Agama Dalam Alam Pikiran Manusia
description
Transcript of Agama Dalam Alam Pikiran Manusia
AGAMA DALAM ALAM PIKIRAN MANUSIA
Oleh: H. Muhammad Malik, S.Ag, M.Ag
A. Pemahaman Manusia Tentang Agama
Agama merupakan fakta empirik yang tidak bisa ditolak
keberadaannya dalam konteks kehidupan sosial budaya. Fenomena ini
diakui oleh Emille Durkheim, sosiolog dari Prancis, dengan mengatakan
bahwa religion is eminently social (agama merupakan fakta sosial). Oleh
karena itu, menegasikan keberadaan agama sama halnya menghilangkan
salah satu penyangga konstruksi sosial, budaya dan peradaban di dunia
ini. Atau dengan bahasa yang berbeda, menegasikan agama sama halnya
menentang kekuatan hukum alam (sunnatullah, meskipun tidak sama
persis) yang menjadi pilar bagi keberlangsungan kehidupan alam semesta
ini. Orang yang mempercayai hukum alam (natural law) tentu tidak akan
menampik keberadaan agama, karena agama sebagai salah satu
fenomena riil yang bersumber pada Sang Maha Pencipta Alam(Realitas
Mutlak dan Tertinggi).
Permasalahannya sekarang, sebagaimana diungkapkan oleh
Walter W. Capp, adalah : apa itu agama (what is religion), bagaiamana
agama itu muncul, untuk siapa agama dimunculkan, dan apa tujuan
daripada agama? Mengapa agama itu sampai mampu mempengaruhi
sikap dan karakter pemeluknya? Pertanyaan-pertanyaan itu secara
substansi bukanlah sebuah pertanyaan yang sederhana. Untuk
menjawabnya dibutuhkan kemampuan yang komprehensif-analitis karena
agama telah menjadi milik masyarakat yang sangat beragam corak
budaya, bahasa, suku, kebangsaan, ras, dan bahkan agama sering
dijadikan sebagai ideologi politik kekuasaan dalam bernegara. Agama
telah merambah ke seluruh sel kehidupan manusia yang sarat dengan
1
problematika. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila Ninian Smart
menyatakan bahwa agama itu fenomena yang rumit untuk didefinisikan
secara universal, karena di dalamnya mengandung kompleksitas ajaran
dan nilai. Ia mengatakan :religion is doubly rich and complex
phenomenon.
Namun demekian, meskipun agama adalah fenomena empirik yang
sulit didefinisikan bukan berarti tidak ada yang memberikan definisi
tentang agama. Beberapa cendekiawan yang bergelut dalam studi agama
telah mencoba memberikan definisi agama secara beragam. E.B. Tylor
mendefiniskan agama sebagai religion is the Faith in Spiritual Beings
(kepercayaan terhadap wujud spiritual).1 Allan Menzies merumuskan
agama sebagai The worship of higher powers from a sense of need
(penyembahan terhadap kekuatan yang lebih tinggi karena adanya rasa
membutuhkan).2 George Galloway mendefiniskan agama sebagai
religions is Man’s faith in o power beyond himself whereby he seek to
satisfy emotional needs and gain stability of life, and which he expresses
in acts of worship and service (keyakinan manusia kepada sebuah
kekuatan yang melampaui dirinya, ke mana ia mencari pemuasan
kebutuhan emosional dan mendapatkan ketenagan hidup, yang
diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian)3. Whitehead
mendefiniskan religion is what the individual does with his own solitariness
(agama sebagai apa yang dilakukan oleh seseorang dalam
kesendiriannya).4 William James, ahli psikologi, mendefinisikan agama
sebagai the feelings, acts, and experiences of individual men in their
solitude, so far they apprehended themselves to stand in relation to
whatever they may consider the devine (perasaan, tindakan, dan
pengalaman manusia individual dalam kesendirian mereka sejauh hal itu
1 E.B Taylor, Mediavel Mind, I, Massachusset: Havard university Press, 1929, hlm. 424.
2 Allan Menzies, History of Religion, London: Joh Murray, hlm. 13.3 George galloway, The Philosophy of Rreligion, Eienburg: T & T Clark,
1935, hlm. 184.4 A.N. Whitehead, Religion in the Making, Cambridge: Cambridge
University Press, 1926, hlm. 16.
2
membawanya ke dalam posisi yang berhubungan dengan apa pun yang
dianggap sebagai yang sakral.5 Melford E. Spiro mendefinisikan agama
sebagai an institution of culturally patterned interaction with culturaly
postulated superhuman beings (sebuah institusi berpola budaya yang
berhubungan dengan wujud-wujud supra manusiawi yang dipostulatkan
secara budaya).6
Definisi lain dirumuskan oleh Milton Yinger yang menyatakan
agama as a system of beleifs and practices by means of which a group of
people strugle with ultimate problems of human life (sebagai sistem
kepercayaan dan perilaku yang dengannya sekelompok manusia bergulat
dengan problem kehidupan manusiawi yang bersifat ultima.7 Clifford
Geertz, antropolog yang pernah mengadakan penelitian di Indonesia,
merumuskan agama sebagai Religion is (1) a system of symbols wich acts
to (2) establish powerfull, pervasive and longlasting moods and
motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of
wxistence and (4) clothing these conceptions with such an aura of
factualiti that (5) the moods and motivations seems uniquely realistic. (1)
sebuah sistem simbol yang berfungsi untuk (2) membangun perasaan dan
motivasi yang penuh kekuatan, pervasif dan tanpa akhir dalam diri
manusia dengan (3) merumuskan konsep mengenai tatanan umum
eksistensi dan (4) membalut konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura
faktualitas sehingga (5) perasaan dan motivasi di atas nampak realistis.8
Sedangkan J.B. Pratt mendefiniskan, religion as the serious anda social
attitude of individuals or communities toward the power or powers which
they conceive as having ultimate control over their interest and destenies
(agama sebagai sikap yang serius dan sosial dari individu-individu atau 5 William James, Varietes of Religious Experience, New York: Longmans,
1929, hlm. 31.6 Melford E. Spiro, “Religion: Problems of Definition and Explanation”,
dalam Banton, Anthropological Approach to Study of religion, London: travistock, 1965, hlm. 96.
7 Milton J. Yinger, The Scientific Study of religion, London: Macmillan, 1970, hlm. 7.
8 Clifford Geertz, “Religion as a Cultural System”, dalam R. Banton (ed), Anthropological Approach to the Study of Religion, 1965, hlm. 42.
3
komunitas-komunitas kepada satu atau lebih kekuatan yang mereka
anggap memiliki kekuasaan tertinggi terhadap kepentingan dan nasib
mereka).9
Sementara itu W. Pannenberg merumuskan agama sebagai
penglaman-pengamalan di mana manusia merasakan komunikasi dengan
realitas ilahi.10 G. Schimd merumuskan, agama merupakan realitas bagi
seorang manusia.. suatu usaha untuk menemukan jalam melampaui
benda-benda individual menuju keseluruhan. Ia mencakup lapisan-lapisan
yang tak terbatas, acuan terus menerus dan memberi arahan manusiaq
kepada dasar, tujuan, makna, serta inti dari segala yang riil...agama terjadi
di dalam setiap diri manusia. Seseorang yang sama sekali tanpa agama
akan menjadi manusia tanpa realitas.11
Definisi-definisi tersebut berangkat dari latar belakang keilmuan
dari masing-masing yang mendefinisikan. Oleh karena itu rumusannya
senantiasa bersifat deskriptif dan terpaut dengan permasalahan keilmuan
yang bersangkutan. Dalam pandangan C.S. Lewis, pola definisi seperti itu
dinamakan working definition, yaitu definisi yang mencoba
mendeskripsikan sifat-sifat dari sesuatu yang dimaksud. Lewis
mengajukan pola definisi lain yang ia namakan dengan tactical definition,
yaitu sejenis ungkapan atau perlambang yang sama sekali tidak merujuk
kepada pengertian istilah yang dimaksud, dan biasanya hal itu
mengandung unsur kontroversial.12 Contoh dari definisi pola tactical
defintion ini adalah pernyataan Karl Marx bahwa agama adalah nafas dari
makhlukyang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, jiwa dari
kebekuan yang tak bernyawa, candu masyarakat.13 John David Garcia
9 J.B. Pratt, The Religious Consciousness, New York: Macmillan, 1920, hlm. 2.
10 W. Pannenberg, “The Falla and Rise of mythology”, religous Studies Review, No, 11, 1976, hlm. 365.
11 G. Schmid, Principles of Integral Science of religion, mounton: The Hague, 1979, hlm. 150.
12 C.S. Lewis, Studies in Words, Cambridge: Cambridge University Press, 1960, hlm. 18,
13 Kathleen Bliss, The Future of Religion, New York: Penguin Books, 1972, hlm. Ix.
4
menyebut agama sebagai penindas kemerdekaan dan perusak kesadaran
manusia.14 Sedangkan Solomon Reinarch, rasionalis Prancis, menyatakan
agama sebagai sejenis sopan santun yang mengekang kebebasan
kemanusiaan kita.15
Di samping rumusan dan definisi tentang agama sebagaimana
tersebut di atas, ada sebagian kelompok dan cendekiawan yang
mendefinisikan agama dari perspektif etimologi yang beragam. Ada tiga
kata dari bahasa yang berbeda yang maknanya seringkali ditujukan pada
hal yang sama. Tiga kata itu adalah, agama itu sendiri (sansekerta),
religion (Inggris) dan al-din (Arab/islam). Kata agama, ada yang
menyatakan berasal dari kata a yang artinya tidak dan gama yang berarti
kacau. Dengan demikian agama berati sesuatu/norma yang membuat
tidak kacau.
Berdasarkan beberapa definisi tentang agama sebagaimana
tersebut di atas, maka agama memiliki khazanah nilai dan pembahasan
yang sangat luas. Semakin berkembang ilmu pengetahuan, maka akan
semakin bertambah pula definisi dan bahasan tentang agama. Di sinilah
pada satu sisi agama tampak memiliki nilai-nilai universal, namun pada
sisi yang lain, dengan faktor tertentu agama akan kehilangan makna
hakikinya. Inilah yang dikatakan agama mengalami sebuah problem
definisi.
Berhubung rumit dan sulitnya merumuskan definisi agama secara
universal, maka beberapa cendekiawan yang menaruh perhatian pada
studi-studi keagamaan membuat beberapa unsur dan dimensi-dimensi
yang ada dalam agama. Tillich misalnya menyatakan bahwa ada tiga
elemen mendasar yang terdapat pada semua agama, yaitu: sacramental ,
the mystical (mistik), dan the ethical components (komonen-komponen
etika)16.
14 John David Garcia, The Moral Society, A Moral Alternative to Death, New York: The Julian Press, 1971, hlm. 10
15 Edgar S. Brightman, A. Philosophy of religion, New York: Prentice Hall, 1946, hlm. 16.
16hlm. 292
5
6