AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan...

190
AL-QUR’AN & KEPEMIMPINAN STUDI KOMPARASI TERHADAP PENAFSIRAN AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH DAN SYIAH Fahmi Dwi Nurhady, M.Ag

Transcript of AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan...

Page 1: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

AL-QUR’AN &

KEPEMIMPINAN STUDI KOMPARASI TERHADAP PENAFSIRAN

AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH DAN SYIAH

Fahmi Dwi Nurhady, M.Ag

Page 2: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

AL-QUR’AN DAN KEPEMIMPINAN:

Studi Komparasi Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat

Kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah

Penulis : Fahmi Dwi Nurhady, M.Ag

Desain Cover : Dicky Hasbi

Tata Letak : Nurkholis Sofwan

Cetakan : Pertama, Juli 2019

Ukr. 14,5 x 21 cm --- xiv + 176 Hal

ISBN : 978-602-5707-25-4

Diterbitkan Oleh:

Gaung Persada Press

Ciputat Mega Mall Blok C/15

Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat – Tangerang Selatan

Telp. 021 747 075 60, Hp. 081510020395

Email: [email protected]

ANGGOTA IKAPI

© Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(All Right Reserved)

Page 3: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

iii

KATA PENGANTAR

ماء ب روحجا را، ت بارك الذيح جعل ف الس را بصي ح د للو الذيح كان بعباده خبي ح مح الحرا ها سراجا وقمرا مني ح هد انح ال إلو إال اهلل .وجعل في ح دا عبحده أشح هد ان مم وأشح

را. نو وسراجا مني ح ق بإذح را ونذي حرا، وداعيا إل الح ق بشي ح ورسولو الذيح ب عثو بالحرا ليحما كثي ح بو وسلمح تسح د .اللهم صل عليحو وعلى آلو وصحح ا ب عح أم

Segala puji bagi Allah SWT, yang Maha Mengetahui

dan Maha Melihat hamba-hambanya, Maha suci Allah, Dia-lah

yang menciptakan bintang-bintang di langit, dan dijadikan

padanya penerang dan Bulan yang bercahaya. Aku bersaksi

bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad

adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, yang diutus dengan

kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi

peringatan, mengajak pada kebenaran dengan izin-Nya, dan

cahaya penerang bagi umatnya. Ya Allah, curahkan sholawat

dan salam bagi nya dan keluarganya, yaitu doa dan keselamatan

yang berlimpah.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan buku

ini banyak sekali mengalami kendala, namun berkat bantuan,

bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan terutama berkah

dari Allah SWT, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan

buku yang berjudul Al-Qur’an Dan Kepemimpinan: (Studi

Komparasi Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Kepemimpinan

Ahlusunah dan Syiah dapat diselesaikan dengan baik,

sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.

Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan kepada seluruh pihak yang telah dengan sabar,

tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran

memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang

sangat berharga kepada penulis selama menyusun buku.

Page 4: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

iv

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pula

kepada:

1. Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar Lubis, Lc., MA.,

selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pasca

Sarjana beserta seluruh maha guru, dosen dan staf

Fakultas Ushuluddin Pasca Sarjana Jakarta.

3. Dr. M. Suryadinata, M.A. serta Dr. Lilik Ummi

Kaltsum, M.Ag selaku pembimbing yang selalu

memberikan dedikasinya kepada penulis, bersabar

memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis

berada di bawah bimbingannya. Juga melalui beliau,

tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru, sehingga penulis

bersemangat dalam menyelesaikan buku ini.

4. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah

memberikan dedikasinya mendidik penulis, memberikan

ilmu, pengalaman, serta pengarahan kepada penulis

selama masa perkuliahan.

5. Orang tua tercinta Drs. H. Ahmad Syarifudin, M.Pd dan

Hj. Mariam, atas bimbingan dan doanya yang tak pernah

putus sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini.

Penulis juga ucapkan terimakasih kepada kakanda

Zakky Aulia Rahman, S.Pd, adinda-adinda tersayang

Hetiny Muthia Rahmi, M.Pd, Hasby Nashirudin al-Bani,

Hafid Taqiyudin al-Bani, Harun Fauzi al-Bani, dan

Salman Fadlur Rahman al-Bani yang turut serta dalam

mendukung penyelesainya buku ini. Terkhusus penulis

mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada seorang

partner yang selalu setia menemani dan tak pernah lelah

memberikan dukungan materi dan non-materi yakni

Khasanatul Atiyah, serta putriku tercinta Rayhana

Nurazkia Rahim yang membuat penulis selalu

bersemangat untuk menyelesaikan buku ini.

Page 5: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

v

6. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan

dalam proses penyelesaian buku ini, namun luput untuk

penulis sebutkan, tanpa mengurangi rasa terima kasih

penulis.

Harapan penulis semoga buku ini sedikit banyak dapat

bermanfaat bagi pembaca dan semoga Allah SWT, selalu

memberkahi dan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang

turut serta membantu penyelesaian buku ini. Āmīn yā Rabb al-

Ālamīn.

Jakarta , 06 Mei 2019

Fahmi Dwi Nurhady

Page 6: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

vi

Page 7: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI (ARAB-LATIN)

A. Konsonan

Arab Latin Nama Keterangan

alif Tidak dilambangkan ا

B ba Be ب

T ta Te ت

Ts tsa Te dan Es ث

J jim Je ج

ḥ ha حHa dengan titik di

bawah

Kh kha Ka dan Ha خ

D dal De د

Dz dza De dan Zet ذ

R ra Er ر

Z zai Zet ز

S sin Es س

Sy syin Es dan Ye ش

Sh shad Es dan Ha ص

Dh dladl De dan Ha ض

Th tha Te dan Ha ط

Page 8: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

viii

Zh zha Zet dan Ha ظ

ain Koma di atas‘ ‘ ع

Gh ghain Ge dan Ha غ

F fa Ef ف

Q qof Qi ق

K kaf Ka ك

L lam El ل

M mim Em م

N nun En ن

H ha Ha ه

W waw We و

hamzah Apostrop ‘ ء

ىalif

layyinah Tidak dilambangkan

B. Vokal Tunggal

Arab Nama Latin Keterangan

--- Fathah A A

--- Kasrah I I

--- Dlammah U U

Page 9: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

ix

C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong

Arab Nama Latin Keterangan

ي--- Fathah dan

Ya Ai a dan i

و--- Fathah dan

Waw Au a dan u

D. Vokal Panjang (Madd)

Arab Nama Latin Keterangan

ى---ا---

Fathah diikuti

oleh alif atau

ya

 a dengan tanda

di atas

و---

Dlammah

diikuti oleh

waw

Û u dengan tanda

di atas

ي--- Kasrah diikuti

ya Î

i dengan tanda

di atas

Page 10: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

x

Page 11: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR_iii

PEDOMAN TRANSLITERASI (ARAB-LATIN)_vii

DAFTAR ISI_xi

BAB I: PENDAHULUAN_1

A. Latar Belakang Masalah_1

B. Pokok Permasalahan_11

1. Identifikasi Masalah_11

2. Pembatasan Masalah_12

3. Perumusan Masalah_17

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian_17

D. Tinjauan Pustaka_18

E. Metodologi Penelitian_23

F. Sistematika Pembahasan_26

BAB II: PENAFSIRAN DAN KEPEMIMPINAN

AHLUSUNAH DAN SYIAH _29

A. Penafsiran Syiah_29

B. Kepemimpinan Perspektif Ahlusunah dan Syiah_34

C. Pembentukan Kepemimpinan dalam Islam_41

1. Periode Rasulullah_41

2. Penunjukan Abu Bakar al-Siddiq_51

3. Penunjukan Umar bin Khattab_57

4. Penunjukan Usman bin Affan_60

5. Penunjukan Ali bin Abi Thalib_64

6. Penunjukan Hasan bin Ali bin Abi Thalib_68

7. Periode Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Imam

Syiah_69

8. Kebangkitan Nasionalisme dan Wilāyah al-Fāqih di

Iran_78

Page 12: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

xii

BAB III: ANALISA PENAFSIRAN AHLUSUNAH DAN

SYIAH TERHADAP AYAT-AYAT AL-QURAN

TENTANG KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH_83 A. QS. Ali Imran/3 : 159 dan QS. asy-Syura/42 : 38_84

B. QS. Ali Imran/3 : 28 dan QS. Al-Maidah/5: 51_93

C. QS. an-Nisa/4: 58-59_102

D. QS. Ali Imran/3: 104 dan 110_110

BAB IV: ANALISA PENAFSIRAN AHLUSUNAH DAN

SYIAH TERHADAP AYAT-AYAT AL-QURAN

TENTANG KEPEMIMPINAN SYIAH_117

A. QS. al-Maidah/5: 67 (Ayat Tablīg)_117

B. QS. al-Maidah/5: 55-56 (Ayat Wilāyah)_125

C. QS. al-Baqarah/2: 124 (Ayat Ibtilā)_134

D. QS. al-Nisa/4: 59 (Ayat Uli al-Amr)_141

BAB V: ANALISA KOMPARASI TERHADAP

PENAFSIRAN AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN

AHLUSUNAH DAN SYIAH_147

A. Perbedaan Konsep Kepemimpinan yang Berimplikasi

Terhadap Perbedaan Ayat-ayat al-Quran yang

digunakan sebagai Dalil_147

B. Perbedaan penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap

ayat-ayat al-Quran tentang kepemimpinan_151

C. Persaman Penafsiran Ahlusunah dan Syiah Terhadap

Ayat-ayat al-Quran tentang Kepemimpinan_154

D. Perbedaan Term-term Kepemimpinan dalam al-

Quran_155

E. Perbedaan dalam Penerapan Sumber Penafsiran_155

F. Perbedaan dalam Penerapan kolerasi (Munāsabah)

ayat_156

G. Perbedaan dalam Memaknai Term Ulī al-Amr dalam

QS. al-Nisa/4 : 59_160

H. Solusi Konstruktif _162

Page 13: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

xiii

BAB VI: PENUTUP_163

A. Kesimpulan_163

B. Saran_163

DAFTAR PUSTAKA_165

BIODATA PENULIS_175

Page 14: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

xiv

Page 15: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sosok pemimpin merupakan hal yang sangat penting

dalam sebuah komunitas kehidupan masyarakat. Tanpa seorang

pemimpin dalam komunitas tertentu, kehidupan masyarakat

tidak akan teratur dan tidak akan terwujud kehidupan

masyarakat yang baik. Terlebih komunitas muslim pada fase

awal meninggalnya Nabi Muhammad SAW yang sangat

membutuhkan pemimpin pengganti sepeninggalan beliau, agar

kehidupan komunitas muslim yang baru lahir itu berjalan

dengan baik. Sebab sosok Nabi Muhammad selain sebagai

pemimpin agama, beliau juga merupakan pemimpin negara.

W.M. Watt menjelaskan sebagaimana dikutip oleh

Harun Nasution, ketika Nabi Muhammad SAW wafat tahun 632

M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota

itu saja. Tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semenanjung

Arabia. Negara Islam di waktu itu merupakan kumpulan suku-

suku bangsa Arab yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi

Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat

Madinah, dan mungkin juga masyarakat Makkah sebagai

intinya. Islam sendiri, sebagai kata R. Strothman, di samping

merupakan sistem agama telah pula merupakan sistem politik,

dan Nabi Muhammad di samping Rasulullah telah pula menjadi

seorang ahli negara.1

Dengan wafatnya Rasulullah SAW, umat muslim

dihadapkan kepada suatu kritis konstitusional. Sejumlah suku

melepaskan diri dari kekuasaan Madinah, ada golongan yang

telah murtad, ada golongan yang tidak mau membayar zakat,

ada yang mengaku dirinya sebagai nabi dan memiliki pengikut

yang banyak. Oleh sebab itu, masyarakat Madinah sibuk

memikirkan pengganti Rasulullah untuk memimpin negara

1 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa

Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2013), h.5.

Page 16: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

2

Islam yang baru lahir itu. Sehingga pengurusan jenazah beliau

pun tidak segera dilakukan oleh para sahabat.2

Nourrouzzaman menjelaskan, kaum muslimin

berkumpul di Saqifah Bani Sa‟idah untuk mengadakan

muktamar pemilihan kepala negara atau khalifah pengganti

Rasulullah SAW. Kaum Anshar menekankan pada persyaratan

jasa, mereka mengajukan calon Saad bin Ubadah. Kaum

Muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka

mengajukan calon Abu Ubaidah bin Jarrah. Sementara itu dari

Ahlulbait menginginkan agar Ali bin Abi Thalib menjadi

khalifah atas dasar kedudukannya dalam Islam, juga sebagai

menantu dan karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi bahkan

adu fisik. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi,

akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jamaah kaum muslimin

untuk menduduki jabatan khalifah.3

Namun, penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah

pertama dinilai kelompok Syiah sebagai rekayasa politik yang

telah direncanakan Abu Bakar dan Umar bin Khattab4. Abu

2Rasulullah wafat pada waktu Dhuha, hari Senin 12 Rabi‟ul Awwal,

tahun 11 H. Tepat pada usia Rasulullah 63 tahun lebih empat hari. Sebelum

para sahabat melakukan pengurusan Jenazah Rasulullah, mereka berselisih

pendapat tentang siapa yang menjadi Khalifah pengganti Rasulullah. Namun

akhirnya, Abu Bakar terpilih sebagai Khalifah pertama. Hal tersebut

berlangsung hingga menjelang subuh hari Selasa. Setelah itu Pengurusan

jenazah baru dilakukan dan selesai pada hari Selasa malam (Rabu). Lihat

Shafiyyur Rahman Mubarakfury, Ar Rahiqul Makhtum Bahtsun fi as-Shirah

an-Nabawiyah „ala Shihibiha Afdholushshalti wa as-Slami, Penerjemah

Rahmat, Sejarah Hidup Muhammad Sirah Nabawiyah (Jakarta; Robbani

Press, 2010), h. 716-719. 3 Nourrouzzaman Shiddiqi, Tamaddun Muslim (Jakarta: Bulan

Bintang, 1986), h. 117-118. 4 Pertemuan yang terjadi di Saqifah tidak dihadiri oleh pemuka-

pemuka sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka‟ab, Miqdad,

Salman, Talhah, az-Zubair, dan Hudhaifah. Pertemuan ini hanya dihadiri

oleh tiga kelompok muhajirin. Lihat Sayid Mujtaba Musawi lari, Imam

Penerus Nabi Muhammad Saw.; Tinjauan Historis, Teologis dan Filosofis

(Jakarta: Lentera Basritama, 2004), h. 106

Page 17: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

3

Muhammad Ordoni menjelaskan, tindakan Umar begitu

berlebihan dalam menanggapi wafatnya Nabi. Ia melarang

orang mempercayai berita wafatnya Nabi dan berteriak-teriak

ke wajah orang-orang dan mengancam mereka dan berkata ; “...

Aku tak akan mendengar seorang berkata, „Rasulullah SAW

wafat‟, kecuali akan kupenggal kepalanya.” Kemudian, setelah

Abu Bakar berpidato5, ia sadar bahwa Rasulullah telah

meninggal, kemudian berputar haluan dengan melupakan

segalanya, lalu bergegas pergi bersama Abu Bakar dan kaum

Muhajirin ke sidang Saqifah untuk berpatisipasi dalam

pemilihan pemimpin baru kaum Muslim.6

Al-Suyuthi menjelaskan, setelah Umar membaiat Abu

Bakar, dikuti oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Kemudian Abu Bakar naik ke mimbar dan melihat orang yang

hadir, dia tidak mendapatkan Ali di tengah mereka. Dia

kemudian mengutus seorang untuk memanggil Ali, dan Ali pun

datang memenuhi panggilan tersebut. Abu Bakar berkata, “Kau

adalah anak paman Rasulullah dan dia kawinkan engkau

dengan anaknya, apakah engkau kau ingin mengoyak-ngoyak

5 ”Siapa di antara kalian yang menyembah Muhammad Saw.,

sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Dan siapa yang menyembah

Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak mati.” Abu Bakar lalu

membacakan QS. Ali Imran: 144: “Muhammad itu tak lain hanyalah seorang

Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika

dia wafat atau di bunuh, kamu berbalik kebelakang (Murtad) ?...” Kemudian

Umar berkata: “Demi Allah Aku tidak menyadarinya sehingga Abu Bakar

membacanya. Aku terpana, kedua kakiku terasa lemas, sehingga aku jatuh

manakala dia membacanya. Saat itu aku baru sadar bahwa Rasulullah telah

meninggal.” Ibnu Abbas berkata : “Demi Allah seakan-akan orang-orang

tidak pernah merasa Allah telah menurunkan ayat tersebut kecuali setelah

Abu Bakar saat itu membacanya.” Lihat Shafiyyur Rahman Mubarakfury,

Sejarah Hidup Muhammad, h. 716-718, Lihat Ja‟far Subhani, Ar Risalah;

Sejarah Kehidupan Rasulullah Saw., (Jakarta: Lentera Baristama, 1996), h.

696 6 Abu Muhammad Ordoni, Fathimah Buah Cinta Rasulullah Saw.

Sosok Sempurna Wanita Surga, (Jakarta: Zahra, 2012), h. 190-192

Page 18: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

4

kesatuan kaum Muslimin?” Ali menjawab, “Tidak wahai

khalifah Rasulullah!” dan dia membaiat Abu Bakar.7

Keesokan harinya Umar dan Abu Bakar berpidato dan

akhirnya kaum muslimin kembali memberikan baiat secara

umum kepada Abu Bakar setelah baiat di Saqifah. Lalu Ali dan

Zubair berkata, “Kemarahan kami tidak lain karena kami tidak

diikutkan dalam musyawarah. Sesungguhnya kami memandang

bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak untuk

memangku khalifah. Karena sesungguhnya dia adalah teman

Rasulullah di dalam gua. Dan kami mengetahui kemuliaan yang

ada padanya. Rasulullah telah memerintahkannya menjadi

imam pada saat dia masih hidup.8

Mujtaba Musawi Lari menyanggah, ketika Fatimah

bersama Ali berusaha mencari bantuan dari para sahabat,

mereka berkata: “Wahai putri Rasul! Kita telah mengucapkan

7 Sebelumnya Abu Bakar telah terlebih dahulu memanggil Zubair

karena ia tidak dapatkan Zubair berada di tengah hadirin. Dia

memerintahkan agar Zubair dipanggil, lalu dia datang memenuhi panggilan

Abu Bakar. Abu Bakar berkata, “Kau adalah anak bibi Rasulullah dan

seorang hawari Rasulullah, apakah kau ingin mengoyak-ngoyak kesatuan

kaum Muslimin?” Zubair menjawab, “Tidak wahai khalifah Rasulullah!”

Lalu dia membaiat Abu Bakar. Lihat Imam al-Suyuthi, Tarikh Khulafa‟,

Penerjemah Samson Rahman (Jakarta, Pustaka Kautsar, 2000) h. 76 8 Umar berpidato sebelum Abu Bakar. Dia memuji Allah dan

menyatakan sykurnya. Lalu berkata, “ Sesungguhnya Allah telah menjadikan

orang terbaik di antara kalian memangku jabatan khalifah. Dia adalah

sahabat Rasulullah, orang yang menemaninya saat berada di dalam gua.

Maka bangunlah kalian semua dan nyatakan baiat kepadanya.” Lalu para

hadirin berdiri dan menyatakan baiat secara umum setelah baiat di Saqifah.

Kemudian Abu Bakar berdiri dan memuji Allah dan menyatakan syukurnya.

Kemudian berkata, “Demi Allah sesungguhnya saya tidak pernah berambisi

kepada kekuasaan meskipun sehari ataupun semalam dalam hidupku. Saya

juga tidak pernah mengiginkannya. Saya tidak pernah satu kalipun meminta

kepada Allah baik secara terang-terangan maupun secara rahsia. Namun saya

khawatir terjadi fitnah. Dan tidaklah ada dalam kepemimpinan ini untuk

berleha-leha. Sebab saya telah dibebani tugas yang demikian besa. Dan

tidaklah ada padaku satu kekuatan dan daya kecuali dengan bantuan Allah.”

Imam al-Suyuthi, Tarikh Khulafa‟,h. 76-77

Page 19: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

5

baiat kepada Abu Bakar. Jika Ali datang sebelum peristiwa ini,

maka kami tidak akan meninggalkanya.” Ali berkata kepada

mereka: “Apakah pantas mempermasalahkan persoalan khalifah

sementara Nabi belum dikuburkan?”. Setelah peristiwa Saqifah

Ali berkata kepada Abu Bakar, “Anda telah merampas hakku,

Anda enggan berkonsultasi denganku, dan mengabaikan

hakku,” Abu Bakar hanya menjawab, “Ya, benar, tetapi aku

takut terjadi kekacauan dan bencana.”9

Karen Armstrong mengutip perkataan Ibnu Katsir,

bahwa Ali membaiat Abu Bakar pada hari pertama atau kedua.

Ali tak pernah mengikari Abu Bakar dan tidak pernah

melewatkan satu salat pun yang diimami Abu Bakar. Ali juga

keluar bersamanya menuju Dzul Qishah untuk memerangi

penduduk yang murtad. Tapi, Fatimah pernah mencela Abu

Bakar karena menyangka dirinya berhak memperoleh warisan

dari Rasulullah sebagai anak. Namun Abu Bakar tidak

membagikannya dan menganggap dirinyalah yang yang berhak

mengurus semua peninggalan Rasulullah. Inilah yang memicu

kemarahan Fatimah terhadap Abu Bakar. Fatimah meninggal

dunia enam bulan setelah Rasulullah wafat. Kondisi ini

membuat Ali memutuskan diri untuk memperbaharui baiatnya

terhadap Abu Bakar agar tidak timbul fitnah di kalangan umat

Islam.10

Ali bin Ibrahim al-Qummi menegaskan, Rasulullah

secara jelas menunjuk Ali di Ghadir Khum sebagai pemimpin

kaum muslimin (pemimpin agama sekaligus pemimpin politik).

Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh firman Allah SWT

dalam QS. al Maidah: 67.

9 Sayid Mujtaba, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw., h. 54

10 Karen Armstrong. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi

Kritis. Penerjemah Sirikit Syah (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h. 10

Page 20: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

6

Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang

diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-

Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-

orang yang kafir.

Ayat ini turun kepada Rasulullah SAW, ketika sampai di

Ghadir Khum dalam perjalanan pulang Haji Wada‟ dari

Makkah menuju Madinah. Dalam ayat ini, Allah SWT

memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengangkat Ali bin Abi

Thalib sebagai khalifah sepeninggalannya. Maka Rasulullah

SAW berpidato di hadapan para sahabat, setelah memuji Allah,

Beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, apakah kalian

mengetahui siapa wali kalian?”, para sahabat menjawab: “Ya,

Allah dan Rasul-Nya”. Rasulullah bersabda: “Bukankah kalian

mengetahui bahwa sesungguhnya diriku lebih utama dari

kalian?”, mereka menjawab: “Ya, benar”. Beliau mengulangi-

nya tiga kali, dan mereka menjawab dengan jawaban yang

sama. Rasulullah berdoa: “Ya Allah, Saksikanlah”, Kemudian

Rasulullah menggenggam tangan Ali bin Abi Thalib dan

mengangkatnya sampai terlihat ketiak keduanya yang putih oleh

para sahabat. Kemudian bersabda: “Ketauhilah, barang siapa

yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali bin Abi Thalib adalah

pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya,

Page 21: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

7

musuhilah orang yang memusuhinya, belalah orang yang

membelanya, dan hinakanlah orang yang menghinakannya.”11

Kemudian peristiwa ini disempurnakan dengan turunnya

QS. al Maidah: 3: “... Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk

kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,

dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu ...”. Ayat

ini dikenal dengan ayat Ikmāl al-dīn (Penyempurnaan Agama).

Dari Ali bin Ibrahim Al-Qummi, dari Bapaknya, dari Sofwan

bin Yahya, dari „Ala, dari Muhammad bin Muslim, Abu Ja‟far

(Imam Muhammad al-Baqir AS) berkata: “Kewajiban terkhir

yang Allah perintahkan kepada manusia adalah al-wilāyah,

kemudian Allah tidak menurunkan kewajiban setelahnya.” Nabi

SAW bersabda, “Allah Maha Besar lantaran penyempurnaan

agama, pelengkapan nikmat, dan keridhaan Tuhan dengan

risalahku dan wilâyah Ali bin Abi Thalib .”12

Namun, ulama Ahlusunah tidak sepaham dengan

pemahaman ulama Syiah terkait hadis Ghadir Khum tersebut.

Menurut para ulama Ahlusunah, teks hadis itu sebatas keutaman

Ali yang memiliki latar belakang khusus dan bukan

pengangkatan khalifah sesudah beliau. Teks hadis itu jelasnya

bukan kepemimpinan umat (al-wilāyah/al-imārah), melainkan

kasih sayang dan tolong-menolong yang muncul dari dua pihak

(al-walāyah/al-muwālah yang darinya berasal kata al-waliyu

dan al-mawla, sebagaimana teks hadis).13

11

Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsir Al-Qummi (Qum: Yayasan

Imam Mahdi, 1435 H), Juz ke-1 h. 254-255, Sayyid Muhammad Radawi,

Imāmah dan Wilayah dalam Ajaran Ahlulbait AS, (Era of Appearance

Foundation, 2009), h.18, Tim Ahlul Bait Indonesia (ABI), Buku Putih

Mazhab Syiah Menurut Para Ulamanya yang Muktabar, Penjelasan

Ringkas-Lengkap untuk Kerukunan Umat (Jakarta: Dewan Pengurus Pusat

Ahlul Bait Indonesia, 2012), h.114 12

Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsir Al-Qummi, Juz ke-1 h. 239,

Tim ABI, Buku Putih Mazhab Syiah, h.115 13

Ibrahim bin „Amir Al-Rahili, Al-intishar li as-Shuhbi wal Aal,

(Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam), h. 329

Page 22: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

8

Ahmad al-Katib menguraikan, jika teks hadis itu

menegaskan tentang pelantikan Ali sebagai Khalifah setelah

Rasulullah, pasti sudah digunakan Ali bin Abi Thalib sebagai

dalil dan hujjah saat Rasulullah wafat sebelum pengangkatan

Abu Bakar sebagai khalifah, atau pada saat musyawarah enam

tokoh sahabat setelah wafatnya Umar bin Khattab untuk

menetapkan khalifah baru, dan juga dijadikan dalil oleh Abu

Musa al-As‟ari untuk menetapkan posisi Khalifah Ali pada

peristiwa Tahkim antara Ali dan Muawiyah pasca perang

Shiffin. Namun tak ada satu sahabat pun, termasuk Ali yang

memahaminya demikian. Para tokoh Ahlulbait sendiri seperti

Ali, Hasan, dan Husain, mereka berpegang teguh pada prinsip

Syurā dalam memilih pemimpin dan tak pernah menyinggung

soal adanya teks wasiat penunjukan Imamah mereka, baik dari

Rasulullah SAW kepada Ali, ataupun Ali kepada Hasan dan

Husain.14

Muhammad Baqir Sadr membantah, mereka menjadi-

kan Syurā sebagai alibi dan senjata guna mencapai kepentingan

politik masing-masing. Konsep Syurā tidak terefleksi dalam

cara berpikir mereka, bahkan mereka sendiri saling berselisih

pendapat tentang berbagai sikap politik, yang kemudian

perselisihan tersebut disusul dengan terpecahnya orang-orang

yang selalu mengelu-elukan Syurā menjadi beberapa golongan.

Setiap golongan meneriakkan Syurā dan mengaku golongannya

sebagai golongan yang konsekuen dengan nilai dan konsep

tersebut.15

14

Ahmad al-Katib, Tathawwur Al-Fikr as-siyasi as-Syi‟i min Syura

ila Wilayat al-Faqih (Beirut: Darul Jadid, 1998), h.19-28 15

Kenyataan ini terlihat dengan jelas dalam sikap sahabat Thalhah

terhadap penunjukan Khalifah Abu Bakar dan kekesalannya terhadap

penunjukan tersebut dengan menggunakan syura sebagai senjata untuk

menolak dan memprotes aksi penunjukan itu. Talhah mengecam sikap dan

tindakan Abu Bakar itu sebagai tindakan gegabah yang bertentangan pesan

dan konsep serta cara bermusyawarah yang telah digariskan oleh Rasulullah

Saw.

Page 23: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

9

Menurut jumhur ulama Syiah, percaya kepada Imamah

adalah salah satu pokok agama, jika seseorang tidak mengimani

Imamah (Wilāyah) Imam Ali bin Abi Thalib dan keturunannya,

maka dia kafir kepada Allah. al-Kulaini menyatakan,

“Bermaksiat kepada Ali adalah Kufur dan mempercayai orang

lain lebih utama dan berhak dari beliau dalam Imāmah adalah

syirik.”16

al-Majlisi menulis dalam bukunya, “sekte imamiyah

bersepakat bahwa sungguh orang yang mengingkari Imāmah

salah satu dari imām kami dan menolak kewajiban dari Allah

Kemudian Abdurrahman bin Auf juga memprotes Abu Bakar atas

tindakannya yang sepihak menunjuk rekannya Umar bin Khatab sebagai

penggantinya memangku jabatan kekhalifahan dalam selembar surat yang

ditulis Utsman bin Affan (selaku Sekretaris Negara). “Hai Khalifah!

Bagaimana anda ini sebenarnya?”. Abu Bakar Menjawab dengan nada

bertanya: “Kenapa kalian semua memprotes penunjukan itu dan menambah

berat bebanku lalu masing-masing menuntut jabatan itu.” Pengangkatan

yang dilakukan Abu Bakar dan sikap protes Abdurrahman bin Auf

membuktikan bahwa sang Khalifah tidak memahami logika sistem syura.

Surat pengangkatan itu bukan hanya sekedar usul atau buah pendapat biasa

namun surat tersebut bernada perintah dan ketetapan yang bersifat absolut

dan tak dapat diralat atau diganggu-gugat.

Terbukti Umar juga merasa berhak mengangkat secara individu

seorang pengganti dengan cara menunjuk enam rekannya sebagai calon-

calon tetap dan terbatas dan orang-orang yang diluar enam calon itu hanya

berhak mendengar, menonton dan puas dengan hasil saja. Suara orang

ketujuh disitu tidak akan digubris. Pengangkatan Umar ini jelas tidak

berdasarkan syura yang pada dasarnya mengutamakan faktor pengambilan

suara terbanyak. Hal ini tidak terlalu berbeda dengan gaya penunjukan Abu

Bakar kepadanya. Kedua-duanya tidak konsekwen pada nilai dan tuntunan

permusyawarata yang ideal, yang mana sebelumnya selalu mereka gunakan

sebagai alat dan alasan dalam berkampanye pada sidang Saqifah. Tarikh Al-

Ya‟qubi juz kedua h. 126-127. Muhammad Bagir Sadr, Kemelut

Kepemimpinan Setelah Rasul (Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1990), h. 27-28 16

Muhammad bin Ya‟qub abu Ja‟far Al Kulaini, Usul Al-Kafi,

(Beirut: Mansyurat al-Fajr, 2008) Jilid 1 h. 52 dan 54

Page 24: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

10

untuk mentaatinya adalah kafir yang pasti kekal di dalam

neraka.17

Mereka juga meyakini bahwa para Imām memiliki dunia

dan akhirat. al-Kulaini menyatakan bahwa, “Tidakkah kamu

ketahui sesungguhnya dunia dan akhirat adalah kepunyaan

Imam, dia boleh meletakannya di mana dikehendakinya dan

memberikan kepada siapa yang dikehendakinya dan

memberikan kepada siapa yang dikehendakinya. Itu adalah

kebenaran dari pihak Allah kepadanya.” Selain itu mereka juga

meyakini bahwa para imam mengetahui yang ghaib. Imam

Ja‟far Shadiq AS berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui apa

yang di langit dan di bumi. Aku mengetahui apa yang ada di

surga dan di neraka. Aku mengetahui perkara yang berlalu dan

perkara yang akan datang.”18

Sayyid Abul Hasan Ali al-Hasani al-Nadawi menang-

gapi, bahwa Rasulullah SAW wajib sebagai satu-satunya pusat

hidayah dan pengatur syariat yang harus ditaati. Tidak boleh

ada seorangpun yang berserikat dalam kenabian dan

pensyariatan sehingga tak ada manusia setelah nabi yang

berpredikat maksum dan menjadi sumber wahyu, Imamah

seperti yang diyakini Syiah dan dinyatakan oleh Muhammad

Husain Kasyif al-Ghita dalam kitab Ashl as-Syiah wa Ushuluha

adalah jabatan keilahian (mansibatul-ilahy) seperti Nubuwwah.

Hal seperti ini jelas melanggar prinsip bahwa Nabi Muhammad

adalah Nabi dan terakhir.19

Oleh sebab itu, adanya perbedaan konsep kepemimpinan

antara Ahlusunah dan Syiah yang mereka landaskan kepada

ayat-ayat al-Qur‟an, al-Hadist dan fakta sejarah terkait, perlu

17

Muhammad Baqir al-Majalisi, Bihar Al-Anwar sl-Jamiah li

Durar Akhbar al-Aimmat al-Athhar (Dar Ihya al-Turats al-„Arabi, t.t.)

Jilid.23 h. 390 18

al-Kulaini, Ushulul Kafi, Jilid.1 h.155-157 19

Sayyid Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadawi, Shuratani

Mutadhaddatani li Nataij Juhhud Ar-Rasul Al-A‟zham, (Qatar: Idarat Ihya‟

al-Turats al-Islami, t.t.) h.17

Page 25: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

11

ditelaah kembali. Adapun contoh perbedaan konsep tersebut

seperti, pertama, perbedaan Pemimpin yang sah setelah

wafatnya Nabi Muhammad antara Abu Bakar atau Ali bin Abi

Thalib. Kedua, Syiah berpandapat imamah adalah jabatan

keilahian (mansibatul-ilahy) layaknya al-nubuwwah dan

pengangkatannya pun merupakan perkara Allah, sedangkan

Ahlusunah tidak demikian, mereka mengangkat seorang

pemimpin dengan musyawarah. Ketiga, Syiah menyatakan

pemimpin harus ditaati, karena mereka maksum, sedangkan

Ahlusunah pemimipin tidak maksum.

Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut yang mereka

landaskan kepada ayat-ayat al-Qur‟an, maka penulis

menganggap pentingnya mengkomparasi penafsiran ahlususnah

dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang kepemimpinan.

Oleh karenanya dalam tesis ini, penulis memberi judul Al-

Qur’an Dan Kepemimpinan: Studi Komparasi Terhadap

Penafsiran Ayat-Ayat Kepemimpinan Ahlusunah dan

Syiah.

B. Pokok Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah

terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasi sebagai

berikut:

1) Krisis konstitusional yang melanda umat muslim pasca

wafatnya Rasulullah SAW sangat mengkhawatirkan.

Sejumlah suku melepaskan diri dari kekuasaan

Madinah, ada golongan yang telah murtad, ada golongan

yang tidak mau membayar zakat, ada yang mengaku

dirinya sebagai nabi dan memiliki pengikut yang

banyak.

2) Terjadi perselisihan antar golongan sahabat tentang

siapa yang paling berhak atas kepemimpinan (Imāmah)

negara Islam yang baru berkembang.

Page 26: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

12

3) Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama dinilai

kelompok Syiah sebagai rekayasa politik yang telah

direncanakan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Kemudian Syiah mengklaim bahwa Rasulullah telah

mewasiatkan kepemimpinan setelah beliau kepada Ali

bin Abi Thalib

4) Formulasi konsep Imamah sebagai doktrin utama

(ushul) Syiah sangat kontradiksi dengan pemahaman

Ahlusunah.

5) Konstruksi konsep kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah

perlu dirujuk dengan mengkaji ayat-ayat kepemimpinan

yang ditafsirkan oleh mufasir Ahlusunah dan Syiah.

6) Ayat-ayat tentang kepemimpinan dalam al-Qur‟an

jumlahnya sangat banyak.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis akan

mengeksplorasi pemikiran dan penafsiran mufasir Ahlusunah

dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang kepemimpinan.

Adapun pemikiran dan penafsiran mufasir yang dirujuk

peneliti yaitu :

1) Mufasir Ahlusunah

a) Muhammad bin Umar Fakhruddiin ar-Razi : Tafsīr

al-Kabir wa Mafâtih al-Ghaib. Penulis

menggunakan kitab tafsir ini karena termasuk kitab

tafsir bi al-ra‟yi tersohor. Ar-Razi termasuk mufasir

yang banyak menguraikan kajian masalah

ketuhanan (teologi) dan termasuk di dalamnya

beliau mengkritisi penafsiran ayat-ayat teologi

Syiah. Selain itu beliau juga mengemukakan

mazhab-mazhab fikih dalam penafsirannya.

Sehingga penafsiran beliau terhadap ayat-ayat

kepemimpinan sangat penulis butuhkan dalam

penelitian ini.

Page 27: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

13

b) Sayyid Quthb : Tafsīr fi Zhilâl al-Qur‟an. penulis

merujuk kitab tafsir ini karena termasuk kitab tafsir

termasyhur di Era Modern. Sayyid Quthb

merupakan tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin yang

paling memonjol, alim dan pemikir yang cemerlang.

Ketika beliau menafsirkan sebuah rangkain ayat, ia

sodorkan satu “payung” dalam muqaddimah untuk

menaungi antara bagian-bagiannya. Kemudian

beliau menafsirkan ayat dengan mengetengahkan

riwayat-riwayat yang shahih, lalu mengemukakan

sebuah paragraf tentang kajian kebahasaan secara

singkat. Dalam penafsirannya, beliau memberikan

motivasi, membangkitkan kesadaran, meluruskan

pemahaman, dan mengaitkan Islam dengan

kehidupan. Corak haraki dan adaby ijtima‟i inilah

yang penulis perlukan dalam menganalisa

penafsiran ayat-ayat kepemimpinan.

c) Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili: Tafsīr al-Munir

fī al-„Aqīdah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj. Adapun

alasan penulis mengutamakan kitab tafsir ini karena

bercorak nuansa fiqih. corak fiqih inilah yang

dibutuhkan penulis ketika menganalisa ayat-ayat

kepemimpinan. Selain itu, dalam penafsirannya al-

Zuhaili menggabungkan sumber klasik, yaitu tafsîr

bi al-ma‟tsûr dan bi al-ra‟y. Beliau juga mengga-

bungkan metode modern, yang merupakan

perpaduan antara tahlîlî dalam menguraikan aspek

bahasa dan sastra, dan metode maudhû‟i (tematik),

dalam menjelaskan tema-tema tertentu. Sehingga

penulis mendapatkan banyak informasi dari karya

beliau.

2) Mufasir Syiah

a) Ali bin Ibrahim al-Qummi: Tafsīr al-Qummi.

Penulis menggunakan kitab tafsir ini karena

Page 28: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

14

termasuk kitab tafsir klasik yang tersohor di

kalangan muslim Syiah. Ayah beliau merupakan

ahli hadist Syiah dan banyak meriwayatkan hadist,

oleh karenanya al-Qummi banyak meriwayatkan

hadist dari ayahnya. al-Kulaini, penulis terkemuka

sumber riwayat Syiah menukil lebih dari 7000 hadis

darinya. al-Qummi merupakan sahabat Imam Ali al-

Hadi, selain hidup di masa Imam Ali al-Had, juga

hidup pada masa Imam Hasan al-Askari dan masa

Ghaibah Shugra Imam Mahdi. Sumber penafsiran

dalam kitab ini adalah bi al-ma‟tsūr, yakni riwayat-

riwayat berupa hadist rasulullah dan para imam

maksum, dsb. Penafsiran al-Qummi sangat singkat

dan straight to the point. Beliau hanya menam-

pilkan riwayat kemudian langsung menyimpulkan

makna dan hukumnya, tanpa beragumentasi. al-

Qummi memiliki fanatisme yang kental terhadap

mazhab Syiah. Dalam masalah-masalah teologi

kata-kata beliau cukup pedas terhadap Ahlusunah.

Sumber tafsīr bi al-ma‟tsūr dan fanatisme yang

kental ini yang sangat dibutuhkan penulis.

b) Fadhl bin Hasan al-Thabarsy : Majma‟ al-Bayan fī

Tafsīr al-Qur‟an. Penulis menggunakan kitab tafsir

ini karena termasuk kitab tafsir klasik yang

memiliki bentuk pembahasan yang paling baik dan

sitematik, serta moderat dalam melontarkan kritik

berbagai pendapat dan penafsiran. Dalam

penafsiranya beliau mengklasifikasi pembahasan,

seperti diawali dengan membahas qira‟ah, bahasa

(lughawi), tanda baca, asbāb al-nuzūl, munasabah

ayat, dan penjelasan pasal-pasal permasalahan.

Beliau adalah mufasir Syiah langka yang menaruh

perhatian khusus terhadap ilmu munasabah.

c) Muhammad Husain al-Thabathaba‟i: al-Mizan fi

Tafsīr al-Qur‟an. Penulis menggunakan kitab tafsir

Page 29: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

15

ini karena termasuk kitab tafsir kontemporer Syiah

yang masyhur dan banyak menjadi objek penelitian.

Ciri terpenting tafsir ini adalah tafsir al-Qur'an bi

al-Qur'an sehingga ketika peneliti menelaah ayat-

ayat kepemimpinan akan mendapatkan informasi

yang lebih luas terkait ayat-ayat yang berkaitan.

Dalam menafsirkan sebuah ayat, beliau memapar-

kan pendapat-pendapat atau penafsiran-penafsiran

ulama lain, kemudian beliau mengkritik satu persatu

pendapat dan penafsiran tersebut dan mengemuka-

kan pendapat beliau. Untuk masalah penafsiran

tentang ayat-ayat teologi Syiah, walaupun beliau

tidak sepaham dengan ulama diluar Syiah, namun

kritikan-kritikan beliau ilmiah dan halus.

Setelah penulis telusuri penafsiran tentang term-term

kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah dalam al-Qur‟an, maka

penulis merangkum ayat-ayat yang terfokus dalam masalah

tersebut.

Ayat-ayat kepemimpinan Ahlusunah yaitu :

a) QS. Ali Imran/3 : 159 dan QS. al-Syura/42 : 38. Penulis

menggunakan kedua ayat ini karena membahas tentang

musyawarah dan musyawarah merupakan asas

pemerintahan Islam. Dalam QS. Ali Imran/3 : 159

Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam diperintahkan

Allah untuk melakukan musyawarah dengan para

sahabatnya. Beliau selalu melakukan musyawarah dalam

segala hal kecuali hukum-hukum agama. Adapun QS.

al-Syura/42 : 38 penulis pilih karena menggambarkan

musyawarah sebagai sifat bawaan orang beriman.

b) QS. al-Nisa/4: 58-59. Penulis menggunakan kedua ayat

ini karena membahas tentang amanah, keadilan, dan

perintah taat kepada pemimpin yang memimpin sesuai

al-Qur‟an dan al-sunah. Adapun amanah merupakan

prinsip pertama asas pemerintahan Islam dan keadilan

Page 30: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

16

adalah prinsip kedua. Selama pemimpin menerapkan

dua prinsip tersebut, maka pemimpin wajib ditaati.

c) QS. Ali Imran/3: 104 dan 110. Penulis menggunakan

kedua ayat ini karena kedua ayat ini berbicara tentang

perintah penegakan amar makruf nahi munkar. Amar

makruf nahi munkar harus ditopang dengan kekuasaan,

sehingga hal tersbut dapat ditegakkan dalam

masyarakat.

d) QS. Ali Imran/3 : 28 dan QS. Al-Maidah/5: 51. Penulis

menggunakan kedua ayat ini karena kedua ayat ini

secara tegas mengandung larangan bersikap loyal

terhadap non-muslim dan menjadikannya pemimpin.

Kemudian Allah mengancam mereka yang bersikap

loyal dan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin,

maka mereka termasuk dari dari golongan non-muslim

dan mereka tidak mendapatkan pertolongan Allah.

Dalam menemukan ayat-ayat kepemimpinan Syiah,

selain dengan term-term kepemimpinan dalam al-Qur‟an,

penulis terbantu dengan ayat-ayat kepemimpinan Syiah yang

sangat masyhur. ayat-ayat terebut sangat dikenal baik

dikalangan ulama Syiah maupun pengikut Syiah sendiri.

Termasuk mufasir-mufasir Syiah, ketika menafsirkan ayat-ayat

yang berkaitan dengan teologi imamah, mereka menyebutkan

ayat-ayat tersebut dengan istilah nama ayat yang sudah tersohor

tersebut.

Adapun istilah-istilah nama ayat tersebut adalah QS. Ali

Imran/3 : 61 dengan istilah ayat mubāhalah, QS. al-Taubah/9 :

119 dengan ayat al-shādiqīn, QS. al-Ahzab/33 : 33 dengan ayat

tathhīr, QS. al-Ra‟du/13 : 43 dengan ayat ilm al-kitāb, QS. al-

Maidah/5: 67 dengan ayat tablīg, QS. al-Baqarah/2: 124 dengan

ayat ibtilā, QS. al-Maidah/5: 55-56 dengan ayat wilāyah, QS.

al-Nisa/4: 59 dengan ayat uli al-amr. Namun tidak semua ayat-

ayat yang masyhur tersebut peneliti kemukakan dalam

Page 31: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

17

peneliatian ini, hanya sebagian saja yang benar-benar fokus

kepada kepemimpinan. Berikut ayat-ayat tersebut :

a) QS. al-Maidah/5: 67. Penulis menganalisa ayat ini

karena ayat ini berisi perintah Allah kepada Rasulullah

untuk mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah

sepeninggalannya di hadapan para sahabatnya.

b) QS. al-Baqarah/2: 124. Penulis menganalisa ayat ini

karena menjelaskan tentang penganugrahan imamah

kepada Nabi Ibrahim setelah berhasil menjalani berbagai

ujian kehidupan yang sangat sulit. Penganugrahan

tersebut terjadi setelah Nabi Ibrahim menjadi seorang

Nabi dan Rasul. Sehingga ulam Syiah berkeyakinan al-

Imāmah lebih tinggi daripada al-Nubuwwah.

c) QS. al-Maidah/5: 55-56. Penulis mengkaji ayat ini

karena menjelaskan keutaman Ali bin Abi Thalib

sebagai orang beriman yang dimaksud Allah sebagai

pemimpin .

d) QS. al-Nisa/4: 59. Penulis mengkaji ayat ini karena

menjelaskan perintah ketaatan kepada ulil amri. Adapun

ulil amri yang dimaksud dalam ayat ini adalah para

imam maksum. Kemaksuman harus dimiliki ulil amri

layaknya kemaksuman yang dimiliki Rasulullah, karena

perintah ketaatan dalam ayat ini adalah ketaatan mutlak

yang tidak akan sempurna kecuali dengan kemaksuman.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pandangan

mufasir Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an

tentang kepemimpinan?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Beradasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan

sebelumnya, maka terdapat dua tujuan dari penelitian ini.

Page 32: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

18

Pertama, mengkomparasikan penafsiran Ahlusunah dan Syiah

terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang kepemimpinan. Kedua,

menyelesaikan Program Magister Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir

serta mendapatkan gelar Magister Agama (M.Ag).

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini,

secara konseptual memberikan kontribusi ilmiah secara teoritik-

konseptual dalam khazanah keislaman, sebagai tuntunan dalam

memaknai kepemimpinan. Sedangkan secara operasional,

kajian ini diharapkan dapat memberikan panduan perilaku

berperikehidupan yang seimbang bagi komunitas masyarakat

muslim Ahlusunah dan Syiah.

D. Tinjauan Pustaka (Literature Review)

Penelitian mengenai konsep kepemimpinan dalam

kajian Islam dapat dikatakan bukanlah hal baru. Beberapa karya

ilmiah yang penulis telusuri baik berupa buku, jurnal, tesis telah

membahas diantaranya :

1. Tesis Aidul Fitriawan pada tahun 2017 yang berjudul

Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur‟an: Studi

Komparasi Atas Makna “Auliya” Menurut Hamka

dalam Tafsīr al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsīr

al-Mishbah. Penelitian ini membandingkan penafsiran

Hamka dan Quraish Shihab tentang kepemimpinan non-

muslim, yang berujung pada kesimpulan: Hamka

berpendapat, larangan memilih pemimpin non-muslim

bersifat abadi dan berlaku untuk selamanya. Sedangkan

Quraish Shihab menyatakan bahwa larangan-larangan

tersebut tidak bersifat mutlak, apalagi selamanya.

Bahkan ia menyatakan bahwa larangan tersebut tidak

hanya berlaku untuk orang non-muslim atau Yahudi

saja, akan tetapi berlaku juga bagi semua oarang yang

Page 33: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

19

mempunyai sifat-sifat seperti sifat Yahudi, walaupun

mereka beragama Islam.20

2. Skripsi yang ditulis oleh Ryan Alfian tahun 2014,

dengan judul Konsep Kepemimpinan menurut Sa‟id

Hawwa dalam Kitab al-Asas Fī al-Tafsīr dan al Islam.

Dalam skripsinya, ia menyimpulkan bahwa Sa‟id

Hawwa berpendapat, seorang pemimpin haruslah

seorang muslim, orang non-muslim tidak boleh

dijadikan seorang pemimpin. Pemimpin harus

bermusyawarah di dalam setiap mengambil keputusan,

serta berlaku adil di dalam menetapkan hukum dengan

menggunakan hukum Allah. Tugas utama pemimpin

adalah menegakkan ajaran Islam dan menjalankan tugas

kenegaraan. Pemimpin dapat diturunkan dari

jabatannya, apabila telah melanggar syarat-syarat yang

telah ditetapkan oleh agama.21

3. Skripsi yang ditulis oleh Zaimul Ihsan tahun 2008,

dengan judul Nazhariayatul Imāmah „Inda Imām Ibnu

Hajar al-Asqalani Min Khilali Kitabihi Fathu al-Bari.

Penelitian ini dari segi pembahasan menjelaskan

perspektif Imāmah menurut Imām Ibnu Hajar al-

Asqalani dalam karya beliau Fathu al-Bari. Penelitian

ini berfokus pada penjelasan konsep imam dalam Fathu

al-Bari, seperti pengertian Imāmah menurut Ibnu Hajar

al-Asqalani dan para ulama Ahlusunah, pemilihan

imam, hak imam, kewajiban taat pada imam, dan

20

Aidul Fitriawan, Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur‟an:

Studi Komparasi Atas Makna “Auliya” Menurut Hamka dalam Tafsir al-

Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah (Tesis, Program

Magister Tafsir Hadist Fak. Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah,2017) 21

Ryan Alfian, Konsep Kepemimpinan menurut Sa‟id Hawwa

Dalam Kitab Al-Asas Fi Al-Tafsir dan Al Islam (Skripsi Fak. Ushuludin

Jurusan Tafsir Hadist UIN Syarif Hidayatullah,2014)

Page 34: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

20

sebagainya. Pengertian Imāmah disini bukanlah Imāmah

yang dimaksud dalam tradisi Syiah .22

4. Skripsi Masfufah tahun 2014 yang berjudul “Konsep

Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian

Atas QS. An-Nisa/4: 34”. Penelitian ini berusaha

mengetahui bolehkah seseorang perempuan menjadi

pemimpin di dalam keluarga dengan bersumber kepada

QS. al-Nisa/4: 34 dengan merujuk kepada kitab-kitab

Tafsīr, buku-buku, dan literatur lainnya.23

5. Skripsi yang ditulis oleh Noor Rahman dengan judul

“Konsep Kepemimpinan (Qiwāmah) Perempuan dalam

al-Qur‟an; Analisis Tafsīr Muhammad Syahrur” pada

tahun 2009. Penelitian ini menjelaskan bagaimana

konsep kepemimpinan perempuan dalam al-Qur‟an,

serta konsep kepemimpinan dalam ranah keluarga dan

sosial politik, dengan menjadikan kitab Tafsīr

Muhammad Syahrur sebagai rujukan utama.24

6. Skripsi Nur Habibi tahun 2004 mengenai “Syiah

Imamiyah Iran dan Konsep Wilāyah al Faqīh, Sebuah

Religio-Politik dalam Konteks Kenegaraan.” Penelitian

ini berfokus pada konsep Wilāyah al Faqīh dalam ranah

politik di Iran, seperti Wilāyah al Faqīh dalam

pemerintahan klasik dan modern, Wilāyah al Faqīh

sebagai dinamika politik dan pola pemerintahan iran di

22

Zaimul Ihsan, Nazhariayatul Imāmah „Inda Imam Ibnu Hajar Al-

Asqalani Min Khilali Kitabihi Fathul Bari (Skripsi Fak. Dirasat Islamiyah

UIN Syarif Hidayatullah,2008) 23

Masfufah, Konsep Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga:

Kajian Atas QS. An-Nisa/4: 34 (Skripsi Fak. Ushuludin Jursan Tafsir Hadist

UIN Syarif Hidayatullah, 2014) 24

Noor Rahman, Konsep Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan

Dalam Al-Qur‟an; Analisis Tafsir Muhammad Syahrur (Skripsi Fak.

Ushuludin Jurusan Tafsir Hadist UIN Syarif Hidayatullah, 2009)

Page 35: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

21

tengah arus demokrasi. Faqīh ini merupakan perwakilan

imam sejak kegaiban imam ke-12 Syiah .25

7. Karya Ali Shariati dengan judul Ummah dan Imāmah,

yang diterjemahkan oleh Mohammad Faishol

Hasanuddin dan dicetak oleh Penerbit YAPI, Jakarta

pada tahun 1990. Secara umum dalam buku tersebut, Ali

Shariati berusaha membangun sebuah paradigma teologi

melalui kepemimpinan. Imam adalah Islam yang terlihat

dan terindra. Imam adalah iman yang dikemukakan

dalam bentuk manusia. Dengan demikian imām itu

hidup menerus, selamanya, dan penentuan imam bukan

dengan pengangkatan, tidak pula dengan pemilihan,

tidak juga dengan pencalonan, tidak pula dengan

pewarisan. Imāmah dalam arti Qur‟ani menjadi umum

tingkatannya dan lebih tinggi dari risālah. Risālah

artinya menyampaikan panggilan, dan Imāmah adalah

pertanggungjawaban penjelmaan panggilan. Rasulullah

adalah seorang rasul dan imam juga. Beliau adalah

penutup kenabian bukan dalam Imāmah-nya, dan

Imāmah-nya haruslah diwujudkan selama bertahun-

tahun setelah wafat Nabi.26

8. Buku yang diterbitkan dan dicetak oleh al-Mukhtar,

Palembang pada tahun 1997, dengan judul

Kepemimpinan menurut Ajaran Islam yang ditulis oleh

Mochtar Effendy. Dalam bukunya, ia menegaskan

kepemimpinan merupakan sebuah keharusan di dalam

masyarkat dan umat. Setidak-tidaknya fardhu kifayah

bagi setiap muslim. Fungsi kepemimpinan tidak terlepas

dari kewajiban mukmin terhadap agama. Semua gerakan

dan tindakan setiap muslim itu selalu harus dijiwai

25

Nur Habibi, Syiah Imamiah Iran dan Konsep Wilayah Al Faqih,

Sebuah Religio-Politik dalam Konteks Kenegaraan (Fak. Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2004) 26

Ali Shariati, Ummah dan Imāmah (Jakarta: Penerbit YAPI,

1990), h.208-209

Page 36: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

22

dengan ruh agama. Kemudian buku ini mendeskripsikan

tentang tipe-tipe kepemimpinan, sifat dan kualitas

kepemimpinan, hak dan kewajiban pemimpin, teknik

kepemimpinan, pembentukan kepemimpinan, dan

kepemimpinan wanita.27

9. Jurnal yang ditulis oleh M. Suryadinata tahun 2015

dengan judul “Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-

Qur‟an: Analisis terhadap Penafsiran FPI Mengenai

Ayat Pemimipin Non Muslm.” Jurnal ini menjelaskan

bahwa FPI tidak menerima pemimpin non-Muslim.

Bahkan kepemimpinan non-Muslim wajib ditentang

seperti walikota Solo, lurah Lenteng Agung, dan lain

sebagainya. Sehingga menurut FPI, orang Islam yang

mendukung kepemimpinan mereka divonis zalim, fasiq

dan munafiq. Penafsiran yang dikemukakan FPI

terhadap ayat-ayat kepemimpinan non-muslim lebih

cenderung tekstualis dan terkesan memaksa. Pasalnya

tidak memerhatikan makna lain dan hanya percaya pada

teks semata.28

Dari semua literatur yang disebutkan di atas, belum ada

yang melakukan kajian komparasi terhadap penafsiran ayat-ayat

kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah. Mayoritas penelitian yang

ada, mengkaji seputar kepemimpinan dalam penafsiran

Ahlusunah. Ada penelitian yang memang melakukan kajian

terhadap kepemimpinan dalam Syiah, namun penekanannya

pada aspek politik kenegaraan bukan penafsiran. Dengan

demikian jelaslah bahwa kajian komparasi terhadap penafsiran

ayat-ayat kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah belum

dilakukan, karena ketika sebuah penelitian memiliki perbedaan

27

Mochtar Effendy, Kepemimpinan menurut Ajaran Islam

(Palembang: Al-Mukhtar, 1997), h. 11 dan 240 28

M. Suryadinata, Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur‟an:

Analisis terhadap Penafsiran FPI Mengenai Ayat Pemimipin Non Muslim

(Jurnal Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari-Juni 2015)

Page 37: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

23

dalam sudut pandang dan pendekatan, tentu saja akan

melahirkan kesimpulan dan implikasi yang berbeda pula.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenis penelitian, kajian ini termasuk dalam

penelitian pustaka (library research). Data yang akan digali

adalah hal-hal yang berkaitan dengan informasi seputar

penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an

tentang kepemimpinan. Penelitian ini bersifat deskriptif-

analitis,29

maka metode yang digunakan adalah kualitatif.

2. Sumber Data

Sumber primer dalam penelitian ini adalah al-Qur‟an,

yaitu ayat-ayat yang berkaitan dengan dengan kepemimpinan.

Selain itu, penelitian ini juga akan menggunakan literatur-

literatur yang kiranya memiliki kontribusi informasi dalam

pengayaan dan pendalaman seputar tema inti. Literatur tersebut

berupa kitab-kitab tafsir Ahlusunah dan Syiah. Adapun kitab-

kitab tafsir yang menurut penulis representatif dengan

penelitian ini, yaitu:

29

Deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti kemudian

dideskripsikan sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan

atau realitas. Sedangkan analitis adalah sebuah tahapan guna menguraikan

data-data yang terkumpul dan tersusun secara sistematis. Jadi, metode

Deskritif Analitis adalah sebuah metode pembahasan untuk memaparkan

data yang telah tersusun dengan melakukan kajian terhadap data-data

tersebut, kemudian menganalisanya secara proporsional. Lihat Iskandar,

Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Gaung Persada, 2009) Cet.ke-I, h.

73

Metode deskriptif analitis ini, memiliki tujuan untuk

mengeksplorasi, menganalisis, mengklarifikasi tentang fakta sosial dengan

menggambarkan variabel yang berhubungan dengan unit yang diteliti. Lihat

Sanapiah faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2005), h 20

Page 38: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

24

Kelompok Ahlusunah adalah kitab Tafsīr al-Kabir wa

Mafâtih al-Ghaib karya Muhammad bin Umar Fakhruddiin ar-

Razi, Tafsīr fi Zhilâl al-Qur‟an karya Sayyid Quthb, dan Tafsīr

al-Munir fī al-„Aqīdah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj karya

Wahbah bin Mushthafa az-Zuhaili. Sedangkan kitab tafsir dari

kelompok Syiah, adalah Tafsīr al-Qummi karya Ali bin Ibrahim

Al-Qummi, Majma‟ al-Bayan fī Tafsīr al-Qur‟an karya Fadhl

bin Hasan ath-Thabarsy, dan al-Mizan fi Tafsīr al-Qur‟an karya

Muhammad Husain ath-Thabathaba‟i.

Selain itu, data sekunder dalam pelitian ini adalah karya-

karya lain yang bersinggungan dengan tema kepemimpinan,

seperti Agama, Negara, dan Penerapan Syari‟ah, terj.

Mujiburrahman Muhammad karya Abid al-Jabiri, Negara Ideal

menurut Konsepsi Islam karya Abdul Qadir Djaelani, Ummah dan

Imāmah Ali Shariati, Ashlu As-Syiah wa Ushuliha karya

Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha, dan lain sebagainya.

Keragaman sumber data tersebut menunjukan bahwa peneliti

tafsir dalam penelitian ini bersifat tekstual-rasional (al-atsarī-

al-nazarī). Sedangkan penyembutan beberapa referensi di atas

tidak bermaksud sebagai pembatasan.

3. Metode Pengumpulan Data

Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan

(library research), maka pengumpulan data dilakukan dengan

teknik dokumentasi.30

Teknik ini dilakukan dengan cara

mengumpulkan berbagai dokumen terkait objek penelitian yang

didapat dari perpustakaan. Selain itu, karena objek penelitian ini

terdiri dari ayat-ayat al-Qur‟an yang dikomparasikan, maka

teknik spesifik dan identik yang digunakan adalah tafsir

muqārin (perbandingan).

30

Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi, interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi, dan triangulasi (gabungan keempatnya). Lihat Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 240

Page 39: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

25

Menurut Quraisy Shihab, metode tafsir muqārin tidak

keluar dari salah satu dari tiga pembahasan berikut. Pertama,

ayat al-Qur‟an yang berbeda redaksinya satu dengan yang lain,

padahal sepintas terlihat bahwa ayat-ayat tersebut berbicara

tentang persoalan yang sama. Kedua, ayat yang berbeda

kandungan informasinya dengan hadist Nabi SAW. Ketiga,

Perbedaan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang

sama.31

Selain itu untuk memudahkan pelacakan ayat-ayat al-

Qur‟an terkait dengan term-term kepemimpinan, penulis

menggunakan kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Alfāzh al-

Qur‟ān al-Karīm karya Fuad Abdul Baqi. Sedangkan dalam

pembahasan mengenai term-term tersebut penulis menggunakan

kitab al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur‟an karya Abul Qosim al-

Husain bin Muhammad al-Raghib al-Isfahani dan Lisān al-

„Arab karya Jamaluddin Muhammad bin Mukarram Ibnu

Manzur. Setelah term-term dan ayat-ayat al-Qur‟an tentang

kepemimpinan ditemukan, peneliti merujuk ayat-ayat tersebut

kepada kitab tafsir primer Ahlusunah dan Syiah yang telah

disebutkan sebelumnya.

4. Pendekatan dan Analisa

Dalam proses analisa data32

, penelitian ini menggunakan

metode tafsir muqārin serta beberapa pendekatan, yaitu ulūm

al-Qur‟ān, ushūl al-dīn, al-fiqh, dan semantik. Data penafsiran

Ahlusunah dan Syiah yang telah didapat pada proses

31

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan

Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam memahami al-Qur‟an (Tanggerang:

Lentera Hati, 2013), h. 382 32

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat

ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang

disarankan oleh data. Analisis data sangat penting untuk dilakukan dan

memerlukan ketelitian serta kekritisan dari peneliti. Lihat Suharsini

Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta : Rineka

Cipta, 2002), h 133

Page 40: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

26

pengumpulan data, dikategorikan atau diklasifikasikan menjadi

sub-sub bab pembahasan. Setelah itu, peneliti menggunakan

metode tafsir muqārin serta beberapa pendekatan dalam

mengkomparasi hasil penafsiran Ahlusunah dan Syiah tersebut.

Sehingga peneliti menemukan sub-sub pembahasan

tentang perbedaan hasil penafsiran Ahlusunah dan Syiah

terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang kepemimpinan. Kemudian

diakhir pembahasan, peneliti memberi kesimpulan tentang

pandangan mufasir Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat al-

Qur‟an tentang kepemimpinan.

5. Teknik Penulisan

Adapun mengenai pedoman penulisan dalam penelitian

ini, penulis menggunakan pedoman penulisan yang terdapat

dalam “Buku Pedoman Akademik Program Magister Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta 2012.”

F. Sistematika Pembahasan

Agar dapat memberikan gambaran utuh mengenai

konten dari penelitian ini, maka penulis perlu mengemukakan

sistematika penelitian. Pembahasan dalam tesis ini terdiri dari

VI bab. Masing-masing bab terdapat sub bab yang memiliki

penjelasan yang terkait satu sama lain. Adapun sistematikanya

sebagai berikut:

Bab Pertama berupa pendahuluan, di dalamnya

diuraikan latar belakang masalah, kemudian diidentifikasi,

dibatasi dan dirumuskan sebuah rumusan utama. Kemudian

menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian. dilanjutkan

menjelaskan metode penelitian, kemudian mengemukakan

kajian terdahulu yang relevan guna mendapatkan distingsi

penelitian. Selanjutnya pada bagian akhir uraian dijelaskan

terkait sistematika penelitian.

Bab Kedua. Bab ini membahas seputar perdebatan

ilmiah tentang penafsiran Ahlusunah dan Syiah serta

Page 41: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

27

pembentukan kepemimpinan dalam Islam. Sub pembahasan ini

awali dengan pembahasan penafasiran Ahlusunah dan Syiah,

dan kepemimpinan menurut Ahlusunah dan Syiah. Kemudian

dijelaskan pembentukan kepemimpinan pada periode Rasulullah,

setelah wafat beliau yaitu khulafaur rasyidin, periode pasca

khulafaur rasyidin dan imām Syiah, serta periode kebangkitan

nasionalisme dan wilāyah al-fāqih di Iran

Bab Ketiga. Bab ini merupakan kajian pokok pertama

penelitian ini dengan memfokuskan pada analisa penafsiran

Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang

kepemimpinan Ahlusunah. Pembahasan ini dimulai dengan

merujuk penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat

kepemimpinan Ahlusunah yang telah ditentukan dalam

pembatasan masalah. Kemudian menyimpulkan perbedaannya.

Bab Kempat. Bab ini merupakan kajian pokok kedua

penelitian ini dengan memfokuskan pada analisa penafsiran

Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang

kepemimpinan Syiah. Pembahasan ini dimulai dengan merujuk

penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat-ayat

kepemimpinan Syiah yang telah ditentukan dalam pembatasan

masalah. Kemudian menyimpulkan perbedaannya.

Bab Kelima. Bab ini merupakan kajian pokok ketiga

yang memfokuskan kepada analisa komparasi terhadap

penafsiran ayat-ayat kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah. Bab

ini merupakan temuan-temuan penelitian berupa perbedaan-

perbedaan kedua golongan dalam menekankan ayat-ayat

kepemimpinan, cara penafsiran, perbedaan penafsiran, dan lain

sebagainya

Bab Keenam. Bab ini merupakan bab penutup yang

berisi tentang kesimpulan atas jawaban dari perumusan

masalah, yaitu pandangan penafsiran ayat-ayat kepemimpinan

Ahlusunah dan Syiah. Bab ini juga mengajukan beberapa saran

serta kontribusi penelitian.

Page 42: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

28

Page 43: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

29

BAB II

PENAFSIRAN DAN KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH

DAN SYIAH

A. Penafsiran Syiah

1. Sejarah Kemunculan Tafsir Syiah

Dalam buku Dinamika Sejarah Tafsir al -Qur'an Abdul

Mustaqim menjelaskan, penafsiran Syiah merupakan salah satu

corak rafsir yang bernuansa teologis yang muncul pada periode

pertengahan. Pada abad pertengahan tersebut, tradisi penafsiran,

lebih didominasi oleh kepentingan politik, mazhab/ideologi

sang penafsir. Pada masa ini al-Qur‘an seringkali dipergunakan

sebagai alat legitimasi terhadap kepentingan-kepentingan

tertentu.1

Ignaz Goldziher juga mengungkapkan bahwa tujuan

kelompok Syiah memasukkan prinsip-prinsip ajaran kelompok

mereka dalam menafsirkan al-Qur‘an adalah untuk mencari

legitimasi dari al-Qur‘an mengenai penolakan mereka terhadap

kepemimpinan Ahlusunah. Mereka melakukan rongrongan atas

kepemimpinan tersebut serta mencela terhadap berdirinya

kekhalifahan di bawah keterkurungan sejarah dinasti Umayyah

dan Abbasiyyah. Mereka kemudian melontarkan gagasan

terhadap kesucian sahabat ‗Ali bin Abi Thallib RA dan

para Imam Ahlulbait, keistimewaan-keistimewaan mereka di

luar batas kewajaran serta harapan kuat mereka terhadap

datangnya Imam Mahdi.2

Rosihon Anwar juga berkesimpulan bahwa tafsir Syiah

muncul setelah kemunculan doktrin Imamah dan

kemunculannya dipicu oleh doktrin ini. Dalam hal ini, tafsir

1 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al -Qur'an: Studi

Aliran -aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan hingga Moder -

Kontemporer (Yogyakarta: Adab Press, 2014), h. 99. 2 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga

Modern, Penerjemah M. Alaika Salamullah, dkk. (Depok: Elsaq Press,

2010), h. 315-316

Page 44: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

30

Syiah digunakan sebagai alat untuk mencari justifikasi bagi

doktrin Imamah. Lebih tepatnya lagi, tafsir Syiah ini muncul

bertepatan dengan kemunculan Syiah Isma‘iliyyah (147 H).

Kemunculan tafsir ini terjadi setelah munculnya doktrin

Imamah yang muncul bertepatan dengan kemunculan Syiah

Zaidiyyah.3 Dari penjelasan para ahli di atas, maka dapat

disimpulkan, bahwa kemunculan tafsir Syiah dipicu oleh

kepentingan politis teologis untuk mencari justifikasi doktrin

Syiah, terutama masalah Imamah.

Berbicara mengenai sejarah tokoh mufasir Syiah, Aboe

Bakar Atjeh menyatakan bahwa kaum Syiah menganggap ‗Ali

bin Abi Thalib yang mereka yakini sebagai Imam pertama

Syiah adalah penafsir pertama yang muncul di kalangan

mereka. Selain ‗Ali, ada Ubay bin Ka‘ab dan ‗Abdullah bin

al-‗Abbas. Bahkan karya tafsir yang dinisbatkan kepada Ibn

al-‗Abbas ini sering digunakan di kalangan Syiah.4

Sedangkan Goldziher menyatakan, bahwa kitab

pertama yang meletakan dasar-dasar mazhab Syiah adalah buku

tafsir al-Qur‘an yang dikarang pada abad kedua Hijriyah oleh

Imam al-Jabir al-Ju‘fi (w. 128 H/745 M), tetapi kitab tafsirnya

tidak ditemukan dan diketahui kecuali melalui cerita sepotong-

sepotong. Setelahnya pada abad ketiga hijriyah muncul karya

lengkap dalam bidang tafsir Syiah yaitu kitab Bayān al-Sa‟ādāt

fi Maqām al-„Ibādah karya al-Sulthan Muhammad bin Hajar al-

Bajakhti.5 Kemudian pada abad keempat Hijriyah muncul karya

tafsir Abu al-Hasan ‗Ali bin Ibrahim al-Qummi.6 Selanjutnya

sejak saat itulah bermunculan produk-produk tafsir dari

kalangan Syiah, salah satunya adalah kitab tafsir yang memiliki

3 Rosihon Anwar, Samudra al-Qur'an (Bandung: Pustaka Setia,

2001), h. 249-250. 4 Aboebakar Atjeh, Perbandingan Mazhab Syi‟ah Rasionalisme

dalam Islam (Semarang: Ramadhani, 1980), h. 155 5 Kitab ini dirampungkan pada tahun 311 H/923 M, dan dicetak

tahun 1314 H/1896 M di Teheran. 6 Diterbitkan di Teheran pada 1311 H

Page 45: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

31

pembahasan panjang dan terdiri dari 20 bagian karya ulama

besar Syiah, Abu Ja‗far al-Thusy (w. 460 H/1068 M).7

Sementara itu, al-Thabathabai‘ dalam karyanya yang

berjudul al-Qur‟an fi al-Islām mengklasifikasikan para mufasir

Syiah menjadi empat kelompok. Pertama adalah orang-orang

yang mengemukakan tafsir dari Nabi SAW dan para Imam,

dan menjadikannya sumber utama dalam karyanya, seperti

Zurarah bin A‗yun, Muh}ammad bin Muslim, dan lain-lain.

Kelompok kedua adalah orang-orang yang pertama menulis

buku tafsir dan menjadikan riwayat dari kelompok pertama

sebagai sumber tafsirnya. Yang termasuk kelompok ini di

antaranya Furat bin Ibrahim bin Furat al-Kufi, Abu al-Nasr

Muhammad bin Mas‘ud al-،Ayyasyi al-Samarqandi, Abu al-

Hasan ‗Ali bin Ibrahim al-Qummi, dan Muhammad ibn

Ibrahim al-Nu‗mani.8

Sedangkan kelompok ketiga adalah orang-orang yang

mumpuni dalam berbagai bidang ilmu, seperti al-Syarif al-Rida

(w. 436/1044) yang menulis tafsir bercorak sastra, al-Thusi

(w. 460/1067) dengan buku tafsirnya yang bercorak teologi

dengan nama al-Tibyan fi Tafsīr al-Qur‟an, Mawla Sadr al-

Din al-Syirazi (w. 1050/ 1640) dengan karya tafsirnya yang

bercorak filsafat, al-Mubaydi al-Kunabadi yang corak tafsirnya

tasawuf, ‗Abd al-Ali al-Huwayzi dengan buku tafsirnya,

Nūr al-Saqalayn, Hasyim al-Bahrani (w. 1107 H/1695 M)

dengan karyanya, al-Burhān dan Fayd al-Kasyani (w. 1191

H/1777 M) dengan buku tafsirnya al-Shafī. Keempat adalah

orang yang mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan

dalam buku tafsirnya, antara lain adalah al-Thabarsy (w. 548 H/

1153 M) dengan buku tafsirnya, Majma„ al -Bayān fi Tafsīr al-

Qur‟an.9

7 Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. h.

335-336 8 Muhammad bin Husain al-Thabathaba‘i, al-Qur‟an fī al-Islām

(T.tp:T.pn, t.t), h. 60 9 al-Thabathaba‘i, al-Qur‟an fī al-Islām (T.tp:T.pn, t.t), h. 62.

Page 46: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

32

2. Sumber Penafsiran Syiah

Secara umum sumber penafsiran dalam menafsirkan al-

Qur‘an adalah Tafsīr bī al-Ma‟tsūr dan Tafsīr bī al-Ra‟y. Tafsīr

bī al-Ma‟tsūr adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-

kuitpan shahih, seperti menafsirkan ayat dengan ayat lain

(tafsīr al-Qur‟an bī al-Qur‟an), dengan hadist Nabi Muhammad

SAW karena ia berfungsi sebagai penjelas al-Qur‘an, dengan

perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui al-

Qur‘an, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar

Tabi‘in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para

sahabat. Sedangkan Tafsīr bī al-Ra‟y ialah tafsir yang di

dalamnya menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang

pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (Istinbāt) yang

didasarkan pada ra‟yu semata.10

al-Thabathabai‘, mengaskan bahwa tidak hanya riwayat

dari Rasulullah SAW saja yang bisa dijadikan hujjah dalam

menafsirkan al-Qur‘an, tapi juga riwayat penafsiran dari para

Imam ahlulbait.11

Penafsiran al-Qur‘an yang dirujuk kepada

perkataan para Imam ahlulbait juga dipandang sebagai sumber

yang valid. Adapun penafsiran yang berasal dari para sahabat

dan tabiin dianggap sama kedudukannya dengan kaum

muslimin pada umumnya.12

Sebab mereka meyakini, para imam

adalah al-Qur‘an yang ‗Berbicara‘ dan al-Qur‘an yang tertulis

adalah al-Qur‘an yang ‗Diam‘. Oleh karena itu al-Qur‘an yang

ada dalam mushaf diam, maka seharusnya untuk merujuk

kepada al-Qur‘an yang berbicara yaitu para imam. Karena

merekalah yang dapat menjelaskan maksud firman Allah

SWT.13

10

Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, Terj.

Mudzakir (Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), h. 482 dan 488 11

al-Thabathabai‘, al-Qur‟an fī al-Islām , h. 59-60 12

Devi Faizah Yuliana, Imamah dalam Tradisi Syi‟ah (Bandung:

Pustaka Aura Semesta, 2013), h. 55 13

Devi Faizah Yuliana, Imamah dalam Tradisi Syi‟ah (Bandung:

Pustaka Aura Semesta, 2013), h. 58

Page 47: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

33

Al-Thabathabai‘ melanjutkan, bahwa Imam adalah

orang yang diberikan otoritas dalam menafsirkan al-Qur‘an. Hal

ini sejalan dengan pemahaman mereka tentang konsep takwil.

Mereka berpendapat bahwa takwil adalah makna yang

tersembunyi dari al-Qur‘an dan perkara gaib yang hanya

diketahui oleh Allah Swt dan orang-orang yang disucikan-Nya,

yakni Rasulullah SAW dan para Imam ahlulbait. Hal ini

didasari dari keyakinan mereka tentang kemaksuman Imam

yang mustahil melakukan dosa dan kesalahan, sebagaimana

pemahaman mereka tentang al-Qur‘an yang hanya bisa disentuh

oleh orang-orang yang suci dan para ahlulbait adalah orang-

orang yang benar-benar telah disucikan.14

Syarifuddin al-Musawi juga mengatakan, bahwa jalur

periwayatan yang diambil para mufasir Syiah dalam

menfasirkan al-Qur‘an adalah melalui para imam ahlulbait yang

diyakini sebagai pemangku kepemimpinan sepeninggalan

Rasulullah SAW. Para imam tidak hanya sebagai pemangku

kepemimpinan, tetapi juga yang paling berhak menggantikan

Nabi Muhammad dalam memikul beban ilmu para Nabi

terdahulu, karena itu dari Nabi lah para imam memahami ilmu-

ilmu dunia dan akhirat. Hal ini juga yang menjadikannya sejajar

dengan ayat-ayat al-Qur‘an dalam artian yang paling mengerti

dan paham maksdu yang terkandung dalam al-Qur‘an15

Selain mengambil periwayatan dari perkataan para

imam tentang makna al-Qur‘an, terkadang para mufassir Syiah

juga menggunakan metode majaziy (metaforis) dan isyariy

(simbolik) dalam penafsirannya, sebagaimana yang diterapkan

oleh tokoh klasik Syiah.16

14

al-Thabathabai‘, al-Qur‟an fī al-Islām, h. 60 15

Syarifuddin al-Musawi, Dialog Sunnah Syiah (Bandung: Mizan,

1990), h. 20 16

Goldziher, Mazhab Tafsir, h. 348.

Page 48: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

34

B. Kepemimpinan Perspektif Ahlusunah dan Syiah

Perbedaan pemahaman antara Ahlusunah dan Syiah

tentang kepemimpinan diawali dari perdebatan mengenai siapa

yang lebih utama memegang tampuk kepemimpinan yang sah

pasca wafat Nabi Muhammad SAW. Ahlusunah berpendapat,

Abu Bakar merupakan pemimpin yang sah pasca wafat Nabi

Muhammad SAW yang dilegitimasi melalui Majlis al-Syurā di

Tsaqifah Bani Sa‘idah. Sedangkan Syiah mengklaim, bahwa

Rasulullah telah diperintah Allah melalui QS. al-Maidah/5: 67

untuk mewasiatkan dan melantik Ali bin Abi Thalib di hadapan

para sahabat sebagai pemimpin setelah beliau di Ghadir Khum.

Said Hawwa menjelaskan, seorang pemimpin harus

diangkat dengan cara pemilihan yang dilakukan oleh umat

Islam dan juga atas dasar kerelaan mereka. Seorang khalifah

sama sekali tidak boleh dipaksakan kepada umat Islam dengan

tanpa adanya pemilihan dan kerelaan dari mereka, karena

pemilihan merupakan hak setiap umat Islam. Allah Swt.

mensifati umat Islam dalam firman-Nya, ―.... Sedang urusan

mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.‖ (QS.

al-Syurā/42: 38). Maksud dari ayat ini adalah segala urusan

umat Islam harus diselesaikan lewat mekanisme musyawarah.

Pemilihan pemimpin merupakan urusan umat yang sangat

penting, sehingga pemilihan tersebut harus melibatkan mereka

secara langsung.17

Berbeda dengan Said Hawwa, al-Thabathaba‘i

menjelaskan, Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW

untuk melantik Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin

setelahnya, sementara masalah ini juga diinginkan oleh semua

manusia. Karena itu Nabi SAW merasa khawatir untuk

menyampaikan dan menjelaskannya. Nabi kahawatir mereka

menuduh beliau cenderung menyukai Putera Pamannya dan

menghujat masalah ini. Akhirnya Nabi menunda penyampaian

masalah ini dari saat ke saat sehingga turunlah QS. al-

17

Said Hawwa, Al-Islam Terj: Abd Hay al-Kattani (Jakarta: Gema

Insani Press, 2004) h. 463

Page 49: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

35

Maidah/5: 67 yang mengharuskan penyampaiaan masalah ini,

lalu Nabi menyampaikannya di Ghadir Khum. Pada waktu

itulah, Rasulullah SAW bersabda: ―Barang siapa menjadikan

aku sebagai pemimpinnya, maka ini Ali pemimpinnya.” 18

Pemahaman tentang kepemimpinan ini berbeda secara

konseptual antara kalangan Ahlusunah dan Syiah. Kelompok

Ahlusunah berpandangan bahwa pemimpin hanyalah sebatas

kepemimpinan atas umat Islam sepeninggalan Nabi SAW, baik

urusan politik maupun agama yang berhak diduduki oleh orang

yang terpilih, baik melalui musyawarah ataupun penunjukan

langsung oleh khalīfah sebelumnya.19

Sedangkan dalam

perspektif Syiah, Pemimpin dipandang sebagai Jabatan dari

Tuhan yang hanya berhak diduduki oleh imam suci yang

diyakini telah ditunjuk secara tegas oleh Nabi SAW sebagai

penggantinya, sebagai pemimpin umat.20

Robert G. Hoyland menjelaskan, fokus utama

pembahasan para Politikus Muslim klasik lebih banyak

menyangkut persolan Imâmah atau Khilâfah. Hal ini dapat

ditelusuri asal-usulnya ke masa menjelang Nabi Muhammad

wafat. Menurut Syahrastani, dari deretan perselisihan yang

terjadi di antara kaum Muslim, perselisihan tentang imāmah

adalah yang paling serius sejak peselisihan antara kelompok

Muhajirin dan Ansar mengenai siapa pengganti Nabi

Muhammad SAW, protes sebagian sahabat atas pemilihan Abu

Bakar dan Umar sebagai khalīfah , perselisihan antara Thalhah,

Zubair, dan Aisyah dengan Ali bin Abi Thalib, hingga

pertikaian antara Muawiyah dan kaum Syiah, pengikut

Khawarij dan pendukung Dinasti Abbasiyah.21

18

al-Thabathaba‘i, al-Mizān fī Tafsīr al-Qur‟an, Jilid 6 h. 48, lihat

juga Al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an , Jilid 3 h. 313 19

Qamaruddin Khan, Mawaedi‟s Theory of States (Delhi: Iradat

Adabiat, 1979), h.4 20

Muhammad Husain Kasyif Al-Ghitha, Ashlu As-Syiah wa

Ushuliha (Teheran: Maktabah Ats-tsaqafah Al-islamiyyah, t.t.), h.134 21

Robert G. Hoyland, Arabia and the Arabs: From the Broxe Age

to the Coming of Islam (London: Routledge, 2002), h. 8

Page 50: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

36

Muhammad Abid al-Jabiri mengklasifikasikan teori

tentang imāmah atau khildfah menjadi tiga.22

Pertama, teori

yang memandang imāmah dan pembentukan negara sebagai

kewajiban dan pilar agama, sebagaimana diyakini terutama oleh

para pengikut Syiah. Bagi Syiah, imāmah bukan persoalan yang

harus diserahkan pada pilihan rakyat, melainkan bergantung

pada penunjukan berdasarkan teks keagamaan. Kedua, teori

yang memandang imāmah dan negara bukan kewajiban, bukan

pula larangan agama, dan agama menyerahkan sepenuhnya

pada kaum Muslim, karena urusan ini menyangkut hubungan

sosial di antara manusia. Pendapat ini dikemukakan oleh

beberapa tokoh Khawarij, Najdat (pecahan Khawarij pengikut

Najdah al-Hanafi), dan Mu‘tazilah. Ketiga, teori yang

memosisikan diri di antara dua teori di atas. Teori ini

menyatakan bahwa imāmah merupakan hal yang wajib ada dan

bahwa imāmah harus berdasarkan proses pemilihan, bukan atas

dasar teks agama. Pendapat ini didukung oleh mayoritas

kalangan Ahlusunah, Mu‘tazilah dan Khawarij.

Menurut al-Jabiri, perspsektif teoritik imāmah

Ahlusunah yang diderivasi dari legislasi masa lalu (era

Madinah) berdasarkan qiyās, membawa konsekuensi kepada

cakupan wilayah teoritik yang relatif sempit. Fokus utamanya

menyangkut pembahasan tentang legitimasi dan kewenangan

imam; syura (konsep yang berkaitan erat dengan institusi

konsultatif yang lazim disebut Majlis al-Syurā atau Ahl al-Hall

wa al-„Aqd, atau sejenisnya; tentang 'aqd (kontrak antara

penguasa dan rakyat) dan bay„ah (sumpah setia); serta tentang

ummah (masyarakat Muslim). Teori politik ini terpenjara

dalam arahan masa lampau, serta memaksa orang terlibat dalam

perdebatan masa lalu dan terperangkap di dalamnya23

22

Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan

Syari‟ah, terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h.

17-18 23

Muhammad Abid al-Jabiri, Kritik Nalar Arab, terj. Imam Khoiri

(Yogyakarta: IRCISOD, 2003), h. 182

Page 51: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

37

Adapun Abu al-Hasan Ali al-Mawardi menyebutnya

dengan istilah Ahl al-Hall wa al-„Aqd. Pemilihan pemimpin

harus dilakukan melalui lembaga tersebut. Kemudian para

pemilih melakukan kontrak ('aqd) dengan pemimpin terpilih

melalui mekanisme bay'ah, maka ia akan menjadi pemimpin

seumur hidup. Lembaga yang menunjuk dan membaiat itu tidak

lagi memiliki wewenang memakzulkan pemimpin kecuali bila

pemimpin dipandang menyimpang dari syariat Islam, sesuatu

yang mustahil dilakukan mengingat keterbatasan wewenang

lembaga tersebut. Adapun terkait syarat dan tata cara

penetapan anggota Ahl al-Hall wa al-Aqd atau Ahl al-Ikhtiyār

tersebut al-Mawardi tidak menjelaskannya.24

Sedangkan Abdul Qadir Djaelani dalam bukunya Negara

Ideal menurut Konsepsi Islam menyebutnya dengan istilah Majlis

al-Syurā. Ia adalah lembaga legislatif yang mempunyai

kedudukan tertinggi dalam negara. Majlis al-Syurā

berkewajiban mematuhi semua ketentuan-ketentuan di dalam

al-Qur‘an dan al-Hadis. Satu di antara fungsi Majlis al-Syurā

adalah memilih dan mengangkat Khalifah (kepala negara)

sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan,

memberhentikan Khalifah, apabila Khalifah dinilai telah

melakukan pelanggaran terhadap syariat, undang-undang dasar,

atau peraturan-peraturan negara lainnya, dan membuat undang-

undang dasar, atau peraturan-peraturan negara lainnya. Adapun

keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil rakyat yang dipilih di

dalam pemilihan umum.25

Al-Jabiri menambahkan Majlis al-Syurā atau Ahl al-

Hall wa al-Aqd adalah Setiap orang yang mempunyai pengaruh

24

Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Basri al-

Baghdadi al-Mawardi, Kitāb al-Ahkām al-Sulthāniyyah wa al-Wilāyāt al-

Dīnīyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 2002) h. 6-7 dan 10. Istilah Ahl al-Syūrā,

dalam kitab ini merujuk kepada enam sahabat yang ditunuk Umar bin

Khattab sebagai calon penggantinya kelak. 25

Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal menurut Konsepsi Islam

(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 428-430

Page 52: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

38

dalam masyarakat, baik karena ilmu, hubungan sosial, ekonomi

maupun agama, namun tanpa adanya batasan kuantitas,

kualitas, ruang maupun waktu.26

Khalil Abdul Karim menyatakan bahwa keanggotaan

Ahl al-Hall wa al-„Aqd memang tidak memiliki kriteria yang

jelas. Pada masa Khulafaur Rasyidin, keanggotaannya terdiri

dari para pembesar kaum Muhajirin dan Ansar, dengan jumlah

yang tidak selalu sama. Tatkala Abu Bakar terpilih menjadi

khalifah, anggota institusi ini adalah mereka yang menghadiri

pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah, termasuk tokoh sekaliber

Ali bin Abi Thalib walaupun tidak hadir dalam pertemuan itu.

Ketika Umar bin Khattab ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai

pengganti dirinya, anggota institusi ini tidak tersebutkan secara

eksplisit, tetapi diduga mereka telah dimintai nasihat oleh Abu

Bakar walaupun kemudian dia melaksanakan keputusannya

sendiri menunjuk Umar. Ketika Umar menyiapkan pengganti

dirinya, ia sempat berkata bahwa urusan khilāfah ―berada di

tangan Ahli Badar dan Ahli Uhud, dan baru akan diserahkan

kepada orang lain jika tidak ada yang tersisa dari mereka‖.27

Abdul Karim menyatakan lebih lanjut, pada intinya Ahl

al-Hall wa al-„Aqd merupakan lembaga musyawarah yang

hanya punya wewenang mengajukan calon imam dan memberi

nasihat kepadanya dalam menjalankan kepemimpinan, tetapi

nasihatnya tidak selalu harus dipatuhi oleh imam. Dengan posisi

dan fungsi seperti itu, Abdul Karim berpendapat bahwa

lembaga tersebut sesungguhnya merupakan transformasi dari

tradisi Syūrā yang biasa dilakukan oleh Majlis al-Qabīlah

(Majelis Suku) atau Majlis al- Syūrā di kalangan suku-suku

Arab pra-Islam, dan bahwa posisi khalifah yang demikian

26

Muhammad Abid al-Jabiri, Syura; Tradisi, Partikularitas,

Ubiversalitas, terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 26 27

Khalil Abdul Karim, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian,

Pemaknaan, terj. Kamran As‘ad (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 124

Page 53: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

39

sentral dan absolut itu adalah transformasi dari posisi Kepala

Suku (Syaykh al- Qabīlah).28

Sedangkan Sa‘id Akhtar Razawi menjelaskan,

pengangkatan imam-imam Syiah dilakukan oleh Allah sama

seperti pengangkatan para Nabi. Imamah bukanlah sebuah

pekerjaan yang diminta, tapi sebuah penunjukan yang

dianugrahkan oleh Allah. Allah yang berhak untuk memilih

pengganti Nabi dan umat tidak memiliki pilihan, intervensi

dalam hal ini dan kewajibannya hanya mengikuti titah Ilahi

yang telah menunjuk seorang imam atau khalifah baginya.

Allah berfirman: ―... Sesungguhnya Aku ingin menjadikan

engkau sebagai seorang Imām bagi seluruh umat manusia ...‖

(QS. al-Baqarah: 124). Ayat ini menunjukkan bahwa status

imamah adalah pengangkatan Ilahi, di luar urusan umat.29

Ali Shariati menambahkan, penentuan imam bukan

dengan pengangkatan, tidak pula dengan pemilihan, tidak juga

dengan pencalonan, tidak pula dengan pewarisan, melainkan

melalui wasiat Rasulullah SAW, karena imam adalah Islam

yang terlihat dan terindra. Imam adalah iman yang

dikemukakan dalam bentuk manusia. Dengan demikian imam

itu hidup menerus, dan selamanya. Imāmah dalam arti Qur‘ani

menjadi umum tingkatannya dan lebih tinggi dari risālah.

Risālah artinya menyampaikan panggilan, dan Imāmah adalah

pertanggungjawaban penjelmaan panggilan. Rasulullah adalah

seorang rasul dan imam juga. Beliau adalah penutup kenabian

bukan dalam Imāmah-nya, dan Imāmah-nya haruslah

diwujudkan selama bertahun-tahun setelah wafat Nabi.30

28

Khalil Abdul Karim, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian,

Pemaknaan, h.134-137 29

Sa‘id Akhtar Razawi, Imamah; Khalifah Rasulullah SAW terj. A.

Kamil (Jakarta: Yayasan Putra Ka‘bah, 2009), h. 14-15 30

Ali Shariati, Ummah dan Imāmah (Jakarta: Penerbit YAPI,

1990), h.208-209

Page 54: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

40

Menurut al-Mawardi31

, imāmah merupakan posisi

pengganti kenabian (mawdhū‟ah li khilāfah al-nubuwwah)

dengan fungsi melindungi agama dan mengatur (urusan) dunia.

Maka, ketika Abu Bakar disapa oleh seseorang dengan sebutan

Khalifah Allah, yang secara harfiah berarti pengganti Allah,

Abu Bakar menolak sebutan itu dengan mengatakan: ―Aku

bukanlah Khalifah Allah, tetapi aku adalah Khalifah Rasulillah

SAW‖. Menurut al-Mawardi, ada sepuluh tugas umum seorang

khalifah:

1. Memelihara prinsip agama yang mapan dan hal-hal yang

menjadi kesepakatan (ijmā‟) generasi awal umat Islam.

2. Menegakkan hukum di antara orang-orang yang

berselisih paham dan menghentikan permusuhan di

antara orang-orang yang bertikai.

3. Menjaga keamanan wilayah dan mempertahankannya

sehingga penduduk dapat menyelenggarakan kehidupan

mereka dan bepergian dengan aman, terhindar dari

gangguan atas jiwa dan harta mereka.

4. Menegakkan hukum pidana (hudud) guna menjaga agar

larangan Allah tidak terlanggar dan hak-hak hamba-Nya

terlindungi dari kehancuran.

5. Melindungi daerah yang rawan diserang musuh dengan

menempatkan kekuatan yang dapat mencegah

penyerangan.

6. Melakukan jihad melawan musuh Islam setelah

sebelumnya diseru dengan dakwah, hingga mereka

menjadi Muslim atau menjadi ahl al-dzimmah (orang

yang terlindungi).

7. Memungut fai‟ (harta rampasan di luar medan perang)

dan sedekah yang wajib menurut syariat atau wajib

berdasarkan hasil ijtihad.

31

Abu Hasan Ali al-Mawardi (364-450 H) seorang pionir teorisasi

tentang imāmah/khīlfah dan banyak mempengaruhi para pemikir

sesudahnya. Teorinya merujuk ke masa Khulafaur Rasyidin dan sebagai

perlawanan terhadap paham keagamaan Syaih tentang imāmah.

Page 55: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

41

8. Mengatur pengeluaran harta yang ada di Baitulmal

secara proporsional.

9. Mengikuti pendapat orang-orang jujur dan penasihat

yang bijak dalam urusan pekerjaan dan pengaturan

keuangan.

10. Melakukan pengawasan terhadap segala urusan dan

siaga menghadapi setiap situasi supaya tetap sigap

mengatur kehidupan umat dan memelihara agama.32

C. Pembentukan Kepemimpinan dalam Islam

1. Periode Rasulullah Saw.

Bangsa Arab adalah penduduk asli jazirah Arab.33

Dalam struktur masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai

intinya. Ia adalah organisasi keluarga besar yang biasanya

hubungan antara anggota-anggotanya terikat oleh pertalian

darah (nasab). Akan tetapi, adakalanya hubungan seseorang

dengan kabilahnya disebabkan oleh ikatan perkawinan, suaka

politik atau karena sumpah setia.34

kabilah dalam masyarakat

badwi35

, disamping merupakan ikatan keluarga juga merupakan

32

Al-Mawardi, Kitāb al-Ahkām, h. 15-16 33

Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Penang, Singapura: Sulaiman

Mar‘i, 1965), h. 1 34

Umar Farrukh, al-‗Arab aw al-Islam fi al-Haudl al-Syarqiy min

al-Bahr al-Abyad al-Mutawassith, (Beirut: Dar al-Kutub, 1966), h.19 35

Dari segi pemukimannya, bangsa Arab dapat dibedakan atas ahl

al-badwi dan ahl al-hadlar. Kaum Badwi adalah penduduk padang pasir.

Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, tetapi hidup secara nomaden,

berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari sumber air

dan padang rumput. Maka penghidupan meraka adalah beternak kambing,

biri-biri, kuda dan unta. Kehidupan mereka yang nomaden tidak banyak

memberi peluang kepada mereka membuat peradaban. Berbeda dengan

dengan masyarakat Badwi, ahl al-hadlar memiliki peluang besar membuat

peradaban, karena mereka bertempat tinggal tetap di daerah-daerah yang

subur, seperti Yaman di selatan dan kota-kota lain dibagian utara

semananjung Arab. Oleh karena itu, sejarah mereka dapat diketahui lebih

jelas dibanding dengan kaum Badwi. Lihat Siti Maryam dkk, Sejarah

Page 56: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

42

ikatan politik. Sebuah kabilah dipimpin oleh seorang kepala

yang disebut syaikh al-qabilah, yang biasanya dipilih dari salah

seorang anggota yang usianya paling tua. Solidaritas kesukuan

atau „ashabiyah qabaliyah dalam kehidupan masyarakat

sebelum Islam sangat kuat.

Beberapa kabilah yang pernah menguasai Mekah antara

lain, Amaliqah, Jurhum, Khiza‘ah, dan terakhir adalah Quraisy.

Quraisy terkenal sebagai pedagang yang menguasai jalur

perniagaan Yaman-Hijaz-Syiria.36

Mereka juga mendominasi

perdagangan lokal dengan memanfaatkan kehadiran para

peziarah Ka‘bah, terutama pada musim haji. Kabilah Quraisy

bertambah harum ketika Qushai merebut kekuasaan atas Mekah

dari tangan Khuza‘ah pada sekitar tahun 400 M. Penguasaan

atas Mekah dan jazirah Arab seluruhnya, baik berkaitan dengan

niaga maupun keagamaan secara turun temurun dipegang oleh

anak cucu Qushai sampai kepada Abd al-Muthalib, kakek

Rasulullah SAW37

Ketika tanggung jawab pemeliharaan Ka‘bah dan

pelayanan para peziarah rumah suci itu berada di atas pundak

Abd al-Muthalib ibn Hisyam, Mekah diserang oleh Abrahah

yang bermaksud meruntuhkan Ka‘bah. Tahun ketika

penyerangan tersebut disebut Tahun Gajah karena Abrahah

memimpin pasukannya dengan menunggang seekor gajah yang

besar. Pada Tahun Gajah itulah Rasulullah SAW dilahirkan

sebagai yatim, hari senin 12 Rabi‘ul Awal, bertepatan dengan

20 April 571.38

Ayahnya sudah wafat tiga bulan setelah

Perdaban Islam: Dari Masa klasik Hingga Modern (Yogyakarta: Lesfi,

2002), h. 18-19 36

Lihat QS. Qurasiy/106: 1-3 37

Rus‘an, Lintas Sejarah Islam di Zaman Rasulullah SAW.

(Semarang: Wicaksana, 1981), h. 19 38

Mengenai waktu kelahiran Rasulullah SAW., baik hari, tanggal,

bulan, maupun tahunnya terdapat beberapa perbedaan. Lihat Muhammad

Husein Haikal, Hayatu Muhammad (Kairo: Maktabah al-Nahdliyah al-

Mishriyah, 1968), h.108-109)

Page 57: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

43

menikahi ibunya. Abd al-Muthalib memberi nama cucunya itu

Muhammad.39

Tatkala Muhammad berusia 15 tahun, terjadi perang

antara keturunan Kinanah dan Quraisy di satu pihak melawan

kabilah Hawazin di pihak lain. perang ini dikenal dengan

perang Fijar yang artinya pendurhakaan. Perang ini disebabkan

oleh pelanggaran atas larangan permusuhan pada bulan-bulan

suci yang sangat dihormati berdasar aturan dan adat setempat.

Dalam perang ini Muhammad membantu pamannya Abu Thalib

memungut anak panah yang dilontarkan musuh dan sesekali

melepaskan anak panah kepada musuh. Secara kesuluruhan

perang ini berlangsung empat tahun, kendatipun hanya

beberapa hari saja setiap tahunnya. Perang ini berakhir dengan

perundingan yang melahirkan kesepakatan membentuk sebuah

perserikatan yang disebut hilf al-fudhul, yang artinya sumpah

utama. Tujuan utama perserikatan ini adalah untuk memberikan

perlindungan bagi yang teraniaya di kota Mekah, baik

penduduknya sendiri maupun oleh pihak lain. Muhammad

terpilih menjadi salah seorang anggotanya dan merupakan

anggota termuda.40

Ketika Muhammad menginjak usia 24 tahun Abu Thalib

menawarkan keponakannya itu kepada Khadijah binti

Khuwailid untuk menjalankan perdagangan ke Syiria. Sikap

dan tutur kata Muhammad ketika menawarkan barang dagangan

menarik minat calon pembeli untuk berbelanja kepadanya,

sehingga barang yang ditawarkan itu laku keras dan beliau

untung besar. Hal ini melahirkan suka cita yang amat dalam

pada diri Khadijah, terlebih ketika Maisarah, salah seorang

pegawai Khadijah yang amat dipercaya, menyampaikan pujian

atas keluhuran budi pekerti Muhammad yang ia saksikan dan

rasakan selama dalam perjalanannya ke Syiria itu. Sehingga

39

Siti Maryam dkk, Sejarah Perdaban Islam, h. 21-22 40

Siti Maryam dkk, Sejarah Perdaban Islam, h. 22-23

Page 58: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

44

terjadilah pernikahan antara mereka. Ketika itu Muhammad

berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah 40 tahun.41

Kepemimpinan Muhammad diawali dengan misi

kenabian yang beliau terima tatkala ber-khalwat di gua Hira42

-

malam Senin 17 Ramadhan tahun 13 SH, bertepatan dengan 6

Agustus 610 M - Jibril menyampaikan wahyu pertama, yaitu

lima ayat dari Surat al-Alaq. Setelah itu beliau segera pulang

dengan hati cemas dan badan menggigil ketakutan. Beliau

meminta Khadijah menyelimutinya. Setelah tenang beliau

menceritakan kejadian itu dan menyatakan khawatir tehadap

dirinya. Khadijah berusaha menenangkan beliau, kemudian

pergi menemui Waraqah ibn Naufal43

, meninggalkan beliau

tertidur lelap kelelahan.

Pada saat beliau tidur lelap melepaskan lelah, turunlah

Surat al-Muddatstsir ayat satu-tujuh.44

Setelah menerima wahyu

yang kedua ini Muhammad bangkit lalu berkata kepada istrinya,

yang baru pulang dari rumah Waraqah, bahwa Jibril telah

menyampaikan perintah Tuhan agar beliau memberi peringatan

kepada umat manusia, dan mengajak mereka supaya beribadah

dan patuh hanya kepada-Nya. Akan tetapi, siapa yang akan

diajak dan siapa pula yang akan mendengarkan?45

Wahyu yang

kedua ini menandai penobatan Muhammad sebagai Rasulullah.

41

Siti Maryam dkk, Sejarah Perdaban Islam, h. 23-24 42

Gua Hira terletak sekitar 3 mil di sebelah utara Mekah. 43

Waraqah ibn Naufal adalah sepupuh Khadijah, seorang pendeta

Nasrani yang mengetahui naskah-naskah kuno. Ia mengatakan yang datang

kepada Muhammad adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi

Musa As. Ia pun menegaskan, bahwa dengan turunnya wahyu itu

Muhammad telah diangkat menjadi Nabi untuk umat ini. Lihat M.Hasbi ash-

Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an/Tafsir (Jakarta: Bulan

Bintang, 1990), h. 26-27 44

Haikal, Hayatu Muhammad, h. 126 45

Rus‘an, Lintas Sejarah Islam h. 50. Menurut Ibn Ishaq, wahyu

yang kedua ini diturunkan selang tiga tahun setelah wahyu perrtama. Lihat

Mohammad Abd Allah Draz, Asal-usul Agama Islam dalam Kenneth W.

Morgan (ed.), Islam Jalan Lurus, Terj. Abdusalam dan Chaidir Anwar

(Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 10

Page 59: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

45

Dalam masa mudanya Muhammad digelari ash-Shidiq,

al-Amin46

oleh seluruh penduduk Mekah, termasuk musuh-

musuh beliau. Mereka menentang misi kenabian beliau, tetapi

mereka tetap menitipkan barang-barang berharga mereka

kepada beliau, serta tidak pernah mengatakan kepada beliau

Pembohong.47

Mereka semua menaruh rasa hormat karena sifat-

sifat beliau yang luhur dalam kejujuran, keadilan, dan

kebenaran. Al-Qur‘an merujuk kenyataan ini dalam QS.

Yunus/10: 16, Katakanlah: "Jikalau Allah menghendaki,

niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak

46

Julukan al-Amin diberikan oleh penduduk Mekah, setelah

Muhammad berhasil mendamaikan para pemuka Quraisy ketika mereka

berselisih siapa yang paling berhak meletakan Hajar Aswad di tempatnya

semula. Perselisihan itu nyaris mengobarkan perang saudara. Pertumpahan

darah dapat dicegah ketika Abu Umayyah ibn Mughirah al-Makhzumi

mengusulkan agar putusan diserahkan kepada orang yang pertama kali

memasuki pintu Shafa. Ketika yang memasuki pintu Shafa itu adalah

Muhammad usul itu diterima oleh semua kabilah yang berselisih.

Muhammad menghamparkan sehelai kain lalu batu itu diletakan diatasnya

dengan tangan beliau. Disuruhnya ketua setiap kabilah memegang ujung

kain, lalu mengangkat bersama-sama dan membawanya ke tempat dimana

batu itu akan diletakan. Kemudian beliau beliau mengambil batu itu dari atas

kain dan meletakannya ditempatnya semula. Putusan ini memuaskan semua

pihak yang bertikai. Peristiwa itu terjadi pada tahun 605, ketika Muhammad

berusia 35 tahun. Lihat Siti Maryam dkk, Sejarah Perdaban Islam, h. 24 47

Dari Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa ketika QS. asy-Syu‘ara/ :

214 diturunkan Rasulullah menuju bukit Shafa , lalu menaikinya dan

berseru, ―Hai orang-orang yang ada di pagi hari ini!‖ Maka orang-orang

berkumpul dihadapannya. Lalu beliau berseru: ―Hai Bani Abdul Muthalib,

hai Bani Fihr, hai Bani Ka‘ab, bagaimanakah menurut kalian seandainya

kuberitakan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda musuh di lereng

bukit ini hendak menyerang kalian, apakah kalian akan percaya kepadali?‖

Mereka menjawab: ―Ya. Kami percaya.‖ Nabi SAW. bersabda,

―Sesungguhnya aku memperingatkan kalian sebelum datangnya azab yang

keras.‖ Maka Abu Lahab berkata, ―Celakalah kamu, apakah engkau

memanggil kami untuk tujuan ini?‖ Lalu Allah menurunkan firman-Nya QS.

al-Lahab; 1-5. Lihat Muhammad Nasib ar-Rifa‘i, Kemudahan dari Allah;

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin (Jakarta: Gema

Insan Press, 1999), h.611

Page 60: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

46

(pula) memberitahukannya kepadamu". Sesungguhnya aku

telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka

Apakah kamu tidak memikirkannya?‖ .Beliau telah lahir

diantara mereka dan hidup selama 40 tahun. Mereka telah

menyaksikan beliau, sebagai seorang yang jujur, amanat dan

benar. Mereka diminta mempergunakan pikiran mereka untuk

menetapkan keputusan berkenaan dengan misi kenabian.48

Namun, hanya beberapa orang saja yang menerima misi

kenabian Rasulullah SAW Mayoritas kaum Quraisy melakukan

perlawanan kepada beliau. Baik perlawanan yang bersifat

perorangan maupun bersifat kelompok dan kekabilahan. Para

pemimpin Quraisy memobilisasi masyarakat untuk

mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan yang diwarisi

oleh nenek moyang. Tetapi jauh lebih penting bagi mereka ialah

mempertahankan kekuasaan di Mekah. Tuduhan-tuduhan kotor

dilontarkan mereka kepada Rasululah pemimpin kaum

Muslimin, seperti ―gila‖, ―haus kekuasaan‖, ―memimpikan

kekayaan‖, perusak tradisi lama‖, dan sebagainya. Semua itu

menunjukan kekhawatiran pemimpin Quraisy akan kehilangan

kekuasaan politik dan ekonomi di Mekah.49

Keselamatan Muhammad SAW dan misi awal

kerasulannya selama di Mekah sangat tertolong oleh tradisi al-

„ashabiyyah al-qabaliyyah, yang berperan penting dalam

menarik keluarga Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib untuk

menjamin keselamatannya. Selama perlindungan kepadanya

diberikan oleh anggota terkemuka Quraisy seperti Abu Thalib

atau Khadijah, selama itu pula Muhammad SAW aman dari

upaya pencederaan fisik bukan hanya dari kabilah selain

Quraisy, tapi juga dari kabilah Quraisy sendiri. Di bawah

naungan tradisi kekabilahan, hanya anggota kabilahnya sendiri

48

Afzalur Rahman, Muhammad Sebagai Pemimpin Militer

(Jakarta: YAPI, 1990), h. Ii-iii 49

HMH. al-Hamid al-Husaini, Membangun Peradaban; Sejarah

Muhammad SAW. Sejak Sebelum diutus Menjadi Nabi (Bandung: Pustaka

Hidayah, 2000), h. 272

Page 61: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

47

yang berani menentangnya dengan cara-cara yang dapat

diterima di dalam kabilah bersangkutan, dalam hal ini

Quraisy50

, sementara kabilah lain tidak mungkin melakukan hal

itu karena bayang-bayang balas dendam kekabilahan.

Setelah Abu Thalib dan Khadijah wafat, rencana

pembunuhan Muhammad SAW dirancang secara hati-hati

setiap kabilah diminta mengirimkan wakilnya untuk menjadi

anggota tim pembunuh, sehingga bila kelak muncul tuntutan

balas dendam, hal itu akan dapat dihadapi dan ditanggung

bersama. Keluarga Quraisy yang sangat gigih menentang

Muhammad SAW adalah keluarga Umayyah dengan tokoh

utamanya Abu Sufyan bin Harb. Demikianlah, di bawah

pengaruh tradisi kekabilahan, penentang terhadap kerasulan

Muhammad SAW menjelma menjadi pertarungan terselubung

antara Quraisy lawan Quraisy, khususnya antara kubu Bani

Hasyim dan Bani Muthalib disatu sisi versus kubu Bani

Umayyah dan para pendukungnya di sisi lain. permusuhan yang

begitu hebat menyebabkan kaum Muslim meninggalkan Mekah

demi menyelamatkan diri.51

Afzalur Rahman menjelaskan, kaum Muslim terpaksa

meninggalkan harta bendanya, rumah, family, bahkan Ka‘bah,

ke Madinah, hanya supaya mereka dapat melindungi agama dan

mengamalkannya dengan bebas. Tetapi, di Madinah pun

mereka tidak dibiarkan aman. Orang-orang Quraisy memulai

serangkai sergapan dan serangan untuk menghancurkan mereka

bersama agamanya. Dengan demikian Islam memasuki

peperangan sebagai satu langkah logis untuk membela dan

mempertahankan diri.52

50

Ketika Abu Jahal, seorang tokoh Quraisy yang juga pamannya

sendiri, memperlakukan Muhammad SAW. dengan umpatan, caci maki, dan

perlakuan kasar, sikap itu justru mengundang simpati dari pamannya yang

lain, yakni Hamzah bin abdul Muthalib, yang kemudian masuk Islam. Lihat

Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah

(Bogor: Litera Antar Nusa, 2003), h. 103 51

M. Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 106 52

Afzalur Rahman, Muhammad Sebagai Pemimpin Milite, h. 24

Page 62: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

48

Nabi Muhammad selalu berada di depan garis musuh

dalam sengitnya pertempuran. Beliau tidak pernah

menunjukkan kelemahan atau keraguan dalam pertempuran

mana pun. Ketika orang-orang lain melarikan diri dalam perang

Uhud dan Hunain, keberanian dan ketabahan beliaulah yang

memberikan contoh yang sempurna tentang bagaimana berdiri

teguh dan berjuang hingga akhir pertempuran dimenangkan

atau gugur sebagai syahid. Tiada diragukan beliau seorang

pemimpin alami yang dianugrahi segala sifat-sifat puncak

kepemimpinan yang mengilhami para sahabat dalam segala

keadaan dalam damai maupun perang.53

Menurut Husein Haikal, Muhammad SAW tidaklah

memikirkan kepemimpinan politik (kerajaan), kepemilikan

harta benda, atau kegiatan perdagangan bagi dirinya. Lima

prinsip Piagam Madinah yang dibuat pada tahun pertama di

Madinah – yaitu, ajakan memeluk Islam, keamanan memeluk

ajaran Islam bagi pemeluknya, jaminan kebebasan beragama

bagi pemeluk agama lain (jika tidak bersedia memeluk Islam),

penegakan akhlak mulia, dan persaudaraan antar anggota

masyarakat – merupakan tujuan otoritas politik yang

Muhammad SAW ingin capai. Kelak dalam perjalanan sejarah,

jaminan kebebasan beragama tidak berlaku bagi penganut

paganisme Arab dan hanya berlaku bagi kalangan Ahli Kitab

dan Zoroaster dengan imbalan pembayaran pajak kepala

(jizyah). Otoritas politik yang Rasulullah miliki ini digunakan

untuk meneguhkan sendi-sendi pembentukan ummah

(masyarakat, bukan negara) di Madinah.54

s

Pada tahun ke-5 hingga puncaknya tahun ke-9 H sering

disebut Tahun Delegasi („Ām al-Wufūd). Berbagai delegasi

kabilah Arab menerima seruan Islam dan menyatakan

pengakuan kepemimpinan Muhammad SAW Sehingga

Madinah menjadi pusat kekuatan politik baru yang menjangkau

53

Afzalur Rahman, Muhammad Sebagai Pemimpin Militer, h. 77-

78 54

M. Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 194-195

Page 63: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

49

hampir semua kabilah Arab di Semenanjung Arabia yang luas

dan sempurnalah posisi politik Muhammad SAW sebagai

panglima tertinggi masyarakat Arab lintas kabilah. Meski dalam

posisi kuat seperti itu, tidak ada gelar kepemimpinan politik

apapun yang melekat pada Muhammad SAW selain sebagai

Rasulullah. Pada setiap kabilah yang menyatakan menerima

kepemimpinannya, Muhammad SAW menunjuk seorang tokoh

kabilah bersangkutan yang telah memeluk Islam sebagai

pemimpin bagi kabilahnya sendiri.55

Muhammad SAW wafat dalam usia 63 tahun, dan beliau

tidak menentukan siapa pengganti pemimpin politik atas umat

muslim sepeninggalannya. Al-Hakim meriwayatkan di dalam

al-Mustadrak dan dinyatakan shahih oleh imam al-Baihaqi

dalam Dalāil an-Nubuwwah yang dikutip oleh Imam as-

Suyuthi, dari Abi Wail, dia berkata: Dikatakan kepada Ali,

―Tidakkah engkau tentukan pengganti yang memimpin kami?‖

Dia menjawab, ―Rasulullah tidak menentukan siapa

penggantinya atas kami. Namun jika Allah menginginkan

kebaikan, niscaya Dia akan menghimpun manusia kepada orang

terbaik di antara mereka, sebagaimana Dia telah kumpulkan

perkara ini kepada orang terbaik setelah Nabi mereka.‖56

Muhammad Baqir Sadr membantah interpretasi

Ahlusunah yang mengatakan Rasulullah bersikap pasif terhadap

masa depan dan kelanjutan misi dakwah Islam dengan tidak

menunjuk seorang pemimpin sebagai penggantinya. Adapun

kelanjutannya tergantung pada kondisi mendatang dan

kemungkinan serta kejutan yang timbul kelak. Hal tersebut

tidak layak bagi Rasulullah. Mustahil beliau tidak peduli akan

kelangsungan dakwah selanjutnya. Sebab anggapan ―Rasul

55

Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan

Masyarakat Suku Arab, Terj. Kamran A. Irsyady (Yogyakarta: Lkis, 2005),

h. 90-91 56

Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Penguasa

Islam, Penerjemah: Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h.

8

Page 64: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

50

bersikap masa bodoh‖ ini hanya berdasarkan kemungkinan

yang tidak rasionil dan tidak realitis. Baqir Sadr memberikan

dua dasar alasan dari bantahanya tersebut.57

Pertama, Abu bakar dengan alasan hendak

menyalamatkan Umat telah mengambil alih tampuk kekuasaan

dengan gesit. Tindakan postif ini ia lakukan –katanya- demi

masa depan dakwah dan kesinambungannya. Kekhawatiran dan

kecemasan itu juga terlihat ketika beberapa orang berbondong-

bondong menuju Umar bin Khattab dan menawarkan untuk

dibaiat. Kekhawatiran demikian juga melanda hati Umar, hal ini

terlihat dalam penunjukkanya kepada enam orang dari rekan-

rekanya sebagai kandidat-kandidat terbatas Jabatan Khalifah.

Ini pertanda bahwa betapa besar kekhawatiran sahabat senior

ini melihat dan membayangkan bahaya-bahaya yang timbul

akibat kekosongan seorang pemimpin dan tidak adanya

pengganti.

Baqir Sadr menyimpulkan dasar alasan pertama, apabila

hal-hal diatas benar dan terbukti maka tak ayal lagi bahwa

Rasulullah akan lebih arif memikirkan dan merasakn efek dan

bahaya yang akan timbul akibat dari sikap pasif tersebut. Beliau

tentu lebih mengerti tuntutan dan langkah apa yang harus

diambil demi upaya pembenahan dan operasi perombakan yang

dirintisnya sendiri terhadap masyarakat Islam yang baru

kemarin meninggalkan jahiliyyah yang sejak berabad-abad

menjadi sistem hidup mereka sebagaimana diutarakan oleh Abu

Bakar.58

Kedua, ketika Rasulullah hampir menghembuskan

nafasnya yang terakhir di atas ranjang dan pada saat yang kritis

dan mencapai rasa sakitnya yang klimaks, beliau masih merasa

bertanggung jawab untuk menyiapkan satuan perang. Adapun

satuan perrang tersebut memang sejak sebelumnya telah

57

Muhammad Baqir Sadr, Kemelut Kepemimpinan setelah Rasul,

Penerjemah Muhsin Labib (Jakarta: Yayasan al-Sajad, 1990), h. 8 58

Muhammad Baqir Sadr, Kemelut Kepemimpinan setelah Rasul, h.

11-13

Page 65: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

51

direncanakannya untuk segera diberangkatkan di bawah

pimpinan komando Usamah bin Zaid yang telah ditunjuknya

untuk meninggalkan kota Madinah menuju medan tempur.

Berulang-ulang beliau berteriak sambil menyeru dengan nada

jengkel dan marah: Siapkan pasukan Usamah! Satuan tempur

Usamah harus segera bertolak!.59

Baqir Sadr menyimpulkan alasan kedua, usaha yang

dilakukan Rasulullah ini dengan jelas menunjukan bahwa beliau

memikirkan dan prihatin akan bahaya-bahaya yang mengancam

masa depan dakwahnya, serta menyadari sepenuhnya akan

betapa pentingnya menggariskan suatu konsep dan tajuk

rencana kerja guna menyelamatkan Umat dari penyimpangan

sekaligus guna melindungi proyek tersebut dari kemandekan

dan kegegalan. Bertolaj dari sini, Baqir Sadr berkeimpulan

bahwa tidak mungkin Rasul bersikap pasif dan dingin terhadap

prospek dakwah.60

2. Penunjukan Abu Bakar as-Siddiq

Ketika Muhammad SAW wafat, otoritas keagamaan dan

politik Madinah mendapat tantangan keras dari kalangan

internal maupun eksternal. Secara internal, pertentangan antar

kabilah Muslim di Madinah menemukan momentum untuk

muncul ke permukaan, khususnya antara Muhajirin Quraisy dan

Anshar Khazraj dan Aus, Pada hari Muhammad SAW wafat,

kaum Anshar berkumpul di Tsaqifah Bani Saidah, dimotori oleh

Saad bin Ubadah dari Khazraj, menuntut otoritas berada di

tangan mereka, meskipun antara Khazraj dan Aus belum

terbangun persekutuan yang kuat akibat sejarah hubungan

keduanya yang buruk pada masa sebelum Islam. Pada saat yang

sama tokoh-tokoh Muhajirin, seperti Abu Bakar dan Ali bin Abi

Thalib tengah sibuk mengurus jenazah Rasulullah SAW di

59

Muhammad Baqir Sadr, Kemelut Kepemimpinan setelah Rasul, h.

14 60

Muhammad Baqir Sadr, Kemelut Kepemimpinan setelah Rasul,

h..16

Page 66: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

52

rumah Aisyah, sementara para pemuka Muslim lainnya

berkumpul di masjid dan sekitarnya. Pada saat itulah Umar bin

Khattab meminta Abu Ubaidah bin al-Jarrah membentangkan

tangannya sebagai tanda menerima sumpah setia (baiat)

kepemimpinan dari dirinya. Tetapi Abu Ubaidah menolak

permintaan Umar karena ia merasa ada calon yang lebih tepat,

yaitu Abu Bakar.61

Pertemuan kaum Anshar untuk memilih pemimpin

maupun inisiatif Umar memberikan baiat kepada Abu Ubaidah

berjalan sendiri-sendiri. Berita pertemuan kaum Anshar di

Tsaqifah Bani Saidah itu sampai juga kepada Umar, dan ia lalu

mengajak Abu Bakar dan Abu Ubaidah bergabung dalam

pertemuan kaum Anshar untuk beradu argumen mengenai siapa

yang paling berhak dan tepat memimpin umat Islam setelah

Muhammad SAW wafat. Para ahli sejarah menggambarkan

perdebatan berlangsung sangat panas. Kaum Anshar

mendukung Saad bin Ubadah sebagai calon pemimpin, dalam

bayang-bayang kekhawatiran kabilah Aus atas dominasi kabilah

Khazraj bila mendukung Saad. Perasaan khawatir ini

dimanfaatkan dengan baik oleh Muhajirin Quraisy yang

mengajukan Abu Bakar sebagai calon pemegang otoritas politik

tertinggi di Madinah, sehingga Aus kemudian berbaiat kepada

Abu Bakar.62

Akhirnya kabilah Khazraj, tak ada pilihan lain selain

mendukung Abu Bakar dan melupakan pencalonan Saad.

Situasi ini diperkuat sikap Basyir bin Nu‘man bin Basyir, tokoh

Khazraj lain yang juga sepupu Saad, yang mendukung Abu

Bakar dengan keyakinan bahwa kepemimpinan adalah hak

kabilah Quraisy. Dengan terpilihnya Abu Bakar melalui

pembaiatan sebagai Khalifah Rasulillah (pengganti Rasulullah),

Madinah menapaki proses pembentukan kepemimpinan politik

61

Abdul Aziz, Chiefdom Madinah Salah Paham Negara Islam

(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), h. 238-239 62

Muhammad Husein Haekal, Abu Bakar as-Siddiq: Sebuah

Biografi, terj. Ali Audah (Bogor: Litera Antar Nusa, 2003), h. 32

Page 67: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

53

yang merupakan perkembangan baru dari terbentuknya ummah

di masa Rasulullah SAW Kepemimpinan politik ini diperoleh

melalui proses eliminasi di antara kaum elite yang membawa

ekses relatif besar. Misalnya, setelah peristiwa tersebut, Saad

bin Ubadah tidak pernah mengakui kepemimpinan Abu Bakar

hingga khalifah ini wafat, sehingga mendorong Umar selalu

mendesak Abu Bakar untuk membunuh Saad karena dianggap

berbahaya secara politik.63

Setelah mendapat pembaiatan di Tsaqifah, keesokan hari

Umar meminta jamaah yang hadir di Masjid Madinah untuk

berbaiat kepada Abu Bakar, dilanjutkan dengan pidato

penerimaan sebagi pemimpin terpilih oleh Abu Bakar. Sejak

saat itu, ia dipanggil kaum Muslim dengan sebutan Khalifah

Rasulillah. Model penetapan kepemimpinan Abu Bakar melalui

baiat oleh sejumlah elite terbatas di Madinah, disusul dengan

baiat umum oleh mereka yang hadir di masjid, merupakan

penemuan murni yang belum pernah ada presedennya dalam

sejarah. Hal ini dilukiskan oleh sejarawan Husain Haekal

sebagai ―murni Arab‖. Mengutip kata-kata Umar, Haekal

menyebut pengukuhan Abu Bakar itu sebagai suatu hal tiba-tiba

yang menguntungkan.64

Dengan kata lain, seperti juga proses

pemusatan otoritas politik di Madinah yang mengalir begitu

saja tanpa rencana, pengukuhan kepemimpinan Abu Bakar

berlangsung tidak dengan sengaja

Ibnu Qutaibah menjelaskan, pada suatu malam, Ali

keluar rumah dengan membawa serta Fatimah di atas seekor

kuda. Dia datang ke majlis kaum Anshar untuk meminta

dukungan. Kaum Anshar berkata kepada Fatimah, ―Wahai putri

Rasulullah, kami telah membaiat Abu Bakar. Jika suamimu

63

M. Husein Haekal, Abu Bakar as-Siddiq: Sebuah Biografi, h. 33-

46. Basyir berkata : ―Saya tidak mau menentang hak suatu golongan yang

sudah ditentukan Allah‖, yaitu hak kepemimpinan Quraisy sebagaimana

dimaksudkan Abu Bakar. 64

Muhammad Husein Haekal, Abu Bakar as-Siddiq: Sebuah

Biografi, h. 55

Page 68: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

54

datang lebih dahulu kepada kami daripada Abu Bakar, niscaya

kami tidak akan memilihnya. Ali berkata, ―Haruskan Rasulullah

kutinggalkan di rumahnya dalam keadaan belum aku

makamkan, lalu keluar rumah, lalu berdebat dengan orang-

orang itu untuk memperebutkan kekuasaan yang beliau

tinggalkan?‖. Fatimah berkata, ―Abul Hasan (Ali) hanya

melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Tetapi mereka

melakukan sesuatu yang pasti diperhitungkan dan dituntut oleh

Allah.‖65

Di kalangan Muhajirin, pencalonan Abu Bakar bukan

tanpa masalah. Ketika berdebat dengan kaum Anshar, pihak

Muhajirin yang dipimpin Abu Bakar menggunakan alasan

bahwa kepemimpinan harus di tangan Quraisy (sebagaimana

diyakini telah disabdakan Rasulullah) sehingga memuluskan

jalan bagi pembaiatan dirinya sebagai Khalifah Rasulillah.

Padahal, Abu Bakar adalah anggota cabang Quraisy yang kecil

dan kurang berpengaruh, yaitu Bani Taym, sementara di antara

mereka masih ada Ali bin Abi Thalib dari keturunan Quraisy

yang paling dekat pertalian darahnya dengan Muhammad SAW

dan berasal dari cabang kabilah Quraisy berpengaruh, yaitu

Bani Hasyim.66

Oleh sebab itu, sebagian dari anggota Bani Hasyim dan

beberapa sahabat utama Nabi menolak pembaiatan Abu Bakar,

kemudian berkumpul di rumah Fathimah untuk membaiat Ali.

Ketika umar mendengar berita tersebut, Umar marah, ia

bersama orang-orang mendatangi rumah Fathimah dan bahkan

mengancam membakar seisi rumah. Mereka akhirnya berhasil

mendobrak, mencederai Fatimah yang sedang hamil, dan

65

Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan: dalam Sejarah para

Khalifah Penerjemah Muhammad Muchson Anasy (Jakarta: Pustaka al-

Kautsar, 2016), h.19-20 66

Muhammad Husein Haekal, Abu Bakar as-Siddiq: Sebuah

Biografi, h. 47-56, Lihat O. Hashem, Wafat Rasulullah dan Suksesi

Sepeninggal Beliau di Saqifah (Bekasi: YAPI, 2004), h. 193-199.

Page 69: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

55

memaksa orang-orang yang ada di rumah itu ke masjid dan

membaiat Abu Bakar 67

Dari peristiwa-peristiwa di atas, tampaklah bahwa

proses pemilihan dan baiat kepada Abu Bakar tidak terjadi

secara serempak oleh semua kaum Muslim dari semua kabilah,

melainkan terbatas hanya oleh sekelompok kecil elite Muslim

di Madinah yang terdiri dari unsur Muhajirin Quraisy serta

Anshar Khazraj dan Aus. Kehendak kaum Anshar menunjuk

calon dari mereka memang terpatahkan dengan argumentasi

bahwa kepemimpinan merupakan hak prerogatif kabilah

Quraisy.

Berbeda dengan Ja‘far Subhani dalam kitabnya ar-

Risālah, ia menjelaskan, bagian akhir kehidupan Nabi, ketika

Nabi berbaring diranjang karena sakit. Kaum muslim sedang

mengalami masa-msa tragis. Pembangkangan terbuka oleh

beberapa sahabat dan penolakan mereka untuk bergabung

dengan tentara Usamah. Hal ini merupakan satu bukti dari

serangkaian kegiatan bawah tanah dan tekad yang serius dari

orang-orang bersangkutan, agar setelah wafatnya Nabi, mereka

dapat menguasai urusan pemerintah dan politik Islam, dan

menyisihkan orang yang secara formal ditunjuk pada hari

Ghadir sebagai penerus Nabi.68

Hingga ukuran tertentu Nabi mengetahui niat-niat

mereka. Untuk menetralisirnya, Nabi mendesak supaya semua

sahabat senior bergabung dengan tentara Usamah, dan harus

meninggalkan Madinah secepat mungkin untuk berjuang

67

Di antara para sahabat yang menangguhkan baiat selain Ali

adalah Abbas bin Abdul Muthalib, Fadhal bin al-Abbas, Zubair bin al-

Awwam, Khalid bin Said, Abu Dzar al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Bara bin

Azib, Salman al-Farisi, dan Ubay bin Kaab. Lihat Muahammad Rizvi,

Imamah dan Wilayah dalam Ajaran Ahlulbait AS, Penerjemah A. Kamil

(T.tp.: maktabah al-Fikr, 2017), h. 76, Lihat juga Mujtaba Musawi Lari,

Imam Penerus Nabi Muhammad SAW : Kajian Historis, Teologis dan

Filosofis, Penerjemah Ilham Mashuri (Jakarta: Lentera, 2004), h. 107 68

Ja‘far Subhani, al-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW.

Penerjemah M. Hasyim dan Meth Kieraha (Jakarta: Lentera, 1996), h. 682

Page 70: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

56

melawan Romawi. Namun agar rencana mereka dapat

terlaksana, mereka berdalih dengan berbagai alasan, bahkan

mencegah keberangkatan tentara Usamah. Sampai Nabi

meninggalpun mereka tidak beranjak dari Jurf (perkemahan

tentara): mereka kembali ke Madinah setelah 16 hari. Dengan

demikian, kehendak Nabi agar pada hari wafatnya, Madinah

bebas dari pengacau yang mungkin akan melaukuan kegiatan

untuk mengganti penggantinya, tak terwujudkan. Mereka bukan

saja tidak meninggalkan Madinah melainkan juga berusaha

mencegah setiap tindakan yang mungkin mengukuhkan

kedudukan Ali sebagai pengganti langsung Nabi, dan mencegah

Nabi dengan berbagai cara untuk berbicara masalah ini.69

Nabi mengetahui kegiatan yang sedang berlangsung di

luar rumahnya untuk menguasai kekhalifahan. Untuk

menghalangi pengalihan kekhalifahan dari sumbunya dan

mencegah munculnya peselisihan, beliau memutuskan untuk

mengukuhkan kekhalifahan Ali dan kedudukan Ahlulbait secara

tertulis. Ketika para sahabt berkumpul menjenguknya, beliau

meminta para sahabat untuk membawakan pena dan kertas.

Beliau berkata, ―Aku akan menuliskan suatu wasiat untuk

meyakinkan bahwa anda sekalian tidak akan tersesat

sepeinggalanku.‖ Namun karena perkataan Umar70

dan

perselisihan diantara sahabat, Nabi mengurungkan rencana

penulisan wasiat itu. Tujuan dari penulisan wasiat itu tidak lain

dari mengukuhkan kekhalifahan Ali dan mewajibkan manusia

mengikuti Ahlulbait. Kesimpulan ini didapat dari kesamaan dua

69

Ja‘far Subhani, al-Risalah. Penerjemah M. Hasyim dan Meth

Kieraha h. 682 70

Umar berkata, ―Penyakit telah menguasai Nabi. al-Qur‘an ada

bersama anda. Kitab suci itu cukup bagi kita.‖ Ada yang mengatakan, ―Nabi

Allah telah berkata dalam keadaan mengigau.‖ Beberapa orang

menentangnya seraya berkata, ―Perintah Nabi harus ditaati. Abilkan pena

dan kertas supaya apa yang ada dalam pikirannya dituliskan.‖ Sebagian

lainnya berpihak kepada Umar dan menghalangi diambilnya pena dan kertas.

Page 71: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

57

susunan redaksi hadis Nabi menyangkut wasiat yang akan

dituliskan dengan Hadist Tsaqalain.71

Dari kesamaan kedua redaksi hadis tersebut, dapat

disimpulkan bahwa tujuan Nabi dalam memimta pena dan

kertas ialah untuk menuliskan isi Hadis Tsaqalain secara lebih

jelas, dan untuk mengukuhkan pemerintahan dan kekhalifahan

penerusnya yang telah diumumkan dalam khutbah beliau pada

18 Zulhijah di Ghadir Khum, ketika para jamaah haji Irak,

Mesir, dan Hijaz hendak berpisah.72

3. Penunjukan Umar bin Khattab

al-Suyuthi menukil riwayat al-Waqidi dari berbagai

jalur periwayatan, tatkala Abu Bakar merasa ajalnya telah

mendekat, ia memanggil Abdur Rahman bin Auf dan Utsman

untuk memintai pendapat mereka tentang Umar, mereka

menjawab bahwa Abu Bakarlah yang paling mengetahui

tentang Umar. Di samping mereka berdua Abu Bakar juga

mengajak musyawarah Sa‘id bin Za‘id, Usaid bin al-Hudahair

dan yang lain dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Usaid

menyatakan bahwa Umar adalah orang yang terbaik setelah

Abu Bakar. Setelah itu, Abu Bakar memutuskan Umar sebagai

pengganti Khalifah setelahnya, lalu memanggil Usman untuk

menuliskan wasiat tersebut, menyetempelnya, dan

menyuruhnya keluar dengan membawa kertas wasiat tersebut.73

71

―Saya akan meninggalakan dua hal yang berat (berharga) pada

Anda sekalian. Selama Anda berpegang kepada keduanya, Anda tidak akan

tersesat. Kedua barang berhaga itu adalah Kitab Allah dan keturunan dari

ahlulbaitku. 72

Ja‘far Subhani, al-Risalah. Penerjemah M. Hasyim dan Meth

Kieraha h. 687 73

al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata, Abu Bakar

menjadi Khalifah selama dua tahun tujuh bulan. Penyebab kematiannya

adalah sama dengan kematian Rasulullah yang juga diracun. Al-Hakim

meriwayatkan dari ‗Aisyah dia berkata, ―Awal sakit ayahku ialah saat dia

mandi pada hari Senin tanggal 7 Jumadil Akhir. Kemudian dia merasa

kedinginan seharian. Dia terserang demam selama 15 hari dan tidak dapat

Page 72: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

58

Kemudian orang-orang yang hadir di tempat itu

membaitnya dan mereka sama-sama lega dan rela terhadap

pilihan Abu Bakar. Lalu Abu Bakar memanggil Umar sendirian

dan menasehatinya. Kemudian Abu Bakar mengangkat

tangannya seraya berdoa, ―Ya Allah, saya telah menjatuhkan

pilihan untuk kesejahteraan kaum muslimin dan dengan harapan

untuk menghilangkan pertikain yang mungkin muncul di antara

mereka. Mengenai apa yang saya lakukan Engkaulah yang

paling tahu. Setelah pertimbangan yang matang, saya telah

menjatuhkan pilihan kepada orang yang saya anggap paling

mengikuti jalan yang lurus. Perintah-Mu telah dikeluarkan dan

saya amanahkan semua itu kepada-Mu. Mereka adalah hamba-

Mu dan semuanya berada di dalam genggaman kekuasaan-Mu.

Ya Allah, jagalah pemimpin mereka agar berjalan di jalan yang

lurus dan Saya mohon kepada-Mu jadikanlah penggantiku

sebagai khalifah yang mendapat petunjuk dan memberikan

kedamaian.‖74

Baqir Sadr mengkritik sikap Abu Bakar yang

menggunakan hak prerogatifnya dengan menunjuk Umar bin

Khattab sebagai Khalifah setelahnya. Abu Bakar dan

kelompoknya yang mengagungkan dan bersikeras bahwa syura

adalah sistem pemerintahn Islam setelah Nabi meninggal dunia,

namun pola pikir dan tingkah laku, serta semua kebijaksanaan

politiknya tidak senada dengan syura yang mereka dengungkan

sebagai sistem tunggal dalam pembentukan suatu pemerintahan

Islam. Mereka tidak konsekuen dengan prinsip syura tersebut

sekaligus kurang konsisten dengan sumpah setia Saqifah.75

Baqir Sadr melanjutkan, Abdur Rahman bin Auf

menghadiri shalat jamaah. Dia meninggal pada malam Selasa tanggal 22

Jumadil Akhir tahun ke-13 Hijriyah dalam usia 63 Tahun. Lihat Imam As-

Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Penguasa Islam, h. 89-91. 74

Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Penguasa

Islam, h.91 75

Muhammad Baqir Sadr, Kemelut Kepemimpinan setelah Rasul.

Penerjemah Muhsin Labib, h. 19

Page 73: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

59

memprotes Abu Bakar setelah mendengar berita penunjukan

yang telah dilaksanakan.76

Hal ini membutikan bahwa Sang

Khalifah tidak memahami secara mendalam tentang logika

sistem syura dan menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak berhak

menunjuk atau mengangkat seseorang sebagi pemimpin secara

absolut diantara sekian banyak sahabat lainnya. Sang Khalifah

tidak memiliki pemahaman bahwa pengankatan demikian

semestinya secara otomatis menuntut konsekuensi dan loyalitas

masyarakat Muslim agar taat dan mematuhinya. Tidak perlu

sampai Abu Bakar menghimbau rakyat agar mematuhi

pemimpin baru mereka. Surat pengangkatan resmi tersebut

bukan hanya sekedar usul atau buah pendapat biasa namun surat

tersebut bernada perintah dan ketetapan yang bersifat absolut

dan tak dapat diralat atau diganggu gugat.77

Mujataba, juga memberikan komentar atas tindakan Abu

Bakar, hal tersebut menunjukan bahwa ide pemerintahan

musyawarah pasca meninggalnya Nabi SAW sama sekali tidak

memiliki dasar. Nabi tidak pernah memerintahkan untuk

menegakkan pemerintahan Islam dengan musyawarah. Jika

memang beliau memerinthkannya, beberapa kelompok tidak

akan mengajukan pendapat kepada Abu Bakar bahwa ia harus

menunjuk penggantinya untuk mencegah kekacauan dan

76

Ia berkata kepada Abu Bakar: ―Hai Khalifah ! Bagaimana anda

ini sebenarnya?‖ Abu Bakar menjawab: ― kenapa kalian semua memprotes

penunjukan itu dan menambah berat bebanku lalu masing-masing menuntut

jabatan itu.‖ 77

Isi surat itu adalah, ―.... Bersama ini saya dengan resmi telah

menunjuk rekan saya yang bernama Umar putra Khattab sebagai pemimpin,

maka harapan dan himbauan saya ialah semoga hendaknya kalian

mendengar dan mematuhinya. Sekian.” Lihat M. Baqir Sadr, Kemelut

kepemimpinan setelah Rasul. Penerjemah Muhsin Labib, h. 20, Ibnu

Qutaibah juga menjelaskan ketika Abu Bakar bertemu Umar, ia berkata,

―Ambillah surat ini! Bawa keluar dan tunjukkan kepada orang-orang!

Katakan pada mereka, surat ini adalah titahku! Minta mereka agar

mendengar dan taat!” Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah

Para Khalifah. Penerjemah Muchson Anasy (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2016), h. 33

Page 74: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

60

bencana yang akan menimpa masyarakat Islam karena

kekosongan kepemimpinan.78

4. Penunjukan Usman bin Affan

Di saat-saat akhir hayat Umar bin Khattab79

, beliau

diminta Said bin Zaid bin Amr menunjuk seseorang untuk

menggantikannya sebagai Amīr al-Mu'minīn, dengan asumsi

kaum Muslim pasti akan menerima penunjukan itu. Tetapi,

Umar menolak permintaan ini dengan mengatakan; ―Saya

melihat sahabat-sahabat saya mempunyai ambisi yang buruk‖.

Jadi, Umar melihat gejala bahwa ambisi kekuasaan telah pula

merasuki sebagian sahabat utama Rasulullah SAW Umar

melihat gelagat, Bani Hasyim akan menjagokan Ali bin Abi

Thalib, sedangkan Utsman bin Affan didukung keluarganya

dari Bani Umayyah yang di masa awal Islam merupakan

keluarga yang paling keras menentang kenabian Muhammad

SAW dan mereka baru masuk Islam setelah Penaklukan

Makkah (kaum Thulaga‟). Sebagai komandan-komandan

perang ternama, Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah,

dan Saad bin Abi Waqqas pun banyak memperoleh dukungan

dari kalangan pasukan bersenjata.80

Oleh sebab itu, menjelang akhir hayatnya, Umar

berijtihad menetapkan enam calon pengganti yang harus

bermusyawarah guna memutuskan siapa salah satu dari mereka

yang akan menjadi Amīr al-Mu'minīn pengganti dirinya.

78

Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad SAW

Penerjemah Ilham Mashuri, h. 108 79

Tim pembunuhan Umar terdiri dari : 1. Hormuzan seorang

panglima perang Persia penguasa wilayah Ahwaz. Ia tertawan dan terpaksa

masuk Islam agar selamat dari hukuman; 2. Jufainah, seorang Nasrani asal

kota Hirah; dan 3. Fairuz, budak al-Mughirah yang berhasil menikam Umar

sampai wafat, ketika Umar akan melaksanakan shalat subuh. Lihat

Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab,. Penerjemah Ali Audah

(Bogor: Litera Antar Nusa, 2002), h. 400-402 80

Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab. Penerjemah Ali

Audah, h. 780-782

Page 75: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

61

Keenam orang yang kemudian disebut sebagai Ahl al-Syūrā itu

adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair al-

Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqas, dan

Abdurrahman bin Auf. Mereka dikarantina dalam sebuah rumah

yang dijaga para pemberani dari kaum Anshar pimpinan Abu

Thalhah al-Anshari dan diberi waktu tiga hari untuk

menghasilkan keputusan.

Umar sama sekali mengabaikan anjuran agar melibatkan

putranya, Abdullah bin Umar, sebagai salah satu calon.

Penolakan ini dia nyatakan dengan ungkapan keras yang

ditujukan kepada putranya: ―Bagaimana saya akan menunjuk

orang yang tidak mampu menceraikan istrinya sendiri?‖ Tanpa

pengaruh kuat ajaran Islam, sikap terhadap kekuasaan

sebagaimana ditunjukkan Umar ini sangatlah tidak lazim di

kalangan orang Arab yang terkenal dengan fanatisme

kekabilahannya.81

Umar memberikan petunjuk pemilihan sebagai berikut:

a) Abdullah bin Umar harus hadir dalam musyawarah,

tetapi tidak boleh dipilih.

b) Jika lima orang bersepakat menunjuk dan merelakan

seseorang sebagai pemimpin, sementara seorang lainnya

tidak mau menerima kesepakatan itu, maka penggallah

leher orang itu.

c) Jika empat orang bersepakat menunjuk dan merelakan

seseorang sebagai pemimpin, sementara dua lainnya

tidak menerima kesepakatan itu, maka penggallah leher

kedua orang itu.

d) Jika tiga orang menunjuk seseorang dan tiga lainnya

menunjuk seseorang yang lain lagi, maka mintalah

pertimbangan Abdullah bin Umar. Pihak mana pun yang

meminta pertimbangan harus menetapkan satu orang

(calon pemimpin) di antara mereka untuk

81

Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan: Antara

Kekhalifahan dengan Kerajaan, terj. Ali Audah (Bogor: Litera Antar Nusa,

2002), h. 115

Page 76: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

62

dipertimbangkan Abdullah bin Umar.

e) Jika kedua pihak tidak rela atas keputusan Abdullah bin

Umar, maka pilihlah pemimpin dari kelompok yang di

dalamnya terdapat Abdurrahman bin Auf dan bunuhlah

sisa mereka yang menolak kesepakatan orang banyak

itu.82

Utsman bin Affan akhirnya terpilih menggantikan

Umar, masih dalam batas waktu tiga hari yang Umar sediakan.

Melalui upaya keras Abdurrahman bin Auf, yang setelah

menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan menjadi juru

runding dalam musyawarah anggota Ahl al-Syūrā dan dengan

masyarakat luas, Utsman dibaiat jamaah Masjid Madinah di

bawah bayang-bayang kekecewaan Ali bin Abi Thalib dan

pendukungnya dari Bani Hasyim, khususnya Abbas bin Abdul

Muthalib. Terdapat beberapa sumber yang berbeda versi

mengenai Ali bin Abi Thalib dalam pembaiatan Utsman. Tetapi

Bani Hasyim tetap mengingat ucapan Umar kepada Abdullah

bin Abbas: ―Orang tidak senang menggabungkan kenabian dan

kekhalifahan kalian.‖

Kemudian, Ali sendiri mengeluarkan pernyataan segera

setelah pelantikan Utsman: ―Orang-orang melihat kepada

Quraisy, dan Quraisy melihat kepada keluarganya dengan

mengatakan: jika Bani Hasyim sudah menguasai kalian, kalian

tidak akan pernah lepas dari mereka‖. Kekecewaan dan

ketidaksenangan Bani Hasyim ini kelak berdampak bukan

hanya terhadap kepemimpinan Utsman, tapi juga terhadap

perseteruan di antara mereka selanjutnya, penunjukan penguasa

wilayah yang didominasi Quraisy Muhajirin dan Quraisy

Makkah (Thulaqā), yang berlangsung hingga ke masa Utsman,

juga menimbulkan ketidaksenangan kabilah-kabilah Arab non-

Quraisy yang merasa memiliki andil besar bagi tegaknya Islam

dan meyakini kearaban mereka tidak lebih rendah dari Quraisy -

82

Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan, terj. Ali Audah, h.

115

Page 77: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

63

ketidaksenangan ini juga diperkukuh karena perasaan sebagai

bagian dari bangsa Arab telah tumbuh menguat di masa

kepemimpinan Umar dan perasaan itu memperteguh semangat

kesetaraan yang telah lama berakar dalam diri mereka.83

Mujtaba musawa lari mengkritik, pemilihan pengganti

Umar oleh komite yang anggotanya ia tunjuk sendiri, adalah

tidak sesuai baik dengan ajaran Allah SWT ataupun dengan

prinsip musyawarah. Jika khalifah bermaksud menunjuk

penggantinya sendiri, kenapa persoalan itu beralih kepada

komite yang terdiri dari enam orang sahabat? Jika di sisi lain,

pemilihan seorang pemimpin adalah hak prerogatif masyarakat,

kenapa umar merampas hak masyarakat dan menetapkan

komite yang anggota-anggotanya dipilih sendiri? Ia juga

bertindak secara terbatas bahwa sebagian anggota komite itu

(Abdullah bin Umar) sama sekali tidak memiliki kualifikasi

untuk menjadi khalifah.84

Pada tahun-tahun terakhir kepemimpinan Utsman,

Otoritas Madinah mengalami perubahan karakter di mana para

pejabatnya, terutama kepemimpinan wilayah, lebih didominasi

kaum Quraisy Bani Umayyah—mereka umumnya Thulaqā‟—

yang memiliki tradisi kepemimpinan sangat kuat sejak masa

sebelum Islam. Beberapa pemimpin wilayah tunjukan Utsman

itu dipandang tidak kompeten oleh rakyat yang mereka pimpin,

seperti Abdullah di Mesir dan Walid di Kufah. Keadaan ini

diperburuk oleh kebijaksanaan Utsman yang melonggarkan

pendisiplinan bagi kelompok elite sahabat Muhammad SAW

untuk tidak meninggalkan Madinah menuju wilayah

pendudukan baru, sehingga kelonggaran itu menimbulkan

kekosongan besar tokoh sahabat generasi awal yang masih

bertahan di Madinah yang Utsman perlukan dalam

bermusyawarah.

83

Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan, terj. Ali Audah,

h.116 84

Mujtaba Musawa Lari, Imamah Pasca Nabi Muhammad SW.

Penerjemah Ilham Mashuri, h. 108

Page 78: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

64

Akumulasi kekecewaan mendorong kabilah-kabilah

Arab Muslim di Kufah dan Basrah serta di Mesir, khususnya

Fustat, mengirimkan wakil mereka menuju Madinah guna

menyampaikan pengaduan kepada Amīr al-Mu'minīn.

Sebagaimana utusan lain, utusan Mesir meminta agar Abdullah

dicopot dari jabatannya dan digantikan Muhammad bin Abu

Bakar. Permintaan ini Utsman kabulkan. Namun, belum jauh

utusan itu beranjak dari Madinah, rombongan mereka

menangkap seseorang yang membawa surat rahasia tulisan

Marwan bin al-Halkim kepada penguasa Mesir, Abdullah bin

Said bin Abi Sarh, yang meminta agar mereka semua dibunuh

sekembalinya ke Mesir Mereka lalu kembali lagi ke Madinah

dan mengepung rumah Utsman, menuntut pertanggung-

jawabannya. Terjadilah dialog panas yang berakhir dengan

terbunuhnya Utsman. Menurut sebagian riwayat, pembunuh

Utsman adalah pemimpin utusan Mesir, Ghafiqi bin Harb al-

Akky, tetapi hal ini menyisakan kecurigaan mengenai

keterlibatan Muhammad bin Abu Bakar, calon penguasa Mesir

yang memiliki hubungan dekat dengan Ali bin Abi Thalib

(karena ibunya, Asma, mantan istri Ja‘far bin Abi Thalib dan

sekaligus mantan istri Abu Bakar, yang kemudian dinikahi Ali).

Proses pembunuhan Utsman sendiri tidak begitu jelas, sehingga

menyulitkan penetapan tersangka pembunuh yang semestinya

mendapat hukuman, hal ini juga membuka peluang bagi

eksploitasi masalah ini untuk keuntungan politik keluarga

Utsman dari Bani Umayyah, khususnya penguasa Syria,

Muawiyah bin Abi Sufyan.85

5. Penunjukan Ali bin Abi Thalib

Terdapat sejumlah riwayat86

berbeda mengenai proses

pembaiatan Ali bin Abi Thalib. Pertama, riwayat yang

85

Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan, h.135-144 86

Muhammad Husain Haekal, Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada

Hasan dan Husein, terj. Ali Audah (Bogor: Litera AntarNusa, 2003), h.218-

224

Page 79: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

65

menyatakan bahwa lima hari berlalu setelah Utsman wafat,

Madinah tidak memiliki pemimpin puncak. Para pemberontak

dengan dipimpin oleh Ghafiqi meminta Ali bersedia dibaiat

menjadi Amīr al-Mu'minīn, tetapi permintaan itu Ali tolak.

Kedua, riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat utama

Muhammad SAW di Madinah memandang perlu segera

mengisi kekosongan kepemimpinan di Madinah. dimotori dua

orang yang termasuk sepuluh sahabat Rasulullah SAW yang

terjamin masuk surga, yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair

bin al-Awwam. Sebagian besar sahabat sepakat membaiat Ali

sebagai Amīr al-Mu'minīn, kecuali sejumlah sahabat dari

keluarga Bani Umayyah.

Orang pertama yang membaiat Ali yaitu Thalhah bin

Ubaidillah, sambil berkata: ―Yang pertama melakukan baiat ini

adalah tangan yang sudah lumpuh ini‖. Tangan Thalhah

menderita lumpuh akibat menahan anak panah yang akan

mengenai Rasulullah SAW dalam Perang Uhud. Ketiga, riwayat

yang mengatakan bahwa setelah Ali menolak keinginan para

pemberontak, mereka kemudian menekan sahabat agar bersedia

membaiat Ali dan para pemberontak itu pulalah yang pertama

membaiat Ali. Di bawah tekanan mereka, sahabat Thalhah dan

Zubair turut membaiat Ali, dengan syarat Ali mengusut tuntas

pembunuh Utsman dengan berpedoman pada al-Qur‘an dan

Sunnah, yang kemudian syarat itu Ali setujui.

Ali akhirnya dibaiat sebagi Amīr al-Mu'minīn di muka

umum di Masjid Madinah pada 656 M. Salah satu

pertimbangan Ali menerima baiat adalah pandangannya bahwa

bila para pemberontak dan mereka yang datang ke Makkah dan

Madinah untuk beribadah umrah maupun haji mengetahui tidak

ada pelanjut kepemimpinan, dikhawatirkan mereka akan

kembali ke daerah masing-masing dengan kehendak kembali

pada kepemimpinan kabilah. Ali menyadari benar posisinya

yang sulit, namun akhirnya ia menerima tongkat

kepemimpinan. Meskipun demikian, Ali menyadari bahwa

kepemimpinan seorang Amīr al-Mu'minīn berbeda dari

Page 80: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

66

kepemimpinan seorang raja. Kepemimpinan Amīr al-Mu'minīn

mensyaratkan ketakwaan, menjauhkan diri dari perbuatan dosa,

kuat tetapi sederhana dan berwibawa. Sedangkan

kepemimpinan raja umumnya berlaku sewenang-wenang,

bermewah-mewah dan bermegah-megah dengan kekuasaannya.

Menurutnya, kedua jenis kepemimpinan ini tidak dapat

disatukan, karena akan menimbulkan bencana. Ia menyaksikan

Utsman bin Affan, orang saleh dan taat beribadah tetapi rela

memberikan hadiah 200.000 dinar kepada Muawiyah,

mengizinkan para pembantunya memiliki tanah dan bangunan

mewah, berpakaian sutra, serta menikmati kemewahan lainnya.

Pada masa Abu Bakar dan Umar, hal-hal seperti itu jelas

terlarang, dan dibenci oleh Ali bin Abi Thalib.87

Pandangan Ali

yang seperti ini yang mempengaruhi langkah politiknya dan

tercermin dalam kebijaksanaannya yang tanpa kompromi

memberhentikan para pemimpin wilayah yang korup atau tidak

kompeten.

Setelah pembaiatan, Thalhah dan Zubair menemui Ali

dan memintanya agar menunjuk Thalhah sebagai penguasa

Basrah dan Zubair sebagai penguasa Kufah. Selaku penasihat

Ali, Mughirah bin Syu‗bah menganjurkan Ali agar

mengabulkan permintaan itu serta mengganti penguasa yang

diangkat Utsman, kecuali Muawiyah yang perlu tetap dibiarkan

sebagai penguasa Syria. Mughirah menganjurkan hal ini demi

menjaga situasi agar lebih stabil dan penggantian penguasa

daerah dilakukan setelah semua daerah menyatakan baiat

kepada Ali. Nasihat ini langsung Ali tolak, karena dianggap

mencari muka. Ali menekankan bahwa sesuai dengan tuntunan

Rasulullah SAW, jabatan tidak akan diberikan kepada mereka

yang memintanya atau yang berambisi meraihnya. Padahal,

saran yang sama datang pula dari dua penasihat lainnya, yaitu

Abdullah bin Abbas dan Zaid bin Handzalah al-Tamimi. Tetapi

Ali tetap menolak dengan mengatakan; ―Kalau saya akan

87

Muhammad Husain Haekal, Ali bin Abi Thalib, h. 325

Page 81: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

67

mengangkat seseorang karena melihat untung-ruginya, tentu

saya sudah mengangkat Thalhah dan Zubair untuk Basrah dan

Kufah serta Muawiyah untuk Syam‖.88

Thalhah dan Zubair menjadi oposan yang keras di luar

Bani Umayyah setelah aspirasi mereka tidak dikabulkan Ali.

Kemudian mereka mendorong Aisyah binti Abu Bakar untuk

bergabung bersama mereka dalam barisan penentang Ali yang

"terpusat di Basrah. Sebelum Aisyah ke Basrah, Bani Tamim

pimpinan Ahnaf bin Qais mendukung Ali, meskipun tidak

semua anggota kabilah Tamim mendukungnya. Ketika Ali

memerangi Aisyah dalam Perang Jamal, sekitar 4.000 anggota

kabilah Tamim di Basrah, termasuk Ahnaf menyatakan

bersikap netral, sehingga mereka tidak terlibat perang itu.

Tetapi seusai perang yang menewaskan sekitar 10 000 orang

termasuk Thalhah dan Zubair itu, Ahnaf kembali mendukung

Ali. Adapun Bani Umayyah pimpinan Muawiyah bin Abi

Sufyan bin Harb di Syria jelas tidak bersedia mendukung Ali

sebelum menuntut hukuman terhadap pembunuh Utsman

terpenuhi, suatu tuntutan yang Muawiyah sendiri menyadari

tidak mungkin Ali penuhi. Muawiyah justru berusaha mengajak

sejumlah sahabat utama, seperti Abdullah bin Umar, untuk

mendukungnya, meskipun kemudian mereka menolak.89

Sementara itu, sejumlah sahabat utama seperti Saad bin

Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan

termasuk Abdullah bin Umar memilih bersikap netral, seolah-

olah kepemimpinan Ali di Madinah tidak begitu penting untuk

didukung, dan ketika Ali berangkat ke Basrah untuk

memadamkan pembangkangan Aisyah yang didukung Thalhah

dan Zubair, penguasa Kufah Abu Musa al-Asy‘ari menolak

memberi bantuan tentara yang Ali minta. Ali pun memecat Abu

Musa dan menggantinya dengan Qaranzah bin Kaab al-Anshari.

Setelah pemecatan itu, Abu Musa pergi ke Makkah dan

bersikap netral, tidak lagi mendukung kepemimpinan Ali,

88

Muhammad Husain Haekal, Ali bin Abi Thalib h. 237-239 89

Muhammad Husain Haekal, Ali bin Abi Thalib, h. 237-240

Page 82: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

68

meskipun seusai perang ia kembali mendukung Ali seperti

Ahnaf bin Qais.90

Di sisi lain, Mu‘awiyah, gubernur Syam tidak mau

membaiat Ali dan melakukan pemberontakan menuntut pihak

yang harus bertanggungjawab atas kematian Usman. Setelah

peristiwa tahkim pada Perang Shiffin, Mu‘awiyah memojokkan

Ali dan menobatkan dirinya sebagai Khalifah. Kemudian para

pengikut Ali bukanlah sosok manusia yang terus berdiri sebagai

pembantu Ali yang senentiasa siap berjuang bersamanya.

Bahkan diantara mereka ada yang menjadi pembangkang nomor

satu dan menjadikan Ali sebagai target pembunuhan. Mereka

adalah kelompok Khawarij yang mengatakan Ali, ‗Amr bin

Ash, dan Mu‘awiyah adalah manusia-manusia jahat yang harus

dihabisi. Akhirnya Ali dibunuh oleh Abdur Rahman bin

Muljam, salah seorang Khawarij.91

6. Penunjukan Hasan bin Ali bin Abi Thalib

Setelah Ali bin Abi Thalib wafat pada tahun 661 M,

kabilah-kabilah Arab non-Quraisy di Kufah berusaha

menokohkan Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah

baru. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kekhalifahan

Hasan, sebagian berpendapat bahwa kekhalifahan Hasan tidak

masuk dalam kategori Khulafa‟ Rasyidin, dan tidak masuk pula

dalam era dinasti. Namun sebagian berpendapat bahwa enam

bulan kekhalifahan Hasan masuk dalam kategori Khulafa‟

Rasyidin karena beliau didukung oleh para Muhajirin dan

Anshar yang masih hidup dan penduduk Irak.92

90

Muhammad Husain Haekal, Ali bin Abi Thalib, h. 261-264 91

Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa‟, h. xii 92

Selain itu terdapat hadist bahwa Rasulullah pernah bersabda :

“Kekhalifahan setelahku (akan berlangsung) 30 tahun”. Jumlah 30 tahun ini

hanya akan genap apabila masa enam bulan kekhalifahan Hasan dimasukkan

dalam periode Khulafa‘ Rasyidin. Lihat Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik

Islam: Sebuah Pengantar, Penerjemah. Musa Mouzawir (Jakarta: Nur Al-

Huda, 2014), h. 259-260.

Page 83: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

69

Di dalam tahun yang sama, setelah menduduki jabatan

khalifah selama tiga bulan, Hasan dengan sukarela meletakkan

jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada Muawiyah bin

Abi Sofyan dan mengakui kekuasaannya. Ketika sikapnya

dikecam oleh para pendukungnya, Hasan memberikan jawaban

yang sangat terkenal, : ―Saya tidak nyaman melihat kalian

terbunuh karena perebutan kekuasaan. Inti kekuatan bangsa

Arab di tanganku saat ini. Mereka akan rela damai jika aku

ingin damai dan aku rela perang jika aku haus perang. Tetapi

hal terakhir itu aku singkirkan oleh karena kasih-sayang akan

darah umat Islam‖.93

7. Periode Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Imam

Syiah

Pada periode ini sistem pengangkatan khalifahan

berubah bentuk menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun-

temurun), yang diperoleh tidak dengan pemilihan atau suara

terbanyak seperti pada periode Khulafaur Rasyidin. Pergantian

khalifah secara turun temurun dimulai dari sikap Mu‘awiyah

yang mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota.

Sikap Mu‘awiyah seperti ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria

selama dia menjadi Gubernur di sana. Dia memang bermaksud

mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran

Byzantium.

Hal serupa juga dilakukan oleh as-Saffah dikenal

dengan sebutan Abu al-Abbas, Abdullah bin Muhammad bin

Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hisyam,

khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Dia meninggal pada tahun

136 H. Sebelum meninggal dia telah mengangkat adiknya, al-

Mansur Abu Ja‘far Abdullah untuk menggantikan dirinya

setelah kematian. Kemudian al-Mansur mengangkat putranya

93

Serah-terima kekuasaan tersebut terjadi di Kufah dan terkenal

dengan Tahun Persatuan (‗Ām al-Jamā‘ah). Lihat Joesoef Sou‘yb, Sejarah

Daulah Umayyah I di Damaskus (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, tth), h.

15-16

Page 84: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

70

al-Mahdi. Kemudian al-Mahdi mempersiapkan dua putranya,

al-Hadi dan Harun al-Rasyid, untuk bergiliran menggantikan

kekuasaannya. Seperti itu seterusnya pergantian khalifah secara

turun temurun dilakukan.

Berbeda dengan pengangkatan imam-imam Syiah, Sa‘id

Akhtar Razawi menjelaskan, pengangkatan imam-imam Syiah

dilakukan oleh Allah sama seperti pengangkatan para Nabi.

Imamah bukanlah sebuah pekerjaan yang diminta, tapi sebuah

penunjukan yang dianugrahkan oleh Allah. Allah yang berhak

untuk memilih pengganti Nabi dan umat tidak memiliki pilihan,

intervensi dalam hal ini dan kewajibannya hanya mengikuti

titah Ilahi yang telah menunjuk seorang imam atau khalifah

baginya. Allah berfirman: ―... Sesungguhnya Aku ingin

menjadikan engkau sebagai seorang Imam bagi seluruh umat

manusia ...‖ (QS. al-Baqarah: 124). Ayat ini menunjukkan

bahwa status imamah adalah pengangkatan Ilahi, di luar urusan

umat.94

1) Dinasti Umayyah

Fondasi kekuasaan Bani Umayyah mulai terbentuk sejak

Khaliah Umar mengangkat Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai

gubernur Syam, namun mereka baru menjalani kekuasaan itu

secara resmi pasca perjanjian damai antara Hasan dan

Mu‘awiyah. Dinasti ini memusatkan pemerintahannya di

Damaskus selama 91 tahun dan diperintah oleh 14 orang

khalifah. Kekhalifahan mereka berakhir dengan terbunuhnya

Marwan bin Muhammad yang terkenal dengan sebutan Marwan

al-Himar pada tahun 132 H.

Di tangan dinasti Umayyah kekhalifahan menjadi sangat

kontras dengan performa kekhalifahan sebelumnya, baik dari

segi pola pencapaian kekuasaan maupun dari seginya terhadap

rakyat. Tindakan pertama yang mereka lakukan adalah

memanipulasi makna kekhalifahan dan mengubahnya menjadi

94

Sa‘id Akhtar Razawi, Imamah; Khalifah Rasulullah SAW terj. A.

Kamil (Jakarta: Yayasan Putra Ka‘bah, 2009), h. 14-15

Page 85: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

71

kerajaan yang feodalistik. Kekuasaan dan pemerintahan

difokuskan pada Mu‘awiyah dan anak keturunannya. Karena

itu, sistem politik di era Bani Umayyah bukan saja kehilangan

corak keagamaannya, tapi bahkan jauh dari standar kerakyatan

dan legitimasi politik yang populer.95

Pada masa pemerintahan Yazid bin Mu‘awiyah, Husein

cucu Rasulullah dibantai secara ganas oleh Ziyad seorang

―tangan kanan‖ Yazid bin Mu‘awiyah yang paling biadab di

Padang Karbala. Setelah kepala Husein dan saudara-saudaranya

dikirimkan kepada Yazid, dia merasa senang. Namun kemudian

dia menyesalkan tindakannya karena kaum muslim sangat

membenci terhadap apa yang dia lakukan.96

Peristiwa ini

menjadi sumbu penyulut yang siap meledak dimana saja antara

kaum Sunni dan Syiah hingga saat ini.

Pada masa Mu‘awiyah mulai diadakan perubahan-

perubahan administrasi pemerintahan, dibentuk pasukan

bertombak pengawal raja, dan dibangun bagian khusus di

masjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan shalat.

Muawiyah juga memperkenalkan materai resmi untuk

pengiriman memorandum yang berasal dari khalifah.

Mu‘awiyalah yang pertama-tama mendirikan balai-balai

pendaftaran dan menaruh perhatian atas jawatan pos, yang tidak

lama kemudian berkembang menjadi suatu susunan teratur yang

menghubungkan berbagai bagian negara.97

Pada masa dinasti ini dibentuk semacam Dewan

Sekretaris Negara (Diwan al-Kitabah) untuk mengurus berbagai

urusan pemerintahan, yang terdiri dari lima orang sekretaris

yaitu: Kātib ar-Rasāil, Kātib al-Kharraj, Kātibal-Jund, Kātib

asy-Syurthah dan Kātib al-Qādhi. Untuk mengurusi

administrasi pemerintahan di daerah, diangkat seorang Amīr al-

95

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar,

Penerjemah. Musa Mouzawir (Jakarta: Nur Al-Huda, 2014), h. 262 96

Imam as-Suyuthi, Tarik h Khulafa‟, h. 247 97

Philip K. Hitti, Duia Arab, terj. Ushuluddin Hutagulung dan

O.D.P. Sihombing (Bandung: Sumur Bandung, t.t) h. 80

Page 86: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

72

Umarā (Gubernur Jendral) yang membawahi beberapa Amīr

sebagai penguasa satu wilayah.98

2) Dinasti Abbasiyah

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata: ―Awal mula kekhalifah-

an Bani Abbas adalah bahwa Rasulullah memberitahukan

kepada Abbas, pamannya, bahwa khalifah akan ada di tangan

anak cucunya. Sejak itulah Bani Abbas membayangkan

datangnya khilafah tersebut. Al-Maidani meriwayatkan dari

banyak perawi bahwa Muhammad bin Ali bin Abdullah bin

Abbas berkata :‖Kita memiliki tiga waktu yang sangat istimewa

yaitu: Matinya Yazid bin Mu‘awiyah, ujung seratus tahun dan

huru-hara di Afrika. Pada saat itulah manusia menyeru kami

berkuasa. Kemudian datang para pendukung kami dari arah

timur hingga kuda-kuda mereka menyerbu wilayah-wilayah

barat.99

Berdirinya dinasti Abbasiyah diawali dengan gerakan

revolusi yang dipelopori oleh keturunan Abbas dan berhasil

mendapat dukungan massa. Karena banyak sekelompok umat

yang sudah tidak mendukung kekuasaan imperium Bani

Umayyah yang korup, sekuler dan memihak sebagian

kelompok. Kelompok Syiah sejak awal berdirinya Dinasti Bani

Umayyah telah memberontak karena merasa hak mereka

terhadap kekuasaan dirampok oleh Mu‘awiyah dan

keturunannya. Kelompok Khawarij juga merasa bahwa hak

politik umat tidak boleh dimonopoli oleh keturunan tertentu

tetapi merupakan hak setiap Muslim. Mereka merasa Bani

Umayyah menjalankan kekuasaannya secara sekuler.

Kelompok lain yang sangat membenci kekuasaan Bani

Umayyah adalah mawali, yaitu orang-orang non-Arab yang

baru masuk Islam, mereka yang kebanyakan berasal dari Persia

merasa diperlakukan setara dengan orang-orang Arab karena

98

A. Hasimy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1975), h. 151 99

Imam as-Suyuthi, Tarik h Khulafa‟, h. 307-308

Page 87: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

73

mendapat beban pajak yang sangat tinggi. Kelompok-kelompok

inilah yang telah mendukung revolusi Abbasiyah untuk

menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah.100

Abu al-Abbas menggerakan revolusi dengan

mempropoganda banyak orang dengan nuasa keagamaan.

Menurutnya menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah

diperintahkan agama karena komitmen mereka dalam

menegakkan syariat Islam sangat rendah. Bani Abbas

meyakinkan para pendukungnya bahwa Bani Umayyah tidak

memerintah umat berdasarkan ajaran Rasulullah. Karena itu,

memberontak terhadap kekuasaan Bani Umayyah merupakan

kewajiban setiap umat. Abbasiyah juga meyakinkan umat untuk

mengembalikan kekuasaan ke keluarga Rasulullah yakni

pamannya Abbas sebagai pewaris sah tahta Islam.

Gerakan revolusi ini sukses berkat organisasi tentara

yang dipersenjatai dan diorganisir dengan baik. Abu Muslim al-

Khurasani dapat mempersatukan dan memimpin pasukan yang

terdiri dari orang Arab dan non-Arab yang diperlakukan secara

setara. Dialah yang memulai pemberontakan terbuka terhadap

pemerintahan Bani Umayyah pada tahun 747 M. Wilayah

imperium Umayyah yang pertama kali ditaklukan adalah

wilayah Khurasan. Kemudian wilayah ini menjadi basis

kekuatan untuk menaklukan wilayah-wilayah lain disekitarnya.

Hingga akhirnya pada tahun 132 H/ 750 M jantung kekuasaan

Umayyah di Damaskus dapat ditaklukan dan membunuh

khalifah terkahir Marwan bin Muhammad.

Dengan runtuhnya kekuatan Bani Umayyah, Bani

Abbasiyah memimpin umat Islam dengan format dan ideologi

baru. Khalifah Abbasiyah menganggap kekuasaannya dari

Tuhan dan menjadi penuntun sebenarnya bagi masyarakat

Muslim. Gelar al-Mansur, al-Mahdi, al-Hadi, dan ar-Rasyid

mengindikasikan bahwa mereka mengklaim diri mendapat

tuntunan Tuhan di jalan yang lurus untuk membawa pencerahan

100

Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, h. 98

Page 88: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

74

dan mengembalikan umat Islam ke jalan yang benar. Para

khalifah juga pelindung para ulama dan ilmuwan.101

Ketika masa kemunduran dinasti Abbasiyah dan

sebelumnya, mulai bermunculan dinasti-dinasti di dunia Islam

yang menggambarkan mulai hilangnya persatuan dunia Islam

dalam bidang politik. Seperti di Mesir terdapat dinasti Ikhsyid

(935-965 M), dilanjutkan dengan dinasti Fathimiyah (961-1171

M), di Mosul (929-991 M) dan Aleppo (944-967 M) oleh kaum

Hamadān, di Iran dinasti Sāmān (874-999 M) berkuasa di

samping Bani Buwaih. Setelah runtuhnya dinasti Abbasiyah

pada tahun 1258 M oleh serangan pasukan Mongol, terpecah-

belahnya politik Islam semakin masif dan bermunculan

kerajaan-kerajaan Islam. Tiga kerajaan besar yang bersinar

diantaranya, Turki Usmani (1258-1923 M) di Turki, Mughal

(932-1526) di India, dan Safawiyah (1501-1732 M) di Iran.

Pada akhir abad ke-18 Imperialisme Barat menjadi

kekuatan terkemuka diebagian wilayah Islam, seperti Prancis

(1798) memulai ekspedisi ke Mesir dan wilayah-wilayah Afrika

Utara, Inggris (1818-1942) di wilayah India, Portugis (1482),

Belanda (abad ke-17), Inggris, dan Prancis (Abad ke-18)

menguasai Afrika sub-Sahara (kecuali Afrika bagian utara dan

Mesir). Setelah itu, terjadi gerakan-gerakan kebangkitan

nasionalisme untuk melepaskan diri dari penjajahan Barat dan

merdeka membentuk negara republik yang mandiri.

3) Sistem Imamah Syiah

Ali Asgar Nusrati menjelaskan, imamah adalah sebuah

pemerintahan dan kepemimpinan politik yang berporoskan

otoritas Imam Maksum atau penggantinya. Karakterisktik

Sistem imamah antara lain ialah; pertama, pemimpin diangkat

oleh Allah; kedua, domain otoritas dan kepemimpinannya tidak

terbatas hanya pada persoalan sosial dan politik, melainkan

meliputi semua bidang kehidupan manusia. Dalam konsep

101

Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, h. 99-100

Page 89: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

75

imamah, harus ada ikatan emosional atau hubungan batin yang

kuat antara imam dan umat. Seorang Imam bukan sekedar

pemimpin politik melainkan juga berperan sebagai akar

kecintaan umat dan berwenang atas kalbu dan jiwa mereka. Hak

dan kewajiban timbal balik yang terkonsep dalam sistem

imamah mencerminkan besarnya peranan rakyat dalam sistem

ini, lebih lanjut sistem imamah terdiri dalam tiga periode; era

kehadiran, kegaiban dan kemunculan.102

a. Era Kehadiran

Ali Asgar Nusrati menjelaskan, era kehadiran adalah era

dimana para 12 Imam Maksum Syiah hadir di tengah umat.

Mereka menjelaskan prinsip-prinsip umum pembimbingan

umat. Sebagian besar Imam Maksum tidak mendapat

kesempatan untuk mendirikan pemerintahan, sehingga sistem

imamah hanya berlangsung singkat. Namun, pola yang terlihat

di era pemerintahan singkat imam Ali dan Imam Hasan cukup

menjadi pelita yang terang selamanya bagi setiap pemimpin

dalam mengelola umat.103

Sepeninggalan Imam Hasan, selama lebih dari dua abad

para Imam Maksum bertujuan dalam satu tekad melawan para

tagut, menyebarkan hukum-hukum Islam, melestarikan nilai-

nilai luhur Islam, dan melanjutkan garis kepemimpinan Ilahiah

di tengah bentangan sejarah dari masa ke masa dengan segala

keadaan dan situasinya. Dalam konteks ini, Imam Husein dan

para pengikut setianya berjuang dengan darahnya di sahara

Karbala menteror pilar-pilar kezaliman dan ketidakadilan104

Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad tampil sebagai

penebar pesan para syuhada Karbala. Ia memompa spirit

ubudiah dan maknawiah di tengah umat dan mengukuhkan

landasan-landasan moral kaum Syiah. Imam Muhammad Baqir

dan Imam Ja‘far Shadiq melakukan gerakan masif di bidang

102

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 267-268 103

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 268 104

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 275

Page 90: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

76

pendidikan dan kebudayaan hingga berhasil mencetak banyak

ilmuwan Islam dan menyebarkan ajaran Ahlulbait. Sedangkan

di zaman Imam Musa Kazhim dan Imam Ali Ridha kaum Syiah

kembali muncul sebagai gerakan yang cukup kuat dan

diperhitungkan di gelanggang politik. Sehingga para penguasa

Tiran saat itu terpaksa mengambil sikap tersendiri terhadap

kaum Syiah.

Periode Imam Muhammad Jawad kematangan kaum

Syiah mencapai titik pelaksanaan hukum khumus, zakat dan

lain-lain membuat bidang perekonomian mereka bisa berjalan

sepenuhnya dengan urusan imamah. Dukungan dan loyalitas

mereka kepada kepemimpinan politik Imam Maksum berjalan

semakin intensif. Selanjutnya periode Imam Ali Hadi dan Imam

Hasan Askari dengan strategi dan pembinaan-pembinaannya

terus bergerak menambah kematangan budaya dan politik kaum

Syiah. Serta memupuk keteguhan iman dan keyakinan mereka

dalam menyongsong era kegaiban Imam Maksum Muhammad

al-Mahdi.105

b. Era Kegaiban

Pasca kesyahidan Imam Hasan Askari dan mulainya era

kegaiban kecil, masalah imamah dan kepemimpinan atas umat

menemukan pola baru empat figur non-maksum melanjutkan

garis imamah dengan status sebagai wakil khusus Imam

Muhammad al-Mahdi, Imam Kedua Belas. Pada periode ini

kaum Syiah mengenyam pengalaman baru yang mengharuskan

mereka merujuk kepada para wakil tersebut dalam segala

urusan sosial dan keagamaan. Era kegaiban kecil pada

hakikatnya merupakan satu periode khusus untuk kelangsungan

proses transisi dari kepemimpinan langsung para Imam

Maksum menuju kepemimpinan tidak langsung mereka. Segala

urusan akan dilimpahkan kepada para fakih, ulama, atau para

ahli negara.

105

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 275-277

Page 91: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

77

Dengan berakhirnya era kegaiban kecil, sistem Imamah

bermanifestasi dalam bentuk ―Wilāyah al-Fāqih”. Seorang wali

fakih berkedudukan sebagai pengganti Imam Maksum,

bertanggung jawab mengelola masyarakat dan berusaha

memecahkan setiap problem umat. Sebaliknya, umat pun harus

mengikuti perintah dan petunjuk wali fakih sebagaimana

mereka taat kepada Imam Maksum. Umat harus kooperatif

dengan wali fakih demi menyukseskan cita-cita suci Islam.106

c. Era Kemunculan

Era ini adalah masa kedatangan Imam Mahdi di akhir

zaman. Beliau akan memerintah bumi seperti yang dijanjikan

Allah kepada kaum mukminin sebagai akhir penuntasan konflik

antara hak dan batil. Struktur pemerintahan Imam Mahdi terdiri

atas para nabi, para pengganti nabi, orang-orang bertakwa

terdahulu, termasuk para sahabat terkemuka Rasulullah SAW

yang dibangkitkan lagi di dunia. Orang-orang yang dijelaskan

identitasnya diantara mereka dalam riwayat antara lain ialah;

Nabi Isa As, tujuh orang Ashabul Kahfi, Yusya‘ (washi Nabi

Musa As), seorang mukmin dari kalangan Fir‘aun, Salman al-

Farisi, Abu Dujanah al-Ansari, Malik Asytar, dan Kabilah

Hamadan.107

Imam Mahdi memimpin dalam waktu singkat dan dapat

mengatasi semua kesulitan, menumbuhkan harapan dalam jiwa,

memadamkan api peperangan dan menegakkan keamanan

dalam kehidupan. Dunia akan steril dari keberadaan rezim-

rezim korup dan zalim108

. Rasulullah SAW bersabda: ―Aku

kabarkan kepada kalian perihal Mahdi, seorang kesatria

berdarah Quraisy, yang kekhalifahan dan pemerintahannya akan

menggembirakan penduduk langit dan bumi.”109

106

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 277 107

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 278-280 108

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 279-282 109

Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihār al-Anwār (Beirut: Dārul al-

Ihya‘ al-Turāts, t.t.) Juz. 52, h.362

Page 92: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

78

8. Kebangkitan Nasionalisme dan Wilāyah al-Fāqih di

Iran

Menurut Nourouzzaman Shiddiqi, sejarah umat Islam

dibagi dalam tiga periode. Periode pertama adalah periode

klasik yang dimulai sejak lahirnya Islam sampai runtuhnya

dinasti Abbasiyah pada tahun 1258 M. Ciri periode ini adalah

seluruh wilayah negara diperintah oleh seorang khalifah baik

yang mempunyai wewenang dan kedudukan maupun yang

hanya sekedar simbol saja. Kedua adalah periode pertengahan

yang dimulai dari runtuhnya dinasti Abbasiyah hingga

penghujung abad ke-18. Periode ketiga adalah periode Modern,

periode ini diwarnai oleh kebangkitan nasionalisme dari

cengkraman kuku penjajahan Barat yang berakhir sampai

perang dunia kedua.110

Pada periode modern, sistem pemerintahan berbentuk

republik. Kepala negara dipilih untuk waktu tertentu, tunduk

kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh

parlemen. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem

pemerintahan raja-raja absolut Islam yang tetap menjadi raja

selama masih hidup dan kemudian digantikan oleh anaknya

serta tidak tunduk pada konstitusi. Pada abad ke-20 istilah

republik muncul terjemahannya yaitu Jumhuriyyah yang

memiliki arti orang banyak.

Pada tahun 1925 Reza Khan, seorang panglima militer,

mengangkat dirinya sebagai Shah Iran, pendiri kerajaan

konstitusional sekaligus pendiri dinasti Pahlevi, yang

berlangsung hingga tahun 1979. Pahlevi menggalakkan

pembangunan negara sekuler dan rezim nasionalis yang

memusat serta modernisasi ala barat. Dia memprakarsai

sejumlah proyek industri yang tidak lepas dari cengkraman

Inggris dan Rusia. Dia memberlakukan wajib militer. Dengan

dukungan pasukan militer, Pahlevi mengatasi oposisi elite

110

Nourouzzaman Shiddiqi, Sejarah Modern, Mesir, Syiria, Afrika

Utara dan Arabia (Yogyakarta: Matahari Masa, 1980), h. 1

Page 93: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

79

agama, pedagang dan elite kesukuan, bahkan menghapus

pengaruh ulama serta menggiring mereka ke bawah kontrol

negara.111

Sementara itu, terjadi gerakan reformasi keagamaan

sebagai perlawanan ulama terhadap negara. Ulama menuntut

keterlibatannya dalam kegiatan politik secara aktif. Menurut

mereka ulama tidak pantas lagi menanti secara pasif

kembalinya sang Imam, melainkan harus aktif mempersiapkan

segala sesuatu yang dibutuhkannya. Antara tahun 1967-1973

gerakan reformasi ini di bawah kepemimpinan Ali Shari‘ati,

mendirikan Yayasan Husainiyah Irsyad untuk merivitalisasi

Syi‘isme dan melahirkan komitmen untuk menggulingkan

pemerintahan yang zalim. Akhirnya pada tahun 1979, Revolusi

Islam di Iran berhasil menggulingkan rezim Pahlevi di bawah

pimpinan Ayatullah Khomeini.112

Sejak berdirinya Republik

Islam Iran pelimpahan kepemimpinan politik kepada wali fakih

meliputi semua bidang tanpa batas. Pola politik yang demikian

disebut dengan Wilayah al-Faqih.

Ayatullah Jawadi Amuli menjelaskan dalam kitabnya

Wilayat-e Faqih wa Wilyat-e Faqahat wa Edalat, yang dikutip

oleh Ali Nusrati, fakih yang dimaksud dalam diskursus Wilayah

al-Faqih ialah mujtahid yang memenuhi syarat, bukan

sembarangan orang yang sudah belajar fikih. Fakih yang

memenuhi syarat harus memiliki tiga karakteristik, yakni,

―ijtihad mutlak‖, ―adil‖, serta ―kecakapan manajerial dan

kemampuan memimpin‖. Pertama, dia harus memiliki

pengetahuan yang mendalam, argumentatif dan berdasar

istinbāt tentang Islam; kedua, dia juga harus mengindahkan

semua ketentuan dan hukum Allah; ketiga, dia juga harus

seorang negarawan.113

Ayatullah Khomaini melanjutkan, orang yang lebih

tinggi ilmunya dalam disiplin-disiplin ilmu hauzah namun tidak

111

Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, h.292-293 112

Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, h.293-294 113

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 292

Page 94: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

80

dapat mendeteksi maslahat rakyat atau tidak bisa menyeleksi

orang yang layak dan berguna, atau secara umum tidak

memiliki pengetahuan yang shahih dan tidak dapat mengambil

keputusan, maka dalam isu-isu sosial dan pemerintahan dia

bukanlah seorang mujtahid dan tidak dapat memegang kendali

urusan publik. Mirza Shirazi menambahkan, kepemimpinanan

dan marjaiyah memerlukan 100 syarat satu diantaranya adalah

ilmu, serta keadilan dan ketakwaan, sedangkan 98 persennya

adalah kecakapan manajerial114

Ayatullah Khu‘i menjelaskan dalam kitab al-Tanqih;

Ijtihād wa Taqlīd yang dikutip oleh Ali Nusrati, Wilayah al-

Faqih bukanlah sebuah jabatan, melainkan penanganan urusan

publik, khususnya berkenaan dengan penerapan hukum Islam

terkait ketertiban dan keamanan, sebagai kewajiban seorang

fakih yang memenuhi syarat. Hal ini adalah Wajib Kifa‟i jika

kewajiban ini ditunaikan seorang yang memang layak

menerapkan hukum Allah Swt. maka kewajiban ini gugur bagi

yang lain. Sedangkan, jika tidak ada orang yang

menunaikannya maka semua fakih yang ada harus bertanggung

jawab dan akan mendapat hukuman dari Allah Swt.

Sedangkan Syekh Muhammad Hasan Najafi dalam kitab

jawāhir al-Kalām dan Ayatullah Khomeini Hukumat-e Islami,

menyebutkan bahwa Wilayah al-Faqih bukan berada dalam

kategori kewajiban, melainkan sebuah kedudukan atau jabatan

syar‟i dan bagian dari hukum wadh‟i. Apabila seorang fakih

yang memenuhi syarat telah menjalankan Wilayah al-Faqih

maka para fakih harus mengikutinya dalam semua urusan

publik dan tidak ada kewajiban terpisah untuk mendirikan

pemerintahan Islam.115

Semua ulama dan pemikir Islam Syiah menilai, melek

sosial dan politik sebagai bagian dari syarat utama kefakihan.

Dengan demikian Wilayah al-Faqih adalah otoritas seorang

114

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 290-291 115

Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 281

Page 95: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

81

fakih yang memenuhi syarat atas masyarakat Islam serta

kepemimpinan dalam semua urusan publik.

Page 96: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

82

Page 97: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

83

BAB III

ANALISA PENAFSIRAN AHLUSUNAH DAN SYIAH

TERHADAP AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG

KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH

Perbedaan pandangan antara Ahlusunah dan Syiah yang

berkepanjangan sesungguhnya dipicu oleh perdebatan mengenai

siapa yang berhak memegang tampuk kepemimpinan yang sah

pasca Nabi Muhammad SAW, “Apakah Abu Bakar ataukah Ali

bin Abi Thalib yang mestinya menggantikan posisi Nabi?”. Hal

ini menjadi persoalan mendasar dalam tubuh umat Islam.

Pernyataan itu sebenarnya dipicu oleh problem utama

“Siapakah sebenarnya yang lebih utama, Abu Bakar atau Ali

bin Abi Thalib?”. Perdebatan mengenai hal ini bukan saja

terjadi antara Ahlusunah dan Syiah, tetapi juga di kalangan

Mu‟tazilah.

Ahmad Amin menjelaskan, kalangan Mu‟tazilah Basrah

seperti „Amr bin „Ubaid, Ibrahim al-Nizham, al-Jahizh dan

Samamah bin al-Asyras menilai bahwa Abu Bakar lebih utama

dibanding Ali. Sebaliknya, kalangan Mu‟tazilah Baghdad

seperti Bisyr bin Mu‟tamir, Abu Ja‟far al-Iskafi, Abu al-Husain

al-Khayat dan al-Jubbai menilai bahwa Ali lebih utama

dibanding Abu Bakar. Pusat perdebatan antara keduanya lebih

banyak bersumber pada keislaman siapa yang lebih baik.

Kendati demikian, kalangan Mu‟tazilah tetap sepakat bahwa

kepemimpinan Abu Bakar adalah kepemimpinan yang sah.1

Berbeda dengan itu, perdebatan antara Ahlusunah dan Syiah

terus berlanjut. Hal ini terjadi karena masing-masing memiliki

cara pandang dan kriteria sendiri yang tidak bisa didamaikan,

sehingga sosok yang didukung dinilai lebih utama dibanding

yang lain.

Cara pandang dan kriteria pemimpin setiap kelompok

tersebut disandarkan kepada nash al-Quran dan ditafsirkan

1 Ahmad Amin, Zhuhr al-Islam (Beirut: ttp, 1969) h. 26-27

Page 98: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

84

sesuai ideologi kelompok. Karena cara pandang dan kriterianya

berbeda, maka ayat-ayat al-Quran yang disandarkan pun

berbeda. Ahlusunah merumuskan konsep kepemimpinan

berdasarkan perspektif al-Quran seputar sistem pemilihan dan

syarat-sayat seorang pemimpin. Sedangkan Syiah secara

spesifik merumuskan Ali dan keturunannya sebagai pemimpin

sesuai perspektif al-Quran.

Dalam sub-pembahasan ini, penulis menelusuri kitab-

kitab tafsir mengenai ayat-ayat kepemimpinan dalam al-Quran.

Penulis meneliti term-term pengungkapan kepemimpinan dalam

al-Quran, baik yang secara langsung menunjuk kepada term

pemimpin, ataupun term yang menunjuk kepada unsur

kepemimpinan secara global.2 Adapun kitab-kitab tafsir

golongan Ahlusunah yang dijadikan sumber primer, yaitu Tafsīr

al-Kabir/Mafâtih al-Ghaib karya Abu Abdillah, Muhammad

bin Umar, Fakhruddiin al-Razi, Tafsīr al-Munir fī al-„Aqīdah

wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj karya Wahbah bin Mushthafa az-

Zuhaili dan Tafsīr fi Zhilâl al-Quran karya Sayyid Quthb.

Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap kitab-kitab

tafsir di atas, penulis menemukan ayat-ayat yang menjadi

perhatian khusus dalam menjelaskan kepemimpinan. Adapun

ayat-ayat tersebut antara lain antara lain:

A. QS. Ali Imran/3 : 159 dan QS. asy-Syura/42 : 38

Dalam penafsiran kedua ayat ini, penulis memfokuskan

kepada pembahasan musyawarah. Musyawarah merupakan

unsur penting dalam kepemimpinan, baik kepemimpinan dalam

skop kecil seperti rumah tangga, ataupun skop besar seperti

negara. Seperti halnya kepemimpinan Rasulullah dalam

masyarakat Islam yang dihiasi dengan musyawarah. Oleh sebab

itu, sifat musyawarah merupakan sifat yang wajib dimiliki

2 Term pemimpin : imām, wali, uli al-amr, khalīfah, mālik dan

sulthān. Term unsur kepemimpinan : syūrā, amānah, „adl, amr bi al-ma‟rūf

wa nahy „an al-munkār, dan al-tablīg.

Page 99: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

85

seorang mukmin dari sekian sifat keteladanan Rasulullah dan

menjadi karakteristik masyarakat Islam. Allah SWT berfirman

QS. Asy-syūra/42: 38 :

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)

seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan

mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan

mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan

kepada mereka.”

Dalam Tafsir al-Munir Wahbah al-Zuhalili menjelaskan,

bahwa musyawarah adalah sifat bawaan kaum Mukminin.

Mereka saling bermusyawarah menyangkut berbagi urusan

khusus maupun umum. Rasulullah adalah orang yang paling

banyak bermusyawarah dengan para sahabat beliau. Jejak

langkah ini juga dicontoh oleh para sahabat menyangkut

urusan-urusan besar dan krusial seperti pengangkatan khalifah3,

kebijakan memerangi kaum murtad, dan menggali hukum-

hukum syari‟at menyangkut berbagai permasalahan dan

kejadian yang belum pernah ada sebelumnya.4

Adapun al-Razi dalam Tafsīr al-Kabīr menegaskan,

ketika orang-orang yang beriman menghadapi suatu perkara,

3 Ibnu al-Arabi juga berpendapat bahwa perkara pertama yang

dimusyawarahkan oleh para sahabat sepeninggalan Rasulullah SAW adalah

khilafah. Sebab beliau tidak memberikan penjelasan secara tegas terkait hal

tersebut, sehingga terjadi perselisihan antara kaum Muhajirin dengan

Anshar. Lihat Abu Bakar bin al-Arabi al-Maliki, ahkâm al-Quran (Beirut:

Dār al-Kutub al-Ilmiyyah), Jilid 1 h. 389 4 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, dan

Manhaj. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2013),

Jilid 13 h. 96

Page 100: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

86

kemudian mereka berkumpul dan melakukan musyawarah,

maka Allah hadir kepada mereka memberikan solusi. al-Razi

menukil dari al-Hasan, ia berkata : “Tidaklah suatu kaum yang

bermusyawarah kecuali Allah memberi petunjuk dan benar-

benar membimbing perkara mereka.” Kata syurā dalam ayat ini

bentuknya masdar yang bermakna bertukar pikiran atau

bermusyawarah (al-tasyāwur). Firman Allah wa amruhum

syurā bainahum bermakna ahli musyawarah (dzū syurā).5

Sayyid Quthb menjelaskan, kegiatan musyawarah dalam

ayat ini diikuti dengan pendirian salat. Salat merupakan

komunikasi antara hamba dan Allah. Salat merupakan

fenomena kesetaraan hamba dalam satu barisan, dalam ruku dan

sujud. Mungkin karena aspek kesetaraan itulah, maka sifat salat

diikuti dengan sifat bermusyawarah. Ayat ini menegaskan

bahwa seluruh persoalan mereka diputuskan dengan

musyawarah supaya seluruh kehidupan diwarnai sifat ini. Ayat

ini merupakan ayat Makkiyah yang diturunkan sebelum

berdirinya pemerintahan Islam. Dengan demikian, sifat ini lebih

melingkupi masyarakat muslim daripada sekedar melingkupi

pemerintahan. Ia merupakan karakter masyarakat Islam.

Kenyataannya dalam Islam, pemerintahan itu tiada lain kecuali

pemunculan tabiat masyarakat dan karakteristik individunya.

Musyawarah merupakan sifat yang harus dimiliki dari sekian

sifat keteladanan Rasulullah.6

Allah SWT memerintahkan Rasulullah untuk bermusya-

warah dengan para sahabatnya, sebagaimana termaktub dalam

QS. Ali Imran/3: 159:

5 Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-

Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikri, 1981), Jilid 12, h. 178 6 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran; Di Bawah Naungan al-

Quran, Penerjemah As‟ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Jilid 19

h. 329

Page 101: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

87

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku

lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras

lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari

sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah

ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka

dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan

tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”7

7 Persesuaian ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya tampak jelas. Ayat

ini masih membahas tentang perang Uhud serta berbagai dampak dan

pengaruh yang ditimbulkannya. Setelah Allah SWT mengampuni kesalahan

kaum Mukminin pada perang Uhud, memperingatkan mereka agar jangan

sampai terpengaruh dan terbujuk oleh perkataan-perkataan kaum munafik.

Selanjutnya Rasulullah SAW memaafkan kesalahan mereka yang telah

menyebabkan beliau merasa sedih dan sikap mereka yang membuat beliau

bersedih menjadi sebab luka dan kesedihan yang menimpa mereka.

Rasulullah tetap berbicara dan memperlakukan mereka dengan baik, ramah

dan lembut. Bahkan beliau mengajak mereka bermusyawarah membicarakan

tentang hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang. Lihat Wahbah al-

Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, dan Manhaj, Jilid 2, h. 475

Sayyid Quthb menambahkan, firman ini ditunjukan kepada

Rasullah SAW untuk menenangkan hati beliau, dan ditujukan kepada kaum

muslimin untuk menyadarkan mereka terhadap nikmat Allah atas mereka.

Hal ini dimaksudkan untuk memfokuskan perhatian kepada rahmat yang

tersimpan di dalam hati beliau sehingga bekas-bekasnya dapat mengungguli

tindakan mereka terhadap beliau dan mereka dapat merasakan hakikat

nikmat Ilahi yang berupa nabi yang penyayang. Kemudian diserunya

mereka, dimaafkannya kesalahan mereka, dan dimintakannya ampunan

Page 102: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

88

Sayyid Quthb menegaskan dalam kitab tafsirnya,

dengan nash yang tegas ini “dan bermusyawarahlah dengan

mereka dalam urusan itu,” Islam menetapkan perinsip ini

dalam sistem pemerintahan hingga Rasulullah SAW sendiri

melakukannya. Ini adalah nash yang pasti dan tidak

meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam, bahwa syura

merupakan mabda‟ asasi‟ (prinsip dasar) yang nizham Islam

tidak ditegakkan di atas prinsip lain. Adapun bentuk syura

beserta implemantasinya, adalah persoalan teknis yang dapat

berkembang sesuai dengan aturan yang berlaku di kalangan

umat dan kondisi yang melingkupi kehidupannya. Maka, semua

bentuk dan cara yang dapat merealisasikan syura -bukan

sekedar simbol lahiriyahnya saja- adalah dari Islam.8

kepada Allah bagi mereka. Diajaknya mereka bermusyawarah dalam

menghadapi urusan ini, sebagaimana beliau biasa bermusyawarah dengan

mereka, dengan tidak terpengaruh emosinya terhadap hasil-hasil

musyawarah itu yang dapat membatalkan prinsip yang asasi dalam

kehidupan Islami. Lihat Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran; Di Bawah

Naungan al-Quran, Penerjemah As‟ad Yasin, Jilid 3, h. 293 8 Nash ini datang sesudah terjadinya keputusan-keputusan syura

yang secara lahiriahnya menyebabkan kerusakan dalam barisan kaum

muslimin karena bersilang pendapatnya dalam Perang Uhud. Segolongan

berpendapat agar kaum muslimin tetap bertahan di Madinah dan menyerang

ketika musuh datang. Segolongan lain dengan semangat berkobar

berpendapat agar kaum muslimn keluar Madinah untuk menghadapi kaum

musyrikin. Hasil musyawarah memutuskan kaum muslimin untuk keluar

Madinah.

Melalui ru‟ya shādiqah, Rasulullah sebenarnya telah mengetahui

akibat buruk yang akan menimpa barisan umat Islam jika mereka keluar dari

Madinah. Sebenarnya Rasulullah berhak membatalkan hasil musyawarh itu,

tetapi beliau tetap melaksanakannya juga meskipun beliau mengetahui

bahwa di belakang nanti mereka akan mengalami penderitaan, kerugian, dan

pengorbanan. Semua beliau lakukan karena memantapkan prinsip

(memberlakukan hasil musyawarah), mengajari jamaah, dan mendidik umat

itu lebih besar nilainya daripada kerugian yang bersifat sementara itu. Lihat

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 3, h. 294-295

Page 103: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

89

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, Rasulullah SAW

bermusyawarah dengan kaum Mukminin di dalam urusan-

urusan politik, kemaslahatan umat baik ketika dalam keadaan

perang ataupun dalam keadaan aman, dan kepentingan duniawi

lainnya. Beliau melakukan yang demikian untuk membujuk dan

membuat hati mereka senang serta agar mereka mengikuti

sunah beliau. al-Hasan RA berkata, “Allah SWT sudah pasti

telah mengetahui bahwa sebenarnya Rasulullah tidak butuh

kepada pendapat mereka, akan tetapi bertujuan agar hal ini

ditiru oleh orang-orang yang datang setelah mereka9

Ibnu „Athiyyah berkata sebagaimana dinukil oleh

Wahbah al-Zuhaili : “Musyawarah termasuk salah satu kaidah

syariat dan termasuk kategori azīmah (hukum asal yang bersifat

wajib). Barang siapa yang tidak bermusyawarah dengan para

ulama dan pakar; maka wajib hukumnya ia dipecat.” Wahbah

al-Zuhaili menegaskan, hal ini merupakan sesuatu yang tidak

diperselisihkan. Terdapat dua pendapat ulama tentang hukum

musyawarah, yaitu sifatnya memaksa dan wajib bagi Rasulullah

SAW dan sunah atau anjuran saja untuk menyenangkan dan

menghibur kaum Mukminin. Namun pendapat yang terkuat

adalah wajib dan memaksa bagi Rasulullah.10

Fakhrudin al-Razi juga berpendapat bahwa perintah

Allah kepada Rasulullah untuk bermusyawarah kepada para

sahabatnya merupakan suatu kewajiban yang harus

dilaksanakan. Adapun manfaat dari perintah tersebut, yaitu :

Pertama, membesarkan kedudukan dan meninggikan derajat

mereka, serta menjadikan kecintaan dan keikhlasan mereka

dalam ketaatan kepada Rasulullah semakin kuat. Kedua, agar

9 Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a berkata,

“Tidak ada seorangpun yang lebih banyak melakukan musyawarah dari

Rasulullah SAW” Lihat Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, h.476 10

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata kepada

Abu Bakar dan Umar : “Seandainya kalian berkumpul dalam suatu

musyawarah, maka tentu aku tidak membedai kalian berdua.” Lihat.

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, h.479-480

Page 104: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

90

mereka meneladani Rasulullah dalam bermusyawarah dan

menjadikannya sebagai sunah dalam bermasyarakat. Ketiga,

bukan untuk memperoleh pendapat dan pengetahuan dari

mereka, akan tetapi untuk mengetahui kapasitas intelektual dan

pemahaman mereka, serta mengetahui kapasitas kecintaan dan

keikhlasan mereka dalam ketaatan kepada Rasulullah. Keempat,

bukan karena Rasulullah membutuhkan mereka, tapi agar setiap

dari mereka berijtihad dalam mencari solusi terbaik dalam

persalahan tersebut. Kelima, hal ini menunjukan bahwa mereka

memiliki kapasitas dan nilai di sisi Allah.11

Berdasarkan nash di atas, para ulama Ahlusunah

menekankan betapa pentingnya penerapan musyawarah dalam

sebuah kepemimpinan, terlebih kepemimpinan sebuah negara.12

Berikut beberapa pendapatnya :

Ibnu Taimiyah menegaskan, pemimpin tidak boleh

meninggalkan musyawarah, sebab Allah SWT memerintahkan

Rasul-Nya dengan hal itu.13

Sedangkan Farid Abdul Khalid

menjelaskan, Jika hak partisipasi rakyat tidak dilibatkan dalam

bermusyawarah perihal masalah-masalah pemerintahan, maka

sistem hukum itu adalah sistem hukum diktatorial atau totaliter.

Jika dinisbatkan kepada sistem Islam, maka kediktatoran itu

11

Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-

Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikri, 1981), Jilid 9, h. 67-68 12

Menurut Imam al-Ghazali, seorang pemimpin negara haruslah

datang dari rakyat dengan jalan pilihan, bukan karena turunan, dan harus

bekerja untuk rakyat, dengan berdasarkan hukum-hukum Tuhan yang telah

ditetapkan dalam agama Islam. sehingga demokrasi menurutnya adalah dari

Rakyat, untuk Rakyat, karena Tuhan (from the people, to the people, by

God). Lihat Imam al-Ghazali, Konsepesi Negara Bermoral: Menurut Imam

al-Ghazaliy (Jakarta: Bulan Bintang, 1975,) h.28 13

Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, as-Syiyāh as-Syar‟iyah

(Wizārah al-Syuū‟n al-Islāmiyyah wa al-Da‟wah wa al-Irsyād al-

Su‟ūdiyyah, 1998), h.133

Page 105: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

91

diharamkan dalam agama Islam sebab bertentangan dengan

akidah dan syariat.14

Rasyid Ridha juga menegaskan, mayoritas ulama syariat

dan pakar undang-undang konstitusional meletakkan “musya-

warah” sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional

yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku

yang telah ditetapkan oleh nash-nash al-Quran dan hadis-hadis

nabawi. Oleh karena itu, musyawarah lazim dan tidak ada

alasan bagi seseorang pun untuk meninggalkannya.15

Melaksanakan musyawarah dengan ahli musyawarah

merupakan kewajiban. Perkara-perkara yang wajib diselesaikan

dengan musyawarah adalah perkara-perkara umum,

kemaslahatan-kemaslahatan duniawi dan politik rakyat. Adapun

perkara akidah dan ibadah tidak ada ruang untuk bermusya-

warah. Sedangkan perkara kepemimpinan merupakan perkara

umat yang harus diselesaikan dengan musyawarah. Oleh sebab

itu, para ulama Ahlusunah sepakat bahwa pengakatan seorang

pemimpin haruslah dipilih melalui musyawarah. Kemudian

seorang pemimpin wajib melakukan musyawarah dalam

menetapkan kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Karena

penerapan musyawarah akan membawa maslahat bagi rakyat,

serta tercipta kepercayaan dan loyalitas antara rakyat dengan

pemerintah. Sehingga suatu pemerintahan akan kuat, maju, dan

memiliki wibawa atas pemerintahan lain.

Sedangkan al-Qummi dalam menafsirkan QS. Ali

Imran/3: 159, tidak sama sekali menjelaskan perihal

musyawarah, terlebih tentang pemerintahan. Beliau hanya

menjelaskan sikap Rasul yang seandainya beliau bersikap keras

14

Musyawarah dalam istilah politik adalah hak partisipasi rakyat

dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Lihat

Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, Penerjemah Faturrahman A. Hamid

(Jakarta: Amzah, 2005), h. 38 15

Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid 4, h.164. Lihat Muhammad

Salim al-Awa, Fi an-Nizhāas-Siyāsiy li ad-Dawlah al-Islāmiyyah .h.181

Page 106: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

92

lagi berhati kasar, maka tentulah para sahabatnya akan pergi

melarikan diri darinya dan tidak akan menegakkan Islam

bersama Rasul.16

Begitu pula al-Thabathabai‟, tidak

menafsirkan musyawarah dalam ayat ini sebagai asas

pemerintahan Islam setelah wafatnya Rasul. Beliau hanya

menjelaskan bahwa rasul, telah melakukan musyawarah dengan

para sahabatnya sebelum perang Uhud. Adapun musyawarah

yang dilakukan oleh Rasul kepada para sahabatnya yaitu

berhubungan dengan pemeliharaan dan pengaturan atau

perencanaan perkara-perkara yang bersifat umum.17

al-Thabarsy hanya menekankan, bahwa ayat ini

menunjukkan pengkhususan akan kemuliaan-kemuliaan akhlak

dan kebaikan-kebaikan perbuatan Rasul. Beliau juga sempat

menyinggung masalah perbedaan pendapat para ulama akan

faidah musyawarah yang dilakukan Rasul kepada para

sahabatnya akan kebenaran pendapat mereka tanpa

membutuhkan wahyu. Tiga pendapat diantaranya, pertama

menurut al-Hasan dan al-Dhahak, sebagai bentuk penghormatan

kepada para sahabatnya dan agar umatnya mengikuti jejak

Rasul dalam bermusyawarh. Kedua, menurut Abu Ali al-Jubai‟,

musyawarah hanya boleh dilakukan Rasul dalam perkara dunia,

strategi perang dan ketika berhadapan musuh. Ketiga, untuk

menguji mereka dengan musyawarah dan untuk membedakan

antara seorang penasehat dan penipu. Namun dalam hal ini,

beliau tidak mengemukakan pendapatnya.18

Menurut Mujtaba Musawi Lari, Allah memerintahkan

kepada Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah kepada

masyarakat dalam persoalan yang menyangkut urusan mereka.

16

Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsīr al-Qummi (Qum: Muasyasah

al-Imām al-Mahdi, 1435 H), Jilid 1, h. 179 17

Muhammad Husain al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-

Quran, (Beirut: Muassasah al-A‟lamī li al-Mathbūā‟t, 1417/1997), Jilid 4, h.

59 18

Fadhl bin Hasan al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-

Qur‟an (Lebanon: Dar al-Ulūm, 1426H/2005M), Jilid 2, h. 342-343

Page 107: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

93

QS. Ali Imran/3 : 159 menyatakan “ ... bermusyawaratlah

dengan mereka dalam urusan itu ...” Dalam QS. asy-Syūra/42 :

38 dinyatakan “... sedang urusan mereka (diputuskan) dengan

musyawarat antara mereka ...” Sedangkan masalah Imamah

merupakan hak Allah SWT Sesuatu yang merupakan hak Allah

dan berhubungan dengan pembimbingan manusia tidak dapat

tunduk kepada musyawarah. Adopsi sistem kekhalifahan

dengan sistem musyawarah yang tidak jelas, seperti yang telah

diperaktikkan dalam pemilihan Abu Bakar, Umar, dan Usman

telah mengasingkan atau merampas hak para Imam dari alur

pemerintahan dan kepemimpinan.19

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa,

mufasir Ahlusunah menafsirkan musyawarah dalam ayat ini

sebagai pondasi pemerintahan Islam, karakteristik masyarakat

Islam, salah satu kaidah syariat dan termasuk kategori azīmahI

(hukum asal yang bersifat wajib). Sedangkan mufasir Syiah

tidak demikian, al-ummi tidak membahas musyawarah sama

sekali dalam tafsirnya. Adapun al-Thabarsy dan al-Thabathaba‟i

hanya menjelaskan perihal musyawarah yang dilakukan

Rasulullah sebelum perang uhud dan perkara dunia lainya.

Mereka tidak megkhususkan penafsiran musyawarah sebagai

bagian dari pemerintahan dan pemilihan kepemimpinan.

B. QS. Ali Imran/3 : 28 dan QS. Al-Maidah/5: 51

Perwalian dan persekutuan antar komunitas merupakan

salah satu pilar yang mengokohkan sebuah kepemimpinan

publik. Namun komunitas orang-orang beriman dibatasi oleh

Allah SWT dalam melakukan perwalian dan persekutuan

tersebut. Seperti larangan melakukan perwalian dan

persekutuan terhadap orang-orang-orang kafir, yahudi, dan

nasrani. Larangan tersebut dikarenakan mereka adalah musuh-

19

Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad

SAW;Tinjauan Historis, Teologis dan Filosofis. Penerjemah ilham Manshuri

(Jakarta: Lentera, 2004), h. 109

Page 108: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

94

musuh Allah yang tidak menginginkan agama Allah yang

dibawa Rasulullah tegak dan bersinar di muka bumi. Adapun

perwalian dan persekutuan dalam muamalah sehari-hari yang

tidak merusak akidah dan redupnya syiar-syiar agama Allah

bukanlah sebuah larangan.

Sebagaimana firman Allah SWT QS. Ali Imran/3 : 28 :

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-

orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang

mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia

dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri

dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah

memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya

kepada Allah kembali (mu).”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, al-

Hajjaj bin Amr sekutu Ka‟ab bin Asyraf, Ibnu Abi Haqaiq dan

Qias bin Ziad, -mereka adalah orang-orang Yahudi- mereka

berusaha untuk dekat dan selalu bergaul dengan sekelompok

kaum Muslimin dari kaum Anshar dengan tujuan untuk

memalingkan mereka dari agama dan keimanan mereka. Lalu

Rifa‟ah bin Mundzir, Abdullah bin Jubair dan Sa‟id bin

Khaitsamah berkata kepada sekelompok kaum Ansar tersebut,

“Jauhilah orang-orang Yahudi itu, waspada dan berhati-hatilah

terhadap sikap baik mereka tersebut, jangan sampai mereka

berhasil memalingkan kalian dari agama dan keimanan kalian.”

Page 109: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

95

Namun, sekelompok kaum Anshar tersebut tidak menerima

nasihat itu.20

Dalam riwayat lain, ayat ini turun berkaitan dengan diri

„Ubadah bin Shamit, salah satu sahabat Anshar, personil pada

perang Badar dan menjadi salah satu an-naqib (pimpinan

kelompok). „Ubadah bin Shamit memiliki beberapa orang

sekutu dari orang Yahudi. Lalu ketika Rasulullah pergi pada

kejadian perang Ahzab (Khandaq), Ubadah berkata „Wahai

Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki sekutu dari kaum

Yahudi sebanyak 500 orang. Saya berkeinginan untuk

mengajak mereka berperang bersama kami untuk mengalahkan

musuh.‟ Lalu Allah menurunkan ayat ini21

Dari dua riwayat sebab turunya ayat diatas penulis

menarik dua kesimpulan. Pertama, kaum mukmin dilarang

saling menyokong, berbuat baik kepada orang kafir yang

memiliki kecenderungan niat dalam merusak keimanan seorang

msulim. Kedua, larangan melakukan persekutuan dengan orang

kafir dalam sebuah peperangan secara fisik, ataupun

peperangan secara non-fisik. Sedangkan di sisi lain masih

terdapat orang-orang mukmin yang baik dan memiliki

kapasitas. Hal itu disebabkan, karena orang-orang kafir tersebut

memiliki niat buruk dalam memadamkan cahaya Islam.

Fakhrudin al-Razi menjelaskan dalam kitab Tafsīr al-

Kabīr, ada dua sisi dalam memahami rangkaian ayat. Pertama,

ketika Allah menerangkan perintah untuk mengagungkan Allah

SWT pada ayat sebelumnya, kemudian ayat ini menerangkan

kewajiban seorang mukmin dalam bermuamalah dengan sesama

manusia. Karena kesempurnaan perintah Allah hanya ada dua,

yaitu pengagungan dalam ibadah kepada Allah dan bermurah

hati atas ciptaan Allah. Kedua, ketika Allah menerangkan

bahwasannya Dia lah Raja di Dunia dan di Akhirat, maka sudah

sepatutnya umat Islam mencintai segala sesuatu yang ada di

20

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 2, h. 233 21

Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 11

Page 110: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

96

sisi-Nya dan di sisi wali-wali-Nya (auliyā) bukan musuh-

musuh-Nya.22

Sayyid Quthb, menegaskan, tidak diperkenankan kaum

Mukminin menjadikan musuh-musuh Allah (orang kafir)

sebagai wali (pemimpin, teman dekat). Karena tidak akan

berkumpul dalam hati seorang manusia suatu iman yang

sebenar-benarnya kepada Allah apabila mereka menjadikan

musuh-musuh Allah sebagai wali, karena musuh-musuh Allah

itu telah berpaling atau membelakangi dari seruan untuk

berhukum kepada kitab Allah. Oleh karena itu, datanglah

ancaman keras ini yang sekaligus sebagai ketetapan yang pasti

bahwa seorang muslim telah keluar dari Islam apabila dia

menjadikan orang yang tidak ridha menjadikan kitab Allah

sebagai pengatur dalam kehidupan sebagai wali, baik kewalian

itu dengan kecintaan hati dan dengan membantunya maupun

meminta pertolongan kepadanya.23

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan. Allah SWT melarang

hamba-Nya yang Mukmin bersikap loyal kepada orang-orang

kafir. Kemudian Allah SWT memberikan ancaman dalam hal

ini, “Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari

pertolongan Allah.” Jadi tidak boleh kaum Mukminin

mengambil orang-orang kafir sebagai sahabat dekat dan

penolong bagi mereka dengan alasan adanya ikatan

persaudaraan, persahabatan, bertetangga atau yang lainnya.

Menceritakan kepada mereka (orang-orang kafir) rahasia-

rahasia kaum Mukminin, mencintai mereka dan lebih

mendahului kemaslahatan mereka di atas kemaslahatan kaum

Mukminin. Namun, jika bersikap loyal dan mengadakan jalinan

persekutuan tersebut demi kepentingan dan kemaslahatan

umum kaum Mukminin, maka hal itu diperbolehkan. Karena

22

Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 11 23

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 3, h. 79

Page 111: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

97

Rasulullah SAW juga beraliansi dengan Khuza‟ah, meskipun

mereka adalah orang-orang yang musyrik.24

Menurut al-Razi, ada tiga pandangan bagi seorang

mukmin yang menjalin patronasi (muwālāh) terhadap orang

kafir. Pertama, ia rida dengan kekafirannya dan ia

menjadikannya wali untuk kepentingannya. Hal ini dilarang,

karena setiap yang dikerjakannya mengarahkannya kepada

agamanya. Membenarkan kekafiran seorang kafir dan meridai

kekafiran seorang kafir, maka mustahil bagi seorang mukmin

tetap berada dalam keimanannya dengan keberadaannya

menjalin patronasi. Sementara Allah telah mengancam;

“niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah”. Kedua, pergaulan

baik sehari-hari dengan orang kafir diperbolehkan. Ketiga,

menjalin patronasi terhadap orang-orang kafir artinya memberi

dukungan dan bantuan kepada mereka, manifestasi,

pertolongan, baik karena kedekatan atau karena sebab

kecintaan, hal ini terlarang. Maka tidak sepatutnya bagi seorang

mukmin menjadikan orang kafir sebagai wali dengan

meninggalkan orang mukmin.25

Sayyid Quthb, al-Razi, dan al-Zuhaili sepaham dalam

memahami larangan dan ancaman orang mukmin yang

menjadikan orang kafir sebagai wali. Selain ancaman diatas,

yaitu keluar dari Islam dan pertolongan Allah SWT Allah juga

mengancam orang-orang mukmin yang menjadikan orang-

orang Yahdui dan Nasrani sebagai pemimpin, penolong,

pelindung, atau teman karib dengan meninggalkan orang-orang

beriman, maka sesungguhnya mereka itu termasuk golongan

orang-orang kafir. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-

Maidah/5: 51 :

24

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 2, h.. 234-235 25

Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 11-12

Page 112: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

98

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi

pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin

bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu

mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya

orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah

tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Sebab turunnya ayat ini sebagaimana Ibnu Ishaq, Ibnu

Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan al-Baihai

meriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, ia berkata, “Tatkala

Bani Qainuqa melancarkan perang, Abdullah bin Ubay bin

Salul tetap mempertahankan pertalian dirinya dengan mereka

kaum Yahudi dan berdiri di belakang mereka. Sementara

Ubadah bin Shamit pergi menghadap Rasulullah SAW, lebih

memilih Allah SWT dan Rasul-Nya dengan cara berlepas diri

dari ikatan persekutuan dengan mereka. Ubadah bin Shamit

adalah salah seorang dari Bani Auf dari Khazraj. Ia sebelumnya

memiliki ikatan persekutuan dan aliansi dengan mereka sama

seperti Abdullah bin Ubay.26

Fakhrudin al-Razi menambahkan, bahwa Ubadah bin

Shamit datang kepada Rasulullah kemudian ia berlepas diri dari

perwalian dengan orang Yahudi. Kemudian berkata Abdullah

bin Ubay bin Salul : “akan tetapi saya tidak melepas perwalian

dengan mereka, karena saya takut mendapat bencana”. Makna

26

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 3, h.557

Page 113: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

99

“janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani

menjadi wali-wali” adalah janganlah umat muslim bersandar

dalam meminta pertolongan kepada orang-orang Yahudi dan

Nasrani, serta menunjukkan rasa kasih-sayang terhadap

mereka.27

Abdullah bin Ubay bin Salul dan pengikutnya

melakukan demikian dengan alasan bahwa mereka takut akan

terjadi perubahan, yaitu orang-orang kafir memperoleh

kemenangan dari orang-orang mukmin. Jika hal ini terjadi,

berarti mereka akan memperoleh perlindungan dari orang-orang

Yahudi dan Nasrani, mengingat orang-orang Yahudi dan

Nasrani mempunyai pengaruh tersendiri di kalangan orang-

orang kafir, sehingga sikap loyal dengan berteman akrab

dengan mereka sangat menguntungkan dan mendatangkan

manfaat.

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, Allah SWT melarang

para hamba-Nya yang Mukmin ber-muwālāh (menjalin

patronasi) dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang mereka

adalah para musuh Islam dan kaum Muslimin. Kemudian Allah

SWT mengabarkan bahwasanya sebagian mereka adalah para

wali (patron) sebagian yang lain. Kemudian Allah SWT

mengecam dan mengancam orang yang ber-muwālāh dengan

mereka. Barang siapa yang menjadi patron mereka, menolong

mereka, menyokong mereka, membantu mereka atau meminta

pertolongan dari mereka, sejatinya ia adalah bagian dari

mereka, dan seakan-akan ia adalah sama seperti mereka bukan

bagian dari barisan orang-orang Mukmin yang benar dan tulus

keimanannya.28

Perwalian dengan Yahudi dan Nasrani seperti yang

dilakukan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul sangat dikecam

oleh Allah dalam ayat ini. Menjadikan orang Yahudi dan

Nasrani yang memusuhi Islam sebagai wali (pemimpin ataupun

27

Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 12, h. 18-19 28

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 3, h.558

Page 114: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

100

rekan dekat) untuk kepentingannya merupakan hal yang sangat

dilarang. Padahal di sisi lain terdapat orang-orang beriman yang

dapat dijadikan wali untuk kemaslahatannya. Karena orang-

orang Yahudi dan Nasrani satu sama lain saling berserikat,

menyokong, tolong-menolong melakukan perwalian untuk

memerangi Islam. maka barang siapa yang melakuka perwalian

dengan Yahudi dan Nasrani yang demikian, maka ia termasuk

dari golongan mereka

al-Thabarsy juga menafsirkan hal yang sama, bahwa

Allah melarang orang-orang yang beriman untuk berpatronasi

dengan orang-orang kafir dan orang mukmin wajib berpatronasi

dengan orang mukmin. Oleh sebab itu tidak sepatutnya mereka

menjadikan orang-orang kafir sebagai auliyā untuk diri mereka,

meminta pertolongan dan perlindungan kepada mereka, serta

menampakkan kasih sayang terhadap mereka. Sebagimana

firman Allah dalam QS. al-Mujādilah/58: 22 (kamu tak akan

mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,

saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang

Allah dan Rasul-Nya ...).29

Sedangkan al-Qummi, hanya menafsirkan pada

penjelasan makna taqiyyah tanpa memberikan penjelasan

tentang larangan berpatronasi dengan orang kafir. Ayat ini

menjelaskan keringanan yang diberikan Allah kepada orang-

orang beriman untuk melakukan taqiyyah. Secara zhāhir

beragama dengan agama orang kafir dan secara bāthin

bertentangan, yakni tidak beragama dengan agama mereka, hal

ini dilakukan ketika sedang bertaqiyyah. Ia sholat dengan

sholatnya orang kafir, ia puasa dengan puasanya secara zhāhir

apabila ia dalam kondisi waspada, namun dalam bāthin-nya

bertentangan yakni beragama dengan agama Allah.30

al-Thabathabai‟ memaknai auliyā dalam ayat ini adalah

bentuk jamak dari al-waliyu min al-wilāyah (pemimpin suatu

29

al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. Jilid 2 h. 221 30

al-Qummi, Tafsīr Al-Qummi. Jilid 1 h. 151

Page 115: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

101

kepemimpinan) yang dalam arti sebenarnya adalah seorang

penguasa yang mengatur suatu perkara (ملك جدبير أمر الشئ). Allah

SWT telah mengulang-ulang larangan menjadikan orang-orang

kafir, yahudi, dan nasrani sebagai wali dalam beberapa ayat al-

Quran, seperti QS. Ali Imran/3 : 28, QS. Al-Maidah/5: 51, dan

QS. al-Mumtahanah/60 : 1. Melakukan perwalian mewajibkan

melakukan perserikatan dan persatuan, apabila perwalian itu

terjadi selain dengan orang beriman, maka dipastikan

karakteristik keimanannya telah rusak, kecuali ia melakukan

taqiyyah. Karena taqiyyah mengharuskan menampakkan

perwalian dengan zhāhir tanpa hakikat yang sebenarnya.31

al-Thabarsy menambahkan, bahwa ayat ini menjadi dalil

diperbolehkannya taqiyyah dalam beragama ketika diri diliputi

oleh kekhawatiran, sehingga taqiyyah diperbolehkan dalam

setiap kondisi yang berbahaya, dan tidak diperbolehkan

melakukan perbuatan dalam membunuh orang beriman. Beliau

menukil perkataan al-mufīd : “Bahwa taqiyyah terkadang harus

dilakukan dan menjadi sebuah kewajiban (fardhu), dan sesekali

diperbolehkan untuk tidak wajib dilakukan, dan menjadi lebih

utama ditinggalkan, serta terkadang menjadi lebih utama untuk

meninggalkan taqiyyah, apabila pelakunya mendapat

pengampunan dan pemaafan.”32

Mufasir Ahlusunah dan Syiah sepaham dalam

memaknai ayat-ayat tentang larangan berpatronasi dan menjadi-

kan orang-orang Kafir (Yahudi dan Nasrani) sebagai pemimpin

denga meninggalkan orang-orang beriman. Namun, pada QS.

Ali Imran/3 : 28, mufasir Syiah memberi pengecualian dan

memperbolehkan orang beriman melakukan patronasi dan

menjadikan orang-orang kafisr sebagai pemimpin dengan syarat

ia bertaqiyah. Pada pembahasan taqiyyah tersebut nampak jelas

perbedaan antara kedua kelompok tersebut.

31

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran. Jilid 3 h.174-175 32

al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. Jilid 2 h.

221-222

Page 116: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

102

C. QS. al-Nisa/4: 58-59

Menjalankan amanah dan bersikap adil merupakan dua

hal yang harus melekat dalam setiap muslim. Karena jika dua

sikap ini melekat dalam kehidupan bermasyarakat, maka akan

tercipta tatanan kehidupan sosial yang ideal. Terlebih hal ini

melekat pada diri seorang pemimpin, maka kepemimpinannya

akan kuat, maju dan berkembang. Sebab pemimpin yang

amanah dan menegakkan keadilan merupakan dambaan setiap

orang yang dipimpin. Pemimpin yang amanah dan adil akan

menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya dengan sangat baik

dan sempurna. Maka, akan tercipta loyalitas antara orang-orang

yang dipimpin dengan pemimpinnya.

Dalam QS. al-Nisa/4: 58 Allah SWT memerintahkan

manusia untuk menjalankan amanah dan menegakkan keadilan :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan

amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh

kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya

kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi

pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya

Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.33

33

Ibnu Abbas berkata, “ketika Rasulullah SAW berhasil

membebaskan kota Mekah, beliau memanggil Usman bin Thalhah.

Sesampainya Usman di hadapan beliau, Rasulullah berkata, “Berikan kunci

Ka‟bah kepadaku!” kemudian Utsman mengambil kunci tersebut. Ketika dia

hendak menyerahkan kunci itu kepada Rasulullah, al-Abbas berkata, “Saya

bersumpah. Pasrahkan kunci tersebut dan tugas menyediakan air minum

Page 117: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

103

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, ayat ini merupakan

perintah umum mengenai wajibnya menjaga amanah yang

menjadi tanggung jawab setiap Muslim. Amanah yang

dimaksud dalam ayat ini adalah semua jenis amanah yang ada,

baik yang berhubungan dengan diri sendiri atau yang

berhubungan dengan orang lain, ataupun yang berkaitan dengan

hak Allah. Menjaga dan melaksanakan amanah adalah wajib,

terutama jika orang yang berhak terhadap amanah tersebut

menuntutnya. Barang siapa tidak mau melaksanakan amanah di

dunia, di akhirat nanti dia akan dimintai pertanggungjawaban.34

Sayyid Quthb juga menjelaskan, amanah-amanah yang

ditunaikan kaum muslimin kepada yang berhak menerimanya,

dimulai dengan amanah yang dihubungkan Allah dengan fitrah

manusia. Beliau menyebutnya dengan istilah amanah hidayah,

amanah yang ditunaikan dengan landasan beriman kepada-Nya,

beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk-Nya, dan menaati-

Nya. Di antara amanah-amanah ini adalah amanah dalam

bermuamalat, amanah yang berupa titipan materi, amanah yang

untuk jamaah haji kepadaku!” mendengar ucapan al-Abbas itu, utsman

menggengam kembali kuncinya.

Namun Rasulullah kembali berkata; “Wahai Utsman berikan kunci

itu kepadaku!” Akhirnya Utsman menyerahkan kunci itu kepada Rasulullah

dan berkata, “Ini kuncinya saya serahkan dengan dasar amanah Allah”. Lalu

Rasulullah membuka pintu Ka‟bah dan kemudian keluar lagi dan melakukan

thawaf. Setelah itu turunlah Malaikat Jibril yang memerintahkan

mengembalikan kunci tersebut kepada Utsman bin Thalhah. Lalu Rasul

memanggil Utsman dan menyerahkan kunci Ka‟bah kepadanya sembari

membaca ayat ini. Lihat Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr,

Jilid 10, h. 142 34

Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemelihara,

dan setiap diri kalian bertanggungjawab keapada apa yang dipelihara.”

(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi), dari Anas bahwa

Rasulullah SAW bersabda: “orang yang tidak (mampu menjaga) amanah,

maka dia tidak mempunyai keimanan (yang kuat). Dan orang yang tidak

menepati janji, maka dia tidak mempunyai agama (yang kuat).” (HR. Imam

Ahmad dan Ibnu Hibban). Lihat Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 3

h.138-139

Page 118: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

104

berupa kesetiaan rakyat kepada pemimpin, dan kesetiaan

pemimpin kepada rakyat, amanah untuk menjaga kehormatan

jamaah-harta benda dan wilayahnya serta semua kewajiban dan

tugas dalam kedua lapangan kehidupan tersebut (rakyat-

pemimpin).35

Lebih spesifik Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, amanah

adalah prinsip pertama asas pemerintahan Islami dan keadilan

adalah prinsip kedua. Pihak yang diperintahkan dalam ayat ini

adalah semua umat Islam. keadilan adalah dasar utama

pemerintahan. Dengan keadilan, peradaban, pembangunan, dan

kemajuan akan tercapai. Akal manusia pun akan terarah dengan

baik apabila keadilan ditegakkan. Dengan demikian, keadilan

ditetapkan sebagai salah satu dasar pemerintahan dalam Islam.

dalam masyarakat, keadilan merupakan kebutuhan utama.

Dengan keadilan, orang-orang lemah dapat memperoleh haknya

dengan tepat dan orang-orang yang kuat tidak akan menganiaya

orang-orang lemah, keamanan dan keteraturan sistem dapat

terjaga. Oleh sebab itu, seorang pemimpin dan para

pembantunya yang terdiri dari gubernur, pegawai dan hakim

harus disiplin menegakkan keadilan supaya semua hak dapat

terlindungi dan dapat disalurkan.36

Adapun al-Thabathabai‟ dalam menafsirkan amanah

dalam QS. al-Nisa/4: 58 menukil riwayat dari Muhammad bin

Ibrahim al-Nu‟māni dengan sanad dari Zarārah dari Abu Ja‟far

Muhammad bin Ali AS, berkata : “Saya bertanya kepadanya

tentang firman Allah ( ه إن وا أهن كم يهأمر ٱلل اوهات جؤد أههلهها إلهى ٱألهمه ).” Abu

Ja‟far menjawab : “Allah SWT memerintahkan seorang Imam

untuk menyampaikan amanah kepada seorang Imam setelahnya,

tanpa mengesampingkan perihal amanah tersebut kepadanya.

Apakah kamu tidak mengetahui firman Allah ( محم بهيهه ٱلى اس كه ا حه إذه وه

ا يهعظكم به ه وعم دل إن ٱلل mereka adalah para hakim (أهن جهحكمىا بٱلعه

wahai Zarārah, sesungguhnya perintah ini tertuju kepada para

35

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 4, h. 305-307 36

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 3 h.139

Page 119: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

105

hakim.” al-Thabathabai‟ menukil dari kitab Dur al-Mantsūr Ali

bin Abu Thalib berkata : Seorang Imam harus menetapkan

hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah dan

menyampaikan amanah, apabila ia telah melakukan yang

demikian maka hak seorang Imam atas rakyatnya adalah

didengar perkataannya, ditaati perintahnya, dan dipenuhi

seruannya.37

Secara tegas al-Qummi mengungkap ayat 58 ini

ditunjukkan kepada para Imam Ahlulbait. Allah SWT

mewajibkan kepada seorang Imam untuk menyampaikan

amanah yang Allah perintahkan kepada Imam setelahnya,

kemudian Allah mewajibkan seorang Imam untuk menegakkan

hukum diantara rakyat dengan adil. Lalu mewajibkan kepada

manusia untuk mentaati mereka para Imam Ahlulbait.38

Sedangkan al-Thabarsy hanya memaparkan tiga riwayat

tentang makna amanah dalam ayat tersebut, tanpa

mengemukakan kecondongan beliau kepada salah satu makna

amanah dari riwayat tersebut. Pertama, dari Ibnu Abbas, Abu

bin Ka‟ab, Ibnu Mas‟ud, al-Hasan, dan Qatadah, diriwayatkan

dari Abu Ja‟far dan Abu Abdullah, amanah yang dimaksud

adalah setiap amanah-amanah yang wajib ditunaikan.

Sedangkan amanah-amanah Allah seluruh perintah-perintah dan

larangan-larangan-Nya. Kedua, amanah yang dimaksud adalah

kepemimpinan para Imam Ahlulbait. Allah memerintahkan

mereka untuk menegakkan perwalian rakyat. Abu Ja‟far al-

Baqir dan Abu Abdullah al-Shodiq, mereka berdua berkata :

Allah memerintahkan kepada setiap Imam untuk menyerahkan

kepemimpinan kepada Imam setelahnya.dan menyokongnya.

Ketiga ayat ini ditunjukkan kepada Nabi untuk mengembalikan

37

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran. Jilid 4 h. 394-395 38

al-Qummi, Tafsīr Al-Qummi. Jilid 1 h. 207

Page 120: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

106

kunci Ka‟bah kepada Utsman bin Thalhah, seperti yang telah

dijelaskan pada bab sebelumnya.39

Pada QS. al-Nisa/4: 58 nampak jelas perbedaan dalam

menafsirkan ayat tersebut. Ahlusunah berpendapat bahwa

amanah adalah prinsip pertama asas pemerintahan Islam dan

keadilan adalah prinsip kedua. Sedangakan Syiah berbeda

dalam memaknai kedua hal tersebut. Kedua hal terebut

ditujukan khusus kepada para Imam Ahlulbait. Para Imam

diperintahkan Allah untuk menyampaikan amanah

kepemimpinan kepada Imam setelahnya dan Iman harus

menegakkan keadilan di masyarakat

Jika seorang pemimpin telah menjalankan tugasnya

dengan amanah dan menegakkan keadilan. Maka orang-orang

yang dipimpin wajib mentaati perintahnya. Siapapun

pemimpinnya, dari suku dan golongan apapun ia berasal,

apabila ia memimpin dengan berpedoman dengan al-Quran dan

hadist, maka ia wajib ditaati.40

Sebagaimana pada ayat

selanjutnya, QS. al-Nisa/4: 59 Allah SWT berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan

taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian

jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka

39

al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. Jilid 3 h. 94-

95 40

Dari Ummul Husain, ia pernah mendegar Rasulullah SAW

bersabda dalam Khutbah Haji Wada‟ : Seandainya seorang budak memimpin

kalian dengan memakai pedoman Kitabullah, maka tunduk dan patuhlah

kalian kepadanya. (HR. Muslim)

Page 121: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

107

kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul

(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan

lebih baik akibatnya.”

Sebagian ulama mengemukakan bahwa hubungan ayat

diatas (QS. al-Nisa/4: 59) dengan ayat sebelumnya (QS. al-

Nisa/4: 58) bertumpu pada hubungan antara pemerintah dan

rakyatnya. Menurut pendapat ini, ayat pertama ditujukan

kepada para pejabat agar menunaikan amanat dan memerintah

dengan adil, sedang dalam ayat kedua terdapat perintah agar

rakyat mentaati Allah, Rasul-Nya dan pemerintah. Pendapat

seperti ini dikemukakan antara lain oleh al-Zamakhsyari,41

dan

al-Qurthubi.42

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-

Maraghi. Beliau tidak memandang ayat-ayat tersebut bersifat

khusus yang ditujukan kepada pemerintah atau rakyat semata,

tetapi bersifat umum.43

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, dalam ayat ini Allah

memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan perkara yang

dapat menyebabkan dia selalu berdisiplin dalam menjaga

amanah dan menetapkan hukum secara adil, yaitu taat kepada

Allah dengan melaksanakan hukum-hukum-Nya, taat kepada

Rasul-Nya yang bertugas menerangkan hukum-hukum Allah,

dan taat kepada para pemimpin (Uli al-amr). Ini merupakan

prinsip dasar ketiga dalam pemerintahan Islam.44

Sayyid Quthb berpendapat, Allah SWT menjelaskan

syarat iman dan batasan Islam dalam ayat ini. Kemudian

dijelaskan pula kaidah nizhām asāsi (peraturan pokok) bagi

kaum muslimin, kaidah hukum, dan sumber kekuasaan.

41

Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyāf (Beirut: Darul Ma‟rifah,

2009), h.480 42

Al-Qurtubi, al-Jāmi‟ li Ahkām al-Quran : Tafsir al-Qurtubi,

(Beirut: Muassah al-Risālah, 2006) Jilid 6, h. 428 43

Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Mesir:

Musthofa al-Bābī al-Halbī, 1946) 5, h.72 44

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 3 h.140

Page 122: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

108

Semuanya dimulai dan diakhiri dengan menerimanya dari

Allah, dan kembali hanya kepada-Nya. Allah wajib ditaati,

diantara hak prerogatif uluhiyyah ialah membuat syariat. Maka

syariat-Nya wajib dilaksanakan. Orang-orang beriman wajib

taat kepada Allah dan wajib pula taat kepada Rasulullah karena

tugasnya mengemban risalah dari Allah. Karena itu, menaati

Rasul berarti menaati Allah. Sedangkan taat kepada uli al-amr

merupakan pengembangan dari taat kepada Allah dan Rasul,

sesudah menetapkan bahwa uli al-amr itu adalah ”minkum”

„dari kalangan kalian sendiri‟ dengan catatan dia beriman dan

memenuhi syarat-syarat iman. Karena itu lafal taat tidak

diulangi ketika menyebut uli al-amr, sebagaimana ia diulangi

ketika menyebut Rasulullah.45

Jika uli al-amr itu tidak beriman

dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan hukum

Allah dan Rasul, maka ia tidak patut ditaati.

ar-Razi dan az-Zuhaili menegaskan, bahwa kewajiban

menaati pemimpin adalah dalam perintah-perintah yang

memang wajib ditaati, bukan dalam perintah untuk bermaksiat

kepada Allah. Beliau menukil perkataan Ali bin Abi Thalib:

“Seorang imam wajib melaksanakan pemerintahan dengan adil

dan menjalankan amanah dengan benar. Apabila dia sudah

melakukannya, kaum Muslimin wajib menaatinya. Hal ini

karena Allah memerintahkan kita untuk menjalakan amanah

dengan benar dan juga bersikap adil, kemudian Dia

memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin.” Jika terjadi

perbedaan pendapat antara rakyat dan pemimpin, jalan

keluarnya adalah merujuk kepada al-Quran dan al-Hadits.

Sebab efek dan akibat yang ditimbulkan dari merujuk kepada

al-Quran dan al-Hadits lebih baik daripada berkelanjutan dalam

sengketa dan pertentangan.46

45

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 4, h. 309-310 46

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 3 h. 143-144, lihat jug

Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 10, h. 147

Page 123: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

109

Para ulama berbeda pendapat tentang makna uli al-amr

dalam ayat diatas yang wajib ditaati, antara lain :

1) Wahbah al-Zuhaili berpendapat Uli al-amr adalah para

pemimpin, panglima perang, dan para ulama yang

bertugas menerangkan hukum-hukum syara‟ kepada

manusia. Oleh sebab itu, taat kepada pemimpin politik,

pimpinan perang, dan pemimpin yang mengatur urusan

negara adalah wajib. Begitu juga wajib hukumnya

menaati para ulama yang bertugas menerangkan hukum-

hukum agama, mendidik rakyat dalam masalah agama

dan juga melakukan amar makruf nahi munkar.47

2) Menurut Sayyid Quthb, uli al-amr adalah pemimpin dari

kalangan orang-orang mukmin sendiri, yang telah

memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang

dijelaskan ayat ini, yaitu pemimpin yang taat kepada

Allah dan Rasul. Juga pemimpin yang mengesakan

Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan hukum dan hak

membuat syariat bagi seluruh manusia, menerima

hukum dari-Nya saja, serta mengembalikan kepada-Nya

segala urusan yang diperselisihkan akal pikiran dan

pemahaman manusia untuk menetapkan prinsip-prinsip

umum yang terdapat dalam nash.48

3) Sedangkan Fakhrudin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib,

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan uli al-amr

adalah Ahl al-Hall wal al-„Aqd. Tidak ada pertentangan

di kalangan sahabat dan tabiin dalam memaknai uli al-

amr dengan ulama, ulama yang dimaksud adalah

seluruh ulama yang tergabung dalam lembaga Ahl al-

Hall wal al-„Aqd, karena tidak mungkin pernyataan atau

pandangan mereka keluar dari pernyataan atau

pandangan rakyat. Taat kepada Allah dan Rasul wājib

47

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 3 h.140-141, lihat juga

Fakhrudin ar-Razi, Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-Ghaib, Jilid 10, h. 147 48

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 4, h. 310

Page 124: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

110

qath‟i, taat kepada ahl al-Ijmā‟ wājib qath‟i, sedangkan

taat kepada pemimpin tidak wājib qath‟i; wajib jika ia

memerintah kepada kebenaran dan berubah menjadi

haram jika ia memerintah kepada kedzaliman. Adapun

kehendak-kehendak pemimpin negara terbatasi oleh

fatwa-fatwa ulama, karena sebenarnya ulama adalah

pemimpinnya para pemimpin (umarā al-umarā). Oleh

karena itu, penggunaan istilah uli al-amr lebih utama

atas istilah ulama.49

D. QS. Ali Imran/3: 104 dan 110

Pemimpin mempunyai legalitas kekuasaan dalam suatu

komunitas. Ia harus menggunakan legalitas kekuasaan tersebut

untuk menjalankan misi dakwah Islam, yaitu menyeru kepada

kebaikan dan mencegah kemungkaran. Hal itu adalah tugas

mulia dan berat, sebab dakwah akan berhadapan dengan hawa

nafsu, tarik menarik kepentingan golongan, kelompok yang

ingkar dan senang kepada kemungkaran dengan yang makruf.

Jika seorang pemimpin dapat mengalahkan semua tantangan

tersebut dan menjalankan amar makruf nahi mungkar, maka

umat Islam akan beruntung, unggul dan lebih utama dari umat

yang lain. Sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ali Imran/3:

110 :

49

Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 10, h. 149-

150

Page 125: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

111

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk

manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari

yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab

beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka

ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-

orang yang fasik.”

Sayyid Quthb menjelaskan, ayat ini meletakan

kewajiban yang berat diatas pundak kaum muslimin di muka

bumi, sesuai kemuliaan dan kedudukan mereka, dan sesuai

dengan posisi istimewanya yang tidak dapat dicapai oleh

sekelompok manusia lain. Mereka diorbitkan (ukhrijat) untuk

maju ke garis depan dan memegang kendali kepemimpinan

karena mereka adalah umat yang terbaik. Allah menghendaki

supaya kepemimpinan di muka bumi ini untuk kebaikan, bukan

untuk keburukan dan kejahatan. Karena itu, kepemimpinan

tidak boleh jatuh ke tangan umat lain dari kalangan umat dan

bangsa jahiliyah. Kepemimpinan ini hanya layak diberikan

kepada umat Islam karena karunia yang Allah berikan berupa

akidah, pandangan, peraturan, akhlak, pengetahuan, dan ilmu

yang benar.50

Fakhrudin al-Razi menjelaskan, keutamaan umat Islam

atas umat-umat sebelum Islam karena mereka menyeru kepada

kebajikan dan mencegah kemungkaran. Kebajikan yang paling

agung adalah bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan mengkui

apa yang diturunkan Allah dan kemungkaran yang paling besar

adalah kekufuran. Adapun amar makruf nahi mungkar

didahulukan atas iman kepada Allah, karena yang memberi

dampak kepada tercapainya suatu kebaikan adalah amar makruf

nahi mungkar. Sedangkan iman kepada Allah adalah prasyarat

pengaruh hukum ini, karena jika tidak ada keimanan, maka

50

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilâlil Quran, Jilid 3, h. 190

Page 126: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

112

tidak ada satupun tindakan ketaatan yang berpengaruh dalam

sifat kebaikan ini (sia-sia).51

Wahbah al-Zuhaili menambahkan, umat Islam adalah

umat terbaik selama mereka masih menjalankan amar makruf

nahi mungkar dan beriman kepada Allah SWT dengan

keimanan yang lurus, benar dan sempurna. Amar makruf nahi

mungkar dalam ayat ini, didahulukan atas iman kepada Allah

SWT, hal ini dikarenakan amar makruf nahi mungkar adalah

dua hal yang lebih bisa menunjukan dan membuktikan akan

keutamaan umat Islam atas umat yang lain. Juga karena iman,

umat non-Muslim pun mengaku kalau mereka juga beriman.

Keunggulan dan keutamaan ini akan selalu dimilki oleh umat

Islam selama mereka tetap beriman kepada Allah SWT dengan

sebenar-benarnya iman, selalu menjalankan amar makruf dan

nahi mungkar.52

Sedangkan dalam QS. Ali Imran/3 : 104, Allah

memerintahkan sebagian umat Islam untuk mengambil spesialis

sebagai juru dakwah dan mereka haruslah ditopang dengan

kekuasaan, sehingga amar makruf nahi mungkar dapat

ditegakkan dalam masyarakat. Mereka haruslah orang-orang

yang teguh mengerjakan kewajiban-kewajiban agama. Sehingga

Allah mengukuhkan kedudukan mereka di muka bumi dan

menjadikan mereka sosok pemimpin, panutan dan teladan yang

baik yang dikuti dan ditiru oleh orang lain. Mereka itulah

orang-orang yang sempurna, serta beruntung di dunia dan

akhirat. Allah SWT berfirman,

51

Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 197-

198 52

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,Jilid 2, h.373

Page 127: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

113

“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat

yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf

dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang

beruntung.”

Wahbah al-Zuhaili menyimpulkan, perintah dakwah

kepada Islam, menyebar luaskannya ke seluruh penjuru dunia,

amar makruf nahi mungkar, merupakan kewajiban yang masuk

kategori fardhu kifayah. Sebagimana ditegaskan Allah dalam

QS. at-Taubah/9: 122 “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu

pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari

tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk

memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk

memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah

kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga

dirinya.”53

Fakhrudin al-Razi juga mengatakan dakwah amar

makruf nahi mungkar adalah kewajiban kepada setiap umat

yang bersifat fardhu kifayah. Jika telah ada sekelompok umat

yang menegakkan kewajiban ini, maka gugurlah tanggung

jawab ini bagi sebagian yang lain.Amar makruf nahi mungkar

dapat dilakukan dengan perbuatan, lisan atau hati. ar-Razi

menukil perkataan al-Dhahak : “yang dimaksud dalam ayat ini

adalah sahabat-sahabat Rasulullah, karena mereka belajar dari

Rasulullah dan mengajarkannya kepada manusia.” Adapun

takwilnya adalah umat Islam harus menjadi komunitas umat

yang menjaga sunah-sunah Rasulullah dan mengajarkan

agama.54

Fakhrudin al-Razi dalam menjelaskan kewajiban amar

makruf nahi mungkar dalam ayat ini, menukil sabda Rasulullah

SAW : “Barang siapa yang menyeru kepada kebajikan dan

mencegah kemungkaran, maka ia telah menjadi khalifah Allah

53 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 2, h.369.

54 Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 181-

182

Page 128: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

114

di muka bumi, khalifah Rasulullah, dan khalifah Kitab-Nya.”

Ali bin Abi Thalib Ra.berkata : “Jihad yang paling utama

adalah amar makruf nahi mungkar.” Ia berkata juga : “Barang

siapa yang tidak mengetahui ada kebaikan di dalam hatinya dan

tidak mengingkari suatu kemungkaran, maka Allah balikkan

dan jadikan kedudukannya yang tinggi menjadi rendah.”

Riwayat dari al-Hasan, bahwa Abu Bakar RA Berkata : “Wahai

manusia tegakkanlah amar makruf nahi mungkar dan hiduplah

dengan kebaikan.”55

Al-Thabarsy menjelaskan, QS. Ali Imran/3: 104

merupakan dalil kewajiban amar makruf nahi mungkar, dan

keagungan mengambil posisi tersebut dalam agama. Karena

Allah SWT memuji dan menghubungkan perihal tersebut

dengan keberuntungan dan kemenangan. Mayoritas ahli kalam

berpendapat hal tersebut adalah fardhu kifayah, namun Abu

Ja‟far RA berikhtiyar bahwa hal tersebut adalah fardhuain.

Kemudian al-Thabarsy menukil riwayat dari Abu Abdullah AS

Dan hendaklah ada diantara kamu“ (ولحكه مىكم أئمة, وكىحم خير أئمة) :

para Imam, dan diantara kalian terdapat sebaik-baiknya para

Imam.56

Riwayat Abu abdullah AS lebih lengkap ditampilkan al-

Qummi dalam tafsirnya, ketika menafsirkan ayat 110. Ayahku

berbicara padaku, dari Ibnu Abu „Amir, dari Ibnu Sinān,

berkata : diabacakan ayat ini ( يره كىحم ة خه ث أم للى اس أخرجه ) kepada

Abu Abdillah AS, Beliau berkata : “Sebaik-baiknya umat

membunuh Amirul Mukminin Ali Bin Abu Thalib, al-Hasan,

dan al-Husain AS?”, Ibnu Sinān, berkata : “Bagaimana maksud

ayat tersebut diturunkan?,” Beliau berkata : “Dan diantara

kalian terdapat sebaik-baiknya para Imam.yang dilahirkan

untuk manusia, - “Apakah engkau tidak meperhatikan bahwa

55

Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Jilid 8, h. 184-

185 56

al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. Jilid 2 h. 288

Page 129: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

115

Allah memuji mereka para Imam AS?” – beliau membacakan

( عروف جهأمرونه جهىههىنه بٱلمه ه وه جؤمىىنه ٱلمىكهر عه وه بٱلل ).57

Adapun al-Thabathabai‟ tidak mengkaitkan dan

menafsirkan kedua ayat tersebut dengan kepemimpinan. Beliau

hanya menjelaskan pada ayat 104, bahwa Allah menyeru

masyarakat yang baik, mereka memiliki ilmu yang bermanfaat,

amal perbuatan yang baik untuk menjaga pengetahuan mereka

dan kebudayaan atau kebiasaan mereka, serta jangan berpaling

dari jalan Allah yang baik. Dan jangan mengajak orang yang

condong berbuat kebaikan kepada perbuatan yang

menyebabkan keburukan dan kehancuran. Inilah yang dimaksud

dengan dakwah dengan pengajaran, amar makruf dan nahi

mungkar.58

Kemudian pada ayat 110, beliau menekankan agar

menunjukkan keimanan dengan berdakwah kepada masyaraat

untuk berpegang teguh kepada tali Allah dan meniadakan

perpecahan khususnya dalam menghadapi kekafiran.59

Secara global Ahlusunah dan Syiah sama-sama

berpandangan bahwa umat Islam berkewajiban (fardhu kifayah)

menjalankan amr makruf nahi munkar, terlebih seorang

pemimpin. Namun, terjadi perbedaan ketika al-Qummi dan al-

Thabarsy memaknai kata ummah dalam kedua ayat tersebut

dengan para imam ahlulbait.

57

al-Qummi, Tafsīr Al-Qummi. Jilid 1 h.165 58

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran. Jilid 3 h. 426 59

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran. Jilid 3 h. 431

Page 130: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

116

Page 131: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

117

BAB IV ANALISA PENAFSIRAN AHLUSUNAH DAN SYIAH

TERHADAP AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG

KEPEMIMPINAN SYIAH

Setelah penulis menelusuri kitab-kitab tafsir dari

golongan Ahlusunah tentang penafsiran ayat-ayat al-Quran

tentang kepemimpinan, maka pada pembahasan ini penulis

menulusuri kitab-kitab tafsir dari golongan Syiah. Adapun

kitab-kitab tafsir yang dirujuk yaitu : Tafsir al-Qummi,

Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, serta al-Mizān fī Tafsīr

al-Quran. Dalam menemukan ayat-ayat kepemimpinan Syiah,

penulis terbantu dengan ayat-ayat kepemimpinan Syiah yang

sangat masyhur dikalangan pengikut dan ulama Syiah.

Termasuk para mufassir Syiah, ketika menafsirkan ayat-ayat

yang berkaitan dengan teologi imamah, mereka menyebutkan

ayat-ayat tersebut dengan istilah nama ayat yang sudah tersohor

tersebut. Berikut penafsiran ayat-ayat tersebut.

A. QS. al-Maidah/5: 67 (Ayat Tablīg)

Imam al-Syuyuthi‟ menjelaskan bahwa Rasulullah saat

wafatnya tidak menunjuk siapa penggantinya. Sedangkan

isyarat Rasulullah tentang khalifah yang disebutkan dalam

hadist terungkap jauh-jauh sebelum wafat beliau. Seperti hadist

riwayat al-Hakim dai hadist al-Irbadh bin Sariyah, “Hendaknya

kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin

yang mendapat petunjuk setelah aku.” Dan sabdanya “Ikutilah

jejak langkah dua ornag setelah wafatku, Abu Bakar dan

Umar.”1

Al-Thabathaba‟i membantah para ulama yang

berkeyakinan bahwa Rasulullah tidak mewasiatkan atau

memikirkan kepemimpinanan umat Islam sepeninggalannya.

1 Imam al-Syuyuthi‟, Tarikh Khulafa; Sejarah Penguasa Islam,

Penej. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), h. 9

Page 132: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

118

Menurut al-Thabathaba‟i perkara kepemimpinan merupakan

perkara umat yang dibutuhkan dalam agama dan tidak perlu

ditutup-tutupi. Dapatkah dibenarkan jika ada orang yang

mengatakan bahwa agama ini tidak membutuhkan pemelihara

dalam arti yang sebenarnya? Atau umat Islam dan

masyarakatnya diperkecualikan dari masyarakat-masyarakat

manusia yang lain, tidak membutuhkan seorang Pemimpin yang

memimpin urusannya, Pengatur yang mengaturnya, dan seorang

Pengendali yang mengendalikannya?

Dasar apa yang dijadikan suatu alasan oleh Pengkaji

tentang sejarah perjalanan hidup Nabi SAW, yang bersifat

sosial? Sementara ia mengakui bahwa setiap keluar ke medan

perang, Nabi mengangkat seorang pengganti kedudukannya

untuk mengurus kelangsungan masyarakat. Nabi SAW

mengangkat pemimpin-pemimpin pemerintahan untuk

mengatur urusan umat Islam di daerah-daerah, seperti di

Makkah, Thaif, Yaman, dan lainnya. Kemudian beliau juga

mengangkat Panglima dalam setiap peperangan dan pasukan

yang dikirim ke seluruh penjuru negeri. Apa bedanya antara

masa hidup Nabi SAW dan sesudah wafatnya, sehingga tidak

membutuhkan masalah ini setelah beliau wafat. Sementara

kebutuhan terhadap masalah ini sangat diperlukan dari zaman

ke zaman.2

Al-Thabarsy dalam kitab tafsinya Majmau‟ al-Bayān fī

Tafsīr al-Qur‟an menukil riwayat terkenal dari Abu Ja‟far dan

Abu Abdillah : ”Sesungguhnya Allah telah mewahyukan

kepada Rasulullah untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai

Khalifah sepeninggalannya, dan beliau khawatir terhadap

sekolompok sahabatnya yang akan merusak ketetapan tersebut.

Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. Al-Maidah/5: 67) untuk

menguatkan hati Rasulullah dalam menegakkan apa yang telah

diperintakan Allah ini. Jika Rasulullah tidak menyampaikan apa

2 Muhammad Husain al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran,

(Beirut: Muassasah al-A‟lamī li al-Mathbūā‟t, 1417/1997), Jilid 6 h. 48-49

Page 133: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

119

yang telah diturunkan kepadanya dan menyembunyikannya,

maka seakan-akan Rasulullah tidak menyampaikan satu pun

risalah-risalah Allah.” Ibnu Abbas berkata: “Jika Rasulullah

menyembunyikan ayat yang telah diturunkan Allah kepadanya,

maka Rasulullah tidak menyampaikan risalah Allah atau tidak

menyampaikan semua perkara.”3

Allah SWT menegaskan dalam QS. Al-Maidah/5: 67 :

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan

kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa

yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan

amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)

manusia[. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada

orang-orang yang kafir.”

al-Qummi dalam Tafīir al-Qummi menjelaskan, ayat ini

turun kepada Rasulullah SAW, ketika sampai di Ghadir Khum

dalam perjalanan pulang Haji Wada‟ dari Makkah menuju

Madinah. Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan

Rasulullah SAW untuk mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai

khalīfah sepeninggalannya. Maka Rasulullah SAW berpidato di

hadapan para sahabat, setelah memuji Allah, Beliau bersabda:

“Wahai sekalian manusia, apakah kalian mengetahui siapa wali

kalian?”, para sahabat menjawab: “Ya, Allah dan Rasul-Nya”.

Rasulullah bersabda: “Bukankah kalian mengetahui bahwa

3 Fadhl bin Hasan al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-

Qur‟an (Lebanon: Dar al-Ulūm, 1426H/2005M), Jilid 3 h. 314

Page 134: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

120

sesungguhnya diriku lebih utama dari kalian?”, mereka

menjawab: “Ya, benar”. Beliau mengulanginya tiga kali, dan

mereka menjawab dengan jawaban yang sama.4

Kemudian Rasulullah berdoa: “Ya Allah, Saksikanlah”,

Kemudian Rasulullah menggenggam tangan Ali bin Abi Thalib

dan mengangkatnya sampai terlihat ketiak keduanya yang putih

oleh para sahabat. Kemudian bersabda: “Ketauhilah, barang

siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali bin Abi Thalib

adalah pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang

mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya, belalah

orang yang membelanya, dan hinakanlah orang yang

menghinakannya.”5

Menurut al-Thabathaba‟i, ayat ini tidak memiliki

hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Rangkaian

ayat ini membicarakan tentang keadaan ahli kitab, kehinaan dan

keburukan akibat keburukan mereka, yakni banyak berbuat

zalim terhadap apa yang telah diharamkan oleh Allah dan

mengingkari ayat-ayatnnya. Jika ayat ini mempunyai hubungan

dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang saling berkaitan,

maka mempunyai kesimpulan bahwa perintah Nabi yang

terpenting adalah menyampaikan perintah Allah tentang

masalah Ahli Kitab.

Sedangkan secara lahiriah ayat ini mengandung perintah

kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan sesuatu yang

berbahaya dan menakutkan. Masalah yang harus disampaikan

dalam ayat ini adalah masalah yang sangat penting dan

mengandung kekhawatiran adanya bahaya terhadap jiwa

Rasulullah atau agama Allah SWT dilihat dari segi keselamatan

penyampaiannya. Kemudian beliau menyampaikannya setelah

Allah SWT menjanjikan kepadanya pemeliharaan dari

4 Ali bin Ibrahim Al-Qummi, Tafīir al-Qummi (Qum: Yayasan

Imam Mahdi, 1435 H), Jilid 1 h. 254 5 al-Qummi, Tafīir al-Qummi, Jilid 1 h. 254-255, al-Thabarsy,

Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Jilid 3 h. 313-314

Page 135: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

121

gangguan manusia. Beliau tidak pernah menunda

pernyampaiaan perintah sehubungan dengan mereka walaupun

beliau menghadapi tantangan yang hebat dari orang Yahudi

mulai awal-awal hijrah ke Madinah hingga berkahir dalam

peritiwa Khaibar dan lainnya.6

al-Thabathaba‟i menegaskan, tidaklah dapat dikatakan

bahwa Nabi SAW takut mereka membunuh jiwanya, sehingga

gagallah pengaruh dakwahnya dan terputuslah dakwahnya yang

lalu, kemudian beliau menundanya pada waktu tertentu yang

sunyi dari bahaya. Walaupun mereka berusaha membunuh Nabi

SAW, namun Allah tidak akan membiarkan Nabi SAW menjadi

hina. Dan untuk melangsungkan dakwahnya, Allah

menggunakan segala sarana yang dikehendaki-Nya, atau sebab

apa yang Ia kehendaki. Nabi merasa khawatir kepada manusia

dalam menyampaikan suatu masalah. Dalam pengertian,

khawatir mereka itu menghambat kelangsungan dakwahnya dan

merusak keberhasilannya. Pendapat dan ijtihad seperti ini boleh,

jika tidak mengembalikan makna takut kepada takut

mengorbankan jiwanya. 7

al-Thabathaba‟i melanjutkan, ayat ini tidak turun pada

awal kenabian dan masalah yang diturunkan kepadanya

bukanlah kumpulan ilmu-ilmu agama atau dasarnya. Tidak

seperti penafsiran sebagian mufasir yang menyatakan ayat ini

turun pada awal kenabian dan perintah untuk menyampaikan

Risalah yang berupa kumpulan agama atau dasarnya. Kemudian

Nabi SAW menunda penyampaian karana takut manusia

membunuh jiwanya, menghalangi hidupnya sehingga

musnahlah dakwahnya. hal seperti ini, menurut Al-

Thabathaba‟i tidak akan sedikit pun berpengaruh ke dalam diri

Nabi, dan penafsiran seperti ini tidak ada satu pun pintu jalan

menuju kandungan ayat ini.8

6 al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 42-43

7 al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 44

8 al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 44

Page 136: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

122

Sebab, seandainya yang dimaksud dengan: “apa yang

diturunkan kepadanya dari Tuhannya” adalah Ushuluddin,

maka akan bermakana: “Wahai Rasul sampaikan agama dan

jika kamu belum menyampaikan agama, maka kamu belum

menyampaikan agama.” Makna ini adalah kacau. Jika misalnya

masalah itu adalah sebagian Agama, dengan pengertian:

“Sampaikanlah hukum ini dan jika kamu belum

menyampaikannya, maka kamu berarti tidak menyampaikan

dasar Risalah atau keseluruhan Risalah”, maka pengertian

seperti ini benar dan logis.9

al-Thabathaba‟i menjelaskan, ayat ini diturunkan dalam

masalah Wilayah Ali bin Abi Thalib. Allah memerintahkan

menyampaikan masalah ini, sementara masalah ini juga

diinginkan oleh semua manusia. Karena itu Nabi SAW merasa

khawatir untuk menyampaikan dan menjelaskannya. Nabi

kahawatir mereka menuduh beliau cenderung menyukai Putera

Pamannya dan menghujat masalah ini. Akhirnya Nabi menunda

penyampaian masalah ini dari saat ke saat sehingga turunlah

ayat ini yang mengharuskan penyampaiaan masalah ini, lalu

Nabi menyampaikannya di Ghadir Khum. Pada waktu itulah,

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menjadikan aku

sebagai pemimpinnya, maka ini Ali pemimpinnya.” 10

Ayat ini juga mengandung suatu penegasan, yang

hakikatnya menunjukkan sangat pentingnya peranan Hukum

ini. Sehingga seandainya tidak sampai pada manusia dan

diperjelas kebenarannya, maka sama halnya dengan belum

menjelaskan satu pun kebenaran dari bagian-bagian agama.

Selain penegasan kepada beliau, ayat ini juga memberikan

informasi kepada Ali bin Abi Thalib dan umat Islam tentang

pentingnya dan peranan dari hukum ini.

9 al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 44-46

10 al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 48, lihat

juga Al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an , Jilid 3 h. 313

Page 137: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

123

Kata “manusia” dalam ayat ini “Allah memelihara kamu

dari (gangguan) manusia” menggambarkan sikap pribadi yang

negatif dari orang-orang beriman, munafik dan orang-orang

yang hatinya berpenyakit. Mereka ini menjadi satu tanpa

dibedakan. Ayat ini turun sesudah Hijrah dan kekuatan Islam

telah nyata. Pada waktu itu sikap negatif pada umumnya

nampak dari kalangan umat Islam yang munafik dan lainnya.

Adapun yang dimaksud dengan kaum yang kafir

“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-

orang yang kafir” bukanlah dalam pengertian sombong dari

dasar dua kalimat syahadat, melainkan orang-orang yang

mengingkari suatu ayat dari ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak

memberi petunjuk kepada mereka dalam siasat dan tipu daya

mereka, dan Dia memelihara Nabi SAW dari sebab-sebab yang

berlaku yaitu sikap-sikap jahat dan negatif yang akan mereka

lancarkan dalam merusak dan memadamkan cahaya hukum

yang diturunkan Allah ini.11

Menurut Wahbah al-Zuhaili, QS. al-Maidah/5: 67 ini

memberitahu Rasulullah Saw. bahwa tablīg adalah sebuah

keniscayaan yang yang beliau tidak boleh berijtihad menunda

sesuatu darinya dari waktu yang semestinya.12

Adapun makna

11

Al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6 h. 52-53 12

Al-Zuhaili berpendapat demikian, karena beliau menukil hadis

Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa‟i

dalam menfasirkan ayat ini, ia berkata : “barang siapa yang mengatakan

kepadamu bahwa Muhammad menyembunyikan sesuatu dari apa yang

diturunkan Allah SWT kepada beliau, maka sungguh orang itu benar-benar

telah berdusta, padahal Allah berfirman, “ Wahai Rasul sampaikanlah apa

yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”

Dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim juga diriwayatkan sebuah

hadis dari Aisyah, bahwasannya ia berkata; “Seandainya Muhammad

menyembunyikan sesuatu dari al-Quran tentulah beliau akan

menyembunyikan ayat ini, „Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada

orang yang Allah tidak limpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah

memberi nikmat kepadanya. „Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah

kepada Allah.‟ Sedang kamu menyembunyukan di dalam hatimu apa yang

Page 138: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

124

tablīg disini menurut beliau adalah mempublikasikan dakwah

Islamiyyah, menginformasikan seluruh hukum-hukum yang

terkandung di dalamnya dan menyampaikannya kepada

manusia. Dalam hal ini, Allah meyakinkan Rasul dengan

memberi penjagaan, pemeliharaan, dan perlindungan

kepadanya, dari usaha-usaha orang kafir untuk

membunuhnya.13

al-Razi menyebutkan sepuluh riwayat disebutkan para

mufasir terkait sebab turunya ayat ini. Beberapa diantaranya

yaitu, pertama, turun berkenaan dengan kisah rajam dan kisah-

kisah terdahulu dalam kisah Yahudi. Kedua, berkenaan dengan

perkara Zaid dan Zainab binti Jahsy. Ketiga berkenaan dengan

ayat Takhyīr (ا أها انىبب قم ألشواجك). Keempat, berkenaan dengan

anjuran jihad. Kelima berkenaan dengan ayat ( وال تسبىا انره دعىن

kemudian Rasul mendiamkan aib tuhan-tuhan (مه دون هللا ...

mereka, maka turunlah ayat ini. Keenam, berkanaan dengan

keutamaan Ali bin Thalib AS. kemudian al-Razi

menyimpulkan, walaupun terdapat banyak riwayat dalam hal

ini, maka yang lebih utama adalah dengan memahami bahwa

Allah menjamin keselamatan Rasul dari makar orang Yahudi

dan Nasrani, serta memerintahkan Rasul untuk berdakwah

secara terang-terangan tanpa mempedulikan mereka.14

Perbedaan dalam menafsirkan ayat ini sangat jelas

terlihat. Syiah berkeyakinan bahwa perintah tablīgh dalam ayat

ini adalah perihal wilayah Ali bin Abi Thalib pasca Rasulullah

SAW tanpa jeda. Allah memerintahkan Rasul agar tidak

Allah akan nyatakan, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah

yang lebih berhak untuk kamu takuti,” sampai ayat, “ wa kāna amrullāhi

maf‟ūlan.” Lihat Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, dan

Manhaj. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2016),

Jilid 4, h. 594-595 13

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir. Penerjemah Abdul Hayyie

al-Kattani Jilid 4, h. 591 14

Lihat selengkapnya, Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-

Kabīr wa Mafātih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikri, 1981), Jilid 12, h. 52-53

Page 139: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

125

menunda penyampai hal tersebut dan Allah menjamin

keberhasilan penyampaian hukum tersebut dari sahabat-

sahabatnya yang ingin merusak ketetapan tersebut. Sedangkan

Ahlusunah memaknai perintah tablīgh dengan perihal hukum-

hukum agama. Allah memerintahkan Rasul agar segera

menyampaikannya secara terang-terangan dan Allah menjamin

keselamatan beliau dari makar orang Yahudi dan Nasrani.

B. QS. al-Maidah/5: 55-56 (Ayat Wilāyah)

Pemimpin haruslah orang yang mampu mengurusi

kepentingan-kepentingan manusia dan memastikan semua

keteraturan berjalan sesuai dengan hukum Allah SWT dan

Rasul-Nya. Oleh karena itu pemimpin yang paling utama adalah

pemimpin yang tingkat keimanannya paling dekat dengan Allah

dan Rasul-Nya. Para ulama Syiah berpendapat Ali bin Abi

Thalib merupakan pribadi pemimpin yang paling ideal setelah

Rasulullah SAW dan Allah pun telah bersabda dalam Qs. al-

Maidah/5: 55-56 untuk mengukuhkan beliau sebagai pemimpin

setelah wafatnya Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-

Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan Salat

dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).

56. dan Barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-

orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka

Sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti

menang.”

Page 140: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

126

al-Qummi mengatakan dalam kitab tafsirnya,

menceritakan kepadaku ayahku, dari Shafwan, dari Abban bin

Usman, Hamzah ats-Tsimali, dari Abu Ja‟far ash-Shadiq, ia

mengatakan: Ketika Rasulullah Saw. sedang duduk dan di

sisinya ada sekelompok orang Yahudi. Di antara mereka adalah

Abdullah bin Salam, ketika itu turunlah ayat ini, kemudian

Rasulullah Saw. pergi ke masjid dan bertemu dengan seorang

peminta-minta lalu Nabi Saw. bertanya: “Apakah ada seseorang

yang memberikan sesuatu kepadamu? Ia menjawab: Ya, orang

yang sedang salat itu. Kemudian Nabi Saw. mendatanginya,

ternyata ketika didekati adalah Ali bin Abi Thalib15

Sedangkan al-Thabarsy menukil riwayat dari Jundab bin

Junadah al-Badri Abu Dzar al-Ghifari, Abu Dzar berkata: Aku

mendengar Rasulullah SAW bersabda: Ali adalah Pemimpin

kebaikan dan Pembunuh kekafiran. Pada suatu hari aku salat

dzuhur bersama Rasulullah. Lalu ada seorang pengemis di

masjid, tetapi tak ada seorang pun yang memberikan sesuatu

kepadanya. Sementara Ali sedang dalam keadaan ruku‟,

kemudian ia mengisyaratkan cincin yang ada di jari manis

kanannya. Pengemis itu mendekat kepadanya lalu mengambil

cincin itu. Peristiwa itu diketahui Rasulullah Saw. maka setelah

salat beliau menengadahkan wajahnya ke langit seraya berdoa:

“Ya Allah, aku Muhammad Nabi-Mu dan pilihan-Mu, Ya Allah

lapangkanlah dadaku, mudahkan urusanku dan jadikan bagiku

wazir dari keluargaku, Ali, berilah ia kekuatan sebagai

penggantiku.” Abu Dzar mengatakan sebelum Rasulullah

selesai berdoa, turunlah Jibril dan berkata: “Ya Muhammad

bacalah! Beliau menjawab: “apa yang harus aku baca? Jibril

berkata: “Bacalah!, ونكم إوما …اة آمىىا وٱنره وزسىنه ٱلل .16

Berdasarkan banyak riwayat dari jalur Syiah dan

Ahlusunah al-Thabathaba‟i juga menyatakan bahwa dua ayat ini

15

al-Qummi, Tafīir Al-Qummi, Juz 1 h. 250 16

al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Juz 3 h. 296-

297

Page 141: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

127

turun untuk Amirul Mu‟minin Ali bin Abi Thalib, ketika ia

memberikan cincinnya pada waktu ia sedang salat dalam

keadaan ruku‟. Ayat ini bersifat khusus tidak umum. Jika

dinyatakan benar menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan

sebab-sebab turunnya yang didukung oleh banyak riwayat,

maka jelas benar pula menafsirkan ayat ini berdasarkan sebab

turunnya yang juga didukung oleh banyak riwayat. Dengan

demikian makna Wilayah dalam dua ayat ini bukanlah Wilayah

orang-orang beriman secara umum.17

al-Thabarsy dalam kitab tafsirnya Majma‟ al-Bayān

menjelaskan, Allah dan Rasul-Nya merupakan pemimpin yang

mengatur dan mengurusi maslahat-maslahat manusia.

Kemudian Allah mensifati orang-orang yang beriman dengan

mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku‟.

Ayat ini merupakan salah satu dalil yang paling jelas atas

kebenaran imamah Ali bin Abi Thalib setelah Nabi Muhammad

SAW tanpa jeda, dan maksud dari kata ( ونكم) memberi faedah

siapa yang lebih utama dalam mengatur urusan dan mewajibkan

ketaatan atas mereka. ( آمىىا ٱنره ) adalah Ali bin Abi Thalib, nash

ini menetapkan dan menjelaskan imamah atasnya. Adapun kata

menghendaki pengkhususan dan penidaan hukum kepada (إوما)

siapa selain yang telah disebutkan.18

al-Thabathaba‟i dalam kitab tafsirnya al-Mizan,

membantah beberapa penolakan mayoritas mufasir Ahlusunah

terhadap kekhususan makna dan kelemahan penafsiran Syiah

atas dua ayat ini. Mereka mempermasalahkan : Pertama,

Penafsiran Wilayah dalam dua ayat ini adalah pertolongan.

Kedua, Riwayat-riwayat itu mengharuskan makna tunggal

terhadap bentuk jamak dalam ayat ini. Ketiga, Riwayat-riwayat

itu mengharuskan makna zakat, sedangkan dalam ayat ini

17

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 8-9 18

al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Jilid 3 h. 298

Page 142: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

128

adalah pemberian cincin, yang hal ini tidak dapat dinamakan

zakat.19

al-Thabathaba‟i menjelaskan, mayoritas ulama tafsir

Ahlusunah menafsirkan kata ruku‟ dalam ayat ini dalam makna

majazi, yakni tunduk kepada Allah secara mutlak, atau keadaan

yang lemah karena kefakiran dan sejenisnya. Kemudian

mengembalikan makna ayat itu bahwa penolong-penolong

kalian adalah bukan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Munafik,

tetapi penolong-penolong kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan

orang-orang yang beriman yang melaksanakan salat dan

menunaikan zakat, di mana mereka ini dalam keadaan tunduk

kepada Rububiah dengan mendengar dan mentaati, atau mereka

menunaikan zakat dalam keadaan fakir dan sengsara. Penafsiran

seperti ini menurut beliau lemah.20

Karena mereka menyatakan ayat ini mempunyai kaitan

erat dengan ayat sebelum dan sesudahnya dengan tujuan

memaparkan masalah Wilayah dalam pengertian pertolongan,

dan membedakan yang hak dari yang tidak hak. Menurut al-

Thabathaba‟i rangkaian ayat tersebut tidak turun sekaligus. Hal

ini dapat dibuktikan dengan kandungan maknanya dan

dikuatkan oleh sebab-sebab turunnya. Wilayah dalam

pengertian pertolongan tidak sesuai dengan rangkaian ayat-ayat

itu. Karena dalam ayat ini terdapat kekhususan-kekhususan,

terutama kalimat: … ض نآء بع ضهم أو ىكم فئوه … dan … بع ومه تىنهم م

Sebab ikatan Wilayah dalam arti pertolongan dan مى هم

seperangkat syarat-syaratnya antara dua kelompok manusia

tidak mengharuskan yang satu menjadi bagian yang lainnya.

Dengan demikian. pengertian yang tepat dari Ikatan Wilayah

dalam rangkaian ayat ini adalah kasih sayang. Karena kasih

sayang mengharuskan keterpaduan jiwa dan rohani antara dua

kelompok manusia, yang membolehkan kelompok yang satu

terhadap yang lain melakukan usaha-usaha spiritual dan

19

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 9 20

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 6

Page 143: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

129

material dalam urusan kehidupan dan saling melakukan

pendekatan antara dua kelompok dalam akhlak dan amal

walaupun mereka mempunyai ciri-ciri khas kebangsaan

tertentu.21

Adapun dalil yang terkuat, sehubungan dengan

penisbatan Wilayah kepada Nabi SAW di dalam ayat ini adalah

wilayah dalam pengertian kepemimpinan dan cinta kasih.22

Namun tidak berarti mengkategorikan Nabi SAW sebagai wali

mereka dalam pengertian penolong. Kemenangan dalam akhir

ayat ini memang sesuai dengan Wilāyah dalam pengertian

Pertolongan , tetapi ia juga sesuai dengan Wilāyah dalam

pengertian kepemimpinan dan cinta kasih. Kemenangan agama

merupakan keinginan daripada orang-orang yang agamis, dan

kemenangan itu akan tercapai dengan adanya hubungan orang-

orang beriman dengan Allah dan Rasul-Nya melalui suatu

wāsilah yang sempurna. Allah SWT menegaskan hal itu dengan

janjinya yang jelas, sebagai mana friman Allah SWT23

Allah telah menetapkan: "Aku dan rasul-rasul-Ku pasti

menang". Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”

Hal yang dipermasalahan kedua adalah bentuk jamak

yang dimaksud tunggal dalam kalimat ( آمىىا وٱنره ). al-

Thabathaba‟i menanggapi, hal ini mengherankan, karena

mereka dibeberapa ayat-ayat al-Quran juga menerima

21

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 6-7 22

Allah SWT berfirman :

. ...

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari

diri mereka sendiri” 23

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 8

Page 144: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

130

penggunaan bentuk jamak dengan maksud tunggal. Seperti

firman Allah SWT:

1. QS. al-Mumtahanah/60 : 1

...

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia

yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita

Muhammad), karena rasa kasih sayang... -kamu

memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad)

kepada mereka, karena rasa kasih sayang-”

Dalam hal ini telah dinyatakan benar bahwa orang yang

menyurati orang-orang musyrik Quraisy adalah Hatib bin Abi

Balta‟ah.

2. QS. al-Munafiqun/ : 8

...

“Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah

kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan

mengusir orang-orang yang lemah dari padanya."

Hal itu telah dinyatakan benar bahwa orang yang berkata itu

adalah Abdullah bin ubay bin Salul.24

24

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 10

Page 145: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

131

3. QS. al-Baqarah/2 : 274

...

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam

dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan.”

Hal ini telah dinyatakan benar bahwa orang yang menafkahkan

hartanya adalah Ali bin Abi Thalib.

4. QS. al-Maidah/5 : 52

... ...

“Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Kami takut

akan mendapat bencana".

Mereka menerima bahwa orang yang berkata dalam ayat ini

adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.

Al-Thabathaba‟i menyimpulkan, jika dalam hal ini

dibenarkan dalam kaidah bahasa, maka hal itu tentu pula

berlaku pada QS. Al-Maidah/5: 56 ini. Dengan deimikian

masalah Wilayah dalam ayat ini, tidak akan diserahkan kepada

sebagian orang-orang yang berdasarkan kira-kira, melainkan

mengikuti pendahulunya dalam keikhlasan dan amalnya.25

Adapun hal yang dipermasalahkan terakhir adalah

menyedekahkan cincin tidak dapat dinamakan zakat. al-

Thabathaba‟i menegaskan, pendapat seperti ini dapat disanggah

bahwa perpindahan (Ta‟ayyun) kata zakat kepada makna

Istilahi, tiada lain hal ini terjadi karena adanya ketentuan syar‟i

setelah turun ayat al-Quran mewajibkan dan mensyariatkan

zakat dalam agama. Adapun makna yang yang disajikan oleh

25

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 10

Page 146: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

132

bahasa, ia lebih umum dari istilah zakat dalam ketentuan syar‟i.

sedangkan memberikan sesuatu atau menginfakkan harta karena

Allah ketika salat juga lebih umum dari istilah zakat dalam

ketentuan syar‟i. Sebagaimana yang telah Allah kisahkan

tentang para Nabi terdahulu. Seperti tentang Nabi Ibrahim,

Ishaq, dan Ya‟qub dalam QS. Al-Anbiya/21 : 73

...

...

“... Dan telah Kami wahyukan kepada, mereka

mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan

zakat ...

Tentang Nabi Ismail dalam QS. Maryam/19; : 55

“Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan

menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi

Tuhannya.”

Kisah Nabi Isa dalam QS. Maryam/19 : 31

“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di

mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku

(mendirikan) Salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;”

Al-Thabathaba‟i menjelaskan, sebagaimana telah

dimaklumi bahwa dalam syariat mereka tidak ada zakat harta

Page 147: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

133

dalam makna istilāhi dalam Islam. Demikian juga Firman Allah

SWT dalam QS. al-Mukminun : 4. Dan ayat-ayat lainnya yang

terdapat dalam surat-surat Makiyah, khususnya yang turun pada

awal-awal kenabian, dimana pada waktu itu belum disyariatkan

zakat dalam pengertian istilahi. Bahkan ayat tentang zakat itu

sendiri yakni: at-Taubah/9 : 103 menunjukkan bahwa zakat

bagian dari shadaqah, dan tiada lain shadaqah itu dinamakan

zakat, karena ia untuk membersihkan secara mutlak, dan

penggunaan istilah zakat telah mengalahkan istilah shadaqah26

.

Al-Thabathaba‟i menyimpulkan bahwa tidak ada

larangan menamakan shadaqah dan infak di jalan Allah dengan

nama zakat. Dan menjadi jelas pula bahwa tidak ada keharusan

menafsirkan kata ruku‟ dalam makna majazi.27

Sedangkan al-Razi menjelaskan, pada ayat-ayat

sebelumnya Allah melarang ber-muwālāh kepada orang-orang

kafir, pada ayat ini Allah memerintahkan untuk ber-muwālāh

kepada-Nya, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Kemudian

beliau menolak pendapat Syiah yang menyatakan ayat ini

merukan dalil atas imamah Ali bin Abi Thalib setelah

Rasulullah, dengan alasan bahwa ayat ini diturunkan terkait

khusus dengan Abu Bakar. Karena jika ayat ini turun terkait

khusus Ali, maka ayat ini benar-benar menjadi dalil atas

imamah Ali setelah Rasulullah. Namun umat (sahabat) telah

bersepakat bahwa ayat ini tidak menjadi dalil atas imamah

Ali.28

Adapun Wahbah al-Zuhaili mengartikan firman Allah

dengan makna mereka adalah orang-orang yang (وهم زاكعىن)

khusyu dan tunduk. Sehingga beliau menafsirkan ayat ini

sebagai berikut, sesungguhnya penolong kalian adalah Allah

SWT, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin yang menegakkan

26

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 11 27

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 6, h. 11 28

Muhammad Fakhrudin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-

Ghaib. Jilid 12, h. 29

Page 148: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

134

salat dengan utuh, lengkap, dan sempurna rukun dan syarat-

syaratnya, menunaikan zakat, yaitu memberikan zakat dengan

penuh keikhlasan dan senang hati kepada orang yang berhak

mendapatkannya. Mereka adalah orang-orang yang tunduk

kepada perintah-perintah Allah tanpa mengeluh, bosan, dan

tiada pula riya.29

Maka, terlihat jelas perbedaan penafsiran pada kedua

ayat diatas. Pertama, ahlusunnah menafsirkan ayat ini dengan

munāsabah ayat, sedangkan Syiah tidak demikian, pada

penjelasan sebelumnya dijelaskan, bahwa rangkaian ayat

tersebut tidak diturunkan sekaligus. Kedua, ahlusunnah

menafsirkan al-waliy dengan makna penolong, sedangkan Syiah

dengan kepemimpinan dan cinta kasih. Ketiga, Ahlusunah

memaknai kata rukū‟ dengan makna majazi yakni keadaan

tunduk, patuh, dan khusyu, sedangkan Syiah memaknainya

dengan makna sebenarnya yaitu posisi rukuk dalam salat.

Keempat, Ahlusunah menyatakan ayat ini diturunkan terkait

khusus dengan Abu Bakar, sedangkan Syiah menyatakan ayat

ini terkait khusus dengan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.

Kelima, Ahlusunah menyatakan ( آمىىا ٱنره ) adalah orang-orang

mukmin secara umum, sedang Syiah menyatakan Ali secara

khusus.

C. QS. al-Baqarah/2: 124 (Ayat Ibtilā)

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan

beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim

29

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Penerjemah Abdul Hayyie

al-Kattani, Jilid 4 h. 567

Page 149: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

135

menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan

menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata:

"(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman:

"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim."

Kata “ibtilâ” dan “balâ” mempunyai makna yang sama,

yakni mencoba dan menguji. Tak ada satupun ujian kecuali

dengan suatu perbuatan. Karena, perbuatanlah yang

memunculkan kualitas-kualitas yang terpendam dalam diri

manusia, bukan kata-kata yang hanya mengandung kesalahan

dan kebenaran. Dalam ayat ini Allah SWT Menguji Nabi

Ibrahim AS dengan kalimat-kalimat tertentu. Jika yang

dimaksud dengan kalimat itu adalah kata-kata tertentu, maka

tiada lain maksudnya adalah kata-kata yang berkaitan dengan

suatu perbuatan, yang menceritakan tentang janji-janji dan

perintah-perintah yang berkaitan dengan perbuatan. al-Quran

terkadang menyifati kata “al-kalimah” dengan kesempurnaan.

Setelah “Kalimat” itu keluar dari Pembicara seolah-olah belum

sempurna sehingga ia diaplikasikan kedalam suatu perbuatan

dan dibuktikan kebenarannya.30

Al-Qummi dan al-Thabarsyi menjelaskan dalam kitab

tafsirnya, sebagaimana yang mereka kutip riwayat dari Ja‟far

Shodiq, bahwa sesungguhnya apa yang Allah SWT uji kepada

Ibrahim adalah berupa penglihatan di dalam mimpinya ia

menyembelih putranya. Ismail AS Kemudian Ibrahim

menunaikannya, ia membulatkan tekad, dan menerima perintah

Allah maka tatkala ia membulatkan tekad, Allah SWT

berfirman "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi

30

Sebagaimana Allah Swt. menyatakan dalam firman-Nya :

“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang

benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya

dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha mengetahui.” Al-

Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 264-265

Page 150: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

136

seluruh manusia" sebagai penghargaan baginya karena telah

membenarkan dan melaksanakan perintah Allah tersebut.

Sedangkan dalam riwayat dari Ibnu „Abbas: Sesungguhnya

Nabi Ibrahim diperintahkan untuk melaksanakan manasik haji.

Sedangkan Hasan berkata: Allah mengujinya dengan bintang-

bintang, bulan, matahari, berkhitan, menyembelih putranya, api,

dan hijrah. Mujahid berkata: Allah mengujinyanya dengan

lanjutan ayat tersebut: “Sesungguhnya aku akan menjadikanmu

imam bagi seluruh manusia.”31

Al-Thabathaba‟i menegaskan, bahwa Imamah itu

dianugrahkan kepada Ibrahim ketika ia berusia lanjut, setelah

Ismail dan Ishaq dilahirkan, dan membawa Ismail beserta

ibunya tinggal di Makkah. Hal ini menunjukan, bahwa Ibrahim

telah menunaikan berbagai macam ujian yang Allah berikan.

Berdasarkan keterangan al-Quran, seluruh cobaan dan ujian

yang paling jelas dan dahsyat adalah pengorbanan Ismail AS.

Firman Allah SWT "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu

imam bagi seluruh manusia" sebagai penyempurna ujian-ujian,

dan ujian-ujian itu mengokohkan ia di maqam Imamah.32

Al-Thabarsy menjelaskan ketika Allah SWT menguji

Ibrahim dengan kalimat-kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya

dan Allah menjadikannya seorang Imam untuk semua manusia

sebagai penghargaan untuknya atas semua itu. Dalil dari itu

31

Al-Qummi, Tafīir Al-Qummi, Juz 1 h. 92, lihat juga al-Thabarsy,

Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Juz 1 h. 276 32

Allah Swt. Berfiman :

...

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha

bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku

melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. ... Sesungguhnya ini

benar-benar suatu ujian yang nyata.” Al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-

Quran, Juz 1, h. 262-263

Page 151: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

137

adalah firman Allah “jā‟iluka” beramal pada firman Allah

“Imāman” dan isim fa‟il tidak beramal jika dengan makna

madhi (waktu lampau). Walaupun seseorang mengatakan ;

“anā dhāribu zaidan amsi” perkataan ini tidak benar. Maka

firman Allah ini wajib bermakna Allah menjadikan Ibrahim

seorang Imam dengan makna sekarang atau akan datang.

Adapun kenabian telah dicapainya sebelum peristiwa tersebut.33

Al-Thabathaba‟i menjelaskan Imam adalah orang yang

dijadikan teladan oleh manusia. Karena itu beberapa mufasir

mengatakan bahwa yang dimaksud Imamah disini adalah

kenabian, sebab Nabi adalah orang yang dipanuti oleh umatnya

dalam keagamaan mereka. Tetapi penafsiran seperti ini lemah

dan tidak benar. Karena kisah Imamah ini terjadi pada akhir-

akhir masa Nabi Ibrahim AS setelah mendapat berita gembira

tentang kelahiran Ismail dan Ishaq. Kemudian Malaikat juga

telah memberikan kepadanya tentang kisah Kaum Nabi Luth

dan kehancuran mereka. Ketika itu Nabi Ibrahim adalah

seorang Nabi dan Rasul. Maka ia menjadi Nabi sebelum

menjadi Imam dan kedudukan Imamahnya bukan kedudukan

Kenabiannya.34

Al-Thabathaba‟i, menegaskan Imam adalah seorang

pemimpin yang memberi petunjuk dengan perkara Allah yang

menemaninya. Dari sisi spritual Imamah adalah wilayah

terhadap manusia dalam perbuatan mereka dan memberi

petunjuk kepada mereka agar dapat mencapai apa yang

diinginkan oleh perkara Allah. Hal ini berbeda dengan petunjuk

yang ditunjukkan oleh Nabi dan Rasul dan seluruh mukmin

yang memberi petunjuk manusia dengan saran dan nasehat baik.

Para Imam memiliki kualitas sabar dalam setiap cobaan dan

ujian ubudiah dari Allah. Dan mereka sebelumnya adalah

orang-orang yang yakin.35

33

al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Juz 1 h. 279 34

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 266 35

Allah Swt. Berfiman :

Page 152: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

138

Al-Thabathaba‟i melanjutkan, seorang Imam harus

manusia yang keyakinannya mampu menyingkap alam Malakūt

melalui kalimat-kalimat dari Allah SWT. Malakūt adalah

perkara yang tak tampak dari sudut pandang alam semesta.

Sehingga firman Allah SWT “petunjuk dengan perintah Kami”

menunjukan dengan jelas bahwa setiap apa yang berkaitan

dengan perkara hidayah – hati dan amal – Imam memiliki batin

dan hakikatnya. Dan perkara itu bagi Imam tampak, tidak

ghaib. Sebagaimana telah dimaklumi bahwa hati dan amal

seperti setiap sesuatu yang lain memiliki dua sisi yaitu perintah

dan larangan. Karena itu realita perbuatan manusia – baik atau

buruk – selalu dalam pandangan dan pengawasan Imam. Dan

Imam mempunyai keotoritasan atas dua jalan, jalan kebahagian

dan kesengsaraan.36

Al-Thabathaba‟i menjelaskan, Imam harus seorang yang

maksum dari kesesatan dan kemaksiatan. Jika tidak, ia bukan

orang yang mendapat petunjuk dengan dirinya sendiri,

sebagaimana makna Imam dalam Qs. al-Anbiya/21: 73.37

Menurut ayat tersebut seluruh amal perbuatan Imam adalah

baik. Ia memperoleh petunjuk kepada amal kebajikan tanpa

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi

petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka

meyakini ayat-ayat kami.” (Qs. al-Sajdah/ 32: 24), lihat Al-Thabathaba‟i, al-

Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 267 36

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 268 37

Firman Allah Swt.

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang

memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada,

mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,

dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah.”

Page 153: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

139

melalui petunjuk orang lain, tapi dengan dirinya sendiri melalui

pertolongan Ilahi. Hal ini ditunjukan oleh firman Allah Swt:

“fi‟la al-khairāt.” Kata “fi‟la” berbentuk mashdar yang

dimudhafkan, menunjukan bahwa perbuatan itu benar-benar

telah terjadi. Setiap kebajikan yang dilakukan oleh para Imam

adalah melalui aspirasi wahyu dan pertolongan dari langit.38

Sebaliknya, siapa saja yang tidak maksum tidak akan

pernah menjadi seorang Imam yang menunjukan kepada

kebenaran. Hal ini berdasakan firman Allah "Janji-Ku (ini)

tidak mengenai orang yang zalim.” Yang dimaksud kezaliman

disini adalah mutlak kezaliman apa saja, kemusyrikan atau

kemaksiatan walaupun ia melakukannya sesaat dalam hidupnya

kemudian bertaubat. Adapun Imam bukanlah hak orang lain,

melainkan hanya untuk keturunan Ibrahim. Dan tidak seluruh

keturunannya berhak menduduki maqam Imamah, tetapi

sebagian dari mereka, sebagaimana dalam jawaban Allah

menafikan Imamah dari keturunannya yang zalim. “Ibrahim

berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah

berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.”39

al-Thabarsy menukil riwayat dari Abu Ja‟far bin

Babawaih dalam Kitāb an-Nubuwwah dengan sanad yang

marfu‟ kepada al-Mufadhil bin Umar dari Ja‟far Shodiq, aku

bertanya kepada Ja‟far Shodiq: “Wahai putra Rasulullah, apa

maksud firman Allah " beliau menjawab: Dia ,"فؤتمهه

menyempurnakannya sampai sempurna 12 Imam, 9 Imam dari

putra Husein bin Ali. Berkata al-Mufadhil: Wahai putra

Rasulullah, Bagaimana bisa Imamah hanya berasal dari

keturunan Husein tanpa keturuna Hasan, dan mereka berdua

putra Rasulullah, keluarganya dan pemuka pemuda penghuni

surga? Maka ia menjawab: sesungguhnya Musa dan Harun

adalah seorang Nabi, Rasul dan bersaudara, kemudian Allah

menjadikan kenabian berada pada keturunan Harun, tanpa

38

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 269 39

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Juz 1, h. 271

Page 154: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

140

keturunan Musa, dan belum ada seseorang yang berkata: kenapa

Allah SWT berbuat demikian? Dan sesungguhnya Imamah

Khilafah Allah SWT bukanlah untuk seseorang yang bertanya:

”kenapa Allah menjadikannya hanya pada keturunan Husein

tanpa keturunan Hasan? Karena Allh SWT Maha Bijaksana

dalam setiap perbuatannya.40

Sedangkan Wahbah al-Zuhaili ketika menafsirkan ( قال

ia mengatakan, “Sesungguhnya Aku akan ,(إو جاعهك نهىاس إماما

menjadikanmu Rasul dan Imam bagi seluruh manusia; kau

pimpin mereka dalam agama mereka dan mereka menirumu

dalam perkara-perkara ini, serta orang-orang saleh mengikuti

jejakmu. Kemudian ketika menafsirkan (قال ال ىال عهدي انظانمه),

ia mengatakan, “Aku penuhi permohonanmu, akan Kujadikan

sebagian keturunanmu sebagai imam, tetapi janji-Ku tentang

keimanan dan kenabian ini tidak mengenai orang-orang zalim

yang menganiaya diri mereka sendiri, sebab mereka tidak layak

menjadi teladan bagi manusia.41

Wahbah al-Zuhaili melanjutkan, sejumlah kalangan

menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa imam haruslah orang

yang adil, baik, dan berwatak utama, disamping sanggup

melaksanakan tugas keimanan. Adapun orang yang fasik dan

zalim tidak layak menjadi imam. Namun, mayoritas ulama

berpendapat bahwa sabar dalam mentaati imam yang lalim

lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena

pertentangan dan pemberontakan terhadapanya, berarti

mengganti keamanan dengan ketakutan, serta menimbulkan

pertumpahan darah, penyerangan terhadap kaum muslimin, dan

kerusakan bumi.42

40

al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Juz 1 h. 277 41

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir. Penerjemah Abdul Hayyie

al-Kattani, Jilid 1 h. 244 42

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir. Penerjemah Abdul Hayyie

al-Kattani, Jilid 1 h. 246

Page 155: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

141

Dari penjelasan kedua golongan terlihat jelas perbedaan

dalam pemaknaan seorang imam. Ahlusunah mengartikan

Imam dalam ayat ini sama dengan Nabi dan Rasul. Sedangkan

Syiah membedakan antara Nabi, Rasul dan Imam. Bahkan

beberapa ulama Syiah mengatakan imamah lebih tinggi

daripada kenabian dan kerasulan, karena Nabi Ibrahim

mendapatkan anugrah Imam setelah Ia menjadi Nabi dan Rasul.

Imam haruslah maksum menurut Syiah. Sedangkan menurut

Ahlusunah, imam yang fasik dan zalim pun lebih baik

dipertahankan untuk menjaga pertumpahan darah.

D. QS. al-Nisa/4: 59 (Ayat Uli al-Amr)

Pemimpin memiliki kedudukan yang tinggi dalam

sebuah komunitas, terlebih dalam komunitas orang beriman.

Oleh sebab itu ia memiliki otoritas bagi yang dipimpinya dan

yang dipimpinnya memiliki kewajiban mentaati perintahnya.

Allah SWT meyeru orang-orang beriman untuk taat kepada-

Nya, Rasul-Nya dan Pemimpin. Sebagaimana firman Allah

SWT dalam QS. al-Nisa/4: 59,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan

taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian

jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka

kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul

(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

Page 156: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

142

hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan

lebih baik akibatnya.”43

Al-Thabarsy menjelaskan sebagaimana riwayat dari

Imam al-Baqir dan Imam ash-Shādiq, bahwa sesungguhnya Uli

al-amr itu adalah mereka para Imam-Imam dari keluarga Nabi

Muhammad Saw, yang Allah wajibkan kepada manusia untuk

mentaati mereka dengan mutlak, sebagaimana Allah

mewajibkan ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada

Rasulullah SAW. Tidak mungkin Allah SWT mewajibkan

ketaatan untuk mentaati seseorang dengan mutlak kecuali Allah

telah menetapkan kemakshuman bagi dirinya. Sebab mereka

mengetahui yang batin seperti nyata baginya, yang demikian

tidak akan terjadi pada para pemimpin dan tidak pula para

ulama selain mereka para Imam.

Al-Thabarsy melanjutkan, Allah SWT juga

memerintahkan orang yang menentangnya untuk taat atau

memerintahkan kepatuhan bagi orang berbeda pendapat dalam

perkataan dan perbuatannya. Karena sesungguhnya Allah tidak

menggabungkan ketaatan kepada Uli al-amr dengan ketaatan

kepada Rasul, sebagaimana Allah menggabungkan ketaatan

kepada Rasul dengan ketaatan kepada-Nya, kecuali Uli al-amr

kedudukannya diatas seluruh makhluk, sebagaimana Rasul

memiliki kedudukan di atas Uli al-amr dan seluruh makhluk.44

43

al-Thabarsy menjelaskan makna Uli al-amr dalam kitab tafsirnya

Majma‟ al-Bayān, bahwa menurut para mufasir terdapat dua pendapat terkait

makna Uli al-amr. Pertama, mereka adalah para Pemimpin, sebagaimana

yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas dalam satu dari dua

riwayat, Maimun bin Mahran, dan as-Suddy. Dan al-Jubā‟i, al-Balkhy, dan

ath-Thabary memilih pendapat tersebut. Kedua, mereka adalah para Ulama,

sebagaimana yang diriwayatkan dari Jābir bin Abdillah, Ibnu Abbas dalam

riwayatnya yang lain, Mujāhid, Hasan, dan „Athā. Sebagian dari mereka

menjelaskan: karena mereka adalah orang-orang yang menetapkan hukum-

hukum ketika terjadi perselihan diantara manusia, mereka bukanlah seorang

pemimpin. 44

al-Thabarsy, Majmau‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an, Jilid 3 h. 96

Page 157: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

143

Al-Thabathaba‟i juga berpendapat bahwa yang

dimaksud dengan Uli al-amr dalam ayat ini adalah Imam-imam

umat, setiap dari mereka memiliki sifat Ishmah dan kewajiban

mentaatinya seperti hukum yang berlaku pada diri Rasulullah

SAW. Dengan demikian tidak menafikan keumuman pengertian

dan maksud kata Uli al-amr dari segi bahasa. Kata Uli al-amr

bermakna umum dan universal, tapi kredibelitas yang

dikehhendaki adalah Imam-imam Ahlul Bait. Tak ubahnya

seperti pengertian Rasul bermakna umum dan universal, tapi

kredibelitas yang dikehendaki adalah Nabi Muhammad SAW45

Sedangkan al-Qummi secara tegas mengatakan, Allah

SWT menyeru kepada para Imam Ahlul Bait ( إن وا أن ؤ مسكم ٱلل تؤد

أه هها إنى ٱألماوات ) : Allah mewajibkan seorang Imam untuk

menyampaikan amanah yang Allah perintahkan kepada Imam

setelahnya,. Lalu Allah SWT mewajibkan seorang Imam untuk

menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. ( ه تم حكم وإذا ب

كمىا أن ٱنىاس ل تح بٱن عد ). Kemudian Allah SWT mewajibkan atas

manusia untuk mentaati mereka para Imam Ahlulbait. Adapun

( أطعىا آمىىا ٱنره أها ا سىل وأطعىا ٱلل ن ٱنس س وأو مى كم ٱألم ) yaitu Amirul

Mukminin Ali bin Abi Thalib.46

Al-Thabathaba‟i menjelaskan mentaati Allah SWT

adalah mentaati ilmu-ilmu dan syariat-Nya melalui Rasul-Nya.

Sedangkan Rasulullah SAW mempunyai dua segi. Pertama,

Syari‟at (selain al-Quran) yang diwahyukan kepadanya, yaitu

penjelasan yang beliau terangkan kepada manusia tentang

rincian makna global yang terkandung dalam al-Quran, dan

sesuatu yang berkaitan dengannya.47

Kedua, ketetapan yang

45

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 411 46

al-Qummi, Tafīir al-Qummi, Jilid 1 h 207 47

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS .an-Nahl/16: 44

... ...

“... Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu

menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka

...”

Page 158: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

144

beliau pandang benar yaitu ketetapan yang berkaitan dengan

pemerintahan dan peradilan.48

Taat kepada Rasulullah pada

hakikatnya taat kepada Allah, karena Allah yang menetapkan

syariat wajibnya ketaatan kepada Rasul-Nya.49

Perintah ketaatan dalam dalam ayat ini merupakan

masalah keagamaan yang dapat menjamin hilangnya setiap

perselisihan yang akan terjadi, dan hilangnya setiap kebutuhan

merujuk kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Sehingga ayat ini

memiliki arti: “Taatiliah kepada Allah ... dan janganlah taat

kepada Thaghut.” Dengan demikian, maka ayat ini

menunjukkan kewajiban merujuk kepada hukum-hukum agama

itu sendiri, yang tak seorang pun berhak menetapkannya

berlaku atau menghapusnya kecuali Allah dan Rasul-Nya. Dan

memperjelas bahwa tak seorang pun dari Uli al-amr dan selain

mereka dibolehkan membelokkan hukum yang telah ditetapkan

oleh Allah dan Rasul-Nya.50

Lebih lanjut al-Thabathaba‟i menjelaskan, ayat ini

menggabungkan antara Rasulullah dan Uli al-amr, dan

menyebutkan untuk keduanya dalam satu ketaatan. ( وأطعىا

سىل ن ٱنس س وأو مى كم ٱألم ) perintah ketaatan dalam ayat ini

merupakan ketaatan mutlak tanpa disyaratkan dengan suatu

syarat, dan dibatasi oleh suatu batasan. Ini menunjukkan bahwa

Rasulullah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu yang

48

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa‟4: 105

... ...

“... Supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah

Allah wahyukan kepadamu ...” 49

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Qs. an-Nisā‟a/4: 64:

...

“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk

ditaati dengan seizin Allah. ...” Lihat al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-

Quran, Jilid 4, h. 397-398 50

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 411-412

Page 159: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

145

bertentangan dengan hukum Allah, hal ini tidak akan sempurna

kecuali dengan kemaksuman Rasulullah SAW. Begitu juga

kemaksuman itu harus dimiliki oleh Uli al-amr sama dengan

kemaksuman Rasulullah SAW tanpa perbedaan.51

Dengan

demikian, maka hukum mentaati Uli al-amr sama dengan

hukum mentaati Rasulullah sebagaimana yang disebutkan

dalam ayat ini.52

al-Thabathaba‟i menegaskan perselisihan yang terjadi

dalam ayat ini merupakan perselisihan antara orang-orang

beriman. Oleh sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk

kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Perselisihan tidak boleh

terjadi antara orang-orang yang beriman dengan Uli al-amr,

sebab mereka wajib ditaati. Tidak ada pilihan lain bagi Uli al-

amr tentang ketetapan-ketetapannya kecuali apa yang ada pada

Allah dan Rasul-Nya yakni hukum yang ada dalam al-Quran

dan al-sunah. Allah tidak menyebutkan mereka ketika

menyebutkan pengembalian. Ini menunjukkan satu ketaatan

kepada Allah dan satu ketaatan kepada Rasulullah dan Uli al-

amr ( أطعىا سىل وأطعىا ٱلل ن ٱنس س وأو ٱألم ).53

مىىن كى تم إن ...) تؤ بٱلل ) mempertegas hukum ini dan

memberi isyarat bahwa orang yang menyalahinya, tiada lain

karena adanya krisis keimanan dalam dirinya. Hukum ini sangat

berkaitan dengan keimananan. Orang yang menyalahi hukum

ini menunjukan bahwa ia pura-pura beriman kepada Allah dan

Rasul-Nya. Tetapi sebenarnya batinnya kufur. Hal seperti ini

menunjukkan kemunafikan, sebagaimana yang dinyatakan oleh

ayat berikutnya. ( س سه خ تؤ ولا وأح ) yakni kembali ketika terjadi

perslisihan atau mentaati Allah, Rasul-Nya dan Uli al-amr.

Sedangkan “ta‟wīl” adalah kemaslahatan dalam realita yang

51

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 399-401 52

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 411 53

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 398-399

Page 160: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

146

ditumbuhkan oleh hukum kemudian disempurnakan dalam

perbuatan.54

Penafsiran Ahlusunah terhadap ayat ini telah rinci

dibahas pada bab sebelumnya, selanjutnya penulis

menampilkan sisi-sisi perbedaan dalam penafsiran ayat tersebut.

Wahbah al-Zuhaili mengatakan taat kepada ulil amri merupakan

prinsip dasar ketiga dalam pemerintahan Islam. adapun menurut

Sayyid Quthb, taat kepada uli al-amr merupakan

pengembangan dari taat kepada Allah dan Rasul Kemudian ar-

Razi, Sayyid Quthb, dan al-Zuhaili menegaskan, bahwa

kewajiban menaati pemimpin adalah dalam perintah-perintah

yang memang wajib ditaati, bukan dalam perintah untuk

bermaksiat kepada Allah.

Sedangkan al-Qummi, al-Thabarsy, dan al-Thabathabai‟

menyatakan taat kepada ulil amri merupakan suatu kemutlakan,

seperti kemutlakan untuk taat kepada Allah dan Rasul.

ketaaatan yang mutlak kepada ulil amri dikarenakan

kemaksuman mereka yang sama seperti kemaksuman yang

dimiliki oleh Rasul. oleh sebab itu ulil amri tidak mungkin

melakukan kemaksiatan atau memberikan perintah untuk

bermaksiat kepada Allah.

Perbedaan konsep ketaatan terhadap ulil amri tersebut

disebabkan karena perbedaan pemaknaan terhadap ketaatan dan

ulil amri dalam ayat tersebut. Adapun penjelasan tentang makna

ulil amri dibahas pada ada sub bab selanjutnya.

54

al-Thabathaba‟i, al-Mizān fī Tafsīr al-Quran, Jilid 4, h. 412

Page 161: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

147

BAB V

ANALISISA KOMPARASI TERHADAP PENAFSIRAN

AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN AHLUSUNAH DAN

SYIAH

Setelah penulis menganalisa penjelasan penafsiran ayat-

ayat al-Quran tentang kepemimpinan pada karya-karya mufasir

dari kedua golongan tersebut, maka penulis mendapatkan

beberapa faktor yang menjadikan kedua golongan tersebut

berbeda pendapat dalam menjelaskan tentang kepemimpinan.

Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

A. Perbedaan Konsep Kepemimpinan yang Berimplikasi

terhadap Perbedaan Ayat-ayat al-Quran yang

Digunakan sebagai Dalil

Salah satu perbedaan antara kelompok Ahlusunah dan

Syiah yang sangat identik adalah berkaitan dengan masalah

kepemimpinan. Golongan Syiah menempatkan kepemimpinan

kedalam ushūluddin. Sedangkan Ahlusunah memahami

kepemimpinan tidak demikian. Berikut pandangan-pandangan

konsep kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah yang penulis

rangkum.

Menurut pandangan Ahlusunah kepemimpinanan

(Imāmah) adalah “pemerintah” dan Imām adalah “kepala

negara”. Ia tidak termasuk ushūluddīn (prinsip-pirnsip pokok

agama) meskipun keberadaannya merupakan suatu keharusan

demi menghindari chaos (kekacauan). Seorang kepala

pemerintahan tidak ditetapkan oleh Nabi, tetapi kewenangan

memilihnya diserahkan kepada umat, selama yang bersangkutan

memenuhi persyaratan yang telah disepakati konstitusi.

Pemilihan tersebut dapat dilakukan melalui orang-orang

terkemuka masyarakat, dapat pula dengan pengangkatan

langsung dari pejabat sebelumnya, atau melalui pemilihan

umum.

Page 162: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

148

Sedangkan Imāmah menurut Syiah sebagaimana

dijelaskan oleh Muhammad Kāsyif al-Ghitha dalam kitabnya

Ashlu asy-Syī‟ah wa Ushūlihā adalah suatu jabatan Ilahi. Allah

yang memilih berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali

menyangkut hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia memilih

nabi. Dia memerintahkan kepada nabi untuk menunjukkannya

kepada umat dan memerintahkan mereka mengikutinya. Mereka

percaya bahwa Allah tidak pernah mengosongkan bumi dari

seorang hujjah atas hamba-hambanya, baik berupa nabi atau

washi (yang diwasiati/imam) yang jelas diketahui semua orang,

maupun washi yang ghaib dan masih tersembunyi. Mereka

percaya bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad

SAW untuk menunjuk dengan tegas Ali bin Abi Thalib sebagai

washi. Kemudian beliau mewasiatkan kepada putranya al-

Hasan, lalu al-Hasan mewasiatkan saudaranya al-Husain,

demikian seterusnya sampai dengan Imam yang kedua belas,

al-Mahdi yang dinantikan.1

Ahlusunah berpendapat bahwa Khalifah sesudah Nabi

Muhammad SAW adalah Abu Bakar, lalu Umar bin Khattab,

kemudaian Utsman bin „Affan, dan yang keempat Ali bin Abi

Thalib Radhiya Allahu „Anhum. Ahlusunah mengakui

kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, tetapi kedudukan dan fungsi

beliau tidak sama dengan pandangan Syiah berkenaan dengan

kepemimpinan itu. Imāmah adalah persoalan umat yang

kedudukannya bersumber dari masyarakat atas dasar pilihan

bebas mereka, atau yang mewakili mereka, melalui lembaga

yang disebut Ahl al-Hall wa al-„Aqd. Khalifah hanya memiliki

kekuasaan politik dan tidak berfungsi Nabi atau Rasul yang

juga sebagai Pemberi petunjuk dan Pembimbing bagi seluruh

manusia.

Muhammad Ridha al-Mudzaffar dalam kitabnya „Aqāid

al-Imāmiyah, mengemukakan bahwa imāmah seperti kenabian,

1 Muhammad Kasyif al-Ghitha, Ashlu asy-Syī‟ah wa Ushūlihā, h.

221

Page 163: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

149

tidak dapat wujud kecuali dengan nash dari Allah SWT melalui

lisan Rasul-Nya atau lisan Imam yang diangkat dengan nash

apabila dia akan menyampaikan dengan nash imam yang

bertugas sesudahnya. hukum sifatnya sama seperti kenabian

tanpa perbedaan, karena itu masyarakat tidak memiliki

wewenang menyangkut siapa yang ditetapkan Allah sebagai

Pemberi petunjuk dan Pembimbing bagi seluruh manusia,

sebagaimana mereka tidak mempunyai hak untuk menetapkan,

mencalonkan, atau memilihnya.2

Berbeda menurut pandangan Ahlusunah, masyarakat

berkewajiban mengontrol imam/pemerintah dan menuntut

pertanggungjawabannya, bahkan masyarakat dapat

mencopotnya jika ia terbukti melakukan kekufuran atau

mengabaikan penegakan prinsip-prinsip agama. Sementara

ulama Ahlusunah bahkan menetapkan bolehnya pemimpin

dicopot jika melakukan penganiayaan terhadap jiwa atau harta

benda atau hak-hak asasi manusia. Namun walaupun Ahlusunah

menolak untuk mengakui kedua belas imam-imam Syiah,

mereka tetap memberikan penghormatan besar kepada pribadi-

pribadi yang dianggap Imam oleh golongan Syiah. Ahlusunah

menilai bahwa kedudukan yang diberikan oleh golongan Syiah

kepada mereka sangat tinggi dan telah melampaui batas

kewajaran.

Imam Khomeini menyatakan, imam memiliki

kedudukan yang terpuji serta tingkat yang tinggi serta

kekhalifahan terhadap alam yang tunduk kepada kekuasaannya

serta pengendaliannya terhadap semua atom alam raya.

Sesungguhnya merupakan bagian dari pemahaman aksioma

mazhab Syiah adalah bahwa imam-imam memiliki kedudukan

yang tidak dicapai oleh malaikat yang didekatkan (Allah ke sisi-

Nya), tidak juga oleh nabi yang diutus (Allah). Sesuai dengan

riwayat-riwayat dan hadis-hadis Syiah, Rasul teragung

(Muhammad Saw.) dan imam-imam -sebelum terciptanya alam

2 Muhammad Ridha al-Mudzaffar, „Aqāid al-Imāmiyah, h. 63-64

Page 164: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

150

ini- merupakan cahaya-cahaya yang dijadikan Allah

memandang ke Arsy dan menganugrahkan buat mereka

kedudukan dan kedekatan yang tidak diketahui kecuali oleh

Allah Swt.3

Perbedaan pandangan antara Ahlusunah dan Syiah

tentang konsep Imāmah seperti dijelaskan di atas, berdampak

kepada perbedaan dalam pengunaan ayat-ayat yang dijadikan

landasan Imāmah tersebut.

Mufasir Ahlusunah melandaskan QS. Ali Imran/3 : 159

dan QS. asy-Syūra/42 : 38 sebagai dasar pemilihan pemimpin

dengan cara bermusyawarah. Adapun bentuk implemantasi

musyawarah pemilihan kepala negara adalah persoalan teknis

yang dapat berkembang sesuai dengan kondisi dan zamannya.

Kemudian memilih pemimpin harus seorang beriman

sebagaimana dalam QS. Ali Imran/3 : 28 dan QS. Al-Maidah/5:

51. Adapun kriteria utama seorang pemimpin adalah harus

amanah, menegakkan hukum dengan adil (QS. al-Nisa/4: 58),

dan menegakkan amar makruf nahi mungkar (QS. Ali Imran/3:

104 dan 110). Selama pemimpin sesuai dengan kriteria tersebut,

maka rakyat wajib mentaatinya, sebagaimana yang disebutkan

dalam QS. al-Nisa/4: 59. Apabila pemimpin membuat

kebijakan, maka kebijakan tersebut harus dimusyawarahkan dan

membawa kemaslahatan umat.

Sedangkan mufasir Syiah mengatakan bahwa Allah Swt

telah mewahyukan kepada Rasulullah untuk melantik Ali bin

Abi Thalib sebagai Imam sepeninggalannya melalui QS. Al-

Maidah/5: 67. Kemudian Allah menguatkan kebenaran

kepemimpinan Imam Ali dalam QS. al-Maidah/5: 55-56.

Karena Imam adalah orang yang dipanuti oleh manusia, yang

memberi petunjuk dengan perkara Allah. Oleh sebab itu

kedudukan Imam sangatlah tinggi, seperti kisah Ibrahim AS

yang dilantik Allah menjadi Imam setelah menjadi Nabi

3 Imam Khomeini, al-Hukūmah al-Islāmiyyah (Lebanon: Muassasat

al-Ā‟lamy li al-Mathbū‟āt, tth), h.52

Page 165: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

151

sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah/2: 124. Hukum mentaati

Imam sama dengan hukum mentaati Rasulullah, karena para

Imam memiliki kemaksuman yang sama dengan kemaksuman

Rasulullah sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Nisa/4:

59.

B. Perbedaan Penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap

Ayat-ayat al-Quran tentang Kepemimpinan

Perbedaan penafsiran antara Ahlusunah dan Syiah

merupakan hal yang wajar, terlebih dalam penafsiran ayat-ayat

kepemimpinan. Seorang mufasir yang menafsirkan al-Quran

berangkat dari kepentingan yang berbeda-beda. Terlebih

mufasir Ahlusunah dan Syiah yang membawa kepentingan

ideologinya dan melakukan penetrasi ke dalam penafsirannya.

Walaupun penafsirannya sangat rasional, namun rasionalitas

penafsiran yang dibangun itu pada hakikatnya, tidak murni

untuk menafsirkan al-Quran semata, tapi juga berkepentingan

untuk memperkuat ideologi dan menyerang ideologi yang

bersebrangan. Kepentingan adalah sebuah keniscayaan bagi

seorang mufasir. Oleh karenanya, sudah semestinya menjadi

sebuah keniscayaan pula untuk menerima dengan lapang dada

bahwa penafsiran al-Quran tidak bisa terhindar dari ideologi

yang dianut mufasir.

Berikut rangkuman perbedaan penafsiran Ahlusunah

dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Quran tentang kepemimpinan.

1. Penafsiran QS. Ali Imran/3 : 159 dan QS. asy-

Syūra/42 : 38

Mufasir Ahlusunah menafsirkan musyawarah dalam

ayat ini sebagai pondasi pemerintahan Islam, karakteristik

masyarakat Islam, salah satu kaidah syariat dan termasuk

kategori azīmahI (hukum asal yang bersifat wajib). Sedangkan

mufasir Syiah tidak demikian, al-ummi tidak membahas

musyawarah sama sekali dalam tafsirnya. Adapun al-Thabarsy

Page 166: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

152

dan al-Thabathaba‟i hanya menjelaskan perihal musyawarah

yang dilakukan Rasulullah sebelum perang uhud dan perkara

dunia lainya. Mereka tidak megkhususkan penafsiran

musyawarah sebagai bagian dari pemerintahan dan pemilihan

kepemimpinan.

2. Penafsiran QS. al-Nisa/4: 58

Pada QS. al-Nisa/4: 58 nampak jelas perbedaan dalam

menafsirkan ayat tersebut. Ahlusunah berpendapat bahwa

amanah adalah prinsip pertama asas pemerintahan Islam dan

keadilan adalah prinsip kedua. Sedangakan Syiah berbeda

dalam memaknai kedua hal tersebut. Kedua hal terebut

ditujukan khusus kepada para Imam Ahlulbait. Para Imam

diperintahkan Allah untuk menyampaikan amanah

kepemimpinan kepada Imam setelahnya dan Iman harus

menegakkan keadilan di masyarakat.

3. Penafsiran QS. al-Nisa/4: 59

Wahbah al-Zuhaili mengatakan taat kepada ulil amri

merupakan prinsip dasar ketiga dalam pemerintahan Islam.

adapun menurut Sayyid Quthb, taat kepada uli al-amr

merupakan pengembangan dari taat kepada Allah dan Rasul

Kemudian ar-Razi, Sayyid Quthb, dan al-Zuhaili menegaskan,

bahwa kewajiban menaati pemimpin adalah dalam perintah-

perintah yang memang wajib ditaati, bukan dalam perintah

untuk bermaksiat kepada Allah.

Sedangkan al-Qummi, al-Thabarsy, dan al-Thabathabai‟

menyatakan taat kepada ulil amri merupakan suatu kemutlakan,

seperti kemutlakan untuk taat kepada Allah dan Rasul.

ketaaatan yang mutlak kepada ulil amri dikarenakan

kemaksuman mereka yang sama seperti kemaksuman yang

dimiliki oleh Rasul. oleh sebab itu ulil amri tidak mungkin

melakukan kemaksiatan atau memberikan perintah untuk

bermaksiat kepada Allah.

Page 167: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

153

Perbedaan konsep ketaatan terhadap ulil amri tersebut

disebabkan karena perbedaan pemaknaan terhadap ulil amri

dalam ayat tersebut. Adapun penjelasan tentang makna ulil amri

dibahas pada ada sub bab selanjutnya.

4. Penafsiran QS. Ali Imran/3: 104 dan 110

Secara global Ahlusunah dan Syiah sama-sama

berpandangan bahwa umat Islam berkewajiban (fardhu kifayah)

menjalankan amar makruf nahi munkar, terlebih seorang

pemimpin. Namun, terjadi perbedaan ketika al-Qummi dan al-

Thabarsy memaknai kata ummah dalam kedua ayat tersebut

dengan para imam ahlulbait.

5. QS. al-Maidah/5: 67

Perbedaan dalam menafsirkan ayat ini sangat jelas

terlihat. Syiah berkeyakinan bahwa perintah tablīgh dalam ayat

ini adalah perihal wilayah Ali bin Abi Thalib pasca Rasulullah

SAW tanpa jeda. Allah memerintahkan Rasul agar tidak

menunda penyampai hal tersebut dan Allah menjamin

keberhasilan penyampaian hukum tersebut dari sahabat-

sahabatnya yang ingin merusak ketetapan tersebut. Sedangkan

Ahlusunah memaknai perintah tablīgh dengan perihal hukum-

hukum agama. Allah memerintahkan Rasul agar segera

menyampaikannya secara terang-terangan dan Allah menjamin

keselamatan beliau dari makar orang Yahudi dan Nasrani.

6. QS. Al-Baqarah/2: 124

Dari penjelasan kedua golongan terlihat jelas perbedaan

dalam pemaknaan seorang imam. Ahlusunah mengartikan

Imam dalam ayat ini sama dengan Nabi dan Rasul. Sedangkan

Syiah membedakan antara Nabi, Rasul dan Imam. Bahkan

beberapa ulama Syiah mengatakan imamah lebih tinggi

daripada kenabian dan kerasulan, karena Nabi Ibrahim

mendapatkan anugrah Imam setelah Ia menjadi Nabi dan Rasul.

Page 168: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

154

Imam haruslah maksum menurut Syiah. Sedangkan menurut

Ahlusunah, imam yang fasik dan zalim pun lebih baik

dipertahankan untuk menjaga pertumpahan darah.

7. QS. al-Maidah/5: 55-56

Maka, terlihat jelas perbedaan penafsiran pada kedua

ayat diatas. Pertama, ahlusunnah menafsirkan ayat ini dengan

munāsabah ayat, sedangkan Syiah tidak demikian, pada

penjelasan sebelumnya dijelaskan, bahwa rangkaian ayat

tersebut tidak diturunkan sekaligus. Kedua, ahlusunnah

menafsirkan al-waliy dengan makna penolong, sedangkan Syiah

dengan kepemimpinan dan cinta kasih. Ketiga, Ahlusunah

memaknai kata rukū‟ dengan makna majazi yakni keadaan

tunduk, patuh, dan khusyu, sedangkan Syiah memaknainya

dengan makan sebenarnya yaitu posisi rukuk dalam salat.

Keempat, Ahlusunah menyatakan ayat ini diturunkan terkait

khusus dengan Abu Bakar, sedangkan Syiah menyatakan ayat

ini terkait khusus dengan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.

Kelima, Ahlusunah menyatakan ( نوا ٱلذين آم ) adalah orang-orang

mukmin secara umum, sedang Syiah menyatakan Ali secara

khusus.

C. Persaman Penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap

ayat-ayat al-Quran tentang Kepemimpinan

Penulis menemukan persamaan penafsiran Ahlusunah

dan Syiah terhadap ayat-ayat al-Quran tentang kepemimpinan.

Namun tetap ada sisi-sisi perbedaan dan penekanan dalam

menafsirkan ayat-ayat tersebut. Adapun persamaan tersebut

yaitu tentang larangan berpatronasi dan menjadikan orang kafir

(Yahudi dan Nasrani) sebagai pemimpin. Ahlusunah dan Syiah

sama-sama memahami bahwa Allah SWT di beberapa ayat al-

Quran melarang berpatronasi dan menjadikan orang kafir

sebagai pemimpin. Namun ketika membahas bagian akhir dari

QS. Ali Imran/3 : 28, Syiah memfokuskan pembahasan tentang

Page 169: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

155

konsep taiyyah. Syiah memperkenankan orang beriman

menjadikan orang kafir sebagai pemimpin dan melakukan

perwalian dengan mereka dengan syarat ia bertaqiyah karena

khawatir akan keselamatan dirinya. Lebih daripada itu orang

beriman diperbolehkan untuk mengikuti peribadatan orang kafir

dengan maksud bertaqiyyah.

D. Perbedaan Term-Term Kepemimpinan dalam Ayat-ayat

al-Quran tentang Kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah

Dalam al-Qur‟an, Allah menggunakan beberapa term

yang berkenaan dengan kepemimpinan, seperti term yang

secara langsung menunjuk kepada term pemimpin, yaitu term

imām, wali, uli al-amr, khalīfah, mālik dan sulthān.4 Adapula

term-term yang menunjuk kepada unsur kepemimpinan secara

global seperti syūrā, amānah, „adl, amr bi al-ma‟rūf wa nahy

„an al-munkār, dan al-tablīg.

Setelah penliti melacak, menghimpun serta menelaah

ayat-ayat tersebut secara menyeleruh. Akhirnya peneliti

menemukan persamaan dan perbedaan term-term yang terdapat

dalam ayat-ayat kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah.

Persamaan term-term tersebut adalah wali dan uli al-amr.

Sedangkan perbedaan term-termnya, yaitu Ahlusunah

menekankan ayat-ayat kepemimpinan pada term syūrā,

amānah, „adl, dan amr bi al-ma‟rūf wa nahy „an al-munkār,

kemudian Syiah, yaitu term al-tablīg dan imām. Adapun term

kepemimpinan yang tidak terdapat dalam ayat-ayat

kepemimpinan Ahlusunah dan Syiah adalah term khalīfah,

mālik dan sulthān.

E. Perbedaan dalam penerapan sumber penafsiran

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab II, bahwa

terdapat perbedaan sumber Tafsīr bī al-Ma‟tsūr antara

4 Muhammad Rosyidi, Tafsir Tematik: Etika Pemimpin dalam al-

Qur 'an, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 50

Page 170: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

156

Ahlusunah dan Syiah. Sumber Ahlusunah dalam menafsirkan

ayat al-Quran adalah dengan ayat al-Quran, hadist Nabi SAW,

perkataan sahabat dan tabiin. Namun, berbeda dengan Syiah

yang lebih mengutamakan perkataan para Imam Ahlulbait

dalam menafsirkan ayat al-Quran dari pada perkataan sahabat

dan tabiin Ahlusunah. Penafsiran ayat al-Quran dengan

perkataan para Imam Ahlulbait ini terdapat dalam beberapa

penafsiran ayat-ayat kepemimpinan ini. Seperti :

Pertama, al-Thabathaba‟i dan al-Thabarsy ketika

menafsirkan amanah dalam QS. al-Nisa/4: 58 menafsirkannya

dengan perkataan Imam Muhammad al-Baqir AS (Abu Ja‟far)

yang menyatakan bahwa Allah memerintahkan para Imam

untuk menyampaikan amanah kepada Imam setelahnya dan

melaksanakan kepemimpinan dengan adil. Kedua, ketika

menafsirkan kata ummah dalam QS. Ali Imran/3: 104 dan 110

al-Qummi dan al-Thabarsy mengutip perkataan Imam Ja‟far

Shadiq AS (Abu Abdillah) yang memaknai ummah dengan para

Imam Ahlulbait. Ketiga, al-Thabarsy ketika menfasirkan kata

fa‟atammahunna dalam QS. al-Baqarah/2: 124 menukil

perkataan Imam Ja‟far Shodiq yang menafsirkannya dengan

makna Allah menyempurnakannya sampai sempurna 12 Imam,

9 Imam dari putra Husein bin Ali. Keempat, al-Qummi dan al-

Thabarsyi menukil penjelasan Imam Ja‟far Shodiq AS terkait

ujian-ujian yang berhasil Nabi Ibrahim AS tunaikan dan

mengantarkannya ke maqam Imamah dalam QS. al-Baqarah/2:

124.

F. Perbedaan dalam penerapan kolerasi (munāsabah) ayat

dalam penafsiran.

Setelah perbedaan ayat-ayat al-Quran yang dijadikan

dalil dalam menjelaskan konsep kepemimpinanan adalah

perbedaan dalam penerapan Munāsabah (kolerasi) ayat.

Munāsabah adalah salah satu disiplin ilmu dalam Ulūmul al-

Quran. Ilmu tersebut mempelajari tentang persesuaian sebuah

Page 171: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

157

ayat/surah yang satu dengan ayat/surah yang lain, sehingga

terbentuk satu kesatuan tema dari kelompok-kelompok ayat

tertentu. Oleh sebab itu sebagian pengarang menamakan ilmu

ini dengan “Ilm Tanāsub al-Ayāt wa al-Suwār”.

Badr al-Din Muhamad al-Zarkasyi mengatakan dalam

kitabnya al-Burhān fī Ulūmul al-Quran, ilmu Munāsabah

adalah ilmu yang mulia, yang dengannya dapat diketahui kadar

pembicaraan seorang pembicara. Munāsabah secara bahasa

memiliki arti kedekatan (al-Muqārabah). Sedangkan secara

istilah Munāsabah adalah ilmu yang menjelaskan segi-segi

hubungan antara beberapa ayat, yakni permulaan ayat dan

bagian akhirnya, baik hubungan itu berupa ikatan antara kata

yang umum dan khusus, rasional dan irrasional, atau antara

sebab-akibat, „illat dan ma‟lūl, ayat yang serupa atau yang

kontradiksi dan lain sebagainya. Lebih lanjut, ia mengatakan

bahwa kegunaan ilmu ini adalah menjadikan bagian-bagian ayat

al-Quran saling mengikat dan menguatkan satu sama lain,

seperti halnya kontruksi bangunan yang kokoh dan bagian-

bagiannya tersusun harmonis.5

Quraish Shihab, menjelaskan ulama-ulama al-Quran

menggunakan kata Munāsabah untuk dua makna. Pertama,

hubungan kedekatan antara ayat atau kumpulan ayat-ayat al-

Quran satu dengan lainnya. Kategori ini mencakup banyak

ragam, : a). Hubungan kata demi kata dalam satu ayat, b).

Hubungan ayat dengan ayat sesudahnya, c). Hubungan

kandungan ayat dengan penutupnya, d). hubungan surah dengan

surah berikutnya, e). hubungan awal surat dengan penutupnya,

f). Hubungan nama surah dengan tema utamanya, dan g).

Hubungan uraian akhir surah dengan uraian awal surah

berikutnya.

Kedua, hubungan makna satu ayat dengan ayat lain.

seperti pengkhususannya, atau penetapan syarat terhadap ayat

5 Badr al-Din Muhamad bin Abdullah al-Zarkasyi , al-Burhān fī

Ulūmul al-Quran (Beirut: al-Maktabah al-„Ashriyyah, 2004) jilid 1, h. 41

Page 172: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

158

lain yang tidak bersyarat. Qs. al-Maidah/5: 3 misalnya,

menjelaskan aneka makanan yang haram, antara lain darah.

Tetapi Qs. al-An‟am/6: 145 menjelaskan bahwa yang haram

adalah darah yang mengalir. Permisalan tersebut menunjukkan

adanya Munāsabah antara ayat al-Maidah dan al-An‟am. Lebih

lanjut Quraish Shihab menjelaskan, Ulama berbeda pendapat

menyangkut ada atau tidaknya Munāsabah dalam pengetian

pertama di atas. Ulama yang menolak beralasan, bahwa ayat-

ayat al-Quran turun dalam masa yang berbeda-beda dan tidak

mungkin ada kaitan antara uraian masa lalu dan masa

kemudian. Namun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar,

karena setiap ayat yang turun, Rasulullah menjelaskan kepada

penulis wahyu dimana ayat itu ditempatkan.6

Al-Thabathabai‟ ketika menafsirkan makna wilayah

dalam QS. Al-Maidah/5: 55-56 berbeda dengan mayoritas

mufasir Ahlusunah yang memaknainya dalam pengertian

pertolongan. Karena mereka menyatakan ayat ini mempunyai

kaitan erat dengan ayat sebelum dan sesudahnya (munāsabah).

Sedangkan menurut ath-Thabathabi‟ rangkaian ayat tersebut

tidak memiliki munāsabah, karena tidak turun sekaligus. Hal ini

dapat dibuktikan dengan kandungan maknanya dan dikuatkan

oleh sebab-sebab turunya. Dengan demikian. pengertian yang

tepat dari Ikatan Wilayah dalam rangkaian ayat ini adalah kasih

sayang dan kepemimpinan. Karena kasih sayang mengharuskan

keterpaduan jiwa dan rohani antara dua kelompok manusia.

Dalam menjelaskan QS. Al-Maidah/5: 67, al-

Thabathaba‟i juga mengatakan bahwa, ayat ini tidak memiliki

hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. ayat ini

diturunkan dalam masalah Wilayah Ali bin Abi Thalib. Allah

memerintahkan menyampaikan masalah ini, sementara masalah

ini juga diinginkan oleh semua manusia. Karena itu Nabi Saw.

6 M Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan

yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran

(Tanggerang: Lentera Hati, 2015), h.243-245

Page 173: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

159

merasa khawatir untuk menyampaikan dan menjelaskannya.

Adapun rangkaian ayat ini membicarakan tentang keadaan ahli

kitab, kehinaan dan keburukan akibat perbuatan mereka, yakni

banyak berbuat zalim terhadap apa yang telah diharamkan oleh

Allah dan mengingkari ayat-ayat-Nya. Jika ayat ini mempunyai

hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang saling

berkaitan, maka mempunyai kesimpulan bahwa perintah Nabi

yang terpenting adalah menyampaikan perintah Allah tentang

masalah Ahli Kitab.

Berbeda dengan Wahbah al-Zuhaili dan Sayyid Quthb

yang menafsirkan ayat-ayat kepemimpinan dengan berpedoman

terhadap munasabah ayat, seperti dalam menafsirkan QS. Ali

Imran/3 : 159. Mereka menjelaskan pribadi Rasulullah yang

selalu bermusyawarah dalam segala perkara dan berbagai

kondisi. Sampai suatu perkara yang hasilnya sudah beliau

ketahui sekalipun beliau tetap melakukan musyawarah,

sebagaimana rangkaian ayat tersebut yang menceritakan tentang

tentang perang Uhud serta berbagai dampak dan pengaruh yang

ditimbulkannya. Dari situ, mayoritas ulama syariat dan pakar

undang-undang konstitusional meletakkan “musyawarah”

sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang

pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang

telah ditetapkan oleh nash-nash al-Quran dan hadis-hadis

nabawi.

Begitu pula ketika menafsirkan Qs. al-Nisa/4 : 59, al-

Thabathabai‟, al-Thabarsy, dan al-Qummi tidak menyinggung

hubungan ayat sebelumnya. Sedangkan Wahbah al-Zuhaili

mengemukakan hubungan Qs. al-Nisa/4 : 59 dengan ayat

sebelumnya Qs. al-Nisa/4 : 58. Qs. al-Nisa/4 : 58-59

menjelaskan tentang prinsip dasar pemerintahan Islam, prinsip

dasar pertama dan kedua adalah menjalakan amanah dan

menegakkan keadilan yang terdapat pada Qs. al-Nisa/4 : 58.

Kemudian Qs. al-Nisa/4 : 59 merupakan prinsip dasar ketiga

yaitu kewajiban mentaati pemimpin.

Page 174: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

160

G. Perbedaan dalam memaknai lafadz Ulī al-Amr pada Qs.

al-Nisa/4 : 59

Istilah ulī al-amr dalam al-Quran tersebut sebanyak dua

kali, yaitu pada surat al-Nisa ayat 59 dan 83. Ulī al-amr

merupakan kalimat yang tersusun dari kata “ulī” dan kata

“amr”. Kata “ulī” berarti pemilik, sedangkan kata “amr”

berarti perintah atau tuntutan melakukan sesuatu. Menurut Ibnu

Manzhur dalam kitabnya Lisān al-„Arab “uli al-amr” memiliki

dua makna yatu, (ruasāa‟) para pemerintah dan ulama.7 Dalam

al-Mufradāt fī Gharīb al-Quran al-Raghib al-Isfahani

membenarkan pendapat para ulama yang memaknai Ulī al-Amr

dengan Para Pemimpin di zaman Rasulullah, imam-imam dari

ahlulbait, orang-orang yang memerintahkan kepada kebaikan,

Ibnu Abbas berpendapat : mereka adalah para fakih dan ahli

agama yang taat.8

Ibnu Taimiyah menjelaskan, Uli al-amr adalah orang

yang memegang perkara dan pemimpin. Mereka adalah orang

yang memerintah manusia, termasuk di dalamnya orang yang

memiliki kekuasaan dan kemampuan, juga orang yang memiliki

ilmu pengetahuan dan teologi. Maka dari itu, beliau membagi

uli al-amr menjadi dua macam, yaitu ulama dan umara. Apabila

mereka bagus, maka manusia akan bagus. Namun bila mereka

rusak, pasti mereka akan rusak pula.9

Mahmud Syaltut menjelaskan, Uli al-amr adalah para

ahli pikir yang dikenal oleh masyarakat dengan kesempurnaan

spesialisasi dalam membahas urusan- urusan dan mencari

kemaslahatan serta peduli terhadap kemaslahatan itu. Taat

kepada mereka adalah melakukan apa yang mereka sepakati

7 Jamaluddin Muhammad bin Mukarram Ibnu Manzur, Lisān al-

„Arab, (Beirut: Dār Shādir, tth), Jilid 4 h. 31 8 Abul Qosim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Isfahani, al-

Mufradāt fī Gharīb al-Quran (Nazār Musthafa al-Bāz, 2009) jilid 1, h. 31 9 Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islām aw

Wazhīfah al-Islāmiyyah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2010), h.11

Page 175: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

161

dalam masalah yang memerlukan pemikiran dan Ijtihād atau

apa yang terkuat dalam masalah itu lewat cara suara terbanyak

atau kekuatan argumentasi. Syaltut membagi Uli al-amr

menjadi tiga macam, yaitu ahli pikir dalam perkara-perkara

rakyat, para penguasa dan para mufti.10

Rasyid Ridha, secara spesifik menyebutkan orang-orang

yang mewakili rakyat adalah uli al-amr. Mereka yang memikul

tanggung jawab urusan-urusan rakyat yang menjadi rujukan

mereka dalam kemaslahatan mereka, dan mereka tentram

dengan mengikuti mereka. Mereka dalam istilah fikih disebut

dengan Ahli Hal wa al-Aqd atau Dewan Perwakilan Rakyat,

mereka bukan para pemimpin atau umara. Tugas para

pemimpin atau raja tergantung kepada fatwa para ulama, dan

ulama pada hakikatnya adalah umaranya para umara.11

Dengan

demikian uli al-amr menurut Rasyid Ridha adalah Dewan

Perwakilan Rakyat yang diduduki oleh para ulama.

Uli al-amr menurut Wahbah al-Zuhaili adalah para

pemimpin, panglima perang, dan para ulama yang bertugas

menerangkan hukum-hukum syara‟ kepada manusia. Menurut

Sayyid Quthb, uli al-amr adalah pemimpin dari kalangan orang-

orang mukmin sendiri, yang telah memenuhi syarat iman dan

batasan Islam yaitu, taat kepada Allah dan Rasul. Adapun

menurut Fakhrudin al-Razi li al-amr adalah Ahl al-Hall wal al-

„Aqd. Sedangkan menurut al-Qummi, al-Thabarsy, dan at-

Thabathabai‟ uli al-amr adalah imām-imām yang ma‟sūm.

Dengan demikian, menurut para ulama sunnah makna

uli al-amr ada empat. Pertama adalah kepala negara. Kedua,

pendapat lain mengatakan bahwa uli al-amr bermakna (umarā

al-Sirāyā) pemimpin perang. Ketiga, uli al-amr itu adalah

ulama yang memberikan fatwa dalam hukum syara‟ dan

10

Mahmud Syaltut, al-Islam „Aqīdatan wa Syarī‟atan (Kairo: Dar

al-Surūq. 2001), h. 443-444 11

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Quran al-Hakīm, Tafsir al-

Manar (Mesir: al-Manar, 1947), jilid 5 h. 181

Page 176: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

162

mengajarkan manusia tentang agama Islam. Keempat, uli al-

amr adalah Ahl al-Hall wal al-„Aqd. Sedangkan ulama Syiah

sepakat memaknai istilah uli al-amr dengan imām-imām

ma‟sūm.

H. Solusi Konstruktif

Perdebatan konsep kepemimpinan dan penafsiran ayat-

ayat kepemimpinan antara Ahlusunah dan Syiah merupakan

suatu hal yang tidak bisa didamaikan. Perbedaan tersebut

layaknya timur dan barat yang tidak dapat disatukan. Walaupun

saat ini Syiah sudah mulai mengendorkan egonya dan banyak

melakukan pendekatan-pendekatan dengan Ahlusunah, namun

Ahlusunah pun tetap tidak dapat menerima konsep

kepemimpinan dan ideologinya. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya bahwa penafsiran yang dilakukan oleh kedua belah

pihak dihegemoni oleh kepentingan ideologi yang jelas

berbeda. Karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan, maka

sudah semestinya kedua belah pihak saling memahami dan

berlapang dada terhadap perbedaan tersebut.

Page 177: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

163

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mufassir Ahlusunah dan Syiah berbeda pandangan

dalam menetapkan dalil ayat-ayat kepemimpinan dalam al-

Quran. Begitupula terdapat perbedaan dalam metode dan hasil

penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut. Hal ini disebabkan

karena kedua kelompok memiliki konsep yang berbeda dalam

memaknai kepemimpinan, khususnya kepemimpinan yang

diawali pasca wafat Nabi Muhammad SAW dan mereka

memasukan ideologi ke dalam penafsirannya. Ahlusunah

memiliki pandangan kepemimpinan yang komprehensif, artinya

semua mukmin yang memiliki kekuasaan dan kemampuan

dalam mengatur kemaslahatan orang banyak, dapat dijadikan

pemimpin melalui musyawarah. Adapun Syiah memiliki

pandangan kepemimpinan yang eksklusif, artinya kepemim-

pinan hanya dapat diemban oleh para imam ahlul bait yang

maksum berdasarkan dalil-dalil al-Quran dan al-Hadist, ataupun

wasiat dari imam sebelumnya.

B. Saran

Penulis berharap semoga penelitian ini dapat membantu

masyarakat dalam memahami dan mengetahui perbedaan

pandangan ulama tafsir Ahlusunah dan Syiah tentang

kepemimpinan. Saran penulis yaitu, pengkajian masalah ini

harus selalu dilakukan, baik melalui seminar, dialog, diskusi,

atau dengan karya-karya ilmiah lainnya. Hal ini disebabkan

karena masalah ini merupakan salah satu perbedaan yang

mencolok antara Ahlusunah dan Syiah, karena merupakan

doktrin utama Syiah. Permasalahan ini bisa berpengaruh

terhadap keharmonisan dan persatuan komunitas umat Islam.

Page 178: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

164

Page 179: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

165

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Baqi, Muhammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li al-

fāzh al-Qurān al-Karīm. Mesir: Darul Kutub, 1945.

Alfian, M. Alfan. Menjadi Pemimpin Politik; Pervincangan

kepemimpinan dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2009.

Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Penang, Singapura: Sulaiman

Mar’i, 1965.

Amin, Ahmad. Zhuhr al-Islam. Beirut: T.pn, 1969.

Anwar, Rosihon. Samudra al-Qur'an. Bandung: Pustaka Setia,

2001.

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Armstrong, Karen. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi

Kritis. Terj. Sirikit Syah, Surabaya: Risalah Gusti, 2003.

Atjeh, Aboebakar Perbandingan Mazhab Syiah Rasionalisme

dalam Islam. Semarang: Ramadhani, 1980.

Aziz, Abdul. Chiefdom Madinah Salah Paham Negara Islam.

Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka , 1995.

Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal menurut Konsepsi Islam.

Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995.

Draz, Mohammad Abdullah. Asal-usul Agama Islam dalam

Kenneth W. Morgan (ed.), Islam Jalan Lurus, Terj.

Abdusalam dan Chaidir Anwar. Jakarta : Pustaka Jaya,

1986

Page 180: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

166

Effendy, Mochtar, Kepemimpinan menurut Ajaran Islam.

Palembang: Al-Mukhtar, 1997

al-Farmawi, Abd. Hayy, Metode Tafsīr Maudhu’i Suatu

Pengantar Terj : Suryan A.Jamrah. Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada, 1994

Farrukh, Umar. al-‘Arab aw al-Islam fi al-Haudl al-Syarqiy min

al-Bahr al-Abyad al-Mutawassith. Beirut: Dar al-Kutub,

1966.

al-Ghazali, Imam. Konsepesi Negara Bermoral: Menurut Imam

al-Ghazaliy. Jakarta: Bulan Bintang, tth.

al-Ghitha, Muhammad Husain Kasyif. Ashlu As-Syiah wa

Ushuliha. Teheran: Maktabah Ats-tsaqafah Al-

islamiyyah, 1415 H

Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga

Modern. Penerjemah M. Alaika. Salamullah, dkk.

Depok: Elsaq Press, 2010.

Haekal, Muhammad Husain. Ali bin ABi Thalib Sampai Kepada

Hasan dan Husein, terj. Ali Audah. Bogor: Litera

AntarNusa, 2003.

Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, Terj.

Ali Audah. Bogor: Litera Antar Nusa, 2003.

Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattab. Terj. Ali

Audah. Bogor: Litera Antar Nusa, 2002.

Haekal, Muhammad Husain. Usman bin Affan: Antara

Kekhalifahan dengan Kerajaan. Terj. Ali Audah

(Bogor: Litera Antar Nusa, 2002

Haekal, Muhammad Husein. Abu Bakar as-Siddiq: Sebuah

Biografi. Terj. Ali Audah. Bogor: Litera Antar Nusa,

2003.

Page 181: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

167

Haikal, Muhammad Husein. Hayatu Muhammad. Kairo:

Maktabah al-Nahdliyah al-Mishriyah, 1968.

Hashem, O. Wafat Rasulullah dan Suksesi Sepeninggal Beliau

di Saqifah. Bekasi: YAPI, 2004.

Hasimy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1975.

Hawwa , Said, Al-Islam Terj: Abd Hay al-Kattani. Jakarta:

Gema Insani Press, 2004

Hitti, Philip K. Duia Arab. Terj. Ushuluddin Hutagulung dan

O.D.P. Sihombing. Bandung: Sumur Bandung, tth.

Hoyland, Robert G.. Arabia and the Arabs: From the Broxe Age

to the Coming of Islam. London: Routledge, 2002.

al-Husaini, HMH. al-Hamid. Membangun Peradaban; Sejarah

Muhammad SAW Sejak Sebelum diutus Menjadi Nabi.

Bandung: Pustaka Hidayah, 2000

Ibnu Katsir, Abu Ismail. Tafsir al-Qur’an al-Azim. Kairo: Dar

al-Tayyibah, 1999.

Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad bin Mukarram. Lisān al-

‘Arab. Beirut: Dār Shādir, tth.

Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. al-Hisbah fi al-Islām

aw Wazhīfah al-Islāmiyyah. Beirut: Darul Kutub al-

Ilmiyyah, 2010.

Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. as-Syiyāh as-

Syar’iyah. Saudi Arabia: Wizārah al-Syuū’n al-

Islāmiyyah wa al-Da’wah wa al-Irsyād al-Su’ūdiyyah,

1418 H / 1998 M.

al-Isfahani, Abul Qosim al-Husain bin Muhammad al-Raghib.

al-Mufradāt fī Gharīb al-Quran. Nazār Musthafa al-

Bāz, 2009.

Page 182: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

168

al-Jabiri, Muhammad Abid. Agama, Negara, dan Penerapan

Syari’ah, terj. Mujiburrahman. Yogyakarta: Fajar

Pustaka Baru, 2001.

al-Jabiri, Muhammad Abid. Kritik Nalar Arab, terj. Imam

Khoiri. Yogyakarta: IRCISOD, 2003.

al-Jabiri, Muhammad Abid. Syura; Tradisi, Partikularitas,

Ubiversalitas. Terj. Mujiburrahman. Yogyakarta: LkiS,

2003.

al-Jazairi, Abu Bakar. Aisar al-Tafasir. Beirut: Dar al-Kutub,

2000.

Karim, Khalil Abdul. Negara Madinah: Politik Penaklukan

Masyarakat Suku Arab. Terj. Kamran A. Irsyady.

Yogyakarta: Lkis, 2005

Karim, Khalil Abdul. Syari’ah: Sejarah, Perkelahian,

Pemaknaan, Terj. Kamran As’ad. Yogyakarta: LkiS,

2003.

Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan; Apakah

Pemimpin Abnormal Itu?. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2001.

Khalid, Farid Abdul. Fikih Politik Islam, Penerjemah

Faturrahman A. Hamid. Jakarta: Amzah, 2005.

Khan, Qamaruddin. Mawaedi’s Theory of States. Delhi: Iradat

Adabiat, 1979.

al-Khin, Mushthafa dan Al-Bugha, Mushthafa, Al-Fiqh al-

Manhaji Ala Madzhab imām asy-Syafi’i rahimahulllah

Ta’ala Terj: Izzudin Karimi. Jakarta: Darul Haq, 2014.

Khomeini, Imam. al-Hukūmah al-Islāmiyyah. Lebanon:

Muassasat al-Ā’lamy li al-Mathbū’āt, t.t.

Page 183: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

169

al-Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwār. Beirut: Dārul al-

Ihya’ al-Turāts, t.t.

al-Maliki, Abu Bakar bin al-Arabi. Ahkâm al-Quran. Beirut:

Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, tth.

al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Tafsir al-Maraghi. Mesir:

Musthofa al-Bābī al-Halbī, 1946.

Maryam, Siti, dkk. Sejarah Perdaban Islam: Dari Masa klasik

Hingga Modern. Yogyakarta : Lesfi, 2002

al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-

Basri al-Baghdadi. Kitāb al-Ahkām al-Sulthāniyyah wa

al-Wilāyāt al-Dīnīyyah. Beirut: Dār al-Fikr, 2002.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2006.

al-Mudzaffar, Muhammad Ridha al-Mudzaffar. ‘Aqāid al-

Imāmiyah. Ttp: Maktabah al-Fikr, t.t.

Muhammad Salim al-Awa, Fi an-Nizhāas-Siyāsiy li ad-Dawlah

al-Islāmiyyah. T.tp: T.pn, t.t.

al-Musawi, Syarifuddin, Dialog Sunnah Syiah. Bandung:

Mizan, 1990.

Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al -Qur'an: Studi

Aliran -aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan

hingga Moder –Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press,

2014.

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa

Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2013.

Northouse, Peter G.. Kepemimpinan: Teori dan Praktek. Terj.

Ati Cahyani. Jakarta: Indeks, 2013.

Page 184: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

170

Nusrati, Ali Asgar. Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar.

Terj. Musa Mouzawir. Jakarta: Nur Al-Huda, 2014.

Ordoni, Abu Muhammad. Fathimah Buah Cinta Rasulullah

Saw, Sosok Sempurna Wanita Surga. Jakarta: Zahra,

2012.

al-Qaththan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Quran.

Penerjemah. Mudzakir Bogor, Pustaka Litera Antar

Nusa, 2013.

al-Qummi, Ali bin Ibrahim, Tafsīr Al-Qummi. Qum: Muasyasah

al-Imām al-Mahdi, 1435 H.

al-Qurtubi. al-Jāmi’ li Ahkām al-Quran : Tafsir al-Qurtubi.

Beirut: Muassah al-Risālah, 2006.

Qutaibah, Ibnu. Politik dan Kekuasaan: dalam Sejarah para

Khalifah. Penerjemah Muhammad Muchson Anasy,

Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2016.

Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilâlil Quran; Di Bawah Naungan al-

Quran, Penerjemah As’ad Yasin.

Radawi, Sayyid Muhammad. Imāmah dan Wilāyah dalam

Ajaran Ahlulbait AS. Era of Appearance Foundation,

2009.

Rahman, Afzalur. Muhammad Sebagai Pemimpin Militer.

Jakarta: YAPI, 1990.

Razawi, Sa’id Akhtar. Imamah; Khalifah Rasulullah SAW Terj.

A. Kamil. Jakarta: Yayasan Putra Ka’bah, 2009.

al-Razi, Muhammad Fakhrudin, Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-

Ghaib. Beirut: Dar al-Fikri, 1401 H/1981 M.

Riberu, J.. Dasar-Dasar Kepemimpinan. Jakarta: Pedoman Ilmu

Jaya, 1992.

Page 185: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

171

Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Quran al-Hakīm, Tafsir

al-Manar. Mesir: al-Manar, 1947.

al-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah;

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Syihabuddin.

Jakarta: Gema Insan Press, 1999.

Rivai, Veithzal dan Mulyadi, Dedi, Kepemimpinan dan

Perilaku Organisasi. Jakarta; Rajawali Press, 2011

Rosyidi, Muhammad. Tafsir Tematik: Etika Pemimpin dalam

al- Qur 'an. Jakarta: Raja Grafindo, 2003.

Rus’an, Lintas Sejarah Islam di Zaman Rasulullah SAW.

Semarang: Wicaksana, 1981.

al-Shadr, Muhammad Bagir, Kemelut Kepemimpinan Setelah

Rasul. Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1990.

al-Shadr, Muhammad Bāqir, al Madrasat al-Qur’aniyyah.

Qum: Markaz al-Abḫāts wa al-Dirāsāt al-

Takhashshusiyyah li al-Syahīd al-Shadr, 1979.

Shariati, Ali. Ummah dan Imāmah. Jakarta: Penerbit YAPI,

1990.

al-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-

Quran/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Shiddiqi, Nourouzzaman. Sejarah Modern, Mesir, Syiria, Afrika

Utara dan Arabia. Yogyakarta: Matahari Masa, 1980.

Shiddiqi, Nourrouzzaman. Tamaddun Muslim. Jakarta: Bulan

Bintang, 1986.

Shihab, M Quraish, Kaidah Tafsīr; Syarat, Ketentuan, dan

Aturan yang Patut anda Ketahui dalam Memahami al-

Quran. Tanggerang: Lentera Hati, 2013.

Page 186: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

172

Shihab, M Quraish. Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan

Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami

Ayat-Ayat al-Quran. Tanggerang: Lentera Hati, 2015.

Shihab, M Quraish.Sunnah Syiah Bergandengan Tangan!

Mungkinkah?, Kajian atas Konsep Ajaran dan

Pemikiran. Tanggerang: Lentera Hati, 2014.

Shihab, M. Quraish, Menabur Pesan Ilahi. Jakarta; Lentera

Hati, 2006.

Shihab, M. Quraish, Tafsīr al-Misbah: Pesan, Kesan, dan

Keserasian Al-Quran. Jakarta; Lentera Hati, 2000.

Shihab, Muhammad Quraish. Menebar Pesan Ilahi: al-Qur ’an

dan Dinamika Masyarakat. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulah Umayyah I di Damaskus.

Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, tth.

Subhani, Ja’far, Ar Risalah; Sejarah Kehidupan Rasulullah

SAW, Jakarta: Lentera Baristama, 1996.

Sugiono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta,

2006.

al-Suyuthi, Imam. Tarikh Khulafa; Sejarah Para Penguasa

Islam, Penerjemah: Samson Rahman. Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2000.

al-Suyuthi’, Jalaludin Abi Abdur Rahman, Lubbabun Nuqul fi

Asbabin Nujul. Beirut: Muassasah AL-kutub As-

saqafiyyah, 2002.

al-Suyuthi’, Jalaludin, Asbabun Nujul Sebab Turunnya Ayat Al

Quran. Jakarta: Gema Insani, 2008.

al-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsir al-Sya'rawi. Kairo:

Dâr al-Ikhbâr al-Yaủm, 2001.

Page 187: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

173

Syaltut, Mahmud. al-Islam ‘Aqīdatan wa Syarī’atan. Kairo: Dar

al-Surūq. 2001.

al-Syaukani, Muhammah bin Ali bin Muhammad. Fathu al-

Qadīr. Beirut: Darul Ma’rifah, 2007.

al-Thabarsy, Fadhl bin Hasan. Majmau’ al-Bayān fī Tafsīr al-

Qur’an. Lebanon: Dar al-Ulūm, 1426H/2005M.

al-Thabathaba’i, Muhammad bin Husain. al-Quran fī al-Islām.

T.tp.: T.pn, t.t.

al-Thabathaba’i, Muhammad Husain. al-Mizān fī Tafsīr al-

Quran. Beirut: Muassasah al-A’lamī li al-Mathbūā’t,

1417 H/1997 M.

Tim Ahlulbait Indonesia (ABI), Buku Putih Mazhab Syiah

Menurut Para Ulamanya yang Muktabar, Penjelesan

Ringkas-Lengkap untuk Kerukunan Umat. Jakarta:

Dewan Pengurus Pusat Ahlulbait Indonesia, 2012.

Yukl, Gary. Kepemimpinan dalam Organisasi. Terj. Ati

Cahayani. Jakarta: Indeks, 2015.

Yuliana, Devi Faizah. Imamah dalam Tradisi Syiah. Bandung:

Pustaka Aura Semesta, 2013.

az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar. Tafsir al-Kasysyāf. Beirut:

Darul Ma’rifah, 1430 H / 2009 M.

Zarkasyi, Badr al-Din Muhamad bin Abdullah. al-Burhān fī

Ulūmul al-Quran. Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah,

2004.

Page 188: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

174

Page 189: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

175

BIOGRAFI PENULIS

FAHMI DWI NURHADY, kelahiran

Jakarta 1 Oktober 1991, Putra kedua

dari tujuh bersaudara dari Keluarga

Drs.H.Ahmad Syarifudin, M.Pd, dan

Hj. Maryam. Mengawali pendidikan

formal di SDN Semper Barat 011 Pagi

Jakarta 1997–2003, SMP Negeri 30

Koja Jakarta 2003–2006, Pondok

Modern Darussalam Gontor (PMDG)

2006–2010, Jurusan Ekonomi Islam

Fakultas Syariah Insitut Studi Islam

Darussalam 2010-2011, menyelesaikan studi strata 1 di Jurusan

Ilmu Agama Islam Konsentrasi Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta 2011-2015,

kemudian menyelesaikan studi strata 2 di Jurusan Ilmu al-

Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta 2015-2019.

Selama masa studi, penulis aktif dalam kegiatan

ekstrakrakulikuler dan organisasi sekolah, Sie, Agama Islam

Osis SMP Negeri 30 Jakarta 2004-2005, Pengajar Language

Course Departement PMDG 2008-2009, Pimpinan Umum

Pengurus Darussalam Pos 2008-2009, Staff Humas, PSDM, dan

Kadiv. PSDM KSR PMI Unit UNJ 2011-2015, serta Kadiv.

Adokasi dan Wakil Ketua Paguyuban KSE UNJ 2013-2015.

Adapun pengalaman kerja, penulis aktif mengajar sebagai guru

PAI dan Budi pekerti di SMK Nusantara 2 20015 – sekarang

dan SMKN 23 Jakarta 2016 – sekarang, serta menjadi staff

Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan dan Pembina

Ekstrakulikuler SMKN 23 Jakarta.

“Bergeraklah, jangan diam. Akan selalau ada

keberkahan saat engkau bergerak” inilah kata-kata motivasi ini

yang sering dilantunkan oleh KH.Abdullah Syukri Zarkasyi

Page 190: AL -485¶$1 KEPEMIMPINANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46580...3. Penunjukan Umar bin Khattab_ 57 4. Penunjukan Usman bin Affan_ 60 5. Penunjukan Al i bin Abi Thalib_

176

Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor dan menjadi

moto hidup peneliti.