AIK PRINT
-
Upload
ragil-sludgemetal-ftd -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
description
Transcript of AIK PRINT
Pembaharuan Islam
Pembaharuan atau Tajdid dalam bahasa keagamaan merupakan aktifitas dan kegiatan yang
sangat alami, sesuatu yang sering dan mesti terjadi dalam kehidupan manusia, sebab kehidupan
manusia mempunyai permulaan dan penghabisan; Sesuatu yang telah berkembang akan
mengalami perubahan, dan perubahan tersebut memerlukan upaya perbaikan untuk memperoleh
kinerja dan efektifitas bagi suatu ajaran itu sendiri dalam menyahuti perkembangan jaman.
Tajdid berasal dari akar kata Arab JADADA yang dari kata tersebut terdapat kata JADID
yang berarti baru. Dalam beberapa teks, kata-kata jadada mempunyai tiga pengertian yang
berbeda tetapi mempunyai makna yang hampir sama, yaitu :
Jadid (Baru) artinya menjadikan sesuati itu baru.
Al Qathu (Putus) artinya menjadikan sesuatu itu tidak lagi mempunyai hubungan.
Roji (Kembali) artinya menjadikan sesuatu kembali pada asal dan orisinalitasnya.
Dalam beberapa kesempatan, Al Quran menggunakan terminologi Jadid/Tajdid untuk
memberikan justifikasi atas kekuasaan Allah dan ketidak mampuan manusia atau bahkan ayat
tersebut dipakai untuk menguji ulang kekuasaan Allah yang untuk sementara diper-tanyakan
oleh hamba-Nya dalam rangka memperkuat keimanannya, misalnya pada surat Al Isro 51, As-
Saba 7, As- Sajdah 10 dan Qof 15. Oleh sebab itu Tajdid diperlukan dalam rangka
meningkatkan keimanan dan memprbaharui keberagamaan itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tajdid (pembaharuan) adalah proses untuk
mengembalikan dan menjadikan sesuatu itu kembali kepada asalnya dalam rangka aktualisasi
ajaran itu sendiri. Dari pengertian tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa inti dari
pembaharuan itu ada 3 (tiga), yaitu :
Eksistensi awal artinya terdapat ajaran yang dijadikan kerangka acuan yang orisinalitas dan
kebenarannya bersifat absolut.
Terdapat penyimpangan dan kerusakan atau ketidakmampuan melakukan aktualisasi ajaran itu
sendiri, sehingga kehilangan daya tariknya.
Terdapat usaha untuk melakukan aktualisasi (menghidupkan) kembali konsep tersebut.
Disamping terminologi Tajdid (Pembaharuan), juga kita temukan teminologi lain yang
sebenarnya mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda. Kata-kata tersebut digunakan untuk
mengungkapkan proses reformulasi, pembentukan dan aplikasi ulang Islam sebagai sistem
kehidupan dan sumber nilai kehidupan manusia. Reformasi atau pembaharuan tersebut ber-
kembangan karena akumulasi sejarah kehidupan umat yang senantiasa dalam ketergantungan
struktural dan politik. Ketergantungan Struktural dan Politik pada jaman pertengahan melahirkan
sikap hidup yang pesimis, tidak progresif dan menggantungkan nasib hidupnya kepada kekuatan
selain Allah; sikap hidup yang didominasi oleh Takhayyul, Bidah dan Khurofat menjadi sesuatu
yang tidak terhindarkan.
Sikap hidup yang kurang progresif tersebut nampaknya memberi dorongan terbesar bagi tum-
buhnya budaya Taklid, menerima konsep dan ajaran tampa melakukan proses pengkajian dan
analisa terlebih dahulu. Sikap hidup seperti itu rentan terhadap berkembangnya penyakit sosial-
psykis lainnya. Maka dalam kurun waktu yang sangat lama, umat Islam tidak mampu
melepaskan diri dari dominasi bangsa Barat sampai ketika muncul pemikir-pemikir Islam yang
dikenal sebagai Reformis seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Bin Abd. Wahab (Wahabi),
Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridho, Jamaluddin Al Afghoni dll. Gerakan tersebut tenyata
sangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran beragama sekaligus melahirkan gerakan baru yang
disebut Gerakan Kebangkitan Islam.
Gerakan Pembaharuan Islam
Kemunduran Islam sebagaimana yang telah banyak digambarkan oleh para pemikir Islam
membawa dampak yang sangat general bagi perkembangan sosial, ekonomi, politik dan
intelektual umat Islam. Kemunduran umat Islam juga tidak dapat ditimpakan kepada satu
kelompok atau orang tertentu sebagai yang bertanggung jawab atau setidaknya menjadi
kontributor utama dalam proses kemunduran tersebut. Kemunduran Islam adalah fenomena yang
general untuk menggambarkan masa ketidak mampuan umat islam berperan dalam sisi
keduniaannya. Secara umum sistuasi umum umat Islam pada saat mengalami kemunduran adalah
sebagai berikut :
A. Sosial Politik
1. Wilayah kekuasaan Islam banyak yang lepas dan dikuasai oleh negara-negara Eropa diantara
mereka ada yang merdeka dan kemudian memukul balik kekuasaan Islam.
2. Wilayah kekuasaan Islam banyak yang lepas dan dikuasai oleh negara-negara Eropa diantara
mereka ada yang merdeka dan kemudian memukul balik kekuasaan Islam.
3. Struktur sosial politik umat Islam menjadi lemah, sehingga umat Islam cenderung mengalami
dependente (ketergantungan dengan dunia Barat).
4. Ketergantungan umat Islam kepada mereka menyebabkan lahirnya ketimpangan struktural
yang menempatkan umat Islam menjadi budak/buruh atau kaum marginal/kaum pinggiran
lainnya.
B. Ilmu Pengetahuan dan Budaya tradisi keilmuan
1. Umat Islam tidak lagi memiliki ilmu yang dapat dibanggakan karena kehebatannya. Lebih dari
itu umat Islam hanya mengikuti penemuan ilmiyah yang dilakukan oleh orang Barat.
2. Memudarnya kemegahan kebudayaan Islam yang ditandai dengan menurunnya tradisi berfikir
dan kebekuan berfikir mereka sedang terbuai impian kemegahan umat Islam masa lalu,
kenyataannya mereka dalam keadaan miskin, terjajah oleh bangsa Barat dan terhina.
3. Berkembangnya budaya imitasi terhadap budaya Barat sebagai wujud ketidakber-dayaan
struktural.
4. Munculnya slogan pintu Ijtihad telah tertutup. Slogan tersebut muncul dikarenakan tiga hal,
pertama untuk menggambarkan kelemahan berfikir umat Islam; kedua dimunculkan agar umat
Islam tidak melakukan ijtihad karena kelemahan ilmu yang dimiliki atau legali-asi untuk
kepentingan politik tertentu dan ketiga slogan tersebut sengaja dilontarkan orang Barat untuk
menghambat proses berfikir umat Islam.
C. Pengamalan Agama
1. Berkembangnya budaya Taklid (mengikuti susuatu tampa analisa), bidah (meng-adakan
tradisi yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi) dan khurofat (mempercayai hal-hal yang tidak
sesuai dengan visi keimanan).
2. Al Quran Hadits tidak lagi menjadi pedoman hidup dan digantikan oleh fatwa ulama atau
sufi, sehingga kuburan para ulama lebih ramai ketimbang masjid.
3. Berkembangnya mistik dan kebatinan dilingkungan umat Islam yang banyak di-pengaruhi
oleh Animisme dan Hinduisme yang kemudian melahirkan agama yang Sinkritisme.
Melihat kenyataan tersebut, maka pemikir-pemikir Islam mencoba untuk meng-hentikan
kebiasaan buruk dan menghidupkan kembali tradisi zaman Nabi dengan menempatkan Al
Quran dan Hadits sebagai pedoman Hidup. Orang-orang tersebut misalnya Ibnu Taimiyah
dengan gagasan kembali pada prinsip-prinsip Muhyi Atsaris Salaf/menghidupkan kembali
tradisi orang terdahulu) dan juga Muhammad bin Abdul Wahab dengan gerakan Mu-wahiddin
yaitu gerakan kembali kepada Keesaan Allah. Tetapi orang-orang yang tidak suka dengan
gerakan Muwahiddin menyebut gerakan tersebut dengan Gerakan Wahabi sebagai salah satu
bentuk pelecehan terhadap Muhammad bin Abdul Wahab.
Gerakan Pembaharuan atau Tajdid adalah proses membangkitkan kembali semangat dan ruh
Islam dalam kehidupan umat Islam, karena semangat dan ruh Islam telah di-gantikan oleh
kepercayaan lain. Gerakan pembaharuan juga dapat diartikan sebagai Proses aktualisasi pema-
haman dan pemikiran umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri agar meningkat kualitas
pengamalan dan pemahaman umat terhadap ajarannya. Dengan demikian tujuan pembaharuan
umat Islam adalah membangkitkan semangat dan ruh keislaman dalam diri umat Islam dan
merubah cara pandang/aktualisasi umat dalam memahami ajaran agamanya.
Dengan demikian, proses pembaharuan Islam hanya menyangkut prilaku umat Islam dalam
pengamalan dan pemahamannya terhadap ajaran agamanya, tidak menyangkut subtansi dan juga
tidak termasuk mensiasati ajaran Islam agar dapat mengikuti per-kembangan zaman, sebab Islam
sendiri sangat prospektif dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Pembaharuan Islam di Indonesia
Proses Pembaharuan Islam Indonesia sudah berkembang sejak lama, seiring dengan proses
pembaharuan yang dilakukan oleh para mujaddid. Secara umum proses pembaharuan Islam
Indonesia melalui beberapa tahap :
1. Abad ke 19 proses pembaharuan Islam dilakukan oleh ulama Sumatra Barat dengan gerakan
Paderi pimpinan Imam Bonjol. Gerakan tersebut pada awalnya adalah gerakan pemurnian ajaran
Islam dari tradisi yang dipegang oleh tokoh adat (Purifikasi Islam) tetapi berkembang menjadi
perjuangan nasional karena campur tangan Belanda.
2. Abad ke 20 proses pembaharuan tersebut dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan
Dakwah Muhammadiyah ia berusaha membersihkan Islam dari noda TBC (Tahayyul. Bidah
dan Khurofat).
3. Pertengahan abad 20 (1970 an) yang dipelopori oleh intelektual muda umat islam Indonesia
yaitu Dr. Nurcholis Madjid yang berusaha membangun citra intelektual Islam dan aktualisasi
ajaran Islam artinya memberikan pemikiran modernis agar nilai Islam tetap dapat dilaksanakan
dalam perkembangan dunia yang mutakhir sekalipun.
Secara umum, proses purifikasi ajaran umat Islam telah terjadi beberapa kali di Indonesia dengan
menggunakan thema dan format yang berbeda. Perbedaan gerakan pembaharuan tersebut
dipengaruhi oleh situasi dan letak geografi umat Islam tersebut. Menurut hemat saya, dalam per-
jalanan gerakan pembaharuan Islam Indonesia, telah terjadi tiga kali proses pembaharuan, yaitu :
1. Pembaharuan pada abad XIX oleh kaum Padri Minangkabau, yang dipelopori oleh Imam
Bonjol (Kelompok Harimau Nan Salapan). Pembaharuan Padri dilakukan oleh umat Islam
Sumatra, ketika umat Islam Sumatra terbelenggu oleh adat dan pengamalan agama yang banyak
dipengaruhi oleh Mistik. Bentuk pengamalan agama seperti itu banyak didukung dan dilakukan
oleh kaum adat. Pertentangan kaun Adat dengan kaum Padri tersebut menyebabkan kaum adat
ter-pinggirkan, dan oleh sebab itu ia minta bantuan kepada Belanda, maka berubahlah
pergerakan pembaharuan Islam menjadi gerakan perlawanan rakyat (santri) terhadap kolonial
Belanda.
2. Pembaharuan Islam pada awal abad XX yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan dengan ge-
rakan anti TBC. Gerakan tersebut merupakan gerakan purifikasi ajaran agama yang selama
berabad-abad, ajaran Islam telah berbaur dengan Mistik Hinduisme, Budhisme dan Animisme,
sehingga ajaran Islam telah kehilangan daya dobrak dan ruhnya.
3. Pembaharuan Islam Kontemporer pada tahun 1960-an. Pembaharuan tersebut lebih me-
rupakan gerakan modernisasi pemikiran dan pemahaman ajaran keislaman yang dilakukan oleh
generasi baru umat Islam; sebagai produk lembaga pendidikan umat Islam sendiri.
Saya kira untuk menuntaskan pembahasan kita mengenai pembaharuan atau tepatnya penataan
pemikiran Islam, perlu mengkaji gerak dan langkah tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam
tersebut, misalnya Imam Bonjol, KH. Ahmad Dahlan, Dr. Nurcholis Madjid, Munawir Sadzali,
MA dan lain-lain. Sungguhpun demikian dengan mengingat keterbatasan area pembahasan,
maka hanya akan disajikan sedikit mengenai pemikiran Dr. Nurcholis Madjid.
Nurcholis Madjid lahir di Jombang Jawa Timur pada 17 Maret 1939. Nurcholis Madjid yang
kemudian lebih dikenal dengan panggilan Nurcholis Madjid memulai pendidikan dibawah
asuhan KH. Madjid (ayahnya sendiri) dan kemudian melanjutkan ke Pondok Modern Gontor
Ponorogo. Setelah menamatkan pendidikannya dari Gontor ia kemudian melanjutkan pendi-
dikannya di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga memperoleh gelar Sarjana
pada tahun 1968.
Nurcholis Madjid dikenal sebagai tokoh organisasi, yang kapasitasnya dan pemi-kirannya
menjadi kerangka kajian dan perkaderan, terutama para aktifis organinsasi Ekstra Kampus HMI.
Pada tahun 1974, ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Chicago dan bertemu dengan
pemikir Islam Kontemporer yang sangat disegani yaitu Dr. Fazlur Rahman, yang merupakan
Pakar study keislaman dan pada tahun 1984 ia berhasil menyelesaikan program Doktornya,
dengan disertasi Ibnu Taimiyah on Kalam and Falsafah; Problem of reason and Revelation in
Islam.
Pada tahun 1966, Nurcholis Madjid telah melontarkan sebuah wacana pemikiran baru dalam
Islam. Pada saat itu ia melontarkan gagasan perlunya Modernisasi dalam pe-mikiran Islam
dengan format Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Westernisasi. Lontaran pemikiran
tersebut dengan cepat mendapat tanggapan luas dari pakar keislam-an dan dunia perguruan
Tinggi sekaligus memperbesar volume perlunya modernisasi dalam tataran pemikiran mahasiswa
Islam. Muhammad Kamal Hasan (pakar keislaman Universitas Malaya) mengatakan bahwa apa
yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid adalah cerminan visi seorang Muslim idealis dan
memperkuat citra diri sebagai salah seorang yang mewarisi kebesaran seorang Moh. Natsir,
oleh sebab itu ia kerap kali disebut sebagai Natsiris Muda. Tidaklah berlebih an jika ia
dikatakan sebagai Natsiris Muda atau seorang Muslim Idealis, karena dalam manuskrip tersebut
ia mengatakan :
1. Westernisasi akan membawa manusia pada kehidupan yang sekuler
2. Sekelurisme akan membawa manusia pada sikap hidup atheis dan atheis itu sendiri adalah
produk paling utama dari Sekulerisme.
3. Sekulerisme adalah sumber dari Immoralisme.
Namun citra diri sebagai Natsiris Muda dan Muslim idealis menjadi tertutup, ketika ia
melontarkan pemikiran tentang Keharusan Pembaharuan pemikiran Islam dan Masalah in-
tegrasi Umat pada tanggal 3 Januari 1970 di Islamic Research Centre Jakarta. Muhammad
Kamal Hasan yang menulis Disertasi Doktor dengan mengambil thesis pembaharuan Islam
Indonesia mengatakan bahwa Nurcholis Madjid telah berubah menjadi seorang Modernis
Sekuler atau dalam bahasa lain ia mengatakan Nurcholis before Nurcholis.
Ada hal-hal yang mengganjal dan barangkali membuat jengkel para pemikir umat Islam
Indonesia, terutama Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menjadi salah satu tokoh Islam paling respek
dan kritis terhadap pemikiran pembaharuan Nurcholis Madjid. Barangkali sangat mafhum dan
dimengerti kalau banyak umat Islam yang menyebut Nurcholis Madjid sebagai Modernis Sekuler
atau bahkan sebagai agent Barat karena pemikirannya yang sangat berbeda dengan apa yang
dilontarkan sebelum tahun 1968. Dalam makalah tentang Keharusan pembaharuan pemikiran
Islam dan masalah Integrasi Umat secara eksplisit, Nurcholis Madjid mengatakan :
1. Perlunya liberalisasi pandangan dan pemikiran terhadap ajaran Islam
2. Perlunya kebebasan Intelektual (intelektual Freedom), gagasan kemajuan (Ide of Progres) dan
sikap terbuka.
3. Perlunya gagasan (ide) sekulerisasi dalam ajaran Islam
4. Perlunya penegakan dan pemihakan terhadap kualitas dan mengeliminir sikap me-nonjolkan
kuantitas, yang terbukti tidak efektif terhadap partisipasi umat kepada pemba-ngunan bangsa.
5. Perlunya mengambil sikap Islam Yes, Partai Islam, NO.
Barangkali statemen yang paling dominan membuat kontroversi terutama kaum tradi-sional,
ulama dan pemikir keislaman adalah penggunaan kata-kata Sekulerisasi yang tidak lazim
dipakai untuk menyebut gerakan pemikiran umat Islam. Reaksi yang paling keras muncul dari
Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menyatakan bahwa ia telah memahami bahasa Inggris (untuk
menyatakan ketidaksepakatannya dengan konsep sekulerisasi Nurcholis Madjid) sejak 40 tahun
yang lalu dan selama itu pula ia tidak pernah menggunakan istilah Sekulerisasi sebagai istilah
sosial yang dipakai dalam kerangka pemikiran pembaharuan Islam.
Menyimak perkembangan polemik yang semakin tajam dan mengarah kepada sikap kristalisi
pendapat menjadi kelompok-kelompok, maka Nurcholis Madjid tampil kembali kepentas
pemikiran umat Islam dengan menawarkan beberapa pemecahan, yang intinya menjelaskan
ulang konsep Sekulerisasi yang dikembangkan sebelumnya. Misi pen-jelasan tersebut dikemas
dalam thesis Beberapa catatan sekitar masalah pembaharuan dalam Islam. Namun penjelasan
Nurcholis Madjid, nampaknya tidak banyak memberi pengaruh pada perubahan Opini
masyarakat yang sudah terbentuk oleh kontroversi tersebut. Oleh sebab itu, ia tampil untuk kali
kedua pada pentas pemikiran umat dengan mengatakan Sekali lagi tentang Sekulerisasi.
Setelah itu ia tidak lagi tampil dengan gagasan-gagasan pembaharuannya ke pentas pe-mikiran
Nasional, karena pada tahun 1974 ia berangkat ke Amerika untuk melanjutkan study doktoralnya
di Universitas of Chicago, dan setelah ia kembali ke Indonesia pada tahun 1985, Nurcholis
Madjid membuat suatu penjelasan yang sangat meyakinkan, dengan satu tulisan yang merupakan
catatan kaki pada Buku mengenang atau peringatan 70 Th. Prof. Dr. HM Rasyidi. Pada catatan
itu, Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa tidak tepat menggunakan istilah Sekulerisasi sebagai
instrument untu menyebut perubahan sistem sosio-kultural Islam. Uraian itu ia beri nama dengan
Sekulerisasi ditinjau kembali.
Pada awal tahun 1990-an Nurcholis Madjid mengejutkan komunitas umat Islam dengan
penjelasannya yang sangat kontroversial. Statemen-statemen tersebut sebenarnya hanya sebuah
kajian terminologis dan hanya dilakukan ketika ia mengambil pemikiran atau pendapat dari
mazhab theologis umat Islam, misalnya :
1. Melakukan penafsiran kalimat La Illaha Illa Allah yang diartikan dengan Tiada Tuhan
selain Tuhan, dengan asumsi bahwa Tuhan yang kedua mengandung kekhususan yaitu Tuhan
Allah (terdapat al marifat).
2. Mengatakan bahwa makhluk Allah yang paling bersih dan murni keimanannya adalah Syetan,
karena ia tidak mau menyembah kepada selain Allah (kasus sujud kepada Adam).
3. Penegakan sikap bahwa semua manusia pada awalnya mempunyai perasaan agama yang sama,
yang dia sebut dengan Agama Hanief atau agama yang lurus. Oleh sebab itu retorika dakwah
kita adalah mengajak umat manusia pada Kalimat yang sama.
Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan
ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah
satunya
adalah
menggarisi
lantai
Masjid
Besar
dengan
penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab
yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah
masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2
derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan
Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya.
Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara
241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun tangan
dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad
Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut
sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi
saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan
langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan
pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya.
Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal
pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh
K.H.
Ahmad
Dahlan
dengan
pikiran-pikiran
yang
sudah
men tradisi.
a. Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan
masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari
keilmuan maupun keyakinan Quraniyyah guna meluruskan
tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber
aslinya, Al-Quran dengan penafsiran yang sesuai dengan akal
sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan
mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin
jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara
tertulis.
Kemudian
dia
mengeliminasi
upacara
selametan
karena
merupakan perbuatan bidah dan juga pengkeramatan kuburan
Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang
meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan
Tuhan).
Mengenai
tahlil
dan
talqin,
menurutnya,
hal
itu merupakan upacara mengada-ada (bidah). Ia juga menentang
kepercavaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-
orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya
akan
mengakibatkan
kemusyrikan.
Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan
Organisasi
berbagai
Muhammadiyah,
perkumpulan,
seperti
K.H. Ahmad
Dahlan
Al-Jamiat
aktif
di
Al-Khairiyyah
(organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan
Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-
mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah
Guru
(Kweekschool)
di
Jetis
Yogyakarta
dan
OSVIA
di
Magelang.
Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan
pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama
pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta.
Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan
pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton
Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh
beberapa
guru
pribumi
berdasarkan
sistem
pendidikan
gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam
Swasta
pertama
yang
memenuhi
persyaratan
untuk
mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan
terbesarnya
K.H.
Ahmad
Dahlan,
yaitu
pada
tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial
keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji
Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi,
dan
Haji
Abdul
Gani.
Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama
Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama
Islam
di
luar
anggota
inti.
Untuk
mencapai
tujuan
ini,
organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan,
mengadakan
rapat-rapat
dan
tabligh
yang
membicarakan
masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid
serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan
majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang
tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan
dengan
Muhammadiyah
digabungkan dengan
mengadopsi pendidikan
dipandang
yang
melanjutkan
sistem
pendidikan
model
terbaik
model
dan
Barat,
sekolah
yang
gubernemen.
karena
ini
sistemnya
disempurnakan
dengan
penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia
berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang
tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman
agama mistis melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan
kepada
Pemerintah
Hindia
Belanda
untuk
mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan
pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta.
Dari
kekhawatiran
sebabnya
Pemerintah
akan
Hindia perkembangan
kegiatannya
dibatasi.
Belanda
organisasi
Walaupun
timbul
ini.
Itulah
Muhammadiyah
dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan
Imogiri
dan
Muhammadiyah
lain-lain
di
luar
tempat
telah
Yogyakarta
berdiri
memakai
cabang
nama
lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan
nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan
di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah
(SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Bahkan
dalam
kota
Yogyakarta
sendiri
ia
menganjurkan
adanya jamaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian
dan
menjalankan
kepentingan
Islam.
Perkumpulan-
perkumpulan dan jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin,
Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub,
Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba,
Taawanu alal birri, Taruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi
.
Modernisasi Islam di Indonesia
Meningkatnya derajat pendidikan umat Islam (panen sarjana I /Drs, dan II/Magister-Doktor)
sebagaimana yang dikemukakan oleh Cak Nur tersebut, di satu pihak sangat menggembirakan
karena hal tersebut akan dapat meningkatkan peran dan sumbangan umat terhadap pembangunan
bangsa, akan tetapi dipihak lain adalah lahirnya permasalahan keummatan yang baru.
Permasalah an umat Islam kontemporer tersebut adalah adanya perubahan kecenderungan dan
orientasi pe-ngamalan dan pemikiran keagamaan umat Islam. Pengamalan keagamaan tidak lagi
bernuansa tradisional yang hanya mengutamakan formalisme dan kesemarakan tampa makna,
akan tetapi telah mengarah kepada penga-malan keagamaan dengan menekankan aspek nilai dan
subtansinya. Sedangkan pola pemikiran dan pemahaman ajaran Islam telah mengarah kepada
rasionalisme dan meninggalkan pemikiran ajaran agama secara dogmatik, yang biasanya
dilakukan oleh masyara-kat Islam sebelumnya.
Perubahan kecenderungan dan pengamalan keagamaan tersebut, nampaknya telah merubah
struktur sosial keagamaan menjadi berbagai varian atau boleh dikatakan mereka telah terbentuk
dalam beberapa kelompok, yang kesemuanya memiliki landasan dan kepentingan keummatan
tersendiri. Pada tahun 1980-an, Fahry Ali melakukan study atau penelitian tentang polarisasi pe-
mikiran umat Islam yang terjadi akibat terbukanya pendidikan dan pemikiran umat Islam. Dalam
study tersebut, Fahry Ali menemukan 4 polarisasi pemikiran, yaitu :
1. Tradisional yaitu kelompok masyarakat yang memahami Islam secara dogmatik, tradisional
dan terbebas dari kemungkinan penafsiran rasional. Pemahaman Islam dalam perspektid seperti
itu, ajaran Islam tidak dapat berkembang dengan baik, karena hanya menonjolkan for-malisme
dan ketaatan kepada publik figur yang dianggap mempunyai kemampuan agama yang baik serta
mengabaikan pendalaman subtansial. Mereka itu adalah masyarakat Awam.
2. Modernisme yaitu kelompok umat Islam yang memahami Islam dengan menggunakan standar
atau prinsip rasional dan terkadang menggunakan standar Barat (Analitis dan Em-piris). Agama
dalam pangkuan kelompok modernisme akan mempunyai arti apabila di-lakukan penafsiran-
penafsiran dengan menggunakan prinsip rasionalisme dan paradigma perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah pengagum
rasionalisme dan sarjana-sarjana Barat.
3. Universalisme yaitu kelompok umat Islam yang menganggap bahwa agama Islam telah cukup
mengandung segala hal yang dibutuhkan oleh manusia. Oleh sebab itu untuk me-mahami ajara
Islam tidak memerlukan standar dan paradigma dari luar Islam, misalnya ke-budayaan Barat atau
yang lain. Kelompok boleh dikatakan sebagai kelompok anti thesis dari Modernisme
4. Neomodernisme adalah kelompok umat Islam yang menyatakan bahwa untuk mempelajari
ajaran Islam diperlukan standar atau parameter kebudayaan Barat atau pengertian yang lain ia
memerlukan prinsip-prinsip rasional, karena ajaran Islam itu sendiri bersifat rasional. Walaupun
demikian, ia tidak boleh meninggalkan ajaran dasar Islam dan khazanah kebu-dayaan Islam masa
lalu.
Modernisme di satu pihak akan melahirkan satu kelompok (umat) yang kehilangan ruh dan
kedalaman spiritual Islam dengan menitik beratkan pada penggunaan rasional dan kebudayaan
Barat, boleh jadi secara ekstrim ia adalah bagian dari konsep Westernisasi. Akan tetapi
menggunakan prinsip universalisme secara membabi buta bukanlah sebuah keputusan yang
bijak-sana, karena akan menyebabkan Islam menjadi sangat besar dalam kebesaran pemeluk dan
ajaran umat Islam itu sendiri (besar dalam tempurung) tetapi kecil atau lemah dalam peran dan
akses ter-hadap kepentingan keilmuan dan keduniaan.
Barangkali sudah bertahun-tahun, para pembaharu dan pemikir umat Islam memikirkan ba-
gaimana posisi yang paling representatif bagi umat Islam, baik dilihat dari pengembangan ajaran
Islam dan peran umat Islam dalam wacana keilmuan dan teknologi dunia. Dalam pergulatan
yang tiada henti-hentinya, akhirnya ditemukan format yang sangat mungkin representatif yaitu
NEO MODERNISME. Konsep tersebut menegakkan Islam dalam dua spektrum (dimensi),
yaitu spektrum pengembangan spiritualitas keislaman, termasuk didalamnya khzanah
kebudayaan Islam, dan spektrum peran umat Islam dalam percaturan pemikiran keagamaan dan
teknologi.
Adalah Dr. Fazlur Rahman yang pertama kali mengemukakan perluanya umat Islam me-lakukan
reinterpretasi ajaran Islam dengan menggunakan prinsip rasionalisme, tetapi tidak ke-hilangan
ruh atau semangat keislaman, yang oleh Dr. Fazlur Rahman disebut sebagai nilai ideal moral
dari ajaran Islam, Dalam perspektif seperti itu, ajaran Islam memang bersifat absolut, tetap dan
tidak mengalami perubahan subtansinya, akan tetapi untuk melihat seberapa jauh peran Islam
dalam menyahuti ajaran Islam, diperlukan aktualisasi ajaran Islam dengan melihat Ideal Moral
sebagai landasan pengembangannya.
Konsep Dr. Fazlur Rahman tersebut kemudian dinamakan dengan Neo Modernisme, yang
kehadlirannya di Indonesia dibawah oleh murid-muridnya, yang sempat mengenyam pendidikan
di Chicago Amerika yaitu Dr. Nurcholis Madjid. Oleh Cak Nur modernisme Islam dipahami
sebagai upaya mencuci habis prinsip-prinsip irrasional yang selama ini menempel pada ajaran
Islam dan menyisakan ajaran Rasional Islam. Lebih jauh ia mengatakan bahwa modernisasi
Islam adalah :
1. Membersihkan ajaran-ajaran Islam dari debu keduniaan (profan) yang menempel pada ajaran
Islam yang suci (sakral) artinya meletakkan bahwa yang suci (Sakral/Ibadah/Akidah) adalah suci
dan yang profan (keduniaan dan bukan bagian agama) adalah profan (Desakralisasi).
2. Bahwa modernisasi adalah rasionalisasi dan bukan westernisasi artinya modernisasi adalah
membuat Islam dapat berperan secara total dalam wacana sosial - politik, ekonomi, keilmuan dan
teknologi dan bukan dalam kerangka mengikuti pragram westernisasi (pembaratan) atau bahkan
sekulerisasi (pemisahan atau upaya mengeliminir peran agama).
Saya kira untuk menuntaskan pembahasan kita mengenai pembaharuan atau tepatnya penataan
pemikiran Islam, perlu mengkaji gerak dan langkah tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam
tersebut, misalnya Dr. Nurcholis Madjid, Munawir Sadzali, MA dan lain-lain.
A. Dr. Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid lahir di Jombang Jawa Timur pada 17 Maret 1939. Nurcholis Madjid yang
kemudian lebih dikenal dengan panggilan Cak Nur memulai pendidikan dibawah asuhan KH.
Madjid (ayahnya sendiri) dan kemudian melanjutkan ke Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Setelah menamatkan pendidikannya dari Gontor ia kemudian melanjutkan pendi-dikannya di
Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga memperoleh gelar Sarjana pada tahun
1968.
Cak Nur dikenanl sebagai tokoh organisasi, yang kapasitasnya dan pemikirannya menjadi
kerangka kajian dan perkaderan, terutama dilingkungan HMI. Ia merupakan tokoh sentral HMI,
dengan menjadi ketua Umum PB HMI selama dua periode (tahun 1966-1969 dan 1969-1971).
Ketika ia menjadi tokoh sentral organisasi Mahasiswa terkemuka tersebut ia banyak melontarkan
pemikiran modernis, yang kemudian menjadi wacana intelektual muslim Indo-nesia dan untuk
intern HMI, Cak Nur membuat rumusan perkaderan yang kemudian disebut dengan NDP (nilai
dasar perjuangan) HMI, bersama dengan Endang Saifuddin Anshari dan Mansyur Amin.
Pada tahun 1974, ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Chicago dan bertemu dengan
pemikir Islam Kontemporer yang sangat disegani yaitu Dr. Fazlur Rahman, yang me-rupakan
Pakar study keislaman dan pada tahun 1984 ia berhasil menyelesaikan program Doktornya,
dengan disertasi Ibnu Taimiyah on Kalam and Falsafah; Problem of reason and Revelation in
Islam.
Pada saat ia masih menjadi Ketua Umum PB HMI pada tahun 1966, Cak Nur telah melontarkan
sebuah wacana pemikiran baru dalam Islam, wacana tersebut sebenarnya sudah menjadi bahasan
yang sangar ramai dikalangan Mahasiswa Islam, terutamaHMI, PII dan GPI, bahkan materi
perkaderan dilingkungan HMI selalu didominasi oleh pemikiran perlunya pem-baharuan dalam
Islam. Pada saat itu ia melontarkan gagasan perlunya Modernisasi dalam pemikiran Islam
dengan format Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Westernisasi.
Lontaran pemikiran dengan format :Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Wester-nisasi
dengan cepat mendapat tanggapan luas dari pakar keislaman dan dunia perguruan Tinggi
sekaligus memperbesar volume perlunya modernisasi dalam tataran pemikiran maha-siswa
Islam. Muhammad Kamal Hasan (pakar keislaman Universitas Malaya) mengatakan bahwa apa
yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid adalah cerminan visi seorang Muslim idealis dan
memperkuat citra diri sebagai salah seorang yang mewarisi kebesaran seorang Moh. Natsir,
oleh sebab itu ia kerap kali disebut sebagai Natsiris Muda. Tidaklah berlebih an jika ia
dikatakan sebagai Natsiris Muda atau seorang Muslim Idealis, karena dalam ma-nuskrip tersebut
ia mengatakan :
1. Westernisasi akan membawa manusia pada kehidupan yang sekuler
2. Sekelurisme akan membawa manusia pada sikap hidup atheis dan atheis itu sendiri adalah
produk paling utama dari Sekulerisme.
3. Sekulerisme adalah sumber dari Immoralisme.
Namun citra diri sebagai Natsiris Muda dan Muslim idealis menjadi tertutup, ketika ia
melontarkan pemikiran tentang Keharusan Pembaharuan pemikiran Islam dan Masalah in-
tegrasi Umat pada tanggal 3 Januari 1970 di Islamic Research Centre Jakarta. Muhammad
Kamal Hasan yang menulis Disertasi Doktor dengan mengambil thesis pembaharuan Islam
Indonesia mengatakan bahwa Nurcholis Madjid telah berubah menjadi seorang Modernis
Sekuler atau dalam bahasa lain ia mengatakan Nurcholis before Nurcholis.
Ada hal-hal yang mengganjal dan barangkali membuat jengkel para pemikir umat Islam
Indonesia, terutama Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menjadi salah satu tokoh Islam paling respek
dan kritis terhadap pemikiran pembaharuan Cak Nur. Barangkali sangat mafhum dan dimengerti
kalau banyak umat Islam yang mengecap Cak Nur sebagai Modernis Sekuler atau bahkan
sebagai agent Barat karena pemikirannya yang sangat berbeda dengan apa yang di-lontarkan
sebelumnya (tahun 1968). Dalam makalah tentang Keharusan pembaharuan pe-mikiran Islam
dan masalah Integrasi Umat secara eksplisit, Cak Nur mengatakan :
1. Perlunya liberalisasi pandangan dan pemikiran terhadap ajaran Islam
2. Perlunya kebebasan Intelektual (intelektual Freedom), gagasan kemajuan (Ide of Progres) dan
sikap terbuka.
3. Perlunya gagasan (ide) sekulerisasi dalam ajaran Islam
4. Perlunya penegakan dan pemihakan terhadap kualitas dan mengeliminir sikap me-nonjolkan
kuantitas, yang terbukti tidak efektif terhadap partisipasi umat kepada pemba-ngunan bangsa.
5. Perlunya mengambil sikap Islam Yes, Partai Islam, NO.
Barangkali statemen yang paling dominan membuat kontroversi terutama kaum tradi-sional,
ulama dan pemikir keummatan adalah penggunaan kata-kata Sekulerisasi yang tidak lazim
dipakai untuk menyebut gerakan pemikiran umat Islam. Reaksi yang paling keras muncul dari
Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menyatakan bahwa ia telah memahami bahasa Inggris (untuk
menyatakan ketidaksepakatannya dengan konsep sekulerisasi Cak Nur) sejak 40 tahun yang lalu
dan selama itu pula ia tidak pernah menggunakan istilah Sekulerisasi sebagai istilah sosial
yang dipakai dalam kerangka pemikiran pembaharuan Islam.
Menyimak perkembangan polemik yang semakin tajam dan mengarah kepada sikap kristalisi
pendapat menjadi kelompok-kelompok, maka Cak Nur tampil kembali kepentas pe-mikiran umat
Islam dengan menawarkan beberapa pemecahan, yang intinya menjelaskan ulang konsep
Sekulerisasi yang dikembangkan sebelumnya. Misi penjelasan tersebut di-kemas dalam thesis
Beberapa catatan sekitar masalah pembaharuan dalam Islam. Namun penjelasan Cak Nur,
nampaknya tidak banyak memberi pengaruh pada perubahan Opini masyarakat yang sudah
terbentuk oleh kontroversi tersebut. Oleh sebab itu, ia tampil untuk kali kedua pada pentas
pemikiran umat dengan mengatakan Sekali lagi tentang Sekulerisasi.
Setelah itu ia tidak lagi tampil dengan gagasan-gagasan pembaharuannya ke pentas pe-mikiran
Nasional, karena pada tahun 1974 ia berangkat ke Amerika untuk melanjutkan study doktoralnya
di Universitas of Chicago, dan setelah ia kembali ke Indonesia pada tahun 1985, Cak Nur
membuat suatu penjelasan yang sangat meyakinkan, dengan satu tulisan yang merupakan catatan
kaki pada Buku mengenang atau peringatan 70 Th. Prof. Dr. HM Rasyidi. Pada catatan itu, Cak
Nur menjelaskan bahwa tidak tepat menggunakan istilah Sekulerisasi se-bagai instrument untu
menyebut perubahan sistem sosio-kultural Islam.Uraian itu ia beri nama dengan Sekulerisasi
ditinjau kembali.
Perubahan pemikiran yang dilakukan oleh Cak Nur setelah ia kembali dari Amerika pada tahun
1985, tak urung juga menimbulkan permasalahan seputar konsistensi pemikiran Nur-cholis
Madjid. Drs. M. Dawam Rahardjo dalam pengantar buku Islam Keindonesiaan dan
Kemodernan (kumpulan tulisan-tulisan Cak Nur) mengatakan bahwa Nurcholis Madjid tetap
konsisten dengan pemikiran, bahkan ia tetap setia dengan prinsip Monotheisme Radikal yaitu
sikap kritis terhadap hal yang dapat merusak monotheisme. Hal tersebut terlihat dari kritiknya
terhadap Rasionalisme mutlak, Sekulerisme, Liberalisme, Individualisme, Kapital-isme,
Humanisme sekuler, Pragmatisme, Snouckisme, Islam Phobia dan Atheisme, walaupun dalam
kesempatan yang lain ia juga tidak menafikas sisi positif dari beberapa konsep tersebut.
Pada awal tahun 1990-an Cak Nur mengejutkan komunitas umat Islam dengan pen-jelasannya
yang sangat kontroversial. Statemen-statemen tersebu sebenarnya hanya sebuah kajian termi-
nologis dan hanya dilakukan ketika ia mengambil pemikiran atau pendapat dari mazhab
theologis umat Islam, misalnya :
1. Melakukan penafsiran kalimat La Illaha Illa Allah yang diartikan dengan Tiada Tuhan
selain Tuhan, dengan asumsi bahwa Tuhan yang kedua mengandung kekhususan yaitu Tuhan
Allah (terdapat al marifat).
2. Mengatakan bahwa makhluk Allah yang paling bersih dan murni keimanannya adalah Syetan,
karena ia tidak mau menyembah kepada selain Allah (kasus sujud kepada Adam).
3. Penegakan sikap bahwa semua manusia pada awalnya mempunyai perasaan agama yang sama,
yang dia sebut dengan Agama Hanief atau agama yang lurus. Oleh sebab itu retorika dakwah
kita adalah mengajak umat manusia pada Kalimat yang sama.
Nampaknya Cak Nur dilahirkan dengan kapasitas dan pemikiran yang selalu menjadi Head Line
atau konsumsi opini yang tidak habis-habisnya. Pada saat Indonesia sedang bergolak menuntut
demokrasi, Cak Nur hadlir dengan konsep Perubahan menit per menit yang kemu-dian
menjadi wacana perpolitikan bangsa di medium Mei 1998. Pada saat kita sedang asyik-asyiknya
melakukan pesta Demokrasi seiring dengan tumbangnya batu besar penghalang demokrasi
Indonesia, Cak Nur hadlir dengan pemikirannya kritisnya yang khas. Ia mengingatkan bahwa
bangsa Indonesia sedang mabuk kepayang dalam demokrasi, yang ia sebut sebagai Ledakan
Partisipasi. Ledakan partisipasi yang berlebih-lebihan akan menyebabkan adanya Politik
emosional dan hal tersebut akan menyebabkan situasi Choas, maka jika terjadi situasi Choas,
menurut Cak Nur akan mengundang lahirnya orang kuat baru (Strong Man) pasca Soeharto.
B. Munawir Sadzali, MA (Menteri Agama)
Dalam tataran yang lebih khusus, yaitu dilingkungan Departemen Agama, dan barangkali juga
berimplikasi secara umum pada umat Islam, Munawir Sadzali MA, tampil dengan gerak-an
pembaharuan umat Islam yang sama sekali baru. Gerakan itu menurut saya lebih bersifat sebagai
gerakan pemberdayaan umat Islam di sekitar tahun 1980-an. Pada saat itu, umat Islam
memasuki tahapan dan format yang sama sekali baru sebagai kelengkapan upaya pem-berdayaan
umat Islam. Dalam kerangka pemberdayaan potensi intelektual dan kehidupan sosio keagamaan
umat Islam, Munawir Sadzali menawarkan program-program :
1. Reaktualisasi ajaran Islam, dengan melihat makna sosial dan ideal moral dari ajaran Islam
(meminjam istilah Fazlur Rahman). Ia mengatakan bahwa ajaran tentang waris (dua banding
satu) dan ketentuan sosial lainnya, perlu dilakukan interpretasi ulang, sehingga ajaran Islam tidak
bersifat diskriminatif.
2. Bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan umat Islam, diperlukan program pengiriman
tenaga pengajar umat Islam kedunia Barat, dengan alasan bahwa umat Islam itu sangat lemah
dalam bidang metodologi dan sudah cukup kemampuan dalam pe-nguasaan Materi.
Yang pertama; Munawair beranggapan bahwa ajaran tentang waris yang menyatakan bahwa
laki-laki mendapat dua bagian lebih didasarkan kepada kualitas dan bukan pada jenis kelamin
seseorang, sehingga konsep tersebut akan sangat relevan jika diberlakukan untuk masyarakat, di-
mana seorang perempuan bekerja lebih keras dan yang laki-laki hanya berdiam diri di rumah se-
bagaimana yang terjadi pada masyarakat Jawa Tenggah (Solo) atau pulau Bali.
Yang kedua; Munawir beranggapan bahwa kelemahan mendasar umat Islam adalah tidak
dikuasainya metodologi yang merupakan instrument dasar bagi pengembangan ilmu pe-
ngetahuan dan teknologi, termasuk didalamnya pengembangan pemikiran umat Islam. Maka
menurutnya, tempat yang paling cocok adalah universitas-universitas Barat; dan yang perlu
diperhatikan bahwa universitas Barat juga mempunyai kajian keislaman yang cukup disegani,
misalnya study Islam di UCLA, Montreal, Sorbone, dan yang lain.
Di samping gerakan reaktualisasi dan pemberdayaan metodologi umat Islam ala Munawir
Sadzali tersebut, pada dasa warsa berikutnya berkembang satu upaya pemberdayaan pemikiran
dan aktualisasi peran Islam dalam pendekatan kultural. Pendekatan Islam dalam perspektif kul-
tural tersebut dikemukakan oleh KH. Abdurahman Wahid. Ungkapan yang sempat membuat
umat Islam Indonesia bingung adalah ketika Gus Dur mengiyakan Salam (Assalamualaikum
Wa rahmatullahi wa barakatuh) dapat di indonesiakan menjadi Selamat Pagi dst.
Pendekatan Islam kultural, menurut hemat saya merupakan pengejawantahan atau penjabaran
dari konsep Islam Yes, Partai Islam, NO yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid pada tahun
1970-an. Islam Yes, Partai Islam, NO dilontarkan oleh Cak Nur pada waktu itu, dimaksudkan
untuk mem-berdayakan umat Islam terutama dalam pemikiran dengan menghindarkan diri dari
kontroversi atau friksi kepentingan antar umat dan hal tersebut sangat merugikan bagi
pertumbuhan umat, karena Islam hanya sebagai kendaraan Politik saja. Konsep Islam Yes Partai
No, pada saat itu mendapat kecaman yang luar biasa dari para praktisi dan politikus umat, karena
kebisaan mereka yang menggunakan agama atau paling tidak jargon agama untuk kendaran
politik mereka merasa terancam. Islam sebagai kendaraan politik pada waktu merupakan
Mainstream (arus besar) dan meletakkan Islam sebagai satu ajaran dengan menanggalkan baju
politik adalah menentang arus besar (Mainstream) yang sedang mengalir pada wacana
perpolitikan umat.
Setelah beberapa tahun berlalu, konsep Islam Yes Partai Islam No muncul kembali dengan baju
dan format yang lain, yaitu pendekatan Islam kultural. Pendekatan Islam kultural, menurut Dus
Dur sangat cocok untuk masyarakat Islam Indonesia, karena tingkat pengetahuan dan pema-
hamannya yang masih rendah dan dengan demikian ia tidak membawa umat Islam berlari
mengikuti kompetisi yang tidak mungkin diikutinya. Pendekatan Islam kultural barangkali
adalah konsep napak Tilas pendekatan Kultural Wali Songo.
Pada tahun 1990-an, Gus Dur melihat bahwa membawa Islam dalam pergulatan politik Indo-
nesia artinya menggunakan pendekatan politik, sangat tidak menguntungkan karena Islam akan
dijadikan bahan rebutan atau kue Politik dan setelah mendapatkan kue politik dan pesta kue
politik tersebut dilakukan, ummat Islam ditinggal begitu saja dalam keterkoyakan dan
perpecahan sosial politik yang sampai saat ini masih membekas dalam dendam politik.
Akan tetapi apa yang terjadi dengan Gus Dur sebagai representasi NU setelah tahun 1998,
ternyata pendekatan Islam kultural dengan titik tekan tidak adanya pengerahan umat Islam dalam
konstek perpolitikan menjadi mental dan tidak bernilai lagi, walau pada masa sebelumnya Gus
Dur secara personal telah aktif dalam pergulatan Politik lewat Forum Demokrasi (FORDEM).
Menurut hemat saya Fordem adalah sebuah gerakan moral untuk pendidikan politik dengan
tujuan adanya upaya demokratisasi yang bermuara pada peningkatan partisipasi rakyat atau se-
luruh komponen bangsa dalam penentuan kebijakan Nasional
Lahirnya PKB sebagai anak kandung NU merupakan wujud perubahan visi Gus Dur atau NU
secara keseluruhan, yang dulunya menekankan adanya pendekatan Islam kulturan dan kemudian
berubah menjadi pendekatan Islam Politik. Ada alasan klasik yang dikemukakan oleh Gus Dur
(NU), bahwa NU selama ini hanya aktif dipakai sebagai kendaraan politik dan tidak pernah
diajak ikut naik dalam kendaraan setelah berhasil atau praktisnya NU tidak mendapatkan apa
selama Orde Baru.
Terlepas dari peristiwa yang dikatakan oleh Cak Nur sebagai Ledakan partisipasi dimana
seluruh komponen bangsa berlomba-lomba menyatakan partisipasi politik setelah mampu me-
numbangkan rezim yang menyumbat adanya partisipasi rakyat, maka keputusan NU menjadi Ibu
Kandung adalah sebuah perubahan mendasar organisasi tersebut, dan mudah-mudah ia tetap
komitmen dengan keputusannya dan semoga tidak ada hal yang menyebabkan ia balik kandang
sebagai Jamiyah (perkumpulan) umat Islam lagi setelah kepentingan politiknya tidak berhasil
diwujudkan
.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Hamka : Sejarah Umat Islam (Vol. IV)
Ahmad Mansyur Suryonegoro : Menemukan Sejarah; wacana pergerakan umat Islam
Indonesia
Fachry Ali dan Bachtiar Efendi : Merambah jalan baru Islam
Dr. Nurcholis Madjid : Islam Keindonesian dan Kemodernan
Clifford Geertz : The Religion of Java (Santri, abangan dan Priyayi)
Dr. Harun Nasution : Islam Rasional; gagasan dan pemikiran
Dr. Koentowijoyo : Paradigma Islam; interpretasi untuk aksi
risma : Agama dan Tantangan zaman