Ajaran Yesus Tentang Pemberian Persembahan (Studi ...€¦ · seorang janda miskin dan pemberian...
Transcript of Ajaran Yesus Tentang Pemberian Persembahan (Studi ...€¦ · seorang janda miskin dan pemberian...
AJARAN YESUS TENTANG PEMBERIAN PERSEMBAHAN
(studi hermeneutik melalui pendekatan sosio-historis kritis tentang pemberian
persembahan menurut Yesus dalam Lukas 21:1-4)
Oleh,
Jilly Pingkan Kaunang
712010021
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2015
i
ii
iii
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES iii
DAFTAR ISI iv
UCAPAN TERIMAKASIH vi
ABSTRAK ix
1. Pendahuluan 1
1.1. Batasan, Rumusan Masalah, dan Tujuan Penelitian ........................................ 2
1.2. Metode Penelitian ............................................................................................ 3
1.3. Signifikansi Penulisan ...................................................................................... 3
1.4. Sistimatika Penulisan ....................................................................................... 4
2. Konteks Sosio-Hitoris Injil Lukas 4
2.1. Penulis .............................................................................................................. 5
2.2. Alamat dan Tujuan Penulisan .......................................................................... 6
2.3. Waktu dan Tempat Penulisan .......................................................................... 7
2.4. Situasi Masyarakat Masa Penulisan Injil Lukas 8
2.4.1. Kebudayaan Yahudi (Yudaisme) ......................................................... 8
2.4.2. Kebudayaan Yunani (Helenisme) – Romawi ....................................... 10
2.4.3. Latar Belakang Sosial ........................................................................... 11
2.4.4. Latar Belakang Ekonomi ...................................................................... 13
2.4.5. Latar Belakang Politik .......................................................................... 15
2.5. Praktik Pemberian Persembahan dalam Agama Yahudi ................................. 16
3. Ajaran Yesus Tentang Pemberian Persembahan Dalam Lukas 21:1-4 17
3.1. Mengkritisi Eksploitasi Terhadap Orang Miskin ............................................ 17
3.2. Narasi Pemberian Persembahan Untuk Meruntuhkan Paham Yang Materialistis
...................................................................................................... 20
4. Sumbangan Pemahaman Baru bagi Praktik Pemberian Persembahan Jemaat Kristen di
Indonesia dari Perspektif Lukas 21:1-4 26
4.1. Keterlibatan Untuk Membantu Orang Miskin ................................................. 26
4.2. Pemberian Persembahan Sebagai Aksi yang Meruntuhkan Paham Materialistis
Jemaat Kristen di Indonesia ........................................................ 28
5. Penutup 31
v
5.1. Kesimpulan ..................................................................................................... 31
5.2. Saran ................................................................................................................ 32
Daftar Pustaka
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Sekalipun penulisan Tugas Akhir ini tidak dilakukan bersama-sama, namun dengan
hanya mengandalkan diri sendiri mungkin penulisan ini belum selesai. Atas segala dukungan;
pengorbanan waktu, dorongan semangat, kehadiran, bentakan, pecutan, dan kasih yang tiada
habisnya, pada bagian ini penulis ingin menuangkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya,
kepada:
Tuhan Yesus Kristus. Dalam suka dan duka, hanya doa kepada Yesus-lah yang bisa
membuat penulis menjadi tenang, dan tidak tertekan. Meski segala doa lebih sering
terisi dengan keluhan, amarah, dan airmata, namun selalu saja jawaban-jawaban atas
setiap doa diberikan.
Universitas Kristen Satya Wacana, khususnya Fakultas Teologi, seluruh dosen dan
pegawai yang dalam pelbagai cara memberikan bantuan bagi penulis.
Pdt. Dr. Yusak B. Setyawan, MATS.,Ph.D., sebagai pembimbing satu yang
memberikan koreksi-koreksi mendetail dan jelas terarah, serta memberikan banyak
dorongan serta motivasi bagi penulis untuk bisa melampaui kemampuan yang dimiliki,
dan untuk bisa mendorong diri sendiri supaya berusaha lebih keras. Hermeneutik
memang tidak mudah, pak.
Pdt. Dr. Tony Tampake, selaku pembimbing dua yang memberikan arahan-arahan dan
koreksi serta perbaikan-perbaikan. Meski banyak kesibukan tetapi senantiasa
menyediakan waktu untuk konsultasi mendadak. Atas segala dukungan dan semangat
untuk melakukan penulisan ilmiah yang baik.
Mama dan Papa terkasih, untuk motivasi, doa, dana, dan khususnya pengertian dan
kepercayaan yang diberikan bagi penulis untuk mengeksplorasi diri sedalam-dalamnya
dalam penulisan Tugas Akhir yang berlangsung cukup lama ini. Hanya karena harapan
untuk melihat siratan kebanggaan dari mata kalian, saya mampu menepiskan kata
vii
menyerah dan lelah. Untuk Jac & Jen, the most wonderful sisters ever! Pendengar,
pemberi nasihat, partner in everything, yang dalam bentangan jarak yang begitu jauh
penulis selalu mampu menemukan “shoulders to cry on”. Bagi Jojo, Oliver, Michie,
Emma, dan Antoris, terimakasih telah menjadi anggota keluarga yang selalu
mempedulikan. Juga bagi semua keluarga, terimakasih atas dukungan moral, kata-kata
penyemangat, doa, dan dana yang selalu tersedia dan diberikan tanpa perlu meminta.
Kalianlah semangatku!
Riri, Fifi, Dani, Tya, Florens, dan Vinny. Sahabat-sahabat tergila dan selalu bisa
diandalkan. Terimakasih banyak untuk waktu, canda, tawa, airmata, telinga yang selalu
tersedia untuk menampung keluhan-keluhan yang tiada habisnya, kebersamaan dan
kehadiran, serta kesempatan untuk menerima kasih sayang dari kalian.
Kak Jo, kak Chris, kak Tuti, kak Leoni, yang telah menjadi sumber inspirasi bagi
penulis selama masa penulisan Tugas Akhir ini berlangsung.
Kak Ira dan Pak Eben yang memberi bantuan dalam mencari literatur tambahan bagi
penulisan TA ini, serta menjadi reviewer dari TA penulis.
Yayasan Satyabhakti Widya, yang memberikan dukungan dana dalam bentuk beasiswa
bagi penulis.
Semua orang yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Hanya rangkaian kata-kata ini yang dapat saya sampaikan sebagai ucapan terimakasih atas
semua yang telah saya terima. Kalian bagaikan malaikat-malaikat hadiah dari Tuhan, yang
tanpa kehadiran kalian di hidup ini, saya menjadi orang yang tidak memiliki arti. Ungkapan
kata di atas sama sekali tidak dapat mewakili betapa berterimakasihnya saya kepada kalian.
viii
ABSTRAK
Praktik pemberian persembahan merupakan bagian dalam peribadatan umat Kristen di
Indonesia. Di dalam tata ibadah Kristen pemberian persembahan dijadikan salah satu unsur
utama dalam peribadatan. Fakta lapangan menunjukkan bahwa persembahan diidentikan
dengan uang ataupun barang yang diberikan kepada pihak gereja yang kemudian dikelola oleh
pengurus gereja sesuai dengan kepentingan dan keperluan yang ada. Pemaknaan jemaat Kristen
terhadap pemberian persembahan akhirnya terkurung dalam cakrawala berpikir yang
materialistis. Studi hermeneutik terhadap Lukas 21:1-4 dan kajian literasi terhadap konteks
sosio-historis dari Injil Lukas merupakan usaha untuk mengungkap kemungkinan-
kemungkinan makna pemberian persembahan yang terkandung di dalam teks ini, dan untuk
memberikan sumbangan pemahaman baru berkaitan dengan praktik pemberian persembahan
jemaat Kristen di Indonesia.
Kata kunci: Pemberian, Persembahan, Lukas 21, Makna, Janda, Miskin.
1
1. Pendahuluan
Salah satu unsur di dalam rangkaian peribadatan umat Kristen adalah pemberian
persembahan. Unsur pemberian persembahan mengambil bagian yang penting, dan
digunakan sebagai wujud ungkapan rasa terima kasih atas anugerah Tuhan bagi kehidupan
manusia. Pemberian persembahan juga merupakan manifestasi dari tindakan kehidupan
sehari-hari.1Dalam realita peribadatan di Indonesia, penulis menemukan bahwa persembahan
dipahami dengan bentuk uang yang diberikan bagi gereja. Einar Sitompul mengungkapkan,
realita pemberian persembahan yang kini terjadi adalah persembahan hanya dilihat dari
jumlah ataupun nilai dari persembahan yang diberikan.2 Dengan kata lain, persembahan
identik dengan pemberian uang.
Tradisi pemberian persembahan telah ada sejak jaman Perjanjian Lama yang
dilakukan salah satunya oleh orang-orang Yahudi. Seiring dengan perkembangan zaman dan
perubahan-perubahan dalam situasi sosial di masyarakat, pemahaman dan pemaknaan
pemberian persembahan ini turut berubah. Orang-orang Yahudi memberikan persembahan
dengan berbagai-bagai latar belakang, salah satu contohnya yaitu dalam bentuk
penyembelihan hewan sebagai kurban. Di era modern ini umat Kristen memberikan
persembahan di gereja dalam bentuk uang, yang secara faktual bagi jemaat persembahan
diwajibkan dalam peribadatan, sekalipun secara konseptual pemberian persembahan adalah
pemberian yang sukarela. Situasi peribadatan yang sering penulis alami yaitu persembahan
semakin dinilai berdasar pada kuantitasnya semata, bahkan tidak memiliki uang untuk
diberikan sebagai persembahan sering digunakan sebagai alasan utama jemaat untuk tidak
menghadiri peribadatan.
Berkaitan dengan makna serta pemahaman tentang pemberian persembahan, penulis
melakukan kajian terhadap makna persembahan ditinjau dari Lukas 21:1-4. Kajian diambil
1 Einar Sitompul, Gereja Menyikapi Perubahan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 159.
2Sitompul, Gereja, 159
2
dari teks tersebut karena di dalamnya Yesus membahas tentang pemberian persembahan dari
seorang janda miskin dan pemberian persembahan dari orang-orang kaya di Bait Allah.
Pemberian persembahan janda miskin dalam Lukas 21:1-4, menurut beberapa penafsir
Perjanjian Baru dapat dilihat dari dua aspek yaitu, semangat untuk memberikan dan
pengorbanan yang terkandung didalamnya. Yesus melihat persembahannya bernilai jauh
lebih tinggi dari pada persembahan orang-orang kaya sekalipun secara kuantitas, nilai
persembahan ini sangat kecil.3 Hal ini didasari oleh dua hal; pertama, ia memasukkan semua
yang dimilikinya untuk bertahan hidup, dan yang kedua, ia memasukkan seluruh
kehidupannya.4Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa di Indonesia makna dari persembahan
masih terlalu sempit.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis memberi judul: Ajaran Yesus tentang
Pemberian Persembahan (studi hermeneutik terhadap Lukas 21:1-4).
1.1. Batasan, rumusan masalah, dan tujuan penelitian
Penelitian ini dibatasi pada ajaran Yesus tentang pemberian persembahan yang
terdapat di dalam Injil Lukas 21:1-4, dan akan menggunakan studi hermeneutik yang dikaji
melalui perspektif sosio-historis dari Injil Lukas. Terlebih khusus melalui perspektif sosio-
historis Lukas 21:1-4.
Fokus permasalahannya dirumuskan demikian pertama, apa makna dari pemberian
persembahan menurut ajaran Yesus yang dapat diungkap berdasarkan Lukas 21:1-4 dalam
konteks sosio-historisnya? Kedua, apa sumbangan pemahaman baru yang mungkin dapat
diberikan dari studi ini – sesuai dengan butir pertama – dalam kaitannya dengan praktik
pemberian persembahan bagi jemaat Kristen di Indonesia?
3 William Barclay,The Daily Study Bible: The Gospel of Luke (Westminster: John Knox Press, 2001), 301-302.
4 Barbara Reid, Choosing the Better Part? Woman in the Gospel of Luke (Minessota: Liturgical Press, 1996),
195.
3
Latar belakang, pembatasan masalah, serta perumusan yang telah penulis uraikan
untuk dilakukan dalam penelitian ini, bertujuan untuk satu,mendeskripsikan kemungkinan-
kemungkinan makna dari pemberian persembahan menurut ajaran Yesus, yang dilihat dari
perspektif Lukas 21:1-4 dalam konteks sosio-historisnya, dan yang kedua memberikan
sumbangan pemahaman baru bagi jemaat Kristen di Indonesia, sesuai dengan rumusan
masalah ke dua di atas.
1.2. Metode Penelitian
Dalam rangka mencapai tujuan dari tugas akhir ini, maka penulis menggunakan
metode penelitian hermeneutik. Metode ini dijalankan melalui studi hermeneutik secara
mendalam terhadap teks dengan mendeskripsikan konteks sosio-historisnya menggunakan
pendekatan sosio-historis kritis. Selain daripada itu, penulis juga menggunakan kajian-kajian
kepustakaan dari tulisan-tulisan para ahli Perjanjian Baru yang mengungkap dan mengkaji
khususnya mengenai konteks sosio-historis Injil Lukas. Kajian kepustakaan ini merupakan
teknik pengumpulan data penulis, yang mendukung studi hermeneutik yang dilakukan.
1.3. Signifikansi Penulisan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan-sumbangan
pemahaman baru tentang praktik pemberian persembahan. Secara umum bagi para pembaca
Lukas 21:1-4 dalam memahami perikop ini, serta aplikasi di dalam kehidupan gerejanya, bagi
gereja dalam membina dan memberikan pemahaman bagi jemaatnya dalam praktik
memberikan persembahan. Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemahaman baru bagi civitas akademika Fakultas Teologi UKSW dalam ranah
pengembangan ilmu pengetahuan.
4
1.4. Sistimatika Penulisan
Rancangan penelitian adalah dengan sistimatika sebagai berikut, yaitu pada bagian I
merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang dari permasalahan dalam realita
kehidupan yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Bagian ini
termasuk juga dengan batasan, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian yang
digunakan, signifikansi penulisan, dan rancangan penelitian. Langkah selanjutnya adalah
memasukkan teori-teori teologis dan sosiologis dari para ahli yang berkaitan dengan
penelitian penulis, yang diambil dari berbagai wacana yang ada, dan dimasukkan sebagai
bagian II. Kemudian, pada bagian III penulis menyajikan hasil studi hermeneutik dari teks
Alkitab yang penulis gumuli, yaitu Lukas 21:1-4, serta hasil dari studi kepustakaan yang
didapatkan, yang berkaitan dengan topik permasalahan.
Bagian IV penulis menguraikan hasil analisa teks berdasarkan data-data yang telah
penulis sajikan di bagian III, dan sumbangan pemikiran-pemikiran baru yang sekiranya dapat
disampaikan dalam kaitannya dengan praktik pemberian persembahan bagi jemaat Kristen di
Indonesia. Bagian terakhir menjadi bagian dimana penulis memberikan kesimpulan setelah
menyelesaikan seluruh rangkaian penelitian, sebagai hasil akhir dari penelitian penulis. Pada
bagian V ini pun, penulis juga memasukkan saran-saran bagi pihak-pihak yang terkait,
berkenaan dengan hasil akhir dari penelitian ini.
2. Konteks Sosio-Historis Injil Lukas
Bagian kedua dari penulisan ini adalah kajian literatur yang memuat konteks sosio-
historis Injil Lukas. Kajian ini adalah untuk mengetahui lebih mendalam latar belakang
penulisan Injil Lukas, ragam kebudayaan yang memberi pengaruh dalam masyarakat, situasi
sosial, ekonomi, dan politik diambil dari tulisan-tulisan para teolog dan ahli-ahli Perjanjian
Baru, untuk membantu dalam melakukan studi hermeneutik di bagian tiga.
5
2.1. Penulis
Kejelasan atas identitas dari penulis Injil Lukas masih dipenuhi dengan kemungkinan-
kemungkinan diantara para teolog. John Drane, Howard Marshall, dan Alfred Plummer setuju
dengan seorang bernama Lukas yang merupakan teman seperjalanan dari Paulus yang
menjadi penulis dari Injil Lukas5 dan ia juga adalah penulis yang sama dengan penulis Kisah
Para Rasul,6 atau yang juga disebut dengan Lukas the “beloved physician”;
7 dan seorang
yang bernama Lukas, tetapi bukan Lukas yang menjadi teman seperjalanan Paulus, namun
dapat dikatakan ia mengetahui ataupun mengenal Paulus, karena dalam penutupan Kisah Para
Rasul penulis menuliskan tentang kematian Paulus.
Lukas sendiri berasal dari Antiokhia di Siria8, yang dari tulisan-tulisannya
menunjukkan bahwa ia memiliki pengetahuan khusus tentang ilmu kedokteran. Menurut
Paulus, Lukas adalah seorang dokter.9 Selain itu, dibandingkan dengan penulis-penulis Injil
lainnya yang adalah orang Yahudi atau berasal dari agama Yahudi, Lukas bukanlah seorang
Yahudi, tetapi memiliki minat besar terhadap tradisi Kristen. Ia adalah orang Yunani asli
yang memiliki pendidikan Yunani tinggi, mahir dalam Perjanjian Lama, dan merupakan
generasi Kristen kedua.10
5 Plummer berpendapat bahwa dari antara teman-teman seperjalanan Paulus yang telah banyak kita ketahui
namanya, tidak ada yang lebih memungkinkan sebagai seorang penulis Injil Lukas, juga penulis Kisah Para
Rasul. Luke the “beloved physician” yang memenuhi semua kriteria yang ada sebagai seorang penulis. Ia
menjadi teman seperjalanan Paulus selama berada dalam dua kali terpenjara di Roma, dan mungkin juga ia
pernah bersama-sama dengan Paulus di waktu yang lainnya. (Alfred Plummer, The Gospel According to S. Luke
(Edinburgh: Morrison and Gibbs Limited, 1905), xii-xiii). 6 Gaya dan jenis bahasa dari kedua kitab begitu mirip; keduanya ditujukan pada orang yang sama yaitu
Teophilus; dan oleh karena gaya bahasa dari nats-nats ini sama dalam keseluruhan kitab, kemungkinan besar
penulis telah memakai buku harian perjalanannya sendiri sebagai sumber informasi. (John Drane, Memahami
Perjanjian Baru. (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 211-212). 7 Hal yang sudah jelas adalah ia menulis untuk sebuah komunitas gereja perkotaan dalam dunia Helenis; dan
pada pertengahan abad kedua, sudah ada kejelasan dan keputusan dari penulis-penulis gereja mula-mula bahwa
ia adalah Lukas the “beloved physician” seorang teman seperjalanan dari Paulus. (I. Howard Marshal, The
Gospel Of Luke: A Commentary on the Greek Text(Michigan: Paternoster Press, 1992), 33-34). 8 Eusibius, dalam buku John Drane Memahami Perjanjian Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 212.
9Bahasa kedokteran, serta perhatian besar dalam melakukan diagnosa penyakit, lebih memahami bidang ini
daripada Markus. ( Drane, Memahami, 212). 10
Yusak B. Setyawan, Introduction to the New Testament: A Draft (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana,
2011), 51.
6
2.2. Alamat dan tujuan penulisan
Lukas menulis untuk diberikan kepada komunitas gereja perkotaan dalam dunia
helenis. Komunitas ini merupakan suatu komunitas kristen yang berada jauh baik secara
geografis dan waktu dari masa Yesus melakukan pekabaran Injil-Nya.11
Dugaan lainnya,
tulisan ini ditujukan bagi seorang yang bernama Teophilus (Lukas 1:1). Kalimat pembukaan
dari Lukas menunjukkan bahwa tulisan itu ditujukan hanya kepada satu orang saja. Akan
tetapi, ada perdebatan mengenai hal ini yaitu apakah Teophilus merupakan satu individu,
ataukah Teophilus adalah suatu komunitas jemaat Kristen.12
Berkaitan dengan hal ini, Willie
Marxen menyampaikan bahwa Teophilus kemungkinan adalah seorang yang kaya yang
menjadi alamat utama Lukas menuliskan Injil-nya ini, namun tidak dianggap sebagai satu-
satunya pembaca yang diharapkan.13
Bagaimanapun juga, para ahli Perjanjian Baru belum
menemukan identitas ataupun makna dari Teophilus yang dimaksudkan oleh Lukas.
Komunitas gereja yang dikemukakan oleh Marshall di atas adalah sekumpulan orang-
orang berbahasa Yunani yang merupakan masyarakat berada. Sekalipun mereka adalah
orang-orang berbahasa Yunani, tetapi asal usul mereka adalah orang Yahudi yang sudah
lepas dari kehidupan masyarakat Yahudi.14
Mereka telah mengenal tentang Yesus Kristus
atau paling tidak pernah menerima pengajaran tentang-Nya. Karena surat ini secara pribadi
ditujukan kepada Teophilus, Lukas tidak memberikan surat ini untuk mengetahui tentang
Yesus Kristus, akan tetapi agar supaya Teophilus meyakini akan kebenaran Firman Tuhan.15
Dengan demikian, Teophilus mungkin memang adalah orang yang telah menerima Kristus,
namun masih juga memiliki keraguan tentang pengajaran yang ia terima tentang Yesus
11
Marshall, The Gospel, 33. 12
Disampaikan demikian karena kata Teophilus dalam bahasa Yunani dapat berarti “orang-orang yang percaya
kepada Tuhan”, diambil dari penggalan kata Theos (Allah) dan Philos (Orang-orang percaya). Barbara Reid
mengemukakan Teophilus diterjemahkan sebagai orang-orang yang dikasihi Allah (Barbara Reid, Choosing The
Better Part?: Women in The Gospel Of Luke (Minnesota: Liturgical Press, 1996), 17. 13
Willie Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya. (Jakarta:
Gunung Mulia, 1996), 187. 14
Willie Marxsen, Pengantar, 194. 15
Yusak B. Hermawan, My New Testament (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010), 53-54.
7
Kristus, untuk itu penulis perlu menuliskan baginya surat yang telah diselidiki dengan
seksama agar ia dapat meyakini kebenaran Firman Tuhan.
2.3. Waktu dan tempat penulisan
Ketepatan waktu penulisan Injil Lukas belum terungkap. Meski demikian periode
penulisannya diperkirakan diatas tahun 70 ZB sampai dengan awal tahun 90 ZB. John Drane,
dan dalam Alkitab Edisi Studi mengambil patokan pada isi yang terdapat dalam Injil Lukas
tentang kejatuhan Bait Allah di Yerusalem (Lukas 21:5-24) untuk memutuskan waktu dari
Injil ini ditulis, yaitu sekitar atau setelah tahun 70 ZB.16
Menurut Howard Marshall injil
Lukas ditulis diatas tahun 70ZB. Kesimpulannya yang demikian berdasar atas isi di dalam
Kisah Para Rasul yang menceritakan mengenai kisah tentang periode sebelum kematian
Paulus yaitu mendekati tahun 70 ZB.17
Berbeda dengan pendapat-pendapat diatas, Willie
Marxen menentukan waktu penulisan Injil Lukas pada tahun 90 ZB dan dituliskan pada masa
generasi Kristen ketiga.18
Berdasarkan sumber-sumber ini, dapat dipertimbangkan bahwa
Injil Lukas ditulis diantara tahun 70 ZB dan 90 ZB. Tetapi apabila mengambil patokan waktu
yang mendekati, atau di tahun 90 ZB dapat berimbas pada penulisan Kisah Para Rasul yang
waktu penulisannya pasti akan lebih dari tahun 90 ZB. Untuk itu dapat dikatakan bahwa Injil
Lukas ditulis sekitar tahun 80 ZB.
Tempat penulisan dari Injil ini masih belum terlalu jelas apabila dilihat dari sumber-
sumber yang digunakan Lukas untuk menyusun isinya ini. Tradisi awal mengkaitkan Lukas
dengan suatu tempat di Yunani yang bernama Akhaia, kemudian di Roma, lingkungan di
Siria, sampai Antiokhia, bahkan ada kemungkinan lain juga di Kaisarea tetapi belum dapat
dipastikan juga.19
Marxsen mengeliminasi Palestina dan Siria sebagai tempat penulisan Injil
16
Drane, Memahami,212. 17
Marshall, The Gospel,33-34. 18
Marxsen, Pengantar, 194. 19
Penggunaan sumber dari Markus mengindikasikan adanya kaitan dengan Roma, tetapi sedikit penambahan
dari sumber Q ada kemungkinan membawanya ke lingkup Syria. Sedangkan untuk keberadaannya di Antiokhia
8
Lukas, karena tulisan ini ditujukan bagi pembaca Yunani.20
Ada keyakinan bahwa apabila
dapat mengetahui sosok dari Teophilus yang sebenarnya, maka situasi ini mungkin dapat
lebih jelas.
2.4. Situasi Masyarakat Masa Penulisan Injil Lukas
Latar belakang kehidupan masyarakat zaman penulisan Injil Lukas diwarnai dengan
latar belakang kehidupan yang beragam, yang membentuk tatanan-tatanan kehidupan
masyarakat. Secara khusus latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik, memiliki
banyak pengaruh bagi pembentukan situasi masyarakat yang ada. Untuk itulah pada bagian
ini penulis akan mengungkap latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang ada
dan yang mempengaruhi situasi dari masyarakat dimana Lukas menuliskan Injil ketiga ini.
Terdapat ragam kebudayaan dan situasi sosial yang menjadi pembentuk dari
masyarakat saat itu. Ada tiga kebudayaan utama, yaitu kebudayaan Yahudi (Yudaisme),
kebudayaan Yunani (Helenisme), dan kebudayaan Romawi.21
Pertama-tama, penulis akan
membahas mengenai kebudayaan Yahudi, kemudian dilanjutkan dengan kebudayaan
Romawi dan Yunani, serta akan membahas tentang konteks sosial dari masyarakat dalam
Injil Lukas.
2.4.1. Kebudayaan Yahudi (Yudaisme)
Bangsa Yahudi telah ada sejak abad ke-6 SZB di Sardis, Asia Kecil sebelah Barat
ketika Yerusalem dihancurkan oleh Nebukadnezar. Memasuki abad ke-3 ZB sudah ada
komunitas Yahudi yang menetap disana.22
Para pendatang yang kemudian menetap ini
sekalipun telah meninggalkan Yerusalem, mereka tidak begitu saja melupakan tempat asal
mereka, serta kebiasaan-kebiasaan – khususnya peribadatan-peribadatan – yang mereka
sebenarnya adalah yang lebih dahulu dicatatkan. (I. Howard Marshall, The Gospel of Luke: A Commentary on
the Greek Text, 33-34). 20
Marxsen, Pengantar, 194. 21
Bruce Chilton, Studi Perjanjian Baru Bagi Pemula (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 128. 22
John Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 1.
9
lakukan disana. Sebelumnya ketika di Yerusalem mereka melakukan peribadatan di Bait
Allah, saat mereka menetap di tempat mereka yang baru ibadat mereka dilakukan di
sinagoge-sinagoge.23
Orang-orang Yahudi yang meninggalkan Yerusalem tetap berusaha
menjaga hukum-hukum nenek moyang mereka, terlebih khusus dalam hal keagamaan selama
mereka berada di perantauan.
Sistem pemerintahan Yahudi saat itu dipegang oleh Roma, tetapi untuk administrasi
dilakukan oleh pemerintah lokal.24
Agustus saat itu menghargai tradisi Yahudi dan khususnya
bait Allah. Orang-orang Yahudi tidak diwajibkan untuk ikut dalam ibadah pemujaan Kaisar,
Bait Allah juga dilindungi Kaisar, bahkan Kaisar juga ikut mempersembahkan korban atas
namanya. Pemerintahan administratif yang diberikan bagi orang Yahudi wujud dalam dewan
tertinggi yaitu Sanhendrin. Kekuasaannya sangat besar dan sering Herodes menekan
Sanhendrin untuk menjadikannya alat politiknya sendiri.
Sanhendrin merupakan suatu lembaga yang menyatukan orang-orang Yahudi yang
tidak seragam. Sanhendrin berarti “dewan yang terdiri dari 71 anggota”, kata Yunani-Ibrani
ini diterjemahkan sebagai “Mahkamah Agama”. Dewan ini memiliki kewenangan bukan
hanya terbatas di Palestina saja, tetapi juga sampai ke daerah-daerah lainnya bagi semua
orang Yahudi. Kekuasaan mereka yang berada di pusat merambah sampai ke dunia politik,
sedangkan Sanhendrin setempat hanya berkuasa di bidang keagamaan saja. Sekalipun berada
23
Rumah-rumah ibadah yang dibuat orang Yahudi untuk melaksanakan peribadatan mereka di luar Yerusalem.
Akan tetapi ada ritual-ritual yang tidak dapat dilakukan di luar Bait Allah (seperti persembahan kurban, dan
sebagainya). Penggunaan sinagoge ini adalah sesuai dengan ritual yang dapat mereka lakukan di luar dari Bait
Allah, dan diganti dengan sesuatu yang lain. Berpijak pada keadaan ini, maka berkembanglah sesuatu yang lain
yang dapat dilakukan dimana saja, seperti berdoa, membaca Taurat, memelihara hari Sabat, sunat, dan
memelihara hukum-hukum Perjanjian Lama yang mengatur soal makanan, dan penyesuaian ini berhasil bagi
mereka. 24
Pompey menaklukan sebagian wilayah orang Yahudi (Yudea) dari tangan Hyrcanus II dan Aristobulus II pada
tahun 63 SZB dan menjadikan wilayah itu sebagai wilayah kekuasaan Romawi dan berada dibawah aturan-
aturan/hukum-hukum kekaisaran Romawi. Meski demikian, Hyracanus II tetap dijadikan imam kepala dan
diberikan jabatan “ethnarch” atau yang disebut dengan “ruler of the people”. Sejak itu, sekalipun terjadi banyak
pergantian kekuasaan dalam Kerajaan Romawi, namun keberadaan dan posisi kekuasaan orang-orang Yahudi
tidak berubah. Hal ini demikian terjadi karena dalam kepentingan untuk memperoleh kekuasaan (dengan cara
perang dan pertempuran) dibutuhkan aliansi-aliansi agar jumlah pasukan semakin banyak, oleh karena itu maka
penguasa-penguasa Roma menggunakan orang-orang Yahudi sebagai sekutunya. (E. P. Sanders, Judaism:
Practice & Belief 63 BCE – 66 CE. (Philadelphia: Trinity Press International, 1994), 30-31).
10
dalam pemerintahan Roma, namun untuk bidang-bidang sipil, kewenangan dan kekuasaan
Sanhendrin begitu luas.25
2.4.2. Kebudayaan Yunani (Helenisme)-Romawi
Dunia kekristenan mula-mula dikuasai oleh pemerintahan kekaisaran Roma. Tetapi
cara orang berbicara dan berpikir, aspirasi dan prestasi, dan sebagainya masih dipengaruhi
secara besar-besaran oleh pemikiran Yunani. Sejak jaman Aleksander Agung (356-323 SZB)
yang mendirikan kerajaan dunia, mengalami kekalahan dan perpecahan, yang kemudian
disatukan kembali oleh Oktavianus dari Roma (63 SZB-14 ZB). Saat Oktavianus berkuasa
dan mengalami keberhasilan, itu semua tidak lepas dari pengaruh Aleksander Agung yang
dimasa kekuasaannya menyebarluaskan kebiasaan, agama, dan filsafat Yunani, dan bahkan
bahasa Yunani juga. Hal ini membuat timbulnya suatu cara hidup yang disebut dengan
Helenisme.
Helenisme bertahan begitu lama, bahkan sampai pada permulaan Kekristenan.
Penyebarluasan berita mereka menjadi mudah dalam dunia yang dikuasai oleh kebudayaan
Yunani ini.26
Jadi sekalipun saat itu kerajaan Romawi yang sedang berkuasa, tetapi
Helenisme masih kental dan berpengaruh besar bagi orang-orang Roma, dan tentunya banyak
dari kebudayaan Yunani ini yang kemudian diterapkan dalam pemerintahan dan kebudayaan
Romawi.
Pengaruh helenisme khususnya di Palestina mencakup ibadah keagamaan keagamaan,
bidang sastra, arsitektur kota, bidang estetika, dan pengaruh yang paling efektif adalah
pengaruh dibidang perdagangan dan industri. Secara organisasi politik helenisme juga turut
mempengaruhi Palestina. Dewan penguasa di kota-kota yang baru didirikan dipilih melalui
sistem demokrasi, namun hal ini tidak dijalankan sepenuhnya oleh seluruh kota yang ada.27
25
C. Groenen. OFM, Pengantar Kedalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 34-51. 26
Drane, Memahami,24. 27
Stambaug dan Balch, Dunia, 99-100.
11
Kerajaan Romawi kuat dalam hal pemberlakuan hukum dalam pemerintahannya.
Segala sesuatu dibatasi oleh hukum yang berlaku, yang mengatur masyarakat dalam
bertindak. Badan-badan penegak hukum juga mulai dibentuk di daerah-daerah untuk
menghadapi kejahatan-kejahatan serius. Bahkan di Yerusalem sendiripun Imam Agung
mempunyai angkatan kepolisian.28
Mungkin disini ada tujuan politik tersendiri dari
pemerintah Romawi agar dapat menguasai orang-orang Yahudi.
Salah satu cara yang dipakai oleh pemerintah Romawi untuk menarik kesetiaan dari
bangsa yang mereka kuasai adalah dengan menghadiahkan kewarganegaraan Romawi.
Dengan mendapatkan kewarganegaraan ini masing-masing orang memiliki tanggungjawab
untuk mengabdi di legiun-legiun tentara. Meski demikian, ada juga hak-hak istimewa untuk
memberikan suara dalam dewan-dewan rakyat Romawi, perlindungan penuh hukum Romawi
dan pengecualian dari pembayaran sebagian besar pajak. Orang-orang pribumi yang telah
memperoleh kewarganegaraan Romawi menikmati status yang sama seperti warga negara
Romawi lainnya, meskipun menurut dekrit Agustus mereka harus terus memberikan
sumbangan untuk kesejahteraan dan pemeliharaan kota mereka.29
2.4.3. Latar Belakang Sosial
Tatanan sosial dasar peradaban ini terjalin ke dalam jalinan akrab hubungan-hubungan
pribadi: bantuan yang diberikan, balasan yang diharapkan, dan kesetiaan yang harus
diperlihatkan.30
Jalinan keakraban di dalam lingkaran komunitas kaum bangsawan adalah
tindakan saling menolong dalam cara yang saling menguntungkan. Keramahan diberikan
dengan cara saling mengunjungi teman-teman di daerah-daerah lain, bertukar hadiah, dan
membentuk persekutuan dengan keluarga-keluarga penting lainnya di wilayah yang sama.
Sedangkan dari sanak saudara dan tetangga-tetangga yang miskin, mereka mengharapkan
28
Stambaugh dan Balch, Dunia, 21-24 29
Stambaugh dan Balch, Dunia, 23. 30
Stambaugh dan Balch. Dunia,66.
12
dukungan dalam bidang politik, bantuan pada waktu panen dan dalam permusuhan dengan
kaum bangsawan saingan mereka. Timbal-baliknya, sanak keluarga dan tetangga yang miskin
ini mengharapkan perlindungan fisik dan pinjaman atau pemberian pada waktu mereka
mengalami kesusahan.31
Kehidupan masyarakat terbagi dalam kehidupan masyarakat desa dan kota. Dalam
pembahasan ini penulis akan lebih melihat pada situasi sosial dalam kehidupan masyarakat
kota. Meskipun tempat penulisan Injil Lukas masih belum memiliki ketepatannya, akan tetapi
terlihat dari penulisannya, konteks kota memang disiratkan oleh teks-teks Lukas sendiri.32
Kehidupan kota di masa ini terbagi dalam kelas dan status yang berbeda. Keduanya
ini tersusun dalam suatu piramida sosial-ekonomi yang menentukan pengaruh seseorang
dalam kehidupan sosial. Piramida ini terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu golongan kelas
atas, golongan kelas menengah yang termasuk juga rendah, dan golongan yang paling rendah.
Golongan yang pertama, yaitu golongan kelas atas yang berada pada puncak piramida.
Pada golongan ini Kaisar dan keluarganya menempati tempat paling atas, dan yang
dilanjutkan dengan para pejabat administrasi pusat Roma, dan pemegang-pemegang
kekuasaan lainnya. Anggota dari kelas atas ini tidak banyak, tetapi mereka menonjol karena
mereka yang memegang kendali atas kekayaan dan kekuasaan politik kekaisaran.Selanjutnya
terdapat golongan menengah yang juga merupakan golongan kelas bawah. Mereka ini adalah
para pemilik tanah kecil, para tukang dan pemilik toko, mereka yang memiliki peringkat
tengah dan bawah dalam ketentaraan Romawi.33
Kelas menengah yang berada di Yerusalem
ini tampaknya paling beruntung sebab mereka mendapatkan pemasukan dari para peziarah
yang membeli keperluan-keperluan perayaan. Para imam juga dapat dimasukkan dalam kelas
ini, sebab mereka sangat bergantung dari korban-korban persembahan dan berbagai
persepuluhan. Pendapatan mereka ini memang dijamin secara hukum, tetapi para umat
31
Stambaugh dan Balch,Dunia, 66-67. 32
Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya-Miskin menurut Lukas (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), 53. 33
Stambaugh dan Balch, Dunia,91-103.
13
umumnya tidak peduli untuk membayar persepuluhan itu sehingga para imam itu kurang
terjamin kehidupannya.34
Di bawah mereka dengan status yang lebih rendah terdapat orang yang benar-benar
miskin dengan melakukan pekerjaan borongan, atau sebagai pencuri, dan sebagai pengemis.
Kelas terendah dari yang ada adalah budak.35
Meski demikian, Hortensius Mandaru
mengatakan bahwa kelas terendah adalah pengemis (termasuk juga dengan orang sakit, buta,
timpang, kusta, dan yang melarat)36
. Ia membagi kelas miskin ini kedalam dua bagian lagi:
pertama, orang miskin yang masih sanggup mencari nafkah, dan kedua mereka yang hidup
dari sumbangan dan derma (janda). Piramida sosial inilah yang membentuk serta memberi
pengaruh besar dalam situasi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat kota dalam
kekuasaan dari kekaisaran Romawi.
Golongan kelas atas sangat menjaga jarak dan statusnya dengan yang orang-orang
dari kelas di bawah mereka. Situasi ini menciptakan jarak yang sangat besar antara orang-
orang yang kaya, dan orang-orang yang miskin.37
Sebagai kelas bawah dalam piramida sosio-
ekonomi ini, mereka selalu dianggap rendah oleh orang-orang dari kelas atas, bahkan
mungkin tidak dianggap apa-apa.
2.4.4. Latar Belakang Ekonomi
Perekonomian di zaman pemerintahan kekaisaran Romawi berbeda dengan sistem
perekonomian zaman kuno. Pada zaman kuno, kekayaan adalah tentang luas tanah, jumlah
ternak, dan kesetiaan kepada keluarga. Akan tetapi dalam kekaisaran Romawi (zaman
Perjanjian Baru), uang dan harta bergerak menjadi penting. Di dalam tradisi Romawi, ada
prinsip dan tradisi yaitu adanya hubungan saling menolong untuk saling menguntungkan.
34
Mandaru, Solidaritas,39-44. 35
Yusak Setyawan,Hand-outs Introduction to the New Testament: A Draft(Salatiga: Fakultas Teologi UKSW,
2011), 30. 36
Mandaru, Solidaritas, 40 37
Setyawan, Hand-outs,31.
14
Salah satu tradisinya adalah hubungan persahabatan yang timbal balik38
, atau yang disebut
dengan clientele-patron39
. Tradisi ini merupakan sistem pemberian bantuan dengan balasan
kesetiaan terhadap pemberi bantuan dari orang yang dibantu, namun memberikan keuntungan
yang merata bagi kedua belah pihak. Pemberi bantuan disebut dengan patron, dan yang
menerima adalah client; seorang client membutuhkan bantuan dari patron-nya berupa
perlindungan dan keuangan, serta seorang patron membutuhkan client-nya untuk kepentingan
kekuasaan. Di dalam kekaisaran Roma, orang-orang tidak mengenal dengan yang namanya
amal.
Pihak-pihak yang terkait dengan tradisi clientele-patron bukan hanya antara golongan
atas dan golongan menengah kebawah, tetapi juga sesama anggota yang berada di golongan
atas.40
Anggota dewan kebangsawanan memiliki kliennya, dan ia juga menjadi klien dari
orang-orang dengan tingkatan yang lebih tinggi; dan situasi ini bagaikan lingkaran yang terus
saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Bagi mereka yang secara sosial lebih tinggi, akan
memberikan makanan atau uang kepada bawahannya para pelindung kota memberikan
gedung-gedung dan dana untuk kota-kota; para pangeran menyumbangkan saluran-saluran air
dan kuil-kuil untuk kerajaan-kerajaan klien. Semua itu dilakukan dengan harapan akan
adanya balasan kesetiaan, kehormatan, dukungan militer dan bukan hanya sebatas balasan
uang. Stambaugh menjelaskan bahwa di dalam kitab-kitab Injil tersirat bahwa suatu pranata
serupa mengatur hubungan-hubungan antara kelas-kelas yang ada di Palestina. Tradisi yang
mewarnai dunia sosial yang ada di dunia Yunani-Romawi kuno saat itulah yang membuat
amal (dalam pengertian modern) tidak dikenal. Segala tindakan yang diperbuat bagi orang
lain merupakan tindakan yang harus dibalas sesuai dengan permintaan dari pihak pemberi.
Salah satu unsur yang terdapat dalam tradisi clientele-patron dalam perekonomian
kekaisaran Romawi adalah sistem peminjaman uang dan pengumpulan pajak. Peminjaman
38
Setyawan, Hand-outs,26. 39
Paul Veyne, The Roman Empire (Cambridge: Harvard College, 2002), 103. 40
Stambaugh dan Balch,Dunia,67.
15
uang yang formal memiliki konsekuensi untuk menjadi budak. Sedangkan untuk
pengumpulan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah, menjadi suatu kewajiban untuk
dijalankan semua orang yang berada di bawah kekuasaan dari pemerintah Roma. Bahkan
orang-orang Yahudi yang menjalankan ibadah di Bait Allah harus membayarkan pajak Bait
Allah.41
.
Tradisi clientele-patron erat hubungannya dengan politik. Orang-orang Roma
menggunakan istilah client-patron ini juga dalam hal kekuasaan daerah, dimana daerah yang
dilindungi oleh daerah yang lebih kuat disebut dengan client.42
Tradisi ini mengikat satu
kekuasaan dengan kekuasaan yang lebih tinggi lagi diatasnya.
2.4.5. Latar Belakang Politik
Kekaisaran Romawi pada saat itu mengadopsi sistem politiknya dari kepolitikan
Yunani kuno setelah ia ditaklukkan. Sistem ini adalah sistem yang menganut paham monarki,
dibuat agar aktivitas dalam negara – khususnya dalam bidang agama – sejalan dengan
kepentingan negara. Kaisar memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan yang disebut
sebagai pemerintah pusat. Pemerintah Roma sebenarnya belum siap untuk mengatur daerah
kekuasaan yang sebegitu besar, untuk itu dilantiklah raja-raja setempat yang tunduk pada
penguasa-penguasa dari pemerintah pusat.43
Otonomi khusus bagi masing-masing daerah
dalam kekaisaran Roma diberikan oleh pemerintah pusat, tetapi tetap berada di bawah kontrol
dari pemerintah pusat sendiri. Masing-masing daerah mendapatkan kebebasan dari
pemerintah pusat untuk membuat dan menjalani hukum mereka. Terlalu banyak campur-
tangan pihak-pihak yang berwenang dari pusat, dan sistem yuridiksi lokal memiliki
41
R. T France, Yesus Sang Radikal – Potret Manusia yang disalibkan(Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 20. 42
Veyne, The Roman, 105. 43
France, Yesus,18.
16
kerumitan dalam menjalankan hukum yang ada44
menyebabkan banyak terjadi bentrokan-
bentrokan kekuasaan.
Jaringan pemerintahan terbentang dua dari ibukota Roma. Daerah perbatasan (seperti
Palestina) langsung dibawah pemerintahan dan kekuasaan Kaisar yang diwakili oleh seorang
“procurator” (wali negeri). Untuk daerah-daerah lain, langsung dibawah senatus yang
diwakili oleh seorang “proconsul” (gubernur). Ada juga daerah-daerah lain yang tidak
langsung diperintah oleh Roma dan pegawai-pegawainya, tetapi oleh penguasa setempat.45
2.5. Praktik Pemberian Persembahan dalam Agama Yahudi
Pemberian persembahan di Bait Allah di Yerusalem diyakini sebagai suatu cara yang
akan mendatangkan berkat bagi orang-orang Israel. Terlebih khusus dalam situasi bangsa
Yahudi saat itu yang mengalami kekalahan dan kejatuhan besar, dan sedang menunggu
kedatangan kemenangan mereka melalui Mesias yang dikirimkan oleh Yahweh.46
Dasar
pemikiran seperti ini oleh orang-orang Yahudi yang memberikan persembahan di Bait Allah,
bermakna bahwa semakin banyak dan sering seseorang memberi maka berkat bagi kehidupan
mereka akan semakin banyak. Dengan memberi, maka mereka akan mendapat.
Memberikan persembahan di Bait Allah dalam tradisi Yahudi pada Perjanjian Baru
merupakan tuntutan dari para rabi atas nama Yahweh dan Kitab Suci yang mereka tafsirkan.
Persembahan ini sifatnya adalah wajib bagi semua orang Yahudi; orang kaya maupun orang
miskin.47
Pemberian persembahan ini sudah bercampur dengan unsur politik dari rabi-rabi
dan imam-iman yang ada di Bait Allah, sehingga telah menjadi suatu kewajiban, bukan suatu
ketulusan lagi.
44
Loveday Alexander, “Luke’s Political Vision” Interpretation: Journal of Bible and Theology 66 (3) 2012:
283-293. 45
Groenen, Pengantar, 54. 46
Bosch, Transformasi,28. 47
David Gooding, According to Luke: A New Exposition of the Third Gospel(Leicester: Inter-Varsity Press,
1987), 324-325.
17
Salah satu praktik pemberian persembahan yang menjadi tradisi adalah pemberian
persembahan di peti persembahan di Bait Allah. Tindakan memasukkan pemberian ke dalam
peti persembahan adalah tindakan yang dapat diketahui oleh banyak orang. Beberapa ahli
menyatakan bahwa peti persembahan yang tertulis di dalam teks ini, yang disebut dengan
treasury kemungkinan adalah salah satu tempat persembahan yang terdapat di Bait Allah di
bagian yang disebut Court of the Women. Howard Marshall salah satunya menyatakan bahwa
di dalam bagian ini terdapat 13 koleksi peti-peti berbentuk trompet untuk macam-macam
pemberian. Berkaitan dengan hal ini, bukti-bukti menunjukkan pemberian yang diberikan
memiliki tujuannya masing-masing, dan lebih khusus jika yang berhubungan dengan
sumpah/perjanjian maka pemberi harus mengumumkan jumlah pemberian dan tujuan
pemberiannya itu kepada imam yang bertugas.48
3. Ajaran Yesus tentang pemberian persembahan dalam Lukas 21:1-4.
Melalui proses hermeneutik dan pengkajian konteks sosio-historis Injil Lukas yang
telah dilakukan di bagian dua, penulis mendapatkan setidaknya dua pokok utama yang dapat
diungkap dari Lukas 21:1-4 berkaitan dengan ajaran tentang pemberian persembahan.
3.1. Mengkritisi Eksploitasi Terhadap Orang Miskin
Sebelum dapat memahami teks yang digumuli perlu untuk melihat konteks teks dari
teks ini yaitu Lukas 20:45-47. Lukas 20:45-47 menjadi awalan serangan Yesus berkaitan
dengan eksploitasi kekuasaan terhadap orang-orang miskin. Serangan ini terlihat jelas meski
disampaikan secara eksplisit pada pasal 20:46-47 dalam konteks Yesus berkata kepada
murid-murid, khususnya dalam frasa “yang menelan rumah janda-janda” (20:47a). Tradisi
mengungkap bahwa telah menjadi tugas dari para imam untuk menjaga dan mengurusi janda-
janda dan anak yatim (kehidupan seorang janda dan anak yatim dalam lingkup Perjanjian
Baru bergantung dari perlindungan dan pengurusan pihak lain yaitu Bait Allah dan golongan
48
Marshall, A Commentary,751.
18
orang kaya), dengan alasan kedua kaum ini tidak dan belum bisa menafkahi kehidupannya
sendiri. Meskipun demikian, para imam tidak menaruh kepedulian untuk melaksanakan tugas
tersebut.
Mengenai hal ini Howard Marshall memberikan penafsiran cara “melahap” adalah
penyalahgunaan kekuasaan mereka terhadap janda-janda miskin, yaitu menuntut pembayaran
untuk nasihat yang diberikan, dan Marshall juga mengambil penafsiran dari T. W Manson
dan J. D. M Darret. Menurut Manson yang dimaksud dengan “melahap” adalah “salah
kepengurusan” properti dari para janda yang mengabdikan diri di Bait Allah. Ayat 47a
menurut Darret mengacu padaorang-orang yang ditunjuk oleh mendiang suami dalam
wasiatnya untuk mengurus kepemilikan dari istrinya, namun mempergunakan kesempatan itu
untuk meraup keuntungan bagi mereka sendiri.
Penulis mengambil perspektif berbeda dari Marshall berkenaan dengan eksploitasi
orang miskin ini. Jika melihat pada bingkai budaya Yunani-Romawi saat itu eksploitasi
terhadap orang miskin wujud sangat nyata dalam bentuk pranataclientele-patron. Seperti
yang telah diuraikan dalam bagian dua, pranata dalam sistem ekonomi ini adalah bentuk
eksploitasi dari orang-orang kaya (golongan kelas atas) terhadap orang miskin. Eksploitasi
dijalankan salah satunya dengan adanya tuntutan-tuntutan besar seperti memberikan suara
dalam pemilihan umum sekaligus mencari rombongan pemilih lainnya, dan harus
menunjukkan kepada khalayak betapa pentingnya orang yang digalakkan itu, serta berbagai
berbagai bantuan jasa lain.49
Menurut penulis pranataclientele-patron sekalipun dikatakan
adalah persahabatan timbal-balik, namun tidak menunjukkan adanya situasi yang
“simbiosis”. Keuntungan dari orang miskin adalah perlindungan dan sumbangan sewaktu-
waktu yang tidak menentu. Sedangkan bagi orang-orang kaya sebagai patron akan menjadi
pemilik dari kliennya. Dalam pemahaman, mereka dapat menuntut jasa terus-menerus saat
49
Stambaugh dan Balch, Dunia Sosial, 67-68.
19
ada situasi yang mengharuskan keterlibatan dari orang-orang yang berhutang pada mereka.
Pranata inipun tidak hanya dijalankan oleh orang Yunani-Romawi, namun berimbas juga
pada orang-orang Yahudi.
Robert Tannehil menyatakan bahwa Lukas 20:45-47 dan Lukas 21:1-4 merupakan
cerita yang berkesinambungan dalam bingkai kritik terhadap perilaku para pemimpin agama
Yahudi dalam mengeksploitasi orang miskin.50
Keith Nickle pun memberikan gagasan yang
senada dengan Tannehil, yaitu tentang pemberian persembahan janda miskin memberikan
kesan pengajaran terhadap murid-murid, namun kandungan utamanya adalah teguran
terhadap perilaku imam-imam di Bait Allah yang menyalahgunakan kekuasaan dan jabatan
keagamaan mereka kepada orang-orang miskin.51
Penulis dalam hal ini tidak sepaham dengan Tannehil dan Nickle berkaitan dengan
argumen mereka di atas. Memang kedua perikop ini (Lukas 20:45-47 dan 21:1-4) masih
berkesinambungan karena setting lokasi dari keduanya adalah sama. Tetapi karakter
utamanya sudah berbeda. Dalam 20:45-47, Lukas mengangkat tentang kritik terhadap para
imam. Masuk pada teks yang digumuli, sudah ada pergantian tokoh di dalamnya yang tidak
lagi menekankan pada para imam. Lukas 21:1-4 sudah melepaskan fokus pada mengkritisi
perilaku imam-imam di Bait Allah, dan lebih memperuncing kritiknya dengan mengarahkan
kritik pada golongan orang-orang kelas atas. Melihat pada pembukaan narasi “persembahan
janda miskin”, dimana Lukas menggambarkan Yesus yang memperhatikan kepada orang-
orang kaya yang menaruh persembahannya. Mengenai hal ini penulis lebih sepaham dengan
Howard Marshall,52
Joel B. Green, dan Luke T. Johnson53
yang memberikan gagasan yaitu
50
Robert Tannehill, Abingdon New Testament Commentaries: Luke (Nashville: Abingdon Press, 1996), 299-
300. 51
Keith F. Nickle, Preaching the Gospel of Luke: Proclaiming God’s Royal Rule (Westminster: John Knox
Press, 2000), 219. 52
Teks ini memang masih berkaitan dengan konteks teksnya yaitu persoalan janda dan imam-imam. Namun
narasi ini sendiri lebih mengarah kepada kontras antara kaya dan miskin. Meski demikian, isu utamanya adalah
pada kesalehan yang benar dan yang palsu. (Howard Marshall, The Gospel of Luke(Michigan: Wm.Eermands
Publishing, 1992), 750). 53
Luke T. Johnson, Sacra Pagina: The Gospel of Luke (Collegeville: The Liturgical Press, 1991), 324.
20
dalam pembahasan pasal 21:1-4, Lukas telah mengambil fokus secara eksklusif pada orang
kaya, dan kritik bukan lagi pada kesalehan palsu dari imam-imam di Bait Allah.54
Namun, dilain pihak setuju dengan pandangan Keith Nickle mengenai ekploitasi yang
dilakukan para imam ini menjadi contoh bagi orang-orang kaya dan dianggap sebagai suatu
ajaran untuk turut diterapkan.55
Pada akhirnya membawa kaum janda pada keadaan yang
lebih tidak sejahtera. Untuk itu dapat dikatakan bahwa teks adalah bagian dari
ketidaksetujuan Lukas atas tindakan eksploitasi terhadap orang-orang miskin, yang
disampaikan dalam bingkai kritikan Yesus terhadap imam dan orang-orang kelas atas. Orang
miskin seharusnya mendapatkan perlakuan yang akan menjaga kesejahteraannya dari pihak-
pihak yang berkewajiban.
3.2. Narasi Pemberian Persembahan Untuk Meruntuhkan Paham yang Materialistis
Intisari yang umumnya diserap dari Lukas 21:1-4 adalah Yesus membela pemberian
persembahan janda miskin dan menjatuhkan pemberian persembahan dari orang-orang kaya.
Dalam pandangan umum, justifikasi Yesus berdasar atas ketulusan dari janda miskin. Ayat
yang menjadi pemicu pemahaman ini adalah “Lalu Ia berkata: “Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu” (21:3).
Pernyataan Yesus diayat tiga merupakan sindiran yang didorong kritikan terhadap sikap umat
yang jatuh dalam paham materialistis.
Di dalam narasi “persembahan janda miskin”, Lukas menempatkan Yesus di sekitar
Bait Allah, sedang memberikan pengajaran, dan situasi di sekitar-Nya menarik perhatian
Yesus. Lukas secara khusus mengangkat ketertarikan dan perhatian Yesus terhadap orang-
orang yang sedang memberikan persembahan mereka di peti-peti persembahan (ayat 1).
54
Dalam tulisannya Green membedakan fokus yang diambil oleh Lukas dengan Markus yang
merupakan sumber kisah dari Lukas sekalipun narasi ini terlihat sama, namun memiliki poin penekanannya
sangat berbeda. Dalam hal ini, menurut Green Lukas bukan sekadar secara ekslusif memfokuskan pada distingsi
antara kaya-miskin, tetapi secara tajam menaruh perhatian pada kelompok orang kaya. (Edited by Joel B. Green,
Methods for Luke(Cambrige: Cambrige University Press, 2010), 66. 55
Nickle, Preaching the Gospel of Luke, 219-220.
21
Problematika utamanya berdasar atas perhatian Yesus ini. Ayat 1 dan 2 menunjukkan dengan
jelas perhatian Yesus difokuskan kepada pertama, orang-orang kaya yang datang menaruh
persembahan mereka, dan kemudian kepada janda miskin yang menaruh persembahannya
sebesar dua peser 1VAnable,yaj de. ei=den tou.jba,llontajeivj to. gazofula,kion ta.
dw/raauvtw/n plousi,oujÅ2
ei=den de, tinach,ranpenicra.nba,llousanevkei/ lepta.
du,o((21:1-2).
Situasi Yesus yang sedang memperhatikan, ditunjukkan Lukas dengan menggunakan
kata ei=den (ayat 1 dan 2). Kritik bahasa yang penulis lakukan terhadap kata ini mengungkap
bahwa kata ei=den adalah kata kerja yang berarti melihat/memperhatikan. Melihat dan
memperhatikan dalam kaitannya dengan tindakan observasi/pengamatan, bukan suatu
penglihatan dalam konteks penglihatan “spiritual” yang mengungkap tulus tidaknya orang-
orang yang saat itu sedang menaruh persembahannya. Penulis setuju dengan tafsiran Howard
Marshall terhadap kata ei=den, yang menterjemahkannya sebagai pandangan sekilas saja,
namun dari pandangan Yesus ini, seluruh narasi “pemberian persembahan janda” miskin
berasal.56
Ada terjemahan lain dari Alfred Plummer, yaitu bahwa kata ei=den adalah suatu
penglihatan spiritual, yang ditafsirkan, oleh karenanya maka Yesus dapat melihat para
pemberi dan juga maksud dari pemberian mereka.57
Penulis tidak sependapat dengan
Plummer, karena pemaknaan kata ei=den sebagai penglihatan spiritual hanya digunakan
dalam dunia Perjanjian Lama. Dunia Perjanjian Baru tidak lagi mengartikannya demikian.
Selain daripada itu, maksud, tujuan, ataupun motivasi seseorang tidak dapat dilihat dan
diukur.
Sesuai dengan tradisi, pemberian persembahan di peti persembahan dilakukan dengan
menyebutkan jumlah pemberiannya kepada imam yang bertugas, dan kecenderungan dari
orang-orang golongan kelas atas saat memberikan persembahan adalah mengucapkan dengan
56
Howard Marshall, The Gospel,752. 57
Alfred Plummer, Critical, 475.
22
lantang jumlah pemberian mereka agar didengar orang banyak. Seperti yang penulis uraikan
dalam bagian dua, cara ini adalah salah satu strategi untuk mengambil perhatian publik dan
memperoleh kehormatan dari masyarakat, serta mempamerkan kekayaan mereka. B.J Boland
dan P.S Naipospos menafsirkan sikap ini sebagai sikap yang menunjukkan ketamakan akan
kekuasaan dan kehormatan.58
Tentunya dengan lokasi peti persembahan yang berada di
jangkauan penglihatan dan pendengaran, jumlah persembahan yang banyak akan sangat
menarik perhatian dan kekaguman orang-orang.
Di situasi yang sama, Lukas mengangkat golongan kelas bawah sebagai
perbandingannya dengan menggunakan tokoh janda miskin yang memberikan persembahan
dua peser. Penggunaan tokoh ini adalah cara untuk menggambarkan perbedaan yang sangat
signifikan dari dua kaum sosial dalam masyarakat. Perlu diperhatikan juga bahwa Lukas
sangat menekankan jumlah persembahan untuk menunjukkan bahwa persembahan itu sangat
kecil. Tokoh janda miskin menggambarkan situasi kemiskinan yang sangat besar, karena
pertama, kaum janda pada saat itu adalah kaum yang tidak dapat memperoleh penghasilan
sendiri, hidupnya bergantung pada pengasihan dan pemberian dari orang-orang lain. Seorang
janda bisa saja masih memiliki peninggalan dari mendiang suaminya, namun Lukas
menekankan bahwa tokoh janda dalam narasi ini adalah janda miskin, yang berarti bahwa
seseorang yang tidak memiliki apapun dan berada dalam lapisan sosial paling bawah.
Perbedaan orang-orang kaya dan janda miskin dalam narasi ini adalah jelas 180 derajat
berbeda.
Mengingat kembali bahwa pembaca Lukas adalah jemaat yang terdiri dari orang-
orang Yunani golongan kelas menengah dan kelas atas, dan yang masih merupakan
keturunan Yahudi. Jadi pembaca sedikit-banyak memiliki pengetahuan dan gambaran tentang
tradisi leluhurnya. Lukas membawa perihal kebiasaan orang-orang kaya dihadapan pembaca,
58
B. J Bolland dan P.S. Naipospos, Tafsiran Injil Alkitab: Kitab Injil Lukas (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), 497.
23
yang sekiranya dapat mereka pahami. Topik ini diangkat karena kecenderungan dari jemaat
pembaca Lukas juga demikian. Lukas menunjukkan protesnya atas tatanan sosial dunia
Romawi-Yunani yang mementingkan uang dan harta bergerak, membentuk pola pikir jemaat
yang tamak, serta haus akan prestise diri di masyarakat, dan menghasilkan pola perilaku yang
menggunakan ajang pemberian persembahan sebagai kontes untuk mempertontonkan
kekayaan. Menurut hemat penulis, dengan mengangkat tokoh janda miskin, protes Lukas
semakin terlihat jelas.
Pola perilaku yang hendak dikritik oleh Lukas berkaitan dengan perwujudan amal.
Karena dalam tatanan sosial-ekonomi Yunani-Romawi, pranata clientele-patron, masyarakat
tidak mengenal akan amal. Setiap pemberian, dalam topeng sumbangan-sumbangan dari
orang-orang kaya ada tuntutan untuk mendapatkan balasan. Tugas imam-imam di Bait Allah
untuk turut campur dalam pemeliharaan dan kesejahteraan dari kaum janda miskin, pun
menyelipkan tuntutan balasan atas bantuan yang diberi.
Kecenderungan perilaku dari orang-orang kaya dalam praktik pemberian persembahan
dianggap sebagai suatu tindakan yang salah, dan perlu untuk dikritisi. Narasi ini menurut
penulis mengungkap bahwa Lukas menghendaki pemberian amal sebagai perwujudan
perilaku yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang kaya.
Pola pemikiran jemaat yang mementingkan uang dan harta, menciptakan paham
materialistis. Melalui narasi ini Lukas tidak hanya sekadar memberikan kritik, tetapi
meruntuhkan paham tersebut dari jemaat. Argumen ini didasari pada ayat 3: “Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu”
(21:3).” Menurut penulis, ayat ini merupakan suatu tamparan keras bagi orang-orang kaya,
dimana persembahan mereka dinilai lebih banyak dari pada seorang janda miskin dengan
pemberian dua peser. Meski kata kunci dari ayat ini adalah “lebih banyak”, yang dalam
24
bahasa Yunani plei/on (ayat 3), Lukas tidak menggunakannya sebagai perbandingan
jumlah/nominal.59
Ujaran konstatatif Yesus di ayat empat “au[th de. evktou/ u`sterh,matojauvth/j
pa,ntato.nbi,on o]n ei=cene;balenÅ” menjadi jawaban atas justifikasi Yesus di ayat tiga.
Dari ujaran ini, kata kunci yang diambil adalah bi,on60
yang diterjemahkan dengan hidup
atau kehidupan. Yesus menyatakan bahwa janda miskin ini memberikan “hidup/kehidupan”
sebagai persembahannya, oleh karena itu dua peser yang ia berikan merupakan persembahan
yang nilainya jauh lebih tinggi dari persembahan orang-orang kaya. Disebut dengan
pemberian persembahannya sebagai persembahan hidup, karena uang dua peser adalah total
harta yang ia miliki, dimana setelah memberikan dua peser dalam peti persembahan, maka ia
tidak memiliki uang sama sekali. Ahli-ahli Perjanjian Baru seperti Howard Marshall,61
B.J
Boland,62
dan Alfred Plummer,63
menuliskan tradisi pemberian persembahan seperti yang
dipraktikkan dalam teks ini, memiliki ketentuan batas pemberian yaitu tidak boleh kurang
dari satu peser. Mengambil gagasan itu, penulis setuju dengan para ahli bahwa pemberian
janda miskin sebenarnya bisa menyisakan satu peser untuk dirinya sendiri.
Tindakan ini menurut beberapa penafsir Perjanjian Baru seperti Barbara Reid,
Howard Marshall, dan William Barclay, merupakan suatu pengorbanan diri karena ia
memberikan semua yang dimilikinya untuk bertahan hidup, oleh karena itu Yesus
mengganggap persembahannya lebih banyak atau lebih baik dari persembahan orang-orang
kaya. Menurut Reid, ada dua hal yang dilihat dari pemberian ini, yaitu memasukkan semua
59plei/on& polui( polloi,many, the great multitude, the many which cannot be counted. Kata yang digunakan
untuk menunjukkan perbandingan yang lebih besar dalam jumlah, namun jumlah tersebut adalah jumlah yang
tidak terhingga. 60bi,on $bi,oj( zwn,%kata dari bahasa Yunani ini berarti hidup. Hidup dalam hal ini bukan hanya nyawa saja,
atau napas, atau detakan jantung, atau kehadiran dan pergerakan yang masih ada di dunia ini. Di dalam bahasa
Yunani kata ini digunakan untuk menunjukkan vitalitas (daya hidup) fisik dari mahluk hidup (manusia, hewan,
tumbuhan). Hidup dipahami bukan sebagai suatu benda, tetapi sebagai sesuatu yang vital (penting), seperti alam
dan sikap yang mengkategorikan semua makhluk hidup. 61
Marshall, The Gospel of Luke,752. 62
B.J Boland dan P.S Naipospos,Tafsir Alkitab, 498. 63
Plummer, A Critical, 475.
25
yang dimilikinya untuk bertahan hidup, dan ia memasukkan seluruh kehidupannya.64
Tafsiran
Marshall senada dengan Reid, dimana ia mengemukakan bahwa janda miskin ini memberikan
sedikit tetapi seluruh kepunyaannya untuk bertahan hidup.65
Barclay sedikit menambahkan
dengan menafsirkan tindakan ini sebagai suatu perwujudan semangat untuk memberikan,
juga merupakan suatu pengorbanan.66
Berbeda dengan penafsiran Bob Utley, yang
mengatakan bahwa memberi merupakan “alat pengukur” spiritual, yang dari tindakan ini
mengungkap pemberian diri kepada Tuhan.67
Penulis tidak sepaham dengan penafsiran Bob
Utley, karena motivasi ataupun spiritualisme seseorang tidak memiliki “alat ukur.” Selain itu,
berkaitan dengan penafsir-penafsir di atas lainnya, menurut penulis tafsiran mereka terlalu
membela posisi dari janda miskin, dan malah menjatuhkan orang-orang kaya. Melihat
kembali pada latar belakang sosial dan ekonomi dari Injil Lukas ini, pemberian janda miskin
pun tidak dapat dikatakan sebagai suatu pemberian yang “tulus” atau sebagai pengorbanan,
karena sebagai orang di dalam golongan kelas miskin yang hidupnya membutuhkan bantuan
secara finansial dan perlindungan, memberikan persembahannya dalam perspektif lain
kemungkinan sebagai bentuk permintaan untuk mendapatkan balasan yang memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya itu.
Sesuai dengan data-data yang dikemukakan di bagian dua, dan melakukan
pendalaman teks Lukas 21:1-4, penulis menemukan narasi ini sebagai suatu usaha Lukas
mengkritik sifat materialistis jemaat pembaca, bahkan meruntuhkan paham yang materialistis
dari jemaat. Dengan mengangkat kedua golongan kelas sosial dalam masyarakat yang
memiliki jarak paling jauh, yaitu golongan kelas atas, dan golongan kelas bawah. Lukas
menggunakan sosok janda miskin sebagai salah satu tokoh utama dalam narasi ini merupakan
personifikasi dari golongan kelas bawah yang diangkat untuk memberikan gambaran
64
Reid, Choosing, 195. 65
Marshall, The Gospel, 752. 66
Barclay, The Daily, 301. 67
Bob Utley, Luke the Historian: Interpretation of the Bible(Bible Lessons International, 2003), 286.
26
kemiskinan yang benar-benar miskin. Meskipun golongan kelas bawah secara umum adalah
orang-orang miskin, tetapi kelompok janda dan anak yatim merupakan kelompok yang paling
miskin. Penggunaan kata miskin merupakan kata yang mendeskripsikan keadaan manusia
yang rendah, tertindas, membutuhkan, lemah, dan bergantung pada orang lain. Janda dan
anak yatim dimasukkan pada golongan ini karena mereka belum dan tidak bisa menghidupi
dirinya sendiri.68
Lain halnya dengan teks pararel Markus 12:41-44, penicra.n69
adalah kata
yang digunakan oleh Lukas dalam menunjukkan kemiskinan.70
Kata tersebut dalam
Perjanjian Baru hanya digunakan khusus pada teks ini saat menggambarkan tentang
kemiskinan.
Menurut hemat penulis, adanya kesengajaan Lukas menggunakan janda miskin
sebagai perwakilan dari golongan kelas bawah perihal usaha Lukas dalam meruntuhkan
paham jemaat yang materialistis. Golongan kelas bawah yang berada pada golongan
termiskin, yang notabene hidup dari pemberian orang lain mampu untuk memberikan seluruh
hartanya, sedangkan golongan kelas atas dengan kekayaan yang melimpah tidak mampu
untuk melakukan tindakan demikian. Dari bingkai pemahaman ini, maka dapat disimpulkan
bahwa Lukas menjatuhkan dan meruntuhkan paham jemaat pembaca yang mementingkan
uang dan harta bergerak.
4. Sumbangan Pemahaman Baru Bagi Praktik Pemberian Persembahan Jemaat
Kristen di Indonesia dari PerspektifLukas 21:1-4
4.1. Keterlibatan Untuk Membantu Orang Miskin
Di dalam setiap gereja di Indonesia tentunya memiliki anggota jemaat yang berada di
garis “kurang mampu” atau biasa disebut dengan orang miskin. Faktanya, banyak orang
68
Holman Bible Dictionary (Tennessee: Holman Bible Publishers, 1991), 1124. 69
Dibandingkan makna poverty (miskin,melarat) khusus kata ini maknanya lebih cocok diartikan dengan penury
atau kemiskinan dan kekurangan. Kata ini hanya digunakan oleh Lukas khususnya dalam teks Lukas 21:1-4.
(The Interpreter’s Dictionary of the Bible: An Illustrated encyclopedia, (Nashville: Abingdon Press, 1991), 843. 70
Kata Penury diartikan dalam English Dictionary and The Oxford English Dictionary sebagai kata yang
menunjukkan keadaan kemiskinan yang sangat miskin, yang termasuk dalamextreme poverty.
27
Kristen berada dalam kemiskinan. Secara umum gereja-gereja memiliki program diakonia
yang dicanangkan untuk memberikan bantuan khususnya bagi jemaat yang berada dalam
kategori miskin ini. Permasalahannya, bantuan-bantuan ini secara faktual diberikan sesuai
“musim” misalnya dalam rangka Hari Raya Natal, Paskah, ataupun Ulang Tahun Gereja,
untuk beberapa orang yang “terpilih” sebagai kategori paling miskin. Bantuan gereja bagi
orang-orang miskin pun terbatas pada jemaat yang miskin, bukan orang miskin secara umum.
Penulis hendak memakai perspektif Gerrit Singgih sebagai kacamata untuk melihat
realita pemahaman dan partisipasi gereja terhadap kemiskinan. Singgih mengungkapkan
bahwa sebagian warga gereja adalah orang miskin dan kurangnya kesadaran gereja untuk
melihat realita ini. Program diakonia yang ada di gereja memiliki daftar yang singkat, dan
makin dipersempit lagi dalam kategori “janda dan anak yatim piatu”, malah terkadang
pendeta atau janda pendeta dimasukkan dalam kategori ini meskipun ia tidak miskin.
Menurut Singgih, Gereja tidak merasa relevan untuk meneliti tentang kemiskinan, karena
tugasnya tidak mencakup hal itu, tetapi pada hal yang spiritual. Kenyataan pada saat ini
adalah orang miskin dalam gereja tidak disadari, tetapi yang di luar gereja yang bukan
Kristen sangat disadari (agama Islam). Orang-orang miskin dari luar gereja yang bukan
agama Kristen dijadikan alat oleh gereja untuk menambah jumlah anggota jemaat
Kristen.Pelayanan sosial yang dilakukan bagi mereka, namun bukan dengan tujuan
mengurangi kemiskinan, tetapi untuk menambahkan jumlah orang Kristen.71
Realita yang ada di Indonesia tidak jauh berbeda dengan situasi pergumulan Lukas.
Gereja secara tidak langsung juga turut melakukan eksploitasi terhadap kaum orang miskin.
Gereja tidak melaksanakan tugasnya untuk membantu memelihara dan mensejahterakan
orang yang tidak mampu (dalam konteks jemaatnya, maupun di luar jemaatnya), justru
menyalahgunakan situasi dan kesempatan untuk kepentingan pribadi.
71
E. Gerrit Singgih, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), 103-104.
28
Persembahan yang diberikan di gereja seharusnya digunakan untuk memberdayakan
jemaat. Karena jemaat adalah bagian dari gereja yang perlu untuk dikelola menjadi lebih
baik. Meskipun telah dicanangkan program diakonia bagi orang-orang yang kurang mampu,
tetapi realisasinya tidak efektif, maka gereja dapat dikatakan tidak melaksanakan tugasnya
sebagai pemberantas kemiskinan dan pemelihara orang-orang miskin. Selain itu, jemaat
memiliki tanggungjawab untuk memperhatikan dan menolong sesamanya yang kurang
mampu.
Makna pemberian persembahan yang terungkap dari Lukas 21:1-4 memperlebar
cakrawala pemahaman jemaat terhadap praktik pemberian persembahan. Pemberian
persembahan bukan hanya sekadar pemberian di gereja, dalam konteks peribadatan semata-
mata. Persembahan dapat diberikan dalam cara lainnya seperti pemberian bantuan langsung
bagi orang-orang miskin, baik sesama jemaatnya maupun orang lain di luar gereja itu sendiri.
4.2. Pemberian Persembahan Sebagai Aksi yang Meruntuhkan Paham
MaterialistisJemaat Kristen di Indonesia
Teks Lukas 21:1-4 sebagaimana yang telah diungkap pada bagian sebelumnya
memberikan pemahaman bahwa pemberian persembahan tidak sekadar berhubungan dengan
materi. Karena memang jika perbandingan secara material dan kuantitas, maka janda miskin
ini memberi lebih sedikit dari orang-orang kaya lain yang juga memberikan. Walaupun tulus
tidaknya suatu pemberian tidak dapat dinilai, namun melihat penekanan dan fokus Lukas
pada mengkritisi paham materialistis yang mementingkan uang diatas segala-galanya.
Dengan tidak bergantung pada materi, ada kerelaan menyerahkan segala yang dimiliki
kepada Tuhan, maka kepercayaan kepada Tuhan dapat terbentuk dan ketergantungan
terhadap materi dapat dilepaskan.
Narasi ini dimaksudkan agar manusia tidak mengikatkan diri pada kekayaan dan
kepemilikan duniawi. Keterikatan dengan uang atau materi membuat manusia melenceng dari
29
perbuatan-perbuatan yang benar; “gila harta” melahirkan keserakahan, dan menghasilkan
orang-orang yang korupsi, mengeksploitasi orang-orang yang miskin dan memperkaya diri
sendiri, sulit untuk berbagi dengan orang lain, dan “gila kekuasaan” membuat manusia dapat
melakukan tindakan-tindakan yang melanggar norma dan hukum-hukum yang ada demi
mendapatkan kekuasaan yang diinginkannya, bahkan menjadikan orang lain sebagai korban.
Untuk itu, keterikatan bahkan obsesi dengan kekayaan dan kepemilikan duniawi membawa
manusia, khususnya orang-orang Kristen pada perilaku yang menghasilkan dosa. Dengan
tidak mengikatkan diri pada kekayaan duniawi serta mempercayakan hidup kepada Tuhan,
maka terwujudlah suatu pemberian persembahan yang benar. Akan tetapi, hal ini tidak hanya
berlaku bagi para pemberi saja, tetapi bagi orang-orang yang bertugas untuk mengelola
persembahan yang diberikan. Persembahan yang diberikan bukanlah untuk kepentingan
pribadi, yang akhirnya persembahan itu dieksploitasi.
Persembahan termasuk dalam salah satu unsur ibadah yang dilaksanakan di gereja-
gereja di Indonesia maupun dalam ibadah-ibadah lainnya. Pada umumnya, persembahan
direlevansikan dengan uang yang dimasukkan di dalam kantong-kantong persembahan dan di
kelola oleh orang-orang yang berwenang di gereja. Adapun yang memaknai persembahan
sebagai respon jemaat terhadap anugerah yang diterima dari Tuhan.72
Salah satu contoh,
dalam tata gereja HKBP menetapkan bahwa persembahan itu adalah mempersembahkan diri
sesuai dengan talenta-talenta yang diberikan Tuhan, dan mentaati Firman Tuhan. Namun
dalam penjabarannya dalam pengaturan tentang persembahan, kaitannya tetap dengan uang
yang akan digunakan untuk pembangunan gereja maupun untuk menjalankan program-
program yang ada di gereja.73
Didalam perkembangannya, persembahan itupun digunakan
untuk membiayai kehidupan dari pendeta di gerejanya.74
72
“Makna Unsur-unsur dalam Liturgi”, http://kutikata.blogspot.com/2009/04/makna-unsur-unsur-dalam-
liturgi.html (diunduh tanggal 28 Agustus 2014). 73
Persembahan Acara kebaktian Minggu, diadakan dua kali , yaitu sebelum dan sesudah Khotbah,
Peruntukannya adalah: Persembahan Ia,b) untuk kas huria dan pembangunan, sedangkan persembahan setelah
30
Persamaan dari pemahaman-pemahaman yang dimaknai oleh jemaat Kristen di
Indonesia adalah persembahan berkaitan dengan uang. Berdasarkan pemahaman itu, maka
uang menjadi isu besar ketika melaksanakan praktik pemberian persembahan di gereja-
gereja. Tidak memiliki uang ketika akan mengikuti peribadatan menjadi hambatan besar,
yang membuat jemaat memutuskan untuk tidak hadir; karena lebih baik tidak hadir di dalam
ibadah, daripada hadir tetapi tidak memiliki uang untuk diberikan sebagai persembahan.
Menurut Pdt. Robert Siahaan dalam artikel yang ditulisnya, jemaat Kristen memegahkan diri
dengan pemberian persembahan mereka bagi gereja. Apabila jemaat dapat memahami
tentang eksistensi Allah yang menebus dan menyelamatkan manusia, dan Ia juga yang
berdaulat atas segala sesuatu, maka pemahaman tentang persembahan juga merupakan
ucapan syukur kepada Allah sebagai pemberi segalanya.75
Ulrich Beyer dan Pdt. Evalina
Simamora juga memberikan pemahaman tentang teologi persembahan berdasarkan hasil
tafsiran mereka, bahwa segala persembahan seharusnya diberikan dengan sukarela.76
Makna dari persembahan yang demikian sempitnya dari jemaat, merupakan
pemahaman yang menyimpang. Hasil hermeneutik yang penulis ungkap dalam bagian ketiga,
memberikan pemahaman yang baru berkaitan dengan makna dari persembahan dan
pemberian persembahan kepada Tuhan. Pemberian persembahan bukan hanya sekadar
memberikan uang di dalam kantong-kantong persembahan. Persembahan tidaklah dilihat dari
jumlah uang yang diberikan itu, ataupun barang yang diberikan. Ukuran bukan terletak
khotbah untuk Kantor Pusat HKBP. Persembahan Sekolah Minggu, dari seluruh jumlah persembahan tersebut,
25 % diperuntukkan untuk Kantor Pusat HKBP. Persembahan Tahunan dipergunakan untuk keperluan biaya
operasional huria di dalamnya termasuk “balanjo” atau gaji pelayan full timer. Persembahan-persembahan
acara kebaktian weijk dan acara ucapan syukur diperuntukkan ke kas huria yang kegunaannya untuk biaya
rutin huria. Persembahan Perjamuan Kudus diperuntukkan untuk pelayanan zending HKBP. (“Makna
Persembahan dalam Ibadah”, http://haumanarata.wordpress.com/2009/12/09/makna-persembahan-dalam-
ibadah/ (diunduh tanggal 28 Agustus 2014)). 74
Dalam kenyataannya di Indonesia jemaat-jemaat menanggung pendetanya. Persembahan praktisnya sebagian
besar untuk gaji dan keperluan pendeta. (Emmanuel G. Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam
konteks di awal milenium III. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 86). 75
Robert Siahaan, “Umat Kristen Tanpa “Komitmen”,” Tabloid Reformata, Edisi 153 Juli 2012, 26. 76
Ulrich Beyer dan Evalina Simamora, Memberi Dengan Sukacita: Tafsir dan Teologi Persembahan. (Jakarta:
Gunung Mulia, 2008), 145.
31
kepada nominal maupun kuantitas dari persembahan, namun persembahan dilihat dari
motivasi dan tujuan yang benar ketika memberikan persembahan. Jadi dapat dikatakan bahwa
menghadiri peribadatan tanpa membawa “persembahan” atau uang, bukanlah suatu
kesalahan, permasalahan, bahkan menjadi hambatan yang dapat menghalangi jemaat untuk
melakukan peribadatan.
Apabila jemaat menerapkan terus pola pikir yang demikian, maka keberlangsungan
gereja-gereja dalam kualitasnya akan terhambat dan malah semakin menurun. Bagaimanapun
juga, gereja sebagai institusi akan berjalan dengan baik saat anggota didalamnya berfungsi
dengan baik. Bukan hanya sekadar fungsi material (persembahan yang diberikan) tetapi
keterlibatan dari anggota jemaat itu dalam aktivitas gereja.
Hal ini juga dikaitkan dengan pengelola-pengelola persembahan di gereja-gereja di
Indonesia, supaya menggunakan persembahan yang diterima dengan benar, dan tidak
mengeksploitasi serta menggunakan persembahan itu untuk kepentingan diri sendiri. Gereja
sebagai wadah dimana orang-orang percaya berkumpul untuk memuji Tuhan dan beribadah,
menjadikan gereja itu sebagai suatu tempat yang kudus. Namun sangat memprihatinkan
apabila gereja itu sendiri dipakai oleh orang-orang yang bertanggungjawab untuk
mengelolanya menjadi suatu tempat untuk meraup keuntungan dari jemaat dan
mengeksploitasi kepercayaan jemaat untuk mendapatkan keuntungan itu; baik dari orang
yang kaya, apalagi dari orang yang miskin.
5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Pemberian persembahan menjadi refleksi teologis yang perlu dilaksanakan oleh
segenap jemaat Kristen di Indonesia berkenaan dengan usaha untuk mengurangi tingkat
kemiskinan. Pemahaman yang sempit dari jemaat terhadap praktik pemberian persembahan
menjadi sebab persembahan hanya diidentikan dengan pemberian uang di gereja, ataupun
32
untuk program-program di gereja. Praktik nyata jemaat untuk turut membantu orang-orang
miskin dan berkekurangan di dalam maupun di luar gereja (agama lain), adalah pemberian
persembahan yang wujud dalam perbuatan nyata terhadap sesama manusia.
Pemahaman dan pemaknaan warga gereja di Indonesia terhadap pemberian
persembahan dalam bentuk uang adalah suatu pemahaman dan pemaknaan yang tidak
esensial, karena pola pikir yang demikian dapat mengarahkan jemaat pada paham yang
meterialistis.Sehingga dengan praktik nyata dalam rangka membantu orang lain yang
tergolong dalam kaum miskin, paham materialistis tidak akan menjadi budaya hidup dari
jemaat Kristen di Indonesia.
Gereja sebagai institusi yang memberikan pemahaman-pemahaman teologis yang
benar mengenai unsur-unsur dalam peribadatan seharusnya mengambil andil dalam
memberikan pemahaman yang benar, khususnya dalam hal ini adalah praktik pemberian
persembahan. Makna persembahan yang benar, esensi dari pemberian persembahan itu
sendiri, dan juga mengajak jemaat untuk mempraktikan pemberian persembahan bukan
hanyak sekadar kantong-kantong uang yang diedarkan ataupun dalam bentuk-bentuk yang
lainnya.
Perspektif baru dalam memandang dan memahami persembahan yang terungkap dari
teks ini tepat untuk diterapkan dalam praktik pemberian persembahan, khususnya dalam
konteks gereja di Indonesia. Sehingga persembahan dipahami bukan saja sebatas uang
maupun barang. Jemaat dapat memaknai dan mempraktikan pemberian persembahan dalam
konteks kehidupannya masing-masing.
5.2. Saran
Berdasarkan atas penelitian yang telah dilakukan, maka pada poin ini penulis hendak
memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik pemberian
persembahan secara khusus bagi jemaat Kristen di Indonesia.
33
Berkaitan dengan penanaman pemahaman terhadap warga gereja, penulis
menyarankan terutama kepada gereja sebagai institusi yang bersangkutan. Karena praktik
pemberian persembahan umumnya dilaksanakan oleh gereja (khususnya gereja di Indonesia)
dalam peribadatan-peribadatan yang dilangsungkan di dalamnya. Untuk itu, keterlibatan dari
gereja sangat penting untukmemberikan sudut pandang baru bahwa persembahan tidak
identik dengan uang, dan pemberian persembahan bukan sekadar pemberian uang di kantong-
kantong persembahan.Pelaksana-pelaksana gereja secara khusus dapat secara intensif
mengadakan pembinaan terhadap jemaat dalam bentuk PA (Pendalaman Alkitab) dengan
menyertakan pandangan-pandangan yang baru untuk dilakukan, juga program-program
diakonia yang dicanangkan sekiranya dapat mencakup keterlibatan warga gereja untuk turut
serta membantu orang-orang miskin.
Gereja sudah tidak bisa lagi berdiri eksklusif di menara gadingnya. Tindakan nyata
bagi semua orang di sekeliling gereja sangat dibutuhkan untuk menciptakan manusia-manusia
yang sesuai dengan Firman Tuhan, yang benar-benar dapat melakukan Firman Tuhan di
dalam praktik kehidupan masing-masing. Adanya kepekaan terhadap situasi sosial dan turut
serta membantu dalam segala cara adalah tindakan yang baik untuk diwujudkan oleh gereja
di tengah-tengah masyarakat majemuk di Indonesia.
34
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Loveday.“Luke’s Political Vision” dalam Journal of Bible and Theology, Vol.66,
tahun 2012, 283-293.
Barclay, William. The Daily Study Bible: The Gospel of Luke.Westminster: John Knox Press,
2001.
Beyer, Ulrich, dan Evalina Simamora.Memberi Dengan Sukacita: Tafsir dan Teologi
Persembahan. Jakarta: Gunung Mulia, 2008.
Boland, B. J.Tafsir Alkitab: Injil Lukas. Jakarta: Gunung Mulia, 2008.
Chilton, Bruce.Studi Perjanjian Baru Bagi Pemula.Jakarta: Gunung Mulia, 2009.
Drane, John.Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: Gunung Mulia, 2011.
France, R. T.Yesus Sang Radikal – Potret Manusia yang disalibkan.Jakarta: Gunung Mulia,
2002.
Gooding, David.According to Luke: A New Exposition of the Third Gospel. Leicester: Inter-
Varsity Press, 1987.
Green, Joel B.The Gospel Of Luke.Michigan: Wm. Eerdmans Publishing, 1997.
Groenen. C. OFM.Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius 1984.
Hermawan, Yusak B.My New Testament. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010.
Holman Bible Dictionary. Tennesse: Holman Bible Publishers, 1991.
Johnson, Luke T.Sacra Pagina: The Gospel Of Luke, Collegeville: The Liturgical Press,
1991.
Mandaru, Hortensius.Solidaritas Kaya-Miskin menurut Lukas.Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1992.
Marshall, Howard.The Gospel Of Luke: A Commentary on the Greek Text.Michigan:
Paternoster Press, 1992.
Marxsen, Willie.Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-
Masalahnya.Jakarta: Gunung Mulia, 1996.
Methods For Luke.Edited By Joel B. Green. Cambrige:Cambrige University Press, 2010
Nickle, Keith F.Preaching the Gospel of Luke: Proclaiming God’s Royal Rule. Westminster:
John Knox Press, 2000.
Plummer, Alfred.The Gospel According to S. Luke. Edinburgh: Morrison and Gibbs Limited,
1905.
Reid, Barbara.Choosing the Better Part? Woman in the Gospel of Luke.Minnesota: Liturgical
Press, 1996.
35
Sanders, E. P.Judaism: Practice & Belief 63 BCE – 66 CE.Philadelphia: Trinity Press
International, 1994.
Setyawan, Yusak B.Introduction to the New Testament: A Draft. Salatiga: Universitas Kristen
Satya Wacana, 2011.
Siahaan, Robert. “Umat Kristen Tanpa “Komitmen”,” Tabloid Reformata, Edisi 153 Juli
2012, 26.
Singgih, Emmanuel. G.Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam konteks di awal
milenium III. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Sitompul, Einar.Gereja Menyikapi Perubahan. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Stambaugh, John dan David Balch.Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: Gunung
Mulia, 2004.
Tannehill, RobertAbingdon New Testament Commentaries: Luke. Nashville: Abingdon Press,
1996.
Utley, Bob.Luke the Historian: Interpretation of the Bible.Bible Lessons International, 2003.
Veyne, Paul.The Roman Empire. Cambridge: Harvard College, 2002.