Alfan Endarto - Rheumatoid Arthritis

36
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik yang tidak diketahui pasti penyebabnya yang ditandai dengan poliarthritis perifer dan simetris. Keduanya pada umumnya merupakan akibat dari inflamasi arthritis dan kerusakan sendi, serta gangguan fisik. Karena RA merupakan penyakit sistemik, RA menimbulkan berbagai manifestasi ekstraarticular, termasuk kelelahan, nodul pada lapisan subcutaneous, lung involvement, pericarditis, neuropati perifer, vaskulitis, dan keabnormalan dari hematologi (Braunwald, et.al., 2012). Rheumatoid arthritis merupakan bentuk arthritis inflamasi yang menyebabkan nyeri sendi dan kerusakan. Rheumatoid arthritis menyerang lapisan sendi (sinovium) menyebabkan pembengkakan yang dapat menyebabkan sakit, berdenyut-denyut dan akhirnya cacat (Suryana, 2010). B. Etiologi dan Faktor Predisposisi 1. Faktor Genetik 3

description

Alfan Endarto - Rheumatoid Arthritis

Transcript of Alfan Endarto - Rheumatoid Arthritis

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik yang tidak diketahui pasti penyebabnya yang ditandai dengan poliarthritis perifer dan simetris. Keduanya pada umumnya merupakan akibat dari inflamasi arthritis dan kerusakan sendi, serta gangguan fisik. Karena RA merupakan penyakit sistemik, RA menimbulkan berbagai manifestasi ekstraarticular, termasuk kelelahan, nodul pada lapisan subcutaneous, lung involvement, pericarditis, neuropati perifer, vaskulitis, dan keabnormalan dari hematologi (Braunwald, et.al., 2012).Rheumatoid arthritis merupakan bentuk arthritis inflamasi yang menyebabkan nyeri sendi dan kerusakan. Rheumatoid arthritis menyerang lapisan sendi (sinovium) menyebabkan pembengkakan yang dapat menyebabkan sakit, berdenyut-denyut dan akhirnya cacat (Suryana, 2010).

B. Etiologi dan Faktor Predisposisi1. Faktor GenetikPenyebab penyakit rheumatoid arthritis (RA) belum diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian RA, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan HLA class II histocompatibility antigen, DRB1-9 beta chain (HLA-DRB1) dengan kejadian RA telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan RA seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-B) (Suarjana, 2009).Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada RA. Faktor genetik juga berperanan penting dalam terapi RA karena aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme methoraxate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar monozigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya RA lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan RA yang mengekspresikan HLA-DL1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuain sebesar 80% (Suarjana, 2009).2. Hormon SeksPrevelansi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon seks berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala RA selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. Selain itu, terdapat juga perubahan profil hormon. Placental corticotropin releasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus (Suarjana, 2009).Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular (Th1). Oleh karena pada RA respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan RA. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah kemungkinan RA atau berhubungan dengan penurunan insiden RA yang lebih berat (Suarjana, 2009).

3. Faktor InfeksiBeberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab. Organisme diduga menginfeksi sel induksi sel (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyakit (Suarjana, 2009).Tabel 1. Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab RA Agen infeksiMekanisme patogenik

MycoplasmaInfeksi sinovial langsung, superantigen

Parvovirus B19Infeksi sinovial langsung

RetrovirusInfeksi sinovial langsung

Enteric bacteriaKemiripan molekul

MycobacteriaKemiripan molekul

Epstein-Barr VirusKemiripan molekul

Bacterial Cell WallsAktivasi mikrofag

4. Protein heat shock (HSP)HSP adalah protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon terhadap stress. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikobacterium tuberkulosis mempunyai untain 65% yang homolg. Hipotesisnya dalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pad agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular mimcry) (Suarjana, 2009).

C. Anatomi sendiBeberapa komponen penunjang sendi Velyn C. Pearce. 2006):1. Kapsula sendi adalah lapisan berserabut yang melapisi sendi. Di bagian dalamnya terdapat rongga.1. Ligamen (ligamentum) adalah jaringan pengikat yang mengikat luar ujung tulang yang saling membentuk persendian. Ligamentum juga berfungsi mencegah dislokasi.1. Tulang rawan hialin (kartilago hialin) adalah jaringan tulang rawan yang menutupi kedua ujung tulang. Berguna untuk menjaga benturan.1. Cairan sinovial adalah cairan pelumas pada kapsula sendi.Macam-macam persendian berdasarkan pergerakannya :1. SinartrosisAdalah persendian yang tidak memperbolehkan pergerakan. Dapat dibedakan menjadi tiga:1. Sinartrosis sinfibrosis (sindemosis): sinartrosis yang tulangnya dihubungkan jaringan ikat fibrosa. Contoh: persendian tulang tengkorak, antara gigi dan rahang, antara radius dan ulna1. Sinartrosis sinkondrosis: sinartrosis yang dihubungkan oleh tulang rawan. Contoh: hubungan antarsegmen pada tulang belakang.1. Sinostosis : Persambungan tulang dipisahkan olehjaringan tulang misalnya persambungan pada os ilium, os iskium,dan os pubikum1. DiartrosisDiartrosis adalah persambungan antara dua tulang atau lebih yang memungkinkan tulang-tulang bergerak satu sama lain. Diantara tulang-tulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang disebut kavum artikulare. Diartrosis ini juga disebut sebagai sendi sinovial yang tersusun atas bonggol sendi (kapsul retikuler), bursa sendi dan ikat sendi (ligamentum).Dapat dikelempokkan menjadi:1. Sendi peluru: persendian yang memungkinkan pergerakan ke segala arah. Contoh: hubungan tulang lengan atas dengan tulang belikat.1. Sendi pelana: persendian yang memungkinkan beberapa gerakan rotasi, namun tidak ke segala arah. Contoh: hubungan tulang telapak tangan dan jari tangan.1. Sendi putar: persendian yang memungkinkan gerakan berputar (rotasi). Contoh: hubungan tulang tengkorak dengan tulang belakang I (atlas).1. Sendi luncur: persendian yang memungkinkan gerak rotasi pada satu bidang datar. Contoh: hubungan tulang pergerlangan kaki.1. Sendi engsel: persendian yang memungkinkan gerakan satu arah. Contoh: sendi siku antara tulang lengan atas dan tulang hasta.1. AmfiartosisPersendian yang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan sehingga memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Misalnya sendi sacro iliaka dan sendi- sendi antara corpus vertebra. Sendi sinovial umumnya dijumpai pada ekstremitas. Pada sendi ini ditemukan adanya celah sendi, rawan sendi, membran sinovium serta kapsul sendi.1. Simfisis Tulang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan yang berbentuk seperi cakram. Contoh: hubungan antara ruas-ruas tulang belakang (Velyn C. Pearce. 2006)

Gambar 1. Sendi synovialD. PatofisiologiPeranan sinovial mediator pada ARSynovial mediator ataupun sitokin yang dihasilkan akibat adanya aktivasiberbagai sel imunokompeten mengaktivasi endotel vaskuler, dan sel-sel inflamasi lainnya yang akhirnya sel-sel tersebut mensekresi sitokin. Pada AR tampak gangguan keseimbangan sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi yang menyebabkan otoimunitas berjalan. Berbagai sitokin terlibat pada kerusakan dan inflamasi sinovium. Interleukin-1 dan TNF- merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalampathogenesis AR. Kedua sitokin ini merupakan stimulator yang kuat sel-sel fibroblastsinovium, osteoklas dan kondrosit ( Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007).

Tabel 1. Sitokin- sitokin yang terlibat dalam patologi RASuatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+ (Suryana, 2010).Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor (TNF-), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4 (Suryana, 2010).Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial (Suryana, 2010). Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi (Suryana, 2010).Prostaglandin E2(PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat (Suryana, 2010). Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terbentuk dari makrofag dan sel-sel radang lainnya, factor pertumbuhan (Fibroblast Growth Factor, FGF) yang menyebabkan proliperasi fibroblast serta faktor angiogenesis (Vascular Endothelial Growth Factor, VEGF) yang membentuk pembuluh darah baru ( neovaskularisasi) (Suryana, 2010).

Gambar 2. Mekanisme erosi sendi oleh osteoklast pada AR

Gambar 3. Peran sentral IL-1 dan TNF- dalam pathogenesis AR

E. Klasifikasi Sumariyono (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu: 1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.

F. Diagnosis1. Anamnesis Anamnesis yang terarah dan mendetail memegang peran penting dalam menentukan asal/sumber keluhan pasien dan membantu memfokuskan evaluasi lanjutan yang diperlukan. Terdapat 3 pertanyaan penyaring adanya kelainan muskuloskeletal yaitu: 1. adakah nyeri atau kakaku pada otot, sendi atau tulang belkang, 2. apakah dapat mengenakan pakaian secara lengkap tanpa kesulitan, 3. bisakah naik atau turun tangga tanpa kesulitan (Sumariyono, 2010). Terdapat beberapa hal yang harus ditentukan oleh dokter / mendapat jawaban pada anamnesis (Sumariyono, 2010): Apakah masalah pada pasien regional atau general, simetris atau asimetris, perifer atau sentral? Apakah akut atau kronis? Apakah progresif? Apakah gejalanya mengesankan inflamasi atau bukan inflamasi atau kerusakan struktural? Apakah ada gejala atau proses sistemik? Apakah ada penyakit yang mendasari, yang merupakan predisposisi masalah reumatik tertentu? Apakah terdapat gangguan fungsional atau kecacatan? Adakah riwayat keluarga yang memiliki keluhan yang sama atau berlebihan.Melalui anamnesis yang terarah dan mendetail tersebut sebagian besar keluhan reumatik sudah dapat dikelompokkan bahkan diagnosispun sering bisa ditegakan. Pada artritis rheumatoid gejala utama adalah nyeri sendi, perlu diingat bahwa RA adalah penyakit sistemik sehingga memberikan manifestasi berupa demam, berat badan turun dan fatique. Pada umumnya onset nyeri dan bengkak sendi perlahan-lahan selama beberapa minggu sampai bulan, tetapi sebagian kecil kasus ada yang memberikan gejala poliartritis yang mendadak berat. Kadang kadang ada yang memberikan gejala awal self-limites episode mono atau oligoartikular selama beberapa hari atau minggu yang kemudian berulang kembali, yang sering disebut sebagai palindromic rheumatism (Sumariyono, 2010). Sendi yang umumnya terlibat pada RA adalah sendi kecil seperti sendi pergelangan tangan, MCP, PIP, dn MTP. Sendi besar seperti ankle, lutut, siku dan bahu juga sering terlibat. Sendi DIP dan thoracolumbal hampir tidak pernah terlibat RA. Sendi yang terlibat umumnya simestris dan kaku pagi biasanya lebih dari 1 jam. Hal ini merupakan ciri khas RA dan dimasukan kriteria klasifikasi menurut ACR 1987. Pada sebagian besar kasus RA perjalanannya kronik dan progresif dan bila tidak mendapatkan pengobatan adekuat akan mengakibatkan kerusakan sendi (Sumariyono, 2010).2. Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik pada keluhan muskuloskeletal meliputi sendi beserta struktur yang mendukungnya, tulang dan otot yang menggerakannya. Inspeksi meliputi penilaian ada tidaknya pembengkakan, perubahan warna kulit (kemerahan), atrofi otot, apakah deformitas serta apakah simetris dengan sisi kontralateral. Palpasi menilai apakah lebih hangat dan apakah terdapat nyeri. Untuk menilai fungsi pergerakan sendi dapat dilakukan secara aktif maupun pasif. Lingkup gerak sendi bisa akibat peradangan tetapi bisa juga akibat kerusakan struktural pada sendi (Sumariyono, 2010).Pada artritis rheumatoid manifestasi artikular merupakan penemuan pemeriksaan fisik yang paling banyak ditemukan. Biasanya didapatkan bengkak, nyeri hangat dan kemerahan yang simetris. Pada penyakit yang lanjut sering didapatkan deformitas, seperti deviasi ulnar jari-jari, subluksasi sendi MCP, hiperekstensi (swan neck) atau hiperefleksi (boutonniere) pada sendi PIP. Berkurangnya lingkup gerak sendi pada pergelangan tangan dan siku bisa terjadi akibat sinovitis atau karena kerusakan rawan sendi (Sumariyono, 2010). Pada RA yang disertai keterlibatan vertebrata servikal biasanya memberikan gejala kekakuan leher. Manifestasi ekstraartikular bisa ditemukan pada 50% kasus selama perjalanan penyakit AR. Manifestasi ekstrartikuler yang paling sering ditemukan adalah sjogren syndrome. Manifestasi ekstraartikuler lainnya bisa berupa skleritis dan perikarditis, uveitis, keratitis, nodul rheumatoid, episkleritis, sindrom felty, interstitiel lung disease, neuropati akibat jepitan saraf, vaskulitis serta ganggguan hematologi, ginjal, dan hati (Sumariyono, 2010).3. Pemeriksaan penunjanga. Pemeriksaan LaboratorisTidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis artritis reumatoid. Beberapa hasil uji serologis laboratorium menunjukan adanya kenaikan titer antibodi IgM yang bereaksi terhadap perubahan IgG -1 dan IgG -2 yang juga meningkat. Faktor reumatoid (RF) ditemukan negatif (0,7 pg/mL (Suarjana, 2009).Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan kenaikan laju endap darah (LED) hingga >30mm/jam. Kenaikan CRP atau LED dapat digunakan untuk memonitor perjalanan penyakit (Suarjana, 2009). Pada AR sering pula ditemukan penurunan kadar Hb yang bila kemudian diperiksa melalui apusan darah tepi menunjukan anemia normositik normokrom akibat pengaruhnya pada sumsum tulang (Price, 2005). Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai 2000/L dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan pada artritis, namun hal tersebut tidak mendiagnosis RA (Sumariyono, 2010).Pemeriksaan cairan sinovial diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal, kultur negatif, dan kadar glukosa rendah (Suarjana, 2009). Analisi cairan sinovial tidak menunjukkan satupun temuan spesifik untuk artritis reumatois, namun menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun, dan peningkatan kandungan protein (Sumariyono, 2010).b. Pemeriksaan RadiologisFoto polos sendi mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit, Foto pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya (Suarjana, 2009). Setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya struktur rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel (Price, 2005).c. Pemeriksaan MRIMagnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan gambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid. MRI mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos dan dilengkapi dengan tampilan struktur sendi yang lebih rinci (Suarjana, 2009).

Gambar 1. Pasien RA menunjukkan adanya penebalan jaringan ikat dan penyempitan celah sendi interphalanx proksimal (sumber: American Journal of Roentgenology)Gambaran patognomonik artritis reumatoidPatognomonik RA adalah munculnya nodul-nodul reumatoid yang merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis (Eisenberg RL, Johnson NM, 2003). Kekakuan selama minimal 1 jam dan artritis yang simetris juga menjadi gejala khas dari RA (Suarjana, 2009).

Gambar 2. Nodul reumatoid di zona persendian lutut (sumber: University of California, Sandiego)

Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid menurut American Rheumatism Association (ARA) Revisi 1987 (Sumariyono, 2010) dapat dilihat pada Tabel 2. dibawah ini.Tabel 2. Kriteria Diagnosis RA menurut ARA (1987)KriteriaDefinisi

1. Kaku pagi hariKekakuan pada pagi hari pada persendian dan disekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal

2. Artritis pada 3 daerahPembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14 persendian yang memenuhi kriteria yaitu PIP, MCP, pergelangan tangan, siku pergelangan kaki dan MTP kiri dan kanan.

3.Artritis padapersendian tanganSekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti yang tertera diatas.

4. Artritis simetrisKeterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi, keterlibatan PIP, MCP atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris.

5. Nodul rheumatoidNodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta-artrikular yang diobservasi oleh seorang dokter.

6.Faktor rheumatoid serumTerdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.

7. Perubahan gambaranPerubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi arthritis reumotoid pada periksaan sinar X tangan posteroanterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak memenuhi persyaratan).

Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita artritis reumatoid jika ia sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 4 harus terdapat minimal selama 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis tidak dieksklusikan. Pembagian diagnosis sebagai artritis reumatoid klasik, definit, probable atau possible tidak perlu dibuat.

* PIP :Proximal Interphalangeal, MCP :Metacarpophalangeal, MTP:Metatarsophalangeal.

G. DIAGNOSIS BANDINGArtritis reumatoid harus dapat dibedakan dengan kelainan-kelainan yang menyebabkan poliartritis berdasarkan tanda dan gejala serta hasil pemeriksaan radiologi dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. dibawah ini (Setyohadi, 2010).

Tabel 3. Diagnosis Banding Artritis Rheumatoid Berdasarkan Tanda Dan GejalaArtritis ReumatoidGoutOsteoartritis

Tanda dan Gejala

Kaku sendi Kaku sendi di pagi > 1jam dan berlangsung minimal 6 mingguJarang Kaku sendi< 30 menit

Nyeri sendiMembaik dengan aktifitasTidak khasMemberat dengan aktifitas dan membaik dengan istirahat

Awitan Gradual Akut Gradual

Inflamasi ++-

Jumlah sendiPoli Mono>poliPoli

Tipe sendiKecil Kecil-besarKecil-besar

Predileksi MCP, PIP, Pergelangan tangan/kakiMTP, Kaki, pergelangan tangan dan kakiIst, CMC, DIP, PIP

PatologiPannusMikrotofiDegenerasi

Temuan sendiUlnar def, Swan neck, BoutonniereKristal uratBouchardis nodes, Heberdenis node

Tabel 3. Diagnosis Banding Artritis Rheumatoid Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Radiologi Artritis ReumatoidGoutOsteoartritis

Gambaran Radiologi

Soft tissue swellingPeriartrikular, simetrisEsentrik, tophiIntermitten, tidak sejelas yang lain

SubluksasiYaTidak biasaKadang-kadang

MineralisasiMenurun di periartrikularBaikBaik

KalsifikasiTidakKadang-kadang pada tophiTidak

Celah sendiMenyempitBaik hingga menyempitMenyempit

ErosiTidakPunched out dengan garis sklerotikYa, pada intraartikular

Produksi tulangTidakMenjalar ke tepi korteksYa

SimetriBilateral, simetriAsimetriBilateral, simetri

LokasiProksimal ke distalKaki, pergelangan kaki, tangan dan sikuDistal ke proksimal

Karakteristik yang membedakanPoliartrikularPembentukan kristalSeagull appearance pada sendi interfalangeal

H. Penatalaksanaan1. Non-farmakologisa. Edukasi Edukasi yang cukup penting bagi pasien, keluarga, dan orang-orang yang berhubungan dengan penderita.:1) Pengertian tentang patofisiologi2) Penyebab penyakit3) Prognosis penyakit4) Semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks5) Sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini6) Metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tenaga kesehatan (Suarjana, 2009)b. IstirahatPerencanaan aktivitas mutlak diperlukan bagi pasien rheumatoid arthritis karena penderita biasanya disertai dengan rasa lelah yang hebat. Kekakuan dan rasa kurang nyaman biasanya dapat diperingan dengan beristirahat (Price,2005).c. Latihan-latihan spesifikLatihan spesifik ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi sendi (Price,2005). Latihan ini dapat berupa :1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, minimal dua kali dalam sehari.2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini untuk mengurangi nyeri pada sendi.3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini paling baik diatur dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang sudah mendapat latihan khusus, seperti fisioterapi atauterapis kerja.d. Alat pembantu dan adaptifAlat pembantu dan adaptif ini mungkin diperlukan saat melakukan aktivitas sehari-hari, seperti tongkat untuk membantu berdiri dan berjalan (Price,2005)2. Farmakologis a. Aspirin dan semua golongan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dengan tujuan : terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan (Suarjana, 2009).b. GlukokortikoidSteroid dengan prednisone dengan dosis kurang 10 mg/hari.Mekanisme kerja : untuk meredakan gejala dan memperlambat kerusakan sendi. Pemberian glukokortikoid harus disertai pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU/hari (Suarjana, 2009).c. DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs)Pemberian DMARD harus mempertimbangkan aspek :1) Kepatuhan pasien2) Beratnya penyakit3) Pengalaman dokter 4) Adanya penyakit penyertaPemilihan terapi DAMRD pada AR. Target terapi adalah remisi atau (minimal) aktifitas penyakitnya menjadi ringan (DAS28