Adaptasi dalam Hubungan antara Arsitektur, Inteligensi dan ...
Transcript of Adaptasi dalam Hubungan antara Arsitektur, Inteligensi dan ...
Adaptasi dalam Hubungan antara Arsitektur, Inteligensi dan Sosial
Noorca Maya Regita & Herdito Sandi Pratama1 Program Studi Filsafat
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
ABSTRAK
Arsitektur dalam pandangan umum adalah usaha manusia untuk membangun tempat tinggal yang aman dan nyaman. Proses penciptaan bangunan yang dikenal selama ini selalu melibatkan ukuran matematis, tetapi sesungguhnya keseluruhan rangkaian usaha ini merupakan proses yang sangat kompleks. Arsitektur, secara konseptual, didefinisikan sebagai usaha untuk membangun ruang bagi manusia, yang melibatkan penambahan satu dimensi tertentu, yaitu dimensi kemanusiaan. Penciptaan bangunan didasari oleh relasi kuasa yang terjadi dalam lingkungan sosial. Hal inilah yang melahirkan berbagai gaya arsitektur bangunan secara kultural. Keberadaan bangunan memberi peluang bagi penghuni untuk memacu inteligensi melalui adaptasi dan desain menjadi mediasi bagi intensionalitas penghuni terhadap bangunan.
Kata Kunci : Arsitektur; Ruang; Relasi Kuasa; Desain; Adaptasi.
Adaptation in The Act of Relation among Architecture, Intelligence and The Social
ABSTRACT
Architecture in general is a human’s effort to build a secure and comfort home. The creation of a building as we know, is always involving the mathematical measure, however, the whole sequence of these efforts is a complicated process. In a conceptual understanding, architecture is defined as a matter of making a human space, which is adding a particular dimension, i.e. humanistic dimension. The creation of a building is based on the relation of power, which is happened in a social environment. This is what produce so many different style of architectur in culture. The exsistence of a building gives the probability to the dweller for boosting his/her intelligence through the adaptation and the design stance, which is become a mediation for the dweller’s intentionality to the building.
Key Words: Architecture; Space; Relation of Power; Design Stance; Adaptation.
1 Noorca Maya Regita adalah mahasiswi Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan Dewan Penguji dalam sidang skripsi tanggal 15 Juli 2013. Herdito Sandi Pratama adalah dosen Program Studi Filsafat yang memberikan bimbingan kepada Noorca Maya Regita dalam menulis skripsi yang berjudul “Adaptasi dalam Hubungan Antara Arsitektur, Inteligensi dan Sosial”. Tulisan ini merupakan ringkasan dari skripsi yang dimaksud.
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pada pandangan populer, terdapat berbagai macam pengertian aristektur yang
saling merujuk pada perbedaan zaman. Tokoh-tokoh dari zaman Yunani hingga
postmodern seperti Vituvrius, Cornelis Van de Ven, Benjamin Handler, Fillipo
Brunelleschi hingga Charles Jencks beranggapan bahwa inteligensilah yang
membangun adanya arsitektur. Dari anggapan tersebut, dapat ditarik sebuah ide dasar
bahwa rasionalitas yang membangun segala kebudayaan termasuk arsitektur. Salah
satu contoh pengertian arsitektur menurut Mies Van Der Rohe adalah semangat dan
keinginan untuk menerjemahkan zaman ke dalam ruang dan esensi dari teknologi
modern merupakan bagian penting yang harus bermakna dalam karya arsitektur.2 Hal
ini terungkap atas pandangannya bahwa teknologi adalah ungkapan intelegensi
manusia modern dan teknologilah yang mendominasi kecenderungan mendatang.
Beberapa tokoh lain juga berpendapat bahwa arsitektur hanyalah sekedar seni
mendesain bangunan yang meliputi penataan ornamen-ornamen di dalamnya. Secara
garis besar, penekanan yang diberikan oleh para penerjemah arsitektur adalah pada
teknis mendirikan bangunan. Sedangkan dalam penulisan ini, term arsitektur
didefinisikan ulang menjadi a matter of making a human space. Mengambil teori dari
Frank Lloyd Wright, bahwa gagasan penting dari arsitektur adalah mengubah wujud
dua dimensi menjadi ruang tiga dimensi untuk manusia.3 Penjelasan tersebut menjadi
landasan penting bagi penulis dalam merumuskan ulang definisi dari arsitektur.
Pada umumnya arsitektur memiliki dua langkah penciptaan, yang pertama,
pembuatan sketsa ruang dua dimensi; yang kedua, implementasi dari sketsa ruang dua
dimensi menjadi bangunan tiga dimensi. Ruang tiga dimensi ini menjadi titik penting
sehingga manusia dapat menempati ruang tersebut. Semua bentuk fondasi, material,
unsur aerodinamis, beserta ukuran-ukuran matematis dalam pembangunan ruang akan
selalu kembali pada titik tolaknya yaitu manusia.
2Robert Venturi. 1966. Complexity and Contradictory in Architecture. (New York : The Museum of Modern Art). Hal 16-20. 3Donald Langmead & Donald L. Johnson. 2000. Architectural Excursion : Frank Lloyd Wright, Holland, and Europe. (London : Greenwood Press). Hal 25-38.
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
Definisi human space4 tidak sesederhana pendefinisian ‘ruang untuk manusia’.
Manusia hidup di alam semesta yang lingkupnya sangat luas, yang dapat kita sebut
dengan biosfer. Biosfer adalah bagian-bagian terluar planet Bumi yang mencakup
daratan, perairan, udara, serta aspek-aspek lainnya yang mendukung kehidupan
manusia. Keberadaan ruang yang luas ini memungkinkan seluruh mahluk hidup
menjalani kehidupannya. Tatanan ruang hutan belantara, yang secara natural ada
sebagai sebuah space bukanlah human space, melainkan natural space. Natural
space5 adalah tempat yang juga dihuni oleh organisme lain secara bebas, sehingga
harus dibedakan antara human space dan natural space.Penciptaan human space
secara sengaja dilakukan manusia untuk mendapatkan ruang privat bagi mereka.
Rumah atau bangunan dapat dikategorikan sebagai kebutuhan utama
manusia.Bentuk bangunan juga memiliki ciri khas masing-masing dari zaman ke
zaman. Di era modern, gagasan utama yang selalu menjadi perdebatan adalah tentang
kesadaran, yaitu sebagai sesuatu yang tidak bisa mengalami ekstensifikasi.Semangat
pada aspek elegan menjadi satu titik penting bagi perkembangan desain bangunan
yang sangat menekankan pada ranah estetika untuk mendirikan sebuah bangunan. Di
era modern, manusia ‘berperang’ untuk mendapatkan waktu luang dan ruang yang
nyaman. Persaingan ketat yang terjadi di era modern membuat setiap individu
melakukan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan serta mendapatkan kenyamanan
lebih. Oleh sebab itu, untuk mendirikan sebuah bangunan, manusia modern lebih
memberi penekanan pada unsur estetis.Penekanan pada unsur estetis ini dimungkinkan
untuk tetap menjaga aspek kemanusiaan pada setiap manusia. Keterbatasan ruang dan
waktu di era modern ini menjadikan setiap manusia menginginkan rumah yang
nyaman. Harapan akan kenyamanan ini dapat diwujudkan dalam arsitektur bangunan
yang membuat sebuah ruangan memiliki kesan ‘menyamankan’ penghuninya.
Sehingga, waktu yang cukup singkat untuk berada di rumah dapat menjadi terapi
tertentu bagi kejiwaan penghuni.
4Konsep human space ini mengadopsi gagasan Daniel Dennett mengenai teleologi intentional stance, yaitu manusia terhadap suatu objek. Daniel C. Dennet. 1987. The Intentional Stance. (Massachusettes : MIT Press). Hal 43-82. 5Gagasan tentang natural space ini mengadopsi pemikiran dari Daniel Dennett tentang physical stance, yaitu kondisi fisik dari objek. Daniel C. Dennett. 1995. Darwin’s Dangerous Idea : Evolution and The Meaning of Life. (New York : Simon and Schuster). Hal 124-148.
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
Dalam arsitektur, manusia dengan sengaja membangun sebuah tempat tinggal
dengan menyesuaikan segala aspek kebudayaan pada dirinya. Berbagai hal seperti
keindahan dan kenyamanan adalah aspek penting dalam kehidupan manusia, sehingga
kondisi yang dibentuk dari struktur kebiasaan manusia tersebut diekspresikan ke
dalam bentuk-bentuk ruang.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep arsitektur dalam hubungannya dengan manusia?
2. Bagaimana mekanisme komputasi otak membentuk inteligensi?
3. Bagaimana bentuk relasi terjalin di antara inteligensi manusia, kehidupan
sosial dan gagasan arsitektur?
4. Bagaimana gagasan desain dalam arsitektur dapat membentuk inteligensi
manusia melalui kontaknya dengan ruangan?
3. Tujuan Penelitian
Penulis bertujuan untuk mendefinisikan ulang makna arsitektur dan
menunjukkan hubungan resiprokal antara manusia dan lingkungannya, melalui
gagasan tentang proses adaptasi manusia. Pada persoalan arsitektur, akan ditunjukkan
bahwa kecerdasan manusia mengalami proses pembentukan, bukan hanya oleh
subjektivitas dan kehidupan sosial manusia, tetapi juga karena sifat mekanistiknya di
dalam alam semesta.
B. TINJAUAN TEORITIS
Penelitian ini didasari oleh dua teori yang membangun pemikiran tentang relasi
antara arsitektur, inteligensi, dan sosial.
1. Panopticism (Michel Foucault)
Arsitektur memiliki keberagaman gaya yang khas pada zamannya. Keterkaitan
antara arsitek maupun gaya bangunan yang mendominasi setiap zaman maupun
tempat memiliki latar belakang sosial yang kuat. Melalui gagasan Foucault tentang
panoptikon, penulis memaparkan bagaimana kekuasaan bekerja dalam sebuah
bangunan. Panoptikon adalah sebuah bangunan penjara yang sengaja didesain untuk
mendisiplinkan narapidana. Konsep panoptikon yaitu sebuah bangunan yang
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
berbentuk lingkaran yang memiliki menara di titik pusat sebagai pengawas para
narapidana menjadi suatu bentuk mekanisme kuasa yang bekerja pada ruang.6 Menara
pengawas adalah simbol dari kuasa yang menunjang pemberlakuan sistem
kedisiplinan, klasifikasi serta normalisasi pada bangunan.
2. Design Stance (Daniel Dennett)
Penelitian tentang arsitektur ini akan melibatkan gagasan neuroscience, yaitu
pada kemampuan manusia dalam mengolah data inderawi, yang didapatkannya
melalui kontaknya dengan arsitektur. Gagasan neuroscience banyak digunakan dalam
pembahasan mengenai sistematika kerja otak. Dari segi filosofis, teori Daniel Dennett
akan digunakan untuk menganalisis gagasan neuroscience tersebut, terutama dari
kerangka evolusionisme. Melalui gagasan Dennett, persoalan arsitektur tersebut akan
dibawa ke dalam ranah humanistik.
Dennet mengemukakan gagasan tentang three stances (tiga tahap) entitas,
yaitu fisik, desain dan intensional7. Tahap fisik merupakan kondisi statis dari fisik
objek, tahap intensional merupakan kemampuan untuk menentukan teleologi dari
suatu objek. Sedangkan tahap desain menjadi mediasi di antara kedua tahap tersebut.
Manusia mulai mengabstraksikan fungsi dari suatu entitas ketika bertemu dengan
desain, sehingga desain menjadi area pemahaman antar manusia dan objek di luar
dirinya.
Pada persoalan arsitektur, gagasan desain menjadi kunci pemahaman.
Hubungan antara manusia dan bangunan dimediasi oleh keberadaan desain. Sebagai
mediator, gagasan tentang desain ini membangun hubungan resiprokal, yang
memperjelas sistematika pengaruh arsitektur kepada inteligensi manusia.
C. METODE PENELITIAN
Tulisan ini merupakan usaha interpretasi terhadap keberadaan dan peranan
arsitektur di dalam lingkungan sosial manusia. Relasi antara manusia dan bangunan
akan menjadi titik berat dan ditafsirkan melalui metode hermeneutika dengan
mendasarkan pada teori post strukturalisme dan fenomenologi.
6Michel Foucault. 1977. Discipline and Punish : The Birth of The Prison. (New York: Vintage Book). Hal 195-230. 7Daniel C. Dennett. 1987. The Intentional Stance. (Massachusettes : MIT Press). Hal 43-82.
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
D. PEMBAHASAN
Arsitektur merupakan usaha membangun human space, melalui transformasi
wujud dua dimensi menjadi tiga dimensi pada bangunan. Gagasan ini mengasumsikan
perubahan dari rancangan geometris bangunan menjadi wujud material. Rancangan
bangunan merupakan kombinasi dari karakter fisik unsur material bangunan. Sifat
alami setiap unsur bangunan dimanfaatkan untuk memastikan bahwa bangunan dapat
berdiri kokoh. Jika bangunan sudah mampu menjadi tempat perlindungan bagi
manusia, maka manusia dapat melengkapi bangunan tersebut dengan fitur
kenyamanan bagi dirinya dan aktivitasnya.
Dalam hal ini, natural space menjadi syarat bagi peluang terbentuknya human
space. Kemampuan berpikir manusia menjadikan manusia dapat mengatasi instingnya.
Dengan cara membangun relasi dengan sesamanya, suatu komunitas membentuk
aturan-aturan yang dilandasi oleh konvensi. Nilai-nilai objektif yang berkembang ini
yang akan menjadi titik tolak bagi manusia untuk membentuk ruang privatnya dalam
usaha untuk menjaga kedaulatan subjektivitas.
Gagasan arsitektur tidak hanya berkutat pada unsur survivabilitas manusia,
tetapi juga pada persoalan membuat wilayah bagi dirinya, atau wilayah domestik
(dominion). Dominion, yang berkaitan dengan domus, berarti suatu wilayah yang
dikuasai secara penuh oleh subjek manusia.8 Di dalam wilayah tersebut, manusia
berkuasa secara penuh dan mampu mengembangkan segala unsur subjektivitasnya.
Melalui arsitektur, manusia mengubah wilayah topografis natural menjadi sebuah
bangunan yang mampu menopang aktivitas manusia. Kemampuan manusia dalam
mengubah kenampakan fisik alam ini melibatkan fungsi dinding, sebagai isolasi dari
kekuatan alam di luar bangunan. Secara filosofis, dinding berfungsi untuk menjaga
kekuasaan manusia di dalamnya. Dengan keberadaan dinding, maka manusia dapat
mengurangi intervensi dari gaya sosial yang selalu bekerja di sekeliling manusia,
sehingga privasi manusia tetap terjaga ketika bereksistensi di dunia.
Persoalan arsitektur berkaitan erat dengan aktivitas menghuni suatu wilayah.
Menghuni (dwelling) tidak hanya berarti menempati wilayah, tetapi juga mendiaminya
bersama segala objek dan kondisi di wilayah tersebut.9 Gagasan tentang dwelling
8 Jean-Francois Lyotard. 1991. The Inhuman : Reflections on Time. (California : Stanford University Press). Hal 191-204.
9 Martin Heidegger. 2001. Poetry, Language and Thought. (New York :Harper Perennial Modern Classics). Hal 141-160.
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
mengasumsikan bahwa wilayah arsitektur tidak hanya memiliki unsur natural, tetapi
juga kemanusiaan, yang menjadikannya sebagai tempat manusia bernaung. Di dalam
ruang arsitektur itu, rancangan bangunan telah disesuaikan dengan segala kebutuhan
manusia, sehingga bangunan itu dapat dihuni oleh manusia, lebih dari sekedar habitat
natural.
Pada arsitektur selalu terdapat rancangan atau desain yang menjadi cara bagi
seseorang untuk mengubah sebuah wilayah secara fisik (place) untuk mencapai
tujuannya (purpose). Desain berfungsi untuk memperhitungkan faktor material dari
alam untuk memungkinnya menjadi sebuah wilayah untuk dihuni. Karena itu, desain
pada arsitektur menjadi mediasi antara sifat material alam dan aspek mental manusia.
Gagasan tentang desain itulah yang menjadi kunci dari arsitektur.
Keterkaitan antara arsitektur dan inteligensi dapat dipahami ketika penghuni
telah membangun relasi dari dirinya kepada ruang. Oleh karena itu, perlu dipahami
bahwa ada suatu sistem yang bekerja secara mekanis di dalam otak manusia yang
membuat manusia dapat berpikir secara kontekstual.
Inteligensi merupakan kemampuan otak manusia untuk menyusun data
sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah sistematika pengetahuan yang
terintegrasi. Dalam mekanismenya, otak manusia melakukan proses komputatif dalam
pengolahan data.10 Indera manusia menangkap realitas dan mengubah wujudnya,
melalui proses representasi, sehingga terbentuklah gagasan mental di dalam otak
manusia.11 Gagasan ini yang membentuk pengetahuan untuk disimpan dan diolah oleh
sistem kognitif manusia.
Inteligensi bekerja dengan mengaktivasi segala memori manusia yang
berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya, dan juga bagaimana manusia
memanfaatkan pengetahuannya tersebut untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia akan saling berkaitan di dalam konteks
tertentu, sehingga keterhubungan data itu akan melakukan pembacaan terhadap
kondisi yang sedang dihadapi oleh manusia, dan membuat perhitungan tentang
mekanisme akan dilakukan manusia sebagai antisipasinya terhadap realitas.
10 Paul Thagard. 2005. Mind : Introduction to Cognitive Science Second Edition. (Massachusettes and London : Massachusetts Institute of Technology Press). Hal 11. 11 Ibid. Hal 15-19.
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
Proses berpikir yang dilakukan manusia akan melibatkan gagasan mental,
bukan fisik. Hal ini berarti otak manusia membutuhkan realitas yang bersifat mental,
untuk diproses oleh sistem komputasi otak. Realitas mental itu diwadahi oleh bahasa,
sebagai representasi dari realitas, baik itu bersifat universal, maupun partikular.
Bahasa menghadirkan realitas ke dalam pikiran manusia, sehingga dapat diterima
sebagai sebuah pemahaman di dalam pikiran individual, maupun komunal.12
Di dalam ruang, kecerdasan manusia akan ditentukan batasnya. Kecerdasan
manusia dapat berkembang sejauh dimungkinkan oleh ruang, yang bersifat fisik
maupun non fisik. Melalui petemuannya dengan realitas, kecerdasan manusia akan
mengalami perkemabangan dalam proses adaptasi. Otak manusia akan mengarahkan
manusia untuk melakukan penyesuaian terhadap ruang, sehingga ruiang menyediakan
peluang bagi perkembangan kecerdasan manusia.
Gagasan desain sebagai jembatan antara aspek mental dan material
menunjukkan bahwa arsitektur lah yang membangun relasi yang kuat antara manusia
dan alam di dalam kebudayaan. Relasi ini tidak hanya sekedar membentuk eksistensi
manusia di tengah alam, tetapi juga mempengaruhi tingkat inteligensi manusia melalui
pola perilaku di ruang geraknya. Selain itu, arsitektur memberikan ruang bagi adaptasi
humanistik manusia, melebihi adaptasi naturalnya. Pola adaptasi ini dapat membentuk
inteligensi manusia pada tingkat yang berbeda dengan adaptasi natural. Adaptasi
humanistik akan membawa manusia pada mekanisme pertahanan diri yang didasarkan
pada nilai-nilai kemanusiaan, bukan hanya sebatas survivabilitas yang menjadi naluri
hewani makhluk hidup. Manusia tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga sungguh-
sungguh mendiami suatu wilayah sebagai pelepasan segala aspek spiritualnya sebagai
manusia. Di sini, manusia mengakarkan eksistensinya pada wilayah domestik yang
dibangunnya.
Dalam proses pendirian bangunan, terjadi perpindahan kuasa dari manusia
kepada objek-objek arsitektur. Perpindahan ini akan memperpanjang pengaruh
kekuasaan dari pihak otoritas kepada individu. Kuasa ini akan menimbulkan bentuk-
bentuk disiplin, normalisasi dan klasifikasi pada individu sehingga hadir proses
identifikasi terhadapnya melalui bangunan.13
12 Richard Rorty. 1989. Contingency, Irony, and Solidarity. (New York : Cambridge University Press). Hal 44-72. 13 Michel Foucault. 1995. Dicipline and Punish : The Birth of The Prison. New York : Vintage Books. Hal 149-156.
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
Kemampuan manusia dalam mengolah data menjadi faktor penting dalam
persoalan kecerdasan manusia. Dengan sistem komputasinya, manusia mampu untuk
mengolah data-data pengetahuan yang didapatkan melalui proses penginderaan.
Inteligensi mengasumsikan bahwa manusia dapat merangkai data-data pengetahuan
yang didapatkannya menjadi sebuah sistem pengetahuan. Untuk merangkai data itu,
manusia membutuhkan sarana logika dalam memeriksa hubungan kausalitas antara
data-data tersebut.14
Adaptasi menjadi kunci bagi objek arsitektur untuk dapat mempengaruhi
intelegensi. Bertahan hidup memiliki arti mempertahankan keberadaan fisiknya
sekarang (material) dan menjadikan survivabilitas tersebut sebagai tujuan di masa
mendatang (mental). Dalam usaha pencapaiannya, manusia memaksimalkan
inteligensinya untuk beradaptasi di dalam berbagai ruang yang mengelilinginya. Hal
ini berarti, adaptasi merupakan sebuah kecerdasan. Pada tahap ketika seseorang sudah
mampu beradaptasi dengan ruangnya, kecerdasannya menjadi stabil. Dengan begitu,
kemampuannya telah berkembang dari adaptasi fisik menjadi peguasaan terhadap
wilayah tersebut. Dengan penguasaan ini, manusia dapat mendiami (dwelling) suatu
wilayah.
Gagasan tentang dwelling mengasumsikan bahwa manusia memiliki
kemampuan adaptasi dan juga menentukan teleologi dari kondisi fisik ruang. Proses
adaptasi menjadi mediasi antara kondisi fisik dan intensional manusia. Dengan
kerangka pikir Dennett, adaptasi terhadap ruang menjadi sebuah desain dalam
hubungan resiprokal antara manusia dan bangunan.
Di dalam ruang arsitektur, sistem komputasi manusia tetap bekerja untuk
mengolah data inderawi yang didapatkannya melalui ruang tersebut. Gagasan bahwa
ruang arsitektur dapat membentuk inteligensi manusia didasarkan pada kemampuan
adaptasi manusia, sebagai makhluk hidup. Kemampuan adaptasi yang terdapat pada
manusia memiliki kelebihan dibanding kemampuan adaptasi pada hewan. Manusia
tidak hanya beradaptasi secara fisik, tetapi juga secara mental dan kognitif. Di dalam
ruang, manusia melakukan adaptasi ruang secara fisik. Jika fisiknya mengalami
keterbatasan dalam adaptasi, maka kognisi manusia akan bekerja untuk memutuskan
tindakan yang dilakukan manusia dalam beradaptasi. Kognisi manusia akan
melakukan adaptasi terhadap ruang, kemudian melakukan pengolahan terhadap data-
14 A. Demetriou & A. Efklides. 1994. Intelligence, Mind, and Reasoning : Structure and Development. (Amsterdam : North-Holland). Hal 20.
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
data tentang lingkungan di sekitarnya, dan menyesuaikannya dengan tujuan
survivalnya. Dalam gagasan ini, proses adaptasi merupakan tahap desain15, yang
menjadi mediasi antara ruangan dan manusia. Ketika terjadi proses adaptasi ini,
kognisi manusia bekerja secara optimal untuk menghubungkan seluruh data yang
dimiliki manusia untuk dapat bertahan dan beraktivitas di dalam ruang tersebut.
Sehingga, inteligensi manusia akan selalu termanfestasikan dalam setiap tindakan
manusia, baik tindakan sadar, maupun refleksnya di dalam ruang.
Sebagai hasil karya manusia, arsitektur memiliki ketergantungan pada
keberadaan manusia yang mendiaminya. Namun, kemampuan manusia tersebut
merupakan efek dari adaptasinya terhadap ruang yang ada. Pada satu sisi, kegagalan
adaptasi merupakan keterbatasan manusia. Namun di sisi lain, hal ini disebabkan oleh
ketidaktersediaan biosfer bagi kemampuan adaptasi manusia. Karena itu, ruang
arsitektur menyediakan posisbilitas bagi manusia untuk melakukan adaptasi
terhadapnya.
E. KESIMPULAN
Dalam gagasan populer, arsitektur merupakan bentukan dan hasil dari
kecerdasan manusia. Pikiran manusia secara komunal diakumulasikan ke dalam
sebuah gagasan kebudayaan. Kemudian, kebudayaan menampilkan sistem tanda yang
berlaku ke dalam fisik dari bangunan arsitektur. Dengan cara ini, arsitektur muncul
dari kemampuan pikiran dan kreasi manusia di dalam kebudayaannya.
Dalam proses kreasi bangunan arsitektur, manusia (arsitek) mengaplikasikan
pengetahuannya ke dalam wujud fisik bangunan. Arsitek memanfaatkan ilmunya
untuk melakukan perencanaan dan perhitungan dalam mendirikan bangunan. Sebagai
sebuah ilmu, arsitektur merupakan arsip dari akumulasi gagasan dalam sejarah
kebudayaan. Hal ini melibatkan transformasi dari sifat mental menjadi fisik bangunan.
Ilmu arsitektur juga dibangun dari dinamika kekuasaan. Terdapat unsur-unsur
kekuasaan yang terkandung di dalam disiplin ilmu tersebut. Kekuasaan ini berfungsi
untuk mempengaruhi perilaku manusia. dengan mengaplikasikan Ilmu arsitektur,
arsitek menjadi akses dari penyebaran kekuasaan tersebut ke dalam wilayah sosial
manusia.
15 Daniel C. Dennett. 1987. The Intentional Stance. (Massachusettes : MIT Press). Hal 43-82.
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
Sebagai sebuah produk kebudayaan, arsitektur akan selalu memiliki
ketergantungan pada manusia. Namun, kecerdasan manusia tentu juga mengalami
proses pembentukan. Dalam persoalan arsitektur, manusia mengalami proses
pembentukan kecerdasan di dalam ruang arsitektur.
Gagasan tentang arsitektur adalah transformasi bangunan dari bentuk dua
dimensi menjadi tiga dimensi. Pada gambaran dua dimensi, bangunan hanya
merupakan rancangan di atas kertas. Namun, pada bentuk tiga dimensi, bangunan
memiliki wujud fisik ruang yang dapat ditempati oleh manusia. Penambahan satu
dimensi ini merupakan usaha manusia untuk mewujudkan rancangan menjadi entitas
fisik. Transformasi ini menambahkan unsur kemanusiaan pada rancangan tersebut,
sehingga rancangan arsitektur dapat menjadi sebuah ruang untuk sungguh-sungguh
ditempati oleh manusia.
Arsitektur menjadi sebuah rancangan untuk menghadirkan biosfer bagi
manusia. Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki keterikatan dengan hukum alam.
Namun, dengan keberadaannya di alam, manusia terpengaruh dengan kekuatan alam
yang mengelilinginya. Hal ini menyebabkan manusia selalu terikat dengan naluri
alamiahnya dan menjadikannya selalu terdeterminasi oleh alam. Dengan membuat
sebuah ruang bagi dirinya, manusia dapat mengisolasi dirinya dari kekuatan dan
determinasi alam. Isolasi yang dilakukan oleh manusia tidak saja merupakan
perlindungan fisik, namun juga merupakan perlindungan terhadap aspek mentalnya,
sebagai usaha untuk menjaga kemanusiaannya dari determinasi alam.
Desain menghadirkan hubungan resiprokal antara manusia dan alam. Dengan
begitu, maka manusia dan alam memiliki hubungan saling mempengaruhi. Hubungan
resiprokal itu mencakup tentang kemampuan ide dan kondisi fisik suatu wilayah.
Dalam usahanya medirikan sebuah bangunan arsitektur, hubungan resiprokal itu
terjadi, sehingga manusia melakukan perhitungan tentang gagasan arsitektur.
Ketika manusia melakukan perhitungan dalam pembangunan, terdapat proses
komputasi pada otak manusia untuk mengolah setiap data inderawi dan pengetahuan
yang dimiliki manusia dalam membuat judgment dan pengambilan tindakan. Proses
komputasi itu terjadi pada kontak manusia dengan fenomena yang terjadi di
hadapannya. Kemampuan otaknya dalam mengolah setiap data yang ditangkap
menjadi cara bagi kecerdasan manusia untuk berkembang. Karena manusia selalu
hidup di dalam ruang, maka proses perkembangan kecerdasan itu terjadi di dalamnya.
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
Ruang yang dipersepsi oleh manusia menjadi data inderawi yang akan diolah oleh
otaknya. Pada gagasan ini, ruang arsitektur mempengaruhi manusia dan inteligensinya.
Pembentukan inteligensi manusia diperkuat dengan potensi gerak yang
disediakan oleh ruangan kepada manusia. Kenampakan fisik ruang akan menjadi
pembatas bagi gerakan yang dapat dilakukan oleh manusia. Potensi gerak itu akan
mendeterminasi pola perilaku manusia di dalam ruang, dan mampu mendisiplinkan
manusia. Pada gagasan ini, arsitektur menyediakan posibilitas bagi manusia untuk
bergerak di dalam mentalitasnya, bukan hanya secara fisik. Maka, mental manusia
dapat mengalami dinamika di dalam fisik ruang yang statis.
Maka, ruangan menyediakan posibilitas bagi manusia untuk menjaga dan
mempertahankan segala potensi mentalnya, di samping potensi fisiknya, termasuk
pada perkembangan inteligensi, yang didasarkan pada adaptasi yang dilakukan
manusia. Adaptasi, sebagai gagasan desain survivabilitas, menjadi mediasi antara
manusia dan realitas yang mengelilinginya.
Dari pembahasan ini, penulis menekankan beberapa poin penting, yaitu:
1. Arsitektur merupakan usaha untuk membangun human space, dengan metode
mengubah rancangan dua dimensi menjadi wujud tiga dimensi.
2. Bangunan arsitektur berbeda dengan ruang yang tersedia oleh alam (natural space),
sebab arsitektur mengikutsertakan berbagai nilai humanistik dan sosial ke dalam unsur
fisik dari bangunan.
3. Arsitek menjadi akses bagi penyebaran kekuasaan melalui wujud fisik bangunan.
4. Relasi antara inteligensi manusia dan bangunan dimediasi oleh desain bangunan.
5. Proses adaptasi manusia terhadap ruangan arsitektur menjadi mekanisme utama dalam
keterpengaruhan inteligensi manusia terhadap arsitektur.
F. CATATAN KRITIS / SARAN
Dalam pembahasan ini, gagasan tentang desain menjadi kunci dari
terbentuknya relasi antara manusia dan arsitektur. Sedangkan proses adaptasi menjadi
mekanisme dari desain itu. Arsitektur tidak lagi sepenuhnya tunduk pada kecerdasan
manusia. Walaupun arsitektur dibangun oleh manusia, namun kecerdasan manusia
terbentuk oleh arsitektur, sebagai stimulus bagi proses komputasinya. Gagasan ini
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
mengadopsi ide evolusionisme Darwin ke dalam bidang arsitektur, dengan tambahan
dari metode Dennett.
Dalam mekanismenya, gagasan ini berada dalam taraf abstraksi, dalam arti,
sesuai karakter filsafat, gagasan ini bersifat spekulatif. Sulit untuk membuktikan
secara empiris bahwa sebuah bangunan, atau ruangan dapat mempengaruhi kecerdasan
manusia, tanpa intervensi dari berbagai objek dan variabel lainnya. Namun,
pembahasan ini merupaan sebuah upaya membongkar epistemologi dari konsep
inteligensi, dan segala hal yang dibangun bersamanya.
Relasi kuasa yang terbangun di dalam konsep arsitektur merupakan suatu
perpanjangan tangan ideologi yang tidak pernah terputus di dalam sejarah
kemanusiaan. Pada dasarnya, mengaplikasikan suatu gaya arsitektur berarti
membudidayakan suatu ideologi tertentu. Hal ini dapat menjadi sebuah kekayaan bagi
aspek epistemologi manusia, yang selalu berusaha untuk menyususn sebuah
sistematika berpikir, termasuk sistematika dalam pembangunan kebudayaan.
Penulis tidak bertujuan untuk membalik gagasan umum tentang hubungan
antara inteligensi dan arsitektur, melainkan, untuk menunjukkan media yang
menghubungkan kedua hal tersebut. Bangunan memang tidak serta merta
mempengaruhi inteligensi, namun, memberikan posibilitas bagi pergerakan inteligensi
melalui arsitektur. Dengan pembahasan ini, penulis mencoba untuk membangun
sebuah sistem berpikir, tentang hubungan manusia dan tempat tinggalnya, agar dapat
dikaji lebih lanjut oleh berbagai disiplin ilmu dan teori yang berlandaskan pada logika.
Tulisan ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai konsep
adaptasi. Terutama pada proses adaptasi di dalam corak kehidupan postmodern,
dengan asumsi bahwa corak kehidupan ini telah memiliki banyak komoditas produksi,
termasuk dalam produksi arsitektur.
G. KEPUSTAKAAN
Allison, Henry. 2001. Kant’s Theory of Taste : A Reading of The Critique of Aesthetics Judgement. (New York : Cambridge University Press)
Cassirer, Ernst. 1944. An Essay On Man : An Introduction to a Philosophy of Human Culture. (New York : DoubleDay Anchor Book) Deacon, Terrence W. 1997. What Makes The Human Brain Different?. Journal of Department of Anthropology. (Boston : Boston University)
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
Demetriou,A. dan Efklides, A. 1994. Intelligence, Mind, and Reasoning : Structure and Development. (Amsterdam : North-Holland) Dennett, Daniel C. 1995. Darwin’s Dangerous Idea : Evolution and The Meaning of Life. (New York : Simon and Schuster).
Dennett, Daniel C. 1987. The Intentional Stance. (Massachusettes : MIT Press) Eagleton, Terry. 1991. Ideology: An Introduction. (London and New York: Verso) Farrel, Clara O. 2005. Michel Foucault.(London : Sage Publications) Foucault, Michel. 2002. The Order of Things : An Archaeology of The Human Science. (London and New York : Routledge Classics). Foucault, Michel. 1995. Discipline and Punish : The Birth of The Prison. (New York : Vintage Book) Foucault, Michel. 2002. An Archaelogy of Knowledge. (London: Routledge Classics)
Foucault, Michel. 1988. Madness and Civilization. (New York : Vintage Book) Gutting, Gary. 2006. Cambridge Companion to Foucault.(New York : Cambridge University Press)
Heidegger, Martin. 2001. Poetry, Language and Thought. (New York :Harper Perennial Modern Classics) Humphreys, Lloyd G. 1979. The Construct of General Intelligence. (University of Illinois) Langmead, Donald. & Johnson, Donald L.. 2000. Architectural Excursion : Frank Lloyd Wright, Holland, and Europe. (London : Greenwood Press) Leach, Neil. 1997. Rethinking Architecture: A Reader in Cultural Theory. (London and New York: Routledge Taylor and Francis Group) Lyotard, Jean-Francois. 1991. The Inhuman : Reflections on Time. (California : Stanford University Press) O’Rilley, Randall C. & Munakata, Yuko. 2000. Computational Explorations in Cognitive Neuroscience. (New York)
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013
Rorty, Richard. 1989. Contingency, Irony, and Solidarity. (New York : Cambridge University Press). Thagard, Paul. 2005. Mind : Introduction to Cognitive Science Second Edition. (Massachusettes and London : Massachusetts Institute of Technology Press) Till,Jeremy. 2009. Architecture Depends. (Massachusetts : MIT Press).
Toynbee, Arnold. 2007. Sejarah Umat Manusia : Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan komparatif. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar) Venturi, Robert. 1966. Complexity and Contradictory in Architecture. (New York : The Museum of Modern Art) Vitruvius, Marcus. 1914. The Ten Books of Architecture (Translated by Morris Hicky Morgan). (London : Oxford University Press) Zumthor, Peter. 1988. Thinking Architecture. (Basel : Birkhausser)
Adaptasi dalam…, Noorca Maya Regita, FIB UI, 2013