AFASIA.docx

40
PENDAHULUAN Afasia adalah kehilangan daya pengutaraan melalui bicara, menulis atau penggunaan tanda- tanda , dan kehilangan pengertian bahasa yang didengar atau dibaca.Afasia terbagi dua yaitu : Afasia motorik dan afasia sensorik. Afasia motorik adalah kesulitan berkata- kata tetapi dapat mengerti pembicaraan, sedangkan afasia sensorik dimana pasien sukar mengerti komprehensi pembicaraan orang , tetapi mudah mengucapkan kata, tanpa adanya gangguan pendengaran. Afasia dapat terjadi apabila ada gangguan peredaran darah otak. Dimana pada umumnya telah ada penyakit lain yang mendahului gangguan peredaran darah otak tersebut, yang paling sering dijumpai adalah penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung, hipertensi), kemudian penyakit/gangguan otak lainnya. Gejala dapat muncul untuk sementara, lalu menghilang atau lalu memberat atau menetap. Gejala ini muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Afasia motorik yang ditandai oleh gangguan atau hilangnya kemampuan untuk menyatakan pikiran- pikiran yang dapat dimengerti dalam bentuk bicara dan menulis. Afasia motorik timbul akibat gangguan pada pembuluh darah Karotis Interna, yaitu cabangnya yang menuju Otak bagian tengah (Arteri serebri media) tepatnya pada cabang akhir (Arteri presentalis), afasia motorik ini disertai kelemahan lengan lebih berat daripada tungkai.

Transcript of AFASIA.docx

PENDAHULUAN

Afasia adalah kehilangan daya pengutaraan melalui bicara, menulis atau penggunaan

tanda- tanda , dan kehilangan pengertian bahasa yang didengar atau dibaca.Afasia terbagi dua

yaitu : Afasia motorik dan afasia sensorik. Afasia motorik adalah kesulitan berkata- kata

tetapi dapat mengerti pembicaraan, sedangkan afasia sensorik dimana pasien sukar mengerti

komprehensi pembicaraan orang , tetapi mudah mengucapkan kata, tanpa adanya gangguan

pendengaran.

Afasia dapat terjadi apabila ada gangguan peredaran darah otak. Dimana pada

umumnya telah ada penyakit lain yang mendahului gangguan peredaran darah otak tersebut,

yang paling sering dijumpai adalah penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung, hipertensi),

kemudian penyakit/gangguan otak lainnya.

Gejala dapat muncul untuk sementara, lalu menghilang atau lalu memberat atau

menetap. Gejala ini muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi yang disebabkan oleh

terganggunya aliran darah ke tempat tersebut.

Afasia motorik yang ditandai oleh gangguan atau hilangnya kemampuan untuk

menyatakan pikiran- pikiran yang dapat dimengerti dalam bentuk bicara dan menulis. Afasia

motorik timbul akibat gangguan pada pembuluh darah Karotis Interna, yaitu cabangnya yang

menuju Otak bagian tengah (Arteri serebri media) tepatnya pada cabang akhir (Arteri

presentalis), afasia motorik ini disertai kelemahan lengan lebih berat daripada tungkai.

Arteri serebri media memperdarahi bagian terbesar dari konveksitas belahan otak .

Arteri serebri media merupakan cabang arteri karotis interna yang paling besar.

Afasia motorik disebut juga afasia Broca. Paul Broca, ilmuwan Perancis, menemukan

suatu area pada lobus frontalis kiri yang jika rusak akan mengakibatkan kehilangaan daya

pengutaraan pendapat dan perasaan dengan kata- kata. Tidak ada kelumpuhan alat bicara

pada gangguan ini. Daerah Otak tersebut dikenal sebagai Area Broca.

Gangguan afasia terdiri dari afasia Broca, Wernicke, global, konduksi,transkortikal

motorik, transkortikal sensorik, dan transkortikal campuran. Seseorang disebut afasia global

bila semua modalitas bahasa-meliputi kelancaran berbicara, pengertian bahasa lisan,

penamaan, pengulangan,membaca, menulis-terganggu berat. Penderita tidak ada suara sama

sekali dan tidak mengerti apa yang dikatakan lawan bicara, serta tidak bisa membaca dan

menulis. Ini terjadi karena kerusakan otak yang luas disertai kelumpuhan otot-otot tubuh sisi

kanan. Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan bertutur kata. Namun,

ia mengerti bila diperintah dan menjawab dengan gerakan tubuh sesuai perintah itu. Karena

kerusakan terjadi berdampingan dengan pusat otak untuk pergerakan otot-otot tubuh,

penderita juga lumpuh di otot-otot tubuh sebelah kanan. Afasia Wernicke atau afasia sensorik

merupakan ketidakmampuan memahami lawan bicara. Ia hanya lancar mengeluarkan isi

pikiran, tetapi tidak mengerti pembicaraan orang lain. Itu sebabnya mengapa orang sering

menganggap penderita sakit jiwa. Pada tingkat sangat berat, perintah satu kata, seperti

“duduk!” atau “makan!”, juga tidak dipahaminya. Ia hanya mengerti bila dilakukan dengan

gerakan, karena pengertian ini diterima otak melalui penglihatan. Afasia konduksi merupakan

ketidakmampuan mengulangi kata atau kalimat lawan bicara. Namun, penderita masih

mampu mengeluarkan isi pikiran dan menjawab kalimat lawan bicaranya.

Afasia anomik membuat penderita ini tidak mampu menyebut nama benda yang

dilihat, angka, huruf, bentuk benda, dan kata kerja dari gambar yang dilihat. Ia juga tak bisa

menyebut nama binatang yang didengar suaranya atau benda yang diraba. Gangguan anomik

terdapat pada semua penderita afasia dengan variasi kemampuan. Pada afasia transkortikal

sensorik, gangguan mirip dengan Wernicke, tetapi mampu menirukan kata/kalimat lawan

bicara. Gangguan pada afasia transkortikal campuran mirip afasia global, namun mampu

meniru ucapan lawan bicara. Berbagai tes wawancara, membaca, menulis, menggambar,

ataupun melakukan tugas-tugas tertentu bisa digunakan untuk mengetahui terjadinya

kerusakan otak. “Kalau ada gangguan komunikasi, misalnya mengemukakan pikiran tidak

lancar, tetapi paham diajak bicara, bisa ditebak pasti ada kerusakan dibagian depan. Ini

tinggal dicocokkan dengan pemeriksaan pendukung, seperti CT-Scan pada otak,” jelas

Lumempouw. Pemeriksaan ini amat penting untuk terapi dan rehabilitasi pasien. Umumnya

sel-sel otak yang tertekan atau membengkak bisa membaik kembali. Sedang sel-sel otak yang

kerusakannya menetap, tugas-tugasnya akan diambil alih oleh sel-sel di sekitarnya.

Dengan adanya beban tambahan pada sel-sel baru-tentunya sudah punya tugas lain

sebelumnya-maka mutu setelah rehabilitasi tidak bisa sebagus keadaan sebelum infark.

Karena itu, hal terbaik adalah menghindari faktor-faktor risiko yang bisa memicu stroke,

seperti merokok, makan makanan yang berkolesterol tinggi, dan tekanan darah tinggi.

Perawatan utama untuk aphasia adalah terapi wicara yang berfokus pada belajar kembali dan

mempraktekkan kemampuan berbahasa dan menggunakan alternatif atau tambahan metode

komunikasi. Anggota keluarga sering berpartisipasi dalam proses terapi dan berfungsi

sebagai mitra komunikasi penderita aphasia.

Di pusat bahasa manusia, manusia memahami dan mengenal huruf, suku kata, arti

kata, kalimat sederhana, kalimat bertingkat sampai sampai yang kompleks dan abstrak, serta

berbagai macam bahasa. Sedang di bagian lain ada yang bertugas mengeluarkan isi pikiran

secara lisan dan tulisan, yang berarti harus berkoordinasi dengan pergerakan otot-otot jari.

Gangguan afasia terdiri dari afasia broca, wernicke, global, konduksi, transkortikal motorik,

transkortikal sensorik, dan transkortikal campuran. Seseorang disebut mengalami afasia

global bila semua modalitas bahasa meliputi kelancaran berbicara, pengertian bahasa lisan,

penamaan, pengulangan, membaca dan menulis terganggu berat. Pada kasus ini penderita

tidak bisa bicara sama sekali dan tidak mengerti apa yang dikatakan lawan bicara serta tidak

bisa membaca dan menulis. Ini terjadi karena kerusakan otak yang luas disertai kelumpuhan

otot-otot tubuh sisi kanan. Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan

bertutur kata. Namun ia mengerti bila diperintah dan menjawab dengan gerakan tubuh sesuai

perintah itu. Ini terjadi karena kerusakan yang terjadi berdampingan dengan pusat otakuntuk

pergerakan otot-otot tubuh. Kelumpuhan juga terjadi pada anggota tubuh bagian kanan.

Afasia Wernicke atau afasia sensorik merupakan kemampuan memahami lawan bisa bicara.

Ia hanya lancar mengeluarkan isi pikiran, tetrapi tidak mengerti pembicaraan orang lain.

Sedangkan afasia konduksi merupakan ketidakmampuan mengulangi kata atau kalimat lawan

bicara, namun penderita masih mampu mengeluarkan isi pikirannya dan menjawab kalimat

lawan bicaranya. Untuk afasia anomik membuat penderita ini tidak bisa menyebut nama

benda yang dilihat,angka, huruf, bentuk gambar yang dilihat. Ia juga tak bisa menyabut nama

binatang yang didengar suaranya atau benda yang diraba. Gangguan anomik terdapat pada

semua penderita afasia dengan variasi kemampuan. Pada afasia transkortikal sensorik,

gangguan mirip dengan Wernicke, tetapi mampu menirukan kata/kalimat lawan bicara,

sedangkan gangguan afasia transkortikal campuran mirif afasia global, namun mampu

menirukan ucapan lawan bicara. Berbagai tes wawancara, membaca, menulis, menggambar,

ataupun melakukan tugas-tugas tertentu bisa digunakan untuk mengetahui terjadinya

kerusakan otak, dan tinggal dicocokkan dengan pemeriksaan CT-Scan pada otak.

Pemeriksaan ini sangat penting untuk terapi dan rehabilitasi pasien.

METODE KOMUNIKASI :Klien dg Aphasia 5

• Mendengar & menunggu klien untuk berbicara• Jangan berteriak atau berbicara dengan

keras ( tidak kehilanganpendengaran)• Jika klien memiliki masalah untuk mengerti, gunakan

pertanyaan yang sederhana, pendek, & gunakan gerakan mimik untuk memberi tanda/

sebagai isyarat tambahan• jika klien mempunyai masalah pengucapan, bertanyalah dengan

sederhana dengan jawaban ya/tidak/mengejapkan mata. Menawarkan gambaran atau suatu

[papan/meja] komunikasi sehingga kliendapat menunjuk gbr yg dimaksud• Memberikan klien

kesempatan untuk memahami• Jangan memaksa atau melelahkan klien

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Afasia merupakan gangguan berbahasa. Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam

memproduksi dan / atau memahami bahasa. Defek dasar pada afasia ialah pada pemrosesan

bahasa tingkat integratif yang lebih tinggi. Gangguan artikulasi dan praksis mungkin ada

sebagai gejala yang menyertai. 1

Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemisfer dominan,

trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya digolongkan

sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman,

membaca, ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda.

Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya terdapat

gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di dalam afasia adalah

gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca (alexia) atau gangguan menulis

(agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya apraksia (gangguan belajar atau ketrampilan),

gangguan mengenal (agnosia), gangguan menghitung (akalkulias), serta defisit perilaku

neurologis seperti demensia dan delirium. Ini semua bisa muncul bersama-sama dengan

afasia atau muncul sendiri.

B. Etiologi

Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat cedera otak

atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang mengatur

kemampuan berbahasa, yaitu Area Broa, Area Wernicke, dan jalur yang menghubungkan

antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan

orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur. 4

Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak. Kata afasia

perkembangan (sering disebut sebagai disfasia) digunakan bila anak mempunyai

keterlambatan spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal ini,

perkembangan kemampuan berbahasa yang tidak sebanding dengan perkembangan kognitif

umumnya.

Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak

traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul perlahan-lahan seperti

pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl,

suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis.

C. Patofisiologi

Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia, fungsi

pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang yang

dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien

yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri. 2,3,4

Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit

degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan berbahasa,

yaitu area Broca dan area Wernicke.

Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik

berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita

bisa memahami bahasa dan tulisan.

Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik penerima untuk

impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat kemampuan

memahami serta mengerti suatu bahasa.

Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas. Selain itu

lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia juga dapat

muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area

Wernicke.

D. Manifestasi Klinis

Gejala dan Gambaran klinik Afasia

Afasia global. Afasia global ialah bentuk afasia yang paling berat. Keadaan ini ditandai oleh

tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah kata yang

diucapkan secara stereotip (itu-itu saja, berulang), misalnya : "iiya, iiya, iiya", atau: "baaah,

baaaah, baaaaah" atau: "amaaang, amaaang, amaaang". Komprehensi menghilang atau sangat

terbatas, misalnya hanya mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi

(mengulangi) juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis

juga terganggu berat. 2,3

Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar atau semua daerah

bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri

media pada pangkalnya. Kemungkinan pulih ialah buruk. Afasia global hampir selalu disertai

hemiparese atau hemiplegia yang menyebabkan invaliditas kronis yang parah.

Afasia Broca. Bentuk afasia ini sering kita lihat di klinik dan ditandai oleh bicara yang tidak

lancar, dan disartria, serta tampak melakukan upaya bila berbicara. Pasien sering atau paling

banyak mengucapkan kata-benda dan kata-kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata-

bahasa (tanpa grammar). Contoh: "Saya....sembuh....rumah....kontrol....ya..kon..trol."

"Periksa...lagi...makan... banyak.."

Mengulang (repetisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya seperti berbicara spontan.

Pemahaman auditif dan pemahaman membaca tampaknya tidak terganggu, namun

pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks sering terganggu (misalnya

memahami kalimat: "Seandainya anda berupaya untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda

untuk maksud ini").

Ciri klinik afasia Broca:

bicara tidak lancar

tampak sulit memulai bicara

kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)

pengulangan (repetisi) buruk

kemampuan menamai buruk

Kesalahan parafasia

Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat yang sintaktis

kompleks)

Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks

Irama kalimat dan irama bicara terganggu

Menamai (naming) dapat menunjukkan jawaban yang parafasik. Lesi yang menyebabkan

afasia Broca mencakup daerah Brodmann 44 dan sekitarnya. Lesi yang mengakibatkan afasia

Broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area Brodmann 45 dan 44) dan massa alba

frontal dalam (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba paraventrikular

tengah). Selain itu, ada pasien dengan lesi dikorteks peri-rolandik, terutama daerah Brodmann

4; ada pula yang terganggu di daerah peri-rolandik dengan kerusakan massa alba yang

ekstensif.

Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya di area Broca di korteks,

tanpa melibatkan jaringan di sekitarnya, maka tidak akan terjadi afasia.

Penderita afasia Broca sering mengalami perubahan emosional. seperti frustasi dan depresi.

Apakah hal ini disebabkan oleh gangguan berbahasanya atau merupakan gejala yang

menyertai lesi di lobus frontal kiri belum dapat dipastikan.

Pemulihan terhadap berbahasa (prognosis) umumnya lebih baik daripada afasia global.

Karena pemahaman relatif baik, pasien dapat lebih baik beradaptasi dengan keadaannya.

Afasia Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Di klinik, pasien afasia

Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan, dan bila ia menjawab

iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. la tidak mampu memahami kata

yang diucapkannya, dan tidak mampu mengetahui kata yang diucapkannya, apakah benar

atau salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong, berisi parafasia, dan neologisme.

Misalnya menjawab pertanyaan: Bagaimana keadaan ibu sekarang ? Pasien mungkin

menjawab: "Anal saya lalu sana sakit tanding tak berabir".

Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai {naming) umumnya parafasik. Membaca

dan menulis juga terganggu berat.

Gambaran klinik afasia Wernicke:

Keluaran afasik yang lancar

Panjang kalimat normal

Artikulasi baik

Prosodi baik

Anomia (tidak dapat menamai)

Parafasia fonemik dan semantik

Komprehensi auditif dan membaca buruk

Repetisi terganggu

Menulis lancar tapi isinya "kosong"

Penderita afasia jenis Wernicke ada yang menderita hemiparese, ada pula yang tidak.

Penderita yang tanpa hemiparese, karena kelainannya hanya atau terutama pada berbahasa,

yaitu bicara yang kacau disertai banyak parafasia, dan neologisme, bisa-bisa disangka

menderita psikosis.

Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian posterior.

Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan lesi mencakup

bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata tunggal terpelihara,

namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah lobus parietal, ketimbang

lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal

yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal.

Penderita dengan defisit komprehensi yang berat, pronosis penyembuhannya buruk,

walaupun diberikan terapi bicara yang intensif. Afasia konduksi. Ini merupakan gangguan

berbahasa yang lancar (fluent) yang ditandai oleh gangguan yang berat pada repetisi,

kesulitan dalam membaca kuat-kuat (namun pemahaman dalam membaca baik), gangguan

dalam menulis, parafasia yang jelas, namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara.

Anomianya berat.

Terputusnya hubungan antara area Wernicke dan Broca diduga menyebabkan manifestasi

klinik kelainan ini. Terlibatnya girus supramarginal diimplikasikan pada beberapa pasien.

Sering lesi ada di massa alba subkortikal - dalam di korteks parietal inferior, dan mengenai

fasikulus arkuatus yang menghubungkan korteks temporal dan frontal.

Afasia transkortikal. Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan yang baik

(terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Ada pasien yang mengalami kesulitan

dalam memproduksi bahasa, namun komprehensinya lumayan.

Ada pula pasien yang produksi bahasanya lancar, namun komprehensinya buruk. Pasien

dengan afasia motorik transkortikal mampu mengulang (repetisi), memahami dan membaca,

namun dalam bicara -spontan terbatas, seperti pasien dengan afasia Broca. Sebaliknya, pasien

dengan afasia sensorik transkortikal dapat mengulang (repetisi) dengan baik, namun tidak

memahami apa yang didengarnya atau yang diulanginya. Bicara spontannya dan menamai

lancar, tetapi parafasik seperti afasia jenis Wernicke. Sesekali ada pasien yang menderita

kombinasi dari afasia transkortikal motorik dan sensorik. Pasien ini mampu mengulangi

kalimat yang panjang, juga dalam bahasa asing, dengan tepat. Mudah mencetuskan repetisi

pada pasien ini, dan mereka cenderung menjadi ekholalia (mengulang apa yang didengarnya).

Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal:

Keluaran (output) lancar (fluent)

Pemahaman buruk

Repetisi baik

Ekholalia

Komprehensi auditif dan membaca terganggu

Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai

Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.

Gambaran klinik afasia motorik transkortikal:

Keluaran tidak lancar (non fluent)

Pemahaman (komprehensi) baik

Repetisi baik

Ungkapan-ungkapan singkat

Parafasia semantik

Ekholalia

Gambaran klinik afasia transkortikal campuran:

Tidak lancar (nonfluent)

Komprehensi buruk

Repetisi baik

Ekholalia mencolok

Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan sabit, di

dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral mayor (misalnya di lobus frontal

antara daerah arteri serebri anterior dan media). Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi

di perbatasan anterior yang menyerupai huruf C terbalik (gambar 9-1). Lesi ini tidak

mengenai atau tidak melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44

dan lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini

dibutuhkan untuk kemampuan mengulang yang baik.

Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:

Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang dijumpai pada

henti-jantung (cardiac arrest).

Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.

Anoksia oleh keracunan karbon monoksida.

Demensia.

Afasia anomik. Ada pasien afasia yang defek berbahasanya berupa kesulitan dalam

menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya. Keadaan ini

disebut sebagai afasia anomik, nominal atau amnestik. Berbicara spontan biasanya lancar dan

kaya dengan gramatika, namun sering tertegun mencari kata dan terdapat parafasia mengenai

nama objek.

Gambaran klinik alasia anomik:

Keluaran lancar

Komprehensi baik

Repetisi baik

Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.

Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia anomik, dengan

demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia dapat demikian ringannya sehingga

hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau dapat pula demikian beratnya sehingga

keluaran spontan tidak lancar dan isinya kosong. Prognosis untuk penyembuhan bergantung

kepada beratnya defek inisial. Karena output bahasa relatif terpelihara dan komprehensi

lumayan utuh, pasien demikian dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis

afasia lain yang lebih berat.

Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal saja. Lesi di talamus,

putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh perdarahan atau infark, dapat

menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya afasia dalam hal ini belum jelas,

mungkin antara lain oleh berubahnya input ke serta fungsi korteks di sekitarnya.

Bentuk Afasia

Ekspresi Komprehensi verbal

Repetisi Menamai Komprehensi membaca

Menulis Lesi

Ekspresi (Broca)

Tak lancar Terlatif terpelihara Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Frontal inferior posterior

Reseptif (wernickle)

Lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Temporal superior inferior (area wernickle)

Global Tak lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Fronto temporal

Konduksi Lancar Relatif terpelihara Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Fasikulus arkutus, gyrus supramarginal

Nominal Lancar Relatif terperlihara Terpelihara Terganggu Bervariasi Bervariasi Girus angulus, tempral superior posterior

Trankortikal motor

Tak lancar Relatif terpelihara Terpelihara Terganggu Bervariasi Terganggu Peri silvian anterior

Transkortikal sensorik

Lancar Terganggu terpelihara Terganggu Terganggu Terganggu Peri silvian posterior

Klasifikasi Afasia

Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang mendasarkan kepada:

1. Manifestasi klinik

2. Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek

3. Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik

Gambar 1. Area pengaturan bahasa pada otak. Lesi pada area ini akan menyebabkan afasia

Berdasarkan manifestasi klinik, afasia dapat dibedakan atas:

- Afasia tidak lancar atau non-fluent

- Afasia lancar atau fluent

Berdasarkan lesi anatomik, afasia dapat dibedakan berdasarkan:

- Sindrom afasia peri-silvian

- Afasia Broca (motorik, ekspresif)

- Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)

- Afasia konduksi

Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone)

- Afasia transkortikal motorik

- Afasia transkortikal sensorik

- Afasia transkortikal campuran

Sindrom afasia subkortikal

- Afasia talamik

- Afasia striatal

Sindrom afasia non-lokalisasi

- Afasian anomik

- Afasia global

Sebagai tambahan, ada yang disebut dengan parafasia. Parafasia ialah mensubstitusi kata.

Ada 2 jenis parafasia, yaitu parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonemik (literal).

Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu kata dengan kata lain, misalnya “kucing” dengan

“anjing”. Parafasia fonemik ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain, misalnya

“bir” dengan “kir”.

Diagnosis

Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada pemeriksaan

fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya dilakukan untuk mengetahui

penyebab kerusakan otaknya

Penatalaksanaan Medis

DASAR-DASAR REHABIL1TASI 3,5

Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada :

1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah

memungkinkan pada fase akut penyakitnya.

2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan pertama sejak mula sakit

mempunyai hasil yang paling baik.

3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).

4. Program terapi yang dibuat oieh terapis sangat individual dan tergantung dari latar

belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.

5. Program terapi berlandaskan pada penurnbuhan motivasi pasien untuk mau belajar (re-

learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien metnberikan

tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan atau pun taktil. Materi yang teiah

dikuasai pasien perlu diulang-ulang(repetisi).

6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan pasien

afasi yang lain.

7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.

Prinsip umum dari terapi wicara adalah:

Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika intensitas terapi

ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik jika pasien melakukan beberapa

sesi terapi selama beberapa hari dibandingkan dengan melakukan banyak sesi terapi dalam

sehari dengan jumlah hari yang lebih banyak pula. Efektivitas terapi afasia akan meningkat

jika terapis menggunakan berbagai bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio

dalam bentuk musik, dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta lukisan. Jenis

stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.

Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama mengikuti sesi terapi akan

memberikan hasil yang lebih baik. 4

Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan.

Terapi kognitif linguistik. Bentuk terapi ini menekankan pada komponen- komponen

emosional bahasa. Sebagai contoh, beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk

menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbeda-beda. Ada juga

yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata "gembira." Latihan-latihan

seperti ini akan membantu pasien mempraktekkan kemampuan komprehensif sementara tetap

fokus pada pemahaman komponen emosi dari bahasa.

Program stimulus. Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori. Termasuk

gambar-gambar dan musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat kesukaran yang

meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.

Stimulation-Fascilitation Therapy. Jeni terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan

sintaksis (sususan kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama terapi adalah

stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan kemampuan berbahasa akan lebih baik

jika dilakukan dengan pengulangan.

Terapi kelompok (group therapy). Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks sosial untuk

mempraktekkan kemampuan berkomunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi.

Selain itu, mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis dan pasien lainnya.

Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya akan sama sekaligus juga

mempererat komunikasi pasien dengan orang-orang tercinta mereka.

PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness). Ini merupakan bentuk terapi

pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia ini bertujuan meningkatkan kemampuan

berkomunikasi dengan menggunakan percakapan sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien

akan terlibat percakapan dengan terapis. Untuk menstimulus komunikasi yang spontan, jenis

terapi ini akan menggunakan lukisan-lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda

ini akan digunakan oleh pasien sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam

percakapan. Pasien dan terapi secara bergiliran akan menyampaikan ide-ide mereka.

Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Terapi ini dilakukan dengan mendekatkan magnet

langsung ke area otak yang diduga menghambat pemulihan kemampuan berbahasa setelah

stroke. Dengan menekan fungsi dari bagian otak tersebut, maka pemulihan diharapakan akan

semakin cepat. Beberapa studi telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tetapi, masih

diperlukan studi yang lebih besar untuk membuktikan efektivitas terapi ini.

E. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila bicara

spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang diinginkan. Kelancaran

berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini

diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang

ringan iiImii pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes knlnncaran,

menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat dlproduksi selama jangka waktu yang

terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka

waktu satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya

huruf S atau huruf B dalam satu menit.

Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin nama hewan

dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada, misalnya parafasia.

Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan selama 60 detik.

Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini. Orang normal

yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan dengan simpang

baku.

Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi 15,5 (± 4,8) pada

usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di bawah usia 70 tahun, perlu

dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Skor yang dibawah 10 pada

usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10

mungkin merupakan batas normal bawah.

Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat juga diberikan

tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S, A atau P. Tidak

termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal umumnya dapat menyebutkan

sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi dan tingkat pendidikan. Kemampuan

yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya

penurunan kelancaran berbicara verbal. Namun kita harus hati-hati monginterpretasi tes ini

pada pasien dengan tingkat pendidikan tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.

Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan

Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal Pemeriksaan klinis

disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan dapat memberikan hasil yang

menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan untuk mengevaluasi pemahaman

(komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi, suruhan, pilihan (ya atau tidak),

dan menunjuk.Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai

kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.

Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah) sampai pada yang

sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien memahami. Mula-

mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya, misalnya: mengambil

pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien

dengan apraksia dan gangguan motorik, walaupun pemahamannya baik; hal ini harus

diperhatikan oleh pemeriksa).

Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit, arloji, vulpen,

geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut, misalnya arloji. Kemudian

suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela, setelah itu arloji, kemudian vulpen.

Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau

lebih objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu

menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter)

menambah jumlah objek yang hams ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.

Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan yang dijawab

dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah ialah 50%, jumlah pertanyaan harus

banyak, paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya :

"Andakah yang bernama Santoso?"

"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"

"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"

"Apakah diluar sedang hujan?"

"Apakah saat ini malam hari?"

Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian meningkat pada

yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian "tunjukkan gelas yang ada

disamping televisi".

Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang mampu menilai

kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat memberikan gambaran kasar

mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis dengan komprehensi adalah kompleks.

Pemeriksaan repetisi (mengulang)

Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-mula kata yang

sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Jadi, kita

ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh mengulanginya.

Cara pemeriksaan

Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula sederhana

kemudian lebih sulit. Contoh:

- Map

- Bola

- Kereta

- Rumah Sakit

- Sungai Barito

- Lapangan Latihan

- Kereta api malam

- Besok aku pergi dinas

- Rumah ini selalu rapi

- Sukur anak itu naik kelas

- Seandainya si Amat tidak kena influensa

Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan parafasia, salah

tatabahasa, kelupaan dan penambahan.

Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-kata.

Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi), namun ada juga

yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang, dan sering lebih baik

daripada berbicara spontan.

Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan mengulang

mempunyai kelainan patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian. Bila kemampuan

mengulang terpelihara, maka daerah -sylvian bebas dari kelainan patologis.

Umumnya daerah ekstra-sylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak

di daerah perbatasan vaskuler (area water-shed).

Pemeriksaan menamai dan menemukan kata 2

Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi herbahasa. Hal ini sedikit-

banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang digunakan

untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan

kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) dan hal ini disebut

anomia.

Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek,

bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik atau nama suatu

tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang sering digunakan (misalnya sisir, arloji)

dan yang jarang ditemui atau digunakan (misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang

masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat,

namun lamban dan tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau

parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.

Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan memberikan suku kata

pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun. Misalnya: pisau. Kita dapat membantu

dengan suku kata pi Atau dengan kalimat: "kita memotong daging dengan ". Yang penting

kita nilai ialah sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama

objek). Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya

(sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila ditunjukkan kunci ia

mengatakan : "Anu ... itu...untuk masuk rumah...kita putar".

Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama

beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan

memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian bagian dari arloji (jarum

menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan: Objek yang

ada di ruangan: meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh: mata, hidung, gigi, ibu

jari, lutut

Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.

Bagian dari objek: jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca

mata.

Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban atau

tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme dan apakah ada perseverasi.

Disamping menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek.

Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama objek tersebut

dari antara beberapa nama objek.

Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.

Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami bahasa lisan.

Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada kesepakatan. Area

bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area Brodmann 44 merupakan area

Broca.

Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme glukosa pada

penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun demikian, pada hampir

semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya, didapat pula bukti adanya

hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini memberi kesan bahwa sistem bahasa

sangat kompleks secara anatomi-fisiologi, dan bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat

kortikal dengan tugas-tugas terbatas atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.

Pemeriksaan sistem bahasa

Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan bagaimana

pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi (mengulang) dan menamai

(naming).

Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain itu, perlu pula

diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan (kidal atau

kandal).

Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat

diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering

aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan menulis dapat dipersingkat. Namun

demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan

sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).

Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)

Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat Sebelum menilai

bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan.

Mula-mula tanyakan kepadn p irsion apakah ia kandal (right handed) atau kidal. Banyak

orang kidal telah illnjarkan sejak kecil untuk menulis dengan tangan kanan. Dengan

ilcmikian, mengobservasi cara menulis saja tidak cukup untuk menentukan npakah seseorang

kandal atau kidal. Suruh pasien memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk

memegang pisau, melempar bola, dsb.

Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang lainnya.

Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan sedikit lebih kuat dari

kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada individu yang kecenderungan

kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)

Pemeriksaan berbicara – spontan 2

Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien berbicara

spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara spontan atau bercerita, kita

dapat

memperoleh data yang sangat berharga mengenai kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini

tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa yang formal.

Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan berikut :

Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba ceritakan mengenai

pekerjaan anda serta hobi anda.

Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:

1. Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme, intonasi bicara

terganggu). Pada afasia sering ada gangguan ritme dan irama (disprosodi).

2. Apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata (parafasia, neologisme),

dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai pada afasia.

Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia, yaitu parafasia

semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu

kata dengan kata yang lain misalnya: "kucing" dengan "anjing". Parafasia fonemik, ialah

mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi yang lain, misalnya bir dengan kir, balon dengan

galon.

Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya sangat terbatas

atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa, ayaa, aaai, Hi".

Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan bicaranya, namun bila

ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara mengucapkannya cukup baik.

Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang disebabkan oleh

gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.

Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas yang dapat

dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa tes sederhana.

Pada semua pasien dengan afasia didapatkan juga gangguan membaca dan menulis (aleksia

dan agrafia)

Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit-banyak terganggu, yaitu bicara spontan,

mengulang (repetisi), namai (naming), pemahaman bahasa, membaca dan menulis.

Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan mengalami kesulitan

atau memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu gramatikanya miskin (sedikit) dan

menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi yang salah, serta terdapat perseverasi. Pasien

sadar akan kekurangan atau kelemahannya. Pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan

kurang terganggu dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis

sering tidak mungkin atau sangat terganggu, baik motorik menulis maupun isi tulisan.

Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak, cara mengucapkan baik dan

irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada, mem-formulasi dan menamai

sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti. Bahasa lisan dan tulisan tidak atau

kurang difahami, dan menulis secara motorik terpelihara, namun isi tulisan tak menentu.

Pasien tidak begitu sadar akan kekurangannya.

Afasia jenis yang disebutkan pertama disebut afasia Broca, atau afasia motorik atau afasia

ekspresif. Afasia jenis ke dua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau reseptif.

Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas bahasa. Pasien

sama sekali tidak bicara atau hanya bicara sepatah kata atau frasa, yang selalu diulang-ulang,

dengan artikulasi (pengucapan) dan irama yang buruk dan tidak bermakna.

Hal ini disebut afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa di sekitar fisura

sylvii.

Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama, sedangkan modalitas lainnya relatif

utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai sesuatu benda. Pada pasien demikian kita dengar

ungkapan seperti : "anu, itu, kau, kau tahu kan, ya anu itu". Afasia amnestik ini sering

merupakan sisa afasia yang hampir pulih, pada afasia yang tersebut terdahulu, namun dapat

juga dijumpai pada berbagai gangguan otak yang difus. Afasia amnestik mempunyai nilai

lokalisasi yang kecil.

Adakalanya digunakan kata afasia campuran. Sebetulnya kata ini kurang tepat, karena di

klinik semua jenis afasia adalah campuran, hanya bidang tertentu lebih menonjol atau lebih

berat.

Berbagai tes wawancara, membaca, menulis, menggambar, ataupun melakukan tugas-tugas

tertentu bias digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan otak, dan tinggal dicocokkan

dengan pemeriksaan CT-Scan pada otak. Pemeriksaan ini sangat penting untuk terapi dan

rehabilitasi pasien.

Pemeriksaan tambahan

Pemeriksaan laboratorium, hanya diperlukan tergantung dari penyebab kerusakan otaknya.

Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan kejiwaan karena afasia

merupakan tanda klinis.2

Pemeriksaan radiologi, biasanya dilakukan dalam hal untuk melokalisasi lesi dan

mendiagnosa penyebab kerusakan otak. CT (Computed Tomography) Scan efektif untuk

mengetahui adanya perdarahan otak atau stroke iskemik yang sudah lebih dari 48 jam. MRI

(Magnetic Resonance Imaging) mampu mendeteksi stroke sesegera mungkin sampai 1 jam

setelah onset. Penggunaan kontras mungkin perlu

untuk mendeteksi tumor.

PROGNOSA

Prognosa hidup untuk penderita afasia tergantung pada penyebab afasia. Suatu tumor otak

dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang kecil, sedangkan afasia dengan stroke

minor mungkin memiliki prognosis yang sangat baik. Prognosis hidup ditentukan oleh

penyebab afasia tersebut.

Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada ukuran lesi dan

umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda klinis yang lebih

ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia Broca secara fungsional

memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia Wernicke. Terakhir, afasia akibat

penyakit yang tidak dapat atau sulit disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki tingkat

prognosis yang buruk.1

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Proses bicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental: (1) membentuk buah

pikiran untuk diekspresikan dan memilih kata-kata yang akan digunakan, kemudian (2)

mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi itu sendiri. Pembentukan

buah pikiran dan bahkah pemilihan kata-kata merupakan fungsi area asosiasi sensorik otak.

Sekali lagi, area Wemicke pada bagian posterior girus temporalis superior merupakan hal

yang paling penting untuk kemampuan ini. Oleh karena itu, penderita yang mengalami afasia

Wernicke atau afasia global tak mampu memformulasikan buah pikirannya untuk

dikomunikasikan. Atau, bila lesinya tak begitu parah, maka penderita masih mampu

memfontiulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai secara

berurutan dan bersama-sama untuk mengekspresikan pikirannya. Seringkali, penderita fasih

berkata-kata namun kata-kata yang dikeluarkannya tidak beraturan. 3

Afasia Motorik Akibat Hilangnya Area Broca. Kadang-kadang, penderita mampu

menentukan apa yang ingin dikatakannya, dan mampu bervokalisasi, namun tak dapat

mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini, disebut

afasia motorik, disebabkan oleh kerusakan pada area bicara Broca, yang terletak di regio

prefrontal dan fasial premotorik korteks kira-kira 95 % kelainannya di hemisfer. Oleh karena

itu, pola keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem

respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Ricard S, Neuroanatomi klinik – ed 2, Jakarta : ECG, 1996

2. Lumlantoling, S.M., Neurologi klinik – pemeriksaan fisik dan mental, Jakarta : Balai

penerbit fakultas kedokteran UI, 2004

3. Harsono (ed). Buku Ajar Neurologi Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf

Indonesia, Yogyakarta : UGM, 2005.

4. Duus Peter. Diagnosis Topik Neurologi, Jakarta : ECG, 1996.

5. Carperito, Lynda J., Buku saku diagnosa keperawatan-ed-8, Jakarta : ECG, 2000