Agropolitan

10

Click here to load reader

Transcript of Agropolitan

Page 1: Agropolitan

AGROPOLITAN

Konsep Agropolitan

Menurut Departemen Pertanian (2002), agropolitan terdiri dari kata agro dan

politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan berarti kota. Dengan demikian agropolitan

dapat didefinisikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian

di daerah kota. Sedang yang dimaksud dengan agropolitan adalah kota pertanian yang

tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu

melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (Agribisnis)

diwilayah sekitarnya. Lebih jauh Departemen Pertanian menjelaskan bahwa kota agropolitan

berada dalan kawasan sentra produksi pertanian (selanjutnya kawasan tersebut disebut

sebagai kawasan Agropolitan. Kota pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil,

Kota Kecamatan, Kota Perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagi pusat pertumbuhan

ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan pedesaan dan desa-desa hinterland di

wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan yang telah berkembang memliki ciri-ciri sebagai

berikut . (Deptan, 2002) :

a. Mayoritas masyarakatnya memperoleh pendapat dari kegiatan agribisnis

b. Didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan)

pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian, perdagangan agrobisnis hulu(sarana

pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.

c. Relasi antara kota dan daerah-daerah hinterlandnya bersifat interpendensi yang harmonis

dan saling membutuhkan. Kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya(on farm)

dan produk olahan skala rumah tangga(off farm) dan kota menyediakan penyediaan

sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasildan pemasaran hasil

produksi pertanian.

d. Pola kehidupan masyarakatnya sama dengan kehidupan kota karena prasarana dan sarana

yang dimilikinya tidak berbeda dengan di kota.

Batasan kawasan agropolitan ditentukan oleh skala ekonomi dan ruang lingkup

ekonomi bukan oleh batasan administratif. Penetapan kawasan agropolitan hendaknya

dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agrobisnis yang ada

disetiap daerah.

Page 2: Agropolitan

Dasar Pertimbangan

Seperti dijelaskan di atas, permasalahan sebagai akibat penerapan konsepgrowth pole

lebih banyak dirasakan oleh penduduk pedesaan, meskipun akarpermasalahan berawal di

kota. Oleh karena itu untuk memecahkan permasalahanyang timbul perlu dipikirkan suatu

konsep ruang yang dapat memberdayakanpotensi pedesaan. Sehingga pemecahan sekaligus

dilaksanakan baik bagipenduduk pedesaan maupun penduduk perkotaan.Melihat pengertian

dan ciri-ciri kawasan agropolitan, maka penerapankonsep agropolitan memungkinkan

dilaksanakan di Indonesia. Stohr dan Taylor(dalam Miyoshi 1998 : 13) mendiskusikan

beberapa macam tipe strategipembangunan di pedesaan, yang dikelompokkan dalam “from

above” dan “frombelow” . Untuk negara-negara LDCs, dimana sebagian besar penduduk

miskintinggal di wilayah pinggiran (periphery) dan bermigrasi ke wilayah perkotaantetapi

tetap miskin, ada argumen dilakukan pembangunan “agropolitan” diwilayah pedesaan.

Apabila melihat permasalahan dampak konsep growth pole, maka kondisiyang

diperlukan untuk mendukung konsep agropolitan adalah pembangunanpedesaan yang

dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pertumbuhan desa-kota,serta adanya hubungan

desa-kota yang saling menguntungkan (simbiosismutualistis) dan saling mendukung,

sehingga didapat penyamaam kemitraandalam berusaha antara penduduk desa dengan

penduduk kota.Menurut Friedmann, konsep agropolitan terdiri atas distrik-distrikagropolitan

dan distirk agropolitan didefinisikan sebagai kawasan pertanianpedesaan dengan kepadatan

penduduk rata-rata 200 jiwa per Km2 . Akan dijumpaikota-kota tani berpenduduk 10.000-

25.000 jiwa dengan batas antar distrik 5-10Km. Dimensi luasan geografis ini akan

menghasilkan penduduk total antara50.000-150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di

sektor pertanian. (dalamRustan, 2002 : 20).

Bila melihat besaran penduduk yang dijadikan ukuran distrik agropolitan,dan

besarnya jumlah penduduk pedesaan di pulau Jawa sebesar 51,25% yangmasih lebih besar

daripada jumlah penduduk perkotaan (lihat tabel 5). Sertamasih banyaknya kota-kota kecil

dan menengah di pulau Jawa yangmemungkinkan difungsikan sebagai agropolitan. Maka

konsep agropolitan dapatmenjadi alternatif pemecahan sebagai akibat konsep growth

pole.Konsep pengembangan agropolitan selain ditujukan untuk membangunsektor

perekonomian, juga diarahkan untuk membentuk dasar-dasar pertumbuhandaerah secara

konsisten dalam jangka panjang. Tingkatan kota-kota dalam konsepagropolitan seperti kota

besar, menengah dan kecil, disesuaikan denganketersediaan fasilitas pada masing-masing

Page 3: Agropolitan

kota, serta fungsi dan peran kota yangditunjuk sebagai agropolitan.Penerapan konsep

agropolitan secara tidak langsung juga memberikanperan yang lebih besar kepada masyarakat

pedesaan untuk menentukan arahkehidupannya, terutama mengingat hanya masyarakat itu

sendiri yang mengetahuikondisi dan kemampuan dirinya serta wilayahnya, ini berarti konsep

ini jugamenunjang kebijakan otonomi daerah, dan memberi harapan bagi daerah yangtelah

memiliki komoditas pertanian unggulan sehingga lebih optimalmemanfaatkannya.Konsep

agropolitan juga dapat melibatkan jumlah penduduk yang besar,terutama di pedesaan,

sekaligus mengerem pergerakan penduduk pedesaanmenuju ke perkotaan, karena sudah

didapatkannya alternatif sumber penghidupandan terpenuhinya fasilitas kehidupan di

pedesaan dan pada kota-kota yangberfungsi sebagai agropolitan. Artinya sekaligus dapat

mengurangi permasalahanpada kota-kota besar.

Penerapan Konsep Agropolitan di Indonesia dan Pulau Jawa

Dampak penerapan konsep growth pole lebih banyak dirasakan olehpenduduk

pedesaan, hal ini mengingat harapan terjadinya trickle down effect tidakterpenuhi, bahkan

terjadi backwash effect. Oleh karena itu perlu dipikirkan konsepbaru yang dapat memecahkan

persoalan yang diakibatkan penerapan konsepgrwoth pole sekaligus meningkatkan

kesejahteraan pada masa mendatang,utamanya bagi penduduk pedesaan. Dan mengingat di

Indonesia, pulau Jawasangat besar merasakan dampak dari konsep growth pole dibanding

pulau-pulaulain di Indonesia, maka penerapan agropolitan pada pulau Jawa akan dibahas

lebihmendalam.Dasar pertimbangan penerapan konsep agropolitan, akan menjadi

dasarmengapa konsep agropolitan sesuai digunakan untuk memecahkan

permasalahandampak konsep growth pole. Kemudian persyaratan suatu kota atau

wilayahmenjadi kawasan agropolitan diberikan sebagai alat penentuan pilihan kota-kotayang

akan menjadi agropolitan. Berdasarkan kajian beberapa pemikir agropolitan,diusulkan konsep

struktur tata ruang agropolitan, dan dikaitkan permasalahanyang terjadi di pulau Jawa, pada

setiap pembahasan dilakukan kajian awalkemungkinan konsep agropolitan diterapkan di

pulau Jawa.

Persyaratan Kawasan Agropolitan

Menurut Departemen Pertanian (2002) dalam menerapkan agropolitan, wilayah

yang akan dikembangkan menjadi kawasan agropolitan harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

Page 4: Agropolitan

a. Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan

komoditi unggulan.

b. Memiliki prasarana dan sarana yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem

dan usaha agribisnis yaitu:

Pasar (pasar untuk hasil pertanian, sarana pertanian, pasar jasa pelayanan,dan

gudang

Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan)

Kelembagaan petani (kelompok tani, koperasi dan asosiasi) yang berfungsi

sebagai Sentra Pembelajaran dan Pengembangan Agribisnis (SPPA)

Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi

Agribisnis (KKA)

Pengkajian teknologi agribisnis

Prasarana transportasi, irigasi dan semua yang mendukung usaha pertanian

c. Memiliki prasarana dan sarana umum yang memadai

d. Memiliki prasarana dan sarana kesejahteraan sosial (kesehatan, pendidikan, rekreasi

dan sebagainya)

e. Kelestarian lingkungan hidup (sumber daya alam, sosial budaya dan keharmonisan

relasi kota dan desa)

Berdasarkan persyaratan tersebut, banyak kota-kota di pulau Jawa memungkinkan

dikembangkan sebagai kawasan agropolitan. Sebagai contoh kota Indramayu di Jawa Barat,

dengan surplus produksi padi pada panen bulan April tahun 2004 dan beberapa tahun

sebelumnya di wilayah belakangnya (kabupaten Indramayu), dan ketersediaan fasilitas sesuai

persyaratan suatu kawasan agropolitan, maka kota tersebut dapat ditunjuk sebagai kawasan

agropolitan.

Konsep Struktur Tata Ruang Agropolitan

Secara umum struktur hirarki sistem kota-kota agropolitan dapat digambarkan sebagai

berikut : (Rustan, 2002 : 24). Orde yang paling tinggi (kota tani utama) dalam lingkup

wilayah agropolitan skala besar sebagai :

Kota perdagangan yang berorientasi ekspor ke luar daerah (nasional daninternasional)

dan bila berada di tepi pantai maka kota ini memilikipelabuhan samudra

Pusat berbagai kegiatan final manufacturing industri pertanian (packing),stok

pergudangan dan perdagangan bursa komoditas

Page 5: Agropolitan

Pusat berbagai kegiatan tertier agro-bisnis, jasa perdagangan, asuransipertanian,

perbankan dan keuangan.

Pusat berbagai pelayanan (general agro-industry services)

Orde kedua (pusat distrik agropolitan) yang berfungsi sebagai :

Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasargrosir dan

pergudangan komoditas sejenis

Pusat kegiatan agro-industri berupa pengolahan barang pertanian jadi dansetengah jadi

serta kegiatan agro-bisnis.

Pusat pelayanan agro-industri khusus (special agro-industry services),pendidikan,

pelatihan dan pemuliaan tanaman unggulan.

Orde ketiga (pusat satuan kawasan pertanian) yang berfungsi sebagai:

Pusat perdagangan lokal yang ditandai dengan adanya pasar harian

Pusat koleksi komoditas pertanian yang dihasilkan sebagai bahan mentahindustri

Pusat penelitian, pembibitan dan percontohan komoditas

Pusat pemenuhan pelayanan kebutuhan permukiman pertanian

Koperasi dan informasi pasar barang perdagangan

Dilihat dari sektor transportasi, adanya konsep agropolitan dapatmemberikan arahan

pengembangan pembangunan jaringan jalan sesuai hirarkiperkotaan, dimulai dari pedesaan

menuju kota kecil dihubungkan oleh jalan lokal.Kota kecil ini dapat berfungsi sebagai

pengumpul hasil pertanian dari pedesaan,merupakan kota orde ketiga dalam sistem kota-kota

agropolitan. Berikutnyaadalah dari kota kecil menuju kota menengah, dihubungkan oleh jalan

kolektor.Di sini kota menengah sudah berfungsi sebagai pusat grosir, yang

mengumpulkanhasil pertanian bersumber dari kota kecil, serta menjadi pusat pelayanan

kegiatanagroindustri. Terakhir dari kota menengah menuju kota besar yang dihubungkanoleh

jaringan jalan arteri.

Sebagai kota orde tertinggi barang yang diangkut darikota-kota menengah semakin

banyak, sehingga dibutuhkan prasarana jalan danjenis kendaraan yang lebih besar. Oleh

karena itu penyediaan jaringan jalan arterisangat diperlukan. Dengan hirarki kota dan hirarki

jalan yang jelas, akan dapatmengurangi risiko kerusakan jalan akibat penggunaan jalan yang

tidak sesuaiukuran kendaraan maupun volume kendaraan.Departemen Pertanian (2002)

menyatakan bahwa batasan suatu kawasanagropolitan tidak ditentukan oleh batasan

Page 6: Agropolitan

administratif pemerintah(Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, dsb) tetapi lebih

ditentukan denganmemperhatikan economic of scale dan economic of scope. Karena itu

penetapanKawasan Agropolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan

memperhatikanrealitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap daerah

KESIMPULAN

Konsep growth pole yang dibangun oleh Perroux pada tahun 1955 danditerapkan

pada berbagai negara di dunia, menunjukkan bahwa dalampenerapannya banyak berubah dari

konsep awal pemikiran Perroux yangmembangun konsep growth pole sebagai sistem dinamis

pada ruang ekonomiabstrak.Adanya kendala dalam penerapan konsep growth pole seperti

ideologiyang berubah, perkembangan yang berlebihan, dan tidak sejalannya konsep

inidengan kondisi ekonomi nasional, maka penerapan konsep growth pole pada akhirnya

menimbulkan masalah.

Pada dasarnya penerapan konsep growth pole pada suatu wilayah sampaibatas tertentu

dapat memberikan keuntungan, hal ini mengingat konsentrasi(aglomerasi) kegiatan ekonomi

di satu pusat (pole) akan meningkatkan efisiensidan efektifitas, serta keuntungan ekonomis

dari wilayah secara keseluruhan.Bila harapan trickle down efect dapat terwujud, selain

pertumbuhanekonomi wilayah, akan terjadi pula pemerataan ekonomi sehingga paradigma

barupembangunan (pertumbuhan dan pemerataan) dapat dicapai