adat

13
Pasal 3 (1) Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalanmya seperti dimaksud dalm Pasal 1 angka 3, 4 dan 5 Undang-undang ini dikuasai oleh Negara. (2) Hak menguasai oleh Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk : a. Mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumber-sumber air; b. Menyusun mengesahkan, dan atau memberi izin berdasarkan perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan; c. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan, penggunaan, penyediaan air, dan atau sumber- sumber air;

description

Hukum Adat

Transcript of adat

Page 1: adat

Pasal 3(1) Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung

didalanmya seperti dimaksud dalm Pasal 1 angka 3, 4 dan 5 Undang-undang ini dikuasai oleh Negara.

(2) Hak menguasai oleh Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk :a. Mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumber-sumber

air;b. Menyusun mengesahkan, dan atau memberi izin berdasarkan perencanaan

dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan;c. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan, penggunaan,

penyediaan air, dan atau sumber-sumber air;

Page 2: adat

d. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin pengusahaan air, dan atau sumber-sumber air;

e. Menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum dan hubungan- hubungan hukum antara orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air;

(3) Pelaksanaan atas ketentuan ayat (2) pasal ini tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentinganNasional.

Kampanye & Advokasi ooo Ruang Media ooo Publikasi ooooooo Donasi Publik PNLH XII Kegiatan

Kampanye & Advokasi ooo Ruang Media ooo Publikasi o

Page 3: adat

oooooo Donasi Publik PNLH XII Kegiatan

Previous Next

Hak atas Air sebagai Hak Dasar Melakat (In-Persona) Tak Bisa Dikurangi

Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 Merebut Kembali Sumber Air Rakyat

Pengantar

Mahkamah Konstitusi membacakan putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 pada tanggal 18 Februari 2014 dengan amar putusan sebagai berikut :

Page 4: adat

1. Permohonan Pemohon III tidak dapat diterima ;2. Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI,

Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya ;3. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;

4. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat ;

5. Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3046) belaku kembali ;

6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya ;

Dengan berbagai macam pertimbangan hukum, Majelsi Hakim mempertegas bahwa UU No. 7 Tahun 2004 dinyatakan bertentangan dengan konsitusi Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945. Pemerintah selama ini dianggap telah salah mengimplementasikan makna “hak penguasaan negara atas air” yang sebagaimana amanat konstitusi bahwa hak penguasaan negara atas air dapat dikatakan terimplementasi apabila negara diberi mandat UUD 1945 untuk membuat kebijakan, memegang kontrol pengurusan, melakukan pengaturan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan. Hal yang paling penting adalah bahwa MK juga menyatakan bahwa kebutuhan manusia akansumber air adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hak hidup manusia (Hak In Persona = Hak Melekat pada Manusia) sehingga apapun alasannya hak atas sumber air tidak dapat dikurangi sedikitpun. Sumber daya berupa air juga sangat dibutuhkan manusia dalam melangsungkan kehidupannya, baik untuk kebutuhan sehari-hari dan pertanian, yang kemudian memberikan manfaat pendukung sangat penting dalam menjamin kehidupan yang layak untuk manusia dan tidak dapat dikenakan biaya jasa atas pengelolaan sumber air selama manfaat dan pemenuhan kebutuhan tersebut diperoleh langsung dari sumber air.

Dalam pertimbangan penting lainnya, MK juga menyampaikan dalam putusan tersebut bahwa UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ; 1. MK menafsirkan bahwa “hak menguasai negara” dengan meletakkan peringkat pertama pada pengelolaan sendiri oleh negara atas sumber daya alam ke arah sebesar-besar kemakmuran rakyat; 2. UU SDA mengandung muatan penguasaan dan monopoli atas sumber daya air yang bertentangan dengan prinsip dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 3. UU SDA mengandung muatan yang memposisikan penggunaan air, condong untuk kepentingan komersial; 4. UU SDA mengandung muatan yang memicu konflik horizontal; 5. UU SDA menghilangkan tanggung-jawab negara dalam pemenuhan kebutuhan air; dan 6. UU SDA merupakan Undang-Undang yang diskriminatif.

Mahkamah Konstitusi juga beranggapan bahwa Pasal 33 UUD 1945 adalah bentuk konstitusionalitas dianutnya demokrasi ekonomi, selain demokrasi politik, yang terkait penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud sila ke-empat dan sila ke-lima Pancasila. Sila ke-lima dasar negara, implementasinya ke dalam ketentuan konstitusi yang termuat dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tidak saja menunjuk sebagai dasar negara, melainkan juga sebagai tujuan negara. Dengan kata lain,

Page 5: adat

sila ke-lima sebagai dasar negara di implementasikan dalam UUD 1945 mengenai penyelenggaraan negara di bidang ekonomi adalah dalam bentuk demokrasi ekonomi dengan tujuan mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Itulah sebenarnya makna inti keadilan sosial, yang juga diartikan sebagai masyarakat adil dan makmur.

Pertimbangan Majelis Hakim, juga sangat menekankan pada perbedaan tafsir atas Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945. Air adalah unsur yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia serta berhubungan dengan hajat hidup orang banyak sehingga UUD 1945 memandatkan ke pemerintah untuk penguasaannya. Atas dasar itulah, ketika pemerintah melibatkan kelompok private sektor untuk pengusahaan air, harus ada pembatasan yang sangat ketat untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa. Pembatasan ketat dan wajib tersebut adalah Kesatu ; setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air. Kedua ; bahwa negara harus memenuhi hak rakyat atas air (sebagai hak yang melekat pada manusia/in persona) (vide Pasal 28I Ayat (4). Ketiga ; bahwa harus mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebagai salah satu hak asasi manusia (vide Pasal 28H Ayat (1). Keempat ; sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara (vide Pasal 33 Ayat (2) dan air menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak. Kelima ; sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan air merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak maka prioritas yang diberikan hak pengusahaan atas air adalah Badan Usah Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Keenam ; bahwa apabila setelah semua pembatasan tersebut sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.

Pasca putusan ini tentu akan melahirkan beberapa pertanyaan yang tentu tidak akan serta dapat merubah kondisi yang sudah tercipta selama ini, baik dari segi kebijakan maupun dari kenyataan dan model pengelolaan sumber daya air yang telah berjalan pasca undang-undang A quo di sah-kan. Beberapa pertanyaan penting misalnya :

1. Setelah dibatalkan UU SDA, bagaimana posisi 7 (tujuh) peraturan pemerintah sebagai aturan turunan dari undang-undang yang telah dibatalkan ?? termasuk posisi perizinan “penguasaan” sumber daya air oleh private sektor ??

2. Setelah dibatalkan UU SDA dan diberlakukan kembali UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, apakah serta merta akan menjadi rujukan hukum atas seluruh aturan turunan dan perizinan atas “penguasaan” sumber daya air saat ini ?? apakah di UU No. 11 Tahun 1974 juga terdapat kepentingan “penguasaan” ??

3. Setelah dibatalkan UU SDA, bagaimana penguasaan sumber daya air yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan industri ekstraktif lainnya yang menghilangkan akses masyarakat ??

4. Setelah dibatalkan UU SDA, apakah masyarakat bisa “merebut” kembali sumber-sumber air yang dikuasai private sektor ?? apakah itu tidak bertentangan dengan konstitusi ??

Pandangan WALHI

Page 6: adat

Menjawab pertanyaan diatas harus sekaligus mendudukkan persoalan-persoalan yang terjadi selama ini ditingkatan masyarakat, baik terkait akses maupun krisis sumber daya air, sebagai hal paling penting yang harus segera diberikan solusi. Pandangan WALHI atas beberapa kondisi yang disampaikan adalah :

1. UU Sumber Daya Air yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi memiliki turunan aturan berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) yaitu ; 1. PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan air Minum, 2. PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, 3. PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, 4. PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah, 5. PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, 6. PP No. 73 Tahun 2013 tentang Rawa, dan 7. PP No. 69 Tahun 2014 tentang Hak Guna Air, dimana 6 (enam) dari 7 (tujuh) peraturan pemerintah tersebut (selain PP No. 69 Tahun 2014 tentang Hak Guna Air) juga telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim bahwa keenam PP tersebut juga tidak memenuhi enam prinsip pembatasan pengeloaan sumber daya air hingga pada sidang terakhir Majelis Hakim pada tanggal 18 Maret 2014, artinya bisa dikatakan bahwa keenam PP tersebut juga bertentangan dengan konstitusi. Peraturan pemerintah memang bukan menjadi kewenangan MK untuk menguji, tetapi karena UU a quo yang di uji adalah “roh” atau “jantung” dari hak penguasaan oleh negara atas air yang menggantungkan hajat hidup orang banyak sehingga peraturan pelaksana UU a quo juga harus diperiksa secara seksama dan semata-mata karena persyaratan konstitusionalitas undang-undang yang diuji dan mengimplementasikan penafsiran Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Secara pendapat Majelis Hakim sudah final sejak tanggal 18 Maret 2014 yang mempertegas bahwa keenam peraturan pelaksana undang-undang a quo tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan konstitusi dan kemudian disampaikan secara resmi dalam persidangan pada tanggal 18 Februari 2014, sehingga peraturan pelaksana yang di produksi oleh pemerintah yaitu PP No. 69 Tahun 2014 pada tanggal 12 September 2014 bisa dikesampingkan atau dinyatakan turut bertentangan dengan konstitusi.

Demikian halnya dengan seluruh dokumen tata usaha negara yang diterbitkan oleh manteri, gubernur dan bupati/walikota yang berkaitan dengan sumber daya air, baik dalam bentuk perizinan dan/atau keputusan, juga dapat dikatakan tidak berkekuatan hukum karena sumber hukum yang membenarkan terbitnya produk tata usaha negara tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak memiliki asas kepastian hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf i dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

2. Majelis Hakim MK dalam amar putusannya pada poin 5 memutuskan UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk diberlakukan kembali agar tidak terjadi kekosongan hukum, khususnya menyangkut sumber daya air di Indonesia. Mengisi kekosongan hukum tidak berarti otomatis menjadi pengganti dasar hukum atas seluruh peraturan pemerintah dan produk tata usaha negara lainnya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah yang undang-undangnya telah dibatalkan. Ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan, Pertama ; menghidupkan kembali seluruh peraturan pemerintah yang menjadi turunan dari UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, sebagaimana perintah undang-undang tersebut, ada 7 peraturan pemerintah yang dirujuk oleh undang-undang tersebut, yaitu 1. PP tentang Penguasaan oleh Negara, 2. PP tentang Pengaturan Wewenang, 3. PP tentang Tata Cara

Page 7: adat

Pembinaan, 4. PP tentang Pengusahaan, 5. PP tentang Bangunan Pengairan, 6. PP tentang Perlindungan, dan 7. PP tentang Pembiayaan. Kedua ; melihat kesesuaian hukum dan pertentangannya antara aturan turunan dari UU a quo berupa peraturan pemerintah dengan UU yang kembali diberalakukan oleh MK yaitu UU No. 11 Tahun 1974. Aturan turunan dari UU a quo adalah 1. PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan air Minum, 2. PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, 3. PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, 4. PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah, 5. PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, 6. PP No. 73 Tahun 2013 tentang Rawa, dan 7. PP No. 69 Tahun 2014 tentang Hak Guna Air. Perbedaan mendasar antara aturan turunan UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dengan aturan turunan UU a quo adalah ;

UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan mengedepankan pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan tanggung-jawab negara (penguasaan negara) yang mengutamakan kepentingan kebutuhan sosial (hajat hidup orang banyak) dan pelibatan masyarakat dalam perencanaan pengusahaan, perlindungan dan pembiayaan atas manfaat dari pengairan serta belum detail mengatur soal pemanfaatan air untuk kepentingan industri ekstrakitf lainnya, sedangkan ;

UU a quo dalam pengelolaannya menggunakan pendekatan tanggung-jawab negara yang mengutamakan pengelolaan ekosistem dan sebesar-besarnya membuka peluang untuk melibatkan pihak swasta (private sektor), baik untuk kepentingan kebutuhan sosial maupun kebutuhan penguasaan sumber air untuk kepentingan industri ekstraktif dan komersil lainnya ;

3. Bisa dikatakan bahwa seluruh perusahaan-perusahaan swasta yang memanfaatkan sumber daya air pasca putusan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum untuk memanfaatkan sumber daya air, baik sebagai bahan kebutuhan produksi utama perusahaan (perusahaan air kemasan) maupun sebagai kebutuhan pendukung produksi perusahaan (perusahaan tambang, perkebunan, dll). Di banyak tempat, konflik yang ditimbulkan atas penguasaan air secara sepihak ini menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar. Selain karena semakin kecilnya akses (bahkan ada yang kehilangan akses) masyarakat atas sumber air, masyarakat juga sebagai korban dampak buruk yang ditimbulkan oleh penguasaan serta kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam karena aktivitas eksploitatif dan ekstraktif. Aktivitas perusahaan yang masih terus menerus memanfaatkan sumber daya air tanpa kekuatan hukum yang jelas atau secara illegal, bisa dikategorikan sebagai bentuk pencurian atau perampasan sumber daya alam yang dapat menimbulkan kerugian negara sebagaimana tercantum pada Pasal 15 Ayat (1) huruf b, dan itu adalah kejahatan sebagaimana tercantum pada Pasal 15 Ayat (2) UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan ;

Dapat pula di desakkan kepada pemerintah agar sumber daya air dimasukkan dalam kategori bidang usaha yang tertutup dari penanaman modal sebagaimana diatur dalam Perpres No. 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal, dengan pertimbangan penting dalam putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 menafsirkan bahwa “hak menguasai negara” dengan meletakkan peringkat pertama pada pengelolaan sendiri oleh negara atas sumber daya alam ke arah sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga negara wajib mengelola sumber daya air secara mandiri untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan pertanian seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan

Page 8: adat

hak atas sumber daya air sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hak hidup yang melekat pada setiap manusia (In Persona) dan tidak diperlukan pihak ketiga dalam pengelolaan sumber daya air yang dapat membukan peluang terjadinya konflik pengelolaan sumber daya air;

4. Tindakan masyarakat untuk kembali merebut sumber-sumber air yang selama ini dikuasai oleh private sektor atas izin pemerintah, tentu tidak bertentangan dengan konstitusi. Justru bisa dipandang sebagai tindakan penyelamatan sumber daya alam yang selama dimanfaatkan secara bertentangan dengan konstitusi untuk mendapatkan keuntungan bisnis yang sebesar-besarnya. Tentu sudah banyak kerugian dan kesulitan yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan yang menguasai sumber daya air. Saatnya untuk menghentikan itu dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi;

Arah Advokasi WALHI

Putusan ini tentu belum diketahui secara menyeluruh oleh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki kesulitaan atas akses informasi dan mungkin juga bagi masyarakat yang sampai hari ini masih berkonflik dengan private sektor yang menguasai sumber daya air. Begitu juga dengan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Tentu belum seluruhnya mengetahui putusan tersebut, atau bahkan sudah mengetahui tetapi belum disebarluaskan karena menunggu keputusan dari pemerintah pusat. Dalam kondisi seperti ini, WALHI kemudian mencoba mengambil langkah-langkah advokasi untuk beberapa waktu kedepan, antara lain :

1. Menyebar-luaskan putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013 keseluruh lapisan masyarakat dengan kekuatan struktural organisasi yang berada di 28 provinsi hingga bisa menjangkau lapisan masyarakat paling bawah, khusus yang sedang berkonflik dengan private sektor yang menguasai sumber daya air ;

2. Mendorong kantor-kantor WALHI di 28 provinsi untuk melakukan pressure kepada pemerintah daerah (provinsi dan kab/kota) untuk menghentikan aktifitas-aktifitas perusahaan yang menguasai, memanfaatkan dan menjual sumber daya air untuk kebutuhan bisnis dan/atau kebutuhan pendukung untuk proses produksi perusahaan;

3. Mendesak pemerintah untuk segera menjalankan mandat putusan Mahkamah Konstitusi untuk segera menghadirkan kebijakan baru yang mengatur pengelolaan sumber daya air dengan menggunakan seluruh pertimbangan-pertimbangan konstitusional yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, tanpa terkecuali;

4. Melakukan kampanye nasional dan internasional dalam rangka menggalang dukungan publik luas untuk mendukung upaya-upaya masyarakat dalam mengambil alih pengelolaan sumber daya air dan digunakan sebaik-baiknya untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan pertanian, tanpa harus mengeluarkan biaya untuk itu.

———- SELESAI ———-

By Walhi Administrator|Maret 27th, 2015|Advokasi dan Pembelaan Hukum, Kertas Posisi|0 Comments

About the Author: Walhi Administrator

Page 9: adat

Related Posts

 Permalink Gallery

Perjuangan Putih Dalam Bayangan Hitam Batubara

 Permalink Gallery35 Tahun WALHI

Page 10: adat

 Permalink Gallery

Menolak Ancaman ‘Pembunuhan’ KPK, Hentikan Revisi Undang-Undang KPK

 Permalink Gallery

Stop Salurkan Kredit Kepada Korporasi “Pengepul Asap”!!!

 Permalink Gallery

Keputusan PTUN Bengkulu Atas Gugatan Kanwil BPN Provinsi Bengkulu

Comments are closed.

Popular Recent

Page 11: adat

TOLAK REKLAMASI: Segera Batalkan Perpres 51 Tahun 2014!Agustus 13th, 2014

Di akhir masa pemerintahan; SBY mengeluarkan kebijakan yang menguatkan monopoli pemodalMei 12th, 2014

Penyelesaian Konflik Agraria Wajib Jadi Prioritas Jokowi-JKSeptember 9th, 2014

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2015: Menagih Janji, Menuntut PerubahanJanuari 19th, 2015

Perubahan Iklim dan Kerusakan Hutan di NTTNovember 22nd, 2013Tweets Terbaru

 @WalhiSumsel  Rumah evakuasi Balita 5 Ulu dan Jakabaring palembang, koalisi masyarakat sipil peduli korban asap https://t.co/xvJ5d7d8xO1 hour ago

RT  @kompascom : Reklamasi dan Penurunan Permukaan Tanah, Menurut Pemprov DKI dan Walhi https://t.co/rUuMzUlifC2 hours ago

RT  @kupastuntas_co : Walhi Lampung Buka Posko Pengaduan Asap https://t.co/4YSEeoceJ62 hours ago

RT  @walhi_lampung : Pelatihan Advokasi dan Kampanye  @walhilampung  hari kedua. https://t.co/YsqGghFmUM2 hours ago

RT  @WartaEkonomi : Walhi Sediakan Rumah Penampungan Korban Asap - Warta Ekonomi https://t.co/35wRfvGMJL

Page 12: adat

2 hours agoKONTAK KAMI

Jl. Tegalparang Utara No 14, Mampang, Jakarta SelatanPhone: 021-79193363, 021-79193367Fax: 021-7941673Email: informasi [at] walhi.or.idWeb: walhi.or.idWALHI FANPAGE

LINK PENTING

Keanggotaan WALHI pantau hutan Voice of Eggang Pustaka WALHI Event Donasi WALHI Daerah

Copyright 2013 WALHI | Jl. Tegalparang Utara N0 14 Mampang Prapatan - Jakarta Selatan 70912