aliran sastra
-
Upload
wawan-arai-musadat -
Category
Documents
-
view
507 -
download
6
Transcript of aliran sastra
lighting, busana, properti, tata panggung, aktor, sutradara, busana, tata suara, penonton), casting (penentuan peran), dan akting (peragaan gerak para pemain).
B. ALIRAN-ALIRAN KARYA SASTRA B.I Realisme
Realisme adalah aliran dalam kesusastraan yang melukiskan suatu keadaan atau
kenyataan secara sesungguhnya. Para tokoh aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni
adalah untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan
subjektif. Pengarang realis melukiskan orang-orangnya dengan perasaan-perasaan dan
pikiran-pikirannya sampai sekecil-kecilnya, dengan tidak memihak memberi simpati
atau antipati. Pengarang sendiri berada di luar, ia sebagai penonton yang objektif.
Kenyataan-kenyataan itu tidak boleh ditafsirkan secara berlebihan seperti kaum
romantik. Itu sebabnya karya-karya realis banyak yang berkisar pada golongan
masyarakat bawah seperti kaum tani, buruh, gelandangan, pelacur dan sebagainya.
B.2 Naturalisme
Karya naturalisme sebenarnya merupakan lanjutan dari realisme. Jika realisme
menyajikan kejadian yang nyata daam kehidupan sehari-hari, naturalisme cenderung
melukiskan kenyataan tampa memilih dan memilahnya. Persamaan dengan realisme
adalah sama-sama melukiskan realitas dengan terperinci dan teliti namun
perbedaannya pada seleksi materi.
B.3 Impresionisme
Impresionisme adalah pelahiran kembali kesan kesan sang penyair atau pengarang terhadap sesuatu yang
dilihatnya. Pengarang takkan melukiskan sampai mendetail, sampai yang sekecil-kecilnya seperti dalam aliran
realisme atau naturalisme.
B.4 Ekspresionisme
Aliran kesusasteraan ekspresionisme merupakan gambaran dunia batin, imaji tentang sesuatu yang dipikirkan.
Dalam ekspresionisme ini, pengarang menyatakan sikap jiwanya, emosinya, tanggapan subyektifnya tentang
masalah manusia, ketuhanan, kemanusiaan. Dalam sajak, misalnya, penyair tidak mengungkapkan kisah, tetapi ia
langsung berteriak, menyatakan curahan hatinya.
Genre Sastra
Dengan mengacu pada tiga paradigma peradaban menurut Alvin Toffler (1980), ranah sastra dapat dipilah ke dalam paradigma peradaban agraris, industrial, dan informasi. Sastra dalam peradaban agraris didominasi genre sastra lisan; sastra dalam peradaban industrial didominasi genre sastra tulis; dan sastra dalam peradaban informasi didominasi genre sastra elektronik.
Berdasarkan hal ini objek penelitian sastra dapat diklasifikasikan ke dalam sastra lisan, sastra tulis, dan sastra elektronik.
[sunting] Sastra Lisan
Menurut Wiget (lihat Lauter, 1994), sastra lisan dipertunjukkan di hadapan pendengar yang melakukan evaluasi baik cara maupun isi pertunjukan; evaluasi bukan merupakan kesimpulan dari pertunjukan tersebut, melainkan merupakan sebuah kegiatan yang berlangsung yang tercermin dalam tingkat perhatian dan komentar.
Terdapat varitas yang sangat mengejutkan dari sastra lisan yang bertahan hidup di antara orang-orang pra-aksara, dan sebagaimana kata-kata tertulis muncul dalam sejarah, menunjukkan bahwa semua genre penting sastra yang muncul pada awal masyarakat beradab adalah: epos heroik, nyanyian pujaan untuk pendeta dan raja, cerita misteri dan supernatural, lirik cinta, nyanyian pribadi hasil meditasi, kisah cinta, kisah petualangan dan heroisme rakyat jelata, yang berbeda dari epos heroik kelas atas, satir, satir pertempuran, balada, dogeng tragedi rakyat dan pembunuhan, cerita rakyat, fabel, teka-teki, pepatah, falsafah hidup, himne, mantra-mantra, nyanyian misteri para pendeta, dan mitologi.
Dari berbagai varitas di atas, genre sastra lisan dapat klasifikasikan ke dalam sub-sub genre yang terdiri atas puisi lisan, prosa lisan, dan drama lisan. Edi Sedyawati (lihat Pudentia, 1998) menyusun sebuah gradasi dari sastra lisan yang paling murni sastra hingga ke pertunjukan teater yang paling lengkap media pengungkapannya, yakni: murni pembacaan sastra (mebasan dan macapatan); pembacaan sastra disertai gerak sederhana dan atau iringan musik terbatas (cekepung dan kentrung); penyajian cerita disertai gerak tari (randai); dan penyajian cerita melalui aktualisasi adegan, dialog dan tarian pemeran, dan iringan musik (wayang wong, makyong, wayang gong, dan lain-lain).
Menurut Wiget, dalam banyak sastra lisan dunia, puisi lisan adalah nyanyian, seperti halnya mazmur-mazmur Daud, lirik-lirik Orpheus, maupun meditasi-meditasi Tecayahuatzin. Baik puisi lisan maupun prosa lisan Amerika terdapat dalam kesusastraan pribumi seperti puisi Zuni, Aztec, Inuit, Aleut, dan lain-lain; dan cerita-cerita dari suku-suku Indian Hitchiti, Zuni, Navajo, Lakota, Iroquois, dan lain-lain.
Perkembangan penelitian terhadap sastra lisan yang merupakan sastra rakyat dilakukan dengan menggunakan metode-metode historik-komparatif, historik-geografik, dan historik-struktural.
Menurut A Teeuw (1988), perkembangan dalam studi sastra lisan terutama yang menyangkut puisi rakyat antara lain dilakukan oleh Parry dan Lord. Hipotesis Parry dan Lord ternyata dapat dibuktikan dengan meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita. Dengan meneliti teknik penciptaan epos rakyat, cara tradisi tersebut diturunkan dari guru kepada murid, dan bagaimana resepsinya oleh masyarakat, Parry dan Lord berkesimpulan bahwa epos rakyat tidak dihafalkan secara turun-temurun tetapi diciptakan kembali secara spontan, si penyanyi memiliki persediaan formula yang disebut stock-in-trade, terdapat adegan siap pakai yang oleh Lord disebut theme, dan variasi merupakan ciri khas puisi lisan.
Sedangkan untuk melakukan penelitian terhadap teater rakyat dapat menggunakan metodologi kajian tradisi lisan. Dengan menggunakan metodologi kajian tradisi lisan, penelitian teater rakyat dapat dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada aspek kesastraannya saja tetapi juga mencakup aspek-aspek kebudayaan yang melingkupinya. Hal ini penting karena teater rakyat tidak hanya merupakan bagian dari sastra lisan tetapi juga bagian dari seni pertunjukan rakyat yang memiliki jaringan dengan berbagai unsur kebudayaan.
[sunting] Sastra Tulis
Menurut Wellek dan Warren (1989), salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis. Hal ini menurut Teeuw sesuai dengan pengertian sastra (literature) dalam bahasa Barat yang umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Lebih lanjut menurut Teeuw, bahasa tulis memiliki tujuh ciri, yakni: (1) dalam bahasa tulis antara penulis dan pembaca kehilangan sarana komunikasi suprasegmental; (2) dalam bahasa tulis tidak ada hubungan fisik antara penulis dan pembaca; (3) dalam teks-teks tertulis, penulis tidak hadir dalam situasi komunikasi; (4) teks-teks tertulis dapat lepas dari kerangka referensi aslinya; (5) bagi pembaca, tulisan dapat dibaca ulang; (6) teks-teks tertulis dapat diproduksi dalam berbagai bentuk dan jangkauan komunikasi yang lebih luas; dan (7)komunikasi menembus jarak ruang, waktu, dan kebudayaan.
Genre sastra tulis dapat dijabarkan ke dalam sub-sub genre yang terdiri atas puisi tulis, prosa tulis, dan drama tulis.Dewasa ini bentuk karya sastra yang paling diminat adalah cerpen dan novel. Waluyo (2002:28) membagi karya fiksi menjadi roman, cerita pendek, dan novel. Termasuk dalam klasifikasi novel adalah novelet. Novelet yaitu novel pendek yang lebih panjang dari cerita pendek, roman adalah jenis cerita rekaan yang paling dulu muncul, disusul oleh cerita pendek dan baru kemudian muncul novel dan novelet. Bentuk novel ataupun novelet dan cerita pendek pada akhirnya merajai sastra di Indonesia.
[sunting] Sastra Elektronik
Kemajuan teknologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesenian. Salah satu bidang teknologi yang mengalami perkembangan pesat adalah teknologi elektronik. Teknologi ini memiliki keterkaitan erat dengan dunia kesenian, baik sebagai alat produksi maupun sebagai media komunikasi. Bahkan teknologi elektronik berperan dalam menciptakan suatu genre baru dalam dunia kesenian yaitu seni elektronik. Frank Popper (1993) membahas lima kategori seni elektronik: (1) seni laser dan holografik, (2) seni video, (3) seni komputer, (4) seni komunikasi, dan (5) seni instalasi, demonstrasi dan pertunjukan. Fokus bahasan Popper adalah senirupa elektronik. Genre-genre seni elektronik terdapat dalam berbagai bidang kesenian seperti seni musik elektronik, seni rupa elektronik, sinema elektronik, dan sastra elektronik.
Dalam arti luas karya sastra yang diproduksi, dimodifikasi, dan dikemas dengan menggunakan peralatan elektronik dapat dinamakan sastra elektronik. Sesuai dengan media yang dipakai, sastra elektronik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis: sastra audio, sastra audiovisual, dan sastra multimedia. Sedangkan sesuai dengan genrenya, sastra elektronik dapat dijabarkan ke dalam sub-sub genre seperti di bawah ini.
[sunting] Media Sastra
Media: puisi elektronik, prosa elektronik, drama elektronik
Audio: puisi radio, dongeng/cerita radio, sandiwara/ drama radio
Audio-visual: puisi TV/puisi klip, film naratif/film dokumenter/film cerita TV, Sandiwara/fragmen/drama TV/film/drama/telenovela
Multi-media: puisi internet/puisi digital/E-mail/LD/VCD/CD-Rom, cerpen internet/ novel grafis/novel blog/novel interaktif/digital novel/LD/VCD/CD-Rom, fragmen/drama/ film drama/drama internet/lakonet/drama digital/VCD/LD/CD-Rom
Klasifikasi di atas tidak menutup kemungkinan adanya genre campuran antara sastra lisan, sastra tulis, dan sastra elektronik.
[sunting] Media Hibrida
Seringkali terdapat hibrida atau campuran antara sastra lisan dan sastra tulis dalam bentuk sastra lisan yang dituliskan dan sastra tulis yang dilisankan. Ada pula campuran antara sastra lisan dan sastra elektronik dalam bentuk sastra lisan yang dielektronikkan dan sastra elektronik yang dilisankan. Sedangkan campuran antara sastra tulis dan sastra elektronik terdapat dalam bentuk sastra tulis yang dielektronikkan dan sastra elektronik yang dituliskan. Percampuran tersebut menunjukkan adanya hubungan timbal-balik baik antargenre maupun lintasgenre.
Pada abad informasi dewasa ini, sastra elekronik mulai menjadi alternatif objek kajian sastra yang didominasi sastra lisan dan tulis. Terdapat deformasi media sastra, mulai dari layarnyata, layarperak, layarkaca sampai layarmaya. Dengan demikian patut disayangkan jika para pegiat sastra hanya berkutat dengan sastra lisan dan sastra tulis belaka. Sedangkan sastra elektronik tak terlirik samasekali. (Semarang 8 Nopember 2007. SiswoHarsono)
[sunting] Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1976. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. Oxford: Oxford University Press.
Altick, Richard D. 1981. The Art of Literary Research. New York: WW Norton & Company.
Benjamin, Walter. 1988. “The Author as Producer”. KM Newton, ed. Twentieth-Century Literary Theory: A Reader. London: Macmillan Education, Ltd.
Caudwell, Christopher. 1988. “English Poets: The Decline of Capitalism”. KM Newton, ed. Twentieth-Century Literary Theory: A Reader. London: Macmillan Education, Ltd.
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Effendy, Onong Uchjana. 1993. Televisi Siaran: Teori & Praktek. Bandung: Mandar Maju.
Fokkema, D.W. dan Elurd Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Keduapuluh. Jakarta: Gramedia.
Harsono, Siswo. 2000. Metodologi Penelitian Sastra. Semarang: Deaparamartha.
Lauter, Paul, ed. 1994. The Heath Anthology of American Literature. Vol. 1. 2-nd. Lexington, MA: D.C. Heath and Company.
Newton, K M, ed. 1988. Twentieth-Century Literary Theory: A Reader. London: Macmillan Education, Ltd.
Pasqua, Thomas M, Jr dan kawan-kawan. 1990. Mass Media in the Information Age. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Popper, Frank. 1993. Art of the Electronic Age. New York: Thames and Hudson Ltd.
Pudentia M.P.S.S., ed. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Grafiti.
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest, ed. 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Teeuw, A.1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Toffler, Alvin. 1990. The Third Wave. New York: Bantam Books.
Wolf, Janet. 1982. The Social Production of Art. London: Mac Millan.
Zoest, Aart Van. 1993. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
“Jaka Tarub”. Dongeng Asli Indonesia. Vol. 2. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 1996 (Kaset).
“Pinokio & Cinderela”. Seri Dongeng Dunia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Tim Software & Multimedia, 1998 (CD-Rom).
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sastra_elektronik&oldid=3974771"
oleh Dheka Dwi Agusti N.
BAB 1
PENDAHULUAN
1 Latar Belakang
Dalam dunia kesusatraan ada banyak gerakan dan aliran yang berkembang di
dalamnya. Baik sebagai hasil dari saripati yang diperas dari karakteristik karya yang
berkembang maupun sebagai kararkter yang sengaja dimunculkan dalam sebuah karya
sastra sebagai pengokoh keberadaan sebuah gerakan atau aliran kesusatraan tertentu.
Secara sederhana aliran besar yang terdapat dalam kesusastraan dunia adalah
romantisisme, realisme, modernisme, dan pascamodernisme. Sementara gerakan-
gerakan yang dianggap sebagai aliran kecil yang memengaruhi aliran besar di atas
adalah klasisisme, neoklasisisme, praromantisme, ghotik, dadaisme, naturalisme,
realisme-sosialis, utilitarian, pascaromantisisme, art for art’s sake, simbolisme,
impresionisme, dekaden, absurdisme, dan eksistensialisme.
Setiap gerakan maupun aliran memiliki karakteristik yang khas yang sedikit
banyak menampakkan kondisi zaman di mana aliran tersebut berkembang. Aliran yang
dinobatkan berasal dari kawasan Eropa dan Inggris tersebut tentunya mengalami
migrasi. Mengalir dan berkembang ke penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Pada setiap negeri yang disinggahi oleh perkembangan aliran itu tentunya
memiliki dan memunculkan karakteristik yang lebih khas lagi, sesuai dengan kondisi
negeri di mana aliran tersebut berkembang. Realisme-sosialis yang berkembang di
Indonesia salah satu contohnya.
Realisme-soialis yang berkembang di Indonesia selama ini terbungkus Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat), dan selama ini pula kerap menjadi bahan
perbincangan yang tak ada habisnya. Aliran sastra yang menginduk pada mazhab
realism ini pada taraf mula di Indonesia karyanya kerap mendapatkan ejekan, hinaan
dan lecehan dari golongan-golongan dan klas borjuis sebagai karya-karya yang tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan seni dan sastra.
Jauh lebih menyedihkan lagi, realisme-sosialis kerap dianggap sebagai ideologi
jahat. Relisme-sosialis adalah ideologi Lekra, smentara Lekra sendiri adalah organisasi
seniman yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), dan PKI adalah partai
politik yang sosoknya selalu diidentikkan jahat yang tak boleh ada di bumi Indonesia.
Ciri-ciri atau karakteristik aliran realism-sosialis ini dapat digali dari karya sastra
genre apapun, tetapi yang paling kentara adalah novel. Di Indonesia, novel-novel karya
Pramoedya Ananta Toer kerap diklasifikasikan sebagai novel sejarah. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa dalam karya-karya Pram sedikit banyak memuat cirri realism-
sosialis, sebab novel sejarah merupakan bentuk konkret karya sastra beraliran realism-
sosialis.
2 Batasan dan Rumusan Masalah
Pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada aliran realisme khususnya
realisme-sosialis, dan dalam media karya sastra bergenre novel. Novel yang akan
dianalisis adalah karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Sekali Peristiwa di
Banten Selatan.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini yaitu: Bagaimanakah ciri-ciri aliran realism-sosialis yang terdapat dalam
novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer?
3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan ciri-
ciri aliran realisme-sosialis yang terdapat dalam karya sastra Indonesia bergenre novel
yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.
4 Kerangka Teori
4. 1 Aliran dalam Kesusasteraan
Kata “aliran” berasal dari kata stroming (bahasa Belanda) yang mulai muncul di
Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata itu bermakna “ keyakinan yang dianut
golongan-golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-
paham lama (Hadimadja, 1972:9). Dalam bahasa Inggris, terdapat dua kata yang
maknanya sangat berkaitan dengan aliran, yaitu periods, age, school, generation dan
movements.
Secara sederhana gerakan dan aliran yang terdapat dalam kesusastraan
sebagai berikut:
Gerakan-gerakan Aliran atau mazhab
1 Klasisisme
2 Neoklasisisme
3 Praromantisisme-ghotik
romantisisme
1 dadaisme
realisme
1 naturalisme
2 Realisme-sosialis, Lucaks
3 utilitarian
4 Pascaromantisisme, art for art’s sake
5 Simbolisme, impresionisme, dekaden
modernisme
1 Eksistensialisme
2 absurdisme
pascamodernisme
Bagan 1. Aliran atau Mazhab Sastra
4. 2 Aliran Realisme
Pada umumnya realisme dilihat sebagai reaksi terhadap aliran romantik.
Realisme berusaha menggambarkan hidup dengan sejujur-jujurnya tanpa prasangka
dan tanpa usaha memperindahnya. Aliran ini didorong oleh semangat zaman yang
mementingkan kegiatan yang rasional dan kemajuan ilmu pengetahuan pada abad ke-
19.
Abad ke-19 adalah abad penuh perubahan dalam sejarah peradaban Barat.
Perubahan itu mencakup pertumbuhan 1) nasionalisme yang sangat kuat, 2) kelas
menengah, dan 3) aspirasi atau slogan kebebasan. Pada abad ke-19 Inggris merajai
dunia. Britania memerintah serta menguasai samudera dan dunia. Hal itu disebabkan
adanya revolusi industri dan penemuan Charles Darwin dalam khazanah ilmu
pengetahuan dan teorinya, yaitu teori evolusi.
Revolusi industri memacu kemajuan ekonomi, sosial, dan teknologi. Kemajuan-
kemajuan di bidang itu mengokohkan iptek dan kelas menengah, kemudian segala
sesuatu dimesinkan. Revolusi industri merupakan katalisator bangkitnya kelas
menengah.
Kesusastraan Inggris sebetulnya hanya England. Akan tetapi, yang dimaksud
adalah seluruh negara bagian karena karya sastra yang ditulis menggunakan bahasa
Inggris (meskipun negara-negara bagian itu memiuliki bahasa sendiri. Pengarang
realisme di Inggris, misalnya George Eliot, Trollope, Thakeray dan Charles Dickens. Di
Amerika Serikat perkembangan realisme di dalam novel didahului oleh Mark Twain,
William Dean Howells, dan Henry James.
Realisme selalu memasukkan moral, dengan demikian seni bagi realisme adalah
sarana untuk mengkritik dan menyampaikan pesan moral. Inilah yang kemudian ditolak
oleh gerakan seni untuk seni karena puisi bukan merupakan sarana pesan. Genre
penting dalam realisme adalah novel. Novel-novel sejarah dapat dimasukkan ke dalam
realisme
Tokoh/sastrawan realisme tulen: Balzac (Pr), Flaubert (Pr.), Dostoevsky (Rusia),
Tolstoy (Rusia), Dickens (Ing.), Ibsen (Norwegia. Semua novelis, kecuai ibsen (drama).
Realisme menginginkan representasi dari realitas (menggambarkan realitas/kenyataan
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, realisme membahas kehidupan
kontemporer (yang sedang berlangsung) dan tingkah laku manusia temporal (yang
berpikir, bertindak, dan berperilaku dalam dunia sekarang ini). Untuk menggambarkan
apa adanya, realisme memakai metode induktif dan bersifat observatif agar realitas
yang digambarkan benar-benar objektif. Dengan sendirinya, kepribadian penulisnya
ditekan sedemikian rupa.
Pada abad ke-19 muncul juga gerakan sosialisme. gerakan ini mengajarkan
kolektivisme dan kebersamaan. Karl Marx mengumumkan manifestonya dan dari
manifesto ini lahirlah komunisme. Kepercayaan terhadap agama juga merosot sebagai
akibat perkembangan iptek. Karena agama tidak lagi mndominasi kehidupan manusia,
maka dicari formulasi baru terhadap kepercayaan agama. Hegel (Jerman) adalah orang
yang melakukan pekerjaan itu.
Suatu perkembangan lebih lanjut dari realisme adalah aliran naturalisme, yang
lahir dan berkembang di Perancis. Apabila realisme merupakan ucapan artistik suatu
sikap terhadap kenyataan yang biasa pada berbagai individu di zaman apapun, maka
naturalisme merpakan ucapan artistik di abad ke-19. Pengarang naturalisme, Emile
Zola, mengatakan bahwa pengarang harus meniru ilmuwan dengan mengamati
kenyataan tanpa menyelidki sebab-sebabnya mengapa kenyataan itu demikian.
Pengarang naturalisme Perancis yang terkenal adalah Flaubert, Alphons Daudet,
Maupassant, Zola, dan de Goncourt.
Realisme sering dibingungkan dengan naturalisme. Realisme menggambarkan
kebobrokan kelas menengah, sementara naturalisme menggambarkan kebobrokan
kelas gembel karena ambisi untuk dapat naik ke kelas yang lebih tinggi dengan
mengorbankan apapun demi ambisinya tercapai—naturalisme tidak menghadirkan
konflik-konflik yag berkaitan dengan moral. Dalam ilmu ada sosiologi (membahas
kelompok-kelompok masyarakat) dan sosiatri (membahas kelompok masyarakat kelas
rendah/gembel). Jadi, realisme berkaitan dengan sosiologidan naturalisme dengan
sosiatri. Realisme sosial di Rusia merupakan kelanjutan realisme. Di Indonesia
dikembangkan realisme sosialis oleh Lekra.
Suatu perkembangan realisme lain adalah Neue Sachlichkeit—dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah The New Objectivity– yang muncul pada awal abad ke-20.
Aliran ini, sesuai dengan realisme, hendak mencapai gambaran kenyataan secara
objektif, namun dengan banyak menghadirkan kritik sosial dan poltik.
4. 3 Relisme-Sosial
Realisme-sosialis adalah pempraktikan sosialisme di bidang kreasi sastra. Istilah
ini muncul untuk memenangkan sosialisme di Uni Soviet. Tokoh utama yang biasa
mendapatkan penghargaan sebagai pelopornya adalah pujangga besar Soviet maxim
Gorki dengan karya utamanya Ibunda.
Realisme-sosialis sebagai metode sosialis menempatkan realitas sebagai
bahan-bahan global semata untuk menyempurnakan pemikiran dialektika. Bagi
realisme-soaialis setiap realitas, setiap fakta, hanya sebagian dari kebenaran, bukan
kebenaran itu sendiri.
Realisme-sosialis itu sendiri bukan hanya penamaan satu metode di bidang
sastra, tapi lebih tepat dikatakan suatu hubungan filsafat, metode penggarapan dengan
estetikanya sendiri. Selain itu penamaan ini juga terdapar dalam politik estetik di bidang
sastra yang sekaligus mencakupkesadaran adanya front, adanya perjuangan, adanya
kawan-kawan sebarisan dan lawan-lawan di seberang garis, adanya militansi, adanya
orang-orang yang mencoba menghindar dari front.
Istilah realisme-sosialis mencakup pula persoalan taktik dan strategi, sekalipun di
bidang sastra, hanya ini mungkin mengambil manifestasi dalam pengemukakan plot,
gaya bahasa, perbendaharaan kata, pilihan kata, metode penyampaian, kontras, dan
sebagainya yang sifatnya sama sekali telah akademik.
Pada mulanya, juga di Indonesia, realisme-sosialis hanya merupakan semboyan
dengan penulisan-penulisan yang bertaraf semboyan pula. Tulisan-tulisan semacam ini
dapatditemukan di berbagai lembaran kebudayaan tahun limapuluhan. Sastra sosialis,
sastra realisme-sosialis mulai hidup dan subur di Indonesia adalah sebagai matarantari
dari watak sosial abad 20, watak-watak kebangunan rakyat di seluruh dunia dengan
kebutuhannya akan nilai-nilai moral, nilai sosial, dan nilai kultural serta politik yang lebih
banyak, dan yang selama ini hanya dikuasai oleh kelas borjuis, kelas beruntung di
seluruh dunia.
Watak realisme-sastra sejalan dengan keradaannya dalam bidang sastra yang
melingkupi adanya front perjuangan, tak boleh tidak dia punya watak yang jelas. Satu,
militansi sebagai ciri tak kenal kompromi dengan lawan. Dua, karena segaris dengan
perjuangan politik sosialis, maka dia terus-menerus melakukan effensi atas musuh-
musuhnya dan pembangunan yang cepat di kalangan barisan sendiri. ‘If the enemy
does not surrender,” kata Gorki dalam salah satu artikelnya, “he must be destroyed.”
Atau yang sebaliknya yakni dalam artikelnya yang lain: “The poeple must know their
history.” Dalam dua artikelnya ini Gorki untuk kesekian kalinya membela humanisme-
proletar, dengan menudingkan telunjuk pada urgensinya pengusahaan penghapusan
pembagian manusia atas kelas-kelas, melenyapkan setiap kemungkinan munculnya
minoritas yang mengeksploitasi tenaga mayoritas yang produktif dan kreatif. Kemudian
yang terpenting adalah menciptkan dunia baru, dunia yang dibangun di atas landasan
keadilan yang merata.
Peringatan bahwa setiap kapitalisme adalah musuh dan musuh kemanusiaan
selalu nampak sebagai watak realisme-sosialis. Kapitalisme itu memang hanya terdiri
atas beberapa gelintir orang, tapi dengan kapitalismenya, dengan sistem pengaturan
sosialnya, praktis mereka yang memiliki seluruh angkatan perang dan kepolisian, dan
merekalah yang memberikan komando tertinggi.
Pada segi lain watak ini nampak pada semangat yang diberikannya kepada
rakyat. Pengungkapan pedagogik dan sugestif, ajakan dan dorongan untuk lebih tegap
dan perwira memenangkan keadilan merata untuk maju, untuk melawan dan
menentang penindasan bukan saja berdasarkan emosi atau sentimen tapi juga
berdasarkan ilmu dan pengetahuan, terutama memberanikan rakyat untuk melakukan
orientasi terhadap sejarahnya sendiri.
BAB 2
CIRI-CIRI REALISME-SOSIALIS DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN
SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
1 Pramoedya Ananta Toer dan Karyanya
Pramoedya Ananta Toer lahir pada tahun 1925 di Blora, Jawa Tengah,
Indonesia. Hamper separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara – sebuah wajah
semesta yang paling purba bagi manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara
Kolonial; 1 tahun di masa Orde Lama; dan 14 tahun yang melelahkan di masa Orde
Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969); pulau Nusa-Kambangan pada Juli 1969-16 Agustus
1969; pulai Buru pada Agustus 1969-12 November 1979; Magelang pada November-
Desember 1979 tanpa proses pengadilan.
Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat
pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI tetapi
masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan Negara, sampai tahun 1999
dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2
tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, di antaranya Tetralogi Buru (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
Penjara tak membuatnya berhenti sejengkalpun untuk menulis.baginya menulis
adalah tugas pribadi dan nasional. Ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia
peroleg. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.
Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke
dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan
kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugerahi pelbagai penghargaan internasional,
di antaranya: The PEN Freedom-to-write Award pada 1988, Ramon Magsasay Award
pada 1995, Fukuoka Cultur Grand Price, Jepang pada tahun 2000, pada tahun 2003
mendapatkan penghargaan The Norwegian Authours Union dan tahun 204 Pablo
Neruda dari Presiden Republik Chile Senor Ricardo Lagor Escobar. Sampai akhir
hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk
dalam dafrat Kandidat Pemenang Nobel Sastra.
2 Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer
Novel ini ditulis Pramoedya Ananta Toer ketika penindasan menggulung orang-
orang kecil yang tidak berdaya. Bukan saja kaum Kolonial, tapi juga kaum pemberontak
yang dalam novel ini dimaksudkan kepada Darul Islam (DI). Sebagaimana pengakuan
Pramoedya, novel ini merupakan hasil “reportase” singkat hasil kunjungannya beberapa
waktu lamanya pada akhir 1957 di wilayah Banten Selatan yang subur tetapi rentan
dengan penjarahan dan pembunuhan. Tanah yang sebur tetapi masyarakatnya miskin.
Mereka dipaksa hidup dalam tindihan rasa takut yang semakin membuat mereka
miskin.
Lewat novel ini, Pram ingin menyumbangkan pikirannya untuk bangsa:
“Dengan tulisan ini aku ingin menyumbangkan sedikit pikiran dengan medium dan caraku sendiri, yang tentu saja dengan harapan besar, semoga sumbangsih ini sedikit atau banyak punya arti yang konstruktif.”
Beberapa orang tokoh dalam cerita ini diambil dari orang-orang yang pernah
Pram temui di daerah Banten Selatan, orang-orang yang mengenal daerah ini, yang
ikut dengan sukaduka perkembangan daerahnya, dan sedikit banyak pernah
menceritakan kepadanya tentang hal-hal yang pernah mereka alami den mereka
dambakan. Seorang di antaranya adalah Lurah, seorng lagi bekas mandor yang ikut
kerja rodi membuka jalan antara Pelabuhan Ratu dan tambang mas Cikotok, beberapa
buruh tambang, dan petani yang pada waktu itu sedang kerjabakti memperbaiki jalan
yang tertimpa tebing longsor.
Lewat tokoh Ranta, Sang Lurah, Pram menitiskan sebintik rasa kuat untuk
meneguhkan rasa percaya diri sebuah masyarakat. Sebuah keteguhan, keberanian,
dan keyakinan untuk melawan penindasan, kemiskinan, dan kemalangan hidup dengan
rasa solider masyarakat (rakyat). Rasa solider itulah yang diistilahkan sebagai gotong-
royong.
Penindasan yang dialami oleh semua rakyat bahkan rakyat paling miskin terjadi di
daerah Banten Selatan salah satunya dikarenakan oleh adanya pemberontakan yang
dilakukan oleh DI. Namun, semua penderitaan tersebut dapat dikalahkan melalui
perjuangan bersama yang dilakukan oleh seluruh masyarakat dengan keyakinan dan
kebersamaan yang kuat. Gotong royong itulah yang pada akhirnya menghantarkan
masyarakat pada kehidupan yang kondusif lagi optimis.
3 Ciri-ciri Aliran Realisme-Sosialis dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan
karya Pramoedya Ananta Toer
3. 1 Berusaha menggambarkan hidup dengan sejujurnya tanpa prasangka dan
tanpa upaya untuk memperindahnya (representasi sebuah realitas) dengan
metode induktif dan bersifat observatif sehingga realitas yang digambarkan
bersifat objektif.
“Sebagaimana pengakuan Pramoedya, novel ini merupakan hasil “reportase” singkat di wilayah Banten Selatan yang subur tapi rentan dengan penjarahan dan pembunuhan” (Hal. Pengantar)
Demikian paragraf kedua dari pengantar yang ditulis oleh Lentera Dipantara
sebagai penerbit novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Sekali Peristiwa di
Banten Selatan menerangkan bahwa karya sastra bergenre novel ini merupakan
sebuah hasil reportase atau dokumentasi dari kunjungan Pram ke tanah Banten
Selatan pada tahun 1957.
Upaya penggabaran hidup yang jujur tanpa upaya untuk memperindahkannya, di
antaranya terdapat dalam kepolosan dialog dua tokoh pembawa singkong yang tengah
beristirahat sambil mengingat kolonialisme. Metode induktif tampak dari kalimat terakhir
yang menutup pernyataan dari tokoh pemikul singkong serta isi pernyataan yang
bersifat observatif terhadap orang-orang Belanda (penjajah) yang secara fisik memiliki
ketampanan yang dikagumi tetapi sifatnya rakus dan tamak akan kekuasan terhadap
kekayaan nusantara, membuat objektivitas tampak begitu nyata, bukan berdasar pada
prasangka dan emosi sebagai pribumi semata.
“Yang Kedua:
I-ya-ya, orang begitu bagus-bagus, kulitnya putih, hidungnya mancung, tapi tamaknya….. Ngudubilah setan!
Yang Pertama:
Ngudubilah setan!” (Hal. 13)
Gambaran nyata lainnya adalah mengenai kondisi pasar yang diungkapkan
dalam dua kalimat pendek oleh tokoh Ireng, istri Ranta.
“Pasar kacau, Pak. Diobrak-abrik DI.” (Hal. 15)
3. 2 Bertendensi, banyak memuat kritik sosial dan politik sebab seni bagi
realisme adalah sarana untuk menyampaikan kritik dan pesan moral atau seni
yang memikul tugas sosial.
Novel ini merupakan contoh konkret bagaimana karya sastra sebagai seni
dianggap sebagai seni yang memikul tugas atau lebih dikenal dengan istilah applied art.
Hal ini Pramoedya ungkapkan secara lugas dalam paragraf pertama pengantar yang
ditulisnya untuk novel ini, yaitu:
“Dengan tulisan ini aku ingin menyumbangkan sedikit pikiran dengan medium dan caraku sendiri, yang tentu saja dengan harapan besar, semoga sumbangsih ini sedikit atau banyak punya arti yang konstruktif.” (Hal. Pengantar)
Selain daripada itu, banyak sekali bagian novel yang secara implisit menjadi
media pengungkapan pesan yang hendak disampaikan oleh penulis yang telah
meniatkan diri untuk memberikan sumbangsihnya dalam bentuk dan caranya sendiri ini,
yaitu melalui dialog pidato tokoh Ranta sebagai Pak Lurah:
“Sekarang Pak Lurah berdiri, mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mulai pidato:
Saudara-saudara, dengar! Kita ini bukan binatangbuas. Kalau binatang buas hidup sendiri-sendiri. Kalau dia menemui sesame mahluk, ini berarti, yang ditemuinya bakal jadi kurbannya. Karena itu dia terpaksa hidup sendiri-sendiri. Tidak mau bergaul. Mereka cuma hidup dari pembunuhan. Pada suatu kali pun dia akan dibunuh. Tapi kita bukan binatang buas. Kita ini manusia. Kita tak perlu hidup dari pembunuhan. Tetapi lebih baik lagikalau kita hidup rukun, gotong-royong, kerjasama, bersatu, bersaudara. Dulu kita tak berani berkumpul-kumpul semacam ini, karena ganasnya gerombolan. Lihat, sesudah kita bersatu, gerombolan dapat kita musnahkan. Jadi………” (Hal. 119)
Juga dengan sorak-sorai kerumunan masyarakat yang telah berhasil dalam
perjuangan melawan pemberontakan:
“Kita harus kerja-kerja buat anak, buat seluruh keturunan! Ayo berdiri semua…….
Semua berdiri sambil berseri-seri
Ranta meneruskan dengan mengayun-ayunkan tinjunya:
Mari kita teriakkan bersama-sama: Kita harus kerja……..
Kita harus kerja………
Kerja buat anak………
Kerja buat anak………
Buat seluruh keturunan……….
Buat seluruh keturunan……….
Hore………
Hore……… “ (Hal. 125)
3. 3 Membahas kehidupan kontemporer dan tingkah laku manusia yang temporal.
Kehidupan yang tertindas lagi miskin yang digambarkan dalam novel ini
ditambahi pula oleh ulah dan tingkah laku tokoh Juragan Musa yang tak puas
memperkaya diri, dengan menyuruh orang lain (orang miskin) untuk mencuri. Ranta,
dialah tokoh yang dipaksa oleh Juragan Musa untuk mencuri bibit karet. Hal ini
digambarkan sangat nyata dalam dialog tokoh Juragan Musa dan Ranta, juga kondisi
yang tengah terjadi berikut dengan pola pikir orang ketika itu yang tergambar dalam
dialog antara suami-istri, Ranta dan Ireng. Yaitu:
“Pergi juga, Pak? Nyolong bibit karet?
Dengar, Reng. Memang aku sering nyolong. Tapi bukan karena kemauanku aku jadi maling.
Kalau ditangkap, Pak?
….. tentu saja tak ada seorang juga mau jadi maling, Ireng…..
Kalau dipukuli orang banyak, Pak, dipukuli penjaga onderneming…..
Jangan doakan, Ireng, jangan.
Pak! Pak!
Sekarang ini mereka yang tentukan hidup kita, Ireng. Mereka!
……
Mereka! Yang datang pada kita hanya untuk menyuruh kita jadi maling. Mereka! Yang hidup memisah dari kita, seperti binatang buas di rima. Mereka, yang dalam kepalnya Cuma ada pikiran mau mangsa sesamanya. Mereka! Mereka!” (Hal. 20-21)
Bukan hanya dialog di awal kepergian tokoh Ranta yang hendak mencuri, tetapi
juga dialog ketika Ranta usai terpaksa mencuri, dalam dialognya Ranta
menggambarkan keadaan pada zaman tersebut di mana orang-orang DI tak berbeda
dengan binatang buas.
“Kenapa, Pak? Kenapa? Mana pikulan? Mana golok?
Hilang! Semua. Dirampas binatang-binatang buas itu juga.Mereka!
Aku tak takut dibui. Mereka suruh aku curi bibit karet onderneming. Aku bawakan sampai dua kali balik. Mereka bilang. ‘Cukup, pulang kau1’ aku Tanya, ‘mana upahku?’ mereka beri aku upah pukulan rotan, merampas pikulan dan golokku. Tahu apa mereka bilang? ‘Jangan berani-berani ke sini curi bibit karetku, ya?’
Ireng merintih
Cuma orang semacam Juragan Musa bisa berbuat begitu!” (Hal. 25)
Hal edan yang terjadi pada saat itu adalah orang miskin dipaksa mencuri untuk Juragan
Musa, lalu ketika selesai mencuri dan hasil curianpun sudah berada di tangan Juragan
Musa maka dipukuli dan disiksalah pencuri suruhannya tadi dengan alasan ketahuan
mencuri bibit karet onderneming, padahal karena ia terlalu tamak dan tak ingin memberi
upah pada pencuri suruhannya tersebut.
Kondisi kehidupan masyarakat yang pada masa itu identik dengan menjadi maling juga
Nampak dari ujaran-ujaran tokoh Ranta yang baru saja dipaksa mencuri lagi disiksa
oleh Juragan Musa, yaitu:
“Biarlah. Membunuh dia tak ada gunanya. Kita sudah dibuatnya jadi maling. Tapi mereka juga dibuat jadi maling.
Kekayaannya mereka peroleh dari maling. Ireng, kau ingat waktu anak kita yang pertama sakit keras, pinjam hutang pada mereka? Anak kita meninggal. Panen seluruhnya mereka ambil. Kita kelaparan, terpaksa jual tanah. Mereka juga ambil tanah kita. Berapa harganya? Tak cukup buat modal gadang di pasar! Ludas! Tandas! Kuras!” (Hal. 26)
3. 4 Berisikan perlawanan terhadap segala sesuatu yang berbau “humanisme-
borjuis” untuk memenangkan “humanisme-proletar” dan berupaya untuk
menghapus klas-klas serta pelapisan atas manusia, serta melenyapkan
kemungkinan munculnya minoritas yang mengeksploitasi tenaga mayoritas yang
produktif.
Kondisi adanya dominasi kekuasaan yang mengambil setting tempat di Banten
Selatan ini salah satunya ditunjukkan oleh dialog tokoh pemikul singkong yang tengah
beristirahat sambil merokok, yaitu:
“Huh! Ingat kau, jalan ini dulu kita yang buat. Dulu, ramai-ramai, rodi. Apa sekarang?
Lewat jalan yang kita buat sendiri kita bayar pajak pada onderneming. Dua pintu jalan, dua kali pajak. Kalau kau coba-coba beli gerobak, berapa pajak mesti dibayar, tiap kali dua pintu jalan onderneming itu?!” (Hal. 13)
Kondisi tersebut juga apat dilihat dari dialog Ireng dan suaminya.
“Ireng segera menyambar:
Kalau dia mau, siapa di antara kita bisa lawan? Dia tak pakai tenaga badannya. Dia punya uang. Kita tak bisa lawan uangnya. Dia punya kawan orang-orang besar. Kita Cuma punya kawan orang kecil-kecil.
Ranta memutuskan kata-kata isterinya:
Kita sudah bosan putus asa. Kita takkan putus asa lagi. Kita akan perbaiki keadaan kita. Bukan, Ireng?” (Hal. 31)
Upaya untuk menghapus klas-klas serta pelapisan atas manusia, serta
melenyapkan kemungkinan munculnya minoritas yang mengeksploitasi tenaga
mayoritas juga tercermin dari dialog tokoh Komandan usai berjuang melawan
pemberontakan. Komandan berterimakasih pada Ranta sebagai Lurah yang telah
mencetuskan semangat gotong-royong yang berimbas pada stabilitas keamanan
masyarakat setempat dari pemberontakan DI.
“Begini, Pak Lurah, kamilah yang seharusnya berterimakasih. Baru sekali ini sejak jadi Komandan di sini kami dapat menghancurkan gerombolan dengan begitu baik, dan sudah dua kali pula. Malah menangkap biangkeladinya. Tak pernah sebelumnya ini terimpi-impi oleh kami.
Ranta mendesak terus, tapi sekarang sambil melepas tangan Komandan:
Itu memang kewajiban Bapak, tapi hasilnya buat kami.
Hahah, sebenarnya kita semua wajib berterimakasih pada semangat gotongroyong, pada semangat persatuan …………….. “(Hal. 101)
3. 5 Memiliki watak yang jelas, di antaranya yaitu militansi sebagai ciri tak kenal
kompromi dengan lawan.
Watak yang tegas dan tak kenal kompromi diperlihatkan oleh tokoh Nyonya, istri
drai Juragan Musa yang meminta cerai pada suaminya tersebut. Sekalipun tidak jadi
bercerai, tetapi pada akhirnya mereka tidak bersama lagi, sebab juragan Musa terbukti
sebagai Residen DI yang kemudian ditangkap dan dihukum sebagai pemberontak.
“Jadi kau mau khianati aku?
Jadi kau sudah lupa, orang tuaku dihabisi DI? Keluargaku lari tungganglanggang karena DI. Sekarng aku baru tahu engkau sendiri ini pembesar DI!
Juragan Musa berdiri, bertolak pinggang dan meradang juga
Kau punya pura-pura alim! Kau yang pura-pura saleh! Kau murtad pada takdir Tuhan. Tuhan sudah pilih aku jadi hambaNya untuk menegakkan hukumNya.
Penipu!
Jadi kau minta direjam seperti yang lain-lain?
Tempat kita terpencil. Engkau pembesar DI. Engkau suamiku. Tak ada yang mengahalangi kau merejam aku. Rejamlah.
Tangan Juragan Musa melayang. Nyonya jatuh terduduk. Dan sewaktu duduk nyonya menyeka mulutnya yang berdarah sambil berkata muak.” (Hal. 54-55)
3. 6 Berupaya mempercepat pembangunan kalangan sendiri dengan membela
humanisme-proletar dan berupaya untuk menciptakan dunia baru yang dibangun
di atas landasan keadilan yang merata.
Ciri lain dari aliran realism-sosialis di antarnya adalah adanya muatan yang
berupaya mempercepat pembangunan kalangan sendiri dan menciptakan dunia yang
adil. Hal ini tampak dari deskripsi seorang tokoh mengenai kondisi masyarakat saat itu
yang lebih baik dari pada sebelumnya. Yaitu ketika Ranta telah menjadi seorang Lurah.
“Ah, Pak Lurah, tanpa kutanyai, orang-orang sudah bilang: keadaan sekarang sudah mulai baik benar.” (Hal. 75)
“Begini, Pak Lurah. Kami mendapat laporan, gerombolan Oneng sudah ada di sekitar daerah kita ini. Pak Lurah sendiri tahu, kekuatan tentara di sini tidak besar. Maksudku, barangkali Pak Lurah bisa kasih bantuan mempertahankan keamanan daerah ini, tentara bersama rakyat. Dan seboleh-boleh jangan sampai ada jatuh korban.
…….
Dengan sungguh-sungguh Pak Lurah menyarankan:
Kita persatukan rakyat, kita lawan musuh bersama-sama. Kita pergunakan bambo untuk ranjau-ranjau. Kita pergunakan tong-tong di tiap rumah untuk menyampaikan berita dan mengerahkan rakyat untuk melawan musuh bersama.
Komandan menengahi:
Maksudmu gotong-royong?
Tentu, Pak. Cobalah pikir. Pak, kami di sisni hanya tahu tanah dan pacul. Mereka punya senjata dan gerombolan. Kalau kita tidak mau bersatu, tidak mau gotong-royong, apa yang kami bisa perbuat dengan Cuma tahu tanah tahu pacul ini!
……
Begitulah, Pak. Kita bersama-sama bergotong-royong membuat pertahanan, jebakan, ranjau-ranjau. Jalanan di sini tidak banyak. ” (Hal. 77-78)
Percepatan pembangunan kalangan sendiri dengan membela humanisme-
proletar ini juga nampak dalam penggambaran situasi setelah usai masyarakat
berjuang melawan pemberontakan.
“Pak Lurah tersenyum puas. Berkata:
Jadi sudah datang semua. Bagus. Nah, saudara-saudara, kalian semua ketua Rukun Tetangga. Rukun tetangga di sini didirikan buat bantu pemerintahan desa, dan pemerintahan desa dipulihkan buat bantu saudara semua. Kita Cuma tahu
bantu-membantu, gotong-royong, gugurgunung, kerjabakti, bersaudara, satu dengan yang lain, satu dengan semua, semua yang satu. Semua itu saudara-saudara sudah hafal. Nah, sekarang ada soal penting. Dengarkan baik-baik: Gerombolan akan datang menyerang lagi. Tentara yang ditempatkan di desa terpencil ini cuma sedikit. Kita semua harus ikut melawan.” (Hal. 85)
…….
“Apa salahnya? Mengapa mesti apa salahnya? Kita semua tahu, kita mesti melawan. Kalau kita tidak melawan seperti selama ini, kita dibunuhi, dibakari, seperti kucing! Melawan atau tidak, mereka mau binasakan kita. Karena itu kita mesti melawan! Kalau kita susun perlawanan kita baik-baik, kita pasti menang. Nah, siapa keberatan?
Seorang tua, yang sudah berjenggot dan berkumis putih, menyambut sambil tertawa:
Memang. Kita tak bisa mengandalkan diri pada tentara dan OKD saja. Kita sendiri mesti belajar mempertahankan keselamatan kita sendiri. Bukan saja dari keganasan gerombolan, juga dari kemiskinan dan bencana alam.” (Hal. 85)
“Dan orang tua itu meneruskan:
Kalau kita tak bisa seorang diri pertahankan keselamatan kita, nah, kita kerja beramai-ramai. Coba perhatikan, turuntemurun kita hidup morat-marit. Kenapa? Karena tidak mengerti, kalau kita bersatu, bersama-sama kerja, bersama-sama bela diri, sebenarnya kekuatan kiata jauh lebih besar. Semua saja bisa kita kerjakan. Jangankan waduk buat seluruh desa kita, biar penjajah bisa kita usir!” (Hal. 86)
3. 7 Menampakkan adanya peringatan bahwa kapitalisme adalah musuh manusia
dan kemanusiaan serta mengupayakan rakyat untuk berani melakukan orientasi
terhadap sejarahnya sendiri.
Peringatan mengenai kapitalisme sebagai musuh tampak menonjol sebagai ciri
dari relisme-sosialis. Oleh karena sosialisme sangat bertolakbelakang dengan paham
kapitalisme maka penentangan terhadap kapitalisme menjadi salah satu ciri dominan
dalam realisme-sosialis. Kapitalisme yang terjadi digambarkan oleh deskripsi tokoh
yang memperlihatkan situasi dan kondisi yang kacau di wilayah Banten Selatan
tersebut. Salah satu gambaran tersebut adalah cerita yang diungkapkan oleh
Komandan khususnya mengenai Juragan Musa yang cukup kapitalis.
“Sudah lama daerah sini kacau. Gerombolan terus-menerus menggedor, membakari rumah. Sampai keluarga yang paling miskin tak luput dari kebiadabannya. Tapi aneh, Juragan Musa yang kaya ini tidak pernah diganggu olehnya. Mengapa? Nah, kami curiga.
…..
Juragan benar. Tetapi ada bukti-bukti yang membuat kami curiga. Juragan punya hubungan akrab dengan gerombolan pengacau.
……
Tak perlu kuwatir. Kekuwatiran hanya bagian pendurhaka.
…..
Jadi bagaimana sekarang, Pak Residen? Mengaku?
……
Sudah tiga bukti menyatakan, kau Residen DI. Pertama-tama isterimu sendiri menyebut kau pembesar DI. Kedua Pak Lurah sini, yang sekarang baru ketahuan orang DI juga, dan ketiga surat-surat dalam tas Juragan sendiri.” (Hal. 56)
“Dengar, Juragan Musa. Daerah sini daerah paling kacau. Sudah kuusahakan bermusyawarah dengan orang-orang terkemuka di sini dan Pak Lurah, tapi apa buktinya? Bukti-buktinya: Juragan dan Pak Lurah sendiri pengkhianat rakyatnya sendiri. Juragan Musa berjanji mau bantu kami. Sebagai orang beragama, tidak layak memungkiri janji. Tidak layak berkhianat! Islam tidak mengajarkan dan mewajibkan pengkhianatan pada rakayat dan sesamanya. Juragan Musa dan Pak Lurah ikut bertanggungjawab atas peristiwa-peristiwa pembunuhan, perampokan dan penganiayaan di daerah sini. Dengar…”(Hal. 66)
Adanya kapitalisme yang menyengsarakan rakyat juga tercermin dalam monolog
tokoh Nyonya, istri dari Juragan Musa, Sang Kapitalis dalam Novel ini.
“Satu pendurhaka dapat hancurkan seluruh kebahagiaan tiap orang, seluruh bangsa. Banar! Tapi keselamatan tiap orang, seluruh bangsa, cuma dapat dilaksanakan oleh semua orang. Pelaksanaan ini mungkin, kalau ada persatuan, kerukunan, persaudaraan. Hati-hatilah! Hati-hatilah! Satu orang bisa hancurkan kita semua. Tapi kesejahteraan kita harus diciptakan oleh semua kita bersama-sama. Ya, itu gotongroyong, kan?” (Hal 108)
Juga dengan dialog Komandan yang tengah bertukar pengalaman seraya
mengupayakan masyarakat untuk berani melakukan orientasi terhadap sejarahnya
sendiri.
“Komandan itu menegakkan badannya dan bertanya:
Dari dulu aku bilang, barangkali kau sendiri pernah dengar, kita semua mesti bisa kerjasama. Kerjasama dalam segala hal: mengamankan daerah sendiri, merawat daerah sendiri, memakmurkan daerah sendiri, dan juga, menjaga ketertiban dan keselamatan bersama. Dengar! Dari dahulu kita hidup kocarkacir, melarat, dan miskin. Mengapa? Karena orang semuanya ini tidak rela kerjasama. Karena itu juga kalian dulu tidak punya sekolah untuk anak-anak kalian. Tidak punya jalanan yang baik. Baru berapa bulan kita mau kerjasama? Lihat sendiri, sudah begitu banyak kita dapat perbuat.” (Hal 115)
3. 8 Menampakkan adanya semangat yang diberikan kepada masyarakat berupa:
ungkapan pedagogis dan sugestif, ajakan dan dorongan untuk tetap tegap
melawan penindasan demi terciptanya keadilan merata bukan sekadar
berdasarkan emosi tetapi juga berdasarkan ilmu dan pengetahuan.
Ungkapan pedagogis dan sugestif, dan dorongan untuk tetap tegap melawan
penindasan demi terciptanya keadilan merata sebagai penyemangat bagi masyarakat
terlihat dalam dialog tokoh-tokohnya, seperti Komandan yang memberikan keparcayaan
terhadap Ranta untuk menjadi Lurah sementara sebab Lurah sebelumnya ternyata
adalah seorang pengkhianat yang terbongkar melalui jasa Ranta.
“Aku percaya padamu, Ranta. Mulai hari ini kau jadi lurah sini. Kau harus ikut jaga keamanan dengan kami. Sudah jangan bantah.” (Hal 73)
Juga dalam percakapan antara Rodjali dengan Ranta ketika membahas mengenai
pemberontakan, persatuan dan kebenaran.
“Nasib kita akan lebih buruk kalau mereka membalas dendam.
Sambil bangkit dari kursi Ranta membantah:
Tidak, kalau kita bersatu.
Biar bersatu, mereka punya senjata.
Tidak, kita bersatu dan juga melawan, bahkan menyerang. Ah, Djali, kau berpikir secara dulu juga seperti yang lain-lain. Begini Djali, kalau ada persatuan, semua bisa kita kerjakan, jangankan rumah, gunung dan laut bisa kita pindahkan.
Sejenak Rodjali berseri-seri, kemudian bertanya:
Dan kemiskinan kita?
Itu juga mudah kita lawan. Persatuan saja modalnya. Pertama-tama kita mesti jadi sahabat dan saudara satu dengan yang lain. Kau ingat saluran air sawah yang dangkal dan ditumbuhi semak-semak sejak zaman Jepang dulu? Nah, kalau ada persatuan, kita akan gali beramai-ramai, kemudian sawah kita akan makmur lagi.
Kemudian dengan irama mendongeng Ranta bercerita:
Kalau kita semua tidak mau bersatu, kita semua akan berkelahi terus-menerus satu dengan yang lain. Apa akhirnya? Akhirnya barangsiapa kuat, dia berubah menjadi binatang buas. Tiap hari dia mangsa hidup kita, rejeki kita, anak dan bini kita, kebahagiaan kita, semua-muanya. Binatang-binatang buas ini menarik diri, tidak mau bergaul dengan sesamanya. Mereka keluar dari sarang hanya untuk mencari mangsa. Tapi bila sekali waktu binatang buas ini bertemu dengan binatang buas lainnya, kita semua disuruhnya membantu. Orang-orang lemah yang tidak bisa jadi binatang buas, barang ke mana pergi, dia tetap akan menjadi mangsa. Barang apa dikerjakannya, dia akan tetap jadi mangsa. Kau dengar, Djali?
Abdi dengar, Pak Lurah. Tapi abdi lebih percaya pada kebenaran.
Kau belum banyak makan garam, Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat Palembang, Surabaya, Jakarta, Bandung. Di mana-mana sama saja. Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar……….” (Hal. 76-77)
Tokoh Ranta yang tengah menenangkan kerisauan akan kemungkinan timbulnya
pemberontakan yang tak dapat diterka kapan datangnya secara langsung maupun
menjadi media penyemangat bagi masyarakat, juga didasarkan bukan hanya sekadar
emosional semata, melainkan pertimbangan yang matang lagi bijak.
“Dengar kalian tak perlu takut. Kalian punya anakbuah. Satu-satunya yang menelamatkan kita semua Cuma persatuan, persaudaraan. Jadi, pulanglah saudara ke tempat masing-masing. Pasang ranjau-ranjau bamboo terpendam di
tempat-tempat yang bakal dilewati gerombolan. Panah dan sumpit bagikan pada semua orang, laki, perempuan, tua, muda, semua sebaiknya ikut membantu. Nanti sore aku akan datang ke tempat-tempat saudara, ikut mengatur. Nah, sekarang pulanglah. Jangan pikirkan yang lain-lain, selain menumpas gerombolan. Kalau gerombolan dapat dihalaukan dari tempat ini, baru kita bisa bekerja dan hidup dengan aman.” (Hal 86)
“Siapkan tanaman duren dan kelapa buat kalian waktu kalian masih bayi? Kalian sendiri? Ha-ha! Orangtua, kakek kalian! Kalau semua orang cuma mau menanam buat diri sendiri, bagaimana anak-cucu kita!
Seorang orang tua dalam kelompok itu mengusulkan suaranya:
Saudara-saudara, sebenarnya tidak ada orang yang bertanam buat dirinya sendiri.
Ranta berteriak mengatasi keributan yang timbul:
Benar! Juga kita hidup bukan untuk diri kita, tetapi buat anak-cucu kita!”(Hal 118)
3. 9 Pengarang menguasai realitas kehidupan sosial tanah airnya dan dengan
bimbingan humanisme-proletar memperjuangkan kepentingan tanah air dan
rakyat.
Isi dari novel ini menunjukkan kepiawaian penulis dalam mereportase sebuah
kejadian. Ialah Pram yang menuliskan pengalaman dan penguasaan realitas di Banten
selatan pada akhir tahun 1957. Hal ini nampak dari prolog yang disajikan penulis yang
berkaitan dengan latar tempat dan waktu. Dialog para tokohnya dalam
memperbincangkan realitas yang terjadi sebagai muatan cerita. Alur yang maju-mundur
tampak tak berbias dengan kehidupan seorang manusia.
Di samping itu, bukti yang lebih eksplisit yang menerangkan bahwa pengarang
novel ini menguasai realitas dan juga mendapat bimbingan dari kaum proletar ada pada
pengantar, baik yang ditulis oleh pihak penerbit, maupun Pram sebagai penulis novel.
Salah satu kutipan yang memperlihatkan hal tersebut adalah pengantar yang ditulis
Pram dalam paragraf kedua, yaitu:
“Beberapa orang tokoh dalam cerita ini diambil dari orang-orang yang pernah Pram temui di daerah Banten Selatan, orang-orang yang mengenal
daerah ini, yang ikut dengan sukaduka perkembangan daerahnya, dan sedikit banyak pernah menceritakan kepadanya tentang hal-hal yang pernah mereka alami den mereka dambakan. Seorang di antaranya adalah Lurah, seorng lagi bekas mandor yang ikut kerja rodi membuka jalan antara Pelabuhan Ratu dan tambang mas Cikotok, beberapa buruh tambang, dan petani yang pada waktu itu sedang kerjabakti memperbaiki jalan yang tertimpa tebing longsor.”(Hal. Pengantar)
BAB 3
PENUTUP
Seperti aliran sastra lainnnya, aliran realisme juga berkembang di Indonesia.
Melalui karakteristiknya aliran realisme kemudian memiliki fokus yang lebih spesifik lagi.
Realisme-sosialis adalah pempraktikan sosialisme di bidang kreasi sastra. Ciri dari
realisme-sosialis di antaranya adalah wataknya yang sejalan dengan keradaannya
dalam bidang sastra yang melingkupi adanya front perjuangan. Realisme-sosialis di
Indonesia berkembang oleh adanya peranan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Karya sastra Indonesia bergenre novel yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten
Selatan karya Pramoedya Ananta Toer adalah sebuah wujud di mana aliran realism-
sosialis berkembang di negeri Indonesia. Karya-karya Pram yang didaulat sebagai
karya (novel) sejarah telah berhasil mendokumentasikan hadirnya realism-sosialis yang
lebih lanjut diperlihatkan melalui karakteristik atau ciri-ciri yang terdapat dalam novel
tersebut.
Ciri-ciri realisme-sosialis dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan secara
dominan terlihat dari percakapan para tokohnya. Novel yang sebagian besar memang
berisikan dialog ini memberikan suguhan cerita mengenai kondisi tertentu pada sebuah
zaman, yaitu pada masa pemberontakan DI di Banten Selatan, dengan tingkah laku
manusia yang temporal pada masa itu.
Berbagai ciri lain mengenai realism-sosialis yang berkembang di Indonesia
diperlihatkan dari sejumlah catatan dan keterangan yang secara personal diberikan
oleh penulis dan dimuat dalam pengantar novel ini.