alergi obat baru

download alergi obat baru

of 14

description

alergi obat

Transcript of alergi obat baru

DefinisiIstilah alergi obat sering kali menimbulkan salah pengertian antara dokter dan penderita. Bagi dokter yang berkecimpung di bidang alergi-imunologi , istilah alergi obat berarti suatu reaksi yang dimediasi oleh IgE spesifik yang diikuti oleh pelepasan mediator akibat degranulasi sel mast dan basofil atau reaksi yang dimediasi oleh aktivasi sel T. Spektrum klinis reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE spesifik terhadap suatu antigen (obat) meliputi urtikaria, angiodema, spasme otot polos bronkus , hipotensi dan gejala-gejala laindari anafilaksis reaksi alergi yang dimediasi oleh aktivasi sel T. Manifestasi kliniknya bervariasi mulai dari vaskulitis, kerusakan sel hingga destruksi kulit.Bagi penderita dan masyarakat umum , alergi obat berarti semua reaksi adversi yang timbul akibat pemakaian obat , tidak peduli apapun mekanismenya.

Untuk keseragaman maka yang dimaksud dengan reaksi adversi terhadap suatu obat adalah setiap reaksi yang tidak dikehendaki/tidak disengaja yang timbul setelah pemakaian obat tertentu dalam dosis standar dan jalur pemberian yang benar, baik untuk tujuan diagnostik, pengobatan, maupun pencegahan suatu penyakit. Reaksi tersebut umumnya timbul beberapa waktu setelah pemberian obat yang dimaksud. Beberapa jenis reaksi adversi tersebut dapat terjadi pada semua orang , sedangkan beberapa jenis reaksi yang lain hanya terjadi pada orang-orang tertentu yang mempunyai bakat. Alergi obat yang dimediasi oleh IgE spesifik akan selalu muncul kembali setiap kali terjadi paparan ulang terhadap obat yang sama.

Epidemiologi

Reaksi adversi terhadap obat cukup sering dijumpai , merupakan 2-6% indikasi penderita rawat rumah sakit. Sekitar 15-30% penderita yang dirawat dirumah sakit mengalami reaksi adversi terhadap obat. Sebesar 0,1% penderita kasus nonbedah dan 0,01% penderita kasus bedah mengalami kematian akibat reaksi adversi tersebut. Obat utama yang seringkali menjadi penyebab adalah golongan antibiotika dan antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Reaksi adversi terhadap obat yang terjadi selama pembiusan (pelemas otot, anestetik umum dan opiat) walaupun lebih jarang ( 1 diantara 6000 penderita yang menjalani pembiusan ) tetapi lebih gawat dengan mortalitas sekitar 6%. Sebagian besar reaksi adversi terhadap obat tidak memiliki dasar alergi. Reaksi alergi obat ( yang dimediasi oleh IgE) hanya merupakan 6-10% dari reaksi adversi terhadap obat yang dapat diamati.secara umum, risiko terjadinya reaksi alergi untuk suatu jenis obat berkisar antara 1-3%.

Klasifikasi reaksi Adversi terhadap obat

Reaksi adversi terhadap obat dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu reaksi yang tidak terkait langsung dengan efek obat dan reaksi yang terkait langsung dengan efek obat. Reaksi adversi yang tidak terkait langsung dengan efek obat meliputi : 1. Reaksi psikogenik , misalnya reaksi vasovagal terhadap injeksi yang dapat bermanifestasi sebagai kegelisahan , mual muntah , dadan lemas atau syncope dan 2. Reaksi koinsidental , yang sebenarnya merupakan manifestasi dari penyakit dasar tetapi disalahartikan sebagai reaksi adversi terhadap obat yang kebetulan diberikan kepada penderita, misalnya eksantema kulit akibat infeksi virus pada penderita yang mendapat antibiotika. Sedangkan reaksi adversi yang terkait langsung dengan efek obat dapat dibagi lagi menjadi :

1. Reaksi yang dapat timbul pada semua orang

2. Reaksi yang hanya timbul pada orang tertentu yang memiliki bakat

Usaha untuk mengklasifikasikan reaksi adversi tersebut mungkin membantu, namun pada kenyataannya tidaklah mudah menggolongkan suatu reaksi terhadap obat ke dalam suatu kelompok tertentu karena manifestasi klinisnya yang beraneka ragam dan banyaknya interaksi antara obat dan inang, yang sebagian masih belum dapat dipahami mekanismenya. Sedikitnya pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk menegakkan diagnosis alergi obat membuat dokter hanya dapat mengandalkan data-data klinis.Klasifikasi reaksi adversi terhadap obat1. a. Overdosis/ keracunan ObatEfek toksik suatu obat terkait langsung dengan konsentrasi lokal atau sistemik obat tersebut di dalam tubuh. Efek tersebut biasanya dapat diprediksi berdasarkan hasil uji coba pada binatang dan akan timbul pada setiap orang bila batas nilai ambang toksiknya dilewati ( misalnya depresi pernafasan akibat overdosis obat sedatif). Setiap obat memiliki sifat toksik tersendiri.overdosis dapat terjadi secara tidak disengaja tatu kadang-kadang sebagai suatu percobaan bunuh diri. Gangguan metabolisme atau eksresi obat juga dapat menimbulkan overdosis . Toksisitas morfin meningkat pada penderita penyakit hati (hati tidak mampu mendetoksifikasi obat). Pada penderita gagal ginjal obat golongan aminoglikosida ( yang dalam keadaan normal dieksresi melalui ginjal) akan mengalami dan menyebabkan efek toksik

b. Efek samping

Efek samping adalah reaksi adversi terhadap obat yang paling sering dijumpai. Di pandang dari sudut pengobatan , efek samping suatu obat sebenarnya tidak dikehendaki, namun sering kali tidak dapat dihindari karena merupakan efek farmakologis obat yang diberikan dalam dosis yang normal. Suatu obat umumnya memiliki beberapa efek farmakologis , salah satu diantaranya mungkin merupakan efek yang tidak dikehendaki. Obat antihistamin generasi pertama biasanya menimbulkan efek samping berupa sedasi. Obat antikolinergik menimbulkan efek samping mulut kering , penglihatan kabur dan retensi urine. Obat-obatan yang lain mungkin memiliki efek samping yang tidak segera dapat dikenali, termasuk diantaranya efek teratogenik atau karsinogenik.

c. Efek sekunder

Efek sekunder suatu obat tidak terkait secara langsung dengan efek farmakologis utama obat tersebut dan dapat dianggap sebagai sesuatu yang secara alamiah terjadi sebagai konsekuensi pemberian obat. Pemberian antibiotika dapat menginduksi pelepasan antigen mikrobial dan endotoksin oleh kuman-kuman yang mati , misalnya reaksi jarish-herxeimer pada penderita sifilis atau leptospirosis yang diobati dengan penicilin. Pemberian antibiotika tertentu ( ampicillin , klindamisin atau sefalosporin) dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan kuman clostridium difficile akibat hilangnya kompetisis antarkuman. Toksin yang diproduksi oleh kuman tersebut dapat menyebabkan timbulnya kolitis pseudomembran.

d. Interaksi obat

Interaksi obat pada umumnya merupakan modifikasi efek suatu obat oleh obat lain yang kebetulan telah diberikan sebelumnya atau diberikan secara bersama-sam. Tidak semua interaksi obat bersifat membahayakan , beberapa diantaranya malah memberikan manfaat klinis . semakin banyak jumlah obat yang diberikan pada seorang penderita , makin besar kemungkinan terjadinya interaksi obat. Obat antihistamin generasi kedua seperti terfenadin dan asemizol ( dimetabolisir oleh sistem enzim sitokrom p-450), bila diberikan bersama-sama dengan obat yang menghambat kerja sistem enzim tersebut, seperti golongan imidazol atau antibiotika makrolid akan menyebabkan peningkatan konsentrasi antihistamin yang dapat menimbulkan perpanjangan interval QT, torsades de pointes atau kelainan irama jantung lainnya.

2. a. Intoleransi

intoleransi adalah timbulnya efek farmakologis yang khas dari suatu obat pada penderita-penderita tertentu , meskipun diberikan dalam dosis yang kecil. Penderita pada umumnya memiliki bakat genetik yang mengakibatkan rendahnya nilai ambang terapeutik suatu obat bagi dirinya. Penderita tertentu sangat peka terhadap efek sedasi obat antihistamin, sedangkan penderita yang lain sangat peka terhadap efek batuk penghambat angiotensin converting enzyme (ACE).

b. Reaksi idiosinkrasi

Idionsikrasi adalah respons tidak terduga terhadap suatu obat yang secara kualitatif abnormal dan berbeda dari efek farmakologis obat tersebut. Walaupun dapat menyerupai tidak terbukti melibatkan mekanisme alergi. Contoh idiosinkrasi yang paling sering adalah timbulnya anemia hemolitik pada penderita defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) yang mendapatkan primakuin , sulfonamid, nitrofuran atau analog vitamin K. Kloramfenikol dapat menimbulkan reaksi idiosinkrasi berupa anemia aplastik. Obat penghambat ACE dapat menimbulkan reaksi idiosinkrasi berupa angiodema yang parah.c. Reaksi Alergi

Reaksi alergi terhadap obat hanya terjadi pada sekelompok penderita tertentu , merupakan reaksi tidak terduga yang secara kuantitatif abnormal, dan melalui mekanisme imunologis. Untuk memastikan bahwa mekanisme imunologis memang terlibat dalam reaksi adversi terhadap suatu obat harus dapat dibuktikan adanya antibodi spesifik , limfosit T yang tersensitisasi atau kedua-duanya. Namun nyatanya hal itu sulit diperoleh . Diagnosis umumnya didasarkan pada pengamatan klinis dan pada kasus-kasus tertentu dengan uji paparan ulang terhadap obat yang dicurigai ( pada kondisi yang dapat dikendalikan) Reaksi alergi terhadap suatu obat perlu dipikirkan bila terdapat beberapa kriteria klinis dan laboratoris tertentu.

Reaksi tipe segera (immediate reaction) terjadi dalam beberapa menit setelah paparan obat dengan manifestasi anafilaksis. Reaksi tipe cepat (accelerated reaction) terjadi setelah 1 jam hingga 3 hari setelah paparan obat , sering kali muncul berupa urtikaria, angiodema, bercak-bercak(rash) pada kulit terutama eksantema dan demam. Reaksi tipe lambat (delayed/late reaction) muncul lebih dari 3 hari setelah paparan obat dengan manifestasi berupa rash kulit , demam obat, reaksi yang menyerupai serum sickness , reaksi pada paru, hepar,ginjal , vaskulitis atau reaksi yang menyerupai lupus eritematosus. Karena kriteria klinis saja belum cukup untuk menegakkan diagnosis , maka disarankan pemeriksaan imunoglobulin spesifik. Sebelum hasil pemeriksaan tersebut diperoleh maka adanya alergi obat hanya didasarkan pada dugaan.

kriteria klinis kecurigaan adanya reaksi alergi obat : Manifestasi klinis yang diamati tidak sesuai dengan efek farmakologis obat

Bila sebelumnya belum pernah terpapar dengan obat yang dicurigai, gejala reaksi alergi biasanya muncul setelah > 1 minggu paparan secara terus-menerus. Setelah sensitisasi, walaupun sudah bertahun-tahun sebelumnya , reaksi alergi dapat muncul secara cepat segera setelah paparan ulang terhadap obat tersebut.

Gejala dapat menyerupai reaksi alergi lainnya, seperti anafilaksis , urtikaria , asma, serum sickness , eksantema, demam, infiltrat paru eosinofilik, hepatitis,nefrtis interstitial akut, dan sindroma lupus sering kali merupakan manifestasi hipersensitivitas terhadap obat

Gejala dapat ditimbulkan kembali dengan memberikan kembali obat yang dicurigai atau senyawa lain yang memiliki struktur kimiawi serupa walaupun dengan dosis kecil

Adanya peningkatan hitung eosinofil darah tepi mendukung kecurigaan

Adanya antibodi atau limfosit T spesifik terhadap obat yang dicurigai atau terhadap metabolitnya.

Gejalanya berangsur-angsur menghilang dalam beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan

d. Reaksi Pseudoalergi/Anafilaktoid

Pseudoalergi atau reaksi anafilaktoid adalah reaksi sitemik tipe segera yang disebabkan oleh pelepasan mediator sel mast melalui mekanisme yang tidak melibatkan IgE. Walaupun manifestasi klinisnya sangat menyerupai reaksi yang dimediasi oleh IgE, reaksi ini tidak memerlukan paparan sebelumnya terhadap obat atau bahan yang dicurigai.obat golongan opiat , vancomisin , polimiksin B dapat menyebabkan urtikaria atau angiodema. Golongan OAINS dapat menyebabkan asma atau bahkan anafilaksis.

Imunopatogenesis Alergi Obat

Sifat alegenik suatu obat tergantung pada sifat-sifat kimiawinya.Obat dengan berat molekul yang besar (>4000 dalton) dan struktur yang kompleks sangat besar kemungkinannya membangkitkan respon imun dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Obat yang struktur molekulnya sederhana dengan berat molekul 400 mg/hari selama > 2 bulan merupakan penyebab pneumonitis dan fibrosis yang utama. Obat-obatan lain meliputi bleomisin sulfat , busulfan ,klorambusil , siklofosfamid , hidroksiurea ,dan mitomisin . edema paru nonkardiogenik dapat disebabkan oleh hidroklorotiazid , kokain , heroin atau metadon.Manifestasi hematologis

Eosinofilia , trombositopenia , anemia hemolitik , dan agranulositosis merupakan manifestasi hematologis reaksi adversi terhadap obat. Kadang-kadang gejala tersebut muncul tanpa disertai gejala pada orang lain.awal munculnya gejala sangat cepat, sedangkan menghilangnya gejala membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah penghentian obat. Eosinofilia dapat disebabkan oleh garam emas , alopurinol ,acetosal ,ampisilin , antidepresan trisiklik , karbamazepin , digitalis , fenitoin , sulfonamid, dan streptomisin. Trombositopenia timbul dengan manifestasi kulit berupa petechiae , ecchymoses, perdarahan saluran cerna , hemoptoe , hematuria , dan perdarahan vaginal.beberapa obat yang sering menyebabkan trombositopenia antara lain kuinidin , sulfonamid garam emas dan heparin.

Manifestasi hepatik

Hati merupakan organ yang rentan terhadap reaksi alergi obat karena tingginya konsentrasi obat di hati sesudah ditelan. Hati juga merupakan tempat biotransformasi obat menjadi metabolit yang potensial bersifat toksik. Contoh paling sering obat yang bersifat hepatotoksik adalah parasetamol dosis tinggi. Manifestasi lain alergi obat dapat berupa ikterus akibat kolestasis atau kerusakan hepatoseluler. Pada kolestasis alkali fosfatase serum bisa meningkat 2-10 kali nilai normal , sementara transaminase serum hanya sedikit meningkat.kerusakan hepatoseluler dapat menyerupai hepatitis virus namun memiliki mortalitas yang lebih tinggi. Sepuluh hingga 20% dari kasus hepatitis fulminan disebabkan oleh reaksi obat.transaminase serum meningkat tinggi , disertai ikterus. Obat-obat yang sering dikaitkan dengan kerusakan hepatoseluler adalah halotan, isoniazid , nitrofurantoin ,alopurinol , dan sulfonamid.Manifestasi ginjal

Ginjal juga merupakan organ yang rentan terhadap reaksi alergi obat. Nekrosis tubuler dapat timbul setelah syok anafilaktik atau hemolisis akibat reaksi terhadap obat tertentu.walaupun jarang beberapa kelainan ginjal , seperti glomerulitis, sindroma nefrotik dan nefritis intersitial akut (NIA) telah dilaporkan sebagai manifestasi alergi obat. Garam emas , captopril , heroin ,OAINS , penisilamin dan probenesid sering dikaitkan sebagai penyebab sindroma nefrotik, sedangkan NIA sering dikaitkan dengan obat-obatan seperti metisilin (antibiotika laktam). Rifampisin , derivat sulfonamid , metildopa , cimetidin , ciprofloxacin , OAINS , kaptopril dan alopurinol. NIA harus dicurigai bila terdapat penurunan fungsi ginjal akut disertai demam , rash kulit , nyeri sendi , eosinofilia , proteinuria , mikrohematuria yang timbul beberapa hari hingga beberapa minggu setelah pemberian suatu obat.

Manifestasi jantung

Miokarditis merupakan salah satu manifestasi alergi obat. Beberapa obat yang sering dikaitkan sebagai penyebab antara lain sulfonamid , metildopa , penisilin dan derivatnya. Kecurigaan adanya miokarditis akibat alergi obat perlu dipikirkan bila terdapat perubahan elektrokardiogram disertai takikardia yang tidak jelas penyebabnya, peningkatan enzim-enzim jantung, kardiomegali dan eosinofilia.

Manifestasi neurologis

Kerusakan susunan saraf pusat atau perifer akibat alergi obat sangat jarang dijumpai. Neuritis perifer mungkin terjadi akibat pemberian garam emas , colchisin , nitrofurantoin , dan sulfonamid. Pemberian vaksin dapat menimbulkan ensefalomielitis.Manifestasi kulit

Eksantema/erupsi morbiliformis

Urtikaria dan angiodema

Dermatitis kontak

Eritema multiforme

Fixed drug eruptions

Toxic Epidermal Necrolysis

Manifestasi paru

Asma

Infiltrat paru disertai eosinofilia

Pneumonitis dan fibrosis

Edema paru nonkardiogenikManifestasi hematologis

Eosinofilia

Trombositopenia

Agranulositosis

Anemia Hemolitik

Manifestasi hepatik

Kolestasis

Kerusakan hepatoseluler

Manifestasi Ginjal

Glomerulitis , sindroma nefroti

Intersitial nefritis akut

Manifestasi jantung, Neurologis

Reaksi yang tidak terkait langsung dengan efek obat

Reaksi psikogenik

Reaksi koinsindental

Reaksi yang terkait langsung dengan efek obat

Reaksi adversi yang dapat terjadi pada semua orang

Overdosis : keracunan obat

Efek samping

Efek sekunder

Interaksi obat

Reaksi adversi yang hanya terjadi pada orang yang memiliki bakat

Intoleransi

Reaksi idionkrasi

Reaksi alergi/hipersensitivitas

Reaksi pseudoalergi

Faktor yang terkait dengan obat dan cara pemberian

Sifat kimiawi obat

Sifat imunogenik obat atau metabolitnya

Cara/jalur pemberian

Dosis dan lama pemberian obat

Faktor terkait penderita

Usia dan jenis kelamin

Faktor genetik tipe HLA

Riwayat atopi dan alergi obat dalam keluarga

Riwayat reaksi simpang terhadap suatu obat dimasa lampau

Sensitivitas silang antar beberapa obat

Penyakit dasar penderita (misalnya infeksi virus)

Pemberian obat-obatan lain secara bersama-sama

Anafilaksis ( dimediasi oleh IgE)

Reaksi anafilaktoid (dimediasi oleh non IgE)

Serum sickness dan reaksi yang menyerupai serum sickness

Demam obat

Drug induced autoimmunity

Drug induced systemic lupus erythematosus

Vaskulitis