Addharuroh yujalu

20
A. Pengertian kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu” Arti dari kaidah “ad- Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain. [1] Namun Dharar (Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah: 1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu. 2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan”. 3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sang at”. 4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”. 5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa. [2] Jadi, Dharar disini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang. Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. [3] B. Dasar-Dasar pengambilan kaidah “Ad -Dhararu Yuzalu” Kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan. Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al- A’raf ayat 7: 56: Ÿwur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y ÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷Š$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ) |MuH÷qu «!$# Ò=ƒÌ•s% šÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ Artinya: dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.[4] (Q.S al-a’raf 7: 56) Surat al-Qashash ayat 77: Æ÷tGö/$#ur !$y J‹Ïù š•9t?#uä ª!$# u ‘#¤$!$# not•ÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u ÷R‘‰9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# š•øs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? y Š$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw •=ÏtätûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ

Transcript of Addharuroh yujalu

Page 1: Addharuroh yujalu

A. Pengertian kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu”

Arti dari kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus

dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan

dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia

menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[1]

Namun Dharar (Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar"

yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara

terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:

1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu

yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal seperti ini memperbolehkan ia

melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.

2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada

bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan”.

3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang

teramat sangat”.

4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari

kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.

5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia

tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.[2]

Jadi, Dharar disini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat

sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.

Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar

adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan

maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.[3]

B. Dasar-Dasar pengambilan kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”

Kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi,

dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan.

Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56: Ÿwur (#r߉šøÿè? †Îû ÇÚö‘F{$# y‰÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷Š$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4

¨bÎ) |MuH÷qu‘ «!$# Ò=ƒÌ•s% šÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ

Artinya: dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)

memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan

harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang

yang berbuat baik.[4] (Q.S al-a’raf 7: 56)

Surat al-Qashash ayat 77: Æ÷tGö/$#ur !$yJ‹Ïù š•9t?#uä ª!$# u‘#¤$!$# not•ÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB

$u‹÷R‘‰9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z |¡ômr& ª!$# š•ø‹s9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# ’Îû

ÇÚö‘F{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw •=Ïtä† tûïωšøÿßJø9$# ÇÐÐÈ

Page 2: Addharuroh yujalu

Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)

negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan

berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan

janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai

orang-orang yang berbuat kerusakan.[5] (Q.S al-Qashash 28: 77)

Hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu

Abbas:

الضرر وال ضرار

"Tidak diperbolehkan membuat kemadharatan pada diri sendiri dan kemadharatan pada orang

lain".[6]

Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini banyak sekali, diantaranya:

khiyar, syuf’ah, hudud, kafarat, memilih pemimpin, fasakh dalam nikah karena ada aib dan

sebagainya.[7]

C. Perbedaan antara Masyaqqat dan Dharar

1. Masyaqqat adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang

sesuatu, dan jika tidak terpenuhi tidak akan mempengaruhi eksistensi manusia,

sedang Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika

tidak terselesaikan akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan manusia.

2. Masyaqqat waktu terjadinya relative lama dan bias terjadi terus-menerus,

sedangkan Dharar relative singkat

3. Masyaqqat solusi alternativenya banyak, sedangkan Dharar hanya ada satu

4. Dengan adanya Masyaqqat akan mendatangkan kemudahan dan adanya Dharar akan ada

penghapusan hukum.

Dengan demikian adanya Rukhsoh (keringanan) dan penghapusan Dharar akan

mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak

mempunyai perbedaan. (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 218)

D. Uraian Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”

Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus

dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:

الضرر وال ضرار

“ tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan ”[8]

Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:

1. Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada

mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi

orang lain memudaratkan”.

Page 3: Addharuroh yujalu

2. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar diartikan

membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.

Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang menyebabkan

kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga dapat membuatnya roboh, maka

pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang

begitu jelas di dalamnya.

Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam perhubungan

bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya

dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak

tetangganya.

Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan haknya

yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain (tetangganya) jika memang ia

lebih dahulu ada sebelum Sitetangga. Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun

rumah disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun

rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek

negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya

dengan keinginan dan pilihannya sendiri.

“ Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat ” artinya, apabila suatu

perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali

dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar

dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil.

Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh

dilakukan.

Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah

penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya

ini harus dihilangkan. Contohnya barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan

umum atau membangun jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat

diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.[9]

Ada juga contoh lainnya mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu antara lain:

1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut

mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.

2. Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan

orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk

menghilangkan kemudaratan.

3. Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.

4. Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan

kemudaratan.[10]

Page 4: Addharuroh yujalu

E. Cabang-Cabang Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”

Sebagai kaidah pokok, ada beberapa kaidah yang menginduk pada kaidah ini, yaitu:

Kaidah pertama:

الضرورات تبيح المحظورات .1

"Madharat itu dapat memperbolehkan yang diharamkan"

Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:

وقد فصل لكم ما حرم عليكم االمااضطررتم اليه

Artinya: “Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya

atasmukecualiapa yang terpaksa kamu memakannya”[11](.QS. al-An’am:119)

فمن اضطر غير باغ وال عاد فال اثم عليه

Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak

menginginkannya, serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”[12].(QS. Al-

Baqarah : 173)

Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram,

namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain

kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan

memakainya. Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali

babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan

sebatas keperluannya.

Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait

dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,

memelihara keturunan, dan memelihara kehormatan atau harta benda. Dengan demikian

Dharar itu terkait dengan dharuriyah, bukan hajiyah dan tahsiniyah. Sedangkan hajat

(kebutuhan) terkait dengan hajiyah dan tahsiniyah. Karena itu terdapat kaidah:

ال حرام مع الضرورات وال كراهة مع الحاجة

“Tiada keharaman baagi Dharar dan tidak ada kemakruhan bagi kebutuhan”(Abdul Hamid

Hakim, 1956:81).

Kaidah kedua:

ماابيح للضرورة يقدر بقدرها .2

“Apa yang diperbolehkan karena Dharar maka diukur menurut kadar kemadharatannya” (as-

Suyuthi, TT:60).

Contoh kaidah di atas adalah: kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya

sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.

Kaidah ketiga:

االضطرار ال يبطل حق الغير .3

“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” (Wahbah az-Zuhaili 1982:259)

Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika ia tidak makan, dan

jalan satu-satunya mendapat makanan adalah mencuri, maka ia tidak boleh melakukannya,

Page 5: Addharuroh yujalu

karena pengguguran terhadap keterpaksaan ini mengganggu hak orang lain, maka jalan keluar

orang tersebut adalah boleh makan makanan yang haram seperti babi, bangkai dan

sebagainya.

Kaidah keempat:

الضرار اليزال بالضرر .4

“kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain” (as-Suyuthi,TT:61)

Kaedah ini semakna dengan kaedah:

الضرر اليزال بمثله

“ kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding”

Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara

melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak

mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak

boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.

Contoh lain seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke

orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang

menerima donor.

Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena Dharar adalah untuk memenuhi

penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili

membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:

a. Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang,

karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan

maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang

diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan

sebagainya.

b. Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan

kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram.

Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan

makanan halal, bukan makanan haram.

c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum

diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat.

Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan

sebagainya.

d. Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.

e. Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang

memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan

hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan

mafsadah. (Wahbah az-Zuhaili, 1982:246-247)

Page 6: Addharuroh yujalu

Contoh kaidah di atas adalah kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya

sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.

Kaidah kelima :

ماجاز لعذر بطل بزواله .5

“Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya

hilan.” (wahbah az-Zuhaili, 1982:245)

Misalnya kebolehan tayammum bagi seseorang yang lagi sakit, maka ketika sudah

sembuh kebolehan tayammum itu hilang atau tidak perlaku lagi.

Kaidah keenam:

اليسقط بالمعسور الميسور .6

“Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:257)

Kaidah tersebut menurut Ibnu Subki diambil dari sabda nabi SAW:

اذاامرتكم بامر فأتوا منه مااستطعتم

“Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah perintah itu

semampu kalian”

Misalnya seorang yang buntung tangan atau kakinya maka cara wudhunya cukup

membasuh yang ada, kalau tidak ada sama sekali maka cukup membasuh anggota yang

paling ujung sendiri.

Kaidah ketujuh:

درءالمفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض ممفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا .7

“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila

berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak

mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62)

Kaidah tersebut diilhami oleh hadits nabi SAW:

اذاامرتكم بامرفأ توا مااستطعتم واذانهيتكم عن شئ فاجتنبوه

“Apabila aku telah memerinahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu

semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”.(HR.

Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"

Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak

mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring.

Menolak madharat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat.

Misalnya minum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-

hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan , walaupun demikian maka

yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.

Kaidah kedelapan:

اذا تعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما .8

Page 7: Addharuroh yujalu

“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya

dengan memilih yang lebih ringan madharatnya” (Abdul Hamid Hakim, 1956:82)

Misalnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika

dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan. Demikian juga boleh shalat

denga bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.

Kaidah kesembilan:

ل منزلة الضرورةالحاجة العا مة اوالخاصة تنز .9

“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat Dharar” (Wahbah az-Zuhaili,

1982:261)

Kaidah diatas menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi

kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa

keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas

kemadharatan, karena itu hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudharat.

Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan

syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam

(pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.

Perbedan Dharar dan Hajat:

a. Dharar lebih berat keadaanya sedangkan hajat hanya sekedar butuh.

b. Hukum Dharar dalam mengecualikan terhadap hukum yang sudah diterapkan walaupun

terbatas waktu dan kadarnya, misalnya wajib menjadi mubah, haram menjadi mubah. Sedang

hukum hajat tidak dapat mengubah hukum nash yang sudah jelas.(Wahbah az-Zuhaili,

1982:273-274)

Sedang syarat adanya hajat adalah sebagai berikut :

a. ia membutuhkan atas ketidak berlakuan hukum asal karena adanya kesulitan (hajat atau

masyaqqat) yang tidak bisa terjadi.

b. Sesuatu yang dihajati itu patut menggunakan hukum istisna’(pengecualian) bagi individu

menurut kebiasaan.

c. Hajat yang dihadapi merupakan hajat yang jelas untuk suatu tujuan bagi hukum syara’.

d. Kedudukan hajat sama dengan Dharar dalam aspek penggunaan kadar yang dibutuhkan.

(Wahbah az-Zuhaili, 1982:275-276)

Jumhur ulama menggunakan keringanan-keringanan dalam hajat atau Dharar jika

ternyata hajat dan Dharar itu memenuhi syarat-syaratnya.

Keterangan:

Menurut Abdul Qadir Audah seorang tokoh Ihwanul Muslimin dan seorang qadi

Mesir, Dharar bisa diperhitungkan bila mempunyai ciri sebagai berikut:

1. Dikhawatirkan membahayakan jiwa, raga, agama seseorang.

2. Dalam keadaan serius hingga tidak bisa ditunda.

3. Tidak ada jalan lain.

Page 8: Addharuroh yujalu

4. Dilakukan seperlunya saja.[13]

Izzuddin bin Abdissalam dalam al Qawaid Li al-Maqasid membagi maslahah dan

mafsadah menjadi tiga:

1. Afdhal (seperti al Wajibat)

2. Fadl (seperti al Mandubat)

3. Mutawassith (seperti al Ibahah) [1] Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm17.

[2] pondok pasantren islam nirul iman, Dhorurat dalam Perspektif

Islam, http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html, 10/10/2012, 02.19 WIB

[3] Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html, 10/10/2012, 02.23 WIB [4] Q.S al-a’raf 7: 56

[5] Q.S al-Qashash 28: 77 [6] Muchlis Usman, kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada,

2002), hal.132

[7] Abdul hamid hakim, as-sullam, juz II, Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra, hlm 59 [8] Ibid., hlm 132 [9] Ibid., hlm.19

[10] Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.2, h.68 [11] QS. al-An’am:119

[12] QS. Al-Baqarah : 173 [13] Musbik imam, qawa’id al-fiqfiyah, Jakarta:PT rajagrafindopersada, 2001, hlm 70

by Majelis Penulis at 23.41 on Kamis, 12 September 2013

رر يزال الضDisusun Oleh: Abdurrahman Abu Aisyah

A. Definisi Menurut etimologi, kata ضرر (dharar) berarti kekurangan yang terdapat pada sesuatu,

batasan ضرر adalah keadaan yang membahayakan yang dialami manusia atau masyaqqah yang parah yang tak mungkin mampu dipikul olehnya. [1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kemudaratan adalah sesuatu yang tidak menguntungkan, rugi

atau kerugian secara adjectiva ia berarti merugikan dan tidak berguna.[2] Maka kemudharatan dapat dipahami sebagai sesuatu yang membahayakan dan tidak memiliki

kegunaan bagi manusia. Kata ضرر dhirar menurut bahasa adalah balasan yang sengaja dilakukan sebagai

balasan atas kemudharatan yang menimpanya. Dengan kata lain dia membalas atau

menimpakan kemudharatan kepada orang lain sesuai dengan kemudharatan yang menimpa dirinya. Sedangkan kita semua mengetahui bahwa kata mudharat itu sendiri menurut bahasa

adalah kebalikan dari manfaat, atau dapat juga dikatakan bahaya.[3] Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan mencatat makna dari ضرر dharar dalam kaidah ini adalah tidak bolehnya menimpakan mudharat kepada orang lain, baik hal tersebut menyebabkan kemudaharatan

atau tidak.[4] Kata يزال (yuzaal) berasal dari kata zaala-yaziilu-zaalatan kata ini dalam bentuk majhul

dengan wazan fu’al yang berarti dihilangkan.[5] Maka setiap kemudharatan yang ada harus dihilangkan. Jadi secara garis besar kaidah fikih ini melarang segala sesuatu perbuatan yang

Page 9: Addharuroh yujalu

mendatangkan mudharat/bahaya tanpa alasan yang benar serta tidak boleh membalas kemudharatan/bahaya dengan kemudharatan yang serupa juga, apalagi dengan yang lebih

besar dari kemudharatan yang menimpanya. B. Dasar Kaidah

Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mengandung kata adh-dharurat serta derivasinya sangat banyak. Ayat-ayat tersebut sekaligus menjadi dasar bagi kaidah ini diantaranya adalah:

ا لتعتدوا وال تمسكوهن ضرار

Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu

menganiaya mereka. QS. Al-Baqarah: 231.

وهن لتضيقوا عليهن وال تضآر

….dan janganlah kamu menyusahkan (memudharatkan) mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. QS. Ath-Thalaaq: 6.

بولدها وال مولود له بولده ال لدة تضآر و

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya. QS. Al-Baqarah: 233.

فمن ٱضطر غير باغ وال عاد فل إثم عليه

Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. QS. Al-Baqarah : 173.

ن ضل إذا ٱهتديتم كم م ال يضر

Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah

mendapat petunjuk. QS. Al-Maaidah: 105. Istilah mudharat dalam ayat-ayat tersebut bermakna kemudharatan, kesempitan,

kesengsaraan dan setiap hal yang mendatangkan bahaya. Ayat-ayat tersebut juga menjadi

sumber hukum yang menunjukan bahwasanya kemudharatan itu harus dihindari dan dihilangkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi jika kemudharatan tersebut mengancam

kehidupan manusia maka ia harus dihilangkan. Dalam ayat yang lainnya Allah ta’ala telah memberikan batasan-batasan yang harus

diikuti oleh umat Islam, namun jika dalam keadaan darurat atau terpaksa maka hal tersebut

boleh saja dilakukan sebagaimana firmanNya:

م عليكم إال ما ٱضطررتم إليه ا حر ل لكم م وقد فص

Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. QS. Al-An’am: 119.

Adapun hadits Nabi yang menjadi dasar kaidah ini diantaranya :

م هللا من المؤ منين دمه وماله وعرضه وان اليظن اال الخير حر

Allah mengharamkan dari orang mukmin, darahnya, hartanya dan kehormatannya, dan tidak

menyangka kecuali dengan sangkaan yang baik. HR. Muslim. Dalam riwayat lainnya Rasulullah bersabda:

ان دماءكم واموالكم واعراضكم حرم

Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan kehormatan kamu semua adalah haram di antara kamu semua. HR. Muslim.

Kedua hadits tersebut menunjukan bahwasanya harta, darah dan kehormatan seorang muslim itu tidak boleh untuk dilanggar sehingga memunculkan kemudharatan kepada

seorang muslim sangat dilarang dalam Islam. Sebagaimana disebutkan pula dalam sebuah hadits beliau bersabda:

الضرر والضرار

Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan. HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id Al-Khudri, HR. Ibnu Majjah dari Ibnu ‘Abbas.

Page 10: Addharuroh yujalu

Hadits-hadits tersebut menunjukan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam telah memberikan pedoman mengenai sifat kemudharatan yang harus dihindari dan dihilangkan.

Apalagi jika kemudharatan tersebut mengancam nyawa, harta, kehormatan dan darah seorang muslim.[6]

[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. 14,

Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997, hal. 819.

[2] Poerwadarminta, W.J.S. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

[3] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-‘Arab Jilid I, Kairo: Darul Ma’arif, tt, hal. 2573.

[4] Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah al-Kubra, Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H, hal. 498.

[5] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-‘Arab, hal. 1901. [6] Abdurrahman bin Abu Bakr Ash-Shuyuti, Al-Asybah Wa Nadzair Fi Qawa’id Wal

Furu’ Fiqh Syafi’iyyah, hal. 83.

TUGAS MAKALAH

ا لضر ر يزا ل

Oleh:

Muslim :20090730012

M.Handoko :20090730022

Dosen pengampu : Homaidi Hamid, S.Ag, M.Ag.

Page 11: Addharuroh yujalu

Mata kuliah : Qawaid Fiqhiyah

EKONOMI DAN PERBANKAN ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2010/2011

PENDAHULUAN

PENGERTIAN DARURAT

Istilah “darurat” berasal dari kata “dharra” -- yadhurru -- dharûrah.

Kata ini akrab dalam wacana hukum Islam, terutama dalam perbincangan ushûl al-

fiqh dan qawâ’id al-fiqh.1[1]

Al-Quran sendiri menyebutnya dengan istilah idlthirâr (QS al-Baqarah, 2: 173 dan al-An’âm,

6: 119).

$yJ¯RÎ) tP§•ym ãNà6ø‹n=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur Í•ƒÌ“YÏ‚ø9$# !$tBur

¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽö•tóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §•äÜôÊ$# uŽö•xî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ)

Ïmø‹n=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Ö‘qàÿxî íOŠÏm§‘ ÇÊÐÌÈ

173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan

binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah tetapi Barangsiapa dalam

Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)

melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.2[2]

$tBur öNä3s9 žwr& (#qè=à2ù's? $£JÏB t•Ï.èŒ ÞOó™$# «!$# Ïmø‹n=tã ô‰s%ur Ÿ@¢Ásù

Nä3s9 $¨B tP§•ym öNä3ø‹n=tæ žwÎ) $tB óOè?ö‘Ì•äÜôÊ$# Ïmø‹s9Î) 3 ¨bÎ)ur #ZŽ•ÏWx.

tbq•=ÅÒã‹©9 OÎgͬ!#uq÷dr'Î/ ÎŽö•tóÎ/ AOù=Ïæ 3 ¨bÎ) š•/u‘ uqèd ÞOn=÷ær&

tûïωtG÷èßJø9$$Î/ ÇÊÊÒÈ

1[1] Hariyanto, Muhsin. 2009. Materi kuliah Ushul Fiqih. EPI/FAI/UMY.

2[2] .(QS al-Baqarah, 2: 173)

Page 12: Addharuroh yujalu

119. mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama

Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu

apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan

Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain)

dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih

mengetahui orang-orang yang melampaui batas.3[3]

Secara bahasa, dua kata ini (dharûrah dan idlthirâr ) bermakna sama, yakni suatu

kebutuhan yang amat mendesak (syiddatul luzûm), sesuatu yang tak dapat dihindari (lâ ghinâ

‘anhu), atau sesuatu yang memaksa (alja’ahu)4[4]

ا لضر ر يزا ل

( Kemudharatan itu harus dihilangkan )5[5]

1.Sumber qaidah

Qaidah bersumber dari firman Allah SWT :

¨bÎ) ©!$# Ÿw •=Ïtä† tûïωšøÿßJø9$# ÇÐÐÈ

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.6[6]

ال ضرر والضرار )اخر جه ابن ماجة عن بن عبا س(

Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas kemudharatan.(HR.Ibnu Majjah ra di

takhrijkan oleh Ibnu Majjah dari Ibnu ‘Abbas)7[7]

2.Peranan qaidah ini

Qaidah ke empat ini merupakan pembina dasar fiqh-islami. Sebagai mana kita ketahui

bahwa dalam bagian muamalat, jinayat dan munakahat jiwa dari qaidah tersebut memegang

peranan utama.

Pengembalian sesuatu barang yang telah dibeli karena terdapat cacat, diadakan khiar

dalam jual-beli karena adanya perbedaan sifat-sifat yang telah disepakatinya, adanya

perwalian bagi orang-orang yang tidak cakap mentransaksikan harta milik, adanya hak

3[3] (QS. al-An’âm, 6: 119)

4[4] Hariyanto, Muhsin. 2009. Materi kuliah Ushul Fiqih. EPI/FAI/UMY.

5[5] Dikutip dari Muchtar Kamal. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: CV Imaji Cipta. Hal.203.

6[6] (QS:al-Qashash:77)

7[7] Dikutip dari Muchtar Kamal. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: CV Imaji Cipta. Hal.203.

Page 13: Addharuroh yujalu

syuf’ah (jual-beli utama) bagi seorang tetangga dan lain sebagainya adalah sekian contoh-

contoh untuk menghindarkan kemudharatan para pihak yang mengadakan mu’amalat

bersama.

Syara’ mengadakan hukuman qishash, hudud, kafarat, ganti rugi, menghalalkan

kepada penguasa untuk memerangi kaum pemberontak dan lain sebagainya untuk membuat

kemaslahatan bersama dan menghindari kemudharatan.

Islam membolehkan adanya perceraian dalam keadaan yang sangat diperlukan demi

ketentraman rumah tangga yang sudah begitu kacau dan memberikan kuasa kepada hukum

untuk memfasakhkan nikah sesorang lantaran suami sudah tidak dapat menunaikan tugas

berumah tangga dengan baik, demi untuk menghilangkan kemudharatan bagi mereka yang

tersiksa.

Qaidah tersebut adalah erat hubungannya dan saling isi mengisi dengan qaidah-qaidah

sebelumnya.

1. Qaidah-qaidah cabang yang dapat ditarik daripadanya

Dari qaidah ini dapat ditarik beberapa qaidah, antara lain :

1. الضرورات تبيح المظورات

a. Kemudharatan itu menghalalkan larangan- larangan.8[8]

Qaidah cabang ini semakna dengan qaidah yang berbunyi :

الضرورةوالكراهة مع الحاجةالحرام مع

Tidak ada keharaman beserta darurat dan tidak ada kemakruhan bersama kebutuhan.9[9]

Perkara- perkara yang semula diharamkan oleh syari’at, tetapi karena perkara-perkara

itu sangat di hajatkan oleh manusia untuk meringankan malapetaka yang melanda padanya,

atau perkara-perkara yang semula dimakruhkan, tetapi di butuhkan oleh manusia, maka

hilanglah keharaman dan kemakruhannya untuk sementara waktu selama keadaan darurat dan

kebutuhan itu masih berlaku.

Contoh-contoh :

1. Orang yang di landa bahaya kelaparan di perkenankan makan binatang tanpa di sembelih

atau makan binatang yang di haramkan, misalnya : babi dan anjing.

8[8] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu

Hurairah. Hal. 27.

9[9] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu

Hurairah. Hal. 27.

Page 14: Addharuroh yujalu

2. Diperbolehkan merusak gedung dan alat-alat perlengkapan perang milik musuh dalam suatu

pertempuran.

3. Diperbolehkan membongkar kuburan untuk memandikan atau menghadapkan kiblat mayat

yang berada di dalamnya yang ketika di kubur belum di mandikan atau belum di hadapkan

kiblat.

2. وماابيح للضرورةيقدر بقدرها

b. Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar kedaruratannya.10[10]

Hal ini adalah logis. Sebab yang membolehkannya itu adalah suasana itu sendiri, yaitu

suasana darurat dan krisis. Jadi,sekiranya suasana krisis sudah dapat di atasi, maka suasana

berubah menjadi normal kembali dan karenanya hukum harus kembali senormal suasana itu

pula.

Contoh-contoh:

1. Seorang diperkenankan mengambil rumput milik orang lain tanpa izinnya untuk memberikan

makanan binatangnya yang dalam keadaan kelaparan, tetapi tidak diperbolehkan

mengambilnya lagi untuk dijual kepada orang lain yang memiliki binatang yang dalam

keadaan yang sama.

2. Seorang dokter laki-laki yang karena darurat harus mengobati sebagian anggota seorang

wanita tidak diperkenankan meneliti anggota lain yang tidak perlu diobati.

3. وماجازلعذربطل بزواله

c. Sesuatu yang diperbolehkan karena “udzur” batal lantaran hilangnya “udzur”.11[11]

Misalnya : Tayammum itu batal, lantaran diketemukan air sebelum waktu sholat.

4. اضرراليزال بالضرر

d. Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.

Misalnya :

1) Seorang yang dalam keadaan terpaksa menghajatkan sekali kepada makanan tidak boleh

makan makanan milik orang lain yang dihajatkan sendiri.

10[10] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu

Hurairah. Hal. 28.

11[11] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu

Hurairah. Hal. 29.

Page 15: Addharuroh yujalu

2) Dua orang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpangi pecah. Salah seorang

dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air sekedar bertahan

sampai ada team penolong datang. Tetapi kawannya juga ingin sekali menyelamatkan

jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dan karena papan itu tidak dapat

menampung dua orang ia harus mengorbankan kawannya yang sudah berada di atas papan.

Tindakan orang yang merebut karena darurat terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula

oleh kawan yang direbutnya tidak dibenarkan oleh syari’at.

5. درءالمفاسدمقدم على جلب المصالح

e. Menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.

Kandungan qaidah ini menjelaskan bahwa jika terjadi perlawanan antara kerusakan

dan kemaslahatan pada suatu perbuatan, dengan kata lain jika satu perbuatan ditinjau dari

satu segi terlarang karena mengandung kerusakan dan ditinjau dari segi yang lain

mengandung kemaslahatan, maka segi larangannya yang harus didahulukan untuk di

tinggalakan. Hal itu disebabkan karena perintah untuk melaksanakan kemaslahatan, sesuai

dengan sabda Rasulullah saw:

اذاأمرتكم بأمرفأتوامنه مااستطعتم، واذانهيتكم عن شيئ فاجتنبوه )روه البخاري ومسلم(

“apabila aku memerintahkan kepadamu suatu perintah, kerjakanlah semampumu dan apabila

aku melarang kamu sesuatu perbuatan tinggalkanlah”.12[12](HR.Bukhari dan Muslim)

Disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan perintah, sedang dalam

meninggalkan larangan tidak disyaratkan demikian, menunjukkan bahwa tuntutan

meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat dari pada tuntutan menjalankan perintah.

Contoh-contoh :

1) Berkumur dengan mengocok air yang berada didalam mulut sampai kepangkal tenggorokan

dan menghirup air lewat hidung dalam melaksanakan wudhu adalah disunnahkan. Tetapi hal

itu dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa dimakruhkan, sebab untuk menjaga jangan

sampai air tersebut terus masuk sampai keperut hingga membatalkan puasa.

2) Bersuci dengan menekan-nekankan jari basah di sela-sela pangkal rambut disunnahkan.

Tetapi hal itu dimakruhkan bagi orang yang sedang menjalankan ihram, untuk menjaga

jangan sampai menggugurkan rambut yang menjadi pantangan dalam ihram.

اذاتعارض مفسدتان روعى أعظمهماصررابارتكاب أخفهما .6

12[12] (HR.Bukhari dan Muslim)

Page 16: Addharuroh yujalu

f. Apabila dua buah kerusakan saling berlawanan, maka haruslah dipelihara yang lebih berat

mudharatnya dengan melaksanakan yang lebih ringan daripadanya.13[13]

Menurut qaidah ini jika satu perbuatan mempunyai dua kemudharatan atau lebih,

hendaklah dipilih manakah diantara kemudharatan-kemudharatan itu yang lebih ringan.

Walaupun sebenarnya kemudharatan itu ringan maupun berat harus dihindarkan, sesuai

dengan firman Allah SWT (QS. Al-A’raf: 56)

Ÿwur (#r߉šøÿè? †Îû ÇÚö‘F{$# ÇÎÏÈ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.14[14]

Namun karena tidak ada jalan lain untuk menghindarkannya selain dengan memilih

yang paling sedikit mudharatnya, maka itulah yang tepat.

Contoh-contoh:

1) Seorang dokter diperbolehkan membedah perut seorang mayat, apabila ia berkeyakinan

bahwa didalam perut itu terdapat seorang bayi yang diharapkan akan hidup apabila ia

berhasil dikeluarkan. Membedah perut adalah perbuatan merusak sebagaimana halnya

membiarkan mati bayi didalam perut. Tetapi kerusakan akibat dari membedah perut masih

dipandang lebih ringan dibandingkan membiarkan bayi mati lantaran tidak dikeluarkannya.

2) Seorang memotong pohon orang lain adalah perbuatan merusak. Tetapi seandainya hal itu

tidak dilakukannya, maka pohon yang meliuk dijendelanya akan mengganggu bergantinya

udara di kamarnya hingga membuat kelembaban udara yang sangat membahayakan

kesehatan. Oleh karena itu, memotong tanaman orang lain yang mengganggu diperkenankan.

7. اذاتعارض المصلحة والمفسدةروعى أرحجهما

g. Apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan, maka harus diperhatikan

mana yang lebih rajih (kuat) diantara keduanya.15[15]

Contoh-contoh :

13[13] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu

Hurairah. Hal. 30.

14[14] (QS. Al-A’raf: 56)

15[15] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu

Hurairah. Hal. 32.

Page 17: Addharuroh yujalu

1) Minum-minuman keras dan berjudi biarpun ada manfaatnya untuk kesehatan badan atau

untuk memperoleh keuntungan bila menang dalam perjudian, namun karena kerusakan yang

ditimbulkan oleh kedua perbuatan itu lebih banyak daripada kemanfaatannya, maka kedua

macam perbuatan itu dilarang oleh Islam,yang tercantum dalam firman Allah SWT (QS:Al-

Baqarah:219)

y7tRqè=t«ó¡o„ ÇÆtã Ì•ôJy‚ø9$# ÎŽÅ£÷•yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎•Î7Ÿ2

ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 šÇËÊÒÈ

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat

dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari

manfaatnya16[16]

2) Bohong adalah sifat yang tercela lagi berdosa dan diharamkan. Tetapi kalau

bohong tersebut dilakukan dengan bertujuan untuk mendamaikan suatu pertengkaran antar

seseorang dengan kawannya atau antar suami dan istri, maka diperbolehkan.

ورة عامةكانت أوخاصةالحاجة تنزل منزلة اضر .8

h. Kebutuhan itu ditempatkan pada tempat darurat baik kebutuhan itu bersifat umum atau

khusus.17[17]

Kehajatan yang mendesak, menurut qaidah ini, dapat disamakan dengan keadaan

darurat. Apalagi njika kebutuhan itu bersifat umum, niscaya berubah menjadi darurat.

Contoh kebutuhan yang bersifat umum :

1) Orang laki-laki diperkenankan berhadapan muka dengan wanita yang bukan muhrimnya

dalam pergaulan hidup sehari-hari dalam bermu’amalah, seperti : berjual beli, bekerja

dikantor-kantor atau mengajar. Karena semuanya itu merupakan kebutuhan umum dalam

bermasyarakat.

2) Untuk menjaga kebutuhan orang banyak dalam menghindari spekulasi para pedagang,

pemerintah diperbolehkan membatasi atau menetapkan harga barang-barang pokok yang

diperjual belikan, walaupun sebenarnya tindakan perintah ini membuat kerugian kepada

pihak-pihak tertentu.

Contoh yang bersifat khusus :

1) Seorang perempuan membutuhkan atu-satunya dokter laki-laki yang ahli untuk mengobati

penyakitnya yang terletak pada bagian tubuhnya, adalah diperbolehkan.

16[16] (QS:Al-Baqarah:219)

17[17] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu

Hurairah. Hal. 32.

Page 18: Addharuroh yujalu

2) Karena suatu hajat yang mendesak dan bukan karena hiasan semata, seseorang

diperkenankan menambal bejananya yang retak dengan bahan dari perak.

3) Sewa kamar mandi/WC tanpa ditentukan waktu dan jumlah(banyaknya) air yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan terjemahan, 2005. Bandung: PT. Syamil Cipta Media.

Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu Hurairah.

Hariyanto, Muhsin. 2009. Materi kuliah Ushul Fiqih. EPI/FAI/UMY.

Muchtar Kamal. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: CV. Imaji Cipta

18[1] Hariyanto, Muhsin. 2009. Materi kuliah Ushul Fiqih. EPI/FAI/UMY.

19[2] .(QS al-Baqarah, 2: 173)

Page 19: Addharuroh yujalu

20[3] (QS. al-An’âm, 6: 119)

21[4] Hariyanto, Muhsin. 2009. Materi kuliah Ushul Fiqih. EPI/FAI/UMY. 22[5] Dikutip dari Muchtar Kamal. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: CV Imaji Cipta. Hal.203.

23[6] (QS:al-Qashash:77) 24[7] Dikutip dari Muchtar Kamal. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: CV Imaji Cipta. Hal.203.

25[8] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu Hurairah. Hal. 27.

26[9] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu Hurairah. Hal. 27. 27[10] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren

PERSIS Abu Hurairah. Hal. 28.

28[11] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu Hurairah. Hal. 29.

29[12] (HR.Bukhari dan Muslim)

30[13] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu Hurairah. Hal. 30.

31[14] (QS. Al-A’raf: 56)

32[15] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu Hurairah. Hal. 32.

Page 20: Addharuroh yujalu

33[16] (QS:Al-Baqarah:219)

34[17] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu Hurairah. Hal. 32.