ACARA 2 - BIOREMEDIASI TANAH
Transcript of ACARA 2 - BIOREMEDIASI TANAH
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Minyak bumi merupakan bagian dari kehidupan yang sulit untuk dipisahkan.
Minyak bumi merupakan bahan yang sangat penting dalam kehidupan sebagai sumber energi.
Berbagai manfaat banyak diperoleh dari minyak bumi tapi disamping itu minyak bumi
banyak pula memberikan efek yang buruk diantaranya pencemaran lingkungan, baik itu
tanah, air dan udara. Minyak bumi yang merusak atau bisa juga disebut limbah minyak
bersumber dari hasil eksplorasi produksi minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas
penyimpanan, pemrosesan, dan tangki penyimpanan minyak pada kapal laut. Limbah minyak
bersifat mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan
bersifat korosif. Limbah minyak merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3), karena
sifatnya, konsentrasi maupun jumlahnya dapat mencemarkan dan membahayakan lingkungan
hidup, serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya (Ginting, 2007).
Pencemaran tanah oleh minyak bumi banyak dijumpai pada areal pertambangan,
yang diakibatkan oleh proses pengilangan minyak bumi dan sisa-sisa limbah eksplorasi hasil
pengilangan. Limbah minyak bumi dapat menimbulkan bau, secara fisik mempunyai tekstur
liat, saling merekat dan merubah warna pada tanah. Tanah yang tercemar minyak bumi
berangsur-angsur akan kehilangan unsur-unsur hara sehingga merusak tanah. Pencemaran
tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem.
Remediasi adalah proses perbaikan dan pemulihan kualitas lahan yang tercemar.
Secara umum, proses remediasi telah diatur, terutama remediasi tanah yang diatur melalui
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003. Remediasi yang dilakukan
difokuskan pada metode biologis, yang disebut Bioremediasi. Bioremediasi merupakan suatu
aplikasi biologi untuk mengolah tanah,lumpur dan air tanah yang terkontaminasi bahan-
bahan kimia berbahaya (Cookson, 1995). Metode biologi yang dimaksud adalah
menggunakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi kontaminan dan zat pencemar,
terutama minyak bumi. Mikroorganisme yang dimanfaatkan adalah jenis Bakteri
(Pseudomonas sp., Rhodococcus sp., Bacillus sp. dsb), Fungi (Aspergillus niger, Neurospora
crassca, dsb), Cyanobacteria dan Alga ( Nostoc sp., Chlorella Sorokiana, dsb).
Dalam proses Bioremediasi dalam tanah, ditambahkan bulking agent yang bertujuan
untuk mengatur porositas, kelembaban, dan sebagai sumber nutrisi. Bioremediasi menjadi
efektif jika mikroorganisme harus kontak secara enzimatis pada polutan dan merubahnya
menjadi bahan yang didak berbahaya. Efektifitas bioremediasi tercapai jika kondisi
lingkungan mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Beberapa teknik bioremediasi
untuk mengolah tanah yang tercemar dapat dilakukan baik secara in-situ maupun ex-situ,
salah satunya adalah teknik land farming. Teknik land farming merupakan teknik
bioremediasi yang dilakukan pada permukaan tanah dan prosesnya memerlukan kondisi
aerob dan dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ
B. Tujuan
Mengetahui teknik bioremediasi tanah tercemar limbah minyak, menganalisis
kandungan hidrokarbon, dan menganalisis jumlah bakteri perombak minyak.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi menghasilkan produk yang berupa minyak
dan gas bumi juga menghasilkan limbah. Semakin meningkatnya kegiatan eksplorasi minyak
bumi dan gas bumi maka dampak yang akan ditimbulkan dari usaha ini harus dikelola secara
komprehensif, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan akibat kegiatan tersebut terhadap
lingkungan dapat diminimalisasi serendah mungkin. Pada umumnya limbah yang dihasilkan
oleh kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi terdiri dari limbah cair maupun limbah padat.
Limbah cair merupakan hasil pemisahan crude oil dan air. Crude oil ditampung di dalam
tanki, sedangkan air yang telah dipisahkan dari minyak mentah melalui oil catcther dialirkan
ke pit-pit atau kolam penampungan tanpa mengalami pengolahan lebih lanjut dan langsung
dibuang ke lingkungan (perairan). Sedangkan limbah padat merupakan crude oil yang telah
tercampur dengan pengotor selama proses pengumpulan dan pengangkutan dari berbagai
lokasi ekplorasi. Limbah padat umumnya dikumpul dalam bak penampungan yang apabila
tidak mengalami pengolahan secara bijak dapat mengakibatkan pencemaran. Pencemaran
lingkungan yang diakibatkan oleh limbah minyak bumi kemungkinan akan selalu terjadi
selama kegiatan eksplorasi, oleh karena itu diusahakan penanggulangannya. Banyak cara
yang dapat digunakan untuk mengolah limbah tersebut, meliputi penanganan dengan cara
fisika, kimia, dan biologi (Suprihanto, N. 2005).
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, limbah cair Kegiatan eksplorasi minyak dan
gas bumi yang diambil dari kegiatan eksplorasi minyak bumi di berbagai wilayah indonesia
mengandung senyawa antara lain hidrokarbon, fenol, ammonia, sulfida yang masih berada di
atas baku mutu limbah (BML). Bioremediasi adalah penggunaan agen biologis (tanaman,
mikroba) untuk melenyapkan polutan. Bioremediasi merupakan salah satu teknologi inovatif
yang efektif dalam mendegradasi komponen organik dan anorganik yang mencemari
lingkungan. Bioremediasi secara luas diaplikasikan pada tanah, sludge, pengolahan air, air
tanah dan air permukaan yang tercemar bahan kimia (Mangkoedihardjo, 2002).
Regulasi pengolahan limbah minyak bumi terdapat pada Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No: 128 Tahun 2003 tentang tata cara dan persyaratan teknis pengolahan
limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis. Pengolahan
limbah minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan
menggunakan metoda biologis sebagai salah satu alternatif teknologi pengolahan yang
meliputi :
a. landfarming;
b. biopile;
c. composting ;
Tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi dan tanah
terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis dalam Lampiran II Keputusan ini
mencakup:
a. persyaratan teknis pengelolaan;
b. analisis terhadap proses pengolahan;
c. kriteria hasil akhir pengolahan;
d. penanganan hasil olahan;
e. pemantauan dan pengawasan terhadap hasil olahan.
Semua pengolahan limbah secara biologi memerlukan mengedepankan kajian skala
laboratorium (un front laboratory testing) sebagai bagian pendekatan untuk suksesnya
bioremediasi. Bioremediasi skala laboratorium umumnya meliputi studi awal mengenai
limbah cair kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi, pengambilan sampel awal untuk
mengetahui karakteristik limbah, isolasi, seleksi dan karakterisasi isolat mikroba yang
berpotensi dalam mendegradasi limbah minyak dan gas bumi. Menguji kemampuan isolat
bakteri yang didapat dalam mendegradasi komponen limbah cair dan optimalisasi aktivitas
mikroba indigen serta membuat permodelan scale up skala laboratorium. Bioremediasi skala
laboratorium sebagai dasar aplikasi pengolahan limbah skala lapangan, termasuk didalamnya
estimasi biaya dan performa dari bioremediasi yang akan dilakukan (Anonim, 2008).
Remediasi fisik kimia adalah efektif untuk tujuan jangka pendek/segera yaitu
melokalisasi dan mengambil semaksimal mungkin tumpahan minyak dari laut. Remediasi
fisik yang telah dipraktekkan secara umum adalah: 1) Booming and skimming. Booms
digunakan untuk melokalisasi dan mengendalikan pergerakan minyak. Skimmer digunakan
untuk mengambil minyak. 2) Wiping dengan absorben. Bahan hidrofobik digunakan untuk
menyeka minyak dari permukaan air. 3) Mekanis. Peralatan mekanis digunakan untuk
mengumpulkan dan pembuangan sediment tercemar minyak. Ini terutama dilakukan di
daerah pantai. 4) Pencucian. Pencucian menggunakan air dingin bertekanan rendah sampai
air panas bertekanan tinggi. 5) Relokasi sediment dan tilling. Pemindahan sediment tercemar
minyak ke tempat lain atau pencampuran dengan sediment lain. Cara ini analog dengan
pengenceran pencemar. 6) Pembakaran setempat. Pembakaran tempat tercemar minyak
biasanya dilakukan bersamaan dengan substrat mudah terbakar (tumbuhan kering, sampah
kering). Ini terutama untuk kawasan pesisir (Mangkoedihardjo, 2002).
Remediasi kimia yang telah dipraktekkan secara umum adalah: 1) Dispersants.
Kandungan surfaktan digunakan untuk mendispersi minyak menjadi butiran dalam air.
Butiran minyak mempunyai total luas permukaan butiran luas sehingga mempercepat proses
lanjutan. Cara ini dipakai secara rutin di banyak Negara, terutama jika menghadapi kendala
remediasi fisik 2) Demulsifiers. Bahan ini digunakan untuk memutus emulsi minyak-air guna
mempercepat disperse alamiah. 3) Solidifiers. Bahan ini digunakan untuk meningkatkan
polimerisasi minyak sehingga minyak menjadi stabil, meminimalkan penyebaran, dan
meningkatkan efektivitas remediasi fisik. 4) Surface film chemicals. Bahan pembentuk film
(Film-forming agents) digunakan untuk mencegah minyak tertarik ke substrat laut lepas, dan
untuk meningkatkan pembuangan minyak terikat pada permukaan alat pencuci bertekanan.
Remediasi fisik kimia bersifat remediasi jangka pendek dan tidak tuntas (perpindahan massa
antar media lingkungan), hanya sekitar 10 – 15 % pencemar dapat dipindahkan dari media
laut (Ginting, 2007).
Untuk penuntasan remediasi diperlukan penghilangan dari media secara biologis
(bioremediasi). Bioremediasi digunakan saat peristiwa tumpahan minyak Exxon Valdez yang
mencemari laut tahun 1989. Bioremediasi didefinisikan sebagai teknologi yang menggunakan
mikroba untuk mengolah pencemar melalui mekanisme biodegradasi alamiah (intrinsic
bioremediation) atau meningkatkan mekanisme biodegradasi alamiah dengan menambahkan
mikroba, nutrien, donor electron dan/atau akseptor elektron (enhanced bioremediation)
(Anonim, 2001). Nutrien terpenting adalah N dan P. Donor electron adalah methanol atau
asam laktat untuk proses anaerobic. Akseptor electron adalah oksigen, atau untuk anaerobic
adalah besi (3) dan nitrat (Imaduddin, 2011).
Perubahan fisik saat minyak terekspose ke lingkungan laut akan menentukan proses
bioremediasi, yang terutama adalah: 1) Evaporasi. Proses ini terutama untuk minyak volatile
seperti benzene and smaller n-alkanes. Evaporasi menghasilkan luas permukaan minyak dan
menguntungkan bagi mikroba untuk menghilangkan senyawa toksik tersebut. 2) Pelarutan.
Proses ini tidak signifikan dari sudut perpindahan massa tetapi penting dalam proses
biodegradasi. Mikroba berada dalam air lebih mudah kontak dengan minyak terlarut. 3)
Dispersi. Formasi emulsi minyak-air memperluas permukaan butir minyak sehingga
memudahkan mikroba untuk memproses minyak. Formasi emulsi ini merupakan proses
penting dalam penghilangan hidrokarbon oleh bacteria dan fungi (Singer and Finnerty, 1984).
Tetapi emulsi minyak-air dengan penambahan dispersan tidak efektif untuk proses
biodegradasi minyak, karena adanya tambahan zat organic dispersan. 4) Emulsifikasi.
Emulsifikasi pembentukan chocolate mousse akan mengurangi luas permukaan minyak
sehingga menurunkan proses biodegradasi. Butir tar sebagai agregat besar akan menghambat
akses mikroba (Anonim, 2008).
Keefektifan bioremediasi ditentukan oleh kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan ini
digunakan untuk pengambilan keputusan tempat bioremediasi, baik di tempat (in-situ) atau di
luar tempat (ex-situ). Kondisi lingkungan yang terutama adalah: 1) Temperatur. Pada
temperature rendah maka viskositas minyak meningkat dan volatilitas senyawa toksik
menurun sehingga akan menghambat proses bioremediasi. Hidrokarbon rantai pendek
alkanes lebih mudah larut pada temperature rendah. Pada temperature tinggi, aromatic lebih
mudah larut Secara umum laju biodegradasi umumnya meningkat dengan peningkatan
temperature sampai batas tertentu. Laju tinggi biodegradasi minyak di laut dapat dicapai pada
temperature 15 - 20°C 2) Oksigen. Ketersediaan oksigen adalah penting dalam proses
biodegradasi hidrokarbon jenuh dan aromatic. Tetapi metabolisme hidrokarbon secara
anaerobic dapat berhasil baik untuk hidrokarbon aromatic (BTEX) PAHs dan alkanes dapat
didegradasi dalam kondisi anaerobic 3) Nutrients. Saat minyak tumpah ke laut, suplai karbon
ke dalam air laut meningkat. Pada saat itu air laut terdapat ketimpangan komposisi nutrient
(C meningkat tajam sehingga C/N/P menjadi membesar melebihi komposisi normal bagi
kebutuhan mikroba). Untuk memanfaatkan mikroba maka diperlukan penambahan nutrient N
dan P pada tingkat proporsi C/N/P sebelum tertumpah minyak. Secara teoretis 150 mg
nitrogen dan 30 mg phosphor diperlukan mikroba untuk konversi 1 g hidrokarbon menjadi sel
baru (Vik EA, et al, 2001) pH dan salinitas. Kebanyakan bacteria heterotrof dan fungi
menyukai pH netral dan fungi masih toleran terhadap pH rendah. Berbagai studi
menghasilkan fakta bahwa biodegradasi minyak akan lebih cepat dengan peningkatan pH dan
kecepatan optimum pada pH alkalin. Perubahan salinitas dapat mempengaruhi biodegradasi
melalui perubahan populasi mikroba dan laju metabolisme hidrokarbon akan menurun 3.3 to
28.4% dengan peningkatan salinitas (Anonim., 2001)
Salah satu proses pemulihan lingkungan tercemar dengan menggunakan tumbuhan
telah dikenal luas, yaitu fitoremediasi (phytoremediation). Fitoremediasi dapat dilakukan di
wilayah pesisir, terutama kejadian pencemaran minyak atau pembuangan residu minyak
berada di lahan basah pesisir.
Proses fitoremediasi secara umum dibedakan berdasarkan mekanisme fungsi dan
struktur tumbuhan secara umum membuat klasifikasi proses sebagai berikut: 1) Fitostabilisasi
(phytostabilization). Akar tumbuhan melakukan imobilisasi polutan dengan cara
mengakumulasi, mengadsorpsi pada permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan
dalam zone akar. Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik
yang terkandung minyak yaitu sulfur, nitrogen, dan beberapa logam berat (sekitar 2 - 50 %
kandungan minyak (Suprihanto, 2005). 2) Fitoekstraksi / fitoakumulasi (phytoextraction /
phytoaccumulation). Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke
dalam organ tumbuhan. Proses ini adalah cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat
anorganik seperti pada proses fitostabilisasi. 3) Rizofiltrasi (rhizofiltration). Akar tumbuhan
mengadsorpsi atau presipitasi pada zone akar atau mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar
ke dalam akar. Proses ini digunakan untuk bahan larutan yang mengandung bahan organic
maupun anorganik (Mangkoedihardjo, 2002). 4) Fitodegradasi / fitotransformasi
(phytodegradation / phytotransformation). Organ tumbuhan menguraikan polutan yang
diserap melalui proses metabolisme tumbuhan atau secara enzimatik. 5) Rizodegradasi
(rhizodegradation / enhanced rhizosphere biodegradation / phytostimulation / plant-assisted
bioremediation / degradation). Polutan diuraikan oleh mikroba dalam tanah, yang
diperkuat/sinergis oleh ragi, fungi, dan zat-zat keluaran akar tumbuhan (eksudat) yaitu gula,
alcohol, asam. Eksudat itu merupakan makanan mikroba yang menguraikan polutan maupun
biota tanah lainnya. Proses ini adalah tepat untuk dekontaminasi zat organic. 6)
Fitovolatilisasi (Phytovolatilization). Penyerapan polutan oleh tumbuhan dan dikeluarkan
dalam bentuk uap cair ke atmosfer. Kontaminan bisa mengalami transformasi sebelum lepas
ke atmosfer. Kontaminan zat-zat organic adalah tepat menggunakan proses ini (Setiawan,
2011).
III. METODOLOGI
Praktikum acara II yang berjudul “Bioremediasi Tanah Tercemar Limbah Minyak
Bumi” dilaksanakan pada tanggal 24 April 2012 di Laboratorium Mikrobiologi Timur
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat dan bahan yang digunakan
adalah lumpur minyak, tanah regosol, tanah grumusol, tanah latosol, pupuk urea dan SP.
Pertama-tama tanah ditimbang sebanyak 5kg dan lumpur minyak sebanyak 1 kg. Kemudian
dicampur hingga homogen lalu ditambahkan sampai kapasitas lapang. Lalu dibuat perlakuan
1 (control) lalu perlakuan 2 (dipupuk dengan urea). Lalu diinkubasikan selama 3 minggu
pada suhu kamar. Untuk analisis kandungan hidrokarbon, pertama-tama sampel tanah
sebanyak 2 g ditimbang. Lalu 2 gr NaSO4 anhidrat ditambahkan. Kemudian dimasukkan
kedalam labu ekstraktor soxhiet. Lalu air pengingin dialirkan melalui kondensor. Tabung
ektraksi dipsang pada alat destilasi soxhiet. Pelarut dieter-eter sebanyak 40 ml dimasukkan
kedalam ekstraktor. Lalu diekstrak kira-kira 2 jam. Kemudian timbang hidrokarbon yang
terekstrak. Untuk analisis jumlah bakteri perombak minyak, pertama-tama 11 gr contoh tanah
ditimbang lalu dimasukkan kedalam 99ml aquades steril dan digojog dengan vortex. Lalu 1
ml suspense diambil dan dimasukkan dalam 9 ml aquades steril dan gojog dengan vortex.
Lalu 1 ml pengenceran 10-4 – 10 -8 dan diinokulasikan secara aseptis kedalam 3 ml medium
minimal bushnel-hass, kemudian dinkubasikan dalam suhu kamar selama 3 minggu. Lalu
dipilih 3 seri pengenceran yang menunjukkan gradasi tabung positif, lalu dicocokkan dengan
table MPN untuk menentukan jumlah bakteri dalam tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. [Laporan Praktikum]. Bandung:
Uneversitas Padjajaran.
Anonim. 2001. United States Environmental Protection Agency (2001). Use of
Bioremediation at Superfund Sites. U.S. Environmental Protection Agency.
Cincinnati, OH 45268.
Ginting, Pedana, Ir. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Jakarta:
MS.CV YRAMA WIDYA.
Imaduddin, M. Fathul, 2011. Penentuan Konsentrasi Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) di
bawah 1% Pada Tanah yang Tercemar Menggunakan Metode Gravimetri.
[Laporan Praktikum]. Bogor: Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Institut
Pertanian Bogor.
Mangkoedihardjo, Sarwoko. 2002. Waterhyacinth leaves indicate wastewater quality. J.
Biosains, 7 (1): 10-13.
Setiawan, Budi Indra. 2011. Teknik Remediasi Tanah dan Air Tanah. Bogor: Departemen
Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
Suprihanto Notodarmojo. 2005. Pencemaran tanah dan air tanah. Bandung : Penerbit ITB
Vik EA, Bardos P, Brogan J, Edwards D, Gondi F, Henrysson T, Jensen BK, Jorge C,
Marrioti C, Nathanail P, and Papassiopi N. (2001). Towards a framework for
selecting remediation technologies for contaminated sites. Land Cont & Reclam, 9,
1: 119-127.
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI TANAH
ACARA II
BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BUMI
Disusun Oleh
Ngurah Kamandanu (11537)
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI TANAH
PROGRAM STUDI MIKROBIOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012