Akal dan Wahyu dalam Islam.docx
-
Upload
cymilia-gityawati -
Category
Documents
-
view
39 -
download
0
Transcript of Akal dan Wahyu dalam Islam.docx
Akal dan Wahyu dalam Islam
A. Wahyu
a. Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan
pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Dan ketika Al-Wahyu
berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu wahyu sering
disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa
seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhada
Nabi-NabiNYA ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah
pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa
semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui pelantara maupun tanpa pelantara. Baik
menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainya.
b. Fungsi wahyu
Wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian
hukuman dan upah yang akan diterima manusia diakhirat. Sebagaimana kata ‘Abd. Jabbar,
akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang
ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain. Demikian pula akal tidak dapat mengetahui
bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu
perbuatan buruk yang lain. Semua ini hanya dapat diketahui hanya dengan perantaraan
wahyu. Demikian pula pendapat Al Jubba’i, wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman
dan upah yang akan diperoleh oleh manusia diakhirat kelak.
Wahyu bagi kaum Mu’tazilah juga mempunyai fungsi informasi dan konfirmasi,
memperkuat apa-apa yang telah diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang belum
diketahui oleh akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah
diperoleh oleh akal
c. Kekuatan wahyu
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak
mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini memiliki kekuatan
karena beberapa faktor antara lain:
1) Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2) Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3) Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
4) Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5) Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
B. Akal
a. Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang
dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (
(يعـقـلها) ayat, ya’qiluha 1 (نعـقـل) ayat, na’qil 24 (تعـقـلون) dalam 1 ayat, ta’qiluun (عـقـلوه
1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk
membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya
sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut
kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut
pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah.
Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan
Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: sutu daya yang hanya dimiliki manusia
dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.
b. Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
1. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang.
3. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin
penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap
manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan
tersebut. Dan Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna
kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan
akalah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
c. Kekuatan Akal
Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti, seperti
contoh:
1) Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
2) Mengetahui adanya hidup akhirat.
3) Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan
dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan
pada perbuatan jahat.
4) Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
5) Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan
jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6) Membuat hukum-hukum mengnai kwajiban-kwajiban itu.
C. Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam
Kedudukan antara wahyu dalam islam sama-sama penting. Karena islam tak akan terlihat
sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh dalam
segala hal dalam islam. Dapat dilihat dalam hukum islam, antar wahyu dan akal ibarat
penyeimbang. Andai ketika hukum islam berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal
akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu
tindakan yang terkena hukum tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki
kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-orang tertentu yang
mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahu, dan akal adalah hadiah terindah bagi
setiap manusia yang diberikan Allah.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berartiakal
diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan
untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat
akan selalucocok dengan syariat islam dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu ba ik
be rupa A l -qu r ’ an dan Had i t s be r sumbe r da r i A l l ah SWT. P r ibad i Nab i
Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang
sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah yang berlaku
umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah
itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.Apa yang d ibawa o l eh wahyu
t i dak ada yang be r t en t angan dengan aka l , bahkan i a sejalan dengan prinsip -
prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah -
pisah. Wahyu i t u menegakkan hukum menuru t ka t ego r i pe rbua t an
manus i a . Ba ik pe r i n t ah maupun larangan. Se sungguhnya wahyu yang be rupa
a l -qu r ’ an dan a s - sunnah t u run s eca ra be r angsu r - angsur dalam rentang waktu
yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring perkembangan
zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugrah dari Allah terhadap
orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu
benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan smua itu wahyu.
Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu
perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain,
demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar
dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui
dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian
hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhira
Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam
konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan
manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa
yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari
yang buruk. Maka para aliran islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antra lain:
I. Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat
bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.
II. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran
kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik
dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
III. Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga
berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal
lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta
kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui
manusia berdasarkan wahyu.
IV. Sementara itu aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam
pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut
yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui
dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada
tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk
hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan
mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah, surat
al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara
tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus,
menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri.
dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat
24.Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil
dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat 15
surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.
Dalam menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh dengan pendapatnya
memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal. Seperti Harun Nasution
menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai kemunduran umat islam dalam
sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah suatu upaya untuk merasionalisasi
pemahaman umat islam yang dinilai dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat
islam karena kurang mengoptimalkan potensi akal yang dimiliki. bagi Harun Nasution
agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan
dan memahami agama tersebut.