ALL

35
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik Hemato-Onkologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia) Disusun oleh: ABD. Rahim () Dwi Endra Juli Pradito (0910015003) Pembimbing: dr. Diane Meytha Supit, Sp. A PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

description

IKA

Transcript of ALL

Bagian Ilmu Kesehatan AnakTutorial Klinik Hemato-OnkologiFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia)

Disusun oleh:ABD. Rahim ()Dwi Endra Juli Pradito (0910015003)

Pembimbing:dr. Diane Meytha Supit, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDAFEBRUARI 2015

Tutorial Klinik

ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia)

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase AnakABD. Rahim ()Dwi Endra Juli Pradito (0910015003)

Menyetujui,

dr. Diane Meytha Supit, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDAFEBRUARI 2015KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan yang berjudul ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia).Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan laporan tutorial ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :1. dr. Diane Meytha Supit Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama stase Ilmu Kesehatan Anak subdivisi Hemato-Onkologi.2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga pendidikan saat ini.3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2014 yang telah bersedia memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan tutorial ini. Semoga laporan tutorial ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Februari, 2015

Penulis

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2. Leukimia Limfoblastik Akut2.1 Definisi dan EpidemiologiLeukemia akut adalah keganasan primer di sumsum tulang , pada anak merupakan 35 % dari kanker anak. Delapan puluh persen merupakan Leukemia Limphoblastik Akut (LLA) dan 20 % Leukemia mieloblastik akut (LMA) . Leukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas infiltrasi progresif dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik yang dikenal sebagai limfoblas .Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 80.000.000 anak dibawah usia 15 tahun. Diperkirakan ada sekitar 3000 kasus LLA baru anak setiap tahunnya. Mostert dkk tahun 2006 di Yogyakarta melaporkan bahwa dari semua penderita LLA, 35 % menolak pengobatan, 23% mengalami kematian yang berhubungan dengan pengobatan, 22% mengalami perburukan atau kekambuhan dan 20 % mengalami event- free survival. Temuan ini kurang lebihnya juga menggambarkan situasi di Indonesia secara umum (Indonesian ALL Childhood Protocol, 2013).Insiden ALL di Amerika sebesar 3.7-4.9 kasus per 100.000 anak dengan usia 0-14 tahun (Vikramjit, 2014). Puncak insiden ALL terjadi pada usia 2-5 tahun (Ching, et al, 2008). Insiden penyakit ini akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Dengan kemajuan teknik diagnosis dan terapi, angka kesembuhan pada anak yang menderita ALL saat ini mencapai 90% (Ribera, 2009). Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada kulit putih dibandingkan kulit hitam (Vikramjit, 2014).

2.2 PatogenesisMenurut Permono (2005), meskipun LLA sering dihubungkan dengan sindroma gangguan genetik, namun penyebab utama LLA sampai saat ini masih belum diketahui. Faktor lingkungan yang memperberat resiko terjadinya LLA adalah pemaparan terhadap radiasi ion dan elektromagnetik.Selain itu beberapa jenis virus juga berkaitan dengan insiden LLA, terutama infeksi virus yang terjadi pada masa prenatal seperti virus influenza dan varicella. Leukemia limfoblastik akut juga dapat terjadi pada anak dengan gangguan imnunodefisiensi kongenital seperti Wiscot-Aldrich Syndrome, congenital Hypogammaglobulinemia danAtaxia-Telangiectasia. Virus penyebab LLA akan mudah masuk ke tubuh manusia jika struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia. Struktur antigen manusia terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh.World Health Association (WHO) telah menetapkan istilah HL-A Human leucocyte locus A.Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum genetika sehingga adanya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan (Permono & Bambang, 2005).Menurut Anderson & Sylvia (2006), manifestasi klinis LLA adalah adanya bukti anemia, pendarahan dan infeksi, seperti demam, pucat, petekie dan pendarahan, nyeri sendi dan tulang, nyeri abdomen yang tidak jelas,pembesaran dan fibrosis organ-organ sistem retikuloendotieal hati limfa dan limfonudus. Kemudian adanya peningkatan tekanan intrakranial karena infiltrasi meningens, seperti sakit kepala,muntah bahkan penurunan kesadaran. Limfosit imatur berproliferasi dalam susunan tulang dan jaringan parenkim dan mengganggu perkembangan sel normal. Akibatnya hematopoesis normal terhambat mengakibatkan penurunan jumlah sel darah merah dan trombosit.Pemeriksaanawal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Biasanya akan ditemukan leukositosis (leukosit>10.000/uL), neutropenia, anemia dan trombositopenia. Pemeriksaan penunjang umumnya berupa apusan darah tepi dan pemeriksaan biopsi sumsum tulang (Sugondo et al., 2007).Pembagian LLA menurut sistem klasifikasi French American British (FAB) berdasarkan atas morfologi:L1: Limfoblast kecil, sitoplasma sedikit, dan nukleolus yang mencolok, merupakan kasus LLA terbesar pada anak, mencakup 85%.L2: Sel limfoblas lebih besar daripada L1. Gambaran sel menunjukkan adanya heterogenitas ukuran dengan nukleolus yang menonjol serta sitoplasma yang banyak dan merupakan 14% kasus LLA pada anak.L3: Limfoblas besar, sitoplasma basofilik. Terdapat vakuola pada sitoplasma dan menyerupai gambaran limfoma Burkitt, L3 mencakup 1% kasus LLA pada anak (Hasyimzoem, 2014).Patogenesis dari ALL merupakan sebuah proses yang kompleks dan mencakup berbagai macam faktor (genetic, imun, lingukangan, dan obat). Terdapat tiga hal utama yang merupakan kunci dari pathogenesis dari penyakit ini yaitu : monoclonal origin yang proliferasi sel yang tidak terkontrol akibat self-stimulasi secara terus-menerus pada reseptor pertumbuhan, tidak adanya respon untuk memberikan sinyal inhibitor pertumbuhan, dan perpanjangan umur sel akibat dari penurunan proses apoptosis (Galegos, 2013).

Gambar 2.1 Cell Origin and Evolution of a Cancer Stem Cell (Galegos, et al, 2013)Gambar 2.2 Infection Based Model dalam Patogenesis ALL (Ching, et al, 2008)

Gambar 2.3 Distribusi Kelainan Genetik pada ALL (Galegos, et al, 2013)

2.3 DiagnosisDiagnosis LLA berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium berupa karakteristik morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi FAB ( French American British ). Persentase sel blast yang ditemukan pada sumsum tulang minimal 25%. Jika mungkin, dilakukan pemeriksaan immunophenotyping (Indonesian ALL Childhood Protocol, 2013).

Gambar 2.4 Gambaran Hapusan Darah dan BMP ALL L1, L2, L3 (Pathologyoutlines, 2015)2.4 PenatalaksanaanPenatalaksaan ALL yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini mengacu pada Protokol ALL yang diterbitkan oleh Indonesian Childhood ALL pada tahun 2013. Penatalaksanaan ALL terbagi menjadi dua yaitu : persiapan sebelum mengawali pemberian sitostatika kemudian dilanjutkan dengan pemberian sitostatika. Berikut pembahasan lebih detail mengenai kedua tahapan tersebut.

2.4.1 Persiapan sebelum mengawali pemberian sitostatikaPersiapan ini ditujukan untuk mencegah akan kerusakan ginjal lebih lanjut karena pengrusakan oleh sel leukemia selama induksi. Awal terdiagnosis sebaiknya pasien diberikan hidrasi yang adekuat dengan mempertahankan diuresis 1-2 ml/kg/jam. Untuk pasien dengan jumlah leukosit > 100.000 /mm3 atau sudah terjadi tanda sindrom lisis tumor diberikan terapi hiperhidrasi. Hidrasi dilakukan dengan cairan parenteral glukosa 5% dalam 0,225% normal salin, sebanyak 2-3 kali kebutuhan cairan rumatan atau 2-3 liter/m2/hari untuk mendapatkan diuresis minimal 3 cc/kg/hari. Alkalinisasi urin dilakukan dengan menambahkan sodium bikarbonat ke dalam cairan parenteral sebanyak 40-60 meq/L untuk mempertahankan pH urin antara 7,0-7,5.2 Dengan kenaikkan pH urin tersebut menyebabkan asam urat terionisasi sehingga mencegah pembentukan kristal asam urat. Namun bila terjadi alkalinisasi yang berlebihan, dapat menyebabkan deposisi kompleks kalsium-fosfat yang kemudian akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan ketat pH urin. Pemberian allopurinol dengan dosis 200-300 mg/m2/ hari atau 10 mg/kgBB/hari ditujukan untuk menurunkan konsentrasi asam urat plasma. Obat ini diberikan sampai didapatkan pH urin mencapai sekitar 7,5 (Endang & Caroline, 2002).Transfusi dianjurkan untuk mempertahankan kadar hemoglobin> 10 g/dl selama pelaksanaan kemoterapi. Catat berat badan guna mengontrol kelebihan cairan, bila perlu beri furosemide. Kadar Hb optimal untuk pemberian sitostatika adalah > 8 g/dl. Namun setelah pemberian sitostatika selesai, transfusi komponen sel darah merah diberikan hingga kadar Hb mencapai > 10 g/dl (oksigenasi jaringan dianggap cukup optimal pada kadar Hb 8 12 g/dl ) (untuk lebih jelasnya lihat lampiran transfusi darah). Saat pemberian intratekal yang pertama, bila trombosit < 50.000/mm3, beri transfusikomponen trombosit. Dianjurkan untuk memeriksa immature plateletfraction (IPF). Bila ada trombositopenia disertai dengan tanda perdarahan mutlak diberitransfusi konsentrat trombosit. Jika trombositopenia berkepanjangan, dapat diberikan transfusi trombositbersamaan tindakan intratekal (IT), atau segera setelah selesai melakukan IT. Transfusi plasma segar beku menjadi pilihan bila ada perdarahan yang disebabkan karena faktor koagulasi yang dibuktikan dengan pemanjangan dari jalur intrinsic dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis.Direkomendasikan untuk pemberian nutrisi yang adekuat sebelum memulai kemoterapi terutama pada kasus malnutrisi, intake kalori harus dipastikan, jangan ragu menggunakan NGT (nasogastric tube). Pengendalian infeksi juga perlu diperhatikan. Pengendalian infeksi ini meliputi :wajib mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien, periksa rutindan menjaga kebersihan mulut dan mandi sikat gigi,hindari terjadinya luka dan perdarahan gusi dengan jangan menggosok gigi terlalu keras, tidak diperlukan profilaksis antibiotik,maupun anti jamur (utamanya derivat azol ; flukonazol,itrakonazol) maupun dekontaminasi usus. Jika terdapat sepsis, pemberian sitostatika menunggu perbaikan keadaan umum minimal 3x24 jam dengan pemberian antibiotika intravena, jika infeksi ringan, pemberian sitostatika bersamaan dengan antibiotika. Oral Hygiene : sikat gigi, kumur dengan antiseptik apapun. Kontrol ke dokter gigi untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/ bebas dari fokus infeksi pada saat sakit dan tiap 6 bulan. Bila perlu konsul sejawat ahli THT untuk mencari fokus infeksi. Parasit : obat cacing (mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 2x100 mg selama 3 hari; albendazol 200 mg dosis tunggal; pirantel pamoat 10-12,5 mg/kgBB) dapat diberikan pada anak yang baru didiagnosis. Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis (dosis 4mg/kg trimethoprim dan 20mg/kg sulfamethoxazole) dosis 2 kali per hari selama 3 hari per minggu merupakan rekomendasi kuat untuk mencegah infeksi dari jerovecii,diberikan segera setelah selesai fase konsolidasi. Pemeriksaan status gizi senantiasa dilakukan pada awal pengobatan, setelah induksi, konsolidasi, reinduksi, dan rumatan sebelum blok steroid. Pemeriksaan status nutrisi termasuk : anamnesa riwayat tumbuh kembang, antropometri. Serta dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa evaluasi hitung jenis, Na, K, Ca, P, ureum, kreatinin, albumin SGOT, SGPT, bilirubin direk, bilirubin total, asam urat, dan pH urin.

2.4.2 Pemberian Sitostatika1. Fase InduksiSitostatika yang digunakan pada pengobatan induksi terdiri dari prednisone (PRED), vincristine (VCR), L-Asparaginase (L-Asp), Daunorubicin (DNR), dan methotrexate ( MTX ) intratekal. Prednisone digunakan pada Risiko Biasa (RB) dan Risiko Tinggi (RT). Pada RB, window period diberikan dosis 60 mg/m2 per oral dibagi dalam 3 dosis selama 1 minggu. Selanjutnya diberikan 40 mg/m2 selama 5 minggu (total 6 minggu). Setelah 5 minggu dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada hari ke 42. Pada RT dosis ditingkatkan secara bertahap. Jika BMP tertunda hingga 7-10 hari setelah prednisone selesai, harus diwaspadai terjadinya risiko rebound cell ( hematogones ).

Gambar 2.5 Protokol Fase Induksi ALL Risiko Biasa (Indonesian Childhood ALL, 2013)Pada tanda bintang, bila BMP tidak remisi, induksi dilanjutkan sesuai denganminggu ke-5 protokol RT. Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor , terapi intratekal hanya menggunakan MTX, Bila dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor,menggunakan MTX tripledrug (MTX/deksametason/ara-C ), 2x seminggu dilakukan sampai negatif 3x berturut-turut. Apabila terjadi relaps CNS akan dikelola secara khusus. Dosis 30 mg/m2, bila tidak ada dapat diganti Doxorubicin 20 mg/m.

Gambar 2.6 Protokol Fase Induksi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood ALL, 2013)Vinkristin (VCR) : - Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 (dalam 10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit). Daunorubisin (DNR)intravena : - untuk risiko biasa diberikan 2 x selama induksi yaitu hari ke 21 dan ke 28 dengan dosis 30 mg/m2. - untuk pasien risiko tinggi dosis 30 mg/m2 , diberikan 4 kali pada hari ke-21, 28, 35,dan ke 42( DNR dilarutkan dalam NaCl 0,9 % 100 cc diberikan secara drip IV dalam 1 jam ). Bila tidak tersedia adanya DNR, dapat diganti dengan Daunorubicin dengan dosis 20 mg/m2. L-Asparaginase (L-Asp) (jenis L-Asp E coli) :- Pada risiko biasa dan risiko tinggi diberikan mulai hari ke 1 minggu ke 4 hingga akhir minggu ke 5 (untuk RB), minggu ke enam untuk RT - Diberikan 3 kali selang sehari dalam seminggu, sehingga total pemberian dalam 2 minggu adalah 6 kali, dan 9 x untuk penderita RT - Dosis 7500 Unit/m2 subkutan maksimal 2 mL per lokasi suntikan. Sebaiknya meggunakan paronal karena waktu paruh dan keefektivan (toksisitas) berbeda dengan merk lain dari Asparaginase. - Bisa diberikan secara iv dalam 100 ml cairan diberikan dalam 1-2 jam, atau i.m dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi, atau setelah L-Asp diaspirasi dalam syringe, ditambahkan 0,5 1 ml lidocain dalam syringe yang sama (tidak dikocok agar tidak tercampur), kemudian berikan im pelahan-lahan. - Dalam kasus alergi L-Asp, harus diberikan L-Asp dari Erwinia dengan dosis 20000 IU/m2/dosis. - Risiko hipersensitif/anafilkasis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi pada pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada fase reinduksi. - Jika ada trombositopenia dalam pemberian im, maka berikan transfusi trombosit terlebih dahulu.

Metotreksat (MTX) triple drug intratekal. - Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28 - Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor). Gunakan 3 ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.

Gambar 2.7 Dosis MTX (Indonesian Childhood ALL, 2013)Beberapa hal yang perlu diingat :1. Luas permukaan tubuh bisa dilihat dari tabel perkiraan permukaan tubuh berdasarkan dari BB dan TB dari Gehan dan George Pada bayi (anak dibawah 1 tahun dengan BB < 10kg), dosis yang diberikan berdasarkan formula sbb ; Dosis =dosis dalam mg/m2=.....mg/kg30BB < 6 kg : reduksi 50%BB 6 -10 kg/< 1 tahun : reduksi 30%2. Ikutilah protokol secara tepat selam induksi ini. Lekopeni atau trombositopeni bukan merupakan indikasi untuk mengurangi dosis VCR, deksametason dan L-Asp pada fase ini. Begitu juga dosis DNR pada risiko tinggi harus diberikan secara penuh terlepas dari parameter hematologi. 3. Ketika terjadi reaksi alergi terhadap L-Asparaginase (produk dari E-coli), terapi tetap bisa dilanjutkan dengan L-Asp dari Erwinia Caratova dengan dosis yang sama atau bisa diberikan antihistamin sebagai profilaksis. Penggunaan L-asp dihentikan bila terjadi gangguan fungsi hati yang berat, pankreatitis atau hiperglikemia simtomatis. Jika sudah mencapai nilai normal, L-Asp bisa dilanjutkan kembali dan dapat diberikan setengah dosis. Jika terjadi hipofibrinogenemia ( 38C, lakukan pemeriksaan fisik, cek CRP, dan kultur darah, , urine, swab tenggorok dan lesi kulit ,termasuk lesi anal dan sekitarnya dengan jumlah netrofil 500-1000dan tidak ada fokus infeksi, pasien tidak pada kondisi sakit akut, tunggu beberapa jam kemudian cek CRP dan kultur darah ulang. Jika tidak didapatkan fokus infeksi tapi panas,segera Berikan antibiotika spektrum luas. - Pasien dengan jumlah netrofil < 500,- lakukan pemeriksaan laboratorium dan kultur dan berikan antibiotika iv dengan segera. -Antibiotika spectrum luas harus mencakup gram positif dan gram negative. Penggunaaan antibiotika berdasar pada hasil tes kepekaan antibiotik (TKA) dan antibiotika yang tersedia dimasing masing rumah sakit . - Jika setelah 72 jam, masih panas, neutropenia < 500 dan anak tidak membaik, dianjurkan pemberian anti jamur. Pada masa induksi, eradikasi sel leukemia merupakan hal yang terpenting, sehingga sitostatika : PRED, VCR, dan L-Asp diberikan dengan dosis penuh, mungkin DNR bisa ditunda sementara.

2. Fase KonsolidasiPada fase konsolidasi, pemberian metotreksat dosis tinggi (HD-MTX)dengan leukovorin rescue memerlukan perhatian yang khusus.

HD-MTX - Sehari sebelum pemberian HD-MTX, pasien harus dalam kondisi klinis yang baik(adekuat) dengan hasil pemeriksaan lab : Lekosit 2000/mm3 Trombosit 75000/ mm3 Fungsi ginjal normal (ureum dan kreatinin tidak > 4 kali batas normal) Peningkatan kimia enzim hati (S tidak lebih dari 10 kali dari batas atas nilainormal. Alkaline urine (pH >6.5 tapi < 8.0) Tidak ada infeksi, diare, mucositis Tidak ada gangguan kencing - Seminggu sebelum pemberian HD MTX, diberikan bicnat oral. - Saat pemberian HD-MTX Berikan alkalinisasi urine dengan cara memberikan cairan hidrasi 2-3 L/m2/24 jam ditambah bicnat 40 meq/L selama 4 jam sehingga pH urine dibawah 8. Pemberian HD-MTX- selama 24 jam, kemudian hidrasi dilanjutkan selama 24 jam, Leucovorin (injeksi/oral) diberikan 42 jam sejak dimulainyaHD-MTX, diberikan selama 2 hari berturut-turut setiap 6 jam. Tanda-tanda toksisitas: ulkus pada mulut (oral ulcer), toksisitas pada ginjal, toksisitas pada liver ( >5x normal transaminase), atau infeksi, dan pemberian tambahan 3 dosis tiap 6 jam. cotrimoksazol oral sementara dihentikan pada saat pemberian HD-MTX. Jika muncul efek samping yang berat (uncontrolled side effect), seperti gagal liver, gagal ginjal, atau gangguan neurologi, pemberian HD-MTX dan semuanya ditunda. Hindri pemberian cotrimoksazol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID), dan penisilin bersamaan dengan HD-MTX. Leucovorin diberikan 15 mg/m2 iv pada 42,48, dan 54 jam setelah dimulainya HD-MTX. Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya dengan dosis yang maksimal dapat ditoleransi. Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan bukan dengan susu. Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan. Metotreksat (MTX) triple drug intrathecal. - Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28 - Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor). - Gunakan 3 ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.

Cyclophosphamide-Dosis 1000 mg/m2, diberi awal minggu ke 9 dan 13, tanpa dibarengi dengan pemberian Mesna.

Gambar 2.8 Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Biasa (Indonesian Childhood ALL, 2013)

Gambar 2.9 Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood ALL, 2013)

3. Fase IntensifikasiPemberian Citarabin secara IV bolus 3x seminggu berturut-turut.

Prednison (PRED) : - Diberikan sesudah makan dengan dosis 40 mg/m2 selama 4 minggu. Setelah 4 minggu (akhir minggu ke 16) dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada akhir minggu ke 17.

Vincristine : - Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam 10 ml cairan normal saline secara IV pelan dalam 5 menit). - Selesai intensifikasi, konsul neurologi.

Daunorubicin (DNR)intravena : - Diberikan 2 x awal minggu ke 14 dan 16 dengan dosis 30 mg/m2(dalam 1 jam IV).

Citarabine - Dosis : 75 mg/m2, diberikan pada minggu ke 15 dan 17, 3 kali dalam seminggu.

Pada fase ini mulai diberikan cotrimoksazol profilkasis dengan dosis 2-3 mg/kgbb/dosis (maksimal 2 x 80 mg/hari) diberi 3 kali seminggu. MTX i.t - MTX it triple drug diberikan pada minggu ke 15 dan 17 (cara pemberian dan pedoman pemberian intratekal ini sama seperti pada fase induksi dan konsolidasi).

Gambar 2.10 Protokol Fase Intensifikasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood ALL, 2013)

4. Fase Rumatan- Untuk risiko biasa (RB), fase rumatan dimulai pada minggu ke 13 dan berakhir pada minggu 110, sementara yang risiko tinggi (RT) dimulai minggu ke 18, dan akan berakhir pada minggu ke 118 - Agar mendapat outcome yang baik , pemberian dosis yang tepat pada fase rumatan merupakan hal yang esensi. Bergantung pada kondisi sensitifitas anak terhadap kemoterapi. - Persyaratan untuk mengawali rumatan. kondisi umum baik. tidak ada infeksi. Hematologi baik, Hb 10 g/dl, minimal hitung ANC 500, trombosit >50.000/mm3 tidak ada perdarahan. fungsi hati dan ginjal baik. 6 MP dan MTX - Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya menggunakan dosis maksimal yang dapat ditoleransi. - Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan bukan dengan susu. - Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan. Bila ada indikasi dapat dilakukan setiap saat.

- Disarankan pemberian MTX p.o malam hari. Hentikan pemberian obat ini bila terjadi kenaikan SGOT/SGPT > 10 kali nilai normal. Pengobatan dengan MTX ini juga harus dihentikan bila ada pneumonia. - Pertahankan jumlah lekosit diantara 2000 - 4000/mm3 pada saat terakhir pemberian 6-MP. Deksametason - Selama pemberian deksametason nilai lekosit akan meningkat, itu merupakan reaksi yang normal. Catatan, bahwa hal tersebut dapat menjadi indikasi untuk menurunkan ataupun menaikkan dosis. Catatan Penting : - Ajusted dose diatas selalu sama pada kedua jenis obat . - Pada pengobatan fase rumatan ini, leukopenia (lekosit < 2000/mm3 ) dapat berkaitan dengan sensitivitas individu terhadap kemoterapi, infeksi, efek samping cotrimoksazol, atau kondisi relaps hematologi.

- Pada leukopenia persisten , yang tidak disebabkan infeksi atau relaps, pemberian obat sitostatika lebih diprioritaskan dibandingcotrimoksazol. Hentikan pemberian cotrimoksazol, bila tidak ada peningkatan lekosit setelah 1 minggu pemberian 6 MP dan MTX.

Gambar 2.11 Protokol Fase Rumatan ALL (Indonesian Childhood ALL, 2013)

2.5 PrognosisBerikut ini faktor-faktor yang berpengaruh terhadap buruknya prognosis ALL adalah sebagai berikut :1. Jumlah leukosit awal >50.000/mm3 2. Umur pasien saat diagnosis dan pengobatan kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun3. Jenis kelamin laki-laki4. Ras African-American dan Hispanic5. Translokasi kromosom 9 dan 22, 1 dan 19, atau 4 dan 116. Respon yang buruk pada saat pemberian kemoterapi inisial dilihat dari BMP dimana sel blast >1000/mm37. Kelainan jumlah kromosom dengan indeks DNA>1.16 atau > 50 kromosom8. Penyebaran pada cerebrospinal fluid9. Masa mediastinal10. Prednisone poor response11. Immunophenotype B-cell 12. Ekspresi CD 10 menunjukkan prognosis baik(Endang & Caroline, 2002; Caroline, et al, 2008; Sri & Silvia, 2009; Indonesian ALL Childhood Protocol, 2013)

BAB 3PENUTUP

3.1 KesimpulanLeukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas infiltrasi progresif dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik yang dikenal sebagai limfoblas. Diagnosis ALL berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium berupa karakteristik morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi FAB ( French American British ). Persentase sel blast yang ditemukan pada sumsum tulang minimal 25%. Jika mungkin, dilakukan pemeriksaan immunophenotyping. Pengobatan ALL di Indonesia saat ini mengikuti Indonesian Childhood ALL Protocol 2013. Prognosis dari penyakit ini dipengaruhi banyak faktor.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. hlm. 170.Caroline, et al. (2008). Prognostic Factors for Leukemic Induction Failure in Children With Acute Lymphoblastic Leukemia and Outcome After Salvage Therapy: The FRALLE 93 Study. American Society of Clinical Oncology. Diunduh 17/2/15 dari http://jco.ascopubs.org/content/26/9/1496.full

Ching, H. P., Leslie, L. P., Thomas, A. L. (2008). Acute Lymphoblastic Leukaemia. Lancet, 371, 1030-1043.Endang, W., Caroline, M. (2002). Gangguan Metabolik pada Leukemia Limfositik Akut dengan Hiperleukositosis. Sari PediatriI, 4(1), 31-35.Gallegos, et al. (2013). Pathophysiology of Acute Lymphoblastic Leukemia. Diunduh 17/2/2015 dari http://www.intechopen.com/books/clinical-epidemiology-of-acute-lymphoblastic-leukemia-from-the-molecules-to-the-clinic/pathophysiology-of-acute-lymphoblastic-leukemia.Gambar HDT dan BMP ALL L1-3 diunduh 17/2/15 dari http://www.pathologyoutlines.com.Hasyimzoem, N. C. (2014). Leukemia Limfoblastik Akut pada Dewasa Dengan Multiple Limfadenopati . Medula, 2(1), 30-38.Indonesian Childhood ALL Protocol (2013)Permono, Bambang. 2005. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm. 145-151.Sri, M., Silvia, M. (2009). Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak Usia di Bawah Satu Tahun. Sari Pediatri, 11(3), 219-222.Vikramjit, S. K. (2014). Pediatric Acute Lymphoblastic Leukemia. Diunduh tanggal 17/2/2015 dari http://emedicine.medscape.com/article/990113-overview#aw2aab6b2b3aa.