ade didik irawan

65
tinjauan umum penyelsaiansengketa tata usaha Negara di kaitkan dengan UU No.5/1986 serta kontroversi tentang eksekusi putusan PTUN di ajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah hokum administrasi negara DOSEN PEMBIMBING : AHMAD SHODIK.SH.MH NAMA : ADE DIDIK IRAWAN ENJANG HENDARSYAH HILMI ASEP DIDIN FAKULTAS HUKUM 1

description

MEMUAT ASAS-ASAS PEMERINTAHAN YANG BAIK PENGERTIAN GOOD GOVERNANCEUNSUR-UNSUR

Transcript of ade didik irawan

Page 1: ade didik irawan

tinjauan umum penyelsaiansengketa tata usaha Negara di kaitkan dengan UU

No.5/1986 serta kontroversi tentang eksekusi putusan PTUN

di ajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah hokum administrasi negara

DOSEN PEMBIMBING : AHMAD SHODIK.SH.MH

NAMA : ADE DIDIK IRAWAN

ENJANG HENDARSYAH

HILMI

ASEP DIDIN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUBANG

1

Page 2: ade didik irawan

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robi, Allah SWT , yang telah

melimpahkan segala rahmat taufik hidayah serta nikmat yang tiada batasnya sehingga

penulis dapat menyelsaikan karya tulis ini .

Tema yang di ambil oleh penulis dalam penyusunan karya tulis ini adalah mengenai

peradilan Tema ini di ambil karena Peradilan adalah organisasi yang diciptakan negara

untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum.di dalam masyarakat dan

menciptakan keadiulan[1] .

Adapun judul yang akan dikembangkan penulis dalam karya tulis ini adalah tinjauan

umum penyelsaiansengketa tata usaha Negara di kaitkan dengan uu no.5/1986 serta

kontroversi tentang eksekusi putusan PTUN

Melalui karya tulis ini penulis ingin menjelaskan sejarah terbentuknya Peradilan Tata

Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga

negaranya dan pembentukan lembaga yang bertujuan mengkontrol secara yuridis

(judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi

(mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power)

seiring dengan hal itu , penyusunan karya tulis ini juga bertujuan untuk memenuhi salah

satu tugas mata kuliah hokum administrasi Negara

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis

dalam penyusunan karya tulis ini , diantaranya :

1. Bpk. Prof. DR. YOSSI ADI WISASTRA, (Rector Universitas Subang)

2. Bpk. Drs. DEDDY AS SHIDIK, (Dekan Fakultas Hukum )

3. Bpk.AHMAD SHODIK ,SH,MH

2

Page 3: ade didik irawan

4. Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan dorongan materil maupun sepiritual

hingga tersusunnya karya tulis ini.

Penulis juga berharap semoga karya tulis ini bermanfaat oleh penulis khususnya dan oleh

kita pada umumnya .

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini sangat jauh dari sempurna , karena :

1. Kurangnya sumber-sumber pokok bahasan

2. Terbatasnya waktu yang tersedia

3. Karya tukis ini merupakan karya tulis yang pertama ditulis oleh penulis . jadi ,

penulis kurang berpengalaman dalam pokok bahasan karya tulis ini

Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca .

semoga Allah SWT senantiasa mengiringi langkah kita . Amin.

 

 

 

 

 

3

Page 4: ade didik irawan

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

1.2. Tujuan

1.3. Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia

B. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara

C. Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara

D. Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan

E. Perbedaan dengan hokum acara perdata

F. Penyelsaian sengketa tata usaha Negara:

I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU

no. 5 tahun 1986)

II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun

1986

G.dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

H. Hak penggugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

I. Kewajiban penggugatdalam penyelsaian kasus sengketa TUN

J. Hak tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

4

Page 5: ade didik irawan

K. Kewajiban tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

1.Proses pemeriksaan gugatan di PTUN

L. pemanggilan pihak-pihak

M. Kewajiban hakim

N. Pihak ke tiga

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

5

Page 6: ade didik irawan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk

menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan

lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan

pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun

perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi Peradilan Tata

Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-

Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-

Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk

menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui

kontrol yudisialnya. Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan

dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata

Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan

fungsinya.

Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi

pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya

serta dukungan yang lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara yang

menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama

6

Page 7: ade didik irawan

dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van

het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau

mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak

berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan

Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut

diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004

itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak

mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas

keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004

Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat

dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi

administratif.

Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi,

atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau

eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada

atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden.

1.2. Tujuan

Dalam karya tulis ini permasalahan yang akan di bahas yaitu mengenai hal-hal sebagai

berikut :

A. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia

B. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara

C. Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara

D. Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan

7

Page 8: ade didik irawan

E. Perbedaan dengan hokum acara perdata

Penyelsaian sengketa tata usaha Negara:

I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5

tahun 1986)

II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun

1986

F. dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

G. Hak penggugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

H. Kewajiban penggugatdalam penyelsaian kasus sengketa TUN

I. Hak tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

J. Kewajiban tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

K.Proses pemeriksaan gugatan di PTUN

I. pemanggilan pihak-pihak

II. Kewajiban hakim

III. Pihak ke tiga

Adapun rumusan masalah yang akan disajikan penulis dalam karya tulis ini adalah

sebagai berikut :

A. Bagaimana Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di

Indonesia ?

B. Sebutkan Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha

Negara ?

C. Bagaimana Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha

Negara ?

8

Page 9: ade didik irawan

D. Apa Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan ?

E. Sebutkan Perbedaan dengan hokum acara perdata ?

F. Bagaimana Penyelsaian sengketa tata usaha Negara dengan

upaya sebagai berikut:?

B. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5

tahun 1986)

C. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun

1986

A. Bagaimana dalam penyelsaian kasus sengketa TUN ?

B. Sebutkan Hak penggugat dalam penyelsaian kasus sengketa

TUN ?

C. Sebutkan Kewajiban penggugatdalam penyelsaian kasus

sengketa TUN ?

D. Bagaimana Hak tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa

TUN ?

E. Sebutkan Kewajiban tergugat dalam penyelsaian kasus

sengketa TUN ?

F. Bebutkan Proses jalannya pemeriksaan gugatan di PTUN yang

diantaranya sebagai berikut:

I. pemanggilan pihak-pihak

II. Kewajiban hakim

III. Pihak ke tiga

9

Page 10: ade didik irawan

1.3. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan karyatulis ini adalah :

Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah ,tujuan, dan rumusan

masalah

Bab II pembahasan , yang akan dibahas mengenai :

A. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia

B. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara

C. Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara

D. Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan

E. Perbedaan dengan hokum acara perdata

F. Penyelsaian sengketa tata usaha Negara:

I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5

tahun 1986)

II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986

I. dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

II. Hak penggugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

III. Kewajiban penggugatdalam penyelsaian kasus sengketa

TUN

IV. Hak tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN

V. Kewajiban tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa

TUN

10

Page 11: ade didik irawan

VI. Proses pemeriksaan gugatan di PTUN

I. pemanggilan pihak-pihak

II. Kewajiban hakim

IV. Pihak ke tiga

Bab III Penutup, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan.

 

 

 

 

 

 

 

11

Page 12: ade didik irawan

BAB II

PEMBAHASAN

PERADILAN TATA USAHA NEGARA; HARAPAN DAN KENYATAN

“Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”

(Lord Acton, 1834-1902)

Latar Belakang Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Dari sudut sejarah ide

dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara

pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan

mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai

melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang

bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara

diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5

Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun

2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan

Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN

yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Namun,

perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah satu

contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara bisa

dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan fungsinya.

Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi

pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya

serta dukungan yang lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara yang

menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama

12

Page 13: ade didik irawan

dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van

het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau

mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak

berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan

Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut

diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004

itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak

mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas

keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004

Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat

dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi

administratif.

Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi,

atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau

eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada

atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden.

A. SEJARAH PENGADILAN TUN DI INDONESIA

Pada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan Tata Usaha Negara atau dikenal

dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam Pasal 134 ayat (1) I.S yang

berisi:

1. Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang;

13

Page 14: ade didik irawan

2. Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga

administrasi itu sendiri.

Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS 1950, dikenal tiga cara

penyelesaian sengketa administrasi, yaitu:

1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;

2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;

3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya

diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.

Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut

disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan

antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan

sengketa administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa,

memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada

Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif.

 

 

B. RUANG LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PTUN

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang

mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa

Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara

orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN

14

Page 15: ade didik irawan

(pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu

Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku “ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun

1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).

Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa  yang menjadi

subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi

objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek dan

Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai

unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.

 

Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat

diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari

1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis

Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan

hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara

lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis

tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN,

15

Page 16: ade didik irawan

karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986,

bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk

formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota

pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek

gugatan) apabila sudah jelas :

-      Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.

-      Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.

-      Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat

konkrit, individual dan final.

-      Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.

2.  Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.

Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan  salah satu

instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan

atau  Pejabat  TUN  dalam rangka pelaksanaan suatu bidang  urusan  pemerintahan.  

Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan

Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :

“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan

urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Badan atau Pejabat TUN di sini  ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan

Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila

yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan

suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang

16

Page 17: ade didik irawan

melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau

Pejabat TUN.

Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan

mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun

yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-

instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan

juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun,

bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat

TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.

3.  Berisi Tindakan Hukum TUN.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu

bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu

merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu

keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya

suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap

suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan  Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan

suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum

TUN.

4. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.

 

Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan

urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya

17

Page 18: ade didik irawan

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-

undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) 

urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari

kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN

untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber

ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

5. Bersifat Konkret, Individual dan Final.

 

Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam

Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti

Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya.

Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi

tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal

yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu

yang nyata dan ada.

Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan

mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang

definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut  ditentukan

posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa

suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara

final.

18

Page 19: ade didik irawan

6. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.

Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana

hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum,

maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum

bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat

hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan

Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan

suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan

hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan

suatu status dan sebagainya.

Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas,

dalam UU Peratun diatur juga  ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan

TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :

(1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,

sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan

Keputusan Tata Usaha Negara.

(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang

dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan

jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu

19

Page 20: ade didik irawan

empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”

Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan

TUN yang Fiktif atau Negatif.

Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau

Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya,

yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat

TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan

kewajibannya,  maka walaupun ia tidak mengeluarkan  keputusan terhadap suatu

permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan

tersebut.

Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu

permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu

yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga

menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan

yang diterimanya.

Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak

menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan

yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN

tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak

permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini

20

Page 21: ade didik irawan

merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi

pengadilan).

Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN

sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas,  juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan

yang mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi

pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN

seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat

dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang

menyebutkan :

“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata

Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :

a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa

yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.”

Keadaan-keadaan tersebut diatas dapat terjadi pada prinsipnya tergantung pada hasil

penafsiran dari apa yang ditentukan dalam masing-masing peraturan perundang-

undangan yang berlaku untuk masing-masing keadaan, seperti penetapan keadaan perang,

keadaan bahaya, bencana alam dan sebagainya.

Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN, 

yaitu :“ Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut

undang-undang ini :

Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.

21

Page 22: ade didik irawan

Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.

Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab

Undang-undang  Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan

badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

Keputusan Komisi Pemilihan Umum  baik di pusat maupun di daerah mengenai

hasil pemilihan umum.

Di dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara pengujian Hakim Tata Usaha Negara

terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan Pasal 53 , adalah meliputi

3 (tiga) aspek yaitu :

1. Aspek kewenangan :

yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan,

Dasar kewenangan Badan/Pejabat TUN adalah secara ATRIBUSI (berasal dari

perundang-undangan yang melekat pada suatu jabatan), DELEGASI (adanya

pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada) dan MANDAT (dalam hal ini tidak

ada pengakuan kewenangan atau pengalihan kewenangan).

2. Aspek Substansi/Materi :

22

Page 23: ade didik irawan

yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara

materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3. Aspek Prosedural :

yaitu apakah prosedur pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disyaratkan oleh

peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh

atau tidak.

Pengujian tersebut tidak saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

tetapi juga dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB),

yaitu :

1. Asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan

- Persiapan yang cermat ;

- Asas fair play ;

- Larangan detournement de procedure (menyalahi prosedur);

2. Asas yang berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan :

- Keharusan memberikan pertimbangan terhadap semua kepentingan pada suatu

keputusan ;

- Pertimbangan tersebut harus memadai ;

3. Asas yang berkaitan dengan isi keputusan :

1. Asas kepastian hukum dan asas kepercayaan ;

2. Asas persamaan perlakuan ;

3. Larangan detournement de pouvoir ;

4. Asas kecermatan materiil ;

23

Page 24: ade didik irawan

5. Asas keseimbangan ;

6. Larangan willekeur (sewenang-wenang)

C. TUJUAN PEMBENTUKAN PTUN

Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi

menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum

represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat

diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum

suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum

yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya

perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.    

 

Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang

didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang

preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan

yang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan

pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah:

1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak

individu.

2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada

kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh

24

Page 25: ade didik irawan

melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan

melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan

merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum

merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri.

Fungsi hukum yang dimaksud adalah:

a) Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang

hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;

b) Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;

c) Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan

keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;

d) Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara

maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat;

e) Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga

apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

D.PROSEDUR BERACARA DALAM PTUN

Objek sengketa dalam PTUN adalah keputusan tertulis pejabat administrasi negara

(beschikking). Seperti diketahui, seorang pejabat administrasi negara mempunyai

kewenangan melakukan freis ermessen berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Freis

ermessen tersebut akan berbentuk beschikking yang berlaku secara konkrit, individual

dan final bagi orang atau badan hukum yang dimaksud. Dalam hal ini karena pejabat

administrasi mempunyai kewenangan, maka tidak tertutup kemungkinan ia akan

melakukan sesuatu yang merugikan sasaran keputusan tertulisnya. Untuk mengontrol hal

25

Page 26: ade didik irawan

itulah, maka PTUN dibentuk, yaitu sebagai sarana bagi masyarakat untuk melindungi

kepentingan individunya dari kekuasaan pemerintah.

Setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum perdata, yang

terkena dampak langsung dari KTUN tersebut. Gugatan tersebut dapat diajukan melalui

dua cara, yang pertama melalui upaya administratif (Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004) atau

melalui PTUN (Pasal 50 UU No. 9 Tahun 2004). Bagi sengketa yang diajukan melalui

PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan upaya banding melalui PT TUN (Pasal 51

ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004) sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya

administratif, penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT

TUN (Pasal 51 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2004) dan terhadap kedua upaya hukum ini

dapat dilakukan kasasi melalui Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (2) UU No. 9 Tahun

2004).

E. PTUN DALAM KENYATAAN

Seperti telah dikemukakan diatas mengenai tujuan PTUN, yaitu memberikan

perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu dan

memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada

kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut, seringkali

terhambat dengan proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu tidak

sebentar.

Hal ini terlihat jelas pada tahun 2001 dalam kasus gugatan administrasi empat orang

mahasiswa Universitas Indonesia terhadap SK Rektor Universitas Indonesia yang

menetapkan sanksi berupa skorsing selama dua semester bagi keempat mahasiswa

tersebut. Dalam putusannya PTUN mengabulkan gugatan keempat mahasiswa UI dan

26

Page 27: ade didik irawan

memerintahkan pembatalan SK Rektor UI tersebut. Tetapi Rektor UI mengajukan

banding, dimana pada tingkat banding PT TUN mengeluarkan putusan yang menguatkan

putusan PTUN sebelumnya. Namun Rektor UI tetap mempertahankan SK tersebut

dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA dalam putusannya kembali

memenangkan keempat mahasiswa UI tersebut dan memerintahkan Rektor UI untuk

membatalkan SK-nya. Namun, karena proses peradilan yang sampai pada tingkat kasasi

itu memakan waktu selama masa skorsing keempat mahasiswa tersebut, pada akhirnya,

putusan MA pun menjadi sia-sia dan SK sudah tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian,

putusan MA tidak memberikan akibat hukum yang nyata bagi keempat mahasiswa itu.

Kasus diatas menunjukkan bahwa pengadilan administrasi negara tidak mampu

menyelesaikan sengketa administrasi dengan cepat sehingga tujuan untuk melindungi

hak-hak individu masyarakat menjadi tidak tercapai. Ironisnya, hambatan dalam

mencapai tujuan pembentukan PTUN ini berasal dari upaya pembuat undang-undang

untuk menyediakan kesempatan bagi berbagai pihak untuk mencari penyelesaian yang

paling adil dari suatu sengketa melalui upaya hukum.

F.PERBEDAAN DENGAN HUKUM ACARA PERDATA

Hukum acara pengadilan tata usaha Negara merupakan hukum acara yang secara

bersama-sama diatur dengan hukum materiilnya didalam Undang-undang Nomor 5 tahun

1986.

Ada beberapa ciri khusus yang membedakan antara Pengadilan Tata Usaha Negara

dengan Pengadilan lainnya, yaitu:

Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran

materiil

27

Page 28: ade didik irawan

Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat

Tata Usaha Negara). Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya

kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat (orang atau badan

hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat

selaku pemegang kekuasaan publik.

Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.

Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata

Usaha Negara yang digugat.

Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan

membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini

diatur dalam Undang-undang.

Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga

berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.

Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum

hakim membuat putusannya.

Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.

Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil enggan tujuan menyelaraskan,

menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan

umum.

 

 

 

28

Page 29: ade didik irawan

G. PENYELSAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:

I.    Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun

1986)

Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan

masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia

tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi

atau pemerintah sendiri.

Bentuk upaya administrasi:

1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang

dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan

Keputusan yang bersangkutan.

2. .  Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri

oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan

Keputusan itu.

II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)

 

Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka

seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan

Tata Usaha Negara.

Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak,

yaitu:

29

Page 30: ade didik irawan

Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa

kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara

oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.

Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan

Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan

kepadanya.

HAK PENGGUGAT:

1. Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata

Usahan Negara. (pasal 53)

2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)

3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)

4.   Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).

5.  Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama

pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang

memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).

6.  Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal

disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)

7.    Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)

8.  Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di

kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)

9.   Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan

perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang

bersangkutan (pasal 82)

30

Page 31: ade didik irawan

10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan

sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)

11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya

pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup

mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98

ayat 1)

12.   Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)

13.   Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)

14.  Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan

Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN

diberitahukannya secara sah (pasal 122)

15.  Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat

keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan

memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan

perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)

16.  Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu

putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)

17.  Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu

putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

 

KEWAJIBAN PENGGUGAT:

Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)

31

Page 32: ade didik irawan

HAK TERGUGAT:

1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)

2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)

3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal

disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)

4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh

penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76

ayat 2)

5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di

kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)

6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan

sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)

7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna

putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)

8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan

Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN

diberitahukannya secara sah (pasal 122)

9.  Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan

bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding

dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara

Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)

10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu

putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)

32

Page 33: ade didik irawan

11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu

putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

 

KEWAJIBAN TERGUGAT:

1.  Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan

TUN wajib (pasal 97 ayat 9):

a.  Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau

b.  Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang

baru;

c.  Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3

2.  Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan

Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya

keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh

kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan

penggugat (pasal 117 ayat 1)

3.  Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi

dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120)

4.  Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi

dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121)

33

Page 34: ade didik irawan

H. PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN

PEMANGGILANPIHAK-PIHAK:

Pada Pengadilan Tata Usaha Negara, pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa

dilakukan secara administrative yaitu dengan surat tercatat yang dikirim oleh panitera

pengadilan.

Pemanggilan tersebut mempunyai aturan sebagai berikut:

-       Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing

telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.(pasal 65 UU No 5

tahun 1986)

-       Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari

kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara   (pasal 64 UU No 5

tahun 1986)

KEWAJIBAN HAKIM:

1.  Mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas

(pasal 63)

2.  Menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan

perintahnya dilaksanakan dengan baik (pasal 68).

3.  Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau

semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai

dengan salah seorang hakim anggota atau panitera (pasal 78 ayat 1)

4.  Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau

34

Page 35: ade didik irawan

semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai

dengan tergugat, penggugat atau penasehat hukum (pasal 78 ayat 2)

5.  Mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu

sengketa (pasal 79 ayat 1)

6.  Menanyakan identitas saksi-saksi (pasal 87 ayat 2)

7.  Membacakan Putusan Pengadilan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 108

ayat1)

 

PIHAK KETIGA:

1.  Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa

pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan

mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa

Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta

yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83)

2.  Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu

pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan

gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada

Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1)

 

35

Page 36: ade didik irawan

I. HUBUNGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN

HUKUM PEJABAT TATA USAHA NEGARA

 

Dalam negara Republik Indonesia sebagai suatu negara yang didasarkan atas hukum,

pelaksanaan hukum sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah sebagai Penguasa

(Eksekutif),. Pemerintah yang melaksanakan segala sesuatu mengenai kehidupan

rakyatnya. Pemerintah dan yang diperintah sebenarnya merupakan dua subyek yang

saling membutuhkan dan seharusnya saling melengkapi, saling membantu dan saling

menghargai. Sebagai pelaksana keputusan-keputusan Legislatif dibidang hukum, maka

pemerintah membentuk suatu instansi yang khusus dapat mengamati kehidupan serta

pelaksanaannya didalam masyarakat. Wakil-wakil pemerintah (Aparatur Hukum)

dibidang pelaksana penegakan hukum antara lain adalah Lembaga Mahkamah Agung

atau Pengadilan.

Bahwa eksistensi dari Indonesia sebagai negara hukum antara lain tercermin dari asas

bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas

hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini membawa konsekwensi disatu sisi

hukum digunakan sebagai rel pijakan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya, disisi lain hukum yang sama digunakan sebagai dasar pengujian terhadap

tindakan pemerintah.

Administrasi Negara Cq. Pemerintah yang disebut sebagai Badan/Pejabat TUN menurut

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah

yang diberi tugas oleh peraturan perundang-undangan untuk mengurus berbagai segi

kehidupan masyarakat.

36

Page 37: ade didik irawan

Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang untuk melakukan perbuatan Tata

Usaha Negara yang dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) macam perbuatan :

 a) Mengeluarkan Keputusan (beschikking) ;

 b) Mengeluarkan Peraturan (regeling)

 c) Melakukan perbuatan materiil (Materiele daad)

Karena perbuatan-perbuatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara tersebut lalu

lahirlah hubungan hukum antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan keputusan TUN yang bersangkutan dengan warga masyarakat atau badan

hukum perdata yang terkena oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dari ke-3 (tiga)

macam perbuatan tersebut, yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah

terbatas pada perbuatan mengeluarkan Keputusan tersebut dalam butir a, artinya

keputusan yang dikeluarkan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dapat dinilai oleh

Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan mengenai perbuatan-perbuatan Administrasi

Negara pada butir b dan c tidak termasuk kompetensi Peradilan TUN tetapi menjadi

kompetensi Mahkamah Konstitusi maupun Peradilan Umum.

 Dengan demikian semua perbuatan Administrasi Negara dapat dinilai oleh Pengadilan,

walaupun yang menilai itu mungkin tidak termasuk lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara.

Bahwa yang dapat menjadi objek sengketa di Peradilan TUN adalah Keputusan Tata

Usaha Negara (beschikking) . Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, “Keputusan

Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat

Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan

37

Page 38: ade didik irawan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata”.

Dari bunyi ketentuan pasal tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa yang dimaksud

Keputusan TUN yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan

adanya ciri-ciri khusus yang meliputi beberapa elemen.

Bahwa segenap elemen-elemen tersebut adalah bersifat kumulatif untuk dapat menjadi

objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara ;

Walaupun suatu keputusan sudah memenuhi pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut, ada beberapa kategori

Keputusan TUN yang tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara yaitu

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 peraturan perundangan tersebut.

Batal atau Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.

Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas “Presumtio Justae Causa” yang

maksudnya bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat

dilaksanakan, sepanjang Hakim belum membuktikan sebaliknya.

Badan Peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyatakan batal

atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004.

Bahwa secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan Tata Usaha Negara

adalah sebagai berikut :

38

Page 39: ade didik irawan

SYARAT MATERIIL :

a) Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;

b) Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan

kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ; 

c) Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan

pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal

ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.

d) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ;

SYARAT FORMIL :

a) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan

berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi ;

b) Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;

c) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus

dipenuhi ;

d) Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya

keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati ;

Bahwa bagi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, masalah yang sangat erat

hubungannya dengan fungsi peradilan adalah masalah hak menguji (toetsing recht).

Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menganut pendirian

yang mewajibkan penyelesaian sengketa Administrasi tertentu melalui Upaya

Administratif sebelum gugatan diajukan. Setelah upaya administratif ditempuh, maka

gugatan dapat diajukan ke Pengadilan. Maksudnya adalah agar diberi kesempatan untuk

39

Page 40: ade didik irawan

menyelesaikan administrasi terlebih dahulu melalui saluran yang tersedia berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Badan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai apakah suatu tindakan Badan/Pejabat

TUN dalam menjalankan urusan pemerintah itu sudah sesuai dengan norma-norma

hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang berlaku bagi tindakan

tersebut. Dengan perkataan lain penilaian yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha

Negara terbatas hanya dari segi hukumnya (peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan asas-asas umum pemerintahan yang baik).

Dasar pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu :

a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku ;

b) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan

wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut ;

c) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan

keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan

keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan

keputusan tersebut.

 

 

40

Page 41: ade didik irawan

PENUTUP

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam sisitem ketatanegaraan Republik

Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif

dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24

UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan

Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan

yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi.

Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir

dibentuk, yang ditandai  dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada

tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut

disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara

(PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang

sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam

hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara

aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian

lahirnya PERATUN  juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang

menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia  (HAM).

Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan

memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut

eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan

dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk

41

Page 42: ade didik irawan

adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial atas tindakan administrasi

pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata

Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian

dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun

2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986.

Perubahan yang sangat  mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan

dihilangkannya wewenang  pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina

organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan

pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya

beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi

lembaga PERATUN.

Di samping itu  adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif

serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau

melaksanakan putusan  PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh

sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi” nya.

Sejak mulai efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991

berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan

diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta, Medan,

dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di jakarta, Medan,

Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian berkembang, dengan telah

didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh Ibu Kota Propinsi

sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini eksistensi dan peran PERATUN

sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang

42

Page 43: ade didik irawan

memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota

masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan

belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang memadai di dalam memberikan

perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam menciptakan prilaku aparatur

yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan

pengayom masyarakat.

43

Page 44: ade didik irawan

DAFTAR PUSTAKA

http://albatrozz.wordpress.com/2008/09/09/fungsi-tugas-wewenang-dan-mekanisme-

beracara-di-peradilan-tata-usaha-negara

http://74.125.153.132/search?q=cache:bY85mjjfObMJ:fhuk.unand.ac.id/handout/

haptun.pps+penyelesaian+sengketa+PTUN&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=idPOKOK

[1] FOCHEMA ANDREA

 

 http://triwantoselalu.blogspot.com/2008/11/hukum-acara-ptun.html UU 5/1986, PERADILAN TATA USAHA NEGARA

44