Agami Jawi: Religiusitas Islam...

25
Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretis Oleh Sedya Santosa 1 I. Pengantar Hampir sudah menjadi kesepakatan di kalangan studi Jawa, bahwa berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. Perilaku religius ini bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam kegiatan ritual. 2 Sistem kepercayaan dan praksis ritual di antara kedua kelompok religius ini menampakkan kecenderungan yang relatif berbeda. Berdasarkan sistem kepercayaan, yang disebut dengan Islam Santri adalah sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama, dan berusaha membersihkan akidahnya dari perilaku syirik. Sedangkan Islam abangan adalah sekelompok muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam, yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu, dan unsur- unsur asli sebelumnya. Sementara itu, berdasarkan partisipasi ritualnya, Islam Santri lebih beorientasi menjalankan ritual yang diajarkan Islam secara baku seperti shalat, puasa, ibadah haji, mengaji. Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak diajarkan secara baku seperti slametan, ngruwat, tirakat, sesajen, dan sebagainya. 1 Drs.H.Sedya Santosa, SS, M.Pd., Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. 2 Zaini Muchtarom, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II, INIS, Jakarta, hlm. 1,6,7. 1

Transcript of Agami Jawi: Religiusitas Islam...

Page 1: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretis Oleh Sedya Santosa1

I. Pengantar

Hampir sudah menjadi kesepakatan di kalangan studi Jawa, bahwa

berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibedakan ke dalam dua

kelompok, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. Perilaku religius ini bisa

dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam

kegiatan ritual.2 Sistem kepercayaan dan praksis ritual di antara kedua kelompok

religius ini menampakkan kecenderungan yang relatif berbeda.

Berdasarkan sistem kepercayaan, yang disebut dengan Islam Santri adalah

sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh,

menjalankan perintah agama, dan berusaha membersihkan akidahnya dari perilaku

syirik. Sedangkan Islam abangan adalah sekelompok muslim yang cara hidupnya

masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam, yaitu suatu tradisi yang

menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu, dan unsur-

unsur asli sebelumnya. Sementara itu, berdasarkan partisipasi ritualnya, Islam

Santri lebih beorientasi menjalankan ritual yang diajarkan Islam secara baku

seperti shalat, puasa, ibadah haji, mengaji. Sementara Islam abangan lebih

berorientasi pada ritual-ritual yang tidak diajarkan secara baku seperti slametan,

ngruwat, tirakat, sesajen, dan sebagainya.

1 Drs.H.Sedya Santosa, SS, M.Pd., Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. 2 Zaini Muchtarom, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II, INIS, Jakarta, hlm. 1,6,7.

1

Page 2: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

Koentjaraningrat menyebut religiusitas Islam Abangan dengan istilah Agami

Jawi dan Islam Santri dengan Agama Islam Santri. Kategori ini nampaknya untuk

membedakan dua varian religius dan bukan varian sosial seperti santri, priyayi,

dan abangan. Yang dimaksudkan Koentjaraningrat dengan Agami Jawi adalah

suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke

arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam.

Sementara itu, Agama Islam Santri lebih dekat pada dogma-dogma Islam baku.3

Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena

menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha dan Islam (heterodoks).

Sementara Islam Santri lebih bersifat puritan karena mereka mengikuti ajaran

agama secara ketat (ortodoks).

Walaupun demikian, seperti ditulis Koentjaraningrat, hal itu tidak berarti

mereka hampir tidak beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau

menjalankan kehidupan tanpa kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru

banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya Allah, percaya

kenabian Muhammad, percaya dengan kebenaran kitab Al-Quran dan percaya

bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga meyakini

konsep dan pandangan keagamaan tertentu, percaya akan makhluk ghaib dan

kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat

sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin Islam resmi.4

Persoalan sinkretisme nampaknya menjadi isu sentral dalam pembahasan

Islam abangan atau Agami Jawi. Hal ini tidak bisa diingkari karena Agami Jawi

3 Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 312 4 Ibid. hlm. 311

2

Page 3: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

memang menampakkan perilaku religius yang banyak mengakomodir pandangan

dan sistem ritual di luar Islam baku. Agami Jawi menampakkan wajah yang relatif

‘ramah’ atau lunak terhadap tradisi dan kepercayaan lokal yang ada sebelumnya.

Sementara Islam santri lebih menampakkan keketatan dalam berpegang pada

ajaran-ajaran Islam doktrinal.

Perilaku religius yang akomodatif ini banyak menimbulkan pertanyaan seperti

unsur-unsur prinsip apa saja yang saling bersinkretis, sejauh mana unsur-unsur

budaya Jawa itu mewarnai Islam dan begitu juga sebaliknya, sejauh mana unsur-

unsur Islam mempengaruhi budaya Jawa, dengan cara apa dan pada tingkat apa

proses sinkretis itu terjadi.

Persoalan sinkretisme menjadi menarik karena sinkretisme nampaknya

merupakan fenomena yang umum terjadi ketika dua sistem keyakinan atau lebih

saling bertemu. Sebagai misal pertemuan antara Islam dan Hindu di India yang

kemudian melahirkan religiusitas baru yang bernama agama Shikh. Dalam

konteks masyarakat Indonesia bahkan yang mengalami sinkretisme dalam sejarah

masuknya agama-agama besar bukan hanya Islam, tetapi juga Hindu, Budha,

Kriten atau Katolik. Dalam studinya tentang agama asli Indonesia, J.W.M. Bakker

mencatat bahwa ajaran Hindu dan Budha pun, yang datang lebih dulu, tidak bisa

menancap secara menyeluruh dan konsisten di negeri ini. Ajaran Hindu tentang

kasta atau catur varna dan maya tidak bisa tumbuh dengan subur.5

Hal serupa juga terjadi dengan Islam. Ketika Islam memasuki Indonesia, dan

khususnya Jawa, ia juga mengalami proses sinkretisasi dengan agama asli di

5 J.W.M. Bakker, 1976, Agama Asli Indonesia, Yogyakarta: Puskat, hlm. 217-218.

3

Page 4: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

samping bersinkretis dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah datang lebih

dulu, yaitu Hindu-Budha. Sehingga secara antropologis atau pun sosiologis di

Jawa dikenal dua varian Islam yang cukup berbeda secara menyolok seperti

tersebut di atas.

II. Konteks Kemunculan Agami Jawi

Agami Jawi seperti yang disinyalir Koentjaraningrat sering disebut dengan

Islam sinkretis. Yang dimaksud sinkretis secara umum adalah proses ataupun

hasil dari pengolahan, penyatuan, pengkombinasian dan penyelarasan dua atau

lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan sedemikian rupa, sehingga

terbentuk suatu sistem prinsip baru, yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip

sebelumnya.6 Dengan adanya proses sinkretis maka apa yang terkandung di dalam

sebuah sistem prinsip baru tidak hanya terkandung sistem prinsip asli agama yang

bersangkutan tetapi juga sistem prinsip dari unsur lain. Demikian juga yang terjadi

dengan Agami Jawi.

Dengan kata lain, sikap sinkretis adalah

Suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya sesuatu

agama. Yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak

murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham sinkretis, semua agama

dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme, suka memadukan

unsur-unsur dari berbagai agama, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan

berlawanan.7

6 Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995, Islam Jawa dan Jawa Islam: Sinkretisasi Agama di Jawa, Makalah Seminar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta & Kantor DepDikNas DIY, hlm. 2 7 Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press, hlm. 2

4

Page 5: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

Karena terjadi proses penyelarasan maka pemeluk sistem prinsip yang baru

hampir dapat dikatakan tidak mengalami ‘split personality’, sehingga tidak terjadi

rasa bermusuhan. Bahkan yang terjadi adalah rasa aman karena para pemeluk

sistem prinsip baru menemukan sesuatu yang lebih sreg dan cocok, terutama pada

tingkat religuisitas yang tidak terlalu terikat dengan peraturan-peraturan baku.

Dengan adanya sinkretisasi berbagai prinsip yang berbeda di dalam kelompok

dalam suatu penafsiran baru yang lebih komprehensif justru kemudian dapat

dipertemukan berbagai sistem ajaran dan pandangan yang berbeda dan

mendapatkan tempat berpijak bersama untuk hidup berdampingan tanpa harus

saling merendahkan.8

Sebuah religiusitas baru seringkali memang sulit diterima dalam kerangka

ortodoksi yang sangat menekankan pada aturan-aturan baku. Dalam beberapa

kasus, kemunculan sebuah varian religius lebih sering menampakkan kerinduan

manusia akan kebutuhan-kebutuhannya yang paling dalam dan paling eksistensial

yang tidak bisa dituntaskan dengan rumusan-rumusan doktrinal. Maka ciri yang

paling menonjol dari sebuah religiusitas adalah lintas agama, lintas rasional dan

lintas kelompok.9

Kemunculan Agama Jawi bukan proses yang berlangsung dalam ruang yang

kosong. Tetapi proses ini terjadi di dalam sebuah logika dialektika budaya ketika

satu prinsip bertemu dengan prinsip yang lain dalam dimensi sejarah. Proses

dialektika akan selalu menghasilkan sintesis-sintesis baru yang kadang tak terduga

atau tidak direncanakan sebelumnya. Faktor yang paling menonjol dalam proses 8 Heddy Shri Ahimsa Putra, Islam Jawa dan Jawa Islam….hlm.2 9 Lihat G. Moejanto dan St. Sunardi, Religiositas Kaum Beriman di Indonesia, Basis, Juni 1995 XLV No 6

5

Page 6: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

sinkretis antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan

sendirinya juga datang dari kedua belah pihak.

Bentuk Islam mitis yang berkembang di Indonesia adalah faktor paling nyata

sehingga memungkinkan proses tersebut. Sementara dari budaya Jawa, tradisi

kepercayaan ruh dan benda-benda ghaib yaitu animisme dan dinamisme pada

rakyat kebanyakan, dan tradisi Hindu-Budha pada kaum aristokrat kerajaan

menjadi faktor kedua, yang seolah bertemu dalam satu titik kompromi paling

landai ketika bertemu dengan Islam mitis.

Islam mitis atau Islam tasawuf bisa didefinisikan sebagai Islam yang lebih

menekankan pada pemikiran dan praktik pencarian hubungan manusia dan Tuhan

dengan cara-cara berpaling pada hal-hal duniawi dan lebih mengutamakan

penghayatan dan kepasrahan pada Tuhan semata. Jalan untuk menuju pada sebuah

kesempurnaan hubungan antara manusia dan Tuhan, dalam Islam mitis,

didapatkan dengan melalui beberapa tingkat yaitu syariat, tarikat, hakikat dan

ma’rifat. Syariat adalah hidup yang sesuai dengan hukum Allah. Tarikat adalah

bentuk kepasrahan pada Tuhan secara sepenuhnya. Hakikat adalah tingkat di

mana manusia hanya memperhatikan Allah semata-mata dan ma’rifat adalah tahap

terakhir yaitu tahap kesempurnaaan.10

Secara historis, Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada

umumnya dan Jawa pada khususnya adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang

Persia dan India melalui jalur perdagangan yang sangat kental dengan tradisi

10 Edi Sedyawati et al, 1993, Sejarah Kebudayaan Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 54.

6

Page 7: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

mistik.11 Islam mitis lebih berorientasi pada dimensi esoteris (batin) dibanding

dimensi eksoteris (lahir). Ini berbeda dengan Islam yang datang pada gelombang

kedua yaitu Islam reformis yang dibawa oleh para haji yang pulang dari Makkah.

Islam reformis sebagai bagian dari gerakan wahabi yang sangat populer di tanah

Arab yang sangat menentang keras kepercayaan-kepercayaan yang dianggap

sebagai tahayul, kurafat atau bid’ah. Bentuk Islam mitis lebih menampakkan

wajah lunak ketika bertemu dengan agama lokal, yaitu tradisi agama asli

(animisme dan dinamisme) dan Hindu-Budha.

Sebelum hadir agama-agama supra-nasional seperti Hindu, Budha, Islam,

Katolik atau Kristen, bangsa Indonesia telah hidup dalam sebuah alam religius

yang sering disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Oleh J.W.M.

Bakker, kepercayaan purba ini disebut dengan agama asli atau otokton. Agama ini

disebut asli karena berasal dan berakar dalam tradisi dan kultur setempat yang

tidak diketahui secara pasti kapan munculnya dan siapa pendirinya.12

Agama asli ini tidak memiliki sistem sejelas agama supra-nasional. Ia

mengandung beberapa unsur ajaran mengenai prinsip teologis, eskatologis atau

pun kosmologis. Namun demikian unsur-unsur bukan merupakan sistem ajaran

yang ketat dan sistematis. Secara teologis kepercayaan ini mengajarkan ketuhanan

etis, seperti yang maha baik, atau ketuhanan kosmis, seperti sangkan paraning

dumadi. Secara kosmologis, kepercayaan ini mengajarkan tentang keseimbangan

dunia mikrokosmos dan makrokosmos. Sedangkan secara eskatologis,

kepercayaan ini memiliki ajaran tentang ruh aktif. Agama asli ini memiliki

11 Zaini Muchtarom, 1988, Santri dan Abangan di Jawa….. hlm. 18 12 J.W.M. Bakker, 1976, Agama Asli Indonesia…..hlm.1

7

Page 8: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

kekuatan yang relatif kokoh ketika berhadapan dengan agama-agama supra

nasional. Bahkan agama asli ini tetap bisa eksis entah dalam bentuk sinkretisme,

pemalsuan atau pemribumisasian agama-agama supra nasional.

Sementara itu jika animisme dan dinamisme hidup pada rakyat kebanyakan,

maka ajaran Hindu-Budha lebih menampakkan wajahnya melalui institusi

kerajaan Mataram sebagai satu bentuk reinkarnasi kerajaan Majapahit. Dalam

banyak hal kerajaan Mataram adalah pewaris dan penjaga tradisi Hindu-Budha,

walaupun ia merupakan kerajaan Islam.

Hindu-Syiwa yang berkembang di Jawa memberikan konteks bagi

kemunculan Islam sinkretis. Hindu-Syiwa memiliki beberapa ajaran menyangkut

aspek teologis, kosmologis, kosmogonis dan ritual. Secara kosmologis agama ini

mengenal hirarki realitas yang terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu swarloka,

bhuwarloka, dan bhurloka. Swarloka adalah tempat dewa-dewa serta para

pendamping dan pengiringnya. Bhuwarloka adalah tempat manusia hidup, sedang

bhurloka adalah alam terbawah. Syiwa beserta para pengiringnya menduduki

posisi tertinggi dalam gambaran kosmos yang terletak di Gunung Mahameru yang

diidentifikasi terletak di India yang kemudian pindah ke pulau Jawa dengan nama

gunung Semeru.13

Secara kosmogonis, Hindu menyatakan adanya tahap-tahap eksistensi alam,

yaitu masa penciptaan (srsti), masa pemeliharaan (sthiti), dan masa penghancuran

kembali (pralina). Ketiga tahap ini menggambarkan tugas masing-masing dewa

yaitu dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa). Lebih lanjut, ritual Hindu yang banyak

13 Edy Sedyawati, Sejarah Kebudayaan Jawa, hlm. 44-45.

8

Page 9: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

dianut di Jawa adalah vedanta dan yoga. Praktik-praktik yoga inilah yang

kemudian ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata

dan semedi. Tapa brata merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan

berbagai bentuk kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan

cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai

penyatuan.14

Sementara itu secara historis, Budha yang berkembang di Indonesia

menunjukkan aliran Vajrayana, Yogacara dan Tantrayana. Aliran Vajrayana dan

Yogacara bisa disimpulkan dari keberadaan bangunan candi Borobudur, yaitu

susunan pantheon (susunan dewa-dewa) dan susunan bangunan yang terdiri atas

10 tingkatan.

Susunan pantheon yang terdiri atas sejumlah dhyani budha lebih menunjukkan

keberadaan aliran Vajrayana. Sedangkan 10 tingkatan yang disebut dengan

dasabodhisattvabhumi, sepuluh tataran pencapaian kedudukan sebagai

bodhissattva, lebih menunjukkan keberadaan aliran Yogacara. Aliran ini

mengajarkan tentang cara mencapai kelepasan dari jeratan derita hidup.

Sementara itu konsep mandala, yaitu konsep mengenai konfigurasi lambang-

lambang yang mewakili kosmos, menunjukkan keberadaan aliran Tantrayana.

Perlu dicatat bahwa pertemuan Hindu dan Budha di Indonesia pada akhirnya

menghasilkan sinkretisme dalam bentuk Syiwa-Budha dengan konsepnya yang

terkenal bhineka tunggal ika, yang itu tidak terjadi di negara asal kedua agama

tersebut.

14 Ibid. hlm. 46

9

Page 10: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

Ketiga titik ini yaitu Islam mitis, agama asli, dan Hindu-Budha merupakan

latar mosaik yang saling bertemu, saling pengaruh, saling mengambil yang

kemudian melahirkan Agama Jawi sebagai bentuk Islam sinkretis yang

mengambil posisi geografis terutama di daerah Jawa Tengah pedalaman. Secara

sosiologis Jawa Tengah pedalaman sangat memungkinkan proses itu, karena di

Jawa tengah pedalaman ini terdapat kerajaan mataram Islam sebagai pewaris

tradisi Hindu-Budha, setelah kerajaan Majapahit melemah dan berakhir di Jawa

Timur. Walaupun secara politis secara perlahan memudar tapi ia masih

menampakkan diri sebagai pusat kebudayaan.

Istilah ‘peradaban pesisir’ dan ‘peradaban pedalaman’ memperlihatkan lokasi

pemetaan keberadaan Islam santri dan Agama Jawi secara umum. Peradaban

pesisir biasanya digunakan untuk mengacu pada wilayah Banyumas dan daerah

pesisir, Surabaya, daerah pantai utara, ujung timur Pulau Jawa, serta daerah-

daerah pedesaan di lembah Sungai Solo dan Sungai Brantas. Sementara itu

peradaban pedalaman biasanya mengacu pada wilayah Negarigung di Jawa

Tengah, di Begelen, dan di daerah Mancanegari.15

Dalam konteks sastra, pertemuan antara Islam mistik dan kepercayaan mistik

pada rakyat kebanyakan menghasilkan kitab-kitab suluk dan primbon. Kitab suluk

adalah suatu himpunan syair-syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapat gaya

mataram.16 Kitab suluk adalah kitab yang di dalamnya banyak mengandung

ajaran tasawuf. Kitab suluk menunjukkan usaha pengarangnya untuk menyatukan

15 Namun demikian tidak ada daerah-daerah khusus yang membatasi daerah tempat tinggal kedua varian agama tersebut. Orang kejawen dan santri terdapat dalam segala lapisan masyarakat. Lihat Kuntjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 312-313. 16 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 316.

10

Page 11: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

secara sinkretis ajaran-ajaran Islam, hukum Islam, dan tradisi kesusasteraan Islam

dengan konsep-konsep teologi Hindu-Budha mengenai penciptaan alam,

kematian, dan kehidupan setelah kematian, serta hubungan manusia dengan

Tuhan. Sedangkan Primbon adalah kitab yang bercorak kegaiban dan berisi

ramalan-ramalan.

Sementara itu pertemuan Islam mitis dengan tradisi Hindu-Budha kerajaan

Mataram menghasilkan serat. Serat adalah kitab yang berisi ajaran tasawuf yang

dipadukan dengan mistik kejawen. Serat-serat biasanya berisi ajaran mistik-moral.

Diantara serat yang terkenal adalah serat Wirid Hidayat Jati, serat Centhini, dan

serat Cebolek. Serat juga merupakan bagian dari strategi kerajaan Mataram untuk

beradaptasi dengan perkembangan Islam yang semakin gencar.

III. Tingkat Sinkretisasi

Berdasarkan konteks sejarah perkembangan agama di Indonesia, maka sangat

bisa dipahami bahwa proses sinkretisasi seolah merupakan peristiwa yang tak

terhindarkan, karena masing-masing titik religius bersinggungan dalam konteks

yang tidak terlalu beda. Bila agama asli menekankan kepercayaan pada ruh dan

kekuatan ghaib, maka Hindu mengajarkan dunia dewa-dewa. Bila Budha

mengajarkan laku batin pelepasan penderitaan, maka Islam mistis mengajarkan

keprasahan pada Tuhan dengan cara berpaling pada hal-hal duniawi.

Proses sinkretisasi dalam Agami Jawi bisa dilihat dalam dua tingkat, yaitu

pada tingkat sistem keyakinan dan tingkat sistem ritual. Secara umum, klasifikasi

11

Page 12: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

ini juga digunakan oleh Koentjaraingrat17 dalam melihat sistem Agami Jawi

secara umum. Sistem Agami Jawi sebagaimana sistem budaya pada umumnya

juga terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat keyakinan dan tingkat ritual. Dalam

Agami Jawi juga terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan, nilai tentang

Tuhan, nabi, tokoh-tokoh keramat, konsep kosmologi-kosmogoni, dan eskatologi.

Sementara itu berbagai keyakinan dan pandangan ini termanifestasi dalam

serangkaian ritual seperti seperti slametan, sesajen, tirakat, ngruwat, atau bersih-

dusun.

A. Tingkat Sistem Keyakinan

1. Sinkretisme Teologis

Proses sinkretisme dalam Agami Jawi antara lain nampak dalam taraf

teologis. Taraf ini menyangkut konsep Agami Jawi tentang Tuhan. Sumber

representatif mengenai konsep Tuhan dalam Agami Jawi adalah kitab Nawaruci.

Dalam kitab ini konsep dan pandangan Agami Jawi tentang Tuhan lebih bercorak

panteistis dibanding monoteis. Tak dipungkiri konsep Tuhan panteistik ini lebih

dekat dengan konsep-konsep dalam pemikiran Islam mitis dan Hindu-Budha

dibanding dengan Islam formal.

Dalam kitab Nawaruci, Tuhan dilambangkan sebagai makhluk yang sangat

kecil sekaligus sangat besar. Karena Ia kecil maka Ia dapat melihat seluruh

semesta dengan terang benderang dalam warna-warninya. Karena Ia besar, maka

Ia adalah muara dari segala sesuatu, seperti samudra yang menjadi muara dari

17 Ibid. hlm. 319 -343.

12

Page 13: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

segala aliran sungai, seperti angkasa tempat bertabur segala planet dan bintang.18

Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan

sebagai seluruh alam semesta, dan sekaligus kecil sehingga dapat dimiliki oleh

seseorang.

Tuhan mitis dalam Agami Jawi memang lebih kental nuansanya dibanding

dengan Tuhan syariat yang banyak menyebut Tuhan dengan sifat-sifat maha

Kuasa, maha Perkasa, atau maha Tinggi. Tuhan mitis ini bisa dijumpai dalam

Cerita Dewa Ruci karangan Yasadipoera yang bercerita tentang perjalan Bima

Sena mencari air sejati kehidupan. Dalam salah satu bait dipaparkan:

Tanpa diketahui dari mana datangnya, Bima sekonyong-konyong berhadapan

dengan seorang dewa katik, Dewaruci namanya. Tampak hanya sebagai anak

kecil berjalan-jalan dan bermain-main di atas permukaan air.19

Walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah

sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya pada Bima

Sena:

‘Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya

termasuk gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak

akan sesak, apabila masuk dalam gua-garbaku!’.20

Pandangan panteistis ini tentu berseberangan dengan konsep Tuhan dalam

Islam baku yang monoteistis. Dalam pandangan monoteistis, Tuhan adalah maha

besar dan maha kuasa, manusia hanyalah makhluk yang tidak berarti dihadapan

kekuasaan Tuhan.

18 Ibid. hlm. 324. 19 Yasadipoera, 1984, Cerita Dewaruci, diindonesiakan oleh S.P. Adhikara, Bandung: Penerbit ITB, hlm. 16 20 Ibid. hlm.18

13

Page 14: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

Sebagai sebuah pengalaman teologis, kisah Dewaruci di mata orang Jawa

yang Islam merupakan sebuah kisah yang menjadi landasan yang kokoh untuk

memandang dan menafsirkan berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di

dalam pewayangan sebagai ajaran yang islami. Walaupun cerita tersebut

mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal tersebut tidak lagi begitu penting.

Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau “wadah” yang tidak

bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis,

tetapi roh-nya tetap Islam.21

Cerita Dewaruci memang sangat dekat dengan konsep teologi dalam Islam

mitis yaitu konsep manunggaling kawula gusti. Faham ini adalah faham ‘serba

Esa’, wujud hanya satu, wujud Tuhan adalah wujud manusia. Konsep teologis

dalam kisah Dewaruci tak jauh beda dengan Ana’l Haq-nya Al-Hallaj, Wihdatul-

wujud-nya Ibnu arabi. Ajaran ini di Jawa terkait dengan tokoh Syeh Siti Jenar.22

2. Taraf Kosmologis-kosmogonis

Kosmogoni dan kosmologi adalah serangkaian konsep dan pandangan

mengenai asal-usul alam semesta dan manusia. Agami Jawi mengenal beberapa

konsep penciptaan. Salah satu konsep penciptaan yang menampakkan proses

sinkretis antara Islam dan Hindu terdapat dalam kitab-kitab babad. Kisah-kisah

penciptaan ini bersifat setengah historis. Dalam kisah ini terjadi perpaduan konsep

penciptaan dalam Hindu yang berkisar pada kisah Brahma-Wisnu dan konsep

penciptaan dalam Islam yang berkisar pada kisah Adam. 21 Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995, Islam Jawa dan Jawa Islam…..hlm. 13-14 22 Karkono Kamajaya Partokusumo, 1995, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta, hlm. 254-255

14

Page 15: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

Dalam salah satu versi babad Tanah Jawi23 dikisahkan bahwa silsilah para raja

Jawa berasal dari Nabi Adam. Menurut alurnya, Nabi Adam menurunkan nabi Sis.

Nabi Sis kemudian memiliki putra bernama Nur Cahya. Nurcahya menurunkan

Nurasa. Dari Nurasa lahirlah Sang Hyang Wening, yang kemudian menurunkan

Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang tunggal memiliki putra bernama Batara Guru

dan Batara Guru memiliki lima putra yaitu Batara Sambo, Batara Brahma, Batara

Maha Dewa, Batara Wisnu dan Dewi Sri.

Dari Batara Brahma inilah raja-raja Jawa berasal. Batara Brahma menurunkan

tokoh-tokoh terkenal dalam dunia pewayangan yaitu Begawan Abiyasa,

Pandudewanata, Arjuna, Abimanyu, dan Parikesit. Yang terakhir ini, yaitu

Parikesit mempunyai putra yaitu Yudayana dan Gendrayana. Gendrayana inilah

yang menurunkan raja Jayabaya. Dari raja Jayabaya inilah lahir raja-raja Jawa.

Versi lain juga bisa ditemui dalam salah satu kisah babad. Dalam babad

tersebut dikisahkan bahwa Brahma adalah pencipta bumi dan Wisnu pencipta

manusia. Pada mulanya Brahma telah berusaha mencipta manusia tetapi selalu

gagal. Karena gagal maka Brahma menyuruh wisnu untuk turun ke bumi. Wisnu

berusaha menciptakan pengisi bumi. Pada mulanya tidak berhasil, tapi untuk yang

kedua ia berhasil. Dikisahkan bahwa:

…Dengan tanah liat Wisnu membuat sebuah patung yang menyerupai dirinya,

yang kemudian diisinya dengan energi yang terdiri dari jiwa dan semangat

(suksma) akan tetapi ia lupa memasukkan nafas (prana) ke dalamnya, dan

karena itu makhluk ciptaannya itu kemudian hancur lebur berantakan menjadi

beribu-ribu keeping setelah kejang-kejang beberapa saat. Jiwa dan suksma yang

berada dalam tubuh makhluk itu kemudian menghilang ke dalam kegelapan 23 Lihat Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995, Islam Jawa dan Jawa Islam…hlm.6-7

15

Page 16: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

dan menjadi hantu-hantu jahat yang selalu mengganggu alam dewata. Wisnu

berusaha untuk yang kedua kalinya, dan karena telah berpengalaman, ia

menciptakan makhluk yang lebih tampan, yang diisinya dengan unsur-unsur

yang diperlukan. Kali ini ia berhasil dan manusia pertama itu dinamakan Adina

(Adam).24

Dalam kisah kosmologis dan kosmogonis terjadi pertalian genealogis antara

figur-figur Hindu, seperti Brahma dan Wisnu dengan figur Islam, yaitu Adam,

serta figur Jawa, yaitu raja Jayabaya. Kisah komologis dan kosmogonis ini tidak

sedang merepresentasikan kebenaran logis dan empiris tetapi kebenaran

imajinatif, yaitu ada sesuatu yang ingin dicapai, yaitu keselarasan antara Hindu,

Islam, dan Jawa sebagai unsur-unsur yang tidak saling bertentangan, tetapi saling

menyokong keselarasan. Kisah ini tentu berbeda dengan kisah penciptaan Adam

sebagai manusia pertama di dalam Islam baku yang tidak terkait sama sekali

dengan dewa-dewa di dalam bentuk apapun. Penciptaan Adam berlangsung dalam

proses kreasi Tuhan dan tidak keterkaitan historis apapun dengan para dewa-dewa

Hindu.

3. Taraf Eskatologis

Eskatologi adalah serangkaian pandangan yang menyangkut keyakinan akan

peristiwa pada hari-hari yang akan datang setelah kehidupan di dunia ini. Dalam

setiap agama, keyakinan akan adanya kehidupan setelah kehidupan di dunia ini

merupakan ajaran pokok. Justru yang membedakan antara keyakinan religius dan

non-religius antara lain terletak dalam keyakinan adanya kehidupan di hari nanti.

24 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa….hlm.329-330.

16

Page 17: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa umumnya berkeyakinan bahwa tidak

lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh)

atau yang disebut dengan lelembut, yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya.

Makhluk halus itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat itu, dan saat-saat

tertentu keluarganya mengadakan slametan untuk menandai jarak yang telah

ditempuh roh menuju alam roh, tempatnya yang abadi kelak. Namun roh dapat

dihubungi setiap saat bila diperlukan.25

Pengaruh Islam menciptakan pada orang Jawa konsep mengenai dunia roh

yang berada di dekat Allah; juga bahwa orang yang meninggal oleh Allah akan

diberi tempat di swarga atau di neraka sesuai dengan perilakunya yang baik dan

yang buruk semasa hidupnya. Walaupun demikian kebanyakan penganut Agami

Jawi tidak memiliki gambaran yang nyata mengenai swarga atau neraka itu.

Menurut serat kadilangu dan serat wali sanga, seperti yang dipaparkan

Koentjaraningrat, orang yang meninggal dalam rangka menuju kesempurnaan dan

terlepas dari mata rantai reinkarnasi harus telah melepaskan diri dari segala hasrat

dan keinginan duniawi. Perjalanan ruh untuk menuju surga memerlukan tahapan-

tahapan sampai sungguh-sungguh jiwanya terlepas dari segala hasrat duniawi

untuk kemudian bisa masuk surga. Tahapan ini merupakan tahapan perubahan

dari tubuh yang memiliki hasrat yang disebut dengan lengaslira (makhluk halus)

sampai dengan tahap moksa (kesempurnaan) yang memerlukan tahapan waktu

antara 40 hari, 100 hari sampai dengan 1000 hari.

25 Ibid. hlm. 335-336

17

Page 18: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

Walau telah menempuh perjalanan dalam alam roh, kerabat yang masih hidup

di dunia bisa memanggilnya. Dan bila dipanggil maka roh yang dalam perjalanan

tersebut akan menjadi lelembut, dan berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia

atau menjadi roh nenek moyang (arwah leluhur) yang menetap di sekitar keluarga

dan keturunan sebagai roh penjaga.

Dalam konteks ini, sinkretisasi terjadi melalui konsep ruh. Nampaknya

keyakinan roh dalam tradisi animisme-dinamisme sangat kuat mewarnai pada

Agami Jawi dalam memaknai peristiwa-peristiwa eskatologis. Dr. Simuh

membedakan dua jenis pandangan tentang Ruh, yaitu ajaran ruh aktif dan ruh

pasif.26 Ciri khas religi animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan ruh

dan daya ghaib yang bersifat aktif. Simuh menyatakan bahwa:

Prinsip ruh aktif menurut kepercayaan animisme adalah bahwa ruh orang yang

mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa mencelakakan

atau mensejahterakan manusia. Dunia ini dihuni oleh berbagai macam ruh

gaib yang bisa membantu dan mengganggu kehidupan manusia. Seluruh ritus

dan meditasi religi animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan

dengan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib tersebut di atas…27

Sementara itu Islam menurut Simuh mengajarkan prinsip ruh pasif. Prinsip

tauhid menegaskan bahwa ruh manusia di alam kubur akan merasakan

penderitaan bila amalnya buruk, dan akan mendapat nikmat jika amalnya baik.

Ruh manusia yang telah mati menjadi pasif dan tidak bisa menolong dirinya

sendiri apalagi orang lain. Tidak ada daya gaib dan kuasa ruh lain yang bisa

berpengaruh secara aktif. Segala kuasa ruhani berpusat pada Allah.

26 Simuh, 2003, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Bandung: Mizan, hlm. 41-42. 27 Ibid. hlm. 41

18

Page 19: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

Berdasarkan dua kategori ini, nampaknya Agami Jawi lebih dekat dengan

ajaran ruh aktif. Agami Jawi meyakini bahwa ruh orang yang telah meninggal

masih memiliki hubungan dengan proses kehidupan di dunia ini. Hal ini nampak

dari apa yang paparkan oleh Koentjaraningrat bahwa:

Roh halus yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya semula, atau sebagai

arwah leluhur yang telah menetap di makan (pasareyan) leluhur, maupun

yang tinggal di surga dekat Allah, roh nenek moyang masih lama akan dipuja

dan dipanggil oleh para keturunannya untuk memberi nasihat kepada mereka

mengenai persoalan rohaniah atau material. Makam nenek moyang adalah

tempat melakukan kontak dengan keluarga yang masih hidup, dan di mana

keturunannya melakukan hubungan secara simbolik dengan roh orang yang

telah meninggal.28

Ajaran ruh pasif juga dipegangi dalam Islam mitis, seperti keyakinan para sufi

yang bisa berkomunikasi bahkan mendapatkan nasihat dan wejangan dari tokoh

mulia yang telah meninggal. Setidaknya itulah tiga dimensi sinkretis yang terjadi

dalam tingkat sistem keyakinan dalam Agami Jawi. Ketiga dimensi ini sangat

berpengaruh pada tingkat praksis ritual yang dijalankan di dalam Agami Jawi. Di

antara praktik ritual itu yang dipaparkan di sini adalah ritual Slametan, Nyadran,

dan Tirakat.

28 Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa…hlm.338

19

Page 20: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

B. Tingkat Sistem Ritual

1. Slametan

Seperti dikatakan oleh Simuh bahwa seluruh ritus dan meditasi religi

animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dengan dan

mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib.29 Fenomena ini memiliki kemiripan

dengan fenomena ritual dalam Agami Jawi, terutama Slametan. Slametan atau

wilujengan merupakan suatu upacara terpenting dari semua ritus yang ada dalam

sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut Agami Jawi khususnya.

Ritual slametan bisa dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu yang tidak bersifat

keagamaan dan yang bersifat keagamaan.30 Slametan yang tidak bersifat

keagamaan tidak menimbulkan getaran emosi pada orang yang mengadakannya.

Biasanya jenis slametan ini lebih ditujukan untuk memelihara rasa solidaritas

sosial dan menciptakan suasana damai atau sekedar sebagai sebuah perayaan biasa

saja. Sementara itu ritual slametan yang bersifat keagamaan bersifat keramat.

Slametan yang bersifat keramat bisa disaksikan dari rangkaian upacara slametan

untuk upacara kematian yaitu pada hari ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, dan

ke seribu.

Ritual slametan ini memang berjenis-jenis, ada yang untuk upacara

peringatan orang yang telah meninggal, bersih-dhusun, awal musim cocok tanam,

upacara hari-hari besar Islam, ngruwat, kaul, pindah rumah, dan sebagainya.

Ritual ini tidak ada di dalam Islam baku. Sinkretisasi terjadi ketika di dalam ritual

29 Simuh, 2003, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa…hlm. 41 30 Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa….hlm. 347

20

Page 21: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

slametan biasanya diisi dengan dzikir atau doa-doa yang disampaikan atau

dipimpin oleh seorang modin atau kaum.

2. Nyadran

Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan

memperingati roh leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya’ban

sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa di bukan Ramadhan. Dalam

ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap slametan dan tahap ziarah. Pada tahap

slemetan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau

menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru

orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.31

Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran, menurut Karkono

Kamajaya, telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Kebiasaan menghormati

para arwah leluhur juga merupakan tradisi yang ada pada suku-suku lain di luar

Jawa. Modus mereka untuk menghormati ini juga beragam. Dalam tradisi Jawa

kebiasaan ini telah disebutkan dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu

Prapanca, yaitu perayaan sradda untuk memperingati Tribuwana atau Rajapatni,

yang dipimpin para bikshu budha.32 Dengan demikian ada kemungkinan bahwa

kata nyadran berasal dari kata sradda. Waktu upacara sradda adalah dimulai

bulan Srawana (Juli-Agustus) dan bulan Bhadrawada (Agustus-September).

Pada waktu nyadran makam-makam biasanya dibersihkan dan ditaburi

bunga-bunga, yang disusul dengan pembacaan doa sambil membakar dupa. Bila 31 Karkono Kamajaya Partokusumo, 1995, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam… hlm. 246-247 32 Ibid. hlm. 248

21

Page 22: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

dalam tradisi Jawa Kuno upacara sradda dipimpin para bikhsu, maka dalam ritual

nyadran biasanya dipimpin seorang modin atau kaum. Dan waktu pelaksanaan

mengalami pergeseran, yaitu pada bulan Ruwah atau Sya’ban.

3. Tirakat

Salah satu ritual yang begitu popular di kalangan orang Jawa adalah Tirakat.

Tirakat adalah berpuasa pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena

dekat dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami Jawi

biasanya juga melaksanakan puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang

lain secara rutin. Inti dari ritual tirakat adalah latihan untuk menjalani kesukaran-

kesukaran hidup untuk mendapatkan keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan

ritual keagamaan yang disengaja agar seseorang menjalani kesukaran, kesulitan,

dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya bahwa ritual ini berpahala dan

bermanfaat dalam melatih keteguhan pribadi.33

Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih, siyam, nglowong,

ngepel, ngebleng dan patigeni. Mutih berarti seseorang berpantang makan selain

nasi putih saja pada hari Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada

bulan Ramadhan sebulan penuh. Nglowong artinya berpuasa selama beberapa hari

menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel artinya membiasakan makan dalam porsi

sedikit, yaitu tidak lebih dari satu genggam tangan selama satu atau dua hari.

Ngebleng berarti berpuasa dan menyenderi dalam ruangan tertentu dengan tidak

makan atau minum selama tenggang waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan

33 Konetjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa…hlm. 371

22

Page 23: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

patigeni berarti berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang tak dapat

ditembus cahaya.34

Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu. Praktik

yoga ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan

semedi. Tapa brata, seperti disebut di atas merupakan bentuk pendisiplinan diri

secara keras dengan berbagai bentuk kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan

semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk

mencapai penyatuan. Pada intinya, tirakat merupakan latihan laku prihatin bagi

seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Dengan laku

prihatin ini, seseorang berharap semakin dekat pada Tuhan.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibagi menjadi Islam

Abangan dan Islam Santri

2. Islam Abangan atau Agami Jawi merupakan satu bentuk religiusitas sinkretis

yang dibentuk berdasarkan unsur-unsur Islam, religi animisme-dinamisme, dan

Hindu-Budha.

3. Sinkretisme terjadi bisa dilihat pada dua wilayah yaitu pada sistem keyakinan

yang terdiri dari unsur teologis, kosmologis-kosmogonis, eskatologis, dan pada

sistem ritual, di antaranya ritual slametan, nyadran, dan tirakat.

34 Ibid.

23

Page 24: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

Daftar Pustaka

Ahimsa Putra, Heddy Shri, 1995, Islam Jawa dan Jawa Islam: Sinkretisasi

Agama di Jawa, Makalah Seminar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai

Tradisional Yogyakarta & Kantor DepDikNas DIY

Andre Harjana, 1981, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia.

Bakker, J.W.M, 1976, Agama Asli Indonesia, Yogyakarta: Puskat

Darusuprapta, dkk., 1985-1986, Ajaran Moral dalam Sastra Suluk, Yogyakarta,

Fak. Sastra UGM.

Darusuprapta, 1986, Seni dan Sastra Jawa dalam Kaitannya dengan Islam,

Yogyakarta: PSFKI IAIN Suka.

Darusuprapta, 1985, Serat Wulang Reh, Surabaya: CV. Citra Jaya.

Dick Hartoko, 1987, Tonggak Perjalanan Budaya sebuah Antologi, Yogyakarta;

Kanisius.

Fuad Hasan, dalam Koencaraningrat, 1981, Metode-Metode Penelitian

Masyarakat, Jakarta: Gramedia.

Gorys Keraf, 1981, Eksposisi dan Deskripsi, Ende: Nusa Indah.

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta

Moejanto, G, dan St. Sunardi, Religiositas Kaum Beriman di Indonesia, Basis,

Juni 1995 XLV No 6

Muchtarom, Zaini, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta: Jilid II, INIS

Mustofa Zahri, 1984, Kunci Memahami Ilmu Tawawuf, Surabaya: Bina Ilmu.

Partokusumo, Karkono Kamajaya, 1995, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya

dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta

Robson, 1979, Pengkajian Sastra Tradisionil dam Bahasa dan Sastra, Jakarta:

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sapardi Djaka Damana, 1979, Sosiologi Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa.

Sartono Kartodirdjo, 1975, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Dep. P dan

K.

Sedyawati, Edy, et al, 1993, Sejarah Kebudayaan Jawa, Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan

24

Page 25: Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretisstaff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/agamijawi.pdf · masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra ... banyak hal kerajaan Mataram

25

Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI

Press

Simuh, 2003, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Bandung: Mizan

Simuh, 1986, Nilai Mistik dalam Kebudayaan dan Kepustakaan Jawa,

Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, 1986.

Subalidinata, R.S., 1983, Sekelumit Tinjauan Novel Jawa Modern, Dep. P dan K

Proyek Javanologi: Yogyakarta.

Teeuw, 1984, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, Jakarta Pustaka

Jaya.

Yasadipoera, 1984, Cerita Dewaruci, diindonesiakan oleh S.P. Adhikara,

Bandung: Penerbit ITB

Zuetmulder, P.J, 1990, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme dan Monisme

dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta: Gramedia.