Akulturasi 2

4
AKULTURASI 2 kulturasi Budaya Cina di Indonesia Seseorang yang menjadi immigran mengalami menjadi minoritas, baik sebagai "immigrant sojourn" (tinggal selama perjalanan jangka pendek), "immigrant refugee" (pengungsi), maupun "immigrant voluntary" (karena kehendak sendiri). Perasaan sebagai minoritas ada dalam kaitannya dengan perbedaan bangsa, bahasa, agama, ras, dll. atau yang terlihat secara fisik, yaitu bentuk wajah, warna kulit, warna rambut, aksen bahasa, dll. Perbedaan yang dirasakan oleh panca indera tersebut menarik keluar sebuah kesadaran akan identitas diri yang berhubungan dengan situasi sosial (SOSIAL IDENTITY). Bahwa dirinya berbeda dan memiliki latar belakang yang berbeda menimbulkan problema penerimaan sosial, dan menimbulkan reaksi adaptasi yang bermacam-macam tergantung pada individu yang mengalaminya. Pada umumnya individu dewasa akan segera mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya yang sebangsa, atau sebudaya, dengan cara mencari mereka yang sama dengan dirinya, berkumpul bersama dengan mereka untuk lebih mudah mengatasi perbedaan tersebut. Mereka lebih banyak menggunakan bahasa dan tata caranya sendiri. Motivasi ini disebut loyalitas etnis atau "ethnic loyality". Namun inklusivitas ini menimbulkan reaksi dari kelompok budaya yang lebih dominan, yaitu diskriminasi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin individu tersebut mengalami diskriminasi semakin ia akan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya, membedakan diri, maka semakin ia mengalami diskriminasi hingga kehilangan respek (discreditable). Reaksi lain yang bisa ditunjukkan oleh individu minoritas adalah berkemampuan seperti kelompok budaya yang dominan, seperti belajar bahasa, tata cara berbusana, berbicara, condong bergaul dengan kelompok budaya dominan, sehingga meminimalkan perbedaan latar belakang budaya yang terbawa oleh individu minoritas. Motivasi ini disebut "cultural competence", ia sadar akan perbedaan budaya yang dibawanya sebagai minoritas dan budaya yang dominan, dan ia memiliki pengetahuan akan kedua budaya tersebut. Individu ini akan bersikap berbeda sesuai dengan situasi kelompok budaya yang dihadapinya, bilamana berhadapan dengan sesama kelompok budayanya ia akan menggunakan bahasa dan tata caranya sendiri, namun bila berhadapan dengan kelompok budaya dominan, ia akan mampu berbicara atau bersikap seperti mereka. Kesadaran berbudaya muncul bersamaan dengan munculnya loyalitas

description

Seseorang yang menjadi immigran mengalami menjadi minoritas, baik sebagai "immigrant sojourn" (tinggal selama perjalanan jangka pendek), "immigrant refugee" (pengungsi), maupun "immigrant voluntary" (karena kehendak sendiri).

Transcript of Akulturasi 2

Page 1: Akulturasi 2

AKULTURASI 2

kulturasi Budaya Cina di Indonesia

Seseorang yang menjadi immigran mengalami menjadi minoritas, baik sebagai "immigrant sojourn" (tinggal selama perjalanan jangka pendek), "immigrant refugee" (pengungsi), maupun "immigrant voluntary" (karena kehendak sendiri). Perasaan sebagai minoritas ada dalam kaitannya dengan perbedaan bangsa, bahasa, agama, ras, dll. atau yang terlihat secara fisik, yaitu bentuk wajah, warna kulit, warna rambut, aksen bahasa, dll. Perbedaan yang dirasakan oleh panca indera tersebut menarik keluar sebuah kesadaran akan identitas diri yang berhubungan dengan situasi sosial (SOSIAL IDENTITY). Bahwa dirinya berbeda dan memiliki latar belakang yang berbeda menimbulkan problema penerimaan sosial, dan menimbulkan reaksi adaptasi yang bermacam-macam tergantung pada individu yang mengalaminya. Pada umumnya individu dewasa akan segera mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya yang sebangsa, atau sebudaya, dengan cara mencari mereka yang sama dengan dirinya, berkumpul bersama dengan mereka untuk lebih mudah mengatasi perbedaan tersebut. Mereka lebih banyak menggunakan bahasa dan tata caranya sendiri. Motivasi ini disebut loyalitas etnis atau "ethnic loyality". Namun inklusivitas ini menimbulkan reaksi dari kelompok budaya yang lebih dominan, yaitu diskriminasi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin individu tersebut mengalami diskriminasi semakin ia akan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya, membedakan diri, maka semakin ia mengalami diskriminasi hingga kehilangan respek (discreditable). Reaksi lain yang bisa ditunjukkan oleh individu minoritas adalah berkemampuan seperti kelompok budaya yang dominan, seperti belajar bahasa, tata cara berbusana, berbicara, condong bergaul dengan kelompok budaya dominan, sehingga meminimalkan perbedaan latar belakang budaya yang terbawa oleh individu minoritas. Motivasi ini disebut "cultural competence", ia sadar akan perbedaan budaya yang dibawanya sebagai minoritas dan budaya yang dominan, dan ia memiliki pengetahuan akan kedua budaya tersebut. Individu ini akan bersikap berbeda sesuai dengan situasi kelompok budaya yang dihadapinya, bilamana berhadapan dengan sesama kelompok budayanya ia akan menggunakan bahasa dan tata caranya sendiri, namun bila berhadapan dengan kelompok budaya dominan, ia akan mampu berbicara atau bersikap seperti mereka. Kesadaran berbudaya muncul bersamaan dengan munculnya loyalitas etnis dalam diri individu tersebut ketika ia mengalami diskriminasi, yang tidak selalu bermakna negatif. Immigrant akan mengalami diskriminasi karena status minoritasnya. Sebenarnya, status minoritas inilah yang menjadi inti dari masalah status sosial. Bagaimana minoritas mengatasi masalahnya dalam seting budaya, tempat yang secara fisik lebih dominan terhadap dia? Ia akan beradaptasi secara budaya (akulturasi) seperti telah diuraikan sebelumnya. Jadi

Page 2: Akulturasi 2

proses akulturasi terjadi mula-mula ketika sekelompok individu dari dua kelompok budaya yang berbeda mengadakan kontak secara terus-menerus satu sama lain dan setelahnya mengalami perubahan pola budaya pada salah satu atau keduanya seperti model akulturasi yang dikemukakan oleh Robert Park yaitu KONTAK (dari tangan pertama)-> AKOMODASI (menerima) -> ASIMILASI (diterima/menjadi bagian). Perbedaan reaksi adaptasi dapat terjadi antar individu dalam kelompok minoritas yang sama atau memiliki latar belakang atau tingkat pendidikan yang sama yang disebabkan oleh perbedaan motivasi (pendorong) seperti keputusan/keinginan pribadi, motivasi ekonomi, politik, dll yang mana yang lebih menguntungkan/berguna baginya maupun hanya sekedar untuk mempertahankan hidup. Reaksi adaptasi budaya ini juga selektif terhadap perilaku, nilai-nilai, dll, tergantung pada individu masing-masing; hal lama apakah yang akan digantinya dengan hal yang baru, dan sebaliknya hal lama yang akan tetap dipegangnya. Contoh kasus: kelompok minoritas Tionghoa di Jakarta, akan berbeda dengan kelompok minoritas Tionghoa di Medan, dst. yang mana masing-masing anggota kelompok dalam sebuah keluarga juga akan mengalami perubahan pola budaya yang berbeda. Telah dibahas sebelumnya bahwa ada dua reaksi adaptasi budaya, pertama adalah menarik diri (mengidentifikasi dirinya dengan kelompoknya), dan yang kedua adalah melebur (memiliki kemampuan terhadap budaya asal dan budaya yang baru). Keduanya melibatkan reaksi kelompok budaya mayoritas juga, jadi proses akulturasi adalah dua arah, yang dapat membalikkan reaksi adaptasi menjadi berkembangnya budaya kelompok minoritas melalui bangkitnya/digunakannya bahasa mereka oleh kelompok budaya yang dominan, atau material fisik lain. Jadi reaksi dan aksi adaptasi budaya ini sangat dinamis melibatkan lebih dari satu motivasi. Contoh kasus: hasil proses akulturasi kelompok Tionghoa di Jakarta lebih kentara dibandingkan dengan hasil akulturasi kelompok Tionghoa di Medan, dilihat dari keseringan/kemampuan menggunakan bahasa asal (Mandarin/Hokkian). Anak-anak yang dibesarkan di Jakarta kurang/tidak mampu menggunakan bahasa Mandarin. Sedangkan generasi yang dibesarkan di Medan lebih mampu/fasih menggunakan bahasa Mandarin. Proses akulturasi pada kelompok budaya Tionghoa di Indonesia sangat membuka jalan untuk bermacam-macam studi baik dari disiplin ilmu sosial, bahasa, hingga ke arsitektural. Banyak sekali yang bisa dikaji dari masalah-masalah sosial beserta reaksi-reaksi atau ahsil-hasil yang muncul di berbagai tempat yang berbeda, tidak terbatas pada kasus yang terjadi di Medan atau Jakarta saja, mengingat perjalanan yang unik dari sejarah kelompok budaya Tionghoa dimulai dari sekitar wilayah Medan (tercatat permukiman Tionghoa tertua yaitu abad ke-5 Masehi ditemukan di sana).

REFERENSI

Padilla, Amando M., dan Perez, William. 2003. Acculturation, Social

Page 3: Akulturasi 2

Identity, and Social Cognition: A New Perspective. Hispanic Journal of Behavioral Sciences, Vol. 25 No. 1, February 2003 35-55. Sage

Wayang potehiKesenian ini mirip wayang golek (wayang kayu), namun cerita yang ditampilkan berasal dari legenda

rakyat tiongkok, seperti Sampek Engthay, Sih Djienkoei, Capsha Thaypoo, Sungokong, dll

bacangDahulu bacang diyakini orang China adalah makanan untuk menghormati seorang pahlawan yang mati akibat difitnah orang bentuk peringatan adalah makan bakcang (Hanzi: 肉粽, hanyu pinyin: rouzong) Penganan ini terdiri dari daging cacah sebagai isi dari beras ketan dibungkus daun bambu dan diikat tali bambu. Di beberapa tempat Indonesia,diadakan festival memperingati sembahyang bacang atau disebut juga Duan Wuji.Festival ini disebut pehcun. Atraksi yang menjadi maskot festival ini adalah perlombaan balap perahu naga.Duanwu Jie (Hanzi: 端午節) atau yang dikenal dengan sebutan festival Peh Cun di kalangan Tionghoa-Indonesia adalah salah satu festival penting dalam kebudayaan dan sejarah Tiongkok. Peh Cun adalah dialek Hokkian untuk kata pachuan (Hanzi: 扒船, bahasa Indonesia: mendayung perahu). Walaupun perlombaan perahu naga bukan lagi praktek umum di kalangan Tionghoa-Indonesia, namun istilah Peh Cun tetap digunakan untuk menyebut festival ini.Festival ini dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek dan telah berumur lebih 2300 tahun dihitung dari masa Dinasti Zhou.Dan perlombaan dayung perahu naga. Karena dirayakan secara luas di seluruh Tiongkok, maka dalam bentuk kegiatan dalam perayaannya juga berbeda di satu daerah dengan daerah lainnya. Namun persamaannya masih lebih besar daripada perbedaannya dalam perayaan tersebut.KiasuKiasu adalah ejaan Hokkien (fujianese) untuk Bhashu / pasu. Jargon ini sangat sering didengungkan di Singapura.Istilah ini mengandung arti (kira-kira) suatu ketakutan akan tertinggal karena kurang menguasai ilmu.

Ai Pia Cia E Ya 爱拼才会赢 爱拼才会赢 atau dalam mandarin = Ai Pin Cai Hui Ying Adalah "Lagu kebangsaan" suku Hokkien di seluruh dunia. Isi lirik lagu dari Taiwan ini mencerminkan etos kerja dan spirit berusaha yang sangat tinggi dari suku ini. Sebagaimana umumnya lagu-lagu Hokkien lainnya, lagu ini sangat menjiwai, bukankah arti judulnya saja "Cinta (suka) berjuang baru bisa menang"Budaya Cina Peranakan Banyak budaya, aksen maupun produk tionghoa yang bukan berasal dari negeri cina daratan, namun merupakan produk setempat yang dinamai istilah cina. Kalau di Malaysia, kita kenal ikan Louhan yang bukan dari Cina, tapi "penemuan" peternak ikan China dari Malaysia, di Indonesia kita mengenal "lontong capgomeh" yang tidak ada di negeri cina, maupun wingko babat yang berasal dari kota Babat di Jawa Timur.

Budaya blasteran Cina-IndonesiaTak hanya etnik saja yang sudah berasimilasi, aspek lain juga ikut berasimilasi: MakananContoh: Lunpia semarang, isi utamanya adalah irisan kulit rebung sedangkan lunpia yang dari China isi utamanya mihun.