KITAB FIQIH - SAFINATUN NAJAH ~ Fikih Ringkas Karya Salim Bin Smeer Al-Hadromi
AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan...
Transcript of AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan...
AL-QUR’AN &
KEPEMIMPINAN STUDI KOMPARASI TERHADAP PENAFSIRAN
AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH DAN SYIAH
Fahmi Dwi Nurhady, M.Ag
AL-QUR’AN DAN KEPEMIMPINAN:
Studi Komparasi Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat
Kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah
Penulis : Fahmi Dwi Nurhady, M.Ag
Desain Cover : Dicky Hasbi
Tata Letak : Nurkholis Sofwan
Cetakan : Pertama, Juli 2019
Ukr. 14,5 x 21 cm --- xiv + 176 Hal
ISBN : 978-602-5707-25-4
Diterbitkan Oleh:
Gaung Persada Press
Ciputat Mega Mall Blok C/15
Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat – Tangerang Selatan
Telp. 021 747 075 60, Hp. 081510020395
Email: [email protected]
ANGGOTA IKAPI
© Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
(All Right Reserved)
iii
KATA PENGANTAR
ماء ب روحجا را، ت بارك الذيح جعل ف الس را بصي ح د للو الذيح كان بعباده خبي ح مح الحرا ها سراجا وقمرا مني ح هد انح ال إلو إال اهلل .وجعل في ح دا عبحده أشح هد ان مم وأشح
را. نو وسراجا مني ح ق بإذح را ونذي حرا، وداعيا إل الح ق بشي ح ورسولو الذيح ب عثو بالحرا ليحما كثي ح بو وسلمح تسح د .اللهم صل عليحو وعلى آلو وصحح ا ب عح أم
Segala puji bagi Allah SWT, yang Maha Mengetahui
dan Maha Melihat hamba-hambanya, Maha suci Allah, Dia-lah
yang menciptakan bintang-bintang di langit, dan dijadikan
padanya penerang dan Bulan yang bercahaya. Aku bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, yang diutus dengan
kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan, mengajak pada kebenaran dengan izin-Nya, dan
cahaya penerang bagi umatnya. Ya Allah, curahkan sholawat
dan salam bagi nya dan keluarganya, yaitu doa dan keselamatan
yang berlimpah.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan buku
ini banyak sekali mengalami kendala, namun berkat bantuan,
bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan terutama berkah
dari Allah SWT, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan
buku yang berjudul Al-Qur’an Dan Kepemimpinan: (Studi
Komparasi Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Kepemimpinan
Ahlusunah dan Syiah dapat diselesaikan dengan baik,
sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.
Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada seluruh pihak yang telah dengan sabar,
tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang
sangat berharga kepada penulis selama menyusun buku.
iv
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pula
kepada:
1. Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar Lubis, Lc., MA.,
selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pasca
Sarjana beserta seluruh maha guru, dosen dan staf
Fakultas Ushuluddin Pasca Sarjana Jakarta.
3. Dr. M. Suryadinata, M.A. serta Dr. Lilik Ummi
Kaltsum, M.Ag selaku pembimbing yang selalu
memberikan dedikasinya kepada penulis, bersabar
memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis
berada di bawah bimbingannya. Juga melalui beliau,
tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru, sehingga penulis
bersemangat dalam menyelesaikan buku ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah
memberikan dedikasinya mendidik penulis, memberikan
ilmu, pengalaman, serta pengarahan kepada penulis
selama masa perkuliahan.
5. Orang tua tercinta Drs. H. Ahmad Syarifudin, M.Pd dan
Hj. Mariam, atas bimbingan dan doanya yang tak pernah
putus sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini.
Penulis juga ucapkan terimakasih kepada kakanda
Zakky Aulia Rahman, S.Pd, adinda-adinda tersayang
Hetiny Muthia Rahmi, M.Pd, Hasby Nashirudin al-Bani,
Hafid Taqiyudin al-Bani, Harun Fauzi al-Bani, dan
Salman Fadlur Rahman al-Bani yang turut serta dalam
mendukung penyelesainya buku ini. Terkhusus penulis
mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada seorang
partner yang selalu setia menemani dan tak pernah lelah
memberikan dukungan materi dan non-materi yakni
Khasanatul Atiyah, serta putriku tercinta Rayhana
Nurazkia Rahim yang membuat penulis selalu
bersemangat untuk menyelesaikan buku ini.
v
6. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan
dalam proses penyelesaian buku ini, namun luput untuk
penulis sebutkan, tanpa mengurangi rasa terima kasih
penulis.
Harapan penulis semoga buku ini sedikit banyak dapat
bermanfaat bagi pembaca dan semoga Allah SWT, selalu
memberkahi dan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang
turut serta membantu penyelesaian buku ini. Āmīn yā Rabb al-
Ālamīn.
Jakarta , 06 Mei 2019
Fahmi Dwi Nurhady
vi
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI (ARAB-LATIN)
A. Konsonan
Arab Latin Nama Keterangan
alif Tidak dilambangkan ا
B ba Be ب
T ta Te ت
Ts tsa Te dan Es ث
J jim Je ج
ḥ ha حHa dengan titik di
bawah
Kh kha Ka dan Ha خ
D dal De د
Dz dza De dan Zet ذ
R ra Er ر
Z zai Zet ز
S sin Es س
Sy syin Es dan Ye ش
Sh shad Es dan Ha ص
Dh dladl De dan Ha ض
Th tha Te dan Ha ط
viii
Zh zha Zet dan Ha ظ
ain Koma di atas‘ ‘ ع
Gh ghain Ge dan Ha غ
F fa Ef ف
Q qof Qi ق
K kaf Ka ك
L lam El ل
M mim Em م
N nun En ن
H ha Ha ه
W waw We و
hamzah Apostrop ‘ ء
ىalif
layyinah Tidak dilambangkan
B. Vokal Tunggal
Arab Nama Latin Keterangan
--- Fathah A A
--- Kasrah I I
--- Dlammah U U
ix
C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong
Arab Nama Latin Keterangan
ي--- Fathah dan
Ya Ai a dan i
و--- Fathah dan
Waw Au a dan u
D. Vokal Panjang (Madd)
Arab Nama Latin Keterangan
ى---ا---
Fathah diikuti
oleh alif atau
ya
 a dengan tanda
di atas
و---
Dlammah
diikuti oleh
waw
Û u dengan tanda
di atas
ي--- Kasrah diikuti
ya Î
i dengan tanda
di atas
x
xi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR_iii
PEDOMAN TRANSLITERASI (ARAB-LATIN)_vii
DAFTAR ISI_xi
BAB I: PENDAHULUAN_1
A. Latar Belakang Masalah_1
B. Pokok Permasalahan_11
1. Identifikasi Masalah_11
2. Pembatasan Masalah_12
3. Perumusan Masalah_17
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian_17
D. Tinjauan Pustaka_18
E. Metodologi Penelitian_23
F. Sistematika Pembahasan_26
BAB II: PENAFSIRAN DAN KEPEMIMPINAN
AHLUSUNAH DAN SYIAH _29
A. Penafsiran Syiah_29
B. Kepemimpinan Perspektif Ahlusunah dan Syiah_34
C. Pembentukan Kepemimpinan dalam Islam_41
1. Periode Rasulullah_41
2. Penunjukan Abu Bakar al-Siddiq_51
3. Penunjukan Umar bin Khattab_57
4. Penunjukan Usman bin Affan_60
5. Penunjukan Ali bin Abi Thalib_64
6. Penunjukan Hasan bin Ali bin Abi Thalib_68
7. Periode Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Imam
Syiah_69
8. Kebangkitan Nasionalisme dan Wilāyah al-Fāqih di
Iran_78
xii
BAB III: ANALISA PENAFSIRAN AHLUSUNAH DAN
SYIAH TERHADAP AYAT-AYAT AL-QURAN
TENTANG KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH_83 A. QS. Ali Imran/3 : 159 dan QS. asy-Syura/42 : 38_84
B. QS. Ali Imran/3 : 28 dan QS. Al-Maidah/5: 51_93
C. QS. an-Nisa/4: 58-59_102
D. QS. Ali Imran/3: 104 dan 110_110
BAB IV: ANALISA PENAFSIRAN AHLUSUNAH DAN
SYIAH TERHADAP AYAT-AYAT AL-QURAN
TENTANG KEPEMIMPINAN SYIAH_117
A. QS. al-Maidah/5: 67 (Ayat Tablīg)_117
B. QS. al-Maidah/5: 55-56 (Ayat Wilāyah)_125
C. QS. al-Baqarah/2: 124 (Ayat Ibtilā)_134
D. QS. al-Nisa/4: 59 (Ayat Uli al-Amr)_141
BAB V: ANALISA KOMPARASI TERHADAP
PENAFSIRAN AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN
AHLUSUNAH DAN SYIAH_147
A. Perbedaan Konsep Kepemimpinan yang Berimplikasi
Terhadap Perbedaan Ayat-ayat al-Quran yang
digunakan sebagai Dalil_147
B. Perbedaan penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap
ayat-ayat al-Quran tentang kepemimpinan_151
C. Persaman Penafsiran Ahlusunah dan Syiah Terhadap
Ayat-ayat al-Quran tentang Kepemimpinan_154
D. Perbedaan Term-term Kepemimpinan dalam al-
Quran_155
E. Perbedaan dalam Penerapan Sumber Penafsiran_155
F. Perbedaan dalam Penerapan kolerasi (Munāsabah)
ayat_156
G. Perbedaan dalam Memaknai Term Ulī al-Amr dalam
QS. al-Nisa/4 : 59_160
H. Solusi Konstruktif _162
xiii
BAB VI: PENUTUP_163
A. Kesimpulan_163
B. Saran_163
DAFTAR PUSTAKA_165
BIODATA PENULIS_175
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sosok pemimpin merupakan hal yang sangat penting
dalam sebuah komunitas kehidupan masyarakat. Tanpa seorang
pemimpin dalam komunitas tertentu, kehidupan masyarakat
tidak akan teratur dan tidak akan terwujud kehidupan
masyarakat yang baik. Terlebih komunitas muslim pada fase
awal meninggalnya Nabi Muhammad SAW yang sangat
membutuhkan pemimpin pengganti sepeninggalan beliau, agar
kehidupan komunitas muslim yang baru lahir itu berjalan
dengan baik. Sebab sosok Nabi Muhammad selain sebagai
pemimpin agama, beliau juga merupakan pemimpin negara.
W.M. Watt menjelaskan sebagaimana dikutip oleh
Harun Nasution, ketika Nabi Muhammad SAW wafat tahun 632
M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota
itu saja. Tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semenanjung
Arabia. Negara Islam di waktu itu merupakan kumpulan suku-
suku bangsa Arab yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi
Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat
Madinah, dan mungkin juga masyarakat Makkah sebagai
intinya. Islam sendiri, sebagai kata R. Strothman, di samping
merupakan sistem agama telah pula merupakan sistem politik,
dan Nabi Muhammad di samping Rasulullah telah pula menjadi
seorang ahli negara.1
Dengan wafatnya Rasulullah SAW, umat muslim
dihadapkan kepada suatu kritis konstitusional. Sejumlah suku
melepaskan diri dari kekuasaan Madinah, ada golongan yang
telah murtad, ada golongan yang tidak mau membayar zakat,
ada yang mengaku dirinya sebagai nabi dan memiliki pengikut
yang banyak. Oleh sebab itu, masyarakat Madinah sibuk
memikirkan pengganti Rasulullah untuk memimpin negara
1 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2013), h.5.
2
Islam yang baru lahir itu. Sehingga pengurusan jenazah beliau
pun tidak segera dilakukan oleh para sahabat.2
Nourrouzzaman menjelaskan, kaum muslimin
berkumpul di Saqifah Bani Sa‟idah untuk mengadakan
muktamar pemilihan kepala negara atau khalifah pengganti
Rasulullah SAW. Kaum Anshar menekankan pada persyaratan
jasa, mereka mengajukan calon Saad bin Ubadah. Kaum
Muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka
mengajukan calon Abu Ubaidah bin Jarrah. Sementara itu dari
Ahlulbait menginginkan agar Ali bin Abi Thalib menjadi
khalifah atas dasar kedudukannya dalam Islam, juga sebagai
menantu dan karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi bahkan
adu fisik. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi,
akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jamaah kaum muslimin
untuk menduduki jabatan khalifah.3
Namun, penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah
pertama dinilai kelompok Syiah sebagai rekayasa politik yang
telah direncanakan Abu Bakar dan Umar bin Khattab4. Abu
2Rasulullah wafat pada waktu Dhuha, hari Senin 12 Rabi‟ul Awwal,
tahun 11 H. Tepat pada usia Rasulullah 63 tahun lebih empat hari. Sebelum
para sahabat melakukan pengurusan Jenazah Rasulullah, mereka berselisih
pendapat tentang siapa yang menjadi Khalifah pengganti Rasulullah. Namun
akhirnya, Abu Bakar terpilih sebagai Khalifah pertama. Hal tersebut
berlangsung hingga menjelang subuh hari Selasa. Setelah itu Pengurusan
jenazah baru dilakukan dan selesai pada hari Selasa malam (Rabu). Lihat
Shafiyyur Rahman Mubarakfury, Ar Rahiqul Makhtum Bahtsun fi as-Shirah
an-Nabawiyah „ala Shihibiha Afdholushshalti wa as-Slami, Penerjemah
Rahmat, Sejarah Hidup Muhammad Sirah Nabawiyah (Jakarta; Robbani
Press, 2010), h. 716-719. 3 Nourrouzzaman Shiddiqi, Tamaddun Muslim (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), h. 117-118. 4 Pertemuan yang terjadi di Saqifah tidak dihadiri oleh pemuka-
pemuka sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka‟ab, Miqdad,
Salman, Talhah, az-Zubair, dan Hudhaifah. Pertemuan ini hanya dihadiri
oleh tiga kelompok muhajirin. Lihat Sayid Mujtaba Musawi lari, Imam
Penerus Nabi Muhammad Saw.; Tinjauan Historis, Teologis dan Filosofis
(Jakarta: Lentera Basritama, 2004), h. 106
3
Muhammad Ordoni menjelaskan, tindakan Umar begitu
berlebihan dalam menanggapi wafatnya Nabi. Ia melarang
orang mempercayai berita wafatnya Nabi dan berteriak-teriak
ke wajah orang-orang dan mengancam mereka dan berkata ; “...
Aku tak akan mendengar seorang berkata, „Rasulullah SAW
wafat‟, kecuali akan kupenggal kepalanya.” Kemudian, setelah
Abu Bakar berpidato5, ia sadar bahwa Rasulullah telah
meninggal, kemudian berputar haluan dengan melupakan
segalanya, lalu bergegas pergi bersama Abu Bakar dan kaum
Muhajirin ke sidang Saqifah untuk berpatisipasi dalam
pemilihan pemimpin baru kaum Muslim.6
Al-Suyuthi menjelaskan, setelah Umar membaiat Abu
Bakar, dikuti oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Kemudian Abu Bakar naik ke mimbar dan melihat orang yang
hadir, dia tidak mendapatkan Ali di tengah mereka. Dia
kemudian mengutus seorang untuk memanggil Ali, dan Ali pun
datang memenuhi panggilan tersebut. Abu Bakar berkata, “Kau
adalah anak paman Rasulullah dan dia kawinkan engkau
dengan anaknya, apakah engkau kau ingin mengoyak-ngoyak
5 ”Siapa di antara kalian yang menyembah Muhammad Saw.,
sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Dan siapa yang menyembah
Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak mati.” Abu Bakar lalu
membacakan QS. Ali Imran: 144: “Muhammad itu tak lain hanyalah seorang
Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika
dia wafat atau di bunuh, kamu berbalik kebelakang (Murtad) ?...” Kemudian
Umar berkata: “Demi Allah Aku tidak menyadarinya sehingga Abu Bakar
membacanya. Aku terpana, kedua kakiku terasa lemas, sehingga aku jatuh
manakala dia membacanya. Saat itu aku baru sadar bahwa Rasulullah telah
meninggal.” Ibnu Abbas berkata : “Demi Allah seakan-akan orang-orang
tidak pernah merasa Allah telah menurunkan ayat tersebut kecuali setelah
Abu Bakar saat itu membacanya.” Lihat Shafiyyur Rahman Mubarakfury,
Sejarah Hidup Muhammad, h. 716-718, Lihat Ja‟far Subhani, Ar Risalah;
Sejarah Kehidupan Rasulullah Saw., (Jakarta: Lentera Baristama, 1996), h.
696 6 Abu Muhammad Ordoni, Fathimah Buah Cinta Rasulullah Saw.
Sosok Sempurna Wanita Surga, (Jakarta: Zahra, 2012), h. 190-192
4
kesatuan kaum Muslimin?” Ali menjawab, “Tidak wahai
khalifah Rasulullah!” dan dia membaiat Abu Bakar.7
Keesokan harinya Umar dan Abu Bakar berpidato dan
akhirnya kaum muslimin kembali memberikan baiat secara
umum kepada Abu Bakar setelah baiat di Saqifah. Lalu Ali dan
Zubair berkata, “Kemarahan kami tidak lain karena kami tidak
diikutkan dalam musyawarah. Sesungguhnya kami memandang
bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak untuk
memangku khalifah. Karena sesungguhnya dia adalah teman
Rasulullah di dalam gua. Dan kami mengetahui kemuliaan yang
ada padanya. Rasulullah telah memerintahkannya menjadi
imam pada saat dia masih hidup.8
Mujtaba Musawi Lari menyanggah, ketika Fatimah
bersama Ali berusaha mencari bantuan dari para sahabat,
mereka berkata: “Wahai putri Rasul! Kita telah mengucapkan
7 Sebelumnya Abu Bakar telah terlebih dahulu memanggil Zubair
karena ia tidak dapatkan Zubair berada di tengah hadirin. Dia
memerintahkan agar Zubair dipanggil, lalu dia datang memenuhi panggilan
Abu Bakar. Abu Bakar berkata, “Kau adalah anak bibi Rasulullah dan
seorang hawari Rasulullah, apakah kau ingin mengoyak-ngoyak kesatuan
kaum Muslimin?” Zubair menjawab, “Tidak wahai khalifah Rasulullah!”
Lalu dia membaiat Abu Bakar. Lihat Imam al-Suyuthi, Tarikh Khulafa‟,
Penerjemah Samson Rahman (Jakarta, Pustaka Kautsar, 2000) h. 76 8 Umar berpidato sebelum Abu Bakar. Dia memuji Allah dan
menyatakan sykurnya. Lalu berkata, “ Sesungguhnya Allah telah menjadikan
orang terbaik di antara kalian memangku jabatan khalifah. Dia adalah
sahabat Rasulullah, orang yang menemaninya saat berada di dalam gua.
Maka bangunlah kalian semua dan nyatakan baiat kepadanya.” Lalu para
hadirin berdiri dan menyatakan baiat secara umum setelah baiat di Saqifah.
Kemudian Abu Bakar berdiri dan memuji Allah dan menyatakan syukurnya.
Kemudian berkata, “Demi Allah sesungguhnya saya tidak pernah berambisi
kepada kekuasaan meskipun sehari ataupun semalam dalam hidupku. Saya
juga tidak pernah mengiginkannya. Saya tidak pernah satu kalipun meminta
kepada Allah baik secara terang-terangan maupun secara rahsia. Namun saya
khawatir terjadi fitnah. Dan tidaklah ada dalam kepemimpinan ini untuk
berleha-leha. Sebab saya telah dibebani tugas yang demikian besa. Dan
tidaklah ada padaku satu kekuatan dan daya kecuali dengan bantuan Allah.”
Imam al-Suyuthi, Tarikh Khulafa‟,h. 76-77
5
baiat kepada Abu Bakar. Jika Ali datang sebelum peristiwa ini,
maka kami tidak akan meninggalkanya.” Ali berkata kepada
mereka: “Apakah pantas mempermasalahkan persoalan khalifah
sementara Nabi belum dikuburkan?”. Setelah peristiwa Saqifah
Ali berkata kepada Abu Bakar, “Anda telah merampas hakku,
Anda enggan berkonsultasi denganku, dan mengabaikan
hakku,” Abu Bakar hanya menjawab, “Ya, benar, tetapi aku
takut terjadi kekacauan dan bencana.”9
Karen Armstrong mengutip perkataan Ibnu Katsir,
bahwa Ali membaiat Abu Bakar pada hari pertama atau kedua.
Ali tak pernah mengikari Abu Bakar dan tidak pernah
melewatkan satu salat pun yang diimami Abu Bakar. Ali juga
keluar bersamanya menuju Dzul Qishah untuk memerangi
penduduk yang murtad. Tapi, Fatimah pernah mencela Abu
Bakar karena menyangka dirinya berhak memperoleh warisan
dari Rasulullah sebagai anak. Namun Abu Bakar tidak
membagikannya dan menganggap dirinyalah yang yang berhak
mengurus semua peninggalan Rasulullah. Inilah yang memicu
kemarahan Fatimah terhadap Abu Bakar. Fatimah meninggal
dunia enam bulan setelah Rasulullah wafat. Kondisi ini
membuat Ali memutuskan diri untuk memperbaharui baiatnya
terhadap Abu Bakar agar tidak timbul fitnah di kalangan umat
Islam.10
Ali bin Ibrahim al-Qummi menegaskan, Rasulullah
secara jelas menunjuk Ali di Ghadir Khum sebagai pemimpin
kaum muslimin (pemimpin agama sekaligus pemimpin politik).
Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh firman Allah SWT
dalam QS. al Maidah: 67.
9 Sayid Mujtaba, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw., h. 54
10 Karen Armstrong. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi
Kritis. Penerjemah Sirikit Syah (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h. 10
6
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-
Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang kafir.
Ayat ini turun kepada Rasulullah SAW, ketika sampai di
Ghadir Khum dalam perjalanan pulang Haji Wada‟ dari
Makkah menuju Madinah. Dalam ayat ini, Allah SWT
memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengangkat Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah sepeninggalannya. Maka Rasulullah
SAW berpidato di hadapan para sahabat, setelah memuji Allah,
Beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, apakah kalian
mengetahui siapa wali kalian?”, para sahabat menjawab: “Ya,
Allah dan Rasul-Nya”. Rasulullah bersabda: “Bukankah kalian
mengetahui bahwa sesungguhnya diriku lebih utama dari
kalian?”, mereka menjawab: “Ya, benar”. Beliau mengulangi-
nya tiga kali, dan mereka menjawab dengan jawaban yang
sama. Rasulullah berdoa: “Ya Allah, Saksikanlah”, Kemudian
Rasulullah menggenggam tangan Ali bin Abi Thalib dan
mengangkatnya sampai terlihat ketiak keduanya yang putih oleh
para sahabat. Kemudian bersabda: “Ketauhilah, barang siapa
yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali bin Abi Thalib adalah
pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya,
7
musuhilah orang yang memusuhinya, belalah orang yang
membelanya, dan hinakanlah orang yang menghinakannya.”11
Kemudian peristiwa ini disempurnakan dengan turunnya
QS. al Maidah: 3: “... Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu ...”. Ayat
ini dikenal dengan ayat Ikmāl al-dīn (Penyempurnaan Agama).
Dari Ali bin Ibrahim Al-Qummi, dari Bapaknya, dari Sofwan
bin Yahya, dari „Ala, dari Muhammad bin Muslim, Abu Ja‟far
(Imam Muhammad al-Baqir AS) berkata: “Kewajiban terkhir
yang Allah perintahkan kepada manusia adalah al-wilāyah,
kemudian Allah tidak menurunkan kewajiban setelahnya.” Nabi
SAW bersabda, “Allah Maha Besar lantaran penyempurnaan
agama, pelengkapan nikmat, dan keridhaan Tuhan dengan
risalahku dan wilâyah Ali bin Abi Thalib .”12
Namun, ulama Ahlusunah tidak sepaham dengan
pemahaman ulama Syiah terkait hadis Ghadir Khum tersebut.
Menurut para ulama Ahlusunah, teks hadis itu sebatas keutaman
Ali yang memiliki latar belakang khusus dan bukan
pengangkatan khalifah sesudah beliau. Teks hadis itu jelasnya
bukan kepemimpinan umat (al-wilāyah/al-imārah), melainkan
kasih sayang dan tolong-menolong yang muncul dari dua pihak
(al-walāyah/al-muwālah yang darinya berasal kata al-waliyu
dan al-mawla, sebagaimana teks hadis).13
11
Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsir Al-Qummi (Qum: Yayasan
Imam Mahdi, 1435 H), Juz ke-1 h. 254-255, Sayyid Muhammad Radawi,
Imāmah dan Wilayah dalam Ajaran Ahlulbait AS, (Era of Appearance
Foundation, 2009), h.18, Tim Ahlul Bait Indonesia (ABI), Buku Putih
Mazhab Syiah Menurut Para Ulamanya yang Muktabar, Penjelasan
Ringkas-Lengkap untuk Kerukunan Umat (Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Ahlul Bait Indonesia, 2012), h.114 12
Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsir Al-Qummi, Juz ke-1 h. 239,
Tim ABI, Buku Putih Mazhab Syiah, h.115 13
Ibrahim bin „Amir Al-Rahili, Al-intishar li as-Shuhbi wal Aal,
(Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam), h. 329
8
Ahmad al-Katib menguraikan, jika teks hadis itu
menegaskan tentang pelantikan Ali sebagai Khalifah setelah
Rasulullah, pasti sudah digunakan Ali bin Abi Thalib sebagai
dalil dan hujjah saat Rasulullah wafat sebelum pengangkatan
Abu Bakar sebagai khalifah, atau pada saat musyawarah enam
tokoh sahabat setelah wafatnya Umar bin Khattab untuk
menetapkan khalifah baru, dan juga dijadikan dalil oleh Abu
Musa al-As‟ari untuk menetapkan posisi Khalifah Ali pada
peristiwa Tahkim antara Ali dan Muawiyah pasca perang
Shiffin. Namun tak ada satu sahabat pun, termasuk Ali yang
memahaminya demikian. Para tokoh Ahlulbait sendiri seperti
Ali, Hasan, dan Husain, mereka berpegang teguh pada prinsip
Syurā dalam memilih pemimpin dan tak pernah menyinggung
soal adanya teks wasiat penunjukan Imamah mereka, baik dari
Rasulullah SAW kepada Ali, ataupun Ali kepada Hasan dan
Husain.14
Muhammad Baqir Sadr membantah, mereka menjadi-
kan Syurā sebagai alibi dan senjata guna mencapai kepentingan
politik masing-masing. Konsep Syurā tidak terefleksi dalam
cara berpikir mereka, bahkan mereka sendiri saling berselisih
pendapat tentang berbagai sikap politik, yang kemudian
perselisihan tersebut disusul dengan terpecahnya orang-orang
yang selalu mengelu-elukan Syurā menjadi beberapa golongan.
Setiap golongan meneriakkan Syurā dan mengaku golongannya
sebagai golongan yang konsekuen dengan nilai dan konsep
tersebut.15
14
Ahmad al-Katib, Tathawwur Al-Fikr as-siyasi as-Syi‟i min Syura
ila Wilayat al-Faqih (Beirut: Darul Jadid, 1998), h.19-28 15
Kenyataan ini terlihat dengan jelas dalam sikap sahabat Thalhah
terhadap penunjukan Khalifah Abu Bakar dan kekesalannya terhadap
penunjukan tersebut dengan menggunakan syura sebagai senjata untuk
menolak dan memprotes aksi penunjukan itu. Talhah mengecam sikap dan
tindakan Abu Bakar itu sebagai tindakan gegabah yang bertentangan pesan
dan konsep serta cara bermusyawarah yang telah digariskan oleh Rasulullah
Saw.
9
Menurut jumhur ulama Syiah, percaya kepada Imamah
adalah salah satu pokok agama, jika seseorang tidak mengimani
Imamah (Wilāyah) Imam Ali bin Abi Thalib dan keturunannya,
maka dia kafir kepada Allah. al-Kulaini menyatakan,
“Bermaksiat kepada Ali adalah Kufur dan mempercayai orang
lain lebih utama dan berhak dari beliau dalam Imāmah adalah
syirik.”16
al-Majlisi menulis dalam bukunya, “sekte imamiyah
bersepakat bahwa sungguh orang yang mengingkari Imāmah
salah satu dari imām kami dan menolak kewajiban dari Allah
Kemudian Abdurrahman bin Auf juga memprotes Abu Bakar atas
tindakannya yang sepihak menunjuk rekannya Umar bin Khatab sebagai
penggantinya memangku jabatan kekhalifahan dalam selembar surat yang
ditulis Utsman bin Affan (selaku Sekretaris Negara). “Hai Khalifah!
Bagaimana anda ini sebenarnya?”. Abu Bakar Menjawab dengan nada
bertanya: “Kenapa kalian semua memprotes penunjukan itu dan menambah
berat bebanku lalu masing-masing menuntut jabatan itu.” Pengangkatan
yang dilakukan Abu Bakar dan sikap protes Abdurrahman bin Auf
membuktikan bahwa sang Khalifah tidak memahami logika sistem syura.
Surat pengangkatan itu bukan hanya sekedar usul atau buah pendapat biasa
namun surat tersebut bernada perintah dan ketetapan yang bersifat absolut
dan tak dapat diralat atau diganggu-gugat.
Terbukti Umar juga merasa berhak mengangkat secara individu
seorang pengganti dengan cara menunjuk enam rekannya sebagai calon-
calon tetap dan terbatas dan orang-orang yang diluar enam calon itu hanya
berhak mendengar, menonton dan puas dengan hasil saja. Suara orang
ketujuh disitu tidak akan digubris. Pengangkatan Umar ini jelas tidak
berdasarkan syura yang pada dasarnya mengutamakan faktor pengambilan
suara terbanyak. Hal ini tidak terlalu berbeda dengan gaya penunjukan Abu
Bakar kepadanya. Kedua-duanya tidak konsekwen pada nilai dan tuntunan
permusyawarata yang ideal, yang mana sebelumnya selalu mereka gunakan
sebagai alat dan alasan dalam berkampanye pada sidang Saqifah. Tarikh Al-
Ya‟qubi juz kedua h. 126-127. Muhammad Bagir Sadr, Kemelut
Kepemimpinan Setelah Rasul (Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1990), h. 27-28 16
Muhammad bin Ya‟qub abu Ja‟far Al Kulaini, Usul Al-Kafi,
(Beirut: Mansyurat al-Fajr, 2008) Jilid 1 h. 52 dan 54
10
untuk mentaatinya adalah kafir yang pasti kekal di dalam
neraka.17
Mereka juga meyakini bahwa para Imām memiliki dunia
dan akhirat. al-Kulaini menyatakan bahwa, “Tidakkah kamu
ketahui sesungguhnya dunia dan akhirat adalah kepunyaan
Imam, dia boleh meletakannya di mana dikehendakinya dan
memberikan kepada siapa yang dikehendakinya dan
memberikan kepada siapa yang dikehendakinya. Itu adalah
kebenaran dari pihak Allah kepadanya.” Selain itu mereka juga
meyakini bahwa para imam mengetahui yang ghaib. Imam
Ja‟far Shadiq AS berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang di langit dan di bumi. Aku mengetahui apa yang ada di
surga dan di neraka. Aku mengetahui perkara yang berlalu dan
perkara yang akan datang.”18
Sayyid Abul Hasan Ali al-Hasani al-Nadawi menang-
gapi, bahwa Rasulullah SAW wajib sebagai satu-satunya pusat
hidayah dan pengatur syariat yang harus ditaati. Tidak boleh
ada seorangpun yang berserikat dalam kenabian dan
pensyariatan sehingga tak ada manusia setelah nabi yang
berpredikat maksum dan menjadi sumber wahyu, Imamah
seperti yang diyakini Syiah dan dinyatakan oleh Muhammad
Husain Kasyif al-Ghita dalam kitab Ashl as-Syiah wa Ushuluha
adalah jabatan keilahian (mansibatul-ilahy) seperti Nubuwwah.
Hal seperti ini jelas melanggar prinsip bahwa Nabi Muhammad
adalah Nabi dan terakhir.19
Oleh sebab itu, adanya perbedaan konsep kepemimpinan
antara Ahlusunah dan Syiah yang mereka landaskan kepada
ayat-ayat al-Qur‟an, al-Hadist dan fakta sejarah terkait, perlu
17
Muhammad Baqir al-Majalisi, Bihar Al-Anwar sl-Jamiah li
Durar Akhbar al-Aimmat al-Athhar (Dar Ihya al-Turats al-„Arabi, t.t.)
Jilid.23 h. 390 18
al-Kulaini, Ushulul Kafi, Jilid.1 h.155-157 19
Sayyid Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadawi, Shuratani
Mutadhaddatani li Nataij Juhhud Ar-Rasul Al-A‟zham, (Qatar: Idarat Ihya‟
al-Turats al-Islami, t.t.) h.17
11
ditelaah kembali. Adapun contoh perbedaan konsep tersebut
seperti, pertama, perbedaan Pemimpin yang sah setelah
wafatnya Nabi Muhammad antara Abu Bakar atau Ali bin Abi
Thalib. Kedua, Syiah berpandapat imamah adalah jabatan
keilahian (mansibatul-ilahy) layaknya al-nubuwwah dan
pengangkatannya pun merupakan perkara Allah, sedangkan
Ahlusunah tidak demikian, mereka mengangkat seorang
pemimpin dengan musyawarah. Ketiga, Syiah menyatakan
pemimpin harus ditaati, karena mereka maksum, sedangkan
Ahlusunah pemimipin tidak maksum.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut yang mereka
landaskan kepada ayat-ayat al-Qur‟an, maka penulis
menganggap pentingnya mengkomparasi penafsiran ahlususnah
dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang kepemimpinan.
Oleh karenanya dalam tesis ini, penulis memberi judul Al-
Qur’an Dan Kepemimpinan: Studi Komparasi Terhadap
Penafsiran Ayat-Ayat Kepemimpinan Ahlusunah dan
Syiah.
B. Pokok Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah
terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
1) Krisis konstitusional yang melanda umat muslim pasca
wafatnya Rasulullah SAW sangat mengkhawatirkan.
Sejumlah suku melepaskan diri dari kekuasaan
Madinah, ada golongan yang telah murtad, ada golongan
yang tidak mau membayar zakat, ada yang mengaku
dirinya sebagai nabi dan memiliki pengikut yang
banyak.
2) Terjadi perselisihan antar golongan sahabat tentang
siapa yang paling berhak atas kepemimpinan (Imāmah)
negara Islam yang baru berkembang.
12
3) Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama dinilai
kelompok Syiah sebagai rekayasa politik yang telah
direncanakan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Kemudian Syiah mengklaim bahwa Rasulullah telah
mewasiatkan kepemimpinan setelah beliau kepada Ali
bin Abi Thalib
4) Formulasi konsep Imamah sebagai doktrin utama
(ushul) Syiah sangat kontradiksi dengan pemahaman
Ahlusunah.
5) Konstruksi konsep kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah
perlu dirujuk dengan mengkaji ayat-ayat kepemimpinan
yang ditafsirkan oleh mufasir Ahlusunah dan Syiah.
6) Ayat-ayat tentang kepemimpinan dalam al-Qur‟an
jumlahnya sangat banyak.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis akan
mengeksplorasi pemikiran dan penafsiran mufasir Ahlusunah
dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang kepemimpinan.
Adapun pemikiran dan penafsiran mufasir yang dirujuk
peneliti yaitu :
1) Mufasir Ahlusunah
a) Muhammad bin Umar Fakhruddiin ar-Razi : Tafsīr
al-Kabir wa Mafâtih al-Ghaib. Penulis
menggunakan kitab tafsir ini karena termasuk kitab
tafsir bi al-ra‟yi tersohor. Ar-Razi termasuk mufasir
yang banyak menguraikan kajian masalah
ketuhanan (teologi) dan termasuk di dalamnya
beliau mengkritisi penafsiran ayat-ayat teologi
Syiah. Selain itu beliau juga mengemukakan
mazhab-mazhab fikih dalam penafsirannya.
Sehingga penafsiran beliau terhadap ayat-ayat
kepemimpinan sangat penulis butuhkan dalam
penelitian ini.
13
b) Sayyid Quthb : Tafsīr fi Zhilâl al-Qur‟an. penulis
merujuk kitab tafsir ini karena termasuk kitab tafsir
termasyhur di Era Modern. Sayyid Quthb
merupakan tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin yang
paling memonjol, alim dan pemikir yang cemerlang.
Ketika beliau menafsirkan sebuah rangkain ayat, ia
sodorkan satu “payung” dalam muqaddimah untuk
menaungi antara bagian-bagiannya. Kemudian
beliau menafsirkan ayat dengan mengetengahkan
riwayat-riwayat yang shahih, lalu mengemukakan
sebuah paragraf tentang kajian kebahasaan secara
singkat. Dalam penafsirannya, beliau memberikan
motivasi, membangkitkan kesadaran, meluruskan
pemahaman, dan mengaitkan Islam dengan
kehidupan. Corak haraki dan adaby ijtima‟i inilah
yang penulis perlukan dalam menganalisa
penafsiran ayat-ayat kepemimpinan.
c) Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili: Tafsīr al-Munir
fī al-„Aqīdah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj. Adapun
alasan penulis mengutamakan kitab tafsir ini karena
bercorak nuansa fiqih. corak fiqih inilah yang
dibutuhkan penulis ketika menganalisa ayat-ayat
kepemimpinan. Selain itu, dalam penafsirannya al-
Zuhaili menggabungkan sumber klasik, yaitu tafsîr
bi al-ma‟tsûr dan bi al-ra‟y. Beliau juga mengga-
bungkan metode modern, yang merupakan
perpaduan antara tahlîlî dalam menguraikan aspek
bahasa dan sastra, dan metode maudhû‟i (tematik),
dalam menjelaskan tema-tema tertentu. Sehingga
penulis mendapatkan banyak informasi dari karya
beliau.
2) Mufasir Syiah
a) Ali bin Ibrahim al-Qummi: Tafsīr al-Qummi.
Penulis menggunakan kitab tafsir ini karena
14
termasuk kitab tafsir klasik yang tersohor di
kalangan muslim Syiah. Ayah beliau merupakan
ahli hadist Syiah dan banyak meriwayatkan hadist,
oleh karenanya al-Qummi banyak meriwayatkan
hadist dari ayahnya. al-Kulaini, penulis terkemuka
sumber riwayat Syiah menukil lebih dari 7000 hadis
darinya. al-Qummi merupakan sahabat Imam Ali al-
Hadi, selain hidup di masa Imam Ali al-Had, juga
hidup pada masa Imam Hasan al-Askari dan masa
Ghaibah Shugra Imam Mahdi. Sumber penafsiran
dalam kitab ini adalah bi al-ma‟tsūr, yakni riwayat-
riwayat berupa hadist rasulullah dan para imam
maksum, dsb. Penafsiran al-Qummi sangat singkat
dan straight to the point. Beliau hanya menam-
pilkan riwayat kemudian langsung menyimpulkan
makna dan hukumnya, tanpa beragumentasi. al-
Qummi memiliki fanatisme yang kental terhadap
mazhab Syiah. Dalam masalah-masalah teologi
kata-kata beliau cukup pedas terhadap Ahlusunah.
Sumber tafsīr bi al-ma‟tsūr dan fanatisme yang
kental ini yang sangat dibutuhkan penulis.
b) Fadhl bin Hasan al-Thabarsy : Majma‟ al-Bayan fī
Tafsīr al-Qur‟an. Penulis menggunakan kitab tafsir
ini karena termasuk kitab tafsir klasik yang
memiliki bentuk pembahasan yang paling baik dan
sitematik, serta moderat dalam melontarkan kritik
berbagai pendapat dan penafsiran. Dalam
penafsiranya beliau mengklasifikasi pembahasan,
seperti diawali dengan membahas qira‟ah, bahasa
(lughawi), tanda baca, asbāb al-nuzūl, munasabah
ayat, dan penjelasan pasal-pasal permasalahan.
Beliau adalah mufasir Syiah langka yang menaruh
perhatian khusus terhadap ilmu munasabah.
c) Muhammad Husain al-Thabathaba‟i: al-Mizan fi
Tafsīr al-Qur‟an. Penulis menggunakan kitab tafsir
15
ini karena termasuk kitab tafsir kontemporer Syiah
yang masyhur dan banyak menjadi objek penelitian.
Ciri terpenting tafsir ini adalah tafsir al-Qur'an bi
al-Qur'an sehingga ketika peneliti menelaah ayat-
ayat kepemimpinan akan mendapatkan informasi
yang lebih luas terkait ayat-ayat yang berkaitan.
Dalam menafsirkan sebuah ayat, beliau memapar-
kan pendapat-pendapat atau penafsiran-penafsiran
ulama lain, kemudian beliau mengkritik satu persatu
pendapat dan penafsiran tersebut dan mengemuka-
kan pendapat beliau. Untuk masalah penafsiran
tentang ayat-ayat teologi Syiah, walaupun beliau
tidak sepaham dengan ulama diluar Syiah, namun
kritikan-kritikan beliau ilmiah dan halus.
Setelah penulis telusuri penafsiran tentang term-term
kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah dalam al-Qur‟an, maka
penulis merangkum ayat-ayat yang terfokus dalam masalah
tersebut.
Ayat-ayat kepemimpinan Ahlusunah yaitu :
a) QS. Ali Imran/3 : 159 dan QS. al-Syura/42 : 38. Penulis
menggunakan kedua ayat ini karena membahas tentang
musyawarah dan musyawarah merupakan asas
pemerintahan Islam. Dalam QS. Ali Imran/3 : 159
Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam diperintahkan
Allah untuk melakukan musyawarah dengan para
sahabatnya. Beliau selalu melakukan musyawarah dalam
segala hal kecuali hukum-hukum agama. Adapun QS.
al-Syura/42 : 38 penulis pilih karena menggambarkan
musyawarah sebagai sifat bawaan orang beriman.
b) QS. al-Nisa/4: 58-59. Penulis menggunakan kedua ayat
ini karena membahas tentang amanah, keadilan, dan
perintah taat kepada pemimpin yang memimpin sesuai
al-Qur‟an dan al-sunah. Adapun amanah merupakan
prinsip pertama asas pemerintahan Islam dan keadilan
16
adalah prinsip kedua. Selama pemimpin menerapkan
dua prinsip tersebut, maka pemimpin wajib ditaati.
c) QS. Ali Imran/3: 104 dan 110. Penulis menggunakan
kedua ayat ini karena kedua ayat ini berbicara tentang
perintah penegakan amar makruf nahi munkar. Amar
makruf nahi munkar harus ditopang dengan kekuasaan,
sehingga hal tersbut dapat ditegakkan dalam
masyarakat.
d) QS. Ali Imran/3 : 28 dan QS. Al-Maidah/5: 51. Penulis
menggunakan kedua ayat ini karena kedua ayat ini
secara tegas mengandung larangan bersikap loyal
terhadap non-muslim dan menjadikannya pemimpin.
Kemudian Allah mengancam mereka yang bersikap
loyal dan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin,
maka mereka termasuk dari dari golongan non-muslim
dan mereka tidak mendapatkan pertolongan Allah.
Dalam menemukan ayat-ayat kepemimpinan Syiah,
selain dengan term-term kepemimpinan dalam al-Qur‟an,
penulis terbantu dengan ayat-ayat kepemimpinan Syiah yang
sangat masyhur. ayat-ayat terebut sangat dikenal baik
dikalangan ulama Syiah maupun pengikut Syiah sendiri.
Termasuk mufasir-mufasir Syiah, ketika menafsirkan ayat-ayat
yang berkaitan dengan teologi imamah, mereka menyebutkan
ayat-ayat tersebut dengan istilah nama ayat yang sudah tersohor
tersebut.
Adapun istilah-istilah nama ayat tersebut adalah QS. Ali
Imran/3 : 61 dengan istilah ayat mubāhalah, QS. al-Taubah/9 :
119 dengan ayat al-shādiqīn, QS. al-Ahzab/33 : 33 dengan ayat
tathhīr, QS. al-Ra‟du/13 : 43 dengan ayat ilm al-kitāb, QS. al-
Maidah/5: 67 dengan ayat tablīg, QS. al-Baqarah/2: 124 dengan
ayat ibtilā, QS. al-Maidah/5: 55-56 dengan ayat wilāyah, QS.
al-Nisa/4: 59 dengan ayat uli al-amr. Namun tidak semua ayat-
ayat yang masyhur tersebut peneliti kemukakan dalam
17
peneliatian ini, hanya sebagian saja yang benar-benar fokus
kepada kepemimpinan. Berikut ayat-ayat tersebut :
a) QS. al-Maidah/5: 67. Penulis menganalisa ayat ini
karena ayat ini berisi perintah Allah kepada Rasulullah
untuk mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
sepeninggalannya di hadapan para sahabatnya.
b) QS. al-Baqarah/2: 124. Penulis menganalisa ayat ini
karena menjelaskan tentang penganugrahan imamah
kepada Nabi Ibrahim setelah berhasil menjalani berbagai
ujian kehidupan yang sangat sulit. Penganugrahan
tersebut terjadi setelah Nabi Ibrahim menjadi seorang
Nabi dan Rasul. Sehingga ulam Syiah berkeyakinan al-
Imāmah lebih tinggi daripada al-Nubuwwah.
c) QS. al-Maidah/5: 55-56. Penulis mengkaji ayat ini
karena menjelaskan keutaman Ali bin Abi Thalib
sebagai orang beriman yang dimaksud Allah sebagai
pemimpin .
d) QS. al-Nisa/4: 59. Penulis mengkaji ayat ini karena
menjelaskan perintah ketaatan kepada ulil amri. Adapun
ulil amri yang dimaksud dalam ayat ini adalah para
imam maksum. Kemaksuman harus dimiliki ulil amri
layaknya kemaksuman yang dimiliki Rasulullah, karena
perintah ketaatan dalam ayat ini adalah ketaatan mutlak
yang tidak akan sempurna kecuali dengan kemaksuman.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pandangan
mufasir Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an
tentang kepemimpinan?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Beradasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka terdapat dua tujuan dari penelitian ini.
18
Pertama, mengkomparasikan penafsiran Ahlusunah dan Syiah
terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang kepemimpinan. Kedua,
menyelesaikan Program Magister Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir
serta mendapatkan gelar Magister Agama (M.Ag).
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini,
secara konseptual memberikan kontribusi ilmiah secara teoritik-
konseptual dalam khazanah keislaman, sebagai tuntunan dalam
memaknai kepemimpinan. Sedangkan secara operasional,
kajian ini diharapkan dapat memberikan panduan perilaku
berperikehidupan yang seimbang bagi komunitas masyarakat
muslim Ahlusunah dan Syiah.
D. Tinjauan Pustaka (Literature Review)
Penelitian mengenai konsep kepemimpinan dalam
kajian Islam dapat dikatakan bukanlah hal baru. Beberapa karya
ilmiah yang penulis telusuri baik berupa buku, jurnal, tesis telah
membahas diantaranya :
1. Tesis Aidul Fitriawan pada tahun 2017 yang berjudul
Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur‟an: Studi
Komparasi Atas Makna “Auliya” Menurut Hamka
dalam Tafsīr al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsīr
al-Mishbah. Penelitian ini membandingkan penafsiran
Hamka dan Quraish Shihab tentang kepemimpinan non-
muslim, yang berujung pada kesimpulan: Hamka
berpendapat, larangan memilih pemimpin non-muslim
bersifat abadi dan berlaku untuk selamanya. Sedangkan
Quraish Shihab menyatakan bahwa larangan-larangan
tersebut tidak bersifat mutlak, apalagi selamanya.
Bahkan ia menyatakan bahwa larangan tersebut tidak
hanya berlaku untuk orang non-muslim atau Yahudi
saja, akan tetapi berlaku juga bagi semua oarang yang
19
mempunyai sifat-sifat seperti sifat Yahudi, walaupun
mereka beragama Islam.20
2. Skripsi yang ditulis oleh Ryan Alfian tahun 2014,
dengan judul Konsep Kepemimpinan menurut Sa‟id
Hawwa dalam Kitab al-Asas Fī al-Tafsīr dan al Islam.
Dalam skripsinya, ia menyimpulkan bahwa Sa‟id
Hawwa berpendapat, seorang pemimpin haruslah
seorang muslim, orang non-muslim tidak boleh
dijadikan seorang pemimpin. Pemimpin harus
bermusyawarah di dalam setiap mengambil keputusan,
serta berlaku adil di dalam menetapkan hukum dengan
menggunakan hukum Allah. Tugas utama pemimpin
adalah menegakkan ajaran Islam dan menjalankan tugas
kenegaraan. Pemimpin dapat diturunkan dari
jabatannya, apabila telah melanggar syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh agama.21
3. Skripsi yang ditulis oleh Zaimul Ihsan tahun 2008,
dengan judul Nazhariayatul Imāmah „Inda Imām Ibnu
Hajar al-Asqalani Min Khilali Kitabihi Fathu al-Bari.
Penelitian ini dari segi pembahasan menjelaskan
perspektif Imāmah menurut Imām Ibnu Hajar al-
Asqalani dalam karya beliau Fathu al-Bari. Penelitian
ini berfokus pada penjelasan konsep imam dalam Fathu
al-Bari, seperti pengertian Imāmah menurut Ibnu Hajar
al-Asqalani dan para ulama Ahlusunah, pemilihan
imam, hak imam, kewajiban taat pada imam, dan
20
Aidul Fitriawan, Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur‟an:
Studi Komparasi Atas Makna “Auliya” Menurut Hamka dalam Tafsir al-
Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah (Tesis, Program
Magister Tafsir Hadist Fak. Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah,2017) 21
Ryan Alfian, Konsep Kepemimpinan menurut Sa‟id Hawwa
Dalam Kitab Al-Asas Fi Al-Tafsir dan Al Islam (Skripsi Fak. Ushuludin
Jurusan Tafsir Hadist UIN Syarif Hidayatullah,2014)
20
sebagainya. Pengertian Imāmah disini bukanlah Imāmah
yang dimaksud dalam tradisi Syiah .22
4. Skripsi Masfufah tahun 2014 yang berjudul “Konsep
Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian
Atas QS. An-Nisa/4: 34”. Penelitian ini berusaha
mengetahui bolehkah seseorang perempuan menjadi
pemimpin di dalam keluarga dengan bersumber kepada
QS. al-Nisa/4: 34 dengan merujuk kepada kitab-kitab
Tafsīr, buku-buku, dan literatur lainnya.23
5. Skripsi yang ditulis oleh Noor Rahman dengan judul
“Konsep Kepemimpinan (Qiwāmah) Perempuan dalam
al-Qur‟an; Analisis Tafsīr Muhammad Syahrur” pada
tahun 2009. Penelitian ini menjelaskan bagaimana
konsep kepemimpinan perempuan dalam al-Qur‟an,
serta konsep kepemimpinan dalam ranah keluarga dan
sosial politik, dengan menjadikan kitab Tafsīr
Muhammad Syahrur sebagai rujukan utama.24
6. Skripsi Nur Habibi tahun 2004 mengenai “Syiah
Imamiyah Iran dan Konsep Wilāyah al Faqīh, Sebuah
Religio-Politik dalam Konteks Kenegaraan.” Penelitian
ini berfokus pada konsep Wilāyah al Faqīh dalam ranah
politik di Iran, seperti Wilāyah al Faqīh dalam
pemerintahan klasik dan modern, Wilāyah al Faqīh
sebagai dinamika politik dan pola pemerintahan iran di
22
Zaimul Ihsan, Nazhariayatul Imāmah „Inda Imam Ibnu Hajar Al-
Asqalani Min Khilali Kitabihi Fathul Bari (Skripsi Fak. Dirasat Islamiyah
UIN Syarif Hidayatullah,2008) 23
Masfufah, Konsep Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga:
Kajian Atas QS. An-Nisa/4: 34 (Skripsi Fak. Ushuludin Jursan Tafsir Hadist
UIN Syarif Hidayatullah, 2014) 24
Noor Rahman, Konsep Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan
Dalam Al-Qur‟an; Analisis Tafsir Muhammad Syahrur (Skripsi Fak.
Ushuludin Jurusan Tafsir Hadist UIN Syarif Hidayatullah, 2009)
21
tengah arus demokrasi. Faqīh ini merupakan perwakilan
imam sejak kegaiban imam ke-12 Syiah .25
7. Karya Ali Shariati dengan judul Ummah dan Imāmah,
yang diterjemahkan oleh Mohammad Faishol
Hasanuddin dan dicetak oleh Penerbit YAPI, Jakarta
pada tahun 1990. Secara umum dalam buku tersebut, Ali
Shariati berusaha membangun sebuah paradigma teologi
melalui kepemimpinan. Imam adalah Islam yang terlihat
dan terindra. Imam adalah iman yang dikemukakan
dalam bentuk manusia. Dengan demikian imām itu
hidup menerus, selamanya, dan penentuan imam bukan
dengan pengangkatan, tidak pula dengan pemilihan,
tidak juga dengan pencalonan, tidak pula dengan
pewarisan. Imāmah dalam arti Qur‟ani menjadi umum
tingkatannya dan lebih tinggi dari risālah. Risālah
artinya menyampaikan panggilan, dan Imāmah adalah
pertanggungjawaban penjelmaan panggilan. Rasulullah
adalah seorang rasul dan imam juga. Beliau adalah
penutup kenabian bukan dalam Imāmah-nya, dan
Imāmah-nya haruslah diwujudkan selama bertahun-
tahun setelah wafat Nabi.26
8. Buku yang diterbitkan dan dicetak oleh al-Mukhtar,
Palembang pada tahun 1997, dengan judul
Kepemimpinan menurut Ajaran Islam yang ditulis oleh
Mochtar Effendy. Dalam bukunya, ia menegaskan
kepemimpinan merupakan sebuah keharusan di dalam
masyarkat dan umat. Setidak-tidaknya fardhu kifayah
bagi setiap muslim. Fungsi kepemimpinan tidak terlepas
dari kewajiban mukmin terhadap agama. Semua gerakan
dan tindakan setiap muslim itu selalu harus dijiwai
25
Nur Habibi, Syiah Imamiah Iran dan Konsep Wilayah Al Faqih,
Sebuah Religio-Politik dalam Konteks Kenegaraan (Fak. Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2004) 26
Ali Shariati, Ummah dan Imāmah (Jakarta: Penerbit YAPI,
1990), h.208-209
22
dengan ruh agama. Kemudian buku ini mendeskripsikan
tentang tipe-tipe kepemimpinan, sifat dan kualitas
kepemimpinan, hak dan kewajiban pemimpin, teknik
kepemimpinan, pembentukan kepemimpinan, dan
kepemimpinan wanita.27
9. Jurnal yang ditulis oleh M. Suryadinata tahun 2015
dengan judul “Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-
Qur‟an: Analisis terhadap Penafsiran FPI Mengenai
Ayat Pemimipin Non Muslm.” Jurnal ini menjelaskan
bahwa FPI tidak menerima pemimpin non-Muslim.
Bahkan kepemimpinan non-Muslim wajib ditentang
seperti walikota Solo, lurah Lenteng Agung, dan lain
sebagainya. Sehingga menurut FPI, orang Islam yang
mendukung kepemimpinan mereka divonis zalim, fasiq
dan munafiq. Penafsiran yang dikemukakan FPI
terhadap ayat-ayat kepemimpinan non-muslim lebih
cenderung tekstualis dan terkesan memaksa. Pasalnya
tidak memerhatikan makna lain dan hanya percaya pada
teks semata.28
Dari semua literatur yang disebutkan di atas, belum ada
yang melakukan kajian komparasi terhadap penafsiran ayat-ayat
kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah. Mayoritas penelitian yang
ada, mengkaji seputar kepemimpinan dalam penafsiran
Ahlusunah. Ada penelitian yang memang melakukan kajian
terhadap kepemimpinan dalam Syiah, namun penekanannya
pada aspek politik kenegaraan bukan penafsiran. Dengan
demikian jelaslah bahwa kajian komparasi terhadap penafsiran
ayat-ayat kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah belum
dilakukan, karena ketika sebuah penelitian memiliki perbedaan
27
Mochtar Effendy, Kepemimpinan menurut Ajaran Islam
(Palembang: Al-Mukhtar, 1997), h. 11 dan 240 28
M. Suryadinata, Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur‟an:
Analisis terhadap Penafsiran FPI Mengenai Ayat Pemimipin Non Muslim
(Jurnal Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari-Juni 2015)
23
dalam sudut pandang dan pendekatan, tentu saja akan
melahirkan kesimpulan dan implikasi yang berbeda pula.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenis penelitian, kajian ini termasuk dalam
penelitian pustaka (library research). Data yang akan digali
adalah hal-hal yang berkaitan dengan informasi seputar
penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an
tentang kepemimpinan. Penelitian ini bersifat deskriptif-
analitis,29
maka metode yang digunakan adalah kualitatif.
2. Sumber Data
Sumber primer dalam penelitian ini adalah al-Qur‟an,
yaitu ayat-ayat yang berkaitan dengan dengan kepemimpinan.
Selain itu, penelitian ini juga akan menggunakan literatur-
literatur yang kiranya memiliki kontribusi informasi dalam
pengayaan dan pendalaman seputar tema inti. Literatur tersebut
berupa kitab-kitab tafsir Ahlusunah dan Syiah. Adapun kitab-
kitab tafsir yang menurut penulis representatif dengan
penelitian ini, yaitu:
29
Deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti kemudian
dideskripsikan sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan
atau realitas. Sedangkan analitis adalah sebuah tahapan guna menguraikan
data-data yang terkumpul dan tersusun secara sistematis. Jadi, metode
Deskritif Analitis adalah sebuah metode pembahasan untuk memaparkan
data yang telah tersusun dengan melakukan kajian terhadap data-data
tersebut, kemudian menganalisanya secara proporsional. Lihat Iskandar,
Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Gaung Persada, 2009) Cet.ke-I, h.
73
Metode deskriptif analitis ini, memiliki tujuan untuk
mengeksplorasi, menganalisis, mengklarifikasi tentang fakta sosial dengan
menggambarkan variabel yang berhubungan dengan unit yang diteliti. Lihat
Sanapiah faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), h 20
24
Kelompok Ahlusunah adalah kitab Tafsīr al-Kabir wa
Mafâtih al-Ghaib karya Muhammad bin Umar Fakhruddiin ar-
Razi, Tafsīr fi Zhilâl al-Qur‟an karya Sayyid Quthb, dan Tafsīr
al-Munir fī al-„Aqīdah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj karya
Wahbah bin Mushthafa az-Zuhaili. Sedangkan kitab tafsir dari
kelompok Syiah, adalah Tafsīr al-Qummi karya Ali bin Ibrahim
Al-Qummi, Majma‟ al-Bayan fī Tafsīr al-Qur‟an karya Fadhl
bin Hasan ath-Thabarsy, dan al-Mizan fi Tafsīr al-Qur‟an karya
Muhammad Husain ath-Thabathaba‟i.
Selain itu, data sekunder dalam pelitian ini adalah karya-
karya lain yang bersinggungan dengan tema kepemimpinan,
seperti Agama, Negara, dan Penerapan Syari‟ah, terj.
Mujiburrahman Muhammad karya Abid al-Jabiri, Negara Ideal
menurut Konsepsi Islam karya Abdul Qadir Djaelani, Ummah dan
Imāmah Ali Shariati, Ashlu As-Syiah wa Ushuliha karya
Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha, dan lain sebagainya.
Keragaman sumber data tersebut menunjukan bahwa peneliti
tafsir dalam penelitian ini bersifat tekstual-rasional (al-atsarī-
al-nazarī). Sedangkan penyembutan beberapa referensi di atas
tidak bermaksud sebagai pembatasan.
3. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
(library research), maka pengumpulan data dilakukan dengan
teknik dokumentasi.30
Teknik ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan berbagai dokumen terkait objek penelitian yang
didapat dari perpustakaan. Selain itu, karena objek penelitian ini
terdiri dari ayat-ayat al-Qur‟an yang dikomparasikan, maka
teknik spesifik dan identik yang digunakan adalah tafsir
muqārin (perbandingan).
30
Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi, interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi, dan triangulasi (gabungan keempatnya). Lihat Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 240
25
Menurut Quraisy Shihab, metode tafsir muqārin tidak
keluar dari salah satu dari tiga pembahasan berikut. Pertama,
ayat al-Qur‟an yang berbeda redaksinya satu dengan yang lain,
padahal sepintas terlihat bahwa ayat-ayat tersebut berbicara
tentang persoalan yang sama. Kedua, ayat yang berbeda
kandungan informasinya dengan hadist Nabi SAW. Ketiga,
Perbedaan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang
sama.31
Selain itu untuk memudahkan pelacakan ayat-ayat al-
Qur‟an terkait dengan term-term kepemimpinan, penulis
menggunakan kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Alfāzh al-
Qur‟ān al-Karīm karya Fuad Abdul Baqi. Sedangkan dalam
pembahasan mengenai term-term tersebut penulis menggunakan
kitab al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur‟an karya Abul Qosim al-
Husain bin Muhammad al-Raghib al-Isfahani dan Lisān al-
„Arab karya Jamaluddin Muhammad bin Mukarram Ibnu
Manzur. Setelah term-term dan ayat-ayat al-Qur‟an tentang
kepemimpinan ditemukan, peneliti merujuk ayat-ayat tersebut
kepada kitab tafsir primer Ahlusunah dan Syiah yang telah
disebutkan sebelumnya.
4. Pendekatan dan Analisa
Dalam proses analisa data32
, penelitian ini menggunakan
metode tafsir muqārin serta beberapa pendekatan, yaitu ulūm
al-Qur‟ān, ushūl al-dīn, al-fiqh, dan semantik. Data penafsiran
Ahlusunah dan Syiah yang telah didapat pada proses
31
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan
Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam memahami al-Qur‟an (Tanggerang:
Lentera Hati, 2013), h. 382 32
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang
disarankan oleh data. Analisis data sangat penting untuk dilakukan dan
memerlukan ketelitian serta kekritisan dari peneliti. Lihat Suharsini
Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta : Rineka
Cipta, 2002), h 133
26
pengumpulan data, dikategorikan atau diklasifikasikan menjadi
sub-sub bab pembahasan. Setelah itu, peneliti menggunakan
metode tafsir muqārin serta beberapa pendekatan dalam
mengkomparasi hasil penafsiran Ahlusunah dan Syiah tersebut.
Sehingga peneliti menemukan sub-sub pembahasan
tentang perbedaan hasil penafsiran Ahlusunah dan Syiah
terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang kepemimpinan. Kemudian
diakhir pembahasan, peneliti memberi kesimpulan tentang
pandangan mufasir Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat al-
Qur‟an tentang kepemimpinan.
5. Teknik Penulisan
Adapun mengenai pedoman penulisan dalam penelitian
ini, penulis menggunakan pedoman penulisan yang terdapat
dalam “Buku Pedoman Akademik Program Magister Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 2012.”
F. Sistematika Pembahasan
Agar dapat memberikan gambaran utuh mengenai
konten dari penelitian ini, maka penulis perlu mengemukakan
sistematika penelitian. Pembahasan dalam tesis ini terdiri dari
VI bab. Masing-masing bab terdapat sub bab yang memiliki
penjelasan yang terkait satu sama lain. Adapun sistematikanya
sebagai berikut:
Bab Pertama berupa pendahuluan, di dalamnya
diuraikan latar belakang masalah, kemudian diidentifikasi,
dibatasi dan dirumuskan sebuah rumusan utama. Kemudian
menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian. dilanjutkan
menjelaskan metode penelitian, kemudian mengemukakan
kajian terdahulu yang relevan guna mendapatkan distingsi
penelitian. Selanjutnya pada bagian akhir uraian dijelaskan
terkait sistematika penelitian.
Bab Kedua. Bab ini membahas seputar perdebatan
ilmiah tentang penafsiran Ahlusunah dan Syiah serta
27
pembentukan kepemimpinan dalam Islam. Sub pembahasan ini
awali dengan pembahasan penafasiran Ahlusunah dan Syiah,
dan kepemimpinan menurut Ahlusunah dan Syiah. Kemudian
dijelaskan pembentukan kepemimpinan pada periode Rasulullah,
setelah wafat beliau yaitu khulafaur rasyidin, periode pasca
khulafaur rasyidin dan imām Syiah, serta periode kebangkitan
nasionalisme dan wilāyah al-fāqih di Iran
Bab Ketiga. Bab ini merupakan kajian pokok pertama
penelitian ini dengan memfokuskan pada analisa penafsiran
Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang
kepemimpinan Ahlusunah. Pembahasan ini dimulai dengan
merujuk penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat
kepemimpinan Ahlusunah yang telah ditentukan dalam
pembatasan masalah. Kemudian menyimpulkan perbedaannya.
Bab Kempat. Bab ini merupakan kajian pokok kedua
penelitian ini dengan memfokuskan pada analisa penafsiran
Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang
kepemimpinan Syiah. Pembahasan ini dimulai dengan merujuk
penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat
kepemimpinan Syiah yang telah ditentukan dalam pembatasan
masalah. Kemudian menyimpulkan perbedaannya.
Bab Kelima. Bab ini merupakan kajian pokok ketiga
yang memfokuskan kepada analisa komparasi terhadap
penafsiran ayat-ayat kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah. Bab
ini merupakan temuan-temuan penelitian berupa perbedaan-
perbedaan kedua golongan dalam menekankan ayat-ayat
kepemimpinan, cara penafsiran, perbedaan penafsiran, dan lain
sebagainya
Bab Keenam. Bab ini merupakan bab penutup yang
berisi tentang kesimpulan atas jawaban dari perumusan
masalah, yaitu pandangan penafsiran ayat-ayat kepemimpinan
Ahlusunah dan Syiah. Bab ini juga mengajukan beberapa saran
serta kontribusi penelitian.
28
29
BAB II
PENAFSIRAN DAN KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH
DAN SYIAH
A. Penafsiran Syiah
1. Sejarah Kemunculan Tafsir Syiah
Dalam buku Dinamika Sejarah Tafsir al -Qur'an Abdul
Mustaqim menjelaskan, penafsiran Syiah merupakan salah satu
corak rafsir yang bernuansa teologis yang muncul pada periode
pertengahan. Pada abad pertengahan tersebut, tradisi penafsiran,
lebih didominasi oleh kepentingan politik, mazhab/ideologi
sang penafsir. Pada masa ini al-Qur‘an seringkali dipergunakan
sebagai alat legitimasi terhadap kepentingan-kepentingan
tertentu.1
Ignaz Goldziher juga mengungkapkan bahwa tujuan
kelompok Syiah memasukkan prinsip-prinsip ajaran kelompok
mereka dalam menafsirkan al-Qur‘an adalah untuk mencari
legitimasi dari al-Qur‘an mengenai penolakan mereka terhadap
kepemimpinan Ahlusunah. Mereka melakukan rongrongan atas
kepemimpinan tersebut serta mencela terhadap berdirinya
kekhalifahan di bawah keterkurungan sejarah dinasti Umayyah
dan Abbasiyyah. Mereka kemudian melontarkan gagasan
terhadap kesucian sahabat ‗Ali bin Abi Thallib RA dan
para Imam Ahlulbait, keistimewaan-keistimewaan mereka di
luar batas kewajaran serta harapan kuat mereka terhadap
datangnya Imam Mahdi.2
Rosihon Anwar juga berkesimpulan bahwa tafsir Syiah
muncul setelah kemunculan doktrin Imamah dan
kemunculannya dipicu oleh doktrin ini. Dalam hal ini, tafsir
1 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al -Qur'an: Studi
Aliran -aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan hingga Moder -
Kontemporer (Yogyakarta: Adab Press, 2014), h. 99. 2 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga
Modern, Penerjemah M. Alaika Salamullah, dkk. (Depok: Elsaq Press,
2010), h. 315-316
30
Syiah digunakan sebagai alat untuk mencari justifikasi bagi
doktrin Imamah. Lebih tepatnya lagi, tafsir Syiah ini muncul
bertepatan dengan kemunculan Syiah Isma‘iliyyah (147 H).
Kemunculan tafsir ini terjadi setelah munculnya doktrin
Imamah yang muncul bertepatan dengan kemunculan Syiah
Zaidiyyah.3 Dari penjelasan para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan, bahwa kemunculan tafsir Syiah dipicu oleh
kepentingan politis teologis untuk mencari justifikasi doktrin
Syiah, terutama masalah Imamah.
Berbicara mengenai sejarah tokoh mufasir Syiah, Aboe
Bakar Atjeh menyatakan bahwa kaum Syiah menganggap ‗Ali
bin Abi Thalib yang mereka yakini sebagai Imam pertama
Syiah adalah penafsir pertama yang muncul di kalangan
mereka. Selain ‗Ali, ada Ubay bin Ka‘ab dan ‗Abdullah bin
al-‗Abbas. Bahkan karya tafsir yang dinisbatkan kepada Ibn
al-‗Abbas ini sering digunakan di kalangan Syiah.4
Sedangkan Goldziher menyatakan, bahwa kitab
pertama yang meletakan dasar-dasar mazhab Syiah adalah buku
tafsir al-Qur‘an yang dikarang pada abad kedua Hijriyah oleh
Imam al-Jabir al-Ju‘fi (w. 128 H/745 M), tetapi kitab tafsirnya
tidak ditemukan dan diketahui kecuali melalui cerita sepotong-
sepotong. Setelahnya pada abad ketiga hijriyah muncul karya
lengkap dalam bidang tafsir Syiah yaitu kitab Bayān al-Sa‟ādāt
fi Maqām al-„Ibādah karya al-Sulthan Muhammad bin Hajar al-
Bajakhti.5 Kemudian pada abad keempat Hijriyah muncul karya
tafsir Abu al-Hasan ‗Ali bin Ibrahim al-Qummi.6 Selanjutnya
sejak saat itulah bermunculan produk-produk tafsir dari
kalangan Syiah, salah satunya adalah kitab tafsir yang memiliki
3 Rosihon Anwar, Samudra al-Qur'an (Bandung: Pustaka Setia,
2001), h. 249-250. 4 Aboebakar Atjeh, Perbandingan Mazhab Syi‟ah Rasionalisme
dalam Islam (Semarang: Ramadhani, 1980), h. 155 5 Kitab ini dirampungkan pada tahun 311 H/923 M, dan dicetak
tahun 1314 H/1896 M di Teheran. 6 Diterbitkan di Teheran pada 1311 H
31
pembahasan panjang dan terdiri dari 20 bagian karya ulama
besar Syiah, Abu Ja‗far al-Thusy (w. 460 H/1068 M).7
Sementara itu, al-Thabathabai‘ dalam karyanya yang
berjudul al-Qur‟an fi al-Islām mengklasifikasikan para mufasir
Syiah menjadi empat kelompok. Pertama adalah orang-orang
yang mengemukakan tafsir dari Nabi SAW dan para Imam,
dan menjadikannya sumber utama dalam karyanya, seperti
Zurarah bin A‗yun, Muh}ammad bin Muslim, dan lain-lain.
Kelompok kedua adalah orang-orang yang pertama menulis
buku tafsir dan menjadikan riwayat dari kelompok pertama
sebagai sumber tafsirnya. Yang termasuk kelompok ini di
antaranya Furat bin Ibrahim bin Furat al-Kufi, Abu al-Nasr
Muhammad bin Mas‘ud al-،Ayyasyi al-Samarqandi, Abu al-
Hasan ‗Ali bin Ibrahim al-Qummi, dan Muhammad ibn
Ibrahim al-Nu‗mani.8
Sedangkan kelompok ketiga adalah orang-orang yang
mumpuni dalam berbagai bidang ilmu, seperti al-Syarif al-Rida
(w. 436/1044) yang menulis tafsir bercorak sastra, al-Thusi
(w. 460/1067) dengan buku tafsirnya yang bercorak teologi
dengan nama al-Tibyan fi Tafsīr al-Qur‟an, Mawla Sadr al-
Din al-Syirazi (w. 1050/ 1640) dengan karya tafsirnya yang
bercorak filsafat, al-Mubaydi al-Kunabadi yang corak tafsirnya
tasawuf, ‗Abd al-Ali al-Huwayzi dengan buku tafsirnya,
Nūr al-Saqalayn, Hasyim al-Bahrani (w. 1107 H/1695 M)
dengan karyanya, al-Burhān dan Fayd al-Kasyani (w. 1191
H/1777 M) dengan buku tafsirnya al-Shafī. Keempat adalah
orang yang mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan
dalam buku tafsirnya, antara lain adalah al-Thabarsy (w. 548 H/
1153 M) dengan buku tafsirnya, Majma„ al -Bayān fi Tafsīr al-
Qur‟an.9
7 Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. h.
335-336 8 Muhammad bin Husain al-Thabathaba‘i, al-Qur‟an fī al-Islām
(T.tp:T.pn, t.t), h. 60 9 al-Thabathaba‘i, al-Qur‟an fī al-Islām (T.tp:T.pn, t.t), h. 62.
32
2. Sumber Penafsiran Syiah
Secara umum sumber penafsiran dalam menafsirkan al-
Qur‘an adalah Tafsīr bī al-Ma‟tsūr dan Tafsīr bī al-Ra‟y. Tafsīr
bī al-Ma‟tsūr adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-
kuitpan shahih, seperti menafsirkan ayat dengan ayat lain
(tafsīr al-Qur‟an bī al-Qur‟an), dengan hadist Nabi Muhammad
SAW karena ia berfungsi sebagai penjelas al-Qur‘an, dengan
perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui al-
Qur‘an, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar
Tabi‘in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para
sahabat. Sedangkan Tafsīr bī al-Ra‟y ialah tafsir yang di
dalamnya menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang
pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (Istinbāt) yang
didasarkan pada ra‟yu semata.10
al-Thabathabai‘, mengaskan bahwa tidak hanya riwayat
dari Rasulullah SAW saja yang bisa dijadikan hujjah dalam
menafsirkan al-Qur‘an, tapi juga riwayat penafsiran dari para
Imam ahlulbait.11
Penafsiran al-Qur‘an yang dirujuk kepada
perkataan para Imam ahlulbait juga dipandang sebagai sumber
yang valid. Adapun penafsiran yang berasal dari para sahabat
dan tabiin dianggap sama kedudukannya dengan kaum
muslimin pada umumnya.12
Sebab mereka meyakini, para imam
adalah al-Qur‘an yang ‗Berbicara‘ dan al-Qur‘an yang tertulis
adalah al-Qur‘an yang ‗Diam‘. Oleh karena itu al-Qur‘an yang
ada dalam mushaf diam, maka seharusnya untuk merujuk
kepada al-Qur‘an yang berbicara yaitu para imam. Karena
merekalah yang dapat menjelaskan maksud firman Allah
SWT.13
10
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, Terj.
Mudzakir (Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), h. 482 dan 488 11
al-Thabathabai‘, al-Qur‟an fī al-Islām , h. 59-60 12
Devi Faizah Yuliana, Imamah dalam Tradisi Syi‟ah (Bandung:
Pustaka Aura Semesta, 2013), h. 55 13
Devi Faizah Yuliana, Imamah dalam Tradisi Syi‟ah (Bandung:
Pustaka Aura Semesta, 2013), h. 58
33
Al-Thabathabai‘ melanjutkan, bahwa Imam adalah
orang yang diberikan otoritas dalam menafsirkan al-Qur‘an. Hal
ini sejalan dengan pemahaman mereka tentang konsep takwil.
Mereka berpendapat bahwa takwil adalah makna yang
tersembunyi dari al-Qur‘an dan perkara gaib yang hanya
diketahui oleh Allah Swt dan orang-orang yang disucikan-Nya,
yakni Rasulullah SAW dan para Imam ahlulbait. Hal ini
didasari dari keyakinan mereka tentang kemaksuman Imam
yang mustahil melakukan dosa dan kesalahan, sebagaimana
pemahaman mereka tentang al-Qur‘an yang hanya bisa disentuh
oleh orang-orang yang suci dan para ahlulbait adalah orang-
orang yang benar-benar telah disucikan.14
Syarifuddin al-Musawi juga mengatakan, bahwa jalur
periwayatan yang diambil para mufasir Syiah dalam
menfasirkan al-Qur‘an adalah melalui para imam ahlulbait yang
diyakini sebagai pemangku kepemimpinan sepeninggalan
Rasulullah SAW. Para imam tidak hanya sebagai pemangku
kepemimpinan, tetapi juga yang paling berhak menggantikan
Nabi Muhammad dalam memikul beban ilmu para Nabi
terdahulu, karena itu dari Nabi lah para imam memahami ilmu-
ilmu dunia dan akhirat. Hal ini juga yang menjadikannya sejajar
dengan ayat-ayat al-Qur‘an dalam artian yang paling mengerti
dan paham maksdu yang terkandung dalam al-Qur‘an15
Selain mengambil periwayatan dari perkataan para
imam tentang makna al-Qur‘an, terkadang para mufassir Syiah
juga menggunakan metode majaziy (metaforis) dan isyariy
(simbolik) dalam penafsirannya, sebagaimana yang diterapkan
oleh tokoh klasik Syiah.16
14
al-Thabathabai‘, al-Qur‟an fī al-Islām, h. 60 15
Syarifuddin al-Musawi, Dialog Sunnah Syiah (Bandung: Mizan,
1990), h. 20 16
Goldziher, Mazhab Tafsir, h. 348.
34
B. Kepemimpinan Perspektif Ahlusunah dan Syiah
Perbedaan pemahaman antara Ahlusunah dan Syiah
tentang kepemimpinan diawali dari perdebatan mengenai siapa
yang lebih utama memegang tampuk kepemimpinan yang sah
pasca wafat Nabi Muhammad SAW. Ahlusunah berpendapat,
Abu Bakar merupakan pemimpin yang sah pasca wafat Nabi
Muhammad SAW yang dilegitimasi melalui Majlis al-Syurā di
Tsaqifah Bani Sa‘idah. Sedangkan Syiah mengklaim, bahwa
Rasulullah telah diperintah Allah melalui QS. al-Maidah/5: 67
untuk mewasiatkan dan melantik Ali bin Abi Thalib di hadapan
para sahabat sebagai pemimpin setelah beliau di Ghadir Khum.
Said Hawwa menjelaskan, seorang pemimpin harus
diangkat dengan cara pemilihan yang dilakukan oleh umat
Islam dan juga atas dasar kerelaan mereka. Seorang khalifah
sama sekali tidak boleh dipaksakan kepada umat Islam dengan
tanpa adanya pemilihan dan kerelaan dari mereka, karena
pemilihan merupakan hak setiap umat Islam. Allah Swt.
mensifati umat Islam dalam firman-Nya, ―.... Sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.‖ (QS.
al-Syurā/42: 38). Maksud dari ayat ini adalah segala urusan
umat Islam harus diselesaikan lewat mekanisme musyawarah.
Pemilihan pemimpin merupakan urusan umat yang sangat
penting, sehingga pemilihan tersebut harus melibatkan mereka
secara langsung.17
Berbeda dengan Said Hawwa, al-Thabathaba‘i
menjelaskan, Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW
untuk melantik Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin
setelahnya, sementara masalah ini juga diinginkan oleh semua
manusia. Karena itu Nabi SAW merasa khawatir untuk
menyampaikan dan menjelaskannya. Nabi kahawatir mereka
menuduh beliau cenderung menyukai Putera Pamannya dan
menghujat masalah ini. Akhirnya Nabi menunda penyampaian
masalah ini dari saat ke saat sehingga turunlah QS. al-
17
Said Hawwa, Al-Islam Terj: Abd Hay al-Kattani (Jakarta: Gema
Insani Press, 2004) h. 463
35
Maidah/5: 67 yang mengharuskan penyampaiaan masalah ini,
lalu Nabi menyampaikannya di Ghadir Khum. Pada waktu
itulah, Rasulullah SAW bersabda: ―Barang siapa menjadikan
aku sebagai pemimpinnya, maka ini Ali pemimpinnya.” 18
Pemahaman tentang kepemimpinan ini berbeda secara
konseptual antara kalangan Ahlusunah dan Syiah. Kelompok
Ahlusunah berpandangan bahwa pemimpin hanyalah sebatas
kepemimpinan atas umat Islam sepeninggalan Nabi SAW, baik
urusan politik maupun agama yang berhak diduduki oleh orang
yang terpilih, baik melalui musyawarah ataupun penunjukan
langsung oleh khalīfah sebelumnya.19
Sedangkan dalam
perspektif Syiah, Pemimpin dipandang sebagai Jabatan dari
Tuhan yang hanya berhak diduduki oleh imam suci yang
diyakini telah ditunjuk secara tegas oleh Nabi SAW sebagai
penggantinya, sebagai pemimpin umat.20
Robert G. Hoyland menjelaskan, fokus utama
pembahasan para Politikus Muslim klasik lebih banyak
menyangkut persolan Imâmah atau Khilâfah. Hal ini dapat
ditelusuri asal-usulnya ke masa menjelang Nabi Muhammad
wafat. Menurut Syahrastani, dari deretan perselisihan yang
terjadi di antara kaum Muslim, perselisihan tentang imāmah
adalah yang paling serius sejak peselisihan antara kelompok
Muhajirin dan Ansar mengenai siapa pengganti Nabi
Muhammad SAW, protes sebagian sahabat atas pemilihan Abu
Bakar dan Umar sebagai khalīfah , perselisihan antara Thalhah,
Zubair, dan Aisyah dengan Ali bin Abi Thalib, hingga
pertikaian antara Muawiyah dan kaum Syiah, pengikut
Khawarij dan pendukung Dinasti Abbasiyah.21
18
al-Thabathaba‘i, al-Mizān fī Tafsīr al-Qur‟an, Jilid 6 h. 48, lihat
juga Al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an , Jilid 3 h. 313 19
Qamaruddin Khan, Mawaedi‟s Theory of States (Delhi: Iradat
Adabiat, 1979), h.4 20
Muhammad Husain Kasyif Al-Ghitha, Ashlu As-Syiah wa
Ushuliha (Teheran: Maktabah Ats-tsaqafah Al-islamiyyah, t.t.), h.134 21
Robert G. Hoyland, Arabia and the Arabs: From the Broxe Age
to the Coming of Islam (London: Routledge, 2002), h. 8
36
Muhammad Abid al-Jabiri mengklasifikasikan teori
tentang imāmah atau khildfah menjadi tiga.22
Pertama, teori
yang memandang imāmah dan pembentukan negara sebagai
kewajiban dan pilar agama, sebagaimana diyakini terutama oleh
para pengikut Syiah. Bagi Syiah, imāmah bukan persoalan yang
harus diserahkan pada pilihan rakyat, melainkan bergantung
pada penunjukan berdasarkan teks keagamaan. Kedua, teori
yang memandang imāmah dan negara bukan kewajiban, bukan
pula larangan agama, dan agama menyerahkan sepenuhnya
pada kaum Muslim, karena urusan ini menyangkut hubungan
sosial di antara manusia. Pendapat ini dikemukakan oleh
beberapa tokoh Khawarij, Najdat (pecahan Khawarij pengikut
Najdah al-Hanafi), dan Mu‘tazilah. Ketiga, teori yang
memosisikan diri di antara dua teori di atas. Teori ini
menyatakan bahwa imāmah merupakan hal yang wajib ada dan
bahwa imāmah harus berdasarkan proses pemilihan, bukan atas
dasar teks agama. Pendapat ini didukung oleh mayoritas
kalangan Ahlusunah, Mu‘tazilah dan Khawarij.
Menurut al-Jabiri, perspsektif teoritik imāmah
Ahlusunah yang diderivasi dari legislasi masa lalu (era
Madinah) berdasarkan qiyās, membawa konsekuensi kepada
cakupan wilayah teoritik yang relatif sempit. Fokus utamanya
menyangkut pembahasan tentang legitimasi dan kewenangan
imam; syura (konsep yang berkaitan erat dengan institusi
konsultatif yang lazim disebut Majlis al-Syurā atau Ahl al-Hall
wa al-„Aqd, atau sejenisnya; tentang 'aqd (kontrak antara
penguasa dan rakyat) dan bay„ah (sumpah setia); serta tentang
ummah (masyarakat Muslim). Teori politik ini terpenjara
dalam arahan masa lampau, serta memaksa orang terlibat dalam
perdebatan masa lalu dan terperangkap di dalamnya23
22
Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan
Syari‟ah, terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h.
17-18 23
Muhammad Abid al-Jabiri, Kritik Nalar Arab, terj. Imam Khoiri
(Yogyakarta: IRCISOD, 2003), h. 182
37
Adapun Abu al-Hasan Ali al-Mawardi menyebutnya
dengan istilah Ahl al-Hall wa al-„Aqd. Pemilihan pemimpin
harus dilakukan melalui lembaga tersebut. Kemudian para
pemilih melakukan kontrak ('aqd) dengan pemimpin terpilih
melalui mekanisme bay'ah, maka ia akan menjadi pemimpin
seumur hidup. Lembaga yang menunjuk dan membaiat itu tidak
lagi memiliki wewenang memakzulkan pemimpin kecuali bila
pemimpin dipandang menyimpang dari syariat Islam, sesuatu
yang mustahil dilakukan mengingat keterbatasan wewenang
lembaga tersebut. Adapun terkait syarat dan tata cara
penetapan anggota Ahl al-Hall wa al-Aqd atau Ahl al-Ikhtiyār
tersebut al-Mawardi tidak menjelaskannya.24
Sedangkan Abdul Qadir Djaelani dalam bukunya Negara
Ideal menurut Konsepsi Islam menyebutnya dengan istilah Majlis
al-Syurā. Ia adalah lembaga legislatif yang mempunyai
kedudukan tertinggi dalam negara. Majlis al-Syurā
berkewajiban mematuhi semua ketentuan-ketentuan di dalam
al-Qur‘an dan al-Hadis. Satu di antara fungsi Majlis al-Syurā
adalah memilih dan mengangkat Khalifah (kepala negara)
sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan,
memberhentikan Khalifah, apabila Khalifah dinilai telah
melakukan pelanggaran terhadap syariat, undang-undang dasar,
atau peraturan-peraturan negara lainnya, dan membuat undang-
undang dasar, atau peraturan-peraturan negara lainnya. Adapun
keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil rakyat yang dipilih di
dalam pemilihan umum.25
Al-Jabiri menambahkan Majlis al-Syurā atau Ahl al-
Hall wa al-Aqd adalah Setiap orang yang mempunyai pengaruh
24
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Basri al-
Baghdadi al-Mawardi, Kitāb al-Ahkām al-Sulthāniyyah wa al-Wilāyāt al-
Dīnīyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 2002) h. 6-7 dan 10. Istilah Ahl al-Syūrā,
dalam kitab ini merujuk kepada enam sahabat yang ditunuk Umar bin
Khattab sebagai calon penggantinya kelak. 25
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal menurut Konsepsi Islam
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 428-430
38
dalam masyarakat, baik karena ilmu, hubungan sosial, ekonomi
maupun agama, namun tanpa adanya batasan kuantitas,
kualitas, ruang maupun waktu.26
Khalil Abdul Karim menyatakan bahwa keanggotaan
Ahl al-Hall wa al-„Aqd memang tidak memiliki kriteria yang
jelas. Pada masa Khulafaur Rasyidin, keanggotaannya terdiri
dari para pembesar kaum Muhajirin dan Ansar, dengan jumlah
yang tidak selalu sama. Tatkala Abu Bakar terpilih menjadi
khalifah, anggota institusi ini adalah mereka yang menghadiri
pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah, termasuk tokoh sekaliber
Ali bin Abi Thalib walaupun tidak hadir dalam pertemuan itu.
Ketika Umar bin Khattab ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai
pengganti dirinya, anggota institusi ini tidak tersebutkan secara
eksplisit, tetapi diduga mereka telah dimintai nasihat oleh Abu
Bakar walaupun kemudian dia melaksanakan keputusannya
sendiri menunjuk Umar. Ketika Umar menyiapkan pengganti
dirinya, ia sempat berkata bahwa urusan khilāfah ―berada di
tangan Ahli Badar dan Ahli Uhud, dan baru akan diserahkan
kepada orang lain jika tidak ada yang tersisa dari mereka‖.27
Abdul Karim menyatakan lebih lanjut, pada intinya Ahl
al-Hall wa al-„Aqd merupakan lembaga musyawarah yang
hanya punya wewenang mengajukan calon imam dan memberi
nasihat kepadanya dalam menjalankan kepemimpinan, tetapi
nasihatnya tidak selalu harus dipatuhi oleh imam. Dengan posisi
dan fungsi seperti itu, Abdul Karim berpendapat bahwa
lembaga tersebut sesungguhnya merupakan transformasi dari
tradisi Syūrā yang biasa dilakukan oleh Majlis al-Qabīlah
(Majelis Suku) atau Majlis al- Syūrā di kalangan suku-suku
Arab pra-Islam, dan bahwa posisi khalifah yang demikian
26
Muhammad Abid al-Jabiri, Syura; Tradisi, Partikularitas,
Ubiversalitas, terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 26 27
Khalil Abdul Karim, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian,
Pemaknaan, terj. Kamran As‘ad (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 124
39
sentral dan absolut itu adalah transformasi dari posisi Kepala
Suku (Syaykh al- Qabīlah).28
Sedangkan Sa‘id Akhtar Razawi menjelaskan,
pengangkatan imam-imam Syiah dilakukan oleh Allah sama
seperti pengangkatan para Nabi. Imamah bukanlah sebuah
pekerjaan yang diminta, tapi sebuah penunjukan yang
dianugrahkan oleh Allah. Allah yang berhak untuk memilih
pengganti Nabi dan umat tidak memiliki pilihan, intervensi
dalam hal ini dan kewajibannya hanya mengikuti titah Ilahi
yang telah menunjuk seorang imam atau khalifah baginya.
Allah berfirman: ―... Sesungguhnya Aku ingin menjadikan
engkau sebagai seorang Imām bagi seluruh umat manusia ...‖
(QS. al-Baqarah: 124). Ayat ini menunjukkan bahwa status
imamah adalah pengangkatan Ilahi, di luar urusan umat.29
Ali Shariati menambahkan, penentuan imam bukan
dengan pengangkatan, tidak pula dengan pemilihan, tidak juga
dengan pencalonan, tidak pula dengan pewarisan, melainkan
melalui wasiat Rasulullah SAW, karena imam adalah Islam
yang terlihat dan terindra. Imam adalah iman yang
dikemukakan dalam bentuk manusia. Dengan demikian imam
itu hidup menerus, dan selamanya. Imāmah dalam arti Qur‘ani
menjadi umum tingkatannya dan lebih tinggi dari risālah.
Risālah artinya menyampaikan panggilan, dan Imāmah adalah
pertanggungjawaban penjelmaan panggilan. Rasulullah adalah
seorang rasul dan imam juga. Beliau adalah penutup kenabian
bukan dalam Imāmah-nya, dan Imāmah-nya haruslah
diwujudkan selama bertahun-tahun setelah wafat Nabi.30
28
Khalil Abdul Karim, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian,
Pemaknaan, h.134-137 29
Sa‘id Akhtar Razawi, Imamah; Khalifah Rasulullah SAW terj. A.
Kamil (Jakarta: Yayasan Putra Ka‘bah, 2009), h. 14-15 30
Ali Shariati, Ummah dan Imāmah (Jakarta: Penerbit YAPI,
1990), h.208-209
40
Menurut al-Mawardi31
, imāmah merupakan posisi
pengganti kenabian (mawdhū‟ah li khilāfah al-nubuwwah)
dengan fungsi melindungi agama dan mengatur (urusan) dunia.
Maka, ketika Abu Bakar disapa oleh seseorang dengan sebutan
Khalifah Allah, yang secara harfiah berarti pengganti Allah,
Abu Bakar menolak sebutan itu dengan mengatakan: ―Aku
bukanlah Khalifah Allah, tetapi aku adalah Khalifah Rasulillah
SAW‖. Menurut al-Mawardi, ada sepuluh tugas umum seorang
khalifah:
1. Memelihara prinsip agama yang mapan dan hal-hal yang
menjadi kesepakatan (ijmā‟) generasi awal umat Islam.
2. Menegakkan hukum di antara orang-orang yang
berselisih paham dan menghentikan permusuhan di
antara orang-orang yang bertikai.
3. Menjaga keamanan wilayah dan mempertahankannya
sehingga penduduk dapat menyelenggarakan kehidupan
mereka dan bepergian dengan aman, terhindar dari
gangguan atas jiwa dan harta mereka.
4. Menegakkan hukum pidana (hudud) guna menjaga agar
larangan Allah tidak terlanggar dan hak-hak hamba-Nya
terlindungi dari kehancuran.
5. Melindungi daerah yang rawan diserang musuh dengan
menempatkan kekuatan yang dapat mencegah
penyerangan.
6. Melakukan jihad melawan musuh Islam setelah
sebelumnya diseru dengan dakwah, hingga mereka
menjadi Muslim atau menjadi ahl al-dzimmah (orang
yang terlindungi).
7. Memungut fai‟ (harta rampasan di luar medan perang)
dan sedekah yang wajib menurut syariat atau wajib
berdasarkan hasil ijtihad.
31
Abu Hasan Ali al-Mawardi (364-450 H) seorang pionir teorisasi
tentang imāmah/khīlfah dan banyak mempengaruhi para pemikir
sesudahnya. Teorinya merujuk ke masa Khulafaur Rasyidin dan sebagai
perlawanan terhadap paham keagamaan Syaih tentang imāmah.
41
8. Mengatur pengeluaran harta yang ada di Baitulmal
secara proporsional.
9. Mengikuti pendapat orang-orang jujur dan penasihat
yang bijak dalam urusan pekerjaan dan pengaturan
keuangan.
10. Melakukan pengawasan terhadap segala urusan dan
siaga menghadapi setiap situasi supaya tetap sigap
mengatur kehidupan umat dan memelihara agama.32
C. Pembentukan Kepemimpinan dalam Islam
1. Periode Rasulullah Saw.
Bangsa Arab adalah penduduk asli jazirah Arab.33
Dalam struktur masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai
intinya. Ia adalah organisasi keluarga besar yang biasanya
hubungan antara anggota-anggotanya terikat oleh pertalian
darah (nasab). Akan tetapi, adakalanya hubungan seseorang
dengan kabilahnya disebabkan oleh ikatan perkawinan, suaka
politik atau karena sumpah setia.34
kabilah dalam masyarakat
badwi35
, disamping merupakan ikatan keluarga juga merupakan
32
Al-Mawardi, Kitāb al-Ahkām, h. 15-16 33
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Penang, Singapura: Sulaiman
Mar‘i, 1965), h. 1 34
Umar Farrukh, al-‗Arab aw al-Islam fi al-Haudl al-Syarqiy min
al-Bahr al-Abyad al-Mutawassith, (Beirut: Dar al-Kutub, 1966), h.19 35
Dari segi pemukimannya, bangsa Arab dapat dibedakan atas ahl
al-badwi dan ahl al-hadlar. Kaum Badwi adalah penduduk padang pasir.
Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, tetapi hidup secara nomaden,
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari sumber air
dan padang rumput. Maka penghidupan meraka adalah beternak kambing,
biri-biri, kuda dan unta. Kehidupan mereka yang nomaden tidak banyak
memberi peluang kepada mereka membuat peradaban. Berbeda dengan
dengan masyarakat Badwi, ahl al-hadlar memiliki peluang besar membuat
peradaban, karena mereka bertempat tinggal tetap di daerah-daerah yang
subur, seperti Yaman di selatan dan kota-kota lain dibagian utara
semananjung Arab. Oleh karena itu, sejarah mereka dapat diketahui lebih
jelas dibanding dengan kaum Badwi. Lihat Siti Maryam dkk, Sejarah
42
ikatan politik. Sebuah kabilah dipimpin oleh seorang kepala
yang disebut syaikh al-qabilah, yang biasanya dipilih dari salah
seorang anggota yang usianya paling tua. Solidaritas kesukuan
atau „ashabiyah qabaliyah dalam kehidupan masyarakat
sebelum Islam sangat kuat.
Beberapa kabilah yang pernah menguasai Mekah antara
lain, Amaliqah, Jurhum, Khiza‘ah, dan terakhir adalah Quraisy.
Quraisy terkenal sebagai pedagang yang menguasai jalur
perniagaan Yaman-Hijaz-Syiria.36
Mereka juga mendominasi
perdagangan lokal dengan memanfaatkan kehadiran para
peziarah Ka‘bah, terutama pada musim haji. Kabilah Quraisy
bertambah harum ketika Qushai merebut kekuasaan atas Mekah
dari tangan Khuza‘ah pada sekitar tahun 400 M. Penguasaan
atas Mekah dan jazirah Arab seluruhnya, baik berkaitan dengan
niaga maupun keagamaan secara turun temurun dipegang oleh
anak cucu Qushai sampai kepada Abd al-Muthalib, kakek
Rasulullah SAW37
Ketika tanggung jawab pemeliharaan Ka‘bah dan
pelayanan para peziarah rumah suci itu berada di atas pundak
Abd al-Muthalib ibn Hisyam, Mekah diserang oleh Abrahah
yang bermaksud meruntuhkan Ka‘bah. Tahun ketika
penyerangan tersebut disebut Tahun Gajah karena Abrahah
memimpin pasukannya dengan menunggang seekor gajah yang
besar. Pada Tahun Gajah itulah Rasulullah SAW dilahirkan
sebagai yatim, hari senin 12 Rabi‘ul Awal, bertepatan dengan
20 April 571.38
Ayahnya sudah wafat tiga bulan setelah
Perdaban Islam: Dari Masa klasik Hingga Modern (Yogyakarta: Lesfi,
2002), h. 18-19 36
Lihat QS. Qurasiy/106: 1-3 37
Rus‘an, Lintas Sejarah Islam di Zaman Rasulullah SAW.
(Semarang: Wicaksana, 1981), h. 19 38
Mengenai waktu kelahiran Rasulullah SAW., baik hari, tanggal,
bulan, maupun tahunnya terdapat beberapa perbedaan. Lihat Muhammad
Husein Haikal, Hayatu Muhammad (Kairo: Maktabah al-Nahdliyah al-
Mishriyah, 1968), h.108-109)
43
menikahi ibunya. Abd al-Muthalib memberi nama cucunya itu
Muhammad.39
Tatkala Muhammad berusia 15 tahun, terjadi perang
antara keturunan Kinanah dan Quraisy di satu pihak melawan
kabilah Hawazin di pihak lain. perang ini dikenal dengan
perang Fijar yang artinya pendurhakaan. Perang ini disebabkan
oleh pelanggaran atas larangan permusuhan pada bulan-bulan
suci yang sangat dihormati berdasar aturan dan adat setempat.
Dalam perang ini Muhammad membantu pamannya Abu Thalib
memungut anak panah yang dilontarkan musuh dan sesekali
melepaskan anak panah kepada musuh. Secara kesuluruhan
perang ini berlangsung empat tahun, kendatipun hanya
beberapa hari saja setiap tahunnya. Perang ini berakhir dengan
perundingan yang melahirkan kesepakatan membentuk sebuah
perserikatan yang disebut hilf al-fudhul, yang artinya sumpah
utama. Tujuan utama perserikatan ini adalah untuk memberikan
perlindungan bagi yang teraniaya di kota Mekah, baik
penduduknya sendiri maupun oleh pihak lain. Muhammad
terpilih menjadi salah seorang anggotanya dan merupakan
anggota termuda.40
Ketika Muhammad menginjak usia 24 tahun Abu Thalib
menawarkan keponakannya itu kepada Khadijah binti
Khuwailid untuk menjalankan perdagangan ke Syiria. Sikap
dan tutur kata Muhammad ketika menawarkan barang dagangan
menarik minat calon pembeli untuk berbelanja kepadanya,
sehingga barang yang ditawarkan itu laku keras dan beliau
untung besar. Hal ini melahirkan suka cita yang amat dalam
pada diri Khadijah, terlebih ketika Maisarah, salah seorang
pegawai Khadijah yang amat dipercaya, menyampaikan pujian
atas keluhuran budi pekerti Muhammad yang ia saksikan dan
rasakan selama dalam perjalanannya ke Syiria itu. Sehingga
39
Siti Maryam dkk, Sejarah Perdaban Islam, h. 21-22 40
Siti Maryam dkk, Sejarah Perdaban Islam, h. 22-23
44
terjadilah pernikahan antara mereka. Ketika itu Muhammad
berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah 40 tahun.41
Kepemimpinan Muhammad diawali dengan misi
kenabian yang beliau terima tatkala ber-khalwat di gua Hira42
-
malam Senin 17 Ramadhan tahun 13 SH, bertepatan dengan 6
Agustus 610 M - Jibril menyampaikan wahyu pertama, yaitu
lima ayat dari Surat al-Alaq. Setelah itu beliau segera pulang
dengan hati cemas dan badan menggigil ketakutan. Beliau
meminta Khadijah menyelimutinya. Setelah tenang beliau
menceritakan kejadian itu dan menyatakan khawatir tehadap
dirinya. Khadijah berusaha menenangkan beliau, kemudian
pergi menemui Waraqah ibn Naufal43
, meninggalkan beliau
tertidur lelap kelelahan.
Pada saat beliau tidur lelap melepaskan lelah, turunlah
Surat al-Muddatstsir ayat satu-tujuh.44
Setelah menerima wahyu
yang kedua ini Muhammad bangkit lalu berkata kepada istrinya,
yang baru pulang dari rumah Waraqah, bahwa Jibril telah
menyampaikan perintah Tuhan agar beliau memberi peringatan
kepada umat manusia, dan mengajak mereka supaya beribadah
dan patuh hanya kepada-Nya. Akan tetapi, siapa yang akan
diajak dan siapa pula yang akan mendengarkan?45
Wahyu yang
kedua ini menandai penobatan Muhammad sebagai Rasulullah.
41
Siti Maryam dkk, Sejarah Perdaban Islam, h. 23-24 42
Gua Hira terletak sekitar 3 mil di sebelah utara Mekah. 43
Waraqah ibn Naufal adalah sepupuh Khadijah, seorang pendeta
Nasrani yang mengetahui naskah-naskah kuno. Ia mengatakan yang datang
kepada Muhammad adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi
Musa As. Ia pun menegaskan, bahwa dengan turunnya wahyu itu
Muhammad telah diangkat menjadi Nabi untuk umat ini. Lihat M.Hasbi ash-
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an/Tafsir (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), h. 26-27 44
Haikal, Hayatu Muhammad, h. 126 45
Rus‘an, Lintas Sejarah Islam h. 50. Menurut Ibn Ishaq, wahyu
yang kedua ini diturunkan selang tiga tahun setelah wahyu perrtama. Lihat
Mohammad Abd Allah Draz, Asal-usul Agama Islam dalam Kenneth W.
Morgan (ed.), Islam Jalan Lurus, Terj. Abdusalam dan Chaidir Anwar
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 10
45
Dalam masa mudanya Muhammad digelari ash-Shidiq,
al-Amin46
oleh seluruh penduduk Mekah, termasuk musuh-
musuh beliau. Mereka menentang misi kenabian beliau, tetapi
mereka tetap menitipkan barang-barang berharga mereka
kepada beliau, serta tidak pernah mengatakan kepada beliau
Pembohong.47
Mereka semua menaruh rasa hormat karena sifat-
sifat beliau yang luhur dalam kejujuran, keadilan, dan
kebenaran. Al-Qur‘an merujuk kenyataan ini dalam QS.
Yunus/10: 16, Katakanlah: "Jikalau Allah menghendaki,
niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak
46
Julukan al-Amin diberikan oleh penduduk Mekah, setelah
Muhammad berhasil mendamaikan para pemuka Quraisy ketika mereka
berselisih siapa yang paling berhak meletakan Hajar Aswad di tempatnya
semula. Perselisihan itu nyaris mengobarkan perang saudara. Pertumpahan
darah dapat dicegah ketika Abu Umayyah ibn Mughirah al-Makhzumi
mengusulkan agar putusan diserahkan kepada orang yang pertama kali
memasuki pintu Shafa. Ketika yang memasuki pintu Shafa itu adalah
Muhammad usul itu diterima oleh semua kabilah yang berselisih.
Muhammad menghamparkan sehelai kain lalu batu itu diletakan diatasnya
dengan tangan beliau. Disuruhnya ketua setiap kabilah memegang ujung
kain, lalu mengangkat bersama-sama dan membawanya ke tempat dimana
batu itu akan diletakan. Kemudian beliau beliau mengambil batu itu dari atas
kain dan meletakannya ditempatnya semula. Putusan ini memuaskan semua
pihak yang bertikai. Peristiwa itu terjadi pada tahun 605, ketika Muhammad
berusia 35 tahun. Lihat Siti Maryam dkk, Sejarah Perdaban Islam, h. 24 47
Dari Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa ketika QS. asy-Syu‘ara/ :
214 diturunkan Rasulullah menuju bukit Shafa , lalu menaikinya dan
berseru, ―Hai orang-orang yang ada di pagi hari ini!‖ Maka orang-orang
berkumpul dihadapannya. Lalu beliau berseru: ―Hai Bani Abdul Muthalib,
hai Bani Fihr, hai Bani Ka‘ab, bagaimanakah menurut kalian seandainya
kuberitakan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda musuh di lereng
bukit ini hendak menyerang kalian, apakah kalian akan percaya kepadali?‖
Mereka menjawab: ―Ya. Kami percaya.‖ Nabi SAW. bersabda,
―Sesungguhnya aku memperingatkan kalian sebelum datangnya azab yang
keras.‖ Maka Abu Lahab berkata, ―Celakalah kamu, apakah engkau
memanggil kami untuk tujuan ini?‖ Lalu Allah menurunkan firman-Nya QS.
al-Lahab; 1-5. Lihat Muhammad Nasib ar-Rifa‘i, Kemudahan dari Allah;
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin (Jakarta: Gema
Insan Press, 1999), h.611
46
(pula) memberitahukannya kepadamu". Sesungguhnya aku
telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka
Apakah kamu tidak memikirkannya?‖ .Beliau telah lahir
diantara mereka dan hidup selama 40 tahun. Mereka telah
menyaksikan beliau, sebagai seorang yang jujur, amanat dan
benar. Mereka diminta mempergunakan pikiran mereka untuk
menetapkan keputusan berkenaan dengan misi kenabian.48
Namun, hanya beberapa orang saja yang menerima misi
kenabian Rasulullah SAW Mayoritas kaum Quraisy melakukan
perlawanan kepada beliau. Baik perlawanan yang bersifat
perorangan maupun bersifat kelompok dan kekabilahan. Para
pemimpin Quraisy memobilisasi masyarakat untuk
mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan yang diwarisi
oleh nenek moyang. Tetapi jauh lebih penting bagi mereka ialah
mempertahankan kekuasaan di Mekah. Tuduhan-tuduhan kotor
dilontarkan mereka kepada Rasululah pemimpin kaum
Muslimin, seperti ―gila‖, ―haus kekuasaan‖, ―memimpikan
kekayaan‖, perusak tradisi lama‖, dan sebagainya. Semua itu
menunjukan kekhawatiran pemimpin Quraisy akan kehilangan
kekuasaan politik dan ekonomi di Mekah.49
Keselamatan Muhammad SAW dan misi awal
kerasulannya selama di Mekah sangat tertolong oleh tradisi al-
„ashabiyyah al-qabaliyyah, yang berperan penting dalam
menarik keluarga Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib untuk
menjamin keselamatannya. Selama perlindungan kepadanya
diberikan oleh anggota terkemuka Quraisy seperti Abu Thalib
atau Khadijah, selama itu pula Muhammad SAW aman dari
upaya pencederaan fisik bukan hanya dari kabilah selain
Quraisy, tapi juga dari kabilah Quraisy sendiri. Di bawah
naungan tradisi kekabilahan, hanya anggota kabilahnya sendiri
48
Afzalur Rahman, Muhammad Sebagai Pemimpin Militer
(Jakarta: YAPI, 1990), h. Ii-iii 49
HMH. al-Hamid al-Husaini, Membangun Peradaban; Sejarah
Muhammad SAW. Sejak Sebelum diutus Menjadi Nabi (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2000), h. 272
47
yang berani menentangnya dengan cara-cara yang dapat
diterima di dalam kabilah bersangkutan, dalam hal ini
Quraisy50
, sementara kabilah lain tidak mungkin melakukan hal
itu karena bayang-bayang balas dendam kekabilahan.
Setelah Abu Thalib dan Khadijah wafat, rencana
pembunuhan Muhammad SAW dirancang secara hati-hati
setiap kabilah diminta mengirimkan wakilnya untuk menjadi
anggota tim pembunuh, sehingga bila kelak muncul tuntutan
balas dendam, hal itu akan dapat dihadapi dan ditanggung
bersama. Keluarga Quraisy yang sangat gigih menentang
Muhammad SAW adalah keluarga Umayyah dengan tokoh
utamanya Abu Sufyan bin Harb. Demikianlah, di bawah
pengaruh tradisi kekabilahan, penentang terhadap kerasulan
Muhammad SAW menjelma menjadi pertarungan terselubung
antara Quraisy lawan Quraisy, khususnya antara kubu Bani
Hasyim dan Bani Muthalib disatu sisi versus kubu Bani
Umayyah dan para pendukungnya di sisi lain. permusuhan yang
begitu hebat menyebabkan kaum Muslim meninggalkan Mekah
demi menyelamatkan diri.51
Afzalur Rahman menjelaskan, kaum Muslim terpaksa
meninggalkan harta bendanya, rumah, family, bahkan Ka‘bah,
ke Madinah, hanya supaya mereka dapat melindungi agama dan
mengamalkannya dengan bebas. Tetapi, di Madinah pun
mereka tidak dibiarkan aman. Orang-orang Quraisy memulai
serangkai sergapan dan serangan untuk menghancurkan mereka
bersama agamanya. Dengan demikian Islam memasuki
peperangan sebagai satu langkah logis untuk membela dan
mempertahankan diri.52
50
Ketika Abu Jahal, seorang tokoh Quraisy yang juga pamannya
sendiri, memperlakukan Muhammad SAW. dengan umpatan, caci maki, dan
perlakuan kasar, sikap itu justru mengundang simpati dari pamannya yang
lain, yakni Hamzah bin abdul Muthalib, yang kemudian masuk Islam. Lihat
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah
(Bogor: Litera Antar Nusa, 2003), h. 103 51
M. Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 106 52
Afzalur Rahman, Muhammad Sebagai Pemimpin Milite, h. 24
48
Nabi Muhammad selalu berada di depan garis musuh
dalam sengitnya pertempuran. Beliau tidak pernah
menunjukkan kelemahan atau keraguan dalam pertempuran
mana pun. Ketika orang-orang lain melarikan diri dalam perang
Uhud dan Hunain, keberanian dan ketabahan beliaulah yang
memberikan contoh yang sempurna tentang bagaimana berdiri
teguh dan berjuang hingga akhir pertempuran dimenangkan
atau gugur sebagai syahid. Tiada diragukan beliau seorang
pemimpin alami yang dianugrahi segala sifat-sifat puncak
kepemimpinan yang mengilhami para sahabat dalam segala
keadaan dalam damai maupun perang.53
Menurut Husein Haikal, Muhammad SAW tidaklah
memikirkan kepemimpinan politik (kerajaan), kepemilikan
harta benda, atau kegiatan perdagangan bagi dirinya. Lima
prinsip Piagam Madinah yang dibuat pada tahun pertama di
Madinah – yaitu, ajakan memeluk Islam, keamanan memeluk
ajaran Islam bagi pemeluknya, jaminan kebebasan beragama
bagi pemeluk agama lain (jika tidak bersedia memeluk Islam),
penegakan akhlak mulia, dan persaudaraan antar anggota
masyarakat – merupakan tujuan otoritas politik yang
Muhammad SAW ingin capai. Kelak dalam perjalanan sejarah,
jaminan kebebasan beragama tidak berlaku bagi penganut
paganisme Arab dan hanya berlaku bagi kalangan Ahli Kitab
dan Zoroaster dengan imbalan pembayaran pajak kepala
(jizyah). Otoritas politik yang Rasulullah miliki ini digunakan
untuk meneguhkan sendi-sendi pembentukan ummah
(masyarakat, bukan negara) di Madinah.54
s
Pada tahun ke-5 hingga puncaknya tahun ke-9 H sering
disebut Tahun Delegasi („Ām al-Wufūd). Berbagai delegasi
kabilah Arab menerima seruan Islam dan menyatakan
pengakuan kepemimpinan Muhammad SAW Sehingga
Madinah menjadi pusat kekuatan politik baru yang menjangkau
53
Afzalur Rahman, Muhammad Sebagai Pemimpin Militer, h. 77-
78 54
M. Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 194-195
49
hampir semua kabilah Arab di Semenanjung Arabia yang luas
dan sempurnalah posisi politik Muhammad SAW sebagai
panglima tertinggi masyarakat Arab lintas kabilah. Meski dalam
posisi kuat seperti itu, tidak ada gelar kepemimpinan politik
apapun yang melekat pada Muhammad SAW selain sebagai
Rasulullah. Pada setiap kabilah yang menyatakan menerima
kepemimpinannya, Muhammad SAW menunjuk seorang tokoh
kabilah bersangkutan yang telah memeluk Islam sebagai
pemimpin bagi kabilahnya sendiri.55
Muhammad SAW wafat dalam usia 63 tahun, dan beliau
tidak menentukan siapa pengganti pemimpin politik atas umat
muslim sepeninggalannya. Al-Hakim meriwayatkan di dalam
al-Mustadrak dan dinyatakan shahih oleh imam al-Baihaqi
dalam Dalāil an-Nubuwwah yang dikutip oleh Imam as-
Suyuthi, dari Abi Wail, dia berkata: Dikatakan kepada Ali,
―Tidakkah engkau tentukan pengganti yang memimpin kami?‖
Dia menjawab, ―Rasulullah tidak menentukan siapa
penggantinya atas kami. Namun jika Allah menginginkan
kebaikan, niscaya Dia akan menghimpun manusia kepada orang
terbaik di antara mereka, sebagaimana Dia telah kumpulkan
perkara ini kepada orang terbaik setelah Nabi mereka.‖56
Muhammad Baqir Sadr membantah interpretasi
Ahlusunah yang mengatakan Rasulullah bersikap pasif terhadap
masa depan dan kelanjutan misi dakwah Islam dengan tidak
menunjuk seorang pemimpin sebagai penggantinya. Adapun
kelanjutannya tergantung pada kondisi mendatang dan
kemungkinan serta kejutan yang timbul kelak. Hal tersebut
tidak layak bagi Rasulullah. Mustahil beliau tidak peduli akan
kelangsungan dakwah selanjutnya. Sebab anggapan ―Rasul
55
Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan
Masyarakat Suku Arab, Terj. Kamran A. Irsyady (Yogyakarta: Lkis, 2005),
h. 90-91 56
Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Penguasa
Islam, Penerjemah: Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h.
8
50
bersikap masa bodoh‖ ini hanya berdasarkan kemungkinan
yang tidak rasionil dan tidak realitis. Baqir Sadr memberikan
dua dasar alasan dari bantahanya tersebut.57
Pertama, Abu bakar dengan alasan hendak
menyalamatkan Umat telah mengambil alih tampuk kekuasaan
dengan gesit. Tindakan postif ini ia lakukan –katanya- demi
masa depan dakwah dan kesinambungannya. Kekhawatiran dan
kecemasan itu juga terlihat ketika beberapa orang berbondong-
bondong menuju Umar bin Khattab dan menawarkan untuk
dibaiat. Kekhawatiran demikian juga melanda hati Umar, hal ini
terlihat dalam penunjukkanya kepada enam orang dari rekan-
rekanya sebagai kandidat-kandidat terbatas Jabatan Khalifah.
Ini pertanda bahwa betapa besar kekhawatiran sahabat senior
ini melihat dan membayangkan bahaya-bahaya yang timbul
akibat kekosongan seorang pemimpin dan tidak adanya
pengganti.
Baqir Sadr menyimpulkan dasar alasan pertama, apabila
hal-hal diatas benar dan terbukti maka tak ayal lagi bahwa
Rasulullah akan lebih arif memikirkan dan merasakn efek dan
bahaya yang akan timbul akibat dari sikap pasif tersebut. Beliau
tentu lebih mengerti tuntutan dan langkah apa yang harus
diambil demi upaya pembenahan dan operasi perombakan yang
dirintisnya sendiri terhadap masyarakat Islam yang baru
kemarin meninggalkan jahiliyyah yang sejak berabad-abad
menjadi sistem hidup mereka sebagaimana diutarakan oleh Abu
Bakar.58
Kedua, ketika Rasulullah hampir menghembuskan
nafasnya yang terakhir di atas ranjang dan pada saat yang kritis
dan mencapai rasa sakitnya yang klimaks, beliau masih merasa
bertanggung jawab untuk menyiapkan satuan perang. Adapun
satuan perrang tersebut memang sejak sebelumnya telah
57
Muhammad Baqir Sadr, Kemelut Kepemimpinan setelah Rasul,
Penerjemah Muhsin Labib (Jakarta: Yayasan al-Sajad, 1990), h. 8 58
Muhammad Baqir Sadr, Kemelut Kepemimpinan setelah Rasul, h.
11-13
51
direncanakannya untuk segera diberangkatkan di bawah
pimpinan komando Usamah bin Zaid yang telah ditunjuknya
untuk meninggalkan kota Madinah menuju medan tempur.
Berulang-ulang beliau berteriak sambil menyeru dengan nada
jengkel dan marah: Siapkan pasukan Usamah! Satuan tempur
Usamah harus segera bertolak!.59
Baqir Sadr menyimpulkan alasan kedua, usaha yang
dilakukan Rasulullah ini dengan jelas menunjukan bahwa beliau
memikirkan dan prihatin akan bahaya-bahaya yang mengancam
masa depan dakwahnya, serta menyadari sepenuhnya akan
betapa pentingnya menggariskan suatu konsep dan tajuk
rencana kerja guna menyelamatkan Umat dari penyimpangan
sekaligus guna melindungi proyek tersebut dari kemandekan
dan kegegalan. Bertolaj dari sini, Baqir Sadr berkeimpulan
bahwa tidak mungkin Rasul bersikap pasif dan dingin terhadap
prospek dakwah.60
2. Penunjukan Abu Bakar as-Siddiq
Ketika Muhammad SAW wafat, otoritas keagamaan dan
politik Madinah mendapat tantangan keras dari kalangan
internal maupun eksternal. Secara internal, pertentangan antar
kabilah Muslim di Madinah menemukan momentum untuk
muncul ke permukaan, khususnya antara Muhajirin Quraisy dan
Anshar Khazraj dan Aus, Pada hari Muhammad SAW wafat,
kaum Anshar berkumpul di Tsaqifah Bani Saidah, dimotori oleh
Saad bin Ubadah dari Khazraj, menuntut otoritas berada di
tangan mereka, meskipun antara Khazraj dan Aus belum
terbangun persekutuan yang kuat akibat sejarah hubungan
keduanya yang buruk pada masa sebelum Islam. Pada saat yang
sama tokoh-tokoh Muhajirin, seperti Abu Bakar dan Ali bin Abi
Thalib tengah sibuk mengurus jenazah Rasulullah SAW di
59
Muhammad Baqir Sadr, Kemelut Kepemimpinan setelah Rasul, h.
14 60
Muhammad Baqir Sadr, Kemelut Kepemimpinan setelah Rasul,
h..16
52
rumah Aisyah, sementara para pemuka Muslim lainnya
berkumpul di masjid dan sekitarnya. Pada saat itulah Umar bin
Khattab meminta Abu Ubaidah bin al-Jarrah membentangkan
tangannya sebagai tanda menerima sumpah setia (baiat)
kepemimpinan dari dirinya. Tetapi Abu Ubaidah menolak
permintaan Umar karena ia merasa ada calon yang lebih tepat,
yaitu Abu Bakar.61
Pertemuan kaum Anshar untuk memilih pemimpin
maupun inisiatif Umar memberikan baiat kepada Abu Ubaidah
berjalan sendiri-sendiri. Berita pertemuan kaum Anshar di
Tsaqifah Bani Saidah itu sampai juga kepada Umar, dan ia lalu
mengajak Abu Bakar dan Abu Ubaidah bergabung dalam
pertemuan kaum Anshar untuk beradu argumen mengenai siapa
yang paling berhak dan tepat memimpin umat Islam setelah
Muhammad SAW wafat. Para ahli sejarah menggambarkan
perdebatan berlangsung sangat panas. Kaum Anshar
mendukung Saad bin Ubadah sebagai calon pemimpin, dalam
bayang-bayang kekhawatiran kabilah Aus atas dominasi kabilah
Khazraj bila mendukung Saad. Perasaan khawatir ini
dimanfaatkan dengan baik oleh Muhajirin Quraisy yang
mengajukan Abu Bakar sebagai calon pemegang otoritas politik
tertinggi di Madinah, sehingga Aus kemudian berbaiat kepada
Abu Bakar.62
Akhirnya kabilah Khazraj, tak ada pilihan lain selain
mendukung Abu Bakar dan melupakan pencalonan Saad.
Situasi ini diperkuat sikap Basyir bin Nu‘man bin Basyir, tokoh
Khazraj lain yang juga sepupu Saad, yang mendukung Abu
Bakar dengan keyakinan bahwa kepemimpinan adalah hak
kabilah Quraisy. Dengan terpilihnya Abu Bakar melalui
pembaiatan sebagai Khalifah Rasulillah (pengganti Rasulullah),
Madinah menapaki proses pembentukan kepemimpinan politik
61
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah Salah Paham Negara Islam
(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), h. 238-239 62
Muhammad Husein Haekal, Abu Bakar as-Siddiq: Sebuah
Biografi, terj. Ali Audah (Bogor: Litera Antar Nusa, 2003), h. 32
53
yang merupakan perkembangan baru dari terbentuknya ummah
di masa Rasulullah SAW Kepemimpinan politik ini diperoleh
melalui proses eliminasi di antara kaum elite yang membawa
ekses relatif besar. Misalnya, setelah peristiwa tersebut, Saad
bin Ubadah tidak pernah mengakui kepemimpinan Abu Bakar
hingga khalifah ini wafat, sehingga mendorong Umar selalu
mendesak Abu Bakar untuk membunuh Saad karena dianggap
berbahaya secara politik.63
Setelah mendapat pembaiatan di Tsaqifah, keesokan hari
Umar meminta jamaah yang hadir di Masjid Madinah untuk
berbaiat kepada Abu Bakar, dilanjutkan dengan pidato
penerimaan sebagi pemimpin terpilih oleh Abu Bakar. Sejak
saat itu, ia dipanggil kaum Muslim dengan sebutan Khalifah
Rasulillah. Model penetapan kepemimpinan Abu Bakar melalui
baiat oleh sejumlah elite terbatas di Madinah, disusul dengan
baiat umum oleh mereka yang hadir di masjid, merupakan
penemuan murni yang belum pernah ada presedennya dalam
sejarah. Hal ini dilukiskan oleh sejarawan Husain Haekal
sebagai ―murni Arab‖. Mengutip kata-kata Umar, Haekal
menyebut pengukuhan Abu Bakar itu sebagai suatu hal tiba-tiba
yang menguntungkan.64
Dengan kata lain, seperti juga proses
pemusatan otoritas politik di Madinah yang mengalir begitu
saja tanpa rencana, pengukuhan kepemimpinan Abu Bakar
berlangsung tidak dengan sengaja
Ibnu Qutaibah menjelaskan, pada suatu malam, Ali
keluar rumah dengan membawa serta Fatimah di atas seekor
kuda. Dia datang ke majlis kaum Anshar untuk meminta
dukungan. Kaum Anshar berkata kepada Fatimah, ―Wahai putri
Rasulullah, kami telah membaiat Abu Bakar. Jika suamimu
63
M. Husein Haekal, Abu Bakar as-Siddiq: Sebuah Biografi, h. 33-
46. Basyir berkata : ―Saya tidak mau menentang hak suatu golongan yang
sudah ditentukan Allah‖, yaitu hak kepemimpinan Quraisy sebagaimana
dimaksudkan Abu Bakar. 64
Muhammad Husein Haekal, Abu Bakar as-Siddiq: Sebuah
Biografi, h. 55
54
datang lebih dahulu kepada kami daripada Abu Bakar, niscaya
kami tidak akan memilihnya. Ali berkata, ―Haruskan Rasulullah
kutinggalkan di rumahnya dalam keadaan belum aku
makamkan, lalu keluar rumah, lalu berdebat dengan orang-
orang itu untuk memperebutkan kekuasaan yang beliau
tinggalkan?‖. Fatimah berkata, ―Abul Hasan (Ali) hanya
melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Tetapi mereka
melakukan sesuatu yang pasti diperhitungkan dan dituntut oleh
Allah.‖65
Di kalangan Muhajirin, pencalonan Abu Bakar bukan
tanpa masalah. Ketika berdebat dengan kaum Anshar, pihak
Muhajirin yang dipimpin Abu Bakar menggunakan alasan
bahwa kepemimpinan harus di tangan Quraisy (sebagaimana
diyakini telah disabdakan Rasulullah) sehingga memuluskan
jalan bagi pembaiatan dirinya sebagai Khalifah Rasulillah.
Padahal, Abu Bakar adalah anggota cabang Quraisy yang kecil
dan kurang berpengaruh, yaitu Bani Taym, sementara di antara
mereka masih ada Ali bin Abi Thalib dari keturunan Quraisy
yang paling dekat pertalian darahnya dengan Muhammad SAW
dan berasal dari cabang kabilah Quraisy berpengaruh, yaitu
Bani Hasyim.66
Oleh sebab itu, sebagian dari anggota Bani Hasyim dan
beberapa sahabat utama Nabi menolak pembaiatan Abu Bakar,
kemudian berkumpul di rumah Fathimah untuk membaiat Ali.
Ketika umar mendengar berita tersebut, Umar marah, ia
bersama orang-orang mendatangi rumah Fathimah dan bahkan
mengancam membakar seisi rumah. Mereka akhirnya berhasil
mendobrak, mencederai Fatimah yang sedang hamil, dan
65
Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan: dalam Sejarah para
Khalifah Penerjemah Muhammad Muchson Anasy (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2016), h.19-20 66
Muhammad Husein Haekal, Abu Bakar as-Siddiq: Sebuah
Biografi, h. 47-56, Lihat O. Hashem, Wafat Rasulullah dan Suksesi
Sepeninggal Beliau di Saqifah (Bekasi: YAPI, 2004), h. 193-199.
55
memaksa orang-orang yang ada di rumah itu ke masjid dan
membaiat Abu Bakar 67
Dari peristiwa-peristiwa di atas, tampaklah bahwa
proses pemilihan dan baiat kepada Abu Bakar tidak terjadi
secara serempak oleh semua kaum Muslim dari semua kabilah,
melainkan terbatas hanya oleh sekelompok kecil elite Muslim
di Madinah yang terdiri dari unsur Muhajirin Quraisy serta
Anshar Khazraj dan Aus. Kehendak kaum Anshar menunjuk
calon dari mereka memang terpatahkan dengan argumentasi
bahwa kepemimpinan merupakan hak prerogatif kabilah
Quraisy.
Berbeda dengan Ja‘far Subhani dalam kitabnya ar-
Risālah, ia menjelaskan, bagian akhir kehidupan Nabi, ketika
Nabi berbaring diranjang karena sakit. Kaum muslim sedang
mengalami masa-msa tragis. Pembangkangan terbuka oleh
beberapa sahabat dan penolakan mereka untuk bergabung
dengan tentara Usamah. Hal ini merupakan satu bukti dari
serangkaian kegiatan bawah tanah dan tekad yang serius dari
orang-orang bersangkutan, agar setelah wafatnya Nabi, mereka
dapat menguasai urusan pemerintah dan politik Islam, dan
menyisihkan orang yang secara formal ditunjuk pada hari
Ghadir sebagai penerus Nabi.68
Hingga ukuran tertentu Nabi mengetahui niat-niat
mereka. Untuk menetralisirnya, Nabi mendesak supaya semua
sahabat senior bergabung dengan tentara Usamah, dan harus
meninggalkan Madinah secepat mungkin untuk berjuang
67
Di antara para sahabat yang menangguhkan baiat selain Ali
adalah Abbas bin Abdul Muthalib, Fadhal bin al-Abbas, Zubair bin al-
Awwam, Khalid bin Said, Abu Dzar al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Bara bin
Azib, Salman al-Farisi, dan Ubay bin Kaab. Lihat Muahammad Rizvi,
Imamah dan Wilayah dalam Ajaran Ahlulbait AS, Penerjemah A. Kamil
(T.tp.: maktabah al-Fikr, 2017), h. 76, Lihat juga Mujtaba Musawi Lari,
Imam Penerus Nabi Muhammad SAW : Kajian Historis, Teologis dan
Filosofis, Penerjemah Ilham Mashuri (Jakarta: Lentera, 2004), h. 107 68
Ja‘far Subhani, al-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW.
Penerjemah M. Hasyim dan Meth Kieraha (Jakarta: Lentera, 1996), h. 682
56
melawan Romawi. Namun agar rencana mereka dapat
terlaksana, mereka berdalih dengan berbagai alasan, bahkan
mencegah keberangkatan tentara Usamah. Sampai Nabi
meninggalpun mereka tidak beranjak dari Jurf (perkemahan
tentara): mereka kembali ke Madinah setelah 16 hari. Dengan
demikian, kehendak Nabi agar pada hari wafatnya, Madinah
bebas dari pengacau yang mungkin akan melaukuan kegiatan
untuk mengganti penggantinya, tak terwujudkan. Mereka bukan
saja tidak meninggalkan Madinah melainkan juga berusaha
mencegah setiap tindakan yang mungkin mengukuhkan
kedudukan Ali sebagai pengganti langsung Nabi, dan mencegah
Nabi dengan berbagai cara untuk berbicara masalah ini.69
Nabi mengetahui kegiatan yang sedang berlangsung di
luar rumahnya untuk menguasai kekhalifahan. Untuk
menghalangi pengalihan kekhalifahan dari sumbunya dan
mencegah munculnya peselisihan, beliau memutuskan untuk
mengukuhkan kekhalifahan Ali dan kedudukan Ahlulbait secara
tertulis. Ketika para sahabt berkumpul menjenguknya, beliau
meminta para sahabat untuk membawakan pena dan kertas.
Beliau berkata, ―Aku akan menuliskan suatu wasiat untuk
meyakinkan bahwa anda sekalian tidak akan tersesat
sepeinggalanku.‖ Namun karena perkataan Umar70
dan
perselisihan diantara sahabat, Nabi mengurungkan rencana
penulisan wasiat itu. Tujuan dari penulisan wasiat itu tidak lain
dari mengukuhkan kekhalifahan Ali dan mewajibkan manusia
mengikuti Ahlulbait. Kesimpulan ini didapat dari kesamaan dua
69
Ja‘far Subhani, al-Risalah. Penerjemah M. Hasyim dan Meth
Kieraha h. 682 70
Umar berkata, ―Penyakit telah menguasai Nabi. al-Qur‘an ada
bersama anda. Kitab suci itu cukup bagi kita.‖ Ada yang mengatakan, ―Nabi
Allah telah berkata dalam keadaan mengigau.‖ Beberapa orang
menentangnya seraya berkata, ―Perintah Nabi harus ditaati. Abilkan pena
dan kertas supaya apa yang ada dalam pikirannya dituliskan.‖ Sebagian
lainnya berpihak kepada Umar dan menghalangi diambilnya pena dan kertas.
57
susunan redaksi hadis Nabi menyangkut wasiat yang akan
dituliskan dengan Hadist Tsaqalain.71
Dari kesamaan kedua redaksi hadis tersebut, dapat
disimpulkan bahwa tujuan Nabi dalam memimta pena dan
kertas ialah untuk menuliskan isi Hadis Tsaqalain secara lebih
jelas, dan untuk mengukuhkan pemerintahan dan kekhalifahan
penerusnya yang telah diumumkan dalam khutbah beliau pada
18 Zulhijah di Ghadir Khum, ketika para jamaah haji Irak,
Mesir, dan Hijaz hendak berpisah.72
3. Penunjukan Umar bin Khattab
al-Suyuthi menukil riwayat al-Waqidi dari berbagai
jalur periwayatan, tatkala Abu Bakar merasa ajalnya telah
mendekat, ia memanggil Abdur Rahman bin Auf dan Utsman
untuk memintai pendapat mereka tentang Umar, mereka
menjawab bahwa Abu Bakarlah yang paling mengetahui
tentang Umar. Di samping mereka berdua Abu Bakar juga
mengajak musyawarah Sa‘id bin Za‘id, Usaid bin al-Hudahair
dan yang lain dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Usaid
menyatakan bahwa Umar adalah orang yang terbaik setelah
Abu Bakar. Setelah itu, Abu Bakar memutuskan Umar sebagai
pengganti Khalifah setelahnya, lalu memanggil Usman untuk
menuliskan wasiat tersebut, menyetempelnya, dan
menyuruhnya keluar dengan membawa kertas wasiat tersebut.73
71
―Saya akan meninggalakan dua hal yang berat (berharga) pada
Anda sekalian. Selama Anda berpegang kepada keduanya, Anda tidak akan
tersesat. Kedua barang berhaga itu adalah Kitab Allah dan keturunan dari
ahlulbaitku. 72
Ja‘far Subhani, al-Risalah. Penerjemah M. Hasyim dan Meth
Kieraha h. 687 73
al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata, Abu Bakar
menjadi Khalifah selama dua tahun tujuh bulan. Penyebab kematiannya
adalah sama dengan kematian Rasulullah yang juga diracun. Al-Hakim
meriwayatkan dari ‗Aisyah dia berkata, ―Awal sakit ayahku ialah saat dia
mandi pada hari Senin tanggal 7 Jumadil Akhir. Kemudian dia merasa
kedinginan seharian. Dia terserang demam selama 15 hari dan tidak dapat
58
Kemudian orang-orang yang hadir di tempat itu
membaitnya dan mereka sama-sama lega dan rela terhadap
pilihan Abu Bakar. Lalu Abu Bakar memanggil Umar sendirian
dan menasehatinya. Kemudian Abu Bakar mengangkat
tangannya seraya berdoa, ―Ya Allah, saya telah menjatuhkan
pilihan untuk kesejahteraan kaum muslimin dan dengan harapan
untuk menghilangkan pertikain yang mungkin muncul di antara
mereka. Mengenai apa yang saya lakukan Engkaulah yang
paling tahu. Setelah pertimbangan yang matang, saya telah
menjatuhkan pilihan kepada orang yang saya anggap paling
mengikuti jalan yang lurus. Perintah-Mu telah dikeluarkan dan
saya amanahkan semua itu kepada-Mu. Mereka adalah hamba-
Mu dan semuanya berada di dalam genggaman kekuasaan-Mu.
Ya Allah, jagalah pemimpin mereka agar berjalan di jalan yang
lurus dan Saya mohon kepada-Mu jadikanlah penggantiku
sebagai khalifah yang mendapat petunjuk dan memberikan
kedamaian.‖74
Baqir Sadr mengkritik sikap Abu Bakar yang
menggunakan hak prerogatifnya dengan menunjuk Umar bin
Khattab sebagai Khalifah setelahnya. Abu Bakar dan
kelompoknya yang mengagungkan dan bersikeras bahwa syura
adalah sistem pemerintahn Islam setelah Nabi meninggal dunia,
namun pola pikir dan tingkah laku, serta semua kebijaksanaan
politiknya tidak senada dengan syura yang mereka dengungkan
sebagai sistem tunggal dalam pembentukan suatu pemerintahan
Islam. Mereka tidak konsekuen dengan prinsip syura tersebut
sekaligus kurang konsisten dengan sumpah setia Saqifah.75
Baqir Sadr melanjutkan, Abdur Rahman bin Auf
menghadiri shalat jamaah. Dia meninggal pada malam Selasa tanggal 22
Jumadil Akhir tahun ke-13 Hijriyah dalam usia 63 Tahun. Lihat Imam As-
Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Penguasa Islam, h. 89-91. 74
Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Penguasa
Islam, h.91 75
Muhammad Baqir Sadr, Kemelut Kepemimpinan setelah Rasul.
Penerjemah Muhsin Labib, h. 19
59
memprotes Abu Bakar setelah mendengar berita penunjukan
yang telah dilaksanakan.76
Hal ini membutikan bahwa Sang
Khalifah tidak memahami secara mendalam tentang logika
sistem syura dan menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak berhak
menunjuk atau mengangkat seseorang sebagi pemimpin secara
absolut diantara sekian banyak sahabat lainnya. Sang Khalifah
tidak memiliki pemahaman bahwa pengankatan demikian
semestinya secara otomatis menuntut konsekuensi dan loyalitas
masyarakat Muslim agar taat dan mematuhinya. Tidak perlu
sampai Abu Bakar menghimbau rakyat agar mematuhi
pemimpin baru mereka. Surat pengangkatan resmi tersebut
bukan hanya sekedar usul atau buah pendapat biasa namun surat
tersebut bernada perintah dan ketetapan yang bersifat absolut
dan tak dapat diralat atau diganggu gugat.77
Mujataba, juga memberikan komentar atas tindakan Abu
Bakar, hal tersebut menunjukan bahwa ide pemerintahan
musyawarah pasca meninggalnya Nabi SAW sama sekali tidak
memiliki dasar. Nabi tidak pernah memerintahkan untuk
menegakkan pemerintahan Islam dengan musyawarah. Jika
memang beliau memerinthkannya, beberapa kelompok tidak
akan mengajukan pendapat kepada Abu Bakar bahwa ia harus
menunjuk penggantinya untuk mencegah kekacauan dan
76
Ia berkata kepada Abu Bakar: ―Hai Khalifah ! Bagaimana anda
ini sebenarnya?‖ Abu Bakar menjawab: ― kenapa kalian semua memprotes
penunjukan itu dan menambah berat bebanku lalu masing-masing menuntut
jabatan itu.‖ 77
Isi surat itu adalah, ―.... Bersama ini saya dengan resmi telah
menunjuk rekan saya yang bernama Umar putra Khattab sebagai pemimpin,
maka harapan dan himbauan saya ialah semoga hendaknya kalian
mendengar dan mematuhinya. Sekian.” Lihat M. Baqir Sadr, Kemelut
kepemimpinan setelah Rasul. Penerjemah Muhsin Labib, h. 20, Ibnu
Qutaibah juga menjelaskan ketika Abu Bakar bertemu Umar, ia berkata,
―Ambillah surat ini! Bawa keluar dan tunjukkan kepada orang-orang!
Katakan pada mereka, surat ini adalah titahku! Minta mereka agar
mendengar dan taat!” Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah
Para Khalifah. Penerjemah Muchson Anasy (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2016), h. 33
60
bencana yang akan menimpa masyarakat Islam karena
kekosongan kepemimpinan.78
4. Penunjukan Usman bin Affan
Di saat-saat akhir hayat Umar bin Khattab79
, beliau
diminta Said bin Zaid bin Amr menunjuk seseorang untuk
menggantikannya sebagai Amīr al-Mu'minīn, dengan asumsi
kaum Muslim pasti akan menerima penunjukan itu. Tetapi,
Umar menolak permintaan ini dengan mengatakan; ―Saya
melihat sahabat-sahabat saya mempunyai ambisi yang buruk‖.
Jadi, Umar melihat gejala bahwa ambisi kekuasaan telah pula
merasuki sebagian sahabat utama Rasulullah SAW Umar
melihat gelagat, Bani Hasyim akan menjagokan Ali bin Abi
Thalib, sedangkan Utsman bin Affan didukung keluarganya
dari Bani Umayyah yang di masa awal Islam merupakan
keluarga yang paling keras menentang kenabian Muhammad
SAW dan mereka baru masuk Islam setelah Penaklukan
Makkah (kaum Thulaga‟). Sebagai komandan-komandan
perang ternama, Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah,
dan Saad bin Abi Waqqas pun banyak memperoleh dukungan
dari kalangan pasukan bersenjata.80
Oleh sebab itu, menjelang akhir hayatnya, Umar
berijtihad menetapkan enam calon pengganti yang harus
bermusyawarah guna memutuskan siapa salah satu dari mereka
yang akan menjadi Amīr al-Mu'minīn pengganti dirinya.
78
Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad SAW
Penerjemah Ilham Mashuri, h. 108 79
Tim pembunuhan Umar terdiri dari : 1. Hormuzan seorang
panglima perang Persia penguasa wilayah Ahwaz. Ia tertawan dan terpaksa
masuk Islam agar selamat dari hukuman; 2. Jufainah, seorang Nasrani asal
kota Hirah; dan 3. Fairuz, budak al-Mughirah yang berhasil menikam Umar
sampai wafat, ketika Umar akan melaksanakan shalat subuh. Lihat
Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab,. Penerjemah Ali Audah
(Bogor: Litera Antar Nusa, 2002), h. 400-402 80
Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab. Penerjemah Ali
Audah, h. 780-782
61
Keenam orang yang kemudian disebut sebagai Ahl al-Syūrā itu
adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair al-
Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqas, dan
Abdurrahman bin Auf. Mereka dikarantina dalam sebuah rumah
yang dijaga para pemberani dari kaum Anshar pimpinan Abu
Thalhah al-Anshari dan diberi waktu tiga hari untuk
menghasilkan keputusan.
Umar sama sekali mengabaikan anjuran agar melibatkan
putranya, Abdullah bin Umar, sebagai salah satu calon.
Penolakan ini dia nyatakan dengan ungkapan keras yang
ditujukan kepada putranya: ―Bagaimana saya akan menunjuk
orang yang tidak mampu menceraikan istrinya sendiri?‖ Tanpa
pengaruh kuat ajaran Islam, sikap terhadap kekuasaan
sebagaimana ditunjukkan Umar ini sangatlah tidak lazim di
kalangan orang Arab yang terkenal dengan fanatisme
kekabilahannya.81
Umar memberikan petunjuk pemilihan sebagai berikut:
a) Abdullah bin Umar harus hadir dalam musyawarah,
tetapi tidak boleh dipilih.
b) Jika lima orang bersepakat menunjuk dan merelakan
seseorang sebagai pemimpin, sementara seorang lainnya
tidak mau menerima kesepakatan itu, maka penggallah
leher orang itu.
c) Jika empat orang bersepakat menunjuk dan merelakan
seseorang sebagai pemimpin, sementara dua lainnya
tidak menerima kesepakatan itu, maka penggallah leher
kedua orang itu.
d) Jika tiga orang menunjuk seseorang dan tiga lainnya
menunjuk seseorang yang lain lagi, maka mintalah
pertimbangan Abdullah bin Umar. Pihak mana pun yang
meminta pertimbangan harus menetapkan satu orang
(calon pemimpin) di antara mereka untuk
81
Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan: Antara
Kekhalifahan dengan Kerajaan, terj. Ali Audah (Bogor: Litera Antar Nusa,
2002), h. 115
62
dipertimbangkan Abdullah bin Umar.
e) Jika kedua pihak tidak rela atas keputusan Abdullah bin
Umar, maka pilihlah pemimpin dari kelompok yang di
dalamnya terdapat Abdurrahman bin Auf dan bunuhlah
sisa mereka yang menolak kesepakatan orang banyak
itu.82
Utsman bin Affan akhirnya terpilih menggantikan
Umar, masih dalam batas waktu tiga hari yang Umar sediakan.
Melalui upaya keras Abdurrahman bin Auf, yang setelah
menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan menjadi juru
runding dalam musyawarah anggota Ahl al-Syūrā dan dengan
masyarakat luas, Utsman dibaiat jamaah Masjid Madinah di
bawah bayang-bayang kekecewaan Ali bin Abi Thalib dan
pendukungnya dari Bani Hasyim, khususnya Abbas bin Abdul
Muthalib. Terdapat beberapa sumber yang berbeda versi
mengenai Ali bin Abi Thalib dalam pembaiatan Utsman. Tetapi
Bani Hasyim tetap mengingat ucapan Umar kepada Abdullah
bin Abbas: ―Orang tidak senang menggabungkan kenabian dan
kekhalifahan kalian.‖
Kemudian, Ali sendiri mengeluarkan pernyataan segera
setelah pelantikan Utsman: ―Orang-orang melihat kepada
Quraisy, dan Quraisy melihat kepada keluarganya dengan
mengatakan: jika Bani Hasyim sudah menguasai kalian, kalian
tidak akan pernah lepas dari mereka‖. Kekecewaan dan
ketidaksenangan Bani Hasyim ini kelak berdampak bukan
hanya terhadap kepemimpinan Utsman, tapi juga terhadap
perseteruan di antara mereka selanjutnya, penunjukan penguasa
wilayah yang didominasi Quraisy Muhajirin dan Quraisy
Makkah (Thulaqā), yang berlangsung hingga ke masa Utsman,
juga menimbulkan ketidaksenangan kabilah-kabilah Arab non-
Quraisy yang merasa memiliki andil besar bagi tegaknya Islam
dan meyakini kearaban mereka tidak lebih rendah dari Quraisy -
82
Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan, terj. Ali Audah, h.
115
63
ketidaksenangan ini juga diperkukuh karena perasaan sebagai
bagian dari bangsa Arab telah tumbuh menguat di masa
kepemimpinan Umar dan perasaan itu memperteguh semangat
kesetaraan yang telah lama berakar dalam diri mereka.83
Mujtaba musawa lari mengkritik, pemilihan pengganti
Umar oleh komite yang anggotanya ia tunjuk sendiri, adalah
tidak sesuai baik dengan ajaran Allah SWT ataupun dengan
prinsip musyawarah. Jika khalifah bermaksud menunjuk
penggantinya sendiri, kenapa persoalan itu beralih kepada
komite yang terdiri dari enam orang sahabat? Jika di sisi lain,
pemilihan seorang pemimpin adalah hak prerogatif masyarakat,
kenapa umar merampas hak masyarakat dan menetapkan
komite yang anggota-anggotanya dipilih sendiri? Ia juga
bertindak secara terbatas bahwa sebagian anggota komite itu
(Abdullah bin Umar) sama sekali tidak memiliki kualifikasi
untuk menjadi khalifah.84
Pada tahun-tahun terakhir kepemimpinan Utsman,
Otoritas Madinah mengalami perubahan karakter di mana para
pejabatnya, terutama kepemimpinan wilayah, lebih didominasi
kaum Quraisy Bani Umayyah—mereka umumnya Thulaqā‟—
yang memiliki tradisi kepemimpinan sangat kuat sejak masa
sebelum Islam. Beberapa pemimpin wilayah tunjukan Utsman
itu dipandang tidak kompeten oleh rakyat yang mereka pimpin,
seperti Abdullah di Mesir dan Walid di Kufah. Keadaan ini
diperburuk oleh kebijaksanaan Utsman yang melonggarkan
pendisiplinan bagi kelompok elite sahabat Muhammad SAW
untuk tidak meninggalkan Madinah menuju wilayah
pendudukan baru, sehingga kelonggaran itu menimbulkan
kekosongan besar tokoh sahabat generasi awal yang masih
bertahan di Madinah yang Utsman perlukan dalam
bermusyawarah.
83
Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan, terj. Ali Audah,
h.116 84
Mujtaba Musawa Lari, Imamah Pasca Nabi Muhammad SW.
Penerjemah Ilham Mashuri, h. 108
64
Akumulasi kekecewaan mendorong kabilah-kabilah
Arab Muslim di Kufah dan Basrah serta di Mesir, khususnya
Fustat, mengirimkan wakil mereka menuju Madinah guna
menyampaikan pengaduan kepada Amīr al-Mu'minīn.
Sebagaimana utusan lain, utusan Mesir meminta agar Abdullah
dicopot dari jabatannya dan digantikan Muhammad bin Abu
Bakar. Permintaan ini Utsman kabulkan. Namun, belum jauh
utusan itu beranjak dari Madinah, rombongan mereka
menangkap seseorang yang membawa surat rahasia tulisan
Marwan bin al-Halkim kepada penguasa Mesir, Abdullah bin
Said bin Abi Sarh, yang meminta agar mereka semua dibunuh
sekembalinya ke Mesir Mereka lalu kembali lagi ke Madinah
dan mengepung rumah Utsman, menuntut pertanggung-
jawabannya. Terjadilah dialog panas yang berakhir dengan
terbunuhnya Utsman. Menurut sebagian riwayat, pembunuh
Utsman adalah pemimpin utusan Mesir, Ghafiqi bin Harb al-
Akky, tetapi hal ini menyisakan kecurigaan mengenai
keterlibatan Muhammad bin Abu Bakar, calon penguasa Mesir
yang memiliki hubungan dekat dengan Ali bin Abi Thalib
(karena ibunya, Asma, mantan istri Ja‘far bin Abi Thalib dan
sekaligus mantan istri Abu Bakar, yang kemudian dinikahi Ali).
Proses pembunuhan Utsman sendiri tidak begitu jelas, sehingga
menyulitkan penetapan tersangka pembunuh yang semestinya
mendapat hukuman, hal ini juga membuka peluang bagi
eksploitasi masalah ini untuk keuntungan politik keluarga
Utsman dari Bani Umayyah, khususnya penguasa Syria,
Muawiyah bin Abi Sufyan.85
5. Penunjukan Ali bin Abi Thalib
Terdapat sejumlah riwayat86
berbeda mengenai proses
pembaiatan Ali bin Abi Thalib. Pertama, riwayat yang
85
Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan, h.135-144 86
Muhammad Husain Haekal, Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada
Hasan dan Husein, terj. Ali Audah (Bogor: Litera AntarNusa, 2003), h.218-
224
65
menyatakan bahwa lima hari berlalu setelah Utsman wafat,
Madinah tidak memiliki pemimpin puncak. Para pemberontak
dengan dipimpin oleh Ghafiqi meminta Ali bersedia dibaiat
menjadi Amīr al-Mu'minīn, tetapi permintaan itu Ali tolak.
Kedua, riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat utama
Muhammad SAW di Madinah memandang perlu segera
mengisi kekosongan kepemimpinan di Madinah. dimotori dua
orang yang termasuk sepuluh sahabat Rasulullah SAW yang
terjamin masuk surga, yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair
bin al-Awwam. Sebagian besar sahabat sepakat membaiat Ali
sebagai Amīr al-Mu'minīn, kecuali sejumlah sahabat dari
keluarga Bani Umayyah.
Orang pertama yang membaiat Ali yaitu Thalhah bin
Ubaidillah, sambil berkata: ―Yang pertama melakukan baiat ini
adalah tangan yang sudah lumpuh ini‖. Tangan Thalhah
menderita lumpuh akibat menahan anak panah yang akan
mengenai Rasulullah SAW dalam Perang Uhud. Ketiga, riwayat
yang mengatakan bahwa setelah Ali menolak keinginan para
pemberontak, mereka kemudian menekan sahabat agar bersedia
membaiat Ali dan para pemberontak itu pulalah yang pertama
membaiat Ali. Di bawah tekanan mereka, sahabat Thalhah dan
Zubair turut membaiat Ali, dengan syarat Ali mengusut tuntas
pembunuh Utsman dengan berpedoman pada al-Qur‘an dan
Sunnah, yang kemudian syarat itu Ali setujui.
Ali akhirnya dibaiat sebagi Amīr al-Mu'minīn di muka
umum di Masjid Madinah pada 656 M. Salah satu
pertimbangan Ali menerima baiat adalah pandangannya bahwa
bila para pemberontak dan mereka yang datang ke Makkah dan
Madinah untuk beribadah umrah maupun haji mengetahui tidak
ada pelanjut kepemimpinan, dikhawatirkan mereka akan
kembali ke daerah masing-masing dengan kehendak kembali
pada kepemimpinan kabilah. Ali menyadari benar posisinya
yang sulit, namun akhirnya ia menerima tongkat
kepemimpinan. Meskipun demikian, Ali menyadari bahwa
kepemimpinan seorang Amīr al-Mu'minīn berbeda dari
66
kepemimpinan seorang raja. Kepemimpinan Amīr al-Mu'minīn
mensyaratkan ketakwaan, menjauhkan diri dari perbuatan dosa,
kuat tetapi sederhana dan berwibawa. Sedangkan
kepemimpinan raja umumnya berlaku sewenang-wenang,
bermewah-mewah dan bermegah-megah dengan kekuasaannya.
Menurutnya, kedua jenis kepemimpinan ini tidak dapat
disatukan, karena akan menimbulkan bencana. Ia menyaksikan
Utsman bin Affan, orang saleh dan taat beribadah tetapi rela
memberikan hadiah 200.000 dinar kepada Muawiyah,
mengizinkan para pembantunya memiliki tanah dan bangunan
mewah, berpakaian sutra, serta menikmati kemewahan lainnya.
Pada masa Abu Bakar dan Umar, hal-hal seperti itu jelas
terlarang, dan dibenci oleh Ali bin Abi Thalib.87
Pandangan Ali
yang seperti ini yang mempengaruhi langkah politiknya dan
tercermin dalam kebijaksanaannya yang tanpa kompromi
memberhentikan para pemimpin wilayah yang korup atau tidak
kompeten.
Setelah pembaiatan, Thalhah dan Zubair menemui Ali
dan memintanya agar menunjuk Thalhah sebagai penguasa
Basrah dan Zubair sebagai penguasa Kufah. Selaku penasihat
Ali, Mughirah bin Syu‗bah menganjurkan Ali agar
mengabulkan permintaan itu serta mengganti penguasa yang
diangkat Utsman, kecuali Muawiyah yang perlu tetap dibiarkan
sebagai penguasa Syria. Mughirah menganjurkan hal ini demi
menjaga situasi agar lebih stabil dan penggantian penguasa
daerah dilakukan setelah semua daerah menyatakan baiat
kepada Ali. Nasihat ini langsung Ali tolak, karena dianggap
mencari muka. Ali menekankan bahwa sesuai dengan tuntunan
Rasulullah SAW, jabatan tidak akan diberikan kepada mereka
yang memintanya atau yang berambisi meraihnya. Padahal,
saran yang sama datang pula dari dua penasihat lainnya, yaitu
Abdullah bin Abbas dan Zaid bin Handzalah al-Tamimi. Tetapi
Ali tetap menolak dengan mengatakan; ―Kalau saya akan
87
Muhammad Husain Haekal, Ali bin Abi Thalib, h. 325
67
mengangkat seseorang karena melihat untung-ruginya, tentu
saya sudah mengangkat Thalhah dan Zubair untuk Basrah dan
Kufah serta Muawiyah untuk Syam‖.88
Thalhah dan Zubair menjadi oposan yang keras di luar
Bani Umayyah setelah aspirasi mereka tidak dikabulkan Ali.
Kemudian mereka mendorong Aisyah binti Abu Bakar untuk
bergabung bersama mereka dalam barisan penentang Ali yang
"terpusat di Basrah. Sebelum Aisyah ke Basrah, Bani Tamim
pimpinan Ahnaf bin Qais mendukung Ali, meskipun tidak
semua anggota kabilah Tamim mendukungnya. Ketika Ali
memerangi Aisyah dalam Perang Jamal, sekitar 4.000 anggota
kabilah Tamim di Basrah, termasuk Ahnaf menyatakan
bersikap netral, sehingga mereka tidak terlibat perang itu.
Tetapi seusai perang yang menewaskan sekitar 10 000 orang
termasuk Thalhah dan Zubair itu, Ahnaf kembali mendukung
Ali. Adapun Bani Umayyah pimpinan Muawiyah bin Abi
Sufyan bin Harb di Syria jelas tidak bersedia mendukung Ali
sebelum menuntut hukuman terhadap pembunuh Utsman
terpenuhi, suatu tuntutan yang Muawiyah sendiri menyadari
tidak mungkin Ali penuhi. Muawiyah justru berusaha mengajak
sejumlah sahabat utama, seperti Abdullah bin Umar, untuk
mendukungnya, meskipun kemudian mereka menolak.89
Sementara itu, sejumlah sahabat utama seperti Saad bin
Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan
termasuk Abdullah bin Umar memilih bersikap netral, seolah-
olah kepemimpinan Ali di Madinah tidak begitu penting untuk
didukung, dan ketika Ali berangkat ke Basrah untuk
memadamkan pembangkangan Aisyah yang didukung Thalhah
dan Zubair, penguasa Kufah Abu Musa al-Asy‘ari menolak
memberi bantuan tentara yang Ali minta. Ali pun memecat Abu
Musa dan menggantinya dengan Qaranzah bin Kaab al-Anshari.
Setelah pemecatan itu, Abu Musa pergi ke Makkah dan
bersikap netral, tidak lagi mendukung kepemimpinan Ali,
88
Muhammad Husain Haekal, Ali bin Abi Thalib h. 237-239 89
Muhammad Husain Haekal, Ali bin Abi Thalib, h. 237-240
68
meskipun seusai perang ia kembali mendukung Ali seperti
Ahnaf bin Qais.90
Di sisi lain, Mu‘awiyah, gubernur Syam tidak mau
membaiat Ali dan melakukan pemberontakan menuntut pihak
yang harus bertanggungjawab atas kematian Usman. Setelah
peristiwa tahkim pada Perang Shiffin, Mu‘awiyah memojokkan
Ali dan menobatkan dirinya sebagai Khalifah. Kemudian para
pengikut Ali bukanlah sosok manusia yang terus berdiri sebagai
pembantu Ali yang senentiasa siap berjuang bersamanya.
Bahkan diantara mereka ada yang menjadi pembangkang nomor
satu dan menjadikan Ali sebagai target pembunuhan. Mereka
adalah kelompok Khawarij yang mengatakan Ali, ‗Amr bin
Ash, dan Mu‘awiyah adalah manusia-manusia jahat yang harus
dihabisi. Akhirnya Ali dibunuh oleh Abdur Rahman bin
Muljam, salah seorang Khawarij.91
6. Penunjukan Hasan bin Ali bin Abi Thalib
Setelah Ali bin Abi Thalib wafat pada tahun 661 M,
kabilah-kabilah Arab non-Quraisy di Kufah berusaha
menokohkan Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah
baru. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kekhalifahan
Hasan, sebagian berpendapat bahwa kekhalifahan Hasan tidak
masuk dalam kategori Khulafa‟ Rasyidin, dan tidak masuk pula
dalam era dinasti. Namun sebagian berpendapat bahwa enam
bulan kekhalifahan Hasan masuk dalam kategori Khulafa‟
Rasyidin karena beliau didukung oleh para Muhajirin dan
Anshar yang masih hidup dan penduduk Irak.92
90
Muhammad Husain Haekal, Ali bin Abi Thalib, h. 261-264 91
Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa‟, h. xii 92
Selain itu terdapat hadist bahwa Rasulullah pernah bersabda :
“Kekhalifahan setelahku (akan berlangsung) 30 tahun”. Jumlah 30 tahun ini
hanya akan genap apabila masa enam bulan kekhalifahan Hasan dimasukkan
dalam periode Khulafa‘ Rasyidin. Lihat Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik
Islam: Sebuah Pengantar, Penerjemah. Musa Mouzawir (Jakarta: Nur Al-
Huda, 2014), h. 259-260.
69
Di dalam tahun yang sama, setelah menduduki jabatan
khalifah selama tiga bulan, Hasan dengan sukarela meletakkan
jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada Muawiyah bin
Abi Sofyan dan mengakui kekuasaannya. Ketika sikapnya
dikecam oleh para pendukungnya, Hasan memberikan jawaban
yang sangat terkenal, : ―Saya tidak nyaman melihat kalian
terbunuh karena perebutan kekuasaan. Inti kekuatan bangsa
Arab di tanganku saat ini. Mereka akan rela damai jika aku
ingin damai dan aku rela perang jika aku haus perang. Tetapi
hal terakhir itu aku singkirkan oleh karena kasih-sayang akan
darah umat Islam‖.93
7. Periode Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Imam
Syiah
Pada periode ini sistem pengangkatan khalifahan
berubah bentuk menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun-
temurun), yang diperoleh tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak seperti pada periode Khulafaur Rasyidin. Pergantian
khalifah secara turun temurun dimulai dari sikap Mu‘awiyah
yang mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota.
Sikap Mu‘awiyah seperti ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria
selama dia menjadi Gubernur di sana. Dia memang bermaksud
mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran
Byzantium.
Hal serupa juga dilakukan oleh as-Saffah dikenal
dengan sebutan Abu al-Abbas, Abdullah bin Muhammad bin
Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hisyam,
khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Dia meninggal pada tahun
136 H. Sebelum meninggal dia telah mengangkat adiknya, al-
Mansur Abu Ja‘far Abdullah untuk menggantikan dirinya
setelah kematian. Kemudian al-Mansur mengangkat putranya
93
Serah-terima kekuasaan tersebut terjadi di Kufah dan terkenal
dengan Tahun Persatuan (‗Ām al-Jamā‘ah). Lihat Joesoef Sou‘yb, Sejarah
Daulah Umayyah I di Damaskus (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, tth), h.
15-16
70
al-Mahdi. Kemudian al-Mahdi mempersiapkan dua putranya,
al-Hadi dan Harun al-Rasyid, untuk bergiliran menggantikan
kekuasaannya. Seperti itu seterusnya pergantian khalifah secara
turun temurun dilakukan.
Berbeda dengan pengangkatan imam-imam Syiah, Sa‘id
Akhtar Razawi menjelaskan, pengangkatan imam-imam Syiah
dilakukan oleh Allah sama seperti pengangkatan para Nabi.
Imamah bukanlah sebuah pekerjaan yang diminta, tapi sebuah
penunjukan yang dianugrahkan oleh Allah. Allah yang berhak
untuk memilih pengganti Nabi dan umat tidak memiliki pilihan,
intervensi dalam hal ini dan kewajibannya hanya mengikuti
titah Ilahi yang telah menunjuk seorang imam atau khalifah
baginya. Allah berfirman: ―... Sesungguhnya Aku ingin
menjadikan engkau sebagai seorang Imam bagi seluruh umat
manusia ...‖ (QS. al-Baqarah: 124). Ayat ini menunjukkan
bahwa status imamah adalah pengangkatan Ilahi, di luar urusan
umat.94
1) Dinasti Umayyah
Fondasi kekuasaan Bani Umayyah mulai terbentuk sejak
Khaliah Umar mengangkat Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai
gubernur Syam, namun mereka baru menjalani kekuasaan itu
secara resmi pasca perjanjian damai antara Hasan dan
Mu‘awiyah. Dinasti ini memusatkan pemerintahannya di
Damaskus selama 91 tahun dan diperintah oleh 14 orang
khalifah. Kekhalifahan mereka berakhir dengan terbunuhnya
Marwan bin Muhammad yang terkenal dengan sebutan Marwan
al-Himar pada tahun 132 H.
Di tangan dinasti Umayyah kekhalifahan menjadi sangat
kontras dengan performa kekhalifahan sebelumnya, baik dari
segi pola pencapaian kekuasaan maupun dari seginya terhadap
rakyat. Tindakan pertama yang mereka lakukan adalah
memanipulasi makna kekhalifahan dan mengubahnya menjadi
94
Sa‘id Akhtar Razawi, Imamah; Khalifah Rasulullah SAW terj. A.
Kamil (Jakarta: Yayasan Putra Ka‘bah, 2009), h. 14-15
71
kerajaan yang feodalistik. Kekuasaan dan pemerintahan
difokuskan pada Mu‘awiyah dan anak keturunannya. Karena
itu, sistem politik di era Bani Umayyah bukan saja kehilangan
corak keagamaannya, tapi bahkan jauh dari standar kerakyatan
dan legitimasi politik yang populer.95
Pada masa pemerintahan Yazid bin Mu‘awiyah, Husein
cucu Rasulullah dibantai secara ganas oleh Ziyad seorang
―tangan kanan‖ Yazid bin Mu‘awiyah yang paling biadab di
Padang Karbala. Setelah kepala Husein dan saudara-saudaranya
dikirimkan kepada Yazid, dia merasa senang. Namun kemudian
dia menyesalkan tindakannya karena kaum muslim sangat
membenci terhadap apa yang dia lakukan.96
Peristiwa ini
menjadi sumbu penyulut yang siap meledak dimana saja antara
kaum Sunni dan Syiah hingga saat ini.
Pada masa Mu‘awiyah mulai diadakan perubahan-
perubahan administrasi pemerintahan, dibentuk pasukan
bertombak pengawal raja, dan dibangun bagian khusus di
masjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan shalat.
Muawiyah juga memperkenalkan materai resmi untuk
pengiriman memorandum yang berasal dari khalifah.
Mu‘awiyalah yang pertama-tama mendirikan balai-balai
pendaftaran dan menaruh perhatian atas jawatan pos, yang tidak
lama kemudian berkembang menjadi suatu susunan teratur yang
menghubungkan berbagai bagian negara.97
Pada masa dinasti ini dibentuk semacam Dewan
Sekretaris Negara (Diwan al-Kitabah) untuk mengurus berbagai
urusan pemerintahan, yang terdiri dari lima orang sekretaris
yaitu: Kātib ar-Rasāil, Kātib al-Kharraj, Kātibal-Jund, Kātib
asy-Syurthah dan Kātib al-Qādhi. Untuk mengurusi
administrasi pemerintahan di daerah, diangkat seorang Amīr al-
95
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar,
Penerjemah. Musa Mouzawir (Jakarta: Nur Al-Huda, 2014), h. 262 96
Imam as-Suyuthi, Tarik h Khulafa‟, h. 247 97
Philip K. Hitti, Duia Arab, terj. Ushuluddin Hutagulung dan
O.D.P. Sihombing (Bandung: Sumur Bandung, t.t) h. 80
72
Umarā (Gubernur Jendral) yang membawahi beberapa Amīr
sebagai penguasa satu wilayah.98
2) Dinasti Abbasiyah
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata: ―Awal mula kekhalifah-
an Bani Abbas adalah bahwa Rasulullah memberitahukan
kepada Abbas, pamannya, bahwa khalifah akan ada di tangan
anak cucunya. Sejak itulah Bani Abbas membayangkan
datangnya khilafah tersebut. Al-Maidani meriwayatkan dari
banyak perawi bahwa Muhammad bin Ali bin Abdullah bin
Abbas berkata :‖Kita memiliki tiga waktu yang sangat istimewa
yaitu: Matinya Yazid bin Mu‘awiyah, ujung seratus tahun dan
huru-hara di Afrika. Pada saat itulah manusia menyeru kami
berkuasa. Kemudian datang para pendukung kami dari arah
timur hingga kuda-kuda mereka menyerbu wilayah-wilayah
barat.99
Berdirinya dinasti Abbasiyah diawali dengan gerakan
revolusi yang dipelopori oleh keturunan Abbas dan berhasil
mendapat dukungan massa. Karena banyak sekelompok umat
yang sudah tidak mendukung kekuasaan imperium Bani
Umayyah yang korup, sekuler dan memihak sebagian
kelompok. Kelompok Syiah sejak awal berdirinya Dinasti Bani
Umayyah telah memberontak karena merasa hak mereka
terhadap kekuasaan dirampok oleh Mu‘awiyah dan
keturunannya. Kelompok Khawarij juga merasa bahwa hak
politik umat tidak boleh dimonopoli oleh keturunan tertentu
tetapi merupakan hak setiap Muslim. Mereka merasa Bani
Umayyah menjalankan kekuasaannya secara sekuler.
Kelompok lain yang sangat membenci kekuasaan Bani
Umayyah adalah mawali, yaitu orang-orang non-Arab yang
baru masuk Islam, mereka yang kebanyakan berasal dari Persia
merasa diperlakukan setara dengan orang-orang Arab karena
98
A. Hasimy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), h. 151 99
Imam as-Suyuthi, Tarik h Khulafa‟, h. 307-308
73
mendapat beban pajak yang sangat tinggi. Kelompok-kelompok
inilah yang telah mendukung revolusi Abbasiyah untuk
menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah.100
Abu al-Abbas menggerakan revolusi dengan
mempropoganda banyak orang dengan nuasa keagamaan.
Menurutnya menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah
diperintahkan agama karena komitmen mereka dalam
menegakkan syariat Islam sangat rendah. Bani Abbas
meyakinkan para pendukungnya bahwa Bani Umayyah tidak
memerintah umat berdasarkan ajaran Rasulullah. Karena itu,
memberontak terhadap kekuasaan Bani Umayyah merupakan
kewajiban setiap umat. Abbasiyah juga meyakinkan umat untuk
mengembalikan kekuasaan ke keluarga Rasulullah yakni
pamannya Abbas sebagai pewaris sah tahta Islam.
Gerakan revolusi ini sukses berkat organisasi tentara
yang dipersenjatai dan diorganisir dengan baik. Abu Muslim al-
Khurasani dapat mempersatukan dan memimpin pasukan yang
terdiri dari orang Arab dan non-Arab yang diperlakukan secara
setara. Dialah yang memulai pemberontakan terbuka terhadap
pemerintahan Bani Umayyah pada tahun 747 M. Wilayah
imperium Umayyah yang pertama kali ditaklukan adalah
wilayah Khurasan. Kemudian wilayah ini menjadi basis
kekuatan untuk menaklukan wilayah-wilayah lain disekitarnya.
Hingga akhirnya pada tahun 132 H/ 750 M jantung kekuasaan
Umayyah di Damaskus dapat ditaklukan dan membunuh
khalifah terkahir Marwan bin Muhammad.
Dengan runtuhnya kekuatan Bani Umayyah, Bani
Abbasiyah memimpin umat Islam dengan format dan ideologi
baru. Khalifah Abbasiyah menganggap kekuasaannya dari
Tuhan dan menjadi penuntun sebenarnya bagi masyarakat
Muslim. Gelar al-Mansur, al-Mahdi, al-Hadi, dan ar-Rasyid
mengindikasikan bahwa mereka mengklaim diri mendapat
tuntunan Tuhan di jalan yang lurus untuk membawa pencerahan
100
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, h. 98
74
dan mengembalikan umat Islam ke jalan yang benar. Para
khalifah juga pelindung para ulama dan ilmuwan.101
Ketika masa kemunduran dinasti Abbasiyah dan
sebelumnya, mulai bermunculan dinasti-dinasti di dunia Islam
yang menggambarkan mulai hilangnya persatuan dunia Islam
dalam bidang politik. Seperti di Mesir terdapat dinasti Ikhsyid
(935-965 M), dilanjutkan dengan dinasti Fathimiyah (961-1171
M), di Mosul (929-991 M) dan Aleppo (944-967 M) oleh kaum
Hamadān, di Iran dinasti Sāmān (874-999 M) berkuasa di
samping Bani Buwaih. Setelah runtuhnya dinasti Abbasiyah
pada tahun 1258 M oleh serangan pasukan Mongol, terpecah-
belahnya politik Islam semakin masif dan bermunculan
kerajaan-kerajaan Islam. Tiga kerajaan besar yang bersinar
diantaranya, Turki Usmani (1258-1923 M) di Turki, Mughal
(932-1526) di India, dan Safawiyah (1501-1732 M) di Iran.
Pada akhir abad ke-18 Imperialisme Barat menjadi
kekuatan terkemuka diebagian wilayah Islam, seperti Prancis
(1798) memulai ekspedisi ke Mesir dan wilayah-wilayah Afrika
Utara, Inggris (1818-1942) di wilayah India, Portugis (1482),
Belanda (abad ke-17), Inggris, dan Prancis (Abad ke-18)
menguasai Afrika sub-Sahara (kecuali Afrika bagian utara dan
Mesir). Setelah itu, terjadi gerakan-gerakan kebangkitan
nasionalisme untuk melepaskan diri dari penjajahan Barat dan
merdeka membentuk negara republik yang mandiri.
3) Sistem Imamah Syiah
Ali Asgar Nusrati menjelaskan, imamah adalah sebuah
pemerintahan dan kepemimpinan politik yang berporoskan
otoritas Imam Maksum atau penggantinya. Karakterisktik
Sistem imamah antara lain ialah; pertama, pemimpin diangkat
oleh Allah; kedua, domain otoritas dan kepemimpinannya tidak
terbatas hanya pada persoalan sosial dan politik, melainkan
meliputi semua bidang kehidupan manusia. Dalam konsep
101
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, h. 99-100
75
imamah, harus ada ikatan emosional atau hubungan batin yang
kuat antara imam dan umat. Seorang Imam bukan sekedar
pemimpin politik melainkan juga berperan sebagai akar
kecintaan umat dan berwenang atas kalbu dan jiwa mereka. Hak
dan kewajiban timbal balik yang terkonsep dalam sistem
imamah mencerminkan besarnya peranan rakyat dalam sistem
ini, lebih lanjut sistem imamah terdiri dalam tiga periode; era
kehadiran, kegaiban dan kemunculan.102
a. Era Kehadiran
Ali Asgar Nusrati menjelaskan, era kehadiran adalah era
dimana para 12 Imam Maksum Syiah hadir di tengah umat.
Mereka menjelaskan prinsip-prinsip umum pembimbingan
umat. Sebagian besar Imam Maksum tidak mendapat
kesempatan untuk mendirikan pemerintahan, sehingga sistem
imamah hanya berlangsung singkat. Namun, pola yang terlihat
di era pemerintahan singkat imam Ali dan Imam Hasan cukup
menjadi pelita yang terang selamanya bagi setiap pemimpin
dalam mengelola umat.103
Sepeninggalan Imam Hasan, selama lebih dari dua abad
para Imam Maksum bertujuan dalam satu tekad melawan para
tagut, menyebarkan hukum-hukum Islam, melestarikan nilai-
nilai luhur Islam, dan melanjutkan garis kepemimpinan Ilahiah
di tengah bentangan sejarah dari masa ke masa dengan segala
keadaan dan situasinya. Dalam konteks ini, Imam Husein dan
para pengikut setianya berjuang dengan darahnya di sahara
Karbala menteror pilar-pilar kezaliman dan ketidakadilan104
Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad tampil sebagai
penebar pesan para syuhada Karbala. Ia memompa spirit
ubudiah dan maknawiah di tengah umat dan mengukuhkan
landasan-landasan moral kaum Syiah. Imam Muhammad Baqir
dan Imam Ja‘far Shadiq melakukan gerakan masif di bidang
102
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 267-268 103
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 268 104
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 275
76
pendidikan dan kebudayaan hingga berhasil mencetak banyak
ilmuwan Islam dan menyebarkan ajaran Ahlulbait. Sedangkan
di zaman Imam Musa Kazhim dan Imam Ali Ridha kaum Syiah
kembali muncul sebagai gerakan yang cukup kuat dan
diperhitungkan di gelanggang politik. Sehingga para penguasa
Tiran saat itu terpaksa mengambil sikap tersendiri terhadap
kaum Syiah.
Periode Imam Muhammad Jawad kematangan kaum
Syiah mencapai titik pelaksanaan hukum khumus, zakat dan
lain-lain membuat bidang perekonomian mereka bisa berjalan
sepenuhnya dengan urusan imamah. Dukungan dan loyalitas
mereka kepada kepemimpinan politik Imam Maksum berjalan
semakin intensif. Selanjutnya periode Imam Ali Hadi dan Imam
Hasan Askari dengan strategi dan pembinaan-pembinaannya
terus bergerak menambah kematangan budaya dan politik kaum
Syiah. Serta memupuk keteguhan iman dan keyakinan mereka
dalam menyongsong era kegaiban Imam Maksum Muhammad
al-Mahdi.105
b. Era Kegaiban
Pasca kesyahidan Imam Hasan Askari dan mulainya era
kegaiban kecil, masalah imamah dan kepemimpinan atas umat
menemukan pola baru empat figur non-maksum melanjutkan
garis imamah dengan status sebagai wakil khusus Imam
Muhammad al-Mahdi, Imam Kedua Belas. Pada periode ini
kaum Syiah mengenyam pengalaman baru yang mengharuskan
mereka merujuk kepada para wakil tersebut dalam segala
urusan sosial dan keagamaan. Era kegaiban kecil pada
hakikatnya merupakan satu periode khusus untuk kelangsungan
proses transisi dari kepemimpinan langsung para Imam
Maksum menuju kepemimpinan tidak langsung mereka. Segala
urusan akan dilimpahkan kepada para fakih, ulama, atau para
ahli negara.
105
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 275-277
77
Dengan berakhirnya era kegaiban kecil, sistem Imamah
bermanifestasi dalam bentuk ―Wilāyah al-Fāqih”. Seorang wali
fakih berkedudukan sebagai pengganti Imam Maksum,
bertanggung jawab mengelola masyarakat dan berusaha
memecahkan setiap problem umat. Sebaliknya, umat pun harus
mengikuti perintah dan petunjuk wali fakih sebagaimana
mereka taat kepada Imam Maksum. Umat harus kooperatif
dengan wali fakih demi menyukseskan cita-cita suci Islam.106
c. Era Kemunculan
Era ini adalah masa kedatangan Imam Mahdi di akhir
zaman. Beliau akan memerintah bumi seperti yang dijanjikan
Allah kepada kaum mukminin sebagai akhir penuntasan konflik
antara hak dan batil. Struktur pemerintahan Imam Mahdi terdiri
atas para nabi, para pengganti nabi, orang-orang bertakwa
terdahulu, termasuk para sahabat terkemuka Rasulullah SAW
yang dibangkitkan lagi di dunia. Orang-orang yang dijelaskan
identitasnya diantara mereka dalam riwayat antara lain ialah;
Nabi Isa As, tujuh orang Ashabul Kahfi, Yusya‘ (washi Nabi
Musa As), seorang mukmin dari kalangan Fir‘aun, Salman al-
Farisi, Abu Dujanah al-Ansari, Malik Asytar, dan Kabilah
Hamadan.107
Imam Mahdi memimpin dalam waktu singkat dan dapat
mengatasi semua kesulitan, menumbuhkan harapan dalam jiwa,
memadamkan api peperangan dan menegakkan keamanan
dalam kehidupan. Dunia akan steril dari keberadaan rezim-
rezim korup dan zalim108
. Rasulullah SAW bersabda: ―Aku
kabarkan kepada kalian perihal Mahdi, seorang kesatria
berdarah Quraisy, yang kekhalifahan dan pemerintahannya akan
menggembirakan penduduk langit dan bumi.”109
106
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 277 107
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 278-280 108
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 279-282 109
Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihār al-Anwār (Beirut: Dārul al-
Ihya‘ al-Turāts, t.t.) Juz. 52, h.362
78
8. Kebangkitan Nasionalisme dan Wilāyah al-Fāqih di
Iran
Menurut Nourouzzaman Shiddiqi, sejarah umat Islam
dibagi dalam tiga periode. Periode pertama adalah periode
klasik yang dimulai sejak lahirnya Islam sampai runtuhnya
dinasti Abbasiyah pada tahun 1258 M. Ciri periode ini adalah
seluruh wilayah negara diperintah oleh seorang khalifah baik
yang mempunyai wewenang dan kedudukan maupun yang
hanya sekedar simbol saja. Kedua adalah periode pertengahan
yang dimulai dari runtuhnya dinasti Abbasiyah hingga
penghujung abad ke-18. Periode ketiga adalah periode Modern,
periode ini diwarnai oleh kebangkitan nasionalisme dari
cengkraman kuku penjajahan Barat yang berakhir sampai
perang dunia kedua.110
Pada periode modern, sistem pemerintahan berbentuk
republik. Kepala negara dipilih untuk waktu tertentu, tunduk
kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh
parlemen. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem
pemerintahan raja-raja absolut Islam yang tetap menjadi raja
selama masih hidup dan kemudian digantikan oleh anaknya
serta tidak tunduk pada konstitusi. Pada abad ke-20 istilah
republik muncul terjemahannya yaitu Jumhuriyyah yang
memiliki arti orang banyak.
Pada tahun 1925 Reza Khan, seorang panglima militer,
mengangkat dirinya sebagai Shah Iran, pendiri kerajaan
konstitusional sekaligus pendiri dinasti Pahlevi, yang
berlangsung hingga tahun 1979. Pahlevi menggalakkan
pembangunan negara sekuler dan rezim nasionalis yang
memusat serta modernisasi ala barat. Dia memprakarsai
sejumlah proyek industri yang tidak lepas dari cengkraman
Inggris dan Rusia. Dia memberlakukan wajib militer. Dengan
dukungan pasukan militer, Pahlevi mengatasi oposisi elite
110
Nourouzzaman Shiddiqi, Sejarah Modern, Mesir, Syiria, Afrika
Utara dan Arabia (Yogyakarta: Matahari Masa, 1980), h. 1
79
agama, pedagang dan elite kesukuan, bahkan menghapus
pengaruh ulama serta menggiring mereka ke bawah kontrol
negara.111
Sementara itu, terjadi gerakan reformasi keagamaan
sebagai perlawanan ulama terhadap negara. Ulama menuntut
keterlibatannya dalam kegiatan politik secara aktif. Menurut
mereka ulama tidak pantas lagi menanti secara pasif
kembalinya sang Imam, melainkan harus aktif mempersiapkan
segala sesuatu yang dibutuhkannya. Antara tahun 1967-1973
gerakan reformasi ini di bawah kepemimpinan Ali Shari‘ati,
mendirikan Yayasan Husainiyah Irsyad untuk merivitalisasi
Syi‘isme dan melahirkan komitmen untuk menggulingkan
pemerintahan yang zalim. Akhirnya pada tahun 1979, Revolusi
Islam di Iran berhasil menggulingkan rezim Pahlevi di bawah
pimpinan Ayatullah Khomeini.112
Sejak berdirinya Republik
Islam Iran pelimpahan kepemimpinan politik kepada wali fakih
meliputi semua bidang tanpa batas. Pola politik yang demikian
disebut dengan Wilayah al-Faqih.
Ayatullah Jawadi Amuli menjelaskan dalam kitabnya
Wilayat-e Faqih wa Wilyat-e Faqahat wa Edalat, yang dikutip
oleh Ali Nusrati, fakih yang dimaksud dalam diskursus Wilayah
al-Faqih ialah mujtahid yang memenuhi syarat, bukan
sembarangan orang yang sudah belajar fikih. Fakih yang
memenuhi syarat harus memiliki tiga karakteristik, yakni,
―ijtihad mutlak‖, ―adil‖, serta ―kecakapan manajerial dan
kemampuan memimpin‖. Pertama, dia harus memiliki
pengetahuan yang mendalam, argumentatif dan berdasar
istinbāt tentang Islam; kedua, dia juga harus mengindahkan
semua ketentuan dan hukum Allah; ketiga, dia juga harus
seorang negarawan.113
Ayatullah Khomaini melanjutkan, orang yang lebih
tinggi ilmunya dalam disiplin-disiplin ilmu hauzah namun tidak
111
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, h.292-293 112
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, h.293-294 113
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 292
80
dapat mendeteksi maslahat rakyat atau tidak bisa menyeleksi
orang yang layak dan berguna, atau secara umum tidak
memiliki pengetahuan yang shahih dan tidak dapat mengambil
keputusan, maka dalam isu-isu sosial dan pemerintahan dia
bukanlah seorang mujtahid dan tidak dapat memegang kendali
urusan publik. Mirza Shirazi menambahkan, kepemimpinanan
dan marjaiyah memerlukan 100 syarat satu diantaranya adalah
ilmu, serta keadilan dan ketakwaan, sedangkan 98 persennya
adalah kecakapan manajerial114
Ayatullah Khu‘i menjelaskan dalam kitab al-Tanqih;
Ijtihād wa Taqlīd yang dikutip oleh Ali Nusrati, Wilayah al-
Faqih bukanlah sebuah jabatan, melainkan penanganan urusan
publik, khususnya berkenaan dengan penerapan hukum Islam
terkait ketertiban dan keamanan, sebagai kewajiban seorang
fakih yang memenuhi syarat. Hal ini adalah Wajib Kifa‟i jika
kewajiban ini ditunaikan seorang yang memang layak
menerapkan hukum Allah Swt. maka kewajiban ini gugur bagi
yang lain. Sedangkan, jika tidak ada orang yang
menunaikannya maka semua fakih yang ada harus bertanggung
jawab dan akan mendapat hukuman dari Allah Swt.
Sedangkan Syekh Muhammad Hasan Najafi dalam kitab
jawāhir al-Kalām dan Ayatullah Khomeini Hukumat-e Islami,
menyebutkan bahwa Wilayah al-Faqih bukan berada dalam
kategori kewajiban, melainkan sebuah kedudukan atau jabatan
syar‟i dan bagian dari hukum wadh‟i. Apabila seorang fakih
yang memenuhi syarat telah menjalankan Wilayah al-Faqih
maka para fakih harus mengikutinya dalam semua urusan
publik dan tidak ada kewajiban terpisah untuk mendirikan
pemerintahan Islam.115
Semua ulama dan pemikir Islam Syiah menilai, melek
sosial dan politik sebagai bagian dari syarat utama kefakihan.
Dengan demikian Wilayah al-Faqih adalah otoritas seorang
114
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 290-291 115
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 281
81
fakih yang memenuhi syarat atas masyarakat Islam serta
kepemimpinan dalam semua urusan publik.
82
83
BAB III
ANALISA PENAFSIRAN AHLUSUNAH DAN SYIAH
TERHADAP AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG
KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH
Perbedaan pandangan antara Ahlusunah dan Syiah yang
berkepanjangan sesungguhnya dipicu oleh perdebatan mengenai
siapa yang berhak memegang tampuk kepemimpinan yang sah
pasca Nabi Muhammad SAW, “Apakah Abu Bakar ataukah Ali
bin Abi Thalib yang mestinya menggantikan posisi Nabi?”. Hal
ini menjadi persoalan mendasar dalam tubuh umat Islam.
Pernyataan itu sebenarnya dipicu oleh problem utama
“Siapakah sebenarnya yang lebih utama, Abu Bakar atau Ali
bin Abi Thalib?”. Perdebatan mengenai hal ini bukan saja
terjadi antara Ahlusunah dan Syiah, tetapi juga di kalangan
Mu‟tazilah.
Ahmad Amin menjelaskan, kalangan Mu‟tazilah Basrah
seperti „Amr bin „Ubaid, Ibrahim al-Nizham, al-Jahizh dan
Samamah bin al-Asyras menilai bahwa Abu Bakar lebih utama
dibanding Ali. Sebaliknya, kalangan Mu‟tazilah Baghdad
seperti Bisyr bin Mu‟tamir, Abu Ja‟far al-Iskafi, Abu al-Husain
al-Khayat dan al-Jubbai menilai bahwa Ali lebih utama
dibanding Abu Bakar. Pusat perdebatan antara keduanya lebih
banyak bersumber pada keislaman siapa yang lebih baik.
Kendati demikian, kalangan Mu‟tazilah tetap sepakat bahwa
kepemimpinan Abu Bakar adalah kepemimpinan yang sah.1
Berbeda dengan itu, perdebatan antara Ahlusunah dan Syiah
terus berlanjut. Hal ini terjadi karena masing-masing memiliki
cara pandang dan kriteria sendiri yang tidak bisa didamaikan,
sehingga sosok yang didukung dinilai lebih utama dibanding
yang lain.
Cara pandang dan kriteria pemimpin setiap kelompok
tersebut disandarkan kepada nash al-Quran dan ditafsirkan
1 Ahmad Amin, Zhuhr al-Islam (Beirut: ttp, 1969) h. 26-27
84
sesuai ideologi kelompok. Karena cara pandang dan kriterianya
berbeda, maka ayat-ayat al-Quran yang disandarkan pun
berbeda. Ahlusunah merumuskan konsep kepemimpinan
berdasarkan perspektif al-Quran seputar sistem pemilihan dan
syarat-sayat seorang pemimpin. Sedangkan Syiah secara
spesifik merumuskan Ali dan keturunannya sebagai pemimpin
sesuai perspektif al-Quran.
Dalam sub-pembahasan ini, penulis menelusuri kitab-
kitab tafsir mengenai ayat-ayat kepemimpinan dalam al-Quran.
Penulis meneliti term-term pengungkapan kepemimpinan dalam
al-Quran, baik yang secara langsung menunjuk kepada term
pemimpin, ataupun term yang menunjuk kepada unsur
kepemimpinan secara global.2 Adapun kitab-kitab tafsir
golongan Ahlusunah yang dijadikan sumber primer, yaitu Tafsīr
al-Kabir/Mafâtih al-Ghaib karya Abu Abdillah, Muhammad
bin Umar, Fakhruddiin al-Razi, Tafsīr al-Munir fī al-„Aqīdah
wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj karya Wahbah bin Mushthafa az-
Zuhaili dan Tafsīr fi Zhilâl al-Quran karya Sayyid Quthb.
Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap kitab-kitab
tafsir di atas, penulis menemukan ayat-ayat yang menjadi
perhatian khusus dalam menjelaskan kepemimpinan. Adapun
ayat-ayat tersebut antara lain antara lain:
A. QS. Ali Imran/3 : 159 dan QS. asy-Syura/42 : 38
Dalam penafsiran kedua ayat ini, penulis memfokuskan
kepada pembahasan musyawarah. Musyawarah merupakan
unsur penting dalam kepemimpinan, baik kepemimpinan dalam
skop kecil seperti rumah tangga, ataupun skop besar seperti
negara. Seperti halnya kepemimpinan Rasulullah dalam
masyarakat Islam yang dihiasi dengan musyawarah. Oleh sebab
itu, sifat musyawarah merupakan sifat yang wajib dimiliki
2 Term pemimpin : imām, wali, uli al-amr, khalīfah, mālik dan
sulthān. Term unsur kepemimpinan : syūrā, amānah, „adl, amr bi al-ma‟rūf
wa nahy „an al-munkār, dan al-tablīg.
85
seorang mukmin dari sekian sifat keteladanan Rasulullah dan
menjadi karakteristik masyarakat Islam. Allah SWT berfirman
QS. Asy-syūra/42: 38 :
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan
kepada mereka.”
Dalam Tafsir al-Munir Wahbah al-Zuhalili menjelaskan,
bahwa musyawarah adalah sifat bawaan kaum Mukminin.
Mereka saling bermusyawarah menyangkut berbagi urusan
khusus maupun umum. Rasulullah adalah orang yang paling
banyak bermusyawarah dengan para sahabat beliau. Jejak
langkah ini juga dicontoh oleh para sahabat menyangkut
urusan-urusan besar dan krusial seperti pengangkatan khalifah3,
kebijakan memerangi kaum murtad, dan menggali hukum-
hukum syari‟at menyangkut berbagai permasalahan dan
kejadian yang belum pernah ada sebelumnya.4
Adapun al-Razi dalam Tafsīr al-Kabīr menegaskan,
ketika orang-orang yang beriman menghadapi suatu perkara,
3 Ibnu al-Arabi juga berpendapat bahwa perkara pertama yang
dimusyawarahkan oleh para sahabat sepeninggalan Rasulullah SAW adalah
khilafah. Sebab beliau tidak memberikan penjelasan secara tegas terkait hal
tersebut, sehingga terjadi perselisihan antara kaum Muhajirin dengan
Anshar. Lihat Abu Bakar bin al-Arabi al-Maliki, ahkâm al-Quran (Beirut:
Dār al-Kutub al-Ilmiyyah), Jilid 1 h. 389 4 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, dan
Manhaj. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2013),
Jilid 13 h. 96
86
kemudian mereka berkumpul dan melakukan musyawarah,
maka Allah hadir kepada mereka memberikan solusi. al-Razi
menukil dari al-Hasan, ia berkata : “Tidaklah suatu kaum yang
bermusyawarah kecuali Allah memberi petunjuk dan benar-
benar membimbing perkara mereka.” Kata syurā dalam ayat ini
bentuknya masdar yang bermakna bertukar pikiran atau
bermusyawarah (al-tasyāwur). Firman Allah wa amruhum
syurā bainahum bermakna ahli musyawarah (dzū syurā).5
Sayyid Quthb menjelaskan, kegiatan musyawarah dalam
ayat ini diikuti dengan pendirian salat. Salat merupakan
komunikasi antara hamba dan Allah. Salat merupakan
fenomena kesetaraan hamba dalam satu barisan, dalam ruku dan
sujud. Mungkin karena aspek kesetaraan itulah, maka sifat salat
diikuti dengan sifat bermusyawarah. Ayat ini menegaskan
bahwa seluruh persoalan mereka diputuskan dengan
musyawarah supaya seluruh kehidupan diwarnai sifat ini. Ayat
ini merupakan ayat Makkiyah yang diturunkan sebelum
berdirinya pemerintahan Islam. Dengan demikian, sifat ini lebih
melingkupi masyarakat muslim daripada sekedar melingkupi
pemerintahan. Ia merupakan karakter masyarakat Islam.
Kenyataannya dalam Islam, pemerintahan itu tiada lain kecuali
pemunculan tabiat masyarakat dan karakteristik individunya.
Musyawarah merupakan sifat yang harus dimiliki dari sekian
sifat keteladanan Rasulullah.6
Allah SWT memerintahkan Rasulullah untuk bermusya-
warah dengan para sahabatnya, sebagaimana termaktub dalam
QS. Ali Imran/3: 159:
5 Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-
Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikri, 1981), Jilid 12, h. 178 6 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran; Di Bawah Naungan al-
Quran, Penerjemah As‟ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Jilid 19
h. 329
87
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”7
7 Persesuaian ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya tampak jelas. Ayat
ini masih membahas tentang perang Uhud serta berbagai dampak dan
pengaruh yang ditimbulkannya. Setelah Allah SWT mengampuni kesalahan
kaum Mukminin pada perang Uhud, memperingatkan mereka agar jangan
sampai terpengaruh dan terbujuk oleh perkataan-perkataan kaum munafik.
Selanjutnya Rasulullah SAW memaafkan kesalahan mereka yang telah
menyebabkan beliau merasa sedih dan sikap mereka yang membuat beliau
bersedih menjadi sebab luka dan kesedihan yang menimpa mereka.
Rasulullah tetap berbicara dan memperlakukan mereka dengan baik, ramah
dan lembut. Bahkan beliau mengajak mereka bermusyawarah membicarakan
tentang hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang. Lihat Wahbah al-
Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, dan Manhaj, Jilid 2, h. 475
Sayyid Quthb menambahkan, firman ini ditunjukan kepada
Rasullah SAW untuk menenangkan hati beliau, dan ditujukan kepada kaum
muslimin untuk menyadarkan mereka terhadap nikmat Allah atas mereka.
Hal ini dimaksudkan untuk memfokuskan perhatian kepada rahmat yang
tersimpan di dalam hati beliau sehingga bekas-bekasnya dapat mengungguli
tindakan mereka terhadap beliau dan mereka dapat merasakan hakikat
nikmat Ilahi yang berupa nabi yang penyayang. Kemudian diserunya
mereka, dimaafkannya kesalahan mereka, dan dimintakannya ampunan
88
Sayyid Quthb menegaskan dalam kitab tafsirnya,
dengan nash yang tegas ini “dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu,” Islam menetapkan perinsip ini
dalam sistem pemerintahan hingga Rasulullah SAW sendiri
melakukannya. Ini adalah nash yang pasti dan tidak
meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam, bahwa syura
merupakan mabda‟ asasi‟ (prinsip dasar) yang nizham Islam
tidak ditegakkan di atas prinsip lain. Adapun bentuk syura
beserta implemantasinya, adalah persoalan teknis yang dapat
berkembang sesuai dengan aturan yang berlaku di kalangan
umat dan kondisi yang melingkupi kehidupannya. Maka, semua
bentuk dan cara yang dapat merealisasikan syura -bukan
sekedar simbol lahiriyahnya saja- adalah dari Islam.8
kepada Allah bagi mereka. Diajaknya mereka bermusyawarah dalam
menghadapi urusan ini, sebagaimana beliau biasa bermusyawarah dengan
mereka, dengan tidak terpengaruh emosinya terhadap hasil-hasil
musyawarah itu yang dapat membatalkan prinsip yang asasi dalam
kehidupan Islami. Lihat Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran; Di Bawah
Naungan al-Quran, Penerjemah As‟ad Yasin, Jilid 3, h. 293 8 Nash ini datang sesudah terjadinya keputusan-keputusan syura
yang secara lahiriahnya menyebabkan kerusakan dalam barisan kaum
muslimin karena bersilang pendapatnya dalam Perang Uhud. Segolongan
berpendapat agar kaum muslimin tetap bertahan di Madinah dan menyerang
ketika musuh datang. Segolongan lain dengan semangat berkobar
berpendapat agar kaum muslimn keluar Madinah untuk menghadapi kaum
musyrikin. Hasil musyawarah memutuskan kaum muslimin untuk keluar
Madinah.
Melalui ru‟ya shādiqah, Rasulullah sebenarnya telah mengetahui
akibat buruk yang akan menimpa barisan umat Islam jika mereka keluar dari
Madinah. Sebenarnya Rasulullah berhak membatalkan hasil musyawarh itu,
tetapi beliau tetap melaksanakannya juga meskipun beliau mengetahui
bahwa di belakang nanti mereka akan mengalami penderitaan, kerugian, dan
pengorbanan. Semua beliau lakukan karena memantapkan prinsip
(memberlakukan hasil musyawarah), mengajari jamaah, dan mendidik umat
itu lebih besar nilainya daripada kerugian yang bersifat sementara itu. Lihat
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 3, h. 294-295
89
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, Rasulullah SAW
bermusyawarah dengan kaum Mukminin di dalam urusan-
urusan politik, kemaslahatan umat baik ketika dalam keadaan
perang ataupun dalam keadaan aman, dan kepentingan duniawi
lainnya. Beliau melakukan yang demikian untuk membujuk dan
membuat hati mereka senang serta agar mereka mengikuti
sunah beliau. al-Hasan RA berkata, “Allah SWT sudah pasti
telah mengetahui bahwa sebenarnya Rasulullah tidak butuh
kepada pendapat mereka, akan tetapi bertujuan agar hal ini
ditiru oleh orang-orang yang datang setelah mereka9
Ibnu „Athiyyah berkata sebagaimana dinukil oleh
Wahbah al-Zuhaili : “Musyawarah termasuk salah satu kaidah
syariat dan termasuk kategori azīmah (hukum asal yang bersifat
wajib). Barang siapa yang tidak bermusyawarah dengan para
ulama dan pakar; maka wajib hukumnya ia dipecat.” Wahbah
al-Zuhaili menegaskan, hal ini merupakan sesuatu yang tidak
diperselisihkan. Terdapat dua pendapat ulama tentang hukum
musyawarah, yaitu sifatnya memaksa dan wajib bagi Rasulullah
SAW dan sunah atau anjuran saja untuk menyenangkan dan
menghibur kaum Mukminin. Namun pendapat yang terkuat
adalah wajib dan memaksa bagi Rasulullah.10
Fakhrudin al-Razi juga berpendapat bahwa perintah
Allah kepada Rasulullah untuk bermusyawarah kepada para
sahabatnya merupakan suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan. Adapun manfaat dari perintah tersebut, yaitu :
Pertama, membesarkan kedudukan dan meninggikan derajat
mereka, serta menjadikan kecintaan dan keikhlasan mereka
dalam ketaatan kepada Rasulullah semakin kuat. Kedua, agar
9 Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a berkata,
“Tidak ada seorangpun yang lebih banyak melakukan musyawarah dari
Rasulullah SAW” Lihat Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, h.476 10
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata kepada
Abu Bakar dan Umar : “Seandainya kalian berkumpul dalam suatu
musyawarah, maka tentu aku tidak membedai kalian berdua.” Lihat.
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, h.479-480
90
mereka meneladani Rasulullah dalam bermusyawarah dan
menjadikannya sebagai sunah dalam bermasyarakat. Ketiga,
bukan untuk memperoleh pendapat dan pengetahuan dari
mereka, akan tetapi untuk mengetahui kapasitas intelektual dan
pemahaman mereka, serta mengetahui kapasitas kecintaan dan
keikhlasan mereka dalam ketaatan kepada Rasulullah. Keempat,
bukan karena Rasulullah membutuhkan mereka, tapi agar setiap
dari mereka berijtihad dalam mencari solusi terbaik dalam
persalahan tersebut. Kelima, hal ini menunjukan bahwa mereka
memiliki kapasitas dan nilai di sisi Allah.11
Berdasarkan nash di atas, para ulama Ahlusunah
menekankan betapa pentingnya penerapan musyawarah dalam
sebuah kepemimpinan, terlebih kepemimpinan sebuah negara.12
Berikut beberapa pendapatnya :
Ibnu Taimiyah menegaskan, pemimpin tidak boleh
meninggalkan musyawarah, sebab Allah SWT memerintahkan
Rasul-Nya dengan hal itu.13
Sedangkan Farid Abdul Khalid
menjelaskan, Jika hak partisipasi rakyat tidak dilibatkan dalam
bermusyawarah perihal masalah-masalah pemerintahan, maka
sistem hukum itu adalah sistem hukum diktatorial atau totaliter.
Jika dinisbatkan kepada sistem Islam, maka kediktatoran itu
11
Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-
Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikri, 1981), Jilid 9, h. 67-68 12
Menurut Imam al-Ghazali, seorang pemimpin negara haruslah
datang dari rakyat dengan jalan pilihan, bukan karena turunan, dan harus
bekerja untuk rakyat, dengan berdasarkan hukum-hukum Tuhan yang telah
ditetapkan dalam agama Islam. sehingga demokrasi menurutnya adalah dari
Rakyat, untuk Rakyat, karena Tuhan (from the people, to the people, by
God). Lihat Imam al-Ghazali, Konsepesi Negara Bermoral: Menurut Imam
al-Ghazaliy (Jakarta: Bulan Bintang, 1975,) h.28 13
Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, as-Syiyāh as-Syar‟iyah
(Wizārah al-Syuū‟n al-Islāmiyyah wa al-Da‟wah wa al-Irsyād al-
Su‟ūdiyyah, 1998), h.133
91
diharamkan dalam agama Islam sebab bertentangan dengan
akidah dan syariat.14
Rasyid Ridha juga menegaskan, mayoritas ulama syariat
dan pakar undang-undang konstitusional meletakkan “musya-
warah” sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional
yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku
yang telah ditetapkan oleh nash-nash al-Quran dan hadis-hadis
nabawi. Oleh karena itu, musyawarah lazim dan tidak ada
alasan bagi seseorang pun untuk meninggalkannya.15
Melaksanakan musyawarah dengan ahli musyawarah
merupakan kewajiban. Perkara-perkara yang wajib diselesaikan
dengan musyawarah adalah perkara-perkara umum,
kemaslahatan-kemaslahatan duniawi dan politik rakyat. Adapun
perkara akidah dan ibadah tidak ada ruang untuk bermusya-
warah. Sedangkan perkara kepemimpinan merupakan perkara
umat yang harus diselesaikan dengan musyawarah. Oleh sebab
itu, para ulama Ahlusunah sepakat bahwa pengakatan seorang
pemimpin haruslah dipilih melalui musyawarah. Kemudian
seorang pemimpin wajib melakukan musyawarah dalam
menetapkan kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Karena
penerapan musyawarah akan membawa maslahat bagi rakyat,
serta tercipta kepercayaan dan loyalitas antara rakyat dengan
pemerintah. Sehingga suatu pemerintahan akan kuat, maju, dan
memiliki wibawa atas pemerintahan lain.
Sedangkan al-Qummi dalam menafsirkan QS. Ali
Imran/3: 159, tidak sama sekali menjelaskan perihal
musyawarah, terlebih tentang pemerintahan. Beliau hanya
menjelaskan sikap Rasul yang seandainya beliau bersikap keras
14
Musyawarah dalam istilah politik adalah hak partisipasi rakyat
dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Lihat
Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, Penerjemah Faturrahman A. Hamid
(Jakarta: Amzah, 2005), h. 38 15
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid 4, h.164. Lihat Muhammad
Salim al-Awa, Fi an-Nizhāas-Siyāsiy li ad-Dawlah al-Islāmiyyah .h.181
92
lagi berhati kasar, maka tentulah para sahabatnya akan pergi
melarikan diri darinya dan tidak akan menegakkan Islam
bersama Rasul.16
Begitu pula al-Thabathabai‟, tidak
menafsirkan musyawarah dalam ayat ini sebagai asas
pemerintahan Islam setelah wafatnya Rasul. Beliau hanya
menjelaskan bahwa rasul, telah melakukan musyawarah dengan
para sahabatnya sebelum perang Uhud. Adapun musyawarah
yang dilakukan oleh Rasul kepada para sahabatnya yaitu
berhubungan dengan pemeliharaan dan pengaturan atau
perencanaan perkara-perkara yang bersifat umum.17
al-Thabarsy hanya menekankan, bahwa ayat ini
menunjukkan pengkhususan akan kemuliaan-kemuliaan akhlak
dan kebaikan-kebaikan perbuatan Rasul. Beliau juga sempat
menyinggung masalah perbedaan pendapat para ulama akan
faidah musyawarah yang dilakukan Rasul kepada para
sahabatnya akan kebenaran pendapat mereka tanpa
membutuhkan wahyu. Tiga pendapat diantaranya, pertama
menurut al-Hasan dan al-Dhahak, sebagai bentuk penghormatan
kepada para sahabatnya dan agar umatnya mengikuti jejak
Rasul dalam bermusyawarh. Kedua, menurut Abu Ali al-Jubai‟,
musyawarah hanya boleh dilakukan Rasul dalam perkara dunia,
strategi perang dan ketika berhadapan musuh. Ketiga, untuk
menguji mereka dengan musyawarah dan untuk membedakan
antara seorang penasehat dan penipu. Namun dalam hal ini,
beliau tidak mengemukakan pendapatnya.18
Menurut Mujtaba Musawi Lari, Allah memerintahkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah kepada
masyarakat dalam persoalan yang menyangkut urusan mereka.
16
Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsīr al-Qummi (Qum: Muasyasah
al-Imām al-Mahdi, 1435 H), Jilid 1, h. 179 17
Muhammad Husain al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-
Quran, (Beirut: Muassasah al-A‟lamī li al-Mathbūā‟t, 1417/1997), Jilid 4, h.
59 18
Fadhl bin Hasan al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-
Qur‟an (Lebanon: Dar al-Ulūm, 1426H/2005M), Jilid 2, h. 342-343
93
QS. Ali Imran/3 : 159 menyatakan “ ... bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu ...” Dalam QS. asy-Syūra/42 :
38 dinyatakan “... sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka ...” Sedangkan masalah Imamah
merupakan hak Allah SWT Sesuatu yang merupakan hak Allah
dan berhubungan dengan pembimbingan manusia tidak dapat
tunduk kepada musyawarah. Adopsi sistem kekhalifahan
dengan sistem musyawarah yang tidak jelas, seperti yang telah
diperaktikkan dalam pemilihan Abu Bakar, Umar, dan Usman
telah mengasingkan atau merampas hak para Imam dari alur
pemerintahan dan kepemimpinan.19
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa,
mufasir Ahlusunah menafsirkan musyawarah dalam ayat ini
sebagai pondasi pemerintahan Islam, karakteristik masyarakat
Islam, salah satu kaidah syariat dan termasuk kategori azīmahI
(hukum asal yang bersifat wajib). Sedangkan mufasir Syiah
tidak demikian, al-ummi tidak membahas musyawarah sama
sekali dalam tafsirnya. Adapun al-Thabarsy dan al-Thabathaba‟i
hanya menjelaskan perihal musyawarah yang dilakukan
Rasulullah sebelum perang uhud dan perkara dunia lainya.
Mereka tidak megkhususkan penafsiran musyawarah sebagai
bagian dari pemerintahan dan pemilihan kepemimpinan.
B. QS. Ali Imran/3 : 28 dan QS. Al-Maidah/5: 51
Perwalian dan persekutuan antar komunitas merupakan
salah satu pilar yang mengokohkan sebuah kepemimpinan
publik. Namun komunitas orang-orang beriman dibatasi oleh
Allah SWT dalam melakukan perwalian dan persekutuan
tersebut. Seperti larangan melakukan perwalian dan
persekutuan terhadap orang-orang-orang kafir, yahudi, dan
nasrani. Larangan tersebut dikarenakan mereka adalah musuh-
19
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad
SAW;Tinjauan Historis, Teologis dan Filosofis. Penerjemah ilham Manshuri
(Jakarta: Lentera, 2004), h. 109
94
musuh Allah yang tidak menginginkan agama Allah yang
dibawa Rasulullah tegak dan bersinar di muka bumi. Adapun
perwalian dan persekutuan dalam muamalah sehari-hari yang
tidak merusak akidah dan redupnya syiar-syiar agama Allah
bukanlah sebuah larangan.
Sebagaimana firman Allah SWT QS. Ali Imran/3 : 28 :
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-
orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia
dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya
kepada Allah kembali (mu).”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, al-
Hajjaj bin Amr sekutu Ka‟ab bin Asyraf, Ibnu Abi Haqaiq dan
Qias bin Ziad, -mereka adalah orang-orang Yahudi- mereka
berusaha untuk dekat dan selalu bergaul dengan sekelompok
kaum Muslimin dari kaum Anshar dengan tujuan untuk
memalingkan mereka dari agama dan keimanan mereka. Lalu
Rifa‟ah bin Mundzir, Abdullah bin Jubair dan Sa‟id bin
Khaitsamah berkata kepada sekelompok kaum Ansar tersebut,
“Jauhilah orang-orang Yahudi itu, waspada dan berhati-hatilah
terhadap sikap baik mereka tersebut, jangan sampai mereka
berhasil memalingkan kalian dari agama dan keimanan kalian.”
95
Namun, sekelompok kaum Anshar tersebut tidak menerima
nasihat itu.20
Dalam riwayat lain, ayat ini turun berkaitan dengan diri
„Ubadah bin Shamit, salah satu sahabat Anshar, personil pada
perang Badar dan menjadi salah satu an-naqib (pimpinan
kelompok). „Ubadah bin Shamit memiliki beberapa orang
sekutu dari orang Yahudi. Lalu ketika Rasulullah pergi pada
kejadian perang Ahzab (Khandaq), Ubadah berkata „Wahai
Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki sekutu dari kaum
Yahudi sebanyak 500 orang. Saya berkeinginan untuk
mengajak mereka berperang bersama kami untuk mengalahkan
musuh.‟ Lalu Allah menurunkan ayat ini21
Dari dua riwayat sebab turunya ayat diatas penulis
menarik dua kesimpulan. Pertama, kaum mukmin dilarang
saling menyokong, berbuat baik kepada orang kafir yang
memiliki kecenderungan niat dalam merusak keimanan seorang
msulim. Kedua, larangan melakukan persekutuan dengan orang
kafir dalam sebuah peperangan secara fisik, ataupun
peperangan secara non-fisik. Sedangkan di sisi lain masih
terdapat orang-orang mukmin yang baik dan memiliki
kapasitas. Hal itu disebabkan, karena orang-orang kafir tersebut
memiliki niat buruk dalam memadamkan cahaya Islam.
Fakhrudin al-Razi menjelaskan dalam kitab Tafsīr al-
Kabīr, ada dua sisi dalam memahami rangkaian ayat. Pertama,
ketika Allah menerangkan perintah untuk mengagungkan Allah
SWT pada ayat sebelumnya, kemudian ayat ini menerangkan
kewajiban seorang mukmin dalam bermuamalah dengan sesama
manusia. Karena kesempurnaan perintah Allah hanya ada dua,
yaitu pengagungan dalam ibadah kepada Allah dan bermurah
hati atas ciptaan Allah. Kedua, ketika Allah menerangkan
bahwasannya Dia lah Raja di Dunia dan di Akhirat, maka sudah
sepatutnya umat Islam mencintai segala sesuatu yang ada di
20
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 2, h. 233 21
Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 11
96
sisi-Nya dan di sisi wali-wali-Nya (auliyā) bukan musuh-
musuh-Nya.22
Sayyid Quthb, menegaskan, tidak diperkenankan kaum
Mukminin menjadikan musuh-musuh Allah (orang kafir)
sebagai wali (pemimpin, teman dekat). Karena tidak akan
berkumpul dalam hati seorang manusia suatu iman yang
sebenar-benarnya kepada Allah apabila mereka menjadikan
musuh-musuh Allah sebagai wali, karena musuh-musuh Allah
itu telah berpaling atau membelakangi dari seruan untuk
berhukum kepada kitab Allah. Oleh karena itu, datanglah
ancaman keras ini yang sekaligus sebagai ketetapan yang pasti
bahwa seorang muslim telah keluar dari Islam apabila dia
menjadikan orang yang tidak ridha menjadikan kitab Allah
sebagai pengatur dalam kehidupan sebagai wali, baik kewalian
itu dengan kecintaan hati dan dengan membantunya maupun
meminta pertolongan kepadanya.23
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan. Allah SWT melarang
hamba-Nya yang Mukmin bersikap loyal kepada orang-orang
kafir. Kemudian Allah SWT memberikan ancaman dalam hal
ini, “Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah.” Jadi tidak boleh kaum Mukminin
mengambil orang-orang kafir sebagai sahabat dekat dan
penolong bagi mereka dengan alasan adanya ikatan
persaudaraan, persahabatan, bertetangga atau yang lainnya.
Menceritakan kepada mereka (orang-orang kafir) rahasia-
rahasia kaum Mukminin, mencintai mereka dan lebih
mendahului kemaslahatan mereka di atas kemaslahatan kaum
Mukminin. Namun, jika bersikap loyal dan mengadakan jalinan
persekutuan tersebut demi kepentingan dan kemaslahatan
umum kaum Mukminin, maka hal itu diperbolehkan. Karena
22
Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 11 23
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 3, h. 79
97
Rasulullah SAW juga beraliansi dengan Khuza‟ah, meskipun
mereka adalah orang-orang yang musyrik.24
Menurut al-Razi, ada tiga pandangan bagi seorang
mukmin yang menjalin patronasi (muwālāh) terhadap orang
kafir. Pertama, ia rida dengan kekafirannya dan ia
menjadikannya wali untuk kepentingannya. Hal ini dilarang,
karena setiap yang dikerjakannya mengarahkannya kepada
agamanya. Membenarkan kekafiran seorang kafir dan meridai
kekafiran seorang kafir, maka mustahil bagi seorang mukmin
tetap berada dalam keimanannya dengan keberadaannya
menjalin patronasi. Sementara Allah telah mengancam;
“niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah”. Kedua, pergaulan
baik sehari-hari dengan orang kafir diperbolehkan. Ketiga,
menjalin patronasi terhadap orang-orang kafir artinya memberi
dukungan dan bantuan kepada mereka, manifestasi,
pertolongan, baik karena kedekatan atau karena sebab
kecintaan, hal ini terlarang. Maka tidak sepatutnya bagi seorang
mukmin menjadikan orang kafir sebagai wali dengan
meninggalkan orang mukmin.25
Sayyid Quthb, al-Razi, dan al-Zuhaili sepaham dalam
memahami larangan dan ancaman orang mukmin yang
menjadikan orang kafir sebagai wali. Selain ancaman diatas,
yaitu keluar dari Islam dan pertolongan Allah SWT Allah juga
mengancam orang-orang mukmin yang menjadikan orang-
orang Yahdui dan Nasrani sebagai pemimpin, penolong,
pelindung, atau teman karib dengan meninggalkan orang-orang
beriman, maka sesungguhnya mereka itu termasuk golongan
orang-orang kafir. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-
Maidah/5: 51 :
24
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 2, h.. 234-235 25
Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 11-12
98
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin
bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya
orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana Ibnu Ishaq, Ibnu
Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan al-Baihai
meriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, ia berkata, “Tatkala
Bani Qainuqa melancarkan perang, Abdullah bin Ubay bin
Salul tetap mempertahankan pertalian dirinya dengan mereka
kaum Yahudi dan berdiri di belakang mereka. Sementara
Ubadah bin Shamit pergi menghadap Rasulullah SAW, lebih
memilih Allah SWT dan Rasul-Nya dengan cara berlepas diri
dari ikatan persekutuan dengan mereka. Ubadah bin Shamit
adalah salah seorang dari Bani Auf dari Khazraj. Ia sebelumnya
memiliki ikatan persekutuan dan aliansi dengan mereka sama
seperti Abdullah bin Ubay.26
Fakhrudin al-Razi menambahkan, bahwa Ubadah bin
Shamit datang kepada Rasulullah kemudian ia berlepas diri dari
perwalian dengan orang Yahudi. Kemudian berkata Abdullah
bin Ubay bin Salul : “akan tetapi saya tidak melepas perwalian
dengan mereka, karena saya takut mendapat bencana”. Makna
26
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 3, h.557
99
“janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi wali-wali” adalah janganlah umat muslim bersandar
dalam meminta pertolongan kepada orang-orang Yahudi dan
Nasrani, serta menunjukkan rasa kasih-sayang terhadap
mereka.27
Abdullah bin Ubay bin Salul dan pengikutnya
melakukan demikian dengan alasan bahwa mereka takut akan
terjadi perubahan, yaitu orang-orang kafir memperoleh
kemenangan dari orang-orang mukmin. Jika hal ini terjadi,
berarti mereka akan memperoleh perlindungan dari orang-orang
Yahudi dan Nasrani, mengingat orang-orang Yahudi dan
Nasrani mempunyai pengaruh tersendiri di kalangan orang-
orang kafir, sehingga sikap loyal dengan berteman akrab
dengan mereka sangat menguntungkan dan mendatangkan
manfaat.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, Allah SWT melarang
para hamba-Nya yang Mukmin ber-muwālāh (menjalin
patronasi) dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang mereka
adalah para musuh Islam dan kaum Muslimin. Kemudian Allah
SWT mengabarkan bahwasanya sebagian mereka adalah para
wali (patron) sebagian yang lain. Kemudian Allah SWT
mengecam dan mengancam orang yang ber-muwālāh dengan
mereka. Barang siapa yang menjadi patron mereka, menolong
mereka, menyokong mereka, membantu mereka atau meminta
pertolongan dari mereka, sejatinya ia adalah bagian dari
mereka, dan seakan-akan ia adalah sama seperti mereka bukan
bagian dari barisan orang-orang Mukmin yang benar dan tulus
keimanannya.28
Perwalian dengan Yahudi dan Nasrani seperti yang
dilakukan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul sangat dikecam
oleh Allah dalam ayat ini. Menjadikan orang Yahudi dan
Nasrani yang memusuhi Islam sebagai wali (pemimpin ataupun
27
Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 12, h. 18-19 28
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 3, h.558
100
rekan dekat) untuk kepentingannya merupakan hal yang sangat
dilarang. Padahal di sisi lain terdapat orang-orang beriman yang
dapat dijadikan wali untuk kemaslahatannya. Karena orang-
orang Yahudi dan Nasrani satu sama lain saling berserikat,
menyokong, tolong-menolong melakukan perwalian untuk
memerangi Islam. maka barang siapa yang melakuka perwalian
dengan Yahudi dan Nasrani yang demikian, maka ia termasuk
dari golongan mereka
al-Thabarsy juga menafsirkan hal yang sama, bahwa
Allah melarang orang-orang yang beriman untuk berpatronasi
dengan orang-orang kafir dan orang mukmin wajib berpatronasi
dengan orang mukmin. Oleh sebab itu tidak sepatutnya mereka
menjadikan orang-orang kafir sebagai auliyā untuk diri mereka,
meminta pertolongan dan perlindungan kepada mereka, serta
menampakkan kasih sayang terhadap mereka. Sebagimana
firman Allah dalam QS. al-Mujādilah/58: 22 (kamu tak akan
mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya ...).29
Sedangkan al-Qummi, hanya menafsirkan pada
penjelasan makna taqiyyah tanpa memberikan penjelasan
tentang larangan berpatronasi dengan orang kafir. Ayat ini
menjelaskan keringanan yang diberikan Allah kepada orang-
orang beriman untuk melakukan taqiyyah. Secara zhāhir
beragama dengan agama orang kafir dan secara bāthin
bertentangan, yakni tidak beragama dengan agama mereka, hal
ini dilakukan ketika sedang bertaqiyyah. Ia sholat dengan
sholatnya orang kafir, ia puasa dengan puasanya secara zhāhir
apabila ia dalam kondisi waspada, namun dalam bāthin-nya
bertentangan yakni beragama dengan agama Allah.30
al-Thabathabai‟ memaknai auliyā dalam ayat ini adalah
bentuk jamak dari al-waliyu min al-wilāyah (pemimpin suatu
29
al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. Jilid 2 h. 221 30
al-Qummi, Tafsīr Al-Qummi. Jilid 1 h. 151
101
kepemimpinan) yang dalam arti sebenarnya adalah seorang
penguasa yang mengatur suatu perkara (ملك جدبير أمر الشئ). Allah
SWT telah mengulang-ulang larangan menjadikan orang-orang
kafir, yahudi, dan nasrani sebagai wali dalam beberapa ayat al-
Quran, seperti QS. Ali Imran/3 : 28, QS. Al-Maidah/5: 51, dan
QS. al-Mumtahanah/60 : 1. Melakukan perwalian mewajibkan
melakukan perserikatan dan persatuan, apabila perwalian itu
terjadi selain dengan orang beriman, maka dipastikan
karakteristik keimanannya telah rusak, kecuali ia melakukan
taqiyyah. Karena taqiyyah mengharuskan menampakkan
perwalian dengan zhāhir tanpa hakikat yang sebenarnya.31
al-Thabarsy menambahkan, bahwa ayat ini menjadi dalil
diperbolehkannya taqiyyah dalam beragama ketika diri diliputi
oleh kekhawatiran, sehingga taqiyyah diperbolehkan dalam
setiap kondisi yang berbahaya, dan tidak diperbolehkan
melakukan perbuatan dalam membunuh orang beriman. Beliau
menukil perkataan al-mufīd : “Bahwa taqiyyah terkadang harus
dilakukan dan menjadi sebuah kewajiban (fardhu), dan sesekali
diperbolehkan untuk tidak wajib dilakukan, dan menjadi lebih
utama ditinggalkan, serta terkadang menjadi lebih utama untuk
meninggalkan taqiyyah, apabila pelakunya mendapat
pengampunan dan pemaafan.”32
Mufasir Ahlusunah dan Syiah sepaham dalam
memaknai ayat-ayat tentang larangan berpatronasi dan menjadi-
kan orang-orang Kafir (Yahudi dan Nasrani) sebagai pemimpin
denga meninggalkan orang-orang beriman. Namun, pada QS.
Ali Imran/3 : 28, mufasir Syiah memberi pengecualian dan
memperbolehkan orang beriman melakukan patronasi dan
menjadikan orang-orang kafisr sebagai pemimpin dengan syarat
ia bertaqiyah. Pada pembahasan taqiyyah tersebut nampak jelas
perbedaan antara kedua kelompok tersebut.
31
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran. Jilid 3 h.174-175 32
al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. Jilid 2 h.
221-222
102
C. QS. al-Nisa/4: 58-59
Menjalankan amanah dan bersikap adil merupakan dua
hal yang harus melekat dalam setiap muslim. Karena jika dua
sikap ini melekat dalam kehidupan bermasyarakat, maka akan
tercipta tatanan kehidupan sosial yang ideal. Terlebih hal ini
melekat pada diri seorang pemimpin, maka kepemimpinannya
akan kuat, maju dan berkembang. Sebab pemimpin yang
amanah dan menegakkan keadilan merupakan dambaan setiap
orang yang dipimpin. Pemimpin yang amanah dan adil akan
menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya dengan sangat baik
dan sempurna. Maka, akan tercipta loyalitas antara orang-orang
yang dipimpin dengan pemimpinnya.
Dalam QS. al-Nisa/4: 58 Allah SWT memerintahkan
manusia untuk menjalankan amanah dan menegakkan keadilan :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.33
33
Ibnu Abbas berkata, “ketika Rasulullah SAW berhasil
membebaskan kota Mekah, beliau memanggil Usman bin Thalhah.
Sesampainya Usman di hadapan beliau, Rasulullah berkata, “Berikan kunci
Ka‟bah kepadaku!” kemudian Utsman mengambil kunci tersebut. Ketika dia
hendak menyerahkan kunci itu kepada Rasulullah, al-Abbas berkata, “Saya
bersumpah. Pasrahkan kunci tersebut dan tugas menyediakan air minum
103
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, ayat ini merupakan
perintah umum mengenai wajibnya menjaga amanah yang
menjadi tanggung jawab setiap Muslim. Amanah yang
dimaksud dalam ayat ini adalah semua jenis amanah yang ada,
baik yang berhubungan dengan diri sendiri atau yang
berhubungan dengan orang lain, ataupun yang berkaitan dengan
hak Allah. Menjaga dan melaksanakan amanah adalah wajib,
terutama jika orang yang berhak terhadap amanah tersebut
menuntutnya. Barang siapa tidak mau melaksanakan amanah di
dunia, di akhirat nanti dia akan dimintai pertanggungjawaban.34
Sayyid Quthb juga menjelaskan, amanah-amanah yang
ditunaikan kaum muslimin kepada yang berhak menerimanya,
dimulai dengan amanah yang dihubungkan Allah dengan fitrah
manusia. Beliau menyebutnya dengan istilah amanah hidayah,
amanah yang ditunaikan dengan landasan beriman kepada-Nya,
beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk-Nya, dan menaati-
Nya. Di antara amanah-amanah ini adalah amanah dalam
bermuamalat, amanah yang berupa titipan materi, amanah yang
untuk jamaah haji kepadaku!” mendengar ucapan al-Abbas itu, utsman
menggengam kembali kuncinya.
Namun Rasulullah kembali berkata; “Wahai Utsman berikan kunci
itu kepadaku!” Akhirnya Utsman menyerahkan kunci itu kepada Rasulullah
dan berkata, “Ini kuncinya saya serahkan dengan dasar amanah Allah”. Lalu
Rasulullah membuka pintu Ka‟bah dan kemudian keluar lagi dan melakukan
thawaf. Setelah itu turunlah Malaikat Jibril yang memerintahkan
mengembalikan kunci tersebut kepada Utsman bin Thalhah. Lalu Rasul
memanggil Utsman dan menyerahkan kunci Ka‟bah kepadanya sembari
membaca ayat ini. Lihat Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr,
Jilid 10, h. 142 34
Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemelihara,
dan setiap diri kalian bertanggungjawab keapada apa yang dipelihara.”
(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi), dari Anas bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “orang yang tidak (mampu menjaga) amanah,
maka dia tidak mempunyai keimanan (yang kuat). Dan orang yang tidak
menepati janji, maka dia tidak mempunyai agama (yang kuat).” (HR. Imam
Ahmad dan Ibnu Hibban). Lihat Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 3
h.138-139
104
berupa kesetiaan rakyat kepada pemimpin, dan kesetiaan
pemimpin kepada rakyat, amanah untuk menjaga kehormatan
jamaah-harta benda dan wilayahnya serta semua kewajiban dan
tugas dalam kedua lapangan kehidupan tersebut (rakyat-
pemimpin).35
Lebih spesifik Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, amanah
adalah prinsip pertama asas pemerintahan Islami dan keadilan
adalah prinsip kedua. Pihak yang diperintahkan dalam ayat ini
adalah semua umat Islam. keadilan adalah dasar utama
pemerintahan. Dengan keadilan, peradaban, pembangunan, dan
kemajuan akan tercapai. Akal manusia pun akan terarah dengan
baik apabila keadilan ditegakkan. Dengan demikian, keadilan
ditetapkan sebagai salah satu dasar pemerintahan dalam Islam.
dalam masyarakat, keadilan merupakan kebutuhan utama.
Dengan keadilan, orang-orang lemah dapat memperoleh haknya
dengan tepat dan orang-orang yang kuat tidak akan menganiaya
orang-orang lemah, keamanan dan keteraturan sistem dapat
terjaga. Oleh sebab itu, seorang pemimpin dan para
pembantunya yang terdiri dari gubernur, pegawai dan hakim
harus disiplin menegakkan keadilan supaya semua hak dapat
terlindungi dan dapat disalurkan.36
Adapun al-Thabathabai‟ dalam menafsirkan amanah
dalam QS. al-Nisa/4: 58 menukil riwayat dari Muhammad bin
Ibrahim al-Nu‟māni dengan sanad dari Zarārah dari Abu Ja‟far
Muhammad bin Ali AS, berkata : “Saya bertanya kepadanya
tentang firman Allah ( ه إن وا أهن كم يهأمر ٱلل اوهات جؤد أههلهها إلهى ٱألهمه ).” Abu
Ja‟far menjawab : “Allah SWT memerintahkan seorang Imam
untuk menyampaikan amanah kepada seorang Imam setelahnya,
tanpa mengesampingkan perihal amanah tersebut kepadanya.
Apakah kamu tidak mengetahui firman Allah ( محم بهيهه ٱلى اس كه ا حه إذه وه
ا يهعظكم به ه وعم دل إن ٱلل mereka adalah para hakim (أهن جهحكمىا بٱلعه
wahai Zarārah, sesungguhnya perintah ini tertuju kepada para
35
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 4, h. 305-307 36
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 3 h.139
105
hakim.” al-Thabathabai‟ menukil dari kitab Dur al-Mantsūr Ali
bin Abu Thalib berkata : Seorang Imam harus menetapkan
hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah dan
menyampaikan amanah, apabila ia telah melakukan yang
demikian maka hak seorang Imam atas rakyatnya adalah
didengar perkataannya, ditaati perintahnya, dan dipenuhi
seruannya.37
Secara tegas al-Qummi mengungkap ayat 58 ini
ditunjukkan kepada para Imam Ahlulbait. Allah SWT
mewajibkan kepada seorang Imam untuk menyampaikan
amanah yang Allah perintahkan kepada Imam setelahnya,
kemudian Allah mewajibkan seorang Imam untuk menegakkan
hukum diantara rakyat dengan adil. Lalu mewajibkan kepada
manusia untuk mentaati mereka para Imam Ahlulbait.38
Sedangkan al-Thabarsy hanya memaparkan tiga riwayat
tentang makna amanah dalam ayat tersebut, tanpa
mengemukakan kecondongan beliau kepada salah satu makna
amanah dari riwayat tersebut. Pertama, dari Ibnu Abbas, Abu
bin Ka‟ab, Ibnu Mas‟ud, al-Hasan, dan Qatadah, diriwayatkan
dari Abu Ja‟far dan Abu Abdullah, amanah yang dimaksud
adalah setiap amanah-amanah yang wajib ditunaikan.
Sedangkan amanah-amanah Allah seluruh perintah-perintah dan
larangan-larangan-Nya. Kedua, amanah yang dimaksud adalah
kepemimpinan para Imam Ahlulbait. Allah memerintahkan
mereka untuk menegakkan perwalian rakyat. Abu Ja‟far al-
Baqir dan Abu Abdullah al-Shodiq, mereka berdua berkata :
Allah memerintahkan kepada setiap Imam untuk menyerahkan
kepemimpinan kepada Imam setelahnya.dan menyokongnya.
Ketiga ayat ini ditunjukkan kepada Nabi untuk mengembalikan
37
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran. Jilid 4 h. 394-395 38
al-Qummi, Tafsīr Al-Qummi. Jilid 1 h. 207
106
kunci Ka‟bah kepada Utsman bin Thalhah, seperti yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya.39
Pada QS. al-Nisa/4: 58 nampak jelas perbedaan dalam
menafsirkan ayat tersebut. Ahlusunah berpendapat bahwa
amanah adalah prinsip pertama asas pemerintahan Islam dan
keadilan adalah prinsip kedua. Sedangakan Syiah berbeda
dalam memaknai kedua hal tersebut. Kedua hal terebut
ditujukan khusus kepada para Imam Ahlulbait. Para Imam
diperintahkan Allah untuk menyampaikan amanah
kepemimpinan kepada Imam setelahnya dan Iman harus
menegakkan keadilan di masyarakat
Jika seorang pemimpin telah menjalankan tugasnya
dengan amanah dan menegakkan keadilan. Maka orang-orang
yang dipimpin wajib mentaati perintahnya. Siapapun
pemimpinnya, dari suku dan golongan apapun ia berasal,
apabila ia memimpin dengan berpedoman dengan al-Quran dan
hadist, maka ia wajib ditaati.40
Sebagaimana pada ayat
selanjutnya, QS. al-Nisa/4: 59 Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
39
al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. Jilid 3 h. 94-
95 40
Dari Ummul Husain, ia pernah mendegar Rasulullah SAW
bersabda dalam Khutbah Haji Wada‟ : Seandainya seorang budak memimpin
kalian dengan memakai pedoman Kitabullah, maka tunduk dan patuhlah
kalian kepadanya. (HR. Muslim)
107
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Sebagian ulama mengemukakan bahwa hubungan ayat
diatas (QS. al-Nisa/4: 59) dengan ayat sebelumnya (QS. al-
Nisa/4: 58) bertumpu pada hubungan antara pemerintah dan
rakyatnya. Menurut pendapat ini, ayat pertama ditujukan
kepada para pejabat agar menunaikan amanat dan memerintah
dengan adil, sedang dalam ayat kedua terdapat perintah agar
rakyat mentaati Allah, Rasul-Nya dan pemerintah. Pendapat
seperti ini dikemukakan antara lain oleh al-Zamakhsyari,41
dan
al-Qurthubi.42
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-
Maraghi. Beliau tidak memandang ayat-ayat tersebut bersifat
khusus yang ditujukan kepada pemerintah atau rakyat semata,
tetapi bersifat umum.43
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, dalam ayat ini Allah
memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan perkara yang
dapat menyebabkan dia selalu berdisiplin dalam menjaga
amanah dan menetapkan hukum secara adil, yaitu taat kepada
Allah dengan melaksanakan hukum-hukum-Nya, taat kepada
Rasul-Nya yang bertugas menerangkan hukum-hukum Allah,
dan taat kepada para pemimpin (Uli al-amr). Ini merupakan
prinsip dasar ketiga dalam pemerintahan Islam.44
Sayyid Quthb berpendapat, Allah SWT menjelaskan
syarat iman dan batasan Islam dalam ayat ini. Kemudian
dijelaskan pula kaidah nizhām asāsi (peraturan pokok) bagi
kaum muslimin, kaidah hukum, dan sumber kekuasaan.
41
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyāf (Beirut: Darul Ma‟rifah,
2009), h.480 42
Al-Qurtubi, al-Jāmi‟ li Ahkām al-Quran : Tafsir al-Qurtubi,
(Beirut: Muassah al-Risālah, 2006) Jilid 6, h. 428 43
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Mesir:
Musthofa al-Bābī al-Halbī, 1946) 5, h.72 44
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 3 h.140
108
Semuanya dimulai dan diakhiri dengan menerimanya dari
Allah, dan kembali hanya kepada-Nya. Allah wajib ditaati,
diantara hak prerogatif uluhiyyah ialah membuat syariat. Maka
syariat-Nya wajib dilaksanakan. Orang-orang beriman wajib
taat kepada Allah dan wajib pula taat kepada Rasulullah karena
tugasnya mengemban risalah dari Allah. Karena itu, menaati
Rasul berarti menaati Allah. Sedangkan taat kepada uli al-amr
merupakan pengembangan dari taat kepada Allah dan Rasul,
sesudah menetapkan bahwa uli al-amr itu adalah ”minkum”
„dari kalangan kalian sendiri‟ dengan catatan dia beriman dan
memenuhi syarat-syarat iman. Karena itu lafal taat tidak
diulangi ketika menyebut uli al-amr, sebagaimana ia diulangi
ketika menyebut Rasulullah.45
Jika uli al-amr itu tidak beriman
dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan hukum
Allah dan Rasul, maka ia tidak patut ditaati.
ar-Razi dan az-Zuhaili menegaskan, bahwa kewajiban
menaati pemimpin adalah dalam perintah-perintah yang
memang wajib ditaati, bukan dalam perintah untuk bermaksiat
kepada Allah. Beliau menukil perkataan Ali bin Abi Thalib:
“Seorang imam wajib melaksanakan pemerintahan dengan adil
dan menjalankan amanah dengan benar. Apabila dia sudah
melakukannya, kaum Muslimin wajib menaatinya. Hal ini
karena Allah memerintahkan kita untuk menjalakan amanah
dengan benar dan juga bersikap adil, kemudian Dia
memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin.” Jika terjadi
perbedaan pendapat antara rakyat dan pemimpin, jalan
keluarnya adalah merujuk kepada al-Quran dan al-Hadits.
Sebab efek dan akibat yang ditimbulkan dari merujuk kepada
al-Quran dan al-Hadits lebih baik daripada berkelanjutan dalam
sengketa dan pertentangan.46
45
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 4, h. 309-310 46
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 3 h. 143-144, lihat jug
Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 10, h. 147
109
Para ulama berbeda pendapat tentang makna uli al-amr
dalam ayat diatas yang wajib ditaati, antara lain :
1) Wahbah al-Zuhaili berpendapat Uli al-amr adalah para
pemimpin, panglima perang, dan para ulama yang
bertugas menerangkan hukum-hukum syara‟ kepada
manusia. Oleh sebab itu, taat kepada pemimpin politik,
pimpinan perang, dan pemimpin yang mengatur urusan
negara adalah wajib. Begitu juga wajib hukumnya
menaati para ulama yang bertugas menerangkan hukum-
hukum agama, mendidik rakyat dalam masalah agama
dan juga melakukan amar makruf nahi munkar.47
2) Menurut Sayyid Quthb, uli al-amr adalah pemimpin dari
kalangan orang-orang mukmin sendiri, yang telah
memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang
dijelaskan ayat ini, yaitu pemimpin yang taat kepada
Allah dan Rasul. Juga pemimpin yang mengesakan
Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan hukum dan hak
membuat syariat bagi seluruh manusia, menerima
hukum dari-Nya saja, serta mengembalikan kepada-Nya
segala urusan yang diperselisihkan akal pikiran dan
pemahaman manusia untuk menetapkan prinsip-prinsip
umum yang terdapat dalam nash.48
3) Sedangkan Fakhrudin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib,
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan uli al-amr
adalah Ahl al-Hall wal al-„Aqd. Tidak ada pertentangan
di kalangan sahabat dan tabiin dalam memaknai uli al-
amr dengan ulama, ulama yang dimaksud adalah
seluruh ulama yang tergabung dalam lembaga Ahl al-
Hall wal al-„Aqd, karena tidak mungkin pernyataan atau
pandangan mereka keluar dari pernyataan atau
pandangan rakyat. Taat kepada Allah dan Rasul wājib
47
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 3 h.140-141, lihat juga
Fakhrudin ar-Razi, Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-Ghaib, Jilid 10, h. 147 48
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 4, h. 310
110
qath‟i, taat kepada ahl al-Ijmā‟ wājib qath‟i, sedangkan
taat kepada pemimpin tidak wājib qath‟i; wajib jika ia
memerintah kepada kebenaran dan berubah menjadi
haram jika ia memerintah kepada kedzaliman. Adapun
kehendak-kehendak pemimpin negara terbatasi oleh
fatwa-fatwa ulama, karena sebenarnya ulama adalah
pemimpinnya para pemimpin (umarā al-umarā). Oleh
karena itu, penggunaan istilah uli al-amr lebih utama
atas istilah ulama.49
D. QS. Ali Imran/3: 104 dan 110
Pemimpin mempunyai legalitas kekuasaan dalam suatu
komunitas. Ia harus menggunakan legalitas kekuasaan tersebut
untuk menjalankan misi dakwah Islam, yaitu menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Hal itu adalah tugas
mulia dan berat, sebab dakwah akan berhadapan dengan hawa
nafsu, tarik menarik kepentingan golongan, kelompok yang
ingkar dan senang kepada kemungkaran dengan yang makruf.
Jika seorang pemimpin dapat mengalahkan semua tantangan
tersebut dan menjalankan amar makruf nahi mungkar, maka
umat Islam akan beruntung, unggul dan lebih utama dari umat
yang lain. Sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ali Imran/3:
110 :
49
Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 10, h. 149-
150
111
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka
ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.”
Sayyid Quthb menjelaskan, ayat ini meletakan
kewajiban yang berat diatas pundak kaum muslimin di muka
bumi, sesuai kemuliaan dan kedudukan mereka, dan sesuai
dengan posisi istimewanya yang tidak dapat dicapai oleh
sekelompok manusia lain. Mereka diorbitkan (ukhrijat) untuk
maju ke garis depan dan memegang kendali kepemimpinan
karena mereka adalah umat yang terbaik. Allah menghendaki
supaya kepemimpinan di muka bumi ini untuk kebaikan, bukan
untuk keburukan dan kejahatan. Karena itu, kepemimpinan
tidak boleh jatuh ke tangan umat lain dari kalangan umat dan
bangsa jahiliyah. Kepemimpinan ini hanya layak diberikan
kepada umat Islam karena karunia yang Allah berikan berupa
akidah, pandangan, peraturan, akhlak, pengetahuan, dan ilmu
yang benar.50
Fakhrudin al-Razi menjelaskan, keutamaan umat Islam
atas umat-umat sebelum Islam karena mereka menyeru kepada
kebajikan dan mencegah kemungkaran. Kebajikan yang paling
agung adalah bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan mengkui
apa yang diturunkan Allah dan kemungkaran yang paling besar
adalah kekufuran. Adapun amar makruf nahi mungkar
didahulukan atas iman kepada Allah, karena yang memberi
dampak kepada tercapainya suatu kebaikan adalah amar makruf
nahi mungkar. Sedangkan iman kepada Allah adalah prasyarat
pengaruh hukum ini, karena jika tidak ada keimanan, maka
50
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 3, h. 190
112
tidak ada satupun tindakan ketaatan yang berpengaruh dalam
sifat kebaikan ini (sia-sia).51
Wahbah al-Zuhaili menambahkan, umat Islam adalah
umat terbaik selama mereka masih menjalankan amar makruf
nahi mungkar dan beriman kepada Allah SWT dengan
keimanan yang lurus, benar dan sempurna. Amar makruf nahi
mungkar dalam ayat ini, didahulukan atas iman kepada Allah
SWT, hal ini dikarenakan amar makruf nahi mungkar adalah
dua hal yang lebih bisa menunjukan dan membuktikan akan
keutamaan umat Islam atas umat yang lain. Juga karena iman,
umat non-Muslim pun mengaku kalau mereka juga beriman.
Keunggulan dan keutamaan ini akan selalu dimilki oleh umat
Islam selama mereka tetap beriman kepada Allah SWT dengan
sebenar-benarnya iman, selalu menjalankan amar makruf dan
nahi mungkar.52
Sedangkan dalam QS. Ali Imran/3 : 104, Allah
memerintahkan sebagian umat Islam untuk mengambil spesialis
sebagai juru dakwah dan mereka haruslah ditopang dengan
kekuasaan, sehingga amar makruf nahi mungkar dapat
ditegakkan dalam masyarakat. Mereka haruslah orang-orang
yang teguh mengerjakan kewajiban-kewajiban agama. Sehingga
Allah mengukuhkan kedudukan mereka di muka bumi dan
menjadikan mereka sosok pemimpin, panutan dan teladan yang
baik yang dikuti dan ditiru oleh orang lain. Mereka itulah
orang-orang yang sempurna, serta beruntung di dunia dan
akhirat. Allah SWT berfirman,
51
Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 197-
198 52
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 2, h.373
113
“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.”
Wahbah al-Zuhaili menyimpulkan, perintah dakwah
kepada Islam, menyebar luaskannya ke seluruh penjuru dunia,
amar makruf nahi mungkar, merupakan kewajiban yang masuk
kategori fardhu kifayah. Sebagimana ditegaskan Allah dalam
QS. at-Taubah/9: 122 “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu
pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.”53
Fakhrudin al-Razi juga mengatakan dakwah amar
makruf nahi mungkar adalah kewajiban kepada setiap umat
yang bersifat fardhu kifayah. Jika telah ada sekelompok umat
yang menegakkan kewajiban ini, maka gugurlah tanggung
jawab ini bagi sebagian yang lain.Amar makruf nahi mungkar
dapat dilakukan dengan perbuatan, lisan atau hati. ar-Razi
menukil perkataan al-Dhahak : “yang dimaksud dalam ayat ini
adalah sahabat-sahabat Rasulullah, karena mereka belajar dari
Rasulullah dan mengajarkannya kepada manusia.” Adapun
takwilnya adalah umat Islam harus menjadi komunitas umat
yang menjaga sunah-sunah Rasulullah dan mengajarkan
agama.54
Fakhrudin al-Razi dalam menjelaskan kewajiban amar
makruf nahi mungkar dalam ayat ini, menukil sabda Rasulullah
SAW : “Barang siapa yang menyeru kepada kebajikan dan
mencegah kemungkaran, maka ia telah menjadi khalifah Allah
53 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 2, h.369.
54 Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 181-
182
114
di muka bumi, khalifah Rasulullah, dan khalifah Kitab-Nya.”
Ali bin Abi Thalib Ra.berkata : “Jihad yang paling utama
adalah amar makruf nahi mungkar.” Ia berkata juga : “Barang
siapa yang tidak mengetahui ada kebaikan di dalam hatinya dan
tidak mengingkari suatu kemungkaran, maka Allah balikkan
dan jadikan kedudukannya yang tinggi menjadi rendah.”
Riwayat dari al-Hasan, bahwa Abu Bakar RA Berkata : “Wahai
manusia tegakkanlah amar makruf nahi mungkar dan hiduplah
dengan kebaikan.”55
Al-Thabarsy menjelaskan, QS. Ali Imran/3: 104
merupakan dalil kewajiban amar makruf nahi mungkar, dan
keagungan mengambil posisi tersebut dalam agama. Karena
Allah SWT memuji dan menghubungkan perihal tersebut
dengan keberuntungan dan kemenangan. Mayoritas ahli kalam
berpendapat hal tersebut adalah fardhu kifayah, namun Abu
Ja‟far RA berikhtiyar bahwa hal tersebut adalah fardhuain.
Kemudian al-Thabarsy menukil riwayat dari Abu Abdullah AS
Dan hendaklah ada diantara kamu“ (ولحكه مىكم أئمة, وكىحم خير أئمة) :
para Imam, dan diantara kalian terdapat sebaik-baiknya para
Imam.56
Riwayat Abu abdullah AS lebih lengkap ditampilkan al-
Qummi dalam tafsirnya, ketika menafsirkan ayat 110. Ayahku
berbicara padaku, dari Ibnu Abu „Amir, dari Ibnu Sinān,
berkata : diabacakan ayat ini ( يره كىحم ة خه ث أم للى اس أخرجه ) kepada
Abu Abdillah AS, Beliau berkata : “Sebaik-baiknya umat
membunuh Amirul Mukminin Ali Bin Abu Thalib, al-Hasan,
dan al-Husain AS?”, Ibnu Sinān, berkata : “Bagaimana maksud
ayat tersebut diturunkan?,” Beliau berkata : “Dan diantara
kalian terdapat sebaik-baiknya para Imam.yang dilahirkan
untuk manusia, - “Apakah engkau tidak meperhatikan bahwa
55
Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 184-
185 56
al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. Jilid 2 h. 288
115
Allah memuji mereka para Imam AS?” – beliau membacakan
( عروف جهأمرونه جهىههىنه بٱلمه ه وه جؤمىىنه ٱلمىكهر عه وه بٱلل ).57
Adapun al-Thabathabai‟ tidak mengkaitkan dan
menafsirkan kedua ayat tersebut dengan kepemimpinan. Beliau
hanya menjelaskan pada ayat 104, bahwa Allah menyeru
masyarakat yang baik, mereka memiliki ilmu yang bermanfaat,
amal perbuatan yang baik untuk menjaga pengetahuan mereka
dan kebudayaan atau kebiasaan mereka, serta jangan berpaling
dari jalan Allah yang baik. Dan jangan mengajak orang yang
condong berbuat kebaikan kepada perbuatan yang
menyebabkan keburukan dan kehancuran. Inilah yang dimaksud
dengan dakwah dengan pengajaran, amar makruf dan nahi
mungkar.58
Kemudian pada ayat 110, beliau menekankan agar
menunjukkan keimanan dengan berdakwah kepada masyaraat
untuk berpegang teguh kepada tali Allah dan meniadakan
perpecahan khususnya dalam menghadapi kekafiran.59
Secara global Ahlusunah dan Syiah sama-sama
berpandangan bahwa umat Islam berkewajiban (fardhu kifayah)
menjalankan amr makruf nahi munkar, terlebih seorang
pemimpin. Namun, terjadi perbedaan ketika al-Qummi dan al-
Thabarsy memaknai kata ummah dalam kedua ayat tersebut
dengan para imam ahlulbait.
57
al-Qummi, Tafsīr Al-Qummi. Jilid 1 h.165 58
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran. Jilid 3 h. 426 59
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran. Jilid 3 h. 431
116
117
BAB IV ANALISA PENAFSIRAN AHLUSUNAH DAN SYIAH
TERHADAP AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG
KEPEMIMPINAN SYIAH
Setelah penulis menelusuri kitab-kitab tafsir dari
golongan Ahlusunah tentang penafsiran ayat-ayat al-Quran
tentang kepemimpinan, maka pada pembahasan ini penulis
menulusuri kitab-kitab tafsir dari golongan Syiah. Adapun
kitab-kitab tafsir yang dirujuk yaitu : Tafsir al-Qummi,
Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, serta al-Mizān fī Tafsīr
al-Quran. Dalam menemukan ayat-ayat kepemimpinan Syiah,
penulis terbantu dengan ayat-ayat kepemimpinan Syiah yang
sangat masyhur dikalangan pengikut dan ulama Syiah.
Termasuk para mufassir Syiah, ketika menafsirkan ayat-ayat
yang berkaitan dengan teologi imamah, mereka menyebutkan
ayat-ayat tersebut dengan istilah nama ayat yang sudah tersohor
tersebut. Berikut penafsiran ayat-ayat tersebut.
A. QS. al-Maidah/5: 67 (Ayat Tablīg)
Imam al-Syuyuthi‟ menjelaskan bahwa Rasulullah saat
wafatnya tidak menunjuk siapa penggantinya. Sedangkan
isyarat Rasulullah tentang khalifah yang disebutkan dalam
hadist terungkap jauh-jauh sebelum wafat beliau. Seperti hadist
riwayat al-Hakim dai hadist al-Irbadh bin Sariyah, “Hendaknya
kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin
yang mendapat petunjuk setelah aku.” Dan sabdanya “Ikutilah
jejak langkah dua ornag setelah wafatku, Abu Bakar dan
Umar.”1
Al-Thabathaba‟i membantah para ulama yang
berkeyakinan bahwa Rasulullah tidak mewasiatkan atau
memikirkan kepemimpinanan umat Islam sepeninggalannya.
1 Imam al-Syuyuthi‟, Tarikh Khulafa; Sejarah Penguasa Islam,
Penej. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), h. 9
118
Menurut al-Thabathaba‟i perkara kepemimpinan merupakan
perkara umat yang dibutuhkan dalam agama dan tidak perlu
ditutup-tutupi. Dapatkah dibenarkan jika ada orang yang
mengatakan bahwa agama ini tidak membutuhkan pemelihara
dalam arti yang sebenarnya? Atau umat Islam dan
masyarakatnya diperkecualikan dari masyarakat-masyarakat
manusia yang lain, tidak membutuhkan seorang Pemimpin yang
memimpin urusannya, Pengatur yang mengaturnya, dan seorang
Pengendali yang mengendalikannya?
Dasar apa yang dijadikan suatu alasan oleh Pengkaji
tentang sejarah perjalanan hidup Nabi SAW, yang bersifat
sosial? Sementara ia mengakui bahwa setiap keluar ke medan
perang, Nabi mengangkat seorang pengganti kedudukannya
untuk mengurus kelangsungan masyarakat. Nabi SAW
mengangkat pemimpin-pemimpin pemerintahan untuk
mengatur urusan umat Islam di daerah-daerah, seperti di
Makkah, Thaif, Yaman, dan lainnya. Kemudian beliau juga
mengangkat Panglima dalam setiap peperangan dan pasukan
yang dikirim ke seluruh penjuru negeri. Apa bedanya antara
masa hidup Nabi SAW dan sesudah wafatnya, sehingga tidak
membutuhkan masalah ini setelah beliau wafat. Sementara
kebutuhan terhadap masalah ini sangat diperlukan dari zaman
ke zaman.2
Al-Thabarsy dalam kitab tafsinya Majmau‟ al-Bayān fī
Tafsīr al-Qur‟an menukil riwayat terkenal dari Abu Ja‟far dan
Abu Abdillah : ”Sesungguhnya Allah telah mewahyukan
kepada Rasulullah untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai
Khalifah sepeninggalannya, dan beliau khawatir terhadap
sekolompok sahabatnya yang akan merusak ketetapan tersebut.
Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. Al-Maidah/5: 67) untuk
menguatkan hati Rasulullah dalam menegakkan apa yang telah
diperintakan Allah ini. Jika Rasulullah tidak menyampaikan apa
2 Muhammad Husain al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran,
(Beirut: Muassasah al-A‟lamī li al-Mathbūā‟t, 1417/1997), Jilid 6 h. 48-49
119
yang telah diturunkan kepadanya dan menyembunyikannya,
maka seakan-akan Rasulullah tidak menyampaikan satu pun
risalah-risalah Allah.” Ibnu Abbas berkata: “Jika Rasulullah
menyembunyikan ayat yang telah diturunkan Allah kepadanya,
maka Rasulullah tidak menyampaikan risalah Allah atau tidak
menyampaikan semua perkara.”3
Allah SWT menegaskan dalam QS. Al-Maidah/5: 67 :
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa
yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia[. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.”
al-Qummi dalam Tafīir al-Qummi menjelaskan, ayat ini
turun kepada Rasulullah SAW, ketika sampai di Ghadir Khum
dalam perjalanan pulang Haji Wada‟ dari Makkah menuju
Madinah. Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan
Rasulullah SAW untuk mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalīfah sepeninggalannya. Maka Rasulullah SAW berpidato di
hadapan para sahabat, setelah memuji Allah, Beliau bersabda:
“Wahai sekalian manusia, apakah kalian mengetahui siapa wali
kalian?”, para sahabat menjawab: “Ya, Allah dan Rasul-Nya”.
Rasulullah bersabda: “Bukankah kalian mengetahui bahwa
3 Fadhl bin Hasan al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-
Qur‟an (Lebanon: Dar al-Ulūm, 1426H/2005M), Jilid 3 h. 314
120
sesungguhnya diriku lebih utama dari kalian?”, mereka
menjawab: “Ya, benar”. Beliau mengulanginya tiga kali, dan
mereka menjawab dengan jawaban yang sama.4
Kemudian Rasulullah berdoa: “Ya Allah, Saksikanlah”,
Kemudian Rasulullah menggenggam tangan Ali bin Abi Thalib
dan mengangkatnya sampai terlihat ketiak keduanya yang putih
oleh para sahabat. Kemudian bersabda: “Ketauhilah, barang
siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali bin Abi Thalib
adalah pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang
mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya, belalah
orang yang membelanya, dan hinakanlah orang yang
menghinakannya.”5
Menurut al-Thabathaba‟i, ayat ini tidak memiliki
hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Rangkaian
ayat ini membicarakan tentang keadaan ahli kitab, kehinaan dan
keburukan akibat keburukan mereka, yakni banyak berbuat
zalim terhadap apa yang telah diharamkan oleh Allah dan
mengingkari ayat-ayatnnya. Jika ayat ini mempunyai hubungan
dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang saling berkaitan,
maka mempunyai kesimpulan bahwa perintah Nabi yang
terpenting adalah menyampaikan perintah Allah tentang
masalah Ahli Kitab.
Sedangkan secara lahiriah ayat ini mengandung perintah
kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan sesuatu yang
berbahaya dan menakutkan. Masalah yang harus disampaikan
dalam ayat ini adalah masalah yang sangat penting dan
mengandung kekhawatiran adanya bahaya terhadap jiwa
Rasulullah atau agama Allah SWT dilihat dari segi keselamatan
penyampaiannya. Kemudian beliau menyampaikannya setelah
Allah SWT menjanjikan kepadanya pemeliharaan dari
4 Ali bin Ibrahim Al-Qummi, Tafīir al-Qummi (Qum: Yayasan
Imam Mahdi, 1435 H), Jilid 1 h. 254 5 al-Qummi, Tafīir al-Qummi, Jilid 1 h. 254-255, al-Thabarsy,
Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Jilid 3 h. 313-314
121
gangguan manusia. Beliau tidak pernah menunda
pernyampaiaan perintah sehubungan dengan mereka walaupun
beliau menghadapi tantangan yang hebat dari orang Yahudi
mulai awal-awal hijrah ke Madinah hingga berkahir dalam
peritiwa Khaibar dan lainnya.6
al-Thabathaba‟i menegaskan, tidaklah dapat dikatakan
bahwa Nabi SAW takut mereka membunuh jiwanya, sehingga
gagallah pengaruh dakwahnya dan terputuslah dakwahnya yang
lalu, kemudian beliau menundanya pada waktu tertentu yang
sunyi dari bahaya. Walaupun mereka berusaha membunuh Nabi
SAW, namun Allah tidak akan membiarkan Nabi SAW menjadi
hina. Dan untuk melangsungkan dakwahnya, Allah
menggunakan segala sarana yang dikehendaki-Nya, atau sebab
apa yang Ia kehendaki. Nabi merasa khawatir kepada manusia
dalam menyampaikan suatu masalah. Dalam pengertian,
khawatir mereka itu menghambat kelangsungan dakwahnya dan
merusak keberhasilannya. Pendapat dan ijtihad seperti ini boleh,
jika tidak mengembalikan makna takut kepada takut
mengorbankan jiwanya. 7
al-Thabathaba‟i melanjutkan, ayat ini tidak turun pada
awal kenabian dan masalah yang diturunkan kepadanya
bukanlah kumpulan ilmu-ilmu agama atau dasarnya. Tidak
seperti penafsiran sebagian mufasir yang menyatakan ayat ini
turun pada awal kenabian dan perintah untuk menyampaikan
Risalah yang berupa kumpulan agama atau dasarnya. Kemudian
Nabi SAW menunda penyampaian karana takut manusia
membunuh jiwanya, menghalangi hidupnya sehingga
musnahlah dakwahnya. hal seperti ini, menurut Al-
Thabathaba‟i tidak akan sedikit pun berpengaruh ke dalam diri
Nabi, dan penafsiran seperti ini tidak ada satu pun pintu jalan
menuju kandungan ayat ini.8
6 al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 42-43
7 al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 44
8 al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 44
122
Sebab, seandainya yang dimaksud dengan: “apa yang
diturunkan kepadanya dari Tuhannya” adalah Ushuluddin,
maka akan bermakana: “Wahai Rasul sampaikan agama dan
jika kamu belum menyampaikan agama, maka kamu belum
menyampaikan agama.” Makna ini adalah kacau. Jika misalnya
masalah itu adalah sebagian Agama, dengan pengertian:
“Sampaikanlah hukum ini dan jika kamu belum
menyampaikannya, maka kamu berarti tidak menyampaikan
dasar Risalah atau keseluruhan Risalah”, maka pengertian
seperti ini benar dan logis.9
al-Thabathaba‟i menjelaskan, ayat ini diturunkan dalam
masalah Wilayah Ali bin Abi Thalib. Allah memerintahkan
menyampaikan masalah ini, sementara masalah ini juga
diinginkan oleh semua manusia. Karena itu Nabi SAW merasa
khawatir untuk menyampaikan dan menjelaskannya. Nabi
kahawatir mereka menuduh beliau cenderung menyukai Putera
Pamannya dan menghujat masalah ini. Akhirnya Nabi menunda
penyampaian masalah ini dari saat ke saat sehingga turunlah
ayat ini yang mengharuskan penyampaiaan masalah ini, lalu
Nabi menyampaikannya di Ghadir Khum. Pada waktu itulah,
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menjadikan aku
sebagai pemimpinnya, maka ini Ali pemimpinnya.” 10
Ayat ini juga mengandung suatu penegasan, yang
hakikatnya menunjukkan sangat pentingnya peranan Hukum
ini. Sehingga seandainya tidak sampai pada manusia dan
diperjelas kebenarannya, maka sama halnya dengan belum
menjelaskan satu pun kebenaran dari bagian-bagian agama.
Selain penegasan kepada beliau, ayat ini juga memberikan
informasi kepada Ali bin Abi Thalib dan umat Islam tentang
pentingnya dan peranan dari hukum ini.
9 al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 44-46
10 al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 48, lihat
juga Al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an , Jilid 3 h. 313
123
Kata “manusia” dalam ayat ini “Allah memelihara kamu
dari (gangguan) manusia” menggambarkan sikap pribadi yang
negatif dari orang-orang beriman, munafik dan orang-orang
yang hatinya berpenyakit. Mereka ini menjadi satu tanpa
dibedakan. Ayat ini turun sesudah Hijrah dan kekuatan Islam
telah nyata. Pada waktu itu sikap negatif pada umumnya
nampak dari kalangan umat Islam yang munafik dan lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan kaum yang kafir
“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang kafir” bukanlah dalam pengertian sombong dari
dasar dua kalimat syahadat, melainkan orang-orang yang
mengingkari suatu ayat dari ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada mereka dalam siasat dan tipu daya
mereka, dan Dia memelihara Nabi SAW dari sebab-sebab yang
berlaku yaitu sikap-sikap jahat dan negatif yang akan mereka
lancarkan dalam merusak dan memadamkan cahaya hukum
yang diturunkan Allah ini.11
Menurut Wahbah al-Zuhaili, QS. al-Maidah/5: 67 ini
memberitahu Rasulullah Saw. bahwa tablīg adalah sebuah
keniscayaan yang yang beliau tidak boleh berijtihad menunda
sesuatu darinya dari waktu yang semestinya.12
Adapun makna
11
Al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 52-53 12
Al-Zuhaili berpendapat demikian, karena beliau menukil hadis
Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa‟i
dalam menfasirkan ayat ini, ia berkata : “barang siapa yang mengatakan
kepadamu bahwa Muhammad menyembunyikan sesuatu dari apa yang
diturunkan Allah SWT kepada beliau, maka sungguh orang itu benar-benar
telah berdusta, padahal Allah berfirman, “ Wahai Rasul sampaikanlah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”
Dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim juga diriwayatkan sebuah
hadis dari Aisyah, bahwasannya ia berkata; “Seandainya Muhammad
menyembunyikan sesuatu dari al-Quran tentulah beliau akan
menyembunyikan ayat ini, „Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada
orang yang Allah tidak limpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah
memberi nikmat kepadanya. „Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah
kepada Allah.‟ Sedang kamu menyembunyukan di dalam hatimu apa yang
124
tablīg disini menurut beliau adalah mempublikasikan dakwah
Islamiyyah, menginformasikan seluruh hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya dan menyampaikannya kepada
manusia. Dalam hal ini, Allah meyakinkan Rasul dengan
memberi penjagaan, pemeliharaan, dan perlindungan
kepadanya, dari usaha-usaha orang kafir untuk
membunuhnya.13
al-Razi menyebutkan sepuluh riwayat disebutkan para
mufasir terkait sebab turunya ayat ini. Beberapa diantaranya
yaitu, pertama, turun berkenaan dengan kisah rajam dan kisah-
kisah terdahulu dalam kisah Yahudi. Kedua, berkenaan dengan
perkara Zaid dan Zainab binti Jahsy. Ketiga berkenaan dengan
ayat Takhyīr (ا أها انىبب قم ألشواجك). Keempat, berkenaan dengan
anjuran jihad. Kelima berkenaan dengan ayat ( وال تسبىا انره دعىن
kemudian Rasul mendiamkan aib tuhan-tuhan (مه دون هللا ...
mereka, maka turunlah ayat ini. Keenam, berkanaan dengan
keutamaan Ali bin Thalib AS. kemudian al-Razi
menyimpulkan, walaupun terdapat banyak riwayat dalam hal
ini, maka yang lebih utama adalah dengan memahami bahwa
Allah menjamin keselamatan Rasul dari makar orang Yahudi
dan Nasrani, serta memerintahkan Rasul untuk berdakwah
secara terang-terangan tanpa mempedulikan mereka.14
Perbedaan dalam menafsirkan ayat ini sangat jelas
terlihat. Syiah berkeyakinan bahwa perintah tablīgh dalam ayat
ini adalah perihal wilayah Ali bin Abi Thalib pasca Rasulullah
SAW tanpa jeda. Allah memerintahkan Rasul agar tidak
Allah akan nyatakan, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berhak untuk kamu takuti,” sampai ayat, “ wa kāna amrullāhi
maf‟ūlan.” Lihat Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, dan
Manhaj. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2016),
Jilid 4, h. 594-595 13
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir. Penerjemah Abdul Hayyie
al-Kattani Jilid 4, h. 591 14
Lihat selengkapnya, Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-
Kabīr wa Mafātih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikri, 1981), Jilid 12, h. 52-53
125
menunda penyampai hal tersebut dan Allah menjamin
keberhasilan penyampaian hukum tersebut dari sahabat-
sahabatnya yang ingin merusak ketetapan tersebut. Sedangkan
Ahlusunah memaknai perintah tablīgh dengan perihal hukum-
hukum agama. Allah memerintahkan Rasul agar segera
menyampaikannya secara terang-terangan dan Allah menjamin
keselamatan beliau dari makar orang Yahudi dan Nasrani.
B. QS. al-Maidah/5: 55-56 (Ayat Wilāyah)
Pemimpin haruslah orang yang mampu mengurusi
kepentingan-kepentingan manusia dan memastikan semua
keteraturan berjalan sesuai dengan hukum Allah SWT dan
Rasul-Nya. Oleh karena itu pemimpin yang paling utama adalah
pemimpin yang tingkat keimanannya paling dekat dengan Allah
dan Rasul-Nya. Para ulama Syiah berpendapat Ali bin Abi
Thalib merupakan pribadi pemimpin yang paling ideal setelah
Rasulullah SAW dan Allah pun telah bersabda dalam Qs. al-
Maidah/5: 55-56 untuk mengukuhkan beliau sebagai pemimpin
setelah wafatnya Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-
Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan Salat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
56. dan Barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-
orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka
Sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang.”
126
al-Qummi mengatakan dalam kitab tafsirnya,
menceritakan kepadaku ayahku, dari Shafwan, dari Abban bin
Usman, Hamzah ats-Tsimali, dari Abu Ja‟far ash-Shadiq, ia
mengatakan: Ketika Rasulullah Saw. sedang duduk dan di
sisinya ada sekelompok orang Yahudi. Di antara mereka adalah
Abdullah bin Salam, ketika itu turunlah ayat ini, kemudian
Rasulullah Saw. pergi ke masjid dan bertemu dengan seorang
peminta-minta lalu Nabi Saw. bertanya: “Apakah ada seseorang
yang memberikan sesuatu kepadamu? Ia menjawab: Ya, orang
yang sedang salat itu. Kemudian Nabi Saw. mendatanginya,
ternyata ketika didekati adalah Ali bin Abi Thalib15
Sedangkan al-Thabarsy menukil riwayat dari Jundab bin
Junadah al-Badri Abu Dzar al-Ghifari, Abu Dzar berkata: Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda: Ali adalah Pemimpin
kebaikan dan Pembunuh kekafiran. Pada suatu hari aku salat
dzuhur bersama Rasulullah. Lalu ada seorang pengemis di
masjid, tetapi tak ada seorang pun yang memberikan sesuatu
kepadanya. Sementara Ali sedang dalam keadaan ruku‟,
kemudian ia mengisyaratkan cincin yang ada di jari manis
kanannya. Pengemis itu mendekat kepadanya lalu mengambil
cincin itu. Peristiwa itu diketahui Rasulullah Saw. maka setelah
salat beliau menengadahkan wajahnya ke langit seraya berdoa:
“Ya Allah, aku Muhammad Nabi-Mu dan pilihan-Mu, Ya Allah
lapangkanlah dadaku, mudahkan urusanku dan jadikan bagiku
wazir dari keluargaku, Ali, berilah ia kekuatan sebagai
penggantiku.” Abu Dzar mengatakan sebelum Rasulullah
selesai berdoa, turunlah Jibril dan berkata: “Ya Muhammad
bacalah! Beliau menjawab: “apa yang harus aku baca? Jibril
berkata: “Bacalah!, ونكم إوما …اة آمىىا وٱنره وزسىنه ٱلل .16
Berdasarkan banyak riwayat dari jalur Syiah dan
Ahlusunah al-Thabathaba‟i juga menyatakan bahwa dua ayat ini
15
al-Qummi, Tafīir Al-Qummi, Juz 1 h. 250 16
al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Juz 3 h. 296-
297
127
turun untuk Amirul Mu‟minin Ali bin Abi Thalib, ketika ia
memberikan cincinnya pada waktu ia sedang salat dalam
keadaan ruku‟. Ayat ini bersifat khusus tidak umum. Jika
dinyatakan benar menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan
sebab-sebab turunnya yang didukung oleh banyak riwayat,
maka jelas benar pula menafsirkan ayat ini berdasarkan sebab
turunnya yang juga didukung oleh banyak riwayat. Dengan
demikian makna Wilayah dalam dua ayat ini bukanlah Wilayah
orang-orang beriman secara umum.17
al-Thabarsy dalam kitab tafsirnya Majma‟ al-Bayān
menjelaskan, Allah dan Rasul-Nya merupakan pemimpin yang
mengatur dan mengurusi maslahat-maslahat manusia.
Kemudian Allah mensifati orang-orang yang beriman dengan
mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku‟.
Ayat ini merupakan salah satu dalil yang paling jelas atas
kebenaran imamah Ali bin Abi Thalib setelah Nabi Muhammad
SAW tanpa jeda, dan maksud dari kata ( ونكم) memberi faedah
siapa yang lebih utama dalam mengatur urusan dan mewajibkan
ketaatan atas mereka. ( آمىىا ٱنره ) adalah Ali bin Abi Thalib, nash
ini menetapkan dan menjelaskan imamah atasnya. Adapun kata
menghendaki pengkhususan dan penidaan hukum kepada (إوما)
siapa selain yang telah disebutkan.18
al-Thabathaba‟i dalam kitab tafsirnya al-Mizan,
membantah beberapa penolakan mayoritas mufasir Ahlusunah
terhadap kekhususan makna dan kelemahan penafsiran Syiah
atas dua ayat ini. Mereka mempermasalahkan : Pertama,
Penafsiran Wilayah dalam dua ayat ini adalah pertolongan.
Kedua, Riwayat-riwayat itu mengharuskan makna tunggal
terhadap bentuk jamak dalam ayat ini. Ketiga, Riwayat-riwayat
itu mengharuskan makna zakat, sedangkan dalam ayat ini
17
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 8-9 18
al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Jilid 3 h. 298
128
adalah pemberian cincin, yang hal ini tidak dapat dinamakan
zakat.19
al-Thabathaba‟i menjelaskan, mayoritas ulama tafsir
Ahlusunah menafsirkan kata ruku‟ dalam ayat ini dalam makna
majazi, yakni tunduk kepada Allah secara mutlak, atau keadaan
yang lemah karena kefakiran dan sejenisnya. Kemudian
mengembalikan makna ayat itu bahwa penolong-penolong
kalian adalah bukan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Munafik,
tetapi penolong-penolong kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman yang melaksanakan salat dan
menunaikan zakat, di mana mereka ini dalam keadaan tunduk
kepada Rububiah dengan mendengar dan mentaati, atau mereka
menunaikan zakat dalam keadaan fakir dan sengsara. Penafsiran
seperti ini menurut beliau lemah.20
Karena mereka menyatakan ayat ini mempunyai kaitan
erat dengan ayat sebelum dan sesudahnya dengan tujuan
memaparkan masalah Wilayah dalam pengertian pertolongan,
dan membedakan yang hak dari yang tidak hak. Menurut al-
Thabathaba‟i rangkaian ayat tersebut tidak turun sekaligus. Hal
ini dapat dibuktikan dengan kandungan maknanya dan
dikuatkan oleh sebab-sebab turunnya. Wilayah dalam
pengertian pertolongan tidak sesuai dengan rangkaian ayat-ayat
itu. Karena dalam ayat ini terdapat kekhususan-kekhususan,
terutama kalimat: … ض نآء بع ضهم أو ىكم فئوه … dan … بع ومه تىنهم م
Sebab ikatan Wilayah dalam arti pertolongan dan مى هم
seperangkat syarat-syaratnya antara dua kelompok manusia
tidak mengharuskan yang satu menjadi bagian yang lainnya.
Dengan demikian. pengertian yang tepat dari Ikatan Wilayah
dalam rangkaian ayat ini adalah kasih sayang. Karena kasih
sayang mengharuskan keterpaduan jiwa dan rohani antara dua
kelompok manusia, yang membolehkan kelompok yang satu
terhadap yang lain melakukan usaha-usaha spiritual dan
19
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 9 20
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 6
129
material dalam urusan kehidupan dan saling melakukan
pendekatan antara dua kelompok dalam akhlak dan amal
walaupun mereka mempunyai ciri-ciri khas kebangsaan
tertentu.21
Adapun dalil yang terkuat, sehubungan dengan
penisbatan Wilayah kepada Nabi SAW di dalam ayat ini adalah
wilayah dalam pengertian kepemimpinan dan cinta kasih.22
Namun tidak berarti mengkategorikan Nabi SAW sebagai wali
mereka dalam pengertian penolong. Kemenangan dalam akhir
ayat ini memang sesuai dengan Wilāyah dalam pengertian
Pertolongan , tetapi ia juga sesuai dengan Wilāyah dalam
pengertian kepemimpinan dan cinta kasih. Kemenangan agama
merupakan keinginan daripada orang-orang yang agamis, dan
kemenangan itu akan tercapai dengan adanya hubungan orang-
orang beriman dengan Allah dan Rasul-Nya melalui suatu
wāsilah yang sempurna. Allah SWT menegaskan hal itu dengan
janjinya yang jelas, sebagai mana friman Allah SWT23
Allah telah menetapkan: "Aku dan rasul-rasul-Ku pasti
menang". Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”
Hal yang dipermasalahan kedua adalah bentuk jamak
yang dimaksud tunggal dalam kalimat ( آمىىا وٱنره ). al-
Thabathaba‟i menanggapi, hal ini mengherankan, karena
mereka dibeberapa ayat-ayat al-Quran juga menerima
21
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 6-7 22
Allah SWT berfirman :
. ...
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri” 23
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 8
130
penggunaan bentuk jamak dengan maksud tunggal. Seperti
firman Allah SWT:
1. QS. al-Mumtahanah/60 : 1
...
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia
yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad), karena rasa kasih sayang... -kamu
memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad)
kepada mereka, karena rasa kasih sayang-”
Dalam hal ini telah dinyatakan benar bahwa orang yang
menyurati orang-orang musyrik Quraisy adalah Hatib bin Abi
Balta‟ah.
2. QS. al-Munafiqun/ : 8
...
“Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah
kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan
mengusir orang-orang yang lemah dari padanya."
Hal itu telah dinyatakan benar bahwa orang yang berkata itu
adalah Abdullah bin ubay bin Salul.24
24
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 10
131
3. QS. al-Baqarah/2 : 274
...
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam
dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan.”
Hal ini telah dinyatakan benar bahwa orang yang menafkahkan
hartanya adalah Ali bin Abi Thalib.
4. QS. al-Maidah/5 : 52
... ...
“Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Kami takut
akan mendapat bencana".
Mereka menerima bahwa orang yang berkata dalam ayat ini
adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Al-Thabathaba‟i menyimpulkan, jika dalam hal ini
dibenarkan dalam kaidah bahasa, maka hal itu tentu pula
berlaku pada QS. Al-Maidah/5: 56 ini. Dengan deimikian
masalah Wilayah dalam ayat ini, tidak akan diserahkan kepada
sebagian orang-orang yang berdasarkan kira-kira, melainkan
mengikuti pendahulunya dalam keikhlasan dan amalnya.25
Adapun hal yang dipermasalahkan terakhir adalah
menyedekahkan cincin tidak dapat dinamakan zakat. al-
Thabathaba‟i menegaskan, pendapat seperti ini dapat disanggah
bahwa perpindahan (Ta‟ayyun) kata zakat kepada makna
Istilahi, tiada lain hal ini terjadi karena adanya ketentuan syar‟i
setelah turun ayat al-Quran mewajibkan dan mensyariatkan
zakat dalam agama. Adapun makna yang yang disajikan oleh
25
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 10
132
bahasa, ia lebih umum dari istilah zakat dalam ketentuan syar‟i.
sedangkan memberikan sesuatu atau menginfakkan harta karena
Allah ketika salat juga lebih umum dari istilah zakat dalam
ketentuan syar‟i. Sebagaimana yang telah Allah kisahkan
tentang para Nabi terdahulu. Seperti tentang Nabi Ibrahim,
Ishaq, dan Ya‟qub dalam QS. Al-Anbiya/21 : 73
...
...
“... Dan telah Kami wahyukan kepada, mereka
mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat ...
Tentang Nabi Ismail dalam QS. Maryam/19; : 55
“Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan
menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi
Tuhannya.”
Kisah Nabi Isa dalam QS. Maryam/19 : 31
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di
mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku
(mendirikan) Salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;”
Al-Thabathaba‟i menjelaskan, sebagaimana telah
dimaklumi bahwa dalam syariat mereka tidak ada zakat harta
133
dalam makna istilāhi dalam Islam. Demikian juga Firman Allah
SWT dalam QS. al-Mukminun : 4. Dan ayat-ayat lainnya yang
terdapat dalam surat-surat Makiyah, khususnya yang turun pada
awal-awal kenabian, dimana pada waktu itu belum disyariatkan
zakat dalam pengertian istilahi. Bahkan ayat tentang zakat itu
sendiri yakni: at-Taubah/9 : 103 menunjukkan bahwa zakat
bagian dari shadaqah, dan tiada lain shadaqah itu dinamakan
zakat, karena ia untuk membersihkan secara mutlak, dan
penggunaan istilah zakat telah mengalahkan istilah shadaqah26
.
Al-Thabathaba‟i menyimpulkan bahwa tidak ada
larangan menamakan shadaqah dan infak di jalan Allah dengan
nama zakat. Dan menjadi jelas pula bahwa tidak ada keharusan
menafsirkan kata ruku‟ dalam makna majazi.27
Sedangkan al-Razi menjelaskan, pada ayat-ayat
sebelumnya Allah melarang ber-muwālāh kepada orang-orang
kafir, pada ayat ini Allah memerintahkan untuk ber-muwālāh
kepada-Nya, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Kemudian
beliau menolak pendapat Syiah yang menyatakan ayat ini
merukan dalil atas imamah Ali bin Abi Thalib setelah
Rasulullah, dengan alasan bahwa ayat ini diturunkan terkait
khusus dengan Abu Bakar. Karena jika ayat ini turun terkait
khusus Ali, maka ayat ini benar-benar menjadi dalil atas
imamah Ali setelah Rasulullah. Namun umat (sahabat) telah
bersepakat bahwa ayat ini tidak menjadi dalil atas imamah
Ali.28
Adapun Wahbah al-Zuhaili mengartikan firman Allah
dengan makna mereka adalah orang-orang yang (وهم زاكعىن)
khusyu dan tunduk. Sehingga beliau menafsirkan ayat ini
sebagai berikut, sesungguhnya penolong kalian adalah Allah
SWT, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin yang menegakkan
26
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 11 27
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 11 28
Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-
Ghaib. Jilid 12, h. 29
134
salat dengan utuh, lengkap, dan sempurna rukun dan syarat-
syaratnya, menunaikan zakat, yaitu memberikan zakat dengan
penuh keikhlasan dan senang hati kepada orang yang berhak
mendapatkannya. Mereka adalah orang-orang yang tunduk
kepada perintah-perintah Allah tanpa mengeluh, bosan, dan
tiada pula riya.29
Maka, terlihat jelas perbedaan penafsiran pada kedua
ayat diatas. Pertama, ahlusunnah menafsirkan ayat ini dengan
munāsabah ayat, sedangkan Syiah tidak demikian, pada
penjelasan sebelumnya dijelaskan, bahwa rangkaian ayat
tersebut tidak diturunkan sekaligus. Kedua, ahlusunnah
menafsirkan al-waliy dengan makna penolong, sedangkan Syiah
dengan kepemimpinan dan cinta kasih. Ketiga, Ahlusunah
memaknai kata rukū‟ dengan makna majazi yakni keadaan
tunduk, patuh, dan khusyu, sedangkan Syiah memaknainya
dengan makna sebenarnya yaitu posisi rukuk dalam salat.
Keempat, Ahlusunah menyatakan ayat ini diturunkan terkait
khusus dengan Abu Bakar, sedangkan Syiah menyatakan ayat
ini terkait khusus dengan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Kelima, Ahlusunah menyatakan ( آمىىا ٱنره ) adalah orang-orang
mukmin secara umum, sedang Syiah menyatakan Ali secara
khusus.
C. QS. al-Baqarah/2: 124 (Ayat Ibtilā)
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan
beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
29
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Penerjemah Abdul Hayyie
al-Kattani, Jilid 4 h. 567
135
menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata:
"(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman:
"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim."
Kata “ibtilâ” dan “balâ” mempunyai makna yang sama,
yakni mencoba dan menguji. Tak ada satupun ujian kecuali
dengan suatu perbuatan. Karena, perbuatanlah yang
memunculkan kualitas-kualitas yang terpendam dalam diri
manusia, bukan kata-kata yang hanya mengandung kesalahan
dan kebenaran. Dalam ayat ini Allah SWT Menguji Nabi
Ibrahim AS dengan kalimat-kalimat tertentu. Jika yang
dimaksud dengan kalimat itu adalah kata-kata tertentu, maka
tiada lain maksudnya adalah kata-kata yang berkaitan dengan
suatu perbuatan, yang menceritakan tentang janji-janji dan
perintah-perintah yang berkaitan dengan perbuatan. al-Quran
terkadang menyifati kata “al-kalimah” dengan kesempurnaan.
Setelah “Kalimat” itu keluar dari Pembicara seolah-olah belum
sempurna sehingga ia diaplikasikan kedalam suatu perbuatan
dan dibuktikan kebenarannya.30
Al-Qummi dan al-Thabarsyi menjelaskan dalam kitab
tafsirnya, sebagaimana yang mereka kutip riwayat dari Ja‟far
Shodiq, bahwa sesungguhnya apa yang Allah SWT uji kepada
Ibrahim adalah berupa penglihatan di dalam mimpinya ia
menyembelih putranya. Ismail AS Kemudian Ibrahim
menunaikannya, ia membulatkan tekad, dan menerima perintah
Allah maka tatkala ia membulatkan tekad, Allah SWT
berfirman "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi
30
Sebagaimana Allah Swt. menyatakan dalam firman-Nya :
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang
benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya
dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha mengetahui.” Al-
Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 264-265
136
seluruh manusia" sebagai penghargaan baginya karena telah
membenarkan dan melaksanakan perintah Allah tersebut.
Sedangkan dalam riwayat dari Ibnu „Abbas: Sesungguhnya
Nabi Ibrahim diperintahkan untuk melaksanakan manasik haji.
Sedangkan Hasan berkata: Allah mengujinya dengan bintang-
bintang, bulan, matahari, berkhitan, menyembelih putranya, api,
dan hijrah. Mujahid berkata: Allah mengujinyanya dengan
lanjutan ayat tersebut: “Sesungguhnya aku akan menjadikanmu
imam bagi seluruh manusia.”31
Al-Thabathaba‟i menegaskan, bahwa Imamah itu
dianugrahkan kepada Ibrahim ketika ia berusia lanjut, setelah
Ismail dan Ishaq dilahirkan, dan membawa Ismail beserta
ibunya tinggal di Makkah. Hal ini menunjukan, bahwa Ibrahim
telah menunaikan berbagai macam ujian yang Allah berikan.
Berdasarkan keterangan al-Quran, seluruh cobaan dan ujian
yang paling jelas dan dahsyat adalah pengorbanan Ismail AS.
Firman Allah SWT "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu
imam bagi seluruh manusia" sebagai penyempurna ujian-ujian,
dan ujian-ujian itu mengokohkan ia di maqam Imamah.32
Al-Thabarsy menjelaskan ketika Allah SWT menguji
Ibrahim dengan kalimat-kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya
dan Allah menjadikannya seorang Imam untuk semua manusia
sebagai penghargaan untuknya atas semua itu. Dalil dari itu
31
Al-Qummi, Tafīir Al-Qummi, Juz 1 h. 92, lihat juga al-Thabarsy,
Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Juz 1 h. 276 32
Allah Swt. Berfiman :
...
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. ... Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata.” Al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-
Quran, Juz 1, h. 262-263
137
adalah firman Allah “jā‟iluka” beramal pada firman Allah
“Imāman” dan isim fa‟il tidak beramal jika dengan makna
madhi (waktu lampau). Walaupun seseorang mengatakan ;
“anā dhāribu zaidan amsi” perkataan ini tidak benar. Maka
firman Allah ini wajib bermakna Allah menjadikan Ibrahim
seorang Imam dengan makna sekarang atau akan datang.
Adapun kenabian telah dicapainya sebelum peristiwa tersebut.33
Al-Thabathaba‟i menjelaskan Imam adalah orang yang
dijadikan teladan oleh manusia. Karena itu beberapa mufasir
mengatakan bahwa yang dimaksud Imamah disini adalah
kenabian, sebab Nabi adalah orang yang dipanuti oleh umatnya
dalam keagamaan mereka. Tetapi penafsiran seperti ini lemah
dan tidak benar. Karena kisah Imamah ini terjadi pada akhir-
akhir masa Nabi Ibrahim AS setelah mendapat berita gembira
tentang kelahiran Ismail dan Ishaq. Kemudian Malaikat juga
telah memberikan kepadanya tentang kisah Kaum Nabi Luth
dan kehancuran mereka. Ketika itu Nabi Ibrahim adalah
seorang Nabi dan Rasul. Maka ia menjadi Nabi sebelum
menjadi Imam dan kedudukan Imamahnya bukan kedudukan
Kenabiannya.34
Al-Thabathaba‟i, menegaskan Imam adalah seorang
pemimpin yang memberi petunjuk dengan perkara Allah yang
menemaninya. Dari sisi spritual Imamah adalah wilayah
terhadap manusia dalam perbuatan mereka dan memberi
petunjuk kepada mereka agar dapat mencapai apa yang
diinginkan oleh perkara Allah. Hal ini berbeda dengan petunjuk
yang ditunjukkan oleh Nabi dan Rasul dan seluruh mukmin
yang memberi petunjuk manusia dengan saran dan nasehat baik.
Para Imam memiliki kualitas sabar dalam setiap cobaan dan
ujian ubudiah dari Allah. Dan mereka sebelumnya adalah
orang-orang yang yakin.35
33
al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Juz 1 h. 279 34
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 266 35
Allah Swt. Berfiman :
138
Al-Thabathaba‟i melanjutkan, seorang Imam harus
manusia yang keyakinannya mampu menyingkap alam Malakūt
melalui kalimat-kalimat dari Allah SWT. Malakūt adalah
perkara yang tak tampak dari sudut pandang alam semesta.
Sehingga firman Allah SWT “petunjuk dengan perintah Kami”
menunjukan dengan jelas bahwa setiap apa yang berkaitan
dengan perkara hidayah – hati dan amal – Imam memiliki batin
dan hakikatnya. Dan perkara itu bagi Imam tampak, tidak
ghaib. Sebagaimana telah dimaklumi bahwa hati dan amal
seperti setiap sesuatu yang lain memiliki dua sisi yaitu perintah
dan larangan. Karena itu realita perbuatan manusia – baik atau
buruk – selalu dalam pandangan dan pengawasan Imam. Dan
Imam mempunyai keotoritasan atas dua jalan, jalan kebahagian
dan kesengsaraan.36
Al-Thabathaba‟i menjelaskan, Imam harus seorang yang
maksum dari kesesatan dan kemaksiatan. Jika tidak, ia bukan
orang yang mendapat petunjuk dengan dirinya sendiri,
sebagaimana makna Imam dalam Qs. al-Anbiya/21: 73.37
Menurut ayat tersebut seluruh amal perbuatan Imam adalah
baik. Ia memperoleh petunjuk kepada amal kebajikan tanpa
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka
meyakini ayat-ayat kami.” (Qs. al-Sajdah/ 32: 24), lihat Al-Thabathaba‟i, al-
Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 267 36
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 268 37
Firman Allah Swt.
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada,
mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah.”
139
melalui petunjuk orang lain, tapi dengan dirinya sendiri melalui
pertolongan Ilahi. Hal ini ditunjukan oleh firman Allah Swt:
“fi‟la al-khairāt.” Kata “fi‟la” berbentuk mashdar yang
dimudhafkan, menunjukan bahwa perbuatan itu benar-benar
telah terjadi. Setiap kebajikan yang dilakukan oleh para Imam
adalah melalui aspirasi wahyu dan pertolongan dari langit.38
Sebaliknya, siapa saja yang tidak maksum tidak akan
pernah menjadi seorang Imam yang menunjukan kepada
kebenaran. Hal ini berdasakan firman Allah "Janji-Ku (ini)
tidak mengenai orang yang zalim.” Yang dimaksud kezaliman
disini adalah mutlak kezaliman apa saja, kemusyrikan atau
kemaksiatan walaupun ia melakukannya sesaat dalam hidupnya
kemudian bertaubat. Adapun Imam bukanlah hak orang lain,
melainkan hanya untuk keturunan Ibrahim. Dan tidak seluruh
keturunannya berhak menduduki maqam Imamah, tetapi
sebagian dari mereka, sebagaimana dalam jawaban Allah
menafikan Imamah dari keturunannya yang zalim. “Ibrahim
berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah
berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.”39
al-Thabarsy menukil riwayat dari Abu Ja‟far bin
Babawaih dalam Kitāb an-Nubuwwah dengan sanad yang
marfu‟ kepada al-Mufadhil bin Umar dari Ja‟far Shodiq, aku
bertanya kepada Ja‟far Shodiq: “Wahai putra Rasulullah, apa
maksud firman Allah " beliau menjawab: Dia ,"فؤتمهه
menyempurnakannya sampai sempurna 12 Imam, 9 Imam dari
putra Husein bin Ali. Berkata al-Mufadhil: Wahai putra
Rasulullah, Bagaimana bisa Imamah hanya berasal dari
keturunan Husein tanpa keturuna Hasan, dan mereka berdua
putra Rasulullah, keluarganya dan pemuka pemuda penghuni
surga? Maka ia menjawab: sesungguhnya Musa dan Harun
adalah seorang Nabi, Rasul dan bersaudara, kemudian Allah
menjadikan kenabian berada pada keturunan Harun, tanpa
38
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 269 39
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 271
140
keturunan Musa, dan belum ada seseorang yang berkata: kenapa
Allah SWT berbuat demikian? Dan sesungguhnya Imamah
Khilafah Allah SWT bukanlah untuk seseorang yang bertanya:
”kenapa Allah menjadikannya hanya pada keturunan Husein
tanpa keturunan Hasan? Karena Allh SWT Maha Bijaksana
dalam setiap perbuatannya.40
Sedangkan Wahbah al-Zuhaili ketika menafsirkan ( قال
ia mengatakan, “Sesungguhnya Aku akan ,(إو جاعهك نهىاس إماما
menjadikanmu Rasul dan Imam bagi seluruh manusia; kau
pimpin mereka dalam agama mereka dan mereka menirumu
dalam perkara-perkara ini, serta orang-orang saleh mengikuti
jejakmu. Kemudian ketika menafsirkan (قال ال ىال عهدي انظانمه),
ia mengatakan, “Aku penuhi permohonanmu, akan Kujadikan
sebagian keturunanmu sebagai imam, tetapi janji-Ku tentang
keimanan dan kenabian ini tidak mengenai orang-orang zalim
yang menganiaya diri mereka sendiri, sebab mereka tidak layak
menjadi teladan bagi manusia.41
Wahbah al-Zuhaili melanjutkan, sejumlah kalangan
menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa imam haruslah orang
yang adil, baik, dan berwatak utama, disamping sanggup
melaksanakan tugas keimanan. Adapun orang yang fasik dan
zalim tidak layak menjadi imam. Namun, mayoritas ulama
berpendapat bahwa sabar dalam mentaati imam yang lalim
lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena
pertentangan dan pemberontakan terhadapanya, berarti
mengganti keamanan dengan ketakutan, serta menimbulkan
pertumpahan darah, penyerangan terhadap kaum muslimin, dan
kerusakan bumi.42
40
al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Juz 1 h. 277 41
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir. Penerjemah Abdul Hayyie
al-Kattani, Jilid 1 h. 244 42
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir. Penerjemah Abdul Hayyie
al-Kattani, Jilid 1 h. 246
141
Dari penjelasan kedua golongan terlihat jelas perbedaan
dalam pemaknaan seorang imam. Ahlusunah mengartikan
Imam dalam ayat ini sama dengan Nabi dan Rasul. Sedangkan
Syiah membedakan antara Nabi, Rasul dan Imam. Bahkan
beberapa ulama Syiah mengatakan imamah lebih tinggi
daripada kenabian dan kerasulan, karena Nabi Ibrahim
mendapatkan anugrah Imam setelah Ia menjadi Nabi dan Rasul.
Imam haruslah maksum menurut Syiah. Sedangkan menurut
Ahlusunah, imam yang fasik dan zalim pun lebih baik
dipertahankan untuk menjaga pertumpahan darah.
D. QS. al-Nisa/4: 59 (Ayat Uli al-Amr)
Pemimpin memiliki kedudukan yang tinggi dalam
sebuah komunitas, terlebih dalam komunitas orang beriman.
Oleh sebab itu ia memiliki otoritas bagi yang dipimpinya dan
yang dipimpinnya memiliki kewajiban mentaati perintahnya.
Allah SWT meyeru orang-orang beriman untuk taat kepada-
Nya, Rasul-Nya dan Pemimpin. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam QS. al-Nisa/4: 59,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
142
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”43
Al-Thabarsy menjelaskan sebagaimana riwayat dari
Imam al-Baqir dan Imam ash-Shādiq, bahwa sesungguhnya Uli
al-amr itu adalah mereka para Imam-Imam dari keluarga Nabi
Muhammad Saw, yang Allah wajibkan kepada manusia untuk
mentaati mereka dengan mutlak, sebagaimana Allah
mewajibkan ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada
Rasulullah SAW. Tidak mungkin Allah SWT mewajibkan
ketaatan untuk mentaati seseorang dengan mutlak kecuali Allah
telah menetapkan kemakshuman bagi dirinya. Sebab mereka
mengetahui yang batin seperti nyata baginya, yang demikian
tidak akan terjadi pada para pemimpin dan tidak pula para
ulama selain mereka para Imam.
Al-Thabarsy melanjutkan, Allah SWT juga
memerintahkan orang yang menentangnya untuk taat atau
memerintahkan kepatuhan bagi orang berbeda pendapat dalam
perkataan dan perbuatannya. Karena sesungguhnya Allah tidak
menggabungkan ketaatan kepada Uli al-amr dengan ketaatan
kepada Rasul, sebagaimana Allah menggabungkan ketaatan
kepada Rasul dengan ketaatan kepada-Nya, kecuali Uli al-amr
kedudukannya diatas seluruh makhluk, sebagaimana Rasul
memiliki kedudukan di atas Uli al-amr dan seluruh makhluk.44
43
al-Thabarsy menjelaskan makna Uli al-amr dalam kitab tafsirnya
Majma‟ al-Bayān, bahwa menurut para mufasir terdapat dua pendapat terkait
makna Uli al-amr. Pertama, mereka adalah para Pemimpin, sebagaimana
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas dalam satu dari dua
riwayat, Maimun bin Mahran, dan as-Suddy. Dan al-Jubā‟i, al-Balkhy, dan
ath-Thabary memilih pendapat tersebut. Kedua, mereka adalah para Ulama,
sebagaimana yang diriwayatkan dari Jābir bin Abdillah, Ibnu Abbas dalam
riwayatnya yang lain, Mujāhid, Hasan, dan „Athā. Sebagian dari mereka
menjelaskan: karena mereka adalah orang-orang yang menetapkan hukum-
hukum ketika terjadi perselihan diantara manusia, mereka bukanlah seorang
pemimpin. 44
al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Jilid 3 h. 96
143
Al-Thabathaba‟i juga berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan Uli al-amr dalam ayat ini adalah Imam-imam
umat, setiap dari mereka memiliki sifat Ishmah dan kewajiban
mentaatinya seperti hukum yang berlaku pada diri Rasulullah
SAW. Dengan demikian tidak menafikan keumuman pengertian
dan maksud kata Uli al-amr dari segi bahasa. Kata Uli al-amr
bermakna umum dan universal, tapi kredibelitas yang
dikehhendaki adalah Imam-imam Ahlul Bait. Tak ubahnya
seperti pengertian Rasul bermakna umum dan universal, tapi
kredibelitas yang dikehendaki adalah Nabi Muhammad SAW45
Sedangkan al-Qummi secara tegas mengatakan, Allah
SWT menyeru kepada para Imam Ahlul Bait ( إن وا أن ؤ مسكم ٱلل تؤد
أه هها إنى ٱألماوات ) : Allah mewajibkan seorang Imam untuk
menyampaikan amanah yang Allah perintahkan kepada Imam
setelahnya,. Lalu Allah SWT mewajibkan seorang Imam untuk
menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. ( ه تم حكم وإذا ب
كمىا أن ٱنىاس ل تح بٱن عد ). Kemudian Allah SWT mewajibkan atas
manusia untuk mentaati mereka para Imam Ahlulbait. Adapun
( أطعىا آمىىا ٱنره أها ا سىل وأطعىا ٱلل ن ٱنس س وأو مى كم ٱألم ) yaitu Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib.46
Al-Thabathaba‟i menjelaskan mentaati Allah SWT
adalah mentaati ilmu-ilmu dan syariat-Nya melalui Rasul-Nya.
Sedangkan Rasulullah SAW mempunyai dua segi. Pertama,
Syari‟at (selain al-Quran) yang diwahyukan kepadanya, yaitu
penjelasan yang beliau terangkan kepada manusia tentang
rincian makna global yang terkandung dalam al-Quran, dan
sesuatu yang berkaitan dengannya.47
Kedua, ketetapan yang
45
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 411 46
al-Qummi, Tafīir al-Qummi, Jilid 1 h 207 47
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS .an-Nahl/16: 44
... ...
“... Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
...”
144
beliau pandang benar yaitu ketetapan yang berkaitan dengan
pemerintahan dan peradilan.48
Taat kepada Rasulullah pada
hakikatnya taat kepada Allah, karena Allah yang menetapkan
syariat wajibnya ketaatan kepada Rasul-Nya.49
Perintah ketaatan dalam dalam ayat ini merupakan
masalah keagamaan yang dapat menjamin hilangnya setiap
perselisihan yang akan terjadi, dan hilangnya setiap kebutuhan
merujuk kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Sehingga ayat ini
memiliki arti: “Taatiliah kepada Allah ... dan janganlah taat
kepada Thaghut.” Dengan demikian, maka ayat ini
menunjukkan kewajiban merujuk kepada hukum-hukum agama
itu sendiri, yang tak seorang pun berhak menetapkannya
berlaku atau menghapusnya kecuali Allah dan Rasul-Nya. Dan
memperjelas bahwa tak seorang pun dari Uli al-amr dan selain
mereka dibolehkan membelokkan hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah dan Rasul-Nya.50
Lebih lanjut al-Thabathaba‟i menjelaskan, ayat ini
menggabungkan antara Rasulullah dan Uli al-amr, dan
menyebutkan untuk keduanya dalam satu ketaatan. ( وأطعىا
سىل ن ٱنس س وأو مى كم ٱألم ) perintah ketaatan dalam ayat ini
merupakan ketaatan mutlak tanpa disyaratkan dengan suatu
syarat, dan dibatasi oleh suatu batasan. Ini menunjukkan bahwa
Rasulullah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu yang
48
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa‟4: 105
... ...
“... Supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu ...” 49
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Qs. an-Nisā‟a/4: 64:
...
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk
ditaati dengan seizin Allah. ...” Lihat al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-
Quran, Jilid 4, h. 397-398 50
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 411-412
145
bertentangan dengan hukum Allah, hal ini tidak akan sempurna
kecuali dengan kemaksuman Rasulullah SAW. Begitu juga
kemaksuman itu harus dimiliki oleh Uli al-amr sama dengan
kemaksuman Rasulullah SAW tanpa perbedaan.51
Dengan
demikian, maka hukum mentaati Uli al-amr sama dengan
hukum mentaati Rasulullah sebagaimana yang disebutkan
dalam ayat ini.52
al-Thabathaba‟i menegaskan perselisihan yang terjadi
dalam ayat ini merupakan perselisihan antara orang-orang
beriman. Oleh sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk
kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Perselisihan tidak boleh
terjadi antara orang-orang yang beriman dengan Uli al-amr,
sebab mereka wajib ditaati. Tidak ada pilihan lain bagi Uli al-
amr tentang ketetapan-ketetapannya kecuali apa yang ada pada
Allah dan Rasul-Nya yakni hukum yang ada dalam al-Quran
dan al-sunah. Allah tidak menyebutkan mereka ketika
menyebutkan pengembalian. Ini menunjukkan satu ketaatan
kepada Allah dan satu ketaatan kepada Rasulullah dan Uli al-
amr ( أطعىا سىل وأطعىا ٱلل ن ٱنس س وأو ٱألم ).53
مىىن كى تم إن ...) تؤ بٱلل ) mempertegas hukum ini dan
memberi isyarat bahwa orang yang menyalahinya, tiada lain
karena adanya krisis keimanan dalam dirinya. Hukum ini sangat
berkaitan dengan keimananan. Orang yang menyalahi hukum
ini menunjukan bahwa ia pura-pura beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tetapi sebenarnya batinnya kufur. Hal seperti ini
menunjukkan kemunafikan, sebagaimana yang dinyatakan oleh
ayat berikutnya. ( س سه خ تؤ ولا وأح ) yakni kembali ketika terjadi
perslisihan atau mentaati Allah, Rasul-Nya dan Uli al-amr.
Sedangkan “ta‟wīl” adalah kemaslahatan dalam realita yang
51
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 399-401 52
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 411 53
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 398-399
146
ditumbuhkan oleh hukum kemudian disempurnakan dalam
perbuatan.54
Penafsiran Ahlusunah terhadap ayat ini telah rinci
dibahas pada bab sebelumnya, selanjutnya penulis
menampilkan sisi-sisi perbedaan dalam penafsiran ayat tersebut.
Wahbah al-Zuhaili mengatakan taat kepada ulil amri merupakan
prinsip dasar ketiga dalam pemerintahan Islam. adapun menurut
Sayyid Quthb, taat kepada uli al-amr merupakan
pengembangan dari taat kepada Allah dan Rasul Kemudian ar-
Razi, Sayyid Quthb, dan al-Zuhaili menegaskan, bahwa
kewajiban menaati pemimpin adalah dalam perintah-perintah
yang memang wajib ditaati, bukan dalam perintah untuk
bermaksiat kepada Allah.
Sedangkan al-Qummi, al-Thabarsy, dan al-Thabathabai‟
menyatakan taat kepada ulil amri merupakan suatu kemutlakan,
seperti kemutlakan untuk taat kepada Allah dan Rasul.
ketaaatan yang mutlak kepada ulil amri dikarenakan
kemaksuman mereka yang sama seperti kemaksuman yang
dimiliki oleh Rasul. oleh sebab itu ulil amri tidak mungkin
melakukan kemaksiatan atau memberikan perintah untuk
bermaksiat kepada Allah.
Perbedaan konsep ketaatan terhadap ulil amri tersebut
disebabkan karena perbedaan pemaknaan terhadap ketaatan dan
ulil amri dalam ayat tersebut. Adapun penjelasan tentang makna
ulil amri dibahas pada ada sub bab selanjutnya.
54
al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 412
147
BAB V
ANALISISA KOMPARASI TERHADAP PENAFSIRAN
AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH DAN
SYIAH
Setelah penulis menganalisa penjelasan penafsiran ayat-
ayat al-Quran tentang kepemimpinan pada karya-karya mufasir
dari kedua golongan tersebut, maka penulis mendapatkan
beberapa faktor yang menjadikan kedua golongan tersebut
berbeda pendapat dalam menjelaskan tentang kepemimpinan.
Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
A. Perbedaan Konsep Kepemimpinan yang Berimplikasi
terhadap Perbedaan Ayat-ayat al-Quran yang
Digunakan sebagai Dalil
Salah satu perbedaan antara kelompok Ahlusunah dan
Syiah yang sangat identik adalah berkaitan dengan masalah
kepemimpinan. Golongan Syiah menempatkan kepemimpinan
kedalam ushūluddin. Sedangkan Ahlusunah memahami
kepemimpinan tidak demikian. Berikut pandangan-pandangan
konsep kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah yang penulis
rangkum.
Menurut pandangan Ahlusunah kepemimpinanan
(Imāmah) adalah “pemerintah” dan Imām adalah “kepala
negara”. Ia tidak termasuk ushūluddīn (prinsip-pirnsip pokok
agama) meskipun keberadaannya merupakan suatu keharusan
demi menghindari chaos (kekacauan). Seorang kepala
pemerintahan tidak ditetapkan oleh Nabi, tetapi kewenangan
memilihnya diserahkan kepada umat, selama yang bersangkutan
memenuhi persyaratan yang telah disepakati konstitusi.
Pemilihan tersebut dapat dilakukan melalui orang-orang
terkemuka masyarakat, dapat pula dengan pengangkatan
langsung dari pejabat sebelumnya, atau melalui pemilihan
umum.
148
Sedangkan Imāmah menurut Syiah sebagaimana
dijelaskan oleh Muhammad Kāsyif al-Ghitha dalam kitabnya
Ashlu asy-Syī‟ah wa Ushūlihā adalah suatu jabatan Ilahi. Allah
yang memilih berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali
menyangkut hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia memilih
nabi. Dia memerintahkan kepada nabi untuk menunjukkannya
kepada umat dan memerintahkan mereka mengikutinya. Mereka
percaya bahwa Allah tidak pernah mengosongkan bumi dari
seorang hujjah atas hamba-hambanya, baik berupa nabi atau
washi (yang diwasiati/imam) yang jelas diketahui semua orang,
maupun washi yang ghaib dan masih tersembunyi. Mereka
percaya bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad
SAW untuk menunjuk dengan tegas Ali bin Abi Thalib sebagai
washi. Kemudian beliau mewasiatkan kepada putranya al-
Hasan, lalu al-Hasan mewasiatkan saudaranya al-Husain,
demikian seterusnya sampai dengan Imam yang kedua belas,
al-Mahdi yang dinantikan.1
Ahlusunah berpendapat bahwa Khalifah sesudah Nabi
Muhammad SAW adalah Abu Bakar, lalu Umar bin Khattab,
kemudaian Utsman bin „Affan, dan yang keempat Ali bin Abi
Thalib Radhiya Allahu „Anhum. Ahlusunah mengakui
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, tetapi kedudukan dan fungsi
beliau tidak sama dengan pandangan Syiah berkenaan dengan
kepemimpinan itu. Imāmah adalah persoalan umat yang
kedudukannya bersumber dari masyarakat atas dasar pilihan
bebas mereka, atau yang mewakili mereka, melalui lembaga
yang disebut Ahl al-Hall wa al-„Aqd. Khalifah hanya memiliki
kekuasaan politik dan tidak berfungsi Nabi atau Rasul yang
juga sebagai Pemberi petunjuk dan Pembimbing bagi seluruh
manusia.
Muhammad Ridha al-Mudzaffar dalam kitabnya „Aqāid
al-Imāmiyah, mengemukakan bahwa imāmah seperti kenabian,
1 Muhammad Kasyif al-Ghitha, Ashlu asy-Syī‟ah wa Ushūlihā, h.
221
149
tidak dapat wujud kecuali dengan nash dari Allah SWT melalui
lisan Rasul-Nya atau lisan Imam yang diangkat dengan nash
apabila dia akan menyampaikan dengan nash imam yang
bertugas sesudahnya. hukum sifatnya sama seperti kenabian
tanpa perbedaan, karena itu masyarakat tidak memiliki
wewenang menyangkut siapa yang ditetapkan Allah sebagai
Pemberi petunjuk dan Pembimbing bagi seluruh manusia,
sebagaimana mereka tidak mempunyai hak untuk menetapkan,
mencalonkan, atau memilihnya.2
Berbeda menurut pandangan Ahlusunah, masyarakat
berkewajiban mengontrol imam/pemerintah dan menuntut
pertanggungjawabannya, bahkan masyarakat dapat
mencopotnya jika ia terbukti melakukan kekufuran atau
mengabaikan penegakan prinsip-prinsip agama. Sementara
ulama Ahlusunah bahkan menetapkan bolehnya pemimpin
dicopot jika melakukan penganiayaan terhadap jiwa atau harta
benda atau hak-hak asasi manusia. Namun walaupun Ahlusunah
menolak untuk mengakui kedua belas imam-imam Syiah,
mereka tetap memberikan penghormatan besar kepada pribadi-
pribadi yang dianggap Imam oleh golongan Syiah. Ahlusunah
menilai bahwa kedudukan yang diberikan oleh golongan Syiah
kepada mereka sangat tinggi dan telah melampaui batas
kewajaran.
Imam Khomeini menyatakan, imam memiliki
kedudukan yang terpuji serta tingkat yang tinggi serta
kekhalifahan terhadap alam yang tunduk kepada kekuasaannya
serta pengendaliannya terhadap semua atom alam raya.
Sesungguhnya merupakan bagian dari pemahaman aksioma
mazhab Syiah adalah bahwa imam-imam memiliki kedudukan
yang tidak dicapai oleh malaikat yang didekatkan (Allah ke sisi-
Nya), tidak juga oleh nabi yang diutus (Allah). Sesuai dengan
riwayat-riwayat dan hadis-hadis Syiah, Rasul teragung
(Muhammad Saw.) dan imam-imam -sebelum terciptanya alam
2 Muhammad Ridha al-Mudzaffar, „Aqāid al-Imāmiyah, h. 63-64
150
ini- merupakan cahaya-cahaya yang dijadikan Allah
memandang ke Arsy dan menganugrahkan buat mereka
kedudukan dan kedekatan yang tidak diketahui kecuali oleh
Allah Swt.3
Perbedaan pandangan antara Ahlusunah dan Syiah
tentang konsep Imāmah seperti dijelaskan di atas, berdampak
kepada perbedaan dalam pengunaan ayat-ayat yang dijadikan
landasan Imāmah tersebut.
Mufasir Ahlusunah melandaskan QS. Ali Imran/3 : 159
dan QS. asy-Syūra/42 : 38 sebagai dasar pemilihan pemimpin
dengan cara bermusyawarah. Adapun bentuk implemantasi
musyawarah pemilihan kepala negara adalah persoalan teknis
yang dapat berkembang sesuai dengan kondisi dan zamannya.
Kemudian memilih pemimpin harus seorang beriman
sebagaimana dalam QS. Ali Imran/3 : 28 dan QS. Al-Maidah/5:
51. Adapun kriteria utama seorang pemimpin adalah harus
amanah, menegakkan hukum dengan adil (QS. al-Nisa/4: 58),
dan menegakkan amar makruf nahi mungkar (QS. Ali Imran/3:
104 dan 110). Selama pemimpin sesuai dengan kriteria tersebut,
maka rakyat wajib mentaatinya, sebagaimana yang disebutkan
dalam QS. al-Nisa/4: 59. Apabila pemimpin membuat
kebijakan, maka kebijakan tersebut harus dimusyawarahkan dan
membawa kemaslahatan umat.
Sedangkan mufasir Syiah mengatakan bahwa Allah Swt
telah mewahyukan kepada Rasulullah untuk melantik Ali bin
Abi Thalib sebagai Imam sepeninggalannya melalui QS. Al-
Maidah/5: 67. Kemudian Allah menguatkan kebenaran
kepemimpinan Imam Ali dalam QS. al-Maidah/5: 55-56.
Karena Imam adalah orang yang dipanuti oleh manusia, yang
memberi petunjuk dengan perkara Allah. Oleh sebab itu
kedudukan Imam sangatlah tinggi, seperti kisah Ibrahim AS
yang dilantik Allah menjadi Imam setelah menjadi Nabi
3 Imam Khomeini, al-Hukūmah al-Islāmiyyah (Lebanon: Muassasat
al-Ā‟lamy li al-Mathbū‟āt, tth), h.52
151
sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah/2: 124. Hukum mentaati
Imam sama dengan hukum mentaati Rasulullah, karena para
Imam memiliki kemaksuman yang sama dengan kemaksuman
Rasulullah sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Nisa/4:
59.
B. Perbedaan Penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap
Ayat-ayat al-Quran tentang Kepemimpinan
Perbedaan penafsiran antara Ahlusunah dan Syiah
merupakan hal yang wajar, terlebih dalam penafsiran ayat-ayat
kepemimpinan. Seorang mufasir yang menafsirkan al-Quran
berangkat dari kepentingan yang berbeda-beda. Terlebih
mufasir Ahlusunah dan Syiah yang membawa kepentingan
ideologinya dan melakukan penetrasi ke dalam penafsirannya.
Walaupun penafsirannya sangat rasional, namun rasionalitas
penafsiran yang dibangun itu pada hakikatnya, tidak murni
untuk menafsirkan al-Quran semata, tapi juga berkepentingan
untuk memperkuat ideologi dan menyerang ideologi yang
bersebrangan. Kepentingan adalah sebuah keniscayaan bagi
seorang mufasir. Oleh karenanya, sudah semestinya menjadi
sebuah keniscayaan pula untuk menerima dengan lapang dada
bahwa penafsiran al-Quran tidak bisa terhindar dari ideologi
yang dianut mufasir.
Berikut rangkuman perbedaan penafsiran Ahlusunah
dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Quran tentang kepemimpinan.
1. Penafsiran QS. Ali Imran/3 : 159 dan QS. asy-
Syūra/42 : 38
Mufasir Ahlusunah menafsirkan musyawarah dalam
ayat ini sebagai pondasi pemerintahan Islam, karakteristik
masyarakat Islam, salah satu kaidah syariat dan termasuk
kategori azīmahI (hukum asal yang bersifat wajib). Sedangkan
mufasir Syiah tidak demikian, al-ummi tidak membahas
musyawarah sama sekali dalam tafsirnya. Adapun al-Thabarsy
152
dan al-Thabathaba‟i hanya menjelaskan perihal musyawarah
yang dilakukan Rasulullah sebelum perang uhud dan perkara
dunia lainya. Mereka tidak megkhususkan penafsiran
musyawarah sebagai bagian dari pemerintahan dan pemilihan
kepemimpinan.
2. Penafsiran QS. al-Nisa/4: 58
Pada QS. al-Nisa/4: 58 nampak jelas perbedaan dalam
menafsirkan ayat tersebut. Ahlusunah berpendapat bahwa
amanah adalah prinsip pertama asas pemerintahan Islam dan
keadilan adalah prinsip kedua. Sedangakan Syiah berbeda
dalam memaknai kedua hal tersebut. Kedua hal terebut
ditujukan khusus kepada para Imam Ahlulbait. Para Imam
diperintahkan Allah untuk menyampaikan amanah
kepemimpinan kepada Imam setelahnya dan Iman harus
menegakkan keadilan di masyarakat.
3. Penafsiran QS. al-Nisa/4: 59
Wahbah al-Zuhaili mengatakan taat kepada ulil amri
merupakan prinsip dasar ketiga dalam pemerintahan Islam.
adapun menurut Sayyid Quthb, taat kepada uli al-amr
merupakan pengembangan dari taat kepada Allah dan Rasul
Kemudian ar-Razi, Sayyid Quthb, dan al-Zuhaili menegaskan,
bahwa kewajiban menaati pemimpin adalah dalam perintah-
perintah yang memang wajib ditaati, bukan dalam perintah
untuk bermaksiat kepada Allah.
Sedangkan al-Qummi, al-Thabarsy, dan al-Thabathabai‟
menyatakan taat kepada ulil amri merupakan suatu kemutlakan,
seperti kemutlakan untuk taat kepada Allah dan Rasul.
ketaaatan yang mutlak kepada ulil amri dikarenakan
kemaksuman mereka yang sama seperti kemaksuman yang
dimiliki oleh Rasul. oleh sebab itu ulil amri tidak mungkin
melakukan kemaksiatan atau memberikan perintah untuk
bermaksiat kepada Allah.
153
Perbedaan konsep ketaatan terhadap ulil amri tersebut
disebabkan karena perbedaan pemaknaan terhadap ulil amri
dalam ayat tersebut. Adapun penjelasan tentang makna ulil amri
dibahas pada ada sub bab selanjutnya.
4. Penafsiran QS. Ali Imran/3: 104 dan 110
Secara global Ahlusunah dan Syiah sama-sama
berpandangan bahwa umat Islam berkewajiban (fardhu kifayah)
menjalankan amar makruf nahi munkar, terlebih seorang
pemimpin. Namun, terjadi perbedaan ketika al-Qummi dan al-
Thabarsy memaknai kata ummah dalam kedua ayat tersebut
dengan para imam ahlulbait.
5. QS. al-Maidah/5: 67
Perbedaan dalam menafsirkan ayat ini sangat jelas
terlihat. Syiah berkeyakinan bahwa perintah tablīgh dalam ayat
ini adalah perihal wilayah Ali bin Abi Thalib pasca Rasulullah
SAW tanpa jeda. Allah memerintahkan Rasul agar tidak
menunda penyampai hal tersebut dan Allah menjamin
keberhasilan penyampaian hukum tersebut dari sahabat-
sahabatnya yang ingin merusak ketetapan tersebut. Sedangkan
Ahlusunah memaknai perintah tablīgh dengan perihal hukum-
hukum agama. Allah memerintahkan Rasul agar segera
menyampaikannya secara terang-terangan dan Allah menjamin
keselamatan beliau dari makar orang Yahudi dan Nasrani.
6. QS. Al-Baqarah/2: 124
Dari penjelasan kedua golongan terlihat jelas perbedaan
dalam pemaknaan seorang imam. Ahlusunah mengartikan
Imam dalam ayat ini sama dengan Nabi dan Rasul. Sedangkan
Syiah membedakan antara Nabi, Rasul dan Imam. Bahkan
beberapa ulama Syiah mengatakan imamah lebih tinggi
daripada kenabian dan kerasulan, karena Nabi Ibrahim
mendapatkan anugrah Imam setelah Ia menjadi Nabi dan Rasul.
154
Imam haruslah maksum menurut Syiah. Sedangkan menurut
Ahlusunah, imam yang fasik dan zalim pun lebih baik
dipertahankan untuk menjaga pertumpahan darah.
7. QS. al-Maidah/5: 55-56
Maka, terlihat jelas perbedaan penafsiran pada kedua
ayat diatas. Pertama, ahlusunnah menafsirkan ayat ini dengan
munāsabah ayat, sedangkan Syiah tidak demikian, pada
penjelasan sebelumnya dijelaskan, bahwa rangkaian ayat
tersebut tidak diturunkan sekaligus. Kedua, ahlusunnah
menafsirkan al-waliy dengan makna penolong, sedangkan Syiah
dengan kepemimpinan dan cinta kasih. Ketiga, Ahlusunah
memaknai kata rukū‟ dengan makna majazi yakni keadaan
tunduk, patuh, dan khusyu, sedangkan Syiah memaknainya
dengan makan sebenarnya yaitu posisi rukuk dalam salat.
Keempat, Ahlusunah menyatakan ayat ini diturunkan terkait
khusus dengan Abu Bakar, sedangkan Syiah menyatakan ayat
ini terkait khusus dengan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Kelima, Ahlusunah menyatakan ( نوا ٱلذين آم ) adalah orang-orang
mukmin secara umum, sedang Syiah menyatakan Ali secara
khusus.
C. Persaman Penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap
ayat-ayat al-Quran tentang Kepemimpinan
Penulis menemukan persamaan penafsiran Ahlusunah
dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Quran tentang kepemimpinan.
Namun tetap ada sisi-sisi perbedaan dan penekanan dalam
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Adapun persamaan tersebut
yaitu tentang larangan berpatronasi dan menjadikan orang kafir
(Yahudi dan Nasrani) sebagai pemimpin. Ahlusunah dan Syiah
sama-sama memahami bahwa Allah SWT di beberapa ayat al-
Quran melarang berpatronasi dan menjadikan orang kafir
sebagai pemimpin. Namun ketika membahas bagian akhir dari
QS. Ali Imran/3 : 28, Syiah memfokuskan pembahasan tentang
155
konsep taiyyah. Syiah memperkenankan orang beriman
menjadikan orang kafir sebagai pemimpin dan melakukan
perwalian dengan mereka dengan syarat ia bertaqiyah karena
khawatir akan keselamatan dirinya. Lebih daripada itu orang
beriman diperbolehkan untuk mengikuti peribadatan orang kafir
dengan maksud bertaqiyyah.
D. Perbedaan Term-Term Kepemimpinan dalam Ayat-ayat
al-Quran tentang Kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah
Dalam al-Qur‟an, Allah menggunakan beberapa term
yang berkenaan dengan kepemimpinan, seperti term yang
secara langsung menunjuk kepada term pemimpin, yaitu term
imām, wali, uli al-amr, khalīfah, mālik dan sulthān.4 Adapula
term-term yang menunjuk kepada unsur kepemimpinan secara
global seperti syūrā, amānah, „adl, amr bi al-ma‟rūf wa nahy
„an al-munkār, dan al-tablīg.
Setelah penliti melacak, menghimpun serta menelaah
ayat-ayat tersebut secara menyeleruh. Akhirnya peneliti
menemukan persamaan dan perbedaan term-term yang terdapat
dalam ayat-ayat kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah.
Persamaan term-term tersebut adalah wali dan uli al-amr.
Sedangkan perbedaan term-termnya, yaitu Ahlusunah
menekankan ayat-ayat kepemimpinan pada term syūrā,
amānah, „adl, dan amr bi al-ma‟rūf wa nahy „an al-munkār,
kemudian Syiah, yaitu term al-tablīg dan imām. Adapun term
kepemimpinan yang tidak terdapat dalam ayat-ayat
kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah adalah term khalīfah,
mālik dan sulthān.
E. Perbedaan dalam penerapan sumber penafsiran
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab II, bahwa
terdapat perbedaan sumber Tafsīr bī al-Ma‟tsūr antara
4 Muhammad Rosyidi, Tafsir Tematik: Etika Pemimpin dalam al-
Qur 'an, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 50
156
Ahlusunah dan Syiah. Sumber Ahlusunah dalam menafsirkan
ayat al-Quran adalah dengan ayat al-Quran, hadist Nabi SAW,
perkataan sahabat dan tabiin. Namun, berbeda dengan Syiah
yang lebih mengutamakan perkataan para Imam Ahlulbait
dalam menafsirkan ayat al-Quran dari pada perkataan sahabat
dan tabiin Ahlusunah. Penafsiran ayat al-Quran dengan
perkataan para Imam Ahlulbait ini terdapat dalam beberapa
penafsiran ayat-ayat kepemimpinan ini. Seperti :
Pertama, al-Thabathaba‟i dan al-Thabarsy ketika
menafsirkan amanah dalam QS. al-Nisa/4: 58 menafsirkannya
dengan perkataan Imam Muhammad al-Baqir AS (Abu Ja‟far)
yang menyatakan bahwa Allah memerintahkan para Imam
untuk menyampaikan amanah kepada Imam setelahnya dan
melaksanakan kepemimpinan dengan adil. Kedua, ketika
menafsirkan kata ummah dalam QS. Ali Imran/3: 104 dan 110
al-Qummi dan al-Thabarsy mengutip perkataan Imam Ja‟far
Shadiq AS (Abu Abdillah) yang memaknai ummah dengan para
Imam Ahlulbait. Ketiga, al-Thabarsy ketika menfasirkan kata
fa‟atammahunna dalam QS. al-Baqarah/2: 124 menukil
perkataan Imam Ja‟far Shodiq yang menafsirkannya dengan
makna Allah menyempurnakannya sampai sempurna 12 Imam,
9 Imam dari putra Husein bin Ali. Keempat, al-Qummi dan al-
Thabarsyi menukil penjelasan Imam Ja‟far Shodiq AS terkait
ujian-ujian yang berhasil Nabi Ibrahim AS tunaikan dan
mengantarkannya ke maqam Imamah dalam QS. al-Baqarah/2:
124.
F. Perbedaan dalam penerapan kolerasi (munāsabah) ayat
dalam penafsiran.
Setelah perbedaan ayat-ayat al-Quran yang dijadikan
dalil dalam menjelaskan konsep kepemimpinanan adalah
perbedaan dalam penerapan Munāsabah (kolerasi) ayat.
Munāsabah adalah salah satu disiplin ilmu dalam Ulūmul al-
Quran. Ilmu tersebut mempelajari tentang persesuaian sebuah
157
ayat/surah yang satu dengan ayat/surah yang lain, sehingga
terbentuk satu kesatuan tema dari kelompok-kelompok ayat
tertentu. Oleh sebab itu sebagian pengarang menamakan ilmu
ini dengan “Ilm Tanāsub al-Ayāt wa al-Suwār”.
Badr al-Din Muhamad al-Zarkasyi mengatakan dalam
kitabnya al-Burhān fī Ulūmul al-Quran, ilmu Munāsabah
adalah ilmu yang mulia, yang dengannya dapat diketahui kadar
pembicaraan seorang pembicara. Munāsabah secara bahasa
memiliki arti kedekatan (al-Muqārabah). Sedangkan secara
istilah Munāsabah adalah ilmu yang menjelaskan segi-segi
hubungan antara beberapa ayat, yakni permulaan ayat dan
bagian akhirnya, baik hubungan itu berupa ikatan antara kata
yang umum dan khusus, rasional dan irrasional, atau antara
sebab-akibat, „illat dan ma‟lūl, ayat yang serupa atau yang
kontradiksi dan lain sebagainya. Lebih lanjut, ia mengatakan
bahwa kegunaan ilmu ini adalah menjadikan bagian-bagian ayat
al-Quran saling mengikat dan menguatkan satu sama lain,
seperti halnya kontruksi bangunan yang kokoh dan bagian-
bagiannya tersusun harmonis.5
Quraish Shihab, menjelaskan ulama-ulama al-Quran
menggunakan kata Munāsabah untuk dua makna. Pertama,
hubungan kedekatan antara ayat atau kumpulan ayat-ayat al-
Quran satu dengan lainnya. Kategori ini mencakup banyak
ragam, : a). Hubungan kata demi kata dalam satu ayat, b).
Hubungan ayat dengan ayat sesudahnya, c). Hubungan
kandungan ayat dengan penutupnya, d). hubungan surah dengan
surah berikutnya, e). hubungan awal surat dengan penutupnya,
f). Hubungan nama surah dengan tema utamanya, dan g).
Hubungan uraian akhir surah dengan uraian awal surah
berikutnya.
Kedua, hubungan makna satu ayat dengan ayat lain.
seperti pengkhususannya, atau penetapan syarat terhadap ayat
5 Badr al-Din Muhamad bin Abdullah al-Zarkasyi , al-Burhān fī
Ulūmul al-Quran (Beirut: al-Maktabah al-„Ashriyyah, 2004) jilid 1, h. 41
158
lain yang tidak bersyarat. Qs. al-Maidah/5: 3 misalnya,
menjelaskan aneka makanan yang haram, antara lain darah.
Tetapi Qs. al-An‟am/6: 145 menjelaskan bahwa yang haram
adalah darah yang mengalir. Permisalan tersebut menunjukkan
adanya Munāsabah antara ayat al-Maidah dan al-An‟am. Lebih
lanjut Quraish Shihab menjelaskan, Ulama berbeda pendapat
menyangkut ada atau tidaknya Munāsabah dalam pengetian
pertama di atas. Ulama yang menolak beralasan, bahwa ayat-
ayat al-Quran turun dalam masa yang berbeda-beda dan tidak
mungkin ada kaitan antara uraian masa lalu dan masa
kemudian. Namun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar,
karena setiap ayat yang turun, Rasulullah menjelaskan kepada
penulis wahyu dimana ayat itu ditempatkan.6
Al-Thabathabai‟ ketika menafsirkan makna wilayah
dalam QS. Al-Maidah/5: 55-56 berbeda dengan mayoritas
mufasir Ahlusunah yang memaknainya dalam pengertian
pertolongan. Karena mereka menyatakan ayat ini mempunyai
kaitan erat dengan ayat sebelum dan sesudahnya (munāsabah).
Sedangkan menurut ath-Thabathabi‟ rangkaian ayat tersebut
tidak memiliki munāsabah, karena tidak turun sekaligus. Hal ini
dapat dibuktikan dengan kandungan maknanya dan dikuatkan
oleh sebab-sebab turunya. Dengan demikian. pengertian yang
tepat dari Ikatan Wilayah dalam rangkaian ayat ini adalah kasih
sayang dan kepemimpinan. Karena kasih sayang mengharuskan
keterpaduan jiwa dan rohani antara dua kelompok manusia.
Dalam menjelaskan QS. Al-Maidah/5: 67, al-
Thabathaba‟i juga mengatakan bahwa, ayat ini tidak memiliki
hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. ayat ini
diturunkan dalam masalah Wilayah Ali bin Abi Thalib. Allah
memerintahkan menyampaikan masalah ini, sementara masalah
ini juga diinginkan oleh semua manusia. Karena itu Nabi Saw.
6 M Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan
yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran
(Tanggerang: Lentera Hati, 2015), h.243-245
159
merasa khawatir untuk menyampaikan dan menjelaskannya.
Adapun rangkaian ayat ini membicarakan tentang keadaan ahli
kitab, kehinaan dan keburukan akibat perbuatan mereka, yakni
banyak berbuat zalim terhadap apa yang telah diharamkan oleh
Allah dan mengingkari ayat-ayat-Nya. Jika ayat ini mempunyai
hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang saling
berkaitan, maka mempunyai kesimpulan bahwa perintah Nabi
yang terpenting adalah menyampaikan perintah Allah tentang
masalah Ahli Kitab.
Berbeda dengan Wahbah al-Zuhaili dan Sayyid Quthb
yang menafsirkan ayat-ayat kepemimpinan dengan berpedoman
terhadap munasabah ayat, seperti dalam menafsirkan QS. Ali
Imran/3 : 159. Mereka menjelaskan pribadi Rasulullah yang
selalu bermusyawarah dalam segala perkara dan berbagai
kondisi. Sampai suatu perkara yang hasilnya sudah beliau
ketahui sekalipun beliau tetap melakukan musyawarah,
sebagaimana rangkaian ayat tersebut yang menceritakan tentang
tentang perang Uhud serta berbagai dampak dan pengaruh yang
ditimbulkannya. Dari situ, mayoritas ulama syariat dan pakar
undang-undang konstitusional meletakkan “musyawarah”
sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang
pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang
telah ditetapkan oleh nash-nash al-Quran dan hadis-hadis
nabawi.
Begitu pula ketika menafsirkan Qs. al-Nisa/4 : 59, al-
Thabathabai‟, al-Thabarsy, dan al-Qummi tidak menyinggung
hubungan ayat sebelumnya. Sedangkan Wahbah al-Zuhaili
mengemukakan hubungan Qs. al-Nisa/4 : 59 dengan ayat
sebelumnya Qs. al-Nisa/4 : 58. Qs. al-Nisa/4 : 58-59
menjelaskan tentang prinsip dasar pemerintahan Islam, prinsip
dasar pertama dan kedua adalah menjalakan amanah dan
menegakkan keadilan yang terdapat pada Qs. al-Nisa/4 : 58.
Kemudian Qs. al-Nisa/4 : 59 merupakan prinsip dasar ketiga
yaitu kewajiban mentaati pemimpin.
160
G. Perbedaan dalam memaknai lafadz Ulī al-Amr pada Qs.
al-Nisa/4 : 59
Istilah ulī al-amr dalam al-Quran tersebut sebanyak dua
kali, yaitu pada surat al-Nisa ayat 59 dan 83. Ulī al-amr
merupakan kalimat yang tersusun dari kata “ulī” dan kata
“amr”. Kata “ulī” berarti pemilik, sedangkan kata “amr”
berarti perintah atau tuntutan melakukan sesuatu. Menurut Ibnu
Manzhur dalam kitabnya Lisān al-„Arab “uli al-amr” memiliki
dua makna yatu, (ruasāa‟) para pemerintah dan ulama.7 Dalam
al-Mufradāt fī Gharīb al-Quran al-Raghib al-Isfahani
membenarkan pendapat para ulama yang memaknai Ulī al-Amr
dengan Para Pemimpin di zaman Rasulullah, imam-imam dari
ahlulbait, orang-orang yang memerintahkan kepada kebaikan,
Ibnu Abbas berpendapat : mereka adalah para fakih dan ahli
agama yang taat.8
Ibnu Taimiyah menjelaskan, Uli al-amr adalah orang
yang memegang perkara dan pemimpin. Mereka adalah orang
yang memerintah manusia, termasuk di dalamnya orang yang
memiliki kekuasaan dan kemampuan, juga orang yang memiliki
ilmu pengetahuan dan teologi. Maka dari itu, beliau membagi
uli al-amr menjadi dua macam, yaitu ulama dan umara. Apabila
mereka bagus, maka manusia akan bagus. Namun bila mereka
rusak, pasti mereka akan rusak pula.9
Mahmud Syaltut menjelaskan, Uli al-amr adalah para
ahli pikir yang dikenal oleh masyarakat dengan kesempurnaan
spesialisasi dalam membahas urusan- urusan dan mencari
kemaslahatan serta peduli terhadap kemaslahatan itu. Taat
kepada mereka adalah melakukan apa yang mereka sepakati
7 Jamaluddin Muhammad bin Mukarram Ibnu Manzur, Lisān al-
„Arab, (Beirut: Dār Shādir, tth), Jilid 4 h. 31 8 Abul Qosim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Isfahani, al-
Mufradāt fī Gharīb al-Quran (Nazār Musthafa al-Bāz, 2009) jilid 1, h. 31 9 Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islām aw
Wazhīfah al-Islāmiyyah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2010), h.11
161
dalam masalah yang memerlukan pemikiran dan Ijtihād atau
apa yang terkuat dalam masalah itu lewat cara suara terbanyak
atau kekuatan argumentasi. Syaltut membagi Uli al-amr
menjadi tiga macam, yaitu ahli pikir dalam perkara-perkara
rakyat, para penguasa dan para mufti.10
Rasyid Ridha, secara spesifik menyebutkan orang-orang
yang mewakili rakyat adalah uli al-amr. Mereka yang memikul
tanggung jawab urusan-urusan rakyat yang menjadi rujukan
mereka dalam kemaslahatan mereka, dan mereka tentram
dengan mengikuti mereka. Mereka dalam istilah fikih disebut
dengan Ahli Hal wa al-Aqd atau Dewan Perwakilan Rakyat,
mereka bukan para pemimpin atau umara. Tugas para
pemimpin atau raja tergantung kepada fatwa para ulama, dan
ulama pada hakikatnya adalah umaranya para umara.11
Dengan
demikian uli al-amr menurut Rasyid Ridha adalah Dewan
Perwakilan Rakyat yang diduduki oleh para ulama.
Uli al-amr menurut Wahbah al-Zuhaili adalah para
pemimpin, panglima perang, dan para ulama yang bertugas
menerangkan hukum-hukum syara‟ kepada manusia. Menurut
Sayyid Quthb, uli al-amr adalah pemimpin dari kalangan orang-
orang mukmin sendiri, yang telah memenuhi syarat iman dan
batasan Islam yaitu, taat kepada Allah dan Rasul. Adapun
menurut Fakhrudin al-Razi li al-amr adalah Ahl al-Hall wal al-
„Aqd. Sedangkan menurut al-Qummi, al-Thabarsy, dan at-
Thabathabai‟ uli al-amr adalah imām-imām yang ma‟sūm.
Dengan demikian, menurut para ulama sunnah makna
uli al-amr ada empat. Pertama adalah kepala negara. Kedua,
pendapat lain mengatakan bahwa uli al-amr bermakna (umarā
al-Sirāyā) pemimpin perang. Ketiga, uli al-amr itu adalah
ulama yang memberikan fatwa dalam hukum syara‟ dan
10
Mahmud Syaltut, al-Islam „Aqīdatan wa Syarī‟atan (Kairo: Dar
al-Surūq. 2001), h. 443-444 11
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Quran al-Hakīm, Tafsir al-
Manar (Mesir: al-Manar, 1947), jilid 5 h. 181
162
mengajarkan manusia tentang agama Islam. Keempat, uli al-
amr adalah Ahl al-Hall wal al-„Aqd. Sedangkan ulama Syiah
sepakat memaknai istilah uli al-amr dengan imām-imām
ma‟sūm.
H. Solusi Konstruktif
Perdebatan konsep kepemimpinan dan penafsiran ayat-
ayat kepemimpinan antara Ahlusunah dan Syiah merupakan
suatu hal yang tidak bisa didamaikan. Perbedaan tersebut
layaknya timur dan barat yang tidak dapat disatukan. Walaupun
saat ini Syiah sudah mulai mengendorkan egonya dan banyak
melakukan pendekatan-pendekatan dengan Ahlusunah, namun
Ahlusunah pun tetap tidak dapat menerima konsep
kepemimpinan dan ideologinya. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa penafsiran yang dilakukan oleh kedua belah
pihak dihegemoni oleh kepentingan ideologi yang jelas
berbeda. Karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan, maka
sudah semestinya kedua belah pihak saling memahami dan
berlapang dada terhadap perbedaan tersebut.
163
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mufassir Ahlusunah dan Syiah berbeda pandangan
dalam menetapkan dalil ayat-ayat kepemimpinan dalam al-
Quran. Begitupula terdapat perbedaan dalam metode dan hasil
penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut. Hal ini disebabkan
karena kedua kelompok memiliki konsep yang berbeda dalam
memaknai kepemimpinan, khususnya kepemimpinan yang
diawali pasca wafat Nabi Muhammad SAW dan mereka
memasukan ideologi ke dalam penafsirannya. Ahlusunah
memiliki pandangan kepemimpinan yang komprehensif, artinya
semua mukmin yang memiliki kekuasaan dan kemampuan
dalam mengatur kemaslahatan orang banyak, dapat dijadikan
pemimpin melalui musyawarah. Adapun Syiah memiliki
pandangan kepemimpinan yang eksklusif, artinya kepemim-
pinan hanya dapat diemban oleh para imam ahlul bait yang
maksum berdasarkan dalil-dalil al-Quran dan al-Hadist, ataupun
wasiat dari imam sebelumnya.
B. Saran
Penulis berharap semoga penelitian ini dapat membantu
masyarakat dalam memahami dan mengetahui perbedaan
pandangan ulama tafsir Ahlusunah dan Syiah tentang
kepemimpinan. Saran penulis yaitu, pengkajian masalah ini
harus selalu dilakukan, baik melalui seminar, dialog, diskusi,
atau dengan karya-karya ilmiah lainnya. Hal ini disebabkan
karena masalah ini merupakan salah satu perbedaan yang
mencolok antara Ahlusunah dan Syiah, karena merupakan
doktrin utama Syiah. Permasalahan ini bisa berpengaruh
terhadap keharmonisan dan persatuan komunitas umat Islam.
164
165
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li al-
fāzh al-Qurān al-Karīm. Mesir: Darul Kutub, 1945.
Alfian, M. Alfan. Menjadi Pemimpin Politik; Pervincangan
kepemimpinan dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2009.
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Penang, Singapura: Sulaiman
Mar’i, 1965.
Amin, Ahmad. Zhuhr al-Islam. Beirut: T.pn, 1969.
Anwar, Rosihon. Samudra al-Qur'an. Bandung: Pustaka Setia,
2001.
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Armstrong, Karen. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi
Kritis. Terj. Sirikit Syah, Surabaya: Risalah Gusti, 2003.
Atjeh, Aboebakar Perbandingan Mazhab Syiah Rasionalisme
dalam Islam. Semarang: Ramadhani, 1980.
Aziz, Abdul. Chiefdom Madinah Salah Paham Negara Islam.
Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka , 1995.
Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal menurut Konsepsi Islam.
Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995.
Draz, Mohammad Abdullah. Asal-usul Agama Islam dalam
Kenneth W. Morgan (ed.), Islam Jalan Lurus, Terj.
Abdusalam dan Chaidir Anwar. Jakarta : Pustaka Jaya,
1986
166
Effendy, Mochtar, Kepemimpinan menurut Ajaran Islam.
Palembang: Al-Mukhtar, 1997
al-Farmawi, Abd. Hayy, Metode Tafsīr Maudhu’i Suatu
Pengantar Terj : Suryan A.Jamrah. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 1994
Farrukh, Umar. al-‘Arab aw al-Islam fi al-Haudl al-Syarqiy min
al-Bahr al-Abyad al-Mutawassith. Beirut: Dar al-Kutub,
1966.
al-Ghazali, Imam. Konsepesi Negara Bermoral: Menurut Imam
al-Ghazaliy. Jakarta: Bulan Bintang, tth.
al-Ghitha, Muhammad Husain Kasyif. Ashlu As-Syiah wa
Ushuliha. Teheran: Maktabah Ats-tsaqafah Al-
islamiyyah, 1415 H
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga
Modern. Penerjemah M. Alaika. Salamullah, dkk.
Depok: Elsaq Press, 2010.
Haekal, Muhammad Husain. Ali bin ABi Thalib Sampai Kepada
Hasan dan Husein, terj. Ali Audah. Bogor: Litera
AntarNusa, 2003.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, Terj.
Ali Audah. Bogor: Litera Antar Nusa, 2003.
Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattab. Terj. Ali
Audah. Bogor: Litera Antar Nusa, 2002.
Haekal, Muhammad Husain. Usman bin Affan: Antara
Kekhalifahan dengan Kerajaan. Terj. Ali Audah
(Bogor: Litera Antar Nusa, 2002
Haekal, Muhammad Husein. Abu Bakar as-Siddiq: Sebuah
Biografi. Terj. Ali Audah. Bogor: Litera Antar Nusa,
2003.
167
Haikal, Muhammad Husein. Hayatu Muhammad. Kairo:
Maktabah al-Nahdliyah al-Mishriyah, 1968.
Hashem, O. Wafat Rasulullah dan Suksesi Sepeninggal Beliau
di Saqifah. Bekasi: YAPI, 2004.
Hasimy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
Hawwa , Said, Al-Islam Terj: Abd Hay al-Kattani. Jakarta:
Gema Insani Press, 2004
Hitti, Philip K. Duia Arab. Terj. Ushuluddin Hutagulung dan
O.D.P. Sihombing. Bandung: Sumur Bandung, tth.
Hoyland, Robert G.. Arabia and the Arabs: From the Broxe Age
to the Coming of Islam. London: Routledge, 2002.
al-Husaini, HMH. al-Hamid. Membangun Peradaban; Sejarah
Muhammad SAW Sejak Sebelum diutus Menjadi Nabi.
Bandung: Pustaka Hidayah, 2000
Ibnu Katsir, Abu Ismail. Tafsir al-Qur’an al-Azim. Kairo: Dar
al-Tayyibah, 1999.
Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad bin Mukarram. Lisān al-
‘Arab. Beirut: Dār Shādir, tth.
Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. al-Hisbah fi al-Islām
aw Wazhīfah al-Islāmiyyah. Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiyyah, 2010.
Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. as-Syiyāh as-
Syar’iyah. Saudi Arabia: Wizārah al-Syuū’n al-
Islāmiyyah wa al-Da’wah wa al-Irsyād al-Su’ūdiyyah,
1418 H / 1998 M.
al-Isfahani, Abul Qosim al-Husain bin Muhammad al-Raghib.
al-Mufradāt fī Gharīb al-Quran. Nazār Musthafa al-
Bāz, 2009.
168
al-Jabiri, Muhammad Abid. Agama, Negara, dan Penerapan
Syari’ah, terj. Mujiburrahman. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2001.
al-Jabiri, Muhammad Abid. Kritik Nalar Arab, terj. Imam
Khoiri. Yogyakarta: IRCISOD, 2003.
al-Jabiri, Muhammad Abid. Syura; Tradisi, Partikularitas,
Ubiversalitas. Terj. Mujiburrahman. Yogyakarta: LkiS,
2003.
al-Jazairi, Abu Bakar. Aisar al-Tafasir. Beirut: Dar al-Kutub,
2000.
Karim, Khalil Abdul. Negara Madinah: Politik Penaklukan
Masyarakat Suku Arab. Terj. Kamran A. Irsyady.
Yogyakarta: Lkis, 2005
Karim, Khalil Abdul. Syari’ah: Sejarah, Perkelahian,
Pemaknaan, Terj. Kamran As’ad. Yogyakarta: LkiS,
2003.
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan; Apakah
Pemimpin Abnormal Itu?. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001.
Khalid, Farid Abdul. Fikih Politik Islam, Penerjemah
Faturrahman A. Hamid. Jakarta: Amzah, 2005.
Khan, Qamaruddin. Mawaedi’s Theory of States. Delhi: Iradat
Adabiat, 1979.
al-Khin, Mushthafa dan Al-Bugha, Mushthafa, Al-Fiqh al-
Manhaji Ala Madzhab imām asy-Syafi’i rahimahulllah
Ta’ala Terj: Izzudin Karimi. Jakarta: Darul Haq, 2014.
Khomeini, Imam. al-Hukūmah al-Islāmiyyah. Lebanon:
Muassasat al-Ā’lamy li al-Mathbū’āt, t.t.
169
al-Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwār. Beirut: Dārul al-
Ihya’ al-Turāts, t.t.
al-Maliki, Abu Bakar bin al-Arabi. Ahkâm al-Quran. Beirut:
Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, tth.
al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Tafsir al-Maraghi. Mesir:
Musthofa al-Bābī al-Halbī, 1946.
Maryam, Siti, dkk. Sejarah Perdaban Islam: Dari Masa klasik
Hingga Modern. Yogyakarta : Lesfi, 2002
al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-
Basri al-Baghdadi. Kitāb al-Ahkām al-Sulthāniyyah wa
al-Wilāyāt al-Dīnīyyah. Beirut: Dār al-Fikr, 2002.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006.
al-Mudzaffar, Muhammad Ridha al-Mudzaffar. ‘Aqāid al-
Imāmiyah. Ttp: Maktabah al-Fikr, t.t.
Muhammad Salim al-Awa, Fi an-Nizhāas-Siyāsiy li ad-Dawlah
al-Islāmiyyah. T.tp: T.pn, t.t.
al-Musawi, Syarifuddin, Dialog Sunnah Syiah. Bandung:
Mizan, 1990.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al -Qur'an: Studi
Aliran -aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan
hingga Moder –Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press,
2014.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2013.
Northouse, Peter G.. Kepemimpinan: Teori dan Praktek. Terj.
Ati Cahyani. Jakarta: Indeks, 2013.
170
Nusrati, Ali Asgar. Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar.
Terj. Musa Mouzawir. Jakarta: Nur Al-Huda, 2014.
Ordoni, Abu Muhammad. Fathimah Buah Cinta Rasulullah
Saw, Sosok Sempurna Wanita Surga. Jakarta: Zahra,
2012.
al-Qaththan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Quran.
Penerjemah. Mudzakir Bogor, Pustaka Litera Antar
Nusa, 2013.
al-Qummi, Ali bin Ibrahim, Tafsīr Al-Qummi. Qum: Muasyasah
al-Imām al-Mahdi, 1435 H.
al-Qurtubi. al-Jāmi’ li Ahkām al-Quran : Tafsir al-Qurtubi.
Beirut: Muassah al-Risālah, 2006.
Qutaibah, Ibnu. Politik dan Kekuasaan: dalam Sejarah para
Khalifah. Penerjemah Muhammad Muchson Anasy,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2016.
Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilâlil Quran; Di Bawah Naungan al-
Quran, Penerjemah As’ad Yasin.
Radawi, Sayyid Muhammad. Imāmah dan Wilāyah dalam
Ajaran Ahlulbait AS. Era of Appearance Foundation,
2009.
Rahman, Afzalur. Muhammad Sebagai Pemimpin Militer.
Jakarta: YAPI, 1990.
Razawi, Sa’id Akhtar. Imamah; Khalifah Rasulullah SAW Terj.
A. Kamil. Jakarta: Yayasan Putra Ka’bah, 2009.
al-Razi, Muhammad Fakhrudin, Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-
Ghaib. Beirut: Dar al-Fikri, 1401 H/1981 M.
Riberu, J.. Dasar-Dasar Kepemimpinan. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1992.
171
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Quran al-Hakīm, Tafsir
al-Manar. Mesir: al-Manar, 1947.
al-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah;
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Syihabuddin.
Jakarta: Gema Insan Press, 1999.
Rivai, Veithzal dan Mulyadi, Dedi, Kepemimpinan dan
Perilaku Organisasi. Jakarta; Rajawali Press, 2011
Rosyidi, Muhammad. Tafsir Tematik: Etika Pemimpin dalam
al- Qur 'an. Jakarta: Raja Grafindo, 2003.
Rus’an, Lintas Sejarah Islam di Zaman Rasulullah SAW.
Semarang: Wicaksana, 1981.
al-Shadr, Muhammad Bagir, Kemelut Kepemimpinan Setelah
Rasul. Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1990.
al-Shadr, Muhammad Bāqir, al Madrasat al-Qur’aniyyah.
Qum: Markaz al-Abḫāts wa al-Dirāsāt al-
Takhashshusiyyah li al-Syahīd al-Shadr, 1979.
Shariati, Ali. Ummah dan Imāmah. Jakarta: Penerbit YAPI,
1990.
al-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-
Quran/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Shiddiqi, Nourouzzaman. Sejarah Modern, Mesir, Syiria, Afrika
Utara dan Arabia. Yogyakarta: Matahari Masa, 1980.
Shiddiqi, Nourrouzzaman. Tamaddun Muslim. Jakarta: Bulan
Bintang, 1986.
Shihab, M Quraish, Kaidah Tafsīr; Syarat, Ketentuan, dan
Aturan yang Patut anda Ketahui dalam Memahami al-
Quran. Tanggerang: Lentera Hati, 2013.
172
Shihab, M Quraish. Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan
Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-Ayat al-Quran. Tanggerang: Lentera Hati, 2015.
Shihab, M Quraish.Sunnah Syiah Bergandengan Tangan!
Mungkinkah?, Kajian atas Konsep Ajaran dan
Pemikiran. Tanggerang: Lentera Hati, 2014.
Shihab, M. Quraish, Menabur Pesan Ilahi. Jakarta; Lentera
Hati, 2006.
Shihab, M. Quraish, Tafsīr al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Quran. Jakarta; Lentera Hati, 2000.
Shihab, Muhammad Quraish. Menebar Pesan Ilahi: al-Qur ’an
dan Dinamika Masyarakat. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulah Umayyah I di Damaskus.
Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, tth.
Subhani, Ja’far, Ar Risalah; Sejarah Kehidupan Rasulullah
SAW, Jakarta: Lentera Baristama, 1996.
Sugiono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta,
2006.
al-Suyuthi, Imam. Tarikh Khulafa; Sejarah Para Penguasa
Islam, Penerjemah: Samson Rahman. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2000.
al-Suyuthi’, Jalaludin Abi Abdur Rahman, Lubbabun Nuqul fi
Asbabin Nujul. Beirut: Muassasah AL-kutub As-
saqafiyyah, 2002.
al-Suyuthi’, Jalaludin, Asbabun Nujul Sebab Turunnya Ayat Al
Quran. Jakarta: Gema Insani, 2008.
al-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsir al-Sya'rawi. Kairo:
Dâr al-Ikhbâr al-Yaủm, 2001.
173
Syaltut, Mahmud. al-Islam ‘Aqīdatan wa Syarī’atan. Kairo: Dar
al-Surūq. 2001.
al-Syaukani, Muhammah bin Ali bin Muhammad. Fathu al-
Qadīr. Beirut: Darul Ma’rifah, 2007.
al-Thabarsy, Fadhl bin Hasan. Majmau’ al-Bayān fī Tafsīr al-
Qur’an. Lebanon: Dar al-Ulūm, 1426H/2005M.
al-Thabathaba’i, Muhammad bin Husain. al-Quran fī al-Islām.
T.tp.: T.pn, t.t.
al-Thabathaba’i, Muhammad Husain. al-Mizān fī Tafsīr al-
Quran. Beirut: Muassasah al-A’lamī li al-Mathbūā’t,
1417 H/1997 M.
Tim Ahlulbait Indonesia (ABI), Buku Putih Mazhab Syiah
Menurut Para Ulamanya yang Muktabar, Penjelesan
Ringkas-Lengkap untuk Kerukunan Umat. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Ahlulbait Indonesia, 2012.
Yukl, Gary. Kepemimpinan dalam Organisasi. Terj. Ati
Cahayani. Jakarta: Indeks, 2015.
Yuliana, Devi Faizah. Imamah dalam Tradisi Syiah. Bandung:
Pustaka Aura Semesta, 2013.
az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar. Tafsir al-Kasysyāf. Beirut:
Darul Ma’rifah, 1430 H / 2009 M.
Zarkasyi, Badr al-Din Muhamad bin Abdullah. al-Burhān fī
Ulūmul al-Quran. Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah,
2004.
174
175
BIOGRAFI PENULIS
FAHMI DWI NURHADY, kelahiran
Jakarta 1 Oktober 1991, Putra kedua
dari tujuh bersaudara dari Keluarga
Drs.H.Ahmad Syarifudin, M.Pd, dan
Hj. Maryam. Mengawali pendidikan
formal di SDN Semper Barat 011 Pagi
Jakarta 1997–2003, SMP Negeri 30
Koja Jakarta 2003–2006, Pondok
Modern Darussalam Gontor (PMDG)
2006–2010, Jurusan Ekonomi Islam
Fakultas Syariah Insitut Studi Islam
Darussalam 2010-2011, menyelesaikan studi strata 1 di Jurusan
Ilmu Agama Islam Konsentrasi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta 2011-2015,
kemudian menyelesaikan studi strata 2 di Jurusan Ilmu al-
Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta 2015-2019.
Selama masa studi, penulis aktif dalam kegiatan
ekstrakrakulikuler dan organisasi sekolah, Sie, Agama Islam
Osis SMP Negeri 30 Jakarta 2004-2005, Pengajar Language
Course Departement PMDG 2008-2009, Pimpinan Umum
Pengurus Darussalam Pos 2008-2009, Staff Humas, PSDM, dan
Kadiv. PSDM KSR PMI Unit UNJ 2011-2015, serta Kadiv.
Adokasi dan Wakil Ketua Paguyuban KSE UNJ 2013-2015.
Adapun pengalaman kerja, penulis aktif mengajar sebagai guru
PAI dan Budi pekerti di SMK Nusantara 2 20015 – sekarang
dan SMKN 23 Jakarta 2016 – sekarang, serta menjadi staff
Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan dan Pembina
Ekstrakulikuler SMKN 23 Jakarta.
“Bergeraklah, jangan diam. Akan selalau ada
keberkahan saat engkau bergerak” inilah kata-kata motivasi ini
yang sering dilantunkan oleh KH.Abdullah Syukri Zarkasyi
176
Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor dan menjadi
moto hidup peneliti.