Al Mawardi

download Al Mawardi

of 23

Transcript of Al Mawardi

PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI

Makalah: Yang telah dipresentasikan pada tanggal 8 desember 2009 Pada Mata Kuliah Pemikiran Politik Islam Sebagai Prasyarat Perkuliahan

Oleh: Muhammad Syafiie WS Nim: 070303100

Prof. DR. Hatamar Rasyid, MA Dosen Pengampu

KONSENTRASI TAFSIR HADITS PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM PASCASARJANA IAIN RADEN FATAH PALEMBANG 2009

1

PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDIOleh: Moh. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2009)

A. PENDAHULUAN Secara umum, politik itu terbagi menjadi dua macam: politik syari (politik Islam) dan politik non-syari (politik non-Islam). Politik syari berarti upaya membawa semua manusia kepada pandangan syari dan khilafah (sistem pemerintahan Islam) yang berfungsi untuk menjaga agama (Islam) dan urusan dunia. Adapun politik nonsyari atau politik versi manusia adalah politik yang membawa orang kepada pandangan manusia yang diterjemahkan ke undang-undang ciptaan manusia dan hukum lainnya. Apabila berbicara tentang politik berarti juga berbicara tentang negara, maka orang akan berasumsi kepada kekuasaan atau segala yang berhubungan dengan kebijaksanaan dalam pemerintahan suatu Negara. Politik itu biasanya mengacu kepada kekuasaan dan kebebasan yang memiliki manusia agar tidak terjadi suasana homo homoni lupus manusia menjadi serigala bagi manusia lain, dan tidak terjadi situasi hukum rimba. Maka perlu diorganisir dengan hukum-hukum yang harus dipedomi oleh masyarakat khususnya oleh penguasa yang memegang kendali kekuasaan.1 Sebagaimana diketahui bahwa dunia Islam di masa lalu banyak menghasilkan tokoh dan pemikir-pemikir besar yang nama dan karyanya sampai sekarang masih dipakai dan dijadikan rujukan dalam menghadapi berbagai situasi dan persoalan yang terjadi dalam konteks kehidupan umat Islam.

1

Soelestyali, 1987, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hlm. 17.

2

Salah satu tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam, penyangga kemajuan Abbasiyah itu adalah al-Mawardi. Dia pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah, menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Orientalis barat menyebutnya Al Khatib of Baghdad, Dengan demikian, khazanah intelektual Islam era kekhalifahan Abbasiyah pernah mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan. Di samping itu al-Mawardi juga seorang ahli fiqih khususnya berkaitan dengan fiqh siyasi. Dalam kitabnya yang terkenal al-Ahkam al-Sulthaniyah ia membahas tentang peribadatan dan banyak memberikan teori-teori politik yang sampai saat ini masih relevan dan dipakai oleh sebagian umat Islam dalam mengatur berbagai masalah yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan. Al-Ahkam al-Sulthaniyah demikian terkenalnya dan seringkali dianggap sebagai penjabaran paling benar dari teori politik Islam khususnya dari kalangan Sunni. Dalam sejarah Islam kitab ini merupakan risalah pertama yang ditulis dalam bidang ilmu politik dan administrasi negara secara terperinci. Melalui makalah ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan alMawardi, baik tentang riwayat hidupnya, pemikiran politik al-Mawardi dan karyakarya al-Mawardi.

B. RIWAYAT HIDUP AL-MAWARDI DAN MASANYA

KONDISI POLITIK PADA

Al-Mawardi hidup pada masa kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah yang sedang mengalami berbagai gejolak dan disintegrasi. Khalifah-khalifah Abbasiyah benarbenar dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Kedudukan khalifah melemah dan dia harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia. Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang

3

demikian luas wilayahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal. Pada waktu itu khalifah di Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan kekuasaan formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana pemerintahan adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima berkebangsaan Turki atau Persia, serta penguasa-penguasa wilayah. Al-Mawardi adalah seorang ahli fiqih Madzhab Syafii, ahli Hadits, pemikir politik Islam, hakim agung (Qadhi al-Qudhat) Dinasti Abasiyah, penulis yang produktif; terutama di bidang hukum dan politik. Ia tergolong faqih terbesar pada zamannya.2 Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin Habib al-Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 364-450 H atau 9975-1059 M.3 Al-Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Kota Basrah merupakan salah satu pusat pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan penting dunia waktu itu. Ia belajar ilmu hukum dari Abu Qasim Abdul Wahid as-Saimari, seorang ahli hukum mazhab Syafii yang terkenal. Kemudian pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusastraan dari Abdullah al-Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al-Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmuilmu agama, seperti hadits dan fiqh, filsafat, etika, sastra dan politik. Al-Mawardi telah menjabat sebagai hakim di berbagai tempat, kemudian diangkat sebagai Qadhi di Ustuwa, sebuah distrik di Nishapur. Pada 429 H, ia

TIM UIN Syarif Hidayatullah, 2005, Ensiklopedi Islam, (Jakrata: Ichtiar Baru Van Hoeve), Jilid V, hal. 2 http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/ilmu-politik/pemikiran-politikislam-klasik, 05-06-2008. lihat juga: Muhahammad Diya al-Din, 1960, al-Nadhriyat al-Siyasiyah alIslamiyah, (Kairo: al-Maktabah almisriyah), hal. 933

2

4

dinaikkan ke jabatan kehakiman yang paling tinggi Qadhi Agung di Baghdad, jabatan yang dipegangnya dengan hormat sampai pada wafatnya.4 Al-Mawardi juga dikenal sebagai tokoh dari kalangan ahli sunnah yang sangat gigih mempertahankan sistem politik Islam ditengah-tengah supremasi dan kewibawaan politik yang disegani selama berabad-abad. Ia menjadi hakim yang terkenal pada masa pemerintahan Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah al-Qadir. Karir al-Mawardi meningkat pesat setelah ia menetap kembali di Baghdad, yaitu ketika ia menjadi Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) penasehat raja atau khalifah dalam bidang hukum agama dan pemerintahan. Meskipun beraliran suni yang bermadzhab Syafii, al-Mawardi tetap disenangi, baik penguasa Bani Abbas yang suni maupun oleh penguasa Dinasti Buwaihi yang syiah. Bani Buwaihi senang padanya, karena Mawardi juga sering kali menyelesaikan pertikaian antara mereka.5

C. PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa melalui dengan membaca karyanya, alAhkaam al-Sulthaniyah (Hukum-hukum Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku al-Ahkaam alSulthaniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu. Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsip-prinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran maju, bahkan sampai kini sekalipun. Misalnya, dalam buku itu dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana. Selain

4 5

Jamil Ahmad, 2003, Seratus Muslim terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus), hlm. 201 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 2

5

itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, dan ghanimah (harta peninggalan dan rampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.6 Pemikiran politiknya dilandasi dengan kerangka teori politik yang berdasarkan prinsip Islam (fiqh), sesuai dengan disiplin ilmu yang didalaminya. Artinya, pemikiran politiknya berdasar pada kerangka teori politik yang sesuai dengan prinsip hukum Islam. Al-Mawardi berjasa besar karena mampu menghimpun dasar ajaran Islam serta pendapat para fuqaha pendahulunya, lalu menyusunnya ke dalam rumusan logis dan sistematis, sehingga menjadi teori dan pegangan yang memiliki kekuatan hukum dalam pandangan masyarakat Islam di zaman berikutnya.7 Sebagai seorang mujtahid, ia tidak hanya mengumpulkan pendapat para fuqaha pendahulunya, namun dengan kejeniusannya ia juga berijtihad dalam berbagai masalah. Terkadang ia mengeluarkan pendapat baru yang orisinel, yang terkadang bertentangan dengan pendapat-pendapat sebelumnya.

1. Negara dan Pemerintahan Sampai saat ini tidak ada satupun definisi negara yang diakui semua pihak. Para ahli ilmu kenegaraan saling berbeda pendapat tentang pengertian negara. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan negara adalah organisasi yang menaungi semua pihak dalam suatu wilayah tertentu. Yang dimaksud menaungi pada kalimat diatas, bisa diartikan menguasai, mengayomi, mengurus, atau ketigatiganya. Sedang yang dimaksud dengan semua pihak berarti semua orang (individu) atau badan (lembaga, organisasi) yang mendiami suatu wilayah.

6 7

http://blogspot.com/2008/02/politik-muslim-dan-islamisasi.htm, 05-06-2008 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3

6

Dalam Islam negara sangat dibutuhkan manusia, dan pembentukannya merupakan suatu kewajiaban yang bersifat syari (kewajiban keagamaan), bukan aqli (kewajiban karena rasio). Dalilnya adalah ijma atau konsensus kaum muslimin pada masa sahabat setelah ditinggal Rasulullah SAW, di samping itu juga kutipan beberapa ayat dan Hadits yang menguatkannya. Mayoritas proses pembentukan negara yang dikemukakan ulama muslim dipengaruhi oleh pemikiran filsafat politik ilmuan Yunani seperti Plato dan Aristoteles, yang lebih menonjolkan aspek logika dari aspek religius (agama). Mengenai asal mula tumbuhnya sebuah negara, al-Mawardi berbeda dibandingkan dengan Plato, Aristoteles dan Ibn Rabi yang tidak memasukkan unsur agama dalam teori politiknya. Al-Mawardi berpendapat bahwa dalam membentuk sebuah negara manusia harus melakukan kerjasama antara yang satu dengan yang lainnya, sebab manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat, dan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bantuan orang lain. Lebih jauh lagi al-Mawardi berpendapat, bahwa perbedaan bakat, pembawaan dan kehampaan antara manusia dan bekerjasama.8 Menurut Mawardi, manusia tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri; manusia itu berbeda-beda menurut bakat,

kecenderungan dan kemampuan. Oleh karena itu manusia harus saling membantu dan bersatu dalam satu organisasi yang disebut negara. Dengan demikian

keanekaragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, kecenderungan alami serta kemampuan manusia, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu dan akhirnya sepakat membentuk negara. Karena perbedaan watak, sifat dan keberagaman manusia, maka ia membutuhkan manusia lainnya, khususnya mereka yang memiliki kelebihan. AlMawardi memperkuat teori kerjasama sosial itu dengan mengutip surat al-Nahl ayatHatamar, 2000, Laporan Penelitian: Pemikiran Polotik Al-Mawardi dan Relevansinya dengan Pemikiran Politik Modern (Palembang: IAIN Raden Fatah), hal. 25.8

7

71, yang artinya : Allah melebihkan sebagian kamu rizki dari yang lain. Atas dasar inilah kemudian pemenuhan kebutuhan yang satu dipenuhi oleh yang lain. Memenuhi semua kebutuhan itulah kemudian manusia membuat kesepakatan atas dasar kepentingan bersama dan dipedomani oleh aturan-aturan yang membuat mereka, yaitu syariat agama, dalam sebuah institusi atau lembaga yang disebut negara (alDaulah, al-Shultanah, al-Khalifah, dsb). 9 Sebuah negara Islam dinilai baik, menurutnya memenuhi beberapa persayaratan sebagai berikut: 10 A. Agama. Keyakinan agama berfungsi sebagai kekuatan moral yang mampu mengendalikan keinginan dan hawa nafsu manusia. syarat ini merupakan sendi utama sebagai pilar utama sekaligus sebagai pengontrol dan pengendali keinginan-keinginan manusia yang bermacam-macam. B. Penguasa Karismatik. Seorang penguasa diharuskan mempunyai karismatik, berwibawa dan dapat diteladani. Syarat ini merupakan penopang pilar negara dimana ia menjadi alat pemersatu dari aspirasi-aspirasi yang berbeda. Penguasa karismatik dapat membina dan menata negara untuk mencapai sasaran-sasaran yang luhur yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, menjaga agar agama dihayati dan dijalankan, melindungi jiwa, kekayaan dan kehormatan warga negara, serta menjamin eksistensi negara dari ancamanancaman yang timbul, baik dari internal maupun eksternal. C. Keadilan Merata.

9

Ibid, hlm. 54-55. Al-Mawardi, 1971, Adab al-Qadhi, (Baghdad: Mathbaah al-Irsyad), hal. 5-6

10

8

Keadilan merupakan syarat yang sangat penting, sebab dengan keadilan yang merata akan tercipta keakraban sesama warga negara, menimbulkan rasa hormat dan ketaatan kepada pemimpin, menyemarakkan kehidupan rakyat dan menumbuhkan karya dan prestasi masyarakat. D. Keamanan yang Kuat dan Menjamin. Dengan adanya keamanan yang kuat dan menjamin maka rakyat akat merasa tenang dan tidak ada rasa takut. Keamanan merupakan syarat utama berlangsungnya penyelenggaraan sebuah negara. Apabila rasa aman dan tenang tercipta, maka rakyat pun akan semakin taat pada pimpinan. E. Kesuburan Tanah. Kesuburan tanah dapat menjamin kebutuhan pangan warga negara. Adanya kepastian berusaha dan mencari kebutuhan hidup bagi rakyat, negara harus menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi pengembangan usaha negara dan rakyat, sehingga rakyat dapat hidup layak dan sejahtera. Syarat ini merupakan tujuan dan implementasi dari syarat-syarat sebelumnya. F. Harapan Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup generasi dengan generasi selanjutnya sangat bergantung dengan sistem penataan negara oleh pengelola dan

penyelenggara negara dengan kualifikasi sebagaimana terdapat secara berurutan pada sendi-sendi sebelumnya. Generasi sekarang merupakan pewaris dari generasi sebelumnya, dan generasi yang menciptakan sejarah bagi masa setelahnya. Keberadaan generasi mendatang bergantung dengan sistem penataan negara oleh pengelola dan penyelenggara negara dengan kualifikasi sebagaimana terhadap secara berurutan pada enam syarat yang harus ada untuk tercapainya sebuah negara.

9

2. Imamah (Kepemimpinan) Pemilihan kepemimpinan kepala negara merupakan masalah yang sangat urgen dan vital bagi eksistensi negara. Namun Islam tidak mengatur secara jelas bagaimana suksesi kepemimpinan, sehingga mengakibatkan terjadinya perpecahan di kalangan Islam sendiri. Oleh karena itu, al-Mawardi sebagai seorang pemikir Islam merumuskan gagasannya tentang pemilihan dan pengangkatan kepala negara. Al-Mawardi menyatakan, Imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.11 Dengan demikian seorang imam adalah pemimpin agama disatu pihak dan di lain pihak pemimpin politik. Dasar pembentukan imamah kata Mawardi adalah wajib secara ijma. Akan tetapi, dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau hukum agama (syariah). Menurutnya ada dua golongan: pertama, wajib karena pertimbangan akal (rasio). Alasannya manusia itu adalah makhluk sosial, dan dalam pergaulan antara mereka mungkin terjadi permusuhan, perselisihan, dan

penganiayaan. Karenanya diperlukan pemimpin yang dapat mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan itu. Jadi secara logika manusia membutuhkan pemerintahan; kedua, wajib berdasarkan hukum agama (syariah) bukan karena pertimbangan akal.12 Sebagaimana firman Allah : (59 : ... ) Bagi al-Mawardi, imam atau khalifah (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.Suyuti Pulungan, 1999, Fiqih Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal. 23112 11

Ibid.

10

Al-Mawardi memakaikan baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Menurutnya, Allah mengamanahkan agama disertai mandat politik. Dengan demikian, seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama dan di lain pihak adalah pemimpin politik.13 Dalam rangka terwujudnya negara yang ideal, al-Mawardi menyusun sebuah karya yang monumental, yang mengambil bentuk konstitusi umum bagi sebuah negara. Al-Mawardi menyatakan hal-hal pokok sebagai berikut: 14 A. Imamah adalah suatu kepemimpinan yang dibentuk sebagai pengganti Rasulullah, dengan tugas memelihara agama dan mengendalikan kehidupan dunia. B. Imamah dapat dibentuk melalui pemilihan oleh ahl al-hal wa al-aqd (majlis yang mampu memecahkan persoalan dan menetapkan kebijakan), atau alikhtiyar (dewan pemilih) yang terdiri atas yang memenuhi persyaratan tertentu. C. Apabila seorang imam telah menjalankan tugas dan kewajibannya, maka rakyat wajib menyatakan setia dan taat kepadanya, mematuhi dan mendukung kebijakan politiknya, dan membelanya dari pihak yang ingin menyingkirkan atau menjauhkannya.15 Namun seorang Imam dapat dilengserkan dari kedudukannya apabila telah menyimpang dari keadilan. D. Kepala negara harus berbangsa Arab dari suku Quraisy,16 termasuk wazir tafwidh (pembantu kepala negara) dalam urusan penyusunan kebijaksanaan

13 14

Ahmad Syafii Maarif, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES), hal. 87

Muhammad Azhar, 1996, Filsafat Politik: Perbandingan antar Islam dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 84.15 16

TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3

Rasulullah bersabda, : Pemimpin dari Quraisy." (HR. Ahmad, no.19792. Al-Arnauth mengatakan Shahih lighairih, Ibnu Hajar mengatakan Hasan dan al-Bani mengatakan Shahih dalam Mukhtshar Irwa' al-Ghalil, no.520)

11

harus beretnis Arab, dan pengisian jabatan kepala negara dan pembantunya yang strategis perlu ditegakkan persyaratan-persyaratan tertentu. Hak prerogatif, bagi suku Quraisy menurutnya didukung oleh sabda Raulullah : ( ) Dahulukanlah orang Quraisy dan janganlah kalian mendahuluinya. Dapat dikatakan bahwa al-Mawardi mempertahankan etnis Quraisy, bukan pada hak kepemimpinan etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa nabi Muhammad yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi masyarakat adalah dari kalangan Quraisy. Apabila pada suatu masa ada orang bukan Arab etnis memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka layak ditetapkan sebagai pemimpin. Pengangkatan orang-orang tertentu untuk mengisi kekuasaan politik dalam Islam tidak bebas dari perselisihan pendapat. Dalam pandangan ulama Sunni seperti Imam al-Mawardi, rekrutmen politik atau penentuan seorang kepala pemerintahan dapat terjadi dengan salah satu dari dua cara: pertama, dengan ditunjuk langsung oleh pemimpin sebelumnya kepada seseorang; kedua, dengan pembai'atan yang dilakukan oleh dewan pemilih (ahl al-ikhtiyar) atau ahl al-hal wa al-'aqd. Menurut al-Mawardi penunjukkan oleh khalifah sebelumnya sah menurut ijma' dan para ulama sepakat untuk membenarkannya berdasarkan sandaran argumentatif pada dua pemimpin pergantian khulafa al-rasyidin dalam sejarah Islam.17 Menurut al-Mawardi, apabila pemilihan kepala negara melalui lembaga legislative (ahl-Ikhtiar), maka dengan persyaratan seabagai berikut: 18 Pertama, memiliki keadilan.

Rizwan Haji Ali, 2001, Pemberontakan terhadap Negara Islam dalam Perspektif Hukum Islam, (Lhokseumawe: STAI Malikussaleh), hal. 51 Munawir Sazali, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press), hlm. 65.18

17

12

Kedua, memiliki pengetahuan dan mampu mengetahuai siapa yang berhak menjadi kepala negara. Ketiga, memiliki wawasan yang luas yang memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat menjadi kepala negara. Dalam hal ini al-Mawardi tidak mempersyaratkan seorang imam harus orang kaya dan juga mengharuskan dari penduduk ibu kota. Dalam pemilihan oleh Ahlu al-Aqdi wa al-Hall minimal 5 orang. Hal ini mengacu pada dua hal, yaitu: pengangkatan Abu Bakar yang dibaiat oleh 5 orang (Umar ibn Khattab, Abu Ubaidah ibn Al-Jarrah, Usaid ibn Hudhair, Bisyr ibn Saad, dan Salim) dan Umar ibn Khattab membentuk lembaga syura yang beranggota 6 orang, kemudian salah seorang diangkat sebagai imam.19 Sedangkan tugas yang harus diemban oleh kepala negara ada 10 hal: a. Menjaga dasar-dasar agama yang telah disepakati ulama salaf. b. Menegakkan keadilan, supaya yang kuat tidak menganiaya yang lemah, dan yang lemah tidak merasa teraniaya. c. Menegakkan hukum, supaya agama Allah dan hak-hak umat terjaga. d. Menjaga keamanan dan menjaga daerah kekuasaannya dari gangguan musuh dan penjahat sehingga umat (rakyat) bebas dan aman baik jiwa maupun hartanya. e. Membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh. f. Jihad pada orangorang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui eksistensi Islam. g. Memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan syara, nash dan ijtihad. h. Mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif. i. Mengangkat pejabat-pejabat yang terpercaya dan mengangkat orang-orang yang kompeten untuk membantunya dalam menunaikan amanah dan wewenang ia pegang. j. Melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya

19

http://.poetraboemi.worpress.com/2009/04/20/al-Mawardi-biografi-dan-politiknya, 06-

12-2009

13

proyek sehingga ia dapat melakukan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan menjaga negara.20 Adapun dalam masalah pemecatan seorang imam, al-Mawardi

menyebutkan dua hal yang mengubah kondisi dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Hal-hal tersebut adalah: 21 Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan ada cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan. Bagi imam, perjanjian itu merupakan komitmen untuk menjalankan kewajibannya dengan tulus dan ikhlas dan bagi umat perjanjian itu mengandung arti bahwa mereka akan mematuhi dan mendukung khalifah atau imam. Tetapi kepatuhan umat padanya akan hilang, yang membuat kekhalifahannya juga hilang, kalau terjadi hal-hal yang telah disebutkan di atas. Adapun mengenai wazir, al-Mawardi membaginya menjadi dua bentuk:22

Abdul Hayyie al-Khattami, Kamaluddin Nurdin, 2000, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam (Jakarta: Gema Insani Press), hal. 3721

20

http://blogspot.com/2008/02/politik-muslim-dan-islamisasi.htm, 05-06-2008

22

Munawir Sazali, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 66

14

A. Wazir Tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepalakepala departeman. Wazir ini dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang menduduki jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah. B. Wazir Tanfidz, yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri. Al-Mawardi menyebutkan beberapa perbedaan antara wazir tafwidh dan wazir tanfidz, yakni: 1. Wazir tafwidh bisa menentukan hukum sendiri dan boleh menangani kasus-kasus mazalim; 2. Wazir tafwidh bisa menunjuk wali-wali (pimpinan daerah); 3. Wazir tafwidh bisa memimpin tentara dan mengurus perang; 4. Wazir tafwidh basa mendayagunakan kekayaan negara yang ada di bait al-mal. Kempat wewenang ini tidak dimiliki oleh wazir tanfidz. Karena perbedaan diatas, maka ada pula perbedaan syarat yang harus dipenuhi Wazir tafwidh, yakni: 1. Wazir tafwidh haruslah seorang yang merdeka; 2. Wazir tafwidh harus memiliki pengetahuan tentang syariat; 3. Wazir tafwidh harus mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan peperangan dan perpajakan.

B.

Teori Kontrak Sosial

Penyerahan kekuasaan politik kepada lembaga yang bertugas melakukan pemilihan kepala pemerintahan merupakan formula kontraktual yang sesuai dengan sistem perwakilan politik. Oleh karena itu, sistem kontraktual ini pernah berlangsung dan dipraktikkan pada masa awal Islam, maka sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia, sistem kontraktual ini bisa diperluas menjadi sistem pemilihan umum. Hal ini bersandar pada ayat al-Qur'an:

15

"Urusan mereka (kaum muslimin) diputuskan dengan musyawarah diantara mereka." (Q.S. al-Syura: 38) "Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini." (Q.S. Ali Imran: 159) Dengan adanya proses pemilihan dan baiat (semacam kontrak sosial), alMawardi berbeda dengan sebagian pemikir Islam lainnya, seperti al-Ghazali (teolog, sufi, filosof; 1058-1111) dan Ibnu Taimiyah (tokoh pembaharu; 1263-1328), yang menyatakan bahwa kedaulatan berasal dari Tuhan. Sedangkan al-Mawardi berpendapat bahwa sumber kedaulatan adalah masyarakat atau rakyat.23 Sisi keunikan dari al-Mawardi yaitu teori tentang kontrak sosial (al-Baiah) membahas tentang relasi keseimbangan hak dan kewajiban antara lembaga ahl al-Hal wa al-Aqd atau Ahl al-Ikhtiyar (perwakilan rakyat) dengan Ahl al-Imamah (kepala negara), khusus mengenai penyelenggaraan negara dan pengelolaan masyarakat. Istilah baiah berasal dari definisi baa yang secara etimologis berarti menjual. Baiat secara terminologis mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling berjanji dalam pelaksanaan selalu melibatkan dua pihak secara sukarela. Baiat dapat dipahami sebagai ungkapan perjanjian antar dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya dengan kesetiaan kepada pihak kedua dengan ikhlas dalam urusannya. Dengan demikian dalam baiat terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama secara sukarela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga punya hak dan kewajiban atas pihak pertama yang diterimanya. Jadi, pelaksanaan hak-hak dan kewajiban antara dua pihak berlangsung secara timbal balik.24

23

TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3

Hatamar, Laporan Penelitian: Pemikiran Polotik Al-Mawardi dan Relevansinya dengan Pemikiran Politik Modern, hlm. 45.

24

16

Dengan demikian negara diharapkan benar-benar mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan umat dan saling menolong sesama mereka, memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap warga sehingga seluruh rakyat dapat menjadi laksana bangunan yang kokoh. Pada waktu yang sama memikul kewajiban dan memperoleh hak tanpa adanya perbedaan antara penguasa dan rakyat, antara yang kuat dan yang lemah dan antara kawan dengan lawan. Sebuah negara merupakan keinginan manusia untuk mencukupi kebutuhan bersama dan keahlian mereka yang mengajari bagaimana saling membantu dan tentang bagaimana mengadakan ikatan satu sama lain. Dengan demikian, adanya negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Hubungan antara ahl al-hall wa al-aqd dengan kepala negara (eksekutif) merupakan hubungan antara dua belah pihak peserta kontrak sosial yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karena itu, kepala negara selain berhak ditaati oleh rakyatnya dan menuntut adanya partisipasi dan loyalitas penuh mereka, sebaliknya kepala negara mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya seperti memberikan perlindungan, mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh tanggung jawab.25 Apabila salah satu dari peserta kontrak melakukan pelanggaran, perbuatan hukum yang dimaksud disini adalah semua sikap, perkataan dan perbuatan kepala negara, serta ketetapannya dilakukan untuk kepentingan peserta kontrak (kedua belah pihak) dan syariat merupakan hukum yang dijadikan landasan yang tertinggi. Isi perjanjian didalam kontrak sosial al-Mawardi sebagaimana di atas adalah terumuskan secara tegas dan jelas didalam tugas-tugas yang dilakukan oleh kepala negara, dan semua hak-hak yang dimiliki oleh kepala negara, yaitu berupa kepatuhan dan

25

Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antar Islam dan Barat, hlm. 82.

17

ketaatan warga negara kepada selama ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan syariat Allah. Persoalan-persoalan kemanusiaan yang berkaitan dengan pola

hubungannya yang kemudian melahirkan teori tentang negara, dan penataan masyarakat secara lebih formal dan bersifat kolektif. Keharusan tersebut sifatnya alamiah dan emergence (hayati), sebab tidak mungkin manusia dapat menyelesaikan berbagai paradok dari berbagai kepentingan baik pada tingkat individu maupun kolektif tanpa adanya institusi dan lembaga legitimasinya juga bersifat kolektif. sedangkan institusi yang dimaksud adalah negara. Kecenderungan sosial itu adalah sesuatu yang diciptakan Allah bagi manusia, bahkan sejak proses penciptaan pertama, yaitu ketika tumbuh dan berkembangnya janin di dalam rahim. Artinya bahwa didalam tubuh manusia jaringan sistem metabolisme saling mendukung dan bekerjasama untuk menciptakan sebuah siklus hidup dan kehidupan manusia. Atas dasar ini bahwa saling bekerjasama bagi manusia adalah sesuat yang fitrah, yang azali dalam penciptaan manusia, apalagi untuk menata hidup dan kehidupan masyarakat dalam wujud lembaga dan institusi yang disebut negara, bekerjasama adalah suatu keniscayaan.26 Dalam pandangan al-Mawardi, untuk menutupi kelemahan itulah manusia menbutuhkan suatu kerjasama. Oleh sebab itulah selanjutnya Tuhan memberikan sifat dan watak yang berbeda antar manusia, dan memberikan kelebihan antara yang satu dengan lain. Dalam konteks ini al-Mawardi mengutip sebuah ayat yang artinya sebagai berikut :

Hatamar, Laporan Penelitian: Pemikiran Polotik Al-Mawardi dan Relevansinya dengan Pemikiran Politik Modern. hlm. 53.

26

18

"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi (dalam kenyataan) manusia sering berselisih pendapat mengenai (mengenai berbagai hal dan kepentingan), kecuali orang yang mendapat kasih sayang Tuhan, dan oleh sebab itulah mereka diciptakan." (Q.S. Hud: 118)

D. KARYA-KARYA AL-MAWARDI Di antara karya-karya al-Mawardi yang populer yaitu: A. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Buku ini membahas dasar-dasar ilmu politik yang menitikberatkan pada fungsi dan tugas khalifah, kepada menteri dan menteri-menteri lain, hubungan antar berbagai unsur masyarakat dan pemerintah serta persiapan kekuatan pemerintah B. Siyasah al-Muluk (Politik Raja) C. Adab al-Wazir (Etika Menteri) D. Tahzil al-Nasr wat-Tajil al-Dhafar (Cara Mudah penaklukan dan cepat Mendapatkat Kemenangan.27 E. Al-Hawi (Penghimpun) F. Al-Iqna (Keikhlasan) G. Adab al-Dunya wa al-Din (Tata Krama Kehidupan Politik dan Agama)28

27 28

Jamil Ahmad, Seratus Muslim terkemuka, hlm. 202. TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3

19

E. KESIMPULAN Al-Mawardi hidup pada masa kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah yang sedang lemah dan tidak berdaya. Kedudukan khalifah melemah dan ia harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia. Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim lainnya. Ia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Ia adalah seorang mujtahid yang bermadzhab Syafii. Al-Mawardi berpendapat bahwa manusia itu merupakan mahluk sosial, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, namun ia memasukkan agama dalam teorinya. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan negara. Dengan demikian, adanya negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu Mawardi berpendapat, bahwa kepala negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengatur dunia dan mengesahkannya. Dalam pemerintahan Mawardi tetap mempertahankan Kepala Negara harus berbangasa Arab dari suku Quraisy. Dan perlu diingat bahwa Mawardi menekankan etnis arab adalah dilatarbelakangi oleh situasi politik saat itu. Upaya Mawardi mempertahankan etnis Quraisy, secara kontekstual interpretative dapat dikatakan, bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Maka mengutamakan etnis Quraisy memang bukan ajaran dasar agama islam yang dibawa Rasulullah, karena itu Hadist-hadist yang mengutamakan etnis Quraisy harus dipahami sebagai ajaran yang bersifat temporal. Menurut Mawardi, penentuan kepala pemerintahan dapat terjadi dengan ditunjuk langsung oleh pemimpin sebelumnya kepada seseorang atau dengan pembai'atan oleh ahl al-ikhtiyar atau ahl al-hal wa al-'aqd. Adapun kontrak sosial merupakan perjanjian atas dasar sukarela. Hubungan antara ahl al-Hall wa al-Aqd

20

dengan kepala negara (eksekutif) merupakan hubungan antara dua belah pihak peserta kontrak sosial yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Dengan demikian, harus diakui bahwa pemikiran dan gagasan al-Mawardi memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruhnya ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat, dan Prolegomena karya Ibn Khaldun.

21

REFERENSI

Al-Din, Muhahammad Diya, 1960, al-Nadhriyat al-Siyasiyah al-Islamiyah, (Kairo: al-Maktabah almisriyah) Al-Khattami, Abdul Hayyie, Nurdin, Kamaluddin, 2000, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam (Jakarta: Gema Insani Press) Al-Mawardi, 1971, Adab al-Qadhi, (Baghdad: Mathbaah al-Irsyad) Ali, Rizwan Haji, 2001. Pemberontakan terhadap Negara Islam dalam Perspektif Hukum Islam, (Lhokseumawe: STAI Malikussaleh) Ahmad, Jamil, 2003, Seratus Muslim terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus) Azhar, Muhammad, 1996, Filsafat Politik: Perbandingan antar Islam dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada) Hatamar, 2000, Laporan Penelitian: Pemikiran Polotik Al-Mawardi dan Relevansinya dengan Pemikiran Politik Modern, (Palembang: IAIN Raden Fatah) http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/ilmu-politik/pemikiranpolitik-islam-klasik, 05-06-2008. http://blogspot.com/2008/02/politik-muslim-dan-islamisasi.htm, 05-06-2008 http://.poetraboemi.worpress.com/2009/04/20/al-Mawardi-biografi-dan-politiknya, 06-12-2009 Maarif, Ahmad Syafii, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES Pulungan, Suyuti, 1999, Fiqih Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) Sazali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press)

22

Soelestyali, 1987, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia) TIM UIN Syarif Hidayatullah, 2005, Ensiklopedi Islam, (Jakrata: Ichtiar Baru Van Hoeve), Jilid V

23