah ditetapkan
untuk memastikan bahwa formulasi yang digunakan merepresentasikan kesukaan
panelis dari ketiga suku. Meilgaard et al. (2007) menyatakan bahwa FGD
dilakukan oleh konsumen sejumlah 8-12 orang, yang dipilih berdasarkan kriteria
spesifik. Diskusi dilaksanakan selama 1-2 jam dengan dipandu moderator.
Sebanyak dua atau tiga sesi diskusi dilakukan terhadap produk untuk menentukan
tren respon keseluruhan. Selain itu dilakukan pula pencatatan terhadap respon
unik yang berbeda dari pola respon yang umum diberikan oleh panelis.
Rekrutmen Panelis
Rekrutmen panelis dilakukan bekerja sama dengan Organisasi Mahasiswa
Daerah (OMDA) di IPB. Panelis berasal dari tiga suku berbeda, yaitu Minang,
Jawa, serta Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
Panelis dari suku Minang direkrut dari OMDA IPMM (Ikatan Pelajar Mahasiswa
Minang). Panelis dari suku Jawa direkrut dari OMDA FORKOMA (Forum
Komunikasi Mahasiswa Kebumen), IMAPEKA (Ikatan Mahasiswa Pekalongan
dan Batang), dan KKB MK (Keluarga Kudus Bogor Menara Kota). Panelis dari
Nusa Tenggara direkrut dari OMDA GAMA NUSRATIM (Keluarga Mahasiswa
Nusa Tenggara Timur), KEMAS (Keluarga Mahasiswa Samawa) Bogor, dan
FKMBB (Forum Komunikasi Mahasiswa Bima Bogor). Panelis Provinsi NTB
berasal dari Suku Bima, Samawa, Sasak, dan Mbojo, sedangkan panelis Provinsi
NTT berasal dari Suku Lamaholot, Sumba, Kefa, Timor, Lago, Sabu, Ngada,
Manggarai, Anakalang, dan Amuban. Panelis Provinsi NTB dan NTT
digolongkan ke dalam satu kelompok, yaitu Nusa Tenggara.
Mahasiswa yang menjadi panelis dalam penelitian adalah mahasiswa
Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB 2013/2014. Dewi et al. (2009) menyatakan
bahwa mahasiswa TPB merupakan representasi remaja yang berasal dari seluruh
wilayah Indonesia. Responden yang dipilih adalah mahasiswa tingkat 1 (TPB)
karena kemungkinan besar masih memiliki kebiasaan makan seperti saat di daerah
asalnya, belum banyak terpengaruh oleh kebiasaan makan di Bogor.
Seleksi panelis dilakukan melalui pengisian kuesioner (Lampiran 3,
halaman 53). Kriteria panelis yang digunakan yaitu berusia 17-25 tahun,
berdomisili di daerah asal suku tersebut selama minimal 10 tahun, serta menyukai
kopi, teh, dan sup. Jumlah panelis yang digunakan adalah 30 orang untuk setiap
suku, mengacu pada contoh pengujian ambang sensori pada ASTM E679 yang
15
menggunakan 23 sampai 35 orang panelis (ASTM 2011). Selain itu, 30 adalah
jumlah minimum untuk memperoleh data dengan kurva normal secara statistika.
Jumlah panelis yang digunakan memiliki perbandingan 60:40 untuk perempuan
dan laki-laki.
Panelis yang telah direkrut selanjutnya diberikan orientasi berupa penjelasan
mengenai teknis pengujian, jadwal pengujian, pengenalan laboratorium sensori,
serta menandatangani persetujuan menjadi panelis (Lampiran 4, halaman 54).
Setiap panelis diminta untuk datang tiga kali, masing-masing untuk pengujian
ambang sensori dan preferensi dari tiga rasa dasar yang berbeda. Panelis juga
diminta untuk mengisi kuesioner mengenai makanan dan minuman khas daerah
masing-masing (Lampiran 5, halaman 55). Panelis dapat memilih maksimal dua
cita rasa dominan untuk setiap makanan dan minuman khas masing-masing
daerah.
Pengujian Ambang Sensori dengan Metode 3-AFC (ASTM 2011)
Pengujian ambang sensori dilakukan menggunakan metode three-
alternative forced-choice (3-AFC) ascending concentration series method of
limits ASTM E679 (ASTM 2011). Metode 3-AFC menggunakan tiga sampel, dan
panelis harus memberikan jawaban dengan memilih satu dari tiga sampel tersebut
(three-alternative forced choice). Sampel yang disajikan terdiri dari satu sampel
senyawa rasa dasar (sampel/S) dan dua sampel tidak berisi senyawa rasa dasar
(blanko/B). Pada pengujian ini panelis harus memilih satu sampel yang memiliki
rasa berbeda (mengandung senyawa rasa dasar) dari setiap set sampel yang
disajikan. Penyajian enam set sampel dengan enam konsentrasi senyawa rasa
dasar yang berbeda dilakukan dari sampel dengan konsentrasi terendah hingga
tertinggi (ascending concentration). Seri konsentrasi senyawa rasa dasar yang
digunakan merupakan hasil dari penelitian pendahuluan, dengan faktor
konsentrasi per set sebesar 2.
Selama satu jam sebelum pengujian panelis diminta untuk tidak makan,
minum, atau menggosok gigi. Hal tersebut diperlukan untuk menghindari bias
akibat perbedaan sensitivitas indera perasa, sebab tidak dilakukan pencatatan
konsumsi makanan dan minuman oleh panelis sebelum pengujian. Susunan
penyajian sampel terdapat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2 Susunan penyajian sampel untuk pengujian ambang sensori
Sampel disajikan dalam satu nampan besar, tersusun dari set konsentrasi
rendah (paling dekat dengan panelis) ke set konsentrasi tinggi (paling jauh dari
16
panelis). Sebanyak 10 ml sampel disajikan dalam disposable cup kecil. Pengujian
sampel dalam satu set dilakukan secara berurutan dari kiri ke kanan. Panelis
diminta untuk menetralkan indera perasa dengan berkumur, kemudian mulai
mencicip dengan meminum sampel. Seluruh penetralan dalam pengujian ambang
sensori dilakukan dengan berkumur dan mengeluarkan kembali air kumur
tersebut, dengan tujuan menghindari kejenuhan panelis akibat terlalu banyak
minum. Setelah ketiga sampel pada satu set dicicipi, panelis diminta melakukan
penilaian dengan menuliskan kode sampel yang berbeda pada kuesioner yang
disediakan (Lampiran 6, halaman 56). Panelis dapat mengulang pencicipan dalam
set yang sama agar lebih yakin pada jawaban yang diberikan. Sebelum mencicipi
sampel pada set selanjutnya, dilakukan penetralan. Tahapan pencicipan diulangi
sehingga enam set telah diujikan. Panelis tidak dapat mengulang pencicipan antar
set yang berbeda.
Penyajian sampel dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu Blanko-Blanko-
Sampel, Blanko-Sampel-Blanko, dan Sampel-Blanko-Blanko. Urutan penyajian
diacak antarpanelis untuk menghindari bias. Setelah selesai melakukan pengujian
ambang sensori, panelis beristirahat selama 30 menit sebelum memulai pengujian
preferensi rasa dasar.
Pengujian Preferensi dengan Metode Rank-Rating (Kim dan O’Mahony
1998)
Pengujian preferensi dilakukan dengan tiga jenis sampel, yaitu minuman teh
hitam (rasa manis), minuman kopi (rasa pahit), dan larutan sup sayuran (rasa
asin). Penyiapan sampel dilakukan berdasarkan SOP yang telah ditetapkan.
Konsentrasi rasa dasar dalam setiap sampel mengacu pada hasil FGD.
Penyiapan sampel dilakukan berdasarkan Standard Operational Procedure
yang telah ditetapkan pada penelitian pendahuluan. Persiapan sampel teh hitam
mengacu pada prosedur penyeduhan teh pada umumnya. Satu kantong teh celup
diseduh dengan air mendidih sejumlah 200 ml, lalu didiamkan selama 5 menit.
Sebelum kantung teh diangkat, dilakukan pencelupan dan pengangkatan kantung
teh sebanyak 5 kali. Setelah itu dilakukan pencampuran gula dengan pengadukan
hingga gula terlarut. Persiapan sampel kopi dilakukan dengan menyeduh sejumlah
kopi (sesuai dengan takaran yang telah ditentukan) dengan 150 ml air mendidih.
Sampel diaduk, dilanjutkan penambahan krimer dan gula serta diaduk hingga
terlarut. Persiapan sampel sup diawali dengan merebus air sampai mendidih.
Sayuran wortel yang telah dipotong kecil dimasukkan dan direbus sampai
setengah matang. Setelah itu dimasukkan potongan kentang, seledri, dan daun
bawang. Setelah matang, dilakukan penyaringan sehingga hanya tersisa larutan.
Ke dalam larutan sejumlah 200 ml ditambahkan bubuk bawang putih, bubuk lada,
serta garam sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.
Sampel sejumlah 15 ml disajikan dalam disposable cup bertutup aluminium
foil. Penutupan cup tersebut bertujuan menghindari bias akibat atribut lainnya,
agar panelis dapat fokus penilaian atribut rasa.
Pengujian preferensi dilakukan dengan metode Rank-Rating (Kim dan
O’Mahony 1998). Sejumlah 6 sampel dengan konsentrasi rasa dasar yang berbeda
disajikan secara bersamaan pada panelis. Panelis memulai pengujian dengan
meminum sedikit air untuk menetralkan indera perasa. Pencicipan sampel
dilakukan pencicipan dari kiri ke kanan. Setelah mencicipi sampel pertama,
17
panelis diminta memberikan penilaian seberapa suka pada intensitas rasa tertentu
dalam sampel tersebut. Penilaian dilakukan dengan meletakkan cup sampel di
bawah kotak yang sesuai pada kartu bantu besar yang terdapat pada meja booth
pengujian. Skala pada kartu bantu merupakan 9-skala rating yang mewakili skor
penilaian 1-9. Kartu bantu yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 3 berikut.
Sangat
tidak
suka
sekali
Sangat
tidak
suka
Agak
tidak
suka
Tidak
suka
Antara
suka dan
tidak suka
Sedikit
suka
Agak
suka
Sangat
suka
Sangat
suka
sekali
Gambar 3 Kartu bantu pengujian preferensi
Panelis dapat meletakkan beberapa sampel pada kotak yang sama. Sebelum
mencoba sampel baru, panelis melakukan penetralan dengan minum air.
Sementara mencicipi, panelis dapat mengubah penempatan sampel dalam kotak
sebanyak diinginkan, dan pencicipan dapat diulang. Setelah selesai mencicipi
semua sampel dan memberikan penilaian akhir kesukaan, panelis diminta
menuliskan tiga digit angka dari wadah sampel ke dalam kotak pada kuesioner
(Lampiran 7, halaman 57).
Prosedur Analisis Data
Ambang Sensori
Pengolahan data ambang sensori dilakukan dengan metode Best Estimation
Threshold mengacu pada ASTM E679 (2011). BET merupakan metode perkiraan
ambang rangsang dengan menggunakan geo-mean transisi terakhir dari jawaban
salah ke jawaban benar pada setiap panelis, dengan catatan semua tahap yang
lebih tinggi bernilai benar. Geo-mean dapat diperoleh dari persamaan berikut:
)()( . xxmeanGeo
dengan nilai x(-) adalah nilai konsentrasi dengan respon – pada titik transisi, dan
nilai x(+) adalah nilai konsentrasi dengan respon + pada titik transisi. Ambang
sensori individu setiap panelis (BETp) diperoleh dari geo-mean. Ambang sensori
grup (BET grup) diperoleh dengan merata-ratakan log BETp dan melakukan
invers log terhadap rata-rata tersebut. Ambang sensori grup juga dapat diperoleh
dari geometric mean ambang sensori semua individu pada grup tersebut. Ambang
sensori rasa dasar antarsuku dibandingkan dengan One-way ANOVA dan uji
lanjut Duncan. Perbandingan ambang sensori rasa dasar berdasarkan gender
dilakukan dengan uji-t. Uji statistik menggunakan program SPSS 20.
Preferensi
Respon panelis berupa penilaian kesukaan dikonversi ke dalam skala 1-9,
kemudian diisikan ke dalam matriks data. Pengolahan data dilakukan dengan
menghitung rata-rata skor kesukaan untuk masing-masing konsentrasi.
Konsentrasi yang memberikan skor kesukaan tertinggi untuk setiap panelis
selanjutnya dianalisis dengan One-way ANOVA, dengan faktor perbedaan suku.
Jika terdapat perbedaan signifikan, uji lanjut dilakukan dengan Duncan. Data
18
konsentrasi yang memberikan skor kesukaan tertinggi untuk setiap panelis juga
dibandingkan antar gender dengan uji-t. Uji statistik menggunakan program SPSS
20.
Korelasi Ambang Sensori dan Preferensi
Hubungan antara ambang sensori dengan preferensi masing-masing rasa
dasar dianalisis dengan korelasi Pearson menggunakan SPSS 20, sehingga
diperoleh keeratan korelasi dengan pola kecenderungan meningkat atau menurun.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Tahap penelitian pendahuluan meliputi penentuan konsentrasi untuk setiap
senyawa rasa dasar pada uji ambang sensori serta persiapan untuk pengujian
preferensi, dengan hasil sebagai berikut.
Penentuan Seri Konsentrasi Sampel untuk Pengujian Ambang Sensori
Pengujian ambang sensori pada penelitian sebelumnya dilakukan dengan
metode yang masih dalam pengembangan, yaitu 2-AFC (Alternative Forced
Choice) (tidak dipublikasi). Pengolahan data dilakukan dengan metode BET. Seri
konsentrasi yang digunakan pada pengujian ambang sensori tersebut disajikan
pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Seri konsentrasi pengujian ambang sensori sebelumnya
Nomor
Konsentrasi
Konsentrasi (mM)
Sukrosa Kafein NaCl
1 0.453 0.052 0.313
2 0.906 0.103 0.625
3 1.813 0.206 1.250
4 3.625 0.413 2.500
5 7.250 0.825 5.000
6 14.500 1.650 10.000
Contoh perhitungan BET (ambang sensori) panelis untuk rasa manis sukrosa
adalah sebagai berikut:
)()( . xxmeanGeo
906.0*453.0
= 0.641
Dari jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu, disusun grafik untuk
menentukan ketepatan seri konsentrasi yang digunakan untuk pengujian. Berikut
adalah grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk rasa manis sukrosa
(Gambar 4).
19
A B
Gambar 4 Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa
sukrosa: Ulangan 1 (A) dan Ulangan 2 (B)
Gambar 4 menunjukkan bahwa jumlah panelis dengan geo-mean tertentu
untuk senyawa sukrosa pada Ulangan 1 dan Ulangan 2 memiliki kecenderungan
pola grafik yang sama. Nilai BET grup juga tidak terpaut jauh, menunjukkan
keterulangan yang baik. Namun pola grafik yang belum mengikuti kurva normal
menandakan bahwa konsentrasi yang digunakan belum merepresentasikan
kemampuan deteksi ambang sensori panelis secara baik. Terlihat pada Gambar 4
bahwa geo-mean tertinggi (20.506 mM) masih memiliki jumlah yang tinggi. Hal
tersebut sesuai dengan hasil pengujian yaitu masih terdapat sebagian panelis yang
menjawab salah pada konsentrasi tertinggi. Mengacu pada ASTM (2011), seri
konsentrasi yang digunakan pada pengujian ambang sensori hendaknya meliputi
konsentrasi terendah yang dapat dijawab benar oleh panelis yang sensitif, hingga
konsentrasi tertinggi yang memberikan jawaban benar dari semua panelis.
Berdasarkan ketentuan ASTM (2011) serta hasil pengolahan data yang diperoleh,
seri konsentrasi yang digunakan untuk pengujian ambang sensori rasa manis
dengan senyawa rasa dasar sukrosa) meliputi satu seri konsentrasi lebih tinggi.
Pengolahan data untuk rasa pahit dengan senyawa rasa dasar kafein serta
rasa asin dengan senyawa rasa dasar NaCl menghasilkan grafik sebagai berikut
(Gambar 5 dan Gambar 6).
A B
Gambar 5 Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa kafein:
Ulangan 1 (A) dan Ulangan 2 (B)
BETg = 4.333 mM BETg = 4.456 mM
BETg = 0.258 mM BETg = 0.239 mM
20
A B
Gambar 6 Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa NaCl:
Ulangan 1 (A) dan Ulangan 2 (B)
Pengujian ambang sensori rasa pahit dengan senyawa rasa dasar kafein pada
penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda pada Ulangan 1 dan 2.
Gambar 5 menunjukkan bahwa pola grafik geo-mean Ulangan 1 mendekati kurva
normal, namun tidak demikian dengan ulangan 2. BET grup kedua ulangan
tersebut menunjukkan keterulangan yang cukup baik (0.258 mM untuk Ulangan 1
dan 0.239 untuk Ulangan 2). Tingginya jumlah panelis pada geo-mean terendah
(0.037 mM) dapat disebabkan tingginya probabilitas jawaban benar, yaitu 50%,
sebab metode yang digunakan adalah 2-AFC. Pola grafik yang cukup baik
mengindikasikan seri konsentrasi yang digunakan sudah tepat, maka seri
konsentrasi yang digunakan untuk kafein pada pengujian ambang sensori
penelitian ini mengacu pada seri konsentrasi tersebut tanpa ada perubahan.
Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa NaCl pada
Gambar 6 menunjukkan pola yang telah mendekati normal. Meski demikian, BET
grup pada ulangan 1 dan 2 terpaut jauh (0.897 mM untuk Ulangan 1 dan 1.003
mM untuk Ulangan 2). Terdapat kemungkinan panelis mengalami kejenuhan
akibat penyajian sampel dalam jumlah banyak untuk sekali pengujian, sehingga
BET grup mengalami peningkatan cukup tinggi dari Ulangan 1 ke Ulangan 2.
Metode yang digunakan pada penelitian ambang sensori ini berbeda dengan
metode yang digunakan sebelumnya. Oleh karena itu, mengacu pada pola grafik
geo-mean yang telah mendekati normal, digunakan seri konsentrasi NaCl yang
tepat sama.
Berdasarkan hasil pengolahan data grafik geo-mean penelitian sebelumnya,
ditentukan seri konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut
(Tabel 4).
Tabel 4 Seri konsentrasi pengujian ambang sensori
Nomor
Konsentrasi
Konsentrasi (mM)
Sukrosa Kafein NaCl
1 0.906 0.052 0.313
2 1.813 0.103 0.625
3 3.625 0.206 1.250
4 7.250 0.413 2.500
5 14.500 0.825 5.000
6 29.000 1.650 10.000
BETg = 0.897 mM BETg = 1.003 mM
21
Persiapan Pengujian Preferensi
Standard Operational Procedure yang telah ditentukan untuk penyiapan
sampel teh, kopi, dan sup adalah sebagai berikut.
a. SOP penyiapan sampel teh
1) Sediakan air mendidih sejumlah 200 ml
2) Tempatkan teh celup ke dalam gelas piala
3) Tuangkan air ke dalam gelas piala (kantung teh celup tersiram
langsung)
4) Diamkan selama 5 menit
5) Angkat dan celupkan kembali kantung teh sebanyak 5 kali
6) Tuangkan gula pasir, aduk hingga larut
7) Dinginkan sampel hingga mencapai suhu 50oC sebelum dituangkan
ke dalam cup saji
8) Bungkus cup saji dengan aluminium foil, tempelkan kode dan
berikan sedotan.
b. SOP penyiapan sampel kopi
1) Tempatkan air mendidih sejumlah 150 ml ke dalam gelas piala
2) Tuangkan bubuk kopi ke dalam gelas piala, aduk hingga larut
3) Tuangkan krimer ke dalam gelas piala, aduk hingga larut
4) Tuangkan gula pasir ke dalam gelas piala, aduk hingga larut
5) Dinginkan sampel hingga mencapai suhu 50oC sebelum dituangkan
ke dalam cup saji
6) Bungkus cup saji dengan aluminium foil, tempelkan kode dan
berikan sedotan.
c. SOP penyiapan sampel sup sayuran
1) Bahan-bahan yaitu wortel dan kentang terlebih dahulu dikupas.
Wortel, kentang, daun bawang, dan seledri dicuci dan dipotong
kecil, kemudian ditimbang sesuai resep
2) Rebus sejumlah air (sesuai resep) hingga mendidih
3) Masukkan wortel, rebus sampai setengah matang
4) Masukkan kentang, daun bawang, dan seledri, rebus hingga matang
5) Saring sayur-sayuran dan sisihkan
6) Tuangkan larutan sup sejumlah yang telah ditentukan ke dalam
gelas piala
7) Tuangkan bubuk bawang putih, aduk hingga larut
8) Tuangkan bubuk lada putih, aduk hingga larut
9) Tuangkan garam, aduk hingga larut
10) Dinginkan sampel hingga mencapai suhu 50oC sebelum dituangkan
ke dalam cup saji
11) Bungkus cup saji dengan aluminium foil, tempelkan kode dan
berikan sedotan.
Jumlah bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan sup adalah sebagai berikut
(Tabel 5).
22
Tabel 5 Jumlah bahan untuk pembuatan sup sayuran
No Bahan 6 Resep (untuk 30 orang)
1 Wortel 300 g
2 Kentang 600 g
3 Daun bawang 30 g
4 Seledri 12 g
5 Air 4000 ml
Minuman kopi diformulasikan dengan seri konsentrasi kopi (jumlah kopi
yang dicampurkan) berbeda-beda, namun konsentrasi gula dan krimer tetap sama.
Jumlah gula dan krimer minuman kopi sejumlah 150 ml berturut-turut ditetapkan
12.5 g dan 3.0 g. Larutan sup untuk pengujian preferensi diformulasikan dengan
seri konsentrasi garam yang berbeda-beda, dengan konsentrasi bawang putih
bubuk dan lada bubuk yang sama, yaitu 0.2 g dan 0.1 g untuk 200 ml larutan.
Konsentrasi senyawa rasa dasar dalam matriks pangan ditentukan dengan
menghitung persentase senyawa rasa dasar (dalam gram) yang ditambahkan ke
dalam matriks pangan dengan volume 100 ml, sesuai dengan metode penyiapan
yang umum dilakukan. Seri konsentrasi senyawa rasa dasar dalam teh, kopi, dan
sup disajikan pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6 Seri konsentrasi pengujian preferensi
Nomor
Konsentrasi
Konsentrasi (g/100 ml)
Gula pasir dalam
minuman teh
Bubuk kopi dalam
minuman kopi
Garam dalam
larutan sup
1 2.500 1.000 0.375
2 5.000 1.167 0.500
3 7.500 1.330 0.612
4 10.000 1.500 0.750
5 12.500 1.667 0.875
6 15.000 1.833 1.000
Focus Group Discussion
FGD untuk penentuan sampel pengujian preferensi dilakukan selama 1 jam,
melibatkan perwakilan masing-masing suku, yaitu 3 panelis suku Jawa, 3 panelis
suku Minang, dan 2 panelis Nusa Tenggara, dengan total 8 panelis. Panelis yang
dipilih untuk menjadi perwakilan sukunya adalah yang terlihat bekerja sama
dengan baik serta tidak ragu bertanya atau menyatakan pendapat selama tahapan
rekrutmen panelis. Tiga sesi diskusi dilaksanakan untuk menilai sampel kopi, sup,
dan teh. Dari enam seri konsentrasi pada masing-masing sampel, dipilih sampel
dengan konsentrasi terendah, tertinggi, dan pertengahan. Sampel disajikan dalam
gelas kaca berwarna hitam untuk menghindari penilaian pada warna sampel.
Penyajian sampel dilakukan secara acak untuk menghindari bias panelis ketika
memperoleh sampel dengan intensitas konsentrasi yang jelas meningkat atau
menurun. Dokumentasi pelaksanaan FGD terdapat pada Lampiran 10 (halaman
100).
Hasil diskusi untuk sampel kopi menunjukkan bahwa panelis dari ketiga
suku tersebut cenderung menyukai minuman kopi dengan rasa pahit yang tidak
23
dominan. Meski demikian, panelis ketiga suku juga tidak terlalu menyukai
minuman kopi yang terlalu manis. Panelis Nusa Tenggara menyatakan belum
terbiasa mengonsumsi kopi dengan rasa gurih. Rasa gurih tersebut diduga berasal
dari krimer yang digunakan dalam formulasi. Panelis suku Jawa cenderung
menyukai kopi yang lebih manis, panelis suku Minang cenderung menyukai kopi
yang lebih pahit, sedangkan panelis Nusa Tenggara cenderung menyukai kopi
dengan formulasi sedang. Seri konsentrasi kopi yang ditetapkan telah
merepresentasikan preferensi panelis ketiga suku, namun penyesuaian berupa
pengecilan rentang konsentrasi dilakukan agar minuman kopi yang disajikan tidak
terlalu manis dan tidak terlalu pahit.
Sampel kedua yang dinilai oleh panelis adalah sup. Hasil FGD
menunjukkan bahwa panelis suku Jawa cenderung lebih menyukai sup dengan
konsentrasi garam sedang, sedangkan panelis suku Minang cenderung lebih
menyukai sup dengan konsentrasi garam tinggi. Panelis memiliki kesukaan
terhadap intensitas lada yang berbeda-beda secara individu, tidak ditentukan oleh
asal sukunya. Panelis Nusa Tenggara menyukai sup dengan konsentrasi garam
sedang hingga tinggi. Catatan respon panelis yang unik adalah kurangnya rasa
gurih pada sup. Panelis diberikan penjelasan bahwa formulasi sup untuk
pengujian memang tidak menggunakan daging atau kaldu, untuk menghindari
interaksi rasa gurih dengan asin yang dapat mengakibatkan bias saat penilaian.
Berdasarkan hasil diskusi, ditetapkan bahwa seri konsentrasi yang digunakan saat
pengujian preferensi dinaikkan satu seri.
Hasil FGD sampel teh menunjukkan bahwa teh dengan konsentrasi gula
tinggi disukai oleh panelis suku Jawa, sedangkan panelis suku Minang dan Nusa
Tenggara berpendapat bahwa sampel tersebut terlalu manis. Semua panelis
berpendapat sama mengenai sampel dengan konsentrasi gula terendah, yaitu rasa
manis tidak terasa. Sampel ketiga dengan konsentrasi gula sedang disukai oleh
semua panelis, namun dengan catatan teh kurang kental. Secara keseluruhan,
panelis ketiga suku cenderung menyukai teh dengan konsentrasi gula sedang
hingga tinggi. Seri konsentrasi yang telah ditetapkan telah sesuai dengan
preferensi panelis sehingga tidak dilakukan perubahan.
Berdasarkan hasil FGD, seri konsentrasi yang digunakan pada pengujian
preferensi adalah sebagai berikut (Tabel 7).
Tabel 7 Seri konsentrasi pengujian preferensi berdasarkan hasil FGD
Nomor
Konsentrasi
Konsentrasi (g/100 ml)
Gula pasir dalam
minuman teh
Bubuk kopi dalam
minuman kopi
Garam dalam
larutan sup
1 2.500 1.067 0.500
2 5.000 1.200 0.612
3 7.500 1.333 0.750
4 10.000 1.467 0.875
5 12.500 1.600 1.000
6 15.000 1.733 1.125
24
Identifikasi Cita Rasa Dominan pada Makanan dan Minuman Khas dari
Tiga Suku di Indonesia
Sebagian hasil pendataan disajikan pada Tabel 8, 9, dan 10 (selengkapnya
pada Lampiran 8, halaman 58). Dari pendataan yang dilakukan, teridentifikasi
makanan khas sejumlah 54 jenis dari suku Minang, 78 jenis dari suku Jawa, dan
91 jenis dari Nusa Tenggara. Minuman khas teridentifikasi sejumlah 44 jenis dari
suku Minang, 44 jenis dari suku Jawa, dan 37 jenis dari Nusa Tenggara.
Tabel 8 Beberapa makanan dan minuman khas Sumatera Barat (Suku Minang)
Frekuensi Nama Makanan/minuman Cita Rasa Dominan
30 Rendang gurih, pedas, manis
15 Galamai / kalamai manis
13 Keripik balado pedas, manis
8 Lemang manis, asin
7 Keripik sanjai asin, gurih, pedas
6 Dendeng balado gurih, pedas
5 Dendeng gurih
18 Teh telur / teh talua manis, pahit
10 Teh manis
10 Kopi manis, pahit
10 Air aka manis, asin, gurih
8 Kelapa muda manis
7 Kawa daun kopi pahit
7 Kawa daun manis
Tabel 9 Beberapa makanan dan minuman khas Jawa Tengah (Suku Jawa)
Frekuensi Nama Makanan/minuman Cita Rasa Dominan
14 Nasi megono asin, gurih
7 Emping asin
7 Kluban asin, gurih
6 Lanting / kriyik gurih
6 Sayur asam asam
5 Sayur bening / tegean asin, gurih
4 Gethuk lindri manis
21 Wedang ronde manis
11 Wedang jahe pedas, segar, manis
11 Es dawet / dawet ireng manis
8 Teh manis
8 Kopi tahlil manis
7 Kopi hangat pahit, manis
5 Kopi susu manis
25
Tabel 10 Beberapa makanan dan minuman khas Nusa Tenggara
Frekuensi Nama Makanan/minuman Cita Rasa Dominan
6 Jagung bose manis, pahit
6 Plecing pedas, asin
5 Singang manis, asin, gurih, asam
4 Jagung titi gurih
4 RW asin, pedas
4 Sepat gurih, asin, asam
3 Pelopo manis
10 Kopi manis, pahit
10 Tuak manis, asam
7 Teh manis
4 Sopi / sofi pahit
4 Air kelapa manis
4 Air blo' manis
4 Kopi beras (ai kawa) manis, pahit
Hasil pengolahan data cita rasa dominan pada makanan dan minuman khas
ketiga suku disajikan pada Gambar 7 dan 8.
Gambar 7 Grafik cita rasa dominan pada makanan khas tiga suku di Indonesia
Gambar 7 menunjukkan bahwa secara keseluruhan rasa gurih dan manis
berkontribusi cukup besar pada makanan khas ketiga suku tersebut, meski dengan
persentase yang berbeda-beda. Cita rasa gurih berada dalam kisaran 42-60%,
sedangkan cita rasa manis berada dalam kisaran 37-57%. Cita rasa gurih paling
dominan terdapat pada makanan khas suku Minang (59.26%). Kontribusi rasa
manis pada makanan khas Nusa Tenggara (56.84%) lebih besar dibandingkan
dengan makanan khas Jawa (48.72%). Kekhasan makanan suku Minang terdapat
pada cita rasa pedas yang cukup dominan (33.33%), yang tidak ditemukan dalam
jumlah cukup besar pada dua suku lainnya yaitu Jawa dan Nusa Tenggara. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Ariyani (2013) yang menyatakan bahwa suku
Minang cenderung menyukai makanan atau masakan yang pedas. Rasa asin dan
26
asam dalam makanan khas tidak jauh berbeda antara tiga suku tersebut. Selain itu,
rasa pahit teridentifikasi pada makanan khas Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan
makanan khas Minang tidak satu pun teridentifikasi memiliki rasa dominan pahit.
Gambar 8 Grafik cita rasa dominan pada minuman khas tiga suku di Indonesia
Pada Gambar 8 terlihat bahwa minuman khas atau yang biasa dikonsumsi
ketiga suku tersebut memiliki cita rasa dominan manis, dengan persentase jauh
lebih tinggi dibandingkan cita rasa lainnya. Kekhasan minuman Nusa Tenggara
adalah memiliki cita rasa pahit yang dominan (27.03%) di samping rasa manis.
Rasa pahit juga teridentifikasi pada minuman khas Jawa, namun dengan
persentase tidak terlalu besar (18.18%). Pada minuman khas Jawa tidak terdapat
satu jenis pun yang memiliki cita rasa dominan asin atau gurih. Makanan dan
minuman khas Nusa Tenggara paling kaya akan cita rasa, sebab semua cita rasa
berkontribusi terhadap rasa dominan.
Ambang Sensori Tiga Suku di Indonesia
Hasil pengolahan data pengujian ambang sensori dibahas dalam sub-subbab
berikut.
Ambang Sensori Rasa Manis (Senyawa Sukrosa)
Pengolahan data ambang sensori rasa manis dengan senyawa rasa dasar
sukrosa pada masing-masing suku memberikan hasil yang disajikan pada Gambar
9. Jika dirata-ratakan pada setiap suku, ambang sensori atau BETgrup rasa manis
tertinggi dimiliki panelis suku Minang, yaitu 8.139 mM. Hal tersebut sesuai
dengan Gambar 9A yang menunjukkan bahwa masih terdapat panelis Minang
pada geo-mean tertinggi seri konsentrasi yang digunakan (41.012 mM), sementara
tidak terdapat panelis suku Jawa dan Nusa Tenggara pada geo-mean tersebut.
Sebanyak 60% panelis suku Minang memiliki ambang sensori rasa manis lebih
tinggi dari BETg, sedangkan 40% panelis memiliki ambang sensori lebih rendah
dari BETg.
27
A B
C
Gambar 9 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
manis pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
Suku Jawa memiliki ambang sensori 6.610 mM, lebih rendah dari suku
Minang. Pola grafik ambang sensori rasa pada Gambar 9B menunjukkan pola
yang paling mendekati kurva normal dibandingkan dua suku lainnya. Distribusi
frekuensi yang mendekati pola bentuk lonceng (kurva normal) menandakan
representasi yang baik dari ambang sensori grup (Meilgaard et al. 2007).
Sebanyak 12 panelis (40%) memiliki ambang sensori rasa manis pada konsentrasi
10.253 mM sukrosa. Frekuensi panelis suku Jawa dengan ambang sensori rasa
manis lebih tinggi dan lebih rendah dari BETg masing-masing sebesar 53% dan
47%.
Panelis dengan ambang sensori rasa manis terendah adalah panelis Nusa
Tenggara, yaitu 4.070 mM. Gambar 9C menunjukkan bahwa ambang sensori rasa
manis panelis Nusa Tenggara tersebar merata pada konsentrasi 1.282, 2.564,
5.127, dan 10.253 mM sukrosa, masing-masing sebanyak enam panelis. Sama
seperti suku Jawa, frekuensi panelis dengan ambang sensori rasa manis lebih
tinggi dan lebih rendah dari BETg masing-masing sebesar 53% dan 47%.
Frekuensi panelis dengan ambang sensori rasa manis yang mendekati BETg pada
ketiga suku menunjukkan bahwa pengukuran ambang sensori lebih mendekati
ambang deteksi, yang mensyaratkan 50% panelis memberikan jawaban benar.
Ambang deteksi adalah konsentrasi terendah dari suatu senyawa dalam medium
tertentu yang terdeteksi memberikan stimulus terhadap panelis (ASTM 2011).
Pengolahan data ambang sensori rasa manis dengan senyawa rasa dasar
sukrosa pada tiga suku di Indonesia memberikan hasil sebagai berikut (Gambar
10).
BETg = 8.139 mM
BETg = 4.070 mM
BETg = 6.610 mM
28
Gambar 10 Ambang sensori rasa manis tiga suku di Indonesia
Gambar 10 menunjukkan adanya perbedaan ambang sensori rasa manis
pada tiga suku di Indonesia. Rata-rata ambang sensori seluruh panelis adalah
6.027 mM sukrosa. Populasi dengan ambang sensori rasa manis tertinggi adalah
panelis laki-laki suku Jawa (9.678 mM). Tingginya ambang sensori rasa manis
tersebut mungkin berkaitan dengan hasil penelitian Ariyani (2013) bahwa orang
Jawa cenderung menyukai makanan dengan rasa manis. Terlihat perbedaan
ambang sensori yang cukup jauh pada panelis laki-laki dan perempuan suku Jawa,
dengan ambang sensori rasa manis panelis perempuan adalah 5.127 mM. Panelis
laki-laki Nusa Tenggara memiliki ambang sensori rasa manis 4.839 mM,
sedangkan panelis perempuan dari Nusa Tenggara memiliki ambang sensori lebih
rendah, yaitu 3.626 mM. Panelis laki-laki dan perempuan suku Minang memiliki
ambang sensori yang tidak jauh berbeda, yaitu 7.682 mM dan 8.458 mM.
Secara keseluruhan, populasi yang memiliki ambang sensori rasa manis
lebih tinggi dari rata-rata seluruh panelis adalah panelis suku Minang (laki-laki
dan perempuan) serta panelis laki-laki suku Jawa. Populasi lainnya, yaitu panelis
perempuan suku Jawa serta panelis Nusa Tenggara (laki-laki dan perempuan)
memiliki ambang sensori rasa manis lebih rendah dari rata-rata seluruh panelis.
Populasi dengan ambang sensori rasa manis paling rendah, yaitu yang paling
sensitif terhadap rasa manis, adalah panelis perempuan dari Nusa Tenggara.
Analisis data dengan One-way ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan
signifikan antara ambang sensori rasa manis pada ketiga suku tersebut (p=0.034).
Uji lanjut Duncan menunjukkan adanya dua subset, yaitu subset 1 (Nusa Tenggara
dan Jawa) serta subset 2 (Jawa dan Minang) (Lampiran 9, halaman 70). Ambang
sensori rasa manis Nusa Tenggara tidak berbeda signifikan dengan suku Jawa,
begitu pula ambang sensori rasa manis suku Jawa tidak berbeda signifikan dengan
suku Minang. Terdapat perbedaan signifikan ambang sensori rasa manis antara
Nusa Tenggara dan Minang.
Selama ini terdapat informasi informal di masyarakat mengenai
kecenderungan suku Jawa terhadap rasa manis, yang didukung hasil penelitian
Ariyani (2013). Identifikasi cita rasa dominan makanan dan minuman khas ketiga
suku menghasilkan rasa manis sebagai salah satu cita rasa dominan tidak hanya
pada suku Jawa, tetapi juga pada dua suku lainnya. Pada penelitian ini identifikasi
cita rasa dominan pada makanan khas tidak disertai intensitas rasanya, sehingga
belum dapat diperkirakan pengaruhnya terhadap ambang sensori.
29
Ambang Sensori Rasa Pahit (Senyawa Kafein)
Pengolahan data ambang sensori rasa pahit dengan senyawa rasa dasar
kafein pada masing-masing suku memberikan hasil yang disajikan pada Gambar
11. Rata-rata ambang sensori rasa pahit tertinggi hingga terendah berturut-turut
dimiliki panelis suku Minang (0.770 mM), suku Jawa (0.703 mM), dan Nusa
Tenggara (0.671 mM). Pada suku Minang (Gambar 11A) dan Nusa Tenggara
(Gambar 11C) masih terdapat panelis pada geo-mean tertinggi yaitu 2.333 mM
kafein. Sebanyak masing-masing 12 panelis (40%) panelis suku Jawa memiliki
ambang sensori rasa pahit pada konsentrasi 0.584 dan 1.167 mM kafein (Gambar
11B). Grafik ambang sensori rasa pahit pada ketiga suku tersebut cukup
mendekati kurva normal, menandakan representasi yang baik dari ambang sensori
grup (Meilgaard et al. 2007).
A B
C
Gambar 11 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
pahit pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
Sebanyak 53% panelis suku Minang memiliki ambang sensori rasa pahit
lebih tinggi dari BETg, sedangkan 47% panelis memiliki ambang sensori lebih
rendah dari BETg. Frekuensi panelis suku Jawa dengan ambang sensori rasa pahit
lebih tinggi dan lebih rendah dari BETg masing-masing sebesar 47% dan 53%.
Pada panelis Nusa Tenggara, frekuensi panelis dengan ambang sensori rasa pahit
lebih tinggi dan lebih rendah dari BETg masing-masing sebesar 40% dan 60%.
Frekuensi panelis dengan ambang sensori rasa pahit yang mendekati BETg pada
ketiga suku menunjukkan bahwa pengukuran ambang sensori lebih mendekati
ambang deteksi, yang mensyaratkan 50% panelis memberikan jawaban benar.
Ambang deteksi adalah konsentrasi terendah dari suatu senyawa dalam medium
tertentu yang terdeteksi memberikan stimulus terhadap panelis (ASTM 2011).
BETg = 0.770 mM
BETg = 0.671 mM
BETg = 0.703 mM
30
Pengolahan data uji ambang sensori rasa pahit dengan senyawa rasa dasar
kafein pada tiga suku di Indonesia memberikan hasil pada Gambar 12 berikut.
Gambar 12 Ambang sensori rasa pahit tiga suku di Indonesia
Ambang sensori seluruh panelis untuk rasa pahit adalah 0.713 mM kafein.
Populasi yang memiliki ambang sensori rasa pahit lebih tinggi dari rata-rata
keseluruhan adalah panelis laki-laki suku Minang (0.825 mM), panelis perempuan
suku Minang (0.735 mM), dan panelis perempuan suku Jawa (0.735 mM). Tiga
populasi lainnya memiliki ambang sensori rasa pahit lebih rendah dari rata-rata,
yaitu panelis laki-laki suku Jawa (0.656 mM), panelis laki-laki Nusa Tenggara
(0.694 mM), dan panelis perempuan Nusa Tenggara (0.655 mM). Panelis yang
paling sensitif terhadap rasa pahit adalah panelis perempuan Nusa Tenggara
karena memiliki ambang sensori terendah, sedangkan yang paling tidak sensitif
adalah panelis laki-laki suku Minang dengan ambang sensori tertinggi.
Tren grafik pada Gambar 12 menunjukkan bahwa secara keseluruhan
ambang sensori rasa pahit setiap populasi tidak jauh berbeda, masih mendekati
rata-rata. Analisis statistik dengan One-way ANOVA memberikan hasil bahwa
tidak terdapat perbedaan signifikan pada ambang sensori rasa pahit ketiga suku
tersebut (Lampiran 9, halaman 70). Dengan demikian, perbedaan suku tidak
berpengaruh signifikan terhadap ambang sensori rasa pahit. Hal tersebut diduga
berkaitan dengan hasil identifikasi berupa rendahnya kontribusi rasa pahit pada
makanan khas ketiga suku, yaitu kurang dari 5%.
Ambang Sensori Rasa Asin (Senyawa NaCl)
Pengolahan data ambang sensori rasa asin dengan senyawa rasa dasar NaCl
pada masing-masing suku memberikan hasil yang disajikan pada Gambar 13.
Perhitungan BET grup memberikan hasil bahwa panelis yang paling sensitif
terhadap rasa asin berasal dari Nusa Tenggara (1.895 mM). Pola grafik pada
Gambar 13C paling mendekati kurva normal. Panelis suku Minang memiliki rata-
rata ambang sensori rasa asin sebesar 1.984 mM, sedangkan panelis suku Jawa
yang paling tidak sensitif terhadap rasa asin memiliki nilai ambang sensori rata-
rata 2.177 mM. Dapat terlihat pula pada Gambar 13B bahwa sebanyak 16 panelis
suku Jawa (53%) memiliki ambang sensori rasa asin sebesar 1.768 mM, serta
tidak terdapat panelis yang memiliki ambang sensori pada geo-mean terendah
yaitu 0.221 mM. Grafik ambang sensori rasa asin pada ketiga suku tersebut cukup
31
mendekati kurva normal, menandakan representasi yang baik dari ambang sensori
grup (Meilgaard et al. 2007).
A B
C
Gambar 13 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
asin pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
Sebanyak 47% panelis suku Minang memiliki ambang sensori rasa asin
lebih tinggi dari BETg, sedangkan 53% panelis memiliki ambang sensori lebih
rendah dari BETg. Frekuensi panelis suku Jawa dengan ambang sensori rasa asin
lebih tinggi dan lebih rendah dari BETg masing-masing sebesar 33% dan 67%.
Pada panelis Nusa Tenggara, frekuensi panelis dengan ambang sensori rasa pahit
lebih tinggi dan lebih rendah dari BETg hampir serupa dengan suku Jawa,
masing-masing sebesar 37% dan 63%. Frekuensi panelis dengan ambang sensori
rasa asin yang mendekati BETg pada ketiga suku menunjukkan bahwa
pengukuran ambang sensori lebih mendekati ambang deteksi, yang mensyaratkan
50% panelis memberikan jawaban benar. Ambang deteksi adalah konsentrasi
terendah dari suatu senyawa dalam medium tertentu yang terdeteksi memberikan
stimulus terhadap panelis (ASTM 2011).
Pengolahan data ambang sensori rasa asin dengan senyawa rasa dasar NaCl
pada tiga suku di Indonesia memberikan hasil yang disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 menunjukkan nilai ambang sensori rasa asin yang bervariasi. Ambang
sensori seluruh panelis untuk rasa asin adalah 1.982 mM NaCl. Hasil tersebut jauh
lebih rendah dibandingkan dengan ambang sensori rasa asin penduduk Irlandia
berusia 22-56 tahun, yaitu 10.08 mM NaCl (Mitchell et al. 2013). Suku Minang
memiliki ambang sensori rasa asin tertinggi dan terendah pada panelis laki-laki
(3.536 mM) dan perempuan (1.350 mM). Panelis laki-laki Nusa Tenggara serta
panelis laki-laki dan perempuan suku Jawa memiliki ambang sensori rasa asin
yang lebih tinggi dari rata-rata seluruh panelis, yaitu berturut-turut 2.500 mM,
BETg = 1.984 mM BETg = 2.177 mM
BETg = 1.895 mM
32
2.360 mM, dan 2.062 mM. Ambang sensori rasa asin panelis perempuan Nusa
Tenggara lebih rendah dari rata-rata, yaitu 1.575 mM. Analisis statistik dengan
One-way ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada
ambang sensori rasa asin ketiga suku tersebut (Lampiran 9, halaman 71).
Gambar 14 Ambang sensori rasa asin tiga suku di Indonesia
Penelitian yang dilakukan oleh Okoro et al. (1998) terhadap panelis usia 9-
17 tahun di Nigeria juga menggunakan senyawa rasa dasar NaCl namun dengan
seri konsentrasi 30, 60, 120, dan 180 mM, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
seri konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini. Hasil studi tersebut
menunjukkan bahwa sebanyak 35% panelis tidak mampu mengidentifikasi rasa
asin pada konsentrasi 30 mM. Dinyatakan bahwa nilai ambang sensori tersebut
mungkin berkaitan dengan kebiasaan makan yang mengandung garam tinggi.
Pada penelitian ini, identifikasi cita rasa dominan pada makanan khas memperoleh
hasil bahwa cita rasa asin terdapat pada makanan khas ketiga suku tersebut
dengan persentase yang tidak jauh berbeda, yaitu pada kisaran 22-31%. Hasil
identifikasi tersebut sesuai dengan analisis statistik yang menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan nyata pada ambang sensori rasa asin ketiga suku.
Pengaruh Gender terhadap Ambang Sensori
Perhitungan ambang sensori populasi berdasarkan gender memperoleh hasil
bahwa ambang sensori rasa manis, pahit, dan asin berturut-turut untuk populasi
panelis perempuan adalah 5.397 mM sukrosa, 0.708 mM kafein, dan 1.637 mM
NaCl. Populasi panelis laki-laki memiliki ambang sensori rasa manis, pahit, dan
asin berturut-turut 7.112 mM sukrosa, 0.722 mM kafein, dan 2.753 mM NaCl.
Secara umum, panelis perempuan memiliki ambang sensori lebih rendah (lebih
sensitif) dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut sesuai dengan Gambar 10,
12, dan 14 yang menunjukkan bahwa panelis laki-laki memiliki ambang sensori
lebih tinggi dari panelis perempuan, kecuali ambang sensori rasa manis pada suku
Minang dan ambang sensori rasa pahit pada suku Jawa. Untuk rasa asin (Gambar
14), panelis laki-laki dari ketiga suku menunjukkan nilai ambang sensori yang
lebih tinggi dari panelis perempuan.
Hasil analisis statistik untuk mengetahui signifikansi gender terhadap
ambang sensori secara lengkap terdapat pada Lampiran 9 (halaman 72), dan
secara ringkas disajikan pada Tabel 11 berikut.
33
Tabel 11 Hasil uji-t pengaruh gender terhadap ambang sensori
No Rasa Dasar Nilai p
1 Manis 0.611
2 Pahit 0.450
3 Asin 0.004*
*perbedaan signifikan pada taraf 0.05
Tabel 11 menunjukkan bahwa perbedaan gender tidak memberikan
pengaruh signifikan pada ambang sensori rasa manis dan pahit (nilai p > 0.05),
namun berpengaruh signifikan pada ambang sensori rasa asin (nilai p < 0.05). Uji-
t gender dalam suku memberikan hasil yang serupa, yaitu perbedaan gender
hanya berpengaruh signifikan terhadap ambang sensori rasa asin terutama pada
Suku Minang (Lampiran 9, halaman 81). Hasil tersebut sesuai dengan studi oleh
Mitchell et al. (2013), terdapat perbedaan signifikan antara ambang sensori rasa
asin pada panelis perempuan (8.71 ± 0.69 mM) dan laki-laki (11.88 ± 1.54 mM)
berusia 22 – 56 tahun di Dublin. Studi lainnya oleh Okoro et al. (1998) terhadap
panelis usia 9-17 tahun di Nigeria menyatakan bahwa panelis laki-laki memiliki
ambang sensori rasa asin yang lebih tinggi dibandingkan dengan panelis
perempuan, yang sesuai dengan hasil penelitian ini.
Secara keseluruhan, ambang sensori tiga rasa dasar pada tiga suku di
Indonesia disajikan pada Gambar 15 berikut.
Gambar 15 Ambang sensori tiga rasa dasar pada tiga suku di Indonesia
Terlihat pada Gambar 15 bahwa tiga rasa dasar yaitu manis, pahit, dan asin
membutuhkan konsentrasi stimulus yang berbeda-beda untuk dapat dikenali
(mencapai ambang sensori). Senyawa sukrosa membutuhkan konsentrasi larutan
paling tinggi untuk memberikan sensasi rasa, dengan kisaran 4.070 – 8.139 mM.
Untuk memberikan sensasi rasa asin, dibutuhkan konsentrasi NaCl dengan kisaran
1.895 – 2.177 mM. Dibandingkan dua rasa dasar lainnya, senyawa kafein
membutuhkan konsentrasi stimulus terendah untuk dapat memberikan rasa pahit
yang dapat dikenali, yaitu pada kisaran 0.671 – 0.770 mM. Kisaran terbesar
terdapat pada ambang sensori rasa manis, dengan sensitivitas yang berbeda
antarsuku. Rasa asin dan pahit menunjukkan kisaran yang tidak terlalu besar. Hal
34
tersebut sesuai dengan hasil analisis statistik yang menunjukkan bahwa perbedaan
signifikan hanya terdapat pada ambang sensori rasa manis untuk tiga suku yaitu
Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara. Pada penelitian ini, identifikasi cita rasa
dominan dalam makanan dan minuman khas masing-masing suku tidak disertai
intensitas rasa, sehingga belum dapat diprediksi pengaruh kebiasaan makan
terhadap ambang sensori rasa tertentu.
Rata-rata ambang sensori rasa dasar yang diperoleh pada penelitian ini lebih
tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya dengan panelis
mahasiswa domisili Jakarta dan sekitarnya (tidak dipublikasi). Perbedaan metode
yang digunakan dapat menyebabkan perbedaan nilai ambang sensori yang
diperoleh. Metode yang digunakan pada penelitian sebelumnya adalah metode
yang belum terstandar dan masih dalam pengembangan, yaitu metode 2-AFC
(alternative forced choice) dengan penyajian konsentrasi secara acak. Metode 2-
AFC memungkinkan panelis untuk memberikan jawaban benar dengan peluang
lebih besar, yaitu 50%. Gambar 4 hingga Gambar 6 memperlihatkan bahwa grafik
frekuensi geo-mean kurang sesuai dengan kurva normal. Metode yang digunakan
pada penelitian ini, yaitu 3-AFC ascending concentration, memberikan peluang
jawaban benar yang lebih kecil, yaitu 33%. Dengan demikian, jawaban bernilai
benar dari panelis yang diikuti dengan jawaban benar pada semua konsentrasi
lebih tinggi dapat lebih dipastikan sebagai ambang sensori senyawa rasa dasar
yang bersangkutan.
Perbedaan ambang sensori dapat pula diakibatkan adanya ulangan sebanyak
dua kali yang dilakukan pada penelitian sebelumnya, sehingga kemungkinan
jawaban benar lebih besar. Bitnes et al. (2007) menyatakan bahwa usia (ageing),
pengalaman (experience), dan pengulangan pengujian (exposure) berkorelasi
positif terhadap pemberian jawaban yang benar pada identifikasi rasa. Metode
ASTM E679 (2011) yang digunakan pada penelitian ini tidak mensyaratkan
adanya ulangan. Hasil penelitian Kolpin (2008) menyatakan bahwa pengujian
ambang sensori rasa pahit pada asam hop bir dan madu dengan metode ASTM
E679 (tanpa ulangan) memberikan hasil yang tidak berbeda signifikan dengan
metode ASTM 1432 (5-7 kali ulangan), sehingga metode ASTM E679 sudah
cukup valid untuk pengujian.
Preferensi Tiga Suku di Indonesia terhadap Rasa Dasar dalam
Matriks Pangan
Hasil pengolahan data pengujian preferensi disajikan dan dibahas dalam
sub-subbab berikut.
Preferensi Rasa Manis dalam Minuman Teh
Gambar 16 menunjukkan pola preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia
terhadap rasa manis dalam minuman teh. Terlihat pada Gambar 16 bahwa panelis
dari ketiga suku memiliki kecenderungan preferensi yang sama untuk rasa manis
dalam minuman teh. Rata-rata panelis memberikan skor kesukaan yang rendah
pada konsentrasi gula terendah (2.5% b/v). Skor yang diberikan semakin tinggi
seiring dengan meningkatnya konsentrasi gula dalam teh. Secara keseluruhan,
skor kesukaan tertinggi diberikan panelis pada teh dengan konsentrasi gula 12.5%.
35
Depkes RI (2000) menyatakan bahwa 8 g gula setara dengan 1 sdm (sendok
makan) ukuran rumah tangga. Jika dikonversi, minuman teh dengan 12.5% gula
setara dengan 200 ml minuman teh yang ditambahkan 3.125 sendok makan gula.
Gambar 16 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa manis teh
Gambar 16 menunjukkan perbedaan antarsuku pada konsentrasi gula dalam
teh yang memberikan skor kesukaan tertinggi. Panelis suku Minang memberikan
rata-rata skor penilaian tertinggi (7.60 = sangat suka) pada teh dengan konsentrasi
gula 12.5%. Tingginya preferensi suku Minang terhadap rasa manis dalam
minuman teh diduga berkaitan dengan tingginya ambang sensori rasa manis.
Panelis dari kedua suku lainnya yaitu Nusa Tenggara dan Jawa memberikan rata-
rata skor penilaian tertinggi pada teh dengan konsentrasi gula 10% (Nusa
Tenggara = 7.27 dan Jawa = 7.10, agak suka). Setelah mencapai skor maksimum,
grafik skor kesukaan suku Minang dan Nusa Tenggara masih cenderung tinggi
pada kisaran 7 (agak suka), sedangkan grafik skor kesukaan suku Jawa cenderung
menurun ke kisaran skor 6 (sedikit suka).
Analisis statistik One-way ANOVA dilakukan terhadap konsentrasi yang
memberikan skor kesukaan tertinggi, dengan faktor suku. Diperoleh nilai
signifikansi 0.107, berarti tidak terdapat perbedaan preferensi yang signifikan
antarsuku untuk rasa manis dalam minuman teh (Lampiran 9, halaman 84). Hasil
yang diperoleh tersebut berbeda dengan Ariyani (2013) yang menyatakan bahwa
suku Jawa memiliki kecenderungan menyukai makanan atau masakan dengan cita
rasa manis. Meski demikian, perbedaan preferensi yang tidak signifikan tersebut
sesuai dengan hasil identifikasi cita rasa dominan pada makanan dan minuman
khas dari tiga suku yang diuji, yaitu rasa manis sebagai salah satu cita rasa
dominan pada makanan dan minuman ketiga suku.
Preferensi Rasa Pahit dalam Minuman Kopi
Hasil pengolahan data terhadap skor kesukaan rasa pahit dalam minuman
kopi disajikan pada Gambar 17. Gambar 17 menunjukkan bahwa panelis dari
ketiga suku cenderung menyukai minuman kopi dengan konsentrasi bubuk kopi
yang rendah (rasa minuman kopi agak manis). Skor yang tinggi diberikan pada
minuman kopi dengan konsentrasi bubuk kopi yang rendah, dan skor kesukaan
cenderung menurun dengan semakin tingginya konsentrasi bubuk kopi (semakin
36
pahit). Hal tersebut menunjukkan kecenderungan panelis dari tiga suku di
Indonesia yang menyukai minuman kopi namun tidak menyukai rasa pahit dalam
minuman kopi. Diduga kesukaan terhadap minuman kopi lebih dipengaruhi flavor
kopi. Secara keseluruhan, skor kesukaan tertinggi diberikan panelis pada
konsentrasi 1.07% bubuk kopi dalam minuman kopi. Pada kemasan kopi
komersial yang digunakan, tercantum 2 g bubuk kopi setara dengan 1 sendok teh.
Dengan demikian, minuman kopi dengan skor kesukaan tertinggi (1.07%) setara
dengan bubuk kopi sejumlah 4/5 (0.8) sendok teh yang diseduh dengan 150 ml
air.
Gambar 17 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa pahit kopi
Panelis Nusa Tenggara memberikan skor kesukaan tertinggi (7.37 = sangat
suka) pada konsentrasi bubuk kopi 1.07%, setelah itu skor kesukaan berada pada
kisaran 6 (sedikit suka) dan terendah adalah 4.20 (tidak suka) pada konsentrasi
bubuk kopi tertinggi (1.73%). Panelis suku Minang memberikan rata-rata skor
kesukaan tertinggi (6.93 = agak suka) pada konsentrasi bubuk kopi 1.2%. Skor
tersebut tidak berbeda jauh dengan minuman dengan konsentrasi bubuk kopi
1.07%. Sampel minuman kopi dengan konsentrasi bubuk kopi lebih tinggi
memperoleh skor pada kisaran 6.47 (sedikit suka) hingga 4.23 (tidak suka). Skor
kesukaan tertinggi (7.00 = agak suka) diberikan oleh panelis suku Jawa pada
minuman kopi dengan konsentrasi bubuk kopi 1.33%, tertinggi dibandingkan
panelis suku lainnya. Sampel lainnya memperoleh rata-rata skor kesukaan pada
kisaran 6.93 (agak suka) hingga 5.37 (antara suka dan tidak suka). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa suku Jawa cenderung menyukai kopi yang lebih pahit
dibandingkan dengan suku Minang dan Nusa Tenggara.
Hasil analisis statistik One-way ANOVA memberikan nilai signifikansi
0.031, berarti terdapat perbedaan signifikan preferensi rasa pahit dalam minuman
kopi pada tiga suku di Indonesia. Uji lanjut Duncan menunjukkan adanya dua
subset, yaitu 1 (Nusa Tenggara dan Minang) serta 2 (Minang dan Jawa)
(Lampiran 9, halaman 85). Dengan demikian, suku Nusa Tenggara dan Jawa
memiliki preferensi rasa pahit dalam minuman kopi yang berbeda signifikan.
Tidak terdapat perbedaan signifikan dalam preferensi rasa pahit minuman kopi
antara Nusa Tenggara dan suku Minang, begitu pula dengan suku Minang dan
suku Jawa. Jika dibandingkan dengan hasil uji ambang sensori, diduga tidak
37
terdapat keterkaitan antara sensitivitas terhadap rasa pahit dengan preferensinya
dalam matriks pangan.
Preferensi Rasa Asin dalam Sup
Hasil pengolahan data skor kesukaan yang diberikan panelis terhadap rasa
asin dalam sup disajikan pada Gambar 18 berikut.
Gambar 18 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa asin sup
Terlihat adanya variasi pemberian skor kesukaan terhadap rasa asin dalam
matriks larutan sup pada Gambar 18. Panelis Nusa Tenggara cenderung
memberikan skor kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan panelis suku
lainnya, pada konsentrasi garam yang sama dalam sup. Skor kesukaan tertinggi
(5.83 = sedikit suka) diberikan panelis Nusa Tenggara pada sup dengan
konsentrasi garam tertinggi yaitu 1.125%. Pada konsentrasi lainnya, skor
diberikan pada kisaran 4.10 – 5.33 (antara suka dan tidak suka). Sama seperti
panelis Nusa Tenggara, panelis Jawa memberikan skor kesukaan tertinggi pada
sup dengan konsentrasi garam tertinggi yaitu 1.125%, dengan skor 5.20 (antara
suka dan tidak suka). Berbeda dengan dua suku lainnya, panelis Minang
memberikan skor kesukaan tertinggi (5.53 = sedikit suka) pada konsentrasi garam
terendah yaitu 0.5%.
Analisis statistik dengan One-way ANOVA (Lampiran 9, halaman 85)
memperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan preferensi rasa asin
dalam sup pada tiga suku di Indonesia (nilai signifikansi 0.707). Variasi skor
kesukaan yang tinggi pada grafik, tren yang tidak pasti, serta tidak adanya
perbedaan preferensi yang signifikan dapat disebabkan penyajian sampel yang
berbeda dengan kondisi konsumsi normal. Pada pengujian, yang disajikan hanya
larutan sup saja, dengan cara konsumsi yang berbeda pula menggunakan sedotan,
sehingga kemungkinan panelis mengalami bias dalam menentukan skor kesukaan.
Selain itu, diduga matriks pangan yang digunakan kurang tepat, sebab panelis
memiliki persepsi bahwa rasa lainnya (gurih) seharusnya juga terdapat dalam sup
yang disajikan.
38
Pengaruh Gender terhadap Preferensi Rasa Dasar dalam Matriks Pangan
Variasi skor kesukaan rasa manis dan pahit yang diberikan oleh panelis
dengan gender berbeda disajikan pada Gambar 19 dan 20 berikut.
A B
C
Gambar 19 Variasi skor preferensi rasa manis dalam teh yang diberikan
panelis suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
A B
C
Gambar 20 Variasi skor preferensi rasa pahit dalam minuman kopi yang
diberikan panelis suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
39
Pada Gambar 19, terlihat bahwa panelis laki-laki dan perempuan pada suku
Minang memberikan skor kesukaan dengan tren yang sama, skor kesukaan
tertinggi juga terdapat pada konsentrasi gula yang sama dalam minuman teh, yaitu
12.5%. Hal yang sama terlihat pada grafik skor preferensi rasa manis oleh suku
Jawa dan Nusa Tenggara, namun konsentrasi yang memberikan skor kesukaan
tertinggi adalah 10% gula dalam minuman teh. Gambar 19 menunjukkan bahwa
panelis laki-laki cenderung memberikan skor yang lebih tinggi dibandingkan
panelis perempuan pada konsentrasi gula yang sama, namun pengolahan data
menunjukkan bahwa panelis perempuan cenderung lebih menyukai rasa teh yang
manis (12.5% gula) dibandingkan laki-laki (10% gula).
Gambar 20 menunjukkan bahwa secara umum panelis laki-laki lebih
menyukai kopi pahit dibandingkan panelis perempuan. Hal tersebut didukung
hasil pengolahan data yaitu panelis laki-laki cenderung lebih menyukai rasa kopi
yang pahit (1.2% kopi) dibandingkan perempuan (1.07% kopi). Panelis laki-laki
suku Minang cenderung memberikan skor kesukaan lebih tinggi pada konsentrasi
kopi lebih tinggi dibandingkan panelis perempuan, begitu pula pada panelis Nusa
Tenggara. Hal tersebut menunjukkan bahwa panelis laki-laki Minang dan Nusa
Tenggara menyukai kopi yang lebih pahit dibandingkan dengan panelis
perempuan. Panelis perempuan suku Jawa memberikan skor kesukaan yang lebih
tinggi pada konsentrasi kopi 1.07-1.47%, namun pada dua konsentrasi berikutnya
(1.6 dan 1.73%) panelis laki-laki memberikan skor kesukaan lebih tinggi.
Variasi skor kesukaan terhadap rasa asin yang diberikan oleh panelis dengan
gender berbeda disajikan pada Gambar 21 berikut.
A B
C
Gambar 21 Variasi skor preferensi rasa asin dalam sup yang diberikan panelis
suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
40
Pada Gambar 21, terlihat bahwa panelis perempuan suku Minang dan Jawa
memiliki tren skor kesukaan yang sama. Skor kesukaan pada konsentrasi garam
terendah berada pada kisaran 5 (antara suka dan tidak suka), kemudian menurun
pada konsentrasi garam sedang, dan kembali meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi garam dalam larutan sup dengan skor pada kisaran 5. Populasi panelis
lainnya, yaitu panelis laki-laki suku Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara serta
panelis perempuan Nusa Tenggara memberikan tren skor kesukaan yang naik-
turun. Secara umum, mayoritas panelis memberikan skor kesukaan tertinggi pada
sup dengan konsentrasi garam tertinggi yaitu 1.125%.
Hasil analisis statistik untuk mengetahui signifikansi gender terhadap
preferensi secara lengkap terdapat pada Lampiran 9 (halaman 86), dan secara
ringkas disajikan pada Tabel 12 berikut.
Tabel 12 Hasil uji-t pengaruh gender terhadap preferensi
No Rasa Dasar Nilai p
1 Manis 0.408
2 Pahit 0.555
3 Asin 0.531
*perbedaan signifikan pada taraf 0.05
Tabel 12 menunjukkan bahwa ketiga rasa dasar memberikan nilai p > 0.05,
dengan demikian perbedaan gender tidak memberikan pengaruh signifikan pada
preferensi rasa dasar dalam matriks pangan. Uji-t gender dalam suku memberikan
hasil yang serupa, yaitu perbedaan gender tidak berpengaruh signifikan terhadap
preferensi rasa dasar dalam matriks pangan (Lampiran 9, halaman 87). Hal
tersebut sesuai dengan studi sebelumnya oleh Lanfer et al. (2013) mengenai
preferensi tiga rasa dasar (manis, asin, dan gurih) dalam matriks pangan dengan
panelis anak-anak dari delapan negara Eropa, yang memberikan hasil bahwa jenis
kelamin tidak memengaruhi preferensi rasa secara konsisten. Mitchell et al.
(2013) juga menyatakan bahwa perbedaan signifikan dalam ambang sensori rasa
asin antara panelis laki-laki dan perempuan tidak memengaruhi skor penerimaan
sup sayuran.
Sejauh ini, studi multikultural mengenai sensori dilakukan antarnegara yang
berbeda. Kultur atau budaya umumnya didefinisikan dalam batasan negara. Sobal
(1998) mendefinisikan penelitian cross-cultural sebagai penelitian yang dilakukan
melibatkan beberapa budaya, lintas negara, maupun studi migrasi. Berbagai studi
memberikan hasil yang berbeda-beda mengenai keterkaitan antara preferensi rasa
dasar dalam pangan dengan negara asal panelis. Lanfer et al. (2013) melakukan
studi preferensi tiga rasa dasar (manis, asin, dan gurih) dalam matriks pangan
dengan panelis anak-anak dari delapan negara Eropa. Hasil studi tersebut
menunjukkan bahwa jenis kelamin, pendidikan orang tua, pola makan ketika bayi,
serta kebiasaan menonton TV tidak memengaruhi preferensi rasa secara konsisten.
Belum ditemukan faktor yang dapat menjelaskan perbedaan preferensi rasa dalam
pangan pada penduduk negara yang berbeda selain perbedaan negara.
Studi lainnya oleh Prescott et al. (1997) terhadap panelis Jepang dan
Australia menunjukkan bahwa kedua populasi panelis tersebut memiliki
perbedaan persepsi intensitas sensori rasa manis dalam produk jus jeruk,
41
cornflake, dan es krim. Meski produk yang digunakan sebagai sampel berasal dari
Australia, baik panelis dari Australia maupun Jepang memberikan penilaian yang
tepat sama mengenai tingkat kemanisan yang optimum untuk ketiga jenis produk
pangan. Penilaian yang tepat sama tersebut mengindikasikan bahwa kedua
populasi panelis memiliki persepsi kesukaan dan penilaian rating yang sama
terhadap rasa manis. Studi preferensi rasa dasar asam, asin, dan pahit dalam
produk pangan yang dilakukan terhadap panelis Jepang dan Australia juga
menunjukkan tidak adanya perbedaan cross-cultural dalam persepsi intensitas
rasa (Prescott et al. 1998). Kedua populasi panelis juga memilih tingkatan rasa
yang sama untuk rasa yang optimal dalam produk pangan.
Pengenalan panelis terhadap produk pangan yang diuji menjadi salah satu
penentu nilai preferensi yang diberikan. Ward et al. (1998) melakukan studi
mengenai kesukaan terhadap prototip keripik yang mengandung cowpea, jagung,
dan gandum pada konsumen Amerika dan Afrika Barat. Hasil studi menunjukkan
bahwa konsumen Afrika Barat, yang lebih familiar terhadap polong-polongan,
memberikan nilai penerimaan lebih tinggi terhadap produk prototip dibandingkan
dengan konsumen Amerika. Prescott et al. (1998) menyatakan bahwa kesamaan
penilaian konsumen Australia dan Jepang terhadap tingkatan rasa yang optimal
dalam produk pangan dapat disebabkan produk-produk pangan Australia yang
digunakan sebagai sampel sudah cukup dikenal oleh panelis Jepang.
Mitchell et al. (2013) dalam penelitiannya pada penduduk Dublin (Irlandia,
Eropa) memperoleh hasil bahwa individu yang mengonsumsi makanan dengan
kadar garam tinggi akan cenderung membutuhkan garam lebih banyak untuk
memperoleh sensasi rasa yang sama dibandingkan dengan individu yang lebih
tidak sensitif terhadap garam. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi cita rasa
dominan dalam makanan dan minuman khas masing-masing suku, namun
identifikasi tersebut tidak disertai intensitas rasa. Dengan demikian belum dapat
diprediksi pengaruh kebiasaan makan terhadap preferensi rasa dasar dalam produk
pangan.
Penelitian yang dilakukan antar kelompok budaya dalam masyarakat yang
kompleks dalam bentuk perbandingan kelompok suku dan studi akulturasi, seperti
yang dilakukan pada penelitian ini, tergolong sub-cultural. Penelitian sub-cultural
dapat pula dipengaruhi faktor akulturasi, yang dapat memberikan perubahan
terhadap pola makan karena adanya penyesuaian terhadap budaya baru (Sobal
1998). Sejauh ini studi sensori lebih banyak dilakukan secara cross-cultural,
sehingga belum diperoleh acuan yang lebih sesuai mengenai ambang sensori dan
preferensi sub-cultural.
Salah satu faktor yang memengaruhi hasil penelitian ini adalah keterbatasan
pengujian preferensi rasa dasar hanya dalam satu matriks pangan untuk setiap
jenis rasa. Identifikasi preferensi rasa sebaiknya dilakukan pada lebih dari satu
matriks pangan untuk setiap rasanya, sebab preferensi sangat bergantung pada
medium atau matriks pangan yang digunakan. Penggunaan beberapa jenis matriks
pangan dapat memperkuat validitas data dari studi yang dilakukan (Lanfer et al.
2013).
42
Korelasi Ambang Sensori dengan Preferensi
Hasil analisis korelasi secara lengkap terdapat pada Lampiran 9 (halaman
98), dan secara ringkas disajikan pada Tabel 13 berikut.
Tabel 13 Korelasi ambang sensori dengan preferensi
No Korelasi Koefisien Korelasi
Pearson
1 Ambang sensori rasa manis dan preferensinya
dalam minuman teh
-0.081
2 Ambang sensori rasa pahit dan preferensinya
dalam minuman kopi
-0.227
3 Ambang sensori rasa asin dan preferensinya dalam
larutan sup
0.000
Hasil analisis menunjukkan bahwa semua rasa dasar memiliki nilai korelasi
yang rendah dengan preferensinya dalam matriks pangan. Nilai korelasi ambang
sensori rasa asin dengan preferensinya dalam larutan sup sangat rendah, hanya
0.0004. Dari ketiga rasa dasar tersebut, nilai korelasi tertinggi (0.227) terdapat
pada korelasi ambang sensori rasa pahit dengan preferensinya, namun dengan
hubungan yang tidak kuat. Diduga tidak terdapat korelasi antara ambang sensori
dengan preferensinya dalam matriks pangan.
Perbedaan sensitivitas seseorang terhadap suatu rasa dasar belum tentu
memberikan perbedaan terhadap preferensinya pada rasa dasar tersebut dalam
suatu produk pangan. Hasil penelitian Mitchell et al. (2013) menunjukkan hal
yang serupa dengan hasil penelitian ini, yaitu tidak terdapat korelasi signifikan
antara ambang sensori rasa asin dengan skor penerimaan sup sayuran, dengan
korelasi bernilai positif (r = 0.154). Hal tersebut didukung oleh Lucas et al. (2011)
yang menyatakan bahwa ambang sensori rasa asin tidak berasosiasi dengan
penerimaan dan kesukaan daging hash brown dengan konsentrasi garam yang
berbeda-beda. Studi yang berkaitan dengan rasa pahit dilakukan oleh Catanzaro et
al. (2013). Hasilnya, tidak terdapat perbedaan signifikan antargrup panelis dengan
sensitivitas rasa pahit yang berbeda-beda (PROP supertasters, mediumtasters, dan
nontasters) dalam kesukaannya terhadap kopi hitam, dark chocolate, anggur
merah, bir, salad dressing, atau mayonaise.
Lanfer et al. (2013) menyatakan bahwa ambang sensori, yaitu konsentrasi
terendah yang dapat dirasakan, tidak relevan dengan sensasi rasa yang diterima
sehari-hari. Pada umumnya persepsi hedonik (preferensi) berada pada konsentrasi
rasa di atas ambang sensori. Terdapat kemungkinan adanya keterkaitan antara
intensitas penilaian supra-threshold (di atas ambang deteksi) dengan preferensi
rasa dalam pangan.
43
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Suku Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara memiliki rata-rata ambang sensori
6.027 mM sukrosa (rasa manis), 0.713 mM kafein (rasa pahit), dan 1.982 mM
(rasa asin). Perbedaan suku hanya berpengaruh signifikan terhadap ambang
sensori rasa manis. Panelis ketiga suku memiliki kecenderungan preferensi yang
sama terhadap rasa manis, pahit, dan asin dalam matriks pangan yang diujikan.
Perbedaan suku menyebabkan perbedaan preferensi rasa pahit dalam matriks
minuman kopi. Identifikasi cita rasa dominan pada makanan dan minuman khas
daerah tidak disertai intensitas rasa, sehingga belum dapat diperkirakan
pengaruhnya terhadap ambang sensori dan preferensinya dalam pangan.
Perbedaan gender tidak berpengaruh signifikan terhadap ambang sensori dan
preferensi, kecuali pada ambang sensori rasa asin. Ketiga rasa dasar tidak
berkorelasi dengan preferensi dalam matriks pangan.
Saran
Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian dengan spesifikasi bidang sensori perlu lebih banyak
dilakukan di Indonesia
2. Hasil penelitian yang lebih baik dapat diperoleh dengan menggunakan
variasi matriks pangan untuk pengujian preferensi rasa dasar
3. Pengujian preferensi rasa asin sebaiknya dilakukan dengan matriks
pangan yang lebih tepat
4. Identifikasi cita rasa dominan dalam makanan dan minuman khas
daerah sebaiknya dilengkapi dengan intensitas rasa yang dominan
tersebut agar dapat diperkirakan pengaruhnya terhadap ambang sensori
maupun preferensi rasa dasar dalam matriks pangan.
44
DAFTAR PUSTAKA
Ariyani NI. 2013. Strategi adaptasi orang Minang terhadap bahasa, makanan, dan
norma masyarakat Jawa. J Komunitas 5(1):26-37. ISSN 2086-5465.
Bitnes J, Martens H, Ueland O, Martens M. 2007. Longitudinal study of taste
identification of sensory panellists: effect of ageing, experience and exposure. J
Food Qual Pref. 18:230-241.doi:10.1016/j.foodqual.2005.11.003.
[ASTM] American Society of Testing and Materials (US). 2011. ASTM E679-04:
Standard Practice for Determination of Odor and Taste Thresholds by a
Forced-choice Ascending Concentration Series Method of Limit. West
Conshohocken (US): ASTM International.doi:10.1520/E0679-04R11.
Catanzaro D, Chesbro EC, Velkey AJ. 2013. Relationship between food
preferences and PROP tasters status of college students. Appetite. http://dx.doi.
org/10.1016/j.appet. 2013.04.025.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia (ID). 2000. Pedoman
Pemantauan Konsumsi Gizi. Jakarta (ID): Direktorat Gizi Masyarakat.
Dewi FI, Anwar F, Amalia L. 2009. Persepsi terhadap konsumsi kopi dan teh
mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2007-2008. Jurnal Gizi dan Pangan 4(1):20-
28.
Kim K, O’Mahony M. 1998. A new approach to category scales of intensity I:
traditional versus Rank-Rating. J Sensory Stud. 13:241-249.
Kolpin KL. 2008. Human bitterness detection thresholds of hops acids in beer and
honey [Tesis]. Oregon (US): Oregon State University.
Lanfer A, Bammann K, Knof K, Buchecker K, Russo P, Veidebaum T, Kourides
Y, de Henauw S, Molnar D, Bel-Serrat S et al. 2013. Predictors and correlates
of taste preferences in European children: the IDEFICS study. J Food Qual
Pref. 27:128-136.doi:10.1016/j.foodqual.2012. 09.006.
Lawless HT. 2010. A simple alternative analysis for threshold data determined by
ascending forced-choice methods of limits. J Sensory Stud. 25:332-346.doi:10.
1111/j.1745-459x.2009.00262.x.
Lawless HT dan Heymann H. 2010. Sensory Evaluation of Food: Principles and
Practices, Second Edition. New York (US): Springer.
Lucas L, Riddell L, Liem G, Whitelock S, Keast R. 2011. The influence of
sodium on liking and consumption of salty food. J Food Sci. 76:572-
576.doi:10. 1111/j.1750-3841.2010.01939.x.
Ludy M, Mattes RD. 2012. Comparison of sensory, physiological, personality,
and cultural attributes in regular spicy food users and non-users. Appetite 58:
19-27.doi:10.1016/j.appet.2011.09.018.
Meilgaard MC, Civille GV, Carr BT. 2007. Sensory Evaluation Techniques,
Fourth Edition. Florida (US): CRC Pr.
Michon C, O’Sullivan MG, Delahunty CM, Kerry JP. 2009. The investigation of
gender-related sensitivity differences in food perception. J Sensory Stud. 24:
922-937.doi:10.1111/j.1745-459x.2009.00245.x.
Mitchell M, Brunton NP, Wilkinson MG. 2013. The influence of salt taste
threshold on acceptability and purchase intent of reformulated reduced sodium
vegetable soups. J Food Qual Pref. 28:356-360.doi:10.1016/j.foodqual.2012.
11.002.
45
Mojet J, Christ-Hazelhof E, Heidema J. 2005. Taste perception with age:
pleasantness and its relationship with threshold sensitivity and supra-threshold
intensity of five taste qualities. J Food Qual Pref. 16:413-423.doi:10.1016/
j.foodqual.2004.08.001
Montmayeur J dan Matsunami H. 2002. Receptors for bitter and sweet taste. Curr
Opin Neurobiol. 12(4):366-371.doi:10.1016/095904388.02.00345.
Okoro OE, Uroghide GE, Holayemi TE, George OO, Enobakhare CO. 1998.
Studies on taste thresholds in a group of adolescent children in rural Nigeria. J
Food Qual Pref. 9(4):205-210.
Pasquet P, Monneuse M, Simmen B, Marez A, Hladik C. 2006. Relationship
between taste thresholds and hunger under debate. Appetite 46:63-66.doi:10.
1016/j.appet.2005.09.004.
Prescott J, Bell GA, Gillmore R, Yoshida M, O’Sullivan M, Korac S, Allen S,
Yamazaki K. 1997. Cross-cultural comparisons of Japanese and Australian
responses to manipulations of sweetness in foods. J Food Qual Pref. 8(1):45-
55.
Prescott J, Bell GA, Gillmore R, Yoshida M, O’Sullivan M, Korac S, Allen S,
Yamazaki K. 1998. Cross-cultural comparisons of Japanese and Australian
responses to manipulations of sourness, saltiness and bitterness in foods. J
Food Qual Pref. 9(1):33-66.
Sanders OG, Ayers JV, Oakes S. 2002. Taste acuity in the elderly: the impact of
threshold, age, gender, medication, health and dental problems. J Sensory Stud.
17:89-104.doi:10.1111/j.1745-459x.2002.00334.x.
Simpson EEA, Rae G, Parr H, O’Connor JM, Bonham M, Polito A, Meunier N,
Andriollo-Sanchex M, Intorre F, Coudray C, Strain JJ, Stewart-Knox B. 2012.
Predictors of taste acuity in healthy older Europeans. Appetite 58:188-195.
doi:10.1016/j.appet.2011.09.007.
Sobal J. 1998. Cultural comparison research designs in food, eating, and nutrition.
J Food Qual Pref. 9(6):385-392.
Ward CDW, Resurreccion AVA, McWatters KH. 1998. Comparison of
acceptance of snack chips containing cornmeal, wheat flour and cowpea meal
by US and West African consumers. J Food Qual Pref. 9(5):327-332.
Widodo J. 2009. Meneguhkan identitas budaya nasional. J Bestari 42.
46
Lampiran 1 Kode sampel
Kode sampel untuk pengujian ambang sensori
Konsen-
trasi
Rasa Manis (Sukrosa) Rasa Pahit (Kafein) Rasa Asin (NaCl)
Sampel Blanko Sampel Blanko Sampel Blanko
6 498 712 183 365 593 537 663 949 174
5 522 585 765 917 252 222 468 797 496
4 396 351 138 113 581 746 688 295 133
3 458 847 369 635 355 636 314 756 759
2 245 223 163 665 542 478 896 954 488
1 862 398 743 298 691 368 332 266 854
Keterangan: 1 = konsentrasi terendah, 6 = konsentrasi tertinggi
Kode sampel untuk pengujian preferensi
Konsentrasi Teh Kopi Sup
6 759 874 459
5 549 293 522
4 881 946 537
3 824 919 544
2 228 122 452
1 187 169 289
Keterangan: 1 = konsentrasi terendah, 6 = konsentrasi tertinggi
47
Lampiran 2 Contoh kombinasi pengacakan penyajian sampel
Uji Ambang Sensori
Rasa Manis
1 498 712 183
2 712 183 498
585 765 522
585 765 522
396 351 138
351 138 396
458 847 369
458 847 369
223 245 163
245 223 163
862 398 743
862 398 743
3 712 183 498
4 498 712 183
585 522 765
522 585 765
351 396 138
351 138 396
458 847 369
458 847 369
223 245 163
223 163 245
398 862 743
398 862 743
5 712 498 183
6 498 712 183
585 522 765
585 765 522
351 138 396
351 396 138
847 458 369
847 458 369
223 163 245
223 245 163
398 743 862
398 862 743
7 498 712 183
8 712 183 498
522 585 765
585 522 765
351 138 396
351 396 138
847 458 369
458 847 369
245 223 163
245 223 163
398 743 862
862 398 743
9 712 183 498
10 712 183 498
585 522 765
585 765 522
351 396 138
396 351 138
458 847 369
847 369 458
223 163 245
223 163 245
862 398 743
398 862 743
48
Lampiran 2 Contoh kombinasi pengacakan penyajian sampel (lanjutan)
Uji Ambang Sensori
Rasa Pahit
1 593 365 537
2 365 593 537
917 252 222
252 917 222
581 113 746
581 113 746
635 355 636
635 355 636
542 478 665
542 665 478
691 298 368
298 691 368
3 365 593 537
4 365 593 537
252 917 222
252 222 917
113 581 746
113 581 746
355 636 635
635 355 636
542 665 478
542 665 478
691 368 298
298 691 368
5 365 593 537
6 593 365 537
252 222 917
252 917 222
113 581 746
581 113 746
355 636 635
355 636 635
665 542 478
542 665 478
691 368 298
691 298 368
7 365 593 537
8 365 593 537
252 917 222
917 252 222
113 581 746
113 581 746
355 636 635
355 636 635
542 665 478
542 478 665
298 691 368
691 368 298
9 365 593 537
10 593 365 537
917 252 222
252 222 917
581 746 113
581 113 746
635 355 636
635 355 636
542 478 665
542 665 478
691 298 368
691 368 298
49
Lampiran 2 Contoh kombinasi pengacakan penyajian sampel (lanjutan)
Uji Ambang Sensori
Rasa Asin
1 949 174 663
2 949 663 174
797 468 496
797 468 496
295 688 133
688 295 133
314 756 759
756 314 759
896 954 488
896 954 488
332 266 854
332 266 854
3 663 949 174
4 663 949 174
797 468 496
797 468 496
688 295 133
295 688 133
756 759 314
756 759 314
954 896 488
896 954 488
332 266 854
266 854 332
5 949 663 174
6 949 663 174
797 468 496
468 797 496
295 688 133
295 688 133
314 756 759
314 756 759
954 896 488
954 488 896
266 332 854
266 332 854
7 663 949 174
8 663 949 174
797 496 468
797 468 496
688 295 133
295 688 133
756 759 314
314 756 759
896 954 488
954 896 488
266 854 332
332 266 854
9 949 174 663
10 949 174 663
797 468 496
797 496 468
295 688 133
688 295 133
314 756 759
756 759 314
954 896 488
896 954 488
266 332 854
266 332 854
50
Lampiran 2 Contoh kombinasi pengacakan penyajian sampel (lanjutan)
Uji Preferensi
Sampel Teh
No Urutan Penyajian Sampel
1 2 3 4 5 6
1 759 549 881 824 228 187
2 228 824 759 881 187 549
3 187 881 228 759 549 824
4 549 759 187 228 824 881
5 824 228 549 187 881 759
6 881 187 824 549 759 228
7 824 228 187 759 549 881
8 881 187 549 228 824 759
9 759 549 824 187 881 228
10 228 824 881 549 759 187
11 187 881 759 824 228 549
12 549 759 228 881 187 824
13 187 881 549 228 824 759
14 549 759 824 187 881 228
15 824 228 881 549 759 187
16 881 187 759 824 228 549
17 759 549 228 881 187 824
18 228 824 187 759 549 881
19 881 228 549 824 187 759
20 759 187 824 881 549 228
21 228 549 881 759 824 187
22 187 824 759 228 881 549
23 549 881 228 187 759 824
24 824 759 187 549 228 881
25 228 187 549 824 881 759
26 187 549 824 881 759 228
27 549 824 881 759 228 187
28 824 881 759 228 187 549
29 881 759 228 187 549 824
30 759 228 187 549 824 881
51
Lampiran 2 Contoh kombinasi pengacakan penyajian sampel (lanjutan)
Uji Preferensi
Sampel Kopi
No Urutan Penyajian Sampel
1 2 3 4 5 6
1 946 169 293 122 919 874
2 169 122 874 293 946 919
3 293 169 122 919 874 946
4 919 293 169 946 122 874
5 946 919 293 874 169 122
6 874 946 919 122 293 169
7 122 874 946 169 919 293
8 169 874 919 122 946 293
9 293 122 946 169 874 919
10 919 169 874 293 122 946
11 946 293 122 919 169 874
12 874 919 169 946 293 122
13 122 946 293 874 919 169
14 919 874 293 946 122 169
15 946 122 919 874 169 293
16 874 169 946 122 293 919
17 122 293 874 169 919 946
18 169 919 122 293 946 874
19 293 946 169 919 874 122
20 122 919 293 874 946 169
21 169 946 919 122 874 293
22 293 874 946 169 122 919
23 919 122 874 293 169 946
24 946 169 122 919 293 874
25 874 293 169 946 919 122
26 946 874 919 293 169 122
27 874 122 946 919 293 169
28 122 169 874 946 919 293
29 169 293 122 874 946 919
30 293 919 169 122 874 946
52
Lampiran 2 Contoh kombinasi pengacakan penyajian sampel (lanjutan)
Uji Preferensi
Sampel Sup
No Urutan Penyajian Sampel
1 2 3 4 5 6
1 537 522 289 544 459 452
2 459 544 522 537 452 289
3 459 522 289 452 544 537
4 452 544 522 289 537 459
5 289 537 544 522 459 452
6 522 459 537 544 452 289
7 544 452 459 537 289 522
8 537 289 452 459 522 544
9 522 537 452 289 544 459
10 544 459 289 522 537 452
11 537 452 522 544 459 289
12 459 289 544 537 452 522
13 452 522 537 459 289 544
14 289 544 459 452 522 537
15 544 289 452 522 459 537
16 537 522 289 544 452 459
17 459 544 522 537 289 452
18 452 537 544 459 522 289
19 289 459 537 452 544 522
20 522 452 459 289 537 544
21 452 537 544 289 522 459
22 289 459 537 522 544 452
23 522 452 459 544 537 289
24 544 289 452 537 459 522
25 537 522 289 459 452 544
26 459 544 522 452 289 537
27 452 289 544 522 459 537
28 289 522 537 544 452 459
29 522 544 459 537 289 452
30 544 537 452 459 522 289
53
Lampiran 3 Kuesioner seleksi panelis
RekanMahasiswaTPBIPBYth,
Saya adalah mahasiswa Pascasarjana Prodi Ilmu Pangan IPB.
Sehubungandenganpenelitian tugasakhir (tesis) sayamengenai
“AmbangSensoriRasaDasardanPreferensinyadalamMatriksPangan
dengan Pendekatan Multikultural di Indonesia”, saya memohon
kesediaanAndauntukberkenanmengisikuesionersebagailangkah
awal rekrutmen responden.Diharapkan jawaban sejujurnya, data
pribadiAndaakandirahasiakandanhanyaakandipergunakanuntuk
keperluanpenelitianini.
Terimakasih.
(UswatunHasanah–F251114081)
IDENTITASRESPONDEN
NamaLengkap :__________________________________________
JenisKelamin :1.Pria 2.Wanita
Usia :______tahun
Jurusan/Fakultas:______/______
No.HP :______________________
Suku :______________________
Alamatasal :__________________________________________
__________________________________________
BerapalamaAndatelahtinggaldidaerahasalAnda?_____tahun
TempattinggaldiIPB :Asrama______________________
Kelasmatrikulasi:______
ApakahAndadapatmengonsumsijenispanganberikut?
Teh(Y/T) Kopi(Y/T) Sup(Y/T)
TerimakasihataskesediaanAndamengisikuesionerini
KuesionerRekrutmenResponden
54
Lampiran 4 Pernyataan kesediaan menjadi panelis
55
Lampiran 5 Kuesioner makanan dan minuman khas daerah
56
Lampiran 6 Kuesioner pengujian ambang sensori
Nama : Jenis kelamin : L/P INSTRUKSI Di hadapan Anda terdapat enam (6) set sampel, setiap set (baris) terdiri dari tiga (3) sampel.
Awali pengujian dengan berkumur sedikit air putih.
Mulailah pencicipan pada set pertama, yaitu baris yang terdekat dengan Anda. Cicipi sampel dari kiri ke kanan.
Pada setiap set, terdapat 2 sampel sama dan 1 sampel beda. Berikan penilaian sampel manakah yang berbeda dari segi rasa.
Agar lebih yakin dengan penilaian Anda, Anda boleh mengulang pencicipan antarsampel dalam 1 set.
Setelah yakin dengan penilaian Anda, tuliskan angka tiga digit dari wadah sampel yang berbeda ke dalam kotak bernomor 1 di bawah.
Sebelum mencoba set sampel baru, lakukan penetralan dengan berkumur sedikit air putih.
Lanjutkan pencicipan pada set kedua hingga keenam dengan cara seperti di atas. Tuliskan angka tiga digit dari wadah sampel yang berbeda ke dalam kotak bernomor 2 – 6 di bawah.
Anda tidak diperbolehkan mengulang pencicipan antar set yang berbeda. Setelah selesai melakukan penilaian pada setiap set, tuliskan angka tiga digit dari wadah sampel yang berbeda pada kotak di bawah ini.
Set Kode Sampel yang Berbeda
6
5
4
3
2
1
TERIMA KASIH
KUESIONER PENGUJIAN AMBANG SENSORI
57
Lampiran 7 Kuesioner pengujian preferensi
Nama : Jenis kelamin : L/P INSTRUKSI Di hadapan Anda terdapat enam (6) sampel teh.
Mulai pengujian dengan meminum sedikit air putih.
Lakukan pencicipan sampel teh dari kiri ke kanan.
Berikan penilaian seberapa suka Anda terhadap tingkat kemanisan masing-masing sampel,
dengan meletakkan tempat sampel di bawah kotak yang sesuai pada kartu bantu. Beberapa
sampel dapat diletakkan di bawah kotak yang sama.
Sebelum mencoba sampel baru, lakukan penetralan dengan minum air putih.
Sementara mencicipi, Anda boleh mengubah penempatan sampel dalam kotak sebanyak
yang Anda inginkan.
Anda boleh mengulang pencicipan.
Setelah selesai mencicipi semua sampel dan memberikan penilaian akhir kesukaan, silakan
tulis angka tiga digit dari wadah sampel ke dalam kotak di bawah ini.
Setelah selesai melakukan penilaian, tuliskan angka tiga digit dari wadah sampel pada kotak di bawah ini.
Sangat tidak suka
sekali
Sangat tidak suka
Agak tidak suka
Tidak suka
Antara suka dan
tidak suka
Sedikit suka
Agak suka
Sangat suka
Sangat suka
sekali
TERIMA KASIH
KUESIONER PENGUJIAN PREFERENSI
58
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah
1. Makanan Khas Jawa
No Frekuensi Nama Makanan Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
1 14 nasi megono asin, gurih 1 1
2 7 emping asin 1
3 7 kluban asin, gurih 1 1
4 6 lanting / kriyik gurih 1
5 6 sayur asam asam 1
6 5 sayur bening /
tegean
asin, gurih 1 1
7 4 gethuk lindri manis 1
8 4 sate ambal manis, gurih 1 1
9 4 tauto asin, gurih 1 1
10 4 pecel asam 1
11 3 soto tauco asin 1
12 3 pindang tetel asin 1
13 3 garang asem asin, asam 1 1
14 3 bubur candil manis 1
15 3 soto asin, gurih 1 1
16 3 lupis manis 1
17 3 kue ku manis 1
18 2 soto kudus gurih 1
19 2 soto kored manis, gurih 1 1
20 2 sayur krecek manis, pedas 1 1
21 2 lotek manis, gurih 1 1
22 2 krupuk gadung asin, gurih 1 1
23 2 oyek asin, gurih 1 1
24 2 golak asin, gurih 1 1
25 2 opor ayam gurih 1
26 2 bubur kacang
hijau
manis 1
27 2 wajik manis 1
28 2 keripik tahu gurih 1
29 2 semur jengkol gurih 1
30 2 kue satu manis 1
31 1 jenang kudus manis 1
32 1 lentog tanjung
kudus
gurih 1
33 1 bugis manis 1
59
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
No Frekuensi Nama Makanan Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
34 1 sagon manis 1
35 1 klepon manis 1
36 1 tempe goreng asin, gurih 1 1
37 1 opak singkong gurih 1
38 1 adas manis, gurih 1 1
39 1 tauco kerbau manis 1
40 1 manisan bawang
(buah)
manis 1
41 1 negosari manis 1
42 1 kecrek gurih 1
43 1 sayur pare pahit 1
44 1 tongseng manis, pedas 1 1
45 1 jenang candil manis 1
46 1 sengkulun manis 1
47 1 jenang manis 1
48 1 swieke kodok asin, gurih,
asam
1 1 1
49 1 lontong sayur asin, gurih 1 1
50 1 pecel pedas 1
51 1 telor balado pedas 1
52 1 weku manis 1
53 1 pepes-pepesan asin 1
54 1 botrok putren asin, gurih 1 1
55 1 grombyong manis, gurih 1 1
56 1 sale manis 1
57 1 serabi manis, gurih 1 1
58 1 apem manis 1
59 1 sempolan gurih, amis 1
60 1 sop manis 1
61 1 bongko manis 1
62 1 getuk kinco manis 1
63 1 renginang gurih 1
64 1 growol manis 1
65 1 gathot gurih 1
66 1 rempah gurih 1
67 1 rawon gurih 1
68 1 tahu aci gurih 1
60
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
No Frekuensi Nama Makanan Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
69 1 sambal terasi pedas 1
70 1 orek tempe manis 1
71 1 keripik singkong asin 1
72 1 tumis kangkung asin,
setengah
pedas
1 1
73 1 bubur beras manis 1
74 1 sogon manis 1
75 1 jipang ketan manis 1
76 1 jipang kacang manis 1
77 1 rumbinang gurih 1
78 1 untir-untir manis 1
Jumlah 38 19 33 4 1 6
Persentase 48.72
%
24.36
%
42.31
%
5.13
%
1.28
%
7.69
%
2. Minuman Khas Jawa
No Frekuensi Nama Minuman Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
1 21 wedang ronde manis 1
2 11 wedang jahe pedas, segar,
manis
1 1
3 11 es dawet / dawet
ireng
manis 1
4 8 teh manis 1
5 8 kopi tahlil manis 1
6 7 kopi hangat pahit, manis 1 1
7 5 kopi susu manis 1
8 4 es pelangi manis 1
9 4 es cao pahit 1
10 3 air kelapa manis 1
11 3 bajigur manis, pedas 1 1
12 3 es barteh/timun
suri
manis 1
13 3 sekoteng manis 1
14 3 jamu beras
kencur
pahit 1
15 3 kolak pisang manis 1
16 3 es cendol manis 1
17 3 teh bandulan manis, pahit 1 1
61
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
No Frekuensi Nama Minuman Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
18 3 kunir asem asam, hambar /
manis
1 1
19 2 es degan manis 1
20 2 susu manis 1
21 2 jamu kunir pahit 1
22 2 es selasih manis 1
23 2 camcau manis 1
24 2 jamu pahit 1
25 2 es lontar manis 1
26 2 bubur salak manis 1
27 1 wedang roti manis 1
28 1 es kang ijo manis 1
29 1 es durian manis 1
30 1 es campur manis 1
31 1 rujak manis 1
32 1 wedang asem asam 1
33 1 es jus markisa asam 1
34 1 sop buah manis 1
35 1 kolak waluh manis 1
36 1 jahe susu manis, pedas 1 1
37 1 gulas manis, asam 1 1
38 1 teh tubruk manis 1
39 1 wedang akar
alang-alang
manis, pedas 1 1
40 1 legen manis 1
41 1 dawet ayu manis 1
42 1 es nangka manis 1
43 1 jamu godhok pahit 1
44 1 jamu kunyit pahit 1
Jumlah 36 0 0 4 8 4
Persentase 81.82
%
0.00% 0.00
%
9.09
%
18.18
%
9.09
%
62
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
3. Makanan Khas Minang
No Frekuensi Nama Makanan Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
1 30 Rendang gurih, pedas,
manis
1 1 1
2 15 Galamai /
kalamai
manis 1
3 13 keripik balado pedas, manis 1 1
4 8 lemang manis, asin 1 1
5 7 keripik sanjai asin, gurih,
pedas
1 1 1
6 6 Dendeng balado gurih, pedas 1 1
7 5 dendeng gurih 1
8 5 lamang tapai manis, asam,
gurih
1 1 1
9 4 dendeng
batokok
gurih, pedas 1 1
10 4 asam padeh pedas 1
11 4 sala lauak gurih 1
12 4 sate padang gurih, pedas 1 1
13 3 rubik ganepo asin, gurih 1 1
14 2 Gulai santan gurih 1
15 2 pangek lapuak gurih, pedas,
sedikit asam
1 1 1
16 2 gulai ikan kakap gurih 1
17 2 batiah manis 1
18 2 kalio daging gurih 1
19 2 kolak pisang manis, asam 1 1
20 1 Nasi lamak gurih 1
21 1 Lamang pisang manis, gurih 1 1
22 1 Gulai asam
pedas
asam, pedas 1 1
23 1 Sala gurih 1
24 1 Gulai toco asin, asam 1 1
25 1 bika gurih 1
26 1 sambalado itik gurih, pedas 1 1
27 1 rendang telur pedas, manis 1 1
28 1 tapai ketan manis, asam 1 1
29 1 sambalado
tanak
gurih, sangat
pedas
1 1
30 1 palai lanuak /
rinuak
gurih, asam,
sedikit pedas
1 1 1
31 1 lapek pisang manis 1
63
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
No Frekuensi Nama Makanan Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
32 1 sayur kangkung gurih 1
33 1 sayur bayam gurih 1
34 1 tumis kangkung asin, gurih 1 1
35 1 kolak labu manis 1
36 1 tapai manis agak
asam
1 1
37 1 soto padang asin, gurih 1 1
38 1 beras rendang manis 1
39 1 asam kabau asam 1
40 1 gulai ayam asin 1
41 1 dendeng lambok gurih, pedas 1 1
42 1 gulai kikil gurih, pedas 1 1
43 1 ikan sapek /
adih
asin 1
44 1 usus / utak manis, pedas 1 1
45 1 kue bolu manis 1
46 1 telur balado pedas 1
47 1 pongek asin, gurih 1 1
48 1 punju asin, gurih,
pedas
1 1 1
49 1 kanji manis, gurih 1 1
50 1 tumbuk ulai manis, gurih 1 1
51 1 ajik manis, gurih 1 1
52 1 gulai simpadeh asin, asam 1 1
53 1 onde-onde manis 1
54 1 rakik asin, gurih 1 1
Jumlah 20 12 32 10 0 18
Frekuensi 37.04
%
22.22
%
59.26
%
18.52
%
0.00% 33.33
%
4. Minuman Khas Minang
No Frekuensi Nama Minuman Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
1 18 teh telur / teh
talua
manis, pahit 1 1
2 10 teh manis 1
3 10 kopi manis, pahit 1 1
4 10 air aka manis, asin,
gurih
1 1 1
5 8 kelapa muda manis 1
64
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
No Frekuensi Nama Minuman Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
6 7 kawa daun kopi pahit 1
7 7 kawa daun manis 1
8 7 cendol sagu /
cindua
manis 1
9 6 es cincau manis 1
10 6 air nira manis 1
11 6 ampiang dadiah manis 1
12 5 es tebak manis 1
13 5 air kalikih
santan / kolak
pepaya
manis, gurih 1 1
14 3 Es cendol manis 1
15 2 Es rumput laut manis 1
16 2 es tebu manis 1
17 2 cindua dalimo manis 1
18 2 cendol bonai manis 1
19 1 Kolak manis 1
20 1 cendol serabi manis 1
21 1 kolak labu manis 1
22 1 tuak pahit 1
23 1 jus alpukat manis 1
24 1 air kumis
kucing
pahit 1
25 1 jamu asam 1
26 1 es jagung manis, gurih 1 1
27 1 es teler manis 1
28 1 teh tawar tawar 1
29 1 cincau asam 1
30 1 air jeruk hangat manis, asam 1 1
31 1 cindua ampiang manis 1
32 1 es podeng manis 1
33 1 air didiah manis, gurih 1 1
34 1 kopyor manis 1
35 1 bandrek manis, asam 1 1
36 1 sop buah manis, gurih,
asam
1 1 1
37 1 air tapei manis, asam 1 1
38 1 jus durian manis, gurih 1 1
39 1 es ketimun manis 1
65
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
No Frekuensi Nama Minuman Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
40 1 es limo manih manis 1
41 1 es durian manis 1
42 1 air bunga
kembang
pahit 1
43 1 air kelapa aren manis, kesat 1
44 1 cindu manis 1
Jumlah 37 1 6 6 7 0
Frekuensi 84.09
%
2.27% 13.64% 13.64
%
15.91
%
0.00%
5. Makanan Khas Nusa Tenggara
No Frekuensi Nama Makanan Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
1 6 jagung bose manis, pahit 1 1
2 6 plecing pedas, asin 1 1
3 5 singang manis, asin,
gurih, asam
1 1 1 1
4 4 jagung titi gurih 1
5 4 RW asin, pedas 1 1
6 4 sepat gurih, asin,
asam
1 1 1
7 3 pelopo manis 1
8 3 manjareal manis, gurih 1 1
9 3 poteng manis 1
10 3 urap asin, gurih,
pedas
1 1 1
11 3 pangaha bunga gurih 1
12 2 sayur rumpu-
rampe
manis, asin,
gurih
1 1 1
13 2 kue rambut manis 1
14 2 kue putu ubi asin 1
15 2 sagu bakar/sagu
bambu
gurih 1
16 2 babi kecap manis 1
17 2 kue kompiang manis 1
18 2 rebok manis 1
19 2 keparak /
kaperak
manis, gurih 1 1
20 2 manggulu manis 1
21 2 sayur bunga
pepaya
gurih, pahit,
pedas
1 1 1
22 2 batu kumung manis 1
23 2 kue satu manis, asin 1 1
66
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
No Frekuensi Nama Makanan Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
24 2 ares gurih 1
25 2 sayur banteng
ngangak
asin, pedas 1 1
26 2 plalah asin, gurih 1 1
27 2 lawar asin, gurih,
pedas
1 1 1
28 2 palumara manis, asam 1 1
29 2 uta mbeca
parongge
gurih 1
30 2 ayam taliwang manis, pedas 1 1
31 2 temberodok manis, gurih 1 1
32 1 loma gurih 1
33 1 hakla asin 1
34 1 ubi bakar asin 1
35 1 dendeng asin, manis 1 1
36 1 depek manis, gurih 1 1
37 1 bombo manis, asin 1 1
38 1 daging se'i
(dendeng)
manis, asin,
pedas
1 1 1
39 1 kacang goreng gurih 1
40 1 kue labu manis 1
41 1 kue putu manis 1
42 1 obor labu lilin gurih agak
manis
1 1
43 1 waji manis, gurih 1 1
44 1 wolappa manis 1
45 1 lawar rumput
laut
asam, pedas,
gurih
1 1 1
46 1 jagung katemak manis 1
47 1 ubi/singkong
gaplek
asin 1
48 1 pisang gepeng manis 1
49 1 sambal luat asin 1
50 1 uta tabha manis 1
51 1 ra'a rete (sejenis
RW)
manis 1
52 1 uta mo manis 1
53 1 kue filu manis, gurih 1 1
54 1 kompiang manis spt
bakpau kering
1
55 1 lomak -
56 1 kebuse manis, asin 1 1
67
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
No Frekuensi Nama Makanan Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
57 1 ketupat sedikit asin 1
58 1 ikan bakar manis, asin,
asam
1 1 1
59 1 kariwang manis, asin 1 1
60 1 manisan manis, asin,
asam
1 1 1
61 1 babi rica-rica gurih, pedas 1 1
62 1 singkong manis, tawar 1
63 1 daun singkong manis, asin 1 1
64 1 luat manis, asin 1 1
65 1 gado-gado gurih 1
66 1 gula lempeng manis 1
67 1 buras manis, gurih 1 1
68 1 giogos manis, gurih 1 1
69 1 galiande manis, gurih 1 1
70 1 oi mangge asam 1
71 1 wajik manis 1
72 1 tarek manis, gurih 1 1
73 1 ulam tawar
74 1 lupis manis 1
75 1 beberok pedas 1
76 1 minasarua manis 1
77 1 kolak
(palumarakalo)
manis 1
78 1 londe puru asin, gurih 1 1
79 1 pundet gurih, manis,
asin
1 1 1
80 1 cucur manis, gurih 1 1
81 1 renggina gurih 1
82 1 kacipo gurih 1
83 1 pangaha sinci manis 1
84 1 tare klir manis, gurih 1 1
85 1 goreng nangka gurih, asam 1 1
86 1 siong sira gurih, pedas 1 1
87 1 nasi + ikan
pepes daun
pisang
gurih, asam 1 1
88 1 mangge mada gurih, asam 1 1
89 1 timbu gurih 1
68
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
No Frekuensi Nama Makanan Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas
90 1 karedo maci
kandole
manis 1
91 1 salome pedas 1
Jumlah 54 27 39 10 3 12
Persentase 59.34
%
29.67
%
42.86
%
10.99
%
3.30% 13.19
%
6. Minuman khas Nusa Tenggara
No Frekuensi Nama
Minuman
Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas Sepat
1 10 kopi manis, pahit 1 1
2 10 tuak manis, asam 1 1
3 7 teh manis 1
4 4 sopi / sofi pahit 1
5 4 air kelapa manis 1
6 4 air blo’ manis 1
7 4 kopi beras (ai
kawa)
manis, pahit 1 1
8 3 moke pahit, asam 1 1
9 3 es rumput laut manis 1
10 3 beci manis, asam,
pahit
1 1 1
11 2 arak sepat 1
12 2 laru pahit / asin,
asam
1 1 1
13 2 air gula merah manis 1
14 2 es campur manis 1
15 2 mina sarua pedas 1
16 2 oi tua tua (air
pohon lontar)
manis 1
17 2 dahi fare beta
(tape beras
ketan)
manis 1
18 1 sirup mete manis 1
19 1 bobo kelapa manis, asin 1 1
20 1 es tebu manis 1
21 1 susu kuda liar paka
22 1 sirup kelapa manis 1
23 1 es buah manis 1
24 1 gula sabu manis 1
25 1 es tongtong manis 1
69
Lampiran 8 Data makanan dan minuman khas daerah (lanjutan)
No Frekuensi Nama
Minuman
Cita Rasa
Dominan
Manis Asin Gurih Asam Pahit Pedas Sepat
26 1 kopi bajawa pahit 1
27 1 tua bhara manis, asin,
asam, pahit
1 1 1 1
28 1 kolang-kaling manis 1
29 1 air jeruk manis, asam 1 1
30 1 air gula batu manis, pedas
jahe
1 1
31 1 susu gurih 1
32 1 air asam manis, asam 1 1
33 1 ni'u dori manis 1
33 1 teh madu manis 1
34 1 kopi jagung manis, gurih,
pahit
1 1 1
35 1 lo'i pa’i piri pahit 1
36 1 jadi gurih 1
37 10 kopi manis, pahit 1 1
Jumlah 27 3 3 7 10 2 1
Persentase 72.97% 8.11% 8.11% 18.92
%
27.03
%
5.41
%
2.70%
70
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS
1. Ambang Sensori Rasa Manis pada Tiga Suku di Indonesia
Oneway
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
Ambang_sensori_manis
Duncana
Suku_Provinsi
N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Nusa Tenggara 30 6.62207
Jawa 30 8.65120 8.65120
Minang 30 11.91937
Sig. .317 .109
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
2. Ambang Sensori Rasa Pahit pada Tiga Suku di Indonesia
Oneway
ANOVA
Ambang_sensori_pahit
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .628 2 .314 .655 .522
Within Groups 41.766 87 .480
Total 42.395 89
ANOVA
Ambang_sensori_manis
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 428.597 2 214.298 3.517 .034
Within Groups 5300.839 87 60.929
Total 5729.436 89
71
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
Ambang_sensori_pahit
Duncana
Suku_Provinsi
N
Subset for alpha
= 0.05
1
Jawa 30 .88150
Nusa Tenggara 30 .91907
Minang 30 1.07453
Sig. .314
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
3. Ambang Sensori Rasa Asin pada Tiga Suku di Indonesia
Oneway
ANOVA
Ambang_sensori_asin
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .706 2 .353 .078 .925
Within Groups 396.177 87 4.554
Total 396.883 89
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
Ambang_sensori_asin
Duncana
Suku_Provinsi
N
Subset for alpha
= 0.05
1
Jawa 30 2.69607
Nusa Tenggara 30 2.70340
Minang 30 2.88757
Sig. .746
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
4. Pengaruh Gender terhadap Ambang Sensori
Rasa Manis (Total Tiga Suku)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_manis
dimension1
L 36 9,59464 6,683004 1,113834
P 54 8,71059 8,848159 1,204082
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori_
manis
Equal variances assumed ,772 ,382 ,510 88 ,611 ,884046 1,733592 -2,561104 4,329197
Equal variances not
assumed
,539 86,548 ,591 ,884046 1,640256 -2,376380 4,144473
73
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Manis (Suku Minang)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_manis
dimension1
L 12 10,03967 7,037173 2,031457
P 18 13,17250 12,196477 2,874737
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori_
manis
Equal variances assumed 2,980 ,095 -,802 28 ,429 -3,132833 3,904591 -11,131025 4,865358
Equal variances not
assumed
-,890 27,586 ,381 -3,132833 3,520075 -10,348255 4,082589
74
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Manis (Suku Jawa)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_manis
dimension1
L 12 11,10758 6,117871 1,766077
P 18 7,01361 4,965810 1,170453
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori_
manis
Equal variances assumed ,339 ,565 2,017 28 ,053 4,093972 2,030178 -,064659 8,252604
Equal variances not
assumed
1,932 20,256 ,067 4,093972 2,118723 -,322022 8,509967
75
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Manis (Nusa Tenggara)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_manis
dimension1
L 12 7,63667 6,947131 2,005464
P 18 5,94567 6,200295 1,461424
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori_
manis
Equal variances assumed ,416 ,524 ,698 28 ,491 1,691000 2,423872 -3,274076 6,656076
Equal variances not
assumed
,681 21,806 ,503 1,691000 2,481460 -3,457892 6,839892
76
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Pahit (Total Tiga Suku)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_pahit
dimension1
L 36 1,02617 ,751272 ,125212
P 54 ,91317 ,649594 ,088399
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori_
pahit
Equal variances assumed ,913 ,342 ,759 88 ,450 ,113000 ,148857 -,182823 ,408823
Equal variances not
assumed
,737 67,509 ,464 ,113000 ,153272 -,192890 ,418890
77
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Pahit (Suku Minang)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_pahit
dimension1
L 12 1,13042 ,815535 ,235425
P 18 1,03728 ,799876 ,188533
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori_
pahit
Equal variances assumed ,017 ,898 ,310 28 ,759 ,093139 ,300402 -,522208 ,708485
Equal variances not
assumed
,309 23,404 ,760 ,093139 ,301611 -,530196 ,716473
78
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Pahit (Suku Jawa)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_pahit
dimension1
L 12 ,97558 ,745120 ,215098
P 18 ,81878 ,335961 ,079187
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori_
pahit
Equal variances assumed 6,519 ,016 ,786 28 ,439 ,156806 ,199529 -,251910 ,565521
Equal variances not
assumed
,684 14,017 ,505 ,156806 ,229211 -,334746 ,648357
79
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Pahit (Nusa Tenggara)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_pahit
dimension1
L 12 ,97250 ,746831 ,215592
P 18 ,88344 ,732263 ,172596
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori_
pahit
Equal variances assumed ,001 ,973 ,324 28 ,749 ,089056 ,275044 -,474347 ,652458
Equal variances not
assumed
,322 23,399 ,750 ,089056 ,276169 -,481704 ,659815
80
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Asin (Total Tiga Suku)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_asin
dimension1
L 36 3,53575 2,292654 ,382109
P 54 2,24674 1,827591 ,248704
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori
_asin
Equal variances assumed 2,441 ,122 2,958 88 ,004 1,289009 ,435795 ,422959 2,155059
Equal variances not
assumed
2,827 63,419 ,006 1,289009 ,455918 ,378049 2,199970
81
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Asin (Suku Minang)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_asin
dimension1
L 12 4,19867 2,296244 ,662869
P 18 2,01350 1,721541 ,405771
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori
_asin
Equal variances assumed 2,508 ,125 2,980 28 ,006 2,185167 ,733222 ,683230 3,687104
Equal variances not
assumed
2,812 19,057 ,011 2,185167 ,777203 ,558790 3,811543
82
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Asin (Suku Jawa)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_asin
dimension1
L 12 3,05700 2,160564 ,623701
P 18 2,45544 1,807692 ,426077
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori
_asin
Equal variances assumed ,685 ,415 ,826 28 ,416 ,601556 ,728189 -,890071 2,093182
Equal variances not
assumed
,796 20,740 ,435 ,601556 ,755344 -,970468 2,173579
83
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Asin (Nusa Tenggara)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ambang_sensori_asin
dimension1
L 12 3,35158 2,453009 ,708123
P 18 2,27128 2,019261 ,475944
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Ambang_sensori
_asin
Equal variances assumed ,868 ,359 1,318 28 ,198 1,080306 ,819849 -,599078 2,759689
Equal variances not
assumed
1,266 20,479 ,220 1,080306 ,853206 -,696786 2,857397
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
5. Preferensi Rasa Manis dalam Minuman Teh pada Tiga Suku di Indonesia
Oneway
ANOVA
Konsentrasi_preferensi_manis
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 36.577 2 18.288 2.294 .107
Within Groups 693.484 87 7.971
Total 730.061 89
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
Preferensi_manis
Duncana
Suku_Provinsi
N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Jawa 30 11.04167
Nusa Tenggara 30 11.59733 11.59733
Minang 30 12.58333
Sig. .448 .180
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
6. Preferensi Rasa Pahit dalam Minuman Kopi pada Tiga Suku di Indonesia
Oneway
ANOVA
Konsentrasi_preferensi_pahit
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .224 2 .112 3.605 .031
Within Groups 2.705 87 .031
Total 2.930 89
85
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
Preferensi_pahit
Duncana
Suku_Provinsi
N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Nusa Tenggara 30 1.20683
Minang 30 1.29567 1.29567
Jawa 30 1.32400
Sig. .054 .535
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
7. Preferensi Rasa Asin dalam Sup pada Tiga Suku di Indonesia
Oneway
ANOVA
Konsentrasi_preferensi_asin
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .030 2 .015 .349 .707
Within Groups 3.742 87 .043
Total 3.772 89
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
Preferensi_asin
Duncana
Suku_Provinsi
N
Subset for alpha
= 0.05
1
Jawa 30 .83747
Minang 30 .86387
Nusa Tenggara 30 .88193
Sig. .439
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
8. Pengaruh Gender terhadap Preferensi
Rasa Manis (Total Tiga Suku)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
manis dimension1
L 36 12,04861 2,741102 ,456850
P 54 11,53556 2,950530 ,401516
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pre
ferensi_manis
Equal variances assumed ,252 ,617 ,831 88 ,408 ,513056 ,617325 -,713748 1,739859
Equal variances not
assumed
,844 78,875 ,401 ,513056 ,608217 -,697599 1,723710
87
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Manis (Suku Minang)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
manis dimension1
L 12 12,91667 2,935545 ,847419
P 18 12,36111 2,840389 ,669486
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pre
ferensi_manis
Equal variances assumed ,035 ,854 ,518 28 ,609 ,555556 1,072622 -1,641611 2,752722
Equal variances not
assumed
,514 23,175 ,612 ,555556 1,079968 -1,677596 2,788707
88
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Manis (Suku Jawa)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
manis dimension1
L 12 11,66667 2,629235 ,758995
P 18 10,62500 2,947145 ,694649
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pre
ferensi_manis
Equal variances assumed ,016 ,900 ,989 28 ,331 1,041667 1,053382 -1,116088 3,199421
Equal variances not
assumed
1,012 25,547 ,321 1,041667 1,028888 -1,075067 3,158401
89
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Manis (Nusa Tenggara)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
manis dimension1
L 12 11,56250 2,671663 ,771243
P 18 11,62056 2,963179 ,698428
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pre
ferensi_manis
Equal variances assumed ,099 ,756 -,055 28 ,957 -,058056 1,062956 -2,235422 2,119311
Equal variances not
assumed
-,056 25,391 ,956 -,058056 1,040489 -2,199312 2,083201
90
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Pahit (Total Tiga Suku)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
pahit dimension1
L 36 1,28944 ,192650 ,032108
P 54 1,26620 ,174780 ,023785
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pref
erensi_pahit
Equal variances assumed ,544 ,463 ,593 88 ,555 ,023241 ,039181 -,054624 ,101105
Equal variances not
assumed
,582 70,025 ,563 ,023241 ,039958 -,056453 ,102934
91
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Pahit (Suku Minang)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
pahit dimension1
L 12 1,30667 ,179004 ,051674
P 18 1,28833 ,211138 ,049766
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pref
erensi_pahit
Equal variances assumed ,436 ,515 ,247 28 ,807 ,018333 ,074213 -,133684 ,170351
Equal variances not
assumed
,256 26,254 ,800 ,018333 ,071741 -,129064 ,165731
92
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Pahit (Suku Jawa)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
pahit dimension1
L 12 1,36667 ,231491 ,066826
P 18 1,29556 ,146738 ,034586
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pref
erensi_pahit
Equal variances assumed 3,455 ,074 1,033 28 ,310 ,071111 ,068845 -,069912 ,212134
Equal variances not
assumed
,945 16,898 ,358 ,071111 ,075245 -,087716 ,229938
93
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Pahit (Nusa Tenggara)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
pahit dimension1
L 12 1,19500 ,126095 ,036401
P 18 1,21472 ,157764 ,037185
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pref
erensi_pahit
Equal variances assumed ,270 ,608 -,362 28 ,720 -,019722 ,054465 -,131288 ,091843
Equal variances not
assumed
-,379 26,948 ,708 -,019722 ,052036 -,126501 ,087057
94
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Asin (Total Tiga Suku)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
asin dimension1
L 36 ,84431 ,207214 ,034536
P 54 ,87228 ,206156 ,028054
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pre
ferensi_asin
Equal variances
assumed
,021 ,886 -,629 88 ,531 -,027972 ,044448 -,116304 ,060360
Equal variances not
assumed
-,629 74,895 ,531 -,027972 ,044494 -,116612 ,060667
95
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Asin (Suku Minang)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
asin dimension1
L 12 ,84892 ,260342 ,075154
P 18 ,87383 ,192185 ,045298
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pre
ferensi_asin
Equal variances
assumed
3,236 ,083 -,302 28 ,765 -,024917 ,082539 -,193991 ,144158
Equal variances not
assumed
-,284 18,836 ,780 -,024917 ,087750 -,208688 ,158855
96
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Asin (Suku Jawa)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
asin dimension1
L 12 ,84375 ,200319 ,057827
P 18 ,83328 ,242526 ,057164
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pre
ferensi_asin
Equal variances
assumed
3,506 ,072 ,124 28 ,902 ,010472 ,084554 -,162729 ,183674
Equal variances not
assumed
,129 26,579 ,898 ,010472 ,081312 -,156490 ,177435
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
Rasa Asin (Nusa Tenggara)
T-Test
Group Statistics
Jenis_kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konsentrasi_preferensi_
asin dimension1
L 12 ,84025 ,169330 ,048881
P 18 ,90972 ,183439 ,043237
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Konsentrasi_pre
ferensi_asin
Equal variances
assumed
,186 ,669 -1,047 28 ,304 -,069472 ,066348 -,205379 ,066435
Equal variances not
assumed
-1,065 25,031 ,297 -,069472 ,065260 -,203868 ,064924
Lampiran 9 Hasil uji statistik dengan SPSS (lanjutan)
9. Korelasi Ambang Sensori dengan Preferensinya dalam Matriks Pangan
Rasa Manis
Correlations
Correlations
Ambang_sensori
_manis Preferensi_manis
Ambang_sensori_manis Pearson Correlation 1 -.081
Sig. (2-tailed) .446
N 90 90
Konsentrasi_preferensi_manis Pearson Correlation -.081 1
Sig. (2-tailed) .446
N 90 90
Rasa Pahit
Correlations
Correlations
Ambang_sensori
_pahit Preferensi_pahit
Ambang_sensori_pahit Pearson Correlation 1 -.227
Sig. (2-tailed) .031
N 90 90
Konsentrasi_preferensi_pahit Pearson Correlation -.227 1
Sig. (2-tailed) .031
N 90 90
Rasa Asin
Correlations
Correlations
Ambang_sensori_
asin Preferensi_asin
Ambang_sensori_asin Pearson Correlation 1 .000
Sig. (2-tailed) .997
N 90 90
Konsentrasi_preferensi_asin Pearson Correlation .000 1
Sig. (2-tailed) .997
N 90 90
99
Lampiran 10 Dokumentasi penelitian
Gambar 1 Trial pembuatan sampel teh untuk menentukan seri konsentrasi
Gambar 2 Trial pembuatan sup: sayuran segar yang sudah dipotong-potong (kiri)
dan pembuatan sup (kanan)
Gambar 3 Trial pembuatan sup: pencampuran bumbu ke larutan sup (kiri) dan
enam sampel siap disajikan (kanan)
100
Lampiran 10 Dokumentasi penelitian (lanjutan)
Gambar 4 Kartu panelis
Gambar 5 Sosialisasi awal (kiri) serta pengisian kuesioner (kanan) oleh calon
panelis suku Jawa dari OMDA IMAPEKA
Gambar 6 Pengarahan uji ambang sensori (kiri) dan uji preferensi (tengah) serta
kunjungan lab (kanan) serta bagi panelis suku Jawa OMDA IMAPEKA
Gambar 7 Pengarahan uji ambang sensori (kiri) dan uji preferensi (kanan) bagi
panelis Nusa Tenggara, Minang, dan Jawa
101
Lampiran 10 Dokumentasi penelitian (lanjutan)
Gambar 8 Penandatanganan surat kesediaan menjadi panelis oleh panelis
suku Jawa
Gambar 9 Focus Group Discussion
Gambar 10 Peralatan untuk membuat larutan rasa dasar (kiri), penimbangan
senyawa sukrosa (tengah), dan pembuatan larutan (kanan)
Gambar 11 Larutan-larutan sukrosa untuk uji ambang sensori (kiri) dan
penuangan sampel dengan dispenser (kanan)
102
Lampiran 10 Dokumentasi penelitian (lanjutan)
Gambar 12 Penataan sampel ambang sensori pada nampan saji (kiri) dan nampan
berisi 6 set sampel yang telah siap disajikan (kanan)
Gambar 13 Sampel teh ditempatkan dalam cup (kanan), selanjutnya dibungkus
aluminium foil serta diberi label dan sedotan (kiri)
Gambar 14 Penuangan sampel kopi ke dalam cup dengan dispenser
Gambar 15 Panelis yang melakukan uji ambang sensori (kiri) dan panelis yang
memakan biskuit penetral dalam uji preferensi kopi (kanan)
103
Lampiran 10 Dokumentasi penelitian (lanjutan)
Gambar 16 Penanda waktu pengujian panelis
Gambar 17 Panelis menyerahkan kartu panelis yang telah ditandatangani dan
menerima reward harian
Gambar 18 Panelis yang telah menyelesaikan pengujian menerima reward (kiri)
dan menandatangani lembar penerimaan reward (kanan)
104
RIWAYAT HIDUP
Uswatun Hasanah. Lahir di Bogor, 17 November 1989 dari
ayah Prof. Dr. Ir. Achmad, MS dan ibu Dr. Ir. Yudiwanti
Wahyu EK, MS, sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara.
Penulis menyelesaikan studi program sarjana di Program
Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor
pada tahun 2011. Penulis melanjutkan studi ke tingkat
pascasarjana (S2) di Program Studi Ilmu Pangan, Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor dan memulai perkuliahan pada
semester genap tahun ajaran 2011/2012. Selama mengikuti perkuliahan, penulis
terlibat dalam kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana
IPB (HIMMPAS) tahun 2012. Penulis menikah dengan Syaefudin, S.Si, M.Si
pada Desember 2012. Bentuk kontribusi penulis terhadap keilmuan pangan adalah
dengan menjadi Asisten Peneliti Laboratorium Sensori SEAFAST Center IPB
sejak Februari 2013. Selain di kegiatan kampus, penulis aktif sebagai mentor
Agama Islam di SMP dan SMA Negeri 1 Bogor. Penulis melaksanakan penelitian
dengan judul Ambang Sensori Rasa Dasar dan Preferensi dalam Matriks Pangan
dengan Pendekatan Multikultural di Indonesia pada bulan Juni-November 2013 di
IPB, dengan bantuan pendanaan BOPTN 2013.