Alpi
-
Upload
boneeta-bfashion -
Category
Documents
-
view
15 -
download
0
Transcript of Alpi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu filsafat sebetulnya banyak aliran atau paham, diantaranya seperti
aliran renaissance, rasionalisme, idealisme, empirisme, pragmatisme,
existentialisme, dan masih banyak lagi. Antara aliran atau paham yang satu dan
yang lainnya ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep
dasar sama. Akan tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling
dipertentangkan. Justru dengan banyaknya aliran atau paham yang sudah
diperkenalkan oleh tokoh-tokoh filsafat, kita dapat memilih cara yang pas dengan
persoalan yang sedang kita hadapi. Antara aliran atau paham yang satu dengan
yang lainnya dapat saling mendukung. Seperti penyelesaian masalah yang
sederhana misalnya, kita bisa menggunakan logika klasik, untuk menggali ilmu-
ilmu yang ada di alam, kita dapat menggunakan cara empirisme, untuk membantu
pemahaman bisa menggunakan paham rasionalisme, dan untuk persoalan yang
kompleks kita dapat menggunakan teorinya idealisme (dialektika).
Penulis sengaja membatasi dalam pembahasan makalah ini, yakni terfokus
pada aliran filsafat idealisme, agar pembahasan mengenai hal-hal di luar itu tidak
terlalu mendetail.Tujuan dari penulisan makalah ini sendiri, selain memenuhi
kewajiban membuat tugas, adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu dan
keterkaitan penulis terhadap bab aliran filsafat idealisme, serta
mencobamenuangkan informasi yang didapat ke dalam sebuah tulisan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana paradigm filsafat di abat modern?
2. Bagaimana idealism obyektif?
1
C. Tujuan
1. Untuk memahami makna dari pergeseran paradigm filsafat di abad modern.2. Untuk mengetahui makna dari idealism obyektif.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat Modern
Zaman modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua
abad (abad ke-14 dan ke-15), yang ditandai dengan munculnya gerakan
Renaissance. Renaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas.
Bermula dari William Ockham (1295 – 1349), yang mengetengahkan via
Moderna (jalan modern) dan via antiqua (jalan kuno). Akibatnya, manusia
didewa-dewakan, manusia tidak lagi memusatkan pikirannya kepada Tuhan dan
surga.
Dalam era filsafat modern, muncullah berbagai aliran pemikiran:
Rasionalisme, Empirisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionis, Materialisme,
Neo-Kantianisme, Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomologi, Eksistensialisme,
dan Neo-Thomisme. Pada makalah ini, penulis akan membahas filsafat modern
dengan aliran pemikiran : idealism, Positivisme dan Eksistensisme
Hampir semua ahli pikir yang muncul pada zaman ini merupakan ahli
matematika seperti Descartes, Spinoza dan Leibniz Mereka mencoba menyusun
suatu sistem filsafat dengan menggunakan matematika (logika kepastian)
aPelopor aliran ini adalah Rene Descartes yang dikenal sebagai bapak filsafat
modern. Ia membangun filsafatnya diatas asas logis abstrak dan asas pertama
suatu dalil yang eksistensial. Demikian juga dengan Spinoza dan leibniz yang
memakai metode deduktif matematis ala Descartes, akan tetapi mereka lebih
memusatkan perhatiannya pada persoalan metafisika.
Pada abad ke-20 terjadi pergeseran gaya berpikir dan corak pemikiran
filsafat. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor sosio-kultural yang
sedang berkembang dan menggejolak di Barat seperti diantaranya revolusi
3
industri, refolusi perancis, serta meletusnya perang dunia I dan II. Pemikiran
filsafat para filsuf abad ke-20 semakin heterogen dan terspesialisasi. Pada masa
ini muncul aliran-aliran filsafat baru yang lebih membumi dan lebih dekat dengan
problem keseharian manusia. Beberapa aliran filsafat yang berkembang pada
masa kontemporer adalah pragmatisme, fenomenologi, filsafat modern,
eksistensialisme, strukturalisme, dan teori kritis.
Nietzsche memperkenalkan perspektivisme dalam tradisi filsafatnya. Ia
mengajukan kritik atas kebudayaan masyarakat Eropa. Setelah Nietzche, di
Inggris (lingkaran Wina) muncul aliran Filsafat Modern yang berkontribusi
terhadap lahirnya positivisme logis dengan tokohnya Wittgenstein dan Bertrand
Russell. Di Jerman muncul aliran fenomenologi yang digagas Husserl. Metode
fenomenologi dimanfaatkan oleh filsuf-filsuf eksistensialisme seperti Heidegger,
Marcel, dan Levinas guna membangun pemikiran filsafat mereka. Tradisi filsafat
Eksistensialisme mengedepankan nilai-nilai humanisme dan eksistensi manusia
sebagai being yang menyadari keberadaanya di dunia, atau dalam istilah
Heidegger disebut dasein (being-in-there).
Filsuf-filsuf Amerika melahirkan tradisi filsafat pragmatisme.
Pragmatisme ty berasal dari katapragma (Yunani), yang berarti tindakan atau
perbuatan. Diktum pragmatisme mengajarkan bahwa kesahihan pengetahuan
tidak diukur dari kesatuan metodologi atau bahasa, melainkan pada kebergunaan.
Pragmatisme diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce. Tokoh-tokoh lain dalam
aliran pragmatisme adalah William James dan John Deawey. Sementara
Strukturalisme tampil di abad 20 sebagai paham yang menyatakan bahwa semua
masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama dan
tetap. Strukturalisme merupakan sebuah pembedaan secara tajam mengenai
masyarakat dan ilmu kemanusiaan dari tahun 1950 hingga 1970, khususnya yang
terjadi di Perancis.
Para filsuf di abad ke-20 banyak yang lahir dari kalangan spesialis dalam
studi matematika, fisika, psikologi, sosiologi, politik, dan ekonomi. Hal ini
4
berimplikasi terhadap pergeseran fokus terhadap objek material. Fokus filsafat
terpecah sesuai konteks yang dibicarakan masing-masing aliran filsafat. Filsafat
menjadi refleksi kedua bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa ini direfleksikan dan diterapi metodologinya melalui
kajian filsafat. Sebagaimana dijelaskan dalam teori kritis, bahwa kajian filsafat
punya kepentingan emansipatoris. Filsafat pada masa ini dituntut dapat membuka
kedok realitas secara apa adanya, namun juga harus terbuka terhadap kritik jika
kritik tersebut memuat paradigma kebenaran baru.
1. Pokok – Pokok Pikiran Filsafat Modern
Filsafat modern diperkenalkan oleh filsuf-filsuf Inggris dan Amerika
pada abad ke-20. Aliran filsafat modern memfokuskan kajiannya terhadap
problem bahasa dan analisis konsep. Aliran ini muncul untuk mengatasi
kekaburan dan kekacauan makna yang sebelumnya telah menjamur dalam
berbagai macam konsep filsafat. Filsafat modern menolak pernyataan-
pernyataan metafisik dan menganggapnya tidak bermakna (non sense). Titik
sentral pemikiran filsafat modern bermuara pada pembentukan definisi baik
yang bersifat linguistik ataupun yang nonlinguistik. Aliran ini bermaksud
mengklarifikasi makna dari proposisi dan konsep-konsep dengan cara analisis
bahasa.
Beberapa tokoh filsafat modern antara lain :
1. Gottlob Frege (1848-1925)
Frege menggunakan metode berfilsafat yang disebut dengan logika
yang rigorus. Artinya, ia menitikberatkan filsafat pada logika. Bagi Frege,
logika dan analisis yang ketat terhadap proposisi merupakan dasar yang
kokoh dalam menentukan kebenaran suatu pernyataan. Ia membuat
distingsi antara sense (makna) dan reference (referensi), dengan
menegaskan bahwa suatu proposisi akan bermakna apabila proposisi
tersebut mempunyai arti dan referensi.
2. Bertrand Russell (1872-1970)
5
Menurut Russell, dunia terdiri dari atomic facts (fakta-fakta
atomik). Suatu proposisi dikatakan bermakna jika proposisi tersebut
berkorespondensi langsung terhadap fakta-fakta atomik. Ada kesepadanan
antara bahasa dan fakta. Menurutnya, dunia ini merupakan totalitas fakta-
fakta, bukan totalitas benda-benda.
3. Ludwig Wittgenstein
Wittgenstein mengemukakan Picture Theory. Baginya, relasi
bahasa dengan dunia faktual kongruen terhadap relasi antara lukisan
dengan kenyataan. Bahasa merupakan representasi objek-objek, bukan
sekedar korespondensi satu-satu antara unit bahasa dengan objek. Ada
relasi logis antara struktur bahasa dan struktur realitas dunia (objek-objek).
Dengan demikian, bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran
dunia. Menurutnya, ungkapan metafisika seperti dalam filsafat nilai, etika,
estetika dan kalimat-kalimat teologi adalah kalimat yang tidak bermakna.
Filsafat harus dapat menetapkan logika dan aturan-aturan yang berlaku
dalam menyelidiki permainan bahasa yang saling berbeda.
2. Pokok – Pokok Pikiran Fenomenologi Heidegger
Tradisi fenomenologi dimulai sejak Edmund Husserl. Ia merumuskan
cara memahami realitas dengan menitikberatkan pada konsep intensionalitas
(keterarahan) kesadaran terhahadap objek-objek. Intensionalitas
memungkinkan subjek dapat memahami objek, dimana subjek ingin
mengetahui objek dan objek membuka diri untuk diketahui oleh subjek.
Heidegger adalah murid Husserl yang melanjutkan proyek fenomenologi
gurunya ke level ontologi. Dalam Being and Timeia merumuskan filsafatnya
yang kembali berpangkal pada problem ontologi, yaitu tentang “Ada” dan
“Waktu”.
Heidegger menganggap metafisika dan ontologi dalam sejarah filsafat
telah mengalami kelupaan akan Ada (forgetfulness of being). Ia menolak
pandangan tradisional yang menganggap Ada sebagai konsep independen dan
6
terpisah dengan manusia. Berbeda dengan pandangan metafisika-ontologi
tradisional yang memahami konsep Ada terpisah dengan konsep Waktu,
Heidegger justru menekankan bahwa Ada adalah konsep yang tidak mungkin
dapat dipahami tanpa konsep Waktu. Untuk memahami seluk-beluk tentang
Ada, Heidegger memfokuskan penelitianya terhadap sang pengada, yakni
pada subjek atau manusia sendiri.
Menurut Heidegger manusia bukanlah entitas yang terpisah dan
terisolasi dari dunia. Justru pada dasarnya manusia adalah subjek yang sudah
tidak dapat terpisah, dan selalu mengalami keterlibatan dengan dunia.
Kenyataan tentang subjek terletak pada kemampuannya terlibat dengan dunia.
Kesadaran subjek bersifat tersembunyi dan hanya dapat tersibak dalam
kegiatan dunia. Manusia dalam kehidupan sehari-hari berada dalam modes of
beng (modus mengada). Modus mengada disebutnya dengan istilah ada-
bersama-dunia, ada-di-dalam-dunia, dan sekaligus ada-disana.
Modus mengada hanya berlaku pada subjek yang dapat menanyakan
Ada, bukan pada Ada itu sendiri. Subjek yang dapat mempertanyakan tentang
Ada disebutnya dengan Dasein.Dasein berbeda dengan Being. Being
dipahami hanya sebagai Ada yang tidak dapat mempertanyakan
eksistensinya. Sementara Dasein menggambarkan pengertian yang lebih luas
dari sekedar Being. Dasein inilah yang mampu bereksistensi. Ia menegaskan
bahwa Dasein yang bereksistensi dapat menyadari keberadaannya melalui
keterikatannya (involvement) dengan dunia atau Being lainnya.
3. Pokok – Pokok Pikiran Teori Kritis
Tori kritis berkembang di kalangan mazhab Frankfurt sebagai reaksi
dari filsafat yang muncul dari lingkaran Wina, positivisme, dan kapitalisme.
Para filsuf pelopor teori kritis antara lain Max Horkhaimer, Theodore Adorno,
Herbert Marcuse, Erich Fromm, dan Jurgen Habermas. Disebut sebagai teori
kritis karena dalam kajian filsafat mereka selalu memberikan kritik secara
tajam dan radikal terhadap kondisi sosial masyarakat terkini, standar ilmu
7
pengetahuan, dan ideologi. Teori kritis selalu dicirikan dengan kerinduan akan
emansipasi bagi manusia yang sudah terkungkung sedemikian rupa oleh
ideologi dan paradigma ilmu pengetahuan. Teori kritis bekerja atas dasar
suatu kerangka metateoritis dan berpijak pada pandangan umum tentang
realitas sosial, baik dalam dimensi normatif maupun dimensi faktual.
Aliran ini dimulai dari interpretasi terhadap ajaran Karl Marx tentang
realitas sosial yang sudah didominasi mekanisme kapitalistik hingga manusia
mengalami alienasi dan terasing dengan dirinya sendiri. Menurut Marx, basis
struktur dalam masyarakat modern telah dikuasai oleh mekanisme kapitalistik
dan diafirmasi oleh super struktur. Keadaan ini menimbulkan kesadaran palsu
(false consciousness) bagi kaum yang didominasi (kaum buruh). Bagi Marx
kesadaran palsu ini disebut ideologi. Teori kritis berusaha mencapai
pembebasan terhadap kesadaran palsu melalui gagasan revolusi (bagi Marx),
reifikasi (Lukacs), pemahaman akan gerak dialektika negatif (Adorno), dan
masyarakat komunikatif (Habermas).
Teori kritis mengasumsikan teori tradisional sebagai pengetahuan yang
bersifat ahistoris, asosial, dan disinterested (bebas kepentingan). Teori
tradisional terlepas dari praksis dan mengklaim dirinya objektif dan netral.
Padahal bagi teori kritis (menurut Habermas), teori harus dapat digunakan
untuk memahami realitas dan dapat diimplementasikan dalam praktik
kehidupan sehari-hari. Teori atau ilmu pengetahuan tidak dapat sepenuhnya
bebas nilai. Sebaliknya, ilmu pengetahuan sarat akan nilai dan kepentingan.
Ilmu empiris-analitis berkepentingan teknis dan bertujuan melakukan proses
kontrol objektif terhadap kehidupan. Ilmu hermeneutis-historis
berkepentingan praktis dan bertujuan memelihara komunikasi. Ilmu-ilmu
kritis (seperti filsafat) berkepentingan emansipatoris dan bertujuan melakukan
apresiasi reflektif terhadap kehidupan. Teori tradisional dicurigai mempunyai
muatan ideologis dan digunakan untuk mempertahankanstatus quo, hanya
8
membuat teori untuk kepentingan teori dan tidak memperhitungkan
konsekuensi terhadap implementasi teori.
Konsekuensi dari kritik terhadap epistemologi ilmu pengetahuan yang
dianggap bersifat ideologis (dalam konteks kesadaran palsu) adalah, teori
kritis sadar bahwa dirinya bersifat terbuka dan juga siap menerima kritik.
Pada tataran praktis Habermas menggambarkannya pada gagasan masyarakat
komunikatif yang lebih mengedepankan komunikasi diskursif menggunakan
rasio komunikatif daripada rasio instrumental dalam memahami realitas
kehidupan.
B. Idealisme Objektif
Idealisme Objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide
manusia. Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah
terdapat dalam susunan alam.
Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik dalam alam atau
masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil. Pandangan filsafat seperti ini
pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materi, yang ada secara abadi di luar
manusia, sesuatu yang bukan materi itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada,
termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya.
Filsuf idealis yang pertama kali dikenal adalah Plato. Ia membagi dunia
dalam dua bagian. Pertama, dunia persepsi, dunia yang konkret ini adalah
temporal dan rusak; bukan dunia yang sesungguhnya, melainkan bayangan alias
penampakan saja. Kedua,terdapat alam di atas alam benda, yakni alam konsep,
idea, universal atau esensi yang abadi.
Tokoh-Tokoh Idealisme
a. J.G. Fichte (1762-1814 M)
Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman. Ia belajar teologi di Jena
pada tahun 1780-1788. Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu
9
prinsip. Ini sudah mencukupi untuk memenuhi tuntutan pemikiran, moral,
bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang dimaksud ada di dalam
etika. Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang
disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah
tindakan, bukan fakta.
Menurut Fichte, dasar kepribadian adalah kemauan; bukan kemauan
irasional seperti pada Schopenhauer, melainkan kemauan yang dikontrol oleh
kesadaran bahwa kebebasan diperoleh hanya dengan melalui kepatuhan pada
peraturan. Kehidupan moral adalah kehidupan usaha. Manusia dihadapkan
kepada rintangan-rintangan, dan manusia digerakkan oleh rasa wajib bahwa ia
berutang pada aturan moral umum yang memungkinkannya mampu memilih
yang baik. Idealisme etis Fichte diringkaskan dalam pernyataan bahwa dunia
aktual hanya dapat dipahami sebagai bahan dari tugas-tugas kita. Oleh karena
itu, filsafat bagi Fichte adalah filsafat hidup yang terletak pada pemilihan
antara moral idealisme dan moral materialisme. Substansi materialisme
menurut Fichte ialah naluri, kenikmatan tak bertanggung jawab, bergantung
pada keadaan, sedangkan idealisme ialah kehidupan yang bergantung pada
diri sendiri.
Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek. Kenyataan
pertama ialah “saya yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri sebagai
tesis. Tetapi subjek memerlukan objek, seperti tangan kanan mengandaikan
tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan objek yang dilihat dalam
kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak
perbuatan sang Aku.[8]
b. F.W.J. Shelling (1775-1854 M)
Friedrich Wilhelm Joseph Schelling sudang mencapai kematangan
sebagai filosof pada waktu ia masih amat muda. Pada tahun 1789, ketika
usianya baru 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena.
Sampai akhir hidupnya pemikirannya selalu berkembang.
10
Seperti Fichte, Scelling mula-mula berusaha menggambarkan jalan
dilalui intelek dalam proses mengetahui, semacam epistemology. Fichte
memandang alam semesta sebagai lapangan tugas manusia dan sebagai basis
kebebasan moral. Schelling membahas realitas lebih objektif dan menyiapkan
jalan bagi idealisme absolute Hegel. Dalam pandangan Schelling, realitas
adalah proses rasional evolusi dunia menuju realisasinya berupa suatu
ekspresi kebenaran terakhir. Kita dapat mengetahui dunia secara sempurna
dengan cara melacak proses logis perubahan sifat dan sejarah masa lalu.
Tujuan proses itu adalah suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna.
Schelling menyebut proses iniidentitas absolute, Hegel menyebutnya ideal.
Idealisme Schelling agak lebih objektif, karena menurut dia bukan-
aku (objek) ini sungguh-sungguh ada. Objek ini bukan hanya pertentangan
belaka, melainkan mempunyai nilai yang positif. Bagi Schelling, yang
menjadi dasar kesungguhan dan berpikir itu ialahaku. Dunia ini muncul
daripada aku: dunia yang tak terbatas itu sebenarnya tidak lain daripada
produksi dan reproduksi dari ciptaan aku.
Kemudian diakuinya kesungguhan alam, malahan dinyatakan bahwa
subjek yang berpikir (aku) itu muncul daripada alam. Tetapi ini jangan
dianggap sama sekali bertentangan dengan pendapatnya semula,
sebab aku yang muncul dari alam itu ialah akuyang telah sadar. Alam itu
merupakan proses evolusi, yang mengeluarkan budi yang sadar serta lambat
laun sadar akan dirinya (aku) dalam alam yang tak sadar.
Begitulah ia meningkat lagi dalam pandangannya terhadap alam: budi
dan dunia sama derajatnya hanya berhadapan sebagai subjek dan objek.
Sebetulnya samalah keduanya, bertemu pada asal semula ialah Tuhan,
identitas yang mutlak, juga disebutnya indiferensi yang mutlak. Ia tidak
cenderung ke sana, maupun ke sini. Dari situ muncullah alam dalam
bentuknya yang makin tinggi derajatnya: bahan, gerak, hidup, susunan-dunia,
11
manusia. Dalam pada itu budipun sadar akan dirinya menjelmakan
ilmu,moral, seni, sejarah, dan Negara.
c. G.W.F Hegel (1798-1857 M)
Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17 Agustus 1770.
Ayahnya adalah seorang pegawai rendah bernama George Ludwig Hegel dan
ibunya yang tidak terkenal itu bernama Maria Magdalena. Pada usia 7 tahun ia
memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini tergolong
anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia memasuki Universitas
Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor, selain
mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher.
Karirnya selain menjadi direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi
redaktur surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan
kemudian pindah ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas Berlin
(1830).
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu filsafat sebetulnya banyak aliran atau paham, diantaranya seperti
aliran renaissance, rasionalisme, idealisme, empirisme, pragmatisme,
existentialisme, dan masih banyak lagi. Antara aliran atau paham yang satu dan
yang lainnya ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep
dasar sama. Akan tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling
dipertentangkan. Justru dengan banyaknya aliran atau paham yang sudah
diperkenalkan oleh tokoh-tokoh filsafat, kita dapat memilih cara yang pas dengan
persoalan yang sedang kita hadapi.
Antara aliran atau paham yang satu dengan yang lainnya dapat saling
mendukung. Seperti penyelesaian masalah yang sederhana misalnya, kita bisa
menggunakan logika klasik, untuk menggali ilmu-ilmu yang ada di alam, kita
dapat menggunakan cara empirisme, untuk membantu pemahaman bisa
menggunakan paham rasionalisme, dan untuk persoalan yang kompleks kita
dapat menggunakan teorinya idealisme (dialektika).
Idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik
hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh
(spirit). Istilah ini diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
a. Ada beberapa jenis idealisme: yaitu idealisme subjektif, idealisme objektif,
dan idealisme personal.
b. Idealisme subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik
tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Sedangkan idealisme objektif adalah
idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia.
13
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini tentunya masih banyak terdapat kesalahan dan kekhilafan, untuk itu kami sangat mengharapkan masukan dari para pembaca berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun, sehingga dapat menjadi acuan kami kedepan dalam membuat makalah.
14
DAFTAR PUSTAKA
Witamiharfja. Sutarjo. A., Psi, Pengantar Filsafat, Bandung : PT. Refika Aditama,
2009
Abidin Zainal, Pengatra Filsafat Barat, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011
Tafsir Ahmad, Filsafat Umum, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2005
Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta, Rajawali Press, 2011
15
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji syukur kehadiran Allah swt, yang telah melimpahkan petunjuk, binbingan dan kuatan jepada kami untuk menyelesaikan makalah ini dengan baikdan berjalan lancar sesuai dengan dengan yang harapkkan. Salawat dan salam semoga dilimpahkan oleh -Nya kepada junjungan kita Nabi besar muhammad saw, para sahabat dan pengikutnya yang setia sepannjang zaman, dan semoga kita mendapatkan syapaatnya di yaumil Akhir Amir...
Mungkin juga dalam pembuatan makalah ini banyak terdapat kesalahan yang ataupun yang tidak disengaja kami mengucapkan naaf yang sedalam-dalamnya, Akhir kata ocapkan terima kasih.
Benkulu, Januari 2014
Penulis
16i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ...........................................................................................i
DAFTAR ISI ...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah......................................................................2
C. Tujuan........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Filsafat Modern..........................................................................3
B. Idealisme obyektif...................................................................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................12
B. Saran.......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
17
ii
MAKALAHFILSAFAT UMUM
Filsafat Modern
Oleh : Alpi Hasana
Dosen Ahmad Suradi, MA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BENGKULU 2014
18