Agama Dalam Alam Pikiran Manusia

8
AGAMA DALAM ALAM PIKIRAN MANUSIA Oleh: H. Muhammad Malik, S.Ag, M.Ag A. Pemahaman Manusia Tentang Agama Agama merupakan fakta empirik yang tidak bisa ditolak keberadaannya dalam konteks kehidupan sosial budaya. Fenomena ini diakui oleh Emille Durkheim, sosiolog dari Prancis, dengan mengatakan bahwa religion is eminently social (agama merupakan fakta sosial). Oleh karena itu, menegasikan keberadaan agama sama halnya menghilangkan salah satu penyangga konstruksi sosial, budaya dan peradaban di dunia ini. Atau dengan bahasa yang berbeda, menegasikan agama sama halnya menentang kekuatan hukum alam (sunnatullah, meskipun tidak sama persis) yang menjadi pilar bagi keberlangsungan kehidupan alam semesta ini. Orang yang mempercayai hukum alam (natural law) tentu tidak akan menampik keberadaan agama, karena agama sebagai salah satu fenomena riil yang bersumber pada Sang Maha Pencipta Alam(Realitas Mutlak dan Tertinggi). Permasalahannya sekarang, sebagaimana diungkapkan oleh Walter W. Capp, adalah : apa itu agama (what is religion), bagaiamana agama itu muncul, untuk siapa agama 1

description

peper

Transcript of Agama Dalam Alam Pikiran Manusia

Page 1: Agama Dalam Alam Pikiran Manusia

AGAMA DALAM ALAM PIKIRAN MANUSIA

Oleh: H. Muhammad Malik, S.Ag, M.Ag

A. Pemahaman Manusia Tentang Agama

Agama merupakan fakta empirik yang tidak bisa ditolak

keberadaannya dalam konteks kehidupan sosial budaya. Fenomena ini

diakui oleh Emille Durkheim, sosiolog dari Prancis, dengan mengatakan

bahwa religion is eminently social (agama merupakan fakta sosial). Oleh

karena itu, menegasikan keberadaan agama sama halnya menghilangkan

salah satu penyangga konstruksi sosial, budaya dan peradaban di dunia

ini. Atau dengan bahasa yang berbeda, menegasikan agama sama halnya

menentang kekuatan hukum alam (sunnatullah, meskipun tidak sama

persis) yang menjadi pilar bagi keberlangsungan kehidupan alam semesta

ini. Orang yang mempercayai hukum alam (natural law) tentu tidak akan

menampik keberadaan agama, karena agama sebagai salah satu

fenomena riil yang bersumber pada Sang Maha Pencipta Alam(Realitas

Mutlak dan Tertinggi).

Permasalahannya sekarang, sebagaimana diungkapkan oleh

Walter W. Capp, adalah : apa itu agama (what is religion), bagaiamana

agama itu muncul, untuk siapa agama dimunculkan, dan apa tujuan

daripada agama? Mengapa agama itu sampai mampu mempengaruhi

sikap dan karakter pemeluknya? Pertanyaan-pertanyaan itu secara

substansi bukanlah sebuah pertanyaan yang sederhana. Untuk

menjawabnya dibutuhkan kemampuan yang komprehensif-analitis karena

agama telah menjadi milik masyarakat yang sangat beragam corak

budaya, bahasa, suku, kebangsaan, ras, dan bahkan agama sering

dijadikan sebagai ideologi politik kekuasaan dalam bernegara. Agama

telah merambah ke seluruh sel kehidupan manusia yang sarat dengan

1

Page 2: Agama Dalam Alam Pikiran Manusia

problematika. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila Ninian Smart

menyatakan bahwa agama itu fenomena yang rumit untuk didefinisikan

secara universal, karena di dalamnya mengandung kompleksitas ajaran

dan nilai. Ia mengatakan :religion is doubly rich and complex

phenomenon.

Namun demekian, meskipun agama adalah fenomena empirik yang

sulit didefinisikan bukan berarti tidak ada yang memberikan definisi

tentang agama. Beberapa cendekiawan yang bergelut dalam studi agama

telah mencoba memberikan definisi agama secara beragam. E.B. Tylor

mendefiniskan agama sebagai religion is the Faith in Spiritual Beings

(kepercayaan terhadap wujud spiritual).1 Allan Menzies merumuskan

agama sebagai The worship of higher powers from a sense of need

(penyembahan terhadap kekuatan yang lebih tinggi karena adanya rasa

membutuhkan).2 George Galloway mendefiniskan agama sebagai

religions is Man’s faith in o power beyond himself whereby he seek to

satisfy emotional needs and gain stability of life, and which he expresses

in acts of worship and service (keyakinan manusia kepada sebuah

kekuatan yang melampaui dirinya, ke mana ia mencari pemuasan

kebutuhan emosional dan mendapatkan ketenagan hidup, yang

diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian)3. Whitehead

mendefiniskan religion is what the individual does with his own solitariness

(agama sebagai apa yang dilakukan oleh seseorang dalam

kesendiriannya).4 William James, ahli psikologi, mendefinisikan agama

sebagai the feelings, acts, and experiences of individual men in their

solitude, so far they apprehended themselves to stand in relation to

whatever they may consider the devine (perasaan, tindakan, dan

pengalaman manusia individual dalam kesendirian mereka sejauh hal itu

1 E.B Taylor, Mediavel Mind, I, Massachusset: Havard university Press, 1929, hlm. 424.

2 Allan Menzies, History of Religion, London: Joh Murray, hlm. 13.3 George galloway, The Philosophy of Rreligion, Eienburg: T & T Clark,

1935, hlm. 184.4 A.N. Whitehead, Religion in the Making, Cambridge: Cambridge

University Press, 1926, hlm. 16.

2

Page 3: Agama Dalam Alam Pikiran Manusia

membawanya ke dalam posisi yang berhubungan dengan apa pun yang

dianggap sebagai yang sakral.5 Melford E. Spiro mendefinisikan agama

sebagai an institution of culturally patterned interaction with culturaly

postulated superhuman beings (sebuah institusi berpola budaya yang

berhubungan dengan wujud-wujud supra manusiawi yang dipostulatkan

secara budaya).6

Definisi lain dirumuskan oleh Milton Yinger yang menyatakan

agama as a system of beleifs and practices by means of which a group of

people strugle with ultimate problems of human life (sebagai sistem

kepercayaan dan perilaku yang dengannya sekelompok manusia bergulat

dengan problem kehidupan manusiawi yang bersifat ultima.7 Clifford

Geertz, antropolog yang pernah mengadakan penelitian di Indonesia,

merumuskan agama sebagai Religion is (1) a system of symbols wich acts

to (2) establish powerfull, pervasive and longlasting moods and

motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of

wxistence and (4) clothing these conceptions with such an aura of

factualiti that (5) the moods and motivations seems uniquely realistic. (1)

sebuah sistem simbol yang berfungsi untuk (2) membangun perasaan dan

motivasi yang penuh kekuatan, pervasif dan tanpa akhir dalam diri

manusia dengan (3) merumuskan konsep mengenai tatanan umum

eksistensi dan (4) membalut konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura

faktualitas sehingga (5) perasaan dan motivasi di atas nampak realistis.8

Sedangkan J.B. Pratt mendefiniskan, religion as the serious anda social

attitude of individuals or communities toward the power or powers which

they conceive as having ultimate control over their interest and destenies

(agama sebagai sikap yang serius dan sosial dari individu-individu atau 5 William James, Varietes of Religious Experience, New York: Longmans,

1929, hlm. 31.6 Melford E. Spiro, “Religion: Problems of Definition and Explanation”,

dalam Banton, Anthropological Approach to Study of religion, London: travistock, 1965, hlm. 96.

7 Milton J. Yinger, The Scientific Study of religion, London: Macmillan, 1970, hlm. 7.

8 Clifford Geertz, “Religion as a Cultural System”, dalam R. Banton (ed), Anthropological Approach to the Study of Religion, 1965, hlm. 42.

3

Page 4: Agama Dalam Alam Pikiran Manusia

komunitas-komunitas kepada satu atau lebih kekuatan yang mereka

anggap memiliki kekuasaan tertinggi terhadap kepentingan dan nasib

mereka).9

Sementara itu W. Pannenberg merumuskan agama sebagai

penglaman-pengamalan di mana manusia merasakan komunikasi dengan

realitas ilahi.10 G. Schimd merumuskan, agama merupakan realitas bagi

seorang manusia.. suatu usaha untuk menemukan jalam melampaui

benda-benda individual menuju keseluruhan. Ia mencakup lapisan-lapisan

yang tak terbatas, acuan terus menerus dan memberi arahan manusiaq

kepada dasar, tujuan, makna, serta inti dari segala yang riil...agama terjadi

di dalam setiap diri manusia. Seseorang yang sama sekali tanpa agama

akan menjadi manusia tanpa realitas.11

Definisi-definisi tersebut berangkat dari latar belakang keilmuan

dari masing-masing yang mendefinisikan. Oleh karena itu rumusannya

senantiasa bersifat deskriptif dan terpaut dengan permasalahan keilmuan

yang bersangkutan. Dalam pandangan C.S. Lewis, pola definisi seperti itu

dinamakan working definition, yaitu definisi yang mencoba

mendeskripsikan sifat-sifat dari sesuatu yang dimaksud. Lewis

mengajukan pola definisi lain yang ia namakan dengan tactical definition,

yaitu sejenis ungkapan atau perlambang yang sama sekali tidak merujuk

kepada pengertian istilah yang dimaksud, dan biasanya hal itu

mengandung unsur kontroversial.12 Contoh dari definisi pola tactical

defintion ini adalah pernyataan Karl Marx bahwa agama adalah nafas dari

makhlukyang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, jiwa dari

kebekuan yang tak bernyawa, candu masyarakat.13 John David Garcia

9 J.B. Pratt, The Religious Consciousness, New York: Macmillan, 1920, hlm. 2.

10 W. Pannenberg, “The Falla and Rise of mythology”, religous Studies Review, No, 11, 1976, hlm. 365.

11 G. Schmid, Principles of Integral Science of religion, mounton: The Hague, 1979, hlm. 150.

12 C.S. Lewis, Studies in Words, Cambridge: Cambridge University Press, 1960, hlm. 18,

13 Kathleen Bliss, The Future of Religion, New York: Penguin Books, 1972, hlm. Ix.

4

Page 5: Agama Dalam Alam Pikiran Manusia

menyebut agama sebagai penindas kemerdekaan dan perusak kesadaran

manusia.14 Sedangkan Solomon Reinarch, rasionalis Prancis, menyatakan

agama sebagai sejenis sopan santun yang mengekang kebebasan

kemanusiaan kita.15

Di samping rumusan dan definisi tentang agama sebagaimana

tersebut di atas, ada sebagian kelompok dan cendekiawan yang

mendefinisikan agama dari perspektif etimologi yang beragam. Ada tiga

kata dari bahasa yang berbeda yang maknanya seringkali ditujukan pada

hal yang sama. Tiga kata itu adalah, agama itu sendiri (sansekerta),

religion (Inggris) dan al-din (Arab/islam). Kata agama, ada yang

menyatakan berasal dari kata a yang artinya tidak dan gama yang berarti

kacau. Dengan demikian agama berati sesuatu/norma yang membuat

tidak kacau.

Berdasarkan beberapa definisi tentang agama sebagaimana

tersebut di atas, maka agama memiliki khazanah nilai dan pembahasan

yang sangat luas. Semakin berkembang ilmu pengetahuan, maka akan

semakin bertambah pula definisi dan bahasan tentang agama. Di sinilah

pada satu sisi agama tampak memiliki nilai-nilai universal, namun pada

sisi yang lain, dengan faktor tertentu agama akan kehilangan makna

hakikinya. Inilah yang dikatakan agama mengalami sebuah problem

definisi.

Berhubung rumit dan sulitnya merumuskan definisi agama secara

universal, maka beberapa cendekiawan yang menaruh perhatian pada

studi-studi keagamaan membuat beberapa unsur dan dimensi-dimensi

yang ada dalam agama. Tillich misalnya menyatakan bahwa ada tiga

elemen mendasar yang terdapat pada semua agama, yaitu: sacramental ,

the mystical (mistik), dan the ethical components (komonen-komponen

etika)16.

14 John David Garcia, The Moral Society, A Moral Alternative to Death, New York: The Julian Press, 1971, hlm. 10

15 Edgar S. Brightman, A. Philosophy of religion, New York: Prentice Hall, 1946, hlm. 16.

16hlm. 292

5

Page 6: Agama Dalam Alam Pikiran Manusia

6